KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh: Josep Iskandar NIM: 101033121751
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M.
KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai syarat akademisi untuk memenuhi Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh Josep Iskandar NIM: 1010 3312 1751
DI bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. NIP: 150 228 520
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M.
PEGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat. Jakarta, 16 Februari 2009
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Ida Rosyidah, M.A. NIP: 150 243 267
Drs. Maulana, M.A. NIP: 150 293 221
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. NIP: 150 240 089
Aktobi Gozali, M.A. NIP: 150 368 753
Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. NIP: 150 228 520
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah swt., Dia-lah Zat Yang Wajib Ada, puncak segala eksistensi, dan atas segala karuniaNya yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, dan aqli. Hanya karenaNya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sosok yang tidak aman sebelum umat-Nya merasa nyaman, dan mendedikasikan hidupnya untuk membawa umat manusia keluar dari jurang kebiadaban menuju umat yang dihiasi oleh peradaban, yaitu nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya yang selalu mendukung terhadap ajaran yang dibawa beliau. Sebagai catatan kecil pembuka ini, sebenarnya belum bisa mewakili curahan rasa hati penulis. Bahkan dengan jujur seraya tertunduk malu, penulis berharap tulisan kecil ini dapat mewakili isi kalbu. Dengan penuh hormat, penulis persembahkan penghargaan yang paling khusus kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat beserta para pembantu dekan. 2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag. selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat. 3. Bapak Prof. Dr Zainun Kamaluddin K, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi pengarahan dalam proses penulisan skripsi ini. 4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN, Fakultas Ushuluddin maupun Perpustakaan Iman Jama.
5. Kepada kedua orang tuaku, Bapak U. Sukandi dan Ibu Mimin Mintarsih. Terima kasih atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik berupa moril, spirituil, maupun materil, yang tanpa dukungan keduanya mustahil penulis dapat menyelesaikan studi hingga keperguruan tinggi. Tiada ungkapan dan hadiah yang dapat diberikan untuk menggambarkan betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Aku hanya bisa berdo’a kepada Allah swt., semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamanya. Amîn. Terima kasih kepada adik-adikku tersayang (Nur dan Ani) atas curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku. 6. Teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2001, Sahal, Faruq, Daus, Cecep, Ivan, Dahlan, Ikay, Surachman (Dede), Anwar, Ipeh, Ika, dan semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 7. Untuk sahabat-sahabatku Aji, Supri, Ijang, Cumank, Egy, Ali, Yudi, Risti, Naya, Lilis, Yayi, Sherly, Ia, Sahrul ”TH”, terima kasih atas segala perhatian, do’a, dan dukungannya selama ini. Untuk terkasih yakni dinda ”Tyan” yang selalu memberi semangat dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas segala do’a dan dukungannya. Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.
Jakarta, Februari 2009. Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ i KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. v PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………... vii BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………... 1 A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 9 C. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………… 9 D. Tujuan Penelitian...……………………………………………... 10 E. Metode Penelitian…..…………………………………………... 11 F. Sistematika Penulisan…………………………………………... 12
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH…………………………….. 13 A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh……………………………. 13 B. Karya-karya Muhammad Abduh……………………………….. 20 C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam………… 22
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN............................................................................................. 27 A. Pengertian Sifat dan Perbuatan………………………………… 27 B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam…………………………………………………………... 28 a. Mu’tazilah………………………………………………….. 30 b. Asy’ariyah………………………………………………….. 37 c. Maturidiyyah……………………………………………….. 45
BAB IV
SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH………………………………………….. 51 A. Sifat-sifat Tuhan………………………………………………... 51 B. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada…...………………………… 56 1.
Hayah…………………………………………………... 56
2.
‘Ilm……………………………………………………... 57
3.
Iradah…………………………………………………... 58
4.
Qudrat………………………………………………….. 59
5.
Ikhtiar…………………………………………………... 60
6.
Wahdah………………………………………………… 61
C. Perbuatan-perbuatan Tuhan……………………………………. 66 D. Analisis Ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh…... 75 BAB V
PENUTUP………………………………………………………….. 79 A. Kesimpulan…………………………………………………….. 79 B. Saran-saran……………………………………………………... 82
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 83
PEDOMAN TRANSLITRASI
Padanan Aksara
:tidak
ذ
: dz
ظ:z
ن:n
dilambangkan
ر
:r
ع:،
و:w
ب
:b
ز
:z
غ: gh
ت
:t
س
:s
ف:f
ء:,
ث
: ts
ش
: sy
ق:q
ي:y
ج
:j
ص:s
ك:k
ح
:h
ض:d
ل:l
خ
: kh
ط
د
:d
ا
Vokal Panjang
:t
م:m
Vokal Tunggal
َ–ا
: â
__َ
:
a
ِ–ي
:
î
—
ِ:
i
ُ–و
: û
__ُ
:
u
Vokal Rangkap
َ–ي:
ai
:
au
َ–و
:h
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konsep adalah abstrak, entitas1 mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya. Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan bahasa apa pun.2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God” dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina. Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsepkonsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan. 3
1
Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan. 2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep 3 Ensiklopedia Bebas, Tuhan, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia. Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa. 4 Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahmân) dan "Maha Penyayang" (ar-rahîm). Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesanNya dan kuasa-Nya.5 Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd (yang ditujukan ibadah kepada-Nya). Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya. 4 5
Ibid., Ibid.,
Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan ijmâ’. Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm (tidak bermula), dan pula azali (ada sebelum sesuatu tiada menjadi ada), karena apabila tidak demikian, maka Tuhan menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada (‘Adam). Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian sifatnya paradoks.6 Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu menetapkan sifat “wahdâh” (satu) bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.7 Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya 6 7
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H), h. 39. Ibid., h.17.
meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad (janji Tuhan) dan wa’id (ancaman Tuhan) aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang mereka percayai mengenai Tuhan.8 Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suarasuara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir.9 Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah” (wahyu) yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid itu dilandaskan dari dalil ‘aqli (rasio), di mana akibatnya nyata terlihat dari perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul,
8
Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. 1, h. 117. 9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-4, h. 24.
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu Kalâm” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia (tauhid) lebih menyerupai logika (manthîq), yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional). Kemudian istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu.10 Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât. Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutak-utik dasar kepercayaan (aqîdah) yang telah berkembang baik di masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut.11 Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul dalam bidang hukum (furû’), bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar masalah itu, yakni mengenai kepercayaan (aqîdah). Keadaan rakyat pada masa kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat alQur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan. Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang 10 11
Nurchalis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bintang, 1994), h. 366. Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 21.
menimpa khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi beberapa bagian12. Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam alQur’an Surah al-Hijr ayat 9. Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan aliranaliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’ dan yang mana sifatnya ibadat (karena khawatir berlebihan menarik garis alQur’an), maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan (aqidah) menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal. Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim (mengaku pendapatnya yang paling benar) yang dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan. Tiaptiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara ke-Esaan Tuhan.
12
Ibid.,
Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja. Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk? Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani Tuhan meskipun tanpa syariahnya dikerjakan, karena dengan sifat mengetahui
Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia? Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana pemikirannya
sejalan
dengan
pemikiran
golongan
Mu’tazilah,
yakni
mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam. Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan Wahdah.13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka.14 Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh.
13
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), h. 85. 14
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pada dasarnya banyak yang menarik untuk dibahas mengenai Muhammad Abduh dilihat dari corak pemikirannya. Dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam kesempatan ini menurut penulis perlu membatasi objek kajian penelitian untuk menghidari pelebaran masalah. Untuk itu penulis membatasi pembahasan pada permasalahan Sifat-sifat dan Perbuatanperbuatan Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusannya adalah bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan dan memaparkan pendapatnya mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan? Dan apakah sifat dan perbuatan Tuhan mempunyai hubungan dengan makhluk-Nya, khususnya manusia? C. Tinjauan Kepustakaan Penelitian pemikiran Muhammad Abduh bukanlah hal yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang mempunyai intensitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah banyak dilakukan. Adanya kecendrungan untuk mengungkap sisi lain dari pemikiran Muhammad Abduh, yaitu dalam bidang teologi adalah hal yang jarang dilakukan mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir. Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiyah yang mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan karyanya yang membahas tokoh ini Harun Nasution dengan bukunya yang
berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, yang membahas tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, permasalahan Tuhan secara umum, dan konsep iman. Di samping itu, Muhammad Abduh tidak asing lagi dikalangan mahasiswa di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh H. Ansoriyah dalam skripsinya, Konsep Tauhid dalam Al-Quran: Telaah atas Penafsiran Muhammad Abduh terhadap surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang membicarakan mengenai tauhid secara umum dan implikasinya dalam kehidupan serta menafsirkan dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4. Sedangkan Khairuddin dalam skripsinya, Pemikiran Teologi Muhammad Abduh: Kehendak serta Kekuasaan Mutlak Ilmiah dan Kebebasan Manusia, dalam skripsi ini hanya menekankan pada akal manusia sebagai kebebasan yang mutlak dalam berpikir. Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, ternyata yang membahas tentang Konsep tauhid pemikiran Muhammad Abduh secara khusus belum ada, Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada. Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini. D. Tujuan Penelitian Secara formal skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filasafat, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non formal penulis skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran Pemikiran Muhammad Abduh dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian berikutnya.
Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya: 7. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Muhammad Abduh dalam bidang yang sedang dikaji. 8. Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam pemikiran Muhammad Abduh, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji. 9. Mengungkap sesuatu dari pemikiran Muhammad Abduh yang sedang dikaji sehingga membuka ruang kritik terhadapnya. E. Metode Penelitian Metode pengumpulan data skripsi ini menggunakan kajian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Muhammad Abduh sendiri yang terdokumentasikan dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Risalah at-Tauhid merupakan salah satu sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan
tulisan-tulisan
tentang
Muhammad
Abduh
baik
yang
terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer. Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan segala persoalan teologi Muhammad Abduh,
serta
untuk mengangkat
pemikiran Muhammad
Abduh dalam
menggambarkan tentang Tuhan. Teknik penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi edisi tahun 2007, yang dikeluarkan oleh UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentang transliterasi, penulis juga menggunakan pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini. F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu: Bab pertama, pendahuluan yang mencakup, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas tentang biografi Muhammad Abduh mencakup riwayat hidup Muhammad Abduh, karya-karya Muhammad Abduh, dan pengaruh Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam. Bab ketiga, yang menjelaskan gambaran umum tentang sifat dan perbuatan Tuhan yang meliputi pengertian sifat dan perbuatan Tuhan, pandangan tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut aliran kalam seperti Mu’tazilah, dan Asy’ariyah, Maturidiyah. Bab keempat, membahas tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut perspektif Muhammad Abduh yang berisikan sifat-sifat Tuhan, perbuatanperbuatan Tuhan, serta analisis ke-Tuhanan dalam pemikiran Muhammad Abduh. Sedangkan pada bab kelima adalah penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran serta diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905. Nama panjangnya adalah
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.15 Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.16 Muhammad Abduh mengawali pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa religius yang kuat. Pendidikannya Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.17 Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk belajar di Masjid al-Ahmâdi (al-Jami’ al-Ahmâdi). Di sini, di samping melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih. 18 Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan
15
11.
16
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), h.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. IX, h. 59. 17 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987, cet. I, h, 11. 18 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 255.
tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah tersebut”.19 Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.20 Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi. Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku. Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.21 Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas alAzhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang ‘âlim yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd (keterikatan
pada
tradisi),
yang
kemudian
menjadi
sumber
energi
pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.22 Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid
19
Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin alAfghani and Muhammad Abduh On Islamic Education (Marquette: University, 1974), h. 96. 20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59. 21 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13. 22 Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern (Bandung : Mizan, 2001), h. 12.
