Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak....
FATWA IBNU TAIMIYYAH TENTANG TALAK Studi atas Metode Istinbath Hukum Muhammad Ma’mun Alumni Program Pasca Sarjana Konsentrasi Hukum Keluarga STAIN Jember
ABSTRAK Salah satu isu yang menyebabkan Ibn Taimiyyah berhadapan dengan resistensi para ulama dan dipenjara di akhir hidupnya adalah fatwanya tentang talak. Pertama, Thalaq albid„ah atau pernyataan cerai yang dikeluarkan oleh suami dengan tidak mengindahkan prosedur (sunnah) yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad, yaitu pernyataan talak yang dikeluarkan oleh suami ketika sang istri sedang haid atau tak lama setelah keduanya berhubungan seksual tanpa menunggu apakah istrinya hamil atau tidak, bukan hanya haram, akan tetapi juga tidak sah dan tidak mengikat. Kedua, pernyataan talak tiga yang dinyatakan secara serempak oleh suami merupakan salah satu bentuk thalaq albid„ah. Hukumnya menurut Ibn Taimiyyah adalah dihitung talak satu. Ketiga, Sumpah talak tidak membuat ikatan pernikahan putus begitu suami melanggar janji yang ia buat. Sebaliknya, ia dapat menghindar dari konsekuensi legal sumpahnya, dengan membayar kaffarah seperti bentuk sumpah pada umumnya. Metode Ibn Taimiyyah dalam melakukan istinbath hukum dalam fatwanya tentang talak adalah pembacaan non-tekstual (ma„nawiyyah) atas nash. Ia memanfaatkan dengan ekstensif sumber-sumber non-tekstual seperti qiyas dan mashlahah dalam menetapkan hukum dan melakukan pembacaan kontekstual dalam interpretasinya atas al-Qur‟an atau Hadits. Kata Kunci: Fatwa, Ibn Taimyyah, Talak, Istinbath Hukum.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
33
Muhammad Ma’mun PENDAHULUAN Taqi‟u al-Din Ahmad Ibn Taimiyyah (1263-1328)1 merupakan salah seorang pemikir muslim yang paling menarik, paling kontroversial, namun juga penuh paradoks, dalam sejarah pemikiran Islam. Dewasa ini, ia kerap dipandang sebagai salah seorang ulama‟ muslim yang berjasa menghidupan kembali spirit ijtihad dalam pemikiran Islam di satu sisi namun juga memperkenalkan kecenderungan puritan ke dalam semangat keagamaan Islam di sisi yang lain. Namanya selalu diasosiasikan atau disebut-sebut sebagai ulama yang paling berpengaruh dalam mengilhami kemunculan gerakan pembaruan Islam seperti yang dipelopori Jamalu al-Din al-Afghani, Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyiid Ridla,2 di samping gerakan revivalis dalam Islam seperti gerakan Wahabi yang didirikan oleh Muhammad ibn „Abd al-Wahhab.3 Yang menarik, kontras dengan pengaruh masif yang dinikmati oleh Ibn Taimiyyah dalam wacana pemikiran Islam di masa modern, posisi ulama Damaskus ini dalam wacana pemikiran Islam di Abad Pertengahan dapat dikatakan marjinal. Di masa hidupnya, pemikiran dan gagasan Ibn Taimiyyah kerap mendapatkan resistensi dan perlawanan, bahkan dari kalangan ulama Hanbali, madzhab hukum yang menjadi afiliasinya.4 1 Tentang kehidupan dan pemikirannya, lihat karya klasik Henri Laoust, Nazhariyyat Syaykh al-Islam Ibn Taimiyyah fi‟l-Siyasah wa‟l-Ijtimaʻ, diterjemahkan oleh Muhammad ʻAbd al-ʻAdhim ʻAli (Kairo: Dar al-Anshar, 1997), yang sekarang sudah perlu ditinjau ulang berdasarkan kajian-kajian yang lebih mutakhir, antara lain, Donald P. Little, “The Historical and Historiographical Significance of the Detention of Ibn Taymiyya,” International Journal of Middle East Studies, 4 (1973), 311-327; Hasan Qasim Murad, “Ibn Taymiya on Trial: A Narrative Account of His Mihan,” Islamic Studies, Vol. 18, No. 1 (1979), 1-32; Caterina Bori, “Ibn Taymiyya waJamaʻatuhu: Authority, Conflict and Consensus in Ibn Taymiyya‟s Circle,” dalam Yossef Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times (Karachi: Oxford University Press, 2010), 23-52. 2 Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 148-222, 225-233. 3 Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 247-256. 4 Lihat Caterina Bori, “Ibn Taymiyya wa-Jama‟atuhu: Authority, Conflict and Consensus in Ibn Taymiyya‟s Circle,” dalam Yossef Rapoport
34
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... Setelah kematiannya, posisi Ibn Taimiyyah vis-a-vis pemikiran Islam mainstream tak kunjung membaik. Bahkan hingga menjelang zaman modern, pemikiran-pemikirannya kerap dikecam sebagai bid‟ah atau sesat oleh mayoritas ulama Sunni.5 Salah satu persoalan yang membuat pemikiran Ibn Taimiyyah kurang mendapat apresiasi dalam wacana pemikiran Islam di abad Pertengahan adalah gagasan-gagasan keagamaannya yang berwatak ikonoklastik atau mendobrak kemapanan. Ia bahkan berani mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan opini mainstream, termasuk dalam bidang yang diyakini telah disepakati (mujma‟ „alaih). Beberapa kali dalam hidupnya ia harus berhadapan dengan pengadilan (mihnah), bahkan penjara karena pemikirannya.6 Salah satu isu yang menyebabkan Ibn Taimiyyah berhadapan dengan resistensi para ulama dan dipenjara di akhir hidupnya adalah fatwanya tentang talak. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn „Abd al-Hadi (w. 744/1343), salah seorang murid dan penulis biografinya yang paling rinci, terdapat tiga fatwa Ibn Taimiyyah dalam soal perceraian atau talak yang langsung memantik kontroversi. Pertama, ia berpendapat bahwa sumpah talak dapat dipandang sebagai bagian dari sumpah dan oleh karena itu tidak serta merta dapat memutuskan ikatan perkawinan. Sebaliknya, sumpah tersebut dapat diabaikan dengan membayar kaffarah atau denda. Dua fatwanya yang lain adalah tentang talak tiga dan thalaq al-bid„ah. Menurutnya, talak tiga yang disampaikan dalam saat yang serempak tetap dihitung satu kali talak dan bahwa thalaq al-bid„ah tidak dapat dipandang sah.7 dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times (Karachi: Oxford University Press, 2010), 23-52. 5 Lihat Khaled El-Rouayheb, “From Ibn Hajar al-Haytami (d. 1566) to Khayr al-Din al-Alusi (d. 1899): Changing Views of Ibn Taymiyya among non-Hanbali Sunni Scholars,” dalam Yossef Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times, 269-318. 6 Tentang subjek ini, lihat Hasan Qasim Murad, “Mihan of Ibn Taymiya: A Narrative Account based on a Comparative Analysis of Sources.” Tesis yang tidak dipublikasikan (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1968). 7 Abu „Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn „Abd al-Hadi, al-‟Uqud al-Durriyyah min Manaqib Shaykh al-Islam Ibn Taimiyyah, diedit oleh Abu
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
35
Muhammad Ma’mun Ketiga fatwa Ibn Taimiyyah ini mendapat kecaman keras dari para ulama mainstream karena dituduh menyimpang dari Ijma„ dan oleh karena itu “sesat” dan “menyimpang.”8 Mengapa fatwa Ibn Taimiyyah tentang talak dapat menimbulkan kehebohan sedemikian rupa di kalangan ahli fiqh di masanya? Apa sebenarnya substansi fatwa yang ia keluarkan? Tulisan ini bermaksud menjawab dua pertanyaan di atas dengan mencoba menelisik metode istinbath hukum yang digunakan oleh ulama asal Harran ini. Tulisan ini ber-hujjah bahwa kontroversi yang menyelimuti fatwa Ibn Taimiyyah tak dapat dipisahkan dari metode istinbath hukum yang ia gunakan. Jauh dari pendekatan literal yang selalu melekat dengan madzhab Hanbali, pendekatan Ibn Taimiyyah justru memanfaatkan metodologi non-literal dalam metodologi hukumnya.
