Sekretariat Negara Republik Indonesia
Demokrasi Khas Indonesia: Riwayat Singkat dan Masa Depannya Kamis, 21 Juni 2007
Indra J. Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Harkat Bangsa Indonesia
Latar Belakang
Demokrasi lahir bukan tanpa korban. Socrates yang menjadi filsuf paling berpengaruh dalam era Yunani, telah dengan sangat kritis menyampaikan pembelaan atas pikiran-pikirannya, ketika berhadapan dengan keputusan demokratis yang menyatakan ia bersalah dan meminta meminum racun. Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf selanjutnya menjadi kehilangan kepercayaan kepada demokrasi yang memenangkan suara orang awam (Fuad Hassan, 1996). Kaum bangsawan memang dengan sangat cerdik telah memanipulasi demokrasi demi keberlanjutan kekuasaan yang mereka miliki, sehingga suara orang awam pun bisa mereka wakili, tanpa harus mengacu kepada substansi “kebenaran� suarasuara itu.
Demokrasi datang ke Indonesia juga bukan tanpa korban. Dalam peristiwa Perang Kamang (1908) di Sumatera Barat, masyarakat telah berteriak tentang betapa pentingnya penolakan atas “pajak tanpa perwakilan�. Dalam modelmodel yang sederhana, penolakan atas kebijakan raja di tanah Jawa yang dianggap merugikan rakyat dilakukan dengan cara menjemur diri di depan alun-alun Istana Raja. Sejumlah manifesto juga dikeluarkan, antara lain dengan gerakan Indonesia Berparlemen. Lewat Volksraad, telah dimulai suara-suara yang mewakili kepentingan tanah jajahan, sekalipun terbatas dalam hak dan wewenang. Upaya paling maksimal adalah menempuh jalan kekerasan lewat pemberontakan bersenjata. Korban-korban pun berjatuhan, sebagai perintis jalan bagi penentuan nasib sendiri dan sekaligus hak membentuk pemerintahan.
Kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945 telah membuka kesempatan luas ke arah pemerintahan yang demokratis. Ada kehendak dalam penjelasan UUD 1945 untuk mengadakan pemilihan umum, yang menunjukkan kedaulatan rakyat dilaksanakan dalam level tertinggi, namun terkendala oleh perang kemerdekaan. Tetapi, bukan tidak ada demokrasi, walaupun berlangsung secara inkonsistusional demi tujuan-tujuan politik dan diplomasi internasional, yakni dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan KNIP Daerah. Tokoh beraliran sosialis, Sutan Syahrir, adalah pengusung adanya parlemen yang tidak dipilih dalam pemilihan umum itu, serta membangun pemerintahan berdasarkan sistem yang seringkali campur baur, yakni antara presidensial dan parlementer. Wakil Presiden Muhammad Hatta bahkan pernah menduduki kursi Perdana Menteri, sementara simbol negara, yakni Presiden Soekarno, tetap dipertahankan pada kursi kekuasaannya.
Luka-luka zaman revolusi kemerdekaan, ketika politik aliran beranjak dari meja diskusi kepada sejumlah perang terbuka yang juga bermuara kepada pembunuhan, pada gilirannya memupuk dendam antara sesama pejuang. Anak-anak revolusi itu pun dimakan oleh arus cepat perubahan. Amir Syarifuddin, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir adalah contoh dari nama-nama yang terkikis oleh terjangan debu, peluru dan penjara revolusi. Sampai bertahun-tahun kemudian, penjara-penjara tidak hanya diisi oleh pelaku tindakan kriminal, melainkan juga berisi kaum intelektual, politisi, juga mantan-mantan pejabat penting pemerintahan. Cara mengendalikan politik lewat penjara ini adalah duplikasi atas kebijakan serupa yang ditempuh oleh pemerintahan kolonial. Tokoh-tokoh penting kemerdekaan Indonesia bisa dipastikan tumbuh dan berkembang di penjara-penjara yang dekat dan jauh dari pusat pemerintahan, mulai dari penjara Glodok yang dekat dengan area perdagangan, sampai ke Bandaneira yang berair jernih dan Tanah Merah di Papua yang masih berupa rimba-belantara.
