98
Konsep Fitrah Sebagai Pendidikan Humanis Nabi Muhammad SAW Oleh: Dicky Wirianto1
Abtrak
Penulisan Artikel ini bertujuan untuk menelusuri Konsep Pendidikan Humanis daripada Nabi Muhammad saw. Dalam artikel ini, pendidikan humanis yang dikemukakan bukanlah sebuah “ayatisasi” atau “hadisasi” lalu mencocokkan dengan pengertian humanis itu tersendiri. Pendidikan sebagai konsep dasar yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw diaplikasikan langsung oleh Nabi Saw melalui contoh/keteladanan di mana pada era sekarang ini konsep keteladanan menjadi barang langka dalam dunia Pendidikan saat ini. Konsep pendidikan humanis Nabi Muhammad dilakukan sejak awal tanpa adanya pembedaan ras, primordial bahkan ini berlaku secara universal sehingga kehadiran Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat terhadap alam semesta ini. Konsep dasar pendidikan humanis dengan melihat dan memerhatikan hakikat penciptaan manusia dan tujuan diciptakannya sehingga dengan adanya penjelasan ini maka maka dapat diketahui hakikat manusia itu sebenarnya sehingga tidak akan keluar dari hakikatnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Kata Kunci: Fitrah, Pendidikan, Humanis
1
Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Washliyah Banda Aceh
I.
PENDAHULUAN Ucapan, keperibadian dan perbuatan Nabi Muhammad Saw merupakan
pegangan dan uswah (teladan) bagi kaum Muslimin. Selain itu, sejarah perjuangannya dijadikan motivasi bagi umat Islam dalam melanjutkan dakwah menyebarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Oleh sebab itulah, siapa saja yang ingin mengetahui manhaj (metode) keberhasilan perjuangan, karakteristik, dan pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad Saw, maka hal ini dapat dipelajari secara komprehensif dalam sunnah al-Nabawiyah. Hadits Nabi Muhammad Saw, selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga berfungsi sebagai sumber sejarah dakwah (perjuangan) Rasulullah Saw. Hadits juga mempunyai fungsi sebagai penjelas (bayan) dalam penafsiran al-Qur’an menjelaskan yang global (mujmal), mengkhususkan yang umum dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.2 Oleh karena itu, mempelajari ilmu al-Qur’an mutlak dibutuhkan bagi intelektual Islam, guna menghadapi berbagai permasalahan actual yang terjadi saat ini, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan acuan dalam menjawab setiap permasalahan yang muncul saat ini.
II.
PEMBAHASAN
Pengertian Ulum al-hadits Menurut Hasbi ash-Shidieqy, ilmu hadits merupakan ilmu yang berkaitan dengan hadits. Mengingat ilmu yang berhubungan dengan hadits sangat banyak macamnya. Di antara ulama yang menggunakan sejarah ilmu hadits ialah ilmu al-hadits atau ilmu musthalah hadits. Ilmu-ilmu ini dibagi menjadi dua bagian:
2
Bustamin, Metodolog Kritik hadist, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hal.1
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
99
1.
Ilmu hadits Riwayah Ilmu yang mengetahui perkataan, perbuatan takrir dan sifat-sifat Nabi dengan kata lain ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan maupun takrir.
2.
Ilmu hadits Dirayah Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadits dirayah adalah keadaan matan, sanad, dan rawi hadits.3
Penyebaran Hadits Nabi SAW Para ulama dan peneliti lebih-lebih para pembaca umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa hadits Nabi Muhammad Saw tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti pendapat yang masyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin hadits adalah Ibnu Syihab al-Zuhri adalah kekeliruan pendapat yang mengatakan pertama sekali menulis hadits al-Zuhri. Berdasarkan data-data yang termaktub bahwa penulisan hadits sudah dimulai sejak Nabi Muhammad Saw masih hidup, dan hal itu berlangsung sampai kurun-kurun sesudahnya, namun hal ini tidak berarti menafikan bukti penyebaran hadits berdasarkan kekuatan hafalan.4 Dalam ilmu hadits Tahamulul Hadits wa ‘ada membahas tentang menerima dan memberi hadits dalam proses penyebaran hadits Nabi Saw.
