Bab Lima
Paguyuban Arso Tunggal (Kelembagaan, Kegiatan, dan Aktor Sentral)
Kelembagaan Paguyuban Arso Tunggal adalah komunitas yang terdiri dari orang-orang beragam profesi. Arso Tunggal bukan perkumpulan kebatinan (seperti yang lazim ada dalam kajian-kajian tentang kejawèn), melainkan perkumpulan sosial-budaya yang menitikberatkan pada tiga kegiatan pokok, yaitu pengobatan, pertanian, dan budaya. Pada awalnya nama paguyuban ini adalah Paguyuban Hati Kudus, yang dibentuk pada hari Jumat Kliwon, 25 Oktober 1985, hanya bergerak dalam konsultasi kesehatan. Penanganan masalah kesehatan dilakukan dengan berbagai ramuan Jawa dan pijat refleksi dengan menggunakan tangan. Pelayanan dilakukan hampir setiap sore hari sampai menjelang dinihari berikutnya, di kompleks perumahan Plamongan Hijau Semarang. Sejak Februari 1986, cara pengobatan dikembangkan dengan model pijatan menggunakan tongkat kayu pada kaki dan tangan pasien, serta ramuan dalam lembaran daun, yang harus dicari dan diramu secara mandiri. Mulai bulan Juli, dikembangkan pengobatan dengan metode jamu godog.
129
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pada pertengahan Mei 1987 pelayanan jamu, yang semula di Jalan Mataram dipindah ke Jalan Medoho Raya, Semarang. Model jamu yang diberikan menjadi lebih praktis, dalam bentuk ramuan simplisia.1 Tahun 1988, karena perlunya kelembagaan untuk pengembangan peran dan fungsi pengabdian, dibentuklah Yayasan Arso Tunggal sebagai wadah pelayanan, pengembangan jamu, budaya dan kearifan lokal Jawa secara konkret. Pembentukan Yayasan Arso Tunggal didasarkan pada akte notaris Robertus Widiyarso Kurniadi, 2 Desember 1988, dengan nomor register 442/1988/II. Tahun l990, Arso Tunggal melakukan penulisan dan penyusunan peramuan kembali berbagai jamu paten, dalam arti paket jadi, yang dibutuhkan untuk pelayanan luar kota dan luar pulau, yang tidak dapat menggunakan sistem resep. Penulisan, peramuan, dan percobaan pada klien dimulai pada awal Mei dan selesai menjelang akhir tahun, masih dalam bentuk jamu sedu. Tahun 1992, jamu sedu diganti dengan bentuk kapsul, menggunakan proses pengeringan dan penggilingan disertai pengayakan, yang harus dilakukan dengan lebih cermat. Dengan cara ini, kemungkinan masuknya serat tanaman obat ditekan sekecil mungkin. Tahun 1994, Arso Tunggal mengembangkan budidaya organik dengan menggunakan pupuk substitusi sistemik daun serta pengembangan pestisida organik yang ramah lingkungan. 1 Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat yang belum mengalami pengolahan apapun, berupa bahan yang telah dikeringkan.. Untuk keperluan ini dilakukan penggilingan semua bahan baku, yang disimpan dalam bentuk bubuk. Bahan baku dikeringkan dan digiling kasar menjadi bahan siap ramu. Setelah diramu berdasarkan resep dan dipanaskan dalam oven, selanjutnya digiling dan diberikan dalam bentuk jamu sedu.
130
Paguyuban Arso Tunggal
Januari – Oktober 1995, paguyuban ini mengembangkan mikroba tanah. Mikroba tanah itu mampu menyuburkan kembali tanah yang jenuh dan menurun produktivitasnya karena pupuk anorganik dan berbagai pestisida. Produk yang dikembangkan antara lain mikroba tanah Nopkor, yang digunakan untuk tanah dan pembuatan kompos; Mofu dan Nopco untuk pembuatan pakan ternak dan pengobatan pada penyakit hewan dan ternak secara organik. Tahun 1996 dan 1997, Arso Tunggal mengembangkan budidaya model terpadu antara pertanian dan peternakan secara organik rasional di kawasan Timor Timur (sekarang Timor Leste) dengan Pusat Latihan Wiraswasta Pertanian (Puslawita) yang berpusat di Dare. Menggunakan bahan-bahan, antara lain Nopkor dan Nopco, dikembangkan budidaya peternakan sapi perah, pembuatan keju, serta mikroba pengolah kopi. Bahan Lypotril dan Phomadelab digunakan sebagai pupuk sistemik daun untuk memacu pertumbuhan bunga dan buah kopi di kawasan ini, dalam kerangka peningkatan produktivitas. Januari 1997, Arso Tunggal melakukan pembinaan pertanian organik rasional di kawasan lereng Merapi dengan nama Paguyuban Argo Sebo berpusat di Pakem, Sleman, Yogyakarta. Tahun 2000, bekerja sama dengan Do School Sorong Papua, Arso Tunggal melakukan penyuluhan dan pembuatan pakan ternak, menggunakan Nopkor dan Nopco, dengan proses fermentasi dari hasil limbah pertanian yang ada, untuk peningkatan daya cerna terhadap pakan. Tahun 2001, Arso Tungggal melakukan pembinaan dan penyuluhan pembuatan model tambak terpadu pada Proyek Garam Nasional Terpadu, Departemen Perindustrian dan Bank Dunia, di Pantura Jawa, Madura, Jeneponto Sulawesi Selatan,
131
Jawa Menyiasati Globalisasi
dan Bima Nusa Tenggara Barat (NTB). Model terpadu tersebut dilakukan dengan menerapkan sistem tumpangsari menggunakan udang dan bandeng, terutama menjelang musim kemarau dan penghujan, menggunakan Nopkor PSO untuk pengelolaan air tambak. Mei 2002, paguyuban ini mengembangkan proses pembuatan jamu dan minuman kesehatan secara biotik, yang dikembangkan dari simplisia jamu paten 1990. Pengembangan proses pengolahan menggunakan berbagai substrat, nutrisi, dan faktor pengatur tumbuh mikro organisme, serta berbagai keanekaragaman hayati laut, dan susu sapi segar. Penggunaan berbagai mikroba, dalam bentuk kultur campuran. Pengembangan pengobatan dan obat tradisional aliran Timur ini, terutama untuk penanganan kanker dan virus, secara proses in vitro2 melewati bio reaktor sederhana, untuk peningkatan daya serap, fungsi komprehensif, dan penghilangan efek samping, dengan memanfaatkan peran dari mikroba alami sebagai bio filter alamiah. Oktober 2002, Arso Tunggal menggunakan pendekatan analisis laboratorium klinis bagi penderita, dikaitkan dengan pengembangan “obat jamu simplisia biotik” secara simultan, dengan kemampuan rehabilitasi terkait dengan dosis dan frekuensi penggunaan. Pencatatan dalam bentuk medical record dilakukan untuk pengembangan ilmu pengobatan Timur yang terukur, untuk pengembangan ilmu kesehatan di masa mendatang. Penanganan data laboratorium klinis ini bekerja sama
2 In vitro (dari bahasa Latin, berarti "di dalam kaca") adalah istilah yang dipakai dalam biologi untuk menyebutkan kultur suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam laboratorium. Istilah ini dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-alat laboratorium yang terbuat dari kaca.
132
Paguyuban Arso Tunggal
dengan Laboratorium Klinis Cito Pusat, Jalan Indraprasta, Semarang. Mei 2005, pemindahan pusat kegiatan dari Jalan Medoho Raya ke gedung sekretariat dan pelayanan di Bulusan Selatan Raya Nomor 111 Tembalang, Semarang. Di tempat yang baru ini, dikembangkan pengamatan budaya dan olah meditasi, dilakukan secara rutin pada tiap hari Rabu, pengumpulan data dan penyimpanan data dengan lebih baik, terutama terkait dengan pengembangan “obat jamu biotik dan model terapi meditasi.” Tanggal 12 Februari 2011, Arso Tunggal melakukan reorganisasi, dengan memperbarui akte pendirian di depan notaris Elly Ninaningsih, SH di Semarang. Selain mereorganisasi Dewan Pembina dan Dewan Pengurus, dilakukan pula penyesuaian asas dan tujuan lembaga dengan kemajuan dan tuntutan zaman.
