Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH Minnah El Widdah Abstraksi Muhammad Abduh seorang modernis Islam Mesir, telah berusaha mengupayakan pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam bidang pendidikan. Ia berpandangan bahwa pendidikan merupakan jalan strategis dalam menyampaikan misi dakwah islamiyah dan sekaligus menjadi media yang efektif dalam menyampaikan ide-ide pembaharuannya kepada umat. Tulisan ini mencoba mengungkap dan menganalisis ideide pembaharu Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam yang diushakannya dalam konteks tiga periodesasi kehidupan yang dijalaninya seperti disinggung di atas, sehingga semakin menampakkan ide-ide dan perkembangan pemikirannya. Kata Kunci : Pembaharuan pendidikan A. Pendahuluan Hampir semua pemikir pembaharu Islam pada masa awal modernisasi terkagum-kagum atas kemajuan Barat melalui sains dan teknologi yang telah diraihnya, dan pada saat yang sama memunculkan kesadaran akan ketertinggalan umat Islam dalam segala bidang kehidupan, sehingga memunculkan keinginan yang amat kuat dalam diri pemikir Islam untuk mentransfer sains dan teknologi Barat ini ke dalam Islam dengan tujuan memajukan umat Islam. Akibat sentimen politik dan kekuasaan dan perbedaan identitas keagamaan, pada perkembangan selanjutnya memunculkan sikap ambivalensi kalangan pada modernis Islam terhadap yang berbau Barat, termasuk sains dan teknologinya. Sikap ambivalensi ini adakalanya dalam praksis kependidikan berujung pada penguatan pendidikan tradisional agama di samping menerima sains dan teknologi Barat tersebut, bahkan tidak jarang pula berujung pada penolakan sepenuhnya terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Muhammad Abduh seorang modernis Islam Mesir, telah berusaha mengupayakan pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam bidang pendidikan. Ia berpandangan bahwa pendidikan merupakan jalan strategis dalam menyampaikan misi dakwah islamiyah dan sekaligus menjadi media yang efektif dalam menyampaikan ide-ide pembaharuannya kepada umat. 71
Minnah El Widdah, Pendidikan Dalam ….
Telaah akan aktivitas pembaharuan pendidikan yang dilakukan Muhammad Abduh, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dinamika perjalanan hidupnya sebagai seorang pembaharu yang banyak menghadapi tantangan dari kelompok dan penguasa pada masanya, bahkan hingga ia dikucilkan dan dibuang dari negerinya sebagaimana lazim ditemukan pada para pembaharu lainnya. Perjalanan aktivitas Muhammad Abduh dalam upayanya menggaungkan dan menerapkan ide-ide pembaharuannya setidaknya dapat dilihat tiga periode kehidupannya, yakni masa prapembuangan, pembuangan dan pasca pembuangan. Tulisan ini mencoba mengungkap dan menganalisis ide-ide pembaharu Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam yang diushakannya dalam konteks tiga periodesasi kehidupan yang dijalaninya seperti disinggung di atas, sehingga semakin menampakkan ide-ide dan perkembangan pemikirannya. B. Muhammad Abduh dan Kesejarahannya. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahillah, Mesir dan wafat di tahun 1905. Ia putra dari Hasan Khairillah, yang mempunyai silsilah dari keturunan Turki, sedangkan ibunya memiliki silsilah dari keturunan Umar ibn Khatab, meskipun perlu dicatat bahwa pada tahun kelahirannya terdapat silang pendapat dikalangan para ahli. (Asmuni, 1995:78). Sebagai keluarga yang taat menjalani agama, Muhammad Abduh diserahkan kepada seorang guru mengaji untuk dapat menghafal alQur`an, selain dapat membaca dan menulis. Setelah ia dapat menyelesaikan hafalan al-Qur`annya dalam waktu dua tahun, Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya kepada Syekh Ahmad di Thanta untuk mempelajari agama pada tahun 1862. Selama dua tahun belajar di