KHILAFAH DALAM TAFSIR AL-MANAR KARYA MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA (Studi Kasus Manhaj Tafsir) Oleh: Rosmini
ABSTRACT Abduh dan Ridha merupakan dua tokoh pembaharu Islam yang memunculkan tafsir Alquran dengan metode yang berbeda dengan metode tafsir yang diterapkan oleh mufassir-mufassir sebelumnya. Zaman keterkungkungan umat Islam dari belenggu taqlid di mana kedua tokoh ini lahir dan berkarya menjadi penyebab utama atas besarnya peranan akal dan kentalnya analisis sosial kemasyarakatan dalam ulasan Tafsir al-Manar. Dominasi analisis sosial kemasyarakatan dalam Tafsir al-Manar pada gilirannya mempertegas keberpihakan Abduh dan Ridha terhadap pemakaian akal yang seluas-luasnya dalam menafsirkan Alquran. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa keduanya meninggalkan riwayat-riwayat dari Nabi. Namun, riwayat tetap digunakan setelah melalui proses seleksi yang cukup ketat. Dalam menjelaskan term khilafah dalam Alquran, Abduh dan Ridha tidak mempertajam analisis politik khilafah, melainkan keduanya cenderung memapakarkan penafsiran yang lebih umum,yakni dengan mengaitkan term khilafah dengan penggantian satu generasi dengan generasi berikutnya, termasuk di dalamnya penggantian kekuasaan. Penggantian ini terjadi karena adanya pelanggaran terhadap sunnatullah baik yang berupa sunnatullah dalam sistem sosial kemasyarakatan maupun sunnatullah berupa ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi dan Rasul Allah. أن الشيخ محمد عبده و الشيخ محمد راشد رضا هما مجد د اال سال م اللذ ان يفسر ان القرا ن با ستخد المنهج المقصو د هو. ام المنهج الجد يد اللذي يخالف المنهج اللذي استخد مه المفسر ون السا بقون منهما وال يقصد بهذ. هذ ا المنهج يعطي دورا كبيرا علي العقل في تفسير القر ا ن. اال د ب اال جتماعي المنهج ولكن أنهما يستخدما ن الروايا ت بعد, االتعبير علي أنهما يتركا ن الروا يا ت أو ا ال حاديث في تفسيره القرا ن . وكان نشر التقليد في ذلك الز ما ن سببا لكو نهما أن يختارا هذا المنهج. أن يبحثها بحثا عميقا و لكن أ, أنهما ال يبحثا ن الخال فة بحثا سيا سيا عميقا, شر حا علي أسلوب "الخال فة " في القر ا ن . يعني بهذا أنهما يطلقا ن معني الخال فة بتخلف جيل بجيل سابق.نهما بفسرا ن هذا اال سلوب تفسيرا عا ما و يحد ث هذا التخلف بأ ن اال نسا ن يخا لف سنن هللا إ جتما عية و دينية أي يخالف تعاليم هللا التي بلغها ا النبياء . و المر سلين I. PENDAHULUAN A. Latar Wacana Sebagai Kitab Suci terakhir yang ditujukan untuk menjadi pedoman dan petunjuk bagi umat manusia di seluruh waktu dan tempat, Alquran sepatutnya diterjemahkan dan ditafsirkan sesuai dengan zamannya. Dalam rangka penterjemahan dan penafsiran Alquran, berbagai upaya telah dikerahkan dari berbagai pihak terutama
1
dari mereka yang memiliki basis keilmuan keagamaan yang mumpuni. Munculnya berbagai penafsir Alquran menyertakan munculnya berbagai metodologi penafsiran karena para penafsir memiliki kecenderungan dan perangkat-perangkat keilmuan yang berbeda. Metodologi penafsiran Alquran sepanjang sejarah telah mengalami improvisasi sedemikian rupa baik menyangkut corak, pendekatan, maupun metode itu sendiri. Hal ini karena setiap zaman yang melahirkan mufassir memiliki karakteristik dan kecenderungannya masing-masing. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah dua orang mufassir Alquran yang dengan daya dan upayanya telah menafsirkan Alquran dengan pendekatan sosial kemasyarakatan yang diunggulkannya. Tafsir al-Manar adalah karya monumental mereka yang senantiasa memberi insprirasi kuat bagi mufassir-mufassir setelahnya. Sebagai sebuah karya “duet”1 dari dua orang mufassir kenamaan yang muncul di era modern Islam2, Tafsir al-Manar memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi penyusunannya maupun dari segi substansi penafsirannya. Satu hal yang sangat menonjol dalam karya tafsir ini adalah upaya kedua penulisnya untuk mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan riil masyarakat. Hal ini karena menurut Abduh keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.3 Dalam kaitan ini pula, Abduh dan
1
Pada dasarnya, Tafsir al-Manar merupakan hasil karya dari tiga tokoh Islam, yaitu sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh pertama menanamkan ide-ide perbaikan masyarakat lalu gagasan-gagasan ini dicerna dan diolah oleh tokoh kedua yang dituangkannya dalam penafsiran ayat-ayat Alquran. Sebagai sahabat sekaligus murid tokoh kedua, tokoh ketiga menulis gagasan tersebut dalam bentuk ringkasan dan penjelasan yang dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar yang dimiliki dan dipimpinnya. Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Edisi Baru (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 85. 2
Harun Nasution membagi periodisasi sejarah Islam dalam tiga periode. Pertama, periode klasik (650-1250 M) yang dibagi kepada dua fase. Yaitu fase pertama fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Fase kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M). Periode Kedua, Periode pertengahan (1250-1800 M). Juga dibagi ke dalam dua fase. Fase pertama, fase kemunduran (1250-1500 M). Fase kedua, fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (15001700) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Periode Ketiga, Periode modern (1800 M dan seterusnya), merupakan zaman kebangkitan Islam. Dalam periode ini pula timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam. Dua orang tokoh pembaharuan Islam adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Lihat Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, t.d., h. 12-14. 3 M. Quraish Shihab, op. cit, h. 67.