Tujuan Arso Tunggal 1. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat luas, dalam menggunakan jamu dan ramuan tradisional berdasarkan kearifan lokal, untuk mengatasi masalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan kanker. Bidang yang melakukan kegiatan terhadap masalah penyakit itu disebut Pusat Pengamatan Virus dan Kanker atau Research Center for Virus and Cancer (RCVC); 2. Membantu negara dan pemerintah dalam pengembangan, pengelolaan, dan pengamatan jamu dan ramuan tradisional berdasarkan kearifan lokal, yang disesuaikan dengan tantangan zaman dan peradaban, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia; 133
Jawa Menyiasati Globalisasi
3. Menambah pengetahuan, manfaat, pengolahan jamu dan ramuan tradisional, untuk menjaga kesehatan dari serangan penyakit, terutama yang disebabkan oleh virus dan kanker, serta memperkenalkan teknologi kepada masyarakat Indonesia agar bisa menikmati kesejahteraan; 4. Melakukan pengamatan intensif terhadap jamu dan ramuan tradisional sesuai dengan keanekaragaman hayati di Indonesia, yang pengolahannya diselaraskan dengan kemaju-an ilmu pengetahuan dan teknologi; 5. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat dalam ke-giatan pertanian, yang secara tidak langsung berkaitan dengan penyediaan jamu dan ramuan tradisional untuk menjaga kesehatan masyarakat serta kelestarian lingkungan. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan adalah pengamatan, pengembangan, dan penyuluhan di bidang pertanian, supaya mendapatkan pangan, pakan, dan lingkungan yang sehat dan lestari. Wujud kegiatan pertanian tersebut antara lain memberikan penyuluhan dalam hal pertanian organik, perkebunan organik, pelestarian hutan dan ekosistem, peternakan organik, perikanan organik. Kegiatan itu dilakukan oleh Pusat Pengamatan terhadap Sistem Teknologi Pertanian atau Center for Agro-Technology Systems (CATS); 6. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat Indonesia, dalam pengamatan, pengembangan serta penyuluhan, untuk mendapatkan bibit lokal, sebagai bentuk konservasi keane-karagaman hayati menuju kemandirian budidaya dalam bidang pertanian yang alami dan lestari; 7. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat Indonesia, dalam pengamatan, pengembangan serta 134
Paguyuban Arso Tunggal
penyuluhan budi-daya pertanian secara organik, demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya; 8. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat dalam melakukan pengamatan, pengembangan dan penyuluhan untuk menyediakan pangan yang sehat, aman, organik, serta memberikan penyuluhan untuk pengelolaan produk pascapanen sebelum diluncurkan di pasar lokal dan global; 9. Membantu negara, pemerintah, dan masyarakat dalam kegiatan yang berkaitan dengan masalah budaya dan kearifan lokal yang disesuaikan dengan kemajuan peradaban.
Usaha-usaha Arso Tunggal Untuk mencapai tujuan tersebut, Arso Tunggal menjalankan usaha-usaha sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan agar masyarakat kembali ke alam untuk menjaga kesehatan secara holistik, dengan memanfaatkan bahan alami yang berupa jamu dan ramuan bio herbal organik, serta bahan pangan organik, yang dilengkapi dengan informasi, sistem budidaya, dan penggunaannya; 2. Menggalakkan penggunaan jamu dan ramuan bio herbal organik yang lebih alami dan memberikan informasi klinis yang berkaitan dengan masalah kesehatan, sesuai dengan dukungan dari sumber pangan organik; 3. Mengadakan usaha-usaha yang bersifat sosial, edukasional, dan informatif bagi masyarakat.
135
Jawa Menyiasati Globalisasi
Kegiatan-kegiatan Bidang Pengobatan Pengembangan bidang pengobatan berbasis kearifan lokal Jawa dilakukan oleh Arso Tunggal didasarkan pada dasar-dasar pemikiran sebagai berikut: 1. Ketidakpastian dan kecilnya harapan dengan penanganan pengobatan modern, aliran pengobatan medis model Barat yang tanpa kemajuan; 2. Ketakutan terhadap risiko pengobatan Barat, yang sangat rasional tanpa kearifan lokal, dibandingkan dengan model aliran Timur dengan menggunakan kearifan lokal yang sudah teruji; 3. Kegamangan para penderita penyakit karena ketidakmampuan untuk melanjutkan pengobatan karena faktor biaya; 4. Keterbatasan pengobatan Barat dan keterbatasan pengobat-an Timur yang sangat tradisional. Oleh karena itu Yayasan Arso Tunggal memadukan kedua model pengobatan tersebut, demi kesejahteraan umat manusia; 5. Sistem Informasi: (a) Penyebaran informasi dilakukan dari mulut ke mulut (world of mouth), terkait dengan berbagai keterbatasan, berhubungan dengan tenaga sukarela pen-damping dan penerapi, serta pendanaan; (b) Penyebaran informasi untuk mendorong pengobatan berkonsep Timur menjadi bagian holistik secara global, untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia di dunia; (c) Penyebaran informasi yang mendorong konsep pengembangan pengobatan kem-
136
Paguyuban Arso Tunggal
bali ke alam sebagai jalan keluar dari kebuntuan pengobatan yang ditimbulkan dari virus dan kanker; 6. Klien: Pasien Arso Tunggal terdiri dari: (a) Warga negara Indonesia yang pernah dan masih berobat di luar negeri, antara lain dari Singapura, Malaysia, Jerman, dan Cina; (b) Pasien-pasien dari rumah sakit besar dalam negeri; (c) Pasien yang datang atas inisiatif sendiri; 7. Sasaran Kinerja: (a) Bidang kesehatan kembali ke alam: Dengan konsep holistik kembali ke alam berdasarkan kearifan lokal, menuju dan menjawab tantangan global dalam bidang rehabilitasi dan penanganan penyakit karena virus dan kanker, secara mandiri dan murah; (b) Pengembangan obat simplisia dari jamu secara biotik: (i) konservasi sumber daya alam yang terkait dengan keberadaan tanaman obat tradisional; (ii) memperhatikan pola dan model budidaya tanaman obat secara organik dan alami; (iii) proses pembibitan dan pengelolaan bibit untuk tanaman intensifikasi organik; (c) Pengolahan pascapanen: (i) pengolahan bahan baku panen siap simpan yang baik secara konvensional; (ii) proses penyimpanan bahan baku; (iii) proses pendahuluan bahan baku siap proses; (d) Penyiapan bahan simplisia ramuan jamu herbal: (i) penyiapan fungsi dan peran simplisia jamu; (ii) perencanaan jenis kultur campuran mikroba yang sesuai dengan peruntukan agar mudah terserap dalam usus, serta berbagai vitamin dan asam amino esensial yang diperlukan; (iii) perencanaan
137
Jawa Menyiasati Globalisasi
penambahan senyawa biomineral dan logam, yang diperlukan dalam sistem metabolistik tubuh terkait dengan nutrisi mikroba yang digunakan; (e) Pengolahan secara biotik: (i) seleksi jenis kultur cam-puran mikroba, yang akan digunakan dalam proses, terkait dengan substrat; (ii) pembuatan biakan dari cam-puran mikroba yang sesuai dengan atmosfer setempat; (iii) pembuatan starter yang digunakan, sesuai dengan peruntukan dan tipe fermentasi, dalam fase cair atau padat; (iv) proses pengendalian fermentasi, secara tepat guna dilakukan secara aseptis, dengan memperhatikan co-factor tumbuh dan nutrisi, yang akan digunakan terkait dengan hasil metabolit; (v) pengambilan hasil metabolit secara tepat guna, secara kualitas dan kuantitas; (f) Pengolahan dan penyimpanan produk biotik: (i) penge-ringan kering angin sambil melanjutkan proses fermentasi; (ii) pengeringan dengan model oven dan suhu sterilisasi sampai kering; (iii) pengolahan akhir dan penyimpanan; (iv) penggunaan kemasan dan gas isian dalam pengawetan bahan produk probiotik; (v) penggunaan dan pencatatan pengamatan klinis; (g) Penentuan obat olahan jamu berdasarkan klinis: (i) penggunaan panduan berdasarkan keluhan dengan data analisis laboratorium klinis; (ii) penggunaan awal uji jangka pendek jenis obat dan dosis serta nutrisi berdasarkan acuan data laboratorium klinis; (iii) perubahan jenis obat atau dosis serta nutrisi sesuai dengan kebutuhan; (iv) pengembangan dan penelitian jenis simplisia dan
138
Paguyuban Arso Tunggal
jenis obat baru, bila mengalami kegagalan, terutama terkait dengan keluhan klien; (h) Pencatatan dan pengamatan perkembangan kesehatan untuk pengembangan: (i) pengumpulan dan pembuatan rangkuman untuk kemajuan sistem terapi kesehatan; (ii) penentuan standarisasi dari simplisia dan formulasi obat olahan biotik; (iii) pembinaan sistem publikasi hasil pengamatan penanganan secara lokal dan global terkait dengan kemajuan pengetahuan tentang kesehatan; (i) Model Terapi Kejiwaan dan Model Meditasi Sederhana, terdiri dari: (i) Konsultasi: mengenai kemajuan dan keluhan serta model nutrisi, pemberian motivasi diri terkait dengan ke-mungkinan sehat seiring dengan pertumbuhan kepercayaan diri dan pertumbuhan antibodi, perlunya penjagaan diri secara preventif dengan pola pangan dan makan terkait dengan hidup yang sehat, pasca-pengobatan dan terapi; (ii) Terapi dan bimbingan berserah diri: bimbingan untuk menerima bagian dari sakit, sebagai keutuhan hidup menuju kebaikan dan sehat, bimbingan latihan pernapasan sederhana untuk konsentrasi pembentukan antibodi, secara reflektif sesuai dengan budaya dan kearifan lokal Jawa, serta latihan meditasi reflektif secara mandiri sesuai dengan keyakinan untuk kesehatan.
