Sekretariat Negara Republik Indonesia
Krisis Nasionalisme, Wacana atau Struktur Kesadaran? Kamis, 21 Juni 2007
Taufik Abdullah Mantan Ketua LIPI. Saat ini aktif sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Rejim dan Penguasaan Makna
Barangkali di tahun 1948, ketika Republik Indonesia, yang diproklamasikan di tahun 1945, untuk pertama kalinya merayakan tanggal 20 Mei sebagai “hari Kebangkitan Nasionalâ€Â?. Sejak ituâ€â€?kecuali di tahun 1949 ibukota Republik diduduki Belandaâ€â€?setiap tahun tanggal ini dirayakan. Biarkanlah sajalah gugatan bahwa hari lahir Budi Utomo di tahun 1908 ini sesungguhnya hanyalah mitologisasi sejarah saja, tetapi yang kini menjadi masalah ialah dugaan bahwa nasionalisme Indonesia kini mengalami pasang surut. Apakah hal ini suatu kenyataan ataukah suatu kritik sosial saja? Apakah dugaan ini datang karena pertukaraan rejim dirasakan sebagai kemerosotan dari landasan ideologi yang pernah dipakaikan secara ekstensif oleh rejim yang telah tumbang? Baiklah kemungkinan ini ditinjau lebih dulu.  ÂÂ
Pertukaran rejim ternyata tidaklah hanya berarti terjadinya pergantian pemegang tampuk kekuasaan dan bahkan kerap kali bukan pula sekadar mengacu pada  peralihan landasan politik. Pertukaran rejim kerap kali diiringi oleh perubahan makna dari kata dan konsep politik. Kalau dulu kata atau konsep tertentu harus diartikan “begitu�, maka kini, setelah pergantian kekuasaaan, bisa saja mesti bermakna “begini�. Bahkan pergantian kata atau konsep yang dianggap sah untuk dipakai dalam sistem wacana pun tidak pula jarang terjadi. Sering kali juga klaim-diri dari rejim yang digantikan itu dianggap tidak sah dan rejim baru pun memberi penamaan baru, yang praktis berarti sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan. Ketika kekuasaan Demokrasi Terpimpin berakhir dan Orde Baru bermula, apakah yang segera terjadi, kalau bukan penggantian nama Demokrasi Terpimpin menjadi “Orde Lama�?. Dengan begitu saja rejim yang digantikan itu dijadikan sebagai “orde�, suatu tatanan sosial-politik yang kompleks, bukan sekadar pemegang dan sistem kekuasaan. Tetapi orde itulah yang harus ditinggalkan.
Peristiwa seperti ini adalah hal yang lumrah saja. Betapapun mungkin demokratisnya landasan sebuah kekuasan, namun hasrat untuk menampilkan diri sebagai pembawa obor segala kebaikan adalah penyakit kronis dari setiap sistem kekuasaan. Faktor yang membedakan satu kekuasaan dengan kekuasan lainnya hanyalah terletak pada intensitas dari hasrat ini. Setiap rejim yang baru berdiri, bahkan juga kepala pemerintahan yang baru, biasa memulai periodenya dengan klaim seperti itu. Keberhasilannya menegakkan kekuasaan sekaligus diproklamasikan sebagai awal dari masa depan yang cerah. Maka begitulah rejim yang digantikan dengan begitu saja digambarkan sebagai penguasa dari masa kegelapan. Semakin otoriter sistem kekuasaan itu semakin tinggi kecenderungan untuk menguasai makna dari kata atau pun konsep politik. Hegemoni makna adalah ciri yang khas dari setiap rejim yang otoriter.
Ketika Demokrasi Terpimpin jatuh, sebuah pelajaran penting bisa juga didapatkan. Soalnya ialah salah satu landasan ideologis yang dipakai Demokrasi Terpimpin untuk menyatakan legitimasi kehadirannya ialah ajarannya yang mengatakan roda revolusi yang selalu berputar adalah suatu keharusan sejarah yang tidak bisa dielakkan. Maka bisalah dipahami juga mengapa pidato Ulang Tahun Proklamasi Presiden Sukarno di tahun pertama rejimnya, �Penemuan Kembali Revolusi Kita� (1959). Rejim ini membanggakan dirinya sebagai pemegang suluh yang terang dari suasana revolusi yang tanpa henti. Di masa inilah kata dan konsep yang langsung ataupun tidak berkaitan dengan suasana ke-revolusi-an menjadi dominan. Dan begitu pula sebaliknya, segala hal yang dianggap tidak termasuk kategori revolusi, mengalami kemerosotan makna. Tetapi ketika kekuasaan rejim ini diakhiri, maka “transformasi� dalam dunia wacana dengan begitu saja terjadi. Demokrasi Terpimpin dinamakan “Orde Lama�. Bukankah kata sifat “lama� di belakang konsep tertentu dalam politik kontemporer biasanya mempunyai konotasi “ketingg zaman�, konservatif, bahkan tak pula jarang reaksioner? Kalau begitu soalnya, maka tentu saja Orde Lama itu adalah tatanan yang tidak lagi laku dan karena itu harus diganti.