2
Ridha tidak ingin terikat pada metode dan produk tafsir yang ada sebelumnya, sebab situasi, kondisi, dan zaman yang berbeda tentu memerlukan tafsir yang berbeda pula.4 Kegigihan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha5 dalam menampilkan pendekatan sosial kemasyarakatan ( ) ادىب اجتماعىdalam menafsirkan Alquran merupakan kritik metodologis terhadap berbagai pendekatan yang diterapkan mufassir-mufassir sebelumnya yang dinilainya kurang menampilkan fungsi utama Alquran sebagai hidayah dan jalan keluar bagi problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia. Gagasan-gagasan Abduh terkait dengan penyakit yang dialami oleh umat Islam di akhir-akhir pemerintahan khilafah Turki Usmaniyah berupa keterkungkungan di segala aspek kehidupan berikut solusinya yang tertuang dalam Tafsir al-Manar sebagaimana yang kita saksikan sekarang, pada mulanya disosialisasikan melalui media majalah al-Manar yang dipimpin langsung oleh muridnya sekaligus sahabatnya Sayyid Rasyid Ridha. Salah satu tujuan penerbitan Majalah al-Manar adalah sebagai media yang akan mengulang dan melanjutkan gagasan-gagasan pembaruan yang pernah diulas dalam majalah al’Urwatul Wutsqa yang terbit atas prakarsa dan kerjasama dua tokoh pembaruan Islam, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.6 Dengan demikian, merupakan hal yang wajar jika pendekatan sosial kemasyarakatan sangat menonjol dalam metodologi Tafsir al-Manar karena di samping ditujukan untuk memprioritaskan penonjolan aspek hidayah Alquran, juga karena ia pada mulanya disosialisasi melalui media yang komunikatif dan langsung berinteraksi dengan zamannya. Rasyid Ridha adalah seorang tokoh yang multi profesi. Selain sebagai ulama, dai, dan pendidik yang dikenal dengan keluasan dan kedalaman ilmunya, terutama di 4 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Masalah Akidah dan Ibadah (Cet.I; Jakarta: PARAMADINA, 2002), h. 104. 5 Sebagai pelanjut metode gurunya, Rasyid Ridha juga memperluas bahasan tafsirnya dengan memakai pisau analisa sosial kemasyarakatan. Kemampuan Ridha dalam hal ini sangat terkait dengan profesi beliau sebagai seorang wartawan. Karena profesi ini mengartanya banyak berhubungan dengan orang lain dengan latar belakang kehidupan dan pendidikan yang berbeda-beda. Hal ini berarti bahwa sasaran majalah al-Manar cenderung bervariasi mulai dari orang Islam, ateis, dan orang-orang kafir. Dengan demikian, dengan membaca kebaikan-kebaikan Islam yang tertuang dalam majalah al-Manar, Ridha berharap agar orang Islam tetap istiqamah pada agamanya, dan ateis dapat memahami penolakan Islam terhadapnya, demikian juga orang kafir dapat meninggalkan kekafirannya. Lihat Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II ( t.t: t.p, 1976), h. 580. 6 Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 316.
3
bidang tafsir, hadits, sastra, dan sejarah, ia juga seorang penulis yang produktif serta politikus yan handal. Dinamika sosial-politik-keagamaan yang semakin menghangat pada masanya menuntut Rasyid Ridha untuk memainkan peran-peran yang luas dalam kehidupan masyarakat Islam. Dengan demikian, tidak diherankan jika pasca wafatnya Muhammad Abduh kiprah politik Rasyid Ridha semakin nampak. Sebagai misal ia sudah mulai menulis dan berbicara tentang khilafah, hubungan Turki-Islam, intervensi kolonial Barat di dunia Arab, dan sepak terjang zionisme yang mengancam Palestina dan dunia Arab pada umumnya. Bahkan, Rasyid Ridha juga pernah menjabat sebagai ketua Parlemen Suriah sampai masuknya Prancis ke negeri ini pada tahun 1920. Ia juga merupakan penggagas utama Konferensi Ulama se-Dunia tentang revivalisasi kekhalifahan Islam pasca runtuhnya kekhalifahan Usmani di Turki tahun 1354 H/1924.7 Salah satu tema penting dalam pemikiran politik Islam yang diulas dalam Tafsir al-Manar adalah masalah Khilafah. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan mendiskripsikan penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha terhadap ayat-ayat yang secara etimologis dan terminologis terkait dengan khilafah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep khilafah dalam Tafsir al-Manar? 2. Bagaimana manhaj tafsir Abduh dan Rasyid Ridha dalam kasus khilafah?
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di perpustakaan (library reseach) . Oleh karena itu, keseluruhan data diambil dari buku atau karya tulis yang berkaitan dengan pembahasan “Khilafah dalam Tafsir al-Manar”. Sementara itu, ada dua jenis data tertulis yang digunakan, yaitu sumber primer berupa kitab Tafsir al-Manar, dan sumber data sekunder yang dipakai untuk keperluan interpretasi, yaitu referensi yang membahas tentang Khilafah dan juga membahas tentang profil kitab Tafsir al-Manar meliputi profil penulisnya dan manhaj tafsirnya. Selain itu, beberapa kamus bahasa Arab juga dipergunakan di antaranya Mu’jam Maqayis al-Lugah karya Ahmad Ibnu Faris Zakariya. 7
Herry Mohammad, dkk, op. cit., h. 314-315.
4
Penelitian ini menggunakan metode maudhu’iy. yakni suatu upaya untuk memberikan jawaban dengan menelusuri petunjuk-petunjuk Alqur’an dengan menghimpun
ayat-ayat
Alqur’an
tentang
masalah-masalah
khilafah.
Lalu
menganalisanya sambil memperhatikan produk-produk pemikiran atau penemuan manusia yang relevan dengan masalah yang dibahas, hingga pembahasan dapat melahirkan suatu konsep yang utuh dari Alqur’an berdasarkan ayat-ayat yang telah dihimpun. Adapun metode analisis yang dipakai adalah metode analisis kualitatif deskriptif kritis, karena data yang diolah berupa data-data verbal yakni kata dan kalimat Alquran yang kemudian diungkapkan makna-makna yang dikandungnya baik itu makna tekstual maupun makna kontekstualnya. Kontekstualisasi makna Alquran dalam hal ini lebih nampak dalam analisis historis, sosial kemasyarakatan yang dikembangkan dalam metode pendekatan Abduh dan Ridha. III. KERANGKA TEORI Meskipun penafsiran Alquran dalam Tafsir al-Manar (Tafsir al-Qur’an alKarim) merupakan “metamorfosa” materi-materi majalah al-Manar, namun tetap saja ditulis berdasarkan postulat-postulat tafsir yang diperpegangi oleh Abduh dan Rasyid Ridha. Penafsiran Abduh terhadap Alquran tidak hanya termuat dalam majalah alManar yang kemudian belakangan menjadi Tafsir al-Manar, namun sejumlah karya tafsir telah diajarkannya di berbagai tempat..8 Adapun Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir alManar merupakan media Rasyid Ridha dalam merefleksikan pandangan-pandangan 8
Misalnya, diajarkannya di dua mesjid di Beirut, salah satu mesjid di Kaero, ketika ia masih menjadi hakim, di al-Azhar ketika ia bertugas di pengadilan dan lembaga fatwa. Di Aljazair, ia mengajarkan tafsir surah al-Ashr sebagai tema kuliahnya. Di sekolah al-Jam’iyah al-Khairiyah alIslamiyah (organisasi Sosial Islam), ia mengajarkan tafsir Juz’amma. Menurut Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, tafsir Juz’amma karya Abduh merupakan referensi yang otoritatif dalam merepresentasikan Abduh sebagai seorang mufassir. Karena kitab tafsir ini disusun berdasarkan saran dari beberapa anggota al-Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah untuk menjadi referensi bagi para tenaga edukatif di lingkungan sekolah organisasi tersebut untuk membantu para murid memahami makna-makna yang mereka hafalkan dari surat-surat pada juz tersebut, serta untuk memperbaiki aktivitas dan akhlak mereka. Selanjutnya lihat Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijah al-Tafsir fi al-Ashri al-Rahin, diterjemahkan oleh Moh. Maghfur Wachid dengan judul Visi dan Paradigma Tafsir Alquran Kontemporer (Cet. I; Bangil-Jatim: al-IZZAH, 1997), h. 107.
