KUALITAS HADIS-HADIS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW.
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Islam (S.Th.i)
Oleh: IMAM KAMALI NIM: 1110034000070
PROGRAM STUDY TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
KUALITAS HADIS.I{ADIS KEMAKSUMAN NABI MUIIAMMAD SAW.
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Islam (S.Th.i)
Oleh:
lmam Kamali |l-IM: 1110034000070
Pembimbing:
RifqbMthammad Fatkhi. MA NIP: 19770120 200312 1 003
PROGRAM STTJDY TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHT]LUDDIN DAN FILSAFAT UNTVERSITAS ISLAM hIEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2015 M/1436
E
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul "Kualitas Hadis-hadis Kemaksuman
Nabi
Muhammad Saw.", diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyah pada28 April 2015 dihadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.D pada Program Studi Tafsir Hadis. Jakarta, 28
April20l5
SidangMunaqasyah
Ketua Sidang,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum. MA NrP. 19711003 199903 2 001
199903 2001
Penguji II,
Penguji I,
Drs. Muhammad Zuhdi. M.As
NIP. 19650817 200003 I 001
Pembimbing,
Muhlmmad X'atkhi 19770t20200312 t 003
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini saya: Nama: knam Kamali
NIM: 1110034000070 Fakultas/Jurusan: Ushuluddin/Tafsir-Hadis
udul Skripsi: Kualitas Hadis-Hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Dengan
1.
2. 3.
ini
saya menyatakan bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya ilmiah yang saya tulis tulis sendiri, diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (Sl) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bilamana skripsi telah dimunaqasahkan dan wajib revisi, maka saya bersedia dan s"nggup merevisi dalam waktu tiga bulan terhitung dari tanggal munaqasah. Jika ternyata lebih dari tiga bulan revisi belum terselesaikan maka saya bersedia munaqasah kembali. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
il20l5
ABSTRAK IMAM KAMALI Kualitas Hadis-Hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Sanad dan matan merupakan dua komponen pembentuk bangunan hadis yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian hadis. Sebab, tujuan dari melakukan penelitian hadis adalah untuk memperoleh validitas sebuah matan hadis. Karena hadis memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan menempati pada sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an. Melakukan kajian hadis tidak selalu harus dimulai dengan melakukan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan kritik matan hadis. Bahkan, tidak jarang tokoh pemikir hadis seperti Muhammad al-Ghazali atau yang lainnya menolak hadis yang berkualitas sahih karena tidak sesuai dengan prinsipprinsip umum ajaran al-Qur’an dan secara akal sehat. Meskipun, hadis Nabi dari segi sanadnya itu dha’if, namun Muhammad al-Ghazali lebih cenderung menerima hadis tersebut karena isi dari matannya mempunyai kesesuaian ajaran Islam dan akal sehat manusia. Asumsinya, “Kesahihan sanad tidak dapat menjamin sahihnya matan hadis”. Karena tolak ukur sahihnya sebuah hadis itu manakala tidak bertentangan dengan al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih, dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Meneliti matan hadis yang sanadnya sahih tiada lain bertujuan untuk mengetahui dan menetapkan sahih atau tidaknya matan hadis, kemudian mehilangkan kemusykilan pada hadis-hadis sahih yang tampak musykil (samar) serta menghilangkan pertentangan. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kualitas matan hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dari sebelum kenabian hingga sesudah kenabian. Adapun objek yang diteliti yaitu dua hadis yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw. dari terbukanya aurat. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan ruang yang lebih luas lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat-Nya Tuhan sekalian alam, atas semua limpahan karunia dan kasih sayang-Nya yang tak pernah berhenti sedetikpun kepada makhluk-Nya dan khususnya kepada saya pribadi. Salawat beserta salam tak lupa saya haturkan kepada pembawa risalah Tuhan baginda Nabi Muhammad Saw., para keluarga, sahabat, dan mereka semua yang telah menegakkan kalimat tauhid di alam jagat raya ini. Rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada saya dalam menyusun skripsi ini, dalam menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini, akhirnya selesai dengan sidang skripsi, tentunya hal ini
dilalui
dengan
adanya
bimbingan,
kritikan
dan
masukan
dalam
menyempurnakan dan memperbaiki skripsi. Saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun, berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, besar atau kecil dan saya ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah Swt. membalas jasa-jasa serta melindungi dan menyayangi mereka setiap saat. Saya ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag selaku ketua jurusan Tafsir Hadis, beserta Ibu Dra. Banun Binaningrum selaku Sekjur Tafsir Hadis 2. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan. ii
3. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis yang telah mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada saya selama proses perkuliahan berlangsung. Semoga Allah Swt. memberikan balasan yang tak terduga atas ilmu yang telah diberikan selama ini, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi saya. 4. Teristimewa kepada kedua orang tua saya, Bapak Daskim dan Ibu Komariyah yang tercinta dan saya banggakan. Terima kasih atas pengorbanan, kasih sayang serta do’a yang tak henti-hentinya. Semoga Allah Swt. menjaga dan menyayangi mereka hingga akhir hayatnya. 5. Teman-teman seperjuangan TH B atas kekompakan dan solidaritasnya selama perkuliahan di kampus maupun di luar kampus. Khususnya kerabat dekat dalam menyelesaikan skripsi, kepada Setiawan Doni Kusuma, Muhammad Saeful Asyari, Chairul Amin dan Muhammad Hafis serta Bang Toro. Akhirnya saya menyadari dengan keterbatasan wawasan dan pandangan yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun, saya berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan. Dengan segala kerendahan hati, saya ingin menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat sekalian pembaca dan khususnya saya pribadi. Saya ucapkan banyak terima kasih.
Ciputat, 28 April 2015
Imam Kamali
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC). 1. Konsonan Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ
Huruf Latin b t ts j ḥ kh d dz r z s sy ṣ ḍ ṭ ẓ
ع
‘
غ ف ق ك ل م ن و هـ ء ي
gh f q k l m n w h y
v
Nama Tidak dilambangkan Be Te te dan es Je h dengan titik di bawah ka dan ha De de dan zet Er Zet Es es dan ye es dengan titik di bawah de dengan titik di bawah te dengan titik di bawah zet dengan titik di bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof Ye
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal dan vocal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__
a
fatḥah
__
i
Kasrah
_’_
u
ḍammah
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_ي
iy
a dan i
__و
aw
a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__
ā
a dengan topi di atas
__ ـ ُـ
ī
i dengan topi di atas
_’_ ٌوو
ū
u dengan topi di atas
b. Vokal Rangkap
c. Vokal Panjang
vi
Kata Sandang Kata sandang, dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik
diikuti huruf syamsiyyah dan qamariyyah. Contoh: al-Rijāl bukan ar-Rijāl, al-Dīn bukan ad-Dīn. Singkatan Swt. : Subḥānah wa taʻālá Saw. : Ṣallallah ʻalayh wa sallam Ra.
: Raḍiyallah ʻanh
H
: Tahun Hijriyah
M
: Tahun Masehi
w.
: Wafat
Tt
: Tanpa Tahun
Tp
: Tanpa Penerbit
b.
: Bin
bt.
: Binti
J.
: Jilid
vii
DAFTAR ISI A. ABSTRAK ........................................................................................
i
B. KATA PENGANTAR ......................................................................
ii
C. PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................
v
D. DAFTAR ISI ....................................................................................
viii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................
6
D. Metodologi Penelitian .....................................................
7
E. Kajian Pustaka .................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ......................................................
13
DISKURSUS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW. A. Pengertian Maksum .........................................................
15
B. Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. .............................
22
PENELITIAN MATAN HADIS KEMAKSUMAN
NABI
MUHAMMAD SAW. A. Peristiwa Renovasi Kaʻbah ..............................................
31
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad ........
31
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis .............................
32
1) Memahami Sunah dengan Tuntunan Al-Qurʼan .....
34
2) Mengumpulkan Hadis-Hadis yang Satu Tema .......
38
3) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis ........................
41
viii
B. Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar ......................................................
44
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad ........
45
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis .............................
45
1) Memahami Sunah dengan Tuntunan Al-Qurʼan .....
46
2) Mengumpulkan Hadis-Hadis yang Satu Tema ........
49
3) Memadukan Hadis-Hadis yang Tampak Bertentangan 50 4) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis ...............................
57
C. Perdebatan Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. ...........
58
D. Perbincangan Ulama Mengenai Kualitas Hadis-Hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw ............................... BAB IV
65
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................
72
B. Saran-Saran .....................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
73
LAMPIRAN .................................................................................................
79
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H.), al-Nawawī (w. 676 H.), ʻAlī b. Muḥammad al-Jurjānī (w. 816 H.), Taqiy al-Dīn al-Nabhānī (w. 1398 H.)1 dan Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī (1975 M.) mengatakan para Imam sepakat bahwa para Nabi terjaga dari menyembah berhala, kufur, dan bidʻah dan mereka maksum dari dosa besar dan kecil yang disengaja setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian mereka sama sekali tidak melakukan dosa besar dan dimungkinkan terjadinya kekeliruan atau kesalahan yang tidak sampai merusak harga diri dan merendahkan kedudukan serta kehormatan mereka. Apabila ada kelupaan atau kelalaian maka itu boleh saja dan tidak ada seorang Imam yang menentang atau berbeda faham dalam hal ini.2 Syarīf al-Murtaḍá (w. 436 H.) dan Maytsam al-Baḥrānī (w. 699 H.) mengatakan bahwa para Nabi maksum dari dosa besar dan dosa kecil baik secara tidak sengaja dan tidak lalai ataupun salah dalam pentakwilan sejak masa kanakkanak hingga setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul.3 Karena maksiat tidak
1
Beliau merupakan pendiri Ḥizb al-Taḥrīr, didirikan pada tahun 1953 di al-Quds,
Palestina. 2
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 41-42. Lihat juga al-Nawawī, Rawḍat al-Ṭālibīn waʻUmdat al-Muftīn (Beirūt: Maktabat al-Islāmī, 1991), J. 10, 205. Lihat juga Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah waal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī, 1975), J. 3, 58. Lihat juga ʻAlī b. Muḥammad al-Jurjānī, Syarḥ al-Mawāqif (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1998), J. 8, 288. Lihat juga Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyyah alIslāmiyyah (Beirūt: Dār al-Ummah, 2003), J. 1, 136. 3 Maytsam al-Baḥrānī, Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām (Maktabat Āyatullah alʻAẓamī, 1998), Cet. 2, 125. Lihat juga Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 15.
2
bisa dikategorikan ini maksiat kecil atau besar, sengaja atau tidak disengaja, baik itu sebelum kenabian atau sesudah kenabian. Bagaimanapun perbuatan maksiat dapat merusak harga diri dan kehormatan serta mencerminkan watak seseorang.4 Pendapat ini kemudian menjadi pijakan oleh golongan Syiʻah. Dari beberapa pendapat ulama di atas, menunjukkan adanya perdebatan ulama dalam hal kemaksuman Nabi dan Rasul, satu sisi sebagian ulama berpendapat Nabi dan Rasul maksum dari sejak lahir hingga akhir hayatnya dan sebagian ulama berpendapat
Nabi
dan Rasul
maksum
hanya
setelah
pengangkatannya menjadi nabi dan rasul. Ditemukan beberapa riwayat yang menunjukkan adanya kemaksuman Nabi Muhammad Saw. secara fisik dari sebelum diangkatnya menajadi Nabi dan Rasul, seperti terlahir dalam keadaan tersunat sehingga aurat beliau tidak terlihat seseorang5 dan terjaga dari kemaksiatan dan keburukan perilaku kaum jahiliyah.6 Riwayat-riwayat ini yang kemudian dijadikan dalil atas kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dari sejak lahir hingga setelah kenabian. Saya mencoba menampilkan satu riwayat yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, yaitu pada peristiwa Muhammad Saw. mengikuti renovasi Kaʻbah bersama pamannya al-ʻAbbās. Dalam kitab al-Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, al-Bukhārī meriwayatkan dari Jābir b. 4
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004),
Cet. 2, 41. 5
Abī Nuʻaym al-Iṣbahānī, Dalāil al-Nubuwwah (Beirūt: Dār al-Nafāis, 1986), Cet. 2,
154. 6
Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub, 1965), Cet. 6, 72. Lihat juga Dalāil al-Nubuwwah karya Abū Nuʻaym, 186. dan Dalāil al-Nubuwwah karya al-Bayhaqī, 33-34.
3
ʻAbdullah yang menceritakan bahwa sebelum kenabian, Muhammad Saw. ikut serta dengan pamannya, al-ʻAbbās b. ʻAbd al-Muṭālib dalam merenovasi Kaʻbah.7 Umumnya orang-orang mengangkat batu dengan beralaskan sehelai kain yang diletakkan di pundak mereka kecuali Muhammad Saw., hingga kemudian pamannya al-ʻAbbās memerintahkan Muhammad Saw. agar mengikatkan izār8 pada lehernya9 supaya meringankan beban batu yang diangkatnya.10 Maka beliau mengikuti sebagaimana saran pamannya, yaitu melepas dan mengikatkan izār pada lehernya. Namun tidak lama kemudian Muhammad Saw. jatuh ke tanah hingga matanya terbelalak hingga izār yang dikenakannya terlepas, Nabi merasa kehilangan izār yang beliau pakai, kemudian Nabi Saw. mengenakan izār-nya kembali dengan ikatan yang lebih kuat lagi. Peristiwa ini terjadi ketika Muhammad Saw. berusia 35 tahun.11 Pada peristiwa ini ada riwayat yang mengatakan bahwa Muhammad Saw. telanjang (tanpa pakaian)12 dan dalam riwayat Abū al-Ṭufayl bahwa aurat
7
Beberapa tahun sebelum Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi, kota Makkah sering di landa banjir hingga menenggelamkannya, mengakibatkan bangunan Kaʻbah semakin rapuh sehingga memaksa orang-orang Quraisy memutuskan untuk merenovasi Kaʻbah demi kehormatan dan kesucian warisan peninggalan syari’at Nabi Ibrahim as. yang masih dijaga dikalangan orang Arab. 8 Izār bermakna al-Milḥafah yaitu selimut atau pakaian sejenis jubah. Lihat Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), J. 4,16. 9 Riwayat lain mengatakan, pamannya al-ʻAbbās memerintahkan Muhammad Saw. untuk meletakkan sarung pada pundaknya. Lihat Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār Ibn al-Jauzī, 2010), no hadis 364, 56. 10 Al-Buthy, Fikih Sirah, penerjemah Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2010), Cet. 1, 65. Lihat juga Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub, 1965), Cet. 6, 83. 11 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 3, 282. (Kitāb;manāqib al-Anṣār, Bab : Buniya al-Ka'bah, No. Ḥadith : 3829). 12 Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), J. 3, 42. Lihat juga J. 9, 19.
4
Muhammad Saw. terlihat (awal mula Nabi diseru untuk menutup auratnya).13 Melihat peristiwa ini, muncul dugaan bahwa Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Nabi itu tidak maksum artinya kalau Nabi itu maksum maka Nabi terjaga dari terbukanya aurat meskipun secara tidak sengaja karena konsep maksum itu bukan berarti menjaga diri akan tetapi dijaga ataupun terjaga. Berangkat dari riwayat yang diduga Muhammad Saw. terbuka auratnya, maka penelitian ini mengkaji ulang kualitas hadis-hadis yang diduga adanya ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw., karena saya berpatokan pada sebuah teori “Kesahihan sanad tidak dapat menjamin sahihnya matan hadis”,14 ini sebagai tolak ukur sahihnya matan hadis. Begitu juga ditemukan beberapa ayat alQur’an maupun dari hadis Nabi secara lahiriyah Muhammad Saw. melakukan kesalahan yang kemudian mendapat teguran dari Allah Swt. Tidak menutup kemungkinan, peristiwa terbukanya aurat Nabi Muhammad Saw. baik dari sebelum dan sesudah kenabian menunjukkan adanya ketidakmaksuman. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, saya akan melakukan kajian yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: “KUALITAS HADISHADIS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW.”
13
Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Cet 2, J. 19, 119. Lihat juga Aḥmad ibn Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), Cet. 1, J. 17, 125. (no. hadis 23684 & 23690). 14 Thoha Saputro, Kritik Matan Hadis (Studi Komparatif Pemikiran Ibn Qayyim alJauziyyah dan Muhammad al-Ghazali). (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
5
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan untuk memperjelas alur penelitian ini, maka saya perlu mengidentifikasi beberapa masalah mengenai kemaksuman Muhammad Saw. berikut untuk kemudian diteliti lebih lanjut: a. Apa yang dimaksud dengan maksum? b. Kapan istilah maksum itu ada? c. Siapakah yang pertama kali menggunakan istilah maksum ini? d. Apakah Muhammad Saw. maksum dari sebelum kenabian atau sesudah kenabian? e. Apakah maksum diberikan kepada selain para Nabi dan Rasul? f. Bagaimana perbincangan ulama tentang kualitas hadis kemaksuman Muhammad Saw.? g. Bagaimana
kualitas
hadis-hadis
yang
menunjukkan
adanya
ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum dan sesudah kenabian? 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah yang muncul dan untuk memudahkan penelitian ini, saya hanya membatasi masalah pada poin a, d, f, dan poin g. Pembatasan pada empat poin yang saya pilih, karena dalam penelitian ini, saya fokuskan pada riwayat-riwayat yang menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad Saw. sehingga poin-poin tersebut dirasa perlu untuk diteliti lebih lanjut. Dari indentifikasi masalah tersebut, saya memberi batasan masalah yaitu pada riwayat-riwayat yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad
6
Saw. sebelum dan sesudah kenabian. Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka disusun rumusan masalah skripsi ini adalah: Bagaimana kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw.?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Secara umum penelitian ini bertujuan menjelaskan arti maksum dan menganalisis kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. 2. Adapun tujuan khusus penelitian ini, guna melengkapi salah satu persyaratan akhir pada program S1 untuk meraih gelar S.Th.i (Sarjana Theologi Islam) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui arti maksum secara mendalam. 2. Mengetahui kualitas hadis-hadis kemaksuman Muhammad Saw. 3. Diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan serta pandangan kajian Islam terutama dalam studi Hadis, yaitu mengenai kajian kulitas matan hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
7
D. Metode Penelitian Dalam skripsi ini, saya menggunakan tiga aspek metode penelitian, yaitu: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, saya menggunakan penelitian kepustakaan (library research).15 Saya mengumpulkan data-data hadis atau riwayat yang menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum kenabian dan sesudah kenabian. Data-data diperoleh dengan cara mengumpulkan bahan-bahan baik dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun Google Book. Setelah data terkumpul kemudian saya klasifikasi menjadi dua jenis sumber data yaitu: 1. Sumber data primer, untuk penelitian ini merujuk pada dua kitab yaitu: Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim. 2. Sumber data sekunder, berupa buku dan tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan pokok masalah dalam penelitian ini, seperti: Sīrah alNabawiyyah karya Ibn Hisyām,16 Ibn Isḥāq,17 dan al-Raḥīq al-Makhtūm karya Syaykh Ṣafiyuraḥmān al-Mubārakfūrī, Fiqh al-Sīrah karya Muḥammad alGhazālī18 dan al-Būṭī,19 Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr alBasyar karya Muḥammad b Ṣāmil al-Sulamī,20 Fakhr al-Dīn al-Rāzī; ʻIṣmat
15
Cara pengumpulan data-datanya melalui buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. 16 Ibn Hisyām, Sīrah Nabawiyah (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 2009), Cet. 2, 88. 17 Ibn Isḥāq (taḥqīq dan sharḥ: Ibn Hishām), Sirah Nabawiyah. Penerjemah H. Samson Rahman (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2012), 111-112. 18 Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub, 1965), Cet. 6, 83. 19 Al-Buthy, Fikih Sirah. Penerjemah Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2010), Cet. 1, 65. 20 Muḥammad b. Ṣāmil al-Sulamī, Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr alBasyar (Jeddah: Maktabat Rawāiʻ al-Mamlakah, 2010), 86.
