PerkumpulanHAK
22
MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA
Edisi 22 - Februari 2003
Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail:
[email protected]
Para Jenderal Resmi Menjadi Terdakwa Para anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD sedang berlatih.
DAFTAR
ISI
DIREITO UTAMA: Para Jenderal Jadi Terdakwa Hal. 1 - 2 Dakwaan terhadap Orang-Orang Besar Hal. 3 Surat Dakwaan dari PBB atau Timor Leste? Hal. 4-5 DIALOG: Korban Membutuhkan Pengadilan Internasional Hal. 6 JUSTIÇA: Korban Berhak Atas Pengadilan Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Tarabandu Hal. 8 - 9 TEROPONG KEBIJAKAN: Menjadikan Tentara Amerika Serikat Di Atas Hukum Hal. 10 - 11 HAK ASASI: Pelangaran Tahanan Operasi di Atsabe Hal. 12 INSTRUMEN HAM: Konvenan Hak Pendidikan Hal. 13 Kesehatan Adalah Hak Asasi Manusia Hal. 14 GUGAT: Dunia Peradilan Timor Lorosae Hal. 15 SERBA-SERBI: Pengunsi masih Punya Hak Hal. 16 AMI LIAN: Unit Kejahatan Berat Hal. 16
khirnya Serious Crimes Unit (SCU, Unit Kejahatan Berat) Kejaksaan Agung Timor Leste mengeluarkan dakwaan yang dinanti-nantikan oleh banyak orang di Timor Leste. Pada 24 Februari ini SCU menyerahkan surat dakwaan kepada Pengadilan Distrik Dili dan meminta agar dikeluarkan surat penangkapan terhadap delapan orang pejabat sipil dan militer Indonesia. Mereka ini didakwa telah melakukan “kejahatan terhadap umat manusia” (crimes against humanity) berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi “yang dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau meluas yang diarahkan terhadap penduduk sipil Timor Leste dan diarahkan secara khusus kepada mereka yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan Timor Leste.” Dakwaan ini disusun berdasarkan keterangan 1500 orang saksi. Menurut keterangan Jaksa Agung Longuinhos Monteiro kepada Direito, kesaksian-kesaksian ini dicocokkan dengan dokumen-dokumen TNI yang diperoleh SCU. Munculnya dakwaan ini disambut baik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia, tidak hanya di Timor Leste tetapi juga di luar negeri, termasuk di Indonesia. Maklum saja selama ini SCU hanya mengeluarkan dakwaan kepada milisi-milisi tingkat rendahan. “Dakwaan seperti ini sudah lama diinginkan oleh keluarga para korban,” kata Judit da Conceição, penanggungjawab pro-
A
design by nobodycorp.
DIREITO UTAMA
Dakwaan
P
ada 24 Februari, Serius Crime Unit mengeluarkan dakwaan kepada Pengadilan Distrik Dili dan meminta agar dikeluarkan surat penangkapan terhadap delapan orang pejabat militer dan sipil Indonesia. Mereka ini didakwa telah melakukan “kejahatan terhadap umat manusia” (crimes against humanity) berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi “yang dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil Timor Leste dan secara khusus kepada mereka yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan Timor Leste.” Munculnya dakwaan ini disambut baik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia, tidak hanya di Timor Leste tetapi juga di luar negeri, termasuk di Indonesia. Maklum saja selama ini SCU hanya mengeluarkan dakwaan kepada milisi-milisi tingkat rendahan. Dari Indonesia, Ifdhal Kasim, direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta pemerintah Indonesia untuk bekerjasama dengan pengadilan Timor Leste dan juga dengan Interpol (organisasi kerjasama kepolisian internasional) agar para pelaku kejahatan tersebut bisa diadili. Sementara Rachland Nashidik dari Imparsial kepada Direito mengatakan, “Dakwaan terhadap para jenderal itu merupakan kemajuan penting dalam usaha kita “bangsa Indonesia dan Timor Leste” untuk memutus dan mengakhiri lingkaran impunity.” Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia berpusat di Amerika Serikat, mengatakan, “Ini adalah upaya nyata pertama yang membuat pejabat-pejabat tinggi bertanggungjawab atas kekerasan terorganisir pada 1999.” Menurutnya, ujian terbesar sekarang adalah apakah Indonesia siap menangkap para terdakwa dan mengirimkannya ke Dili untuk diadili. Semestinya Indonesia siap demi keadilan, hak asasi dan demokrasi yang saat ini giat dibangun oleh masyarakat indonesia sendiri.
2
gram pendampingan korban kekerasan 1999 dari Forum Komunikasi Perempuan Timor Lorosae (Fokupers). “Mereka selama ini tidak puas dengan pengadilan yang hanya mengadili orang-orang kecil, tetapi orang-orang besar yang membentuk kelompok-kelompok milisi dan merencanakan kekerasan tidak diadili,” katanya kepada Direito. Dari Indonesia, Ifdhal Kasim, direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta pemerintah Indonesia untuk bekerjasama dengan pengadilan Timor Leste dan juga dengan Interpol (organisasi kerjasama kepolisian internasional) agar para pelaku kejahatan tersebut bisa diadili. Sementara Rachland Nashidik dari Imparsial kepada Direito mengatakan, “Dakwaan terhadap para jenderal itu merupakan kemajuan penting dalam usaha kita -- bangsa Indonesia dan Timor Leste -- untuk memutus dan mengakhiri lingkaran impunity.” Menurutnya, jika pada kenyataannya pengadilan di Indonesia tidak mau dan tidak mampu untuk menuntut, mengadili, dan menghukum para jenderal itu, “maka biarlah pengadilan di mana saja yang melakukannya.” Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia berpusat di Amerika Serikat, mengatakan, “Ini adalah upaya pertama nyata yang pertama untuk membuat pejabat-pejabat tinggi bertanggungjawab atas kekerasan terorganisir pada 1999.” Menurutnya, ujian terbesar sekarang adalah apakah Indonesia siap menangkap para terdakwa dan mengirimkannya ke Dili untuk diadili. Sudah bisa dibayangkan bahwa para terdakwa akan bersikap menolak. “Sudah berulangkali saya meyakinkan kepada masyarakat. Sekarangpun saya berani bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahwa selaku Menhankam/Pangab, sewaktu proses Jajak Pendapat di Timor Timur tidak pernah terpikir, berkeinginan merencanakan, apalagi memerintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pengusiran, dan sebagainya,” kata Wiranto dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta khusus untuk membantah dakwaan Unit Kejahatan Berat. Sedang mantan Panglima Darurat Militer di Timor Timur Kiki Syahnakri mengatakan bahwa dirinya tidak akan menangapi. “Tuntutan itu tidak akan kami tanggapi, karena peradilan nasional yang mengadili kasus Timor Timur saja sampai sekarang belum selesai,” katanya sebagaimana dikutip kantor berita Antara. Sikap ini seperti mendapat dukungan pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda mengatakan bahwa Indonesia tidak akan memenuhi permintaan untuk menangkap para terdakwa. “Mereka tidak punya wewenang hukum untuk menangkap orang bukan warganegara Timor Leste,” katanya. Sementara Kejaksaan Agung menyatakan bahwa mereka tidak akan pro-aktif dalam masalah ini. Patut disayangkan bahwa sikap para terdakwa dan pemerintah Indonesia tersebut justru seperti mendapat angin segar dari sejumlah pemimpin pemerintah Timor Leste. Presiden Xanana Gusmão justru mengatakan menyesalkan munculnya dakwaan tersebut yang dikeluarkan tanpa berkonsultasi dengannya. Begitu tiba di Bandara Nicolau Lobato, Dili setelah pulang dari mengikuti Konferensi Non-Blok di Kuala Lumpur, Malaysia, Presiden mengatakan bahwa hubungan baik dengan Indonesia jauh lebih penting daripada pengadilan terhadap para jenderal. Tetapi Presiden tidak menyebutkan apa kaitan antara membina hubungan baik dengan Indonesia dan pengadilan terhadap para pejabat tinggi tersebut. Namun, Jaksa Agung Longuinhos Monteiro menegaskan bahwa dakwaan tersebut murni hukum, bukan masalah politik. “Tidak ada campur tangan politik dalam pembuatan dakwaan ini,” katanya kepada Direito. Ia berharap agar Indonesia juga bersikap seperti itu dan mau bekerjasama. edisi 22 - Februari 2003
DIREITO UTAMA
Orang-Orang Besar Resmi Menjadi Terdakwa Surat dakwaan dikeluarkan terhadap para komandan TNI termasuk Panglimanya. Mereka didakwa bertang gungjawab atas ter jadinya 280 pembunuhan, deportasi 200.000 orang ke Timor Barat, serangan fisik, penahanan tidak sah, intimidasi, penculikan, dan pengrusakan barang. Berikut ringkasan isi dakwaan tersebut. urat dakwaan Unit Kejahat an Berat menyebut Jenderal Wiranto bersama tujuh orang lainnya bertanggungjawab atas “kejahatan terhadap umat manusia” di Timor Leste. Menurut Information Release yang dikeluarkan unit ini pada 26 Agustus 2003, dakwaan disusun berdasarkan mandat yang diberikan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1272 tanggal 25 Oktober 1999. Menurut surat dakwaan, Jenderal Wiranto, Mayjen Zacky Makarim, Mayjen Kiki Syahnakri, Mayjen Adam R. Damiri, Kolonel F. X. Suhartono Suratman, Kolonel Mohammad Noer Muis, Letnan Kolonel Yayat Sudrajat, dan Gubernur Abílio Osório Soares didakwa bertanggungjawab atas terjadinya pembunuhan, deportasi dan persekusi yang semua tindak kejahatan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil dan khususnya dengan sasaran orang-orang yang dianggap mendukung kemerdekaan Timor Leste. Secara khusus Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, Mayor Jenderal Adam Damiri, Kolonel Tono Suratman, Letnan Kolonel Yayat Sudrajat, dan Gubernur Abílio Osório Soares didakwa ambil bagian dalam pembentukan kelompok-kelompok milisi yang melakukan kekerasan. Keenam orang ini didakwa bekerjasama dalam kebijakan mendanai, mempersenjatai, melatih, dan mengarahkan milisi. Uang yang digunakan bagi mereka berasal dari Pemerintah Pusat disalurkan melalui Gubernur Osório Soares. Kelompok-kelompok milisi bersama TNI melakukan kekerasan yang sistematis dan terencana yang mengakibatkan terjadinya keja-
S
edisi 22 - Februari 2003
hatan terhadap umat manusia di seluruh wilayah Timor Leste pada periode 1999. Keenam komandan militer tersebut dan Jenderal Wiranto sebagai Panglima TNI, dalam posisi komando bertanggungjawab atas terjadinya tindakan atau kelalaian para bawahan mereka dalam tubuh militer Indonesia karena gagal melakukan tindakan untuk mencegah kejahatan tersebut atau gagal menghu-
kup 10 serangan besar dan 40 insiden pembunuhan lain yang terjadi sebelum dan sesudah Referendum 30 Agustus 1999. Semua terdakwa juga didakwa bertanggungjawab atas terjadinya pemindahan paksa penduduk sipil sejumlah sekitar 200.000 orang dari seluruh distrik Timor Leste ke Timor Barat setelah pengumuman hasil Referendum. Dakwaan ini disusun oleh
Dari kantor ini dakwaan dikeluarkan. Foto: Rogério Soares/Direito.