5
progressifnya dalam memahami Alquran, yang menjadi sandaran utama menuju revivalisasi umat. Gagasan-gagasan modernisasi dan reformasi serta karakteristik dan model kebangkitan umat tertuang dalam kitab tafsirnya. Menurut Husain al-Dzahaby, Muhammad Abduh adalah mufassir pertama yang memperkenalkan metode modern dalam menafsirkan Alquran. Metode yang dimaksud adalah pendekatan adab ijtima’iy (sosial kemasyarakatan). Sebelum kemunculan Abduh, kebanyakan mufassir menafsirkan Alquran dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan pendekatan lainnya yang dinilai oleh Abduh dan Ridha sebagai pendekatan yang tidak memprioritaskan aspek hidayah Alquran. Meskipun Abduh dan Ridha demikian gigih mempertahankan dan memperkenalkan pendekatan sosial kemasyarakatan, namun keduanya menghindari penafsiran yang sangat detil tentang fenomena-fenomena kemasyarakatan umat Islam, khususnya yang terkait dengan penafsiran “term khilafah”. Hal ini semakin mempertegas konsistensi Abduh dan Ridha dalam mengutamakan aspek hidayah Alquran dalam penafsiran Alquran itu sendiri.
IV. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi pemikiran politik Muhammad Abduh dan Ridha yang tertuang dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Manar, khusunya terkait dengan konsep khilafah. Sebagai sebuah penelitian manhaj, maka penelitian ini tidak hanya terfokus kepada substansi pemikiran khilafah keduanya, tapi juga akan menelusuri dan mengkritisi manhaj yang digunakan keduanya dalam melahirkan makna-makna qur’ani yang terkandung dalam konsep khilafah. Dengan mengetahui manhaj tafsirnya dalam kasus khilafah, maka pendekatan tafsir dengan pendekatan sosial kemasyarakatan (adab ijtima’iy) akan mudah dipahami dan diterapkan dalam menampilkan pesan-pesan moral sosial Alquran. Sebagai penelitian yang berbasis akademik, maka penelitian ini tentunya diharapkan memberikan kontribusi dalam pengembangan wacana manhaj tafsir karena selayaknya sebuah manhaj memiliki situasi dan kondisinya masing-masing. Demikian juga materi-materi kajian tafsir menghendaki penerapan manhaj tafsir yang berbedabeda.
6
V. PEMBAHASAN A. Pengertian Khilafah Secara etimologis, kata yang berakar kata dengan huruf-huruf kha, lam dan fa, mempunyai 3 makna pokok, yaitu mengganti, belakang, dan perubahan.9 Dengan makna ini, maka kata keja khalafa-yahlufu dalam Alquran dipergunakan dalam arti mengganti baik dalam konteks penggantian generasi (Qs. Maryam (19): 59), ataupun dalam pengertian penggantian kedudukan kepemimpinan (QS.al-A’raf (7):142). Bentuk kata kerja lainnya yang dipergunakan dalam Alquran adalah istakhlafa-yastakhlifu. Bentuk ini merupakan pengembangan kata kerja dengan pola istaf’ala-yastaf’ilu yang antara lain
bermakna
ja’ala
“menjadikan”,
yakni
menjadikan
khalifah
(QS.
al-
A’raf(7):129).Dari kata ini terbentuk kata sifat mutakhlafin (mufradnya mustakhlaf, artinya orang yang diangkat khalifah), QS. al-Hadid (57):7. Salah satu aspek dari kisah Nabi Daud yang diungkapkan dalam ayat 26 surah Shad (38:26), adalah penegasan Tuhan bahwa Nabi Daud a.s. adalah seorang khalifah. Alquran tidak menjelaskan secara eksplisit apa sebenarnya konsep yang terkandung dalam istilah tersebut. Hanya saja dalam ayat lain, QS.al-Baqarat (2): 30 diungkapkan bahwa manusia pertama adalah juga seorang khalifah. Tak adanya penegasan secara eksplisit ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan mufassir.10 Sebagaimana dikutip Muin Salim bahwa Al-Sayuthi menukilkan pendapat Salman al-Farisi dan Mu’awiyat bahwa khalifah adalah kepala pemerintahan umat Islam.11 Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibn Katsir, dan al-qurthubi. Pendapat lainnya dikemukan oleh al-Wahidi dan al-Syaukani. Keduanya membatasi istilah tersebut pada kepemimpinan para Nabi secara bergantian menegakkan hukum Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh al-Fairuzabadi dari Ibn ‘Abbas, alZamakhsyari dan al-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah. Pendapat para ulama ini Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis fi al-Lugah (Cet. II; BeirutLibanon: 1998), h.210. 9
10
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 115. 11
Abd. Rahman Jalal al-Din al-sayuthi, al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Jilid VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 169.
