PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR
Disertasi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam
Oleh Syukriadi Sambas NIM: 97.3.00.1.09.03.0241 Promotor: 1. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf 2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Disertai segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji syukur ke hadhirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR, sebagai tugas akhir untuk menempuh ujian-ujian dalam menyelesaikan Program Pendidikan Doktor (S-3) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Masalah pokok yang dijawab dalam disertasi ini adalah pertanyaan: apa sajakah substansi hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur-unsur dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u, bentuk dakwah dan pola kaderisasi profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Almanar. Penulis menyadari sepenuhnya, tentunya hasil penelitian ini memiliki banyak kekurangan dalam berbagai hal, terutama dalam penelaahan teori-teori yang digunakan. Namun atas motivasi, ketekunan dan kearifan bimbingan yang diberikan oleh pembimbing serta staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. selaku promotor, yang di tengah-tengah kesibukan sehari-hari masih menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk yang sangat berharga selama penulisan disertasi ini dengan penuh kesabaran dan kearifan. Begitu juga Bapak-bapak dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan bidang pemikiran Islam yang sangat berguna bagi penulisan disertasi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pasacasarjana UIN Syarif Hidayatullah, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pascasarjana. Begitu pula kepada Bapak Dr. Fu’ad Jabali Deputi Direktur Bidang Akademik dan Kerjasama, Dr. H. Ujang Thalib, MA Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan, dan Bapak Prof. Dr. Suwito, MA Deputi Direktur Bidang Pengembangan Kelembagaan, seluruh staf pengajar, seluruh staf perpustakaan, dan seluruh staf tata usaha Program Pascasarjana UIN Syahid yang telah memberikan bantuan dan segala fasilitas kepada penulis, sehingga memperlancar penyelesaian studi bagi penulis. 3. Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si, pendahulu Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS. rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Drs. H. Ahmad Subandi, dekan Fakultas Dakwah IAIN SGD (saat itu tahun 1997M) dan Prof. Dr. Asep Muhyidin, MA, dekan Fakultas Dakwah UIN SGD sekarang, yang telah memberikan izin dan tugas belajar kepada penulis disertai pemberian
dorongan moral dari awal mengikuti
pendidikan sampai dengan penyelesaian tugas akhir ini. 4. Para Penguji, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA yang telah berkenan membahas, mengoreksi,
dan
memberikan saran-saran yang diperlukan untuk perbaikan disertasi ini. 5. Kepada ayahanda H. Abdullah (wafat 2007 dalam usia 91 tahun) dan ibunda Hj. Zainab tercinta yang telah mengasuh, membesarkan dan mendidik penulis, dan yang terus menerus memberikan dorongan lahir dan batin serta sepanjang saat tetap mendo'akan penulis yang tidak dapat penulis balas. Penulis hanya dapat mempersembahkan terima kasih atas jerih payah keduanya, dan semoga Allah memberikan maghfirah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada keduanya sepanjang masa di dunia dan di akhirat nanti. 6. Bapak H. Dada Rosyada, SH, M.Si., dan Drs. H. Tjetje Subrata, M.Si., yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril dan materil dalam penyelesaian akhir penyusunan disertasi dan ujian promosi. Semoga Allah
xi
SWT. membalas kebaikan keduanya dan memberikan kehidupan yang barokah dan selamat duniawi dan ukhrawi. 7. Sdr. Drs. Dindin Solahudin, MA. yang telah membantu teknis pengetikan penyelesaian disertasi ini dengan penuh kesabaran. Begitu pula Sdr. Dr. Busyrol Karim, Prof. Dr. H. T. Fuad Wahab, dan Prof. Dr. H. Mohammad Hatta sahabat seperjuangan peserta Program S-3 Bebas Terkendali angkatan 1997M yang telah memberikan semangat dan berdiskusi dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. 8. Akhirnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Hj. M. Mintarsih dan anak-anak tersayang Indira Sabet Rahmawaty S.IP, M.Ag, Alex Muhammad Musthafa S. Sos.I, Mela Mustika Amalia S.Pd.I, Arif Syamsul Alam, Ade Rahmat Sani'a Mandala, dan Ida Nur'arafah, yang dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kasih sayang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Dengan iringan do'a dan harap kepada Allah SWT, kiranya atas budi baik, bantuan, dan bimbingan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dapatlah menjadi amal saleh bagi mereka dan mendapat ridha serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Bandung, 29 Mei 2009 Penulis, Syukriadi Sambas
xii
ABSTRAK Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr secara epistemologis bercorak rasional. Dakwah yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul Allah adalah perilaku rasional (perpaduan antara ‘aql dan qalb) berupa proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam, sebagai upaya memeperbaiki dan mengatasi problem psikologis dan sosiologis mad’u melalui implementasi al-Islâm dalam melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh kehidupan yang selamatsejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat. Temuan ini memperkuat temuan Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang autentik menurut sumber utamanya, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan, reformasi) kehidupan beragama, akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian. Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian A. Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain menurutnya bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Abduh memadukan antara rasional (sentuhan akal), dengan emosional (sentuhan qalb) dalam kerangka dakwah. Temuan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, yaitu adanya dua martabat level dakwah, yaitu: pertama, tablîgh futûhât (difusi Islam kepada non muslim) dan martabat kedua menjadi dua jalur: (1) al-da’wah al-‘âmmah al-kulliyyah dengan tiga macam bentuk: (a) tablîgh ta’lîm; (b) irsyâd; dan (c) tathbîq hukum, dan (2) al-da’wah al-juziyyah alkhâshshah dengan tiga macam bentuk (a) nafsiyah; (b) fardiyah; dan (c) tadbîrtamkin ummah. Menurut fungsinya, level dan bentuk dakwah ini sebagai proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat. Hal ini merupakan kontribusi aspek ontologis kajian ilmu dakwah. Aspek ontologis dakwah mengenai transformasi Islam dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar terdapat persamaan dengan para pemikir sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, seperti Ibn Taymiyah dan Abdul Karim Zaidan, yang menyebutkannya sebagai al-hisbah dan al-ihtisâb. Temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001), dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan, dan penjajahan. Tuduhan ini bertentangan dengan prinsip metodologis dakwah sebagai perilaku rasional berdasarkan al-Quran dan Sunah Rasul Allah. Tipe penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan menggunakan metode analisis isi dengan kategori substansi, yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderiasi dâ’i profesional dalam teks tafsir Almanar, yang disistemisasikan dalam prinsip-prinsip struktur dakwah dari sumber data primer, yaitu Tafsir Almanar dan
xiii
sumber data sekunder, yaitu kepustakaan yang berhubungan dengan esensi pemikiran Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderisasi dâ’i profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan logika deduktif, pemikiran dakwah, dan teori komunikasi. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data menggunakan konfirmasi referensi dan konsistensi pemikiran logis.
xiv
ABSTRACT The finding in this research indicates that Muhamad Abduh’s thought of the mission in the interpretation of al-Manâr epistemologically is a kind of rational thought. The mission that is based on al Qur’an and the Prophet of Allah’s Traditions is a rational manner (combination of ‘aql and qalb), that is a process of internalization, transmission, transformation, and diffusion of Islam. It is as an effort to correct and overcome the psychological as well as sociological problems of mad’u by implementing al-Islâm in his relation with himself, his God, his fellow beings to obtain the welfare physically as well as mentally, now in this world and in the hereafter. This finding strengthens what Ahmad Fuad al-Ahwani found in al-Madâris al-Falâsifah (1965) stating that Muhamad Abduh is a thinker missionizing the renewal of the religious idea by returning to Islam which is authentic based on its primary source, namely al-Quran and the Prophet Traditions in the form of ishlâh (reformation) of the religious life, behavior, idea, mind, and chastity instinct. The similar research done by Ahmad Fuad al-Ahwani is Mukti Ali’s research, Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah (1995), stating that in interpreting al-Quran he combines rational (aql) and emotional (qalb) touch in the framework of the mission. The finding of this research is different from the finding of the research before and after Muhamad Abduh’s; there are two qualities of the mission level; fisrt, tablîg futûhat (the defussion of Islam to non muslim), and the second quality becomes two branches: (1) al-da’wah al-âmmah al-kuliyyah that consists of 3 forms: (a) tablîg ta’lîm, (b) irsyâd, and (c) tathbîq hukm, and (2) al-da’wah aljuziyyah al-khâshshah that consists of 3 forms: (a) nafsiyah, (b) fardiyah, and (c) tadbîr tamkîn ummah. According to their functions, the levels and the forms of the mission as the process of ishlâh and tajdîd of the life of muslim. It is as a contribution of the ontological aspect of the mission (da’wah) studies. The ontological aspect of the mission concerning the transformation of Islam in the form of amar ma’rûf nahy munkar has the similarity with the thinkers before and after Muhamad Abduh, such as Ibn Taymiah and Abdul Karim Zaidan, who were called as al-hisbah and al-ihtisâb. The finding of this research refuses the internal thinking of the Muslim, which is ontologically views the mission short-sightedly and not as the object of the study in Islam. The refusal is supported by al-Bayanuni (2001) and refuses the external non-Muslim orientalists that accused that the spreading of Islam was done by force, war, and colonization. The accusation is in contradicted with the principal of the method of the mission as the rational behavior/manner based on al-Qur’an and the Tradition of the prophet of Allah. This type of research takes bibliography study by employing content analytical method of substance category, that is analyzing what is told by Muhamad Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of the caderisation of the professional da’i in the text of Tafsir Al-manâr, being systematized in the principals of the mission structures taken from the primary sources of data, that is Tafsir Al-manâr and the secondary sources of data, that is xv
bibliography relating to the essential idea of Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of professional dâ’i caderisation. While the inspection of the authenticity of the data applies the reference conformation and logical idea consistency.
xvi
خالصة يشري ىذا البحث ال أن رأي حممد عبد ىف الدعوة االسالمية كما جاء ىف تفسري انار يتسم باالتا العقلي .وأن الدعوة االسالمية من مصدريا األصليني القران الكرو والسنة النبوية الشريفة متثل نشاطا عقليا يقوم بالتوفيق بني العقل والقلب ،كمحاولة لتصحيح مشكالت ادعوين ومعالتا نفسيا واجتمعيا بوسيلة ثقيق الدين االسالمي ىف عالقتم مع انفسم ومع الل ومع البشر مجيعا للوصول إل السعادة الدنيوية واألخروية. )1965أن ويؤكد ىذا البحث ما قالو فؤاد األىوا ىف كتابو القيم ادارس الفلسفية ( امياة حممد عبد واحد من افكرين الذى دعا إل إصالح األفكار الدينية عن طريق العودة إل الدين اإلسالمي األصيل طبقا صدريو األصليني القر ن الكرو والسنة النبوية الشريفة ىف إصالح الدينية واألخالق والفكر والعقل والفطرة. وباالضافة إل ما قام بو فؤاد األىوان ،ىناك حبث خر قام بو عبد اعطى على ىف كتابو حول الفكر االسالمى امديث ىف الشرق األوسط ( )1995أشار فيو أن حممد عبد قام بالتوفيق بني العقل والقلب ىف تفسري للقر ن الكرو حسب إطار الدعوة اإلسالمية. وخيتلف ىذا البحث مما قبل حممد عبد وبعد من أن الدعوة اإلسالمية ينقسم ىف الرتبة إل قسمني :األول تبليغ الفتوحات والثان الدعوة العامة الكلية والدعوة الزئية اناصة .فالدعوة العامة الكلية تتكون من تبليغ التعليم واإلرشاد وتطبيق امكم .أما الدعوة الزئية اناصة فتتكون من الدعوة النفسية والدعوة الفردية ومتكني األمة ،وىذ األقسام من الدعوة من حيث وظيفتا كعملية لإلصالح والتجديد مياة األمة .وىذا ىو اإلسام اإلضاىف الديد لدراسة حقيقة علم الدعوة. وحقيقة الدعوة حول ثويل اإلسالم عن طريق األمر باعروف والني عن انكر يتساوى فيا افكرون قبل حممد عبد وبعد كابن تيمية وعبد الكرو زيدان ومسوىا بامسبة واالحتساب. ونتيجة ىذا البحث رد على رأي كثري من اسلمني الذين رأوا الدعوة اإلسالمية بصفة ضيقة وأنا خارجة عن إطار العلوم االسالمية ،كما أيد ىذا الرد البيانو ( .)2001وكذلك رد على افرتاء كثري من استشرقني الذين قالوا إن انتشار اإلسالم كان باإلكرا والقتال واإلستعمار، وىذا اإلفرتاء يتعارض مع ابادئ انجية للدعوة اإلسالمية كنشاط عقلي على حسب ما ورد ىف القران الكرو والسنة النبوية الشريفة.
xvii
ونوع ىذا البحث ىو البحث اكتىب باستخدام طريق ثليل احملتوى وىو ثليل رأي حممد عبد ىف الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كما ورد ىف تفسري انار ،وتصنيفو على حسب مبادئ علم الدعوة ىف تفيسر انار كمصدر أّوم واؤلفات اتعلقة ب راء حممد عبد ىف الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كمصدر ثانوي ،ويستخدم ىف ىذا التحليل علم انطق وعلم الدعوة ونظرية اإلعالم ،كما يستخدم ىف كشف صحة مواد ىذا البحث العودة ال اصادر واالعتماد على الفكر انطقى.
xviii
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN A. Transliterasi a. Konsonan alif ba ta tsa jim ha kha dal dzal ra zai sin syin shad dhad tha zha 'ain ghain fa qaf lam mim nun waw ha hamzah ya
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ء ي
b. Vokal Pendek c. Vokal Panjang =a =i
= اâ
=u
ُ = وû
a b t ts j h kh d dz r z s sy sh dh th zh ' gh f q l m n w h ' Y d. Diftong
e. Pembauran
= أوaw =ىî
= الـal = أىay
= الشمسal-
syams = و الـwa alxix
Contoh: = قالqâla = قيلqîla = قولواqûlû B. Singkatan 1. SWT = Subhânahu Wa Ta’âlâ 2. SAW = Shallâ al-Lâh ‘alaih wa sallam 3. w. = wafat 4. H. = Hijriyah 5. M. = Masehi 6. tt. = tanpa tahun 7. ed. = editor 8. terj. = terjemahan 9. dkk. = dan kawan-kawan 10. hlm. = halaman 11. jld. = jilid 12. KAW = Karrama la-Lâh wajhah 13. Peny. = penyunting 14. Pen. = penerjemah 15. l. = lahir 16. a.s. = ‘alaih al-salâm.
xx
DAFTAR ISI SURAT PERNYATAAN ............................................................................ ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii KATA PENGANTAR .................................................................................
x
ABSTRAK ................................................................................................... xiii PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xvii DAFTAR ISI ................................................................................................ xix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ..................... 24 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 25 D. Penelitian Terdahulu ................................................................. 27 E. Metode Penelitian...................................................................... 31 F. Sistematika Pembahasan .......................................................... 35 BAB II SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN DAKWAH ISHLÂHIYAH A. Situasi Sosial Politik dan Budaya di Mesir ............................... 37 B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya......................... 41 C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah ................................................. 50 BAB III HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN DAN UNSUR DAKWAH A. Hakikat Dakwah........................................................................ 69 B. Dasar Hukum Dakwah .............................................................. 80 C. Tujuan Dakwah ......................................................................... 81 D. Unsur-unsur Dakwah ................................................................ 84 1. Mawdhu' Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam ........... 84 2. Da'i dan Mad'u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat 96 3. Media dan Prinsip Metode Dakwah ..................................... 142 BAB IV BENTUK DAKWAH DAN KADERISASI DÂ’I PROFESIONAL A. Al Da’wah al- ’Âmmah al-Kulliyyah ....................................... 162 B. Al Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah .......................................... 170 xxi
C. Al Da’wah al -Ummah .............................................................. 193 D. Kaderisasi Dâ’i Profesional...................................................... 206 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 223 B. Rekomendasi ............................................................................. 227 DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................. 229 LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Teks Ayat Alquran ......................................................... 244 Lampiran 2. Sebagian Teks Data Penelitian .................................................. 261 Lampiran 3. Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab 267 Lampiran 4. Gambar Bagan ........................................................................... 270 Lampiran 5. Riwayat Hidup ........................................................................... 271
xxii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Muhammad Abduh1 (1849-1905) menurut Robert De. Lee, ia telah melakukan reformasi doktrin Islam dengan menempatkan penalaran pada tempatnya, Islam dan panalaran yang benar sama-sama mencerminkan kebenaran, dan diantara keduanya tidak mesti dipertentangkan.2 Pengakuan yang sama dikemukakan oleh Ahmad Fuad Ahwani walaupun Muhammad Abduh terpengaruh oleh Ibu Sina dalam hal metafisika, tetapi ia memiliki pembaharuan pemikiran keagamaan yang mandiri, hal ini sebagaimana ditegaskannya bahwa Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang otentik menurut sumber utamanya, yaitu Al-Qur‘an dan sunnah Rasul Allah SWT. Cara yang ditempuh untuk kembali kepada sumber utama Islam yang otentik itu, Muhammad Abduh mengajukan upaya ishlâh (perbaikan): (1) kehidupan beragama, (2) akhlak, (3) pemikiran, (4) keluar dari taklid dan kebekuan berpikir, (5) penggunaan akal, dan (6) naluri kesucian.
3
Dengan demikian, Muhammad
Abduh adalah ―mujaddid (modernis)‖ dan ―mushlih (reformis)‖ pada zamannya di Mesir.4
1
Namanya Muhammad, ayahnya Abduh dan kakeknya Hasan Khoerullah, jadi nama lengkap Abduh itu Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khoerullah. Kemudian kata Ibn yang menghubungkan nisbah anak dengan ayahnya dibuang; lihat Thahir al-Thanahi,ed. Muzakirat alimam Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilal, tt, hlm. 21-22; lihat pula Rif‘at Syauqi Nawawi , Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002) hlm. 21. Mengenai aturan membuang (al-Hadzfu) mudhaf atau mudhaf ilaih dalam gramar ‗arabiyah dibolehkan; lihat Jamâl al-Dîn bin Hisyam al-Anshari, Mughni al-Labîb, jld II, Maktabah Dâr al-Ihya al-Kutub al-‗Arabiyyah, tt), hlm. 164-165. 2 Lihat Robert De Lee, Mencari Islam Autentik, trj. Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity, oleh Ahmad Baikuni, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 93-94. 3 Ahmad Fuad Ahwani, Al-Madâris al-Falsafiyyah (Kairo: Maktabah Mishr, 1965), hlm. 148. Tajdîd (pembaharuan) dan ishlâh (perbaikan) pemikiran dan kehidupan umat manusia merupakan esensi dari dakwah para rasul Allah pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-‗Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-Bab alHalaby wa Aulâdih, 1935), hlm. 4-5. 4 Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, Cet. X (New York: St. Martin‘s Place, 1968), hlm. 754.
2
Dalam
pada
itu,
menurut Azyumardi Azra bahwa,
―pemikiran
pembaharuan Muhammad Abduh jelas bersifat multidimensi. Tokoh-tokoh dan gerakan pembaharuan yang dipengaruhinya di berbagai penjuru di dunia Muslim sering mengambil hanya dimensi tertentu dari pemikirannya.‖5 Unsur-unsur dari multidimensi dalam pendapat Azyumardi Azra itu antara lain, seperti yang diuangkapkan oleh Ahmad Fuad Ahwani. Mengacu kepada pendapat ini, pemikiran dalam bidang dakwah Islam termasuk salah satu dimensi pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh yang jarang mendapat perhatian para penulis tentang Muhammad Abduh, sebab dalam pengantar Risâlah Tawhîd, salah satu karya tulis Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menyatakan tentang posisi gurunya dalam hubungannya dengan dakwah Islam, Muhammad Abduh diakuinya sebagai pengarang yang sanggup mereformasi sistem dakwah Islam menurut metode yang memenuhi syarat ulama kalam, yaitu cara menarik orang secara rasional, mengajak orang membahas persoalan dengan berpikir. Oleh karena itu buku Risâlah Tawhîd yang ditulisnya berisikan penjelasan hakikat agama Islam yang memenuhi syarat-syarat yang layak pada masa ini, yang belum pernah dilakukan orang seperti itu di antara pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya.6 Dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini, Muhammad Abduh mengakui posisi dirinya bahwa ―Saya bukan seorang imam yang diikuti, saya bukan seorang pemimpin yang ditunduki. Saya adalah jiwa dakwah, dan jiwa dakwah itu tetap ada pada saya. Saya tidak henti-hentinya mengajak kepada kepercayaan saya dalam beragama.‖7 Berdasar atas pengakuannya sebagai jiwa dakwah (rûh alDakwah) maka Muhammad Abduh tentunya memiliki pembaharuan pemikiran dalam bidang dakwah Islam, sebab menurutnya, bahwa Islam ditegakkan dan disebarluaskan melalui dakwah yang metodenya mengacu pada argumen rasional (hujjah) dan argumen demonstratif (burhân), bukan dengan pedang, kekuatan militer, dan anak panah sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang jâhiliyyah dan 5
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. x. 6 Rasyid Ridha dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, cet. Ke 17 (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1060), hlm. 13. 7 Thahir Al-Thanâhi, ed Mudzakirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir, Dâr al-Hilal, tt) hlm. 20.
3
musuh-musuh Islam. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, apakah benar penilaian tentang mereka bahwa mereka (umat Islam) menegakkan agamanya (al-Dîn) dengan pedang dan kekuatan militer bukan dengan bimbingan (al-Irsyâd) dan dakwah? Tidak, sebab dalam Islam tidak ada pendapat seperti itu. Muhammad Abduh menilai mereka sebagai penipu yang tolol atau musuh yang pura-pura tidak mengetahui.8 Kemudian, Muhammad Abduh juga menegaskan pemikirannya bahwa dakwah semata-mata dilakukan melalui hujjah (argumen rasional) dan burhân (argumen demonstratif), bukan dengan pedang dan golok.9 Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, terdapat term-term dakwah, yaitu dîn, al-irsyâd, al-da’wah, jâhil, alhujjah, dan al-burhân. Kemudian, apa makna term-term ini dan bagaimana Muhammad Abduh memposisikannya dalam struktur sistem dakwah. Hal ini menarik untuk dikaji melalui penelitian. Dan acuan teori untuk memahami makna term-term tersebut dapat menggunakan teori dilâlah lafazh terhadap makna menurut para pakar ilmu mantik.10 Sedangkan posisinya dalam rukun dakwah, dengan menggunakan perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah tentang unsur-unsur yang mesti ada dalam proses dakwah, yaitu da’i (pelaku dakwah), maudhu’ (materi ajaran Islam), uslûb (metode), washîlah (media), dan mad’u (sasaran penerima dakwah), unsur-unsur ini adalah substansi rukun dakwah.11 Muhammad Abduh juga membantah tuduhan musuh Islam yang menyatakan bahwa Islam mengajarkan perang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kasih-sayang Tuhan. Bahkan mereka mengklaim bahwa akidah Islam 8
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 191 surah al-Baqarah. Ayat ini memuat ketentuan qital dan bahaya fitnah. Muhammad Abduh, Tafsîr al-Manâr, Jld. II (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 209, selanjutnya disebut Al-Manâr. 9 Al-Manâr, jld II, hlm. 215. 10 Antara lain menurut ‗Abidullah bin Fadhal al-Khabishy, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn Tahdzîb al-Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany (Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1965), hlm. 10-12, Zainun Kamal, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi (Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995), hlm. 22-44, dan Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt) hlm. 73-80. 11 Unsur-unsur dakwah ini sebagaimana ditunjukkan dari pemahaman kandungan ayat 125 surah al-Nahl yang memuat bagian dari ketentuan dakwah.
4
berbahaya bagi peradaban. Padahal, menurut Muhammad Abduh, perang diperbolehkan dalam ajaran Islam dalam rangka membela diri, membela hak, dan memelihara keberlangsungan dakwah Islam. Sebab, Islam mengajarkan cinta kasih yang luas berlaku bagi seluruh alam, lalu
Muhammad Abduh
mengemukakan beberapa pokok pemikirannya tentang prinsip-prinsip perang dalam kerangka dakwah, bahwa, pertama, perang (al- Qitâl) disyariatkan untuk mempertahankan kebenaran dan membela para pengusungnya, memelihara dakwah dan menyebarkannya; kedua, Raja (al-Mulûk) atau pemerintah (alUmarâ) yang mengklaim dirinya berperang demi agama hendaknya ia menghidupkan dakwah Islam dan mempersiapkan berbagai perangkat dan sarana dakwah yang diperlukan berupa pengembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan; ketiga, raja mengupayakan persiapan yang matang guna menjaga dakwah Islam dari rongrongan musuh; dan keempat, orang yang mengetahui kondisi dan peran para dâ’i di tengah-tengah masyarakatnya dan cara-cara melindungi mereka hendaknya mengetahui apa yang mesti dilakukan berkenaan dengan dakwah Islam sebagaimana mestinya pada zaman ini. 12 Prinsip-prinsip perang yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh diatas memuat argumen bantahannya terhadap pendapat ngawur para musuh Islam— termasuk orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya—yang mengira bahwa Islam ditegakkan dengan pedang, bantahan atas pendapat orang-orang pandir fanatik yang beranggapan bahwa Islam bukan agama ilahiyah lantaran Tuhan Yang Maha Pengasih tidak memerintahkan penumpahan darah dan bahwa sistem keyakinan Islam berbahaya bagi peradaban. Semua itu merupakan omong-kosong yang ngawur dan Islam sendiri merupakan kasih-sayang universal bagi sekalian alam.13 Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, terdapat beberapa hal yang unik dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana posisi qitâl 12
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 195 surah al-Baqarah, ayat ini memuat ketentuan infaq di jalan Allah, ihsan dan larangan membuat kerusakan. Al-Manâr, jld. II, hlm. 216. 13 Al-Manâr, jld II, hlm.216.
5
(perang) itu dalam dakwah? Apa dan bagaimana peran al-mulûk (para raja) dan al-umarâ (aparat pemerintah) dalam menyiapkan kader da’i profesional? Kemudian apa sajakah inti ajaran Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam? Dan bagaimana metode penyajiannya dalam proses dakwah? Analisis atas jawaban persoalan-persoalan ini secara proporsional dipahami dengan menggunakan pendekatan yang diajukan oleh Azyumardi Azra, yaitu pendekatan apologetik (pembelaan diri), identifikatif (inventarisasi problem dan mencari solusinya), dan affirmative (penegasan kembali kepercayaan kepada Islam dan menguatkan kembali eksistensi masyarakat Muslim).14 Selanjutnya Muhammad Abduh meyakini bahwa mendakwahi manusia kepada al-khair, memerintah perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran adalah perintah bagi semua muslim dan bagi muslim yang melaksanakannya menjadi khairu ummah yang memiliki keimanan yang hakiki, yaitu keimanan yang disertai kepatuhan jiwa dan dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam.15 Menurut Muhammad Abduh bahwa dakwah dapat digolongkan kepada tiga martabat (―peringkat‖), yaitu: peringkat pertama (al-martabah al-ûla), berupa dakwah kepada al-khayr yang dilakukan oleh umat Islam terhadap semua umat agar mereka bersama-sama melaksanakan cahaya dan petunjuk al-khayr (alIslâm). Hal ini merupakan tahapan dakwah dalam peringkat pertama, yang diawali dengan menyeru manusia kepada al-Islâm terlebih dahulu, jika mereka menerimanya maka dilanjutkan dengan memerintah mereka agar melaksanakan perkara yang ma’rûf dan mencegah mereka dari perkara yang mungkar; 16 Peringkat kedua (al-martabah al-tsâniyah), yaitu dakwah berupa amar ma’rûf dan nahy munkar di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka mendakwahi yang lainnya kepada al-khayr begitu pula amar ma’rûf dan nahy munkar; bagi peringkat kedua ini terdapat dua jalur dakwah yaitu: (1) al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah (―dakwah universal‖) dengan menjelaskan (bayân), jalanjalan al-khayr, menerapkannya dalam kehidupan manusia, dan memberikan 14
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme, hlm. v-vi. 15 Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 64. 16 Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 27.
6
contoh-contoh yang berpengaruh pada kejiwaan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi mad‘unya. Dakwah ini menurut Muhammad Abduh mesti dilakukan oleh khawwash al-ummah (―komunitas khusus‖) yang terdidik dan terlatih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rahasia-rahasia hukum, hikmah agama dan pemahamannya. Berdasar kepada kualitas keilmuan mereka khawwash al-ummah ini secara spesifik melakukan implementasi hukumhukum Allah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan mad’u dimanapun dan kapanpun; dan (2) al-dakwah al-juziyyah al-khâshshah (―dakwah parsial‖) yaitu dakwah yang berlangsung antar individu yang sudah saling mengenal baik yang pandai maupun yang bodoh dengan menunjukkan kebaikan dan memotivasinya, mencegah kejelekan dan memperingatkannya. Didalam jalur kedua ini termasuk taushiyah dengan yang haq dan taushiyah dengan shabar, sesuai dengan kualitas kemampuannya dalam menjalankan kewajiban umum dakwah.17 Muhammad Abduh tidak menyebutkan hukum Islam dalam jalur pertama dari al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah tersebut, tetapi hukum-hukum Allah SWT. Hal ini
mengandung arti bahwa materi dakwah bukan hanya hukum yang
terkandung dalam syariat Islam yang diyakini mengatur tata kehidupan manusia, tetapi juga hukum perilaku alam (sunan al-kawn) menjadi bagian yang menuntut diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia baik sebagai dâ’i maupun sebagai mad’u. Sedangkan implementasi syariat Islam dan hukum perilaku alam sebagai proses dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan macam-macam kemaslahatan manusia di sepanjang zaman dan di manapun manusia itu berada, dengan menjadikan dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem psikologis dan sosiologis mad’u yang dihadapinya. Dari sudut pandang sistem dakwah, penjelasan hakikat dakwah tersebut dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan tiga bentuk dakwah 17
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 28. Paparan Abduh mengenai dakwah ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S.. Ali Imran:104, ayat ini memuat bagian dri ketentuan dakwah. Secara metodologis Abduh memahami hakikat dakwah ini dengan pendekatan ―qishmah tafshiliyah” (taksonomis) tidak dengan al-ta’rîf bi al-hadd atau al-ta’rîf bi al-rasam, yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep ta’rîf merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah alZahra, tt) hlm. 92-93.
7
menurut caranya, yaitu: (1) bentuk tathbîq, yaitu berupa implementasi ajaran Islam dan hukum alam dalam kehidupan manusia, (2) bentuk bayân (penjelasan lisan yang berkaitan dengan tablîgh bî ahsan al-qawl (menyiarkan Islam dalam bentuk penjelasan bahasa lisan) kepada kelompok besar dan khalayak dengan materi tablîgh al-khayr (al-islâm), dan (3) bentuk bayân (penjelasan lisan yang berkaitan dengan irsyâd al-qawl (bimbingan mad‘u individu dan kelompok kecil dengan bahasa lisan) dengan membuat contoh-contoh yang mempengaruhi kondisi psikologis para pendengar sebagai mad’u. Muhammad Abduh juga mengajukan bahwa situasi dan kondisi obyektif mad‘u menjadi pertimbangan penting dalam proses dakwah dengan berbagai macam bentuknya.18 Pemahaman atas apa dan bagaimana penjelasan Muhammad Abduh lebih lanjut mengenai tiga bentuk dakwah menurut caranya tersebut dikaji dengan menggunakan analisis perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah yang lain, juga menggunakan teori komunikasi yang relevan. Kemudian Muhammad Abduh menyebutkan al-Islâm dengan al-khayr sebagai materi dakwah dalam penjelasan hakikat dikemukakan.
Menurutnya,
al-khayr
sebagai
dakwah
al-Islâm itu
yang telah sebagaimana
ditegaskannya bahwa, yang dimaksud dengan al-khayr (kebajikan) adalah alIslâm sebagai agama Allah yang diturunkan melalui lisan seluruh nabi bagi seluruh umat manusia. Ia tiada lain adalah al-ikhlâsh karena Allah SWT. dan meninggalkan hawa nafsu menuju hukum-Nya.19 Al-Islâm yang berintikan mengesakan ke-Mahaesaan Allah, menaati hukum-Nya dan menjauhi dominasi hawa nafsu, yang diberikan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan universalitas ajaran Islam yang di bawa oleh
18
Bandingkan dengan penafsiran Q.S. Fushilat: 33 mengenai bagian dari ketentuan dakwah oleh Abd al-Rahman al-Sa‘di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 749, dan Abd al-Munshif Mahmûd al-Fatah, Manhâj al-Da’wah al-Islamiyah min Al-Qur’an wa al-sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: Al-Azhar, 1419 H), hlm. 29-42. 19 Pengertian ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 104 Surah Ali Imran, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27.
8
seluruh nabi Allah SWT., walaupun bentuk bahasa, hukum, dan amaliahnya dapat berbeda-beda.20 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, dakwah Islam yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai nabi Allah terakhir merupakan kelanjutan dan menyempurnakan syariat Islam dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelumnya.21 Nabi Muhammad saw. menghidupkan kembali ruh ajaran Islam berupa al-ishlâh yaitu memperbaiki dan mencari solusi problem umat dengan mempertahankan yang baik dan memperbaiki yang jelek. Lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa prinsip ajaran Islam sebagai materi dakwah yaitu: (1) ruh ajaran agama Islam adalah tawhid dan ikhlas yang diungkapkan dengan istilah islâm; (2) tujuan setiap kegiatan yang diperintahkan oleh agama tiada lain adalah perbaikan hati (ishlâh al-Qalb) dan akal-(ishlâh al-‘Aql) melalui keselamatan keyakinan dan kebaikan tujuan; (3) memelihara seluruh kegiatan konkret tanpa tujuan yang benar tidak memberikan faidah apa-apa bahkan ia berbahaya tanpa itu, yang akan membuat manusia disibukkan oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan menghalanginya dari hal-hal yang berguna. 22 Dalam pada itu, untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam diperlukan penggunaan potensi akal dan kalbu secara terpadu. Sebagaimana ditegaskannya bahwa, pertama, apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki hati nurani (kecerdasan spiritual), dan kedua, fungsi segala apa yang dibawa oleh nabi adalah upaya menghidupkan ruh agama yang menjadi pijakan seluruh nabi dan rasul, menyempurnakan syariat dan
20
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 52 surah Ali Imran, ayat ini memuat tentang bagian kisah al-hawâriyun penolong dakwah nabi Isa a.s. Al-Manâr, jld. III, hlm. 314. 21 Syariat dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. disebut ―syar’u man qablanâ‖. Lihat Muhammad al-Hudhori Bek, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr alFikr, 1981), hlm. 35-36. 22 Penjelasan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 139, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dialog nabi Muhammad SAW dan mad‘u dengan mengedepankan hujah. AlManâr, jld. I, hlm. 488.
9
tata susilanya dengan etika yang maslahat bagi sekalian manusia pada setiap ruang dan waktu. 23 Dari sudut pandang dakwah, dalam penegasan Muhammad Abduh mengenai ruh agama yang telah dikemukakan, ada beberapa Hal yang unik dan menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana tawhîd dan ikhlâsh sebagai rûh Islam? Apa dan bagaimana ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql sebagai sasaran pengamalan Islam? Apa dan bagaimana sesuatu yang dihadirkan oleh Nabi Muhammad saw. (sunnah) sebagai upaya menghidupkan rûh al-dîn yang dibawa oleh para nabi dan rasul Allah untuk semua manusia (al-basyar)? Analisis atas jawaban persoalan ini akan menggunakan pendekatan hikmah tasyrî’ (nilai dan fungsi filosofis ajaran)24 dan pemikiran para pakar tentang konsep ishlâh. Hasil analisis ini diharapkan untuk menguji apakah benar bahwa makna fungsional dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah ―ishlâh”
25
(perbaikan dan mencari solusi problem mad’u) dan ihyâ (menghidupkan ruh agama yang dibawa para rasul Allah). Term ishlâh (reformasi) memiliki muatan makna fungsional yang murâdif dengan term da’wah. Demikian menurut pemahaman Abbas al-Aqqad ketika mengomentari perjuangan Khalifah Ali bin Abu Thalib KAW. dalam buku Syarh Nahj al-Balâghah karya Syaikh Muhammad Abduh, buku ini menghimpun pidato, surat-surat, dan kata-kata hikmat khalifah Ali KAW yang dihimpun oleh Syarif Ridha.26
23
Al-Manâr, jld. I, hlm. 489. Antara lain dari pemikiran Ali Ahmad al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh (Beirut: dâr al-Fikr, tt.). 25 Menurut Abd al-Rahman Al-Sa‘di, hakikat ishlâh adalah: 24
(Ishlâh (reformasi) adalah upaya dalam memperbaiki aqidah, akhlak dan semua keadaan manusia yang memungkinkan tercapainya kebaikan hidup manusia. Selain itu, ia juga memperbaiki segala urusan keagamaan, keduniawian, individu dan golongan. Sedangkan lawan dari perbaikan adalah perusakan). Lihat Abd al-Rahman al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm alMannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001(, hlm. 749. 26 Lihat Abbas al-Aqqad, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006), hlm. 27.
10
Sebenarnya, upaya ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) merupakan ciri yang menyatu dalam diri Islam. Bahkan, menurut Moshe Sharon, sebagaimana dikutip Akh. Minhaji, bahwa kedatangan Islam itu dapat dipandang sebagai gerakan reformasi dan pembaruan pertama yang amat menakjubkan dan telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental di kalangan masyarakat Arab ketika itu.27 Oleh karena itu, gagasan Muhammad Abduh tentang ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql merupakan bagian metode irsyâd al-nafsî (internalisasi Islam) dalam memperbaiki dan mencari solusi probelm psikologis mad’u pada level intraindividu merupakan aktualisasi watak Islam yang reformis dan modernis. Analisis atas irsyâd al- nafsî ini selain menggunakan pemikiran pakar muslim tentang konsep nafs dalam Al-Qur‘an juga menggunakan pendekatan psikologis dalam komunikasi, teori ini meyakini bahwa bagi pemikir yang memiliki konsep religius pada waktu yang sama memiliki perhatian atas kehidupan dan penghormatan terhadap rasio dan realitas problem kehidupan manusia dan berupaya menemukan solusi-solusi baru bukan melalui irasionalitas dan kebencian, melainkan melalui penguatan terhadap rasio dan menumbuhkan cinta kehidupan.28 Mengingat di dalam ―Irsyâd al-nafsî‖ terdapat tehnik muhâsabah bi alnafs (mawas diri), maka teori interaksionisme dalam komunikasi digunakan dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang irsyâd al-nafsî ini, teori ini meyakini bahwa proses mawas diri bersifat sosial, karena diri melaksanakannya bertindak atas dirinya, dan menggunakan tindakan perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu. Diri juga mengevaluasi kesesuaian respon tersebut dan menyimpannya untuk dipakai sebagai referensi di masa yang akan datang. 29
27
Akh. Minhaji, ―Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,‖ dalam Amin Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi (Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000), hlm. 42. 28 Lihat Eric Fromm, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. v. 29 Lihat B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Karya, 1986), hlm. 233.
11
Muhammad Abduh meyakini bahwa dâ’i (pelaku dakwah Islam) digelari sebagai khayr ummah (umat terbaik) oleh Allah SWT, yang mengerjakan bentuk dakwah amr ma’rûf (memerintah yang baik) dan nahy munkar (mencegah yang mungkar), selain para nabi Allah, mereka adalah semua orang beriman. Mengenai hal ini, Muhammad Abduh mengemukakan perlunya kriteria dan peran dâ’i, yaitu: (1) mereka merupakan orang-orang beriman kepada Allah dengan tingkat keimanan yang mengontrol akal, hati, dan perasaan mereka, menguasai kecenderungan hawa nafsu mereka yang dijelaskan oleh Allah SWT. mengenai keistimewaan dan ciri-cirinya dalam banyak ayat Alquran; dan (2) kualitas keimanan dâ’i selain bermanfaat bagi dirinya sebagai penggerak (al-musayyir) umat juga besar pengaruhnya dalam melakukan dalam perubahan (taghyîr) formasi kehidupan di muka bumi. 30 Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan selain kualitas keimanan kepada Allah SWT. sebagai syarat seorang dâ’i, ada dua hal yang menjadi fungsi dan peran utama dâ’i, yaitu al-musayyir (pengemudi, pengendali, dan penggerak umat) dan taghyîr hay-ah al-ardh (pelaku perubahan kehidupan sosial-ke arah yang lebih baik). Hal ini menjadi petunjuk bahwa bagian inti dari gagasan Muhammad Abduh adalah da’i sebagai agen perubahan sosial (mushlih) di tengah-tengah kehidupan umat, yang berupaya memperbaiki kehidupan agama umat dalam berbagai bidangnya yang paradoks dengan ajaran agama, upaya ini berfungsi sebagai ikhtiar dan gerakan merespons dan mencari solusi persoalan internal umat Islam berupa kemerosotan pengamalan ajaran Islam dan membentengi umat serta menolak pengaruh budaya negatif dari luar. Muhammad Abduh mengakui bahwa dalam upaya memperbaiki kehidupan beragama umat, perlu dilakukan gerakan amr ma’rûf dan nahy munkar sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah Islam, sebab menurutnya, amr ma’rûf,
30
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran: 110, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58.
12
nahy munkar dan kemestian untuk menunaikan ajaran Islam itu merupakan bagian dari bentuk dakwah Islam.31 Persoalan dalam pendapat Muhammad Abduh tentang fungsi da’i dan salah satu bentuk dakwah tersebut yang ditelusuri lebih lanjut, adalah apa dan bagaimana al-musayyir dan al-mughayyir sebagai fungsi da’i? Dan apa serta bagaimana amr ma’rûf nahy munkar sebagai bagian dari bentuk kegiatan dakwah? Analisis atas jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menggunakan teori komunikasi yang diambil dari teori perubahan sosial, yaitu yang meyakini bahwa paling tidak ada empat unsur utama yang menjadi sumber perubahan, yaitu gagasan (ideas), tokoh-tokoh besar (heroes and heroes worship), gerakan-gerakan sosial, dan revolusi.32 Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi argumen bahwa bagian dari makna fungsional pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh adalah perubahan ke arah situasi kehidupan umat yang lebih baik melalui upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat. Selanjutnya, menurut pengamatan Muhammad Abduh, bahwa pemikiran dan aktivitas dakwah Islam pada zamannya menjadi bagian persoalan internal umat Islam yang menuntut adanya upaya ishlâh al-da’wah (mereformasi dakwah). Reformasi dakwah ini dipandang urgen oleh Muhammad Abduh, karena dakwah bukan mengatasi masalah tetapi menimbulkan masalah. Muhammad Abduh mengemukakan beberapa macam problem dakwah pada saat itu, yakni: (1) menasihati individu-individu umat (nashîhah al-Afrâd), menegakkan perkara ma‘ruf dan menjebol perkara munkar menjadi ajang menyebarkan perbedaan dan perpecahan; (2) tidak adanya upaya menyeru kepada kerukunan dan kesatuan umat; (3) saling menasihati menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan perdebatan sehingga menjadi masalah krusial hubungan persaudaraan dan 31
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 62. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 81. Jika esensi dakwah adalah perubahan dan perbaikan kehidupan sosial , maka secara sosiologis dakwah berfungsi sebagai upaya reformasi, yakni proses perubahan tatanan sosial lama secara mendasar dan cepat kepada tatanan sosial baru yang lebih baik dengan cara damai. Lebih lanjut, lihat Salman Luthan, ―Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,‖ dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.) Moh. Mahfud MD, dkk. (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 448. 32
13
persahabatan di kalangan umat. Oleh karena itu, solusinya dakwah dengan bahasa lisan menyeru
kepada kebaikan,
memerintahkan
ma’rûf dan menjebol
kemunkaran secara bersama-sama di kalangan muslim, harus didasarkan pada tambatan kasih sayang dalam hati mereka dan menyelamatkan mereka dari kehidupan siksa sehingga mereka merasakan kehadiran ajaran Islam sebagai nikmat Allah SWT. 33 Dari bagian persoalan dakwah yang dinyatakan Muhammad Abduh tersebut, yang dikaji lebih lanjut adalah apa dan bagaimana nashihah al-afrâd? Apa dan bagaimana upaya ishlâh al-da’wah melalui kaderisasi da’i profesional? Analisis atas jawaban pertanyaan ini menggunakan perbandingan dengan pendapat pakar dakwah lain tentang konsep takwîn al-du’ât (kaderisasi da’i profesional) dan pakar pendidikan. Da‘i profesional adalah ilmuwan muslim yang menjadikan dakwah sebagai pekerjaannya berdasarkan keahlian yang dimilikinya dan keahliannya itu berbasis penguasaan ilmu islam dan keterampilan mempraktikannya.34 Adanya term al-hujjah (argumen rasional) dan al-burhân (argumen demonstratif) dalam mendakwahkan Islam, yang diajukan oleh Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa Hal ihwal yang berkaitan dengan dakwah Islam adalah termasuk kandungan alquran, sebab al-hujjah (argumen rasional) dan alburhân (argumen demonstratif) adalah bagian dari makna fungsional Alquran.35 Selain itu, al-hujjah dan al-burhân merupakan dua istilah yang mengacu pada aktivitas berpikir dalam pembentukan dan menghubungkan antara konsep berupa proposisi-proposisi tentang obyek yang dipikirkan yang menghasilkan kebenaran ilmiah.36 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh 33
Al-Manâr, jld. IV., hlm. 29. Problem dakwah yang dikemukakan Abduh ini merupakan bagian dari problem perkembangan sosial di Mesir pada zamannya, yang menjadi bagian dari tantangan perjuangan pembaruan yang dihadapinya. 34 Lihat Abd al-Badi al-Shaqâr, Kayfa Nad’u al-Nâs, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108-109. 35 Term al-hujjah antara lain disebutkan dalam Q.S. al-An‘âm (6): 149, ayat ini memuat penjelasan bahwa adanya rasul dan al-kitab sebagai bagian dari hujjah Allah SWT. dan al-burhân antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ (4): 174, ayat ini memuat penjelasan bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai burhân. 36 Lihat Muhammad Sayid al-Jalind dan Sayid Rizq al-Hijr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 9-10.
14
berpandangan mengenai apa dan bagaimana hakikat dakwah Islam itu mesti dipahami dari Al-Qur‘an dengan pendekatan rasional (’aqliyyah). Oleh karena itu Al-Qur‘an sebagai sumber pemaknaan hakikat dakwah Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa unsur esensi keberadaan AlQur‘an yang diyakininya, ialah (1) Al-Qur‘an adalah firman langit yang diturunkan kepada hati nabi yang paling sempurna oleh Maha Pencipta yang hakikat-Nya tidak dapat diketahui; (2) Al-Qur‘an di dalamnya terkandung banyak pengetahuan yang tinggi dan kebutuhan-kebutuhan yang urgen; dan (3) Al-Qur‘an tidak dapat diserap maknanya kecuali oleh para pemilik jiwa yang bersih (al-nufûs al-zâkiyah) dan para pemilik akal yang jernih (al-‘uqûl al-shâfiyah) 37 Penegasan Muhammad Abduh mengenai keberadaan Al-Qur‘an tersebut tampaknya lebih mengacu pada saat Al-Qur‘an belum dikodifikasikan dalam mushhaf, sebab Muhammad Abduh juga mengungkapkan pemahamannya tentang Al-Qur‘an menurut keyakinannya bahwa: (1) Al-Qur‘an itu adalah al-kitâb yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.; dan (2) Al-Qur‘an itu termaktub dalam mushaf-mushaf yang terpelihara di dalam dada orang-orang Islam yang menghafalnya hingga hari ini.38 Mengacu pada dua pemahaman keberadaan Al-Qur‘anyang diajukan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memahami Al-Qur‘an hendaknya menggunakan dua instrumen metodis, yaitu ―kecerdasan intelektual‖ (al-‘uqûl al-shâfiyyah) dan ―kecerdasan spiritual‖ (al-nufûs al-zâkiyyah) secara terpadu. Proses pemahaman ini disebut penafsiran Al-Qur‘an. Dengan demikian, keterpaduan dua instrumen metodis ini menjadi basis epistemologis bagi Muhammad Abduh ketika merumuskan konsep-pemikiran dakwah dalam tafsir Almanar. Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, tafsir Al-Qur‘an itu hendaknya memuat unsur esensi penafsiran Alquran, yaitu berupa pemahaman al-kitâb yang
37
Al-Manâr, Jld. I, hlm. 17. Penggunaan instrumen metodis al-nufûs al-zakiyyah dan al‘ûqûl al-shafiyyah dalam memahami Al-Qur‘an sebelum Abduh, antara lain sudah digunakan oleh Taqiy al-Dîn Abi al-Abbâs Ahmad bin Taymiyah (w.728H). Lebih lanjut, lihat karyanya Kitâb alNubuwwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284. 38 Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 145.
15
dipandang sebagai ajaran dan petunjuk dari Allah bagi semua alam, yang menggabungkan antara
penjelasan
urusan kemaslahatan manusia
dalam
kehidupan duniawi dan urusan keselamatan kehidupan ukhrawi.39 Kemudian Muhammad Abduh juga menegaskan karakteristik pemahaman sebagai proses penafsiran Al-Qur‘an yang unsur–unsurnya terdiri dari: (1) suatu upaya pemikiran yang berbasis rasa yang bersih, yang terbingkai oleh pola-pola Al-Qur‘an dengan segala kelebihannya dan terkendali oleh petuah-petuahnya sehingga ia mengabaikan yang lainnya; (2) pemahaman itu bukan pemahaman yang timbul dari kepasrahan buta terhadap kitab-kitab; dan (3) pemahaman itu bukan suatu ketundukan hampa yang tidak berpangkal pada rasa dan apa yang mengikutinya berupa kelembutan perasaan dan kehalusan nurani yang keduanya merupakan sumber penalaran (al-ta’aqul), penyerapan (al-taatstsur), pemahaman (al-fahm), dan perenungan (al-tadabbur).
40
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa diantara sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk memberantas mental taklid di internal umat Islam. Sedangkan tujuan utama penafsiran Alquran, bagi Muhammad Abduh, adalah selain sebagai al-ihtidâ bî al-Qur’an (menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk hidup), juga ditegaskan ketika menjelaskan peringkat tafsir, menurutnya bahwa peringkat minimal penafsiran Al-Qur‘an itu adalah penafsiran yang dilakukan secara global dengan tujuan agar hati menjadi; (1) mampu menyerap keagungan Allah dan menyucikan-Nya; dan (2) membuat jiwa berpaling dari keburukan dan cenderung pada kebajikan. 41 Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Manâr sebagai reaksi dan jawaban atas persoalan adanya klaim sebagian umat pada zamannya bahwa penafsiran AlQur‘an itu adalah menelaah kitab-kitab tafsir karya sebagian ulama tafsir yang di 39
Al-Manâr, jld. I, hlm. 19. Al-Manâr, jld. I, hlm. 27. Dalam pernyataan Abduh ini memuat term epistemologis yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggabungkan fungsi nafs dan akal (rasa dan rasio), dan Hal ini dapat terjadi dalam mengkaji Islam, berupa penggabungan unsur subyektif dan obyektif, keberpihakan imani dan obyektivitas akademis. Lihat Komaruddin Hidayat, ―Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat‖ dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xx. 41 Al-Manâr, jld. I, hlm. 21. 40
16
dalamnya banyak termuat aneka ragam perbedaan pendapat sehingga fungsi hidâyah al-Qur’an terabaikan. Mereka menganggap cukup dengan kitab fiqih yang ada dalam menjawab tantangan zaman dan penafsiran ulang dipandang tidak diperlukan lagi.42 Hal ini mengandung petunjuk bahwa termasuk sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk membangkitkan semangat ijtihad di kalangan umat Islam yang saat itu mengalami stagnasi dalam pengembangan pemikiran tafsir. Kemudian Muhammad Abduh juga menyadari adanya problem umat Islam dalam menyikapi Al-Qur‘an dan ajaran Islam yang terkandung dalam AlQur‘an tidak lagi menjadi rujukan kehidupan. Begitu pula tradisi umat salaf dalam keimanan dan amal saleh tidak lagi dihiraukan. Oleh karena itu kondisi masyarakat yang demikian itu tidak bisa dijadikan sebagai argumen yang melemahkan posisi Alquran. 43 Oleh karena itu, penafsiran yang berorientasi kepada ihtidâ bî al-Qur’an (menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk) merupakan kebutuhan yang selalu masa kini mengingat universalitas ajaran yang dikandungnya berlaku dalam mengatasi problem keumatan di sepanjang zaman. Sebab, menurut Muhammad Abduh bahwa secara fungsional kehadiran Al-Qur‘an itu berfungsi: (1) Al-Qur‘an ini merupakan petunjuk (hâdi) dan pembimbing (mursyîd ) hingga hari kiamat; (2) makna-makna kandungan Al-Qur‘an berlaku umum dan bersifat komprehensif; (3) Al-Qur‘an tidak memberikan janji (wa’d), ancaman (wa‘îd), nasihat (wa’azh) dan arahan (irsyâd) hanya kepada segelintir orang tertentu; dan (4) muatan janji, ancaman, berita gembira, dan peringatannya memuat akidah, akhlak, kebiasaan, dan kegiatan yang terdapat pada berbagai masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu, Muhammad Abduh mengingatkan bahwa, siapapun jangan terkecoh oleh pendapat sebagian penafsir bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang
42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 19 dan 25. Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 151 surah Ali Imran, ayat ini memuat informasi tentang orang kafir dan musyrik yang qalbunya penuh dengan keraguan kepada Allah dan segala yang datang dari pada-Nya. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 179. 43
17
munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. sehingga diduga bahwa ayat-ayat itu tidak lagi relevan meski berkaitan dengannya. 44 Ternyata urgensi orientasi penafsiran Al-Qur‘an yang digagas oleh Muhammad Abduh tersebut didukung oleh murid Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang mengakui bahwa, terdapat kebutuhan mendesak atas suatu tafsir yang pusat perhatiannya pada petunjuk (hid âyah) Al-Qur‘an melalui cara-cara yang karakternya sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Qur‘an itu sendiri, yaitu untuk memberi peringatan (al-indzâr), warta gembira (al-tabsyîr), memberi petunjuk (al-hidâyah), dan perbaikan (alishlâh). 45 Mencermati urgensi pembaharuan sikap terhadap keberadaan Al-Qur‘an dan penafsirannya yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Ridha tersebut, di dalamnya juga ditemukan term-term yang berkaitan dengan sebagian aktivitas dakwah,
yaitu ishlâh (perbaikan),
irsyâd
(bimbingan), bayân
(penjelasan), wa’azh (nasihat), indzâr (peringatan), wa’ad dan wa’îd (reward dan punishment), tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), dan hujjah (argumen rasional). Dengan demikian, bahwa sebagian kandungan dalam tafsir Al-Manâr adalah berhubungan dengan pemikiran dakwah Islam menurut penulisnya. Asumsi ini juga didasarkan pada pendapat Muhammad Abduh sendiri, menurutnya bahwa surat makiyyah merupakan surat-surat Al-Qur‘an yang diturunkan pada masa awal Islam untuk kepentingan dakwah dan untuk menjelaskan dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip umumnya berupa: (1) keimanan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi, (2) meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dikenali oleh manusia melalui akal dan fitrahnya, dan (3) melakukan berbagai kebajikan dan kebaikan yang diketahui menurut kemampuan penalaran dan kesungguhan
44
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 20 surah al-Baqarah, ayat ini berkaitan dengan perumpamaan kehidupan orang kafir yang menjalani jalan yang gelap. Lihat AlManâr, jld. I, hlm. 179. 45 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 10.
18
berpikir yang menjadi fungsi hati dan nurani. 46 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Al-Qur‘an sebagai kitab dakwah. Term-term dakwah yang tercantum dalam urgensi penafsiran Al-Qur‘an yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut, terdapat pula term al-wa’zhu (ceramah peringatan), indzâr (peringatan), wa’ad (reward), wa’îd (punishment), tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), peranan fitrah (potensi dalam penciptaan), dan dhamir (nurani) dalam memahami kebajikan dan kebijakan. Apa dan bagaimana posisi term-term ini dalam struktur sistem dakwah menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan analisis perbandingan dengan pemikiran pakar dakwah selain Muhammad Abduh. Sehubungan dengan pendapat Muhammad Abduh mengenai Al-Qur‘an sebagai kitab yang diturunkan untuk kepentingan dakwah, Sayid Kutub berpendapat bahwa Al-Qur‘an merupakan satu-satunya tempat kembali bagi para penyeru dakwah dalam melakukan kegiatan dakwah, dan dalam menyusun gerakannya.47 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu al-A‘la al-Maududi juga berpendapat bahwa: حركة
ن كتاب دعىة ومنج#( انقرAl-Qur‘an adalah kitab
dakwah dan metode pergerakan)48. Kemudian Muhammad Abduh juga menjelaskan argumennya bahwa tanâsub (hubungan) kandungan Q.S. al-Baqarah dengan Q.S. Ali Imran menggambarkan perihal dakwah Islam,yaitu: (1) masing-masing surat diawali dengan menyebut al-kitâb dan perihal sikap manusia dalam meresponsnya, yaitu ada yang menerima (mu’min), menolak (kâfir), dan oportunis (munâfiq). Hal ini menunjukkan bahwa awal surah al-Baqarah merupakan informasi perjalanan episode awal dakwah Islam. Sedangkan dalam surah Ali Imran dijelaskan pula respons manusia terhadap Alquran, ada yang ragu (zaygh) dan ada yang yakin (râsikh). Hal ini menunjukkan bahwa sikap itu terjadi setelah menyebarnya dakwah Islam; (2) masing-masing surah menyebutkan klaim keyakinan Yahudi 46
Al-Manâr, jld. I, hlm. 32. Sayid Kutub, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-Da’wah wa al-Harakah, oleh Suwardi Effendi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), hlm. 11. 48 Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qur’an (Lahor: Dâr al‗Arubah li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1960), hlm. 34. 47
19
dan Nasrani sebagai keyakinan yang benar, dan bahwa dakwah Islam ditujukan kepada mereka; (3) dalam surah al-baqarah diinformasikan penciptaan Adam a.s. dan dalam surah Ali Imran diinformasikan penciptaan Isa a.s. yang di antara keduanya terdapat kesamaan penciptaan tanpa ayah keduanya sebagai da‘i pada zamannya; (4) masing-masing surah memuat penjelasan tentang hukum perang sebagai pembelaan diri, kebenaran, dan keberlangsungan dakwah Islam; (5) pesan moral dan etik dalam do‘a yang dimuat di akhir surah al-Baqarah berkaitan dengan permulaan dakwah yang diorientasikan pada tugas-tugas keagamaan dan memohon perlindungan dari para penentang dakwah. sedangkan do‘a di akhir surah Ali Imran berkaitan dengan penerimaan dakwah dan permohonan balasan amal di akhirat; dan (6) di awal surah al-Baqarah dijelaskan bahwa kemenangan dan keselamatan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Hal yang sama dimuat dalam surah Ali Imran yang ditempatkan di akhir, sehingga awal dan akhir terdapat konsistensi yang sama tentang akibat pilihan positif terhadap pesan dakwah Islam.49 Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang dikerjakan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh muridnya Rasyid Ridha dalam tafsir Almanar hanya sampai ayat 125 surah al-Nisa, yaitu: 50
بكم شيئ محيطا
ولل ما فى انسمىات وما فى االرض وكان الل
(Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu). Dalam pada itu, salah satu misi diterbitkannya Tafsir Almanar sebagaimana ditegaskan oleh Rasyid Ridha:51
االصالح
وأنشأت انمنار نذعىة انى
(Dan saya menerbitkan Almanar untuk dakwah ishlâh).
Sehubungan dengan Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh, menurut Abdullah Syahatah bahwa, menurut corak penafsirannya termasuk penafsiran Al49
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 153. Mengenai tanâsub surat dengan surat dalam struktur mushaf al-Quran, antara lain telah dikaji secara khusus oleh al-Suyuthi mengenai tanâsub antara surat al-Baqarah dengan surat Ali-Imran ini. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanâsuq al-Durar fi Tanâsub al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah , 1986), hlm. 63-74. 50 Nomor ayat ini dalam mushaf Utsmani adalah ayat ke 126. Lihat Al-Manâr jld. V hlm. 440-445. 51 Al-Manâr, jld. I, hlm. 12.
20
Qur‘an yang rasional yang ditujukan pada para pemikir modern, yang hanya dapat menerima sesuatu yang rasional.52 Sementara itu Muhammad Quraish Shihab mengomentari Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh sebagai salah satu kitab Tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.53 Sedangkan menurut komentar Mukti Ali tentang Tafsir Almanar, bahwa dalam ajaran tafsirnya, Muhammad Abduh berusaha menserasikan antara Islam dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern dan mengikuti cara-cara pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dengan teori-teori ilmiah. Nilai yang paling besar dalam ajaran tafsirnya adalah bahwa ajaran itu menghidupkan perasaan dan menggerakkan emosi lebih banyak daripada kepada pembahasan masalah-masalah ilmu. ajaran tafsirnya itu lebih banyak ditujukan kepada hati daripada ditujukan kepada ilmu dan akal, sehingga kehidupan beragama orang akan dapat terpengaruh.54 Dari beberapa komentar mengenai tafsir Almanar tersebut dapat dipahami bahwa penulisan tafsir Almanar terkandung maksud untuk kepentingan dakwah dalam bentuk tulisan yang merupakan bagian dari macam kegiatan tablîgh Islâm. Dengan demikian Tafsir Almanar merupakan sebuah teks tafsir yang lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variabel. Hal ini didasarkan atas pendapat Komaruddin Hidayat bahwa ―Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan sebagainya;‖55 dan pendapat Abdullah Ahmed al-Naim, menurutnya bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam dipengaruhi oleh beberapa kondisi, yaitu kondisi sosiologis dan ekonomis dari masyarakat tertentu.‖56 52
Lihat Abdullah Syahatah, Manhâj al-Imâm Muhammad Abduh fî Tafîir al-Quran alKarîm (Kairo: al-Majlis al-‗Alâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-‗Adab wa al-‗Ulûm al-Islamiyah, 1963), hlm. 84. 53 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 5. dan lihat Muhsin Abd al-hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî (Herendon, al-Ma‘had al-‗Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995), hlm. 106. 54 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 491. 55 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 19. 56 Abdullah Ahmed al-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai (Yogyakarta, 1977), hlm. xx).
21
Variabel-variabel yang menjadi wacana dan mempengaruhi penulis tafsir dan penafsirannya yang dikemukakan oleh dua ilmuwan tersebut tidak serta-merta langsung terungkapkan dalam tafsir Al-Manâr secara utuh. Hal ini menuntut penelusuran di luar teks tafsir Al-Manâr untuk mengetahui latar variabel yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, sehingga apa yang diungkapkan dalam teks tafsir Al-Manâr yang berkaitan dengan hal ihwal dakwah Islam dapat dipahami dengan pemahaman yang mendekati maksud Muhammad Abduh sebagai penulisnya. Maka pendekatan biografis sosial penulisnya dapat digunakan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh Zainal Abidin Ahmad, terutama ketika mengkaji tentang Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (9801037 M).57 Kemudian bagaimana memahami kandungan teks tafsir Almanar tentang pemikiran dakwah Islam, yang dipaparkan oleh Muhammad Abduh, hal ini dapat menggunakan pendekatan dilâlah (teori pemaknaan), teori dakwah, psikologi qurani dan teori komunikasi yang berkaitan dengan obyek material kajian dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan hidupnya sebagai proses implementasi al-Islam. Kajian yang menghadirkan kembali pemikiran dakwah Islam menurut Muhammad Abduh yang menitikberatkan pada upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat baik problem psikologis maupun problem sosiologis sebagai suatu hal yang baru pada zamannya dipandang perlu. Sebab masih relevan dengan kehidupan bergama umat Islam pada zaman sekarang. Hal tersebut antara lain didasarkan atas pendapat tiga ilmuwan muslim, yaitu: pertama, pendapat Azyumardi Azra, bahwa Islam tidak hanya memberikan ukuran-ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada potensi yang dimiliki manusia untuk ikut menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber dari wahyu Allah itu
57
Lihat H. Zainal-Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 18.
22
termasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya;
58
kedua, pendapat Komaruddin
Hidayat, bahwa tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan yang dominan;
59
dan ketiga, pendapat M. Yunan Yusuf, bahwa gerakan dakwah
mestinya muncul sebagai solusi untuk membawa umat kepada sesuatu yang menghidupkan dan menyemangati, bukan mengancam dan menakut-nakuti. Upaya menghidupkan dan menyemangati dalam arti memberikan advokasi material maupun sepiritual yang menyejahterakan kehidupan mereka sehari-hari. 60 Dalam ketiga pendapat tersebut, bagi yang pertama terdapat kesejalanan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai perlunya menggunakan akal dan qalbu dalam memahami teks Alquran. Pendapat yang kedua sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh tentang adanya problem keumatan
yang
memerlukan upaya perbaikan dan mencari solusi melalui dakwah. Sedangkan pendapat yang ketiga sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai urgensi adanya gerakan dakwah sebagai upaya mengatasi problem psikologis dan sosiologis keumatan. Muhammad Abduh diyakini oleh Ibrahim Imam sebagai salah seorang ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan dakwah Islam, yang gerakannya disebut dakwah salafiah.61Sedangkan pemikiran dakwah yang berintikan pendapat dan gagasan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Karim Bakar, adalah 58
Azyumardi Azra, ―Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial ‖ dalam Nurcholis Madjid dkk. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm. 391. 59 Komaruddin Hidayat, ―Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 98. 60 M. Yunan Yusuf, ―Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 438. Lihat Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama, 2006), hlm. 50. 61 Lihat Ibrahim Imam, Ushul al-‘Ilâm al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‗arabi, 1985), hlm. 186-188.
23
aktivitas akal dalam memahami, mengkaji dan memecahkan persoalan dakwah dengan menggunakan cara kerja akal. 62 Selain itu, Muhammad Abduh adalah salah seorang da’i dan pemikir dakwah, karena aktivitas dakwah bagi Muhammad Abduh merupakan bagian dari tekad dan sumpah atas nama Allah dalam perjuangan hidupnya, isi sumpah itu sebagaimana dijelaskan oleh Utsman Amin yang dikutip oleh Firdaus AN, bahwa Muhammad Abduh bersumpah atas nama Allah akan berpegang teguh kepada kitab Allah (Alquran) dalam segala amal bakti dan sikap moralnya tanpa penyimpangan dan penyesatan; Ia akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayatnya tanpa pamrih; Ia bersumpah akan rela mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwwah islâmiyyah) yang mendalam; tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak akan menta‘khirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama; tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama sedikit ataupun banyak; dan Ia berjanji kepada Allah akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum muslimin.63 Dari substansi sumpah Muhammad Abduh di atas dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh bukan hanya memiliki pemikiran dakwah, akan tetapi juga merealisasikan pemikirannya itu. Sehubungan dengan hal ini Rif‘at Syauqi Nawawi mengakui bahwa ―Muhammad Abduh sesungguhnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam‖. Dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut materialisme agar mereka juga mengakui dan mengerti akan adanya malaikat.‖64 Pengakuannya ini dikemukakan ketika menganalisis pendapat Muhammad Abduh mengenai keberadaan malaikat. 62 Lihat Abdul Karim Bakar, Muqaddimât li al-Nuhudh bi al-‘Amal al-Da’awi, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 13-18. 63 Firdaus AN, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, terj. Firdaus AN. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 19-20. 64 Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, hlm. 137.
24
Oleh karena itu, fokus persoalan penelitian mengenai apa sajakah dan bagaimana substansi pemikiran dakwah Muhammad Abduh yang termuat dalam Tafsir Al-Manâr adalah persoalan yang memiliki relevansi dan urgensi bagi perbaikan dan mensolusi persoalan keumatan masa kini yang menarik untuk dikaji. B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah yang diteliti diidentifikasi, dibatasi, dan dirumuskan sebagai berikut: 1. Identifikasi Masalah Substansi pemikiran dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al Manâr, masalah yang menarik untuk dikaji meliputi: 1) Bagaimana gagasan mengenai konsep dakwah yang di dalamnya berkaitan dengan apakah hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah; 2) Apa dan bagaimana hakikat Islam dan karakteristiknya sebagai maudhû’ al-da’wah; 3) Apa dan bagaimana karakteristik manusia dan umat sebagai da’i dan mad’u; 4) Apa sajakah bentuk-bentuk dakwah dalam mencari solusi problem mad’u yang di dalamnya melibatkan unsur metode, media, dan sasaran masingmasing bentuk dakwah; 5) Bagaimana pola kaderisasi da’i profesional (takwîn al-du’ât) dari aspek urgensi, dasar, tujuan, materi, dan metodenya. 6) Bagaimana gagasan mengenai sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta (hukum alam sebagai bagian dari hukum Allah dijadikan acuan dalam merumuskan prinsip-prinsip dakwah; 7) Apasajakah substansi sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta sabagai bagian dari hukum Allah dan bagaimana implementasinya dalam proses dakwah;
25
8) Apasajakah substansi hukum Islam sebagai bagian dari hukum Allah, dan bagaimana
implementasinya dalam
proses
dakwah
yang
pernah
dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah; 9) Bagaimana
perbandingan
pemikiran
dakwah
yang
digagas
oleh
Muhammad Abduh dan pemikiran dakwah yang digagas oleh Rasyid Ridha; dan 10) Bagaimana kenyataan gerakan dakwah masa kini di dunia Islam jika dianalisis berdasarkan pemikiran dakwah yang digagas oleh Muhammad Abduh. 2. Pembatasan Masalah Mengingat banyak aspek yang berkaitan dengan substansi pemikiran dakwah, maka dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan, masalah penelitian dalam disertasi ini dibatasi pada tiga persoalan substantif, yaitu: 1) Apakah hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah yang terdiri dari da’i, mad’u, mawdhu’, metode dan media dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u; 2) Apasajakah bentuk dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u; 3) Bagaimanakah pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr; 3. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dikaji difokuskan pada persoalan apasajakah gagasan dan pendapat Muhammad Abduh mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah, bentukbentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional dalam Tafsir Al Manâr. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Ingin memperoleh data, memahami,
memperoleh kejelasan, dan
melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai
26
proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u dalam Tafsir Al Manâr; b. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh mengenai bentuk-bentuk dakwah dalam Tafsir Al Manâr; c. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh mengenai pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr. d. Ingin membentuk istilah dan kategorisasi dakwah sebagai objek formal kajian ilmu dakwah yang hingga saat ini masih dalam proses pengembangan dan memerlukan masukan-masukan istilah dan kategorisasinya. 2. Kegunaan Penelitian Bersumber dari pengetahuan yang diperoleh dari tujuan penelitian di atas, diharapkan dapat dipetik kegunaan teroretis dan praktis sebagai berikut: a. Kegunaan Teoretis 1) Bagi pengembangan ilmu dakwah memberikan informasi khazanah pemikiran Muhammad Abduh mengenai makna istilah dan kategorisasi yang terkandung dalam sistematisasi hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai proses mencari solusi problem mad’u, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional; 2) Bagi para peneliti pembaruan pemikiran Islam merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk dikembangkan lebih lanjut dalam meneliti karya intelektual Muhammad Abduh dari sudut pandang yang tidak menjadi masalah yang diteliti dalam penelitian ini. b. Kegunaan Praktis 1) Bagi pencinta dan peneliti pembaruan pemikiran Islam bidang dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam mengembangkan makna istilah dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah;
27
2) Bagi praktisi dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam mencari solusi problem mad’u (keumatan) sesuai tuntutan zaman. D. Penelitian Terdahulu Penelitian pemikiran dan kiprah Muhammad Abduh dalam kapasitasnya sebagai pembaharu dan reformer (mujaddid dan mushlih) dalam Islam telah dilakukan oleh banyak cendekiawan baik dalam bentuk tulisan disertasi maupun dalam bentuk kajian akademis lainnya. Harun Nasution, misalnya, telah mengkaji Muhammad Abduh dari segi teologi rasional dan perbandingannya dengan Mu‘tazilah. Kajian ini menemukan bahwa Muhammad Abduh lebih rasional ketimbang Mu‘tazilah dengan indikator kemampuan akal, menurut Mu‘tazilah akal mampu: (1) mengetahui Tuhan; (2) mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (3) mengetahui kebaikan dan kejahatan; dan (4) mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, sedangkan menurut Muhammad Abduh, akal mampu (1) mengetahui Tuhan dan sifat-sifat Nya; (2) mengetahui adanya hidup di akhirat; (3) mengetahui kebaikan dan kejahatan; (4) mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (5) mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewjiban menjauhi peerbuatan jahat; dan (6) mengetahui hukum-hukum.65 Abd al-Athi Muhammad meneliti pemikiran Muhammad Abduh dalam kerangka tesis magisternya dengan judul al-Fikr al-Siyâsi li al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh.66 Arbiyah Lubis melakukan penelitian komparatif atas pemikiran dan gerakan pembaruan Islam antara Muhammad Abduh dan Muhammadiyah.67 Amir Maliki Abi Thalkha menulis tentang Muhammad Abduh dengan judul Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh (Kajian tentang Sistem dan
65
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional-Mu’tazilah (Jakarta: UIPress , 1987), hlm. 53-56. 66 Salim Bajri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), (Jakarta: PPS IAIN SYAHIDA, 2000), hlm. 32. 67 Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm. 32.