kum para pelakunya. Lebih jauh, sifat hubungan antara militer dan milisi membuat ketujuh perwira militer tersebut memiliki kontrol efektif atas kelompokkelompok milisi dan karena itu bertanggungjawab atas kejahatan yang mereka lakukan. Semua terdakwa didakwa melakukan persekusi dan pembunuhan orang sipil pendukung kemerdekaan. Persekusi ini terdiri dari pembunuhan, serangan fisik, penahanan tidak sah, intimidasi, penculikan, dan pengrusakan harta-benda. Surat dakwaan menyebutkan 280 pembunuhan, yang menca-
Unit Kejahatan Berat setelah mengumpulkan keterangan dari 1500 saksi dan memeriksa dokumen-dokumen TNI. Semua terdakwa diyakini berada di Indonesiah. Unit ini meminta Pengadilan Distrik Dili mengeluarkan perintah penangkapan yang selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Agung RI. Surat ini juga disampaikan kepada Interpol (organisasi kepolisian internasional), karena Timor Leste sudah menjadi anggota. Diharapkan Kejaksaan Agung RI atau Interpol menangkap dan mengirimkan para terdakwa ke Timor Leste. 3
DIREITO UTAMA
SURAT DAKWAAN PBB ATAUKAH TIMOR LESTE? Surat dakwaan yang disampaikan oleh Unit Kejahatan Berat UNMISET pada 24 Februari 2003 yang mendakwa sejumlah pejabat militer dan sipil Indonesia yang bertanggungjawab atas kekerasan 1999 di Timor Leste menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Berikut ini beberapa keterangan penting yang perlu kita ketahui bersama. Siapa yang mengeluarkan dakwaan? Jelas bahwa surat dakwaan ini dikeluarkan oleh Unit Kejahatan Berat. Yang menjadi pertanyaan adalah unit ini berada di bawah PBB atau Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Masalah ini muncul karena ketika dalam penjelasan pers harian di kantor pusat PBB New York pada 25 Februari 2002, Jurubicara PBB Fred Eckhard mengatakan bahwa dakwaan tersebut dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Timor Leste, bukan oleh PBB karena PBB hanya memberikan bantuan nasehat. Hal yang sama juga dinyatakan oleh UNMISET di Dili. “Dakwaan ini dipersiapkan oleh staf internasional, tetapi dikeluarkan di bawah wewenang hukum Jaksa Agung Timor Leste,” demikian pernyataan UNMISET yang dikeluarkan pada hari yang sama. “PBB tidak punya wewenang hukum untuk mengeluarkan dawaan itu,” lanjut pernyataan ini. Pernyataan di atas tidak sesuai dengan fakta. Unit Kejahatan Berat dibentuk oleh UNTAET dalam rangka menjalankan mandat yang diberikan padanya oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1272 (25 Oktober 1999). Resolusi ini mengutuk kekerasan yang terjadi di Timor Leste dan menyerukan supaya mereka yang bertanggungjawab mengenainya segera diadili. Menjelang berakhirnya masa tugas UNTAET, pada 17 Mei 2002 secara aklamasi Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 1410 tentang pembentukan UNMISET (Misi Pendukung PBB di Timor Leste). Resolusi ini antara lain menetapkan bahwa Unit Kejahatan Berat adalah salah satu bagian dari komponen sipil UNMISET. Sebelum keluar resolusi ini, 4
Bendera PBB dan bendera RDTL Foto: Rogério Soares/Direito
dalam Laporan Sekretaris Jenderal PBB kepada Majelis Umum, disebutkan bahwa Unit Kejahatan Berat diberi tugas khusus membuat penyelidikan dan menyusun tuntutan untuk kejahatan berat 1999. Setelah RDTL resmi merdeka, unit ini memang ditempatkan di bawah Kejaksaan Agung RDTL dan kepala dari unit ini menjadi Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat. Meskipun demikian, unit ini bekerja sebagai unit PBB. Para staf di unit ini adalah pegawai PBB, bukan pegawai Pemerintah RDTL. Menurut keterangan Jaksa Agung RDTL Longuinhos Monteiro, dirinya sebagai Jaksa Agung hanya memiliki wewenang administratif terhadap unit ini, sedang secara yudisial unit ini memiliki independensi dan bekerja sesuai dengan standar internasional.
tutan yang dilakukan oleh Unit Kejahatan Berat UNMISET adalah bagian dari proses pengadilan untuk kejahatan berat 1999. Lembaga yang mengadili kasus-kasus kejahatan berat 1999 adalah Panel Hakim Khusus Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili. Panel ini dibentuk oleh UNTAET berdasar mandat Resolusi Dewan Keamanan No. 1272 juga. Panel ini terdiri dari dua orang hakim internasional PBB dan satu orang hakim nasional Timor Leste. Hukum yang digunakan untuk memproses adalah hukum nasional dan hukum internasional. Mengapa demikian? Karena kejahatan yang didakwakan terjadi pada 1999 adalah kejahatan menurut hukum internasioanal, yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia. Hukum internasional diadopsi dalam Regulasi UNTAET No. 15 yang mengatur tentang kejahatan-kejahatPengadilan yang berwenang an yang menjadi yurisdiksi Panel mengadili Hakim Khusus Kejahatan Berat. Proses penyelidikan dan penunDari fakta di atas dapat disimedisi 22 - Februari 2003
DIREITO UTAMA pulkan bahwa pengadilan untuk kejahatan berat di Timor Leste adalah “pengadilan campuran” atau juga disebut “pengadilan yang diinternasionalkan” (internationalized court). Disebut demikian karena staf dari pengadilan tersebut adalah campuran antara staf internasional dan staf nasional, sedang hukumnya juga gabungan dari hukum internasional dan hukum nasional. Pengadilan seperti ini dibuat antara lain karena pertimbangan bahwa untuk membentuk pengadilan internasional diperlukan proses yang lama dan biaya yang besar. Oleh kalangan yang mengusulkannya, pengadilan campuran dianggap sebagai semacam pengganti untuk pengadilan internasional. Adalah aneh jika PBB yang mendirikan Panel Hakim Khusus Kejahatan Berat dan Unit Kejahatan Berat, yang artinya menjalankan “pengadilan campuran” untuk kejahatan berat 1999, kemudian mengatakan bahwa mereka tidak punya wewenang hukum untuk mengeluarkan dakwa-
wa ke pengadilan? Semua terdakwa yang disebutkan dalam surat dakwaan berada di wilayah Indonesia. Agar mereka bisa diadili, Unit Kejahatan Berat meminta Pengadilan Distrik Dili segera mengeluarkan surat perintah penangkapan. Surat ini selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Agung Indonesia. Sesuai dengan Memorandum of Understanding pada Februari yang ditandatangani antara Jaksa Agung RI dan Administrator Transisi UNTAET, Indonesia dan Timor Leste sepakat untuk bekerjasama mengirimkan bukti, saksi, dan terdakwa kejahatan 1999. Tetapi selama ini Timor Leste memenuhi janji dengan mengirimkan saksi yang diminta Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia, sedang Indonesia belum pernah memenuhi permintaan Timor Leste untuk mengirimkan terdakwa. Selain dikirimkan kepada Kejaksaan Agung RI, surat perintah penangkapan dikirimkan ke Interpol (organisasi internasional kerjasama kepolisian). Sejak Oktober 2002 Timor Leste sudah
Komandan Satgas Intel (SGI)Yayat Sudrajat. Foto: REUTERS.
an. Lebih aneh lagi, pernyataan tersebut keluar baru setelah pejabat-pejabat tinggi militer dan sipil yang didakwa. Sebelumnya Unit Kejahatan Berat sudah mengeluarkan sejumlah dakwaan dan tidak ada keberatan dari kantor pusat PBB. Bagaimana membawa terdakedisi 22 - Februari 2003
menjadi anggota Interpol. Negara-negara anggota Interpol harus melakukan penangkapan dan pengiriman terdakwa jika ada negara anggota yang meminta. Karena Indonesia adalah anggota Interpol, maka ia wajib memenuhi permintaan ini. Jumlah seluruh anggota Interpol adalah 181 negara.
