Bab Enam
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Sarasehan dan Kegiatan Ritual Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor 111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB Kamis dinihari. Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir. Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono. Pada sekitar pukul 23.30 WIB Djoko Murwono datang, memberi salam. Dia menanyakan keadaan orang-orang yang sudah datang lebih dulu; tentang keluarga mereka, tentang 165
Jawa Menyiasati Globalisasi
kesehatan, dan tentang perkembangan kegiatan paguyuban. Perbincangan pun kemudian berkembang pada berbagai hal, terutama berkaitan dengan masalah budaya Jawa. Berbagai macam topik perkembangan kehidupan masyarakat dibicarakan dalam pertemuan, yang disebut sebagai sarasehan Reboan itu. Perkembangan aktual berkaitan dengan masalah sosial, politik, agama, dan ekonomi – baik lokal, nasional maupun internasional – dibahas dalam perspektif budaya Jawa. Terjadi diskusi yang menarik dalam sarasehan yang berlangsung hingga sekitar pukul 00.30 WIB. Setelah itu, mereka bersama-sama naik ke lantai dua, memasuki empat kamar yang ada. Di setiap kamar terdapat peralatan berupa paku-paku kayu terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berukuran sekitar satu meter kali 30 sentimeter, tiga bagian yang lain berukuran sekitar 30 sentimeter persegi. Tinggi paku-paku kayu tersebut masing-masing sekitar lima sentimeter. Bagian pertama disiapkan untuk menopang tubuh, dua bagian lain untuk tangan, dan satu bagian lagi yang dibungkus kain dipersiapkan sebagai alas kepala. Di tiap-tiap kamar terdapat tiga alat tersebut, yang dijajarkan horizontal di lantai. Di bagian atas alat yang berada di tengah terdapat alat yang melengkung, berada di bawah meja yang dilengkapi dengan tiga lilin yang menyala. Para anggota melepaskan sabuk, arloji, dompet, telepon seluler, dan barang-barang lain yang melekat di tubuhnya, sehingga hanya mengenakan baju dan celana. Mereka kemudian berdoa menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri. Setelah itu, para anggota merebahkan tubuh di atas paku-paku kayu dan melakukan meditasi. Bagi yang belum terbiasa, rebah di atas paku-paku kayu itu membuat tubuh terasa sakit, terutama di bagian belakang kepala. 166
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Proses meditasi tersebut berlangsung sampai sekitar pukul 01.00 WIB. Satu per satu anggota turun ke lantai bawah, kembali memperbincangkan berbagai hal berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan kegiatan paguyuban. Diskusi berlangsung sampai dengan pukul 02.00 WIB. Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal
sumber: koleksi pribadi penulis
Itulah gambaran kegiatan sarasehan dan ritual yang diterapkaan Arso Tunggal. Kegiatan ritual tersebut bertujuan melatih anggota mengasah ketajaman hati nurani, dengan cara 167
Jawa Menyiasati Globalisasi
menenangkan dan mematikan pikiran; menghilangkan rasa sakit. Proses itu mereka sebut ngraga sukma. Dengan rebah di atas paku-paku kayu, anggota diuji tingkat ketahanan terhadap rasa sakit. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, kalau mereka bisa mengendalikan pikiran dan mempertajam hati nurani (mati raga).
Ngraga sukma yang diterapkan Arso Tunggal berbeda dari pengertian ngrogoh sukma yang dikenal di kalangan penganut kebatinan. Ngrogoh sukma merupakan proses merogoh (mengambil) jiwa kemudian dikeluarkan dari badan, sehingga jiwa itu bisa mengembara ke tempat-tempat lain, di luar badan. Proses itu lalu membuat jiwa seseorang dapat melihat keadaan di tempat lain. Di kalangan masyarakat Jawa, proses itu biasa dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang). Berbeda dari ngrogoh sukma, maka ngraga sukma tidak merogoh jiwa untuk mengembara, melainkan mengeksplorasi jiwa untuk diragakan. Dengan kata lain, ngraga sukma adalah meragakan jiwa. Jiwa harus dieksplorasi agar dapat memimpin raga, sehingga hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh keinginan-keinginan raga, melainkan dikendalikan oleh niat dari dalam jiwa. Proses ritual tersebut merupakan tahapan mencari keheningan dengan cara menenangkan pikiran (ening cipta sarana neng). Ada proses transendensi, yang membuat tubuh tidak merasa sakit meskipun dicocok oleh paku-paku kayu. Ritual tersebut dilakukan untuk mengasah niat yang tulus dari hati nurani (krenteging ati). Terdapat lima hal penting dalam krenteging ati, yaitu madhep, mantep, sabar, tatag, sumèh. Suara hati bisa diterapkan dengan lima hal tersebut.
Madheb ngersaning Pangeran, mantep ngugemi dhawuhing Pangeran, sabar menjalani hidup dan tidak tergoyahkan, serta 168
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
banyak tersenyum dalam menghadapi sesuatu yang terjadi. Makna tatag adalah apa pun yang terjadi manusia harus tidak tergoyahkan. Ritual itu juga membimbing anggota untuk meningkatkan kualitas sebagai manusia dalam perspektif Jawa. Tingkatan kualitas manusia Jawa yang dikembangkan Arso Tunggal adalah satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinandhita, ratu ratuning pinandhita. Tingkatan tertinggi, yaitu ratu ratuning pinandhita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tataran paling dasar adalah berbuat secara kesatria. Untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, manusia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, melainkan juga kearifan, harus bisa menjadi sumur tinimba, seperti samudera yang menampung semua aliran air dari berbagai macam sungai. Meskipun demikian, manusia tidak mungkin sampai pada tataran kelima yaitu ratu ratuning pinandhita. Lewat ritual yang dilakukan, anggota Arso Tunggal belajar meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Filosofinya adalah: urip iku ora karana bandha; bandha mung srananing
urip. Yèn bandha ora kanggonan nyawa, yèn nyawa mesthi ana bandhané soalé manungsa urip (Hidup itu bukan karena hartabenda. Dalam harta tidak ada nyawa, tapi di dalam nyawa pasti ada harta, karena manusia hidup. Kalau kita hidup pasti diberi sarana untuk hidup).
Yèn kowé kepingin mangan, aja mangan, yèn kowé kepingin ngombé aja ngombé. Ning yèn kowé kepingin mangan-ngombé, mangana lan ngombéya amarga kowé urip. Makna ungkapan itu adalah, “hidup bukan untuk makan, melainkan makan untuk hidup.” Itulah ajaran tentang pengendalian diri, seperti “yèn pingin nesu menenga, yèn pingin ngenengké wong sapanen kanthi alus. (Kalau kita ingin marah 169
Jawa Menyiasati Globalisasi
diamlah, kalau ingin mendiamkan orang maka sapalah orang itu secara halus). Dalam berbagai pertemuan Reboan, sering dibahas tentang nilai-nilai melayani, bahwa manusia itu harus ngemong. Tuhan tidak melarang manusia untuk berbuat sesuatu, melainkan memberikan aturan atau batasan (wewaler). Dalam bahasa Jawa ajaran itu diungkapkan “beja cilaka kuwi ana ing badan priyangga. Pilihan ana ing manungsa piyambak.” Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri, Tuhan hanya memberikan pilihan dan rambu-rambu. Di sinilah terletak makna humanisme yang dikembangkan Arso Tunggal, yaitu manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemandirian untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam menentukan nasib, manusia selalu disinari oleh cahaya yang berasal dari Tuhan yang Maha Kuasa. Pemahaman itu dikembangkan melalui ritual dengan cara berusaha menghilangkan rasa sakit terkena paku kayu. Anggota Arso Tunggal diberi pilihan, mampu menghilangkan rasa sakit dengan menangkal pikiran dan mengeksplorasi niat tulus dalam hati atau tetap menempatkan pikiran sebagai “panglima.” Proses ritual juga membimbing anggota paguyuban untuk menerapkan filosofi urip kaya banyu mili, kaya angin
tumiup/sumilir, kaya srengéngé sumunar, kaya sumunaré sang bagaskara. Makna ungkapan tersebut adalah, hidup ibarat air yang mengalir, angin yang berhembus, matahari yang bersinar. Dalam paguyuban dikembangkan ajaran, bahwa untuk mencapai tujuan, manusia harus melalui proses yang memang harus dilalui. Karena itu, Arso Tunggal tidak menekankan pada
170
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
target. Bagi Arso Tunggal, target itu didasari oleh pemikiran manajemen Barat, padahal manajemen hanya alat, manusia tidak boleh dikooptasi oleh manajemen. Manajemen bukan raja karena raja yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri. Pemahaman itu mencerminkan, bahwa manusia sebaiknya tidak menghendaki sesuatu terjadi secara cepat, tidak tergesa-gesa, sesuatu harus dijalani dengan teliti dan waspada. Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah alon-alon
waton kelakon, aja grusa-grusu, aja kebat kliwat, sabar, éling, lan waspada. (pelan-pelan tapi terlaksana, jangan tergesa-gesa, jangan ingin bahwa sesuatu pasti bisa terjadi secara cepat, sabar, selalu ingat kepada Tuhan, dan waspada). Ungkapan lain yang bermakna sama adalah grematgremet waton slamet, yang berarti bahwa suatu pekerjaan sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, seksama, tekun, sesuai aturan yang benar. Titik berat dua ungkapan itu terletak pada kelakon dan slamet (terlaksana dan selamat sampai tujuan), bukan pada lamban. Mengejar pencapaian kehendak dengan segala cara yang cepat dipengaruhi oleh pola pikir management by objective yang berkembang di dalam manajemen Barat. Dalam konteks budaya Jawa, maka sebenarnya management by objective itu kurang cocok, karena pola pikir Jawa lebih bersifat management by process, bahwa segala sesuatu sebaiknya dilakukan melalui proses yang benar. Proses tersebut akan menentukan tujuan; kalau proses baik maka tujuan akan tercapai dengan baik, kalau proses tidak baik, maka tujuan pun tidak akan tercapai dengan baik. Kegiatan nyata Arso Tunggal mencerminkan keseimbangan antara management by objective dan management by
171
Jawa Menyiasati Globalisasi
process. Kegiatan yang dilakukan selalu berorientasi pada tujuan atau hasil, namun fokus pada proses yang dijalani. Proses ritual yang diterapkan oleh Paguyuban Arso Tunggal berintikan empat tahapan, yaitu: krenteg-karep-karsakarya. Empat tahapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Krenteg merupakan niat mendalam yang berasal dari jiwa manusia. Untuk merasakan dan memahami krenteg, maka manusia harus dapat “mematikan” pikiran. Otak harus diistirahatkan, sehingga ketika otak tidak bekerja maka manusia dapat merasakan getaran-getaran jiwa. Ketika otak tidak bekerja, maka manusia akan “berziarah” ke dalam jiwanya sendiri. Ada proses transformasi dari otak ke jiwa. Nilai-nilai ajaran yang melandasi proses itu adalah, bahwa hidup manusia harus dipimpin oleh jiwa, bukan oleh pikiran. Menurut ajaran Arso Tunggal, jiwa itu menenteramkan, adapun pikiran menyebabkan ketidaktenangan. Jiwa meneduhkan, pikiran tidak berujung pangkal. Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah: sak dawa-dawané lurung, isih dawa gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang pikiran). Ungkapan itu menunjukkan, bahwa pikiran tidak pernah berujung, membuat manusia tidak pernah puas, mengejar sesuatu tanpa batas dan belum pasti.