8
al-Anbiyāʼ,21 ʻAlī bin Muḥammad al-Jurjānī; Syarḥ al-Mawāqif,22 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī; al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ,23 Maytsam al-Baḥrānī; Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām,24 Syarīf al-Murtaḍá; Tanzīh al-Anbiyāʼ,25 Jaʻfar al-Subḥānī; ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm,26 al-Syarbinī; Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī
fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah,27 ʻUmar
Sulaymān al-Asyqar; Rasul dan Risalah,28 al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah; Taqiy al-Dīn al-Nabhānī,29 tanpa menyebutkan nama penulis; Kemaksuman Nabi.30 2. Metode Analisa Data Dalam melakukan penelitian ini, saya menggunakan dua langkah metodologis penelitian matan hadis, yaitu: 1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad hadis.31 2. Meneliti kandungan matan. Langkah selanjutnya dalam upaya memahami hadis Nabi, saya 21
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 41-
42. 22
ʻAlī b. Muḥammad al-Jurjānī, Syarḥ al-Mawāqif (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1998), J. 8, 288. 23 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwat waal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 58. 24 Maytsam al-Baḥrānī, Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām (Maktabat Āyatullah alʻAẓamī, 1998), Cet. 2, 125. 25 Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 15. 26 Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 8. 27 Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb waal-Sunnah (alQāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 28 ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul dan Risalah. Penerjemah Munir F. Ridwan (International Islamic Publishing House, 2008), 132. 29 Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah (Beirūt: Dār al-Ummah, 2003), J. 1, 136. 30 Artikel di akses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/ articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kemaksuman_nabi/001.html 31 Siti Masyitoh, “Kualitas Hadis-hadis Dalam Tafsir al-Azhar; Studi Kritik Matan Hadis Dalam Surah Yāsīn,” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010) 33.
9
menggunakan metode yang ditawarkan oleh Yūsuf al-Qaraḍāwi,32 yaitu: a. Memahami al-Sunnah dengan tuntunan al-Qur’an. b. Menghimpun hadis-hadis yang satu tema. c. Memadukan hadis-hadis yang tampak bertentangan. d. Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya). e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap dalam setiap hadis. f. Membedakan antara ungkapan hakikat dan majaz. g. Membedakan antara yang gaib dan nyata. h. Memastikan makna kata-kata dalam hadis. Saya menggunakan metode ini, karena metode yang ditawarkan oleh Yūsuf al-Qaraḍāwī lebih terbuka dan rinci sehingga dalam memahami hadis tidak sampai pada lahiriyah teks hadis saja, namun perlu memperhatikan sebab-sebab yang terkait di sekeliling teks hadis dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah. 3. Metode Penulisan Adapun metode penulisan dalam skripsi ini, saya sepenuhnya mengacu pada buku pedoman akademik: Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011,33 kecuali untuk transliterasi.
32
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār al-Syurūq, 2002), 111. 33 DR. Jamhari, dkk., Pedoman Akademik; Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011.
10
E. Kajian Pustaka Terdapat
beberapa
kajian
penelitian
terdahulu
yang
membahas
kemaksuman para Nabi dan Rasul berupa skripsi, Tesis, buku/kitab, dan artikel, dengan catatan semuanya berbeda pembahasan satu sama lainnya, diantaranya: a. Adithia Warman,34 dari Fakultas Dirasat Islamiyah 2010, skripsinya berjudul “Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī”. Skripsi ini lebih fokus mengkaji pemahaman al-ʻIṣmah para Nabi menurut Imam al-Rāzī dengan menjelaskan pengertian Nabi dan Rasul, perbedaan antara muʻjizat, karamah, dan sihir, dan kemaksuman para Nabi serta pembagian kemaksuman. b. Muhammad Ridwan,35 dari Fakultas Dirasat Islamiyah 2009, skripsinya berjudul “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asyʻary”. Skripsi ini hanya menjelaskan pengertian Nabi dan Rasul, seputar madzhab al-Asyāʻirah berikut ulama-ulama besar yang bermadzhabkan al-Asyāʻirah, dan teori kenabian menurut al-Asyāʻirah. c. Muhammad Yusfik,36 Tesisnya berjudul “Kenabian Muhammad Saw. Menurut Al-Qur'an: Kajian Tematik tentang Misi Kenabian Muhammad Saw.” Tesis ini mengulas sejarah Nabi Muhammad Saw. dari sebelum kenabian hingga sesudah kenabian, menjelaskan konsep kenabian Muhammad Saw. dan misi kenabian Muhammad Saw. menurut al-Qur’an.
34
Adithia Warman, “Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn al-Razi,” (Skripsi S 1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010). 35 Ahmad Ridwan, “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asy'ary,” (Skripsi S1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009). 36 Muhammad Yusfik, “Kenabian Muhammad Saw. Menurut Al-Qur’an: Kajian Tematik tentang Misi Kenabian Muhammad Saw.” (Tesis S2 Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).
11
d. Syarīf al-Murtaḍá (w. 436 H.),37 dengan judul “Tanzīh al-Anbiyāʼ”. Karya ini berisikan tentang perbedaan pendapat dalam kesucian para Nabi dari dosa, kesempurnaan kesucian para Nabi dari dosa kecil dan besar dengan memberikan contoh dari kesucian Nabi Adam as. sampai pada kesucian Nabi Muhammad Saw. namun tidak menjelaskan seluruh para Nabi hanya beberapa Nabi saja serta para Imam yang dianggap suci seperti sahabat ʻAlī, al-Ḥasan b. ʻAlī, Abū ʻAbdullah al-Ḥusayn b. ʻAlī, Abū al-Ḥasan ʻAlī b. Mūsá, dan alQāʼim al-Mahdī. e. Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H.),38 dengan judul “ʻIṣmat al-Anbiyāʼ”. Karya ini berisikan tentang sekilas pendapat-pendapat madzhab dalam hal kemaksuman para Nabi, dan pendapat Fakhr al-Dīn al-Rāzī sendiri mengenai wajibnya kemaksuman para Nabi serta memberikan lima belas dalil dalam pembahasan kemaksuman para Nabi. f. Jaʻfar al-Subḥānī,39 dengan judul “ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm”. Karya ini menjelaskan munculnya teori al-ʻIṣmah, hakikat arti maksum, apakah kemaksuman itu hasil dari ikhtiar atau karunia Ilahi, dan kemaksuman para Nabi yang terdapat di dalam al-Qur’an, seperti Nabi Ādam, Nabi Nūḥ, Nabi Ibrāhīm, Nabi Yūsuf, Nabi Mūsá, Nabi Dāwud, Nabi Sulaymān, Nabi Āyūb, Nabi Yūnus, dan Nabi Muhammad Saw.
37 38
Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 15. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 39-
40. 39
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 8.
12
g. Al-Syarbinī,40 dengan judul “Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ alKitāb wal-Sunnah”. Karya ini menjelaskan secara khusus mengenai kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dari segi akal dan fisik, serta penolakan ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dari segi akal dan fisik, kemaksuman Nabi Saw. dalam menyampaikan wahyu Allah Swt. serta penolakan ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dalam menyampaikan wahyu, kemudian kemaksuman Nabi Saw. dalam berijtihad serta penolakan ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dalam berijtihad, dan selanjutnya kemaksuman tingka laku Nabi Saw. serta penolakan ketidakjelasan kemaksuman tingka laku Nabi Saw.. h. Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī (1975 M),41 dengan judul “al-Nubuwwah walAnbiyā”. Karya ini berisikan tentang kenabian dan para Nabi; menjelaskan bahwa kenabian merupakan karunia Tuhan, perbedaan antara al-Nubuwwah dengan al-Mulk, dan kenapa para Nabi itu dari kalangan manusia. Selanjutnya keutamaan dakwah para Nabi; para Nabi berdakwah atas perintah Tuhan dan mereka tidak pernah mengharapkan pahala ataupun imbalan dari risalah yang mereka emban dan sifat-sifat yang mereka miliki seperti al-Ṣidq, al-ʼAmānah, al-Tablīgh, al-Faṭānah, al-Salāmat min al-ʻUyūb al-Munaffirah, dan alʻIṣmah. Kemudian kemaksuman para Nabi; menjelaskan pengertian Maksum dan makna maksum menurut Syariat dan apakah para Nabi Maksum dari sebelum kenabian atau sesudah kenabian?. Kemudian kisah-kisah para Nabi;
40
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah (alQāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 41 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 56.
13
yakni mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan memahami tujuan kisahkisah dalam al-Qur’an. Selanjutnya menjelaskan mengenai pengkisahan Nabi Adam menurut al-Qur’an, serta Ulil ʻAzmi dan para Nabi lainnya. i. Tidak menyebutkan nama penulisnya,42 dengan judul “Kemaksuman Nabi”. Artikel ini, menjelaskan makna maksum, argumentasi dan manfaat kemaksuman, jenis-jenis kemaksuman, dan mungkinnnya sesorang selain para Nabi dan Rasul mendapat predikat maksum dengan tiga hal yaitu ketakwaan yang tingggi kepada Allah Swt., ilmu yang sempurna akan akibat dari perbuatan, dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Swt. Ketiga syarat ini, menurut penulis artikel mampu mendapat predikat kemaksuman. Delapan karya yang disebutkan di atas, berbeda dengan penelitian yang akan dikaji dalam skripsi ini. Pembahasan tentang kemaksuman Nabi, yang membedakan dengan peneliti sebelumnya adalah skripsi ini lebih fokus membahas dan mengkaji kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. sehingga akan diketahui kualitas matan hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. baik itu ṣaḥīḥ ataupun ḍāif. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, saya menyajikan dalam bentuk bab disertai subbab-subbab yang berkaitan. Hal ini saya maksudkan agar lebih mudah dalam memahami bahasan yang dikaji atau yang diteliti. Bab pertama, pendahuluan. Dalam pendahuluan ini, saya membahas mengenai latar belakang masalah dari kajian ini, kemudian identifikasi, 42
di akses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/ articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kemaksuman_nabi/001.html
14
pembatasan, dan perumusan masalah yang saya akan kaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan diakhiri sistematika penulisan dari penelitian ini. Bab kedua, berisikan diskursus kemaksuman Nabi Muhammad, meliputi beberapa sub bab dimulai dari pengertian maksum, hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui konsep maksum secara umum. Lebih lanjut, menjelaskan tentang kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Pada bab ketiga, analisis kritik matan hadis, meliputi empat sub bab pembahasan. Pertama, meneliti matan dengan kualitas sanad hadis, ini saya anggap penting karena sebelum melangkah pada kajian kritik matan hadis tentu harus terlebih dahulu mengetahui kualitas sanad hadisnya. Kedua, meneliti kandungan matan hadis, pembahasan ini penting sekali karena memperhatikan latar belakang hadis, kemudian apakah hadis tersebut mengandung kontradiksi atau tidak, al-Qur’an maupun al-Ḥadīts. Ketiga, perdebatan kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Keempat, kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Pada bab empat, merupakan penutup dari penelitian ini, yang terdiri dari kesimpulan yang berisikan jawaban atas pokok permasalahan, dan saran-saran.
BAB II DISKURSUS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW. A. Pengertian Maksum Secara bahasa maksum berasal dari bahasa Arab yaitu al-ʻIṣmah asal kata dari ) يعصم- )عصمbermakna al-Ḥifẓ dan al-Wiqāyah (penjagaan), sedangkan maksum menurut ucapan orang Arab maknanya al-imsāk (menahan diri), al-manʻ (mencegah), dan mulāzamah (patuh). Semua mengandung satu pengertian yaitu pemeliharaan Allah Swt. terhadap hambanya dari terjadinya kesalahan atau keburukan.1 Menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī al-ʻiṣm bermakna al-imsāk (menahan diri),2 dan menurut Ibn Manẓūr kata maksum (al-ʻiṣm) bermakna almanʻ(mencegah).3 Dalam al-Qur’an, kata al-ʻiṣmah ditemukan tiga belas kali dari tiga belas ayat dalam bermacam-macam bentuk,4 diantaranya berkaitan dengan perlindungan Nabi Muhammad Saw. dan peristiwa Nabi Nuh as. dengan anaknya. Berikut ayatnya:
ۚ
ۖ 5
ۗ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Dan Allah Swt. memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah Swt. tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” Ayat ini berbicara mengenai penjagaan dan pertolongan Allah Swt. kepada
1
Ibn Fāris, Muʻjam Maqāyīs fī al-Lughah (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), Cet. 1,779. Lihat juga al-Jīlānī dkk, al-Muʻjam al-ʻArabī al-Asāsī, 845-846. 2 Al-Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Kutub alʻIlmīyah, 2004), 568. 3 Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), J. 12, 403. 4 Lihat Fatḥ al-Raḥmān Liṭālib Āyāt al-Qur‟ān, 301-302. 5 Al-Māidah [5]: 67.
15
16
Nabi Muhammad Saw. dalam mengemban risalah dari kejahatan dan yang menundukkannya. Syaikh al-Ṭūsī dalam hal maksum, ia menganalogikan seperti tali geriba6 yaitu tali yang diikatkan untuk membawa geriba dengan tujuan untuk menguatkan tali kulit atau benang tersebut pada geriba, dalam arti maksum sebagai bukti penguat
kebenaran seorang Rasul dengan risalah yang
disampaikannya.7 Kemudian pada peristiwa dialog Nabi Nuh dengan anaknya yang terekam dalam al-Qur’an al-Karim:
8
“Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nabi Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah Swt. (saja) yang Maha penyayang”. dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” Ayat ini menceritakan dialog Nabi Nuh bersama anaknya yang ingkar yang mencoba mencari tempat perlindungan ke gunung dari bahaya air yang akan menenggelamkannya dan yang mampu memberikan pencegahan (keselamatan) hanya Allah Swt. Maka Nabi Nuh selamat.9 Ringkasnya, kata maksum (al-ʻiṣmah) mempunyai arti menahan diri, mencegah, dan patuh dari segala perbuatan salah dan buruk. Arti maksum secara bahasa tidak mengandung arti yang mendalam. Namun, bila dihubungkan dengan kenabian dan kerasulan maka akan sangat berarti dan mempunyai pengaruh besar hingga timbul perbedaan pandangan 6
Tempat air yang terbuat dari kulit. Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 3, 588. 8 Hūd [11]: 43. 9 Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 5, 490-491. 7
17
dalam pengertian kemaksuman, antara lain: 1. Maksum merupakan anugerah besar yang dikaruniakan oleh Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul, karena sifat-sifat yang mereka miliki sehingga menyelamatkan mereka dari perbuatan dosa dan maksiat, dari segala kemungkaran dan perkara-perkara yang diharamkan.10 Para ulama menafsirkan kemaksuman ke dalam empat kriteria: a. Terdapat malakah ilahiyah (bakat, kemampuan) untuk melakukan perbuatan baik dalam menjaga kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari berbagai macam perbuatan keji. b. Mempunyai pengetahuan akan manfaat ketaatan dan akibat buruk dari perbuatan maksiat. c. Penegasan ilmu dengan wahyu dan bukti dari Allah Swt. d. Jika melakukan kekeliruan tanpa sengaja, maka ia harus bertobat, menghukum dan memperingatkan diri serta merasa malu hati. Jika keempat kriteria tersebut terdapat pada diri seseorang, maka kemaksuman (dari perbuatan dosa) akan melekat. Menjaga kesucian jiwa diiringi dengan pengetahuan yang kuat, lalu dimantapkan dengan wahyu yang diterima, serta adanya bukti nyata, dan merasa takut dengan siksa dari kesalahan terkecil. Semua ini merupakan hakikat maksum yang disandang oleh para utusan Allah Swt. yaitu para Nabi dan Rasul. 11 2. Mayoritas ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa seorang Rasul tidak melakukan dosa besar sama sekali dengan unsur kesengajaan, adapun 10
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 54. 11 Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 64.
18
melakukan dosa kecil dengan unsur sengaja itu boleh, tentu dengan syarat perbuatan tersebut tidak menjijikan, mencacatkan atau dengan kata lain perbuatan tersebut tidak menurunkan derajat dan kehormatan baginya. Adapun menurut AbūʻAlī al-Jubāʼī bahwa seorang Rasul tidak melakukan dosa besar dan kecil dengan kesengajaan, akan tetapi boleh saja terjadinya kekeliruan dalam pentakwilan.12 Nabi Saw. pernah ditegur oleh Allah Saw. karena mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, yaitu ketika Nabi Saw. mengharamkan dirinya untuk minum madu setelah dari kediaman Zaynab bt. Jaḥsy. Demi menjaga keharmonisan dan menyenangkan istri-istrinya, Nabi Saw. bersumpah untuk tidak minum madu.13 Teguran yang ditujukan kepada Nabi Saw. bukan karena Nabi Saw. berbuat dosa. Akan tetapi, merupakan bentuk peringatan atau teguran kemuliaan supaya Nabi Saw. melakukan hal yang lebih sempurna dan utama yaitu dengan meninggalkan pengharaman karena lebih utama daripada melakukan pengharaman.14 3. Menurut Syaikh al-Mufīd bahwa seorang Nabi menjadi maksum dari lupa dan salah setelah diangkat sebagai utusan Tuhan. Adapun sebelum masa kenabian para Nabi kecuali Nabi Muhammad Saw., mereka melakukan dosa kecil yang tidak mencacatkan derajat mereka. Kemudian konsep maksum ini dikupas secara menyeluruh oleh murid Syaikh al-Mufīd yaitu al-Sayyid al-Murtaḍá. Menurutnya, Nabi dan Rasul itu suci dari semua dosa sebelum dan sesudah
12
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 40. Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 600. 14 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 155156. Lihat juga Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 169. 13
19
kenabian baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Sehingga pada akhirnya pendapat al-Sayyid al-Murtaḍá ini menjadi pijakan madzhab Syi’ah hingga sekarang.15 Sebelum kenabian, jdikisahkan bahwa Nabi Saw. hendak melihat pesta pernikahan dalam tradisi jahiliyah. Pada saat itu Nabi Saw. sedang mengembala kambing bersama kawan-kawannya kemudian terdengar suara nyanyian dan pukulan rebana, Nabi Saw. hendak melihat pesta tersebut dan menitipkan gembalaan kepada temannya. Akan tetapi, belum sampai pada tempat tujuan Nabi Saw. lelah dan tertidur sehingga beliau tidak sempat menghadiri pesta tersebut.16 Kemudian Nabi Saw. pernah diajak oleh pamannya Abū Ṭālib ke negeri Syam bersama rombongan dagang Quraisy, setelah sampai di Busrá, sebuah kawasan di Syam, mereka beristirahat di dekat rumah ibadah pendeta Baḥīra alRāhib. Kemudian pendeta membuatkan makanan untuk menjamu para rombongan Quraisy dan memerintahkan agar jangan sampai ada seorangpun yang tidak ikut makan yang telah disediakan oleh pendeta Baḥīra al-Rāhib. Tenyata ada satu pemuda yang menjaga di tempat perbekalan rombongan yaitu Nabi Saw. Setelah itu, pendeta Baḥīra al-Rāhib mendekati Nabi Saw. dan mendudukannya bersama rombongan lainnya.17 Pendeta itu menemukan kemuliaan terhadap pemuda itu, sehingga ia memperhatikan gerak-gerik seluruh tubuhnya. Setelah selesai makan, rombongan
15
Wan Zailan Kamaruddin, Siapa Itu Nabi-Nabi (Kuala Lumpur: PTS Millennia SDN,
2004), 58. 16
Abū Nuʻaym al-Aṣbahānī, Dalāil al-Nubuwwah (Beirūt: Dār al-Nafāis, 1986), Cet. 2,
17
Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 122-
186. 123.
