KONSEP KEPEMIMPINAN POLITIK DALAM ISLAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR Moh. Makmun Dosen Ahwal Syahsiyah Fakultas Agama Islam UNIPDU Email :
[email protected]
Abstrak Artikel ini merupakan hasil kajian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana pemikiran Muhammad Shahrur tentang kepemimpinan politik dalam Islam yang meliputi bentuk kepemimpinan, syarat seorang pemimpin dan prosedur pemilihan pemimpin. Data kajian ini dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya dianalisis dengan pendekatan filsafat politik, metode deskriptif, dan content analysis. Hasil kajian menyimpulkan dalam pemikiran Shahrur, bentuk kepemimpinan adalah demokratis, syarat pemimpin adalah orang yang mempunyai kelebihan dari orang lain, mempunyai kekayaan dan tidak keluar dari kasih sayang dan prosedur pemilihan pemimpin dilaksanakan dengan pemilihan umum sistem perwakilan. Shahrur mengungkapkan adanya konsep negara-bangsa, bentuk kepemimpinan (kepemimpinan yang harus dihindari: tirani dan diktator, di bidang politik, kekayaan dan agama), adanya partai politik, adanya oposisi serta prosedur pemilihan pemimpin yaitu pemilihan umum dengan perwakilan. Disisi lain, Shahrur tidak menjelaskan secara detail tentang syarat pemimpin yang harus mempunyai kekayaan dan tidak menjelaskan adanya proses konvensi nasional. Abstract This article is the result of literature studies to answer the questions: How Muhammad Shahrur thinking about political leadership in the form of Islam which include leadership, requirements and procedures for the selection of a leaders. Data of this study were collected through reading and study of the text and then analyzed with the approach of political philosophy, descriptive method, and content analysis. The study results concluded in Shahrur thought, democratic form of leadership is, the requirement is a leader who has the advantage of others, have wealth and not out of compassion and leadership selection procedures implemented by the system of representation elections. Shahrur revealed the presence of the concept of nation-states, a form of leadership (leadership that must be avoided: tyranny and dictatorship, in the fields of politics, wealth and religion), a political party, the opposition leader and election procedures with representatives of the general election. On the other hand, Shahrur not explain in detail about the requirement that leaders must have the resources and do not explain the existence of national convention process Keyword: dictator, tirani, politics, leadership.
A. Biografi Muhammad Shahrur 1. Riwayat hidup Nama lengkapnya adalah Muhammad Shahrur Ibn Deyb, lahir di Damaskus, Syria, tanggal, 11 April 1938.1 Pendidikannya diawali di sekolah Ibtidaiyyah, I’dadiyah, dan Sanawiyah, di kota kelahirannya, Damaskus. Ia mendapat ijazah Sanawiyah dari sekolah Abdu al-Rahman al-Kawakkib (1957-1958). Pada tahun 1957-1964, dengan beasiswa dari 1
Syaichul Hadi Permono, dalam Jurnal Antologi Kajian Islam, seri 7, Surabaya, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, 17.
46
pemerintah Damaskus, Shahrur hijrah ke Uni Soviet untuk melanjutkan studi teknik sipil di Saratow, dekat Moskow, pada 1964, berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil. Begitu juga dengan S1-nya juga diselesaikan di Moskow. Pada 1965, Shahrur kembali ke Syria dan mengajar pada fakultas teknik di Universitas Damaskus. Tahun 1968, (sampai tahun 1972), ia dikirim oleh pihak universitas ke Irlandia untuk studi Pascasarjana (MA dan Ph.D.) dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University, Dublin. Shahrur diangkat sebagai Professor jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (19721999). Sampai sekarang, ia masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif di fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.2 Pada tahun 1982-1983, Shahrur didelegasikan ke Saudi Arabia menjadi peneliti teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat di sana. 1995, ia menjadi peserta kehormatan di dalam debat publik tentang Islam di Maroko dan Libanon.3 Shahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam al-Kitab wa al-Qur’an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Di bidang spesialisasinya sendiri, Shahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali pihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud Consult, Saudi Arabia.4 2. Kondisi Sosial dan Politik Syria Syria merupakan negara yang kurang lebih 90% penduduknya adalah muslim, terdiri dari mayoritas Sunni, lainnya pengikut ‘Alawi (Shi’ah) dan Druze. Selebihnya adalah penganut agama lain, seperti Kristen Ortodoks (Yunani, Armenia dan Suriah) dan Yahudi. Agama, khususnya Islam menjadi suatu kekuatan politik dan sosial di Syria.5 Seperti umumnya yang dialami oleh negara-negara Timur Tengah, Syria pernah menghadapi problem modernitas khususnya faktor hubungan antara agama dengan gerakan modernisasi Barat. Problem ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki. Problem ini pada gilirannya memunculkan tokoh-tokoh semacam Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Tahir al-
2
Muhammad Shahrur, Metodologi Studi Islam kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Sampul buku. Bandingkan dalam http://Islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=32. 3 Shahrur, Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok, terj. M. Zaid Su’di (Yogyakarta, Jendela, 2002), xiii. 4 http://Islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=32. 5 Nina M. Armando (et.al), Ensiklopedi Islam, Vol: 6 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 274.
47
Jazayri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria.6 Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan dan modernitas dalam bingkai agama. Perjuangan al-Qasimi diteruskan oleh T}ahir al-Jazayri beserta teman-temannya dan gagasannya kali ini lebih mengarah pada upaya pemajuan di bidang pendidikan.7 Dari sinilah terlihat, bahwa iklim intelektual di Syria, setingkat lebih “maju” dibandingkan dengan negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang “liberal” seperti Shahrur dapat bernafas lega di Syria untuk menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya menjadi sangat forbidden, unlawful.8 Perkembangan Syria secara politik, tercatat adanya masa-masa kelam. Sejak berhasil merebut kemerdekaan tahun 1946 dari tangan Perancis, sampai tahun 1970, Syria mengalami masa transisi dan instabilitas politik. Tampuk pemerintahan selalu mengalami pergantian dalam waktu yang relatif singkat melalui kudeta. Konflik-konflik yang bernuansakan kepentingan politis maupun sara (suku, adat, ras dan agama) selalu mewarnai dan melatar belakangi terjadinya berbagai konflik yang ada. Seperti konflik antar partai yang beraliran nasionalis, sosialis dan Islam, juga konflik antar etnik dan aliran keagamaan seperti ‘Alawi (Shi’ah) dan Sunni. Konflik-konflik tersebut tidak saja terbatas pada dataran ideologi. Akan tetapi, sampai menjurus pada konflik berdarah yang memakan banyak korban jiwa. Masa transisi dan instabilitas sosial politik bisa dikatakan “berakhir” pada masa kekuasaan partai Ba’ath di bawah pimpinan jenderal Hafiz} al-Asad pada tahun 1970.9 Semenjak berkuasa, ia secara totaliter banyak meredam aksi-aksi pemberontakan dan perlawanan musuh politiknya dengan berbagai macam cara.10 Syria di masa Shahrur adalah negara merdeka as a democratic socialist republic, menganut paham demokrasi yang sekuler, berbentuk 6
Syria berada dalam region Dinasti Uthmaniyyah di Turki yaitu tahun 1517-1918 dan merdeka pada tahun 1946. lebih lanjut lihat dalam David commins, Syria dalam John L Esposito et.al., The Oxford Encyclopaedia of Modern Islamic World (New York and Oxford: Oxford University Press, 1995), v. IV, 157. 7 ibid. 8 http://Islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=32. 9 Partai Ba’ath mendapat sambutan di kalangan masyarakat pelajar. Hal ini dikarenakan pada awalnya memang partai ini berorientasi pada para golongan intelektual. Di samping itu, yang menjadikan partai Ba’ath mendapat sambutan yang begitu besar karena ideologinya, yaitu: Pertama, upaya melakukan reformasi. Kedua, partai Ba’ath adalah partai yang selalu menganjurkan persatuan seluruh bangsa Arab dan Ketiga meskipun Aflaq seorang non-muslim, namun dia meyakini hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Islam dan Arabisme. Sehingga toleransi beragama harus tetap terjaga. Lihat dalam Riza Sihbudi dkk., Profil Negara-negara Timur Tengah (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), 200-201. 10 Don Peretz, The Middle East to Day (USA: Praeger Publisher, 1992), 419-426.