Pemilu 1955 yang bisa jadi menjadi barometer ideal dari proses pemilihan wakil rakyat dengan membolehkan partai lokal dan perseorangan sebagai kandidat, pada akhirnya tidak melahirkan kestabilan pemerintahan. Demokrasi parlementer (1955-1959) dalam DPR dan Dewan Konstituante begitu rapuh oleh orasi-orasi dan sidang-sidang yang penuh http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
argumentasi, tetapi gagal mencapai kesepakatan. Republik pun dikepung oleh pemberontakan daerah, kelangkaan minyak tanah, kelaparan, dan dilanda begitu banyak rakyat jelata yang miskin. Keadaan ini berlanjut dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika politik menjadi panglima dan ekonomi tertinggal dalam keangkuhan nasionalisme. Politik hanya berkisar di sekitar Soekarno yang dikitari oleh orang-orang yang mengagungkannya sebagai pemimpin besar revolusi dan memberikan jabatan sebagai presiden seumur hidup.
Padahal, para pendiri republik adalah orang-orang yang sangat paham dengan beragam literatur tentang demokrasi. Filsafat Barat dan Timur berkumpul di atas meja makan dan tulisan-tulisan di media massa. Rujukan ke Eropa, Turki, masa-masa kebangkitan Islam, sampai Uni Sovyet kala itu telah menjadi menu yang menjadi santapan harian. Teoriteori Marxisme, misalnya, bertahan lama dengan energi yang begitu kuat berhadapan dengan kolonialisme dan kapitalisme. Perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang menjadi konteks geopolitik global ikut menyeret Indonesia. Perubahan-perubahan politik internasional pun menggiring kepada perubahan di tingkat nasional. Sebagai satu kekuatan negara dunia ketiga yang cukup diperhitungkan, terutama dari segi jumlah penduduk, kekayaan alam dan posisi geografis dalam simpang jalan jalur laut internasional, apapun yang terjadi pastilah menarik perhatian dunia luar. Hanya saja, kesadaran seperti itu tidak muncul di kalangan elite, mengingat terlalu asyik dengan kepentingan masingmasing.
Peminggiran Peran Partai Politik Dalam buku-buku sejarah yang ditulis selama Orde Baru (1966-1998), partai politik digambarkan sebagai sosok yang asing, karena cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Upaya pemujaan diri yang berlebihan menyebabkan pemerintah Orde Baru terlalu terpaku kepada pertumbuhan ekonomi dan pemaksimalan pembangunan fisik dengan sarana hutang luar negeri. Investasi asing pada industri-industri strategis, termasuk dengan mendatangkan dalam bentuk lengkap beragam jenis kendaraan, barang-barang rumah tangga, alat-alat kantor dan benda-benda yang menjadi bagian kehidupan masyarakat lainnya, telah menghilangkan dengan sistematis keunggulan komparatif produk dan teknologi dalam negeri.
Bangsa yang pernah mengalami kelaparan bertahun lewat beragam perang dan proyek kolonialisasi tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang gandrung akan materi. Perubahan itu dimulai dengan cara memenuhi kebutuhan akan pangan dan sandang, lalu perlahan maju lebih jauh lagi dengan pemenuhan akan papan (perumahan). Tetapi, bayaran mahal atas kemajuan material itu adalah hilangnya kebebasan pers dan kebebasan politik. Kalaupun diadakan pemilihan umum, sifatnya hanya ritual belaka dengan intervensi yang kuat dari pemerintah, mulai dari pengarahan agar memilih Golkar, sampai penyelenggaraan pemilu sendiri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Aparatur militer juga menjadi mesin pengumpul suara yang maksimal, selain memiliki perwakilan tetap dalam parlemen lokal dan nasional tanpa dipilih.
Pengembirian politik ini ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Stabilitas dan pertumbuhan berhasil dicapai, namun pemerataan malah tertinggal jauh di belakang. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, dihiasi oleh rumah-rumah gubuk yang reot. Kota Jakarta yang bersolek, berhadapan dengan kota-kota lain yang kehabisan uang untuk sekadar memelihara koridor jalan dan selokan. Kekuasaan berpusat kepada sekelompok orang di Jakarta yang melibatkan Golkar, militer dan birokrasi. Selain itu juga bergerombol organisasi sosial kemasyarakatan yang berafiliasi dengan Golkar, seperti pemuda, perempuan, petani, nelayan, dan tipologi sosial-politik lainnya. Tanpa disadari – atau memang didesain dengan sempurna – punca kekuasaan ekonomi-politik berpindah dari lembaga-lembaga negara menjadi usaha rumah-tangga, yakni keluarga Cendana, nama sebuah jalan tempat rumah tinggal pribadi Soeharto dan keluarganya.
