KONSEP PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH SEBAGAI STRATEGI MODERNISASI Oleh : Syamsul Rijal Fakutas Agama Islam (Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan ) Email:
[email protected] Abstrak Muhammad Abduh mengembangkan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual. Salah satunya adalah dengan modernisasi bidang pendidikan yang merupakan bagian terpenting dari usaha modernisasi sosial, ekonomi dan politik. Dalam Tulisan ini penulis khusus menyoroti pemikiran bidang pendidikan Muhammad Abduh, Fokus kajiannya adalah pada tiga persoalan yaitu mengenai tujuan, kurikulum, dan metodologi pendidikan menurut Muhammad Abduh. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, Muhammad Abduh selalu menghubungkan antara tujuan yang satu dengan yang lainnya, dalam hal ini adalah baik tujuan akhir pendidikan maupun tujuan institusional. Pokok pikirannya tentang tujuan institusional pendidikan didasarkannya kepada tujuan pendirian sekolah. Ia membagi jenjang pendidikan kepada tiga tingkatan, yaitu Tingkat Dasar (mubtadiin) Tingkat Menengah (tabaqat al-wusta). Tingkat Tinggi (tabaqat al-‘Ulya). Dalam bidang kurikulum Muhammad Abduh merumuskan kurikulum berdasarkan tingkatan-tingkatan sebagaimana di atas, yaitu tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam penyusunan materi ini ia selalu merujuk kepada tujuan pendidikan yang titik sentralnya untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam ke arah pengembangan yang seimbang antara akal dan jiwa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kata kunci: Tujuan, Kurikulum, dan Metodologi Pendidikan
1
Pendahuluan Modernisasi bidang pendidikan merupakan bagian terpenting dari usaha modernisasi sosial, ekonomi dan politik. Pendidikan dapat dikatakan sebagai instrument paling mudah dan akurat dalam usaha modernisasi dibandingkan dengan yang lainnya. Pendidikan akan mendorong berkembangnya intelegensi serta karsa, karya cipta masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan.1 Itu artinya untuk mengadakan perubahan (pembaharuan) dalam masyarakat, yang menjadi kuncinya adalah pendidikan. Oleh
karena
mengembangkan
itu,
Muhammad
Abduh
yang
secara
tegas
telah
pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual memiliki
signifikansi yang kuat untuk tetap dikaji. Persoalan berkait sikap intelektualitas itu tidak hanya melibatkan persoalan kelembagaan pendidikan saja, akan tetapi juga sikap mental yang dipengaruhi oleh budaya dan tata nilai dari sebuah masyarakat. Dari sini jelas dan dapat dipastikan bahwa pendidikan memiliki peran yang signifikan dalam menumbuh kembangkan intelektualitas umat Islam lewat jalur pendidikan. Konsepsi dasar pembaharuan (modernisasi) adalah mengubah tatanan lembaga pendidikan tradisional menjadi lembaga pendidikan modern. Bisa dikatakan Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh cendekia yang memiliki keilmuan lengkap. Terbukti banyak para peneliti yang mengkaji sisi-sisi kehidupan maupun khazanah pemikiran beliau dari berbagai sudut pandang keilmuan. Diantaranya adalah kajian telah dilakukan secara mendalam oleh Harun Nasution. Bukunya yang berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, merupakan bagian dari hasil penelitian mendalam itu. Penelitian yang menyoroti bagaimana pemikiran politik Muhammad Abduh dilakukan oleh ‘Abd al-A’tha Muhammad, dengan kitabnya yang berjudul AlFikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh (pemikiran Politik Muhammad Abduh). Dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya. Dalam Tulisan ini penulis khusus menyoroti pemikiran bidang pendidikan Muhammad Abduh, Fokus kajiannya adalah pada tiga persoalan yaitu mengenai
1
Syafi’I Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia (Bandung: Mizan, 1994) , 40
2
tujuan, kurikulum, dan metodologi pendidikan (Islam) menurut Muhammad Abduh. Biografi Muhammad Abduh Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, sebuah perkampungan subur di propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bemama Abduh bin Hasan Chairullah seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Yatimah binti Utsman al-Kabir yang mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar Ibn al Khatab. Pendidikan masa kanak-kanaknya (seperti menulis dan membaca) ia dijalani dalam lingkungan keluarga. Baru, setelah menginjak usia 10 tahun sang ayah mengirimnya untuk belajar al-Qur’an di Masjid Ahmadi kota Thanta (yang terkenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an). Sejak kecil bibit seorang kritikus sekaligus pemikir telah melekat pada dirinya. Hal ini ia tunjukkan kala ia melakukan reaksi keras terhadap metode pengajaran ditempat ia belajar yang hanya mementingkan hafalan saja, dan tidak diikuti dengan pemahaman, maka iapun akhirnya memutuskan untuk kembali kampung halamannya di Nasr. Namun, berkat dorongan orang tua dan bimbingan dari Syeikh Darwisy, paman ayahnya, Muhammad Abduh mulai tertarik mengkaji disiplin keislaman, dan juga kembali belajar di Thanta.2 Kekecewaan atas metode yang hanya