Pahlawan Padang Rumput Karya : Liang Yu Sheng Disadur Oleh : GAN KL Terdengar suara nyanyian bercampur dengan bunyi kelenengan unta berkumandang di angkasa gurun yang luas. Di gurun Taklamakan (di daerah Sinkiang) beberapa unta tengah melangkahkan kaki dengan langkah yang mantap. Seorang pemuda suku bangsa Kazak sedang melantunkan suara nyanyian yang nyaring dengan lagu pujian akan keindahan tanah airnya dengan semangka madunya yang manis. “Hai, Asta, apa kau belum cukup akan mati dahaga ? Tenggorokanku bisa lebih kering lagi karena nyanyianmu itu, “ tiba-tiba pemuda lain menegur temannya tadi dengan tertawa, begitu suara nyanyian temannya itu berhenti. “Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?” sahut pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya, “ Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami? Sekalipun dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa bergembira.” “Kau benar, Asta,” tiba-tiba seorang oemuda lain lagi menyeletuk, “Tetapi lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja 2 hendak membikin orang mengiler saja ?” “Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?” sahut Asta dengan raut kurang senang. “Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan pemandangan yang indah permai pula ? Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu, bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus? Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis! Ah, sudahlah Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu.” “Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, “ kata Mokhidi, “Jika kau bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes dirampok oleh bangsa Boan.” “Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh,” tiba-tiba pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya pula, “Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita
memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula dombadombanya akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga membikin dia tambah cantik dan manis.” Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan pemuda Han itu di punggung untanya. 3 “O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-ribu kali lebih berharga dari segala batu permata,” kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa Han itu dengan mesra. “Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan, sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu.” “Hus, “ bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, ‘Ayolah, jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh terjadi.” Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka meneruskan perjalanan. *** Pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap oleh bangsa Kazak ini bernama Nyo Huncong. Ia adalah murid pertama Hun-bing siansu di gunung Thai-san. Hui-bing Siansu ini tidak diketahui sejak kapan dating dari dataran tengah, ia menyucikan diri di gunung Thai-san dan menyakinkan ilmu pedang dengan mengumpulkan segenap inti sari dari cabang-cabang ilmu silat, ia telah menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang mempunyari seratus empat puluh delapan jurus dan ilmu pukulan yang dapat dimainkan secara sangat hebat dan lihai. Ayah Nyo-taihiap adalah keturunan pembesar dinasti Beng yang menyingkirkan diri ke Sinkiang untuk menghindari ancaman “bahaya kebiri”, yakni ancaman Goei Tiong-hian, orang kebiri yang diangkat menjadi perdana menteri dan membunuh semua lawannya pada jaman kaisar Beng-hi-cong, atas petunjuk orang, anaknya, Nyo Hun-cong telah diserahkannya untuk menjadi murid Hui-bing Siansu. Sejak umur delapan hingga delapan belas tahun, 4 selama sepuluh tahun belajar. Nyo Hun-cong telah berhasil memperoleh semua pelajaran ilmu pedang Thian-san yang lihai, ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya itu. Pada umur delapan belas tahun, Nyo Hun-cong telah turun gunung dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dengan membantu si lemah melawan penindasan dan menjadi kawan seperjuangan rakyat penggembala di padang rumput. Masa itu adalah kira-kira tujuh tahun setelah kaisar Sun Ti dari bangsa Boan (Manchu) menduduki Tiongkok, kedudukannya boleh dikatakan sudah teguh, maka mereka mulai memperluas daerah kekuasaannya ke barat laut, suku-suku bangsa di Sinkiang berbangkit memberikan perlawanan yang dashyat. Karena itu, Nyo Hun-cong pun lantas masuk dalam barisan di pihak kaum Kazak dan membantu melawan tentara Boan. Setelah enam tahun bertempur, karena kalah dalam jumlah tentara, maka dari pedalaman Sinkiang mereka mulai mengundurkan diri ke sebelah selatan dan terpaksa memasuki gurun Taklamakan. Bangsa Kazak terpaksa pula membubarkan diri dan berpencar membentuk barisan partisan dalam kelompok kecil-kecil untuk melarikan diri. Dalam regi Nyo Hun-cong ini hanya terdiri dari delapan orang saja dan bersama-sama memegang empat ekor unta. Asta dan Mokhidi adalah sepasang pemudapemuda Kazak yang perkasa dan ikut serta salam regu ini. Pemuda ini memiliki watak yang suka ria dan berpandangan hari depan yang gembira, sekalipun dalam keadaan bahaya, mereka tetap yakin bangsa Kazak takkan mudah
dikalahkan orang selamanya. Walaupun mereka suka bersenda gurau seperti tadi, namun dapat pula sekadar membantu menghilangkan rasa lelah temanteman seperjalanannya. Padang pasir kekuning-kuningan yang luas itu bagaikan tidak ada ujung pangkalnya, sekalipun mereka sudah berjalan selama beberapa hari belum juga menemui seorang manusiapun, bekal air yang mereka bawapun makin lama makin sedikit. Sinar matahari yang panas terik ini, unta sekalipun megapmegap merasakannya. Mendingan setelah hari mulai sore, hawa mulai berubah menjadi dingin dan silir. Nyo Hun-cong mendapatkan sebuah sungai kecil, tapi dasar air sudah kering dan pecah-pecah karena panas matahari, ia mencoba menyingkap pasir di dasar sungai tersebut dan meraup segenggam tanah pasir serta diciuminya, kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Malam ini kita boleh berkemah saja di sini.” 5 Tenda segera dipasang dan mereka pun minum dan makan sedikit ransom kering yang mereka bawa. “Sungai ini walaupun kering, tapi ada petunjuk bahwa disini pasti ada mata airnya,” kata Nyo Hun-cong. “Asta dan Mokhidi, malam ini kalian harus rela melelahkan diri mencari sumber mata air disekitar sini.” Mencari sumber air di gurun pasir seperti ini bukanlah pekerjaan gampang, kalau bukan orang yang telah berpengalaman, pasti akan sia-sia dan buang waktu percuma. Asta dan Mokhidi hidup di tempat yang penuh gurun dan padang rumput, mereka paham dan kenal betul tempat ini seperti rumah sendiri. Jadi menyuruh mereka mencari sumber air. Nyo Hun-cong percaya penuh padanya. Perubahan hawa di gurun memang sangat cepat sekali, kalau siang panas terik, tapi setelah malam hawa bisa berbalik menjadi sangat dingin. Setelah Nyo Hun-cong menunggu sekian lama dan kawan-kawannya masih belum juga kelihatan kembali, segera ia teringat bahwa kawan-kawannya waktu pergi tadi dalam keadaan terburu-buru dan hanya menggunakan baju tipis saja, walaupun mereka pandai ilmu silat tentu juga takkan tahan serangan hawa malam yang dingin sekali itu. Segera dia membawa dua buah jaket kulit kambing dan keluar dari tenda lalu menyusul kawan-kawannya itu. Selagi ia hendak bersuara memanggil, mendadak terdengar suara suitan yang dikenal betul sebagai suara Asta. Cepat dia memburu ke tempat datangnya suara tadi dan terlihat olehnya dibawah kerlip cahaya bintang dan sina rembulan, yang remang-remang, kedua kawannya itu sedang bertarung melawan seorang pemuda bangsa Han dengan sengit. Mereka kelihatan tercecar mundur dan agaknya tak tahan melawan musuh yag jauh lebih tangguh, disamping itu di belakang pemuda bangsa Han itu, kelihatan ada beberapa orang pula. Nyo Hun-cong terkejut, dua orang kawannya ini dalam bangsa Kazak tergolong jagoan perkasa kelas satu-dua, lawannya itu tentu bukan orang sembarangan dari kalangan persilatan, ia tidak membekal senjata, maka dengan satu kali lompatan, kedua tangan mementang jaket yang ia bawa terus disabetkan kearah muka orang itu. 6 Ilmu pedang orang itu ternyata sangat cepat, dengan satu langkah miring ia mengengos dan melepaskan diri dari serangan “Tiat-poh-san” (sabetan kain baja) Nyo Hun-cong, berbareng dia menusuk dengan pedangnya. Nyo Huncong bersuara heran demi nampak jurus serangan orang, dengan memuntir jaketnya secepat kilat ia berusaha membelit senjata lawan. Maka segera terdengarlah suara “Breeet”, ternyata kulit jaket sudah terkelupas, namun pedang lawan juga telepas dari tangannya. “Hai, apakah kau bukan Coh Ciauw-lam Sute !” seru Nyo Hun-cong ketika mengenali lawannya. “Ah, kiranya Nyo-suheng berada disini juga, “ sahut orang itu sambil memberi hormat setelah terlebih dahulu ia menjemput pedangnya yang terpental tadi. Orang itu bernama Coh Ciau-lam, ia adalah anak piatu dan juga murid kedua Hui-bing Siansu, tiga tahun setelah Nyo Hun-cong turun gunung ia juga telah menamatkan pelajarannya selama sepuluh tahun dan meninggalkan Thai-san, sampai kini ia sudah tiga tahun meninggalkan perguruannya. Jadi sudah enam