139
Jawa Menyiasati Globalisasi
Bidang Pertanian Pengembangan bidang pertanian dengan model budidaya organik dan alami berbasis budaya dan kearifan lokal Jawa dilakukan dengan dasar-dasar pemikiran sebagai berikut: 1. Kerusakan tanah yang sudah jenuh dengan pupuk anorganik menurunkan produktivitas lahan. Kerusakan lahan itu disebabkan peningkatan penggunaan pupuk anorganik; 2. Makin tinggi tingkat keganasan serangan hama tanaman dan penyakit karena resistensi terhadap obat yang telah digunakan; 3. Tingginya residu bahan kimia dari pestisida dan obatobatan dalam bahan pangan, yang memicu terjadinya kanker dan borosnya antioksidan dalam tubuh. Racun masuk sebagai residu, yang potensial mengganggu kesehatan dan rentan serangan penyakit, terutama disebabkan oleh virus pada manusia; 4. Kesadaran hidup sehat dan kembali ke alam, yang terkait dengan keberadaan pangan organik; 5. Tingginya biaya produksi budidaya pangan, yang harus dilakukan karena mahalnya harga pupuk, pakan ternak, dan obat-obatan; 6. Sistem Informasi: (a) Melalui penyuluhan dan pelatihan, serta pembentukan kelompok; (b) Dorongan kemandirian terkait dengan bibit dan sarana budidaya; (c) Berorientasi kebutuhan pasar yang akan menggunakan produk; (d) Kerja sama dalam bidang pasar dan konsumen organik, dengan sistem informasi yang baik; 7. Klien: Petani yang sadar dan pengguna produk organik. Kegiatan yang dilakukan bertujuan mewujudkan: (a) Kemandirian terkait dengan harga dan 140
Paguyuban Arso Tunggal
pengadaan bibit lokal serta sarana-prasarana penunjang, budidaya organik yang murah dalam konsep paguyuban sedaerah dan iklim yang sama; (b) Konservasi plasma nuftah tanaman dan ternak, per-baikan lingkungan yang rusak dan kurang produktif; (c) Kepedulian terhadap alam dan lingkungan yang seimbang akan memberikan kesejahteraan dan kelestarian; 8. Konsep Dasar Budidaya Agro: (a) Kesetaraan alam dan lingkungan yang terdiri dari keseimbangan unsur tanah, air, atmosfer bumi dan matahari sebagai sumber energi utama: (i) Kesetaraan dan keseimbangan dalam wujud, ke-beradaan bangun struktur piramidal pangan dan pakan, yang akan merupakan piramidal kehidupan sejati yang lestari; (ii) Model budidaya pangan yang berkonsep pada kearifan lokal, antara lain dalam wujud rembuk desa dan lumbung desa; (iii) Prinsip pengelolaan agro dan model ekonomi agro sebagai dasar kekuatan ekonomi kawasan, yang terkait dengan kebutuhan serta kelangkaan pangan domestik dan global yang diakibatkan kerusakan alam dan anomali iklim; (b) Kesetaraan Alam dan Lingkungan: (i) Perbaikan ekologi tanah dengan menghidupkan kembali mikroba tanah, yang beraspek kesuburan alami, dengan menggunakaan pupuk organik probiotik dan menghindari penggunaan pestisida yang potensial menghancurkan biota dan mikroba alami penyubur tanah; (ii) Perbaikan ekologi air, dengan reboisasi daerahdaerah aliran sungai, demi paru-paru dunia, serta mengurangi terjadinya bencana banjir dan kekeringan; (iii) Perbaikan atmosfer bumi terkait dengan proses asimilasi, dengan menggunakan tanaman keras, 141
Jawa Menyiasati Globalisasi
hutan, perkebunan tanaman industri dan kebun hortikultura, yang seimbang dengan keberadaan tanaman pangan semusim, dalam meng-hasilkan oksigen. Keseimbangan dalam penanaman ini akan mengurangi emisi karbon dan emisi panas, serta berlobang-nya lapisan ozon dan tingginya sinar ultra violet matahari, yang menyebabkan anomali iklim. Tingginya paparan sinar ultra violet akan menghancurkan kehidupan di atas bumi; (iv) Penyerapan dan penyimpanan energi matahari, selanjutnya akan menjadi energi organik, yang diperlukan seluruh kehidupan di atas bumi lewat proses asimilasi yang memadai; (c) Kesetaraan dan Keseimbangan Struktur Piramidal Pangan dan Pakan: (i) Konsep pengelolaan berdasarkan lumbung desa antara lain terkait dengan kemandirian dalam penga-daan bibit, konservasi bibit lokal non-transgenik, terutama tanaman pangan; (ii) Kemandirian dalam pengadaan sarana prasarana, yang selanjutnya terkait dengan pupuk organik dan pestisida alami dalam bidang pertanian serta keberadaan pakan alami, obat-obatan alami, yang bebas dari penggunaan vaksin dan antibiotika dalam bidang peternakan dan perikanan; (iii) Pengolahan limbah dari model budidaya pangan, yang digunakan dengan model daur ulang kembali ke alam dalam wujud pakan atau pupuk organik, sesuai dengan langkah strata piramidal pakan, pangan dan energi yang ada; (iv) Penggunaan model budidaya dengan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR) disesuaikan pada kebutuh-an, dengan menggunakan teknologi maju,
142
Paguyuban Arso Tunggal
dalam bentuk sarana penunjang, untuk mengatasi kerusakan dan ketimpangan lingkungan; (d) Model budidaya pangan yang berkonsep pada kearifan lokal: (i) Konsep lumbung desa dalam wujud pengelolaan bibit, sarana pertanian/peternakan dan pengelolaan ekonomi rumah tangga, yang dilakukan secara terpadu dan mandiri. Kemandirian ini akan bertentangan dengan era produktivitas dalam program pengadaan pangan massal dengan menggunakan fasilitas padat modal dan teknolog anorganik; (ii) Model budidaya yang tidak monokultur, selalu disesuaikan dengan pranata musim dan tanda musim yang ada secara alami. Model budidaya yang kembali ke alam ini akan menghasilkan bahan pangan organik, yang aman bagi pengguna dari bahan asing dalam pangan, karena bebas dari pestisida atau obat lain yang akan mengganggu kesehatan bagi para pengguna produk pangan; (iii) Konsep ketahanaan pangan yang seharusnya dimulai dari bibit dan sarana pendukung dalam budidaya dapat dilakukan secara mandiri. Model budidaya ini akan sesuai dengan lingkungan dan memberi dampak kelestarian alam; (iv) Aspek lestari adalah realitas dari strata kehidupan yang dapat menyejah-terakan kehidupan umat manusia di atas bumi; (e) Prinsip pengelolaan pertanian dan model ekonomi sebagai dasar kekuatan ekonomi kawasan: (i) Pangan adalah kebutuhan primer terkait dengan masalah dasar sosial dan ekonomi; (ii) Kerusakan ekosistem dan anomali iklim terkait dengan keberadaan dan penyediaan pangan dan pakan, serta usaha budidaya dalam kecukupan pangan dalam kearifan lokal dengan 143
Jawa Menyiasati Globalisasi
teknologi yang memadai dengan model SPOR; (iii) Potensi kawasan jamrud Katulistiwa sebagai lumbung pangan secara domestik dan global, dengan pengelolaan menyatu dengan alam sebagai salah satu unsur utama keberhasilan; (iv) Pengelolaan dan pengambilan sumber daya alam harus selalu berkesinambungan dan beraspek pada keseimbangan alam dan lingkungan sebagai usaha lestarinya budidaya penyediaan pangan; (f) Penerapan Teknologi Pascapanen dan Keuntungan Ekonomi Kawasan: Pengolahan pascapanen terdiri dari empat bagian utama, yaitu: (i) Pengolahan bahan baku siap simpan dan proses dalam musim panenan: (ii) Model dan cara panenan yang memadai sehingga dapat menekan kehilangan dalam proses pengambilan hasil panenan, dengan teknologi tepat guna yang mandiri; (iii) Proses pengeringan dan penyimpanan hasil panen, terutama dalam bentuk bijian di musim basah, dengan model teknologi pengeringan yang tepat guna dan mandiri, sehingga dapat menekan kerusakan hasil panenan; (iv) Regulasi dengan penyimpanan dalam konsep lumbung desa, dengan kemandirian dalam bibit dan penyimpanan, terkait dengan iklimisasi dari bibit lokal tanaman pangan serta menyangga harga pangan yang tidak jatuh pada musim panen; (v) Pengolahan limbah panenan yang akan menjadi bahan pakan atau sebagai bahan pupuk organik yang digunakan dalam masa tanam berikutnya. Dianjurkan untuk melewati satu siklus antara, sehingga akan mempunyai nilai eko-nomis yang cukup tinggi, kemudian sisa limbah peternakan
