Pahlawan untuk Ibu Oleh: Nita Bonita Rahman
Matahari musim panas hari itu sangat tidak bersahabat, teriknya menghanguskan kulit, membuat siapa saja malas berlama-lama di luar rumah, tapi tidak untuk Bu Wati, dengan sedikit terengah dia mengayuh sepeda menuju sekolah dasar yang cukup jauh jaraknya dari tempat ia bekerja. Dia tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama di jalan demi menjemput anaknya dari sekolah. Dia menggunakan waktu istirahat bekerjanya. “Ibuuu,” seorang bocah berseragam putih merah lengkap dengan topi dan dasi berloncat-loncat dan berteriak girang sambil melambai-lambaikan tangannya saat orang yang dia tunggu akhirnya muncul. Yang dipanggil semakin mendekat dan tersenyum lebar. “Tepat waktu.” Batinnya dalam senyum. “Hai jagoan! Ibu tidak terlambat, kan?” dia mengerem sepedanya tepat di depan gerbang sekolah, bocah berparas menyenangkan itu menyambut dengan mengulurkan tangan
1
mungilnya ke arah sang ibu, mencium punggung tangan dan menyeringai riang. “Tidak, Ibu! Aku baru keluar, baru dua menit,” katanya riang. “Tahu dari mana kamu kalo kamu sudah menunggu selama dua menit?” Bu Wati menggoda, pura-pura tidak percaya. “Dari ini!” bocah laki-laki bersorot mata indah itu menjulurkan lengan kirinya, menunjukkan jam tangan berwarna hitam bergambar power ranger dengan bangga, jam pemberian sang ibu setelah dia berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas dalam ulangan matematika kemarin. “Wah, senangnya yang punya jam baru!” Bu Wati tertawa kecil dan matanya berkedip-kedip menggoda sang anak. Siapa pun yang melihat akan langsung tahu bahwa mereka amat bahagia. Tidak lama mereka berbincang Bu Wati segera mengayuh sepedanya menuju rumah setelah memastikan bahwa sang anak sudah duduk rapi dan aman di belakangnya dengan memeluk kuat pinggangnya. Sesampainya di rumah Bu Wati langsung mempersiapkan makan siang anaknya dan menyiapkan seragam mengajinya, sedangkan Anto, sang anak, langsung membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bersiap solat zuhur. “Ibu sudah 2
Anugerah Kecil untuk Ibu Oleh: Meiliana Liu Hari ini adalah hari pernikahanku. Umurku memang baru saja menginjak 23 tahun Mei kemarin. Akan tetapi, persiapan mentalku sudah sangat cukup untuk memulai kehidupan berumah tangga. Ia yang akan menjadi pendamping hidupku adalah wanita pilihan ibuku. Aku mempercayakan semuanya kepada orang tua dan tidak ingin terlalu banyak ikut campur. Mereka tahu pasti bagaimana keinginan serta hal-hal yang terbaik untukku. Benar saja, dalam waktu singkat aku sudah merasa nyaman dan bahagia bersama wanita itu, Eliza Shahtiara. Orang tuaku, terutama ibuku, bukanlah tipikal orang yang memaksa untuk menjodohkan anaknya. Mereka memberiku pilihan sebelumnya: apakah aku sudah ingin menikah, apakah boleh mereka memilihkan pasangan untuk diriku, apakah aku sudah siap menjalani semuanya dan lainnya. Mereka memahami anaknya dengan cara mendekati sisi psikologisku. Aku sangat bersyukur memiliki ibu dan ayah seperti mereka, memilihkanku pasangan hidup yang 21
nantinya akan membawa kami pada kebahagiaan. Pernikahan hari ini adalah yang diinginkan dan juga yang terbaik bagi semuanya. Kakiku melangkah masuk ke dalam gedung pernikahan, langkah pertama yang disambut dengan gemuruhnya tepuk tangan semua orang. Aku sangat bersyukur seluruh orang--yang aku sayangi---hadir di hari bahagiaku. Semua mata menatapku dengan senyuman di ujung bibir mereka. Aku tidak bisa membalas tatapan semua orang, tetapi aku bisa memberi senyuman terbaikku kepada kedua orang tuaku. Setelah menyelesaikan semua janji pernikahan dengan sempurna, kini aku resmi melepas status lajangku. Ibuku sangat bahagia untuk diriku, jelas terlihat dari air mata serta pelukan eratnya. “Ibu turut bahagia, anakku sayang,” ucapnya. “Tentu saja, Bu. Kebahagiaan ibu adalah segalanya bagiku,” balasku selagi mencoba menghapus air mata bahagianya. “Cepatlah pulang ke rumah setelah berlibur dengan istrimu. Ibu akan sangat merindukanmu.” “Tentu saja. Aku juga akan sangat merindukan ibu.” Aku akan menghabiskan dua minggu pertama setelah pernikahan dengan istriku di Singapura. Tiket itu adalah 22
Gejolak Semangat Menjemput Amanah Oleh : Intan Aida Diliana
Dua puluh enam September. Hari bersejarah bagi kami, segolongan
manusia
beruntung
berpredikat
sebagai
mahasiswa yang berubah menjadi wisudawan. Butuh perjuangan yang luar biasa hanya untuk prosesi singkat ini. Tak sampai lima menit untuk dipindahkan tali topi toga dari kiri ke kanan. Namun perlu waktu berjam-jam untuk memoles muka, berminggu-minggu untuk menjahit kebaya, berbulan-bulan menyusun tugas akhir, dan kurang dari tiga tahun merampungkan pendidikan ini. Lega, semua proses berhasil dilalui. Wisuda adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih berat tingkatnya. “Ayesha Latifa Ahli Madya, 3,64” suara MC meraung memenuhi ruang auditorium menyebut nama bergelar dan indeks prestasi kumulatifku. Kulangkahkan kaki menuju rektor yang berdiri gagah sepuluh langkah dariku. “Selamat dan sukses ya”, ucap rektor setelah memindahkan tali topiku, 31
sembari mengulas senyum dan menempelkan kedua telapak tangan sebagai ganti jabat tangan. “Terima kasih, Pak”, jawabku sambil tersenyum penuh bahagia. Alhamdulillah, satu keinginanku terwujud, wisuda duduk di barisan paling depan dan dipindahkan tali topi toga oleh rektor. *** Aku dinyatakan lulus tanggal satu Juni, namun wisuda dilaksanakan bulan September. Selama masa tunggu wisuda aku mencoba mengirim beberapa lamaran, baik ke tempat yang membuka lowongan pekerjaan maupun ke tempat yang tidak membuka lowongan pekerjaan. Hanya dua tempat yang benar-benar membuka lowongan, politeknik swasta dan universitas swasta, yang lain tidak. Total ada lima lamaran yang aku sebar, itu belum termasuk lamaran yang kukirim via email dan tempat yang kudatangi untuk sekadar bertanya ada lowongan tidak. Aku mendapat panggilan wawancara pertama di politeknik swasta di kota yang sama denganku kuliah. “Kita diskusikan dulu dengan yayasan, kalau tidak ada kabar dari kami mohon maaf berarti anda belum bisa bergabung dengan kami”, jelas direktur politeknik kala aku mengikuti tes wawancara terakhir. Setelah mengikuti tiga rangkaian tes aku dinyatakan tidak diterima.
32
Safira untuk Ibu Oleh: Widya Eka Safitri Mentari tersenyum manis menyapaku, begitu pun sahutan ayam yang begitu merdu mengetuk gendang telingaku. Aku telah menyiapkan semua tempe-tempe buatan ibu yang akan dijual di pasar ke dalam empat kardus yang masing-masing berisi lima puluh tempe. Aku mulai mengangkat kardus itu satu persatu dan kuletakkan di atas boncengan sepeda unta ibu. Sepeda yang merupakan peninggalan ayah satunya-satunya, sejak beliau pergi tanpa kabar apapun tiga tahun yang lalu. Dan semenjak itu pula kebahagiaan yang dulu kami rasakan harus berubah menjadi sebuah perjuangan pahit yang menyesakkan. Perjuangan di mana kedua tangan ibu harus mampu menghidupi empat anaknya termasuk aku. Aku yang saat ini masih berusia lima belas tahun dan masih duduk di kelas tiga SMP, juga harus menjaga kedua adikku yang saat ini masih kelas empat dan kelas dua SD. sedangkan adik bungsuku yang masih berusia empat tahun ikut ibu ke pasar. “Safira.... semuanya sudah siap, Nak,” tanya ibu membangunkan lamunanku 43
“Alhamdulillah bu.. sudah,” Kataku sambil berdiri mendekati ibu. “Ya sudah ibu berangkat dulu ya?” Kata ibu sambil menggendong adikku dan menuntun sepeda untanya. Seperti rutinitas biasanya, setelah ibu berangkat ke pasar aku mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Aku memasukkan semua buku pelajaran ke dalam tas berwarna biru muda yang sudah kumal dan sedikit kusam. Kupakai sepatu hitam ukuran tiga puluh tujuh yang sebenarnya kekecilan di kakiku. Setelah semuanya siap aku mengantar adikku dulu dan baru berangkat ke sekolah yang jaraknya dari rumah sekitar empat kilometer. Di depan SD Mejayan, tempat kedua adikku bersekolah aku menunggu angkot yang menuju pasar Gambring. Dalam angkot itu aku benar-benar merasakan sesaknya kehidupan. Perjalanan yang sebenarnya hanya lima belas menit seperti satu tahun dalam kesesakkan yang luar biasa. Aku mulai turun dari kendaraan umum itu sambil bernapas lega dan mengulurkan uang sebesar dua ribu rupiah kepada sopir angkot yang wajahnya ramah dan penuh senyum. Kakiku mulai berjalan menyusuri koridor sekolah, mata bulatku tertuju pada kerumunan anak-anak di depan papan
44
Ibu, Kini Aku Tahu Oleh: Nur Ainy
Di kota Malang, beliau dilahirkan, dibesarkan, dan berjuang melanjutkan perjalanan hidupnya. Mengukir sebuah sejarah yang membuat beliau menjadi orang yang tidak mudah putus asa. Tidak menyerah untuk tetap bertahan saat menerjang badai kehidupan. Kota tempat kelahirannya sudah jauh berubah dari puluhan tahun silam. Namun perjuangan hidupnya masih terasa sama saja. Terasa jauh lebih berat dari yang pernah beliau rasakan sebelumnya. Beliau hanya mendapat kesempatan untuk menamatkan tingkat pendidikan menggunakan seragam merah putih. Selepas itu, beliau lebih merelakan pendidikannya untuk dilanjutkan oleh adik-adiknya, beliau adalah salah satu orang yang ikut berjuang untuk kelanjutan pendidikan dan kebutuhan hidup adik-adiknya. Pagi buta sebelum cahaya fajar menyapa, beliau sudah harus bangun mencari kayu bakar, menunaikan tugas hariannya. “Aku dulu kelas tiga SD sudah harus menanak nasi sebelum berangkat ke sekolah, masih menggunakan kayu 55
bakar. Menggunakan tungku.
Sebelum masak harus
memastikan kalau apinya menyala benar. Masaknya dua kali, menggunakan panci, kemudian di pindah ke periuk. Ketika memasak harus memastikan apinya nyala stabil. Setelah menanak nasi, bagian pancinya yang gosong harus segera dicuci.” Begitu kata beliau beberapa tahun yang lalu ketika aku tidak bisa menanak nasi menggunakan rice cooker. Hampir semua yang tidak bisa aku kerjakan, pasti beliau bandingkan dengan perjalanan hidupnya di masa lampau. Saat beliau masih menginjak usia yang sama dengan usiaku saat ini, semua hal dibandingkan. “Jaman sudah canggih. Tapi itu bukan alasan yang membuatmu tidak dapat mengerjakan urusan rumah tangga.” Kata-kata beliau yang selalu membuatku merenung cukup lama. Dua puluh dua tahun silam. Bayi perempuan pertamanya yang diberikan nama indah, nama yang menjadi sebuah doa. Mendendangkan tangisan pertamanya, membuatnya merasa bahagia. Dibesarkan dengan kasih sayang, diajarkan banyak hal, dihadiahi pelajaran-pelajaran berharga dalam hidup yang membuat anak perempuannya mampu menatap dunia lebih luas. 56
Surat Teguran dari Tuhan Oleh: Erni Saputri Pancuran dari langit tak hentinya membasahi bumi disertai suara gemuruh dari angkasa silih berganti. Sejuk, tenang dan nyaman. Suasana yang selalu Lily sukai. Dengan adanya hujan di malam hari dan ditemani alunan merdu musik klasik milik Beethoven, ia bisa menulis kisah-kisahnya dengan khitmad. Ia sedang duduk di bangku, tepatnya di samping jendela dan menulis puisi bertemakan hujan seperti sekarang ini. Dua hari nanti adalah tenggat waktu untuk pengiriman puisinya dan ia harus menyelesaikannya sekarang, mumpung waktunya pas. Di belakangnya ada meja yang di atasnya terdapat setumpuk kertas berserakan. Kertaskertas dengan tinta merah di sejumlah kalimat itu adalah mini thesis-nya yang masih menggantung tak terselesaikan. Entah mengapa saat ini keinginannya adalah menulis, menulis, dan menulis fiksi, mengabaikan kewajibannya yang seharusnya harus diselesaikan. Tokk.. tokk.. tokk 71
Ketukan pintu membuat imajinasinya sedikit terganggu. "Masuk," seru Lily sambil jemarinya sibuk menulis. Pintu terbuka dan kepala seorang wanita melongok masuk. "Dek Lily, kamu belum tidur jam segini?" Ternyata ibunya yang masuk. Lily terlonjak kaget, langsung turun dari bangku dan duduk di kursi depannya. Kehadiran ibunya membuatnya gugup. "Aku... aku lagi mengerjakan thesis-ku," jawab Lily berbohong. "Ini sudah malam dek, sudah waktunya tidur." Ibu masuk sambil menunjuk arlojinya yang menunjukkan pukul 12 malam. Lily tahu ini sudah lewat jam tidurnya, tapi sekarang ini ia ingin menyelesaikan puisi dan novelnya. Sementara ide sudah melekat di otak dan tidak mau melepaskannya begitu saja. Lily
pura-pura
membaca
thesis-nya
yang
sedikit
berantakan dan ibu berdiri di belakang, mengawasinya. Ibu sempat melirik sebuah kertas di atas bangku yang berisikan puisi. Tinta bulpennya masih basah dan ia berasumsi Lily berdalih mengerjakan thesis-nya, padahal sedang menulis puisi. Tak disangka anaknya sudah berani berbohong.
72
Senyum Ibu Oleh: Nurul Hidayah Pagi yang cerah, sang mentari nampak semangat menyinari bumi. Begitu pun Fani, pagi ini ia semangat melangkahkan kakinya menuju terminal yang tak jauh dari kampusnya, mencari bus kota jurusan ke rumahnya. Memang tak sulit bagi Fani mencari bus berwarna merah dengan lis jingga itu. Dengan langkah gesit, kini Fani tengah duduk manis di kursi paling depan. Itulah tempat favoritnya, karena
bisa
melihat
bebas
pemandangan
dalam
perjalanannya. Tiga jam kemudian Fani sudah berada di depan pintu rumahnya, sepi. “Assalamualaikum...” suara salam Fani belum ada yang menjawab. Ia pun membuka pintu yang ternyata tidak dikunci oleh Ibunya. “Assalamualaikum... Bu...” Fani mencari-cari penghuni rumah, yang tentunya Ibu. Karena kedua adiknya pasti belum pulang sekolah. “Waalaikumsalam...” jawab Ibu yang muncul dari dapur.
87
Fani segera mencium tangan Ibu, lalu Ibu memeluknya erat. Kebiasaan rutin setiap kali bertemu atau berpisah dengan sang Ibu. “Kamu udah libur?” tanya Ibu seraya melepaskan pelukan hangatnya. “Sebenarnya besok, tapi hari ini bebas, nggak ada kuliah. Jadi Fani pulang aja deh,” ucap Fani sambil membuka kulkas lalu menenggak air dingin. “Bagaimana ujiannya?” Ibu bertanya sambil menyiapkan loyang, Ibu Fani adalah seorang pembuat dan penjual bermacam-macam kue, baik itu kering atau basah. “Alhamdulillah, doakan hasilnya baik ya, Bu.” Fani kini udah siap membantu Ibu bikin kue. *** Pukul sepuluh malam, Fani sudah anteng di kamarnya. Tapi pikirannya masih melayang pada kejadian tadi sore, saat Ayah dan Ibu bertengkar yang berujung malam ini Ayah memilih tidak pulang. Semua itu memang bukan peristiwa baru bagi Fani, keributan itu sudah sering terjadi sejak Fani masih berumur 10 tahun, sekarang umur Fani menginjak 20 tahun, tapi pertengkaran itu masih terus berlanjut dengan tema yang sama.
88
Ibuku Menginginkanku Durhaka Oleh: Hanifah Fauziah Pada awalnya semua berjalan dengan baik. Ayah dan ibu terlihat sangat bahagia, mereka tersenyum setiap hari. Dan aku sangat senang mempunyai keluarga bahagia seperti ini, rasanya aku ingin selamanya bersama mereka. Hidupku indah dan bahagia, kasih sayang selalu menemaniku setiap hari. Tak ada tangisan selama ini. Tapi, itu semua perlahan menghilang dan berubah. Entah kenapa, ayah terlihat bahagia bahkan senyumannya selalu terpancar setiap hari. Aku belum mengerti, sesuatu apa yang membuat ayah bahagia. Tapi aku tahu ayah bahagia bukan karena ibu. Sangat sering aku melihat ayah membawa wanita ke rumah, bahkan saat ada ibu di rumah. Tapi aku belum mengerti, ibu selalu menyuruhku untuk tidur. Hingga pada suatu hari, terdengar suara orang yang sedang bertengkar. Aku mendengarnya dari kamar, suara itu sangat keras. Suara tangisan pun aku mendengarnya. Aku takut, tapi aku ingin melihatnya. Aku mencoba mengintip dari dalam kamar. Dan saat aku lihat, ada seorang pria yang 99
menaikkan tangannya sembari menunjuk kepada seorang perempuan dengan jari telunjuknya. Pria itu membentak dan memarahi perempuan yang ada di depannya, lalu tak lama pria itu mengganti jari telunjuknya dengan semua jarinya dan mengarahkannya tangannya ke arah wanita yang ada di depannya, dia menamparnya. Pria itu menampar wanitanya dengan sangat keras. Hingga wanita itu pun menangis sembari memegang pipi yang tadi ditampar oleh pria itu. Lalu, wanita itu membalas dengan membentak pria di depannya dengan air mata yang membasahi. Aku melihatnya dengan sangat jelas. Dan aku sadar bahwa wanita dan pria itu bukanlah orang asing bagiku, itu adalah ayah dan ibu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi saat itu. Tak sadar air mataku jatuh, aku marah dan takut. Aku menghentikan ini semua, tapi aku takut. Bahkan aku pun tidak mengerti apa yang mereka katakan, aku tak mengerti saat mereka mengatakan, “ kita cerai”. Entah apa yang harus aku lakukan saat itu, bingung, sedih, marah, dan takut. Itulah yang hanya aku rasakan pada saat itu. Dan pada saat itu juga, mereka melihatku dan mereka terlihat kaget. Ibu langsung menghampiriku dan menyuruhku untuk masuk ke kamar dan memasukkan baju 100
Ketulusan Hati Oleh: Aulia Raisya
Ketika aku tau bahwa kebahagiaan bersifat sementara, ketika keramaian berubah menjadi kesunyian dan ketika semua orang pergi meninggalkan tanpa alasan. Tapi, yang aku tau kehadiranmu selalu ada untukku, kasih sayang yang tak pernah usai, hingga pengorbanan yang tak pernah terbalaskan. Meskipun aku tahu, bahwa aku sering membuat goresan luka di hatimu namun engkau tetap memelukku. *** Tak seperti sinar matahari yang hanya sementara menghangatkan bumi, lalu menghilangkan diri ketika jingga mulai tiba. Kasih sayangmu yang tak pernah menghilang meski pun sering kali aku melukiskan kesedihan di hatimu. Apa aku masih bisa disebut dengan julukan peri kecilmu? Namun, setahuku peri tak pernah melukai hati. Dalam lamunan aku terdiam, mengingat kesalahanku tadi malam. Seharusnya aku tak melukai hati malaikatku, membuat kristal di matanya, dan membiarkannya terluka karena ucapanku. Aku menyadari memang seharusnya aku tak usah ikut ke pesta akhir tahun ini. Dari awal Mama sudah bilang bahwa 111
aku bakal menyesal. Aku melihat keramaian, orang yang ngakunya sahabatku malah asyik dengan panggangannya sendiri, tertawa dan bercanda bersama tanpa mempedulikan bahwa aku juga ingin ikut dalam keceriaan itu. Karena ulah cerobohku, Lyla yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri malah pergi meninggalkanku. Berulang kali aku meminta maaf kepadanya, namun dia malah memandangku sinis. Memang, noda di bajunya akan susah untuk hilang. Aku merasa tersisih dan ingin acara ini segera usai. Namun, jam tanganku masih menunjukan pukul 11 malam. Aku melirik Lyla yang sedang asyik mengoleskan mentega di atas jagung. Ketika aku berniat untuk menghampirinya, dia malah pergi ketika melihat keberadaanku. Ketika aku menyadari bahwa keberadaanku tidak dibutuhkan lagi, dalam hati aku menangis dan di sinilah aku sekarang duduk sendirian
tanpa
ada
seseorang
yang
menghiburku.
Seharusnya aku mendengar ucapan Mama, dan seharusnya aku bisa merasakan kebahagiaan di akhir tahun. Baru saja aku memasukan ponsel ke dalam tas, eh Mama menelepon. "Gimana?" Tadinya aku mau bilang kalau aku bahagia di sini, tapi untuk ketawa aja rasanya susah. "Aku mau pulang." 112
Perempuan Merah Oleh: Ahmad Fauzi Tubuhnya masih saja terasa berat ketika harus terbangun dari tidurnya. Wajahnya masih penuh dengan riasan make up. Bibirnya masih merah merona dengan lipstick kesayangannya. Belum sempat ganti baju dan belum lepas wangi dari tubuhnya. Mirna bergegas ke depan cermin, ia pandangi tubuhnya sendiri. Bukan kemolekan wajahnya yang ia dapati. Hanya ada sebersit wajah gadis kesayangan yang ia miliki saat ini. Napasnya tiba-tiba begitu berat, teringat sebuah beban yang dititipkan pada perempuan yang kini sedang tumbuh dewasa. Ingatannya di masa lalu timbul kembali. Rasa sakit memang salalu membekas di hati Mirna. Namun, dirinya tak pernah menyesali dan bahkan mengutuki masa-masa kelam tersebut. Air mata tiba-tiba menetes dari kelopak matanya. Melunturkan bedak di wajahnya. Mirna segera bangkit, ia mengatakan pada dirinya sendiri tak boleh lagi ada air mata yang turun untuk sebuah masa lalu yang tak akan pernah datang lagi.
119
Rasa rindu terhadap lelaki yang selalu ia cintai memang kerap kali membasahi kalbu. Meskipun setelah berpisah pria tersebut kerap kali hadir menemui, itu tak terasa cukup. Ia ingin keluarga kecilnya utuh. Ada seorang bapak yang tiap hadir menjadi teman dalam kehidupan si buah hati. Dalam lamunannya, suara pintu tiba-tiba di ketuk dari luar, perempuan tua memanggil namanya lirih “Mir, bangun sudah jam 5 pagi”. Mirna hanya menjawab pelan, tak langsung bangun membuka pintu kamarnya “Iya, Mak”. Kemudian terdengarlah suara batuk yang khas bagi orang yang sudah termakan usia. Jejak kehidupan nenek itu membuat Mirna menjadi perempuan tangguh yang sanggup menghadapi badai yang tak pernah ia undang. * Jam setengah enam pagi, setelah merapikan mukena dan sajadahnya Mirna menuju dapur untuk segera menyiapkan sarapan untuk anak satu-satunya. Ia abaikan rasa lelah dan juga rasa kantuk yang terasa begitu berat di kepalanya demi mempersembahkan yang terbaik untuk putrinya di setiap paginya. “Wik bangun” teriaknya sambil mengetuk pintu kamar anaknya tersebut. Sedangkan ibunya masih duduk di atas sajadah di ruangan kecil yang disediakan untuk solat apabila ada tamu yang datang. 120