sini terutama dalam bidang Nahwu, Sharaf dan Fiqih, ia sangat frustasi dan mengkritisi metode pembelajarannya yang diterapkan pada pendidikan ini. Menurut Muhammad Abduh, menghafal sebagai metode yang diterapkan di sini tidak memberikan pengetahuan, guru hanya menekankan penghafalan istilah-istilah dan tidak mau peduli apakah anak mengerti atau tidak dari istilah-istilah tersebut. (Nasution, 1992:59). Sikap protes dan frustasi Muhammad Abduh terhadap sistem pembelajaran seperti ini semakin memuncak sehingga ia lari dari institusi pendidikan ke kampung halamannya, setelah sebelumnya bersembunyi selama tiga bulan di salah satu rumah pamannya. Dalam pelarian inilah ia berkeluarga, tepatnya pada tahun 1865, dalam usia sekitar 16 tahun. Orang tuanya tetap berharap agar Muhammad Abduh mau kembali meneruskan pendidikannya di Thanta, namun ditolaknya, akhirnya menemui pamannya Syekh Darwisy Khadr, seorang intelektual yang 72
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
memiliki pandangan ke depan untuk ukuran masanya. Bimbingan dari pamannya ini benar-benar telah merubah sikap dan pandangan Muhammad Abduh, akhirnya ia dapat menyelesian pendidikannya di Thanta, tepatnya pada tahun 1866. Kemudian ia meneruskan pendidikannya dengan memasuki perguruan tinggi al-Azhar, sebuah institusi pendidikan tinggi Islam yang bergengsi pada masa itu, namun yang lebih penting lagi adalah munculnya kembali kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan setelah beberapa tahun redup bahkan frustasi sebagai akibat sistem pembelajaran di Thanta sebagaimana disinggung di atas. Di saat ia menjadi mahasiswa al-Azhar, ia berkenalan dengan Jamaluddin al-Afgani, seorang pembaharu Islam yang revolusioner yang berkunjung ke Mesir pada tahun 1871. perkenalannya dengan pembaharu ini semakin memacu semangat akademiknya, terutama untuk mengadakan pembaharuan pada masyarakatnya termasuk sitem pendidikan. Melalui bimbingan Jamaluddin al-Afgani ia belajar filsafat, dan aktif menulis pada surat kabar harian al-Ahram yang pada waktu itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai dengan yudisium yang sangat baik dan mendapat gelar `alim, sekaligus diangkat menjadi tenaga pengajar di almamaternya dan Dar al Ulum. Karena kedekatannya dengan Jamaluddin al-Afgani yang dituduh mengadakan pergerakan menentang penguasa pada masa itu, Muhammad Abduh juga terimbas oleh kecurigaan penguasa, yang membawanya diusir dari Kairo. Setelah satu tahun kemudian, ia diizinkan kembali ke Kairo, dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah yaitu al-Waqa’il al-Misriyah. Dengan pembekerjaan seperti ini, menjadikan ia lebih leluasa menyampaikan ide-ide pemikirannya terutama menyangkut ilmu agama, filsafat, kesusasteraan dan lain-lainnya. Melalui surat kabar ini tidak jarang melancarkan kritikan terhadap pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir (Asmuni, 1995:79). Pada peristiwa pemberontakan Urabi Pasya dalam tahun 1882, Muhammad Abduh dituduh terlibat di dalamnya, sehingga ketika pemberontakan ini berakhir ia diusir dari Mesir dan menetap di Syria. Di kota inilah ia banyak melontarkan ide-ide pembaharuan pendidikannya sebagaimana nanti akan diuraikan terutama ketika ia diberi kesempatan mengajar di perguruan tinggi al-Sulthaniyah. Dari Syria, ia pergi ke Paris tepatnya pada tahun 1884, setelah diundang oleh Jamaluddin al-Afgani yang telah bermukim di sana. Di kota inilah bersama Jamaluddin, ia membentuk suatu gerakan yang bernama alUrwatul Wusqa yakni suatu gerakan sosial-politis untuk membangkitkan kesedaran bersatu pada seluruh umat Muslim dunia dengan menerbitkan majalah al-Urwatul Wusqa sebagai alat untuk mencapai tujuan gerakan tersebut (Asmuni, 1995:80). 73
Minnah El Widdah, Pendidikan Dalam ….