28
Lingkungan Pendidikan) untuk kepentingan tesis magister di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.68 Ada pula penelitian pemikiran bidang tafsir Muhammad Abduh, antara lain oleh Abdullah Mahmud Syahathah antara lain ditemukan bahwa Muhammad Abduh mendasarkan metode tafsirnya pada prinsip-prinsip: (1) memandang kandungan surat Al-Qur‘an merupakan satu kesatuan yang serasi; (2) universalitas kandungan Alquran; (3) Al-Qur‘an adalah sumber pertama hukum Islam; (4) memerangi taklid; (5) menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengkaji dan mengambil petunjuk Alquran; (6) menggunakan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‘an; (7) meninggalkan pembicaraan yang terlalu panjang dalam penafsiran Al-Qur‘an; (8) meninggalkan cerita Israiliyat dan mengikuti pendekatan alma’tsur yang shahih; dan (9) menggunakan pendekatan sosiologis dalam mengambil petunjuk Alquran.69 M. Quraish Shihab mengkaji pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang tafsir dari segi metode dan corak penafsiran Al-Qur‘an, diantara temuannya bahwa
Muhammad
Abduh
mendasarkan
orientasi
penafsirannya
pada
memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur‘an sebagai petunjuk serta memberi jalan keluar bagi problem-problem umat manusia dengan berusaha menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya melalui metode budaya kemasyarakatan dan dengan menerapkan prinsip-prinsip baru.70 Zaenun Kamal menulis tesis tentang pengaruh pembaharuan pemikiran Islam menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran pembaharuan di Indonesia untuk tesis magister dengan judul al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh wa Âtsâruhu fî Tajdîd al-Fikr al-Islâmi bi Indûnîsiyya. Rif‘at Syauqi Nawawi mengkaji Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, temuannya antara lain bahwa:
68
32.
69
Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm.
Abdullah Mahmud Syahatah, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fî al-Tafsîr AlQur’an al-Karim, (Kairo: al-Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1963). 70 Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
29
Perhatian Muhammad Abduh yang demikian besar terhadap segi petunjuk Al-Qur‘an dilandasi oleh keyakinannya bahwa kelemahan dan kemunduran umat Islam serta hilangnya kejayaan mereka di masa silam adalah karena mereka berpaling dari petunjuk Al-Qur‘an. untuk memperoleh kembali kejayaan, kepemimpinan dan kehormatan hidup, menurut pendapatnya jalan yang harus ditempuh ialah kembali kepada petunjuk kitab suci serta berpegang teguh kepadanya. Tanpa berpedoman kepada petunjuk AlQur‘an, umat Islam dari semua generasi tidak akan memperoleh kejayaan dan kehormatan hidup.71 Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi memposisikan Muhammad Abduh sebagai penganut aliran studi rasional modern dalam penafsiran Al-Qur‘an yang dipengaruhi oleh gagasan Jamaluddin al-Afghani, kemudian Rasyid Ridha dan Muhammad Mushthafa al-Maraghi mengikuti dan meneruskan upaya Muhammad Abduh dalam penafsiran Alquran. 72 Muhammad Qodri Luthfi menulis tentang Sejarah Kehidupan Muhammad Abduh dan Cita-cita serta Pandangan-pandangannya tentang Pendidikan dan Pengajaran dan karyanya tersebut telah diterbitkan oleh Maktab al-Tarbiyah alArabi Ahl Kharib tahun 1978.73 Ahmad Amin menulis tentang Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharuan dalam Islam dan diterbitkan oleh Dâr al-Kitâb al-‗Arabi, Beirut, pada tahun 1976. Gambaran tentang sejarah hidup pergerakan dan pemikiran yang telah dilakukannya Muhammad Abduh setidaknya telah turut membuka wawasan Islam yang lebih modern dan progresif. Di samping tulisan-tulisan mengenai Muhammad Abduh yang dilakukan oleh para cendekiawan juga tidak kurang karya tulis keagamaan ditulis sendiri oleh Muhammad Abduh maupun muridmuridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha yang menulis tentang Târîkh al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh terbitan Maktabah al-Manar tahun 1431 H. 74
71
Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Seri Disertasi), (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 203. 72 Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah alHadîtsah fî al-Tafsîr, (Beirut: Muassasah Risalah Beirut tahun 1414H). 73 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58-59. 74 Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm. 35.
30
Melalui tulisan-tulisan maupun aktivitas sosialnya, Muhammad Abduh menjadi orang yang paling dikenal, menonjol, dan dicintai di tengah-tengah masyarakatnya, di Mesir khususnya,75 sebagai sosok termashur dan serba bisa.76 Analisis tentang Hal ini ditulis pula oleh Muhammad Imarah dalam buku Muhammad Abduh dan Pengalaman-pengalamannya yang Sempurna yang diterbitkan oleh al-Muassasah al-‗Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Beirut, pada tahun 1972.77 Pokok pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi dasar bagi pendapatpendapatnya dalam bidang pembaharuan (tajdîd dan ishlâh) dalam Islam ditulis oleh Utsman Amin dalam buku Tokoh Pemikir Mesir al-Imam Muhammad Abduh. Buku ini diterbitkan oleh Lajnah al-Tarjamah Dairah al-Ma‘arif alIslamiyyah. Juga ditemukan buku Muhammad Abduh termasuk Tokoh-tokoh di Abad Modern oleh Ahmad Amin dengan penerbit Dar al-Kitab al-Arabi di Beirut. Dalam memahami ajaran tawhid sebagai bagian dari pesan dakwah, Muhammad Abduh terpengaruh oleh pemikiran rasional Mu‘tazilah. Karena kecenderungannya kepada pemikiran rasional, ia berpendapat bahwa pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman yang benar dan sempurna. 78 Namun demikian, Muhammad Abduh bukan golongan Mu‘tazilah. Terlebih-lebih dalam memberikan argumen tentang masalah tawhid Muhammad Abduh condong pada nash Alquran, berbicara bukan semata-mata kepada hati manusia melainkan juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.79 Penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa pemikiran dakwah Muhammad Abduh belum dikaji secara khusus, dan menunjukkan kekhasan penelitian yang memfokuskan pada pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam
75
Albert Hourany, Arabic Thought in the Liberal-Age, 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 135. 76 Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 464. 77 Muhammad Imarah, al-’Amâl al-Kâmilah, (Beirut: al-Muassasah al-‗Arabiyah li alDirasat wa al-Nasyr, 1972). 78 Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islâm wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 51. 79 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 65.
31
tafsir Al-Manâr yang sejauh tinjauan hasil penelitian yang sudah dikemukakan belum dikaji, sehingga penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu, sumber data masalah penelitian, baik primer maupun sekunder, cukup tersedia dan relatif mudah diperoleh sehingga penelitian dapat dilakukan. E. Metode Penelitian Tipe dan metode yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan, maka tipe penelitian ini tergolong kajian kepustakaan (library research). 80 Dan metode yang digunakan adalah metode analisis isi (content analysis atau tahlîl al-madhmûn).81 Metode analisis
isi dapat digunakan dalam merekonstruksi dan
mengaktualisasikan pemikiran seseorang tentang suatu ide yang umum dan abstrak mengenai sesuatu yang dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang terjadi pada masanya. Sesuatu tersebut terdapat dalam karya tulisnya yang terpisah dari diri penggagas.82 Metode analisis isi dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis konten deskriptif kritis dalam menggali dan mengungkap substansi teks penafsiran Muhammad Abduh yang memuat pemikiran dakwah.83 Sumber data dalam penelitian ini, mengingat tipe penelitian yang menelaah buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh, maka digunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah karya tulis Muhammad Abduh, yaitu Tafsir al-Quran al-Hakim yang lebih dikenal-dengan Tafsir Al-Manâr yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh Muhammad Rasyid 80 Lawrence R. Frey et al., Investigating Communication, An Introduction to Research Methods, (New Jersey Prentice Hall, 199 1), h1m. 204-205, menyebutnya sebagai textual-analysis. 81 Lihat Sukarnto dkk., Pedoman Penelitian, (Yogyakarta: "LP", 1995), h1m. 15-16. 82 Lihat Consuelo G. Sevila dkk., An Introduction to Research Methods, (Pengantar Metodologi Penelitian) Pen. Alimudin Tuwu, (Jakarta: Ul-Press, 1993), h1m. 46-55, dan Aletis S. Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid Publishing Inc., 1981), hlm. 5253. 83 Jika yang akan diungkap itu dampak makna pesan bagi pembaca disebut analisis konten inferensial. Selanjutnya lihat Zauqan Abidat dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhumuhu, Adawâtuhu, Asâlibuhu, (Aman: Dar al-Fikr, 1987), h1m. 211-212, dan Shalah Mushthafa al-Fawal, Manâhij al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah (Kairo Maktabah Gharib, 1982), hlm. 140-143.
32
Ridha, yaitu hingga Q.S.. Al-Nisa ayat 125 (dalam Mushaf Utsmani, nomor ayat 125 adalah ayat ke 126) yang dimuat dalam jilid V halaman 440-441. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku tentang tafsir al-Quran, ilmu dakwah, pemikiran Islam, psikologi Islami, dan teori komunikasi yang relevan sebagai rujukan dalam menganalisis masalah penelitian yang terdapat dalam sumber primer. Buku-buku tersebut sebagaimana tertuang dalam daftar pustaka. Unit analisis dalam penelitian ini dengan mengacu pada metode penelitian yang digunakan, maka dilakukan penentuan unit analisis sebagai sampel masalah penelitian yang dikaji dan dilakukan secara purposive, yaitu difokuskan pada teks penafsiran ayat-ayat al-Quran yang memuat Hal ihwal pemikiran dakwah dalam tafsir Al-Manâr yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh. Sedangkan tehnik untuk membedakan antara penafsiran oleh Muhammad Abduh dengan penafsiran oleh Rasyid Ridha mengacu pada penjelasan Rasyid Ridha yaitu: penafsiran Muhammad Abduh dicirikan dengan ungkapan:
قال االستار االماو
, dan
االستار االماو
قال, قال االستار, قال شيخنا,
. Ungkapan-ungkapan ini ditempatkan di
awal-isi penafsiran. Dan penafsiran Rasyid Ridha dicirikan dengan ungkapan:
وأزيذ نا, وأزيذ في, أقىل, dan لن# أقىل اyang ditempatkan setelah penafsiran Muhammad Abduh, bagian teks sampel penelitian ini sebagaimana tercantum dalam lampiran.84 Kategori unit analisis yang digunakan adalah kategori substansi (substance categories) yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh mengenai pemikiran dakwah dalam Tafsir Al-Manâr yang disistemisasikan dalam struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan istidlâl (teori pemaknaan), teori psikologi islami, dan teori komunikasi yang bersinggungan dengan obyek material kajian dakwah.85 Dan kategori unit analisis ini merupakan eksplanasi atas
84
Lihat Al-Manâr, Jld. I, hlm. 16. Mengenai penggunaan kategori substansi ini, selanjutnya lihat Philip Emmert dan Larry L. Barker, Measurement of Communication Behavior, (New York: Longman, 1989), h1m. 199-203. Klaus Krippendorff, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and Methodology (Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid Wajidi, (Jakarta.- CV. Rajawali, 1991), 85
33
operasional konsep yang terkandung dalam masalah penelitian, yaitu sebagai berikut: Pemikiran Dakwah dimaksudkan sebagai hasil aktifitas akal berupa gagasan dan pendapat mengenai hal ihwal dakwah, yaitu: hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah, hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhu’ dakwah, karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u, karakteristik umat, media dan prinsip metode dakwah, bentuk-bentuk dakwah berupa al-da’wah al-‘âmmah, alda’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, di dalamnya meliputi irsyâd nafsi, irsyâd fardi, tablîgh, amr ma’rûf, dan nahy munkar, dan pola kaderisasi da’i profesional, yaitu: urgensi kaderisasi, dasar dan tujuan, metode dan materi. Muhammad Abduh dimaksudkan sebagai mufasir dan rijâl al-da’wah (tokoh pemikir dan pelaku dakwah) yang memiliki gagasan dan pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang mengandung pernyataan pemikiran dakwah. Analisisnya berkaitan dengan riwayat hidup Muhammad Abduh dan dibatasi pada ―situasi sosio-politik dan kultural di Mesir,‖ riwayat hidup yang meliputi identitas diri, riwayat pendidikan, karya tulis, dan peranan dakwah reformasi (ishlâhiyyah). Dalam Tafsir Al-Manâr dimaksudkan sebagai salah satu karya tulis Muhammad Abduh di bidang tafsir al-Quran bersama Muhammad Rasyid Ridha sebagai lokus masalah penelitian. Tehnik analisis dan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah terkumpul dianalisis secara deduktif dan analisis komparatif, yaitu mengurai, mengulas, dan menanggapi gagasan dari data yang ditampilkan mengenai substansi (substance categories) pemikiran dakwah dari penafsiran Muhammad Abduh. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Selanjutnya langkah operasional analisis data tersebut sebagai berikut: Pertama, mendeskripsikan data dengan memaparkan inti penafsiran Muhammad Abduh tentang pemikiran dakwah yang terdapat dalam tafsir Alhlm. 75 dan 89; dan Alexis S. Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid Publishing Inc. 198 1), h1m. 51-53.
34
Manâr. Hal ini dilakukan dengan memilah dan memilih konsep inti penafsirannya ke dalam struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional. Dengan demikian tidak keseluruhan ungkapan-ungkapan penafsiran yang dilakukan Muhammad Abduh tersebut dipaparkan, tetapi ada yang diungkapkan maknanya dengan cara memahami dan menarik konsep inti yang berkaitan dengan pemikiran dakwah dalam pernyataan penafsiran Muhammad Abduh yang pemaparannya panjang dan luas. Kedua, mengurai, mengupas, dan menanggapi gagasan tentang pemikiran dakwah yang dipaparkan dalam konsep inti penafsiran yang ditempuh dalam langkah pertama dengan penalaran yang menjelaskan konsep-konsep inti dari sudut pandang pemaknaan pernyataan dan membandingkan dengan pendapat pakar lain tentang masalah yang berkaitan dengan pemikiran dakwah tersebut dalam struktur sistem dakwah, yaitu menggolongkannya ke dalam kategori unsurunsur proses dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional. Ketiga, menarik kesimpulan gagasan utama tentang pemikiran dakwah menurut pemikiran Muhammad Abduh dalam tafsir Almanar dengan mengacu kepada langkah kedua dalam analisis kategori struktur sistem dakwah, dan pola kaderisasi da’i profesional. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran dakwah menurut pemikiran Muhammad Abduh ditempuh dengan melalui konfirmasi referensi, yaitu mengacukan data kepada sumbernya dan konsistensi logis sebagai kriteria untuk menera suatu kebenaran ilmiah.86 Dalam hal ini, pemikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah diperiksa ulang dengan melihat sumbernya, dan proses penstrukturan pemikiran Muhammad Abduh tersebut ditempuh dengan cara menempatkan pemikiran Muhammad Abduh sebagai premis minor, analisis sebagai premis mayor dan menarik konklusi dari kedua premis itu.
86
Selanjutnya, lihat Alfred North Whitehead, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason) Pen. Alois A. Nugroho (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 145-146.
35
F. Sistematika Pembahasan Penulisan disertasi ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan, berisi uraian tentang pernyataan pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manâr yang memuat pendapat dan gagasan mengenai dakwah sebagai proses implementasi hukum Allah dalam memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat pada zamannya, yang masih relevan untuk dihadirkan kembali pada zaman sekarang. Hal ini menjadi latar belakang masalah untuk dikaji lebih lanjut melalui penelitian yang difokuskan pada hakikat, dasar hukum, tujuan, unsur dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam, dengan tujuan menemukan data, memahami, memperoleh kejelasan, dan melakukan sistematisasi substansi pendapat dan gagasan dakwah menurut Muhammad Abduh tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretis dalam pengembangan pembentukan peristilahan dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah. Selain itu, secara praktis ia memberikan kontribusi bagi para praktisi dakwah dalam memperbaiki dan mencari solusi problem mad’u yang dihadapi pada zaman sekarang. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa masalah yang diteliti belum dikaji secara khusus dikemukakan beberapa hasil penelitian dan karya tulis mengenai pemikiran pembaruan Islam menurut Muhammad Abduh dalam tinjauan penelitian pendahulu, sejauh yang diketahui peneliti, dan metode analisis isi digunakan dalam memperoleh data dan proses analisis isi atas teks Tafsir AlManâr yang memuat pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh. Bab kedua berisikan uraian mengenai situasi sosial politik dan sosial budaya di Mesir pada saat itu yang mempengaruhi pemikiran dan perjuangan Muhammad Abduh dalam melakukan dakwah yang menitikberatkan pada ishlâhiyyah sebagai fokus dakwahnya, identas diri, riwayat pendidikan, dan karya tulis yang memberikan informasi posisi Muhammad Abduh dalam menyiapkan kiprah perjuangannya sebagai salah seorang tokoh pemikir dan pelaku pembaharuan pemikiran Islam, yang di dalamnya berkaitan dengan basis pemikiran dakwah Islam, dan aktivitas dakwah ishlâhiyyah yang dilakukan oleh
36
Muhammad Abduh, yang meliputi ishlâhiyyah pendidikan, sistem pengajaran, kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik, hukum, dan kemasyarakatan. Bab ketiga berisikan uraian mengenai substansi pemikiran dakwah yang meliputi komponen prinsip-prinsip dakwah, di dalamnya dikemukakan hakikat dakwah, dasar hukum dan tujuan dakwah, hakikat Islam dan karakteristiknya sebagai maudhû’ al-da’wah, karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u, karakteristik umat sebagai medan berlangsungnya kegiatan dakwah, media dan prinsip
metode
dakwah.
Selanjutnya
keseluruhan
isi
tersebut
dikonseptualisasikan. Bab keempat berisikan uraian mengenai bentuk-bentuk dakwah yang di dalamnya melibatkan unsur atau komponen dakwah dalam memperbaiki dan mencari solusi problem mad’u, baik problem psikologis maupun sosiologis, yaitu al-da’wah al-‘âmmah, al-da’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, yang di dalamnya meliputi tablîgh, al-dâ’iyah fi nafsih, al-da’wah al-fardiyah, amr ma’rûf dan nahy munkar dan upaya mewujudkan keberlangsungan dakwah melalui kaderisasi da’i profesional, yang meliputi uraian urgensi kaderisasi, dasar dan tujuan kaderisasi, materi pengajaran kaderisasi, dan metode pembelajarannya. Kemudian, isi dari keseluruhan uraian tersebut dikonseptualisasikan. Bab kelima merupakan uraian kesimpulan yang memuat temuan, argumen, persamaan dan perbedaan mengenai substansi pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh yang meliputi komponen dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Setelah itu, dikemukakan hal-hal yang dipandang perlu untuk ditindaklanjuti dari hasil penelitian ini, baik secara teoretis maupun praktis yang berkaitan dengan kedakwahan sebagai saran.
BAB II SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN DAKWAH ISHLÂHIYAH A. Sekilas Situasi Sosial Politik dan Budaya Mesir Perjalanan hidup seorang tokoh di bidang apapun senantiasa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor situasi sosial politik dan budaya di mana tokoh itu menjalani kehidupannya. Bagaimanapun juga, situasi Mesir baik sosial-politik maupun budayanya begitu pula keadaan keluarga serta pengalaman pendidikan yang dialami oleh Muhammad Abduh berpengaruh kepada dirinya yang telah mewarisi sifat-sifat yang ada padanya berupa kecerdasan, percaya kepada diri sendiri, ulet dalam menghadapi kesulitan, dan ingin maju dan cinta kasih. Sifatsifat inilah yang pada gilirannya nanti membuat Muhammad Abduh menjadi tokoh pemikir dan pejuang pembaharuan (tajdîd) dan perbaikan (ishlâh) Islam dan kehidupan masyarakat Mesir pada zamannya yang berpengaruh pula bagi generasi setelahnya.1 Situasi sosial politik Mesir abad ke 18 hingga ke 19 merupakan bagian dari wilayah imperium Utsmani. Mesir benar-benar diperintah oleh beberapa faksi militer mamlûk setempat. Sebagaimana wilayah Utsmani lainnya, Mesir memiliki badan-badan ulama dan tarikat sufi yang pengaruhnya besar pada rentangan abad ke 18, disebabkan lemahnya kontrol Utsmani, persaingan antara beberapa faksi mamlûk mengakibatkan terbengkalainya
irigasi, kemerosotan pajak,
dan
meningkatnya persaingan politik antarfaksi mamlûk dan kesukuan. Situasi ini berakibat pada melemahnya pengaruh Utsmani yang membawa perubahan besar dalam struktur sistem kemasyarakatan Mesir; yaitu membuka kesempatan bagi
1
Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995), hlm. 429. Tajdid (pembaharuan) menurut Harun Nasution adalah pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996 ), hlm. xi, sedangkan ishlâh (perbaikan, reformasi) adalah upaya atau gerakan memperbaiki dan mengembalikan cara berpikir dan bertindak dari
38
serangan Napoleon tahun 1798M, dan kedua membuka kesempatan bagi intervensi pihak Inggris.2 Sebagai akibat yang pertama tersebut, menurut Harun Nasution bahwa, dalam usaha menyaingi kegiatan ekspansi Inggris ke dunia Timur, Napoleon Bonaparte dari Prancis, pada tahun 1798M, mengadakan ekspedisi ke Mesir, yang sejak lama merupakan salah satu pusat terpenting dari dunia Islam. Dalam waktu kurang dari satu bulan, seluruh negeri itu jatuh ke bawah kekuasaannya. Persenjataan modern yang dibawanya tidak bisa diimbangi oleh persenjataan tradisional kaum mamâlik yang pada waktu itu berkuasa di sana.3 Napoleon hadir menaklukkan Mesir bukan hanya dengan tentara, tetapi juga membawa unsur-unsur peradaban modern Barat yang tidak dikenal di Timur. Ia
membawa ilmuwan-ilmuwan
yang mendirikan
lembaga
ilmiah
dan
laboratorium di Kairo. Di antara ilmuwan-ilmuwan itu terdapat pula kaum orientalis yang tahu bahasa Arab dan agama Islam. Napoleon juga membawa percetakan dalam huruf Latin dan Arab yang menyiarkan hasil-hasil penelitian para ilmuwan tersebut, begitu pula maklumat-maklumat Napoleon sendiri. Situasi ini mengakibatkan terjadinya kontak orang Mesir, terutama ulama-ulamanya dengan kebudayaan yang dibawa napoleon, yang pada gilirannya di kemudian hari, menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir pada saat itu, bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari orang Eropa. Hal ini antara lian disadari oleh Abdurrahman al-Jabarti, salah seorang ulama Al-Azhar dan penulis sejarah setelah berkunjung ke lembaga-lembaga ilmiah dan laboratorium di Prancis.4 Pendudukan Prancis tersebut berakhir dengan adanya perlawanan yang dipelopori oleh Muhammad Ali (1765-1849M), seorang perwira Turki dalam berperang melawan Prancis. Dan setelah Prancis keluar dari Mesir (1 Agustus 1801M), Muhammad Ali dapat merebut tampuk kekuasaan dan menjadi penguasa kehidupan yang menyimpang kepada ajaran autentik, lihat Muhsin Abd al-Hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islamî, (Virginia: al-Mahad al-Âlami li al-Fikr al-Islami, 1994), hlm.96. 2 Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic Societies, oleh Gufron A. Masudi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 101-103. 3 Harun nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UIP, 1987), hlm. 7.
39
tunggal yang independen dan mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Mesir sampai tahun 1952. muhammad Ali menjadi penguasa Mesir mulai tahun 1805 sampai tahun 1849.5 Berbarengan
dengan adanya
kesadaran umat Islam Mesir
akan
kemunduran, kelemahan, dan ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang sains modern, teknologi, dan ekonomi umat, maka situasi ini dijadikan momentum
strategis oleh
Muhammad Ali dalam melakukan
pembaharuan di Mesir, dalam bidang pendidikan ia tampil memeloporinya dengan upaya mengirim orang Mesir belajar ke Eropa,6 terutama ke Paris. Di Mesir sendiri, ia mendirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer (1815M), sekolah teknik (1816M), sekolah kedokteran (1827M), sekolah apoteker (1828M), sekolah pertambangan (1834M), sekolah pertanian (1836), dan sekolah penerjemahan (1836M). Gerakan Muhammad Ali ini dipandang sebagai awal terjadinya reformasi sosial di Mesir.7 Di bidang politik, sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali melakukan perombakan dengan menghancurkan seluruh kekuatan politik yang berasal dari keluarga mamlûk, begitu juga kekuasaan ulama yang pada akhir abad ke 18 turut terlibat dalam urusan pemerintahan, secara berangsur-angsur dilumpuhkan dengan merampas hak pajak pertanian dan wakaf mereka. Di bidang perekonomian, Muhammad Ali melancarkan reorganisasi perekonomian secara total dengan melakukan pengembangan perkebunan tebu dan kapas yang keduanya merupakan komoditas yang laku dalam pasaran internasional. Guna meningkatkan pertanian dibangunlah irigasi besar. Sementara itu, selain untuk mengolah hasil pertanian, ia mendatangkan ahli-ahli mesin dan teknisi dari Barat dan membangun pabrik yang 4
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 9. Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta:Paramadina, 2002) hlm. 19. 6 Menurut catatan Musyarrofa, sepeti dikutip oleh Haris, bahwa pelajar Mesir yang dikirim belajar ke Eropa itu, 230 orang ke Prancis, 95 orang ke Inggris, dan 14 orang ke negeri lainnya. Dengan bidang ilmu yang ditekuni masing-masing, 310 orang bidang engineering dan industri, 15 orang kedokteran, 2 orang pertanian, dan 12 orang bidang humaniora. Lihat Cristianna Phelps Harris, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood (London: Mounto & Co., 1964), hlm. 18. 7 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 10. 5
40
menghasilkan kapas, wol, benang tekstil, gula, kertas, barang-barang dari kulit, dan memproduksi senjata. Semua ini, menurutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Mesir.8 Sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali tidak menghadapi kesulitan dalam usahanya membawa pembaharuan di Mesir, terutama di bidang pendidikan, militer, dan ekonomi. Ia menjadi raja yang absolut yang menguasai sumber kekayaan, terutama tanah, yang ada di Msir, pertanian, dan perdagangan. Di daerah-daerah, para pegawainya juga bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan perintahnya. Sehingga rakyat merasa tertindas, untuk menghindari kekerasan yang dilakukan oleh para pegawai Muhammad Ali, rakyat di daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat, dalam hal ini termasuk kakek dan ayah Muhammad Abduh melakukan hal yang sama, bahkan kakek dan ayah Muhammad Abduh pernah dipenjara lantara dituduh terlibat menentang pemerintahan Muhammad Ali. Kebijakan pemerintahan Muhammad Ali ini ternyata berujung dengan ketidakadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Mesir.9 Selain melahirkan keadaan sosial-ekonomi tersebut, usaha modernisasi atau pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali juga melahirkan dua sistem pendidikan yang berbeda, bahkan antara yang satu dengan yang lainnya terjadi ketegangan di kalangan pendukungnya masing-masing, yaitu: Pertama, pendidikan yang hanya mengajarkan keagamaan dan menolak keberadaan perubahan dan sains modern; dan kedua, sistem pendidikan sains yang menerima sepenuhnya pengaruh dan ide Barat yang sekuler tanpa seleksi. Kemudian dari dua sistem pendidikan yang berbeda ini, pada gilirannya, melahirkan tipe kehidupan Muslim yang
sangat
berbeda. Bagi
mayoritas pendukungnya dari
generasi
kelompok pertama, tua, yang
yang
menganggap
bahwa ajaran Islam sebagaimana terformulasikan dalam karya-karya ulama fiqh adalah ajaran yang
8
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 103. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 585-59. 9
41
benar sedangkan nilai-nilai baru yang dibawa oleh sains modern tidak layak untuk diterima.10 Sementara itu, kelompok yang menerima sains modern dan ide-ide Barat tanpa seleksi yang kebanyakan dianut oleh generasi muda Mesir yang penguasaan keagamaannya masih dangkal dan mengabaikan tradisi keagamaan yang dianut oleh kelompok generasi tua. Dua tipe kehidupan Mesir ini berimplikasi pada aspek-aspek sosial lainnya yang serba dikotomis, mempertentangkan nilai agama dan nonagama, antara sains Barat dan ilmu agama, antara yang mempetahankan taklid kepada pemikiran keagamaan kaum tua dengan yang mengharuskan pembaharuan melalui ijtihad dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam suasana sosial-politik dan budaya Mesir tersebutlah Muhammad Abduh dilahirkan. B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya Tulis 1. Identitas Diri Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Abduh bin Hasan bin Khairullah. Ayahnya merupakan seorang petani yang taat beragama tetapi bukan ulama. Mengenai asal-usulnya, Muhammad Abduh pernah bercerita bahwa, orang-orang menyebut rumah kami sebagai rumah Turki. Saya bertanya kepada orang tua mengapa mereka menyebut demikian. la menjawab bahwa keturunan kami bermuara pada seorang nenek moyang dari negeri Turki. Adapun ibu saya adalah bangsa Arab Quraisy yang silsilah keturunannya sampai pada Umar bin Khaththab. Namun ini hanya merupakan cerita turun-temurun yang tidak memungkinkan pembuktian.11 Muhammad Abduh dilahirkan di penghujung tahun 1265H/1849M di daerah Syabsyir, salah satu desa di Mesir Hilir, yaitu desa Mahallah Nashr kabupaten Al-Buhairah yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari kota Damanhur. Muhammad Abduh lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang 10
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 103-104, dan Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 222-223. 11 Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh (Mesir: Dâr al-Hilal, tt.), hlm. 21.
42
merupakan bagian dari kelas kreatif di Mesir modern, keluarga yang cukup terpandang di desanya dan dengan tradisi belajar dan kesalehan.12 Kondisi lingkungan keluarga Muhammad Abduh di desa adalah lingkungan orang-orang miskin, kehidupan di desa tempat tinggalnya seperti layaknya kehidupan di desadesa lain di Mesir, di mana penduduknya bekerja giat dan bersungguh-sungguh, beriman kepada Allah, dan yakin di hari akhirat nanti akan mendapatkan balasan dari-Nya.13 Muhammad Abduh menikah pada tahun 1282H/1866M, pada usia 17 tahun. Dari perkawinannya, menurut catatan Rasyid Ridha, Muhammad Abduh tidak mempunyai anak laki-laki. Ia dikaruniai empat anak perempuan. Dua orang puterinya, yakni yang pertama dan yang kedua, dikawinkannya ketika Muhammad Abduh masih hidup, masing-masing dengan Muhammad Bek Yusuf dan Utsman Affandi Yusuf, sedangkan puteri ketiga dan keempat setelah Muhammad Abduh wafat turut dengan paman mereka, yakni Hamudah Bek Muhammad Abduh alMuhami.14 Ketika masa kanak-kanak, Muhammad Abduh memiliki hobi bermain menaiki kuda, memanah, dan renang dalam suasana lingkungan hidup yang agraris di pedesaan Mesir. Hobinya ini, pada gilirannya di kemudian hari, menjadi salah satu faktor yang membentuk kepribadian Muhammad Abduh menjadi berani dan tabah menghadapi masalah dalam perjuangannya setelah ia dewasa.15 Mengenai performance dan kepribadian Muhammad Abduh, sudah banyak dikomentari oleh para penulis tentang biografi dan pemikiran Muhammad Abduh, antara lain Albert Hourani menyebutkan tentang performance dan kepribadian Muhammad Abduh ini, menurutnya, ia adalah seorang laki-laki tampan, tegap, berkulit gelap, dengan penampilan yang tenang dan pesona agak melankolik. Pada 12
Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Arabic Thoughts in the Liberal Age 1788-1939, oleh Suparno dkk. (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 210. 13 Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits wa Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Saad (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 63. 14 Lihat Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 41. 15 Lihat Ahmad Jad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16.
43
tahun-tahun terakhir kehidupannya, ia tampak semakin lembut, dan mereka yang mengenalnya dengan baik mengetahui benar kebaikan dan kecerdasannya serta keindahan spiritual tertentu.16 Mukti Ali
menuturkan penilaian Jamaluddin
al-Afghani
tentang
kepribadian Muhammad Abduh, menurutnya bahwa, Muhammad Abduh adalah orang yang cerdas, kemampuannya baik, baik budinya, dan selalu ingin melakukan perbaikan. Kemudian, menurut Sayid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh adalah orang yang penuh harga diri, menjauhi kehinaan, enggan mengerjakan halhal yang remeh dan selalu cenderung untuk mengerjakan hal-hal yang mulia. Bersama dengan rasa harga diri dan menjauhi kehinaan, ia adalah orang hidup jiwanya, perasa, cepat kasihan kepada orang-orang yang tertimpa malapetaka dan kesusahan. Uang yang ia miliki, baik sedikit maupun banyak, digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.17 Jika Muhammad Abduh termasuk yang memiliki kepribadian melankolik sebagaimana dikemukakan Albert Hourani, dari sudut pandang psikologis, maka orang yang memiliki tipe melankolik memiliki ciri-ciri sebagai pemikir, yang selalu memikirkan kesempurnaan, dan amat peka, suka mendalami sesuatu permasalahan, berbakat khusus, kreatif, suka berpikir secara sistematis, suka membaca grafik, senang mengadakan riset, suka menganalisis, peka perasaannya, sangat berhati-hati, dan bercita-cita tinggi.18 Ketika Muhammad Abduh wafat, E.G. Growne menulis surat turut berduka cita kepada adik Muhammad Abduh, Hamudah Bey Muhammad Abduh, antara lain menyatakan bahwa, selama umur saya, sudah banyak negeri dan bangsa yang saya lihat, tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum 16
Lihat Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 218. Kepribadian adalah sikap seseorang setelah ia menerima pendidikan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh pembawaan (karakter), pengaruh lingkungan, keturunan, pengaruh tempat ia dilahirkan dan dibesarkan serta pendidikan yang sempat ia terima dan sebagainya. Lihat L.T. Takhruddin, Pribadi-pribadi yang Berpengaruh (Bandung: PT. ALMaarif, 1996), hlm. 40-41. 17 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995), hlm. 484-485. 18 Selanjutnya lihat Emil H. Tambunan, Kepribadian Seutuhnya (Bandung: Indonesian Publishing House, 2006), hlm. 27.
44
itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu pengetahuan, dalam kesalehan,
ketajaman pikiran, kejauhan pandangan,
kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir tetapi juga mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian berbicara, gemar beramal, dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan senantiasa berjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orangorang fakir dan miskin.19 Kemudian, ketika Muhammad Abduh telah tiada, Rasyid Ridha meyakini, walaupun Muhammad Abduh dengan tawadu meyakini bukan seorang pemimpin, tetapi sejatinya ia bukan saja sebagai seorang pemimpin, bahkan ia adalah seorang pembaharu (mujaddid) dan seorang guru yang penuh kearifan, Rasyid Ridha menuliskan keyakinannya ini bahwa, sesungguhnya dengan wafatnya Syekh Muhammad Abduh, umat tidak merasa kehilangan sedikitpun ajaran Islam, akan tetapi umat kehilangan seorang pemimpin, seorang pembaharu (mujaddid) yang arif akan kebutuhan zamannya, yang memperoleh kepemimpinannya karena keluhuran akal budinya, pikiran dan pahamnya yang bebas, disertai semangat dan keberanian. Dengan segala kesadaran dan keikhlasan ia memberikan ilmu yang sebenarnya sesuai dengan hak masing-masing.20 2. Riwayat Pendidikan Muhammad Abduh belajar membaca di rumah orang tuanya sampai mampu menghapal Al-Quran hanya dalam tempo dua tahun. Kemudian ia pindah belajar di Masjid Ahmadi di daerah Thantha untuk mempelajari tajwid. Namun ia merasa tidak mendapat apa-apa setelah belajar selama satu tahun. Setelah belajar di masjid tersebut,21 ia kemudian kembali ke Mahallah Nashr, kampung halamannya, dan ia membantu pekerjaan ayahnya bertani. Ayahnya tidak 19 Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh Muhammad Abduh, Risâlah Tauhîd (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. xiii. 20 Muhamma Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy alMuhammadî, oleh Yosef CD (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 28. 21 Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi alTafsîr, hlm. 125.
45
menyenangi Muhammad Abduh bertani, sehingga tidak lama kemudian ia disuruh kembali belajar oleh ayahnya. Ketika ayahnya memaksa pergi kembali ke Thantha untuk belajar, Muhammad Abduh membelot di tengah jalan dan memilih pergi ke Kanisah Aurin dan bersembunyi di rumah Syaikh Darwisy Khidhr, salah seorang paman ayahnya, penganut jawiyyah sanusiyyah.22 Ia kemudian belajar pada Syaikh Darwisy Khidhr. Dengan metode mengajarnya, Syaikh Darwisy Khidhr berhasil menanamkan pada diri Muhammad Abduh rasa cinta, ilmu dan upaya mencarinya, sebagai kesenangan yang mengalahkan segala kesenangan lainnya. Setelah tinggal limabelas hari dengan Syaikh Darwisy Khidhr, ia pergi ke Thantha karena khawatir diketahui ayahnya. Kepribadian Syaikh Darwisy Hidr selaku pengikut tasawuf Sanusiyah dijelaskan oleh Mukti Ali bahwa, kepribadian Syaikh lembut yang langka terdapat di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya, lebih luas ilmunya, yang mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia menjadi orang yang zuhud, menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan. Ibadah yang paling baik yang ia lakukan adalah dzikir kepada Allah dengan hatinya dan tidak dengan mulutnya. Juga tidak dengan wirid. Ia bekerja untuk keperluan dunia seperti orang-orang lain. Tetapi dengan halus, lapang dada, dan cenderung untuk kebaikan. Ia adalah orang yang melihat dunia ini sebagai jembatan menuju ke akhirat. Oleh akrena itu, jembatan itu harus dilintasi dengan amal. Dia merasa pedih menyaksikan kealpaan orang, kelaliman, dan ketenggelaman mereka dalam pelbagai perbuatan merusak. Ia iba kepada mereka dan berusaha untuk menyelamatkan mereka dengan perlahan-lahan. Hatinya penuh dengan nur dan itu tampak di air mukanya. Oleh
22
Lihat Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 63. Jawiyyah merupakan sebutan bagi pusat aktivitas sufi. Sanusiyah adalah nama bagi persaudaraan (tarekat) sufi yang didirikan oleh Syaikh Sayyid Muhammad al-Sanusi (w. 1859M) di Aljazair. Paham Sanusiyah antara lain anti-taklid buta, keharusan kesatuan dan persatuan umat, mengikuti ijma umat Muslim yang bersumber kepada Alquran dan sunnah nabi, dan perlu adanya keseimbangan basis ekonomi, politik, dan semangat spiritual. Lihat Syaikh Fadhlullah Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. The Elements of Sufism, oleh Tim Forstudia (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 31, dan 170-171.
46
akrena itu, penglihatannya, tindakannya, gerak dan berhentinya merupakan pandangan yang menarik, yang menarik kepada rasa cinta dan hormat.23 Pada pertengahan Syawwal 1282 H, ia pindah ke al-Azhar untuk belajar kepada para guru besar di sana. Namun ia menyempatkan pulang ke Mahallah Nashr setiap akhir tahun untuk belajar kepada Syaikh Darwisy Khidhr. Saat pulang kampung tersebut, Syaikh Darwisy Khidhr selalu menguji Muhammad Abduh dengan pertanyaan “apa yang kamu pelajari dari Ilmu Manthiq? Ilmu Berhitung? Dasar-dasar Ilmu Ukur?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat Muhammad Abduh selalu berusaha mendalami ilmu-ilmu yang ditanyakan kepada para pakar di Kairo. Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh pamannya, sebagaimana dalam otobiografinya, bahwa Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh kepribadian pamannya itu, dan banyak pengetahuan yang menyadarkan dirinya untuk semangat mencari ilmu dan ia menuliskan kenangannya bahwa, Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali Syaikh yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keilmuan yang sejati kepada Tuhan. Beliau adalah kunci kebahagiaan saya, bila saya memiliki kebahagiaan apapun dalam hidup saya. Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya.24 Kesibukan belajar ini terus berlangsung hingga tiba Sayid Jamaluddin al-Afghani (w. 1897M) pada bulan Muharram 1287 H. Ia belajar dari al-Afghani sebagian ilmu pasti, filsafat dan ilmu kalam. Ia juga mengajak orang-orang untuk belajar kepada al-Afghani. Di bawah bimbingan al-Afghani,25 Muhammad Abduh 23
Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 432-433 dan lihat pula John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Islam Continuity and Change in the Modern World, oleh Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1982) hlm. 143-144. 24 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 211. 25 Kehidupan Jamaluddin al-Afghani penuh dengan dakwah yang hangat terhadap agama, kepada tauhid, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisannya dalam al-Radd ‘alâ al-Dahliyyin, al‘Urwah al-Wustqâ. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 323.
47
mempelajari buku-buku penting seperti al-Zawrâ karya Dawani mengenai tasawuf, Syarh al-Qutb ‘ala al-Syriasiyah, al-Mathali, Sullam al-‘UIum fi al-Manthiq, al-Hidayah, al-Isyarat, Himah al-'Ain wa Hikmah al-Isyraq fi al-Falsafah, ‘Aqaid al-Jalal al-Dawani fi al-Tauhid, al-Taudhih ma’a al-Talwih fi al-Ushul, al-Jugmini, Tadzkirah al-Thusi fi al-Hai-ah al-Qadimah, dan buku-buku lain mengenai perkembangan modern.26 Pengaruh al-Afghani terhadap Muhammad Abduh segera tampak pada semangat Muhammad Abduh untuk menulis dan mengarang. Kepada al-Afghani, ia dan kawan-kawan mahasiswa lainnya mempelajari buku-buku mengenai Manthiq dan Ilmu Kalam yang belum pernah mereka pelajari di al-Azhar. Kian hari kelompok ini bertambah banyak dan terkenal di al-Azhar. Kegiatan Muhammad Abduh dan kelompoknya dalam mendalami buku-buku Mu'tazilah dan para Mutakallimin serta merujuk madzhabnya, membuat cemas Syaikh Muhammad „Alaisy. „Alaisy adalah seorang „alim yang hidup sederhana dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia sebagaimana kebanyakan ulama pada zamannya. Ia adalah orang yang ikhlas dan tidak menyukai bidah yang dianggapnya dapat meruntuhkan agama. Ia menghukumi dosa besar bagi orang yang membaca buku-buku seperti itu. Oleh karena itu, ia mengirim surat untuk berdebat dengan Muhammad Abduh. Perdebatan tersebut berakhir dengan pertengkaran. Menurut satu versi cerita, Muhammad Abduh meninggalkan al-Azhar. Menurut cerita lain, ia tidak meninggalkan al-Azhar melainkan tetap di sana, tetapi ia selalu membawa tongkat dan berkata: “Jika Syaikh datang dengan tongkatnya, akan aku pukul dengan tongkat itu.”27 Pada tahun 1294 H, Muhammad Abduh berhasil meraih ijazah 'Alim dari al-Azhar. la menempuh pendidikannya di al-Azhar dengan tiga tahap. Pertama, mempelajari metode al-Azhar yang terkenal dengan kajian matan, syarh, hawasyi,
26
Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi alTafsîr, hlm. 26. Obyek kajian buku-buku yang disebutkan namanya ini berkaitan dengan disiplin logika, metodologi, dan filsafat. Lihat pula Thâhir al-Thanâhi, Mudzâkirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilâl, tt.), hlm. 28-35. Macam-macam displin ilmu ini pada gilirannya berpengaruh kepada kerpibadian Muhammad Abduh menjadi seorang rasionalis di kemudian hari.
48
dan taqrir.28 Kedua, mempelajari metode Sayyid al-Afghani yang melepaskan Muhammad Abduh dari keterkungkungan dengan ungkapan-ungkapan tekstual dan membiasakannya berpikir
progresif
mengikuti kondisi umat Islam
kontemporer. Ketiga, ia menggabungkan pengetahuannya itu dengan ilmu-ilmu Barat dengan membaca terjemahan buku-buku Barat. Kemudian ia mempelajari bahasa Prancis sampai ia dapat membaca buku-buku berbahasa Prancis.29 3. Karya Tulis Dalam hal menulis, Muhammad Abduh memang tidak mempunyai kecenderungan menulis, bahkan ia berpendapat bahwa kata-kata yang didengar dengan baik akan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata yang dibaca. Argumen dia adalah “bahwa pandangan, gerakan, isyarat, dan logat (body language) orang yang berbicara dapat membantu pendengar memahami maksud pembicaraan,” dan dalam pembicaraan itu “memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai maksud pembicaraan yang kurang jelas. Dalam kontak tertulis, siapa yang bisa bertanya? Pendengar itu dapat memahami 80% maksud pembicara sedangkan pembaca hanya memahami 20% maksud penulis.”30 Pandangan Muhammad Abduh mengenai tradisi penuturan lisan di atas mungkin saja benar. Akan tetapi, meskipun berpandangan begitu, Muhammad Abduh meninggalkan tulisan yang banyak, yang sebagian besar berbentuk suhuf (makalah). Di antara karya tulis Muhammad Abduh adalah (1) Al-Wâridat, karya tulis pertama dalam bidang ilmu kalam atau tawhid dengan metode dan gaya tasawuf;
27 Lihat Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 126. 28 Matan adalah ungkapan yang menjelaskan inti dan pokok bahasan, syarah adalah penjelasan matan, hawasyi adalah penjelasan berupa catatan pinggir yang menjelaskan syarah, dan taqrîr adalah catatan lanjutan untuk menjelaskan hawasyi. Selanjutnya lihat Ibrahim Anis dkk., alMu’jam al-Wasîth (Mesir: Dâr al-Maarif, 1972), hlm. 853. 29 Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 49. 30 Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini mungkin berlaku bagi masyarakat berbudaya dengar, tetapi bagi masyarakat berbudaya baca perlu diteliti
49
(2) Risâlah fi Wahdah al-Wujûd; (3) Târikh Ismail Basya; (4) Falsafah al-Ijtimâ’ wa al-Tarikh, ditulis ketika Muhammad Abduh mengajar di Dar al-Ulum dan karya ini ternyata hilang; (5) Hâsyiyah ‘Aqâid al-Jalâl al-Dawani fi 'ilm al-kalâm, disebarkan oleh Dar Ihya al-Kutub, al-„Arabiyah dan diedit oleh Sulaiman Dunya dalam dua volume dengan judul Al-Syaikh Muhammad ‘Muhammad Abduh Di antara Para Filosof dan Ahli Kalam pada tahun 1377 H; (6) Syarh Nahj al-Balaghah, yaitu penjelasan atas buku karya Syarif Ridha mengenai pidato, katakata hikmah, dan surat-surat Ali bin Thalib KAW. yang telah mengalami berkali-kali cetak ulang; (7) Syarh Maqâmat Badi' Zaman al-Hamadzani, suatu buku cetakan; (8) Syarh al-Bahâir al-Nashiriyah tentang manthiq; (9) Nizhâm al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm bi Mishr; (10) Risâlah al-Tauhîd, karya tulis Muhammad Abduh terpenting dan paling terkenal, dicetak berulang kali dan juga diterima dengan baik di kalangan kaum Nasrani sehingga banyak diantara mereka yang mengusulkan agar buku ini diajarkan di sekolah-sekolah mereka setelah membuang pembahasan tentang kenabian Muhammad. Sejumlah orang lain mendistribusikan sebagian naskah buku ini dan membacanya dengan penuh rasa kagum. Muhammad Abduh sendiri tidak mengizinkan siapapun untuk memberi syarh atau hasyiyah atas buku ini. Menurut Rasyid Ridha, larangan ini disebabkan sering terjadinya penjelasan yang justru menyamarkan maksud yang sudah jelas; (11) Taqrîr Mahâkim al-Syar’iyah; (12) Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah, dicetak berulang kali; (13) Tafsîr Juz ‘Amma; (14) Tafsîr alManâr; (15) al-Kitâb wa al-Qalam; (16) al-Mudabbir al-Insânî wa al-Mudabbir al-‘Aqlî al-Rûhâni; dan (17) al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah wa al-Da’wah ilâ al-‘Ulûm al‘Ashriyyah.31 Mengenai karya tulis dalam bentuk artikel yang dipublikasikan melalui suratkabar, telah terjadi kesimpangsiuran antara karya tulis Muhammad Abduh dan karya tulis Al-Afghani. Kesimpangsiuran ini terjadi misalnya, dalam
31 Lihat Fahd bin Sulaiman Abdurrahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 145-146, dan Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, (Beirut: Muassasah al-„Arabiyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1981), hlm. 31-44.
50
pembahasan. tema-tema fanatisme golongan, qadha-qadar, dan pan-Islamisme dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa. 32 C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah Muhammad Abduh meyakini bahwa ishlâhiyyah (reformasi) adalah upaya menghidupkan ruh dîn Islam sebagai agama dakwah yang dibawa oleh semua nabi dan rasul Allah, mengandung sejumlah syariat dan adab untuk memperbaiki dan mencari solusi problem yang diahadapi oleh umat (mad’u) masing-masing pada zamannya.33 Dalam kerangka ishlâhiyah itulah Muhammad Abduh meletakkan tujuan pemikiran dan aktivitas dakwahnya,menurutnya bahwa, dia melaksanakan dakwah dengan tujuan utama, yaitu; pertama, pikiran dari ikatan taklid, memahami agama menurut metode kaum salaf sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan, kembali kepada sumbernya yang pertama, dan memahami agama dengan pertimbangan akal manusia yang dianugrahkan oleh Allah dalam upaya memelihara sistem kehidupan dunia manusia menurut hikmah sunnah Allah. Dalam dakwah ini dia berbeda dengan pendapat dua golongan besar yang membentuk umat kita, yaitu kelompok penganut ilmu-ilmu agama semata di satu sisi, dan di sisi lain, kelompok yang hanya mempelajari kebudayaan modern saat ini; dan kedua, mengadakan perbaikan atau ishlâh (Bahasa Arab) yang digunakan dalam pidato resmi
kepemerintahan,
penyebaran
informasi
melalui
berbagai
tulisan,
penerjemahan, dan surat-menyurat. Selain dari kedua hal tersebut yang Muhammad Abduh serukan adalah, menyerukan sesuatu yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat yang mereka akan lemah dan terhina jika tidak memiliki tonggak itu, yakni memposisikan
32
Aboe Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Salaf, Gerakan Salafiyah di Indonesia, (Jakarta: Permata, 1970), hlm. 45 dan Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 145-146. 33 Lihat Al-Manâr jld. I, hlm. 487-489. Ishlâhiyyah (reformasi) dan tajdîdi(pembaharuan) adalah bagian dari substansi gerakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul Allah SWT. pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-„Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935), hlm. 448-49, dan Abbas al-„Aqqad,
51
perbedaan antara hak pemerintah untuk ditaati dan hak rakyat untuk diperlakukan secara adil. Muhammad Abduh mengaku termasuk di antara mereka yang mengajak rakyat untuk mengetahui hak-hak mereka untuk berjuang meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah walaupun harus ditaati, ia manusia biasa yang bisa bersalah dan dikuasai syahwat kecuali jika dinasihati rakyat baik dengan perkataan ataupun perbuatan.34 Dalam pernyataan tujuan dakwah yang pertama, Muhammad Abduh menginformasikan mengenai metode salaf sebagai metode pemikiran dakwahnya, metode ini berintikan memahami Alquran sebagai sumber utama dakwah dengan menggunakan akal sebagai anugrah Allah SWT. secara obyektif rasional dalam mengintegrasikan pemikiran dikotomis yang menjadi satu problem pada zamannya dalam mengkaji ilmu agama dan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat dengan mengacu pada prinsip-prinsip sunnah Allah, yaitu hukum-hukum ciptaan Allah yang diperuntukkan bagi gerak materi dan gerak immateri.35 Istilah salaf dalam pernyataan tersebut tidak dijelaskan oleh Muhammad Abduh secara langsung, menurut Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, salaf adalah sebutan bagi cara sikap, cara berpikir dan cara berperilaku generasi sahabat nabi dan pengikut sahabat nabi dalam mengimplementasikan Alquran menurut contoh sunnah nabi. Metode salaf (manhaj salaf) dalam garis besarnya memiliki empat macam kaidah, yaitu: (1) memahami makna nas-nas Alquran dan hadits secara teliti dan berpegang teguh kepada keduanya; (2) menguatkan pemahaman nas Alquran dan hadits dengan keterangan para sahabat dan para tabiin melalui ijtihad;
(3)
mengamalkan isi ajaran Alquran menurut contoh sunnah rasul dalam berakidah, berpikir, berbicara, dan berperilaku serta menjauhkan segala sesuatu yang
Multaqi al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 27. 34 Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh (Mesir: Dâr alHilal, tt.), hlm. 18-20, dan Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 64. 35 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 140.
52
bertentangan dengan Alquran dan al-sunnah; dan (4) mendakwahkan Alquran dan al-sunnah dengan lisan dan perbuatan nyata.36 Jika Muhammad Abduh menggunakan metode salafi, maka secara metodologis dalam menjelaskan konsep dakwah menempuh empat macam kaidah metode salaf tersebut. Kemudian, dalam pernyataan tujuan dakwah yang ke dua, Muhammad Abduh menginformasikan bahwa inti pemikiran dan aktivitas dakwahnya adalah ishlâh (perbaikan) Bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu dalam kegiatan pendidikan macam-macam pidato (khithâbah), tulisan di media cetak, dan suratmenyurat. Selain itu, Muhammad Abduh juga menginformasikan pentingnya menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan pentingnya menasihati para pejabat birokrasi pemerintahan yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, Muhammad Abduh mengajukan konsep bentuk utama kegiatan dakwah menurut urutan metodisnya berupa dakwah bi ahsan al-qaul (dakwah melalui perkataan atau dengan bahasa lisan yang baik) dan dakwah bi ahsan al-‘amal (dakwah melalui bahasa perbuatan), dan beberapa macam metode pelaksanaannya dalam memperbaiki dan mencari solusi problem keumatan. Dalam merealisasikan tujuan da’wah ishlâhiyyah, Muhammad Abduh telah melakukan ishlâhiyyah pendidikan, politik, jurnalistik, hukum dan kemasyarakatan. Berikut secara singkat berturut-turut dikemukakan aktivitas ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh. 1. Ishlâhiyyah Pendidikan Dengan bekal ijazah sarjana yang telah diperoleh, pada penghujung tahun 1290H, dalam bidang pendidikan37, Muhammad Abduh dipercaya mengajar mata
36
Selanjutnya lihat Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa alJama’ah (Kairo: Dâr al-Salam, 1993), hlm. 53-56. 37 Pendidikan (al-tarbiyyah), menurut Muhammad al-Sayyid Muhammad Yusuf, dalam alTamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997), hlm. 95, merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Ia menulis: (Ia memadukan makna penyampaian, penjelasan, penghimpunan, pembangunan, pendidikan, kaderisasi, perjuangan, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran).
53
kuliah sejarah di Universitas Dar al‘Ulum dan Bahasa Arab di Alsan Khudaiwiyah, dengan tetap mengajar di Universitas Al-Azhar. Di Dar al-‘Ulum, dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan penugasan, ia mengajarkan Muqaddimah Ibn Khaldun dengan tujuan mensosialisasikan pikiran-pikirannya mengenai politik dan kemasyarakatan. Ia menugasi para mahasiswanya untuk menulis sejumlah makalah agar tertanam tradisi kritis dan pembaharuan. Dengan demikian, pikiran-pikiran Muhammad Abduh lebih diterima dan berpengaruh daripada yang lainnya.38 Namun kegiatan Muhammad Abduh tersebut mendapat gangguan tidak berlangsung lama, karena ia dikucilkan oleh pemerintah atas dasar hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani. Ia diasingkan dan diperintahkan kembali ke kampungnya sampai kemudian turun “amnesti.” Pemerintah dan Muhammad Abduh ditunjuk menjadi ketua redaksi koran resmi Al-Waqâ’i al-Mishriyah. Pada tahun 1300 H (1882 M), Muhammad Abduh dijatuhi hukuman pengasingan atas keterlibatannya dalam gerakan ‘Urabiyah, yaitu gerakan yang dipimpin oleh Urabi Pasya. Ia lalu pergi ke Syria dan tinggal di sana selama pengasingan. Dalam masa itu, ia sempat pergi ke Paris selama sepuluh bulan. Di Paris ia bersama al-Afghani menerbitkan koran Al-‘Urwah
al-Wutsqâ.
Sekembalinya ke Syria ia di tempat tinggalnya mulai mempelajari Sîrah Nabi dan membaca Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzi (544H/1150M, w. 606H/1210M). Akan tetapi ia tidak hanya membaca kitabnya melainkan ia membaca Mushaf untuk kemudian ia tafsirkan.39 Pada tahun 1303 H la diundang mengajar di pusat pendidikan Sulthaniyah di Beirut. Di sini ia melakukan berbagai perbaikan sistem dan materi pengajaran. Ia menambahkan ilmu tauhid, fiqh muamalah, sejarah, logika, retorika, dan menulis. Ia menemukan bahwa buku-buku daras kecil tentang tauhid ternyata Dan lihat Abd al-Karim Zaidan, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9 (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), hlm. 442-446. 38 Lihat William Montgomery Watt, Pundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Islamic Fundamentalism and Modernity, oleh Taufiq Adnan Amal, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 107-108. 39 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127.
54
tidak memadai dan bahwa buku-buku besar ternyata berbelit-belit dan sulit dipahami oleh mahasiswa, sementara buku-buku menengah tidak lagi mengikuti semangat zaman. Atas dasar temuan ini, Muhammad Abduh kemudian menyusun Risâlah al-Tauhîd, buku yang dipandang sebagal up-to-date.40 Ia juga menyadur kedalam Bahasa Arab buku Al-Afghani Al-Radd ‘ala al-Dahriyyîn dan membuat syarh (komentar dan pembahasan) atas buku Nahj al-Balâghah dan Maqâmât Badi’ al-Zamân al-Hamadzani.41 Ini hanya sebagian dari kegiatan ilmiah Muhammad Abduh. Adapun upaya perbaikan sistem pendidikan yang digagas Muhammad Abduh yang ia lontarkan di Suriah dan Mesir. Di Suriah ia melontarkan rancangan yang diawali dengan membagi manusia pada tiga lapisan dan menentukan bidang ilmu tertentu bagi masing-masing lapisan. Lapisan pertama terdiri dari para ahli industri, niaga, dan agraria serta orang-orang yang mengikutinya. Buku-buku keagamaan sebagai bahan-ajar bagi lapisan ini mesti disusun dengan orientasi sebagai berikut: (1) buku mengenai ikhtisar aqidah Islam yang disepakati oleh ahli sunnah dengan sedikit membahas perbedaan dan persamaan pendirian antara umat Islam dan Kristen; (2) buku ringkas mengenal halal dan haram dan warning atas bidah; dan (3) buku sejarah ringkas meliputi sejarah umum nabi, para shahabat, dan para khalifah untuk kemudian dilanjutkan dengan sejarah pemerintahan Utsmaniyah. 42 Lapisan kedua terdiri dari orang-orang yang mengabdikan dirinya pada pemerintah seperti tentara, ketua dan anggota pengadilan, dan para pengurus administrasi. Bagi mereka mesti disusun buku ajar keagamaan sebagai berikut: (1) Buku pengantar keilmuan yang mencakup bagian-bagian penting dalam bidang logika, dasar-dasar penalaran, dan sedikit etika berdebat; (2) buku aqidah yang disusun dengan argumen-rasional dan dalil qathi secara sederhana; (3) buku yang merinci halal-haram dan baik-buruk dengan penjelasan tingkat menengah; dan (4)
40
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 3. Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127. 42 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128. 41
55
sejarah agama yang meliputi sirah nabi dan shahabat serta penaklukan-penaklukan oleh umat Islam sampai masa Utsmaniyah.43 Adapun lapisan ketiga terdiri dari para ulama pakar pendidikan dan bimbingan. Bagi lapisan ketiga ini, penting untuk selalu membekali diri dan meningkatkan wawasan keilmuannya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh tidak menyebutkan buku-buku tertentu melainkan dianjurkan agar memilih bidang studi yang dapat diklasifikasi sebagai berikut: (1) bidang tafsir Al-Quran seperti tafsir Al-Kasysyaf, Al-Qumi, Al-Naisaburi, dan para penganut metodenya; (2) bidang Bahasa Arab; (3) bidang Hadits, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan alQuran dengan cara mengesampingkan hadits-hadits, dha’if; (4) bidang akhlaq dan moralitas, agama, secara detail sebagaimana dilakukan Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din; (5) bidang Ushul Fiqh, dengan buku terbaik dalam bidang ini adalah Al-Muwaffaqat karya Al-Syathibi; (6) bidang sejarah baik sejarah klasik maupun modern; (7) bidang retorika dan diplomasi; dan (8) bidang ilmu kalam dan theologi secara umum. Lapisan ketiga ini pantas dipimpin oleh Syekh Imam Muhammad Abduh dengan perhatian penuhnya pada aspek administrasi. Para dosen dan peneliti direkrut untuk masuk pada lapisan ini dengan tidak membuka pintu bagi mahasiswa kecuali setelah melalui testing yang ketat. Testing ini difokuskan pada penguasaan bidang-bidang keilmuan di atas dan penelusuran secara seksama sekitar latar belakang hidup yang mencerminkan keistimewaan dalam bidang ilmu dan amal.44 Mengenai upaya ishlâhiyyah sistem pendidikan di Mesir, dapat dirujuk upaya Muhammad Abduh yang ditujukan kepada Lord Cromer. Ia menjelaskan pentingnya upaya perbaikan sistem pendidikan dan bahwa keperluan pemerintah atas kemaslahatan manusia tidak kalah pentingnya dari kebutuhan pemerintah atas kemaslahatannya sendiri. Penguasa dan rakyat ibarat sesuatu dan alatnya. Jika 43
Lihat Yvonne Haddad, dalam Ali Rahman, Para Perintis Jalan Baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 57-60, dan Fahd, Manhaj alMadrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128. 44 Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, terj. Islam and Modernity Transformation, oleh Ahsin Muhammad, (Bandung:Pustaka Salman ITB, 1985), hlm. 81-82, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 129.
56
penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa pulpen.
Kemudian,
Muhammad Abduh
menghimbau
pemerintah
Mesir
melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut, cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala, rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya. Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya.45 Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah. Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari penyimpangan
pola
pikir
dan
penyelewengan
moralitas.
Memang
45 Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir alQuran al-Karîm, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.
57
lembaga-lembaga pendidikan asing ini cenderung dijauhi oleh kaum Muslimin Mesir.46 Universitas Al-Azhar, lanjut Muhammad Abduh, merupakan lembaga pendidikan agama, yang menarik orang-orang, baik dengan motivasi murni mempelajari ilmu agama semata-mata mengharap pahala akhirat maupun dengan motivasi meraih status sosial sebagai mahasiswa dan sarjana belaka. Apa yang disayangkan Muhammad Abduh adalah tidak adanya tata tertib sebagai pedoman pembelajaran. Para dosen tidak mempedulikan apakah mahasiswa hadir atau absen, paham atau tidak, dan berakhlaq atau tidak. Mereka mempelajari aqidah dengan metode yang cenderung jauh dari sasaran. Oleh karena itu, Muhammad Abduh berbicara tentang perbaikan pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan ini, menurutnya harus dilakukan secara bertahap. Perbaikan dipandu oleh tata tertib yang disusun dengan kaidah yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman. Diantaranya, mahasiswa wajib menghadiri kuliah dan jika tidak, ia tidak boleh meraih nilal bagus. Setiap dosen harus mengabsen mahasiswanya. Perbaikan juga diarahkan pada pemantapan kurikulum, pengayaan referensi, dan menegakkan tata tertib ujian akhir serta syarat-syaratnya.47 Muhammad Abduh juga mengupayakan ishlâhiyyah sistem pendidikan di sekolah-sekolah swasta yang diarahkan pada para tenaga ahli pengajarnya dan dilakukan secara bertahap. Untuk sekolah-sekolah formal dasar, menengah dan atas,
Muhammad
Abduh
berpendapat
perlunya
menanamkan
semangat
ishlâhiyyah sistem pendidikan pada para murid. Tujuannya adalah agar mereka mampu menggunakan apa yang mereka pelajari secara maksimal. Muhammad Abduh juga berbicara masalah tenaga pengajar dan pendidik di Universitas Dâr al-' Ulum dan prasyarat untuk pengembangannya. Ia menyarankan agar ilmu-ilmu kearaban dan keagamaan diajarkan oleh alumni Al-Azhar karena orang-orang Dâr al-' Ulum tidak mengerti agama dan Bahasa Arab. 46 Lihat Khoeruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996), hlm.11-12, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130. 47 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 131.
58
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dâr al-' Ulum dapat melepaskan diri dari Al-Azhar dengan catatan dua belas item harus dipersiapkan. Diantaranya adalah perbaikan kurikulum, membuang sebagian mata kuliah, merubah metode tafsir al-Quran, seleksi pengajar dari sisi kompetensi dan kesalehan, menunjuk penilik sekolah, mengalokasikan satu tahun masa pendidikan untuk job training mengajar, rujukan mesti terdiri dari buku-buku terbitan terbaru, dan berbagai pedoman penyelenggaraan pendidikan.48 Setelah
itu,
Muhammad Abduh
melanjutkan
ishlâhiyyah sistem
pendidikan di Al-Azhar yang ia juluki sebagai “kandang kuda,” “Rumah Sakit Jiwa,” dan “bangunan roboh.” Peluang perbaikan tersebut terbuka lebar ketika Raja Abbas II naik tahta pada tahun 1892 M. Raja Abbas yang berniat melakukan perlawanan atas penjajahan mendekati para tokoh masyarakat dan ulama, yang diantaranya adalah Muhammad Abduh. Pada kesempatan ini, Muhammad Abduh mengusulkan kepada Raja agar melakukan ishlâhiyyah Al-Azhar, badan wakaf, dan badan-badan urusan agama. Ia meyakinkan raja bahwa kemaslahatan negara, bergantung kepada kemaslahatan lembaga-lembaga tersebut. Dan hal ini merupakan jalan terbaik untuk meruntuhkan penjajahan.49 Merasa puas dengan penjelasan Muhammad Abduh, Abbas segera mengeluarkan surat keputusan pembentukan dewan pembina Al-Azhar (1312 H), yang diantara anggotanya adalah Muhammad Abduh. Abbas juga menunjuk Syekh Hasunah untuk menjadi Syekh Al-Azhar menggantikan Syekh Anbabi yang menentang kebijakan Abbas di atas. Kemudian ia segera memulai dengan perbaikan sarana, hardware dan software: melengkapi alat penerangan masjid, menugaskan dokter, membuka apotek, dan membangun fasilitas olah raga, khusus bagi Al-Azhar. Ia juga menetapkan masa studi, evaluasi tahunan, dan pembekalan bagi para alumni. la juga mengganti buku-buku yang kurang relevan dengan buku-buku kontemporer yang penting. Masa studi ilmu-ilmu praktis seperti fiqh 48 Lihat John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, hlm. 230, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132. 49 Lihat Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 483, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.
59
dan tafsir ditetapkan lebih lama daripada ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Dalam kurikulum juga ditambahkan ilmu akhlaq, sejarah, tata negara, ilmu-ilmu pasti, dan perubahan-perubahan penting lainnya.50 Pada tahun 1323 H, Muhammad Abduh mengakhiri kegiatan ishlâhiyyah di Al-Azhar, yang merupakan rangkaian akhir dalam perjuangan ishlâhiyyah sistem pendidikan. Tak lama berselang, ia kemudian meninggal dunia, yaitu pada tanggal 11 Juli tahun 1905M akibat penyakit kanker yang dideritanya.51 Sepanjang karir kehidupan Muhammad Abduh, ishlâhiyyah sistem pendidikan merupakan tema perjuangannya yang paling penting. Hal ini merupakan “tujuan agung” yang senantiasa menyedot perhatian dan pikiran Muhammad Abduh. Menurutnya, kebangkitan Islam tidak mungkin mewujud kecuali dengan perombakan sistem pendidikan. Ia dalam hal ini berbeda pendapat dengan gurunya Al-Afghani. Gurunya ini berkeyakinan bahwa jalan menuju kebangkitan Islam adalah “gerakan politik.” Dengan demikian, gerakan dakwah Muhammad Abduh berciri khas ilmiah sedangkan dakwah Al-Afghani bercorak politis. Namun demikian, Muhammad Abduh juga tidak berarti tanpa memiliki semangat politik, sebagaimana kecenderungannya mendukung Al-Afghani.52 Dalam bidang tafsir, Muhammad Abduh bermaksud menghindarkan tafsir Al-Quran dari segala hal yang bersifat israiliyyat, hadits maudhu, khurafat, berkutat dalam hal nahwu, reduksi makna, penjelasan istilah yang berbelit-belit, pertikaian ilmu kalam, ketetapan-ketetapan ushul fiqh, kesimpulan-kesimpulan fiqh yang berbau taqlid, tawil kaum sufi, fanatisme golongan, terlalu banyak cerita, ilmu pasti dan ilmu alam.53 Tentu saja membersihkan tafsir-tafsir lama dari hal-hal di atas bukan merupakan pekerjaan mudah. Produk tafsir yang sudah ada saat itu begitu banyak 50
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 60. 51 Lihat Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm. 40. 52 Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan,, hlm. 57 53 Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 26-29
60
sehingga memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Oleh karena itu, ia membiarkan khazanah lama ini apa adanya dengan nuansanya yang khas. Sementara itu, ia menyusun tafsir percontohan sebagai pilot project bagi generasi yang ada dan generasi selanjutnya. Muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha lalu mengusulkan kepada Muhammad Abduh untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Muhammad Abduh mengabulkan usul tersebut dengan mulai mengajar di Al-Azhar pada Muharram 1317H dan berakhir pada tahun 1323 H pada, tafsir ayat Wa Kâna al-Lâh bi Kulli Syai-in Muhîthâ, yaitu Q.S. Al-Nisa (4): 126. Ini merupakan lima jilid pertama dalam Tafsîr al-Qur'ân al-Hakîm yang dikenal pula dengan nama Tafsir AlManâr. Sampai ayat ini, Muhammad Abduh kemudian meninggal dunia. Metode Muhammad Abduh dalam mengajar tafsir adalah berkonsentrasi pada aspek-aspek yang tidak atau kurang mendapat perhatian dalam tradisi tafsir. Sedangkan cerita-cerita yang tidak didasari oleh dan tidak berdasar pada ayat-ayat al-Quran, ia mengkritiknya atau meninjaunya dari perspektif Wahyu. Sebelum menyampaikan dan menulis gagasan ini, sebenarnya Muhammad Abduh telah membuat tafsir. Ia telah menyusun tafsir Juz ‘Amma khusus untuk para pelajar AlJam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah. Ia juga, menulis tafsir Surah Al-„Ashr yang ia presentasikan di Aljazair. Lalu ia menyebarkannya dalam majalah AI-Manar dan menerbitkannya secara terpisah yang berbeda dengan tafsirnya dalam Juz „Amma.54 2. Ishlâhiyyah Sistem Politik Memang salah satu tujuan perjuangan hidup Muhammad Abduh adalah ishlâhiyyah politik.55 Ini tergambar dari ucapannya bahwa ”masih ada persoalan lain dalam rangka dakwahku, sementara tak ada seorang pun yang hirau akan masalah itu untuk memikirkannya. Masalah tersebut adalah masalah prinsip yang 54
Lihat J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), oleh A. Niamullah Munir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 131. dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143-144 55 Menurut Muhammad Al-Ghazali, aktivitas politik termasuk bagian dari aktivitas dakwah. Pendapatnya ini dimuat dalam karyanya Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât (Mesir: Matbaah Hasan, 1981), hlm. 354-355.
