BAB III PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG BUNGA BANK A. Biografi dan karya Muhamad Syahrur 1. Biografi Muhammad Syahrur Muhammad Syahrur dilahirkan di Damaskus Syiria pada tanggal 11 April 1938. Ia adalah seorang Guru Besar di Universitas Syiria, Damaskus. Bapaknya bernama Deyb Ibn Deyb Syahrur dan ibunya adalah Siddiqah Binti Salih Filyun. Syahrur dikaruniai lima orang anak: Tariq, alLais, Basul, Masun dan Rima, hasil pernikahannya dengan ‘Azizah.1 Seperti anak-anak pada umumnya Syahrur kecil memperoleh pendidikan dasar di lembaga pendidikan Abd Al-Rahman Al-Kawakibi, Damaskus. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Ia meneruskan ke jenjang selanjutnya, semacam SLTP di negara kita, di lembaga pendidikan yang sama dan selesai pada 1957. Kemudian pada tahun 1958 ia pergi ke Uni Soviet untuk belajar ilmu teknik dengan beasiswa dari pemerintah. Ia belajar di Moskow sejak tahun 1959 dan meraih gelar Diploma pada tahun 1964. Pada tahun 1965 Syahrur kembali ke negaranya dan mengabdikan dirinya pada Universitas Syiria Damaskus.2 Pada tahun 1967, Syahrur memperoleh kesempatan untuk melakukan penelitian di Imperial College di London, Inggris. Namun ia 1
Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyyah Mu’asirah Fi al-Daulah Wa al-Mujtama’, Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. I, 1994, pada halaman persembahan. 2 Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Damaskus: AlAhali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. II, 1990, Hlm. 823 51
52
terpaksa harus kembali ke Syiria, karena pada saat itu terjadi “Perang Juni” antara Syiria dan Israil yang mengakibatkan putusnya hubungan diplomatik Syiria dengan Inggris.3 Akhirnya Syahrur memutuskan pergi ke Dublin, Irlandia guna melanjutkan studinya menempuh program Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mekanika Turbat Wa Asasat) sebagai utusan dari Universitas Damaskus di Ireland National University (alJami’ah al-Qaumiyah al-Irlandiyah). Di tahun 1969 Syahrur meraih gelar Master dan tiga tahun kemudian, 1972, ia menyelesaikan program Doktoralnya. Pada tahun ini ia juga diangkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi hingga sekarang. Selain kesibukannya sebagai dosen, sejak tahun 1972 ia bersama beberapa rekannya di Fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik. Pada tahun 1982-1983 ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli di Saudi Arabia pada Al-Saud Consult.4 Syahrur juga mempelajari ilmu bahasa dan filsafat – disamping bahasa arab ia juga menguasai bahasa bahasa Inggris dan Rusia. Sejak saat itu ia mengajar teknik di Universitas Damaskus sampai sekarang. Di Universitas Damaskus ini ia juga menulis beberapa karyanya antara lain buku tentang Teknik Fondasi Bangunan dan Teknik Pertanahan.5
3
M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al-Quran : Tinjauan terhadap Pemikiran Muhamad Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer” Dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Editor M. Aunul Abied Shah et.al, Bandung : Mizan, 2001, cet. I , Hlm. 237 4 Muhammad Syahrur, Op.Cit, hlm.823 5 Ibid
53
2. Karya-karya Muhammad Syahrur Beberapa kegiatan yang menyita perhatiannya sebagai pengajar pada Fakultas Teknik Universitas Damaskus tidak menyurutkan semangatnya untuk berkarya dalam hal tulis menulis. Hal ini dapat kita lihat beberapa tulisannya baik dalam bentuk buku ataupun artikel. Beberapa buku dalam bidang spesialisasinya telah ditulis dan tersebar di Damaskus, seperti Teknik Fondasi Bangunan (Handasat al-Asasat) yang terbagi dalam tiga jilid dan Teknik Pertanahan (Handasat Al-Turab).6 Meskipun dasar pendidikan Syahrur adalah Teknik, namun tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wacana keislaman. Sebagaimana ia tertarik untuk mengkaji al-Qur'an dan Sunnah Nabi secara lebih serius, dengan metode linguistiknya dan dibingkai dengan ilmu eksaktanya, kemudian dituangkan dalam beberapa bukunya tentang pemikiran keislaman. Gagasan tentang keIslaman Syahrur dituangkan dalam karya monumentalnya al-Kitab Wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah.7 Buku Syahrur ini menjadi the best seller dan terjual dalam ribuan eksemplar. Buku ini telah dicetak beberapa kali. Cetakan pertamanya pada tahun 1990 dan pada 1992 buku ini dicetak kembali. Eickleman, merekam bahwa pada tahun 1993 buku ini telah terjual sebanyak 13.000 eks di Syiria, 3000 eks
6
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, Op. Cit Buku ini disusun selama dua puluh tahun, yaitu dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1990. Buku ini banyak memuat tawaran baru dalam pemikiran Islam yang menyebabkan kontroversi pro dan kontra. Pemikiran Syahrur yang dekonstruktif sekaligus rekonstruktif ada dalam buku tersebut. 7
54