7
memperlihatkan persamaan pendekatan. Mereka melihat konsep khalifah dari sudut kepemimpinan dan pemerintahan. Ini berarti bahwa konsep tersebut adalah konsep politik.12 Berbeda dengan kata khalaif yang bentuk mufradnya adalah khalifat, kata khulafa bentuk mufradnya adalah khalif, tidak dipergunakan dalam Alquran. Menilik penggunaan kata-kata tersebut dalam Alquran, terlihat kedua jamak itu dipergunakan dalam konteks yang berbeda. Kata khalaif dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang yang beriman pada khususnya.13 Sedangkan kata khulafa dipergunakan dalam konteks pembicaraan dengan orang-orang yang kafir kepada Tuhan.14Dalam hadis Rasulullah saw. kata tersebut dipergunakan pula dalam pengertian penggantian kepemimpinan umat Islam. ِ َْت أََب هري رَة َخ ٍ شا ٍر حدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْن ج ْع َف ٍر حدَّثَنَا حش ْعبةح َعن فحر ني َ َت أ َََب َحا ِزٍم ق َ َات الْ َق َّزا ِز ق ال ََِس ْع ح َ َال ق َ ِس سن َ َ ح َ َّ ََح َّدثَىن حُمَ َّم حد بْ حن ب َ ْ َ اع ْد ح َ ح َ ْ َ َ ِ ِ َّ صلَّى ب بَ ْع ِدي َ َاَّللح َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق س ِم ْعتحهح حُيَ يِد ح ْ َال َكان َ َوس حه ْم ْاْلَنْبِيَاءح حكلَّ َما َهل َّ َِب َوإِنَّهح ََل ن ٌّ َِب َخلَ َفهح ن ٌّ َِك ن َ َّب س ح يل تَ ح َ َف َ ت بَنحو إ ْس َرائ ث َع ْن النِ ِي 15اَّلل سائِلهم عما است رعاهم ِ َ ََو َسيَ حكو حن حخلَ َفاءح فَ يَكْثح حرو َن قَالحوا فَ َما ََت حْم حرََن ق ال فحوا بِبَ يْ َعة ْاْل ََّو ِل فَ ْاْل ََّو ِل أَ ْعطح ح ْ وه ْم َح َّق حه ْم فَِإ َّن ََّ َ ح ح ْ َ َّ ْ َ ْ َ ح Berdasarkan uraian semantik terhadap kata khalifah dan penggunaannya dalam Alquran, maka dapat ditegaskan bahwa term tersebut salah satu pengertiannya menunjuk pada makna kepemimpinan politik. B. Khilafah dalam Tafsir al-Manar Elaborasi semantik tentang term khilafah di atas tidak secara gamblang terekam dalam konsep khilafah dalam Tafsir al-Manar. Salah satu penyebabnya karena Rasyid Ridha tidak menyelesaikan tafsir Alquran sampai surah terakhir, sehingga ada beberapa derivasi kata khilafah yang belum ditafsirkan. Misalnya kata khalafa yang ada pada surah Maryam:59, kata mustakhlafin pada surah Hadid:72, kata khalifatan pada surah Shaad:26, kata Khalaif pada surah Fathir:39, dan kata khulafau pada surah al-Naml:62. 12
Muin Salim, Op. cit., h. 116. Lihat QS. Yunus (10):14 dan 73 yang berisi pemberitahuan Tuhan bahwa Ia menjadikan orangorang beriman sebagai khalifah di bumi. Sedangkan QS. al-An’am (6):165 dan QS.Fathir (35):39 ditujukan kepada seluruh manusia. 14 Ayat-ayat yang dimaksud adalah QS.al-A’raf (7):69 dan 74, QS. al-Naml (27):62. Ayat-ayat ini berisi ucapan Nabi Hud, Nabi Saleh dan Nabi Muhammad kepada kaumnya yang kafir. Dalam dua ayat pertama kata tersebut tegas dikaitkan dengan penggantian generasi, sedang yang terakhir dikaitkan dengan penguasaan di bumi. Lihat Muin Salim, Op. cit., 111. 15 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari dalam CD. Room Mausu’ah al-Hadis al-Syarif Kitab Ahadiits al-Anbiyaa, No. Hadis 3196. 13
8
Meskipun demikian, pemaparan aspek-aspek khilafah dalam pengertian penggantian kedudukan kepemimpinan politik dapat ditelusuri dalam pejelasan tematik (maudhu’i) yang disisipkan Rasyid Ridha secara panjang lebar di sela-sela tafsir tahlilinya. Terkait dengan penelusuran konsep khilafah dalam Tafsir al-Manar, di bawah ini akan dikemukakan beberapa ayat yang terindikasi derivasi term khilafah yang ditafsirkan baik oleh Muhammad Abduh maupun oleh Rasyid Ridha. ِ ِ ِ اعل ِِف ْاْلَر ِ ِ ِ ِ ك ال يِدماء وََْنن نح ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ُّال َرب َك َ ََوإِ ْذ ق َ سل ْ سبي حح ِبَ ْمد َك َونح َق يد ح ٌ ك لل َْم ََلئ َكة إِيّن َج َ ض َخلي َفةً قَالحوا أ َََتْ َع حل ف َيها َم ْن يح ْفس حد ف َيها َويَ ْسف ح َ َ َ ح )30(ال إِِيّن أَ ْعلَ حم َما ََل تَ ْعلَ حمو َن َ َق Dalam menafsirkan term khalifah dalam ayat di atas, Abduh memahami bahwa manusia adalah khalifah Allah di bumi dengan mengutip QS.Shaad:26. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa yang dimaksud khalifah adalah Adam dan keturunannya. Namun menurutnya, belum disepakati bahwa apakah penggantian (istikhlaf ) yang dimaksud menunjuk kepada penggantian suatu generasi manusia atas generasi sebelumnya, ataukah penggantian generasi mahluk yang lain atas generasi manusia?16 Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa potensi pisik dan potensi kemampuan manusia menerima taktif menunjukkan bahwa kekhalifahan manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekhalifahan atas seluruh makhluk. Dalam Alquran ditunjukkan bahwa mahluk selain manusia memiliki ciri khusus yang membuatnya dapat dipahami dengan jelas, baik itu mahkluk nyata semisal hewan dan tumbuh-tumbuhan maupun mahluk gaib semisal malaikat dan setan. Malaikat dapat diketahui melalui penjelasan Alquran bahwa ia adalah makhluk yang senantiasa bertasbih siang dan malam yang memiliki tugas-tugas tertentu, misalnya sebagai ahli sujud dan atau ahli ruku sampai hari akhirat. Demikian pula dengan bebatuan yang dicirikan sebagai makhluk yang tak memiliki ilmu pengetahuan dan tanpa gerak. Begitupun juga dengan tumbuh-tumbuhan yang hanya mampu memberikan pengaruh pada dirinya sendiri dan tidak memiliki alat untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan. Makhluk-mahluk ini hanya diberikan oleh Tuhan potensi Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), Juz I (Cet. II; Dar al-Fikr, t.th., Juz I, h. 258-259. 16
9
