STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Syari‟ah
Disusun oleh : MUHADZ ALI JIDZAR 052111083
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
PENGESAHAN Nama
: Muhadz Ali Jidzar
NIM
: 052111083
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul Skripsi : STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/ baik/ cukup, pada tanggal : 28 Desember 2011 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) tahun akademik 2011/ 2012 Semarang, 28 Desember 2011
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag NIP. 19590413 198703 2001
Drs. H. Abu Hapsin, Ph. D NIP. 19590606 198903 1002
Penguji I
Penguji II
DR. H. M. Arja Imroni, M. Ag NIP. 19690709 199703 1001
DR. H. Ali Imron, M. Ag NIP. 19730730 200312 1003
Pembimbing Skripsi
Drs. H. Abu Hapsin, Ph. D NIP. 19590606 198903 1002 ii
iii
MOTTO
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
iv
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan bismilla>hirrahma>nirrahi>m, saya persembahkan skripsi ini kepada: Ayahandaku Drs. Mujiono dan Ibundaku Masamah yang sangat saya cinta dengan segala curahan do‟a, cinta dan kasih sayangnya yang tidak pernah habis dalam mendidik putra-putrinya hingga dewasa. Serta tidak lupa adik-adikku Isma Khairu Lina dan Mayla Nawa Yunita yang selalu memberikanku keceriaan dan warna dalam hidup, tanpa kalian seorang kakak tidak akan pernah belajar untuk menjadi seorang kakak yang bijaksana terhadap adik-adiknya. Seluruh keluarga besar simbah Muchsin (alm.) wa zaujahu (simbah Silah, alm.) dan simbah Idris (alm.) wa zaujahu (simbah Sulasih, alm.). Seluruh kawan-kawan perjuangan di keluarga besar HMI Cabang Semarang dalam setiap jengkal gerak dan langkah kebersamaan kita, niscaya akan membuat perubahan.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Desember 2011 Deklarator,
Muhadz Ali Jidzar NIM. 052111083
vi
ABSTRAK Skripsi ini adalah studi kepustakaan murni ini yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pemikiran sunnah yang digagas oleh Muhammad Shah}ru>r sebagai metodologi istinbath hukum Islam, beserta bagaimana sunnah yang Syahrur tersebut dapat diterima menjadi salah satu dalam pertimbangan pemikiran ketika dicoba untuk diaktualisasikan terhadap perkembangan ijtihad dewasa kini. Dalam hal ini, permasalahan yang diteliti dicari jawabannya dari kitab-kitab karya dari tokoh yang disebutkan diatas sebagai sumber primer. Data tersebut dilengkapi dengan data dari sumber sekunder yang diambil dari buku-buku dan kitab-kitab lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mencapai maksud diatas, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Dengan pendekatan ini, terungkap metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Berdasarkan metode ini terungkap bahwa kedudukan sunnah menurut Shah}ru>r adalah metode Nabi SAW dalam mengaplikasikan hukum tanpa harus keluar dari batas-batas hukum yang ditetapkan Allah SWT (hududullah) dan bukan sebagai penjelas al-Qur‟an. Dengan membagi sunnah menjadi dua, sunnah al-risalah dan sunnah alnubuwwah. Dan mempunyai fungsi untuk pengkhususan (takhsis) terhadap yang umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak. Dan dalam menerapkan sunnah, Menurut Muhammad Syahrur memberikan konsepsi untuk kembali kepada sunnah risalah yang telah menjadi pemutlakan berupa hukum-hukum yang dinamis sesuai dengan konteks waktu dan masa. Dengan mengubah ajaran Rasul yang semula mutlak kedalam bentuk yang relatif.
vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/Untuk1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-) disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya. a
t}
b
z}
t
‘
s|
gh
j
f
h}
q
kh
k
d
l
z|
m
r
n
z
w
s
h
sy
’
s}
y
d} Bacaan madd:
Bacaan diftong:
a> = a panjang
= au
i> = i panjang
= ai
u> = u panjang viii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Puji syukur penyusun sampaikan kepada Allah SWT sang Kausa Prima yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah, serta nikmat bagi hamba-Nya. Shalawat serta Salam penyusun haturkan baginda agung Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi perjuangan besar dan sebuah iluminasi revolusioner ke seluruh alam. Dengan mengucapkan syukur alh}amdulillah, penulis ucapkan kepada rabb al-aziz yang telah memberikan jalan rahmatnya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Dan tidak lupa penulis sampaikan kepada para pihak yang telah ikhlas mengorbankan materi sampai non-materi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini sehingga pada akhirnya hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh khalayak banyak. Diantara yang hendak penulis ingin ucapkan rasa terima kasih ini adalah kepada: 1.
Bapak Prof. DR. Muhibbin, M. Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
2.
Bapak DR. H. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
3.
Bapak Drs. H. Abu Hapsin, MA, Ph.D selaku Dosen pembimbing I yang ikhlas meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk membantu, mengarahkan, dan
membimbing penyusun dalam penulisan maupun
penyelesaian skripsi ini.
ix
4.
Ayah-ibu yang memberikanku dukungan moril dan materiil, yang senantiasa memberikanku mutiara-mutiara pendidikan dalam keluarga, serta tidak lupa adik-adikku Isma Khairu Lina dan Mayla Nawa Yunita yang selalu memberikanku keceriaan dan warna dalam setiap suka dan duka dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Ir. Hanafi Sholeh (direktur Nasmoco Cabang Kaligawe Semarang).
6.
Setiawan Mohdiyanto (mas Wawan).
7.
Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin.
8.
Muhammad Zuhri (pak Muh, alm.) yang menjadi inspirasi spiritual setiap saat.
9.
Kawan-kawan gerakan HMI Cabang Yogyakarta dan HMI Cabang Sleman, wabil khusus ukhti Uswah.
10. Kawan-kawan seperjuangan di HMI komisariat Syariah IAIN Walisongo Semarang (Ulil Albab) yang memberikanku fasilitas guna kelancaran skripsi. 11. Kawan-kawan seperjuangan di HMI komisariat Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 12. Semua kawan-kawan seperjuangan di HMI Cabang Semarang baik yang ada di struktural maupun di kelembagaan dari periode 2009-2010 sampai dengan 2011-2012 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penyusun tidak mungkin mampu membalas segala kebaikan yang telah beliau-beliau berikan selama ini, namun hanya ucapan terima kasih dari hati yang
x
terdalam yang dapat penulis sampaikan, semoga seluruh amal kebaikan mereka mendapatkan balasan yang setimpal dan berlimpah dari Allah SWT. Akhir kata penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kalangan insan gerakan dan akademis. Amin ya Rabbal „Alamien.
Semarang, 13 Desember 2011 Penyusun,
Muhadz Ali Jidzar 052111083
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ...............................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI ........................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
vii
TRANSLITERASI ....................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
11
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
11
D. Manfaat Penelitian .................................................................
11
E. Telaah Pustaka ........................................................................
12
F. Metodologi Penelitian .............................................................
14
G. Sistematika Penulisan .............................................................
20
BAB II. FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH SECARA UMUM A. Konsep Sunnah Secara Umum ................................................
23
1.
Definisi Sunnah ................................................................
23
2.
Latar Belakang Sejarah Lahirnya Sunnah .......................
26
xii
3.
Fungsi dan Kedudukan Sunnah Secara Umum ...............
BAB III. FUNGSI
DAN
KEDUDUKAN
SUNNAH
28
MENURUT
MUH}AMMAD SYAH}RU>R A. Biografi Muh}ammad Syah}ru>r .................................................
34
B. Pemetaan Intelektual ..............................................................
37
C. Kegiatan, Karir, dan Karya-Karya Muh}ammad Syah}ru>r …….
40
D. Paradigma Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r .............................
44
E. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r 1. Kedudukan ...........................................................................
57
2. Fungsi ...................................................................................
63
BAB IV. ANALISIS PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R > A. Analisis Fungsi dan kedudukan sunnah dalam istinbat} hukum islam menurut Muh}ammad Syah}ru>r 1. Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r .............
67
2. Fungsi Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r .....................
70
B. Analisis Penerapan sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam istinbat} hukum islam ...............................................................
73
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
79
B. Saran ........................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Sunnah merupakan sumber nilai yang hingga kini masih menjadi pembahasan hangat. Terutama dalam posisinya untuk turut menjadi sumber pertimbangan dalam pengambilan hukum Islam. Seperti halnya yang telah diwasiatkan oleh Rasūlullah SAW “Telah kutinggalkan pada kalian dua perkara yang selamanya kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. Memang dalam perkara ijtiha>d
dalam Islam, Rasūlullah SAW telah
memberikan pandangannya ketika suatu hari Rasūlullah SAW bertanya kepada Mu„adz bin Jabal yang diutus Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata: “Bagaimana anda mengambil keputusan jika kepada anda dihadapkan kepada suatu persoalan?” Mu„adz menjawab: “Saya memutuskan berdasarkan apa yang ada dalam
al-Qur’a>n‛.
Nabi
bertanya,
“Seandainya
anda
tidak
menemukan
pemecahannya dalam al-Qur’a>n ?‛ Mu„adz menjawab: “Saya memutuskan berdasarkan Sunnah”. Kemudian Nabi bertanya lagi: “Seandainya dalam Sunnah tidak ditemukan pemecahannya?”. Mu„adz menjawab: “Saya mengamalkan ijtiha>d dengan ra‟yu dan saya tidak akan membiarkan persoalan itu”. Rasūlullah kemudian menepuk dadaku dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufi>q-Nya kepada utusan Rasūlullah dengan hal yang melegakan hati Rasūlullah‛.
2
Walaupun Sunnah sudah sedemikian terpetakan menjadi sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’a>n, namun dalam perkembangannya masih menuai pro dan kontra di dalam memahaminya. Ini disebabkan dari perjalanan sejarahnya, bahwa pernah ada pemalsuan Sunnah secara besar-besaran, telah umum diakui baik oleh sarjana Muslim maupun Barat. Selain itu, keberadaan dan bahaya pemalsuan itu telah diketahui dengan baik sejak hampir masa-masa dini Islam. Pada mulanya Sunnah mungkin sudah cukup murni. Kebanyakan sahabat adalah orang yang mengenal Nabi secara dekat dan pada tataran psikologis dari kepercayaan terhadap pandangan Nabi boleh jadi membuat orang yakin, walaupun pada kenyataannya dia sendiri yang memutuskan, sehingga orang yang berpikiran jujur dengan mudah mengambilnya tanpa menyadari bahwa telah terjadi percampuran antara pendapat dan fakta. Begitu waktu berlalu, banyak tradisi yang terang-terangan mencoba membaca kembali kontroversi-kontroversi yang muncul ke dalam periode paling awal tersebut, dari mana petunjuk harus dicari.1 Untuk itulah dalam hal pembatasan definisi mengenai Sunnah ini, Imam Syafi‟i kemudian mengartikan Sunnah secara khusus yakni Sunnah Rasul. Secara eksplisit, Imam Syafi‟i menyatakan:
يطهق انسُة يتُبٔل سُة رسٕل اهلل صهى اهلل عهيّ ٔسهى فقط Artinya: “Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah Rasūlullah SAW.”2
Sementara menurut Azami, kata Sunnah telah digunakan Nabi SAW untuk menunjuk arti tata cara.3 Sunnah juga berarti teladan kehidupan, sehingga Sunnah
1
Abdullah Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International Dalam Islam, Terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta; LKiS, 2001, h. 45 2 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam, Semarang : Aneka Ilmu, 2000, h. 37
3
Nabi berarti teladan beliau. Kata sandang الterkadang ditambahkan dalam kata Sunnah untuk menunjukkan Sunnah Nabi secara khusus. Kemudian, di penghujung abad ke-2 H, kata Sunnah mulai diartikan sebagai norma yang dicetuskan Nabi atau norma yang disimpulkan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi.4 Kemudian Rasyi>d Rid}a, ketika menafsirkan ittibā‘ (keharusan mencontoh perilaku Nabi SAW) dalam QS. Al-A„raf (7): 158, membagi perilaku Nabi menjadi dua macam: (1) perilaku Nabi yang termasuk dalam kategori undang-undang, bisa jadi dalam bentuk ibadah yang diperintahkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bisa jadi dalam bentuk yang tidak baik (mafsadah) yang dilarang karena khawatir akan berakibat buruk bagi agama; (2) perilaku Nabi yang tidak termasuk dalam kategori undang-undang yang harus dilaksanakan atau dijauhi.5 Menurut Rahman dalam bukunya “Islam” dengan mengutip pendapat Goldziher, bahwa kandungan konsep Sunnah bagi kaum Muslimin berubah menjadi model perilaku Nabi, yakni norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang diwartakan. Disini Goldziher mendefinisikan Sunnah sebagai praktek yang hidup yang aktual (berlawanan dengan yang normatif) dari masyarakat Muslim awal.6 Jadi menurut Rahman sendiri dalam bukunya mengatakan, bahwa Sunnah adalah informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, dan disetujui oleh beliau, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat senior, 3
Muhammad Mustafa Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya‟qub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, h. 19 4 Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Terj. A. Yamin Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992, h. 20-21 5 Muh}ammad Rasyid Rid}a, Tafsir al-Qur’ān al-Haki>m (Tafsi>r al-Mana>r), jilid IX (tanpa tempat : Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 303-304. 6 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, h. 53
4
dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama.7 Dengan pemikiran tersebut, Rahman membagi konsepnya menjadi dua, yakni; Sunnah Nabi sendiri dan Sunnah yang hidup.8 Selanjutnya Yu>suf al-Qord{owi dalam bukunya yang mengutip dari pendapatpendapat ulama yang berbeda dalam memahami konsep Sunnah ini, diantaranya seperti halnya pertama, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) berpendapat dalam kitabnya
ta’wi>l mukhtala>f al-h}adis\ membagi Sunnah menjadi 3 macam: (1) Sunnah yang disampaikan Jibril „Alaihis Salam dari Allah SWT, (2) Sunnah dimana Nabi diizinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri dengan menggunakan pendapatnya, sehingga beliau bisa memberikan keringanan hukum kepada siapa saja yang beliau kehendaki sesuai dengan alasan hukum dan ‘ud}ur tertentu, (3) Sunnah yang Nabi SAW tetapkan sebagai pelajaran etika bagi kita. Jika kita melaksanakan Sunnah
itu
maka
kita
mendapatkan
keutamaannya,
namun
jika
tidak
melaksanakannya kitapun tidak berdosa. Kedua, Menurut Imam Waliyullah AlDah}lawi> beliau menjelaskan perbedaan Sunnah untuk tashri‘ (penetapan hukum yang mengikat) dan bukan untuk tashri‘. Pendapat beliau mengenai Sunnah yang untuk
tashri‘ didasarkan atas pemahaman beliau terhadap surat al-H}ashr ayat 7. Sedangkan Sunnah yang bukan untuk tashri‘ terbagi atas ilmu pengetahuan, Syari„ah dan ketentuan tentang ibadah serta akad transaksi, kebijaksanaan dan kemaslahatan yang bersifat umum, amal yang utama dan keutamaan orang yang beramal. Dengan didasarkan atas h}adis\ riwayat Muslim “Aku hanyalah manusia, apabila aku memerintahkan sesuatu mengenai agama kalian, maka pegangilah perintah itu, dan 7 8
Ibid, h. 68 Ibid, h. 72
5
apabila aku memerintahkan sesuatu mengenai pendapatku pribadi, maka aku hanyalah manusia”. Ketiga, Syeih} Shalthu>t membagi Sunnah menjadi 3; (1) Sunnah dalam konteks hajat hidup manusia, (2) Sunnah yang merupakan hasil eksperimen dan kebiasaan individual/ sosial, (3) Sunnah dalam konteks manajemen manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu.9 Namun yang jelas dari berbagai pemahaman mengenai Sunnah ini, menurut Al-Qard}awi>, Sunnah Nabi yang dikemukakannya paling tidak memiliki 3 karakteristik, yaitu komprehensif (shummul), seimbang (mutawazzun), dan memudahkan (metode muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu h}adis\. Atas dasar inilah maka Al-Qard}awi>, menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan Sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intih}al al-Mubt}ili>n), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid„ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan Syari„ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-ja>hili>n). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap Sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasat}iya> ), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan bertumbuhnya pemikiranpemikiran baru atas pendapat mereka terhadap Sunnah, seperti pemikiran yang
Yusu>f Qard}owi, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma’rifah wal H}ad}arah, Terj. As-Sunah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 1998, h. 22 9
6
dimunculkan oleh Hadzairin mengatakan bahwa Sunnah yang menurutnya menerima kemungkinan untuk digugat bagi hasil ketetapan ijtiha>d -nya .10 Khali>d Abu> al Fad}l dalam pembahasan Sunnah juga membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan, setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan suara Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mus}h}af) dan kitab-kitab Sunnah. Pertama
berkaitan dengan kompetensi
(autentisitas). Kedua, berkaitan dengan penetapan makna. Ketiga berkaitan dengan perwakilan. Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khali>d untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam. Dalam pandangan yang masih bias mengenai perbedaan pendapat Sunnah tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas seorang tokoh kontemporer Muh}ammad Syah}ru>r yang memiliki pandangan sendiri mengenai Sunnah. Yang berangkat dari sebuah analisanya mengenai pembacaannya terhadap Sunnah, yang apakah Sunnah termasuk wahyu ataukah ijtiha>d dari Rasūlullah SAW? Dari sini, sebagian pihak berpendapat bahwa seluruh yang berasal dari Nabi adalah wahyu, berdasarkan firman Allah: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’a>n) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’a>n itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. Al-Najm: 3-4). Akan tetapi dalam pembacaan ulang Muh}ammad Syah}ru>r terhadap firman Allah tersebut mengatakan bahwa dengan mendasarkan
10
Ibid, 223
7
pendapat dengan ayat tersebut adalah tidak tepat sama sekali karena kata ganti “huwa” tidak merujuk kepada Nabi SAW, tetapi secara jelas merujuk kepada Kitab yang diturunkan kepada Nabi. Kata ganti huwa sama sekali tidak terkait dengan kata ganti dalam kata kerja ‘yant}iqu’ yang memang merujuk kepada Nabi SAW, mengingat bahwa salah satu sifat dasar. Nabi Muh}ammad SAW tidak pernah
memasukkan unsur hawa nafsu
(keinginannya sendiri) dalam hukum, putusan, perkataan, dan perbuatannya. Meski peran kenabian yang diembannya telah mengantarkan beliau pada derajat yang tinggi, namun bagaimanapun juga tidak dapat dinyatakan bahwa seluruh perkataan dan perbuatan beliau termasuk bagian dari Wahyu.11 Pemahaman Sunnah menurutnya adalah merujuk kepada kehidupan Muh}ammad sebagai Nabi yang hidup di bumi Arab dengan segala tantangan yang ada, yakni politik, budaya, dan sosial. Kalaupun sebagian sahabat menganggap yang disampaikan Nabi sebagai wahyu, namun Nabi tidak terpengaruh dengan semua itu. Nabi-pun tidak pernah menyuruh agar pernyataannya ditulis. Anggapan sebagian bahwa penyebab Nabi tidak membukukan pernyataannya (h}adis\) karena takut bercampur dengan al-Qur’a>n itu sendiri. Disamping itu karena dalam al-Qur’a>n sudah sangat jelas, bahwa ‚Inna nah}nu nazzalna> al-z\ikra wa inna lahu lah}afiz}un> yang artinya “Kami [Tuhan] telah menurunkan al-Qur’a>n dan akan menjaganya”. Penyebab sebenarnya adalah karena Nabi dan para sahabatnya mengetahui bahwa yang dilakukan Nabi merupakan interaksi pertama dengan realita, bukan interaksi
11
545
Muh}ammad Shah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’as}irah, Damaskus, al-Ahali, h.