Tetapi jangan-jangan ejekan terhadap Demokrasi Terpimpin sebagai “Orde Lama� sebenarnya adalah contoh dar peristiwa ketika “senjata makan tuan� – suatu hal yang sering juga terjadi dalam dunia wacana politi otoriter. Jangan-jangan pula logika politik dari wacana “revolusi� yang dipakai Demokrasi Terpimpin terkena pada diri sendiri, ketika kekuasan politiknya telah terlepas. Bukankah dalam pidato-pidatonya Bung Karno, seorang Presiden http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
yang lebih suka menyebut dirinya “Penyambung Lidah Rakyat “ dan “Pemimpin Besar Revolusi�, se menggambarkan revolusi sebagai saat ketika irama tanpa henti dari “menghancurkan dan membangun�, “retooling�, “herodening� menguasai semua aspek kehidupan bangsa? Bukankah pula  Indonesia� yang dikatakan tidak kenal pemberhentian itu selalu pula dikatakan sebagai sebuah “revolusi yang multi-kompleks�? Inilah situasi kehidupan kenegaraan�seperti yang tercermin juga dalam kenyataan empiris dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai corak konflik internal dan eksternal�dan alam pemikiran politik yang dikecam Bung Hatta dalam tulisannya Demokrasi Kita. (1960). Pada waktunya, kata Bung Hatta “revolusi harus dibendung�. Setelah itu harus segera dilakukan “konsolidasi yang revolusioner�, dengan tujuan dan fokus yang jelas. “Revolusi� adalah suasana, kata Hatta, sambil mengutip filosof Jerman yang terkenal, Nietschze, ketika “penjungkirbalikkan semua nilai� (Umwertung aller Werte) berkecamuk. Dengan kata lain, itulah saat ketika masyarakat hanya sibuk mengubah tanpa sempat memikirkan arah perubahan.
Tentu saja peringatan Bung Hatta ini tidak membawa dampak politik apa-apa. Ia sudah berada di luar sistem kekuasaan dan tulisannya itu dilarang untuk diedarkan sedangkan majalah yang memuatnya pun diberangus. Tetapi di atas segala-galanya hegemoni wacana dan makna yang diterapkan Demokrasi Terpimpin cukup efektif juga. Di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno hegemoni ini semakin kuat dan dominan. Siapakah yang bisa menandingi kemampuan persuasif Sukarno? Apalagi kemampuan ini didukung pula oleh sebuah sistem kekuasaan yang sesuai.Tetapi akhirnya suasana Umwertung aller Werte yang senantiasa dihidupkan dan dipelihara Demokrasi Terpimpin membalik pada dirinya sendiri. Komplotan yang menyebut diri “Dewan Revolusi� melakukan usaha coup d’etat. Seketika usaha c yang berumur hanya beberapa jam ini gagal, suasana revolusi berubah menjadi kekacauan dan keambrukan nilai dan perilaku. Dan bangsa pun mengalami tragedi yang paling traumatis dalam sejarah.
Sistem Wacana dan Realitas Empirik Tragedi nasional yang maha dahsyat dan sangat traumatis dalam sejarah kontemporer Indonesia terjadi di saat Indonesia sedang terlena dalam suasana serba-revolusi. Di “malam jahanamâ€Â? 30 September jalan 1 Oktober 1965 beberapa orang jenderal TNI-AD dan seorang perwira muda diculik dan dibunuh. Seketika keterkejutan akan peristiwa yang tragis ini teratasi maka seakan-akan seperti air bah yang datang melanda, anak bangsa dengan begitu saja terlarut dalam konflik yang sampai kini membekaskan dendam. Konflik agraris yang telah bermula sejak tahun 1964, akibat “aksi sepihakâ€Â? dalam pelaksanaan undang-undang agraria, meningkat tajam. Bahkan di beberapa daerah konflik agraris itu tercampur aduk dengan konflik ideologi bahkan juga dengan terrorisme negara. Perbedaan ideologiâ€â€?bahkan kecurigaan akan adanya perbedaanâ€â€?yang dianggap fundamental, dengan begitu saja menjerumuskan bangsa ke dalam lembah konflik yang teramat dalam. Kekuataan-kekuatan antagonistik yang tidak bisa didamaikan, sebagaimana dibayangkan dalam sistem wacana yang dipelihara Demokrasi Terpimpin, kini menampilkan dirinya dalam kancah realitas yang teramat keras. Maka korban pun berjatuhan dan teramat banyak pula. Tanpa disadari konflik, yang secara implisit adalah bagian yang tak terlepaskan dari irama “menghancurkan dan membangunâ€Â? dari revolusi yang multi-kompleks, bukan lagi tampil sebagai wacana revolusioner tetapi terwujud dalam realitas empiris yang mengenaskan.ÂÂ
Dalam kegalauan peristiwa yang mencekam dan menegangkan ini�suatu episode sejarah yang sampai kini meninggalkan bekas dalam struktur ingatan kolektif bangsa� sistem wacana masih seluruhnya berada dalam paradigma revolusioner yang dipelihara Demokrasi Terpimpin. Maka para jenderal yang terbunuh di malam yang naas itu pun disebut “pahlawan revolusi� dan landasan ideologis dari Supersemar (11 Maret, 1966), yang memberi kekuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk menyelesaikan keamanan, juga memakai argumen penyelamatan revolusi.