(pejuang), Mujaddîd (pembaharu/ reformer) dan ulama yang sangat ‘âlim, yang pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu tasawuf dan tafsir.23 Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis, al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan pada setiap kajiannya.24 Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli melihat situasi sosial politik di negerinya. 25 Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar
23
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 17. M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Kairo: alManar, 1931), h. 20. 25 Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 114. 24
yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.26 Di samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula pengetahuanpengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain. Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju. Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan berfikir kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.27 Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam Perguruanperguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan metodemetode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan
26 27
Abduh, Risalah Tauhid, h. 17. Ibid., h.18.
kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.28 Dibuang ke Syria (Beirut) Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di buang ke Syiria (Beirut). Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu berada di Paris.29 Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia. Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke
28 29
Ibid., h. 19. Ibid., h. 19.
Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar. Karena mendapat tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun 1885.30 Menjadi Mufti Mesir Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.31 Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11 Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya meniggalkan empat orang putri saja.32 Pembela Islam yang Gagah Berani
30
Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 256. Abduh, Risalah Tauhid, h. 20. 32 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, h. 27. 31
Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.33 B. Karya-karya Muhammad Abduh Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiranpemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam menyampaikan ide dan pandangannya. Menurutnya, pemikiran yang disampaikan lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar, ketimbang menerangkan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Abduh pernah mengajar di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyrah, Dâr al-‘Ulûm, dan masih banyak lagi. Pada umumnya materi yang diajarkan
di Masjid-masjid
tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah yang pernah ia tulis, di antaranya:34
33 34
Abduh, Risalah Tauhid, h. 21. M Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1365 H), jilid ke-8, h. 77-778.
a. Al-Wâridâh, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan metode dan pendekatan tasawuf. Inilah karya pertama Muhammad Abduh. b. Risâlah fi wahdâti al-Wûjûd. Karya ini memang tidak terbit, namun karya ini merupakan karya Muhammad Abduh yang kedua sebagaimana diinformasikannya kepada Rasyid Ridha. Akan tetapi karya ini bukan merupakan karya Abdul Karim al-Jilli dan semisalnya yang mendekati mazhab hulul. Karya ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda dengan yang lainnya. c. Târîkh Ismail Basyâ. Karya ini diberitahukan salah satu murid Muhammad Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya. Dikatakan bahwa Abdullah an-Nadzim telah banyak mengutip buku ini ketika terjadi pemberontakan orang-orang Arab dan ia telah mempublikasikan sebagian isinya di media massa menurut sistematika aslinya atau tidak. Rasyid Ridha tidak pernah mendengar isi buku tersebut dari Abdullah an-Nadzim, hanya saja an-Nadzim memberitahu Ridha sejarah buku ini dengan rinci dan an-Nadzim menulis kembali secara global isi buku ini kepada Ridha sebagaimana an-Nadzim membacanya. d. Falsafatul al-Ijtimâ’iyyah wa at-Târîkh. Buku ini adalah karya Muhammad Abduh yang dikarang ketika ia mengajar Muqaddimah Ibnu Khaldun di Madrasah Darul Ulum. Buku ini telah hilang ketika Sayyid Jamaluddin dibuang dan Rasyid mengambil lembaran-lembarannya. Thaibullah menganjurkan Rasyid Ridha untuk menyempurnakan buku itu agar berguna bagi pembaca yang ingin mengetahuinya.
e. Hâsyiyah ‘Aqâidi al-Jalâli ad-Dawwânî li al-Adûdiyah. Buku ini adalah karya terbaik Muhammad abduh dalam ilmu kalam. Sayyid Umi alKhasyab berencana mencetaknya, dan semoga ia mampu mencetaknya dalam waktu dekat. f. Syarh Nahjul Balâghah. Buku ini sangat terkenal dan telah diterbitkan di Beirut dua kali, di Tharabulis sekali dan di Mesir sekali. g. Syarh Maqâmat Badî’ al-Zamân al-Hamdânî. Buku ini terbit di Beirut, buku ini berisikan tentang maqamat. h. Syarh al-Bashâri al-Hamdânî al-Nâshiriyyah fi al-Manthiq. Ini adalah buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi. i.
Nizhâmu al-Tarbîyah wa al-Ta’lim bi Mishr. Buku ini berisikan tentang pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir. Ini adalah buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.
j.
Risalâh at-Taûhîd. Yang berisikan tentang sistem teologi. Buku ini diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid Ridha.
k. Taqrîru al-Mahâkim al-Syarîyyah. Buku ini sangat khusus, tema-temanya berguna bukan saja bagi para hakim, tetapi juga bagi semua pencinta ilmu dan budaya, apalagi bagi para pelajar fiqih. l.
Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyyah. Berisikan tentang semangat kaum muslimin. Buku ini adalah kumpulan makalahmakalah dari majalah al-Manar yang diedit dan diterbitkan oleh Rasyid Ridha.
m. Tafsir Surat al-‘Ashr. Buku ini dipublikasikan di majalah al-Manar atas permintaan muridnya dan lainnya di kota-kota. n. Tafsir Juz ‘Amma o. Tafsir al-Manâr Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang cukup berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman. Meskipun demikian, ide-ide pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah maupun pendidikan begitu berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh menyebar ke dunia Islam melalui karya-karya Abduh sendiri maupun melalui murid dan pengikutnya. C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamaluddin Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad Abduh sebagaimana diungkapkan DR. Mohammad Imarah, bahwa Abduh adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern, bisa dikatakan melebihi guru beliau sendiri yaitu Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad
Abduh memiliki andil besar
dalam
perbaikan dan
pembaharuan pemikiran islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan di antaranya:35 1. Reformasi Pendidikan Muhammad
Abduh
memulai
perbaikannya
melalui
pendidikan.
Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh. 2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembagalembaga sosial. Di antaranya, Jami’ah Khairîyah Islamîyah, Jamî’ah Ihyâ al-Ulûm al-Arabîyah, dan juga Jamî’ah at-Taqorrûb bainâ al-Adyan. 3. Mendirikan Sekolah Pemikiran Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuhmusuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. Bahwa pusat perhatiannya adalah pengajaran dan pendidikan dan bukan politik ternyata juga dari tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya adalah dua, yakni:36
35
Istiqamah Kapu, Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan, artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3 36 Tahir Tanahi, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh (Cairo: Dar Al-Hilal, t.t), h. 18.
1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama sesuai jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya. 2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik oleh instansi-instansi pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya dalam surat-menyurat mereka. Usaha Abduh yang gigih untuk merekontruksi Syari’at dari bangunan yang sudah mapan bertahun-tahun, karena dijaga oleh ulama-ulama, tapi tak ideal, rigid dan jumud menuju tatatan teologi yang lebih berdimensi humanis dan dinamis. Untuk menggapai tujuan tersebut, hemat Abduh, diperlukan dua syarat yang mutlak ada. Pertama, memberi kebebasan mutlak pada akal. Dan kedua, membuang jauh-jauh sikap taqlid dalam berfikir dan berkreasi. Karena taqlid hanya menganggurkan seseorang dari peran sejarah yang harus ia isi. Dua dasar itu mengindikasikan kita akan konsepsi teologi Abduh yang menyandarkan ruh Syari’at tak hanya pada dalil naqli an sich yang berkecenderungan “sami’nâ wa `atha’nâ” namun lebih mengkristal pada hubungan sinergis antara dalil naqli dan akal manusia.37 Secara hirarki, ada delapan dasar (ushûl) yang pertama kali dikreasikan Abduh untuk membentuk konsep teologinya, 38 yaitu: 1. Perspektif akal dalam menuntun jalan menuju keimanan. 2. Mendahulukan akal daripada maksud dzhahir nash apabila terjadi kontradiksi. 37
Asyraf Abdul Wahab, Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur (Kairo: Maktabah Usrah, 2006) cet. 1, h. 115. 38 Ibid., h. 116.
3. Menjunjung toleransi dan mengubur pentakfiran (klaim kebenaran sepihak). Seperti larangan Abduh untuk mengkafirkan seseorang yang ucapannya mengandung seratus kesalahan dan satu kebenaran di satu sisi saja. 4. Merenungi “sunnah-sunnah” Tuhan yang terpendam di setiap makhlukNya. 5. Mengeliminasi segala bentuk kekuasaan yang berlandaskan pada agama tertentu. Otomatis, “undang-undang” ini melarang segala bentuk intervensi dari peroangan atau golongan tertentu untuk mencampuri keimanan setiap pemeluk agama. 6. Ajakan untuk mengakhiri fitnâh (perpecahan dan pertikaian). 7. Menumbuhkan sikap tenggang rasa pada siapapun yang berbeda pikiran dan keyakinan. 8. Mempertemukan kemashlahatan duniawi dan ukhrawi. Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal, modernisme pemikirannya mulai kelihatan. Dalam amatan cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Mizan : 1987), 'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas
Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir al-Manar merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. [Republika.co.id]39
39
Kotasantri, Muhammad Abduh, artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-
Bab III GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN
A. Pengertian Sifat dan Perbuatan Secara etimologi, kata sifat berasal dari bahasa Arab yakni al-shifah. Kata tersebut merupakan derivasi dari kata kerja washafa-yashifu-wasfhan-wa shifatan yang artinya “mensifati”. Dalam kamus al-Munjid karangan Louis ma’louf mengartikan bahwa sifat (al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri dan melekat pada suatu benda yang disifati (al-mawshûf),40 seperti sifat bagus, baik, tinggi, besar dan lain sebagainya, yang melekat pada sebuah kursi, misalnya. Dalam sebuah kamus besar bahasa Indonesia, kata sifat memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:41 1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah 2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb) 3. Ciri khas pada suatu benda (untuk membedakan diri dengan yang lain) 4. Dasar watak (dibawa sejak lahir) Dengan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sifat adalah sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati untuk membedakan benda tersebut dari benda yang lain.
40
Louis Ma’louf, Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm (Bairut: Dar el-Mashreq Sari, 1984), h. 903. 41 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I.
Sedangkan perbuatan berasal dari kata “buat” yang artinya berbuat, membuat, untuk, bagi. Berbuat artinya melakukan (suatu pekerjaan), sedang mengadakan. Membuat artinya mengadakan, melakukan, mengerjakan, memakai untuk, menyebabkan, mendatangkan, menjadikan. Perbuatan artinya sesuatu yang dilakukan, kelakuan, tingkah laku. Jadi, perbuatan merupakan sesuatu yang dilakukan dan dikerjakan yang dilekati oleh sifat, khususnya makhluk hidup yang berhubungan dengan nilai, seperti perbuatan baik, buruk, adil, dan lain sebagainya, yang dilakukan manusia misalnya.42 Memang sifat dan perbuatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya saling terkait, misalnya seorang memiliki sifat pemaaf, maka perbuatannya adalah memaafkan. Ada juga yang mengatakan sifat dan perbuatan itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api adalah membuat panas dan membakar. B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui melalui kekayaan aneka ragam seni, budaya, dan pemikiran para pemikir Muslim, baik tentang hukum, politik, sosial maupun ketuhanan atau dikenal dengan sebutan ilmu tauhid atau ilmu kalam, dan orang yang ahli dalam ilmu ini disebut mutakallim. Karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia, maka ilmu ini disebut Ilmu kalam. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah firmanNya (al-Qur’an), maka kalam Tuhan pernah menimbulkan perdebatan sengit 42
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Kartika, 1997), h. 88.
dikalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang muncul adalah mengenai apakah kalam Tuhan itu qadîm atau hadits. Karena firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau yang dimaksud kalam manusia adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog dalam Islam selalu menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Kaum teolog dalam Islam memang dinamakan mutakallimûn karena mereka ahli debat yang mahir memainkan katakata.43 Ilmu tersebut juga bisa dinamakan ushuluddin, karena membahas pokokpokok ajaran agama, seperti masalah dan keesaaan Tuhan. Selain itu, ilmu ini juga bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan.44 Asal ilmu tauhid sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya kontaminasi antara qath’î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber (tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.45 Dari kalangan tâbi’în, ahli kalam pertama adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, Zayd ibn ‘Ali Zayn al-Âbidîn, Hasan alBashrî, dan lain-lain. Sesudah masa tâbi’în adalah Ja’far ibn Muhammad al-
43
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat:Logos, 1999), cet. Ke 2, h, 17. Ibid., h. 17. 45 M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, (Bangil: al-Izzah, 2002) cet. 1, h. 35. 44
Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam Syafi’î.46 Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan Tuhan, tanzîh (penyucian Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan), tentang kalam Tuhan (apakah qadîm atau hâdits), tentang kenabian sekaligus kesucian para nabi dari dosa (ma’shûm), tentang al-mî’âd (tempat kembali), tentang sifat Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara aliranaliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhlûq).47 a. Pandangan Mu’tazilah Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.