61
tatanan hidup sosial bergantung kepadanya.” Lalu ia menjelaskan aspek dakwah tersebut dengan berkata: “yaitu memperjelas bahwa kewajiban rakyat tunduk pada pemerintah dan kewajiban pemerintah adalah mewujudkan keadilan bagi rakyat.” la menyebut dakwahnya ke arah itu sebagai “dakwah terbuka.” Mengenai negerinya, Muhammad Abduh melukiskan bahwa “tirani sudah merajalela dan kezhaliman telah mencengkeram negeri ini.” Sebagai seorang pengemban amanat dakwah seperti ltu, Muhammad Abduh berterus terang bahwa, “memang saya bukan seorang imam panutan, bukan pula seorang pimpinan yang patut dipatuhi. Saya hanya berperan sebagal „ruh (inti) dakwah tersebut.”56 Dakwah Muhammad Abduh ini semakin menyala ketika ia bergabung bersama Al-Afghani, yang membuatnya semakin ekstensif dan intensif. Hubungan dengan Al-Afghani ini agak terhambat ketika ia dicekal atas keterlibatannya dalam kegiatan dakwah tersebut dan ia tidak boleh meninggalkan negerinya. Ketika Muhammad Abduh mendapat ampunan dan kembali aktif dalam gerakannya, ternyata sudah ada suatu gerakan menentang penjajahan yang dipimpin oleh Urabi Pasya pada tahun 1881M. Gerakan ini diilhami di antaranya oleh semangat Al-Afghani terdahulu. Muhammad Abduh menolak dianggap memiliki hubungan dengan gerakan ini bahkan ia menyerukan orang-orang agar berhati-hati dengan gerakan ini. Ia juga mengungkapkan keborokan para pemimpin gerakan ini, sehingga Urabi Pasya mengutus seseorang yang kemudian mengancam Muhammad Abduh.57 Rasyid Ridha membela Muhammad Abduh, yang menolak gerakan ini sementara ia termasuk pendukung ishlâhiyyah politik, dengan argumen bahwa Muhammad Abduh menempuh jalan kompromi dengan pemerintah bukan dengan. konfrontasi. Namun demikian, ketika gerakan ini mendapat sambutan masyarakat dan memukul mundur armada Inggris di Iskandariyah, Muhammad Abduh segera bergabung dengan gerakan ini. Setelah melakukan pemberontakan bersama gerakan ini, Muhammad Abduh kemudian diasingkan selama tiga tahun. Ia lalu 56
Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh, hlm. 20, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133. 57 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.
62
pergi ke Syria dan kemudian ke Paris sampai ia bertemu dengan Al-Afghani di sana. Mereka bersama-sama menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqâ yang berisi serangan
atas
penjajahan
Inggris,
pikiran-pikiran
Al-Afghani,
dan
gagasan-gagasan Muhammad Abduh.58 Al-‘Urwah al-Wutsqa ternyata berusia pendek. Ia berhenti beredar sejalan dengan putusnya hubungan antara Afghani dan Muhammad Abduh. Di satu pihak, Afghani berpendapat bahwa gerakan pemberontakan sebagai manifestasi perjuangan politik masih tetap relevan. Di pihak lain, Muhammad Abduh menganggap gerakan politis itu sudah cukup dan sudah saatnya diganti dengan gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata kepada Afghani, bahwa saya berpendapat kita mesti meninggalkan gerakan politik. Kita mesti memasuki wilayah tertutup yang tidak diketahui seorang pun. Kita rekrut sepuluh orang atau lebih pemuda potensial yang cerdas dan bermental sehat. Kita didik mereka dengan cara kita dan kita arahkan mereka pada tujuan kita. Yang sepuluh itu kemudian kita minta masing-masing mendidik sepuluh orang lain, sehingga dalam tempo beberapa tahun kita akan memiliki seratus orang pimpinan terdidik yang dapat memimpin perjuangan ishlâhiyyah. Dari orang-orang seperti itulah akan muncul harapan masa depan yang membahagiakan.59 Terhadap pernyataan tersebut, Afghani kemudian menjawab: “Kamu itu baru berencana, sedangkan kami sudah bergerak melangkah. Dan kita harus terus bergerak selagi ada kesempatan.” Karena perbedaan pandangan ini, mereka lalu berpisah. Muhammad Abduh lantas pulang ke Syria. Hubungan antara, guru dan murid ini kian bertambah buruk ketika Muhammad Abduh menulis surat kaleng kepada Afghani. Surat tersebut memuat cercaan pada orang-orang tertentu dengan tanpa disebut namanya. Afghani sangat marah atas surat tersebut. Ia kemudian menulis surat balasan kepada Muhammad Abduh.
58 58
Lihat HAMKA, Sa’id Djamaluddin al-Afghany, hlm. 100-101 dan Fahd, Manhaj alMadrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133. 59
Lihat Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 61-62, dan Fahd, Manhaj alMadrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134
63
Surat itu diawali dengan mendoakan Muhammad Abduh agar memiliki ketetapan hati, Afghani menulis dalam surat ini, bahwa Anda menulis surat dengan tidak membubuhkan tanda tangan (surat kaleng) dan anda telah merintis jalan berliku....Sungguh anda sedang berada dalam bahaya besar. ...Sementara di depan anda maut menghadang. ...Kewaspadaan anda tak akan mampu menyelamatkan anda dari bahaya tersebut dan rasa takut anda tak akan meloloskan anda dari maut. Janganlah anda memojokkan diri anda sendiri. Jadilah filosof yang tampak „alim dan jangan jadi anak kecil yang berkeluh kesah. ... Semoga Allah menguatkan hati anda.60 Muhammad Abduh terus menempuh perjuangan ishlâhiyyah pendidikan. Ia kian merasa tidak suka atas gerakan politik Afghani dan metode perjuangan Afghani dengan mempersalahkan para kaum cendekiawan Muslim yang bermaksud membela Islam dengan jalan politik.61 Rasa benci Muhammad Abduh akan politik ini ditunjukkan dalam sikapnya bahwa perlu mencabut penguasaan agama dalam proses berpolitik yang tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan kemajuan urusan duniawi demi kemaslahatan umat.62 Apa yang kemudian bisa kita katakan adalah bahwa Muhammad Abduh memang meninggalkan politik, tapi sebenarnya politik itu sendiri tidak meninggalkan Muhammad Abduh. Politik tetap saja menyita perhatian Muhammad Abduh dan Muhammad Abduh seolah-olah menjadi kendaraan politik yang disadari atau tidak, ternyata telah menguntungkan Inggris. Atas dasar ini Lord Cromer berkata: “Signifikansi politis Muhammad Abduh terletak pada kenyataan bahwa ia memperpendek jurang perbedaan antara Barat dan umat Islam. Ia dan murid-murid sekolahnya juga layak menerima setiap bantuan dan dukungan yang mungkin diberikan pada mereka. Dengan demikian, mereka dipandang sebagai sekutu bagi para pemikir Eropa.”63 60
Lihat Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, hlm. 27-28. Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134. 62 Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islam wa alNashraniyah fi al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf dan A. Bakar Usman, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 83-89. 63 Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135. 61
64
Sikap dan perilaku politik Muhammad Abduh ditunjukkan dengan diangkatnya menjadi anggota dari Majelis Syuro (Dewan Legislatif Mesir) pada tahun 1899. Sebagai orang bukan asing dalam bidang politik, Muhammad Abduh turut menentukan jalannya kegiatan legislatif, dan ia berhasil mengharmoniskan komunikasi politik antara legislatif dengan pemerintah dalam wujud kerjasama yang signifikan, yang sebelumnya sering terjadi konflik di antara kedua lembaga politik tersebut. Muhammad Abduh terjun di bidang politik ini dalam upaya mendidik rakyat Mesir memasuki kehidupan politik demokratis yang didasarkan atas musyawarah.64 3. Ishlâhiyyah Jurnalistik Muhammad Abduh juga menekuni jumalistik.65 Ia mengawali kegiatan jumalistiknya dengan menulis pada koran Al-Ahram, kemudian pada majalah AlTijârah dan Mishr, dengan mendapat dukungan dari gurunya, Al-Afghani,66 yang memiliki saham atas penerbitan kedua majalah tersebut. Kedua majalah tersebut dan majalah-majalah lain di Mesir, seperti Mir-ah al-Syarq, mengikuti isyarat Al-Afghani.67 Setelah Al-Afghani diasingkan dan Muhammad Abduh mendapat ampunan, setelah beberapa lama ia tidak mengajar, Muhammad Abduh dipercaya untuk menjadi redaktur koran Al-Waqa’i al-Mishriyah, yaitu koran resmi. Sebenarnya, dengan penugasan ini, mereka menginginkan agar Muhammad Abduh berhenti dari gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Namun, setelah terpilih menjadi ketua redaksi, Muhammad Abduh kemudian merubah pola dan standarnya sehingga ia menjadikannya sebagai “mimbar” untuk menyebarkan. pikiran dan gagasannya. Ia memilih beberapa anggota redaktur yang kompeten. Ia kemudian mendesak seluruh administrasi pemerintah untuk menulis laporan di koran tersebut mengenai kegiatan mereka yang sudah rampung atau yang belum 64
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi rasional Mu’tazilah, hlm. 22-23. Jurnalistik ini termasuk bagian dari aktivitas tabligh Islam, dan tabligh Islam merupakan bagian dari bentuk utama dakwah bi ahsan al-qaul. Selanjutnya lihat Abdul Latif Hamzah, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 14-15. 66 Lihat Albet Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 138 dan Fahd, Manhaj alMadrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135. 65
65
beres. Ia juga menekankan bahwa pers memiliki hak untuk mengkritik aktivitas dan laporan pemerintah. Ia juga menuntut hak pengawasan atas terbitan-terbitan lain mengenai kritikan yang mereka sebarluaskan. Jika kritikan itu benar adanya, orang yang bersalah mesti diberi sangsi, sedangkan jika kritikan itu bohong belaka, pimpinan redaksi harus diperingatkan. Jika mengulangi kesalahan sampai tiga kali, terbitan yang bersangkutan harus dilarang terbit sama sekali atau ditangguhkan izinnya. Ia juga meminta hak untuk membuat kolom informal yang di dalamnya Ia dapat merilis karya-karya sastra yang ia pandang bermanfaat.68 Oleh karena itu, koran Al-Waqâ’i al-Mishriyah memiliki posisi penting dalam menyebarkan pikiran-pikiran Muhammad Abduh, yang ikut mendorong meletusnya pemberontakan Urabiyah dan Muhammad Abduh lalu diasingkan. Ia kemudian menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqa bersama Al-Afghani. Sebagaimana telah disinggung, gaya bahasa Al-‘Urwah al-Wutsqa ini adalah gaya bahasa Muhammad Abduh namun pikirannya adalah pikiran Al-Afghani. Al-„Urwah al-Wutsqa ternyata memiliki peran besar dalam menentang penjajahan Inggris. Muhammad Abduh kemudian kembali ke Suriah dan ia bekerja sama dengan pers Suriah seperti koran Tsamarat al-Funun di Beirut. Setelah kembali ke Mesir, ia diajak oleh muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha, untuk menerbitkan majalah. Muhammad Abduh mengizinkan dan bekerja sama untuk menerbitkannya dengan nama, Al-Manâr yang berorientasi pada masalah-masalah tertentu. Dengan Al-Manâr, ia menyebarkan berbagai kajian, informasi, dan tafsir al-Quran. 69 4. Ishlâhiyyah Hukum dan Kemasyarakatan Muhammad Abduh juga melakukan ishlâhiyyah dalam bidang hukum syariat. Muhammad Abduh diminta oleh pemerintah untuk menjelaskan
67
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135. Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 137. 69 Lihat Albert Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139 dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135, dan lihat pula Albert 68
66
pandangannya dalam hal perbaikan sistem hukum Islam. Ia lalu menuliskan pandangannya dalam 83 halaman tulisan. Diantara usulnya yang terpenting adalah memperluas wilayah khusus penerapan hukum Islam dalam sistem hukum nasional, menghilangkan monopoli madzhab hanafiyah, membentuk majlis ulama yang berwenang menetapkan buku fiqh muamalah yang cocok untuk zaman,70 memperbaiki citra hakim dengan meningkatkan sarananya, gajinya, memberinya kebebasan berpendapat, dan mendukung penerapan keputusannya. Upaya ishlâhiyyah bidang hukum tersebut dilakukan pada tahun 1899 M ketika Muhammad Abduh diangkat menjadi mufti Mesir, merupakan jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syariat untuk seluruh Mesir. Sebab, fatwa atau ketentuan yang diberikan mufti memberi sifat mengikat, fatwa yang dilakukannya bukan hanya untuk keperluan resmi Mesir, tetapi juga untuk kepentingan umum. Sebagai seorang ulama, Muhammad Abduh memperlihatkan kesanggupan dan keberaniannya dalam mengadakan ijtihad, fatwa hasil ijtihadnya menggambarkan ketidakterikatan pada pendapat-pendapat ulama masa-masa sebelumnya. Misalnya, Muhammad Abduh menghalalkan hewan sembelihan orang Nasrani dan Yahudi sebagai ahli kitab bagi umat Islam, fatwa ini mengundang reaksi keras dari para ulama pada zamannya.71 Dalam hal ishlâhiyyah sosial, Muhammad Abduh bersama sejumlah kawannya mendirikan Jam’iyyah al-Khairiyah al-Islamiyah. Dialah yang menyusun AD-ART dan programnya. Tujuan organisasi mi adalah mendidik anak-anak keluarga miskin. Pendidikan difokuskan pada aqidah, akhlak, dan amal ibadah. Mereka juga dibantu mendapatkan mata pencaharian.72 Berkenaan dengan ini, Muhammad Abduh telah menafsirkan Juz ‘Amma untuk pegangan para siswa. Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139. 70 Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142. 71 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 2122. 72 Basam Tibi menilai apa yang diupayakan Muhammad Abduh merupakan bentuk modern dari revivalisme Islam. Lebih lanjut lihat karyanya Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Islam and Cultural Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 34-35, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah alHadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142.
67
Pada awalnya ia bermaksud melanjutkannya dengan Juz Tabârak73 namun ia wafat sebelum niatnya kesampaian. Semangat organisasi ini berpengaruh luas dan menghasilkan banyak sekolah yang memberi andil besar bagi pendidikan. Muhammad Abduh juga mendirikan lembaga penerbitan buku-buku Arab. Organisasi ini mencetak sejumlah buku keagamaan dan kearaban. Muhammad Abduh
sendiri
menulis
program
renovasi
masjid-mesjid
dan
dewan
pengembangnya, seperti imam, muadzin, khadam, penasihat, dan qari. Sebagian program ini terlaksana sementara sebagian lain tidak. Mengacu pada uraian riwayat hidup Muhammad Abduh yang telah dikemukakan, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan deskriptif bahwa Muhammad Abduh lahir dari lingkungan keluarga yang taat beragama dan mementingkan pendidikan bagi keluarganya. Muhammad Abduh sejak usia remaja telah menunjukkan sikap kritisnya atas segala situasi dan kondisi lingkungan sosial pada zamannya. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan lingkungan sosial politik dan kultural Mesir dan pelajaran yang dikajinya banyak berkaitan dengan pentingnya menggunakan potensi akal dalam memahami berbagai obyek kehidupan sosial keagamaan. Muhammad Abduh telah menunjukkan kiprah dakwah ishlâhiyyah dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran, metodologi tafsir al-Qur'an, kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik Islam, hukum dan kemasyarakatan. Upaya ishlâhiyyah ini dilakukan guna membangkitkan umat Islam dari kejumudan berpikir rasional, menentang taklid dan memajukan budaya akademik dan kehidupan masyarakat Muslim pada zamannya. Terhadap ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh terdapat kelompok yang pro dan kelompok yang kontra. Walaupun demikian, pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh telah membawa
pengaruh
besar
bagi
generasi
berikutnya,
terutama
dalam
menghidupkan kembali tradisi penalaran rasional. Mengenai pengaruh Muhammad Abduh ini, Harun Nasution meyakini bahwa, 73
pendapat-pendapat
dan
ajaran-ajaran
Muhammad
Abduh
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143.
telah
68
mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, terutama dunia Arab melalui karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri, dan melalui tulisan-tulisan muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha dengan Majalah Al-Manâr dan Tafsir Al-Manâr, Kasim Amin dengan buku Tahrîr al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan Dâirah al-Ma’ârif, dan karangan-karanga yang lain. Syekh Tanthawi Jauhari dengan al-Tâj al-Murshih bi jawâhir al-Qurân wa al-’Ulum, kaum intelek atasan Mesir seperti Muhammad Husein Haikal dengan bukunya Hayâh Muhammad, Abu Bakar, dan sebagainya, Abbas Mahmud al-„Aqad, Ibrahim A. Kadir alMazin, Mushthafa Abd al-Raziq, Ali Abd al-Raziq, dan tak boleh dilupakan Saad Zaghlul sebagai bapak kemerdekaan Mesir. Karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri telah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki, Urdu, dan Indonesia.74 Akbar S. Ahmed mengakui bahwa, Muhammad Abduh adalah bapak modernisme Arab dan rektor Al-azhar, dan muridnya Rasyid Ridha awal abad ini, merupakan tokoh modernis arab yang berpengaruh.75 Sedangkan Azyumardi Azra menilai bahwa, Muhammad Abduh pada tingkat pemikiran adalah modernis, tetapi pada level keagamaan adalah revivalis.76 Pemikiran modernis Muhammad Abduh dicirikan antara lain dengan pandangannya mengenai pentingnya menggunakan akal (rasio) dalam memahami ajaran Islam dan realitas kehidupan, percaya akan adanya sunatullah, dan tidak menolak sains modern. Sedangkan keagamaan yang revivalis Muhammad Abduh ditunjukkan dengan perjuangan dakwahnya dalam mengembalikan kehidupan kepada sumbernya yang utama yaitu al-Quran.
74
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 68. Lihat Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 45. 76 Lihat Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 183. 75
BAB III HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN DAN UNSUR DAKWAH A. Hakikat Dakwah Secara metodologis, Muhammad Abduh dalam menjelaskan hakikat dakwah dapat dikategorisasikan pada pendekatan qishmah tafshiliyah1, al-dilâlah al-muthâbaqiyyah 2 dan al-dilâlah lainnya, yang menurut Rasyid Ridha digunakan sesuai peruntukannya, pada suatu saat Abduh menjelaskan sesuatu dengan menyebutkan
akibatnya
(al-malzûm) dan
pada
saat
lain
menyebutkan
penyebabnya (al-lâzim), sebab menjelaskan sesuatu itu mesti menurut konteksnya, hal ini dikemukakannya ketika Abduh menjelaskan karakteristik ilmu shahih, yaitu ilmu yang menjadi sifat pemiliknya, melekat kuat dalam jiwanya dan merealisasikannya dalam perbuatan. Kemudian Abduh
sendiri,
memberitahukan pendekatannya
dalam
menjelaskan sesuatu itu ketika menafsirkan Q.S. al Fâtihah ayat ke-5 tentang ibadah sebagai kritik Abduh kepada para mufassir lain bahwa, kebanyakan dari mereka menafsirkan sesuatu itu hanya dengan bagian akibat-akibatnya, mendefinisikan sesuatu hanya dengan al- tarîf bi al-rasam, bahkan ada yang hanya dengan al-tarîf bi al-lafdz, dan dengan kata-kata yang dianggap mendekati makna sesuatu yang dijelaskan. Oleh karena itu, menurut Abduh mestinya dalam menjelaskan sesuatu itu bukan hanya dengan menggunakan cara penalaran membuat
tarîf, tetapi mesti memperhatikan shiyâq al-kalimah (struktur
konotatif) dalam Al-Qurân asâlib al lughah (struktur gaya bahasa) dan 1
Qishmah tafshiliyah (taksonomis) yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep tarif merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al Sayyid al Jalind dan Al Sayyid Riziq al Hijr, Dirâsat fî al Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al Zahra, tt) hlm. 92-93. Pendekatan taksonomis merupakan bagian dari implementasi kerja akal yang dikaji dalam manthiq. Term-term lainnya yang digunakan Abduh dalam penafsirannya dijelaskan ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 7, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang kafir. Lihat AlManâr, jilid I, hlm. 144-145, teks data lamp.No 2.1 2 Al-dilâlah al- muthâbaqiyyah (signifikansi sempurna) yaitu “term yang menunjukkan makna dengan sempurna.” Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi, (Jakarta: FPS IAIN SYAHIDA, 1995), hlm. 23.
70
memperhatikan istimâl al „arab (pengguna pemilik bahasa). Walaupun demikian, Abduh sendiri mengakui menggunakan metode al-dilâlah al- muthâbaqah, aldilâlah al-tadhamun, dan al-dilâlah al-iltizâm. Sebab semuanya ini termasuk cara kerja akal dalam memahami ma qul (objek yang dipahami).3 Ketika menjelaskan hakikat dakwah, Muhammad Abduh menggunakan pendekatan qishmah tafshiliyah (taksonomis), yaitu menjelaskan hakikat dakwah langsung mengacu pada proses dakwah yang dipilah dan dibagi dengan menekankan pada interaksi dâ i dengan madu yang berbeda lingkungan dan kualitas keberagamaannya. Sebelum memaparkan hakikat dakwah secara taksonomis, Muhammad Abduh terlebih dahulu menjelaskan bahwa Q.S. Ali Imran:104, memuat dasar hukum dakwah dengan dua kategori hukum, yaitu fardhu 'ain dan fardhu kifâyah. Bagi yang pertama, jika kedudukan kata " "منdalam ayat tersebut sebagai bayâniyah (penjelasan) dan yang kedua jika kata " "منsebagai ba'dh (sebagian). Ayat itu juga memuat perintah umum seperti halnya keumuman kandungan Q.S. al-'Ashr. Oleh karenanya, al-tawâshi mencakup amar ma'rûf dan nahy munkar. Pemahaman ini juga oleh Muhammad Abduh dihubungkan dengan Q.S. alMâ'idah:78-79 tentang kisah Bani Israil yang dilaknat oleh Allah SWT lantaran meninggalkan nahy munkar sebagaimana diserukan oleh Nabi Dawud A.S dan Nabi Isa A.S. 4 Dakwah kepada al-khayr, amar ma'rûf, dan nahy munkar terdiri dari beberapa martabat, yaitu: martabat pertama, dakwah kepada al-khayr yang ditujukan untuk seluruh umat oleh komunitas muslim (hâzih al-ummah) agar mereka secara bersama-sama hidup dalam suasana cahaya petunjuk al-khayr. Dakwah martabat pertama ini berlaku secara universal, yaitu dakwah yang dilakukan oleh para nabi Allah kepada umatnya masing-masing pada zamannya. 3
Lihat Al-Manâr, jilid I, hlm. 56 dan 74. Untuk memahami lebih lanjut term-term manthiqiyah
yang dikemukakan Muhammad Abduh ini, lihat Said al-Taftazani, Syarh al-khabisiala Tahdzib al-Manthiq, (Mesir: Maktabah Muhammad Ali Shabih, 1965),hlm. 30-32. 4 Lihat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî Tafsîr Al-Manâr, cet. Ke dua, jld. IV (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 26-27. penjelasan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran QS. Ali Imran ayat 104. selanjutnya disebut Al-Manâr disertai sebutan jilid dan halamannya.
71
Hal ini didasarkan pada makna al-khayr sebagai al-islâm yang berintikan ajaran mengesakan Allah. Berdasarkan pada martabat dakwah pertama ini, menunjukkan adanya kewajiban mendakwahi manusia kepada al-islâm, dilanjutkan dengan kewajiban amar ma'rûf dan nahy munkar sebagai proses pembinaan dan pemeliharaan kesatuan umat, serta mencegah dari perpecahan internal umat. Dengan demikian, terjadilah suasana umat yang terdidik jiwanya, saling tolong menolong, kebersamaan, terhindar dari kedengkian dan kezaliman.5 Martabat kedua adalah dakwah di kalangan umat Islam dengan mengajak kepada al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar. Hal ini masih bersifat umum. Oleh karenanya, bagi martabat kedua ini memiliki dua jalan (tharîqâni), yaitu: pertama, al-da'wah al'âmmah bi al-kulliyah (tablîgh Islam) berupa menjelaskan (bayân) jalan-jalan al-khayr dan mengimplementasikannya (tathbîq) dalam kehidupan empiris mad'u. Selain itu, juga membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl)
yang
berpengaruh pada
kondisi
psikologis
mad'u
dengan
mempertimbangkan kondisi objektif mereka. Bagi dakwah jalur ini mesti dilakukan oleh da'i yang memiliki kedalaman pemahaman hukum Islam dan hikmahnya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Q.S. al-Taubah:122 tentang kewajiban memperdalam agama Islam dan memberikan peringatan kepada umat. Dengan demikian, karakteristik dakwah ini merupakan upaya implementasi hukum-hukum Allah SWT dalam mewujudkan kemaslahatan umat Islam yang berlaku di setiap waktu dan tempat.6 Sedangkan jalur kedua dari martabat dakwah kedua adalah al-da'wah al'juziyyah al-khâshah (dakwah partikular) berupa menunjukkan (al-dilâlah) kepada al-khayr, memotivasi (al-hats) kepada al-khayr, mencegah (al-nahy) dari segala keburukan dan menghindarinya (al-tahzîr), dan saling berwasiat dengan kebenaran (al-haq) dan kesabaran. Aktivitas dakwah ini berlangsung antarindividu internal umat Islam yang sudah saling mengenal.7
5
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27-28. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. 7 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, teks data catatan kaki no 5, 6, 7 dan 8 lihat lamp. no 2.2 6
72
Dalam paparan hakikat dakwah secara taksonomis di atas Muhammad Abduh tidak menjelaskannya dengan pendekatan lughawî8 terlebih dahulu, tetapi langsung menyebutkan adanya martabah dawah (peringkat dakwah) yang terdiri dari dua macam martabat. Penyebutan adanya dua martabah dawah dalam penjelasan hakikat dakwah oleh Muhammad Abduh ini, jika dibaca menurut teori lingkup komunikasi9 dapat dipahami sebagai konteks dakwah atau level dakwah. Level dakwah pertama dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat unsur dakwah yaitu: umat muslim (hâdzihi al-ummah) sebagai dai, semua umat (sâir al-umam) sebagai madu, al-khayr (al-islâm) sebagai materi atau pesan, alislâm ini merupakan agama Allah yang disampaikan lewat lisan semua nabi-Nya kepada
seluruh
umat
manusia,
berintikan
memahaesakan
Allah
dan
mengembalikan egoisme diri pada hukum-Nya. Disini, Muhammad Abduh tidak menyebutkan unsur metode dan media dakwah, walaupun demikian secara iltizâmiyah dapat dipahami dari kalimat “lewat lisan semua nabi” bahwa unsur media dapat berupa bahasa lisan dan perbuatan, sedangkan unsur metode dapat dipahami dari penjelasan berikutnya. Penjelasan level dakwah pertama ini dapat dikategorikan sebagai tablîgh islam atau dakwah publik, namun demikian Muhammad Abduh masih menambah penjelasan level dakwah pertama ini, yaitu bahwa dai sebagai ummah wasatha (umat pilihan) dan sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang diperintahkan untuk melaksanakan amr maruf, nahy munkar, dan berperang ketika umat ini sudah memiliki makânah (keberdayaan) yang sebelumnya wajib menegakkan shalat dan
8
Secara lughawî term da wah yang dalam bentuk fi il madhinya da â memiliki banyak arti, yaitu: (1) thalaba (meminta), (2) ihtâja (membutuhkan), (3) wajada (menemukan), (4) shâha (menyeru dengan suara keras), (5) nidâ (menyeru), (6) istaâna (memohon pertolongan), (7) nadaba (menetapi), (8) raghiba (menginginkan atau menghindari), (9) ibtahala (memohon dengan rendah diri), (10) raja (mengharap), (11) samâ (menamai), (12) nashaha (menasehati), (13) hatsa (menghimbau), (14) saqâ (menggiring), (15) banâ (membangun), (16) hadama (merobohkan), dan (17) sababa (menyebabkan). Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu jam al-Wasîth, jld. I (Mesir: Dâr alMaârif, 1972), hlm. 286-287. 9 Kategori konteks diajukan oleh Stephen Little John, menurutnya konteks komunikasi terdiri: interpersonal group, organisasional dan massa. Lihat Stephen Little John, Teories of Human Communication (California: Wadsworth Publishing, 1989), hlm. 152. Sedangkan menurut Larry Barker level komunikasi terdiri dari: intrapersonal, interpersonal, group kecil, publik, organisasional dan massa. Lihat Larry Barker, Communication, (New Jersey: Prentice-Hall Inc; 1984), hlm.16.
73
menunaikan zakat. Penjelasan Muhammad Abduh ini didasarkan pada Q.S. al-Hajj:41, tambahan penjelasan Muhammad Abduh ini dapat dikategorikan sebagai dawah bi ahsani al-amâl, dawah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat) dan sebagai dakwah organisasional. Macam kegiatan dakwah ini dilakukan setelah madu
menerima Islam melalui tablîgh Islâm sebagai tahapan dalam
berdakwah.10 Masih dalam level dakwah pertama, Muhammad Abduh melanjutkan penjelasannya mengenai fungsi amr marûf dan nahy munkar, yaitu sebagai upaya memelihara kesatuan umat dan mencegah perpecahan umat, sebab hanya dengan kesatuan umatlah kekuasaan atas umat lain dapat diwujudkan, sehingga upaya pendidikan dan pembinaan kejiwaan umat bisa dilakukan, penyakit egoisme individu dapat dimusnahkan, kedengkian dan kedzaliman di tengah-tengah umat berubah menjadi saling tolong menolong dan bersatu padu dalam melakukan tugas yang mulia dengan penuh kesadaran. Penjelasan Muhammad Abduh ini dapat dikategorikan sebagai fungsi dawah jamaah (dakwah organisasional). Level dakwah kedua dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat unsur dakwah, yaitu sebagian muslim sebagai dai, sebagian muslim lain sebagai madu, yang diantara mereka saling menyeru kepada al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan, saling memerintah kepada yang marûf dan saling mencegah dari yang munkar. Level dakwah kedua ini masih tampak bersifat umum, dan Muhammad Abduh membaginya menjadi dua jalur atau saluran (thâriqâni). Jalur pertama disebut aldawah al-„âmmah al-kulliyyah (dakwah “universal” atau saluran “media massa”) dan jalur kedua disebut al-dawah al-juziyyah al-khâshshah (dakwah “parsial” atau saluran “interpersonal”).11
10
Kajian mengenai tabîigh islam lebih lanjut lihat Abd al-Lathif Hamzah, al-„Ilâm fi Shadr Islâm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1989), hlm. 104-133. Sedangkan konsep makanah, lihat kajian Muhammad al-Sayid Muhammad Yusuf, al-Tamkîn bi al-Ummah al-Islâmiyah fi Dhaui alQurân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997) hlm 14-94. 11 Saluran “media massa” antara lain dicirikan tidak bertatap muka, dan saluran ”interpersonal” melibatkan tatap muka. Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Memasyarakatkan Ide-ide Baru, terj. Communication Of Innovations, oleh Abdillah Hanafi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), hlm. 118-119, dan lihat Ibrahim Imam, Ushûl al-„Ilâm alIslâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 4-56.
74
Bagi jalur pertama dijelaskan Muhammad Abduh dengan terlebih dahulu memberikan contoh “seperti pelajaran ini” (ka hâdza al-dars), yaitu dakwah dengan menjelaskan (bayân) ragam jalan kebaikan, mengaplikasikannya (tathbîq) dalam berbagai situasi kehidupan manusia, dan membuat beragam perumpamaan (al-amtsâl) yang membekas dalam jiwa (al-nufûs), sehingga orang yang mendengarnya dapat memetik pelajaran dari perumpamaan itu menurut situasi dan kondisi masing-masing. Lalu menurut Muhammad Abduh, dakwah jalur ini mesti dilakukan oleh da i al-khawwash al-ummah (“komunitas khusus”) yang memiliki pengetahuan mendalam tentang rahasia hukum, hikmah agama Islam, dan hukumnya. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Tawbah:122, yang memuat perintah bahwa mesti ada sekelompok (thâifah) yang menekuni pemahaman mendalam (tafaquh) mengenai agama Islam, untuk kemudian memberikan peringatan kepada masyarakatnya saat pulang ke tempat asal mereka. Secara spesifik da i komunitas khusus ini sesuai dengan kemampuan dan kepemilikan ilmunya melakukan dakwah berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukumhukum Allah Taâla untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya pada setiap zaman dan tempat. Dakwah jalur pertama dari level dakwah kedua itu, dapat dikategorikan sebagai dakwah publik atau tablîgh bi al-khithâbah dan dakwah organisasional atau dawah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat) yang berlangsung di kalangan internal umat muslim. Kemudian, jalur kedua dari level dakwah kedua, yaitu al-dawah aljuziyyah al-khâshshah, dijelaskan oleh Muhammad Abduh sebagai dakwah yang berlangsung di antara sesama individu sesuai kemampuan masing-masing, baik yang pandai maupun yang bodoh, yang sudah saling mengenal dengan cara menunjukkan (al-dilâlah) kepada kebaikan dan memotivasinya (al-hats), mencegah dari kejelekan dan memperingatkannya, saling berwasiat dengan alhaqq dan saling berwasiat dengan shabar. Dalam penjelasan Muhammad Abduh ini memuat unsur dakwah yaitu: Individu muslim sebagai dai dan individu lain sebagai madu, al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan dan beberapa macam metode, yaitu: al-dilâlah, al-nahy, al-tahdzîr, al-tawâshi bi al-haqq dan al-tawâshi bi al-
75
shabr, sedangkan unsur medianya berupa bahasa lisan dan bahasa perbuatan. Jalur dakwah kedua ini, dapat dikategorikan sebagai dakwah intrapersonal atau aldâiyah fî nafsih, dan dakwah interpersonal atau al-dawah al-fardiyyah. Dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) yang pertama yang dikemukakan Muhammad Abduh, termasuk tablîgh Islâm, yaitu proses penyebaran Islam yang ditujukan kepada madu yang belum memeluk Islam. Sedangkan dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) kedua, termasuk tablîgh Islâm yang merupakan proses pembinaan kualitas keberagamaan bagi yang sudah memeluk Islam dengan menegakkan segala yang marûf, yaitu sejumlah aturan ajaran Islam yang mesti diketahui dan diamalkan dalam kehidupan nyata, berbarengan dengan nahy munkar, yaitu menjebol dan menghindarkan kehidupan dari segala larangan ajaran Islam. Dengan demikian, kedua penjelasan hakikat dakwah lebih menekankan pada tahapan dakwah (marâhil al-dawah).12 Keberlangsungan pembinaan internal umat Islam dilakukan melalui “bayân thuruq al-khayr,” yaitu proses transmisi ajaran Islam yang ditujukan kepada kelompok besar dan kelompok yang terorganisir dengan sasaran meningkatkan aspek pemahaman. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas pengamalan ditempuh melalui transformasi ajaran Islam dalam kehidupan nyata umat yang ditunjukkan dengan ungkapan tathbîq (implementasi ajaran), baik dalam penjelasan hakikat dakwah jalur pertama maupun jalur yang kedua dari martabat (level) dakwah yang kedua.13 Sasaran utama implementasi ajaran Islam 12
Lihat Ali bin Shalih, Mustalzamât al-Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1981), hlm. 150, hakikat dakwah menurut bentuknya dijelaskan oleh para penulis tentang dakwah ternyata bervariasi, misalnya Toha Yahya Umar mengelompokkan kategori hakikat dakwah ini kepada: penerangan, penyiaran, pendidikan dan pengajaran, dan indoktrinasi Islam. Lihat Toha Yahya Umar, Ilmu Da wah (Jakarta: Widjaja, 1983), hlm. 1-2. KH. Isa Anshari mengkategorisasikan hakikat dakwah sebagai reformasi dan modernisasi pemahaman Islam dan kehidupan Muslim. Lihat Isa Anshari, Mujahid Da wah (Bandung: CV. Diponegoro, 1964), hlm. 74. sementara itu, Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni mengkategorisasikan hakikat dakwah kepada: (1) tablîgh Islam kepada semua manusia, (2) ta lîm Islam bagi umat Islam, dan (3) tathbîq Islam dalam kenyataan kehidupan umat Islam. Lihat Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal fî „Ilm al-Da wah (Beirut: Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001), hlm. 34-35. 13 Bagi Muhammad Sayyid Muhammad Yusuf, transformasi ajaran Islam ini disebut sebagai dakwah pemberdayaan umat, sebagaimana dijelaskan dalam karyanya al-Tamkîn lî alUmmah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salam, 1997), hlm. 95-96. Dalam konteks ini, dakwah juga dipahami sebagai aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial dan
76
adalah sebagai upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup ruhaniyyah dan jasadiyyah hamba Allah yang ditunjukkan dalam ungkapan „alâ mashâlih al-„ibâd. Kemudian Muhammad Abduh mengemukakan secara khusus salah satu level dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah jalur kedua, yaitu dakwah fardiyyah, yakni interaksi antarindividu dâi dengan madu yang berlangsung secara tatap muka dengan metode tawshiyyah bî al-haqq dan tawshiyyah bî alshabr, baik berupa saling menunjukkan dan saling menghimbau pada jalan kebaikan, serta saling mencegah dari perbuatan yang dilarang ajaran Issebagai kewajiban bagi semua individu Muslim berdasarkan kemampuan masingmasing.14 Termasuk dakwah pemeberdayaan umat (ishlâh al-basyar) adalah amr marûf nahy munkar, yaitu upaya dalam perbaikan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (al-basyar) dan pelakunya sebagai umat pilihan yang unggul. Karena ia merupakan masyarakat yang berada pada posisi seimbang secara aqidah, moralitas dan kegiatan kehidupannya, juga senantiasa berupaya melakukan perbaikan kehidupan (al-basyar) dengan jalan amr marûf nahy munkar:15 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa, rumusan hakikat dakwah menurut pemikiran Muhammad Abduh secara al-dilâlah al-iltizâmiyyah16 merupakan proses ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan umat. Pendapat ini diikuti oleh Mahmud al-„Aqqad.17 Kemudian, Muhammad Abduh memaknai term penyebaran ajaran Islam. Lihat Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Ust. (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 375. 14 Dakwah fardiyyah ini secara khusus dibahas oleh Sayyid Muhammad Nuh dalam karyanya Fiqh al-Da wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Wafa, 1991). 15 Al-Manâr, jld. I, hlm. 160-161. QS. 2:13, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang munafiq sebagai orang syafih. Lihat Kamil, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât al-„Âmmah (Mesir: Mathbaah al-Azhar, 1960), hlm. 158-159. 16 Al-dilâlah al-iltizâmiyyah adalah (signifikansi kelaziman), yaitu term yang menunjukkan sesuatu di luar dari maknanya. Tetapi ia merupakan kelaziman atau kemestian yang tak terpisahkan dari makna itu. Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 23. Muhammad Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh dalam menjelaskan suatu konsep sering menggunakan al-dilâlah iltizâmiyyah. Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 348-349. 17 Lihat Mahmud al-Aqqad, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16. Menurut Habib Boulares,
77
ishlâh
ini untuk menunjukkan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya
pembaruan, perubahan, dan perbaikan dalam mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia di muka bumi, yang melibatkan unsur da i, pesan, media, metode, dan madu, yang merupakan satu kesatuan dalam prosesnya. Sedangkan kemaslahatan diyakini oleh Muhammad Abduh berupa segala yang mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi dan ia menjadi sebab kebenaran, kebaikan, dan kestabilan kehidupan manusia menjadi lestari.18 Mengenai hakikat dakwah yang telah dikemukakan menurut pemikiran Muhammad Abduh, ternyata berbeda dengan hakikat dakwah yang dikemukakan oleh para pengkaji tentang dakwah selain Muhammad Abduh. Hal ini bisa terlihat sebagai bukti adanya kekhasan itu. Misalnya dari beberapa macam rumusan hakikat dakwah berikut ini menjadi bukti bahwa, selain Muhammad Abduh menjelaskannya lebih terfokus pada hal-hal tertentu. Berikut pernyataan para tokoh selain Muhammad Abduh mengenai hakikat dakwah, yaitu: (1) menurut al-Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah dakwah adalah menyeru kepada keimanan atas kemahaesaan Allah dan atas segala perkara yang dibawa oleh para utusannya, membenarkan segala perkara yang diberitakan oleh para rasul dan mentaati segala yang diperintahkannya;19 (2) menurut alSayyid Muhammad al-Wakil, dakwah adalah menghimpun manusia ke jalan yang baik, menunjukkan mereka kepada kebenaran, memerintahkan dengan yang marûf dan mencegah dari yang munkar. Definisi ini didasarkan pada Q.S. Ali Imran:104. Definisi ini lebih menekankan pada macam tabligh;20 (3) Muhammad al-Shawaf mengemukakan bahwa, dakwah adalah risalah langit yang diturunkan ishlâh yang diartikan dengan reformasi menunjuk kepada perbaikan, kembali kepada aturan kerja yang sebelumnya cacat, pemurnian dari penyelewengan sehingga terbuka untuk memiliki sejumlah metode. Reformasi ini adalah khas Islam yang banyak dikembangkan di negara-negara Arab. Lihat Habib Boulares, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The Fear and The Hope, oleh Ilham Mashuri (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 208-223. 18 Al-Manâr, jld. II, hlm. 497. Keyakinan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran QS. 2:251-252, tema pokok ayat ini mengenai aktivitas para Rasul Allah dalam menghindarkan kemafsadatan di muka bumi, dan bandingkan dengan pendapat Abd bin al-Hamîd bin Bâdîs dalm karyanya Tafsîr bin Bâdîs, hlm.106-107. Kajian mengenai dakwah ishlâh, lebih lanjut lihat Manâ al-Qathan, al-Da wah ila al-Islâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmy,1397 H) 60 halaman. 19 Lihat Ibn Taymiyah, Majma' al Fatawa, (Riyadh, tt), hlm. 157. 20 . Lihat Muhammad al-Sayyid al-Wakil, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, (Mesir: Dâr al Wafâ, 1986), hlm. 17.
78
ke bumi sebagai petunjuk pencipta kepada makhluknya, hidayah itu berupa agama Allah yang kokoh dan jalannya yang lurus, sebagaimana dijelaskan dalam alQurân Q.S. Ali Imran:19 dan 85.21 (4) menurut Fathi Yakan, dakwah adalah menghancurkan berbagai bentuk kejahiliyahan, baik kejahiliyahan pemikiran, akhlak, sistem kehidupan, dan membangun kejamaahan
muslim
dengan
mengaplikasikan kaidh-kaidah dengan berbagai bentuknya.22 (5) menurut Taufiq al-Wâiy, dakwah Islam adalah menghimpun manusia ke jalan yang baik, menunjukkan mereka kepada kebenaran dengan perkataan dan perbuatan dengan agar menjalankan sistem kehidupan dari Allah di muka bumi, memerintah mereka kepada yang maruf, mencegah mereka dari yang munkar, membimbing mereka kepada jalan yang lurus dan bersabar dalam menghadapi segala tantangan hidup.23 Berbeda dengan lima macam definisi tersebut, Muhammad Nuh mendefinisikan dakwah tidak terbatas pada pengenalan dan penyiaran Islam tetapi juga pada pembangunan dan pembentukan umat. Oleh karenanya, menurut Muhammad Nuh, dakwah adalah jika ditujukan kepada madu yang belum Islam dan para pelaku dosa maka dilakukan dengan pengenalan dan penyiaran, sedangkan jika mad unya masyarakat muslim dan mereka memelihara naluri ketundukan atas kebenaran maka dilakukan dengan cara membangun dan membentuk.24 Dakwah menurut „Abd Mushnif „Abd al-Fatâh memotivasi manusia kepada kebaikan, petunjuk, tuntunan, menetapi jalan yang benar, memerintah dengan yang marûf dan mencegah mereka dari yang munkar, untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.25
21 Lihat Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al Du'ât ), hlm. 22. 22 Lihat Fathi Yakan, Al-Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1983), hlm. 9. 23 Lihat Taufik al Wâ'iy, al-Nisâ al-Dâ'iyât, (Kuwait: Wizârah al aufaf, 1989), hlm.8. 24 Lihat Sayyid Muhammad Nuh, Fiqh al-Da wah al-Fardiyah, (Mesir: Dâr al-Wafâ, 1991), hlm. 12. 25 „Abd Mushnif „Abd al-Fatâh, Manhâj al-Da wah al-Islamiyyah Min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: al-Azhar, 1419H), hlm. 29.
79
Dakwah Islam menurut Abu Bakar Zakaria adalah mengajar orang banyak tentang segala sesuatu yang dapat menyadarkan mereka menurut kemampuannya tentang urusan agama dan dunia yang dilakukan oleh para ulama.26 Dakwah Islam menurut Ahmad Ahmad Ghalwus, dakwah Islam adalah sama dengan agama Islam itu sendiri, ia merupakan ketundukan kepada Allah dan menjalankan ajarannya yang Dia ridhai dan merupakan sistem universal dan ketentuan-ketentuan komprehensif mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi.27 Dakwah Islam menurut „Ali bin Shâlih al-Mursyid adalah sistem yang berisikan metode, media dan teknis dalam menjelaskan dan menegakkan haq, kebaikan, petunjuk, dan membongkar kebatilan dengan segala media dan caranya.28 Mencermati penjelasan hakikat taksonomis rumusan dakwah menurut Muhammad Abduh yang dibandingkan dengan pemikiran yang lainnya, maka dapat dirumuskan hakikat dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah pertama, mengajak manusia untuk memahami, menerima, dan mengamalkan Islam dengan mengutamakan amr maruf nahy munkar agar mereka memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat dan kedua, proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam guna memperoleh kehidupan haasnah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan. Sedangkan rumusan hakikat dakwah menurut Muhammad Abduh secara taksonomis yang berkaitan dengan dasar hukum, tujuan dan unsur-usnsurnya dijelaskan di bagian akhir bab ini.
26
Abu Bakar Zakaria, al-Da wah Ilâ al-Islâm,dalam Nashruddin Latif Teori dan Praktik Dawah Islamiyah, (Jakarta: CV. Multiyasa, 1391H), hlm.10. 27 Ahmad Ahmad Ghalwus, al-Da wah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri, 1987), hlm. 12-13. 28 „Ali bin Shâlih al-Mursyid, Mustalzamât al-Da wah Fi „Ashri al-Hâdhir, (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989), hlm. 22. M. Yunan Yusuf merumuskan hakikat dakwah “sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, sains, teknologi, dsb.” M. Yunan Yusuf, Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian, dalam Munzir dan Marjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm. xiii.
80
B. Dasar Hukum Dakwah Dalam menentukan dasar hukum dakwah, Muhammad Abduh seperti halnya mufassir yang lain seperti Imam al-Jalalain, Ahmad al-Shawi, dan Wahbah alZuhaili, merujuk pada nash Al-Qurân yang diungkapkan dalam fiil amr (kata kerja perintah), antara lain ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran ayat 104 dan 110. 29 Muhammad Abduh meyakini bahwa terdapat perselisihan pendapat mengenai firman Allah “minkum” apakah berarti “sebagian dari kamu” atau “min” bayaniyyah?. Mufassir kita Imam Jalalain meyakini pendapat pertama karena hal itu menunjuk pada hukum fardu kifayah sebagaimana dijelaskan dalam tafsir AlKasysyâf30 dan yang lainnya. Sebagian ulama berkeyakinan dengan pendapat kedua seraya mereka berkata bahwa maksud ayat tersebut adalah “hendaknya kamu sekalian menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan, menganjurkan halhal baik, dan mencegah kemunkaran.31 Dari perbedaan pendapat mengenai status hukum dakwah tersebut, Muhammad Abduh menetapkan dasar hukum dakwah sebagai fardu kifayah, yaitu kewajiban yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu yang memiliki kualifikasi penguasaan pengetahuan kedakwahan, dan kemampuan berdakwah secara profesional. Sedangkan dakwah sebagai fardu „ain, yaitu kewajiban yang ditujukan bagi setiap individu Muslim (mukallaf) berdasarkan kemampuannya masing-masing dalam melaksanakan macam-macam pelaksanaan dakwah sesuai situasi dan kondisi yang dihadapinya. 32 Oleh karena itu, kedudukan hukum dakwah dapat dipahami sebagai kewajiban komunal (fardhu kifayah), yakni kewajiban yang mampu dilaksanakan oleh semua Muslim dalam suasana kebersamaan, sedangkan fardhu ain dapat dipahami sebagai kewajiban individual, yakni kewajiban yang 29
mampu
Lihat Imam al-Jalalain, Tafsîr al-Qurân al-Karim (Semarang: Thaha Putra, tt.), hlm. 58, Ahmad al-Shawi, Hasyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalalain (Semarang: Thaha Putra, tt.), hlm. 171., dan Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Wajîz (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 65. 30 Penjelasan Abi al-Qâsim Jâr Allah Mahmud bin „Amr al-Jamakhsyari al-Khawârizmi, terdapat dalam karyanya, Al-Kasysyâf „an Haqâiq al-Tanzîl wa „uyun al-„Aqâwil fi Wujuh alTa wil, jld.1 (Beirut: Dâr al-Marifah,tt) hlm.452. 31 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26. 32 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35. Penetapan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran ayat 104.
81
dilaksanakan secara individual. Jika dipahami demikian, implikasinya adalah tidak akan terjadi saling melempar tanggung jawab di antara sesama individu dan kelompok Muslim dalam melaksanakan kewajiban dakwah Islamiyah. C. Tujuan Dakwah Setiap tindakan apapun yang dilakukan secara sadar oleh manusia senantiasa memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai.33 Dakwah sebagai bagian tindakan yang mulia yang dilakukan oleh para dâi sudah barang tentu memiliki tujuan. Mengenal tujuan dakwah itu amat penting agar tidak terjadi penyimpangan arah dan tujuan yang menyebabkan kekacauan dan penyimpangan dalam tindakan dâi dalam berdakwah. Rumusan tujuan dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kategori tujuan dakwah, yaitu tujuan ideal, tujuan individual, dan sosial. Pertama, tujuan ideal dakwah, antara lain dapat dipahami dari keyakinan Muhammad Abduh bahwa, siapa saja yang hendak berdoa kepada Allah Taala secara global, hendaknya ia memohon kebahagiaan dunia dan akhirat serta kehidupan yang baik di kedua alam tersebut.
34
Sedangkan jalan Allah (al-Islâm)
merupakan jalan yang menghantarkan orang pada keridhaan-Nya, suatu jalan yang dengannya Dia memelihara agama-Nya dan memperbaiki keadaan hambaNya.35 Menurut Muhammad Abduh Allah mensyariatkan bagi kamu sekalian sejumlah hukum yang dapat memperbaiki keadaan kalian dan menghantarkan kalian pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 36 Esensi tujuan ideal dakwah yang dipahami dari keyakinan Muhammad Abduh tersebut adalah memperoleh ridha Allah SWT, memperoleh kebahagiaan dan kebaikan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak. Pendapat mengenai 33
Lihat Muhammad Abd al-„Aziz Al-Khuly, al-Adâb al-Nabâwy, (Beirut: Dâr al-fikr, tt),
hlm. 5-6. 34
Al-Manâr, jld. II, hlm. 237. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:201, tema pokok isi ayat ini mengenai bagian doa mumin yang menunaikan ibadah haji. 35 Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:207, tema pokok isi ayat ini mengenai mumin yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah SWT. 36 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 338. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 4:1, tema pokok isi ayat ini mengenai informasi penciptaan manusia, keharusan bertakwa dan silaturahim.
82
kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagai tujuan ideal dakwah ini sama dengan pendapat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah menurutnya bahwa, menyeru manusia terhadap kebaikan, petunjuk, arahan, dan konsistensi dalam beragama dan menganjurkan mereka pada kebajikan serta mencegah mereka dari kemunkaran agar mereka sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. 37 Kedua, tujuan dakwah individual antara lain dipahami dari keyakinan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah:256-257 bahwa, maksud ayat ini sejalan dengan makna ayat yang mendahuluinya tampak sangat jelas yakni bahwa seorang mukmin tidak memiliki pengurus dan penguasa (tawliyyah) atas keyakinannya selain Allah SWT. Jika demikian faktanya, ia berada pada jalan yang benar untuk menggunakan hidayah yang telah dianugrahkan Allah kepadanya sesuai dengan peruntukannya yakni indera, akal, dan agama. 38 Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan mengenai tawliyah atau wilâyah (perlindungan) yaitu: (1) wilâyah Allah kepada kaum mukmin, yaitu dengan memberikan hidayah indera, akal, dan agama serta sarana alam yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupannya, (2) wilâyah kaum beriman kepada Allah, yakni dengan cara mendayagunakan macam-macam hidayah dari Allah dalam rangka ibadah, dan (3) wilâyah di antara sesama kaum beriman dengan cara saling melindungi, saling tolong-menolong, dan saling menyelamatkan.39 Dari penjelasan tujuan individual dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut dapat dipahami bahwa terbentuknya pribadi muslim yang paripurna merupakan tujuan individual dakwah, yaitu pribadi yang imannya kokoh kuat mendayagunakan hidayah hawasî (potensi indera lahir), hidayah akal, hidayah agama Islam, hanya Allah pelindung hidupnya, dan menetapi sunnah Allah baik yang Qurâniyyah maupun yang Kauniyyah.
37
Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da wah al-Islâmiyyah min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Jamiah al-Azhar, 1419H), hlm. 29. 38 Al-Manâr, jld. III, hlm. 40. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:256-257, tema pokok isi ayat ini mengenai larangan memaksakan keyakinan agama bagi non-muslim, perumpamaan orang mumin, dan cara melakukan perlindungan hidup dengan konsekuensinya. 39 Al-Manâr, jld. III, hlm. 42-43. Penjelasan Rasyid Ridha ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:256-257.
83
Ketiga, tujuan sosial dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain dapat dipahami dari keyakinannya bahwa, amr maruf dan nahy munkar merupakan alat pemelihara kebersamaan dan semen perekat persatuan. 40 Kemudian masih dalam penafsiran Q.S. Ali Imrân: 104, antara lain Muhammad Abduh meyakini bahwa, Allah SWT. telah memerintahkan perlu adanya di antara kita komunitas yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemunkaran dan Allah menjelaskan bahwa mereka merupakan kalangan beruntung, sementara masyarakat lain merugi, yang beruntung karena mereka merupakan komunitas yang menegakkan agama dan memeliharanya, juga melalui mereka terwujudlah persatuan yang menjadi maksud agama, Allah juga melarang kita dari perpecahan dan pertikaian yang bisa melenyapkan persatuan umat yang berakibat terganggunya penegakan dakwah yang maslahat. 41 Pernyataan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memelihara kesatuan komunitas Muslim yang
muflihûn
dan membentenginya dari
pengrusakan yang disebabkan oleh internal maupun eksternal Muslim dan mencegah perpecahan dan pertentangan umat Muslim adalah tujuan sosial dakwah. Dalam
memformulasikan tujuan dakwah ini,
terdapat perbedaan
redkasional antara Muhammad Abduh dan para penulis lain tentang dakwah. Namun demikian, esensi yang dikandungnya saling melengkapi dan memperkuat antara satu formulasi dengan formulasi yang lainnya. Misalnya, Muhammad Said Mubarak meyakini bahwa tujuan dakwah adalah menjadikan Islam sebagai petunjuk jalan hidup oleh manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya ilmu, dan mengeluarkan manusia dari kekufuran yang kotor kepada keimanan yang suci.42 Bagi Ahmad Ahmad Ghalwusy, tujuan dakwah itu sejatinya dalam upaya mencapai dua keadaan kehidupan, yaitu kehidupan yang saâdah (bahagia) dan sâlimah (selamat) dengan terpenuhinya
40
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 3:104. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 47. 42 Lihat Muhammad Said Mubarak, al-Dawah wa al-Idârah (Madinah: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2005), hlm. 27. 41
84
kebutuhan ruhaniyah dan jasadiyah secara simultan.43 Sedangkan Jumah Amin Abd al-„Aziz merumuskan tujuan dakwah kepada tiga hal, yaitu: (1) meletakkan kerangka dasar kehidupan masyarakat Islam, (2) menjadikan masyarakat Muslim yang dinamis reformis, dan (3) melestarikan kehidupan masyarakat Muslim yang menegakkan kebenaran Islam dalam kehidupan nyata.44 D. Unsur-unsur Dakwah Hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah, manusia sebagai dâi dan madu, metode dan media dakwah merupakan satu kesatuan unsur dakwah yang saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, walaupun bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan dalam realitas proses pelaksanaan dakwah. Unsur dakwah ini menurut Abd al Hamîd bin Bâdîs disebut arkân al-dawah.45 1. Mawdhu’ Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam Posisi Islam dalam struktur sistem dakwah merupakan komponen maudhû dakwah, yakni pesan, bahan, dan materi ajaran yang didakwahkan oleh dâ i kepada madu dengan metode tertentu dan melalui media yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi peristiwa-peristiwa proses pelaksanaan dakwah. 46 Berikut dikemukakan hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhû dakwah menurut pemikiran Muhammad Abduh.
43
Lihat Ahmad Ahmad Ghalusy, al-Da wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987), hlm. 33. 44 Lihat Jumah Amin Abd al-Aziz, al-Da wah al-Islâsmiyyah: Qawâ id wa Ushûl (Kairo: Dar al-Dawah, 1999), hlm. 20-21. 45 Lihat Abd al Hamîd bin Bâdîs, Tafsîr bin Bâdis fi Majâlis al Tadzkîr Min Kalâm al Hakîm al Khabîr, (Beirut: Dar al Fikr, 1979), hlm. 521-533. Prinsip struktur sistem dakwah ini merupakan mafhum dari isyarat QS. Yûsuf:108 dan an-Nahl:125, yang menggambarkan proses da wah islâmiyah dengan melibatkan semua unsurnya. Hal ini jika dibaca menurut pertanyaan paradifmatik dari Lasweels Model sebagaimana dikutip oleh Onong Ukhyana Effendi, merupakan jawaban dari: Siapa Mengatakan apa Melalui Saluran Apa kepada Siapa dengan Efek Apa (Who Say What in Wich Chanel to Whom What Effect). Lihat Onong Ukhyana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.253. 46 Hal ini sebagaimana diyakini oleh Abd al-karim Zaydan bahwa dalam karyanya Ushûl al-Da wah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), hlm. 5.
85
a. Hakikat Islam Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah al-dîn (agama) yang dibawa oleh semua nabi Allah sebagai bukti kebaikan Allah kepada al-basyar (manusia sebagai makhluk sosial). Inti agama adalah tata aturan hidup yang sesuai dengan kebutuhan hidup manusia baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Muhammad Abduh percaya bahwa, agama merupakan karya Tuhan sebagai perwujudan kebaikan-Nya terhadap manusia. Ia diwahyukan melalui salah seorang nabi di antara mereka yang bukan merupakan usaha dan perbuatannya bahkan ia tidak bisa meraihnya dengan cara mendalami atau mempelajarinya (ia tiada lain kecuali wahyu yang diturunkan). 47 Atas pendapatnya ini Muhammad Abduh bersrgumen bahwa, “Sesungguhnya agama (al-dîn) yang benar menurut Allah adalah Islam.” Islam di sini mencakup seluruh agama yang dibawa oleh para nabi karena Islam merupakan substansinya yang bersifat universal dan bersesuaian meski bentukbentuk kewajiban dan kegiatannya berbeda-beda. Para nabi, seluruhnya, menyerukan dan mewasiatkan Islam.48 Dalam pernyataan tentang hakikat dîn Islam tersebut, Muhammad Abduh tidak menjelaskan dari sudut etimologisnya, tetapi berupa ungkapan yang menguraikan kedudukan dîn Islam bagi manusia dan kehadiran dîn Islam bukan ciptaan para nabi Allah, sebagaimana dituduhkan oleh para penentang dakwah para nabi Allah. Oleh karenanya, Rasyid Ridha memberikan penjelasan etimologis dîn Islam ketika mengomentari penjelasan gurunya, menurutnya bahwa, agama secara etimologis adalah balasan, kepatuhan, ketundukan atau sebab adanya balasan. Para ulama berpendapat bahwa apa yang menjadi kewajiban manusia disebut syariat dari sisi peletakan dan penjelasannya, disebut dîn (agama) dari segi ketundukan dan ketaatan terhadap pembuat syariat, dan disebut millah dari segi kewajiban-kewajiban secara umum. Kata „islâm merupakan bentuk mashdar dari kata „aslama yang bermakna tunduk dan 47
Al-Manâr, jld. II, hlm. 69. Abduh mengacu antara lain pada Q.S. al-Najm (53):4, ayat ini mengenai apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu Allah SWT, dan alBaqarah (2): 165 dalam menjelaskan makna al-dîn, ayat ini mengenai bagian perilaku orang beriman dan orang musyrik. 48 Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Dalam memahami dien Islam ini, Abduh mengacu pada Q.S. Ali Imran (3):19, ayat ini mengenai Islam agama dari Allah.
86
berserah diri, juga bermakna „addâ (menunaikan) seperti dalam contoh ungkapan berikut:“Saya menunaikan sesuatu kepada Si Fulan jika saya melaksanakannya,” juga bermakna „dakhala (masuk) dalam kedamaian. Kata „islâm dengan harakat fathah atau kasrah bermakna kebaikan dan keselamatan, serta gerakan yang bersih dari sesuatu. 49 Kemudian, Muhammad Abduh mengemukakan dua macam sasaran utama dîn Islam sebagai peraturan Allah bagi manusia, yaitu menurutnya bahwa, Allah mensyariatkan agama untuk dua hal pokok, yaitu: Pertama, penyucian ruh dan pemurnian akal dari keyakinan-keyakinan menyimpang dengan kekuatan gaib bagi segenap makhluk dan kemampuannya untuk berperilaku di alam ini guna penyelamatan dari ketundukan dan penyembahan kepada sesama makhluk atau yang lebih rendah lagi dalam hal kapasitas dan kesempurnaannya; dan Kedua, memperbaiki hati dengan tujuan yang baik dalam berbagai kegiatan dan memurnikan niat karena Allah bukan karena manusia. Ketika dua tujuan ini terwujud, terlepaslah fithrah dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya sehingga tidak bisa sampai pada kesempurnaan secara individual dan komunal. Lagipula, kedua hal ini merupakan substansi maksud dari kata „islâm. Adapun kegiatan-kegiatan ibadah disyariatkan guna mendidik ruh perintah ini terhadap ruh penciptaan. Oleh karena itu, dipersyaratkan adanya niat dan keikhlasan. Sekali terdidik dengan baik, mudahlah bagi pemiliknya untuk menunaikan segala kewajiban moral dan keadaban yang dengannya ia sampai pada „al-madinah alfadhilah dan perwujudan cita-cita kaum bijak. 50 Dari penjelasan Muhammad Abduh tentang hakikat Islam dari segi status keberadaan dan sasarannya, terdapat beberapa dimensi utama yang terkandung dalam hakikat Islam yang mencirikan keberadaannya, yaitu: (1) peraturan buatan
49
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Makna etimologis ini, lebih lanjut, bandingkan dengan Abd
al-Wadud Yusuf, Tafsîr al-Mu minîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1960), hlm. 40-41, dan Khalid Abd alRahman al-„Ak, Shafwah al-Bayân li Ma âni al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Salam, 1994), hlm. 52. 50 Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran (3):18, ayat ini mengenai pelaku syahadah ilahiyah; Allah, malaikat dan ilmuwan.
87
Allah SWT.,51 (2) bukti kebaikan Allah kepada manusia sebagai makhluk sosial, (3) berlaku universal bagi semua nabi Allah, (4) penjernihan jiwa dari kemusyrikan dan penyelamatan akal dari kejumudan, (5) perbaikan hati dengan menempatkan tujuan dan tekad yang tulus karena Allah SWT semata dalam semua tindakan pengamalan ajaran, (6) mendidik jiwa dengan beribadah kepada Allah yang berhak diibadati, dan (7) peradaban terlahir dari perilaku keruhanian manusia dalam menjalankan ajaran.52 Menurut Muhammad Abduh, Islam memiliki tiga macam asas utama yang mencirikan universalitas inti ajarannya yang dibawa oleh para nabi Allah dan para rasul-Nya. Dan siapa saja yang mengingkari dan meninggalkan tiga asas utama ini, maka ia dihukumi sebagai murtad, yakni orang yang keluar dari status sebagai Muslim dan kembali menjadi non-Muslim. Mengenai tiga macam asas utama Islam, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, keluar dari Islam (murtad) adalah keluar dari tiga asasnya yang fundamental, yakni: (1) keimanan bahwa alam raya yang sempurna ini merupakan kesatuan tatanan-Nya dan kecermatan ketentuanNya. Ia merupakan Tuan (Rabb) dan Tuhan (Ilâh) yang menciptakannya dan menyempurnakannya dengan kekuasaan-Nya dan hikmah-Nya tanpa pembantu dan perantara. Tidak ada kekuatan lain yang bisa mengutak-atik alam kecuali orang yang mendapat petunjuk-Nya dengan memunculkan sunnah-sunnah-Nya pada berbagai sesab atau yang disebabkan. Maka haruslah mereka menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Prinsip ini merupakan
puncak
pemikiran
akal manusia
dalam
berkeyakinan
dan
membersihkan diri dari beragam khurafat dan pikiran sesat; (2) keimanan terhadap alam gaib dan kehidupan akhirat. Keimanan ini merupakan salah satu rukun prestasi keluhuran diri manusia yang tidak bisa mencapai alam itu kecuali
51
Pengertian dîn Islam sebagai peraturan buatan Tuhan digunakan oleh Said bin Muhammad Basyan. Ia menulis: dalam karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta lîm (Jeddah, Al-Haramayn, tt.), hlm. 4. 52 Bandingkan dengan Khurshid Ahmad, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and Message, oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983), hlm. 326327, tentang esensi Islam, dan Khurshid Ahmad dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju Kebenaran, terj. The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
88
kesempurnaan dan kesadaran bahwa keberadaan mereka lebih sempurna dan lebih kekal ketimbang apa yang dapat mereka perkirakan; dan (3) amal saleh yang membawa manfaat bagi pelakunya dan sekalian manusia.53 Maka ketiga prinsip utama yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul ini tidak ada manusia yang meninggalkannya setelah mengetahuinya dan mengambilnya kecuali akan terjerembab ke dalam kenistaan. Ia tidak akan memperoleh kesempurnaan apapun di dunia dan akhirat, malahan termasuk orang berjiwa kotor dan memiliki ruh yang gelap yang tidak memiliki tempat di akhirat kecuali ruang kenistaan dan kehinaan.54 Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa, kecerdasan akal
dan kejernihan jiwa manusia
merupakan
akibat dari
merealisasikan tiga pilar dan asas utama agama Islam, dan sebaliknya, manusia akan menjadi nista, hina, dan rugi jika meninggalkan tiga pilar dan asas utama agama Islam ini, yaitu: (1) keimanan akan adanya Allah SWT. Pencipta semesta alam dan segala hukumnya, (2) keimanan akan adanya alam gaib dan kehidupan akhirat, dan (3) amal saleh yang bermanfaat bagi pelakunya dan orang lain.55 Tiga asas utama agama Islam yang diyakini Muhammad Abduh menunjukkan adanya integrasi antara penggunaan akal dalam memahami hukumhukum alam, di satu sisi, dan, di sisi lain, penguatan hati dalam meyakini hukumhukum dalam ajaran agama Islam yang mengatur kehidupan alam manusia. Pemikirannya ini menyiratkan adanya pengaruh dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang pernah ia pelajari. Misalnya, pemikiran Ibn Rusyd (11261198M) yang terlebih dahulu telah melakukan hal yang sama. 56 53
Al-Manâr, jld. II, hlm. 318-319. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. AlBaqarah (2):217, ayat ini mengenai ketentuan peperangan di jalan Allah dan konsekuensi orang murtad dan kafir. Tawhid Allah merupakan puncak pemikiran akal manusia dalam pandangan Abduh ini, lebih lanjut bandingkan dengan Abul Qasim al-Khuli, Menuju Islam Rasional: Sebuah Pilihan Memahami Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N. (Jakarta: Hawra Publisher, 2003). 54 Al-Manâr, jld. II, hlm. 319. 55 Tiga pilar dan asas utama Islam ini bagi Waqar Ahmed Husaini merupakan tritunggal kaum muslimin dalam mengembangkan syariat Islam. Lihat karyanya Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj. Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka ITB, 1983), hlm. 78-79. 56 Lihat Abu al-Walid bin Rusyd, Fashl al-maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishâl (Mesir: Dâr al-maarif, 1969), hlm. 22-23.
89
Dalam proses dakwah, inti ajaran Islam yang dijadikan materi dakwah bagi seluruh umat manusia, menurut Muhammad Abduh terdapat empat macam, hal ini dikemukakan ketika menafsirkan Q.S. al-Bâqarah (2): 21, yaitu (1) tawhid ulûhiyyah dengan menyembah Allah sendiri serta memperhatikan tawhid rubûbiyyah; (2) Al-Qurân sebagai ayat-Nya yang agung dan agama-Nya yang terperinci; (3) kenabian Muhammad SAW. yang diutus dengan membawa AlQurân ini, dan (4) balasan di akhirat atas kekufuran dan tindakan-tindakan yang mengikutinya dengan neraka dan terhadap keimanan dan tindak-tanduk yang mengikutinya dengan balasan surga.57 Mengenai bidang akidah sebagai materi dakwah tersebut telah dikupas secara rinci dalam karya Muhammad Abduh Risâlah Tawhîd. b. Karakteristik Islam Karakteristik Islam dimaksudkan sebagai sifat khas dan prinsip-prinsip yang dimiliki Islam yang dengannya ia berbeda dengan yang non_Islam. Berikut dikemukakan beberapa sifat khas Islam menurut pandangan Muhammad Abduh. Pertama, Islam merupakan dîn al-fithrah (agama fitrah). Prinsip ini dijelaskannya ketika Muhammad Abduh menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):138, bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwasanya dalam Islam tidak diperlukan upaya membedakan seorang Muslim dari yang lainnya dengan kegiatan-kegiatan yang dibuat-buat seperti salib dalam kasus Nasrani, misalnya. Apa yang menjadi identitas seorang Muslim adalah apa yang disematkan oleh Allah dalam dirinya berupa fithrah lurus yang mewujud dalam bentuk keikhlasan, cinta kebaikan, keseimbangan, dan niat baik. Sesungguhnya, dalam tradisi Al-Qurân, Islam itu merupakan agama seluruh nabi sebagaimana ia juga merupakan agama fithrah.58
57
Al-Manâr, jld. I, hlm. 183. Bandingkan dengan uraian mengenai empat pokok agama Islam oleh Muhammad bin Shalih al-Utsamain, Syarah Tsalâtsah al-Ushûl (Ryadh: Dâr alTsuraya, 1994), hlm. 12-15. 58 Al-Manâr, jld. I, hlm. 486 dan Al-Manâr, jld. IV, hlm. 348. Ketika menafsirkan QS. AlRum (30):30, al-Sadi menjelaskan hakikat fitrah sebagaimana ia menulis:
90
Kedua, Islam merupakan agama ummah wasathâ (umat siger-tengah). Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):143. Menurutnya bahwa bagi umat Islam, Allah telah menghimpun dalam aspek agamanya dua kebenaran yakni kebenaran ruh dan jasad. Maka Islam itu bersifat ruhani dan jasmani. Bahkan jika mau, saya berpendapat bahwa masyarakat Islam itu diberi seluruh hak kemanusiaan. Manusia itu terdiri atas jasad dan ruh, hewan dan malaikat. Maka seolah-olah Allah berfirman: “Kami menjadikan kamu sekalian sebagai umat pertengahan.” 59 Ketiga, Islam merupakan agama keadilan dalam semua aspek kehidupan baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran (3):19, bahwa Allah SWT memberikan persaksian semacam itu seraya tegak dalam keadilan karena Dia Maha Adil dalam hal agama, syariat, dalam hal alam dan kealaman. Termasuk di antara yang pertama adalah penetapan keadilan dalam akidah seperti tawhid yang merupakan titik-tengah antara anti-tuhan dan kemusyrikan. Termasuk di antara yang kedua adalah hukum-hukum penciptaan dalam alam raya dan manusia yang menunjukkan hakikat akidah yang tegak di atas asas keadilan. Maka siapa saja yang melihat pada hukum-hukum tersebut dan tatanannya yang detail, akan tampaklah baginya keadilan universal Allah. Menegakkan keadilan semacam ini merupakan sinyal terhadap bukti akan kebenaran persaksian Allah Taala dalam makhluk hidup dan alam raya, karena kesatuan organisasi dalam keadilan tersebut menunjukkan kesatuan penciptanya. Hal ini membantah penafsiran sebagian mufasir atas maksud persaksian yang dipahami sebagai wujud persaksian itu
Abd al-Rahman bn Nâshir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2001), hlm. 641. Selanjutnya al-Sadi dab Taysîr. 59 Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Selain ummah wasathâ, karakteristik Islam bagi Yusuf Qaradhawi adalah Robbâniyyah (ketuhanan), insâniyyah (kemanusiaan), syumûl (universal), waqi iyyah (kontekstual), wudhûh (jelas), thathawwur wa tsabât (integrasi antara transformasi dan konsistensi). Selanjutnya lihat Yusuf Qaradhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. AlKhashâish al-„Âmmah lî al-Islâm, oleh Rofi Munawwar,Lc. dan Tajuddin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 1-241.
