KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh : RIAN MAULANA NIM : 103046128351
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI SYARIAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN (Keaslian Karya) Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 19
Jumadil Akhir 1431 H Mei
2010 M
RIAN MAULANA NIM : 103046128351
Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr 1
1
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.13
ABSTRAKSI
(A) KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS – SHADR (B) x + 157 halaman (C) Muhammad Baqir Sadr merupakan tokoh cendikiawan muslim terkemuka, fakih (yuris) Pembaru dan Pemikir genius dan tak sedikit berbicara masalah ekonomi. Dalam bidang ekonomi, Baqir Sadr membahas masalah hubungan milik, peranan negara dan pengalokasian sumber daya dan kesejahteraan publik, larangan terhadap Riba dan pelaksanaan zakat, pandangan terhadap kapitalisme demokrat, pandangan terhadap kapitalisme sosialis. Pembahasan pada skripsi ini hanya dibatasi pada pemikiran ekonomi Baqir Sadr mengenai konsep distribusi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, karena prosedur penelitian ini menghasilkan data desktiptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang atau perilaku yang diamati tanpa menggunakan penghitungan dan bertujuan menemukan teori dari data. Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data dan cara analisa kualitatif dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis obyek penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis. Sistem ekonomi Islam memiliki tujuan utama untuk menciptakan sumbersumber produksi demi memenuhi al-hajat ad-dharuriyyah (kebutuhan pokok) yang meliputi : kebebasan beragama, penyediaan lapangan kerja, sandang, pangan, papan, bahan pangan, dan pendidikan yang memadai. Al-hajat ad-
i
dharuriyyah juga merupakan cerminan maqashid asy-syari’ah yang lima, yaitu : hifzh ad-din, hifzh al-mal, hifzh an-nasl, hifzh an-nafs, dan hifzh al-‘aql. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan akan muncul permasalahan yang dapat membahayakan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Fakta di lapangan membuktikan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi karena uang yang ada tidak merata. Kemiskinan juga bukan karena kelangkaan SDA, tetapi karena distribusinya yang tidak merata. Tidak benarnya pendistribusian inilah yang menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antara Negara Maju dan Negara Berkembang, ironisnya Negara-Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Penulis mengambil kesimpulan bahwa konsep Distribusi yang coba dirumuskan Sadr terasa Relevan dengan Ekonomi Islam dan Masa Kini, Manifestasinya seperti Pelaksanaan Zakat. Perlu diketahui, Zakat, disebutkan Sadr, adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan dibawah Pengawasan Pemerintah. Artinya menurut Penulis, dengan di kelola Pemerintah, zakat menjadi kewajiban yang mengandung sanksi bagi pelanggarnya dan ini dapat menjadi solusi alternatif atas krisis yang tengah menimpa Negeri tercinta kita ini, Bangsa Indonesia. (G) Daftar Bacaan 48 (1971 – 2009)
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik dzati Ilahi Rabbi yang telah mengutus Nabi yang ummi untuk merubah tatanan hidup jahili kedalam tatanan hidup yang Islami. Shalawat serta Salam semoga senantiasa tercurah kepada pembawa Risalah suci, sebagai petunjuk abadi bagi insani, baik di zaman bahari, zaman kiwari maupun di kemudian hari. Harus ada semacam keyakinan dalam diri kita bahwa Allah tidak pernah pilih kasih kepada hambanya. Jangankan mereka yang beragama samawy, sedangkan kepada para penyembah berhala sekalipun, Allah tetap memberikan curahan kasih-Nya. Sebagaimana Dia mencurahkan Kasih-Nya kepada seluruh makhluk-Nya di muka bumi ini. Tiada kata yang lebih manis dan lebih patut untuk diucapkan selain kata Al-Hamdulillaahi Rabbil ‘Alamien. Akhirnya skripsi ini rampung juga. Pada awalnya penulis sempat pesimis untuk merampungkan skripsi ini karena berbagai hal dan Faktor X. Tetapi dengan motivasi teman-teman serta dengan kebulatan tekad dan ketawakkalan penulis, akhirnya Allah pun mau mengulurkan tanganNya untuk membantu dan memudahkan segala kesulitan yang ada. Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini pula, tidaklah semudah membalikan tangan dan ucapan ‘simsalabim’. Penulis Al-hamdulillah dibantu oleh pihak-pihak yang dengan suka-rela membantu dan mendukung, baik moril maupun materil. Untuk itu Izinkan penulis menyampaikan do’a, cinta, dan ucapan terima kasih yang teristimewa kepada :
iii
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah membekali dengan segudang keilmuannya yang brillian kepada penulis, pandangannya yang luas, nasehatnya yang berharga dan pengarahannya yang bijak. 2. Dr. Euis Amalia M.Ag, selaku Kajur Muamalat Perbankan Syariah sekaligus Penguji I, yang telah mendewasakan ilmu dan akhlak penulis serta telah memberikan motivasi dan kelancaran kepada penulis untuk merampungkan skripsi ini. 3. Ah. Azharudin Latif M.Ag, MH, selaku Sekjur Muamalat Perbankan Syariah yang telah banyak memberikan masukan dan saran terhadap skripsi ini. 4. Dr. Abdurahman Dahlan MA, selaku Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. M. Riza Afwi MA, selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini. 6. Dr. Syahrul A’dam, MA, selaku Penguji II, yang telah memberikan waktu dan pemikirannya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Mamah dan Papah tercinta, yang senantiasa berdo’a untuk keberhasilan putranya, dan rela mengorbankan tenaga, fikiran demi membeli bakti dan keshalehan putranya. Sungguh ! Pengorbanan kalian tiada tergantikan oleh apa pun di dunia ini.
iv
8. Kepala Perpustakaan beserta Karyawan dan Karyawati Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Jurusan Mu’amalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia meminjamkan buku-buku yang menjadi Referensi bagi Penulis dalam Penyelesaian tugas akhir ini. 9. Jajaran Dosen, yang telah memberikan bekal ilmu pada penulis untuk menghadapi kehidupan yang semakin menggila ini. 10. Para Cendikiawan Muslim, Penulis Buku dari berbagai Generasi, dan semua pihak yang tulisan serta buah fikirannya menjadi acuan penulis. 11. Keluarga Besar Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Tarogong Garut, yang telah membina dan membekali penulis dengan segudang keilmuannya selama nyantri disana. 12. Rekan-rekanita Se-Perjuangan, Para Aktivis Dakwah Kampus (ADK) “KAMMI”, “LDK”, bareng ”Kongres Mahasiswa Universitas (KMU),” “BEM Perbankan Syariah Plus Crew Redaksi Bulletin Iqtishaduna ” dan “Partai Intelektual Muslim (PIM)” Periode 2004 – 2006 serta FOSSEI
(Forum
Silaturahmi
Studi
Ekonomi
Islam)
dan
FORMATUR NASIONAL yang ikut mendukung memberi semangat hidup dan selalu bersama-sama dalam suka maupun duka. Teruslah Bergerak Kawan, karena Diam, Mundur dan Menyerah adalah sebuah Pengkhianatan. 13. Gin-Gin (FORMACI), Uun (LSI), Asep (LIPIA), Yandi (Universitas Paramadina), Surya (BTN Syariah), Yusuf, Arman, Cepi, Ridho
v
(Royal Bank Scotland), Yasya, Yoga, Iman, Torik, Rojak, Ahwan, seorang teman dan asisten, sahabat, saudara sekaligus Curahan Hati yang selalu menemani Penulis baik ketika sakit dan sehat, yang selalu memotivasi Penulis untuk berusaha menyelesaikan skripsi ini. 14. Adik-adik kelasku Se-Perjuangan yang selalu berharap dan berdo’a agar kelak kakaknya menjadi orang shaleh dan sukses serta tauladan mereka. Teruskan Perjuangan kalian ! Umat Islam Menanti kalian. 15. Bidadari Surgaku yang hadir ke dunia, kaulah Anugerah yang terindah yang pernah terjadi dalam hidupku. 16. Semua pihak yang telah ikut membantu melancarkan penulisan skripsi ini dengan segenap tenaga maupun fikirannya. Penulis tidak tahu, kado apa yang harus penulis berikan atas jasa-jasa mereka. Barang kali hanya seuntai do’a terucap, “ Semoga Allah Swt menerima dan membalas segala kebaikan mereka dengan sebaik-baiknya. Amiiin….!!! Akhirnya, Penulis haturkan skripsi ini kepada pembaca, semoga bermanfaat bagi dunia ekonomi Islam dan ada kebaikan bagi kita semua.
Jakarta, 05 19
Jumadil Akhir 1431 H Mei
cxÇâÄ|á
vi
2010 M
DAFTAR ISI ABSTRAKSI .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii DAFTAR ILUSTRASI .................................................................................... BAB I
:
x
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
8
D. Metode Penelitian ................................................................
9
1. Jenis Penelitian ................................................................
9
2. Tingkat Penelitian ........................................................... 10 3. Pendekatan Penelitian ..................................................... 10 4. Jenis Data dan Sumber Data ........................................... 11 5. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 12 6. Teknik Pengolahan Data ................................................. 12 7. Teknik Analisis Data ....................................................... 12 8. Teknik Penarikan Kesimpulan ........................................ 14 9. Teknik Penulisan Laporan ............................................... 14 E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 15 F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ................................ 16 G. Sistematika Penelitian .......................................................... 20
vii
BAB II
:
SELINTAS
SEJARAH
KEHIDUPAN
MUHAMMAD
BAQIR ASH – SHADR A. Riwayat Hidup ..................................................................... 23 B. Karir Intelektual dan Politik ................................................. 30 C. Latarbelakang Pemikiran ..................................................... 37 D. Posisi Muhammad Baqir As-Shadr diantara Para Pemikir Ekonomi Islam Lainnya ....................................................... 41 BAB III
:
TINJAUAN TEORITIS TENTANG DISTRIBUSI A. Pengertian Distribusi ............................................................ 48 B. Prinsip – Prinsip dan Tujuan Distribusi ............................... 50 C. Mekanisme Distribusi .......................................................... 55 D. Nilai dan Moral di bidang Distribusi ................................... 71
BAB IV
:
TINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Shadr .... 78 B. Relevansi Pemikiran Muhammad Baqir As-Shadr .............. 111 1. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir AsShadr dengan Ekonomi Islam ........................................ 111 2. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir AsShadr dengan Perekonomian Masa Kini ....................... 117 C. Analisa Penulis ..................................................................... 127
viii
BAB V
:
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 148 B. Saran .................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154 DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR LAMPIRAN
ix
DAFTAR ILUSTRASI
1. Ilustrasi 1
Mekanisme Distribusi ............................................................. 56
2. Ilustrasi 3
Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr ..................................... 127
3. Ilustrasi 4
Asumsi Dasar Sadr .................................................................. 128
4. Ilustrasi 5
Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr ................................. 129
5. Ilustrasi 6
Distribusi Menurut Sadr .......................................................... 129
6. Ilustrasi 2
Distribusi Pendapatan ............................................................. 146
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Krisis Ekonomi Global yang terjadi di Indonesia pada periode 1997 disusul pada periode 2008, sebenarnya di awali dari krisis di bidang distribusi. Jika kita amati secara seksama bahwa krisis tersebut adalah ’buah’ dari kebijakan ekonomi yang keliru. Beberapa indikatornya adalah sebagai berikut: Sektor riil tidak bergerak, di mana dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp.639 triliun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya di letakkan di BI melalui instrument SBI. Dapat di lihat pada tabel sebagai berikut : 1
Tanggal Lelang
6/9/2010 5/26/2010
Jumlah Jumlah Penawaran Penawaran Kisaran Bid Rate yang yang Masuk Diserap 21.2111
6.15% - 6.45%
8
4.778
6.00% - 6.50%
3.9982
5/12/2010
26.1815
6.10% - 6.50%
25
4/28/2010
11.2588
6.10% - 6.30%
10
4/14/2010
4.7462
6.12% - 6.40%
4.6762
4/7/2010
18.9489
6.15% - 6.50% 15.000001
3/31/2010
30.1165
6.10% - 6.35%
15
3/24/2010
25.93
6.20% - 6.50%
11
3/17/2010
27.2929
6.30% - 6.55%
13.5
3/10/2010
21.4432
6.10% - 6.60%
21
3/4/2010
42.7207
6.30% - 6.43%
33.44999
2/24/2010
39.7315
6.33% - 6.43%
39.7315
1
RRT SBI Hasil Lelang
Tanggal Setelmen
Tanggal Jatuh Waktu
Frekuensi Penawaran Lelang
6.29% (propo 49.14%)
6.26221 6/10/2010
7/8/2010
121
6.37% (full amount)
6.30206 5/27/2010
7/8/2010
56
6.28197 5/14/2010
7/8/2010
104
6.19877 4/29/2010
5/27/2010
79
6.25054 4/15/2010
6/10/2010
60
6.21091
4/8/2010
5/14/2010
125
6.27162
4/1/2010
5/14/2010
147
6.32334 3/25/2010
5/14/2010
153
6.35218 3/18/2010
5/14/2010
138
6.34657 3/11/2010
4/8/2010
163
6.39696
3/4/2010
4/1/2010
176
6.407
2/25/2010
3/25/2010
164
SOR
6.35% (proporsional 28.45%) 6.25% (proporsional 55,75) 6.35% (full amount) 6.25% (proporsional 58,81) 6.28% (proporsional 89,72) 6.35% (proporsional 56.70) 6.40% (proporsional 29,50) 6,41% (proporsional 27.64) 6.41% (proporsional 74.09) 6.43% (full amount)
di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/
1
2
2/17/2010 2/10/2010 2/4/2010 1/27/2010 1/20/2010 1/13/2010 1/6/2010
49.9408
6.34% - 6.45%
38.1
6.43% (Prop 19.37)
6.41525 2/18/2010
3/18/2010
55.2575
6.35% - 6.46%
47.2
46.7454
6.36% - 6.46%
36.1
35.6006
6.36% - 6.46%
45.7997 66.3437 59.0298
6.44% (Prop 78.02)
6.4305
2/11/2010
3/11/2010
189
6.45% (Prop 71.39)
6.43688
2/4/2010
3/4/2010
167
35.6006
6.46% (full amount)
6.44788 1/28/2010
1/27/2010
160
6.37% - 6.50%
43
6.46% (propo 95,27)
6.45259 1/21/2010
2/18/2010
165
6.38% - 6.48%
61.40001
6.47% (propo 88,26)
6.45819 1/14/2010
2/11/2010
213
6.35% - 6.48%
46.8
6.48% (propo 24.18)
6.45311
2/4/2010
214
1/7/2010
Krisis mengajarkan beberapa hal. Bank Syariah ternyata lebih tahan dari krisis dan tidak menyulitkan Negara 2 . Karena Perbankan syariah bisa berperan sebagai Lembaga intermediasi (penengah) yang berfungsi bahwa dana pihak ketiga yang ada di Perbankan syariah hampir 100 % di distribusikan kembali kepada masyarakat. Sementara bank konvensional hanya mendekati 70 % 3 , dan membebani Negara karena meniscayakan bunga bagi Pemerintah untuk dana bank di SBI. 4 Fakta ini menunjukan bahwa bank syariah lebih berpihak kepada sektor riil daripada bank konvensional. Perlu di kemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesungguhnya terjadi di sektor moneter, bukan di sektor riil yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat banyak. Kemudian Faktor Utang. Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini : 5
2
Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari republikaonline 3 ” Perbankan Syariah Tidak akan Membiayai Rokok, Miras dan Hiburan Malam, ” WARTA Media Informasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 03 Desember 2009, h.6 4 Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari Republika online 5 di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.depkeu.go.id
182
3
Ini mencerminkan bahwa jumlah hutang lebih besar dari pada anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersamasama. Jelasnya, jika sektor riil tidak bergerak, maka akan menyebabkan seperti praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi, pelarangan bunga bank dan judi dipastikan akan meningkatkan distribusi kekayaan. karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan.
4
Sementara itu, Dari sisi penerimaan, Pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan Negara, sebagaimana dapat di lihat pula pada tabel berikut : 6
Ini berarti dapatlah dikatakan bahwa menurunnya penerimaan Negara dari sumber bukan pajak merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta, khususnya asing. Dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, Perusahaan Multinasional asing seperti Exxon Mobil oil, Caltex, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Sehingga pemasukan APBN dari sektor SDA migas dan non-migas makin lama makin kecil. Di samping itu, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan TDL, Telepon, dan BBM. Kemudian Dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat bertolak belakang. Menurut data tabel diatas dalam APBN-P 2007, anggaran
6
di akses pada 15 Juni 2010 dari http//.badankebijakanfiskalkemenkeu.htm
5
belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar Rp.105 triliun, sedangkan pembayaran utang bunga Rp.83,5 triliun dan cicilan pokok Rp.54,7 triliun atau total sebesar Rp.138,2 triliun, yang kemudian dana pajak yang dipungut dari masyarakat sebagian besar adalah untuk membayar hutang yang rata-rata tiap tahun sebesar 25-30 % dari total anggaran. 7 Ini artinya yang perlu kita garis bawahi bahwa penyebab defisit APBN bukanlah besarnya subsidi, melainkan hutang yang sebagian besar hanya di nikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat, untuk kepentingan Restrukturisasi Perbankan. Maka jelaslah bahwa indikator terjadinya krisis ekonomi adalah krisis di sektor distribusi. Kekacauan di sektor ini mengakibatkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Pada krisis tersebut terlihat bahwa fakta di lapangan membuktikan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi karena uang yang ada tidak merata. Kemiskinan juga bukan karena kelangkaan SDA, tetapi karena distribusinya yang tidak merata. Tidak benarnya pendistribusian inilah yang menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antara Negara Maju dan Negara Berkembang,
ironisnya
Negara-Negara
yang
berpenduduk
mayoritas
Muslim 8 . Dalam hal ini sudah selayaknyalah kita menunjukkan, perlunya kita kembali kepada sistem perekonomian yang sesuai dengan seperangkat nilai Islami (Islamic set of values) yang dimiliki oleh mayoritas penduduk suatu 7
Ibid., h.3 Muhammad Arif Adiningrat dan Farid wadjdi, “ Kebijakan yang bertolak belakang,” artikel diakses pada sabtu, 21 Mei 2005 dari www.hizbut-tahrir.or.id 8
6
bangsa. Penyimpangan terhadap Islamic set of values secara universal telah menimbulkan kemunduran dan kemiskinan. 9 Adiwarman Karim 10 menjelaskan bahwa respons terhadap maraknya praktik Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia, menyusul terjadinya krisis ekonomi dan moneter dan pemberlakuan UU Perbankan No 10 tahun 1998, serta fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, telah membangkitkan kesadaran bahwa kehadiran LKS harus di iringi dengan pemahaman yang lebih komprehensif tentang ekonomi Islam. Menurutnya ” ... Pemahaman sistem ekonomi Islam tidak cukup hanya melalui sosialisasi teknis semata, tetapi juga latar belakang dan sejarah perkembangan pemikiran ekonomi para cendikiawan muslim hingga terwujudnya konsep mekanisme operasional LKS...” Sementara itu, Euis Amalia menyatakan bahwa di Indonesia pengembangan ekonomi Islam di mulai melalui pola kedua sehingga tidak heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dibandingkan pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif. 11
9
Karnaen Perwataatmadja, ”Kebutuhan dan Strategi Pengembangan Kurikulum untuk membangun SDI Syariah,” pada acara seminar ”Peran Perguruan Tinggi dalam membangun SDI Syariah Profesional,” dalam Indonesia Syariah Expo, 27 Oktober 2007, (Jakarta Convention Centre : MES, 2007), h.5 10 Adiwarman Azwar Karim, “Pengantar” , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet.III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006). h.vii 11 Euis Amalia. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia ,(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009). h.114
7
Dalam upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tidak hanya membenahi sektor riil dan moneter, tetapi juga harus membenahi persepsi tentang distribusi, fungsi, konsep dan kedudukannya. Lantas, bagaimanakah konsep distribusi dalam Islam. Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam, menjelaskan sejelas-jelasnya bagaimana seharusnya konsep distribusi yang ideal. Para ulama Islam telah mengembangkan gagasan-gagasannya tentang ekonomi. Di antara sekian banyak ulama yang banyak berbicara tentang distribusi adalah Muhammad Baqir As – Shadr. Dalam skripsi ini penulis ingin mendeskripsikan persoalan ekonomi tentang distribusi dengan penekanan pada pemikiran sosok Muhammad Baqir As – Shadr, seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan Intelektual dan sering kali melakukan gerakan-gerakan perlawanan konstruktif dalam hal kebijakan penguasa setempat.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Perjalanan dan Perkembangan ekonomi Islam tengah mengalami booming (ledakan pertumbuhan besar-besaran) atau quantum growing (loncatan pertumbuhan cepat) dan menunjukan peningkatan yang sangat signifikan. Mulai dari era Nabi Muhammad Saw, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Islam, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga kepada era kontemporer dewasa ini, pada tiap-tiap masa terdapat pemikir dan ekonom Muslim yang terlibat dalam mengembangkan konsep ekonomi Islam.
8
Pada masa kontemporer, tak sedikit para pemikir Muslim yang mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi Islam yang lebih sistematis dan dengan mengikuti perkembangan ilmu ekonomi modern. Pemikir Muslim memang melakukan klasifikasi terhadap berbagai macam ilmu, khususnya ekonomi Islam. tetapi yang dilakukan oleh mereka adalah pembedaan, bukan pemisahan. Mereka mencoba merekontruksi teori-teori ekonomi Islam sehingga menjadi sebuah subjek materi, sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Dalam Pembahasan pada
skripsi ini hanya dibatasi pada
pemikiran ekonomi Baqir Sadr mengenai konsep distribusi. Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka yang dikaji penulis dalam skripsi ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Shadr ? 2. Bagaimana Relevansi Konsep tersebut dengan Ekonomi Islam dan dengan Perekonomian Masa Kini ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tentang Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As – Shadr. 2. Untuk mengetahui Relevansi Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As – Shadr terhadap Ekonomi Islam dan kondisi Perekonomian Masa Kini.
9
Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal : 1. Membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi islam kontemporer. 2. Memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan holistik komprehensif mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam yang utuh serta obyektif. Kedua hal tersebut akan memperkaya ekonomi islam kontemporer dan membuka jangkauan yang lebih luas dalam upaya konseptualisasi dan aplikasi pada perekonomian kita dewasa ini. Sedangkan manfaat dari penelitian ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi krisis ekonomi indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam. Selain itu sebagai sarana sosialisasi dan edukasi sistem ekonomi Islam kepada masyarakat luas.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, karena prosedur penelitian ini menghasilkan data desktiptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang atau perilaku yang diamati tanpa menggunakan penghitungan dan bertujuan menemukan teori dari data.
10
Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data dan cara analisa kualitatif 12 dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis obyek penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisa dan akhirnya mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis. 2. Tingkat Penelitian Tingkat penelitian mengarah pada deskriptif (Taksonomik) dan eksploratif, yaitu ingin menggambarkan sekaligus menggali secara luas tentang sebab atau hal-hal yang mempengaruhi latar belakang pemikiran tokoh ini. 3. Pendekatan Penelitian Sebagai suatu studi terhadap pemikiran tokoh dalam suatu kurun waktu tertentu, secara metodologis penulis ini sudah tentu menggunakan pendekatan Historis (sejarah), 13 yaitu kajian sejarah terhadap pemikiran tokoh tentang Konsep Distribusi, dengan mengambil referensi pemikiran Muhammad Baqir Sadr. Dalam telaah nanti penulis dengan sendirinya akan mengikuti cara dan arah pemikiran tokoh tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan historis. Data kualitatif didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, karena dalam penelitian ini akan menemukan sebuah konsep yaitu bagaimana konsep distribusi menurut Baqir Sadr. sedangkan data historis 12
Lexy J. Meloeng. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT.Remaja Rosda Karya,2002), Cet. Ke-10. 13 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988) h.56-57
11
didasarkan pada pengalaman masa lalu yang menggambarkan secara seluruh kebenaran kejadian atau fakta yang bertumpu pada kegiatan mengevaluasi suatu objek seperti peristiwa atau tokoh masa lampau dipandang dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini. 14 4. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif yang diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder. Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Muhammad Baqir As-Shadr yang berjudul Iqtishaduna diterbitkan oleh Daar al-Fikr tahun 1973. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan adalah berbagai tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, baik langsung maupun tidak langsung, seperti buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna karya M. Baqir Sadr diterbitkan oleh Pustaka Az-Zahra, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir As-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia karya M. Baqir Sadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Menguji sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Sistem Ekonomi Islam karya M. Baqir Sadr, Sistem Politik Islam karya M. Baqir Sadr, Contemporary Islamic Thought : A Selected Compararative Analysis karya Aslam Hanef, Ekonomi Mikro Islam karya Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer karya Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan 14
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003). h. 18
12
UKM di Indonesia karya Euis Amalia dan lain-lain yang dapat menopang penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi
kepustakaan
(Library
Research)
dengan
membaca,
memahami dan menganalisa buku-buku serta menelusuri berbagai literatur yang ada relevansinya dengan pembahasan ini, serta literatur lain sebagai penunjang untuk dikaji lebih jauh guna mencari landasan pemikiran dalam upaya pemecahan masalah. 6. Teknik Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini, di mulai dengan melakukan pengkodean data, untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui lembar kertas bantu (short card). 7. Tehnik Analisis Data Untuk menganalisa data yang terkumpul pemikiran tokoh Muhammad Baqir Sadr yang menjadi obyek penulisan ini penulis memakai metode, yakni : a. Analisis wacana (Discourse), karena pengumpulan data dan informasi akan dilakukan pengujian arsip dan data dokumen, naskah atau literatur lainnya yang tidak mengadakan penghitungan melainkan penekanan ilmiah, dengan mengikuti alur pemikiran Baqir Sadr. Adapun Penelitian ini merupakan rumpun penelitian ekonomi normatif.
13
b. Metode interpretasi merupakan upaya untuk mengungkapkan atau membuka suatu pesan yang terkandung dalam teks yang dikaji, menerangkan atau membuat terang pemikiran tokoh tersebut dengan memasukkan
faktor
luar,
seperti
menunjukan
hal-hal
yang
mengelilingi atau melatarbelakanginya, meskipun data luar itu hanya relevan sejauh pengaruhnya dikenali terhadap pemikiran Konsep Distribusi, dalam hal ini terutama adalah premis yang berasal dari teologi, dan menerjemahkannya, yaitu memindahkan arti dari pemikiran klasik ke dalam bahasa dan kehidupan masa kini. 15 Maksud lain dari metode interpretasi adalah untuk mencapai pemahaman yang benar
mengenai
ekspresi
pemikiran
tokoh
yang
dikaji
dan
aktualisasinya dengan kehidupan yang sekarang sedang berlangsung. 16 c.
Khusus mengenai pemikiran Muhammad Baqir Sadr ini juga dilihat dalam konteks yang lebih luas baik secara vertikal maupun horizontal. Perluasan vertikal artinya melihatnya dalam kerangka pandangan mengenai Tuhan, manusia dan alam. Sedangkan secara horizontal pandangan diperluas secara kronologis ke masa lalu dan ke masa depan, artinya melihat pengaruh pendahulu tokoh tersebut dan pengaruhnya kemudian terhadap pemikir berikutnya. Prosedur inilah yang dimaksud dengan metode holistika. 17
15
Poepoprodjo, Interpretasi : Beberapa Catatan Pendekatan Falsafatinya, (Bandung : Remadja Karya, 1987), h. 192-198. 16 Anthon Baker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 42 17 Anthon Baker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 64.
14
Penelusuran terhadap hidup seorang tokoh sejarah memerlukan perhatian lebih, terutama untuk tokoh yang hidup di masa lampau. Karena menulis pemikiran tokoh yang telah tiada ada beberapa problem, terutama banyaknya kemungkinan terhadap sejarah yang ditulis oleh subjek dalam motif yang berbeda-beda dan juga keterbatasan referensi. 18 8. Teknik Penarikan Kesimpulan Metode induksi-deduksi dilakukan untuk menelaah pemikiran sang tokoh yang daripadanya dapat diambil kesimpulan umum mengenai konsep distribusi untuk kemudian diambil kembali dengan menerapkannya kepada pemikiran-pemikiran lain dari tokoh ini demi melihat sejauhmana ketepatan kesimpulan yang diambil pertama. 9. Teknik Penulisan Laporan Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet.1.2007.“
18
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), Cet. V, h. 332. lihat juga. A. Ilham Aufa, “ Hijaz 1800-1925 : Periode Penuh Intrik Politik dan Benturan Pemikiran “ dalam Dialogia, no1/vol.I/Mei 2000, h. 83. GJ Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 33. Sejarah adalah objektif sementara yang menuangkan sejarah dalam konteks bahasa, entah itu lisan maupun tulisan, lebih banyak bersifat subyektif. Penulis menyamakan analisa ini dengan tulisan Komaruddin yang menjelaskan pemaknaan agama pada konteks yang obyektif , sementara pemahaman yang tertuang dalam bahasa yang dikemukakan lebih banyak dikarenakan cermin jiwa dari si empu cerita. Karena merupakan cermin jiwa, ia lebih banyak berkutat pada unsur subyektifitas. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 3 – 5.
15
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Sebelumnya ada beberapa penelitian skripsi yang mengangkat judul dengan metode yang sama, yakni dua diantaranya adalah : 1. “Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqir Ash-Sadr”, oleh Danial Firman, Mahasiswa Jurusan Mu’amalat – Perbankan Syariah tahun 1427 H / 2006 M. 2.
“Konsep Ekonomi Islam Baqir Ash-Sadr dan Monzer Kahf : Sebuah Studi Komparatif“, oleh Djaka Heru Priono, Mahasiswa Jurusan Mu’amalat Perbankan Syariah tahun 1427 H / 2006 M. Skripsi-skripsi diatas adalah berhubungan dengan sistem ekonomi
yang dibangun atas landasan prinsip-prinsip Islam. Dalam penelitian skripsi kedua tersebut konsep ekonomi Islam Baqir Sadr dan Monzer Kahf secara umum karena itu masih banyak faktor-faktor yang belum terungkap dalam pembahasannya, terutama yang berhubungan dengan tantangan perekonomian di masa mendatang, khususnya di bidang distribusi. 19 Namun yang menjadi objek penelitian pun berbeda, untuk itu apa yang dianalisa jelas berbeda sesuai dengan penelitian dan perkembangan yang akan penulis teliti. Kesalahan
menjalankan
kebijakan
sistem
ekonomi
termasuk
mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli dan individualis, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, umum dan negara. Pada saat itulah akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan.20
19
Heru Priono, Djaka. “ Konsep Ekonomi Islam Baqir As-Shadr dan Monzer Kahf : Sebuah Studi Komparatif. “ Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.) h.90 20 Ibid., h.199
16
Karena itu, dalam konteks inilah pengkajian atas fokus permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini menjadi bahasan cukup menarik bagi penulis untuk mengetahui sudut pandang tokoh besar tersebut dalam mencermati konsep distribusi secara lebih mendalam.
F. Kerangka Teori Dalam pemikiran ekonominya, Sadr 21 memisahkan produksi dan distribusi. Tetapi beliau tetap melihat hubungan antar produksi dan distribusi sebagai pusat di dalam ekonomi. Menurut Sadr, produksi adalah suatu proses dinamis, mengubah dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan distribusi sebagai bagian dari sistem sosial, yaitu total hubungan antar sistem sosial yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya produksi. Oleh karena itu, Sadr 22 percaya untuk mempertahankan satu sistem sosial tunggal (mencakup distribusi) bermacam-macam alat atau format produksi. Tetapi beliau menolak pandangan Marxis, bahwa masyarakat terdiri dari potensi yang berlawanan dalam bentuk kelas. Negara akan turut campur dalam perekonomian untuk menjamin arah produksi sosial yang cepat, untuk menjalankan distribusi dengan kesetaraan dan untuk mengambil industri-industri ekstraktif serta produk bahan-bahan
21
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258 22 Ibid., h. 258
17
mentah, peranan Negara dalam masalah perekonomian merupakan wilayah bebas bagi aktivitas pemerintah. 23 Imam selaku wali (Amr) akan mengambil langkah-langkah ekonomi yang diperlukan untuk memenuhi tunjangan sosial dan keseimbangan sosial. Tunjangan sosial terdiri dari solidaritas publik yang beroperasi di dalam batasbatas kebutuhan asasi dan hak kelompok dalam sumber-sumber kekayaan. Keseimbangan sosial menghasilkan tindakan-tindakan Negara dalam hal ini pajak dan menciptakan sektor-sektor publik 24 Kasus mazhab ekonomi sangat berbeda. Tidaklah mungkin baginya untuk mengkaji subjeknya menurut standar ilmiah, karena ia mengkajinya dari titik pandang keadilan yang pada basisnya ia hendak menyusun suatu sistem, dan jelaslah bahwa masalah keadilan jauh berbeda dengan masalah panas atau krisis ekonomi. Keadilan bukanlah suatu fenomena fisik atau sosial. Untuk menemukan keadilan hukum, tidak cukup bagi suatu mazhab ekonomi untuk memperhatikan realitas eksternal atau mengamati fenomena eksternal.25 Jika diperhatikan, mengapa yang dua ini (kapitalis dan sosialis) diakui sebagai mazhab ekonomi, sedang Islam tidak. Padahal Islam telah mengungkapkan pendapat-pendapat mengenai semua pertanyaan yang diurusi kapitalisme. Mungkin saja titik pandang keduanya berbeda, namun tidak
23
Ibid., h. 211 Ibid., h.211-212 25 Syahid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), Cet. Kedua, h. 157-158. 24
18
berarti bahwa kapitalisme adalah suatu mazhab, sedang Islam hanya harus dipandang sebagai kumpulan khotbah dan nasehat moral. 26 Sebagai contoh, ambillah masalah keadilan dalam distribusi. Sebagian orang, seperti kaum komunis, mengatakan bahwa dalam distribusi, keadilan hanya dapat dicapai jika kekayaan dan nafkah hidup terjamin bagi semua anggota masyarakat secara merata. 27 Segolongan lain, seperti kaum kapitalis, mengatakan bahwa persamaan hanya diperlukan dalam hal kemerdekaan, bukan dalam nafkah, karena basis keadilan dalam distribusi adalah persamaan dalam kebebasan, sekalipun persamaan ini menyebabkan perbedaan diantara para individu dari titik pandang nafkah hidup. 28 Golongan ketiga mempertahankan bahwa distribusi keadilan terletak dalam jaminan standar kehidupan tertentu bagi semua anggota masyarakat dan memberikan kepada mereka kemerdekaan untuk mendapatkan lebih banyak. Ini pandangan Islam. 29 Sadr berpendapat manakah dari ketiga cara ini yang paling baik menjamin keadilan dalam distribusi, tidaklah mungkin kita menggunakan metode kajian ilmiah, karena keadilan bukanlah fenomena alam seperti panas dan air mendidih yang dapat kita lihat dengan mata atau kita raba dengan
26
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 254 27 Baqir Sadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), Cet. Kedua, h. 157 28 Ibid., h. 157 29 Ibid., h. 158
19
tangan kita. Itu pun bukanlah fenomena sosial seperti krisis ekonomi yang dapat di kaji melalui pengamatan dan di ukur dengan standar ilmiah. 30 Menurut kapitalisme keadilan akan terwujud jika semua orang mendapat kebebasan (kesempatan ekonomi) yang sama. Sedangkan dalam perspektif Marxis keadilan hanya akan diperoleh jika seluruh anggota masyarakat memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama. Berbeda dengan keduanya, keadilan menurut pendapat Sadr dapat ditegakkan jika semua orang dijamin dengan pendapatan tetap dengan memungkinkan mendapat lebih banyak. 31 Tawaran sistem Marxis berupa pendistribusian sama rata. Menurut Sadr akan menambah persoalan karena menyalahi watak alamiah sosial. Sehingga pemecahan yang harus dilakukan adalah dengan prinsip keadilan yang berlandaskan pada dua hal : solidaritas publik (takaful ‘am) serta keseimbangan sosial (tawazun ijtima’). Kedua konsep tersebut bagian dari jaminan sosial yang disiapkan oleh Islam. 32 Sadr menyadari, bahwa dalam realitas sosial terdapat masyarakat yang tidak mampu terlibat dalam proses produksi. Sedangkan disisi lain, kebutuhan dasar mereka harus tetap terpenuhi. Disinilah nilai keadilan ditegakkan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi melalui jaminan sosial. 33
30
Ibid., h. 158. Baqir Sadr, Islam and School Economics, Terjemahan : Muslim Arbi Bandar, (Lampung : YAPI, 1989). H.125 32 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung : Mizan, 2001). h.172 33 Baqir Sadr, Manusia Masa kini dan Problema Sosial, (Bandung : Pustaka Salman ITB, 1984). h.156 31
20
Studi yang ada ini adalah sebagian dari yang utama dalam pembahasan judul skripsi yang penulis buat sebagai kerangka teori, tidak menutup kemungkinan juga bahwa ada studi-studi lain mengenai hal ini yang nantinya akan penulis pergunakan sebagai penambah khazanah ilmu bagi skripsi ini.
G. Sistematika Penelitian Penulisan skripsi ini dirancang secara sederhana dengan mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet.1.2007. Adapun terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an merujuk kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, tahun 1971, dengan pengecualian sebagai berikut : 1. Dalam daftar kepustakaan, Al-Qur’an dicantumkan dalam urutan paling atas, hal ini untuk menghormati bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang harus dimuliakan. 2. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits beserta terjemahnya diketik dalam satu spasi, baik yang kurang maupun yang lebih dari enam baris, serta disebutkan surat dan nomor ayatnya pada akhir ayat dengan jelas tanpa mencantumkan footnote. Untuk menjembatani keutuhan tulisan dan memperoleh suatu pemahaman dari suatu karya tulis secara total, salah satu diantaranya terletak pada penyajiannya, sistematiskah atau tidak. Disini penulis menyajikan sistematika penelitiannya terdiri dari lima Bab untuk mengalirkan gagasan yang sebenarnya dalam bingkai yang memudahkan para pembaca, yaitu :
21
BAB I : Diawali dengan Pendahuluan, yang terdiri dari beberapa pointer, yaitu Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian yang terbagi dari beberapa hal yang harus disinggung, diantaranya Jenis Penelitian, Tingkat Penelitian, Pendekatan Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data, Teknik Analisa Data, Teknik Penarikan Kesimpulan, Pedoman Penulisan Laporan, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Kerangka Konsep, dan Sistematika Penelitian. BAB II : Menjelaskan Riwayat Hidup dan Sejarah Hidup Muhammad Baqir As-Shadr. Dalam bab ini penulis menjabarkan sekilas Riwayat Hidup dengan mencoba membangkitkan kembali sejarah politik, Karir Intelektual, Latar belakang Pemikiran dan kehidupan ekonomi pada masa sang tokoh ada. Berpijak dari sini penulis mencoba mengkaitkannya dengan sejarah singkat tokoh dalam aktivitasnya sehingga eksist dalam buku-buku sejarah dan pemikiran. BAB III : Membahas mengenai Tinjauan Teoritis Tentang Distribusi, pada bab ini menguraikan tentang Pengertian Distribusi, Prinsip-Prinsip dan Tujuan Distribusi, Mekanisme Distribusi, serta Nilai dan Moral di bidang Distribusi. BAB IV : Sebagai jantungnya skripsi ini, dengan sub judul Tinjauan Terhadap Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr , bab ini merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini. Dalam bab ini dijelaskan Konsep Distribusi Menurut
Muhammad Baqir As-Shadr, Relevansi
Pemikiran Muhammad Baqir As-Shadr yang terdiri dari dua pointer, pertama,
22
Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Ekonomi Islam. Kedua, Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa Kini. Kemudian sebagai pelengkap ditambah dengan Analisa Penulis. BAB V : Penutup, bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan jawaban dari perumusan masalah, saran-saran dan selanjutnya disebutkan daftar pustaka. Itulah Sistematika Penelitian yang penulis sajikan, semoga dapat mempermudah pembaca budiman dalam memahami skripsi ini.