terbatas, pengetahuan terbatas, gerak terbatas yang tentu dengan sejumlah keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak memenuhi kualifikasi sebagai khalifah (pengganti peran) bagi Zat yang tidak memiliki keterbatasan ilmu dan kehendak, hukum-hukum, dan juga tidak ada keterbatasan bagi perbuatannya.17 Adapun manusia dengan setumpuk kelemahannya ia tetap mampu bergerak dan bertindak, dan dengan kebodohannya ia juga mampu mengetahui nama-nama benda, meskipun dengan kapasitas yang sangat terbatas. Dibanding dengan hewan, manusia mampu berkembang secara perlahan tapi pasti. Dengan pikiran dan perasaannya manusia mampu menguasai dan menundukkan alam dan menjadi terhina juga karena pikiran dan perasaannya. Di samping potensi alamiah dan hukum-hukum alam yang diberikan Tuhan kepada manusia, Tuhan juga memberikan hukum dan syariat yang dapat membantu manusia untuk menuju kesempurnaannya karena syariat memberinya batasan atas perbuatan dan perilaku manusia. Hal-hal inilah yang mengantar manusia menjadi makhluk yang paling pantas menjadi khalifah Allah di atas bumi.18 Ayat lain yang terindikasi mengandung makna khilafah dalam Tafsir al-Manar yaitu QS. Al-An’am (6):165. ٍ ض َدرج ِ يع ال ِْع َق ِ ف ْاْل َْر ور َ َِو حه َو الَّ ِذي َج َعلَ حك ْم َخ ََلئ َ َّات لِيَ ْب لح َوحك ْم ِِف َما َء َاَت حك ْم إِ َّن َرب َ ض َوَرفَ َع بَ ْع ٌ اب َوإِنَّهح لَغَحف َ َ ٍ ض حك ْم فَ ْو َق بَ ْع ك َس ِر ح ِ 165(يم ٌ َرح Menurut Rasyid Ridha, kata khalaif merupakan jamak dari kata khalifah yang berarti pengganti seseorang yang ada sebelumnya, baik mengganti tempatnya, pekerjaannya atau kekuasaannya.19 Terkait dengan kata khalaif dalam ayat ini, Ridha menunjuk pada dua pengertian. Pertama, khalaif menunjuk kepada generasi manusia secara keseluruhan yang berarti bahwa penggantian satu umat atas umat yang sebelumnya berlangsung berdasarkan sunnatullah. Kedua, khalaif
yang dimaksud
adalah umat Muhammad yang menjadi khalifah atau pengganti bagi umat-umat sebelumnya dalam hal kekuasaan dan pemakmuran bumi Allah. Hal ini dipertegas dalam surah Yunus:14. Dengan mengutip ayat 55 surah al-Nur, Ridha memberikan
17
Ibid. Ibid., h. 260. 19 Rasyid Ridha, op. cit., Juz 8, h. 250. 18
10
makna yang spesifik lagi bahwa khalaif bisa dimaksudkan untuk orang beriman dan beramal shaleh. Dari kedua makna yang ditunjuk oleh khalaif di atas, Ridha lebih mentarjihkan yang kedua. Adapun tujuan kisah umat-umat terdahulu yang digantikan oleh umat Muhammad agar supaya menjadi ibrah yang didalamnya terbaca sunnatullah yang terdapat dalam realitas adanya strata sosial manusia berupa kekayaan dan kefakiran, kekuatan dan kelemahan, kebodohan dan pengetahuan, kemuliaan dan kehinaan. Sunnatullah dalam hal ini ditujukan untuk menguji kualitas ketaatan manusia, apakah ia termasuk orang yang menjalankan batas-batas agama berupa hak dan kewajibannya. Dengan kata lain, dengan mengetahui hukum sebab-akibat (sunnatullah) dan berprilaku sesuai dengan syariah baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, umat Muhammad akan dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.20 Selanjutnya, penciptaan manusia sebagai khalaif
di satu sisi dan realitas
kehidupan sosial manusia yang berstrata di sisi lain, diharapkan memiliki implikasi psikologis dalam diri manusia dalam menjalani kehidupan ini. Misalnya seorang muslim seharusnya bersabar dalam kesusahan dan bersyukur dalam kelapangan. Karena sabar merupakan bagian dari jihad dan pembebas dari segala derita, sedangkan syukur merupakan penyebab bertambahnya nikmat Tuhan.21 Ayat lain yang menjelaskan hubungan antara kekhalifahan Manusia dengan kekuasaan dan peradaban di satu sisi dan bagaimana mensyukuri kekuasaan dan peradaban yang diberikan Tuhan di sisi lain yaitu: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ وح َوَزا َد حك ْم ِِف ا ْْلَل ِْق بَ ْسطَةً فَاذْ حك حروا ٍ اء ِم ْن بَ ْع ِد قَ ْوِم نح َ اء حك ْم ذ ْك ٌر م ْن َربي حك ْم َعلَى َر حج ٍل م ْن حك ْم ليح ْنذ َرحك ْم َواذْ حك حروا إِ ْذ َج َعلَ حك ْم حخلَ َف َ أ ََو َعج ْب تح ْم أَ ْن َج َِّ ء َاَلء )69(اَّلل ل ََعلَّ حك ْم تح ْفلِ ححو َن َ َ Oleh Rasyid Ridha, kata ً بَ ْسطَةditafsirkan dengan kelebihan dan keluasan dalam hal kekuasaan dan peradaban. Dalam hal ini, umat Muhammad semestinya mengambil pelajaran dari peran umat Nabi Hud yang telah menggantikan kedudukan umat Nabi Nuh baik dari sisi kekuasaannya maupun dari sisi peradabannya. Penggantian generasi ini tidak terlepas dari sunnatullah yang diciptakan oleh Allah, sehingga umat 20
Ibid. Ibid., h. 253.
21
11
Muhammad
diharapkan
menjalani
sunnatullah
yang
dapat
mengarahkannya
mempertahankan kekhalifahan yang dikaruniakan kepadanya.22 Selanjutnya, khilafah (penggantian) umat tertentu atas umat sebelumnya dijumpai juga dalam QS. Al-A’raf:74. َِّ وَت فَاذْ حكروا ء َاَلء ِ ِ ِ ِ اد وب َّوأَ حكم ِِف ْاْلَر ٍ ِ ِ واذْ حكروا إِ ْذ جعلَ حكم حخلَ َف اَّلل َوََل تَ ْعثَ ْوا َ َورا َوتَ ْن ِحتحو َن ا ْْلِب ً ال بحيح ض تَ تَّخ حذو َن م ْن حس حهوِلَا قح ح ْ ْ َ َ اء م ْن بَ ْعد َع ْ ََ ًص َ َ ح َ َ ح ِ ِ ِ )74(ين َ ِِف ْاْل َْرض حم ْفسد Tidak berbeda dengan penafsiran sebelumnya, Rasyid Ridha menafsirkan khulafa dalam konteks penggantian generasi. Khilafah dalam hal ini juga terkait dengan sikap dan perilaku syukur yang harus selalu meliputi aktivitas manusia. Karena kesyukuran atas karunia Tuhan berupa peradaban, kemakmuran, kekuatan dan sejumlah kenikmatan yang menyertainya merupakan syarat mutlak untuk
menjalani secara
maksimal sunnatullah-sunnatullah yang lain. Dengan menilik beberapa penafsiran Ridha di atas, dapat dipahami bahwa Ridha tidak membedakan penggunaan term khulafa dan khalaif dalam Alquran. Hal ini karena Ridha sama dengan Abduh, tidak menfokuskan analisis kebahasaan secara detail, melainkan lebih terkonsentrasi kepada analisis redaksional Alquran. Sekaitan dengan salah satu dari tiga makna khalifah yang diajukan oleh Rasyid Ridha, maka kata khalaif dalam ayat berikut diartikan dengan penggantian generasi orang-orang kafir oleh orang-orang beriman dalam hal penguasaan di bumi, sebagaimana dalam surah Yunus(10):14 dan 73. ِ ِ َولَ َق ْد أ َْهلَكْنَا الْ حقرو َن ِمن قَ ْبلِ حكم ل ََّما ظَلَموا وجاءتْ حهم رسلح حهم َِبلْب يِن )ُثَّ َج َعلْنَا حك ْم ح13(ني َ ِات َوَما َكانحوا لِيح ْؤِمنحوا َك َذل َ ك ََْن ِزي الْ َق ْوَم ال حْم ْج ِرم ح َ َ َ ْ ح ح ْ َي ْ ْ َ ح ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ )14(ف تَ ْع َملحو َن ي ك ر ظ ن ن ل م ه د ع ب ن م ض َر اْل ِف ف ئ َل خ َ ْ َ َْ َ ْ ْ َ ْ ح ْ ْ َ ََ Menurut Ridha, ayat di atas ditujukan kepada umat Muhammad, khususnya kepada penduduk Mekkah. Ayat ini memberikan peringatan kepada si mukhathab tentang keadaan umat-umat sebelum Muhammad yang banyak berbuat kezaliman. Dengan mengutip beberapa ayat yang semakna, misalnya QS. Al-Kahfi:60, Hud:102, maka kata alqurun dimaknai dengan al-umam yakni kaum yang hidup pada satu zaman,
22
Ibid., h. 498.