tahun Nyo Hun-cong tidak pernah melihat adik seperguruannya ini, kini dengan tidak disengaja malah bertemu di tengah gurun, tentu saja ia menjadi sangat kegirangannya, dengan memegang pundak sang Sute ia bertanya, “Sute, kapan kau turun gunung, mengapa tidak memberi kabar padaku. Sute, beberapa tahun tidak bertemu, ilmu silatmu ternyata sudah banyak mengalami kemajuan, bahkan bisa mengelupas sepotong jaket kulitku. Hahahaha!” Nyata dia tidak tahu bahwa Coh Ciau-lam menggunakan Po-kiam atau pedang pusaka yang disebut “Yu-liong-kiam”, serupa dengan pedang “Toan-giok-kiam” miliknya yang sama-sama adalah pedang pusaka simpanan Hui-bing siansu. Begitulah hanya dalam dua gebrakan saja pedang Coh Ciau-lam sudah terlepas dari tangannya, keruan ia merasa kikuk sekali. Sambutan hangat Nyo Huncong tadi hanya dibalas satu dua patah kata saja. Ditanya oleh Nyo Hun-cong pula, apakah dia datang bersama rombongan orang itu dan malam ini boleh tinggal bersama saja, dijawabnya bahwa masih ada urusan penting yang harus dikerjakan sehingga harus berangkat malam ini juga ke utara, yang diinginkan hanya sedikit air saja. 7 “Kalian kehabisan air ?” tanya Nyo Hun-cong yang di jawab puka oleh Coh Ciau-lam dengan menggut-manggut kepala. Saat itu, Asta mendekati Nyo Hun-cong dan berkata dalam bahasa Kazak. “Sutemu ini sungguh tidak punya aturan, masa kita yang bersusah payah menemukan sumber mata air disini, dating-datang ia lantas hendak menguasainya sendir. Hanya karena kau, kalau tidak, jangan harap kami akan memberi air kepadanya.” Perasaan Nyo Hun-cong menjadi sangat tidak enak setelah mendengar cerita kawannya itu, ia pandang muka sang Sute dan membatin, “Mengapa ia telah begitu cepat berubah menjadi orang semacam itu.” Sebenarnya ia hendak menegur dan memberi sedikit pengajaran, tetapi karena mengingat sudah lama baru beretmu kembali dan ia tidak suka memikin malu adik seperguruannya itu di depan orang banyak, maka ia hanya berkata, “ Jika sudah mendapatkan air, biarlah kita bagi sama rata saja!” Habis itu ia tanya pula kepada Asta, “Dimana letak mata air itu ?” Asta menunjuk suatu tempat, maka terlihat olehnya air setetes demi setetes merembes keluar dari sela-sela batu. Dengan sebuat kantong kulit, Mokhidi sedang mengisi air. Nyo Hun-cong mendekat, lalu merangkapkan dua jarinya dan menggunakan tenaga “jari baja” ia menusuk sela-sela batu itu yang segera menjadi renggang dan airpun menyembur keluar seperti seutas benang. Biarpun begitu untuk mengisi penuh enam kantong air juga dibutuhkan waktu hingga tengah malam, ketika hendak mengisi lagi ternyata airnya sudah tidak keluar. Waktu mengisi air, lima orang kawan mereka yang sedang berada di tendapun ikut keluar dan bertanya tentang ini dan itu sehingga Nyo Hun-cong tidak mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan sang Sute. Ketika ada kesempatan berbicara dengan sang Sute, jika ditanya Nyo Huncong jawaban Coh Ciau-lam selalu menyimpang, ia hanya bilang bahwa sudah beberapa lama ia terlantung-lantung di Sinkiang utara. Sebenarnya ada keinginan mencari sang Suheng tetapi sudah untuk ditemukan. Sebaliknya dengan bernafsu Nyo Hun-cong menceritakan semua pengalamannya selama 8 ini. Coh Ciau-lam mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang malahan mengajukan beberapa pertanyaan. Kemudian setelah melihat mata air itu sudah kering, Nyo Hun-cong tersenyum dan berkata, “Lumayan juga bisa penuh enam kantong. Baiklah Sute, kalian berjumlah dua belas orang, tetapi kalian menuju utara, jarak perjalanan lebih dekat, bagaimana, apakah cukup adil kalau kubagi kalian empat kantong ?” Coh Ciau-lam berulang-ulang mengucapkan terima kasih, ia menyusuh kawannya menggendong keempat kantong air itu dan kembali ke tenda sendiri, lalu memuatnya keatas unta dan segera berangkat. Nyo Hun-cong telah menanyakan apakah uirusan sangat penting sehingga perlu berangkat terburuburu pada malan itu juga, tetapi Coh Ciau-lam tak mau menjawab dengan terus terang. Nyo Hun-cong hanya mengira mungkin urusan ada sangkut pautnya dengan kawan-kawan seperjalanannya it, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah tidak hari berpisah dengan Coh Ciau-lam, nereka masih juga belum melintasi gurun pasir yang amat luas itu. Maka berkatalah Asta, “Untung beberapa hari ini tiada angin badai, coba kalau ada, andaikan kita tidak kurang sesuatu apapun toh bisa juga kesasar jika bukit-bukit pasir itu berubah tempat.” Tak terduga baru selesai ucapannya, mendadak terdengar desir angin kencang dari sebelah barat disertai debu pasir tebal bergulung-gulung menuju timur. “Untung hanya angin biasa saja.” Kata Hun-cong. “Meskipun begitu kita tetap harus berjaga-jaga!” sahut Asta. Dan selagi Nyo Hun-cong hendak mencari tempat untuk memasang tenda guna menghindari angin, tiba-tiba dari jauh terdengar bunyi kelenengan unta dan suara lari kuda yang ramai. “Aneh juga, kedengarannya seperti ada beberapa puluh orang, kini bukan musim perdagangan, darimana datangnya para pedagang yang begitu banyak?” demikian kata Nyo Hun-cong kepada kawan-kawannya dengan heran. Tak lama kemudian, rombongan unta itu sudah mendekat dan kelihatan 9 dipimpin oleh dua orang penunggang kuda, ternyata seorang diantaranya adalah Sutenya sendiri Coh Ciau-lam sedang yang lain adalah seorang berperawakan kekar gagah berpakaian bangsa Boan. Saat itu orang-orang yang menunggang unta sudah turun semua lengkap dengan senjata ditangan, mereka terdiri dari orang-orang bangsa Boan dan Han. Mendadak hati Nyo Hun-cong tergerak, ia maju dan membentakm, “Sute, mengapa kau kembali lagi ke sini ?” Berubah air muka Coh Ciau-lam karena teguran ini, tetapi ia segera menuding Nyo Hun-cong dan berseru kepada orang Boan tadi. “Ini dia, Nyo Hun-cong, yang memimpin pemberontakan bangsa Kazak!” Orang Boan itu segera memberi tanda dengan gerakan tangan da beberapa puluh orang itu lantas menerjang dan mengepung mereka ditengah-tengah. Waktu itu perasaan Nyo Hun-cong sungguh amat gusar bercampur kuatir, ia bukannya menguatirkan jiwanya sendiri tetapi kuatir atas diri teman-teman seperjalanannya bangsa Kazak ini. Ia yakin dengan ilmu pedang sendiri yang sudah sempurna itu, untuk menerobos kepungan beberapa puluh atau ratusan orang musuh adalah bukan hal yang terlalu sulit baginya, apalagi selama beberapa tahun ia sudah mengalami berbagai bahaya yang ia anggap jiwa sudah tidak menjadi soal baginya, namun ia tidak dapat tidak tetap menguatirkan teman-temannya, mereka terdiri dari pemuda-pemuda Kazak yang paling baik dan terpilih, menghadapi jumlah musuh yang banyak, jika harus menjadi korban di tengah padang gurun yang tidak kelihatan ujung pangkalnya ini jelas lebih berharga daripada kehilangan ratusan rombongan domba. Ia memang kuatir tetapi ia lebih gusar pula, gusar karena Sutenya sendiri yang berusia masih begitu muda seharusnya berguna dan berjuang membela tanah air sendiri. Siapa duga ternyata jiwanya begitu rendah dan busuk, makahan berkhianat dan takluk kepada musuh, bahkan menunjukkan jalan hendak menggunakan darah Suheng sendiri demi keuntungan dan memperkuat kedudukannya. Namun hanya sekejap saja rasa kuatir dan gusarnya itu terlintas serta segera hilang pula seperti letikan api, waktu memang tidak mengijinkan dia untuk 10 berpikir, senjata musuh sudah memburu dating menyerang. Dalam keadaan yang berlangsung cepat ini ia segera mengeluarkan suara gerungan dan pedang pendeknya segera dicabut, bagaikan angin yang menyapu debu, ia memainkan beberapa ilmu jurus oedang Thai-san yang paling hebat, dengan sekali putar segera beberapa senjata musush dibuat terpental dari tangan mereka. Nyo Hun-cong mengamuk seperti banteng ketaton, pedangnya gemerdepan menerjang kesana kemari dari kepungan musuh, tidak seberapa lama ia lantas kebentur dengan Sutenya sendiri, Coh Ciau-lam. “Suheng, marilah kau menyeberang ke pihak kami saja, apa gunanya kau membantu orang Kazak ?” seru Coh Ciau-lam. Tetapi Nyo Hun-cong memberi satu bacokan sebagai jawaban sambil membentak, “Aku tidak mempunyai Sute semacam dirimi ini!”