3
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal.20 4 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 441
100
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
A. Memberi Hadits Perawi adalah orang yang memiliki peran sangat penting dalam mengutip hadits sekaligus isnadnya, dan dia bisa diterima atau ditolak tergantung pada cacat atau adilnya mereka, asal-usul dan latar belakang keluarganya serta mengenai lahir dan wafatnya. B. Menerima Hadits Para perawi umumnya cenderung menyampaikan hadits secara utuh berikut lafadnya. Menurut mereka, hal itu termasuk memperhatikan lafad Nabi. Hanya saja ada sejumlah ulama yang cenderung dengan sikap memudahkan dalam meringkas hadits. Dalam penyebaran hadits ada beberapa metode dan pendekatan yang digunakan pada saat itu di antaranya: a. Membaca Metode ini sesuai dengan firman Allah Swt yang pertama sekali diterima Nabi Saw yaitu: ( )اﻟﻌﻠﻖ Artinya: bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al‘Alaq) Ayat ini mengandung pengertian pentingnya membaca. Sehingga metode ini digunakan sebagai cara untuk menyebarkan Hadits Nabi Saw. Kegiatan membaca di sini adalah, seorang murid membaca di depan gurunya, baik secara hafalan maupun dengan melihat kitab. b. Mendengar Proses mendengar merupakan salah satu pendekatan dan metode penyebaran hadits di mana para sahabat pada masa itu mendengar hadits langsung baik pada Nabi, sahabat, tabi’in maupun tabi’tabi’in. c. Menghafal Hadits Nabi pada masa-masa Awal Abu Hurairah mengatakan bahwa ia selalu membagi satu malam menjadi tiga, sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk shalat dan sepertiga lagi untuk
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
101
menghafal hadits-hadits Nabi. Abu Musa al-Asy’ari dan ‘Umar bin alKhatab juga saling mengingatkan hadits sampai subuh.5 d. Menulis Hadits Sejak pertengahan abad pertama hijriah kitab-kitab hadits yang ditulis oleh para murid (tabi’in) mulai muncul, sedangkan materinya banyak diambil dari belajar para sahabat. Kitab pertama yang ditulis oleh para murid adalah kitab Basyir bin Nahik dan Hammam bin Munabbih, keduanya adalah murid Abu Hurairah.6 e. Mengajarkan Hadits berdasarkan guru Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tradisi yang dipakai dalam mengajarkan hadits pada saat itu adalah berdasarkan guru-guru di mana hadits itu diperoleh. Al-Fallas mengatakan bahwa ia pernah ditanya Yahya bin Sa’id, “Dari mana kamu? Jawab Fallas, dari rumah Mu’az. Yahya bertanya lagi, hadits dari sapa yang diajarkan? Jawab Fallas, “hadits dari Ibnu ‘Aun”.7 Penjelasan mengenai proses penyebaran hadits ini dianggap penting sebagai sebuah upaya dalam mempertahankan keotentikan sunnah Nabi SAW hingga tetap sampai kepada umat dalam kondisi masih original tanpa adanya penambahan maupun pengurangan, baik secara matan maupun substansi, setidaknya usaha ini dapat menjaga kemurnian hadits Nabi SAW hingga sekarang ini. III.
DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dalam pembahasan ini dibutuhakan agar dalam pembahasan sesuai dengan topik yang akan dibahas dalam makalah ini, sehingga diharapkan sesuai dengan tujuan dalam pembahasannya. Pendidikan merupakan sebuah usaha dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam penjelasan definisi pendidikan ini terlihat sebuah interaksi antara orang
5
M.M. Azami, Hadis Nabawi …, hal. 448 M.M. Azami, Hadis Nabawi …, hal. 451 7 M.M. Azami, Hadis Nabawi …, hal. 453 6
102
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
dewasa dengan anak sehingga orang dewasa berupaya dalam menuntun anak dalam mencapai sebuah kedewasaannya.8 Definisi mengenai pengertian pendidikan yaitu ketika adanya Konferensi International I tentang Muslim Education yang menyimpulkan bahwa pengertian pedagogi menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam ta'lim, tarbiyah dan ta'dib. Sedangkan menurut Brubacher, bahwa pedagogi diidentikkan dengan the art of education. Dalam bahasa Indonesia, istilah art sering diterjemahkan dengan kiat atau seni pendidikan, kiat atau seni mendidik.9 Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah proses dalam menumbuh kembangkan subjek didik sehingga mencapai kedewasaan. Pertumbuhan ini baik secara jasmani maupun rohani yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik anak sehingga dapat menghadapi kehidupannya. Adapun humanis, dapat diartikan dengan kemanusiaan. Sedangkan asal kata humanis ini berasal dari kata human yang berarti manusia atau bersifat manusia sedangkan humanism memiliki pengertian perikemanusiaan.10 Menurut George R, Knight sebagai yang dikutip oleh Abd. Rachman Assegaf dalam the Philosophy of John Dewey bahwa humanisme merupakan sebuah perkembangan dari progresivisme yang fokus kepada manusia (human). Aspek ini harus ada dalam pendidikan meskipun antara aliran pemikiran secara perspektif memiliki perbedaan dalam melihat aspek manusia di mana mereka memiliki pandangan yang sama terhadap manusia. Tendensi pemikiran edukatif Dewey dalam hubungannya ini mengarah pada sosio-antroposentris artinya, humanisme itu
8
M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. l1 9 Warul Walidin AK, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, cet 1 (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hal.6 10 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet XXXV (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.306
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
103
merupakan refleksi timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat oleh karenannya pendidikan harus tertuju pada keduanya.11 Sehingga pengertian pendidikan humanis dapat diartikan dengan pendidikan yang berpusat pada manusia (kemanusiaan/antroposentris). Dalam pendidikan sekarang dikenal dengan child centered (pendidikan yang berpusat pada anak) di mana aspek kemanusiaan menjadi perhatian dalam pendidikan humanis ini. Selain itu aspek pengalaman menjadi karakteristik daripada pendidikan humanis yang dipelopri oleh dunia Barat, namun akan berbeda pendekatan yang akan digunakan dalam dunia pendidikan Islam.
IV.
HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA Manusia merupakan ciptaan Allah Swt yang diciptakan dalam keadaan
sebaik-baik bentuknya (fi ahsan al-taqwin), apabila diperhatikan keperibadian, tanggungjawab yang diemban kepadanya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah Swt yang mampu menjadi sejarah, mendapat kemenangan. Selain itu manusia juga merupakan makhluk kosmis yang sangat penting, karena lengkap dengan pembawaan dan syarat-syarat yang dibutuhkan. Syarat ini menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa raga yang timbal balik dengan dunia dan antar sesamanya.12 Pada sisi yang lain, manusia merupakan puncak penciptaan dan makhluk Allah Swt yang tertinggi (Q.S. 95:4) dengan sebaik-baik bentuk. Keistimewaan ini menyebabkan manusia dijadikan khalifah atau wakil Allah di muka bumi yang kemudian dipercaya mengemban amanat berupa tugas dalam menciptakan tata kehidupan yang bermoral di muka bumi. Sebagai konsekuensinya manusia dituntut untuk berbakti kepada Allah dengan memanfaatkan kesempurnaan dan 11
Abd Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal.211-212 12 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal.12
104
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
kelebihan akal pikiran dan segala kelebihan lain yang telah dianugrahkan kepadanya.13 Di sinilah terlihat bagaimana manusia memiliki peran penting dalam mengelola tata kehidupan di bumi sesuai dengan ajaran Islam. Hakikat manusia secara lebih konkrit dapat diperhatikan penjelasannya dalam surat ar-Rum ayat 30 yaitu: Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168], [1168] Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. Fitrah memiliki pengertian potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman dan tauhid serta perilaku suci. Dalam pertumbuhannya, manusia sendirlah yang harus berusaha untuk mengarahkan potensi yang telah diterimanya untuk diarahkan fitrah tersebut kepada iman atau tauhid melalui pendidikan, interaksi dan lingkungan yang baik. Oleh karenanya fitrah ini harus tetap dijaga sesuai dengan khittahnya awal yaitu beriman dan bertauhid kepada Allah Swt. Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan potensi Allah Swt sejak awal sebagai hamba yang bertauhid dan beragama Islam yang meyakini Allah Swt sebagai pencipta alam semesta dengan kekuasaanNya. Potensi bertauhid inilah hakikat yang dimiliki oleh 13
Jalaluddin, Teologi…, hal.12
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
105
manusia sejak awal (dalam rahim) sehingga segala aktifitas yang dilaksanakan sesuai dengan ketauhidan kepada Allah Swt.
