Sekretariat Negara Republik Indonesia
Paradigma Peningkatan Daya Saing: Perspektif Politik Kamis, 21 Juni 2007
Indria Samego Anggota Majelis Profesor Riset LIPI Bidang Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan
“To give a sensible judgements about which countries will flourish and which fail, it is necessary to be able to explain the present and the recent past; why some countries have managed to outpace others, not just in improving their living standards, but in increasing their power and influence in the world. This involves examining the competitive position these countries start from now… It also involves making some judgements about the efficiency of their service industries…how competitive these are the moment, and how their relative competitiveness might change over the next generation. Most important of all, it involves making judgements about the efficiency of their societies as a whole…â€Â? 1 ÂÂ
Pikiran yang dikutip dari Mcrae di atas, sekedar untuk menekankan betapa pentingnya kita melihat persoalan bangsa ini secara menyeluruh dan dinamis. Bukan hanya mengutamakan masa kini saja, ataupun berhenti dengan mengagungagungkan kejayaan masa lalu, melainkan menjadikan keduanya sebagai modal utama untuk merancang masa depan yang lebih baik. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan yang kita miliki, serta menjadikan daya saing sebagai rohnya, masa depan bangsa ini akan semakin baik. Dan sebaliknya, abai terhadap fungsi daya saing, Negara-bangsa ini akan menemui kegagalan.
Ada dua alasan penting untuk menjadikan “peningkatan daya saing� sebagai modal sosial di dalam menghadapi dunia yang makin kompetitif dewasa ini. Pertama, di zaman “dunia tanpa batas� (borderless world) seperti sekarang, kesadaran untuk memahami daya saing (competitive forces) merupakan sebuah keharusan politik (politically imperative). Jika tidak mau menjadi korban dari interaksi yang kian mengandalkan pertarungan kekuasaan (power struggle), maka tidak ada pilihan lain kecuali membangun strategi kompetitif yang menggabungkan tujuan (ends) dengan sarana (means) yang hendak digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kedua, secara empirik, daya saing Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan yang amat tajam. Khususnya di sektor ekonomi dan keuangan, Indonesia kian tidak berdaya di dalam menghadapi pasar global. Sejak krisis ekonomi melanda kita pada paruh akhir 1997, kemampuan kita untuk mengekspor jauh tertinggal dibandingkan nilai impornya. Ditambah lagi dengan kian terbukanya pasar domestik, telah menambah besarnya pengaruh mata uang asing, terutama dollar AS dalam transaksi perdagangan internasional di sini. Sebagai konsekuensinya, ketika kurs mata uang tersebut meningkat, semakin terpuruklah nilai tukar rupiah terhadap dollar. Jika tidak ada upaya-upaya konkrit ke arah peningkatan daya saing, banyak yang menduga bahwa tidak lama lagi kita akan memasuki krisis ekonomi tahap kedua. Dan tentunya, kita semua tidak berharap kekhawatiran di atas menjadi kenyataan.
Kendati konsep awalnya lebih diarahkan pada bidang industri2, ‘daya saing’ dapat pula dikembangkan dalam konteks yang lebih luas. Globalisasi telah memperlebar medan persaingan tersebut. Berbagai batas dan integritas negara yang secara konvensional diakui, kini menjadi konsep yang relatif. Globalisasi telah mampu menyingkirkan batas ideologis, budaya, etnisitas dan lain sebagainya. Hanya negara-negara yang memiliki daya sainglah yang dapat menetralisir dampak globalisasi tersebut. Dilihat dari perspektif politik, paradigma peningkatan daya saing suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumberdaya politik yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, sumber daya politik yang dimaksud berasal dari dua kekuatan (power) yang paling mendasar, yakni perkembangan lingkungan strategis, di satu pihak, serta kondisi politik domestik, di pihak lain.