Karep adalah kehendak yang berasal dari otak manusia. Karena berasal dari otak, maka karep juga tidak berujung pangkal, menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah habis, tidak pernah puas. Oleh sebab itu, karep harus dikelola dengan cara menariknya ke dalam jiwa, sehingga hidup manusia tidak lagi dipimpin oleh kehendak yang tak pernah habis itu, melainkan dikomandani oleh krenteg yang berasal dari jiwa. Karsa adalah niat untuk melakukan suatu tindakan. Niat tersebut didorong oleh karep atau krenteg. Kalau hanya 172
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
didasarkan oleh karep, maka karsa hanya muncul dari keinginan otak saja, namun kalau dilandasi oleh krenteg maka selain didorong oleh pikiran, karsa juga digerakkan oleh jiwa. Adapun karya merupakan aplikasi dari karsa, tidak lagi hanya berwujud keinginan, melainkan sudah berupa tindakan nyata. Karya itulah yang juga sering disebut sebagai pakarti, yaitu buah dari proses krenteg, karep, dan karsa. Ritual yang dilakukan mengajarkan kepada para anggota paguyuban untuk dapat mendengar dan memahami krenteg, membedakannya dari karep. Tujuannya, kalau seseorang dapat memahami krenteg, maka ia dapat pula menggunakannya sebagai landasan hidup sehari-hari. Niat untuk melakukan suatu tindakan benar-benar didasarkan pada niat yang berasal dari jiwa, bukan sekadar karep yang muncul dari otak. Dalam suatu sarasehan Reboan, dibahas bahwa saat ini kebanyakan manusia lebih mengandalkan akal pikiran (rasional), berarti mementingkan karep. Dalam ungkapan Jawa dikatakan: luwih gedhé karepé katimbang krentegé. Karena begitu besar kehendak otak, maka orang kemudian mengejar (dengan segala cara) kehendak tersebut. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut sebagai penggayuh diyu (keinginan yang buta), yang mendorong orang lupa akan sangkan paraning dumadi, yang digambarkan dengan ungkapan mélék anggéndhong lali (keinginan mengakibatkan lupa). Pada era globalisasi sekarang, kebanyakan orang terlalu mengandalkan akal. Karena terlalu mengandalkan akal, maka banyak orang yang dalam tindakannya cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, mengakibatkan kemerosotan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia harus kembali ke krenteg, yang tidak berasal dari pikiran melainkan dari jiwa untuk melandasi tindakan nyata (pakarti). Krenteg harus keluar 173
Jawa Menyiasati Globalisasi
dulu dari jiwa, kemudian menjadi karep, lalu karep itu dikembangkan menjadi karsa (niat untuk melakukan suatu tindakan), diaplikasikan menjadi karya. Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman, bahwa pakarti dilandasi oleh keberanian berkarya dalam konteks budaya. Di dalam budaya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, tata hidup, dan pola tindakan. Humanisme harus dinyatakan dalam karya, bukan hanya berhenti pada krenteg atau karep. Karena itu, Arso Tunggal melakukan karya-karya nyata, yang disebut sebagai “proses memodernisasi kearifan lokal Jawa.” Karya tersebut berupa penemuan obat-obat yang dilandasi kearifan lokal Jawa yang sudah hampir punah dan pengembangan varietas-varietas lokal dalam pertanian organik. Jadi, pakarti adalah aplikasi. Olah pikir diabdikan ke olah rasa, sehingga menghasilkan karsa lan karya. Rasa yang dipikir menjadi karsa. Proses itu disebut manunggaling rasa lan karsa (menyatunya jiwa dan kehendak untuk berbuat).
Olah rasa (yang sering dilakukan oleh penganut perkumpulan kebatinan) sesungguhnya tidak bisa hanya dirasakan, dilestarikan (diuri-uri), melainkan harus “diangkat” ke dalam olah pikir, sehingga menghasilkan karya nyata. Paguyuban Arso Tunggal berpijak pada keseimbangan olah rasa dan olah pikir tersebut untuk mengembangkan gerakan-gerakan kemanusiaan. Keseimbangan itu tercermin dari penelitian-penelitian ilmiah yang didasari kearifan-kearifan lokal Jawa yang kemudian menghasilkan obat-obatan dan pertanian organik. Dalam berbagai diskusi Reboan disebutkan, bahwa tidak berkembangnya budaya Jawa dalam konteks kemajuan zaman saat ini karena kebanyakan orang Jawa hanya berhenti pada olah rasa, tidak mengembangkannya ke dalam olah pikir; hanya berhenti di krenteg, tidak berkembang ke karep, karsa, dan 174
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
karya. Itulah sebabnya, “modernisasi Jawa” adalah menerjemahkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam karya nyata yang mampu menjawab tantangan zaman, yang bermanfaat bagi masyarakat masa kini. Penulis menemukan perbedaan antara pendekatan yang dilakukan Arso Tunggal dan pendekatan yang berkembang dalam komunitas-komunitas kebatinan. Arso Tunggal justru menarik niat dalam jiwa ke kehendak dalam otak kemudian diaplikasikan ke dalam karya nyata, adapun komunitas kebatinan lebih menarik niat dalam jiwa ke arah lebih dalam lagi, yaitu rohani. Perbedaan itu menyebabkan perbedaan hasil, Arso Tunggal menghasilkan karya nyata (kemanusiaan), adapun gerakan kebatinan menghasilkan spiritualitas (ketuhanan). Hal tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: rohani
jiwa
komunitas kebatinan
pikiran
karya
Paguyuban Arso Tunggal
Humanisme Arso Tunggal Proses krenteg-karep-karsa-karya merupakan perwujudan dari pemahaman tentang humanisme kejawèn. Perbedaan antara humanisme kejawèn (dijelaskan dalam Bab Empat) dan humanisme yang dipahami oleh Arso Tunggal terletak pada perbedaan antara laku dan pakarti. Humanisme kejawèn bermuara pada laku, adapun humanisme yang dikembangkan paguyuban ini menghasilkan pakarti. Berbeda dari laku, pakarti tidak hanya merupakan olah rasa, melainkan olah rasa yang dipadukan dengan olah pikir, diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dalam pakarti sudah 175
Jawa Menyiasati Globalisasi
terjadi sinergitas antara olah rasa dan olah pikir, sehingga humanisme tidak berhenti sekadar sebagai pengertian, melainkan terwujud dalam tindakan nyata. Proses sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti digambarkan sebagai purwa, madya, wusana atau awal, tengah, dan akhir. Purwa itu rasa, madya itu pikiran, dan wusana itu karya. Di dalam rasa terdapat krenteg, di dalam pikiran terdapat karep, dan di dalam karya terdapat tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan. Purwa, madya, wusana adalah proses kehidupan manusia. Putaran itu makin lama makin besar. Manusia tidak dapat hanya mengandalkan rasa, melainkan harus pula dengan pikiran; harus ada keseimbangan antara niat dan kehendak untuk memperbesar putaran tersebut. Pengertian sangkan paraning dumadi yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa meskipun manusia memiliki otoritas untuk memilih tindakannya sendiri, namun mereka tetap disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Kuasa. Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa jiwa manusia merupakan singgasana Allah, jiwa manusia merupakan percikan sukma Allah Yang Maha Besar. Jadi, jiwa itu abadi, raga hanya berasal dari tanah, bersifat rendah (asor). Jiwa dimasukkan ke raga, agar raga itu bisa tertata. Dalam pengertian ini, maka manunggaling kawula lan Gusti berarti menyatunya jiwa dan raga, menyatunya krenteg dan karep. Ungkapan Jawa yang menggambarkan tuntunan jiwa itu adalah golèka pener ning ya golèk bener. Bener (benar) ada di dalam kepala, adapun pener (tepat, sesuai) ada di dalam jiwa 176
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
manusia. Bener belum tentu bisa menenteramkan raga, tapi pener akan menenteramkan jiwa. Orang yang terlalu banyak berpikir menjadi susah tidur, tapi orang yang menyerahkan hidupnya pada kejernihan jiwa akan mampu mengendalikan diri. Hal itulah yang membedakan antara krenteg dan karep; karena krenteg berasal dari hati, adapun karep muncul dari pikiran.1 Arso Tunggal menitikberatkan gerakannya pada pakarti. Kata pakarti mengacu pada penerjemahan laku, tidak berhenti pada pengertian atau sekadar olah rasa, tetapi teraplikasi ke dalam karya nyata. Dengan kata lain, pakarti merupakan syarat untuk menerjemahkan pengertian tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, sering pula disebut sebagai srananing ngaurip. Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengembangkan, memodernisasikan pemahaman-pemahaman kejawèn, dengan cara memadukan rasa dan otak (pikiran). Jadi, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti tidak berhenti di olah rasa saja atau olah pikir saja, melainkan harus diaplikasikan dalam karya, sehingga bermanfaat bagi orang banyak.