Seperti dikatakan oleh Stuart Alford, jaksa yang menangani kasus ini, kecil kemungkinan Indonesia memenuhi permintaan ini. Karena itu, perlu ada desakan dari negara-negara lain, dan organisasi-organisasi internasional agar dilakukan sesuatu untuk membawa para terdakwa ke pengadilan. Apakah hubungan Timor Leste dengan Indonesia akan terganggu? Yang menjadi terdakwa dalam surat dakwaan ini bukanlah negara Indonesia, rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia, atau angkatan bersenjata Indonesia. Terdakwanya adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan 1999. Mereka harus bertanggungjawab sebagai perorangan (pribadi) karena dalam kejahatan terhadap umat manusia berlaku “pertanggungjawaban pribadi” (“individual responsibility”). Dalam hal ini orang-orang yang berada pada kedudukan komando, harus mempertanggungjawabkan yang dilakukan oleh anak buah mereka. Pertanggungjawabannya bukanlah pertanggungjawaban kelembagaan. Jadi, dengan keluarnya dakwaan tersebut, masalah hukum yang muncul bukanlah antara negara Timor Leste atau PBB dengan negara Indonesia, tetapi antara negara Timor Leste dan PBB dengan sejumlah individu warganegara Indonesia. Presiden RDTL Xanana Gusmão mengatakan bahwa mengadili para pejabat Indonesia itu bukan kepentingan nasional Timor Leste. Pernyataan ini jelas menganggap bahwa tuntutan korban akan keadilan untuk kekerasan 1999 tidak dianggap sebagai kepentingan nasional. Pendapat ini sama sekali tidak berdasarkan fakta. Kekerasan 1999 terjadi di seluruh negeri. Hingga sekarang di mana saja para korban dan keluarganya menyatakan menginginkan pengadilan bagi para pelaku dan penanggungjawab kekerasan 1999. Lagi pula, bukankah perjuangan kemerdekaan Timor Leste sendiri digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan keadilan? 5
DIALOG
Jaksa Stuart Alford: Perlu Desakan Internasional Berikut adalah petikan wawancara Nug Katjasungkana dengan Jaksa Unit Kejahatan Berat UNMISET Stuart Alford satu hari setelah keluar nya dakwaan tersebut. Apa bukti bahwa milisi berada di bawah kontrol efektif tentara Indonesia? Kesimpulan yang disampaikan dalam tuduhan ini sepenuhnya berdasarkan bukti dari pernyataan dan laporan saksi-saksi yang dikumpulkan di Timor Leste, yang seluruhnya berjumlah 1500 saksi. Kesaksian ini dari para anggota milisi, anggota TNI, dan juga dari otoritas sipil di Timor Leste saat itu. Kesimpulan bahwa ketujuh orang yang didakwa, selain Wiranto, itu terlibat langsung dalam pembentukan, komando, dan pengarahan milisi itu sepenuhnya berdasarkan bukti-bukti ini. Tidak ada spekulasi. Dari bukti-bukti itu jelas bahwa milisi yang melakukan kekerasan di lapangan berada dalam kontrol efektif TNI. Milisi adalah bagian dari struktur TNI. Milisi adalah bagian dari kemampuan TNI untuk melaku-
Jenderal Wiranto. Foto: REUTERS. 6
kan operasi di Timor Leste.
Apa tanggungjawab Wiranto untuk kejahatan terhadap umat manusia di TL? Tujuh dari orang yang didakwa dalam surat dakwaan, kecuali Wiranto, adalah orang-orang yang ambil bagian langsung dalam pembentukan dan pengarahan milisi dengan memberikan dukungan, mengeluarkan instruksi khususnya kepada perwira TNI bawahan mereka untuk mengarahkan, menyediakan senjata, dan memberikan uang atau dukungan lisan kepada milisi. Wiranto adalah satu-satunya orang yang kami tidak punya bukti tentang keterlibatan aktif langsung dia dalam pembentukan milisi. Kami tidak punya bukti yang menunjukkan bahwa ia berkata atau memerintahkan sesuatu yang langsung membuat dibentuknya milisi. Tetapi ia punya otoritas komando pada periode itu atas semua personil TNI yang ada di Timor Leste. Dalam periode itu jelas bahwa tidak hanya ketujuh pejabat militer dan sipil itu yang terlibat tetapi semua tingkatan TNI terlibat dalam kejahatan. Sebagian dari mereka berada pada bagian terbawah dari rantai komando. Mereka ini yang menggunakan senjata api atau pisau untuk membunuh atau menyakiti orang sipil, tetapi orang-orang ini berada di bawah tanggungjawab komando Wiranto sebagai Panglima TNI. Selain itu, karena sifat hubungan antara TNI dengan milisi, Wiranto pada akhirnya memiliki kontrol atas milisi dan karena milisi dikontrol oleh prajurit-prajurit TNI. Wiranto berkali-kali diberitahu oleh pers, anggota-anggota komunitas internasional, dan pemimpin-pemimpin masyara-
kat di Timor Leste bahwa kelompok milisi itu berada di bawah komando TNI dan mereka sedang melakukan kejahatan-kejahatan di Timor Leste. Tetapi Wiranto membiarkan mereka melakukan kejahatan tanpa mendapatkan hukuman. Buktinya sangat jelas bahwa merekat tidak diadili. Kami menggunakan argumen bersejarah yang telah lama berkembang mengenai ’pertanggungjawaban komando,“ yaitu argumen yang berkembang dari Den Haag (Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia), Afrika (Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda), dan setelah Perang Dunia Kedua di Jepang dan di Nuremberg (pengadilan terhadap para penjahat Perang Dunia II). Kasus ini adalah salah satu dari garis panjang kasus-kasus, yang paling mutakhir adalah pengadilan terhadap Milosevic di Den Haag (untuk kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia di Bosnia-Herzegovina).