Mengenai sumber daya politik yang disebut terdahulu, yakni perkembangan lingkungan strategis, sangat diwarnai oleh fenomena globalisasi. Dewasa ini sulit rasanya bagi kita untuk menghindar dari kecenderungan tersebut. Setelah kekuatan Komunisme tidak lagi mampu membendung pengaruh Liberalisme, praktis batas-batas ideologi menjadi tidak relevan lagi. Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, perkembangan dunia mengarah pada suatu sistem baru yang mengabdi pada Demokrasi Liberal dan Pasar Bebas3. Pada gilirannya, kemerdekaan bangsa-bangsa juga menjadi kian relatif. Apa yang sebelumnya dikenal sebagai kedaulatan negara, karena globalisasi, mulai diragukan eksistensinya. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Dengan demikian, jika diperhatikan lebih seksama, sebetulnya apa yang disebut dengan globalisasi bukanlah menyatunya nilai-nilai universal dalam hubungan internasional. Globalisasi dalam konteks mutakhir- paling tidak menurut David Held – harus diartikan sebagai bentuk hegemoni baru dari negara-negara kuat yang dewasa ini menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan ekonomi yang tak tertandingi. Lebih spesifik lagi, globalisasi yang dimaksudkan sekarang adalah manifestasi dari berkembangnya sistem ekonomi pasar yang disponsori oleh AS dan negara-negara industri maju lainnya, baik di Eropa maupun Jepang Dan bila dilihat sejarah perkembangannya, maka globalisasi ini dapat ditafsirkan sebagai Amerikanisasi di seberang lautan.
Yang menjadi masalah, apakah untuk seterusnya kita rela berada di bawah bayang-bayang pengaruh negara adikuasa tersebut? Tatkala sistem ekonomi terbuka dan pasar bebas mulai diterima Pemerintah Orde Baru di akhir 1960-an, kita masih memiliki “comparative adventage� untuk menghadapinya. Dengan sumber daya alam yang berlimpah, ketersediaan tenaga murah dan pasar yang potensial bagi produk barang jadi, saat itu justru kita yang mengundang masuknya aktor ekonomi global ke Indonesia Keperluan akan modal pembangunan di satu pihak, dan kekuntungan komparatif di pihak lain, menjadi semacam “pull factor� (faktor penarik) bagi masuknya pengaruh global ke negeri ini, Namun situasinya sangat berbeda setelah sistem ekonomi terbuka tersebut sungguh-sungguh menjadi satu-satunya pilihan. Ditambah lagi dengan kian menuanya rezim Orde Baru yang kemudian disusul dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional yang dipegangnya dalam kurun tiga dasawarsa, praktis daya saing kita menurun. Hilangnya kepemimpinan yang kuat (strong leadership), di satu sisi dan kian terkurasnya kekayaan alam yang semula menjadi kekuatan pendorong pembangunan, di sisi yang lain, telah menghabisi daya saing kita dalam hubungan internasional.
Pernah muncul sebuah pemikran alternatif yang cukup optimistik di sementara kalangan pemimpin kita waktu itu, yakni Menristek BJ-Habibie – yang kelak menjadi Presiden RI yang menyatakan bahwa kita tidak boleh mengabaikan elemen manusia sebagai faktor penentu daya saing yang baru. Dengan adanya pendekatan yang sistematis untuk mengembangkan keterampilan manusianya. Indonesia pasti akan memiliki ‘competitive advantage’ (keunggula kompetitif). Dengan menggunakan “iman dan taqwa� (Imtaq) dalam mengembangkan “ilmu pengetahuan d teknologi� (Iptek), pergeseran dari comparative advantage menuju competitive advantage hanyalah soal waktu belaka.
Sadar bahwa hubungan internasional – paling tidak bila kita ikuti pemikiran Hedley Bull – merupakan refleksi d masyarakat yang anarkis (anarchical society), pengembangan daya saing merupakan sebuah keniscayaan4. Bila kita ingin memperoleh posisi terhormat dalam hubungan internasional, maka satu-satunya kekuatan yang harus dimiliki adalah daya saing. Apalagi dalam hubungan internasional kontemporer, ketika pengaruh persaingan peradaban–ingat bukunya Samuel Huntington Clash of Civilization yang terkenal itu–antar bangsa semakin menajam, hanya mereka yang memiliki kekuatan real–bukan mitos– lah yang akan muncul sebagai aktor penentunya. Yang menjadi ma kemudian adalah, mungkinkah Indonesia mampu meningkatkan posisi tawar terhadap negara maju yang ingin mengeksploitasi kita? Akankah AS secara dialektis digantikan oleh kekuatan yang lain, termasuk Indonesia? Faktorfaktor politik apa sajakah yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pendorong dan penghambat dari kemungkinan pergeseran kekuatan tersebut?