48
republik, menganut sistem perekonomian sosialis, dan sistem pemerintahannya presidensil. Undang-undangnya menyebutkan bahwa Islam sebagai agama resmi negara, presiden harus beragama Islam dan hukum Islam menjadi sandarannya. Namun pada prakteknya hukum Islam hanya diterapkan di dataran perdatanya saja seperti pada hukum waris dan nikah, sementara hukum pidana diadopsi dari hukum Perancis, hukum Islam hanya diambil filosofinya saja.11 Sementara bagi komunitas agama lain disediakan peradilan untuk menangani urusan perkawinan, perceraian, dan waris. Tujuan pemerintah Syria – di bawah Asad saat itu– dalam mencamtumkan hal-hal berbau Islam di atas, ke dalam undang-undang dasar Syria merupakan bentuk siasat kompromi untuk meredam aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan Mustafa al-Siba’i pada 1973. Akan tetapi, hal itu tidak berhasil memupus habis pemberontakan hingga ke akar-akarnya.12 Pemerintahan partai Ba’ath dikenal sebagai rezim otoriter. Mereka berkuasa sejak tahun 1963 di bawah kekuasaan Junta militernya hingga sekarang –partai ini mempunyai dua sayap militer dan sipil– Hafiz alAs’ad. Sistem perpolitikan, Syria menganut sistem demokrasi dengan multipartai. Presiden dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan masa jabatan presiden dibatasi selama 7 tahun. Pemilihan umum dilakukan untuk memilih partai-partai yang akan menjadi anggota dewan legislatif (Majlis al-Sha’ab), anggota lembaga ini dipilih setiap 4 tahun sekali melalui proses pemilihan umum. Sistem pembagian kekuasaan juga menganut teori trias politica, di mana kekuasaan dibagi menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun pada prakteknya kekuasaan centralized hanya pada presiden, sebab keputusan diambil atas persetujuan presiden.13 Partai politik di Syria kurang lebih ada sembilan, di antaranya adalah: Partai Nasionalis, Partai Rakyat, Partai Ba’ath, Partai Komunis, Partai Sosialis Nasionalis Syria, Ikhwanul Muslimin, Partai Sosialis Kooperatif, Gerakan Kemerdekaan Arab dan Partai Kemerdekaan. Di antara ke sembilan partai politik yang ada, Partai Ba’athlah yang terbesar dan selalu mendominasi perolehan suara pemilihan umum dan pemerintahan.14 Komposisi pemerintahan Syria adalah koalisi. Dari beberapa unsur partai yang ada, semua kembali pada unsur etnis atau kelompok agama tertentu, seperti: kaum Sunni yang bermarkas di Damaskus, Aleppo, Homs dan Hama, kaum Kristen dan kaum Shi’ah Alawi bermarkas di daerah Lataqia dan kaum Druze bermarkas di daerah-daerah pegunungan terpencil. Secara nominal, kaum Sunni merupakan komunitas terbesar. Akan tetapi, secara politis mereka adalah kelompok minoritas, terutama jika dibandingkan dengan kaum nasionalis pimpinan Partai Ba’ath. Hal ini dikarenakan secara historis, penjajah Perancis memang tidak menghendaki 11
Derek Hopwood, Syria 1945-1986; Politics and Society (London: Unwin Hyman, 1986), 168. Commins, Syria , 158-159. 13 A.R. Kelidar, The Syrian Arab Republic (NewYork: American Academic Association for Peace in the Midle east, 1976), 49. Bandingkan juga dalam Nina M. Armando (et.al), Ensiklopedi Islam Vol: 6 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 274-275. 14 Patrick Seale, The Struggle For Syria (London: Yale University Press, 1986), 174-181. 12
49
berkuasanya kaum Sunni di Syria. Akan tetapi, mereka juga tidak bisa mengubah realitas masyarakat Sunni yang memang mayoritas. Untuk itu, mereka perlu menerapkan strategi bawah tanah dengan menempatkan blok minoritas pada posisi-posisi strategis di pemerintahan. Kaum Alawi serta kaum Druze yang minoritas oleh penjajah Perancis diberi jabatan di pos militer. Strategi ini kemudian terbukti berhasil dan partai Ba’ath dapat menguasai pemerintahan melalui kudeta militernya pada tahun 1963.15 Kebijakan Asad adalah menerapkan sistem pemerintahan sekuler. Ia menekankan agar selalu konsisten menjauhkan agama dari urusan politik. Akan tetapi, hal ini tidak berarti menjauhkan agama dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Syria. Sebagai contoh didirikan Fakultas Shari’ah di Universitas Damaskus dan Fakultas Bahasa Arab yang mengajarkan sejarah dan peradaban Islam. Sekolah-sekolah keagamaan mendapat kebebasan dan subsidi dari pemerintah. Buku-buku keagamaan bebas beredar dari kalangan anak-anak sampai dewasa dengan berbagai topik kajian, televisi dan radio milik pemerintah juga menyiarkan hal-hal yang berbau agamis seperti kajian Islam, da’wah-da’wah keislaman, juga acara-acara yang bertemakan pelestarian budaya masyarakat Syria. Dengan demikian, tujuannya adalah agar masyarakat bebas mengekspresikan diri dalam hal-hal keagamaan dan tidak sampai membawa agama kepada political act yang nantinya dapat membahayakan kekuasaannya.16 Berdasarkan keadaan negara seperti di atas, adalah iklim yang memungkinkan Shahrur untuk dapat hidup bebas dan berkembang di Syria. Tidak seperti nasib yang dialami oleh rekan sezamannya, Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir yang mengalami nasib tragis, diperlakukan kasar, dicap murtad, kafir bahkan diusir dari tanah airnya sendiri oleh pemerintah dan kelompok yang tidak setuju dengan gagasan-gagasan dan pemikirannya.17 Sejak 1971 presiden Syria adalah Hafiz al-Asad, namun sejak 17 Juli 2000 dipimpin oleh Bashar al-Asad putra dari Hafiz al-Asad, ia menjabat hingga sekarang. Sedangkan perdana menterinya adalah muhammad Naji al-Utri (sejak 10 September 2003).18 3. Fase-Fase Pemikiran19 a. Fase Pertama (1970-1980 M) Fase ini diawali ketika Shahrur mengambil jenjang Magister dan Doktor dalam bidang teknik sipil di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya serta istilah-istilah dasar dalam al-Qur’an sebagai alDhikr. Fase ini belum membuahkan hasil pemikiran terhadap al-Dhikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-pemikiran taqlid yang diwariskan dan masih eksis dalam khazanah karya Islam lama dan 15