V.
KONSEP PENDIDIKAN HUMANISTIK NABI MUHAMMAD SAW Menurut al-Qur’an, manusia menempati posisi istimewa di alam semesta ini, di mana manusia menjadi wakil Tuhan di muka bumi sebagaimana dinyatakan dalam Q.S al-Baqarah (2): 30: Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 30) Kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa
( )ﺧﻠﻒyang berarti
menggantikan dan melanjutkan, dalam hal ini yang dimaksud dengan khalifah adalah person yang menggantikan person lain. Hal ini menjelaskan bagaimana kepemimpinan dalam ketentuan Islam diberi gelar khalifah. Abu Bakar telah menggantikan Nabi Muhammad SAW setelah Nabi wafat, kemudian Abu Bakar disebut sebagai khalifah Rasulullah. Dengan mengambil contoh ini maka pengertian kedua, “Melanjutkan” tidak dipakai dan istilah khalifah memberi pengertian “pengganti” kedudukan Rasulullah.14 Makna filosofi dari istilah khalifah ternyata tidak menimbulkan perbedaan pendapat, namun para ahli berbeda ketika mencoba mendefinisikan 14
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 46
106
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
pandangan mereka, sebagaimana khalifah dengan makna pengganti atau pemimpin, maka kita berhadapan dengan tiga pandangan berbeda-beda. Pandangan pertama berpendapat manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di muka bumi. Karena diakui, bahwa jin mendahului manusia sebagai pengganti jin. Pandangan kedua, tanpa menpertimbangkan pendahulu manusia, atau siapa makhluk sebelum manusia di muka bumi ini. Kata khalifah secara sederhana menunjuk kepada sekelompok masyarakat yang menggantikan kelompok lainnya.15 Di antara bukti-bukti yang menunjukkan hal ini, banyak disebutkan dalam al-Qur’an bisa dikutip untuk memperkuat argumentasi tersebut seperti Q.S Al-Naml: 62 sebagai berikut: Artinya: Dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi [1104]? [1104] Yang dimaksud dengan menjadikan manusia sebagai khalifah ialah menjadikan manusia berkuasa di bumi. Pandangan ketiga memberikan penekanan kepada porses istihlaf itu lebih penting. Dinyatakan bahwa khalifahi tidak secara sederhana menggantikan yang lainnya, yang nyata memang benar-benar khalifah Allah. Allah pertama sekali menjadikan khalifah yang berjalan dan bertingkah laku mengikuti ajaran Allah, interpretasi seperti ini didukung oleh Razi, Thabari dan Qurtubi.16 Berbagai pemaparan tentang posisi manusia sebagai khalifah yang memposisikan diri dalam mengelola alam semesta sesuai dengan tuntutan Islam sehingga fungsi dan tujuan penciptaan manusia ini sesuai dengan yang diinginkan Islam sendiri sehingga tetap berada dalam khittahnya sebagai manusia. Penjelasan mengenai 15 16
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori…, hal. 46 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori…, hal. 46
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
107
khalifah di sini, sebagai sebuah usaha menjelaskan konsep humanisme dalam Islam, di mana segala sesuatu memiliki interkoneksitas antara kekhalifahan yang berfungsi sebagai pengelola dan pengganti secara kedudukan dengan fungsi manusia itu sendiri sehingga dalam hal ini adanya integrasi dalam pembahasan makalah ini bukan hanya ayatisasi (Mulyadhi Kartanegara),17 namun bersifat integratif-interkonektif antara satu dan lainnya. Prinsip utama integrasi ilmu ini dalam Islam yaitu formula “Laa Ilaha Illallah” sebagai prinsip dasar ajaran Islam dan dalam kaitannya dengan integrasi ilmu telah menjadi epistemologi Islam sehingga menjadi asas pemersatu atau dasar ilmu pengetahuan manusia.18 Formulasi ini menjelaskan bagaimana eksistensi manusia yang meyakini bahwa tidak ada Ilah yang patut disembah selain Allah, di mana secara filosofi formulasi kalimat tauhid ini dalam rangka menjelaskan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan potensi bertauhid terhadap Allah Swt (Q.S Ar-Ruum: 30). Nabi Muhammad Saw merupakan seorang guru dan pendidik umat manusia di mana dengan akhlaknya membuat mereka yang hatinya keras sebelumnya menentang dan memusuhi Nabi Saw namun akhirnya menjadi pembela Nabi dan