Tetapi, bukan berarti tidak ada demokrasi. Nama yang dikenakan adalah demokrasi Pancasila yang berbentuk indoktrinasi lewat jalur-jalur pendidikan formal dan sertifikat Penataran P-4, surat kelakuan baik, sampai bintara pembina desa (babinsa). Pancasila ditafsirkan menjadi 36 butir dan ditambah menjadi 45 butir, terutama dengan mengambil bagian-bagian penting dalam masyarakat desa di Jawa, seperti tenggang-rasa dan tepa-selira. Terdapat puluhan Widya Iswara dalam lembaga-lembaga pelatihan resmi seperti BP-7 Pusat yang sudah bubar, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), serta kantor menteri pemuda dan olahraga. Doktrin-doktrin juga disalurkan lewat radio, televisi dan koran-koran nasional. Yang ada hanyalah pembenaran, bukan kebenaran.
Partai-partai politik tidak berkembang, sekalipun jumlah kelompok oposisi terus bertambah secara diam-diam. Sesedikit http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
apapun gerakan pembangkangan dilakukan, akibat-akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditebak dan ditanggung. Sebuah desa bisa saja ditenggelamkan dengan air bah, penduduk diusir dengan mendatangkan gajah, tuduhan tentang organisasi tanpa bentuk, sampai penangkapan dan penahanan, bahkan kematian yang tidak diduga. Aparatus negara berubah menjadi begitu menakutkan, bahkan hanya dengan modal uniform. Perbedaan pendapat berarti perlawanan atas pemerintah.
Benteng Pertahanan Bahkan yang berkembang adalah organisasi kelaskaran pemuda yang mengasosiasikan diri dengan rezim, terutama dengan pakaian loreng-loreng. Demokrasi, dalam bentuk yang sangat sederhana, hanya datang sekali dalam lima tahun, yakni lewat pemilihan umum. Namun, benteng pertahanan terpenting dari demokrasi yang tanpa intimidasi masih tersedia, sekalipun tidak semua bisa digeneralisasi, yakni pemilihan kepala desa atau kepala kampung, arisan-arisan keluarga dan tetangga, pemilihan ketua-ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah, pemilihan ketua-ketua Dewan Mahasiswa sebelum dibubarkan, atau proses pemilihan pengurus organisasi profesi dan keilmuan. Di luar itu, demokrasi tinggal nama, penuh rekayasa, suap-menyuap, tindas-menindas, dan ujung-ujungnya adalah prosesi kebulatan tekad yang mengusung kembali Soeharto sebagai presiden.
Negara yang coba menaungi semua organisasi, juga masuk ke dalam organisasi sosial kemasyarakatan dan agama. Nahdlatul Ulama, sebagai contoh, adalah satu organisasi yang terus-menerus diganggu dengan pelbagai bentuk intervensi, terutama dalam pemilihan pimpinannya. Muhammadiyah harus mencari jalan tengah untuk mencegah politik belah bambu, sebagaimana dulu juga pernah dipraktekkan oleh Presiden Soekarno. Organisasi ekstra universitas yang mencoba mempertahankan azas, seperti Himpunan Mahasiswa Islam, dengan sangat terpaksa terpilah menjadi dua. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menghadapi himpitan serius, karena dirasa mewarisi pemikiran kalangan Soekarnois, sekalipun para aktivisnya terus mencoba membangun langkah-langkah alternatif yang dengan sendirinya harus mengikuti kehendak pemerintah. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia terpaksa fokus di kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri. Penyingkiran memang tidak dilakukan, agar “nafas demokrasi Pancasila� tetap bisa dirasakan, namun dalam bentuk pemeliharaan atas ceruk-ceruk wilayah dan kanal-kanal pikiran yang mudah dikendalikan.