46
Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi (ed), Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 1999) cet. 1, h. 144. 47 Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan Tantangannya, dalam Imam Baehaqi (ed), Kontroversi Aswaja, h. 151.
Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak lawan maupun sesama mereka sendiri.48 Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan), al-Adl (keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa alNahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).49 Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan (yang kekal). Para pengikutnya yang disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek
48
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1. h. 48. 49 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 80.
dari esensi zat Tuhan yang kekal (eternal). Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak, cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.50 Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahmân, al-Rahîm, alQâdir, al-‘Âlim, dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam. Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf (135 H- 235 H)51 bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya. Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek.52 Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut adalah zat atau esensi-Nya.
ُ2ُ1ُ ذَا2ُ3ْ(ِ) ٍَ و+ْ(ِ,ٌِ ﺏ+ِ%/َ) 0َ%/َ,َ1 رِي/َ'ْ%اِن& ا 50
Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat (Bandung: Pustaka, 1996), h. 60-61. 51 Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 47. 52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful Muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 131.
“Sesungguhnya al-Bârî Ta’âlâ (Allah) mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”53 Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan zatNya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah (‘ajz) dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia, tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayâh), maka artinya pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku tegastegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.54 Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb alJubâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan 53
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48. Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), cet. I, h. 230. 54
mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hâl (state, keadaan).55 Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang qadîm (terdahulu), sedang dalam teologi, sifat qadîm itu esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.56 Dengan kata lain mereka menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun. Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal seperti Tuhan.57 Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal. Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada 55
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130. 57 Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fikih (Jakarta: Lentera, 2005), cet.I, h. 226. 56
antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan manusia), atau dalam bahasa Arab disebut
Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti
harfiah dan nash-nash Tuhan.58 Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath (48) ayat 10: (Tangan Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy istwâ” (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy). Sehingga katakata tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna hakiki, sebab yang hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini sematamata bertujuan untuk men-tanzih-kan (mensucikan) Tuhan. Dari sinilah, maka kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka menyebutnya Mu’aththilah. Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah (inquisition). Pada masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa alQur’an adalah makhluk.59 Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan 58
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 46. Bisa dikatakan bahwa hilangnya Mu’tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional dalam dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang tak menguntungkan, yakni penyerangan bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-porandakan Bagdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diridari kenyataan. Melihat kekalahan-kekalahan, mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri (‘uzlah) bukan hanya secara fisik tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran bagi Islam. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990), cet. I, h. 189. 59
baik. Namun, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.60 Ayat-ayat al’Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat al-AnBiya [21]:2361, dan surat ar-Rum [30]:8.62 Abd al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun ayat kedua, menurut al-Jabbar , mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.63 Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik terhadap manusia.64 Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, 60
bahkan
yang terbaik (ash-shalah wa
al-ashlah)
M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa Jakarta, 1990), h. 89. 61 Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. 62 Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduany, melainkan dengan (tujuan) yang benar. 63 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 89. 64 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 154.
mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Tuhan berikut ini: 1. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat adil kalau Dia memberi beban yang terlalu berat terhadap manusia.65
2. Kewajiban mengirim rasul Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal mengetahui hal-hal ghaib,66 pengiriman rasul tidak begitu penting. Namun, mereka memasukan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan akhrat nanti. 67 3. Kewajiban menepati janji dan ancaman Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan 65
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129. Sebagimana telah dilihat pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu bagi aliran Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya. 67 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 131. 66
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.68 b. Pandangan Asy’ariyah Sebagai reaksi dari timbulnya berbagai firqah (Qadariyâh, Khawârij, Mu’tazilah, dsb), maka lahirlah aliran baru yang dipelopri oleh Abû Hasan alAsy‘arî.69 Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H dan di sana pula beliau meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya berpegang pada paham Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’î. Setelah 40 tahun menjadi pengikut Mu’tazilah, akhirnya ia merasa kecewa. Paham yang diikutinya terlampau mengagungkan akal dan sering mengabaikan teks-teks hadis. Di lain pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis, yang hanya percaya pada bunyi teks dan mengindahkan spiritnya. Kitab-kitab yang pernah dihasilkannya antara lain al-Ibanâh fi Ushul al-Diyânah, Maqâlât al-Islâmîyîn, dan al-Mujâz. Di antara ulama besar yang menyebarkan aliran Asy’ariyah ini yaitu Abû Bakr al-Qaffâl (w. 365 H), Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-Tamhîd-nya yang terkenal (w. 403 H), Imam Abû Ishâq al-Isfahânî (w. 411 H), Imam Hâfizh alBayhaqî (w. 458 H), Imam al-Juwaynî atau dikenal dengan sebutan Imam alHarâymayn, guru Imam al-Ghazâlî (w. 460 H), Imam al-Qusyayrî (w. 465 H),
68
Ibid., h. 132-133. Beliau dan Maturidi adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran Mu’tasilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-hadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy ‘ariyah, atau Asyâ’irah. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13. 69
Imam al-Ghazâlî (w. 505 H), Imam Fakhr al-Râzî (w. 606 H), dan Imam ‘Izz alDin ibn ‘Abd al-Salâm (w. 606 H). dalam masa-masa kemudian, para ulama yang mendukung paham Asy’ariyah ini di antaranya seperti Syekh al-Islâm ‘Abd Allâh al-Syarqâwî (w. 1227 H), Syekh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1272 H), Syekh Nawawî al-Bantanî (w. 1315 H), Syekh Zayn al-‘Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî dengan kitab ‘Aqîdat al-Nâjîn-nya, Syekh Husayn al-Tarabalâsî dengan kitab al-Hushûn alHamîdîyah-nya yang terkenal itu.70 Dalam doktrin Asy’ariyah, bahawa Tuhan merupakan zat yang mutlak mempunyai sifat. Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Tuhan memiliki sifat-sifat seperti Qudrah, Irâdah, ‘Ilm, dan Sam’, dan lain sebagainya. Dengan adanya qudrah maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada murâd; ada ‘ilm ada ma’lûm; dan ada sam’ maka ada masmû’. Semua itu adalah relasi sifat Tuhan dengan makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak menjelma, sifat tidak bisa dipisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam dikatakan, misalnya al-‘Ilm shifah qadimah azaliyah laysat hiya dzatan wa lâ ghayrahâ (ilmu itu merupakan sifat azali yang berbeda dengan zat Tuhan, dan bukan pula zat-Nya).71 Dalam memperkuaat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat-ayat alQur’an, di antaranya:
ِ2ِ3ْ(ِ,ُِ ﺏ2َ%َا4ْ5َأ Artinya: “Allah menurunkan dengan ilmu-Nya” (QS. an-Nisâ [4] : 166)
70
Muslim, Asy’ariyah, artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b5 4dfc 71 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 180.
ِ2ِ3ْ(ِ,ِ ﺏ/&%ِْ إ9َ:َ1 /َ%َ و0َ;ْ5ُِ=ُ ﻡِ<ْ أ3ْ>َ1 /َوَﻡ Artinya: “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”. (QS. al-Fâthir [35] : 11) Menurut Asy’ari, kedua ayat di atas menunjukan bahwa Tuhan mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Tuhan itu adalah zatNya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-‘Ilm (pengetahuan) merupakan al-‘Alim (Yang Mengngetahui), atau sebaliknya al-‘Alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘Ilm (pengetahuan), atau zat Tuhan diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil Tuhan merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Tuhan mengetahui zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan ilmu. Ilmu Tuhan tersebut bukan merupakan zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat lainnya. Bagi Asy’ari, seluruh sifat Tuhan itu qâ’imah bi dzâtih (berdiri sendiri).72
Dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyâbihât seperti:
ِِآْ?َامAْلِ وَا/َ(َBْ%َ ذُوْا اCDُ رَﺏ2ْEَ وFَGْ'َHَو Artinya: “Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulilaan.” (QS. al-Rahmân [55] :27)
/َIِJْ وَوَﺡ/َIْJِIُJْ)َLَِ ﺏCْ(ُM%ِْ ا9َIْNوَا Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.” 72
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. I, h. 43.
(QS. Hûd [11] :37)
ْ+ِOْHِPْHَْقَ أQَR ِSُ اPَH Artinya:“Yad Allah di atas tangan mereka.” (QS. al-Fath [48] : 10) Dalam persoalan ayat-ayat di atas, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil jalan tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, mata dan tangan73 yang tidak akan hancur seperti yang telah disebut dalam al-Qur’an, tetapi dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bi lâ kayf).74 Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda. Proposisi “sifat itu bukan zat” (laysat hiya dzâtan) digunakan untuk menjawab argumentasi Mu’tazilah yang mengaitkan sifat itu adalah zat. Dan proposisi “sifat itu bukan selain zat” (wa lâ ghayrahâ) digunakan untuk menyanggah orang-orang Nasrani yang meyakini bahwa sifat Tuhan itu dapat dipisahkan dari zat-Nya. Sifat “kalam” (berfirman), misalnya, dapat dipisahkan karena “kalam” tersebut telah menjelma dalam bentuk Yesus. Kalau mengikuti lebih lanjut, paham Asy’ariyah ini sebenarnya sudah jauh berkembang. Al-Râzî, misalnya itu sudah jauh sekali dari Asy’ari. Sebab dia mengatakan bahwa sifat Tuhan itu hanya al-‘Ilm (ilmu). Pendapat itu justru lebih mengarah ke paham Mu’tazilah.75 Bahkan al-Juwaynî, pengikut golongan Asy’ariyah, juga condong kepada paham Mu’tazilah, menurutnya Allah Swt., suci dari pengkhudusan dengan arah, dengan sifat-sifat beharu serta bebas pula dari adanya betasan dan ukuran. 73
Ibid., h. 44. Maksud dari tidak bisa ditentukan bagaimana (bi lâ kayf) adalah dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (lâ yukayyaf wa lâ yuhadd). Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, h. 71. 75 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13 74
Baginya, setiap yang menempati arah mestilah terbatas, setiap yang terbatas mestilah terdiri dari jawhar yang dapat berkumpul dan bercerai. Sedangkan Allah Maha Suci dari bertempat (al-Tahayyuz) dan lepas dari arah tertentu, dan juga tidak terdiri dari tubuh (jism) tertentu. Oleh karenanya, ayat 5 surat Thâhâ di atas harus ditakwilkan al-qahr (keperkasaan), al-ghalabah (kekuasaan), atau al-uluww (keluhuran).76 Al-Bâgillanî, sebagaimana disebut oleh al-Syahrastânî, setuju jika hâl digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Tuhan seperti pandangan Abû Hâsyim dari kalangan Mu’tazilah. Tampaknya ia setuju karena umumnya kaum Mu’tazilah mengunakan pendapat Abû Hâsyim tersebut dalam rangka untuk menetapkan ke-Esaan dan ke-qadîm-an Tuhan. Al-Bâqillânî mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Gerak dan warna misalnya, keduanya terdapat zat yang bergerak dan berwarna. Sifat adalah sesuatu yang tampak pada perbuatan, seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih, panjang, atau pendek. Sifat juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katîb (penulis), bisa juga berdasarkan agama, seperti mukmin atau kafir. Selain itu, bisa juga berdasarkan kebangsaan, seperti ‘Arabi (yang berkebangsaan Arab), ‘Ajami (yang berkebangsaan non-Arab), atau Hâsyimî (yang berasal dari keturunan Hâsyim). Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa bahwa sifat adalah sesuatu yang menempel pada nama-nama.77 Tetapi kecenderungan tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah terhadap pemikiran Mu’tazilah ini dianggap oleh Said Aqiel Siradj sebagai usaha adaptasi Sunni yang menurutnya sangat fleksibel.