di Mesir dan 10.000 eks di Arab Saudi dan buku itu di luar buku yang disalin secara ilegal.8 Buku keduanya yang dipublikasikan adalah “Dirasat Islamiyyah Mu’asirah Fi al-Daulah Wa al-Mujtama’” (1994). Buku ini merupakan pengantar tentang jawaban atas kritik-kritik yang diarahkan para pemikir muslim saat itu kepada buku pertamanya (al-Kitab Wa al-Qur'an). Syahrur mendapat banyak tanggapan dan kritik, dikarenakan pendekatan yang ia gunakan sama sekali berbeda yakni pendekatan eksakta ilmu teknik dan analisa matematika, baik pada buku pertama ataupun kedua. Tetapi hal itu tidak membuat Syahrur surut dalam mengembangkan wacana keislamannya. Ia kembali menulis buku untuk yang ketiga yang ia beri judul “Al-Islam Wa Al-Iman: Manzumah alQiyam” (1996). Ketiga buku inilah yang akan menggambarkan proyek pembaharuan Syahrur dalam pemikiran Islam kontemporer. Buku lain yang ditulis oleh Syahrur adalah “Masyru’al-Amal alIslam” (1999) dan buku yang baru saja ditulis pada tahun 2000 adalah “Nahwu Ushul Jadidatun lil Fiqh al-Islami: Fiqh al-Mar’ah”. Dalam buku ini ia mencoba membaca kembali Fiqh Islam Klasik dengan mengangkat isu kesetaraan gender.9 Selain dipublikasikan dalam bentuk buku, Syahrur juga sering menyumbangkan buah pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau 8
M. In’am Esha, “M. Syahrur: Teori Batas” dalam Drs. A. Khudhori Saleh, M.Ag., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003, Hlm. 295 9 M. Khoirul Muqtafa, “Membincang Fiqh al-Mar’ah ala Syahrur” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, edisi Islam Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari Islam Indonesia, No. 14 tahun 2003, Hlm. 197
55
media publikasi, seperti “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies10”, dalam Muslim Politics Report,14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Women”, dalam, Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan
dalam bunga rampai, Charles Kurzman
(ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988).11 B. Latar Belakang Pemikiran dan Metode Istinbath Hukum Muhammad Syahrur 1. Latar Belakang Pemikiran Muhammad Syahrur Beberapa
pemikiran
Syahrur
yang
telah
dipublikasikan,
mengindikasikan bahwa ia memang salah satu dari para pemikir keislaman. Meskipun latar belakang pendidikan dan bidang yang digeluti bukan bidang keislaman tetapi ilmu teknik dan mekanika tanah. Sehingga ia mendapat gelar doktor insinyur. Suatu ide atau gagasan dan atau produk pemikiran yang muncul dari seseorang pasti tidak akan lepas dari latar belakang sosial-sejarah yang mengelilinginya. Demikian juga yang dilakukan Syahrur dalam pemikirannya yang cemerlang dan idenya yang “orisinil”.
10
Muhammad Syahrur¸ The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies, terj. Muh. Zaki Husein, “teks ketuhanan dan pluralisme dalam masyarakat muslim”, dalam sahiron syamsudin, et. Al, Hermenetika al-Qur’an, Madzhab Yogya, Yogyakarta: Forstudia Islamika, 2003, Hlm. 255 11 Muhammad Syahur, “Islam and The 1995 Beijing World Conference on Woman” dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, New York: Oxford University Press, 1998.
56
Untuk lebih memperjelas tentang pemikiran Syahrur, akan penulis uraikan tentang pemikiran Syahrur. Secara umum gagasan-gagasan Syahrur terbagi ke dalam tiga fase: Pertama, tahun 1970-1980. Fase ini dimulai saat ia studi Universitas al-Qaumiyyah al-Irlandiyah di Dublin, Irlandia. Sebelum ia memperoleh gelar magister dan doktornya dalam bidang Mekanika tanah. Ia merasakan bahwa kajian keislamannya tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna terutama saat ia mengkaji masalah adz-dzikr, baik metodologi, istilah-istilah pokok maupun pemahaman tentang risalah dan kenabian. Ia melihat bahwa kajian keislaman telah terjebak dalam tradisi taklid dan pembahasannya hanya itu-itu saja mengekor pada tradisi pemikiran klasik. Begitu juga tradisi kalam dan fiqih. Tradisi pemikiran kalam telah terjebak pada tradisi pemikiran Asy’ariyah atau Mu’tazilah sedang fiqih terjebak pada pemikiran al-fuqaha al-khamsah. Hal ini telah menjadi ideologi yang membunuh pembahasan yang bersifat ilmiah. Kajiannya selama sepuluh tahun ini kemudian membawanya pada realitas asasiyah bahwa Islam tidak seperti yang ada dalam kajian awal yang bersifat taqlidi, karena kita tidak dapat menghadirkan produk pemikiran masa lalu kepada masa kini dengan seluruh problemnya. Karena itu, ia menegaskan perlunya umat Islam membebaskan diri dari bingkai pemikiran yang taqlidi, tidak ilmiah.12
12
Muhammad Syahrur, Loc. cit. Hlm. 46. Lihat juga M. In’am Esha, “M. Syahrur: Teori Batas”, op. cit., Hlm 297
57
Fase Kedua, tahun 1980-1986. Pada tahun 1980 Syahrur bertemu dengan Ja’far Dak Al-Bab, seorang teman sejawat ketika mengajar di Universitas Damaskus yang lulus doktornya di Unversitas Moskow dalam ilmu bahasa (al-Lisaniyat) tahun 1973. Dari Ja’far Syahrur banyak belajar tentang ilmu linguistik. Ja’far memperkenalkannya dengan pemikiranpemikiran Al-Farabi, Abu Ali Al-Farisiy dan muridnya, Ibn Jinny, dan Abd al-Qohar al-Jurjaniy. Dari pemikiran mereka itu, akhirnya ia memahami pelbagai permasalahan bahasa seperti pemahaman bahwa lafadz mengikuti makna, bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang tidak mengenal sinonim. Ia berusaha meninjau ulang tema-tema penelitiannya yang pernah dilakukan sebelumnya (seperti pengertian terminologis dari al-Kitab, al-Qur'an, al-Furqan, al-Dzikr, Umm al-Kitab, al-Lauh alMahfudz, al-Imam al-Mubin, al-Hadits dan Ahsan al-Hadits) dengan perspektif baru seperti al-Inzal Wa at-Tanzil dan al-Ja’, yang dikaji hingga selesai pada bulan Mei 1982. Sementara tahun 1984-1986 Syahrur banyak menulis tema-tema inti yang dikaji dari al-Mushaf – yakni kitab suci alQur'an dalam pandangan mayoritas umat muslim – bersama Ja’far Dak Albab.13 Fase ketiga, tahun 1986-1990. Fase ini adalah upaya sistematisasi dari pelbagai pemikirannya, dimana Syahrur menyusun kembali dan
13
Muhammad Syahrur, Ibid, Hlm. 47.