1 Djoko menjelaskan: “Yèn aku wis ngomong bener mungguhing uripku, aku sejatiné wis ora pener mungguhing uripku, nanging yèn aku ora tau ngomong bener mungguhing uripku, kuwi berarti wis pener. Yèn kowé ngomong salah mungguhing wong, sak beneré ing jroning atimu kuwi panggonan ingkang salah, awit bener lan salah kuwi ana ing pikiranmu, pener lan ora pener kuwi ana ing sajroning atimu. Golèka peneré atimu, katimbang bener lan salahing pikiranmu,” katanya. (“Kalau saya sudah bicara bahwa hidup saya benar, sesungguhnya hidup saya tidak pener, tapi kalau saya tidak pernah bicara bahwa hidup saya benar, itu berarti saya sudah pener. Kalau
kamu bicara bahwa orang lain bersalah, maka sesungguhnya di dalam hatimu itu tersimpan sesuatu yang salah, karena benar dan salah itu ada dalam pikiranmu, pener dan tidak pener ada di dalam hatimu. Maka, carilah pener dalam hatimu daripada benar dan salah dalam pikiranmu”).
177
Jawa Menyiasati Globalisasi
Supaya hal itu dapat terwujud, manusia harus melakukan eningé cipta sarana neng; cipta dieningké, diendapkan dulu. Kalau sudah mengendap (menep), maka manusia akan mendengarkan suara Allah. Proses pengendapan itu menyebabkan orang Jawa berpola pikir inward looking; selalu melihat ke dalam dirinya sendiri lebih dulu ketika merespons suatu realitas. Manusia Jawa yang benar-benar memahami kejawaannya, tidak berhenti pada “romantisme melihat ke dalam” (proses pengendapan), melainkan setelah itu harus melakukan tindakan nyata (karya). Dari uraian tersebut, penulis berpendapat, bahwa gerakan Arso Tunggal dilandasi oleh pemahaman tentang humanisme kejawèn. Pemahaman itu kemudian dikembangkan menjadi humanisme yang bermuara pada tindakan nyata, bukan sekadar ketenangan jiwa dan kearifan individu. Humanisme yang dikembangkan itulah, yang menurut oleh penulis disebut humanisme Arso Tunggal. Argumentasi yang melandasi penyebutan humanisme Arso Tunggal adalah: 1. Paguyuban Arso Tunggal menempatkan manusia pada posisi yang menentukan, meskipun tetap berada dalam cahaya ilahi. Tuhan hanya menyinari kehidupan manusia, memberikan rambu-rambu, adapun pilihanpilihan tindakan ada di tangan manusia sendiri. 2. Paguyuban Arso Tunggal melandasi kegiatankegiatannya dengan tiga inti ajaran Jawa yang dikembangkan menjadi tindakan nyata, yaitu: sangkan
paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Hal itu membedakan pemahaman Arso Tunggal dari pemahaman Jawa pada umumnya,
178
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
yang menitik-beratkan pada laku, yaitu olah rasa yang menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan individu. Dalam konteks pemikiran krenteg-karep-karsa-karya, Arso Tunggal mengembangkan kegiatan-kegiatan nyata. Kren-teg (mencerminkan penghayatan atas sangkan paraning dumadi) mendorong timbulnya karep dan karsa (mencerminkan manunggaling kawula Gusti), dan keseimbangan antara krenteg dan karep itu diwujudkan dalam pakarti. Proses tersebut dipraktikkan oleh Arso Tunggal dalam bidang pengobatan dan pertanian. Pengobatan alternatif merupakan penerapan kasih terhadap sesama manusia yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, pertanian alternatif merupakan penerapan semangat membantu para petani untuk maju, mandiri, berdaya saing, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tiga inti ajaran humanisme kejawèn yang kemudian dikembangkan itulah, yang menurut penulis, menjadi landasan gerakan Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian. Humanisme yang menghasilkan pakarti, yang kemudian disebut oleh paguyuban ini sebagai “memodernisasikan Jawa” adalah bentuk nyata gerakan berbasis humanisme kejawèn, mengangkat kearifan lokal Jawa, agar dapat mengikuti perkembangan zaman.
Pengobatan Arso Tunggal memodernisasikan kearifan lokal Jawa dalam bentuk pengembangan pengobatan tradisional Jawa;
179
Jawa Menyiasati Globalisasi
antara lain tuma (kutu) dan pisang emas untuk mengobati penyakit hepatitis.2 Konsep pengobatan dengan kutu dan pisang emas itu dikembangkan bekerja sama dengan pihak Jepang, kemudian menghasilkan interveron (obat untuk penderita hepatitis). Penemuan formulasi interveron berawal dari penelitian Djoko Murwono tentang pengobatan Jawa dengan kutu dan pisang emas. Penelitian awal itu ia lakukan tahun 1985, hasilnya ia tawarkan ke seniornya satu almamater (UGM), tapi tidak mendapat tanggapan positif. “Bahkan, hasil penelitian saya tentang tuma dan pisang emas itu dianggap gugon tuhon, saya dianggap paranormal. Hasil penelitian saya itu malah dibuang ke tempat sampah, lalu saya ambil dan saya opèni lagi. Karena Indonesia tidak mau, ya saya jual ke pihak Jepang, waktu itu melalui perusahaan rokok Gudang Garam yang memang memiliki relasi dengan perusahaan Sumitomo, Jepang,” kata Djoko.
Interveron mulai diproduksi secara massal di Jepang tahun 1992, setelah melalui uji coba pada hewan dan manusia. Setelah itu, pihak Sumitomo menawari kepada dia untuk melakukan berbagai macam penelitian untuk dipilih dan dikembangkan di Jepang. Sejak saat itu, Djoko Murwono melakukan berbagai penelitian. Sampai saat ini, dia sudah menghasilkan 60 formulasi obat bio fito farmaka, selain sarana produksi pertanian. Secara resmi hak paten obat-obat tersebut dimiliki oleh Jepang, namun formulasinya hasil karya Djoko Murwono. Dia 2 Pengalaman penulis: dulu sewaktu masih kecil, kalau mengidap sakit kuning (hati) oleh orang tua diminta makan tujuh kutu yang dimasukkan ke dalam pisang emas.
180
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
mendapatkan jasa produksi. Hasil karya itu didorong oleh semangat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mendapatkan obat-obat dengan harga murah.3 Arso Tunggal bisa menjual obat-obat dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga umum, karena Djoko Murwono memberikan subsidi lewat jasa produksi yang dia peroleh. Sebanyak 90 persen dari seluruh jasa produksi yang seharusnya dia peroleh diberikan untuk kesejahteraan di bidang sosial dan kesehatan internasional (international social and health welfare) yang dikelola Sumitomo Group. Subsidi tersebut antara lain disalurkan lewat United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi internasional untuk masalah pengungsi, dan yang lebih besar lagi lewat World Health Organization (WHO), organisasi PBB di bidang kesehatan. Djoko juga memberikan subsidi yang diambil dari tiga persen jasa produksi untuk pendidikan generasi muda caloncalon pemimpin di Asia Pasifik melalui perguruan tinggi di Jepang, yaitu Sofia University dan Hiroshima University. Berikut ini kutipan wawancara penulis dengan Djoko Murwono: Bagaimana sebenarnya mekanisme pemberian
royalty untuk Pak Djoko? Itu urusan Jepang mas. Saya tidak mau tahu, karena kalau saya tahu malah jadi beban moral saya. Lebih baik saya tidak tahu.”
Kalau semua royalty diterima, kira-kira berapa jumlahnya? Ya, hitung saja, misalnya interveron itu per mg harganya 10 dolar AS. Sekarang produksinya Jepang satu minggu sekitar 3 kwintal (atau 300 kg, atau 300 juta mg), hitung saja berapa… Untuk BIDJEVIC (Bio
Immunity Development for Japanese Virus and Cancer 3
Sebagai contoh, harga umum satu kapsul interveron sekitar Rp 450.000, tapi Arso Tunggal menjualnya hanya Rp 2.500 per kapsul dengan nama BCSH atau Bio Cythostatica Syndrome Hepar; harga obat untuk penyakit jantung formulasi paguyuban ini di apotek 75 mg Rp 35.000 per kapsul, di Arso Tunggal 150 mg hanya Rp 1.500.
181
Jawa Menyiasati Globalisasi
Effect), produksi 4 kwintal per hari, tinggal hitung saja dikalikan Rp 300.000. Tapi, saya tidak mau menghitung, nanti kejebak pada uang.
