Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar A. Tarmizi Sibawaihi Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: Rasyid Ridha highly emphasized the importance of Islamic thought and ijtihad. This article tries to describe Rasyid Ridha’s idea of Islamic law found in his Magnum Opus al-Manar. Ridha said that doing ijtihad is obligatory but blind imitation (taqlid) is religiously prohibited. His legal thought is rather liberal, for e.g, he legalized an inter-marriage between a Muslim man with a non-Muslim woman (Jew, Christian, Manichaean, Hinduist, and Buddist). Keywords: Rasyid Ridha, Source of Islamic law, ijtihad
I. Pendahuluan M. Rasyid Ridha merupakan salah seorang mufassir yang lahir pada abad modern yaitu tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H di Qolmun Tripoli Lebanon dan wafat pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H bertepatan 22 Agustus 1935 M. Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW1. Dia dinilai orang sebagai Muhaddist (ahli hadist) Faqih (ahli 2 fiqh) penerjemah pemikiran Muhammad Abduh, komentator dan 1 Syihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung. Pustaka Hidayah ut I 1415 H / 1994 hal : 59 2 , Syahatah Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim,Kairo Nasyr arrasair aljami’iah 1382 H / 1962 M Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
343
A. Tarmizi Sibawaihi
juru bicara resminya.3 Banyaknya julukan yang disandangkan pada dirinya, merupakan wujud pengakuan orang akan kelebihan yang dimilikinya. Selain dari hal-hal tersebut, dia juga dimasukkan dalam kelompok tokoh pembaharuan dalam Islam, seperti yang ditulis oleh Harun Nasution dalam bukunya pembaharuan dalam Islam. Sebagai ahli fiqh dan tokoh pembaharuan, dia sangat menggalakkan berijtihad bahkan mewajibkannya dan menyerang serta mengharamkan taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil), pemikiran-pemikirannya tentang hal tersebut banyak dituangkannya dalam sebuah karya menomentalnya yang terkenal dengan tafsir Al- Manar4. Tafsir ini (yang ada pada penulis) yang terdiri 12 (dua belas jilid) dimulai dari surat AL-Fatihah sampai dengan surat Yusuf ayat 52, menurut Qurais Shihab pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam yaitu Sayyid Jamaluddin al Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyd Ridha.5 Terlepas dari pendapat Qurais tersebut penulis dalam hal ini berpedoman kepada yang tercantum pada sampul kulit kitab yaitu tertulis Muhammad Rasyid Ridho Tafsir al-Manar yang ditulisnya itu dapat dikatakan sebagai corong dan terompet untuk menyuarakan ide-ide dan pemikiran pembahruan dalam Islam termasuk urgensi ijtihad. Mengingat unsurnya ijtihaj dalam pemikiran hokum Islam M. Rasyid Ridha dan antinya kepada taklid, penulis merasa terdorong untuk dimengetahui dan menjadikannya sebuah karya ilmiah dengan judul “Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar dengan fokus permasalahan”: 1. Sejauhmanakah urgensi ijtihad 2. Bagaimanakah kedudukan ijtihad diantara sumber-sumber hukum Islam hal : 210 3 Al-Muhtasib Abdul Majid Abdussalam, Ittijahat, Tafsir fi al-Ashr al-Hadist Bairut Dar al-Fikr 1393 hal:195. 4 Lihat Ridha Tafsir al-Manar I, Beirut Dar al-Fikr Tith hal: 185, 395 ibid II hal : 17, 18, 27, 67, 76, 356, 399 dll 5 Syihab op cit hal : 67 344
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
3.
Kemanakah kecendrungan pemikiran hukum Islamnya dari mazhab-mazhab yang ada.