76
Sjechul Hadi Purmono “Aswaja: Aqidah dan Syari’ah”, dalam Imam Baehaqi (ed) Kontroversi Aswaja, h. 49. 77 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari, h. 50.
Sedangkan Abû Hâmid al-Ghazâlî (1058-1111 M), salah seorang pengikut al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya dalam umat Islam, ternyata berlainan pendapat dengan gurunya yakni al-Juwaynî dan al-Bâqillânî. Paham teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham Asy’ari. Al-Ghazâlî, seperti al-Asy’ari, tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadîm yang tidak identik dengan zat Tuhan itu sendiri, dan mempunyai wujud di luar zat-Nya. 78 Menurut aliran Asy’ariyah tentang perbuatan Tuhan, bahwa kewajiban Tuhan berbuat baik danterbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan alGhazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhantidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, Asy’ari tidak menerima bahwa Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib.79 Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak memepunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ari menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam bukunya al-Lamâ, bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang
78
Said Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jama’ah di awal Abad XXI” dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, h. 140. 79 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129130.
tidak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazâlî pun mengatakan hal ini dalam karyannya al-Iqtisad.80 Walupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ari
menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul kepada manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Dia akan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ari tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi masalah bagi eologi mereka. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau. Tuhan dalam hal ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.81 Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman. Di sini timbul persoalan bagi Asy’ari karena dalam al-Qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, katakata Arab “man alladzîna” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya,” mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang, 80
Ibid., h. 129. menurut faham Asy’ari, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia. 81 Ibid., h.131-132.
tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapaun sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan ancaman.82
c. Pandangan Maturidiyah Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al-Maturidi banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ari, sekalipun ada beberapa perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait persoalan ma’rifah (mengetahui Allah), Asy’ariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’, sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban ini juga dapat dicapai melalui penalaran akal. Demikian pula perihal kebaikan, Asy’ariyah tidak mengakui bahwa penilaian atas hal itu dapat dicapai melalui penalaran akal atas substansinya. Sementara Maturidiyah menerima kemampuan akal untuk menilai kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya. Dari sini dapat diketahui bahwa Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah senantiasa
menjadikan
dalil-dalil
syara’
sebagai
rujukan
dan
bingkai
penafsirannya. Aliran penentang Mu’tazilah di Basrah dipimpin oleh Abu Hasan alAsy’ari, sedangkan di Samarkand dipimpin oleh al-Maturidi.83 Walaupun kedua aliran tersebut sama-sama sebagai Ahlussunnah wal Jama’aah, tetapi antara 82 83
Ibid., h.133. Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 91.
keduanya terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa perbedaan itu bukanlah pada soal-soal yang prinsipil, serta jumlahnya tidak lebih dari 40 masalah.84 Sedangkan menurut Abû Zahrah, perbedaan itu terletak pada, bahwa Maturidi lebih banyak memberikan peranan kebebasan kepada akal dibanding dengan Asy’ari, sehingga hasil pemikirannya banyak juga yang berbeda.85 Al-Maturidi mempunyai banyak pengikut, salah satunya bernama alBazdawi. Al-Maturidi dan al-Bazdawi walaupun sama-sama pengembang aliran tersebut, tetapi antara keduanya
memiliki beberapa perbedaan paham.
Maturidiyah yang pusat kegaiatannya di Samarkand disebut Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh al-Maturidi sendiri, pendapat-pendapatnya banyak yang sejalan dengan paham Mu’tazilah yang rasionil, sedang Maturidiyah yang pusat kegiatannya di Bukhara yang dipimpin al-Bazdawi disebut Maturidi Bukhara, paham-pahamnya banyak berdekatan dengan paham Asy’ariyah.86 Dengan demikian, aliran Maturidiyah memiliki dua cabang yakni Maturidiyah Samarkand dan Matiridiyanh Bukhara. Maturidi mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat Tuhan harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman ‘azali, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat seperti qudrat, dan sifat-sifat aktif (perbuatan, sifat af’al). seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan lainnya. Sifat-sifat tersebut kesemuanya tidak boleh diperbincangkan, apakah itu hakekat zat ataukah bukan?87
84
Abul Hasan al-Nadawi, Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam (Kuwait: Darul Kalam,1969), h. 159. 85 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr, t.t), h. 199. 86 Harun Nasution, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 8-9. 87 A Hanapi, Theologi Islam (Jakarta: Al-Husna, 1996), h. 94.
Akan tetapi paham tersebut membelok kepada Asy’ari dengan mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui sifat ‘ilm-Nya, bukan dengan zat-Nya. Tuhan berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zatNya.88 Timbul persoalan yang sama seperti di atas. Kalau sifat-sifat itu bukan hakekat zat, tidak pula dari zat, apa jadinya sifat-sifat itu? Maturidi menjawab, bahwa sifat Tuhan itu adalah sifat Tuhan, tidak lebih dari itu. Dengan kata lain Maturidi tidak bisa menyelesaikan kontradiktif. Sebenarnya ia bisa saja membelok kepada Mu’tazilah atau orang-orang filosof, dengan mengatakan tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa melangkah kearah aliran salaf dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan sifat akan menyeret kita kepada bid’ah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.89 Meskipun demikian, sikap Maturidi terhadap Mu’tazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak seperti tasybîh (mempersamakan Tuhan dengan manusia) dan mereka mengingkari sifat-sifat (Mu’tazilah) dengan alasan mensucikan Tuhan tidak perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya sebab bisa menjadikan Tuhan suatu gambaran pikiran yang kosong. Dalam pembicaraan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidi, harus digunakan cara tasybîh bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadîm dan tidak bisa diterangkan kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa digunakan untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakan (tasybih). Akan tetapi dalam hal itu haruslah dipakai jalan tanzîh untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat 88 89
M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 128. A Hanapi, Theologi Islam h. 95.
Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ‘ilm dan qudrat Tuhan itu, sebab petanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan.90 Berbicara sifat-sifat Tuhan lagi, Maturidi juga sejalan dengan Mu’tazilah bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar zat-Nya. Padahal Asy’ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan memiliki eksistensi sendiri di luar zat-Nya. Hanya saja ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata manusia penghuni surga di hari kiamat. Adapun persoalan al-Qur’an, Maturidiyah menyifatinya sebagai baru, tetapi tidak menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menegaskan kemakhlukan al-Qur’an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi tidak menyatakannya qadîm. Sedangkan kalam dilihat Maturidiyah sebagai salah satu sifat Tuhan yang melekat dengan zat-Nya. Terhadap ayat-ayat sifat yang mutasyabbih, Maturidiyah memilih melakukan pentakwilan dengan membawanya kepada arti yang muhkâm dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme. 91 Perbedaan lainnya juga nampak seputar perbuatan Tuhan di mana Asy’ariyah menyatakannya tidak terkait dengan sebab karena Tuhan tidak dikenai pertanggung jawaban. Sedangkan Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih cenderung sejajar dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa dalam tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan, karena mustahil Tuhan Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng dan kesia-siaan. Tentang konsep kasb, antara keduanya juga terdapat titik perbedaan yang signifikan. Asy’ariyah
90
Ibid., h.95 Pejiarah, Maturidiyah, artikel diakses http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/ 91
pada
30
Mai
dari
menetapkan kasb dalam kebersamaan antara perbuatan yang diciptakan Tuhan dan ikhtiar hamba. Tetapi, hamba sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap kasb tersebut karena Tuhan-lah yang menciptakannya. Implikasi logis pandangan ini memang bersifat fatalis karena ikhtiar hamba menjadi tidak berarti karena iapun dipengaruhi oleh Tuhan. Sedangkan Maturidiyah memberi pengakuan bahwa hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu ia bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan dalam perbuatan itulah kebersamaan dengan penciptaan Tuhan terjadi. 92 Mengenai perbuatan Tuhan ini, terdapat perbedaan pandangan pendapat antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidi Samarkand yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik bagi manusia. Dengan demikian juga dengan pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand
sebagai kewajiban
Tuhan.93
Adapun mengenai
pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara
92 93
Ibid., M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 91.
tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. 94 Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapataliran Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
94
133.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-
Bab IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
E. Sifat-sifat Tuhan Terdapat pertentangan dalam teologi Islam dalam hal apakah Tuhan mempunyai sifat ataukah tidak. Apakah sifat tersebut esensi Tuhan itu sendiri ataukah mempunyai wujud tersendiri di luar zat-Nya? Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Dalam hal ini, Muhammad Abduh telah menyinggung dan menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam karyanya yang berjudul Risalah al-Tauhid. Mengenai masalah tersebut, Abduh tidak tegas dalam mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, karena hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuainya. 95 Dalam karyanya yang lain yaitu Hasyiah ’alâ Syarh al-Dawwânî li al’Aqaid’id al-’Adudiah, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan menurut pendapat para filosof Islam, adalah esensi. Maksudnya, bahwa esensi Tuhan adalah sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang timbul akibat dari sifat. Akibat dari sifat mengetahui, ialah “memperoleh pengetahuan” tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh pengetahuan” tersebut timbul karena akibat dari esensi. Dengan kata lain, bahwa esensi dan sifat mengetahui adalah satu, karena keduanya sama-sama “memperoleh pengetahuan.” Begitu pula halnya dengan sifat berkuasa. Akibat dari sifat kekuasaan adalah “pelaksanaan perbuatan”. Dan “pelaksanaan perbuatan” tersebut juga timbul karena sumber dari 95
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UIPress, 1987), cet-1, h. 71.