Mengapa Pak Djoko tidak ambil seratus persen
royalty itu? Sebenarnya saya bisa ambil seratus persen, tapi itu bukan nurani saya. Kalau saya sampai melanggar itu, saya terbelenggu uang. Saya hanya terima 5.000 dolar per bulan, itu pun banyak untuk nomboki kegiatan Arso Tunggal. Setahun ‘buku merah’ (daftar pasien yang menunggak memba-yar obat di Arso Tunggal) sampai Rp 150 juta… Itu harus dibayar. Ya, saya yang harus bayar. Uang royalty itu saya terima sebagai inspecstion fee, bukan dengan nama royalty. Harga Nopkor misalnya, Rp 180.000 per liter, harga internasional 18 dolar per liter, di Indonesia dijual 8 dolar per liter, nah selisih harga itulah subsidi saya. Ini jangkanya sampai 2015. Begitu pula dengan obat-obatan dan sarana produksi pertanian yang lain, saya memberikan subsidi lewat Sumitomo. Tidak lewat pemerintah Indonesia, karena ini bukan government to government (G to G), tapi P to P (person to person). Kalau lewat pemerintah, bocornya kakéhan. Kegiatan kami diaudit oleh lembaga internasional Black Forest Rangers, organisasi yang dulunya termasuk Kelompok Roma (Club of Rome), tapi yang khusus mencari dana. Obat-obat tersebut diproduksi di Indonesia dalam bentuk kapsul dengan mikroba yang didatangkan dari Jepang, disalurkan untuk pengobatan oleh Arso Tunggal melalui perkumpulan pengobatan Hati Kudus.4 4 Mengenai Hati Kudus, Djoko menjelaskan: Hati Kudus mulai 1984. Organisasi formalnya ya Arso Tunggal, yang diakui negara. Tidak ada paguyuban Hati Kudus, namun nama internasionalnya Hati Kudus, Holy Core. Gerakannya sekarang masih ada di Belanda dan Jepang, tapi pantauannya sulit. Yang mendirikan Hati Kudus? Ya, saya. Sekarang masih ada juga di Nederland dan Jepang. Untuk wilayah Pasifik yang mengendalikan Jepang, untuk wilayah Eropa dikendalikan Belanda. Kaitan Hati Kudus dengan Asoka, yang mengelola obat-obatan dari Jepang itu? Kebetulan saya ada hubungan dengan Sumitomo. Sifatnya otonomi. Pendanaan di Eropa mandiri, di Jepang mandiri. Konsep yang didanai Jepang hanya yang berkaitan dengan negara sedang berkembang. Pusat Hati Kudus, secara formal ya di Indonesia, pendirinya saya. Di tempat kami, tidak ada pimpinan. Jepang punya bentangan sampai di Amerika Latin. Kaitannya mata rantai otonomi. Mungkin
182
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Stansol misalnya, minuman penambah nutrisi untuk kesehatan. Minuman ini diproduksi dengan bahan-bahan baku lokal, yaitu akar alang-alang, wimbo, kunir putih, temu lawak, minyak bawang putih, minyak wijen, minyak yaitun, bio ATP, pinicilium, rhizopus, galaktosa, arabinosa, manosa, polen, vitamin A, D, E, C, dan B, serta sukrosa, dan glukosa.
Di Asia Tenggara, distribusi obat-obat bio fito farmaka (dan juga industri agro yang dikembangkan Jepang) diawasi oleh UD Asoka, yang dipimpin Ny. Djoko Murwono. Selain di Semarang, pos pengobatan Arso Tunggal juga ada di Sorong, Nabire, Jayapura (Papua), dan Ketapang (Kalimantan Barat). Untuk pos-pos di luar Jawa tersebut, administrasi keuangannya mulai ditangani oleh Asoka, bukan lagi di bawah Arso Tunggal. Obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang proses pembuatannya melalui rekayasa bio teknologi berbahan baku herbal. Ramuan-ramuan herbal diekstraksi, hasilnya disebut fito. Fito diekstraksi lagi dengan mikro organisme, hasilnya disebut bio. Djoko menjelaskan, dari satu kilogram ramuan herbal diekstraksi menjadi 12,5 gram fito farmaka, kemudian diekstraksi lagi (dibagi 30), menjadi kira-kira 450 miligram. Jadi, kalau seseorang minum tiga kapsul obat bio fito farmaka sama Hati Kudus Jepang sudah penetrasi ke Cina, Tibet, India, tapi kendalinya tetap di Jepang, Tapi, saya tidak perlu tahu itu. Pertama kali mereka menginduk di sini, sekitar tahun 1983-1984. Karena otonomi mereka bisa fleksibel, kalau masuk ke negara restriktif, seperti Cina misalnya, jadi organisasi tanpa bentuk. Kontaknya lewat Jepang. Saya tidak mau tahu, bagi saya besarnya organisasi bukan karena rekayasa, tapi karena karyanya. Apakah Jepang salah menangkap ide saya dan apa saya salah kalau mengembangkan ide ini ke luar negeri karena di dalam negeri tidak dihargai? Apa sebagai manusia Jawa saya salah? Apakah itu berarti saya tidak nasionalis? Kalau saya dikatakan tidak nasionalis, tolong sebutkan siapa yang menyebut dirinya sebagai nasionalis itu pernah memberikan sesuatu pada bangsanya selain korupsi…
183
Jawa Menyiasati Globalisasi
dengan meminum sekitar satu kg ramuan jamu. Rumusnya, satu kg ramuan herbal dibagi 80 menjadi fito, kalau dibagi lagi 40 menjadi bio. Kalau bio itu diekstraksi lagi menjadi cairan untuk injeksi. Kelebihan obat bio fito farmaka adalah lebih aman bagi tubuh manusia. Penjelasan metabolisme sebagai berikut: obat yang diminum manusia, diserap oleh zat aktif mikroba dalam usus, mikrobanya mati, sel-selnya pecah, dan diserap dinding usus, sehingga akan memengaruhi ketahanan usus manusia. Dalam teknologi bio fito farmaka, metabolisme itu dilakukan di luar tubuh manusia (disebut secara infitro); bahan aktif dicampur dengan makanan mikroba usus, sehingga mikroba berkembang biak di luar tubuh manusia. Sel-sel mikroba tersebut dituai, dikumpulkan, difragmasi, kemudian dimasukkan membran (disaring), hasil saringan pertama adalah obat-obat oral (diminum), adapun hasil saringan kedua menjadi obat cair untuk injeksi. Dengan proses infitro, bisa diketahui lebih dulu apakah obat-obat itu menyebabkan mikroba mati atau tidak, dengan kata lain dapat diketahui obat itu layak atau tidak dikonsumsi manusia. Jadi, obat bio fito farmaka lebih aman dibanding dengan obat-obat kimia, terlebih lagi obat-obat kimia biasanya juga mengandung logam berat. Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang aman bagi usus, karena tidak mematikan mikroba yang justru bermanfaat bagi kesehatan manusia. Karena tidak mematikan mikroba itu, maka daya tahan usus tidak terganggu. Di sinilah terletak perbedaan antara obat-obat bio fito farmaka dan obat-obat kimiawi-modern. Penjelasan itu sejalan dengan pernyataan Hiromi Shinya (2010:41), bahwa kedokteran modern banyak mengandalkan obat-obatan untuk mengobati penyakit dan memerangi mikroba 184
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
penyebab penyakit. Padahal, sesungguhnya obat-obatan adalah racun yang bukan hanya menghancurkan mikroba berbahaya, melainkan juga menghancurkan mikroba yang menguntungkan, terutama mikroba/bakteri yang berada dalam usus. Dengan demikian, obat-obatan cenderung merusak kondisi usus, sehingga ujung-ujungnya adalah rusaknya kesehatan tubuh kita. Shinya memberi contoh obat antibiotika, tidak hanya menghancurkan kuman yang diincar, tapi juga bakteri bermanfaat. Dengan terganggunya bakteri bermanfaat, keseimbangan bakteri usus juga terganggu dan produksi enzim untuk kesehatan sistem kekebalan menurun. Alhasil, tingkat kesehatan pun menurun. Menurut Djoko, sampai saat ini di dunia terdapat 600 jenis obat kategori teknologi bio, 124 di antaranya berada di Jepang, dan dari 124 itu sebanyak 60 jenis merupakan hasil penelitiannya. Dia mengaku bahwa penelitian adalah panggilan hidupnya, itulah sebabnya dia dikenal sebagai peneliti di bidang rekayasa teknologi bio (bio technology engineering). Penelitian, bagi dia, harus bermanfaat bagi kemanusiaan dan mempunyai nilai jual. Dia memberi contoh, salah satu penelitiannya menghabiskan dana 10.000 dolar AS, maka ia akan menawarkan ke Jepang nilai penelitian itu 60.000 dolar AS; 10.000 dolar AS untuk penelitian pendahuluan yang sudah ia lakukan, sisanya (50.000 dolar AS) diinvestasikan untuk penelitian lain yang lebih besar lagi, terutama dalam hal manfaatnya bagi kemanusiaan. Penelitian pendahuluan untuk sarana produksi pertanian (Nopkor) yang ia lakukan menghabiskan dana 5.000 dolar AS, tapi ia mendapat dana dari Jepang 30.000 dolar AS. Penelitian pendahuluan untuk obat penyakit jantung menghabiskan uang 56.000 dolar AS, dibeli oleh Jepang 150.000 dolar AS. “Sisanya 185
Jawa Menyiasati Globalisasi
adalah investasi untuk penelitian-penelitian yang hasilnya akan berkembang lama. Saya selalu terus terang dengan pihak Jepang, penelitian awal habis sekian dolar, saya jual sekian dolar. Kalau mau ya tinggal tanda tangan…” kata Djoko Murwono. Ia mengkritik peneliti-peneliti Indonesia, yang kebanyakan tidak mempertimbangkan segi manfaat bagi kemanusiaan dan memandang penelitian sebagai proyek saja. Karena itu, di bidang penelitian ini Indonesia tertinggal selama enam dekade (60 tahun) dari negara-negara lain. Djoko pun mengungkapkan, banyak kearifan lokal Jawa yang tidak tergarap dengan baik, bahkan sekarang hilang, misalnya pemanfaatan peté untuk mengobati penyakit. Peté mengandung bahan tertentu untuk menurunkan kadar gula dalam darah, agar baunya tidak menyengat maka peté bisa dibuat acar. Caranya, bagian dalam peté dikupas, tapi kulit kerasnya dibiarkan. Kearifan lokal seperti itu yang sharusnya dikembangkan. Ketika kecil, dia diajari oleh éyang di Yogyakarta, cara membuat acar peté, dicampur bawang dan brambang. Proses pembuatannya sekitar satu minggu. Melalui proses itu, maka rasa peténya halus sekali. Paguyuban Arso Tunggal melakukan praktik pengobatan alternatif tersebut di dua tempat, yaitu di padepokan Bulusan Selatan setiap hari Minggu dan di rumah Djoko Murwono di Jalan Plamongan Indah Raya 479, Semarang setiap hari Kamis dan Jumat. Selain mendapat obat alternatif yang dikembangkan Arso Tunggal, pasien-pasien yang datang juga mendapat terapi dengan cara tubuhnya rebah di atas paku-paku kayu dan ditotok di bagian-bagian pusat syaraf. Praktik pengobatan tersebut dilakukan oleh anggota paguyuban yang sudah masuk kategori prajurit. 186
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:
Sumber: dok. Arso Tunggal
Subiyanto, salah seorang prajurit Arso Tunggal menjelaskan, untuk mencapai tingkatan prajurit seseorang harus melalui ujian dan pelatihan. Mereka melakukan puasa selama 40 hari dengan pantang makanan tertentu, setelah itu dilatih melakukan terapi dengan menggunakan alat berupa dua tongkat kayu sepanjang kira-kira 30 centimeter. Saat ini, ada enam prajurit yang selalu siap melayani pengobatan.