20
Quraisy berpencar sedangkan pendeta Baḥīra al-Rāhib mendekati anak kecil itu (Nabi Saw.) dan bertanya kepadanya: “Wahai anak muda, dengan menyebut nama al-Lāta dan al-ʻUzzā aku bertanya kepadamu dan jawablah apa yang aku tanyakan kepadamu?” Kemudian pemuda (Nabi Saw.): “Janganlah sekali-kali engkau bertanya tentang sesuatu apapun kepadaku dengan menyebut nama alLāta dan al-ʻUzzā. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku tidak suka melebihi keduanya”. Pendeta berkata: “Baiklah aku bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah Swt. dan hendaknya engkau menjawab pertanyaanku.” Pemuda (Nabi Saw.) menjawab:“Tanyakanlah kepadaku apa saja yang hendak kau tanyakan!”18 Kemudian pendeta bertanya banyak hal kepada Nabi Saw. mengenai postur tubuh dan tidurnya Nabi Saw. Pada akhirnya, pendeta itu menemukan tanda kenabian yang berada diantara kedua pundak persis sebagaimana ciri-ciri seorang Nabi yang telah diketahuinya.19 Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. di masa sebelum kenabian, beliau berada dalam perlindungan dan penjagaan Allah Swt. dan dalam keadaan bertauhidkan kepada Allah Swt. Perbedaan pendapat tidak hanya berujung pada pengertian kemaksuman saja, hingga pada kemaksuman Nabi dan Rasul dari terjadinya maksiat dan dosa, apakah maksum itu atas kuasa dan kehendak sendiri (ikhtiar) atau maksum itu merupakan kuasa dan kehendak Tuhan. Selanjutnya pandangan beberapa ulama mengenai hal ini, sebagai berikut: Ulama al-Asyāʻirah (penganut madzhab al-Asyʻarī) dan al-Asyʻarī berbeda
18 19
Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 123. Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 123.
21
pendapat dalam hal ini, seperti al-Rāzī dan al-Ghazālī berpendapat, Tuhan menjadikan kebaikan kepada diri seseorang dengan membolehkannya melakukan ketaatan dan menghindari maksiat dengan kuasa dan kehendak sendiri. Begitu juga menurut al-Qaḍī ʻIyāḍ yang menekankan bahwa para Nabi dan Rasul itu maksum di sisi Tuhan dari kesalahan dan dosa dengan daya usaha dan kehendak mereka sendiri. Berbeda dengan al-Asyʻarī yang berpendapat bahwa maksum merupakan paksaan Tuhan (anugerah) yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul dan tidak berkehendak berbuat dosa. Al-Ḥusayn b. Muḥammad al-Najjār (ulama alJabarīyah) juga sependapat dengan al-Asyʻarī yang mengatakan bahwa para Nabi tidak kuasa melakukan maksiat dan dosa. Secara umum pendapat mayoritas ulama Ahl al-Sunnah wal-Jamāʻah, Syiʻah dan Muʻtazilah lebih menekankan pada kebebasan memilih melakukan kebaikan dan keburukan dengan kuasa dan kehendak sendiri (ikhtiar). Karena kebaikan itu menjadi penghalang bagi para Nabi dan Rasul dari berbuat dosa dan kesalahan, dalam arti kebaikan dari Tuhan merupakan sebuah petunjuk, penjagaan, penghormatan dan kebesaran bagi mereka.20 Sekalipun mereka berkuasa dan berkehendak, mereka tidak akan melalaikan ketaatan dan melakukan perbuatan dosa, karena para Nabi dan Rasul dibimbing dan mendapat petunjuk dari Allah Swt. Setiap Nabi dan Rasul dijaga oleh Allah Swt. dari kesalahan dan dosa (Maksum), dikarenakan mereka adalah pembawa risalah Allah Swt. Sekalipun
20
Wan Zailan Kamaruddin, Siapa Itu Nabi-Nabi (Kuala Lumpur: PTS Millennia SDN, 2004), 51-53
22
para Nabi dan Rasul itu adalah manusia, tentu bertabiat sebagaimana tabiatnya manusia, akan tetapi mereka adalah manusia pilihan Allah Swt. yang memiliki budi pekerti luhur, beramal baik, berjiwa suci, dan tidak ada cacat dalam perjalanan hidupnya karena mereka dijadikan sebagai teladan bagi manusia sehingga mereka dipelihara dari segala macam dosa dan kesalahan yang disengaja, tidak terkecuali dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai penutup para Nabi serta Rasul yang kemaksumannya dijelaskan secara gamblang di dalam alQur’an, yang berbunyi: “…sesungguhnya Allah hendak menghapuskan dosa-dosa kamu wahai „Ahlulbait‟ dan hendak mensucikan kamu sesuci-sucinya.”21 Dapat disimpulkan bahwa maksum adalah
anugerah yang Allah Swt.
berikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari berbuat dosa, maksiat, kemungkaran, dan keharaman yang merusak derajat dan kemuliaan mereka. Ditetapkan kemaksuman karena sifat-sifat keluhuran yang mereka miliki, hal ini yang membedakan para Nabi dengan manusia biasa pada umumnya dan anugerah ini hanya diberikan kepada para Nabi dan Rasul.
B. Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Sebagai penyempurna nikmat-Nya, Allah Swt. menjaga Nabi Muhammad Saw. dari masa kecilnya dari perbuatan-perbuatan jahiliyah hingga masa mudanya dan sampai diangkatnya menjadi seorang Nabi serta diberikan mandat risalah kepadanya. Nabi Muhammad Saw. memiliki sifat-sifat yang agung seperti; berbudi luhur, bermurah hati, jujur, amanah, berprasangka dan bertetangga baik,
21
Al-Aḥzāb [33]: 33.
23
dan dijauhkan dari perbuatan keji dan akhlak yang kotor22 bahkan tidak terbesit sedikitpun didalam hati dan pikiran seorang Nabi untuk berbuat dosa dan kesalahan.23 Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. benar-benar manusia pilihan yang dipersiapkan untuk menjadi teladan. Maksum dikategorikan ke dalam dua bagian24: 1. Maksum Dalam Penyampaian Risalah Para Rasul terjaga dalam mengemban risalah, mereka tidak lupa apa yang telah diwahyukan oleh Allah Swt., dengan demikian, tidak ada wahyu yang hilang sedikitpun kecuali hal yang dikehendaki oleh Allah Swt.25 Sebagaimana firman Allah Swt.: 26
(6). Kami akan membacakan (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa (7). Kecuali kalau Allah Swt. menghendaki, sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Begitupun para Rasul maksum dalam menyampaikan wahyu, mereka tidak sedikitpun menyembunyikan ataupun menambahi, mengurangi, dan tanpa diubah dan diganti apa yang diwahyukan oleh Allah Swt., karena sifat menyampaikan merupakan perkara wajib, dan menyembunyikan merupakan perbuatan khianat.27 Mereka tetap menyampaikan segala berita yang diterima dari Allah Swt.
22
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 56-57. 23 Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 8. 24 Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 44. 25 Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah (alQāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 26 Al-Aʻlá [87]: 6-7. 27 ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis. Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: Dār al-ʻIlmīyah, 2008), 137.
24
sekalipun menghadapi kedzaliman dan kekejaman manusia.28 Dengan demikian, terjamin kebenaran para Rasul dalam menyampaikan wahyu. Sebab jika tidak, tentu akan banyak mengalami kekeliruan dan kesalahan baik dari ucapan maupun perbuatan, jika mereka berbuat maksiat tentu tidak patut untuk diteladani dan sudah dipastikan bahwa mereka bertentangan dengan misi alQur’an sehingga merusak risalah yang mereka emban. Ini mustahil terjadi pada para utusan Allah Swt., karena mereka adalah manusia pilihan (terbaik).29 Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Jin ayat 26-28;
26. (Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia (Allah Swt.) tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. 27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia (Allah Swt.) mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. 28. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu. Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa Allah Swt. melalui para utusanNya dengan memberikan wahyu serta mengawasi dan menjaga mereka melalui para malaikat. Diketahui bahwa pengawasan dan penjagaan baik di muka dan dibelakangnya dengan tujuan menjaga wahyu dari setiap campuran, perubahan, penambahan, dan pengurangan yang dilakukan oleh setan-setan atau lewat perantara setan-setan. Ayat di atas menunjukkan bahwa wahyu terjaga dari
28
Abdul Hadi Awang, Beriman kepada Rasul (Selangor: PTS Islamika, 2007), 105-106. Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 64. 29
25
kebocoran yang sampai kepada manusia, dan terjaga saat proses diturunkannya wahyu kepada para Rasul.30 Kemudian berita yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. itu berdasarkan wahyu, tidak berdasarkan hawa nafsu. Oleh karenanya, kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dapat dipertanggungjawabkan karena berdasarkan bimbingan dan petunjuk-petunjuk dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya: 31
(3). Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur‟an) menurut kemauan hawa nafsunya.(4). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Ayat di atas menjelaskan bahwa apa yang diucapkan dan yang disampaikan oleh Nabi Saw. di dalam al-Qur’an itu tidak bersumber dari hawa nafsu. Akan tetapi, sesuai dengan yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Saw.32 Ketahui bahwa Allah Swt. menjaga Nabi Saw. dari ucapan yang bersumber dari hawa nafsu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt. menjaga perilaku dan pengambilan keputusan Nabi Saw. dari hawa nafsu. Oleh karena itu, di dalam sifat Nabi Saw. penuh dengan keagungan, sekalipun Nabi Saw. bergurau namun tidak mengucapkan kecuali yang hak.33 Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. tentu menyangkut kiprahnya sebagai seorang Rasul dan tujuan utama diutusnya untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran. Tentu,
30
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 20, 59. 31 Al-Najm [53]: 3-4. 32 Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 9, 421. 33 Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 27, 93.
26
tanpa kemaksuman segala apa yang menjadi tanggung jawabnya akan hancur bila pembawaannya bergantung pada hawa nafsu dan ketidakterjagaan akhlaknya. Jika Nabi Muhammad Saw. berbuat kesalahan atau tidak konsisten dengan ajaran ilahi maka dampak itu akan berpengaruh pada dakwahnya. Akibatnya, tidak akan berhasil secara sempurna tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, Allah Swt. menegaskan dan menguatkan Nabi Muhammad Saw. dan Nabi-nabi lainnya dengan mukjizat, serta membekali mereka ʻiṣhmah (maksum) sehingga dalam menjalankan tugas berat menyampaikan risalah, tidak terdapat kelalaian, kelupaan, dan kegentaran. Karena apabila mereka tidak maksum dalam menghadapi sifat-sifat tersebut maka manusia tidak akan bersandar dan menerima mereka dan akan memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam menyampaikan pesan Tuhan. Natijahnya adalah timbul kontra dengan maksud dan tujuan diutusnya para Nabi.34 Enam sifat wajib yang dimiliki para Rasul, sehingga pantas untuk mengemban risalah Ilahi.35 1. Ṣiddīq Kejujuran ini tidak rusak dalam segala kondisi. Apabila sifat ini rusak sedikit saja, maka risalah yang dibawa pun ikut rusak pula karena manusia tidak akan percaya kepada Rasul yang tidak jujur. Jadi, seorang rasul tidak sedikitpun dalam ucapannya mengandung kebatilan dalam situasi dan kondisi apapun. Nabi Muhammad Saw. sebelum kenabiannya sudah terkenal dengan kejujuran, 34
Abduh al-Baraq, Bukan Dosa Ternyata Dosa (Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2010), 12. Lihat juga artikel yang diakses pada 18 juni 2015 dari http://www.alhassanain.com /indonesian/articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kesucian_para _nabi/001.html 35 Said Hawa, al-Rasul Saw., penerjemah ʻAbd al-Hayyī al-Kattānī dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 28-29.
27
kepercayaan dan memiliki kedudukan yang terhormat di kalangan suku Quraisy. 2. Amānah Komitmen dengan apa yang Rasul sampaikan, sebagai wakil Allah Swt. Seorang Rasul mempunyai hubungan langsung dengan Allah Swt., tentu mengerti benar akan keagungan Allah Swt. dan tidak mungkin berkhianat kepada-Nya karena seorang yang berkhianat tidak pantas untuk mengemban risalah Ilahi. 3. Tablīgh Seorang Rasul menyampaikan kandungan risalah dan dakwahnya secara istiqomah, tidak peduli dengan resiko yang dihadapinya, seperti kebencian, siksaan, kejahatan, tipu daya, dan sikap kasar manusia yang menghalangi jalan dakwahnya. Tidak ada yang menyampaikan risalah Ilahi kecuali orang yang cintanya kepada Allah Swt. melebihi segalanya. Karena hanya Allah yang Maha Agung di sisinya dan hanya ridha-Nya yang dituju. 4. Faṭanah Seorang Rasul harus seorang yang cerdas, pikiran yang sempurna dan lurus, paling bijaksana, dan paling sempurna pengetahuannya, jelas dan tegas argumentasinya sehingga mampu meyakinkan orang lain akan kebenaran yang ia bawa, dan keberedaannya bisa menjadi bukti kebenaran risalah yang ia sampaikan. 5. Al-Salāmat min al-ʻUyūb al-Munfirah Keistimewaan yang Allah Swt. berikan kepada para utusan-Nya. Mereka tidak cacat mental dan jasmani yang menyebabkan kaumnya berkumpul dan mengikuti ajakan dakwahnya. Misalnya, penyakit kusta atau penyakit-penyakit
28
yang menjijikan hingga menyebabkan kaumnya lari darinya. Semua itu tidak mungkin terjadi pada seorang Rasul. Adapun kisah yang menyatakan bahwa Nabi Ayyūb as. tertimpa penyakit amat parah sehingga sekujur tubuhnya membusuk, keluar ulat yang bertebaran dan istrinya pun membenci dan menjauhinya. Kisah ini tidak benar dan penuh dengan kebohongan yang bersumber dari kisah Isrāīliyāt. Hal ini tentu bertentangan dengan sifat-sifat kenabian, karena para Nabi maksum dari penyakit-penyakit yang menjijikan.36 6. Al-ʻIṣmah37 Al-ʻIṣmah menjadi pembahasan khusus dalam penelitian skripsi ini. Keenam sifat di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan salah satunya, karena sifat-sifat tersebut melekat dalam jiwa seorang Rasul sehingga apa yang disampaikan oleh seorang Rasul mampu memberikan bukti kebenaran risalah Ilahi dan dapat diterima oleh umat manusia. 2. Maksum dari Perbuatan Maksiat dan Dosa Kepedulian Allah Swt. dalam memelihara Nabi Muhammad Saw. menjaga hati dan aqidahnya dari kekufuran, syirik, sesat, kelalaian, keraguan, dan menjaganya dari pengaruh setan karena Nabi Muhammad Saw. adalah sebaikbaiknya manusia.38
Kemudian
Allah Swt. menjaga para Nabi
dalam
menyampaikan agama dan tauhidnya, ini menunjukkan bahwa kemaksuman Nabi Muhammad Saw. meliputi pemahaman dan akidahnya. Hal ini tidak ada 36
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī, 1975), J. 3, 50. Lihat juga Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī, al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur‟ān al-Karīm (1988), Cet. 2, J. 23, 217. 37 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī, 1975), J. 3, 50-51. 38 Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunah (alQāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68.
29
perbedaan pendapat baik sebelum dan sesudah kenabian.39 Adapaun salah satu tujuan dari diutusnya para Rasul adalah untuk memberi petunjuk dan membimbing manusia ke jalan yang lurus, serta mensucikan jiwa manusia sehingga dapat mengenal dan kembali kepada Tuhannya yang Maha Kuasa,40 sebagaimana Allah Swt. telah berfirman perihal doa Nabi Ibrāhīm as.:
41 “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” Penyucian yang dimaksud adalah mensucikan hati dari kehinaan, mengangkat derajat dan menanamkan kebaikan kepada manusia. Ini merupakan tujuan utama diutusnya para Nabi dan Rasul dan diturunkannya kitab-kitab Allah Swt. untuk mengajak manusia kepada petunjuk ilahi. Melakukan perbuatan maksiat dan ingkar, perbuatan ini justru menghilangkan nilai dan moral serta merusak kepercayaan jiwa dan ketaatan kepada Tuhan. Perbuatan ini tidak mungkin dan mustahil dilakukan oleh seorang utusan Allah Swt. baik dalam situasi ramai, sepi dan terang-terangan.42
39
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunah (alQāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68. 40 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī, 1975), J. 3, 26. Lihat juga Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 53. 41 Al-Baqarah [02]: 129. Lihat juga Āli ʻImrān [03]: 164. 42 Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 54-55.
30
Menurut al-Ḥillī (w. 726 H.) bahwa kemaksuman para Rasul dari dosa merupakan perkara yang wajib, dengan beberapa alasan43: 1. Tujuan diutusnya para Rasul akan terwujud hanya dengan kemaksuman. Jika mereka tidak terjaga dari perbuatan maksiat, tentu orang-orang yang mereka seru tidak akan mendengarkan dan menerima seruannya karena mereka sendiri berbuat dusta dan maksiat, dan ini merusak tujuan risalah. 2. Taat kepada para Rasul hukumnya wajib. Jika mereka berbuat maksiat, tentu kaumnya wajib mengikuti perbuatan maksiat serupa, dan ini menjadi batal tujuan pengutusan mereka. 3. Jika seorang Rasul melakukan perbuatan maksiat, maka mereka bertentangan dalam menjalankan perintah Allah Swt. semua ini tentu mustahil terjadi pada mereka. Oleh sebab itu, kemaksuman merupakan suatu hal yang mesti bagi seorang Rasul sehingga lahir kepercayaan kepadanya dan dengan kepercayaan ini tujuan dapat tercapai yakni memberi petunjuk kepada umat. Maka para Rasul maksum dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Artinya Allah Swt. memilih dan mengutus seorang Rasul yang maksum dari segala jenis dosa, kelalaian dan kealpaan. Apabila tidak demikian, maka hal ini akan bertentangan dengan hikmah kenabian, pewahyuan kitab dan pengutusan para Rasul. Hikmah pengutusan para Rasul adalah untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Dan hal ini akan dapat tercapai tatkala para pembawa pesan Ilahi terjaga dan maksum dari kesalahan, kelalaian dan kealpaan dalam menerima dan menyampaikan wahyu. 43
Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 67.
BAB III PENELITIAN MATAN HADIS KEMAKSUMAN MUHAMMAD SAW. A. Peristiwa Renovasi Kaʻbah
1
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami ʻAbdal-Razāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah mengabarkan kepadaku ʻAmrū b. Dīnār dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah radliallahu ʻanhumā berkata; Ketika Kaʻbah diperbaiki Nabi Saw. dan al-ʻAbbās mengangkut bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi Saw.: “Ikatlah kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari bebatuan”. Tibatiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya terbelalak menengadah ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata: “sarungku, sarungku”. Kemudian beliau mengikatkan kain sarungnya kembali (dengan kuat).” a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad Dari hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya, bahwa hadis ini sanadnya Ṣaḥīḥ karena terdapat dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, sehingga saya tak perlu melakukan kegiatan kritik sanad. Dari semua jalur akan bertemu pada Jābir b. ʻAbdullah dan terdapat banyak Tawabiʻ yang menjadikan sanad hadis ini menjadi lebih kuat. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada lampiran 1 halaman 84.
1
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56. (no. hadis 364, 1582, dan 3829).