91
adalah penciptaan sesuatu yang menunjukkan keesaan berupa tanda-tanda alam dan makhluk hidup.60 Muhammad Abduh percaya bahwa, hukum-hukum Allah SWT. berkenaan dengan ibadah, adab, dan berbagai amal diletakkan di atas dasar keadilan antara kekuatan ruhani dan badani dan antara sesama manusia satu sama lain. Itulah sebab mengapa Allah memerintahkan untuk dzikir dan syukur kepada-Nya dalam salat dan ibadah lainnya guna meningkatkan kemuliaan ruh dan menyucikannya. Allah juga membolehkan hal-hal yang baik dan perhiasan untuk memelihara kesehatan badan dan mendidiknya. Allah juga melarang sikap ekstrem dalam beragama dan berlebihan dalam hal duniawi. Itulah keadilan. Ini merupakan bentuk keadilan dalam ibadah dan kegiatan duniawi. Adapun keadilan dalam hal adab dan moral, amat jelas dalam Al-Qurân seperti jelasnya perintah adil dalam pemutusan hukum. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebajikan...” (QS. 16:90) dan Dia juga berfirman: “Jika kamu sekalian memutuskan hukum di tengah manusia, hendaknya memutuskan hukum secara adil..” (QS. 4:58). 61 Keempat, Islam merupakan agama anti-kezaliman. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):258, bahwa yang dimaksud dengan kezaliman dalam kasus ini adalah penyimpangan dari cahaya ilahi yaitu cahaya akal yang menjadi pedoman operasional akal dalam jalan agama. Maka siapa pun yang menzalimi dirinya dengan memadamkan lampu tersebut lalu ia berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan, maka ia tidak mendapat petunjuk dalam perjalanannya menuju jalan lurus (al-shirât al-mustaqîm) yang menghantarkannya kepada kebahagiaan. Alih-alih, ia tersesat dari jalan lurus hingga ia binasa tak tentu tujuan. 62 60
Al-Manâr, jld. II, hlm. 256. Karakteristik Islam sebagai agama keadilan ini bis dibandingkan dengan pendapat Sayid Quthb tentang ciri khusus citra Islam, lihat Sayid Quthb, Ciri Khusus Citra Islam dan Landasannya, terj. Al-Khashâis al-„Âmmah li al-Islâm oleh Abu Laila dan Muhammad Thahir, (Bandung:Pt. Al-Maarif, 1988), hlm. 63-287. 61 Al-Manâr, jld. III, hlm. 256. 62 Al-Manâr, jld. III, hlm. 47. Menurut al-Sadi, al-zhulm adalah: (lawan dari keadilan dan ia mencakup kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri dengan beragam kemaksiatan dan kemusyrikan, serta
92
Kelima, Islam merupakan agama yang mementingkan keseimbangan mencari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):207, bahwa sesungguhnya Islam mendorong kita untuk mencari kesenangan duniawi melalui cara-cara yang baik, sebagaimana ia mendorong kita untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Bahkan hal itu diperkuat sedemikian rupa. Mencari kesenangan duniawi melalui berbagai jalan yang baik yang disyariatkan dan fungsional tidaklah menghilangkan keridhaan Allah SWT. Kita boleh menikmatinya secara halal sambil kita tetap mendapat pahala dan ridha Allah SWT. 63 Keenam, Islam merupakan agama yang memberikan kebebasan memilih dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256, bahwa Allah menjelaskan buat mereka bahwa pemaksaan itu terlarang dan bahwa pokok dakwah Islam adalah menjelaskannya sehingga tampak jelas antara jalan terarah dan jalan sesat dan bahwa manusia kemudian diberi kebebasan untuk menerima atau tidak menerima seruan dakwah itu. 64 Ketujuh, Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian dan keamanan. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Al-Nisa (4):86, bahwa ditetapkannya ucapan salam kaum Muslim adalah “salâm” guna mensosialisasikan bahwa agama mereka merupakan agama kedamaian dan keamanan dan bahwa mereka merupakan masyarakat pengusung kedamaian dan cinta keselamatan. 65 Karakteristik Islam yang ketujuh ini sama dengan pendapat Abdul Rozak Naufal, bahwa Islam mengajarkan cinta damai, cinta keamanan, dan anti perbudakan, anti rasialisme dan sukuisme sebagai penyebab kekacauan dan pertengkaran umat.66
kezaliman terhadap orang lain dalam hal darah, harta, dan kehormatan mereka). Al -Sadi, Taysîr, hlm. 943. 63 Al-Manâr, jld. II, hlm. 256. 64 Al-Manâr, jld. III, hlm. 39. 65 Al-Manâr, jld. V, hlm. 311. 66 Selanjutnya lihat Abdul Rozak Naufal, al-Quran dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Mutiara, 1981), hlm. 22-43.
93
Kedelapan, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi persaudaraan antarindividu dan sosial, dengan implementasi secara bertahap. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256 dan menghubungkannya pada Q.S. Al-Nur ayat 27, bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama semua orang. Di antara tujuannya adalah menebarkan keluhuran adabnya dan keunggulan nilai-nilainya di tengah manusia meski dengan cara bertahap. Islam mendekatkan satu manusia sama lain agar mereka menjadi masyarakat manusia yang bersaudara. 67 Kesembilan, Islam merupakan agama yang mampu dilaksanakan, ringan dan tidak sulit. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah (2):286, bahwa “Allah tidak memberikan kewajiban kecuali sesuai dengan kemampuan manusia”. Kemampuan adalah sesuatu yang manusia mampu melakukannya tanpa susah-payah dan kesulitan. Maksudnya adalah bahwa, sejatinya Allah dan sunnah-Nya berkaitan dengan pensyariatan agama, Allah tidak membebani kepada hamba-hamba-Nya dengan tugas-tugas di luar kemampuannya.68 Hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam yang menjadi sifat khas yang melekat dalam islam sebagai materi dan agama dakwah yang telah dikemukakan oleh Muhammad Abduh mencakup aspek hikmah al-tasyrî, yakni tujuan, dan nilai guna yang dikandung dalam syariat Islam sebagai agama samawi yang universal. Sebab, hikmah al-tasyrî yang mencakup empat macam persoalan pokok terdapat dalam pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana dikaji oleh Ali Ahmad al-Jurjawi, menurutnya bahwa, seluruh syariat samawi tertuju pada empat hal, yaitu: (1) mengenal, mengesakan, dan memuliakan Allah serta menyebut-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat-sifat yang boleh bagi-Nya; (2) tata cara pelaksaan ibadah kepada-Nya yang mencakup pengagungan terhadap-Nya, mensyukuri nikmat-Nya yang tidak bisa kita menghitungnya “Jika kamu sekalian menghitung 67
Al-Manâr, jld. V, hlm. 313. Al-Manâr, jld. III, hlm. 145. Prinsip ini dalam ushûl al-fiqh disebut “taqlîl al-takâlîf,” “Adam al-haraj,” dan “al-tadarruj fî al-tasyrî.” Lihat Abd Wahab al-Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942), hlm. 64-68. 68
94
nikmat Allah, kalian tidak akan kuasa menghitungnya,”; (3) himbauan untuk melakukan amar maruf nahy munkar berperangai dengan etika yang mulia, moral yang bersih, dan nilai-nilai luhur yang mengangkat manusia ke berbagai martabat kemuliaan dan keluhuran, seperti solidaritas menolong orang butuh, menjaga tetangga, memegang teguh amanah, sabar, dan semacamnya, yang itu semua merupakan nilai-nilai keunggulan yang agung; dan (4) memberi sangsi pelanggar batas dengan legislasi undang-undang menyangkut relasi sosial sehingga organisasi sosialnya tidak tercela dengan masalah stabilitas untuk melaksanakan sang-sangsi tersebut (yang diabaikan pada aman sekarang) dan perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan organisasi kehidupan mereka. Keempat hal ini merupakan tujuan diturunkannya berbagai syariat agama samawi. 69 Selain memuat aspek hikmah tasyri, corak pemikiran Muhammad Abduh dalam memahami hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam memuat pilar-pilar modernisme Islam (tajdîd). Hal ini dipahami dari pemikiran Muhammad Abduh yang didalamnya terdapat ciri kemodernisan, yaitu bahwa, manusia hendaknya menguasai alam, tidak dikuasai alam, dengan menggunakan nalar dalam memahami hukum alam dan hukum kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dalam semua aspek kehidupan dan menyadari akan kezaliman sebagai penyebab kegagalan sistem sosial kehidupan manusia dalam sejarah kehidupan manusia.70 Selain itu, apa yang menjadi karakteristik Islam sebagai pesan dakwah membuat imbauan pesan yang dapat memenuhi kebutuhan madunya, baik imabauan rasional, emosional, rasa takut, ganjaran dan motivasional.71
69
hlm. 7.
70
Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyrî wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
Selanjutnya, mengenai corak pemikiran modern ini, lihat Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003), hlm. 90-91, dan Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), hlm. 274-394 dan Azim Nanji (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh Muamirotun (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 325-327. 71 Selanjutnya lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 1994), hlm. 297.
95
Mengenai pesan dakwah bagi madu yang sudah beragama Islam, yang disebut ummah al-ijâbah, menurut Rasyid Ridha bahwa, hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun yang berhubungan dengan masalah muamalah menjadi materi dakwah dalam rangka pembentukan umat. Hal ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. alBâqarah yang ringkasannya menurut Rasyid Ridha, yaitu: (1) menegakkan shalat dan menunaikan zakat, yang bagi para pelakunya memperoleh pujian (ayat 3, 110); (2) pengharaman sihir sebagai fitnah dan kekufuran; (3) hukum-hukum qishas dan hikmahnya bagi para pelakunya (ayat 178, 179); (4) ketentuan wasiat bagi kedua orang tua dan para kerabat (ayat 181, 182); (5) hukum-hukum shaum dan perinciannya (183-187); (6) pengharaman memakan harta manusia dengan cara yang batal dan ketentuan hukum bagi pelanggarnya (ayat 188); (7) fungsifungsi bulan untuk pelaksanaan agama, seperti waktu untuk shaum, haji, dan ketentuan „iddah (189); (8) ketentuan-ketentuan perang
sebagai upaya
membentengi dan melindungi agama, (ayat 190-195, 216-218, dan 224-252) ; (9) perintah untuk mendayagunakan harta di jalan Allah dengan segala fungsifungsinya (ayat 195, 254, dan 196-203); (10) ketentuan hukum haji dan umrah (ayat 196-203); (11) ketentuan pendayagunaan harta bagi orang-orang yang berhak memperolehnya (ayat 215, 219, dan 273); (12) pengharaman minuman keras dan judi (ayat 219); (13) ketentuan pemeliharaan anak yatim (ayat 220); (14) pengharaman terhadap mukmin laki-laki menikahi wanita-wanita musyrik dan perempuan muslimat dinikahi orang-orang musyrik (ayat 221); (15) pengharaman bersetubuh bagi suami istri yang istrinya sedang haid (ayat 222, 223); (16) ketentuan hukum bersumpah atas nama Allah (ayat 224,225); (17) ketentuan hukum al-„ilâ (bersumpah tidak akan mencampuri isteri) (ayat 226,227); (18) ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan suami isteri (ayat 228-237 dan 241); (19) ketentuan hukum riba dan bahayanya (ayat 275280); (20) ketentuan agama mengenai persaksian dalam muamalah (ayat 282 dan 283); (21) ketentuan hukum amalia berdoa kepada Allah sebagai akhir dari surat al-Bâqarah.72 72
Al-Manâr, jld. I, hlm. 109-110.
96
Macam-macam hukum syariat Islam tersebut menjadi bagian dari objek kajian dakwah yang memfokuskan pada unsur maudhu dakwah dan disiplin ilmu yang mempelajarinya adalah fikih dan ushul fikih. Dalam ilmu dakwah dua macam disiplin ilmu ini termasuk dasar-dasar teoritik materi dakwah. 2. Da’i dan Mad’u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat Manusia dan umat dalam rukun dakwah merupakan bagian dari komponen dakwah yang kepadanya taklîf syariat Islam diperuntukkan, baik sebagai dâ i maupun sebagai madu.73 Oleh karenanya, maka uraian mengenai hakikat manusia, menurut Muhammad Abduh, dibatasi pada keberadaan manusia sebagai mukallaf dakwah yang memiliki potensi nafs, dan dari nafs inilah terjadinya perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Sebab, Muhammad Abduh percaya bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan berpikir melalui penalaran (al-hay al-nâthiq) maju-mundurnya kualitas kehidupannya bergantung kepada proses perubahan nafs yang dimilikinya, ke arah mana perubahan itu ditujukan dan berangkat dari pengaruh apa perubahan itu terjadi. Pandangan Muhammad Abduh diistinbâth dari QS. Al-Radu: 11 dan Qs, alAnfal:53. Walaupun tidak menyebutkannya, terhadap ayat ini Muhammad Abduh berpandangan bahwa, sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada masyarakat berupa kenikmatan kecuali mereka mengubah sendiri apa yang ada pada nafs mereka, sehingga hal ini mengakibatkan perubahan pada kegiatankegiatan mereka. 74 Berikut beberapa pandangan Muhammad Abduh mengenai hakikat manusia dan umat. a. Hakikat Manusia Muhammad Abduh mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari alam ciptaan Allah SWT. Keberadaan manusia terdiri dari kesatuan jasad (fisik, badan 73
Lihat Abd al-karîm Zaidan, Ushûl al-Da wah, hlm. 5-6. Lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 54 dan 164 mengenai taghyîr anfûs, dan Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 142-144 tentang hubungan fungsi qolam dalam memperoleh ilmu bagi manusia sebagai al-hay al-nâthiq. 74
97
kasar) dan ruh (nonfisik, badan halus). Ia dilengkapi dengan macam-macam hidayah dan alat kehidupan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Sehubungan
dengan
hal
ini,
Muhammad
Abduh
menyatakan
bahwa,
sesungguhnya manusia itu merupakan perpaduan jasad dan ruh, hewan dan malaikat.75 Sementara itu, kata „al-nâs merupakan nama bagi jenis manusia. Menurut suatu pendapat, kata tersebut berasal dari kata „unâs, lalu dibuang hamzahnya ketika ditambahkan padanya alif dan lâm.76 Lalu Muhammad Abduh menegaskan bahwa, telah diciptakan untuk manusia sejumlah indera untuk merasakan berbagai hal dan akal sebagai petunjuk terhadap apa yang dirasakan oleh indera. Allah menggelar bagi manusia sejumlah hukum agama dan tuntunan moral yang tidak terjangkau oleh kapasitas akal mereka guna hidup secara terarah dan terpelihara kemaslahatannya dari kemungkinan buruk dan memperkuatnya dengan janji dan ancaman. Maka, siapapun yang kemudian terjebak ke dalam hal-hal buruk yang membahayakan dan menyakiti dirinya, sehingga akibatnya, ia mendapat sangsinya, ia termasuk orang yang mezalimi dirinya karena Allah tidak pernah menzalimi siapapun. 77 Dalam pandangan Muhammad Abduh tersebut, Ia menyebutkan unsur jisim (fisik, badan kasar), ruh (nonfisik, badan halus), hayawan (hewan), dan malak (malaikat) sebagai esensi manusia. Sedangkan dalam ungkapan ketiga, Muhammad Abduh menyebutkan kelengkapan keberadaan manusia berupa hidayah hawasi (pancaindera), hidayah akal dan hidayah al-dîn (agama) yang membimbing penggunaan indera dan akal dalam menjalankan tugas hidup kemanusiaan.
75
Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2):143, ayat ini mengenai fungsi Rasul dan umatnya menjadi saksi kebenarannya bagi manusia. 76 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 322. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa (4):1. Al-Qurân menggunakan term al-nâs sebanyak 240 kali, al-insân 65 kali, ins 18 kali, unâs 5 kali dan basyar 36 kali, yang dalam tradisi tafsir dipandang sebagai kata-kata yang sinonim untuk menunjuk makhluk hidup berakal yang tidak buas dan sebagai makhluk sosial. Lebih lanjut lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qurân, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh M. Adib al-Arief (Yogyakarta: 1997), hlm. 7-22 dan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995), hlm. 12-21, 93-94, dan 726-729. 77 Al-Manâr, jld. V, hlm. 106. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa (4):40, ayat ini mengenai sifat adil Allah ang tidak mendzalimi hamba-Nya.
98
Jisim (fisik) atau jasad manusia terdiri dari jutaan jenis sel dan berbagai macam benda mati. Sel-sel itu adalah makhluk hidup. Gerak-gerik dan kegiatan sel sebagai makhluk hidup yang tunduk kepada sunnah Allah SWT (hukum yang mengatur gerak alam ciptaan-Nya).78 Ruh (badan halus) berupa ether yang sejati hakikatnya merupakan urusan Allah SWT. Ruh adalah makhluk hidup ciptaan-Nya. Ketika ruh menyatu dengan jasad, manusia menjadi hidup di alam dunia. Hidup itu sendiri dicirikan dengan gerak, tidak diam. Mengenai ruh ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ruh merupakan jisim halus (ether) dalam bentuk jasad bentukan yang merupakan unsur pembentuk manusia di dunia. Melalui perantaraan jisim ether tersebut ruh bersemayam dalam jasad material ini. Jika seseorang mati dan ruhnya keluar, ruh itu keluar bersama jisim ether dan tetap bersamanya. Ia merupakan jisim yang tidak berubah, tidak berganti, dan tidak bersulih. Adapun jisim terindera ini, ia bisa berpindah dan berganti pada setiap sekian tahun. 79 Ruh (badan halus atau soul) dipakai untuk keadaan ruh belum bersatu dengan jasad. Apabila persatuan telah nyata, ini disebut nafs atau jiwa. Nafs inilah pada gilirannya menjadi pendorong terjadi sikap dan perilaku manusia.80 Ruh itu juga merupakan sesuatu yang substantif serta responsif, sesuatu yang berdiri sendiri, yang hidup dan menghidupi, sesuatu yang mempertanggungjawabkan semua perbuatan manusia di hadapan Allah SWT di alam akhirat. Hidup merupakan sifat-keadaan yang diciptakan oleh Allah Maha Pencipta menurut kehendak-Nya.81 Muhammad Abduh meyakini bahwa makhluk hidup itu terdapat dua bagian. Pertama, al-hayâh al-hissiyyah (hidup inderawi) yang dimiliki tumbuhtumbuhan (nabatât) dan hewan (hayawânât), baik hewan ternak dan semacamnya, maupun manusia dari segi jasadiahnya. Kedua, al-hayâh al-manawiyyah (hidup
78
Lihat Muhammad al-Sayid Arnûth, al-Ijâz al-„Ilmî fî al-Qurân al-Karîm (Kairo: Madbuly, 1989), hlm. 231-233 dan Zuardin Azzaino, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 3. 79 Al-Manâr, jld. II, hlm. 38-39. Pendapat Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2):154, ayat ini mengenai ruh para syuhada yng tetap hidup. 80 Lihat Syafaat, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 32-33. 81 Lihat S. Komarulhadi, Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi (Sala: PTDI, 1975), hlm. 79.
99
maknawi atau immateri) yang terdiri dari tiga macam, yaitu al-hayâh al-„aqliyyah (kehidupan rasional), al-hayâh al-„ilmiyyah (kehidupan ilmiah), dan al-hayâh alrûhiyyah al-dîniyyah (kehidupan pembangkit keagamaan). Tiga macam hidup yang terakhir ini dimiliki oleh manusia yang karenanya manusia memiliki daya mengetahui („ilm), berkehendak (irâdah), daya mampu (al-qudrah), daya mendengar (al-samu), daya melihat (al-bashar), dan saya berbicara (al-kalâm).82 Kemudian, Allah SWT memberikan hidayah sebagai kelengkapan hidup kepada manusia. Hidayah secara etimologis diartikan oleh Muhammad Abduh sebagai dilâlah, yaitu menurut bahasa berarti dilâlah (memberi petunjuk) secara lemah lembut terhadap sesuatu yang mengantarkan pada suatu yang diinginkan.83 Kemudian, sejalan dengan arti etimologisnya sebagaimana disebut di atas, menurut Muhammad Abduh, terdapat lima macam hidayah yang diberikan kepada manusia dan hewan, sebagian ada yang hanya diberikan kepada manusia secara khusus sebagai pembeda dari yang bukan manusia. Berikut penjelasan kelima macam hidayah dimaksud. Pertama, hidâyah al-wijdân al-thabîî wa al-ilhâm al-fithrî (hidayah perasaan hati instinktif dan inspirasi naluri). Hidayah ini diberikan kepada manusia sejak kelahirannya berupa instink, misalnya menangis karena lapar dan sakit. Hal ini tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Semua hewan yang hidup diberi hidayah ini oleh Allah SWT.
84
Ahmad Musthafa al-Maraghi
berpendapat sama dengan Muhammad Abduh mengenai hidayah yang pertama ini dan menyebutnya dengan hidayah ilham.85 Kedua, hidâyah al-hawâs wa al-masyâir (hidayah indera dan emosi). Hidayah ini berupa potensi kognitif indera lahir, yaitu pendengaran (telinga), penglihatan (mata), penciuman (hidung), perasa (lidah), dan peraba (kulit). 82
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 73-74. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. AlFatihah:1. 83 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. AlFatihah: 6. 84 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62-63. 85 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jld.I., (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hlm. 35. Ali Muhammad Hasan al-Amâri menyebutnya sebagai hidayah gharizah, lihat karyanya al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, (Riyadh:al-Lajnah Âmmah li al-Quraân wa al-Sunnah, 1966), hlm. 22.
100
Hidayah ini juga diberikan oleh Allah SWT. , selain kepada manusia, juga kepada hewan yang hidup selain manusia yang pertumbuhannya lebih cepat ketimbang manusia, sebab bagi manusia berlaku prinsip tadarruj (berangsur-angsur).86 Ketiga, hidâyah al-„aql (hidayah akal). Bagi manusia sebagai makhluk sosial (al-basyar) tidak cukup dengan hidayah instink dan potensi inderawi, karena dua macam hidayah ini sering melakukan kesalahan kognitif dalam mengetahui obyek. Keduanya terbatas tidak mampu membuat analisis dan generalisasi keragaman obyek tahu dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, diberikan hidayah akal yang mampu memahami, mengerti, membetulkan kesalahan dan menunjukkan seba-sebab terjadinya kesalahan yang dialami oleh potensi instink dan potensi hawasi. Akal ini hanya diberikan kepada manusia tidak kepada hewan. Dengan akal ini manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memilih sesuatu sikap dan tindakan terhadap obyek yang dihadapinya. 87 Ibn Qayyim dan Muhammad Sulaiman al-Asyqâri berpendapat bahwa hidâyah al-dîn hanya diberikan kepada manusia yang berakal, dan karena akal itulah manusia menjadi objek taklif hidâyah al-dîn.88 Makna etimologis term 'aql sebagai bagian dari hidayah Allah berdasarkan isyarat al-Quran yang semuanya menggunakan kata kerja mengandung makna memahami, mengerti, dan merenungkan sesuatu secara mendalam segala ma qûl (obyek yang dipahami). Menurut Sayid Abul Majd, al-Quran mengisyaratkan term turunan dan sinonim kata-kata yang semakna dengan 'aql, yaitu: (1) al-fikr (berpikir), (2) al-ra'y (berpendapat), (3) al-nazhar (memperhatikan), (4) tadabbur (berpikir mendalam), (5) al-fiqh (memahami), (6) al-rusyd (kesadaran), (7) aldzikr (mengingat), (8) al-lub (kecerdasan), (9) al-nuhd (mengekang), (10) al-hijr (mencegah), (11) al-qalb ("hati"), (12) al-fu'âd (sentuhan hati), (13) al-hikmah (kebijakan), (14) al-burhân (argument demonstratif), (15) al-bayyinah (penyajian
86
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 88 Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, Tafsir al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 9 dan Muhammad Sulaiman al-Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis, 2004), hlm. 7. 87
101
penjelasan), dan (16) al-huda (petunjuk).89 Keanekaragaman makna akal ini menunjukkan keragaman fungsi akal bagi pemiliknya, yang membedakan kediriannya dari makhluk hidup lain yang tidak berakal dalam mengatasi berbagai macam problem kehidupannya.90 Mufasir al-Zamakhsyari memaknai kata kerja 'aql dalam tafsirnya dengan (1) menggunakan kecerdasan (tafathn), (2) memahami (fahm) (3) mengikat pengertian (dhabath), (4) memikirkan secara mendalam (nazhar), (5) mengambil pelajaran (i'tibâr), (6) mengetahui ('ilm).91 Tafsir ini menjadi salah satu rujukan bagi Muhammad Abduh. Bagi al-Fairuzâbâdi, term-term yang dipilih bagi makna kata kerja akal dalam tafsirnya adalah: (1) menyadari dalam hati atau kesadaran hati (al-dzikri), (2) membenarkan (tashdiq), (3) mengetahui (ilm).
dan
(memahami (fahm).92 Muhammad Abduh juga menjadikan Tafsir al-Jalalayn sebagai salah satu acuannya ketika menjelaskan kosa kata dalam penafsiran term-term tertentu. Imam al-Jalalayn menafsirkan makna kata kerja akal dengan: (1) memikirkan secara mendalam (tadabbur), (2) mengetahui (ilm), (3) memahami (fahm) dan (4) mempercayai (iman).93 Termasuk mufasir pengikut Muhammad Abduh, Ahmad Musthafa al-Maraghi memaknai kata kerja akal dengan menggunakan makna: (1) memahmi (faqh), (2) mengikat pengertian (dhabt), (3) memikirkan secara mendalam (tadabbur), (4) memperhatikan (nazhar), (5) memahami (idrâk), dan (6) membedakan (tamyîz).94 89 Lihat Sayid Abul Majd, "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" dalam alMuhâdharah al-'Âmmah, (Mesir. Mathba'ah al-Azhar, 1960), hlm 80-81, dan Ibrahim Anis dkk., al-Mu'jam al-Washit, (Kairo: Dar al-Ma'arif, I960), hlm 616. 90 Lihat Hasan Muhammad Musa, Qâmus Qurâni (Kairo: Maktabah Khalil Ibrahim, 1966), hlm. 343 91 Lihat Abu al-Qasim Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, alKasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta wîl, (Beirut: Dar al-Ma'arif, tt.), hlm. 277, 289, 291, dan 326. 92 Lihal Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi al-Sairazi, Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr Ibn 'Abbas, (Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 7, 9, dan 18. 93 Lihat Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuthy, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm, (Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt.), hlm. 11, 23, dan 37. 94 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tqfsir al-Marâghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), jld. I, hlm. 145, 149, dan jld II, hlm. 33-37. Mufasir Wahbah al-Juhaili mengikuti al-Maraghi memaknai kata kerja akal ini dalam tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz 'ala Hamisy al-Qurân al-'Azhîm, sebagai ringkasan Tafsir al-Munîr karya yang sama tentang tafsir secara tahlîli.
102
Rumusan deskriptif hakikat akal yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan ayat al-Quran yang memuat kata kerja aql dan term al-albâb (term kata kerjaaql dan al-albâb terlampir dalam lampiran 3) menurut pemahaman penulis, dapat dirumuskan menjadi 10 (sepuluh) macam rumusan, yaitu sebagai berikut: Pertama, akal adalah bagian dari hidayah Allah kepada manusia selain hidayah indera eskternal (al-hawâs al-zhâhirah) kesadaran hati (wijdân), dan agama (al-dîn). Dengan hidayah-hidayah ini manusia dapat meningkatkan kualitas kehidupannya secara berangsur-angsur (tadarruj).95 Dalam rumuan pertama ini, Muhammad Abduh memposisikan akal sebagai salah satu hidayah Allah kepada manusia. Dengan hidayah akal ini manusia menjadi mukallqf dari hidayah al-dîn (tata aturan hidup dan kehidupan manusia). Empat macam hidayah ini merupakan sistem yang mendasari aktivitas manusia dalam mengetahui sesuatu yang menjadi obyek tahu yang akan mengantarkan kepada kebenaran yang sebenarnya. Sebab, hidayah memiliki muatan makna bayân (penjelasan), dilâlah (proses pemahaman), tawfîq (penyesuaian dan mencocokkan), dan ilhâm (intuisi kognitif) atas segala sesuatu yang menjadi obyek penalaran sebagai aktivitas potensi akal. Hakikat hidayah ini merupakan bagian dari muatan maknanya yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim alJawzi.96 Pancaindera memiliki kemampuan mencerap obyek tahu, dan melalui jendela pancaindera ini makna-makna obyek tahu itu diabstraksikan oleh akal, kemudian diendapkan dalam memori sebagai makna sesuatu yang diketahui melalui fungsi kesadaran hati (wijdân). Said Syekh menjelaskan term wijdân ini sebagai "kognisi-kognisi intuitif, yaitu pemahaman melalui indera-indera dalam (al-hawâs al-bâthinah) tentang makna-makna dan signifikasi-signifikasi berbagai benda.97
95
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44, lihat al-Manar, jld. I, hlm.288. Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, (Libanon: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 9. 97 M. Said Syeikh, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 181. 96
103
Term al-dîn (agama) sebagai salah satu macam hidayah disatukan ke dalam penjelasan hakikat akal, tampaknya Muhammad Abduh ingin menegaskan bahwa akal dan agama itu saling melengkapi. Tidak ada pertentangan di antara keduanya. Hal ini memperkuat pandangannya mengenai perjuangan reformasi yang digelar pada zamannya dalam memberantas belenggu kejumudan (taklid buta).98 Sebab, salah satu rumusan hakikat agama adalah " tatanan hidup manusia buatan Allah bagi orang yang berakal. Dengan aktualisasi daya ikhtiarnya, manusia memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak.99 Kedua, akal merupakan fithrah (sifat dasar yang melekat dalam penciptaan insan) dan 'ahd al-Lâh (perjanjian ketuhanan) di alam ruh.100 Dalam rumusan hakikat akal yang kedua ini, Muhammad Abduh mengaitkan akal dengan fithrah dan 'ahd al-Lâh. Hal ini menunjukkan bahwa akal ada sejalan dengan perjalanan hidup manusia sejak awal penciptaannya. Perjanjian ke-Tuhanan di alam ruh adalah peristiwa transendental di mana manusia mengakui adanya Pengada yang Maha Esa, yaitu Allah SWT ketika di alam ruh. Pengakuan ini inhern menjadi potensi diri dalam ruh yang immaterial. Keinhernan yang diletakkan dalam penciptaan ini merupakan bagian dari makna fithrah. Jadi, ia adalah pengakuan tauhîdullâh.101 Dalam perjalanan hidupnya, manusia mengalami alam ruh, rahim, dunya, barzah (antara dunia dan akhirat), dan alam akhirat.102 Para filosof Barat pun mengakui adanya potensi kognitif (akal) di dalam ruh manusia yang berkemampuan memahami obyek tahu ketika manusia mengetahui sesuatu. Dengan potensi ini pula manusia menjadi sadar akan
98
Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Ibn Rusyd. Selanjutmya lihat Muhammad Yusuf Musa, Bayna al-Dîn wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr al-Wasîth, (Beirut: Al-Ashr al-Hadits, 1988), hlm. 102-103. 99 Lihat Said bin Muhammad Ba'syan, Busyra al-Karîm fi Masâ'il al-Ta'lîm. (Jedah: alHaramayn, tt.), hlm 4, 100 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 290. 101 Potensi fitrah dalam ruh ini dikaji oleh Ibn Qayyim al-Jawzi dalam bukuinya Rûh li Ibn al-Oayyim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1403H). 102 Mengenai peristiwa yang dialami dalam masmg-masing alam ini, lihat Hadhari Nawawi, Hakikat Manusia menurut Islam, (Surabaya. al-Ikhlas, 1993), sebanyak 407 halaman.
104
perlunya moral agama dalam menjalankan fungsi hidupnya yang tidak bisa mengadakan keadaan dirinya.103 Mengaitkan 'aql dengan rûh dan fithrah dalam penjelasan Muhammad Abduh yang kedua ini menunjukkan bahwa akal berkaitan dengan persoalan ada yang keberadaannya immaterial bagian dari obyek tahu dalam aktivitas beipikir manusia pemilik akal. Term-term rûh, fithrah, dan 'aql ini menjadi kajian dalam disiplin psikologi Islam. 104 Selain itu, obyek akal akan berhubungan dengan obyek yang berupa materi (mâddah), sebab term fithrah dan bentuk kata kerjanya digunakan untuk menunjukkan penciptaan benda-benda empirikal berupa langit dan bumi beserta segala yang ada di dalam dan di antara keduanya (Q.S. alAn'am: 79 dan al-Anbiya: 56). Dalam kaitan adanya benda-benda material ini, fithrah diartikan sebagai penciptaan segala yang ada dari tiada oleh Pengada, yaitu Allah SWT yang Maha Pengada.105 Ketiga, akal memiliki muatan makna fungsional dan karakter yang sejalan dengan term qalb, ada yang tenang (muthmainnah). la patuh kepada ketentuan Tuhan (muhbit) dan, sebaliknya, yaitu ketika akal didominasi oleh pengaruh potensi yang menyuruh kepada perilaku buruk (nafs ammarah bi al-sû)106. Dalam rumusan akal yang ketiga ini, Muhammad Abduh menegaskan kaitan akal dengan perilaku eksternal sebagai refleksi dari perilaku internal yang subyek dan sumber perilaku itu adalah qalb dan nafs. Ketiga instrumen ruhiyah manusia ini saling pengaruh-mempengaruhi. Akal dalam fungsinya sebagai tali kekang, dapat mengendalikan aktivitas qalb dan nafs ke arah yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran din. Qalb yang disebut "hati" di antaranya berkarakter fluktuatif. Begitu pula nafs menerima pengaruh daya tarik perangai rendah tuntutan biologis (jasadiyah). Oleh karena itu. hati selain berfungsi sebagai locus 103 Lihat Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de men), terj. K.Bertens, (Ycgyakarta Kanisius, 2000), hkr.. 174-177 104 Lihat A.A.Wahab, An Introduction to Islamic Psychology, (Delhi: Institute of Objective Studies, 1996), hlm. 2-3, dan Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (AI-'Aql wa al-'IIm fi al-Qurân al-Karî m), terj. Abdulhay al-Katani dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 44, 105 Lihat Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, (Kairo: Dâr al Fikr al-'Araby, 1969), hlm 402-403, dan Muhammad Hasan al-'Amari, al-Qurân wa alThabai al-Nafsiyyah, (Al-Raudhah: al-Majlis al-A'la li al-Syuûn al-Islamiyyah, 1966), hlm 34-35. 106 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. 2:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 301.
105
ilmu juga locus perilaku internal yang mendorong perilaku eksternal melalui medium jasad manusia pemilik hati.107 Qalb didefinisikan, oleh al-Tibrizi, sebagai budi halus yang bersinar di dalam struktur batin manusia sebagai tempat perilaku terpuji yang menyuruh berbuat baik dan dapat mengenal Allah SWT.108 Al-Tibrizi membagi qalb ini menjadi tiga macam: (1) qalb 'âm, yaitu potensi yang bergerak mengitari dan berhubungan dengan keutamaan duniawi dan berkemampuan mentaati ketentuan yang diperuntukkan baginya, (2) qalb khâsh, yaitu potensi yang bergerak di sekitar akibat keutamaan duniawi, dan (3) qalb akhâsh al-khâsh, yaitu potensi yang menerangi di Sidrah al-Muntahâ akar perilaku betah dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Maha Penciptanya yang Maha Dekat.109 Sedangkan Nafs menurut al-Tibrizi adalah budi halus yang gelap dan berada di dalam struktur batin manusia sebagai tempat munculnya perilaku tercela yang menyuruh berbuat buruk. Sama seperti qalb. al-Tibrizi membagi nafs ini menjadi tiga peringkat: (1) nafs 'âm, potensi jiwa yang mendorong berbuat buruk, berdasarkan (Q.S. Yusuf: 53), (2) nqfs khâsh, yaitu potensi jiwa yang menyesali dirinya, berdasarkan (Q.S. al-Qiyamah: 2), dan (3) nafs akhâsh al-khâsh, yaitu potensi jiwa yang tenang yang secara total telah tunduk patuh kepada Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya, berdasarkan (Q.S. al-Fajr: 27). Potensi yang pertama disebut nafs al-ammârah bi al-sû, yang kedua nafs al-lawwâmah, dan yang ketiga nqfs al-muthmainnah.110
107
Lihat William C. Chittik, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The .Sufi Paith of Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad Nidjam dkk., (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 294-295, dan Ibrahim Basywai, Nasy'ah ai-Tashawuf aI-lsldmi. (Mesir. Dâr al-Ma'ârif, 1969), hlm, 58-62. 108 Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Asy'ary al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1981), hlm. 90. 109 Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, hlm. 91. Qalb yang ketiga inilah yang disebut al-Quran sebagai qalb salîm, (Q.S. al-Syuara: 89 dan Q.S. al-Shaffat: 84). Tingkatan jiwa ini dimiliki oleh para nabi, wali Allah, shâlihîn, dan mu minîn yang muhbitîn. Selanjutnya lihat Sayid Abd al-'Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb, (Jedah: al-Haramayn, tt), hlm. 243. 110 Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, hlm. 89, dan lihat Rifat Syauqi Nawawi , Kepribadian Qurani, (Jakarta: WNI Press, 2009), hlm. 57-58.
106
Mengacu pada pendapat al-Tibrizi, maka kedudukan 'aql muthmainnah dan muhbit berada pada peringkat qalb akhâsh al-khâsh dan nqfs akhâsh al-khâsh. Penjelasan hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Syams ayat 8-10. Menurutnya,
tazkiyah al-nafs adalah proses
menaklukkan pengaruh nafs peringkat pertama dalam diri manusia berakal.111 Keempat, akal adalah memahami (fahm) rahasia-rahasia hukum Allah dan mengambil manfaat dengan mematuhi aturan yang diperuntukkan bagi manusia berakal.112 Penjelasan dalam rumusan hakikat akal yang keempat ini, Muhammad Abduh menggunakan fungsi kinerja akal berupa memahami terhadap obyek yang dipahami yang terdiri dari rahasia-rahasia hukum Allah (sunan al-kawn dan sunan al-khalq) dan mengambil manfaat dari obyek yang dipahami dan menunduki aturan Allah bagi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa akal berkemampuan memahami obyek material di balik materi melalui jendela indera pendengaran. Term fahm digunakan untuk mengetahui proses mempersepsi makna sesuatu (alsyai) yang tersimbolkan dalam bentuk kata. Sesuatu yang ditunjuk oleh kata itu dapat berupa materi dan immateri dalam kerangka sarwa keadaan yang ada.113 Rahasia-rahasia hukum Allah adalah segala nilai manfaat dan tidak manfaat di balik bentuk ukuran sesuatu dan tuntunan perilaku manusia dan perilaku alam selain manusia, yang kesemuanya berpulang pada kebutuhan dan kepentingan hidup manusia. Sesuatu yang diperintahkan mengandung nilai manfaat jika dilakukan dan madharat jika ditinggalkan. Begitu pula, sesuatu yang
111
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, (Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1989), hlm. 110113. Tafsir ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad Baqir dan diberi pengantar oleh M. Quraish Shihab dengan penerbit Mizan, Bandung, tahun 1998. Akal yang tercerahkan melalui tazkiyyah ini berkemampuan menangkap makna-makna yang diisyiaratkan dalam simbol bahasa dan gerak benda, dan disebut perilaku mutawassimîn (Q.S. al-Hijr. 75). 112 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351. 113 Selanjutnya lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirut. Dar alFikr, 1993), jld. 1, hlm. 224, dan Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya; alMaktabah al-Tsaqafiyah, tt.), hlm. 10.
107
dilarang mengandung nilai madharat jika dilakukan dan bermanfaat jika ditinggalkan.114 Muhammad Rasyid Ridha menguraikan secara mendalam mengenai karakteristik hukum Allah yang berupa dîn Islâm yang di dalamnya terkandung pemenuhan kebutuhan manusia dalam menegakkan aktivitas akal. Menurutnya, tidak kurang dari sepuluh macam karakter Islam sebagai hukum Allah bagi manusia berakal, yaitu sebagai (1) dîn al-fithr (agama fitrah), (2) dîn al-'aql (agama rasional), (3) dîn al-fikr (agama pemikiran), (4) dîn al-'ilm (agama ilmiah), (5) dîn al-hikmah (agama kebijaksanaan), (6) dîn al-burhân (agama argumen demonstratif), (7) dîn al-hujjah (agama alasan), (8) dîn al-wijdan (agama kesadaran hati), (10) dîn al-istiqlâl (agama kemerdekaan).115 Kelima, akal adalah daya nalar kecerdasan jiwa (al-nafs al-nâthiqah) yang secara umum sejalan dengan muatan makna qalb. Qalb itu sendiri merupakan suatu subyek aku yang ditunjuk pemiliknya ketika menampakkan diri sebagai perpaduan potensi sanubari atau kecerdasan jiwa dan potensi nalar. Di dalam nafs nathiqah itu tercakup daya kesadaran jiwa (wijdan), nalar ('aql), dan rûh yang saling mempengaruhi di antara ketiganya ketika melakukan peran kognisi. 116 Mengenai daya nalar kecerdasan jiwa dan ruh dalam rumusan hakikat akal yang kelima tersebut, Muhammad Abduh mengakui adanya pengaruh sesuatu yang immateri terhadap yang immateri. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu alhasan ibn Yusuf al-Amiri, bahwa terdapat empat macam arus pengaruh, yang salah satunya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap immateri (nafs). Pengaruh lainnya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap materi (jism), pengaruh jism terhadap nafs, pengaruh nafs terhadap jism, dan pengaruh jism terhadap jism. Contoh bagi yang pertama adalah pengaruh nasihat, yang kedua seperti sihir penyebab penyakit fisik, yang ketiga seperti bunyi benda, dan yang keempat seperti daya magnetis. Selanjutnya, al-Amiri menegaskan bahwa Allah SWT 114
Selaniutnya lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh. (Beirut: Dar al-Fikr. tt.), hlm. 7-10. 115 Term-term ini dapat dikaji dalam karya Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy alMuhammadi, (Beirut. al-Maktabah al-Islami, 1971), sebanyak 430 halaman. 116 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351 dan QS. Al-Baqarah: 164, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 84.
108
meliputi dan menguasai segala yang ada dengan liputan taqdir. Jiwa dikuasai oleh akal dan akal tunduk kepada Maha Penciptanya.117 Ibn Sabin menjelaskan nqfs nâthiqah adalah potensi yang dimiliki oleh manusia, selain nafs hewani dan nabati, yang berkemampuan menerima ilmu dan kelembutan watak (hilm), mengetahui perbedaan nilai baik-buruk, menyenangi kebaikan dan membenci keburukan. Nafs nâthiqah ini tetap hidup setelah fisik kembali ke asalnya (mati). Nafs ini juga disebut sebagai al-nafs al-hikmiyah yang berkemampuan menangkap hakikat wujud dan menganalisisnya dalam struktur keilmuan.118 Term nafs nâthiqah ini merupakan potensi internal insan yang berkemampuan memahami makna yang terindera. Oleh karenanya, menurut Ibn Sina, nafs ini juga disebut akal yang berkemampuan ganda, yaitu daya mengetahui dan daya menggerakkan untuk berperilaku eksternal. Kemampuannya untuk mengetahui sesuatu lebih kuat ketimbang kemampuan indera.119 Keenam, akal adalah alat memahami sesuatu, pembeda eksistensi manusia dari yang bukan manusia, berkemampuan mengkaji dan mengetahui hukum kausalitas alam, memilah dan memilih nilai manfaat dan madharat di balik realitas yang ada di balik rahasia keberadaan realitas alam dan hukumnya yang diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadikan keberadaan alam itu sebagai dalîl akan keberadaan pembuatnya (Pengadanya), yaitu Allah SWT.120 Dalam rumusan hakikat akal yang keenam tersebut, Muhammad Abduh lebih merinci kemampuan akal sebagai alat dalam memahami obyek tahu berupa wujud alam, hukum-hukumnya, dan rahasia nilai manfaat dan madharat yang berada di balik semua obyek tahu yang dapat diketahui oleh akal yang bermuara pada pengetahuan keberadaan Maha Pencipta dan mentauhidkan-Nya. Rumusan 117
Selanjutnya lihat Evett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: AlAmiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, (New Haven: The American Oriental Society, 1988), hlm. 88 dan 122. 118 Lihat Abu al-Wafa al-Ghaynimi al-Taftazani, Ibn Sabin wa Falsafah al-Tashawuf, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Lubnani, 1973), hlm. 352-353. 119 Lihat Sayyed Hossein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun Syamsuddin, (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 75-76. 120 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:164. Lihat al-Manâr, jld.II, hlm. 63-64 dan QS. Al-Baqarah: 179, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 133.
109
ini sejalan dengan pendapat Naquib al-Attas yang berpendapat bahwa akal adalah suatu substansi ruhaniyah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan identitas diri yang mendasari hakikat manusia yang diisyaratkannya ketika menyatakan aku bagi dirinya.121 Term Fahm dimaksudkan sebagai quwwah mudrikah (daya memahami dan mengetahui). Dengan
menyebutkan term ini Muhammad
Abduh ingin
menunjukkan kinerja akal dalam berhubungan dengan obyek di luar dirinya adalah idrâk (memahami dan mengetahui). Secara eksplisit Muhammad Abduh memasukkan ke dalam term fahm ini unsur merasakan sesuatu secara benar (dzawq salîm) dan kehalusan kesadaran (luthf al-wijdân) sebagai pusat aktivitas kinerja akal.122 Dalam hal ini Muhammad Abduh mengikuti pendapat Fakhr alDin al-Razi. Term al-syu'ûr, al-fahm, dan al-hikmah (memahami rahasia sesuatu) merupakan bagian dari penjelasan konsep idrâk sebagai kinerja akal diajukan oleh Fakhruddin al-Razi. Menurutnya, indikator idrâk itu terdiri dari: (1) sampainya pengetahuan pada hakikat obyek tahu (al-liqa wa al-wushûl), (2) menyadari obyek tahu (al-syuûr) (3) mempersepsi obyek tahu (al-tashawwur), (4) mengingat makna obyek tahu (al-hifzh), (5) menghadirkan kembali ingatan makna obyek tahu (al-tadzakur), (6) suasana kembalinya ingatan makna obyek tahu (aldzikr), (7) mengetahui makna satuan obyek tahu secara parsial (al-ma'rifah), (8) memahami makna simbol bahasa yang terdengar (al-fahm), (9) mengetahui maksud pengguna bahasa (al-fiqh), (10) mengetahui makna bahan kesimpulan (aldirâyah), (11) mengetahui hakikat dan kegunaan obyek tahu (hikmah), (12) meyakini obyek tahu (al-yaqîn), (13) merekam makna obyek dalam memori (aldzihn), (14) proses menghubungkan makna parsial menjadi kesatuan makna suatu konsep (al-fikr), (15) menyerap makna obyek dalam jiwa (al-hads), (16) lintasan makna dalam jiwa (al-khâtir), (17) kecerdasan menyerap makna yang sampai pada yang dituju (al-dzakâ), (18) menyusun argumen yang akurat (al-fathânah), 121 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 41. 122 Lihat al-Manâr, jld. I, hlm. 27.
110
(19) menduga makna obyek tahu (al-wahm), (20) menduga keras makna obyek tahu (al-zhan), (21) imajinasi makna obyek terindera (al-khayâl), (22) mengetahui obyek tahu secara langsung (al-badîhah), (23) mengetahui hubungan makna antar obyek tahu secara langsung (al-awaliyat), (24) memahami obyek tahu secara mendalam dan berulang-ulang (al-ruwyah), (25) menangkap makna nilai manfaat obyek tahu (al-kayasah), (26) menguji akurasi makna obyek tahu (al-tajribah), (27) menyusun satuan makna obyek menjadi keputusan rasional (al-ra'yu), dan (28) menangkap makna internal obyek tahu dari yang eksternal (al-farasah).123 Memasukkan wujud alam beserta hukum-hukumnya, yang dapat diketahui akal sebagai dalil keberadaan Allah yang menciptakannya, menjadi pembeda pengetahuan berwawasan tauhid dari pengetahuan yang dikotomis sekuler. Dalil sebagai sesuatu yang memandu ke arah yang dituju, yaitu kebenaran obyektif rasional, spiritual, dan emosional yang terdapat dalam obyek tahu, berupa alam yang tercipta oleh Pencipta, disebut dalil kosmologis keberadaan Pengada yang ada sebagai obyek tahu.124 Ketujuh, akal adalah perpaduan daya kemampuan berpikir dalam otak dan daya memahami dalam jiwa mengenai sesuatu yang dituju oleh subyek yang diketahui (al-sya'i) yang berdampak pada perilaku.125 Dalam rumusan hakikat akal yang ketujuh tersebut, Abduh lebih menekankan pada mekanisme kerja esensi akal dalam mengetahui obyek tahu (alsya'i) sebagai suatu sistem berpikir yang melibatkan unsur al-ma'na, al-dimâgh, al-dzihn, al-nâfs, tadabbur, dan ta'ammul. Term-term ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengertian al-ma'na, menurut Ibrahim Anis dkk., adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh kata tertentu.126 Sedangkan menurul Ibn Sina, makna adalah 123
Lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld. 1, hlm. 223-227, dan
Abu Ali Fadhl bin al-Hasan al-Thabrusi, Majma al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm 157-158. 124 Lihat Muhammad ibn Shahih al-Utsymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, (Riyad. Dar alTsiraya, 1994), hlm. 14-15. 125 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 242. Redaksi rumusan akal ini lengkapnya adalah . al-Manâr, jld II, hlm. 453.
111
sesuatu yang diketahui oleh jiwa melalui cerapan indera, walaupun sesuatu itu tidak diketahui terlebih dahulu oleh indera.127 al-Dimâgh (otak) adalah suatu alat di dalam tubuh manusia, yang selain berfungsi menerima kenyataan dari segala peristiwa dan keadaan di luar badan, juga menjadi alat untuk menyatakan hadirat manusia sebagai makhluk yang sadar akan diri sendiri dan alam di sekeliilingnya.128 al-Dzihn difenisikan oleh Abu Hilal al-'Askari sebagai lawan dari buruknya pemahaman, dan ia berarti sesuatu yang menyatakan tentang adanya hafalan sesuatu yang diketahui.129 al-Nafs adalah potensi jiwa penalaran dalam diri manusia berapa daya mcngetahui (quwwah 'aqliyyah, quwwah mudrikah, nafs nâthiqah) yang disebut pula dengan qalb.130 Tadabbur yaitu memahami akibat-akibat obyek tahu secara mendalam dan berpikir adalah kinerja daya nalar dalam mengetahui arti yang terkandung dalam obyek tahu.131 Ta'ammul adalah merenungkan obyek tahu secara cermat dalam memperoleh pengetahuan yang terjadi dalam durasi waktu tertentu.132 Pernyataan konsep dimagh dan nqfs dalam rumusan hakikat akal dalam pendapat Muhammad Abduh menunjukkan bahwa adanya akal bukan di otak semata, dan di dalam jiwa semata, tetapi bcrada di dalam keduanya sebagai satu kesatuan.. Mengenai di mana tempat keberadaan akal ini dalam struktur ruhaniyah manusia, berbeda dari pendapat Imam al-Syafi'i, akal berada di qalb berupa nûr (cahaya) yang menunjukkan bukan materi. Sedangkan menurut Imam Hanafi,
126
lbrahim Anis dkk, Qamûs al-Muhîth, hlm. 633. Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 474. 128 Lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 7. 129 Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.), hlm. 9. 130 Lihat Abu Hamid ibn Muhammad al-Gazali, Risâ lah al-Laduniyyah, dalam al-Qushû r al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 101. 131 Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq,hlm. 7. 132 lihat Abd al-Rahman al-'Aysawi, al-Islâm wa 'ilâj al-nafs, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 41. dan Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, hlm. 7. 127
112
Imam Ahmad, dan pada umumnya pakar kedokteran, letaknya berada di dimâgh (otak).133 Otak manusia yang beratnya rata-rata 1500 gram terdiri dari tiga bagian, yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari susunan sel-sel simpul saraf (ganglioncellen) yang besar-besar. Otak kecil yang berukuran kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari otak besar mempunyai susunan serat-serat yang menghubungkannya dengan otak besar dan sumsum punggung yang sangat kompleks, sehingga belum dapat diketahui semuanya. Sedangkan otak besar terletak di bagian depan pangkal otak, yaitu di dalam rongga kepala. la tidak dapat tumbuh ke arah kehendaknya sendiri, tetapi tumbuh seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian membelok ke atas dan ke belakang dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi. Bagian depannya disebut belah dahi, bagian tengah disebut belah pinggir, bagian belakang disebut belah kepala belakang, dan bagian bawah disebut belah pelapisan.134 Jumlah sei-sel otak yang dimiliki masing-masing individu manusia berbeda-beda banyaknya. Perbedaan inilah yang membedakan tingkat kecerdasan masing-masing individu dalam memperoleh sejumlah obyek tahu melalui kegiatan berpikir sebagai produk dari proses-proses bio-kimia yang terjadi di dalam otak. Dan jumlah sel otak ini kira-kira sepuluh milyar sel otak.135 Menurut Isaac Asimov, seperti yang dikutip oleh Jean Marie Stine, bahwa sel otak manusia itu sebanyak 200 milyar. la dapat menggunakan 100 milyar informasi, memiliki gerak pikiran berkecepatan 300 mil per jam, dan memiliki lebih dari 100 trilyun hubungan yang mungkin dibangun.136
133 Selanjutnya lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab alNafâis, (Jakarta; Dinamika Utama, tt.), hlm 271, dan Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa alDîn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), hlm 20-21. Muhammad Husayn al-Thabathaba'i berpendapat ada di otak. Lihat al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, (Beirut:Muassasah al-'Alamy, 1991), hlm. 53. 134 Selanjutnya lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia , hlm 8-10. 135 Lihat Muhammad Mahmud Abdul Kadir, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), tei] Rusjdi Malik, Cet 3, (Jakarta: Al-Hidayah, 1983). hlm 13. 136 Lihat Jean Marie Stine, Mengoptimalkan Daya Pikir, (Anonim: Delapratasa Publishing, 2001), hlm. xxvi.
113
Perbedaan jumlah sel
otak yang dimiliki oleh manusia membawa
perbedaan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan obyek tahu. Menurut alDarini, terdapat tiga peringkat kemampuan manusia dalam menggunakan potensi akal memikirkan obyek tahu: (.1) ilmuwan, yang mampu memikirkan segala alam tercipta sebagai obyek pikir dan mampu mengambil keputusan ilmiah dan apa yang dipikirkannya yang berujung pada meyakini adanya Maha Pencipta dirinya dan obyek yang dipikirkannya, yaitu Allah SWT; (2) manusia bersyukur, yang mampu memikirkan wujud lahir obyek tahu dan mengambil manfaat dari keberadaannya; dan (3) manusia pekerja, yang mampu memikirkan apa yang mesti diperbuat sebagai tugas kehambaannya.137 Begitu pula, manusia dengan daya ikhtiar yang dimilikinya tidak sama mendayagunakan potensi akal dalam mengetahui obyek tahu dan terjadi pemaknaan pada aspek-aspek tertentu yang membawa wujud perbedaan kualitas dan kuantitas kepemilikan pengetahuan masing-masing inidividu manusia. Hal ini bergantung pada penggunaan alat, bidang, bentuk, soal, dan obyek yang dipilih dalam berpikir serta tujuan yang akan diperoleh. Situasi ini membawa adanya tingkat pikiran manusia.138 Kedelapan, akal adalah potensi pikir yang dapat tercerahkan oleh cahaya (nur)
ketakwaan
peruntukannya.
139
dan
berkemampuan
memanfaatkan
fungsinya
sesuai
Akal ini merupakan akal besar yang disinari dengan kesadaran
ilahiah (dzikir Allah).140 Konsep penjelas utama dalam rumusan hakikat akal yang kedelapan, Muhammad Abduh menggunakan cahaya yang mencerahkan (nûr), ketakwaan, akal besar, dan kesadaran ilahiah. Term-term ini tennasuk lazim digunakan oleh para filosof muslim dalam memahami hakikat akal, baik menurut akal maupun menurut sumber al-Quran dan al-Hadits.
137
Abd al-Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb hlm. 31. Paryana Suryadipura, Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit, (Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm. 235. 139 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:197. Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 229. 140 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:7. Lihat al-Manâr jld.III, hlm. 171-172. 138
114
Esensi akal sebagai nûr (cahaya) dikemukakan oleh Sayidina Ali KW dan Ibn Abbas. Kedua sahabat ini berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan akal dari nûr yang berkemampuan memahami dan mengetahui obyek tahu. Kegiatannya itu melahirkan sejumlah ilmu.141 Al-Mawardi mengatakan bahwa akal merupakan substansi halus yang berkemampuan menganalisis dan membeda-bedakan esensi obyek tahu. Akal ini disebutnya sebagai al-'aql al-ghârizi, yaitu potensi yang melekat dan menyatu dengan watak penciptaan dan dapat ditransmisikan melalui pewarisan watak secara genetis. Sedangkan akal yang berkemampuan mengetahui obyek tahu melalui upaya maksimal dalam meneliti, mengkaji, dan menganalisis obyek tahu disebut al-'aql al-muktasab. Nûr sebagai esensi akal ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Nur. 35 dan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa "akal itu cahaya di dalam qalb yang dapat membedakan yang hak dari yang batil."142 Akal yang tercerahkan dengan cahaya ketakwaan dan sinar ilahiah, juga dikaji oleh Imam al-Ghazali ketika menafsirkan Q.S al-Syams: 7-9 dan Q.S. alNur. 40, bahwa fungsi nûr itu dapat memperoleh ilmu sebagai nûr juga.143 Oleh karenanya akal dapat memahami wahyu yang disebut juga sebagai nûr yang menerangi jalan hidup dan kehidupan manusia dalam menjalankan tugas ke'abidan dan kekhalifahan.144 Akal yang tercerahkan ini, menurut Ibn Miskawih, adalah al-quwwah al-nâthiqah (fakultas berpikir) yang terhindar dari dominasi alquwwah al-ghadhabiyyah (fakultas amarah), dan al-quwwah al-syahwaniyyah (fakultas naluri biologis).145 Akal yang tercerahkan ini disebut pula sebagai akal yang sehat sebagai lawan dari akal yang sakit yang tidak tercerahkan oleh cahaya ilahiyah. Akal sehat 141
270
142
Lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhâb al-Nafâis, hlm
Lihat Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn, hlm 20-22. Lihat Imam al-Ghazali, Risalah al-Ladunniyah, hlm. 122. 144 Selanjutnya lihat Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif Rahmat, (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998), hlm. 176, dan Yusuf al-Qardhawy, Al-Quran dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah al-'UIya fi al-Islâm li al-Qurân wa al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 359. 145 Lihat Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul Kamal, (Bandung. Mizan, 1994), hlm. 43-44. Suwito mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih mengenai konsep pendidikan sebgai disertasi, lebih lanjut lihat Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibn Miskawaih ,(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1995) 143
115
inilah yang dapat bergerak ke arah mendekati Pcnciptanya yang Maha Suci, senang dalam ketaatan, mencintai kebenaran, dan benci kebatilan. 146 Akal kabîr, jika dikaitkan dengan struktur otak instrumen bersemayamnya daya pikir sebagaimana dijelaskan oleh Paryana Suryadipura, maka "akal kabir sejalan dengan fungsi akal besar. Otak sebagai pusat kesadaran kognitif disebut pula dengan dua sebutan yaitu "alam shagîr" dam "alam kabîr”. Hal ini dikemukakan oleh Bahaudin Mughary, menurutnya bahwa, otak manusia mempunyai atau terdiri dari dua pusat. Pertama, adalah pusat yang menuju ke alam lahir (logis, corporiil, materiil, riil) yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan, dengan dunia luar atau yang disebut "alam saghîr". Pusat yang kedua berfungsi mengadakan hubungan dengan dunia dalam yaitu alam yang irriil, immateriil, abstrak, metafisis, yang juga disebut sebagai "alam kabîr”.147 Kesembilan, akal adalah alat memperoleh hikmah (wisdom). la merupakan neraca setimbang (al-mîzân al-Qisth) yang mampu menimbang semua getaran hati (khawâthir) berupa idea, gagasan, kehendak, dan pengetahuan. la mampu membedakan (yumayyizu) antara pembentukan konsep satuan pengetahuan berupa pembentukan konsep (tashawwurât) dan pembentukan keputusan (tashdîqât).148 Dalam rumusan hakikat akal kesembilan tersebut,
Abduh lebih
menekankan pada aktualisasi metode kerja akal dalam memperoleh pengetahuan, berupa tata aturan berpikir logis menurut aturan logika (manthîq). Hal ini ditunjukkan dengan konsep utama sebagai penjelas hakikat akal, yaitu al-mîzân al-qisth, al-khawâthir, al-mudrakât, yumayyiz bih, al-tashawwurât dan altashdîqât. al-mîzân al-qisth, yang secara lughawi berarti timbangan yang setimbang untuk menimbang sesuatu secara setimbang antara timbangan dan yang 146
Lihat Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the Sciences of Nature), terj. Agus Effendi, (Bandung. Mizan, 1989), hlm. 102-103, dan Evert K. Roswon, A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, hlm. 154-160. 147 Bahaudin Mudhary, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa Metafisika alMi'raj, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), hlm 124-125. 148 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:269. . Lihat al-Manâr, jld III, hlm. 75.
116
ditimbang, dijadikan oleh Muhammad Abduh sebagai penjelas hakikat akal. Hal ini menunjukkan bahwa akal berfungsi dan mampu menimbang sesuatu yang abstrak sebagai obyek tahu guna menemukan kebenaran obyektif rasional, sebab al-qisth juga berarti keadilan yang berarti memposisikan sesuatu sesuai posisi peruntukannya.149 Term al-mîzân digunakan oleh Imam Ghazali sebagai sebutan bagi proses berpikir logis dengan menggunakan disiplin logika dalam menimbang dan menemukan hakikat suatu obyek yang dipikirkan oleh akal. Mizan ini disebut pula sebagai mîzân al-Qur'an (tata pikir menurut al-Qur'an) dan mîzân ruhani (tata pikir dunia makna). Obyek mîzân al-Qur'an ada lima macam, yaitu: (1) ma'rifah tentang Allah. (2) malaikat, (3) kitab, (4) rasul, dan (5) mulk al-Lâh, yakni kerajaan Allah.150 Mîzân al-Qur'an, sebagai tata aturan berpikir logis, dibagi oleh Imam alGhazali menjadi lima macam, yaitu: (1) mîzân al-ta âdul al-kubra (penalaran dengan menggunakan pola syakal awal dari qiyas iqtirani) , (2) mîzân al-ta'âdul al-awsath (penalaran dengan menggunakan pola syakal tsani dari qiyas iqtirani), (3) mîzân al-ta'âdul al-ashghar (penalaran dengan menggunakan pola syakal tsalis dari pola qiyas istitsnai), (4) mîzân al-talâzum (penalaran dengan menggunakan pola hukum kausalitas itsbat), dan (5) mîzân al-taânud (penalaran dengan menggunakan pola hukum kausalitas nafy).151 Penjelasan istilah-istilah ini dapat digunakan menjadi bagian analisis epistemologis dalam mengembangkan ilmu dakwah. Al-khawâthir berarti lintasan-lintasan pikiran. Term ini merupakan bentuk jama' dari al-khâthir, yaitu segala sesuatu yang terlintas dalam hati dan pikiran.152 Dengan memasukkan term ini ke dalam penjelasan hakikat akal menunjukkan bahwa mekanisme kerja akal melibatkan aspek daya qalb yang berkemampuan memahami sesuatu.
149
Lihat Ibn Qayim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, hlm. 184. Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqîm, dalam alQushûr al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm 14-15. 151 Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, alQisthas al-Mustaqîm,hlm. 18. 152 Ibrahim Anis dkk.. al-Mu jam al-Wasith,, jld. I. hlm. 243 150
117
Al-mudrakât berarti segala sesuatu yang diketahui oleh pikiran. la merupakan bentuk jama' dari al-mudrak. Dimasukkannya term ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja akal melibatkan potensi daya nalar, yaitu kemampuan perseptif atau kognitif. Dalam filsafat Islam, potensi ini disebut al-quwwah almudrikah, yaitu kemampuan perseptif atau kemampuan kognitif. la terdiri dari dua macam: eksternal (zâhir) dan internal (bâtin). Yang disebut pertama meliputi pancaindera (al-hawâsul khamsah) yaitu daya peraba, perasa, penciuman, penglihatan, dan pendengaran; dan yang disebut belakangan mencakup inderaindera dalam, yaitu akal sehat (al-hissul al-musytarik), kemampuan formatif (alquwwat
al-mutasawwirah),
kemampuan estimatif
ingatan
(al-quwwa
(al-quwwah
al-mutadzakirah),
al-mutawahhimah).
Obyek-obyek
dan yang
diketahui melalui indera-indera luar disebut wajdaniyyat (intuisi-intuisi). Apa yang dipersepsi pertama kali dengan indera-indera luar dan kemudian oleh inderaindera dalam, adalah bentuk obyek-obyek yang dapat diindera, dan apa yang dipersepsi dengan indera-indera dalam sendiri adalah makna dari suatu benda.153 Yumayyiz bih, berarti dapat membedakan sesuatu yang menjadi obyek yang dipikirkan oleh akal. Dengan memasukkan term ini, Muhammad Abduh ingin menunjukkan bahwa akal berkemampuan membedakan obyek tahu, memilih dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik. Menurut hasil penelitian Harun Nasution tentang kemampuan dan kekuatan akal dalam pembicaraan persoalan teologis, ternyata Muhammad Abduh menempatkan kekuatan akal lebih banyak ketimbang kelompok Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyyah, Samarkand, dan Matundiyyah Buchara. Hal ini dikaitkan dengan persoalan hubungan akal dengan wahyu dalam mengetahui sesuatu obyek tahu sebagai basis epistemologis.154 Berkaitan dengan kekuatan akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, Azyumardi Azra berpendapat bahwa ”Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan
153
Syekh Said, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 1992), hlm. 122. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu tazilah,(Jakarta: UI Press, 1987) hlm 56-57. 154
118
membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber pada wahyu Allah itu temasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya”.155 Al-tashawwurât dan al-tashdîqât berarti pembentukan konsep dan pembentukan keputusan dalam proses berpikir. Dengan memasukkan kedua term tata aturan berpikir ini ke dalam penjelasan hakikat akal, Muhammad Abduh ingin menunjukkan tentang bentuk mekanisme kerja akal dalam mengetahui obyek tahu melalui tashawwur dan tashdiq. Tashawwur dan tashdiq didefinisikan oleh Said al-Taftazani, bahwa Tashawwur adalah memahami makna obyek tahu dengan tidak menghubungkan dengan makna obyek tahu yang lainnya. Tashdiq adalah memahami hubungan antara satu makna obyek tahu dengan yang lainnya dengan menetapkan antara satu makna obyek tahu kepada yang lainnya. Yang pertama merupakan kegiatan pembentukan pengertian (ta'rîf dan qawl syarh) dan yang kedua merupakan kegiatan pembentukan dailîl dan hujjah. Al-Jurjani mendefinisikan tashawwur dan tashdîq, bahwa Tashawwur adalah diperolehnya gambaran sesuatu di dalam memori. Mengetahui sesuatu hakikat dengan tidak menetapkan tetapnya sesuatu atau tidak tetapnya sesuatu atas suatu hakikat. Sedangkan Tashdiq adalah pilihan menetapkan suatu kebenaran kepada obyek yang diberitakan.156 Kesepuluh, akal adalah sinonim dengan lub dengan alasan bahwa lub merupakan tempat daya hidup sesuatu, tempat keistimewaan dan kegunaannya. Sedangkan keistimewaan daya hidup manusia adalah daya akalnya. Setiap akal memungkinkan untuk dapat mengambil kegunaan dari hasil memperhatikan ayatayat Allah dan menjadikannya sebagai dalil atas kekuasaan Allah dan mengambil hikmahnya.157 Dalam rumusan penjelasan hakikat akal yang kesepuluh tersebut, Abduh menyamakan hakikat akal dengan hakikat lub, yang secara lughawi berarti 155 Azyumardi Azra, ”Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Kehampaan Spiritualitas Masyarakat Modern, ed. Nurcholis Madjid dkk., (Jakarta: Mediacita, 2000), hlm. 391. 156 Lihat Abdullah bin Fadhl al-Khabishi, Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb
al-Manthiq, (Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965), hlm. 9, dan Hasan Darwisy al-Quwsyini, Syarh ala Matn al-Sulam,(Surabaya: Maktabah Said bin Nabhan,tt) hlm. 10. 157 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:190. Lihat al-Manâr, Jld. IV, hlm.296.
119
mempunyai biji, berotak, benak, dan hati. Bentuk jama' dari kata lub adalah albab, sementara ism fa'ilnya adalah labib.158 Dan lub berfungsi sebagai simbol keunggulan kehidupan manusia yang mampu memikirkan secara mendalam ayatayat Allah sebagai obyek tahu dan mengambil faidah dan hikmah dari hasil pemikirannya itu. Ini kemudian bermuara pada pengakuan akan adanya Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Muhammad Ismail Ibrabim menjelaskan arti kata lub ini, bahwa Lublubabah berarti memiliki akal. la adalah esensi segala sesuatu. Esensi dari segala sesuatu adalah kemurnian esensinya, atau substansi dan esensi sesuatu, seperti biji kenari dan sebangsanya yang berada di tengah-tengah benda itu. Lub juga berarti akal karena ia merupakan substansi manusia. Bentuk jama'nya adalah albâb.159 Dengan memasukkan "kemampuan memikirkan sesuatu secara mendalam sehingga mampu memperoleh dan mengambil faidah dalil dan hikmah menjadi khâshshâh (keunggulan pembeda manusia dari yang bukan manusia)" sebagai penjelas hakikat akal, Muhammad Abduh hendak menunjukkan bahwa akal memiliki keunggulan dalam memahami obyek tahu sebagai potensi yang hanya dimiliki oleh pemilik akal. Kemampuan ini, menurut Fakhruddin al-Razi, disebut sebagai al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-'aqliyah yang dimiliki manusia selain al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-hâssah (daya pencerapan indera lahir, atau daya sensasi). Dua daya ini masing-masing memiliki macam-macam kemampuan menurut peruntukannya yang berbeda di antara keduanya.160 Setelah diketahui akal dapat mengetahui dirinya, sesuatu di luar dirinya, dan tahu proses mengetahuinya, maka dakwah merupakan bagian dari sesuatu di luar dirinya yang menjadi obyek yang dapat diketahuinya. Implikasi dari konsep akal menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran dakwah antara lain tampak dalam mengkategorikan madu yang mesti dihadapi dengan metode hikmah adalah madu uqala (orang yang cerdik pandai). Dan dapat dipahami pula, bahwa Muhammad 158
Abduh
telah
memberikan
kontribusi
epistimologis
bagi
Lihat Alias A Elias dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie, (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983), hlm. 938-939. 159 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, hlm. 468. 160 Fakhruddin al-Razi, Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld.XII, hlm. 226-229.
120
pengembangan kajian dakwah Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu dalam Islam, dengan menerapkan kaidah-kaidah manthiqiyah dalam pembentukan konsep dan argumen keilmuan dakwah sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Karakteristik epistimologis yang diajukan Muhammad Abduh bercorak rasional taksonomis tidak rasional dikotomis. Namun akal juga terbatas, karena terkadang tidak mampu menentukan kebenaran di luar wilayah jangkauannya. Keterbatasan ini terjadi terutama ketika akal didominasi oleh pengaruh hawa dan syahwat. Untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan perjalanan hidup hakiki menurut pencipta manusia, dengan demikian, memerlukan hidayah lain yang membimbingnya, yakni macam hidayah keempat yaitu hidâyah al-dîn. 161 Keempat, hidâyah al-dîn (hidayah agama). Hidayah al-dîn ini memberikan petunjuk penjelasan dan bimbingan tentang jalan kehidupan yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi manusia berakal. Hidayah ini juga memperingatkan jalan kehidupan yang dapat mengantarkan kepada kesesatan dan kecelakaan hidup. Terhadap dua jalan ini manusia berakal dengan potensi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih dapat menentukan pilihannya jalan mana yang akan ditempuh dari kedua jalan kehidupan itu dengan risikonya masing-masing.162 Mencermati pandangan Muhammad Abduh mengenai konsep akal, kebebasan berkehendak, kebebasan memilih dalam menentukan tindakan bagi manusia dan peran hidayah dalam agama Islam tersebut, dapat digolongkan ke dalam teori pilihan rasional atau paradigma tindakan rasional yang diajukan oleh James S. Coleman (W. 1995M), teori ini antara lain menegaskan bahwa, nilai dan norma yang bersumber pada kepercayaan mendasari niyat atau kehendak, dan kehendak ini melahirkan pilihan tindakan seseorang, ketika menentukan pilihan, rasiolah yang berperan untuk bertindak dan tindakannya itu guna mencapai tujuan sesuai nilai dan norma yang diyakininya. Kemudian, suatu tindakan atau pilihan
161 162
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63-64.
