Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
KONSEP HUDUD MUHAMMAD SYAHRUR Halimah B Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Abstract Hudud or Limits of the God’s law as likely a bone that mentioned by Syahrur, that is the new theory which he called as a limit theory. It will intercept the interere of human’s made. It is the deific decision that is mentioned in al-Qur’an and Sunnah whose form is the maximal and minimal which covered overall of the human’s deeds and natural phenomena. Kata Kunci: Konsep Hudud
Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
301
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
PENDAHULUAN
A
l-Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mu`jizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad yang tertulis dalam mushaf, dinukil secara mutawatir dan bernilai ibadah bagi orang yang membacanya.1 Kemukjizatan al-Qur’an di sini adalah merupakan sifat zat al-Qur’an, dan ayatayatnya adalah merupakan dalil yang menunjukkan atas kebenaran Nabi Muhammad dan sebagai pembuktian bahwa al-Qur’an itu kalamullah. Jalaluddin as-Suyuthi (lahir 849) di Mahallat Sayuth dan (w. 911) dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh meragukan bahwa al-Qur’an itu dari Allah (firman Allah). Allah melalui firmannya menantang orang Arab untuk mendatangkan al-Qur’an, tapi mereka tidak mampu.2 Al-Qur’an mempunyai berbagai kemukjizatan, antara lain bersifat kekal, tidak ada yang mampu menandinginya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa, maupun dari segi keindahan, syariat, filsafat ilmu pengetahuan dan perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya.3 Meskipun orang Arab terkenal dalam bidang syair, tetapi mereka tidak sanggup menandingi dan menyaingi kalimat-kalimat al-Qur’an. Al-Qur’an adalah mu`jizat Nabi Muhammad Saw. yang berlaku sepanjang zaman sesuai dengan situasi dan kondisi. Diantara isinya menjelaskan tentang laki dan perempuan. Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Q.S. Ali Imran (3): 36. Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan.” Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkan itu, dan laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada Engkau dari sesuatu yang terkutuk. Istibsyarah (lahir 1955) di Jombang, menyatakan bahwa ayat ini tidak bermaksud memandang yang satu superior dibandingkan dengan yang lain, karena misi pokok diturunkannya al-Qur’an adalah untuk memerdekakan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk warna kulit, ras, etnis dan jenis kelamin. Al-Qur’an menjelaskan seyogyanya manusia 1Lihat
Muhammad Abd Adhim al-Zarqany, Manahil al-Irfan fil `Ulum al-Qur’an, (Mesir, Dar al-Salam, 1424 H/2003 M), Cet. Ke-1, Jilid I, h. 17. Lihat pula Mahmud Abbas al-Aqqad, Al-Tafkir Faridah Islamiyah, (Beirut: Al-Maktabah Al-Asriyyah, t.th.), h. 81. 2Lihat Jalaluddin al-Sayuthi, Al-`Itqan fie `Ulum al-Qur’an, (Dar al-Fikr, 2005), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 601. Al-Qur’an 3 kali menantang orang Arab: 1) Allah berfirman, “buatlah yang sama dengan seluruh isi al-Qur’an!”, 2) “Datangkanlah 10 (sepuluh) surah yang sama dengan alQur’an!”, 3) “Datangkanlah satu surah yang paling pendek yang sama dengan al-Qur’an!”, tapi mereka juga ternyata tidak mampu. Lihat Muhammad Abd al-Adhim al-Zarqany, h. 333. 3Lihat Muhammad Ismail Ibrahim, Al-Qur’an wa al-I`jaz al-`Ilmi, (al-Qahirah: Dar al-Fikri al-Arbi, t.th.), h. 12.
302
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
saling kenal mengenal, tidak ada diskriminasi dan penindasan.4 (QS. al-Hujurat [49]: 13). Karena itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam segala bidang. Etin Anwar mengatakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk memenuhi keinginannya baik yang bersifat individu, keluarga maupun masyarakat.5 Al-Qur’an sebagai dasar utama dalam negara Islam, dipakai sebagai rujukan seluruh kaum Muslim dalam memperoleh petunjuk, bimbingan, dan berkewajiban untuk mengamalkannya. Namun al-Qur’an tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan ilmu-ilmu bantu di dalam memahaminya, antara lain adalah Ilmu Tafsir. Tafsir secara lughawi berarti menjelaskan dan menerangkan. (Al-Idhah wa al-Tabin).6 Bint al-Shati (lahir 1913) di Daimutha Mesir; Define tafsir as an attempt to understand the al-Qur’an that consists an explaining and clarifying the text by using interpretative as apposed to synonymous language.7 Berbagai penafsiran al-Qur’an dalam lintasan sejarah tidak dilakukan. Sebagian orang meyakini dan mengimani penafsiran cukup secara harfiah. Sebagian lainnya menganggap tidak cukup, melainkan perlu penafsiran secara hermeneutik.8 Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur (lahir 1938 di Damaskus) dalam bukunya yang berjudul Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah9 yaitu sebuah bentuk pembacaan kontemporer. Pembahasan buku tersebut antara lain adalah aplikasi konsep batas hukum Tuhan (hudud) pada hak-hak perempuan muslimah. Studi perempuan dalam Islam dikategorikan sebagai salah satu tema sangat sensitif yang menarik perhatian para pembela dan para musuh Islam untuk mengkajinya, bermula sejak zaman kebangkitan (sekitar tahun 70-an) hingga sekarang. Syahrur sendiri tidak yakin bahwa saat ini tidak hadir sebuah kajian komprehensif tentang perempuan dalam Islam yang berangkat dari hubungan dialektis antara karakter dasar Islam, yaitu istiqamah dan hanifiyyah, dan 4Istibsyarah,
Hak-hak Perempuan, Relasi Jender, Menurut Tafsir al-Sya`rawi, (Jakarta: Teraju, 2004), Cet. Ke-1, h. 2. 5Lihat Etin Anwar, Gender and Self in Islam, (London and New York, Routledge), h. 133. 6Muhammad Husain al-Zahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1995), Jilid I, h. 13. 7Issa J. Boulleta, An Examination of Bint al-Shati’s Method at Interpreting the Qur’an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 11. 8Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, h. 5. 9Syahrur mengatakan bahwa buku tersebut bukan buku tafsir atau fiqih, namun dia menyebutnya dengan istilah qira’ah mu`ashirah. Di sini dia ingin menjelaskan bahwa ada perbedaan antara aktivitas qira’ah dan tilawah. Yang pertama merupakan aktivitas membaca yang diiringi dengan usaha memahami, menjelaskan, menganalisa dan menguraikan obyek teks yang dibaca. Sedangkan yang kedua merupakan aktivitas membaca tanpa penjelasan atau uraian tambahan yang bertujuan untuk mendalami dan memahami kandungan teks yang dibaca. Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
303
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