Tetapi setelah pertanggungan jawab Presiden Sukarno ditolak MPRS dan dengan melalui berbagai cara “bujukan yang memaksa�, ia akhirnya bersedia menyerahkan jabatan kepresidenan, sistem wacana pun mengalami perubahan yang dramatis. Demokrasi Terpimpin yang “revolusioner� kini telah menjadi “Orde Lama†itu telah terkena kutuk wacana yang dibentuk dan dibinanya sendiri�ia dijatuhi vonis sebagai “tidak revolusioner�, jadi kontra revolusi alias kontrev, sebagaimana jargon waktu itu menyebutkannya. Karena itulah rejim ini dan segala perangkat kekuasaan dan simbol-simbolnya harus disingkirkan.
Peristiwa selanjutnya? The rest is history, kata orang sana. Atau dengan kata lain, peristiwa selanjutnya telah menjadi pengetahuan umum. Setelah Bapak Bangsa yang selalu “gandrung persatuan� dan terpukau “pada roman revolusi� (sebagaimana katanya berkali-kali) tersingkir dari kekuasaan, Jenderal Soeharto pun tampil sebagai pemegang tampuk kekuasan yang baru. Sejak hari pertama ia menjabat kedudukan itu, proses perubahan sistem http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
wacana dan makna pun mengalami perubahan. Selama beberapa tahun di awal pemerintahan Orde Baru kata-kata “revolusiâ€Â?, “ideologiâ€Â? dan sejenisnya tersingkir dari sistem wacana. Kedudukan kata-kata itu sebaga politik digantikan, yang tampil ialah “pembangunanâ€Â?, “programâ€Â?, “rancanganâ€Â?, †“anggaranâ€Â?, dan sebagainya. Tentu saja Manipol-USDEK, ideologi instrumental Demokrasi Terpimpin, telah tersingkir jauh. Orde Baru tidak memerlukan ideologi instrumental, yang memang praktis berfungsi sebagai alat ideologis untuk menyingkirkan kekuatan sosial-politik yang dianggap tidak mendukung. Dengan berpegang pada pemahaman tentang tuntutan Pancasila dan UUD 1945 secara bertahap tetapi pasti Orde Baru menjadikan dirinya sebagai penentu keabsahan segala sesuatu. Kini yang tampil ialah GBHN, yang secara resmi dirumuskan oleh MPRâ€â€?lembaga tertinggi Negara yang lebih dari 50 persen anggotanya diangkat oleh sang Mandataris MPR alias Presiden. Di samping itu juga Repelita, yang dibuat Bappenas tetapi keabsahannya ditentukan oleh DPR, yang didominasi partai pemerintah. Maka dengan dikawal oleh seperangkat alat-alat yang ekstra-konstitusional, seperti antara lain Kopkamtib, Orde Baru menjalankan pembangunan nasional, tetapi tetap mempertahankan tradisi otoritarianisme yang berlandaskan argumen “jati diri bangsaâ€Â? dari orde yang telah digantikannya.ÂÂ
Dalam perjalanan waktu yang cukup panjang akhirnya Orde Baru harus terkena kutukan dari sistem wacana yang dibangunnya sendiri. Kalau sistem wacana dengan pemakaian aparatus lingustik yang serba hiperbol, yang membesarbesar, dengan kecenderungan memakai kata-kata keras, sebagaimana yang diperagakan Demokrasi Terpimpin, berakhir dengan tragedi, maka kekuasaan terlepas dari tangan Orde Baru ketika kegalauan ekonomi dan sosial-politik yang mengenaskan tak teratasi. Orde Baru meninggalkan tradisi wacana yang serba hiperbol, tetapi memperkenalkan gaya serba euphemisme, yang mengecil-ngecil dan memperbagus-bagus. Maka orang tuli disebut tunarungu, orang buta menjadi tunanetra, dan sebagainya. Kelaparan dikatakan “kurang gizi�, kenaikan harga dikatakan “penyesuaian harga�. Tetapi siapakah yang tahu persis apa realitas sesungguhnya di belakang kata “diamankan�? Baik hiperbol maupun euphemisme mencoba mengatakan sesuatu tetapi menyembunyikan realitas yang sesungguhnya di belakang sesuatu itu.
Demikianlah ketika Orde Baru memulai karirnya rejim ini memang “baru�. Tetapi sekian tahun kemudian apakah yang terjadi? Apakah mungkin sesuatu yang dikatakan “baru� harus abadi dan menjadi tatanan yang dibakuk Bukankah “baru� adalah kata sifat yang bercorak perbandingan dalam konteks dimensi waktu? Lagi pula bukankah suatu keharusan logika belaka kalau dalam sistem wacana sesuatu yang bahkan telah dianggap baku itu sewaktu-waktu harus juga mengalami pembaharuan alias “reformasi�? Maka seperti halnya dengan saat kejatuhan Demokrasi Terpimpin �meskipun dengan situasi sosial politik dan corak peristiwa yang sangat berbeda�sistem wacana yang dipelihara Orde Baru itu setahap demi setahap juga kehilangan daya pikatnya.