23 PROSEDUR PENGAJUAN JUDUL SKRIPSI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Tahun Akademik : 2008 M / 1429 H Nama NIM Fakultas/Jurusan Judul Skripsi yang diajukan NO
: Rian Maulana : 103046128351 : Fakultas Syariah & Hukum / Mu’amalat Perbankan Syariah Semester XI : “ KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS – SHADR “
JENIS AKTIVITAS
PENERIMA
1
Konsultasi Judul / Tema
Instruktur (Prodi)
2
Konfirmasi / Seleksi Judul
Sekretariat
3
Konsultasi / Persetujuan
Penasehat Akademik
4
ACC / Persetujuan Judul
Tim Pertimbangan Proposal Skripsi
5
Pengambilan SK. Bimbingan Skripsi
Kajur / Sekjur (Prodi)
CATATAN
Judul tersebut sudah ada / belum ada
BIRO KARYA TULIS FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Kajur Perbankan Syariah,
Penasehat Akademik,
Pengaju,
Dr.EUIS AMALIA, M.Ag
M. RIZA AFWI MA
RIAN MAULANA
PARAF PENERIMA
24
BAB II SELINTAS SEJARAH KEHIDUPAN MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADR
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk membedah pemikiran seorang tokoh, perlu telusuri perjalanan hidupnya untuk selanjutnya ditemukan relasi-relasinya dengan pemikiran ekonomi yang menjadi fokus penelitian ini. Berikut penelusurannya : A. Riwayat Hidup Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr dilahirkan pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1353 H / 1 Maret 1935 M di Kadzimiah, Irak. Beliau berasal dari suatu keluarga yang sejak satu abad sekarang berada dipusat keilmuan, dan telah menyumbangkan berbagai pelayanan kepada Islam dan kaum Muslim di Irak, Iran, dan Lebanon. Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr yang berasal dari keluarga tersebut bangkit melawan kolonialisme Inggris dan mengambil bagian dalam revolusi yang terjadi di Irak pada abad ke-20. 1 Kakek buyutnya, Sayyid Shadruddin ash-Shadr dari Qum dan Sayyid Musa ash-Shadr dari Lebanon juga termasyhur karena aktivitas keagamaan dan politik mereka. Salah seorang leluhur beliau, Sayyid Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi (pengarang kitab terkenal al-Muraja’at (Dialog Sunnah-Syiah) Mengambil bagian dari Perang Kemerdekaan di Jabal Amil melawan Perancis. 2
1
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera basritama, 2001), h. 150 2 Ibid., h.150
23
24
Muhammad
Baqir
Ash-Shadr,
Seorang
cendekiawan
Muslim
terkemuka, fakih (yuris) dan pemikir genius, karena karya-karya yang telah beliau wariskan kepada kaum Muslim, baik dari kalangan awam maupun kalangan terpelajar, dan karena kehidupan beliau yang penuh dengan usaha dan perjuangan, dan yang dipendekkan oleh tangan-tangan kriminalis (beliau syahid dibunuh oleh orang-orang Saddam Husein), beliau sudah terlalu terkenal dan masyhur sehingga rasanya tidak perlu mencantumkan biografi beliau dari terjemahan bahasa inggris buku beliau yang sangat terkenal ‘Iqtishaduna’ 3 . Ayatullah Muhammad Baqir As-Shadr datang dari satu keluarga cendikiawan dan Intelektual Islam terpandang, Sadr menyadari secara alami mengikuti jejak mereka (leluhurnya). Beliau pilih untuk mengikuti studi Islam tradisional di Hauzas atau sekolah tradisional di Irak, di mana beliau belajar Fiqh (hukum), ushul (sumber hukum) dan teologi 4 . Sadr berhasil menyelesaikan belajarnya dengan hasil yang baik, dan pada usia 20 tahun, sudah dipertimbangkan sebagai ‘Mujtahid Absolut’ (Mujtahid Mutlaq), dan kemudian, naik ke tingkatan otoritas tertinggi dari marja (hakim otoritas). Otoritas cendikiawan dan spiritual ini dalam tradisi Islam juga tertuang dalam karya Sadr, dan dalam Iqtishaduna (Ekonomi Kita)nya, beliau mendemonstrasikan metodologi independentnya (tradisi hukum Islam), dengan pernyataan Intelektual yang tegas 5 .
3
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008). h.29 4 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis, (Kuala Lumpur, 1995). h.110 5 Ibid., h.110
25
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir dari keluarga religius termasyhur yang telah melahirkan sejumlah tokoh kenamaan di Irak, Iran dan Lebanon 6 , seperti : 1. Sayyid Shadr ad-Din Ash-Shadr, seorang marja’ (otoritas rujukan tertinggi dalam mazhab Syi’ah) di Qum. 2. Muhammad Ash-Shadr, salah seorang pemimpin religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris yang sebagian besar diorganisasikan dan dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin religius yang berhasil menumbangkan Inggris. Dia juga mendirikan Haras Al-Istiqlal (Pengawal Kemerdekaan). 3. Musa Ash-Shadr, Pemimpin Syi’ah di Lebanon. Muhammad Baqir Ash-Shadr, lahir dalam keluarga alim yang termasyhur
di
golongan
Syi’ah.
Kakeknya,
Sadruddin
Al-‘Amili
(w.1264/1847), dibesarkan di dusun Lebanon Selatan, Ma’rakah, hijrah untuk belajar di Isfahan dan Najaf. Hingga wafat dan dimakamkan di sana. Kakeknya, Isma’il, lahir di Isfahan pada 1258 H/ 1842 M, pada 1280 H / 1863 M pindah ke Najaf, kemudian ke Samarra’ 7 . Di Samarra’ inilah, konon, dia menggantikan Al-Mujaddid AsySyirazi di Hauzah (lingkungan alim Syi’ah) lokal. Putranya, Haidar, ayah Muhammad Baqir Ash-Shadr, lahir di Samarra’ pada 1309 H / 1891 M, dan belajar pada ayahnya dan Ayatullah Al-Hai’ri Al-Yazdi di Karbala. Dia 6
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11 7 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.252
26
meninggal di Kazimiah pada 1356 H / 1937 M, meninggalkan seorang istri, dua putra dan seorang putri 8 . Kendatipun marja’ yang cukup terpandang, tampaknya dia meninggal dalam keadaan tak punya uang sepeser pun. Konon, sampai lebih dari sebulan setelah meninggalnya keluarga ini, masih tidak dapat menyediakan roti seharihari, ‘kanu ha’irin fi luqmat al-‘aysy’ 9 . Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi yatim, kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang Mujtahid kenamaan di Irak (Mujtahid adalah seorang yang sangat alim yang telah mencapai tingkat tertinggi dikalangan teolog muslim). Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak 10 . Ketika berusia sepuluh tahun, beliau berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain mengenai kultur Islam. Beliau mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Pada usia sebelas tahun, beliau mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para Filosof 11 . Falsafatuna begitu tergoda kategori Marxis, sehingga bahasa Islamnya jadi terpengaruh. Tentu saja, dengan melihat ke belakang, mengkritiknya gampang, argumen Stalin, Politzer dan bahkan Engels sudah lama kadaluarsa dilingkungan filsafat. Dan kenyataan ini tidak mempengaruhi risalah filosofis 8
Ibid., h.253 Ibid., h.253 / lihat juga Ha’iri, ‘Tarjamat’. h.28 10 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11 11 Ibid., h.11 9
27
Sadr tapi justru membuat mereka memiliki arti penting yang tidak pantas mereka terima. 12 Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya ‘Ushul ‘ilm al-Fiqh (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum islam – yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadist, ijma’, dan qiyas). Pada usia sekitar enam belas tahun, beliau pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi dalam berbagai cabang ilmu-ilmu islami 13 . Sekitar empat tahun kemudian, beliau menulis sebuah ensiklopedi tentang
‘Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-‘Ushul (Pemikiran Puncak dalam
‘Ushul). Mengenai karya ini, hanya satu volume yang diterbitkan 14 . Ketika usia dua puluh lima tahun, beliau mengajar Bahts Kharij (tahap akhir ‘Ushul). Saat itu Sadr lebih muda daripada banyak muridnya. Disamping itu, Sadr juga mengajar Fiqh. Patut disebutkan juga bahwa pada usia tiga puluh tahun Sadr telah menjadi mujtahid 15 . Muhammad Baqir al – Sadr berasal dari keluarga Syiah dan menjadi salah seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan Intelektual di Najaf antara 1950 M dan 1980 M. Kebangkitan ini sangat berpengaruh dalam aspek politik di kawasan Najaf Timur Tengah pada umumnya 16 . Dalam
karya-karyanya,
beliau
kerap
menyerang
dialektika-
materialistik, dan menganjurkan, sebagai gantinya, konsep Islam dalam 12
Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.258 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11 14 Ibid., h.12 15 Ibid., h.12 16 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontempore,. ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005). h. 251 13
28
membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Beliau banyak menulis tentang ekonomi Islam, dan menjadi konsultan dari berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan Islam 17 . Dalam berbagai ceramahnya beliau kadang menganjurkan suatu gerakan Islam yang terorganisasikan sebuah partai sentral yang dapat bekerjasama dengan berbagai unit dalam naungan kaum Muslim untuk melahirkan perubahan sosial yang diinginkan. beliau adalah “Bapak” Hizb AlDa’wah Al-Islamiyyah (Partai Dakwah Islam) 18 . Sadr mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Beliau menyerukan kepada kaum Muslim supaya mengenali kekayaan khazanah asli Islam dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh eksternal apapun, khususnya pengaruh-pengaruh kapitalisme dan Marxisme 19 . Sadr mendorong kaum Muslim supaya bangun dari tidur dan menyadari bahwa kaum imperialis sedang berupaya membunuh ideologi Islam dengan cara menyebarkan ideologi mereka di dunia Muslim. Kaum Muslim harus bersatu padu dalam melawan intervensi semacam itu dalam sistem sosial, ekonomi dan politik mereka 20 . Muhammad Baqir Ash-Shadr banyak menuangkan fikirannya ke suratsurat kabar dan jurnal-jurnal. Banyak juga dalam bentuk buku, terutama tentang ekonomi, sosiologi, teologi, dan filsafat. Diantaranya yang terpopuler adalah (1) Al-Fatwa Al-Wadhihah (Fatwa yang jelas), (2) Manhaj Ash17
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.12-15 18 Ibid., h.13 19 Ibid., h.13 20 Ibid., h.14
29
Shalihin (Jalan orang-orang Saleh) – buku ini mencerminkan suatu pandangan modern tentang masa’il, (3) Iqishaduna (Ekonomi Kita) – buku ini terdiri atas dua volume dan merupakan suatu diskusi terlengkap tentang ekonomi Islam dan tanggapan terhadap kapitalisme dan komunisme, (4) Al-Madrasah AlIslamiyyah (Mazhab Islam), (5) Ghayat Al-Fikr fi Al-‘Ushul (Pemikiran Puncak dalam ‘Ushul), (6) Ta’liqat ‘ala Al-Asfar (Ulasan tentang empat kitab perjalanan Mulla Sadhra), (7) Manabi’ Al-Qudrah fi Dawlat Al-Islam (Sumber-sumber kekuasaan dalam Negara Islam), penulis dalam buku ini menyatakan bahwa suatu Negara Islam harus didirikan menurut Syari’ah, sebab hal ini adalah satu-satunya jalan untuk menjamin hukum Allah di bumi, (8) Al-Insan Al-Mu’ashir wa Al-Musykilah Al-Ijtima’iyyah (Manusia Modern dan Problem Sosial), (9) Al-Bank Al-Islamiyyah (Bank Islam), (10) Durus fi ‘Ilm Al-‘Ushul (Kuliah tentang Ilmu Prinsip Hukum Islam), (11) Al-Mursil wa Al-Rasul wa Al-Risalah (yang mengutus, Rasul dan Risalah), (12) Ahkam AlHajj (Hukum-Hukum Haji), (13) Al-‘Ushul al-Manthiqiyyah li Al-Istiqra (Asas-asas Logika dalam Induksi), dan (14) Falsafatuna (Filsafat Kita) 21 . Seyyed Husein Nashr 22 dalam pengantar buku Falsafatuna Muhammad Baqir Ash-Shadr mengatakan : “ Tulisan-tulisan Allamah Muhammad Baqir Ash-Shadr mengandung makna teologis dan filosofis, sebab beliau adalah intelektual penting dalam
21
Ibid., h.14 Seyyed Husein Nasr adalah Intelektual garda terdepan yang sangat disegani disegenap penjuru dunia. Beliau menjadi Guru Besar di berbagai Perguruan Tinggi bergengsi di Eropa, Amerika, Timur Tengah. Beliau di lahirkan di Teheran, dari keluarga tradisional Syi’ah Ortodoks. Masa kelahirannya merupakan masa ketegangan politis antara kelompok ulama dengan Dinasti Pahlevi. Seyyed Husein Nasr, “Antara Tuhan, Manusia dan Alam : Jembatan Filosofis dan Religius Menuju puncak spiritual” (Yogyakarta : IRCISOD, 2003). h.171. diterjemahkan juga oleh penyunting dari “pengantar” untuk Our Philosophy, The Muhammad Trust, London, 1987. 22
30
kehidupan Islam kontemporer, satu figur yang karya-karyanya melampaui sekadar mata-mata polemik dan retorik 23 .” Buku Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Muhammad Baqir Ash-Shadr sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Sistem Filsafat dan ekonomi alternatif ini di sempurnakan melalui masyarakat dan Lembaga. Dalam kedua buku ini, beliau menjanjikan jilid ketiganya dengan pola yang sama yang diberi judul, Mujtama’una (Masyarakat Kita). 24 Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Iqtishaduna merupakan satu karya pionir yang cukup komprehensif dalam literatur ekonomi Islam modern mengupas masalah produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran. Termasuk masalah fiskal dan moneter serta strategi pengelolaan aset produktif dan peranan pemerintah di dalamnya. 25
B. Karir Intelektual dan Politik Di Kadzimiah, Muhammad Baqir Ash-Shadr masuk sekolah dasar Muntada An-Nasyr. Menurut keterangan teman sekolahnya, beliau sejak awal menjadi sasaran perhatian dan keingintahuan guru-gurunya, sedemikian rupa, sehingga beberapa murid meniru cara jalannya, cara bicaranya, dan cara duduknya di kelas. 26 Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya ketika beliau baru berusia empat tahun, kemudian dibesarkan oleh ibu dan kakak 23
Ibid., h.15 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 252 25 Muhammad Syafii Antonio “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir AshShadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, ( Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.17 26 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.254 / Hairi, ‘Tarjamat’.h.44. menyebutkan tuturan teman sekelas Sadr, Muhammad ‘Ali Al-Khalili 24
31
tertuanya, Ismail ash-Shadr. Sejak kanak-kanak ia memperlihatkan tandatanda kecerdasan dan bakat keilmuan yang luar biasa. 27 Ketika berusia sepuluh tahun, beliau sudah membahas persoalanpersoalan doktrinal dan sejarah Islam dengan suatu kepercayaan seakan-akan ia telah melewati dekade-dekade dalam menguasai topik tersebut. Di usia sebelas tahun, ia telah menulis buku tentang logika, dan juga mulai menyampaikan kuliah-kuliah tentang topik tersebut. 28 Pada tahun 1365 M ia menetap di Najaf al-Asyraf, dan mulai mempelajari sekaligus mengajar prinsip-prinsip yurisprudensi (al-ushul alfiqh) Islam dan cabang-cabang ilmu Islam lainnya. Beliau mempunyai suatu wawasan yang luar biasa, dimana beliau dapat memahami sepenuhnya pelajaran-pelajaran dengan autodidak 29 Akhirnya
beliau
diposisikan
sebagai
Mujtahid,
dan
mulai
menyampaikan fatwa-fatwa dalam ijtihad serta mulai menulis banyak buku. Sebanyak dua puluh enam buku dengan berbagai topik yang mencakup ushul fiqh, fiqih, ekonomi, filsafat, logika induktif, problem-problem sosial, dan administrasi publik. 30 Sebahagian bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Inggris, Urdu, Turki, yang merupakan masterpiece dalam bidangnya masingmasing. 31
27
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera basritama, 2001), h. 150 28 Ibid., h.150 29 Ibid., h.150 30 Ibid., h.151 31 Ibid., h.151
32
Uraian pasca kematian sering kali memuji, dan harus disikapi dengan hati-hati. Karena Pemerintah Irak tidak mengakui eksistensi Shadr, apalagi pencapaian intelektual atau politiknya. Karena itu, kita hanya terbatas pada teks itu saja, ingatan murid dan simpatisan almarhum. 32 Kalau ini pun tidak mungkin, beberapa cerita menyebutkan, misalnya, bahwa Shadr menulis Risalah pertamanya pada usia sebelas tahun. ‘Abdul Ghani Al-Ardabili, yang dikutip dalam biografi Ha’iri, menyebut buku tersebut sebagai Risalah Logika. Karya paling awal terbit yang dapat dilacak, berasal dari 1955. 33 Studi ini, berupa analisis episode Fadak yang artinya dalam sejarah Syi’ah memperlihatkan kematangan pemikiran alim muda, dilihat dari segi metode dan substansi. Namun isinya tidak memperlihatkan noda sektarian Syi’ah yang segera lenyap dari bahasa Shadr, sampai masa konfrontasi dengan Ba’ath pada akhir 1970-an. 34 Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling berpengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur Tengah pada umumnya. 35 Singkatnya, ini merupakan latar belakang politik kebangkitan di Najaf. Namun, tantangan politik Islam yang bermula di Najaf tak akan bersifat universal tanpa adanya dimensi intelektual dan kulturalnya yang khas. 36
32 33
Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.254 Ibid. h.254 / Muhammad Baqir Sadr, Fadak fi At-Tarikh (Fadak dalam Sejarah), edisi I,
Najaf.1955 34
Ibid., h.254 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.246 36 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.252 35
33
Di tengah berbagai peristiwa yang dramatis, yang kian global jangkauannya, penting untuk dicamkan bahwa kebangkitan Najaf merupakan gejala intelektual yang terutama melibatkan faqih dan keputusan hukum. Inilah dimensi Timur Tengah bergolak yang kurang diketahui, dan merupakan dimensi yang lebih langgeng. 37 Di tengah pembaruan budaya dan pembentukan sistem, ada’ internasional Syi’ah’ yang merupakan produk jaringan Najaf. Di Najaf, Muhammad Baqir Ash – Shadr tampil sebagai pendiri suatu sistem konstitusi dan ekonomi baru. 38 Kendatipun banyak sumbangsih luar biasa Shadr untuk tema-tema historis Islam, Ushul, dan filsafat, namun karya-karya Shadr di bidang hukum konstitusi dan ekonomi Islamlah yang paling inovatif. 39 Dalam ekonomi Islam, Shadr menulis beberapa risalah. Dua yang paling penting adalah Iqtishaduna, yang merupakan teori umum ekonomi Islam, dan Al-Bank Al-ala Ribawi fi Al-Islam, yang merupakan teks terinci soal operasi bank Islam dalam konteks lawannya, yaitu ‘Kapitalisme’. 40 Dua unsur membeakan Iqtishaduna dari literatur umum ekonomi Islam. Dari segi struktur dan metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti dibidang ini. 41 Ada dua alasan untuk keseriusan ini :
37
Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) Ibid., h.252 Ibid., h.252 39 Ibid., h.260 40 Ibid., h.260 41 Ibid., h.261 38
34
Pertama, Shadr jelas ingin menyajikan berbagai ideologi rival, khususnya Marxisme, secara serius. Kritiknya atas Marxisme mungkin tidak memadai, meski ini merupakan upaya Intelektual yang serius. Adapun mengenai teori kapitalis, riset yang dilakukannya lebih terbatas. Ini akibat pengaruh Marxisme yang dominan. Pada masa Iqtishaduna, hingga akhir 1970-an, bidang Intelektual ‘ilmu sosial’ didominasi oleh kaum kiri. Dalam Iqtishaduna, hanya tiga puluh halaman yang diperuntukkan untuk kritik struktural atas kapitalisme, yang jauh kurang tuntas dibanding tigaratus halaman yang diperuntukkan untuk membantah teori Marxisme. 42 Dalam Iqtishaduna, Shadr mencoba menjawab himbauan komunis untuk mengubah ‘keseimbangan sosial’ dengan teori hukum terinci soal hak milik dan distribusi. Dalam tulisannya soal perbankan, Shadr dapat menawarkan cetak biru ‘bank Islam’ yang kini lagi mode. 43 Dalam tulisannya soal konstitusi, dikemukakan tatanan terinci di jantung Republik Islam Iran. Dalam hal ini pemikiran Shadr adalah penting bagi pembaruan hukum Islam. Karena kedalaman tulisannya dibidang ‘baru’ tak dapat tertandingi oleh masyarakat Muslim modern, maka di dunia Syi’ah, dan lebih umum lagi di Dunia Islam, Shadr tetap merupakan sumber inspirasi dan kekaguman yang unik. 44 Disebabkan oleh ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan politiknya, yang menyebabkannya mengutuk rezim Bha’at di Irak sebagai melanggar hakhak asasi manusia dan Islam, Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr di tahan 42
Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.261 Ibid., h.264 44 Ibid., h.264 43
35
dan di pindahkan dari Najaf ke Baghdad. Beliau kemudian di bebaskan dan ditahan lagi di Najaf pada 1979. 45 Saudara perempuannya, Bint Al-Huda, yang juga seorang sarjana dalam teologi Islam, mengorganisasikan suatu protes menentang penahanan atas seorang marja’. Sejumlah protes lain, menentang pemenjaraan atas diri Ash-Shadr, juga diorganisasikan di dalam dan di luar Irak. Kesemuanya ini membuat Ash-Shadr dibebaskan dari penjara. 46 Namun, beliau tetap dikenai tahanan rumah selama sembilan bulan. Ketegangan antara beliau dan Partai Bha’ath terus tumbuh. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa haram bagi seorang Muslim bergabung dengan Partai Bha’ats yang tak Islami itu. Pada 5 April 1980 beliau ditahan lagi dan dipindahkan ke Baghdad. 47 Beliau dan saudara perempuannya, Bint Al-Huda, dipenjarakan dan dieksekusi tiga hari kemudian. Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di AnNajaf. Misteri menyelimuti kematian mereka. Muncul banyak pertanyaan, misalnya, tentang maksud di balik eksekusi itu dan identitas mereka yang mengatur eksekusi ini. 48 Sejak 1970, pemerintah di Najaf kembali mendapat tekanan sekali setahun. Sadr, di tahan beberapa kali, di interogasi, dan di perlakukan dengan kejam. Pada juni 1979, ketika Sadr sedang bersiap memimpin delegasi untuk memberi salam kepada Ayatullah Khomeini di Teheran, beliau di kenai 45
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.12 46 Ibid., h.12 47 Ibid., h.12 48 Ibid., h.12
36
tahanan rumah. Setelah itu beliau di pindahkan ke Baghdad pada 5 April 1980. Tanggal ini bertepatan dengan serangan kedua terhadap pejabat pemerintah dalam seminggu. 49 Bagi pemerintah, ini merupakan isyarat di mulainya konfrontasi final dengan apa yang di anggap pemerintah sebagai akar masalahnya. Najaf di serbu pada malam hari. Sadr dipindahkan ke Baghdad. Najaf ingat bahwa Sadr lolos dari upaya penculikan, dan ditahan kembali pada juni karena Bint Al – Huda mengerahkan orang yang sedang berbelasungkawa di Sahn (Masjid ‘Ali di Najaf) dengan pekikan ‘Imam kalian mau di culik.’ Kali ini, pemerintah membungkam saudara perempuan Shadr ini dengan membawanya ke Baghdad, dan dengan mengeksekusi Shadr. 50 Pada dekade terakhir dari hidupnya adalah masa penyiksaan oleh Rezim Ba’ath di Irak. Pengaruhnya yang menakutkan terhadap media massa, dan setelah hukuman penjara dan siksaan, Rezim Ba’ath menghukum mati atasnya pada tanggal 8 April 1980. 51 Menurut laporan, tubuh Muhammad Baqir Ash-Shadr dimakamkan diwaktu fajar pada 9 April dihadiri keluarga dari Najaf. Ini berarti dia meninggal sehari sebelumnya. Namun banyak pertanyaan masih belum terjawab. 52 Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda, pada 8 April 1980, merupakan titik puncak tantangan 49
Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.251 Ibid., h.251 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.111 52 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.251 50
37
terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting. 53 Semoga Allah merahmati Ruh sucinya.
C. Latar Belakang Pemikiran Latar belakang alim ‘internasional’, dan relatif miskinnya keluarga Shadr, merupakan dua unsur penting yang menentukan konteks pendidikan Shadr. Kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga pada awal meninggalnya Haidar Ash-Shadr, juga dialami bayi Muhammad Baqir Ash-Shadr. Anggota keluarga lainnya mengurusi pendidikan Ash-Shadr. Dia tumbuh besar di bawah pengawasan pamannya dari pihak ibu, Murthada Al-Yasin, 54 dan di bawah pengawasan kakaknya, Isma’il (1340 / 1921-1388 / 1968). 55 Meskipun latar belakang yang tradisional, Sadr tidak pernah lepas dari isu-isu masa kini. Intelektualnya yang tajam mengilhami beliau untuk belajar filsafat modern, ekonomi, sosiologi, sejarah dan hukum secara kritis. 56 Sadr seperti Taleghani, seorang alim yang aktif. Beliau terus-menerus menyuarakan
pandangannya
bagi
kondisi
orang-orang
Muslim
dan
keinginannya untuk bebas, bukan hanya dari kolonialisme ekonomi dan politik, tetapi juga dari dominasi pemikiran. 57
53
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 251 54 Murthada Al-Yasin adalah alim yang kuat kedudukannya. Ketika beliau mengeluarkan fatwa termasyhur menentang komunis pada 3 April 1960. 55 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.253 56 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.110 57 Ibid., h.110
38
Masalah pemerintah di Irak mendesaknya untuk menetapkan Hizb adDa’wah al-Islamiyyah (Partai Suara Islam), sebuah partai yang membawa para pemimpin agama secara bersama-sama dengan kaum muda, bertujuan menghadapi gelombang dari sosialisme Ba’ath memegang kendali politik pada tahun 1958. 58 Falsafatunanya (Filsafat kita) dan selanjutnya Iqtishaduna, menuai kritik komparatif dari keduanya mengenai kapitalisme dan sosialisme, dan pada saat yang bersamaan, pandangan dunia Islam serentak menggambarkan dengan garis sistem ekonomi Islam. 59 Pada 1365-1945, keluarga ini pindah ke Najaf. Di Najaf inilah Shadr menghabiskan sisa hayatnya. Nilai penting Najaf sudah mapan sejak 1920-an, ketika kota dan ulamanya tampil sebagai sentral perlawanan terhadap invasi Inggris. 60 Najaf agak tenang setelah kekalahan relatif terhadap Raja Faisal pada 1924 M, ketika para faqih besar mengambil jalan ke pengasingan. Namun kebanyakan kembali beberapa tahun kemudian untuk melanjutkan studi dan mengajar, menjauh dari huru-hara politik. 61 Pada 1950-an, panorama Najaf mengalami perubahan Radikal. Sikap diam mujtahid, akibat tidak mampu berkonfrontasi dengan baghdad,
58
Ibid., h.110 Ibid. h.,110 60 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.254 / Banyak literatur tentang pemberontakan 1920 dan peran kepemimpinan ulama. Lihat R. AlKhattab. Al-‘Iraq bayna 1921 wa 1927 (Irak antara 1920 dan 1927), Najaf. 1976. dan A. AlFayyad, Ats-Tsawrah Al-‘Iraqiyyah Al-Kubra (Pemberontakan Besar Irak), Baghdad, 1963. 61 Ibid., h.254 59
39
menerima tantangan serius pada tahun-tahun sebelum revolusi 1958 dari pihak yang tak disangka-sangka, yaitu kaum komunis. 62 Shadr menyadari dirinya berada ditengah konfrontasi intelektual sengit antara Najaf tradisional dan kaum komunis. Dan pandangan dunianya terbentuk dengan latar belakang intelektual ini : seruan sosialis-komunis yang dominan di seluruh Timur Tengah, yang mewarnai tulisan-tulisannya dengan ‘persoalan sosial’, dan pendidikan tradisional ulama, termasuk struktur hierarkinya yang relatif ketat. 63 Dimensi yang lebih tradisional dan ketat diri karya-karya Shadr, terlihat pada beberapa publikasi disepanjang hayatnya. Yang paling mencolok adalah adalah buku-buku ushul al-fiqh-nya. Ada dua contoh yang bisa dipertimbangkan 64 : Yang pertama adalah dari tahun-tahun pertama di Najaf, di mana Shadr menulis Muqaddimah untuk sejarah dan ciri pokok disiplin ini, AlMa’alim Al-Jadidah fi Al-Ushul. Buku ini yang banyak dipakai sebagai pengajaran Mukadimah di Najaf, dan terbit pada 1385-1965, masih merupakan salah satu buku menarik di bidang ini. Shadr sendiri menulis karya-karya Ushul yang lebih pelik. Pada 13971977, yang pertama dari seri empat jilid mengenai ‘ilm al-ushul, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa ke derajat lebih tinggi, yaitu bahts al-kharij (riset tingkat sarjana), terbit di Beirut dan Kairo.
62
Ibid., h.254 Ibid., h.255 64 Ibid. h.,255 63
40
Menurut Shadr, karya-karya ini dipersiapkan untuk meringankan tugas siswa, yang ‘terhambat masalah bahasa’ 65 dari empat karya pokok yang dipakai selama lebih setengah abad di Najaf 66 , Al’Ma’alim Al-Jadidah dan Durus menunjukan sisi didaktis minat Shadr pada Ushul al-Fiqh. Keduanya dimaksudkan hendak mencari pendekatan langsung terhadap persyaratan yang diperlukan sebelum bahts al-kharij yang terlalu sulit, dan untuk orang awam yang berminat pada gambaran ikhtishar disiplin ini. Shadr juga menulis karya ushul yang lebih tinggi. Kebanyakannya berbentuk catatan dari muridnya. Kazim Al-Husaini Al-Ha’iri menyusun jilid pertama Mabahits Al-Ushul pada 1407-1987. 67 Mahmud Al-Hasyimi, juga murid kesayangan Shadr, menyusun seksi kuliah Ta’arud Al-Adilla AsySyar’iyyah-nya Shadr dalam sebuah buku yang terbit pada 1977. 68 Beliau sangat menaruh perhatian terhadap hak-hak dunia Muslim, dari mulai Maroko sampai Indonesia. Beliau merupakan salah seorang pembela bentuk pemerintahan Islam yang paling gigih. Pemerintahan Partai Ba’ath Irak sangat gusar terhadap laporan ini. Oleh karenanya, mereka memenjarakan
65
Shadr , Daght fi Al- ‘Ibara’, Durus I, h.9 Empat buku Syiah tersebut adalah Ma’alim Asy-Syahid Ats-Tsani (w.966/1559), Qawaninnya Qummi (w.1231/1816), Kifayah-nya Al-Khurasani (w.1328/1910), dan Rasail-nya Anshari (w.1329/1911) 67 Shadr, Mabahist Al-Ushul. Menurut Ha’iri, buku ini hanyalah kompilasi Jilid pertama Bagian 2 dalam seri kuliah Shadr 68 Ibid., h.256 / Mahmud Hasyimi, Ta’arud Al-Adilla Asy-Syar’iyyah Taqriran li-Abhats As-Sayyid Muhammad Baqir As-Shadr (Kontradiksi Bukti Hukum, Laporan Riset Muhammad Baqir As-Shadr, Beirut, EdisiII, 1980. Mukaddimah oleh Shadr, 1994 / 1974. 66
41
beliau di Najaf pada pertengahan tahun 1979 dan memindahkannya ke penjara Baghdad pada 3 April 1980. 69
D. Posisi Muhammad Baqir As-Shadr diantara para Pemikir Ekonomi Islam Lain Pemikiran ekonomi Islam bisa dikatakan seusia dengan Islam itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari berbagai praktik dan kebijakan ekonomi pada masa Rasulullah SAW dan al – Khulafa al – Rasyidin merupakan contoh empiris yang dapat dijadikan pijakan bagi para pemikir, praktisi dan cendikiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Konsep ekonomi pada waktu itu berdasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari Al – Qur’an dan Sunnah Nabi. Kendatipun belum tersusun secara teoritis, praktik ekonomi pada masa-masa awal Islam memfokuskan perhatiannya pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan. Sebagian besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai khazanah hukum Islam yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus terhadap analisis ekonomi. 70 Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, Mufassir, Filosof, Sosiolog, dan Politikus. Dalam masa-masa perkembangan ekonomi yang sangat panjang itu lahirlah ekonom-ekonom Muslim terkemuka, sebut, 69
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera basritama, 2001), h. 151 70 M. Nejatullah Siddiqi, Recent Works on History of Economic Thought in Islam : A Survey, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (Ed.) Readings in Islamic Economic Thought (Selangor Darul Ehsan : Longman Malaysia, 1992), h.33
42
misalnya, Abu Yusuf (182/798 ), Al – Syaibani (189/804), Abu Ubaid (224/838), Yahya bin Umar (289/902), Al – Mawardi ( 450/1058), Ibnu Hazm (456/1064), dan lainnya. Para ekonom muslim ini diikuti oleh tokoh intelektual terkenal lainnya. Seperti, Al-Ghazali (451-505/1055-1111), Ibnu Taimiyah (661-728/1263-1328), Al – Syatibi (790 H), Ibnu Khaldun (732808/1332-1404), dan Al – Maqrizi (845 H). Jejak sejarah pemikiran mereka berlanjut pada masa Shah Wali Allah (1114-1176/1703-1762), Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (1206/1787), Muhammad Abduh (1230/1905), Muhammad Iqbal (1356/1932) dan masih banyak pemikir ekonomi islam lainnya, 71 telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan peradaban dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad. Masa berikutnya adalah masa dimana lahir banyak tokoh pemikir kontemporer yang mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi Islam yang lebih sistematis dan dengan mengikuti perkembangan ilmu ekonomi modern, diantaranya adalah Khursyid Ahmad, Nejatullah Siddiqi, Umer Chapra, Afzalurrahman, M.A Mannan, Monzer Kahf dan lain-lain. Dalam tataran paradigma seperti ini, ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun, ketika mereka diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi islam itu, mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonomekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga 71
Azyumardi Azra, “Pengantar”, dalam Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatrus, 2005), h. xii
43
mazhab, yakni : Mazhab Baqir Sadr, Mazhab Mainstream, dan Mazhab Alternatif-Kritis. 72 Mazhab Baqir as-Sadr 73 berpendapat bahwa sumber daya pada hakikatnya melimpah dan tidak terbatas. Pendapat ini didasari oleh dalil QS. Al-Qomar (54) : 49 yang menyatakan bahwa :
⌧ ” Sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.”
Dengan demikian, karena segala sesuatu sudah terukur dengan sempurna, maka pasti Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Baqir Sadr juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa keinginan manusia tidak terbatas. Ia berpendapat bahwa manusia akan berhenti mengonsumsi suatu barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap barang atau jasa tersebut menurun atau nol. Karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu benar adanya, sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi). 74
72
Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Edisi Ketiga, h.30 73 Baqir al-Hasani, The Concept of Iqtisad, dalam Baqir al-Hasani dan Abbas Mirakhor, Essays on Iqtishad : The Islamic Approach to Economic Problems, (Silver Spring : NUR, 1989), h.21 74 Ibid., 21-23
44
Namun, yang menjadi perhatian dan permasalahan utama dari ilmu ekonomi adalah adanya ketimpangan sumber daya yang tidak merata di antara manusia. Oleh sebab itu, sistem harga yang dipercaya oleh ekonom konvensional mampu mengatasi permasalahan ekonomi tidaklah cukup, sehingga perlu adanya mekanisme tambahan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan distribusi. Pendapat ini diperkuat dari adanya hadist Nabi yang menyebutkan bahwa di antara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain. Dalam ekonomi Islami, mekanisme distribusi ini dilengkapi dengan instrumen kewajiban pembayaran zakat bagi para mustahik dan mekanisme lain yang termuat dalam syariah. 75 Berkenaan dengan zakat, Ibnu Hazm memperluas jangkauannya tidak hanya zakat, tetapi ada kewajiban sosial di luar zakat yang harus dipenuhi oleh orang kaya. Ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial mereka kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang yang lemah secara ekonomi. 76 Pernyataan Ibnu Hazm tentang hal ini adalah : ” Orang-orang kaya dari penduduk suatu negeri wajib menanggung kehidupan fakir miskin di antara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (Baitul Mal) tidak cukup untuk mengatasinya.” 77
Mannan menyebutkan bahwa teori ekonomi modern mengenai distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi. Mannan berusaha menemukan nilai jasa dari berbagai faktor produksi. Dalam 75
Ibid., h.21. Euis Amalia. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia ,(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009). h.128 77 Ibnu Hazm, al Muhalla, h.45. Lihat juga Sadeq dan Ghazali (Ed.), Reading in Islamic Economic Thought, h.72 76
45
hal ini, teori itu hanya merupakan perpanjangan teori umum penetapan harga. Barangkali, masalah distribusi perseorangan, dapat dipecahkan dengan cara sebaik-baiknya, setelah kita menyelidiki masalah pemilikan faktor-faktor produksi. 78 Chapra menyatakan bahwa salah satu masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena hal itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan bekerja. 79 Sementara itu, Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi 78
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005), h. 25 M. Sholahuddin. Asas-asas ekonomi Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.) Edisi.I. h.198 79
46
muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas. 80 Tokoh-tokoh mazhab ini selain Muhammad Baqir As-Shadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati, dll. Mazhab Mainstream berbeda pendapat dengan mazhab Baqir Sadr, mazhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. 81 Misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras diseluruh dunia berada pada titik ekuilibrium. Namun, jika berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai QS. AlBaqarah (2) : 155 :
☺ ”Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.”
80
Ibid., h.21-22 Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Edisi Ketiga, h.31 81
47
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalilnya QS. At-Takaatsur (102) : 1-5
☺ ☺
⌧⌧
“ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).” Dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur. Tokoh-tokoh mazhab ini diantaranya M. Umer Chapra, M.A Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dll. Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Mazhab Alternatif-Kritis berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islami belum tentu benar karena ekonomi Islami adalah hasil tafsiran manusia atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi Islami harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional. 82 Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran seorang Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California, Jomo K.S, (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dll.
82
Jomo K.S, Islamic Economic Alternatives, Critical Perspectives and New Directions, (Kuala Lumpur : Ikraq, 1993).
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG DISTRIBUSI
A. Pengertian Distribusi Dalam kamus bahasa indonesia, distribusi menurut bahasa adalah : Pembagian, pengiriman barang-barang kepada orang banyak atau ke beberapa tempat. 1 Dalam kehidupan sehari-hari, distribusi biasa diartikan sebagai kegiatan membagi-bagi barang kepada orang atau pihak yang berhak untuk menerimanya. Misalnya, dalam keadaan kesulitan ekonomi, pemerintah melakukan distribusi bahan makan kepada pegawai negeri dan penduduk ; di pusat pembangkit tenaga listrik terdapat bagian distribusi yang mengurus penyaluran tenaga listrik ke seluruh wilayah. Dalam kegiatan ekonomi, kegiatan distribusi tidak hanya sekedar membagi-bagi atau menyalurkan barang, tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas lagi. Kegiatan itu antara lain meliputi perdagangan, pengangkutan, penyimpanan, penanggungan resiko, dan seterusnya sampai barang yang bersangkutan diterima oleh konsumen dalam keadaan baik. Dengan demikian, ruang lingkup kegiatan distribusi mencakup seluruh penanganan barang sejak lepas dari produsen sampai barang tersebut diterima oleh konsumen. Meskipun pengertian distribusi sangat luas, dengan singkat dapat dikatakan
1
Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka AMANI), h.84.