8
terakhir. Nabi mengajarkan umatnya bagaimana melakukan ijtiha>d. Dan ajaran inilah yang kemudian diteladani oleh „Umar. Selanjutnya, atas dasar bahwa segala tindakan dan keputusan Nabi SAW tidak selalu berasal dari wahyu, tetapi ada juga yang merupakan ijtiha>d beliau, maka Syah}ru>r membagi Sunnah menjadi dua, Sunnah al-risala>h dan Sunnah al-nubuwwah.
Sunnah al-risala>h berbicara tentang ibadah, akhlak, dan hukum, sedangkan Sunnah al-nubuwwah berisi ilmu.12 Kategorisasi terhadap Sunnah ini berimplikasi pada pembedaan ketaatan yang harus diberikan oleh manusia kepada Nabi SAW menjadi dua, yaitu ketaatan yang abadi (al-t}a‘ah al-muttas}ilah) dan ketaatan yang dituntut ketika Nabi SAW masih hidup (al-t}a‘ah al-munfas}ilah). Model ketaatan pertama berlaku bagi semua perintah Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum, ibadah, dan akhlaq, sedang model ketaatan kedua yang berlaku berisi tentang kebiasaan Nabi SAW sehari-hari serta ketentuan hukum yang bersifat lokal.13 Namun terlepas dari adanya pro dan kontra pembahasan tentang Sunnah, Abdul Halim Uways dengan mengutip pandangan Syeih} Muh}ammad al-Ghazali menerangkan bahwa tidak ada Islam tanpa Sunnah. Juga mengutip pendapat seorang tokoh ulama India, Sheih} Abū al-H}asan an-Nadwi> mengatakan: “Sesungguhnya, tidak ada Islam tanpa Sunnah. Sebab Islam tanpa Sunnah adalah seperti jasad tanpa ruh.”
12
Ibid, hlm. 549 Muh}ammad Shah}ru>r, Nahw Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi> : Fiqhul Mar’ah ; alwas}iyah, al-Irs\u, al-Qawa>mah, al-Ta’addudiyyah, al-H}ijab, Damaskus, al Ahali, 2000, h. 155 13
9
Sunnah adalah ruh Islam dan penopang kehidupannya. Ruh tersebut intinya adalah kesehatan dan aplikasinya adalah kehidupan. Islam adalah agama bagi kehidupan manusia, bukan agama yang diakal-akali di dalam otak, filsafat, atau di perpustakaan. Karena itu pada saat yang sama, Islam adalah akidah dan amal, perilaku dan akhlak, cinta kasih dan emosi, serta feeling yang menguasai pemikiran dan perasaan-perasaan yang menetapkan berbagai ukuran benda dan nilai. Sesungguhnya Islam mencetak manusia-manusia yang baru dan kehidupan yang juga baru. Oleh karena itu kita melihat bahwa Allah yang Maha Berkah dan Maha Tinggi menamai Islam dengan “celupan Allah” (S}ibghah Allah) yang merupakan sebuah warna universal yang memiliki julukan dan bentuk yang eksklusif. Islam begitu banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan agama-agama lain. Islam memiliki batas-batas yang mudah dikenal dan jelas, yang tidak mungkin bagi seorang muslim untuk melanggarnya, berlaku murtad, dan berpaling pada agama lain dalam pengertian yang kita temukan di dalam Syariat Islam dan berbagai gambaran yang Islami.14 Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa Sunnah dengan metodologi pembacaan baru gaya Syah}ru>r terhadap al-Qur’a>n dan Sunnah yang memberikan alternatif pemikiran yang perlu terus dikaji oleh umat Islam dewasa kini. Hal ini dalam rangka merealisasikan bahwa ajaran Islam sesuai untuk setiap situasi dan kondisi. Kendatipun Muh}ammad SAW adalah produk sejarah dan perbuatannya adalah penafsiran awal terhadap al-Qur’a>n, namun tetap saja penafsiran itu adalah yang terbaik bagi umat Islam. Sebab, mustahil pula Allah SWT memberikan contoh
14
Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, h. 85-86
10
awal yang tidak baik bagi umat Islam dalam memahami agama mereka. Oleh karena itu, Sunnah yang s}ah}i>h yang telah disepakati para ulama terkemuka dalam kritik
h}adis\ adalah sumber utama dalam memahami kandungan al-Qur’a>n itu sendiri. Adapun tugas umat Islam selanjutnya adalah melakukan penelitian dan kontektualisasi kandungan al-Qur’a>n dan Sunnah agar mudah dipahami dan lebih aplikatif. Hanya dengan usaha yang mulia ini dan tidak pernah henti melakukan penelitian dan penelaahan secara mendalam dan komprehensif terhadap al-Qur’a>n dan Sunnah diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang terus berkembang. Oleh karena sangat menariknya Sunnah ini untuk dikaji kembali berdasarkan pengetahuan, maka penulis akan membahasnya secara sistematis. Namun tidak semuanya itu akan kami bahas dalam karya tulis ini, oleh karena yang menjadi fokus pembahasan disini hanya tertuju pada “As-Sunnah” dalam perspektif Syah}ru>r.
11
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah diatas tersebut, maka berikut adalah rumusan masalahnya: 1.
Apa fungsi dan kedudukan Sunnah dalam Istinbat}
hukum Islam menurut
Muh}ammad Syah}ru>r? 2.
Bagaimana menerapkan Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam Istinbat} hukum Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam Istinbat} hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi konsep Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam Istinbat} hukum Islam di era modern.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1.
Sebagai wahana pengkajian ilmu dan wawasan yang baru untuk perluasan pengembangan paradigma Sunnah yang menjadi aset kekayaan intelektual ummat Islam.
2.
Sebagai landasan dan memaparkan metode pengambilan hukum Islam dengan memahami Sunnah secara holistik dan komprehensif di kalangan masyarakat.
12
E. TELAAH PUSTAKA Telaah pustaka dalam suatu penelitian itu sangat diperlukan, karena sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian yang kita kaji dari berbagai referensi baik buku, jurnal, skripsi terdahulu. Telaah pustaka juga mempunyai andil besar untuk mendapat berbagai informasi yang ada sebelumnya tentang beberapa teori dan hasil dari teori itu yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti untuk memperoleh landasan teori ilmiah. Sebelum penulis menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r, maka peneliti mencoba menelaah sumber informasi baik dari buku-buku atau skripsi terdahulu yang dijadikan sebagai sumber informasi dan perbandingan dalam mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang hendak dikaji. Kajian seputar pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r ini juga pernah dibahas dalam skripsi-skripsi terdahulu di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, khususnya di Fakultas Syari„ah seperti : 1.
Skripsi yang di tulis oleh Eka Mahfiyatun Khoirisah dengan judul “Pendapat Muh}ammad Syah}ru>r Tentang Tidak Adanya Mekanisme „Aul dan Radd Dalam Hukum Kewarisan Islam”. Dalam skripsi ini menerangkan bahwa penyelesaian waris menurut Syah}ru>r tidak terdapat selisih kurang maupun selisih lebih dari harta yang akan dibagi. Dengan demikian mekanisme „aul dan radd dalam perhitungan waris tidak perlu dipergunakan, adapun tehnik pembagiannya yang mula-mula harus diambil lebih dahulu adalah bagian suami atau isteri jika ada, kemudian bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) ditentukan setelah harta
13
dipotong oleh bagian suami atau isteri jika ada, setelah itu sisa dari penyelesaian tersebut dibagikan kepada seluruh anak baik laki-laki ataupun perempuan sesuai dengan jumlah mereka. 2.
Skripsi yang di tulis oleh Muslimin dengan judul “Analisis Terhadap Teori Batas Muh}ammad Syah}ru>r Dalam Hukum Waris”. Dalam skripsi ini menyoroti tentang pembagian waris 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan, ketentuan tersebut adalah batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan, dimana perolehan perempuan tidak pernah kurang dari 33,3 % sementara bagian lakilaki tidak pernah mencapai lebih tinggi dari 66,6 %.
3.
Skripsi yang di tulis oleh Suharjo dengan judul “Studi Analisis Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r Tentang Kala>lah‛. Dalam skripsi ini membahas pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r tentang kala>lah yang menyebutkan bahwa kala>lah yang dipahami Muh}ammad Syah}ru>r adalah seseorang yang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu„) dan atau ayah, ibu, kakek maupun nenek (us}ul). Berdasarkan dari beberapa skripsi yang sudah dibahas terdahulu mengenai
pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, sepengetahuan penulis masih sedikit yang mengkaji pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r terutama mengenai metode Sunnah yang digagas oleh beliau. Oleh karena itulah dalam setiap bab akan penulis paparkan secara utuh yang selanjutnya menarik untuk diketengahkan kedalam ranah praksis dunia pemikiran.
14
F. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data primer. Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis faktual karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dengan memaparkan awal mengenai Sunnah dalam pandangan umum atau (world view) atau secara luas menurut pandangan beberapa ulama yang kemudian disajikan pula pandangan Sunnah yang khas dari pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r yang dilihatnya dalam pandangan yang berbeda berdasarkan penafsiran yang dipaparkannya mengenai Sunnah apakah termasuk wahyu atau ijtiha>d yang nantinya dalam pandangannya tersebut dapat digunakan menjadi alternatif metode Istinbat}
hukum Islam.
Kemudian dilakukan analisis dengan beberapa metode penafsiran hukum terhadap pemikiran Sunnah Muh}ammad Syah}ru>r. Pada akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana konsep atau jenis Sunnah yang dimaksudkan oleh Muh}ammad Syah}ru>r dengan disertai batasan-batasan tertentu menurut Muh}ammad Syah}ru>r. Selanjutnya ditemukanlah letak titik temu pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r terhadap ijtiha>d beliau ke arah rekonstruksi fiqih yang bermaslahat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang tidak berbentuk angka atau tidak dapat diangkakan, sebab dalam menganalisis data
15
menggunakan kata-kata.15 Dalam hal ini meneliti kehidupan, latar belakang sosial Muh}ammad Syah}ru>r tentang munculnya konsep pandangan Sunnah menurutnya serta penerapan sunnah yang digagasnya terhadap problematika hukum Islam. 2.
Metode Pengumpulan Data a. Sumber Data Sumber data ialah sumber dari mana data itu diperoleh. Sebuah penelitian terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama. Baik berupa bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui ataupun gagasan.16 Yakni dengan menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan data sekunder yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.17 Dalam mengumpulkan data, peneliti mengambil dari buku-buku, artikel-artikel dan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini sumber data primer yang digunakan adalah semua tulisan karya Muh}ammad Syah}ru>r khususnya:
15
Sapari Imam Asyari, suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, Surabaya; Usaha Nasional, 1983, h.31 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 29 17 Asikin, Zainal dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 30
16
1.
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, Damaskus ; al-Ahali
2.
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul
Mar’ah ; al was}iyah, al Irs\u, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al H}ija>b, 2000, Damaskus ; al Ahali 3.
Muh}ammad Syah}ru>r, Dira>sah Isla>miyyah Mu’a>s}irah fi ad-Daulah wa al-
Mujtama‘, Damaskus ; al Ahali 4.
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Isla>m wa al-I<ma>n; Manzumah al-Qiyam, 1996, Damaskus ; al Ahali
5.
Muh}ammad Syah}ru>r, Tajfi>f Muna>bi‘ul Irhab, 2008, Beirut; al Ahalli.
6.
Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muh}ammad Syah}ru>r, 2009, Beirut; ICIS.
Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Salim al-Jabiy, Mujarrad Tanji>m, 1991, Damaskus; Akad.
2.
Khaleel Mohammed and Andrew Rippin, Coming to Term With The Qur‟an: A Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University.
3.
Haris Abdul, Pemberontakan Muh}ammad Syah}ru>r Terhadap “Islam” Ideologis, dalam Jurnal ijtiha>d, 2003.
4.
Achmad Mulyadi, Membangun Paradigma Alternatif Usul Fiqh (Memahami Tawaran Syah}ru>r) dalam Jurnal Studi Keislaman vol. IV, no. 1 Desember 2003.
17
5.
Muhyar Fanani, Kritik Ideologi Syah}ru>r Atas Teori Hukum Islam Tradisional, dalam Jurnal at-Taqaddum, vol. 1 no. 1 Juli 2008.
6.
Muh}ammad In‟am Esha, Pembacaan Kontemporer al-Qur’a>n (Studi Terhadap Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1, Januari 2004.
7.
A. Rafiq, Zainul Mun‟im, Metodologi Penafsiran Kontemporer
Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, maret 2006. 8.
Aji Hamdani, Sofanudin, Teori Batas Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Analisa, vol. XII, Januari-april 2007.
9.
Achmad „Aly MD, Teori Naskh Mahmud M. Taha Dan Naz}ariyat Al-
Hudu>d Muh}ammad Syah}ru>r; Telaah Komparatif Dengan Paradigma Maqasid Al-Syari‟ah, dalam Jurnal Indo-Islamika, vol. 4 no. 2 tahun 2007. 10. Tsuroya Kiswati, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan
Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2 tahun 2010. 11. Udin Safala‟, Liba>s Dalam Pandangan The Theory of Limits Muh}ammad
Syah}ru>r, vol. 9 no. 2 Juli 2009. 12. Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam tafsir al-Qur’a>n Kontemporer “ala” Muh}ammad Syah}ru>r, 2007, Yogyakarta: eLSAQ Press. 13. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur‟a>n Madzhab Yogya. 2003, Yogyakarta: Penerbit Islamika.
18
14. Sahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muh}ammad Syah}ru>r dalam penafsiran al-Qur‟a>n, dalam studi al-Qur’a>n Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, 2002, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 15. Muhyar Fanani, Fiqh Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, 2010, Yogyakarta: LKiS. 16. Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, dalam Teologia: Jurnal ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Vol. 15, no. 2, 2004. 17. Muhyar Fanani, “Prinsip-prinsip hermeneutika Syah}ru>r‛, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 2, 2009, 18. Muhyar Fanani, “Epistemologi Kantianisme-plus Syah}ru>r‛, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1, 2009. 19. Ardiansyah, Konsep Sunnah Dalam Perspektif Muh}ammad Syah}ru>r, lihat di www. Ejournal.sunan-ampel.ac.id. 20. Marjudi, Telaah Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, Fakultas Syari„ah IAIN Sunan Ampel.