187
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pertanian Di bidang pertanian, Arso Tunggal membangkitkan kemandirian petani, yang hilang karena revolusi hijau dan pertanian transgenik. Langkah tersebut dilakukan melalui penerapan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR). Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat revolusi hijau.5 Revolusi hijau menurunkan kuantitas dan kualitas pro-duksi pangan, mengakibatkan biaya produksi pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan. Gerakan pertanian organik pada umumnya dimengerti sebagai gerakan budidaya pertanian yang anti pemakaian pupuk anorganik dan (terlebih lagi) pestisida. Dua sarana produksi pertanian (pupuk anorganik dan pestisida) itu digunakan secara masif dalam sistem pertanian modern atau yang dikenal sebagai revolusi hijau. Dari awal yang kecil, kini gerakan pertanian organik makin meluas. Makin banyak konsumen pangan yang membutuhkan produk-produk organik, karena alasan kesehatan dan rasa yang lebih segar. Sesungguhnya pertanian organik telah diterapkan pada pra-revolusi hijau, yakni sebelum tahun 1970-an. Pada era itu, penyediaan benih dilakukan petani secara mandiri, dengan menyisihkan sebagian hasil panen. Ada kalanya benih didapat dari lumbung padi di desa yang dikelola secara kolektif. Lumbung padi dalam hal ini juga berfungsi sebagai “pertahan5
Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.
188
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
an” manakala ada warga desa yang mengalami krisis pangan atau butuh bibit untuk tanaman. Di sisi lain, sarana produksi pertanian juga disediakan sendiri. Pupuk tanaman berasal dari kompos, humus, atau kotoran hewan. Cara menanggulangi hama (burung dan tikus) pada umumnya dilakukan secara mekanis. Cara-cara kimiawi belum dikenal. Serangga-serangga yang sekarang jadi hama yang mengancam, dulu bukanlah hama. Mereka menjadi hama, ketika tersedia makanan dalam jumlah berlimpah, berupa jarringan tanaman pangan yang lunak karena pemupukan N (urea) dan asupan air yang berkelimpahan. Pada saat itu, pestisida dibutuhkan untuk membasminya. Revolusi hijau atau modernisasi pertanian (pangan) yang berbasis benih unggul hasil persilangan dan pemuliaan – cirinya rakus asupan kimiawi (khususnya pupuk anorganik) dan air – dan mampu memberikan hasil berkali lipat serta waktu tanam lebih pendek dibanding bibit-bibit lokal, mengubah segalanya. Hubungan patron-klien di desa menjadi terkikis. Lumbung padi mengalami kematian secara sistematis. Benih-benih tanaman tidak lagi disediakan sendiri, karena pertanian modern itu mewajibkan benih-benih hasil persilangan yang tersertifikasi (oleh industri benih atau balai penelitian benih) dan harus dibeli. Orde ekonomi pasar yang hadir bersama revolusi hijau juga melahirkan lembaga-lembaga tata niaga produksi pertanian pangan, seperti KUD, Dolog, dan Bulog, yang secara sistematis mematikan lumbung desa. Penerapan revolusi hijau selama puluhan tahun telah membawa perubahan radikal dalam cara berpikir dan bersikap petani, yang makin pragmatis. Ijon dan tebasan adalah salah satu bentuknya ketika petani menjalani panen, tidak rikuh (sungkan) lagi pada 189
Jawa Menyiasati Globalisasi
tetangga-tetangga yang berkekurangan, karena hubungan patron-klien makin terkikis. Demikian pula interaksi dengan lahan dan tanamannya. Ketika melihat serangga, langsung semprot dengan pestisida, jika perlu mengoplos sendiri berbagai pestisida yang tersedia. Jika tanam-an padi masih kelihatan kuning, tebar urea untuk menjadi-kannya hijau dan subur. Di tingkat global, sesungguhnya produk-produk transgenik – yang lebih eksploitatif dari revolusi hijau – makin memasyarakat dan mengakar. Akibatnya, makin terjadi kecenderungan monopolistik dalam penyediaan benih oleh perusahaanperusahaan transnasional, kecenderungan penyeragaman pola tanam yang akan menggilas keanekaragaman hayati, serta makin masif dalam pemakaian insektisida dan herbisida. Dunia ketiga makin teracuni, sementara perusahaan-perusahaan benih dan pestisida makin menggurita, terlebih lagi didukung oleh sistem neoliberalisme. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak jelas terhadap produk transgenik membuat produk-produk itu tidak tersaring, tak terseleksi, dan tak terbendung masuk di negeri ini. Pola pemikiran Arso Tunggal itu selaras dengan pendapat Hiromi Shinya (2010:42-43) yang mengungkapkan, pertanian zaman sekarang sudah terjebak pada ketergantungan berlebihan terhadap “obat kimiawi.” Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia dan pestisida di lahan garapan untuk menambah hasil panen dan meningkatkan efisiensi pertanian. Biasanya pestisida berupa zat kimia seperti insektisida, fungisida, dan herbisida yang digunakan untuk membunuh serangga, bakteri penyebab penyakit tanaman, atau membunuh tanaman liar. Saat ini tercatat sekitar 5.000 jenis pestisida yang terdaftar. Pupuk, menurut Shinya, adalah zat-zat yang diperlukan tanaman dan diproduksi lewat proses kimia
190
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
di pabrik. Nitrogen yang diperlukan daun, fosfat yang diperlukan buah, dan kalium yang diperlukan akar disatukan dalam pupuk NPK. Bagian-bagian pupuk kimia langsung diserap tanaman, menjanjikan panen yang baik dalam waktu singkat. Masalahnya, ketergantungan mutlak terhadap pupuk kimia akan menyebabkan rusaknya keseimbangan mineral dalam tanah akibat terlalu banyak tiga mineral (nitrogen, fostat, dan kalium). Kemudian, ada masalah pada sifat tak organiknya pupuk kimia, yang tidak memelihara mikroorganisme dalam tanah. Akibatnya, ketergantungan pada pupuk kimia menyebabkan merosotnya kualitas tanah.
Tahun 1992-1993 Djoko Murwono memperkenalkan SPOR di Bangkok, Thailand. Di negara itu, teknologi tersebut bisa berkembang dan sekarang menghasilkan produk-produk pertanian yang maju, bahkan juga berkembang di Myanmar dan Vietnam. Tahun 1994 ia memperkenalkan SPOR di Indonesia, tapi tidak bisa berkembang dengan baik. Sistem Pertanian Organik Rasional juga mengajak petani untuk melakukan aktivitas: 1. Menyediakan/memproduksi benih lokal sendiri. Dengan perlakuan tertentu (rekonstruksi genetika), benih lokal akan mengalami perbaikan genetik dan proses aklimatasi, justru ketika ditanam secara berkelanjutan (anakannya jadi benih tanaman berikutnya) di wilayah yang sama. Produksinya akan makin baik – kuantitas maupun kualitas — dari waktu ke waktu. Dengan memproduksi dan menyediakan benih lokal sendiri, maka lumbung desa pun punya peluang untuk hidup kembali, selain benih lokal itu
191
Jawa Menyiasati Globalisasi
2.
3.
4.
5.
192
terlestarikan dan termuliakan. Petani tidak lagi tergantung pada industri benih. Memproduksi pupuk sendiri (biosol/kompos). Pupuk yang dibuat – yaitu biosol atau kompos – berbahan dasar kotoran hewan dan seresah sampah, yang diperkaya unsurnya lewat asupan mikroba atau NPK bacter (Nopkor). Mikroba ini, selain mampu mengurai unsur NPK dari bahan organik, juga dapat mengurai sisa-sisa pupuk anorganik dari pemupukan sebelumnya, menjadi hara yang sangat kaya dan mudah terserap tanaman. Dalam hal ini, SPOR tidak anti pemakaian pupuk anorganik. Pemakaian pupuk anorganik majemuk (berunsur NPK) dalam jumlah terbatas akan membantu menghidupkan mikroba pengurai (NPK bacter), serta memperkaya unsurunsur NPK dalam kompos. Kekayaan unsur ini yang membedakannya dengan pertanian organik konvensional yang mengandalkan sepenuhnya pada mekanisme alam, sehingga lama proses pelapukan oleh mikroba dan unsur haranya tidak terlalu kaya. Memproduksi sendiri “Miradan,” pestisida ramah lingkung-an. Ramuan anti hama “Miradan” ini berbahan aktif Demplop, pestisida organik yang bersifat alifatis; jika terkena terpaan panas dan ultraviolet akan terurai menjadi pupuk organik. Memperkenalkan pemakaian pupuk daun (lipotril). Jika kompos menyediakan hara makro bagi tanaman, maka pupuk daun menyediakan hara mikro, serta sangat efektif untuk membantu proses pembungaan dan pembuahan, karena langsung masuk ke kloropil tanaman. Menyediakan informasi pemasaran. Pada prinsipnya, petani diberi kebebasan menjual produksinya ke mana
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
pun mereka suka. Tapi, Arso Tunggal berusaha menyediakan alternatif pemasaran, dengan mendatangkan pembeli produk pertanian organik. Dari sisi pencapaian produksi, dengan hasil panen 7,5 ton gabah kering giling per hektare dalam hitungan ubinan dengan usia sekitar 100 hari, paket SPOR sangat bisa bersaing dengan produksi padi pertanian modern atau pertanian transgenik melalui produk-produk hibrida. Hal itu bukan menjadi satusatunya ukuran kelestarian SPOR. Masih ada hal-hal lain yang dijadikan acuan, seperti: apakah biaya produksinya lebih murah, apakah faktor-faktor produksi selalu tersedia dan mudah diakses, apakah harga jualnya lebih tinggi, serta apakah proses produksinya tidak merepotkan. Kalau penerapan SPOR bisa lestari, dan dalam jangka panjang meluas lagi, maka hal ini memberi sumbangan yang sangat positif pada rantai pasokan pangan yang berkeadilan, karena: tanah bisa menjadi makin sehat dan subur; biaya produksi makin berkurang; produksi makin tinggi; bibit-bibit lokal termuliakan; soliditas masyarakat desa makin tinggi; ketergantungan pada benih, pupuk, dan pestisida dari luar makin berkurang; hasil pertanian makin lebih bermutu dan sehat, dan dampak positifnya; masyarakat mengonsumsi hasil pertanian yang lebih berkualitas dan sehat. Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan satu di antara varian gerakan pertanian organik yang masih akan mengalami banyak sekali cobaan untuk mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang. Banyak hal ideal yang terdapat di dalamnya, yang pada intinya mengupayakan kemandirian petani yang hilang akibat pertanian modern (revolusi hijau, rekayasa genetika) yang masif dan mengglobal.