mementingkan hafalan saja dan tidak diikuti dengan pemahaman juga ia rasakan ketika belajar di Universitas Al-Azhar di Cairo tahun 1866. Setelah kembali berkonsultasi dengan Syeikh Darwisy, akhirnya ia sedikit mendapatkan pencerahan. Muhammad Abduh disarankan untuk mempelajari disiplin ilmu lain yang tidak diajarkan selama ini seperti logika, matematika dan filsafat. Melalui kajian-kajian demikian inilah konstruk berfikir Muhammad Abduh mulai terbangun. Pengaruh intelektual paling besar pada Muhammad Abduh terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839-1897M). Muhammad Abduh begitu antusias mengikuti materi kuliah dan ceramah-ceramah yang diberikannya. Dan bahkan secara pribadi Muhammad Abduh banyak belajar dari al-Afgani terutama dalam bidang kajian filsafat,
2
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, (Jakarta; UI Press, 1987), 11
3
logika, ilmu kalam serta wawasan sosial politik3. Pada decade 1877 Abduh berhasil menamatkan studinya di Al-Azhar dengan predikat gelar kesarjanaan 'alim. Gelar kesarjanaan alim ini memberikan hak bagi dirinya untuk mengajar di Universitas tersebut. Konon, kelulusan Abduh sangatlah controversial. Bahkan sampai melibatkan rector pada waktu untuk dalam proses kelulusannya. Hal ini dipicu oleh adanya jurang perbedaan pendapat yang begitu dalam dengan para pengujinya. Selain mengajar mata kuliah ilmu kalam dan logika di al-Azhar, Muhammad Abduh juga diangkat sebagai Dosen tetap di Universitas Dar-al-Ulum dan perguruan Bahasa Khedevi pada tahun 1879. Disini ia mengajar ilmu kalam, sejarah ilmu politik dan kesusasteraan arab. Dalam mengajar Muhammad Abduh menggunakan metode diskusi untuk mempercepat proses transformasi intelektual para anak didiknya. Selain penguasaan ilmu pengetahuan, Abduh juga menekankan para mahasiswanya agar tanggap terhadap situasi sosial-politik yang sedang berkembang dan kalau perlu mengoreksinya.4 Pada tahun 1880, ketika Pasha menjabat sebagai Perdana Menteri Riyadh, Abduh menjabat sebagai salah seorang Redaktur surat kabar/media pemerintah, Al-waqai’ al-Mishriyyah, tak lama kemudian karirnya pada dunia media ini menghantarkan dia pada sebuah jabatan ketua editor. Atas pengaruh gurunya yaitu Jamaludin al Afghani, Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik. Saat mesir dibawah dominasi inggris dan perancis Abduh dalam perannya sebagai seorang politikus berusaha membangkitkan semangat tanah air rakyat Mesir, yang selanjutnya usaha itu ia organisasikan dalam bentuh wadah organisasi politik yang bernama Partai Nasional Mesir.5 Namun karirnya pada dunia politik ini tidaklah berjalan mulus. Karena keterlibatannya dalam pemberontakan Ahmad Urabi Pasya pada tahun 1882 yang gagal, Abduh dibawa ke pengadilan dan akhirnya harus diasingkan di Beirut (Syiria).6 Hidup dipengasingan ternyata tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkarya dan meneruskan cita-cita perjuangannya. Pada tahun 1884, ia bersama Afghani mendirikan majalah al Urwah al Wustha walaupun umurnya
3
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, ( Jakarta; Bulan Bintang, 1992), Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), 20 5 Ibid 6 Ibid 4
4
tidak lama. Larangan pemerintah koloniallah yang memaksa majalah ini berumur pendek, hanya mampu terbit sebanyak 18 edisi dalam jangka waktu delapan bulan.7 Pada tahun 1888 Abduh kembali ke Mesir, dan ia diangkat sebagai hakim, kemudian berlanjut menjadi penasehat hukum Mahkamah Agung tahun 1890. Pada selalng waktu 5 tahun berikutnya ia mewakili pemerintah diangkat sebagai anggota Dewan Pimpinan al-Azhar. Pada posisi inilah Abduh menyuarakan pembaruan-pembaruan di al Azar. Namun agaknya ia tidak mendapatkan tempat disana. Puncak karirnya adalah dikala ia diangkat menjadi Mufti besar pada 3 Juni 1899. Akhirnya setelah mengalami sakit beberapa lamanya Muhammad Abduh meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905. Pemikiran Teologi Muhammad Abduh Sebelum kita melangkah lebih jauh membahas serta memetakan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan, maka sekilas akan kami singgung cara pandang Muhammad Abduh dalam kajian teologi. Hal ini kami pandang perlu, mengingat pandangan teologi ini sedikit banyak akan berpengaruh pada pandangan dunia Muhammad Abduh terhadap kajian-kajian keilmuan yang lainnya termasuk pendidikan. Abduh bergitu luar biasa mengapresiasi terdahadap daya akal manusia. Ia mempercayai bahwa dengan akalnya manusia memiliki kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (qadariyah). Dalam karyanya Risalah Tauhid, Abduh mengemukakan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan serta usahanya sendiri, tentunya dengan tidak melupakan bahwa diatasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk berfikir dan berikhtiar dalam segala amal perbuatannya menurut petunjuk pikirannya.8 Abduh menegaskan bahwa "tak satu pun yang dapat membawa paksaan bagi manusia untuk beramal". Yang pasti, segala perbuatan manusia akan menimbulkan konsekuensi, yaitu apabila perbuatan itu baik, maka akan mendaptkan pahala.