“Suheng, takdir telah menentukan kekuasaan bagi bangsa Boan di Tiongkok, jutaan tentara sudah dihancurkan, kaum pemberontak di Sinkiang sinipun selekasnya akan dimusnahkan, kau hanya tinggal berjumlah beberapa orang saja dan buron di gurun pasir yang luas ini, apa yang bisa kau perbuat ?” seru Coh Ciau-lam sambil mundur beberapa tindak. Nyo Hun-cong mengentak gigi, “ser-ser-ser”, tiga kali ia membabat dengan pedangnya dan mendamprat,” Bangsat yang tidak tahu malu!” Pedang segera dimainkan makin kencang, hingga membuat Coh Ciau-lam tercecar kalang kabut. Dalam pertarungan yang sengit mengadu jiwa ini, mendadak Coh Ciau-lam bersuit panjang, serdadu Boan yang berdiri di pinggir segera mundur membelah ke belakang. Ketika Nyo Hun-cong merasa heran, dilihatnya seorang opsir bangsa Boan dengan menunggang kuda maju menerjang maju, kira-kira jauhnya masih tujuh datau delapan dep, tiba-tiba ia meloncat tinggi dari atas kudanya, tangannya memegang sebatang senjata yang bentuknya aneh dihantamkan ke atas kepala lawan seperti sambaran elang. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia tidak mau mengunjuk kelemahan, kedua kakinya bergerak dan iapun melambung keatas dan pedang digerakkan dengan jurus “mengangkat obor memerangi 11 langit”, ia tangkis san menyampuk senjata musuh ke samping, “traaaang” terdengar suara beradunya senjata sehingga senjata musuh terpental dari tangan. Dalam keadaan badan Nyo Hun-cong masih mengapung di udara, tibatiba terasa sambaran angin yang tajam, ia tidak sempat lagi melukai musuh tadi, dengan berjumpalitan dan turun dengan perlahan. Waktu ia berpaling ke belakang, dilihatnya Coh Ciau-lam juga baru saja turun sampai ditanah dan sedang memandang disekelilingnya. Kiranya yang menerjang dari belakang untuk menolong orang Boan tadi adalah Sutenya sendiri. Sinar mata Nyo Hun-cong menjadi berapi-api saking gusarnya, dengan mengumpulkan seluruh tenaga ia putar pedang menempur pula dua lawannya itu. Opsir Boan-jing itu bernama Nikulo, ia adalah murid Hong-lui-kiam Ce Cinkun dari aliran Thian-Pek-san, senjata khas yang dipakai disebut Song-buncom semacam kikir yang dapat digunakan sebagai pedang atau golok, juga bisa dipakai untuk menotok jalan darah, dalam pasukan Boan ini ilmu silatnya tergolong kelas satu-dua. Dia termasuk panglima muda To Tok dari bangsawan Boan, jika diurutkan masih terhitung Sutit atau keponakan seperguruannya. Sejak ia ikut masuk di Kwan-lwe, jarang menemukan tandingan. Belum lama ini ia baru dipindahkan ke daerah Sinkiang untuk membantu gubernur Ili, Nilan Sukiat, mengamankan daerah Hwe ini. Karena terlalu percaya diri, ia tidak tahu kelihaian ilmu pedang Thian-san-pay dari Nyo Hun-cong itu, maka begitu berhadapan segera menghantam dari atas dengan senjatanya, ia bermaksud pamer pada Coh Ciau-lam, tak terduga ilmu mengentengkan badan dan melayang tinggi adalah kungfu andalan Nyo Hun-cong, begitu kebentur hampir saja melayang jiwanya di bawah pedang Nyo Hun-cong, karena itu lagak sombongnya segera lenyap dan ia coba mengumpulkan semangat dan mengacungkan Song-bun-co, ia keluarkan segenap ilmu yang penah ia pelajari untuk mengerubut Nyo Hun-cong lagi. Dalam keadaan seperti itu jelas Nyo Hun-cong tidak gampang memperoleh kemenangan, apalagi senjata Song-bun-co musuh ini menyambar kian kemari, kadang –kadang membacok seperti golok dan menusuk layaknya pedang, dan lain saat menutuk seperti Boan-koan-pit, yang dituju selalu tempat jalan darah yang mematikan. Di tambah pula Coh Ciau-lam yang paham Thian-sankiamhoat atau ilmu pedang Thai-san, berdiri disamping selalu sambil mengingatkan Nikulo cara bagaimana harus meladeni Nyo Hun-cong. 12 Sebenarnya keuletan Coh Ciau-lam masih kalah jauh dibanding Nyo Hun-cong, akan tetapi karena ia paham betul ilmu pedang dari perguruan yang sama, kalau ia jadi pelatih dan meminjam Nikulo bertempur bersama ternyata cukup tepat juga, segera mereka berbareng merangsek, karena itulah Nyo Hun-cong menjadi tertahan dan tidak dapat melepaskan diri untuk menolong orangorang Kazak yang lain.
*** Begitulah di gurun luas itu telah terjadi pertempuran yang sengit, Nyo Huncong hanya mendengar suara-suara bentakan Asta dan Mokhidi, dua pahlawan Kazak yang perkasa ini kiranya juga sudah terlibat dalam pertarungan yang sengit sekali. Melihat hal itu Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ilmu pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang menari-nari, maju mundur, naik turun tidak dapat diduga dan sulit diraba arahnya, walaupun Coh Ciau-lam kenal permainan ilmu pedang “Hwe-swan-lian-goankiamhoat” dari Thai-san yang lihai ini, tetapi karena gerakan Nyo Hun-cong semakin cepat, saking kencangnya, hingga dia dibuat bingung dan terkesima tidak sempat menjaga diri sendiri, mana bisa lagi dia membela Nikulo. Makin lama bertempur, Nyo Hun-cong semakin bertambah gagah. Suatu saat mendadak Coh Ciau-lam menyerang dengan jurus Keh-bak-jong-po, ujung pedangnya menusuk miring, Nyo Hun-cong berkelit dan pedangnya menggunakan kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke tengah, Coh Ciau-lam tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar, tidak tahunya waktu serangan Nyo Hun-cong hampir mengenai sasaran, ia melihat muka Coh Ciau-lam mengunjuk rasa seperti ketakutan, karena itu hantinya menjadi tidak tega , ujung pedangnya hanya di tutulkan di dada, hanya merobek sedikit kain baju dan tidak sampai melukainya. “Sute, apakah kau belum mau sadar dan kembali ke pihak kami?” seru Nyo Hun-cong sambil menarik kembali pedangnya dengan cepat. Hati Nyo Hun-cong memang luhur dan berbudi, ia ingat waktu mereka berdua masih sama-sama diatas Thai-san, jika dalam hal pelajaran ada yang kurang jelas serign Coh Ciau-lam meminta petunjuknya. Hubungan kakak dan adik seperguruan ini memang sangat erat, apalagi Coh Ciau-lam adalah anak piatu yang dipungut murid oleh gurunya dati tangan seorang saudara angkatnya. 13 Nyo Hun-cong sangat mengasihinya dan suka memperhatikan dia, tidak terduga baru turun gunung tiga tahun, sang Sute sudah berubah seperti itu pikir Nyo Hun-cong, “Pasti karena usianya yang masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga terjebak oleh orang-orang jahat.” Karena pikiran inilah ia tidak tega membunuhnya dan mengira dapat menasehati dan mengubahnya menjadi baik. Tapi justru sedikit keterlambatan dari Nyo Hun-cong akibat memikirkan diri Coh Ciau-lam, kesempatan ini malah memberi kesempatan kepada Coh Ciaulam dan Nikulo untuk membalas menyerang lebih gencar lagi, dengan Songbunco, Nikulo merangsek maju dengan jurus serangan berbahaya, sementara itu mereka berulang-ulang bersuit pula, beberapa puluh serdadu segera maju mengepung Nyo Hun-cong lagi. Pertempuran berlangsung sengit sekali, disekitar Nyo Hun-cong terdengar jeritan orang-orang Kazak yang mengerikan, ia tahu kawan-kawannya tentu sudah ada yang gugur. Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak, alisnya menegak, pedangnya diiputar semakin kencang, sebentar di muka, sekejap lagi sudah di belakang, sinar pedang gemerdep menyambar, beberapa serdadu segera roboh binasa oleh serangan kilat itu. Nikulo dan Coh Ciau-lam juga berkali-kali menghadapi serangan berbahaya, muka mereka merasakan angin dingin mengiris. Ketika pertempuran tengah berlangsung dengan sengit dan tegang, tiba-tiba pasir berterbangan di seluru penjuru gurun, berbareng itu terdengar teriakan orang, “Angin ribut datang!” Nyo Hun-cong terkejut, Nikulo dan Coh Ciau-lam sementara itu sudah menarik kembali senjata mereka dan meompat keluar dari kalangan pertempuran. Dalam sekejap saja angin ribut menderu-deru tiba bagai mengiris tanah, gurun pasir yang luas ini terlihat seperti kabut pasir, laksana beratur-ratus layer kuning tebal menutup angkasa. Hari yang tadinya terang benderang kini menjadi kelam gelap, di tengah kabut pasir yang remang-remang itu kelihatan 14 bayangan orang saling berlari tunggang langgang berebut unta dan mncari tenda atau tempat yang dapat dibuat menyelamatkan diri.