segala yang ada yaitu akibat dari esensi. Maka dari itu, esensi dan sifat berkuasa adalah pula satu, karena keduanya sama-sama mengakibatkan “pelaksaana perbuatan.” Dengan demikian, esensi ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan tentang sesuatu adalah memperoleh pengetahuan, dan ditinjau dari segi kekuasaan adalah terlaksananya perbuatan.96 Abduh lebih cenderung kepada pandangan para filosof. Karena dapat disimpulkan dari kritik yang diberikan terhadap definisi al-’alim adalah sebagai orang yang mempunyai sifat mengetahui, yang disebut pengetahuan, dan sifat pengetahuan itu melekat pada esensinya. Dalam pendapatnya al-’alim adalah orang yang bagi hakekatnya sesuatu telah menjadi nyata. Definisi ini sudah jelas menolak adanya sifat yang disebut pengetahuan. Abduh juga mengkritik pendapat yang menyebutkan bahwa sifat Tuhan adalah lain atau berbeda dari Tuhan. Dengan argumennya, mereka menjelaskan bahwa Tuhan untuk menjadi sempurna, berhajat pada sesuatu di luar esensi-Nya, yaitu sifat-Nya. Itu berarti bahwa ada yang membuat Tuhan untuk menjadi sempurna, dengan begitu terdapat hal-hal yang lebih tinggi dari Tuhan, dan hal tersebut tidak dapat diterima oleh akal. Bahwa sifat adalah satu dan sama dengan esensi, untuk menjadi sempurna, Tuhan tidak perlu berhajat kepada sesuatu di luar-Nya. Dengan demikian, Muhammad Abduh di sini jelas memihak pada golongan yang meniadakan sifat, karena itu merupakan sesuatu yang lebih masuk akal. 97
Ibid., h. 72. Lihat Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah, ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsafi wa AlKalamiyin (Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958), h. 280-282. 97 Ibid., h. 72. 96
Di sini dapat dijumpai lagi paham peniadaan sifat. Abduh berpendapat bahwa pengikut-pengikut Asy’ari salah tangkap apa yang dimaksud imam mereka. Dengan argumen Asy’ari yang menyatakan bahwa tidak dapat dikatakan sifat yang disifati adalah lain dari pasangan maing-masing. Dengan perumpamaan bahwa “tidak ada di rumah selain Zaid”, maka sifat dan bagian dari Zaid adalah bukan dari Zaid, dengan begitu sifat dan bagian dari Zaid tidak ada di rumah, tetapi sifat dan bagian dari Zaid itu ada di sana, karena Zaid tidak dapat berwujud tanpa adanya sifat dan bagiannya itu. Menurut pendapat Abduh perumpamaan “tidak ada di rumah selain Zaid”, menurutnya adalah lemah karena setiap orang kecuali Zaid dengan sifat dan bagiannya itu tetap ada di rumah. Oleh kerena itu, Abduh tidak setuju dengan pendapat Asy’ari bahwa sifat adalah bukan Tuhan tetapi bukan pula lain dari Tuhan. Dan Abduh mempertanyakan pendapat Asy’ari dan pengikutnya apabila seseorang menyembah sifat-sifat di luar Tuhan? Bukankah itu menjadi syirik (politheisme)? 98 Dalam tulisannya, Abduh tidak pernah memberikan definisi tentang “lain”, dan ia meragukan bahwa konsep tersebut di atas datangnya dari Asy’ari sendiri, karena menurut al-Syahratani yang merupakan salah satu pendiri aliran Asy’ari berpendapat sebaliknya. Dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal. Menurutnya “… Tidak dapat disebut sifat adalah Tuhan (hiya huwa), pula bukan lain dari Tuhan (hiya ghairuhu), pula bukan Tuhan (la huwa) dan pula bukan lain dari Tuhan (la ghairuhu). Jelas kata Muhammad Abduh, bahwa kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “lain” (ghairuhu), adalah bukan “lain” (la ghairuhu), itu sendiri dan kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “Ia adalah Tuhan”
98
Ibid., h. 73.
(hiya huwa), adalah “bukan Tuhan” (la huwa) sendiri. Ungkapan itu membawa kepada peniadaan yang bersifat majemuk. Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan”, dan bukan pula “lain dari Tuhan”. Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada artinya kecuali diberi interpretasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah keadaan mental, dan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud…”99 Menurut Abduh, Asy’ari dalam menerima konsep peniadaan Tuhan berbeda dengan pengikut-pengikutnya karena para pengikut-pengikutnya tidak menerima konsep tersebut, sedangkan bagi Mu’tazilah, hanya sebagai keadaan mental dalam hal memandang sifat. Dari pemaparan di atas, sudah jelas terlihat bahwa Abduh lebih cenderung kepada pendapat konsep peniadaan sifat Tuhan, meskipun dalam Risalah ia berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan namun tidak membahas pakah sifat itu esensi atu lain dari esensi. Dan tidak ada pertentangan antara tulisannya tentang sifat dalam Risalah dengan tulisannya yang lain dalam hasyiyah. Dengan begitu, karena Abduh tidak berpegang kepada paham mutlaknya kehendak dan kekuasaan Tuhan, maka bisa saja Abduh memasukan teori peniadaan sifat Tuhan dalam teologinya. 100 Dalam pandangan Muhammad Abduh, berfikir tentang zat Tuhan sama artinya dengan mencari hakikat zat yang menjadikan dari satu sudut pandang. Hal ini terlarang bagi manusia sebab terjadi sebuah ketidak-seimbangan dua wujud yang berbeda antara wujud khalik dan wujud akal manusia. Sedang dari sudut pandang lain hal ini merupakan sebuah kesia-siaan sebab manusia akan gagal 99
Ibid., h. 74. Ibid., h. 74.
100
mengenali zat Tuhan sekalipun dengan mengerahkan kemampuan akalnya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum akal wajib dalam pengenalan terhadap Tuhan bukan merupakan upaya untuk menelusuri hakikat zat Tuhan namun terbatas dengan mengamati ciptaan dan melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini ia juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar dari kaidah berfikir yang benar.101 Menurut Abduh, Yang wajib “ada” itu hanyalah Tuhan, yang menjadi sumber bagi segala yang mungkin ada, seperti yang telah diterangkan dengan jelas beserta bukti yang meyakinkan. Dengan demikian, Dia merupakan wujud yang paling kuat dan yang paling tinggi. Dia diiringi dengan sifat-sifat (atribut-atribut) wujudiah yang sesuai dengan kedudukan dan martabat-Nya yang tinggi itu. Segala apa yang dapat dibayangkan oleh akal tentang wujud yang sempurna yang dapat dicakup oleh makna tetap, kekal dan nyata, serta sifat yang mungkin dapat dilekatkan kepada wujud yang sempurna itu wajiblah hal itu disifatkan kepada diri-Nya. Dan karena Dia merupakan sumber dari kesempurnaan wujud-Nya seperti yang telah disebutkan, maka wijiblah sifat-sifat wujudiah yang diperlukan oleh martabat yang mulia ini, sifat-sifat yang melekat pada zat-Nya.102 Para ahli kalam membagi yang Maklum (yang dapat dicapai oleh akal) kepada tiga bagian yaitu mustahil, mungkin dan wajib bagi zat-Nya. Adapun yang “mustahil” bagi zat-Nya ialah sesuatu zat yang tidak mungkin ada. Apabila sekiranya berwujud, maka tentulah menjadi tidak lazim bentuk mahiyahnya
101
Susiyanto, Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh, artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacakpemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/ 102 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H). h. 40.
(kenyataan sesuatu benda). Oleh karena itu, sesuatu yang mustahil memang tidak bisa diwujudkan dan memang tidak akan ada dengan pasti.103 Yang “mungkin” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya kecuali dengan suatu sebab, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena ia juga bisa terwujud karena adanya sebab. Dengan demikian tidak ada satu pun di antara kedua perkara tersebut (ada dan tiada) yang dimiliki oleh sesuatu itu sekaligus. Sedangkan yang “wajib” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada.104 F. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada Sifat-sifat Tuhan yang wajib ada adalah sifat yang memang sudah semestinya ada. Sebagaimana sifat atau zat Tuhan yang wajib ada itu tidak tersusun (tarkib) dari beberapa bagian, dan juga tidak bisa dibagi-bagi, karena apabila dapat dibagi-bagi, maka tentulah Dia berbeda dari wujudNya semula dan akan menjadi berbagai macam wujud atau wujud-Nya menjadi banyak. Maka apabila demikian halnya , tentulah Dia bisa menerima tiada dan bisa dibagi-bagi, karena keduanya adalah mustahil bagi-Nya.105 Adapun sifat-sifat Tuhan yang wajib ada menurut Muhammad Abduh, sebagian di antaranya adalah: 1.
Hayah Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah, sifat hidup (al-
Hayah). Sifat itu diiringi oleh sifat-sifat lain seperti sifat ‘Ilm (Maha Mengetahui) dan Iradah (Maha Berkehendak). Demikian itu, disebabkan karena hayat adalah
103
Ibid., h. 33. Ibid., h. 34. 105 Ibid., h. 39. 104
jelas sifat kesempurnaan bagi wujud-Nya. Oleh karena itu, sifat hidup dan sifat yang mengiringinya adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi kebijaksanaan. Al-Hayat dalam segala martabatnya, menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Nyatalah, bahwa Dia mempunyai wujud yang sempurna dan bersifat dengan Dia zat yang wajib ada. Begitu juga segala yang mempunyai wujud yang sempurna yang mungkin menjadi sifat-Nya, wajiblah sifat itu tetap bagi-Nya.106 Untuk itu yang wajib ada itu pastilah Dia hidup, sekalipun hidupnya berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat. Maksudnya adalah apabila Tuhan tidak hidup, maka tidak ada ‘ilm dan iradat, untuk itu hayah merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat dan juga merupakan wujud kesempurnaan-Nya. Zat yang wajib ada itulah yang memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki hidup yang akan diberikan-Nya. Oleh karena itu Ia wajib hidup sebagaimana Dia adalah sumber dari yang hidup. 2. ‘Ilm Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib ada, adalah sifat ‘Ilm (Maha Mengetahui). Bahwa sifat ‘ilm menjadi kesempurnaan bagi segala yang wajib wujud itu ialah zat yang mempunyai ilmu. Oleh karena itu sifat mengetahui wajib ada, karena dengan adanya sifat ‘ilm, Ia menjadi sempurna dengan mengetahui segala hal pengetahun yang diketahui maupun yang belum diketahui oleh
106
Ibid., h. 41.
makhluk ciptaan-Nya. Dan segala kenyataan bahwa hanya Dia yang paling mengetahui segala apa yang ada maupun yang tidak ada sekalipun.107 Dengan begitu yang wajib ada pastilah Dia mengetahui, sekalipun pengetahuan-Nya berlainan dengan segala yang mungkin mengetahui. Maka sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan sumber dari sifat-sifat yang lain. Zat yang wajib ada itulah yang memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang akan diberikanNya. Oleh karena itu Ia wajib mengetahui sebagaimana Dia adalah sumber dari pengetahuan. 3. Iradah Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib wujud, adalah Iradah. Dia adalah sifat yang dapat menentukan untuk penciptaan alam ini dengan salah satu jalan-Nya yang mungkin. Setelah tetap bahwa zat yang memberikan wujud kepada segala yang mungkin ada, wajib adanya, dan bahwa Dia adalah mengetahui, dan bahwa segala yang mungkin tidak dapat tidak mesti sesuai dengan ilmu-Nya, tetap pulalah dengan pasti, bahwa Tuhan mempunyai kehendak untuk melakukan sesuatu, sebab Dia membuat segala sesuatu keinginan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya..108 Kemudian perlu dijelaskan, bahwa segala yang maujud harus menurut ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang yang tertentu pula, jalan ini sudah ditentukan bagi yang maujud itu dan bukanlah jalan-
107 108
Ibid., h. 42. Ibid., h. 45.
jalan yang lain. Ketentuaan yang demikian itu harus sesuai dengan ilmu, dan tidak ada makna lain bagi Iradah kecuali ini. Apa yang dikenal orang selama ini tentang arti iradah ialah bahwa orang yang berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau mengurungkannya dengan semaunya. Pengertian seperti itu adalah mustahil bagi zat yang wajib wujud. Karena makna seperti itu merupakan keinginan-keinginan manusia biasa, dan merupakan pencapaian yang dapat merusak, karena makna yang demikian adalah kelanjutan dari kelemahan ilmu pengetahuan. Dalam arti, keinginankeinginan manusia terbatas pada kemampuannya, dengan demikian setiap keinginannya tidak selalu tercapai. Dan juga kehendak manusia itu akan berubahubah menurut perubahan hukum, dan meragukan manusia yang mempunyai keinginan itu sendiri, untuk membuat keputusan dalam situasi, melakukan atau tidak 4. Qudrah Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib itu adalah qudrah. Dia merupakan suatu sifat yang dengannya zat yang wajib itu mengadakan dan meniadakan apa yang dikehendaki-Nya. Bahwa telah jelas, zat yang wajib ada itulah yang menciptakan alam semesta menurut iradah dan ‘ilm-Nya, maka tidak dapat diragukan lagi, bahwa Dia berkuasa dengan pasti. Karena perbuatan zat yang mengetahui lagi mempunyai kehendak dalam apa-apa yang diketahui dan dikehendaki-Nya.tentu hanya bisa terjadi dengan adanya kekuasaan bagi-Nya untuk berbuat. Dan tidak lain makna qudrah kecuali kekuasaan yang penuh dan mutlak itu.109
109
Ibid., h. 45.