7 8
Ibid, 21 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, 41-65
5
Sebaliknya, jika perbuatan itu buruk atau jahat sudah barang tentu pelakunya akan mendapatkan siksa. 9 Wahyu dalam kerangka berfikir Abduh memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah sebagai penolong akal dalam mengetahui alam akhirat. Suatu keyakinan bahwa jiwa akan tetap kekal seiring dengan matinya tubuh serta akan adanya hidup kedua sesudah hidup pertama bukanlah hasil dari perenungan akal fakir manusia, melainkan informasi dari wahyu. Selanjutnya fungsi wahyu kedua yaitu membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakn kewajibankewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji dan sebagainya. Wahyu juga menjelaskan kepada manusia cara beribadah dan berterima kasik kepada Tuhan. Hanya Allah yang Maha Tahu megenai sesuatu perbuatan itu disebut baik atau buruk. Disinilah fungsi wahyu menguatkan akal manusia dengan melalui sifat sacral dan absolute wahyu.10 Berkenaan sifat Tuhan, Abduh memiliki pendapat bahwa Tuhan tidak bersifat. Baginya (selaras dengan padangan mu'tazilah) sifat adalah termasuk esensi Tuhan. Andai Tuhan masih memerlukan sesuatu di luar dzarnya yakni sifat-sifatnya, maka sudah barang tentu terdapat sesuatu yang lebih tinggi dari pada dzat Tuhan. Dan kalau demikian adanya, maka Tuhan merupakan dzat yang tidak sempurna.11 Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Dalam merumuskan tujuan pendidikan, Muhammad Abduh
selalu
menghubungkan antara tujuan yang satu dengan yang lainnya, dalam hal ini adalah baik tujuan akhir pendidikan maupun tujuan institusional. Pokok pikirannya tentang tujuan institusional pendidikan didasarkannya kepada tujuan pendirian sekolah. Ia membagi jenjang pendidikan kepada tiga tingkatan, yaitu Tingkat Dasar (mubtadiin) Tingkat Menengah (tabaqat al-wusta). Tingkat Tinggi (tabaqat al-‘Ulya). Pembagian ini disesuaikan dengan adanya tiga kelompok masyarakat di lapangan pekerjaan yang berbeda, mereka adalah kelompok para tukang, pedagang, petani dan yang serupa dengan mereka. Kedua adalah para pejabat aparatur Negara, seperti panglima angkatan bersenjata, pengadilan beserta 9
Ibid, 51 Ibid, 121 11 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi, 71-74 10
6
pegawainya dalam berbagai golongan. Ketiga adalah golongan para ulama, pemimpin masyarakat dan ahli pendidikan seperti guru dan lainnya. a. Pendidikan Tingkat Dasar, tujuan institusionalnya adalah pemberantasan buta huruf, sehingga mampu membaca dan dapat berkomunikasi melalui tulisan. Selain itu juga diharapkan mereka bisa berhitung yang menunjang kegiatan mereka sebagai petani, pedagang, pengusaha, pegawai maupun sebagai guru dan pemimpin. Disamping anak bisa menulis, membaca dan berhitung diharapkan agar setelah anak didik menyelesaikan studinya di sekolah tingkat dasar juga sudah mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan agama yang kuat dan dapat pula mengamalkan pokok-pokok ajaran agama, sesuai dengan kemampuan intelektualnya.12 b. Pendidikan Tingkat Menengah, bertujuan untuk mendidik anak agar nanti mereka dapat bekerja sebagai pegawai pemerintah, baik sipil maupun militer. Mereka diharapkan oleh negara untuk menjadi orang-orang yang dipercaya dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Misalnya tentara, mereka dipersiapkan untuk menjadi prajurit yang tangguh yang memanggul senjata dan dengan berani menghadapi musuh. Untuk hakim, mereka dipersiapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus pertikaian yang terjadi dalam masyarakat serta mampu menghasilkan produk hukum secara adil berdasarkan undang-undang. Lulusan tingkat menengah ini diharapkan dapat mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan umum disamping kepentingan mereka sendiri serta berusaha untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.13 c. Pendidikan Tingkat Tinggi, bertujuan untuk mencetak tenaga guru dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkualitas. Mereka-mereka yang telah berhasil menyelesaikan studinya di sekolah tingkat tinggi ini nantinya diharapkan dapat menjadi guru untuk seluruh jenjang pendidikan. Selain menjadi guru, mereka juga diharapkan dapat membina kesejahteraan masyarakat.14
12
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Kalam Mulia, 2010), 293 Ibid, 293 14 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta; PT Bulan Bintang, 1989), 158 13
7