144
Paguyuban Arso Tunggal
akan menjadi pupuk kompos organik yang lebih berkualitas; (g) Pengolahan bahan baku menjadi bahan awetan siap olah kembali, yang sering disebut bahan setengah jadi: (i) Konsep ini banyak dilakukan terkait dengan hasil perkebunan dan tanaman industri, yang memberikan nilai tambah yang tinggi, antara lain hasil hortikultura, hasil perkebunan sawit, cokelat, kopi, bunga, industri bahan wangian, cengkeh, bawang putih, susu, daging, ikan, kedelai, wijen, jagung, ketela pohon, rumput laut, hasil laut dan perikanan darat lainnya; (ii) Industri pengolahan pangan bahan industri farmasi, teknis, sebagai bentuk hasil derivatnya, yang siap proses untuk industri lain, seperti sawit, cokelat, kopi, teh, cengkeh, pala, jambu mete, gula tebu, minyak wangi, kedelai, ketela pohon, jagung, hasil laut, daging, susu, dan lain-lain.; (iii) Industri pengolahan bahan pangan dengan proses fermentasi menjadi bahan awetan dan siap pakai berorientasi bahan baku, menjadi komoditas global dan lokal, dalam wujud industri kecil dan menengah; (iv) Pengembangan berbagai bahan olahan bahan pangan tradisional, yang dikemas dalam kaitan penyediaan pangan secara global dan domestik dengan lebih memadai. Untuk masuk kawasan global produk pangan lokal tradisional harus layak kualitas dan kuantitas, serta layak guna dan layak pasar; (h) Pengolahan bahan baku atau setengah jadi menjadi bahan siap pakai dalam kemasan: (i) Pengawetan menggu-nakan bahan pengawet alami yang perlu digali, diteliti dan diamati, demi kesejahteraan umat manusia. Bahan pengawet nonalami yang 145
Jawa Menyiasati Globalisasi
bersifat buatan dan cenderung boros antioksidan bisa menjadi pemicu bahan karsinogenik yang mengganggu kesehatan manusia; (ii) Penggunan bahan penyedap dan artifisial pengembang rasa dan warna buatan ditekan, dikembalikan ke sumber alami yang mempunyai nilai keamanan lebih terhadap kesehat-an manusia. Perlu dikembangkan makanan dalam kemasan yang awet dan aman bagi kesehatan; (i) Penggunaan kemasan pangan yang dapat didaur ulang dan aman terhadap lingkungan serta menghemat sumber daya alam. Proses pengolahan ini akan memberikan aspek sosial dan ekonomi dalam kawasan, yang berdampak pada penghematan devisa dan meningkatkan pendapatan negara: (i) Dengan menggunakan teknologi teradaptasi tepat guna, yang dapat dilakukan dan dikembangkan secara mandiri; (ii) Pengembangan wilayah dan kesem-patan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta memutus ketergantungan pada bahan olahan pangan dari luar; (iii) Pemilihan teknologi yang sederhana berdasarkan pengem-bangan kearifan lokal mampu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, kompetitif, dan ramah lingkungan; (iv) Pengaturan tata ruang yang memadai, sehingga tidak menganggu aspek lingkungan dan budidaya; (j) Aspek pengembangan dan pemasaran produk serta sistem regulasi. Aspek ini selalu terkait dengan tiga hal utama, yaitu: (i) Penelitian pasar dan kemungkinan produk masuk pada pasar bebas, baik dalam pasar lokal maupun luar kawasan secara kompetitif; (ii) Penelitian awal yang menyangkut bahan baku dan pengadaan, serta tingkat tersedianya infrastruktur 146
Paguyuban Arso Tunggal
yang dapat mendukung pemasaran dan produksi; (iii) Pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam, yang terkait dengan keberadaan industri, guna memenuhi kebutuhan pasar, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Bidang Budaya dan Kearifan Lokal Jawa Beberapa konsep kajian yang dilakukan, adalah: 1. Meditasi untuk mencari jatidiri dalam bentuk proses mendengar suara nurani: (a) Bimbingan dasar dengan mengalihkan perhatian otak kiri menuju otak kanan, dari yang bersifat rasional menjadi spiritual; (b) Pengembangan kinerja otak kanan agar mendengar suara nurani serta berusaha menyimpulkan dengan menggunakan otak kiri yang rasional dan operasional; (c) Pengontrolan kinerja otak kiri, yang merupakan kesadaran rasionalitas dengan menggunakan perasaan, yang berguna untuk pribadi dan orang lain; (d) Pengelolaan hasil meditasi dan konsentrasi berdasarkan otak kanan untuk pengembangan pribadi secara profesional; 2. Pengembangan pribadi berdasarkan suara dan dorongan nurani sebagai nilai tambah dalam kehidupan pribadi: (a) Pengembangan suara dan do-rongan nurani, dalam tindakan dan konsep nyata kehidupan serta keberanian mengambil sikap; (b) Keberanian untuk mengevaluasi dan membangun semangat baru, dengan menggunakan meditasi; (c) Pengembangan proses dialog batin dengan nurani, dalam mengatasi kesulitan dan hambatan kehidupan nyata; (d) Konsep penerapan dialog antara nurani dan akal sehat secara 147
Jawa Menyiasati Globalisasi
lebih intensif dan langsung; (e) Pengendalian diri dalam menanggapi kekuatan nurani dari proses meditasi yang mendalam secara pribadi, karena ketidakberdayaan menanggapi kehidupan nyata; 3. Penerapan meditasi untuk melihat jalan kehidupan pribadi dan orang lain, demi kebaikan dunia: (a) Keberanian untuk menerima dan menjalankan segala perkara dan kehidupan, yang terjadi dalam bentuk baik dan buruk, dalam semua uraian nurani. Keberanian untuk berserah diri dan rendah hati, yang lebih mengutamakan keberanian dalam pengor-banan pribadi; (b) Penalaran kembali dengan berdasarkan otak kanan, yang diinformasikan dan ditransformasikan, bahwa seluruh kehidupan ini adalah sebuah keseimbangan. Hidup adalah keseimbangan antara jiwa dan raga, otak kanan dan otak kiri, yang selalu berjalan secara simultan, membuat manusia berbahagia sejati. Kedewasaan dalam berkorban dan berserah diri, terkait dengan perjalanan hidup dalam penerapan amanat nurani; (c) Pengembangan diri dengan meditasi dan olah nurani akan menumbuhkan sikap pribadi, dengan nilai sosial kemasyarakatan yang sangat tinggi, serta mempunyai tingkat peduli dan empati dalam wujud karya nyata; (d) Pengembangan sikap mengerti karena tingginya kadar suara nurani akan mendorong rasa toleransi; 4. Penggunaan kekuatan meditasi untuk menolong kesehatan dan bimbingan pada orang lain, menuju kesempurnaan demi kesehatan dan kedewasaan pribadi: (a) Meditasi dan konsentrasi menggunakan otak kanan akan menghasilkan gelombang listrik otak alpha, yang akan mampu menggerakkan keberadaan sensor gelombang penderita yang mengalami defi148
Paguyuban Arso Tunggal
siensi gelombang listrik; (b) Dengan menolong, dalam arti memberi dan melayani, akan ada penambahan kekuatan dari alam yang memberikan gelombang meditasi pada orang lain. Konsep sederhananya adalah “yang memberi akan selalu akan menerima, supaya akan selalu tetap dapat memberi pada orang lain”; (c) Dengan konsep saling melayani, merupakan hasil dari dorongan proses meditasi, akan memberikan suara dan doronagn nurani kasih pada dunia dari Allah Sang Pengasih Sejati. Amanat kasih ini akan membuat berbagai perwahyuan dalam bidang pengetahuan, demi kelangsungan dan keselamatan umat manusia; (d) Dorongan untuk melayani sesama manusia akan menjadikan bumi selalu terpenuhi oleh kasih yang mendamaikan.