Semua pertanyaan di atas, secara singkat akan coba dijawab dalam tulisan berikut ini. Paling tidak dari sisi politik, akan dikemukakan dua hal penting yang mempengaruhi keberhasilan kita di dalam meningkatkan daya saing. Pertama, setelah Presiden Soeharto tidak lagi berkuasa, dan sistem politik yang lebih pluralis menggantikan sistem politik yang otoriter, apakah ini pertanda baik bagi peningkatan daya saing Indonesia? Kedua, berakhirnya Perang Dingin dan munculnya AS sebagai kekuatan utama dunia serta demokrasi dan pasar bebas sebagai nafas zaman sekarang, berdampak positifkah terhadap kemampuan Indonesia dalam memainkan perannya di kancah internasional?
Politik Dalam Negeri
Sejak reformasi politik digulirkan pada Mei 1998, Indonesia mengalami perkembangan yang sangat tidak terduga (unpredictable) dan tak ada presedennya (unprecedented). Berbeda dengan Era Orde Baru yang selalu mengidolakan “stabilitas�, “sentralisasi�, “perubahan dari atas�, “mobilisasi partisipasi†kecenderungan yang senantiasa “terkendali�, sejak Presiden Soeharto tidak lagi berkuasa, iklim politik Indonesia http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
ditandai oleh sejumlah kenyataan yang tidak pernah dialami sebelumnya.
Pertama, untuk keduakalinya dalam sejarah politik sesudah Orde Baru, Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih anggota legislatif diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber). Prinsip-prinsip yang di masa sebelumnya agak tabu diketengahkan, yakni “jujur dan adil� (Jurdil), sejak Pemilu Juni 1999, kemudian April 2004 telah diadopsi secara terbuka. Semua partai politik peserta pemilu diperlakukan secara adil di dalam mencari dukungan massa. Kemudian aparat negara–baik sipil maupun militer–tidak diperkenankan membela salah satu kekuatan karena itu pula, Golongan Karya–yang merupakan Partainya Penguasa (Ruler’s Party)–sejak iklim mu lembagakan kembali tidak lagi memperoleh kemenangan besar. Bahkan, sebagaimana kita ketahui, dalam Pemilu 1999, Partai Golkar hanya mendapatkan sekitar 120 dari 462 kursi yang direbutkan di DPR (25,97%). Sedangkan PDI-P, partai yang sebelumnya dimusuhi oleh Pemerintah Orde Baru, justru muncul sebagai pemenangnya dan memperoleh 154 kursi (33,33%). Kemudian, dalam Pemilu 2004, meskipun posisinya meningkat menjadi nomor satu, perolehan Partai berlambang Beringin ini hanya 128 kursi dari 550 kursi DPR yang diperebutkan. Sementara PDI Perjuangan perolehannya turun menjadi 109 kursi dan partai lainnya mengikuti di belakangnya.
Oleh karena liberalisasi politik pula, kita mulai menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk Presiden dan Wakil Presiden. 5 Juli 2004 merupakan hari yang bersejarah untuk Bangsa Indonesia. Sebuah pengalaman pertama dalam sejarah politik Republik ini sudah dilewati, yakni seluruh pemilih Indonesia diberi hak secara langsung untuk menentukan pilihannya terhadap lima pasangan calon presiden dan calon wakil presiden RI. Kemudian, seperti kita ketahui semua, Pasangan Wiranto-Sholahuddin Wahid, Amien- Siswono dan Hamzah-Agum Gumelar tersingkir dari persaingan. Dalam putaran ke II, pertarungan antara calon itu, tinggal menyisakan SBY-Kalla melawan Mega-Hasyim yang telah bertemu pada 20 September 2004. Dan kini sudah memiliki Presiden dan Wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M. Yusuf Kalla (JK). Mulai Juni 2005, sesuai dengan ketentuan perundangan baru, kita telah menyaksikan bagaimana sebagian masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia melakukan pemillihan kepala daerah dan wakilnya, baik di tingkat kabupaten/kota maupun propinsi.