Dengan demikian yang wajib bagi-Nya harus mempunyai kekuasan mutlak atas segala sesuatu yaitu qudrah. Dengan qudrah itu, maka Tuhan berhak berkuasa di atas ciptaan-Nya yakni alam ini. Namun, Dia berkuasa bukan seperti orang yang berkuasa atas apa yang dikuasainya, melainkan Dia berkuasa atas ciptaan-Nya dengan iradah dan ‘ilm-Nya. Dan meskipun Tuhan mampu berkuasa sekehendak diri-Nya terhadap makhluk-Nya, namun Dia akan melakukan-Nya dengan adil dan bijaksana. Karena itu, Tuhan menginginkan makhluk-Nya agar berjalan di muka bumi ini dengan baik dan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan-Nya. Meskipun Tuhan sudah menetapkan aturan-aturan-Nya dalam al-Qur’an bagi manusia untuk berbuat baik, namun masih banyak manusia yang melanggar aturan tersebut, dikarenakan manusia diberikan akal dan nafsu untuk berpikir dan dapat memilih mana yang baik dan tidak baik baginya. 5. Ikhtiar Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini (‘Ilm, Iradah, dan Qudrah) bagi zat yang wajib wujud, melazimkan pula tetapnya sifat ikhtiar bagi-Nya dengan pasti. Karena tidak ada arti bagi ikhtiar itu kecuali mengakibatkan perbuatan dengan kekuasaan-Nya menurut ketentuan ilmu dan hukum kehendak-Nya. Adapun yang dimaksud dengan ilmu Tuhan adalah contohnya bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang diketahui dan bahkan tidak diketahui siapapun, sedangkan contoh hukum Tuhan yaitu akibat yang akan timbul apabila sesuatu ketentuannya dilanggar, seperti manusia akan dimasukan ke dalam neraka apabila bersalah. Dengan demikian, maka Tuhan berbuat dengan kemauan yang bebas, dan tidak satu pun di antara perbuatan-Nya dengan segala aktifitas-Nya menciptakan
makhluk-makhluk-Nya, yang ada karena sesuatu sebab yang datang. Atau karena adanya sesuatu tekanan, tanpa kehendak-Nya sendiri. Tidak satu pun di antara kepentingan-kepentingan alam yang dapat memaksa-Nya untuk mengawasi semuanya. Hingga sekiranya Tuhan tidak berbuat demikian.110 Apabila Dia dapat dipaksa untuk mengawasi, maka Dia akan menjadi sasaran kritik karena cacat dan cela, padahal Dia bersih dari hal itu. Maha suci Allah dari keadaan yang demikian itu. Dengan
kebebasan
menentukan,
Tuhan
pun tidak
semena-mena
menentukan sesuatu dengan tidak adil, karena janji Tuhan terhadap makhluk-Nya yang berbuat baik akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya makhluk-Nya yang berbuat jahat akan dimasukkan ke dalam neraka. Meskipun Tuhan mampu melakukan sebaliknya dengan kekuasaan-Nya yaitu memasukan orang yang berbuat baik ke dalam neraka dan memasukan orang jahat ke dalam surga. Namun sekiranya Dia tidak berbuat demikian. 6. Wahdah Di antara sifat yang wajib juga bagi-Nya yaitu sifat Esa. Esa dalam zat, dalam sifat, dalam wujud dan dalam perbuatan. Adapun Esa dalam zat, maka telah diterangkan dalam keterangan yang tedahulu, bahwa zat itu tidak menerima tarkib (tidak tersusun dari berbagai unsur), baik dari luar maupun dari dalam akal. Tentang wahdah dalam sifat-Nya ialah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya di antara yang maujud ini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sifat itu harus mengikuti bagi martabat sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada sesuatu pun di antara yang maujud ini yang 110
Ibid., h. 46.
dapat menyamai yang wajib wujud dalam martabat wujudnya. Maka karena itu juga, hal itu berlaku pada sifat-sifat yang menyertai-Nya.111 Dengan kata lain, tidak ada yang menyamai sifat-sifat Tuhan yakni esensi Tuhan itu sendiri. Adapun mengenai Esa dalam wujud dan perbuatan, maksudnya ialah zatNya sendiri yang wajib wujud, dan Tuhan sendirilah yang mengadakan segala apa yang mungkin ada. Memang benar demikian, karena sekiranya zat yang wajib wujud itu terdiri dari beberapa wujud (zat) yang banyak, maka pastilah masingmasing mempunyai wujud (substansi) yang berbeda dengan substansi yang lain. Ketika Muhammad Abduh menafsirkan ayat pertama dari surat al-Ikhlâs yaitu, qulhuwallâhu ahad, ia menjelaskan bahwa dengan kata ahad dimaksud bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak banyak dalam zat-Nya. Dia tidak tersusun (composite) dari jauhar
112
(subtansi) yang beraneka ragam. Dengan demikian
menurut Abduh, Tuhan bukanlah materi dan juga bukan semacam asal yang berbilang yang immateri, sebagaimana hal itu disangkakan oleh sebagian pemuka agama Kristen, bahwa Tuhan merupakan tiga unsur asal yang menjadi satu, baik hal itu masuk akal maupun tidak. Yang benar, menurut Abduh, Tuhan benar-benar bebas dari hal yang serupa itu, dengan alasan para filosof sendiri telah sepakat bahwa “yang mengadakan alam” (mujîd al-‘âlam), yakni Allah, adalah wajib alwujûd (yang mesti ada). Sesuatu yang mesti ada menurut akal sehat, haruslah Esa dalam Esensi (wahdat al-dzât), karena setiap yang terbilang dalam esensinya
111
Ibid., h. 47. Dalam pengertian umum, term jauhar berarti segala sesuatu yang mewujud (exsist) dalam realitas. Lihat Muhammad Saeed Sheikh, a Dictionary of Muslim Philosophy (Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976), h. 40. 112
mesti membutuhkan pada bagian-bagian. Dengan demikian, menurut Abduh, setiap yang membutuhkan pada bagian-bagian bukanlah wajîb al-wujûd.113 Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif, seperti Tuhan tidak hidup, tidak mempunyai pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak hidup, tidak memiliki pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Huzail (salah seorang tokoh Mu’tazilah), bahwa sifat Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan. 114 Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan dalam pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, di antaranya an-Nazhzham dan Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat lainnya. Tuhan dalam pandangannya senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadîm dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadîm-an.115 Menurut Abu Hudzail bahwa esensi pengetahuan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, 113
Muhammad Abduh, Al-Quran al-Karim Tafsir Juz’ ‘Ammâ (Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986), h. 174. 114 Al-Asy’ari, al-Ibanah an-Ushul ad-Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 200. 115 Ibid., h. 200-201.
kebijaksanaan dan sifat-sifat Tuhan yang lainnya. Ia berkata, “Kalau aku nyatakan Tuhan bersifat tahu, artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahun itu adalah zat-Nya itu sendiri.” Dengan begitu, aku tegas-tegas menolak bahwa Tuhan itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau akan terjadi.116 Sedangkan menurut aliran Asy’ari yang pendapatnya belawanan dengan Mu’tazilah, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatan-Nya. Asy’ari juga mengatakan bahwa Tuhan itu hidup, mengetahui, berhendak, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Tuhan memang memiliki sifat dan bahwa sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu unik, karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan Tuhan sendiri, tetapi sejauh menyangkut hakikatnya tidak terpisah dari esensi-Nya, dalam arti sifat adalah esensi.117 Sementara itu, al-Baghdadi melihat adanya konsensus dikalangan kaum Asy’ariyah bahwa Tuhan itu hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya, maka semua itu adalah kekal. Sifat-sifat tersebut menurut al-Ghazâlî tidaklah sama dengan esensi Tuhan, melainkan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa kepada faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum 116
Ibid., h. 198-199. C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), h. 67. 117
Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat Tuhan itu tidak lain dari Tuhan, maka adanya sifat-sifat Tuhan itu tidak membawa kepada faham banyak kekal.118 Kaum al-Maturidiyah berpendapat tentang masalah sifat-sifat Tuhan, namun dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Maturidi dan Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari mengartikan bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya, sedangkan menurut Maturidi, sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Tuhan tidak harus membawa kepada penggertian anthropomorphisme, karena sifat tidak berwujud dan tersendiri dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang kekal.119 Dan tampaknya faham Maturidi tentang sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sementara itu, Maturidi Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan
118
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 136. 119 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 135.
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga mengatakan bahwa Tuhan bersamasama sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.120 G. Perbutan-perbuatan Tuhan Muhammad Abduh dalam berbicara tentang perbuatan Tuhan, bahwa perbuatan Tuhan adalah apakah perbuatan Tuhan mengandung arah dan tujuan? Ataukah perbuatan Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan khusus? Permasalahan ini berhubungan langsung dengan persoalan hikmah Tuhan, karena salah satu definisi dan pengertian hikmah adalah pelaku tertentu mustahil melakukan suatu perbuatan sia-sia dan tidak bermanfaat serta segala perbuatannya mengandung tujuan-tujuan rasional dan masuk akal. Dengan begitu, menolak keberadaan suatu arah dan tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan adalah sama dengan menolak hikmah Tuhan. Namun menurut Abduh bahwa setiap perbuatan-perbuatan Tuhan tidak terlepas dari hikmah-Nya.121 Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Abduh berkeyakinan bahwa segala perbuatan Tuhan memiliki dan mengandung tujuan khusus. Dengan memperhatikan dan mencermati perbuatan-perbuatan kita yang bersifat ikhtiari dan mengandung tujuan, maka dapat kita memahami bahwa sebelum kita melakukan perbuatan-perbuatan itu pertama-tama kita menentukan suatu tujuan di mana dengan mencapai dan meraih tujuan tersebut kita dapat memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi, keberadaan penggambaran dan penetapan
120
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.