Dilihat kepada tujuan pendidikan yang dirumuskan Muhammad Abduh di atas dapat dikatakan, bahwa ia sudah merancang suatu tujuan yang baru yang belum ada pada waktu itu. Dari situ juga dapat ditarik benang merah bahwasannya tujuan pendidikan agama yang pada awalnya berorientasi pada pencapaian kebahagiaan akhirat an sich, melalui pendidikan jiwa dirobah oleh Muhammad Abduh dengan menambah orientasinya kepada mencapai kebahagiaan di dunia melalui pendidikan akal. Oleh karena itu Muhammad Abduh sangat mengutamakan pendidikan akal bagi umat Islam dan khususnya anak didik. Ia beranggapan bahawa tanpa adanya akal yang terdidik tidak akan bisa mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan, bahwa peningkatan daya akal merupakan salah satu pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan serta kebahagiaan bangsa.15 Selain pendidikan akal, Abduh juga menekankan pentingnya pendidikan jiwa, atau pendidikan moral spiritual, yaitu menanamkan nilai-nilai agama kepada anak didik, agar mereka mau mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat. Kurikulum Pendidikan Muhammad Abduh merumuskan kurikulum
berdasarkan tingkatan-
tingkatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yaitu tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam penyusunan materi (kurikulum) ini ia selalu merujuk kepada tujuan pendidikan yang titik sentralnya untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam ke arah pengembangan yang seimbang antara akal dan jiwa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun materi kurikulum yang ditawarkannya adalah: a. Akidah Islam, yaitu berupa ringkasan akidah Islam yang disepakati oleh Ahl alSunnah, bukan akidah yang mengandung kontradiktif antara golongan. Penyajian pelajaran harus berdasarkan kepada al Quran dan hadis. Selain akidah Islam sebagai perbandingan diajarkan pula akidah Kristen beserta kekacauan dan kesamaran ajarannya. Dengan cara demikian diharapkan anak 15
Muhammad Abduh, al Islam wa al Nashraniyyah fi al Ilm wa al Madaniyyah, (terjmh; Mahyuddin Syaf dkk, Jakarta; Banduung, 1992), 168
8
didik dapat tumbuh keyakinannya terhadap kebenaran ajaran Islam dan menolak ajaran Kristen.16 Tujuan pembelajaran akidah Islam adalah, Pertama: untuk menghindari terjadinya perbedaan akidah umat Islam. Terutama bagi masyarakat awam. Tujuan tersebut dapat dilihat dari pokok bahasan yang dikemukakannya yaitu, mengajarkan akidah menurut versi ahl al-Sunnah. Agaknya dijadikannya akidah ahl al-Sunnah sebagai pelajaran dasar, karena akidah tersebut dianut oleh mayoritas masyarakat muslim di Mesir. Ditekankannya akidah tersebut bagi anak didik tingkat dasar, karena pada tingkat dasar mereka belum banyak mempunyai ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisa, sehingga kalau diajarkan akidah yang diperselisihkan oleh ulama mereka akan bingung dan bimbang dalam menyakini akidah Islam, disamping dikhawatirkan akan munculnya perpecahan keyakinan yang membawa perpecahan umat Islam.17 Kedua dapat dilihat dari pokok bahasan berikutnya yaitu dengan mengajarkan akidah Kristen serta kekacauan dan kesamaran ajarannya. Barangkali dari materi ini Muhammad Abduh bertujuan untuk mencegah terjadinya Kristenisasi dan menanamkan kayakinan pada anak didik tentang kebenaran ajaran agama Islam, mengingat dunia Islam di penghujung abad ke XIX sudah dimasuki oleh penjajah Barat yang beragama Kristen, meskipun kedatangan mereka dengan motif ekonomi dan politik, namun secara tidak langsung motif agama akan terbawa juga. Mereka mulai mengembangkan ajaran-ajaran Kristen melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan. Ketiga adalah membiasakan anak didik untuk merujuk kepada sumber asli ajaran Islam, yaitu al Quran dan hadis nabi. Dengan membiasakan mereka untuk melihat sesuatu kepada sumber aslinya, maka untuk masa selanjutnya mereka tidak akan terikat kepada salah satu mazhab dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh Islam. Dengan demikian, akan menjauhkan anak didik dari sifat taklid dan fanatik terhadap aliran tertentu. b. Fiqih dan Akhlak. Pada tingkat dasar ini pelajaran fiqih meliputi masalah halal dan haram, ibadah yang asli dengan ibadah yang bid’ah serta masalah wajib dan sunat. Semua materi harus berdasarkan pada al-Qur’an, hadis dan pendapat 16 17
Muhammad Abduh, al Islam wa al Nashraniyyah fi al Ilm wa al Madaniyyah,.. Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, 157
9