Mash‟ab Thal‟at ibn Fu‟ad al-Halwani (Kairo: al-Faruq al-Haditsah, 2002), 254; hal yang sama ditekankan oleh murid Ibn Taimiyyah yang bermazhab Shafi‟i, Shams al-Din al-Dhahabi (w. 748/1347-48) dalam Nubdhah min Sirat Shaykh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah, diedit oleh Caterina Bori, “A new source for the biography of Ibn Taymiyya,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 67, No. 3 (2004), 336 (teks Arab), 346 (terjemahan Inggris). 8 Lihat misalnya, respons dan kritik ulama Syafi„i yang sezaman dengan Ibn Taimiyyah, Taqi al-Din al-Subki (w. 756/1355), al-Durrat alMuḍiyyah fi‟l-Radd „ala Ibn Taimiyyah (Damaskus: Maṭba‟at al-Taraqqi, 1347 [1928]). Publikasi ini juga menyertakan dua risalah lain yang ditulis oleh alSubki untuk membantah fatwa Ibn Taimiyyah tentang sumpah talak: Naqd al-Ijtima‟ wa‟l-Iftiraq fi Masa‟il al-Ayman wa al-Ṭalaq dan al-Naẓar al-Muhaqqaq fi‟l-Hilf bi‟l-Ṭalaq al-Mu‟allaq.
36
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... PEMBAHASAN Tiga Fatwa Ibn Taimiyyah tentang Talak Terdapat tiga fatwa Ibn Taimiyyah yang dipandang kontroversial dan dipandang menyimpang dari tradisi madzhab, yaitu tentang thalaq al-bid„ah, talak tiga, dan sumpah talak. Bahkan bagi para ulama di masanya, fatwa Ibn Taimiyyah tentang talak merupakan penyimpangan dan pendekatannya dalam membaca sumber-sumber hukum adalah tidak lazim. Bagi Taqi al-Din alSubki, misalnya, gagasan Ibn Taimiyyah mengenai masalah ini adalah bid‟ah paling menyesatkan dan paling berbahaya yang pernah ia buat. Ia menulis : “Walaupun [pandangan-pandangan teologis Ibn Taimiyyah] merupakan kekafiran yang nyata dan secara keseluruhan lebih serius dibandingkan dengan bid‟ah yang ia ciptakan dalam bidang hukum (fi‟l-furu„), hanya ada sedikit orang yang mau menyimak dan memahami [teologinya] … Akan tetapi bid‟ah yang ia ciptakan dalam bidang hukum merupakan masalah yang menimbulkan kekacauan besar. Antara lain, ia berfatwa bahwa ta„liq althalaq merupakan sumpah yang dapat diganti dengan denda bila dilanggar. Orang-orang awam pun mencari pembenaran di dalam fatwanya ini dan mengikutinya … Ia bahkan berpendapat bahwa talak tiga tidaklah mengikat bila diucapkan sekaligus oleh suami”.9 Bahkan muridnya yang bermadzhab Syafi„i, Syams al-Din al-Dzahabi, mengeluh bahwa Ibn Taimiyyah melibatkan diri dalam perdebatan yang tidak bisa dijangkau oleh pemahaman dan pengetahuan kawan-kawan sezamannya. Akibatnya ia hanya mendatangkan masalah bagi dirinya dan murid-muridnya yang paling setia.10
Taqi al-Din al-Subki, al-Durrat al-Mudhiyyah fi‟l-Radd „ala Ibn Taimiyyah (Damaskus: Mathba„at al-Taraqqi, 1347 [1928]), 7. 10 Caterina Bori, “A New Source for the Biography of Ibn Taymiyya,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 67, No. 3 (2004), 336 (teks Arab), 346 (terjemahan Inggris). 9
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
37
Muhammad Ma’mun Fatwa tentang Thalaq al-Bid‘ah Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa pernyataan talak yang dikeluarkan oleh suami dengan tanpa mengindahkan prosedur yang ditetapkan Nabi, atau yang dikenal sebagai thalaq al-bid„ah, adalah tidak sah dan tidak mengikat. Ini berarti pernyataan talak yang dikeluarkan suami saat istrinya masih dalam keadaan haid atau tak lama setelah berhubungan seksual tanpa menunggu apakah ia hamil atau tidak. Pernyataan paling ringkas dan bernas tentang masalah ini diberikan oleh Ibn Taimiyyah dalam paragraf berikut : “Talak itu ada dua macam: (a) thalaq sunnah yang diperkenankan oleh Allah dan (b) thalaq bid„ah yang diharamkan oleh Allah. Thalaq al-sunnah terjadi bila suami menceraikan istrinya dengan talak satu saat sang istri suci dari haid tanpa berhubungan seksual sebelumnya atau bila ia menceraikan sang istri saat sudah nyata-nyata hamil. Maka bila suami menceraikan istrinya saat masih haid atau tak lama setelah berhubungan seksual tanpa menunggu apakah ia hamil [atau tidak], ini adalah bentuk talak yang diharamkan oleh al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma„ kaum Muslimin. Namun, para ulama berselisih dalam soal apakah [thalaq al-bid„ah] mengikat atau tidak. Yang lebih benar adalah bahwa talak ini tidak mengikat”.11 Ibn Taimiyyah mendasarkan fatwanya di atas pada pernyataan al-Qur‟an dalam Surat 65: 1, “Wahai Nabi! Jika Engkau menceraikan istri-istrimu, ceraikanlah mereka dalam iddah mereka, hitunglah iddah; dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.” Ia menafsirkan kata iddah dalam pernyataan al-Qur‟an di atas sebagai masa suci.12 Ia melandaskan tafsirannya ini pada Hadits Ibn „Umar yang ia pandang sebagai komentar (syarh) atas ayat ini. Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, diedit oleh Muhammad „Abd alQadir „Atha dan Mushthafa „Abd al-Qadir „Atha, 6 jilid (Beirut: Dar alKutub al-„Ilmiyyah, 1987), 3: 225. 12 Bandingkan dengan Ibn Abi Shaybah, al-Mushannaf, diedit oleh Abu Muhammad Usamah ibn Ibrahim ibn Muhammad, 15 jilid (Kairo: al-Faruq al-Haditsah, 2008), 6: 321, yang mengutip pernyataan „Ikrimah dan Mujahid yang menafsirkan pernyataan Surah 65: 1, “[Maksudnya adalah] dalam keadaan suci tanpa berhubungan seksual sebelumnya.” 11
38
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... Dalam redaksi Muslim, Hadits tersebut berbunyi : “Yahya ibn Yahya al-Taymi menuturkan bahwa ia membaca dari Malik dari Nafiʻ dari Ibn ʻUmar: Di masa Rasulullah, [ʻAbd Allah ibn ʻUmar] menceraikan istrinya ketika sedang haid. ʻUmar ibn al-Khaththab menceritakan masalah ini kepada Rasulullah. Beliau kemudian bersabda, “Suruh ia untuk kembali kepada istrinya dan menunggu hingga ia suci dari haid. Baru setelah ia suci ia dapat memilih apakah akan mempertahankan atau menceraikan [istrinya] sebelum ia menyentuhnya. Itulah yang diperintahkan oleh Alllah mengenai [cara] menceraikan istri”.13 Ibn Taimiyyah memahami pernyataan al-Qur‟an, “Jika Engkau menceraikan istri-istrimu, ceraikanlah mereka dalam iddah mereka,” sebagai perintah (amr) kepada kaum Muslim untuk menceraikan istri mereka di masa suci. Mengikuti argumentum e contrario yang menegaskan bahwa bila suatu tindakan hukum diperintahkan maka setiap tindakan lain yang bertentangan dengannya adalah dilarang,14 Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa pernyataan talak yang dikeluarkan suami ketika istrinya sedang haid adalah haram dan oleh karena itu tidak sah. Ibn Taimiyyah menganalogikan talak dengan bentuk akadakad yang lain, seperti pernikahan dan transaksi jual beli. Kedua bentuk akad ini dapat dihalalkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu, namun dapat diharamkan dalam kesempatankesempatan yang lain. Di sini, akad pernikahan dan jual-beli tidak dapat dinyatakan mengikat bila telah dinyatakan haram. Ibn Taimiyyah mencontohkan pernikahan yang diharamkan adalah menikahi mahram atau menikahi janda yang masih berada dalam masa iddah; sementara jual-beli yang diharamkan adalah jual-beli