Terdapat juga organisasi masyarakat sipil, baik berbentuk yayasan atau juga lembaga-lembaga advokasi dan penelitian. Secara umum, organisasi masyarakat sipil ini tidak berkembang, tetapi sebagian mampu memajukan perspektif yang berlainan atas paradigma pembangunan Orde Baru. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sebagai contoh lagi, terus berupaya membela kepentingan masyarakat kecil yang butuh perlindungan hukum. Sejumlah tokoh besar lahir dari sini. Begitu pula Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang melahirkan majalah PRISMA, satu-satunya referensi utama yang melawan arus dominasi pemikiran dan jurnal-jurnal resmi pada instansi pemerintah. Kaum intelektual pantas mensyukuri keberadaan PRISMA ini, sekaligus juga menangisi, karena tidak mampu lagi diterbitkan ketika zaman kebebasan datang.1
Lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah ini ternyata juga mampu menjadi “tempat persembunyian� atau bahkan “tempat magang� bagi para aktivis yang tidak hendak masuk dalam skema besar pemerintah yang menyediakan lapangan kerja terbatas. Patut disadari bahwa kalangan intelektual yang punya nama dalam era reformasi, baik yang masih bergerak dalam ranah masyarakat sipil atau sudah mengikuti arus zaman dengan menjadi bagian dari penyelenggara negara (baik di wilayah ekskutif, legislatif atau yudikatif), sebagian berasal dari kalangan masyarakat sipil ini. Sekalipun begitu, sulit untuk mengatakan bahwa demokrasi juga hidup dalam ranah masyarakat sipil ini. Bahkan, setelah Soeharto tumbang, terdapat indikasi betapa tokoh-tokoh penting itu justru berubah menjadi “Soeharto-Soeharto kecil� dengan menjadikan perlawanan masa lalu sebagai latar. Hal itu dapat dimengerti, mengingat organisasi masyarakat sipil memerlukan pola keketatan dan kedisiplinan sendiri, untuk menghadapi mesin besar negara Orde Baru yang menggilas apa saja.
Selain organisasi-organisasi kecil dan organisasi masyarakat sipil, sulit kita melihat organisasi lain menyediakan ruang demokratis yang baik. Negara, lewat tangan-tangannya dan aparatus intelijen yang kuat, selalu saja mencoba memasuki dan mengubah agenda-agenda kerjanya. Para seniman, wartawan, intelektual, bahkan panggung-panggung pertunjukkan, ruang-ruang diskusi, kelas-kelas pedagogi yang menihilkan peran sekolah, sampai kepada buruh-buruh yang sedang memperjuangkan kenaikan upah, telanjur dimasuki oleh aparatus negara lewat izin pertunjukan, pembubaran, sampai penahanan. Satu sebutan yang terdengar manis selama Orde Baru, yakni “aktor intelektual� pada kenyataannya menyimpan kebencian dan kebengisan yang dalam kepada kaum intelektual. Sebutan-sebutan yang http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
melecehkan seperti itu menjadi kosa kata yang ampuh untuk menundukkan rakyat di bawah sepatu lars para penguasa.
Tetapi, rezim yang semula dianggap sangat liat itu, mulai menunjukkan kerapuhannya, ketika melakukan aksi-aksi yang kejam. Pembunuhan Marsinah, perang di Timor Timur, kekejaman di Aceh, aboriginisasi di Papua, sampai peristiwa 27 Juli 1996, lama-kelamaan membuka borok-borok kerapuhan rezim. Sikap pesta-pora dengan mengabaikan demokrasi dalam ritual pemilihan presiden dan wakil presiden, justru mendorong Soeharto mengambil langkah-langkah yang secara kental memicu lahirnya istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tekanan dari dunia internasional, persaingan petinggi-petinggi militer, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, kejatuhan nilai tukar, dan terutama karena usia yang menua ditimpa zaman yang dihadapi oleh Soeharto, bermuara kepada pengunduran diri yang disambut sorak-sorai para mahasiswa. Hampir sembilan tahun lalu, pada 21 Mei 1998, Prof. Dr. BJ Habibie, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam upaya industrialisasi teknologi tinggi di Indonesia, ditunjuk sebagai pengganti. Soeharto, sebagaimana dikatakan kepada Daoed Joesoef (2006), menepati janji untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kaum ilmuwan.