12
yang dihancurkan generasinya oleh Allah karena kezaliman yang dilakukannya. Kehancuran suatu kaum akibat kezalimannya menurut Ridha dibagi kepada dua hal.23 Pertama, kehancuran yang dialami kaum itu karena penentangannya terhadap sunnatullah yang berlaku dalam sistem sosial kemasyarakatan. Kezaliman ini mungkin saja berupa kezaliman individual berupa kefasikan dan sikap mengumbar hawa nafsu yang dapat menyebabkan dekadensi moral, mungkin juga berupa kezaliman struktural atau kezaliman sistemik pemerintahan sehingga kezaliman dalam hal ini berakibat kepada rusaknya kemakmuran yang dimilikinya yang pada gilirannya mengakibatkan lemahnya pertahanan dan ketahanan kaum tersebut. Kedua, kehancuran umat karena kezaliman berupa penentangannya terhadap ajaran Tuhan yang dibawa oleh Rasul. Hal ini berarti siksaan umat yang zalim dirasakannya setelah mereka diseru untuk menerima hidayah Tuhan melalui Nabi dan Rasul-Nya. Setelah umat yang zalim dihancurkan, Tuhan mengirim seorang rasul bagi umat yang baru untuk menggantikan posisinya sebagai khalifah Allah di bumi. Terkait dengan ayat di atas, maka khalifah yang dimaksud adalah umat Muhammad. Melalui Islam yang dibawa Muhammad, umatnya dapat menguasai dan memerintah di dunia. “Penggantian” (khilafah) di sini meliputi penggantian kekuasaan. Karena umat yang digantikannya juga memiliki negara (wilayah politik) dan pemerintahan tersendiri, seperti kekuasaan Nasrani, Yahudi dan Majusi. Dengan demikian, Tuhan memberi berita gembira kepada ummatnya bahwa mereka akan menggantikan kedudukan khilafah umat sebelum mereka jika beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang dibawa oleh rasul-Nya sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-Nur(24):55.24 Selanjutnya, Ridha menegaskan konsistensi penegakan sunnatullah dalam penutup ayat di atas (ف تَ ْع َملحو َن َ ْ)لِنَ نْظحَر َكي. Kesempatan yang diberikan Tuhan kepada umat Muhammad untuk menjadi khalifah di bumi merupakan peluang yang bersyarat karena sunnatullah yang berlaku pada khilafah umat sebelumnya juga akan berlaku pada khilafah umat Muhammad. Yakni mereka juga akan mengalami penghancuran yang
23
Rasyid Ridha, op. cit., Juz XI, h. 314-316. Ibid.
24
13
sama jika mereka bersenang-senang dengan kenikmatan kekuasaan dan tidak menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahan mereka berupa penegakan kebenaran dan keadilan di dunia, dan mensucikan dunia dari kotoran syirik dan kefasikan sebagaimana dalam QS.al-Hajj(22):41. Meskipun Nabi Mereka-Nabi Muhammad- adalah Nabi dan Rasul yang terakhir sebagaimana dalam QS. Al-A’raf (7):100. Ayat lain yang terindikasi makna lain dari khilafah yakni “penggantian kedudukan kepemimpinan”, sebagaimana dalam QS. Al-A’raf(7):142. ِ ال موسى ِْل َِخ ِيه هارو َن ا ْخلح ْف ِِن ِِف قَوِمي وأ ِ ِ اها بِع ْش ٍر فَ تَ َّم ِمي َق ح ِ ِ يل ْ َ ْ َ ات َربِيه أ َْربَع َ ِوسى ثَََلث َ َ َني لَيْ لَةً َوأَ ْْتَ ْمن َ ني لَيْ لَةً َوقَ َ ح َ َوَواعَ ْد ََن حم َح َ َصل ْح َوََل تَ تَّب ْع َسب ِِ )142(ين َ الْ حم ْفسد Konsep khilafah yang menunjuk kepada makna “penggantian kedudukan kepemimpinan” terkandung dalam kata " ا ْخلح ْف ِِنGantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku”.Menurut Ridha, ayat ini berbicara tentang awal mula atau persiapan Nabi Musa as. dalam menerima wahyu di Thur Sina. Adapun waktu yang disebutkan dalam ayat tersebut 30 dan 10 hari, ditafsirkan Ridha sebagai waktu yang dihabiskan Musa as. dalam bermunajat kepada Tuhan di gunung dalam keadaan terpisah dari Bani Israil.25 Ketika Musa hendak menuju memenuhi janji Tuhan-Nya, kedudukannya sebagai pemimpin Bani Israil digantikan oleh saudaranya (kakaknya) Harun as. untuk memerintah dan memperbaiki umatnya. Hal ini karena posisi Harun terhadap Musa as. sebagai pembantunya sebagaimana dalam QS. Thaha:29. Selain itu, Musa as. juga mewasiatkan kepada Harun as. untuk senantiasa memperbaiki keadaan umatnya dan melarang umatnya mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan di atas bumi, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang jelas keharaman dan kehalalannya maupun yang masih samar-samar. Dari ulasan singkat di atas, dipahami bahwa khilafah Harun as. atas Musa as. adalah khilafah dalam konteks kepemimpinan. Ayat 142 surah al-A’raf di atas diterima Musa setelah ia berhasil membebaskan kaumnya dari perbudakan akidah dan politik rezim Fir’aun. Dengan kata lain, ayat ini terkait dengan kepemimpinan politik Musa as.