Sebagai akibat dari pemilihan langsung tersebut, tak satu lembaga negara pun yang berhak mewakili kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum. MPR yang semula disebut sebagai lembaga tertingi negara, sekarang tidak lagi. Haknya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden telah diserahkan kepada pemiliknya, yakni rakyat. Struktur MPR pun berubah dengan adanya keharusan seluruh anggota MPR dipilih, baik melalui partai politik untuk DPR dan DPRD, maupun secara pribadi lewat Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini semua konsekuensi logis dari Amandemen Ke IV UUD 1945. Demikian pula halnya dengan DPRD, wewenangnya untuk memilih kepala daerah dan wakilnya dipotong. Untuk selanjutnya, rakyatlah yang  menentukan pemimpin mereka.
Kedua, tiadanya kekuatan mayoritas tunggal (single majority) dalam lembaga perwakilan rakyat kita, telah mempengaruhi pula bagaimana penyelenggaraan negara ini dilakukan. Di masa sebelumnya, Lembaga Eksekutif merupakan sebuah cabang kekuatan yang secara de facto sangat dan paling menentukan dibandingkan dua cabang kekuasaan lainnya, yakni Legislatif dan Yudikatif. Berkat proses pemilu seperti di atas, muncul tuntutan yang semakin terbuka terhadap para penyelenggara negara untuk memperhatikan perlunya penerapan prinsip checks and balances antara ketiganya. Karena adanya perubahan Paket Perundangan di bidang politik, maka lahirlah suatu masa di mana DPR dan DPRD, menjadi sebuah lembaga yang relatif sangat kuat. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, karena fragmentasi kekuatan, serta konfigurasi tokoh yang kian bebas, proses pembuatan keputusan di lembaga tersebut tidak lagi dapat dilakukan secara efisien dan mudah. MPR dan DPR Era Reformasi, telah menjadi sebuah lembaga pengawasan yang sangat efektif terhadap jalannya pemerintahan. Paling tidak untuk mengimbangi kekuasaan Presiden. DPR telah melaksanakan tugas pengawasannya secara optimal. Bahkan dalam banyak hal, terutama DPRD, telah memiliki proses tawar yang jauh lebih efektif ketimbang kekuasaan Eksekutif.
Ketiga, optimalisasi pengawasan DPR atas Pemerintah tersebut dimungkinkan setelah birokrasi pemerintah–baik sipil maupun militer–tidak lagi diperbolehkan untuk berpolitik praktis. Di masa sebelumnya, kedua jalur tersebut telah berfungsi sangat efektif di dalam menulang-punggungi kemenangan Golkar. Mulai dari pimpinannya di Jakarta sampai di daerah-daerah terpencil, birokrasi negara telah digunakan sebagai “sebuah mesin politik� yang ampuh, dan dapa meredam berbagai kekuatan yang mengancam kesinambungan pembangunan dan kepemimpinan nasional. Sesudah memasuki kondisi politik yang berubah, peran tersebut secara radikal dihilangkan. Akibatnya, proses perubahan politik tidak lagi datang dari “atas�, melainkan dari “bawah� dan juga dari “samping�. Disin liberalisasi politik terjadi. Pemerintah yang semula menjadi agent of change, sekarang tidak lagi terlihat perannya. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Kekuatan sosial, sebaliknya tumbuh secara bebas dan berkembang ke segala arah, dan di sana-sini telah menggantikan peran pemerintah. Fenomena demokrasi dari “bawah�, melalui Kelompok Penekan dan Kelompok Kepentingan, sejak era reformasi terlihat semakin kasat mata.