31
32
Menurut Badr al-Dīn Abī Muḥammad dan Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, hadis ini termasuk hadis Mursal Ṣahāby,2 karena Jābir b. ʻAbdullah tidak ikut serta dalam kegiatan perbaikan Kaʻbah bersama Rasulullah Saw. Jadi, Jābir b. ʻAbdullah tidak menyaksikan secara langsung kisah tersebut, dan mungkin Jābir b. ʻAbdullah mendengarkan kisah ini dari Nabi Saw. atau dari Sahabat senior lain yang ikut hadir pada peristiwa itu.3 b. Meneliti Kandungan Matan Hadis Pada umumnya orang-orang Quraisy mengangkat batu dengan meletakkan pakaian mereka di atas pundaknya untuk melindungi dan meringankan beban batu. Setelah Nabi Saw. mengikuti saran pamannya al-ʻAbbās untuk melepaskan pakaian dan diletakkan di atas punggung beliau, seketika Nabi jatuh dan pingsan (dalam keadaan auratnya terbuka) ke tanah. Dalam riwayat Ibn al-Ṭufayl, Muhammad Saw. terbuka auratnya saat mengangkat batu, maka beliau di seru untuk menutup auratnya, ini merupakan awal mula beliau diseru. Setelah peristiwa itu Nabi Saw. tidak pernah terlihat tanpa mengenakan pakaian lagi.4
2
Mursal Ṣaḥābī ialah pemberitaan Sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., tetapi ia tidak mendengarkan atau menyaksikan langsung dari Nabi Saw., karena saat Nabi hidup ia masih kecil atau terakhir masuk agama Islam. Akan tetapi, ia meriwayatkan dari Sahabat lain dari Nabi Saw. seperti Ibn ʻAbbās, Anas b. Mālik dan sebagainya. Ahli hadis menilai bahwa hadis Mursal Ṣaḥābī dihukumi al-Mawṣūl al-Musnad dan Maqbūl. Karena seluruh Sahabat bersifat adil dan ketidaktahuan Sahabat tidak membawa pengaruh negatif. Kemudian ahli hadis sepakat bahwa hadis Mursal Ṣaḥābī bisa dijadikan sebagai dalil atau hujjah kecuali Abū Isḥāq alIsfarāyinī yang tidak berhujjah menggunakan hadis Mursal Ṣaḥābī . Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Almaʻrif, 1974), 209. Lihat juga Ibn Ṣalāḥ, Muqadimah Ibn Ṣalāḥ fī ʻUlūm al-Ḥadīts, 26. Lihat juga Māhir Yāsīn, Muḥāḍarāt fi ʻUlum alḤadīts (al-Qāhirah: Dār Majid al-Islām, 2009), 39. Lihat juga al-Kirmānī, al-Kawākib al-Durārī fi Syarḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, 1981), J. 4, 24. 3 Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alKutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 16, 396. Lihat juga Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ: Maktabat al-Mulk, 2001), J. 1, 566. 4 Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alKutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 16, 396. Lihat juga Abū Yaḥyá Zakariyā al-Anṣārī, Manḥat al-Bārī bisyarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah Rusyd, 2005), J. 2, 60-61.
33
Kemudian disempurnakan oleh riwayat al-Ṭabrānī; ―setelah Nabi berdiri mengikatkan izār-nya kembali, beliau seraya bersabda: ―Aku telah melarang diriku berjalan dalam keadaan telanjang (tanpa mengenakan pakaian).‖5 Hadis ini menunjukkan kemuliaan Nabi Saw. yang Allah Swt. berikan dengan menjaga dan memelihara Nabi Saw. di masa kecilnya dari keburukan dan perilaku jahiliyah.6 Allah Swt. telah menjadikan Nabi Saw. baik budi pekerti dan mulia tabiatnya. Perlu diperhatikan bahwa Nabi Saw. berusaha menutup kembali dan setelah peristiwa tersebut Nabi Saw. tidak pernah terlihat telanjang (tanpa pakaian) lagi. Dikatakan bahwa Nabi Saw. mengangkat batu bersama orang-orang Quraisy baik laki-laki maupun perempuan.7 Akan tetapi, ketika masih berada di tengah banyak orang Nabi Saw. masih mengenakan pakaiannya. Dalam perjalanan mengangkat batu, Nabi Saw. berada di depan pamannya al-ʻAbbās baru kemudian melepaskan pakaiannya.8 Menurut Ibn al-Jawzī bahwa hadis di atas menggambarkan bentuk kecemasan atau kekhawatiran Nabi Saw. karena bagian tubuhnya terbuka dan tidak menunjukkan kalau Nabi Saw. terbuka auratnya. Karena Nabi Saw. hanya melepaskan izār-nya kemudian diletakkan di atas bahu beliau dengan maksud meringankan beban batu yang diangkat oleh beliau.9 Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak boleh dalam keadaan telanjang (tanpa pakaian) di tempat keramaian orang-orang. Umumnya seorang 5
Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ: Maktabat al-Mulk, 2001), J. 1, 566. Al-Kirmānī, al-Kawākib al-Durārī fi Syarḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts alʻArabī, 1981), J. 4, 24. 7 Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt), J. 2, 26. 8 Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts alSyarīf, Penerjemah. M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 3, 344. 9 Ibn al-Jawzī, Kasyf al-Musykil min Ḥadīts al-Ṣaḥīḥaynī (al-Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1997), J. 3, 32. 6
34
laki-laki seharusnya tidak telanjang dihadapan orang lain sekiranya telihat auratnya, berjalan telanjang (tanpa pakaian) sehingga mengganggu kenyamanan pandangan orang yang memandangnya, terkecuali dihadapan istri mereka sendiri. Menurut Imam al-Ṭabarī bahwa orang yang berjalan tanpa mengenakan pakaian takut dikira sebagai orang gila.10 1) Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an. Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, harus jauh dari al-Taḥrīf (penyelewengan), al-Intiḥāl (pemalsuan/penjiplakan), dan Sūʼ al-Taʼwīl (pentakwilan yang keliru) dan harus sesuai petunjuk al-Qur’an, yakni bingkai tuntunan ilahi yang kebenarannya bersifat pasti.11 Untuk memahami kemaksuman Nabi Muhammad Saw. secara mendalam, saya mencoba menampilkan ayat al-Qur’an yang ada kaitannya langsung dengan kemaksuman Nabi Muhammad Saw. berikut ayatnya:
ۚ
ۖ 12
ۗ
“Hai Rasul Saw., sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Dan Allah Swt. memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah Swt. tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” Ayat di atas terdapat dua poin besar yakni Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan risalah dan Allah Swt. menjanjikan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan jaminan maksum (terjaga) dari gangguan atau tipu daya manusia. 10
Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt), J. 2, 26. Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār al-Syurūq, 2002), 113. 12 Al-Māidah [5]: 67. 11
35
Rasulallah Saw. diperintahkan untuk menyampaikan risalah sebagaimana yang telah diwahyukan, agar senantiasa tidak takut celaka dan tidak perlu dikawal, tidak menanggapi ejekan orang-orang Yahudi, tidak membenci orang-orang munafiq. Kemudian apabila tidak menyampaikan risalah sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt. ataupun hanya sebagian saja, itu seperti halnya batal salat
karena
meninggalkan
salah
satu
rukunnya.
Karena
setiap
yang
menyembunyikan sesuatu dari agama dalam hal ini yang dimaksud adalah risalah Tuhan maka sama halnya Nabi Saw. meninggalkan semuanya, dalam arti rusak misi kerasulan diutusnya Nabi Muhammad Saw. kepada umatnya. Jika ada seseorang yang hendak merendahkan atau menaklukkan Nabi Muhammad maka Allah Swt. lah yang menjaganya dari mereka (orang-orang yang membenci Nabi Saw.).13 Pada ayat (
) diawali dengan ism al-Jalālah
(keagungan), ini menunjukkan bentuk kepedulian ataupun jaminan yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. secara langsung dengan memberikan perintah yakni menyampaikan risalah kepada umat manusia, tentu sesuai dengan yang diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Maka perlunya dengan yakin menyebut Asma Allah Swt., dalam arti apabila selalu bersama Allah Swt. maka Allah Swt. akan memberi penjagaan/pertolongan (Muhammad Saw.). Menurut Syaikh ʻAbd al-Qāhar bahwa dengan menghilangkan keraguan terhadap janji Allah Swt. maka Allah Swt. akan memberikan kesempurnaan janjinya
13
Syaikh Ṭanṭāwī Jawharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qurʼān al-Karīm (Kairo: Muṣṭafá alBābī al-Ḥalabī, 1350)J. 3, 184.
36
kepada Nabi Muhammad Saw.14 Menurut Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī bahwa al-ʻiṣmah mempunyai arti penjagaan dari keburukan manusia yang diarahkan kepada Nabi Muhammad Saw., baik itu karena tujuan agama dan mengemban risalah, karena semua itu masuk kedalam area yang suci. Maksum dari manusia ini tanpa ada penjelasan, bahwa maksum dari setiap permasalahan manusia seperti kekerasan pada tubuh baik itu pembunuhan, meracun atau setiap yang ada hubungannya dengan menghilangkan nyawa atau berupa fitnah, penghinaan atau hal lain seperti perbuatan licik, penipuan, tipu daya, dan semua itu tidak nampak dari kemaksuman Nabi Saw. sebagai penyamarataan. Akan tetapi, itu hanya konteks keburukan mereka yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar jatuh atau gagal dalam mengemban tugas risalah Tuhan.15 Tidak dapat dikatakan sebagaimana umumnya, mengenai perlindungan dari setiap kesulitan dan bahaya, karena pandangan seperti itu dibantah oleh alQur'an, hadis maʼtsūr dan sejarah yang dapat diterima. Allah Swt. telah menjadikan Nabi Muhammad Saw. lebih umum dari umatnya dalam arti Nabi Saw. mengalami kondisi sebagaimana umatnya, baik itu orang mu’min, orangorang kafir atau munafik dari kemalangan seperti, kesengsaraan dan aneka penderitaan dan keluhan yang tak seorang pun yang mampu menghadapi itu semua kecuali jiwa Nabi Saw. yang mulia.16
14
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 6, 263. Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 6, 50-51. 16 Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 6, 53. 15
37
Adapaun tujuan dari turunnya ayat ini adalah sebagai penguat (al-Taʼkīd) mental Nabi Muhammad Saw. dalam mengemban risalah dan al-ʼiṣmah pada ayat di atas bermakna penjagaan Nabi Saw. dari tipu daya musuh yaitu orang-orang kafir dari Yahudi, orang-orang munafiq, dan orang-orang musyrik.17 Dalam kitab al-Dur al-Mantsūr, mengutip riwayat yang bersumber dari Ibn Abī Ḥātim, Ibn Marduwayh dan Ibn ʻAsākir dari Abī Saʻīd al-Khudrī, ia berkata: Ayat ini yaitu (
) turun kepada Rasulullah Saw.
pada hari Ghadīr Khumm18 sehubungan dengan ʻAlī b. Abī Ṭālib.19 Menurut alWāḥidī bahwa hadis ini sanadnya ḍaʻīf karena menurutnya dua rawi seperti ʻAlī b. ʻĀbas dinilai ḍaʻīf dan ʻAṭiyah b. Saʻd al-ʻAwfī dinilai ṣadūq (bermadzhab Syi’ah yang mudallis).20 Al-Ṭabrānī, Abū al-Syaikh, Ibn Marduwayh dan Abī Naʻīm dalam kitab al-Dalāil, dan Ibn ʻAsākir meriwayatkan dari Ibn al-ʻAbbās, ia berkata: Nabi Saw. perlu pendamping untuk menjaganya, maka diutuslah Abū Ṭālib untuk mendampinginya. Setiap hari tokoh-tokoh dari Banī Hāsyim menjaganya, sehingga turun ayat (
). Maka pamannya hendak mengutus
seseorang untuk menjaga Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. bersabda: Wahai
17
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 6, 263. Lokasi di Arab Saudi, di tengah-tengah antara Mekkah dan Madinah lebih kurang 200 mil atau daerah itu lebih dikenal sebagai tempat penobatan ʻAlī b. Abī Ṭālib sebagai wali dan khalifah yang dilakukan oleh Nabi Saw. 19 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Durr al-Mantsūr fi Tafsīr al-Qur‟ān (al-Qāhirah:, 2003), Cet. 1, J. 5, 383. 20 Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 204. 18
38
pamanku, Sesungguhnya Allah Swt. telah menjagaku dari jin dan manusia.21 Menurut al-Wāḥidī bahwa hadis di atas sanadnya ḍaʻīf karena menurutnya ada seorang rawi (al-Naḍr bʼ ʻAbd al-Raḥmān Abū ʻUmar al-Khuzzāz) yang dinilai matrūk (tertuduh dusta).22 Dalam riwayat yang lain diriwayatkan oleh Ibn Ḥibbān dan Ibn Marduwayh dari jalan Abī Salamah dari Abī Hurayrah, ia berkata: Ketika Rasulullah Saw. berhenti di suatu tempat yang dipilihkan oleh para sahabatnya di dekat pohon, kemudian meletakkan pedangnya pada sebatang dahan pohon. Kemudian datanglah seorang dusun arab lalu mendekati sedangkan Nabi Saw. sedang tidur kemudian ia membangunkan Nabi Saw. dan menghunus pedangnya serya berkata: Siapakah yang akan menghalangimu dariku? Rasulullah Saw. menjawab: Allah Swt. yang akan menolongku darimu, jatuhkanlah pedangmu. Maka ia menjatuhkan pedangnya. Maka turunlah ayat:
23
2) Menghimpun Hadis-hadis yang Satu Tema. Terdapat tiga periwayatan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dua periwayatan dalam Ṣaḥīḥ Muslim, dan empat periwayatan dalam Musnad Aḥmad b. Ḥanbal. Namun, dari ketiga Mukharrij masing-masing banyak kesamaan dan sedikit perbedaan pada beberapa penggunaan kata dalam lafadz matan hadis. Namun tidak merubah
21
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb al-Nuzūl al-Musammá Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl (Beirūt: Muʼassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyah, 2002), Cet. 1, 106. Lihat juga tafsirnya al-Durr alMantsūr fi Tafsīr al-Qur‟ān (al-Qāhirah:, 2003), Cet. 1, J. 5, 385-386. 22 Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 205. 23 Hadisnya ḥasan lihat Muqbil b. Hādī al-Wādiʻī, al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb alNuzūl (al-Yaman: Maktabah Ṣanaʻāʼ al-Atsariyah, 2004), Cet. 2, 99. Dan sanadnya Lā baʼsa bih lihat ʻIṣām b. ʻAbd al-Muḥsin al-Ḥamīdān, al-Ṣaḥīḥ min Asbāb al-Nuẓūl (Beirūt: Muʼassasah alRiyān, 1999), Cet. 1, 168.
39
maksud dari hadis tersebut dan masih dalam satu tema yaitu berbicara mengenai keikutsertaan Muhammad Saw. dalam perbaikan Kaʻbah. Berikut tabel lafadz yang digunakan tiga mukharrij hadis: Mukharrij
Jalur 1
Jalur 2
Jalur 3
Al-Bukhārī
–
Muslim
–
Aḥmad
–
Jalur 4
–
Adapun keterangan tabel di atas, dari tiga jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ada persamaan dalam penggunaan kata raqabah ada juga yang menggunakan kata Mankib. Begitu juga pada jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Aḥmad b. Ḥanbal. Menurut Ibn Rāfiʻ dalam riwayatnya menggunakan “ʻala Raqabatika” dan tidak mengatakan “ʻala ʻĀtiqika”.24 Berikut arti kata yang digunakan mukharrij dalam matan hadis tersebut: 1. Raqabah mempunyai arti al-ʻUnuq (leher), ada yang mengatakan bagian atas al-ʻUnuq dan bagian bawah al-ʻUnuq.25 2. Mankib mempunya arti Mujtamaʻun raʼsi al-Katifi wal-ʻAḍudi (tempat pertemuan bahu dan lengan atas).26 3. ʻĀtiq mempunyai arti Ma bayna al-Mankib wal-ʻUnuq (bagian diantara bahu dan leher).27 4. ʻUryān mempunyai arti ʻAriya min Tsawbihi (bertalanjang/melepaskan 24
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165. Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 1, 427. 26 Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 1, 771. 27 Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 10, 237 25
40
pakaiannya).28 Kata ʻUryān asal kata dari (
) di dalam al-Qur’an hanya terdapat satu
ayat yaitu mengkisahkan Nabi Adam dan istrinya di dalam surga dan keluar dari surga disebabkan bisikan setan karena setan merupakan musuh bagi keduanya. Kemudian Allah Swt. menggambarkan keadaan di dalam surga, sebagaimana termuat dalam surah Ṭāhā ayat 118; (
) yang artinya
(Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang). Ayat tersebut menunjukkan adanya kesesuaian antara lapar dan telanjang. Apabila lapar merupakan kekosongan tubuh yang tersembunyi dan yang dapat menjaga dari rasa sakit adalah makanan, sedangkan telanjang merupakan kekosongan tubuh yang nampak dan yang dapat melindungi dari rasa hembusan angin dan dingin adalah pakaian.29 Sehingga rasa lapar itu dikategorikan sebagai hinaan yang tak nampak dan telanjang sebagai hinaan yang nampak jelas yang menjadikan orang tersebut menjadi malu.30 Dari beberapa makna yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan tempat meletakkan izār-nya dibagian antara batas lengan atas dan bagian bawah leher. Berkesimpulan bahwa Nabi Saw. meletakkan izār-nya di atas bahu untuk menjaga rasa sakit dan meringankan berat beban batu yang diangkat oleh Nabi Saw. dan orang-orang Quraisy lainnya. Kemudian riwayat lain menginformasikan bahwa
28
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 15, 46. Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 16, 322. 30 Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-ʻAẓīm (al-Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1999), Cet. 2, J. 5, 320. 29
41
Nabi Saw. tidak pernah lagi berjalan tanpa mengenakan pakaian (ʻUryān) setelah peristiwa tersebut.31 3) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya). Pada masa sebelum kenabian, terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Nabi Saw. ketika ikut kegiatan perbaikan Kaʻbah, menurut al-Zuhrī saat itu Nabi belum dewasa, menurut Ibn Baṭāl saat itu usia Nabi lima belas tahun (15), menurut Hisyām lima (5) tahun sebelum kenabian, ada yang mengatakan pada usia tiga puluh enam tahun (36), menurut al-Bayhaqī sebelum Nabi menikah dengan Khadījah, dan pendapat yang masyhur adalah sepuluh tahun (10) setelah menikah dengan Khadījah yaitu tiga puluh lima tahun (35).32 Kaʻbah sempat mengalami perbaikan kembali karena kota Makkah sering di landa banjir mengakibatkan bangunan Kaʻbah semakin rapuh sehingga meretakkan dinding Kaʻbah. Orang-orang Quraisy berpendapat bahwa perlu diadakannya perbaikan bangunan Kaʻbah untuk memelihara kedudukannya sebagai tempat yang disucikan oleh bangsa Arab, umumnya segenap penjuru jazirah Arab.33 Diriwayatkan dari al-ʻAbbās bahwa bersama Nabi Saw. dan orang-orang Quraisy memindahkan batu untuk merenovasi bangunan Kaʻbah, sedangkan anak perempuan berada di rumah. Ketika orang-orang Quraisy hendak mengangkat batu-batu, ditugaskan dua orang dua orang laki-laki untuk memindahkan batu dan para perempuan memindahkan kapur pelabur dinding. Al-ʻAbbās bersama Nabi 31
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165. Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alKutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 4, 106. 33 Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. 1, 93. 32
42
Saw. memindahkan batu di atas bahu. Ketika al-ʻAbbās dan Nabi Saw. berada di tengah banyak orang keduanya masih mengenakan pakaiannya, Nabi Saw. berada di depan pamannya al-ʻAbbās. Dalam perjalanan mengangkat batu Al-ʻAbbās dan Nabi Saw. melepaskan pakaiannya kemudian diletakkan di atas bahu mereka untuk meringankan beban batu, terasa panas al-ʻAbbās berjalan cepat dan tiba-tiba Nabi Saw. jatuh dan matanya terbelalak memandang ke atas langit. Al-ʻAbbās bertanya kepada Nabi Saw.: Ada apa? Kemudian Nabi Saw. berdiri dan mengambil pakaiannya, seraya bersabda: ―Aku dilarang berjalan telanjang‖. Kemudian al-ʻAbbās menyembunyikan kejadian tersebut, sebab khawatir kalau peristiwa tersebut diceritakan kepada orang-orang, mereka akan menganggap Nabi Saw. gila, sampai Allah Swt. mengangkatnya menjadi Nabi dan RasulNya.34 Sebelum melakukan renovasi Kaʻbah, orang-orang Quraisy menemukan sebuah kapal dagang asing yang terkena badai besar mengakibatkan kapal itu pecah
dan
terdampar
di
tepi
Laut
Merah
(Jeddah).