Islam sampai mati, wajarlah kalau dikatakan kalau Nabi merupakan tokoh dunia yang luar biasa dalam membina umatnya sehingga mampu mengikuti ajarannya hingga akhir zaman. Pendidikan Nabi Muhammad Saw dikategorikan sebagai pendidikan yang humanis bahkan melebihi definisi humanis yang dikembangkan sekarang ini di mana pengertian yang digunakan justru terkadang terjadinya dehumanisasi secara aplikatif yang meninggalkan dimensi teosentris yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Pendidikan humanis dari Nabi Saw dimulai ketika awal-awal penyebaran agama Islam dengan memerangi praktik kultur orang Arab saat itu yang menguburkan
17 18
108
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005) hal. 32 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi…,hal. 32
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
anak-anak perempuan mereka karena dianggap aib dan sebagainya. Kehadiran Nabi Saw menegakkan nilai-nilai humanis dan memuliakan umat manusia untuk memiliki hak yang sama dengan manusia yang lainnya.
VI.
KONSEP SUNNAH SEBAGAI PENDIDIKAN HUMANISTIK Menurut bahasa kata Sunnah berarti jalan atau tuntunan baik yang terpuji
maupun yang tercela. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Nabi Saw: و ﻣﻦ ﺳﻦ ﺳﻨﺔ ﺳﯿﺌﺔ, ﻣﻦ ﺳﻦ ﺳﻨﺔ ﺣﺴﻨﺔ ﻓﻠﮫ اﺟﺮھﺎ واﺟﺮ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﮭﺎ اﻟﻲ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ:ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ص م (ﻓﻌﻠﯿﮭﺎ وزرھﺎ ووزره ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﮭﺎ اﻟﻲ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ )رواه ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Barangsiapa memberi contoh tuntunan perbuatan yang baik ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala mereka yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang memberi contoh perbuatan yang buruk ia akan mendapat siksa perbuatan tersebut dan siksa mereka yang menirunya sampai hari kiamat (HR. Muslim).19 Firman Allah Swt: Artinya: Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An-Nisa: 26). Adapun pengertian sunnah secara terminologi yaitu: 1) Menurut Ulama Ushul Sunnah ialah apa-apa yang berasal dari Nabi Muhammad Saw selain dari al-Qur’an yaitu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. 2) Menurut Ahli Hadis (Muhaddisin) 19
Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), hal. 6
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
109
Sunnah atau hadits ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik yang demikian itu sebelum Nabi Saw diangkat sebagai rasul maupun sesudahnya. 3) Imam Syaukani Sunnah atau hadits ialah jalan yang dijalani dalam agama, karena telah biasa dijalani oleh Rasulullah Saw dan oleh para salaf yang shalih sesudah wafat Rasul Saw.20 Berbagai penjelasan tentang definisi Sunnah setidaknya terkandung 3 (tiga) unsur yaitu: perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw yang semuanya disandarkan kepada beliau saja dan tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada shahabat maupun tabi’in.21 Penjelasan Sunnah yang telah dikemukakan bertujuan untuk menjelaskan bahwa apa-apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw merupakan unsur-unsur pendidikan baik cara penyampaian (metode), ataupun praktik keseharian Nabi sebagai teladan dimana adanya kesesuaian antara tutur kata dengan perbuatan Nabi merupakan cara beliau dalam mendidik para sahabat dan umatnya agar mengikuti jalan Islam sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt. Pendidikan humanis dari Nabi Saw lebih menekankan kepada fitrah manusia dalam pendidikan, konsep fitrah ini sebenarnya merupakan prinsip humanis secara ontologis berbeda dengan pengertian humanis yang berkembang sekarang ini yang semuanya diberikan kebebasa kepada manusia sehingga manusia dapat berbuat apa saja asalkan dapat memberikan manfaat kepada manusia. Konsep humanis yang berkembang sekarang meninggalkan unsurunsur teosentris di mana mengamalkan landasan pragmatis sebagai ideologinya yang selanjutnya akan berimplikasi dalam tataran aplikatif.