sahabat. Dari sumber materi pelajaran fiqih di atas terlihat Muhammad Abduh tidak berpegang kepada pendapat mazhab. Dalam pelajaran akhlak diajarkan tentang akhlak terpuji dan akhlak tercela.18 Tujuan diajarkan materi tersebut adalah untuk menumbuhkan rasa kesadaran dari diri anak didik bahwa mereka adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai makhluk yang diciptakan mereka diberi kebebasan dan batas-batas tertentu. Oleh karena itu mereka harus tunduk dan patuh kepada perintah dan larangan yang telah ditetapkanNya. Jadi dengan mengajarkan materi tentang halal, haram, wajib, sunat, dalam hal fiqih, maka dengan pendidikan akhlak terpuji anak didik akan sadar bahwa dalam kehidupan ada hal-hal yang harus mereka lakukan dan ada pula larangan-larangan yang tidak boleh mereka langgar. 1. Sejarah Islam. Pelajaran sejarah Islam pada tingkat tersebut ini disajikan dalam bentuk ringkasan, sehingga anak didik dapat mengerti dan memahaminya dengan baik sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dan tingkat pendidikan yang mereka duduki.19 Dalam kurikulum
tingkat
menengah Muhammad Abduh menawarkan beberapa mata pelajaran yang harus diajarkan pada anak didik, yaitu Ilmu logika (fann al mantiq), dasardasar penalaran (usul al nazari) dan ilmu debat atau diskusi (adab al jadal), ketiga pelajaran di atas tidak dapat dipisahkan, namun sebagai dasarnya adalah ilmu logika.20 Namun Muhammad Abduh tidak menjelaskan apa tujuan diajarkannya ilmu tersebut. Dengan demikian, pada
tingkat
menengah
ini
Muhammad
Abduh
telah
memulai
mengarahkan pendidikan Islam ke arah pendidikan akal, yaitu melatih anak didik atau membekali mereka dengan ilmu-ilmu yang mengajak kepada berfikir kritis, dengan begitu, maka sikap taqlid yang sudah menyebar tidak akan merembes kepada anak didik sebagai generasi muda. Untuk pelajaran Akidah Islam, materi yang diberikan hampir sama dengan tingkat dasar dan belum menjangkau perbedaan pendapat para ushuliyyin. Hanya saja pada tingkat ini ditambahkan pokok bahasan tentang peranan akidah Islam dalam rangka membentuk suatu kehidupan 18
Ibid, 157 Ibid, 157 20 Ibid, 157 19
10
modern tanpa meninggalkan kesejahteraan akhirat. Sedangkan pada tingkat menengah, anak didik sudah diajak mempergunakan akal dalam menganalisa sesuatu yang harus diyakini kebenarannya. Kemudian dengan mempergunakan akal, para anak didik harus bisa melihat hubungan akidah Islam dengan kehidupan modern tanpa mengorbankan ajaran agamanya. Agaknya dari materi-materi yang ditawarkan, Muhammad Abduh barharap agar anak didik nanti bisa melihat hubungan akidah Islam dengan kehidupan modern dan yakin bahwa Islam itu adalah agama untuk seluruh zaman dan untuk seluruh umat, Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Pada tingkat menengah, pelajaran
fiqih dan akhlak hanya
memperluas materi yang diberikan pada tingkat dasar. Materi yang diberikan lebih ditekankan pada, kegunaannya, terutama dalam masalah akhlak. Misalnya, kegunaan berakhlak mulia dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua materi diberikan berdasarkan dalil-dalil yang sahih
dan
menurut
praktek ulama
al Salaf
al Shalih.
Muhammad Abduh juga tidak menjelaskan apa tujuan dari pelajaran ini, cuma berdasarkan kepada pokok bahasan yang ditawarkannya, barangkali selain melanjutkan tujuan pada tingkat dasar yang telah diuraikan terdahulu, maka pelajaran ini juga bertujuan untuk membuka cakrawala berfikir anak didik terhadap ilmu agama agar mereka jangan hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tanpa melihat kepada dalil, hikmah dan pengaruh dari ajaran tersebut. Dalam pelajaran Sejarah Islam, pokok bahasan yang harus diajarkan adalah sejarah kehidupan Nabi, sabahat dan penaklukan yang dilakukan dalam beberapa abad sampai pada khalifah Usmaniyah. Semua penaklukan tersebut, menurut Muhammad Abduh harus dipandang dari aspek agama, sekiranya terdapat motif politik dalam materi pelajaran sejarah Islam ini maka dibelakang motif tersebut agama. Muhammad Abduh tidak menjelaskan apa tujuan pokok bahasan tersebut. Barangkali ia ingin menjauhkan anak didik dari prasangka-prasangka jelek, dimana Islam mengadakan penaklukan-penaklukan untuk memperluas kekuasaan dan
11
memperkaya diri dengan harta rampasan perang dan pajak bumi. Agaknya ia juga ingin menanamkan semangat juang yang murni dan ikhlas kepada anak didik tanpa ada embel-embel lain kalaupun ada aspek politiknya, aspek politik tersebut hanya untuk kepentingan penyebaran agama.21 Sedangkan pada kurikulum Pendidikan Tinggi, Muhammad Abduh menawarkan materi-materi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Hadts, Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasardasar Diskusi, dan Ilmu Kalam. Muhammad Abduh mengatakan, di dalam al-Qur’an terdapat rahasia-rahasia kesuksesan umat Islam terdahulu. Oleh karena itu agar
umat Islam sekarang bisa sukses, mereka harus
mempelajari secara mendalam tentang al-Qur’an al-Karim beserta metode penafsirannya, serta ilmu-ilmu alat lain.