Bagaimana kemungkinan para terdakwa untuk diserahkan ke pengadilan di Dili? Kami yakin bahwa proses di Timor Leste terhadap kedelapan orang ini menjadi berjalan maju sejauh yang bisa kami lakukan dalam prosesnya. Kami telah melakukan investigasi, menganalisis bukti-bukti, dan mengajukan dakwaan ke Pengadilan Distrik Dili. Surat penangkapan sedang diproses dan akan segera dikeluarkan. Setelah keluar, surat ini akan diteruskan kepada Jaksa Agung di Indonesia, dan juga disampaikan kepada Interpol, yang berarti bahwa negara lain anggota Interpol punya kewajiban untuk menjalankan perintah penangkapan bila para terdakwa berada di wilayah mereka. Kami yakin bahwa diperlukan sesuatu di luar Timor Leste supaya orang-orang yang didakwa itu bisa dibawa ke Timor Leste untuk diadili. Diperlukan bantuan Interpol, desakan internasional atau diplomatik, juga desakan dari negara-negara dan dari organisasi-organisasi internasional supaya dilakukan sesuatu. Saya tidak beranggapan bahwa tanpa bantuan dan kerjasama dari pihak-pihak ini orang-orang yang didakwa itu bisa diadili edisi 22 - Februari 2003
JUSTIÇA
KORBAN BERHAK ATAS PENGADILAN Orang Timor Leste yang menjadi korban pelanggaran hak asasi mempunyai hak atas keadilian. Hak ini harus dipenuhi melalui pengadilan, yang juga akan memungkinkan dipenuhinya hak lain yang dimiliki korban, yaitu hak mengetahui dan mendapatkan pemulihan. erbagai peristiwa kekerasan dan pelangga ran HAM yang terjadi di masa pendudukan militer Indonesia terhadap Timor Leste merupakan sebuah tindakan kejahatan masa lalu yang seakan terlupakan, atau hendak dilupakan seiring dengan datangnya era kemerdekaan. Bila kejahatan tersebut dilupakan, sama artinya martabat rakyat Timor Leste terutama para korban tidak ada nilainya. Ini tidak saja mengkhianati prinsip dan nilai yang dijunjung tinggi dalam masa perjuangan, tetapi juga melanggar prinsip hak asasi internasional. Menurut prinsip hak asasi internasional, korban adalah orang yang secara individual maupun kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, mengalami penderitaan emosional (seperti trauma), kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak-hak dasar mereka, baik karena perbuatan yang sengaja dilakukan (by act) maupun karena kelalaian atau kegagalan dalam mencegah suatu pelanggaran hak asasi manusia (by omission) baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku bukan negara. Istilah “korban” juga mencakup keluarga langsung atau orang yang secara langsung menjadi tanggungan korban, dan orang-orang yang menderita kerugian ketika membantu korban yang sedang menderita atau dalam usaha mencegah agar orang-orang tidak menjadi korban. Menjadi korban tidak berarti hak asasinya hilang atau dikurangi, apalagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia Para korban punya hak untuk menikmati kehidupan ini seperti manusia yang lain yang tidak menjadi korban. Sebagai korban bahkan memiliki hak-hak khusus seperti berikut. I. Hak untuk tahu (right to know) Korban berhak untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan penyebab mereka menjadi korban, siapa pelakunya, dan keadaan anggota keluarganya yang dibunuh atau hilang. Yang punya kewajiban memenuhi hak ini adalah setiap pemerintah di negara pihak korban dan masyarakat internasional. Mekanisme untuk pemenuhan hak ini adalah melalui pengadilan dan/atau rekonsiliasi. Namun apabila mekanisme tersebut tidak dijamin untuk mengungkapkan kebenaran, maka pemerintah negara yang bersangkutan dan masyarakat internasional gagal memenuhi hak korban. II. Hak atas keadilan/pengadilan Setiap korban punya hak atas keadilan. Sebagai korban, ia telah terkena tindakan yang tidak
B
edisi 22 - Februari 2003
adil. Baginya keadilan harus dipulihkan dengan membuat para pelaku kejahatan mempertanggungjawabkan tindakannya. Untuk itu harus dijalankan pengadilan. III. Hak atas pemulihan (right to reparation) Di bawah hukum internasional, pelanggaran hak asasi manusia menimbulkan hak bagi korban atas pemulihan. Ini mencakup semua tipe pemulihan, baik material maupun non-material. Untuk menghormati hak asasi manusia, setiap negara memiliki kewajiban memberikan pemulihan bila terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional. Pemulihan untuk pelanggaran hak asasi manusia bertujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan bagi para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki akibatakibat dari pelanggaran terhadap hak-haknya. Pemulihan haruslah proporsional dengan beratnya pelanggaran dan sesuai dengan kebutuhan para korban dan harus mencakup bentukbentuk pemulihan yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan untuk tidak terulang lagi. Bentuk-bentuk pemulihan: 1. Restitusi. Restitusi harus diberikan untuk menegakkan kembali situasi yang ada pada korban sebelum terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan untuk mengembalikan hak milik korban yang diambil paksa oleh pelaku, memulihkan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja dan atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita korban, serta penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. 2. Kompensasi. Kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, seperti: a) kerusakan fisik dan mental; b) kesakitan, penderitaan, dan tekanan batin; c) kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan; d) hilangnya mata pencaharian dan kemampuan untuk mencari nafkah; e) biaya medis dan biaya rehabilitasi lain; f) kerugian hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; g) kerugian reputasi atau martabat; h) biaya dan bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan. 3. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah kewajiban untuk menyediakan pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan/perawatan lain yang mencukupi, maupun tindakan memulihkan martabat dan reputasi sang korban. José Luís de Oliveira 7
PEMBERDAYAANRAKYAT
TARABANDU
ADAT BERWAWASAN LINGKUNGAN Tarabandu adalah tradisi baik yang perlu dilestarikan untuk mengembangkan kehidupan rakyat. Lingkungan bisa dijaga dan pertanian rakyat bisa berkelanjutan untuk mendukung kehidupan penduduk desa. arabandu merupakan salah satu adat kebiasaan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam era kemerdekaan ini di sana-sini masyarakat desa menghidupkan kembali upacara tarabandu, yaitu menetapkan masa larangan menebang, memetik, dan memungut hasil tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu yang dianggap suci. Tempat yang dianggap suci atau keraman itu adalah tempat yang memberikan penghidupan bagi orang banyak. Misalnya tempat sekitar sumber air atau hutan yang secara ekologis berguna untuk menahan resapan air dan mencegah erosi. Ini merupakan bukti bahwa nenek moyang kita
T
Diskusi sebelum upacara tarabandu di Irabim, Uatokarbau. Foto: Rogério Soares.
memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlindungan lingkungan hidup. Di Suco Irabim yang terletak di Subdistrik Uatukarbau, Distrik Viqueque pada 16 Januari 2003 para tokoh masyarakat, yaitu liurai dan empat dato di suco ini bersama masyarakat setempat menyelenggarakan upacara tarabandu. Ini adalah tarabandu yang pertama diselenggarakan setelah zaman Portugis. Suco ini memiliki sumber air yang sangat penting tidak saja bagi kehidupan seluruh warga8
nya, tetapi juga bagi banyak penduduk di tempat lain. Di suco inilah terletak mata air Sungai Irabim yang mengalir melewati wilayah Irabere, Nabo Tarukasa, Giacai, Combere Comata, Baidubu (Subdistrik Uatokarbau) dan kawasan Maumua Tobolobe yang terletak di Subdistrik Ilomar, Distrik Lautem. Sekitar 150 hektar sawah mendapatkan air dari sungai ini. Di mata air sungai ini, air terjun ke suatu tempat membentuk danau kecil. Airnya luar biasa jernih dan sangat segar. Pemandangan sungai sangat indah. Menurut penduduk setempat, tempat ini dulu kaya akan flora dan mauna. Tetapi sekarang air mulai berkurang, begitu pula flora dan fauna. Kerusakan lingkungan di dalah sebabnya. Sehari sebelum upacara tarabandu, para pemuda setempat yang mengikuti pendidikan di Dili bekerjasama dengan para tokoh menyelenggarakan diskusi terbuka mengenai hak rakyat atas lingkungan dan kehidupan yang layak. Penyelenggara menghadirkan pejabat pemerintah seperti Direktur Tanah dan Hartabenda (Land & Property) Pedro de Sousa dan pejabat dari Unit Perlindungan Lingkungan dan Kehutanan yang berbicara tentang kebijakan pemerintah mengenai tanah dan perlindungan lingkungan. Sementara aktivis dari organisasi non-pemerintah Perkumpulan HAK, Institut Sahe, dan Fundasaun Haburas, dan jaringan pertanian berkelanjutan HASATIL berbicara tentang perlunya menerapkan metode pertanian berkelanjutan yang melindungi lingkungan serta
bahayanya investasi modal skala besar di bidang pertanian atau sumberdaya alam lain seperti sumber air, yang justru membuat rakyat tidak punya hak atas sumberdaya alam tersebut. Para tokoh adat berbicara tentang tata-cara perlindungan alam menurut tradisi. Alexandre da Silva, Liurai Irabim, dalam diskusi mengatakan bahwa dulu hutan di tempat kelahirannya sangat lebat. “Dulu di tempat saya, Uatubela, hutannya lebat memberikan air yang bisa memberikan kehidupan kepada komunitas kami. Tetapi setelah Indonesia masuk, kami dipaksa keluar dari tempat kelahiran kami dan sekarang semua hutan sudah ditebang dan dibakar. Air juga sudah kering,” katanya. Menurutnya setelah Timor Leste mendapatkan kemerdekaan, sekarang saatnya memulihkan lingkungan. “Kita mengembalikan lingkungan seperti semula supaya bisa ada lagi air dan hujan untuk memberi kehidupan kepada kami,” katanya tegas. Pengrusakan lingkungan ini terjadi karena pendudukan Indonesia. Pada 1979, rakyat yang mengungsi ke gunung-gungung terpaksa menyerah akibat pemboman besar-besaran oleh militer Indonesia dengan menggunakan kapal terbang canggih yang diperoleh dari Inggris dan Amerika. Penduduk yang turun gunung untuk menyerah kemudian dipaksa untuk tinggal secara berkumpul di satu tempat baru agar mudah dikontrol oleh tentara pendudukan. Mereka yang berasal dari Uatokarbau dijadikan satu dengan sejumlah penduduk asal Baguia ditempatkan di wilayah Irabim yang sebelumnya adalah hutan. Mereka terpaksa membabat hutan untuk membangun tempat tinggal, serta membuat kebun dan sawah demi mempertahanedisi 22 - Februari 2003
PEMBERDAYAANRAKYAT
Memberikan persembahan kepada rain nain dan nenek-moyang. Foto: Rogério Soares/Direito.