58
memilah tema-tema dari hasil penelitian bersama Ja’far dalam bentuk buku yang kemudian diterbitkan pada tahun 1990.14 Ketiga fase itulah yang melatarbelakangi pemikiran Syahrur, yang semuanya terdapat di dalam buku al-Kitab Wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah. Buku-buku yang diterbitkan setelah buku pertamanya, kerangka berfikirnya didasarkan atas karyanya yang pertama. Begitu juga dengan analisis yang digunakan adalah linguistik/bahasa. Karena latar belakang pendidikannya ilmu teknik, iapun menggunakan analisis matematik ketika mengkaji tentang hukum Islam. Dalam karya monumentalnya Al-Kitab Wa Al-Qur’an, ia menggunakan analisa matematika yang ia komparasikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan akhirnya mencetuskan idenya tentang teori batas.15 2. Metode Istinbath dan Dasar Hukum Muhammad Syahrur Pada sub bab di atas kita telah mengetahui secara gradual pemikiran muhammad Syahrur. Sementara dalam sub bab ini akan penulis uraikan tentang Metode Istinbath dan Dasar Hukum Islam yang dipegangi oleh Syahrur dalam menentukan suatu hukum. Metode istinbath – sekaligus penulis sebut sebagai landasan metodologi, konsep teoritis tentang proses dan prosedur yang digunakan dalam melakukan kajian – yang digunakan Syahrur dalam merekonstruksi
14
Ibid., hlm.48. Lihat juga Abdul Haris, “Pembongkaran Muhammad Syahrur Terhadap Islam Ideologis, op. cit. Hlm. 40 15 Uraian lebih lanjut akan dibahas pada sub bab selanjutnya tentang teori batas (Nazariyyah al-Hudud).
59
pemikiran keislaman adalah metode kebahasaan.16 Epistemologi yang berangkat dari tekstualitas nash. ia mengkaji kembali istilah-istilah keislaman seperti al-Kitab, Sunah, Al-Qur’an, Iman, Islam dan lain-lain. Syahrur melakukan reinterprestasi ulang terhadap tema-tema dalam alQur’an dan Sunah yang ia jadikan landasan hukum. Ia adalah Pemikir Islam yang memulai kajian keislamannya dengan epistemologi bayani – meminjam bahasa Abed Al Jabiri. Dasar hukum Syahrur yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ia tidak menggunakan ijma’ maupun qiyas. Pemahaman terhadap kedua term tersebut pun berbeda dengan pemahaman ulama pada umumnya. Pemahaman yang baru terhadap al-Qur’an dan sunnah inilah yang kemudian penulis anggap sebagai pembaruan hukum Islam yang dilakukan Shahrur. a. Al-Qur'an Dengan berangkat dari kajian kebahasaan Syahrur mengkaji kembali term yang berkaitan dengan Al-Qur’an.17 Bagi Syahrur term al-Qur'an, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, dan istilah lainnya memiliki makna sendiri-sendiri. Mushaf Utsmani yang selama ini populer dengan nama al-Qur'an, oleh Syahrur disebut al-Kitab. Term al-Kitab 16
Muhammad Syahrur, Op. Cit, Hlm. 44 lihat juga Sahiron Syamsuddin, “Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Muhammad Syahrur” Hlm. 126-127, lihat juga Sibawaihi, Pembacaan Quran Muhamad Syahrur. Hlm. 130 17 Al-Qur'an secara umum dipahami sebagai “Kalam Allah SWT yang bermu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir dan dianggap ibadah bagi yang membacanya. Mana’ Qaththan, Mabahis Fi ‘Ulum alQur'an,Mansyurat al-Ashri al-Hadits, t.th Hlm 9. Al-Qur’an juga mempunyai beberapa nama seperti Al-Furqa, Al- Kitab, dan lain-lain. lihat Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur'an, Ttp: Dar al-Ihya’, 1957, jilid. I, Hlm. 276-280
60
berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa hal satu sama lain dengan tujuan untuk memperoleh satu makna yang berfaedah
atau
untuk
memperoleh
satu
topik
tertentu
guna
mendapatkan satu pemahaman yang sempurna.18 Al-Kitab adalah kumpulan berbagai macam obyek/tema yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, berupa teks beserta kandungan maknanya.19 Al-Qur’an adalah berupa teks statis (kauniyah) – untuk mendapatkan arti kata, kalimat kita harus memahami kontek ruang dan waktu dimana Al-Qur’an turun. Syahrur memahami bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang hidup di masyarakat. Al-Qur’an diturunkan pada abad 7 hijriyah dan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, maka al-Qur’an hanya bisa dipahami dalam konteksnya. Syahrur memahami bahwa disamping teks al-Qur’an bersifat Statis juga bersifat sosiologis, ia dipahami oleh pembacanya melalui proses sejarah dan perkembangan yang terjadi. Ini artinya, kitab suci itu teks statis dengan pemahaman dinamis.20 Ia mengatakan: “Perlakukanlah al-Qur'an seolah-olah ia baru saja turun/diwahyukan dan Nabi Muhammad SAW. baru meninggal kemarin”.21 18
Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Qur'an, Loc. cit. hlm. 51 Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama’, Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, “Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara”, Yogyakarta: LKiS, 2003, Hlm. XXV 20 Muhammad Syahrur, “Nahwu Ushul Jadidatun lil Fiqh al-Islami: Fiqh al-Mar’ah”, Damaskus: Al-Ahali li at-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. I, 2000, Hlm. 27-53 21 Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Qur'an, op. cit., Hlm. 44, lihat juga, Burhanuddin, Loc. cit. Hlm. 148, Sahiron Syamsuddin, “Metode Intertekstualitas Muhammad Syahrur dalam Penafsiran al-Qur’an” dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al19
61
b. As-Sunnah Menurut Syahrur sunnah berasal dari kata sanna yang dalam bahasa Arab berarti “mudah dan mengalir dengan lancar”. Seperti perkataan ma’un masnun yang berarti: air yang mengalir dengan mudah. Syahrur membedakan antara sunnah dan hadits. Menurutnya sunnah adalah metode (manhaj) dalam menetapkan hukum-hukum dengan cara yang mudah, tanpa keluar dari limit-limit yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik dalam masalah-masalah yang ada limitnya dalam al-Qur'an maupun membuat limit-limit baru yang bersifat temporer dalam berbagai persoalan, dengan memperhatikan realitas dan kondisi sosial kultural yang akan dijadikan tempat penerapan hukum.22 Dalam konteks ini Syahrur juga menegaskan bahwa hadits merupakan ijtihad Nabi dalam pembacaan kitab suci.23 Jadi, sebagaimana yang dilakukan Nabi – Ijtihad nabi terhadap ayat-ayat AlQur’an menghadapi realitas abad 7 hijriyah dimana Al-Qur’an turun, maka menurutnya kita juga harus melakukan interpretasi bukan untuk meniru apa yang beliau katakan secara verbal, tetapi meniru jalan dan metodologinya.24
Qur'an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. I, 2002, Hlm. 137 22 Muhammad Syahrur, Op.Cit, Hlm. 546-549 23 Sibawaihi, op. cit. 24 Muhammad Syahrur, Op.Cit, Hlm. 549
62
c. Ijma’ dan Qiyas Shahrur memberikan definisi baru terhadap ijma’ dan qiyas.25 Menurut Syahrur ijma’ yang benar adalah kesepakatan mayoritas masyarakat mengenai suatu masalah yang mereka hadapi, dan kesepakatan tersebut harus didapat dengan jalan demokratis dan tidak keluar dari batas-batas ketetapan syar’i. Syahrur menilai definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu terhadap ijma’ adalah keliru. Karena kesepakatan yang mereka ambil adalah untuk menyelesaikan masalah pada masanya, sementara realitas sekarang tidak ada hubungannya dengan peristiwa dahulu. Sehingga menurut Syahrur ijma’ yang benar adalah kesepakatan mayoritas masyarakat mengenai suatu masalah yang mereka hadapi, dan kesepakatan tersebut harus didapat dengan jalan demokratis dan tidak keluar dari batas-batas ketetapan syar’i.26 Sedangkan al-Qiyas (analogi), menurut Syahrur adalah qiyas asy-syahid ‘ala asy-syahid dimn al-hudud (menganalogikan sesuatu yang ada sekarang, dengan sesuatu yang ada sekarang, dengan syarat masih berada dalam batas-batas ketentuan syar’i). Dengan kata lain Shahrur memegangi scientific analogy, karena ia menganalogikan secara induktif hal-hal dan ketentuan-ketentuan yang didukung oleh data empiris.27
25
Definisi Ijma pada umumnya adalah kesepakatan ulama pada satu kurun waktu tertentu atas persoalan hukum tertentu setelah wafat Nabi Muhammad SAW. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Quwait: Dar Al-Qalam, t.th, hlm.45 26 Muhammad Syahrur, Op.Cit, hlm.582 27 Ibid, hlm.581-582
63
C. Pemikiran Muhammad Syahrur tentang Bunga Bank 1. Teori Batas Muhammad Syahrur Sebelum mengetahui pemikiran Syahrur tentang hukum bunga bank, terlebih dahulu kita harus memahami beberapa istilah kunci yang perlu dipahami terutama dalam pemikiran hukum Islam-nya. Syahrur mengatakan bahwa dalam pemahaman keIslaman selama ini ada beberapa kata kunci yang harus dipahami, yaitu: hudud, alistiqamah, dan al-hanifiyah. Yang selama ini dilupakan. Hudud merupakan batasan-batasan hukum yang ditentukan Allah SWT, baik maksimal, minimal, maupun versi keduanya.28 Ia berangkat dari QS. an-Nisa ayat 13-14, yang terkait dengan pembagian waris.
ﺤ ِﺘﻬَﺎ ْ ﻥ ﹶﺘ ْ ﺠﺭِﻱ ِﻤ ْ ﺕ ﹶﺘ ٍ ﺠﻨﱠﺎ َ ﺨ ﹾﻠ ُﻪ ِ ﻁ ِﻊ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ َﻭ َﺭﺴُﻭﹶﻟ ُﻪ ُﻴ ْﺩ ِ ﻥ ُﻴ ْ ﺤﺩُﻭ ُﺩ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻤ ُ ﻙ َ ِﺘ ﹾﻠ ﺹ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ َﻭ َﺭﺴُﻭﹶﻟ ُﻪ ِ ﻥ َﻴ ْﻌ ْ ( َﻭ َﻤ١٣) ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻨﻬَﺎ ُﺭ ﺨﹶﺎِﻟﺩِﻴﻥَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَ ﹶﺫﻟِﻙَ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻔ ْﻭ ُﺯ ﺍ ﹾﻟ َﻌﻅِﻴ ُﻡ (١٤)
ﻥ ٌ ﺏ ُﻤﻬِﻴ ٌ ﻋﺫﹶﺍ َ ﺨ ﹾﻠ ُﻪ ﻨﹶﺎﺭﺍﹰ ﺨﹶﺎﻟِﺩﺍﹰ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻭﹶﻟ ُﻪ ِ ﺤﺩُﻭ َﺩ ُﻩ ُﻴ ْﺩ ُ ﻭَﻴَ ﹶﺘﻌَ ﱠﺩ
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”. (QS. an-Nisa’: 13-14).