II. Ijtihad; Pengertian, syarat dan urgensinya dalam pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha Kata ijtihad adalah bentuk masdar (infimitif) dari ijtahada, berwazan atau bersepadan dengan kata ijti’ala yang menunjukkan arti berlebihan (mubalaghah atau maksimal dalam suatu tindakan atau perbuatan.6 Pengertian membalaghah ini adalah sebagai akibat penambahan dua huruf yaitu haruf Hamzah dan huruf Ta dari kata Jahada yang masdarnya Jahd atau Juhd yang berarti kemampuan dan kesukaran7 Dengan demikian secara etimologi, ijtihad bermakna mencurahkan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Ijtihad secara termonolog ahli ushul menurut M. Rasyid Ridha adalah Alfaqih mencurahkan segenap kemampuannya untuk mendapatkan dugaan kuat tentang hukum syara’.8 Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa ijtihad adalah suatu upaya sungguh-sungguh dan optimal dari ahli fiqh (al-Fiqh) untuk memperoleh dan mendapatkan dugaan kuat Hukum Islam sebagai jawaban atas permasalahan dan peristiwa hukum yang muncul dalam masyarakat. Pengertian ijrihad di atas memuat unsur-unsur penting yang harus diperhatikan dalam melakukan ijtihad, yaitu pelakunya harus ahli fiqh (al-Fiqh) adanya usaha yang sungguh-sungguh dan optimal dalam melaksanakan pengkajian dan telaah terhadap dalil atau sumber-sumber hukum Islam, memperoleh hasil dari usahanya itu dan obyek yang ditelaah itu adalah hukum Islam yang zhanni bukan hukum qath’i. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa al-fiqh sebagai pelaku ijtihad adalah mujtahid itu sendiri dan hasil atau produk ijtihadnya dinamakan dengan al-fiqh yang tingkat kebenarannya bersi6 Al-Qardawi, Yusuf, al-Ijtihad fi as Syaraf al-Islamiyah, Kairo, Dar at, Tauzi wa an-Nasyr al-Islamiyah1414 H / 1994 hal 1 7 Al-Ishfihani, ar-Raqhib, Mujain Mufradat alfadz al-Qur’an, Beirut Dar al-Fikr t. Th hal : 99 8 Ridha of cit hal : 204 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
345
A. Tarmizi Sibawaihi
fat zhanni bukan qath’i. Pelaku ijtihad (al-Mujtahid, al-Fiqh) yang akan melaksanakan tugasnya berijtihad, menurut M. Rasyid Ridha, harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar ijtihad dan hasilnya betul-betul dapat dipertanggung jawabkan. Syarat-syarat yang dibutuhkan itu adalah dewasa, cerdas, memiliki karakter dan bakat dalam bidang fiqh, mengetahui dalil baraah ashliyah,9 memiliki tingkatan menengah10 dalam bidang penguasaan bahasa Arab dan cabang-cabangnya seperti ilmu nahu, sarf, balghah, ushul fiqh, al-Qur’an dan al-Hadist.11 Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut, menurut dia bukanlah sesuatu yang sulit dan tidak pula memerlukan pekerjaan yang ekstra berat dan sibuk.12 Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut, seseorang faqih atau mujtahid tidaklah serta merta boleh dan bebas melakukan ijtihad, tetapi terbatas pada wilayah dan kapling yang dibolehkan. Menurut M. Rasyid Ridha wilayah dan kaplingan yang boleh dilakukan ijtihad ada dua: pertama nash hukum dari al-Qur’an atau hadist yang tidak dha’if dan tidak shahih (barangkali hasan) yang dalalahnya tidak terang atau tidak tegas, tetapi mengandung berbagai kemungkinan penafsiran dan pemahaman. Untuk sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadist) yang tidak tegas dalalahnya dan yang sangat mungkin timbulnya perbedaan pendapat