Riwayat
lain
menginformasikan bahwa kapal itu milik Baqum, ia merupakan saudagar besar Mesir dari bangsa Romawi yang pandai dalam hal pertukangan. Kemudian tibatiba kapal milik Baqum itu dihantam badai mengakibatkan kapal tersebut
34
Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts al-Syarīf, Penerjemah. M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 3, 344. Lihat juga Aḥmad b. ʻAmrū b. al-Ḍaḥāk Abū Bakar al-Syaybānī, al-Āḥād wal-Matsānī (al-Riyaḍ: Dār alRāyah, 1991), J. 1, 51. (no. 354)
43
terdampar di pantai jazirah Arab (Jeddah).35 Dalam merenovasi Kaʻbah, para pembesar Quraisy berkomitmen harta benda yang digunakan untuk perbaikan bangunan Kaʻbah harus suci, tidak berasal dari hasil menipu, merampas, berjudi, dan sebagainya. Jadi, bahan bangunan yang ditemukan di pantai jazirah Arab (Jeddah) ini bukan barang hasil temuan belaka. Akan tetapi, kapal yang terdampar itu terdengar oleh penduduk kota Mekah, hingga akhirnya para pembesar Quraisy yang dikepalai Walid b. Mughirah mendatangi kapal tersebut dan membelinya. Kemudian Baqum, diminta untuk membantu dan mengatur proses perbaikan bangunan Kaʻbah yang rusak dan Baqum menerima permintaan tersebut.36 Dalam melakukan perbaikan bangunan Kaʻbah, Walid b. Mughirah membagi pekerjaan mereka dibeberapa tempat untuk setiap kabilah Quraisy. Misalnya, yang mengerjakan di bagian pintu Kaʻbah diserahkan kepada Bani Abdi Manaf dan Bani Zuhrah, bagian Rukun Aswad dan Rukun Yamani diserahkan kepada Bani Makhzum dan beberapa kabilah Quraisy, begitupun seterusnya.37 Kemudian mereka memperluas ukuran Kaʻbah dan menambah ketinggian bangunan Kaʻbah dari 9 hasta menjadi 18 hasta (8,46 meter). Bagian dalam utara Kaʻbah telah dibuatkan tangga, sementara di bagian dalam barat Kaʻbah (pintu belakang) tertutup dan pintu timur dipertinggi untuk menghindari
35
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Press, 2001), Cet. 1, 94. lihat juga Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ: Mulk, 2001), Cet. 1, J. 3, 516. 36 Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Press, 2001), Cet. 1, 95. 37 Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Press, 2001), Cet. 1, 95.
Gema Insani Maktabat alGema Insani Gema Insani
44
banjir dan mencegah masuk para penyusup.38 Dengan pembagian seperti itu, setiap kabilah Quraisy merasa ikut serta dalam kegiatan perbaikan Kaʻbah (tempat suci) dan Muhammad Saw. juga ikut mengangkat bebatuan bersama al-ʻAbbās. B. Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar.
39
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b. Ayyūb dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; Telah mengabarkan kepada kami sedangkan yang lainnya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abū Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān kedua anak Yasār dan Abū Salamah b. ʻAbdal-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata; „Pada suatu ketika, Rasulullah Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah) dengan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abū Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang. Lalu ʻUmar b. Khaṭṭab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang. Kemudian ʻUtsmān b.ʻAffān datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Muḥammad bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang 38
Muhammad ʻAbd al-Hamid al-Syarqawi dan Muhammad Raja'I al-Thahlawi, Kaʻbah Rahasia Kiblat Dunia. Penerjemah Luqman Junaidi dan Khalifurrahman Fath (Jakarta: Hikmah, 2009), 98-99. 39 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401).
45
sama. Lalu ʻUtsmān masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻĀisyah bertanva; “Ya Rasulullah, ketika Abū Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b.ʻAffān datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Sebenarnya ada apa dengan hal ini semua ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Hai ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya.” a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad Hadis riwayat ʻĀisyah ini terdapat pada kitab Ṣaḥīḥ Muslim, sehingga saya tak perlu melakukan kegiatan kritik sanad. Dari semua jalur hadis ini akan bertemu pada Siti ʻĀisyah dan ʻUtsmān b. ʻAffān (masing-masing menjadi Syawahid), keduanya ada dalam kisah. Pada sanad hadis ini terdapat Tawabiʻ yang menjadikan sanad hadis ini menjadi lebih kuat dan semua periwayat dinilai oleh para kritikus sebagai periwayat yang Tsiqah. Bisa dilihat pada lampiran 2 halaman 91-92. b. Meneliti Kandungan Matan Hadis Hadis riwayat ʻĀisyah menunjukkan bahwa paha bukan aurat, karena Nabi Muhammad Saw. membiarkan (secara sengaja) paha atau betisnya dalam keadaan terbuka. Seandainya yang terbuka hanya betis Nabi Saw. saja, tentu beliau tidak bergegas menurunkan pakaiannya saat ʻUtsmān datang dan ʻUtsmān pun tidak merasa malu karena yang terbuka hanya betis. Ketika Nabi Saw. menjamu Abū Bakar dan ʻUmar, beliau tetap membiarkan pahanya terbuka, berbeda ketika mengizinkan Utsmān untuk masuk, Nabi Saw. segera merubah posisi dan menutup kedua pahanya karena bila Nabi Saw. tidak melakukan hal tersebut, ʻUtsmān tidak mengatakan keperluannya. Akan tetapi, bila paha adalah aurat,
46
pasti hal itu tidak akan berlangsung lama karena Muhammad Saw. maksum dari terbukanya aurat. 1) Memahami Al-Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an. Menurut saya ada kata lain dalam al-Qur’an yang memiliki arti sama dengan arti maksum seperti al-mukhlaṣ. Al-mukhlaṣ maknanya tidak sama dengan al-mukhliṣ. Menurut Tsaʻlab makna dari al-mukhliṣ/al-mukhliṣīn yaitu orangorang yang mensucikan hati untuk ibadah karena Allah Swt. semata, adapun makna dari al-mukhlaṣ/al-mukhlaṣīn yaitu orang-orang yang dimurnikan (terpilih) Allah Swt.40 atau orang-orang yang diberi taufik untuk mentaati segala petunjuk Allah Swt.41 sehingga iblis dan anak cucunya tidak dapat mengotori diri mereka dengan dosa, bahkan dapat dikatakan iblis dan anak cucunya pun tidak punya keinginan untuk mendorong mereka ke lubang dosa. Di tengah-tengah umat manusia ada hamba-hamba Allah Swt. yang tergolong mukhlaṣ dan setan sejak awal penciptaan manusia enggan menyesatkan mereka. Semenjak terusir dari istana surga karena iblis merasa derajatnya lebih tinggi dari Nabi Ādam as. sehingga ia enggan untuk bersujud. Kemudian iblis bersumpah demi keagungan dan kemuliaan Allah Swt. (Allah Swt. memberi ketangguhan kepada iblis) untuk terus berusaha menyesatkan hamba-hamba-Nya hingga waktu yang telah ditentukan (hari kiamat), kecuali hamba-hamba yang mukhlaṣ. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ṣad ayat 82-83: 83
40 41
82
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 7, 26. Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, 193.
47
82. Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau (Allah Swt.), aku akan menyesatkan mereka semuanya. 83. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlaṣ di antara mereka. Huruf ―ba‖ yang terdapat dalam (
) sebagai sumpah, bahwa iblis
bersumpah dengan kekuasaan yang Allah Swt. berikan kepadanya untuk menyesatkan manusia kecuali orang-orang yang dimurnikan oleh Allah Swt. maka mereka tidak akan tersentuh oleh rayuan iblis dan yang lainnya.42 Kemudian diperjelas lagi dalam surah al-Ḥijr ayat 39-40, sebagai berikut; 39 40 (39). Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya, (40). Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlaṣ (terpilih) di antara mereka.” Kata ―al-Tazyīn‖ mempunyai arti al-Taḥsīn yang menjadikan sesuatu terlihat indah/baik padahal itu merupakan keburukan yang bisa mendatangkan murka Allah Swt. (tipu daya iblis) dan iblis menghiasi benteng dengan kesenangan sehingga mengalihkan perhatian dari tugas kewajiban mereka terkecuali orang-orang yang terpilih dan tersucikan (al-Mukhlaṣīn). Bacaan yang masyhur, seperti Nāfiʻ, Ḥamzah, ʻĀṣim dan al-Kisāʻī, mereka membacanya dengan huruf “lam” dibaca fatḥaḥ, “al-Mukhlaṣīn” yang bermakna orang-orang terpilih dan tersucikan. Adapun seperti Ibn Katsīr, Ibn ʻĀmir, dan Abī ʻAmrū, mereka membacanya dengan huruf “lam” dibaca kasrah,
42
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 17, 227.
48
“al-Mukhlaṣīn” yang bermakna orang-orang yang ikhlas dalam berbuat.43 Al-Qur’an menyebut para Nabi dengan sebutan hamba-hamba yang mukhlaṣ. misalnya Nabi Yūsuf as., Nabi Mūsá as. dan para Rasul lainnya. AlQur’an menceritakan kisah ketertarikan Zulaykha kepada Nabi Yūsuf as. Dikisahkan bahwa Zulaykha menyiapkan sebuah kamar yang benar-benar tertutup rapat. Sejak awal ia melakukan apa saja demi mendapatkan Nabi Yūsuf as. lalu membujuknya untuk memasuki kamar, dan menutup rapat pintunya sehingga tak ada satu orang pun yang tahu apa yang terjadi di dalamnya. Allah Swt. berfirman dalam surah Yūsuf ayat 24:
“Sungguh, perempuan itu telah bermaksud kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun bermaksud kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” .
Tidak ada keraguan bahwa ayat tersebut mengacu pada keselamatan Nabi Yūsuf as. dari terjadinya kemaksiatan, dan peristiwa tersebut memberikan maksud bahwa Nabi Yusuf terhindar dari perbuatan buruk dan keji karena ia melihat burhān (anda/bukti)44 dari Tuhannya sehingga Allah Swt. menyelamatkan Nabi Yūsuf as. dari perbuatan buruk dan keji tersebut. Ayat ini sungguh jelas bahwa Allah Swt. menjaga dan menyelamatkan orang-orang terpilih (mukhlaṣ) dari
43
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 14, 49-51. Lihat juga Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 12, 163-164. 44 Burhān merupakan kekuasaan yang dimaksudkan menjadi berguna untuk meyakinkan hatinya (ilmu yakin) seperti mu’jizat. Ada yang mengatakan arti burhān itu ḥujjah, wahyu ilahi, penjagaan ilahi, dan penglihatan yang memberikan gambaran yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Lihat Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 12, 254.
49
perbuatan buruk dan keji, sehingga mereka tidak berbuat maksiat dan ini dinamakan sebagai al-ʻIṣmah al-Ilāhiyah.45 Kemudian Nabi Mūsá as. termasuk Rasul yang mukhlaṣ, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Maryam ayat 50-51; 50 51 (50). Dan kami (Allah Swt.) anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat kami dan kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi. (51). Dan ceritakanlah (hai Muhammad Swt. kepada mereka), kisah Mūsá di dalam al-Kitab (al-Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang Rasul dan Nabi. Ayat di atas menunjukkan adanya pengkhususan yang diberikan kepada Nabi Mūsá as. dengan sebutan al-Mukhlaṣ yang mempunyai dua sisi keistimewaan diantaranya; Nabi Mūsá as. memurnikan dakwahnya atas perintah Allah Swt. dan ikhlas memenuhi amanat Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. telah memilih Nabi Mūsá as. dari sebelum diutus dengan wahyu ilahi, maka Nabi Mūsá as. disebut sebagai al-mukhlaṣ yang berarti orang yang dipilih.46 Menurut al-Ṭabāṭabāī bahwa al-mukhlaṣ merupakan derajat kepatuhan tertinggi.47 2) Menghimpun Hadis-hadis yang Satu Tema. Terdapat satu jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ Muslim, dan empat periwayatan dalam Musnad Aḥmad b. Ḥanbal. Namun, dari kedua Mukharrij masing-masing terdapat banyak kesamaan dan sedikit perbedaan pada beberapa 45
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 11, 130-133. Lihat juga Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 12, 253. 46 Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 16, 127. 47 Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 14, 62.
50
penggunaan kata dalam lafadz matan hadis. Namun tidak merubah maksud dari hadis tersebut dan masih dalam satu tema yaitu berbicara mengenai terbuka paha Muhammad Saw. saat berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar. Berikut tabel persamaan dan perbedaan matan hadis: Mukharrij
Jalur 1
Jalur 2
Jalur 3
Jalur 4
Muslim
Aḥmad
Adapun keterangan tabel di atas, pada jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ Muslim ada terdapat keraguan, bagian kedua paha atau kedua betis yang terbuka. Namun, dari empat jalur periwayatan Aḥmad b. Ḥanbal salah satu riwayat (jalur 2) ada yang menjelaskan bahwa yang terbuka itu bagian paha Nabi Saw. dengan tanpa adanya keraguan. Berbeda redaksi matan, dengan lafadz yang digunakan oleh Imam al-Bukhārī dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya yaitu (
),
menginformasikan bahwa yang terbuka itu bukan paha ataupun betis tetapi lutut Nabi Saw. yang terbuka pada saat duduk di suatu tempat yang ada airnya. Namun, ketika ʻUtsmān datang, Nabi Saw. segera menutupnya.48 3) Memadukan Hadis-hadis yang Tampak Bertentangan Sebelum melangkah pada pembahasan hadis-hadis
yang tampak
bertentangan mengenai paha termasuk aurat atau bukan, saya mencoba menjelaskan apa arti dari al-Fakhidz itu sendiri. Kata al-Fakhidz menurut Ibn 48
3695)
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), 438. (no hadis
51
Manẓūr ialah Waṣl ma bayna al-Sāq wal-Warik (dari lutut sampai pangkal paha/ pinggang),49 begitu juga menurut Aḥmad Mukhtar ʻUmar bahwa makna alFakhidz adalah Ma Fawqa al-Rukbah ilá al-Warik (dari atas lutut sampai pinggang).50 Jadi, batasan paha itu dari atas lutut sampai pada pangkal paha. Jika diperhatikan hadis riwayat ʻĀisyah di atas, bertentangan dengan hadis riwayat Jarhad di bawah ini, berikut penjelasannya:
51
“Telah menceritakan kepada kami Ḥusayn b. Muḥammad berkata; telah menceritakan kepada kami Ibn Abū al-Zinād dari Bapaknya dari Zurʻah b. ʻAbd al-Raḥmān b. Jarhad dari Jarhad kakeknya dan beberapa orang Aslam selainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. melewati Jarhad dan paha Jarhad tersingkap di halaman masjid. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Wahai Jarhad tutuplah pahamu. paha itu aurat.” Satu sisi hadis riwayat ʻĀisyah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. dengan sengaja membiarkan pahanya terbuka pada saat menjamu Abū Bakar dan ʻUmar. Sisi lain pada hadis riwayat Jarhad bahwa Muhammad Saw. memerintahkan kepada Jarhad untuk menutup pahanya karena paha termasuk bagian dari aurat. Jelas bahwa kedua hadis ini menuai kontradiksi. Untuk menghilangkan kontradiksi antara kedua hadis tersebut, saya
49
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 3, 501. Aḥmad Mukhtar ʻUmar, Muʻjam al-Lughah al-ʻArabiyah al-Muʻāṣirah (al-Qāhirah: Ālim al-Kutub, 2008), J. 3, 1679. 51 Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), Cet. 1, J. 12, 378. Lihat juga J. 16, 325-326. 50
52
menggunakan metode al-Jamʻwal-Tawfiq52 agar kedua hadis tetap berlaku dan digunakan sebagai dalil tanpa mengesampingkan salah satu hadis. Karena pada asalnya nash-nash syariʻah yang tetap tidak mengandung kontradiksi, karena yang hak tidak akan berlawanan dengan yang hak pula. Kalaupun terjadi adanya kontradiksi, maka hal itu sebenarnya hanya sepintas penglihatan saja, namun pada hakikatnya tidak demikian. Untuk itu hadis-hadis tersebut dikompromikan, karena setiap hadis masing-masing mempunyai wadah. Apabila sebuah nash hadis ditempatkan pada wadahnya maka hadis yang terlihat kontradiksi akan hilang.53 Adapun hadis riwayat Jarhad, peristiwa itu terjadi di halaman masjid, Nabi Saw. melewati Jarhad dalam keadaan pahanya terbuka, kemudian Nabi Saw. memerintahkan Jarhad untuk menutup pahanya karena termasuk kedalam bagian aurat. Perlu diperhatikan bahwa di halaman masjid itu merupakan tempat perkumpulan atau kerumunan orang-orang dan dikategorikan sebagai tempat umum, sehingga tak pantas bila seseorang terbuka auratnya. Sedangkan pada hadis riwayat ʻĀisyah, peristiwa ini terjadi di rumah ʻĀisyah (rumah Nabi Muhammad Saw. juga), Muhammad Saw. sedang berbaring dan paha beliau dalam keadaan terbuka, kemudian Abū Bakar meminta izin untuk masuk danʻUmar pun demikian, Muhammad Saw. tidak merubah posisinya (paha beliau masih dalam keadaan terbuka) saat menjamu Abū Bakar dan ʻUmar. Berbeda ketika sahabat ʻUtsmān meminta izin untuk masuk seketika Nabi Saw. merubah posisinya (menutup kedua pahanya) dan menurut Nabi Saw., ʻUtsmān 52
Yaitu kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Lihat M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), 73. 53 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār al-Syurūq, 2002), 133.
53
adalah seorang yang pemalu. Peristiwa ini terjadi di hari yang berbeda. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peristiwa riwayat Jarhad terjadi di tempat umum yaitu di halaman masjid. Halaman masjid merupakan tempat perkumpulan, dan tempat lalu-lalang orang-orang. 2. Peristiwa riwayat ʻĀisyah dan ʻUtsmān ini terjadi di dalam rumah Nabi Muhammad Saw. dan ʻĀisyah, di dalam rumah pribadi tidak di tempat umum ataupun tempat lalu-lalang orang-orang. 3. Kemudian Abū Bakar merupakan Sahabat yang paling dekat dengan Nabi, selain itu juga Abū Bakar sebagai mertua Nabi karena putri Abū Bakar, ʻĀisyah, menjadi istri Nabi setelah Khadijah meninggal dunia dan usia Abū Bakar lebih muda dua tahun dari Nabi Muhammad Saw.54 4. Begitupun dengan Sahabat ʻUmar merupakan mertua Nabi juga, karena putri ʻUmar, Ḥafṣah dinikahi oleh Nabi Muhammad Saw. setelah Ḥafṣah ditinggal wafat suaminya Khunays.55 5. ʻUtsmān b. ʻAffān merupakan mantu dari Nabi Muhammad Saw. karena ʻUtsmān menikahi anak Nabi yang bernama Ruqayyah dan beliau seorang yang pemalu.56 Dalam hal ini, aurat terbagi menjadi dua bagian: Pertama, bagian kemaluan dan dubur laki-laki dan perempuan, ini merupakan inti dari aurat yang diwajibkan kepada laki-laki dan perempuan untuk 54
Komarudin b. Mikam dan Fathurahman, Surga Untuk Sahabat Sepuluh Orang Pilihan Allah Swt (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 1. 55 Muhammad Husain Haekal, Biografi ʻUmar bin Khattab RA. Penerjemah Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), Cet. 3, 49. 56 M. Ismail Mustari, Menjadi Belia Cemerlang (Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing, 2005), 42.