Keempat, otonomi daerah menjadi roh baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meski optimalisasinya belum terlihat, secara wacana (discourse), tidak banyak yang menolak dari keperluan kita untuk memberi ruang yang lebih lapang kepada pemerintah daerah untuk menjalankan perannya. Disertai oleh semakin besarnya kesadaran masyarakat akan hak-hak politik mereka, Pemerintah Pusat sekarang tidak mungkin lagi melakukan hegemoni atas segala persoalan yang terjadi di seluruh tanah air. Jika di masa lalu, otonomi daerah hanya ditafsirkan sebagai penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sekarang mulai diartikulasikan perlunya Jakarta melimpahkan wewenangnya kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, orientasi penyelenggara pemerintahan harus diubah dari “ke atas�, menjadi “ke bawah�.
Kelima, berkembangnya terorisme yang sangat efektif dalam membangun rasa takut. Apalagi di dalam mencapai tujuan mereka menggunakan bom yang terbukti telah mampu menjadi mesin pembunuh yang mengerikan, kehadirannya tentu harus diberi catatan tersendiri. Jika partisipasi politik dipandang sebagai kebutuhan dan ciri demokrasi, maka pengembangan artikulasi politik dengan memanfaatkan teknologi bom, menjadi lain artinya. Bukan hanya orang asing yang menjadi korban, tapi justru yang terbesar, kecuali Bom di Padi’s Café, Bali, Hotel JW Marriott, dan kasus di depan Kedubes Australia, 10 September 2004, kemudian Bom Bali II, Oktober 2005 yang lalu, adalah masyarakat Indonesia yang tidak berdosa. Tiadanya jaminan rasa aman dalam persoalan ini, tentu saja sangat berdampak bagi tumbuh dan berkembangnya iklim usaha di tanah air. Khususnya di kalangan investor dan calon investor asing, kejadian pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, terutama Legian Bali, 10 Oktober 2002, pengeboman JW Marriott 5 Agustus 2003 yang lalu, pada 9 September 2004 di depan Gedung Kedutaan Besar Australia, kemudian Bom Bali II setahun berikutnya, dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap niat mereka untuk mengembangkan usaha di Indonesia.
Keenam, tingginya tingkat korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan kita, telah menjadi pengetahuan dunia. Berbagai kajian telah menggarisbawahi fenomena ini. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), antara lain, mencatat bahwa Indonesia telah dikategorikan sebagai salah satu dari empat negara terkorup di dunia. Di dalam negeri, kita menyaksikan betapa banyaknya kasus ini diberitakan. Bila di masa lalu, banyak terjadi di lembaga Eksekutif, belakangan telah menyebar ke lembaga Legislatif dan Yudikatif. Jika sebelumnya Jakarta mendominasi praktek korupsi, di era reformasi ini telah menyebar ke seluruh penjuru tanah air. Oleh karena reformasi dan demokratisasi tidak hanya bicara struktur, melainkan juga proses, maka peningkatan fenomena korupsi inipun menjadi persoalan lain yang sangat memprihatinkan.