48
49
bahwa yang dimaksud dengan distribusi adalah usaha menyampaikan barang dari produsen kepada konsumen. 2 Berkenaan dengan distribusi dalam arti penyebaran dan penukaran hasil produksi ini, Islam telah memberikan tuntunan yang wajib diikuti oleh para pelaku ekonomi, pemerintah maupun masyarakat luas. Tuntunan tersebut secara hukum normatif tertuang dalam fiqh al-mu’amalah. 3 Dalam fiqh al-mu’amalah ditetapkan kaidah hukum bahwa hukum asal dalam mu’amalah, sebagai bentuk distribusi, itu boleh sampai ada nash yang menyatakan keharamannya. Berkaitan dalam prinsip ini, berbagai kegiatan ekonomi boleh dilakukan dalam upaya pendistribusian hasil produksi bila tidak ditemukan ketentuan nash yang melarangnya. Oleh karena itu, distribusi dalam perspektif Islam sangat luas, kegiatan distribusi apapun boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan dari nash. Selain itu, dalam fiqh al-mu’amalah juga ditetapkan bahwa transaksi yang dilakukan dalam distribusi boleh dilakukan dengan cara apapun, termasuk kebiasaan baik dan benar (‘urf shahih) yang berjalan dalam kehidupan umat manusia. 4 Menurut Ibn Taimiyyah, sebagaimana dikutif al-‘Assal, setiap cara yang oleh orang banyak dapat dihitung jual beli atau pengupahan adalah jual beli dan pengupahan. Tetapi, kalau istilah orang-orang itu berlainan dalam
2
Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.38 3 A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A, Lembaga-lembaga perekonomian umat sebuah pengenalan, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002) h. 32 4 Ibid., h.32
50
lafazh dan prakteknya, maka transaksi pada setiap kaum diselenggarakan menurut bentuk dan praktek yang mereka pahami bersama. Sebenarnya, distribusi merupakan lanjutan ekonomi setelah produksi. Hasil produksi yang diperoleh kemudian dipindahtangankan dari pemilik ke pihak lain. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah dengan cara barter (mubadalah) atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Di dalam syariat Islam bentuk distribusi ini dikemukakan dalam pembahasan ‘aqd (transaksi).
B. Prinsip-Prinsip dan Tujuan Distribusi Prinsip moral Islam mengarahkan kepada kenyataan bahwa pengakuan hak milik harus berfungsi sebagai pembebas manusia dari karakter materialistis. Hanya karena pembebasan itu, manusia bisa mendapatkan kemuliaannya, bukan sebaliknya. 5 Dalam Islam legitimasi hak milik akan tergantung dan sangat terkait erat kepada pesan moral untuk menjamin keseimbangan, di mana hak pribadi diakui, namun hak kepemilikan tersebut harus bisa berfungsi sebagai nafkah konsumtif bagi diri dan keluarga, berproduksi dan berinvestasi, alat untuk mengapresiasikan kepedulian sosial (zakat, infaq dan sedekah) dan jaminan distribusi kekayaan, menjamin mekanisme kerja fisabilillah dan semangat pembangunan serta penataan. 6
5
Mustafa Edwin Nasution. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2007.Ed. I. Cet.2.h.122 6 Ibid., h.122
51
Pemahaman ini bermuara pada pengakuan bahwa sang pemilik hakiki dan absolut hanyalah Allah SWT, Tuhan semesta alam, dalam QS. Ali Imran (3) : 189
☺ ⌧ “ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu “. Artinya, manusia hanya diberi hak kepemilikan terbatas, yaitu sebagai pihak yang diberi wewenang untuk memanfaatkan, dan inti dari kewenangan tersebut adalah tugas (taklif) untuk menjadi seorang khalifah (agen pembangunan/ pengelola) yang beribadah di muka bumi ini. Masalah distribusi kekayaan yang sulit dan rumit sekaligus penting itu telah mendapat perhatian khusus. Banyak pakar ekonomi filsafat dan politik telah beberapa kali membahas masalah itu, dalam berbagai kesempatan dan mencoba untuk menyelesaikannya, meskipun mereka telah mencoba usaha yang terbaik tetapi akhirnya mereka tetap gagal menemukan penyelesaian yang tepat. 7 Sekelompok pemikir berpandangan bahwa seseorang seharusnya memiliki kebebasan sepenuhnya supaya bisa menghasilkan sejumlah kekayaan yang maksimal dengan menggunakan kemampuan yang dia miliki, juga mengingatkan agar tidak membatasi hak individu atas hartanya dengan memberikan pembagian harta. 8
h.199
7
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
8
Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam . (Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.92
52
Sementara pemikir lain berpendapat bahwa kebebasan secara individual tetap akan berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, hak individu atas harta yang dimilikinya sebaiknya dihapuskan dan semua wewenang dipercayakan kepada masyarakat supaya dapat mempertahankan persamaan ekonomi didalam masyarakat. 9 Di kalangan mereka sering terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak satu pun jawaban yang mampu memecahkan persolan tersebut. Akibatnya masalah tersebut tetap tinggal sebagai suatu tantangan bagi para pemikir sampai saat ini. Bertolak dari kedua pendapat
berdirilah ekonomi Islam yang
mengambil jalan tengah, yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang adil dan merata. Sebagaimana Al – Qur’an telah menjelaskan prinsip Islam dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7
☺ ☺ “ Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul …. Supaya harta itu jangan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantaramu ” . Ayat ini Mengungkapkan prinsip pengaturan distribusi kekayaan dalam sistem kehidupan Islam, kekayaan harus di bagi kepada semua
9
Ibid., h.93
53
golongan masyarakat dan seharusnya tidak menjadi komoditi diantara golongan kaya saja. Al-Qur’an telah menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara obyektif. Al – Qur’an juga melarang adanya bunga dalam bentuk apapun, disamping itu memperkenalkan hukum waris yang memberikan batasan kekuasaan bagi pemilik harta untuk suatu maksud dan membagi semua kekayaannya di antara kerabat dekat apabila meninggal. 10 Tujuan dari hukum-hukum ini adalah untuk mencegah pemusatan kekayaan kepada golongan-golongan tertentu. Selanjutnya langkah-langkah positif yang diambil untuk membagi kekayaan kepada masyarakat yaitu dengan melalui kewajiban mengeluarkan zakat, infaq dan pemberian bantuan kepada orang-orang miskin dan yang menderita akibat pajak negara. 11 Di samping itu, Tujuan keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan dan kesejateraan sudah jelas dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral dalam Islam dan didasarkan pada komitmennya pada persaudaraan manusia. 12 Langkah-langkah ini dan langkah-langkah lain yang sama telah ditetapkan oleh Al – Qur’an untuk mencegah monopoli dan mendukung distribusi kekayaan dalam masyarakat dan pada saat yang sama memberikan
10
Ibid., h.93 Ibid., h.94 12 M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 5 11
54
hak pemilikan, memberikan suatu dorongan kuat kepada setiap individu memanfaatkan warisan dengan sebaik-baiknya. 13 Di sisi lain, Konsep adil memang bukan monopoli milik ekonomi syariah. Kapitalisme dan Sosialisme juga memiliki konsep adil. Bila kapitalisme mendefinisikan adil sebagai ‘anda dapat apa yang anda upayakan’ (you get what you deserved), dan sosialisme mendefinisikannya sebagai ‘sama rata sama rasa’ (no one has a privilege to get more than others), maka Islam mendefinisikan adil sebagai ‘tidak menzalimi tidak pula dizalimi’ (La Tazhlimuuna walaa Tuzhlamuun). 14 Artinya, dalam konsep kapitalisme, adil apabila setiap individu mendapatkan apa yang menjadi haknya. Dalam konsep sosialisme, keadilan akan terwujud apabila masyarakatnya dapat menikmati barang dan jasa dengan ‘sama rata sama rasa. Sedangkan dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (‘Antaraadin Minkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak lain (La Tazhlimuuna walaa Tuzhlamuun). Jadi, semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan sistem perekonomian yang adil. Namun tidak semuanya sistem tersebut mampu dan secara konsisten menciptakan sistem yang adil. Sistem yang baik adalah sistem yang dengan tegas dan secara konsisten menjalankan prinsip-prinsip keadilan yang berlandaskan Al – Qur’an dan As – Sunnah. Untuk mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat Islam memberikan sebuah gagasan yang sangat baik bagi setiap individu sehingga 13 14
2007).h.36
Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam. h.94 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
55
mereka tidak jatuh ke dalam tingkatan yang rendah yaitu‘binatang ekonomi’ (economic animal) yang hidupnya hanya untuk makan, dimana perut merupakan tujuan dari setiap kegiatan ekonomi. 15 Padahal seharusnya bahwa bukan semata-mata makanan untuk hidup tetapi hidup itu sendiri untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, yakni sebagai ibadah. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa prinsip utama dalam sistem ini adalah peningkatan dan pembagian hasil kekayaaan agar distribusi kekayaan dapat ditingkatkan, yang mengarah pada pembagian kekayaan yang merata di berbagai kalangan masyarakat yang berbeda dan tidak hanya berfokus pada beberapa golongan tertentu.
C. Mekanisme Distribusi Sebelum memasuki dataran sub pembahasan, penulis ingin terlebih dahulu membuat ilustrasi (gambar) mekanisme distribusi, yang nantinya penulis akan jelaskan per-pointernya, guna mempermudah pembaca budiman dalam memahami skripsi ini.
15
Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam. h.96
56
ekonomi
Mekanisme Distribusi
Nonekonomi
1. 2. 3. 4.
Bekerja sama Pengembangan kegiatan investasi Larangan menimbun Membuat kebijakan harta dan menggalakkan kegiatan syariah 5. Larangan kegiatan monopoli dan berbagai penipuan 6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian kepada penguasa 7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang milik umum
1. Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan 2. Zakat
Masalah ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok (al-hajatu alasasiyah) untuk semua pribadi manusia tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan merupakan persoalan distribusi kekayaan. Dalam mengatasi persoalan distribusi tersebut harus ada pengaturan menyeluruh yang dapat menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok pribadi, serta menjamin adanya peluang bagi setiap pribadi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Walaupun persoalannya lebih banyak pada masalah distribusi kekayaan, namun bukan berarti persolan produksi diabaikan. Produksi selamanya diperlukan, bahkan mutlak harus ada. Akan tetapi, tanpa adanya distribusi yang baik, kekayaan yang dihasilkan hanya akan beredar pada
57
beberapa orang, tidak mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan, dan akhirnya justru menimbulkan kesenjangan dan problematika. Dalam persoalan distribusi kekayaan yang muncul, Islam melalui sistem ekonominya menetapkan bahwa berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu (1) apa yang disebut mekanisme ekonomi, dan (2) mekanisme nonekonomi. 16 Mekanisme mengandalkan
ekonomi
kegiatan
adalah
ekonomi
agar
mekanisme tercapai
distribusi distribusi
dengan kekayaan.
Mekanisme dijalankan dengan cara membuat berbagai ketentuan
dan
mekanisme yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan berbagai kebijakan dan ketentuan tentang kegiatan ekonomi tertentu, maka diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung secara normal. 17 Tegasnya bahwa distribusi kekayaan secara merata ternyata tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itu pun banyak kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, judi, korupsi, pungli, dan lain sebagainya) yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap lancarnya distribusi kekayaan. Maka seharusnya ada mekanisme nonekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi. 1. Mekanisme Ekonomi
16
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.205 17 Ibid., h.205
58
Dalam mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, maka mekanisme yang ditempuh dalam sistem ekonomi Islam dengan cara sebagai berikut : a. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik (asbabu al-tamalluk) dalam hak milik pribadi (al-milkiyyah alfardiyyah). Menurut an-Nabhani, 18 Islam telah menetapkan sebab-sebab utama bagi seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan hak milik pribadi (al-milkiyyah al-fardiyyah) yakni (1) bekerja (2) warisan (3) kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup (4) harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat dan (5) harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apa pun. Membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi seluruh anggota masyarakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan melalui mekanisme distribusi. Salah satu upaya yang biasa dilakukan manusia untuk memperoleh harta kekayaan adalah dengan bekerja. Maka dari itu menurut Islam dengan ‘bekerja’ adalah sebab pokok yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memiliki harta kekayaan. 19 Agar berbagai pekerjaan tersebut bisa dijalankan dengan baik, maka negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan serta membuat berbagai peraturan yang dapat memudahkan pekerjaan tersebut.
18
Taqiyudin An-Nabhani, “Membangun sistem ekonomi alternative perspektif Islam”, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996). 19 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.208
59
b. Memberikan
kesempatan
seluas-luasnya
bagi
berlangsungnya
pengembangan hak milik (tanmiyatul al-milkiyah) melalui kegiatan investasi. Pengembangan hak milik adalah mekanisme yang digunakan seseorang untuk mendapatkan tambahan hak milik tersebut. Karena Islam mengatur serta menjelaskan suatu mekanisme untuk mengembangkan hak milik. Maka pengembangan hak milik itu harus terikat dengan hukumhukum tertentu yang telah dibuat oleh syara’ dan tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan syara’ tersebut. 20 Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa Islam menghalalkan kaum muslimin bergerak dalam bidang pertanian, perdagangan, dan perindustrian dengan catatan-catatan tertentu. Dalam masalah pertanian, prinsip hukum Islam adalah pada hukum-hukum yang berhubungan dengan pertanahan. Kita ambil contoh, Seseorang yang menghidupkan tanah yang mati, bahkan baru membukanya saja, berhak memiliki tanah tersebut. Namun, jika ia terlantarkan tanah itu lebih dari tiga tahun, maka lahan tersebut diambil alih oleh negara dan diberikan kepada siapa saja yang siap mengolahnya. Oleh karena itu, hak milik dapat dikembangkan terikatnya hukumhukum yang telah ditetapkan syara’, yaitu hukum-hukum seputar pertanahan, hukum-hukum jual beli, perseroan serta hukum-hukum yang terkait 20
dengan
Ibid., h.209
ijaaratul
ajiir
(upah)
dan
produksi.
Karenanya
60
pengembangan hak milik dalam bidang pertanian, perdagangan, maupun industri bisa dilakukan secara pribadi maupun secara bersama dalam suatu aturan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam hadist qudsy :
ل اﷲ َ ﺳﱠﻠ َﻢ )ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﻰ اﷲ َ ﺻﻠ َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﻗَﺎ:ل َ ﻋﻦْ َأ ِﺑﻰ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َﻗﺎ َ ن َ ﺧﺎ َ َﻓِﺈ َذا.ﺣ َﺒ ُﻪ ِ ﺻﺎ َ ﺣ ُﺪ ُه َﻤﺎ َ ﺨﻦْ َأ ُ ﻦ َﻣﺎﻟ َﻢ ْ َﻳ َ ْﺸ ِﺮﻳْ َﻜﻴ ﺚ اﻟ ﱠ ُ َأ َﻧﺎ َﺛﺎِﻟ:َﺗ َﻌﺎَﻟﻰ (ﺖ ِﻣﻦْ َﺑﻴْ ِﻨ ِﻬ َﻤﺎ( )رواﻩ أﺑﻮ داود وﺻﺤﺤﻪ اﻟﺤﺎآﻢ ُ ْﺧ َﺮﺟ َ “ Hadist ini diterima dari Abi Hurairah, R.a, ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW : “ Sesungguhnya Allah menyatakan : Aku adalah pihak ketiga (yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada temannya (syariknya). Apabila di antara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan telah menshahkannya oleh AlHakim. 21 c. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta. Al-Badri menjelaskan bahwa Islam mengharamkan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya, dan mewajibkan pembelanjaan terhadap harta tersebut, agar ia beredar ditengah masyarakat sehingga dapat diambil manfaatnya. Penggunaan harta benda dapat dilakukan dengan mengerjakan sendiri ataupun bekerjasama dengan orang lain dalam suatu pekerjaan yang tidak diharamkan. 22
21
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul Buyu’ bab Fis Syarikah , (Beirut : Daarul Fikr, 1994). Jilid II. h.127 22 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.212
61
Ada banyak hal larangan dalam Al-Qur’an diantaranya, yaitu melarang usaha
penimbunan harta, baik emas maupun perak, karena
keduanya merupakan standar mata uang. Dalam QS. At-Taubah (9) : 34 Allah Swt berfirman :
⌧ “ Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berilah mereka kabar gembira dengan siksaan yang pedih” d. Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan. Islam mengajurkan agar harta benda beredar di seluruh anggota masyarakat, dan tidak beredar dikalangan tertentu, sementara kelompok lainnya
tidak
mendapat
kesempatan.
Caranya
adalah
dengan
menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrastruktur. 23 Untuk merealisasikan hal ini, maka negara akan menjadi fasilitator antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan berkesempatan untuk mengerjakan dan mengembangkan, hartanya dengan para pengelola yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah). Selain itu, negara dapat juga memberikan pinjaman modal kepada orang-orang yang memerlukan modal usaha. Dan pinjaman yang diberikan
23
Ibid., h.213
62
tidak dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat juga diberikan modal usaha secara Cuma-Cuma sebagai hadiah agar ia tidak terbebani oleh pengembalian pinjaman tersebut. 24 Cara lain yang dilakukan oleh negara untuk mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi adalah dengan membuat dan menyediakan berbagai fasilitas seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, dan lain sebagainya. Juga membuat kebijakan yang memudahkan setiap seseorang membuat dan mengembangkan berbagai macam jenis usaha produktif. e. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar. Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang merupakan jenis hak milik pribadi (private property). Sebab dengan adanya monopoli, maka seseorang dapat menentukan harga jual produk tidak sesuai dengan pasarannya, sehingga dapat merugikan kebanyakan orang di muka umum. 25 Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak Negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam menetapkan harga jual suatu produk yang ada dipasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan harga pasar. 26 Sebuah hadist dari Anas r.a yang mengatakan :
24
Ibid., h.213 Ibid., h.214 26 Ibid., h.214 25
63
ل اﷲ ِ ْﺳﻮ ُ ﻋﻬْ ِﺪ َر َ ﻋَﻠﻰ َ ﺴﻌْ ُﺮ ِﻓﻲْ اﻟْ َﻤ ِﺪﻳْ َﻨ ِﺔ ﻼ اﻟ ﱢ َﻏ َ :ل َ ﻚ َﻗﺎ ِ ﻦ َﻣﺎِﻟ ِ ْﺲ ﺑ ِ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ ,ﺴﻌْ ُﺮ ﻼ اﻟ ﱢ َﻏ َ ,ل اﷲ َ ْﺳﻮ ُ َﻳﺎ َر:س ُ ل اﻟ ﱠﻨﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﻘﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﱠﻠﻰ اﷲ َ ,ﺴ ﱢﻌ ُﺮ َ ن اﷲ ُه َﻮ اْﻟ ُﻤ ﺳﱠﻠ َﻢ )ِإ ﱠ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﻰ اﷲ ﺻﻠ ﱠ َ ل اﷲ ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﺴ ﱢﻌﺮَْﻟ َﻨﺎ َﻓ َﻘﺎ َ َﻓ ﺲ َ ْل َوَﻟﻴ َ ﻖ اﷲ َﺗ َﻌﺎ َ ْﺟﻮْا َأنْ َأﻟ ُ ْﻷر َ ْ َوِإ ﱢﻧﻲ,ق ُ اﻟ ﱠﺮا ِز,ﻂ ُﺳ ِ اﻟ َﺒﺎ,ﺾ ُ اﻟ َﻘﺎ ِﺑ ل( رواﻩ اﻟﺨﻤﺴﺔ اﻻ اﻟﻨﺴﺎء ٍ ﻻ َﻣﺎ َ ﺣﺪٌ ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َﻳﻄُْﻠ ُﺒ ِﻨﻲْ ِﺑ َﻤﻈَْﻠ َﻤ ٍﺔ ِﻓﻲْ َد ٍم َو َ َا وﺻﺼﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن “ Artinya : Hadist ini diterima dari Anas Bin Malik, ia berkata : Harga pada masa Rasulullah Saw (di Madinah), mengalami kenaikan sangat tajam (membumbung). Lalu mereka melaporkan : “ Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini). Beliau SAW. Menjawab : ‘Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menciptakan, yang Maha Menggenggam, yang Maha Melapangkan, yang Maha Memberi Rizki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah. Diriwayatkan imam yang lima kecuali Nasa’i dan telah menshahkannya Ibnu Hibban. “ 27 Masalah lain yang dilarang oleh Islam diantaranya adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual produknya dengan harga sangat murah, padahal harga yang berlaku di pasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Thawus dari Ibnu Abbas. r.a meriwayatkan bahwa ia berkata :
ل اﷲ َ ْﺳﻮ ُ ل َر َ َﻗﺎ:ل َ ﻋﻨْ ُﻬ َﻤﺎ َﻗﺎ َ ﻲ اﷲ َﺿ ِ س َر ٍ ﻋ ﱠﺒﺎ َ ﻦ ِ ْﻦ اﺑ ِﻋ َ س ٍ ﻃﺎ ُو َ ْﻋﻦ َ ﺖ ُ ْ ُﻗﻠ,ﺿﺮٌ ِﻟ َﺒﺎ ٍد ِ ﺣﺎ َ ْﻻ َﻳ ِﺒﻊ َ َو,ن ِ ﻻ َﺗَﻠ ﱡﻘﻮْا اﻟ ﱡﺮآْ َﺒﺎ َ ,ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﻰ اﷲ ﺻﻠ ﱠ َ
27
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul ‘Ijarah bab Tas’ir, (Beirut : Daarul Fikr, 1994), Jilid II, h.142
64
“ Artinya : hadist ini diterima dari Thawus dari Ibnu Abbas. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW : Jangan kamu Rukban (pergi berjumpa kafilah sebelum sampainya dikota dan sebelum mereka dapat tahu harga pasar) kafilah-kafilah janganlah orang kota jualkan buat orang desa.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas : Apa (arti) sabdanya : “ dan janganlah orang kota jualkan buat orang desa ?” Ia jawab : (artinya) janganlah orang kota jadi perantara bagi orang desa. Di riwayatkan oleh Bukhari-Muslim, tetapi lafadz itu bagi Bukhari. 28 f. Larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian suap, dan hadiah kepada penguasa Judi dan riba merupakan penyebab utama uang hanya akan bertemu dengan uang (bukan dengan barang dan jasa), dan beredar antara orang kaya saja. Karena Islam melarang serta mengharamkan aktivitas tersebut. 29 dalam QS. Al – Maidah (5) : 90 Allah SWT berfirman :
☺ ☺
☺
☺ “ Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbautan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Berkaitan dengan riba maka Allah SWT berfirman dalam QS. Al – Baqarah (2) : 278
28
Bukhari, Shahih Bukhari, Kitabul Buyu’ bab Hal yabii’u haadirun libaadin bigairi ajrin ? wahal yu’inuhu au yansohuhu, (Riyadh : Daarus Salam, 1997), Cet.I, h.425 29 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.216
65
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” Sementara korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa mengakibatkan harta hanya beredar di antara orang-orang yang sudah berkecukupan. Hal ini merupakan penyebab rusaknya sistem distribusi kekayaan. Berkaitan dengan suap-menyuap Rasulullah SAW bersabda :
ﻞ اﷲ ﺻﱠ َ ل اﷲ ُ ْﺳﻮ ُ ﻦ َر َ َﻟ َﻌ:ل َ ص َﻗﺎ ِ ﻦ اْﻟ َﻌﺎ ِ ْﻋﻤْ ِﺮو ﺑ َ ﻦ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ )رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺮﻣﺬي وﺻﺤﺤﻪ.ﺸﻰ ِ ﺷﻰ َواﻟْ ُﻤﺮْ َﺗ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟ ﱠﺮا َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ “ Artinya : hadist ini diterima dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ia berkata : Rasulullah Saw telah melaknati penyuap, penerima suap dan yang menjadi perantara terjadinya suap-menyuap.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan telah menshahkannya. 30 g. Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat. Dengan disiplinnya pengelolaan dan pemanfaatan harta-harta yang menjadi milik umum, maka hasilnya dapat didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara Cuma-Cuma atau dengan harga yang murah. Dana yang sebelumnya dibelanjakan untuk mendapatkan barang-barang yang menjadi
30
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul Aqdiyyah bab Karohiyatur Riswah, (Beirut : Daarul Fikr, 1994), Jilid II, h.166
66
milik umum seperti air atau listrik dan lain-lain, bisa digunakan untuk keperluan lain bagi peningkatan kualitas hidupnya. 31 Apabila semua kegiatan di mulai dari sebab-sebab hak milik, maka pemanfaatan hak milik dan sejumlah larangan menyangkut beberapa kegiatan ekonomi yang dalam sistem ekonomi kapitalis dianggap wajar dilaksanakan, Insya Allah akan tercipta distribusi kekayaan di antara manusia sebaik-baiknya. 32 Artinya, distribusi akan berlangsung normal, dan rakyat akan merasakan kesejahteraan. 2. Mekanisme Non ekonomi Cara ini bertujuan agar ditengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) dan kesetaraan ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non ekonomi tersebut antara lain : a. Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan Negara memberikan harta kepada orang-orang yang memerlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika memberikan harta fa’i Bani Nadhir hanya kepada orang-orang Muhajirin saja, tidak kepada orang Anshar kecuali hanya dua orang saja. 33 Abu Dujanah Samak bin Khurasah dan Sahal bin Hunaif, yang kebetulan dua orang itu memang miskin sebagaimana umumnya orang 31
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.216 Ibid., h.217 33 Ibid., h.219 32
67
Muhajirin. Mengapa Rasulullah hanya memberikan harta fa’i itu kepada orang Muhajirin? 34 Sebagaimana dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7, agar (“ Harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu “). Ayat ini merupakan ‘illah (al-Amru al-Ba’itsu’ ‘ala al-Hukmi – perkara yang menjadi landasan munculnya hukum), bagi tindakan penyeimbangan ekonomi yang dilakukan oleh negara manakala terjadi ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dengan cara memberikan apa yang menjadi milik negara kepada orang-orang tertentu yang memerlukan. Pemberian harta negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan mereka secara merata. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diberikan secara langsung ataupun tidak langsung dengan jalan memberikan berbagai sarana dan fasilitas sehingga pribadi dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. 35 Islam mengakui adanya kepemilikan Individu dan setiap orang bebas mengoptimalkan kreativitasnya serta memberi otoritas kepada pemiliknya sesuai dengan batasan
yang ditetapkan Allah. Namun
kebebasan yang diberikan itu terkadang disalahgunakan oleh sebagian orang misalnya dalam bentuk : pengambilan riba, perilaku monopoli, dan aktivitas yang sejenisnya. 36
34
Ibid., h.219 Ibid., h.219 36 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), 35
h. 320
68
Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin negara diperbolehkan melakukan intervensi seperlunya. Tujuannya adalah untuk menghentikan perilaku yang mengancam hak dan kesejahteraan hidup masyarakat. Menurut an-Nabahani, 37 dikatakan bahwa tugas-tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) mengawasi faktor utama
penggerak
ekonomi,
(2)
menghentikan
mu’amalah
yang
diharamkan, dan (3) mematok harga kalau diperlukan. Pemerintah harus mengawasi gerak perekonomian seperti dalam aktivitas produksi dan distribusi barang, praktek yang tidak benar seperti : penimbunan terhadap bahan pokok yang sangat diperlukan masyarakat, monopoli
dan
tindakan
mempermainkan
harga
untuk
menjaga
kemaslahatan bersama. Pematokan harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi penjual saat itu pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini. Di mana seorang penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran pemerintah untuk mematok harga suatu komoditas tertentu diperbolehkan atau bahkan wajib. Sebab untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan bersama. 38
37
M. Faruk An-Nabahani, Sistem Ekonomi Islam : Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, Terjemahan : Muhadi Zainudin, (Yogyakarta : UII Press, 2000). 38 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam. h.320
69
Dalam kaitan ini Yusuf Qardhawi 39 ,menegaskan bahwa tugas negara adalah berupaya untuk menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan khususnya dosa besar, seperti : riba, perampasan hak, pencurian dan kezaliman kaum kuat terhadap kaum lemah. Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa negara bertugas untuk menetapkan undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata serta mendirikan institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksanaan kewajiban masyarakat dan menghukum orang yang melanggar dan melalaikan kewajibannya. Demikian pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam masyarakat, dan Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan minimal mengurangi jumlah penduduk yang miskin. Menurut Mannan 40 , kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah kebijakan fiskal dan anggaran belanja. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan pada distribusi kekayaan yang berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. b. Zakat
39
1997).
40
Yusuf Qardhawy, Etika dan Moral ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,
Muhammad Abdul Mannan. Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Terjemahan. (Yogyakarta : PT.dana Bhakti Wakaf, 1993).
70
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh Muzakki kepada Mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme non-ekonomi dalam hal distribusi harta. Zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh para Muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapa pun yang termasuk Muzakki untuk membayarkan zakatnya. 41
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9) : 109
☺
⌦
“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dengan adanya kegiatan yang bersifat memaksa ini, maka akan terjadi peredaran harta yang tidak melalui mekanisme ekonomi dari orangorang kaya kepada orang-orang miskin. Dari harta zakat tersebut kemudian dibagikan kepada golongan tertentu, yakni delapan Ashnaf seperti yang telah disebutkan dalam Al – Qur’an, Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9) : 60
☺ ☺ ☺ 41
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.221
71
⌧
⌧
☺
“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jihad fi sabiilillaah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “ Jadi zakat merupakan ibadah yang berperan dan berdampak ekonomi, yakni berperan sebagai intrumen distribusi kekayaan manusia.
D. Nilai dan Moral Di Bidang Distribusi Dalam aktivitas ekonomi, Islam menanamkan mekanisme berbasis moral spiritual untuk mengaplikasikan keadilan sosial pada setiap aktivitas ekonomi. Adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan sebagai alasan yang mendasari hampir semua konflik individu maupun sosial. Hal tersebut akan sulit dicapai tanpa adanya keyakinan pada prinsip moral dan sekaligus kedisiplinan dalam mengimplementasikan konsep moral tersebut. 42 Ini adalah fungsi dari menerjemahkan konsep moral sebagai faktor endogen (dari dalam) dalam perekonomian, sehingga etika ekonomi menjadi hal yang sangat membumi untuk dapat mengalahkan setiap kepentingan pribadi.
42
Mustafa Edwin Nasution. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. (Jakarta : Kencana, 2007).Ed. I. Cet.2.h.120
72
Sebagian penulis ekonomi Islam berpendapat bahwa hal pertama yang harus diperhatikan dalam perekonomian adalah distribusi dan tidak ada kaitannya dengan produksi. Distribusi dalam ekonomi Kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya 43 , yaitu empat komponen berikut ini : 1. Upah, yaitu upah (wages) bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah standar, 2. Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang diharuskan pada pemilik proyek, 3. Ongkos, yaitu ongkos (cost) untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek, dan 4. Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya. Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat oleh masing-masing individu.
43
Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001),h.347
73
Para
ulama
Islam telah
sepakat
dan
lembaga-lembaga
fiqh
kontemporer juga telah mengadakan konsensus bahwa setiap bentuk bunga adalah riba yang diharamkan bahkan termasuk diantara tujuh dosa besar yang membinasakan, dan Islam menolak butir kedua, yaitu unsur bunga. 44 Sebagaimana dalam hadist di katakan :
ﺻﱠﻠﻰ َ ل اﷲ ُ ْﺳﻮ ُ ﻦ َر َ َﻟ َﻌ:ل َ ﻋﻦْ َأ ِﺑﻴْ ِﻪ َﻗﺎ َ ﻦ ﻣَﺴ ُﻌﻮْ ٍد ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْﺪِا َ ﻦ ُ ْﻦ ﺑ ِ ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ّﺮْﺣْ َﻤ َ ﺳ َﻮاءٌ( رواﻩ اﺑﻮ َ ْل ) ُهﻢ َ ﺷﺎ ِه َﺪﻳْ ِﻪ َو َﻗﺎ َ َو, َو َآﺎ ِﺗ َﺒ ُﻪ, َو ُﻣﻮْ ِآَﻠ ُﻪ,ﻞ اﻟ ﱢﺮ َﺑﺎ َ اﷲ ﺁ َآ داود “ Artinya : hadist ini diterima dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari Ayahnya r.a Ia berkata : Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya, mereka berstatus hukum sama.” Hadist diriwayatkan oleh Muslim. 45 Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terrealisasi prinsip dan batasan-batasannya. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. 46 Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah Swt sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.
44
Ibid., h.348 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul Buyu’ bab Fi aklir Riba wa Mukilahu, (Beirut : Daarul Fikr, 1994), Jilid II, h.117-118 46 Yusuf Qardhawy, Etika dan Moral ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997). 45
74
Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi 47 ,menjelaskan sebagai berikut : 1. Nilai Kebebasan a. Asas kebebasan Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan dan Dia yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya. Karena seluruh makhluk di hadapan Tuhan adalah sama. 48 Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan material dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya 49 . Dengan kata lain, seorang yang terbelenggu tidak akan produktif, karena ia perlu bimbingan dari Tuhannya. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha, memiliki, mengelola dan membelanjakan hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manusia pantas dimuliakan
dan
menerima
amanah
dari
Allah
yang
harus
dipertanggung jawabkan di hari kemudian. 50
47 48
h.317.
49 50
Ibid., h.361 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), Ibid., h.317 Ibid., h.318
75
b. Bukti-bukti kebebasan 1) Hak milik Pribadi Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang
memiliki
suatu
benda
dapat
menguasai
dan
memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya dengan cara-cara yang dibenarkan Islam. 51 Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan zalim seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya. Kebebasan mengharuskan seseorang untuk menanggung risiko sesuai dengan apa yang dilakukan dan memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam hartanya. 52 Ketika
sistem
Islam
mengakui
hak
milik
pribadi,
sesungguhnya ia ingin memenuhi dorongan fitrah yang murni pada manusia, yaitu kecintaan untuk memiliki. Sebagai contoh, Anak kecil sejak dini cinta untuk memiliki, gembira dengan yang ia miliki, menangis dan menjerit jika seseorang mengganggu miliknya. 53 2) Warisan Disyariatkannya warisan adalah pencerminan kebebasan. Dimana seseorang
dapat
melestarikan
dan
mengelola
secara
berkesinambungan apa yang menjadi miliknya. Perolehan hak
51
Ibid., h.318. Ibid., h.318 53 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001),h.361 52
76
milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi dalam dua hal, yaitu : melalui warisan dan wasiat. 54 Kedua hal ini diakui oleh syar’i dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat. Jika pengakuan terhadap hak milik pribadi atau khusus merupakan fenomena pertama kebebasan, maka warisan adalah bukti hak kepemilikan yang paling menonjol. 2. Nilai Keadilan Kebebasan dalam Islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikinya. Islam juga mewajibkan setiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya. 55 Hal diatas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang ia berlaku boros dan bersifat kikir. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan berbuat zalim. Sebagaimana dijelaskan dalam QS.Asy-Syura (42) : 40
☺
.... “ … Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang zalim.”
54
Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani Press, 1997),h.212 55 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), h.319
77
Ayat yang ditegaskan dalam al-Qur’an yakni seorang muslim tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Sesungguhnya, kebebasan ekonomi yang disyariatkan Islam bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari berbagai ikatan seperti kebebasan yang disalah fahami oleh kaum Syu’aib dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, surat Hud, ayat 87 (“ Sesungguhnya kami berbuat dengan harta kami sesuka kami. “) kebebasan itu adalah kebebasan yang terbatas, terkendali dan terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah. 56 Hal ini karena dalam tabiat manusia ada semacam kontradiksi yang telah diciptakan Allah padanya untuk suatu hikmah yang menjadi tuntutan pemakmuran bumi dan kelangsungan hidup. Diantara tabiat manusia yang lain adalah bahwa manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga karena cintanya terkadang
mengeluarkannya dari batas kewajaran 57 ,
seperti apa yang di firmankan Allah ketika menyebutkan sifat manusia dalam QS.Al-Aadiyaat (100) : 8
56
Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), h.220 57 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001),h.382
78
“ … Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. “ Demikianlah Distribusi di tinjau dari berbagai aspek teoritis, semoga dapat menjadi acuan bagi proses pembelajaran kita bersama dalam menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Karena menurut hemat penulis, yang di butuhkan masyarakat saat ini adalah gerakan moral dengan politik keadilan bukan politik kekuasaan. Untuk kasus kita mengacu pada Bank Century.
79
SENARAI PUSTAKA Muhammad Ali, Kamus bahasa indonesia modern, (Jakarta : Pustaka AMANI) Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996) Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004) M.Umer Chapra, dkk, Islam dan tantangan ekonomi, Islamisasi ekonomi kontemporer, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999) Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam (Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995) A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A, Lembaga-lembaga perekonomian umat sebuah pengenalan, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002) Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005) M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997) M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007) Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta : EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007) M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000).h.51 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001)
80
Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani Press, 1997)
BAB IV TIINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr Distribusi (bersama-sama dengan hak milik) menduduki satu bagian penting dari pemikiran Sadr. Hampir sepertiga dari Iqtishaduna-nya mendiskusikan secara mendalam tentang distribusi dan hak milik. Sadr 1 membagi bahasannya kedalam dua bagian, misalnya, distribusi Pra produksi dan distribusi pasca produksi. Menjadi seorang ahli hukum tradisional, penampilan Sadr menjadi dasar atas ajaran hukum yang berkenaan dengan kepemilikan dan hak distributif. 1. Teori Disribusi Pra Produksi Pada dasarnya mendiskusikan distribusi dari tanah dan sumber alam
yang
lain,
dimasukan
sebagai
kekayaan
primer.
Dalam
mendiskusikan status kepemilikan sumber alam, Sadr 2 membagi sumber alam ke dalam empat kategori, misalnya. daratan, bahan baku (sumber alam) di daratan, air alami dan sisanya kekayaan (sungai/hasil laut, bintang, tumbuh-tumbuhan).