Pada tahun 1888, ia diperbolehkan pulang ke Mesir, namun tidak diizinkan mengajar, karena penguasa pada masa itu merasa takut akan pengaruhnya kepada mahasiswa, namun pada tahun 1894, atas kepeduliannya yang amat gigih untuk pembaharuan pendidikan, serta didukung pula oleh teman-temannya yang memahami pemikirannya, akhirnya ia diangkat menjadi majelis pendidikan tinggi di al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, ia banyak melakukan perubahan di dalam tubuh al-Azhar, meskipun juga banyak mendapat tantangan terutama dari syekh-syekh yang konservatif di penrguruan tinggi ini, bahkan terlempar dari institusi ini. Di tahun1899, ia diangkat menjadi mufti Mesir sampai ia meninggal pada tahun 1905 (Nasution, 1992:62). C. Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Muhammad Abduh 1. Masa Pra Pembuangan Sesungguhnya ide-ide pembaharuan apapun yang dilontarkan Muhammad Abduh pada periode ini tidak dapat dipisahkan dari kuatnya pengaruh Jamaluddin al-Afgani terhadap dirinya, karena sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Muhammad Abduh mengenal sains-sains pemikiran modern Barat dari tokoh ini dan malah menjadi muridnya yang setia. Pengaruh Jamaluddin al-Afgani terhadap pemikiran Muhammad Abduh, setidaknya terlihat dari upayanya untuk mengekspresikan perubahan dalam masyarakat melalui penataan moral mereka. Hanya saja pada Jamaluddin al-Afgani perubahan yang diinginkannya dalam bentuk revolusionery of people melalui perubahan politik, sementara Muhammad Abduh menginginkan perubahan itu dalam gradual transformation of the mind melalui pendidikan dan pengajaran. Konsekuensi dari metodanya seperti ini, menuntut akan pembaharuan pada aspek lain seperti merekonstruksi kembali pemahaman tentang doktrin Islam dan pemurniannya, karena kemunduran umat islam dapat diketahui dan dieliminasi hanya dengan menampilkan pendidikan Islam yang kritis dan menilai kembali pokokpokok dasar Islam (Gibb, 1950:39). Di antara ide Jamaluddin al-Afgani yang juga mempengaruhi Muhammad Abduh Adalah tentang pentingnya bagi orang-orang terpelajar suatu pendidikan masyarakat dan pengajaran moral dengan memperkenalkan prinsip-prinsip kesehatan moral sebagaimana kenalnya seorang dokter akan prinsip-prinsip kesehatan fisik. Orangorang terpelajar ini disebut dengan dokter jiwa, menurut Muhammad Abduh mesti mengetahui sejarah negeri mereka di samping sejarah negeri-negeri lain, periode-periode kemajuan dan kejatuhan mereka serta upaya yang tepat yang mereka terapkan untuk mengatasi problema sejarah mereka (Adams, 1968:35). 74
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
Bila dicermati esensi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh pada periode ini adalah memperkenalkan akan pentingnya sainsain dan teknologi modern Barat ke dalam kehidupan Muslim di samping keinginannya untuk tetap menghidupkan kembali kajiankajian klasik keislaman dan asli. Untuk hal ini ia sangat berkeinginan menyandingkan sains modern Barat bersama ilmu-ilmu keislaman di al-Azhar. Bagi Muhammad Abduh, Muslim harus menerima sain-sain modern Barat ini serta harus mampu menguasainya (Badawai, 1978:64-65). Keinginan Muhammad Abduh seperti ini, tidak lepas dari konsepnya tentang tujuan pendidikan. Menurutnya tujuan pendidikan itu adalah mendidik akal dan jiwa, sehingga seseorang sekuat kemampuannya dapat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya di dunia maupun di akhirat kelak. Dimaksudkannya dengan pendidikan akal adalah munculnya kemampuan pada akal pada kesederhanaan dan pengosongan dari pengetahuan-pengetahuan yang tidak benar atau terhindar dari konsep-konsep yang palsu dan ide-ide yang jelek sehingga yang diterima hanyalah ide-ide dan informasi yang benar saja. Untuk ini akal mesti mampu membedakan antara yang baik dan buruk, bahaya dan bermanfaat. Sedangkan pendidikan jiwa adalah menciptakan perilaku yang baik dalam diri dan melatihnya agar senantiasa terlepas dari perilaku atau sifat-sifat yang tidak baik, sehingga seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan aturanaturan masyarakat yang humanis (Badawi, 1978:68-69). Muhammad Abduh, juga memperhatikan akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh sekolah-sekolah yang dilakukan oleh orangorang asing dan misionaris Kristen. Menurutnya para orang tua yang tidak mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang memberikan keyakinan agama berbeda dengan keyakinannya dan anaknya, kecuali mereka menginginkan perubahan keyakinan pada anak-anak mereka. Untuk hal ini, Muhammad Abduh sangat menentang seolah-sekolah umum yang memakai pengantar bahasa asing, baginya, bahasa utama yang dipakai di sekolah-sekolah umum adalah bahasa ibu negeri ini. Ia memanggil Menteri Pendidikan untuk menyediakan bagi siswa-siswa buku-buku yang berbahasa Arab (Badawi, 1978:68). Usaha Muhammad Abduh mereformasi pendidikan di Mesir tidak saja pada pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi juga yang dilakukan oleh badan-badan tertentu. Ia sering melakukan kritik terhadap sekolah itu sendiri, para guru, metoda pengajaran dan kinerja umum dari program pendidikan nasional. Sebagai hasil kritiknya pada tanggal 28 Maret 1881 berdiri sebuah 75
Minnah El Widdah, Pendidikan Dalam ….