“Asta ! Mokhidi! Kalian berada dimana ?” Nyo Hun-cong berseru memanggil kawannya, akan tetapi, dalam gemuruh angin ribut yang menderu itu suaranya bagaikan sampan yang tenggelam di tengah samudra, mana ada suara sahutan orang. Sementara itu Nyo Hun-cong merasa punggungnya seperti tertimpa batu kerikil yang keras, ia menjadi sangat terkejut, ia mengetahi pula bahwa apabila gundukan atau bukit-bukit pasir sampai terangkat oleh angin puyuh, biarpun orang yang berilmu silat setinggi langit juga dapat terpendam hiduphidup. Dalam keadaan segenting itu ia mencoba menyelamatkan diri, segera ia angkat kaki dan berlari secepat mungkin, walaupun sudah beberapa tahun ia berada didaerah Sin-kiang, namun ia belum pernah mengalami kehidupan di gurun pasir. Sebenarnya bilamana menghadapi angin ribut yang sangat hebat, paling baik adalah menggali kubur di dalam pasir untuk menyembunyikan diri, jika kebetulan gundukan pasir yang terbawa angin justru menimpa di atasnya tentu saja akan mati terpendam hidup-hidup, Cuma kalau terjadi secara kebetulan, batu-batu kerikil yang berhamburan lewat diatasnya tentu juga tidak akan melukainya, andaikan teruruk pasir yang tidak terlalu tebal, setelah angin ribut berhenti tentu dapat juga menerobos keluar. Akan tetapi Nyo Hun-cong tidak mempunyai pengalaman dalam hal melawan serangan badai ini, ia hanya bisa mencoba berlari secepat mungkin, ilmu mengentengkan badannya betapapun sempurna juga tidak dapat menandingi cepatnya angin. Setelah ia berlari sekian lamanya toh masih tetap saja di bawah ancaman angin yang belum mau mereda itu, bajunya sudah banyak yang robek karena tajamnya kerikil yang menimpa seperti mengiris, pandangannya mulai kabur, ingatannya perlahan-lahan mulai tidak sadar. Dalam keadaan setengah sadar ini, mendadak ia seperti mendengar suara 15 menggerujuknya air, semangat Nyo Hun-cong segera bangkit. “Apakah ini bukan air telaga yang jarang terdapat di gurun pasir ?” begitu terpikir dalam hatinya, segera iapun berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya suara air itu. Namun malang baginya, angin semakin deras dan seperti membanjir dan bercampur dengan kerikil, bahkan ada beberapa potong batu besar yang hatuh persis menimpa diri Hun-cong, sementara itu, tenaga Hun-cong mulai habis, ia sudah terlampau payah, kepala terasa seperti hendak pecah. “Matilah aku!” akhirnya Nyo Hun-cong menjerit, dengan sisa tenaganya ia meloncat sejauh mungkin, menyusul terasa olehnya seperti jatuh ke tempat yang empuk dan lunak, kemudian dia tidak sadarkan diri. Entah sudah lewat berapa lama, perlahan Nyo Hun-cong mendusin, begitu ingatannya pulih kembali, segera pula ia mencium bau wangi yang menusuk hidung. Ia coba membuka matanya, ternyata dirinya sudah berada di dalam sebuah perkemahan, disekitar kemah dihiasi bunga-bunga yang indah, di tengah kemah duduk seorang perempuan muda berpakaian seperti pemburu, dengan membelakanginya sedang membaca kitab. Sesaat Nyo Hun-cong sangsi akan penglihatannya sendiri apakan ini alam nyata dan keadaan yang sebenarnya, apakah ini bukan dalam impian atau khayalan, karena pikiran ini hampir saja ia bersuara, akan tetapi segera diurungkan, oa sudah berpengalaman dalam perjuangan, dalam segala hal ia bisa berlaku hati-hati, ia pejamkan kembali matanya dan pura-pura belum sadar untuk menyelidiki apa yang bakal terjadi. Perempuan muda itu belum tahu kalau Nyo Hun-cong sudah sadar, ia masih asyik membaca kitabnya dengan suara yang lirih. Hun-cong coba mendengarkan dan ingin tahu kitab apa yang sedang dibacanya, ternyata sebuah syair kuno karya seorang penyari ternama. Nyo Hun-cong adalah keturunan kaum terpelajar, sejak kecil dia sudah memahami kesusastraan. Waktu belajar ilmu silat di Thian-san ia pun tidak pernah menelantarkannya, maka begitu mendengar syair orang segera ia tahu 16
itu adalah syair hasil karangan penyair kuno Thio Jan-jung dijaman dinasti Song. Pikirnya, seorang perempuan muda berada di tempat yang luas dan sunyi senyap ini tentu karena merasa sangat kesepian, maka sengaja melewatkan waktu senggangnya dengan bersyair. Tengah ia termenung, dari luar kemah kembali masuk seorang perempuan muda dan bertanya kepada perempuan yang berpakaian pemburu itu, “Siocia (Tuan Putri), apakah orang itu sudah mendusin ? Apakah Siocia ada sesuatu pesan ?” “Mungkin belum sadar”, jawab perempuan tadi sambil menutup kitabnya, lalu berpaling kearah Nyo Hun-cong. “Coba kau periksa dia, apakah dia berkeringat, jika bajunya basah boleh kau ganti.” “Siocia, kau selalu meladeni lelaki berbau busuk ini, sungguh hamba tidak ingin melakukannya,” sahut perempuan yang baru masuk itu. Perempuan yang baru masuk ini tentunya adalah pelayan dan perempuan yang mengenakan pakaian pemburu pasti adalah Siocia atau putri kaum hartawan atau pembesar negeri atau bisa juga anak gadis kepala suku di daerah sini, demikian pikir Nyo Hun-cong. “Eh, mulai kapan kau belajar berlagak model putri bangsa Han ?” terdengar perempuan tadi mengomel pada pelayannya. “Kita perempuan bangsa Boan selamanya tidak mengenal adat larangan hubungan laki-perempuan, jangan kaukira, aku suka membaca kitab karangan bangsa Han, tetapi untuk adatistiadat mereka yang terlalu mengikat, aku tidak suka, lagipula apa kau sudah mencium bau badannya ? Darimana kautahu dia lelaki berbau busuk?” begitu perempuan tadi melanjutkan omelannya. “Cara Siocia berbicara semakin lama semakin lihai,” jawab pelayan itu sambil tertawa dan menutup mulutnya, “Masa sioca selalu mengguyoni diri hamba yang rendah ini, memang dia sedikitpun tidak berbau busuk, malahan dia terhitung lelaki yang cakap,” si pelayan balas menggoda. “Jangan sembarangan mengoceh, “ bentak perempuan berpakaian pemburu 17 tadi, “Aku tertarik karena melihatnya membawa pedang pusaka, tentunya bukan sembarang orang, kau tahu apa ?” “Ya Hamba memang tidak mengerti apa-apa, yang hamba tahu adalah Siocia yang belum memiliki kekasih,” jawab si pelayan itu. Perempuan tadi tertawa karena godaan si pelayan. “Huss, jangan banyak omong yang tidak keruan lagi, lihat saja kalau nanti tidak kurobek mulutmu,” omelnya pula. Pelayan itu lantas mendekati Nyo Hun-cong dan perempuan yang dipanggil Siocia tadi mengikutinya dengan pandangan tajam. Nyo Hun-cong membuka sedikit matanya dan mencoba mengintip, ia lihat perempuan tadi ternyata cantik molek, pelayan itupun mempunyai air muka yang tidak bisa dibilang jelek. “Siocia, dia sudah sadar dan diam-diam sedang mengintipmu,” kata pelayan itu epada Siocianya sambil tertawa dan bertepuk tangan. Perempuan cantik itu tersenyum sambil mendekati Nyo Hun-cong. Rahasia mengintip telah dibongkar oleh sang pelayan tadi, terpaksa Nyo Hun-cong membuka matanya lebar-lebar dan mencoba membungkukkan badan hendak bangun, akan tetapi diluar dugaannya, baru saja ia bergerak sedikit segera seluruh badannya terasa sakit tidak kepalang sampai merasuk tulang sumsum. Bari ia sadar sekarang, behwa setelah mengalami serangan badai ia telah terluka parah. Ia mencoba mengatur pernafasan dan tidak berani sembarangan bergerak lagi. “Kau pulas sehari semalam, bagaimana, sangat tidak enak bukan ?” tanya perempuan tadi kepada Hun-cong. “Banyak terima kasih atas pertolongan Siocia,” kata Nyo Hun-cong dengan suara agak rendah, kemudian tanyanya, “Numpang tanya tempat apakah ini dan Siocia adalah orang dari mana ?” “Tempat ini adalah Cia-hui-tai, kira-kira empat ratus li dari kota Ili,” jawab perempuan molek itu. “Tidak perlu kau urus siapa aku, lebih baik kau mengaso 18 dulu disini, Dan kau sendiri,? Darimanakah kau ini , mengapa seorang diri