1
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.117 2 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung : Mizan, 2001). h.191
78
79
Sebuah ringkasan dari pandangannya didaratan (tanah) dan kategori yang lain dari sumber alam dapat dilihat pada tabel berikut : 3 Kepemilikan Tanah Kategori Tanah / Bentuk Penaklukan tanah
Tanah yang ditanami (Pertanian) Kepemilikan umum (khalayak); penduduk membayar pajak yang digunakan untuk masyarakat secara keseluruhan Kepemilikan pribadi oleh para penduduk
Tanah hasil da’wah
Tanah hasil perjanjian
Tergantung pada perjanjian; kepemilikan pribadi atau umum (masyarakat) Kepemilikan pemerintah
Tanah yang lainya
Tanah Kosong (Lahan tidak kepakai) Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya lewat buruh; pajak dibayar kepada pemerintah Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperolah hak untuk menggarapnya Kepemilikan pemerintah
Secara alami membentuk lahan yang tertanami (hutan) Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya
Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk mengarapnya Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan Sumber Alam lainya Sumber Alam / Bentuk i) Sumber Alam di tanah (minyak, batubara, dan sebagainya)
Zahir (terbuka) (Sudah dalam bentuk yang terselesaikan) Kepemilikan umum dan kepemilikan pemerintah (Negara)
ii) Air alami
Lautan, sungai-kepemilikan umum
iii) Kekayaan alam lainya
(a) (b)
Batin (tersembunyi) (belum dalam bentuk yang terselesaikan) Jika dekat kepermukaan-kepemilikan umum atau pemerintah Jika didalam / membutuhkan usaha – kepemilikan pemerintah adalah aturannya tetpi kepemilikan pribadi untuk sejumlah penggalian dan area tambang
Sumur, dan sumber mata air-kepemilikan umum dan hanya prioritas penggunaan Kepemilikan pribadi dibolehkan lewat bekerja (menangkap burung, memotong kayu bakar)
a. Distribusi Kekayaan (Publik) Pada dua Tingkatannya Sadr 4 memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan bersama yang berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua yakni kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i) Kepemilikan publik, (ii) milik negara. Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak berguna untuk menghentikan orang lain dari penggunaan milik seseorang. Dalam prakteknya tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini sama dengan 3
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 4 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer ,( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255
80
pendapat Taleghani (seorang alim) yang membedakan antara kepemilikan (hanyalah Allah semata) dan pemilikan (yang dapat diwarisi kepada individu). 5 Sadr 6 membagikan Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan; yang pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi, sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif. Yang dimaksud dengan sumber-sumber produksi adalah; tanah, bahanbahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam barang dan komoditas, yang mana semua ini berperan dalam [proses] produksi pertanian (agricultural) dan [proses] produksi industri atau dalam keduanya. 7 Yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas (barangbarang modal dan aset tetap [fixed asset] yang merupakan hasil dari proses kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia. 8 Jadi, ada yang dinamakan primer dan ada yang dinamakan kekayaan sekunder adalah barang-barang modal yang merupakan hasil dari usaha (kerja) manusia menggunakan sumber-sumber tersebut. Diskusi tentang distribusi harus mencakup kedua jenis kekayaan itu; kekayaan induk dan kekayan turunan, yakni sumber-sumber produksi dan barang-barang produktif. 9
5
Ibid.h.255 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.393 7 Ibid., h.393 8 Ibid., h.393 9 Ibid., h.393 6
81
Jelas bahwa distribusi sumber-sumber produksi yang dasar mendahului proses produksi itu sendiri, karena manusia hanya melakukan aktifitas produktif yang sesuai dengan metode atau cara melakukan aktivitasnya dalam mendistribusikanya sumber-sumber produksi. Jadi yang pertama adalah sumber-sumber produksi, baru kemudian produksi. Berkenaan dengan distribusi kekayaan produktif, ia terkait dengan produksi dan bergantung padanya, karena ia menguasai produk yang pada gilirannya menghasilkan produksi. Dari sini dapat dipahami bahwa yang menjadi titik awal atau tingkatan pertama dalam sistem ekonomi
Islam adalah distribusi, bukan produksi
sebagaimana dalam ekonomi-politik tradisional. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi sumber-sumber [produksi] mendahului proses produksi, dan setiap organisasi
yang terkait dengan proses produksi otomatis berada pada
tingkatan kedua. 10 b. Sumber Asli Produksi Dalam ekonomi politik11 , sumber-sumber produksi terbagi ke dalam tiga kriteria sebagai berikut. 1) Alam. 2) Modal (barang-barang modal) 3) Kerja, termasuk organisasi yang dengannya sebuah proyek (rencana) disusun dan di jalankan.
10
Ibid., h.393 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.152 11
82
[Barang-barang] modal adalah kekayaan yang dihasilkan (produced wealth) dan bukan merupakan sumber asli produksi, karena setiap barang jadi (finished good) dihasikan oleh kerja manusia lalu pada gilirannya berperan menghasilkan kekayaan lagi. Misalnya, sebuah mesin yang memproduksi tekstil bukanlah sebuah kekayaan yang murni natural. Mesin tersebut adalah bahan natural yang telah dibentuk oleh kerja manusia dalam sebuah proses produksi. 12 Kebutuhan (hajat) dan kerja (amal) adalah suatu perangkat distribusi, dalam perspektif Islami kerja adalah alat distribusi paling primer dipandang dari sudut kepemilikan. Orang yang bekerja akan memetik hasil dan memilikinya. 13 Sedangkan kebutuhan adalah perangkat distribusi primer sebagai pernyataan sebuah hak manusia yang bersifat esensial dalam kehidupan. Masyarakat Islam mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial. Perangkai ketiga menurut Sadr menambahkan properti sebagai perangkat distribusi. 14 Dalam Islam pekerja konsep sentral yang menurunkan properti, dalam perspektif Sadr properti menjadi sebuah elemen sekunder distribusi dan selalu di batasi oleh satu khazanah agama. Properti dalam pengertian Sadr merupakan alat distribusi sekunder melalui aktivitas komersial yang diizinkan
12
Ibid., h.152 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung : Mizan, 2001), h.180 14 Ibid., h.181 13
83
Islam dalam syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keadilan sosial. 15 Sementara kerja adalah sebuah elemen abstrak dan immaterial, bukan sebuah faktor material yang dapat masuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi ataupun kepemilikan publik. Atas dasar ini, hanya alam yang dapat menjadi subjek kajian kita saat ini, karena ia merupakan unsur material yang belum mengalami [proses] produksi. 16 c. Perbedaan Berbagi Posisi Doktrinal ihwal Distribusi Sumber-sumber Alam untuk Produksi Islam berbeda dari kapitalisme dan Marxisme dalam kekhususankekhususan dan perincian-perincian saat mengalami masalah distribusi sumber-sumber alam untuk produksi (mashadir ath thabi’ah al ‘intaj). 17 Islam membatasi kebebasan individu dalam memiliki sumber-sumber tersebut dari bentuk-bentuk produksi. Karena masalahnya menurut Islam Bukanlah terletak pada kebutuhan akan suatu sistem distribusi instrument (sarana) sehingga sistem distribusi berubah setiap kali produksi demi pertumbuhannya membutuhkan suatu sistem [distribusi] baru. 18 Jadi, yang dibutuhkan adalah pemenuhan segenap kebutuhan dan keinginan itu dalam kerangka manusiawi, dimana seorang individu manusia bisa menumbuh-kembangkan eksistensinya sesuai dengan kerangka tersebut. 15
Ibid., h.181 Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h. 397 17 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.397 18 Ibid., 398 16
84
Ketika hubungan diantara manusia terjalin dan kemudian masyarakat terwujud, maka akan muncul berbagai kebutuhan bagi kebutuhan dan keinginan masyarakat melalui institusi kepemilikan bersama atas sumbersumber produksi tertentu. 19 Banyak individu yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya melalui kepemilikan pribadi. Para individu tersebut akan tertekan karena tidak bisa memenuhi berbagai kebutuhanya, akibatnya kesetimbangan sosial akan terganggu.
Disini
Islam
memunculkan
bentuk
ketiga
dari
institusi
kepemilikan, yakni kepemilikan Negara, yang dengannya kepala Negara (waliyyul amr) bisa menjaga keseimbangan itu. 20 Dengan cara inilah distribusi sumber-sumber alam untuk produksi dijalankan, yakni dengan membagi sumber-sumber tersebut kedalam tiga institusi dan kepemilikan; kepemilikan pribadi, kepemilikan publik atau kepemilikan bersama, dan kepemilikan Negara. 21 Perbedaan antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar dalam penggunaan properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk kepentingan orang (seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara tidak hanya untuk kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat tertentu, jika negara telah memutuskan. Walau pun sulit membuat pengertian operasional dari perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total monopoli yang diputuskan oleh suatu negara.
19 20 21
Ibid., 398 Ibid., 399 Ibid., 399
85
Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma milik negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga kerja. Hal ini sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang. 22 d. Sumber-sumber Alam untuk Produksi Dalam ekonomi Islam, Sadr 23 membagi sumber-sumber produksi ke dalam beberapa kategori. 1) Tanah. Ini adalah kekayaan alam yang paling penting, dimana tanpanya hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk apapun. 2) Substansi-substansi primer. Berbagai mineral yang terkandung diperut bumi, seperti batubara, belerang, minyak, emas, besi, dan lain sebagainya. 3) Aliran air (sungai) alam. Salah satu unsur penting dalam kehidupan material manusia, yang berperan besar dalam produksi dan system perhubungan agrikultural. 4) Berbagai kekayaan alam lainnya. Terdiri atas kandungan laut, seperti mutiara dan hewan-hewan laut; kekayaan yang ada dipermukaan bumi, seperti berbagai jenis
hewan dan tumbuhan; kekayaan yang tersebar
diudara, seperti berbagai jenis burung dan oksigen; kekayaan alam yang “tersembunyi”, seperti air terjun yang bisa menghasilkan tenaga listrik yang dapat dialirkan melalui kabel melalui titik mana pun; juga kekayaan alam lainnya.
22
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255-256 23 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.156-157
86
1) Tanah Syariah membagi tanah yang dianeksasi Daarul Islam (Negara Islam) ke dalam tiga bentuk kepemilikan; kepemilikan publik, kepemilikan Negara, dan kepemilikan pribadi. 24 Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah, Sadr membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu membahas masing-masing kelas tersebut berikut status kepemilikannya : a) Tanah yang Masuk Wilayah Islam lewat Penaklukan (Fath) Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan banyak belahan lain dunia Islam. 25 Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama. Ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang tercurah untuk menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi kepentingan manusia. Ada tanah yang subur secara alami tanpa intervensi manusia. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia maupun tangan alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini biasa disebut tanah mati. 26 Itulah tiga jenis tanah yang terbedakan oleh keadaannya ketika dianeksasi oleh Islam. Dalam
Islam, tanah-tanah tersebut ada yang
mendapat status milik Negara, sebagaimana akan kita lihat nanti.
24
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.159 25 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973)., h.400 26 Ibid., h.401
87
(1) Tanah yang Di garap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan Jika sebidang tanah saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh tangan manusia, dan ia berbeda dalam penguasaan seseorang, dimana orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi milik bersama seluruh Muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim dimasa datang. Jadi, kaum Muslim-lah ‘setiap periode sejarah’ yang menjadi pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam, seseorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya milik pribadi. 27 Penting untuk dicatat, 28 bahwasanya karyawan tidak memberi hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk produk-produk dari tanah. Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak yang lebih terhadap tanah itu, 29 dibandingkan seseorang yang bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan memerlukan lebih banyak usaha dan lebih banyak hak. 30
27
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.160 28 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995)., h.120 29 termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa ijinnya. 30 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995)., h.121
88
Seorang ulama besar Najafi, 31 dalam kitab Al-Jawahir-nya mengutip dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al-Khilaf dan AtTadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara fikih Imamiyyah mengenai aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam. Demikian
pula,
Al-Mawardi
mengutip
Imam
Malik
yang
mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim [yang dikelola oleh Negara] sejak saat ia ditaklukan, dimana waliyyul amr (kepala Negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang di kelola oleh negara’. 32 (2) Tanah Mati pada Saat Penaklukan Sebidang tanah yang saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia tidak termasuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal status kepemilikannya. 33 Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan dipandang sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap
31
Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.160 32 Ibid., h.161 33 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.413
89
(tanah mati) saat masuk ke pangkuan Darul Islam dipandang milik Negara. 34 (3) Tanah yang subur secara Alami pada saat Penaklukan Banyak fakih berpendapat bahwa tanah yang subur secara alami pada saat penaklukan seperti hutan dan lain sebagainya memiliki status kepemilikan yang sama dengan tanah mati. Mereka berkeyakinan bahwa tanah-tanah semacam ini menjadi milik Imam. 35 Mereka menyandarkan pendapat mereka pada sejumlah riwayat dari para Imam (Ahlul Bait) yang menyatakan bahwa “Setiap tanah tak bertuan adalah milik Imam.” Riwayat ini memberikan Imam hak kepemilikan atas setiap tanah tak bertuan, hutan-hutan, dan tanah-tanah sejenis lainnya. Tanah tidak di miliki oleh siapa pun kecuali bila ia digarap, sementara hutan disuburkan oleh Alam tanpa campur tangan individu manapun. Atas dasar itu, dalam syari’ah keduanya dipandang tidak bertuan, dan konsekuensinya menjadi subjek prinsip kepemilikan negara. 36 b) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Dakwah Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lain yang tersebar di dunia Islam. 37
34
Ibid., h.413 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.421 36 Ibid., h.421 37 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.190 35
90
Tanah-tanah hasil dakwah, sebagaimana pula tanah-tanah taklukan, dibagi menjadi dua jenis. Pertama, tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka menerima masuk Islam secara sukarela. Kedua, tanah yang subur secara alami seperti hutan, serta tanah yang pada saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah mati. 38 Berkenaan dengan tanah mati di daerah yang para penduduknya menjadi Muslim secara sukarela, 39 status kepemilikannya sama dengan tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. Prinsip kepemilikan negara dan aturan-aturan yang sama berlaku atas keduanya. Tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati secara umum dipandang sebagai anfal (rampasan perang yang hak penguasaan dan pengelolaannya berada di tangan Nabi Saw, atau Imam sebagai kepala negara), dan anfal adalah milik negara. Demikian pula tanah-tanah yang subur secara alami yang masuk ke pangkuan Islam melalui dakwah, mereka juga menjadi milik negara atas dasar prinsip hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah tak bertuan adalah bagian dari anfal.” 40 Namun, walaupun keduanya adalah milik negara, ada perbedaan antara tanah mati dan tanah yang subur secara alami. Seorang individu dapat memiliki hak spesifik atas tanah mati yang masuk kepangkuan Islam melalui dakwah jika ia menghidupkannya, dan aturan-aturan yang sama berlaku atas 38
Ibid., h.190 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 40 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.191 39
91
tanah tersebut sebagaimana halnya tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. 41 Sementara dalam kasus tanah-tanah yang subur secara alami dan secara damai masuk ke pangkuan Daarul Islam, individu tidak berhak atas hak kepemilikan atasnya karena tanah tersebut subur dengan sendirinya. Individu hanya boleh mengambil manfaat darinya. 42 Ketika seseorang mengambil manfaat dari tanah ini, maka tidak ada seorang pun yang dapat merebut tanah ini darinya. Tidak ada seorang pun yang beroleh preferensi atas yang lain selama individu pertama mengambil manfaat dari tanah ini. 43 Bagaimana pun, individu lain diperkenankan mengambil manfaat dari tanah tersebut selama tindakannya itu tidak mengganggu dan mencegah individu pertama dalam memanfaatkan tanah tersebut, atau ketika individu pertama
tidak
lagi
memanfaatkan
tanah
tersebut
dan
tidak
lagi
menggunakannya untuk tujuan produktif. 44 Sementara tanah-tanah garapan yang disuburkan lewat usaha dan kerja manusia di daerah yang penduduknya memeluk Islam secara sukarela, mereka tetap menjadi milik para pemilik aslinya. Ini karena Islam memberi Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, semua hak yang ia miliki sebelum ia memeluk Islam.
41 42 43 44
Ibid., h.191 Ibid., h.191 Ibid., h.191 Ibid., h.191
92
Maka para individu Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, tetap menguasai tanah-tanah mereka sebagai pemilik pribadi, sehingga tidak ada pajak yang dibebankan kepada mereka. Seluruh milik mereka sebelum menjadi Muslim, sepenuhnya tetap menjadi milik mereka. 45 c) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Perjanjian (Shulh) Tanah Shulh adalah tanah yang diinvasi oleh kaum Muslim guna di kuasai, dimana para penduduknya tidak memeluk Islam namun tidak pula melakukan perlawanan bersenjata. Mereka tetap memeluk agama mereka serta merasa puas hidup damai dan aman dibawah naungan dan lindungan negara Islam. 46 Tanah seperti ini di namakan ‘tanah perjanjian’, kapan pun istilah tanah perjanjian digunakan, ia pasti merujuk pada tanah jenis ini. Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik para penduduknya, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik mereka, dan masyarakat Islam tidak memiliki hak atau klaim apapun atasnya. 47 Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik masyarakat Muslim, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik masyarakat Muslim dan menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama, di mana kharaj (pajak) berlaku atasnya. 48 d) Tanah-tanah lain yang menjadi Milik Negara Sadr membagi jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah 45
Ibid., h.192 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.423 47 Ibid., h.423 48 Ibid., h.423 46
93
kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan (invasi). Tanah-tanah seperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara di bawah penguasaan Nabi Saw. dan para Imam sepeninggal beliau, 49 sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 6
☺ ⌧ ⌦
⌧
Artinya: “Dan apa saja rampasan perang yang diberikan Allah kepada RasulNya dari harta benda mereka, maka untuk mendapatkan itu kalian tidak mengerahkan seekor kuda pun dan tidak pula seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.” Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa atau telah punah, ia menjadi milik negara, begitu juga dengan tanah yang baru terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol) yang terbentuk di tengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik negara berdasarkan aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah yang tak berpenghuni menjadi milik Imam.” 50 Kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah (dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr 49
51
mengambil pandangan ini berdasarkan
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.193 50 Ibid., h.194 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
94
pada
konsep
khilafahnya,
dimana
kemanusiaan
secara
keseluruhan
dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam
lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan
pemerintah. 2) Bahan-bahan Mentah dari Perut Bumi Bahan-bahan mentah dan kekayaan mineral yang terkandung didalam perut bumi memiliki peran penting setelah tanah dalam kehidupan produktif dan ekonomi manusia, karena faktanya komoditas material apapun yang manusia nikmati adalah produk dari tanah dan kekayaan mineral yang terkandung di dalam perut bumi. 52 Karena itulah, sebagian besar dari cabang-cabang industri bergantung pada industri-industri konstruksi dan pertambangan yang darinya manusia memperoleh bahan-bahan dan mineral-mineral tersebut. Para fakih 53 umumnya membagi bahan-bahan mineral ke dalam dua kategori, yakni : azh Zhahir (terbuka) dan al bathin (tersembunyi). Mineral-mineral
azh
Zhahir
adalah
bahan-bahan
yang
tidak
membutuhkan usaha serta proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya, dan substansi mineralnya tampak dengan sendirinya, seperti garam dan minyak. 54 Jika kita ke sebuah sumur minyak, kita akan menemukan mineral di sana dalam keadaan aktualnya, di mana kita tidak perlu melakukan proses lebih lanjut guna mengubahnya menjadi minyak, walau pun kita memang 52
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.439 Ibid. h.439 54 Ibid. h.439 53
95
harus
mencurahkan
usaha
yang
besar
untuk
mengeksplorasi
dan
mengeksploitasi sumur minyak tersebut serta memurnikan minyak yang di hasilkan. Istilah azh Zhahir dalam fikih tidak digunakan dalam arti lateralnya, yakni terbuka atau tidak membutuhkan penggalian dan eksplorasi. Istilah az Zhahir di sini adalah istilah deskriptif yang menunjukan setiap mineral yang ketika ditemukan ia telah berada dalam bentuk akhirnya, tidak memandang apakah manusia harus mencurahkan usaha yang besar untuk mendapatkannya dari kedalaman bumi atau menemukannya dengan mudah di permukaan bumi. 55 Sedangkan mineral-mineral al Bathin, dalam fikih berarti setiap mineral yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat mineralnya tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi tidak mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya di kedalaman bumi. Tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan usaha yang besar guna mengubahnya menjadi emas dan besi dalam bentuk yang diketahui oleh para pedagang. 56 Keterbukaan dan ketersembunyian dalam istilah fikih terkait dengan sifat suatu bahan dan derajat kesempurnaan keadaannya, tidak terkait dengan lokasi atau kedekatannya dengan permukaan ataupun kedalaman bumi.
55 56
Ibid. h.439 Ibid. h.439
96
a) Mineral-Mineral Terbuka Menurut fatwa (opini hukum) 57 yang berlaku, mineral-mineral terbuka seperti garam dan minyak adalah milik bersama masyarakat. Islam tidak mengakui penguasaan seseorang atas sumber mineral-mineral tersebut, karena mereka menurut fatwa yang berlaku berada di bawah ruang lingkup prinsip kepemilikan bersama. Individu hanya di izinkan untuk mengambil kekayaan mineral jenis ini sebanyak yang mereka butuhkan, tidak diperkenankan memonopolinya dan menguasai tambang-tambangnya. Atas dasar ini, adalah kewajiban negara atau Imam sebagai pemimpin masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas kekayaan alam sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut produktif dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. 58 b) Mineral-Mineral Tersembunyi Dalam terminologi fikih, 59 yang di maksud dengan mineral-mineral tersembunyi adalah mineral-mineral yang kala di temukan tidak berada dalam bentuk dan kondisi akhirnya. Usaha dan proses lebih lanjut dibutuhkan guna mengubah mereka ke bentuk akhirnya, contohnya adalah emas. Emas tidak eksis dalam bentuk dan kondisi akhirnya.
57
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 58 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.215-216 59 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.117
97
Usaha dan proses lebih lanjut harus di lakukan guna mengubah dan membentuknya menjadi emas sebagaimana yang kita kenal. Mneral-mineral tersembunyi juga terdiri atas dua jenis. Pertama, yang ditemukan dekat dari permukaan bumi. Kedua, yang eksis di bawah perut bumi sedemikian hingga kita tidak mungkin menjangkaunya tanpa penggalian dan kerja keras. 60 c) Mineral-Mineral Tersembunyi yang dekat dari Permukaan Bumi Berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi yang berada dekat dengan dari permukaan bumi, dalam syari’ah aturannya adalah seperti halnya mineral-mineral terbuka. 61 ‘Allamah al Hilli 62 menyatakan dalam at Tadzkirah bahwa mineralmineral tersembunyi dapat saja terbuka dalam pengertian mereka eksis dekat dari permukaan bumi atau di atas permukaannya sehingga dapat diambil dengan tangan, juga dapat tertutup. Jika mineral-mineral tersembunyi itu terbuka, maka mereka tidak bisa di miliki lewat reklamasi sebagaimana telah di jelaskan. Bahkan hingga hari ini, Sadr 63 menemukan bahwa para fakih tidak mengizinkan mineral-mineral terbuka dan mineral-mineral tersembunyi yang eksis dekat dari permukaan bumi menjadi milik pribadi. Mereka hanya mengizinkan individu untuk mengambilnya dalam batas kewajaran sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan begitu, terbuka ruang yang lebar bagi
60
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.442 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.218 62 Ibid. h.219 63 Ibid. h.220 61
98
penggunaan dan pemanfaatan mineral-mineral tersebut pada skala yang lebih luas dari eksploitasi monopolistik oleh penguasaan individual.
d) Mineral-Mineral Tersembunyi yang Terpendam Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam jauh di dalam perut bumi memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk mengeksplorasi serta menggali demi mendapatkannya, dan (2) usaha untuk memurnikan serta menampakkan sifat-sifat mineralnya. Contoh dari mineral-mineral seperti ini adalah emas dan besi. Sadr 64 menamakan jenis mineral seperti ini sebagai ‘mineral-mineral tersembunyi yang terpendam’. Dalam yurisprudensi Islam (fikih), sejumlah teori telah di kemukakan berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi ini. Ada yang berpendapat bahwa mineral-mineral tersebut adalah milik negara atau Imam sebagai Kepala Negara, bukan sebagai pribadi, diantaranya adalah Al Kulaini, Al Qummi, Al Mufid, Ad Dailami, Al Qadhi, dan lainnya. 65 Mereka berpendapat bahwa mineral adalah seperti anfal, dan merupakan milik negara. Lalu, ada juga yang berpendapat bahwa mineralmineral tersebut adalah milik bersama semua orang, yakni berada dibawah naungan prinsip kepemilikan publik. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam asy Syafi’i dan banyak ulama mazhab Hanbali. Berdasarkan apa pun yang dikatakan teks-teks dan teori-teori hukum tentang kepemilikan tambang, Sadr
66
menyimpulkan bahwa tambang menurut
opini hukum yang dominan adalah milik bersama yang dapat di manfaatkan 64
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.444 Ibid. h.445 66 Ibid. h.448 65
99
bersama-sama dan subjek dari prinsip kepemilikan bersama. Tidak seorang pun boleh menguasai sumber-sumber dan akar-akar tambang yang berada di bawah perut bumi. e) Apakah Kepemilikan Tambang mengikuti Kepemilikan Tanah ? Dalam Syari’ah
tidak terdapat teks yang menyatakan bahwa
kepemilikan tanah juga mencakup setiap dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya. 67 Menurut Sadr
68
bahwa kecuali jika ada konsensus penting (ijma’
ta’abbudi) yang menyatakan sebaliknya, secara hukum kita dapat menyatakan bahwa tambang-tambang yang berada di tanah milik individu tidak menjadi properti individu pemilik tanah tersebut. Namun, hak individu pemilik tanah (atas tanahnya) harus di perhatikan, karena reklamasi dan eksploitasi tambang bergantung pada kehendak (izin) si pemilik tanah. f) Iqtha’ dalam Islam Salah satu istilah teknis hukum Islam yang terkait dengan tanah dan tambang adalah Iqtha’ (fief). Dalam pembicaraan banyak fakih kita menemukan pernyataan bahwa pemberian tanah ini atau tambang itu yang merupakan milik imam, dengan perbedaan di antara keduanya dalam batasbatas di mana Imam berhak melakukannya. 69 Kata Iqtha’ sangat diasosiasikan dengan sejarah Abad Pertengahan, khususnya sejarah Eropa, dengan konsepsi-konsepsi dan institusi-institusi yang amat jelas, yang menentukan hubungan-hubungan di antara tuan tanah 67
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.226-228 68 Ibid. h.226-228 69 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.449
100
dan penggarap tanah (budaknya), serta mengatur hak-hak mereka masingmasing dan di berbagai belahan dunia lainnya. 70 Definisi Iqtha’ diberikan oleh Syekh ath Thusi dalam kitab Al Mabsuth, yakni di mana Imam memberikan hak kepada seseorang untuk mengusahakan suatu sumber kekayaan alam. Usaha orang itu dipandang sebagai dasar bagi pemberian hak spesifik kepadanya atas sumber kekayaan alam tersebut. 71 Islam tidak memandang
Iqtha’ sebagai dasar bagi penyerahan
kepemilikan sumber daya kepada individu, karena hal itu akan merusak karakteristik iqtha’ sebagai sebuah cara eksploitasi dan distribusi kerja. 72 Iqtha’ hanya memberi individu hak untuk memanfaatkan sumbersumber alam, dan konsekuensinya ia wajib bekerja mengeksploitasi sumbersumber alam tersebut, di mana tidak seorang pun bisa mencegahnya dari melakukan hal itu. Tiada seorang pun selainnya yang diperkenankan memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber-sumber alam tersebut. 73 Dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik, yang mana sumber-sumber itu tidak membutuhkan reklamasi dan kerja, maka individu yang mencurahkan kerja di sana tidak beroleh hak khusus atas sumber-sumber tersebut. Dalam hal ini, iqtha tidaklah sah dan tidak di izinkan, sebab bila di izinkan maka iqtha akan kehilangan makna Islaminya,
70 71 72 73
Ibid. h.449 Ibid. h.450 Ibid. h.451 Ibid. h.452
101
karena sumber-sumber tersebut tidak membutuhkan kerja dan kerja pun tidak berpengaruh di sana. 74 Jadi, dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik seperti ini, pemberlakuan iqtha dan pemberian hak kerja kepada individu merupakan perwujudan dari monopoli atau eksploitasi demi kepentingan diri sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan konsep iqtha dalam Islam dan fungsi aslinya. Karena itulah syariah melarang hal ini dan membatasi iqtha pada sumber-sumber alam yang memang membutuhkan kerja. 75 g) Iqtha’ Tanah Kharaj Ada satu hal lagi di mana istilah iqtha digunakan dalam bahasa yuridis. Namun, yang dimaksud bukanlah iqtha yang sebenarnya, melainkan pembayaran atas jasa yang telah diberikan. 76 Objek iqtha ini adalah tanah kharaj (tanah yang dikenal pajak) yang merupakan milik umat, di mana dalam hal ini gubernur (kepala pemerintahan) dapat memberikan seorang individu sesuatu dari tanah kharaj misalnya, sebagian
dari
pajak
terkumpul,
dan
memberinya
wewenang
untuk
mengumpulkan pajak dari tanah tersebut. 77 Pemberian wewenang ini dilakukan oleh gubernur. Walau pun hal ini kerap di lihat dalam arti historisnya dan secara tidak sah sebagai proses pemberian hak kepemilikan atas tanah, namun sebenarnya dalam pengertian yuridisnya serta dalam batas-batas yang dibenarkan, hal ini tidaklah demikian. Pemberian wewenang ini hanyalah suatu cara pembayaran atau penggajian 74
Ibid. h.453 Ibid. h.454 76 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.235 77 Ibid. h.236 75
102
atau pemberian kompensasi kepada para individu atas layanan publik yang telah mereka berikan. 78 Penerima iqtha berhak memiliki pajak tanah sebagai imbalan atas layanan publik yang telah ia berikan kepada umat, namun ia tidak memiliki tanah tersebut, tidak pula mendapat hak dasar untuk menguasai ataupun mengeksploitasi tanah itu. Tanah tersebut tetap menjadi milik kaum Muslim dan tetap berstatus tanah kharaj. 79 h) Hima Dalam Islam Konsepsi tentang hima (tanah yang diproteksi) diperoleh dari bangsa Arab kuno. Hima berarti tanah mati yang dimonopoli oleh orang-orang “kuat”, di mana mereka tidak mengizinkan orang lain mengambil manfaat dari tanah tersebut. Orang-orang “kuat” tersebut menganggap segala sumber daya ataupun kekayaan yang terkandung di tanah itu secara eksklusif menjadi milik mereka karena mereka bisa menguasai tanah itu untuk kepentingan mereka sendiri, serta dengan kekuatan dan kekuasaan mereka mampu mencegah orang lain mengambil manfaat darinya. 80 Dalam Islam, kenyataan bahwa seseorang mampu menguasai dan mengendalikan sumber-sumber alam tidak dapat di jadikan dasar bagi pemilikan hak atas sumber-sumber tersebut. Satu-satunya hima yang di izinkan Islam adalah hima Rasulullah Saw, di mana beliau memproteksi tanah
78 79 80
Ibid. h.236 Ibid. h.237 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.456
103
mati demi maslahat umum seperti tanah Baqi’, yang diperuntukkan bagi untaunta sedekah, hewan-hewan ternak jizyah, dan kuda-kuda para mujahid. 81
3) Air Alami Sumber air ada dua jenis. Pertama adalah sumber-sumber terbuka (mashadir maksyufah) yang telah Allah ciptakan bagi manusia di atas permukaan bumi, seperti lautan dan sungai. Kedua adalah sumber-sumber yang terkubur dan tersembunyi di dalam perut bumi, yang mana manusia harus melakukan penggalian guna mendapatkannya. 82 Sumber air jenis pertama digolongkan ke dalam milik bersama masyarakat. Kekayaan alam seperti ini secara umum disebut sebagai milik bersama, di mana Islam tidak mengizinkan seorang individu pun untuk menguasainya
sebagai
milik
pribadinya
sendiri.
Sebaliknya,
Islam
mengizinkan semua individu untuk menikmati manfaatnya, dengan tetap menjaga keutuhan karakteristik dari prinsipnya, yakni bahwa substansisubstansi aktual dan hak kepemilikan atas mereka adalah milik bersama. 83 Tidak seorang pun memiliki laut atau sungai alami sebagai milik pribadinya. Semua orang boleh menikmati manfaatnya. Atas dasar ini kita
81
Ibid. h.456 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.239 83 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 82
104
memahami bahwa sumber-sumber air alami yang terbuka adalah subjek prinsip kepemilikan publik. 84 Sementara air yang sumbernya terkandung di dalam perut bumi, tidak seorang pun bisa mengklaimnya sebagai miliknya kecuali jika ia bekerja untuk mengaksesnya, melakukan penggalian untuk menemukan sumber tersebut dan membuatnya siap guna. Ketika seseorang membuka sumber ini dengan kerja dan penggalian, maka ia berhak atas mata air yang ditemukannya. 85 Ia berhak mengambil manfaat mata air tersebut dan mencegah intervensi orang lain. Karena ia yang membuka kesempatan (peluang) untuk menggunakan dan memanfaatkan mata air itu, maka ia berhak memanfaatkan kesempatan tersebut. Sementara mereka yang tidak ikut andil dalam membuka kesempatan itu, tidak berhak mengintervensinya dalam menikmati manfaat mata air tersebut. 86 Ia menjadi lebih berhak ketimbang orang-orang lain atas mata air tersebut dan memiliki air yang memancar berkat usahanya, karena ini adalah jenis penguasaan, di mana ia tidak memiliki sumber airnya yang terdapat di dalam perut bumi. Karena itu, ia wajib membagi air dari mata air itu secara gratis kepada orang-orang lain untuk minum maupun hewan ternak mereka setelah ia memenuhi kebutuhannya sendiri. 87 Dalam hal ini, ia tidak boleh meminta apapun sebagai imbalan. Hal ini dikarenakan substansi tersebut tetap menjadi milik bersama. Si penemu mata
84
Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.239 85 Ibid. h.240 86 Ibid. h.240 87 Ibid. h.241
105
air hanya memiliki hak prioritas sebagai hasil dari usahanya dalam menemukan mata air itu. Maka, ketika ia telah memenuhi keperluan dan kebutuhannya akan air dari mata air tersebut, orang-orang lain berhak mengambil manfaat dari mata air itu.88
4) Kekayaan Alam Yang Lain Kekayaan alam yang lain masuk ke kategori al mubahatul ‘ammah (hal-hal yang boleh bagi semua orang) adalah kekayaan alam yang semua individu dapat menggunakannya secara gratis dan menikmati manfaatnya sebaik milik pribadi mereka, karena izin umum ini adalah izin yang bukan hanya untuk memanfaatkannya namun juga untuk memilikinya. 89 Islam telah meletakkan prinsip kepemilikan pribadi pada al mubahatul ‘ammah atas dasar kerja dan usaha guna mendapatkan mereka sesuai dengan perbedaan jenis mereka. 90 Sebagai contoh, kerja atau usaha untuk mendapatkan burung adalah dengan menangkapnya dengan cara berburu, sedangkan usaha untuk mendapatkan kayu bakar adalah dengan mengumpulkannya, dan kerja untuk mendapatkan mutiara serta udang adalah dengan menyelam ke kedalaman laut. Usaha untuk mendapatkan tenaga (energi) listrik yang tersembunyi dari air terjun termasuk dalam proses mengubah energi ini menjadi arus listrik
88
Ibid. h.241 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 90 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 89
106
yang kita kenal. Dengan jalan inilah kepemilikan atas kekayaan alam mubah diperoleh, yakni dengan memperoleh penguasaan atasnya. 91 Kepemilikan atas kekayaan alam ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan kerja. Jadi, masuknya kekayaan alam ini ke kendali seseorang tidak cukup di jadikan dasar bagi kepemilikan atasnya, kecuali jika ia melakukan kerja positif untuk mendapatkannya. 92 2. Distribusi pasca Produksi Sadr 93 mulai menyatakan bahwasanya Islam itu tidak meletakan semua faktor produksi (atau pemilik mereka) pada kedudukan yang sejajar, misalnya. Mempekerjakan Orang ‘pekerja’ adalah ‘pemilik’ yang sebenarnya dari bahan-bahan/alat-alat yang telah diproduksi. Para pekerja selanjutnya memiliki tanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk faktor produksi lainnya yang digunakan dalam prosesnya. Sadr 94 merasakan bahwa pandangan ini meletakan orang sebagai tuan dan bukan pelayan dari produksi. Meneruskan argumentasi ini, Sadr menyatakan bahwa seorang kapitalis tidak membolehkan memiliki produk dari para pekerja yang dia sewa. dengan kata lain, tenaga kerja ekonomi langsung adalah tempat yang diperlukan untuk kepemilikan produk. Pandangannya 95 mengenai kekayaan primer digolongkan kedalam gambaran ketika dia memberikan ‘kepemilikan’ kepada agen yang bekerja
91
Ibid. h.117 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 93 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121 94 Ibid. h.121 95 Ibid. h.121 92
107
dibagian sumber alam, sebagai contoh seseorang yang menggarap lahan kosong (tak bertuan), memiliki itu berkaitan dengan mempunyai prioritas dan hak untuk mencegah orang lain dari penggunaannya. Sekarang, jika orang ini memilih untuk menyewa orang lain untuk bekerja ditanah, dia masih memelihara ‘kepemilikan’ tanah sehubungan dengan status tenaga kerjanya yang dilibatkan dalam penggarapan tanah. 96 Pada sisi lain, tuan tanah memiliki hasil tanah yang berkaitan dengan para pekerja itu sendiri, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah dengan alasan bahwa para pekerja tuan tanah masih ada. Kompensasi ini bisa jadi dalam bentuk atau pinjaman yang tetap atau suatu saham dalam produk (jika pemilik tanah menyediakan benih / pupuk atau permesinan). 97 Dalam mengatur aktivitas ekonomi, banyak contoh di beri oleh Sadr 98 : a. Lahan kosong dapat didistribusikan dan dimanfaatkan b. Larangan Islam yaitu menempati lahan kosong dengan kekerasan c. Prinsip tidak ada pekerjaan, tidak ada keuntungan. d. Larangan Riba e. Larangan tidak produktif, seperti perjudian f. Menimbun uang dan barang-barang g. Larangan yang aktivitas mengalihkan perhatian dari Tuhan h. Penuturan dan mengecek manipulasi dalam pasar
96
Ibid. h.122 Ibid. h.122 98 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258 97
108
i. Larangan pemborosan Sadr 99 membedakan antara bekerja dilahan sumber alam dan dimiliki yang lain (seperti diatas) dengan bekerja dilahan ‘hasil buruh’ yang dimiliki oleh orang lain, sebagai contoh seorang pekerja yang membuat benang dari wol seorang pengembala; dalam hal ini, produk (benang) yang dimiliki penggembala dan pekerja akan dibayar kompensasi. Dengan pandangan prioritas tenaga kerja ini, Sadr
100
selanjutnya
membuat daftar hasil (laba) ke setiap faktor produksi : a. Buruh-upah atau bagian keuntungan b. Tanah-sewa (atau bagian dari penggarapan) c. Modal-bagian dari laba d. Peralatan / modal fisik-sewaan / kompensasi Buruh diberikan satu pilihan dari keuntungan yang jelas (upah) atau variabel keuntungan (bagian dari keuntungan). menyewa tanah diizinkan hanya ketingkat bahwa pemilik tanah telah menyerahkan ke tangan para buruh, sebagai contoh buruh untuk menggarap tanah kosong. Sadr juga memegang pandangannya membolehkan transaksi-transaksi seperti Mudharabah, Muzara’ah (bagi hasil), Musaqat, dan al-Jualah (menggaji, upah). konstribusi / bekerja ke suatu produk, atau untuk menggarap
99
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.122 100 Ibid. h.122
109
lahan dan menyewakannya kepada orang lain untuk harga sewaan yang tinggi. 101 Sadr juga membantah kompensasi untuk resiko yang dikemukakan oleh banyak ahli ekonomi, termasuk kaum Muslim. Orang yang menggunakan ungkapan tidak ada resiko, tidak ada keuntungan, menurut Sadr telah merusak mental pemerintah dengan satu faktor produksi. Ahli ekonomi Muslim yang mengemukakan argumentasi itu mengatakan bahwa (uang) pemilik modal di dalam Mudharabah diberikan keuntungan, suatu kesalahan apabila berkaitan dengan resiko yang ia tanggung. 102 Sadr memandang keuntungan sebagai fakta bahwa mereka memiliki uang yang telah digunakan, bukan faktor resiko. Ini Nampak seperti penjelasan yang lebih logis dan bisa diterima untuk mengembalikan uang modal. 103 Pandangan diatas menunjukan dengan jelas bahwasanya Sadr 104 melihat keuntungan yang sah sebagai dasar daripada pekerjaan. Bagaimana pun, pekerja untuk Sadr, ada sumber hak distributif yang lain di dalam ekonomi Islam, sebagai contoh kebutuhan. Karena tiap-tiap individu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda, ketidaksamaan pendapatan adalah hal yang wajar. Sebagian mendapatkan sedikit sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa.