badan “the Superior Council of the Department of Education” yakni suatu badan yang memiliki kekuasaan administratif terhadap pendidikan umum. Muhammad Abduh sendiri ditunjuk sebagai anggota sub komite dari badan ini yang selanjutnya melahirkan kejian peningkatan program pendidikan untuk semua sekolah (Adams, 1968:64). Sebagai anggota sub komite, Muhammad Abduh menyarankan Departemen Pendidikan untuk merevisi semua sekolah upaya mendapat subsidi oleh pemerintah yang diselenggarakan oleh orang-orang asing (Adams, 1968:48). Dari uraian di atas terlihat bahwa pemikiran pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh pada periode ini, lebih teraksentuasi pada pemaparan ide atau konsep. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari posisinya pada saat ini sebagai penulis, kendatipun pada akhir periode ini ia telah berada pada posisi untuk dapat berbuat nyata untuk menerapkan pemikiran pembaharuannya. Ide-ide pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh pada periode ini, selain memperkenalkan sain-sain dan teknologi modern Barat dalam dunia pendidikan Islam seperti al-Azhar, juga ingin merekonstruksi praktek pengajaran Islam yang sesuai dengan orisinalitas dan keislaman pada masa-masa awal Islam. Pada akhir peiode ini, Muhammad Abduh menginginkan pendidikan umum yang berbasis nasoinalitas perlu dihidupkan. Keinginannya seperti ini sebenarnya dipicu oleh adanya misi kristenisasi yang membonceng dibelakang pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang asing. Untuk itu ia selain mengingatkan kepada orang tua untuk tidak menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah-sekolah orang asing ini, juga ia menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah-sekolah asing yang mendapat subsidi dari pemerintah. 2. Masa Pembuangan Dicurigai ikut berpartisipasi dalam Revolusi Urabi pada 11 juli 1882, menjadikan Muhammad Abduh pada penghujung tahun ini dibuang ke Syria dan menetap di sini selama satu tahun. Atas undangan Jamaluddin al-Afgani pada tahun 1884, ia pergi ke paris bekerja sama dengannya dalam gerakan “Kesatuan Muslim dan menentang agresi Barat” (Badawi, 1978:70). Ide-ide pemikiran pembaharuan pendidikannya, baru dilontarkannya setelah ia kembali ke Beirut pada tahun 1886, ketika mendapat kesempatan mengajar di Madrasah al-Sulthaniyah di kota ini. Pada kesempatan ini ia mengatakan bahwa ilmu yang dibutuhkan Muslim saat ini bukan teknologi dan ilmu pertanian dan perdagangan lainnya. Hal ini menurutnya, teknologi tidak akan banyak membantu 76
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
dalam masyarakat yang tengah dilanda kelesuan, bodoh, terpecahpecah seperti yang tengah dialami masyarakat Muslim saat ini. Kebutuhan yang mendesak oleh masyarakat Muslim saat ini adalah mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang dapat membangkitkan jiwa. Agama merupakan jawaban untuk hal ini, oleh karena itu menurutnya pendidikan agama diperlukan, yakni dengan memahami agama secara benar (Badawi, 1978: 70-71). Selama di Paris, ia pernah mengajukan dua buah usulan pembaharuan dalam bidang pendidikan agama. Usulan pertama tentang pembaharuan pengajaran agama yang ditujukannya kepada Amir al-Mukminin di Istambul, Turki. Usulan pembaharuan pendidikan ini pada intinya menginginkan agar pendidikan agama ditingkatkan dan difungsikan. Hal ini dikarenakan menurutnya pandidikan agama lah yang mampu mengatasi kejatuhan moral Muslim saat ini dan pengaruh asing yang telah membelenggu pemikiran masyarakat melalui sekolah yang mereka dirikan (Adams, 1968: 71). Untuk fungsionalnya pendidikan agama, menurut Muhammad Abduh pengajaran agama itu disesuaikan dengan strata kehidupan yang ada dalam masyarakat yaitu, kelompok masyarakat umum; para pedagang, petani dan buruh. Kelompok masyarakat