ibid. Commins, Syria, 159. 17 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir (Kairo: Sina Publisher, 1995), 13-14. 18 Nina, Ensiklopedi..., 276. 19 Shahrur, Islam …, xiii. 16
50
modern, di samping cenderung pada Islam sebagai ideologi (aqidah) baik dalam bentuk kalam maupun fiqh madhab. b. Fase kedua (1980-1986 M) Pada tahun 1980, ia bertemu dengan teman lamanya, Ja’far (yang mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara 1958-1964). Pada kesempatan itu, ia menyampaikan perhatian besarnya terhadap studi bahasa, dan pemahaman terhadap al-Qur’an. Lewat Ja’far, Shahrur belajar banyak tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan al-Farra’, Abu ‘Ali al-Farisi serta muridnya, alJinni, dan al-Jurjani. Sejak saat itu, ia mulai menganalisis ayat-ayat alQur’an dengan model baru, pada tahun 1984, ia mulai menulis pokokpokok pikirannya bersama Ja’far yang digali dari al-Kitab. c. Fase ketiga (1986-1990 M) Fase ini, ia mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topiktopik tertentu. Pada akhir tahun 1986 dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai tahun 1990. 4. Metode Pemikiran Muhammad Shahrur Metode yang dipakai Shahrur adalah metode historis-ilmiah di dalam studi kebahasaan. Metode ini berasal dari kritik Shahrur terhadap seluruh warisan pemikiran keislaman yang ada selama ini. Hasilnya adalah: reinterpretasi menyeluruh dan fundamental atas al-Qur’an, melalui pendekatan yang sangat jauh berbeda dari yang pernah ada sebelumnya.20 Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan linguistikfilosofis-humanistik. Menurutnya, ternyata bahasa Arab mempunyai karakter struktur bahasa, di mana setiap kata memiliki arti dan pemahaman yang berbeda satu sama lain yakni tidak ada sinonimitas bahasa.21 Pendekatan filosofis digunakannya dengan alasan, bahwa hubungan antara kesadaran dan wujud materi adalah masalah dasar filsafat. Islam memerlukan filsafat Islam yang modern yang berpegang pada pengetahuan akal dan bertolak pada panca indra. Pengetahuan manusia menurutnya, berawal dari pemikiran yang terbatas pada panca indra pendengaran dan penglihatan, di mana dalam konteks tersebut, tidak ada pertentangan dalam al-Qur’an maupun filsafat. Sementara pendekatan humanistik lebih didasarkan pada asumsi dasar bahwa al-Qur’an sesuai dengan segala konteks sosial di bagian bumi manapun, meskipun dengan jarak waktu yang sangat panjang.22 5. Karya-karya Muhammad Shahrur Karya-karya Shahrur dapat dilihat dari dua term kajian, yaitu bidang bidang Teknik Bangunan dan bidang keislaman.
20
Shahrur, Islam…, xix. ibid. xix. 22 ibid. xx. 21
51
Di bidang teknik karangannya adalah: al-Handasah al-Asasiyah (tentang teknik fondasi) terdiri dari III Volume dan Al-Handasah alTurabiyah (tentang geologi dan teknik pertanahan). Adapun karyanya dalam kajian keislaman adalah: al-Kitab wa alQur’an; Qira’ah Mu’asirah (1992), Dirasah Islamiyah Mu’asirah fi alDawlah wa al-Mujtama’, al-Islam wa al-Iman; Mandhumat al-Qiyam, dan Dirasah Islamiyah Mu’asirah Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami . Shahrur sering menyumbangkan buah pikirannya melalui artikelartikel dalam seminar atau media publikasi, seperti: The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies, dalam, Muslim Politics Report, 14 (1997), Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman, dalam Kuwaiti Newspaper, kemudian dipublikasikan juga dalam, Charles Kurzman (ed.), dan Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998).23
B. Pemikiran Muhammad Shahrur Istilah yang digunakan Shahrur tentang kepemimpinan adalah qiwamah. Hal ini diperolehnya setelah memahami firman Allah surat al-Nisa’ [4]: 34:24
ْ ِاﻟﺮﱢﺟَﺎلُ ﻗَﻮﱠاﻣُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺎءِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀﱠﻞَ اﻟﻠﱠﮫُ ﺑَﻌْﻀَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ وَﺑِﻤَﺎ أَﻧْﻔَﻘُﻮا ﻣ ﻦ َأَﻣْﻮَاﻟِﮭِﻢْ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتُ ﻗَﺎﻧِﺘَﺎتٌ ﺣَﺎﻓِﻈَﺎتٌ ﻟِﻠْﻐَﯿْﺐِ ﺑِﻤَﺎ ﺣَﻔِﻆَ اﻟﻠﱠﮫُ وَاﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮن ﻧُﺸُﻮزَھُﻦﱠ ﻓَﻌِﻈُﻮھُﻦﱠ وَاھْﺠُﺮُوھُﻦﱠ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ وَاﺿْﺮِﺑُﻮھُﻦﱠ ﻓَﺈِنْ أَﻃَﻌْﻨَﻜُﻢْ ﻓَﻠَﺎ (34 :ﺎ ﻛَﺒِﯿﺮًا )اﻟﻨﺴﺎءﺗَﺒْﻐُﻮا ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦﱠ ﺳَﺒِﯿﻠًﺎ إِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻠِﯿ “Laki-laki adalah pemimpin (qawwamun bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan perempuan) atas sebagian (laki-laki dan perempuan) yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang taat dan memelihara hal-hal yang telah dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nushuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Seesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Nisa’ [4]: 34)25 Ayat tersebut di atas, menurutnya berbicara kepemimpinan (qiwamah) secara umum tidak terbatas pada rumah tangga, di dalamnya juga terdapat 23
http://Islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=32. Muhammad Shahrur, Dirasah Islamiyyah al-Mu’ashirah; Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh alIslami; Fiqh al-Mar’ah (Damaskus: Maktabah al-Asd, 2000), 319. 25 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah (Surabaya: Mahkota, 1989), 123. 24
52