Sedangkan dalam pelajaran
hadits, Muhammad Abduh lebih menitik beratkan pembahasan tentang hadis sahih dan hadis da’if. Barangkali diajarkannya materi ini agar mahasiswa tahu mana hadis yang sahih dan mana hadis yang da’if. Dengan mengetahui hal tersebut, mahasiswa yang akan menjadi guru nantinya bisa menafsirkan al-Qur’an dengan benar sesuai dengan tuntutan hadis yang benar pula. Disamping itu mereka juga akan mampu memberikan keputusan-keputusan hukum serta petunjuk-petunjuk agama kepada muridmuridnya dan masyarakat sesuai dengan tuntutan agama. Bahasa Arab yang ditawarkan Muhammad Abduh meliputi nahu, sarf, ma’ani, badi’bayan, sejarah jahili. Hal ini dimaksudkan karena alQur’an dan hadis sebagai sumber dasar ajaran Islam disampaikan dalam bahasa Arab dengan uslub dan gaya bahasa yang tinggi. Untuk mengerti bahasa al-Qur’an orang harus tahu bahasa arab secara baik, baik dari segi tata bahasa, gaya bahasa sastra dan lain sebagainya.22 Untuk pelajaran usul al-fiqh, Muhammad Abduh menyarankan agar membaca kitab al Muwafaqat karangan al Syatibi. Kitab al Mmuwafaqat adalah kitab usul yang banyak membahas tentang masalah maqasid al syariah (dharurinyat, hajjiyat dan tahsiniyat). Dalam memberikan suatu keputusan hukum al Syattibi lebih banyak memakai teori al mashalih al 21 22
Ibid, 158 Muhammad Abduh, al Islam wa al Nashraniyyah, 144
12
mursalah (melihat kepada kepentingan masyarakat). Al Syatibi dalam menetapkan sesuatu hukum selalu merujuk kepada al-Qur’an dan hadis serta melihat kepada kebutuhan manusia yang mengalami perobahan sepanjang zaman. Dengan melihat pola fikir al Syatibi ini, Muhammad Abduh berharap kalau seandainya mahasiswa mau meneladani pola pikir tersebut tentu mahasiswa akan mampu menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan al Qur’an dan hadis serta sesuai pula dengan tuntutan zaman. Dengan demikian sikap taklid dapat dihapuskan dari generasi muda Islam. Dalam pelajaran Akhlak, Muhammad Abduh mewajibkan anak didik mempelajari kitab Ihya ‘Ulum al Din
karya Iman al-Gazali. Untuk
pelajaran akhlak pada sekolah tinggi ini, Muhammad Abduh juga tidak banyak komentar, hanya menyatakan bahwa untuk pelajaran akhlak mahasiswa diharuskan membaca kitab Ihya ‘Ulum al Din Karya Iman al Gazali. Melihat kepada permasalahan-permasalahan yang dikemukakan oleh al Gazali, dapat dikatakan bahwa tujuan diajarkan buku tersebut kepada mahasiswa agar mereka mengetahui mana akhlak yang terpuji serta dapat menirunya dan menjauhkan diri dari akhlak tercela. Disamping itu juga diharapkan agar mereka mengetahui segala bahaya yang akan ditimbulkan oleh akhlak tercela tersebut serta menghalangi dan membersihkan diri dari padanya.23 Yang dibahas dalam pelajaran
sejarah adalah sejarah kehidupan
Nabi dan sahabat-sahabatnya, sejarah peralihan penguasa-penguasa Islam, sejarah kerajaan Usmaniyah dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam ke tangan penguasa-penguasa lain dengan menyebutkan penyebabnya, baik klasik maupun modern.24 Pengajaran pelajaran Retorika dan DasarDasar Diskusi dimaksudkan oleh Muhammad Abduh untuk memantapkan pemahaman dalam fikiran dan jiwa anak didik, serta dapat mengamalkan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari. lapangan
Sedangkan dalam
ilmu kalam Muhammad Abduh lebih menitik beratkan
pembahasannya tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan
23 24
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, 158 Ibid , 158
13
perbedaan pendapat para ulama ilmu kalam berikut dalil-dalil yang dijadikan pegangan dalam mendukung pendapat mereka. Metode Pendidikan Ada dua aspek metodologi pendidikan yang banyak dibicarakan Muhammad Abduh, yaitu metodelogi dalam bentuk mikro (metode mengajar) dan bentuk makro (metodologi sebagai satu sistem). Metodologi mikro atau metode mengajar sangat berkaitan erat dengan tujuan pendidikan, dan tujuan pendidikan inilah yang dipakai oleh setiap guru sebagai petunjuk untuk memilih serangkaian metode yang efektif dalam mengajar. Menurut Muhammad Abduh, cara belajar di Thanta dan di al Azhar, di mana anak didik dilatih untuk membaca dan menghafal kitabkitab tertentu, yang terdiri dari matan, syarah yang ditulis oleh beberapa orang penulis, tanpa memahami akan isi kandungan. hanya mengajarkan kitab bukan mengajarkan ilmu. Dilihat dari segi ketrampilan membaca dan hafalan metode membaca ini memang menguntungkan, karena siswa akan bisa menyerap semua materi yang diberikan. Tetapi metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan seperti: menghambat bakat dan inisiatif anak didik, menimbulkan verbalistis pada anak didik. Oleh karena itu, Muhammad Abduh ingin menerapkan metode baru, yaitu metode yang dipergunakan oleh pamannya Syeikh Darwisy dan gurunya Jamaluddin al Afgani, yaitu metode pemahaman konsep, yaitu mengajar dengan cara menjelaskan maksud teks buku yang dibaca. Sehingga anak didik memahami maksud apa yang dipelajarinya dan tidak merasa bosan untuk belajar, dan metode tanya jawab antara murid dengan guru tentang sesuatu pelajaran yang belum dimengerti oleh anak didik, sehingga mereka merasa puas dan bisa memahami teks yang ia baca.25 Menurut Muhammad Abduh, bahwa langkah yang ditempuh Jamaluddin al Afghani dalam mengajar adalah mula-mula ia menjelaskan makna suatu masalah sampai jelas dan dapat dipahami oleh anak didik, kemudian dipraktekkannya dengan benar pula tata caranya sehingga memuaskan mereka. Jadi cara mengajar Jamaluddin al Afghani lebih diarahkan kepada pembahasan isi kitab. Yaitu : metode pemahaman konsep, sebagaimana juga dipraktekkan oleh Syekh Darwisy. 25