193
Jawa Menyiasati Globalisasi
Sekalipun oleh penggagasnya SPOR dijadikan sarana untuk melakukan resistensi terhadap sistem pertanian modern yang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan, pertimbangan ideologis itu bukanlah yang utama di tingkat petani pelaksananya. Pertimbangan pragmatis lebih utama, maka agar bisa tumbuh dan berkembang SPOR harus teruji di level pragmatis, artinya mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan pragmatis petani: lebih banyak hasil produksinya, lebih baik hasil jualnya, lebih ringan biaya produksinya, dan lebih mudah melakukannya. Salah satu kegiatan SPOR Arso Tunggal adalah penerapan sistem ini di Desa Babakan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Panen perdana padi organik di wilayah itu dilakukan pada Kamis, 25 Maret 2010. Secara total, terdapat 32,232 hektare lahan padi organik yang dipanen. Lahan-lahan itu tersebar di 14 desa, yaitu Desa Tegalsari Timur Kecamatan Ampel Gading, dengan luasan panen 8,085 hektare, Babakan Bodeh (6,66 hektare), Loning, Petarukan (5,33 hektare), Ujunggede, Ampelgading (2,66 hektare), Cibuyuk, Ampelgading (2,31 hektare), Jojogan, Watukumpul (2,30 hektare), Desa Taman, Kecamatan Taman (1,66 hektare), Pedurungan, Taman (1,165 hektare), Pesantren, Ulujami (0,66 hektare), Desa Petarukan, Kecamatan Petarukan (0,33 hektare), Danasari, Pemalang (0,33 hektare), Sarwodadi, Comal (0,33 hektare), Kendalsari, Petarukan (0,247 hektare), dan Sungapan, Pemalang (0,165 hektare). Varietas yang ditanam adalah pandanwangi, mentikwangi, ciliwung, mentik putih, cibagendit, beras merah, tegalgondo, cunde, dan ciherang. Mayoritas padi itu adalah varietas lokal yang didapatkan dari Grobogan dan Yogyakarta.
194
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Gerakan pertanian organik di Kabupaten Pemalang berlangsung bersamaan dengan gerakan pemasyarakatan sertifikasi lahan masyarakat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang.
Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:
Sumber: dok. Arso Tunggal
Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang digunakan itu untuk “menyembuhkan” lahan sawah milik Bupati Pemalang di Desa Loning Kecamatan Petarukan yang lama tidak produktif karena kadar keasamannya yang tinggi. Lahan sawah di Desa Loning 195
Jawa Menyiasati Globalisasi
tersebut telah bertahun-tahun tidak produktif, banyak cara telah digunakan untuk membuatnya kembali produktif, bahkah pernah di lahan itu ditanami mangga, tetapi hasilnya tetap tidak subur dan berbuah. Sebelum di Pemalang, Arso Tunggal telah menerapkan SPOR dalam skala yang terbatas di daerah Kendal, Purwodadi, Salatiga, dan Sleman DIY, untuk budidaya komoditas padi lokal, beras merah, kacang hijau, lombok, tembakau, dan markisa. Untuk pertanian organik rasional, sebenarnya Arso Tunggal telah memulainya sejak awal tahun 1990, namun berhenti pada tahun 1997 karena persoalan manajemen. Gerakan ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 2007. Dalam upaya memberdayakan para petani, Paguyuban Arso Tunggal Djoko Murwono berusaha menghidupkan kembali konsep lumbung desa. Dasar pemikirannya adalah, dalam konsep lumbung desa para petani selalu membuat bibit sendiri dan berjalan secara mandiri. Untuk mendapatkan bibit pangan, selain secara mandiri juga menjadikan bibit yang secara iklim teradaptasi; proses aklimatasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca dan iklim setempat. Kapitalisasi dalam bidang agro, mendorong pembuatan bibit – dengan berbagai alasan, harus tergantung dengan bibit yang dibuat pabrik serta dengan alasan sudah tersertifikasi – menyebabkan terjadinya gagal panen karena kualitas bibit yang tidak memadai. Oleh sebab itu, kearifan lokal seharusnya merupakan benteng pertahanan utama untuk mencegah kerusakan akibat perubahan iklim secara global yang disebabkan kenaikan suhu global, bocornya ozon, sehingga intensitas sinar ultra violet matahari makin tinggi. Menghadapi tantangan ini, perlu
196
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
terobosan teknologi yang lebih memadai serta bersifat pendampingan yang berujung pada kemandirian. Langkah yang perlu ditempuh adalah penguatan kearifan lokal, dimulai dengan penerapan konsep lumbung desa; menyimpan sebagian hasil panen untuk persediaan pangan di masa sulit dan pembenihan dilakukan secara mandiri. Sekarang, posisi tawar petani sangat rendah, karena dari awal sudah dibebani kewajiban membayar utang, sehingga sawah diijonkan. Akibatnya, walaupun sebagai pemilik lahan, petani tidak ubahnya sebagai petani penggarap belaka. Petani tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Teknologi yang diterapkan seharusnya dapat lebih mengaktualisasikan kearifan lokal yang ada, sehingga memperkecil kemungkinan kegagalan. Contoh kearifan lokal Jawa dalam pertanian: membaca tanda musim dengan berbagai ilmu perbintangan, tanda hewan tertentu mulai muncul akan dimulai dengan bercocok tanam jenis tanaman yang sesuai. Misalnya, apabila ada bunyi serangga tenggeret, maka yang paling cocok adalah mulai menyebar tanaman kacang hijau atau kedelai, karena akan panen di tengah musim kemarau, sehingga tanpa terhalang dalam pengeringan oleh sinar matahari. Apabila mulai banyak angin dan setelah puncak bunga turi selang sebulan, mulai menggarap tanah sawah. Selain itu, perlu mengistirahatkan lahan pertanian atau pergantain tanaman dengan tujuan memotong masa inkubasi hama tanaman. Peran keilmuan dan pengetahuan yang bertitik tolak dari kearifan lokal semacam itu seharusnya dikembangkan dan dilengkapi, termasuk di dalamnya penggunaan pupuk kandang dalam sistem budidaya yang dilakukan, serta model tumpangsari untuk mendukung ketersediaan pangan secara harian untuk konsumsi sayur.
197
Jawa Menyiasati Globalisasi
Melalui SPOR, Arso Tunggal melakukan pendampingan kepada para petani, dengan tujuan agar petani lebih mandiri dan berdaya menghadapi perubahan yang terjadi. Pendampingan dilakukan untuk menyejahterakan umat secara keseluruhan. Teknologi yang diterapkan meliputi: teknologi pemuliaan bibit lokal, pengelolaan lahan, pembuatan sarana pertanian, terutama pupuk organik, pestisida alifatis yang sistemis dengan racun alami, pemanenan dan teknologi lepas panenan, serta model perdagangan dan permodalan, sehingga mengurangi jumlah petani yang terkena ijon. Desa adalah tatanan masyarakat agraris yang sesungguhnya, yang merupakan sumber bahan pangan masyarakat perkotaan. Ironisnya, pemerintah cenderung melakukan regulasi dan stabilisasi harga pangan, tetapi kurang memikirkan fungsi dan peran desa sebagai penyangga ekonomi dan sosial secara nasional. Keberpihakan pemerintah pada masyarakat perkotaan, dalam banyak hal merugikan masyarakat pertanian pedesaan, sehingga dalam kurun waktu yang panjang akan menghancurkan peran dan fungsi desa. Dalam stabilisasi harga pangan, pemerintah selalu menggunakan hukum ekonomi kapitalistik, karena pengendalian moneter dipegang secara langsung oleh negara; penyeimbangan antara persediaan dan permintaan (supply and demand). Pada saat panen raya, dengan sendirinya harga pangan, terutama beras, akan menjadi murah, tetapi pemerintah tidak pernah berperan untuk menjaga stabilitas harga, justru menyerahkannya pada mekanisme pasar. Akibatnya, harga pangan menurun tajam karena banyak persediaan melimpah. Sebaliknya, di saat para petani tidak panen, pamerintah sering menyebutnya paceklik dan oleh karena itu mengimpor beras dengan alasan demi stabilitas harga dan stabilitas politik. 198
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Hal itu kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan petani di pedesaan. Dampak berikutnya, terjadi alih profesi kelompok muda pedesaan, dari petani menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar di perkotaan. Djoko menyebutkan, konsep yang diterapkan pemerintah dalam kaitannya dengan pembangunan adalah konsep ”kota mengepung desa,” bukan kota yang dikepung dan dihidupi oleh desa. Padahal, yang diperlukan pembangunan nasional saat ini adalah konsep keseimbangan sosial dan ekonomi, saling bersinergi dan saling menguntungkan antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya, perlu dilakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa yang berbasis pertanian, agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kearifan lokal masyarakat pertanian pedesaan perlu dibangkitkan lagi. Kearifan lokal itu penuh dengan aspek kebersamaan yang dimulai sejak kecil, ketika ikatan kekeluargaan merupakan terminal dalam mengatasi kesulitan hidup. Ungkapan ”mangan ora mangan, waton kumpul” (”makan tidak makan, yang penting kumpul”) sesungguhnya mencerminkan solidaritas masyarakat desa untuk saling berbagi. Begitu pula budaya rewangan dan nyumbang (saling membantu kalau ada tetangga punya hajat), gugur gunung (saling membantu dan merawat sarana pedesaan), sambatan (saling membantu dalam membangun rumah). Ciri masyarakat pedesaan itu seharusnya dikembangkan lagi untuk menghadapi gempuran budaya globalisasi. Pembinaan keakraban dan kekeluargaan itu diisyaratkan lewat tembang ”Ilir-ilir” berikut ini: Lir ilir, lir ilir tanduré wus sumilir Tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar Cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi Lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira
199
Jawa Menyiasati Globalisasi
Dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir Domana jlumantara, kanggo seba mengko soré Mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané Dha suraka, surak horé!