Ketika krismon dengan dahsyat melanda negeri ini dan mulai menjalar ke berbagai aspek kehidupan kewibawaan Orde Baru mengalami krisis. Ketika publik politik, terutama para mahasiswa mulai sibuk menuntut keharusan terhapusnya KKN, tegaknya kepastian hukum dan supremacy of law, terwujudnya good governance and clean government, dan sebagainya, krisis wibawa Orde Baru tidak bisa lagi diselamatkan. Dengan begitu saja Orde Baru yang sangat ideologis tetapi menerapkan strategi developmentalisme yang teknokratis, kehilangan landasan legitimasinya. Bukan saja Presiden Soeharto, yang baru saja dipilih untuk ketujuh kalinya, harus turun, sistem wacana Orde Baru pun mengalami goncangan pula.ÂÂ
Maka begitulah dalam semangat “reformasi� Pemilihan Umum pun diadakan sebelum waktunya dan Presiden Habibie, yang menggantikan Presiden Soeharto, harus menghadapi pelajaran yang pahit ketika perubahan politik sedang terjadi. Meskipun telah merintis banyak hal dalam proses demokratisasi, ia memilih mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Presiden ketika pidato pertanggunganjawabnya ditolak oleh MPR, yang baru terbentuk. Presiden Habibie diperlakukan sebagai warisan Orde Baru yang telah ditumbangkan. Dalam suasana reformasi ini Presiden baru dipilih dan kemudian dijatuhkan. Dan Wakil Presiden, yang menggantikannya, gagal terpilih ketka ia mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden yang untuk pertama kalinya langsung oleh rakyat. Sementara itu UUD 1945 pun mengalami amandemen sampai empat kali. Dan seterusnya dan sebagainya. Tetapi setelah sekian tahun dan telah empat orang presiden pula tampil bergantian apakah yang telah berubah?
Sistem Wacana dan Nasionalisme Kejatuhan Orde Baru tidak melahirkan sebuah rejim, tetapi menimbulkan suasana krisis yang bersifat mutidimensional. Terlepas dari dominasi kekuasaan Orde Baru suasana ini melahirkan berbagai corak idealisme tentang masa depan bangsa. Ketika sistem kekuasan yang serba mengungkung dan serba dominan telah disingkirkan kesempatan pun http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
terbuka lebar bagi terjadinya perbenturan wacana. Di waktu itulah segala kesatuan pendapat dan persamaan idealisme yang sejak lama dipelihara oleh Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mencair begitu saja. Seperti dulu, juga, ketika “demokrasi parlementer� masih merupakan tatanan kenegaraan, perbenturan idealisme terjadi. Hanya saja kini hal itu terjadi ketika tradisi otoritarianisme telah terpaku dalam struktur kesadaran. Maka kegaulauan sosial politik pun terjadi. Idealisme ke arah terwujudnya demokrasi yang sehat tetapi ditempa oleh sikap otoriter menghasilkan eforia yang merelatifkan keberlakuan kesopanan politik dan keharusan konstitusional. Demonstrasi dalam berbagai bentuk dan gaya adalah pantulan yang jelas dari situasi ketika afinitas yang aneh dari hasrat demokrasi yang sekian lama terpendam dengan tradisi otoriter yang telah menjadi bagian dari struktur kedirian. Dalam suasana eforia politik di kotakota besar inilah pula bermacam corak konflik horiontal meletus di berbagai daerah. Perbedaan sosial-ekonomis, agama, etnisitas, bahkan juga lingkungan tempat tinggal bisa menjadi alasan untuk menentukan mana lawan dan mana pula kawan.