kepemimpinan bagi laki-laki dan bagi perempuan, karena ayat tersebut diawali dengan definisi qiwamah. Jika dikatakan: qama ‘ala al-amr berarti menjalankannya dengan sebaik mungkin (ahsanahu).26 1. Bentuk negara dan pemerintahan Masyarakat terdiri dari berbagai suku, agama, profesi, dan sebagainya. Dengan perbedaan inilah dibutuhkan sebuah wadah untuk menyatukan mereka agar tidak terjadi konflik. Di antara mereka harus ada faktor kesamaan yang dapat menghimpun mereka dan menyatukan dalam satu komunitas. Faktor kesamaan tersebut adalah domisili bersama di satu tempat atau tanah air, dengan inilah kemudian memunculkan konsep bangsa dan negara. Negara adalah media pengungkapan dari realitas tertentu yang dijadikan sebagai ranah kehidupan oleh bangsa tertentu (terdiri dari multi qawm dan multi umat atau satu qawm dan satu umat, atau satu qawm dan multi umat, serta multi qawm dan satu umat) secara institusional. Negara berarti sebagai akumulasi kesadaran pengetahuan, nilai etis, perilaku sosial, dan perilaku politik yang berlaku dalam masyarakat. Pembentukan negara tergantung atas bentuk, tingkat relasi dan level yang berlaku. Jika realitas-realitas itu maju, maka maju pula sebuah negara. Oleh karena itu, di dalam negara kita temukan relasi pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara institusi dengan masyarakat. Jika peran substruktur (masyarakat) lebih besar dari peran superstruktur (institusi), maka negara akan lebih demokratis. Sedangkan jika peran superstruktur lebih besar dari substruktur, maka akan terjadi kecenderungan negara menjadi otoriter dan diktator.27 Negara adalah institusi yang memiliki karakteristik subyektif dan obyektif, dalam kaitannya dengan pola interaksi saling mempengaruhi secara dialektis. Sebuah negara jika mengarahkan setengah lebih dari APBN pada masalah pendidikan, mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah, maka negara tersebut mendekati struktur Islam ideal. Hal ini dikarenakan negara percaya bahwa kemajuan ilmu sangat signifikan untuk mengantarkan pada kemajuan sektor-sektor pendukung pemerintahan. Menurut Shahrur, semua yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah merupakan manuver politik yang dilakukan sahabat untuk sampai pada hukum dan administrasi yang dapat menampung kaum muslim, Nasrani, Yahudi atau yang lainnya. Perlu diingat bahwa dengan wafatnya Rasulullah, sama sekali tidak terjadi kevakuman agama karena ketika Rasul wafat Islam telah sempurna. Bentuk negara sekuler adalah negara yang tidak mengambil legitimasi dari para ahli agama, tetapi legitimasi itu diambil dari manusia (masyarakat). Karena itu, negara sekuler adalah negara madani non-aliran dan nonsektarian. Hal ini dikarenakan Islam tidak mengenal sama sekali ahli-ahli agama (al-Hamanat) dan tidak membutuhkan legitimasi dari mereka. Rasulullah Saw., tidak menggunakan kekuasaan negara dalam hal 26
Shahrur, Dirasah…, 319. Shahrur, Tirani Islam; Geneologi Masyarakat dan Negara, ter. Saifuddin Zuhri dan Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: LKiS, 2003), 194. 27
53
peribadatan dalam bentuk apapun dan benar-benar memisahkannya dari kekuasaan, kecuali zakat di mana pada saat itu merupakan sumber pemasukan keuangan satu-satunya untuk menciptakan keseimbangan dalam negara, pada giliranya zakat tersebut dipisah setelah negara memperoleh pemasukan dari sektor lain.28 Negara sekuler bukan berarti negara tanpa agama. Agama dalam batas terendah adalah nilai-nilai etika, tanpa kode-kode etik dan nilai-nilai moral, sebuah komunitas atau negara akan menjadi komunitas Barbarian dan negara akan menjadi negara yang berbahaya. Islam sebagai agama tidak mungkin dipisahkan dari peran negara, karena Islam mengandung sejumlah hak, legislasi, etika, estetika, dan dialektika yang kontinu dan elastis. Karenanya Islamisasi negara akan terealisasi jika legislasi yang dibuat tidak melampaui batasan/ketetapan Allah dalam membangun kebenaran, pembahasan dengan ilmu dan nalar dalam strukturnya dan berpegang teguh pada was}aya dalam metode pendidikannya. Sedangkan ritual keagamaan tergantung pada individu, yang secara otomatis terpisah sama sekali dari otoritas negara dan tidak ditemukan padanya aspek elastisitas-hanifiyah (perkembangan).29 Karena negara selalu tunduk pada perkembangan, maka secara alamiah negara akan terpisah dari ritual keagamaan sebagaimana Nabi Muhammad Saw., yang telah memisahkan dari dirinya sendiri. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa “negara Islam” adalah “negara sekuler”. Agama Islam mencakup dialektika kontinu yang memberi lapangan tersendiri bagi lahirnya multipartai dan kebebasan mengekspresikan pendapat. Islam juga mengandung sikap politik “golongan kiri” dan ”golongan kanan” dalam menyelesaikan dan mencari jalan keluar bagi setiap problematika. Kedua golongan tersebut islamis, yang dituntut darinya adalah menghasilkan bukti nyata dan sejalan dengan suara mayoritas manusia (konsensus bersama), bukan sejalan dengan ahli agama. Oleh sebab itu, hal tersebut tidak terkait sama sekali dengan urusan ahli agama, dan bukan hak para ahli agama untuk memberikan legitimasi dan aturan hukum kepada negara sama sekali. Negara sekuler didirikan atas dasar sebagai berikut: a. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama b. Melawan kelaliman c. Menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah d. Memisahkan otoritas agama (ritus keagamaan) dari otoritas negara e. Memiliki aturan hukum etika umum (menyeluruh) yang menyerupai dengan was}aya (teladan-teladan) f. Menetapkan batas-batas Allah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan g. Mengupayakan metode pembahasan ilmiah, menghadirkan bukti-bukti nyata bagi legislasi dan perselisihan.30 Keberadaan pemerintah harus diciptakan terlebih dahulu, jika tidak, maka masyarakat akan berubah menjadi sekawanan binatang.31 28
Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 129. 29 Shahrur, Tirani Islam…, 217. 30 ibid. 218.