20 21
110
Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi…, hal. 6-9 Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi…, hal. 10
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Al-Qur’an mempergunakan kata father dalam banyak ayat untuk memberi pengertian sang pencipta. Ayat-ayat al-Qur’an ini dihubungkan dengan langit dan bumi. Kata kerja fathara juga banyak digunakan sebagai objek kata kerja, sedangkan manusia sebagai objek yang lain. Penekanan hakikat makna fitrah yang sesungguhnya secara lebih rinci berasal dari ayat al-A’raf: 172, Allah Swt berfirman:
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anakanak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (al-A’raf: 172). Penjelasan ayat ini membuktikan bahwa Allah menjanjikan kepada manusia agar mengakui Allah Swt sebagai illahnya dan sesembahannya.22 Hal inilah menjelaskan bahwa fitrah manusia mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya. Dalam pendidikan, konsep fitrah ini merupakan sesuatu yang sangat esensial dan fundamental dengan memperhatikan kondisi humanis manusia sehingga dapat dikatakan memanusiakan manusia. Fitrah sebagai konsep pendidikan dari Nabi merupakan sebuah konsep pendidikan yang integratif bukan dikotomi antara ilmu agama dengan umum, dengan kata lain tanpa adanya sekuleriasasi dalam ilmu. Konsep fitrah ini dapat dikategorikan sebagai konsep pendidikan yang humanis dari Nabi, walaupun secara substantif berbeda dengan pengertian humanis yang berkembang sekarang mengingat pengertian 22
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori…, hal. 58
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
111
fitrah lebih radikal daripada humanis itu sendiri. Kalau humanis lebih mengedepankan utility terhadap manusia mengingat konsep pendidikan humanis ini lebih mengumakan manfaat (utility) sebagai landasan pemikiran, berbeda dengan fitrah melihat bahwa potensi-potensi yang dimiliki (diberikan) manusia memadukan unsur teosentris dan antroposentris yang bersifat holistik dan integratif. Konsep pendidikan humanis dari Nabi merupakan dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip fitrah ini dalam kehidupan actual Nabi. Seperti manusia secara fitrah tidak menyukai dibohongi, didhalimi, dianiaya dan sebagainya. Konsep inilah yang diaktualisasikan oleh Nabi dalam kehidupan nyata beliau seperti bersifat jujur, adil dan sebagainya sehingga pendidikan yang disampaikan Nabi berhasil dengan gemilang.
VII.
KESIMPULAN Pendidikan humanis dari Nabi dapat dikatakan sebagai sebuah konsep
pendidikan dengan memahami konsep-konsep fitrah yang dijelaskan dalam alQur’an sehingga konsep pendidikan ini dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam memahami konsep pendidikan yang humanis ini yaitu dengan pendidikan yang integratif dan holistik tanpa adanya sekulerisasi antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum seperti yang terjadi sekarang ini sehingga sukar untuk mempertemukan kembali keduanya. Pendidikan humanis yang dipahami dari konsep fitrah ini dengan melihat manusia secara fitrah beriman, bertauhid dan mengakui Allah sebagai Tuhannya sehingga dapat mengikuti ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, prinsip humanis yang dipahami di sini adalah konsep fitrah bukan humanis sebagaimana yang dipahami secara umum. Fitrah di sini sebagai sebuah talenta/potensi yang dimiliki manusia, sehingga dengan memahami unsur-unsur fitrah ini diharapkan prinsip pendidikan humanis lebih baik tanpa adanya pemisahan antara dimensi fisik dan non fisik (metafisika). 112
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Referensi
Abd Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Al-Qur'an dan Terjemahannya, Madinah: Kerajaan Saudi Arabia, 1990. Bustamin, Metodolog Kritik hadist, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet XXXV .Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, .Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Bandung: Mizan Pustaka, 2005. Warul Walidin AK, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, cet 1 .Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003. Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
113