pekerja di pemerintahan dan kelompok ulama, yakni orang yang konsern terhadap pendidikan masyarakat. Untuk kelompok masyarakat umum, pengajaran agama yang diberikan adalah prinsip-prinsip teologi Islam Sunni dengan logika yang mudah dipahami. Selain pemberian materi pemahaman terhadap alQur`an dan hadis-hadis Nabi yang otentik harus diberikan sebagai pembuktian, juga diberikan sejarah Islam awal dan masa-masa kebesaran Islam secara jelas serta sejarah kerajaan Turki Usmani. Sedangkan untuk kelompok masyarakat pekerja di pemerintahan selain materinya diberikan sama seperti kelompok di atas dalam bentuk pembelajaran yang lebih intensif, juga diberikan sejarah-sejarah yang menekankan pada aspek-aspek keislaman yang sesungguhnya dan mendorong para kelompok ini untuk berkeinginan merebut kembali wilayah-wilayah Islam yang telah diambil Barat. Khusus untuk kelompok ulama diberikan pengajaran bahasa Arab yang intensif dalam berbagai kajian keislaman. Pengajaran keislaman ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa pemahaman agama secara salah hanya akan menyebabkan kesulitan-kesulitan masyarakat muslim seperti yang dialami saat ini (Badawi, 1978: 72-73). Bila dicermati secara teliti sasaran yang hendak dicapai dari program pendidikan Muhammad Abduhi adalah menjadikan agama benar-benar berurat berakar di dalam hati para siswa, sehingga dapat 77
Minnah El Widdah, Pendidikan Dalam ….
menuntun setiap perbuatan yang mereka lakukan, selanjutnya dapat menyatukan dan mengabdikan diri mereka, baik secara material maupun spiritual, untuk Islam dan mendukung Amir al-Mukminin (Badawi, 1978: 73). Sementara usulan keduanya tentang pembaharuan pendidikan Islam adalah ditujukannya kepada masyarakat untuk mendukung pemerintahan gubernur Beirut. Hal ini dikarenakan menurut Muhammad Abduh, pemerintahan ini sangat mendukung pengajaran agama dan tidak membeda-bedakan golongan dan sekte yang ada di Syria. Kecuali juga ia mengingatkan akan pengruh buruk dari sekolahsekolah asing dan mengusulkan segera didirikan sekolah-sekolah yang sesuai dan memperbanyak pendidikan keagamaan (Adams, 1968: 66). Pemikiran pembaharuan pendidikan yang dilontarkan Muhammad Abduh untuk periode ini masih pada tataran teoritis, himbauan dan harapan seperti pada periode sebelumnya. Hanya saja pada periode ini, ide-ide pembaharuan pendidikannya telah semakin menampakkan tampilannya. Indikasi ini setiadaknya terlihat telah dimunculkannya muatan materi pandidikan yang mesti diajarkan untuk setiap golongan serta substansi tujuan yang hendak dicapai, bahkan telah menempatkan secara eksplisit peranan sentra pendidikan agama di tengah pemanfaatan sain-sain dan teknologi modern Barat. Disamping itu, penerapan pendidikan sesuai dengan kelompok yang ada dalam masyarakat, dan pemberian materi sejarah dalam bentuk analitik bagi pendidikan Islam, dapat pula dinilai sebagai terobosan baru dalam paraktek kependidikan. Melalui materi pendidikan agama dalam bentuk analisis menunjukkan besarnya keiginan Muhammad Abduh agar pendidikan agama dapat benar-benar memicu perkembangan rasionalitas dalam beragama, tidak seperti sebelumnya yang mana pembelajaran agama hanya terfokus pada pembelajaran model hafalan yang menimbulkan stagnasi pemahaman terhadap ajaran agama. Begitu pula pemberian materi dan model pembelajaran sejarah dalam bentuk analitik, menunjukkan suatu kemajuan dari sebelumnya, dimana pembelajaran sejarah tidak lagi hanya berupa pemberian informasi tentang rangakaian kejadian masa lalu yang hanya cenderung berupa alat bernostalgia dan memunculkan sikap pengkultusan masa lalu, akan tetapi dengan model pembelajaran sejarah yang bersifat analitik siswa dapat memetik pelajaran berharga tentang sesuatu yang berada di balik kejadian masa lalu. 3. Masa Pasca Pembuangan Pada masa ini pengaruh Jamaluddin al-Afghani tidak lagi begitu kuat, bahkan ia mengkiritik beberapa pola perjuangan Jamaluddin. Berbeda dengan sebelumnya, pada masa ini ia mengubah pola 78