54
Pemerintahan adalah merupakan akad antar individu dalam komunitas manusia yang terkait pada pasal dan syarat-syarat yang berlaku dalam wilayah geografis yaitu negara. Pemerintahan yang sesuai dengan Tanzi alHakim adalah pemerintahan yang peraturan-peraturannya diambil dari perjanjian-perjanjian sosial kemanusiaan secara umum, dan dari perjanjian antara penguasa dengan rakyat yang memilih penguasa itu sendiri.32 Shahrur berargumen, bahwa tidak semua bentuk pemerintahan kerajaan itu jelek, demikian juga tidak semua bentuk pemerintahan republik itu baik secara mutlak, bahkan terkadang pemerintahan itu mengambil dua bentuk menjadi satu. Karena itu, ketika kita melontarkan gagasan bentuk “negara Islam”, maka suatu keharusan untuk memilih kemungkinan-kemungkinan rasional dan materi obyektif yang berkaitan dengan sosial masyarakat, politik, ekonomi dan bentuk pemerintahan dengan mengadopsi karakteristik-karakteristik historis dan kondisional secara jelas. Adapun Islam yang didasarkan pada kesewenang-wenangan (tirani) dan demokrasi (musyarawah) politik (tirani+demokrasi) adalah yang menjadi bencana dan penyakit yang telah berlangsung sangat lama dalam perilaku sosial masyarakat Arab-Islam, mulai dari Khulafa’ al-Rasyidin sampai sekarang. Hal ini membutuhkan kesungguhan usaha untuk melepaskan diri dari semua pengaruhnya (pengaruh tirani yang digabungkan dengan demokrasi) dan meletakkan dasar-dasar negara ArabIslam yang berasaskan pada demokrasi politik (diganti dengan demokrasi tanpa tirani) yang memiliki lembaga (lembaga demokrasi yang menjelma dalam sistem multipartai, independensi lembaga hukum, kebebasan mengekspresikan pendapat, supremasi hukum dan kemurnian undangundang).33 Musuh terbesar umat Islam adalah kediktatoran dan berusaha mencegah keberadaannya dalam pemerintahan yang demokratis dengan mengawasi jalannya pemerintahan agar pemerintahan tidak berubah menjadi diktator. Konsep seperti inilah yang disebut dengan oposisi. Oposisi termasuk konsep-konsep politik yang esensial dalam aqidah Islam dan pelaksanaannya. Oposisi sebagai norma merupakan sarana amar ma’ruf nahy munkar. Oposisi akan mengungkap pelanggaran dan kekeliruan di samping menjaga keseimbangan antar berbagai kepentingan yang berbeda. Penguasa dan oposisi harus saling memahami keberadaan masing-masing dan dapat bekerjasama dalam mengungkap orang-orang yang melakukan pelanggaran politik, ekonomi dan perundang-undangan. Oposisi memiliki kewajiban untuk memberikan penilaian terhadap seseorang berdasarkan sejauh mana komitmennya dalam profesionalisme kerja dan spesifikasi dalam produksi, sejauhmana keadilan dalam memberi keputusan, sejauh mana ia memberikan hak-hak manusia, sejauh mana ia menepati janji-janji, sejauh mana komitmennya
31
Shahrur, Metodologi…, 128-130. Shahrur, Islam…., 346. 33 Shahrur, Tirani…, 219-220. 32
55
pada kejujuran dan mempraktekkan keadilan bagi masyarakat dan memberikan kesamaan kesempatan kepada mereka.34 Musyawarah merupakan jalan bagi penerapan kebebasan komunitas manusia. Ini mencakup kerangka rujukan: pengetahuan, etika, adat, dan estetika; sejalan dengan struktur sosial dan ekonomi masyarakat; berpijak pada kebebasan dialog dan dalam mengekspresikannya; melakukan konsensus dengan jalan mengunggulkan pendapat mayoritas manusia dalam perkara tertentu. Hal itulah yang sekarang disebut dengan demokrasi. Musyawarah termasuk struktur akidah Islam, sebagaimana mencakup pemenuhan kewajiban Allah seperti salat dan zakat secara komprehensif. Sedangkan implementasinya, mencakup pada struktur masyarakat (historis). Artinya, struktur negara yang didasarkan musyawarah merupakan bagian dari akidah Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw., mengaplikasikan perilaku musyawarah sesuai dengan struktur sosial yang ada pada masa beliau.35 Di mana konsep kotak suara, pemilihan pemimpin atau pemerintahan serta referendum belum ada sama sekali. Perlu diketahui, bahwa musyawarah adalah nilai dalam wilayah norma-norma, sedangkan demokrasi adalah bentuk teknis dalam kehidupan nyata dalam pelaksanaan musyawarah.36 “Multipartai” merupakan bagian dari negara yang sangat penting, ia sebagai gambaran kebebasan berpendapat dan dialog dalam format metodologi ilmiah sistematis. Partai dalam terminologi kontemporer adalah ungkapan dari, Pertama, Kesadaran kolektif dari aspek institusi kolektif, sistematis dan transparan yang mempunyai sikap tertentu atas urusan-urusan masyarakat kontemporer, baik sosial politik, sosial dan ekonomi. Kedua, Partai mempunyai agenda-agenda kerja untuk mengembangkan negara, masyarakat dan mengurai ketetapan-ketetapan dasar yang mengurusi tentang clash masyarakat internal dan hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik dengan masyarakat lain, yakni hubungan dalam skala nasional.37 Partai politik adalah partai kenegaraan, wataniyah (yang bekerja dalam wilayah geografis tertentu, yaitu negara), kebangsaan, sosial ekonomi yang di dalamnya semua putra-putra bangsa bekerja sama dalam ikatan misaq, perjanjian politik yang berorientasi kemanusiaan yang tidak ada hubungannya dengan ritual-ritual imani dalam program dan agenda kegiatan partai politik. Hal ini melampaui fanatisme agama, madhab dan golongan. Fanatisme orang yang sadar adalah untuk tanah air, kebangsaan dan rakyat.38 Partai mempunyai konsep dalam menyelesaikan problematika internal maupun eksternal, demikian juga dalam soal mengatur negara dan masyarakat dalam aspek pemikiran, kebebasan berpendapat dan adaptasi manusia dengan agenda yang telah ditawarkan. Definisi partai ini memiliki 34
Shahrur, Metodologi…, 312-315. ibid. 205. 36 Shahrur, Metodologi…, 309. 37 ibid. 210. 38 Shahru>r, Islam…., 355. 35
56
makna primer dan makna sekunder. Artinya, partai adalah kerangka dasar materiil untuk mengekspresikan pemikiran secara kolektif bagi komunitas manusia, sedangkan perbedaan pendapat di masa lalu akan dapat diselesaikan dengan kekerasan. Adapun sekarang, ada pemahaman yang lebih jelas bahwa partai adalah ekspresi dari pendapat kolektif (komunitas), sedangkan partai lain adalah media (perangkat) mengekspresikan pendapat dari kelompok tertentu yang memiliki konsep berbeda. Sedangkan rakyat adalah penilai bukan pedang.39 Beberapa prinsip yang perlu dipegangi dan diamalkan di dalam sisi teknis demokrasi, yaitu: Pertama, adanya prinsip kebebasan berpendapat, beropini, beroposisi dan kebebasan pers. Kedua, prinsip peninjauan ulang terhadap kekebalan hukum. Ketiga, prinsip pergantian kekuasaan dan pemilihan periodik. Keempat, prinsip pembagian kekuasaan dan penentuan kekuasaan masing-masing. Kelima, menghindari pemilahan berdasarkan kelompok, suku, dan agama dalam jabatan-jabatan pemerintahan dan tugas-tugasnya.40 2. Bentuk kepemimpinan Shahrur tidak pernah menggunakan istilah imamah ataupun khilafah dalam pemikirannya sebagaimana kebanyakan pemikir Sunni atau Shi’ah, ia hanya memberi gambaran tentang bentuk kepemimpinan yang harus dihindari dan nilai-nilai yang