19
21. Agus Moh Najib, As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam Pandangan Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal penelitian agama IAIN Sunan Kalijaga: volume XI, no. 2, 2002. 22. R. Zainul Musthofa RS, Metodologi Penafsiran Muh}ammad Syah}ru>r Dalam memahami Teks, kajian Antologi Islam. 23. Agung Ari Subagiyo, Konsep Negara Islam Muh}ammad Syah}ru>r, Antologi Kajian Islam. 24. Udin Safala, Naz}ariayat al-hudu>d : Penelusuran Matra Pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r, al-Tahrir, vol. 7 no. 2 Juli 2007. 25. Rodli Makmun dkk, Poligami Dalam Tafsir Muh}ammad Syah}ru>r, STAIN Ponorogo Press. b. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat Documentary Research, maka metode yang digunakan adalah mengumpulkan, membaca, dan menelaah apa-apa yang berkaitan dengan pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r dalam memahami konsepsi tentang Sunnah dan penerapannya di dalam Istinbat} kemudian
dilakukan
klasifikasi
berdasarkan
hukum Islam,
keterkaitannya
dengan
pembahasan dalam penulisan ini. c. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, maka data dianalisis untuk mendapat konklusi. Analisis data ialah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Adapun metode yang penulis gunakan untuk menganalisis data adalah:
20
(1) Metode Kajian Isi (Content Analysis) Sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis seperti yang diungkapkan oleh Holsti, yang dikutip oleh Lexi J. moleong content analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis.18 Teknik ini digunakan untuk menarik pesan maupun beberapa pendapat yang ada buku-buku yang ditulis Muh}ammad Syah}ru>r. (2) Metode Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis data tersebut.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Agar penyusunan skripsi ini terarah dan mudah dipahami, maka dalam menguraikan peneliti berusaha menyusun kerangka secara sistematik, yang saling berhubungan satu dengan bab dengan bab yang lain serta agar dapat ditelusuri oleh pembaca dengan mudah, maka peneliti dapat gambarkan susunannya sebagai berikut: 1. Dalam Bab pertama; merupakan kerangka dasar penulisan skripsi yang terlebih dahulu diawali dengan sebuah pendahuluan. Adapun sistematika pembahasannya berisi : Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian. Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Penulisan bab
18
Lexy, J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta; Liberty, 1999), h. 163
21
satu ini penting untuk didahulukan. Karena sebagai petunjuk pada bab-bab berikutnya. Sehingga tulisan ini terangkai dengan cermat dan sistematis. 2. Di dalam bab kedua; akan dibahas deskripsi singkat mengenai Fungsi dan Kedudukan Sunnah Secara Umum. Hal ini dimaksudkan karena ketika mengadakan suatu penelitian tentang pemikiran seseorang, memang seyogyanya perlu mencari referensi pemahaman sunnah yang lain menurut pendapat ulama yang berbeda dari pandangan Muh}ammad Syah}ru>r yang menjadi sentral kajian. Yang didalamnya juga disertakan mengenai definisi Sunnah, latar belakang lahirnya sunnah, serta fungsi dan kedudukan sunnah secara umum. 3. Di dalam bab yang ketiga; dibahas lebih lanjut dan fokus terhadap dinamika kehidupan Muh}ammad Syah}ru>r serta akan dibahas mengenai Sunnah dalam pandangannya, dengan pembahasan yang lebih rinci yang akan disajikan. Dari mulai biografinya secara umum, pemetaan intelektualnya, kegiatan, karir serta karya-karyanya,
paradigma
pemikirannya,
dan
fungsi
dan
kedudukan
menurutnya. 4. Berbeda dengan bab III yang masih pada dataran pengenalan secara umum terhadap profil serta pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, karena bab IV ini sudah akan dianalisa yang lebih radikal mengenai pemikiran sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r. 5. Bab terakhir, yakni bab kelima; yaitu penutup sebagai simpulan akhir serta saran yang dapat penulis berikan untuk dapat memahami maksud dari paparan awal sampai dengan akhir karya tulis ini. Sehingga pembaca dapat mendapatkan entri
22
point yang lebih simple yang dapat dikaji dan diteliti lebih lanjut mengenai apa yang sudah penulis sampaikan dalam skripsi ini. 6. Daftar Pustaka; yang penulis dapatkan dari berbagai sumber yang ada, baik berupa buku, artikel maupun jurnal-jurnal sebagai referensi baik referensi pokok maupun referensi penunjangnya.
23
BAB II FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH
A. Konsep Sunnah Secara Umum 1.
Definisi Sunnah Kata sanna berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu
model. Kata tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu tingkah laku yang patut dicontoh dapat di mulai dengan membuat model atau mengambil praktik nenek moyang suku atau suatu komunitas.19 Secara etimologi, kata Sunnah (bentuk pluralnya, sunan) berakar dari huruf sin dan nun yang berarti (berjalan).20 Sunnah dapat berarti perilaku yang telah mentradisi (habitual practice), Sunnah juga berarti „praktek yang diikuti, arah, model, perilaku atau tindakan, ketentuan dan peraturannya,21 serta dapat juga diartikan sebagai teladan baik atau buruk.22 Walaupun demikian banyak arti dari sunnah, namun secara garis besarnya bahwa sunnah merupakan tata cara atau praktek aktual yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga mentradisi, maka dapat dinyatakan bahwa sunnah merupakan hukum tingkah laku.23
19
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 43. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, h. 668. 21 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit, h. 20-21. 22 Salim Ali al-Bahanasawi, as-Sunnah al-Muftara> ‘Alaiha>, terj. Rekayasa as-Sunnah oleh Abdul Basith Junaidy, Yogyakarta; Ittaqa Press, 2001, h. 1 23 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit., h. 20-21 20
24
Sunnah bisa juga diartikan sebagai jalan (al-t}ari>qah), baik yang terpuji maupun yang tercela.24 Dengan kata lain, sunnah itu sendiri bersifat netral. Ia dapat menunjuk kepada jalan yang terpuji atau jalan yang tercela atau menunjukkan kepada teladan baik atau buruk berdasarkan periwayatan Imam Muslim terhadap hadist Nabi SAW, sebagai berikut : 25
ٍيٍ سٍ في اإلسالو سُة حسُة فعًم بٓب بعدِ كتب نّ يثم أجر يٍ عًم بٓب ٔال يُقص ي أجٕرْى شيئ ٔيٍ سٍ في اإلسالو سُة شيئة فعًم بٓب بعدِ كتب عهيّ يثم ٔزر يٍ عًم بٓب ٔال يُقص يٍ أزارْى شيئ Artinya: “Barangsiapa yang membuat Sunnah (teladan) yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang membuat Sunnah (teladan) yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka”. Sementara secara terminologi, definisi Sunnah menjadi beragam ketika dikaitkan dengan spesialisasi dan kajian keislaman tertentu. Menurut ulama h}adis\ (muh}addits\un), Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan sifat-sifat Nabi SAW.26 Adapun ulama us}ul (us}uliyyu>n) mendefinisikan Sunnah sebagai apa saja yang keluar dari Nabi SAW selain al-Qur’a>n , baik itu berupa ucapan, perbuatan,
taqri>r yang tepat untuk dijadikan dalil syara‟. Sedangkan ulama fikih (fuqaha>’) mengartikan Sunnah sebagai segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak termasuk kategori fard}u atau wajib.27
Ahmad „Atiyyatullah, al-Qamus al-Isla>mi>, jilid III, Kairo: Maktabah al-Nah}d}ah alMis}riyyah), h. 528 25 Salim Ali al-Bahanasawi, Rekayasa as-Sunnah op.cit, h. 1 26 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, h. 13 27 Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Us}ul al-H}adis\: ‘Ulu>muhu> wa Mustalah}uhu (Beirut: Dar alFikr, 1979), h. 19 24
25
Dalam konteks umat Islam, konsep tersebut dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut : “Dikalangan para pengikut Muh}ammad yang taat dan dalam komunitas Muslim paling tua, sunnah berarti segala sesuatu yang dapat dibuktikan sebagai praktik Nabi dan pengikutnya yang paling awal. Sebagaimana halnya Arab Badui setia pada sunnah (kebiasaan) leluhurnya, demikian pula komunitas muslim diperintahkan untuk menegakkan dan mengikuti sunnah baru. Jadi konsep muslim tentang sunnah adalah suatu varian dari konsep Arab kuno”.28 Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam tulisannya yang berjudul Ta’wi>l
Muh}tali>f al-h}adits\ beliau membedakan sunnah menjadi tiga macam;29 a. Sunnah yang disampaikan oleh Jibril dari Allah SWT, misalnya sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
التُكح انًرأة عهى عًتٓب ٔال عهى خبنتٓب Artinya: “Seorang wanita tidak boleh dinikahi oleh paman dari bapaknya dan paman dari ibunya.”. b. Sunnah yang mana Nabi SAW diberi wewenang oleh Allah SWT untuk mentradisikannya. Perintah pelaksanaannya adalah berdasarkan rasio Nabi SAW dimana di dalamnya terdapat dispensasi bagi orang yang menginginkannya, misalnya: Nabi Muh}ammad SAW memberi keringanan kepada „Abdurrahma>n bin „Auf dan al-Zubair memakai pakaian sutra karena penyakit gatal yang diderita keduanya. c. Sunnah yang diperuntukkan bagi kita dalam rangka edukasi (al-ta’dib) atau anjuran (al-irsya>d) dalam terminologi para ahli us}ul (us}uliyyu>n). Jika sunnah tersebut dilaksanakan, maka menjadi sebuah keutamaan. Sebaliknya, jika sunnah 28
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 43 Yusu>f Qard}awi, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma’rifah wal H}ad}arah, Terj. Sunnah, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban, Terj. Oleh Abad Badruzzaman, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001, h. 27-29 29
26
tersebut ditinggalkan, maka tidak mengapa, misalnya, larangan Nabi SAW memakan daging hewan pemakan kotoran. 2.
Latar Belakang Sejarah Lahirnya Sunnah Bagi kaum muslimin periode awal, sunnah berarti sekedar praktek yang
dijalankan kaum muslimin sendiri. Dapat dinyatakan disini bahwa konsep sunnah Rasul dalam Islam, timbul setelah datangnya Nabi.30 al-Qur’a>n berulang kali menyuruh kaum muslimin untuk mematuhi perintah Rasūlullah SAW dan menyatakan perilaku beliau perilaku ideal. Oleh karena itulah kaum muslimin semenjak semula menerima perilaku beliau sebagai model bagi mereka atas dasar ajaran al-Qur’a>n .31 Semasa Rasūlullah masih hidup, Sunnah mengandung kesesuaian tindakan para sahabat dengan tindakan Rasūlullah. Mereka menata kehidupan berdasarkan alQur’a>n sebagaimana dicontohkan dan digambarkan oleh perilaku Rasūlullah. Tidak ada hukum tersendiri yang diperlukan untuk mendukung kelurusan tindakantindakan mereka kecuali perkataan dan perilaku dari Rasūlullah. Setelah Rasūlullah wafat, para sahabat masih memiliki al-Qur’a>n, perilaku Rasūlullah, dan kebiasaankebiasaan mereka sendiri yang mereka praktekkan semasa Rasūlullah masih hidup. Para sahabat menetap diberbagai kota diluar Arabia. Mereka tidak hanya menjadi penyampai sunnah Rasul, tetapi juga menjadi penafsir dan pengurainya. Kemudian dari kelakuan dan pendapat para sahabat lambat laun dipandang sebagai contoh oleh generasi berikutnya.32 30
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, dalam “Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup”, terj. Aqah Garnadi, Bandung; Pustaka, 1984, h. 78 31 Ibid. 32 Ibid.
27
Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan para ulama Islam modern tentang waktu yang pasti munculnya konsep Sunnah Nabi, sebagaimana dibedakan dari tradisi Muslim awal. Sebagian ahli, seperti Joseph Schacht, berpendapat bahwa konsep Sunnah yang khusus ini adalah suatu konsep yang muncul relatif belakangan, sedangkan yang lainnya, seperti Fazlur Rahman berpendapat bahwa konsep tersebut telah ada sejak semula.33 Kebanyakan dari ulama mengatakan bahwa seluruh yang berasal dari Nabi SAW adalah wahyu dari Allah SWT . yang selalu dijadikan dalil bagi mereka adalah QS. An Najm (53): 3-4, sebagai berikut: Artinya : “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’a>n ) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’a>n itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”34
Untuk bisa mengetahui lebih jauh perihal sejarah lahirnya sunnah ini, tidak dapat terlepaskan dari sejarah pembentukan hukum Islam sendiri dari masa ke masa. Oleh karena sunnah ini juga menjadi satu dari sekian referensi untuk pembentukan dan penentuan Istinbat} hukum Islam. Peran Sunnah Nabi mengindikasikan bahwa umat Islam dituntut untuk mengikuti teladan Nabi dalam keseluruhan aspek kehidupan, mengingat praktek dan tindakan-tindakan Nabi telah disetujui oleh Allah sebagai teladan bagi mereka dan menjadi standar perilaku bagi masyarakat. Apa yang diperintahkan Nabi memiliki kedudukan yang sama dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Dari sini jelas bahwa keputusan, pertimbangan dan perintah-perintah Nabi, sebagaimana dinyatakan 33
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 44 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n Dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya : Mekar Surabaya, 2004, h. 763. 34
28
oleh Allah, adalah memiliki kekuatan hukum. Otoritas Nabi tidaklah didasarkan atas penerimaan masyarakat, para ahli hukum dan sarjana muslim tetapi didasarkan atas kehendak Allah sendiri.35 Di samping itu secara empirik dapat dinyatakan bahwa para sahabat semasa hidup Nabi maupun setelah wafatnya bersepakat mengenai keharusan mengikuti Sunnah Nabi. Ketaatan mereka kepada Nabi sedemikian rupa sehingga mereka melakukan apa saja yang beliau lakukan dan meninggalkan apa saja yang beliau tinggalkan, tanpa membedakan apakah hal itu berasal dari al-Qur’a>n maupun dari sunnah Nabi sendiri. Mereka memandang sabda, perbuatan dan persetujuan beliau sebagai memiliki kekuatan hukum yang tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari mereka.36 Seperti dijelaskan oleh Fazlur Rahman, sifat hubungan para Sahabat dengan Nabi (seperti terus menerus memantau selama hidupnya, fungsi Nabi sebagai guru yang mengajar, dan Sahabat bukanlah murid pencatat belaka) membuat sulit bagi kaum tradisionalis formal, para ulama pengumpul serta perekam sunnah Nabi, dan bagi generasi selanjutnya untuk melepaskan elemen kenabian sama sekali dari ajaran dan fakta yang di duga berasal dari para Sahabat.37 Dan oleh karena itulah tidaklah harus bahwa Sunnah selalu disimpulkan dan diketahui dari H}adits\, yaitu suatu laporan (tentang Nabi). Oleh karena Sunnah bertolak belakang dengan H}adis\.38 3.
Fungsi dan Kedudukan Sunnah Secara Umum
35
Id, h. 82 Id, h. 56 37 Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 45 38 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, op.cit, h. 78 36
29
Sunnah berfungsi sebagai penjelas yang memerinci yang mujmal, atau mengkhususkan yang umum dari al-Qur’a>n, memberikan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam al-Qur’a>n, menambah hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’a>n sebagai penyempurna atau penguat al-Qur’a>n.39 Dari sini tampak betapa sunnah Nabi menempati posisi penting dan memiliki fungsi strategis bagi penyebaran al-Qur’a>n yang oleh para ulama dikategorikan dalam tiga kapasitas sebagai berikut: 1. Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasi dan mengulangi pernyataan al-Qur’a>n. 2. Sunnah dapat berupa penjelasan atau klarifikasi bagi al-Qur’a>n. 3. Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung dalam al-Qur’a>n (Sunnah al-Mu‘assisah/ sunnah pembentuk).40 Oleh karena itu ia senantiasa mengikuti dan tidak mungkin menyalahi alQur’a>n. Bila al-Qur’a>n telah mengatur hukum secara nash, maka Sunnah akan memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian penjelasan Sunnah tidak mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh al-Qur’a>n.41 Sedangkan dalam kedudukannya, Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Sunnah adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya setelah al-Qur’a>n. Keharusan mengikuti sunnah bagi umat Islam baik yang berupa perintah atau larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-
39
H.A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 89 40 Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Semarang; Walisongo Press, 2009, h. 40 41 Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi‟i, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, h. 75
30
Qur’a>n. Hal ini dikarenakan sunnah adalah Mubayyin terhadap al-Qur’a>n, oleh karena itu siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’a>n tanpa dengan memahami dan menguasai Sunnah. Begitu pula dalam memahami atau menggunakan h}adits\ tanpa al-Qur’a>n. Karena al-Qur’a>n merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari„at. Dengan demikian antara al-Qur’a>n dan Sunnah memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.42 Jumhur ulama menyatakan bahwa Sunnah menempati urutan yang kedua setelah al-Qur’a>n. Sedang al-Syatibiy dan al-Qasimi dalam kaitan ini mengajukan tiga argument. Pertama, bahwa al-Qur’a>n bersifat Qat}’i al-Wurud, sedangkan sunnah bersifat Z}anniy al-Wurud. Karena itu yang qat}’i
harus didahulukan dari yang
z}anniy. Kedua sunnah berfungsi sebagai penjabar dari al-Qur’a>n. Hal ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan lebih rendah dari yang dijelaskan. Jika tidak ada mubayyan (yang dijelaskan) maka tidak perlu ada bayan (penjelasan), sebaliknya jika tidak ada bayan, maka mubayyan tidak mesti hilang dengan sendirinya. Ketiga ada H}adis\
yang menjelaskan urutan dan kedudukan Sunnah
setelah al-Qur’a>n, yakni mengenai pengutusan Mu„adz bin Jabbal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjukkan subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap alQur’a>n .43 Adapula sekelompok ulama yang beranggapan bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada al-Qur’a>n. Dengan kata lain, Sunnah
42 43
Said Agil Husain Al-Munawar, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama. 1996, h. 19 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 93-96
31
merupakan penentu terhadap al-Qur’a>n. Pendapat mereka itu dengan dasar argumentasi sebagai berikut: 1. Bahwa al-Qur’a>n bersifat mujmal (umum) memerlukan penjelasan dari sunnah, sehingga kata akhir berada pada sunnah, bukan pada al-Qur’a>n. 2. Ada beberapa ayat al-Qur’a>n yang mempunyai makna ganda (muhtamil) dalam hal ini Sunnah memberikan alternatifnya.44 Disini beberapa ulama baik dari yang memberikan pendapatnya secara individual atau perseorangan sampai pada kapasitas untuk dijadikan sebuah paham secara universal (aliran) memberikan pemahaman yang berbeda terhadap kedudukan Sunnah, yakni diantaranya: 1. Menurut Imam Syafi‟i Sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasu>lullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi Muh}ammad SAW adalah dari pemahaman beliau terhadap Al-Qura>n. Selain kedua sumber tersebut (Al-Qura
44
Ibid.