54
selalu menutupnya setiap waktu, tempat dan dalam keadaan apapun kecuali dalam kondisi darurat dan situasi tertentu. Kedua, bagian yang merendahkan atau memalukan bagi seorang laki-laki dan perempuan bila bagian tersebut terbuka, seperti, paha dan tipisnya bagian dalam. Maka itu disebut sebagai aurat karena berdekatan dengan aurat dan paha merupakan bagian terdekat dari aurat.57 Menurut Ibn al-Qayyim mengatakan dalam kitab Tahdhīb al-Sunan bahwa murid-murid Imam Aḥmad mengkompromikan (al-Jamʻ) hadis-hadis tersebut dengan membagi aurat kedalam dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan), seperti kedua paha dan mughallaẓah (berat) yaitu kemaluan dan dubur. Tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena paha juga termasuk aurat dan membuka paha tergolong aurat mukhaffafah (ringan).58 Dalam masalah paha, aurat ataupun bukan aurat. Paha itu bukan aurat yang harus tertutup sebagaimana qubul dan dubur karena bukan tempat keluarnya kotoran59 dan paha sebagai aurat harus tertutup karena upaya menjaga kehormatan dan memperindah budi pekerti. Dalam masalah ini, seharusnya kelompok tertentu tidak menganggap remeh, bagi yang tidak merasa malu baik orang-orang yang berkedudukan
ataupun
berorganisasai
(berkelompok),
maka
lebih
baik
menggunakan hadis-hadis ini semua dari pada menjauhi sebagian hadis saja.60
57
Ibn Qutaybah, Taʼwīl Mukhtalif al-Ḥadīts (al-Qāhirah: Dār Ibn ʻAffān, 2009), Cet. 2,
592-593. 58
Ibn Qayyim, Tahdhīb al-Sunan (al-Riyāḍ: al-Maʻrif, 2007), Cet. 1, J. 4, 1920-1921. Ibn Qudāmah, al-Mughnī (al-Riyāḍ: Dār ʻĀlam al-Kutub, 1997), Cet. 3, J. 2, 285. 60 Abū al-Maḥāsin Yūsuf, al-Muʻtaṣar min al-Mukhtaṣar Masykal al-Ātsār (Beirūt: ʻĀlim al-Kutub, tt), J. 2, 256. 59
55
Paha merupakan aurat ringan boleh dibuka dihadapan orang-orang tertentu dan tidak boleh dibuka dihadapan selain mereka. Dalam hal ini Ibn Rusyd dan penyusun al-Dakhl mengatakan makruh melihat paha.61 Paha sebagai aurat namun tidak seperti aurat sebenarnya. Ketika paha dikatakan sebagai aurat kemudian dinafikan maka hukumnya menjadi ringan. Maka makruh membuka paha dihadapan selain orang tertentu, dan menjaga paha dari hadapan orang lain.62 Maka dapat disimpulkan bahwa aurat merupakan sesuatu yang memalukan (aib), yang harus dijaga dan disembunyikan agar tidak terlihat oleh orang lain,63 sehingga orang akan merasa malu ataupun hina apabila bagian tertentu terbuka dan terlihat oleh banyak orang. Pengecualian, aurat boleh terbuka bagi seorang laki-laki dan perempuan pada tempat yang tidak terikat dengan sesuatu (bebas). Seperti, didalam kamar mandi, rumah, dihadapan istri atau suami, dan tidak baik diperlihatkan ditempat umum, seperti masjid, pasar, dan tempat-tempat ramai lainnya. Ketika paha dianggap sebagai aurat itu bila berada di tempat umum dan berhadapan dengan orang yang merasa malu ketika ia melihat paha, maka tidak boleh membuka paha dihadapan orang tersebut. Sebagaimana dalam riwayat ini, sikap yang diperlihatkan Nabi Saw. kepada ʻUtsmān berbeda dengan sikap Nabi Saw. kepada Abū Bakar dan ʻUmar, karena ʻUtsmān seorang yang pemalu. Sehingga
Nabi
Saw.
menutup
pahanya
agar
ʻUtsmān
menyampaikan
keperluannya kepada Nabi Saw. 61
ʻAlī b. Khalaf al-Manūfī al-Mālikī, Kifāyat al-Ṭālib al-Rabbānī (al-Qāhirah: Dār alMadanī, 1989), J. 4, 353. 62 Ṣāliḥ ʻAbd al-Samīʻ al-Ābī al-Azharī, al-Tsamr al-Dānī (tp:tt), 577. 63 Maḥmūd ʻAbd al-Raḥmān, al-Muṣṭalaḥāt wal-Alfāẓ al-Fiqhīyah (al-Qāhirah: Dār alFaḍīlah, tt), J. 2, 556.
56
Harus dipahami pada konteks dan kondisi tertentu. Sebab, konteks dua hadits di atas terjadi pada keadaan-keadaan tertentu. Bergaul dengan siapa saja, baik dengan orang yang sudah dikenal ataupun belum, tentu disesuaikan dengan keadaan dan siapa yang dihadapi, dengan mengabaikan kesenangan pribadi dan tidak pandang usia dalam masalah pergaulan ini. Pada peristiwa ini Nabi Saw. berhadapan dengan saudara-saudaranya, seperti Abū Bakar dan ʻUmar selain sebagai sahabat terdekat, keduanya sebagai mertua Nabi Saw. dan ʻUtsmān sebagai mantu Nabi Saw. Sehingga pantas ketika ʻUtsmān masuk, Nabi Saw. langsung merubah posisi dengan menutup kedua paha dan bersiap sedia untuk menjamu ʻUtsmān. Kemudian ketika ditanya oleh ʻĀisyah tentang hal ini? Nabi Saw. menjawab bahwa ʻUtsmān adalah seorang pemalu dan Nabi Saw. takut kalau ʻUtsmān tidak akan menyampaikan keperluannya karena melihat Nabi Saw. dalam keadaan pahanya terbuka.64 Hadis ini memperlihatkan akhlak Nabi Saw. yang luhur yaitu memperhatikan dan mempertimbangkan sifat beliau ketika berhadapan dengan para sahabatnya dan menghindari dari terjadinya kesalahan ketika berhadapan dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang terdekat Nabi Saw.65
64
Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah al-ʼUrmī, al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ alBahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009), Cet. 1, J. 23, 420-422. 65 Ṣafiy al-Raḥmān al-Mubārakfūrī, Minnat al-Munʻim fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (al-Riyaḍ: Dār al-Salām, 1999), J. 4, 85.
57
4) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya). Pada suatu hari Nabi Saw. sedang berada dalam rumahnya, duduk dengan mengenakan sarung (izār). Sarung tersebut tersingkap sehingga terbuka bagian antara kaki sampai ke paha. Kemudian Abū Bakar datang dan mohon izin masuk untuk bertemu dengan Nabi Saw, Nabi Saw. mengizinkan Abū Bakar ra. masuk begitu juga dengan ʻUmar ra. Datang pula ʻUtsmān ra. dan mohon izin masuk dengan maksud bertemu dengan Nabi Saw. kemudian Nabi Saw. segera memperbaiki izār-nya yang tersingkap. Kemudian ʻUtsmān dan Nabi Saw. berbincang-bincang hingga akhirnya ʻUtsmān berpamitan. Sementara itu, tak lama kemudian setelah ʻUtsmān pulang.ʻĀisyah bertanya kepada Nabi Saw.: ―Wahai Rasulullah, Abū Bakar datang menemuimu, begitu juga dengan ʻUmar, namun engkau tidak mengubah posisimu. Ketika ʻUtsmān masuk, engkau segera memperbaiki posisimu, kenapa ya Rasulullah? Kemudian Nabi Saw. menjelaskan kapada ʻĀisyah: ―Wahai ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang karena para malaikat saja merasa malu kepadanya.‖66 Itulah sebuah perlakuan yang sangat istimewa dari Nabi Saw. kepada ʻUtsmān, padahal sebelumnya Nabi Saw. berbaring dan pada saat menyambut Abū Bakar dan ʻUmar, Nabi Saw. tidak merubah posisinya. Perasaan malu Nabi Saw. terhadap ʻUtsmān merupakan bentuk rasa hormat dan rasa hormat Nabi Saw. bukan atas dasar faktor usia, akan tetapi karena kemulian akhlak ʻUtsmān yang bisa dikatakan di atas rata-rata. lebih jauh lagi, Nabi Saw. pernah menyatakan
66
Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts alSyarīf, Penerjemah M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 2, 222-223.
58
bahwa akhlak ʻUtsmān paling menyerupai dengan akhlak beliau.67 C. Perdebatan Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Para ulama sepakat bahwa para Nabi dan Rasul maksum dari dosa besar dan aib-aib yang buruk, seperti zina, mencuri, menipu, menyembah berhala, sihir, dan lain sebagainya.68 Namun terjadi perbedaan pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw, maksum dari sebelum dan sesudah kenabian, karena prilaku seorang Nabi itu mempengaruhi dakwahnya di masa setelah kenabian. Oleh karenanya, setiap calon Nabi harus mempunyai perjalanan hidup/tingkah laku yang baik dan berjiwa bersih sehingga tidak mencemarkan dalam mengemban risalah dan dakwahnya. Allah Swt. telah memilih Nabi-nabinya dari manusia terjaga sejak kecil di bawah pengawasan Allah Swt. dan menjadikan mereka sebagai orang-orang pilihan yang terbaik. Oleh karena itu, mereka harus maksum dari sebelum dan sesudah kenabian.69 Sebagaimana firman Allah Swt. mengenai Nabi Mūsá as.:
70 Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasanKu”. 67
Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup ʻUtsman bin ʻAffan, Penerjemah Khalifurrahman Fath (Jakarta: Zaman, 2009), 26. 68 ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis. Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: Dār al-ʻIlmīyah, 2008), 148. 69 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wal-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 57. 70 Ṭāhā [20]: 39.
59
Ayat lain: 71 “Dan Sesungguhnya mereka pada sisi kami benar-benar termasuk orangorang pilihan yang paling baik.” Selain itu juga, atas dasar menafikan dosa-dosa kecil pada kedua periode (sebelum dan sesudah kenabian) sama halnya dengan menafikan dosa-dosa besar pada kedua periode. Syarīf al-Murtaḍá memberikan sebuah analogi bahwa orangorang yang boleh melakukan dosa besar kemudian ia bertaubat dan terlepas dari siksa dan cela, jiwa ini tidak senyaman menerima ucapan orang yang tidak melakukan hal itu. Demikian juga seperti halnya para Nabi yang dibolehkan melakukan dosa kecil sebelum atau sesudah kenabian, sekalipun dosa tersebut telah diampuni, namun tetap jiwa tidak senyaman menerima ucapan orang yang dianggap suci dari perbuatan-perbuatan keji.72 Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. maksum hanya setelah kenabian dari dosa kecil dan dosa besar, karena sebelum kenabian tidak ada perintah untuk mengikuti, hanya diperintahkan setelah turunnya wahyu dan Allah Swt. memuliakan dengan memberikan mandat mengemban risalah dan amanah. Adapun sebelum kenabian sebagaimana umumnya manusia biasa, namun perilaku mereka tidak terjatuh ke dalam lembah dosa ataupun menyimpang dari perbuatan keji dan hina. Sekalipun mereka tidak melakukan dosa dan menyimpang semasa sebelum kenabian, mereka tidak
71
Ṣād [38]: 47. Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 20.
72
60
maksum, akan tetapi mereka tetap terjaga dengan pengawasan dan kesucian.73 Mengenai hal ini juga, terdapat perbedaan pendapat, satu sisi para Nabi tidak terjaga dari dosa-dosa kecil, karena dosa kecil bukan merupakan kemaksiatan. Ada juga beragapan bahwa para Nabi terjaga dari dosa-dosa kecil dengan alasan dosa kecil itu maksiat. Jelasnya, terhadap perkara yang berbentuk perintah dan larangan, mereka semua maksum. Adapun dalam perkara atau perbuatan yang bersifat makrūh,74 mandūb,75 dan khilāf al-aulá,76 para Nabi tidak maksum. Bisa saja mereka melakukan perbuatan yang makrūh, meninggalkan yang mandūb, atau pun melakukan khilāf al-aulá, menurutnya perkara tersebut tidak berujung pada dosa dan tidak tergolong ke dalam aspek-aspek maksiat.77 Dua sisi seorang Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi78: 1. Belum ada Pembebanan Syariat Mutlaq Dalam hal ini maksum tidak mempunyai arti penting, karena sesuatu hal diketahui sebagai maksiat (melanggar) setelah adanya hukum syara’ dan taklif. Oleh karena itu, bukan merupakan hal penting, apakah Nabi itu maksum atau tidak. Akan tetapi, ketinggian kesucian Rasul, kejernihan jiwa, keluhuran ruh, akal sehatnya ini menunjukkan keteladanan (sebagai contoh) yang tinggi diantara 73
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 57. 74 Makrūh merupakan perkara yang tidak dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. 75 Mandūb merupakan perkara yang dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi bila tidak melakukannya. 76 Khialāf al-Aulá artinya meyalahi yang utama dalam arti memilih yang kurang utama. Contohnya, menjamak salat dengan berjamaah lebih baik daripada menjamak salat dengan sendirian. 77 Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyah al-Islāmiyah (Beirūt: Dār al-Umah, 2003), J. 1, 135. 78 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wal-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī, 1975), J. 3, 57-58.
61
kaumnya, baik dalam akhlak, pergaulan, amanah, dan terhindar dari perilaku buruk yang bertentangan dengan akal sehat. 2. Sudah Ada Pembebanan untuk Mengikuti Syariat Rasul Terdahulu Sebagai contoh, Nabi Luth as. sebelum diangkat menjadi Nabi ia mengikuti pamannya yaitu Nabi Ibrahim as. Dalam hal seperti ini, tidak ada dalil qatʻi yang menunjukkan adanya kemaksuman Nabi, baik dari dosa besar maupun dari dosa kecil. Walaupun tidak ada dalil yang menjelaskan hal itu, perjalanan hidup para Nabi sebelum kenabiannya, sudah banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dijauhkan dari maksiat, besar maupun kecil. Sifat jaiz yang dimiliki oleh para Rasul merupakan kebolehan bagi mereka melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh manusia biasa, seperti makan, minum, berhubungan badan dengan istri, mempunyai anak, pergi ke pasar, berniaga, menggembala, mengalami muda dan tua, jatuh sakit, namun penyakitnya tidak melemahkan jiwa mereka untuk menjalankan kewajibannya sebagai
seorang
Rasul
dan
tidak
sampai
menyebabkan
orang-orang
disekelilingnya lari menjauh dan enggan bergaul dengannya. Tentu dengan batasan tindakan yang dilakukan tidak menurunkan kehormatan dan derajat mereka yang tinggi dan luhur.79 Adapun dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sekilas mengandung teguran Allah Swt. yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Seperti, Nabi Saw. bermuka masam dan berpaling kepada Ummi Maktum, perlu dilihat ulang, 79
Husein Afandiy al-Jisr al-Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam Perspektif Ahlussunnah Waljamaah). Penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 54.
62
siapakah yang bermuka masam? Suatu ketika Nabi Saw. sedang bersama pembesar-pembesar kaum kemudian datang Ibn Ummi Maktum kepada Nabi Saw. untuk belajar Islam kemudian Nabi Saw. berpaling dengan bermuka masam sehingga Allah Swt. menegur Nabi Saw. Ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada Nabi Saw. karena bermuka masam bukan merupakan sifat Nabi Saw. sekalipun dalam menghadapi musuhmusuhnya apalagi dengan orang-orang beriman yang mendapatkan petunjuk (dikatakan Ibn Ummi Maktum sudah masuk Islam), kemudian Nabi Saw. mempunyai ciri khusus yang bersedia bersama orang-orang kaya dan sibuk bersama orang-orang fakir, akhlak mulia ini lah yang melekat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dikarenakan Allah Swt. telah mengagungkan akhlak Nabi Saw. sebelum turun surah (
) yang terdapat dalam surah al-Qalam
ayat 4, menurut beberapa riwayat yang jelas berdasarkan tartib nuzūl al-suwar bahwa surah tersebut turun setelah surah al-ʻAlaq (
). Bagaimana bisa
masuk akal sedangkan Nabi Saw. itu bagus akhlaknya dan Allah Swt. telah mengkhususkan Nabi Saw. sebagai sebaik-baiknya akhlak, yang kemudian dituduhkan Nabi Saw. mengerutkan wajahnya kepada orang buta yang datang meminta Nabi Saw. untuk mengajarinya tentang Islam. Ditegaskan kembali bahwa para Nabi dan Rasul merupakan orang-orang yang bersih dari hal-hal yang dibenci. Jadi tidak mungkin Nabi Muhammad Saw. berperilaku masam wajahnya kepada seseorang yang hendak belajar Islam kepadanya.80
80
Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 10, 268-269.
63
Menurut al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, bahwa (
) ditujukan
kepada Nabi Saw. yang berpaling dari Ibn Ummi Maktum yang saat itu ia datang meminta petunjuk kepada beliau, sedangkan Nabi Saw. sedang bersama pembesar orang-orang musyrik. Setelah peristiwa tersebut Nabi Saw. memuliakan Ibn Ummi Maktum.81 Menurut riwayat dari al-Imām al-Ṣādiq bahwa ayat tersebut ditujukan (yang bermuka masam) kepada seorang laki-laki dari Banī Umayyah82 yang saat itu sedang bersama Nabi Saw. dan kemudian Ibn Ummi Maktum datang menghampiri Nabi Saw. untuk belajar Islam.83 Kemudian ada yang berpendapat bahwa ketika Rasulullah Saw. tengah mengajari mereka (pembesar Quraisy), Ibn Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. datang kepadanya. Kemudian Nabi Saw. menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Namun, Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena Ibn Ummi Maktum miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayyah (yakni ʻUtsmān b. ʻAffān) bermuka masam dan berpaling kepadanya. Perbuatan 81
Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 471-472. 82 Seperti ʻUtbah b. Rabīʻah, Abā Jahal bʼ Hisyām, al-ʻAbbās b. ʻAbd al-Muṭalib, Ubay dan Umayyah b. Khalaf. 83 Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 10, 268-269.
64
pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah Swt. dan turunlah surah ʻAbasa.84 Para Nabi Ulul Azmi berada dalam derajat yang lebih tinggi dari kemaksuman para Nabi lainnya. Derajat Nabi yang lebih rendah dari para Nabi yang derajatnya lebih tinggi akan memandang dirinya pendosa dibandingkan dengannya, padahal pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun mengerjakan dosa karena sama-sama maksum.85 Maka perbuatan khilāf al-aulá dan khilāf afḍal (tidak sesuai dengan yang lebih utama) dianggap sebagai kurang sempurna, berdasarkan ungkapan ahli tasawuf: “Ḥasanāt al-Abrār sayyiāt al-Muqarrabīn.” artinya “Kebajikan orang-orang yang baik kedudukannya sama dengan kejelekan orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.”86 Menurut al-Ghazālī bahwa derajat Nabi Muhammad Saw. selalu meningkat. Setiap kali beliau naik derajat maka beliau selalu melihat derajat yang sebelumnya, dan beliau akan beristighfar atas derajat yang lebih rendah itu. AlMuhasiby
juga
berpendapat
bahwa
para
Nabi
beristighfar
karena
ketidaksempurnaannya dalam menjalankan tugasnya, bukan karena dosa yang mereka lakukan.87
84
ʻAbd ʻAlī b. Jumʻah ʻArūsi al-Ḥuwayzī, Tafsir Nur al-Tsaqalayn (Intisyārāt Ismāʻiliyān, tt), 508. 85 Di akses pada 9 Juli 2015 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/ prophethood/kesucian_para_nabi/001.html 86 Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī, 1975), J. 3, 85-86. Lihat juga Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 18, 260. 87 M. Abdul Khaliq Hasan, The Power Of Tobat (Solo: Tiga Serangkai, 2009), 88.