Di waktu demonstrasi, yang hampir tanpa henti untuk memperjuangkan sesuatu yang ideal, dilakukan dengan keberingasan maka sesungguhnya ketika itu pula wibawa dan legitimasi pemerintah sedang digugat. Ketika konflik horizontal meletus dan dengan begitu saja merengut nyawa dan menghancurkan wilayah tempat tinggal maka sesungguhnya yang terjadi ialah dua komunitas yang berselisih sedang asyik mengingkari keabsahan dari kehadiran negara. Konflik horizontal bukan saja ingin mendapatkan kemenangan berhadapan dengan lawan tetapi sesungguhnya adalah pula suatu bentuk wacana pengingkaran akan relevancy kehadiran negara, meskipun keberadaannya diakui. Hal ini terasa semakin kental juga karena sejak awal kehadiran negara ini dinyatakan sebagai penjaga keselamatan bangsa dan keutuhan tanah air. Karena itu mestikah diherankan kalau di tengah-tengah kegalauan sosial politik, demi terwujudnya tatanan yang dianggap ideal, pertanyaan sederhana pun mulai tertanyakan juga. Kemanakah perginya nasionalisme? Kemanakah perginya cita-cita yang telah mengikat berbagai kesatuan sosial dan kebudayaan dalam sebuah tatanan yang disebut negara-bangsa? Apakah jadinya dengan persatuan yang memungkinkan sebuah negarabangsa yang bernama Indonesia akhirnya berdiri dan mendapat pengakuan, betapapun untuk mencapainya harus melalui perjuangan yang menuntut darah dan air mata? Ulang tahun Hari Proklamasi ke-61 bukan saja ditandai oleh berbagai macam corak peringatan dan perayaan, baik resmi yang diatur pemerintah ataupun spontan yang diselenggarakan masyarakat, tetapi adalah pula saat ketika keprihatinan akan proses pelemahan semangat nasionalisme dengan keras dirasakan. Sesuatu yang pernah menghangatkan kehidupan bangsa kini seakan-akan menipis dan melayang. Apakah yang telah terjadi? Mengapakah nasionalisme, yang telah berhasil membentuk hasrat akan terwujudnya sebuah komunitas yang integratif, yang melebihi ikatan primordial dan yang mengikat segala macam perbedaan dalam sebuah ikatan sosial politik yang disebut bangsa, kini terasa sedang mengalami kemerosotan?
Ataukah barangkali krisis nasionalisme ini hanyalah sebuah contoh yang lain dari pergantian sistem wacana di saat rejim lama telah ditumbangkan? Siapa tahu, mungkin inilah masalahnya. Siapa tahu pula jangan-jangan “nasionalisme� itu hanya terasakan sebagai ada dan fungsional ketika musuh bersama sedang dihadapi dan�mungkin juga�ket sebuah kekuasaan yang dominan memaksakan keberlakuannya. Soalnya ialah ketika seruan “reformasi“ telah dikumandangkan dan gerakan ke arah pencapaian program telah dilakukan, di waktu itu pula keabsahan Orde Baru digugat. Dengan begini, nasionalisme yang selama ini�bahkan sejak zaman Demokrasi Terpimpin�praktis dikua Negara kini harus mengalami ujian keabsahannya. Baik Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru adalah negara serakah yang menguasai seluruh aspek dan semua lapisan kehidupan kehidupan politik, memonopoli sistem patronage dan sumber daya ekonomi, bahkan juga menjadikan dirinya sebagai penentu isi ingatan kolektif dan pembentuk kesadaran bangsa. Bukankah hal-hal ini yang menyebabkan kedua rejim itu menyelenggarakan segala macam program “indoktrinasi� dan “penataran�?
Dalam suasana ini nasionalisme�suatu visi tentang diri dan sejarah serta program kekinian dan cita-cita masa depan yang tumbuh dari kesadaran sejarah dan visi masa depan�telah diperlakukan sebagai landasan ideologis dari legitimasi kekuasaan. Dipelihara oleh sebuah negara yang serakah, nasionalisme telah berada dalam penguasaan negara. Semangat nasionalisme yang telah menjadikan patriotisme sebagai batu loncatan bagi masa depan dan berhasil pula mengatasi hambatan primodialisme bagi kelahiran sebuah bangsa, telah menjadi alat kekuasaan. Dengan begini sebuah nasionalisme resmi atau mungkin bisa juga disebut nasionalisme-negara telah dilahirkan dan dipelihara. Ketika nasionalisme resmi ini semakin kokoh juga masyarakat-bangsa pun kehilangan hak atas wacana yang semula menjadi landasan dari kelahirannya. Di bawah hegemoni makna yang dipelihara negara yang serakah nasionalisme yang semula bertolak dari idealisme telah menjadi ideologi penyangga dari sistem kekuasaan. Pengingkaran atas keabsahan perilaku kekuasaan sekaligus bisa juga diartikan sebagai penafian keberlakuan nasionalisme.
Dapatlah dibayangkan kalau ketika Orde Baru jatuh, keabsahan dari segala hal yang pernah berada di bawah dominasinya mengalami krisis pula. Dalam suasana ini nasionalisme pun tenggelam dalam lautan lupa karena kini yang http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
teringat ialah keharusan adanya supremasi hukum dan berlanjutnya proses demokratisasi dan yang dirasakan ialah keresahan akan kemiskinan yang menaik dan pendidikan bagi anak-anak dan kesehatan bagi keluarga semakin jauh dari jangkauan       ÂÂ
Kalau begitu apakah mungkin yang dianggap sebagai kemerosotan itu hanyalah pembebasan dari dominasi wacana dua rejim otoriter ketika hasrat reformasi ingin mendapatkan kembali cita-cita bangsa yang murni sebelum diwarnai oleh panggilan kekuasaan? Mungkin juga demikianlah halnya, sebab panggilan nasionalisme memang sangat mudah dipakaikan oleh apapun dan siapapun bagi penguatan dirinya dan peneguhan legitimasinya. Di balik keluhuran hasrat dan cita-cita yang terkandung dalam dirinya, bahkan juga yang menjadi pendorong dari kelahirannya, nasionalisme adalah juga sebuah ideologi yang strategis bagi penguasa untuk mengekang kebebasan anak bangsa. Unsur integratif yang terlekat dalam nasionalisme dengan mudah bisa dikuasai, meskipun ini berarti harus mengorbankan unsur demokratis yang sesungguhnya merupakan bagian esensial dari kelahiran dan eksistensi dirnya. Kalau begitu halnya krisis nasionalisme bisa juga dilihat sebagai pantulan dari menaiknya hasrat kebebasan. Tetapi bagaimanakah realitas empirik yang sesungguhnya?