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, diedit oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, 5 jilid (Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al„Arabiyyah, 1991), 2: 1093, Hadis Nomor 1471; lihat juga Abu Dawud alSijistani, Sunan Abi Dawud, 5 jilid (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), 2: 438-440, Hadis Nomor 2179. 14 Lihat Wael B. Hallaq, “Non-Analogical Arguments in Sunni Juridical Qiyas,” Arabica, 36 (1989), 297. 13
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
39
Muhammad Ma’mun barang-barang haram seperi khamr, daging babi, atau bangkai.15 Maka, menurut Ibn Taimiyyah, bila akad pernikahan dan jual-beli di atas dipandang tidak sah dan tidak mengikat karena telah melanggar aturan hukum Islam, aturan yang sama semestinya juga berlaku untuk talak yang dilaksanakan dalam prosedur yang dilarang oleh al-Qur‟an atau Hadits. Menurut Ibn Taimiyyah, pendirian ini merupakan prinsip hukum yang benar yang dianut oleh para ulama salaf: “Prinsip yang dianut oleh para ahli fiqh dan ulama salaf adalah bahwa ibadah dan akad yang dikerjakan dengan cara yang haram adalah tidak mengikat dan tidak sah, sekalipun ada sekelompok ulama kalam mencoba membantahnya. Pendapat yang benar adalah yang dianut oleh para ulama salaf dan para ahli fiqh. Sebab para Sahabat dan Tabi„in memandang ibadah dan akad tidak sah (fasad) bila dilarang oleh Allah (al-Syari„)”.16 Doktrin yang diyakini mayoritas ahli fiqh bahwa thalaq albid„ah adalah haram namun sah menurut Ibn Taimiyyah merupakan pernyataan yang kontradiktif.17 Hal ini karena setiap larangan yang diberikan Allah pasti dilatarbelakangi oleh adanya mafsadah yang ada pada perbuatan tersebut. Ini berarti larangan tersebut dikeluarkan untuk mencegah timbulnya mafsadah. Tujuan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah tidak bisa diwujudkan bila thalaq al-bid„ah dilarang namun juga dipandang sah dan mengikat. Dalam pernyataan Ibn Taimiyyah sendiri :18 “Rasulullah (al-Syari„) mengharamkan suatu [perbuatan] karena mengandung mafsadah murni atau didominasi oleh mafsadah. Tujuan beliau mengharamkan [perbuatan tersebut] adalah untuk mencegah dan meniadakan kerusakan. Seandainya beliau mengharamkan [suatu perbuatan] namun ia juga memandang [perbuatan tersebut] Ibn Taimiyyah, Majmuʻ Fatawa Shaykh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, diedit oleh ʻAbd al-Rahman dan Muhammad ibn ʻAbd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim, 37 jilid (Riyadh: Mathabiʻ al-Riyadh, 1961-1966), 33: 17-18. 16 Ibn Taimiyyah, Majmuʻ Fatawa, 33: 24. 17 Ibn Taimiyyah, Majmuʻ Fatawa, 33: 24. 18 Ibn Taimiyyah, Majmuʻ Fatawa, 33: 25. 15
40
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... mengikat seperti perbuatan yang halal maka ini berarti beliau bermaksud menciptakan kerusakan yang justru hendak beliau tiadakan. Dengan kata lain beliau ingin meniadakan [mafsadah] tapi juga ingin agar manusia mendapatkannya. Dan ini adalah kontradiksi yang tidak mungkin dilakukan oleh Rasulullah”.19 Bertolak dari pendiriannya bahwa talak terbagi menjadi dua: (a) thalaq al-sunnah yang diperkenankan oleh Allah dan (b) thalaq al-bid„ah yang diharamkan dan oleh karena itu tidak sah, Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa talak tiga yang disampaikan secara serempak oleh suami merupakan salah satu bentuk thalaq al-bid„ah yang haram sehingga tidak sah dan hanya mengakibatkan jatuh talak satu. Dalam al-Fatawa al-Kubra, Ibn Taimiyyah menulis : “Talak yang tanpa keraguan sah adalah talak yang diizinkan dan diperkenankan oleh Allah, yaitu talak satu yang dikeluarkan suami ketika istrinya dalam keadaan suci tanpa berhubungan seksual sebelumnya atau setelah ia nyatanyata hamil. Adapun talak yang haram adalah bila suami menceraikan istrinya ketika masih haid, atau tak lama setelah mereka berhubungan seksual sebelum ada kepastian sang istri hamil [atau tidak]. Talak seperti ini adalah haram menurut kesepakatan ulama. Begitu pula talak tiga dengan satu pernyataan atau dengan beberapa kali pernyataan namun dalam satu kali masa suci. Mayoritas ulama memandang talak ini haram. Mereka hanya berselisih dalam soal apakah talak ini mengikat (atau tidak). Ada yang berpendapat bahwa talak ini mengikat sebagai talak tiga; ada yang berpendirian bahwa talak ini hanya menimbulkan talak satu. Pendapat (yang terakhir) inilah yang lebih kuat berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah”.20 Lebih rinci lagi, mengenai status hukum talak tiga, Ibn Taimiyyah menyebut empat opini di antara para ulama : 1. Bentuk talak ini boleh dan mengikat. Menurut Ibn Taimiyyah, 19 20
Ibn Taimiyyah, Majmuʻ Fatawa, 33: 25. Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, 3: 224.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
41
Muhammad Ma’mun ini adalah pendapat al-Syafi„i, al-Khiraqi, dan Ahmad ibn Hanbal dalam opini lamanya.21 2. Talak ini haram namun mengikat. Ini adalah pendapat Malik ibn Anas, Abu Hanifah, dan Ahmad ibn Hanbal dalam opini mutakhirnya.22 3. Talak ini haram dan hanya dinilai sebagai talak satu. Menurut Ibn Taimiyyah, pendapat ini dianut oleh sejumlah Sahabat Nabi seperti al-Zubayr ibn al-„Awwam, „Abd al-Rahman ibn „Awf, „Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn „Abbas dalam salah satu versi pendapatnya; para Tabi„in seperti Thawus, Khallash ibn „Amr, dan Muhammad ibn Ishaq; serta Dawud al-Zhahiri dan para pengikutnya23 di samping sejumlah ulama Syi„ah. 4. Talak ini sama sekali tidak menimbulkan efek hukum apapun. Ini pendapat yang oleh Ibn Taimiyyah dinisbatkan pada sejumlah ulama Syi„ah dan Mu„tazilah.24 Bagi Ibn Taimiyyah, pendirian yang benar dan sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan Sunnah adalah pendirian yang ketiga. Fatwa tentang Talak Tiga Argumen Ibn Taimiyyah atas pendiriannya tentang talak tiga pada prinsipnya adalah sama dengan argumen yang ia kemukakan mengenai ketidaksahan thalaq al-bid„ah. Hal ini karena menurutnya talak tiga merupakan salah satu bentuk thalaq albid„ah. Yang perlu ditambahkan di sini hanyalah interpretasinya atas al-Qur‟an Surat 2: 229 dan pembacaannya yang kritis dan Bandingkan dengan Muhammad ibn Idris al-Syafiʻi, al-Umm, diedit oleh Rifʻat Fawzi ʻAbd al-Muththalib, 11 jilid (Kairo: Dar al-Wafa‟, 2001), 6: 457-458; Abu „Ali al-Hasan ibn al-Banna, Kitab al-Muqni„ fi Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, diedit oleh „Abd al-„Aziz ibn Sulayman ibn Ibrahim al-Bu„aymi, 4 jilid (Riyadh: Maktabat al-Rusyd, 1993), 3: 959-960. 22 Lihat Ahmad ibn Hanbal, Masa‟il al-Imam Ahmad ibn Hanbal, diedit oleh Zuhayr al-Syawisy, 2 jilid (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.t.), 1: 223; Muwaffaq al-Din Ibn Qudamah, al-Mughni, diedit oleh ʻAbd Allah ibn ʻAbd al-Muhsin al-Turki dan ʻAbd al-Fattah Muhammad al-Hilw, 15 jilid (Riyadh: Dar ʻAlam al-Fawa‟id, t.t.), 10: 330. 23 Ibn Hazm, al-Muhalla, diedit oleh Muhammad Munir al-Dimasyqi, 11 jilid (Kairo: Idarat al-Thaba„ah al-Muniriyyah, 1352 [1933]), 10: 161. 24 Ibn Taimiyyah, Majmu„ Fatawa, 33: 8-9. 21
42