karakter dasar manusia yaitu fitrah yang serasi dengan hukum-hukum alam serta kajian yang menjadikan batas-batas hukum Tuhan sebagai tulang punggung pijakannya.10 Oleh karena itu, maka Syahrur mengenalkan teori hukum baru yang ia sebut sebagai teori batas, yaitu batas-batas hukum Tuhan (hudud). Teori ini akan menampung campur tangan hukum buatan manusia. Teori batas adalah ketetapan Ilahi yang diungkapkan dalam al-Kitab dan Sunnah berbentuk batasan maksimal atau minimal yang mencakup seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Dalam batas-batas ini hukum yang dibuat manusia memiliki ruang pengakuan. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas term batas yang diterapkan oleh Syahrur antara lain: masalah poligami, waris dan jilbab. Syahrur, yang memiliki nama lengkap Muhammad Syahrur ibn Deyb ibn Seyb Syahrur, lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syiria. Ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun. Dia dikaruniai 5 orang anak hasil pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama Azizah.11 Syahrur kecil pertama kali mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah di tanah kelahirannya sendiri, Damaskus, tepatnya di Lembaga Pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi. Tamat dari sekolah menengah pada tahun 1957, dia melanjutkan studi S1-nya di Moskow Uni Soviet (sekarang Rusia) atas bantuan beasiswa dari pemerintah Syiria. Bidang yang dipilihnya adalah teknik sipil. Selesai studi pada tahun 1964, dia kembali ke Damaskus dan diangkat menjadi dosen di Universitas Damaskus. Tahun 1967 dia mendapat kesempatan melakukan penelitian di Imperial College di London,12 namun tidak selesai karena terjadi perang antara Syiria dan Israel yang mengakibatkan putusnya hubungan diplomatic antara Syiria dan Inggris. Setelah kembali dari London, tahun 1968, dia kembali dikirim oleh Universitas Damaskus untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke Dubin Irlandia. Di sana dia masuk ke National University of Ireland dengan mengambil bidang mekanika turbah wa asasat (Soil Mechanics and Foundation Engineering). Studi lanjut tersebut, S2 dan S3, berhasil dia selesaikan lebih kurang dalam waktu 4 tahun (1968-1972). Tahun 1972 dia kembali ke Damaskus dan menjadi dosen tetap di sana.13 Meskipun dia seorang pakar dalam bidang ilmu teknik mekanik tanah dan geologi, ternyata dia juga seorang yang haus ilmu dan sangat tertarik dengan kajian-kajian sosial seperti filsafat, linguistik dan keislaman. Salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikirannya adalah Ja’far Dakk
10Lihat
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 592-593. Abul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), h. 237. 12Sahiron Syamsudin (ed.), Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 276-277. 13Peter Clark, Review Article: The Syahrur Phenomenon, dalam Islam and Christian Muslim Relation, vol. 7, no. 3, h. 337. 11M.
304
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
al-Bab, yang juga teman seprofesinya di Universitas Damaskus. Dia adalah seorang pakar dalam bidang linguistik modern.14 Karir akademiknya cukup bagus, disamping menjadi dosen tetap di Universitas Damaskus, dia juga menjadi tenaga ahli pada al-Sa`ud Consult Arab Saudi. Dia juga bertindak sebagai salah seorang konsultan teknik pada Lembaga Biro Konsultasi Teknik Dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah (Engineering Consultancy) di Damaskus.15 Sebenarnya pergolakan pemikiran Syahrur sudah diawali sejak dia belajar di Moskow. Di sana dia banyak berkenalan dengan teori-teori filsafat seperti Hegel dengan teori dialektika materialismenya, Derdinand De Saussure dengan teori strukturalis linguistik, dan lainnya. Disamping itu dia juga sangat tertarik untuk mempelajari karya-karya para ahli bahasa dan sastra Arab seperti al-Farra’, Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni dan al-Jurjani.16 Sebagai seorang intelektual, dia termasuk seorang penulis yang produktif. Beberapa karya yang berhasil dia tulis adalah: 1. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah 2. Dirasah Islamiyah Mu`ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama` 3. al-Islam wa al-Iman Manzumat al-Qiyam 4. Masyru` Misaq al-`Amal al-Islami 5. Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.17 Disamping itu dia juga banyak menulis artikel, diantaranya: 1. The Devine Text and Pluralism in Moeslem Societies. 2. Reading Religious Text; A New Approach18 3. Islam in the 1995 Beijing World Conference on Women.19 PEMBAHASAN Teori Batas Yang Ditetapkan Oleh Muhammad Syahrur (L. 1938 Di Damskus) Antara Lain: 1. Poligami Poligami20 adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh perempuan Arab Islam secara khusus, dan yang dihadapi oleh Islam di depan dunia secara 14Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah, (Beirut: Syarikat alMathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr, 2000), h. 47. 15Peter Clark, Review Article: The Syahrur Phenomenon, h. 33. Lihat juga M. Aunul Abied Shah, Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, h. 237. 16Andreas Christman, dalam Die Wel des Islams, terj. Sahiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Komtemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 20. 17Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan Burhanuddin Zaki, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 313. 18Sahiron Syamsudin, Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 225. 19Charles Kruzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 210. Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
305
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
umum. Jika kita memahami bahwa ayat-ayat tersebut mencakup setiap periode sejarah perkembangan manusia dan meliputi seluruh sisi kemuliaan manusia, baik pada masa lampau maupun masa kontemporer. Ayat tentang poligami adalah Q.S. an-Nisa [4]: 3:21 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka nikahilah yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau hamba sahaya wanita yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Ayat-ayat poligami yang termasuk ayat-ayat hududiyah ini memberikan batasan maksimal dan minimal baik dari segi jumlah, kuantitas maupun kualitas.22 a. Batas-batas Kuantitas Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus) menyatakan bahwa ayat ini membicarakan pernikahan dengan redaksi fankihu yang kemudian mengawali jumlah istri dengan angka 2 (matsna). Batas minimal istri adalah 1 orang perempuan dan batas maksimalnya adalah 4 orang perempuan. Proses peningkatan jumlah ini diawali dengan dua, tiga, dan terakhir empat. Dalam hubungan bilangan bulat, karena manusia tidak dapat dihitung dengan angka pecahan.23 Poligami dibolehkan selama berada pada batasan hukum tersebut, yaitu antara satu sampai empat. Orang yang menikah dengan satu istri berarti dia telah mengikuti batas minimal hukum Allah, dan yang menikahi empat istri, dia juga tetap dalam batasan maksimal hukum Allah secara kuantitatif.24 Penulis tidak setuju dengan pernyataan Syahrur tentang batas minimal satu istri. Angka satu dalam hal ini tidak bisa diminimalkan karena perempuan sebagai istri tidak mungkin dinikahi setengah perempuan, harus satu perempuan. Itulah hikmahnya ayat ini dimulai dengan angka 2, 3, dan teakhir 4. (Nikahilah perempuan yang kamu senangi, boleh dua, tiga, sampai empat). Nah, di sini dapat dipahami, kalau sudah menikah dengan satu istri kemudian mau menikah lagi, maka dibolehkan beristri sampai empat bila memenuhi syarat.
20Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, h. 93. 21
22Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 598, no. 1 Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 598, no. 1 24Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 598, no. 1 23Muhammad
306
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
Muh. Quraish Shihab (L. 1944 di Rappang) mengatakan bahwa penyebutan dua, tiga atau empat, pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu. Dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda. Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.25 Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Karena ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.26 M. Quraish Shihab (L. 1944 di Rappang) menjadikan hukum poligami sebagai hukum mubah (boleh), tidak dianjurkan dan tidak pula ditutup rapat, tidak dilihat dari sisi baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari penetapan hukum Allah dalam kondisi yang mungkin terjadi. Allah membuat peraturan dalam al-Qur’an tentu dalam rangka kemaslahatan manusia. Bahkan Quraish dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa poligami itu bagaikan pintu darurat yang ada pada pesawat terbang. Pada saat kecelakaan tidak mungkin bagi para penumpang hanya melalui satu pintu biasa. Maka pintu darurat dapat dimanfaatkan. Pintu darurat tidak boleh dibuka sembarang waktu. Wahbah az-Zuhaili (l. 1351 H/1932 M di Damsyik Syiria) menyimpulkan bahwa: poligami dalam Islam adalah masalah darurat, memperbaiki kerusakan. Poligami lebih utama daripada menghilangkan poligami. Tidak boleh seorang pun membatalkan poligami, karena nash syari`atnya secara jelas membolehkannya. Menghentikan atau mengingkarkan nash berarti mengingkari ayat Allah.27
25M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-11, Vol. II, h. 341. 26M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-11, Vol. II, h. 341. Al-Maraghi memberikan kesimpulan bahwa poligami bertentangan dengan rukun kebahagiaan rumah tangga, yaitu mawaddah wa rahmah, dan sakinah. Dengan demikian tidak pantas seorang muslim melakukan poligami kecuali dalam keadaan darurat disertai dengan tsiqah (kepercayaan) dengan syarat diwajibkannya berlaku adil diantara mereka karena jika tidak berlaku adil, itu artinya menzhalimi istri-istrinya dan anakanaknya. Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh), Jilid IV, h. 183. 27Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid V, h. 244. Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
307
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
Al-Qur’an surah an-Nisa [4]: 129 yang dijadikan argumen oleh orang-orang yang menolak poligami karena manusia tidak akan mampu berbuat adil pada para istri, sekalipun berusaha keras. Wahbah az-Zuhaili justru memandang ayat ini sebagai dukungan terhadap ayat poligami di atas, karena adil yang dituntut oleh para istri adalah adil dalam masalah materi, seperti giliran (tidur bersama), nafkah, pakaian, tempat tinggal. Sedangkan keadaan dalam masalah nonmateri (masalah hati) seperti cinta, Allah tidak menuntut kecuali sesuai dengan kemampuan karena cinta sulit untuk disamakan. Al-Maraghi (l. 1300 H/1883 M di Al-Maragha Mesir, w. 1382 H/1952 M di Kairo) menjelaskan bahwa keadilan dalam ayat ini adalah menurut kemampuan manusia, seperti persamaan dalam hal tempat tinggal, pakaian, dan lain-lain. Adapun yang tidak disanggupi seperti kecondongan hati atau cinta, maka tidak diwajibkan untuk berlaku adil. Hal ini didasarkan pada perlakuan Nabi Saw. pada akhir masanya dimana Nabi Saw. lebih condong kepada Aisyah dibanding kepada istri-istri lainnya. Akan tetapi tidak dikhususkan sesuatu kepada Aisyah kecuali keridhaan dan izin istri-istri yang lainnya. Nabi berkata, “Ya Allah, inilah bagian yang berada dalam kemampuanku. Maka janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku.”28 Ini berarti bahwa keadilan yang dituntut bukan keadilan menyangkut kecenderungan hati, tapi keadilan material yang memang dapat terukur. Penulis setuju dengan pendapat kedua mufassir di atas bahwa keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah keadilan yang bersifat materil. Sedang keadilan yang bersifat nonmaterial tidak dituntut. Setelah Allah menyuruh setiap pasangan untuk produktif membangun keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan keluarga melalui sikap dan perilaku yang senantiasa adil, maka pada ayat selanjutnya Allah mengecam para suami yang berpoligami dan menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mampu berbuat adil terhadap para istri. (QS. An-Nisa: 129).29 Bahkan dia menegaskan bahwa Islam sudah menutup rapat pintu poligami melalui ayat tersebut.30 Siti Musdah Mulia (l. 1958 di Bone) menyimpulkan bahwa menjadikan surah an-Nisa ayat 3 sebagai dalil pembenaran bagi kebolehan poligami seperti yang dipahami dalam masyarakat, sesungguhnya sangat keliru mengingat ayat itu bukan diturunkan dalam konteks pembicaraan poligami, melainkan dalam
28Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh), Jilid IV, h. 180-181. 29Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 110. 30Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 131.