Jika sekiranya benar bahwa krisis nasionalisme dalam kesadaran bangsa itu adalah pantulan dari krisis wacana, ada satu hal yang tampaknya sederhana meskipun kadang-kadang terlupakan yang perlu disebutkan juga. Keampuhan sistem wacana atau sebaliknya, kelemahannya, tidaklah semata-mata tergantung pada dirinya, tetapi sangat ditentukan oleh situasi empiris yang menjadi konteks kehadirannya. Krisis wacana Demokrasi Terpimpin tidak akan bertahan lama jika saja situasi empirik, yang merupakan konteks dari terjadinya krisis itu, tidak terasa sebagai pemberi konfirmasi atas keausan wacana itu. Kegaulauan situasi ekonomi di masa Demokrasi Terpimpin dan tanda-tanda perbaikan yang tampak ketika Orde Baru mulai berkuasa praktis mempercepat proses pengakhiran sistem wacana Demokrasi Terpimpin itu. Bagaimanakah sekarang halnya dengan dugaan tentang krisis nasionalisme? Apakah ini hanyalah kegoncangan dalam sistem wacana ataukah sesungguhnya adalah pula pantulan dari situasi empirik?
Tanpa harus melibatkan diri dalam konser kritik yang kini sangat gencar terhadap pemerintah, berbagai kenyataan empirik bisa juga berbicara sendiri. Bukan saja janji-janji yang sempat dilontarkan ketika arus reformasi mulai digerakkan dan ketika pemilihan umum sedang berjalan masih jauh dari jangkauan masyarakat, kesejahteraan material relatif yang sempat agak dirasakan secara hampir merata di masa Orde Baru pun umum dirasakan sedang mengalami kemunduran. Era reformasi terasa juga sebagai pembuka hampir semua pintu konflik. Sumber-sumber konflik yang selama ini ditutupi dengan keras oleh sistem kekuasaan yang sentralistis, kini seakan-akan mendapat saluran untuk tampil ke permukaan. Tiba-tiba bangsa juga dikagetkan oleh fakta sederhana bahwa perbedaan status ekonomi, agama, dan etnis, bahkan desa dan kampung yang berlainan sekalipun bisa saja menjadi sumber atau alasan dari meletusnya konflik terbuka. Berapa kalikah perkelahian antar-desa yang sempat masuk koran dan TV ? Bahkan proses demokratisasi yang sekian lama terhenti�sejak Dekrit Presiden 5 Juli, 1959�ketika dilanjutkan kembali dalam desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah terasa sebagai memberi peluang bagi tersalurnya hasrat nasionalismeetnis, yang selama ini agak bisa dibendung. Pada tahap elit yang asyik berkampanye untuk memenangkan Pemilu bagi tiga tingkat lembaga perwakilan plus satu (DPD) kelihatan juga betapa telah terpecah-pecahnya pola kepemimpinan. Bahkan kata pemimpin pun telah dengan begitu saja berganti dengan istilah “elit�, maka tambahkanlah kata sifat di belakangnya�elit lokal, elit politik, dan sebagainya. Elit adalah konsep sosiologis yang menyatakan adanya perbedaan status dan fungsi sosial, sedangkan pemimpin adalah konsep yang mengacu akan adanya hubungan emosional antara “yang memimpin� dengan yang “dipimpin�. Otonomi daerah dan pemekaran wila ternyata bukan sekadar kebebasan relatif daerah untuk mengatur diri sendiri dan tidak pula hanya mendekatkan negara pada rakyat, tetapi juga kadang-kadang menjadi penyaluran konflik kepentingan bagi para elit lokal. Demokratisasi dan otonomi daerah yang bermaksud untuk semakin mendekatkan hubungan negara dan masyarakat bahkan tampil sebagai ujian bagi keutuhan keduanya dan bagi masyarakat sendiri. Betapa paradoksal juga terasa kalau hasrat untuk mencapai keutuhan bangsa bahkan memancing munculnya segala faktor pembeda sebagai pelaku utama.