berlari kian kemari di gurun yang luas ini ?” Nyo Hun-cong menjadi sangat terkejut mendengar penuturan perempuan tadi. Dari utara Sinkiang, ia memasuki Gurun Gobi, tujuannya hendak melintasi gurun itu menuju selatan, tidak terduga malah sampai di sebelah barat. Dari sini dekat dengan kota Ili, sedangkan kota Ili adalah pusat markas tentara Boan-jing, rasanya tidak boleh tidak harus lebih berhati-hati. Pelayan itu melihat Nyo Hun-cong termenung-menung dan tidak menjawab, ia lantas buka suara lagi, “Hai, kawan, mengapa kau hanya memandang Siocia kami saja, apakah kau tahu siapa gerangan beliau ? Kau bisa kaget kalau aku menerangkannya, beliau ini adalah …. “ “Jangan banyak mulut, “ belum habis si pelayan bertutur, perempuan molek tadi sudah lantas memotong dengan membentak, lalu ia memperkenalkan diri, “Aku bernama Ming-hui, beberapa hari yang lalu aku datang kesini untuk berburu, tapi baru memasuki gurun, di luar dugaan lantas di terjang angin badai yang hebat, beruntung disini ada puncak bukit yang cukup tinggi yang dapat mengalangi serangan angin, kebetulan pula peralatan dan kemah kami cukup kuat, maka barulah kami terhindar dari bahaya.” “Ya, kemarin dulu waktu senja, angin sudah mulai reda, kami mengambil air ditelaga “Pu-yan” , sambung pula si pelayan tadi. “Mendadak andin ribut datang kembali, kami lihat kau berlari dengan kencang sekali laksana sedang berlomba dengan angin pasir, ketika mendekati tepian telaga kau masih belum sadar, kami hanya melihat kau seperti kambing yang ketakutan ketemu harimau, sekonyong-konyong kau meloncat dan amblas ke dalam tanah rawa yang kotor di tepi telaga, segera Siocia menyuruh kami menyeret keluar kau, seluruh badanmu sudah penuh dengan lumpur, kami menyuruh sais kereta mencuci dan menyikat badanmu selama lebih dari setengah jam, tetapi kau seperti orang mampus saja dan tidak merasakan apa-apa.” Mendengar cerita orang, Nyo Hun-cong menjadi sangat berterima kasih dan juga bercampur malu. Tiba-tiba timbul pikiran Nyo Hun-cong, “Gadis bernama Ming-hui yang tidak mau menerangkan asal usulnya ini, kalau dilihat dari tingkah lakunya, ada 19 pelayan dan juga membawa sais kereta serta pengiring yang banyak untuk berburu kesini, niscaya dia ukan anak gadis dari keluarga biasa.” Sebenarnya orang dari kalangan manakah dia ini, bagaimanapun juga Nyo Huncong tidak dapat menerka dengan pasti. “Kami sudah bercerita padamu, “ kata pelayan tadi, “Tetapi kau belum agi menjawab pertanyaan Siocia kami.” “Sebenarnya kudatang dari utara bersama serombongan kawan, dengan unta dan kuda, setelah menempuh perjalanan selama belasan hari, ditengah jalan ketemu angin ribut, aku sendiri berhasil menerobos bahaya dan lari kesini, tentunya hal ini tidak mengherankan!” jawab Nyo Hun-cong mencoba menerangkan. “Justru inilah yang mengherankan, dari utara kau telah berjalan belasan hari, tentunya sudah sampai di tengah-tengah gurun, sedang dari tengah gurun sampai kesini sedikitnya ada lima atau enam ratus li, agaknya kepandaianmu berlari sungguh boleh dibuat berpacu dengan kijang yang paling cepat,” kata pelayan itu pula dengan heran sambil tertawa. Ming-hui Siocia tersenyum mendengar pembicaraan pelayannya itu, ia lolos keluar sebuah pedang pendek yang gemerdep menyilaukan dari bawah lengan bajunya. “Tak perlu kau gubris anak kecil yang tidak punya pengetahuan ini,” katanya pada Nyo Hun-cong, “Bahwa kau memiliki pedang pusaka semacam ini, untuk berlari beberapa ratus li juga bukan soal yang sulit, sudah kuduga ilmu silatmu tentu sangat hebat, tunggu nanti sesudah kekuatanmu pulih kembali, maukah kau ajarkan beberapa jurus padaku ?” “Betul, “ sambung si pelayan, “Siocia kami paling suka belajar ilmu silat, banyak kauw-thau (guru silat) tidak bisa menandinginya.” Nyo Hun-cong berkerut alis mendengar kata kauw-thau atau guru silat yang dikatakan pelayan itu. Sementar itu, dari luar kemah telah masuk pula dua pelayan dengan membawa 20
sepanci susu kuda, Nyo Hun-cong memang sudah merasa lapar, maka tanpa sungkan lagi lantas diminumnya susu kuda itu. “Kau baru saja sadar, akan lebih baik jangan banyak bercakap-cakap dulu, “ kata Ming-hui Siocia pada Nyo Hun-cong. “Mengasolah dia hari lagi, sesudah sembuh akan kutemani kau pergi.” Begitulah selama dua hari itu Ming-hui Siocia dan pelayan cilik itu terus mendampingi Hun-cong dan mengajaknya berbincang-bincang untuk menghilangkan waktu yang luang ternyata Ming-hui selain paham ilmu silat juga mengerti kesusastraan. Ia dan Nyo Hun-cong dapat bercengkrama dengan sangat asyik, hanya kalau bicara mengenai asal usul masing-masing, mereka lantas coba menyimpangkan pokok pembicaraan. Hari ketiga Hun-cong sudah dapat bergera seperti sediakala, Ming-hui lantas mengajaknya berjalan-jalan keluar perkemahan. Dekat perkemahan itu Hun-cong melihat memang benar terdapat satu telaga, bayangan bukit yang tersorot sinar matahari di dasar telaga membuat pemandangan aman dan elok, sedikitpun tidak ada tanda-tanda telah terjadi angin ribut. Di tengah telaga sekelompok bebek liar sedang berenang kian kemari dengan tenang dan kadang-kadang mengeluarkan suara yang menarik. Beberapa rombongan domba bagaikan gumpalan awan putih sedang makan rumput di padang yang luas dan di tepi telaga terdapat lebih dari dua puluh pasang muda-mudi yang berdandan sebagai pemburu sedang menyanyikan lagu gembala dengan mengayun-ayunkan cumbuk kulit yang biasa mereka bawa. Melihat Ming-hui Siocia, mereka sama memberi hormat, manaruh perhatian juga kepada Nyo-hun-cong. Perasaan Nyo-hun-cong agak kurang tenteram, “Apakah orang-orang itu semua pengikutmu ?” tanyanya kepada Ming-hui Siocia. 21 Ming-hui Siocia hanya memanggut-manggutkan kepala tanda membenarkan. “Lihatlah!” ucapnya sengaj menyimpangkan pembicaraan orang, “ Tempat ini sungguh merupakan dataran hijau di tengah gurun pasir, di tepi sungai di dekat kota Ili pun tak terdapat pemandangan seindah sini!” “Suasana aman tenteram disini bagaikan surga, jika tak ada peperangan, sungguh suatu tempat pemukiman yang sangat baik, “ kata Hun-cong sambil menghela nafas. “Kau sedang memikirkan apa lagi ?” tanya Ming-hui Siocia, “Jika kau tidak menghendaki ada api peperangan, mengapa dirimu sendiri berbekal senjata dan malahan berlatih silat ?” “Jika orang lain tidak menjalarkan api peperangan ke Sinkiang, dengan sendirinya tidak ada yang menggerakan senjata, “ jawab Hun-cong. Mata Mung-hui yang jeli tajam sedang melihat pemandangan di sekelilingnya, mendadak ia mengalihkan pandangannya ke arah Nyo-hun-cong. “Kau termasuk bangsa Kazak atau Uigur?” tanyanya pada Hun-cong, “kukira kau ini anggota partisan mereka.” Air muka Nyo-hun-cong berubah seketika, kemudian sahutnya, “Kalau aku ini musuhmu misalnya, apakah kau menyesal telah menolong jiwaku ?” Ming-hui tertawa. “Aku serupa denganmu juga tidak ingin ada peperangan, “katanya , “mungkin kau ini musuh bangsa kami, tetapi bukan musuhku!” Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari bukit sana berkumandang bunyi kelenengan unta dan kuda yang riuh. “Jika ada orang datang menanyakan dirimu, bilang saja kau adalah penggembala kesasar yang telah ditolong oleh diriku, ingatkah ?” pesan Minghui pada Hun-cong. Hun-cong coba memeriksa badan sendiri, betul saka ia telah menggunakan pakaian penggembala, ia mengerti Ming-hui Siocia telah menukar pakaiannya, 22 diam-diam dia memuji ketelitian gadis ini. Maka ia manggut-manggut. Ming-hui mengulurkan pula pedang pendek yang tadi dipegangnya pada Huncong dan berkata, “Pedang ini kukembalikan padamu, kiranya takkan kau gunakan untuk bermusuhan dengan aku, bukan ?” “Selamanya aku takkan menyelakai dirimu!” jawab Hun-cong dengan suara
terharu, tapi pasti. Sementara itu dari lereng bukit sana telah mendatangi serombongan orang yang dikepalai seorang penunggang kuda gagah dan keren. Setelah dekat, ternyata ia adalah sorang panglima perang tentara Boan. Hampir saja Nyo-hun-cong mengeluarkan suara jeritan keget setelah ia mengenali panglima itu. Orang ini bukan lain daripada Ili Ciangkun atau Gubernur kota Ili yang bernama Nilan Siu-kiat, ia adalah salah seorang panglima Boan yang menyerbu dan menjajah ke Sinkiang. Waktu Nyo-hun-cong memimpin bangsa Kazak melawan tentara Boan, ia pernah bertempur berhadapan dengan dia. Hun-cong sengaja menundukkan kepala dan menatap ke jurusan lain. Ia mendengar Nilam Siu-kiat memanggil, “Ming-hui, ayahmu kembali dari medan perang, ketika lewat di sini kudengar kamu sedang berburu, bagaimana dengan barang buruanmu, apa yang hendak kau berikan pada ayahmu ?” Sekali ini kaget Nyo-hun-cong terlebih hebat lagi, sama sekali tidak disangkanya gadis yang telah menolong jiwanya itu ternyata tidak lain adalah anak perempuan Nilai Sui-kiat. Seketika dia melenggong, ia merasa sangat kecewa dan juga hampa. Akan tetapi segera datang pula pikiran lain, dirinya masih mengemban kewajiban maha besar, masih harus memimpin kembali bangsa Kazak untuk berjuang lagi, ia tidak boleh diketahui oleh musuh, jika sampai ketahuan harus segera 23 mencari jalan untuk melarikan diri. Ia mencoba menggerakkan otot tulangnya, tenyata sudah pulih dan penuh tenaga, ia mengelus-elus pedangnya, perasaannya penuh dengan keberanian, semangatnya berkobar-kobar. Sementara itu Nilan Siu-kiat telah membawa orang-orangnya menuju telaga untuk minum, sedang pengiring Ming-hui Siocia tertawa girang, mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan untuk menyambut tentara mereka. Nyo-hun-cong mengertak gigi, akan tetapi segera teringat olehnya, “Apa gunanya membenci orang-orang ini, mereka hanya tertipu dan menuruti perintah saja.” Untuk mengelabui musuh, ia pura-pura ikut menyanyi dan menari, ia mencampurkan disi diantara mereka dengan harapan dapat menghindarkan perhatian musuh. Pada waktu inilah tiba-tiba datang dua opsir tentara Boan, mereka seperti dalam keadaan mabuk terus mendesak ke sebelah Nyo-hun-cong. Sesampai di dekat Nyo-hun-cong, mendadak salah seorang menyentuh pundaknya dengan keras, dengan sendirinya Hun-cong mengerahkan tenaga dan menolak desakan itu, dibentur kembali secara begitu, dua opsir tadi pergopoh-gopoh terpentak beberapa meter jauhnya. “Siapa kau ?” bentak mereka mendadak. Ternyata kedua opsir tadi melihat Hun-cong berdandan sebagai penggembala dan berbaur diantara pengiring Ming-hui Siocia, gerak-geriknya agak ganjil dan mencurigakan, maka mereka sengaja menguji dan memancingnya. Melihat keadaan itu, Ming-hui cepat maju ke tengah dan memisah. “Ia adalah penggembala bangsa Uigur, kalian jangan mempersulit dia, katanya kepada kedua opsir itu. Sementara itu pengiring Ming-hui Siocia dan anak buah Nilan Siu-kiat telah 24 berhenti menyanyi dan menari, semua ikut memperhatikan peristiwa yang tak terduga ini. Saat itu dengan tenang Nyo-hun-cong telah menghadapi kedua opsir Boan tadi, dengan suara nyaring ia menjawab, “Aku adalah penggembala dari Gulkan, teman-temanku terpencar akibat serangan angin puyuh beberapa hari lalu, justru yang menolong aku adalah Tuan Putri kalian.” Ming-hui segera membenarkan perkataan itu, namun kedua opsir itu masih setengah percaya setengah tidak. Sementara itu Nilan Siu-kiat sedang memandang Nyo-hun-cong dengan tajam, mendadak tangannya bergerak, sebuah anak panah kecil disambitkan ke arah Hun-cong, dengan sedikit mengegoskan badannya pemuda ini menghindarkan