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... kontekstual atas Hadits. Saat menafsirkan al-Qur‟an Surat 2: 229, yang menyatakan, “Bercerai dibolehkan hanya dua kali, maka tahanlah dengan cara yang pantas atau lepaskan dengan cara yang baik,” Ibn Taimiyyah menjelaskan : Jelaslah bahwa talak yang disebutkan [dalam Surat 2: 229]— thalaq raj„i yang membuat suami lebih berhak kembali kepada istrinya—adalah dua kali, yaitu sekali demi sekali. Ini seperti seseorang yang diperintahkan untuk membaca tasbih dua kali, tiga kali, atau seratus kali. Maka ia harus membaca “Subhana Allah, subhana Allah” sesuai bilangan yang ditentukan. Seandainya ia ingin meringkaskan [tasbih] tersebut dengan hanya menyatakan, “Subhana Allah dua kali,” atau “Subhana Allah seratus kali,” maka ia [dipandang] hanya bertasbih sekali. Allah tidak menyatakan, “Talak itu dua talakan.” Sebaliknya, Dia menyatakan, “… dua kali.” Maka bila seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau kucerai dua, tiga, sepuluh, atau seribu kali,” ia [dipandang] hanya mencerai istrinya dalam kali pertamanya.25 Bagi Ibn Taimiyyah, dengan demikian, suami yang mengeluarkan pernyataan talak tiga secara serempak tidak dapat dipandang telah menceraikan istrinya “tiga kali” seperti yang ia sangka. Sebab, hal ini menurutnya akan tidak selaras dengan pernyataan al-Qur‟an selanjutnya, “Bila (suami) menceraikannya, maka sesudah itu tak boleh ia mengawininya lagi sebelum ia menikah dengan suami lain.” Penegasan Surat 2: 230 tersebut tidak akan berguna kecuali bila suami telah menceraikan istrinya “dua kali”.26 Dalil kedua yang dikemukakan Ibn Taimiyyah untuk mendukung pendapatnya adalah Hadits. Yang pertama adalah yang diriwayatkan oleh Ibn „Abbas yang menandaskan bahwa “Talak di masa Rasulullah, Abu Bakar, dan dua tahun pertama kekhalifahan „Umar adalah bila suami mengeluarkan talak tiga secara serempak dihitung satu, namun „Umar kemudian 25 26
Ibn Taimiyyah, Majmu„ Fatawa, 33: 11-12. Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, 3: 250.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
43
Muhammad Ma’mun menghitungnya tiga”. Sebaliknya, ia berargumen bahwa tidak ada Hadits otoritatif yang membuktikan bahwa Nabi pernah memberikan putusan yang mengabsahkan talak tiga. Yang ada hanyalah Hadits lemah atau palsu. Ibn Taimiyyah menekankan bahwa keabsahan talak tiga yang dinyatakan serempak merupakan hasil ijtihad „Umar yang memiliki konteks sosial spesifik. „Umar menyaksikan bahwa masyarakat di zamannya mudah sekali mengeluarkan pernyataan talak pada istrinya, bahkan mengulang-ulang pernyataan talak tersebut dengan serempak. Ia berpikir bahwa strategi yang tepat agar kaum Muslim berhenti dari perbuatan yang dilarang Allah ini adalah dengan menjadikannya sah.27 Sanksi ini, menurut Ibn Taimiyyah, diciptakan oleh „Umar karena kebutuhan (hajah) yang spesifik, sama seperti ketika „Umar mengeluarkan putusan untuk menghukum orang yang minum khamr dengan cambukan delapan puluh kali. Ibn Taimiyyah juga berargumen bahwa talak pada prinsipnya merupakan salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Malahan, ia merupakan perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian diperkenankan hanya bila ada kebutuhan (hajah) yang mendesak manusia untuk melakukannya.28 Dan hukum Islam memperbolehkan manusia melakukan hal-hal yang diharamkan karena ada kebutuhan yang mendesak. “Para ahli tafsir, Hadits, dan fiqh telah menjelaskan bahwa orang-orang Arab pra-Islam biasa menceraikan [istri mereka] dengan tanpa batas. Biasanya, setelah suami menceraikan istrinya, ia meninggalkannya begitu saja hingga ketika masa iddah hampir habis ia rujuk lalu menceraikannya lagi berkali-kali. Atas alasan inilah Allah membatasi perceraian hingga tiga kali. Sebab tiga itu batas awal jamak dan akhir batas non-jamak. Seandainya bukan karena talak itu dibutuhkan, sumber-sumber hukum akan mengharamkannya. Allah memperbolehkan talak sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya yang dalam waktu-waktu tertentu membutuhkannya. Begitu pula, seperti yang disepakati oleh para ulama, Allah mengharamkannya di 27 28
44
Ibn Taimiyyah, Majmu„ Fatawa, 33: 15-16. Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, 3: 250-251.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... waktu-waktu tertentu pula”.29 Berdasarkan asas ini, Ibn Taimiyyah menekankan bahwa pembatasan kewenangan suami dalam menceraikan istrinya hanya dalam tiga kali kesempatan merupakan contoh aturan hukum yang dimaksudkan untuk mencegah mafsadah atau kerusakan.30 Kebutuhan (hajah) hanya memperkenankan suami menceraikan istrinya dengan prosedur yang ditetapkan oleh Sunnah, yaitu satu kali dalam satu kesempatan. Maka bila suami mengeluarkan pernyataan talak tiga kepada istrinya dengan serempak, bagi Ibn Taimiyyah, ia telah mengeluarkan satu pernyataan talak yang halal dan dua sisanya adalah haram.31 Dengan sendirinya, pernyataan talak yang halal adalah sah, sementara yang haram adalah tidak tidak sah dan tidak mengikat. Fatwa tentang Sumpah Talak Tak pelak, fatwa Ibn Taimiyyah yang paling menyulut kontroversi di masa hidupnya adalah yang berkenaan dengan sumpah talak. Fatwa inilah yang membuatnya dibungkam, bahkan dipenjarakan di akhir hidupnya. Menurutnya, suami yang mengeluarkan sumpah talak kepada istrinya dapat menghindar dari konsekuensi legal sumpahnya, bila ia melanggar sumpah, dengan membayar kafarah seperti bentuk sumpah pada umumnya. Ibn Taimiyyah melandaskan fatwanya tentang sumpah talak pada pembedaan antara pernyataan yang dimaksudkan sebagai sumpah (yamin) dan yang dimaksudkan sebagai perceraian (thalaq).32 Di dalam Risalat al-Ijtima„ wa al-Iftiraq, ia memulai fatwanya tentang sumpah talak dengan membagi pernyataan talak menjadi tiga macam : 1. Shighat al-tanjiz, yaitu pernyataan talak secara mutlak, atau lepas dari pernyataan tambahan seperti syarat atau sumpah, seperti pernyataan “Engkau kucerai (anti thaliq).” Pernyataan Ibn Taimiyyah, Fatawa al-Zawaj wa „Asyarat al-Nisa‟, diedit oleh Farid ibn Amin al-Hindawi (Abidan: Maktabat al-Turath al-Islami, 1989), 317-318. 30 Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, 3: 320. 31 Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, 3: 251. 32 Ibn Taimiyyah, al-„Uqud, 283. 29
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
45