Aktor Sentral Paguyuban Arso Tunggal didirikan oleh Djoko Murwono, dosen Fakultas Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang, peneliti dan formulator bidang biokimia, yang sering bekerja sama dengan Universitas Nagoya Jepang. Obat-obatan alternatif maupun sarana produksi pertanian yang dimanfaatkan untuk gerakan sosial paguyuban ini merupakan hasil temuannya, baik secara individu maupun kolektif bersama koleganya di Jepang. Sebagai gerakan, Arso Tunggal tidak dapat dipisahkan dari pendirinya sebagai aktor sentral. Oleh sebab itu, penjelasan tentang aktor sentral tersebut sangat penting untuk melihat cara kerja paguyuban. Uraian berikut ini disusun berdasarkan hasil
149
Jawa Menyiasati Globalisasi
wawancara penulis dengan Djoko Murwono, anggota paguyuban (baik garda maupun prajurit)3, dan referensi terkait.
Anak “Dhadhung Kepuntir” Djoko Murwono dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1949 dari ayah Kusumo Maryono dan ibu Saminah. Ayahnya keturunan Hamengku Buwono II. Dari garis keturunan ayah mengalir dua aliran budaya; éyang putrinya seorang rangga (asisten wedana) Madiun, éyang kakungnya adalah tokoh yang dulu mengembangkan pesantren terkenal di Ponorogo (Djoko keberatan nama pesantren itu disebut). Éyang kakungnya kemudian pindah ke Prawirodirjan, menjadi manggalaning yudha (bidang pertahanan) Keraton Yogyakarta. Dari garis keturunan ibu, simbah kakungnya adalah keturunan Paku Buwono V. Simbah putrinya menangani masalah keuangan Keraton Surakarta.4 Di lingkungan keraton, dia disebut sebagai anak dhadhung kepuntir. Secara harafiah, dhadhung kepuntir adalah tali yang terbelit-belit, sehingga sangat sukar untuk diurai. Ungkapan ini menggambarkan kondisi yang serba salah dan konflik 3 Garda adalah sebutan untuk anggota paguyuban, yang aktif dalam pertemuan rutin Reboan (diselenggarakan setiap Hari Rabu, dari pukul 21.00 WIB sampai dengan 02.00 WIB dinihari Kamis) dan kegiatan-kegiatan lain di luar praktik pengobatan. Adapun prajurit adalah sebutan untuk anggota yang selain mengikuti pertemuan rutin Reboan dan kegiatan-kegiatan lain, juga aktif melakukan praktik pengobatan. 4 Djoko menyebut “éyang” kepada kakek dan neneknya dari garis keturunan ayah dan “simbah” untuk kakek dan neneknya dari garis keturunan ibu. Sebutan ini dipengaruhi oleh tata cara dalam keraton yang menganut garis keturunan ayah (patriarkat). Dalam budaya keraton, kalau seorang pria keturunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menikah dengan perempuan keturunan Keraton Surakarta Hadiningrat, maka pria tersebut harus “mengikuti” istri tinggal di Surakarta. Ada perjanjian di antara keluarga besar keraton, bahwa anak perempuan boleh dibesarkan di lingkungan Keraton Surakarta, tapi anak laki-laki harus dibesarkan di lingkungan Keraton Yogyakarta setelah berusia delapan tahun.
150
Paguyuban Arso Tunggal
batin yang mendalam, karena posisi anak laki-laki dari ayah keturunan Keraton Yogyakarta dan ibu dari Keraton Surakarta berada dalam tarik-menarik pengaruh dua budaya dari dua keraton tersebut. Konflik batin dalam diri Djoko Murwono bertambah lagi karena dirinya memeluk agama Katolik. Dia mengakui, masih ada kesan bahwa bangsawan Jawa itu harus Islam, sehingga dia dan keluarganya yang menganut Katolik pun “dibuang” dari lingkungan keraton. Djoko Murwono berada di dalam tarikmenarik budaya besar Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) serta dua agama besar, Katolik dan Islam. Beberapa kali dia dicap sebagai Katolik yang Kejawèn, bahkan sebagai orang yang ingin membentuk agama lain. Kata Djoko: Hamengku Buwono II itu kakek canggah saya. Sentot Prawirodirdjo5 masih terhitung sebagai kakek saya. Maka, di Yogyakarta saya dicap sebagai ’bangsawan merah,’ karena seluruh keturunan Prawirodirdjo memang dicap sebagai bangsawan merah, dalam arti musuh Belanda. Ini menambah konflik batin dalam diri saya.
Sejak kecil, Djoko merasakan konflik batin dalam keluarga besarnya. Konflik batin itu justru membuat dia banyak belajar dan membentuk kepribadiannya. Kalau pulang ke Surakarta ia “dicuci otak” habis-habisan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Sebaliknya, 5 Sentot Prawirodirdjo, nama lengkapnya Sentot Ali Basya Abdullah Mushtofa Prawirodirjo, adalah salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I dari garis keturunan ibu. Ia adalah komandan pertempuran dari pasukan-pasukan pelopor pada saat Perang Diponegoro. Gelar basya atau pasya adalah gelar yang diilhami oleh para panglima perang di Turki yang pada zaman itu menjadi kebanggaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Ketika dilantik oleh Pangeran Diponegoro sebagai panglima besar, dia masih berusia sekitar 17 tahun, namun kecakapannya dalam bertempur dan keberaniannya sangat mengagumkan.