Demokrasi yang Tersebar
Kelompok yang paling tidak disukai Soeharto – dan juga kurang diminati kaum intelektual �, yakni para politikus langsung mengambil alih keadaan ketika demoralisasi melanda kalangan serdadu, pengusaha dan birokrat Orde Baru. Tetapi, para politikus ini juga datang dari orang-orang yang sudah malang melintang dalam kenyamanan kekuasaan Orde Baru. Mereka hanya bersalin rupa dengan cara membentuk partai-partai politik. Yang diperbaiki hanya proses mendapatkan kekuasaan, tetapi belum mengarah kepada tujuan menggunakan kekuasaan itu. Persaingan antar kelompok, klan, aliran politik, bahkan perseberangan antara profesi (militer atau sipil) dan bahkan wilayah (Jawa dan Luar Jawa) diangkat ke permukaan dengan cara yang sangat usang. Sementara para politikus itu berbicara atas nama nasionalisme dan kesejahteraan, justru mereka sendiri yang mengotak-otakkan masyarakat ke dalam sekat-sekat yang mereka bangun.
Perubahan yang juga penting adalah munculnya lembaga-lembaga survei yang dengan jitu mampu memprediksi pihak mana yang bisa memenangkan pemilu, termasuk pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Lembaga-lembaga ini secara berkala mengeluarkan hasil survei menyangkut posisi partai-partai politik dan tokoh-tokoh politik penting, seandainya pemilu atau pilkada terjadi pada waktu survei itu diadakan. Opini publik langsung bisa dihitung, tanpa harus melewati prosedur pemilihan langsung yang sebenarnya. Kemajuan yang dialami oleh lembaga-lembaga riset itu menunjukkan juga arah perubahan ilmu-ilmu politik, yakni dari penggunaan metode kualitatif ke arah penggunaan metode kuantitatif. Pendekatan ini membuat pilihan-pilihan ideologi yang semarak pada tahun 1950-an menjadi tidak lagi penting. Para aktor politik dengan segala cara mencoba terus mempertahankan dan meningkatkan dukungan, termasuk dengan mengerahkan para artis.2
Selain lembaga-lembaga riset kuantitatif, perkembangan lain adalah pembentukan sejumlah kelompok-kelompok pemikiran yang bermuara kepada satu tokoh, satu aliran politik, atau malahan juga kepada utopia tertentu yang coba terus dilakukan. Freedom Institute, The Indonesian Institute, Nusantara Center, Reform Institute, The Lead Institute Universitas Paramadina, Amien Rais Center, Ma’arif Institute, Fauzi Bowo Center, The Habibie Center, Mega Center, dan beragam lembaga-lembaga kajian lainnya mengisi lembaran-lembaran berita media massa. Semaraknya pembentukan dan kiprah lembaga-lembaga itu menunjukkan arah individualisasi politik atau personalisasi pemikiran, tetapi sekaligus juga memberikan kepada publik pilihan-pilihan yang beragam. Lembaga-lembaga itu ada yang memang bergerak menuju pengentalan ideologi tertentu, tetapi juga ada yang hanya sebagai kamuflase sementara sebelum memasuki kancah formal kampanye-kampanye politik.
Lembaga swadaya masyarakat juga berkembang secara masif, termasuk yang melakukan kartelisasi atas dana-dana asing. Dalam bahasa Benny Subianto, elite LSM yang sarat kepentingan, pihak donor yang naif � dan kadang-kadang kolutif�, melahirkan oligarki “industri� LSM (Benny Subianto, “LSM sebagai Sebuah Industri†04 Mei 2007). Menurut Benny, agenda LSM telah bergeser dari perlawanan terhadap negara menjadi komplemen kebijakan demokratisasi negara. Bisa jadi memang demikian, terutama mengingat kelumpuhan yang nyaris permanen yang dihadapi oleh partai-partai politik dalam menyalurkan aspirasi publik. Kehadiran lembaga-lembaga donor di Indonesia yang berjumlah banyak memang memicu LSM-LSM kian profesional, apalagi kalau tokoh-tokohnya sudah cukup dikenal. Pemerintah tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya lembaga yang layak mengurus dana-dana yang digelontorkan pihak asing itu. Penanggulangan daerah-daerah bencana, terutama Aceh, juga mensyaratkan keterlibatan LSM. Tidak heran kalau LSM tumbuh bak jamur di musim hujan, sehingga menciptakan profesi baru yang cukup http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
memberi pengaruh. Di balik itu, juga masih terdapat ribuan LSM yang masih hidup Senin-Kamis, baik di Jakarta ataupun di daerah-daerah.