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
perjuangannya secara drastis, dimana ia telah dapat menerima Inggris melalui jalinan kerjasama dalam upaya melakukan pembeharuan di bidang pendidikan. Beralihnya sikap Muhammad Abduh secara drastis ini sebenarnya merupakan sebuah strategi untuk mewujudkan keinginannya melakukan pembaharuan untuk memacu perubahan di kalangan umat Islam dalam rangka mengejar ketertinggalanya dari Barat, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, ia melakukan kerjasama dengan Inggris dalam rangka memajukan pendidikan nasional Mesir. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, ia mengeluarkan fatwa bahwa kerjasama dengan masyarakat non muslim tidaklah bertentangan dengan ajaran agama (Badawi, 1978; 74). Ia Menyakinkan bahwa kebutuhan masyarakat Mesir saat ini adalah pendidikan tentang nasionalisme dan pendidikan agama secara benar, sehingga kebijakan politik untuk menyelesaikan problema sosial keagamaan harus dimulai dari sisi ini. Pada masa ini Muhammad Abduh telah menampilkan sebuah pemikiran tentang pentingnya materi-materi pendidikan umum berdampingan dengan materi pendidikan agama. Bagi Muhammad Abduh, materi pendidikan umum yang tidak didampingi oleh pendidikan agama akan mengakibatkan ketidakseimbangan moral yang berbahaya bagi tatanan kehidupan umat (Badawi, 1978; 74). Sebagai pilot project untuk ide penyatuan materi pendidikan umum dan agama ini, Muhammad Abduh menyarankan pengembangan lembaga pendidikan Dar al ulum sebagai sekolah abru yang memberikan pendidikan modern bagi mahasiswa al-Azhar yang menginginkan kecakapan untuk dapat bekerja di pemerintahan, atau al azhar dapat saja merger dengan sistem pendidikan umum sambil tetap mempertahankan kekhasannya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tentunya sambil mengadakan pembaharuan kurikulum, sistem ujian dan metode pembelajaran (Rahman, 1984; 66). Bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan gelaar alim mesti lulus ujian dalam semua materi dasar yakni tauhid, Tafsir, Fiqh, Ushul Fiqh, Akhlak dan beberapa materi lainnya yang dianggap sebagai ilmu yang menunjang keilmuan dasar di atas seperti Mantiq, Nahwu, Balaghah, berhiting dan aljabar. Untuk tingkatan selanjutnya diberikan materi Sejarah, Georafi, Filsafat, ekonomi dan pengetahuan kealaman disamping mempelajari karya-karya Arab kalsik (Haq, 1970; 71-72). Usaha yang dilakukan Muhammad Abduh ini terhenti dan dapat dikatakan tidak berhasil, kecuali untuk bidang administrasi, sementara untuk bidang akademik hampir semuanya ditolak. Penolakan ini 79
Minnah El Widdah, Pendidikan Dalam ….
datang dari ulama konservatif al Azhar yang mengatakan bahwa satusatunya tujuan lembaga pendidikan al Azhar adalah sebagai lembaga dakwah untuk melindungi dan menyebarkan agama Islam dan hukumhukumnya, sehingga segala sesuatu yang berbau perubahan dan datang dari Barat harus ditingglkan (Haq, 1970; 72). Puncak kegagalan Muhammad Abduh dalam melakukan pembaharuan di al Azhar adalah dengan berhentinya ia dari kepengurusan Administrative Committee pada tanggal 15 Maret 1905.
Daftar Pustaka Adam, Charles C., Islam And Modernisme in Egypt, Russell and Russell, New York, 1968. Asmuni, Yusran., Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Raja Grafindo Persada, 1995. Badawi, MA., Zaki., The Reformers of Egypt, Croom Hell, London, 1978. Gibb, H.A.R.,
Modern Trends in Islam, The Universitu of Chicago Press, Chicago, 1947.
Kourani, Albert., Arabic Thought in Liberal Age: 1798-1939, Oxpord University Press, London, 1970. Nasution, Harun., Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
80