Berbagai peristiwa yang melanda tanah air kita ini memperlihatkan bahwa keberhasilan nasionalisme yang melebur batas-batas sosial-kultural dalam suatu komunitas baru untuk menjadikan patriotisme sebagai landasan semangat dalam melawan kolonialisme kini harus menghadapi ujian yang lebih dahsyat. Janji-janji yang terkait pada dirinya pada dirinya kini mulai dirasakan oleh sebagian anak bangsa sebagai fatamorgana yang mempesona saja. Ujian dan tantangan itu bukan saja berasal dari keharusan terlaksananya agenda yang terlekat erat pada cita-cita ini, tetapi juga dari corak komunitas lain yang melampaui batas-batas negara dan bangsa. Berbagai corak saluran globalisme sebagai akibat dari globalisasi yang semakin mempererat interdependensi ekonomi dan moneter, kemajuan informasi dan komunikasi antarnegara, bahkan juga aliansi politik dan ekonomi dari berbagai corak kesatuan regional dan politik telah semakin merelatifkan batas-batas negara. Ketika migrasi internasional telah semakin marak juga maka proses ini pun semakin http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
menjadikan batas peradaban mencair dan memungkinkan makna dari simbol-simbol kebudayaan dirasakan bersama. Makna eksklusif dari berbagai simbol kebudayaan menjadi mencair. Maka konsep tentang batas-batas “keasingan� pun semakin relatif pula dan betapapun mungkin nasionalisme bersandarkan keyakinan akan kesatuan umat manusia, ideologi ini menyadari sepenuhnya akan adanya batas-batas pembeda antara “kita� dan “mereka�.
Di samping itu, bagaimana pula akan bisa dilupakan dengan begitu saja dorongan universalisme agama, yang sejak semula telah mempunyai hubungan yang dilematis dengan nasionalisme. Ada universalisme yang tampil sebagai pendukung ketika kekuatan durjana kolonialisme dan imperialisme terasa mengancam, tetapi ada kalanya kecenderungan ini menampakkan diri sebagai penantang dari keabsahan nasionalisme, yang membuat batas-batas antara “kitaâ€Â? dan “merekaâ€Â?. Jadi, apakah nasionalisme, yang dalam Pancasila disederhanakan dal ungkapan “persatuan Indonesiaâ€Â?, masih punya harapan untuk mempertahankan hidupnya? Apapun jawab yang akan diberikan hal yang pasti ialah kosmopolitanisme kebudayaan, sebagai suasana yang memungkinkan tumbuhnya rasa kezamanan dan keterikatan pada sistem simbol yang sama, semakin menjadi bagian dari kehidupan modern. ÂÂ
Segala kesulitan dan kegelisahan yang menghinggapi kehidupan bangsa pada saat ini adalah ujian dalam hidup bernegara dan berbangsa. Kesemuanya adalah bagian dari dinamika kehidupan bangsa yang sekali-sekali pasti dialami semua bangsa dalam dinamika sejarah masing-masing. Berbagai macam kekecewaan yang kini melanda kehidupan bangsa adalah harga yang harus dibayar ketika dorongan untuk mendapatkan harkat kehidupan bangsa yang lebih layak tidak lagi tertahankan. Ketika negara telah melepaskan hegemoninya terhadap dunia makna, sebagaimana secara simbolik dilakukan Presiden Habibie dengan membubarkan BP7, maka pencarian landasan baru pun dimulai. Ketika kebebasan itu telah didapatkan di waktu itu pulalah renungan untuk mendapatkan pemahaman baru terhadap konsensus yang pernah dipatrikan tidak terhindarkan. Karena itu mestikah diherankan kalau kini�sayup-sayup mungkin masih terasa�pencarian landasan baru nasionalisme Indonesia mulai juga dilakukan. Sejak nama kabinet��Indonesia Bersatu��sampai nama partai dan judul seminar (Mencari “Indonesia sebagainya membayangkan hasrat ini. Tetapi bagaimana kita harus melihat masalah ini?
Nasionalisme adalah sebuah cita-cita, bahkan suatu “state of mind� (kata Hans Kohn) atau “une ame, un princip sprituel� (kata Ernest Renan), yang lahir dari hasrat pembebasan dari segala macam tekanan dan pencapaian harkat kemanusian yang berdimensi banyak. Ada kalanya nasionalisme tampil sebagai landasan idiil dalam usaha mendobrak segala hambatan yang menghalangi terwujudnya cita–cita yang terlekat dalam dirinya, yaitu terbentuknya sebuah komunitas baru yang mengatasi segala kepicikan yang terasa sebagai bagian esensial dari komunitas lama. Ada saatnya pula cita-cita dan strategi ideologis ini berperan sebagai sumber motivasi dalam sistem perlaku, sebagai etos yang memberikan landasan emosional dalam perbuatan. Dalam suasana ini nasionalisme memberi landasan emosional bahwa sesuatu yang dilakukan dalam konteks kenegaraan dan kemasyarakatan bukan saja secara rasional masuk akal, tetapi juga secara emosional menyenangkan. Karena itulah bisa dipahami juga bahwa ada saatnya landasan emosional dari sesuatu yang menyenangkan itu atau yang disebut etos mengalami krisis. Ketika berbagai alternatif bermunculan dan di saat sekian banyak kekecewaan atas kegagalan untuk mendapatkan sesuatu dirasakan maka krisis etos yang dipancarkan nasionalisme bisa juga datang melanda. Seperti halnya dengan landasan etos lainnya, bahkan yang bertolak dari keyakinan religius sekalipun, sistem perilaku yang terpancar dari nasionalisme selalu ditempa oleh ujian dan tantangan waktu.