65
D. Perbincangan Ulama Mengenai Kualitas Hadis-hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Saya mencoba memaparkan beberapa komentar ulama mengenai dua hadis di atas yang menjadi pokok pembahasan, berikut penjelasannya pada halaman berikut: Hadis Pertama:
88
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami ʻAbdal-Razāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah mengabarkan kepadaku ʻAmrū b. Dīnār dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah radliallahu ʻanhumā berkata; Ketika Kaʻbah diperbaiki Nabi Saw. dan al-ʻAbbās mengangkut bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi Saw.: “Ikatlah kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari bebatuan”. Tibatiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya terbelalak menengadah ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata: “sarungku, sarungku”. Kemudian beliau mengikatkan kain sarungnya kembali (dengan kuat).” Menurut Ibn Rajab al-Ḥanbalī bahwa hadis ini sanadnya murni/jelas, mereka mendengarkan dari awal hingga akhir. Ada yang mengatakan hadis ini Mursal Ṣaḥābī, karena Jābir b. ʻAbdullah tidak hadir dalam kisah ini, mungkin ia mendengarkan dari Nabi Saw. atau dari Sahabat senior lain yang ikut hadir pada peristiwa itu. Apabila Jābir b. ʻAbdullah mendengarkan langsung dari Nabi Saw.
88
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56. (no. hadis 364, 1582, dan 3829). Lihat juga Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165.
66
maka hadis ini muttaṣil (bersambung). Menurutnya Nabi Saw. menceritakan kisah tersebut sudah lewat bertahun-tahun dan mungkin hal ini dapat menjadi saksi ke dalam al-Ittiṣal (bersambung), dan selama menceritakan kisah tersebut tidak sampai pada zamannya maka hadis tersebut mursal.89 Hadis Kedua:
90
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b. Ayyūb dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; telah mengabarkan kepada kami sedangkan yang lainnya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abū Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān kedua anak Yasār dan Abū Salamah b. ʻAbd al-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata; „Pada suatu ketika, Rasulullah Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah) dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abū Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Lalu ʻUmar b. Khaṭṭab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). 89
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Madīnat alMunawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996), J. 2, 380. 90 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401). Sanadnya Ḥasan, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), J. 17, 299-300.
67
Kemudian ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Rasulullah bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu ʻUtsmān masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻĀisyah bertanva; “Ya Rasulullah, tadi ketika Abū Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Sebenarnya ada apa dengan hal ini semua ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Hai ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya.” Menurut al-Bānī hadis ini sanadnya ṣaḥīḥ.91 Kemudian al-Nawawī dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim mengatakan bahwa hadis riwayat ʻĀisyah tidak mengandung hujjah (dalil) kalau paha bukanlah aurat, karena terdapat keraguan bagian paha atau betis yang tersingkap.92 Al-Ṭabarī mengatakan bahwa sejumlah khabar yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang menyebutkan Abū Bakar dan ʻUmar masuk menemui Nabi Saw. ketika paha Nabi Saw. dalam keadaan tersingkap, hukumnya lemah dan tidak dapat dijadikan dalil.93 Berbeda dengan al-Qurṭubī, menurut beliau hadis riwayat ʻĀisyah ini menunjukkan adanya ketetapan Nabi Saw. membuka paha hingga menampakkan kepada Abū Bakar dan ʻUmar. Ini menunjukkan ada pendalilan bahwa paha bukan termasuk aurat.94
91
Al-Bānī, Ṣaḥīḥ al-Adab al-Mufrad lil-Imam al-Bukhārī (al-ʻArabiyah: al-Dalīl, 1997), Cet. 4, 225. Lihat juga Ibn Salāmah al-Ṭaḥāwī, Syarḥ Musykil al-Ātsār (Beirūt: Muʼassasah alRisālah, 1994), Cet. 1, J. 4, 399. 92 Al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Muʼass,1994), Cet. 2, J. 15, 240-241. 93 Badr al-Din Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alʻIlmiyyah, 2001), J. 4, 121. 94 Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah al-ʼUrmī, al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ alBahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009), Cet. 1, J. 23, 420.
68
Kemudian dikuatkan pada peristiwa perang Khaybar:
—95 “Telah menceritakan kepada kami Yaʻqūb b. Ibrāhīm berkata, telah menceritakan kepada kami Imāʻīl b. ʻUlayyah berkata, telah menceritakan kepada kami ʻAbd al-ʻAzīz b. Ṣuhayb dari Anas b. Mālik bahwa Rasulullah Saw. berperang di Khaybar. Maka kami melaksanakan shalat subuh di sana di hari yang asih sangat gelap, lalu Nabi Saw. dan Abū Ṭalḥaḥ mengendarai tunggangannya, sementara aku memboncenmg Abū Ṭalḥaḥ. Nabi Saw. lalu melewati jalan sempit di Khaybar dan saat itu sungguh lututku menyentuh paha Nabi Saw. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi Saw. yang putih.”— Peristiwa perang Khaibar ini menunjukkan bahwa paha itu bukan aurat, dan terdapat tiga maksud: 1. Lutut Anas menyentuh paha Nabi Saw. yang tidak dapat dipungkiri. Ini menunjukkan bahwa paha bersentuhan dengan lutut, jika paha itu merupakan bagian dari aurat maka peristiwa tersebut tidak boleh terjadi. 2. Izār yang dikenakan Nabi Saw. tersingkap sehingga Anas melihat putihnya paha Nabi Saw. Hal ini sama saja dengan maksud Nabi Saw. adanya kesengajaan agar leluasa mengendarai tunggangannya. Kalaupun izār itu tersingkap tanpa sengaja, Nabi Saw. pun tidak tergesa-gesa pada saat pahanya tersingkap dan tidak menutup kembali izār-nya.96
95
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56-57. Lihat juga Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 169. 96 Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Madīnat alMunawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996), J. 2, 410.
69
3. Jika paha itu sebagai aurat maka Nabi Saw. wajib menutup pahanya yang tersingkap dan tidak memperkenankan pahanya tersingkap pada saat kedatangan Abū Bakar dan ʻUmar menemui Nabi Saw. Menurut al-ʻAwzāʻī bahwa adakalanya paha itu aurat dan adakalnya paha itu bukan aurat yaitu ketika berada di kamar mandi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mampu memaksakan paha sebagai aurat, meskipun mereka memerintahkan untuk menutupnya.97 Adapun beberapa ulama yang berpendapat bahwa paha itu termasuk aurat, salah satunya menggunakan hadis di bawah ini;
98
“Telah menceritakan kepada kami Ḥusayn b. Muḥammad berkata; telah menceritakan kepada kami Ibn Abū al-Zinād dari Bapaknya dari Zurʻah b. ʻAbd al-Raḥmān b. Jarhad dari Jarhad kakeknya dan beberapa orang Aslam selainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. melewati Jarhad dan paha Jarhad tersingkap di halaman masjid. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Wahai Jarhad tutuplah pahamu. paha itu aurat.” Mayoritas ulama berpendapat bahwa paha itu aurat, seperti Mālik, alTsawrī, Abū Ḥanīfah, al-Awzāʻī, dan Imam Aḥmad, mereka merujuk pada hadis Jarhad. Sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa paha itu bukan aurat, seperti
97
Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: al-Rusyd, tt), J. 2, 33. Hadis dari Jarhad, sanadnya Ṣaḥīḥ (15875) sedangkan (no hadis 15869-15876 sanadnya ḥasan), lihat Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), Cet. 1, J. 12, 378. Lihat juga (dari Muḥammad b. Jaḥsy, no. hadis 22393-22394), J. 16, 325-326. Lihat juga Sunan alDārimī (kitab al-Istʼdhān bab 22), J. 2, 364-365. Lihat juga Sunan Abī Dāwud (Beirūt: Dār alRisālah al-ʻĀlamiyah, 2009), J. 6. 131. Lihat juga Sunan al-Tirmidhī (Beirūt: Dār al-Fikr, 2005), 796-797. (no hadis 2804 dan 2805 sanadnya ḥasan sedangkan no hadis 2806 dan 2807 sanadnya ḥasan gharīb). 98
70
Ibn Abī Dhiʼbi, Ismāʻīl b. ʻUlyah, Dāwud al-Ẓāhirī, Ibn Jarīr al-Ṭabarī, dan Abū Saʻīd al-Iṣṭakhrī dari ulama al-Syāfiʻiyyah, mereka merujuk pada hadis Anas dan ʻĀisyah.99 Menurut Ibn Ḥazm bahwa aurat wajib tertutup dari penglihatan sesorang. Pada saat melakukan salat laki-laki yang wajib tertutup ialah bagian kemaluan dan dubur. Adapun bagian paha tidak termasuk aurat dan untuk batasan perempuan ialah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan saja. Maka yang benar paha laki-laki bukan termasuk aurat, jika paha merupakan bagian aurat maka Allah Swt. tidak akan memperlihatkan aurat Nabi Saw. kepada orang-orang (Anas, Abū Bakar, dan ʻUmar) pada saat setelah kenabian dan mengemban risalah. Oleh karena itu, Allah Swt. menjaga dan melindungi Nabi Saw. dari terbukanya aurat, karena beliau adalah Rasul yang maksum dari sebelum kenabian.100 Prinsip dasarnya adalah bahwa jika kedua riwayat di dalam hukum, salah satu dari hadis tersebut lebih Ṣaḥīḥ dari hadis lainnya maka yang diamalkan hadis yang lebih Ṣaḥīḥ. Dari kedua hadis tersebut, hadis Anas lebih Ṣaḥīḥ daripada hadis Jarhad. Menurut al-Bukhārī bahwa hadis Anas lebih Asnad dalam arti lebih kuat dan lebih baik sanadnya dibanding dengan hadis Jarhad. Adapun yang mengamalkan hadis Jarhad ini lebih berhati-hati dan menjaga diri dalam urusan agama, lebih dekat kepada taqwa dan lebih memilih keluar dari perbedaan
99
Badr al-Din Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alʻIlmiyyah, 2001), J. 4, 119-120. 100 Ibn Ḥazm, al-Muḥallá (Mesir, tt), J. 3, 210-211.
71
pandangan para ulama.101 Seolah-olah Imam al-Bukhārī menyatakan hadits-hadits yang ṣaḥīḥ menujukkan bahwa paha bukan termasuk aurat lantaran paha Nabi Saw. pernah terlihat, padahal Nabi Saw. adalah manusia yang paling pemalu. Kalau
seandainya
paha
adalah
aurat
tentu
Nabi
Saw.
tidak
akan
memperlihatkannya. Menurut Ibn ʻUtsaymīn bahwa paha bukan termasuk aurat kecuali apabila dikhawatirkan muncul fitnah dengan ditampakkanya paha tersebut. Dalam kondisi ini maka wajib tertutup, seperti misalnya paha para pemuda.102 Disimpulkkan bahwa jika paha itu bagian dari aurat maka Allah Swt. melindungi dan menjaga Nabi Saw. dari terbukanya aurat dan terhindar dari penglihatan seseorang, pada kenyataannya paha Nabi Saw. tetap terbuka dan ini menunjukkan bahwa paha bukan dari bagian aurat. Adapun keterangan yang menyebut paha sebagai aurat, hanya untuk menekankan anjuran untuk menutup paha karena dekat dengan aurat dan sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga aurat.
101
Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār alʻIlmīyah, 2001), J. 4, 119. 102 Muḥammad b. Ṣāliḥ al-ʻUtsaymīn, Majmūʻ al-Fatāwá wa Rasāil (al-Riyāḍ: Dār alSyuriyā, ṣ1998), Cet. 1, J. 12, 265-266.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas, setelah melakukan penelitian terhadap dua hadis yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw. yaitu dari segi matan, maka saya dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kualitas dua hadis yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw. setelah saya teliti, keduanya berkualitas ṣaḥīḥ dan kemudian saya kurang sependapat dengan pernyataan “Sahihnya sanad tidak menjamin sahihnya matan”. Menurut saya pernyataan ini tidak secara mutlak dan saya ingin menegaskan bahwa sahihnya sanad menjamin sahihnya matan. 2. Nabi Muhammad Saw. maksum dari sebelum dan sesudah kenabian. B. Saran-Saran Dalam penelitian skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan, misal: minimnya buku referensi yang dijadikan sebagai acuan serta penulis kurang menjelaskan secara mendetail terkait dengan kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, saya berharap dalam penelitian selanjutnya, bisa dan mampu melengkapi kekurangan-kekurangan isi skripsi ini. Sehingga dapat memberikan wawasan dan pandangan lebih luas dan detail dalam mengkaji kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
72
DAFTAR PUSTAKA al-Anṣārī, Abū Yaḥyá Zakariyā. Manḥat al-Bārī bisyarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. alRiyāḍ: Maktabah Rusyd, 2005. al-Aṣfahānī, Al-Rāghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004. al-ʻAsqalānī, Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. al-ʻAsqalānī, Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bārī. al-Riyāḍ: Maktabat al-Mulk, 2001. al-Asyqar. ʻUmar Sulaymān Rasul dan Risalah. Penerjemah Munir F. Ridwan. International Islamic Publishing House, 2008. ʻĀsyūr, Ibn. Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr. Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984. Awang, Abdul Hadi. Beriman kepada Rasul. Selangor: PTS Islamika, 2007. al-Azharī, Ṣāliḥ ʻAbd al-Samīʻ al-Ābī. al-Tsamr al-Dānī. Tp, tt. al-Baḥrānī, Maytsam. Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām, Cet. 2. Maktabat Āyatullah al-ʻAẓamī, 1998. al-Bānī. Ṣaḥīḥ al-Adab al-Mufrad lil-Imam al-Bukhārī, Cet. 4. al-ʻArabiyah: alDalīl, 1997. al-Baraq, Abduh. Bukan Dosa Ternyata Dosa. Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2010. Baṭāl, Ibn. Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt. al-Bayhaqī. Dalāil al-Nubuwwah. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1988. al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. al-Qāhirah: Dār Ibn al-Jauzī, 2010. al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, J. 3. Bairūt: Dār al-Fikr, 1994. al-Buthy, Fikih Sirah. Penerjemah Fuad Syaifudin Nur, Cet. 1. Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2010. Fāris, Ibn. Muʻjam Maqāyīs fī al-Lughah, Cet. 1. Beirūt: Dār al-Fikr, 1994. Fatḥ al-Raḥmān Liṭālib Āyāt al-Qur’ān.
73
74
Fathurahman, dan Komarudin b. Mikam. Surga Untuk Sahabat Sepuluh Orang Pilihan Allah Swt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. al-Ghazālī, Muḥammad. Fiqh al-Sīrah, Cet. 6. Beirūt: Dār al-Kutub, 1965. Haekal, Muhammad Husain. Biografi ʻUmar bin Khattab RA. Penerjemah Ali Audah, Cet. 3. Bogor: Litera Antar Nusa, 2002. al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an, Cet. 2. Jakarta: Amzah, 2006. al-Ḥanafi, Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī. al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd alḤadīts al-Syarīf. Penerjemah M. Suwarta Wijaya. Jakarta: Kalam Mulia, 2002. al-Ḥanbalī, Ibn Rajab. Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Madīnat alMunawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996. Ḥanbal, Aḥmad Ibn. al-Musnad. al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995. Hasan, M. Abdul Khaliq. The Power Of Tobat. Solo: Tiga Serangkai, 2009. Hawa, Said. al-Rasul Saw. Penerjemah ʻAbd al-Hayyī al-Kattānī dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Ḥazm, Ibn. al-Muḥallá. Mesir, tt. Hisyām, Ibn. Sīrah Nabawiyah, Cet. 2. Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 2009. al-Ḥuwayzī, ʻAbd ʻAlī b. Jumʻah ʻArūsi. Tafsir Nur al-Tsaqalayn. Intisyārāt Ismāʻiliyān, tt. al-Iṣbahānī, Abū Nuʻaym. Dalāil al-Nubuwwah, Cet. 2. Beirūt: Dār al-Nafāis, 1986. Isḥāq, Ibn. (taḥqīq dan sharḥ: Ibn Hishām), Sirah Nabawiyah. Penerjemah H. Samson Rahman Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2012. Jamhari, dkk. Pedoman Akademik; Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011. al-Ḥamīdān, ʻIṣām b. ʻAbd al-Muḥsin. al-Ṣaḥīḥ min Asbāb al-Nuẓūl, Cet. 1 Beirūt: Muʼassasah al-Riyān, 1999. al-Jawzī, Ibn. Kasyf al-Musykil min Ḥadīts al-Ṣaḥīḥaynī. al-Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1997. al-Jurjānī, ʻAlī b. Muḥammad. Syarḥ al-Mawāqif, J. 8. Beirūt: Dār al-Kutub alʻIlmīyah, 1998.
75
Kamaruddin, Wan Zailan. Siapa Itu Nabi-Nabi. Kuala Lumpur: PTS Millennia SDN, 2004. al-Karazkani, Ibrahim. Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra. Jakarta: Pustaka Zahra, 2005. Katsīr, Ibn. Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAẓīm, Cet. 2. al-Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1999. Khalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. al-Kirmānī. al-Kawākib al-Durārī fi Syarḥ al-Bukhārī. Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, 1981. al-Mālikī, ʻAlī b. Khalaf al-Manūfī. Kifāyat al-Ṭālib al-Rabbānī. al-Qāhirah: Dār al-Madanī, 1989. Manẓūr, Ibn. Lisān al-ʻArab. Beirūt: Dār al-Fikr, 1990. Masyitoh, Siti. “Kualitas Hadis-hadis Dalam Tafsir al-Azhar; Studi Kritik Matan Hadis Dalam Surah Yāsīn.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010. al-Mubārakfūrī, Ṣafiy al-Raḥmān. Minnat al-Munʻim fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. alRiyaḍ: Dār al-Salām, 1999. Muḥammad, Badr al-Dīn Abī. ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2001. Murad, Musthafa. Kisah Hidup ʻUtsman bin ʻAffan. Penerjemah Khalifurrahman Fath. Jakarta: Zaman, 2009. al-Murtaḍá. Tanzīh al-Anbiyāʼ Qum: Amīr, 1955. Muslim. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirūt: Dār al-Fikr, 2009. Mustari, M. Ismail. Menjadi Belia Cemerlang. Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing, 2005. al-Nabhānī, Taqiy al-Dīn. al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah, J. 1. Beirūt: Dār alUmmah, 2003. al-Nawawī. Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Cet. 2. Muʼass,1994. al-Qaraḍāwī, Yūsuf. Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah. al-Qāhirah: Dār al-Syurūq, 2002. Qayyim, Ibn. Tahdhīb al-Sunan, Cet. 1. al-Riyāḍ: al-Maʻrif, 2007.
76
Qudāmah, Ibn. al-Mughnī, Cet. 3. al-Riyāḍ: Dār ʻĀlam al-Kutub, 1997. Qutaybah, Ibn. Taʼwīl Mukhtalif al-Ḥadīts. al-Qāhirah: Dār Ibn ʻAffān, 2009. al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. ʻIṣmat al-Anbiyāʼ. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986. al-Raḥmān, Maḥmūd ʻAbd. al-Muṣṭalaḥāt wal-Alfāẓ al-Fiqhīyah. al-Qāhirah: Dār al-Faḍīlah, tt. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Almaʻrif, 1974. Ridwan, Ahmad. “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asy'ary” Skripsi S1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009. al-Ṣābūnī, Muḥammad ʻAlī. al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ, J. 3. Beirūt: Maktabat alGhazālī, 1975. Ṣalāḥ, Ibn. Muqadimah Ibn Ṣalāḥ fī ʻUlūm al-Ḥadīts. Beirūt: Dār al-Kutub alʻIlmīyah, 1989. Saputro, Thoha. Kritik Matan Hadis. “Studi Komparatif Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. al-Subḥānī, Jaʻfar. ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm, Cet. 2. Beirūt: Dār alWalāʼ, 2004. al-Sulamī, Muḥammad b Ṣāmil. Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr al-Basyar. Jeddah: Maktabat Rawāiʻ al-Mamlakah, 2010. al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. al-Durr al-Mantsūr fi Tafsīr al-Qur’ān, Qāhirah, 2003.