121
dapat dikategorikan rasional, jika mengikuti premis yang mendasar dan menjastifikasi pelaksanaannya.163 Kemudian Muhammad Abduh mengakui bahwa ada satu macam lagi hidayah selain keempat hidayah tersebut, yaitu hidâyah al-iânah wa al-tawfîq (hidayah perbantuan dan pertepatan). Sehubungan dengan hidayah ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, masih ada hidayah yang lain, yakni apa yang diungkapkan oleh Allah SWT: „Mereka itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuknya.164 Apa yang dimaksud dengan hidayah di sini bukanlah hidayah yang telah disebut terdahulu. Hidayah dalam ayat-ayat terdahulu itu bermakna „dilâlah yang berfungsi untuk menghentikan manusia pada ujung dua jalan kecelakaan dan keselamatan sambil menjelaskan hal-hal yang bisa meratakan jalan ke arah keduanya. Hidayah ini diberikan oleh Allah secara „cuma-cuma kepada seluruh manusia. Adapun hidayah yang ini bersifat lebih khusus ketimbang yang tadi. Hidayah ini dimaksudkan sebagai perbantuan dan pertepatan kepada manusia untuk berjalan pada jalan kebaikan dan keselamatan sambil terarah dengan baik. Hidayah ini tidak diberikan kepada sembarang orang sebagaimana indera, akal, dan syariat agama. 165 Muhammad Abduh memberikan catatan bahwa antara macam hidayah kelima ini dengan hidayah al-dîn tidak ada pertentangan, sebab hidayah yang diberikan menjadi kewenangan Nabi SAW. adalah memberikan petunjuk kepada kebaikan (al-khayr) dan kebenaran (al-haq), yakni jalan yang lurus (al-shirâth almustaqîm), nama lain dari dîn al-islâm. Sedangkan memberikan dan menjadikan orang menerima dan mencocokkan tata lakunya dengan al-islâm tidak menjadi kewenangan Nabi SAW., tetapi merupakan hak prerogatif Allah SWT, yang dengan hak-Nya ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berdoa sebagai bukti status kehambaan manusia di hadapan Allah SWT Maha Pencipta. Dengan
163 Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Modern Sociological Theory, oleh Alimandan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 391-402. 164 Q.S. Al-Anâm (6):90. 165 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 64. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. AlFatihah:6. Hidayah al-tawfîq ini disebut juga sebagai al-hidâyah al-qalbiyyah al-bâthiniyyah (hidayah hati batin). Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al-Tafâsîr lî Kalâm al-„Âly al-Kabîr, jld. I (Mesir: Dar al-Salam, 1992), hlm. 15.
122
demikian, menurut Muhammad Abduh, bahwa arti „ihdinâ al-shirâth almustaqîm berilah kami petunjuk yang disertai oleh perbantuan gaib dari sisi-Mu yang memelihara kami dari kesesatan dan kesalahan. Permohonan ini tidak merupakan doa pertama kita kepada Allah kecuali disebabkan kebutuhan kita terhadapnya lebih besar ketimbang kebutuhan kita terhadap hal-hal lainnya.166 Jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm) dipahami oleh Muhammad Abduh sebagai totalitas sesuatu yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan dunia akhirat dalam bentuk akidah, adab, hukum, dan ajaran-ajaran. 167 Dalam membuat kategori macam-macam hukum bagian dari unsur ajaran Islam, Muhammad Abduh mengikuti kategori fuqahâ, yaitu wâjib, mandûb, mubâh, harâm, dan makrûh. Macam-macam hukum ini merupakan sistem nilai dan
norma
bagi
kahidupan
manusia
berakal
yang
menuntut
untuk
diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan berupaya menundukkan segala tantangan yang datang dari potensi syahwat dan hawâ yang negatif dalam diri individu manusia. Syahwat (keinginan, kecenderungan), dipahami oleh Muhammad Abduh bahwa, kata „syahawât merupakan bentuk plural dari kata „syahwah yaitu kecenderungan jiwa dengan merasakan kebutuhan atas sesuatu yang dianggapnya menyenangkan.168 Hawâ (kecondongan jiwa) dapat memalingkan dari berbuat adil terhadap sesuatu dan adil ini merupakan salah satu karakteristik Islam. Term hawâ ini ada yang digabungkan dengan term nafs yang negatif menjadi hawâ al-nafs yang mengacu pada situasi potensi atau daya kejiwaan manusia yang mendorong kepada hal yang negatif dan dapat mempengaruhi kejernihan akal yang menjadi penyebab munculnya perbuatan negatif. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan, adapun sebab yang mengakibatkan orang yang sudah
166
Al-Manâr, jld. I, hlm. 65. Berdoa secara psikologis merupakan ekspresi fithrah diniyah (naluri keagamaan) manusia, dan bagian dari macam beribadah kepada Maha Pencipta manusia, lihat Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, hlm. 105-108. 167 Al-Manâr, jld. I, hlm. 65. 168 Al-Manâr, jld. III, hlm. 238. Ungkapan ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran (3):14, ayat ini mengenai adanya kecenderungan manusia mengenai perhiasan duniawi. Lihat pula AlManâr, jld. III, hlm. 239 dan 246-247.
123
mengetahui hidayah kemudian meninggalkannya tidak diragukan lagi merupakan suatu situasi nafsani yang kuat seperti iri-dengki, perlawanan, ambisi kekuasaan, kesombongan, nafsu syahwat yang mengalahkan akal, primordialisme, dan perkataan yang memperturutkan hawa nafsu. 169 Kemudian menurut Muhammad Abduh, hidâyah hawâsî disebut pula sebagai al-quwwah al-zhâhirah (daya kognisi lahir) dan hidâyah „aqal sebagai alquwwah al-bâthinah (daya kognitif dalam). Masing-masing memiliki aktivitas sesuai peruntukannya, yakni mengetahui obyek-tahu yang berwujud materi dan immateri. Adapun yang menyertai dua macam hidayah ini, yaitu hawâ al-nafs, yang mendorong lahirnya al-syahwah al-bâthiniyah (keinginan biologis dan hewani). Dengan dorongan keinginan inilah manusia bisa berperilaku seperti alanâm (hewan ternak) bahkan lebih jahat. Oleh karena itu, dengan hidayah akal yang memiliki quwwah al-tamyîz (daya pembeda antara yang hak dan yang batil) dan quwwah al-ikhtiyâriyyah (daya memilih), manusia dihadapkan pada pilihan apakah mau melakukan tazkiyyah al-nafs (menyucikan jiwa) atau tadsiyyah alnafs (mengotori jiwa). Bagi yang pertama melahirkan perilaku baik dan yang kedua melahirkan perilaku jelek.170 Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, kebahagiaan dan kerugian, keselamatan dan kecelakaan manusia ditentukan oleh perilaku dan pilihannya sendiri. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa urusan dan keputusannya terpulang pada usaha dan upaya manusia. Di antara wujud kasihsayang Allah SWT kepadanya adalah bahwa Allah memberikan ilham kepada sebagaian anggota manusia dan mengajarinya berbagai jalan petunjuk. Maka, siapa yang menempuh jalan tersebut beruntung dan berbahagialah dan siapa yang menyalahinya akan merugi dan celaka.171
169
Al-Manâr, jld. V, hlm. 416. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 115, ayat ini mengenai ancaman bagi orang yang tidak mengikuti ajaran Islam. 170 Lihat Syaikh Muhammad Abduh, Tafsîr Juz „Amma (Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989), hlm. 110-111. Penjelasan ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Syams: 7-10 dan Al-Manâr, jld. II, hlm. 242, jld. IV, hlm. 448. 171 Al-Manâr, jld. I, hlm. 285. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 38-39, ayat ini mengenai bagian kisah Adam A.S dan balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan orang kafir.
124
Dengan term yang berbeda mengenai kategorisasi nafs yang dimiliki manusia, sebelum Muhammad Abduh telah banyak dikaji oleh para filosof Muslim di bidang pemikiran akhlak dan tasawuf. 172 Mereka pada umumnya ada yang membagi kepada tiga macam kategori nafs dan ada yang membaginya menjadi enam macam kategori nafs sebagai hasil istinbâth (penalaran deduktif pada teks) Al-Qurân yang menyinggung masalah nafs. Al-Tabrizi173 meyakini bahwa ada tiga macam nafs sebagai daya yang terdapat dalam qalb manusia dan ia merupakan tempat daya dorong perilaku tercela dan buruk, yaitu: (1) al-nafs alammârah bi al-syar (jiwa pendorong pada keburukan), (2) al-nafs al-lawwâmah (jiwa pendorong pada penyesalan), dan (3) al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Ketiga macam nafs ini melahirkan perilaku empiris melalui instrumen pancaindera dan anggota badan lahir, baik yang tercela maupun yang terpuji. Bagi yang pertama, Al-Tabrizi mengacu pada Q.S. Yusuf: 53, yang kedua mengacu pada Q.S. al-Qiyâmah: 2, dan yang ketiga mengacu pada Q.S. al-Fajr: 27.174 Dalam pada itu, nafs menurut Muhammad al-Sayid Arnaûth ada enam macam peringkat, yaitu: (1) al-nafs al-ammârah bî al-sûi yang disebut maqâm zhulumât al-aghyâr (tampat kezaliman pada orang-orang lain). Nafs ini mendorong pada perilaku tercela dan buruk karena kecondongan wataknya pada keinginan-keinginan jasad (biologis). Ia tidak mau pada kebaikan. Ini merupakan peringkat nafs terendah; (2) al-nafs al-lawwâmah yang disebut maqâm hudûts alanwâr (tempat munculnya cahaya-cahaya). Nafs ini setelah mengikuti dorongan nafs ammârah segera muncul kesadaran pada dirinya dengan menyesali apa yang telah dilakukannya. Nafs ini lebih atas derajatnya daripada nafs yang pertama; (3) 172
Misalnya, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih yang pernah dipelajari oleh Abduh dan juga diajarkan melalui kegiatan belajar-mengajarnya. Lebih lanjut lihat Abu al-Fatah Muhammad Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 472-477, Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah „inda al-„Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 144-148, dan Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal (Bandung: Mizan, 1944), hlm. 35-43. 173 Lihat Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asyari al-Tabrizi, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al-„Arabi al-Islâmi (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981), hlm. 89-90. 174 Zainun Kamal mengajukan hal yang sama dengan tiga macam nafs ini. Lihat Zainun Kamal, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhi Munawar-Rahman (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 203-204.
125
al-nafs al-mulhamah (jiwa terinspirasi) yang disebut maqâm dark al- asrâr fî alkhayr wa al-syar (tempat mengetahui beagam rahasia kebaikan dan keburukan). Nafs ini berkemampuan mengetahui dan membedakan antara sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk dan menjadi basis pertimbangan potensi ikhtiar untuk mengambil putusan pilihan perilaku; (4) al-nafs al-muthmainnah yang disebut sebagai maqâm al-tawâzun al-nafsî (tempat keseimbangan jiwa). Nafs ini berkemampuan mendorong
kepada
perilaku
terpuji
dan
baik,
dengan
menggantikan sifat-sifat yang tercela, seperti rasa cinta, kasih sayang, lemahlembut, harga diri, dan kedermawanan; (5) al-nafs al-radhiyyah (jiwa yang menerima) yang disebut sebagai maqâm nail al-washl (tempat memperoleh hubungan). Nafs ini berkemampuan membentuk ketenangan jiwa dengan menundukkan dorongan dan sifat-sifat tercela dalam dirinya. Ia merasa betah dan rela dalam menjalani kewajiban dan meninggalkan segala larangan yang akan mengotori dirinya; dan (6) al-nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai) yang disebut dengan maqâm tajâlî al-mawâhib al-ilâhiyyah (tempat tampaknya segala pemberian Tuhan). Nafs ini berkemampuan dalam mewujudkan situasi jiwa selain ridha juga ikhlas (tulus) dalam menerima dan meyakinkan apa yang ditaklifkan pada dirinya oleh Allah SWT Maha Pencipta, segala perintah-Nya dilaksanakan dan segala larangan-Nya ditinggalkan. 175 Arnaûth seperti halnya Abu Yusuf bin Hasan al-„Amiri meyakini adanya pengaruh dan mempengaruhi antara nafs yang bersifat immateri dengan jasad yang bersifat materi. Di sinilah peranan dakwah Islamiyah berlangsung dalam sistem kehidupan psikologis manusia. Menurut Al-Amiri, bahwa ketika wujud materi dan immateri berinteraksi, maka ada empat macam pengaruh, yakni: (1) pengaruh materi terhadap materi, (2) pengaruh materi terhadap immateri, (3) pengaruh immateri terhadap immateri, dan (4) pengaruh immateri terhadap materi.176
175
Lihat Muhammad al-Sayyid Arnaûth, al-Ijâz al-„Ilmy fî al-Qurân al-Karîm, hlm. 388389 dan lihat pula Paryana Suryadipura, Alam Pikiran (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 55-58. 176 Lihat Everett K. Roswon, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-„Amiri s Kitâb al-Amad alâ al-Abad (New York: American Oriental Society, 1988), hlm. 122-126.
126
Muhammad Abduh, seperti halnya mufassir lain, meyakini bahwa manusia dengan berbekal hidayah gharîzah, hawâsî, „aql, agama, dan tawfîq diberikan amanat dan kewajiban yang melekat dalam fungsi dan peranannya sebagai hamba Allah („abd al-Lâh) dan khalifah-Nya di muka bumi. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk menyembah Allah saja seraya memurnikan agama bagi-Nya. Allah juga memberikan arahan kepada mereka dengan memberitahukan bahwa Allah memberikan anugrah penciptaan yang sama kepada mereka dan kepada generasi sebelum mereka untuk beramal secara mandiri. 177 Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, maka manusia, dengan bekal daya tersebut, tidak terbatas potensi dan keinginannya, tidak pula terbatas ilmu dan amalnya. Meski masing-masing individu lemah, ia bisa bekerjasama dalam alam secara tidak terbatas atas izin dan rekayasa Allah. Sebagaimana Allah memberinya anugrah-anugrah dan hukum-hukum alam tersebut agar tampaknya dengannya serba rahasia penciptaan-Nya dan kerajaan-Nya di muka bumi juga menundukkan gejala-gejala alam, Allah juga memberinya sejumlah hukum dan ajaran yang mengikat berbagai aktivitas dan moralitasnya, suatu ikatan yang di luar makar anggota dan kelompoknya satu sama lain. Hukum dan ajaran tersebut membantu manusia untuk sampai pada kesempurnaan karena ia mengarahkan dan membina akal yang memiliki kelebihan-kelebihan tadi. Atas dasar ini semua, Allah menjadikannya khalifah di muka bumi. Ia merupakan makhluk paling bermoral dengan predikatnya sebagai khalifah tersebut. 178 Dari pandangan Muhammad Abduh tersebut, sebagai kesimpulan deskriptifnya dapat dipahami bahwa akal menjadi keistimewaan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi dalam mengelola kehidupan dan lingkungan alam dengan berbagai macam sumber dayanya untuk kepentingan dan sarana beribadah kepada Allah SWT. Sebagai hamba Allah, manusia mengemban amanat agar ia
177 Al-Manâr, jld. I, hlm. 185. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah: 21, ayat ini mengenai perintah ibadah hanya kepada Allah SWT. 178 Al-Manâr, jld. I, hlm. 260. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah: 30, ayat ini mengenai informasi rencana Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi kepada malaikat.
127
hanya tunduk, patuh, taat, dan berbakti kepada dan karena Allah, menlenyapkan segala macam syirik dan pertuhanan kepada hawa nafsu, harta benda dunia, benda-benda alam, makhluk halus, sesama manusia, dan sebagainya. Dengan demikian aktualisasi aktivitas akal ke dalam prilaku pengamalan Islam merupakan dakwah transformatif rasional. Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanat pelaksanaan aturan Allah di muka bumi agar membina kemakmuran, peradaban, dan kebudayaan menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam hidayah agama yang membimbing akal manusia. Namun demikian, karena manusia memiliki potensi hawâ al-nafs yang berkemampuan untuk tidak taat, maka sebagai hamba dan khalifah Allah manusia ada yang menentukan pilihannya dengan kezaliman dan kerusakan di muka bumi. Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, menurut al-Mawardi, jika akal manusia dapat menaklukkan syahwatnya, maka ia akan lebih baik ketimbang malaikat. Jika syahwatnya yang menaklukkan akalnya, maka ia akan lebih jelek ketimbang binatang. Hal ini sebagaimana terungkap dalam pernyataan al-Mawardi bahwa, Allah menyusun malaikat dari akal tanpa syahwat, menyusun binatang dari syahwat tanpa akal, dan merakit manusia dari keduanya. Siapa saja yang akalnya mengatasi syahwatnya, ia akan lebih baik daripada malaikat. Siapa saja yang syahwatnya menguasai akalnya, ia akan lebih buruk daripada binatang. 179 Selain itu, manusia diajarkan al-bayân oleh Allah swt. Sebagai pembeda dengan yang bukan manusia, al-bayân ini sebagaimana diyakini oleh al-Syaukani ketika
menafsirkan
Q.S.
Al-Rahman:1-4,
yaitu
sebagai
kemampuan
berkomunikasi, dan dakwah Islam adalah “komunikaksi Islam”.180
179
Abu Hasan Ali al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 36. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual:Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 97. Kajian dakwah sebagai “komunikasi Islam” antara lain dilakukan oleh R. Agus Toha Kuswata, dalam karyanya Komunikasi Islam dari Zaman ke Zaman, ( Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990) 126 hlm, dan M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam:Kritik terhadap Konsep Komunikas Barat, (Bandung:Sahifa, 2008), 267 hlm. 180
128
b. Karakteristik Manusia sebagai Dâ’i Sebagaimana telah dijelaskan dalam status hukum dakwah, bahwa dakwah adalah kewajiban bagi Muslim dan mukmin menurut kadar kemampuannya masing-masing. Kemampuan manusia itu sendiri ditentukan oleh kualitas dan kuantitas aktualisasi potensi nafs yang dimilikinya. Hanya manusia yang berada dalam posisi nafs muthmainnah yang berposisi sebagai dâ i. Dalam aktualisasinya nafs muthmainnah pun akan berbeda derajat dan kualitasnya yang membuat status individu dâi menjadi berbeda. Dalam garis besarnya, dâi ini terbagi dua, yaitu nabi dan rasul Allah dan umatnya. Nabi dan rasul Allah, menurut Muhammad Abduh adalah sama. Kedua status itu berintikan pemberitaan dan penyampaian hidayah agama Allah SWT. kepada manusia pada zamannya masing-masing.181 Muhammad Abduh meyakini bahwa nabi dan rasul Allah terakhir adalah Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk seluruh manusia. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh berargumen bahwa, jika Allah memberimu keistimewaan dengan nikmat-nikmat yang banyak ini dan Dia mengutusmu kepada segenap manusia serta menjadikanmu nabi penutup, maka seharusnyalah kamu menjadi orang yang paling tinggi rasa syukurnya di antara sekalian manusia. Umatmu pun seharusnya melakukan hal yang sama agar dengan karunia tersebut mereka menjadi masyarakat terbaik di tengah-tengah manusia dan menjadi teladan bagi mereka dalam berbagai kebaikan. 182 Macam-macam nikmat dan keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah al-kitâb, al-hikmah, ilmu tentang hakikat peristiwa, perkara ghaib, perlindungan Allah dari orang-orang yang memusuhinya dan yang lainnya. Muhammad Abduh meyakini bahwa kehadiran rasul Allah merupakan bagian dari kebutuhan umat manusia, bahkan ia merupakan akal dan petunjuk 181
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 466. Pendapat Muhammad Abduh ini sama dengan pendapat Said bin Muhammad Basyan, lihat karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil alTa lîm, hlm. 5. 182 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 402. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 113, ayat ini mengenai perlindungan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dari musuh dan Allah memberikan Nabi kitab, hikmah dan ilmu yang belum diketahuinya.
129
umat dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan di luar jangkauan kemampuan hidayah hawâsi dan akal dengan cara beriman dan menerima persoalan-persoalan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan adapun sesuatu yang memungkinkan untuk diketahui tapi sulit diusahakan melalui indera dan akal, atau sulit didefinisikan, maka ia merupakan persoalan yang kita membutuhkan seorang petunjuk yang mengabarkan dari Allah SWT untuk kita meraihnya darinya atas dasar keimanan dan penyerahan diri. Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa rasul itu laksana akal bagi umat dan hidayah di balik hidayah indera, instink, dan akal.183 Sifat-sifat utama yang dimiliki oleh nabi dan rasul Allah sebagai dâi dan muballigh selain sidiq (jujur), fathânah (cerdas), amânah (terpercaya), dan tablîgh (transparan), adalah al-syajâah yaitu keberanian dalam menjalankan tugas dakwah Islam ketika berhadapan dengan madu yang memusuhinya. Mengenai sifat al-syajâah ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, bukti-bukti tersebut menunjukkan sesungguhnya Allah memberi nabi potensi keberanian, sesuatu yang tidak Allah berikan kepada selainnya di antara semesta alam. 184 Muhammad Abduh meyakini bahwa umat nabi wajib menaati apa yang dicontohkannya dalam melaksanakan tablîgh Islam. Hal ini menurutnya bahwa, ketaatan mereka terhadapmu bersifat wajib karena engkau merupakan muballigh utusan Allah. Ketaatan itu merupakan ketaatan kepada Allah. Siapapun yang taat kepada-Nya tidak akan berbahaya baginya perlawanan orang yang melawannya. 185
Kemudian, Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa apa yang menjadi tugas rasul menjadi sifat baginya sebagai dâ i dan muballigh petugas Allah, yaitu: (1) menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya, (2) menyucikan jiwa dari perilaku rendah, (3) mengajarkan al-kitâb, dan (4) mengajarkan al183
Al-Manâr, jld. II, hlm. 204-205. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. alBaqarah: 189, ayat ini mengenai adanya waktu tertentu pelaksanaan ibadah dan tata pergaulan. 184 Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84, ayat ini mengenai perintah berperang di jalan Allah. Selain sifat-sifat rasul yang disebutkan ini, Rasul juga bersifat tawadhu (santun) dan hayâ (malu), lihat Radhi al-Dîn al-Thabrâsi, Makârim alAkhlâk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), hlm. 13-20. 185 Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84.
130
hikmah dan mengajarkan hal-ihwal kejiwaan dan hukum-hukum ilahiyah yang semula belum diketahui. Pendek kata, dâ i seyogyanya memiliki keunggulan sifat dan perilaku dalam merealisasikan hidayah agama di hadapan mad u.186 Selain nabi dan para rasul Allah, manusia sebagai dâ i adalah umat para nabi dan rasul Allah, yang terakhir umat Nabi Muhammad SAW, yaitu semua orang yang beriman (al-muminûn), yang memiliki sifat khas sebagaimana dikemukakan Muhammad Abduh bahwa, mereka adalah kaum beriman kepada Allah dengan keimanan yang mengatasi akal, hati, rasa mereka dan menguasai dorongan-dorongan hawa nafsu mereka sehingga iman menjadi pedoman perjalanan hidupnya dalam keadaan apapun. Keimanan inilah yang diberi oleh Allah keistimewaan-keistimewaan dan sifat-sifatnya dalam banyak ayat dan tampak berbagai faidah dan dampaknya dalam perubahan keadaan bumi di tangan mereka. 187 Beberapa karakteristik dâ i yang dikemukakan Muhammad Abduh tersebut meliputi sifat nafsiyah dan sifat ijtimâiyyah. Sifat yang pertama berupa keimanan yang menguasai „aql, qalb, dan masyâir (rasio, hati, dan rasa) serta menundukkan dorongan hawa nafsu. Sifat yang kedua berupa kemampuan menggerakkan dan melakukan perubahan kehidupan sosial ke arah yang lebih maju. Sifat-sifat dâi ini, menurut „Aly bin Shalih al-Mursyid, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) sifat nafsiyyah (karakter personal), (2) sifat jasadiyah (karakter ragawi), dan (3) sifat ijtimâiyyah (karakter sosial). Unsurunsur yang terkandung dalam tiga kategori sifat ini dijelaskan sebagai berikut: Pertama, sifat nafsiyyah terdiri dari (1) penguasaan ilmu-ilmu Islam, (2) pengamalan ilmu Islam yang sudah diketahuinya, (3) ikhlash dalam beramal, (4) istiqâmah dalam menjalankan tugas, (5) al-„afw (pemaaf) dan al-tasâmuh (toleran), (6) al-tawâdhu (sopan santun), (7) al-„iffah (apik dalam urusan duniawi), (8) al-quwah (berdaya), dan al-„azimah (kokoh pendirian), (9) al-shabr, 186
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 27-31. Sifat-sifat ini bagian dari penafsiran Q.S. AlBaqarah: 151, ayat ini mengenai tugas Rasul Allah, 187 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran Q.S. Ali Imran: 104. Term „aql bersinonim dengan term hilm (kerendahan hati), nuhâ (mencegah dari perilaku madarat), lubb (inti sesuatu), hijr (menentang), dan qalb (hati). Lihat Hasan Muhammad Musa, Qamus Qurâny (Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966), hlm. 343.
131
(10) al-qanâah (sederhana tidak rakus urusan duniawi), (11) quwah al-bayân (kekuatan retorika), (12) al-waqâr (respek) dan al-razânah (kesungguhan), (13) al-taqwâ, (14) al-shidq (jujur), (15) al-hilm (bijak), (16) al-wiqâyah (menjaga diri) dan al-hadzr (waspada), dan (17) al-amânah (terpercaya); Kedua, sifat jasadiyah terdiri dari (1) sifat jasmani yang terhindar dari penyakit yang membuat madu menjadi tidak simpati dan menjauhkan diri dari dâi, (2) menarik dalam penampilan, (3) berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan (4) menampilkan keteladanan dalam aktivitas fisik. Ketiga, sifat ijtimâiyyah terdiri dari (1) husn al-khuluq (berakhlak mulia), (2) shahbah khiyâr (pandai bergaul), (3) al-mahabbah (cinta, kasih sayang), (4) al-wafâ bi al-„ahd (menepati janji), (5) al-karam wa al-sakhâ (dermawan), (6) al-sajâah (berani), dan (7) al-nizhâm (disiplin dan teratur).188 Dilihat dari kualitas pelaksanaan dakwah, ada dâi yang hanya berdakwah menurut kemampuan dan kesempatan yang tidak mmenjadikan dakwah sebagai kegiatan utamanya. Ada pula dâi yang dakwah itu sendiri menjadi kegiatan utamanya. Bagi kategori dâ i yang kedua ini, menurut Muhammad Abduh, mesti terlebih dahulu menjalani takwîn al-duât (proses kaderisasi dâ i), sehingga menjadi thâifah (kelompok khusus) sebagai “dâ i profesional” yang menguasai berbagai persyaratan keilmuan, keterampilan berdakwah, dan memiliki sifat-sifat nafsiyyah, jasadiyyah, dan ijtimâiyyah.189 Tergolong kepada dâi kategori khusus sebagaimana yang diajukan oleh Muhammad Abduh, penggolongan dâ i menurut materi dan cara penampilan dakwah. Penggolongan ini dilakukan oleh Ahmad al-Shawy dan Manâ al-Qathan, yaitu: (1) dâi mutakallim yang meendakwahkan tawhid Allah dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan, seperti al-Asyary dan al-Maturidi, serta para pengikutnya, (2) dâi mujâhid dan syuhadâ, yang mendakwahkan Islam dengan perbuatan seperti perang melawan musuh dalam rangka membela diri, (3) dâi 188
211-235.
Lihat Aly bin Shalih al-Mursyid, Mushthalahât al-Da wah fî al-„Ashr al-Haâdhir, hlm.
189
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-30. Abduh mengacu pada Q.S. al-Taubah: 122, ayat ini mengenai keharusan adanya sekelompok khusus yang mendalami agama, sebagai alasan pentingnya Takwîn al-du ât, selain dari term kuntum dan wa l-takun kalimat awal ayat 104 dan 110 Surah Ali Imran.
132
fuqahâ yang mendakwahkan syariat Islam seperti Imam madzhab yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafii, dan Imam Ahmad, (4) dâi shufi yang mendakwahkan ajaran tashawuf Islam seperti al-Junaidi, dan (5) dâi khuthabâ yang menjelaskan ajaran Islam melalui pidato.190 Dari beberapa pendapat yang sejalan dengan Muhammad Abduh mengenai pentingnya sifat-sifat nafsiyah, jasadiyah dan ijtimaiyah bagi dai, menunjukkan bahwa, sifat-sifat itu akan menjadikan da i menjadi kredible. Jika dai kredible, maka akan besar peluang untuk dapat mempengaruhi madu. Sebab, sifat–sifat bagi dai menyangkut ethos yang diperlukan dalam proes dakwah.191 Oleh karena itu, kredibilitas dai merupakan bagian dari faktor yang ikut menentukan keberhasilan dakwah dengan berbagai bentuknya. c. Hakikat Manusia sebagai Mad’u Manusia sebagai madu berhubungan dengan kualitas dan derajat aktualisasi potensi nafs yang dimiliki manusia dalam menyikapi hidayah agama Islam, apakah potensi akalnya yang dominan ataukah hawa nafsunya. Jika potensi akalnya yang dominan, maka manusia menerima hidayah agama Islam. Tetapi, terjadi perbedaan dalam kualitas pengamalannya dan tingkat komitmennya sehingga diperlukan bimbingan dan perbantuan untuk meningkatkannya. Manusia yang demikian adalah madu dengan kategori ummah ijâbah (individu komunitas manusia yang menerima hidayah agama) dan sebagai Muslim. Sedangkan manusia yang potensi hawa nafsunya dominan, ia menolak kehadiran hidayah agama Islam, tetapi masih berhak untuk menerima informasi tentang perlunya merubah cara menyikapi hidayah agama yang memang diperuntukkan bagi semua manusia berakal. Manusia yang kedua ini adalah madu dengan kategori ummah dawah (individu komunitas manusia yang berhak menerima hidayah agama
190 Lihat Ahmad al-Shawy al-Mâliki, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr alJalâlalin, hlm. 25 dan Manâ al-Qathan, al-Da wah ilâ al-Islâm (Beirut: al-maktab al-Islamy, 1397), hlm. 14-15, dan Muhammad Khalil Haras, Da wah al-Tawhîd (Beirut: Dâr al-Kutub al„Ilmiyah, 1986). 191 Hal ini didasarkan pada keyakinan pakar komunikasi mengenai ethos sebagai sumber kredibilitas komunikator. Selanjutnya lihat Raymond S. Ross, Understanding Persuation Foundation and Practice, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1985), hlm. 54.
133
Islam). Madu kategori kedua ini ada yang sudah menganut agama non-Islam atausama sekali tidak mengakui agama, bahkan menolak semua agama sebagai agamanya.192 Muhammad Abduh mengemukakan tentang manusia sebagai madu ini dari macam-macam sudut pandang kualitas kejiwaan manusia dalam menyikapi hidayah agama Islam. Peristilahannya dibangun dari peristilahan yang digunakan dalam Al-Qurân. berikut pandangan Muhammad Abduh mengenai macam-macam manusia sebagai madu. Pertama, madu al-dhâllûn, yaitu yang sesat dalam mencari kebenaran dan keliru menggunakan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran. Madu yang tergolong pada macam ini ada empat tipe, yaitu (1) manusia yang sama sekali belum menerima informasi Islam, atau ada yang pernah menerimanya tapi belum dapat memahaminya, dan ia masih mengandalkan kemampuan kognisi indera lahir dan potensi akal, (2) manusia yang sudah sampai kepadanya infromasi Islam, dan menjadikannya sebagai obyek untuk dipikirkan dan dikaji, tetapi belum menerimanya sebagai keyakinan untuk diamalkan, (3) manusia yang sudah sampai kepadanya informasi Islam dan ia menerima dan membenarkannya, tetapi tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam dan ia terjebak oleh penguasaan dorongan hawa nafsunya yang mengakibatkan terjadinya kekeliruan dan kesesatan dengan mengadakan bid ah (mengada-ada) dan khurafat (penyimpangan) dalam beragama yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qurân dan dicontohkan oleh generasi klasik Islam yang saleh, dan (4) manusia yang sudah menerima informasi Islam, tetapi keliru dan melakukan kesalahan dengan sengaja dalam memahami ajaran islam.193 Adanya keragaman kualitas penerimaan informasi Islam berimplikasi pada keragaman sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan beragama ini diakui juga oleh Abdul Aziz Qârah.194
192 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 107. Dua kategori mad u ini diajukan oleh Rasyid Ridha ketika meringkaskan pokok-pokok kandungan Q.S. al-Baqarah dari sudut pandang dakwah. 193 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Fatihah. 194 Abdul Aziz Qârah, al-Islâm wa Tafâdhul al-Qabâil wa al-Syuûb, (Madinah alMunawarah: Maktabah al-Malik Fahd, 1414 H), hlm. 36-37.
134
Kedua, madu al-kâfirûn, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran Islam dan menutupinya serta menolaknya dengan kesadaran dirinya. Perilaku permusuhan menjadi salah satu cirinya.195 Perilaku kufur merupakan sumber munculnya kerusakan dan menghancurkan kepribadian kemanusiaannya.196 Ketiga, madu
al-munâfiqûn, yaitu orang yang dalam lisan dan
penampakan lahirnya beriman, tetapi di dalam hatinya kufr. Ia mengkalim menipu Tuhan dan rasul-Nya. Padahal ia menipu dirinya sendiri walaupun ia tidak menyadarinya, memperolok-olokan, dan fasâd adalah bagian cirinya.197 Selain perilaku kemunafikan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, yang merupakan indikator kemunafikan seseorang adalah suka berdusta, ingkar janji, mengkhianati amanah dan senang bermusuhan terhadap sesama manusia. 198 Keempat, madu al-musyrikûn, yaitu orang yang menjadikan makhluk Allah dalam posisi Allah, dan menjadikan hawa nafsu dan produk pemikiran yang didominanasinya menjadi sesuatu yang ditundukinya menyertai pengakuan akan keberadaan Allah SWT sebagai Maha Pencipta.199 Syirik ini, ada syirik akbar dan syirik ashghar. Yang pertama sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh ini, dan yang kedua seperti riyâ.200 Kelima, madu Yahudi dan Nashrani, al-maghdhûb dalam Surah alFatihah adalah Yahudi dan al-dhâllîn adalah Nashrani. Yahudi dimaksudkan sebagai komunitas manusia yang menyimpangkan ajaran tauhid Allah yang universal yang dibawa oleh nabi Allah Musa a.s., yaitu ajaran yang terkandung dalam kitab Taurat, begitu pula Nashrani yang menyimpangkan ajaran yang termuat dalam kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s.201 195 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 394. Bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 97-98, ayat ini mengenai orang yang memusuhi Allah, malaikat, dan para rasul adalah musuh Allah. 196 Lihat Sayid Sabiq, Islâmunâ ,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 36-37. 197 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 148-149. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 810, ayat ini mengenai indikator orang munafiq. 198 Lihat Muhammad Abd Aziz al-Khûli, al-Adâb al-Nabawi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm. 14-15. 199 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 118119, ayat ini mengenai informasi perilaku orang musyrik dan peran Rasul Allah. 200 LIhat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltazi, Min Washâya al-Qurân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Turâts al-Araby, 1987), hlm. 63-86. 201 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 428, 443-444. Kategori ini bagian penafsiran QS. AlBaqarah: 113, 120, ayat ini mengenai perilaku orang Yahudi dan Nashrani.
135
Keenam, mad u al-mujrimûn, yaitu manusia yang melakukan dosa, melanggar larangan agama Islam, yang bagi pelakunya diperintahkan melakukan tobat, baik tobat dari dosa besar maupun dosa kecil. 202 Dosa besar adalah perilaku menyimpang dari ajaran yang diancam dengan hukum di dunia dan siksa di akhirat contohnya melanggar larangan membunuh dan menyekutukan Allah SWT. 203
Ketujuh, madu dilihat dari kualitas kepemilikan pengetahuan dan sikap keberagamaan, Muhammad Abduh mengelompokkan menjadi tiga macam kelompok, yaitu: (1) al-„uqalâ, yaitu madu cendekiawan atau ilmuan yang tidak menolak hidayah agama, (2) al-„awâm, yaitu madu berpengetahuan sederhana, dan (3) al-mutawâsithîn, yaitu orang yang memiliki pengetahuan di atas orang awam, tetapi di bawah hukamâ (filosof).204 Kategorisasi dan karakteristik madu dari sudut pandang selain yang telah dikemukakan tersebut dapat dianalogikan jika secara substantif terdapat titik persamaan, sebab Muhammad Abduh lebih menitikberatkan pada aspek aktualisasi potensi nafs manusia sebagai pusat ishlâh dan taghyîr bagi manusia. Dalam hal ini, Muhammad Abduh merujuk QS. Al-Radu (11): 11 dan QS. AlAnfâl (8): 53. Dari sudut pandang perubahan sosial, taghyîr (perubahan), ishlâh (perbaikan) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan madu yang diajukan oleh Muhammad Abduh dengan menjadikan aktualisasi nafs (jiwa) manusia sebagai madu adalah sejalan dengan beberapa ilmuwan sosial mengenai terjadinya perubahan sosial. Misalnya Wilbert Moore dan Evert E. Hagen, berpandangan bahwa, perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian yang akan menimbulkan perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial.205
202
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 300-301. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 44, ayat ini mengenai bagian dari macam perilaku dosa, tidak mengamalkan apa yang diperintahkan kepada orang lain. 203 Lihat Syamsuddin al-Zahabi, al-Kabâir, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm.8. 204 Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Nahl: 125 dan Ali Imran: 21-22. 205 Lihat Melbert Moore, Order an Change Essays in Comparative Sociology, (New Yoork: John Wiley and Sons, 1967), hlm. 3 dan Evert E Hagen, On The Theory of Social Change, (Home
136
Dari
paparan Muhammad
Abduh
mengenai
madu
yang
telah
dikemukakan, madu dapat dikelompokkan menjadi sembilan macam, yaitu: (1) al-dhâlûn, orang-orang yang sesat; (2) al-kâfirûn, orag-orang yang menutupi dan menolak kebenaran; (3) al-munâfiqûn, orang-orang oportunis; (4) al-musyrikûn, orang-orang yang menyekutukan Allah SWT; (5) Yahudi dan Nashrani; (6) almujrimûn, orang-orang yang berdosa; (7) al-„uqalâ, ilmuwan yang tidak menolak kebenaran; (8) al-awâm, orang-orang yang berpengetahuan sederhana; dan (9) almutawâsithûn, orang-orang yang berpengetahuan di atas al-awâm, tetapi di bawah hukamâ (filosof). Sebelum Muhammad Abduh, „Abd Allah bin Alwi al-Hadâd (w. 1132H) telah mengemukakan madu secara variatif, menurutnya terdapat delapan macam ketegori madu, yaitu: (1) al-„ulamâ, para ilmuwan; (2) ahl zuhd wa al-„ibâd, golongan ahli zuhud dan ibadah; (3) ahl al-mulk wa al-sulthanah, golongan penguasa dan pemerintah; (4) ahl al-tijârah wa al-shinaât, golongan pedagang dan pegawai; (5) ahl al-fakr wa al-dhaf wa al-maskanah, golongan kaum lemah dan miskin; (6) al-atba min al-awlâd wa al-nisâ wa al-mamâlik, golongan keluarga dan hamba; (7) ahl al-thaah wa ahl al-mashiyah min al-„âmmah, golongan ahli taat dan durhaka dari kalangan awam; dan (8) man lam yustajab lidawah Allah wa rasûlih wa lam yumin bi Allah wa al-yawm al-akhir, golongan orang yang belum mau menerima dakwah Allah dan Rasul-Nya, belum beriman kepada Allah dan hari akhir. 206 Mengenai macam-macam madu tersebut, menurut responnya dapat dikategorikan kepada: Pertama, berdasarkan Q.S. al-Nahl:125, ada madu yang sesat (man dhalla) karena dia menolak petunjuk ajaran yang didakwahkan, dan ada yang menerima petunjuk ajaran yang didakwahkan (al-muhtadîn); Kedua, berdasarkan Q.S. Fathir:32, yaitu madu yang menerima ajaran yang didakwahkan secara optimal dan maksimal disebut sâbiq bi al-khayrât, wood: Dorsey Press, 1962) hlm.35, dan Robert H. Lawer, Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj. Perspectives on Social Change, oleh Alimandan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 3 dan 101. 206 Abd Allah bin Alwi al-Hadad, al-Da wah al-Tâmmah wa al-Tazkirah al-Âmmah,
(Surabaya: Mathbaah bin Said,tt.), hlm. 3-4.
137
madu yang menerima ajaran yang didakwahkan, tapi belum mengamalkan secara optimal dan maksimal disebut muqtashid dan madu yang menolak ajaran yang didakwahkan disebut dzâlim li nafsih. Ketiga,
berdasarkan
keputusan
ketika
memandang
Islam
yang
didakkwahkan sebagai sesuatu yang baru, akan terjadi respon dengan tiga kategori, yaitu: (1) adopter pemula; (2) mayoritas adopter agak lambat; (3) adopter yang paling terlambat (laggard).207 d. Karakteristik Umat Term ummah diungkapkan langsung dalam nash Al-Qurân Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 yang mewajibkan dakwah. Posisi ummah ini berdimensi tiga, sebagai subyek, obyek, dan sasaran yang akan dicapai oleh dakwah itu sendiri. Makna ummah secara etimologis merupakan derivasi dari
(amma –
yaummu) yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata um yang berarti „ibu dan imâm yang berarti pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota masyarakat.208 Muhammad Abduh dengan merujuk isyarat ayat-ayat Al-Qurân yang memuat term ummah mengelompokkan maknanya menjadi lima macam makna, yaitu: (1), ummah berarti al-millah, yakni al-„aqâid wa ushûl al-syarîah (agama atau keyakinan dan pokok-pokok syariat) sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Anbiyâ (21): 92, ummah berarti al-jamâah (komunitas manusia), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Arâf: 181 dan Ali Imran: 104; terhadap dua ayat tersebut, Muhammad Abduh menegaskan: Kata tersebut tidak berarti jamaah secara mutlak, melainkan ia bermakna jamaah yang terikat dengan ikatan sosial yang membuat mereka dipandang sebagai satu, dan kepada mereka bisa diterapkan satu nama seperti nama ummah; (3) ummah berarti al-sinîn, yaitu 207 Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Dilfusion Of Innovations, (New York: The Free Press, 1983), hlm. 247. 208 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 325.
138
rentangan waktu, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Hûd: 8 dan Yusuf: 45; (4) ummah berarti al-Imâm al-ladzî yuqtadâ bih (pemimpin yang diteladani), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Nahl: 120; dan (5) ummah berarti ihda umam al-marûfah
(salah satu komunitas yang terkenal),
sebagaimana
diisyaratkan dalam QS. Ali Imran: 110. Terhadap makna ini, Muhammad Abduh menambahkan komentarnya bahwa, arti yang terakhir ini tidak keluar dari makna jamaah sebagaimana yang telah kami kemukakan. Hanya saja ia dibuat lebih khusus oleh „urf (kebiasaan). 209 Dari kelima makna ummah tersebut, dapat dipahami bahwa esensi makna umat adalah kelompok manusia yang diikat oleh satu ikatan yang mencirikan keberadaannya. Ikatan ini dapat berupa sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama atau produk budaya („urf). Umat terdiri atas individu-individu yang berinteraksi di antara sesamanya dan ada yang berperan sebagai pemimpin ada pula yang dipimpin. Dalam struktur sistem dakwah pemimpin tergolong pada kategori sebagai dâ i jika menampakkan perilaku dari nafs muthmainnah yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya. Abu Bakar Jabir al-Jazairi berpandangan sama dengan pandangan Muhammad Abduh, tapi berbeda dalam cara memaknai term ummah ketika menafsirkan QS. Ali Imran 104. Ia mengemukakannya secara singkat yang isinya terdapat persamaan dengan pandangan Muhammad Abduh bahwa ummah adalah sekumpulan manusia atau makhluk lainnya yang terikat dengan suatu ikatan jenis, bahasa, atau agama. Urusan mereka menjadi satu, yang diaksud ummah di sini adalah kaum pejuang dan kondisi amar maruf nahyi munkar. 210 Fungsi khayr ummah sebagai komunitas dakwah, sebagai dâi kelompok, dan sebagai sasaran situasi dan kondisi yang akan dibangun melalui dakwah Islam. Digambarkan oleh Muhammad Abduh bagaikan satu tubuh dan bagaikan 209 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 276. Dalam Al-Qurân term ummah juga digunakan untuk menunjuk keberadaan kelompok selain manusia, misalnya QS. Al-Anâm: 38 menyebut adanya ummah dâbbah (komunitas hewan) dan ummah thairah (komunitas burung). 210 Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Al-„Aly al-Kabir, jld. I, hlm. 356. Secara sosiologis, komunitas adalah suatu kelompok manusia yang menempati suatu kawasan geografis, yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, politik, dan juga membentuk suatu satuan sosial yang memiliki nilainilai tertentu serba kebersamaan. Lihat Judistira K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep, Posisi (Bandung: PPs Unpad, 1996), hlm. 147.
139
satu bangunan. Hal ini terjadi jika tata nilai Islam sebagai agama dakwah diwujudkan dalam kenyataan hidup individu Muslim dalam berinteraksi dengan dirinya dan dengan sesamanya. Oleh karena itu, khayr ummah adalah satu situasi dan kondisi kelompok manusia Muslim yang menegakkan nilai-nilai keutamaan syariat sesuai peruntukannya yang menjadi pembangkit umat yang hidup dinamis, maju, dan bermartabat. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa sesungguhnya ruh yang kepadanya Allah meitipkan seluruh syariat ilahiah seperti membetulkan pemikiran, menajamkan penalaran, menata hawa nafsu, membatasi tarikan-tarikan syahwat, memasuki segala sesuatu dari pintunya, mencari segala yang diinginkan dengan mengikuti hukum kausalitas, menjaga kepercayaan, mengusung persaudaraan, kerjasama dalam kebaikan, saling menasihati ihwal kebaikan dan keburukan, dan pokok-pokok keutamaan lainnya, ruh itu merupakan sumber kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebahagiaannya di dunia sebelum akhirat.211 Dari paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, dipahami bahwa, terdapat sepuluh macam indikator kualitatif sistem nilai yang menjadi esensi khayr ummah yang disebut sebagai ushûl al-fadhâil (pokok-pokok keutamaan), rûh hayâh al-umam (jantung kehidupan bangsa-bangsa), dan mashdar saâdah alumam (sumber kebahagiaan bangsa-bangsa), yaitu: (1) benar dalam penalaran atas obyek pengetahuan abstrak, (2) beres dalam penalaran atas obyek pengetahuan empiris, (3) mengendalikan dorongan hawa nafsu, (4) mengendalikan keinginan dorongan kebutuhan biologis, (5) proporsional dalam mengatasi berbagai persoalan, (6) mencari keinginan yang baik menurut ketentuan kausalitas, (7) memelihara amanah, (8) menegakkan rasa persaudaraan, (9) saling tolongmenolong dalam kebaikan, dan (10) saling menasihati dalam melakukan kebaikan
211
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 163. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran: 144, ayat ini mengenai kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sebagaimana Rasul sebelumnya. Mengenai karakteristik khayr ummah ini, selanjutnya lihat Ali Abdul Halim Mahmud, Maa al-„Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs (Mesir: Dâr al-Wafa, 1992).
140
dan meninggalkan keburukan. Kesemuanya ini merupakan upaya mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Secara sosiologis, pemikiran Muhammad Abduh tentang konsep umat menganut sosiologi sarat nilai (value-laden) dan nilai itu adalah nilai Islam. Dengan demikian, Muhammad Abduh menolak sosiologi bebas-nilai (value-free). Muhammad Abduh tergolong penganut tipe teori evaluatif yang meyakini bahwa tidak ada teori yang bebas-nilai, sebab „bebas-nilai adalah nilai yang diyakini. Para nabi hadir mustahil tidak membawa dan memperjuangkan nilai. Akan tetapi, nilai yang dianut oleh masing-masing komunitas diakui akan berbeda-beda jika sumber acuannya produk budaya manusia. 212 David J. Gray, seperti dikutip oleh Ilya Ba-Yunus dan farid Ahmad, berpendapat yang sama tentang tidak adanya „bebas-nilai dalam sosiologi. Bahkan, menurutnya, “bahwa sosiologi yang bebasnilai adalah sebuah doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban.”213 Nilai merupakan ukuran kebaikan, kemudahan, dan kebenaran yang menjadi rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, menjadi landasan dan pendorong bagi perubahan, sebab para nabi dan mujahid (pejuang Islam) sebagai dâi bertugas untuk mempertahankan kebenaran dan menyelamatkan umat dari kematian spiritual. Oleh karena itu, bagi Muhammad Abduh, selain sepuluh macam indikator kualitatif khayr ummah, nilai universal ajaran Islam yang dibawa oleh nabi dan rasul Allah adalah menjadi acuan dan pendorong dalam menghidupkan ummah di sepanjang zaman dalam tataran realitas kehidupan umat menuju pencapaian nilai saâdah (kebahagiaan) ideal, individual, dan komunal, bukan hanya di dunia kini melainkan juga di akhirat kelak.214 Muhammad Abduh meyakini bahwa nilai persaudaraan dan gotongroyong atau saling tolong-menolong dalam mencapai tujuan yang sama yaitu 212
Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological Theory, oleh Yasogawa (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hlm. 14-16. 213 Lebih lanjut, lihat Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 37-38. 214 Mengenai sistem nilai ini, selanjutnya lihat H.G. Sarwar, Filsafat Al-Quran, terj. Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin Mursyid (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 171-222, dan Abu Bakar A. Bagader (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam and Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1983), hlm. 1011.
141
saâdah merupakan bagian dari indikator kualitatif umat. Maka, pandangan Muhammad Abduh tentang konsep umat yang diajukannya dilihat dari segi relasi sosial tergolong pada kategori jenis masyarakat paguyuban (gemeinschaft).215 Keberadaan khayr ummah, menurut Muhammad Abduh, akan tetap tegak jika sistem nilai Islam diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, dan gerakan realisasinya ini merupakan proses dakwah Islam. Muhammad Abduh juga meyakini bahwa akhlak karimah merupakan perekat penyebab tegaknya khayr ummah, di dalamnya terjadi penegakkan hak dan kewajiban individual,216 antara individu dan komunal sesuai tuntunan ajaran Islam sebagai agama dakwah. Ukhuwwah Islamiyah, akhlak karimah, dan penegakan hak dan kewajiban di antara sesama individu di dalam ummah merupakan bagian dari esensi anatomi masyarakat Islam.217 Mengenai penegakan hak dan kewajiban individual dan komunal dalam struktur keumatan, menunjukkan penting adanya pemimpin yang memiliki fungsi kepemimpinan, yaitu: (1) kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok; (2) kepemimpinan sebagai kepribadian beserta efeknya; (3) kepemimpinan sebagai pengupayaan pemenuhan; (4) kepemimpinan sebagai pelaksanaan mempengaruhi; (5) kepemimpinan sebagai perilaku; (6) kepemimpinan sebagai bentuk persuasi;
(7) kepemimpinan sebagai
hubungan kekuasaan;
(8)
kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan; (9) kepemimpinan sebagai efek interaksi; (10) kepemimpinan sebagai peranan yang berbeda; dan (11) kepemimpinan sebagai pemrakarsa.218 Mencermati penjelasan konsep ummah yang dimajkan Muhammad Abduh dengan analisis sosiologis, maka interaksi dai dengan madu dalam struktur 215 Masyarakat paguyuban dicirikan oleh adanya interaksi sosial yang melibatkan relasi primer yang rapat dan tatap-muka, tradisi dan tujuan yang sama. Selanjutnya lihat Judistira K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial, hlm. 148-149. 216 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 72, 311, 367, dan 370. Mengenai hak-hak dalam system ummah, selanjutnya lihat Musthafa Husni Assibai, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy, oleh Abdai Ratomy (Bandung: CV. Diponegoro, 1969). 217 Kajian mengenai anatomi masyarakat Islam ini, lebih lanjut lihat Yusuf al-Qaradawy, Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama al-Muslim al-ladzî Nansyuduh, oleh Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 1999), dan Ruben Levy, Susunan Masyarakat Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986). 218 Lihat Ralph M. Stogdill, Handbook Of Leadership, (New York: The Free Fresh, 1974), hlm. 7-15.
142
keumatan terjadi aktivitas dakwah yang dikategorikan sebagai bentuk dakwah ummah. 3. Media dan Prinsip Metode Dakwah a. Media Dakwah Media dakwah (washîlah al-dawah) merupakan salah satu komponen atau unsur dalam struktur sistem dakwah. Ia berada dalam posisi yang mengantarai dan menghubungkan materi dakwah antara dâi dengan madu, baik berupa benda (mâddah) atau bukan benda (manawiyyah) yang berfungsi sebagai saluran yang dilewati materi dakwah dalam proses dakwah guna mencapai tujuan dakwah.219 Dalam bahasa Arab, metode dakwah ini menggunakan term tharîqah (jalan) dan washîlah (perantara). Muhammad Abduh tidak menjelaskan washîlah dawah secara etimologis, tetapi langsung menjelaskan dengan contoh. Menurutnya, washîlah dawah dapat berupa
masâjid
(masjid),
maâbid
(rumah
ibadah),
manâzil
(rumah
singgah/pemondokan), masâkin (rumah tinggal), dan maâhid (lembaga).220 Beberapa macam media dakwah ini tergolong ke dalam kategori washîlah mâdiyyah. Muhammad Abduh juga memasukkan tulisan berupa buku, majalah, suratkabar, dan bahasa lisan,221 sebagai washîlah mâdiyyah dawah, dalam kategori yang dimajukan Muhammad Said Mubarak. Sedangkan yang tergolong pada washîlah manawiyyah adalah sifat-sifat dan perbuatan dâ i. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, rasul itu tiada lain kecuali 219
Menurut Muhammad Said Mubârak, dengan merujuk QS. Al-Maidah (5): 35 dan al-Isra
(17): 57, ayat ini mengenai perilaku iman, jihad di jalan Allah dan berdoa sebagai macam wasilah, washîlah al-da wah adalah: (segala sesuatu yang dijadikan perantara guna mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dan mewujudkan sasaran- sasarannya). Terdapat dua macam wasilah. Pertama washilah mâdiyyah, yaitu masjid, lembaga- lembaga pendidikan, dan pusat aktivitas keislaman, bahasa lisan, bahasa tulisan, dan gerakan badaniah, alat-alat elektronik, barang-barang cetakan. Kedua, washîlah ma nawiyyah, seperti sifat- sifat yang melekat pada pribadi dâ i, situasi waktu dan kondisi ruang. Lihat Muhammad Said Mubarak, al-Da wah wa al-Idârah, hlm. 46-47, dan lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al- Taf^asir, jld. I, hlm. 627. 220 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29. 221 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 13 dan jld. III, hlm. 348. Macam-macam media dakwah ini pada intinya adalah lisan, tulisan, lukisan, audio, audio-visual, alat elektronik, dan perbuatan. Lihat
Shalahuddin Sanusi, Ilmu Da wah (Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.), hlm. 11.
143
perantara yang menyampaikan kitab Allah. Alasannya, karena ilmu yang benar adalah ilmu yang merupakan deskripsi mengenai alam dan karakter yang melekat dalam dirinya. Kegiatan-kegiatan itu tiada lain adalah cerminan sifat-sifat dan karakter-karakter itu. 222 Kehadiran Muhammad Abduh pada zamannya yang telah melakukan aktivitas ishlâhnya sebagai fokus utama dakwah yang diperjuangkannya, macammacam media dakwah yang terdapat pada saat itu telah digunakannya, baik mâdiyyah maupun yang ma nawiyyah. Prinsip-prinsip penggunaan macammacam media secara terperinci tidak dijelaskan.223 Muhammad Abduh hanya mengemukakan bahwa ( ونكم مقام مقالsetiap tempat ada topik perbincangannya yang mengena). Walaupun demikian, secara implisit, makna prinsip-prinsip penggunaan media dakwah ini, Muhammad Abduh memasukkan ke dalam penjelasan mengenai prinsip-prinsip metode dakwah. b. Prinsip-prinsip Metode Dakwah Dalam suatu perintah untuk melakukan sesuatu, di balik perintah itu terdapat petunjuk bagaimana sesuatu itu dilakukan, akan halnya dalam perintah dakwah. Bagaimana dakwah ini dilakukan berhubungan dengan metode dakwah. Term metode oleh para penulis tentang dakwah disebut manhaj, tharîqah, ushlûb, dan sabîl.224 Muhammad Abduh mengemukakan metode dakwah menurut prinsipprinsipnya dengan merujuk QS. Al-Nahl (16): 125 ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 21, mengeni penegasan ancaman siksa yang pedih bagi orang-rang yang mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para nabi-Nya tanpa hak dan membunuh orang-orang yang memerintahkan menegakkan keadilan. Menurutnya bahwa, sesungguhnya dakwah nabi, sejalan dengan keistimewaannya berupa 222
Al-Manâr, jld. III, hlm. 348. Kajian mengenai prinsip-prinsip penggunaan media dakwah ini, selanjutnya lihat Muhammad Said Mubarak, al-Dawah wa al-Idârah, hlm. 48-58, Muhammad Abd al-Fatah alBayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Dawah, hlm. 201-347, dan Ahmad Ahmad Ghalwus, alDawah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ, hlm. 276-363. 224 Lihat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Dawah al-Islâmiyah min alQurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 60-66, dan Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da wah (Kairo: Dâr al-Itisham, 1979), hlm. 49-54. 223
144
topangan ilahi dan pengaruh jiwa wahyu, memiliki tiga prinsip dan mmetode penampilan dakwah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya „Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan bantahlah dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia Maha Mengetahui siapa orang-orang yang mendapat petunjuk. Hikmah di sini berarti metode dakwah yang digunakan terhadap kaum berpikir dan kaum cendekiawan yang senang berargumen. Nasihat digunakan terhadap kaum awam. Debat dengan cara lebih baik digunakan terhadap kalangan menengah yang belum sampai pada derajat hikmah dan belum keluar dari tingkat mauizhah secara mudah. Mereka masih suka berdiskusi meski tidak sempurna, sehingga perlu dihadapi dengan perlakuan yang baik dalam berdebat dan berbincang sesuai dengan tingkat pemikirannya. 225 Selanjutnya menurut Muhammad Abduh bahwa, ada tiga macam prinsip metode yang menjadi basis bagi semua macam metode dakwah dalam teknik operasionalnya, yaitu al-hikmah, al-mauizhah al-hasanah, dan mujâdalah alhusnâ, yang diperuntukkan bagi mendakwahi tiga macam madu yang memiliki karakteristik masing-masing. Al-hikmah diperuntukkan dalam menghadapi madu „uqalâ (rasionalis) dan ahl al-nazhar (pemikir) dengan cara mengedepankan macam-macam al-burhân (bukti) dan al-hujjah (argumen). Al-mauizhah alhasanah (nasihat yang baik) diperuntukkan dalam menghadapi madu awam yang berpikiran sederhana. Kelompok ini menempati posisi terbanyak di kalangan umat, antara lain dengan nashîhat atau tawshiyah.226 Mujâdalah al-husnâ (berdebat secara santun) diperuntukkan dalam menghadapi madu yang tergolong al-mutawâsithîn (kelas menengah) yang belum sampai ke tingkat pencapaian hikmah tetapi tidak tunduk pada cara al-mauizhah.
225
Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. QS. Al-Nahl (16): 125 ini, merupakan bimbingan Allah kepada nabi Muhammad saw. dan umatnya cara melaksanakan kewajiban dakwah dalam bentuk prinsip-prinsipnya, Yusuf Ali menyebutnya sebagai principles of religious teachings which are good for all time (prinsip-prinsip ajaran agama yang baik bagi setiap zaman). Lebih lanjut lihat A. Yusuf Ali, The Theology of the Holy Qurân Text, Translation, and Commentary (USA: Amana Corp., 1983), hlm. 689. 226 lihat Abduh, Tafsîr Juz „Amma, hlm. 175-177.
145
Pemahaman adanya metode dalam kandungan QS. Al_nahl: 125 melalui makna yang dikandung dalam bî al-hikmah, sebab bî merupakan bagian dari kata al-jar atau tergolong pada bagian dari al-hurûf al-maânî, yaitu huruf yang memiliki padanan kata bermakna. Di antara maknanya adalah al-ilshâq (mendekatkan, menyambungkan), al-tadiyah (melewatkan), al-istiânah (alat bantu pekerjaan), dan al-muqâbalah (mempertukarkan).227 Dengan demikian metode dakwah adalah cara mendekatkan dan menyambungkan al-islâm kepada madu, cara melewatkan al-islâm melalui media kepada madu, alat yang membantu sampainya al-islâm kepada madu, dan cara mempertukarkan al-islâm kepada madu dengan sesuatu yang bukan al-islâm. Menurut Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah antara lain jalan atau cara yang menghantarkan kepada kebenaran (al-haqq).
228
Senada dengan
pendapat Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah yang dimajukan Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûny, yang menggunakan term uslûb dan asâlîb untuk metode, menurutnya asâlîb al-dawah adalah jalan atau cara yang ditempuh juru dakwah dalam melaksanakan dakwahnya. 229 Sebelum Muhammad Abduh, Imam Ghazali (w. 505H) dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751H) telah menjelaskan mengenai tiga macam prinsip metode dakwah ini. Imam Ghazali meyakini bahwa tiga macam prinsip metode dakwah yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 merupakan isyarat akan adanya tiga macam karakteristik madu yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban dakwah Islam yang menjadi pedoman bagi juru dakwah agar berdakwah sesuai peruntukannya. 227 Lihat Jamal al-din bin Hisyam al-Anshary, Mughny al-Labîb, jld. I (Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub alArabiyah, tt.), hlm. 96-97. 228 Al-Manâr, jld. I, hlm. 66. Al-haq adalah Allah dan segala sesuatu yang datang dari Allah berupa wahyu yang disampaikan kepada para utusannya. Lihat Musthafa Mahmud, Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al-„Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh (Surabaya: Media Idaman, 1982), hlm. 20-30. Menurut kajian Mahmud Musa, al-haq adalah Allah, al-hikmah, alislâm, al-syarîah, al-qurân, âyât Musa, al-„ilm al-shâlih, al-„adl, al-shidq, al-nashr, al-ba ts, dan al-dîn. Lebih lanjut lihat Mahmud Musa, Qâmûs Qurânî (Kairo: Mathbaah Khalil Ibrahim, 1966), hlm. 174-176. 229 Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 242. Ia juga menyebut bahwa tiga macam metode yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 itu sebagai
(induk metode dasar).
146
Menurut Imâm al-Ghazali bahwa, al-hikmah digunakan untuk menghadapi madu al-„ulamâ al-kâmilûn (kaum cendekia yang sempurna) yang memiliki pemikiran yang sehat dan penglihatan yang tajam dalam mencari hakikat segala sesuatu. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan al-dalâil al-qathiyyah alyaqîniyyah (bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan). Al-mauizhah digunakan dalam menghadapi madu ashhâb al-fithrah al-salîmah al-ashliyyah (penyandang fitrah yang murni dan asli). Madu ini merupakan kelompok manusia yang terbanyak yang belum sampai pada derajat kemuliaan, bahkan mereka sering terjebak pada tindakan tercela. Dakwah mauizhah di sini dilakukan dengan cara nashîhah dan taushiyah. Mereka berada pada posisi di tengah antara madu kelompok pertama dan kelompok madu yang ketiga, yaitu ashâb al-jidâl (ahli berdebat), khishâm (bertelingkah), dan mu ânadah (berselisih pendapat), dengan cara berdiskusi yang baik dan santun. 230 Pasangan penggunaan tiga macam prinsip metode dakwah dalam menghadapi tiga macam madu ini, bagi Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, agak berbeda dalam memberikan karakteristiknya, yang lebih menekankan pada aspek responnya, yaitu: (1) al-hikmah digunakan untuk menghadapi mad u cendekia yang menerima kebenaran dan tidak menentangnya; (2) al-mauizhah al-hasanah digunakan untuk menghadapi madu yang menerima kebenaran dari kalangan orang yang lupa dan tertinggal dalam keilmuan Islam dan penegakannya; dan (3) al-mujâdalah digunakan untuk menghadapi madu yang cendekia tetapi menolak dan menentang kebenaran.231 Dari ketiga pendapat mengenai tiga macam prinsip metode dakwah dan tiga macam tipe madu yang dihadapinya, baik menurut Muhammad Abduh, alGhazali, dan Ibn al-Qayyim, jika digambarkan menunjukkan “kurva normal.”
230
Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Qisthâs alMustaqîm dalam al-Qushûr al-„Alawaly, jld. I, ed. Muhammad Musthafa Abu al-Alâ (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 11.
231
Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Al-tafsîr al-Qayyim (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988) hlm. 34. Al-hikmah ini sebagai prinsip-prinsip metode dakwah, lebih lanjut lihat Said bin Ali alQahthani, Dawah Islam Dawah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al-Da wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).
147
Bagi madu „uqalâ mustajib dan muânid masing-masing berimbang. Lebih banyak kelompok madu „awâm.232 Selanjutnya, tiga macam prinsip metode dakwah: (a) al-hikmah, (b) almauizhah hasanah, dan (c) al-mujâdalah al-husnâ dijelaskan oleh Muhammad Abduh sebagai berikut: 1). Al-Hikmah Muhammad Abduh meyakini bahwa term al-hikmah memiliki banyak makna. Antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah merupakan ilmu yang disertai dengan rahasia-rahasia hukum dan manfaatnya yang membangkitkan
kegiatan
mengamalkan
memaknainya sebagai sunnah.
ilmu
tersebut.
Sebagian ulama
233
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, hikmah digunakan untuk menunjuk ilmu
yang
bermanfaat
tentang
rahasia-rahasia
hukum
yang
membangkitkan pada pengamalannya, dan al-sunnah.234 Muhammad Abduh juga mengartikan hikmah ketika menafsirkan QS. AlBaqarah 269 menurutnya bahwa, hikmah di sini berarti ilmu yang valid dan menjadi sifat yang melekat dalam jiwa dan mengendalikan keinginan yang mengarahkannya pada pengamalan ilmu.235 Sebelum Muhammad Abduh, al-Fairuzzabadi (w. 817 H) berpendapat yang esensinya sama dengan ungkapan Muhammad Abduh di atas. Selain term alhikmah berarti al-Quran dan al-sunnah bagi al-fairuzzabadi, term al-hikmah adalah akurasi perkataan, perbuatan dan pendapat. 236 232
Komposisi ini perlu dikaji pada tataran empirik melalui penelitian khusus. Al-Manâr, jld. II, hlm. 29. Term al-hikmah dalam QS. Al-Baqarah 269 dimaksudkan sebagai ilmu tentang Al-Qurân dan al-sunnah. Lihat Muhammad Sulayman Abd Allah al-Asyqar, Zubdah al-Tafsîr (Riyadh: Dâr al-Tadmuriyah, 2004), hlm. 45. Secara lughawi, hikmah berarti al„adl, al-„ilm, al-hilm, al-nubuwwah, al-qurân, al-injîl, al-sunnah, al-„ilah, al-tajribah, al-ishabah, dan al-khayr. Kemudian lihat Muhammad Abd al-Fatah al-Bayânûni, al-Madkhal fî „Ilm alDawah, hlm. 24-25. 234 Al-sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan atas suatu perkara. Lihat Abd al-Wahâb Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 36. 235 Al-Manâr, jld. III, hlm 75. 236 Lihat Abu Thahir Muhammad bin Yaqûb al-Fairuzzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn „Abbâs (Jedah: al-haramayn, tt.), hlm. 31 dan 175. 233
148
Berbeda dengan pendapat Muhammad Abduh dan al-Fairuzzabadi di atas, pengertian al-hikmah yang diyakini oleh Ibn al-Qayim al-Jawziyah, menurutnya bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang patut. 237 Ketika menafsirkan QS. Ali Imran 164, term al-hikmah dalam ayat ini, dinyatakan oleh Muhammad Abduh yaitu, adapun hikmah adalah rahasia serba urusan, pemahaman atas berbagai hukum, penjelasan kemasalahatan di dalamnya, dan
jalan
menuju
menggairahkan
pengamalannya.
pengamalan.
Hikmah
Itulah juga
pemahaman berarti
yang
pengamalan
mampu yang
memungkinkan pemahaman atas hukum-hukum tadi atau metode penelusuran dalil dan pencarian berbagai hakikat melalui serba buktinya. Metode ini tiada lain adalah metode Al-Qurân dan sunnahnya dalam hal akidah, moral, dan juga ibadah.238 Al-hikmah sebagai prinsip metode dakwah dalam paparan Muhammad Abduh di atas memuat kategori lain yaitu sebagai metode Al-Qurân dan sunnah Al-Qurân dalam mendakwahkan aspek ajaran Islam, yaitu al-„aqâid, al-adâb dan al-„ibâdah. Esensi al-hikmah menurut Muhammad Abduh meliputi: (1) rahasiarahasia segala sesuatu; (2) pengetahuan mendalam mengenai hukum-hukum; (3) penjelasan nilai guna yang terkandung dalam hukum; (4) cara-cara pengamalan hukum; (5) pemahaman mendalam mengenai hukum sebagai pembangkit perbuatan,; (6) pengamalan hukum dapat menyampaikan kepada pemahaman mendalam tentang hukum; (7) macam-macam metode istidlâl (penalaran dalam pengambilan keputusan); dan (8) al-burhân argumen demonstratif sebagai cara memahami segala hakikat pengetahuan.239 Macam-macam esensi al-hikmah di atas diimplementasikan secara obyektif-proporsional dalam proses dakwah menurut dan sesuai dengan bentuk
237
Tafsîr al-Qayyim, hlm. 345. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Term bî al-hikmah dalam QS. Al-nahl 125 diartikan oleh Muhammad Karim Rajih sebagai (dengan cara perlakuan yang tepat dan akurat, yaitu dalil kebenaran yang menghilangkan keraguan). Lebih lanjut lihat karyanya Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-Qurân (Beirut: Dâr alMarifah, 1983), hlm. 60 dan 232. 239 Bandingkan dengan pendapat al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jâwi, al-Tafsîr al-Munîr, 238
jld. 1 (Bandung: CV. Al-Maarif,tt.) hlm. 468.
149
kegiatannya, baik dalam dawah bi ahsan al-qaul, dawah bi ahsan al-„amal, dan dawah al-nafsiyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Fushilat 33. Kemudian, dalam pengertian al-hikmah yang dimajukan Muhammad Abduh yang memuat delapan macam esensi hikmah, terdapat tiga macam esensi yang berhubungan dengan metode penalaran sebagai pekerjaan akal, yaitu: fqih, bayân, thuruq al-istidlâl, dan barâhîn sebagai bentuk plural dari burhân. Berikut penjelasan empat term dari esensi hikmah ini. Pertama, fiqh atau al-fiqh menurut Al-Askary adalah ilmu tentang topik perbincangan sesuai dengan jalan pemikirannya yang berbeda dari ilmu itu sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah patut dikatakan bahwa Allah memahami karena Dia tidak bisa disebut sebagai melakukan pemikiran (permenungan mendalam). Lalu ia menegaskan, bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah mengetahui sesuatu dan meyakininya secara obyektif dan meyakinkan. 240 Kedua, bayân merupakan bagian dari term metodologis dalam pekerjaan akal ketika memahami dan menerangkan obyek pengetahuan yang dikajinya. Muhammad Abd al-jabiri menggunakan term bayânî selain term burhânî dan irfânî sebagai sistem pengetahuan dalam formasi nalar Arab.241 Term al-bayân juga digunakan dalam disiplin ilm al-fiqh, usûl al-fiqh, dan balâghah. Oleh karenanya, pengertian al-bayân ini dibatasi pada dua arti yaitu al-bayân sebagai al-tarîf dan al-dalîl, yang penggunaannya dapat digunakan dalam tablîgh alislâm ketika menjelaskan ajaran Islam sebagai materinya, melalui lisan, tulisan, dan perbuatan. Al-bayân sebagai al-tarîf dijelaskan oleh Muhammad Husni Abd alHakim adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuknya yang abstrak menjadi berbentuk konkret dan jelas. Sedangkan al-bayân sebagai al-dalîl adalah dalil yang dengan penalarannya yang benar di dalamnya mengantarkan kepada pengetahuan atas sesuatu yang didalilinya. 242 240
Lihat Abu Hilal al-Askary, al-Lum ah min al-Furûq (Surabaya: al-Maktabah alTasaqafiyah, tt.), hlm. 9 dan 11. 241 Penelaahan lebih lanjut, lihat Muhammad Abd al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Takwîn al-„Aql al-„Araby, oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003). 242 Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân (Kairo: Jamiah al-Azhar, 1982), hlm. 37.