101
Ibid. h.122 Ibid. h.122 103 Ibid. h.122 104 Ibid. h.123 102
110
Situasi ini memberikan mereka hak distributif dan pemerintah memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Islam menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebih-lebihan (boros), dan pada saat yang bersamaan, Islam mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem jaminan sosial. 105 Pemerintah juga dipercaya memberikan keamanan sosial secara keseluruhan. Dan hal ini dapat dicapai melalui persaudaraan (penyelenggaraan ini dapat melalui pendidikan) diantara anggota masyarakat dan melalui kebijakan pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik dapat membantu orang miskin. Sementara itu dengan pengaturan aktivitas ekonomi memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari eksploitasi. 106 Untuk memastikan keseimbangan sosial dan keamanan yang dibutuhkan bagi keseluruhan, berdasarkan pada prinsip bahwasanya seluruh sumber daya alam harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah dipercaya untuk menjalankan tugas pada pemilikan untuk memastikan hal ini dengan cara membantu mereka yang berkesusahan. 107 Pada akhirnya, sebuah kekuasaan negara dipercaya untuk menciptakan kedinamisan yang sesuai menurut situasi zaman yang ada. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun itu adalah negara. Maksudnya tiap negara
105
Ibid. h.123 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 107 Ibid. h. 258 106
111
memiliki ahli hukum atau suatu negara memiliki beberapa bentuk dewan penasehat. 108 Pengkajian yang dilakukan Sadr dengan menggunakan metode ijtihad. Menurut analisa Chibli Mallat, 109 pembahasan ini memperlihatkan secara jelas metodologi yang disarankan Sadr diawal pembahasan. Dalam hal ini penulis menyajikan prinsip umum dengan mengikutsertakan pendapat ahli fiqh : ‘Allamah al-Hilli, seorang ulama-peneliti (muhaqqiq) Muslim, menyatakan dalam kitabnya, Asy Syara’i, bab Wikalah (perwakilan), bahwa wikalah dalam pekerjaan menebang kayu atau jenis pekerjaan lain yang sejenis, adalah tidak sah. Contohnya, jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agen)nya untuk menebang kayu di hutan demi kepentingannya, maka wikalah dalam hal ini tidak sah. Orang itu (si penunjuk) tidak menjadi pemilik kayu yang ditebang oleh orang yang ia tunjuk sebagai wakilnya. Alasannya adalah, pekerjaan menebang kayu dihutan atau jenis pekerjaan lainnya yang sejenis, pada dasarnya tidak menghasilkan pengaruh atau hak khusus apa pun bagi seseorang kecuali bila ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu atau ia secara langsung mencurahkan usahanya dalam pekerjaan menebang kayu, atau menyabit rumput, atau jenis pekerjaan lainnya yang serupa.
108
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 109 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung : Mizan, 2001). h.206
112
B. Relevansi Pemikiran Muhammad Baqir Ash-Shadr 1. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Ekonomi Islam Muhammad Baqir As-Shadr 110 mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah ajaran (doctrine) dan bukannya ilmu murni (science), karena apa yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan. Dalam mewujudkan gagasan keadilan distribusi menurut Islam, Sadr 111 mendasarkan pada dua faktor. Pertama, faktor primer yang terdiri dari kerja dan kebutuhan. Kedua, faktor turunan berupa kepemilikan. Bekerja menurut Islam adalah sebab yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan memiliki harta kekayaan. Namun yang menjadi permasalahan menurut Sadr 112 ialah cara menempatkan seseorang yang dalam kehidupan sosial tidak dapat bekerja atau mereka yang bekerja tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, elemen yang berlaku menurut Sadr ialah kebutuhan, artinya berapapun kebutuhan pokok komunitas masyarakat tersebut menjadi tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun solidaritas sesama muslim.
110
Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.5-6 111 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.113 112 Ibid., h.113
113
Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan. Menurut Sadr, 113 Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam Islam dibatasi aturan nilai serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah. a. Peran Kerja (al-‘amal) dalam distribusi Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi. Menurut Sadr, untuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih dahulu harus mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang diperolehnya. 114 Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para pekerja.
Sedangkan
kepemilikan
sendiri
merupakan
ekspresi
dari
kecenderungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan / hak-hak individu mendapat tempat yang proporsional. Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat mengekspresikan
seluruh
kekuatan,
bakat
serta
potensinya
dalam
meningkatkan perekonomian suatu masyarakatnya. Sedangkan disisi lain pekerja dapat memenuhi kebutuhannya. b. Peran Kebutuhan (al-Haajah) dalam distribusi Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola distribusi dalam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran
113 114
Ibid., h.120 Ibid., h.114
114
kebutuhan dalam distribusi, Sadr 115 membagi masyarakat ke dalam 3 komunitas : Pertama, komunitas yang mendapatkan kesempatan kerja melalui bakat dan kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan kebutuhan hidupnya dengan standar yang tinggi. Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam
proses
produksi
baik
intelektualnya.
Menurut
Sadr,
kelemahan
fisik
konsekuensi
maupun
dari
kemampuan
pembagian
diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat bagian dalam distribusi. Jika komunitas pertama bergantung pada kerja, maka komunitas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan akan kebutuhan dasarnya. Pemahaman ini menurut Sadr, 116 berangkat dari realitas bahwa komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian distribusi kelompok
ketiga ini
melalui instrument kebutuhan yang
pengaturannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas umum. Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument kerja sesuai
115 116
Ibid., h.116 Ibid., h.119
115
dengan kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja. c. Peran Kepemilikan (al-Milk) dalam distribusi Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi. Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi yang mengandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah. 117 Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini semisal, Adiwarman Karim. 118 Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata aturan syariah sebagai variabel independen (ikut mempengaruhi segala pengambilan keputusan ekonomi). Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada bukan berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti semuanya sesuai dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan asumsi dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori ekonomi Islam. 117 118
2007),h.5
Ibid., h.129 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
116
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya, hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah, tetapi tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena faktor tersebut. Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan Ekonomi islam antara lain seperti Zakat (Khums Pajak,, Anfal, Fay), yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial. Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada AlQur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut. Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat dalam Al-Qur’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, (“ Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”) serta adanya hadist Nabi yang menyebutkan bahwa (“diantara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain”). Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. 119 Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a, wala tushahihuhu jamii’a (Jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima semuanya). Menurut Adiwarman Karim,
120
ekonom Muslim tidak
perlu terkesima dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim perlu 119
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007),h.31 120
Ibid.,h.12
117
mempunyai akses terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami perlu
juga
mempelajari
teori-teori
ekonomi
modern
agar
dapat
menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islami. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses pengkajian dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer. Sadr
121
mulai menampilkan beragam pendapat ahli fiqh sebagai
suprastruktur (ajaran yang bersumber dari hukum). Selanjutnya, beliau melakukan deduksi terhadap naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsipprinsip umum dalam bidang distribusi. Sadr
122
juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif
Islam, yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak mendapat balas jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, seseorang berhak mendapat hasil dari keikutsertaannya dalam proses produksi. Sebagaimana contoh hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas buah kerjanya.” Karena itu, Islam tidak mengakui bunga, karena pendapatan tanpa kerja bertentangan dengan gagasan keadilan Islam. Jadi, fokus kajian dalam distribusi pra produksi berkaitan dengan sumber daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada pengkajian distribusi pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori pendapatan menurut Islam.
121
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.112-113 122 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
118
2. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa Kini Penulis berpendapat Krisis
ekonomi di Indonesia masih belum
kunjung selesai. Pengangguran yang membengkak, kesenjangan sosial antara kaya dan miskin, biaya pendidikan kian mahal, merebaknya kriminalitas dan maksiat, gizi buruk, krisis energi, kelaparan yang selalu menanti di susul dengan kasus-kasus yang menimpa daerah bencana (baik korupsi dana pembangunan) dan lain sebagainya, merupakan indikator kongkrit yang menandakan kegagalan sistem ekonomi konvensional kapitalis yang diusung pemerintah. Saat ini pemerintah sepertinya semakin tidak memperhatikan rakyat. Tak sedikit kebijakan pemerintah malah semakin membebani rakyat dan secara langsung terus melestarikan kemiskinan. Hal ini membuktikan akibat kebijakan ekonomi yang keliru yang kian hari makin terpuruk. Bila sistem yang secara jelas dan realitas tidak dapat menyelesaikan beragam problematika bangsa ini masih tetap dijaga dan dipertahankan, maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya tiada pernah secara bijak untuk belajar memperbaiki diri dari kesalahan. Pemerintah harus ada solusi alternatif untuk mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem yang lebih baik serta sesuai dengan masyarakat Indonesia. Sistem yang paling sinkron dengan karakteristik dan kepribadian bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan, sebab bangsa ini adalah bangsa Religiusitas yang patuh terhadap
119
norma dan etika agama yang dianutnya. Sistem yang dimaksud adalah sistem ekonomi Islam. 123 Krisis yang bangsa kita hadapi saat ini secara bertubi-tubi dan melingkar-lingkar sangat berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk merespons dampak-dampak kapitalisme global yang berfungsi sebagai kendaraan bagi imperialisme baru yang lebih sophisticated. 124 Harus diakui bahwa pembahasan ekonomi dalam karya ini berlatar kondisi masa lalu. Namun demikian, karena pembahasan ekonomi dalam karya ini menyentuh dasar-dasar filsafat ekonomi dan sosial yang melibatkan relasi-relasi yang bersifat eksistensial dan generik, maka rekomendasi yang diberikan Sadr dengan mudah dapat diadaptasikan guna menyikapi secara cerdas realitas dan tantangan kondisi ekonomi hegemonik masa kini. 125 Pada hakikatnya, kondisi ekonomi masa kini hanya mengalami perubahan-perubahan instrumental dari dasar-dasar ekonomi masa lalu. Kapitalisme dan materialisme hanya berganti baju dan rupa, tetapi tidak watak dasarnya. Maka, fatwa ekonomi Ayatullah Baqir Ash Shadr tetap relevan. 126 Kenyataan yang memperihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di Negeri kita ini selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan susul menyusul datangnya. Namun, yang sangat luas dampaknya adalah keterpurukan bidang ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat. Memang
123
Miftakhus Surur, “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No. 11 Th.VI (Maret
2009) : h.58 124
Ir. Sayuti Asyathri “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.23 125 Ibid. h.24 126 Ibid. h.24.
120
disadari bahwa salah satu masalah kunci dalam kehidupan umat manusia adalah masalah ekonomi. 127 Prof. Dr. Mubyarto di acara memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2005 di Jakarta telah menguraikan bahwa secara ekonomi, Indonesia kembali terjajah oleh Kapitalisme Global yang lebih sadis dan lebih kejam ketimbang kolonialisme Belanda. Lebih dari itu, John Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man, telah mengakui bahwa dirinya disewa oleh kekuatan Kapitalisme Global untuk merusak dan membuat ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi terjajah dan sangat bergantung pada tuan besarnya, yaitu Kapitalisme Global. 128 Konsep Baqir Ash- Shadr sangat kontekstual dengan kondisi dan permasalahan yang berkembang di Indonesia dan negara berkembang lain yang umumnya berpenduduk mayoritas Muslim. Di bawah pengaruh konspirasi dan pengondisian kekuatan-kekuatan besar, isu-isu kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan adalah tiga isu besar yang mendorong keterpurukan bangsa-bangsa ini, terutama akibat penerapan sistem ekonomi yang tidak berkeadilan. 129 Sebagai solusi atas fenomena dan kondisi tersebut, Muhammad Baqir Ash-Shadr mengingatkan kita dan mengulas secara jelas Iqtishaduna : Our Economics, yang melalui suatu pendekatan interdisipliner menjadi suatu 127
Prof. KH. Ali Yafie “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.27 128 Ibid., h.27 129 Aries Muftie, SH. SE. MH “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir AshShadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.19
121
kajian ekonomi Islam, sehingga memberikan benang merah bagi kita bagaimana mewujudkan maqashid berdasarkan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (ushul fiqh). Dengan demikian, aktivitas dan sistem ekonomi yang kita gunakan akan kita kembalikan kepada tujuannya untuk kesejahteraan seluruh manusia. 130 Implikasinya
dapat
dilihat
dari
munculnya
fakta
disparitas
(kesenjangan) antara yang kuat dan yang lemah pada berbagai sektor kehidupan, dan munculnya tiga isu : kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan, akibat implementasi sistem ekonomi yang tidak menganggap penting faktor iman, jiwa, akal dan keturunan. Eksploitasi alam, penjajahan ekonomi, peperangan bisnis, dan segala aktivitas ekonomi lainnya menjadi suatu alat penumpukan kekayaan dan pemenuhan kepentingan golongan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada publik atau umat, serta pelestarian alam untuk para keturunan kita. 131 Sistem ekonomi yang selama ini dikenal dan diimplementasikan di dunia dalam perjalanan sejarahnya semakin lepas dari perspektif moral dan pranata sosial-budaya. Perkembangannya menjadi segmentatif dan mikro, sehingga hanya bisa menjelaskan secara parsial fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada. 132
Selama ini sistem Perbankan Syariah hanya
merupakan duplikasi sistem perbankan konvensional yang menganut sistem
130
Ibid., h.19 Ibid., h.20 132 Ibid., h.19-21 131
122
Ribawi yang mengandung unsur gharar, tidak adil, dan mengancam nilai-nilai Islam yang mulia. 133 Misalnya, sistem bagi hasil yang di praktikkan Bank Syariah sekarang ini, masih mengandung unsur Ribawi. Jika seorang calon nasabah akan membuka account di bank syariah dan bertanya berapa bagi hasil yang akan di terima, maka dengan tanpa ragu-ragu si petugas Bank Syariah menunjukan prakiraan besarannya dengan mengacu daftar bagi hasil beberapa bulan yang lalu dalam brosur di Bank Syariah bersangkutan. Kenapa sistem bagi hasil di prediksi besarannya ? bukankah bagi hasil adalah sistem bagi untung atau rugi berdasarkan akad kejujuran yang tidak bisa di prediksi seperti bunga bank ? kalau bagi hasil di prediksi, berarti ada semacam “janji” yang artinya tidak beda dengan sistem bunga. Selain itu, 134 selama ini perbankan syariah lebih banyak “main” pada suku bunga di Bank Indonesia (BI) yang sangat kental dengan praktik Ribawi. Berapa persen dana perbankan syariah yang di salurkan melalui pembiayaan sektor riil ? contoh lain, apakah sistem murabahah yang di praktikkan juga sudah benar-benar pure berjalan sesuai dengan muamalah Islam ? bagaimana dengan sistem pembiayaan perbankan syariah pada sektor riil ? Meski sekarang diakui sistem ekonomi kapitalis liberalis sedang mengalami kebangkrutan menyusul krisis ekonomi global, namun masih memerlukan waktu cukup lama antara 10-20 tahun bagi sistem ekonomi Islam
133
Zaim Saidi, “Prakteknya Masih Mengandung Ribawi,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9. 134 Ibid., h. 9.
123
(syariah)
untuk
menggantikannya.
Pasalnya, 135
harus
memerlukan
kepercayaaan dari Dunia Barat yang masih berpedoman pada kapitalis dan liberalis, di mana perlu di yakinkan sesungguhnya sistem ekonomi Islam jauh lebih baik dan lebih menjanjikan keuntungan finansial bagi mereka. Dunia Islam harus memberi penyadaran dan pencerahan pada Dunia Barat untuk menggunakan sistem Ekonomi Syariah yang non Ribawi, untuk menggerakkan ekonomi mereka yang masih berdasarkan pada bunga (riba). Pasalnya selama ini sistem ekonomi Barat memiliki kepentingan dan resiko, sedangkan semua pelaku ekonomi tidak ingin beresiko dalam menjalankan usahanya.
Mereka
hanya
menginginkan
keuntungan
tanpa
bersedia
menanggung resikonya. Sedangkan dalam sistem ekonomi syariah, antara resiko dan keuntungan akan ditanggung secara bersama (mudharabah). 136 Mari kita cermati peta zakat di era Indonesia Mazhab Neo Liberal sekarang ini. Di mana, seperti di beberkan Amien Rais 137 dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamat-kan Indonesia, kekayaan alam Indonesia mayoritas sudah di kuasai asing. Ironisnya, itu semua seizin rezim-rezim penguasa Indonesia, melalui amandemen UUD 45 yang melahirkan regulasi semacam UU penanaman modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Badan Hukum Pendidikan, dan UU Minerba. Policy inilah yang menciptakan kemiskinan struktural.
135
Aviliani, “Perlu Waktu Lama Ekonomi Islam Menggantikan Ekonomi Kapitalis,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h.9 136 Ibid., h.9 137 M. Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta : PPSK Press, 2008). h.255-263
124
Dana Zakat dapat dilihat dalam tabel berikut : 138 Penerimaan ZIS konter BAZNAS tahun 2002 -2007 (ribuan Rp.) Penerimaan/thn
2001 – 2002
Zakat
444,035
2005
2006
1,311,834
2003
2,229,070
2004
2,536,110
4,825,502
2007 8,307,941
Infak & Sedekah
275,973
483,372
579,920
28,589,846
13,023,956
6,029,927
Infak Operasional
70,035
552,542
293,890
180,845
627,203
254,149
Infak Pemerintah
131,005
352,325
119,836
100,000
1,550,000
Jumlah
921,048
2,700,073
3,222,716
31,406,801
20,026,661
14,592,017
Grafik Penerimaan ZIS konter BAZNAS 139
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada kenaikan dana zakat yang terhimpun, meskipun ada penurunan dana infak shadaqah sehingga total penerimaan ZIS 138
Tim BAZNAS, Data kuantitatif Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan 139 Tim BAZNAS, Grafik Penerimaan ZIS konter Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
125
menurun. Penerimaan dana infak shadaqah tahun 2005 melonjak tinggi meningkat tajam merupakan penerimaan terbesar karena adanya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir Desember 2004 telah meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia untuk berbagi. Terlihat dari penerimaan dana infak tahun 2005 yang melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2006, gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya juga telah mendorong masyarakat untuk berinfak.
Sesuai dengan fungsi koordinatifnya, BAZNAS juga mencatat penerimaan ZIS dari jaringannya yang terdiri dari Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Badan Amil Zakat Daerah dan lembaga amil zakat. Meskipun baru sebagian yang dapat dikoordinasikan, namun alhamdulillah dari data ini dapat digambarkan pertumbuhan penerimaan dana ZIS di Indonesia.
Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS tahun 2002-2007 140 NO
NAMA LEMBAGA 2002
BAZNAS (konter) UPZ II BAZNAS *) BAZDA III Prov*) I
IV LAZ *)
Penerimaan ZIS (Ribuan Rp.) 2004 2005 2006
2003
921.048
2.700.073
3.322.092
31.406.810 20.026.660 14.592.016
-
-
-
-
8.289.356
12.308.613
11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553 102.629.312 55.680.209 68.405.946 128.354.888 233.986.019
TOTAL
2007
230.613.161
219.412.453
68.391.097 85.283.523 150.089.112 295.592.403 373.173.447 361.333.307 *) sebagian data
140
Tim BAZNAS, Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS 2002-2007, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
126
Menurut Dawam Raharjho, 141 Tingkat perkembangan itu sudah tentu masih jauh dari memuaskan, karena zakat belum berperan besar dalam pemecahan masalah-masalah sosial ekonomi. Persoalannya adalah pertama, bagaimana bisa menghimpun dana dalam jumlah besar yang terkonsentrasi tetapi juga terdesentralisasi. Sebab selama ini zakat itu tidak dikumpulkan melainkan langsung di distribusikan oleh muzakki kepada perorangan, walaupun sebagian juga dikirimkan kepada organisasi-organisasi yang menyebarkan surat permohonan zakat. Kedua adalah bagaimana dana zakat bisa di distribusikan, sehingga secara efektif ikut memecahkan persoalan sosial ekonomi. 142 Monopoli pemerintah atas pengelolaan zakat, ternyata tak berlaku untuk semua jenis objek zakat. Menurut para fuqaha, harta zakat yang wajib di kelola pemerintah adalah yang nampak (al-amwal azh-zhahirah). Yakni zakat binatang ternak (zakat al-mawasyi) dan pertanian serta buah-buahan (zakat alzuru’ wa ats-tsimar). 143 Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr 144 memandang hal ini merupakan tugas sebuah negara. Selain itu, beliau juga mendiskusikan khums, pajak, fay’, dan anfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial.
141
M. Dawam Rahardjo, “Peran zakat dalam mengatasi masalah sosial ekonomi”, Bulletin UIN Syarif Hidayatullah, disampaikan pada workshop “Peran Perguruan Tinggi Islam dalam Pengelolaan Zakat”, 1 – 2 juni 2003. h.28 142 Ibid., h.28 143 “ Haruskah LAZ Berplat Merah,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 12. 144 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257
127
Salah satu poin menarik yang Sadr ciptakan 145 adalah fokus eksklusif kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan tidak mengarah pada keseimbangan standar hidup antara si miskin dan si kaya. Para sarjana muslim setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini tidak berarti berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang standar kehidupan. Sebab seseorang mempunyai kesamaan standar hidup. Namun yang terpenting, menurut penulis ini harus diterapkan secara menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab, 146 Islam akan jaya jika di praktekkan pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam perekonomian. Jadi kehadiran Islam bukan hanya di Masjid saja, tetapi juga di bisnis, kantor, kampus dan sebagainya. Dengan demikian, karena umat Islam Indonesia mayoritas, maka sistem perbankan syariah, haji, zakat, wakaf dan waris perlu di buat peraturannya melalui undang-undang agar lebih memasyarakat. Hemat penulis, Ini sangat relevan jika di terapkan, sistem ekonomi syariah dapat menjadi solusi bagi kemunduran perekonomian sistem kapitalis dan liberalis yang sedang menuju pada resesi, dengan adanya krisis ekonomi global sekarang ini. Dengan adanya fenomena krisis saat ini dan makin terlihatnya berbagai keunggulan ekonomi Islam diatas, mudah-mudahan pemerintah bersedia menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-
145
Ibid., h.257-258 M. Syafi’i Antonio, “Sistem Syariah juga diterima Kalangan Non Muslim,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9. 146
128
kebijakan ekonomi kedepan. Semoga Allah SWT membukakan pintu berkah dari langit dan bumi Indonesia atas ketaatan tersebut.
C. Analisa Penulis Untuk mempermudah pemahaman pembaca budiman, penulis sajikan ringkasan konsep distribusi Sadr 147 melalui ilustrasi sebagai berikut :
Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr Harus dijalankan dalam semua sistem Islam Ekonomi Islam adalah sebuah pemikiran yang membahas isuisu ekonomi yang berkenaan dengan sebagai usaha memahami sumber-sumber keadilan yang dimiliki Pertanyaan ‘apa yang mesti’ Bukan fiqh mu’amalat
(a) Ekonomi Islam---------------Studi interdispliner
Muncul karena konflik kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial (b) Masalah Ekonomi Solusi dalam agama
Mungkin untuk memelihara satu sistem distribusi meskipun cara / bentuk produksi yang bervariasi hukum yang berkaitan dengan ekonomi
al-Qur’an dan Sunnah (c) Metodologi
keadilan
perlu Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer
dan ucapan para Imam Syi’ah
tidak buta hanya mengikuti satu hukum
proses ‘penemuan’ sebagai contoh ajaran yang bersumber dari hukum-hukum
perlu analisis yang bebas dari pemikiran barat dan pandangan dunia
Asumsi Dasar Sadr bagian dari ummah Orang Islam
percaya akan ghaib dan akhirat rasionalitas berbeda dengan orang ekonomi pengawasan dalam diri
147
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.126-129
129
viecegerency panggilannya untuk tugas, tanggung jawab, pertanggung jawaban dan keadilan, membawa kearah kerjasama Asumsi dasar
pembatasan terhadap kebebasan individu adalah hal yang wajar
kepemilikan pribadi, umum dan pemerintah (Negara) muncul secara bersamaan.
Keutamaan sistem ekonomi Islam Sadr memberikan kepemilikan kepada individu berdasarkan pada pekerjaan dan kebutuhan hubungan property
terutama kepemilikan Negara kepemilikan pribadi dibatasi untuk mendapatkan hak prioritas penggunaan dan penggunaan sendiri
pemerintah menggalakan keadilan Keutamaan
memastikan distribusi dan sumber daya alam pembuat keputusan dan alokasi sumber daya
pengalaman agama dan sosial, pemerintah Islam dengan dinamisme dan Ijtihad memastikan keadilan sosial dengan menyediakan standar hidup yang seimbang untuk semua
130
jaminan sosial; ditunjukan hanya untuk kemiskinan relatif larangan riba (bunga) dan semua bentuk eksploitasi implementasi zakat dan pajak lainnya termasuk khums, kharaj, fay, anfal Untuk mengurangi Kemiskinan.
Distribusi
kerja
seseorang memiliki hak memanen tapi memiliki hasil hasil panen dari buruhnya
(a) Distribusi pendapatan/kekayaan faqir kebutuhan
redistribusi untuk mencapai standar hidup yang seimbang miskin
tanah (dan sumber alam lainnya) tersedia bagi semua melalui pemerintah hak memanen dari prioritas penggunaan dapat dicapai melalui kerja dan kebutuhan (b) Pre-produksi
buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari kepemilikan pribadi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari buruh produk membatasi penyewaan dan bagi hasil (bagi ‘pemilik tanah’ sehubungan dengan batasan ukuran dari saham tanah)
memiliki hasil panen dari buruhnya orang (buruh) adalah faktor utama dari produksi
(c) Post-produksi
faktor produksi
resiko dan inflasi
dapat menyewa pekerja lain dan membayar upah dalam keadaan tertentu mengganti kerugian pemilik dari factor produksi lainnya
buruh – upah atau saham laba tanah – sewa atau lahan garapan modal – bagian keuntungan pengusaha – bagian keuntungan resiko dan inflasi bukan merupakan alasan yang benar untuk mengembalikan modal uang yang dipinjamkan
Sebelum penulis menganalisa konsep distribusi menurut Baqir Sadr, berdasarkan analisis penulis, bahwa konsep distribusi menurut Baqir Sadr dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, politik dan
131
kondisi pada masa hidup beliau, dan faktor latar belakang dan riwayat hidup tokoh ini. Sadr juga seorang akademisi. Di samping itu, Sadr melengkapi pengetahuannya dengan mendalami filsafat, teologi, sejarah, budaya, kepemerintahan, politik dan ekonomi. Penguasaannya terhadap ekonomi dan filsafat terbukti dalam karyanya yang monumental, seperti Iqtishaduna (Ekonomi Kita) dan Falsafatuna (Filsafat Kita). Maka tidaklah mengherankan kalau pemikiran Sadr dalam bidang ekonomi bercorak ekonomi normatif. Selain itu, sikap politik Sadr yang konfrontatif terhadap Pemerintah juga ikut mempengaruhi corak pemikiran dalam konsep-konsepnya. 1. Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam keseluruhan dan menuntut agar dipelajari sebagai satu interdisiplin yang utuh. Bersama-sama dengan anggota masyarakat yang membentuk agen-agen dari sistem tersebut. Ia mengemukakan bahwa pandangan dunia Islam perlu untuk dipelajari dan dipahami. Sebelum melakukan satu analisa yang bermanfaat dari sistem ekonomi Islam Dalam pendekatan holistik ini, Sadr mendiskusikan pemikiran ekonominya. dia melihat orang yang mempunyai dua hal yang berlawanan dengan bunga, misalnya personal dan sosial. Kemunculan berbagai masalah dan Sadr melihat solusi ada didalam agama: karenanya, peran agama yang sangat penting di dalam sistem ekonomi Islamnya. Menurut Sadr, Agama selalu dipegang suci oleh kaum Muslim, berbeda
132
dengan barat sekuler dan bersifat fundamental dalam menentukan bunga yang sah dari orang demikian pula dalam menentukan batas permintaan. 148 Walaupun Sadr mengakui bahwa pendekatannya adalah satu hal yang berkaitan dengan hukum, dia tidak mempertimbangkan ekonomi Islam untuk menjadi setara dengan Fiqh Mu’amalat (hukum yang berkenaan dengan transaksi) atau hukum yang berkenaan dengan hak milik. Dia melihat pemikiran ekonomi Islam sebagai fondasi agar membentuk hukum yang berkenaan dengan ekonomi. Hukum ini menurut Sadr, adalah ditentukan dan dengan referensi bagi teori-teori dan konsep-konsep dimana pemikiran itu digambarkan. Dalam hal ini, Sadr percaya bahwa ada satu sistem ekonomi yang seluruhnya tercipta dan terselesaikan, walaupun mungkin tidak secara tegas disebut dalam sumber Islam (sebagai contoh dalam Qur’an dan Sunnah dan fatwa-fatwa imam Syi’ah). Karenanya Sadr terus maju dengan proses penemuannya. Dalam proses penemuannya, semua hukum ekonomi dan perintah pengadilan, bersama-sama dengan banyak konsep yang berhubungan dengan ekonomi dan masyarakat (seperti vicegerency, keadilan, property, ibadah, dan lainnya), adalah mempelajari bersama-sama dan kemudian digunakan untuk menemukan pemikiran ekonomi. Dengan kata lain, sesudah hukum terkumpulkan, fondasi pemikiran dari hukum ini ditemukan dalam sumber Islam. Ada juga suatu kebutuhan untuk ijtihad (tuntutan intelektual independent), yang mana Sadr melihatnya sebagai kebutuhan untuk mengisi kekosongan antara prinsip permanen dan hukum fleksibel, untuk menentukan 148
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.111-112
133
batas dari permintaan dan untuk mengorganisir, secara teoritis, hukum dan konsep masuk kedalam suatu kesatuan utuh. Hal ini mendasari area fleksibel dalam ekonomi Islam. 149 Panggilan Sadr untuk membawa ijtihad membawa ke garis terdepan peran dari mujtahid (ahli hukum independen), yang mana sebuah opini dianggap sebagai yang dapat diotorisasi. Bagaimanapun Sadr cepat untuk memperingatkan masalah subjektifitas, harusnya membebaskan intelektual ini diperlebar secara jauh, karenanya menyimpang dari sumber dan konteks aktual. Oleh karena itu, panggilannya meminta untuk sebuah pernyataan intelektual yang berkualitas, harus didalam batas-batas pertentangan yang diizinkan. 150 Didalam ikatan ini, kita bisa kemudian mengatakan Sadr itu memungkinkan kemungkinan dari opini-opini yang barvariasi terhadap berbgai hal ekonomi, semua menurut hukum dan bersumber dari Qur’an, Sunnah dan ucapan para Imam. Sebenarnya, kemampuan ini untuk menerima opini dari berbagai mujtahidin adalah bagian dari metodologi yang diadopsi oleh Sadr. Karena satu Mujtahid tidak benar dan tidak jujur dalam pertimbangan, Sadr menyukai fleksibilitas ini, dari pada kepatuhan dogmatis kepada opini satu mujtahid. 151 2. Asumsi Dasar Sadr
149
Ibid., h.112 Pada poin ini, ada ruang untuk tidak setuju dengan Katouzian (1984) yang menafsirkan pandangan Sadr dalam Ijtihadnya sebagai suatu hubungan dengan ukuran sewenangwenang dari pemerintahan Shi’i, bahkan jika hal ini bertentangan dengan hadits nabi dan fatwa imam Shi’i 151 Ibid., h.113 150
134
Sadr tidak menerima pemikiran orang ekonomi agar supaya cocok dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai penggantinya, kita mempunyai orang Islam, seorang individu yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummah, yang termotivasi oleh kepercayaan (anggapan) dan praktek religius. Tidak seperti para ekonom konvensional, Ekonom Muslim percaya akan dunia ghaib atau spiritual, karenanya membuat dia lebih sedikit untuk dihubungkan kedunia materi. Hasil ini dalam arti yang berbeda dari sebuah rasionalitas dan perilaku rasional. Tidak seperti dengan para ekonom konvensional, motivasi adalah kepuasan pribadi yang utama, para ekonom Muslim juga diarahkan oleh ‘pengawasan dari dalam’. Konsep dari vicegerency dan keadilan meminta tugas, tanggung jawab dan pertanggung-jawaban, yang menyiratkan batasan tertentu terhadap satu kebebasan individual. Bagi Sadr, tidak ada pernyataan dari perasaan yang digumamkan oleh pembatasan-pembatasan ini karena suatu kebebasan, dan karenanya perilaku rasional harus dilihat dalam konteks kerangka sosial orang-orang Muslim, desakan dari individu untuk bertindak seperti para ekonom rasional dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, kelebihan bunga (riba) dalam pinjaman uang tidak dapat diterima orang Islam, tetapi dengan orang ekonom biasanya, itu akan menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pendapatan. 152 Sadr juga tidak mempercayai pemikiran dari ‘keselarasan bunga’ , yang mendasari penekanan sistem kapitalis terhadap ‘kebebasan individual’. Dia tidak menerima pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat akan 152
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.113
135
meninggi jika para individu sibuk memenuhi keinginan individual mereka, dan cukup melihat hal seperti ini sebagai awal pembentukan permasalahan ekonomi
sosial.
Daripada
tergantung
pada
keadaan
Negara
untuk
menyediakan penyesuaian antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan masyarakat, Sadr memberikan agama peranan yang penting. Ada peran untuk pasar dan ada sebuah tempat untuk Negara tetapi jauh lebih penting lagi, ada pengaruh penolakan dan panduan agama dalam sistem ekonomi Sadr. 153 Implikasi yang lebih penting dari pandangan Islam terhadap kebebasan adalah konsekuensinya untuk hak Kepemilikan. Sadr mengkritik yang membandingkan dan merendahkan sistem ekonomi Islam, baik kapitalisme atau sosialisme atau suatu percampuran sistem, tanpa berusaha untuk memahami pandangan dunia Islam serta bagaimana nilainya menentukan pandangan sendiri yang unik mengenai kepemilikan. Dia mengajarkan bahwa Islam itu secara bersamaan menetapkan bentuk ynag berbeda dari kepemilikan, misalnya. Pribadi, publik dan pemerintah, masing-masing bekerja dalam batasan-batasanya sendiri, sebagai bentuk dari kepemilikan dia menegaskan, adalah satu ekspresi dari satu perencanaan agama yang murni. yang terletak didalam satu kerangka nilai dan makna yang khusus. 154 Apa yang coba dikatakan oleh Sadr bahwasanya dalam mendiskusikan ekonomi Islam, kita harus membebaskan diri-diri kita dari kerangka pemikiran dan pengaruh orang-orang barat, dan yang menjadi dasar dari opini kita adalah sesuai dengan pandangan kita. Ini tentu saja tidak akan ditentang oleh para 153 154
Ibid., h.113-114 Ibid., h.114
136
cendikiawan Muslim dan sejak Sadr mempertahankan dari awal bahwa dia hanyalah mengamalkan pertanyaan ‘apa’, dia memulai untuk membangun sistem ekonomi Islam dalam kerangka tersebut. Sebagaimana yang telah dikerjakan Mannan dan Siddiq, untuk mendiskusikan ‘pengetahuan tentang Ekonomi’ (sesuai dengan definisi Sadr) dan dalam pelaksanaannya, mereka menerima analisis neo-klasikal. Ini juga yang Naqvi dan yang lainnya, seperti Sadr telah kupas. Mereka merasa bahkan dalam pengetahuan tentang ekonomi, kita harus membangun kerangka analisis kita sendiri. Sadr, tentu saja tidak memposisikan dirinya dalam garis ini karena dia menghindari semua isu ilmu pengetahuan. Baginya, pandangan dunia Islam dan kerangkanya, bersamasama dengan moral dan dimensi spiritualnya, yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan semua sistem lain. Bagaimanapun juga tidak mendiskusikan pengetahuan tentang ekonomi, meninggalkan kemandegan dalam pandangan Sadr, kemandegan yang harus ditangani oleh ahli ekonomi Islam. 155
3. Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr Adanya Karakteristik Sistem Ekonomi Islam, 156 di antaranya : a. Hubungan kepemilikan
155
Ibid., h.114 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.114 156
137
Sadr memandang Sistem Ekonomi Islam mempunyai perbedaan bentuk dari kepemilikan bersama. Sadr menjelaskan bentuk kepemilikan ini dibawah pemimpin-pemimpin berikut ini : 1) Kepemilikan pribadi 2) Kepemilikan umum i) Kepemilikan pribadi ii) Kepemilikan pemerintah Bagi Sadr, kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas penggunaan dan hak untuk menghentikan yang lain dari penggunaan kepemilikan orang. tidak ada beberapa hal seperti kepemilikan aktual kepada seorang individu. dalam hal ini pandangan Sadr serupa dengan Teleghani, yang berbeda antara kepemilikan (adalah Allah sendiri) dan milik (yang mungkin menjadi diizinkan kepada individu). 157 Perbedaan antara kepemilikan masyarakat dan pemerintah yang paling mendasar adalah didalam penggunaan beberapa property. Sementara ‘Properti Umum’ harus digunakan
untuk kemaslahatan
masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya), property pemerintah tidak hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan bersama, tetapi juga untuk masyarakat bagian tertentu, jika negaranya terpecah. Walaupun Katouzian (1983) menemui itu sulit untuk membuat pengertian operasional dari perbedaan ini benar-benar mencegah dari monopoli total dari keputusan pemerintah. Selain itu, meskipun kepemilikan Negara
157
Ibid., h. 115
138
adalah norma dalam pembagian Sadr mengenai sumber alam, kepemilikan pribadi dapat dicapai dengan cara bekerja atau karyawan, dan kaitannya, akan hilang jika pekerjaannya berhenti. 158 Menarik untuk dicatat bahwasanya Naqvi dan Teleghani (meskipun pandangan mereka tidak tegas atau tetap) menekankan kepemilikan bersama (kolektif) dan kepemilikan masyarakat berturut-turut, Sadr meletakan hampir seluruh kepercayaan terhadap kepemilikan pemerintah (Negara), karenanya Nampak menempatkan otoritas lebih besar ditangan pemerintah (wali amr). 159 b. Membuat keputusan, Alokasi Sumber Daya dan Kesejahteraan Umum: Peran dari sebuah Negara Sangat
jelas
fakta
bahwasanya
kepemilikan
pemerintah
mendominasi sistem ekonomi Sadr, mendemonstrasikan peran yang sangat penting dari sebuah Negara. Negara, direpresentasikan oleh wali- amr mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan keadilan itu berlaku. ini yang dicapai berbagai fungsi: c. Distribusi dari sumber alam kepada individu berdasarkan pada kesediaan dan kapasitas mereka untuk bekerja. d. Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah didalam penggunaan sumber-sumber daya. e. Memastikan keadilan sosial.