Cet. 1. al-
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. Asbāb al-Nuzūl al-Musammá Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb alNuzūl, Cet. 1. Beirūt: Muʼassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyah, 2002. al-Syarbinī. Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah. al-Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003. al-Syarqawi, Muhammad ʻAbd al-Hamid dan Muhammad Raja'I al-Thahlawi. Kaʻbah Rahasia Kiblat Dunia. Penerjemah Luqman Junaidi dan Khalifurrahman Fath. Jakarta: Hikmah, 2009. al-Syaybānī, Aḥmad b. ʻAmrū b. al-Ḍaḥāk Abū Bakar. al-Āḥād wal-Matsānī (alRiyaḍ: Dār al-Rāyah, 1991.
77
Syuhudi, M. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994. al-Ṭabāṭabāī, Muḥammas Ḥusayn. al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān. Beirūt: alMuʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997. al-Ṭaḥāwī, Ibn Salāmah. Syarḥ Musykil al-Ātsār, Cet. 1. Beirūt: Muʼassasah alRisālah, 1994. Ṭanṭāwī, Muḥammad Sayyīd. al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur’ān al-Karīm, Cet. 2. 1988. al-Tharabilisiy, Husein Afandiy al-Jisr. Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam Perspektif Ahlussunnah Waljamaah). Penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999. al-Ṭūsī, Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan. al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān. Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt. ʻUmar, Aḥmad Mukhtar. Muʻjam al-Lughah al-ʻArabiyah al-Muʻāṣirah. alQāhirah: Ālim al-Kutub, 2008. al-ʼUrmī, Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah. al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ al-Bahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Cet. 1. Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009. al-ʻUtsaymīn, Muḥammad b. Ṣāliḥ. Majmūʻ al-Fatāwá wa Rasāil, Cet. 1. alRiyāḍ: Dār al-Syuriyā, 1998. al-Wādiʻī , Muqbil b. Hādī. al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb al-Nuzūl, Cet. 2. alYaman: Maktabah Ṣanaʻāʼ al-Atsariyah, 2004. Warman, Adithia. “Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn alRazi.” Skripsi S1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010. al-Wāḥidī, Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad. Asbāb Nuzūl al-Qurʼān, Cet. 1. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991. Yāsīn, Māhir. Muḥāḍarāt fi ʻUlum al-Ḥadīts. al-Qāhirah: Dār Majid al-Islām, 2009. Yusfik, Muhammad. “Kenabian Muhammad Saw. Menurut Al-Qur’an: Kajian Tematik tentang Misi Kenabian Muhammad Saw.” Tesis S2 Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005. Yūsuf, Abū al-Maḥāsin. al-Muʻtaṣar min al-Mukhtaṣar Masykal al-Ātsār. Beirūt: ʻĀlim al-Kutub, tt.
78
Artikel diakses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/ articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/ke maksuman_nabi/001.html Artikel diakses pada 18 juni 2015 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/beliefs_library/fun damentals_of_Religion/prophethood/kesucian_para_nabi/001.html
79
Lampiran 1: Hadis Peristiwa Renovasi Kaʻbah. ")
( 25
1
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami ʻAbd al-Razzāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār dia mendengar Jābir b. Abdullah raḍiyallahu ʻanhumā berkata; “Ketika Kaʻbah diperbaiki, Nabi dan al-ʻAbbās pergi untuk mengangkat bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi: “Ikatlah kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari bebatuan”. Tiba-tiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya terbelalak menengadah ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata: “sarungku, sarungku”. Kemudian beliau mengikatkan kain sarungnya kembali.” ")
( 42
-
2
“Telah menceritakan kepada kami ʻAbdullah b. Muḥammad telah menceritakan kepada kami Abū ʻĀṣim berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār berkata; Aku mendengar Jābir b. ʻAbdullah raḍiyallahu ʻanhumā berkata: “Ketika Kaʻbah diperbaiki, Nabi dan al-ʻAbbās pergi untuk mengangkat bebatuan, saat itu alʻAbbās berkata kepada Nabi: “Ikatlah kain sarungmu pada lehermu”. Tiba-tiba beliau tersungkur ke tanah lalu kedua matanya terbelalak menengadah ke arah langit. Lalu beliau berkata: “Berikanlah kain sarungku”. Kemudian beliau mengikatnya kembali dengan kuat.”
1 2
1582).
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 56. (no. Hadis 3829). Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 190. (no. Hadis
80
")
-
(8
3
“Telah menceritakan kepada kami Maṭar b. al-Faḍl berkata, telah menceritakan kepada kami Rawḥ berkata, telah menceritakan kepada kami Zakariyāʼ b. Isḥāq telah menceritakan kepada kami ʻAmru b. Dīnār berkata, aku mendengar Jābir b. ʻAbdullah menceritakan bahwa Rasulullah bersama orangorang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah, sementara saat itu beliau mengenakan kain lebar.” Pamannya, al-ʻAbbās, lalu berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, seandainya kainmu engkau letakkan pada pundakmu tentu batu akan lebih ringan. Maka beliau lepas dan dipakaikannya di pundaknya, tiba-tiba beliau terjatuh dan pingsan. Setelah peristiwa itu tidak pernah Nabi terlihat telanjang.” " 76
-
“Dan telah menceritakan kepada kami Isḥaq b. Ibrāhīm al-Hanẓaly dan Muḥammad b. Ḥātim b. Maymūn semuanya meriwayatkan dari Muḥammad b. Bakr dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibn Jurayj --lewat jalur periwayatan lain-- dan telah menceritakan kepada kami Isḥaq b. Manṣūr dan Muḥammad b. Rāfiʻ dan lafazh tersebut milik keduanya. Ishaq berkata, telah mengabarkan kepada kami sedangkan Ibn Rāfiʻ berkata, telah menceritakan kepada kami ʻAbd al-Razzāq telah mengabarkan kepada kami Ibn Jurayj telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār bahwa dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah dia berkata, “Ketika Kaʻbah diperbaiki, Nabi bersama al-ʻAbbās pergi untuk mengangkat batu. Maka al-ʻAbbās berkata kepada Nabi: 'Ikatlah kainmu ke 3
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 56. (no. Hadis 364).
81
bahumu untuk alas batu. Maka beliau melakukannya, lalu beliau jatuh tersungkur lalu beliau kedua matanya terbelalak menengadah ke langit, kemudian berdiri sambil berkata, „Kainku, kainku‟. Kemudian Beliau memakai kain tersebut.” Ibn Rāfiʻ berkata dalam riwayatnya, “Ikattlah di atas lehermu” dan bukan berkata, “Di atas pundakmu.”
-
" 77
4
“Dan telah menceritakan kepada kami Zuhayr b. Ḥarb telah menceritakan kepada kami Rawḥ b. Ubādah telah menceritakan kepada kami Zakariyyāʼ b. Isḥaq telah menceritakan kepada kami ʻAmru b. Dīnār dia berkata, saya mendengar Jābir b. ʻAbdullah bercerita bahwa Rasulullah memindahkan batu untuk Kaʻbah bersama orang-orang Quraisy, dan beliau dalam keadaan memakai sarung, maka al-ʻAbbās, pamannya berkata kepadanya, „Wahai anak saudaraku, kalau seandainya kamu berkenan melepas sarungmu dan meletakkannya di atas tengkukmu di bawah batu‟.” Perawi berkata, “Lalu beliau melepaskann dan meletakkannya di atas bahunya. Lalu beliau jatuh pingsan. Dia berkata, “Setelah itu beliau tak pernah lagi tampak telanjang.” .4
295
-
5
Telah bercerita kepada kami ʻAbd al-Razzāq telah menghabarkan kepada kami Ibn Jurayj telah menghabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār dia telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata; “Tatkala Kaʻbah dibangun, Nabi dan alʻAbbās pergi memindahkan batu, maka al-ʻAbbās berkata; “Ikatlah sarungmu di lehermu untuk mengangkat batu, maka Nabi Saw. melakukannya dan terjatuhlah ke tanah, mata beliau terbelalak menengadah ke langit kemudian berdiri dan berkata: “Sarungku, sarungku” lalu sarung beliau dikencangkan kembali.”
4 5
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165. Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 11.
82
.4
295
-
6
“Telah mencerikan kepada kami Muḥammad b. Bakr telah mengabarkan kepada kami Ibn Jurayj telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār berkata; saya telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata; “Tatkala Kaʻbah diperbaiki, al- ʻAbbās dan Nabi Saw. memindahkan batu. Al-ʻAbbās berkata kepada Nabi: „Pakailah kainmu.‟ʻAbd al-Razzāq berkata dengan redaksi, “Dengan meletakkan pada lehermu”, lalu beliau tersungkur ke tanah, kedua mata beliau terbelalak menengadah ke langit, beliau bangkit dan bersabda: “Sarungku, sarungku.” Lalu beliau berdiri dan mengencangkannya.” .4
295
-
7
“Telah bercerita kepada kami Rawḥ telah bercerita kepada kami Zakariyyāʼ b. Isḥāq telah bercerita kepada kami ʻAmru b. Dīnār saya telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah bercerita “Sesungguhnya Nabi Saw. bersama orang-orang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah dengan memakai sarung. AlʻAbbās, pamannya berkata kepada Nabi: “Wahai anak saudaraku, alangkah baiknya jika engkau lepaskan sarungmu dan engkau pakai pada kedua pundakmu di bawah batu”. (Jābir b. ʻAbdullah) berkata; “lalu beliau melepas dan meletakkan di pundaknya, seketika beliau terjatuh pingsan. Maka tidak pernah terlihat auratnya semenjak hari itu.” .4
6 7
295
Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 181. Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 43.
-
83
8
Telah bercerita kepada kami Rawḥ telah bercerita kepada kami Zakariyyāʼ b. Isḥāq telah bercerita kepada kami ʻAmru b. Dīnār, dia berkata telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata “Sesungguhnya Nabi Saw. bersama orang-orang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah dengan memakai sarung. AlʻAbbās, pamannya berkata kepada Nabi: “Wahai anak saudaraku, alangkah baiknya jika engkau lepaskan sarungmu dan engkau pakai pada kedua pundakmu di bawah batu”. (Jābir b. ʻAbdullah) berkata; “lalu beliau melepas dan meletakkan di pundaknya, seketika beliau terjatuh pingsan. Maka tidak pernah terlihat telanjang semenjak hari itu.” Iʻtibar Sanad Kegiatan iʻtibar merupakan upaya menghimpun semua sanad hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Kegiatan ini diperlukan guna mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dengan jelas, dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabiʻ atau shāhid ialah adanya sumber pengambilan dari beberapa orang sahabat Nabi yang berstatus sebagai pendukung. Melalui al-i‟tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki mutabiʻ dan shāhid ataukah tidak.9 Dalam hal ini diperlukan pembuatan skema untuk memperlihatkan secara jelas seluruh sanad hadis yang diteliti. Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja sampai kepada seorang Sahabat Nabi. Lihat skema pada halaman berukutnya;
8 9
h. 51.
Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 89-90. M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 1992),
84
Skema Hadis 1
bhbhbbvjhvjhv
.
nn
Lampiran 2: Hadis Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar.
85
Lampiran 2: Hadis Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar.
-
" 26
10
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b Ayyūb dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; Telah mengabarkan kepada kami Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abī Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān kedua anak Yasār dan Abī Salamah b. ʻAbd al-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata; „Pada suatu ketika, Nabi Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah) dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama, Abū Bakar minta izin kepada Nabi Saw. untuk masuk. Maka Nabi Saw. pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang. Lalu ʻUmar b. Khaṭṭab datang dan meminta izin kepada Nabi Saw. untuk masuk ke dalam rumah. Maka Nabi Saw. pun mempersilahkannya masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang. Lalu ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Nabi Saw. pun mempersilahkannya seraya merubah posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Nabi Saw. bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu ʻUtsmān masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻAisyah bertanya; “Ya Rasul, tadi ketika Abū Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan mengambil posisi duduk dan memperbaiki pakaianmu. Rasul Saw. menjawab: “Ya ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang 10
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401).
86
para malaikat saja merasa malu kepadanya.” .1
-
71
.
11
"Telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj, telah menceritakan kepada kami Layts telah menceritakan kepadaku ʻUqayl dari Ibn Syihāb dari Yaḥyá b. Saʻīd b. al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa ʻĀisyah istri Nabi Saw. dan ʻUtsmān keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasul Saw. ketika beliau sedang berbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari wol) milik ʻĀisyah, kemudian beliau mengizinkan Abū Bakar dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu, maka Abū Bakar menyelesaikan keperluannya dengan beliau lalu pergi. Kemudian datanglah ʻUmar meminta izin masuk dan beliau mengizinkannya sementara beliau masih tetap pada kondisinya semula, maka ʻUmar menyelesaikan keperluannya dengan beliau lalu pergi. ʻUtsmān berkata; kemudian aku datang meminta izin masuk kemudian beliau duduk dan berkata kepada ʻĀisyah; “Kumpulkanlah pakaianmu, lalu beliau menyelesaikan 11
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), J. 1, 384-385.
87
keperluanku dan akupun lalu pergi.” ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul, mengapa aku tidak melihat engkau terkejut terhadap Abū Bakar dan ʻUmar sebagaimana engkau terkejut kepada ʻUtsmān?” Rasul Saw. menjawab; “ʻUtsmān adalah seorang lelaki pemalu, dan aku khawatir dia tidak akan menyampaikan keperluannya kepadaku, jika aku mengizinkannya sementara aku masih dalam kondisi seperti itu.” Al-Layts berkata: “Para perawi mengatakan bahwa Rasul Saw. berkata kepada ʻĀisyah: “Tidak malukah aku kepada orang yang para Malaikat pun malu kepadanya.” Telah menceritakan kepada kami Yaʻqūb, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Ṣāliḥ, Ibn Syihāb berkata; telah mengabarkan kepadaku Yaḥyá b. Saʻīd b. al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa ʻUtsmān dan ʻĀisyah keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. sementara beliau dalam keadaan berbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan kain mirṭ milik ʻĀisyah, kemudian dia menyebutkan hadits yang semakna dengan hadits ʻUqayl. 6
-
62
12
“Telah menceritakan kepada kami Marwān, dia berkata; Telah menceritakan kepada kami ʻUbaydullah b. Yassār, dia berkata; Saya telah mendengar ʻĀisyah bt. Ṭalḥah bercerita dari ʻĀisyah Umm al-Muʼminīn, bahwa Rasul Saw. duduk dalam keadaan tersingkap pahanya. Lalu Abū Bakar mohon izin untuk masuk dan beliau mengijinkannya sedang beliau masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian ʻUmar mohon ijin masuk dan beliau mengijinkannya sedang beliau juga masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian ʻUtsmān mohon ijin untuk masuk maka beliau menutupi pahanya dengan kainnya. Ketika mereka telah berdiri dan pergi saya berkata; „Ya Rasul! Abū Bakar dan ʻUmar memohon ijin masuk kepada engkau dan engkau mengijinkannya sedangkan engkau masih dalam keadaan tersingkap pahanya, namun ketika ʻUtsmān datang memohon izin masuk lantas engkau menutup paha engkau dengan kainmu, Maka Rasul Saw. bersabda: “Ya ʻĀisyah! Apakah saya tidak malu dari seorang lelaki, demi Allah, sesungguhnya Malaikat malu kepadanya.”
12
Sanadnya Ḥasan, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), J. 17, 299-300.
88
.6
155
-
13
“Telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj, telah menceritakan kepada kami Layts telah menceritakan kepadaku ʻUqayl dari Ibn Syihāb dari Yaḥyá b. Saʻīd b. al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa ʻĀisyah istri Nabi Saw. dan ʻUtsmān, keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. ketika beliau sedang berbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari wol) milik ʻĀisyah, kemudian beliau mengizinkan Abū Bakar dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu, maka Abū Bakar menyelesaikan keperluannya, lalu Abū Bakar pergi. Kemudian datanglah ʻUmar meminta izin masuk dan beliau mengizinkannya sementara beliau masih tetap pada kondisinya semula, maka ʻUmar menyelesaikan keperluannya dan lalu pergi. ʻUtsmān berkata: kemudian aku datang meminta izin masuk kemudian beliau duduk dan berkata kepada ʻĀisyah; “Kumpulkanlah pakaianmu, “lalu beliau menyelesaikan keperluanku dan akupun pergi.” ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul, mengapa aku tidak melihat engkau terkejut terhadap Abū Bakar dan ʻUmar sebagaimana engkau terkejut kepada ʻUtsmān?” Rasul Saw. menjawab; “ʻUtsmān adalah seorang lelaki pemalu, dan aku khawatir dia tidak akan menyampaikan keperluannya kepadaku, jika aku mengizinkannya sementara aku masih dalam kondisi seperti itu.” AlLayts berkata; “Kebanyakan para perawi mengatakan bahwa Rasulullah Saw. 13
J. 17, 544.
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
89
berkata kepada ʻĀisyah: “Tidak malukah kamu kepada orang yang para Malaikat pun malu kepadanya?” Telah menceritakan kepada kami ʻUtsmān b. ʻUmar, telah menceritakan kepada kami Ibn Abī Dziʼbi dari al-Zuhrī dari Yaḥyá b. Saʻīd dari Saʻīd b. al-ʻĀs dari ʻĀisyah bahwa Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. dan Nabi Saw. mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari wol), kemudian dia menyebutkan hadits yang semakna dengan hadits ʻUqayl. 6
288
-
14
“Telah menceritakan kepada kami ʻAbd al-Razzāq, dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Maʻmar dari Al-Zuhrī dari Yaḥyá b. Saʻīd b. ʻĀṣ dari ayahnya dari ʻĀisyah berkata; “Abū Bakar meminta izin kepada Rasul Saw. sedang saya bersama beliau dalam satu selimut, ʻĀisyah berkata; kemudian Nabi Saw. mengizinkannya dan dia menyampaikan keperluannya kepada beliau sedang beliau masih bersamaku dalam selimut. Lalu Abū Bakar keluar. Kemudian ʻUmar meminta izin kepada beliau, dan beliau mengizinkannya dan dia menyampaikan keperluannya kepada beliau setelah itu ʻUmar keluar. Kemudian ʻUstmān meminta izin kepada Nabi Saw., beliau segera memperbaiki pakaiannya kemudian beliau duduk lalu ʻUtsmān menyampaikan keperluannya, setelah itu ʻUtsmān keluar. ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul! Abū Bakar meminta izin dan dia menyampaikan keperluannya kepadamu sedang engkau dalam keadaanmu seperti itu., kemudian ʻUmar meminta izin kepadamu dan dia menyampaikan keperluannya kepadamu dalam keadaanmu, lalu ʻUtsmān meminta izin kepadamu maka seolah-olah engkau sangat menjaga penampilan. Beliau bersabda: “ ʻUstmān adalah orang yang sangat pemalu dan jika aku mengizinkannya dalam keadaanku seperti itu, aku khawatir dia tidak bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.”
14
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), J. 17, 572-573.
90
I’tibar Sanad Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja sampai kepada seorang Sahabat Nabi. Hadis ini disebut sebagai syahid hadis Imam Muslim, sebab hadis Imam Muslim diriwayatkan oleh Siti Aisyah, sementara hadis Imam Ahmad dari riwayat Siti ʻĀisyah dan Sahabat ʻUtsmān, kemudian syahid hadis ini juga syahid makna, sebab hanya sesuai maknanya saja. Namun ada satu hadis yang lafadznya hampir sama. Lihat skema pada halaman berukutnya;
ُم َح َّم ِد ْب ِد أَح ِدي َح ْب َح َح َح
ِد ْب َح ِد ُمي َح ْب ُم َح ْب َح َح ْب َح ٍر ْبا ُن يَأاِب ي ِب ْب ٍبي يا ُن ي ُن َأ َأي ُن ْب َأ ُن ْب
Skema Hadis 2
91
bhbhbbvjhvjhv
92
Lanjutan Skema Hadis 2
bhbbvjhvjhv
Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja sampai kepada seorang Sahabat Nabi. Lihat skema pada halaman berukutnya;