150
Dalîl merupakan keterangan yang memberikan petunjuk atas perkara yang dicari yang bersumber dari pendengaran dan penalaran. Yang pertama berupa alkitâb dan al-sunnah dan yang kedua berupa nazhar (pemikiran mendalam) dan taammul (perenungan mendalam). Dalil ini digunakan dalam menggambarkan ajaran Islam oleh dâi ketika melaksanakan kewajiban dakwah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi madu yang dihadapinya. 243 Sumber al-bayân adalah sunnah utusan Allah SWT dan dari sumber ini melahirkan macam-macam kegiatan bayân. Muhammad al-Asqari, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Husni Abd al-Hakim berpendapat bahwa, sesungguhnya Allah, Dzat yang tampak agung hikmah-Nya, menjadikan Rasul SAW. sebagai manusia teladan bagi al-kitâb yang menjabarkan melalui tingkah-laku, kegiatan, perasaan, dan pemikirannya berbagai prinsip dasar metode qurani dan maknamaknanya. 244 Berdasarkan atas penelaahan sunnah rasul Allah SWT oleh para ulama, terdapat delapan macam al-bayân menurut tehniknya, yaitu: (1) al-bayân bî alqaul (penjelasan dengan perkataan), (2) al-bayân bî al-fiil (penjelasan dengan perbuatan), (3) al-bayân bî al-taqrîr (penjelasan dengan persetujuan), (4) albayân bî mâ hamma bih (penjelasan dengan sesuatu yang tersirat), (5) al-bayân bî al-isyârah (penjelasan dengan tanda petunjuk), (6) al-bayân bî al-kitâbah (penjelasan melalui tulisan), (7) al-bayân bî al-tarki (penjelasan dengan tidak melakukan), dan (8) al-bayân bî al-tanbîh „alâ al-„illah (penjelasan dengan peringatan yang beralasan). Subyek instrumen dari kedelapan macam al-bayân ini berfungsi sebagai media dakwah dan aktualisasi aktivitasnya sebagai metode dakwah.245 Ketiga, thuruq al-istidlâl, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metodemetode penalaran dalam mengambil keputusan atau penyimpulan dengan mengajukan alasan yang kuat dalam menetapkan sesuatu yang dituju adalah
243 Lebih lanjut lihat Muhammad bin Shalih al-„Utsaymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl (Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994), hlm. 14-15. 244 Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38. 245 Pendapat ini dikutip dari pendapat Imâm al-Zarkâsyi, lihat Muhammad Husni Abd alHakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.
151
bagian dari esensi al-hikmah dalam dakwah. Muhammad Abduh menjelaskan perlunya menerapkan metode penalaran ini ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah 111 dan menghubungkannya dengan QS. Yusuf 108, menurutnya bahwa AlQurân mengajarkan kepada ahlinya agar mereka menuntut sekalian manusia untuk menggunakan argumen (al-hujjah) karena Al-Qurân menempatkan mereka pada posisi argumentasi yang sama. Ia juga mendorong orang yang meyakininya untuk menuntut lawan-lawanya berargumen dan menyerunya kepadanya. Jalan inilah yang ditempuh oleh kaum salaf umat Islam yang saleh. Mereka berpendapat atas dasar dalîl dan menuntut dalil dari yang lain. Mereka melarang melakukan penalaran (al-istidlâl) tanpa dasar dalil. Kemudian datanglah generasi penerus yang tidak saleh. Mereka memutuskan sesuatu secara taklid dan meerintahkan bertaklid.
Mereka
mencegah
orang
menelusuri
bukti-bukti
(al-burhân)
ketidakbenaran taklid. Sehingga, seolah-olah Islam itu keluar dari batasannya atau berbalik ke arah lawannya. Segeralah orang-orang yang mengerti bahwa Islam berbeda dari agama-agama lain menyerang taklid dan menekankan perlunya data dan dalil. Orang-orang lalu mengetahui kemerdekaan berpikir, sambil berdiskusi tentang hal itu, menyerukan umat Islam untuk kembali kepada dalil dan mencela kecenderungan untuk memercayai informasi tanpa dalil.246 Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, terdapat term al-istidlâl dan al-dalîl, al-hujjah, dan al-burhân sebagai perangkat metodologis penalaran ilmiah dalam mendakwahkan al-islâm kepada madu „uqalâ. Berikut penjelasan singkat term ini yang dirangkum dari para pengkaji manthiq: Pertama, Al-istidlâl dan dalîl. Istidlâl adalah iqâmah al-dalîl li itsbât aldalîl (menegakkan dalil untuk menetapkan apa yang dikehendaki) dan dalîl adalah mâ yarsyudu ila al-mathlûb (sesuatu yang mengarahkan pada apa yang dikehendaki). Terdapat dua macam istidlâl, pertama istidlâl al-mubâsyir dan kedua istidlâl ghayr al-mubâsyir. Pengertian istidlâl macam pertama adalah iqâmah al-dalîl „ala al-mathlub mubâsyiratan ay mustaqîman (menegakkan dalil atas sesuatu yang dikehendaki secara langsung atau linier). Ini meliputi tiga cara: 246
Al-Manâr, jld. I, 425. Pandangan Muhammad Abduh ini sarat dengan substansi teori paradigma tindakan rasional.
152
(1) al-qiyâs (silogisme), (2) al-istiqrâ (induksi), dan (3) al-tamtsîl (penampilan contoh). Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah (argumen logis). Pengertian yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi (menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang dikehendaki guna menetapkannya). Ini meliputi tiga cara: (1) tanâqud, (2) „aks mustawi, dan (3) aks al-maqîdh; Kedua, al-hujjah, secara lughawi berarti al-ghalabah (mengalahkan). Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb (dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki). Jika keterangan dimaksudkan untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu padanya, disebut tarîf (definisi). Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk disebut tashdîq (proposisi). Hujjah ini meliputi tiga macam cara: (1) al-qiyâs, (2) al-istiqrâ, dan (3) al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada bagian yang lain atas adanya titik persamaan. Ketiga, al-burhân, secara lughawi berarti al-dalîl (penunjuk), secara ishthilâhi, al-burhân adalah al-dalîl al-qathiy al-murakkab min mqaddimât yaqîniyah (penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid) dan muqaddamât yaqîniyyah (premis-premis yang valid) ini meliputi: (1) al-awaliyât, (2) al-musyâhadât, (3) al-mujarrabât, (4) al-hadatsiyât, (5) al-mutawâtirât, dan (6) al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: (1) al-burhân al-limiyyî, yaitu al-istidlâl min al-„illah ila al-malûl (mencari dalil dari alasan menuju obyeknya) dan (2) al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-malûl ilâ al-„illah (mencari dalil dari obyek menuju alasan). 247 Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka
247
Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63, Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq (Surabaya: Maktabah Said bin Nashim Nabhan, tt.), hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani, Tashîl al-Manthiq (Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988), hlm. 88-89.
153
mengabaikan makna apa yang dibacanya padahal Al-Qurân merupakan petunjuk kehidupan yang pemahaman term-term yang dikandungnya memerlukan penggunaan dilâlah lafzhiyyah, tadhamun, muthâbaqah, dan iltizâm.248 Tiga macam dilâlah ini merupakan kegiatan penalaran pembentukan konsep (tashawwur) dan pembentukan keputusan (tashdîq). Muhammad Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh meyakini bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW pada zamannya, dirinya sendiri menjadi al-burhân bagi umatnya: pertama, burhân bis îratihi al-„ilmiyyah (bukti kebenaran dengan perjalanan dan kegiatan hidupnya) dan kedua, burhân fi dawatihi al-„ilmiyyah al-syariyyah (bukti kebenaran melalui dakwahnya yang ilmiah dan membawa syariat). Berkenaan dengan yang kedua ini, Nabi Muhammad SAW., menurut Muhammad Abduh, telah memberikan contoh penggunaan al-hujjah dalam lima macam metode, yaitu dengan memberikan argumen rasional dan argumen demonstratif berupa: (1) bayân al-hujaj alkawniah al-„aqliah (menjelaskan argument-argumen kealaman yang rasional); (2) bayân al-syarâi al-„amaliah (menjelaskan segala syariat praktis); (3) bayân alhikmah al-adâbiah (menjelaskan hikmah etik); (4) bayân al-siy sah al-hurriyyah (menjelaskan politik kemerdekaan); dan (5) bayân al-siyâsah al-ijtimaiah (menjelaskan politik kemasyarakatan).249 Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai hakikat hikmah, dapat dipahami bahwa, dakwah rasional merupakan kekhasan pemikiran Muhammad Abduh tentang dakwah, rasionalitas dakwah ini dipandang urgen dalam mempengaruhi media, yang dalam term komunikasi disebut logos, yaitu pendekatan rasional dalam mempengaruhi komunikasi.250 2). Al-Mau’izhah al-Hasanah Term al-mauizhah disebut juga dengan term al-wazh, secara lughawî, almauizhah berarti al-nashîhah (nasehat, ketulusan), al-dzikr (peringatan), dan al248
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 74. Lihat Al-Manâr, jld. VI, hlm. 99. Ini merupakan bagian penafsiran Rasyid Ridha atas QS. Al-Nisa 174, ayat ini mengenai kehadiran nabi Muhammad sebagai burhân. 250 Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hlm. 86-87. 249
154
washiyah (wasiat, pesan penting). Dan al-hasanah berarti kebaikan dari alsayyiah (keburukan). Dengan demikian, al-mauizhah al-hasanah berarti nasihat, peringatan, dan pesan yang baik.251 Muhammad Abduh menjelaskan pengertian term al-wazh antara lain, yaitu wazh adalah nasihat dan peringatan akan kebaikan dan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati dan memotivasi untuk beramal.252 Nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang terkandung dalam Islam agama dakwah, dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan dan bahasa perbuatan. Oleh karenanya, al-„Uqaili mengajukan pendapatnya mengenai pengertian al-mauizhah al-hasanah ini sebagai kata-kata yang baik, yang menggerakkan jiwa dan berkesan dalam perasaan, dan membuat jiwa mau menerima mendengar kebenaran. Ia menerimanya atas izin Allah Yang Mahagagah dan Mahaperkasa. Uqaili memasukkan „dengan izin Allah „azza wa jalla dalam pengertian mauizhah hasanah di atas merujuk pada QS. Al-Ahzâb (33): 46.253 Muhammad Abduh melontarkan kritiknya bahwa, penggunaan bahasa lisan dan tulisan merupakan esensi mauizhah hasanah banyak dilanggar oleh para dâi dan muballigh pada zamannya. Nasihat banyak menyinggung perasaan madu dan saling menjelekkan sehingga jiwa umat semakin jauh dari saling mencintai di antara sesama dan menimbulkan konflik horizontal, retaknya persaudaraan dan perpecahan umat. 254 Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyeru agar tuntunan Al-Qurân mengenai penggunaan bahasa dan perbuatan dalam merealisasikan mauizhah hasanah dipatuhi, yaitu: menggunakan tutur-kata yang lemah-lembut, sopan dan santun, bahasa yang sesuai dengan nilai keluhuran bahasa Al-Qurân sebagai kitab dakwah, memuji dan mencaci pada tempatnya, memberikan informasi solusi persoalan kehidupan yang penuh optimisme, memberikan motivasi dan
251
Lihat al-Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 258. Al-Manâr, jld. II, hlm. 404. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah 232, ayat ini mengenai peran mawidzah dalam mengatasi konflik keluarga. 253 Ahmad bin „Abd al-Wahâb al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 188. 254 254 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29. 252
155
membangkitkan semangat menegakkan akidah yang bebas dari belenggu bidah dan khurafat, bebas dari belenggu taklid, memberi contoh akhlak mulia dan menentang segala intervensi budaya non-Islam yang merusak tatanan hidup umat Islam, menyeru dan memberi contoh menegakkan keadilan, persaudaraan dan memajukan peradaban sesuai tuntunan Al-Qurân menurut contoh sunah rasul dan generasi salaf yang saleh.255 Muhammad Abduh meyakini bahwa taushiyah merupakan bagian dari prinsip mauizhah hasanah, antara lain menurutnya taushiyah adalah sebagaimana dapat dipahami dari konotasi bahasa dan penggunaannya pada tempo dulu dan sekarang, adalah sesuatu yang anda pesankan kepada orang lain berupa kegiatan pada masa mendatang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu Muhammad Abduh
menambahkan
penjelasannya
bahwa
wasiat
adalah
memberikan pesan dengan nada peringatan kepada orang lain untuk sesuatu yang bisa ia kerjakan. 256 Ketika menafsirkan QS. Al-„Ashr, Muhammad Abduh antara lain mengemukakan esensi utama dari taushiyah adalah perintah berbuat amal saleh dan melarang berbuat amal batil.257 3). Al-Mujâdalah al-Husnâ Ada sementara mufasir yang berpendapat bahwa al-mujâdalah al-husnâ tidak termasuk prinsip metode dakwah, dengan alasan gramatikal bahwa kalimat tersebut tidak diathafkan kepada al-hikmah dan al-mauizhah al-hasanah, tetapi merupakan awal kalimat. Muhammad Abduh tidak mengikuti pendapat tersebut. Menurutnya, al-mujâdalah al-husnâ termasuk rpinsip metode dakwah, sebab jidâl merupakan bagian dari fithrah insâniyyah yang diinformasikan oleh Allah SWT. Oleh karenanya, untuk menghadapi tipe mad u yang gemar mengaktualisasikan
255
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 399-400 dan Al-Manâr, jld. V, hlm. 230-231. Lihat pula alBayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 259. 256 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 404-405. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. AlNisa 11, ayat ini mengenai washiyah dalam ketentuan warits. 257 Lihat Abduh, Tafsir al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 176.
156
potensi jidâl pada dirinya hendaknya digunakan jalan al-mujâdalah al-husnâ ini.258 Secara lughawi al-mujâdalah atau al-jidâl, menurut al-Bayânûni, berarti al-munâqasyah, al-munâzharah, al-muhâwarah (diskusi dan dialog akademis) dan al-ladadu fi al-khushûmah (perang argumentasi). Sedangkan secara ishthilâhi, al-jidâl adalah bantahan seseorang terhadap lawan-lawanya mengenai kekeliruan pendapatnya dengan argument atau sejenisnya. 259 Pengertian lughawi dan ishthilâhi tentang al-jidâl ini dijelaskan oleh al„Uqayli, menurutnya bahwa, jidâl secara etimologis adalah perang argumentasi dan kemampuan untuk melakukannya. Makna generik jidâl adalah kecamuk peperangan. Secara terminologis, jidâl berarti perang kata-kata dalam suasana pertikaian dengan suasana permusuhan yang sengit.260 Mengingat al-jidâl dalam nash Al-Qurân surah al-Nahl 125 diberi keterangan dengan sifat „yang lebih baik maka al-jidâl ini ada yang tidak baik dan tercela (madzmûm), yaitu untuk mencari kemenangan dan menebar permusuhan terhadap lawan jidâlnya. Sedangkan jidâl yang lebih baik dan terpuji (al-mamdûh) ditujukan untuk mencari kebenaran dan menegakkannya serta menebarkan persaudaraan dan kemitraan. Dalam pengertian inilah, jidâl digunakan sebagai prinsip metode dakwah Islam. Jika mengedepankan
sentimen
mengabaikan
argumen,
maka
jidâl madzmûm jidâl
mamdûh
mengedepankan argumen mengabaikan sentimen. Oleh karenanya, kalangan ulama Islam membedakannya dengan menggunakan istilah mudzâkarah (diskusi) untuk jidâl mamdûh dan mukhâshamah untuk jidâl madzmûm. Selain itu juga digunakan
istilah
mukâbarah
(adu
kesombongan)
dan
munâzaah
(percekcokan/pertikaian).261 Munâzharah
merupakan
aktivitas
potensi
akal
manusia
dengan
mencurahkan daya upaya dalam memahami, mencari, dan menegakkan kebenaran
258
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263-264. Lihat al-Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 262. 260 Lihat al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 192. 261 Selanjutnya lihat Abd al-Rasyid al-Jughûry, al-Rasyîdiyyah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1350H), hlm. 12-17. Selanjutnya disebut al-Rasyîdiyyah. 259
157
yang bersumber pada nash (teks Al-Qurân dan hadits) dan konteks yaitu tatanan sunnah Allah (hukum alam) dalam realitas alam materi dan alam immateri, yang menurut para fuqahâ disebut ijtihâd. Munâzharah digunakan secara proporsional dalam menghadapi madu „uqalâ yang tidak menolak kebenaran, dan „uqalâ yang menolak kebenaran. 262 Abd al-Rasyid al-Jûngûry (w. 1083H) mengajukan pemikirannya mengenai etika munâzharah yang ringkasnya yaitu, bagi pelaku munâzharah (munâzhir) hendaknya menguasai materi yang dimunâzharahkan secara baik dan benar, tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat, menghilangkan sentimen pribadi, berbicara sesuai proporsinya, tidak mencampuradukkan dalîl qathiyyah dengan dalîl zhanniyyah dan menguasai cara-cara berbicara yang baik, benar, dan sopan. Hal-hal ini hendaknya menjadi karakteristik kepribadian munâzhir. Kemudian, etika teknis dalam proses munâzharah hendaknya: (1) tidak terlalu ringkas dalam menyampaikan pendapat; (2) tidak terlalu panjang dalam membahas persoalan; (3) tidak menggunakan istilah-istilah asing bagi lawan bicara; (4) tidak menggunakan term yang ambigue tanpa ada penyerta yang menjadi acuan dalam pemahaman; (5) tidak berbicara di luar konteks pembicaraan; (6) tidak menertawakan lawan bicara dan tidak menggunakan nada suara yang keras, tidak menggunakan ungkapan orang sufahâ; (7) tidak menampilkan perilaku yang menakutkan lawan bicara; (8) tidak mengejek dan merendahkan lawan bicara; (9) meluruskan niat menegakkan kebenaran, menjauhkan sentimen, tidak bermaksud menjatuhkan lawan dalam waktu singkat; (10) memperhatikan kesopanan perfromence pun hendaknya dipelihara. Misalnya, cara duduk hendaknya sesuai dengan tata kesopanan yang dianut bersama, tidak bermunâzharah ketika lapar dan dahaga; dan (11) mengendalikan hawa nafsu, dan jauhkan perilaku emosi dan marah. 263
262 Selanjutnya lihat Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma âlim alManhaj al-Islâmi, oleh Saefullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 143-192. 263 Selanjutnya lihat al-Rasyîdiyah, hlm. 107-110, dan kajian lebih sistematis mengenai prosedur munâzharah ini lebih lanjut lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.).
158
Sebagai dâ i pemikir, Muhammad Abduh telah memberikan gambaran implementasi munâzharah yang dapat dikategorikan pada jidâl mahmûd dalam karya tulisnya al-Islâm wa al-Nashrâni fi al-„Ilm wa al-Madaniyyah.264 Dari paparan dan analisis metodologis perumusan hakikat, dasar hukum, tujuan, dan unsur dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah dikemukakan, dapat dikonseptualisasikan rumusan kesimpulannya secara taksonomis kepada aspek epistimologis, ontologis dan aksiologis bagi pengembangan disiplin ilmu dakwah yaitu: aspek epistimologis dakwah bersumber pada al-Quran, sunnah Rasul, realitas empiris aktivitas dakwah dalam rentang sejarah dan produk ijtihad ilmuwan dakwah yang dirumuskan dengan menggunakan kaidah manthiqiyah sebagai kaidah kerja akal dalam memahami dan mengkonseptualisasikan dakwah sebagai objek kajiannya. Aspek ontologis, hakikat dakwah adalah perilaku rasional berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam sebagai proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat guna memperoleh kehidupan yang hasanah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan. Kemudian secara taksonomis, hakikat dakwah sebagai bagian dari sesuatu yang ada terdiri dari: a) dakwah menurut martabatnya (levelnya): level pertama, dakwah universal (dawah hâdzihi al-ummah) yang dilakukan oleh para nabi dan umatnya yang ditujukan kepada madu non-Muslim; dan level kedua, dakwah yang berlangsung di lingkungan umat Muslim (al-dawah al-„âmmah alkulliyyah) dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, dan b) dakwah menurut fungsinya: (1) dakwah sebagai proses implementasi (tathbîq) ajaran Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat; dan (2) dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi) yaitu tajdid (pembaruan), dan taghyir (perubahan) kehidupan ummah, yang sasarannya meliputi: (a) memperbaiki tata hubungan hidup manusia dengan Allah SWT.; (b) memperbaiki tata hubungan hidup individu dengan dirinya sendiri; dan (c)
264
Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Penerj. Mahyuddin Shaf dan A. Bakar usman, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992).
159
memperbaiki hubungan hidup individu dengan individu lain dalam kelompok atau masyarakat dan memberikan solusi atas segala problem yang dihadapinya. Kemudian bentuk dakwah menurut jalur atau bentuk pelaksanaannya (kuantitas dâi dan madu ketika berinteraksi dalam proses dakwah) dari martabat kedua: (1) Dawah „Âmmah Kulliyyah, yaitu interaksi dâi dengan madu yang berupa kelompok besar (dakwah lewat saluran media massa) dan massa, baik secara tatap muka maupun bermedia; yang menurut cara pelaksanaannya, terdiri dari: (a) Tablîgh Islam (bayân thuruq al-khayr), penyiaran dan penerangan Islam yang ditujukan kepada non-Muslim dan Muslim; (b) Amr marûf nahy munkar sebagai upaya transformasi (tadbîr) dan pemberdayaan (tamkîn) Islam ke dalam kehidupan nyata individu, kelompok, dan masyarakat sebagai dakwah ummah; dan (2) Dawah
juziyyah khâshshah (dakwah lewat saluran intra dan
interpersonal), disebut pula sebagai al-dâiyah fi nafsih, yaitu interaksi dâi dengan madu dalam dirinya sendiri, dan dawah fardiyah, yaitu interaksi dâ i dengan mad u seorang, dua orang, tiga orang, dan kelompok kecil. Cara pelaksanaannya ini ditempuh dengan: (a) Al-dilâlah „alâ al-khayr, yaitu memberi petunjuk dan bimbingan pemahaman dan pelaksanaan Islam; (b) Al-hatstsu „alâ al-khayr, yaitu memberikan motivasi kepada madu untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan Islam; (c)
Al-nahy „an al-syar, yaitu saling
mencegah dari perbuatan yang bertentangan atau dilarang Islam (al-khayr); (d) Altahdzîr „an al-syar, yaitu saling memperingatkan dalam menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Islam; (e) Al-tawâshî bî al-haq, saling berwasiat dengan kebenaran ajaran; dan (f)
Al-tawâshî bî al-shabr, saling berwasiat dengan
kesabaran dalam menjalankan keataatan, meninggalkan larangan, dan mengatasi berbagai ujian kehidupan. Dasar Hukum Dakwah adalah Fardu „ain bagi masing-masing individu muslim sesuai kemampuannya, dan fardu kifayah bagi komunitas muslim terdidik atau khawâsh al-ummah. Sedangkan Tujuan Dakwah terdiri dari tujuan ideal, yaitu memperoleh ridha Allah dan ia selamat hidup duniawi dan ukhrawi; tujuan individual, yaitu menjadi pribadi muslim paripurna; dan tujuan sosial, yaitu terbentuknya khayru ummah dan ummah wasatha.
160
Hakikat dan karakteristik Islam sebagai pesan dakwah Islam, yang merupakan agama Allah yang universal memiliki karakteristik sebagai: (1) agama al-fithrah; (2) agama ummah wasatha; (3) agama al-„adalah; (4) agama anti kezaliman; (5) agama tawâzun; (6) agama al-huriyah; (7) agama al-salâm; (8) agama al-ukhuwah; dan (9) agama al-yusr. Hakikat dan karakteristik manusia sebagai da i dan madu, bahwa manusia adalah bagian dari makhluk Allah, yang memiliki jasad dan ruh. Di dalam ruhaniahnya oleh Allah diberikan potensi akal, syahwat atau hawâ. Selain itu, diberikan pula hidayah gharizah, hawâsi, dîn, dan
tawfiq (kemampuan
mencocokkan diri dengan ajaran Islam menurut daya ikhtiarnya). Ketika ruh menyatu dengan jasad disebut nafs, dan nafs ini terdiri dari nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs amârah. Penampakkan nafs dalam prilaku lahir oleh pemiliknya berbeda-beda, tergantung pada penggunaan daya ikhtiar masing-masing. Bagi yang memfungsikan nafs muthmainnah berposisi sebagai dai dan ia akan kredible dihadapan madunya, sedangkan yang memfungsikan nafs lawwâmah, dan nafs amârah berfungsi sebagai madu. Dai terdiri dari dai „profesional dan dai „konvensional, bagi dai mesti memiliki sifat nafsiyah, jasadiyah, dan ijtimaiyah, sedangkan macam-macam madu adalah al-dhâlûn, al-kâfirûn, al-musyrikûn, Yahudi dan Nasrani, almujrimûn, al-„uqalâ, al-awwâm dan al-matawashithûn. Karakteristik Ummah, bahwa Ummah merupakan dai komunitas, khoiro ummah dan ummatan wasatha, berfungsi pula sebagai medan berlangsungnya dakwah dan tujuan sosial dakwah. Ummah dari semantiknya adalah al-millah, al„aqâid, dan ushûl al-syarîah (agama, keyakinan, dan pokok agama), kemudian al-jamaah (komunitas terorganisir), al-sinîn (waktu), al-imâm (pemimpin), dan ummah al-marûfah (komunitas tertentu). Media dan prinsip Metode Dakwah, bahwa Media dakwah, selain bahasa lisan dan bahasa perbuatan, mengacu pada sarananya, yaitu masâjid, maâbid, manâzil, masâkin, dan maâhid. Prinsip metode dakwah mengacu pada AlQurân, yaitu al-hikmah, al-mawizhah al-hasanah, dan mujâdalah yang ahsan. Bagi tiga prinsip metode ini, masing-masing memiliki perangkat dan teknik
161
operasionalnya. Secara khusus, al-hikmah mengandung prinsip memadukan antara pendekatan ethos, pathos dan logos sesuai peruntukannya. Aspek aksiologis, menegakan kebenaran objektif ilmiah (qâiman bi alqisth) dakwah yang berbasis tawhid Allah dan upaya mensyukuri nimat akal sebagai salah satu hidayah Allah SWT kepada manusia.
BAB IV BENTUK DAKWAH DAN KADERISASI DA’I PROFESIONAL
Bentuk dakwah mengacu pada keberadaan interaksi dâ i dengan madu secara kuantitatif
dengan
menggunakan
metode
dan
media
tertentu
dalam
mengimplementasikan al-Islâm, sebagai ikhtiar memperbaiki dan mencari solusi (ishlâh) problem kehidupan yang dialami madu, yang prinsip struktur sistemnya menurut Muhammad Abduh sebagaimana yang telah dijelaskan, yaitu meliputi bentuk dakwah: (1) al-da wah al-„âmmah al-kulliyyah, yaitu berupa tablîgh Islam dan macam-macamnya, (2) al-dakwah al-khâshah, terdiri dari al-dâiyah fî nafsih (al-dawah al-nafsiyah atau irsyâd al-nafs), dan al-dawah al-fardiyyah (al-irsyâd al-fardî), dan (3) al-dawah al-ummah, terdiri dari amr marûf nahy munkar dan taghyîr al-munkar. Masing-masing bentuk ini memiliki metode operasionalnya. Berikut uraian dan analisis bentuk-bentuk dakwah dimaksud. A. al-Da’wah al-‘Âmmah al-Kulliyyah Muhammad Abduh menjelaskan istilah al-dawah al-âmmah al-kulliyyah ini sebagai bayân thuruq al-khayr (menjelaskan jalan-jalan Islam) kepada khalayak dan merealisasikannya (tathbîq) dalam kehidupan manusia serta membuat macam-macam perumpamaan (al-amtsâl) yang berpengaruh pada kejiwaan madu, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan itu.1 Bayân mempunyai pengertian sama dengan al-balâgh atau al-tablîgh dan alilâm (penyiaran informasi kepada khalayak).2 1
Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-29. Mengenai al-amtsâl sebagai cara menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sesuatu yang bersifat konkrit adalah bagian yang diinformasikan al-Qurân. Lebih lanjut lihat Musthafa Abd al-Qâdir Athâ, AL-amtsâl Min al-Kitâb Wa al-Sunnah (Beirut: Muasasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah,1989) 216 hlm. 2 Menurut Abd al-Badi Shaqr al-da wah al-„ammah adalah penyampaian al-Islâm dengan
bahasa lisan kepada publik (madu jamaah) secara tatap muka untuk mempengaruhi mereka. Lihat Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nadû al-Nâs (Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976), hlm. 23-107. Selanjutnya disebut Shaqr. Lebih lanjut tentang kajian al-ilâm ini lihat Abd al-Lathif Hamzah, alIlâm fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 104-105, dan Aminan al-Shawi dan Abd al-Aziz Syaraf, Nazhariyyah al-I lâm fî al-Dawah al-Islâmiyyah (Al-Fujâlah: Maktabah Mishr, tt.), hlm. 16-21.
163
Tablîgh Islâm menurut Muhammad Abduh dapat menggunakan bahasa lisan. Sebab, Tablîgh dengan bahasa lisan ini merupakan bagian dari perintah Allah kepada utusannya, yang disebutnya sebagai al-tablîgh al-syafâhi.3 Muhammad Abduh juga memberikan alasan urgensi penggunaan bahasa lisan, menurutnya bahwa, bahasa lisan (al-kalâm al-masmû) lebih besar pengaruhnya pada kejiwaan yang mendengarkannya ketimbang bahasa tulisan (al-kalâm almaqrû). Karena melihat pembicara, gerakannya, isaratnya, dan logatnya (lahjah) dalam berbicara, semua itu dapat membantu pemahaman atas maksud pembicaraannya. Lagi pula, komunikasi lisan memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai hal-hal yang masih belum jelas dari pembicaraannya. Jika pesan itu tertulis, siapa yang hendak ditanya? Pendengar dapat memahami 80% maksud pembicara sementara pembaca hanya memahami 20 dari pesan yang hendak disampaikan penulis.4 Dalam pendapat Muhammad Abduh mengenai efektifitas al-kalâm almasmû diatas, terdapat aspek melihat gerakan, isyarat dan logat (lahjah) pembicara, mempengaruhi (yutsar) dan pemahaman (yufham) merupakan bagian sesuatu yang melekat dalam khithabah (public speaking). Walaupun Muhammad Abduh tidak secara rinci dan langsung menyebutkan unsur-unsur tersebut sebagai indikator efektifitas tablîgh bi al-khithabah, namun dapat dipahami demikian. Menurut teori Speaking Dell Hyms yang mempecayai bahwa terdapat delapan aspek yang menjadi faktor efektifitas public speaking, hal ini dapat diterapkan dalam tablîgh bi al-khithabah, yaitu berupa aspek yang terkandung dalam akronim speaking itu sendiri, yang terdiri dari: (1) situation (situasi); (2) participants (para peserta); (3) ends (tujuan-tujuan); (4) act sequences (pola
3
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 483. Mengenai term tabligh bersinonim dengan term bayan dijelaskan oleh Ibrahim Imam, selanjutnya lihat karyanya al-Ushûl al-„Ilâm al-Islâmy, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 1985), hlm. 13 4 Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini perlu diadakan penelitian empirik nilai validitasnya, sebab akan berbeda antara „masyarakat dengar dan „masyarakat baca dalam merespon penampilan khithâbah.
164
aktivitas); (5) keys (kunci); (6) intrumentalities (peralatan); (7) norms (normanorma); dan (8) genre (aliran-aliran).5 Penjelasan mengenai delapan faktor tersebut, yaitu sebagai berikut: Pertama, situasi (situations): penggunaan (waktu, tempat dan lingkungan fisik), latar psikologi dan kebufayaan dalam suatu kesempatan dan kejadian dengan perilaku komunikasi yang sedang dipelajari; Kedua, peserta (participant): tidak hanya pembicara dan pendengar, tetapi juga individu-individu lainnya. Dalam beberapa budaya “sumber asli pesan” akan mendelegasikan suatu kelompok kedua untuk menyampaikan pesan itu. Dalam kebudayaan lain seorang pembicara yang muncul untuk menyampaikan sesuatu, seseorang itu biasanya menginformasikan seseorang yang dituju untuk dapat didengar oleh kelompok ketiga. Dengan demikian ada tiga orang yang terlibat walaupun hanya dua orang yang mungkin berbicara. Sebagaimana Hyms tunjukkan bahwa model diadik yang umum dari si pembicara dan pendengar. Ketiga, tujuan (ends): Hasil atau tujuan. Beberapa tujuan mungkin dicapai dalam situasi tertentu, dan tidak diperbolehkan dalam situasi yang lain, bentuk pembicaraan tergantung kepada tujuan akhir yang diinginkan; Keempat, urutan pola aktifitas pembicaraan (act sequences): Isi pesan dalam bentuk pesan, seringkali penelitian mencatat isi dari suatu topik yang dibicarakan; Kelima, kunci (keys): tekanan, sikap atau semangat dari aktifitas berbicara tertentu; Keenam, peralatan (instrumentalities): Jalur atau saluran untuk bentukbentuk pembicaraan, yang berupa media transmisi pesan. Apakah pesan itu dibicarakan, ditulis atau divisualisasikan; Ketujuh, norma (norms): Norma-norma bagi interaksi yang memberi tahu para peserta komunikasi untuk bertindak dalam hubungannya yang satu dengan yang lain, dan norma interpretasi yang menunjukkan sistem nilai dan sistem kepercayaan; dan 5
Lihat Dell Hymes, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), hlm. 49-66.
165
Kedelapan, aliran (genres): kategori-kategori (seperti sajak, mitos, cerita, pepatah, tebakan), hukuman (sumpah serapah), doa, pidato, kuliah, surat, dan formulir. Setiap genre memiliki seperangkat aturan yang berbeda yang mengatur penggunaan dan mengatur formasinya, diperlukan kecermatan dalam mengenali genre yang penting, yang ada dalam komunikasi.6 Shaqr sependapat dengan Muhammad Abduh, bahwa bahasa lisan lebih kuat pengaruhnya ketimbang bahasa tulisan, bahasa lisan ini dapat menggerakkan dan memberi dampak bagi kehidupan para pendengarnya. Tetapi Shaqr tidak memberi persentasenya.7 Dakwah „âmmah ini menurut Rasyid Ridha dapat ditujukan kepada madu yang bukan Muslim dan madu yang Muslim yang memerlukan peningkatan wawasan pengetahuan keislaman. Madu nonMuslim oleh Rasyid Ridha disebut ummah al-dawah (kelompok manusia yang belum menganut Islam dan berhak memperoleh informasi Islam). Sedangkan madu Muslim disebut ummah alijâbah (kelompok manusia yang sudah menerima Islam dan berhak menerima informasi Islam).8 Al-dawah
al-„âmmah semakna dengan “komunikasi publik” atau
“komunikasi massa”, oleh karenanya ia dapat dipahami sebagai proses dakwah yang berlangsung dalam suasana dâ i menyampaikan Islam kepada madu jamaah (orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan. Jika madu jamaah berupa kelompok besar dan dihadapi oleh dâi secara tatap muka dengan menggunakan bahasa lisan, maka disebut tablîgh bî al-khithâbah, baik al-dîniyyah maupun altatsîriyah. Jika tidak bertatap muka dengan menggunakan bahasa tulisan (media cetak) disebut tablîgh bî al-kitâbah, dan untuk kondisi sekarang dapat pula menggunakan media elektronik dengan macam-macamnya, seperti televisi, radio, film, dan yang lainnya, maka disebut tablîgh bî al-kahribâi. Bentuk dakwah ini
6
Lihat Sarah Trenholm, Human Communication Theory, hlm.236. Lihat Shaqr, Kayfa Nadû al-Nâs hlm. 35. Kajian komperhensif mengenai historis dan macam-macam khitabah, lebih lanjut lihat Ihsan al-Nash, al-Khitâbah al-„Arabiyah fi „Ashriha alDzahabi, (Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1953), 418 hlm. 8 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 106-107. 7
166
merupakan implementasi kewajiban menyebarluaskan informasi Islam kepada orang banyak atau khalayak yang melekat dalam karakteristik Islam. 9 Muhammad Abduh mengajukan kritik bahwa pada zamannya banyak khuthabâ (para penceramah agama) yang menasihati orang lain, tetapi membuat umat menjadi saling bermusuhan, bahkan terpecah belah lantaran mereka menghadirkan materi nasihat yang bersifat saling menjelekkan dan mengklaim dirinya yang benar. Di samping itu menurut Muhammad Abduh, banyak khuthabâ yang mendikotomikan unsur duniawi dan ukhrawi, jika hal ini tidak diperbaiki akan berakibat khusrân al-mubîn (kerugian yang nyata).10 Sebelum Muhammad Abduh al-Mawardi berpendapat bahwa: Khithâbah yang baik adalah jika memenuhi syarat, antara lain; (1) bahasa yang digunakan dapat dipahami oleh audiens dan menyentuh kepentingannya dalam memperoleh perkara yang bermanfaat dan menghindarkan perkara yang madarat; (2) tepat situasi dan kondisi dalam merangkai bahasa lisan; (3) panjang-pendek penyajian ditentukan oleh situasi dan kondisi berlangsungnya khithâbah; dan (4) memilih dan memilah kata-kata yang menarik dan menyentuh pikiran dan perasaan.11 Selain syarat tersebut, khithâbah yang baik dalam tabligh Islam adalah jika memenuhi etika teknis penggunaan bahasa lisan, antara lain, yaitu: (1) tidak mengungkap
pujian
yang
berlebihan
terhadap
seseorang;
(2)
tidak
mengungkapkan bahasa yang membangkitkan kebencian dan kecintaan yang berlebihan; dilakukannya
(3)
mengungkapkan
oleh
diri
sesuatu
pembicara;
(4)
dengan
prioritas
memelihara
yang
sudah
kefasihan
dalam
mengungkapkan huruf demi huruf dalam pembicaraannya; (5) menghindari ungkapan yang kotor dan jorok; dan (6) menampilkan contoh-contoh yang relevan dengan topik pembicaraan, dan dapat dicerna oleh akal sehat.12 9
Kajian mengenai penggunaan media massa modern dalam dakwah lebih lanjut lihat Muhammad Saîd Mubârak, al-Dawah wa al-Idârah, (Madinah al-Munawarah: Maktabah alMalik Fahd al-Wathaniyah, 2005), hlm. 175-187. 10 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29 dan 384. Mengenai khitâbah al-dîniyyah dan alta tsîriyah, lihat „Abd Allah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyah wa al-„ilam al-Dîni, (Kairo: alHayiah al-Mishriyah al- Âmmah li al-Kitâb, 1978), hlm. 19-31. 11 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: dâr al-Fikr, tt.), hlm. 266-267 12 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, hlm. 268-276.
167
Menurut al-Khuly, macam-macam khithâbah dalam tablîgh Islam adalah, pertama, berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah yang meliputi khutbah salat: jumat, idul fitri, idul adha, gerhana matahari, gerhana bulan, dan istisqâ, dan, kedua, berkaitan dengan penyelenggaraan peringatan hari besar bersejarah, forum ilmiah di lembaga-lembaga pendidikan dengan semua tingkatannya. 13 Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa, khithâbah itu ada khithâbah aldiniyah dan khithâbah al-tatsîriyah. Khithâbah al-diniyah yang paling banyak dilakukan adalah khutbah jumat yang memiliki syarat dan rukun tertentu. Syarat dimaksudkan sebagai sesuatu yang mesti dipenuhi sebelum khithâbah itu dilakukan, sedangkan rukun sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi ketika berlangsungya khithâbah. Hal-hal yang termasuk syarat bagi khutbah jumat antara lain sebagai berikut: Pertama, memiliki kesiapan jiwa. Hal ini penting mengingat khutbah jumat merupakan bagian dari rangkaian ibadah mahdhah. Kesiapan jiwa ini berupa kepribadian yang mencintai tugas khutbah, memiliki niat yang ikhlas dan keberanian untuk tampil di hadapan orang banyak; Kedua, memiliki pengetahuan dan pandangan materi khutbah yang luas, hal ini menuntut khatib untuk mempelajari topik-topik yang akan dikhutbahkan. Dan selalu berlatih untuk merakit bahan-bahan khutbah dalam bentuk teks atau catatan-catatan untuk disampaikan dalam khutbah tanpa teks; dan Ketiga, menguasai dan terampil dalam menggunakan bahasa, baik bahasa tutur maupun bahasa tulis. Selain tiga syarat tersebut mengacu juga pada syarat-syarat yang ditentukan oleh pendekatan fikih. Sedangkan yang termasuk rukun khutbah adalah: (1) mengemukakan puji kepada Allah SWT. baik dalam bentuk ungkapan jumlah filiyah maupun jumlah khabariyah; (2) menyampaikan shalawat kepada utusan Allah SWT. baik dalam 13 Selanjutnya lihat al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-Dîni, hlm. 19. Mengenai kajian dan contoh khithabah rasul Allah terakhir antara lain dilakukan oleh Muhammad Khalil al-Khathîb dalam karyanya al-Khuthab al-Rasûl, (Kairo: Dâr al-Fadhilah, 1983), 322 hlm.
168
bentuk ungkapan jumlah filiyah maupun jumlah khabariyah; (3) menyampaikan washiat taqwa yang redaksinya bisa langsung mengutip ayat al-Qurân atau dengan ungkapan yang esensinya diambil dari makan ayat al-Qurân tentang takwa; (4) membaca salah satu ayat al-Qurân yang menjadi rujukan topik bahasan dalam khutbah, yang disebut dengan bâdi barâah al-istihlal; dan (5) berdoa untuk mukminin dan mukminat.14 Sementara itu,
khutbah jumat
menurut strukturnya
terdiri dari
muqadimah, uraian dan penutup, yang penjelasannya sebagai berikut: Pertama, muqadimah, yang berisikan rukun-rukun khutbah yang sudah dikemukakan di atas. Dalam hal ini, khatib hendaknya mampu menyampaikan dengan bahasa dan nada yang baik dan jelas serta suara yang menunjukkan kewibawaan; Kedua, uraian, yang merupakan isi dari topik khutbah, yang menuntut khatib untuk mampu secara piawai menjelaskan berbagai macam pandangan dan buktibukti disertai dengan dalil, baik naqli maupun aqli. Penguraian ini dapat dilakukan dengan pendekatan deduktif dan induktif secara bergantian. Uraian khutbah tersebut dipandang bagus jika memenuhi ketentuan teknik penguraian sebagai berikut: (1) uraian merupakan kesatuan yang utuh dari kandungan topik khutbah; (2) uraian dikemukakan secara tertib, yaitu antara satu permasalahan dengan masalah yang lain diuraikan secara bersambung dan saling berkait sehingga dapat dicerna secara mudah oleh jamaah; (3) uraian hendaknya memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai macam unsur yang terkandung dalam bagian-bagian materi khutbah; dan (4) menyampaikan buktibukti yang logis untuk menguatkan penjelasannya begitu pula memberikan contoh-contoh yng relevan dengan mengambil pelajaran dari kisah al-Qurân, perjalanan nabi dan rasul, para sahabat dan para ulama, baik salaf maupun khalaf yang saleh.15 Tablîgh Islam bagi ummah dawah (nonmuslim) selain khithâbah dan kitâbah juga dapat dilakukan dengan bimbingan, konsultasi, diskusi, dan dialog 14
Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, (Mesir: al-Hayah alMishriyyah al-„Ammah, 1978), hlm. 20. 15 Abdullah Syahatah, al-Dawah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 27-28.
169
yang memenuhi prinsip-prinsip metode mujâdalah
yang baik. Etika utama
tablîgh terhadap madu nonmuslim adalah memberikan kebebasan ikhtiar dan tidak ada paksaan, argumen logis, dan bukti empiris karakteristik Islam sebagai agama dakwah hendaknya dikedepankan. Tablîgh Islam ini disebut futûhât (penyebaran, perluasan pengikut) yaitu menghadirkan Islam ke tengah-tengah komunitas nonmuslim tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa peperangan, dan muballigh sebaiknya bertempat tinggal di tempat baru yang menjadi medan berlangsungnya futûhât.16 Muhammad Abduh dalam Risâlah Tawhîd percaya bahwa kehadiran rasul sebagai muballigh membawa dan menyampaikan Islam agama fitrah, yakni tuntuan merealisasikan pengakuan manusia di alam ruh bahwa Allah SWT adalah Tuhan Maha Pencipta yang berhak diibadati, merupakan kebutuhan manusia. Persoalan-persoalaan hakikat perjalanan manusia setelah berpisah dari jasadnya diperlukan penjelasan yang datang dari Maha Pencipta melalui utusan-Nya karena akal manusia tidak dapat memahami hakikat yang sebenarnya tentang kekekalan hidup di akhirat nanti. Ketika akal manusia didominasi oleh pengaruh syahwat dan hawa nafsunya, diperlukan adanya pemberi peringatan dan tuntunan agar kembali kepada fitrahnya. Hal ini menjadi alasan bahwa tablîgh Islam perlu ditujukan kepada semua manusia termasuk yang nonmuslim.17 Sebelum Muhammad Abduh, al-Shawy berpendapat bahwa kehadiran dakwah Islam adalah membentengi fitrah manusia dari kesesatan, dan menggantikan kesesatan dengan petunjuk kebenaran, akrena fithrah ashliyah manusia adalah ahl al-hudâ bukan ahl al-dhalâlah. Hal ini menurut al-Shawy diisyaratkan dengan ungkapan respon madu yang positif terhadap Islam dalam bentuk isim dan respon negatif menggunakan bentuk fiil dalam QS. Al-nahl 125. Hal ini menjadi alasan adanya kewajiban tablîgh Islam kepada semua manusia termasuk madu ummah dawah (nonmuslim).18 16
Selanjutnya lihat Ahmad al-Shawi, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsir al-Jalalain, jld. IV, hlm. 359-361. 17 Lihat Muhammad Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, hlm. 90-108. dan kehadiran buku ini bagian dari tabligh bi al-Kitâbah oleh Muhammad Abduh. 18 Lihat al-Shawy, Hâsyiyah al-„Allâmmah al-Shawy „alâ Tafsîr al-Jalalayn, jld. II, hlm. 333.
170
B. al-Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah Menurut Muhammad Abduh, al-Dawah al-Juziyyah al-Khâshah ini bagian dari level dakwah kedua, yang dapat dipahami sebagai implementasi ajaran Islam pada tingkat diri sendiri (intraindividu), antarindividu, dan kelompok kecil di lingkungan ummah ijâbah merupakan esensi dari al-dawah al-khâshah dalam upaya memperbaiki dan mencari solusi (ishlâh) problem kehidupan mad u yang dihadapinya menurut tingkatan masing-masing, ketika dâi berinteraksi dengan madu dalam suasana tatap muka. Kategorisasi dakwah ini meliputi: (a) al-dâiyah fî nafsih (internalisasi Islam pada tingkat intraindividu), (b) al-dawah alfardiyyah. Berikut penguraian masing-masing kategori dakwah dimaksud. 1. al-Dâ’iyah fî Nafsih Pemikiran Muhammad Abduh yang dapat dipahami memuat penjelasan al-dâiyah fî nafsih 19
(dakwah intrapersonal), yaitu ketika Muhammad Abduh
menafsirkan Q.S. Al-Nisâ: 48-49, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah tidak diampuninya dosa syirik, karena sesungguhnya agama tidak disyariatkan kecuali untuk menyucikan jiwa manusia (al-tazkiah al-nufus al-nas), menyucikan ruh mereka (tathir arwahihim), dan meningkatkan akal mereka (tarqiyah „uqulihim). Sementara syirik merupakan puncak kejatuhan akal manusia, pemikiran dan juga jiwanya. Dari kemusyrikan terlahirlah berbagai kehinaan dan kotoran yang merusak manusia pada tingkat individu dan kelompok karena syirk merupakan wujud pengangkatan sejumlah orang atau sebagian makhluk yang lebih rendah dari mereka atau serupa dengan mereka ke tingkat yang mereka mengkultuskannya, tunduk kepadanya, dan merasa rendah dengan anggapan bahwa apa yang dipertuhankannya itu memiliki kekuasaan tinggi di atas hukum alam
dengan
segala
kausalitasnya.
Mereka
juga
menganggap
bahwa
19
Ungkapan Muhammad Abduh yang semakna dengan term ini, adalah tahdzib anfus (mendidik jiwa) dan tazkiah nafs (menyucikan jiwa), lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 184, 186, bahkan Muhammad Abduh menegasan urgensi yang semakna dengan al-daiyah fi nafsih ini yaitu “bal lianna al-mursyid al-„am mahalun li qudwah al-awam”, pernyataan ini diungkapkan ketika menghubungkan penafsiran Q.S. Ali-Imran:104 dengan Q.S. al-Maidah: 105 tentang kualitas diri mukmin dalam menghadapi tantangan kehidupannya, lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. Problemproblem ini antara lain: syirk, wahn (lemah dalam berbagai hal, seperti pemangkiran, etos kerja), al-hazn (sedih), hasad (dengki) dan sebagainya. Teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.4
171
menyenangkan dan menaati tuhan-tuhan sekutu itu juga sama dengan atau bagian dari ketaatan kepada Allah SWT sendiri. Kekeliruan keagamaan inilah apa yang menyebabkan penindasan dan perbudakan oleh para pemimpin agama dan dunia terhadap sejumlah kelompok atau bangsa. Mereka juga bertindak layaknya seorang tuan yang
memaksa hamba sahayanya
yang hina-dina dalam
memperlakukan mereka berkaitan dengan jiwa, harta, kemaslahatan, dan kemanfaatannya. Ia juga mencegahmu dari konsekuensi hal itu berupa moralitas rendah dan keburukan yang merajalela semisal kehinaan, kerendahan, kenistaan, kepalsuan, kebohongan, kemunafikan, dan sebagainya.20 Kajian mengenai tazkiah al-nufus yang disebut juga dengan tarbiyah al-nufus sebelum Muhammad Abduh telah dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali (450-505 H), Ibn Qayim alJauziyah (691-751H) dan Ibn Rajab al-Hambali (736-795 H).21 Dari penjelasan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa, interaksi dâi-madu pada tingkat intraindividu dalam upaya mengamalkan alislâm dengan cara-cara yang sesuai petunjuk ajaran untuk memperbaiki dan mencari solusi problem kejiwaannya disebut al-dâiyah fî nafsih. Dengan demikian dâ i dan madunya adalah dirinya sendiri, dan dapat disebut sebagai proses internalisasi ajaran Islam oleh individu Muslim. Pemikiran Muhammad Abduh mengenai al-dâiyah fî nafsih atau aldawah al-nafsiyah ini lebih banyak disorotinya dalam Al-Manâr ketimbang yang lainnya, sebab menurut Muhammad Abduh, fungsi agama Islam yang banyak diabaikan oleh individu muslim pada zamannya adalah tazkiyah al-nufûs (penyucian jiwa), tathhîr al-arwâh (penyucian ruh), dan tarqiyah al-„uqûl (peningkatan akal). Bagi Muhammad Mâhir Mahmud „Amar menyebutnya dengan irsyâd alnafs, yakni internalisasi Islam pada tingkat intraindividunya sendiri dan memberi
20 . Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-49, tentang penegasan Allah mengenai syirik (menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya) sebagai dosa besar yang tidak akan diampuni dan penegasan mengenai bagian fungsi ajaran Islam sebagai pensucian diri manusia dari aqidah dan amaliah yang batal. Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 148-149, teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.5 21 Lihat Ahmad Muhammad Kanan, Tazkiah al-Nufus, (Beirut: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 968.
172
perbantuan individu lain agar melakaukan hal sama, yang dikategorikan dalam istilah psikologis sebagai konseling. Hal ini memiliki peranan penting dalam kehidupan individu muslim, sebab di antara fungsi kehadiran agama Islam bagi manusia adalah sebagai upaya menghidupkan hati pemeluknya agar tidak dimatikan oleh dorongan dan dominasi potensi syahwat dan hawa nafsunya.22 Term al-dâiyah fî nafsih dapat pula disebut al-dawah al-nafsiyah seperti diajukan oleh Shaqr yang digunakan untuk menunjuk aktivitas internalisasi Islam oleh individu muslim sebagai persyaratan utama bagi dâi sebelum mendakwahi individu lain.23 Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan Muhammad Abduh mengenai fungsi Islam yang ruh utamanya adalah tawhid Allah, ketika menafsirkan QS. Ali Imran 18-19. Ridha menyatakan bahwa, demikianlah Allah menasyariatkan agama Islam untuk dua hal pokok: Pertama, menjernihkan ruh dan memurnikan akal dari keyakinankeyakinan yang keliru atas kekuasaan gaib bagi sejumlah makhluk dan kemampuannya untuk beroperasi di alam raya ini agar tidak tunduk dan menyembah sesamanya atau bahkan yang lebih rendah daripadanya dalam hal kesiapan dan kesempurnaan; Kedua, memperbaiki hati agar memiliki tujuan yang baik dalam setiap kegiatan dan niat tulus karena Allah bukan karena manusia. Bila kedua hal ini terwujud terbebaslah fitrah manusia dari ikatan-ikatan yang merintanginya untuk sampai pada kesempurnaan personal dan sosial. Kedua hal ini merupakan ruh yang hendak dicapai dari kata „islâm. Adapun ibadah-ibadah ritual disyariatkan guna mendidik ruh Islam tersebut pada tingkat moralitas. Oleh sebab itu, dipersyaratkan di sini niat dan keikhlasan. Sekali ruh ini terdidik, mudahlah bagi pemiliknya untuk menunaikan seluruh kewajiban moral dan keadaban yang
22
Lihat Muhammad Mâhir Mahmud „Anwar, Malâmih „Ilm Nafs al-Islâmy (Saudi Arabia: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983), hlm. 2-3 dan Musfir bin Said al-Zahrani, al-Tawjîh wa alIrsyâd al-nafsî (Mekah: Bahadur Press, 1421H). 23 Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 107-112.
173
menghantarkannya kepada suatu masyarakat madani dan terwujudlah cita-cita kaum bijak. 24 Dari pemikiran Muhammad Abduh dan Ridha di atas, dapat dipahami bahwa, keduanya percaya terdapat beberapa gangguan kesehatan mental dan penyakit kejiwaan individual dan sosial yang diakibatkan dari situasi kejiwaan yang mengindikasikan adanya kemenangan potensi nafs amârah dalam struktur keruhaniannya. Oleh karenanya sasaran utama dakwah nafsiyah merupakan upaya ishlâh perilaku ruh, nafs, dan akal madu dengan mengimplementasikan Islam pada tingkat intraindividu. Sebab, perilaku lahir merupakan ekspresi dan manifestasi dari perilaku potensi batin. Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, gangguan kesehatan mental dan penyakit kejiwaan individual dan sosial pada intinya bersumber pada perilaku syirk (menyekutukan Allah SWT.). solusinya, Muhammad Abduh percaya, hanya dengan tawhid
25
yaitu mengesakan kemahaesaan Allah SWT. Mengenai perilaku
lahir manusia merupakan manifestasi dari perilaku potensi batin adalah bagian dari sunnah Allah, dalam hal ini, Muhammad Abduh menegaskan, sesungguhnya apa yang diketahui dari hukum alam berkaitan dengan manusia adalah bahwa keyakinan-keyakinannya dalam relung hatinya memiliki daya dorong kuat terhadap perilaku secara fisikal. Padahal iman tiada lain kecuali keyakinan yang tertanam kuat dalam akal yang mendominasi hati. Tidak ada amal kecuali terlahir dari pemikiran akal atau instink hati. Maka seluruh kegiatan orang beriman pasti mengikuti keimanannya. Ia tidak lepas dari iman atau tidak mau patuh padanya kecuali karena lupa atau tidak mengetahui. 26 Sebelum Muhammad Abduh, Zayn al-Din al-Baghdadi mengemukakan pandangan yang sama, menurutnya bahwa, gerakan fisik mengikuti gerakan hati dan keinginannya. Jika gerakan dan keinginannya hanya karena Allah semata, baiklah jasad dan seluruh pergerakannya. Jika gerakan dan keinginan hati bukan 24
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258. Tawhid ini juga berlaku dalam kegiatan pengembangan keilmuan dalam Islam sebagai solusi penyakit pandangan dikotomi ilmu. Selanjutnya lihat M. Yunan Yusuf, “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan (Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000), hlm. 132-139. 26 Al-Manâr, jld. III, hlm. 250. 25
174
karena Allah, rusaklah jasad dan seluruh keinginannya sesuai dengan tingkat kerusakan hati.27 Muhammad Abduh juga percaya bahwa, muncul dan terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku manusia bersumber pada dua macam pengaruh internal dalam nafsnya. Hal ini ia nyatakan bahwa, setiap orang, yang berupaya merenungkan dirinya dan menimbang pikiran-pikirannya ketika ia berpikir tentang sesuatu yang mengandung potensi kebenaran dan kebaikan dan juga mengandung potensi kebatilan dan keburukan, akan merasakan bahwa dalam dirinya terdapat suatu konflik batin seolah-olah masalah tersebut sedang menjadi bahan perbahasan suatu majelis musyawarah. Ada pikiran yang diterima ada pula yang ditolak. Ada yang berkata: „Kerjakanlah! Yang lain beda lagi: „Jangan dilakukan!” Hingga kemudian menanglah salah satu sudut pemikiran dan unggullah salah satu pikiran. Yang satu ini lebih menetap dalam diri kita. Ia kita namai sebagai kekuatan dan pemikiran—pada hakikatnya, ia merupakan suatu makna yang tak terjangkau substansinya dan suatu ruh yang tak terpikirkan hakikatnya—tak terlalu jauh bahwa Allah menamainya malak (atau dinamai sebab-sebabnya sebagai malaikat).28 Rasyid Ridha memberikan komentar atas pandangan Muhammad Abduh di atas, sama dengan Imam Gazali yang sebelum Muhammad Abduh sudah mengemukakan penjelasan penyebab terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku manusia bersumber pada kondisi terang dan gelapnya qalb manusia yang disebabkan oleh dua macam pengaruh, menurut Imam Gazali bahwa, terdapat dua sebab atas terang atau gelapnya hati. Sebab yang terbersit dan mendorong ke arah kebaikan disebut malaikat sementara sebab yang terbersit dan mendorong ke arah keburukan disebut setan. Kecenderungan hati yang membuat hati siap menerima ilham kebaikan dinamai taufiq sementara kecenderungan yang membuat hati mau
27
Zayn al-Din al-Baghdadi, Jâmi al-„Ulûm wa al-Hikam (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 66. Al-Manâr, jld. I, hlm. 268. Pandangan Muhammad Abduh ini menggambarkan proses komunikasi intrapersonal yang meyakini adanya stimulus dari internal dan eksternal kejiwaan manusia. Lebih lanjut lihat Larry Barker, Communication, hlm. 113-119. Mengenai terjadinya kehendak ini, lebih lanjut bandingkan dengan Jaudat Said, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-„Amal: Qudrah wa Irâdah, oleh Luqman Junaedi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 87119. 28
175
menerima keburukan dinamai ighwâ (godaan) atau khudzlân (kehinaan). Hal ini karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula.29 Ketika menafsirkan QS. Al-Syams (91): 9-10, Muhammad Abduh juga mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek. Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs (menyucikan jiwa) dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs (mengotori jiwanya). Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala larangan ajaran Islam.30 Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih.31 Mengacu pada
penjelasan Muhammad
Abduh mengenai
sasaran
disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku 29
Al-Manâr, jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah
(menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata). Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs (bisikan). Lihat AlManâr, jld. I, hlm. 267. 30 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111. 31 Al-Manâr, jld. I, hlm. 286.
176
manusia, begitu pula pendapat Imam Gazali dan Rasyid Ridha yang telah dikemukakan, maka esensi dawah nafsiyah (internalisasi Islam) adalah proses memenangkan daya pengaruh ilhâm taqwâ terhadap ilhâm fujûr dengan cara tazkiyah al-nafs (menyucikan jiwa) di dalam diri manusia yang berlangsung terusmenerus sepanjang hayat dikandung badan untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Mengenai lhâm taqwâ dan ilhâm fujûr dijelaskan oleh Muhammad Abduh, menurutnya
bahwa,
lhâm
fujûr
adalah
menyampaikan
menghantarkan jiwa pada kerugian dan kebinasaan.
32
sesuatu
yang
Sedangkan Ilhâm taqwâ
adalah menyampaikan sesuatu yang memelihara jiwa dari akibat yang buruk. Selain menggunakan term tazkiyah nufûs, tazkiyah arwâh, dan tazkiyah „aql, Muhammad
Abduh
juga menggunakan
term-term lainnya
untuk
menggambarkan fungsi utama disyariatkannya Islam, yaitu: ishlâh al-nufûs33 (memperbaiki jiwa), ishlâh al-qulûb 34 (memperbaiki hati), tarbiyah nafs35 (mendidik jiwa), dan tazkiyah al-„aql36 (menyucikan akal). Dakwah nafsiyah diyakini oleh Muhammad Abduh memiliki fungsi sebagai upaya mencari solusi problem gangguan dan penyakit hati, yaitu antara lain: syirk (menyekutukan Allah), nifâq (kepercayaan bohong), riyâ (motif amal bukan karena Allah), al-syak dan al-rayb (ragu akan kebenaran yang datang dari Allah), al-hazn (sedih negatif), al-khauf (takut negatif), al-jahl (bodoh), al-taqlîd (ikut-ikutan), khiyânah (inkar janji), sû al-khuluq (jelek budi pekerti), al-ham (bingung), dan yang lainnya.37 Keyakinan mengenai adanya penyakit hati, secara psikologis sama dengan keyakinan Hasan Muhammad al-Syarqawi, menurutnya bahwa, sesuatu yang dikategorikan sebagai penyakit hati adalah: (1) al-riyâ (motif amal bukan karena Allah); (2) al-ghadhab (marah); (3) al-ghaflah (lupa yang disengaja); (4) al-
32
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 110-111. Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 367-368. 34 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 244. 35 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 254 36 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. 37 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 154, 155, dan 184. 33
177
wiswâs (keraguan); (5) al-yasu (putus asa); (6) al-ghurûr (tipu daya); (7) al-„ujb (membanggakan diri); dan (8) al-hiqd (dengki).38 Metode dawah nafsiyah sebagai upaya mencari solusi macam-macam penyakit hati yang paling utama, menurut Muhammad Abduh, antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, tawhid Allah, meyakini kemahaesaan Allah, yaitu dengan beriman kepada-Nya yang disertai ketundukan dan kepasrahan atas segala ketentuan hukum yang diciptakan-Nya. Dalam hal ini Muhammad Abduh menyatakan bahwa, tauhid yang berlawanan dengan syirk merupakan suatu pembebasan manusia dari perbudakan penghambaan kepada setiap manusia dan benda langit dan bumi. Ia menjadikan manusia merdeka, mulia, dan gagah tidak tunduk secara ketundukan seorang hamba kecuali kepada Dzat yang kepada hukum-hukum-Nya semua alam raya tunduk sesuai dengan tatanan yang ditegakkan-Nya dalam hukum kausalitas. Maka, tunduklah terhadap hukumhukum-Nya yang akurat dan syariat-Nya yang adil, diturunkan, dan diikuti. Ketundukannya ini semata-mata ketundukan terhadap akal dan nalurinya, bukan kepatuhan terhadap kemanusiaan dan sejawatnya. Adapun ketaatannya terhadap penentu hukum merupakan wujud ketaatan pada syariat yang ia terima bagi dirinya dan terhadap tata aturan yang ia melihat ada kemaslahatan di dalamnya, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Ia bukan semacam pengkultusan atas kekuasaan yang dimiliki oleh mereka, tidak pula kehinaan dan kerendahan diri di hadapan sejumlah orang. Jika mereka konsisten dengan syariat tersebut, Dia akan menolongnya. Bila mereka menyimpang, Dia akan mengutus suatu kelompok guna meluruskan mereka.39 Lalu Muhammad Abduh beralasan bahwa, keyakinan akan keberadaan Allah SWT yang Maha Esa dan mengesakan-Nya merupakan dasar utama yang akan melahirkan kesempurnaan dalam menyucikan potensi ruhaniyah yang berupa
38
Lihat Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-Islâmi (Iskandariyah: Muassasah Sabâb al-Jamiah, 1984), hlm. 103-168. 39 Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 149. Bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-52, beberapa ayat ini mengenai syirik sebagai dosa, kedzaliman, kedustaan dan penyebab memperoleh lanat Allah.
178
akal dan jiwa. Hal ini ditegaskannya bahwa, tazkiyah al-nafs tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan tazkiyah akal sedangkan penyucian akal tidak bisa sempurna tanpa tauhid yang murni.40 Kedua, tadabbur (berpikir mendalam dan berulang-ulang) dan tarawâ (berpikir mempertimbangkan secara teliti) dalam menyikapi segala obyek pengetahuan sebagai konsekuensi logis dari keyakinan yang tawhîd khâlish. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh, antara lain, termasuk ke dalam cakupan perjanjian Allah akbar yang Dia kenakan kepada seluruh manusia sesuai dengan fitrahnya adalah tadabbur (berpikir mendalam) dan Tarawa (berpikir teliti). Ia menimbang segala sesuatu dengan timbangan akal dan penalaran yang valid bukan dengan timbangan hawa nafsu dan tipu daya.41 Ketiga, shabar yaitu tabah, tangguh, dan ulet dalam mengendalikan jiwa disertai rela, pasrah, dan semangat berikhtiar ketika menjalani ketaatan atas segala perintah meninggalkan segala larangan ajaran Islam dan mengatasi berbagai ujian hidup. Menurut Muhammad Abduh, bahwa, sabar yang hakiki yang dibangun atas dasar penyerahan diri (kepada Allah) dapat terwujud dengan mengingat janji Allah SWT adanya balasan yang baik bagi orang-orang yang sabar dalam melakukan kebajikan yang bisa mengikat jiwa dan menghidari tarikan syahwat yang haram yang merongrongnya. Juga sabar terwujud dengan mengingat bahwa musibah itu perbuatan Allah dan perlakuannya bagi makhluknya, sehingga wajiblah tunduk kepada-Nya dan berserah-diri atas perintah-Nya. Di antara keajaiban masalah sabar ini adalah bahwa sabar menjaga manusia dari kerugian manakala ia bersikap baik dalam segala hal sebagaimana diisyaratkan oleh surah al-„Ashr dan dikuatkan dengan ujian. Sudah tak asing pula bahwa „siapa sabar
40
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Kajian mengenai tazkiyah nafs ini, selanjutnya lihat Muhammad bin Abdul Wahab, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi (Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991), dan Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ iu al-Nafsiyah (Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966), hlm. 31-34. 41 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 290.
179
pasti beruntung. Kita juga bisa memaknai sabar sebagai salah satu kekuatan jiwa yang mampu menata setiap tindakan yang dilakukannya.42 Shabar sebagai perilaku qalb dalam pandangan Muhammad Abduh di atas, merupakan proses aktivitas potensi jiwa yang berintikan syariat Islam, tadzakur (ingat dan sadar) akan janji Allah SWT yang akan memberikan balasan kemenangan hidup bagi hamba-Nya yang mau dan merealisasikan sabar di dalam dirinya. Keempat, menegakkan ruh shalat sebagai inti dari bukti kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah yang menjadi indikasi pembeda antara status kesejatian seorang Muslim dan bukan muslim, juga sebagai pilar Islam. Mengenai urgensi menegakkan ruh salat ini, Muhammad Abduh menempatkannya sebagai urutan kedua dalam penyajian pesan dakwah, menurutnya bahwa, setelah berdakwah kepada arah keimanan yang mantap, ia menyeru mereka terhadap amal saleh dengan cara-cara yang efektif dan diridhai oleh Allah SWT. Mereka memang tersesat dengan berpegang hanya pada benda-benda lahiriah dan berhenti hanya pada gambar-gambar. Mereka memang sudah melaksanakan salat tetapi mereka belum menegakkan salat, karena menegakkan berarti menunaikan sesuatu secara sempurna. Dalam hal salat, menegakkan berarti menghadap Allah SWT dengan hati dan konsentrasi di hadapan-Nya, bersikap ikhlas bagi-Nya dalam berdzikir, berdoa, dan memuji-Nya. Inilah ruh salat yang merupakan tujuan disyariatkannya dan salat tidak disyariatkan sekadar formalitas. Formalitas bentuk ibadah salat itu berubah-ubah dalam hukum Allah SWT sejalan dengan sunah para nabi-Nya, karena ia merupakan benang merah syariat kenabian. Para nabi tidak mengajarkan salat yang sama bentuk formalnya, namun ruh tadi tetap tidak berubah. Ruh itu sama dari nabi ke nabi dan tidak pernah dihapus dalam suatu agama pun.43 Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa perilaku qalbu yang digunakan oleh potensi daya pilih quwwah 42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 298-299. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah 43-46, ayat-ayat ini mengenai perintah shalat, zakat dan tunduk atas segala perintah dan larangan melupakan diri dari berbuat kebaikan. 43 Al-Manâr, jld I, hlm. 293. Kajian mengenai ruh salat antara lain dikaji oleh Syaikh Mushafa Masyhur dalam karyanya al-Hayâh fi Mihrab al-Shalâh, diterjemahkan oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
180
„aqliyah di dalam diri manusia dalam upaya menyucikan ruh, akal, dan nafs, yaitu: (1) merasakan kehadiran Allah dalam jiwa (tawajjuh); (2) meyakini akan menemui Allah (khusyu ); (3) ketulusan motivasi segala amal (ikhlâsh); (3) mengingat Allah (dzikr); (4) berdoa kepada Allah (duâ); dan (5) memuji Allah (tsanâ) atas segala anugrah nikmat lahir dan batin yang telah diberikan kepada dirinya sebagai hamba Allah SWT.44 Kemudian, Muhammad Abduh juga lebih menekankan lagi bahwa, sasaran utama dari menegakkan ruh salat adalah upaya ishlâh nufûs al-afrâd (memperbaiki jiwa
individu)
agar
terwujud suasana
ketenangan
jiwa,
kesejahteraan lahir-batin, dan memperoleh segala kebaikan hidup menurut ajaran Islam di dunia kini dan di akhirat kelak.45 Para penulis psikologi Islami modern percaya bahwa hikmah di balik perintah doa, wudlu, salat, saum, tobat, sabar, dan membaca Al-Qurân adalah bagian dari proses syifâ al-nafs (penyembuhan gangguan kejiwaan).46 Kelima, muhâsabah fî nafsih (introspeksi dan evaluasi diri) atau muhâsabah nafsiyyah merupakan proses pemeliharaan dan penjagaan situasi kejiwaan yang berada pada posisi nafs muthmainnah, sebab pengaruh dari internal dan eksternal diri manusia berupa wiswâs (bisikan yang mendorong untuk menyimpang dari situasi stabil) baik oleh jin kafir maupun oleh manusia yang perilakunya didominasi oleh nafs ammârah sebagai pembangkit setan (jin kafir). Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku hati dan perilaku ragawi manusia secara individual dan komunal yang akan berakibat baik dan buruk pada berkesinambungan dan tidaknya posisi nafs muthmainnah, sehingga upaya muhâsabah nafsiyyah menjadi amat penting sebagai bagian dari metode irsyâd nafsi. Oleh karenanya, Muhammad Abduh antara lain menegaskan 44 Bandingkan dengan kajian Majid al-Hilâli, Fal nabda Bi Anfusinâ, (Kairo: Dâr alThabaah al-Islamiyah,1994), hlm. 10-104. 45 Lihat Al-Manâr, jld I, hlm. 367-369. 46 Lebih lanjut, lihat antara lain Abd al-Rahman al-„Aysawi, al-Islâm wa „Ilâj al-Nafs (AlAkarithah: Dâr al-Fikr, 1986), hlm. 50-52, Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs alIslâmi, hlm. 169-280, Taufiq „Ulwan, Mu jizah al-Shalah (Kairo: Dâr al-Wafa, 1988), hlm. 58-59, Saleh Bahtiar, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 2528.