158
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.115 159 Ibid., h. 115
139
Ketiga fungsi pemerintah tersebut sangat penting karena konflik yang dapat muncul sehubungan dengan perbedaan alami didalam kapasitas individual (intelektual dan fisik). Sehubungan dengan perbedaan ini, pendapatan akan berbeda dengan terciptanya kelas ekonomi. Karena itu, pemerintah harus menyediakan keadilan satu standar hidup untuk semua (daripada persamaan pendapatan). Dalam hal ini, pemerintah juga dipercayakan untuk tugas didalam menyediakan jaminan sosial untuk semua. Menurut Sadr, dapat dicapai dengan menggalakkan persaudaraan (lewat pendidikan) diantara para anggota masyarakat dan melalui kebijakan pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik dapat membantu orang miskin. dan dengan cara mengatur kegiatan ekonomi untuk memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari eksploitasi. 160 Perlunya untuk memastikan keadilan sosial dan jaminan keamanan untuk semua didasarkan pada prinsip bahwasanya semua sumber alam dan hasilnya harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah, tetap mempercayakan dengan kepemilikan, adalah batasan tugas untuk meyakinkan ini dengan membantu siapa saja yang tidak membantu diri mereka sendiri. 161 Terakhir, pemerintah atau lebih tepat wali amr, dipercaya untuk menciptakan kedinamisan dalam menafsirkan teks sesuai dengan zaman sekarang ini. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun dan secara tidak langsung Sadr memandang mujtahidun sebagai pemerintah. Maksudnya tiap 160
Ibid., h.115-116 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116 161
140
pemerintah memiliki ahli hukum atau pemerintah mempunyai beberapa bentuk dewan penasehat yang senior. 162 f. Larangan Riba dan Pengamalan zakat Cukup aneh, Sadr tidak mendiskusikan riba seperti yang orang harapkan. Selain daripada itu, penafsirannya mengenai Riba dibatasi hanya pada diskusi tentang bunga dan modal uang . Dalam hal ini, Taleghani dan Naqvi menyediakan diskusi yang komprehensif mengenai isu ini. 163 Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr melihatnya sebagai tugas dari pemerintah. Bersamaan dengan zakat, Sadr juga mendiskusikan khums, fay dan anfal, demikian pula pajak lain yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk tujuan pengentasan kemiskinan serta untuk menciptakan keadilan sosial. 164 Bagaimanapun, poin yang menarik dimana Sadr sendiri memfokuskan pada kemiskinan yang relatif. Walaupun kita dapat menyetujui bahwa kemiskinan relatif adalah satu konsep yang penting terutama dalam sasaran keadilan sosial Sadr, argumentasinya dimana menentukan tingkat kemiskinan absolut – atau sebagai dia tetapkan, ‘ditetapkan’ tingkat kemiskinan, tidak akan perlu mendorong keadilan standar hidup antara orang miskin serta kaya adalah lemah. Para Cendikiawan Muslim setuju bahwasanya harus ada satu standar hidup dasar tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum bahwa setiap manusia adalah dijamin. pengaturan standar ini tidak menghentikan kita dari proses untuk mengurangi kekosongan didalam standar 162
Ibid., h.116 Ibid., h.116 164 Ibid., h.116 163
141
hidup seperti yang diusulkan Sadr. inti dari Sadr oleh karenanya tidak dapat diterima, akan menjadi situasi yang aneh dimana suatu Negara yang sangat miskin tidak mampu menyediakan keperluan-keperluan yang paling mendasar bagi orang-orang, tidak akan dipertimbangkan sebagai akibat kemiskinan yang melanda, sebagai alasan sederhana bahwa semua orang mempunyai standar hidup yang sama. 165 4. Distribusi a. Kepemilikan pemerintah adalah jenis dari kepemilikan yang paling sering, walaupun memetik hasil hak adalah dapat dicapai dari pemerintah. b. Kepemilikan pribadi diizinkan hanya dalam jumlah situasi yang terbatas 166 : i. Tanah tanaman dimana orang menerima Islam dengan sukarela (Islam lewat da’wah) ii. Jika menetapkan dalam perjanjian (hanya untuk tanah tanaman) iii. Mineral yang tersembunyi yang memerlukan usaha, dan hanya untuk sejumlah mineral yang tergali serta area yang tepat dari pertimbangan iv. Kekayaan lain, misalnya. melalui satu pekerjaan atau tenaga kerja seperti menangkap burung, memotong kayu bakar, dan sebagainya. c. Kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas menggunakan dan hak untuk mencegah yang lain dari peningkatan atau menggunakan property dalam satu kepemilikan.
165
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116-117 166 Ibid., h. 117-120
142
d. Untuk mineral dan air, individu diizinkan untuk menggunakan apa yang mereka butuh. Dua permasalahan mungkin muncul mengenai pandangan Sadr tentang kepemilikan dan hubungannya untuk hak distributif. Pertama, permasalahan keterkaitan. Sejalan dengan Taleghani, Klasifikasi Sadr menjadi dasar dimasa lalu, ketika Islam meluas; orang-orang akan mengatakan ini adalah pandangan yang ketinggalan zaman. Bagaimana pun terhadap inspeksi, masalah ini relevan mungkin sejak pertama kali nampak. Mari kita ambil Malaysia sebagai satu contoh untuk menggambarkan klasifikasi Sadr. Semenjak orang-orang Muslim di Malaysia masuk Islam dengan sukarela, Malaysia akan muncul dibawah kategori daratan dari perjanjian, Semua daratan ditanami oleh manusia pada waktu itu akan diakui milik pribadi lain halnya hutan dan daratan mati (barang sisa atau tak serasi) akan menjadi property pemerintah, dengan memetik hasil hak dapat dicapai. lagi pula, penafsiran Sadr tentang kepemilikan pribadi adalah satu yang sangat terbatas, dan karenanya tidak sangat berbeda dari memetik hasil hak. Oleh karena itu, Klasifikasi Sadr tidak sekuno seperti yang Nampak. 167 Kedua, mungkin masalah yang lebih penting sehubungan dengan ukuran perizinan dari hak untuk daratan. Sadr mengusulkan batasan terhadap ukuran property. untuk hal ini, kita harus meneruskan teori distribusi praproduksinya. Dari struktur bagian atas (bangunan bagian atas) atau ajaran hukum, Sadr melanjutkan lagi untuk menemukan pemikiran atau teorinya.
167
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
143
Cukup sederhana, teorinya mempunyai aspek positif dan aspek negatif. Sisi negatif mengatakan bahwa tanpa tenaga kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi. Sisi positif menyatakan kesimpulannya, misalnya. Tenaga kerja adalah sumber hak dan property yang cocok dalam kekayaan alami. Sadr lebih lanjut menyeleksi bahwa karyawan dilibatkan mesti ada jiwa seorang karakter ekonom, seperti melibatkan pemanfaatan dan laksanakan dengan paksaan. Bagaimanapun dalam bagian ekonomi, tenaga kerja memberikan bermacammacam tingkatan hak tergantung pada sifat alami sumber alam dan keadaannya. 168 a. Karyawan ekonom memberikan hak terhadap kepemilikan pribadi dari produk-produk karyawan itu sendiri. b. Karyawan ekonom memberikan hak kepemilikan untuk sumber alam c. Karyawan ekonom memberika prioritas individu dari penggunaan dan hak untuk mencegah yang lainya dari penggunaan property seseorang atau merampasnya (kecuali sumur, sumber mata air, dan sebagainya). d. Semua hak ini tidak berlaku ketika karyawan ekonomi berhenti. Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwasanya karyawan tidak memberi hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk produk-produk dari tanah. 169 Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak yang lebih terhadap tanah itu (termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa izinnya) dibandingkan seseorang yang
168
Ibid., h.120 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 169
144
bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan memerlukan lebih banyak usaha dan, lebih banyak hak. Poin ini penting ketika kita membicarakan masalah distribusi setelah produksi (post-production distribution). Setelah dipertimbangkan semuanya, kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah (dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr mengambil
pandangan
ini
berdasarkan
pada
konsep
khilafah
(vicegerency)nya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan pemerintah. Dengan ini, mari kita kembali kepertanyaan mengenai ukuran saham. Meskipun Sadr tidak secara jelas mengatakan bahwa ukuran tanah harus dibatasi, 170 dia menyebutkan 2 hal: 1. Tanah pribadi akan hanya menjadi tanah pribadi selama ada karyawan (buruh) yang terlibat 2. Pemilik hak dibeikan kepada tingkat kesediaan dan kemampuan untuk bekerja. Apa yang dimaksud dengan kapasitas bekerja? dibolehkan bagi orang kaya (pemilik tanah) untuk menjalankan petani bagi hasil tak terbatas sebagai penyedia benih ataupun pupuk, atau bahkan untuk membayar hak dari pemerintah diatas lahan besar tanah itu, tetapi menggarap tanah dengan sistem 170
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
145
petani bagi hasil. Pandangan Sadr mengenai tenaga kerja ekonomi tidak membolehkan akan hal ini dan kerenanya harus dibatasi ukuran saham tanah tersebut. hal ini yang membuat lebih jelas dalam pandangan tentang distribusi pasca produksi. 171 Sementara itu, dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan, dapat saja pemerintah memungut pajak atau zakat yang wajib di bayar dalam sistem ekonomi konvensional dan dalam ssitem ekonomi syariah. Namun apakah pungutan wajib tersebut akan mengurangi utility dari orang yang membayarnya atau malah meningkatkan utility-nya. 172 Atau bagaimana kita dapat menerangkan perilaku orang memberikan donasi dalam sistem ekonomi konvensional atau infak sedekah dalam sistem ekonomi syariah. Dalam menganalisa konsep ini, penulis menggunakan dua definisi rasionalitas dalam ekonomi konvensional, yaitu present aim dan self interest. 173 Dalam definisi present aim yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Jadi dalam perilaku present aim dominasi perspektif subyektif sangat tinggi terhadap suatu masalah sehingga timbul kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak mempertimbangkan faktor eksternal : agama, keluarga, lingkungan dan sebagainya. 171
Ibid., h.121 Sayidina Abu Bakar r.a pernah menginfakkan seluruh hartanya, dan hanya meninggalkan “Allah dan Rasul-Nya” kepada keluarganya. Sayidina Umar r.a menginfakkan separuh dari hartanya. Sa’ad ibn Rabi’ dari kaum Anshar juga pernah menawarkan membagi dua hartanya bahkan menawarkan salah satu dari dua istrinya kepada Abdurrahman ibn Auf, namun ditolak oleh Ibn Auf. Ibn Auf mendoakan “ Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, “ dan bertanya “tunjukkan aku di mana pasar.” 173 Robert Frank. Microeconomics and Behavior 2nd ed. (New york : Mc Graw, 1994). h.251 172
146
Misalnya perilaku korup bagi definisi present aim 174 bisa dikatakan tindakan rasional, karena ia berasionalisasikan dengan keadaan dirinya. Sedangkan dalam definisi self interest, motif yang mendorong ia melakukan suatu perbuatan. Perspektif subyektif dari perilaku ini lebih didasarkan oleh pertimbangan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dalam kerangka definisi self interest dapat 175 menerangkan perilaku pemberian donasi, infaq, sedekah, dan tindakan menolong lainnya. 176 Misalnya Hasan (IA) yang tidak saja memikirkan pendapatannya tapi juga memikirkan pendapatan Husein (IU). Secara matematis fungsi utility (Uf) ialah : Uf = f (Mf. Mz) Di mana : = utility Hasan
Mf
= Pendapatan Hasan
Mz
= Pendapatan Husein
174
Pendapatan Hasan
Uf
Peningkatan Kepuasan
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta : EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007), h.247 175 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.223 176 Dalam istilah ekonomi konvensional disebut sifat altruism sebagai lawan kata sifat selfish.
147
Pendapatan Husein
Gambar diatas 177 menunjukan pendapatan Hasan pada sumbu X, dan pendapatan Husein pada sumbu Y. Kurva indifference Hasan memiliki slope negatif yang berarti ia dapat menerima pendapatannya berkurang untuk kenaikan bagi pendapatan Husein. Perhatikan pula bentuk kurva indifference Hasan yang melengkung yang menunjukan diminishing MRS, yaitu semakin besar pendapatan Hasan, semakin besar jumlah yang ingin diberikannya kepada Husein agar pendapatan Husein bertambah banyak. Sebagaimana analisis penulis diatas, penulis berpendapat jika konsep distribusi Baqir Sadr dapat diterapkan, maka angka kemiskinan akan semakin berkurang. Sebaliknya, jika tidak diterapkan, maka angka kemiskinan di Indonesia akan semakin meningkat. Adapun strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi kendala zakat antara lain : 1). Zakat perlu disosialisasikan bukan saja pada wilayah-wilayah keagamaan saja. Anjuran berzakat tidak hanya di lembaga pendidikan agama, seperti pondok pesantren, sekolah-sekolah agama Islam dan lain semacamnya, tetapi juga di sekolah-sekolah umum.
177
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.223-224
148
2). Timbulnya kecenderungan zakat disamakan dengan pajak disebabkan masyarakat kurang memahami esensi zakat. Demikian juga, keadaan ini menggambarkan bahwa zakat dianggap kurang relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Oleh karenanya, memahamkan zakat tidak sekedar pendekatan agama tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik. 3). Koordinasi antara lembaga zakat perlu ditingkatkan. Di satu sisi hal ini akan bisa digunakan meningkatkan kinerja di masing-masing lembaga, di sisi lain menunjukan kondisi lembaga zakat yang baik pada masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dapat diawali dari keadaan ini. 4). Keberadaan UU yang telah dibuat pemerintah memberikan peluang bagi masyarakat
untuk
membuka
Walaupun
kenyataannya
lembaga Pemerintah
zakat
sebanyak-banyaknya.
kurang
efektif
dalam
mengimplementasikan UU ini, tetapi setidaknya UU ini menjadi legitimasi bagi umat Isam dalam mengembangkan lembaga zakat.
BAB IV TIINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr Distribusi (bersama-sama dengan hak milik) menduduki satu bagian penting
dari
pemikiran
Sadr.
Hampir
sepertiga
dari
Iqtishaduna-nya
mendiskusikan secara mendalam tentang distribusi dan hak milik. Sadr 1 membagi bahasannya kedalam dua bagian, misalnya, distribusi Pra produksi dan distribusi pasca produksi. Menjadi seorang ahli hukum tradisional, penampilan Sadr menjadi dasar atas ajaran hukum yang berkenaan dengan kepemilikan dan hak distributif. 1. Teori Disribusi Pra Produksi Pada dasarnya mendiskusikan distribusi dari tanah dan sumber alam
yang
lain,
dimasukan
sebagai
kekayaan
primer.
Dalam
mendiskusikan status kepemilikan sumber alam, Sadr 2 membagi sumber alam ke dalam empat kategori, misalnya. daratan, bahan baku (sumber alam) di daratan, air alami dan sisanya kekayaan (sungai/hasil laut, bintang, tumbuh-tumbuhan). Sebuah ringkasan dari pandangannya didaratan (tanah) dan kategori yang lain dari sumber alam dapat dilihat pada tabel berikut : 3
1
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.117 2 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung : Mizan, 2001). h.191 3 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117
74
75
Kepemilikan Tanah Kategori Tanah / Bentuk Penaklukan tanah
Tanah yang ditanami (Pertanian) Kepemilikan umum (khalayak); penduduk membayar pajak yang digunakan untuk masyarakat secara keseluruhan Kepemilikan pribadi oleh para penduduk
Tanah hasil da’wah
Tanah hasil perjanjian
Tergantung pada perjanjian; kepemilikan pribadi atau umum (masyarakat) Kepemilikan pemerintah
Tanah yang lainya
Tanah Kosong (Lahan tidak kepakai) Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya lewat buruh; pajak dibayar kepada pemerintah Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperolah hak untuk menggarapnya Kepemilikan pemerintah
Secara alami membentuk lahan yang tertanami (hutan) Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya
Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk mengarapnya Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan Sumber Alam lainya Sumber Alam / Bentuk i) Sumber Alam di tanah (minyak, batubara, dan sebagainya)
Zahir (terbuka) (Sudah dalam bentuk yang terselesaikan) Kepemilikan umum dan kepemilikan pemerintah (Negara)
ii) Air alami
Lautan, sungai-kepemilikan umum
iii) Kekayaan alam lainya
(a) (b)
Batin (tersembunyi) (belum dalam bentuk yang terselesaikan) Jika dekat kepermukaan-kepemilikan umum atau pemerintah Jika didalam / membutuhkan usaha – kepemilikan pemerintah adalah aturannya tetpi kepemilikan pribadi untuk sejumlah penggalian dan area tambang
Sumur, dan sumber mata air-kepemilikan umum dan hanya prioritas penggunaan Kepemilikan pribadi dibolehkan lewat bekerja (menangkap burung, memotong kayu bakar)
a. Distribusi Kekayaan (Publik) Pada dua Tingkatannya Sadr 4 memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan bersama yang berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua yakni kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i) Kepemilikan publik, (ii) milik negara. Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak berguna untuk menghentikan orang lain dari penggunaan milik seseorang. Dalam prakteknya tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini sama dengan pendapat
4
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer ,( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255
76
Taleghani (seorang alim) yang membedakan antara kepemilikan (hanyalah Allah semata) dan pemilikan (yang dapat diwarisi kepada individu). 5 Sadr 6 membagikan Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan; yang pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi, sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif. Yang dimaksud dengan sumber-sumber produksi adalah; tanah, bahanbahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam barang dan komoditas, yang mana semua ini berperan dalam [proses] produksi pertanian (agricultural) dan [proses] produksi industri atau dalam keduanya. 7 Yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas (barangbarang modal dan aset tetap [fixed asset] yang merupakan hasil dari proses kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia. 8 Jadi, ada yang dinamakan primer dan ada yang dinamakan kekayaan sekunder adalah barang-barang modal yang merupakan hasil dari usaha (kerja) manusia menggunakan sumber-sumber tersebut. Diskusi tentang distribusi harus mencakup kedua jenis kekayaan itu; kekayaan induk dan kekayan turunan, yakni sumber-sumber produksi dan barangbarang produktif. 9 Jelas bahwa distribusi sumber-sumber produksi yang dasar mendahului proses produksi itu sendiri, karena manusia hanya melakukan aktifitas produktif
5
Ibid.h.255 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.393 7 Ibid., h.393 8 Ibid., h.393 9 Ibid., h.393 6
77
yang sesuai dengan
metode atau cara melakukan aktivitasnya dalam
mendistribusikanya sumber-sumber produksi. Jadi yang pertama adalah sumber-sumber produksi, baru kemudian produksi. Berkenaan dengan distribusi kekayaan produktif, ia terkait dengan produksi dan bergantung padanya, karena ia menguasai produk yang pada gilirannya menghasilkan produksi. Dari sini dapat dipahami bahwa yang menjadi titik awal atau tingkatan pertama dalam sistem ekonomi
Islam adalah distribusi, bukan produksi
sebagaimana dalam ekonomi-politik tradisional. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi sumber-sumber [produksi] mendahului proses produksi, dan setiap organisasi yang terkait dengan proses produksi otomatis berada pada tingkatan kedua. 10 b. Sumber Asli Produksi Dalam ekonomi politik 11 , sumber-sumber produksi terbagi ke dalam tiga kriteria sebagai berikut. 1) Alam. 2) Modal (barang-barang modal) 3) Kerja, termasuk organisasi yang dengannya sebuah proyek (rencana) disusun dan di jalankan. [Barang-barang] modal adalah kekayaan yang dihasilkan (produced wealth) dan bukan merupakan sumber asli produksi, karena setiap barang jadi (finished good) dihasikan oleh kerja manusia lalu pada gilirannya berperan 10
Ibid., h.393 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.152 11
78
menghasilkan kekayaan lagi. Misalnya, sebuah mesin yang memproduksi tekstil bukanlah sebuah kekayaan yang murni natural. Mesin tersebut adalah bahan natural yang telah dibentuk oleh kerja manusia dalam sebuah proses produksi. 12 Kebutuhan (hajat) dan kerja (amal) adalah suatu perangkat distribusi, dalam perspektif Islami kerja adalah alat distribusi paling primer dipandang dari sudut kepemilikan. Orang yang bekerja akan memetik hasil dan memilikinya. 13 Sedangkan kebutuhan adalah perangkat distribusi primer sebagai pernyataan sebuah hak manusia yang bersifat esensial dalam kehidupan. Masyarakat Islam mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial. Perangkai ketiga menurut Sadr menambahkan properti sebagai perangkat distribusi. 14 Dalam Islam pekerja konsep sentral yang menurunkan properti, dalam perspektif Sadr properti menjadi sebuah elemen sekunder distribusi dan selalu di batasi oleh satu khazanah agama. Properti dalam pengertian Sadr merupakan alat distribusi sekunder melalui aktivitas komersial yang diizinkan Islam dalam syaratsyarat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keadilan sosial. 15 Sementara kerja adalah sebuah elemen abstrak dan immaterial, bukan sebuah faktor material yang dapat masuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi ataupun kepemilikan publik.
12
Ibid., h.152 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung : Mizan, 2001), h.180 14 Ibid., h.181 15 Ibid., h.181 13
79
Atas dasar ini, hanya alam yang dapat menjadi subjek kajian kita saat ini, karena ia merupakan unsur material yang belum mengalami [proses] produksi. 16 c. Perbedaan Berbagi Posisi Doktrinal ihwal Distribusi Sumber-sumber Alam untuk Produksi Islam berbeda dari kapitalisme dan Marxisme dalam kekhususankekhususan dan perincian-perincian saat mengalami masalah distribusi sumbersumber alam untuk produksi (mashadir ath thabi’ah al ‘intaj). 17 Islam membatasi kebebasan individu dalam memiliki sumber-sumber tersebut dari bentuk-bentuk produksi. Karena masalahnya menurut Islam Bukanlah terletak pada kebutuhan akan suatu sistem distribusi instrument (sarana) sehingga sistem distribusi berubah setiap kali produksi demi pertumbuhannya membutuhkan suatu sistem [distribusi] baru. 18 Jadi, yang dibutuhkan adalah pemenuhan segenap kebutuhan dan keinginan itu dalam kerangka manusiawi, dimana seorang individu manusia bisa menumbuh-kembangkan eksistensinya sesuai dengan kerangka tersebut. Ketika hubungan diantara manusia terjalin dan kemudian masyarakat terwujud, maka akan muncul berbagai kebutuhan bagi kebutuhan dan keinginan masyarakat melalui institusi kepemilikan bersama atas sumber-sumber produksi tertentu. 19 Banyak individu yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya melalui kepemilikan pribadi. Para individu tersebut akan tertekan karena tidak bisa 16
Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h. 397 17 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.397 18 Ibid., 398 19 Ibid., 398
80
memenuhi berbagai kebutuhanya, akibatnya kesetimbangan sosial akan terganggu. Disini Islam memunculkan bentuk ketiga dari institusi kepemilikan, yakni kepemilikan Negara, yang dengannya kepala Negara (waliyyul amr) bisa menjaga keseimbangan itu. 20 Dengan cara inilah distribusi sumber-sumber alam untuk produksi dijalankan, yakni dengan membagi sumber-sumber tersebut kedalam tiga institusi dan kepemilikan; kepemilikan pribadi, kepemilikan publik atau kepemilikan bersama, dan kepemilikan Negara. 21 Perbedaan antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar dalam penggunaan properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk kepentingan orang (seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara tidak hanya untuk kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat tertentu, jika negara telah memutuskan. Walau pun sulit membuat pengertian operasional dari perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total monopoli yang diputuskan oleh suatu negara. Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma milik negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga kerja. Hal ini sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang. 22 d. Sumber-sumber Alam untuk Produksi Dalam ekonomi Islam, Sadr 23 membagi sumber-sumber produksi ke dalam beberapa kategori.
20
Ibid., 399 Ibid., 399 22 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255-256 21
81
1) Tanah. Ini adalah kekayaan alam yang paling penting, dimana tanpanya hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk apapun. 2) Substansi-substansi primer. Berbagai mineral yang terkandung diperut bumi, seperti batubara, belerang, minyak, emas, besi, dan lain sebagainya. 3) Aliran air (sungai) alam. Salah satu unsur penting dalam kehidupan material manusia, yang berperan besar dalam produksi dan system perhubungan agrikultural. 4) Berbagai kekayaan alam lainnya. Terdiri atas kandungan laut, seperti mutiara dan hewan-hewan laut; kekayaan yang ada dipermukaan bumi, seperti berbagai jenis
hewan dan tumbuhan; kekayaan yang tersebar
diudara, seperti berbagai jenis burung dan oksigen; kekayaan alam yang “tersembunyi”, seperti air terjun yang bisa menghasilkan tenaga listrik yang dapat dialirkan melalui kabel melalui titik mana pun; juga kekayaan alam lainnya. 1) Tanah Syariah membagi tanah yang dianeksasi Daarul Islam (Negara Islam) ke dalam tiga bentuk kepemilikan; kepemilikan publik, kepemilikan Negara, dan kepemilikan pribadi. 24
23
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.156-157 24 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.159
82
Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah, Sadr membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu membahas masing-masing kelas tersebut berikut status kepemilikannya : a) Tanah yang Masuk Wilayah Islam lewat Penaklukan (Fath) Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan banyak belahan lain dunia Islam. 25 Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama. Ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang tercurah untuk menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi kepentingan manusia. Ada tanah yang subur secara alami tanpa intervensi manusia. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia maupun tangan alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini biasa disebut tanah mati. 26 Itulah tiga jenis tanah yang terbedakan oleh keadaannya ketika dianeksasi oleh Islam. Dalam Islam, tanah-tanah tersebut ada yang mendapat status milik Negara, sebagaimana akan kita lihat nanti. (1) Tanah yang Di garap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan Jika sebidang tanah saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh tangan manusia, dan ia berbeda dalam penguasaan seseorang, dimana orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi milik bersama seluruh Muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim dimasa datang. 25 26
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973)., h.400 Ibid., h.401
83
Jadi, kaum Muslim-lah ‘setiap periode sejarah’ yang menjadi pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam, seseorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya milik pribadi. 27 Penting untuk dicatat, 28 bahwasanya karyawan tidak memberi hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk produk-produk dari tanah. Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak yang lebih terhadap tanah itu, 29 dibandingkan seseorang yang bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan memerlukan lebih banyak usaha dan lebih banyak hak. 30 Seorang ulama besar Najafi, 31 dalam kitab Al-Jawahir-nya mengutip dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al-Khilaf dan AtTadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara fikih Imamiyyah mengenai aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam.
27
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.160 28 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995)., h.120 29 termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa ijinnya. 30 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995)., h.121 31 Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.160
84
Demikian
pula,
Al-Mawardi
mengutip
Imam
Malik
yang
mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim [yang dikelola oleh Negara] sejak saat ia ditaklukan, dimana waliyyul amr (kepala Negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang di kelola oleh negara’. 32 (2) Tanah Mati pada Saat Penaklukan Sebidang tanah yang saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia tidak termasuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal status kepemilikannya. 33 Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan dipandang sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap (tanah mati) saat masuk ke pangkuan Darul Islam dipandang milik Negara. 34 (3) Tanah yang subur secara Alami pada saat Penaklukan Banyak fakih berpendapat bahwa tanah yang subur secara alami pada saat penaklukan seperti hutan dan lain sebagainya memiliki status
32
Ibid., h.161 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.413 34 Ibid., h.413 33
85
kepemilikan yang sama dengan tanah mati. Mereka berkeyakinan bahwa tanah-tanah semacam ini menjadi milik Imam. 35 Mereka menyandarkan pendapat mereka pada sejumlah riwayat dari para Imam (Ahlul Bait) yang menyatakan bahwa “Setiap tanah tak bertuan adalah milik Imam.” Riwayat ini memberikan Imam hak kepemilikan atas setiap tanah tak bertuan, hutan-hutan, dan tanah-tanah sejenis lainnya. Tanah tidak di miliki oleh siapa pun kecuali bila ia digarap, sementara hutan disuburkan oleh Alam tanpa campur tangan individu manapun. Atas dasar itu, dalam syari’ah keduanya dipandang tidak bertuan, dan konsekuensinya menjadi subjek prinsip kepemilikan negara. 36 b) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Dakwah Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lain yang tersebar di dunia Islam. 37 Tanah-tanah hasil dakwah, sebagaimana pula tanah-tanah taklukan, dibagi menjadi dua jenis. Pertama, tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka menerima masuk Islam secara sukarela. Kedua, tanah yang subur secara alami seperti hutan, serta tanah yang pada saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah mati. 38
35
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.421 Ibid., h.421 37 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.190 38 Ibid., h.190 36
86
Berkenaan dengan tanah mati di daerah yang para penduduknya menjadi Muslim secara sukarela, 39 status kepemilikannya sama dengan tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. Prinsip kepemilikan negara dan aturan-aturan yang sama berlaku atas keduanya. Tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati secara umum dipandang sebagai anfal (rampasan perang yang hak penguasaan dan pengelolaannya berada di tangan Nabi Saw, atau Imam sebagai kepala negara), dan anfal adalah milik negara. Demikian pula tanah-tanah yang subur secara alami yang masuk ke pangkuan Islam melalui dakwah, mereka juga menjadi milik negara atas dasar prinsip hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah tak bertuan adalah bagian dari anfal.” 40 Namun, walaupun keduanya adalah milik negara, ada perbedaan antara tanah mati dan tanah yang subur secara alami. Seorang individu dapat memiliki hak spesifik atas tanah mati yang masuk kepangkuan Islam melalui dakwah jika ia menghidupkannya, dan aturan-aturan yang sama berlaku atas tanah tersebut sebagaimana halnya tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. 41 Sementara dalam kasus tanah-tanah yang subur secara alami dan secara damai masuk ke pangkuan Daarul Islam, individu tidak berhak atas hak
39
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 40 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.191 41 Ibid., h.191
87
kepemilikan atasnya karena tanah tersebut subur dengan sendirinya. Individu hanya boleh mengambil manfaat darinya. 42 Ketika seseorang mengambil manfaat dari tanah ini, maka tidak ada seorang pun yang dapat merebut tanah ini darinya. Tidak ada seorang pun yang beroleh preferensi atas yang lain selama individu pertama mengambil manfaat dari tanah ini. 43 Bagaimana pun, individu lain diperkenankan mengambil manfaat dari tanah tersebut selama tindakannya itu tidak mengganggu dan mencegah individu pertama dalam memanfaatkan tanah tersebut, atau ketika individu pertama tidak lagi memanfaatkan tanah tersebut dan tidak lagi menggunakannya untuk tujuan produktif. 44 Sementara tanah-tanah garapan yang disuburkan lewat usaha dan kerja manusia di daerah yang penduduknya memeluk Islam secara sukarela, mereka tetap menjadi milik para pemilik aslinya. Ini karena Islam memberi Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, semua hak yang ia miliki sebelum ia memeluk Islam. Maka para individu Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, tetap menguasai tanah-tanah mereka sebagai pemilik pribadi, sehingga tidak ada pajak yang dibebankan kepada mereka. Seluruh milik mereka sebelum menjadi Muslim, sepenuhnya tetap menjadi milik mereka. 45
42 43 44 45
Ibid., h.191 Ibid., h.191 Ibid., h.191 Ibid., h.192
88
c) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Perjanjian (Shulh) Tanah Shulh adalah tanah yang diinvasi oleh kaum Muslim guna di kuasai, dimana para penduduknya tidak memeluk Islam namun tidak pula melakukan perlawanan bersenjata. Mereka tetap memeluk agama mereka serta merasa puas hidup damai dan aman dibawah naungan dan lindungan negara Islam. 46 Tanah seperti ini di namakan ‘tanah perjanjian’, kapan pun istilah tanah perjanjian digunakan, ia pasti merujuk pada tanah jenis ini. Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik para penduduknya, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik mereka, dan masyarakat Islam tidak memiliki hak atau klaim apapun atasnya. 47 Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik masyarakat Muslim, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik masyarakat Muslim dan menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama, di mana kharaj (pajak) berlaku atasnya. 48
d) Tanah-tanah lain yang menjadi Milik Negara Sadr membagi jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan (invasi). Tanah-tanah seperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara di bawah
46
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.423 Ibid., h.423 48 Ibid., h.423 47
89
penguasaan Nabi Saw. dan para Imam sepeninggal beliau,49 sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 6
☺ ⌧ ⌧
⌦
Artinya: “Dan apa saja rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari harta benda mereka, maka untuk mendapatkan itu kalian tidak mengerahkan seekor kuda pun dan tidak pula seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.” Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa atau telah punah, ia menjadi milik negara, begitu juga dengan tanah yang baru terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol) yang terbentuk di tengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik negara berdasarkan aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah yang tak berpenghuni menjadi milik Imam.” 50 Kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah (dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr
51
mengambil pandangan ini berdasarkan pada konsep
khilafahnya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan pemerintah. 49
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.193 50 Ibid., h.194 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
90
2) Bahan-bahan Mentah dari Perut Bumi Bahan-bahan mentah dan kekayaan mineral yang terkandung didalam perut bumi memiliki peran penting setelah tanah dalam kehidupan produktif dan ekonomi manusia, karena faktanya komoditas material apapun yang manusia nikmati adalah produk dari tanah dan kekayaan mineral yang terkandung di dalam perut bumi. 52 Karena itulah, sebagian besar dari cabang-cabang industri bergantung pada industri-industri konstruksi dan pertambangan yang darinya manusia memperoleh bahan-bahan dan mineral-mineral tersebut. Para fakih 53 umumnya membagi bahan-bahan mineral ke dalam dua kategori, yakni : azh Zhahir (terbuka) dan al bathin (tersembunyi). Mineral-mineral azh Zhahir adalah bahan-bahan yang tidak membutuhkan usaha serta proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya, dan substansi mineralnya tampak dengan sendirinya, seperti garam dan minyak. 54 Jika kita ke sebuah sumur minyak, kita akan menemukan mineral di sana dalam keadaan aktualnya, di mana kita tidak perlu melakukan proses lebih lanjut guna mengubahnya menjadi minyak, walau pun kita memang harus mencurahkan usaha yang besar untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumur minyak tersebut serta memurnikan minyak yang di hasilkan. Istilah azh Zhahir dalam fikih tidak digunakan dalam arti lateralnya, yakni terbuka atau tidak membutuhkan penggalian dan eksplorasi. Istilah az Zhahir di sini adalah istilah deskriptif yang menunjukan setiap mineral yang ketika 52
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.439 Ibid. h.439 54 Ibid. h.439 53
91
ditemukan ia telah berada dalam bentuk akhirnya, tidak memandang apakah manusia harus mencurahkan usaha yang besar untuk mendapatkannya dari kedalaman bumi atau menemukannya dengan mudah di permukaan bumi. 55 Sedangkan mineral-mineral al Bathin, dalam fikih berarti setiap mineral yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat mineralnya tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi tidak mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya di kedalaman bumi. Tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan usaha yang besar guna mengubahnya menjadi emas dan besi dalam bentuk yang diketahui oleh para pedagang. 56 Keterbukaan dan ketersembunyian dalam istilah fikih terkait dengan sifat suatu bahan dan derajat kesempurnaan keadaannya, tidak terkait dengan lokasi atau kedekatannya dengan permukaan ataupun kedalaman bumi. a) Mineral-Mineral Terbuka Menurut fatwa (opini hukum) 57 yang berlaku, mineral-mineral terbuka seperti garam dan minyak adalah milik bersama masyarakat. Islam tidak mengakui penguasaan seseorang atas sumber mineral-mineral tersebut, karena mereka menurut fatwa yang berlaku berada di bawah ruang lingkup prinsip kepemilikan bersama. Individu hanya di izinkan untuk mengambil kekayaan mineral jenis ini sebanyak yang mereka butuhkan, tidak diperkenankan memonopolinya dan menguasai tambang-tambangnya.