kan hidup. Selama pendudukan Indonesia, sebagian penduduk terbiasa melakukan penebangan hutan untuk membuat ladang berpindah. Sebagian dari mereka terlena dengan hasil yang berlimpah dari lahan berpindah. Mereka lupa akibat yang akhirnya mereka rasakan sekarang. “Pengolahan ladang berpindah adalah kebiasaan jelek yang harus ditinggalkan. Jangan karena mengejar hasil yang berlimpah dalam satu musim kita menebang semua pohon dan tidak memperhitungkan kerugian di masa mendatang,” kata Oscar da Silva, seorang pemuda asal Irabim yang juga aktivis HASATIL. Sementara Dato Makaki mengatakan bahwa nenek moyang mereka sejak dulu menghormati air dan hutan yang dianggap lulik (keramat). “Orang menghargai tempat lulik dengan memberi persembahan berupa ayam, kambing, babi, dan kerbau. Air dan hutan kami hormati. Dilarang untuk merusaknya,” katanya. “Dari air kami bisa mendapatkan ikan dan mengairi sawah. Hutan memberikan bahan untuk membangun rumah dan memberi air hujan sehingga kami bisa bertani tepat pada musim tanam,” paparnya. Upacara tarabandu adalah edisi 22 - Februari 2003
penghormatan yang dilakukan penduduk kepada air dan hutan atau lingkungan hidup secara keseluruhan. Penduduk memotong binatang ternak sebagai simbol larangan, yaitu larangan untuk pemotongan atau penebangan tumbuhan. Kalau ada yang melanggar, orang tersebut dikenai hukuman berupa kewajiban memotong binatang seperti yang telah dipotong dalam upacara tarabandu. Tarabandu Suco Irabim diselenggarakan di dekat mata air Sungai Irabere. Upacara dimulai dengan hamulak (berdoa) oleh Liurai Alexandre da Silva di uma fukun. Selanjutnya dilakukan perarakan menuju tempat upacara di dekat sumber air. Di tempat ini dilakukan penghitungan seluruh sanak-saudara, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Seluruh ang gota yang hadir diberi selembar daun sirih atau pinang yang berarti bahwa semua ikut serta dalam upacara ini. Yang tidak hadir diwakili oleh yang hadir. Selanjutnya dilakukan pemotongan binatang persembahan, yaitu ayam, babi, dan kerbau. Hati dari binatang-binatang ini kemudian “dibaca” oleh para tokoh adat untuk mengetahui nasib mereka di masa mendatang. Bagian-bagian penting dari binatangn persembanan tersebut
kemudian dipersembahkan kepada arwah nenek-moyang dan Rain Nain (penguasa tanah). Marçal de Carvalho yang sebagai Oan Mane Irabim bertindak sebagai semacam juru bicara dalam upacara ini. Pada puncak acara, ia menegaskan kembali kesepakatan komunitas bahwa barang dan tempat yang dulu disembah nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan, sekarang diperkuat kembali. “Jangan merusak, kita menghargai dan mencintainya. Kita menghijaukan kembali daerah-daerah yang dilindungi yang meliputi Satoma-Kailaku, Uatubela, Bua’a-Lakasoru, Uatubisoru, dan Hudilale,” katanya. Ia juga berpesan agar penduduk tidak membiarkan ternaknya masuk ke sungai karena airnya digunakan oleh banyak orang untuk minum. “Tempat penggembalaan adalah sebatas di bawah Taradiga. Ini untuk menjaga kebersihan sumber air,” kata Marçal de Carvalho. Upacara diakhiri dengan makan bersama daging binatang-binatang yang dijadikan korban dalam upacara ini. Daging yang dimasak oleh kaum perempuan ini dimakan dengan nasi. Tempatnya adalah piring terbuat dari anyaman bambu yang disebut bantaka. Rogério Soares 9
TEROPONGKEBIJAKAN
Timor Lorosae Menjadikan Tentara Amerika Serikat di Atas Hukum Menteri Luar Negeri Timor Leste menandatangani perjanjian dengan Menteri Luar Negeri AS status tentara AS di Timor Leste. Berikut ini tulisan Charles Scheiner tentang perjanjian tersebut. ada bulan Oktober, Presi den, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Demokratik Timor Leste mengunjungi Washington untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat George Washington dan Menteri Luar Negeri Colin Powell. Para pejabat itu membahas banyak persoalan penting bagi kedua negeri, tetapi hanya satu perjanjian resmi yang muncul dari pembicaraan tersebut. Pemerintah Timor Leste menyerahkan kekuasaannya untuk meminta tentara Amerika Serikat di Timor Lorosae mematuhi hukum Timor Leste. Timor Leste dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian yang bernama Status of Forces Agreement (Kesepakatan Status Tentara). Kesepakatan ini mendefinisikan hak dan kewajiban tentara dari salah satu negara (“negara pengirim”) yang berpangkalan di negara lain (“negara penerima”). Sebagian SOFA, seperti yang ditandatangani oleh negara-negara NATO, adalah perjanjian multilateral, sedang yang paling banyak (termasuk lebih dari 100 yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dengan pemerintah-pemerintah lain) adalah antara dua negara. Perjanjian-perjanjian ini menetapkan kewajiban pajak, hak imigrasi, penggunaan gelombang radio dan pelayanan publik lainnya, serta aspekaspek lain bagi status pasukan militer asing di negara penerima. Yang paling penting, perjanjian SOFA menetapkan bagaimana pemberlakuan undangundang pidana negara penerima bagi tentara dari negara pengirim. Ini adalah untuk tindak pidana biasa, seperti perampokan, perkosaan, penyerangan, dan pembunuhan. Dalam kebanyakan SOFA, tentara asing diharuskan menghormati hukum negara yang mereka kunjungi. Jika
P
10
mereka melakukan pelanggaran hukum, mereka bisa diadili oleh sistem peradilan negara mereka sendiri atau negara tempat mereka berada yang disebut “yurisdiksi konkuren.” SOFA menetapkan negara mana yang punya “yurisdiksi primer” yaitu, yang punya tanggungjawab utama untuk mengadili dan menghukum tentara yang melakukan kejahatan. Dalam SOFA yang biasanya, negara penerima punya yurisdiksi primer untuk pelanggaran terhadap hukumnya, kecuali jika korban kejahatan berasal dari negara pengirim. Dalam banyak SOFA, seperti yang ditandatangani antara Amerika Serikat dengan Filipina, negara penerima (Filipina) menyerahkan haknya atas yurisdiksi primer kecuali dalam kasus-kasus yang amat sangat penting bagi Filipina, yang ditentukan oleh pemerintah Filipina. Dalam semua hal, yurisdiksi konkuren tetap, dan Filipina atau Amerika Serikat bisa mengadili kasus-kasus yang tidak berhasil diadili oleh negara yang punya yurisdiksi primer. Bulan Agustus, Timor Leste menandatangani “kesepakatan impunitas Pasal 98” dengan Amerika Serikat, dalam mana Timor Leste setuju untuk tidak mengirimkan setiap personil Amerika Serikat ke Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC). Ini berbeda dengan SOFA yang ditandatangani Oktober, yang memfokuskan pada kejahatan biasa – bukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia yang berada dalam wewenang ICC. Kesepakatan “impunitas” adalah masalah prinsip politik bagi Amerika Serikat yang kemungkinan tidak akan pernah diberlakukan; di pihak lain, SOFA adalah perjanjian praktis yang akan digunakan secara biasa. SOFA juga menyebutkan
kembali impunitas bagi personil Amerika Serikat dari ICC. SOFA antara Amerika Serikat dan Timor Leste, yang ditandatangani oleh Colin Powell dan José Ramos-Horta pada 1 Oktober, memperlakukan personil militer AS di Timor Leste seolaholah mereka adalah staf kedutaan AS. Perjanjian ini menghidupkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang memberi mereka “kekebalan diplomatik” dari pengadilan dan pertanggungjawaban lainnya. Personil kedutaan AS, sama halnya tentara dan orang sipil AS yang bekerja untuk pemerintah AS, tidak menjadi subyek pajak, peraturan kontrak atau hukum pidana Timor Leste. Penguasa Timor Leste tidak pernah bisa menangkap atau menahan mereka, mendakwa mereka melakukan tindak pidana, mengekstradisi mereka ke negara lain, atau memaksa mereka bersaksi di pengadilan. Rumah dan barang milik pribadi mereka “tidak bisa disentuh.” Mereka kebal dari pertanggungjawaban sipil yang berhubungan dengan semua tindakan yang berkaitan dengan tugas resmi mereka. Timor Leste belum menandatangani Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, meskipun isinya berlaku dalam semua kasus dimana Timor Leste dan negara lain sepakat untuk mendirikan kedutaan atau konsulat. Konvensi ini berdasarkan pada “kedaulatan sederajat” dan “timbal-balik Negara”: setiap negara memberikan hak yang sama kepada setiap diplomat negara lain. Seperti dinyatakan Pembukaannya, “tujuan pemberian hak istimewa dan kekebalan bukanlah untuk memberikan keuntungan kepada pribadi-pribadi tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien tugastugas misi diplomatik dalam mewakili Negara-Negara.” Pemberlakuan kekebalan diplomatik kepada personil militer AS di Timor Leste merupakan penyelewengan terhadap prinsip ini. Tidak ada timbalbalik, personil militer Timor Leste di AS (kalau ada) tidak mendapat keistimewaan yang sama. Perlindungan hanya diberikan kepada personil militer AS di Timor Leste – tentara dan pegawai edisi 22 - Februari 2003