Demokrasi dalam bentuk pengarus-utamaan permasalahan rakyat juga terjadi dalam pertumbuhan media massa. Era kemerdekaan media ini tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang baik, mengingat dihilangkannya pemberian kartu wartawan dengan lebih dahulu mengikuti pelatihan-pelatihan khusus. Namun, pengawasan terhadap media bukan berarti tidak ada, namun bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers dan LSM-LSM yang bergerak khusus di bidang media. Demokrasi, dalam level media, bisa diartikan dengan adanya kebebasan wartawan, tetapi juga berakibat pada persaingan antar wartawan dalam mendapatkan berita. Akan tetapi, keterbatasan informasi memicu keseragaman, sekalipun media berjumlah banyak. Ketika demokrasi digerakkan dengan cara meletakkan kekuasaan tidak pada satu lembaga yang kuat, seperti lembaga kepresidenan dalam masa Orde Baru, media massa justru menjadi aktor berpengaruh dengan cara sentralisasi pemberitaan. Dalam banyak pemberitaan akhir-akhir ini, terlihat bagaimana agenda media mengendalikan agenda pemerintah dan parlemen. Terbunuhnya seorang praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, pemunculan Mbah Marijan sebagai ikon dalam mengantisipasi Gunung Merapi yang (hendak) meletus, sampai reshuffle kabinet yang berdasarkan opini publik, telah terus-menerus dijadikan sebagai agenda penting media yang lalu tampil sebagai agenda elite dan dijadikan asumsi sebagai agenda banyak orang.
Persebaran lain demokrasi muncul dalam bentuk otonomi daerah lewat desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Pemerintah pusat memiliki kewenangan (urusan) yang dibatasi dalam politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sementara, urusan-urusan lain dikelola secara bersamasama oleh pemerintah (-an) daerah, yakni pemerintah (-an) provinsi, kabupaten dan kota yang antara lain meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagarakerjaan, dan lingkungan hidup. Hanya saja, implementasi masih sangat terbatas, terutama keterlambatan pemerintah pusat dalam mengeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah, yakni UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kepala dan wakil kepada daerah bahkan dipilih secara langsung sejak 1 Juni 2005. Pemilihan langsung kepala daerah ini, walaupun masih berasal dari kandidat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai-partai politik, tanpa melibatkan calon independen, telah memberi jalan bagi kemunculan pemimpin-pemimpin daerah yang populer, sekaligus juga menyebabkan pembentukan faksi-faksi politik di daerah yang bisa jadi mengarah kepada oligarki.
Yang tidak kalah penting adalah kemunculan daerah-daerah khusus dan istimewa yang mempunyai struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah-daerah yang diatur lewat UU No. 32/2004 itu. Provinsi Papua diatur lewat UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Aceh diatur lewat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta sedang bergulat dengan rancangan perubahan undang-undang tersendiri. Dengan model otonomi khusus, daerah istimewa dan daerah khusus ini, terdapat pilihan pemerintahan lokal yang tidak lagi seragam. Latar belakang pembentukan model pemerintahan daerah yang berbeda itu berasal dari sejarah pemerintahan yang berlainan pada empat daerah itu. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang paling bergejolak, sehingga memicu perlawanan bersenjata yang mengarah kepada separatisme (kemerdekaan). Pergolakan-pergolakan itu banyak disebabkan oleh kekeliruan kebijakan oleh pemerintah nasional yang mengutamakan pendekatan keamanan untuk mencapai stabilitas politik dan pemerintahan. Pelbagai operasi militer yang dirancang dan dijalankan Jakarta bermuara kepada dendam menahun. Selain keempat daerah itu, masih terdapat daerah-daerah lain yang mencoba menawarkan model otonomi khusus, seperti Bali dan Sumatera Barat. Homogenitas budaya, agama dan perbedaan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan nasional telah menstimulasi upaya elite dan masyarakatnya untuk menekan pemerintah pusat agar mengakui perbedaan-perbedaan atas masing-masing daerah itu.