308
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
konteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil yang menimpa mereka.31 Muhammad Salman Ghanim menyatakan bahwa penyandaran bolehnya poligami pada ayat di atas adalah salah dan tidak berdasar, sehingga kalangan yang membolehkan poligami harus mencari dan mengemukakan dalil lain. Disamping itu dalam memahami teks al-Qur’an, kita harus memperhitungkan kondisi realitas dan fase historis yang sedang aktual. Jika memang kondisi sekarang tidak mengijinkan adanya praktek poligami, maka praktik ini pun harus dilarang. Hal ini tidak menyalahi dan keluar dari Islam, sebab al-Qur’an sendiri tidak menghalalkan poligami, tetapi lebih menyerukan perkawinan tunggal.32 Pernyataan Siti Musdah Mulia (l. 1958 di Bone) tersebut bertentangan dengan pendapat Muhammad Syahrur yang menyatakan bahwa poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah, sehingga tidak mengherankan kalau Allah meletakkannya pada awal surah anNisa dalam kitab yang mulia seperti yang kita lihat bahwa poligami terdapat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Tanzil yang membicarakan masalah ini. Akan tetapi para mufassir dan para ahli seperti biasanya telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada.33 Demikian juga bertentangan dengan pernyataan Quraish Shihab (l. 1944 di Rappang) bahwa ayat di atas berbicara tentang bolehnya berpoligami turun berkaitan dengan sikap sementara pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena harta mereka tetapi enggan berlaku adil.34 b. Batas-batas dari Sisi Kualitas 31Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 116. 32Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-2, h. 91. 33Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (terj.), (Jakarta: eLSAQ Press, 2004, h. 425. 34M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. Ke-2, h. 162. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi pada ayat di atas: 1) ayat di atas ditujukan kepada pemelihara anak-anak yatim yang hendak menikahi mereka tanpa berlaku adil; 2) kata khiftum yang biasa diartikan takut juga dapat berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya yang yatim maupun yang bukan, maka tidak diperkenankan berpoligami; 3) kata tuqsithu dan ta`dilu keduanya diterjemahkan berlaku adil. Kata tuqsithu berlaku adil kepada dua orang atau lebih, sedangkan ta`dilu berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Jika makna kedua ini dipahami, maka itu berarti ijin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga bahwa langkahnya itu diharapkan dapat menyenangkan semua istri yang dinikahinya. Tetapi kalau itu tidak dapat tercapai, maka paling tidak ia harus berlaku adil walaupun itu bisa tidak menyenangkan salah satu diantara mereka; 4) firmanNya maka nikahilah apa yang kamu senangi, ma di sini sebagai apa bukan siapa, dengan demikian maka menikahi wanita tidak ditentukan apakah itu janda atau gadis. Lima huruf wawu pada ayat di atas bukan berarti dan tetapi berarti atau, sehingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat, bukan izin menjumlah angka-angka tersebut sehingga dibolehkan berpoligami dengan sembilan atau delapan belas perempuan.
Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
309
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
Syahrur (l. 1938 di Damaskus) menetapkan batas kualitas perempuan yang akan dijadikan istri kedua. Dalam hal ini sangat terkait dengan pemahaman munasabah antara pola kalimat jawab asy-syart antara ayat fankihu ma thaba lakum min an-nisa dengan ayat wa in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama. Dalam konteks ini harus dihubungkan antara redaksi syarat dan redaksi jawab syarat sehingga memperoleh pemahaman bahwa ayat ini tidak menyebut syarat kualitas istri pertama, apakah ia seorang perawan atau janda; dengan punya anak atau janda yang tidak punya anak. Dengan memahami munasabah ini nampaklah keserasian antara redaksi jawab syarat fankihu dan redaksi syaratnya yaitu keadilan kepada anak yatim. Ayat ini dipahami sebagai ayat para ibu anak-anak yatim yang berstatus janda. Kesimpulannya bahwa ayat ini memberi kelonggaran dari segi jumlah hingga empat istri, tetapi menetapkan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak.35 Nampaknya Syahrur menekankan pemahaman munasabah ayat dalam konteks syarat dan jawab syarat. Jadi dibolehkannya menikah sampai empat istri merupakan jawab syarat dari ayat sebelumnya dan menjelaskan tentang keadilan pada anak yatim. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan kedua sampai keempat berkaitan erat dengan pemeliharaan anak yatim. Dengan kata lain, wanita yang boleh dinikahi sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat, itu adalah ibu anak-anak yatim (janda) dan tidak dibolehkan menikahi wanita perawan. Penulis tidak sependapat dengan Syahrur bahwa poligami dibolehkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang perempuan yang berstatus janda yang punya anak. Munasabah antara pola kalimat syarat dengan jawab syarat adalah dimaksudkan bahwa jika kamu tidak mampu berlaku adil terhadap anak (jika kamu menikahinya) dalam hal pemeliharaan hartanya, maka nikahilah perempuan yang pantas bagimu selain dari anak-anak yatim, boleh dua, tiga, atau keempat, apakah perawan atau janda, sebagaimana istri pertama apa perawan atau janda. Quraish Shihab (l. 1944 di Rappang) menyatakan bahwa fankihu ma thaba lakum “nikahilah apa yang kamu senangi” bukan siapa yang kamu senangi. Kata itu bermaksud menekankan tentang sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya. Bukankah jika anda berkata “siapa yang dia nikahi?” maka anda menanti jawaban tentang wanita tertentu, namanya, dan anak siapa dia. Sedang bila anda bertanya dengan menggunakan kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu. Misalnya janda, gadis, cantik atau tidak dan sebagainya.36
35Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 599. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 338-339. Demikian juga apa yang dijelaskan oleh Al-Maraghi bahwa jika kamu merasa khawatir makan harta anak istri (anak yang yatim), maka hendaknya kamu tidak menikahinya, karena Allah menjadikan kamu berpaling dari anak yatim dengan menikahi selain dari mereka, satu, dua, tiga atau empat. Lihat Al-Maraghi, Tafsir AlMaraghi, Juz IV, h. 180. 36M.