151
Jawa Menyiasati Globalisasi
kalau pulang ke Yogyakarta, ia mendapat “indoktrinasi” tentang kebiasaan, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Persaingan” antara dua keraton, yang selama ini dikenal sebagai pusat budaya Jawa tersebut, memicu munculnya konflik batin dalam dirinya. Dia mengaku tidak dapat “masuk” secara penuh ke dalam kehidupan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat karena ada darah Surakarta Hadiningrat mengalir dalam tubuhnya. Sebaliknya, ia pun tidak bisa “masuk” secara penuh ke dalam kehidupan Keraton Surakarta Hadiningrat karena ada darah Yogyakarta yang juga mengalir dalam tubuhnya. Perbedaan antara Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta tercermin dalam berbagai hal, antara lain cara berpakaian. Orang-orang Keraton Yogyakarta memakai surjan, orang-orang Keraton Surakarta mengenakan beskap. Surjan menjadi ciri khas busana Keraton Yogyakarta, adapun beskap adalah ciri khas busana Keraton Surakarta. Ikat kepala (udheng) pun berbeda; udheng Yogyakarta dilengkapi sinthingan (kain yang terburai), udheng Surakarta tidak dilengkapi sinthingan. Tutup kepala (blangkon) dua keraton ini juga berbeda; blangkon Yogyakarta dilengkapi mondholan (benda yang menonjol di bagian belakang blangkon), blangkon Surakarta tidak. Corak batik pun berbeda. Corak batik Surakarta cenderung lebih rumit dan halus, lebih banyak cecek dan ukelan, corak batik Yogyakarta lebih besar. Dari segi kesenian dan kesusastraan juga terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Bunyi kecrèk (atau kepyak) wayang surakartanan: ‘’crèk-crèk,’’ bunyi kecrèk (atau kepyak) wayang ngayogyakartanan: ‘’thing-thing,’’ alur cerita berbeda, cengkok juga berbeda.
152
Paguyuban Arso Tunggal
Sentimen kewilayahan itu sebagai dampak dari perpecahan Keraton Mataram menjadi dua, yaitu menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perpecahan terjadi setelah Perjanjian Gianti sekitar tahun 1755.6 Sejak berusia delapan tahun, Djoko harus pindah ke Yogyakarta, dididik dan dibimbing oleh éyangnya dalam nilainilai Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dia diajari adat istiadat dan budaya Keraton Yogyakarta secara penuh. Pertama kali diajari nembang macapat, lalu membaca tulisan Jawa; mulai Jawa biasa, Jawa modern, sampai bahasa Kawi sebagai bahasa keraton. Ketika sudah dewasa, dia dibimbing membaca kitab dalam bahasa Jawa kuna dan menggambar di atas daun lontar. Setelah itu, Djoko kecil pun diajari aturan memakai baju, tata cara, sopan santun (unggah-ungguh). Sopan santun dalam keraton itu misalnya memanggil orang yang lebih tua dan lebih 6 Soekanto dalam buku “Sekitar Jogjakarta 1755-1825” (Perdjandjian Gianti - Perang Dipanagara, 1952) menyebutkan, Perjanjian Gianti berawal dari perasaan sakit hati Pangeran Ario Mangkubumi karena Susuhunan Paku Buwono II ingkar janji. Ketika itu, kerusuhan terus terjadi di Mataram sepeninggal Sultan Agung. Perjanjian Gianti adalah perjanjian kesepakatan antara VOC (diwakili oleh Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel), pihak Mataram (diwakili oleh Susuhunan Paku Buwono III) dan pihak pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi. Perjanjain ini terjadi pada tanggal 13 Februari 1755, di Gianti, desa kecil di tenggara Kota Karanganyar, Jawa Tengah. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Paku Buwono III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi. Pada saat itu pula Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan gelar Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khaliffatullah. Setelah selesai penandatanganan Perjanjian Gianti, daerah Mataram yang ada dalam kekuasaan Pangeran Ario Mangkubumi diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kota Ngayogyakarta (Kota Yogyakarta). Nama Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan pada tanggal 13 Maret 1755.
153
Jawa Menyiasati Globalisasi
terhormat harus dengan sebutan nak ndalem. Dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi lagi, misalnya memiliki kedudukan sebagai raja, dengan sebutan sampéyan ndalem. Memanggil teman sejawat, dengan grade yang sama dengan sebutan mas, singkatan dari radèn mas, jadi yang muda atau tua selalu dipanggil mas. Bahasa yang digunakan ketika bercakapcakap dengan orang yang lebih muda adalah bahasa Jawa ngoko atau krama madya, dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa krama inggil.. Dari keluarga ibunya, banyak orang ternama, antara lain Mr. Supomo (tokoh hukum nasional), Mr. Saharso (yang mendirikan BRI pertama kali di Purwokerto). Pengacara pertama orang Jawa, Mr. Suwidji adalah pamannya. Kenyataan itu menjadi beban dan kecemburuan keluarga ayahnya. Ada persaingan, yang menyebabkan Djoko Murwono merasa “terjepit” di tengah-tengah, menambah konflik batinnya. Kalau ikut bapak, dia menjadi ndara Jogja: ndara dhaplangan, senengané ngglembuk (senang membujuk). Kalau ikut ibu menjadi ndara ukelan, lamis-lamisan; umuk.7 Jadi, ter-jadi pertengkaran keras dalam batinnya. Dia dicekoki wayang mataraman, tapi harus mendengarkan budaya surakartanan. Menghadapi konflik batin tersebut, dia lebih memilih diam, menerapkan ajaran Jawa, yaitu dedalané guna lawan sek-
ti, kudu andhap asor, wani ngalah dhuwur wekasané, tumungkula yèn sun didukani, palang disimpangi, ana catur mungkur. Makna ungkapan tersebut adalah, bahwa jalan menu7 Dhaplangan adalah sebutan untuk gaya tarian Keraton Yogyakarta, yang lebih banyak diwarnai gerakan-gerakan tangan dan kaki yang tegak. Ukelan adalah sebutan untuk gaya tarian Keraton Surakarta yang lebih banyak diwarnai gerakan tangan dan kaki yang lemah gemulai berputar-putar. Menurut Djoko, budaya Keraton Yogyakarta dikenal dengan budaya ngglembuk atau membujuk, adapun budaya Keraton Surakarta dikenal dengan budaya umuk atau mengungggulkan diri sendiri.
154
Paguyuban Arso Tunggal
ju kehidupan yang bermanfaat adalah harus rendah hati, berani mengalah, menunduk kalau dimarahi, serta menghindari rintangan dan percekcokan. Djoko mengaku, sebelum pindah ke Yogyakarta sering mendengar bisikan “aku sangkan paraning dumadi – yèn ibumu
ora tak pundhut kowé ora cedhak aku, kowé kudu nèng Yogya.” (“Akulah sangkan paraning dumadi, kalau ibumu tidak Aku ‘ambil,’ maka kamu tidak dekat dengan-Ku. Kamu harus ke Yogyakarta”). Sejak saat itulah, Djoko merasa kehidupannya selalu didampingi oleh “Sang sangkan paraning dumadi.” Kalau merindukan Surakarta, ia biasa berjalan kaki dari Stasiun Kereta Api Lempuyangan Yogyakarta, menyusuri rel sampai Stasiun Balapan Surakarta. Perjalanan itu ia tempuh dalam waktu tujuh jam tanpa merasa lelah. Sejak kecil dia sudah diberi anugerah berupa kemampun untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi (ngerti sakdurungé winarah) atau waskita.8 Contoh, dia sudah mengetahui bahwa 8 Selama melakukan observasi partisipatif di Paguyuban Arso Tunggal, penulis dua kali membuktikan kebenaran sifat waskita Djoko Murwono. Pembuktian pertama terjadi pada saat syukuran ulang tahun Paguyuban Arso Tunggal (24 Oktober 2009). Sebelum acara dimulai, sekitar pukul 17.30 WIB hujan turun sangat lebat. Orang-orang yang hadir terlihat panik, karena air hujan menimpa tenda, membasahi kursi-kursi, bahkan makanan yang sudah disiapkan di atas meja besar. Kepada Djoko Murwono, penulis mengatakan: “Lho Pak, kok malah hujan…?” Jawabnya: “Tenang, hujan ini hanya lewat. Sebentar ya, saya ke dalam (kamar) dulu, tidak ada lima menit hujan ini pasti berhenti.” Ia pun bergegas masuk kamar, sekitar lima menit kemudian keluar dan mengatakan kepada penulis: “Ya ta, hujan sudah mandhek.” Benar, saat itu juga hujan memang berhenti. Pembuktian kedua terjadi di sela-sela pertemuan Reboan, 28 Juli 2010. Saat itu penulis meminta tolong Djoko Murwono untuk mengobati ibu mertua penulis yang sudah tiga kali terserang stroke. Sekitar lima menit kemudian, ia langsung bercerita tentang riwayat hidup ibu mertua penulis; mulai masa mudanya, persoalan-persoalan keluarga yang dihadapinya, konflik-konflik batin yang dialami, sampai terkena stroke. Semua itu ia ceritakan dengan sangat rinci, termasuk sebab-sebab ibu mertua penulis menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Cerita itu sangat mengejutkan penulis, karena hampir seratus persen tepat sesuai dengan kenyataan.