Perkembangan yang juga patut dicatat adalah komponen-komponen masyarakat tidak lagi bersifat pasif. Semakin banyak keterlibatan masyarakat dalam mengubah kebijakan pemerintah. Keterlibatan itu berupa aksi-aksi unjuk rasa, konsolidasi berupa pembentukan organisasi, negosiasi aktif atas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kepentingan warga, atau bahkan juga aksi-aksi anarkisme terutama yang bertalian dengan politik. Semula, kesadaran itu masih komunal, yakni pembentukan organisasi-organisasi berbasis etnis dan sub-etnis. Di sejumlah daerah, konflik meletus akibat penanganan negara yang kacau dalam mengelola kejadian-kejadian yang semula hanya melibatkan individu, seperti di Poso, Ambon, dan Sambas (lihat S. Sinansari Ecip, 2002). Kekerasan juga meletup dalam upaya membentuk atau menolak pemekaran wilayah. “Hubungan pendek� kekerasan itu memaparkan kepada dunia kekejaman-kekejaman khas kanibal, lewat foto-foto dan video-video amatir yang dikemas menjadi begitu mengerikan dengan narasi yang kelewat batas. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Kaum buruh, kepala-kepala desa, guru, dan korban lumpur Sidoarjo menjadi komponen yang pantas mendapatkan tempat sebagai perwakilan warga yang paling gigih dan dalam beberapa hal berhasil menjalankan fungsi negosiasi dengan pemerintah. Mereka berhasil melakukan tekanan politik, sebagai bagian yang penting dalam era demokrasi, yakni keberadaan pressure groups. Guru-guru di Kabupaten Kampar, Riau, mampu menjungkalkan bupati dari kursi kekuasaannya, sekalipun dalam proses hukum berikutnya sang Bupati kembali menempati jabatan semula. Kaum buruh berhasil mempertahankan UU No. 13/2003 tentang Ketenagarakerjaan yang semula ingin direvisi oleh negara. Kepala-kepala desa mengajukan tuntutan peningkatan kesejahteraan, termasuk pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil, ketika UU No. 32/2004 justru menjadikan bawahan kepala desa, yakni Sekretaris Desa, sebagai pegawai negeri sipil. Bahkan murid-murid sekolah juga dengan gagah tidak lagi menjadikan jalanan sebagai arena perkelahian, melainkan mulai mencorat-coret dinding, mengusung spanduk, dan mengeluarkan petisi-petisi yang ditujukan kepada pihak sekolah, yayasan, dan pengelola pendidikan.
Potret perjalanan demokrasi dalam wilayah yang luas itu menunjukkan bahwa tidak ada lagi ruang untuk kembali kepada teokrasi, otokrasi, atau bahkan feodalisme dan favoritisme. Demokrasi mengaliri setiap urat nadi pergerakan masyarakat, baik dalam wilayah yang sangat kecil seperti sekolah dan kampung, sampai ke tingkatan pemerintahan daerah dan nasional, juga memayungi negara-negara di planet bumi ini dalam hubungan antar bangsa. Resolusi atau rekomendasi yang ditelorkan dalam pertemuan antara negara-negara di dunia juga terus mencoba membuka selubung ketertutupan negara-negara non-demokratis. Kemajuan teknologi informasi, perhubungan, perdagangan, dan perubahan iklim menyebabkan ketergantungan satu negara dengan negara lain begitu tinggi, termasuk dalam menangani bencana alam yang turun dalam skala besar dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia, sebagai negara demokrasi baru, tentu sudah harus memantapkan diri, termasuk dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban yang terkait dengan demokrasi dalam tataran apapun.
Meretas Masa Depan Banyak yang mulai menyebut bahwa demokrasi akan kehilangan pesona. Upaya meruntuhkan demokrasi juga terjadi dengan kemunculan kelompok-kelompok teroris dan fundamentalis, serta gerakan-gerakan politik yang mendefinisikan suara publik dengan sekehendak hati. Kelompok-kelompok itu berasal dari gerakan-gerakan internasional yang bertarung di tingkat nasional, tetapi juga dipicu oleh orang-orang yang pernah menjalankan pemerintahan dan kecewa dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Uniknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga bertarung pada level serendah ini, dengan cara memberikan jawaban atas keberadaan kelompok-kelompok yang hendak mengganti pemerintahan secara non-demokrasi. Pada satu sisi, Presiden Yudhoyono memperlihatkan dukungan positif atas demokrasi, tetapi pada sisi yang lain terlihat betapa efisiensi penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan maksimal, sehingga mengganggu capaian-capaian keberhasilan program yang sudah ditetapkan.