diri dari serangan itu. “Dia mata-mata musuh, lekas tangkap!” teriak Nilan Siu-kiat. Beberapa pengawal yang berada disampingnya segera menerjang maju dan mereka mengepung dan hendak menangkap Hun-cong. Di medan pertempuran, antara Siu-kiat dan Nyo-hun-cong memang sudah pernah bertemu muka, kini melihat Hun-cong mengenakan pakaian penggembala, ia merasa seperti sudah pernah kenal, untuk menghilangkan keraguan-raguannya ia lantas menyerang orang dengan anak panah, ia lihat dengan gesit orang telah dapat mengehindari serangannya, segera ia sadar dan lantas memerintahkan penangkapan. Tetapi dengan suatu gertakan Hun-cong menyambut serangan seorang pengawal, sedikit meraih terus dipuntir, kontan tulang tangan pengawal itu patah, pengawal itu berteriak sesambatan seperti babi hendak disembelih. Hun-cong tidak memperdulikan , “peletak”, ia membantingnya ke tanah, dengan sedikit memutar badan ia pegang pula kepalan kedua yang sedang menyerang, dengan enteng saja pengawal itu ditarik, dengan satu bentakan pengawal itu terangkat tinggi dan diputarnya dengan cepat kemudian dilemparkan sejauhnya. 25 Terdengar suara “Plung” yang keras, tubuh pengawal yang tinggi besar itu kecemplung masuk telaga , air telaga muncrat berhamburan. Nilai Siu-kiat terkesima seketika dan rada keder. Di saat lain kawanan pengawal dan serdadu Boan, telah sama maju menerjang. Nyo-hun-cong cukup cerdik, melihat gelagat jelek, pedangnya segera di lolos, dengan satu lompatan dia merangsek ke arah Nilai Siu-kiat, karena itu beberapa opsir didekatnya segera datang menghadang, tapi dengan beberapa tendangan dan pukulan Hun-cong telah membuat mereka kocar-kacir, mana bisa mereka mencegahnya maju. Sekejap saja Hun-cong sudah menubruk ke depan Nilai Siu-kiat. Ilmu silat Nilai Siu-kiat juga tidak terlalu rendah, satu pukulan segera dikirim ke muka Hun-cong waktu pemuda itu datang mendekat dan mencoba merebut pedangnya, akan tetapi Hun-cong ternyata sangat lihai, sedikit mengegos sambil mendesak maju pedangnya berbareng menusuk lagi, tampaklah sekali ini Nilan Sui-kiat pasti sukar menghindar. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan Ming-hui Siocia, “Ayah, Ayah!” Hati Nyo-hun-cong tergetar, ia menjadi tidak tega, sedikit ia serongkan pedangnya, ujung pedang menyerempet lewat dipinggir leher Nilan Siu-kiat. Sekalipun sudah cukup berpengalaman di medan pertempuran, namun Nilan Siu-kiat masih juga merasakan ada angin tajam dingin menyambar lewat lehernya, sehingga membuatnya gugup dan takut tidak kepalang, tangan kaki pun terasa lemas. Pada saat itu pula, Nyo-hun-cong yang kuat laksana gunung segera menutuk iga Nilan Siu-kiat dan segera pula menarik orangnya dan dikempitnya sekalian. “Jika kauingin hidup, lekas biarkan aku keluar dari sini!”, bentak Hun-cong. Melihat panglimanya tertangkap musuh, dengan sendirinya, pasukan Boan tidak berani mendesak maju lebih dekat lagi. 26 Dengan satu suitan panjang segera Hun-cong lari keluar dan kepungan, ia mengincar dengan tepat seekor kuda bagus, segera ia mencemplak ke atas kuda itu berbareng tangan menyikut sehingga membuat opsir diatas kuda itu jatuh terjungkal, tangan kanan Nyo-hun-cong masih tetap mengempit Nilan Siu-kiat dan kudanya segera dilarikan dengan cepat. Serdadu Boan tidak berani memanah, kuatir melukai penglima mereka sendiri, mereka hanya menguntit saja dari belakang. Nyo-hun-cong melarikan kudanya secepat terbang, sebentar saja serdadu Boan sudah tertinggal jauh, hanya terdapat seorang penunggang kuda saja yang masih menguntit dengan kencang. “Kau sudah berhasil lolos dengan selamat, mengapa kau masih terus mengempit dan membawa lagi ayahku!” begitu terdengar suara nyaring perempuan berteriak dari belakang. Nyo-hun-cong segera berpaling ke belakang, ternyata yang masih menguntit
itu adalah Nilan Ming-hui yang telah menolong jiwanya beberapa hari yang lalu. Hun-cong tercengang, dilihatnya Nilan Ming-hui menbedsal kudanya seceat kuda terbang mendatangi, suaranya rada gemetaran, Hun-cong menjadi tertegun, seketika ia menjadi bingung. Pemuda yang gagah berani kian kemari menerobos di tengah ribuan tentara, ternyata tidka berdaya dan terpengaruh di bawah sinar mata seorang gadis yang seperti minta di kasihani, perasaannya terguncang bagaikan debur ombak samudera, ia ingat bagaimana bangsa Kazak yang tidak berdosa di tindas secara kejam, justru orang yang ia kempit sekarang ini adalah musuh besar bangsa Kazak, teringat pula olehnya beberapa malam berada dalam perkemahan yang hangat itu, yang menolong jiwanya justru adalah gadis asing ini, yang ternyata adalah anak gadis musuh besarnya. Mendadak ia menahan kudanya, ia berpaling sambil melepaskan Nilan Siu-kiat dari tutukannya tadi dan membantingnya ke tanah pasir. 27 “Siocia, Ayahmu ada disini, ia tidak terluka, kini boleh legalah hatimu,” katanya sambil memapak kedatangan Nilam Ming-hui. Nilan Siu-kiat menjadi heran melihat anak gadisnya melenggong terkesima dengan nafas tersengal-sengal, ia tidak mengerti apakah artinya semua ini. “Terima kasih, “ kata Nilan Ming-hui kemudian setelah ayahnya naek keatas kudanya. “Tidak perlu berterima kasih padaku, “ kata Nyo-hun-cong dengan dingin, “Kau telah menolong jiwaku, kini aku mengembalikan ayahmu, jadi kita sama-sama tidak berhutang budi.” Setelah berkata begitu, kakinya mengempit kencang kudanya, segera kuda dilarikan lagi menuju padang rumput yang luas dan tanpa berpaling lagi. Kata-kata Nyo-hun-cong tadi begitu ketus, akan tetapi dalam hati penuh kemasgulan, ia sayang akan jiwanya yang berharga, juga merasakan kekosongan perasaannya, ia adalah seorang Eng Hiong, seorang pendekar atau pahlawan, tetapi ia tidak lebih daripada orang biasa dalam urusan asmara, sama sekali ia tidak berani membayangkan bahwa gadis yang mempesona ini adalah anak gadis musuhnya, namun ini adalah kenyataan, kenyataan yang kejam, hampir ia tak percaya seorang gadis yang begitu halus dan jelita ternyata mempunyai ayah yang tangannya penuh berlumuran darah rakyat tak berdosa. Dalam keadaan pikiran bimbang dan cemas, Nyo-hun-cong melarikan kudanya dengan cepat menuju selatan. Matahari yang tadinya merah membara kini mulai beralih ke barat, pemandangan senja yang kemerah-merahan menyoroti padang rumput yang luas ini, membuat suasana indah beraneka warna. “Siang hari dengan cepat akan lewat dan malam gelap akan segera tiba pula,” kata Hun-cong dalam hati. Dalam waktu itu, ia merasakan badan letih dan perut lapar. Pagi tadi waktu ia merebut kuda seorang opsir Boan untuk melarikan diri, ia lupa untuk sekalian 28 merampas ransumnya. Begitulah ia termenung dan melarikan kudanya dengan rasa cemas. Perut lapar adalah mirip musuh yang tersembunyi, yang tidak menampakan diri, kini sang surya mulai terbenam di ufuk barat, musuh yang tersembunyi itu telah muncul pula, ia merasakan serangan kelaparan yang amat sangat. Dari tiupan angin malam, sayup-sayup terdengar oleh Hun-cong di depan sana seperti ada suara derapan kaki dan kelengenan kuda. “Jika beruntung, bisa bertemu kafilah yang sedang lewat, aku bisa minta air dan rangsum padanya, “ begitu pikirnya. Ia tiarap diatas kua dan mengentak perut kudanya, binatang itu segera mementang kaki dan lari secepat terbang menyusul ke depan sana. Setelah mengejar beberapa lama baru tertampak olehnya dimuka sana sedang berlari dua ekor kuda, penunggangnya mempunyai kecakapan menunggang yang luar biasa, Hun-cong sendiri telah letih dan kudanya pun lelah sekali, walaupun dengan sekuat tenaga ia mengejar lagi, namum masih belum bisa menyusul mereka.