177. 121
Isyraq, Perspektif Umum Perbuatan Tuhan, artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/, dan lihat juga Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 56.
suatu tujuan perbuatan tersebut dalam pikiran kita niscaya sebelum melakukan perbuatan itu, tujuan perbuatan inilah yang kemudian mendorong dan memotivasi kita untuk segera mengimplementasikan perbuatan tersebut, dengan suatu harapan bahwa apabila kita melaksanakan perbuatan yang demikian itu kita akan mendapatkan suatu manfaat dan faedah. Oleh karena itu, minimal dalam perbuatan-perbuatan kita terdapat dua sifat dan karakteristik: pertama, tujuan perbuatan di mana bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan pelaku dan untuk mendapatkan segala kesempurnaan atau kemashlahatan tertentu; Dan kedua, penggambaran dan penetapan tujuan perbuatan mestilah sebelum melakukan perbuatan di mana nantinya akan berpengaruh pada seorang pelaku dan menggerakkannya untuk segera melaksanakan perbuatan itu demi mencapai tujuan yang dikandungnya.122 Para filosof menamakan penjelasan di atas dengan “penggambaran tujuan perbuatan sebelum pelaksanaannya” itu sebagai “sebab tujuan”. Perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap Manusia Segala perbuatan Tuhan berawal dari ‘Ilm dan Iradah-Nya. Setiap sesuatu yang berawal dari ‘Ilm dan Iradah berpangkal pula kepada Ikhtiar, tidak satu pun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu, tidak ada satu pun di antara perbuatan-perbuatan-Nya yang wajib dilakukan oleh zat-Nya. Maka segala perbuatan Tuhan seperti mencipta, memberi rizki, menyuruh dan mencegah, mengazab dan memberi nikmat, itu semua merupakan suatu yang tetap bagi Tuhan dengan kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dipikirkan oleh akal, apabila dengan ilmu dan kehendak-Nya, Tuhan berbuat dengan perbuatan122
Ibid.,
perbuatan-Nya wajib dilakukan oleh zat-Nya, seperti halnya susuatu barang yang terpaksa karena keperluannya. Atau menggambarkan bahwa Tuhan itu wajib bersifat dengan sifat sesuatu yang menyerupai-Nya. Demikian itu jelas suatu hal yang paradox, yang mustahil terjadi seperti diisyaratkan di atas.123 Semua telah sepakat atas keterangan yang mengatakan bahwa perbuatanperbuatan Tuhan tidak lepas dari hikmah-Nya. Baik pihak yang bersalah (orang yang berlebihan menganggap bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada manusia) maupun pihak yang benar, yang terang-terangan mengatakan bahwa Tuhan bersih dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta dalam perkataan-perkataan-Nya. Hikmah tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang ditimbulkannya, yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak kerusakan baik khusus maupun umum, yang andai kata dibukakan kepada akal dari segi apa saja Dia berpikir dan memberikan hokum karena Dia mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main. Hikmah inilah yang dikenal sekarang dengan sebutan meletakan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang memberikan kepada tiap-tiap yang berkehendak terhadap yang dikehendaki-Nya. Adakala ilmu-Nya itu disertai dengan kemauan berbuat atau tidak. Dan tidak akan terjadi karena tidak ada artinya ilmu itu tanpa kemauan, atau bisa dikatakan Tuhan itu lalai sekiranya perbuatan-perbuatan-Nya itu dilakukan tanpa kemauan. Padahal sudah jelas bahwa ilmu Tuhan meliputi segala sesuatu, dan mustahil akibat perbuatan-Nya itu lepas dari kemauan-Nya. Untuk itu Tuhanlah yang menghendaki hikmah yang lahir dari perbuatan-Nya.124 123 124
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 55. Ibid., h. 57.
Maka ketentuan wajibnya hikmah dalam segala perbuatan Tuhan, mengikuti pula akan wajib sempurnanya ‘ilm dan iradah-Nya. Begitu juga Tuhan wajib membuktikan bahwa pahala dan ancaman yang telah dijanjikan akan terlaksana nantinya, dan itu merupakan kesempurnaan ‘ilm dan iradah-Nya dan Tuhan adalah Yang Maha Benar. Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia Uraian mengenai keadilan Tuhan secara implisit menggambarkan keyakinan Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi Tuhan. Faham adanya kewajiban bagi Tuhan adalah sejalan dengan pendapatnya Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kehendak Tuhan tidak bersifat absolut. Teorinya tentang sunnah Allah, mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak sebagai raja yang zalim, yang tidak tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum-Nya yang tidak berubah-ubah.125 Karena hukum itu dibuat Tuhan tidak berubah-ubah, Tuhan menjadi terikat pada-Nya. Perlu ditegaskan bahwa Tuhanlah, dan bukan manusia, yang membuat diri-Nya untuk mengatur hukum itu. Dengan kata lain Tuhan mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya, sebagaimana seorang raja kostitusional berkewajiban mengatur segalanya sesuai dengan undang-undang negaranya. Di dalam pembicaraan mengenai keadilan Tuhan juga sudah disebut pendapat Abduh bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan 125
Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV (Cairo: Dar alManar, 1365 H), h. 141.
manusia. Jika pendapatnya yang terakhir ini dikaitkan dengan pendapatnya tentang adanya perbuatan Tuhan yang bersifat wajib sebagai terkandung dalam teorinya tentang hukum alam, dapat diambil kesimpulan bahwa Abduh juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kedua pendapat tersebut di atas memang berarti bahwa semua perbuatan Tuhan mestinya sesuai dengan sunnah-Nya yang tidak beubah-ubah dan bahwa semua perbuatanNya adalah untuk kepentingan manusia. Kewajiban Berbuat Baik Karena Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat wajib, ia sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena bertentangan dengan faham keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila Dia memberikan beban yang tidak sanggup manusia jalani. Kewajiban mengirim rasul, karena tanpa rasul manusia tidak akan memperoleh hidup yang baik dan terbaik di dunia dan di akhirat kelak, karena dengan mengirim rasul yang akan menjadi teladan bagi manusia, maka manusia akan menjadi lebih baik. Kewajiban menepati janji dan ancaman, hal ini erat hubungannya dengan dasar keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.126
126
Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Pendapatnya ini dapat dibaca dalam bukunya Hasyiah ’ala Syarh AlDawwani li Al-’Aqaid’id Al-’Adudiah.127. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika kaum Mu’tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia yaitu yang ada kaitannya dengan upah dan hukuman, maka pendapat Mu’tazilah itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di bawah hukum yang tak boleh Ia langgar.128 Dalam pendapat Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-Nya, kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan pilihan-Nya sendiri.129 Kewajiban itu konsekuensi logis dari sunnah-Nya. Berlainan dengan apa yang terdapat di atas, pengarang-pengarang menulis bahwa Abduh tidak berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Adam mengutip tulisan Abduh dalam Risalah yang secara implisit menyebut Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban. Honten menulis bahwa dengan meniadakan kewajiban bagi Tuhan, Abduh menolak pendapat para teolog liberal mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Demikian pula pendapat Casper dan Cragg. 130 Memang dalam Risalah, Abduh menulis: “Tidak satu pun dari perbuatanperbuatan Tuhan Wajib muncul dari diri-Nya”. Tetapi perlu diperhatikan bahwa yang ditolak Abduh dalam ungkapan ini ialah wajib atau mesti munculnya perbuatan-perbuatan dari diri Tuhan karena esensi-Nya. Dengan kata lain yang ia
127
Rasyid Rida, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Cairo: al-Manar, 1931), h. 442. 128 Ibid., h. 549. 129 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV, h. 442. 130 Adam, Charles C. Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Perss, 1933), h. 148.
tolak ialah bahwa perbuatan-perbuatan-Nya adalah sesuatu kemestian bagi esensi Tuhan, sebagaimana sifat dasar adalah suatu kemestian bagi esensi sesuatu benda. Tetapi beberapa halaman sesudahnya, Abduh menyebut adanya kemestian dalam bentuk lain, yaitu kemestian terjadinya apa yang diketahui dan dikehendaki Tuhan semenjak azali. Sebagai dijelaskannya, janji dan ancaman Tuhan, sebagai diketahui dan dikehendaki, mesti terjadi. Jadi, jika di satu pihak ia menolak adanya kemestian yang timbul dari esensi Tuhan, di lain pihak ia mengaku adanya kemestian yang timbul dari pengetahuan dan kehendak azali Tuhan. Pendapatnya yang tercantum dalam Risalah ini dengan demikian tidak bertentangan dengan pendapatnya tentang kewajiban Tuhan yang ia jelaskan dalam Hasyiyah dan Tafsir al-Manar.131 Menurut para aliran kalam mengenai perbuatan Tuhan, seperti Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik saja. Tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu untuk melakukan hal-hal yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari perbuatan tersebut. Karena di dalam al-Qur’an pun sudah jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berlaku zalim. Dan mengenai konsep keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban tehadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan yang terbaik menkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham
131
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 86
kewajiban Tuhan di antaranya, kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena Tuhan akan bersikap tidak adil apabila memberikan beban kepada manusia yang manusia itu tidak mampu mengatasinya Kewajiban mengirimkan rasul, karena dengan mengirim rasul sebagai teladan, manusia akan menjadi baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti. Dan kewajiban menepati janji dan ancaman, Tuhan akan tidak adil apabila tidak memberikan pahala bagi orang yang baik dan tidak memberi ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Menurut aliran Asy’ariyah, mengenai perbuatan Tuhan dengan paham kewajiban Tuhan berbuat baik untuk manusia, sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Ditegaskan al-Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik bagi manusia. Dengan demikian Asy’ari tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Aliran Asy’ari tidak menerima faham tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia. Dan dengan tegas mengatakan dalam bukunya al-Luma’, bahwa Tuhan dapat memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia. Mengenai pengiriman rasul, Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan tidak wajib akan hal itu, karena bertentangan dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan dalam paham Asy’ari tidak berbuat untuk kepentingan manusia. Dan Tuhan pun tidak mempunyai kewajiban untuk menepati janji dan memberikan ancaman. Sedangkan menurut aliran Maturidiyah mengenai perbuatan Tuhan, terdapat perbedaan antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara. Maturidi Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal yang baik saja. Dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian pula pengiriman rasul dipandang Maturidi Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. ` Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. 132 Maturidi Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman. Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
132
133.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-
Adapun mengenai pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. C. Analisis ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menganalisis masalah tersebut di antaranya: -
Muhammad Abduh dan aliran-aliran kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah Samarkand maupun Maturidiyah Bukhara memiliki persamaan, yaitu sama-sama membahas tentang sifat-sifat dan perbuatanperbuatan Tuhan.
-
Sifat Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, memiliki persamaan dengan aliran Mu’tazilah dan para filosof, yang menyatakan bahwa menolak adanya sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan atau zat Tuhan. Dan menurut para filosof bahwa esensi, sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan sumber dari akibat yang timbul dari sifat adalah satu. Dengan demikian, esensi dan sifat-sifat Tuhan adalah satu. Berbeda dengan Asy’ari dan Maturidi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, menurut Asy’ari bahwa sifat Tuhan adalah bukan Tuhan dan bukan pula lain dari Tuhan. Meskipun Maturidi menyatakan bahwa sifat Tuhan melekat pada esensi atau zat-Nya.