28
Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama’, op. cit. Hlm. XXVI
64
Pada ayat 13, terdapat kalimat “tilka hudud Allah” dan pada ayat 14, terdapat kalimat “wa yata’adda hududahu”. Kata hudud di sini berbentuk jamak dari bentuk mufradnya hadd, yang artinya batas (limit). Pemakaian bentuk plural di sini menandakan bahwa batas yang ditentukan Allah SWT berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.29 Pada ayat 14, kalimat “wa yata’adda hududahu” berarti melanggar batas-batas (hukum)–Nya. Penggunaan term hudud disini dinisbatkan kepada damir mufrad (kata ganti tunggal) “hu” (dia) yang merujuk pada Tuhan saja.30 Sedangkan term al-Istiqamah, dan al-Hanifiyah berasal dari dimensi universalitas Islam. Term al-Hanif berasal dari kata hanafa yang berarti bengkok, melengkung; ahnafa, orang yang bengkok kakinya.31 Adapun term al-istiqamah, yang mustaq dari “qaum“ yang memiliki dua arti: kumpulan manusia laki-laki, dan berdiri tegak (alintishab) dan atau kuat (al-‘azm). Dari lafal al-intishab ini muncul kata almustaqim dan al-istiqamah, yakni akronim dari melengkung (al-inhiraf); sedangkan dari al-‘azm muncul kata al-din al-qayyim (agama yang kuat). Syahrur mengatakan bahwa kata kuat ini menunjukkan pada surat an-Nisa’ 34 dan al-Baqarah ayat 255. Hal ini selanjutnya mengantarkan Syahrur pada sebuah ayat dalam surat al-An’am ayat 161, di mana dalam surat ini, 29
Burhanuddin, Loc. cit, Hlm. 152. Ibid. 31 Muhamad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an, op. cit., Hlm. 448 30
65
secara bersama-sama memuat al-istiqamah dan al-hanifiyyah sekaligus.32 Hal ini bagi Syahrur, membuahkan pertanyaan, sebab betapa mungkin alIslam, agar menjadi kuat kontradiktif.
Pertanyaan
dapat terakumulasi dalam dua hal yang inilah
yang
mendorong
Syahrur
untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut. Di sinilah ia menerapkan analisa paradigmatis-sintagmatis nya. Analisa paradigmatisnya tampak ketika dibandingkannya hanafa dengan janafa yang artinya condong kepada kebagusan (QS. al-Baqarah: 182).33 Syahrur mengumpamakan Al-Hanifiyah sebagai kondisi sosial yang meliputi nash-nash Al-Qur’an dalam perjalanan sejarahnya, sejak dturunkan pada abad VII H sampai sekarang. Sedang al-Istiqamah sebagai batas-batas yang telah ditetapkan Allah SWT dalam nash Al-Qur’an. Di samping analisa paradigma sintagmatis ini, Syahrur juga merumuskan
teori-teorinya
dengan
analisis
matematik.34
Syahrur
menggambarkan hubungan antara al-hanifiyyah dan al-istiqamah, dengan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Di mana sumbu X menggambarkan zaman, sejarah. Sedang sumbu Y sebagai undangundang
yang
ditetapkan
Allah
SWT.
Kurva
(al-hanifiyyah)
menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan ini dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus
32
Ibid. Lihat juga Sibawaihi, Loc. cit., Hlm. 126-127, M. In’am Esha, Loc. cit., Hlm. 306 34 Ibid., Hlm. 308, Sibawaihi, op. cit., Hlm. 127, Muslimin, “Pemikiran Muhammad Syahrur rentang Limitasi Kewarisan”, Loc. cit., Hlm. 45-46 33
66
secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling berkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum adaptabel terhadap kontek ruang dan waktu.35 Dari sinilah kemudian Syahrur memperkenalkan teori batasnya (nazariyah al-hudud)36. Asumsi dasarnya adalah bahwa Allah SWT (dalam al-Qur'an atau al-Kitab dalam bahasa syahrur), menetapkan batasbatas hukum maksimum dan minimum (al-istiqamah), dan manusia senantiasa bergerak dari dua batasan ini (al-hanifiyyah)37 Teori ini memuat enam point yaitu :38 a. Batas Minimal Posisi batas minimal merupakan batas paling rendah yang telah ditentukan oleh Allah SWT, manusia tidak boleh melakukan ijtihad mengurangi batas tersebut. Tetapi memungkinkan atau membolehkan untuk menambahnya. Sebagai contoh dalam batas ini adalah tentang wanita yang haram dinikahi, yang dijelaskan dalam QS. an-Nisa’: 22-23. Ketentuan dalam surat an-Nisa’ tersebut menurut Syahrur, tidak boleh
35
Ibid.
36
Lihat. Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an, Ibid., Hlm.450-452. Lihat juga
Nazariyah al-Hudud (teori batas) dapat digambarkan sebagai berikut: Perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Qur'an dan Sunnah mengatur/memberikan batas minimal dan batas maksimal kepada seluruh perbuatan-perbuatan manusia, batas minimal mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus tertentu dan batas maksimum yang lebih atas. Hanya tidak ada sesuatu bentuk minimum yang secara hukum dapat diterima. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu di atas maksimum yang m ungkin diterima menurut hukum. Ketika batas-batas ini dipentingkan, hukumanhukuman menjadi dapat dijamin, sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan. Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar Untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta: Rajawali Pers, cet. I, 2000, Hlm. 367 37 Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Qur'an, op. cit., Hlm. 579 38 keterangan tentang 6 batas dalam Teori Hudud Syahrur diambil dari Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an, Hlm. 453-466
67
dikurangi tetapi memungkinkan untuk ditambah. Misalnya dari hasil penelitian kedokteran, menyebutkan bahwa menikahi anak perempuan yang diharamkan yaitu pada anak perempuan paman/bibi dapat berakibat buruk bagi keturunan, maka dengan menggunakan data yang statistik dan memadai, agama dapat mengharamkanya. Contoh lain: Jenis makanan yang dilarang dikonsumsi memberikan batasan pada QS. al-Maidah: 3, hutang piutang dalam QS. al-Baqarah: 284 dan pakaian perempuan juga dibatasi dalam QS. al-An’am: 31. b. Batas Maksimal Posisi batas maksimal adalah batas paling atas yang telah ditentukan Allah SWT dalam al-Qur'an. Ruang gerak ijtihad bergerak turun artinya bahwa ketentuan tersebut merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilampaui tetapi memungkinkan untuk meringankannya. Misalnya hukuman potong tangan bagi pencuri, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Maidah: 38 Hukum potong tangan merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilampaui, tetapi memungkinkan meringankan hukuman tersebut. Contoh lain: hukuman bagi pembunuh, dalam QS. alBaqarah: 178; QS. al-Isra’: 33. c. Batas Minimal dan Batas Maksimal Saling Berhubungan Posisi batas ini merupakan gabungan antara batas minimal dan batas maksimal, artinya bahwa batas tersebut telah ditetapkan oleh Allah SWT. Wilayah ijtihadnya adalah “naik-turun” diantara keduanya. Dalam hal ini dibatasi dalam QS. an-nisa’: 11-14, 176. Adapun dalam ketentuan
68
pembagian warisan 2:1 (dua banding satu) antara bagian laki-laki dan perempuan yang dilansir dalam QS 4:11, menurut Syahrur merupakan ayat yang menyebut batas maksimal sekaligus batas minimal. Ketentuan 2:1 adalah batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Ketentuan ini hanya berlaku dalam konteks di mana tanggung jawab perekonomian keluarga sepenuhnya dipikul oleh laki-laki, sedang si perempuan sama sekali tidak ikut menanggungnya. Dalam keadaan seperti ini, ketentuan Allah SWT memberikan bagian wanita tidak pernah kurang dari 33,3%, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih tinggi dari 66,6%. Karena itu, apabila laki-laki diberi bagian 75%, dan perempuan hanya diberi 25%, maka tidaklah dibolehkan, karena hal ini telah melampui batas ketentuan hukum Allah SWT. Jika wanita diberi 40%dan laki-laki 60% maka ini tidak melampui ketentuan hukum Allah SWT. Oleh karena itu Allah hanya menentukan batas maksimal bagi lakilaki, dan batas minimal bagi perempuan, maka boleh dilakukan ijtihad baru sesuai dengan pergantian ruang dan perjalanan waktu, dengan memperkecil perbedaan bagian keduanya, dan bahkan terjadi persamaan bagian secara sempurna; yaitu 1:1. Contoh ini menurut Syahrur, menjelaskan atau menunjukkan pembebasan wanita (=hanifiyyah) dalam batasan-batasan (=jalan lurus) telah ditentukan oleh hukum. Lebih jauh Syahrur menegaskan, bahwa ijtihad itu bersifat dinamis hukum (fiqih Islam) tidak harus dirasakan sebagai aplikasi teks-teks yang sudah
69
diturunkan berabad-abad lalu (secara literal) pada dunia modern.39 Contoh lain: poligami yang dibatasi dalam QS. an-nisa’: 3. d. Batas Minimal dan Maksimal sekaligus tapi dalam satu titik koordinat Dalam
posisi
batas
maksimumnya
juga
menjadi
batas
minimumnya, dan ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat atau ringan. Contoh kasus perzinaan, hukuman untuk pelaku zina dalam al-Qur'an yaitu berupa cambukan 100 kali ini merupakan batas maksimum dan batas minimumnya. Karena dalam QS. an-Nur: 2-10. tidak terdapat keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka bagi saksi, bukan bagi hukumannya. e. Batas Maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan. Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan antara pria dan perempuan, dalam batas paling atas telah ditentukan dalam al-Qur'an namun karena tidak ada persentuhan dengan batas maksimum maka hukuman belum dapat ditetapkan yaitu hukuman zina, yang menurut Syahrur dipahami sebagai hubungan laki-laki dan perempuan akan tetapi tidak adanya persentuhan secara maksimal yaitu berupa hubungan kelamin (nikah/coitus), dan adanya keterangan dari empat orang saksi. Dalam hal ini, Syahrur memahami zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dan disertai dengan empat saksi, apabila tidak adanya empat saksi tersebut maka disebut fahisyah yaitu yang pertanggung-jawabanya
39
Wael B. Hallaq, op. cit, Hlm. 368. Lihat juga Muslimin, op. cit, Hlm. 64-65
70
lebih bersifat moral individual antara pribadi pelaku dan tuhan dengan cara beristighfar dan bertaubat. f. Batas Maksimal Positif dan tidak boleh dilewati, Batas Minimal Negatif boleh dilewati. Tabel ruang lingkup teori batas No.
Posisi Hudud
1.
Batas minimal
Contoh Kasus
-
-
2.
Batas Maksimal
-
3.
4.
5.
6.
Batas minimal dan maksimal saling berhubungan (bersamaan) Batas Minimal dan Maksimal sekaligus tapi dalam satu titik koordinat Batas Maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan Batas Maksimal Positif dan tidak boleh dilewati, Batas Minimal Negatif boleh dilewati
-
Teks terkait dari alQur'an Pihak perempuan - an-Nisa: 22-23 yang dilarang untuk dinikahi (maharim annikah) Jenis makanan - al-Maidah: 3 yang dilarang dikonumsi Hutang piutang - al-Baqarah: 284 Pakaian perempuan - al-An’am: 31 Hukuman bagi - al-Maidah: 38 pencuri Hukuman bagi - al-Baqarah: 178; pembunuh al-Isra’: 33 Pembagian warisan - an-Nisa:11-14; 176 Poligami - an-Nisa: 3
-
Hukuman pelaku zina
bagi -
an-Nur: 2-10
-
Hubungan fisik antar lawan jenis
al-Isra: 32; An’am: 151
-
Distribusi harta kekayaan Zakat, Sadaqah dan Riba. -
al-Taubah: 60
-
al-
ar-Rum: 39 al-Baqarah: 276 al-Baqarah: 275, 278; ali Imran: 130
71
2. Pemikiran Muhammad Syahrur tentang Bunga Bank Dari enam point tersebut, akan penulis ambil salah satu dari teori batas Muhammad Syahrur terutama point keenam, yaitu batas maksimal positif yang tidak boleh dilewati dan batas minimal negatif yang boleh dilewati (halah al-had al-a’la mujaban wa al-had al-‘adna saliban). Teori ini diterapkan dalam masalah distribusi (tassaruf) harta, yang dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu zakat, sadaqah dan riba. Batas atas yang tidak boleh lewati adalah riba; batas bawah yang boleh dilampaui adalah zakat sebagai batas minimal negatif. Karena ia adalah batas minimal harta yang harus/wajib dikeluarkan. Bentuk tassaruf yang dapat melewati batas minimal (zakat) adalah sadaqah. Posisi ini selain memiliki dua batas, juga memiliki batas tengah yang tepat berada di antara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu yang mengimplementasikan konsep qard alhasan atau pinjaman dengan bunga 0 %. Dengan demikian, ada tiga kategori besar untuk memberikan uang; Pembayaran pajak, pemberian hutang bebas bunga, dan pemberian hutang dengan bunga.40 Teori ini dapat digambarkan sebagai berikut.
40
Muhammad Syahrur, Op.Cit. Hlm. 464
72
Y
Titik balik maksimum di daerah positif= riba (bunga) 100%
Titik tengah = Qardul hasan (bunga 0%)
0
X
Titik balik minimum di daerah negatif = zakat 2,5%
Dalam teori ini, Syahrur memperkenalkan kajian bunga secara baik dan terperinci. Dengan mengutip beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah riba.41 Syahrur juga menjelaskan bahwa arti riba dalam bahasa Arab adalah “pertumbuhan dan perkembangan” dari kekayaan. Syahrur berpendapat bahwa larangan atas bunga adalah bukan ketentuan dari Islam. Dalam mendukung pendapatnya ini dia menyebut bahwa Umar bin Khattab suatu ketika dilaporkan menginginkan Nabi agar menjelaskan secara eksplisit syarat-syarat status hukum bunga.42 Menurut Syahrur umat islam tidak perlu khawatir dan ragu ketika harus
bertransaksi/bermu’amalah,
dalam
dunia
perbankan
dengan
menggunakan sistem konvensional, yang di dalamnya memakai sistem 41
Yaitu surat al-Baqarah ayat 275, 276, 278, 279, 280; Ali Imran ayat 130, 131, 132 dan surat An-Nisa ayat 161; Ar-Rum ayat 39 lihat Ibid, Hlm. 467-468 42 Ibid, Hlm. 468
73
bunga, asalkan bunga yang diperoleh belum mencapai 100 % dari modal awal. Konsekuensi dari analisis ini, Syahrur menegaskan bahwa bentuk riba yang dilarang adalah ketika bunga itu mencapai 100 %. Jadi, selama bunga kurang dari jumlah itu, masih dalam kategori diperbolehkan, dalam arti tambahan itu belum melanggar batas ketentuan Allah SWT. Semua ini menurut Syahrur, tentu dimaksudkan untuk membuka jalan bagi argumen yang menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas ekonomi yang melibatkan bunga harus dipertimbangkan berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan surat at-Taubah ayat 60:
ﻋﹶﻠ ْﻴﻬَﺎ ﻭَﺍ ﹾﻟ ُﻤ َﺅﱠﻟ ﹶﻔﺔِ ﹸﻗﻠﹸﻭ ُﺒ ُﻬ ْﻡ َ ﻥ َ ﻥ ﻭَﺍ ﹾﻟﻌَﺎ ِﻤﻠِﻴ ِ ﺕ ِﻟ ﹾﻠ ﹸﻔ ﹶﻘﺭَﺍ ِﺀ ﻭَﺍ ﹾﻟ َﻤﺴَﺎﻜِﻴ ﺼ َﺩﻗﹶﺎ ﹸ ِﺇ ﱠﻨﻤَﺎ ﺍﻟ ﱠ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻀ ﹰﺔ ِﻤ َ ل ﹶﻓﺭِﻴ ِ ﺴﺒِﻴ ﻥ ﺍﻟ ﱠ ِ ل ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻭَﺍ ْﺒ ِ ﺴﺒِﻴ َ ﻥ َﻭﻓِﻲ َ ﺏ ﻭَﺍ ﹾﻟﻐﹶﺎ ِﺭﻤِﻴ ِ َﻭﻓِﻲ ﺍﻟ ﱢﺭﻗﹶﺎ (٦٠:)ﺍﻟﺘﻭﺒﺔ