TEROPONGKEBIJAKAN sipil luar negeri US Support Group East Timor (USGET) dan kontraktor DynCorp (lihat Buletin La’o Hamutuk, Vol. 3, No. 23), awak kapal perang yang berkunjung, pengamat militer AS, pelatih dan penasehat militer AS untuk pemerintah Timor Leste, semua personil Pentagon (Departemen Pertahanan AS) lainnya di Timor Leste untuk aktivitas yang disepakati kedua pemerintah, dan keluarga mereka. Bagian pembukaan Perjanjian Status Tentara “mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Demokratik Timor Leste sebagai hal yang paling penting.” Kedua negara “menegaskan bahwa prinsip saling menghargai, persahabatan, niat baik, kemitraan, dan kerjasama akan membimbing pelaksanaan perjanjian ini.” Tetapi kesembilan pasal perjanjian ini tidak mengandung kemitraan; tidak memperlihatkan pengormatan timbalbalik. Yang diakui adalah kekuatan suatu negara besar terhadap negara kecil; perjanjian ini menegaskan bahwa kedaulatan Timor Leste yang diperoleh dengan perjuangan yang sangat berat itu tidak berdaya menghadapi kekuatan AS. Di masa transisi, personil militer AS dan negara lain dimasukkan dalam SOFA antara pemerintah mereka masing-masing dengan PBB, dan pasukan penjaga perdamaian PBB (PKF) di sini dilindungi oleh SOFA model yang disepakati oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1990. Dalam perjanjian itu, PBB berjanji untuk “menghormati semua hukum dan peraturan setempat” (walaupun dalam kasus ini hukum tersebut dibuat oleh UNTAET, sebuah lembaga PBB). Kesepakatan-kesepakatan tersebut belum diberlakukan setelah kemerdekaan. UNMISET sedang merundingkan sebuah SOFA dengan pemerintah RDTL, yang kemungkinan sama dengan modelnya, tetapi tentara AS dan tentara asing lainnya yang berada di Timor Leste di luar UNMISET tidak dicakup. Seorang perwira militer AS yang menjadi penasehat untuk angkatan bersenjata Timor Leste merasa bahwa dirinya “tidak punya perlindungan” setelah 20 Mei, dan “tidak jelas” sebelum edisi 22 - Februari 2003
diberi kekebalan dari hukum Timor Leste oleh SOFA yang ditandatangani di Washington. SOFA AS-RDTL berlaku segera setelah ditandatangani, dan tidak perlu disetujui oleh Dewan Menteri Timor Leste, Parlemen Nasional atau Presiden (meskipun Presiden Xanana Gusmão menyaksikan upacara penanda-
kedudukan yang sama, dalam mana setiap negara berdaulat mendapatkan manfaat dari hakhak tertentu dan menerima tanggungjawab tertentu yang disebutkan di atas kertas dengan kesepakatan bersama. Timor Lorosae baru saja memulai petualangannya dalam diplomasi internasional sebagai
Kedutaan Amerika Serikat di Timor Lorosae. Foto: R. Soares/Direito
tanganan di Washington). Perjanjian ini dirundingkan secara rahasia, tanpa pembahasan masyarakat umum dan pembahasan parlemen. Perjanjian ini tidak bisa diubah sebelum April 2004, dan pengubahan hanya bisa dilakukan jika enam bulan sebelumnya disampaikan pemberitahuan. Seorang pakar hukum internasional asal New Zealand Roger S. Clark menyebut perjanjian ini “sangat berat sebelah … Perjanjian ini tidak sama dengan semua SOFA yang pernah saya lihat.” Seorang diplomat di Timor Leste mengungkapkan keheranannya bahwa AS bisa mendapatkan perjanjian ini. Selama dua abad terakhir, hubungan internasional berkembang dari kekuatan senjata ke prinsip bersama dan perundingan. Hukum, perjanjian, dan kesepakatan internasional (seperti Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut) berlaku secara sama untuk semua negara penandatangan. Hukum-hukum itu dimaksudkan untuk memberikan
negara berdaulat. Jika SOFA yang baru ditandatangani dengan Amerika Serikat merupakan indikasi, maka kedaulatannya berada dalam bahaya. Negara ini kecil, miskin, dan tidak berpengalaman. Hukum Timor Leste baru mulai disusun, dan sistem pengadilan mengalami banyak masalah. Negara ini sangat kecil kemampuannya untuk mengadili para penjahat yang telah melakukan penghancuran, yang sekarang terlindungi di Indonesia. Tetapi jika Timor Leste menginginkan kemerdekaan sejati, para pemimpinnya harus tegak berdiri memperjuangkan hak, yang padanya rakyat telah menyerahkan nyawa selama seperempat abad ini. Para penjahat yang melanggar hak rakyat Timor Lorosae di masa mendatang, apapun kebangsaan atau baju seragam mereka, harus dituntut pertangungjawaban mereka di depan pengadilan.
Charles Scheiner adalah mantan koordinator nasional East Timor Action Network (ETAN/US), organisasi pendukung kemerdekaan Timor Leste di Amerika Serikat. Sekarang bekerja untuk lembaga pemantauan dan analisis La’o Hamutuk, Dili. 11
HAK ASASI
Pelanggaran terhadap Tahanan Operasi di Atsabe perasi militer yang dila kukan oleh Falintil-Força Defesa de Timor-Leste (F-FDTL) di wilayah Atsabe, Distrik Ermera menyusul serangan bersenjata dan pembunuhan terhadap sejumlah penduduk sipil awal Januari 2003 menyulut berbagai perdebatan. Sampai-sampai Presiden Xanana Gusmão dalam menanggapi tuduhan bahwa FDTL melakukan pelanggaran hak asasi manusia, mengatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri bila FDTL melanggar hak asasi manusia. Sementara para pejabat yang mendukung operasi mengatakan bahwa ini adalah tindakan untuk membantu tugas polisi dalam melindungi penduduk. Ada pula yang berpendapat bahwa operasi militer tersebut semata berdasarkan pertimbangan mengamankan masyarakat tetapi justru bertentangan dengan Konstitusi RDTL pasal 146 mengenai mandat FDTL sebagai angkatan bersenjata. Pendapat lain menganggap bahwa tindakan F-FDTL sebagai campur tangan militer dalam kehidupan sosial-politik, yang berarti militer telah melanggar batas peran pertahanan. Karena itu ada yang menyebut bahwa F-FDTL telah melakukan “dwi fungsi” seperti TNI. Operasi militer tersebut tidak bisa dianggap sebagai bagian dari penyerahan mandat pertahanan dan keamanan secara bertahap yang diatur dalam dokumen Perencanaan Tambahan Antara UNMISET dan Pemerintah RDTL tanggal 20 Mei 2002, pasal 3 “Tanggungjawab Operasional.” Butir 3.1.b. dokumen ini menegaskan F-FDTL hanya memiliki tanggungjawab pertahanan sampai penyerahan Area Operasi diefektifkan. Operasi FFDTL tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tugas statis sebagaimana disebutkan dalam pa-
O
edisi 22 - Februari 2003
sal 4.4.2 dan 4.4.3. Untuk memastikan bahwa operasi tersebut tidak melanggar hak asasi manusia, kami melakukan pemantauan, termasuk di lapangan, dengan fokus pada aspek-aspek berikut. Kewenangan untuk melakukan pemangilan atau penangkapan biasa. Dengan melakukan penangkapan terhadap penduduk sipil dalam operasinya di Atsabe tersebut, F-DFTL telah mengambil alih wewenang polisi (TLPS) untuk melakukan pemanggilan, penyelidikan atau penangkapan atas dugaan terjadinya pelanggaran hukum dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Regulasi No. 25/2001. Penculikan dan pembunuhan di Atsabe adalah tindakan kriminal biasa. Yang berwenang melakukan penyelidikan, penangkapan, dan penahanan adalah polisi. Tindakan penangkapan terhadap 62 penduduk sipil tersebut juga bertentangan dengan Konstitusi RDTL pasal 146 ayat 2 yang menyatakan bahwa FFDTL berwenang menjamin kemerdekaan nasional, kesatuan wilayah serta kebebasan dan keamanan penduduk terhadap setiap bentuk penyerangan atau ancaman dari luar. Sementara jangka waktu penahanan 31 orang yang mencapai delapan hari melanggar hukum karena menurut Regulasi No. 25/2001 batas waktu penahanan adalah 72 jam. Apalagi dari saat ditangkap, mereka tidak diberi tahu hak hukumnya terutama alasan mereka ditangkap dan ditahan. Upaya yang dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia di Timor Lorosae untuk memperoleh informasi tentang masalah ini telah dihambat. Sementara peninjauan langsung di penjara oleh Penasehat Perdana Mente-
ri untuk Urusan Hak Asasi Manusia Isabel Ferreira, tanggal 15 Januari tidak mendukung proses pengadilan yang efektif, cepat dan penggunaan prosedur hukum yang tetap. Hak atas pemenuhan kebutuhan. Di tempat penahanan mereka di Penjara Becora, Dili, para tanahan operasi Atsabe mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia sebagai berikut: a. Tahanan anak-anak tidak dipisahkan dari tahanan yang dewasa. Menurut ketentuan hak asasi seharusnya mereka dipisahkan. b. Pada 11 Januari waktu pagi, seluruh tahanan ditempatkan dalam satu sel tempat tahanan anak-anak. Sel ini biasanya ditempati lima sampai tujuh orang saja. c. Para korban tidak bisa bergerak secara leluasa karena tempat sempit. d. Selama itu para korban tidak diijinkan untuk keluar sel. e. Tidak ada kerjasama yang baik antara polisi dengan otoritas penjara. Penanggungjawab penjara membiarkan penahanan seperti itu karena menganggap bahwa tanggungjawab atas para tahanan tersebut berada di tangan polisi. f. Pada 11 Januari malam hari, para tahanan dibagi ke dalam dua sel di blok anakanak. Selama berada dalam dua sel itu tidak disediakan toilet tambahan untuk 39 tahanan. Padahal di satu sel hanya ada satu toilet. g. Makanan dibagikan oleh polisi, bukan oleh penanggungjawab penjara. h. Air yang tersedia untuk minum hanya air dari pipa yang dialirkan ke dalam toilet sel. Aniceto Guró Berteni Neves 12
INSTRUMEN HAM
KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA Kesehatan sangat penting bagi kehidupan setiap orang. Karena itu hak asasi manusia termasuk dalam hak asasi yang dijamin oleh Kovenan Inter nasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya. engertian kesehatan seba gai bagian dari hak azasi manusia adalah hal yang baru. Hampir manusia di penjuru dunia sependapat betapa penting kesehatan bagi dirinya demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tetapi ini belum diletakkan dalam kerangka hak azasi manusia sesuai dengan aturan-aturan internasional PBB. Di dalam Konvensi Internasional mengenai hak sosial, ekonomi dan budaya yang disebut ‘ICSECR’ khususnya di dalam artikel nomor 12 menetapkan aspek kesehatan dari kehidupan manusia sebagai bahagian dari hak azasi manusia terutama hak sosial, ekonomi dan budaya. Telah dijelaskan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar yang pemenuhannya tidak dapat dinomor-duakan dalam pelaksanaan hak dasar lainya. Secara prinsip, hak atas kesehatan adalah sama pentingnya dengan hak atas makanan, perumahan, pekerjaan, pendidikan, martabat manusia, nondiskriminasi, persamaan, larangan penganiayaan, akses informasi dan yang lainnya. Seperti hak-hak lain yang disebutkan diatas, setiap orang memiliki hak untuk menikmati dan menerima pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang kondusif bagi kehidupannya. Hak atas kesehatan tidak semata-mata pada pengertian yang sempit dimana terdapat orang sakit lalu diobati atau dilayani secara medis oleh medical servicer. Hak atas kesehatan adalah lebih luas pengertiannya. Yakni mencakup hak atas kesehatan bagi ibu hamil, anak dan reproduksi. Ini sebagai suatu langkah untuk memperbaiki tarah hidup ibu hamil dan perkembangan anak (sesuai artikel 12.a); hak atas kesehatan alamiah dan lingkungan hidup. Ini mencakup pemenuhan terhadap aspek lingkungan
P
edisi 22 - Februari 2003
Instalasi Gawat Darurat, Rumah Sakit Nasional. Foto: R. Soares
dan higine industri, kebutuhan dasar akan sanitasi dan air bersih termasuk perlindungan umat manusia dari radiasi kimia atau bahaya lingkungan lainnya (sesuai artikel 12.b); hak atas pencegahan, pemeriksaan (tratamentu) dan kontrol penyakit yang diderita (sesuai artikel 12.c); hak atas kecukupan fasilitas kesehatan, makanan dan efektivitas pelayanan. Ini lebih pada menciptakan kondisi yang dapat menjamin pelayanan medical baik yang sifatnya perhatian terhadap medis ataupun masa-masa terserangnya penyakit (sesuai artikel 12.d). Menurut perkembangan hukum internasional hak azasi manusia, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hak atas kesehatan yang sifatnya inter-relasi dengan aspek-aspek tersebut diatas menjadi tanggungjawab pemerintah dalam setiap negara. prinsip ini sesuai dengan artikel 3, ICSECR yang menegaskan tentang kewajiban azasi pemerintah/negara baik sendiri-sendiri, melalui kerja-sama internasional menurut langkah-langkah konstitusional untuk mengimple-
mentasikan hak-hak tersebut. Dalam konteks pelaksanaannya di Timor Lorosae, sesuai dengan semangat artikel 3, dan keputusan politik Pemerintah RDTL yang ditetapkan tanggal 10 Desember 2002 lalu, maka negara RDTL mempunyai kewajiban untuk melakukan langkah-langkah baik melalui pelaksanaan progaram di lapangan maupun melalui kebijakan-kebijakan berdasarkan kebutuhankebutuhan sebagai berikut: (1) Mengambil langkah-langkah legislasi yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu hamil serta menetapkan program perkembangan anak; (2) Menetapkan langkahlangkah mencegah dan memperbaiki aspek lingkungan hidup dan higine industri; (3) Mencegah, memperbaiki, kontrol terhadap berbagai penyakit epidemik, endemik, okupasional dan jenis penyakit lainnya seperti HIV/AIDS. (4) Mencitpakan kondisi yang mana dan memastikan pelayanan medis yang efektif. Aniceto Guró Berteni Neves
(Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK) 13
GUGAT
INSTRUMEN HAM
HAK ATAS PENDIDIKAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA Pendidikan adalah hak asasi manusia. Ia adalah bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pemenuhannya merupakan bagian dari kewajiban negara kepada rakyat. ak atas pendidikan ada lah hak asasi manusia. Prinsipnya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengikuti pendidikan dan menikmati hasil-hasilnya pada semua tingkatan pendidikan tanpa diskriminasi. Hak atas pendidikan adalah bagian dari golongan hak sosial, ekonomi dan budaya yang secara khusus diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya. Secara khusus hak ini tercantum dalam pasal 13 dan 14 konvensi ini. Menurut pasal 13 konvensi ini hak atas pendidikan mencakup hak atas pendidikan pada tingkatan sekolah dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Hakekat dari hak atas pendidikan pada tingkat pendidikan dasar ditegaskan dalam konve-
H
nan ini. Antara lain yang ditekankan adalah kondisi-kondisi yang harus diciptakan (oleh negara) untuk itu. Kondisi-kondisi tersebut antara lain aspek sistem pendidikan dan kurikulum, penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kualitas tenaga pendidik dan fasilitas yang memadai. Agar setiap orang bisa menikmati pendidikan, konvensi ini menentukan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk pendidikan dasar. Pada tingkat pendidikan menengah, pendidikan diselenggarakan untuk melengkapi pendidikan dasar dengan kondisi yang sama. Sistemnya harus dibangun merespon kebutuhan dasar masyarakat, harus dengan tetap mengakui perbedaan nilai sosial budaya di dalam masyarakat. Pendidikan menengah harus sudah mencakup di dalamnya pendidikan yang paralel dengan sekolah keahlian (kejuruan) dan vokasional, pelatihan dan kursus. Pendidikan menengah baik umum maupun kejuruan harus disediakan secara gratis bagi semua orang oleh pemerintah dan setiap orang harus diberi kesempatan yang sama untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Pendidikan swasta yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah berdasarkan pada tujuan umum pendidikan nasional. Pendidikan swasat berada di bawah pengawasan pemerintah dan harus murah. Sedang pendidikan tinggi, harus merupakan pendidikan yang multidimen-
Anak-anak di sekolah. Foto: Rogério Soares/Direito. edisi 22 - Februari 2003
sional. Artinya di samping bidang pengajaran, pendidikan tinggi juga dibangun dan diarahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah baik teoritis maupun lapangan (penelitian empirik). Jadi, penyelenggaraan pendidikan pada setiap tingkat harus disediakan oleh pemerintah dengan kondisi yang dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat. Untuk memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang layak, maka berdasarkan pasal 3 konvensi ini, negara mempunyai kewajiban untuk memastikan penyediaan sistem pendidikan dan kurikulum yang memadai, penyediaan beasiswa, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, meningkatkan kualitas tenaga pendidik baik guru maupun dosen di perguruan tinggi. Karena menurut semangat konvensi ini, sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah harus dapat menjangkau semua warganegara, dapat diakses secara bebas tanpa diskriminasi dan secara ekonomi dan psikologis dapat diterima, serta sifatnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di Timor Lorosae, harus diarahkan pada penyediaan sarana dan pra-sarana, dan kurikum pendidikan sesuai dengan kebutuhan, budaya, dan latar belakang kehidupan masyarakat, serta peningkatan kualitas tenaga pendidik pada semua tingkatan. Pendidikan yang sifatnya pemaksaan dan eksploitatif tidak diperkenankan. Negara harus menindak tegas, baik melalui tindakan konkret maupun melalui proses legislasi setiap praktek pemaksaan atau eksploitasi. Hal ini sesuai dengan kebijakan politik pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dalam meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya pada tanggal 10 Desember 2002 lalu. Harus disadari bahsa ratifikasi konvensi ini menimbulkan kewajiban hukum pada pihak pemerintah untuk menjamin hak seluruh rakyat atas pendidikan. Aniceto Guró Berteni Neves 14
GUGAT
DUNIA PERADILAN TIMOR LOROSAE YANG BERMASALAH Banyak masalah yang dihadapi peradilan kita. Dari jumlah hakim, jaksa, dan pengacara yang sedikit sehingga tidak cukup untuk menangani semua kasus yang masuk hingga masalah bahasa yang digunakan dan campur tangan politik pemerintah. eradilan kita sedang berma salah. Dalam sebuah loka karya yang dilakukan di Perkumpulan HAK pada awal Januari 2003 lalu, Aderito Tilma SH selaku ketua Pengadilan Distrik Dili mengakui bahwa sejak masa transisi pihaknya kerap dihadapkan pada banyak masalah. Salah satu masalah adalah jumlah para hakim yang sedikit dibanding dengan jumlah kasus yang masuk ke pengadilan. “Para hakim di empat pengadilan di Timor Lorosae totalnya 20 orang, tidak mampu menangani kasus-kasus yang masuk ke pengadilan rata-rata 700 hingga 800 kasus per tahun,” ujar Aderito Tilman. Masalah menimpa juga para jaksa dan pembela umum. Menurut Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Biasa Amandio Benevides, jumlah jaksa di Timor Lorosae yang hanya sembilan orang sulit untuk menangani secara cepat banyaknya kasus yang masuk ke kejaksaan. Begitupun para pembela umum jumlahnya hanya segelintir, sehingga tidak banyak membantu para tahanan yang lama ditahan. Tidak hanya itu. Masih ada persoalan lain yang kadang sulit mau diakui oleh para aparat penegak hukum kita. Masalah itu terkait kemampuan para hakim, jaksa, dan pembela yang sebagian besar harus diakui masih dalam taraf belajar. “Sebagian besar aparat peradilan kita memang baru pertama kali bekerja sebagai hakim, jaksa, dan pembela. Karena itu kemampuan mereka juga masih minim,” ujar seorang pembela hukum dari sebuah kantor pengacara di Dili. Ini tentu saja berpengaruh pada pelaksanaan kerja mereka sehari-hari di pengadilan.