Seberapa jauh perkembangan politik domestik di atas berimplikasi positif terhadap daya saing nasional kita, tentu masih menjadi perdebatan panjang. Ada sementara kalangan yang menganggap bahwa justru fenomena liberalisasi politik seperti sekarang telah memperlemah posisi tawar kita terhadap kekuatan asing. Dengan merujuk pada pengalaman di masa Orde Baru, kelompok ini yakin bahwa prinsip “bersatu teguh, bercerai kita runtuh�, patut dipikirkan oleh para penggagas liberalisasi politik. Namun sebaliknya, mereka yang telah dipengaruhi oleh Paham Liberal, tentu akan mengatakan bahwa kebebasan itulah yang menjadi modal sosial (social capital) bagi sebuah bangsa untuk maju. Dengan diberikannya kebebasan, inisiatif akan tumbuh, dan pada gilirannya dapat dijadikan kekuatan pendorong bagi kebangkitan Indonesia dari kemelut yang dihadapinya sekarang.5
Terlepas dari pertikaian yang berbau ideologis seperti di atas, secara politis perlu dirumuskan kebijakan baru yang tidak hanya mendorong kemerdekaan individu, tetapi juga tanggung jawab politik semua pihak. Terutama dari mereka yang dianggap Kelompok Elite (baik yang sedang memimpin pemerintahan maupun pemimpin informal), harus secara konsisten memberi teladan untuk tidak melanggar hukum dan moral politik. Keberadaan aturan serta penegakan hukumnya, memang satu hal yang juga tidak kalah pentingnya. Namun dalam situasi darurat seperti sekarang, perlu dicanangkan kampanye anti korupsi secara nyata. Ini penting artinya untuk memupus anggapan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Sebab, jika kondisi semacam ini diteruskan, maka akan berakibat negatif terhadap pembinaan iklim bisnis yang sehat di tanah air.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Kemudian, negara pun harus menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih adil, baik antar golongan antar wilayah dan antar perbedaan sosial yang ada. Setelah kebebasan pribadi sebagai modal sosial diperoleh, langkah berikutnya adalah perlu diusahakan sistem pengembangan sumber daya manusia yang menganut prinsip-prinsip rewards and punishment. Mereka yang berperan penting dalam pengembangan SDM–tanpa pandang bulu–harus diberi penghargaan ya layak. Berbagai insentif diberikan kepada mereka yang aktif membina dirinya di sini.
Kondisi Lingkungan Struktural Para pemikir Marxists beranggapan bahwa ketimpangan internasional, antara lain disebabkan oleh adanya hubungan yang tidak adil antara negara kaya dengan negara miskin. Yang disebut pertama, biasanya lebih maju dibandingkan dengan yang disebut belakangan. Mereka yang kaya memiliki segala kebutuhan yang diperlukan oleh yang miskin. Artinya, si kaya dapat secara lebih bebas menentukan target hubungan dengan yang terbelakang. Sebaiknya, yang miskin hanya tergantung kepada mereka yang kaya. Akibatnya, hubungan yang terjadi bukanlah manifestasi dari hubungan produktif, melainkan hubungan eksploitatif. Pada gilirannya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa negara di Utara menjadi kaya, karena telah memiskinkan negara yang berada di belahan Selatan.
Seberapa jauh tesis ini dapat dipertahankan, tentu saja masih perlu diuji lebih lanjut Yang pasti adalah bahwa ada negara-negara berkembang yang sekarang berubah menjadi negara kaya. Walau pun jumlahnya tidak banyak. Tapi setidaknya fenomena di atas dapat menggugurkan argumentasi Kiri tersebut. Memang, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan negara kaya sebagai penyebab dari keterbelakangan negara-negara di Selatan. Namun, secara empiris dapat pula ditemukan sejumlah fakta yang pada akhirnya sedikit mendukung tesis Marxis di atas.
Pertama, sebagaimana telah disinggung di muka, adalah sebuah utopia bila kita berharap bahwa hubungan internasional itu akan melahirkan kesejahteraan bersama antar seluruh umat manusia. Negara mana pun senantiasa dibimbing oleh politik luar negeri yang mengabdi kepada kepentingan nasionalnya. Demi kepentingan yang satu ini, setiap negara berusaha menggunakan segala cara yang dimungkinkan. Faham “tujuan menghalalkan segala cara� barangkali tidak pernah menjadi persoalan benar dalam hubungan internasional. Karena masyarakat yang anarkis itulah, maka lahirlah pola hubungan antar negara yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran egosentrisme dari masing- masing pelaku hubungan internasional. Atas nama kepentingan nasional, setiap negara berusaha dengan sekuat tenaga memperluas pengaruhnya di negara lain. Dalam konteks ini, independensi tiap negara jauh lebih menonjol ketimbang interdepensinya.