Terjemahan bebas tembang itu adalah: Bangun dan bangunlah, tanaman padi mulai bertahan hidup/Tanaman itu tampak hijau segar, seperti kehi-dupan pengantin baru/Anak gembala tolonglah panjat pohon belimbing itu/Walaupun licin tetaplah dipanjat, sebab akan digunakan mencuci kain yang dipakai/Jarik yang sobek pinggirnya supaya dijahit/sebab akan di-pakai resepsi nanti sore/Semampang bulan terang, semampang luas halaman rumah/Marilah semua ber-sorak dan bergembira.
Itulah pesan budaya, yang sekilas tanpa makna dan arti, namun sebenarnya sarat dengan rasa syukur dalam kebersamaan dan kesederhanaan. Itulah modal besar yang dapat digunakan untuk melewati krisis multidimensional yang sekarang melanda dunia, karena kota menjadi modern, individualistis, materialistis, serta tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas.6 6 Keterangan Djoko bahwa tembang ”Ilir-ilir” merupakan isyarat keakraban dan kekeluargaan masyarakat pedesaan berbeda dari pengetahuan yang selama ini berkembang. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tembang tersebut hasil karya Sunan Kalijaga, namun Solichin dalam buku Sekitar Wali Sanga (dalam Purwadi dkk, 2005:190-192) menjelaskan, belum dapat dipastikan apakah pengarang tembang itu Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Pada awal tahun 1962, Lembaga Kantor Berita (LKBN) Antara pernah menurunkan tulisan yang mengulas tembang itu. Disebutkan, ”Ilir-ilir” merupakan karya Sunan Kalijaga dan dimaksud untuk memberitahukan bahwa telah tiba saatnya untuk menggempur Majapahit, sebagai pencanangan perang. Pembesar-pembesar dari pesisir yang telah memeluk Islam menunggu saat yang tepat untuk menyerang Majapahit. Tulisan itu mendapat sorotan tajam, terutama dari Islam garis keras. Banyak ahli yang menyatakan bahwa penafsiran itu keliru. Menurut para ahli tersebut, tembang ”Ilir-ilir” sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam penyiaran agama Islam sangat jelas, sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dan ajaran lain. Menurut para ahli
200
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Ciri-ciri kehidupan sosio-kultural masyarakat desa Jawa itu, oleh Purwadi (2005:71-73) dinyatakan sebagai berikut: 1. Menjunjung kebersamaan: diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan rewang; 2. Suka kemitraan: siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara; 3. Mementingkan kesopanan: terwujud dalam istilah antara lain unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, dan suba sita; 4. Ahli musim: di balik kesederhanaan, ternyata masyarakat Jawa sangat paham terhadap pergantian musim (pranata mangsa). Mereka mengerti soal pergantian musim, terutama berkaitan dengan masa tanam dan masa panen (musim penghujan, musim kemarau, labuh, marèng); 5. Pertimbangan religius: sistem kepercayaan masyarakat Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindakannya; selalu mencari hari pasaran yang baik setiap akan melakukan kegiatan. Di pedusunan banyak tersebut, makna kalimat Ilir-ilir, ilir-ilir tanduré wis sumilir adalah makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig; tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar = hijau adalah warna dan lambang agama Islam, dikira pengantin baru; cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi = cah angon diibaratkan penguasa yang menggembalakan rakyat dan disarankan masuk Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang berbentuk segi lima sebagai lambang rukun Islam; lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira = walaupun licin, tapi usahakanlah agar dapat masuk Islam demi menyuscikan pakaian (bagi orang Jawa agama ibarat pakaian); dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir = pakaian (atau agama) kalian sudah rusak; domana jlumantara, kanggo seba mengko soré = pakaian (atau agama) yang sudah rusak itu harus dijahit (diperbaiki) sebagai bekal menghadap Tuhan; mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané = selagi masih hidup, masih ada kesempatan untuk bertobat. Dha suraka, surak horé! = bersoraklah, bergembiralah!
201
Jawa Menyiasati Globalisasi
6.
7. 8.
9.
10.
dijumpai upacara tradisional yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi; Toleransi tinggi: segala kejadian di luar dirinya dibiarkan saja berjalan secara alami. Orang mudah memaafkan kesalahan orang lain; Hormat pada pemimpin: masyarakat pedesaan selalu menaruh hormat kepada para pemimpinnya; Hidup pasrah: masyarakat pedesaan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap menghadapi masalah kehidupan; Cinta seni: masyarakat pedesaan menyukai keseni-an, terutama kesenian tradisional yang berkembang di wilayah mereka; Dekat alam: kedekatan dengan alam ini misalnya tercermin dari cara masyarakat pedesaan menyebut matahari (dengan Sang Hyang Surya), bulan (Sang Hyang Candra), dan angin (Sang Hyang Bayu).
Kedekatan masyarakat Jawa pada alam juga tercermin dari ungkapan ”ibu bumi, bapa angkasa,” bahwa bumi adalah simbol ibu yang menumbuhkan tanaman, langit adalah simbol ayah karena melindungi dan menurunkan hujan. Djoko mengungkapkan, di banyak negara lain sektor pertanian menerima subsidi dan dilindungi dari ekspansi produk pertanian asing, karena sektor pertanian merupakan salah satu bentuk pertahanan pangan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Di banyak negara, pemerintah membeli produk pangan rakyatnya dengan harga yang tinggi, kemudian menjual di dalam negerinya dengan harga yang murah, sehingga melindungi petani, agar produk tetap kompetitif dibandingkan dengan harga produk asing.
202
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Ironis, di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, pemerintah justru memberikan subsidi bukan pada pelaku pertanian, melainkan kepada pada broker pertanian dan pelaku pasarnya. Akibatnya, alih fungsi profesi dan lahan selalu terjadi dan sektor pertanian makin tidak populer sebagai penyerap tenaga kerja. Pemerintah tidak mampu melindungi dan menyejahterakan para petani. Kenyataan itu menjadi salah satu penyebab meningkatnya arus urbanisasi. Masalah urbanisasi bukan sekadar kesenjangan partumbuhan ekonomi desa-kota, melainkan juga masalah budaya sebagai akibat dari pergeseran nilai-nilai masyarakat pedesaan. Pergeseran itulah yang bisa disebut sebagai perubahan ruralism ke urbanism. Istilah ini mungkin kurang lazim, namun intinya adalah pergeseran cara pandang masyarakat pedesaan yang dulu merasa nyaman menjadi orang desa sekarang risi dianggap ndesa sehingga berusaha menjadi orang kota. Ada kerancuan pikir, seolah-olah kota adalah modern-maju sedangkan desa adalah keterbelakangan. Kerancuan ini pun dipicu oleh pembangunan dan modernisasi yang dilandasi nilai-nilai kapitalistik Barat. Mengapa ‘’virus’’ urbanisme sangat mencengkeram masyarakat pedesaan, sehingga sektor pertanian tertatih-tatih dan tidak lagi menjadi primadona? Salah satu jawabnya adalah, lemahnya ketahanan budaya menghadapi gempuran arus global. Kita sebenarnya belum bebas dari penjajahan budaya. Urbanisme adalah salah satu bentuk keterjajahan itu. Masyarakat pedesaan tidak lagi mandiri sebagai entitas yang bangga dengan eksistensinya. Ironisnya, perasaan tidak bangga terhadap pedesaan juga merasuki para elite yang berwenang menyusun strategi pengembangan masyarakat. Akibatnya, kebijakan pemerintah sering tidak memihak masyarakat pedesaan. Pedesaan
203
Jawa Menyiasati Globalisasi
sebagai sentra pembangunan perekonomian masih menjadi slogan manis yang belum terlaksana. Gambar 6: Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:
Diskusi pengembangan pertanian organik dengan anggota DPRD DIY dan LSM:
Sumber: koleksi pribadi penulis
Akibat berikutnya, pembangunan masih terkonsentrasi di perkotaan. Anggaran pembangunan dan peredaran uang menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur memang sudah masuk desa-desa, tapi, karena tidak diimbangi ketahanan budaya, maka hasilnya justru menjadi sarana
204
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
masuknya nilai-nilai kapitalisme Barat, bukan menjadi pemicu kebangkitan potensi lokal. Urbanisme sebagai pola pikir ibarat pondasi yang rapuh. Kebijakan ekonomi yang pro-perkotaan adalah tiang-tiang yang tidak kokoh. Akibatnya, masyarakat menjadi bangunan yang mudah guncang akibat pengaruh dari luar. Menghadapi kenyataan itu, pendampingan yang dilakukan Paguyuban Arso Tunggal lewat SPOR diarahkan agar para petani mampu memproduksi hasil pertaniannya secara mandiri dan membuka peluang ke pasar global. Cara itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena harga jual produk pertanian mereka dibeli dengan harga yang tinggi. Sampai saat ini, Arso Tunggal sudah membantu petani mengekspor produk mereka ke Korea Selatan dan sedang dalam penjajakan ekspor ke Belanda. Konsep pengembangan lumbung desa dan SPOR itu telah menarik berbagai pihak. Djoko Murwono sering diundang oleh berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, untuk menjelaskan gagasan-gagasannya.