181
bahwa, hendaklah umat menghisab dirinya baik secara individual maupun komunal agar kondisi mereka tidak seperti kondisi masyarakat terdahulu sebagaimana dikabarkan Al-Qurân, sehingga mereka dihukumi sama dengan masyarakat sebelumnya. Hal ini disebabkan balasan itu diberikan menurut kegiatan hati dan raga, bukan menurut kesukaan orang-orang atau kelompok dan tidak pula permusuhannya.47 Muhammad Abduh percaya bahwa salah satu dari cara muhâsabah nafsiyyah yang paling utama adalah upaya aplikasi perintah dzikir kepada Allah, sebab ia merupakan ruh al-dîn yang mesti mewarnai setiap amal perbuatan nyata. Menurutnya bahwa, dzikir terpenting yang merupakan ruh agama adalah mengingat Allah SWT. pada setiap kegiatan dari amal-amal yang tadi. Itu merupakan sunah Al-Qurân yang menyebut penegakan salat dan khusyu di dalamnya itu tiada lain adalah dzikir kepada Allah SWT., berdoa kepada-Nya, dan pengaruhnya bagi perbaikan jiwa.48 Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai dawah nafsiyah ini, maka dapat dikonseptualisasikan bahwa dawah nafsiyah sebagai proses internalisasi Islam pada tingkat intraindividu Muslim yang melibatkan unsur dâi-madu dirinya sendiri dengan cara iman yang tauhid, tadabbur-tarawa, shabar, iqâmah rûh al-shalâh, dan
muhâsabah nafsiyyah untuk mewujudkan situasi nafs
muthmainnah berupa kehidupan yang hasanah di dunia kini dan di akhirat kelak.49
47 Al-Manâr, jld I, hlm. 297. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. AlBaqarah: 44, ayat ini mengenai larangan melupakan diri dari berbuat baik. 48 Al-Manâr, jld II, hlm. 242. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. AlBaqarah: 203. Dalam Al-Qurân surah al-Ahzâb (33) ayat 41, perintah dzikir ini diberi keterangan dengan sebanyak-banyaknya. Kajian mengenai muhâsabah nafsiyah ini lebih lanjut lihat Majdi alHilâli, Falnabda bî Anfusinâ (Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994), hlm. 53-55, 154-164. 49 Dalam beberapa hal proses internalisasi ini dalam sudut pandang teori komunikasi adalah termasuk komunikasi intraindividu. Kajian lebih lanjut, lihat Larry L. Braker, Communication (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984), hlm. 103-108 dan B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Soejono Trimo (Bandung: CV. Remaja Karya, 1986), 231-233. Kajian teoritik mengenai intraindividu ini, antara lain dijelaskan melalui interaksionisme simbolis oleh George Herbert Mead (1934) dan Herbert Blumer (1969), yang percaya bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat dualisme esensi yang disebut “I”
182
2. al-Da’wah al-Fardiyah Penjelasan Muhammad Abduh yang esensinya dapat dikategorikan kepada al-dawah al-fardiyah ketika menggambarkan isi bentuk al-dawah al-juziyah alkhâshah ini, menurut Muhammad Abduh adalah dakwah yang berlangsung antarindividu baik di kalangan orang pandai maupun orang yang bodoh, di antara kedua pihak sudah saling mengenal dengan cara: (1) dilâlah al-khayr (memberikan petunjuk kepada kebaikan), (2) al-hats „alâ al-khayr (memotivasi melakukan kebaikan), (3) al-nahy „an al-syar (mencegah dari kejelekan), (4) altahdzîr min al-syar (memperingatkan agar menghindari kejelekan), (5) altawshiyah bi al-haq (saling mengingatkan dengan kebenaran), dan (6) altawshiyah bi al-shabr (saling mengingatkan
dengan kesabaran), untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi.50 Shaqr menjelaskan al-dawah al-fardiyah sebagai dakwah fardiyah, yaitu dakwah yang diarahkan kepada satu orang madu atau satu kelompok kecil orang (bukan dalam bentuk komunitas sebagaimana diketahui) dan biasanya terjadi secara tidak terencana. Misalnya, pertemuan spontan, ngobrol-ngobrol, diskusi informal kerabat kerja, lingkaran diskusi, dan semacamnya.51 Term al-dawah alfardiyah (dakwah antarindividu) sudah mulai digunakan dalam karya tulis tentang dakwah Islam menurut levelnya, antara lain oleh Abd al-Badi Shaqr. Sedangkan Abd al-Aziz al-Khuly menyebutnya dengan al-wazh al-dîni (pengajaran keagamaan). Pendapat yang sama dikemukakan Sayid Muhammad Nuh52 dan Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani.53 Di dalam penjelasan Shaqr di atas, dakwah fardiyah dicirikan oleh beberapa hal, yaitu: dapat berlangsung dalam suasana bertatap-muka antara dâimadu masing-masing satu orang, dapat berlangsung dâi satu orang dan (saya) dan “me”(aku). Interaksi antara “I” dan “me” inilah di dalam diri (self) terjadi proses menginternalisasikan segala sesuatu yang berupa stimuli, dan stimuli itu adalah pesan komunikasi itu sendiri. 50 Lihat Al-Manar, jld.IV, hlm. 28. 51 Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 25 dan lihat Muhammad Abd Aziz alKhuli, Ishlah al-Wa adz al-Dini, (Beirut: Dar al-Fikr, 1969) hlm. 8. 52 Lihat al-Sayid Muhammad Nuh, Fiqh Da wah al-Fardiyah fi al-Manhaj al-Islamy, (Mesir: Dar al-Wafa, 1991), hlm. 35. 53 Lihat Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani, al-Da wah al-Islamiyah li al-Afrad wa al-Syabaib, (Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008), hlm. 7.
183
madunya kelompok kecil (fiah qalîlah), dapat berlangsung dalam suasana pertemuan yang terjadi secara tiba-tiba, yang tidak direncanakan sebelumnya, dapat berlangsung dalam suatu majelis tertentu, pertemuan diskusi, kelompokkelompok pengkajian dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pandangan Shaqr, dakwah fardiyah terdiri atas dua macam level, ayitu dawah syakhshiyah (interaksi antarindividu dâi-madu) dalam suasana tatap-muka dan dawah fiah qalîlah (dâi berinteraksi dengan kelompok kecil) dalam suasana tatap-muka.54 Dalam kehidupan antar pribadi dalam kelompok, selalu beragam dalam berbagai hal, misalnya tidak sama kemampuan berusaha, status sosial, ilmu pengetahuan dan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu diperlukan adanya interaksi di antara sesama dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bersama. Di sinilah peran dakwah fardiyah hadir sebagai gerakan implementasi Islam. Mengenai pentingnya interaksi antarindividu dan antara individu di dalam kelompok, Muhammad Abduh menegaskan bahwa, Allah memberdayakan manusia dengan anugrahnya berupa ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam rangka mengatasi berbagai hambatan, mengupayakan berbagai kemungkinan, dan Allah sendiri membantu mengatasi sebagian lain. Sebab itu, kita mesti mengupayakan apa yang kita mampu dan mengerahkan kemampuan kita untuk bekerja secara optimal menurut daya dan kekuatan yang kita miliki. Kita juga mesti bekerja sama dan saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan hal itu.55 Selain penegasan di atas, Muhammad Abduh juga meyakini bahwa, manusia hanya bisa memperoleh harta dari orang-orang lain melalui kecerdasan dan kerjanya bersama mereka. Ia tidak bisa kaya kecuali karena mereka dan dari mereka. Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berusaha karena kecelakaan otak dan jiwanya atau karena penyakit pada badannya, orang-orang 54
Baik Muhammad Abduh maupun Shaqr tidak menjelaskan ciri kelompok kecil (fi ah qalîlah). Dari segi jumlah, fî ah qalîlah maksimal 20 orang. Lihat Muhammad al-Razi Fakhr alDin, tafsîr al-Kabîr, jld. III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 200. Batasan jumlah fî ah qalîlah ini diajukan al-Razi ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 249. Dan lihat pula David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm. 106-109. 55 Al-Manâr, jld. I, hlm. 58. Ini bagian tafsiran QS. Al-Fatihah: 5 dan Muhammad Abduh menghubungkan dengan QS. Al-Maidah (5): 2, ayat ini bagian dari ketentuan ibadah haji dan printah saling tolong mneolong dalam kebaikan dan sebaliknya.
184
lain harus menuntunnya dan membantunya. Ini demi menjaga nilai-nilai sosial yang mengikat kemaslahatan salah seorang melalui kemaslahatan orang lain. 56 Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dikelompokkan kategorisasi macam aktivitas dalam dakwah fardiyah kepada term-term berikut: Pertama, al-wazh (pengajaran yang memperingatkan), yaitu dâi (wâizh) memberikan wejangan (ceramah) kepada madu kelompok kecil tentang syariat Islam (al-khayr) berupa petunjuk solusi atas segala problem yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-dilâlah ilâ al-khayr. Kedua, al-nashîhah (memotivasi dan membantu), yaitu dâi (nâshih) memotivasi dan membantu madu individu (seorang, dua orang, dan tiga orang) dalam mengatasi problem hidup yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-hats „alâ alkhayr. Ketiga, al-tawshiyah (imbauan pesan perintah dan larangan), yaitu dâi (mûshî) mengimbau kepada madu individu dan kelompok kecil agar melakukan dan tidak melakukan suatu perbuatan menurut syariat Islam dengan lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-nahy „an alsyar (mencegah kejelekan), al-tahdzîr min al-syar (menyingkirkan kejelekan), altawâshi bi al-haq (saling berpesan dengan kebenaran), dan al-tawâshi bi al-shabr (saling berpesan dengan kesabaran).57 Tiga term aktivitas dawah fardiyah di atas diuraikan sebagai berikut: a. al-Wa’zh Dari penjelasan Muhammad Abduh diatas, dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa gangguan kejiwaan pada diri individu madu
sebagai
manifestasi dari maradh al-qulûb (penyakit hati), misalnya sedih, bingung, kebodohan, lemah semangat, putus asa, dan sebagainya, yang memerlukan 56
Al-Manâr, jld. I, hlm. 293. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 43. Dalam pernyataan Muhammad Abduh ini terdapat tiga unsur esensi da wah fardiyah: (1) alawn (pertolongan), (2) hifzhan (pemeliharaan), dan (3) tarbath (ikatan kepentingan). 57 Kajian tiga macam kategori ini, lebih lanjut lihat Al-„Uqaily, al-Thâriq Ilâ al- Jannah, hlm. 174-121.
185
pertolongan dan perbantuan upaya solusinya. Madu berhak mendapatkannya sebagai kewajiban bagi wâizh. Penjelasan Muhammad Abduh mengenai alWa zh
antara lain adalah bahwa, setiap
wâizh
hendaknya mengawali
wejangannya dengan menghidupkan harga diri dan rasa kehormatan dalam jiwa kliennya agar siap menerima wejangan-wejangan yang akan diberikan. 58 Oleh karena itu, sebagai bagian dari etika bagi wâ izh agar mempengaruhi jika klien (mauûzh) untuk bangkit percaya diri dalam mengatasi gangguangangguan kejiwaan. Sebab, jika seseorang sudah sadar dan tumbuh harga diri dan percaya dirinya sebagai individu yang berharga dan mulia, maka akan timbul kemauan untuk berusaha menaklukkan dorongan-dorongan hawa nafsu dan syahwat negatif dengan memfungsikan quwah „aqliyah dan quwah ikhtiyâriyah dalam dirinya yang pada gilirannya melahirkan perilaku saleh, baik secara individual maupun secara sosial. Oleh karenanya, lebih lanjut Muhammad Abduh menegaskan bahwa, dari rasa harga diri itu, jiwa akan mendapatkan dorongan kuat yang merupakan keistimewaan jiwa yang mulia mengatasi impul-impul hawa nafsu dan syahwat. Sekali jiwa merasakan kemuliaan dan keluhurannya dan melihat kerendahan yang terkandung dalam berbagai pekerjaan hina, tentu perasaan-perasaan itu—perasaan luhur dan terhormat—enggan mendorongnya kepada kegiatan-kegiatan rendahan. Hal itu merupakan sebagian dari media paling kuat untuk membantu wâizh mewujudkan tujuannya pada diri orang yang kepadanya wejangan diperuntukkan.59 Sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh di atas adalah pendapat mengenai al-wazh yang dimajukan oleh al-Khuly. Menurutnya bahwa, wazh merupakan perkataan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi jiwa manusia dengan sesuatu yang menarik berupa layatan (taziyah) terhadap orang yang tertimpa musibah, hiburan (tasliyah) bagi orang yang sedih, keberanian bagi orang yang penakut, kekuatan (quwah) bagi orang yang lemah, jaminan bagi orang yang
58 Al-Manâr, jld. I, hlm. 302-303. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 47-48, ayat ini mengenai keunggulan bani Israil dan perintah bertakwa. 59 Al-Manâr, jld. I, hlm. 303.
186
putus asa, solusi (farj) bagi orang yang bermasalah, kekayaan (ginâ) bagi orang miskin, dan kesabaran (shabar) bagi orang yang berkecil-hati.60 Dalam pendapat al-Khuly di atas, bahasa lisan merupakan media dalam melakukan al-wazh guna menyampaikan syariat Islam yang ditujukan kepada madu dengan sasaran memberikan solusi problem psikologisnya berupa: (1) bagi madu yang mendapat musibah diberikan ucapan bela sungkawa (taziyah), (2) bagi yang sedih diberikan ucapan yang menghibur (tasliyah), (3) bagi yang takut diberikan motivasi keberanian (syajâah), (4) bagi yang lemah diberikan dorongan semangat (quwah), (5) bagi yang putus asa diberikan kepercayaan diri (amn), (6) bagi yang bingung diberikan jalan keluar (farj), (7) bagi yang butuh tapi malu meminta diberikan bantuan untuk mencukupi kebutuhannya (ghinâ), dan (8) bagi yang menderita berkecil hati diberikan motivasi kesabaran (shabr). Muhammad Abduh memberikan beberapa prinsip aktivitas al-wazh agar efektif dalam mempengaruhi madu dalam memperbaiki dan mencari solusi problem psikologis, antara lain, yaitu: (1) ucapan dan perbuatan hendaknya menyentuh dan meluluhkan kekerasan qalbu madu; (2) memberikan motivasi yang membangkitkan dan menggerakkan perbuatan nyata; (3) memberikan keyakinan bahwa petunjuk hidup yang dapat menghidupkan ruhaniyah adalah AlQurân dan sunah nabi Muhammad SAW.; (4) memberikan keyakinan bahwa segala problem psikologis yang dihadapi merupakan ujian dalam kehidupan; (5) Menyampaikan cara bersikap, berbicara, dan berperilaku yang menarik hati di hadapan mad u; dan (6) niat yang ikhlas dalam melaksanakan al-wazh. 61 Sementara itu, Shaqr memberikan beberapa prinsip dalam pelaksanaan alwazh, yaitu hendaknya al-wazh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) wâizh hendaknya bersikap toleran; (2) wâizh hendaknya bersikap kasih sayang; (3) wâizh hendaknya menghargai dan menghormati madu; (4) wâizh hendaknya memahami karakteristik madu; (5) wâizh hendaknya memperhatikan skala prioritas dalam mencari solusi problem; (6) wâizh hendaknya mengenalkan 60
Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-dîni, hlm. 8. Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 404-405, Al-Manâr, jld. IV, hlm, 142-144. Prinsip-prinsip ini disarikan dari ungkapan Muhammad Abduh dalam penafsiran QS. Al-Baqarah: 232 dan QS. 61
Ali Imran: 138-139, ayat-ayat ini bagian dari fungsi mawidzah.
187
pemahaman syariat Islam yang otentik; (7) wâizh hendaknya memberikan perbantuan dalam hal yang dibenarkan oleh syariat Islam; dan (8) niat yang ikhlas melaksanakan kewajiban al-wazh.62 Pertimbangan mengenai macam-macam materi al-wazh ditentukan oleh kondisi obyektif kebutuhan madu. Begitu pula prinsip-prinsip metodenya dengan mengacu pada prinsip-prinsip metode hikmah dan mauizhah hasanah.63 Implementasi prinsip-prinsip al-wazh
tersebut oleh
waizh
akan
menggerakkan dirinya menjadi kredible di hadapan madu dan akan lebih besar efektifitas maizhah dalam mencari solusi probleh yang dihadapi madu. b. Al-Nashîhah Muhammad Abduh
percaya bahwa perilaku
individu merupakan
manifestasi dari situasi qalbnya. Misalnya, perilaku nifâq merupakan indikasi situasi qalb yang sakit dan kesalehan merupakan indikasi dari qalb yang sehat. Sedangkan akar timbulnya stuasi qalb yang sehat adalah pilihan quwah „aqliyah manusia dengan menggunakan potensi nafs muthmainnah dan situasi qalb yang sakit adalah pilihan quwh syahwat dan hawa dengan menggunakan nafs ammârah yang membuat manusia menjadi bodoh, jelek pemahaman, dan jelek niat dalam melakukan interaksi dengan sesama individu lain. Di sinilah perlunya nashihat bagi individu yang qalbnya sakit dan bagi yang situasi qalbnya sehat juga memerlukan pemeliharaan agar berkesinambungan dan meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agamanya. Nasihat ini merupakan hak bagi mereka yang mengalami problem psikologis dan kewajiban bagi nâshih, yaitu individu Muslim yang posisi situasi qalbnya berada pada situasi sehat dan memfungsikan nafs muthmainnah.64 Nashîhah dapat ditujukan kepada setiap individu dengan berbagai macam status dan peran sosial yang dipikulnya, agar mereka memiliki jiwa mukmin yang 62
Lebih lanjut lihat Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 27-31. Kajian lebih lanjut lihat Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da wah (Mesir: Dâr alItishâm, 1979), hlm. 61. 64 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 249-251. Urgensi nashihat ini dipahami dari bagian paparan Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 204-206. Nasihat didefinisikan oleh Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masudi sebagai upaya mencarikan solusi atas problem yang dihadapi orang lain dengan ucapan dan perbuatan demi kebaikannya. Lihat karyanya, al-Nashihah Syurutuha wa Dhawabithuha, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1993), hlm. 8-9. 63
188
selalu mengamalkan hukum-hukum kehidupan menurut syariat Islam. Dalam hal ini, antara lain Muhammad Abduh menegaskan bahwa, jiwa orang mukmin adalah milik Allah bukan dikuasai oleh syahwat, kenikmatan hewani, dan tipuan setan. Maka barang siapa mendahulukan syahwat di atas keridhaan Tuhannya, menaati batasan-batasannya, dan memelihara hidayah agamanya, ia tidak memiliki keuntungan apa-apa dari perniagaannya ini dan tiada bernilai apa-apa. Kita sungguh telah mengetahui bahwasanya kata-kata ini akan terasa berat bagi orangorang yang tersilaukan dengan kehidupan duniawi, serba kesenangan, gedunggedung, minuman keras, dan wanita-wanita yang ada di dalamnya, meski mereka mengaku bahwa mereka merupakan para tokoh dan abdi agama yang ikhlas, karena kebenaran itu pahit rasanya bagi kaum kebatilan. 65 Salah satu prinsip dalam melakukan nashîhah adalah menggunakan qawl marûf (bahasa yang sesuai dengan sistem budaya), terutama ketika menghadapi individu yang safîh (belum atau tidak cerdas) baik karena belum dewasa berpikir dan bertindak yang disebabkan oleh pengaruh internal dirinya dan pengaruh lingkungan hidupnya dan safîh ini buka tabiat yang tetap. Bahkan bahasa yang sesuai dengan sistem budaya ini juga berlaku dalam konseling (irsyâd) dan belajar-mengajar (talîm). Sehubungan dengan hal ini, antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, apa yang dimaksud marûf di sini meliputi pembersihan hati dengan memberikan pemahaman kepada orang pandir bahwa harta itu harta-Nya, tidak ada kelebihan bagi seseorang dengan berinfak, agar mudah baginya meninggalkan harta. Ma rûf juga mencakup nasihat, pengarahan, dan pengajaran sesuatu yang seyogyanya diketahui oleh orang bodoh dan sesuatu yang memungkinkan ia menerima arahan. Sebab, orang kebodohan itu seringkali menghinggapi seseorang bukan sesuatu yang bersifat bawaan. Maka, jika ia disembuhkan melalui nasihat dan penempaan, akan membaiklah keadaannya. 66
65 Al-Manâr, jld. II, hlm. 253. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 207, ayat ini mengenai orang yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah. 66 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 385. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Nisa: 5-6, ayat ini mengenai ketentuan berbuat maruf dalam mengurus dan mengelola harta anak yatim.
189
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, selain prinsip menggunakan perkataan yang sesuai dan santun kepada manshûh (yang dinasihati), juga nasihat dan tadîb (penempaan moral) berfungsi pula sebagai terapi memperbaiki perilaku jelek agar menjadi baik. Term nashîhah dari segi urgensi dan sebagian prinsip-prinsipnya, menurut „Uqaily, secara lughawi, al-nashîhah berarti al-khulûsh (selai terbuat dari kurma). Secara ishthilâhi, al-nashîhah adalah menghendaki kebaikan bagi orang yang dinasihati.
67
Sedangkan Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, mengutip pendapat
al-Khathabi, memberikan pengertian al-nashîhah sebagai sebuah kata inklusif, yang artinya adalah menghimpun kepedulian terhadap orang yang dinasihati.68 Sementara itu, Abu „Amar bin Shalâh, seperti dikutip oleh Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masûdi, mendefinisikan al-nashîhah adalah sebuah kata inklusif yang memuat makna upaya seorang pemberi nasihat untuk menempuh beragam jalan kebaikan bagi orang yang dinasihatinya, baik sebatas keinginan maupun dengan pelaksanaannya.69 Setelah mengartikan al-nashîhah dari segi lughawi dan ishthilâhi, alMasûdi menegaskan pendapatnya, bahwa hendaknya orang mengikhlaskan niatnya dalam perkataan dan perbuatannya manakala ia hendak menasihati saudaranya sesama Muslim dan yang lainnya. Nasihatnya itu tidak boleh dimaksudkan untuk kepentingan duniawi apapun, atau untuk kemenangan diri, atau untuk menurunkan martabat yang dinasihatinya. Ia hendaknya mengerahkan segenap kemampuannya dalam memberikan nasihat dengan cara menggunakan bahasa terbaik di hadapannya. 70 Dalam pendapat al-Masûdi di atas, dapat dirumuskan prinsip-prinsip dalam melakukan nashîhah, yaitu: (1) al-nâshih hendaknya berangkat dari niat yang ikhlas, yaitu tidak karena memenuhi kepentingan pribadi dan memandang 67
Ahmad bin „Abd al-Wahab Farh al-„Uqaily, al-Thariq ilâ al-Jannah, hlm. 174. Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, al-Adâb al-Nabawi (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm. 17. 69 Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993), hlm. 9. 68
70
Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993), hlm. 10.
190
rendah orang yang dinasihati, (2) bersungguh-sungguh dalam melakukan nasihat, (3) menggunakan metode yang baik, (4) metode nasihat dapat menggunakan bahasa lisan dan perbuatan, dan (5) individu yang dinasihati dapat ditujukan kepada Muslim atau nonmuslim. Pertimbangan pemilihan dan penentuan materi al-nashîhah ditentukan oleh kondisi kebutuhan obyektif orang yang dinasihati dengan mengacu pada prinsip hikmah dan mauizhah hasanah. c. Al-Taushiyah Secara lughawi, al-taushiyah atau al-îshâ adalah kata benda dari kata kerja yang berarti memberikan pesan penting, memerintahkan melakukan sesuatu, membuat perjanjian. Dalam bentuk mujarad (kata dasar) adalah antara lain,
(sampai) dan
yang berarti,
(menyampaikan, menyambungkan).71 Dalam
hal ini Muhammad Abduh memberikan penjelasan bahwa, wasiat adalah kata benda abstrak dari kata îshâ dan taushiyah. Ia digunakan untuk sesuatu yang dipesankan baik berupa benda atau pekerjaan. Hukumnya sunat dalam keadaan sehat dan lebih kuat lagi tingkat hukum kesunatannya dalam keadaan sakit. Berpesannya Allah dengan sesuatu atau tentang sesuatu sama dengan perintahNya. 72 Dalam konteks hak dan kewajiban antara kedua orangtua terhadap anaknya dan kerabat terdekat, washiyah merupakan bagian dari ajaran Islam yang mensolusi agar tidak terjadi konflik internal keluarga dalam mewujudkan kemaslahatan ahli waris dan keluarga besarnya. Namun demikian, mengingat antarindividu muslim dengan individu lainnya secara sosial merupakan sudara, maka taushiyah ini juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan.
71
Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu jam al-Wasîth, jld. II, hlm. 1038. Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 134-135. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 180-182. Taushiyah ini sudah dilakukan oleh Lukman al-Hakim ketika memberikan mau izhah kepada anak dan umat pada zamannya. Lihat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltaji, Min Washâyâ al-Qurân (Kairo: Dâr al-Turâts al-„Arabi, 1987), hlm. 21-51. 72
191
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, taushiyah dengan hak dan sabar, mencegah terjadinya kejelekan dan mengingatkan di antara sesama saudara Muslim untuk menjauhkan diri dari perilaku salah merupakan esensi dari macammacam aktivitas taushiyah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan prinsip-prinsip taushiyah ini dengan mengacu pada keumuman kandungan QS. Al-„Ashr (103):1-3, yaitu: (1) meyakini bahwa waktu dan tempat bukan penentuan untung-rugi dan selamat-celakanya kehidupan manusia; (2) meyakini bahwa perilaku manusialah yang mementukan nasib untung-rugi perjalanan hidupnya dalam memilih dan mendayagunakan potensi nafsnya; (3) meyakini bahwa perilaku manusia sebagai manifestasi potensi nafsnya dapat terjadi pluktuatif, oleh karenanya diperlukan taushiyah di antara sesama manusia; (4) memberi contoh meminta dan memerintahkan orang lain dengan cara hikmah untuk merealisasikan al-haq, yaitu sesuatu yang ditetapkan berupa hakikat yang tetap atau syariat yang benar. Ia adalah sesuatu yang ke arah itu kita dipandu oleh dalil yang pasti atau bukti-bukti atau saksi-saksi; (5) memberi contoh meminta dan memerintahkan orang lain dengan cara hikmah untuk bersabar dalam menaati perintah ajaran Islam, meninggalkan segala larangannya dan dalam mengatasi segala macam ujian hidup; dan (6) hendaknya bagi wâshî (pelaku nasihat) terlebih dahulu mengisi jiwanya dengan al-haq dan al-shabr, serta merealisasikan amal saleh sehingga orang yang dinasihati dapat melihat dan mengambil pelajaran, sebab jika tidak demikian, ia termasuk yang tidak kredibel di hadapan madunya. Sebab, tidak mungkin anda melakukan hal itu sebelum jiwa anda sendiri terisi dengan apa yang nasihatkan, jika tidak, anda termasuk orang yang berkata tetapi tidak melakukan apa yang dikatakannya. 73 Kredibilitas wâshî (pemberi nasihat) merupakan bagian yang ikut menentukan keefektifan taushiyah dalam memberikan solusi atas problem psikologis orang yang diberi taushiyah. Kredibilitas ini akan muncul jika wâshî melakukan tahalî (mengisi nafs dengan akidah tauhid) yang mewujud dalam sikap
73
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175-177 dan lihat pula M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Quran al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 471-489.
192
dan akhlak terpuji dan amal saleh, sehingga menjadi uswah hasanah (suri tauladan) bagi mad u individu dan kelompok. 74 Sehubungan dengan tahalî yang dimajukan oleh Muhammad Abduh sebagai esensi perilaku terpuji yang akan membentuk perilaku wâshî yang kredibel (amanah), al-Khuly mengemukakan beberapa karakteristik bagi pelaku wasiat yang mesti dipenuhi sebelum mewasiati orang lain, yaitu hendaknya wâshî memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) kecerdasan akal, kesempurnaan jiwa, dan budi perangai yang mulia dan terpuji menurut syariat Islam; (2) memahami karakertistik kondisi obyektif madu; (3) menguasai secara mendalam materi taushiyah yang bersumber pada Al-Qurân dan al-sunnah; (4) bersemangat dan tidak mengenal putus asa dalam menjalankan tugas hidup; (5) sopan dan penuh toleransi dalam bergaul antarsesama, penuh cinta-kasih dan menyayangi madu seperti menyayangi diri sendiri; dan (6) mampu menghadapi setiap individu madu secara proporsional sesuai dengan prinsip metode hikmah dan mauizhah hasanah.75 Taushiyah dilihat dari segi pelakunya adalah Allah SWT, para nabi, dan umatnya, terakhir umat Nabi Muhammad SAW. Beberapa prinsip taushiyah yang telah dikemukakan di atas terbatas pada taushiyah yang pelakunya Muslim umat nabi terakhir. Taushiyah Proses al-wazh, al-nashîhah dan taushiyah dari al-dawah al-fardiyah yang sudah dikemukakan, dari sudut pandang komunikasi termasuk komunikasi antarpribadi yang mempunyai keunggulan berlangsung dalam suasana tatap muka yang lebih besar peluangnya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Dengan demikian di dalamnya mengandung makna persuasif, yang 74 Syekh Muhammad Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175177. Dalam teori komunikasi, kredibilitas ini merupakan esensi dari ethos, lihat Arthur R. Cohen, Attitude Change and Social Influence, (New York: Basic Books.Inc,1964), hlm. 23-25. 75 Lihat Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-Dînî, hlm. 16-17. Mengenai perlunya akhlak terpuji bagi dâ I sebagai sumber kredibilitas, selanjutnya lihat Fathi Yakan, Kunci Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al-Du ât, oleh M. Hasan Baidawi (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984), hlm. 146-162, dan Amin Hasan Ishlahi, Metode Dakwah
Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-Da wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif (Jakarta: Litera Antarnusa, 1985), hlm. 23-29, dan Sayid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da i, terj. Âfât „alâ alTharîq, oleh Asad Yasin (Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994).
193
akan efektif apabila dâi sebagai komunikator menguasai hal-hal sebagai berikut: (1) frame of reference madu selengkapnya; (2) kondisi fisik dan mental madu sepenuhnya; (3) suasana lingkungan pada saat terjadinya proses dakwah antarpribadi; dan (4) tanggapan madu secara langsung Dengan mengetahui, memahami dan menguasai hal-hal tersebut, maka dâi akan mampu mengendalikan diri pada waktu berlangsungnya dakwah antarindividu, yaitu, hal-hal sebagai berikut: (1) mengontrol setiap kata dan kalimat yang diucapkan; (2) mengulangi kata-kata yang penting disertai penjelasannya; (3) memantapkan pengucapan dengan bantuan mimik dan gerak tangan sesuai proporsinya; (4) mengatur intonasi sebaik-baiknya; dan (5) mengatur rasio dan perasaan Selanjutnya, dâi ketika melakukan dakwah antarpribadi yang berlangsung secara tatap muka, hendaklah memperhatikan etika, yaitu sebagai berikut: (1) bersikap empatik dan simpatik; (2) menunjukkan sikap sebagai dâi terpercaya; (3) mengutamakan tindakan sebagai pembimbing daripada sebagai pendorong; (4) mengemukakan fakta dan kebenaran; (5) hendaklah berbicara dengan gaya mengajak bukan dengan gaya menyuruh; (6) hindari dari memperlihatkan sikap yang super; (7) jangan menganggap enteng hal-hal yang mengkhawatirkan; (8) jangan mendahulukan kritik; (9) hindari dan kendalikan emosi; dan (10) berbicaralah secara meyakinkan.76 C. al-Da’wah al-Ummah Al-dawah al-Ummah, menurut Muhammad Abduh, merupakan kewajiban berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukum-hukum Allah SWT yang inti proses penegakannya adalah tertumpu pada aktivitas amr marûf nahy munkar. Secara fungsional, amr marûf nahy munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh, yaitu: langkah pertama yang menjadi keharusan adalah menyeru manusia ke pangkuan Islam. Jika mereka memenuhi, keharusan berikutnya
adalah
menghimbau mereka akan kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran. Adapun 76
Penjelasan ini diadaptasi dari Onong Ukhjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 125-126.
194
alasan mengapa hal ini bisa menjaga kesatuan dan mencegah perpecahan adalah karena umat jika bersatu untuk mencapai tujuan luhur lagi mulia ini, yakni hendaknya menggiring umat-umat semuanya, mendidiknya dan membina jiwanya, tidaklah ragu lagi bahwa seluruh kepentingan pribadi akan saling bertemu dan berembuk di antara mereka. Maka, jika muncul rasa iri dan resistensi dari salah seorang anggota masyarakat, mereka akan segera menyadari tugas mereka yang luhur lagi mulia, yang tidak akan tercapai dengan baik kecuali melalui kerjasama dan kebersamaan. Kesadaran ini dapat meredam kepentingan pribadi tadi dan sembuhlah jiwa-jiwa sebelum menderita sakit.77 Urgensi dakwah ummah menjadi gerakan untuk memperbaiki dan mencari solusi problem keumatan tersebut. Muhammad Abduh mengamati situasi umat pada zamannya dihinggapi macam-macam penyakit umat yang berpangkal-tolak dari taklid buta kepada pendapat mazhab bukan mengikuti perilaku Imam mazhab. Memahami ajaran Islam dan mengamalkannya tidak merujuk pada dalil-dalil AlQurân dan contoh sunnah rasul. Akibatnya, umat berada pada situasi jahiliah yang diindikasikan antara lain dengan
adanya
perpecahan dan permusuhan,
subyektivisme (hawahu) menjadi hakim dalam beragama, Muslim menjadi terkotak-kotak, masing-masing saling mengklaim bahwa mazhab yang benar adalah mazhabnya, memusuhi umat yang berbeda pendapat, tertinggal dalam urusan ilmu dan teknologi modern, etos kerja lemah, ekonomi jauh tertinggal, sistem ekonomi riba melanda kaum elit Mesir. Situasi ini membuat kesatuan dan persatuan dan nilai keadilan individual dan sosial dalam sistem keumatan yang dikehendaki syariat Islam yang autentik berdasarkan dan menurut contoh sunnah rasul, tidak menjadi kenyataan sosial umat Islam. 78 Dalam pemikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah al-ummah di atas, termuat sasaran amr marûf nahy munkar sebagai upaya memelihara kesatuan
77
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Ungkapan Muhammad Abduh ini merujuk QS. Al-Hajj (22): 41, ayat ini mengenai keharusan tamkin ummah. 78 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 24-25, 29 dan 30. Problem keumatan abad modern sekarang, selain yang diamati Muhammad Abduh juga ada yang diakibatkan pengaruh budaya Barat dan dampak negative sains dan teknologi yang tidak berbasis tauhid sebagai problem dakwah. Lihat Abdullah Nashih Ulwan, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al Âlami (Beirut: Dâr al-Salam, 1985), hlm. 24-34.
195
umat dan mencegah perpecahan, mendidik jiwa umat dan memusnahkan egoisme individual seperti hasad dan kebrutalan yang bersumber pada tuntutan hawa nafsu. Selain sasaran ini, juga Muhammad Abduh mengatakan bahwa amr ma rûf nahy munkar merupakan upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan umat dengan melaksanakan segala kewajiban beragama. Kemudian Muhammad Abduh menyatakan bahwa, tak syak lagi, bahwa dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut terkandung perbaikan umat secara keseluruhan.79 Sebelum Muhammad Abduh, penjelasan makna fungsional amr marûf nahy munkar ini dikemukakan oleh Taqiyudin Ibn Abbas Ahmad bin Taimiyah (w.728H). Menurutnya bahwa, sesungguhnya nabi sendiri dan segenap kaum beriman tidak memberikan informasi kecuali kebenaran.
Mereka tidak
memerintahkan apa-apa selain keadilan, sehingga mereka menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Mereka mengimbau atas berbagai kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Mereka tidak mengajak pada kekejian, tidak kezaliman, tidak kemusyrikan, dan tidak pula perkataan tanpa dasar ilmu. Mereka merupakan delegasi penyempurnaan fitrah dan pemantapannya, bukan untuk mengganti atau mengubahnya. Mereka tidak memerintahkan apa-apa kecuali hal-hal yang sejalan dengan kebaikan menurut pertimbangan akal yang diterima oleh hati yang bersih.80 Dari penjelasan Ibn Taimiyah di atas, dapat dipahami bahwa, di dalamnya termuat prinsip-prinsip amr marûf nahy munkar sebagai tugas nabi dan umatnya guna mewujudkan kemaslahatan segenap manusia hamba Allah SWT. di dunia kini dan di akhirat kelak. Penyakit masyarakat yang termasuk kategori munkar adalah perbuatan kotor, kezaliman dan syirik yang bertentangan dengan fitrah manusia (keyakinan tauhid Allah). Bahasa lisan yang dipergunakan dalam menegakkan marûf dan menjegal yang munkar mesti mengacu pada kecerdasan penalaran rasional dan kesucian hati.
79
Al-Manâr, jld. I, hlm. 368. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. AlBaqarah: 83. Implementasi kandungan ayat ini merupakan bagian dari cara membangun umat. 80 Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad bin Taimiyah, Kitâb al-Nubuwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284.
196
Amr marûf nahy munkar merupakan bagian dari metode dawah ummah yang esensial,
yang mencirikan
keberadaannya
sebagai khayr ummah,
sebagaimana ditunjukkan oleh QS. Ali Imran (3): 110. Dari ayat ini menurut Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa,81 kebaikan dan keunggulan umat Islam dibanding umat lain terletak pada hal-hal berikut: memerintahkan kebaikan, mencegah kemunkaran, dan keimanan kepada Allah. Al-marûf dan al-munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, marûf dalam penggunaannya secara umum dimaksudkan sebagai sesuatu yang dipandang baik oleh akal dan watak yang waras. Kemunkaran adalah sebaiknya, yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal dan tabiat yang sehat. 82 Kemudian, Muhammad Abduh menguatkan marûf dengan keadilan dan munkar dengan kezaliman, menurutnya bahwa, tiada kebaikan yang paling baik selain keadilan dan tiada kemunkaran yang paling tertolak selain kelaliman.83 Sementara itu, Semakna dengan penjelasan Muhammad Abduh, al-Sadi menjelaskan marûf dan munkar bahwa, marûf merupakan sebuah kata benda yang mencakup segala sesuatu yang dikenal kebaikan dan manfaatnya baik menurut syariat maupun menurut akal. Munkar adalah kebalikannya.84 Sedangkan yang dimaksud dengan „adil, Muhammad Abduh, menurut Rasyid Ridha, tidak memberikan penjelasannya. Al-Jurjâni, mengartikan term „adil, yaitu, „Adil merupakan gambaran tentang sesuatu yang berada di tengahtengah antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan „Adalah merupakan ungkapan tentang konsisten di atas jalan kebenaran dengan menjauhi sesuatu yang diwaspadai agama. 85 Sedangkan al-zhulm, menurut al-Jurjani, adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Secara syariat, al-zhulm merupakan ungkapan penyimpangan dari kebenaran ke arah kebatilan. 86
81
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 57. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27. 83 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 45. 84 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Mannân, hlm. 944. 85 Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Tarîfât (Jeddah: al-Haramain, tt.), hlm. 147. 86 Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Tarîfât, hlm. 144 82
197
Penyebutan beriman kepada Allah setelah amr ma rûf nahy munkar, menurut Muhammad Abduh, adalah mengandung hikmah, yaitu adapun rahasia mengapa amr dan nahy didahulukan penyebutannya sebelum iman itu adalah karena amr dan nahy itu merupakan sesuatu yang terpuji dalam tradisi seluruh manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Mereka semua memandang orang yang melakukannya sebagai terhormat. Tatkala pembicaraan berada dalam konteks keunggulan umat Islam di atas seluruh umat yang lain, baik mukmin maupun kafir, didahulukanlah deskripsi sesuatu yang disepakati kebaikannya di kalangan kaum mukmin dan kafir. Juga ada rahasia lain yakni bahwa amr marûf nahy munkar itu merupakan perisai dan benteng keimanan.87 Dalam penjelasan Muhammad Abduh di atas, terkandung fungsi menegakkan marûf dan menjebol perkara munkar sebagai upaya membentengi dan memelihara keimanan umat terbaik. Jika tidak ada amr ma rûf nahy munkar, maka akan terjadi robohnya tatanan keumatan. Dengan demikian, transformasi dan institusionalisasi syariat Islam merupakan esensi dan fungsi amar marûf nahy munkar yang wajib dilakukan oleh umat Muslim sesuai kemampuan masingmasing individu dan status serta perannya dalam struktur keumatan, baik dengan bahasa lisan, bahasa perbuatan, dan gerakan komunal, dengan mengacu pada prinsip metode hikmah dan mauizhah hasanah. Pelaku amr marûf hendaknya menguasai pengetahuan syariat Islam yang akan ditegakkannya, memeiliki keterampilan dan kemampuan metodologis dan teknis menegakkan marûf dan menjebol yang munkar, memiliki niat yang ikhlas, dan memiliki kepribadian uswah hasanah.88 1. Amr Marûf Prinsip-prinsip menegakkan marûf dalam memperbaiki perpecahan dan permusuhan yang disebabkan oleh penyakit pemahaman dan mental taklid,
87
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 63-64 Kajian lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abd Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da wah al-Islâmiyah, hlm. 48-56. Imam Ghazali memandang amr marûf nahy munkar sebagai bagian dari pokok agama, yang prosesnya melibatkan unsur pelaku, materi, metode, dan obyek. Ia menyebutnya dengan ihtisâb (perjuangan memperoleh ridha Allah). Lebih lanjut lihat karyanya Al88
Mursyid al-Amîn ilâ Mau izhah al-Mu minîn (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt.), hlm. 114-
119.
198
Muhammad Abduh berpesan agar memperhatikan sikap dan perilaku: (1) toleransi atas perbedaan pendapat; (2) tidak saling mengafirkan di antara penganut paham mazhab yang berbeda sepanjang perbedaan itu masih menerima dan tidak menolak kitab Allah SWT.; (3) tidak mengingkari dan masih menghormati kerasulan Muhammad SAW.; (4) menghindari polemik yang tidak etis dalam diskusi dan pembahasan masalah baik secara lisan maupun tulisan; dan (5) menyadari dan menjaga agar perbedaan pendapat pemahaman keagamaan tidak membuat perpecahan dan permusuhan dengan mengembalikan segala persoalan hukum kepada sumbernya yang autentik, melalui fungsi dan peran uli al-amr.89 Sikap dan perilaku dalam menyikapi perbedaan pendapat yang diajukan oleh Muhammad Muhammad Abduh tersebut termasuk kajian etika berbeda pendapat dalam Islam. Mengenai etika ini, menurut Thaha Jabir Fayyad al-Alwani bahwa perbedaan pendapat bagian dari tradisi akademik ilmuwan muslim.90 Amr marûf sebagai
upaya mewujudkan kesatuan umat, kesatuan
keorganisasian umat, dan kesatuan kepemimpinan umat dalam keragaman dicapai melalui gerakan merealisasikan sasaran dan aspek-aspek syariat Islam. Sasaran syariat Islam berupa pemeliharaan aqidah dan ibadah, penjaminan keselamatan jiwa, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan dan kecerdasan akal, pembinaan generasi muda, pembinaan keadilan sosial dengan pemerataan kesejahteraan sosial. Sasaran-sasaran syariat Islam ini pencapaiannya melalui aplikasi aspekaspek aqidah, ibadah, akhlak, keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan, ekonomi,
pendidikan,
seni-budaya,
kesehatan
bio-psiko-sosio-spiritual,
keterampilan dan keamanan. Sasaran dan aspek-aspek syariat Islam ini merupakan esensi ma rûf yang menjadi acuan sistem nilai dan norma khayr ummah.91
89
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 25. Lihat Thaha Jabir Fayyad al Alwany, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 133. 91 Kajian lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 365-370, Yusuf Qaradawi, Anatomi Masyarakat Islam, hlm. 5-344, dan Runben Levy, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 56-100, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila (Bandung: Mizan, 1999), dan Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al9090
Islâm lî al-Mujtama , oleh Shodiq Noor Rohmat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
199
Khayr ummah dibangun melalui penerapan asas-asas wahdah al-ummah sebagai al-marûf,
yaitu:
tauhid
Allah,
ukhuwah
Islamiyah, musâwâh
(persamaan), musyâwarah, taâwun (gotong-royong), takâful ijtimâi (solidaritas sosial), jihâd (perjuangan), ijtihâd (kreasi dan inovasi), „amal shâlih (karya yang bernilai guna dan berhasil guna), musâbaqah fî al-khayrât (berlomba-lomba dalam kebaikan), tasâmuh (toleransi), dan istiqâmah (keberlangsungan melalui disiplin).92 2. Nahy al-Munkar Prinsip-prinsip
amr
marûf,
sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
direalisasikan sejalan dan secara simultan dengan merealisasikan prinsip-prinsip nahy munkar. Sesuatu disebut munkar, tidak lain sejumlah larangan syariat Islam yang penentuannya melibatkan dan mengakui pertimbangan akal sehat manusia. Beberapa macam kemunkaran yang diamati Muhammad Abduh pada zamnnya, antara lain, menurutnya bahwa, induk kemungkaran yang merusak tatanan sosial meliputi kebohongan, pengkhianatan, iri-dengki, dan penipuan. 93 Dari empat macam kemunkaran induk itu, menurut Muhammad Abduh, akan muncul berbagai macam kemunkaran yang lain sebagai penyakit masyarakat,
seperti
perzinahan
(prostitusi),
meminum
minuman
yang
memabukkan (khamar), fasâd (merusak tatanan lingkungan hidup, dan pada gilirannya, kemunkaran itu menjadikan manusia tidak lagi menghiraukan kewajiban beragama, tidak lagi merasakan nilai luhur kemanusiaan, tidak lagi menjunjung tinggi sopan santun kemanusiaan dan tidak ada bedanya dengan perilaku kehewanan.
92
Kajian lebih lanjut, lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 130, Yusuf Qaradawi, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hlm. 28-177, Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 42-69, dan Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih (ed.) Idris Thaha (Bandung: Mizan, 2000). Semua kandungan buku ini, dari perspektif dakwah, merupakan pemikiran strategis kontemporer bagi pembangunan khayr ummah yang proses aplikasinya sebagai proses dakwah ummah. 93 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36.
200
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh bahwa, tidak beragama, tidak memiliki rasa malu dan rikuh, tidak beradab, nyaris tak ada bedanya antara kelompok manusia dengan kerumunan kambing atau lembu.94 Muhammad Abduh beralasan bahwa, nahy munkar bukan fardhu kifâyah seperti salat jenazah, tetapi wajib „ain (individual) dan sekaligus komunal (kifâyah).
Secara
individual,
siapapun
yang
menyaksikan
kemunkaran
berkewajiban untuk mencegah dan mengubahnya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menegaskan bahwa, manakala orang melihat kemunkaran, ia berkewajiban untuk mencegahnya dan tidak boleh menunggu orang lain, karena bisa jadi ia memiliki persepsi lain tentang kemunkaran yang disaksikannya.95 Kemudian menurut Muhammad Abduh, nahy munkar dapat dilakukan dengan tiga macam cara, sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW. yang artinya, siapa saja yang melihat kemunkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa dengan tangan, hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu dengan lisan, dengan hatinya. Hanya saja, itu merupakan tingkat keimanan paling lemah. 96 Muhammad Abduh mengakui bahwa, terdapat perbedaan mengenai siapa yang berkompeten untuk melaksanakan kewajiban nahy munkar dan taghyîr munkar. Perdapat pertama meyakini bahwa wajib bagi umarâ (pemerintah, pemimpin), pendapat kedua setiap individu menurut kemampuannya, berdasarkan tiga macam pilihan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits nabi di atas. Media nahy dan taghyîr munkar dapat menggunakan bahasa lisan dan perbuatan. Dalam pada itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip amr marûf dan nahy munkar, yaitu bagi mereka penganjur marûf dan pencegah munkar hendaknya mereka menyeru dengan cara hikmah dan mauizhah hasanah.
94
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36. 96 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, dan empat pemilik kitab al-Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah). Hadits ini termasuk shahih. Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Jâmi al-Shaghîr fî Ahâdîts alBasyîr al-Nadzîr (Bandung: PT. Al-Maarif, tt.), hlm. 171. 95
201
Kiranya (dakwah tidak membuat) orang-orang tidak lari dari Islam atau membuat mereka tersakiti. 97 Selain itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hendaknya dibedakan antara nahy (mencegah) dengan taghyîr (mengubah) sebagaimana ia tegaskan bahwa, sesungguhnya mencegah sesuatu hanya bisa dilakukan sebelum sesuatu itu
dilakukan.
Jika
sudah dilakukan,
ia
bukan
mencegah
melainkan
menghilangkan suatu kejadian atau mewujudkan sesuatu yang sudah terwujud. Maka, jika anda melihat seseorang memperdaya orang gemuk, misalnya, wajiblah anda mengubahnya dan mencegahnya dengan perbuatan jika anda mampu. Kekuasaan dan kemampuan di sini dipersyaratkan oleh nash. Jika anda tidak mampu melakukan hal itu, wajiblah anda mengubah dengan lisan. Hal ini tidak berlaku khusus untuk mencegah penipuan dan mengingatkannya, melainkan termasuk pula di dalamnya mengangkat persoalan tersebut kepada pemerintah atau pemimpin yang bisa mencegahnya dengan kekuasaan di atas kekuasaan anda. 98
Sudah menjadi bagian dari kenyataan kehidupan bermasyarakat selalu ada yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin ini memiliki otoritas sebagai salah satu fungsi dari kepemimpinannya, sehingga ia dapat mempengaruhi perilaku anggota kelompok yang dipimpinnya. Dâi dalam hal ini dapat berfungsi sebagai pemimpin. Ketika berfungsi sebagai pemimpin maka dia akan memperoleh kepengikutan dari anggota masyarakat yang dipimpinnya, yang ditentukan oleh adanya beberapa faktor, misalnya adanya dorongan mengikuti pemimpin sebagai sesuatu yang diharuskan, adanya sifat yang menjadi daya tarik yang dimiliki pemimpin sehingga anggota menjadi kagum dan tertarik untuk mengikutinya, dan adanya kemampuan pada pemimpin itu sendiri untuk menggunakan teknik kepemimpinanannya. Ketika pemimpin menjalankan tugas nahy munkar dan taghyîr munkar akan lebih besar peluang untuk berhasil apabila ia memiliki faktor kepengikutan tersebut. 97
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 31-32. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Macam pendapat mengenai metode nahy munkar ini, selanjutnya lihat Uways Wafa al-Arunjani, Manhaj al-Yaqîn „alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn (Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 156-163. 98
202
Dari
sudut
pandang
komunikasi,
pertimbangan-pertimbangan
kepengikutan terhadap pemimpin ditentukan dengan lima faktor alasan, yaitu: Pertama, kepengikutan karena naluri, hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan untuk menaruh kepercayaan kepada seseorang, sehingga siap bersedia untuk melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki orang yang memperoleh kepercayaan itu. Orang yang menerima kepercayaan tersebut diakui sebagai pemimpin karena dianggap mampu melindungi kepentingan atau mewujudkan aspirasi orang yang menaruh kepercayaan tadi; Kedua, kepengikutan karena tradisi yang disebabkan oleh kebiasaan turun menurun. Kepengikutan jenis ini terdapat di tengah-tengah masyarakat, mereka mengikuti pemimpin dengan tidak melakukan penilaian-penilaian kualitas kebijakan yang dijalankan oleh pemimpin; Ketiga, kepengikutan karena rasio, yakni kepemimpinan yang ditandai dengan berbagai ciri ilmu pengetahuan, sebagaimana umumnya yang dimiliki oleh setiap ilmuwan. Dalam aplikasinya bermanfaat untuk memecahkan berbagai persoalan yang komplek, dan kepemimpinan juga didukung dan ditunjang oleh lembaga, sehingga ia sebagai pemimpin memperoleh pengakuan sosial secara formal; Keempat, kepengikutan karena agama dan budi pekerti, yakni para pengikut mengikuti pemimpin berdasarkan agama yang sewaktu-waktu bersifat fanatik dan memandang bahwa mengikuti pemimpin sebagai pelaksanaan agama, yang berarti pula sebagai pelaksanaan ibadah. Dalam suasana interaksi antara pemimpin
dan
pengikutnya
di
tengah-tengah masyarakat
yang
mempertimbangkan agama dan budi pekerti pemimpin akan berhasil menjalankan kepemimpinannya apabila memenuhi beberapa hal berikut: (1) apabila mutu keputusan yang diambil oleh pemimpin dipandang penting dan mendapat perhatian; (2) penerimaan para bawahan menyadari
bahwa keputusan yang
diambil itu adalah penting; (3) para bawahan cenderung menolak keputusan yang diambil apabila mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilannya; dan (4) para pengikut dapat dipercayai untuk memberikan perhatian pada tercapainya tujuan yang menggambarkan mengakomodir kepentingan bersama.
203
Kelima, kepengikutan karena peraturan dan hukum, yaitu yang merupakan tindakan bahwa pengikut diatur hak dan kewajibannya dalam aturan dan hukum tersebut, sehingga mereka merasa terikat untuk mengikuti pemimpin. Faktor-faktor kepengikutan tersebut dalam prakteknya
dapat saja
terakumulasi atau faktor yang satu mempengaruhi faktor-faktor lainnya, serta sangat mungkin pada satu pribadi pengikut terdapat dua atau lebih afktor kepengikutannya. Kendati demikian, faktor-faktor tersebut merupakan hal yang ikut menentukan jenis dan keberhasilan pemimpin.99 Di antara persyaratan bagi pelaku nahy munkar di dalam penegasan Muhammad Abduh di atas, selain aspek kekuasaan dan kemampuan, juga termasuk aspek penguasaan ilmu dan keadilan. Sejalan dengan Muhammad Abduh di atas, mengenai persyaratan kuasa dan mampu, Abd al-Fatah mengajukan pendapat tentang syarat bagi pelaku amr marûf nahy munkar dengan mengutip pendapat Sofyan al-Tsauri, yaitu: bahwasanya orang tidak bisa memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran kecuali ia memiliki tiga hal, yaitu: (1) bersikap lemah lembut dalam hal memerintahkan dan mencegah; (2) bersikap adil dalam hal memerintahkan dan mencegah; dan (3) berilmu mengenai apa yang ia perintahkan dan apa yang ia cegah.100 Selain taghyîr munkar melalui bahasa lisan, juga terdapat cara lain, yaitu cara taghyîr munkar dengan qalb, menurut Muhammad Abduh yaitu, taghyîr dengan hati adalah dalam bentuk marah atas pelaku dan tidak meridhai perbuatannya.101 Muhammad Abduh percaya bahwa, banyak cara dan media untuk melakukan nahy munkar selain yang telah dikemukakannya, menurutnya bahwa,
99
Lihat, Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Balai Aksara, 1985), hlm. 132-135. 100 Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Dawah al-Islâmiyah, hlm. 54. Mengenai karakteristik dâi di medan dakwah ummah dalam menunaikan nahy munkar, lebih lanjut lihat Said bin Ali bin Wakf al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Dâ I di Medan Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah (Solo: Pustaka Arofah, 2001). 101 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34.
204
terdapat banyak cara dan berbilang media bagi nahy munkar. Bagi setiap tempat ada pembicaraan yang tepat seuai peruntukannya. 102 Muhammad Abduh lebih lanjut menegaskan bahwa, metode nahy munkar selain tiga macam metode yang telah dikemukakan, adalah jihâd fî sabîl al-Lâh (berjuang di dalan Allah) melalui pengorbanan harta benda dan jiwa raga. Termasuk bagian dari esensi jihad ini adalah al-qitâl (perang) untuk membentengi diri dan mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam dari serangan dan gangguan manusia yang memusuhi dan menghalangi jayanya dakwah Islam. Jika jalan damai tidak disepakati dan mereka mengobarkan dan memulai memerangi umat Islam, maka al-qitâl sebagai suatu kewajiban komunal dan masal umat Islam direalisasikan.103 Tujuan utama diperintahkannya al-qitâl (perang) di jalan Allah adalah untuk meninggikan Kalimah Allah, menegakkan agama Allah, dan mewujudkan keberlangsungan dakwah. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, perang di jalan Allah dilakukan dengan prinsip, yaitu: (1) merupakan perang demi meninggikan Kalimah Allah, pengamanan agama-Nya, dan penyebaran dakwah-Nya; (2) membela pasukan Allah agar hak mereka tidak tersisihkan dan tidak terhalangi untuk mengurus urusannya; (3) perang di jalan Allah bersifat lebih umum daripada perang demi agama karena perang di jalan Allah mencakup perang mempertahankan agama dan memelihara dakwahnya; dan (4) merupakan upaya mempertahankan diri dari serbuan manakala seorang serakah menyerbu negeri kita dan menguras potensi-potensi tanah kita, atau musuh yang tiran hendak menghinakan kita dan mengancam kemerdekaan kita, meski hal itu bukan untuk membahayakan agama kita.104 Hal tersebut di atas bersifat mutlak, seolah-olah ia merupakan perintah bagi kita untuk menyandang sifat berani dan berpenampilan penuh kekuatan dan harga diri, agar hak-hak kita terpelihara dan kehormatan kita terjaga. Kita tidak boleh tercerabut dari agama kita, tidak tergusur dari dunia kita, melainkan kita 102
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 61-64. Pendapat Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran atas QS. Ali Imran: 111, ayat ini bagian dari ketentuan perang di jalan Allah. 104 Al-Manâr, jld. II, hlm. 461. 103
205
tetap dalam keadaan mulia dalam hal agama dan dunia, meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tidakkah anda melihat bahwa orang-orang yang Allah pertunjukkan kepada kita, keadaan mereka sebagai pelajaran, kita mengingat sunnah-Nya berkenaan dengan kematian dan kehidupan mereka. Allah tidak menyebut bahwa mereka telah terbunuh dan membunuh demi agama. Maka, perang untuk menjaga hakikat sama dengan perang demi memelihara kebenaran. Semuanya merupakan jihad di jalan Allah. 105 Dalam paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, termuat prinsipprinsip al-qitâl dalam menegakkan dan memelihara kebenaran guna memeproleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia kini dan di akhirat kelak. Ketentuan startegis dan ketentuan operasional mengenai al-qitâl menjadi kajian fiqh Islam dan banyak dikaji walaupun tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari metode nahy munkar dalam kerangka dakwah ummah. Yusuf Musa sependapat dengan pandangan Muhammad Abduh mengenai jihad dan qitâl dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini.106 Sebab, jihad dan qitâl dalam dakwah merupakan bagian dari sunah Rasul Allah, Rasul telah memberikan contoh dalam memimpin qitâl pada zamannya. Qitâl (perang) dalam upaya membentengi kebebasan dan mewujudkan keberlangsungan dakwah, mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, perang hanya dibolehkan apabila mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) sebagai pembelaan diri dari kezaliman musuh; (2) perang untuk mengokohkan sendi-sendi perdamaian; (3) perang
dilakukan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan; (4) perang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi; (5) perang dilakukan bukan untuk kepentingan golongan; dan (6) perang dilakukan bukan untuk mengejar keuntungan materil. 107
105
Al-Manâr, jld. II, hlm. 461. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 243-244. Bandingkan dengan kajian al-Jurjani, al-Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr,tt), hlm. 329-350. 106 Selanjutnya lihat Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudi (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 102-105. 107 Lihat Mahmûd Syît Khathab, al-Rasûl al-Qâid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 473482.
206
D. Kaderisasi Da’i Profesional Term takwîn al-duât / tarbiyah al-duat ini digunakan sebagai realisasi dari perintah kewajiban dakwah yang sementara ini kurang mendapat perhatian ilmuan muslim, yaitu kalimah
dan
yang memberikan petunjuk sebagai amar
takwîn (perintah pembentukan) kader dâi, yaitu tenaga terpelajar, terdidik, terlatih, dan terampil melaksanakan tugas dakwah. Dalam tatanan khayr ummah, dâi profesional ini oleh Muhammad Abduh disebut sebagai khawâsh al-ummah (individu terpilih dengan tugas-tugas sebagai dâi).108 Oleh karena itu, kaderisasi dâi profesional dapat dipahami sebagai upaya menyiapkan calon-calon dâi yang memiliki keahlian teoretis dan praktis halihwal dakwah Islamiah sebagai komponen umat yang memiliki persyaratan profesionalisme kedakwahan melalui proses takwîn al-duât yang berintikan proses talîm
(transmisi ilmu), tadrîs (pembelajaran intensif), tafaqquh
(pendalaman paham), tazwîd (pembekalan keahlian), dan tadbîr (pemberian keterampilan manajerial). Khawâsh al-ummah sebagai duât yang dimajukan Muhammad Abduh, sejalan dengan pendapat Shaqr, menurutnya, bahwa, apa yang kami maksud sebagai duât tiada lain adalah mereka yang kepentingan dakwahnya menguasai kehidupannya atau menjadi pusat pekerjaan mereka. 109 Term takwîn al-duât untuk menyebut „pendidikan keahlian dakwah digunakan antara lain oleh Abd al-badi Shaqr, Ahmad Ahmad Ghalwusy, dan Ali bin Shalih al-Mursyid. 110 Muhammad Abduh menyadari betapa pentingnya menyiapkan kader-kader dâi profesional dalam menghadapi persoalan kehidupan umat yang semakin rumit pada zamannya. Sebab, menurut pengamatan Muhammad Abduh dan 108
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, 36, 37 dan 44. Selain kalimah dalam QS. Ali Imran: 104 dan dalam QS. Ali Imran: 110, juga kalimah dalam QS. Ali Imran: 79, ayat 79 ini mengenai ketentuan talim. 109 Abd al-badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108. 110 Lihat Ahmad Ahmad Ghalwusy, al-Da wah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Kitab al-Mishri, 1987), hlm. 434. Selanjutnya disebut Ghalwusy, dan Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustalzamât alDawah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Damanhur: Maktabah Layinah, 1989), hlm. 93. Selanjutnya disebut al-Mursyid.
207
sekaligus sebagai kritiknya adanya orientasi para mahasiswa sudah mengabaikan nilai-nilai kemaslahatan jiwa (nafs) dan perjuangan memajukan Islam. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, Kita telah menyaksikan dan akan terus menyaksikan di negeri kita bahwa para mahasiswa yang tengah mengkaji berbagai ilmu dan seni seraya mengabaikan pendidikan jiwa tidak melakukan apaapa selain memperbudak orang lain. Sebagaimana berlangsung di kota Astanah dan Kairo, dan daerah lainnya, anda melihat orang bersenang-senang mengumbar syahwat, kesenangan, dan kemewahan. Inilah apa yang dilakukan oleh setiap tingkat pemerintahan negeri ini. Mereka menguras kekayaan rakyat dengan menarik korupsi, pungli, makanan ilegal. Dan setiap hal yang mereka utamakan dari syahwat mereka tiada lain kecuali apa yang mereka belanjakan itu memperbesar bagian pihak-pihak lain. 111 Berikut diuraikan secara singkat pemikiran Muhammad Abduh mengenai urgensi, dasar dan tujuan, materi dan metode kaderisasi dâ i profesional (takwîn al-duât). 1. Urgensi Kaderisasi Muhammad Abduh percaya bahwa keberlangsungan pelaksanaan dakwah akan terjadi jika ada kader dâi yang meneruskan dâ i sebelumnya, dan begitu juga seterusnya. Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, QS. Al-Taubah (9):122 memberikan tuntunan pentingnya melakukan kaderisasi lewat proses tafaquh fî al-dîn.112 Dalam kandungan ayat QS. Al-Taubah (9):122, menurut Muhammad Abduh, merupakan pembagian tugas dalam struktur khayr ummah. Tidak semua menekuni tugas yang sama, sebab tenaga ahli yang mengurusi kehidupan beragama umat perlu dilakukan takwîn secara profesional pula, untuk mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam. Menurut Muhammad Abduh,
111
Al-Manâr, jld. I, hlm. 6. Terjemah dari QS. Al-Taubah: 122 adalah sebagai berikut: ”Tidaklah semestinya kaum beriman pergi seluruhnya ke medan perang. Mengapa tidak ada sekelompok di antara yang mendalami agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya manakala mereka pulang ke tengah mereka, kiranya mereka bersikap waspada” 112
208
kalimah liyundzirû dan yahdzarûn merupakan bagian dari aktivitas dakwah Islam.113 Sepaham dengan pandangan Muhammad Abduh, pandangan yang dikemukakan oleh al-Sadi ketika menafsirkan QS. Al-Taubah: 122, menurutnya bahwa, hendaknya mereka mempelajari ilmu syariat, mengetahui pesan-pesannya, dan memahami rahasia-rahasianya. Hendaknya mereka mengajari orang-orang lain. Hendaknya mereka memberi peringatan kepada masyarakatnya ketika mereka sudah kembali ke kampungnya. Dalam hal ini tampak keutamaan ilmu, khususnya ilmu fiqih dalam agama. Ia merupakan hal terpenting. Siapa pun yang mempelajari ilmu wajiblah menyebarkan dan menyiarkannya kepada hambahamba Allah dan menansihatinya, karena penyebaran ilmu dari ilmuan merupakan bukti keberkahan dan pahala baginya. Adapun ilmuan yang memanfaatkan ilmunya hanya untuk dirinya sendiri, tidak berdakwah di jalan Allah dengan hikmah dan mauizhah hasanah, tidak mengajari orang-orang bodoh ihwal apa yang mereka belum mengetahuinya, lalu manfaat apa yang ia berikan kepada kaum muslim? Nilai apa yang ia raih dari ilmunya? Paling-paling puncaknya ia meninggal, maka matilah ilmu dan buahnya. Jelas ini merupakan kerugian yang tak terkira bagi orang yang dianugrahi ilmu dan pemahaman oleh Allah.114 Dalam ayat ini juga terdapat dalil, arahan, dan peringatan halus bagi suatu pesan penting, yakni bahwa kaum muslim mestilah mempersiapkan orang-orang yang menunaikan pekerjaan publik untuk berbagai kemaslahatan umum. Kelompok ini mencurahkan waktunya untuk mengurus kepentingan publik. Mereka bekerja keras untuk itu. Mereka tidak berpaling pada urusan lain. Ini agar kemaslahatan umum dapat terlaksana dan kepentingannya terpenuhi. Kepentingan publik ini mesti menjadi arah pemikiran bersama dan menjadi satu tujuan bagi segenap lapisan masyarakat. Tujuan itu adalah tegaknya kemaslahatan agama dan dunia mereka, meski jalan yang ditempuhnya beragam dan mata pencahariannya
113
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Pendapat yang sama, ddikemukkan antara lain oleh Muhammad Sulayman “abd Allah al-„Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis,2004) hlm. 206. 114 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm alMannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 355.
209
berbeda-beda. Pekerjaan itu boleh berbeda-beda, namun tujuannya tetap satu. Ini termasuk nilai publik yang bermanfaat bagi seluruh urusan.115 Mengenai urgensi kaderisasi dâi profesional ini, al-Mursyid juga berpendapat yang sama dengan Muhammad Abduh dan al-Sadi, sebagaimana ia menegaskan bahwa, sudah tampak jelas pada zaman modern ini muncul sejumlah orang yang dalam kaitan dakwah mengklaim diri sebagai dâ i. Padahal, mereka menyesatkan dan tidak berjasa. Sebabnya terpulang pada keterbatasan mereka dalam pembentukan dirinya sebagai dâi yang menyeru kepada agama Allah. Sesungguhnya pada zaman modern ini, Islam lebih banyak membutuhkan tenaga dâi
yang memahami fiqh yang
tak bisa ditawar-tawar dan
mereka
menyebarkannya di kalangan manusia secara jelas dan lengkap. Mereka bersungguh-sungguh
berkhidmat
kepadanya
dan
menjadikannya
sebagai
kesibukan satu-satunya bagi mereka. Mereka juga menjadikannya sebagai ajang mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam.116 Senada dengan pendapat al-Mursyid mengenai pentingnya kaderisasi dai, Abdullah Syahatah mengajukan pendapatnya yaitu: (1) hendaknya kader-kader dâi
memahami dan mampu menggunakan media massa modern untuk
menyebarluaskan pesan-pesan dakwah; (2) mendirikan pusat-pusat dakwah Islamiyah untuk menyelenggarakan kegiatan pengkaderan dâi;
(3)
perlu
dilakukan perluasan dalam pengiriman tenaga dâi terlatih ke seluruh penjuru dunia yang dipersiapkan secara baik; (4) mengupayakan dana dan sarana yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan dakwah oleh kader dâi; dan (5) menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam pengamalan ajaran Islam yang penggeraknya dilakukan oleh para kader dâi terdidik.117 Mengenai urgensi kaderisasi dâi tersebut, juga didukung oleh pendapat Fathi Yakan, menurutnya kaderisasi dâi sebagai proses pembekalan kemampuan dan keterampilan bagi mereka sebelum terjun ke medan dakwah. Oleh karena itu menurutnya agar proses kaderisasi dipandang sebagai upaya penanaman hal-hal 115 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm alMannân, hlm. 356.
116 117
Al-Mursyid, Mustalzamât al-Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir, hlm. 94. Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 17.
210
seperti: (1) pemahaman agama Islam yang mendalam dengan berbagai macam ilmu yang diperlukannya; (2) kemampuan memberikan perilaku percontohan; (3) mental ketabahan dalam menjalankan tugas; (4) solidaritas sosial; (5) kedermawanan kepada orang lain; (6) perilaku sopan santun dalam pergaulan; (7) kemampuan berpenampilan baik dan menarik dalam berbicara; (8) kemampuan pengelolaan pendayagunaan materi; dan (9) mental melayani orang lain.118 Kehadiran dai
yang memiliki penguasaan ilmu agama Islam ,
keterampilan dalam melakukan pembaruan, perubahan dan perbaikan kehidupan beragama umat sangat dibutuhkan oleh umat Islam dalam mencari solusi problem kehidupan yang dihadapi dimanapun mereka berada. 2. Dasar Hukum dan Tujuan Muhammad Abduh meyakini bahwa perintah dakwah yang secara manthûq (sesuatu yang ditunjuk ungkapan) ditujukan kepada ummah dan khayr ummah berarti upaya menjadi dan menyiapkan individu komponen umat menjadi dâi yang profesional adalah bagian dari kewajiban pelaksanaan dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan argumennya tentang dasar hukum dan tujuan takwîn al-duât, yaitu, bila ternyata setiap individu umat Islam berkewajiban menyeru kepada kebaikan dan amr marûf nahy munkar sesuai dengan implikasi segi pertama dalam penafsiran ayat tersebut, tentu mereka juga berkewajiban, sesuai dengan implikasi segi yang kedua ini, untuk memilih sekelompok orang di antara mereka yang melaksanakan pekerjaan ini, agar kelompok ini bekerja secara sempurna dan mampu menunaikannya. Jika kelompok ini tidak ada secara alamiah sebagaimana pada zaman sahabat, tentu upaya membentuk kelompok khusus ini menjadi suatu fardhu „ain yang setiap orang mukallaf wajib berpartisipasi di dalamnya bersama yang lain. Tidak ada kesulitan bagi kita mengenai hal ini. Mudah saja bagi penduduk suatu kampung
118
Lihat Fathi Yakan, al-Isti âb Fi al-Hayâh al-Dawah wa al-Dâiyah (Beirut: Muasasah al-Risâlah, 1983), hlm. 16-62 dan bandingkan dengan konsep guru profesional dalam karya Moh. Uzer Usman Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Rosda Karya, 2009), hlm. 14-16.
211
untuk berkumpul dan memilih sekelompok orang yang dipandang ahli untuk mengerjakan tugas dakwah ini.119 Muhammad Rasyid Ridha mengomentari dan memperkuat argumentasi gurunya tersebut di atas. Menurut Ridha, bahwa, mengenai ungkapan ustadz [Muhammad Abduh] „dan mereka memilih satu orang atau lebih dari kalangan mereka, sepertinya apa yang ia maksud dengan satu orang adalah hendaknya yang satu orang ini bergabung dengan orang-orang terpilih di desa-desa dan negeri lain, agar melakukan perjalanan di muka bumi guna berdakwah menyeru kepada Islam di luar kampungnya, atau untuk menegakkan sebagian kefarduan, syiar Islam, atau mengenyahkan sebagian kemunkaran dari negeri lain dari negeri Islam. Jika tidak dipahami demikian, bukankah yang menjadi kewajiban penduduk desa adalah hendaknya mereka memilih sekelompok orang yang bisa disebut sebagai ummah dan mereka menunaikan tugas-tugas yang bisa dikerjakan oleh setingkat ummah dengan persatuan dan kekuatan, agar mereka berwenang menegakkan kefarduan tersebut di sana, sebagaimana hal itu menjadi kewajiban setiap masyarakat Islam, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab, arti ummah itu termasuk juga di dalamnya ikatan dan kesatuan yang membuat para anggotanya, meski tugas dan pekerjaannya berbeda-beda hingga dalam menegakkan kefarduan ini tatkala pekerjaan mereka dalam hal ini bermacammacam, seolah-olah satu orang. Inilah tampaknya yang coba dikemukakan oleh ustadz [Muhammad Abduh] dalam konteks ini.120 Ungkapan Muhammad Abduh, yang diperkuat oleh Ridha di atas, menunjukkan bahwa hukum takwîn al-duât itu wajib „ain dengan dasar nash AlQurân mengenai kewajiban dakwah. Kewajiban ini dalam pengertian bahwa masing-masing individu yang mukallaf sebagai komponen dakwah berhak dan berkewajiban menyelenggarakan takwîn al-duât dan menjadi duât (dâi
119 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 37-38. Seseorang sebagai ahli jika ia memiliki kemampuan akademik dan melakukan tugasnya berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. IAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah citra keberadaannya sebagai lembaga dakwah menjadi lembaga akademik, termasuk akademik bidang dakwah. Lebih lanjut, lihat Fuad Jabali dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002). 120 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 38.