Kedua, memang ada hubungan bantuan dari negara kaya terhadap negara miskin. Sejak adanya Dekade Pembangunan yang disponsori PBB pada dasawarsa 1950-an, AS dan beberapa negara industri maju lainnya, telah banyak memberikan bantuan–baik hibah maupun hutang– kepada negara-negara yang bersedia untuk menjadi “sekutunya�. Sebagai akibatnya, seolah-olah telah terjadi segala bentuk tranfer–ilmu dan modal Selatan. Tapi dalam kenyataannya, hanya sedikit yang dipindahkan dan dinikmati oleh masyarakat di Selatan, khususnya Kelompok Elite. Sebagian besar lainnya, lari ke Utara, baik dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam, maupun relokasi industri, yang pada akhirnya lebih menguntungkan kekuatan multinational corporation, daripada national enterpreneurs. Fenomena ketergantungan Selatan atas Utara inilah yang belakangan menjadi disinsentif bagi peningkatan daya saing kita di dalam menghadapi pasar global. Dalam hubungan inilah, maka “trade is better than aid� mendapatkan kebenaran empiriknya.
Ketiga, pembentukan pasar bersama atau organisasi regional, seperti AFTA, APEC, WTO dan lain sebagainya, juga harus disikapi secara kritis. Negara-negara maju memang akan mendorong lahirnya kerjasama seperti ini. Kita sering beranggapan bahwa lewat kerjasama tersebutlah perekonomian kita akan terdongkrak. Secara retorik memang demikian, tapi dalam kenyataannya, justru berbagai bentuk kerjasama tersebut diciptakan untuk memberi peluang lebih lebar lagi bagi tumbuhnya sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan sistem yang berkembang di negara maju. Artinya, bila kita tidak memiliki kesiapan betul, pada akhirnya akan menjadi mangsa dari pelaku pasar raksasa dalam organisasi regional tersebut.
Prospek Memang tidak terlalu mudah bagi kita untuk mengubah fenomena seperti dinyatakan sebelumnya. Baik kondisi politik http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
dalam negeri maupun lingkungan struktural, tidak terlalu bersahabat dengan upaya kita untuk membalik keadaan. Semuanya telah menjadi sebuah paradigma yang menguasai peradaban kita sekarang. Liberalisme yang telah berabad berkembang di belahan dunia Barat, kini, kata Francis Fukuyama, mengalami masa keemasannya. Sementara bangsa-bangsa yang terbiasa dengan budaya politik komunal dn kolektif, masih belum terbiasa hidup dalam alam yang mengandalkan kompetisi. Thomas Kuhn, tidak keliru ketika mengatakan bahwa sebuah paradigma akan lahir manakala ditemukan norma, dalil dan pandangan dunia tersendiri di dalam memahami sebuah fenomena6. Selama pandangan tentang dunia (world view) kita dikuasai oleh negara lain, maka mustahil kita dapat menunjukkan adanya paradigma tersebut.
Bagaimana halnya bila pemikiran di atas dikaitkan dengan perkembangan Indonesia kontemporer, khususnya Indonesia yang secara politik makin majemuk dan terbuka? Dari sisi politik, kita memiliki potensi untuk mengembangkan paradigma daya saing yang baru itu. Beberapa di antaranya yang terpenting adalah pelembagaan demokrasi melalui pemilihan umum yang bebas dan adil. Meski kualitas yang dihasilkannya masih jauh dari memuaskan, keberadaan anggota lembaga perwakilan rakyat yang ada sekarang, dianggap relatif mencerminkan kemajemukan masyarakatnya. Kelebihan lain dari pemilu sekarang adalah kemampuannya untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan yang terpenting adalah memilih Presiden dan Wakilnya serta pemimpin daerah di seluruh tanah air. Pemilu untuk kedua lembaga terakhir ini sungguh-sungguh baru dalam sejarah politik Indonesia. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa model pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat akan memperkuat legitimasi dari yang dipilihnya. Dengan cara itu pula kita dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Bangsa Indonesia pun mampu melakukan suksesi kepemimpinan secara damai dan demokrasi. Kemudian, kohesi bangsa juga menjadi elemen daya saing yang lain. Meski potensi untuk memecah belah bangsa terlihat cukup besar, sampai sekarang integrasi nasional masih dipandang sebagai nilai bersama yang harus dipertahankan. Memang, selain diperlukan waktu yang lama, juga harus ada kemauan politik yang serius dan konsisten dari para pengambil keputusan untuk melakukan berbagai upaya pembinaan bangsabangsa ini. Tanpa hal itu, barangkali hanya mimpi saja kita akan dapat bersaing dengan negara industri maju. Jangankan dengan mereka, dengan negara tetangga pun kita akan dikalahkan.