25
Rasyid Ridha, op. cit., Juz IX, h. 120
14
atas Bani Israil, sedangkan Harun as. berperan sebagai pembantunya baik dalam kapasitas Musa as. sebagai pemimpin politik maupun kapasitasnya sebagai pemimpin religius (Nabi), meskipun Harun as. sendiri juga termasuk Nabi pada masa yang bersamaan dengan Musa. Ridha kemudian menegaskan bahwa dari penjelasan berbagai ayat dapat dipahami bahwa yang menerima risalah (kitab Taurat) adalah Musa as., sedangkan Harun as. hanya membantu Musa dalam melaksanakan dan menegakkan syariah itu, sebagaimana Harun telah membantu Musa as. dalam menyampaikan dakwah kepada Fir’aun dan bersama-sama membebaskan Bani Israil dari cengkraman Fir’aun.26 C. Sepintas tentang Pemikiran Politik Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa baik Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha tidak mempertajam analisis term-term Alquran yang secara langsung terindikasi makna khilafah dalam kaitannya dengan makna politik Islam. Meskipun dalam mengajukan makna tentang khalifah, Ridha juga mengarahkannya ke makna penggantian kekuasaan.27 Hal ini tidak berarti bahwa Ridha sama sekali mendiamkan diri dari persoalan-persoalan politik, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran politik praktis. Terbukti bahwa dalam juz 11 dari Tafsir al-Manar, Ridha memaparkan secara panjang lebar teori politik Islam yang meliputi prinsip-prinsip dan jenisnya. Penjelasan Ridha terkait dengan hal ini sangat tematik karena ia memulainya dengan mengangkat sebuah judul kemudian dibahas dengan senantiasa merujuk kepada ayatayat Alquran. Menurut Ridha, Islam adalah agama hidayah, kepemimpinan, politik, dan agama hukum. Karena Islam berbicara tentang perbaikan manusia baik dalam kaitan urusan agamanya
maupun
dalam
urusan
sosialnya.
Kesemua
ini
tergantung
pada
kepemimpinan dan kekuatan politik yang bertujuan menegakkan keadilan dan kebenaran, serta kesiapan untuk melindungi agama dan negara.28 Dalam Islam, Hukum itu untuk ummat, bentuknya adalah syura, dan pemimpinnya adalah Imam yang besar yakni Khalifah sebagai pelaksana syariat. 26
Op. cit., h. 122. Rasyid Ridha, op. cit., Juz 8, h. 250. 28 Op. cit., Juz 11, h. 264. 27
15
Ummat juga yang berhak mengangkat dan mencabut kekhalifahan khalifah. Dengan mengutip ayat-ayat tentang syura (QS.al-Nisa:159; QS.al-Syura:38) dan praktek kenegaraan yang telah dijalankan Nabi, Ridha mempertegas posisi sentral ummat dalam penyelenggaraan negara Islam.29 Adapun term ulul amri dalam QS.al-Imran:58 ditafsirkan Ridha dengan ahlul halli wal aqdi yakni mereka yang memiliki pandangan-pandangan brilian yang dapat diperpegangi ummat. Penjelasan ini berdasarkan praktek Nabi yang selalu meminta pendapat pada sahabat-sahabat tertentu tentang hal-hal yang dianggap rahasia dan prinsipil. Sedikit lebih rinci dari penafsiran Ridha, Muhammad Abduh menafsirkan ulil Amri dengan lembaga (jamaah) ahlul halli wal aqdi yang meliputi pemimpin (umara), hakim (hukkam), ulama, pimpinan militer dan semua unsur pimpinan dan perangkatperangkat kenegaraan yang menangani segala hajat hidup ummat. Jika mereka mencapai kesepakatan tentang sesuatu maka ummat wajib mengikutinya dengan syarat keputusan itu mendatangkan kesejahteraan dan tidak menyalahi perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Adapun masalah ibadah, maka tidak termasuk dalam urusan ahlul halli wal aqdi.30 D. Manhaj Tafsir Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Kasus Khilafah Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa dalam menafsirkan Alquran terkait dengan kasus khilafah, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha konsisten dengan postulat dan metode tafsir yang diperpegangi keduanya. Pertama, keduanya memahami bahwa ayat-ayat Alquran saling berintegrasi baik secara lafzdi maupun secara maknawi sehingga ayat yang satu dapat menafsirkan ayat yang lain. Postulat ini nampak sekali penerapannya ketika keduanya menafsirkan term-term yang terindikasi secara langsung dengan khilafah, misalnya term khalifah, khulafa, khalaif, dan ukhlufni. Kedua, dalam pemaparannya tentang khilafah, keduanya selalu mengaitkannya dengan masalah sunnatullah, baik sunnatullah yang terangkum dalam sistem sosial kemasyarakatan maupun sunnatullah yang secara verbal disampaikan oleh Nabi dan 29
Ibid. Rasyid Ridha, op. cit., Juz V, h. 181.