Jika saja landasan nasionalisme itu pada dasarnya dirasakan sebagai pengingkaran akan harkat kemanusian dari komunitas yang diciptakannya maka daya tahannya pun akan terkuras. Kalau hal tu telah terjadi maka komunitas yang dibayangkan (imagined community, kata Ben Anderson) yang disebut bangsa itu pun hanya akan tinggal dalam cacatan sejarah saja, apalagi bila komunitas itu gagal untuk berdamai dengan sejarah�sejarah yang berisi pengalaman yang pahit dan penuh dendam. Tetapi sebaliknya, ingatan akan keberhasilan lama dan kenangan kepada pengorbanan bersama yang pernah diberikan bagi kepentingan bersama dan untuk keutuhan suatu komunitas yang secara imaginatif diciptakan itu dibangkitkan dan dipupuk kembali, maka ketika itu pula “krisis� dari krisis nasionalisme bisa juga terjadi. Krisis itu mulai menjalani masa akhirnya. Ketika masa akhir itu dicapai, maka ujian pun selesai–untuk sementara�dan keutuhan bangsa semakin terjaga.
Sejarah yang dipakai sebagai alat peneguh legitimasi kekuasaan akan mengalami krisis kepercayaan ketika kekuasaan itu mengalami krisis. Sedangkan sejarah yang sibuk menyimpan dendam hanya akan semakin melarutkan bangsa dalam krisis. Sejarah bangsa tidak selamanya harus dituduh sebagai alat penguasa untuk meneguhkan kekuasaannya. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Kehadiran sejarah, sebagai usaha merekonstruksi peristiwa masa lalu, harus dianggap dan dijadikan sebagai penyimpan yang otentik dari ingatan kolektif tentang pengorbanan bersama. Globalisasi, yang senantiasa ditopang oleh kosmopolitanisme, tentu saja bisa menggerogoti sendi-sendi nasionalisme, sebagai pembentuk komunitas baru, yang disebut bangsa, karena menjanjikan corak komunitas baru. Tetapi globalisasi adalah proses yang bertolak dari kesadaran kekinian dan harapan masa depan yang hanya baru bisa dibayangkan. Globalisasi bukanlah gambaran kekinian tanpa dukungan pengalaman yang mempunyai akar. Tetapi bangsa, yang didukung oeh hasrat nasionalisme, bukan saja bertolak dari visi sejarah, tetapi juga hasil dari pergolakan sejarah. Bangsa, yang diciptakan nasionalisme, adalah sekaligus pembuat dan perekam ingatan sejarah. Asal usulnya pun bertolak dari pemahaman sejarah. Primordialisme atau, bahkan etno-nasionalisme mungkin bisa juga memecah-mecah komunitas bangsa, tetapi komunitas bangsa ini justru lahir sebagai salah satu akibat dari kelemahan struktural dan kultural yang terlekat dalam diri primordialisme dan etno-nasionalisme. Bangsa dilahirkan di atas kemandulan keduanya menghadapi berbagai tantangan yang sebelumnya tidak dikenal dan tak pernah dialami.
Dengan ingatan sejarah akan kebersamaan mudah-mudahan kita bukan saja akan mendapatkan struktur ingatan kolektif yang benar tetapi juga kearifan sejarah yang inspiratif. Bukankah tanpa pemahaman sejarah yang kreatif nasionalisme tak akan mungkin bisa dilahirkan? Maka bisalah dipahami juga kalau sekarang banyak juga daerah yang ingin mencalonkan “pahlawan-pahlawanâ€Â? mereka sebagai pahlawan nasional. Mereka ingin memasukkan tokoh-tokoh yang dirasakan telah memberikan kepuasan kultural bagi komunitas lokalnya ke dalam “album keluarga nasionalâ€Â? Dalam logika ini pulalah mitologisasi sejarah dilakukan. Suatu peristiwa yang dianggap sebagai memancarkan semangat kebangsaan dinaikkan nilai historis melebihi dari peristiwa itu sendiri. Maka kita pun merayakan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, meskipun sesungguhnya peristiwa itu hanya melibatkan sekian puluh anak-anak sekolah saja. Dan begitulah seterusnya. Dengan mitologisasi ini pesan yang sejarah yang lebih fundamental ini disampaikan dan diperabadikan. ÂÂ
Begitulah di samping hal-hal bersifat keharusan struktural�seperti kemakmuran relatif masyarakat bangsa, kesempatan mendapatkan pendidikan dan kesehatan dan sebagainya�nasionalisme hanya bisa bertahan jika pemegang kekuasaan tidak memonopoli pemahamannya dan menjadikannya sebagai landasan legitimasinya. Masa depan nasionalisme menjadi lebih cerah kalau pemahaman sejarah yang dipupuk terbebas dari rasa dendam.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 9 January, 2017, 17:53