Muhammad Ma’mun seperti ini menurut Ibn Taimiyyah adalah pernyataan talak murni, bukan sumpah dan bukan talak bergantung (thalaq mu„allaq). Maka pernyataan ini dianggap sah dan mengikat bila disampaikan suami kepada istrinya.33 2. Shighat al-qasam, seperti pernyataan, “Talak memaksa saya untuk melakukan atau tidak melakukan pekerjaan ini (al-thalaq yalzamuni li-af„alanna kadza aw la af„ala kadza)”. Bagi Ibn Taimiyyah, pernyataan seperti ini mengandung unsur talak, namun juga mengandung unsur sumpah. Yang menjadi persoalan adalah yang mana di antara dua unsur ini yang lebih dominan: sumpah atau talak. Sejumlah ulama menekankan elemen talak sehingga memandangnya sebagai pernyataan cerai, sementara ulama yang lain berpendapat bahwa elemen sumpah lebih dominan. Ini berakibat pada perbedaan ketetapan hukum, bagi yang memandang pernyataan ini sebagai talak, maka aturan hukum talak berlaku. Sebaliknya, bagi yang memandang pernyataan di atas sebagai sumpah, aturan hukum sumpah berlaku, termasuk adanya denda atau kaffarah bila pernyataan ini dilanggar.34 3. Shighat ta„liq, seperti pernyataan “Kalau saya masuk rumah, Engkau kucerai (in dakhaltu al-dar fa anti ṭaliq)”. Dalam kasus ini, Ibn Taimiyyah menekankan bahwa niat (niah) memegang peran penting untuk menentukan apakah pernyataan yang dikeluarkan suami dapat digolongkan sebagai sumpah atau talak. Di satu sisi, ada suami yang mengeluarkan pernyataan seperti di atas tak lebih sebagai sumpah belaka dan ia sebenarnya enggan untuk menceraikan istrinya. Di sisi yang lain, ada suami yang niatnya memang untuk menceraikan istrinya namun menggantungkannya pada kejadian atau peristiwa yang disebutkan dalam pernyataan yang ia keluarkan.35 Berdasarkan perbedaan niat ini maka Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa suami yang mengeluarkan pernyataan cerai-bergantung (al-thalaq al-mu„allaq) dengan niat sumpah maka pernyataannya dipandang sebagai sumpah belaka dan ia dapat membayar kaffarah bila melanggar apa yang Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq fi‟l-Ḥilf bi‟l-Ṭalaq, 59-60. Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 61-62. 35 Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 64. 33 34
46
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... ia nyatakan. Di lain pihak, bila ia berniat menceraikan istrinya namun menggantungkannya pada terjadinya peristiwa atau sifat tertentu, maka pernyataannya dipandang sebagai talak yang mengikat.36 Ibn Taimiyyah kemudian mengklasifikasi sumpah (yamin) menjadi tiga macam : 1. Sumpah atas nama Allah (bi-Allah), misalnya dengan mengatakan “Demi Allah.” Sumpah seperti ini menurutnya adalah sah dan mengikat (mun„aqidah) dan bila dilanggar wajib ditebus dengan kaffarah. 2. Sumpah atas nama selain Allah (bi-ghayr Allah), misalnya dengan menggunakan berhala, gereja, atau kuburan. Pernyataan sumpah yang demikian menurut Ibn Taimiyyah adalah bentuk kemusyrikan. Seorang Muslim yang mengeluarkan pernyataan seperti ini menurutnya wajib bertobat dan ia tidak perlu membayar kaffarah bila melanggar.37 3. Sumpah untuk Allah (li-Allah). Bentuk sumpah ini dibagi lagi oleh Ibn Taimiyyah menjadi dua : a. Sumpah yang tujuannya adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, bukan sekadar untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Inilah yang disebut nadzar (nadzar). Menurut Ibn Taimiyyah, hukum nadzar sama dengan hukum sumpah. Jadi, wajib dilaksanakan bila merupakan kebaikan dan tidak boleh dilaksanakan bila merupakan kemungkaran. Begitu pula, kaffarah berlaku untuk nadzar yang benar dan tidak ada untuk nadzar yang mungkar. b. Sumpah yang tujuannya adalah untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan atau untuk membuktikan kejujuran dan kebohongan suatu pernyataan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah sumpah untuk bernazar, menceraikan istri, membebaskan budak, atau dhihar.38 Ibn Taimiyyah menganalogikan sumpah talak dengan ila‟, yaitu sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya. Putusan hukum untuk kasus ini telah diberikan oleh al-Qur‟an. Surat 2: Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 64-69. Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 74. 38 Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 76-77. 36 37
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
47
Muhammad Ma’mun 226-227 menyatakan: “Kepada mereka yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya, harus menunggu empat bulan. Jika kemudian mereka kembali, Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih”. Dalam analogi Ibn Taimiyyah, sumpah talak dan ila adalah sejajar karena keduanya merupakan sumpah suami melawan istrinya. Dan al-Qur‟an memberikan jalan keluar bagi suami yang menyesal telanjur bersumpah tidak akan menggauli istrinya untuk rujuk kembali. Hanya saja di sini terdapat masa menunggu selama empat bulan yang dapat ditafsirkan sebagai sanksi. Dalam konteks sumpah talak, sanksi ini sejajar dengan kaffarah.Seperti yang ditegaskan oleh ayat sebelumnya, Surat 2: 225: “Allah tidak akan menghukum kamu karena sumpahmu yang telanjur, tak disengaja; tetapi menghukum yang diniatkan dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.39 Dalam pertimbangan Ibn Taimiyyah, kaffarah dilegalkan dalam hukum Islam sebagai sarana bagi kaum Muslim untuk melepaskan diri dari sumpah yang telanjur ia buat. Bila tidak, maka kaum Muslim tidak memiliki jalan lain kecuali mematuhi sumpah yang telanjur ia buat dan ini hanya akan menimbulkan mafsadah yang tidak diinginkan oleh hukum Islam. Dalam pernyataan Ibn Taimiyyah sendiri : “Dari segi makna, Allah mewajibkan kaffarah dalam sumpah kaum Muslim agar sumpah tersebut tidak diwajibkan atau diharamkan pada mereka tanpa ada jalan keluar, seperti yang terjadi pada [orang-orang Arab] di awal Islam, sebelum kaffarah dilegalkan. [Pada waktu itu], orang yang bersumpah tidak punya pilihan kecuali memenuhi sumpahnya. Seandainya ada sumpah yang tidak memungkinkan ditebus oleh kaffarah, maka mafsadah akan terus terwujud [tanpa bisa dihapuskan]. Lagi pula Allah telah berfirman, “Janganlah kalian menjadikan Allah sebagai dalih dalam sumpah kalian untuk tidak berbuat kebajikan, bertakwa, atau merukunkan sesama manusia.” Allah melarang [kaum Muslim] menjadikan sumpah atas nama-Nya sebagai dalih untuk tidak melaksanakan perintah-Nya hingga 39
48
Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 80.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... mereka tak bisa mematuhi perintah-Nya gara-gara sumpah yang mereka buat. Seandainya ada sumpah yang tidak dapat ditebus oleh kaffarah, hal ini hanya akan membuat [kaum Muslim] terhalang dari mematuhi-Nya”.40 Ketiga pendirian Ibn Taimiyyah di atas merupakan ikhtiyar atau opini pribadi yang bukan hanya berseberangan dengan posisi madzhab Hanbali, akan tetapi juga berlawanan dengan doktrin resmi keempat madzhab Sunni seperti yang dirumuskan oleh para ulama pada periode klasik. Dalam opini mainstream ini, thalaq al-bid„ah maupun talak tiga adalah haram namun mengikat secara hukum. Maka, suami yang menceraikan istrinya ketika sedang haid atau tak lama setelah mereka berhubungan seksual tanpa menunggu apakah sang istri hamil atau tidak secara otomatis telah berpisah dari istrinya. Begitu pula yang terjadi dengan suami yang menjatuhkan talak tiga secara serempak pada istrinya. Dalam kasus yang pertama, suami punya hak untuk rujuk selama ia belum mengeluarkan pernyataan talak kedua dan ketiga; sementara dalam kasus yang terakhir ia tidak lagi punya ikatan pernikahan dengan istrinya kecuali setelah sang istri menikah dengan lelaki lain dan mereka memutuskan untuk berpisah. Sejumlah ulama madzhab bahkan berpendapat bahwa telah terjadi Ijma„ atau konsensus mengenai masalah ini. Beberapa ulama yang lain, seperti Muwaffaq al-Din Ibn Qudamah, ulama Hanbali asal Damaskus yang hidup dalam generasi sebelum Ibn Taimiyyah, berpendapat bahwa ketetapan ini merupakan posisi mayoritas ulama („ammat ahl al-„ilm). Pendirian sebaliknya menurutnya adalah bidah dan kesesatan.41 Satu-satunya perkecualian dari pandangan mainstream di atas adalah Ibn Hazm. Ia tampaknya satu-satunya ulama Sunni sebelum Ibn Taimiyyah yang berpendapat bahwa thalaq al-bid„ah adalah tidak sah dan tidak mengikat. Ia juga mengajukan argumen yang secara garis besar sejajar dengan Ibn Taimiyyah. Namun, cuma sampai di sini persamaannya dengan Ibn Ibn Taimiyyah, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq, 79. Ibn Qudamah, al-Mughni, diedit oleh ʻAbd Allah ibn ʻAbd alMuhsin al-Turki dan ʻAbd al-Fattah Muhammad al-Hilw, 15 jilid (Riyadh: Dar ʻAlam al-Fawa‟id, t.t.), 10: 327, 334. 40 41