30
16
Rasul-Nya. Dalam konteks sunnatullah, persoalan khilafah atau penggantian generasi yang satu atas generasi sebelumnya menjadi logis dan mudah dipahami karena dalam sunnatullah terdapat aturan-aturan Tuhan yang jika dijalani dengan baik, maka penguasaan bumi oleh satu generasi akan tetap bertahan. Begitupun juga sebaliknya, melanggar aturan-aturan Tuhan akan berakibat kepada hancurnya pertahanan dan ketahanan suatu generasi. Ketiga, penjelasan khilafah sebagai bagian dari sunnatullah menampakkan dan mempertajam kecenderungan dan keberpihakan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha kepada pendekatan sosial kemasyarakatan dalam mengelaborasi ayat-ayat Alquran. Pendekatan ini diunggulkannya karena menurut keduanya pendekatan ini lebih mudah dalam menampilkan aspek hidayah Alquran. Keempat, prioritas keduanya terhadap pendekatan sosial kemasyarakatan dalam kasus ini, menyebabkan keduanya tidak mengangkat hadis yang menjelaskan term khilafah dan sejumlah derivasinya yang ada dalam Alquran. Meskipun dalam kajiankajian tematikya mengenai khilafah yang lebih cenderung ke makna politik Islam Rasyid Ridha tetap mengutip hadis, namun dalam kajian tahlilinya mengenai hal ini, Ridha jarang memaparkan hadis bahkan hampir tidak ditemukan. E. Telaah Kritis terhadap Manhaj Tafsir al-Manar dalam Kasus Khilafah Dari penulusuran penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan term khilafah dan segala derivasinya dalam Tafsir al-Manar, tidak ditemukan adanya penjelasan mendalam tentang term khilafah yang mengarah kepada makna penggantian kepemimpinan. Kecuali pada penafsiran satu ayat terkait dengan Nabi Musa as dan Nabi Harun as., penafsiran tentang ayat-ayat yang terindikasi term khilafah didominasi oleh makna penggantian generasi secara umum. Metode ini tentu menimbulkan pertanyaan mengapa Abduh dan Ridha yang di samping dikenal sebagai seorang reformis, juga dikenal sebagai seorang penggagas pemikiran politik Islam tidak mempertajam penafsiran politik dari term khilafah dalam kitab tafsirnya? Apalagi Rasyid Ridha yang dalam khazanah pemikiran politik Islam dikenal sebagai pengikut
17
teori Pan-Islamisme atau termasuk tokoh reformis yang menyerukan “khilafah politik” Islam? Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab dengan menegaskan bahwa Rasyid Ridha tidak mempertajam penafsiran politik term khilafah dalam analisis tafsir tahlilinya, akan tetapi penjelasan tentang teori politik Islam dalam Tafsir al-Manar dapat ditelurusi dalam pembahasan tematiknya yang diulas secara panjang lebar. Nampaknya penjelasan ini belum dapat seutuhnya menjawab pertanyaan di atas, karena pembahasan tematik yang disisipkan Ridha tidak berangkat dari ayat-ayat yang terindikasi dengan term “khilafah”, namun lebih diarahkan menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan unsur-unsur hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, teori politik Ridha tentang “negara khilafah”, bagaimana bentuk atau wujudnya tidak dapat ditemui dalam penjelasan tafsirnya khususnya dalam Tafsir al-Manar. Walaupun terdapat keterbatasan pada substansi penafsiran, namun secara metodologis, pengaitan term-term yang terindikasi khilafah dalam Alquran dengan sunnatullah memberikan spirit yang cukup mengakar bagi umat Islam dalam menjalani misi kehambaannya sebagai khilafatullah fil ardhi. Karena penafsiran ini memberi petunjuk kepada umat manusia khususnya umat Islam untuk senantiasa berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan baik yang tertulis dalam Alquran maupun yang tertera dalam sistem sosial kemasyarakatan. Hal ini berarti pelanggaran terhadap sunnatullah, berarti pengabaian terhadap misi kekhilafahan umat Islam. VI. PENUTUP A. KESIMPULAN Berikut ini Penulis memaparkan beberapa poin penting yang menjadi titik simpul dari tulisan ini: Pertama,
dilihat dari substansi penafsiran, maka Tafsir al-Manar dapat
dianggap sebagai karya tiga tokoh, yakni Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Karena tokoh pertama yang mencetuskan ide awal tentang perbaikan
18
masyarakat, tokoh kedua mencerna dan mengolah ide tersebut, sedangkan tokoh ketiga mencatat, menulis, mengumpulkan, dan mensosialikan ide –ide tersebut baik melalui Majalah al-Manar maupun melalui Tafsir al-Manar. Ketiga, dalam kasus khilafah, Abduh dan Ridha menafsirkan Alquran dengan menelusuri term-term Alquran yang secara leksikal terkait dengan khilafah, meskipun tidak merangkum semua term-term yang ada. Dalam penafsirannya mengenai khilafah, Abduh memaknainya dengan penggantian satu generasi manusia atas generasi sebelumnya. Sementara Ridha memaknainya dengan penggantian generasi, penggantian seseorang terhadap yang lain baik menyangkut tempatnya, pekerjaannya, maupun kekuasaanya. Dengan variasi makna khilafah seperti ini, memungkinkan bagi Ridha untuk memperluas makna khilafah kepada penggantian kepemimpinan politik. Namun, makna yang terakhir ini tidak terlalu mendapat porsi besar dalam tafsir tahlili Ridha, melainkan dibahas dalam tafsir maudhu’inya (tematik) yang kesimpulannya dapat dipahami bahwa dalam teori politik Ridha, sistem politik Islam adalah sistem khilafah dengan syura sebagai modelnya. Keempat, pendekatan sosial kemasyakatan Abduh dan Ridha dalam kasus khilafah nampak ketika keduanya selalu mengaitkan khilafah dengan sunnatullah. Dalam hal ini keduanya memaparkan bahwa khilafah atau pergantian generasi dalam hal penguasaan di bumi, merupakan akibat dari adanya penentangan generasi yang bersangkutan terhadap sunnatullah, baik sunnatullah yang ada dalam sistem sosial kemasyakatan, maupun sunnatullah yang berupa ajaran-ajaran Tuhan yang dibawa oleh Nabi dan Rasul-Nya. Dengan penjelasan seperti ini, Abduh dan Ridha ingin mempertegas posisi Alquran sebagai petunjuk di satu sisi, dan menyeru kepada umat manusia untuk senantiasa menfungsikan akalnya semaksimal mungkin dalam memahami yang dapat menikmati kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
B. SARAN
Sebagai sebuah pendekatan modern dalam menafsirkan Alquran-sebagaimana diklaim oleh kebanyakan pakar studi ilmu Alquran- pendekatan sosial kemasyarakatan yang pada pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang mufassir reformis, selayaknya 19
diterapkan dalam penafsiran ayat-ayat Alquran yang relevan dengan persoalanpersoalan aktual yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menegaskan posisi Alquran sebagai way of life umat manusia khususnya umat Islam. Di samping itu, kegigihan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam memperkenalkan dan menerapkan pendekatan sosial kemasyarakatan (adab ijtima’iy) semestinya diapresiasi oleh generasi mufassirin dengan mengintensifkan pengkajian ayat-ayat Alquran berdasarkan metodologi tafsir yang dapat menjawab tantangantantangan modernitas. Karena setiap generasi mufassir menghadapi karakteristik zamannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Abdul Gaffar. al-Imam Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir Kairo: Dar al-Anshar, 1980. Al-Dzahaby, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, t.t: t.p, 1976. Ibn Zakariya, Abu Husain Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis fi al-Lugah. Cet. II; Beirut-Libanon: 1998. Mohammad, Herry, dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2006. Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Ittijah al-Tafsir fi al-Ashri al-Rahin, diterjemahkan oleh Moh. Maghfur Wachid dengan judul Visi dan Paradigma Tafsir Alquran Kontemporer. Cet. I; Bangil-Jatim: al-IZZAH, 1997. Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, t.d., Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. cet.I; Jakarta: PARAMADINA, 2002. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), Juz I, IV, V, IX, XI, Cet. II; Dar al-Fikr, t.th. Salim, Abd. Muin. Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran, Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994. 20
Al-Sayuthi, Abd. Rahman Jalal al-Din. al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur,, Jilid VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Shihab, M. Quraish. Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Edisi Baru. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006. Syahatah, Abdullah Mahmud Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim ((Kairo: al-Majlis al-A’la li Ri’ayah al-Funun wa al-Adab wa al‘Ulum al-Ijtima’iyyah, 1963), h. 14.
21