dikandungnya. Menurutnya, ada tiga bentuk kepemimpinan yang tidak boleh terjadi dalam sebuah negara, ketiga bentuk kepemimpinan itu adalah kepemimpinan Fir’awn, Hamman dan Qarun. a. Kepemimpinan Fir’awn Al-Qur'an tidak menyebutkan nama lengkap Fir'awn, Hamman dan Qarun, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja. Hal ini sebagai simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani politik, tirani agama (teologi), tirani harta (ekonomi), tirani dalam model-model lainnya, dan hubungan antara satu dengan yang lain. Munculnya penyebutan Fir’awn adalah seperti simbol dari tirani politik dan kekuasaan. Terma Fir’awn dalam al-Qur'an disebut sebanyak 74 kali, yakni lebih banyak dari pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang wudu, waris, shadaqah, perkawinan dan perceraian.41 Term Fir’awn dalam bahasa Arab terbentuk dari dua kata kerja, yang keduanya merupakan akar kata yang valid, yaitu: Pertama, dari lafaz fara’a yang menunjukkan ketinggian, keagungan, melangit, kemudian dari lafaz itu muncul terma alfar’u yang berarti sesuatu yang tinggi dan tingginya sesuatu ketika saya meninggikannya. Misalnya dikatakan bahwa fulan itu meminta perlindungan kepada manusia dan gundukan jalan yang tingi dan menggunduk. Kedua, adalah lafaz ‘awn sebagai kata dasar kemudian terbentuk kata al-I’anah, al-Ma’un, al-‘Awan, lafaz al-Darbah al-‘awan yang butuh evaluasi dalam Taj al-‘Arus dan lafadh al-h}arb al-’awn 39
Shahrur, Tirani…, 211. Shahrur, Metodologi..., 310. 41 Shahrur, Tirani…, 276-277. 40
57
yang sebelumnya adalah harb bikrin, kemudian menjadi lafadh ‘iwanan yang bermakna seakan-akan mengalami proses peninggian dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang lebih besar.42 Al-Iwan adalah sesuatu yang sebelum dan sesudah (terjadi sebelum dan sesudah Musa), seperti sapi yang sedang (tidak muda dan tidak tua) yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 68.43 Di mana terdapat kata kerja (fara’a+’awn = fir’ana) yang kemudian berubah menjadi Fir'awn. Fir’awn adalah puncak tertinggi pada piramida kekuasaan yang mencakup karakteristik tiranis (penindasan dan represi). Fenomena ini telah ada sebelum Musa dan masih berlanjut setelahnya. Karakteristik tersebut ditempelkan pada tirani yang melakukan penindasan dan represi sebelum dan sesudah Musa, terlepas dari nama lengkap mereka seperti halnya orang biasa, misalnya Ramses, Tahtamis dan Amnahautab.44 Fir’awn adalah gelar bagi tirani politik atau rezim tunggal. Adapun karakteristiknya adalah: 1. Penguasa mengklaim sebagai Tuhan rububiyah dan uluhiyah. Rezim penguasa tiran akan mengklaim bahwa seluruh negara adalah miliknya. Dengan menerapkan prinsip “bukankah aku yang memiliki negara ini”, kemudian dia mengklaim bahwa manusia berakal tunduk di bawah kekuasaannya. Klaim ini menuntut manusia untuk patuh kepada Fir’awn dengan tidak melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri, tanpa persetujuan dari Fir’awn. Hal ini dapat diketahui ketika Fir’awn berkata kepada tukang sihir: Apakah kalian semua akan beriman sebelum aku memberi izin kepada kalian. Selanjutnya Fir’awn menghukum dengan siksaan, Maka sesungguhnya aku akan potong kedua kaki dan tangan kalian secara bergantian lalu aku akan menyalib kamu secara keseluruhan. Hukuman tersebut dilakukan bukan karena tukang sihir beriman kepada Tuhannya Musa dan Ibrahim, tetapi mereka beriman sebelum mendapatkan persetujuan dari Fir’awn, dan jika mereka minta persetujuan Fir’awn, maka Fir’awn mengizinkannya karena permintaan izin itu tidak mempengaruhi uluhiyah Fir’awn.45 Dua sifat ini adalah sifat kekuasaan tirani-absolut dan karakteristik fenomena Fir’awn yang masih bertahan hingga saat ini. Seorang tiran tidak selalu mengklaim secara terang-terangan bahwa dia adalah penguasa negeri dan penguasa penduduk negeri. Akan tetapi, dapat diketahui dari kualifikasi bentuk kekuasaan yang 42
ibid. 281.
43
ﻗَﺎﻟُﻮا ادْعُ ﻟَﻨَﺎ رَﺑﱠﻚَ ﯾُﺒَﯿﱢﻦْ ﻟَﻨَﺎ ﻣَﺎ ھِﻲَ ﻗَﺎلَ إِﻧﱠﮫُ ﯾَﻘُﻮلُ إِﻧﱠﮭَﺎ ﺑَﻘَﺮَةٌ ﻟَﺎ ﻓَﺎرِضٌ وَﻟَﺎ ﺑِﻜْﺮٌ ﻋَﻮَانٌ ﺑَﯿْﻦَ ذَﻟِﻚَ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠُﻮا ﻣَﺎ َﺗُﺆْﻣَﺮُون
Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (Qs. Al-Baqarah: 68) . 44 Ibid. 281-282. 45 ibid. 284-285.
58
terdapat dalam dirinya. Sebaliknya, kita akan mendapati manusia yang hidup di bawah hegemoni kekuasaan tirani itu memiliki karakteristik tertentu, yakni masyarakat tersebut adalah komunitas yang teralienasi, baik dari sistem atau institusi yang ada di dalamnya. Karena itu, Allah Swt., memasukkan mereka dalam kategori fasiqin, karena tunduk pada hegemoni Fir’awn seperti dalam firman Allah Swt., dalam (Qs. Al-Zuhruf: 54)46 2. Sifat tirani adalah sifat mengadu domba, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Qasas}: 4.47 Jadi salah satu karakter dasar tirani politik, baik yang bersifat kolonialis asing atau pribumi, adalah dengan memecah belah manusia dalam beragam golongan, dengan keberaniannya memecah belah pertalian darah, golongan dan aliran.48 3. Adanya orang kepercayaan yang melaksanakan perintahperintahnya yang mengklaim tiraninya sebagai Tuhan hakiki. Karakter ini disebut Allah Swt., sebagai “pembesar” sebagaimana firman-Nya: “Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (Al-Qas}as}: 38) dalam hal ini, bitanah (orang kepercayaan) itu terbentuk dalam sebuah tingkatan utama yang harus dimiliki oleh semua penguasa tirani yang mendukungnya dalam segala hal. Karakteristik bitanah adalah menggantungkan kekuasaannya kepada kekuasaan Fir’awn, berbicara atas namanya, mengambil hak milik manusia menurut seleranya dengan menggunakan nama Fir’awn, menebarkan rasa takut yang mendalam pada hati manusia atas namanya, tenggelam dalam kemewahan yang mana orang-orang tertindas di muka bumi dilarang untuk menikmatinya, menebarkan propaganda bahwa Fir’awn adalah Tuhan dan segala sesuatu yang dikehendakinya adalah keagungan dan kekuasaannya.49 4. Penguasa membuat dan menambah kerusakan di muka bumi. Tirani politik adalah perbuatan zalim, sedangkan kebaikan dan kerusakan adalah hukum dialektika manusia dan masyarakat. Akan tetapi, sistem tiranik memiliki potensi lebih untuk berbuat kerusakan, bukan kebaikan. Yang dimaksud dengan kerusakan adalah rusaknya tugas, fungsi negara dan relasi-relasi sosial dan 46
َ( ﻓَﺎﺳْﺘَﺨَﻒﱠ ﻗَﻮْﻣَﮫُ ﻓَﺄَﻃَﺎﻋُﻮهُ إِﻧﱠﮭُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﻗَﻮْﻣًﺎ ﻓَﺎﺳِﻘِﯿﻦMaka Fir’awn mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesunggunya mereka adalah kaum fasiq). (Al-Zuh}ruf: 54) 47 َإِنﱠ ﻓِﺮْﻋَﻮْنَ ﻋَﻠَﺎ ﻓِﻲ اﻟْﺄَرْضِ وَﺟَﻌَﻞَ أَھْﻠَﮭَﺎ ﺷِﯿَﻌًﺎ ﯾَﺴْﺘَﻀْﻌِﻒُ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔً ﻣِﻨْﮭُﻢْ ﯾُﺬَﺑﱢﺢُ أَﺑْﻨَﺎءَھُﻢْ وَﯾَﺴْﺘَﺤْﯿِﻲ ﻧِﺴَﺎءَھُﻢْ إِﻧﱠﮫُ ﻛَﺎنَ ﻣِﻦَ اﻟْﻤُﻔْﺴِﺪِﯾﻦ “Sesungguhnya Fir’awn telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak lakilaki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’awn termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qas}as}: 4). 48 ibid. 288-289. 49 Shahrur, Tirani… 289.