Ironinya, kita belum melihat bagaimana Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang telah dipilih langsung oleh sebagian besar rakyat (60%) pada 20 September 2004 yang lalu dapat secara memuaskan menunjukkan agenda konkritnya sebagaimana dijanjikan dalam kampanye Pilpres dan Pilwapres sebelumnya. Yang nyata justru–meminjam istilah yang dituduhkan oleh kalangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)–“aksi tebar pesona� Presiden dalam berbagai kesempatan. Mesti tidak sepenuhnya benar, namun, harus diakui sebagai masukan bagi Pemerintah SBY-JK untuk memperbaiki kinerjanya. Apalagi memasuki tahun ke tiga pemerintahannya, SBY-JK harus mengkonsentrasikan agendanya pada hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Bila tidak, popularitas Pemerintah sekarang akan terus menurun. Sebelum sempat diperbaiki, 2008 nanti, mereka dan sejumlah anggota kabinetnya yang pemimpin partai politik, akan jalan sendiri-sendiri mempersiapkan Pemilu 2009. Berarti, tidak ada lagi kesempatan buat memperbaiki keadaan secara kolektif, bila dalam tahun penentuan ini (2007) Pemerintah tidak secara all out meningkatkan kinerjanya. Meski Pemerintah memberikan dana kompensasi sebesar Rp 100.000/bulan/keluarga, kemudian menaikkan harga dasar gabah, nilainya menjadi tidak berarti dibandingkan keharusan masyarakat menghadapi inflasi dalam semua komoditas dan jasa sebagai akibat dari naiknya harga BBM. Kepercayaan publik terhadap janji kampanye kedua tokoh “bersama kita�, atau “saatnya kini melakukan perubahan�, b dibuktikan secara optimal. Sementara kita bertanya-tanya “mau dibawa kemana Negara-bangsa ini?�, dari salah satu sudut ruang publik kemudian menyeruak sebuah proyeksi yang optimistik tentang Indonesia 2030. Konon, menurut Indonesia Forum, dalam dua puluh tahun ke depan, kita akan menjadi salah satu dari lima aktor utama dalam perekonomian dunia. Dengan pendapatan perkapita di atas 18 ribu US dollar, perkembangan Indonesia akan menemukan titik baliknya. Akankah kalkulasi matematis mengenai Indonesia yang lebih baik ini akan menemukan momentumnya? kita tunggu saja dengan sabar.
ÂÂ
____________________________ 1Hamish McRae, The World in 2020: Power, Culture, and Prosperity, Boston: Harvard Business School, 1994, p.3. 2Karena ‘daya saing (competitive forces)’ merupakan paradigma, ia harus dilihat secara dinamis. Lihat uraian Michael E. Porter, (1980), Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors, New http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52
Sekretariat Negara Republik Indonesia
York, The Free Press dan juga Competitive Advantages of Nations. 3Kesimpulan semacam ini secara eksplisit dinyatakan oleh Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man, Avon Books, 1992. 4Pikiran kalangan Realist atau Neo-Realist, semacam ini dapat dilihat, antara lain, dalam Robert Gilpin, War & Change in World Politics, Cambridge University Press, 1981 (Reprinted). 5Analisis mendalam mengenai pentingnya social capital bagi kesinambungan sebuah bangsa, lihat Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues & The Creation of Prosperity, The Free Press, New York, 1995. 6Uraian lebih rinci dan menarik lihat bukunya, Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, University of Chicago Press, Chicago, 1996 (Third edition).
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 26 January, 2017, 12:52