55
Ibid. h.439 Ibid. h.439 57 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 56
92
Atas dasar ini, adalah kewajiban negara atau Imam sebagai pemimpin masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas kekayaan alam sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut produktif dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. 58 b) Mineral-Mineral Tersembunyi Dalam terminologi fikih, 59 yang di maksud dengan mineral-mineral tersembunyi adalah mineral-mineral yang kala di temukan tidak berada dalam bentuk dan kondisi akhirnya. Usaha dan proses lebih lanjut dibutuhkan guna mengubah mereka ke bentuk akhirnya, contohnya adalah emas. Emas tidak eksis dalam bentuk dan kondisi akhirnya. Usaha dan proses lebih lanjut harus di lakukan guna mengubah dan membentuknya menjadi emas sebagaimana yang kita kenal. Mneral-mineral tersembunyi juga terdiri atas dua jenis. Pertama, yang ditemukan dekat dari permukaan bumi. Kedua, yang eksis di bawah perut bumi sedemikian hingga kita tidak mungkin menjangkaunya tanpa penggalian dan kerja keras. 60
c) Mineral-Mineral Tersembunyi yang dekat dari Permukaan Bumi
58
Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.215-216 59 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.117 60 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.442
93
Berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi yang berada dekat dengan dari permukaan bumi, dalam syari’ah aturannya adalah seperti halnya mineralmineral terbuka. 61 ‘Allamah al Hilli 62 menyatakan dalam at Tadzkirah bahwa mineralmineral tersembunyi dapat saja terbuka dalam pengertian mereka eksis dekat dari permukaan bumi atau di atas permukaannya sehingga dapat diambil dengan tangan, juga dapat tertutup. Jika mineral-mineral tersembunyi itu terbuka, maka mereka tidak bisa di miliki lewat reklamasi sebagaimana telah di jelaskan. Bahkan hingga hari ini, Sadr 63 menemukan bahwa para fakih tidak mengizinkan mineral-mineral terbuka dan mineral-mineral tersembunyi yang eksis dekat dari permukaan bumi menjadi milik pribadi. Mereka hanya mengizinkan individu untuk mengambilnya dalam batas kewajaran sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan begitu, terbuka ruang yang lebar bagi penggunaan dan pemanfaatan mineral-mineral tersebut pada skala yang lebih luas dari eksploitasi monopolistik oleh penguasaan individual. d) Mineral-Mineral Tersembunyi yang Terpendam Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam jauh di dalam perut bumi memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk mengeksplorasi serta menggali demi mendapatkannya, dan (2) usaha untuk memurnikan serta menampakkan sifat-sifat mineralnya. Contoh dari mineral-mineral seperti ini adalah emas dan
61
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.218 62 Ibid. h.219 63 Ibid. h.220
94
besi. Sadr 64 menamakan jenis mineral seperti ini sebagai ‘mineral-mineral tersembunyi yang terpendam’. Dalam yurisprudensi Islam (fikih), sejumlah teori telah di kemukakan berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi ini. Ada yang berpendapat bahwa mineral-mineral tersebut adalah milik negara atau Imam sebagai Kepala Negara, bukan sebagai pribadi, diantaranya adalah Al Kulaini, Al Qummi, Al Mufid, Ad Dailami, Al Qadhi, dan lainnya. 65 Mereka berpendapat bahwa mineral adalah seperti anfal, dan merupakan milik negara. Lalu, ada juga yang berpendapat bahwa mineral-mineral tersebut adalah milik bersama semua orang,
yakni berada dibawah naungan prinsip
kepemilikan publik. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam asy Syafi’i dan banyak ulama mazhab Hanbali. Berdasarkan apa pun yang dikatakan teks-teks dan teori-teori hukum tentang kepemilikan tambang, Sadr
66
menyimpulkan bahwa tambang menurut
opini hukum yang dominan adalah milik bersama yang dapat di manfaatkan bersama-sama dan subjek dari prinsip kepemilikan bersama. Tidak seorang pun boleh menguasai sumber-sumber dan akar-akar tambang yang berada di bawah perut bumi. e) Apakah Kepemilikan Tambang mengikuti Kepemilikan Tanah ? Dalam Syari’ah tidak terdapat teks yang menyatakan bahwa kepemilikan tanah juga mencakup setiap dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya. 67
64
Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.444 Ibid. h.445 66 Ibid. h.448 67 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.226-228 65
95
Menurut Sadr
68
bahwa kecuali jika ada konsensus penting (ijma’
ta’abbudi) yang menyatakan sebaliknya, secara hukum kita dapat menyatakan bahwa tambang-tambang yang berada di tanah milik individu tidak menjadi properti individu pemilik tanah tersebut. Namun, hak individu pemilik tanah (atas tanahnya) harus di perhatikan, karena reklamasi dan eksploitasi tambang bergantung pada kehendak (izin) si pemilik tanah. f) Iqtha’ dalam Islam Salah satu istilah teknis hukum Islam yang terkait dengan tanah dan tambang adalah Iqtha’ (fief). Dalam pembicaraan banyak fakih kita menemukan pernyataan bahwa pemberian tanah ini atau tambang itu yang merupakan milik imam, dengan perbedaan di antara keduanya dalam batas-batas di mana Imam berhak melakukannya. 69 Kata Iqtha’ sangat diasosiasikan dengan sejarah Abad Pertengahan, khususnya sejarah Eropa, dengan konsepsi-konsepsi dan institusi-institusi yang amat jelas, yang menentukan hubungan-hubungan di antara tuan tanah dan penggarap tanah (budaknya), serta mengatur hak-hak mereka masing-masing dan di berbagai belahan dunia lainnya. 70 Definisi Iqtha’ diberikan oleh Syekh ath Thusi dalam kitab Al Mabsuth, yakni di mana Imam memberikan hak kepada seseorang untuk mengusahakan suatu sumber kekayaan alam. Usaha orang itu dipandang sebagai dasar bagi pemberian hak spesifik kepadanya atas sumber kekayaan alam tersebut. 71
68
Ibid. h.226-228 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.449 70 Ibid. h.449 71 Ibid. h.450 69
96
Islam tidak memandang
Iqtha’ sebagai dasar bagi penyerahan
kepemilikan sumber daya kepada individu, karena hal itu akan merusak karakteristik iqtha’ sebagai sebuah cara eksploitasi dan distribusi kerja. 72 Iqtha’ hanya memberi individu hak untuk memanfaatkan sumber-sumber alam, dan konsekuensinya ia wajib bekerja mengeksploitasi sumber-sumber alam tersebut, di mana tidak seorang pun bisa mencegahnya dari melakukan hal itu. Tiada
seorang
pun
selainnya
yang
diperkenankan
memanfaatkan
dan
mengeksploitasi sumber-sumber alam tersebut. 73 Dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik, yang mana sumber-sumber itu tidak membutuhkan reklamasi dan kerja, maka individu yang mencurahkan kerja di sana tidak beroleh hak khusus atas sumber-sumber tersebut. Dalam hal ini, iqtha tidaklah sah dan tidak di izinkan, sebab bila di izinkan maka iqtha akan kehilangan makna Islaminya, karena sumber-sumber tersebut tidak membutuhkan kerja dan kerja pun tidak berpengaruh di sana. 74 Jadi, dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik seperti ini, pemberlakuan iqtha dan pemberian hak kerja kepada individu merupakan perwujudan dari monopoli atau eksploitasi demi kepentingan diri sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan konsep iqtha dalam Islam dan fungsi aslinya. Karena itulah syariah melarang hal ini dan membatasi iqtha pada sumber-sumber alam yang memang membutuhkan kerja. 75
72 73 74 75
Ibid. h.451 Ibid. h.452 Ibid. h.453 Ibid. h.454
97
g) Iqtha’ Tanah Kharaj Ada satu hal lagi di mana istilah iqtha digunakan dalam bahasa yuridis. Namun, yang dimaksud bukanlah iqtha yang sebenarnya, melainkan pembayaran atas jasa yang telah diberikan. 76 Objek iqtha ini adalah tanah kharaj (tanah yang dikenal pajak) yang merupakan milik umat, di mana dalam hal ini gubernur (kepala pemerintahan) dapat memberikan seorang individu sesuatu dari tanah kharaj misalnya, sebagian dari pajak terkumpul, dan memberinya wewenang untuk mengumpulkan pajak dari tanah tersebut. 77 Pemberian wewenang ini dilakukan oleh gubernur. Walau pun hal ini kerap di lihat dalam arti historisnya dan secara tidak sah sebagai proses pemberian hak kepemilikan atas tanah, namun sebenarnya dalam pengertian yuridisnya serta dalam batas-batas yang dibenarkan, hal ini tidaklah demikian. Pemberian wewenang ini hanyalah suatu cara pembayaran atau penggajian atau pemberian kompensasi kepada para individu atas layanan publik yang telah mereka berikan. 78 Penerima iqtha berhak memiliki pajak tanah sebagai imbalan atas layanan publik yang telah ia berikan kepada umat, namun ia tidak memiliki tanah tersebut, tidak pula mendapat hak dasar untuk menguasai ataupun mengeksploitasi tanah
76
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.235 77 Ibid. h.236 78 Ibid. h.236
98
itu. Tanah tersebut tetap menjadi milik kaum Muslim dan tetap berstatus tanah kharaj. 79
h) Hima Dalam Islam Konsepsi tentang hima (tanah yang diproteksi) diperoleh dari bangsa Arab kuno. Hima berarti tanah mati yang dimonopoli oleh orang-orang “kuat”, di mana mereka tidak mengizinkan orang lain mengambil manfaat dari tanah tersebut. Orang-orang “kuat” tersebut menganggap segala sumber daya ataupun kekayaan yang terkandung di tanah itu secara eksklusif menjadi milik mereka karena mereka bisa menguasai tanah itu untuk kepentingan mereka sendiri, serta dengan kekuatan dan kekuasaan mereka mampu mencegah orang lain mengambil manfaat darinya. 80 Dalam Islam, kenyataan bahwa seseorang mampu menguasai dan mengendalikan sumber-sumber alam tidak dapat di jadikan dasar bagi pemilikan hak atas sumber-sumber tersebut. Satu-satunya hima yang di izinkan Islam adalah hima Rasulullah Saw, di mana beliau memproteksi tanah mati demi maslahat umum seperti tanah Baqi’, yang diperuntukkan bagi unta-unta sedekah, hewanhewan ternak jizyah, dan kuda-kuda para mujahid. 81 3) Air Alami Sumber air ada dua jenis. Pertama adalah sumber-sumber terbuka (mashadir maksyufah) yang telah Allah ciptakan bagi manusia di atas permukaan bumi, seperti lautan dan sungai. Kedua adalah sumber-sumber yang terkubur dan 79 80 81
Ibid. h.237 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.456 Ibid. h.456
99
tersembunyi di dalam perut bumi, yang mana manusia harus melakukan penggalian guna mendapatkannya. 82 Sumber air jenis pertama digolongkan ke dalam milik bersama masyarakat. Kekayaan alam seperti ini secara umum disebut sebagai milik bersama, di mana Islam tidak mengizinkan seorang individu pun untuk menguasainya sebagai milik pribadinya sendiri. Sebaliknya, Islam mengizinkan semua individu untuk menikmati manfaatnya, dengan tetap menjaga keutuhan karakteristik dari prinsipnya, yakni bahwa substansi-substansi aktual dan hak kepemilikan atas mereka adalah milik bersama. 83 Tidak seorang pun memiliki laut atau sungai alami sebagai milik pribadinya. Semua orang boleh menikmati manfaatnya. Atas dasar ini kita memahami bahwa sumber-sumber air alami yang terbuka adalah subjek prinsip kepemilikan publik. 84 Sementara air yang sumbernya terkandung di dalam perut bumi, tidak seorang pun bisa mengklaimnya sebagai miliknya kecuali jika ia bekerja untuk mengaksesnya, melakukan penggalian untuk menemukan sumber tersebut dan membuatnya siap guna. Ketika seseorang membuka sumber ini dengan kerja dan penggalian, maka ia berhak atas mata air yang ditemukannya. 85 Ia berhak mengambil manfaat mata air tersebut dan mencegah intervensi orang lain. Karena ia yang membuka kesempatan (peluang) untuk menggunakan dan memanfaatkan mata air itu, maka ia berhak memanfaatkan kesempatan 82
Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.239 83 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 84 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.239 85 Ibid. h.240
100
tersebut. Sementara mereka yang tidak ikut andil dalam membuka kesempatan itu, tidak berhak mengintervensinya dalam menikmati manfaat mata air tersebut. 86 Ia menjadi lebih berhak ketimbang orang-orang lain atas mata air tersebut dan memiliki air yang memancar berkat usahanya, karena ini adalah jenis penguasaan, di mana ia tidak memiliki sumber airnya yang terdapat di dalam perut bumi. Karena itu, ia wajib membagi air dari mata air itu secara gratis kepada orang-orang lain untuk minum maupun hewan ternak mereka setelah ia memenuhi kebutuhannya sendiri. 87 Dalam hal ini, ia tidak boleh meminta apapun sebagai imbalan. Hal ini dikarenakan substansi tersebut tetap menjadi milik bersama. Si penemu mata air hanya memiliki hak prioritas sebagai hasil dari usahanya dalam menemukan mata air itu. Maka, ketika ia telah memenuhi keperluan dan kebutuhannya akan air dari mata air tersebut, orang-orang lain berhak mengambil manfaat dari mata air itu. 88 4) Kekayaan Alam Yang Lain Kekayaan alam yang lain masuk ke kategori al mubahatul ‘ammah (halhal yang boleh bagi semua orang) adalah kekayaan alam yang semua individu dapat menggunakannya secara gratis dan menikmati manfaatnya sebaik milik pribadi mereka, karena izin umum ini adalah izin yang bukan hanya untuk memanfaatkannya namun juga untuk memilikinya. 89
86
Ibid. h.240 Ibid. h.241 88 Ibid. h.241 89 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 87
101
Islam telah meletakkan prinsip kepemilikan pribadi pada al mubahatul ‘ammah atas dasar kerja dan usaha guna mendapatkan mereka sesuai dengan perbedaan jenis mereka. 90 Sebagai contoh, kerja atau usaha untuk mendapatkan burung adalah dengan menangkapnya dengan cara berburu, sedangkan usaha untuk mendapatkan kayu bakar adalah dengan mengumpulkannya, dan kerja untuk mendapatkan mutiara serta udang adalah dengan menyelam ke kedalaman laut. Usaha untuk mendapatkan tenaga (energi) listrik yang tersembunyi dari air terjun termasuk dalam proses mengubah energi ini menjadi arus listrik yang kita kenal. Dengan jalan inilah kepemilikan atas kekayaan alam mubah diperoleh, yakni dengan memperoleh penguasaan atasnya. 91 Kepemilikan atas kekayaan alam ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan kerja. Jadi, masuknya kekayaan alam ini ke kendali seseorang tidak cukup di jadikan dasar bagi kepemilikan atasnya, kecuali jika ia melakukan kerja positif untuk mendapatkannya. 92
2. Distribusi pasca Produksi Sadr 93 mulai menyatakan bahwasanya Islam itu tidak meletakan semua faktor produksi (atau pemilik mereka) pada kedudukan yang sejajar, misalnya. Mempekerjakan Orang ‘pekerja’ adalah ‘pemilik’ yang sebenarnya dari bahan-
90
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 91 Ibid. h.117 92 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 93 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
102
bahan/alat-alat yang telah diproduksi. Para pekerja selanjutnya memiliki tanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk faktor produksi lainnya yang digunakan dalam prosesnya. Sadr 94 merasakan bahwa pandangan ini meletakan orang sebagai tuan dan bukan pelayan dari produksi. Meneruskan argumentasi ini, Sadr menyatakan bahwa seorang kapitalis tidak membolehkan memiliki produk dari para pekerja yang dia sewa. dengan kata lain, tenaga kerja ekonomi langsung adalah tempat yang diperlukan untuk kepemilikan produk. Pandangannya 95
mengenai kekayaan primer digolongkan kedalam
gambaran ketika dia memberikan ‘kepemilikan’ kepada agen yang bekerja dibagian sumber alam, sebagai contoh seseorang yang menggarap lahan kosong (tak bertuan), memiliki itu berkaitan dengan mempunyai prioritas dan hak untuk mencegah orang lain dari penggunaannya. Sekarang, jika orang ini memilih untuk menyewa orang lain untuk bekerja ditanah, dia masih memelihara ‘kepemilikan’ tanah sehubungan dengan status tenaga kerjanya yang dilibatkan dalam penggarapan tanah. 96 Pada sisi lain, tuan tanah memiliki hasil tanah yang berkaitan dengan para pekerja itu sendiri, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah dengan alasan bahwa para pekerja tuan tanah masih ada. Kompensasi ini bisa jadi dalam bentuk atau pinjaman yang tetap atau suatu saham dalam produk (jika pemilik tanah menyediakan benih / pupuk atau permesinan). 97
94
Ibid. h.121 Ibid. h.121 96 Ibid. h.122 97 Ibid. h.122 95
103
Dalam mengatur aktivitas ekonomi, banyak contoh di beri oleh Sadr 98 : a. Lahan kosong dapat didistribusikan dan dimanfaatkan b. Larangan Islam yaitu menempati lahan kosong dengan kekerasan c. Prinsip tidak ada pekerjaan, tidak ada keuntungan. d. Larangan Riba e. Larangan tidak produktif, seperti perjudian f. Menimbun uang dan barang-barang g. Larangan yang aktivitas mengalihkan perhatian dari Tuhan h. Penuturan dan mengecek manipulasi dalam pasar i. Larangan pemborosan Sadr 99 membedakan antara bekerja dilahan sumber alam dan dimiliki yang lain (seperti diatas) dengan bekerja dilahan ‘hasil buruh’ yang dimiliki oleh orang lain, sebagai contoh seorang pekerja yang membuat benang dari wol seorang pengembala; dalam hal ini, produk (benang) yang dimiliki penggembala dan pekerja akan dibayar kompensasi. Dengan pandangan prioritas tenaga kerja ini, Sadr
100
selanjutnya membuat
daftar hasil (laba) ke setiap faktor produksi : a. Buruh-upah atau bagian keuntungan b. Tanah-sewa (atau bagian dari penggarapan) c. Modal-bagian dari laba
98
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258 99 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.122 100 Ibid. h.122
104
d. Peralatan / modal fisik-sewaan / kompensasi Buruh diberikan satu pilihan dari keuntungan yang jelas (upah) atau variabel keuntungan (bagian dari keuntungan). menyewa tanah diizinkan hanya ketingkat bahwa pemilik tanah telah menyerahkan ke tangan para buruh, sebagai contoh buruh untuk menggarap tanah kosong. Sadr juga memegang pandangannya membolehkan transaksi-transaksi seperti Mudharabah, Muzara’ah (bagi hasil), Musaqat, dan al-Jualah (menggaji, upah). konstribusi / bekerja ke suatu produk, atau untuk menggarap lahan dan menyewakannya kepada orang lain untuk harga sewaan yang tinggi. 101 Sadr juga membantah kompensasi untuk resiko yang dikemukakan oleh banyak ahli ekonomi, termasuk kaum Muslim. Orang yang menggunakan ungkapan tidak ada resiko, tidak ada keuntungan, menurut Sadr telah merusak mental pemerintah dengan satu faktor produksi. Ahli ekonomi Muslim yang mengemukakan argumentasi itu mengatakan bahwa (uang) pemilik modal di dalam Mudharabah diberikan keuntungan, suatu kesalahan apabila berkaitan dengan resiko yang ia tanggung. 102 Sadr memandang keuntungan sebagai fakta bahwa mereka memiliki uang yang telah digunakan, bukan faktor resiko. Ini Nampak seperti penjelasan yang lebih logis dan bisa diterima untuk mengembalikan uang modal. 103 Pandangan diatas menunjukan dengan jelas bahwasanya Sadr 104 melihat keuntungan yang sah sebagai dasar daripada pekerjaan. Bagaimana pun, pekerja
101
Ibid. h.122 Ibid. h.122 103 Ibid. h.122 104 Ibid. h.123 102
105
untuk Sadr, ada sumber hak distributif yang lain di dalam ekonomi Islam, sebagai contoh kebutuhan. Karena tiap-tiap individu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda, ketidaksamaan pendapatan adalah hal yang wajar. Sebagian mendapatkan sedikit sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa. Situasi ini memberikan mereka hak distributif dan pemerintah memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Islam menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebih-lebihan (boros), dan pada saat yang bersamaan, Islam mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem jaminan sosial. 105 Pemerintah
juga
dipercaya
memberikan
keamanan
sosial
secara
keseluruhan. Dan hal ini dapat dicapai melalui persaudaraan (penyelenggaraan ini dapat melalui pendidikan) diantara anggota masyarakat dan melalui kebijakan pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik dapat membantu orang miskin. Sementara itu dengan pengaturan aktivitas ekonomi memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari eksploitasi. 106 Untuk memastikan keseimbangan sosial dan keamanan yang dibutuhkan bagi keseluruhan, berdasarkan pada prinsip bahwasanya seluruh sumber daya alam harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah dipercaya untuk menjalankan tugas pada pemilikan untuk memastikan hal ini dengan cara membantu mereka yang berkesusahan. 107
105
Ibid. h.123 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 107 Ibid. h. 258 106
106
Pada akhirnya, sebuah kekuasaan negara dipercaya untuk menciptakan kedinamisan yang sesuai menurut situasi zaman yang ada. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun itu adalah negara. Maksudnya tiap negara memiliki ahli hukum atau suatu negara memiliki beberapa bentuk dewan penasehat. 108 Pengkajian yang dilakukan Sadr dengan menggunakan metode ijtihad. Menurut analisa Chibli Mallat, 109 pembahasan ini memperlihatkan secara jelas metodologi yang disarankan Sadr diawal pembahasan. Dalam hal ini penulis menyajikan prinsip umum dengan mengikutsertakan pendapat ahli fiqh : ‘Allamah
al-Hilli,
seorang
ulama-peneliti
(muhaqqiq)
Muslim,
menyatakan dalam kitabnya, Asy Syara’i, bab Wikalah (perwakilan), bahwa wikalah dalam pekerjaan menebang kayu atau jenis pekerjaan lain yang sejenis, adalah tidak sah. Contohnya, jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agen)-nya untuk menebang kayu di hutan demi kepentingannya, maka wikalah dalam hal ini tidak sah. Orang itu (si penunjuk) tidak menjadi pemilik kayu yang ditebang oleh orang yang ia tunjuk sebagai wakilnya. Alasannya adalah, pekerjaan menebang kayu dihutan atau jenis pekerjaan lainnya yang sejenis, pada dasarnya tidak menghasilkan pengaruh atau hak khusus apa pun bagi seseorang kecuali bila ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu atau ia secara langsung mencurahkan usahanya dalam pekerjaan menebang kayu, atau menyabit rumput, atau jenis pekerjaan lainnya yang serupa.
108
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 109 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung : Mizan, 2001). h.206
107
B. Relevansi Pemikiran Muhammad Baqir Ash-Shadr 1. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Ekonomi Islam Muhammad Baqir As-Shadr 110 mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah ajaran (doctrine) dan bukannya ilmu murni (science), karena apa yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan. Dalam mewujudkan gagasan keadilan distribusi menurut Islam, Sadr 111 mendasarkan pada dua faktor. Pertama, faktor primer yang terdiri dari kerja dan kebutuhan. Kedua, faktor turunan berupa kepemilikan. Bekerja menurut Islam adalah sebab yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan memiliki harta kekayaan. Namun yang menjadi permasalahan menurut Sadr 112 ialah cara menempatkan seseorang yang dalam kehidupan sosial tidak dapat bekerja atau mereka yang bekerja tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, elemen yang berlaku menurut Sadr ialah kebutuhan, artinya berapapun kebutuhan pokok komunitas masyarakat tersebut menjadi
110
Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.5-6 111 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.113 112
Ibid., h.113
108
tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun solidaritas sesama muslim. Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan. Menurut Sadr, 113 Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam Islam dibatasi aturan nilai serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah. a. Peran Kerja (al-‘amal) dalam distribusi Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi. Menurut Sadr, untuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih dahulu harus mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang diperolehnya. 114 Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para pekerja.
Sedangkan
kepemilikan
sendiri
merupakan
ekspresi
dari
kecenderungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan / hak-hak individu mendapat tempat yang proporsional. Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat mengekspresikan
seluruh
kekuatan,
bakat
serta
potensinya
dalam
meningkatkan perekonomian suatu masyarakatnya. Sedangkan disisi lain pekerja dapat memenuhi kebutuhannya. b. Peran Kebutuhan (al-Haajah) dalam distribusi Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola distribusi dalam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran
113 114
Ibid., h.120 Ibid., h.114
109
kebutuhan dalam distribusi, Sadr 115 membagi masyarakat ke dalam 3 komunitas : Pertama, komunitas yang mendapatkan kesempatan kerja melalui bakat dan kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan kebutuhan hidupnya dengan standar yang tinggi. Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam
proses
produksi
baik
intelektualnya.
Menurut
Sadr,
kelemahan
fisik
konsekuensi
maupun
dari
kemampuan
pembagian
diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat bagian dalam distribusi. Jika komunitas pertama bergantung pada kerja, maka komunitas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan akan kebutuhan dasarnya. Pemahaman ini menurut Sadr, 116 berangkat dari realitas bahwa komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian distribusi kelompok
ketiga ini
melalui instrument kebutuhan yang
pengaturannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas umum. Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument kerja sesuai
115 116
Ibid., h.116 Ibid., h.119
110
dengan kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja.
c. Peran Kepemilikan (al-Milk) dalam distribusi Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi. Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi yang mengandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah. 117 Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini semisal, Adiwarman Karim. 118 Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata aturan syariah sebagai variabel independen (ikut mempengaruhi segala pengambilan keputusan ekonomi). Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada bukan berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti semuanya sesuai dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan asumsi dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori ekonomi Islam. 117 118
2007),h.5
Ibid., h.129 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
111
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya, hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah, tetapi tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena faktor tersebut. Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan Ekonomi islam antara lain seperti Zakat (Khums Pajak,, Anfal, Fay), yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial. Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada AlQur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut. Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat dalam Al-Qur’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, (“ Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”) serta adanya hadist Nabi yang menyebutkan bahwa (“diantara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain”). Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. 119 Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a, wala tushahihuhu jamii’a (Jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima semuanya). Menurut Adiwarman Karim,
120
ekonom Muslim tidak perlu terkesima
dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim perlu mempunyai akses
119
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007),h.31 120
Ibid.,h.12
112
terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami perlu juga mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islami. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses pengkajian dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer. Sadr 121
mulai menampilkan beragam pendapat ahli fiqh sebagai suprastruktur (ajaran
yang bersumber dari hukum). Selanjutnya, beliau melakukan deduksi terhadap naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsip-prinsip umum dalam bidang distribusi. Sadr
122
juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif Islam,
yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak mendapat balas jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, seseorang berhak mendapat hasil dari keikutsertaannya dalam proses produksi. Sebagaimana contoh hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas buah kerjanya.” Karena itu, Islam tidak mengakui bunga, karena pendapatan tanpa kerja bertentangan dengan gagasan keadilan Islam. Jadi, fokus kajian dalam distribusi pra produksi berkaitan dengan sumber daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada pengkajian distribusi pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori pendapatan menurut Islam.
121
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.112-113 122 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS, 1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
113
2. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa Kini Penulis berpendapat Krisis ekonomi di Indonesia masih belum kunjung selesai. Pengangguran yang membengkak, kesenjangan sosial antara kaya dan miskin, biaya pendidikan kian mahal, merebaknya kriminalitas dan maksiat, gizi buruk, krisis energi, kelaparan yang selalu menanti di susul dengan kasus-kasus yang menimpa daerah bencana (baik korupsi dana pembangunan) dan lain sebagainya, merupakan indikator kongkrit yang menandakan kegagalan sistem ekonomi konvensional kapitalis yang diusung pemerintah. Saat ini pemerintah sepertinya semakin tidak memperhatikan rakyat. Tak sedikit kebijakan pemerintah malah semakin membebani rakyat dan secara langsung terus melestarikan kemiskinan. Hal ini membuktikan akibat kebijakan ekonomi yang keliru yang kian hari makin terpuruk. Bila sistem yang secara jelas dan realitas tidak dapat menyelesaikan beragam problematika bangsa ini masih tetap dijaga dan dipertahankan, maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya tiada pernah secara bijak untuk belajar memperbaiki diri dari kesalahan. Pemerintah harus ada solusi alternatif untuk mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem yang lebih baik serta sesuai dengan masyarakat Indonesia. Sistem yang paling sinkron dengan karakteristik dan kepribadian bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan,
114
sebab bangsa ini adalah bangsa Religiusitas yang patuh terhadap norma dan etika agama yang dianutnya. Sistem yang dimaksud adalah sistem ekonomi Islam. 123 Krisis yang bangsa kita hadapi saat ini secara bertubi-tubi dan melingkarlingkar sangat berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk merespons dampakdampak kapitalisme global yang berfungsi sebagai kendaraan bagi imperialisme baru yang lebih sophisticated. 124 Harus diakui bahwa pembahasan ekonomi dalam karya ini berlatar kondisi masa lalu. Namun demikian, karena pembahasan ekonomi dalam karya ini menyentuh dasar-dasar filsafat ekonomi dan sosial yang melibatkan relasi-relasi yang bersifat eksistensial dan generik, maka rekomendasi yang diberikan Sadr dengan mudah dapat diadaptasikan guna menyikapi secara cerdas realitas dan tantangan kondisi ekonomi hegemonik masa kini. 125 Pada hakikatnya, kondisi ekonomi masa kini hanya mengalami perubahanperubahan instrumental dari dasar-dasar ekonomi masa lalu. Kapitalisme dan materialisme hanya berganti baju dan rupa, tetapi tidak watak dasarnya. Maka, fatwa ekonomi Ayatullah Baqir Ash Shadr tetap relevan.126 Kenyataan yang memperihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di Negeri kita ini selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan susul menyusul datangnya. Namun, yang sangat luas dampaknya adalah keterpurukan bidang
123
Miftakhus Surur, “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No. 11 Th.VI (Maret
2009) : h.58 124
Ir. Sayuti Asyathri “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.23 125 Ibid. h.24 126 Ibid. h.24.
115
ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat. Memang disadari bahwa salah satu masalah kunci dalam kehidupan umat manusia adalah masalah ekonomi. 127 Prof. Dr. Mubyarto di acara memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2005 di Jakarta telah menguraikan bahwa secara ekonomi, Indonesia kembali terjajah oleh Kapitalisme Global yang lebih sadis dan lebih kejam ketimbang kolonialisme Belanda. Lebih dari itu, John Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man, telah mengakui bahwa dirinya disewa oleh kekuatan Kapitalisme Global untuk merusak dan membuat ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi terjajah dan sangat bergantung pada tuan besarnya, yaitu Kapitalisme Global. 128 Konsep Baqir Ash- Shadr sangat kontekstual dengan kondisi dan permasalahan yang berkembang di Indonesia dan negara berkembang lain yang umumnya berpenduduk mayoritas Muslim. Di bawah pengaruh konspirasi dan pengondisian kekuatan-kekuatan besar, isu-isu kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan adalah tiga isu besar yang mendorong keterpurukan bangsa-bangsa ini, terutama akibat penerapan sistem ekonomi yang tidak berkeadilan. 129 Sebagai solusi atas fenomena dan kondisi tersebut, Muhammad Baqir AshShadr mengingatkan kita dan mengulas secara jelas Iqtishaduna : Our Economics, yang melalui suatu pendekatan interdisipliner menjadi suatu kajian ekonomi Islam, sehingga memberikan benang merah bagi kita bagaimana mewujudkan 127
Prof. KH. Ali Yafie “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.27 128 Ibid., h.27 129 Aries Muftie, SH. SE. MH “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir AshShadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.19
116
maqashid berdasarkan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (ushul fiqh). Dengan demikian, aktivitas dan sistem ekonomi yang kita gunakan akan kita kembalikan kepada tujuannya untuk kesejahteraan seluruh manusia. 130 Implikasinya dapat dilihat dari munculnya fakta disparitas (kesenjangan) antara yang kuat dan yang lemah pada berbagai sektor kehidupan, dan munculnya tiga isu : kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan, akibat implementasi sistem ekonomi yang tidak menganggap penting faktor iman, jiwa, akal dan keturunan. Eksploitasi alam, penjajahan ekonomi, peperangan bisnis, dan segala aktivitas ekonomi lainnya menjadi suatu alat penumpukan kekayaan dan pemenuhan kepentingan golongan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada publik atau umat, serta pelestarian alam untuk para keturunan kita. 131 Sistem ekonomi yang selama ini dikenal dan diimplementasikan di dunia dalam perjalanan sejarahnya semakin lepas dari perspektif moral dan pranata sosial-budaya. Perkembangannya menjadi segmentatif dan mikro, sehingga hanya bisa menjelaskan secara parsial fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada. 132 Selama ini sistem Perbankan Syariah hanya merupakan duplikasi sistem perbankan konvensional yang menganut sistem Ribawi yang mengandung unsur gharar, tidak adil, dan mengancam nilai-nilai Islam yang mulia. 133 Misalnya, sistem bagi hasil yang di praktikkan Bank Syariah sekarang ini, masih mengandung unsur Ribawi. Jika seorang calon nasabah akan membuka account di bank syariah dan bertanya berapa bagi hasil yang akan di terima, maka 130
Ibid., h.19 Ibid., h.20 132 Ibid., h.19-21 133 Zaim Saidi, “Prakteknya Masih Mengandung Ribawi,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9. 131
117
dengan tanpa ragu-ragu si petugas Bank Syariah menunjukan prakiraan besarannya dengan mengacu daftar bagi hasil beberapa bulan yang lalu dalam brosur di Bank Syariah bersangkutan. Kenapa sistem bagi hasil di prediksi besarannya ? bukankah bagi hasil adalah sistem bagi untung atau rugi berdasarkan akad kejujuran yang tidak bisa di prediksi seperti bunga bank ? kalau bagi hasil di prediksi, berarti ada semacam “janji” yang artinya tidak beda dengan sistem bunga. Selain itu, 134 selama ini perbankan syariah lebih banyak “main” pada suku bunga di Bank Indonesia (BI) yang sangat kental dengan praktik Ribawi. Berapa persen dana perbankan syariah yang di salurkan melalui pembiayaan sektor riil ? contoh lain, apakah sistem murabahah yang di praktikkan juga sudah benar-benar pure berjalan sesuai dengan muamalah Islam ? bagaimana dengan sistem pembiayaan perbankan syariah pada sektor riil ? Meski sekarang diakui sistem ekonomi kapitalis liberalis sedang mengalami kebangkrutan menyusul krisis ekonomi global, namun masih memerlukan waktu cukup lama antara 10-20 tahun bagi sistem ekonomi Islam (syariah) untuk menggantikannya. Pasalnya, 135 harus memerlukan kepercayaaan dari Dunia Barat yang masih berpedoman pada kapitalis dan liberalis, di mana perlu di yakinkan sesungguhnya sistem ekonomi Islam jauh lebih baik dan lebih menjanjikan keuntungan finansial bagi mereka. Dunia Islam harus memberi penyadaran dan pencerahan pada Dunia Barat untuk menggunakan sistem Ekonomi Syariah yang non Ribawi, untuk 134
Ibid., h. 9. Aviliani, “Perlu Waktu Lama Ekonomi Islam Menggantikan Ekonomi Kapitalis,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h.9 135
118
menggerakkan ekonomi mereka yang masih berdasarkan pada bunga (riba). Pasalnya selama ini sistem ekonomi Barat memiliki kepentingan dan resiko, sedangkan semua pelaku ekonomi tidak ingin beresiko dalam menjalankan usahanya. Mereka hanya menginginkan keuntungan tanpa bersedia menanggung resikonya. Sedangkan dalam sistem ekonomi syariah, antara resiko dan keuntungan akan ditanggung secara bersama (mudharabah). 136 Mari kita cermati peta zakat di era Indonesia Mazhab Neo Liberal sekarang ini. Di mana, seperti di beberkan Amien Rais 137 dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamat-kan Indonesia, kekayaan alam Indonesia mayoritas sudah di kuasai asing. Ironisnya, itu semua seizin rezim-rezim penguasa Indonesia, melalui amandemen UUD 45 yang melahirkan regulasi semacam UU penanaman modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Badan Hukum Pendidikan, dan UU Minerba. Policy inilah yang menciptakan kemiskinan struktural. Dana Zakat dapat dilihat dalam tabel berikut : 138 Penerimaan ZIS konter BAZNAS tahun 2002 -2007 (ribuan Rp.) Penerimaan/thn
2001 – 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Zakat
444,035
1,311,834
2,229,070
2,536,110
4,825,502
8,307,941
Infak & Sedekah
275,973
483,372
579,920
28,589,846
13,023,956
6,029,927
Infak Operasional
70,035
552,542
293,890
180,845
627,203
254,149
Infak Pemerintah
131,005
352,325
119,836
100,000
1,550,000
Jumlah
921,048
2,700,073
3,222,716
31,406,801
20,026,661
136
14,592,017
Ibid., h.9 M. Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta : PPSK Press, 2008). h.255-263 138 Tim BAZNAS, Data kuantitatif Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan 137
119
Grafik Penerimaan ZIS konter BAZNAS 139
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada kenaikan dana zakat yang terhimpun, meskipun ada penurunan dana infak shadaqah sehingga total penerimaan ZIS menurun. Penerimaan dana infak shadaqah tahun 2005 melonjak tinggi meningkat tajam merupakan penerimaan terbesar karena adanya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir Desember 2004 telah meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia untuk berbagi. Terlihat dari penerimaan dana infak tahun 2005 yang melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2006, gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya juga telah mendorong masyarakat untuk berinfak. Sesuai dengan fungsi koordinatifnya, BAZNAS juga mencatat penerimaan ZIS dari jaringannya yang terdiri dari Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Badan Amil Zakat Daerah dan lembaga amil zakat. Meskipun 139
baru sebagian yang dapat
Tim BAZNAS, Grafik Penerimaan ZIS konter Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
120
dikoordinasikan, namun alhamdulillah dari data ini dapat digambarkan pertumbuhan penerimaan dana ZIS di Indonesia.
Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS tahun 2002-2007 140 NO
NAMA LEMBAGA 2002
BAZNAS (konter) UPZ II BAZNAS *) BAZDA III Prov*) I
IV LAZ *)
Penerimaan ZIS (Ribuan Rp.) 2004 2005 2006
2003
921.048
2.700.073
3.322.092
31.406.810 20.026.660 14.592.016
-
-
-
-
8.289.356
12.308.613
11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553 102.629.312 55.680.209 68.405.946 128.354.888 233.986.019
TOTAL
2007
230.613.161
219.412.453
68.391.097 85.283.523 150.089.112 295.592.403 373.173.447 361.333.307 *) sebagian data
Menurut Dawam Raharjho, 141 Tingkat perkembangan itu sudah tentu masih jauh dari memuaskan, karena zakat belum berperan besar dalam pemecahan masalah-masalah sosial ekonomi. Persoalannya adalah pertama, bagaimana bisa
140
Tim BAZNAS, Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS 2002-2007, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan 141
M. Dawam Rahardjo, “Peran zakat dalam mengatasi masalah sosial ekonomi”, Bulletin UIN Syarif Hidayatullah, disampaikan pada workshop “Peran Perguruan Tinggi Islam dalam Pengelolaan Zakat”, 1 – 2 juni 2003. h.28
121
menghimpun dana dalam jumlah besar yang terkonsentrasi tetapi juga terdesentralisasi. Sebab selama ini zakat itu tidak dikumpulkan melainkan langsung di distribusikan oleh muzakki kepada perorangan, walaupun sebagian juga dikirimkan kepada organisasi-organisasi yang menyebarkan surat permohonan zakat. Kedua adalah bagaimana dana zakat bisa di distribusikan, sehingga secara efektif ikut memecahkan persoalan sosial ekonomi. 142 Monopoli pemerintah atas pengelolaan zakat, ternyata tak berlaku untuk semua jenis objek zakat. Menurut para fuqaha, harta zakat yang wajib di kelola pemerintah adalah yang nampak (al-amwal azh-zhahirah). Yakni zakat binatang ternak (zakat al-mawasyi) dan pertanian serta buah-buahan (zakat al-zuru’ wa atstsimar). 143 Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr 144 memandang hal ini merupakan tugas sebuah negara. Selain itu, beliau juga mendiskusikan khums, pajak, fay’, dan anfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial. Salah satu poin menarik yang Sadr ciptakan 145 adalah fokus eksklusif kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan tidak mengarah pada keseimbangan standar hidup antara si miskin dan si kaya. Para sarjana muslim setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini 142
Ibid., h.28 “ Haruskah LAZ Berplat Merah,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 12. 144 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 145 Ibid., h.257-258 143
122
tidak berarti berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang standar kehidupan. Sebab seseorang mempunyai kesamaan standar hidup. Namun yang terpenting, menurut penulis ini harus diterapkan secara menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab, 146 Islam akan jaya jika di praktekkan pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam perekonomian. Jadi kehadiran Islam bukan hanya di Masjid saja, tetapi juga di bisnis, kantor, kampus dan sebagainya. Dengan demikian, karena umat Islam Indonesia mayoritas, maka sistem perbankan syariah, haji, zakat, wakaf dan waris perlu di buat peraturannya melalui undang-undang agar lebih memasyarakat. Hemat penulis, Ini sangat relevan jika di terapkan, sistem ekonomi syariah dapat menjadi solusi bagi kemunduran perekonomian sistem kapitalis dan liberalis yang sedang menuju pada resesi, dengan adanya krisis ekonomi global sekarang ini. Dengan adanya fenomena krisis saat ini dan makin terlihatnya berbagai keunggulan ekonomi Islam diatas, mudah-mudahan pemerintah bersedia menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi kedepan. Semoga Allah SWT membukakan pintu berkah dari langit dan bumi Indonesia atas ketaatan tersebut.
C. Analisa Penulis
146
M. Syafi’i Antonio, “Sistem Syariah juga diterima Kalangan Non Muslim,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9.
123
Untuk mempermudah pemahaman pembaca budiman, penulis sajikan ringkasan konsep distribusi Sadr 147 melalui ilustrasi sebagai berikut :
Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr Harus dijalankan dalam semua sistem Islam Ekonomi Islam adalah sebuah pemikiran yang membahas isuisu ekonomi yang berkenaan dengan sebagai usaha memahami sumber-sumber keadilan yang dimiliki Pertanyaan ‘apa yang mesti’ Bukan fiqh mu’amalat
(a) Ekonomi Islam---------------Studi interdispliner
Muncul karena konflik kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial (b) Masalah Ekonomi Solusi dalam agama
Mungkin untuk memelihara satu sistem distribusi meskipun cara / bentuk produksi yang bervariasi hukum yang berkaitan dengan ekonomi
al-Qur’an dan Sunnah (c) Metodologi
keadilan
perlu Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer
dan ucapan para Imam Syi’ah
tidak buta hanya mengikuti satu hukum
proses ‘penemuan’ sebagai contoh ajaran yang bersumber dari hukum-hukum
perlu analisis yang bebas dari pemikiran barat dan pandangan dunia
Asumsi Dasar Sadr bagian dari ummah Orang Islam
percaya akan ghaib dan akhirat rasionalitas berbeda dengan orang ekonomi pengawasan dalam diri
viecegerency panggilannya untuk tugas, tanggung jawab, pertanggung jawaban dan keadilan, membawa kearah kerjasama Asumsi dasar
pembatasan terhadap kebebasan individu adalah hal yang wajar
147
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.126-129
124
kepemilikan pribadi, umum dan pemerintah (Negara) muncul secara bersamaan.
Keutamaan sistem ekonomi Islam Sadr memberikan kepemilikan kepada individu berdasarkan pada pekerjaan dan kebutuhan hubungan property
terutama kepemilikan Negara kepemilikan pribadi dibatasi untuk mendapatkan hak prioritas penggunaan dan penggunaan sendiri
pemerintah menggalakan keadilan Keutamaan
memastikan distribusi dan sumber daya alam pembuat keputusan dan alokasi sumber daya
pengalaman agama dan sosial, pemerintah Islam dengan dinamisme dan Ijtihad memastikan keadilan sosial dengan menyediakan standar hidup yang seimbang untuk semua jaminan sosial; ditunjukan hanya untuk kemiskinan relatif
larangan riba (bunga) dan semua bentuk eksploitasi implementasi zakat dan pajak lainnya termasuk khums, kharaj, fay, anfal Untuk mengurangi Kemiskinan.