Ibid, 159
14
Menurut Rasyid Rida, Muhammad Abduh juga menerapkan kedua metode mengajar gurunya itu. Mula-mula ia membaca matan kitab, kemudian menjelaskan pengertian matan tersebut secara ringkas. Setelah itu ia memberikan kesempatan untuk bertanya kepada anak didik untuk bertanya. Sedangkan dihubungkan dengan masalah-masalah ilmiah, sehingga terkesan bahwa pelajaran tersebut seolah-olah pelajaran logika.26 Kedua metode itulah yang dapat mendukung
pencapaian
tujuan
pendidikan
yang
diinginkannya,
yaitu
pengembangan kemampuan intelektual anak didik, karena dengan metode tersebut akan memupuk keberanian anak didik untuk mengemukakan pendapat dan membantah pendapat orang lain jika tidak sesuai dengan pendapatnya. Jika diperhatikan metode yang dipakai Muhammad Abduh dalam mengajar adalah untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkannya, yaitu pengembangan kemampuan intelektual anak didik, karena dengan metode tersebut akan memupuk keberanian anak didik untuk mengemukakan pendapat dan membantah pendapat orang lain jika tidak sesuai dengan pendapatnya. Hal inilah yang membuat Muhammad Abduh ingin merubah metode mengajar yang dipergunakan pada waktu itu dengan metode yang lebih kompleks dan efektif.27 Selain memakai metode tersebut diatas ia juga mengembangkan metode latihan dan pengalaman, metode keteladanan dan cerita. Karena menurutnya anak didik perlu dilatih untuk beribadah, bahkan perlu guru harus memperagakannya di depan kelas sebagai contoh pelaksanaan ibadah shalat. Disamping menggalakkan metode keteladanan, dalam upaya penanaman nilai-nilai moral pada guru agar perbuatan mereka dapat dijadikan panutan bagi anak didik. Oleh karena itu Muhammad Abduh memberikan kriteria yang ketat dalam pemilihan kepala sekolah dan guru. Mereka harus orang yang melaksanakan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama makluk. Untuk mendukung metode tersebut diatas dipadukannya dengan metode cerita yaitu dengan memberikan materi sejarah tentang kisah-kisah perjalanan dan perjuangan Nabi, sahabat, tabi’in dan ulama-ulama terdahulu. Metode ini bertujuan membangkitkan semangat untuk memberikan dorongan psikologis kepada anak didik. 26 27
Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, 33 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 294
15
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Muhammad Abduh bukan saja bertujuan untuk mengembangkan intelektual anak didik saja, tetapi juga pengembangan jiwa serta moral spiritual mereka, karena akhlak yang mulia merupakan syarat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jadi sistem yang ditawarkan Muhammad Abduh diatas, telah mencakup aspek kognitif, afektif dan psikhomotor yang didasarkan kepada kesadaran, ketelitian dan tepat dalam melaksanakan tugas pengajaran. Dalam metode yang ditawarkan Muhammad Abduh, tampaknya guru masih menempati posisi yang penting dalam proses belajar mengajar. Sedangkan metodologi pendidikan makro dalam tulisan ini adalah metodologi pendidikan sebagai satu sistem, yaitu suatu kesatuan organisasi yang dinamis dimana antara satu sama lain saling mempengaruhi. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan merupakan satu organisasi yang terdiri dari individuindividu yang bekerja sama, saling membutuhkan. Organisasi biasanya terdiri dari pemimpin (kepala sekolah) yang beranggotakan para guru dan tenaga administrasi. Oleh karena itu selain diadakan perbaikan dan pembaharuan di bidang tujuan, kurikulum dan metode mengajar, maka organisasi pendidikan juga perlu mendapatkan perbaikan serta perobahan yang mengacu kepada pembaharuan. Muhammad Abduh sebagai seorang yang telah banyak berbicara tentang masalah pendidikan tidak lupa merencanakan perobahan-perobahan dan perbaikan pada organisasi pendidikan sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam.Dalam hal ini ada dua hal yang menjadi pusat perhatian Muhammad Abduh yaitu pimpinan sekolah dan guru. Menurut Muhammad Abduh, seorang pimpinan sekolah harus mempunyai kepasitas pemikiran yang sesuai dengan tujuan kurikulum, memahami agama dan melaksanakan ajaran agama tersebut secara konsekuen, ahli dalam bidang ilmu pengetahuan modern, disenangi oleh masyarakat, dan harus mampu mengadakan pengontrolan dan perbaikan. Dari syarat yang diajukan Muhammad Abduh diatas, ia sangat mengharapkan agar yang menjadi pimpinan sekolah-sekolah Islam adalah para cendikiawan muslim yang menguasai ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang berfikiran luas dan bisa menerima ilmu pengetahuan
16
modern sebagai salah satu bagian dari ilmu pengetahuan Islam. Ia mengharapkan suatu sekolah dipimpin oleh orang-orang yang punya jiwa kepemimpinan, yang mampu mengadakan konsolidasi keluar dan kedalam, sehingga terjalin kerjasama yang baik antar anggota organsasi dan pihak lainnya yang terkait demi kelancaran operasional pendidikan. Selain kepala sekolah, guru adalah komponen penting
dalam sistem