310
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
Hemat penulis, uraian Quraish di atas sebagai indikasi bahwa suami boleh memilih calon istri kedua, apa ia perawan atau janda. Jadi tidak menentukan harus seorang yang berstatus janda atau perawan. Selanjutnya Syahrur menguraikan pola kalimat wa in khiftun `an la ta`dilu fa wahidah yang berarti berlaku adil pada anak-anaknya sendiri dari istri pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain. Dalam ayat ini pengertian `adl (bertindak adil antara dua pihak) yaitu tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada anak-anak dari istri-istri lainnya. Sedangkan tindakan qisht hanya ditujukan kepada anak-anak yatim saja yaitu anak-anak yang dibawa oleh istri kedua, ketiga, dan keempat, sebagaimana firman Allah wa in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama, jika seseorang laki-laki yang sudah beristri khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun anak-anak yatim tersebut, maka hendaklah dengan satu perempuan saja.37 Hemat penulis, kata `adl dalam ayat ini adalah tuntutan perlakuan adil seorang suami kepada istri-istrinya, bukan kepada anak-anaknya, baik anak dari istri pertama, atau anak dari istri-istri lainnya. Yakni Allah menekankan jika tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu maka nikahilah satu perempuan saja. 2. Kewarisan Qur’an surah an-Nisa [4]: 11.38 “Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan…” Syahrur (l. 1938 di Damaskus) menyatakan bahwa ayat waris ini menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau seratus persen ditanggung pihak laki-laki. Sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat atau nol persen, dalam kondisi ini batasan hukum Allah dapat diterapkan yaitu memberikan dua bagian pada laki-laki dan satu bagian bagi perempuan.39 Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3 %, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6 %. Oleh karenanya, jika memberi laki-laki sebesar 75 % dan 37Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 599. Bandingkan pendapat Al-Maraghi bahwa jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil diantara dua atau beberapa istri (sampai empat), maka hendaklah menikahi satu saja perempuan. Kekhawatiran tidak bisa berlaku adil melahirkan keraguan. Dengan demikian, yang dibolehkan beristri dua atau lebih ialah orang yang sangat yakin dapat berlaku adil tanpa ada keraguan. Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz IV, h. 180. 38
يوصيكم اهلل ىف أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيني 39Maksudnya bahwa batas minimal ini berlaku ketika perempuan sama sekali tidak terlibat dalam mencari nafkah bagi keluarga, ketika perempuan ikut mencari nafkah, persentase bagian perempuan bertambah besar mendekati persentase bagian laki-laki, seberapa banyak ia terlibat dalam pencarian nafkah. Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 458. Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
311
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
perempuan diberi 25%, maka telah melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, maka tidak melanggar batasan hukum Allah karena masih berada dalam lingkup batasbatas hukum Allah.40 Penulis setuju tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki yaitu dua bagian dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan yaitu satu bagian. Tetapi penulis tidak setuju dengan pendapat Syahrur bahwa jika memberi lakilaki sebesar 75% dan perempuan diberi 25% melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah. Namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, hal ini tidak melanggar hukum Allah karena masih berada dalam ruang lingkup batasannya. Hemat penulis, batas maksimal dan minimal itu bisa saja berubah misalnya 50% bagi laki-laki dan 50% bagi perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah sesuai dengan hasil kesepakatan atau musyawarah dalam keluarga. Dengan demikian sama sekali tidak melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah. Dalam masalah ini, penulis tidak sependapat dengan Syahrur. Batasan minimal itu boleh diperlakukan dan boleh juga tidak diperlakukan, baik perempuan itu terlibat dalam kegiatan ekonomi, maupun tidak terlibat, dalam hal ini tidak melanggar hukum Allah. Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus) mempertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Tugas kaum muslimin adalah berijtihad dengan bergerak diantara batasan-batasan tersebut sesuai dengan kondisi objektif yang melingkupinya.41 Disamping itu, penentuan seberapa dekat prosentase tersebut dapat diterapkan, harus didukung oleh data-data statistik yang lengkap, bukan atas dasar emosional semata, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ijtihad dalam Islam didasarkan atas bukti-bukti material dengan selalu mempertimbangkan kemaslahatan manusia dan menerapkan prinsip kemudahan bagi masyarakat, bukan atas dasar emosi atau pendapat seseorang.42 Batas maksimal dan minimal bisa bergeser sesuai dengan data statistik, bukan atas dasar emosional semata, dan ijtihad yang digunakan harus berdasarkan bukti-bukti materil. Hal ini bertentangan dengan ijtihad yang dipraktikkan oleh ulama yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti materil. Muhammad Syahrur memandang ayat di atas adalah bias jender. Dia menyatakan bahwa ayat ini dianggap bersifat kondisional, karena menurut dia 40Lihat
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 458. Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 458. Pada saat yang sama, ijtihad dapat menerapkan prinsip mendekat diantara dua batasan tersebut yang dapat diberlakukan dengan menjadi titik keseimbangan antara keduanya, yakni masing-masing dari laki-laki dan perempuan menerima 50%. Prinsip ini didasarkan atas kondisi pewarisan atau perkembangan latar histories atau atas pertimbangan keduanya sekaligus. 42Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 459. 41Lihat
312
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
Allah menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat dari jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan, jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan. Ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.43 Penulis tidak sependapat dengan pendapat Syahrur di atas karena tidak ada petunjuk al-Qur’an atau Hadits yang diungkapkan untuk menunjang pendapatnya. Dalam ayat ini sangat jelas, adalah wasiat Allah untuk membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah. (an-Nisa ayat 11). Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi (l. 1329 H/1911 M di Daqadus. w. 1419 H/1998 M di Daqadus) berpendapat bahwa li al-dzakari mitslu hadz al-untsayaeni, kandungan ayat ini tidak mendiskreditkan perempuan, justru memuat penghargaan lebih kepada perempuan dengan argumen perempuan mendapat bagian setengah dari laki-laki dalam hal warisan. Dengan kata lain, laki-laki memperoleh bagian lebih daripada perempuan disebabkan tugas yang diemban laki-laki yaitu memberi nafkah istri dan anak-anaknya. Sedangkan perempuan tidak mengemban tugas sebagaimana laki-laki. Disamping itu bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki karena perempuan kalau tidak bersuami, maka bagian itu untuk hidup sendiri. Kalau bersuami pun, bagian itu untuk dirinya sendiri. Tetapi laki-laki yang mempunyai istri, wajib memberi nafkah pada istrinya. Itulah keadilan dari Allah.44 Pernyataan Al-Sya`rawi di atas, agak sulit diterapkan di Indonesia karena banyak perempuan yang bekerja mencari nafkah membantu suaminya demi menutupi kebutuhan anak-anaknya. Bahkan tidak sedikit perempuan (istri) lebih besar penghasilannya daripada suami. Pernyataan Al-Sya`rawi ini cocoknya diterapkan di negara-negara Arab, dimana perempuan (istri) masih menjadi tanggungjawab laki-laki (suami). Al-Zamakhsyari (l. 467 H. w. 538 H) berpendapat bahwa jika kamu bertanya apakah laki-laki mendapat dua bagian perempuan, maka jawabannya adalah karena laki-laki mempunyai keutamaan. Ini jika terkumpulnya laki-laki dan perempuan. Sedangkan jika terjadi hanya satu jenis saja seperti seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki itu mengambil harta warisan secara keseluruhan. Sedangkan jika hanya dua perempuan, maka keduanya mengambil 2/3 harta warisan. Pendapat Al-Zamakhsyari di atas kurang tepat karena pembagian warisan tidak menjadi syarat adanya laki-laki itu diberikan lebih banyak daripada perempuan karena adanya laki-laki itu mempunyai kelebihan dibanding perempuan. Tentang pembagian seorang laki-laki, apabila tidak bersama dengan 43Lihat
Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyah Mu`ashirah Nahwah Ushul Jadidah li al-Fiqh alIslami yang diterjemahkan oleh Sohiron Syamsudin yang berjudul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Jakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 342. 44Muhammad Mutawalli Al-Sya`rawi, Tafsir Al-Sya`rawi, (Al-Qohirah: Akhbar al-Yaum, t.t.), Jilid IV, h. 2025 Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
313
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
saudara perempuannya dan demikian juga bila dua orang perempuan tidak bersama dengan saudara laki-lakinya, pembagian itu sudah benar menurut ilmu mawaris. Ahmad Musthafa Al-Maraghi (l. 1300 H/1883 M di Al-Maragha Mesir. W. 1382 H/1952 M di Kairo) menjelaskan bahwa kaum laki-laki mendapat dua bagian perempuan, tidak menggunakan perempuan setengah dari laki-laki apabila ada laki-laki dan perempuan. Hikmah dari laki-laki mendapat dua bagian perempuan, karena laki-laki memerlukan untuk membayar nafkah pada dirinya dan pada istrinya, maka dia mendapat bagian. Sedangkan perempuan, dia hanya membayar nafkah untuk dirinya sendiri, bahkan bila dia kawin, maka nafkah dirinya ditanggung suaminya.45 Pendapat Al-Maraghi ini sejalan dengan pendapat Al-Sya`rawi bahwa bagian warisan laki-laki pada gilirannya juga akan kembali kepada pihak perempuan (istri), baik disengaja atau tidak. Namun kenapa Allah mengkhususkan bagian ini (1/2 dari laki-laki pada perempuan)? Hal ini disebabkan posisi perempuan yang tidak akan terhindar dari dua kemungkinan. Pertama, apabila dia belum menikah, maka mampu menghidupi dirinya dengan bagian dari warisan; kedua, jika dia sudah berumahtangga, maka bagian ini adalah anugerah dariNya.46 Hemat Istibsyarah (l. 1955 di Jombang) bahwa keseluruhan bagian perempuan dalam waris tidak semuanya mencerminkan perbandingan dua banding satu. Hal ini terbukti dalam bagian laki-laki dan perempuan dua banding satu itu, ketika mereka sebagai anak. Ketika perempuan menjadi istri, bagiannya 1/4 kalau suaminya yang meninggal tidak mempunyai anak, 1/8 kalau mempunyai anak. Ketika menjadi ibu, bagiannya sama dengan bapak, yaitu 1/6 apabila mempunyai anak. Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ibu 1/3. Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki bagiannya sama yaitu 1/6. 3. Pakaian Wanita atau Hijab Al-Qur’an surah an-Nur ayat 31:47
45Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid IV, h. 196. Kamil Abd al-Shamad, Al-Sya`rawi wa Adawat al-Bayan Milk at-Ta’bir Shinaat al-Hujjah Hudhur al-Hidayah, (Al-Qahiroh: Dar al-I`thisham, t.t.), h. 23. 46Muhammad 47
314
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali (yang biasa) nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Q.S. al-Ahzab: 59:48 “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istriistri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang etika berpakaian bagi kaum wanita. Sebelum membahas batas maksimal pakaian wanita, terlebih dahulu penulis akan mengungkapkan pandangan Muhammad Syahrur tentang makna juyub dan khimar. Allah menggunakan ungkapan alyadhribna bikhumurihinna `ala juyubihinna. Ayat ini menjelaskan bahwa wanita muslim hendaklah menutup juyubnya. Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus) menjelaskan kata tersebut melalui kajian linguistik. Kata al-juyub berasal dari kata ja-ya-ba yang berarti lubang yang terletak pada sesuatu dan juga berarti dialog, tanya jawab. Istilah aljuyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa bagian antara dua payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat, semua bagian ini disebut juyub yang wajib ditutupi oleh perempuan.49 Oleh karena itu Allah berfirman wal-yadhribna bikhumurihinna `ala juyubihinna (dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka di atas bagian juyub mereka). Kata al-khimar berasal dari kha-ma-ra yang berarti tutup. Istilah al-khimar bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup
48
49Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 607. Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
315
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
kepala saja, tetapi semua bentuk tutup baik bagi kepala atau selainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan perempuan yang beriman untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk kategori al-juyub yaitu perhiasan yang tersembunyi secara fisik dan melarang mereka untuk memperlihatkan bagian tersebut.50 Quraish Shihab (l. 1944 di Rappang) menjelaskan, kata-kata khumur adalah bentuk jamak dari kata khimar yaitu tutup kepala yang panjang. Sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu hanya saja sebagian mereka tidak menggunakannya untuk menutup, tetapi membiarkan melilit punggung mereka. Nah, ayat ini memerintahkan mereka menutup dada mereka dengan kerudung panjang. Ini berarti kerudung itu diletakkan di kepala, karena memang sejak semula ia berfungsi demikian, lalu diulurkan ke bawah sehingga menutup dada. Kata al-juyub adalah bentuk jamak dari al-jayib yaitu lubang di leher baju yang digunakan untuk memasukkan kepala dalam rangka memakai baju. Yang dimaksud di sini adalah leher hingga ke dada. Dari jahit ini sebagian dada tidak jarang dapat nampak.51 Nampaknya kedua mufassir ini berbeda pemaknaan tentang istilah juyub. Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus), juyub diartikan sebagai sebuah lubang (bagian tubuh yang sensitif bagi wanita). Sementara Quraish Shihab memaknai dengan lubang di leher baju. Dan kata khumur, Muhammad Syahrur ia memaknai penutup kepala dan selainnya. Sementara Quraish Shihab memaknai khumur itu sebagai penutup kepala atau kerudung. Muhammad Syahrur menjelaskan bahwa agar manusia tidak berlebihlebihan dalam berpakaian, maka Nabi menetapkan batasan maksimal dalam berpakaian bagi perempuan melalui sabdanya (jika benar) kullu al-mar’ah `auratun ma `ada wajhiha wa kaffaiha52 (seluruh tubuh perempuan adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya). Disamping itu perlu dicatat bahwa sabda Nabi ini tidak bersifat abadi. Dalam hadits ini, Nabi telah membolehkan bagi perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya sebagai batas maksimal, tetapi Nabi tidak membolehkan perempuan dalam kondisi bagaimanapun (maksudnya dalam aktivitas sosial) untuk menutup wajah dan kedua telapak tangannya, karena wajah manusia adalah ciri khasnya. Jika seorang perempuan keluar dengan hanya berpakaian yang menutup daerah intim bagian bawahnya saja (juyubiha alsupliyah), maka ia telah keluar dari batasan Allah. Dan jika ia keluar tanpa memperlihatkan sedikitpun dari anggota tubuhnya bahkan hingga wajah dan kedua telapak tangannya, maka dia telah keluar dari batasan Rasulullah Saw. Selanjutnya Syahrur melihat bahwa pakaian mayoritas penduduk bumi berada pada wilayah antara batasan Allah dan batasan Rasul-Nya yang memang 50Muhammad 51M.
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, h. 607. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 9, h. 327-328.
52
كل املرأة عورة ماعدا وجهها وكفيها
316
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
merupakan fitrah manusia dalam berpakaian. Pada kondisi tertentu mereka berpakaian hingga mencapai garis batas yang ditentukan baik maksimal maupun minimal dan pada kondisi yang lain terkadang melanggar batasan tersebut. Hemat penulis, hadits Rasulullah Saw. masih perlu diteliti apakah sanad dan matannya itu shahih? Penulis setuju batas maksimal aurat perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Akan tetapi, kalau apabila seorang perempuan menutup seluruh tubuhnya dianggap keluar dari batasan Rasulullah, dalam hal ini penulis tidak setuju, karena hal itu bisa saja terjadi sesuai dengan kondisi dan sosial budaya masyarakat tertentu, misalnya di negara Arab, meskipun penulis belum pernah mengadakan penelitian langsung, tetapi sebagai data melalui informan mengatakan bahwa perempuan Arab itu diwajibkan menutup seluruh tubuhnya (cadar) karena apabila kelihatan atau terbuka sebagian tubuhnya (kaki saja) maka menimbulkan nafsu bagi laki-laki. Berbeda dengan di Indonesia, jika nampak sebagian aurat perempuan itu dianggap biasa-biasa saja. Penulis tidak tahu pasti apakah laki-laki Indonesia lebih rendah nafsu seksualnya daripada laki-laki Arab. Dan jika seorang perempuan keluar hanya berpakaian yang menutupi daerah intim bagian bawahnya saja (telanjang), maka ia dianggap keluar dari batasan Allah. Hal ini memang benar telah melanggar ayat-ayat Allah. Penulis berkesimpulan bahwa seluruh aurat perempuan itu wajib ditutup yaitu selain wajah dan telapak tangan, dan tidak wajib menutup seluruh tubuhnya. Al-Sya`rawi (l. 1329 H/1911 M di Daqadus. W. 1419 H/1998 di Daqadus) menafsirkan ayat di atas yang memuat kesan bahwa perempuan selayaknya menutupi kepala, leher dan dada. Mereka yang tersebut dalam ayat di atas adalah mahram bagi perempuan. Hanya kepada mereka dibolehkan membiarkan hiasan yang dimilikinya, karena tidak meninggalkan kesan apapun dan tidak menimbulkan gairah untuk melakukan hubungan seksual.53 Al-Sya`rawi berasalan dengan hadits hadits dari Aisyah. Rasulullah bersabda ketika Asma binti Abu Bakar mengenakan pakaian transparan. “Wahai Asma, apabila perempuan telah mencapai masa-masa menstruasi, tidak layak baginya memperlihatkan bagian tubuhnya kecuali ini dan ini. Rasulullah mengisyaratkan pada bagian wajah dan kedua telapak tangan.”54 `Aisyah Ummul Mukminin berkata pada masa Nabi, para perempuan muslimah mengerjakan shalat shubuh bersama Nabi, mereka mengenakan pakaian sebagai tutup, usai shalat mereka pulang dan tidak mengetahui siapa pun yang berada di tempat tersebut.55 Pendapat Al-Sya`rawi di atas didasarkan dua hadits yang diduga bahwa hadits tersebut dinilai shahih, namun demikian Al-Sya`rawi menafsirkan ayat tersebut bahwa perempuan selayaknya menutup kepala, leher dan dada saja, 53Al-Sya`rawi,
Al-Fatawa, (Al-Qahirah: Maktabah at-Turats al-Islami, t.t.), h. 103. Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid IV, h. 62. 55Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), Cet. Ke-3, Juz I, h. 210. 54Abu
Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
317
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
padahal masih ada bagian-bagian tubuh perempuan yang seharusnya ditutup. Selanjutnya Al-Sya`rawi menjelaskan bahwa alkisah seorang istri telah mencapai usia pasca masa pubertas56 dan kondisinya agak keriput. Di lain pihak sang suami sangat menjaga penampilannya, secara sepintas dia masih mampu menikah lagi. Kejadian berawal dari cerita ketika sang suami keluar rumah dan secara tiba-tiba mendapati perempuan lain dengan dandanan yang memperlihatkan bagian sensitif tubuhnya. Dalam kondisi demikian, apa yang akan terjadi. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama suami bersenang-senang dengan perempuan dan mencampakkan istrinya. Kedua, suami membandingkan penampilan istrinya dengan perempuan tersebut yang jauh berbeda, akhirnya suami secara perlahan-lahan mulai menjauhi istrinya.57 Hal ini tidak perlu terjadi jika pihak perempuan mengenakan hijab dan menutup auratnya. Kisah di atas diibaratkan dengan seorang petani yang sedang menjaga tanamannya, namun dia tidak memperhatikan perkembangannya. Akhirnya dia melihat perubahan cepat pada tanaman setelah beberapa bulan.58 M. Quraish Shihab (l. 1944 di Rappang) menyatakan bahwa salah satu hiasan pokok wanita adalah dadanya. Maka ayat ini menyatakan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka. Dan perintahkan juga wahai Nabi Muhammad bahwa janganlah mereka menampakkan perhiasan, yakni keindahan tubuh mereka kecuali kepada suami mereka, karena memang salah satu tujuan perkawinan adalah menikmati hiasan itu, atau ayah mereka karena ayah sedemikian cinta kepada anak-anaknya sehingga tidak mungkin timbul berahi kepada mereka, bahkan mereka selalu menjaga kehormatan anakanaknya, atau ayah suami mereka karena kasih sayangnya kepada anak-anaknya menghalangi mereka untuk melakukan yang tidak senonoh kepada menantumenantunya, atau putra-putra mereka karena anak tidak memiliki berahi kepada ibunya…59 Selanjutnya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa setelah penggalan ayat yang lalu melarang penampakan yang jelas, kini dilarangnya penampakan tersembunyi dengan menyatakan: dan disamping itu janganlah juga mereka melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian lelaki misalnya dengan menghentakkan kaki mereka yang memakai gelang kaki atau hiasan lainnya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan yakni anggota tubuh mereka akibat suara yang lahir dari cara berjalan mereka itu yang pada gilirannya 56Masa
puberitas adalah masa remaja, dimulai umur 13 tahun dan berakhir umur 20 tahun, tetapi umur tersebut tidak berlaku untuk setiap orang karena ada yang remajanya mulai lebih awal, 11 tahun, ada yang lebih akhir yaitu 15 tahun. Batasan itu (13-20) adalah batasan umum yang berlaku bagi remaja di Indonesia. Lihat Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Bagi Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), Cet. Ke-1, h. 12. 57Al-Sya`rawi, Al-Fatawa, h. 104. 58Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, h. 97. 59M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. Ke-2, h. 67.
318
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
merangsang mereka. Demikian juga janganlah mereka memakai wewangian siapa yang ada di sekitarnya.60 Mencermati pendapat Quraish Shihab di atas, dapat dipahami bahwa jalannya seorang perempuan dapat menimbulkan gairah laki-laki, memakai wangi-wangian juga dapat merangsang laki-laki, apalagi menampakkan dada atau bagian-bagian tubuh yang sensitif bagi wanita, hal itu sudah pasti mengundang nafsu bagi laki-laki normal. Oleh karena itu, maka dianjurkan dia menutupnya. Mourad Hoffman menyatakan bahwa yang dimaksudkan dalam pola kalimat illa ma dzahara minha adalah membolehkan menata pakaian perempuan menurut perubahan zaman dalam peran fungsional perempuan, karena perubahan tersebut sudah menjadi keharusan untuk mengikuti perkembangan komunitas manusia secara etis dan sosial. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ayat 31 dari surah an-Nur sebenarnya terrealisasikan tanpa harus menutup rambut perempuan sebab rambut perempuan bukanlah sumber rangsangan nafsu seksual kaum laki-laki, sebagaimana kondisi perempuan di Eropa Utara dan Amerika Utara secara umum.61 Muhammad Salman Ghanim menyatakan bahwa sebenarnya rambut perempuan lebih kecil rangsangan seksualnya daripada wajah sehingga bolehboleh saja dibuka, hanya saja Islam menuntut kaum perempuan untuk bersikap sopan dalam berpakaian, maka tidak apa-apa memakai khimar asal tidak menganggap dan meyakininya sebagai doktrin agama, atau menganggap orang yang tidak menutup rambut lebih kecil keimanannya bahkan kafir. Tindakan main klaim ini akan merusak citra Islam sendiri di mata bangsa-bangsa lain serta menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Jadi menutup kepala bukanlah suatu hal yang wajib atau sunnah.62 Kedua tokoh tersebut di atas hampir sependapat, namun Muhammad Salman Ghanim agak lunak sedikit. Pernyataan Hoffman tidak bisa diperlakukan untuk umum, karena nafsu seksual laki-laki tidak sama semua. Ada yang tinggi nafsu seksualnya walaupun hanya melihat rambut perempuan, maka itu akan terangsang dan laki-laki yang kurang nafsu seksualnya, walaupun melihat bagian tubuh wanita yang sensitif itu belum timbul nafsu seksualnya. Sementara Muhammad Salman Ghanim menyatakan bahwa perempuan boleh mamakai khimar dan boleh juga tidak. Menutup kepala itu bukanlah satu hal yang wajib atau sunnah. Hemat penulis, pendapat Salman di atas menyalahi ketentuan atau batas-batas yang ditentukan Allah dimana di dalam surah an-Nur ayat 31 Allah mengajurkan perempuan untuk memakai khimar.
60M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, h. 68. 61Mourad Hoffman, Islam Sebagai Alternatif, h. 219. 62Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, h. 101.
Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
319
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
PENUTUP Penulis menyimpulan sebagai berikut: Syahrur menetapkan batas dari sisi kuantitas istri. Batas minimal istri adalah satu istri, dan bagi laki-laki (suami) yang ingin menikah lagi, batas maksimalnya empat istri. Syahrur menetapkan batas dari sisi kualitasnya. Seorang suami boleh menikah lagi dengan syarat istri kedua, ketiga atau keempat harus seorang perempuan yang berstatus janda dan punya anak. Batas masalah warisan laki-laki memperoleh dua bagian sebagai batas maksimal dan perempuan memperoleh satu bagian sebagai batas minimal. Pakaian wanita (jilbab) aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, inilah batas maksimalnya, dan untuk batas minimalnya, wanita menampakkan bagian tubuhnya yang sensitive.
320
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Aplikasi konsep batas hukum tuhan (hudud)
Halimah B
DAFTAR PUSTAKA Abd al-Shamad, Muhammad Kamil, Al-Sya`rawi wa Adawat al-Bayan Milk at-Ta’bir Shinaat al-Hujjah Hudhur al-Hidayah, Al-Qahiroh: Dar al-I`thisham, t.t. Abied Shah, M. Abul (ed.), Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jilid IV. Al-Aqqad, Mahmud Abbas, Al-Tafkir Faridah Islamiyah, Beirut: Al-Maktabah AlAsriyyah, t.th.. Al-Aqqad, Mahmud Abbas, Tafsir Al-Sya`rawi, Al-Qahirah: Maktabah at-Turats al-Islami, t.t. Al-Aqqad, Mahmud Abbas, Tafsir Al-Sya`rawi, Al-Qohirah: Akhbar al-Yaum, t.t., Jilid IV. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987, Cet. Ke-3, Juz I. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Jilid IV. Al-Sayuthi, Jalaluddin, Al-`Itqan fie `Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, 2005, Cet. Ke-1, Jilid II Al-Sya`rawi, Muhammad Mutawalli, Al-Fatawa, Al-Qahirah: Maktabah at-Turats al-Islami, t.t. Al-Zahaby, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1995, Jilid I. Al-Zarqany, Muhammad Abd Adhim, Manahil al-Irfan fil `Ulum al-Qur’an, Mesir, Dar al-Salam, 1424 H/2003 M, Cet. Ke-1, Jilid I. Anwar, Etin, Gender and Self in Islam, London and New York, Routledge. Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, Jilid V. Christman, Andreas, dalam Die Wel des Islams, terj. Sahiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Komtemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004. Clark, Peter, Review Article: The Syahrur Phenomenon, dalam Islam and Christian Muslim Relation, vol. 7, no. 3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia. Ghanim, Muhammad Salman, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-2. Hoffman, Mourad, Islam Sebagai Alternatif.
Al-Risalah | Volume 1 Nomor 2 Nopember 2010
321
Konsep Hudud Muhammad Syahrur
Halimah B
Ibrahim, Muhammad Ismail, Al-Qur’an wa al-I`jaz al-`Ilmi, al-Qahirah: Dar al-Fikri al-Arbi, t.th.. Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Jender, Menurut Tafsir al-Sya`rawi, Jakarta: Teraju, 2004, Cet. Ke-1. J. Boulleta, Issa, An Examination of Bint al-Shati’s Method at Interpreting the Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999. Kruzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum, Jakarta: Paramadina, 2001. Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Shihab, M. Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. Ke-2. Shihab, M. Quraish, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. Ke-2 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007, Cet. Ke-11, Vol. II. Surtiretna, Nina, Bimbingan Seks Bagi Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997, Cet. Ke-1. Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah, Beirut: Syarikat al-Mathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr, 2000. Syahrur, Muhammad, Dirasah Islamiyah Mu`ashirah Nahwah Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, terj. Sohiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Jakarta: eLSAQ Press, 2004. Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan Burhanuddin Zaki, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. Syamsudin, Sahiron, (ed.), Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003.
322
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010