125
Distribusi
kerja
seseorang memiliki hak memanen tapi memiliki hasil hasil panen dari buruhnya
(a) Distribusi pendapatan/kekayaan faqir kebutuhan
redistribusi untuk mencapai standar hidup yang seimbang miskin
tanah (dan sumber alam lainnya) tersedia bagi semua melalui pemerintah hak memanen dari prioritas penggunaan dapat dicapai melalui kerja dan kebutuhan (b) Pre-produksi
buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari kepemilikan pribadi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari buruh produk membatasi penyewaan dan bagi hasil (bagi ‘pemilik tanah’ sehubungan dengan batasan ukuran dari saham tanah)
memiliki hasil panen dari buruhnya orang (buruh) adalah faktor utama dari produksi
(c) Post-produksi
buruh – upah atau saham laba tanah – sewa atau lahan garapan modal – bagian keuntungan pengusaha – bagian keuntungan
faktor produksi
resiko dan inflasi
dapat menyewa pekerja lain dan membayar upah dalam keadaan tertentu mengganti kerugian pemilik dari factor produksi lainnya
resiko dan inflasi bukan merupakan alasan yang benar untuk mengembalikan modal uang yang dipinjamkan
Sebelum penulis menganalisa konsep distribusi menurut Baqir Sadr, berdasarkan analisis penulis, bahwa konsep distribusi menurut Baqir Sadr dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, politik dan kondisi pada masa hidup beliau, dan faktor latar belakang dan riwayat hidup tokoh ini. Sadr juga seorang akademisi. Di samping itu, Sadr melengkapi pengetahuannya
dengan
mendalami
filsafat,
teologi,
sejarah,
budaya,
126
kepemerintahan, politik dan ekonomi. Penguasaannya terhadap ekonomi dan filsafat terbukti dalam karyanya yang monumental, seperti Iqtishaduna (Ekonomi Kita) dan Falsafatuna (Filsafat Kita). Maka tidaklah mengherankan kalau pemikiran Sadr dalam bidang ekonomi bercorak ekonomi normatif. Selain itu, sikap politik Sadr yang konfrontatif terhadap Pemerintah juga ikut mempengaruhi corak pemikiran dalam konsep-konsepnya. 1. Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam keseluruhan dan menuntut agar dipelajari sebagai satu interdisiplin yang utuh. Bersama-sama dengan anggota masyarakat yang membentuk agen-agen dari sistem tersebut. Ia mengemukakan bahwa pandangan dunia Islam perlu untuk dipelajari dan dipahami. Sebelum melakukan satu analisa yang bermanfaat dari sistem ekonomi Islam Dalam pendekatan holistik ini, Sadr mendiskusikan pemikiran ekonominya. dia melihat orang
yang mempunyai dua hal yang
berlawanan dengan bunga, misalnya personal dan sosial. Kemunculan berbagai masalah dan Sadr melihat solusi ada didalam agama: karenanya, peran agama yang sangat penting di dalam sistem ekonomi Islamnya. Menurut Sadr, Agama selalu dipegang suci oleh kaum Muslim, berbeda dengan barat sekuler dan bersifat fundamental dalam menentukan bunga yang sah dari orang demikian pula dalam menentukan batas permintaan. 148
148
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.111-112
127
Walaupun Sadr mengakui bahwa pendekatannya adalah satu hal yang berkaitan dengan hukum, dia tidak mempertimbangkan ekonomi Islam untuk menjadi setara dengan Fiqh Mu’amalat (hukum yang berkenaan dengan transaksi) atau hukum yang berkenaan dengan hak milik. Dia melihat pemikiran ekonomi Islam sebagai fondasi agar membentuk hukum yang berkenaan dengan ekonomi. Hukum ini menurut Sadr, adalah ditentukan dan dengan referensi bagi teori-teori dan konsep-konsep dimana pemikiran itu digambarkan. Dalam hal ini, Sadr percaya bahwa ada satu sistem ekonomi yang seluruhnya tercipta dan terselesaikan, walaupun mungkin tidak secara tegas disebut dalam sumber Islam (sebagai contoh dalam Qur’an dan Sunnah dan fatwa-fatwa imam Syi’ah). Karenanya Sadr terus maju dengan proses penemuannya. Dalam proses penemuannya, semua hukum ekonomi dan perintah pengadilan, bersama-sama dengan banyak konsep yang berhubungan dengan ekonomi dan masyarakat (seperti vicegerency, keadilan, property, ibadah, dan lainnya), adalah mempelajari bersama-sama dan kemudian digunakan untuk menemukan pemikiran ekonomi. Dengan kata lain, sesudah hukum terkumpulkan, fondasi pemikiran dari hukum ini ditemukan dalam sumber Islam. Ada juga suatu kebutuhan untuk ijtihad (tuntutan intelektual independent), yang mana Sadr melihatnya sebagai kebutuhan untuk mengisi kekosongan antara prinsip permanen dan hukum fleksibel, untuk menentukan batas dari permintaan dan untuk mengorganisir, secara teoritis, hukum dan konsep masuk kedalam suatu kesatuan utuh. Hal ini mendasari area fleksibel dalam ekonomi Islam. 149
149
Ibid., h.112
128
Panggilan Sadr untuk membawa ijtihad membawa ke garis terdepan peran dari mujtahid (ahli hukum independen), yang mana sebuah opini dianggap sebagai yang dapat diotorisasi. Bagaimanapun Sadr cepat untuk memperingatkan masalah subjektifitas, harusnya membebaskan intelektual ini diperlebar secara jauh, karenanya menyimpang dari sumber dan konteks aktual. Oleh karena itu, panggilannya meminta untuk sebuah pernyataan intelektual yang berkualitas, harus didalam batas-batas pertentangan yang diizinkan. 150 Didalam ikatan ini, kita bisa kemudian mengatakan Sadr itu memungkinkan kemungkinan dari opini-opini yang barvariasi terhadap berbgai hal ekonomi, semua menurut hukum dan bersumber dari Qur’an, Sunnah dan ucapan para Imam. Sebenarnya, kemampuan ini untuk menerima opini dari berbagai mujtahidin adalah bagian dari metodologi yang diadopsi oleh Sadr. Karena satu Mujtahid tidak benar dan tidak jujur dalam pertimbangan, Sadr menyukai fleksibilitas ini, dari pada kepatuhan dogmatis kepada opini satu mujtahid. 151 2. Asumsi Dasar Sadr Sadr tidak menerima pemikiran orang ekonomi agar supaya cocok dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai penggantinya, kita mempunyai orang Islam, seorang individu yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummah, yang termotivasi oleh kepercayaan (anggapan) dan praktek religius. Tidak seperti para ekonom konvensional, Ekonom Muslim percaya akan dunia ghaib atau
150
Pada poin ini, ada ruang untuk tidak setuju dengan Katouzian (1984) yang menafsirkan pandangan Sadr dalam Ijtihadnya sebagai suatu hubungan dengan ukuran sewenangwenang dari pemerintahan Shi’i, bahkan jika hal ini bertentangan dengan hadits nabi dan fatwa imam Shi’i 151 Ibid., h.113
129
spiritual, karenanya membuat dia lebih sedikit untuk dihubungkan kedunia materi. Hasil ini dalam arti yang berbeda dari sebuah rasionalitas dan perilaku rasional. Tidak seperti dengan para ekonom konvensional, motivasi adalah kepuasan pribadi yang utama, para ekonom Muslim juga diarahkan oleh ‘pengawasan dari dalam’. Konsep dari vicegerency dan keadilan meminta tugas, tanggung jawab dan pertanggung-jawaban, yang menyiratkan batasan tertentu terhadap satu kebebasan individual. Bagi Sadr, tidak ada pernyataan dari perasaan yang digumamkan oleh pembatasan-pembatasan ini karena suatu kebebasan, dan karenanya perilaku rasional harus dilihat dalam konteks kerangka sosial orang-orang Muslim, desakan dari individu untuk bertindak seperti para ekonom rasional dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, kelebihan bunga (riba) dalam pinjaman uang tidak dapat diterima orang Islam, tetapi dengan orang ekonom biasanya, itu akan menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pendapatan. 152 Sadr juga tidak mempercayai pemikiran dari ‘keselarasan bunga’ , yang mendasari penekanan sistem kapitalis terhadap ‘kebebasan individual’. Dia tidak menerima pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meninggi jika para individu sibuk memenuhi keinginan individual mereka, dan cukup melihat hal seperti ini sebagai awal pembentukan permasalahan ekonomi
sosial.
Daripada
tergantung
pada
keadaan
Negara
untuk
menyediakan penyesuaian antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan masyarakat, Sadr memberikan agama peranan yang penting. Ada peran untuk 152
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.113
130
pasar dan ada sebuah tempat untuk Negara tetapi jauh lebih penting lagi, ada pengaruh penolakan dan panduan agama dalam sistem ekonomi Sadr. 153 Implikasi yang lebih penting dari pandangan Islam terhadap kebebasan adalah konsekuensinya untuk hak Kepemilikan. Sadr mengkritik yang membandingkan dan merendahkan sistem ekonomi Islam, baik kapitalisme atau sosialisme atau suatu percampuran sistem, tanpa berusaha untuk memahami pandangan dunia Islam serta bagaimana nilainya menentukan pandangan sendiri yang unik mengenai kepemilikan. Dia mengajarkan bahwa Islam itu secara bersamaan menetapkan bentuk ynag berbeda dari kepemilikan, misalnya. Pribadi, publik dan pemerintah, masing-masing bekerja dalam batasan-batasanya sendiri, sebagai bentuk dari kepemilikan dia menegaskan, adalah satu ekspresi dari satu perencanaan agama yang murni. yang terletak didalam satu kerangka nilai dan makna yang khusus. 154 Apa yang coba dikatakan oleh Sadr bahwasanya dalam mendiskusikan ekonomi Islam, kita harus membebaskan diri-diri kita dari kerangka pemikiran dan pengaruh orang-orang barat, dan yang menjadi dasar dari opini kita adalah sesuai dengan pandangan kita. Ini tentu saja tidak akan ditentang oleh para cendikiawan Muslim dan sejak Sadr mempertahankan dari awal bahwa dia hanyalah mengamalkan pertanyaan ‘apa’, dia memulai untuk membangun sistem ekonomi Islam dalam kerangka tersebut. Sebagaimana yang telah dikerjakan Mannan dan Siddiq, untuk mendiskusikan ‘pengetahuan tentang Ekonomi’ (sesuai dengan definisi Sadr) dan dalam pelaksanaannya, mereka 153 154
Ibid., h.113-114 Ibid., h.114
131
menerima analisis neo-klasikal. Ini juga yang Naqvi dan yang lainnya, seperti Sadr telah kupas. Mereka merasa bahkan dalam pengetahuan tentang ekonomi, kita harus membangun kerangka analisis kita sendiri. Sadr, tentu saja tidak memposisikan dirinya dalam garis ini karena dia menghindari semua isu ilmu pengetahuan. Baginya, pandangan dunia Islam dan kerangkanya, bersamasama dengan moral dan dimensi spiritualnya, yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan semua sistem lain. Bagaimanapun juga tidak mendiskusikan pengetahuan tentang ekonomi, meninggalkan kemandegan dalam pandangan Sadr, kemandegan yang harus ditangani oleh ahli ekonomi Islam. 155
3. Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr Adanya Karakteristik Sistem Ekonomi Islam, 156 di antaranya : A. Hubungan kepemilikan Sadr memandang Sistem Ekonomi Islam mempunyai perbedaan bentuk dari kepemilikan bersama. Sadr menjelaskan bentuk kepemilikan ini dibawah pemimpin-pemimpin berikut ini : a. Kepemilikan pribadi b. Kepemilikan umum i) Kepemilikan pribadi ii) Kepemilikan pemerintah
155
Ibid., h.114 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.114 156
132
Bagi Sadr, kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas penggunaan dan hak untuk menghentikan yang lain dari penggunaan kepemilikan orang. tidak ada beberapa hal seperti kepemilikan aktual kepada seorang individu. dalam hal ini pandangan Sadr serupa dengan Teleghani, yang berbeda antara kepemilikan (adalah Allah sendiri) dan milik (yang mungkin menjadi diizinkan kepada individu). 157 Perbedaan antara kepemilikan masyarakat dan pemerintah yang paling mendasar adalah didalam penggunaan beberapa property. Sementara ‘Properti Umum’ harus digunakan
untuk kemaslahatan
masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya), property pemerintah tidak hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan bersama, tetapi juga untuk masyarakat bagian tertentu, jika negaranya terpecah. Walaupun Katouzian (1983) menemui itu sulit untuk membuat pengertian operasional dari perbedaan ini benar-benar mencegah dari monopoli total dari keputusan pemerintah. Selain itu, meskipun kepemilikan Negara adalah norma dalam pembagian Sadr mengenai sumber alam, kepemilikan pribadi dapat dicapai dengan cara bekerja atau karyawan, dan kaitannya, akan hilang jika pekerjaannya berhenti. 158 Menarik untuk dicatat bahwasanya Naqvi dan Teleghani (meskipun pandangan mereka tidak tegas atau tetap) menekankan kepemilikan bersama (kolektif) dan kepemilikan masyarakat berturut-turut, Sadr meletakan hampir seluruh kepercayaan terhadap kepemilikan pemerintah 157
Ibid., h. 115 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.115 158
133
(Negara), karenanya Nampak menempatkan otoritas lebih besar ditangan pemerintah (wali amr). 159 B. Membuat keputusan, Alokasi Sumber Daya dan Kesejahteraan Umum: Peran dari sebuah Negara Sangat
jelas
fakta
bahwasanya
kepemilikan
pemerintah
mendominasi sistem ekonomi Sadr, mendemonstrasikan peran yang sangat penting dari sebuah Negara. Negara, direpresentasikan oleh wali- amr mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan keadilan itu berlaku. ini yang dicapai berbagai fungsi: a. Distribusi dari sumber alam kepada individu berdasarkan pada kesediaan dan kapasitas mereka untuk bekerja. b. Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah didalam penggunaan sumber-sumber daya. c. Memastikan keadilan sosial. Ketiga fungsi pemerintah tersebut sangat penting karena konflik yang dapat muncul sehubungan dengan perbedaan alami didalam kapasitas individual (intelektual dan fisik). Sehubungan dengan perbedaan ini, pendapatan akan berbeda dengan terciptanya kelas ekonomi. Karena itu, pemerintah harus menyediakan keadilan satu standar hidup untuk semua (daripada persamaan pendapatan). Dalam hal ini, pemerintah juga dipercayakan untuk tugas didalam menyediakan jaminan sosial untuk semua. Menurut Sadr, dapat dicapai dengan menggalakkan persaudaraan 159
Ibid., h. 115
134
(lewat pendidikan) diantara para anggota masyarakat dan melalui kebijakan pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik dapat membantu orang miskin. dan dengan cara mengatur kegiatan ekonomi untuk memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari eksploitasi. 160 Perlunya untuk memastikan keadilan sosial dan jaminan keamanan untuk semua didasarkan pada prinsip bahwasanya semua sumber alam dan hasilnya
harus
dinikmati
oleh
semua
orang.
Pemerintah,
tetap
mempercayakan dengan kepemilikan, adalah batasan tugas untuk meyakinkan ini dengan membantu siapa saja yang tidak membantu diri mereka sendiri. 161 Terakhir, pemerintah atau lebih tepat wali amr, dipercaya untuk menciptakan kedinamisan dalam menafsirkan teks sesuai dengan zaman sekarang ini. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun dan secara tidak langsung Sadr memandang mujtahidun sebagai pemerintah. Maksudnya tiap pemerintah memiliki ahli hukum atau pemerintah mempunyai beberapa bentuk dewan penasehat yang senior.162 C. Larangan Riba dan Pengamalan zakat Cukup aneh, Sadr tidak mendiskusikan riba seperti yang orang harapkan. Selain daripada itu, penafsirannya mengenai Riba dibatasi hanya
160
Ibid., h.115-116 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116 162 Ibid., h.116 161
135
pada diskusi tentang bunga dan modal uang . Dalam hal ini, Taleghani dan Naqvi menyediakan diskusi yang komprehensif mengenai isu ini. 163 Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr melihatnya sebagai tugas dari pemerintah. Bersamaan dengan zakat, Sadr juga mendiskusikan khums, fay dan anfal, demikian pula pajak lain yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan
untuk
tujuan
pengentasan
kemiskinan
serta
untuk
menciptakan keadilan sosial. 164 Bagaimanapun,
poin
yang
menarik
dimana
Sadr
sendiri
memfokuskan pada kemiskinan yang relatif. Walaupun kita dapat menyetujui bahwa kemiskinan relatif adalah satu konsep yang penting terutama dalam sasaran keadilan sosial Sadr, argumentasinya dimana menentukan tingkat kemiskinan absolut – atau sebagai dia tetapkan, ‘ditetapkan’ tingkat kemiskinan, tidak akan perlu mendorong keadilan standar hidup antara orang miskin serta kaya adalah lemah. Para Cendikiawan Muslim setuju bahwasanya harus ada satu standar hidup dasar tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum bahwa setiap manusia adalah dijamin. pengaturan standar ini tidak menghentikan kita dari proses untuk mengurangi kekosongan didalam standar hidup seperti yang diusulkan Sadr. inti dari Sadr oleh karenanya tidak dapat diterima, akan menjadi situasi yang aneh dimana suatu Negara yang sangat miskin tidak mampu menyediakan keperluan-keperluan yang paling mendasar bagi orang-orang, tidak akan dipertimbangkan sebagai akibat 163 164
Ibid., h.116 Ibid., h.116
136
kemiskinan yang melanda, sebagai alasan sederhana bahwa semua orang mempunyai standar hidup yang sama. 165 4. Distribusi a. Kepemilikan pemerintah adalah jenis dari kepemilikan yang paling sering, walaupun memetik hasil hak adalah dapat dicapai dari pemerintah. b. Kepemilikan pribadi diizinkan hanya dalam jumlah situasi yang terbatas 166 : i. Tanah tanaman dimana orang menerima Islam dengan sukarela (Islam lewat da’wah) ii. Jika menetapkan dalam perjanjian (hanya untuk tanah tanaman) iii. Mineral yang tersembunyi yang memerlukan usaha, dan hanya untuk sejumlah mineral yang tergali serta area yang tepat dari pertimbangan iv. Kekayaan lain, misalnya. melalui satu pekerjaan atau tenaga kerja seperti menangkap burung, memotong kayu bakar, dan sebagainya. c. Kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas menggunakan dan hak untuk mencegah yang lain dari peningkatan atau menggunakan property dalam satu kepemilikan. d. Untuk mineral dan air, individu diizinkan untuk menggunakan apa yang mereka butuh. 165
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116-117 166
Ibid., h. 117-120
137
Dua permasalahan mungkin muncul mengenai pandangan Sadr tentang kepemilikan dan hubungannya untuk hak distributif. Pertama, permasalahan keterkaitan. Sejalan dengan Taleghani, Klasifikasi Sadr menjadi dasar dimasa lalu, ketika Islam meluas; orang-orang akan mengatakan ini adalah pandangan yang ketinggalan zaman. Bagaimana pun terhadap inspeksi, masalah ini relevan mungkin sejak pertama kali nampak. Mari kita ambil Malaysia sebagai satu contoh untuk menggambarkan klasifikasi Sadr. Semenjak orang-orang Muslim di Malaysia masuk Islam dengan sukarela, Malaysia akan muncul dibawah kategori daratan dari perjanjian, Semua daratan ditanami oleh manusia pada waktu itu akan diakui milik pribadi lain halnya hutan dan daratan mati (barang sisa atau tak serasi) akan menjadi property pemerintah, dengan memetik hasil hak dapat dicapai. lagi pula, penafsiran Sadr tentang kepemilikan pribadi adalah satu yang sangat terbatas, dan karenanya tidak sangat berbeda dari memetik hasil hak. Oleh karena itu, Klasifikasi Sadr tidak sekuno seperti yang Nampak. 167 Kedua, mungkin masalah yang lebih penting sehubungan dengan ukuran perizinan dari hak untuk daratan. Sadr mengusulkan batasan terhadap ukuran property. untuk hal ini, kita harus meneruskan teori distribusi pra-produksinya. Dari struktur bagian atas (bangunan bagian atas) atau ajaran hukum, Sadr melanjutkan lagi untuk menemukan pemikiran atau teorinya. Cukup sederhana, teorinya mempunyai aspek 167
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
138
positif dan aspek negatif. Sisi negatif mengatakan bahwa tanpa tenaga kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi. Sisi positif menyatakan kesimpulannya, misalnya. Tenaga kerja adalah sumber hak dan property yang cocok dalam kekayaan alami. Sadr lebih lanjut menyeleksi bahwa karyawan dilibatkan mesti ada jiwa seorang karakter ekonom, seperti melibatkan pemanfaatan dan laksanakan dengan paksaan. Bagaimanapun dalam bagian ekonomi, tenaga kerja memberikan bermacam-macam tingkatan hak tergantung pada sifat alami sumber alam dan keadaannya. 168 a) Karyawan ekonom memberikan hak terhadap kepemilikan pribadi dari produk-produk karyawan itu sendiri. b) Karyawan ekonom memberikan hak kepemilikan untuk sumber alam c) Karyawan ekonom memberika prioritas individu dari penggunaan dan hak untuk mencegah yang lainya dari penggunaan property seseorang atau merampasnya (kecuali sumur, sumber mata air, dan sebagainya). d) Semua hak ini tidak berlaku ketika karyawan ekonomi berhenti. Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwasanya karyawan tidak memberi hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk produk-produk dari tanah. 169
168
Ibid., h.120 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 169
139
Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak yang lebih terhadap tanah itu (termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa izinnya) dibandingkan seseorang yang bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan memerlukan lebih banyak usaha dan, lebih banyak hak. Poin ini penting ketika kita membicarakan masalah distribusi setelah produksi
(post-production
distribution).
Setelah
dipertimbangkan
semuanya, kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah (dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr mengambil pandangan ini berdasarkan pada konsep khilafah (vicegerency)nya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan pemerintah. Dengan ini, mari kita kembali kepertanyaan mengenai ukuran saham. Meskipun Sadr tidak secara jelas mengatakan bahwa ukuran tanah harus dibatasi, 170 dia menyebutkan 2 hal: 1. Tanah pribadi akan hanya menjadi tanah pribadi selama ada karyawan (buruh) yang terlibat 2. Pemilik hak dibeikan kepada tingkat kesediaan dan kemampuan untuk bekerja.
170
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
140
Apa yang dimaksud dengan kapasitas bekerja? dibolehkan bagi orang kaya (pemilik tanah) untuk menjalankan petani bagi hasil tak terbatas sebagai penyedia benih ataupun pupuk, atau bahkan untuk membayar hak dari pemerintah diatas lahan besar tanah itu, tetapi menggarap tanah dengan sistem petani bagi hasil. Pandangan Sadr mengenai tenaga kerja ekonomi tidak membolehkan akan hal ini dan kerenanya harus dibatasi ukuran saham tanah tersebut. hal ini yang membuat lebih jelas dalam pandangan tentang distribusi pasca produksi.171 Sementara itu, dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan, dapat saja pemerintah memungut pajak atau zakat yang wajib di bayar dalam sistem ekonomi konvensional dan dalam ssitem ekonomi syariah. Namun apakah pungutan wajib tersebut akan mengurangi utility dari orang yang membayarnya atau malah meningkatkan utility-nya. 172 Atau bagaimana kita dapat menerangkan perilaku orang memberikan donasi dalam sistem ekonomi konvensional atau infak sedekah dalam sistem ekonomi syariah. Dalam menganalisa konsep ini, penulis menggunakan dua definisi rasionalitas dalam ekonomi konvensional, yaitu present aim dan self interest. 173 Dalam definisi present aim yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Jadi dalam perilaku present 171
Ibid., h.121 Sayidina Abu Bakar r.a pernah menginfakkan seluruh hartanya, dan hanya meninggalkan “Allah dan Rasul-Nya” kepada keluarganya. Sayidina Umar r.a menginfakkan separuh dari hartanya. Sa’ad ibn Rabi’ dari kaum Anshar juga pernah menawarkan membagi dua hartanya bahkan menawarkan salah satu dari dua istrinya kepada Abdurrahman ibn Auf, namun ditolak oleh Ibn Auf. Ibn Auf mendoakan “ Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, “ dan bertanya “tunjukkan aku di mana pasar.” 173 Robert Frank. Microeconomics and Behavior 2nd ed. (New york : Mc Graw, 1994). h.251 172
141
aim dominasi perspektif subyektif sangat tinggi terhadap suatu masalah sehingga timbul
kecenderungan
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
yang
tidak
mempertimbangkan faktor eksternal : agama, keluarga, lingkungan dan sebagainya. Misalnya perilaku korup bagi definisi present aim 174 bisa dikatakan tindakan rasional, karena ia berasionalisasikan dengan keadaan dirinya. Sedangkan dalam definisi self interest, motif yang mendorong ia melakukan suatu perbuatan. Perspektif subyektif dari perilaku ini lebih didasarkan oleh pertimbangan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dalam kerangka definisi self interest dapat 175 menerangkan perilaku pemberian donasi, infaq, sedekah, dan tindakan menolong lainnya. 176 Misalnya Hasan (IA) yang tidak saja memikirkan pendapatannya tapi juga memikirkan pendapatan Husein (IU). Secara matematis fungsi utility (Uf) ialah : Uf = f (Mf. Mz) Di mana : = utility Hasan
Mf
= Pendapatan Hasan
Mz
= Pendapatan Husein
174
Pendapatan Hasan
Uf
Peningkatan Kepuasan
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta : EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007), h.247 175 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.223 176 Dalam istilah ekonomi konvensional disebut sifat altruism sebagai lawan kata sifat selfish.
142
Pendapatan Husein
Gambar diatas 177 menunjukan pendapatan Hasan pada sumbu X, dan pendapatan Husein pada sumbu Y. Kurva indifference Hasan memiliki slope negatif yang berarti ia dapat menerima pendapatannya berkurang untuk kenaikan bagi pendapatan Husein. Perhatikan pula bentuk kurva indifference Hasan yang melengkung yang menunjukan diminishing MRS, yaitu semakin besar pendapatan Hasan, semakin besar jumlah yang ingin diberikannya kepada Husein agar pendapatan Husein bertambah banyak. Sebagaimana analisis penulis diatas, penulis berpendapat jika konsep distribusi Baqir Sadr dapat diterapkan, maka angka kemiskinan akan semakin berkurang. Sebaliknya, jika tidak diterapkan, maka angka kemiskinan di Indonesia akan semakin meningkat. Adapun strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi kendala zakat antara lain : 1). Zakat perlu disosialisasikan bukan saja pada wilayah-wilayah keagamaan saja. Anjuran berzakat tidak hanya di lembaga pendidikan agama, seperti pondok pesantren, sekolah-sekolah agama Islam dan lain semacamnya, tetapi juga di sekolah-sekolah umum. 177
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.223-224
143
2). Timbulnya kecenderungan zakat disamakan dengan pajak disebabkan masyarakat kurang memahami esensi zakat. Demikian juga, keadaan ini menggambarkan bahwa zakat dianggap kurang relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Oleh karenanya, memahamkan zakat tidak sekedar pendekatan agama tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik. 3). Koordinasi antara lembaga zakat perlu ditingkatkan. Di satu sisi hal ini akan bisa digunakan meningkatkan kinerja di masing-masing lembaga, di sisi lain menunjukan kondisi lembaga zakat yang baik pada masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dapat diawali dari keadaan ini. 4). Keberadaan UU yang telah dibuat pemerintah memberikan peluang bagi masyarakat untuk membuka lembaga zakat sebanyak-banyaknya. Walaupun kenyataannya Pemerintah kurang efektif dalam mengimplementasikan UU ini, tetapi setidaknya UU ini menjadi legitimasi bagi umat Isam dalam mengembangkan lembaga zakat.
144
145
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penelitian kepustakaan yang telah penulis lakukan dengan menjelaskan Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr, penulis menemukan beberapa hal distribusi dapat di jadikan kesimpulan, yaitu: 1. Shadr membedakan distribusi ke dalam dua bagian, distribusi pra produksi dan pasca produksi. Distribusi pra produksi adalah sumber alam yang merupakan faktor produksi alami yang terdiri kedalam empat kategori, seperti 1.) tanah, mineral yang terkandung dalam perut bumi, (batubara, belerang, emas, minyak dan lain sebagainya), 2.) aliran air (sungai), dan sisanya 3.) berbagai kekayaan alam lainnya yang terdiri atas kandungan laut (mutiara dan hewan-hewan laut), kekayaan yang ada dipermukaan bumi (hewan dan tumbuh-tumbuhan), kekayaan yang tersebar diudara (burung dan oksigen), kekayaan alam yang tersembunyi (air terjun yang bisa menghasilkan tenaga listrik yang dapat dialirkan melalui kabel ke titik manapun), juga kekayaan alam lainnya serta 4.) faktor turunan berupa modal dan kerja, kesemuanya itu merupakan kekayaan yang diperlukan dalam proses produksi. Sementara itu pada distribusi pasca produksi menekankan pada teori pendapatan dalam perspektif Islam, yaitu teori kompensasi dan bagi hasil. Misalnya, seseorang berhak mendapatkan kompensasi atas barang
148
149
yang digunakan dan berhak mendapatkan bagi hasil dari ikutsertanya dalam proses produksi. Selain itu, Sadr membagi elemen yang ada dalam sistem distribusi Islam menjadi elemen primer yakni berupa kerja dan kebutuhan dan elemen sekunder berupa kepemilikan. Pandangan Sadr memiliki aspek positif dan negatif. Sisi negatif, beliau mengatakan bahwa ‘tanpa tenaga kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi’. Sedangkan sisi positif menyatakan ‘tenaga kerja adalah sumber hak dan properti yang cocok dalam kekayaan alami.’ Di sisi lain, Sadr melengkapi konsepnya dengan menggandeng pendapat
ahli
fiqh
sebagai
suprastruktur
(ajaran
hukum),
dan
menjadikannya sebagai prinsip-prinsip umum dalam bidang distribusi. Dalam konsep distribusi, pemerintah memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Sadr mengemukakan bahwa Islam menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebih-lebihan (boros). Islam juga mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem ‘jaminan sosial’. Kemudian Redistribusi (distribusi ulang) juga memerankan suatu bagian yang sangat vital dan berbagai bentuk pajak ditawarkan oleh Sadr (zakat, khums, anfal fay). Sadr juga melihat pemerintah memainkan peranan
yang
dinamis
dalam
mengimplementasikan
kebijakan-
kebijakannya untuk menghadapi tantangan dari masyarakat modern ini.
150
Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa konsep distribusi Sadr terbagi dua bagian, pertama, Distribusi Kekayaan yang terdapat pada Distribusi pra Produksi (mentahnya). Kedua, Distribusi Pendapatan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada distribusi pasca Produksi (kompensasi/hasilnya). 2. Relevansi Konsep Distribusi Menurut Baqir Shadr dengan Ekonomi Islam Di Indonesia secara prakteknya dapat dilihat pada BAZ seperti BAZNAS dan LAZ seperti Dompet Dua’fa, Rumah zakat, PKPU dan lain-lain. BAZ dibentuk Pemerintah, sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat. Dengan demikian, modal dan kerja keduanya bisa didapat, pegawai dapat gaji, yang usaha berawal dari penerimaan zakat kemudian diusahakan lalu menjadi pendapatan. Zakat, disebutkan Sadr, adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan dibawah Pengawasan Pemerintah. Artinya menurut Penulis, dengan di kelola Pemerintah, zakat menjadi kewajiban yang mengandung sanksi bagi pelanggarnya. Sebaliknya, kalau sekarang zakat baru berupa “pengurang penghasilan kena pajak”, maka dengan amandemen UU Zakat bisa ditingkatkan menjadi “pengurang pajak” atau tax deductable. Dengan begitu, Eksistensi LAZ dan BAZ selama ini sudah on the right track, tinggal melakukan edukasi dan sosialisasi kepada seluruh masyarakat secara holistik komprehesif.
151
Sedangkan Relevansi Konsep Distribusi Menurut Baqir Shadr dengan perekonomian masa kini, dalam hal kebijakan moneter, Sadr menganalisa adanya penyimpangan terhadap fungsi uang yaitu terjadinya penimbunan kekayaan melalui suku bunga. Karena perlu diketahui, Indonesia sampai saat ini masih menggunakan suku bunga sebagai alat kebijakan ekonominya, Sejumlah dana akan ditarik dari lapangan produksi dan ditempatkan menjadi asset bank yang tidak produktif sehingga secara tidak langsung akan mematikan sektor riil. Uang ‘dipaksa’ untuk berfungsi sebagai komoditi dan alat spekulasi. Aktivitas spekulasi di pasar uang ini mengakibatkan ketimpangan antara transaksi di sektor riil dan transaksi di sektor moneter. Perlu dikemukakan bahwa Islam sendiri melarang hal ini, permintaan akan uang yang dibenarkan hanyalah untuk faktor transaksi dan berjaga-jaga saja, permintaan uang sendiri harus didistribusikan kepada faktor-faktor yang produktif. Sehingga penimbunan uang, perdagangan uang dan spekulasi dilarang. Penyimpangan terhadap distribusi, yang di rumuskan oleh Sadr, akan mengakibatkan kekacauan di sektor riil yang bermuara pada krisis ekonomi. Terlebih kita akan temukan bahwa bunga yang ditawarkan cukup besar dan akan mengakibatkan banyaknya dana yang tidak produktif. Krisis Global yang tengah terjadi di beberapa negara saat ini salah satunya lebih banyak disebabkan oleh penyimpangan terhadap distribusi yang merupakan ulah keserakahan manusia itu sendiri.
152
Dalam hal pendistribusian, jika pemerintah membiarkan terjadinya penyimpangan dalam distribusi, maka akan meningkatkan jumlah orang miskin, sehingga mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan yang berkepanjangan. Dan yang terpenting, pemerintah harus menjamin distribusi yang merata dan adil dengan jaminan yang riil.
B. Saran – Saran Sebagai akhir dari skripsi ini, penulis ingin memberikan saran sebagai berikut : 1. Hendaklah para pelaku ekonomi, pemerintah dan masyarakat luas, segera melaksanakan
konsep
distribusi
yang
sesuai
dengan
syari’at.
Penyalahgunaan konsep distribusi, mengakibatkan dampak negatif pada perekonomian global. 2. Penulis melihat, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keislaman dan keekonomian, selayaknya para pemerhati dan pelaksana ekonomi perlu untuk mencermati dan menelaah lebih jauh pemikiran tokoh ini. Setidaknya menurut penulis, banyak melahirkan teori yang diawali dari kondisi sosial-politik dimana tokoh berada. Seperti yang disinggung Vilfredo Pareto, kesadaran di mulai dari kondisi, 1 sang tokoh ini berjuang mengembalikan masyarakat dunia ke peradabannya, yakni manusia yang sadar lingkungan baik secara vertikal, horizontal maupun diagonal frontal.
1
Richard Bellamy, Teori Sosial Modern Perspektif Itali, (Jakarta : LP3ES), diterjemahkan oleh Verdi R Hadiz, 1987.
153
Atau seperti kata Dawam Rahardjo, 2 mengembalikan manusia ke awal kelahirannya sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi (Homo Social Homo Economics). Ajaran tokoh ini telah membentuk sebuah pandangan yang baru dan berbeda dengan masa yang sedang berlaku. Untuk kasus Indonesia, mengacu pada krisis yang pernah menimpa di tahun 1998 dan krisis global yang tengah terjadi dewasa ini serta kasus bank century, kiranya pemikiran dari tokoh ini perlu mendapat tempat. Jika tidak, maka perbaikan disektor moneter (makro) yang di mulai kita rasakan sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dalam jilid kedua ini, hanya bersifat temporer. Kekhawatiran akan terjadinya krisis yang lebih dahsyat, bisa saja terjadi jika penyelewengan terhadap distribusi terus dilakukan. Atau setidaknya, wacana yang di gulirkan dapat di jadikan landasan dalam membentuk karakter ekonomi Indonesia dalam menghadapi serangan pasar bebas dunia beberapa tahun mendatang.
2
M. Dawam rahardjo, Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta : LP3ES), Cet.Ke-2, 1985.
154
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an, 1971. A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A. Lembaga-lembaga perekonomian umat sebuah pengenalan. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002. Adiningrat, Muhammad Arif dan Wadjdi, Farid. “ Kebijakan yang bertolak belakang “. Artikel diakses pada sabtu, 21 Mei 2005 dari Hizbut Tahrir Indonesia (www.hizbut-tahrir.or.id). Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. Ali, Muhammad. Kamus bahasa indonesia modern, Jakarta : Pustaka AMANI. Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009. Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005. Amien Rais, Muhammad, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, Yogyakarta : PPSK Press, 2008. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2000. Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : Pustaka Zahra, 2002. Aufa, Ilham“ Hijaz 1800-1925 : Periode Penuh Intrik Politik dan Benturan Pemikiran “ dalam Dialogia, no1/vol.I/Mei 2000. Baker, Anthon dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1990. Baqir Ash-Shadr , Muhammad. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. Jakarta : Penerbit Zahra, 2008. Baqir Ash-Shadr, Muhammad. Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir AshShadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia. Bandung : Penerbit Mizan, 1995. Baqir Ash-Shadr, Muhammad. Sistem Politik Islam. Jakarta : Penerbit Lentera basritama, 2001.
155
Baqir Sadr, Muhammad, Islam and School Economics, Terjemahan : Muslim Arbi Bandar, Lampung : YAPI, 1989. Baqir Sadr, Muhammad, Manusia Masa kini dan Problema Sosial, Bandung : Pustaka Salman ITB, 1984. Bukhari, Shahih Bukhari, cet. II. Riyadh : Daarus Salam, 1997. Chapra, M. Umar. Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi.Jakarta : Gema Insani Press, 2000. Chapra. Islam dan tantangan ekonomi, Islamisasi ekonomi kontemporer, Surabaya : Risalah Gusti, 1999. Daud, Abu. Sunan Abu Daud, Jilid.II. Beirut : Daarul Fikr, 1994. di akses pada 15 Juni 2010 dari http//.badankebijakanfiskalkemenkeu.htm di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/ di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.depkeu.go.id Edwin Nasution, Mustafa. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2007. Ed. I. Cet. 2. Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005. Fakultas Syariah dan Hukum, Tim Penulis. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Haneef, M. Aslam, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis, Kuala Lumpur, 1995. Heru Priono, Djaka. “ Konsep Ekonomi Islam Baqir As-Shadr dan Monzer Kahf : Sebuah Studi Komparatif. “ Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996. Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
156
Mallat, Chibli, Menyegarkan Islam, Bandung : Mizan, 2001. Mallat, Chibli, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti Bandung : Mizan, 2001. Mallat, Chibli. Para Perintis Zaman Baru. Bandung : Mizan, 1998. Mengatasi Kemiskinan. Buletin Dakwah AL-ISLAM Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 385 / Tahun XIV. Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, Yogyakarta : BPFE, 2004. Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988. Perbankan Syariah Tidak akan Membiayai Rokok, Miras dan Hiburan Malam, WARTA Media Informasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 03 Desember 2009. Perwataatmadja, Karnaen, ”Kebutuhan dan Strategi Pengembangan Kurikulum untuk membangun SDI Syariah,” pada acara seminar ”Peran Perguruan Tinggi dalam membangun SDI Syariah Profesional,” dalam Indonesia Syariah Expo, 27 Oktober 2007, Jakarta Convention Centre : MES, 2007. Poepoprodjo, Interpretasi : Beberapa Catatan Pendekatan Falsafatinya, Bandung : Remadja Karya, 1987. Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani Press, 1997. Qardhawy, Yusuf, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001. Renier, GJ, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997. Sholahuddin, M. Asas-asas ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta : EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007. Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum, Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
157
Surur, Miftakhus. “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No.11 Th.VI (Maret 2009) : h.58. Syakir Sula, Muhammad, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari Republika online. Umar, Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.