pendidikan (makro). Sebagaimana pada kepala sekolah, Muhammad Abduh juga menetapkan kriteria guru secara ketat. Baginya, seorang guru harus orang yang melaksanakan ajaran agama dengan baik, berakhlak dan mempunyai kemampuan mendidik, layak menangani tugas pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah digariskan tercapai, harus mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh muridnya, baik dalam aspek perkembangan kecakapan maupun keseriusannya dalam belajar, kehadiran dan akhlaknya.28 Muhammad Abduh tidak hanya menuntut tanggung jawab dari guru, tetapi ia juga memikirkan kebutuhan guru dalam menghidupi rumah tangganya. Untuk itu ia meningkatkan gaji guru dari biasanya. Dengan demikian diharapkan guru punya semangat mengajar yang tinggi dan tidak lagi memikirkan pemasukan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta mencurahkan perhatian sepenuhnya terhadap tugasnya sebagai seorang pendidik. Muhammad Abduh dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tidak membicarakan masalah administrasi, hanya menyebutkan
bahwa guru mempunyai tugas rangkap,
disamping ia bekerja sebagai pendidik, guru juga dituntut untuk mengelola administrasi. Tugas tersebut tidak dijelaskan oleh Muhammad Abduh secara rinci, apakah mengelola perkantoran atau mengelola administrasi pendidikan. Selain itu Muhammad Abduh juga tidak melupakan unsur lain yang terkait dan turut bertanggung jawab terhadap pendidikan, seperti orang tua murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa ada kerjasama dengan unsur-unsur di atas maka tujuan pendidikan tidak akan terwujud. Penyatuan Ilmu Agama dan Umum dalam Pendidikan Apabila dualisme dipahami sebagai sebuah yang serba dua, maka dualisme dalam konteks pendidikan mencakup pengertian adanya dualisme dalam materi 28
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, 159
17
pendidikan dan praktek-praktek pendidikan.29 Gagasan Muhammad Abduh yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme, menurutnya, dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.30 Abdul Mun’in Hamadah mengemukakan bahwa salah satu
agenda
pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah perlunya perluasan dalam kajian pengetahuan. Gagasan ini kemudian diwujudkan dalam berbagai macam rekomendasi tentang perlunya memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu alam, ilmu pasti maupun kesusastraan. Keinginan Muhammad Abduh untuk mendekatkan kembali
dari berbagai macam pandangan yang
dikotomis, seperti dikotomi agama dan ilmu pengetahuan, pendidikan agama dan pendidikan umum, dengan mengemukakan fakta sejarah tentang bagaimana umat Islam pertama kali mengembangkan pemikiran Yunani menjadi filsafat Islam lewat proses hellenisasi. Kemudian umat Islam mampu meletakkan dasar-dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Sikap penolakan terhadap dimasukkannya ilmu-ilmu umum tersebut pada dasarnya merupakan salah satu akibat dari kondisi statis yang masih melanda umat Islam sehingga terjadi penyempitan pola pikir umat Islam. Dan dampak lebih lanjut dari stagnasi pemikiran akan merambah pada aspek-aspek kehidupan yang lain.
Secara rinci Muhammad Abduh menyebut bahwa sikap statis
berdampak pada akidah, syariah, pendidikan dan juga membahayakan persatuan umat.31
Kesimpulan Banyak ahli sejarah yang menempatkan Muhammad Abduh sebagai tokoh, baik tokoh dalam bidang teologi, tafsir bahkan sebagai tokoh pendidikan. Bahkan ia lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam yang sangat brilian. Dari serpihan-serpihan karyanya kita mampu melihat bahwa ia telah banyak melakukan pembaharuan di segala lini kehidupan. Termasuk diantaranya dalam hal 29
Ibid, 156 Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern, 33 31 Muhammad Abduh, al Islam Min al 'Ilmi wa al Madaniyyah, (tt; al Haiah al Misriyyah, tt), 151 30
18
pendidikan. Ia adalah pengusung rasionalisme serta penentang kejumudan. Pikiran-pikiran inilah yang ingin diwujudkan dalam ranah pendiikan, dengan tujuan kejayaan Islam yang mengarahkan manusianya untuk bahagia dunia akhirat. Pemikiran Muhammad Abduh ternyata sangat kompleks baik dalam bidang filsafat, tafsir maupun dalam bidang pendidikan yang kesemuanya masih dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk menyatakan penghargaan otentik kita terhadap tokoh setaraf Muhammad Abduh, tampaknya kita terus mengajaknya dialog dan berpikir mengenai perkembangan pendidikan masa depan. Menuju masa depan yang lebih gemilang harus dimulai dari langkahlangkah nyata walaupun kelihatannya kecil diatas landasan realitas yang kokoh, bukan langkah-langkah besar di atas angan-angan yang hampa dan kosong. Muhammad Abduh walaupun belum sempat merealisasikan pokok-pokok pemikirannya dikala ia masih hidup. Namun telah meletakkan fondasi yang kuat ke arah perbaikan pendidikan umat Islam, tinggal kita bagaimana meneruskan untuk menciptakan tatanan dunia pendidikan yang seimbang dan harmonis sesuai tuntutan dunia modern sekarang dan yang akan datang. Wallahu a’lam bi alshawab
19
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, al Islam Min al 'Ilmi wa al Madaniyyah, tt; al Haiah al Misriyyah, tt. _________, al Islam wa al Nashraniyyah fi al Ilm wa al Madaniyyah, (terjmh; Mahyuddin Syaf dkk, Jakarta; Banduung, 1992) _________, Risalah Tauhid, (terjmh; Firdaus, Jakarta; Bulan Bintang, 1992) Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, Jakarta; PT Bulan Bintang, 1989. Ma’arif, Syafi’I, Peta Intelektual Muslim Indonesia, Bandung: Mizan, 1994. Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, Jakarta; UI Press, 1987. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Kalam Mulia, 2010. Saefudin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Jakarta: PT Grasindo, 2003.
20