212
profesional) yang betugas mengurusi urusan umat sebagai dakwah bî al-tadbîr (rekayasa sosial). Kemudian Muhammad Abduh meyakini adanya tugas ummah, menurutnya, termasuk dalam pekerjaan ummah ini adalah urusan-urusan publik yang
merupakan
urusan
pemerintah,
urusan
keilmuan,
ragam
jalan
mndapatkannya, penyebarannya, penetapan hukum, dan urusan-urusan umum yang bersifat pribadi. Di sini dipersyaratkan ilmu mengani semua urusan itu. Dan untuk itulah ummah ini dibentuk.121 Mengenai tujuan takwîn al-duât Muhammad Abduh mengacu pada QS. Ali Imran: 79. Terhadap ayat tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan, antara lain, yaitu, maksudnya, bahwa nabi yang diberi kitab dan hukum itu memerintahkan kepada mereka untuk menggabungkan diri kepada Tuhan secara langsung tanpa seorang perantara dan mediator. Allah memberikan petunjuk kepada perantara yang sesungguhnya yang menghantarkan ke sana, yakni mengajarkan kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu kitab, mengajarkan dan mengamalkannya, manusia menjadi dekat dengan Tuhan dan diridhai olehNya. Kitab itu merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan rasul merupakan perantara yang menyampaikan kitab.122 Dari penjelasan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa tujuan takwîn al-duât adalah membentuk kader dâ i sebagai manusia rabbâni yang diridhai Allah SWT. yang menguasai ilmu dan terampil mengamalkannya, yang bertugas meneruskan kewajiban dakwah menurut contoh sunnah rasul sebagai dai dan muballigh dengan berbagai fungsinya.123 Tujuan takwin al-duat yang berarti pula tarbiyah al-duat ini merupakan bagian dari pendidikan Islam. Sedangkan di dalam tujuannya antara lain
121
Al-Manâr, jld. V, hlm. 38. Al-Manâr, jld. III, hlm. 248 123 Menurut isyarat QS. Al-Ahzâb (53): 45-46, nabi dan rasul Allah berperan sebagai syahid (saksi), mubasyir (penyampai berita gembira), nadzîr (pemberi peringatan), dâi (penyeru), dan sirâj munîr (lampu yang menerangi). Sebagai muballigh diisyaratkan QS. Al-Maidah (5): 67. Sedangkan tugas dan pekerjaan dari peran yang disandang oleh nabi dan rasul, menurut isarat QS. 122
Al-Baqarah (2): 151 adalah tilâwah ayat, tazkiyah, ta lîm al-kitâb, dan ta lîm al-hikmah.
213
mencakup agar peserta didik bukan hanya menguasai pengetahuan tetapi juga agar berbudi rasional.124 Sementara itu, menurut Hisham Yahya al-Thalib, bahwa sasaran takwîn al-duât diarahkan pada peningkatan: (1) kualitas rohani, (2) kualitas pengetahuan dan pemahaman Islam yang betul, (3) pengetahuan dasar tentang ideologi dan agama masa kini, dan (4) keterampilan dan perlengkapan dakwah.125 Kemudian, Muhammad Abduh menegaskan bahwa pelaku takwîn al-duât adalah al-mu allim (pengajar) yang kompeten, yaitu yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang materi takwîn dan ia pengamal ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ayat (79 surat Ali Imran) menyiratkan bahwa manusia bisa menjadi rabbâni dengan ilmu kitab, mempelajarinya, mengajarkannya kepada orang-orang, menyebarkannya. Sudah menjadi ketetapan bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin tercapai kecuali dengan mengamalkan ilmu. Ilmu yang tidak memotivasi amal tidaklah dianggap sebagai ilmu yang benar, karena ilmu yang sahih adalah ilmu yang menjadi sifat bagi pemiliknya dan menjadi watak yang melekat dalam dirinya. Amal itu tiada lain adalah cerminan sifat dan watak tadi. Seorang ilmuan akan dinilai dari apa yang tertanam dalam dirinya. Siapa saja yang ilmu kitabnya hanya menghasilkan bentuk tampilan dan khayalan, yang berkelap-kelip dalam ingatan tetapi tidak menetap dalam ingatan dan tidak menetap dalam jiwa, tidak memungkinkan dia untuk menjadi pengajar kitab yang mengalirkan ilmu kepada
124 Tujuan pendidikan Islam yang berbeda dengan pendidikan Barat dan Timur dirumuskan oleh Suwito dan Fauzan, bahwa: “Pendidikan Islam lebih luas daripada sistem pendidikan di Barat yang demokratis dan Timur yang sosialis, karena ia bertujuan untuk melatih kepekaan murid dalam tingkah laku yang ada dalam sikap mereka terhadap lingkungan dan pendekatan bagi semua jenis pengetahuan. Mereka dipimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritualitas Islam. Perbedaan lainnya terletak pada konsepnya tentang manusia. Dalam Islam. Manusia terlahir dalam keadaan bebas dan suci, tidak menanggung doa. Jadi, tujuan kemahiran pengetahuan dalam sistem Islami tidak hanya memuaskan keingintahuan seorang intelektual tapi untuk melatih individu-individu yang berbudi dan rasional, dalam hal moral dan kebaikan fisik keluarga mereka, masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Sistem Pendidikan Islam tersebut menekankan keseimbangan antara kebutuhan untuk mengembnagkan individu dan kebutuhan masyarakat.” Lihat Fauzan dan Suwito (ed.), ”Perlunya Penelusuran Kembali Sejarah Sosial Pendidikan Islam”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. xv. 125 Lihat Hisham Yahya al-Thalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, terj. Training Guide for Islamic Workers, oleh Faruk Zabidi dan Ali Audah (Jakarta: Media Dakwah, 1996), hlm. 4.
214
orang lain, sebagaimana ia tidak bisa mengamalkannya semestinya. Hal ini dikuatkan oleh observasi dan eksperimen sebagaimana dalam ilmu-ilmu keterampilan. 126 Seorang muallim akan efektif menjalankan tugas pengkaderan dâi apabila memiliki empat ciri, sebagaimana dikemukakan oleh Davis dan Thomas yang dikutip oleh Jamaluddin Idris, yaitu sebagai berikut: Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang dapat dirinci: (1) memiliki keterampilan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada peserta, dan ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan peserta; (3) mampu menerima, mengakui dan memperhatikan peserta secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu untuk menciptakan atmosfer untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok peserta; (6) mampu melibatkan peserta dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan peserta dan menghargai hak peserta untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan (8) mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas. Kedua,
kemampuan
yang
terkait
dengan
strategi
manajemen
pembelajaran, meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani peserta yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir yang berbeda untuk semua peserta. Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu peserta yang lamban belajar; (3) mampu memberikan
126 Al-Manâr, jld. III, hlm. 348. Ta lîm dan tadrîs (pengkajian akademis tentang semua bangunan pengetahuan) merupakan wujud ketundukan semua pemikiran manusia kepada arbitrasi Al-Qurân. Lihat Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. „Ilm and the Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 56-57.
215
tindak lanjut terhadap jawaban peserta yang kurang memuaskan; (4) mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan. Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara secara inovatif; (2) mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan.127 Insan rabbâni yang memperoleh ridha Allah SWT. Menurut al-Sadi adalah kaum ulama, kaum bijak, kaum bestari yang mengajari orang banyak dan mendidiknya melalui ilmu-ilmu kecil sebelum yang besar. Mereka mengamlkan semua itu. Mereka menyerukan untuk beramal, berilmu, dan mengajar, yang itu semua merupakan pokok pangkal kebahagiaan. Sebab, dengan kehilangan salah satunya, terjadilah kekurangan dan kekeliruan.128 Dalam pandangan al-Sadi di atas, terkandung rumusan indikator insan rabbani, yaitu sebagai: (1) „ulamâ (kaum ilmuan); (2) hukamâ (kaum bijak); (3) hulamâ (kaum bestari); (4) muallim (pengajar); (5) murabbi (pendidik); dan (6) „âmil (pengamal).129 Oleh karena itu, takwîn al-duât merupakan pendidikan tinggi kader dakwah
yang
diharapkan
menghasilkan
dâi-dâi
profesional
yang
berkarakteristik insan rabbani. Dalam konteks Indonesia, pendidkan nasional, kurikulum untuk abad ke21 Masehi, diarahkan pada upaya membangun manusia Indonesia yang non127
Jamaluddin Idris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. 62-63. Mengenai bahan ajar sebagai bagian dari kurikulum yang perlu diberikan menurut Ibn Miskawaih terdiri dari materi yang diperlukan oleh: (1) tubuh manusia; (2) jiwa manusia dan (3) bagi hubungan dengan sesama manusia, lihat Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, ed. Jejen Musfah, (Yogyakarta: Blukar, 2004), hlm. 119. 128 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm alMannân, hlm. 136. Mengenai karakteristik insan Robbani ini merupakan bagian karakteristik insan yang dituju dalam pendidikan Islam. Selanjutnya lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif , 1995) hlm. 10-22. dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, (Jakarta: Mawardi Prima, 2000), hlm. 19 129 Kader dâ i profesional disebut oleh Muhammad Yusuf sebagai junûd al-da wah (tentara dakwah). Lebih lanjut lihat karyanya Junûd al-Da wah (Mesir: Dâr al-Itishâm, 1979).
216
dikotomis sebagai pribadi yang terbentuk dari keselarasan dan keseimbangan aspek fisik, intelektual, emosi, sosial, moral, dan spiritual.130 Indikasi-indikasi karakteristik ini merupakan bagian dari cakupan konsep hukamâ (manusia arif bijaksana). 3. Materi dan Metode Guna mencapai tujuan kaderisasi dâi profesional yang telah dijelaskan, maka perlu disajikan materi kaderisasi sebagai bahan ajarnya. Bahan ajar ini bagian dari esensi kurikulum proses pendidikan kader dâ i profesional. Penguasaan macammacam ilmu yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban dakwah termasuk bagian dari kewajiban dâi profesional, sebab ia adalah komponen utama umat Islam yang ditunjuk oleh perintah dakwah. Macam-macam ilmu sebagai materi kaderisasi, menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah: (1) Ilmu yang mengkaji sumber dan materi dakwah, yaitu: (a) „ulûm al-qurân, (b) „ulûm al-sunnah, (c) sîrah nabawiyyah, (d) sîrah al-khulafâ al-râsyidîn, (e) sîrah salaf al-shâlihîn, dan (f) ilmu hukum Islam; (2) Ilmu yang mengkaji hal ihwal masyarakat sebagai madu, yaitu sosiologi mikro dan ilmu budaya lokal. Sebab, dengan ilmu ini, dâ i profesional akan mengetahui karakteristik
orang-orang yang
akan
didakwahinya, sejarah
kehidupannya, sistem sosialnya, dan kondisi lingkungannya; (3) Ilmu yang mengkaji pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam rentangan perjalanan sejarahnya, sehingga dapat diketahui keberadaan status akidah dan tipologi akhlaknya, begitu pula keadaan adat istiadatnya. Itulah sebabnya AlQurân banyak menampilkan gambaran kehidupan orang-orang di masa silam untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Ilmu ini adalah sejarah umum; (4) Ilmu yang mengkaji kondisi lingkungan fisik dan perilaku orang atau penduduk yang menempatinya yang membentuk ekologi yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Ilmu ini disebut geografi dan demografi; (5) Ilmu yang mengkaji gejala kejiwaan individu dan 130
Lebih lanjut, lihat Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad ke21 (Jakarta: Grasindo, 1994).
217
amsyarakat, sehingga dapat diketahui apakah perilaku lahir manusia itu lahir dari kondisi nafs yang mana dalam struktur nafs insaniyah. Ilmu ini disebut psikologi; (6) Ilmu yang mengkaji mengenai keutamaan perilaku manusia, sistem nilai yang dianut manusia menentukan perilaku baik-buruk sbegai manifestasi dari nilai yang dianutnya. Ilmu ini disebut ilmu akhlak; (7) Ilmu yang mengkaji sistem budaya manusia dan peradabannya, faktor-faktor apa sajakah yang membuat maju-mundurnya peradaban manusia penting dipahami dalam ektivitas dakwah intra dan antarindividu. Ilmu ini disebut sosiologi makro; (8)
Ilmu yang
mempelajari sistem kekuasaan, kepemimpinan dan pengelolaan kehidupan bernegara yang antara satu negara dengan negara lainnya berbeda. Ilmu ini disebut ilmu politik; (9) Ilmu yang mempelajari bahasa yang digunakan oleh macam-macam umat manusia yang beraneka ragam, masing-masing etnik memiliki bahasanya sendiri. Ilmu ini penting dikuasai dâi profesional. Jika tidak, akan terjadi hambatan dalam melakukan komunikasi dengan mereka sebagai madu. ilmu ini disebut ilmu bahasa; (10) Pengetahuan yang mempelajari budaya lokal, masing-masing etnik senantiasa memiliki sistem pengetahuan lokal yang disepakati sebagai rujukan nilai perilaku kelompok intrabudaya. Ilmu ini disebut ilmu budaya lokal; dan (11) Pengetahuan yang mempelajari sistem kepercayaan umat manusia yang bersumber pada tradisi keagamaan masing-masing umat sesuai agama yang diyakininya. Keragaman agama dan pemeluknya penting diketahui oleh dâ i. ilmu ini disebut ilmu perbandingan agama. 131 Macam-macam ilmu yang diajukan Muhammad Abduh, sebagai materi takwîn al-duât di atas dapat dikelompokkan ke dalam kategori: (1) ilmu dasar teoretik, ilmu sumber, dan ilmu materi dakwah, yaitu macam-macam ilmu yang disebut Muhammad Abduh dalam nomor urut pertama; dan (2) ilmu bantu dakwah, karena bertemu dalam obyek material ilmu dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan 131 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 39-44. Dalam hal memajukan macam-macam ilmu ini, Muhammad Abduh dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun. Macam-macam ilmu ini, lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 521-857. Nama lengkapnya Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki (l. 732, w. 808H), dan bandingkan dengan Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science and Muslim Society, oleh Masdar Hilmi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).
218
hidupnya sebagai ikhtiar mengatasi problem kehidupan melalui pengamalan Islam. Ilmu-ilmu ini yang disebutkan Muhammad Abduh sebanyak 10 macam. Muhammad Abduh memandang bahwa mempelajari ilmu dakwah dan membangun ilmu dakwah sama wajibnya dengan mempelajari dan membangun ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam hal ini, antara lain dipahami dari penegasan Muhammad Abduh, bahwa, Kita mesti mengambil dalil-dalil yang telah digunakan oleh para ahli fiqh dalam menetapkan wajibnya mempelajari bahasa Arab, hadits, fiqh, dan ilmu ushul untuk memahami agama, sebagai dalil akan wajibnya mempelajari berbagai metode dakwah dan hal-hal yang dibutuhkannya pada zaman ini dengan metode teknologis. Jika ternyata dakwah pada masa-masa awal berjalan dengan mudah tanpa tehnik pengajaran berteknologi dan tanpa menciptakan institusi-institusi tertentu sebagaimana juga pemahaman agama berjalan mudah tanpa pengajaran berteknologi, maka pada zaman sekarang pemahaman agama bergantung pada proses pengajaran berteknologi. Demikian halnya, mendakwahkan agama Islam dan menganjurkan ajaran yang dibawanya berupa kebaikan dan apa yang diingatkannya berupa kemunkaran, juga bertumpu pada pengajaran khusus dan pendirian lembaga-lembaga khusus yang dapat menunaikan pekerjaan dakwah tersebut. Agama Islam ini tidak akan tersiar dan terpelihara sebagaimana mestinya kecuali dengan dakwah ini. 132 Dalam pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa, perlunya mempelajari dan mengembangkan macam-macam disiplin ilmu yang terkait dengan dakwah dengan berbagai aspeknya. Penyelenggaraan pendidikan kader dâi profesional (takwîn al-duât) ini, dan perlunya didirikan institusiinstitusi pendidikan dakwah Islam. Macam-macam disiplin ilmu yang telah dikemukakan disajikan dalam proses takwîn al-duât dengan menggunakan macam-macam metode mendidik peserta takwîn al-duât, seperti metode ceramah, diskusi, penugasan, praktikum, dan percontohan atau metode qudwah dan uswah hasanah. Ini dilakukan dengan mengacu pada prinsip al-hikmah. 132
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44-45. Penegasan Muhammad Abduh mengenai wajibnya mempelajari dakwah dengan berbagai hal yang berkaitan dengannya, memberikan kerangka dasar urgensi keilmuan dakwah Islam, yang sementara ini belum tersistemasikan secara komprehensif.
219
Dari konsep hikmah dapat dikembangkan untuk menstrukturkan keilmuan dakwah yang memuat aspek ontologis, apistimologis dan aksiologisnya. Namun demikian, hal ini memerlukan kajian tersendiri atas penafsiran Muhammad Abduh mengenai „aql dan ulu al-albâb. Mengenai prinsip al-hikmah, Muhammad Abduh percaya bahwa, hikmah dalam pendidikan jiwa melalui kegiatan-kegiatan yang baik dan akhlak utama adalah hendaknya keberadaannya di dunia meningkat dan meluas, sehingga menjadi besar kebaikannya dan orang-orang mengambil manfaat darinya.133 Muhammad Abduh meyakini bahwa takwîn al-duât penting menekankan pada pendidikan akhlak dan adab, menurutnya bahwa, bagi dakwah terdapat sejumlah syarat lain yang dalam konteks pendidikan para kader dakwah berkaitan dengan akhlak dan etika yang dipersyaratkan terhadap para penyeru kepada kebenaran. 134 Kemudian, bagi muallim (dosen) pendidik dâi, menurut Muhammad Abduh, boleh memperoleh imbalan jasa materi dari pekerjaannya sesuai dengan kaidah „urf di mana takwîn al-duât dilaksanakan.135 Metode takwîn al-duât juga mesti mengacu pada sunnah nabi dalam mengajar umat pada zamannya. Pengalaman nabi sendiri selama menerima wahyu merupakan sumber inspirasi metode takwîn al-duât. Oleh karenanya, baik Muhammad Abduh, al-Mursyid, dan Ghalwusy memiliki pandangan yang sama bahwa kandungan QS. Al-Dhuhâ (93): 6-8 merupakan prinsip utama yang menjadi acuan metodologi takwîn al-duât. Secara ringkasnya adalah sebagai berikut:136 133 Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Mengenai tarbiyah al-nafs ini, lebih lanjut lihat Hasan Hafidz, dkk., Ushûl al-Tarbiyah wa „Ilm al-Nafs (Al-Jumhuriyah: Mathbaah Dar al-Jihad, 1956), hlm. 11-13. 134 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44. Term akhlak dan adab yang diartikan dengan “moral” dan “etika” menjadi kajian para pakar filsafat “moral” dan “etika” dengan beraneka ragam rumusan. 135 Al-Manâr, jld. II, hlm. 197. Di tengah masyarakat Islam Indonesia mengenai boleh dan tidaknya seorang da i menerima jasa pelayanan dakwah masih debatable. 136 Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 127-128, alMursyid, Mustalzamât al-Dawah fî al-„Ashr al-Hadhir, hlm. 93-99, dan Ghalwusy, al-Da wah alIslâmiyah, hlm. 434-440. Ketika memikul amanah sebagai rektor, salah satu obsesi kepemimpinan Azyumardi Azra menaruh perhatian yang sama dengan prinsip al-yusr al-mâdi, bahwa “mahasiswa yang tidak mampu dari segi finansial akan mendapat quota dalam bentuk beasiswa yang diberikan PTN. Saya kira, setiap PTN harus mempunyai kebijakan khusus dalam rangka
220
Pertama, prinsip al-îwâ al-Qawi (perlindungan yang kokoh) yang diistinbâth dari fa âwa, yaitu memberikan pembekalan dan perlindungan kepada peserta takwîn al-duât dengan semangat aqidah tauhid, memberikan motivasi semangat juang menegakkan al-haq, tangguh dan berani mengatasi dan menghadapi tantangan dakwah dan musuh dakwah, menaklukkan nafs ammârah dan menghilangkan penyakit al-wahn (gila dunia dan takut mati). Kedua, prinsip al-tarbiah al-„ilmiah (pendidikan ilmiah) yang diistinbâth dari fa hadâ, yaitu memberikan bimbingan, perbantuan, dan pembekalan penguasaan akademik, pembekalan keterampilan praktik melalui latihan dan penugasan, implementasi macam-macam metode dakwah, di bawah bimbingan muallim yang ikhlas, berjiwa dedikatif, ijtihâd, dan jihâd fî sabîl al-Lâh. Ketiga, prinsip al-yusr al-mâdî (fasilitas logistik) yang diistinbâth dari fa aghnâ yaitu perbantuan dan persediaan kebutuhan sarana dan prasarana takwîn al-duât, bekal hidup yang layak, sehingga peserta takwîn al-duât tidak terganggu oleh urusan dana, biaya, dan fasilitas selama menjalani takwîn al-duât. Sumber dana ini diambil dari sumber-sumber keuangan menurut syariat Islam untuk pos dana fî sabîl al-Lâh. Menurut Azyumardi Azra, bimbingan termasuk bagian dari pengertian pendidikan dan pembekalan penguasaan akademik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia peserta didik sebagai makhluk rasional.137 Keempat, prinsip al-tadrîj (gradual), yaitu berangsur-angsur dalam penyajian materi, disampaikan yang lebih mudah sebelum yang sulit, mendahulukan akidah sebelum materi syariat yang lainnya, memperhatikan kemampuan
peserta
takwîn
al-duât.
Prinsip
ini
juga
mengharuskan
mendahulukan yang musti didahulukan dan memerlukan kurun waktu tertentu. Gradual dalam proses takwîn ini diistinbâth dari QS. Al-Baqarah (2): 151.138
menjalankan fungsi sosialnya.” Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed. Idris Thaha (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 439. 137 Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 6-7. 138 Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 30-31.
221
Dengan suksesnya takwîn al-duât, maka keberlangsungan dakwah akan dapat berjalan menurut tatanan Al-Qurân dan sunnah nabawiyah. Dan persoalan keumatan dapat diperbaiki dan dicari solusinya oleh para dâi profesional. Jika gagal, akan menjadi salah satu faktor timbulnya bencana bagi keberlangsungan kehidupan umat Islam.139 Dari paparan dan analisis mengenai bentuk dakwah dan kaderisasi dâi profesional yang telah dikemukakan, yang dalam menjelaskannya Muhammad Abduh menggunakan pendekatan rasional dapatlah dikonseptualisasikan rumusan kesimpulan aspek ontologis kajian ilmu dakwah sebagai berikut: Al-dawah al al-„âmmah al-kulliyyah merupakan proses dakwah yang berlangsung dalam suasana dai menyampaikan al-Islâm kepada madu jamaah atau jumhûr (orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan, bertatap muka langsung dan bermedia, yang istilah teknik operasionalnya disebut tablîgh, yang terdiri dari khitâbah al-diniyah, khitâbah al-tatsiriah, dan khitâbah al-kitâbah untuk mempengaruhi keadaan afektif, kognitif, dan psikomotorik madu agar menerima Islam bagi yang nonmuslim dan dalam meningkatkan pengamalan Islam bagi muslim. Al-dawah al-khâshah merupakan interaksi dai madu pada tingkat intraindividu, antar individu dan kelompok kecil dalam upaya merealisasikan Islam, yang berfungsi mencari solusi problem sosiologis dan psikologis madu. Cara dakwah intraindividu berupa aktifitas tawhid Allah, tadabbur, shabar, menegakkan ruh shalat dan muhâsabah al-nafsiyah sebagai proses internalisasi Islam pada tingkat diri sendiri. Cara akwah antar individu berupa aktifitas al-wazh, al-nashîhah, dan al-tawshiyah dengan menggunakan bahasan 139
Sementara ini, Fakultas Dakwah di IAIN dan UIN dan jurusan dakwah di STAIN di Indonesia sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dakwah, menurut pengamatan penulis, jika diacukan pada konsep takwîn al-du ât sebagaimana diajukan Muhammad Abduh, perlu diadakan peninjauan ulang dalam aspek penentuan mata kuliah dan asas metode pengajarannya. Misalnya, yang sering terjadi saat ini dosen hanya memberikan ta lîm (transmisi ilmu kepada mahasiswa). Fungsi-fungsi lainnya sebagai insan akademis yang mestinya komitmen atas etika akademisnya sebagai dosen belum dilaksanakan. Mengenai etika akademis ini, lebih lanjut lihat Edward Shild, Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus Nugroho (Jakarta: Yayasan Obor, 1993). Mengenai faktor-faktor terjadinya bencana di kalangan umat Islam, selanjutnya lihat Muhammad Abd al-Masri, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-„Alam al-Islâmi, oleh Bambang Saeful Maarif (Bandung: Rosdakarya, 1989).
222
lisan dan perbuatan, sebagai upaya memberikan perbantuan mencari solusi problem kehidupan madu. Dawah al-ummah merupakan proses mengimplementasikan al-Islâm dalam struktur kehidupan umat, sebagai indikator dari khairu ummah dan ummah wasathâ, melalui amr marûf nahy munkar dan taghyîr munkar, yang merupakan upaya mempertahankan keberlangsungan dakwah dan membentengi kelestarian umat dibolehkan jihad dalam bentuk qitâl. Takwîn al-duât sebagai kaderisasi dai profesional adalah bagian dari kewajiban keumatan untuk mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam melalui pembentukan kader-kader dâi terdidik yang menguasai ilmu Islam dan keterampilan praktis pelaksanaan kewajiban dakwah, yang dalam prosesnya mengacu kepada prinsip al-îwâ al-qawi, al-tarbiyah al-„ilmiyah, al-yusr al-mâdi, dan al-tadâruj.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, secara epistimologis pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr bercorak rasional, dakwah yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Rasul adalah perilaku rasional berupa proses internalisasi, transmisi, transformasi dan difusi Islam sebagai upaya memperbaiki dan mengatasi problem kehidupan manusia melalui implementasi al-Islâm dalam rangka melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh kehidupan yang selamat-sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat. Temuan tersebut memperkuat temuan Ahmad Fuad al-Ahwâni (alMadâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang autentik menurut sumber utamanya, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan, reformasi) kehidupan beragama, akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian. Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian M. Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain Mukti menyatakan bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Muhammad Abduh memadukan antara rasio (sentuhan akal), dengan emosi (sentuhan qalb) dalam kerangka dakwah. Beberapa penelitian lain dalam aspek yang berbeda menunjukkan hal yang sama bahwa, aspek-aspek yang berbeda itu bercorak rasional, yaitu antara lain: aspek teologi, oleh Harun Nasution (Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 1987); aspek tafsir, oleh M. Quraish Shihab (Rasionalitas al-Qur’ân: Studi Kritis atas Tafsir al-Manâr, 2006) dan masalah akidah dan ibadah, oleh Rif’at Syauqi Nawawi (Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, 2002). Menurut Rif’at Syauqi Nawawi bahwa, Muhammad
Abduh sesungguhnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam.
224
Dakwahnya tidak hanya ditujukan untuk kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut materialisme, agar mereka juga meyakini dan mengerti akan adanya malaikat. Kemudian temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001), dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan, dan penjajahan. Kesimpulan berikut menjadi bukti bantahan dimaksud Islam sebagai agama dakwah dan materi dakwah, esensi ajarannya memiliki karaktersitik sesuai dengan fithrah salimah manusia pemilik al-’uqûl alshafiyah dan al-nufûs al-zakiyah, sebagai agama yang wasathâ (siger tengah), menegakkan keadilan, antikezaliman, menyeimbangkan urusan duniawi-ukhrawi, menjamin kebebasan ikhtiar manusia, mencintai kedamaian dan keamanan, menjunjung tinggi persaudaraan antarindividu dan sosial, mudah dan mampu dilaksanakan. Islam sebagai unsur pesan dakwah tersebut, sama dengan pendapat Montet yang dikutip oleh Thomas W. Arnold (Sejarah Dakwah Islam, 1979), menurutnya bahwa, secara etimologi dan sejarah, Islam adalah agama yang sangat rasional sebagai suatu sistem yang mendasarkan keyakinan agama atas prinsip-prinsip akal pikiran, dapat dikenakan kepada Islam dengan setepat-tepatnya. Agama Islam memiliki seluruh ciri dari suatu himpunan doktrin yang didasarkan atas dalil yang diterima akal. Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya memiliki potensi ‘aql, nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs ammârah. Manusia yang mampu memfungsikan ‘aql, nafs muthmainnah berposisi sebagai dâ’i, (dâ’i ini ada yang profesional ada yang konvesional), dan yang memfungsikan nafs lawwâmah dan nafs ammârah berposisi sebagai mad’u dengan kualitas yang beragam, yaitu : aldhâlin, al-kâfirûn, al-musyrikûn, yahudi, nashrani, al-mujrimûn, al-‘uqala, al‘awam,dan al-mutawasithîn. Mad’u memiliki kebebasan untuk memilih dalam merespons materi dakwah ada yang menerima dan ada yang menolak.
225
Temuan mengenai dâ’i dan mad’u dalam pemikiran Muhammad Abduh tersebut, sama dengan para pengkaji dakwah yag lain, misalnya Ahmad Ahmad Ghalwus (al-Da’wah al-Islâmiyah Ushûluha Wa Wasâiluha, 1987), dan Ali bin Shâlih al-Mursyid (Mustalzâmât al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989). Media yang dilewati materi dakwah meliputi media materi berupa bahasa lisan, tulisan, media cetak dan untuk zaman sekarang termasuk elektronik, dan media percontohan berupa potensi kredibilitas di dalam diri dâ’i. Cara melewatkan materi dakwah melalui media materi dan immateri mengacu pada prinsip metode hikmah yang instrumen metodologisnya meliputi fiqh, bayân, hujjah dan burhân (proporsi dari al-’uqûl al-shafiyah dan al-nufûs al-zakiyah), prinsip maui’zhah hasanah, dan mujâdalah
yang baik, yang penggunaannya
sesuai proporsi tuntutan situasi mad’u. Interaksi individu dalam kelompok membentuk umat sebagai medan berlangsungnya dakwah. Dalam hal media dan beberapa macam prinsip metode sama dengan para pengkaji dakwah yang lain, misalnya antara lain: ‘Abd al-Munshif Mahmud ‘Abd al-Fatah (Manhaj al-Da’wah al-Islamiyah, 1419H); dan Husain Muhammad Yusuf (Sabîl al-Da’wah, 1977). Namun demikian, berbeda dalam hal penggunaan konsep hikmah, Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah yang lain, bagi hikmah melibatkan interumen metodologis pemikiran rasional-spritual, yaitu fiqh, bayân, hujah dan burhân. Dalam pada itu, walaupun instrumen metodologis esensi dari hikmah menurut Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah, tetapi sama dengan pendapat pakar komunikasi, yaitu Jalaluddin Rakhmat (Islam Aktual, 1991) menurutnya bahwa, penelitian komunikasi menunjukkan bahwa, perubahan sikap lebih cepat terjadi dengan imbauan (appeals) emosional. Tetapi dalam jangka lama, imbauan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih stabil. Iman segera naik lewat sentuhan hati, tetapi perlahan-lahan iman itu turun lagi. Lewat sentuhan otak, iman naik secara lambat tetapi pasti. Dalam jangka lama, pengaruh pendekatan rasional lebih menetap daripada pendekatan emosional.
226
Dakwah Islam menurut bentuk pelaksanaannya dari martabat dakwah pertama adalah dakwah ‘âmmah. Dakwah ‘âmmah meliputi dua macam kegiatan yaitu tablîgh futûhât, yakni menyebarluaskan dan mempropagandakan Islam kepada nonmuslim dengan prinsip kebebasan memilih keyakinan, dan tablîgh Islam, yaitu penyiaran Islam yang ditujukan kepada komunitas muslim dan khalayak melalui macam-macam khithâbah, dan tulisan dengan media cetak dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan pengamalannya. Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dari sisi macam-macam tablîgh, sama dengan para pengkaji dakwah lainnya, misalnya antara lain: Aminah Shâwi (Nadzriyah al’Ilam fi al-Da’wah al-Islamiyah, tt), dan Abu Bakar Zakaria (alDa’wah Ilâ al-Islâm, tt) sedangkan kategorisasi martabat (level) dakwah, alda’wah ‘âmmah, al-da’wah al-khâshah dan da’wah ummah merupakan kekhasan bagi pemikiran dakwah Muhammad Abduh, sebab term-term yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Badi Shaqr (1976) baru dimunculkan belakangan. Kekhasan lainnya adalah penekanan dakwah dari sisi fungsinya sebagai ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan umat. Sedangkan kesimpulan berikutnya, mengenai irsyad nafsi, al-wa’dz, taushiyah, amr ma’rûf, nahy munkar dan takwîn al-du’ât sama dengan para pengkaji dakwah lainnya. Misalnya antara lain Shalih al-Mursyid (Mustalzâmât al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989) Dakwah khâshah dari martabat dakwah kedua meliputi dakwah nafsiyah atau irsyâd nafsi, yaitu internalisasi Islam pada tingkat intraindividu muslim, alwa’zh dan taushiyah dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan pengamalannya pada tingkat kelompok kecil. Dakwah ummah dari martabat dakwah kedua meliputi amr ma’rûf dan nahy munkar. Yang pertama berupa aplikasi syariat Islam dalam struktur khayr ummah, baik individu, keluarga, kelompok, dan institusi-institusi keumatan dalam upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama, dan memperoleh keselamatan hidup duniawi dan ukhrawi. Kedua, nahy munkar merupakan gerakan memelihara keberlangsungan dakwah dan menghalau segala tantangan yang menghambat berlangsungnya dakwah, baik yang timbul dari
227
dalam maupun dari luar, melalui kekuasaan, peringatan bahasa lisan, tulisan, dan jika tidak berdaya maka berusaha untuk tidak terlibat dalam kemunkaran dan menghunjamkan kebencian terhadapnya dalam hati. Selain cara ini, jihad di jalan Allah dalam bentuk qitâl (perang) sebagai upaya membela diri dari serangan musuh diperbolehkan. Bagian dari tugas khayr ummah adalah menyelenggarakan takwîn al-du’ât, yaitu proses pendidikan tinggi kader dâ’i profesional guna menyiapkan kaderkader dâ’i yang berkarakteristik robbani yang memiliki penguasaan ilmu Islam teoretik dan keterampilan praktik. Takwîn al-du’ât diselenggarakan oleh khayr ummah melalui lembaga pendidikan tinggi dakwah Islam dengan melibatkan mu’allim (dosen) yang berkarakteristik mursyid (pembimbing), cerdas, berakhlak mulia. Bahan ajarnya berupa seperangkat pengetahuan dasar teoretik dakwah Islam dan ilmu bantu yang diperlukan dalam dakwah Islam, yang berlangsung dengan prinsip metode îwâ al-qawî (perlindungan, bimbingan, dan perbantuan), tarbiyah ilmiyah (pendidikan akademik), al-yusr al-mâdi (pemenuhan kebutuhan peserta takwîn al-du’ât dalam aspek akademik dan sarana fisik), dan al-tadrîj (bertahap). Dari sudut pandang al-tarbiyah al-‘ilmiyah, hakikat, dasar hukum, tujuan dakwah dan prinsip sistem dakwah menjadi esensi dari aspek ontologis ilmu dakwah islamiah. Esensi dari hikmah menjadi esensi dari aspek epistimologis dakwah, dan sekaligus sebagai aksiologisnya. B. Rekomendasi Menyadari keterbatasan penelitian ini yang mengungkapkan pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah yang bersifat prinsip-prinsip nya dalam tafsir Al-Manâr, maka diperlukan penelitian lebih lanjut pada dataran pengembangan teoretik dakwah menurut levelnya, dan dataran empirik mengenai dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi),
tajdîd (pembaruan), taghyîr
(perubahan) ke arah kehidupan muslim yang lebih baik, yang diperlukan sebagai evaluasi relevansi teoretik dakwah. Selain itu, juga penting diteliti perbandingan pemikiran dakwah antara Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha dari sudut
228
pandang prinsip-prinsip dakwah sebagai sunnah Allah dalam tafsir Al-Manâr. Hal ini penting untuk memberikan kontribusi teoretik pengembangan ilmu dakwah di Indonesia khususnya. Penelitian ini juga merekomendasikan perlunya penelitian efektifitas penyelenggaraan takwîn al-du’ât (pendidikan tinggi dakwah Islam), khususnya yang ada di Indonesia, seberapa jauh dan seberapa banyak kader-kader dâ’i yang dihasilkannya dapat berperan dalam memperbaiki dan mencari solusi problem keumatan.
DAFTAR PUSTAKA Alquran Abd al-Aziz, Jumah Amin, al-Da’wah al-Islâsmiyyah: Qawâ’id wa Ushûl, Kairo: Dar al-Dawah, 1999. Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân alKarîm, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995. Abd al-Hakim, Muhammad Husni, al-Ijmâl wa al-Bayân, Kairo: Jamiah alAzhar, 1982. Abd al-Hamid, Muhsin, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî, Herendon, al-Mahad al-„Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995. Abd al-Jabiri, Muhammad, Formasi Nalar Arab, terj. Takwîn al-‘Aql al-‘Araby, oleh Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSod, 2003. Abd al-Masri, Muhammad, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-‘Alam alIslâmi, oleh Bambang Saeful Maarif, Bandung: Rosdakarya, 1989. Abd, Abd al-Lathif Muhammad, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1981. Abduh, Muhammad, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. alIslâm wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf, Bandung: CV. Diponegoro, 1992. , Risâlah al-Tauhîd, Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960. , Tafsîr Juz ‘Amma, Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989. dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî Tafsîr al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Abdul Wahab, Muhammad bin, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi, Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991. Abdurrahman, Aisyah, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Alquran, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh M. Adib al-Arief, Yogyakarta: 1997 Abidat, Zauqan dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhûmuhu, Adâwatuhu, Asâlibuhu, Aman: Dar al-Fikr, 1987. Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal. Yogyakarta: LKis, 2004. Abu Zahrah, Muhammad, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al-Islâm lî al-Mujtama’, oleh Shodiq Noor Rohmat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Abul Majd, Sayid "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" Muhâdharah al-'Âmmah, Mesir: Mathba'ah al-Azhar, 1960.
al-
230
Adnani, Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-, al-Da’wah al-Islamiyah li al-Afrad wa al-Syabaib, Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008 Ahmad, H. Zainal Abidin, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Ahmad, Khurshid, dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju Kebenaran, terj. The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and Message, oleh Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983. Ahmed, Akbar S., Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993. , Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Ust. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002. Ahwani, Ahmad Fuad, Al-Madâris al-Falsafiyyah, Kairo: Maktabah Mishr, 1965. „Adawy, Muhammad Ahmad, al-, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ, Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935. „Ak, Khalid Abd al-Rahman, al-, Shafwah al-Bayân li Ma’âni al-Qurân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Salam, 1994. „Aysawi, Abd al-Rahman, al-, al-Islâm wa ‘Ilâj al-Nafs, al-Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986. Ajiry, Abu Bakar, al-, Akhlak al-‘Ulamâ, Mesir: Dâr al-Tsaqâfah, 1984. Ali, A. Yusuf, The Holy Qurân: Text, Translation, and Commentary, USA: Amana Corp., 1983. Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Jambatan, 1995. Alwany, Thaha Jabir Fayyad, al-, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Amâri, Ali Muhammad Hasan, al-, al-Qurân wa al-Thabâ’i’u al-Nafsiyah, Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966. Anis, Ibrahim dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Dâr al-Maarif, 1972. Anshari, Isa, Mujahid Da’wah, Bandung: CV. Diponegoro, 1964. Anwar, Muhammad Mâhir Mahmud, Malâmih ‘Ilm Nafs al-Islâmy, Saudi Arabia: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983. Anshary, Jamal al-Din bin Hisyam, al-, Mughny al-Labîb, jld. I, Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub alArabiyah, tt.
231
Aqqad, Abbas, al-, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006. Aqqad, Mahmud, al-, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006. Arunjani, Wafa, al-, Manhaj al-Yaqîn ‘alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn, Jedah: al-Haramayn, tt. Askary, Abu Hilal, al-, al-Lum’ah min al-Furûq. Surabaya: al-Maktabah alTasaqafiyah, tt. Ashraf, Syed Ali, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Mawardi Prima, 2000. Asyqar, Muhammad Sulayman Abd Allah, al-, Zubdah al-Tafsîr, Riyadh: Dâr alTadmuriyah, 2004. Arnûth, Muhammad al-Sayid, al-I’jâz al-‘Ilmî fî al-Qurân al-Karîm, Kairo: Madbuly, 1989. As-Sibai, Musthafa Husni, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy, oleh Abdai Ratomy, Bandung: CV. Diponegoro, 1969. Attas, Syed Muhammad Naquib, al-, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, Bandung: Mizan, 1995. Azra, Azyumardi, “Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Nurcholis Madjid dkk., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000. , Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed. Idris Thaha, Bandung: Mizan, 2001. , Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. , Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. ______,Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999. Azzaino, Zuardin, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990. Badkhasyani, Muhammad Anwar, al-, Tashîl al-Manthiq, Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988. Baghdâdî, Zayn al-Dîn, al-, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Bâhŷ, Muhammad, al-, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits wa Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Saad, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
232
Baltaji, Muhammad Anwar Ahmad, al-, Min Washâyâ al-Qurân, Kairo: Dâr alTurâts al-„Arabi, 1987. Bayanuni, Muhammad Abu al-Fatah, al-, al-Madkhal fî ‘Ilm al-Da’wah, Beirut: Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001. Basyan, Said bin Muhammad, Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta’lîm, Jeddah, Al-Haramayn, tt. Bagader, Abu Bakar A. (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam and Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein, Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1983. Bahtiar, Saleh, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry, Bandung: Mizan, 2007. Baljon, J.M.S., Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), oleh A. Niamullah Munir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Ba-Yunus, Ilyas dan Ahmad, Farid, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1997. Basywai, Ibrahim, Nasy'ah al-Tashawuf aI-lslâmi, Mesir. Dâr al-Ma'ârif, 1969. Bek, Muhammad al-Hudhori, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981. Boulares, Habib, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The Fear and The Hope, oleh Ilham Mashuri, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003. Braker, Larry L., Communication, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984. Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science and Muslim Society, oleh Masdar Hilmi, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. C. Chittik, William, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The Sufi Paith of Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad Nidjam dkk., Yogyakarta: Qalam, 2001. Charon, Joel M., Symbolic Interactionalism: An Introduction, An Interpretation, An Integration, New Jersey: Engliwood Cliff, 1979. Darini, Sayid Abd al-'Aziz, al-, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam alGuyûb, Jedah: al-Haramayn, tt. Emmert, Philip dan Larry L. Barker, Measurement of Communication Behavior, New York: Longman, 1989. Elias, Alias A dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983.
233
Fairuzzabadi, Abu Thahir Muhammad bin Yaqûb, al-, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, Jedah: al-Haramayn, tt. Fakhr al-Din, Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jld. III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Fakhry, Majid, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987. Fatah, Abd al-Munshif Mahmud Abd, al-, Manhaj al-Da’wah al-Islâmiyah min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah. Fawal, Shalah Mushthafa, al-, Manâhij al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Kairo Maktabah Gharib, 1982. Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh Muhammad Abduh, Risâlah Tauhîd, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Fisher, B. Aubrey, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Karya, 1986. Frey, Lawrence R., et al., Investigating Communication, An Introduction to Research Methods, New Jersey Prentice Hall, 1991. Fromm, Eric, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Garna, Judistira K., Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep, Posisi, Bandung: PPs Unpad, 1996. Gazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, al-, Al-Mursyid al-Amîn ilâ Mau’izhah al-Mu’minîn, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt. ______, al-Qisthâs alMustaqîm dalam al-Qushûr al-‘Alawaly, jld. I, ed. Muhammad Musthafa Abu al-Alâ, Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970. ______, Risalah al-Laduniyyah, dalam al-Qushur al-'Awali, Mesir: Maktabah alJundi, 1970. Ghazali, Muhammad, al-, Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât, Mesir: Matbaah Hasan, 1981. Ghalwûsî, Ahmad Ahmad, al-Da’wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ. Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987. Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the Sciences of Nature}, terj. Agus Effendi, Bandung. Mizan, 1989.
234
Grunebaum, Gustave E. Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983. Hilâli, Majdi, al-, Falnabda bî Anfusinâ, Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr alIslamiyah, 1994. Haddad, Yvonne, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1995. Haeri, Syaikh Fadhlullah, Dasar-dasar tasawuf, terj. The Elements of Sufism, oleh Tim Forstudia, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003. Hamzah, Abdul Latif, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977. Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003. Haras, Muhammad Khalil, Da’wah al-Tawhîd, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1986. Harris, Cristianna Phelps, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood, London: Mounto & Co., 1964. Hagen, Evert E, On The Theory of Social Change, Home wood: Dorsey Press, 1962. Hasan, Kamil Muhammad, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât al-‘Âmmah, Mesir: Mathbaah al-Azhar, 1960. Hidayat, Komaruddin, “Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern” dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000. , “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat” dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari, Jakarta: Paramadina, 2000. , Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004. Hikmat, Harry, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama, 2006. Hitti, Philip K., History of the Arab, Cet. X, New York: St. Martins Place, 1968. Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1993. _
, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
235
Husaini, Waqar Ahmed, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj. Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka ITB, 1983. Hymes, Dell, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974. Ibn Khaldun, Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal, Bandung: Mizan, 1944. Ibn Rusyd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishâl. Mesir: Dâr al-maarif, 1969. Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad, Kitâb al-Nubuwât, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ibrahimy, Muhammad Nur, al-, ‘Ilm al-Manthiq, Surabaya: Maktabah Said bin Nashim Nabhan, tt. Ibrahim, Muhammad Ismail, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, Kairo: Dâr al Fikr al-'Araby, 1969. Imarah, Muhammad, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma’âlim al-Manhaj alIslâmi, oleh Saefullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994. _, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islâm, Beirut: al-Muassasah al-'Arabiyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981. Imam, Ibrahim, al-Ushûl al-‘Ilâm al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1985 Ishlahi, Amin Hasan, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj alDa’wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif, Jakarta: Litera Antarnusa, 1985. Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2002. Jad, Ahmad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah. Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006. Jalind, Muhammad Sayid dan Rizq al-Hajr, al-, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, Kairo: Maktabah al-Zahra, tt. Jawziyah, Ibn al-Qayyim, al-, Al-Tafsîr al-Qayyim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988. Ruh li Ibn al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1403H). Jughûry, Abd al-Rasyid, al-, al-Rasyîdiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1350H. Jurjani, Ali bin Muhammad, al-, al-Ta’rîfât. Jeddah: al-Haramain, tt.
236
Jurjawi, Ali Ahmad, al-, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. K. Rowson, Evert, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: Al-Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, New Haven: The American Oriental Society, 1988. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), terj. Rusjdi Malik, Cet 3, Jakarta: Al-Hidayah, 1983. Khabishy, Abidullah bin Fadhal, al-, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn Tahdzîb alManthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany. Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1965. Khalaf, Abd Wahab, al-,‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942. Khuli, Abu al-Qasim, al-, Menuju Islam Rasional: Sebuah Pilihan Memahami Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N., Jakarta: Hawra Publisher, 2003. Khuly, Muhammad Abd al-Aziz, al-, al-Adâb al-Nabawi, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Kamal,
Zainun, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhi MunawarRahman, Jakarta: Paramadina, 1994.
, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi, Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995. Kanan, Ahmad Muhammad, Tazkiah al-Nufus, Beirut: Dar al-Qalam, tt. Khabishi, Abdullah bin Fadhl, al-,
Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb al-
Manthiq, Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965. Khawarizmi, Abu al Qasim Abu Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari, al, al-Kasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl, Beirut: Dar al-Ma'arif, tt. Komarulhadi, S., Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi, Sala: PTDI, 1975. Krippendorff, Klaus, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and Methodology (Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid Wajidi, Jakarta: CV. Rajawali, 1991. Kutub, Sayid, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî alDa’wah wa al-Harakah, oleh Suwardi Effendi, Jakarta: Pustaka Amani, 1986. Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Maarif , 1995. Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic Societies, oleh Gufron A. Masudi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
237
Lawer, Robert H., Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj. Perspectives on Social Change, oleh Alimandan Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Levy, Ruben, Susunan Masyarakat Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Luthan, Salman, “Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,” dalam Moh. Mahfud MD dkk. (ed.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta: UII Press, 1999. Mahmud, Ali Abdul Halim, Ma’a al-‘Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs. Mesir: Dâr al-Wafa, 1992. Mahmud, Musthafa, Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al‘Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh, Surabaya: Media Idaman, 1982. Mahally, Jalâl al-Din dan Jalâl al-Din al-Suyuthy, al-, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm, Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt. Marlow, Louise, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila, Bandung: Mizan, 1999. Maraghi, Ahmad Musthafa, al-, Tqfsir al-Marâghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974. Mâliki, Ahmad al-Shawy, al-, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Shawi ‘alâ Tafsîr alJalâlalin, Semarang: Thaha Putra, tt. Masûdi, Abd al-Aziz bin Ahmad, al-, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ, Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993. Maudûdi, Abu al-Ala, al-, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qurân (Lahore: Dâr al-„Arubah li al-Dawah al-Islâmiyyah, 1960. Mâwardi, Abu Hasan Ali, al-, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Minhaji, Akh., “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam Amin Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi, Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000. Miskawih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul Kamal, Bandung. Mizan, 1994. Moore, Melbert, Order an Change Essays in Comparative Sociology, New York: John Wiley and Sons, 1967. Mubarak, Muhammad Said, al-Da’wah wa al-Idârah, Madinah: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2005. Mudhary,
Bahaudin,
Setetes
Rahasia Alam Tuhan
Melalui
Peristiwa
Metafisika al-Mi'raj, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996. Musa, Hasan Muhammad, Qamus Qurâny, Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966. Musa, Mahmud, Qâmûs Qurânî, Kairo: Mathbaah Khalil Ibrahim, 1966.
238
Musa, Yusuf, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. , Bayna al-Din wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr alWasîth, Beirut: Al-Ashr al-Hadits, 1988. Mursyid, Ali bin Shalih, al-, Mustalzamât al-Da’wah fî al-‘Ashr al-Hâdhir, Damanhur: Maktabah Layinah, 1989. Naim, Abdullah Ahmed, al-, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai, Yogyakarta, 1977. Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah ‘inda al-‘Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. Nanji, Azim (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh Muamirotun, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003. Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UIP, 1987. , Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Nasr, Sayyed Hossein , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun Syamsuddin, Yogyakarta: IRCiSod, 2006. Nawawi, Rifat Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002. _______, Kepribadian Qurani, Jakarta: WNI Press, 2009. Nawawi, Hadhari, Hakikat Manusia menurut Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993. Nuh, Sayid Muhammad, Fiqh al-Da’wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî, Mesir: Dâr al-Wafa, 1991. , Terapi Mental Aktivis Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da’i, terj. Âfât ‘alâ al-Tharîq, oleh Asad Yasin, Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994. Nurbakhsy, Javad, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif Rahmat, Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998. Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological Theory, oleh Yasogawa, Jakarta: CV. Rajawali, 1992.
239
Qahthânî, Said bin Ali, al-, Da’wah Islam Da’wah Bijak, terj. Al-Hikmah fî alDa’wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Qahthânî, Said bin Ali bin Wakf, al-, 9 Pilar Keberhasilan Dâ’i di Medan Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ’iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah, Solo: Pustaka Arofah, 2001. Qathân, Manâ, al-, al-Da’wah ilâ al-Islâm, Beirut: al-maktab al-Islamy, 1397. Qaradawi, Yusuf, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. __
_, Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama’ al-Muslim alladzî Nansyuduh, oleh Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 1999.
___
, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al-Khashâish al-‘Âmmah lî alIslâm, oleh Rofi Munawwar, Lc. dan Tajuddin, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
_______, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (AI-'Aql wa al-'IIm fi al-Qurân al-Karîm), terj. Abdulhay al-Katani dkk., Jakarta: Gema Insani Press, 1999. _______, Al-Quran dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah al-'UIya fi al-Islam li al-Quran wa al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997). Quwsyini, Hasan Darwisy, al-, Syarh ’ala Matn al-Sulam, Surabaya: Maktabah Said bin Nabhan,tt. Rajih, Muhammad Karim, Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal alQurân, Beirut: Dâr al-Marifah, 1983. Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi, Bandung: Rosdakarya, 1999. Ridha, Muhammad Rasyid, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy alMuhammadî, oleh Yosef CD, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987. Roswon, Everett K., A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-‘Amiri’s Kitâb al-Amad alâ al-Abad, New York: American Oriental Society, 1988. Said, Jaudat, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-‘Amal: Qudrah wa Irâdah, oleh Luqman Junaedi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. Said, Syekh, Kamus Filsafat Islam, Jakarta:Rajawali Press, 1992. Sairazi, Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi, al-, Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr Ibn 'Abbas, Jedah: al-Haramayn, tt. Sanusi, Shalahuddin, Ilmu Da’wah, Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.
240
Sardar, Ziauddin (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. ‘Ilm and the Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Sarwar, H.G., Filsafat Al-Quran, terj. Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin Mursyid, Jakarta: CV. Rajawali, 1989. Sears, David O. dkk., Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto, Jakarta: Erlangga, 1991. Sevila, Consuelo G. dkk., An Introduction to Research Methods (Pengantar Metodologi Penelitian), pen. Alimudin Tuwu, Jakarta: Ul-Press, 1993. Shabhi, Ahmad Ahmad, al-Falsafah al-Akhlâqiyah fî al-Fikr al-Islâmi, Mesir: Dâr al-Maarif, 1969. Shaqr, Abd al-Badi, Kayfa Nad’û al-Nafs, Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976. Shawwaf, Muhammad Mahmud, al-, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al Du'ât ),tt. Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, Jakarta: Lentera Hati, 2006. , Tafsîr al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997. , Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996. Shild, Edward, Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus Nugroho, Jakarta: Yayasan Obor, 1993. Sukanto dkk., Pedoman Penelitian, Yogyakarta: "LP", 1995. Sulayman, Fahd bin Abd al-Rahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah alHadîtsah fi al-Tafsîr, Riyadh: Muassasah al-Risâlah, 1414H. Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. _______,Manusia dengan
Atomnya
dalam
Keadaan Sehat dan
Sakit,
Jakarta:Bumi Aksara, 1994. Syafaat, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964. Sadî, Abd al-Rahman bin Nashir, al-, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001. Shafuri, Abd al-Rahman, al-, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al-Nafâis, Jakarta; Dinamika Utama, tt. Shawi, Aminah, al-, dan Syaraf, Abd al-Aziz, Nazhariyyah al-I’lâm fî al-Da’wah al-Islâmiyyah, Al-Fujâlah: Maktabah Mishr, tt.
241
Stine, Jean Marie, Mengoptimalkan Daya Pikir, Anonim: Delapratasa Publishing, 2001. Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Suyûthi, Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman, al-, al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, Bandung: PT. Al-Maarif, tt. Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1995. ______, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Jakarta: ed. Jejen Musfah, Yogyakarta: Blukar, 2004.. ______, dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008. Syahratsani, Abu al-Fatah Muhammad Abd al-Karim, al-, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Syarqawi, Hasan Muhammad, al-, Nahwa ‘Ilm al-Nafs al-Islâmi, Iskandariyah: Muassasah Sabâb al-Jamiah, 1984. Syeikh, M. Said, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1991. Syinqithi, Muhammad al-Amin, al-, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt. Tabrizi, Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asyari, al-, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al‘Arabi al-Islâmi. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981. Takhruddin, L.T., Pribadi-pribadi yang Berpengaruh, Bandung: PT. AL-Maarif, 1996. Thabathaba'i, Muhammad Husayn, al-, al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, Beirut: Muassasah al-'Alamy, 1991. Thabrasy, Radhy al-Dîn, al-, Makârim al-Akhlâq, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978. Thabrusi, Abu Ali Fadhl bin al-Hasan, al-, Majma’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Thanâhi, Thâhir, al-, (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Mesir: Dâr al-Hilal, tt. Tambunan, Emil H., Kepribadian Seutuhnya, Bandung: Indonesian Publishing House, 2006. Tamimi, Muhammad bin Khalifah, al-, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kairo: Dâr al-Salam, 1993. Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, Ohio: Grid Publishing Inc. 198 1.
242
Taymiyah, Ibn Majma' al Fatawa, Riyadh, tt. Tibi, Basam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Islam and Cultural Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Tim Penyusun, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad ke-21, Jakarta: Grasindo, 1994. Ulwan, Abdullah Nashih, al-Da’wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al’Âlami. Beirut: Dâr al-Salam, 1985. Ulwan, Taufiq, Mu’jizah al-Shalah, Kairo: Dâr al-Wafa, 1988. Umar, Toha Yahya, Ilmu Da’wah, Jakarta: Widjaja, 1983. „Utsaymin, Muhammad bin Shalih, al, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994. Wahab, A.A., An Introduction to Islamic Psychology, Delhi: Institute of Objective Studies, 1996. Weij, Van Der, Filsuf-Jilsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de men), terj. K.Bertens, Yogyakarta Kanisius, 2000. Wâ'iy, Taufik, al-, al-Nisâ al-Dâ'iyât, Kuwait: Wizârah al-Aufaf, 1989. Wakil, Muhammad al-Sayyid al-, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, Mesir: Dâr al Wafâ, 1986. Whitehead, Alfred North, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason) oleh Alois A. Nugroho, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Yakan, Fathi, Kunci Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh alDu’ât, oleh M. Hasan Baidawi, Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984. ___, Al Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983. Yusuf, Abd al-Wadud, Tafsîr al-Mu’minîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1960. Yusuf, Husayn Muhammad, Sabîl al-Da’wah, Kairo: Dâr al-Itisham, 1979. Yusuf, M. Yunan, “Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian,” dalam Munzir dan Marjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Prenada media, 2003. , “Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal” dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000. , “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000. Yusuf, Muhammad al-Sayyid Muhammad, al-Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm, Mesir: Dâr al-Salâm, 1997.
243
Yusuf, Muhammad, Junûd al-Da’wah, Mesir: Dâr al-Itishâm, 1979. Zaidan, Abd al-Karim, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001. Zahrani, Musfir bin Said, al-, al-Tawjîh wa al-Irsyâd al-nafsî, Mekah: Bahadur Press, 1421H. Zuhaili, Wahbah, al-, Tafsîr al-Wajîz, Beirut: Dâr al-Fikr, 1982.
Lampiran 1: DAFTAR TEKS AYAT-AYAT ALQURAN Teks Ayat
Surat-Ayat Al-Baqarah [2]: 191
Halaman 3
Al-Nahl [16]: 125
3, 84, 135, 136, 143, 144, 145, 148, 156
Al-Baqarah [2]: 195
4
Ali Imran [3]: 104
6, 7, 70, 77, 80, 83, 130, 131, 137, 138, 170, 206
Fushilat [41]: 33
7, 149
Ali Imran [3]: 52
8
Al-Baqarah [2]: 139
8
Ali Imran [3]: 110
11, 80, 131, 137, 138, 206
Al-An’am [6]: 149
13
Al-Nisa [4]: 174
13
245
Ali Imran [3]: 151
16
Al-Baqarah [2]: 20
17
Al-Fatihah [1]: 5
69
Al- Baqarah [2]: 7
69
Al-‘Ashr : [103]: 1-3 70, 155
Al-Maidah (5):78
70
Al-Taubah (9): 122
71
Al-Hajj (22):41
72
Ali Imran (3) : 19
78
246
Ali Imran (3) : 85
78
Al-Baqarah [2]:201
81
Al-Baqarah [2]:207
81
Al-Nisa [4]: 1
81, 97
Al-Baqarah [2]: 256
82
Al-Baqarah [2]: 257
82
Yusuf [12] : 108
84
Al-Najm [53]: 4
107
Al-Baqarah [2] : 165 85
Ali Imran (3): 19
85
247
Ali Imran [3]; 18
86
Al-Baqarah [2]:217
88
Ali Imran (3): 21
89
Al-Baqarah [2]:138
89
Ar-Ruum [30]: 30
89
Al-Baqarah (2): 143
90
248
Ali Imran [3]: 18
90
Al-Nahl [16}: 90
91
Al-Nisa [4]: 54
91
Al-Baqarah [2]: 258
91
Al-Baqarah [2]: 207
92
Al-Baqarah [2]: 256
92, 93
Al-Nisa (4): 86
92
Al-Nuur [24]: 27
93
Al-Baqarah [2]: 286
93
249
Ar-Ra’d [13]: 11
96, 135
Al-Anfal [8] : 53
96, 135
Al-Baqarah [2]:143
97
Al-Nisa [4]: 40
97
Al-Baqarah [2]:154
98
Al-Fatihah [1]: 1
99,
Al-Fatihah [1]: 6
99, 121
Al-Baqarah [2]: 44
102, 103
Al-An’am [6]:79
104
250
Al-Anbiya [21] : 56
104
Yusuf [12]: 53
105, 124
Al-Qiyamah [75]: 2
105, 124
Al-Fajar [89]: 27
105, 124
Asy-Syu’ara [26]:89
105
Ash-Shaffat [37]: 84
105
Al-Syams [91] : 910
105
Al-Hijr [15] : 75
106
Al-Baqarah [2] : 73
106
Al-Baqarah [2] : 164 107, 108
Al-Baqarah [2] : 79
108
251 Al-Baqarah [2] : 242 110 Al-Baqarah [2] : 197 113
Ali Imran [3] : 7
113
Al-Nuur [24] : 35
114
Al-Nuur [24] : 40
114
Al-Baqarah [2]: 269
115
Ali Imran [3] : 190
118
252 Al-An’am [6] : 90
121
Ali Imran [3] : 14
122
Al-Nisa [4]: 115
123
Al-Baqarah [2] :3839
123
Al-Baqarah [2] : 21
126
Al-Baqarah [2] :30
126
A-Rahman [55] : 1-4 127
Al-Nisa [4]: 113
128
253
Al-Baqarah [2]: 189
129
Al-Nisa [4]: 84
129
Al-Baqarah [2]:151
130
Al-Baqarah [2]: 9798
134
Al-Baqarah [2]: 8-10 134
Al-Baqarah [2]: 118119
134
254 Al-Baqarah [2]:113120
134
Ali Imran [3]: 21-22
135
255
Fathir [35]:32
136
Al-Anbiya [21]: 92
137
Al-‘Araf [7]:181
137
Hud [11]: 8
138
[16]:120
138
Ali Imran [3]: 144
139
Al-Maidah [5]: 35
142
Al-Isra [17]: 57
142
Ali Imrân [3]: 21
143
Al-Baqarah [2]: 269
147
Ali Imran [3]: 164
148
256
Al-Baqarah [2]; 111
151
Yusuf [12]: 108
151
Al-Baqarah [2]: 232
154
Al-‘Ashr : [103]: 1-3 155
Al-Nisa [4]: 11
155
Ali Imran [3]: 105
170
Al-Nisa [4]: 48-49
171
257
Ali Imran [3]: 18-19
172
Al-Nisa [4]: 48-52
177
Al-Baqarah [2]: 4346
179
258
Al-Baqarah [2]: 44
181
Al-Baqarah [2]: 203
181
Al-Ahzab [33]: 41
181
Al-Baqarah [2]: 249
183
Al-Fathihah [1]: 5
183
Al-Maidah [5]: 2
183
Al-Baqarah [2]: 43
184
Al-Baqarah [2]: 232
186
259
Ali Imran [3]: 138139
186
Al-Baqarah [2]: 204206
187
Al-Baqarah [2]: 207
188
Al-Nisa [4]: 5-6
188
Al-Baqarah [2]:180182
190
Al-Hajj [22]: 41
194
260
Al-Baqarah [2]: 83
195
Ali Imran [3]: 111
204
Al-Baqarah [2]: 243244
205
Ali Imran [3]: 79
206
Al-Ahzab [33] : 4546
212
Al-Maidah [5]:67
212
Al-Baqarah [2] : 151 212
Lampiran 2: Daftar Sebagian Teks Data Penelitian 2.1 Urgensi Implimentasi Manthiq Sebagai Kerja Akal (Catatan kaki no. 2 Bab III):
(AL-Manar , jilid I, hlm 144-145
262
Lanjutan lampiran 2.1:
(AL-Manar , jilid I, hlm 145)
(AL-Manar, jilid I, hlm 244) 2.2 Subtansi Hakekat Dakwah Secara Taksonomis:
263
Lanjutan lampiran 2.2:
(AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28)
264
Lanjutan lampiran 2.2:
(AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28) 2.3 Subtansi Tiga Macan Mad’u Menurut Kualitas Ilmunnya (Catatan Kaki no. 202 Bab III):
265
Lanjutan lampiran 2.3:
(AL-Manar, jilid IV, hlm 262-263) 2.3 Subtansi al - da’iyah fi nafsih (Catatan Kaki no. 19 Bab IV):
(AL-Manar, jilid I, hlm 184)
266
Lanjutan Lampiran 2.4:
(AL-Manar, jilid I, hlm 186) 2.5 Subtansi al - da’iyah fi nafsih ( catatan kaki no 20 Bab IV):
(AL-Manar, jilid V, hlm 148-149)
267 Lampiran 3: Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab No
Bentuk Kata
1
Surat, No. Surat dan Ayat Al-Baqarah (2): 75
2
Al-Baqarah (2): 44
3
Al-Baqarah (2): 73
4
Al-Baqarah (2): 76
5
Al-Baqarah (2): 242
6
Ali Imran (3): 65
7
Ali Imran (3): 118
Teks Ayat
8
Al-Baqarah (2): 164
268
9
Al-Baqarah (2): 170
10
Al-Baqarah (2): 171
11
Al-Baqarah (2): 179
12
Al-Baqarah (2): 197
13
Al-Baqarah (2): 269
14
Ali Imran (3): 7
2 6 9
15
Ali Imran (3): 190
270
Lampiran 4 Gambar Bagan 1: Tujuan Dakwah
Ideal Sosial
Individual
Keterangan: Memperoleh ridha Allah SWT di dunia dan akherat
Ideal
:
Sosial
: Menjadi Khair Ummah dan ummah Wasatha
Individual :
Menjadi Pribadi Muslim Paripurna
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1953 di Babakanraden Cariu Bogor, sebagai anak ke sembilan dari dua belas bersaudara, putera pasangan H. Abdullah (alm) dan Hj. Siti Zainab. Tamat Madrasah Wajib Belajar (MWB) Babakanraden Cariu Bogor pada tahun 1968, Madrasah Tsanawiyah Al-Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi tahun 1971, Sekolah Persiapan Institut Agama Islam (SP-IAIN) Sunan Gunung Djati Bogor tahun 1974, Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1977, Sarjana Lengkap Jurusan Dakwah Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1981, pada tahun 1993 mendapat kesempatan mengikuti program S2 Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung selesai tahun 1998, dan pada tahun 1997 diterima mengikuti Program Doktor Bebas Terkendali PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan II hingga sekarang. Berbarengan dengan jenjang pendidikan formal sekolah, ia mengikuti pengajian di beberapa pesantren, yaitu pada tahun 1966-1968 di Pesantren AlBaqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi, tahun 1969-1974 diPesantren Al-Barkah Bantarpete Bogor, dan tahun 1975-1979 di Pesantren Al-Jawami Sindangsari Cileunyi Bandung. Pengalaman pekerjaan, pada tahun 1979-1981 sebagai Penyuluh Penerangan Agama Islam Kecamatan Ujungberung Kabupaten DT. II Bandung, tahun 1982-1985 Sekretaris Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1986-1989 Sekretaris Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1990-1992 Ketua Jurusan Tafsir-Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1993-1995 Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1996-1999 sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1999-2007 sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan tahun 2008-sekarang sebagai ketua
272
LPM (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat) UIN sunan Gunung Djati Bandung. Sejak tahun 1992 sampai sekarang sebagai tenaga pengajar dalam mata kuliah Ilmu Dakwah, dan terakhir 1 April 1998 sebagai Lektor Kepala IV/c dalam mata kuliah Ilmu Dakwah. Karya tulis yang penulis hasilkan berupa buku/diktat antara lain: 1. Pengantar Ilmu Dakwah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993); 2. Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW, terj. Karya Husain Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da’wah (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993); 3. Tehnik Khithâbah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996); 4. Metode Analisis Isi: Suatu Pengantar (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996); 5. Mantik: Kaidah Berpikir Islami (Bandung: Rosdakarya, 1996); 6. Perkembangan dan Pengembangan Ilmu Komunikasi (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996); 7. Matan Wilayah Kajian Ilmu Dakwah (Bandung: Fakultas Dakwah, 1998); 8. Dasar-dasar Bimbingan Islam (KP-Hadid, 1999); 9. Epistemologi Do’a (KP-Hadid, 2001); 10. Quantum Do’a (Bandung: al-Hikmah, 2006); 11. Fiqh Marîdh I (Bandung: Pemprov Jabar, 2003); 12. Fiqh Marîdh II (Bandung: Pemprov Jabar, 2003); 13. Metode Etnografi untuk Penelitian Dakwah (KP-Hadid, 1999); 14. Syarhil Quran tentang Kesalehan Sosial (Bandung: LPTQ Jabar, 2006); 15. Risalah Pohon Ilmu Dakwah (KP-Hadid, 2005); 16. Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (KP-Hadid, 2005); 17. Kode Etik Kader Da’i Profesional (Bandung: KP-Hadid, 2004); 18. Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya, 2007). 19. Taxonomy Yes! Dichotomy, No! Epistimologi Ilmu Islam Menurut Muhammad Abduh (Bandung: KP Hadid, 2006)
273
Karya tulis yang berupa hasil penelitian antara lain: 1. Kritik terhadap Filsafat Atheisme Berdasarkan Alquran (Risalah Sarjana Muda, 1977); 2. Urgensi Praktikum Dakwah bagi Mahasiswa Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin: Suatu Evaluasi (Skripsi Sarjana Lengkap, 1981); 3. Tanggapan Imam Syafi’i terhadap Inkarussunnah sebagai Hujjah Hukum Islam (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1994); 4. Relevansi antara Makna TIBMANRA dengan Substansi Pola Dasar Pembangunan Provinsi DT. I Jawa Barat Memasuki PJP II (Bandung: PP. IAIN, 1996); 5. Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu: Kajian tentang Kepemimpinan Adat dalam Komunikasi Intrabudaya di Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat (Tesis Magister Sains, Unpad, 1998). Pengalaman di bidang kegiatan kemasyarakatan, antara lain: 1993-1997 Ketua Biro Pemuda MDI Jabar, 1992-1997 Ketua DPD Angkatan Muda Satuan Karya Ulama Indonesia (AMSI) Jawa Barat, 1994-1997 Komisi Organisasi MUI Jawa Barat, 2004-sekarang Ketua Bidang Dakwah dan Syiar Islam MUI Kota Bandung, 1998-sekarang anggota Dewan Pakar ICMI Orsat Bandung Timur, 1998-sekarang Ketua Umum Majelis KAHMI Kabupaten DT. II Bandung, 1998sekarang Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat IKA-IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2003-2009 Ketua Umum MPN APDI (Majelis Pengurus Nasional Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia) Periode Perintisan dan pada Kongres II APDI tanggal 15-17 Mei 2009 di Surabaya diberi amanat sebagai ketua Dewan Pakar APDI Nasional periode 2009-2013. 2001-sekarang ketua Bidang Pembinaan dan Latihan LPTQ Jawa Barat. 2000-sekarang ketua Bidang Dakwah Masjid Raya Profinsi Jawa Barat, 2005-sekarang anggota Forum Silaturahim Dewan Kemakmuran Masjid ASEAN dan menjadi Dewan Hakim Nasional MSQ pada MTQ Nasional di Palangkaraya dan di Banten (17-24 Juni 2008). Pada tahun 1979 menikah dengan Hj. Mimin Mintarsih dan telah dikaruniai lima anak: Indira Sabet Rahmawati, S.Ip, M.Ag (29 tahun), Alex
274
Muhammad Mustafa, S.Sos.I (27 tahun), Mela Mustika Amalia, S.Pd.I (24 tahun), Arif Syamsul Alam (22 tahun), dan Ida Ayu Nur’arafah (17 tahun), dan
kini bertempat tinggal di Jl. Permai VI/IL 99 Kelurahan Cipadung,
Kecamatan Cibiru, Kodya Bandung, telepon (022) 7809537.