155
Jawa Menyiasati Globalisasi
simbah kakungnya akan meninggal. Di usia enam tahun, bahkan ia pun mengetahui ibunya akan meninggal. Waktu istrinya hamil, ia sudah mengetahui anaknya yang akan lahir itu laki-laki, kemudian langsung ia beri nama, meskipun masih dalam kandungan. Menurut dia, sesungguhnya semua orang dapat ngerti sakdurungé winarah, tinggal mau atau tidak, karena kemampuan itu berasal dari Allah. Orang tidak dapat melakukan hal itu karena pengaruh duniawi, terbebani hal-hal yang bersifat duniawi, terbebani harta benda (kabotan kadonyan, kabotan bandha). Dalam perspektif Teori Habitus Pierre Bourdieu (Harker, 2005), riwayat Djoko Murwono tersebut menunjukkan relasi habitus dan ranah. Konflik batin yang berkecamuk dalam diri Djoko Murwono adalah habitus, adapun lingkungan sosialnya yang ditandai dengan beberapa perbedaan antara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton Surakarta Hadiningrat adalah ranah. Konflik batin (subjektif/habitus) yang berlangsung berpuluh-puluh tahun dalam dirinya berelasi timbalbalik dengan kondisinya sebagai anak dhadhung kepuntir karena benturan antarnilai-nilai budaya dua keraton (objektif/ranah). Relasi timbal-balik itu kemudian membentuk Djoko sebagai pribadi yang merdeka, tidak memihak Yogyakarta dan tidak memihak Surakarta, menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan, melewati sekat-sekat agama, golongan, bahkan budaya. Itulah sebabnya, sampai sekarang dia memilih tinggal di Semarang dan giat melakukan gerakan-gerakan sosial-kemanusiaan melalui Paguyuban Arso Tunggal. Ketika ditanya tujuan hidup, dia menjawab: “menjadi manusia, menjadi diri sendiri; manusia yang bermanfaat bagi manusia-manusia yang lain dan lingkungan.” 156
Paguyuban Arso Tunggal
Beberapa Komentar Sebagian besar anggota Arso Tunggal menilai Djoko Murwono sebagai orang yang memiliki kelebihan, baik secara spiritual maupun intelektual. Djurianto Prabowo, sarjana pertanian yang menjadi anggota garda paguyuban ini, mengakui bahwa Djoko Murwono memiliki kelebihan spiritual sekaligus intelektualitas yang melebihi orang-orang kebanyakan. “Dia mampu menggabungkan dua kelebihan itu, sehingga pengetahuannya di bidang spiritual bisa dikembangkan menjadi karyakarya nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Dia bisa mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa untuk dikembangkan ke dalam penelitian-penelitian ilmiah yang menghasilkan obatobatan alternatif dan pertanian organik,” katanya. Pertemuan Djurianto dengan Djoko Murwono berawal dari pertemanannya dengan Herujati yang sudah lebih dulu bergabung dengan Arso Tunggal sejak tahun 1980-an. Dari Herujati, dia mendapat cerita tentang pemikiran Djoko yang sering melawan arus, aneh-aneh, dan unik. Cerita yang mirip dia peroleh pula dari istrinya yang mengajar di Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata Semarang, tempat Djoko Murwono ketika itu juga mengajar. Kesan istrinya, Djoko Murwono orang pintar tapi agak kasar (kalau berbicara ceplasceplos dan sangat berterus terang). “Ketika anak ketiga kami lahir banyak dibantu dengan obat-obat herbal dari Pak Djoko, dan saya merasa anak ini sehat, baik kondisinya. Tapi, waktu itu saya belum kontak langsung dengan Pak Djoko. Baru setelah itu, saya diajak Mas Herujati ke Plamongan (rumah Djoko Murwono), ngobrol ngalor-ngidul. Saya merasa orang ini punya komitmen serius untuk masyarakat petani dan membuat obat murah tapi efektif. Mulailah tahun 2002-an saya bergabung dengan Arso Tunggal,” kata Djurianto.
157
Jawa Menyiasati Globalisasi
Tahun 2004, Djurianto mendapat kecelakaan yang menyebabkan gegar otak ringan. Saat itu, dia ditangani langsung oleh Djoko Murwono, selain juga mengonsumsi obat BIP dan albumin (nanas dicampur telur ayam kampung, dikocok, dibiarkan 10-15 menit, dicampur dengan stansol). Ternyata, kesehatan dia cepat pulih. “Pak Djoko itu kalau menjelaskan sesuatu, misalnya tentang kitab suci dan pengetahuan, bisa komprehensif. Biasanya, orang lain menjelaskan hal-hal semacam itu hanya dari disiplin ilmu mereka sendiri, tapi Pak Djoko itu lintas disiplin, misalnya menjelaskan tanah yang banyak dimasuki pupuk kimia, maka unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman menjadi kurang, NPK (nitrogen, pospat, kalium) tidak terserap. Akibatnya, tanaman, padi, menjadi miskin kandungan P-nya, padahal pospat diperlukan untuk proses metabolisme tubuh manusia.” Eryono, prajurit Arso Tunggal di pos Ketapang Kalimantan, menjelaskan bahwa ia bergabung dengan paguyuban ini berawal dari kesembuhan penyakit kanker yang diderita anaknya. Beberapa tahun yang lalu, anaknya dinyatakan terkena kanker dan harus dioperasi di Jakarta. Pada saat yang hampir bersamaan, ia mendapat informasi bahwa di Semarang ada Paguyuban Arso Tunggal yang mengadakan pengobatan alternatif. Ia kemudian memutuskan untuk membawa anaknya itu ke Arso Tunggal. Setelah mendapat terapi dan minum obat dari paguyuban ini, ternyata anaknya sembuh. Sejak saat itu, Eryono bergabung dengan Arso Tunggal hingga menjadi prajurit sekarang. Menurit Eryono, Djoko Murwono memiliki kelebihan, selain kelebihan di bidang spiritual juga kelebihan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pengobatan dan pertanian. Prajurit yang lain, Subiyanto menjelaskan, bahwa Djoko Murwono mampu menerjemahkan laku ke dalam karya nyata
158
Paguyuban Arso Tunggal
kemanusiaan. Pada awalnya, menurut Subiyanto yang bergabung dengan Arso Tunggal sejak tahun 1994 ini, kegiatan Djoko Murwono banyak bersifat olah kebatinan. Olah kebatinan itu, kemudian dikembangkan menjadi kegiatan yang bertujuan membantu masyarakat melalui pengobatan dan pertanian alternatif. “Banyak hal yang membuktikan, bahwa Pak Djoko memang memiliki kekuatan spiritual, namun kekuatan itu tidak berhenti pada sekadar krenteg atau karep, melainkan dilakukan ke dalam karya nyata,” katanya. Romo Sebastian, romo yang melayani jemaat Gereja Katolik Gedangan, Semarang, dalam wawancara dengan penulis (4 Januari 2010) menyebut Djoko Murwono sebagai seorang intelektual. Romo yang pernah menulis kertas kerja tentang kegiatan pengobatan yang dilakukan Arso Tunggal melalui klinik Hati Kudus ini berpendapat, selain dilatarbelakangi budaya Jawa, Djoko juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Katolik yang pernah diperoleh ketika belajar di seminari. Bagi dia, gerakan yang dilakukan Djoko lewat Paguyuban Arso Tunggal lebih bersifat intelektual daripada spiritual. Menurut Romo Sebastian, kelemahan Djoko Murwono justru terletak pada pendiriannya yang sangat kuat dan keras, sehingga terkesan tidak mudah menerima pendapat orang lain. Dalam banyak hal, Djoko sangat teguh pada kebenaran yang ia yakini, sehingga kadang-kadang terkesan memaksakan kehendak. Komentar yang mirip dengan komentar Romo Sebastian, disampaikan Edi Suhandoyo, pengelola Pusat Pelatihan Peternakan di Dusun Kwayuhan, Desa Sendangmulyo, Godean, Yogyakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun, Edi bekerja sama dengan Djoko mengembangkan budidaya lele dan ayam, menggunakan teknologi Arso Tunggal. Menurut Edi, Djoko Murwono sangat teguh memegang pendirian, namun justru 159
Jawa Menyiasati Globalisasi
karena itulah ia senang bekerja sama. “Bagi saya, yang penting mengikuti arahannya saja. Kita harus menghormati beliau sebagai orang yang sudah sepuh dan berpengalaman, meskipun dalam pelaksanaan, kami bisa saja melakukan modifikasi,” katanya. Adapun sebagian besar mahasiswa Teknik Kimia Undip yang sedang mengikuti mata kuliah yang diampu Djoko Murwono (Matematika Kimia atau MTK dan Fenomena Perpindahan atau Fenper) maupun yang sudah lulus, juga menyebut Djoko sebagai dosen dengan tingkat intelektualitas tinggi. Sebagian di antara mereka bahkan menyebut Djoko jenius. Mahasiswa-mahasiswa tersebut mem-buat account facebook “Ir. R.P. Djoko Murwono S.U. Fans Club,” sebagai forum tukar-menukar pikiran, gagasan, dan bahkan kritikan dan sindiran terhadap Djoko, baik dalam wall maupun discussion. Sampai 8 September 2010 pukul 23.00 WIB, anggota account tersebut mencapai 501. Selain di facebook, komentar tentang Djoko Murwono juga dapat dijumpai di blog. (lihat komentar-komentar tersebut di lampiran). Gambar 1:
Djoko Murwono dan mahasiswanya. (sumber: “Ir. R.P. Djoko Murwono S.U Fans Club”).