-
Namun terdapat perbedaan dalam pembahasan sifat Tuhan antara Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, yaitu meskipun Muhammad Abduh
menolak adanya sifat Tuhan, tetapi Muhammad Abduh tetap menulis dan menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam karyanya yang berjudul Risâlah atTauhîd. -
Mengenai kekekalan sifat Tuhan, Muhammad Abduh pun berpendapat sama dengan Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidaklah kekal, namun apabila dikatakan kekal, maka selain Tuhan ada juga yang kekal. Kekalnya sifatsifat Tuhan membawa pada faham banyak yang kekal. Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal yang tidak dapat diterima dalam teologi. Lebih lanjut lagi, Wasil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadîm (kekal) bagi Tuhan, berarti ia telah menetapkan adanya dua Tuhan atau lebih. Sedangkan Asy’ari dan Maturidi meskipun sama mengatakan bahwa sifat Tuhan itu tidak kekal, namun berbeda argumen dalam pendapatnya. Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan dan bukan pula lain dari Tuhan, karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat itu tidak membawa kepada faham banyak Tuhan. Maturidi berpendapat bahwa bahwa sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat-Nya, juga dengan mengatakan bahwa ketika Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi bila sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
-
Mengenai perbuatan Tuhan menurut Muhammad Abduh pun tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi faham Mu’tazilah dan Maturidi Samarkand. Yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia, seperti tidak memberikan beban di luar
kemampuan manusia, kewajiban mengirimkan rasul, dan kewajiban menepati janji dan ancaman. Dalam hal ini, berbeda dengan pendapat Abduh, bahwa kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-Nya, kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan pilihan-Nya sendiri. Kewajiban itu konsekuensi logis dari paham sunnahNya, sedangkan menurut Mu’tazilah yang mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia, maka pendapat Mu’tazilah itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di bawah hukum yang tak boleh Ia langgar. Berbeda dengan Asy’ari dan Maturidi Bukhara, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban berbuat baik kepada manusia Menurut Asy’ari, sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, bahwa perbuatan Tuhan tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib. Menurut Maturidi Bukhara bahwa Tuhan memeang tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia, namun hanya berisfat mungkin saja. -
Mengenai
perbuatan
Tuhan
yakni
hikmah,
Muhammad
Abduh,
Mu’tazilah, dan Maturidi Samarkand berpendapat sama, bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia. Oleh karena itu, setiap perbuatan Tuhan terhadap manusia memiliki tujuan untuk kebaikan manusia dan Tuhan tidak akan sia-sia melakukan sesuatu. Tujuan dalam setiap perbuatan Tuhan bukan bermakna untuk mencapai kesempurnaan zat Tuhan, karena zat Tuhan telah memiliki kesempurnaan mutlak dan bahkan Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak itu sendiri serta sama sekali tidak memiliki kekurangan di mana dengan mencapai
tujuan perbuatan-Nya itu zat-Nya menjadi sempurna, melainkan tujuan perbuatan Tuhan berhubungan dengan semua
makhluk-Nya
dan
bermaksud untuk menyempurnakannya. Dengan demikian, maksud dari kebertujuan perbuatan-perbuatan
Tuhan adalah bahwa
perbuatan-
perbuatan-Nya mengandung manfaat dan mashlahat untuk semua makhluk-Nya, yakni tujuan setiap perbuatan Tuhan itu niscaya berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri. Oleh karena itu, tujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah terkait dengan makhlukmakhluk-Nya dan bukan berhubungan dengan zat Tuhan, karena Tuhan memiliki kesempurnaan mutlak. Tidak satu pun tujuan dan arah yang dapat digambarkan dan dibayangkan bagi kesempurnaan zat-Nya. Sedangkan Asy’ari dan Maturidi Bukhara yang menolak bahwa Tuhan tidak wajib untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia, maka dengan begitu aliran tersebut tidak menolak faham hikmah.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah
membahas
bagaimana
Muhammad
Abduh
menjelaskan
pendapatnya mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan, dari uraian tesebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: -
Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan adalah esensi atau zat Tuhan. Dengan begitu, Abduh menolak adanya sifat-sifat Tuhan, untuk itu dia meniadakan sifat Tuhan. Karena Tuhan merupakan satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang timbul akibat dari sifat. Sebagai contoh Akibat dari sifat mengetahui, ialah “memperoleh pengetahuan” tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh pengetahuan” tersebut timbul karena akibat dari esensi. Dengan kata lain, bahwa esensi dan sifat mengetahui adalah satu, karena keduanya samasama “memperoleh pengetahuan.”
-
Muhammad Abduh juga menyebutkan sifat-sifat yang wajib ada bagi Tuhan seperti, Hayah, ‘Ilm, Iradah, Qudrah, Ikhtiar, dan wahdah, sifatsifat tersebut merupakan contoh bahwa semua sifat-sifat Tuhan adalah zat atau esensi Tuhan. Bahwa esensi sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan sumber dari akibat yang timbul. Tuhan hidup dengan sifat Hayah-Nya, maka Tuhan memiliki kehidupan, yang timbul sebagai akibat yang timbul dari esensi. Dengan demikian, sifat hidup dan esensi adalah satu, begitu pula dengan sifat-sifat yang lain. Tuhan mengetahui
dengan sifat ‘Ilm-Nya, maka Tuhan memperoleh pengetahuan yang timbul sebagai akibat yang timbul dari esensi, yang adalah sumber dari segala yang ada. Tuhan berkehendak dengan sifat Iradah-Nya, maka Tuhan memperoleh kehendak/ kemauan yang timbul akibat yang ditimbulkan esensi, yang merupakan sumber dari sumber yang ada. Tuhan berkuasa dengan Qudrah-Nya, maka Tuhan memiliki kekuasaan yang timbul akibat yang ditimbulkan esensi, yang merupakan sumber dari segala yang ada. Tuhan bebas menentukan dengan Ikhtiar-Nya, maka Tuhan memiliki kebebasan menentukan untuk melakukan segalanya yang timbul akibat yang ditimbulkan dari esensi, yang adalah sumber dari segala yang ada. Tuhan esa dengan sifat Wahdah-Nya, maka Tuhan memperoleh ke-esa-an yang timbul akibat yang ditimbulkan dari esensi, yang merupakan sumber dari segala yang ada. -
Pandangan Muhamad Abduh dan Mu’tazilah dalam memandang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan tidak jauh berbeda, atau bisa dikatakan sepaham atau sejalan. Sedangkan Asy’ari dalam memandang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan berseberangan paham dengan Muhammad Abduh. Dan Maturidi dalam memandang sifat-sifat dan perbuatanperbuatan Tuhan, sebagian bependapat sama dan sebagian berpendapat berbeda dengan pandangan Muhammad Abduh dalam hal itu. Karena Maturidi di bagi atas dua bagian yaitu Maturidi Samarkand dan Bukhara.
-
Di dalam perbuatan-perbuatan Tuhan, Muhammad Abduh berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia,
yaitu dengan tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, mengirimkan rasul dan menepati janji dan ancaman. -
Mengenai hikmah dalam perbuatan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat atau siasia bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
-
Sifat dan perbuatan Tuhan ternyata sangat berhubungan dengan makhlukNya, khususnya manusia. Karena dengan mengetahui sifat atau zat Tuhan itu, manusia menjadi tahu lebih jauh tentang Sang Penciptanya, meskipun sifat pegetahuan manusia tentang Tuhannya terbatas, dengan begitu manusia dapat lebih mensyukuri atas apa yang telah diberikan-Nya. Dan dengan perbuatan Tuhan yang syarat akan hikmah, dengan begitu manusia dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, karena manusia diciptakan dengan diberi akal dan nafsu untuk memilih, maka manusia pula yang akan bertanggung-jawab atas perbuatannya.
-
Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan, Abduh lebih cenderung kepada pemikiran Mu’tazilah, namun bukan berarti Abduh adalah seorang Mu’tazilah. Karena Abduh hanya melandaskan pemikirannya berdasarkan hukum akal sebagaimana yang digunakan dalam paham Asy’ariyah.
-
Pada hakikatnya Muhammad Abduh dan semua aliran tersebut tidaklah keluar atau pun melenceng dari Islam, namun tetap dalam Islam Walaupun di antaranya berbeda pendapat dalam memberikan pandangan tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan berbeda-beda.
B. Saran-saran Penulis mengakui bahwa skripsi ini belumlah sempurna dalam mengeksplorasi dan memetakan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang yang sedang dikaji yakni teologi secara komprehensif, mengenai sifat dan perbuatan Tuhan. Untuk itu, masih perlu membutuhkan beberapa penelitian lagi guna lebih menyempurnakan dalam memetakan wilayah pemikiran Muhammad Abduh, dengan melakukan analisa kritis-komparatif. Dan masih banyak pula persoalan-persoalan teologi dalam pemikiran Muhammad Abduh yang belum sempat terangkat dan terungkap di dalam tulisan ini. Misalkan, metode apa yang dipakai oleh Muhammad Abduh dalam menjelaskan mengenai sifat dan perbuatan Tuhan? Dan apakah pemikiran teologi Muhammad Abduh mempengaruhi
pemikirannya dalam bidang lain yang ia
kuasai, seperti fikh, tasawuf dan tafsir? Serta, mengapa di Indonesia Muhammad Abduh lebih dikenal sebagai ahli fikh dan mufassir dibanding ahli teologi, padahal dalam pemikiran teologinya, dia pun telah menulis dan mengkaji lebih mendalam, dan seorang Harun Nasution pun tertarik pada teologi yang Abduh kaji, dengan tulisan dalam disertasinya? Yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian tentang pengaruh sifat dan perbuatan Tuhan serta relevansinya terhadap kehidupan masa sekarang? Dan masih banyak lagi. Semua ini menjadi pekerjaan rumah buat kita, yang mau tidak mau harus kita pikirkan guna memperluas cakrawala pemikiran kita dalam bidang ini. Semoga skripsi ini sedikit banyaknya membantu dan mempermudah kita semua dalam menjawabnya. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.
DAFTAR PUTAKA
Abduh, Muhammad. Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah, ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsâfi wa al-Kalâmîyîn. Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958. _____. Mutiara Mahjul Balaghâh. Bandung: Mizan, 1995. Cet. IV _____. Risalah al-Tauhid. Cairo: Dar al-Manar, 1366 H. _____. Risalah Tauhid. Terj. Cet ke-V . Jakarta: Bulan Bintang, 1975. _____. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Juz ’Ammâ. Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986. Abdullah Kaloti, Sami. The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education. Marquette: University, 1974. ______. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t. Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Perss, 1933. Asy’ari, Abû al-Hasan. al-Ibanah an-Ushul ad- Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Amin, Ahmad. Muhammad Abduh. Cairo: Muassasah al-Khanji, 1960. ______. Dzuhr al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1969. Amin, Usman. Muhammad Abduh, Essai sur ses Idees Philosophiques et Religieuses. Cairo, Imprimerie Misr SAE, 1944. Asmuni, M Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Ciputat: Logos, 1999. Baehaqi, Imam, ed. Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi. Yogyakarta: LKiS, 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994. Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern. Bandung Mizan, 2001. Ensiklopedia Bebas. Konsep. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep
Ensiklopedia Bebas. Tuhan. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan Hadi W.M, Abdul. Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001. Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: al-Husna Zikra, 1996. Ilhamuddin. Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Isyraq. Perspektif Umum Perbuatan Tuhan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balikperbuatan-tuhan-11/ Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1997. Kapu, Istiqamah. Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3 Kotasantri. Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-detail.php?id2=177. Lubis, Arbiah. Pemikiran dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Madjid, Nurchalis, ed. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bintang, 1994. Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Majid, Abdul. Abduh dan Ilmu Kalam. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://bp1.blogger.com/_ypRoTdOrLiY/RhP7awcJyoI/AAAAAAAAABE/ zGs4RFC1KA8/s1600-h/abduh Majid, Abduh, Al-Muhtasib. Abduh al-Salam. Ijtihad al-Tafsir fi al-Asr al-Rahim. Oman-Ordon: Maktabah an-Nahdha al-Salamiyyah, 1982, cet. II. Ma’louf, Louis. Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm. Bairut: Dar el-Mashreq Sari, 1984. Musa’ad, Ishaq dan Kenneth Cragg. The Theology of Unity. London: G. Allen and Unwin Ltd., 1966. Mastuki HS, ed. Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990. Muslim. Asy’ariyah. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9 b123e6d26ab120be5b54dfc
Muzani, Saiful, ed. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1998. Nadawi Abul Hasan. Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam. Kuwait: Darul Kalam,1969. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1983. _____. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press, 1987. _____. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. _____.
Tasawuf. Artikel diakses pada 5 http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm
November
2008
dari
Pejiarah. Maturidiyah. Artikel diakses pada 30 Mai http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/
2008
dari
_____. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indoneisa. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Qadir, C. A.,. Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1991. Ridha, M Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar, 1931. jilid. I-VIII. _____. Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Cairo: al-Manar, 1931 Sheikh, M Saeed. a Dictionary of Muslim Philosophy. Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976. Shihab, M Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994. Susiyanto. Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahamanasyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/ Syahratani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm. Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.
Syauqi Nawawi, Rifat. Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002. Tanahi, Tahir, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh. Cairo: Dar Al-Hilal, t.t. W, M. Maghfur. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam. Bangil: al-Izzah, 2002. Wahab, Abdul Asyraf. Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur, Kairo: Maktabah Usrah, 2006. Yunan, M Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990 Zahrah, Muhammad Abû. Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fikih. Jakarta: Lentera, 2005. _____. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t