59
ekonomi.50 Ini adalah karakter dasar rezim yang z}alim sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat al-Fajr: 6-12.51 b. Kepemimpinan Hamman Hamman adalah gelar perorangan yang menjaga urusan-urusan Allah dan mengawasi penerapannya di antara manusia, artinya mereka menjaga urusan-urusan penting dari Tuhan sekaligus mengawasi penerapan manusia atas ajaran-ajaran tersebut. Hammannya Fir’awn adalah kepala para dukun-sihir dan orang kedua dalam kekuasaan atau yang kita sebut sebagai pucuk pimpinan agama (pimpinan ulama).52 Secara lebih detail, konsep kekuasaan Hamman adalah: a. Memberikan hukum-hukum shar’i kepada para Fir’awn. Menggunakan jargon determinisme, qada’ dan qadar sebagai pengabdian kepada mereka dan menjustifikasi klaim representasi penguasa melalui cara dan berkahnya b. Mengklaim memiliki kebenaran mutlak, penjagaan terhadap agama, otoritas/perwalian atas pemikiran, dan mengkokohkan lembaga perdukunan dan keagamaan untuk menyokong keistimewaannya c. Memberi label halal, haram dan mengkafirkan para penentangnya. Dia dan pengikutnya membatasi secara subyektif hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan manusia d. Dia mempunyai pengikut yang bertugas untuk menakut-nakuti manusia, mematikan pemikiran, sejarah, peradaban dan mendukung aparat para Fir’awn. c. Kepemimpinan Qarun Qarun adalah gelar yang diberikan atas dasar kekayaan tertentu, yaitu monopoli kekayaan, bukan kekayaan pada umumnya. Di samping itu, Qarun adalah pribadi yang tercela yang berlimpah hartanya, tidak memiliki kebangsaan dan suku. Secara lebih detail, konsep kekuasaan Qarun adalah: a. Mendukung para Fir’awn dan Hamman untuk mewujudkan masyarakat tertindas, yang terkonsentrasi di bank-bank dan lembaga keuangan, di mana dia tidak mempunyai tanah air dan kesukuan tertentu b. Hidup dari pola investasi, dari laba eksploitatif, sebagai ganti dari laba produktif c. Terkadang kekuasaan finansial dan kekuasaan politik terkonsentrasi pada satu orang (Fir’awn+Qarun), atau terkadang
50
ibid. 289-290.
51
(وَﺛَﻤُﻮدَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﺟَﺎﺑُﻮا اﻟﺼﱠﺨْ َﺮ8)ِ(اﻟﱠﺘِﻲ ﻟَﻢْ ﯾُﺨْﻠَﻖْ ﻣِﺜْﻠُﮭَﺎ ﻓِﻲ اﻟْﺒِﻠَﺎد7)ِ(إِرَمَ ذَاتِ اﻟْﻌِﻤَﺎد6)ٍأَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﻛَﯿْﻒَ ﻓَﻌَﻞَ رَﺑﱡﻚَ ﺑِﻌَﺎد َ(ﻓَﺄَﻛْﺜَﺮُوا ﻓِﯿﮭَﺎ اﻟْﻔَﺴَﺎد11)ِ(اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻃَﻐَﻮْا ﻓِﻲ اﻟْﺒِﻠَﺎد10)ِ(وَﻓِﺮْﻋَﻮْنَ ذِي اﻟْﺄَوْﺗَﺎد9)ِ( ﺑِﺎﻟْﻮَادApakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’awn yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.). 52 Ibid. 282.
60
antara kekuasaan finansial dan kekuasaan keagamaan dalam genggaman satu orang (Haman+Qarun) d. Dia mempunyai aparat dalam berbagai bidang: korupsi, penyelundupan, manipulasi, pemborosan dan melakukan revolusi berdarah demi mengganti bentuk kedudukan seseorang. 3. Syarat pemimpin Seorang pemimpin haruslah orang yang mempunyai kelebihan, berpengetahuan, mempunyai harta dan tidak keluar dari kasih dan sayang, yakni tidak bersifat otoriter dan sewenang-wenang. Syarat yang diajukan Shahrur diambil dari pemahaman atas surat al-Nisa’: 34. 1. Aspek kelebihan dari kebanyakan orang Hal ini didasarkan pada kalimat “ ﺑﻤﺎ ﻓﻀﻞ اﷲ ﺑﻌﻀﮭﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺺKarena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”. Kelebihan di sini tidak mempermasalahkan apakah yang mempunyai kelebihan itu perempuan atau laki-laki, sehingga semua orang yang mempunyai kelebihan dapat menjadi pemimpin.53 Kelebihan dapat berupa tingkat pendidikan, tingkat intelektualitas dan kecerdasan. 54 Kandungan ayat tersebut menggugurkan sifat kelebihan alami dan menetapkan secara tegas kelebihan berdasarkan kebaikan manajemen, kebijaksanaan dan tingkat kebudayaan serta kesadaran yang berbeda-beda di antara manusia.55 2. Aspek harta benda, modal, dan kekayaan Syarat ini didasarkan pada kalimat وﺑﻤﺎ أﻧﻔﻘﻮا ﻣﻦ أﻣﻮاﻟﮭﻢ Menurutnya, seorang pemilik harta benda pasti memiliki kepemimpinan tanpa harus melihat kecakapan dan ketinggian kesadaran dan kebudayaannya, sehingga seorang pemilik pabrik yang berpendidikan rendah misalnya, dapat menunjuk seorang direktur yang berpendidikan tinggi untuk menjalankan pabriknya atau perusahaannya, di mana sang direktur akan tunduk terhadap semua kebijakan sang pemilik pabrik karena ia memiliki kekuasaan untuk penyaluran harta (qiwamah al-infaq). Kekuasaan atau kepemimpinan dalam bidang ekonomi ini tampak jelas pada individu-individu, keluarga, negara-negara maju, dan tidak terkait dengan tingkat kebudayaan dan kecakapan.56 Adapun kepemimpinan dalam bidang pekerjaan (profesi) seperti pekerjaan yang membutuhkan otot atau kekuatan fisik manusia, ia mengakui bahwa laki-laki mempunyai kekuatan otot dan tenaga dibandingkan perempuan, dan kelebihan ini merupakan poros utama dalam pencarian rizki dengan berburu, bertani, dan berdagang, di mana kesemuanya membutuhkan kekuatan otot. Hanya saja perkembangan teknologi sekarang ini telah mengalahkan kelebihan fisik tersebut, paling tidak telah menguranginya sampai batas terendahnya.57
53
Shahrur, Dirasah Islamiyah…, 319-320. ibid, 322. 55 ibid, 320. 56 ibid, 320. 57 ibid, 322. 54
61