P
edisi 22 - Februari 2003
Pengadilan Distrik Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.
Selain kendala di atas, ada pula faktor luar yang berpengaruh kuat pada kelambanan dan ketidakefektifan peradilan kita. Hampir semua praktisi hukum yang ditanya tentang hal itu, selalu mengatakan faktor eksternal yang menjadi kendala adalah tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi peradilan. Upaya memportugisasi dunia peradilan yang sedang giat dilakukan pemerintah yang dikatakan sebagai bagian dari upaya memperbaiki kinerja lembaga peradilan, dinilai sebagai hal yang justru sebaliknya. Kebijakan itu selain tidak jelas, juga akan menambah masalah baru karena mayoritas orang dan aparat peradilan lebih menguasai bahasa dan sistem hukum Indonesia daripada bahasa dan sistem hukum Portugis. Faktor luar lainnya adalah kecenderungan intervensi pemerintah pada lembaga peradilan. Contoh konkretnya adalah kasus Border Control tahun 2002 yang
membangkang perintah Pengadilan Distrik Dili dan upaya menggagalkan dakwaan Unit Kejahatan Berat atas Jendral Wiranto dan tujuh pejabat lainnya baru-baru ini. Menurut pemantauan Direito, usaha mengatasi masalah-masalah itu sedang dilakukan. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi nonpemerintah seperti Perkumpulan HAK. Lewat berbagai program yang diselenggarakan di masyarakat basis, dilakukan upaya mencari cara alternatif penyelesaian kasus perdata ringan dengan mendayagunakan hukum adat. Meskipun ada upaya seperti itu, peran pemerintah masih menjadi faktor kunci. Penting untuk diperhatikan bahwa peran pemerintah yang dimaksud bukanlah intervensi pemerintah atas independensi badan peradilan. Peradilan harus berjalan efektif agar hukum dan hak asasi manusia bisa diteggakan di Rui Viana negeri ini. 15
serba-serbi
Pengungsi Masih Punya Hak NHCR memutuskan bah wa sejak 31 Desember 2002 status pengungsi Timor Lorosae di Indonesia telah berakhir. Setelah pencabutan status ini, UNHCR dan pemerintah Indonesia tidak lagi memberikan bantuan baik untuk mereka yang tinggal maupun yang mau pulang. Namun demikian, menurut lokakarya perlindungan kemanusiaan untuk pengungsi yang diselenggarakan oleh Oxfam Great Britain di Kupang pada 12-15 Februari 2003, tindakan UNHCR menghentikan bantuan tersebut bertentangan dengan Hukum Pengungsian Internasional (1951). Dalam lokakarya yang diikuti oleh 20 orang dari organisasi-organisasi yang memberikan bantuan kepada pengungsi di Timor Barat, yaitu CIS (Kupang), JRS (Kupang dan Atambua), Yayasan Peduli Indo-
U
nesia (Atambua), dan Lakmas (Kefamnanu), serta Perkumpulan HAK dari Timor Lorosae ini dibahas tentang ketentuan internasional mengenai perlindungan pengungsi. Menurut Hukum Pengungsian Internasional, pengungsi berhak mendapatkan perlindungan internasional, mempunyai hak yang sama dengan warganegara di tempat mengungsi, dan tidak boleh didiskriminasikan karena statusnya sebagai pengungsi. Yang wajib memberikan perlindungan adalah negara tempat pengungsi berada dan UNHCR (Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi). Pengungsi juga memiliki hak hak untuk mendapatkan solusi yang layak. Ada tiga kemungkinan solusi yang layak: 1) repatriasi sukarela; 2) pemukiman di negara tempat mereka mengungsi; 3) pemukiman di negara lain. Meskipun status pengungsi sudah dicabut, pengungsi tetap memiliki hak untuk
memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut. Justru ini yang menjadi masalah karena belum ada suasana yang bebas bagi pengungsi untuk memilih sedang UNHCR dan pemerintah RI sudah menghentikan program repatriasi. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan Oxfam dan CIS 50 persen dari pengungsi ingin kembali ke Timor Lorosae. Jumlah seluruh pengugnsi saat ini, menurut pemerintah provinsi NTT, adalah 9.805 keluarga atau 28.097 orang. Untuk mengatasi masalah tersebut, para peserta lokakarya sepakat untuk: a) mendesak Indonesia dan UNHCR untuk menjalankan kewajiban mereka; b) meminta pemerintah Timor Lorosae menyediakan informasi yang diperlukan oleh pengungsi untuk menetapkan pilihan repatriasi atau integrasi lokal di Indonesia; c) memberikan bantuan informasi kepada para pengungsi Timor Lorosae di Timor Barat.
AMI LIAN
Keluarga Korban Mendukung Unit Kejahatan Berat
K
eluarga korban menyambut baik keluarnya dakwaan terhadap delapan pejabat tinggi sipil dan militer Indonesia. Eliza dos Santos (34 tahun), penduduk Desa Dato, Subdistrik Liquiça, Distrik Liquiça, mengatakan bahwa selama ini para korban dan keluarganya menuntut keadilan dengan menahan rasa sakit hati. “Pengumuman Unit Kejahatan Berat bahwa para jenderal diajukan sebagai terdakwa merupakan langkah maju. Ini akan kami mendukung,” kata perempuan yang suaminya, Agostinho dos Santos dibunuh pada tanggal 6 April 1999 di kompleks Gereja Liquiça. Menurutnya, keluarnya dakwaan ini bukan berarti perjuangan korban dan keluarganya su-
dah selesai. “Sebagai keluarga korban, kami tetap berteriak. Kami mendukung Unit Kejahatan Berat sampai mengadili mereka yang sudah terdaftar sebagai terdakwa atas kejahatan kemanusiaan di Timor Lorosae,” katanya. Hal yang sama diungkapkan Esperanca da Costa Sarmento (67 tahun). Fernando da Costa (27 tahun), anaknya dibawa polisi Indonesia pada saat penyerangan di Gereja Liquiça dan hilang hingga sekarang. “Kami mendukung Unit Kejahatan Berat untuk tetap melanjutkan proses ini sampai bisa mengadili para terdakwa itu,” katanya dengan mata berkaca-kaca kepada Direito.
PENERBIT: Perkumpulan HAK PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, Mariano Fereirra, F.X. Sumaryono, Aneceto Guro Berteni Neves | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail:
[email protected]
“Kalau ada yang tidak mendukung dakwaan Unit Kejahatan Berat, orang ini pasti tidak tahu dan tidak pernah merasakan penderitaan rakyat,” kata Eliza dos Santos, kordinator Rate Laek perkumpulan keluarga korban di Liquiça. Sementara Francisca Ribeiro Borges (47 tahun) mengatakan bahwa bila perlu para keluarga korban akan melakukan aksi mendukung dakwaan dari Unit Kejahatan Berat. Menurutnya, keadilan adalah yang diinginkan oleh keluarga korban. “Para pemimpin bangsa jangan mengatakan rakyat tidak mau pengadilan,” kata perempuan yang suaminya, Antonio Saldanha, mati karena dibunuh oleh milisi Aitarak di Dili ini. TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH: