PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN OLEH PENJAGA SEKOLAH PADA PROSES PENYIDIKAN (Studi pada polres Kota Metro)
(Jurnal Skripsi)
Oleh YUNICHA NITA HASYIM NPM. 1342011177
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN OLEH PENJAGA SEKOLAH PADA PROSES PENYIDIKAN (Studi pada polres Kota Metro) Oleh Yunicha Nita Hasyim.Nikmah Rosidah,Gunawan Jatmiko. (Email:
[email protected]) Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan diperbarui lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Dampak tindak pidana pencabulan ini dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis sehingga berpengaruh pada perkembangan diri korban. Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan bahwa : Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak korban tindak pidana pencabulan meliputi : a) Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun diluar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa yang dialaminya b) Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar c) Upaya memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental dari ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan efisien d) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan perkaranya.Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana pencabulan yaitu faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas , faktor masyarakat, faktor budaya dan faktor tersebut menjadi penghambat dalam penegakkan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana pencabulan. Kata Kunci: Kata kunci : Perlindungan Hukum , Pencabulan, Anak
ABSTRACT THE LEGAL PROTECTION TOWARD THE CHILD WHO BECOMES THE VICTIM OF SEXUAL ABUSE COMMITTED BY THE SCHOOL GUARD DURING THE INVESTIGATION PROCESS (Police studies in metro city) By Yunicha Nita Hasyim.Nikmah Rosidah,Gunawan Jatmiko. (Email:
[email protected]) The legal protection toward the child who has become the victim of child abuse is regulated in Law Number 23 of 2002 jo Law Number 35 of 2014 and is renewed again into the Government Regulation in Lieu of legislation (Perppu) Number 1 of 2016 about the Child Protection. The effect of sexual abuse could cause a physical and psychological trauma so that it will affect on the self development of the victim. The result of the discussion shows that: the legal protection given to the child who becomes the victim of sexual abuse includes: a) The rehabilitation effortsconducted in certain institution or external institution, those efforts are conducted to restore the mental condition, physical condition and others after he/she experiences a deep trauma caused by an incident that she/he experienced b) The protection efforts on the victim identity from public, this effort is highly initiated in order for the identity of the child who has become the victim or the victim’s family is unknown by others which is aimed to protect the image of the victim and victim’sfamily are not defamed c) The effort to give a life savety toward the witnesses of the victim and the expert witness, both for physical, and mental from the threat of certain individuals, this matter is highly conducted so that the proceeding of the case flows efficiently d) The grant of accessibility for obtaining the informationabout the proceeding’s development, this matter is highly conducted by the victims party and victim’s family has confirmed the development of the case proceedings. The constraint factors in the effort of legal protection for the child who becomes the victim of the sexual abuse is the factor of law enforcement, factor of medium and facility,factor of social, factor of culture and those factors has become the constraints in the law enforcement to grant a legal protection for the child who becomes the victim of sexual abuse. Key
Words:Kata
kunci
:
Legal
Protection,
Sexual
Abuse,
Child
I. PENDAHULUAN Tindak Pidana pencabulan terhadap anak sebagai korbannya merupakan salah satu masalah sosial yang meresahkan masyarakat sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi. Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum mem iliki tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas polisi sebagai aparat penegak hukum sangat diperlukan dalam menanggulangi tindak pidana,sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas: 1. Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 2. Menegakkan Hukum 3. Memberikan Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo. UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak juga menegaskan Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Selain itu juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat: 1. Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan Perundang-undangan yang lain, agar dapat menjamin pelaksanaanya secara konprehensif dan tepat dalam penanganannya harus dilakukan oleh Negara, pemerintah, masyarakat keluarga dan orangtua anak. 2. Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah maka perlu ditunjukkan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak. Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus di upayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama
dengan perlindungan terhadap orangorang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dan berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai wahana kejahatannya, agar anak sebagai generasi penerus bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras dimasa yang akan datang. Upaya memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Saksi dan Korban, yang mengatur bahwa setiap warga negara, baik fisik maupun psikis. Jaminan perlindungan terhadap warga negara yang diberikan oleh negara khususnya dalam bidang hukum diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Kedudukan saksi dan korban dalam tindak pidana berkaitan dengan peranan serta hak dan kewajiban saksi dan korban dalam terjadinya tindak pidana. Namun sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi dasar diperhatikannya kedudukan saksi dan/atau korban dalam tindak pidana sebagai berikut :
a. Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan setiap warganya melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan sendiri. b. Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak saksi dan korban c. Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin dalam peraturan hukum dan koloni. d. Adanya kekurangan dalam usaha saksi dan/atau korban baik karena kurangnya penyuluhan maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindak pidana dengan sengaja oleh masyarakat. e. Adanya peningkatan tindak pidana internasional yang juga menimbulkan saksi dan/atau korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. f. Adanya pencerminan dan pencurahan perhatian yang mencegah terjadinya saksi dan korban dalam Undang-Undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana. g. Kurangnya perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam perkara pidana, hal itu antara lain dirasakan dalam proses peradilan penyelesaian
masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat saksi dan korban yang sedikit banyak bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tindak pidana bersama-sama tidak berhadapan secara langsung atau sama lain. Melainkan saksi dan korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi kepentingan umum/penguasa. Saksi dan/atau korban tidak mempunyai arti lagi karena diabstrakan. Hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai saksi jika diperlukan dan sebagai alat bukti. h. Masih berlakunya pandangan, bahwa saksi dan/atau korban ingin mendapatkan atau menuntut penggantian kerugian ialah harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama bagi saksi korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan hidupnya dengan segera, ketentuan ini adalah sangat merugikan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.1 Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terjadi 6006 kasus kekerasan anak termasuk kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap anak di Indonesia, Pada tahun 2014 sebanyak 5066 kasus, dan tahun 2013 sebanyak 4620 kasus, dimana data kasus tersebut dari kurun waktu tahun 2013 sampai tahun 2015 dan 2016 kian 1
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1933. hlm. 12-13.
naik serta menunjukan bahwa tindak pidana pencabulan telah menjadi permas ala han yang harus ditanggulangi segera oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk kepolisian sebagai tempat pertama kali dimana masyarakat membuat laporan, penanganan kasus, ser tapenyidikan perkara tindak pidana peme rkosaan/pencabulan terhadap anak.2 Berita terbaru belakangan ini di Kota Metro, kasus pencabulan yang menimpa korban dibawah umur yaitu siswi tk yang dicabuli oleh penjaga sekolahnya sendiri menjadi perbincangan publik. Minimnya media elektronik banyak pemberitaan mengenai kesusilaan yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan yang bukan istrinya beretubuh dengan dia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu dan bermain bagi anak malah menjadi tempat perbuatan cabul. Murid menjadi korban ketidakmampuan seorang penjaga sekolah mengendalikan nafsunya, mengingat dampak dari perbuatan cabul itu dapat mengganggu proses kehidupan murid sehari-hari, dan dapat merugikan penjaga sekolah itu sendiri, sebab perbuatan cabul itu memenuhi unsur pidana maka mereka bisa dituntut dan 2
Http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelakukekerasan-terhadap-anak-tiap-tahunmeningkat.html http://tabloidnova.com/news/peristiwa/faktamengerikan-tentang-kekerasan-seksual-padaanak diIndonesia, http://kawankumagz.com/Feature/News/datakasus-pelecehan-seksualdiindonesiahingga-2013 , diakses pada tanggal 20 September 2016.
diadili secara hukum. Persoalan pidana ini sangat kompleks dan mengandung akna yang sangat mendalam, baik yuridis maupun sosiologis. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan oleh Penjaga Sekolah pada Proses Penyidikan (Studi pada Polres Kota Metro)” Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan oleh penjaga sekolah di Metro? b. Apakah faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan di Metro? II. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
A.Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan oleh Penjaga Sekolah pada Proses Penyidikan Perlindungan Hukum terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan hukum diberikan kepada anak biasa yang bersekolah dan sebagainya, suatu perlindungan hukum yang diberikan oleh negara/pemerintah , aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus mengenai anak dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang menyoroti tindak pidana yang dilakukan terhadap anak. Masalah anak memang bukan suatu masalah kecil yang dengan hanya membalikkan telapak tangan saja, akan tetapi anak ialah sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Usaha perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban pencabulaan telah diupayakan sedemikian rupa, mulai dari pendampingan kepada korban sampai pada pembinaan mental korban akibat peristiwa pencabulan yang dialaminya. Helni Yani 3 menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap anak adalah suatu upaya perlindungan hukum yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta aturan-aturan lain yang memberikan protection kepada anak sebagai korban tindak pidana pencabulan. Perlindungan hukum kepada anak yang dimana anak tersebut merupakan murid TK yang menjadi korban tindak pidana pencabulan oleh penjaga sekolahnya tersebut terdapat dalam Pasal 64 Ayat (1) dan (3) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 jo
3
Hasil wawancara dengan IPDA Helni, Kanit PPA Polres Kota Metro dilakukan pada hari Jum’at , 4 November 2016 pukul 10.30 wib
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu : (1)Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (3)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun luar lembaga b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara
yang semestinya mengawasi anak di TK tersebut. Helni menyatakan , faktor anak menjadi sasaran penjaga sekolahnya sendiri ialah : 1. Anak tersebut terlalu dekat dengan orang sekitar 2. Kurangnya pengawasan dari berbagai pihak 3. Penampilan fisik sang anak yang menarik perhatian 4. Anak yang pasif (cenderung sulit menolak bila berhadapan dengan situasi tidak nyaman baginya) Soerjono Soekanto 4 berpendapat bahwa faktor-faktor penghambat penegakan hukum, yaitu : 1. Faktor Hukumnya Sendiri Pada faktor hukumnya, maksudnya dalam kaitannya mengenai UndangUndang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat harus menaati peraturan tersebut. Dalam setiap peraturan perundangundangan memiliki kelemahankelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya perundang-undangan dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan tindak pidana. Dapat menjadi penyebab, dikarenakan : Tidak diikutinya asas-asas berlakunya suatu Undang-Undang, belum adanya peraturan yang mengatur pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-
B. Faktor-Faktor Penghambat dalam Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan oleh Penjaga Sekolah Anak murid yang bersekolah TK merupakan suatu proses kehidupan yang sudah menjadi budaya di dalam kehidupan. Karena perlunya pendidikan anak dari usia dini hingga ke jenjang selanjutnya, kita tahu jika dirumah anak dalam pengawasan orangtua , dan jika disekolah anak dalam pengawasan guru. Tidak seharusnya anak yang menuntut ilmu disekolah tetapi menjadi korban tindak pidana pencabulan oleh penjaga sekolahnya sendiri, penjaga sekolah
4
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Cetakan Kelima, Jakarta, 2004, hlm. 42.
Undang serta ketidakjelasan arti kata-kata didalam Undang-Undang yang mengakibatkan kesalahpahaman di dalam penafsiran serta penerapan Undang-Undang tersebut. Dari gangguan diatas, membuktikan bahwa UndangUndang terutama KUHP Pasal 285 mengenai pencabulan yang kurang efisien dalam memberikan arti kata sehingga menimbulkan suatu keraguan terutama pada kasus pencabulan terhadap anak apakah dapat disesuaikan dengan Pasal tersebut dikarenakan tidak ada pendefinisian secara signifikan mengenai wanita dalam kategori dewasa atau anak-anak. 2. Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat, dan diaktualisasikan.
3. Faktor sarana dan fasilitas Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya. 4. Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat .Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nila-inlai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturanperaturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum. Mengenai faktor penegak hukum, penulis juga beranggapan bahwa faktor ini adalah faktor yang selalu menjadi penghambat dalam pemberian perlindungan hukum , dikarenakan sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum khususnya polisi tidak memiliki pengetahuan hukum. Kita masih menemukan polisi hanya lulusan SMA/Sederajat yang dalam sekolahnya tidak diajarkan mengenai hukum.
Sehingga mereka yang menjadi penegak hukum tidak mengetahui perlindungan yang seharusnya diberikan kepada anak korban tindak pidana pencabulan. Selanjutnya juga didalam hukum dikenal dengan asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Pada proses penyidikan polisi dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai bekal dalam bertindak terutama dalam melakukan penangkapan. Tetapi membicarakan asas praduga tak bersalah ini haruslah berhati-hati karena bisa saja keliru memahami, khususnya membicarakan asas praduga tak bersalah. Oleh karena itu, sikap dan keteladanan Kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh kepada ketaatan mereka. Selain itu, Pengadilan Negeri (PN) Kota Metro memutuskan Mirwanto alias Amir, terdakwa pencabulan NA siswi TK Pertiwi Metro, tidak terbukti bersalah dan bebas dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) , pada sidang yang digelar di PN Kota Metro, Kamis(27/10/2016).5 III. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
5
Surat Pemberitahuan PenyerahanPetikan Putusan Kepada Penyidik Nomor 91/Pid.Sus/2016/PN Met. (Diperlihatkan oleh IPDA Helni saat penulis melakukan wawancara ke Polsek Metro)
1. Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak sebagai korban tindak pidana pencabulan oleh penjaga sekolah meliputi : Upaya rehabilitasi, diberikan kepada anak sebagai korban tindak pidana pencabulan dengan memberikan suatu upaya rehabilitasi psikologis anak tersebut agar anak tersebut dapat kembali seperti sediakala di masyarakat; Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi yang nantinya akan berdampak pada masa depan si anak tersebut; Pemberian jaminan keselamatan bagi anak sebagai murid TK korban pencabulan oleh penjaga sekolahnya, baik fisik , mental, maupun sosial. Serta pihak polres khususnya PPA merangkul setiap anak korban pencabulan. 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat pemberian perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan sebagai berikut : Penegak hukum kesulitan menggali dan mencari saksi karena pelaku tidak mengakui kesalahan yang diperbuat, kita tahun jika dirumah anak dalam pengawasan orangtua, dan jika disekolah anak dalam pengawasan guru. Tidak seharusnya anak yang menuntut ilmu disekolah tetapi menjadi korban tindak pidana pencabulan oleh penjaga sekolahnya sendiri, penjaga sekolah yang semestinya mengawasi anak di TK tersebut. Berikan sarana dan fasilitas yang memadai agar pengawasan dari pihak sekolah dan orangtua masing-masing berjalan dengan efektif.
B. Saran 1. Perlindungan hukum terhadap anak seharusnya diberikan secara tepat dan cepat agar anak tersebut merasa bahwa hak-hak dia sebagai anak masih dilindungi, terutama oleh aparat penegak hukum. Sikap tanggap terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan terhadap anak sebagai murid TK harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum bahkan oleh kalangan masyarakat lingkungan sekitar, sehingga peluang untuk penjaga sekolah melakukan tindak pidana pencabulan akan berkurang bahkan tidak ada lagi. 2. Hendaknya di tingkatkan setiap sarana dan fasilitas yang mendukung untuk pemberian perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan. Agar aparat penegak hukum sendiri dalam pelaksanaann ya tidak akan menemui kendala. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Soerjono Soekanto, 2004, FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Cetakan Kelima. Arif Gosita, 1933, Masalah Korban Kejahatan, , Jakarta, CV. Akademika Pressindo. B. Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak C. Internet Http://www.kpai.go.id/berita/kpaipelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiaptahun-meningkat.html http://tabloidnova.com/news/peristiwa/fa kta-mengerikan-tentang-kekerasanseksual-pada-anak diIndonesia, http://kawankumagz.com/Feature/News/ data-kasus-pelecehanseksualdiindonesiahingga-2013 , diakses pada tanggal 20 September 2016