2 Selagi Hun-conh merasa putus asa, mendadak kedua penunggang kuda di depan melambatkan kuda mereka dan berjalan berendeng. Dengan girang Nyo-hun-cong keprak kudanya menyusul pula, ia melihat seorang penunggang diantaranya adalah seorang nona cantik, kepalanya memakai ikat kain merah, jung kain melambai-lambai tertiup angin, sedang seorang penunggang yang lain adalah seorang pemuda. Selagi Hun-cong hendak memanggilnya, sayup-sayup tetapi terputus-putus terbawa angin, didengarnya percakapan kedua muda-mudi itu. “Hui-ang-kin, mengapa kau terus mengeprak kuda mengejar perjalanan ….. berikankan aku hidup lebih lama ….. bukankah kau juga takkan merasakan kebahagiaan ? …… Ah, Hui-ang-kin sungguh kau begitu tega ?” 29 Sayup-sayup dari depan sana lalu terdengar helaan napas yang penuh dengan rasa kehalusan wanita. Jalan kedua kuda di muka kini lebih lambat lagi. “Hui-ang-kin ?” hati Hun-cong tergerak oleh nama ini. “Apakah gadis di depan ini betul adalah pahlawan wanita yang tesohor di pdang rumput ini ?” Hui-ang-kin atau si selendang merah adalah anak gadis seorang pahlawan tua, Danu, kepala suku bangsa Lopuh, nama aslinya adalah Hamaya, ia mahir sekali dalam hal ilmu pedang dan menunggang kuda, ia selalu mengembara di sekitar selatan dan utara Thian-san, seperti juga Nyo-hun-cong, iapun sangat dikagumi dan dihormati suku-suku bangsa di padang rumput, karena ia senantiasa memakai selendang merah, maka orang menjulukinya Hui-ang-kin atau si selendang merah. Nyo-hun-cong sudah lama mendengar namanya, tetapi karena terlalu sibuk di medan pertempuran, maka belum pernah berjumpa dengannya. Sekalipun Nyo-hun-cong sudah merasa kelaparan, namun terpaksa bertahan untuk sementara dan melambatkan lari kudanya untuk mendengarkan apa yang sedang mereka percakapkan. Tak lama kemudian, terlihat di selendang merah mengayun cambuknya yang panjang sambil berkata seperti memerintah, “Kau boleh menyanyikan pula satu lagu!” Pemuda itu menuruti perintahnya, ia lantas meniup seruling, suaranya terdengar mengharukan sekali, seperti mengandung rasa ketakutan dan kekecewaan, habis meniup seruling ia pun mulai bernyanyi : O, Nona! Ingatkah saat gembira ria masa lalu, Katamu cintamu ….. melebihi dalamnya lautan! Betapa engkau begitu tega, Hendak mencelakai kekasih sendiri ? Engkau memuji suara nyanyianku, Bagaikan burung kenari di padang rumput, 30 Kupuji kecantikanmu dan kecerdikanmu, Suara nyanyian yang merdu ini, Kemana hendak kaucari ? Mengapa engkau begitu tega ? Menggiring aku menuju kematian Mendengar lagu nyanyian itu perasaan Nyo-hun-cong seperti tertusuk, teringat pada Nilan Ming-hui, apakah si selendang merah dengan pemuda ini juga sedang mengalami hal yang sama seperti dia dengan Nilan Ming-hui? Sama-sama jatuh cinta tetapi keduanya juga musuh? Akan tetapi rasanya seperti tidak sama. Tengah Nyo Hun-cong termenung dengan berbagai pertanyaan yang timbul di dalam pikirannya, terlihat pemuda yang berada di depan itu menggunakan saat si Selendang Merah sedang tenggelam dalam lamunan seperti mabuk oleh suara nyanyian yang merdu merayu tadi, mendadak tali kendali kudanya di tarik dan segera dilarikan untuk kabur. Si Selendang Merah menjadi gusar, cambuk kulitnya segera di ayunkan. “Abu, kau cari mampus!”, bentaknya. Baru saja kuda pemuda itu mulai berlari, tiba-tiba sabetan cambuk si
Selendang Merah sudah menyambar dan melilit badannya dan terus di tarik kembali. “Haya!” tanpa sengaja Hun-cong mengeluarkan suara kaget karena kejadian itu. “Siapa kau?” si Selendang Merah berpaling dan membentak Nyo Hun-cong. “Aku adalah saudagar yang kebetulan lewat di sini,” jawab Hun-cong. “Kalau begitu, “ kata si Selendang Merah lagi, “Kau boleh jalan terus dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain.” Hun-cong melarikan kudanya sambil memberi hormat dengan merangkapkan tangannya, ucapnya, “Lienghiong (Pendekar Wanita), maafkan atas 31 kecerobohanku, akan tetapi terus terang, sebenarnya aku kehabisan rangsum dan air. Jika sekiranya Lienghiong ada kelebihan bekal, bisakah tolong memberi sedikit bantuan ?” “Hmm, rupanya kau adalah bangsa Han yang baik, tidak pakai pura-pura dan suka terus terang,” kata si Selendang Merah dengan tersenyum setelah memandang Nyo Hun-cong sekejap, lalu ia keluarkan sebungkus rangsum kering dan melemparkan sebuah kantong ait kepada Hun-cong. “Bungkusan rangsum itu boleh ku berikan padamu, tetapi air jangan kau habiskan,” katanya pula pada Nyo Hun-cong. “Terima kasih, nona!” sahut Hun-cong, setelah minum dua teguk air dan makan sedikit rangsum, ia melemparkan kantongan air itu kepada si Selendang Merah sambil mengucapkan terima kasih. “Baiklah kini kau boleh lekas pergi,” kata si Selendang Merah, “Aku tidak ingin sejalan denganmu.” Hun-cong mengiyakan perlahan dan kemudian memutar kudanya ke arah depan. Sebentar ia melihat si Selendang Merah beserta si pemuda tadi melarikan kuda mereka dengan cepat, sekejap saja mereka sudah mendahului pula di depan Nyo Hun-cong. Terlihat tiada henti-hentinya si Selendang Merah membentak-bentak pemuda tadi dan mencambuki kudanya supaya berlari lebih cepat lagi. Heran sekali Nyo Hun-cong melihat tingkah laku kedua orang itu, ia tidak mengerti bagaimana sebenarnya hubungan antara mereka berdua itu. Hung-ang-kin mempunyai nama baik di daerah Sinkiang selatan dan berpengaruh besar, tidak peduli apa yang terjadi sebenarnya, aku harus menyelidikinya sampai jelas, Jika bisa berkerja sama dengan dia dalam gerakan melawan tentara Boan sungguh merupakan tambahan tenaga yang kuat sekali, demikian pikir Hun-cong dalam hati. 32 Nyo Hun-cong pun mahir dalam menunggang kuda, diam-diam ia menguntit di belakang Hui-ang-kin dan selalu mempertahankan jarak di antara mereka asal cukup terlihat dari jauh saja. Tidak lama setelah berjalan lagi, cuaca mulai gelap, Hui-ang-kin seperti paham betul jalan itu, ia menghalau kudanya menuju sebuah rumah panggung kuno yang berada di depan, kuda di ikat di pinggir jalan, kemudian dengan menyeret tangan pemuda itu mereka masuk ke dalam tumah panggung kuno itu. Nyo Hun-cong coba mengelilingi dan memeriksa sekitarnya, ternyata tempat ini sudah berada di luar batas gurun pasir, mereka sudah berada di padang rumput. Di padang rumput hendak mencari sumber air tidaklah sulit, setelah Hun-cong mendapatkan air, ia biarkan kudanya minum sekenyangnya, ia sendiripun minum sedikit dan makan sisa rangsum yang masih ada. Setelah beristirahat sejenak, ia menambat kudanya di tepi sumber air itu, dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi ia pergi menyelidiki bangunan kuno yang dipakai mengaso Hui-ang-kin tadi. Waktu itu sang dewi malam telah menggantung di tengah langir. Di bawah sinar bulan, Hun-cong melihat di depan bangunan kuno itu terukir tidaga huruf, “Hong-hwe-tai” atau panggung api unggun. Hun-cong cukup paham sejarah kuno, ia tahu rumah panggung begitu didirikan oleh tentara di jaman dulu, dibuat dari tanah liat dan kayu, bentuknya mirip
piramid. Jalan di padang rumput dan gurun pasir menyesatkan, maka tentara jaman dulu membuat panggung semacam ini untuk mengetahui jarak antara satu pos dan pos lainnya dan juga untuk pedoman jalan serta untuk tempat istirahat. Jika terjadi sesuatu, penjaga di atas panggung segera membakar api obor, karena itulah juga dapat dibuat sebagai tanda untuk meminta bala bantuan. Rumah panggung kuno semacam itu yang ada si Sinkiang kebanyakan dibuat pada dinasti Tong, didaerah utara hanya sedikit, tetapi di selatan agak 33 banyak, ditambah lagi sudah berumur sekian abad, kebanyakan panggung itu rusak dan ambruk, kalau bukan orang yang cukup paham dalam perjalanan, susah mendapatkannya dan apalagi menggunakannya untuk beristirahat. Segera Hun-cong melayang ke atas dan hinggap di atap panggung kuno itu. Rumah panggung atau kubu ini terdiri dari dua tingkat, tingkat atas terbuka sehingga dapat dibuat memandang sekeliling, tingkat bawah dipergunakan untuk tempat istirahat. Setelah berada di atas, Hun-cong mendekam, pedangnya menusuk perlahan hingga terbentuk sebuah lubang kecil, ia mengintip ke bawah, dilihatnya Huiangkin bersama pemuda itu telah membuat api unggun dengan rumput kering, dan sedang berbicara dengan asyik sekali. Di lain pihak tiba-tiba Hui-ang-kin melihat debu jatuh dari atas, ia memandang sekejap ke atas, tetapi tidak menemukan apa-apa. “Kubu ini sudah terlalu tua, tertiup angin sedikit saja sudah seperti mau ambruk,” katanya. Tetapi hatinya masih belum mantap, mendadak tangannya seperti di ayunkan, cepat Hun-cong berkelit sambil menyampuk dengan telapak tangannya, ternyata beberapa jarum perak telah jatuh di lantai. “Sungguh lihai sekali Hui-ang-kin,” pikir Nyo Hun-cong, “Rupanya iapun curiga ada orang mengintipdi atas, maka menimpuknya dengan jarum, kalau aku tidak sempat berkelit, tentu mataku sudah dibuatnya buta?” Akan tetapi ia lantas mendekam dan mengintip lagi. Melihat tiada sesuatu kejadian di atas, Hui-ang-kin tidak curiga lebih lanjut. “Abu, masih adakah yang hendak kau katakan ?” begitulah Hun-cong mendengar Hui-ang-kin bertanya. “Hui-ang-kin, mengapa kau hanya percaya omongan orang dan tidak percaya pada keteranganku ?” kata orang yang di panggil Abu itu. “Engkaulah orang 34 yang kucinta, bagaimana aku bisa mencelakai ayahmu? Dipadang rumput Daunloenghiong telah kepergok pasukan Boan, ia terkepung, pertempuran seru berlangsung hingga tiga hari tiga malam, aku selalu mendampingi beliau, belakangan tentara Boan dapat menerobos pertahanan kita dan menyerbu ke perkemahan. Danu-loenghiong dan membunuhnya, hatiku sendiri sangat sedih, bagaimana kau bisa malah menyalahkan aku?” “Bohong!” bentak Hui-ang-kin, “Ayahku begitu perkasa, mungkinkah kalian yang tinggal bersama dalam satu kemah, kau bisa melarikan diri, tetapi ayahku tidak? Lagipula menurut laporan Pak Kiai, ia mempunyai bukti-bukti cukup yang menunjukan kaulah yang membawa tentara Boan menyerang di tengah malam dan membunuh ayah. Jika benar kau tidak berdosa, kenapa jauh-jauh, kau kabur dan tidak berani kembali ke tengah-tengah suku kita?” Mendadak Abu menangis tergerung-gerung. “Hui-ang-kin, kenapa sedikitpun tidak percaya padaku, kau orang yang bijaksana, coba kaupikir, ayahmu adalah kepala suku bangsa kita, tentara Boan menyerbu pada waktu malam, tentu tujuannya hendak menangkap ayahmu terlebih dahulu, “ katanya dengan suara memelas. “Aku tidak mati bersamanya itulah salahku, kau hendak marah, hendak memaksakan diriku orang yang tak berguna dan pengecut, sedikitpun aku tidak akan melawan, tetapi kalau kau bilang aku yang mencelakai ayahmu, sungguh aku sangat penasaran! Kau tahu para Kiai kita itu semua tidak suka pada diriku, mereka hendak memfitnahku, maka aku tak berani pulang, tetapi waktu kau datang menangkapku, bukankah aku sendiri telah menemuimu? O, Hui-ang-kin, janganlah kau menggiring aku mengantar kematian!”