32
Syeih}} Waliyullah al-Dah}lawi membagi kedudukan Sunnah menjadi dua bagian yakni pertama tabligh al-risa>lah adalah menyampaikan misi kerasulan.45 Meski demikian, misi kerasulan Muh}ammad SAW bukan hanya mementingkan sampainya surat (At-Tanzi>l) dari Allah untuk disampaikan kepada umatnya tanpa peduli isinya. Akan tetapi Rasul juga dibebani kewajiban untuk menjelaskan maksud Al-Qur’a>n yang disampaikan kepadanya sekaligus mempraktekkan apa yang terkandung didalamnya.46 Diantara yang dikategorikan kelompok ini adalah tentang berita ghayb dan keindahan kekuasaan Tuhan yang sandarannya wahyu. Dalam bidang syari„at dan cara ibadah, sandarannya sebagian pada wahyu dan sebagian pada ijtiha>d yang menduduki wahyu. Sedangkan yang kedua Ghayr Tabligh al-Risa>lah dimana Sunnah yang dibawa Rasul tidak membawa misi kerasulan, akan tetapi adakalanya didasarkan pada pengalaman (al-tajribah) seperti masalah kedokteran dan tradisi. Atau maslahat parsial seperti perintah Nabi Muh}ammad SAW kepada seorang panglima perang untuk mempersiapkan prajurit, dan keputusan Nabi kepada seseorang pada kasus tertentu didasarkan pada fakta dan bukti tertentu. 3. Mahmud Syaltut Beliau membagi kedudukan Sunnah menjadi dua macam yakni, pertama Sunnah non-Syari„at (Ghayr Tashri‘iyyah) adalah kebutuhan sebagai manusia seperti makan dan minum, pengalaman, tradisi pribadi dan kolektif seperti pertanian, kedokteran, dan berpakaian, manajemen sebagai manusia seperti 45
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, op.cit, h.
197-199. 46
Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, op.cit, h. 40.
33
pembagian kelompok dalam medan perang. Sedang yang kedua Sunnah sebagai syari„at (tashri‘iyyah) yang mempunyai dua bagian ; pertama, berupa syari„at umum yaitu apa yang datang dari Nabi Muh}ammad SAW sebagai Tabligh al-
Risa>lah seperti penjelasan perincian ayat global, masalah ibadah, halal haram, akidah. Dan semua orang harus mengikutinya. Kedua, syari„at khusus, yaitu kehadiran Nabi SAW sebagai pemimpin masyarakat yang mengaturnya berdasarkan kemaslahatan atau sebagai hakim yang memutuskan perkara berdasarkan bukti atau sumpah. Seseorang boleh melakukannya setelah ada izin dari seseorang hakim atau imam.47 4. Yusu>f Qard}awi> Beliau membagi sunnah berdasarkan metode sebagai berikut; pertama metode universal yakni metode yang bersifat universal untuk kehidupan manusia seluruhnya. Kedua metode berimbang yakni metode adil untuk umat yang adil dan pilihan. Ketiga metode yang mudah diterapkan yakni mudah diaplikasikan dan toleran, tidak menyulitkan manusia dalam kehidupan beragamanya, atau membuat mereka susah payah dalam kehidupan dunianya.48
47
197-199.
48
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, op.cit, h.
Yusu>f Qard}awi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, 1994, tanpa tempat terbit : tanpa penerbit, h. 28-32.
34
BAB III FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R
A. Biografi Muh}ammad Syah}ru>r Muh}ammad Syah}ru>r Ibn Dayb dilahirkan di Damaskus, Syria, 11 April 1938.49 Sampai dengan skripsi ini ditulis, Muh}ammad Syah}ru>r masih hidup.50 Muh}ammad Syah}ru>r adalah anak kelima dari seorang yang bernama Dayb Ibnu Dayb (al-marh}u>m) dan S}iddi>qah binti Salih Filyu>n (al-marh}u>mah). Syah}ru>r menikah dengan ‘Azi>zah (al-marh}u>mah) yang kemudian dikaruniai lima orang anak yaitu T}ar> iq (menikah dengan Rih}a>b), Al-Lais (menikah dengan U), Ba>su>l (menikah dengan Rosya>), Mas}u>n (menikah dengan Ala>’), dan Ri>ma> (menikah dengan Lu‟ay) sedangkan cucu-cucu Syah}ru>r diantaranya Muh}ammad, Sa>mi>, Kina>n, Ya>smi>n, Ha>syim, dan Ro>mi>.51 Muh}ammad Syah}ru>r dinilai sangat kontroversial karena temuan-temuan barunya dalam kajian keislaman telah menimbulkan reaksi, baik secara positif maupun sebaliknya. Respon positif misalnya ditunjukkan oleh Sultan Qabus di Oman yang membagi-bagi buku tersebut dan merekomendasikan kepada menterimenterinya untuk membacanya. Respon positif juga muncul di kalangan sarjana Barat yang banyak mengapresiasi pemikirannya di berbagai jurnal Internasional,
49
Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason ; The Essential Muhammad Shahrur, Beirut; ICIS, 2009, h. xix. 50 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta : LKiS, 2010, h. 92. 51 Muh}ammad Syahru>r, Tajfi>f Muna>bi’ul Irh}a>b, Beirut; al Ahalli, 2008, h. 19
35
seperti Journal Middle East Studies Association (MESA). Journal Meria, The Wilson Quarterly, dan Muslim World, Islam and Christian-Muslim Retation.52 Bahkan sosok pemikir muslim kontroversial ini dituduh oleh lawan-lawannya sebagai agen zionis, seperti dalam review artikel Peter Clark, The Syah}ru>r : A Liberal Voice From Syiria53 dan artikel Dale F. Eickelman, Islamic Liberalism Strikes Back54 dan Inside the Islamic Reformation.55 Muh}ammad Syah}ru>r tergolong pemikir yang gigih. Ia harus menghadapi berbagai kecaman dan ancaman yang ditujukan pada dirinya karena ide-idenya yang sangat orisinal dan berani. Saat ini ia tengah menjadi obyek kritikan di dunia Arab. Sekitar 15 buku ditulis untuk menyerang pemikirannya, antara lain Nah}w Fiqh Jadi>d karya Jamal al-Banna>, Mujarrad Tanji>m karya Sali>m al-Jabi>, Tah}afut al-Qira’ah al-
Mu’a>s}irah karya Mah}ami> Muni>r Muh}ammad T}ahir ash-Shawwaf, dan an-Nas}h, asSult}ah, al-Haqi>qah: Bayna Ira>dati al-Ma’rifah wa Ira>dati al-Haymanah karya Nas}r H}ami>d Abu> Zayd. Dalam berbagai kesempatan, ia juga dituduh oleh para Syeih} dan ulama sebagai seorang murtad, kafir, setan, komunis, dan berbagai macam sebutan buruk lainnya. Oleh karenanya secara resmi buku-buku Muh}ammad Syah}ru>r dilarang di sebagian pemerintah negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab, terutama buku keduanya (Dira>sah Isla>miyyah
52
Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islami Muh}ammad Syah}ru>r, Semarang; Walisongo Press,
2008, h. 46 53
Peter Clark, The Shahrur Phenomena: A Liberal Voice From Syiria Dalam Islam and Christian-Muslim Relation, vol. 7 no. 3, 1996. 54 Dale F. Eickelman, Islamic Liberalism Strikes Back, MESSA Bulletin, 27, no. 1993, h. 163-168. 55 Dale F Eickelman, Inside the Islamic Reformation, Wilson Quarterly, 22, no. 1, 1998, h. 80-83.
36
Mu’a>s}irah fi ad-Dawlah wa al-Mujtama‘, 1994) dan buku ketiganya (al-Isla>m wa alI<man : Manz}umah al-Qiya>m, 1996).56 Lepas dari pro dan kontra tentang ide-idenya, Syah}ru>r telah menjadi tokoh pemikir yang fenomenal. Jutaan surat telah datang kepadanya, baik yang menyatakan simpati maupun kecaman. Pemikirannya yang liberal, kritis, dan inovatif telah mengantarkan dirinya sebagai seorang tokoh yang pantas diperhitungkan di dunia muslim kontemporer. Ia memiliki konsepsi-konsepsi yang kontroversial seputar alQur’a>n , Sunnah, dan ijtiha>d yang menarik untuk didiskusikan.57 Oleh karenanya Muhyar dengan mengutip Hallaq menyebutnya dengan religious liberalism bersama Sa„id Ashmawiy dan Fazlur Rahman .58 Disamping itu, ia juga memiliki konsepsi yang realistis dalam persoalan akidah, politik, dan tata sosial kemasyarakatan Islam modern.59 Semua kajian dan konsepsi barunya itu merupakan upaya Syah}ru>r untuk menanggulangi krisis multi dimensi yang melanda dunia muslim saat ini. Pertanyaan yang selalu muncul di benak Syah}ru>r adalah manakah bukti kebenaran risalah Muh}ammad sebagai risalah penutup dalam realitas dunia nyata saat ini? Mungkinkah risalah penutup ini menghasilkan umat yang lemah dan tak berdaya seperti sekarang? Itulah yang selalu mendorong Syah}ru>r untuk meneruskan kajian-kajiannya.60 B. Pemetaan Intelektual
Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, dalam Teologia Jurnal ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Vol. 15, no. 2, Juli 2004, h. 146. 57 Ibid. 58 Muhyar Fanani, Kritik Ideologi Syah}ru>r Atas Teori Hukum Islam Tradisional. Jurnal atTaqaddum, Semarang: UPMA IAIN Walisongo, vol. 1 no. 1, Juli 2008, h. 98. 59 Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, op.cit, h. 146. 60 Ibid. 56
37
Syah}ru>r menghabiskan pendidikan dasar dan menegahnya di sekolah negeri di al-Mida>n, pinggiran selatan Damaskus. Sekolah agama yang di sebut kuttab dan madrasah. Masa kecilnya dihabiskan dalam lingkungan keluarga yang liberal, dimana kesalehan ritual dipandang kurang penting dibanding ajaran etika Islam sekalipun ini tidak berarti bahwa mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban ritual keagamaan, seperti halnya shalat, puasa, bahkan ayahnya mengajaknya haji pada tahun 1946. Seperti yang diakuinya, ayahnya mengajarkan padanya bahwa beribadah pada Tuhan sama pentingnya dengan kejujuran, kerja dan mengikuti hukum alam, yang diilustrasikan dengan perkataan ayahnya : “Jika kamu ingin menghangatkan tubuh, jangan membaca al-Qur’a‘iyyah, I‘da>diyyah, dan Sana>wiyyah, di Damaskus. Syah}ru>r memperoleh ijazah Sana>wiyyah dari Sekolah Abdurrahma>n al-Kawa>kib, 1957. 1958, dengan beasiswa dari pemerintah Damaskus,62 karena atas perhatian dari pemerintah Syiria terhadap dunia pendidikan sangat baik. Kondisi ini jelas turut memberikan motivasi bagi karier akademik Syah}ru>r di Syiria63 yang kemudian Syah}ru>r kembali melanjutkan jenjang pendidikannya dengan hijrah ke Uni Soviet untuk studi Teknik Sipil di Moskow64, ketika di Moskow inilah dia mulai berkenalan dengan teori dan praktek Marxis65 yang lebih dikenal dengan konsep dialektika materialisme dan materialisme historis. Sebagaimana diakui Syah}ru>r 61
“If you want to warm yourself, don‟t recite the Qur‟an, but light a fire in the stove” Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason ; The Essential Muhammad Shahrur, op.cit, h. xix. 62 M. Zaid Su‟di, Iman dan Islam; Aturan-Aturan Pokok, Aturan-Aturan Pokok, Yogyakarta: Jendela, 2002, h. xiii. 63 Abdul Mustaqim, op.cit, h. 93. 64 Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muhammad Shahrur, Beirut; ICIS, 2009, h. xx. 65 Ibid.
38
kepada Peter Clark, bahwa meskipun meskipun dia bukan seorang penganut aliran Marxis tetapi dia amat terpengaruh oleh pemikiran Friedrich Hegel66 dan Alfred North Whitehead sebagai dua tokoh yang banyak mengilhami pemikir Marxian. Dengan begitu, maka dia benar-benar merasakan benturan peradaban antara latar belakang teologisnya sebagai seorang muslim dengan fenomena sosial-intelektual komunis di Moskow. Walau demikian, studinya di Moskow ini tetap ditempuhnya selama lima tahun hingga berhasil meraih gelar Diploma pada tahun 1964, dan menyelesaikan diplomanya pada 1964. Lalu kembali ke Negaranya, Syria. Setahun kemudian dia diangkat sebagai asisten dosen di Universitas Damaskus.67 Dalam tempo yang tidak begitu lama, Syah}ru>r di minta oleh pihak Damaskus untuk menjadi delegasi pengembangan sumber daya manusia (SDM) ke Ireland Nation University (al-Jami>’ah al-Qummiyah al-Irlandiyah) Dublin guna melanjutkan studinya pada program magister (Master) dan doktoral (Ph.D) dalam bidang keahlian yang sama (teknik sipil), khususnya konsentrasi mekanika pertahanan dan fondasi (mikanik turba>t wa asa>sat)68 di Universitas al-Qummiyah.69 Gelar magister ia raih pada tahun 1969, dan tiga tahun kemudian, tepatnya di tahun 1972 Syah}ru>r telah menyelesaikan program doktoralnya. Pada tahun yang sama ia kembali ke Universitas Damaskus dan secara resmi diangkat menjadi dosen pada fakultas teknik sipil, khususnya mata kuliah mekanika pertahanan dan geologi (mikanika al-turba>t 66
Pendekatan, epistemologi, dan metode Syahrur memanfaatkan trilogi Hegel yakni antara keterkaitannya at-Tanzil dengan being, proses, dan becoming, Lihat Muhyar Fanani, “Prinsip-Prinsip Hermeneutika Syah}ru>r‛, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 2, 2009, h. 152. 67 A. Rafiq, Zainul Mun‟im, Metodologi Penafsiran Kontemporer Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, maret 2006, h. 169. 68 Udin Safala, Naz}ariyat al-H}udu>d: Penelusuran Matra Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, alTahrir, vol. 7 no. 2 Juli, 2007, h. 147. 69 A.Rafiq, Zainul Mun‟im, op.cit, h. 169.
39
wa al-mans}a>’at al-ard}iyat) sampai kini, dan pada saat yang sama, Syah}ru>r bersama beberapa rekan kerja di fakultas membuka kantor sekretariat teknik yang berfungsi sebagai biro konsultasi.70 Pada 1982-1983, Syah}ru>r didelegasikan ke Saudi Arabia menjadi peneliti teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat disana.71 Pada 1984 Syah}ru>r mulai menulis ide-ide dasarnya yang dideduksi dari ayat-ayat al-Qur’a>n. Dalam tahap ini, ia selalu berkonsultasi dengan gurunya, Ja„far Dakk al-Ba>b.72 1995, Syah}ru>r menjadi peserta kehormatan di dalam debat publik tentang Islam di Maroko dan Libanon.73 Sampai pada tahun-tahun berikutnya Syah}ru>r berhasil menyelesaikan karya-karyanya sebagai bentuk sumbangsih ide gagasannya terhadap Islam yakni Al-Kita>b wa al-
Qur’a>n , Dira>sah Isla>miyyah Mu’a>s}irah (1994), al-Isla>m wa al-I<man (1996), Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Isla>miy (1999), dan Nah}w Us}ul Jadi>dah li al-Fiqhi al-Isla>mi (2000) dan sampai saat ini dengan tambahan karyanya Tajfi>f Muna>bi’ul Irhab, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muh}ammad Syah}ru>r.74 C. Kegiatan, Karir, dan Karya-Karya Muh}ammad Syah}ru>r Karya-karya Syah}ru>r selain dalam bentuk buku pada tahun 1999 M, Syah}ru>r menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku saku berjudul mashru‘ mithaq al-‘Amal
al-Isla>mi. Buku saku ini ditulis sebagai jawaban Syah}ru>r terhadap pemintaan Forum Dialog Islam International yang materi isinya tidak jauh berbeda dengan pokokpokok pemikirannya yang telah tertuang dalam karya sebelumnya, al-Isla>m wa alUdin Safala, Naz}ariyat al-H}udu>d: Penelusuran Matra Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, op.cit, h. 147. 71 M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii. 72 Abdul Mustaqim, op.cit, h. 106. 73 M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii. 74 http://www.shahrour.org. 70
40
I<man: Manz}umah al-Qiya>m , khususnya tentang perjanjian Islam (mithaq al-isla>mi). Buku saku ini oleh Dale F. Eickelman dan Isma‟il S. Abu Shehadah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan judul proposal For an Islamic Covenant.75 Di samping dalam bentuk buku dan buku saku, Syah}ru>r juga menulis berbagai artikel dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Beberapa artikelnya yang berhasil penulis lacak antara lain: 1.
Divine text and pluralism in muslim societies.76
2.
Reading the religious text: A new approach.77
3.
Applying the concept of “limit” to the rights of muslim women.78
4.
Islam in the 1995 Beijing world conference on women.79
5.
Muslim scholars increasingly debate Unholy war.80
6.
The Concept of Freedom in Islam.81
75
Lihat http://www.Islam21 dan http://www.dartmouth.edu/ di akses tanggal 11 November
2011 76
Lihat http://www.quran.org/library/articles/shahroor.htm diakses tanggal 29 Oktober 2011 Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Muh}ammad Syahru>r, “teks ketuhanan dan Pluralisme dalam masyarakat muslim”, terj. Mohammad zaki husein, dalam Syahiron Syamsuddin dkk, hermeneutika al-Qur‟ān…, h. 255-267. 77 Lihat di http://shahrour.org/?p=1393, lihat juga di http://www.deenresearchcenter.com/blogs/tabid/73/EntryId/67/Reading-the-Religious-Text-A NewApproach-by-Mohammad-Shahrour.aspx lihat juga di www.uprootedpalestinian.wordpress.com/2010/03/24/reading-the-Religious-Text-A-New-Approach/ diakses tanggal 29 Oktober 2011 Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, “Pendekatan Baru dalam membaca teks keagamaan”, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, h. 269-273. 78 Lihat http://www.free-minds.org/applying-concept-limits-rights-muslim-women, diakses tanggal 29 Oktober 2011. 79 Lihat www.id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammad-syahrur diakses tanggal 29 Oktober 2011, Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, “Islam Dan Konferensi Dunia Tentang Perempuan di Beijing, 1995”, dalam Charles Kurzman (ed.), wacana Islam Liberal, terj. Barul ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 210-216. 80 Lihat http://shahrour.org/?p=1394. Diakses tanggal 2 November 2011 M. 81 Artikel di dokumentasikan oleh Dr. Najah Kadhim di http://Islam21.net di akses tanggal 9 Oktober 2011.
41
7.
Muwaqqifu al-ambalat lil insa>ni al-‘arabi min Dhohi>rotin Munaz}z}oma>ti alMujtama‘ al-Madani.82
8.
H}aula Z}ohi>rotun Nakas}ul Insa>ni al-‘Arabi ila> Mustawa> Kha>jatu as-Sala>mati wa al-Ma’as}i.83
9.
D}uku>riyyah al-Mujtama‘ fi at-Tura>thi al-‘Arabi al-Isla>mi.84
10. Mafhum al-H}urriyah fi al-Isla>m.85 11. ‘Alama>niyyah al-Daulah fi al Isla>m.86 12. Raddu ‘ala> Sheih} Yusu>f al-Qard{owi> : Huqu>qul Yata>ma.>87 13. Raddu ‘ala> Sheih} Yusu>f al- Qard{owi> : Fitnatul Mar’ah.88 14. Al-Irh}ab wa H}arb al-Mustalahat.89 15. Al H}ajah al-Milh}ah li al-Is}lah} al-Thaqa>fi (al-Di>ni) fi Buldan al-Syirqi al-Adna>
wa al-Ausat.90 16. Inna lilla>h wa inna ilaih Ra>ji‘u>n.91 17. Al-Us}uliyyah al-Isla>miyyah… ila> ‘Aina?92 18. Mashru‘ Mithaqul ‘Amal al-Isla>mi93 19. Al-H}ara>kat al-Isla>miyyah.94
82
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1385, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. Lihat http://www.shahrour.org/?p=1387, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 84 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1389, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 85 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1391, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 86 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1395, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 87 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1397, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 88 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1399, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 89 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1361/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 90 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1357/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 91 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1359/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 92 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1351/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 93 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1355/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 94 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1349/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 83
42
20. Nah}wa I‘a>dah Tarti>b ‘Ulu>wiyyat al-Thaqafah al-‘Ara>biyyah al-Isla>miyyah:
Maqa>lah al-Isla>m wa al-I<man.95 21. Al-Is}lah al-Di>ni Qabla al-Is}lah al-Siya>si.96 22. Qira>‘ah Mu‘as}irah fi al-Tanzi>l al-Haki>m h}aula al-Mujtama‘ al-Insa>ni wa al-
Musawah bainal afrad wal majmu>’at fi al Irthi wa al-Siya>sah wa al-Iqtiso>d.97 23. Al-Garab wa al-Isla>m.98 24. Al-Ta’addudiyyah al-Zaujiyyah.99 25. Bi Nas al-Qur’a>n al-Kari>m: Kullu Atba’ al-Dayanat al-Sama>wiyyah
Muslimu>n.100 26. Al-Qawamah I.101 27. Al-Qawamah II.102 28. Maqa>lah al-Isla>m wa al-I<man.103 29. Tatammah Bah}s al-Isla>m wa al-I<man.104 30. Qaul fi al-Basyar wa al-Insa>n.105 31. H}aula Nash‘ah Adam wa Nash’ah al-Insa>n.106 32. Kaifa ‘Abbara al-Qur’a>n ‘an Mara>h}il Nash‘ah al-Kala>m al-Insa>i: Nafh}ah al-
Ru>h}.107
95
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1345/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. Lihat http://www.shahrour.org/?p=1347/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 97 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1353/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 98 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1363/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 99 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1367/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 100 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1365/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 101 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1381/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 102 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1383/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 103 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1377/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 104 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1379/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 105 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1369/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 106 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1373/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 107 Lihat http://www.shahrour.org/?p=1375/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 96
43
33. ‘Ala>miyyah Ayat al-Ah}ka>m (al-risālah ) fi ‘As}r ma> ba‘da al-Risa>lat.108 Secara garis besar, karya-karya Syah}ru>r dibagi ke dalam dua kategori 1. Bidang Tehnik: al-handa>sah al-Asa>siyyah (3 volume), dan al-Handa>sah al-
Tura>biyyah. 2. Bidang ke-Islam-an (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba>’ah wa al-
Nas}r wa al-Tauzi‘, Damaskus): Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu’a>s}irah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994), al-
Isla>m wa al-I<man: Manz}umah al-Qiya>m (1996), dan Masyru’ Mithaq al-‘Amal al-Isla>mi (1999).
D. Paradigma Pemikiran Syah}ru>r Untuk memahami lebih dalam mengenai awal ditemukan (inspirasi) dari teorinya dalam sebuah karyanya, Syah}ru>r pernah berkata: “Suatu hari sebuah ide muncul ketika saya sedang kuliah di rekayasa sosial tentang bagaimana membuat jalan pintas. Kita menyebutnya dengan tes proctor. Dimana contoh dan tes yang digunakan untuk mengisi pematang. Di tes ini, kita mengikuti sebuah rumus matematika dari kita mempunyai 2 vector, X dan Y san sebuah hiperbola. Kita mempunyai sebuah dampak. Kita membagi sebuah kurva dan meletakkan sebuah garis di atasnya. Garis ini adalah batas atas dan batas yang lebih rendah. Kemudian aku berpikir tentang konsep dari batas Tuhan. Aku kembali disini ke kantor dan membuka al-Qura>n. Hanya seperti yang di matematika dimana kita mempunyai 5 cara untuk membahas tentang batas. Aku menemukan 5 kasus dimana ide tentang aturan Tuhan yang terjadi. Apakah mereka mempunyai pendapat bahwa tuhan tidak pernah menaruh beban hukum langsung pada beberapa masalah yang berkaitan dengan hukuman terhadap kriminal, pernikahan, bunga (riba) dan praktek-praktek perbankan, tetapi hanya terdapat batasan saja yang mana masyarakat dapat menciptakan peraturan dan hukum-hukum. Dimana pada refleksinya saya 109 dapat menarik kesimpulan bahwa pencuri tidak jadi di potong kedua tangannya”.
108
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1371/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. “One day an idea occurred to me when I was lecturing at the university on civil engineering on how to make compaction roads. We have what we call a proctor test, in which we sample and test the soil used in fills and embankments. In this test, we follow a mathematical pattern of exclusion and interpolation. We have two vector, x and y, a hyperbole. We have a basic risk. We plot a curve and put a line on the top of it. This line is the upper limit, and there is a lower limit. Then I thought of the concept of „God Limits‟. I returned here to the office and opened the Qur‟an. Just as in mathematics where we have five ways of representing limits, I found five cases in which the notion 109
44
Karena Muh}ammad Syah}ru>r adalah sosok pemikir fenomenal. Maka dengan cara pandangnya yang khas, ia mencoba menjelaskan bahwa dengan mencoba kembali kepada teks al-Qur’a>n , maka akan dapat mengembalikan originalitas Islam. Walau demikian Syah}ru>r masih menggunakan sebuah perspektif kontemporer dalam memahami teks al-Qur’a>n tersebut.110 Pemikirannya dahsyat yang mengundang pro dan kontra, bagi yang pro memujinya sebagai „Immanuel Kant‟111 dunia Arab dan Martin Luther umat Islam. Sedangkan yang kontra, buku-bukunya khususnya Al-
Kita>b wa al-Qur’a>n :Qira’ah Mu’a>s}irah dianggap lebih berbahaya dari The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.112 Syah}ru>r dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari suatu kegelisahannya terhadap problematika sosial yang melingkupinya. Ide-idenya muncul setelah sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu ke-Islam-an kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Syah}ru>r lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki beberapa masalah sebagai berikut:
of God‟s limits occurred. What they have in common is the idea that God has not set down exact rules of conduct in such matters as inheritance, criminal punishments, marriage, interest, and banking practices, but only the limits within which societies can create their own rules and laws. Therefore, on reflection I came the conclusion that thieves do not have to have their hands amputated.” Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muhammad Shahrur, 2009, Beirut; ICIS, h. xxii. 110 Wawancara Muh}ammad Syah}ru>r dengan Dale F. Eickelman 1996 dalam The Qur‟an, Morality and Critical Reason ; The Essential Muhammad Shahrur, 2009, Beirut; ICIS. 111 Disebut Immanuel Kant karena bentuk epistemologinya yang hampir sama dengan yang dibawa Immanuel Kant dimana Syah}ru>r tidak bisa melepaskan dirinya dari nuansa perpaduan antara empirisme dan rasionalisme. Lihat Muhyar Fanani, “Epistemologi Kantianisme-plus Syah}ru>r‛, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1. 2009, h. 34 112 Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muhammad Shahrur, op.cit, h. ix
45
1.
Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nas} (ayat-ayat Al-Kita>b ) yang diwahyukan kepada Muh}ammad.
2.
Kajian-kajian ke-Islam-an yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya.
3.
Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat.
4.
Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi maz\hab-maz\hab yang merupakan akumulasi pemikiran abadabad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.
Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqa>ha al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.113 Menurut Syah}ru>r kegagalan ini disebabkan oleh mereka yang berpegang secara ketat pada arti literal dari tradisi secara absolute dan mereka yang cenderung menyerukan sekulerisme dan modernitas serta menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur’a>n sebagai bagian dari tradisi yang diwarisi.114 Oleh karenanya yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, tapi umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif.115
113
http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380 di akses pada tanggal 9 Oktober
2011 114
Aji Sofanuddin dan al-Hamzani, Teori Batas Muh}ammad Syah}ru>r, dalam Jurnal Analisa, Semarang; Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, vol. XII no. 1, 2007, h. 94 115 http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380 op.cit
46
Dari beberapa masalah yang dikemukakan oleh Syah}ru>r, beberapa teori sempat ia publikasikan kepada publik yang diantaranya:116 Pertama, teori hudu>d (dalam hukum Islam) yang memandang bahwa syari„at Allah sesungguhnya hanyalah Syari„at
yang berupa batas-batas (hudu>d ) dan bukan
syari„at yang konkret („ayni). Oleh karena itu, manusia bertugas menemukan hudu>d Allah dalam ayat-ayat umm Al-Kita>b. Setelah hudu>d
Allah itu ditemukan, ia
diharuskan membentuk hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak diperkenankan menyalahi atau melampaui hudu>d Allah tersebut.117 Teori hudu>d diciptakan Syah}ru>r dalam upaya penegakan demokrasi dan kebebasan sipil yang diprioritaskan dalam bidang hukum Islam118 modern yang dinamis, fleksibel, dan relevan dengan tuntutan realitas. Oleh karena teori ini masih belum bisa keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik, akibatnya teori ini akan menghasilkan ilmu yang monogal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih di dominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis).119 Kedua, teori tentang hukum Islam yang berpandangan bahwa hukum Islam adalah hukum sipil (hukum madani) yang manusiawi, penuh keragaman dan berada dalam cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah atau dibangun di atas hudu>d Allah. Karenanya bagi Syah}ru>r pembuat hukum adalah manusia sendiri. Sedangkan Allah hanya memberi batas-batasnya saja. Sehingga dapat dikatakan mayoritas hukum penduduk
116
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang, op.cit, h. 118-121. 117 Ibid. 118 Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Yogyakarta; LKiS, 2010, h. 234 119 Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang, op.cit, h. 191
47
bumi sekarang mengaktualisasikan hukum Islam, selama masih mengindahkan batasbatas Allah. Ketiga, teori tentang sumber hukum yang berpandangan bahwa sumber-sumber hukum Islam itu terdiri dari tiga macam yakni akal, realitas (alam dan kemanusiaan), dan ayat-ayat muhkamat. Sehingga Al-Qur’a>n , Sunnah, Qiyas, dan Ijma‟ bukan lagi sebagai sumber hukum jika belum dikonsepsikan menjadi bentuk yang baru. Padahal Abu Ishaq Asy-Syathi>bi yang menjadi salah seorang pakar us}ul fiqih yang terkenal dalam karyanya al-Muwafaqat, menegaskan bahwa sumber hukum haruslah sesuatu yang bersifat qat}’i. Dimana hal ini didasarkan pada tiga premis, yaitu pertama, berdasar prinsip akal dan kulliyat al-Syari„ah, kedua Jika yang z}anni tidak bisa diterima akal, maka kulliyat al-Syari„ah juga tidak dapat diterima, ketiga jika yang
z}anni dapat dijadikan dasar us}ul fiqh, maka boleh juga sebagai dasar agama.120 Karena menurut Syathibi, sumber hukum adalah dasar-dasar syari‟at. Dasar-dasar syari„at memiliki kedudukan yang sama dengan dasar-dasar agama (ushuluddin, akidah), bila dasar-dasar agama harus qat}’i, maka dasar-dasar syari„at harus qath}’i pula. Keempat, teori tentang ijtiha>d yang berpandangan bahwa ijtiha>d adalah upaya kolektif untuk memahami ayat-ayat hukum sehingga terkuak batas-batas (hudu>d ) Allah dengan menggunakan sistem pengetahuan modern dan kemudian membentuk perundang-undangan dalam cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah itu melalui lembaga perwakilan nasional. Menurut Syah}ru>r sehebat apapun tingkat akurasi ijtiha>d itu, kualitasnya hanyalah nisbi belaka, karena ia hanyalah upaya yang bersifat lokal, 120
Aksin Wijaya, Dinamika Teori-Teori Hukum Islam Menurut Wael B. Hallaq, dalam Jurnal Dialogia; Jurnal Studi Islam dan Sosial, Ponorogo; STAIN Ponorogo, 2003, h. 48
48
temporal, dan spasial. Oleh karena itu Syah}ru>r melihat bahwa ijtiha>d
manusia
termasuk Nabi Muh}ammad, bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, tapi hanya membolehkan, menegaskan, mencegah, atau melarang apa yang dihalalkan oleh Allah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi tertentu. Dan yang kelima, teori tentang mujtahid yang berisi pandangan bahwa mujtahid hanya terdiri dari: (1) para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam komisi konsultatif (Al-Lija>n Al-Istisha>riyyah), (2) anggota lembaga perwakilan nasional (Al-Maja>lis An-Niya>biyyah wa Al-Bala>diyyah). Dengan demikian, para faqih dan para mufti walaupun ilmunya setinggi langit, bila tidak mau bergabung dengan komisi konsultatif, ia tidak bisa disebut seorang mujtahid. Sebuah pemikiran (konsepsi besar) yang telah ditelurkannya yakni pemikirannya mengenai Teori Batas dengan konstruksi awal epistemologinya berdasarkan konsep Kaynunah, Sayrurah dan Sayrurah yang dipahaminya yang orang kenal dengan “Trilogi Hermeneutika”.121 Kajian yang Syah}ru>r lakukan tersebut dapat merombak tatanan teori-teori lama karena kedinamisan watak gagasan teori yang dibangunnya, teori batas (the theory of limit), memiliki landasan episteme dan ontologi yang menjadi basis bagi dekonstruksi wacana lama, yakni landasan linguistik Arab yang dalam level tertentu bersama-sama dengan kajian ilmu-ilmu eksakta dapat dimasukkan sebagai kajian episteme dan secara tegas menekankan pada anti-sinonimitas sehingga berujung pada sebuah kesimpulan yang berbeda sama sekali dengan para teoritisi Islam klasik. Dan
121
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 94.
49
terakhir melalui instrument ilmu-ilmu eksakta ia memperkokoh teori yang ia bangun, khususnya melalui analisis matematika modern.122 Untuk memperoleh konstruksi pemikiran yang luar biasa seperti itu, Syah}ru>r melalui beberapa tahap atau fase-fase pemikiran yang terbagi menjadi 3 fase, yaitu:123 1.
Fase Pertama, antara 1970-1980 Fase ini bermula saat Syah}ru>r mengambil jenjang Magister dan Doktor dalam bidang teknik sipil di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah dasar dalam al-Qur’a>n sebagai al-D}ikr. Dalam fase ini belum membuahkan hasil pemikiran terhadap al-D}ikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiranpemikiran taqlid yang diwariskan dan ada dalam khazanah karya Islam lama dan modern, di samping cenderung pada Islam sebagai ideologi (‘aqi>dah) baik dalam bentuk kalam maupun fiqh madzhab. Selain itu, dipengaruhi pula oleh kondisi sosial yang melingkupi ketika itu. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Syah}ru>r mendapati beberapa hal yang selama ini dianggap sebagai dasar Islam, namun ternyata bukan karena ia tidak mampu menampilkan pandangan Islam yang murni dalam menghadapi tantangan abad-20. Menurut Syah}ru>r, hal itu dikarenakan dua hal: pertama, pengetahuan tentang aqidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Mu‟tazili atau Asy‟ari. Kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Hambali, ataupun Ja‟fari. 122 123
Udin Safala, et al. Liba>s Syah}ru>r, STAIN Ponorogo Press; Ponorogo, 2010, h. 33. M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv
50
Menurut Syah}ru>r, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh kedua hal tersebut, maka studi Islam berada pada titik rawan. 2.
Fase Kedua, antara 1980-1986 Pada 1980, Syah}ru>r bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja‟far (yang mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara 1958-1964)124. Dimana dalam hal ini, Ja‟far Dakk al-Ba>b, yang merupakan teman dan sekaligus gurunya, memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung karier intelektual akademik Syah}ru>r. Pada waktu sama-sama bersekolah, Ja‟far mengambil jurusan Linguistik, sedangkan Syah}ru>r mengambil jurusan Teknik Sipil. Meskipun setelah itu keduanya berpisah karena sama-sama telah selesai dalam studinya.125 Dalam kesempatan bertemunya dengan kawan lamanya tersebut di Irlandia, Dublin,126 Syah}ru>r menyampaikan tentang perhatian besarnya terhadap studi bahasa, filsafat dan pemahaman terhadap Al-Qur’a>n. Kemudian Syah}ru>r menyampaikan pemikiran dan disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan di Universitas Moskow pada 1973. Topik disertasinya mengenai pandangan linguistik „Abd al-Qadir al-Jurhani (ahli nah}wu dan balaghah) dan posisinya dalam linguistik umum. Melalui Ja‟far, Syah}ru>r belajar banyak tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra‟, Abu „Ali al-Farisi serta muridnya, Ibn Jinni, dan al-Jurhani,127 Serta dari Yahya ibn
124
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase perdamaian, Jakarta; PT. Kompas Media Nusantara, 2010, h. 238. 125 Abdul Mustaqim, op.cit, h. 96. 126 Ibid. 127 Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase perdamaian, op.cit, h. 238.
51
Tsa‟lab.128 Sejak itu Syah}ru>r berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu makna dan bahasa Arab merupakan bahasa yang di dalamnya tidak terdapat sinonim. Sebuah contoh dari Syah}ru>r untuk memaknai Syah}ru>r memaknai
rattala yurattilu tarti>lan dalam surat al-Muzammil (ayat 1-5) bukan membaca secara pelan-pelan atau lambat, sebagaimana dipahami para ulama selama ini, tetapi membaca secara tematik dan mencoba menyintesakan antara pelbagai ayat yang mempunyai pesan serupa, sehingga Al-Qur’a>n dapat dipahami secara utuh.129 Selain itu, antara nah}wu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam pengajaran bahasa Arab di berbagai madrasah dan Universitas. Sejak itu pula Syah}ru>r menganalisis ayat-ayat Al-Qur’a>n dengan model baru, dan pada 1984, ia mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja‟far yang digali dari Al-Kita>b. Pada fase ini Syah}ru>r menemukan beberapa tesis yang cukup signifikan dalam memahami kajian Islam. Pertama, bahwa ujaran (alfad}) memiliki karakter tipikal yang dependen terhadap sejumlah makna. Kedua, bahwa dalam linguistik Arab-secara umum jika diyakini ada sinonimitas maka mayoritas merupakan trik untuk mendukung pemikiran tertentu, dan struktur semantik (al-nahwiyyah) dapat dipastikan memiliki relasi dengan kajian “sastra Arab” (khabar balaghi). Bagi Syah}ru>r semantik dan sastra merupakan dua kajian yang memiliki tipikal resiprokal yang tidak dapat dipisahkan karena pemisahan antara dua kajian ini
128
Abdul Mustaqim, op.cit., h. 96. Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase perdamaian, op.cit, h. 238. 129
52
berarti sama dengan ketidakmungkinan untuk memisahkan antara kajian anatomi dengan kajian studi psikologi dalam dunia medis. Dari sini ia melihat ketimpangan atau paradoks antara realitas dengan idealitas. Realitas memberi informasi bahwa tidak ada relasi resiprokal dalam materi pendidikan dan pengajaran semantik yang dilakukan baik di sekolah-sekolah Islam maupun universitas-universitas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai materi kajian dengan kajian makna yang mestinya inheren dan diberikan dalam satu paket utuh tak terpisahkan, dan hal ini di yakini sebagai krisis utama dan pertama yang harus dipecahkan.130 3.
Fase Ketiga, antara 1986-1990131 Dalam fase ini, Syah}ru>r mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topik-topik tertentu. 1986-an akhir dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari
Al-Kita>b wa al-Qur’a>n, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai 1990. Syah}ru>r dalam pembacaan awalnya mencoba untuk meredefinisi seluruh tema studi keislaman yang selama ini diterima umat Islam sebagai suatu yang taken for granted tidak saja dalam wilayah Al-Kita>b
dan al-Sunnah al-
nabawiyyah tetapi juga merembes memasuki wilayah kajian fiqh yang dalam masa berabad-abad diterima dan dijalankan umat Islam tanpa mempertanyakan hakikat entitas ajaran tertentu melalui bangunan episteme atau teori pengetahuan yang menjadi dasar sumber validitas entitas tersebut.132
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 39. M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv. 132 Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 34. 130 131
53
Syah}ru>r sebagaimana para tokoh pemikir yang lain, tidak mau terjebak dan menerima begitu saja studi keislaman yang ada dan dijadikan referensi dunia Islam selama ini, karena kajian Islam (Islamic Studies) selama ini muncul dalam bentuk dan format yang demikian kaku, ekstrim, eksklusif dan bahkan terbelakang karena dasar episteme yang digunakan dalam analisis kajian dianggapnya memiliki banyak kelemahan, dan jika harus di uji validitasnya dalam wacana kontemporer akan tampak ringkih jika dihadapkan dengan kajian studi-studi lain yang lebih ilmiah serta modern.133 Beranjak dari penemuannya terhadap adanya anomali paradigma tradisional yang masih mempertahankan budaya penafsiran klasik yang mewujud dalam aliran teologi maupun hukum134 yang menjadi salah satu corak tirani dalam ilmu us}ul fiqh. Ini terlihat dalam konsepsi tentang ijma‟ ulama sebagai sumber hukum yang telah matang sejak era Umayyah dan jelas mengesampingkan aspek demokrasi dalam hukum karena mengakui hegemoni kelompok ulama yang hanya unsur kecil dari keseluruhan komunitas135 dan dijadikannya sebagai analisis awal, memandang bahwa paradigma tradisional ini tidak saja membahayakan Islam dari dalam dirinya sendiri tetapi juga mematikan kreativitas berfikir atau ijtiha>d bagi kajian ilmiah, karena tidak memberi ruang kepada manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan di dunia dan bahkan mungkin di alam ini untuk melakukan jumping atau semacam lompatan pemikiran dalam memahami dan mengkaji Islamic Studies kecuali
133
Ibid. Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 36. 135 Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang, op.cit, h. 107. 134
54
dengan syarat harus merekonstruksi dan menaruh seluruh warisan aliran paradigma lama dalam wadah dan kemudian mensistematisasi ulang paradigma yang harus dipakai dalam menganalisis kajian Islam.136 Adapun dasar-dasar pendekatan dan metode berfikir yang disampaikan oleh Syah}ru>r adalah sebagai berikut :137 1.
Sumber pengetahuan manusia adalah dalam materi yang ada di luar dirinya. Pengetahuan yang hakiki tidaklah bersifat khayal (ghayr al-wahmiyah), pengetahuan itu tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran. Sesuatu di luar kesadaran adalah hakekat kebenaran pengetahuan (QS. Al-Nahl: 78).
2.
Berdasarkan ayat yang sama, ia berpendapat bahwa filsafat Islam adalah pengetahuan rasional ilmiah didasarkan pada hasil cerapan indera. Ia menolak pengetahuan ahl al-Kasyf.
3.
Alam bersifat materi. Akal manusia mampu memahami alam dan tidak ada batasan titik henti bagi akal untuk mengetahuinya. Ilmu pengetahuan manusia dengan demikian bersifat berkesinambungan dari masa ke masa.
4.
Pengetahuan manusia itu didahului dengan pemikiran yang terbatas pada cerapan indera yang kemudian diabstraksikan. Alam syahadah dan alam ghaib adalah alam materi. Alam ghaib tidak lain adalah alam materi yang tidak tampak dalam
pemahaman
manusia
karena
tingkat
ilmu
pengetahuan
belum
mencapainya. 5.
Tidak ada pertentangan antara apa yang ada dalam Al-Qur’a>n dan filsafat.
Udin Safala, Libas Syah}ru>r, op.cit, h. 36. Muhammad In‟am Esha, Pembacaan Kontemporer al-Qur’ān (Studi Terhadap Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1, Januari 2004, hlm. 35. 136 137
55
6.
Al-Kita>b adalah murni untuk kepentingan manusia, karena itu segala yang ada didalamnya menerima pemahaman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan rasionalitas manusia. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’a>n tidak menerima pemahaman, karena pada kenyataannya tidak ada jarak antara bahasa dan pemikiran manusia.
7.
Allah SWT menjunjung tinggi kedudukan akal manusia, oleh karena itu maka: (a) tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, (b) tidak ada pertentangan antara wahyu dengan hakekat pengetahuan dan rasionalitas pembuatan undangundang. Beberapa pokok pikiran diatas kemudian membawa Syah}ru>r kepada metode
yang digunakan, yaitu analisis kebahasaan yang mencakup kata dan struktur bahasa. Metode ini dinamakan dengan al-Manhaj al-Tarikhi al-‘Ilmi fi dirasah lughawiyah. Metode ini diaplikasikan dengan mencari makna kata dengan menganalisis kaitan suatu kata yang berdekatan atau berlawanan. Karena menurutnya kata itu tidak memiliki sinonim. Setiap kata memiliki kekhususan makna, atau bahkan memiliki lebih dari satu makna. Untuk itulah untuk menentukan makna yang tepat perlu dilihat konteks dan hubungannya dengan kata-kata di sekelilingnya.138
E. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r 1. Kedudukan Sunnah Dalam konteks klasifikasi sunnah, Syah}ru>r membaginya kedalam dua kategori, yakni Sunnah Risalah dan Nubuwwah. Sunnah Risalah yang terdiri dari
138
Ibid
56
berbagai hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran, sedang nubuwwah terdiri dari ilmu-ilmu.139 a.) Sunnah Risalah Yaitu suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang Rasul atau pembawa risalah/ memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa syari‟at.140 Demikian karena risalah Muh}ammad adalah penutup dari seluruh risalah sebagaimana halnya bahwa Al-Qur‟an adalah penutup bagi seluruh nubuwwah. Risalah Muh}ammad SAW menandai peralihan kondisi manusia yang semakin menjauh dari alam dan pola hidup hewani dengan tunduk dan beragama kepada Allah.141 dalam konteks risalah, para ahli fiqih telah menganggap bahwa syariat Muh}ammad SAW adalah syariat yang beku dan statis yang tidak memberikan peluang ijtiha>d sama sekali sebagaimana syariat Musa AS. mereka tidak memahami risalah Muh}ammad sebagai syariat yang bersifat longgar yang hanya memberikan panduan dan prinsip-prinsip berupa batasan-batasan hukum.142 Sunnah risalah terbagi menjadi dua, yaitu: 1.
Ketaatan yang bersambung (al-t}a‘ah al-muttas}ilah) kepada Allah dan Rasul. Adalah ketaatan yang wajib baik pada masa hidup Rasul maupun setelah wafatnya dalam wilayah-wilayah ritual-ritual dan hal-hal yang diharamkan. Ritual-ritual sebagaimana telah dilakukan oleh Rasul sampai kepada kita (masyarakat dewasa kini) dengan cara mutawatir „amali (secara turun temurun melalui perbuatan) dan tidak ada kelebihan tentangnya baik bagi para ahli hadis 139
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 549. Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab , op.cit, h. 155. 141 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 579. 142 Ibid. 140
57
maupun ahli fiqih. Sedangkan al-muharramat (hal-hal yang diharamkan) telah dijelaskan dalam kitab Allah. Rasūlullah terjaga dari melakukannya, disamping keterjagaan dia dalam wilayah iblagh (penyampaian wahyu Tuhan secara langsung) dan tabligh (penyampaian wahyu Tuhan dengan jelas). Hal-hal yang termasuk dalam kategori al-muharramat adalah bersifat fitrah, dimana manusia dengan fitrahnya mampu memahaminya, karena ia masuk dalam nurani manusiawi, dan didalamnya tidak ada beban dan belenggu.143 2.
Ketaatan yang terpisah (al-t}a‘ah al-munfas}ilah) Yaitu ketaatan yang wajib hanya pada masa hidup Rasul saja. Rasūlullah
memerintah dan melarang dalam wilayah halal, terkadang dalam bentuk pembatasan dan
terkadang
memutlakannya
kembali
dan
dia
menetapkan
dasar-dasar
pembentukan masyarakat sesuai kondisi ruang dan waktu. Dalam kaitan ini dia adalah seorang mujtahid yang tidak terjaga dari kesalahan (ghayr ma‟sum) dan keputusan-keputusannya mengandung kenisbian historis. Karena itulah menurut Syah}ru>r, “ketaatan terpisah” kepada Rasul ini berjalan seiring dengan ketaatan kepada kepala pemerintahan (ulil al-amr).144 b.) Sunnah Nubuwwah Suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang Nabi atau memposisikan Muh}ammad sebagai penerima informasi keagamaan.145 Dalam hal ini
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab , op.cit, h. 151. 143
144 145
Ibid, h. 155. Ibid, h. 155.
58
sunnah Nubuwwah berupa pengajaran dan pemberitahuan, Nabi sendiri tidaklah mengetahui hal yang gayb,146 berdasarkan firmanNya dalam surat Al-„Araf (7): 188 Artinya: “Katakanlah (Muh}ammad) : “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya”. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”147
Ini adalah hal yang sangat jelas dalam ayat tersebut, tidak ada kesamaran dan tidak ada ruang untuk ta‟wil atau pembalikan bahasa.148 Akan tetapi menurut Syah}ru>r, sebagian orang telah menyangkalnya, kemudian menisbahkan kepada rasul dengan mengatakan bahwa Nabi mengetahui yang ghaib.149 Menurutnya dalam hal ghaib ini perlu membagi h}adits\ kedalam dua macam:150 1. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan masalah-masalah yang ghaib, yaitu yang menjelaskan Al-Qur’ar berpendapat h}adits\ dalam hal ghaib ini bukan merupakan takwil Nabi, karena Nabi dilarang untuk menakwilkan Al-Qur’a
Ibid, h. 156. Departemen Agama RI, op,cit, h. 235. 148 Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab , op.cit, h. 156. 149 Ibid. 150 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 554. 147
59
2. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan penjelasan tafsil al kitab seperti sabda Nabi Muh}ammad SAW
في نيهة انقدر أَسل انقرآٌ إنى انسًبء اندَيب Artinya: “Al-Qur’a
H}adits\ ini harus sesuai dengan ayat-ayat tafsil Al-Kitab yang berkarakter tidak muhkam dan tidak mutasyabih. Oleh karena itulah sejauh itu sesuai dengan sunnah Rasūlullah, maka sebagai bukti sebuah ketaatan umat terhadap Nabinya, maka harus diikuti. Sebagaimana Syah}ru>r dalam pertimbangan karakteristik dalam mengikuti sunnah Rasūlullah ini diantaranya adalah karena keterjagaan Rasūlullah dari kesalahan (Al-„Ismah).
151
Sedangkan Al-„Ismah pada diri Rasūlullah SAW hanya terbatas dalam dua hal: 1.
Rasūlullah SAW terjaga dari berbuat kesalahan dalam menyampaikan az}-Z}ikr
al-H}aki>m (Al-Qur’a>n ) yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata, ujaran, dan dia juga terjaga dalam tugasnya menyampaikan risalah kepada manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah: Artinya : “Wahai Rasul ! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma‟idah 5: 67)152
151 152
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154. Departemen Agama RI, op.cit, h. 158.
60
2.
Rasūlullah terjaga (tidak terjerumus) kedalam tindak haram dan tidak melampaui batas-batas Allah. Hal itu bahwa Rasūlullah telah menjelaskan dan menyampaikan risalah Tuhan yang diturunkan kepadanya kepada manusia, di mana didalamnya terdapat penghalalan, pengharaman, perintah, dan larangan, tanpa menambah dan mengurangi sedikitpun, dan bahwa dia tidak pernah mengerjakan hal yang diharamkan selama hidupnya serta tidak ber-ijtiha>d didalamnya. Sebab ijtiha>d-nya hanya berkisar dalam batas-batas wilayah yang halal secara mutlak (al-halal al-mutlaq), karena sesuatu yang halal tidak mungkin diterapkan dalam masyarakat manapun kecuali setelah mengalami pembatasan dengan sebuah keyakinan bahwa pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadapnya tidaklah bersifat mutlak, akan tetapi berbeda sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu dan akan mengalami perubahan dengan terjadinya perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta akan berbeda karena perbedaan kesadaran individu, masyarakat dan pemerintahannya. Ini adalah hal yang sangat pokok. Hal-hal yang di haramkan oleh Tuhan (almuharramat al-ilahiyah) hanya cukup untuk menciptakan nurani Islami bagi manusia, akan tetapi ia tidak mencukupi untuk mengatur kebudayaan dan masyarakat dalam seluruh aspeknya, baik aspek sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muh}ammad SAW ketika dia menetapkan sistem pembatasan dan pemutlakannya kembali. Maka upaya pembatasan dan pemutlakan dalam wilayah halal di atas merupakan upaya kemanusiaan yang bersifat dialektik-historis yang dilakukan manusia atau
61
lembaga perundang-undangan, sehingga ia berpotensi terhadap kekeliruan dan kebenaran.153 Dari paparan itulah, Syah}ru>r memahami kenapa ketaatan Muh}ammad hanya dalam dataran Ar-Risa>lah (fungsinya sebagai seorang Rasul atau pembawa risalah memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa korpus hukum) dan tidak dalam dataran an-Nubuwwah (fungsinya sebagai seorang Nabi memposisikan Muh}ammad sebagai penerima informasi keagamaan). Pemahaman Syah}ru>r demikian yang dipahami karena ia belum menemukan sama sekali ungkapan ‚ati>‘u> an-nabiy‛ (taatlah kamu kepada Nabi) dalam At-Tanzi>l. Demikian juga Syah}ru>r memahami bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi hak untuk menetapkan undang-undang tambahan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat, tanpa memerlukan adanya wahyu. Karena perundang-undangan tambahan dalam hal pembatasan terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali mengandung sifat kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan agar h}adits\ - h}adits\ -nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja, dimana Nabi menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai dengan perubahan kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang membuat Syah}ru>r berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti Sunnah Nabi dengan konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting (taswi>t), meminta pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil dalam batas-batas hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladan-teladan utama (al-
153
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154.
62
muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus masuk melalui sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.154 2. Fungsi Sunnah Menurut Syah}ru>r fungsi sunah Nabi adalah sebagai pembatasan terhadap yang mutlak (taqyi>d al-mutlaq) dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi (itla>q al-
muqayyad) dalam wilayah al-halal (yang diperbolehkan) dan bahwa pembatasan dan pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukan bagi laju pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah al-haram (hal yang dilarang) dan wilayah yang diperbolehkan (al-halal). Selanjutnya, penting pula bagi kita untuk memahami peran Muh}ammad SAW sebagai seorang Nabi dan bahwa sunnah Nabi memiliki sejumlah karakteristik khusus yaitu: 1.) merupakan ketetapan-ketetapan yang lahir dari kondisi kehidupan obyektif dalam masyarakat Arab pada masa kenabian; 2.) merupakan ijtiha>d dalam membatasi sesuatu yang dihalalkan (al-halal) yang tidak membutuhkan terhadap adanya wahyu; 3.) merupakan ijtiha>d yang bersifat pembatasan dalam wilayah yang dihalalkan secara mutlak, dimana sesuatu yang telah dibatasi tadi dimungkinkan untuk di-mutlak-kan kembali seiring dengan perubahan kondisi objektif yang ada; 4.) merupakan ijtiha>d dalam wilayah yang dihalalkan, yang kemungkinan bisa salah dan benar, karena ia bukanlah wahyu dan karena kesalahan di dalamnya bisa dibenarkan kembali; 5.) merupakan ketetapan-ketetapan dari ijtiha>d Nabi dalam wilayah yang dihalalkan, tanpa memandang sumbernya apakah bersifat kenabian atau bukan, yang bukan termasuk syari„at Islam, tetapi hanyalah merupakan undang-
154
Ibid., hlm. 154.
63
undang sipil (qanun madani) yang tunduk pada kondisi sosial, artinya Nabi semasa hidupnya telah menetapkan undang-undang sipil untuk mengatur masyarakat dalam wilayah yang dihalalkan, dan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat Arab pada abad ketujuh. Karena itulah, ia tidak bersifat abadi, sekalipun terdapat ratusan hadis mutawatir dan s}ah}i>h mengenainya.155 Sebuah contoh tentang ketetapan ijtiha>d yang diputuskan oleh Nabi dalam membatasi sesuatu yang dihalalkan secara mutlak, dan kemudian Nabi memutlakan kembali sesuatu yang telah dibatasi tersebut seperti sediakala, yaitu ziarah kubur bagi perempuan. Kaum perempuan tatkala ditinggal mati oleh seseorang (suami), maka mereka menyayat-nyayat tubuh mereka, merobek-robek pakaian mereka dan mengeruk debu (untuk diletakkan) diatas kepala mereka, sebagai ungkapan untuk menunjukkan posisi si mayit dan untuk meratapinya. Perempuan-perempuan Arab juga menziarahi makam-makam untuk menghidupkan ingatan terhadap mereka yang sudah meninggal dunia, dan terbiasa dengan menyayat-nyayat tubuh mereka dan menuangkan debu (di atas kepala mereka). Maka Nabi datang untuk melarang kaum perempuan berziarah kubur dan menyayat-nyayat tubuh. Bagi Syah}ru>r, Nabi Muh}ammad SAW tidaklah mengharamkan kesedihan atas mayit dan tidak mengharamkan menghidup-hidupkan ingatan terhadapnya; ziarah kubur atau tidak menziarahinya, keduanya berada dalam wilayah al-halal. Meskipun demikian, Nabi melarangnya karena adat-istiadat masyarakat jahiliyah yang sudah dianggap oleh orang-orang Arab sebagai bagian yang tidak terlepas dari wilayah halal yang mutlak
155
Ibid, h. 151.
64
tersebut (al-halal al-mutlak), padahal itu bukanlah termasuk bagian dari syari„at yang diwahyukan.156 Contoh lain dari syariat yang mutlakkan adalah wasiat dan waris. Keduanya merupakan dua hal yang sama-sama digunakan oleh Allah dalam At-Tanzi>l al-
Hakim untuk memindahkan harta milik dari generasi ke generasi, meskipun Allah lebih mengutamakan wasiat daripada waris. Allah berfirman tentang wasiat dengan: kutiba „alaikum (diwajibkan atas kamu ), dan tentang waris, Dia berfirman dengan :
Yu>s}ikum (Allah mewasiatkan kepadamu), yang menjadikan taklif (dalam arti yang pertama) lebih kuat dan lebih jelas. Allah mengutamakan wasiat daripada waris, dan menjadikan norma-norma waris sebagai pengganti ketika tidak adanya wasiat dengan firman-Nya: min ba’di was}}iyyatin yu>s}i> biha< au dainin. Meskipun demikian keduanya adalah halal. Oleh karena itulah, manusia bebas untuk memilih salah satu darinya, atau menggabungkan antara keduanya, karena menggabungkan antara dua hal yang halal adalah halal.157 Dan dalam hal ini bahwa manusia juga dapat diperbolehkan untuk mewasiatkan seluruh harta peninggalannya sehingga tidak menyisakan untuk diwariskan, atau melupakan (mengabaikan) wasiat, kemudian membagi-bagikan harta peninggalannya dengan ketetapan norma-norma Ilahi tentang waris. Baginya diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½
dari harta tinggalannya dan
meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya dihalalkan secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l.158
156
Ibid, h. 152. Ibid, h. 152. 158 Ibid, h. 153. 157
65
66
BAB IV ANALISIS KONSEP SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SHAH}RU>R >
A. ANALISIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISTINBAT} HUKUM ISLAM MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>>R 1. Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r Ketika mengatakan bahwa Nabi Muh}ammad SAW sebagai teladan yang baik (uswah), maka apa yang berasal dari beliaupun tentunya baik pula yang dalam hal ini adalah sunnah. Dengan sangat mulianya sunnah disini, maka menurut Syah}ru>r sunnah mempunyai kedudukan yang begitu berarti untuk nantinya dijadikan acuan didalam menformulasikan hukum Islam. Dengan memahami Sunnah ini bukanlah wahyu dari Allah, akan tetapi hanya merupakan sabda Nabi baik yang mutawwatir maupun yang ahad, baik yang disebutkan dalam semua kitab h}adits\ dengan riwayatnya sendiri, hanyalah untuk dijadikan pertimbangan semata. Karena sunnah Nabi adalah suatu ijtiha>d pertama untuk menentukan keputusan hukum yang dapat berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.159 Alasan tersebut diperkuat Syah}ru>r didalam penafsirannya terhadap surat anNajm: 3-4, Syah}ru>r menyebutkan bahwasannya ketika memaknai ayat tersebut adalah mencakup seluruh ucapan Nabi semasa hidupnya, dan bahwasannya sumber utama adalah Al-Qur’a>n dan Sunnah, maka hal ini tidak benar sama sekali. Hal ini dikarenakan ketika pendapat itu benar, maka h}adits\ seharusnya masuk dalam
159
Ibid, h. 62-64.
67
penjagaan Tuhan, harus terbebas dari banyak permasalahan dan perbedaan dan juga harus diriwayatkan dengan kata-kata langsung dan tidak dengan makna saja, serta secara pasti harus sampai kepada kita dalam bentuk ucapan seperti Nabi ucapkan.160 Pada ayat ketiga dalam surat An-Najm terdapat penyebutan karakter Rasu>lullah, bahwa Muh}ammad SAW tidak mengikuti keinginannya ketika mengucapkan (wahyu yang diturunkan Allah). Huruf Hijaiyyah ‚wawu‛ pada awal ayat tersebut (ayat ketiga) menghubungkannya dengan ayat sebelumnya (ayat kedua), sehingga seakan-akan Allah berfirman: “Temanmu itu tidaklah sesat dan keliru. Bagaimana dia bisa sesat dan keliru ketika dia mengucapkan wahyu yang diajarkan diluar kekuasaan keinginannya?.” Adapun ayat
yang keempat
mengandung penegasan (ta‟kid) yang termuat dalam bentuk gabungan “nafy” (peniadaan, yakni lafadz maa yang berarti “tidak”) dan itstitsna’ (pengecualian, yakni kata illa, yang artinya “kecuali”). Penegasan itu berbunyi: “Apa-apa yang dia diucapkan, berupa tanzi>l (wahyu) itu benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepadanya, bukan bisikan dari keinginannya.” Jadi, kata ganti (dhamir) “huwa” (berarti “ia”) pada ayat keempat adalah kata ganti yang telah diketahui kembali kepada Al-Qur‟an yang diturunkan, bukan kembali kepada ucapan Nabi yang disebutkan pada ayat sebelumnya.161 Oleh karena itulah peran Nabi sebagai Rasul dalam rangka menjelaskan (bayan) pemberitahuan dan penyebaran pesan Tuhan kepada manusia tidaklah pernah keluar dari At-Tanzi>l. Nabi tidak memiliki kaitan apapun dengan penyusunan redaksional At-Tanzi>l, melainkan Tuhan turunkan kapada Rasul-Nya dalam bentuk 160 161
Ibid, h. 129. Ibid, h. 62.
68
yang sudah jadi dan sempurna. Sebagaimana Nabi juga tidak memiliki kaitan apapun dengan isi kandungan dari perintah dan larangan yang diturunkan kepadanya. Hal ini menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa wahyu hanyalah berbentuk ide yang diwahyukan kepada Nabi, kemudian Nabi menyusunnya dalam bentuk yang diucapkan dan diujarkan. Jika saja hal tersebut benar, menurut Syah}ru>r berarti Nabi mengetahui secara mendalam terhadap seluruh pengetahuan yang terdapat dalam At-
Tanzi>l secara detail, sehingga memungkinkan untuk menyusun dan dengan itu keberadaan Nabi menjadi sama seperti keberadaan Allah.162 Dan oleh karena itulah, Syah}ru>r menganggap sunnah Nabi adalah metode (tidak sebagai h}adits\) yang berinteraksi dengan al-Kitab sesuai dengan kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW. Pada konteks ini, posisi Nabi adalah sebagai suri tauladan, termasuk bagaimana beliau mencontohkan berbagai batasan hukum, akhlak, dan segala sesuatu yang termasuk dalam wilayah “ketaatan tersambung” dalam sunnah beliau.163 Selanjutnya Syah}ru>r menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja dikatakan bahwa al Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan Qiyas yang dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur (berfikir), At-Tadabbur (merenungi), At-Ta‟ammul (berimajinasi), dan At-Ta‟aqqul (menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti.164 Karena hal ini tentu bertentangan dengan firman Allah QS. Yusuf: 2 yang berbunyi:
162
Ibid, h. 128. Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 580. 164 Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 129. 163
69
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’a>n berbahasa Arab agar kamu mengerti.”165 2. Fungsi sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r Sunnah Nabi menjadi suatu pembatasan terhadap yang mutlak dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi dalam wilayah halal dapat menjadi gambaran pembentukan (hukum) secara umum untuk lebih membedakan antara yang halal dengan yang haram. Hal tersebut dikatakan Syah}ru>r bahwa yang haram adalah mutlak, namun kemutlakannya bersifat „ayni muhaddad (terbatas) yang memungkinkan setiap orang untuk melaksanakannya sesuai dengan perkembangan masyarakat berdasarkan konteks ruang dan waktu. Sedangkan yang halal (yang diperbolehkan) juga dikatakan Syah}ru>r adalah mutlak, akan tetapi ia tidak boleh dikerjakan dan aplikasikan melainkan dengan pembatasan tertentu.166 Ziarah kubur misalkan yang dilarang Nabi Muh}ammad SAW ketika itu, berarti Nabi dalam melarangnya memberikan pembatasan yang berupa norma untuk tidak berlebih-lebihan dalam meratapi kematian si mayit. Oleh karena para muslim Arab kala itu telah melampaui batas norma yang ditetapkan Nabi Muh}ammad SAW, maka beliau melarangnya. Kemudian menurut Syah}ru>r, setelah pemahaman-pemahaman dan keimanan telah terpatri dalam hati sebagian besar manusia, maka Nabi melonggarkan kembali terhadap apa yang telah dibatasi sebelumnya dan Nabi mengizinkan kembali bagi
165
Departemen Agama RI, op.cit, h. 317. Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 149. 166
70
kaum perempuan untuk berziarah kubur. Kesalahan berfikir oleh para ahli fiqih menurut Syah}ru>r dalam hal ini berasal dari pemahaman terhadap pembatasan (at-
Taqyid) dan pemutlakan kembali (al-Itlaq), ketika mereka menganggapnya sebagai pengharaman terhadap yang halal, dan penghalalan terhadap yang haram, dan kemudian menganggapnya sebagai ajaran Syari„ah. Inilah yang menjadi cacat utama dari fiqih Islam. Padahal menurut Syah}ru>r, Nabi melakukannya tidaklah lebih dari sekedar menerapkan peraturan sipil yang termasuk dalam wilayah yang dihalalkan yang dipandang Nabi lebih sesuai dan lebih tepat dalam situasi objektif yang berlaku.167 Selanjutnya Syah}ru>r memahami bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi hak untuk berijtiha>d menetapkan hukum untuk membangun pemerintahan dan masyarakat, tanpa memerlukan adanya wahyu. Karena hukum tambahan dalam hal pembatasan terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali mengandung sifat kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan agar h}adits\-h}adits\-nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja, dimana Nabi menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai dengan perubahan kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang membuat Syah}ru>r berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti Sunnah Nabi dengan konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting (taswi>t), meminta pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil dalam batas-batas hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladanteladan utama (al-muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus
167
Ibid, hlm. 152.
71
masuk melalui sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.168 Hal ini menunjukkan bahwa metodologi yang dipakai Syah}ru>r dalam mengkaji wacana keislaman
adalah
linguistik
saintifik-matematik,
sebuah
metodologi
yang
menggabungkan antara unsur-unsur bahasa dengan pengetahuan yang bersifat logis (dapat diterima akal).169 Jadi ketika mengatakan bahwa fungsi sunnah adalah sebagai penjelas bagi Al-Qur’ar itu adalah tidak tepat. Menurutnya, ketika Allah berfirman litubayyina linna>s, sebagian kalangan memahaminya secara lahiriah. mereka memahami bahwa ad}-z\ikr membutuhkan penjelasan karena bersifat global. Karena itu, menurut mereka penjelasan Nabi yang terperinci haruslah didahulukan daripada ad-z\ikr
yang
mujmal. mereka juga memahami bahwa qiyas dalam hal perundang-undangan adalah hujjah (bisa dijadikan argumentasi/ dalil), karena qiyas pada tahap awalnya merujuk kepada penjelasan Nabi yang terperinci. Sebagian yang lain mengikuti pendapat tersebut dan meneruskan hingga sampai pada kesimpulan bahwa penjelasan Nabi, berdasarkan keberadaannya sebagai perinci terhadap yang global, merupakan pengkhususan (takhs}i>s) terhadap yang umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak. Kemudian orang-orang sesudah mereka mengikuti dan mengatakan tentang kedudukan h}adits\ Nabi terhadap teks Al-Qur’a
168 169
Ibid, h. 155. Rodli Makmun, et al. Poligami Dalam Tafsir Muh}ammad Syah}ru>r, op.cit, h. 62.