Masa depan demokrasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan dan kinerja pranata-pranata demokrasi formal, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Demokrasi juga membutuhkan kaum demokrat. Dalam level yang luas, demokrasi membutuhkan partai-partai politik moderen dan profesional yang sekarang masih terlihat gagu dan hanya memikirkan diri sendiri. Mulai masuknya unsur-unsur perseorangan dalam proses kontestasi demokrasi juga memungkinkan keberadaan alternatif-alternatif kepemimpinan yang tidak hanya berasal dari partai-partai politik. Keabsahan pengendalian pemerintahan kurang mendapatkan gangguan berarti. Kalaupun terdapat usaha untuk mendukung atau mengoposisi pemerintah, kekuatan itu muncul dari kalangan partai-partai politik.
Hanya saja, dari sisi kinerja, demokrasi bukan hanya sekadar melegitimasikan kekuasaan secara konstitusional, tetapi digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Dalam banyak aspek, krisis representasi terjadi, ketika aktor-aktor dan lembaga-lembaga demokrasi tidak lagi bekerja demi publik, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu, diperlukan ikatan yang lebih luas antara publik dengan partai-partai politik, misalnya, dalam soal penjaringan calon-calon anggota legislatif dan eksekutif yang diajukan. Memang pada sebagian besar negara-negara demokrasi, tidak ada undang-undang yang mengikat partai politik tentang bagaimana memilih kandidatnya dan setiap partai politik memiliki kebebasan untuk membuat peraturan sendiri (Gideon Rahat, Journal of Democracy, Volume 18: January 2007). Metode penjaringan yang dipilih mengarah kepada inklusifitas dan ekslusifitas. Akan tetapi, demi kepentingan yang lebih luas, publik bisa melibatkan diri dengan cara mengajukan para kandidat yang dijamin lewat undang-undang.
Dengan pelbagai capaian yang sudah diraih oleh Indonesia, terasa sekali ada kebutuhan untuk menjaga agar dinamika http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03
Sekretariat Negara Republik Indonesia
demokrasi berlangsung stabil. Unsur-unsur negatif dalam perkembangan demokrasi layak dicegah, misalnya kembalinya militer ke kancah politik, ketertutupan informasi di kalangan penyelenggara negara, pengebirian pers, pengadilan atas pikiran, pelarangan buku, dan ribuan negative list lainnya yang bisa ditemukan dalam setiap catatan sejarah bangsa ini. Sistem politik, pemerintahan dan pranata demokrasi harus menjamin agar daftar negatif itu tidak kembali dalam bentuk tertutup atau terbuka, tidak sengaja, apalagi kalau disengaja.
Sembari itu, cita-cita negara kesejahteraan layak terus-menerus diusung dan dicarikan padanannya oleh setiap penyelenggara negara dan warga negara. Tanpa peningkatan kesejahteraan, baik materiil, maupun spirituil, maka demokrasi saja tidak akan cukup. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa makan pagi dan makan siang. Kekurangan selama era Soekarno adalah perkembangan pesat demokrasi yang kemudian juga memicu kekecewaan, sementara pada masa Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh demokrasi. Tugas kita sekarang adalah menggabungkan sisi-sisi positif pada masing-masing era itu, yakni menumbuhkan demokrasi dan memaksimalkan pembangunan, sembari menghilangkan kemiskinan dan juga bentuk-bentuk diktatorisme yang tanpa penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
____________________________ 1Diskusi soal perjalanan LSM, lihat “Organisasi Non-Pemerintah di Tengah Gugatan dan Hujatan�, Kompas, 22 Januari 2003. 2Lihat Indra J. Piliang, “Soetrisno, Artis, dan Politik� dalam Zaim Uchrowi (Ed). Soetrisno Bachir : Solusi untuk Bangsa. Jakarta: The Indonesian Institute, halaman 61-79.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 January, 2017, 16:03