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
49
Muhammad Ma’mun Taimiyyah. Pendirian Ibn Hazm tentang talak tiga pada prinsipnya sama dengan keempat madzhab fiqh yang lain. Sama seperti para ulama empat madzhab, Ibn Hazm menekankan pentingnya peran shighah atau pernyataan verbal dalam „aqd atau transaksi. Sayangnya, posisi Ibn Hazm secara khusus, dan madzhab Dhahiri yang merupakan afiliasi hukumnya secara umum, adalah marginal dalam tradisi fiqh Sunni. Opini-opini hukum yang dinisbatkan pada Ibn Hazm atau madzhab Dhahiri biasanya dipandang sebagai posisi yang tidak biasa (syadzdz), untuk tidak mengatakan menyimpang, dalam tradisi fiqh Sunni. Dengan pengetahuannya yang mendalam tentang tradisi fiqh mulai dari masa Sahabat dan Tabi„in—periode yang ia sebut sebagai masa al-salaf al-shalih—hingga generasi para imam madzhab, Ibn Taimiyyah memperlihatkan bahwa ada ikhtilaf atau perbedaan pendapat di antara para ahli fiqh ini. Ia memanfaatkan ikhtilaf ini sebagai ruang baginya untuk mengemukakan fatwa baru yang tidak hanya berbeda dengan rumusan para ulama madzhab, akan tetapi juga lebih selaras dengan kebutuhan zaman. Seperti para ahli fiqh pada umumnya, Ibn Taimiyyah juga percaya bahwa Ijma„ membuat opini hukum memiliki otoritas tak terbantahkan sehingga para ulama tidak diperkenankan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan masalah hukum yang telah dimufakati. Fakta bahwa isu talak yang dibicarakan oleh Ibn Taimiyyah belum dimufakati oleh para ulama menunjukkan bahwa ia berwenang untuk mengeluarkan fatwa yang berbeda. Satu-satunya yang membedakan teori Ijma„ Ibn Taimiyyah dari teori klasik adalah bahwa ia membatasi konsensus yang otoritatif hanya pada masa al-salaf al-shalih. Para ulama madzhab, sementara itu, melandaskan posisi mereka tentang talak pada cita ideal tentang jama„ah. Dalam visi ideal ini, opini hukum yang andal dan otoritatif adalah yang didukung oleh jama„ah, suara mayoritas yang direpresentasikan oleh para ulama madzhab dalam periode klasik. Berlawanan dengan suara otoritatif ini adalah suara „menyimpang‟ atau „menyeleweng‟ (shadzdz), yang biasanya diwakili oleh para ahli fiqh yang berani dan inovatif, namun tidak memiliki cukup pendukung dalam jama„ah.
50
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... Metode Istinbath Ibn Taimiyyah dalam Fatwanya tentang Talak Bila tipologi Abu Zahrah dan Opwis yang dibicarakan di atas diterapkan pada metodologi hukum Ibn Taimiyyah, akan muncul kesulitan. Hal ini karena tipologi di atas berangkat dari penalaran biner atau dikotomis antara teks dan konteks, atau antara pemaknaan literal dan kontekstual. Ibn Taimiyyah tampaknya ingin melampaui oposisi biner dan dikotomis ini. Diktumnya bahwa “tidak ada pertentangan antara nalar dan wahyu” merupakan ekspresi penolakan ini. Dalam „nalar Taymiyyan‟ ini, pemanfaatan ekstensif atas sumber-sumber nonteksual seperti qiyas, istihsan, atau mashlahah mursalah tidak dapat dipertentangkan dengan sumber-sumber tekstual seperti alQur‟an dan Hadits. Baginya, nash tidak hanya berisi aturan-aturan hukum substantif (furu‟) yang harus dipatuhi begitu saja oleh kaum Muslim, akan tetapi juga metode istinbath hukum yang dapat dipelajari dan dimanfaatkan oleh mereka. Reinterpretasinya atas qiyas, istihsan, atau mashlahah mursalah memperlihatkan kecenderungan ini. Walaupun demikian, bila tipologi Abu Zahrah hendak diterapkan dalam kasus Ibn Taimiyyah, dapat disimpulkan di sini bahwa strategi Ibn Taimiyyah dalam melakukan istinbath hukum seperti yang tampak dalam fatwanya tentang talak adalah pembacaan non-tekstual (ma„nawiyyah) atas nash. Alasannya adalah bahwa ia memanfaatkan dengan ekstensif sumber-sumber nontekstual seperti qiyas dan mashlahah dalam fatwa yang ia keluarkan. Malahan, dalam memanfaatkan konsep mashlahah, ia dapat dipandang sebagai penganut rasionalitas substantif dalam bentuknya yang radikal seperti pemikir Hanbali pendahulunya, Najm al-Din al-Thufi. Tentu saja Ibn Taimiyyah menganggap sumber-sumber naqliah seperti al-Qur‟an dan Sunnah sebagai landasan pokok fatwanya. Seperti ahli fiqh Hanbali pada umumnya, Ibn Taimiyyah menganggap penting penafsiran literal atas ayat al-Qur‟an atau Hadits. Ia juga menganggap penting mendahulukan sumber-sumber naqliah seperti Hadits, Ijma„ dan qawl al-Shahabah di atas analisis rasional atas hukum. Namun demikian, pendiriannya ini selalu disertai dengan analisis tajam atas ratio legis di balik ketentuan-ketentuan hukum al-Qur‟an maupun Sunnah. Tidak diragukan lagi, strategi ini didasari oleh premis teologis Ibn Taimiyyah tentang ketidakmungkinan adanya
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
51
Muhammad Ma’mun pertentangan antara akal dan wahyu. Memang benar bahwa Ibn Taimiyyah selalu memanfaatkan sumber-sumber tekstual, al-Qur‟an dan Sunnah, dalam fatwafatwanya tentang talak. Begitu pula, interpretasi yang diberikan atas ayat-ayat al-Qur‟an yang ia kutip selalu ia landaskan pada sumber-sumber tekstual, mulai dari Hadits, qawl al-Shahabah, hingga fatwa para ulama salaf. Saat Ibn Taimiyyah mengemukakan pendapatnya bahwa thalaq al-bid„ah adalah tidak sah, ia melandaskannya pada al-Qur‟an Surat 65: 1 dan Hadits Ibn „Umar yang ia pandang sebagai penjelasan (syarh) atas ayat tersebut. Ia juga bersandar pada kaidah bahasa (al-qa„idat allughawiyyah) yang menandaskan bahwa “larangan mengindikasikan ketidakvalidan perbuatan yang dilarang” (alnahy yadullu „ala al-fasad), yang diklaim oleh Ibn Taimiyyah sebagai asas hukum yang dianut oleh para ulama salaf. Begitu pula dalam fatwanya tentang talak tiga, Ibn Taimiyyah melakukan penafsiran yang secara linguistik ketat atas Surat 2: 229 dan memberikan tinjauan yang kritis atas Hadits. Walaupun demikian, Ibn Taimiyyah juga selalu menekankan pentingnya melihat ratio legis, mashlahah maupun mafsadah dari setiap putusan hukum yang ia keluarkan. Saat mengkritik pendirian para ulama madzhab bahwa thalaq al-bid„ah, termasuk talak tiga, adalah haram namun sah, ia mengingatkan bahwa pendirian ini hanya akan menghasilkan kontradiksi. Hal ini karena menurutnya pengharaman thalaq al-bid„ah pasti dimotivasi untuk mencegah mafsadah; sementara pendirian bahwa talak tersebut adalah sah dan mengikat pasti juga diilhami oleh keinginan untuk memperoleh mashlahah. Bagi Ibn Taimiyyah, kondisi seperti ini hanya akan menghasilkan kontradiksi di mana hukum Islam “ingin meniadakan (mafsadah) tapi juga ingin agar manusia mendapatkannya”.42 Kecenderungan Ibn Taimiyyah untuk melihat mashlahah dalam kerangka rasionalitas hukum substantif terlihat ketika ia mengkritik konsep al-kulliyyat al-khamsah seperti yang dirumuskan oleh al-Ghazali. Baginya, pertimbangan kemaslahatan dalam menetapkan hukum tidak bisa hanya dilakukan dalam kerangka konsep ini. Sebaliknya, ia menekankan bahwa apapun yang 42