Rupanya hati Hui-ang-kin tergerak, suaranya pun berubah halus. “Abu, “ katanya kemudian dengan suara lirih, “Menurut Pak Kiai, mereka mempunyai bukti-bukti cukup, kita kembali saja kesana, jika mereka hanya salah paham, aku yang akan meminta mereka mengamnpunimu. “Bukti-bukti apa yang dipunyai Pak Kiai yang menyatakan aku telah mencelakai kepala suku kita ?” tanya Abu kepada Hui-ang-kin. “Waktu kau terkepung, “ tutur Hui-ang-kin, “ Aku tengah menuju Timal untuk mencari hubungan, sebelum aku kembali di tempat kita, aku sudah menerima 35 berita Pak Kiai yang minta aku menangkapmu.” “Kalau begitu, kau pun belum melihat apa yang dinamakan bukti-bukti itu,” kata Abu pula. “Ai, Hui-ang-kin, lepaskanlah diriku! Atau kalau tidak, biarlah kau dan aku bersama-sama mengembara menuju padang rumput yang luas, setiap malam aku akan bernyanyi untukmu.” “Kiai kita adalah orang yang bijaksana dan jujur. Bagaimanapun kau harus kembali kesana untuk dihadapkan pada mereka!” jawab Hui-ang-kin. Sekalipun begitu perkataannya, namun suaranya sudah berubah lebih halus dan ramah lagi. Kemudian Abu mengeluarkan serulingnya lagi, lalu meniupnya. “Hui-ang-kin masih cintakah kau padaku ?” tanyanya perlahan setelah habis meniup satu lagu. Dalam malan itu, Nyo Hun-cong mendengarkan dengan terkesima, tiba-tiba ia mendengar dari luar kubu sana seperti ada suara langkah kaki orang. Mata telinga Nyo Hun-cong begitu tajam, ia tidak perlu mendengarkan lagi, ia berdiri dan memandang keluar sana, terlihat olehnya ada empat sosok bayangan orang telah mendekati kubu kuno ini. Sementara itu, di bawah agaknya Hui-ang-kin sepertinya sudah mengetahuinya. “Abu, kau tidak boleh sembarangan bergerak, aku akan melihat siapa yang berani merunduk kemari!” bentaknya sambil tertawa dingin. Ke empat orang pendatang itu sedang mendekati rumah panggung itu, mendadak terlihat pintu kubu dibuka lebarm di tengah malam yang sunyi sepotong selendang sutera berkibar tertiup angin hingga tampak sangat menarik. Tangan kiri Hui-ang-kin memegang cambuk kuda yang panjang, tangan kanan memegang sebatang pedang terhunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata ia 36 berdiri tegak di ambang pintu, persis seperti patung dewi kuno yang angker. Sementara Nyo Hun-cong tetap mendekam diatas atap dan mengintip ke bawah. “Biarlah kulihat dulu seberapa tinggi kungfu Hui-ang-kin,” begitu pikirnya. Dalam pada itu ketika mendadak melihat Hui-ang-kin menampakan diri dengan menghunus pedang, ke empat orang tadi menjadi gugup dan seketika tidak berani turun tangan. Hui-ang-kin tertawa dingin, tangan kirinya bergerak, “tar!”, begitu cambuk berbunyi tertampak satu diantara keempat orang itu telah terbelit oleh cambuk. Hui-ang-kin mengayunkan cambuknya dan orang itu kontan terlempar beberapa depa dengan kepala mengalirkan darah. “Pengkhianat! Biarlah kuberekan kau lebih dulu!” demikian ia mendamprat. “Ternyata orang itu adalah bangsa Lopuh, ketiga orang yang lain adalah jago pengawal pasukan Boan, begitu melihat mereka Hui-ang-kin lantas tahu bahwa orang itulah yang membawa jago pengawal Boan untuk menangkap dirinya. Gerakan Hui-ang-kin tadi begitu cepat laksana sinar kilat, ketiga orang itu terkejut, lekas mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan maju mengepung. Diantara tertawa dingin, Hui-ang-kin dengan tangan kiri memegang cambuk dan tangan kanan menghunus pedang, ia berputar, seorang diri menghadapi tiga jago pengawal, ia sama sekali tidak menunjukan rasa gentar. Ketiga jago pengawal ini ternyata tidak cetek ilmu silatnya, yang satu menggunakan golok, satu lagi bertongkat, sedang yang lain menggunakan senjata aneh. ‘Houw-thau-kauw’ atau senjata berbentuk ganco, mereka merangsek berbareng dan mundur teratur, serang mereka juga cukup rapi
dan lihai. Namun Hui-ang-kin terlebih lihai daripada mereka, yang dekat ditusuk dengan pedang sedang yang jauh disabet dengan cambuk, tiap-tiap gerakannya 37 merupakan serangan berbahaya. Nyo Hun-cong kagum sekali dan heran pula, sungguh Hui-ang-kin tidak mengecewakan dan sesuai dengan namanya yang tersohor, boleh dikata dialah satu-satunya wanita gagah di padang luas ini. Sesaat kemudian, serangan Hui-ang-kin makin menghebat, sinar pedangnya gemerlapan membungkus dirinya yang maju menyerang, cambuknya lebih-lebih lagi seperti ular naga menari di angkasa, ketiga lawan dibuat bingung olehnya dan terpaksa berputar-putar di sekelilingnya, sekalipun sudah mengeluarkan segenap kepandaian mereka tetap tidak bisa mendesak maju dalam jarak beberapa meter. Selagi Hui-ang-kin sudah berada di atas angin, mendadak selendang merahnya bergerak, “Hendak kabur kemana kau?” bentaknya tiba-tiba. Ternyata Abu secara diam-diam seperti pencuri hendak menggeluyur pergi. Dengan sekali putar dan menggeser kaki, cambuknya yang panjang segera ditarik dan berbalik menyabet ke belakang. “Aduuh!”, begitu terdengar suara jeritan, ternyata Abu telah kena di sabet oleh pucuk cambuk dan jatuh tersungkur diatas tanah. Masih mendingan baginya, Hui-ang-kin hanya menggunakan seperempat tenaga dan hanya sedikit menyabetnya, kalau tidak, mana bisa dia hidup lebih lama lagi. “Lekas kembali ke dalam, kalau tidaj segera aku akan menyabet kau lagi!” bentak Hui-ang-kin. “Hui-ang-kin mengapa kau begitu kejam ! Aku keluar justru ingin membantumu, kenapa maksudku yang baik kau anggap jelek”, kata Abu sambil merintih kesakitan. Hui-ang-kin tidak memperdulikan ucapannya, pedangnya bergerak sambil 38 membalikkan badan untuk menandingi serangan senjata musuh pula. Tatkala memutar madan meladeni Abu, ketiga jago pengawal tadi mengira ada kesempatan baik, yang menggunakan senjada ganco segera menerjang dari samping, dengan jurus ‘Jing-liong-jut-hai’ atau naga hijau keluar dari lautan, membacok dada Hui-ang-kin. Hui-ang-kin menangkis dengan pedangnya, maka terdengarlah suara, “Krak”, gigi ganco musuh tertabas putus. Lawan yang memakai tongkat dan golok saat itupun berbareng menyerang dari arah tengah, pedang Hui-ang-kin yang digunakan untuk menangkis ganco masih ada sisa cukup kekuatan untuk membuat golok dan tongkat terpental tertangkis olehnya. Jago pengawal yang memakai ganco masih ngotot dan belum mau mundur, senjatanya bergerak lagi, ia mengarah pinggang Hui-ang-kin. Hui-ang-kin menjadi gusar, cambuk di tangan kiri menyabet lurus ke depan sambil membentak, “Lepas!” maka ganco musuh kontan terbang ke udara. Mendadak Hui-ang-kin menubruk maju dan pedang ditusukkan , tanpa ampun lagi jago pengawal itu tertusuk tembus dan mati seketika. Kepandaian orang yang memakai ganco ini diantara ketiga jago pengawal itu termasuk yang paling tinggi, tetapi baru berdekatan dan dalam dua gebrakan saja sudah mampus, tentu saja kedua orang yang lain menjadi keder, mana berani mereka mendasak lagi, segera mereka berpencar berjajar, tongkat menghantam dan golok membacok dari samping, menyerang sambil mundur dan berulang-ulang bersuit sedang memanggil bala bantuan. Nyo Hun-cong yang menonton di atas rumah kubu bisa melihat dengan jelas, ia melihat dari kejauhan dua bayangan orang dengan kecepatan bagaikan terbang sedang mendatangi tempat itu, setelah diperhatikan ternyata mereka m