maka sikap yang diambil adalah menyerahkan kepada setiap mukallaf berpegang dan beramal berdasarkan ijtihadnya serta bersikap toleran terhadap orang lain yang tidak sependapat dengannya. Kedua, masalah-masalah muamalah duniawiyah yang ketentuan hukumnya tidak berdasarkan kepada nash hukum yang tegas atau hadist yang tidak sahih,13 dengan demikian dapat dipahami bahwa wilayah yang dibolehkan seseorang mujtahid berijtihad dari sisi objek hukum, menurt M. Rasyid Ridha 9 Baraat al Ashliyah dapat diartikan dengan ketiadaan adanya taklib dan hukum sebelum datangnya syariat. Lihat al-Zuhaili Wahab, Ushul alFiqh al Islami II, Damashur dar al-Fikr 1418 H hal 892 10 Mengetahui kadar-kadar yang diperlukan dalam memahami halhal yang berkaitan dengan al-Qur’an dan al-Hadist 11 Ridha of cit hal : 205 12 Ibid hal : 13 Ibid hal : 200 346
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
hanya terbatas pada masalah muamalah duniawiyah dan tidak boleh pada masalah-masalah aqidah dan ibadah murni. Masalah-masalah aqidah dan ibadah yang disebutnya dengan istilah musail diniyah maholhah, harus diambil dan nash-nash alQur’an, penjelasan dari Nabi dan terhadap nash itu, baik dengan perkataan atau perbuatan menurut cara yang dilakukan oleh para sahabat priode pertama. Segala sesuatu yang telah mereka sepakati, maka tidak dibenarkan bagi seseorang menyalahinya. Seseorang tidak boleh membuat ibadah baru atau melakukan ibadah yang diriwayatkan tidak menurut cara Nabi dan kebanyakan sahabatnya dengan alasan apapun dan keadaan apapun.14 Mengingat sedikit dan terbatasnya dalalah nash al-Qur’an yang tegas dan demikian juga hadist Nabi SAW, serta semakin banyak, meluas dan kompleksnya problema yang dihadapi umat manusia yang memerlukan jawaban dan solusi dari fakar hukum Islam, maka kepentingan dan kebutuhan berijtihad dalam abad modern ini semakin sangat penting dan orgen baik dalam bentuk Tarjih intiqai atau Ibdai isai15 Urgensinya ijtihad dalam pandangan M. Rasyid Ridha, bukan hanya sekedar penting tanpa kepastian hukum, menurutnya berijtihad adalah wajib dan lawannya taqlid adalah haram. Menurutnya bahwa dalam pengharaman taqlid dan penegasan al-Qur’an bahwa Allah SWT tidak mau menerima taqlid dan tidak memaafkan orang yang bertaqlid di akhirat kelak, merupakan bukti kuat wajibnya berijtihad16 lebih jauh dia mengatakan bahwa ijtihad itu adalah pondasi syari’ah dan hujjah agama serta kelebihannya dari syariat-syariat lainnya.17 Ijtihad adalah (tiang) kehidupan agama18. Sebaliknya ke14 Ibid hal : 198 15 Dua istilah baru yang diberikan oleh al-Qardhawi menurutnya tarjih intiqa’i adalah memilih salah satu pendapat dalam kitab-kitab fiqh klasik untuk fatwa hukum atau untuk memutuskan perkara di pengadilan. Ibdai Insya’i adalah penggalian hukum baru.al-qardhawi, Yusuf al-Ijtihad al-Muashir bain al-Inthibat wa al-Infirhat. Kairo dar at. Tanzi 1414 H – 1994 M hal : 20 & 32 16 Ridha op cit hal : 420 17 Ibid IV hal : 420 18 Ibid II hal : 399 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
347
A. Tarmizi Sibawaihi
benciannya kepada taqlid hampir dapat ditemui saat dia menafsirkan ayat-ayat yang berisi cercaan mengikuti orang-orang dahulu tanpa berfikir seperti pada surat al-Baqarah ayat 170. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.19
III. Sumber Hukum Islam dan Kecendrungan Pemekarisasi Hukum Islam M. Rasyid Ridha Sumber Hukum Islam Menurut M. Rasyid Ridha, sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ ulil amr (ijtihad jama’i), ijtihad pemimpin, qias maslahat dan urf dan sadd azzariah. Al-Qur’an adalah sumber dan dasar hukum Islam pertama20. Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an memiliki 500 (lima ratus) ayat hukum21. Ayat-ayat itu dikelompokkan kepada dua bagian yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum ibadah, keyakinan dan ayatayat yang berkaitan dengan hukum muamalah. Ayat-ayat hukum tentang ibadah, memuat ketentuan-ketentuan dan ajaran-ajaran bagaimana manusia beribadah kepada Allah SWT seperti shalat, menghadap kiblat dan lain-lain. Dalam masalah ibadah, menurt M. Rasyid Ridha, seseorang tidak boleh menambah, mengurang, mengambil pendapat seseorang dan pendapatnya sendiri berdasarkan ijtihadnya. Untuk hukum-hukum muamalah disyari’atkan untuk kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, dia dieberi tanda-tanda ada hukum seperti illat hukum dan sebab-sebabnya. Ini semua dimaksudkan agar manusia mudah memahaminya22. Dari segi dalalah, ayat-ayat hukum itu ada yang qath’i yaitu 19 Depag al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, PT. Bumi Restu, 1976 – 1977 hal : 41 20 Ridha op cit hal : 91-92 21 Ibid IX hal 267 22 Ibid II hal : 44 348
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
nash-nash yang tidak mengandung berbagai penafsiran, atau dengan kata lain ayat-ayat yang maksudnya tegas dan ada pula yang tidak qath’i yang merupakan wilayah ijtihad.23 Untuk hukum-hukum yang diambil dari ayat-ayat yang dalalahnya tidak qath’i, menurut M. Rasyid Ridha, tidak dapat dijadikan syari’at yang berlaku umum dan mengikat, tidak diserahkan kepada individu masing-masing, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah keharaman sesuatu dan diserahkan pula kepada ulil amr dalam masalah politik, pengadilan dan masalah muamalah lainnya24. Di dalam penetapan hukumnya, al-Qur’an menurut M. Rasyid Ridha, menganut prinsip yusr, mudah dan tidak menyulitkan. Prinsip ini menurutnya terletak pada kepatuhan manusia mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan sahabat, penyederhanaan penggunaan ra’yu dan qias dalam bidang ibadah, masalah halal dan haram serta diluaskannya lapangan ijtihad dalam bidang muamalah25. Sumber hukum Islam kedua adalah asunnah26. As-Sunnah menurut M. Rasyid Ridha, adalah cara amaliyah yang dilakukan oleh Nabi SAW dalam menjalankan tugasnya menjelaskan kehendak atau maksud al-Qur’an kepada manusia dan diterima oleh sekelompok sahabat dengan mengamalkannya.27 Menurutnya, sabda-sabda Rasulullah saja tidak dapat dipastikan bisa menjelaskan kehendak dan pesan al-Qur’an, jika tidak dibarengi dengan perbuatan dan amaliyah Rasulullah, karena perkataan atau informasi saja tanpa dipraktekkan, bisa menimbulkan berbagai sisi pemahaman dan penafsiran yang bermuara pada perbedaan dalam pelaksanaan suatu pesan dan ajaran28. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menurt M. Rasyid Ridha, segala perintah yang termuat dalam al-Qur’an yang dipaparkan secara ringkas, padat dan global, kemudian dipraktekkan oleh 23 24 25 26 27 28
Ibid IX hal : 157 ibid VII hal : 601 Ibid I hal : 118 Ibid VII hal : 138 - 142 Ibid V hal : 187 Ibid VIII hal 254 Ibid hal : 255
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
349
A. Tarmizi Sibawaihi
Rasulullah sebagai amaliyah keagamaan dan diikuti oleh banyak sahabat. Itulah yang dinamai dengan as-Sunnah dan itu pulalah yang menjadi rujukan utama dan patokan dalam memahami kehendak ayat al_Qur’an dalam bentuk nyata. Sebagai sumber hukum Islam as-Sunnah memiliki 4000 (empat ribu) hadist hukum29. Hadist-hadist ini apabila di lihat dari segi hubungannya dengan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama, tidak terlepas dari fungsinya sebagai penjelas dan penafsir alQur’an. Menurut M. Rasyid Ridha, as-Sunnah yang dapat berfungsi menjelaskan al-Qur’an hanyalah sunnah amaliyah yang mutawatir baik untuk merincikan yang masih global, menjelaskan yang masih samar, maupun menjelaskan rahasia dan manfaat yang terdapat pada hukum-hukumnya.30 Dengan demikian secara inflasif sejak sunnah amaliyah ghair mutawatir dan sunah qauliyah menurutnya tidak dapat dijadikan sebagai penjelas al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa as-sunnah yang dapat berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an hanya sedikit, karena jumlah sunnah mutawatir relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah sunnah ahad yang relatif lebih banyak. Mengingat sedikitnya sunnah mutawatir dan banyaknya hadis ahad yang kebenarannya zhanni tidak qath’i maka M. Rasyid Ridha berkomentar setiap orang dari Salaf Ummah (sahabat Rasulullah SAW dan Tabiin) mentolirier toleran dan memahami pendapat orang yang berbeda dengannya, atau menyalahi sebagian berita atau riwayat-riwayat ijtihadiahnya yang tidak qath’i baik riwayah maupun dalalahnya dan mereka juga tidak mengharuskan kepada seseorang mengikuti ijtihadnya.31 Lebih jauh dia mengatakan bahwa hadis ahad hanya harus diamalkan oleh orang yang mempercayainya secara riwayah dan dalalah, dan orang yang percaya dengan riwayat seseorang dan pemahamannya namun hal tersebut tidak32 dapat dijadikan sebagai syarat yang berlaku umum.
29 30 31 32 350
Ibid XI hal : 267 Ibid II hal 30 Ibid I hal : 118 Ibid I hal : 138 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
Sumber hukum Islam ketiga adalah ijma’ ummat33 Ijma’ secara etiomologi. Menurut M. Rasyid Ridha mengikut hal-hal yang berserakan dan berusaha secara sungguh-sungguh agar tidak lepas, bukan kesepakatan manusia atau sekelompok orang terhadap suatu kasus. Menurut dia orang yang melakukan hal tersebut (pelaku ijma’) bisa saja satu orang atau lebih. Secara terminologi, ijma’ sama pengertiannya dengan pengertian etimologinya34. Kata ummat, menurutnya adalah orang-orang yang mewakilinya, yaitu ulil amr, bukan setiap individu muslim35. Ulil Amir adalah kelompok ahl al-hilli wal-aqdi dari kalangan kaum muslimin yaitu, pemerintah, para hakim, ulama, panglima tentara atau polisi, elit politik dan tokoh-tokoh yang menjadi rujukan dan tumpuan umat dalam mengatasi dan menyelesaikan yang mereka hadapi36. Dengan demikian ijma’ uli amr adalah kesepakatan mereka sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada suatu masa terhadap suatu kasus hukum. Ijma’ uli amr dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam atau hujjah sar’iyah pada masalah-masalah muamalah duniawiyah. Untuk masalah-masalah diniyah (ibadah dan keyakinan) M. Rasyid Ridha hanya mengaku ijma’ sahahabat37. Sebagai sumber hukum, kekuatan hukumnya, tidak bersifat mutlak tetapi dapat dibatalkan oleh keputusan ijma’ berikutnya apabila kemaslahatan menghendakinya38. Kehujjahan ijma’ ulil amr selain mempertimbang wilayah atau objeknya juga harus memperhatikan agama ulil amr itu sendiri yaitu, beragama Islam, keputusannya tidak menyalahi perintah Allah dan Sunnah Rasulullah yang mutawatir dan kesepakatan yang dicapai betul-betul bebas tekanan dari siapapun. Dan apabila ketentuan ini telah terpenuhi, maka kepatuhan kepada mereka adalah suatu kewajiban agama39. Sumber hukum Islam ke empat adalah ijtihad para imam, 33 34 35 36 37 38 39
Ibid V hal : 187 ibid XI hal : 267 Ibid V hal : 206 - 207 Ibid V hal : 208 Ibid V hal : 187 Ibid XI hal : 267 Ibid V hal : 208 Ibid V hal : 181
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
351
A. Tarmizi Sibawaihi
pemimpin hakim, panglima tentara40. Adapun wilayah atau objek ijtihad mereka adalah masalah duniawiyah yang berada di bawah kewenangan masing-masing41. Dalam melakukan ijtihad, menurut M. Rasyid Ridha, mereka harus bisa merujuk kepada kaedah-kaedah umum yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis dan atau qias bagi yang menggunakannya42. Kaedah-kaedah umum harus diperhatikan dalam hukum Islam itu adalah menegakkan kebenaran, mewujudkan keadilan yang merata, persamaan hak, kesaksian dan hukum, mewujudkan kemaslahatan, menghindari atau menolak kerusakan memelihara adat istiadat yang baik menghindari hukuman had dengan sebab syubhah atau tidak jelas, hal-hal yang darurat membolehkan yang haram, dan kemudaratan disesuaikan dengan kadarnya43. Sumber-sumber hukum Islam tersebut menurut M. Rasyid Ridha merupakan sumber pokok hukum Islam44. Selain sumber-sumber hukum tersebut masih ada sumber lain yaitu qias, maslahat, urf dan sadd az-zariah. Qias sebagai sumber hukum Islam, menurut M. Rasyid Ridha, jika illat hukumnya jelas, tegas baik menurut akal maupun naql dari al-Qur’an atau hadist. Selain illat hukum wilayah atau objek qias juga dipertimbangkannya. Menurutnya qias hanya boleh dipergunakan pada persoalan muamalah bukan masalah ibadah dan telah putus asa untuk mendapatkan nash45. Mashlahat menurut M. Rasyid Ridha merupakan salah satu sumber hukum Islam, karena memelihara kemaslahatan merupakan salah satu tujuan hukum Islam baik yang terdapat dalam nash maupun yang diperoleh dari ijtihad. Mashlahat sebagai sumber hukum Islam hanya boleh dipergunakan dalam masalah muamalah duniawiyah dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dalam bidang ibadah karena masalah ibadah harus terikat dengan nash-nash 40 41 42 43 44 45 352
Ibid XI hal : 267 Ibid Ibid V hal : 187 Ibid XI hal : 268 Ibid XI hal : 267 Ibid hal : 219 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
syara’, sedangkan masalah muamalah yang dipertimbangkan adalah maslahat.46 Mengenai konsep maslahat ini M. Rasyid Ridha lebih banyak merujuk kepada pemikiran at-Thufi dan as-Syafhibi, bahkan dia sangat mengagumi keduanya tanpa ada komentar dan kritikan terhadap keduanya47 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia menyetujui konsep maslahat kedua tokoh tersebut. Urf dan Ma’ruf merupakan salah satu dan dasar hukum Islam, Urf adalah segala kebaikan yang dikenal dan diketahui manusia, menyenangkan serta menentramkan48. Urf dan Ma’ruf memiliki wilayah yang luas dan subur dalam pemikiran hukum Islam M. Rasyid Ridha. Hal ini diketahui dari beberapa pernyataannya seperti: masalah keduniawian seperti jual beli, sewa-menyewa, perkonsian dan lainlainnya hukum asalnya adalah Urf masyarakat dan kerelaan diantara sesama mereka dengan syarat selama tidak menyalahi hukum syara’, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal49. Urf dan Ma’ruf yang dapat dijadikan sumber hukum Islam adalah Urf yang memenuhi ketentuan yaitu Urf tetap menggunakan makna umum secara kebahasaan, tidak ada nash khusus pada wilayah hukum itu, tidak bertantangan dengan syara’ dan permanen50 Selain sumber-sumber hukum Islam tersebut dahulu, masih ada sumber hukum Islam lainnya yaitu Sadd as-Zariah al-Fasad. Menurut M. Rasyid Ridha Sadd as-Zariah al-Fasad merupakan salah satu sumber hukum ijtihadiyah51 Dari paparan-paparan sebelumnya dapat dipahami bahwa sumber hukum Islam menurut M. Rasyid Ridha ada delapan yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ ulil amr, ijtihad para pemimpin, qias, maslahat, Urf dan Sadd az-Zariah. Sumber-sumber hukum tersebut apabila dilihat dari segi kewahyuan dan tidaknya terbagi pada dua yaitu ada yang berupa wahyu ilahi (al-Qur’an dan As-Sunnah) ada46 47 48 49 50 51
Ibid hal : 191 - 193 Lihat Ridha. Ibid hal 194 – 198 Ibid IX hal : 534 Ibid VI hal : 123 Ibid IX Hal : 537 Ibid I hal 119, VI Hal : 354
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
353
A. Tarmizi Sibawaihi
lah sumber hukum Islam pokok yang menjadi dasar untuk masalah ibadah dan muamalah duniawiyah saja. Mengenai wilayah ijma’ M. Rasyid Ridha membagikannya kepada dua bagian : yaitu ijma’ shahabat dapat dijadikan sumber hukum Islam dalam bidang ibadah dan keagamaan serta muamalah duniawiyah dan ijma selain mereka hanya berlaku untuk muamalah duniawiyah saja. Serta dapat dibatalkan pula oleh ijma’ sesudahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedudukan ijtihad dalam pemikiran hukum Islam M. Rasyid Ridha sangat tinggi dan urgen.
Kecendrungan Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha Sebagaimana diketahui dari paparan-paparan terdahulu bahwa M. Rasyid Ridha merupakan salah seorang ulama modern yang sangat menggalakkan ijtihad dan arti taklid menurut idealnya dia itu haruslah mujtahid yang pemikiran hukum Islamnya bebas dari pengaruh dan bias dan pendapat dan pemikiran hukum ulama sebelumnya, namun demikian sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, dan pengaruh buku dan kitab-kitab bacaan, barangkali banyak sedikitnya ada pengaruh terhadap kecendrungan pemikiran hukum Islamnya, untuk mengetahui hal-hal tersebut akan ditelusuri dari paparan berikut ini : 1. Kitab-kitab yang dikagumi Kitab-kitab yang dibaca, dipuji dan dikagumi berdasarkan pernyataannya adalah al-Muchalla karya Ibnu Hazm (Zhahiri), al- Mughni karya Ibnu Qudamah (tokoh mashab Hambali, Nail al-Awthar, Irsyad al-Fuhul karya as-Syaukani (Zaidiyah), Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al-Asgalani (Syafi’i), al-Muwafaqat karya as-Syatibi (Maliki) Maslahat karya al-Thufi (Hambali) dan seluruh karya Ibnu Taimiyah dan ibnu al-Qayyim (keduanya tokoh mashab Hambali)52 2. Sumber Hukum Islam Sebagaimana diketahui dari uraian sebelumnya bahwa sumber hukum Islam menurut M. Rasyid Ridha ada delapan. 52 Ibid VII hal : 143 - 145 354
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
3.
Dari yang delapan tersebut, dia menggunakan qias yang illat hukumnya jelas baik dari al-Qur’an, hadist maupun ijtihad, ijma’ yang diikuti sebagai sumber hukum Islam dalam bidang ibadah atau keyakinan hanya ijma’ shahabat, sedangkan ijma’ selain mereka tidak banyak menggunakan prinsip maslahat dan sadd zariah dalam penetapan hukum Islam. Pemikiran seperti ini banyak kemiripannya dengan mazhab Hambali Produk-produk ijtihad M. Rasyid Ridha Mengingat keterbatasan halaman makalah dan waktu, penulis akan memaparkan beberapa contoh produk pemikiran M. Rasyid Ridha, diantaranya dalam bidang ibadah rukun wudhu’ ada sembilan yaitu niat, membasuh muka, berkumur, memasukkan air di dalam hidung, membasuh dua tangan hingga dua siku, menyapu seluruh kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki, tertib dan berturut. Hal-hal yang membatalkan wudhu’ ada tiga yaitu keluarnya sesuatu dari salah satu dua kemaluan, menyentuh kemaluan depan baik diri sendiri maupun orang lain dan hilang akal. Shalat Qasar dapat dilakukan dengan perjalanan minimal satu farsakh yaitu 5541 M dan Qasar itu bukanlah rukhsah tetapi hukum asalnya. Penetapan awal bulan ramadhan dan ibadah lainnya cukup berdasarkan perhitungan falak. Hal-hal yang dapat membatalkan puasa ada empat yaitu, makan, minum, bersetubuh dan haid. Kemampuan atau istitha’ah sebagai syarat wajib haji diserahkan kepada individu yang bersangkutan tidak ada ketentuan khusus. Dalam bidang muamalah prinsip yang sangat penting adalah setiap syarat dan akad serta muamalah yang tidak ditegaskan oleh syara’, tidak boleh dikatakan haram@. Berdasarkan prinsip tersebut, riba selain nasiah dibolehkan karena hajat, pencatatan hutang hukumnya wajib. Dalam bidang munakahat M. Rasyid Ridha membolehkan pria muslim menikahi ahli kitab yaitu Yahudi Nasrani, Majusi, Hindu, Budha, tetapi tidak boleh menikahi wanita musyrik Arab, dan tidak juga sebaliknya yaitu pria non muslim menikah wanita muslimah53. Dalam bidang makanan, 53 Ibid IV hal : 169
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
355
A. Tarmizi Sibawaihi
menurutnya yang haram hanya bangkai , darah, babi, dan binatang yang disembelih selain nama Allah. Semblihan ahlul kitab dihalalkan walau menurut cara mereka54. Dari uraian dan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa pemikiran hukum Islam M. Rasyid Ridha lebih cendrung lepas mazhab Hambali.55
IV. Kesimpulan Dari urian-uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad dalam pemikiran Islam Muhammad Rasyid Ridha menduduki posisi yang urgen. Hal ini dapat diketahui dari pendapatnyayang mengatakan bahwa berijtihad itu wajib dan taklid itu haram, ijtihad itu syari’ah, hujjah agama, dan tiang kehidupan agama serta sebagai sumber hukum Islam yang mamiliki wilayah yang sangat luas. Sumber-sumber hokum Islam ada delapan yaitu Al-Qur’an, aSunnah’ ijtia’ ulil amri’ ijtihad’ qias’ maslahat’ urf dan sadd Zariah al-fasad. Dari segi kecendrungan pemikiran hokum Islamnya M Rasyid Ridha lebih dekat pada mazhab Hambali.
54 Ibid hal 194 55 Ibid VI 217 356
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Hukum Islam M. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar
BIBLIOGRAFI Depag, Al-Qur’an dan terjamahnya, PT. Bumi Restu 1976-1977. Syahatah, Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir Al-Qu’an al-Karim, Kairo, Nasyr ar-Rasad al-jamiiyah 1382 H-1962. Syihab Muhammad Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Bandung, Pustaka Hidayah 1415 H – 1994 M. al-Muhtasib, Abbdul Majid Abdussalam, Ittijahat at-Tafsir fil ashr al Hadist, Beirut Dar-al-Fikr 1393 H. al-Qardhawi, Yusuf, al-Ijtihad fis Syariat al-Islamiah Kairo, Dar at-Tauri’ wan Nasyr 1414 H 1994. al-Ishfihani, ar Raghib, Mu’jam Mufrodat Alfazh Algman, Beirut, Dar al-Fikr T Th Ridha Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut Dar al-Fikr T Th Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damakus Dar al-Fikr 1418.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
357