160
Paguyuban Arso Tunggal
Mengenai forum tersebut, Djoko menanggapi, “Bagi saya, forum semacam itu malah bagus. Itu forum demokratis. Mahasiswa silakan mau ngomong apa saja, saya tidak akan marah. Kalau ada yang berkomentar saya membodoh-bodohkan ya biar saja, agar mereka menjadi pinter.” Menurut dia, mendidik mahasiswa tidak sekadar mengajarkan untuk hafal suatu mata kuliah, melainkan harus mendidik mereka untuk mampu mencipta sesuatu. Untuk bisa mencipta, maka mahasiswa harus dilatih menjadi orang yang kritis dan account facebook itu salah satu forum yang memberi ruang agar mahasiswa berani kritis. Pada tahun 1980-an, ketika berusia 30 tahun, Djoko merasa batinnya mulai “digoyang” oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu ia sapa dengan sebutan “Juragan.” Inti “goyangan” itu berupa permintaan agar dia meninggalkan hal-hal duniawi, memperdalam dan menitikberatkan pada hal-hal spiritual untuk menolong sesama manusia. Pada awalnya muncul keraguraguan karena hal itu berarti hilangnya kebebasannya. Pada saat itu, ketika undian berhadiah (lotere, perjudian) masih diperbolehkan di Indonesia, misalnya Nalo, Porkas, dan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), banyak orang yang datang ke rumah Djoko Murwono, meminta ramalan nomor buntut. Pada awalnya, dia melayani permintaan orang-orang yang ingin menang judi tersebut. “Tapi, saya kemudian dimarahi ‘Juragan’ mengapa kemampuan saya digunakan untuk itu,” katanya. Tahun 1984, setelah menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ia pindah ke Semarang. Saat itulah ia merasa menemukan kematangan, mendapat pijakan yang benar. Ia kemudian mendirikan Paguyuban Arso Tunggal, dengan titik tolak ingin memayu hayuning
161
Jawa Menyiasati Globalisasi
buwana, membuat dunia tersenyum, serasi, semarak, dan lebih bahagia. Gambar 2: Djoko Murwono di Padepokan Arso Tunggal, Jl Bulusan Selatan Raya Nomor 111, Semarang:
Sumber: koleksi pribadi penulis
Kesimpulan Paguyuban Arso Tunggal bukan perkumpulan kebatinan (seperti yang dikenal dalam gerakan kejawèn), melainkan perkumpulan sosial-budaya. Paguyuban ini menitikberatkan gerakan pada bidang pengobatan, pertanian, dan budaya, berbasis pada budaya dan kearifan lokal Jawa. Secara garis besar, tujuan Arso Tunggal adalah membantu pemerintah, negara, dan masyarakat Indonesia dalam pengembangan bidang pengobatan dan pertanian yang berbasis budaya dan kearifan lokal Jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut, paguyuban ini melakukan berbagai usaha sosial, edukasional, dan informasi, agar masyarakat kembali ke alam di bidang pengobatan dan pertanian, dalam rangka menjaga kesehatan secara holistik. Di bidang pengobatan, usaha-usaha itu dilakukan dengan dasar-dasar pemikiran: ketidakpastian dalam pengobatan model 162
Paguyuban Arso Tunggal
Barat yang sangat rasional dibandingkan dengan model pengobatan Timur (Jawa) yang sudah teruji; membantu pasienpasien yang kurang mampu; memadukan pengobatan model Barat dan pengobatan model Timur (terutama untuk mengatasi kebuntuan pengobatan penyakit akibat virus dan kanker) demi kesejahteraan umat manusia. Dasar pemikiran di bidang pertanian terutama terkait dengan penerapan sistem pertanian modern yang unorganik. Sistem modern tersebut menyebabkan kerusakan tanah, makin ganasnya serangan hama, tingginya biaya produksi budidaya pangan. Selain itu, sistem tersebut juga menurunkan kadar kesehatan umat manusia karena mengonsumsi bahan makanan yang sudah terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia. Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengajak pemerintah dan masyarakat untuk kembali ke alam, ke budaya dan kearifan lokal Jawa. Untuk menunjang kegiatan pengobatan dan pertanian tersebut, Arso Tunggal melakukan kajian-kajian, eksplorasi, serta pengembangan budaya dan kearifan lokal Jawa. Melalui pertemuan-pertemuan rutin dan kegiatan ritual, pada intinya kegiatan di bidang budaya itu bertujuan mengembalikan manusia pada budaya dan kearifan lokal untuk menangkal pengaruh budaya luar. Paguyuban Arso Tunggal tidak dapat dilepaskan dari aktor sentral, yaitu Djoko Murwono, yang lahir dari ayah kerabat Keraton Yogyakarta dan ibu kerabat Keraton Surakarta. Perpaduan budaya dua keraton itu membentuk kepribadian Djoko yang teguh pada prinsip dan semangat mengembangkan budaya dan kearifan lokal Jawa. Nilai-nilai budaya dan awa kemudian melandasi gerakan Arso Tunggal dalam pengembangan bidang pengobatan dan pertanian.
163
Jawa Menyiasati Globalisasi
Ilmu budaya dan kearifan lokal Jawa yang diperoleh Djoko Murwono dari kakeknya di Keraton Yogyakarta, kemudian dipadukan dengan ilmu pengetahuan yang ia peroleh di bangku kuliah, terutama Ilmu Kimia, menghasilkan berbagai penemuan di bidang pengobatan dan pertanian. Berbagai penemuan itu kemudian ia kembangkan melalui Paguyuban Arso Tunggal. Secara kelembagaan, Paguyuban Arso Tunggal memang tidak besar. Terdapat pula kelemahan dalam berbagai kegiatannya, antara lain masih sangat tergantung pada aktor sentral dan belum adanya langkah-langkah regenerasi atau transfer ilmu pengetahuan (di bidang pengobatan dan pertanian; terutama dalam hal riset) yang memadai dari aktor sentral kepada jajaran di bawahnya. Kelemahan itu harus mendapat perhatian serius dari paguyuban ini, agar gerakan yang telah dilakukan tidak berhenti di tengah jalan.
164