72
sehingga orang mukmin memahaminya bahwa Al-Qur’ar sunnah Nabi yang yang dibutuhkan masyarakat (di zaman ini) untuk menerjemahkan, menjelaskan, dan mengetengahkan gagasan-gagasannya agar lebih dikembalikan lagi kepada pemahaman al-Kitab.171
B. ANALISIS PENERAPAN SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R DALAM ISTINBAT} HUKUM ISLAM Secara bahasa, kata Istinbat} berasal dari kata istanbat}a-yastanbit}u-Istinbat}an yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Dengan demikian, Istinbat}
adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.172 Sebagaimana sudah dijelaskan di bab sebelumnya, sunnah al-risala>h memuat tiga hal hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran. Pertama adalah hal ibadah, misalnya zakat. Dalam hal ini Nabi saw memberikan batas minimal membayar zakat sejumlah 2,5 % (dua setengah persen), sehingga kurang dari jumlah tersebut tidak dinamakan zakat. Atau ketika lebih dari batas tersebut dapat termasuk sedekah.173 Begitu juga, dalam hal salat, haji, puasa dan lain-lain, Nabi SAW memberikan Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab , op.cit, h. 126-127. 170
171
Ibid, h. 128. Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim; Studi Kritik Terhadap Metode Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Semarang; Pustaka Zaman, 2007, h. 5. 173 Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 138. 172
73
contoh praktek bagaimana cara melakukan ritual ibadah-ibadah tersebut, disini berarti menaati Rasul adalah wajib dalam ritual-ritual tersebut sebagai sesuatu yang tetap sepanjang masa dari Risa>lah.174 Dengan demikian berzakat sebagaimana melihat Nabi Muh}ammad SAW berzakat, melaksanakan salat sebagaimana melihat Nabi Muh}ammad SAW melaksanakan salat, berhaji sebagaimana melihat Nabi Muh}ammad SAW berhaji adalah sama seperti mentaati Allah SWT. Ketaatan yang demikian adalah ketaatan yang berlaku tetap sepanjang masa tanpa pembaharuan. Karena, setiap pembaharuan dalam hal ibadah adalah sesat. Kedua adalah hal akhlak. Yang dimaksud akhlak disini menurut Syah}ru>r, norma-norma kemasyarakatan (manz}umah al qiyam) dan teladan-teladan utama (al-
musul al-’ulya) yang tunduk pada fase-fase sejarah sejak Nabi Nuh AS dan berakhir pada Nabi Muh}ammad SAW yang datang dalam bentuk wasiat-wasiat .175 Yaitu sebagai berikut; dilarang mensekutukan Allah, berbakti kepada kedua orang tua, dilarang membunuh anak-anak, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan keji (zina, homoseksual, dan lesbi), dilarang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan, berbuat baik kepada anak yatim dan tidak memakan harta bendanya, menyempurnakan takaran dan timbangan, berlaku adil dalam perkataan dan tindakan meskipun terhadap sanak sahabat, memenuhi perjanjian dengan Allah secara khusus dan perjanjian-perjanjian yang lain secara umum, dilarang menikahi muhrim, dilarang melakukan praktek riba, dilarang memakan bangkai, darah dan daging babi.176
174
Ibid, h. 131. Ibid, h. 133. 176 Ibid, h. 133-136. 175
74
Ketiga, ajaran syari‟at (tasyri‟) yang didalamnya terbentuk risalah Nabi Muh}ammad SAW yang menegaskan batas-batas Allah dalam dua wilayah yang pasti yaitu yang dikerjakan (if‟al) dan wilayah yang dilarang untuk mengerjakan (la taf‟al). Sebagaimana dalam tasyri‟ ini tidak ada ruang untuk ijtiha>d. Karena bahwa sesungguhnya risalah Muh}ammad bersifat hudu>diyah (berdasarkan batas minimal dan maksimal didalam penetapan hukum). Dengan wilayah penerapannya adalah kahidupan manusia sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Artinya ketika itu sebuah risalah Muh}ammad mengenai penghapusan hukum (nasih}) dari syari‟atsyari‟at samawi terdahulu, maka itu dapat dijadikan landasan atau ketetapan. Seperti halnya hukuman zina pada masa Nabi Musa AS adalah rajam, ketika pada masa Nabi Muh}ammad SAW hukum zina masih berupa jilid dan pembuangan. Ini berarti ajaran Muh}ammad SAW hadir untuk menetapkan dan menegaskan sebagian ajaran dalam risalah-risalah yang datang sebelumnya. Dan kemudian setelah datang dan diutusnya Muh}ammad SAW pada masa itu adalah sebagai penyempurnya atau menambah hukum-hukum yang pada masa sebelum Muh}ammad SAW belum ada. Misalnya hukum-hukum waris.177 Kemudian dalam bab-bab sebelumnya juga telah dijelaskan beberapa yang terkait dengan sunnah dalam skala umum sampai dengan khusus. Syah}ru>r memberikan definisi modern bahwa yang dimaksud dengan sunnah yaitu upaya merubah fungsi Rasul dari mutlak menjadi relatif dan gerakan pembaharuannya yang terjadi di Jazirah „Arab pada abad ke tujuh Masehi (pasca masa Rasul) berkisar sekitar batas-batas (hudu>d ) yang telah ditetapkan Tuhan. Syah}ru>r menyatakan apa
177
Ibid, h. 144.
75
yang diperbuat Nabi hanya alternatif pertama dalam praktek keagamaan Islam pada abad ke tujuh Masehi di Shibh Jazirah „Arab ketika itu. Oleh karena itulah pada masanya, Nabi hanya seorang teladan dalam arti bukan bersifat kewajiban bagi umat Islam untuk menirunya, tetapi hanya bersifat anjuran. Pemakaian fi’il mad}i (ka>na) menandakan, produk ijtiha>d
Muh}ammad menjadi panutan masyarakat pada
zamannya, tetapi pada masa kini, pada zaman dan massa berbeda, Muh}ammad di pandang sebagai mujtahid pertama yang mencoba menta‟wilkan al-Qur’a>n dan menafsirkan umm-kitab sesuai dengan kebutuhan zaman dan masanya. Muh}ammad dijadikan teladan dalam membuka pintu ijtiha>d sejak dulu sampai kini. Artinya yang dijadikan teladan bukan hasil ijtiha>d-nya, tetapi metode ijtiha>d-nya.178 Seperti halnya dalam perspektif sahabat Ali RA didalam memahami tentang diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½ dari harta tinggalannya dan meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya memang telah dihalalkan secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l. Disinilah muncul h}adits\ Nabi untuk menegaskan bahwa wasiat adalah 1/3 yang tentu saja nominal itu sudah banyak. Kemudian sahabat Ali juga mengikuti keputusan Nabi tersebut dalam perkataannya: “Sesungguhnya berwasiat 1/5 lebih aku cintai dari pada ¼, dan ¼ lebih aku cintai daripada 1/3 karena sabda Nabi SAW bahwa 1/3 adalah nominal yang sudah banyak.” Nabi dan sahabat Ali tidaklah mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dalam keputusan-keputusannya tersebut, mengingat keputusan tersebut hanyalah keputusan yang bersifat perundang-undangan yang tidak
Tsuroya Kiswati, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2, 2010, h. 293. 178
76
memiliki sifat mutlak dan umum dan ia bisa dimutlakkan kembali setelah pembatasan tersebut, dan putusan itu bisa salah dan benar”.179 Contoh yang lain sebagaimana Rasūlullah SAW memaknai tauhid dalam tahapan-tahapan, cara-cara, strategi-strategi; yakni strategi yang banyak dan strategi yang satu. Contoh: seorang wanita dan seorang tawanan, dalam metodologi ini mereka tidak ditinggalkan oleh zaman, sehingga Rasūlullah SAW bersabda : “Tidak berkurang sedikitpun kebebasan seorang perempuan dan perbudakan di era globalisasi”. Disini Syah}ru>r memberikan penjelasan bahwa sesuai dengan konteks tersebut, peranan perbudakan seharusnya sudah selesai. Untuk lebih dapat mengaktualisasikan kedalam ranah wilayah yang lebih praktis, seperti yang telah dicontohkan Syah}ru>r di Republik Mauritania yang sedang terjadi perbudakan, bahkan kadang terjadi dalam bentuk berbeda-beda dan baru, dengan adanya kondisi yang sangat mendesak ini, maka menurut Syah}ru>r perlu aturan-aturan yang mengatur hak-hak asasi manusia seperti hak pengasuhan anak, hak buruh, namun yang terjadi sekarang wanita sekarang tidak mempunyai kebebasan perihal itu. Artinya sebagai pemaknaan terhadap sunnah Rasūlullah tentunya dapat dilihat mengenai cara atau metode yang Rasūlullah SAW bawa yaitu ber-amar ma‟ruf nahi munkar. Itulah mengapa kita wajib ber-amar ma‟ruf nahi munkar terhadap pembebasan perempuan dan semakin bertambahnya tanggungjawab kita atas pembebasan tersebut.180 Dengan demikian kita dapat melihat perspektif sunnah Nabi menjadi lebih dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.
Muh}ammad Shah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 153. 180 Muh}ammad Syah}ru>r, Tajfif Munabi’ul Irhab, Beirut; al Ahalli, 2008, h. 268. 179
77
Demikianlah apa yang masih relevan dapat diterima, tetapi bila kondisi zaman mengharuskan untuk pemahaman baru dari teks-teks Al-Qur’a>n dan AsSunnah maka pemahaman itu harus ditelusuri dengan ketentuan bahwa pemahaman itu tidak keluar dari muatan teks-teks al-Qur’a>n dan as-Sunnah.181
Mutamin Arsyad, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur’ān dan Hadis, dalam Esensia, vo.3, no. 1, 2002, h. 20. 181
78
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari paparan pada bab-bab terdahulu dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Muh}ammad Syah}ru>r menganggap kedudukan sunnah Nabi harus sesuai dengan kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW. Sebagai metode didalam memahami maksud hukum yang selalu berinteraksi dengan Al-Qur’ar menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja dikatakan bahwa Al-Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan Qiyas yang dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur (berfikir), AtTadabbur
(merenungi),
At-Ta‟ammul
(berimajinasi),
dan
At-Ta‟aqqul
(menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti. Sedangkan fungsi sunnah menurutnya untuk pengkhususan (takhs}i>s}) terhadap yang umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak yang bertujuan untuk dapat lebih membatasi wilayah halal dan wilayah haram didalam menjadi rujukan metode penentuan ijtihad hukum. 2. Muh}ammad Syah}ru>r memberikan konsepsi untuk kembali kepada sunnah risalah yang telah menjadi pemutlakan berupa hukum-hukum yang dinamis sesuai berdasarkan konteks ruang dan waktu dengan bentuk ketaatan kepada Rasul yang harus dikuti dan tidak di-ijtiha>d-i dan dalam bentuk konteks ketaatan yang harus
79
di-ijtiha>d-i dengan mengubah ajaran Rasul yang semula mutlak kedalam bentuk yang relatif.
B. SARAN Dalam beberapa yang penulis sampaikan dalam karya tulis ini, tentulah banyak sekali hal-hal yang belum penulis sampaikan dan kaji sampai mendalam, diantaranya adalah: 1. Perlu kembali untuk dikaji lebih lanjut metode yang disampaikan oleh Muh}ammad Syah}ru>r dalam konteks penempatan sunnah sebagai konsep landasan hukum Islam terhadap kasus-kasus yang kian hari kian kompleks dengan memperdalam kekayaan wacana pemikirannya ketika itu sesuai dengan kondisi masyarakat abad ini. 2. Masih sangat sulitnya ditemui telaah pemikiran-pemikiran sunnah ketika dilihat dari kacamata atau perspektif filsafat, utamanya filsafat timur (nomena). Karena lebih otoritatifnya sunnah, dalam hal ini adalah h}adits\ dari masa kemasa yang masih menjadi sebuah konsumsi utama tanpa adanya analisa yang mendalam di dalam memandang sunnah pada konteks kekinian. 3. Masih belum ditemukannya ramuan metode yang tepat dalam konteks sunnah ketika dijadikan sebuah sumber ijtiha>d, sehingga pola penafsiran sunnah terhadap realita kekinian juga masih serasa sempit. Karena hanya seorang pemikir tertentu yang masih peduli mencari formula atau konsep cara ijtiha>d nabi, yang salah satu diantaranya Muh}ammad Syah}ru>r. Meskipun dalam konteks sosialnya masih sedemikian rumit diaplikasikan. Oleh karena itu lebih baik kiranya untuk kembali
80
memperkaya wacana sunnah yang disampaikan dan digagas oleh cendekiawan lainnya ketika dibandingkan dengan Syah}ru>r, dengan mencoba open minded terhadap pemikiran yang mereka gagas. 4. Memperkaya rumusan gerakan penyadaran terhadap sunnah, sehingga tidak saling tuduh dan menjustifikasi antar umat ketika memahami Islam. Dan kajian inilah yang tentunya menjadi telaah penelitian, dengan implikasi penerapan pola metode sunnah terhadap perkembangan masyarakat modern abad ini dalam menemukan solusi dari persoalan permasalahan umat. Yang berarti melakukan uji materi terhadap metode yang selama ini telah menjadi konsumsi publik dan diamati seberapa besar hal itu dapat menjadi kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
„Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Usul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustalahuhu, Dar alFikr; Beirut, 1979. „Atiyyatullah, Ahmad, al-Qamus al-Islami, jilid III, Maktabah al-Nahdah alMisriyyah; Kairo. Agil Husain Al-Munawar, Said, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama; Jakarta, 1996. Ahmed An-Na‟im, Abdullah, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International Dalam Islam oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, LKiS; Yogyakarta. Ali al-Bahanasawi, Salim, as-Sunnah al-Muftara „Alaiha, terj. Rekayasa asSunnah oleh Abdul Basith Junaidy, Ittaqa Press; Yogyakarta, 2001. Arsyad, Mutamin, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur‟ān dan Hadis, dalam Esensia, vo.3, no. 1, Januari 2002. Clark, Peter, The Shahrur Phenomena: A Liberal Voice From Syiria Dalam Islam and Christian-Muslim Relation, vol. 7 no. 3, 1996. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997. Djazuli, H.A. dan Nurol Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2000. F Eickelman, Dale, Inside the Islamic Reformation, Wilson Quarterly, 22, no. 1, 1998. F. Eickelman, Dale, Islamic Liberalism Strikes Back, MESSA Bulletin, 27, no. 1993. Fanani, Muhyar, 2009, “Epistemologi Kantianisme-plus Syahrur”, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1 Fanani, Muhyar, 2009, “Prinsip-Prinsip Hermeneutika Syahrur”, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 2. Fanani, Muhyar, Fiqh Madani, LKiS; Yogyakarta, 2010.
Fanani, Muhyar, Kritik Ideologi Syahrur Atas Teori Hukum Islam Tradisional. Jurnal at-Taqaddum, Semarang: UPMA IAIN Walisongo, vol. 1 no. 1, Juli 2008. Fanani, Muhyar, Muhammad Shahrur dan Konsepsi baru Sunnah, dalam Teologia Jurnal ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Vol. 15, no. 2, Juli 2004. Fatah Idris, Abdul, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim; Studi Kritik Terhadap Metode Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Pustaka Zaman; Semarang, 2007. Halim Uways, Abdul, Fiqh Statis Dinamis, Pustaka Hidayah; Bandung, 1998. HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam, Aneka Ilmu; Semarang, 2000. HAM, Musahadi, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Walisongo Press; Semarang, 2009. Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, dalam “Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup”, terj. Aqah Garnadi, Pustaka; Bandung, 1984. Imam Asyari, Sapari, suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, Usaha Nasional; Surabaya, 1983. In‟am Esha, Muhammad, Pembacaan Kontemporer al-Qur‟ān (Studi Terhadap Pemikiran Muhammad Shahrur), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1, Januari 2004. Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press; Jakarta, 1995. J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Liberty; Yogyakarta, 1999. Kiswati, Tsuroya, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan Muhammad Shahrur, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2 tahun 2010. Misrawi, Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase perdamaian, PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2010. Mustafa Azami, Muhammad, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya‟qub, Pustaka Firdaus; Jakarta, 1994. Mustafa Azami, Muhammad, Metodologi Kritik Hadits, terj. A. Yamin, Pustaka Hidayah; Jakarta, 1992.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS; Yogyakarta, 2010. Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi‟i, PT. Remaja Rosdakarya; Bandung. Qardhawi, Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, tanpa penerbit; tanpa tempat terbit, 1994. Qardlawiy, Yusuf, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma‟rifah wal Hadlarah, dalam “Sunnah, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban”, terj. Oleh Abad Badruzzaman, PT. Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta, 2001. Qardlowi, Yusuf, As-Sunah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Pustaka alKautsar; Jakarta, 1998. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Penerbit Pustaka; Bandung, 1994. Rasyid Rida, Muhammad, Tafsir al-Qur‟ān al-Hakim (Tafsir al-Manar), jilid IX (Dar al-Fikr; tanpa tempat, tanpa tahun). Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islami Muhammad Syahrur, Walisongo Press; Semarang, 2008. Safala, Udin, Aries Fitriani, Ahmad Zubaidi, Libas Shahrur, STAIN Ponorogo Press; Ponorogo, 2010. Safala, Udin, Nazariayat al-Hudud: Penelusuran Matra Pemikiran Muhammad Shahrur, al-Tahrir, vol. 7 no. 2 Juli 2007. Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, PT Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2003. Sofanuddin, Aji dan al-Hamzani, Teori Batas Muhamad Shahrur, dalam Jurnal Analisa, vol. XII no. 1, 2007, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama; Semarang. Su‟di, M. Zaid, Iman dan Islam; Aturan-Aturan Pokok, Aturan-Aturan Pokok, Jendela; Yogyakarta, 2002. Syah}ru>r, Muh}ammad, “Islam Dan Konferensi Dunia Tentang Perempuan di Beijing, 1995”, dalam Charles Kurzman (ed.), wacana Islam Liberal, terj. Barul ulum dan Heri Junaidi, Paramadina; Jakarta, 2001. Syah}ru>r, Muh}ammad, “Pendekatan Baru dalam membaca teks keagamaan”, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy. Syah}ru>r, Muh}ammad, “teks ketuhanan dan Pluralisme dalam masyarakat muslim”, terj. Mohammad zaki husein, dalam Syahiron Syamsuddin et.
Syah}ru>r, Muh}ammad, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, al-Ahali; Damaskus. Syah}ru>r, Muh}ammad, Nahw Us}ul> Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi> : Fiqhul Mar’ah ; al-was}iyah, al-Irs\u, al-Qawa>mah, al-Ta’addudiyyah, al-H}ijab, al Ahali; Damaskus, 2000. Syah}ru>r, Muh}ammad, Tajfif Munabi‟ul Irhab, al Ahalli; Beirut, 2008. Syah}ru>r, Muh}ammad, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muhammad Shahrur, ICIS; Beirut, 2009 Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap Pustaka Progressif; Surabaya, 1997. Wijaya, Aksin, Dinamika Teori-Teori Hukum Islam Menurut Wael B. Hallaq, dalam Jurnal Dialogia; Jurnal Studi Islam dan Sosial, STAIN Ponorogo; Ponorogo, 2003. Zainal, Asikin dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2004. Zainul Mun‟im, A. Rafiq, Metodologi Penafsiran Kontemporer Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, 2006.
Muh}ammad
Sumber dari Internet http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380 http://Islam21.net http://www.dartmouth.edu/ http://www.deenresearchcenter.com/blogs/tabid/73/EntryId/67/Reading-theReligious-Text-A New-Approach-by-Mohammad-Shahrour.aspx http://www.free-minds.org/applying-concept-limits-rights-muslim-women, http://www.quran.org/library/articles/shahroor.htm http://www.shahrour.org www.id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammadsyahrur www.uprootedpalestinian.wordpress.com/2010/03/24/reading-the-Religious-TextA-New-Approach/