52
Ibn Taimiyyah, Majmu„ Fatawa, 33: 25.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... membawa kemaslahatan dan mencegah kemudaratan harus dijadikan pertimbangan oleh para mujtahid ketika menetapkan status hukum. Pendekatan inilah tampaknya yang membuat pemikiran Ibn Taimiyyah sejajar dengan pendekatan radikal ulama Hanbali asal Irak, Najm al-Din al-Ṭhufi. Strategi Ibn Taimiyyah dalam menafsirkan al-Qur‟an Surat 2: 229 yang menjelaskan pembatasan wewenang suami dalam menceraikan istrinya menjadi tiga kali, secara terminologis dan leksikal adalah ketat, namun tidak dapat dikatakan literal seperti strategi pembacaan al-Syafi„i atau Ibn Hazm, misalnya. Ia menjelaskan bahwa kata marrah yang disebutkan dalam pernyataan al-Qur‟an, al-thalaq marratan, “talak itu dua kali,”hanya bisa dipahami sebagai iringan kejadian secara temporal: sekali demi sekali. Sebaliknya, dalam pemahaman al-Syafi„i dan Ibn Hazm, literalisme terwujud dalam asas shighah, bahwa setiap Muslim terikat pada makna yang tersimpan dalam pernyataan yang keluarkan. Bila seorang suami menyatakan bahwa ia mengganjar istrinya dengan talak tiga, maka itulah yang terjadi: Ia talak tiga dengan istrinya tanpa ada celah untuk mengelak atau menafsirkan lain pernyataan yang telah ia keluarkan. Di sisi yang lain, fatwa Ibn Taimiyyah tentang sumpah talak juga memperlihatkan bahwa ia ingin melampaui batas-batas teks. Ia mengambil keputusan mengabsahkan kaffarah bagi sumpah talak dengan mempertimbangkan faktor non-tekstual atau pernyataan lisan:yaitu niat, atau ruang batin, sebagai penentu. Pendirian Ibn Taimiyyah ini pastilah merupakan respons terhadap legalisme madzhab yang mendominasi praktik hukum di masanya. Hal ini terlihat dalam kritiknya yang keras terhadap nikah tahlil yang menjadi satu-satunya solusi untuk melepaskan suami dari jeratan talak tiga. Ironisnya, solusi para ulama madzhab ini tak lebih dari sekadar hilah, atau fiksi hukum yang justru dikecam keras oleh para ulama salaf, termasuk pendiri madzhab Hanbali, Ahmad ibn Hanbal. Fatwa Ibn Taimiyyah tentang sumpah talak juga memperlihatkan diterapkannya dua prinsip ushul fiqhnya yang khas, tentang keutamaan niat dan pragmatisme.43 Pembedaan Lihat Yosssef Rapoport, “Ibn Taymiyya‟s Radical Legal Thought: Rationalism, Pluralism and the Primacy of Intention,” dalam Yossef 43
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
53
Muhammad Ma’mun yang ia ciptakan antara pernyataan suami yang ditujukan sebagai ta„liq al-thalaq dan pernyataan yang dimaksudkan sebagai sumpah tak pelak didasarkan pada prinsip keutamaan niat. Kritiknya yang keras atas nikah tahlil juga didasarkan pada asas pragmatisme hukum. Ibn Taimiyyah pastilah prihatin atas ketidakmampuan hukum Islam di masanya untuk memberikan solusi tepat atas praktik sehari-hari masyarakat. Baginya, kepatuhan terhadap nash tanpa disertai oleh kesadaran akan tujuan-tujuan hukum (maqashid al-Syari„ah) merupakan kebodohan. Pemanfaatan qiyas untuk menarik kesamaan hukum antara ila‟ dan sumpah talak menurutnya tidaklah bertentangan dengan nash karena pertimbangannya adalah demi mashlahah kaum Muslim. Tanpa solusi ini, kaum Muslim akan menghadapi dua pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi adalah mengikuti nash dengan ketat tanpa ada kemungkinan bagi kaum Muslim yang melanggar sumpah untuk menemukan jalan keluar. Ini adalah penerapan hukum yang justru memaksakan beban dan kesulitan (al-aghlal wa‟l-ashar) bagi kaum Muslim. Di sisi yang lain adalah mengikuti nash secara literal sembari menyediakan ruang bagi kaum Muslim yang melanggar sumpahnya jalan keluar lewat hilah atau fiksi hukum. Namun, solusi ini akan menafikan tujuan hukum di balik aturan al-Qur‟an dan Sunnah. Dan ini baginya adalah pengabaian dan penghinaan atas firman Allah. KESIMPULAN Diskusi panjang lebar di atas menyembulkan simpulansimpulan sebagai berikut : Pertama, Ibn Taimiyyah mengemukakan pendapat-pendapat berikut tentang thalaq al-bid„ah, talak tiga dan sumpah talak : a. Thalaq al-bid„ah atau pernyataan cerai yang dikeluarkan oleh suami dengan tidak mengindahkan prosedur (sunnah) yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad, yaitu pernyataan talak yang dikeluarkan oleh suami ketika sang istri sedang haid atau tak lama setelah keduanya berhubungan seksual tanpa menunggu apakah istrinya hamil atau tidak, bukan hanya haram, akan tetapi juga tidak sah dan tidak mengikat. Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times (Karachi: Oxford University Press, 2010), 212.
54
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... b. Pernyataan talak tiga yang dinyatakan secara serempak oleh suami merupakan salah satu bentuk thalaq al-bid„ah. Hukumnya menurut Ibn Taimiyyah adalah dihitung talak satu. c. Sumpah talak tidak membuat ikatan pernikahan putus begitu suami melanggar janji yang ia buat. Sebaliknya, ia dapat menghindar dari konsekuensi legal sumpahnya, dengan membayar kaffarah seperti bentuk sumpah pada umumnya. Kedua, metode Ibn Taimiyyah dalam melakukan istinbath hukum dalam fatwanya tentang talak adalah pembacaan nontekstual (ma„nawiyyah) atas nash. Ia memanfaatkan dengan ekstensif sumber-sumber non-tekstual seperti qiyas dan mashlahah dalam menetapkan hukum dan melakukan pembacaan kontekstual dalam interpretasinya atas Qur‟an atau Hadits.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
55
Muhammad Ma’mun DAFTAR BACAAN Abu Dawud, al-Sijistani. Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997). Abu Syuja„ al-Ishfahani. Matn Ghayat al-Taqrib, diedit oleh „Alwi Abu Bakr Muhammad al-Saqqaf (Jakarta: Dar al-Kutub alIslamiyyah, 2002). Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr alʻArabi, 1958). Ahmad Ibn Hanbal. Masa‟il al-Imam Ahmad ibn Hanbal. diedit oleh Zuhayr al-Syawisy (Beirut: al-Maktab al-Islami, tt). Ali,
Abdullah Yusuf. Qur‟an: Terjemahan dan Tafsirnya, diterjemahkan oleh Ali Audah dan Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Al-Azmeh, Aziz. “Islamic Legal Theory and the Appropriation of Reality,” dalam Aziz al-Azmeh (ed.), Islamic Law: Social and Historical Contexts (London: Routledge, 1988). Al-Bashri, Abu‟l-Husayn. Kitab al-Mu„tamad fi Ushul al-Fiqh, diedit oleh Muhammad Hamidullah, Ahmad Bekir, dan Hasan Hanafi, 2 jilid. (Damaskus: Institut Français de Damas, 1964). Bori, Caterina. “Ibn Taymiyya wa-Jamaʻatuhu: Authority, Conflict and Consensus in Ibn Taymiyya‟s Circle,” dalam Yossef Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.). Ibn Taymiyya and His Times. (Karachi: Oxford University Press, 2010). ______. “A new source for the biography of Ibn Taymiyya,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 67, No. 3. 2004. Delong-Bas, Natana J. Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004). Al-Dimasyqi, Taqi al-Din. Kifayat al-Akhyar fi Hall Ghayat alIkhtishar, diedit oleh ʻAbd al-Qadir al-Arna‟uth (Damaskus: Dar al-Basha‟ir, 2001).
56
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... Al-Ghazali, Abu Hamid. Syifa‟ al-Ghalil fi al-Syabah wa‟l-Mukhil wa Masalik al-Ta„lil, diedit oleh Hamd al-Kabisi (Baghdad: Mathba„at al-Irshad, 1971). Goldziher, Ignaz. The Zahiris: Their Doctrine and Their History, diterjemahkan oleh Wolfgang Behn. (Leiden: E.J. Brill, 1974). Hallaq, Wael B. “From Regional to Personal Schools of Law? A Reevaluation,” Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 1. 2001. ______. “Non-Analogical Arguments in Sunni Juridical Qiyas,” Arabica, 36. 1989. ______. “On Inductive Corroboration, Probability and Certainty in Sunni Legal Thought,” dalam Nicholas Heer (ed.), Islamic Law and Jurisprudence: Studies in Honor of Farhat J. Ziadeh (Seattle: The University of Washington Press, 1990). Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983). Hourani, George F. Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985). Ibn „Abd al-Hadi, Abu „Abd Allah Muhammad. Al-„Uqud alDurriyyah min Manaqib Syaykh al-Islam Ibn Taimiyyah, diedit oleh Abu Mash„ab Thal„at ibn Fu‟ad al-Halwani (Kairo: alFaruq al-Haditsah, 2002). Ibn Abi Shaybah. Al-Mushannaf, diedit oleh Abu Muhammad Usamah ibn Ibrahim ibn Muhammad (Kairo: al-Faruq alHaditsah, 2008). Ibn al-Banna, Abu „Ali al-Hasan. Kitab al-Muqni„ fi Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, diedit oleh „Abd al-„Aziz ibn Sulayman ibn Ibrahim al-Bu„aymi (Riyadh: Maktabat alRusyd, 1993). Ibn Hazm. Al-Muhalla, diedit oleh Muhammad Munir al-Dimasyqi (Kairo: Idarat al-Thaba„ah al-Muniriyyah, 1933). ______, Al-Nubadh fi Ushul al-Fiqh, diedit oleh Ahmad Hijazi alSaqqa. (Kairo: Maktabat al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1981). Ibn Qudamah al-Maqdisi. t.t. Al-Mughni, diedit oleh ʻAbd Allah
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
57
Muhammad Ma’mun ibn ʻAbd al-Muhsin al-Turki dan ʻAbd al-Fattah Muhammad al-Hilw. Riyadh: Dar ʻAlam al-Fawa‟id. Ibn Taimiyyah, Majd al-Din. t.t. Al-Muharrar fi‟l-Fiqh ʻala Madhhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal, diedit oleh Muhammad Hamid al-Fiqi. Beirut: Dar al-Kitab al-ʻArabi. Ibn Taimiyyah, Taqi al-Din. 1987. Al-Fatawa al-Kubra, diedit oleh Muhammad „Abd al-Qadir „Atha dan Mushthafa „Abd alQadir „Atha. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah. ______, 1989. Fatawa al-Zawaj wa „Asyarat al-Nisa‟, diedit oleh Farid ibn Amin al-Hindawi (Abidan: Maktabat al-Turath alIslami. ______, Majmuʻ Fatawa Shaykh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, diedit oleh ʻAbd al-Rahman dan Muhammad ibn ʻAbd alRahman ibn Muhammad ibn Qasim. (Riyadh: Mathabiʻ alRiyadh, 1961-1966). ______, Risalat al-Ijtimaʻ wa‟l-Iftiraq fi‟l-Ḥilf bi‟l-Thalaq, diedit oleh Muhammad ibn Ahmad Sayyid Ahmad (Makkah alMukarramah: Dar al-Haditsal-Khayriyyah, 1988). Jackson, Sherman A. Islamic Law and the State: The Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-Qarafi (Leiden: E.J. Brill, 1996). Lane, Edward William. An Arabic-English Lexicon, 8 jilid (Beirut: Librairie du Liban, 1968). Laoust, Henri. Nazhariyyat Syaykh al-Islam Ibn Taimiyyah fi‟l-Siyasah wa‟l-Ijtimaʻ, diterjemahkan oleh Muhammad ʻAbd alʻAzhim ʻAli (Kairo: Dar al-Anshar, 1997). Little,
Donald P. “The Historical and Historiographical Significance of the Detention of Ibn Taymiyya, International Journal of Middle East Studies. 1973.
Lowry, Joseph E. Early Islamic Legal Theory: The Risala of Muhammad ibn Idris al-Shafi„i (Leiden: Brill, 2007). Melchert, Christopher. The Formation of the Sunni Schools of Law, 9th-10th Centuries C.E. (Leiden: Brill, 1997). Meron, Ya„akov. “The Development of Legal Thought in Hanafi
58
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Talak.... Texts,” Studia Islamica, 30. 1969. Murad, Hasan Qasim. “Ibn Taymiya on Trial: A Narrative Account of His Mihan,” Islamic Studies, Vol. 18, No. 1. 1979. ______, “Mihan of Ibn Taymiya: A Narrative Account based on a Comparative Analysis of Sources.” Tesis yang tidak dipublikasikan (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University. 1968). Muslim ibn al-Hajjaj al-Naysaburi. Shahih Muslim, diedit oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi (Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1991). Opwis, Felicitas. “Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory,” Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 2. 2005. Paret, Rudi. “Istihsan and Istishlah,” The Encyclopaedia of Islam, Second edition (Leiden: E.J. Brill, 1990). Al-Qarafi, Shihab al-Din. Al-Dhakhirah, diedit oleh Muhammad Hajji, 14 jilid (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994). Rapoport, Yossef. “Ibn Taymiyya‟s Radical Legal Thought: Rationalism, Pluralism and the Primacy of Intention,” dalam Yossef Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times (Karachi: Oxford University Press, 2010). El-Rouayheb, Khaled. “From Ibn Hajar al-Haytami (d. 1566) to Khayr al-Din al-Alusi (d. 1899): Changing Views of Ibn Taymiyya among non-Hanbali Sunni Scholars,” dalam Yossef Rapoport dan Shahab Ahmed (ed.), Ibn Taymiyya and His Times (Karachi: Oxford University Press, 2010). Sahnun ibn Saʻid al-Tanukhi. Al-Mudawwanah al-Kubra, 4 jilid (Beirut: Dar al-Kutub al-ʻIlmiyyah, 1994). Schacht, Joseph. “Ashhab al-Ra‟y,” The Encyclopaedia of Islam, Second edition (Leiden: E.J. Brill, 1986). ______, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1979). Al-Shanʻani, Abd al-Razzaq. Al-Mushannaf, diedit oleh Habib alRahman al-Aʻzhami (Beirut: al-Majlis al-ʻIlmi, 1970).
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
59
Muhammad Ma’mun Al-Subki, Taqi al-Din. Al-Durrat al-Mudhiyyah fi‟l-Radd „ala Ibn Taimiyyah (Damaskus: Mathba‟at al-Taraqqi, 1928). Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi, diedit oleh „Abd al-Wahhab „Abd al-Lathif (Beirut: Dar alKutub al-„Ilmiyyah, 1989). Al-Syafi„i, Muhammad ibn Idris. Al-Risalah, diedit oleh Ahmad Muhammad. Shakir (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1940). ______, Al-Umm, diedit oleh Rifʻat FawziʻAbd al-Muththalib (Kairo: Dar al-Wafa‟, 2001). Al-Syathibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, diedit oleh M. Hasanayn Makhluf dan M. al-Khidhr al-Husayn (Beirut: Dar al-Fikr, t.t). Al-Syaybani, Muhammad ibn al-Hasan. Kitab al-Athar, diedit oleh Khalid al-ʻAwwad. (Damaskus: Dar al-Nawadir, 2008). Al-Syirazi, Abu Ishaq. Al-Luma„ fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar alKutub al-„Ilmiyyah, 2007). Al-Wahidi, Abu‟l-Hasan ʻAli. Asbab al-Nuzul, diedit oleh Kamal Basyuni Zaghlul. (Beirut: Dar al-Kutub al-ʻIlmiyyah, 1991). Al-Zabidi, Murtadha. Taj al-ʻArus min Jawahir al-Qamus, diedit oleh ʻAbd al-Karim al-ʻIzbawi (Al-Kuwayt: Mathbaʻat alHukumah, 1990).
60
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014