Berdasarkan ini semua, Shahrur memahami bahwa al-qiwamah yang ada dalam surat al-Nisa’ [4]: 34 tidak hanya terbatas antara suami dan isteri dalam lingkup keluarga, sebagaimana ditegaskan oleh para ahli fiqh dan tafsir, tetapi mencakup semua aspek bahkan dalam bidang hukum dan kedudukan-kedudukan tinggi, lembaga pemerintahan atau negara dan lainnya. Terdapat banyak contoh yang bisa kita ketahui, baik dari sejarah kuno kekaisaran Palmyra (Syria Kuno) dan Rusia, maupun dari sejarah modern Syria, Inggris, Turki, India, dan Pakistan.58 Adapun kata nushuz yang ada dalam surat al-Nisa’ [4]: 34 di atas menurut Shahrur, bukanlah seorang isteri yang tidak patuh atau bahkan mendurhakai suaminya. Akan tetapi kata tersebut perlu dilihat dari dua segi. Pertama, tema ayat tersebut bukan berkenaan dengan masalah tersebut. Kedua, kata nushuz dalam kamus bahasa berarti keluar dan berpencar dalam arti umum, sebagaimana yang terdapat dalam AlMujadalah: 11.59 Dengan demikian, kata tersebut berarti keluar dari garis kepemimpinan dengan kasih dan sayang, yakni otoriter, diktator dan kesewenang-wenangan pendapat. Lawan katanya adalah qunut yang berarti kerendah-hatian, kesabaran, dan berlapang dada.60 Shahrur juga menambahkan syarat bahwa seorang pemimpin tidak keluar dari kasih dan sayang. Dengan syarat tersebut, dapat diketahui bahwa syarat yang diajukannya tidak terlalu detail. Di samping itu, ia juga tidak memberikan syarat pemimpin harus dari golongan Quraish sebagaimana mayoritas pemikir Sunni. Dalam pandangannya, konflik politik yang terjadi di Thaqifah bani Sa’idah setelah Nabi Muhammad wafat, terdapat dua kekuatan inti pada masyarakat baru: Muhajirin dan Ansar. Kekuatan Muhajirin terkonsentrasi pada isu suku Quraish dalam bentuk tribalnya, sedangkan Ans}ar pada Aus dan Khazraj dalam bentuk tribal lainnya. Di sana tidak ada statemen-statemen para pembesar Quraish yang diajukan dan dimunculkan. Jika tidak, maka kaum Ansar akan berani mengusulkan dua pemimpin bagi kepemimpinan salah satu dari keduannya, dan niscaya imamah dan imarah hanya akan selesai terbatas pada suku Quraish saja hingga hari kiamat. Di samping itu, syarat ini juga bertentangan dengan ajaran Islam. 4. Proses pemilihan pemimpin Meskipun masa khulafa’ al-Rashidin telah mengemukakan solusi struktural-historis bagaimana seorang pemimpin itu diangkat, tetapi sayangnya hal tersebut terhenti dengan berakhirnya masa khulafa’ alRasyidin sendiri, sehingga problematika tersebut sampai sekarang tetap bertahan. 58
ibid, 321.
59
َ ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮا إِذَا ﻗِﯿﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﺗَﻔَﺴﱠﺤُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﻤَﺠَﺎﻟِﺲِ ﻓَﺎﻓْﺴَﺤُﻮا ﯾَﻔْﺴَﺢِ اﻟﻠﱠﮫُ ﻟَﻜُﻢْ وَإِذَا ﻗِﯿﻞَ اﻧْﺸُﺰُوا ﻓَﺎﻧْﺸُﺰُوا ﯾَﺮْﻓَﻊِ اﻟﻠﱠﮫُ اﻟﱠﺬِﯾ ﻦ ٌ( ءَاﻣَﻨُﻮا ﻣِﻨْﻜُﻢْ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ أُوﺗُﻮا اﻟْﻌِﻠْﻢَ دَرَﺟَﺎتٍ وَاﻟﻠﱠﮫُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮنَ ﺧَﺒِﯿﺮHai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berpencarlah kamu, berpencarlah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.). 60 Shahrur, Dirasah Islamiyyah…, 323.
62
Sejarah mencatat peristiwa yang terjadi di Thaqifah bani Sa’idah telah diterapkannya shura antara petinggi Muhajirin dan Ansar, sebuah shura yang tidak memberlakukan voting di antara kedua kekuatan sebagaimana Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan voting dengan menghitung suara dalam tiap hal, tetapi bermusyawarah sesuai dengan masalah-masalah aktual saat itu. Di samping itu, shura tersebut dilakukan oleh para pemimpin dan para tokoh. Sedangkan ketika Umar bin Khat}ab sudah tua, ia berwasiat agar menyortir khalifah dari enam calon. Sehingga dari sini dapat diketahui bagaimana implementasi shura dalam proses suksesi pemimpin. Akan tetapi dengan kemenangan Umayah sebagai pemimpin, maka proses shura sudah tidak ada lagi, yang ada hanya sistem kekuasaan tanpa shura dan secara paksa menjadikannya sebagai warisan.61 Shahrur sangat menekankan eksistensi shura dalam kehidupan manusia tak terlepas juga menyangkut persoalan pemilihan pemimpin. Pemerintahan “dewan formatur” (Ahlul Halli wa al-Aqd) dalam Islam adalah perwakilan rakyat yang dipilih dengan jalan rekrutmen bebas (musyawarah dalam bentuknya yang modern, yakni pemilu). Jika demikian, apa yang ada di Syria sesuai dengan pemikirannya atau bahkan sebaliknya realitas yang ada membentuk pemikirannya. Syria lembaga perwakilan rakyat (Majlis al-Sha’ab) dipilih melalui pemilu. Dengan demikian, pemilu adalah sebuah sarana memilih seorang pemimpin.
61
Shahrur, Islam…., 172-175.
63
Daftar Pustaka A.R. Kelidar, The Syrian Arab Republic, NewYork: American Academic Association for Peace in the Midle east, 1976 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: Mahkota, 1989 Derek Hopwood, Syria 1945-1986; Politics and Society, London: Unwin Hyman, 1986 Don Peretz, The Middle East to Day, USA: Praeger Publisher, 1992 http://Islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=32. John L Esposito et.al., The Oxford Encyclopaedia of Modern Islamic World, New York and Oxford: Oxford University Press, 1995 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir, Kairo: Sina Publisher, 1995 Nina M. Armando (et.al), Ensiklopedi Islam, Vol: 6, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005 Patrick Seale, The Struggle For Syria, London: Yale University Press, 1986 Permono, Syaichul Hadi, Jurnal Antologi Kajian Islam, seri 7, Surabaya, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Riza Sihbudi dkk., Profil Negara-negara Timur Tengah, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995 Shahrur, Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok, terj. M. Zaid Su’di, Yogyakarta: Jendela, 2002 Shahrur, Muhammad, Dirasah Islamiyyah al-Mu’ashirah; Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami; Fiqh al-Mar’ah, Damaskus: Maktabah al-Asd, 2000 Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004 Shahrur, Muhammad, Tirani Islam; Geneologi Masyarakat dan Negara, ter. Saifuddin Zuhri dan Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: LKiS, 2003