ﺤﻜِﻴ ٌﻡ َ ﻋﻠِﻴ ٌﻡ َ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orangorang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Kesemua ini, tentu dimaksudkan membuka jalan untuk argumen bahwa aktivitas-aktivitas ekonomi yang melibatkan bunga harus dipertimbangkan berdasarkan hukum dalam Islam. Berdasarkan surat di atas maka zakat adalah hanya untuk mereka yang miskin dan yang membutuhkan. Menurut interpretasi Syahrur, orang miskin dan orang yang
74
membutuhkan adalah pada masyarakat modern. Karena secara tepat dalam al-Qur'an telah dijelaskan bagian masyarakat yang miskin ini. Allah SWT berfirman: (٢٧٦:)ﺍﻟﺒﻘﺭﺓ
ﺕ ِ ﺼ َﺩﻗﹶﺎ ﻕ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﺍﻟﺭﱢﺒﺎ َﻭ ُﻴ ْﺭﺒِﻲ ﺍﻟ ﱠ ﺤﹸ َ َﻴ ْﻤ
Artinya: ”Allah SWT memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah”. Oleh karena itu, masyarakat harus membantu orang miskin dan orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan pamrih. Ini merupakan batas minimal negatif yang boleh dilewati. Artinya bentuk tassaruf yang dikeluarkan bisa lebih kecil dari yang ditentukan (2,5% dari harta) sebagai wajib zakat, dan masuk dalam kategori sadaqah. Dalam hal hutang-piutang ia mencontohkan, siapa yang harus membayar hutangnya dengan bunga dan siapa yang tidak harus membayar utangnya dengan bunga atau bunga 0% (qard al-hasan).43 Ia membagi masyarakat menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok masyarakat yang mampu mengembalikan hutang-hutang mereka tanpa sejumlah bunga (masyarakat miskin dan yang membutuhkan –pen). Dalam kondisi demikian, mereka hanya dibebani/berhutang sejumlah yang ia pinjam, tanpa pembayaran bunga (ini merupakan tujuan paling tengah antara batas maksimal positif dan
43
Ibid, Hlm. 468
75
batas minimal negatif).44 Landasan yang digunakan Syahrur dalam menyikapi hal ini adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 280:
ﻥ ْ ﺨ ْﻴ ٌﺭ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻡ ِﺇ ﺼ ﱠﺩﻗﹸﻭﺍ ﹶ َ ﻥ ﹶﺘ ْ ﺴ َﺭ ٍﺓ َﻭَﺃ َ ﺴ َﺭ ٍﺓ ﹶﻓ ﹶﻨﻅِﺭَ ﹲﺓ ِﺇﻟﹶﻰ َﻤ ْﻴ ْﻋ ُ ﻥ ﺫﹸﻭ َ ﻥ ﻜﹶﺎ ْ َﻭِﺇ (٢٨٠:)ﺍﻟﺒﻘﺭﺓ
ﻥ َ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹸﺘ ْﻡ ﹶﺘ ْﻌﹶﻠﻤُﻭ
Artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran. Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyediakan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. 2. Kelompok-kelompok yang tersisa dari masyarakat mayoritas besar (yakni mereka yang tergolong sukses dalam perekonomiannya, seperti; industrialis, pedagang besar dan para profesional terampil dan lainlain), tidak memenuhi syarat bagi pengecualian-pengecualian ini. Karena mereka sudah cukup makmur dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, jika mereka harus meminjam uang, mereka dapat membayarnya kembali dengan bunga dan tanpa membawa bahaya kepada mereka. Tetapi bunga yang dibebankan kepada mereka pun tidak lebih besar dari uang pokok pinjaman. Artinya bunga pinjaman (hutang) yang terkumpul tidak akan sama sekali melebihi 100 % dari pinjaman pokok, terlepas dari lamanya hutang. Hal ini mewakili batas maksimal positif, yang dibatasi dengan riba.45 Sebagaimana firman Allah SWT.
44 45
Ibid, hlm.469 Ibid, hlm.470
76
ﻀﻌَﺎﻓﺎﹰ ُﻤﻀَﺎﻋَ ﹶﻔﺔﹰ ﻭَﺍ ﱠﺘﻘﹸﻭﺍ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ْ ﻥ ﺁ َﻤﻨﹸﻭﺍ ﻻ ﹶﺘ ْﺄ ﹸﻜﻠﹸﻭﺍ ﺍﻟﺭﱢﺒﺎ َﺃ َ ﻴَﺎ َﺃ ﱡﻴﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺫِﻴ (١٣٠:)ﺁل ﻋﻤﺭﺍﻥ
ﻥ َ ﹶﻟ َﻌﱠﻠ ﹸﻜ ْﻡ ﹸﺘ ﹾﻔِﻠﺤُﻭ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Menurut Syahrur kata ad’afan muda’afah merupakan batas atas (maksimal) yang tidak boleh dilampaui, yakni ketika bunga pinjaman mencapai 100 % dari uang pokok yang dipinjam. Di sinilah ijtihad sangat diperlukan untuk menentukan prosentase yang tepat agar roda perekenomian dapat berputar secara normal. Tentunya dalam hal ini, seorang ahli hukum Islam harus bekerja sama dengan ahli ekonomi, khususnya perbankan. Tabel Teori Batas Maksimal Positif Dan Batas Minimal Negatif +
Janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda (QS. ali Imran: 130) Bunga pinjaman mencapai batas maksimal
Qard al-Hasan : Posisi
Batas Rasulullah
_
Batas minimal zakat 2,5 %
Sadaqah bagi mereka yang miskin dan membutuhkan (QS. At-Taubah