Perbandingan Arso Tunggal dan Humanisme Barat Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut ini perbandingan antara humanisme Arso Tunggal dan humanisme Barat.
Arso Tunggal dan Humanisme Klasik Pemikiran yang dikembangkan Paguyuban Arso Tunggal, melalui pertemuan Reboan, menitikberatkan pada faktor manusia; apakah manusia itu? Dari mana asal-usulnya? Bagaimana
205
Jawa Menyiasati Globalisasi
manusia harus hidup di dunia dan berkarya untuk sesama manusia dan lingkungan? Terdapat perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat pada Periode Klasik. Humanisme Klasik sudah melepaskan diri dari pemikiran tentang alam dan terfokus sepenuhnya pada faktor manusia, adapun pemikiran Arso Tunggal masih diwarnai oleh pandangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang selalu mengaitkan jagad cilik dengan jagad gedhé (mikrokosmos dan makrokosmos), meskipun titik pusatnya tetap pada diri manusia sendiri. Dibandingkan dengan pemikiran Sokrates, maka Arso Tunggal berpandangan bahwa hidup memang harus terus-menerus dikaji, untuk meningkatkan martabat manusia. Pemikiran ini teraplikasikan ke dalam pengkajian yang dilakukan lewat penelitian-penelitian ilmiah di bidang pengobatan untuk membantu masyarakat yang sakit dan SPOR sebagai perwujudan niat memberdayakan petani. Arso Tunggal mengembangkan pemikiran bahwa manusia memang terdiri dari tiga aspek, yaitu tubuh, jiwa, dan roh (seperti yang digambarkan Plato), tapi pemahaman itu berbeda dari pemahaman sebagian besar masyarakat Jawa yang cenderung mengutamakan roh, kurang mengembangkan potensi jiwa dan tubuh. Arso Tunggal justru mengeksplorasi potensi jiwa tersebut untuk diragakan. Ungkapan yang digunakan adalah mengaktualisasikan krenteg yang diangkat ke ranah pikiran (karep), selanjutnya menjadi niat untuk bertindak (karsa), dan akhirnya terwujud dalam kegiatan konkret (karya). Mekanisme tersebut tercermin dari ritual ngraga sukma. Mekanisme itu mencerminkan, bahwa Arso Tunggal mengutamakan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, karena jiwa 206
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
dan tubuh masih termasuk dalam dimensi kemanusiaan, bukan rohani. Dengan demikian, gerakan paguyuban ini mengutamakan faktor manusia, dengan karya-karya nyata (benda konkret) seperti pandangan Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal bersifat sintesis antara pemikiran Plato – yang menganggap bahwa dunia ide adalah nyata dan dunia pengalaman hanyalah bayang-bayang dari dunia ide – memisahkan jiwa dari tubuh – dan pemikiran Aristoteles yang lebih mengutamakan benda-benda nyata (atau karya-karya nyata) daripada pendambaan pada dunia ide. Sintesis tersebut tergambarkan dari gerakan Arso Tunggal yang mengembangkan ide-ide tentang kearifan lokal Jawa ke dalam praktik nyata dalam pengobatan dan pertanian. Bagi Arso Tunggal, baik dunia ide maupun pengalaman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, melainkan justru harus disinergikan untuk mencapai karya yang bermanfaat bagi umat manusia. Sinergitas itu merupakan keterpaduan antara krenteg, karep, karsa, dan karya. Empat hal itu tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan.
Arso Tunggal dan Humanisme Abad Pertengahan Sebagai gerakan, kegiatan Paguyuban Arso Tunggal merupakan perpaduan antara pandangan bahwa manusia adalah makhluk kodrati dan makhluk adikodrati (imanen dan transenden), seperti pandangan humanisme St. Agustinus di Abad Pertengahan. Hal tersebut tercermin dari pemahaman yang dikembangkan Arso Tunggal, bahwa inti humanisme adalah sangkan paraning dumadi (manusia sebagai makhluk adikodrati), manunggaling kawula Gusti (manusia sebagai makhluk adi-kodrati sekaligus kodrati), dan pakarti.
207
Jawa Menyiasati Globalisasi
Sifat humanisme gerakan ini terlihat dari motivasi kegiatan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada kemampuan intelektual manusia daripada sekadar bertumpu pada kekuatan supranatural. Paguyuban ini mengembangkan dua pokok kegiatan, yaitu pengobatan dan pertanian yang didasarkan pada riset ilmiah. Semangat yang mendasari kegiatan itu adalah tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada seremoni keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Tuhan dipandang sebagai kekuatan Yang Maha Kuasa, yang menyinari kehidupan manusia, dan hanya memberi arahan-arahan dan rambu-rambu, tapi pada akhirnya manusialah yang memilih. Dalam praktik kegiatan, Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa intelektualitas kemanusiaan adalah hal yang sangat penting dan menentukan kualitas manusia dalam kehidupan. Pemahaman yang dikembangkan adalah, bahwa masalah adikodrati (masalah sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti) tidak berarti tanpa tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan. Kalaupun Arso Tunggal memercayai kekuatan Tuhan, maka hal itu ibarat cahaya yang menyinari tindakan manusia. Tuhan tidak melarang tapi memberi aturan-batasan, untungcelaka tergantung pada diri manusia sendiri. Ajaran tersebut menggambarkan, Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri. Pandangan ini sama dengan pandangan humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas. Kegiatan Arso Tunggal didasari oleh eksplorasi jiwa yang dimanifestasikan ke dalam tubuh (dalam bentuk pikiran) yang kemudian menghasilkan karya. Kegiatan itu disebut ngraga sukma, yang tercermin dalam ungkapan krenteg-karep-karsa-
208
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
karya. Kegiatan itu masih berada dalam ranah kemanusiaan, bukan ketuhanan. Arso Tunggal mengkritik kaum agama yang lebih mementingkan tata cara ibadah (liturgi) daripada pelaksanaan ibadah itu ke dalam tindakan nyata yang berguna bagi sesama. Kritik tersebut sama dengan kritik tokoh humanis Abad Pertengahan, Desiderius Erasmus. Kritik itu menyebabkan Djoko Murwono dicap “Katolik yang Kejawèn” atau bahkan dituduh akan mendirikan agama baru. Titik berat pada unsur kemanusiaan (daripada keagamaan atau bahkan ketuhanan) terlihat dari terbukanya Arso Tunggal bagi orang-orang di luar Katolik, dari segala golongan, etnik, maupun profesi. Seperti Arthur James Balfour, Djoko Murwono pun mengaitkan budaya manusia dan ketuhanan dengan gambaran: budaya itu ibarat bumi, agama ibarat bulan, dan Tuhan ibarat matahari. Di malam hari, matahari menyinari bulan dan bulan memantulkan sinar ke bumi. Oleh sebab itu, ia menolak pencampuradukan antara agama dan budaya. Bagaimanapun manusia dengan budayanya memiliki otoritas menentukan kehidupan, tapi disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Gerakan Paguyuban Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian membuktikan bahwa gerakan ini termasuk gerakan humanisme seperti yang berkembang di Abad Pertengahan, yaitu dengan karakteristik yang diungkapkan Richard Southern: (1) pengertian tentang martabat makhluk hidup, (2) pengertian tentang martabat alam, dan (3) pengertian bahwa tatanan alam dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan sebagai pusatnya. Dalam konteks tersebut, paguyuban ini menerapkan keseimbangan antara rasa dan pikiran. Martabat manusia, 209
Jawa Menyiasati Globalisasi
menurut pemahaman Arso Tunggal, ditentukan oleh sejauh mana manusia mampu menyeimbangkan rasa dan pikiran untuk diaktualisasikan dalam kegiatan konkret.
Arso Tunggal dan Humanisme Modern Kalau Rene Descartes di Abad Modern mengatakan “Aku berpikir maka aku ada,” maka Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertian-pengertian di dalamnya. Itulah sebabnya, Arso Tunggal mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa (diistilahkan “memodernisasikan” Jawa) ke dalam pendekatan ilmiah. Riset-riset ilmiah dilakukan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan tentang kearifan-kearifan lokal Jawa, kemudian menghasilkan produk-produk (obat-obatan dan SPOR) yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif Karl Marx, langkah itu menggambarkan kreativitas manusia sebagai kesadaran tentang eksistensi manusia. Langkah-langkah itu menunjukkan, bahwa paguyuban ini mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan Immanuel Kant). Dalam konteks budaya Jawa, maka Arso Tunggal mengkritik pemahaman yang selama ini ada, yaitu budaya Jawa (seolah-olah) hanya bermuara pada kearifan (wisdom). Kegiatan paguyuban membuktikan, bahwa budaya Jawa pun seharusnya bermuara pada ilmu pengetahuan, bukan sekadar kearifan, dan hal itu sudah dibuktikan dengan penemuan-penemuan di bidang pengobatan dan pertanian alternatif. Renaisans Kalau di Masa Renaisans gerakan humanisme menentang dominasi kristianitas Periode Pertengahan, maka gerakan 210
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan kritik terhadap pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis, kurang terjun ke dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan kurang memanusiakan manusia. Kritik itu tercermin dari ungkapanungkapan Djoko Murwono yang tidak peduli akan dicap apa pun sebagai penganut Katolik, yang penting baginya hidup harus bermanfaat untuk orang lain, memanusiakan manusia. Tidak hanya kritik terhadap agama, gerakan Arso Tunggal juga merupakan manifestasi dari kritik terhadap feodalisme, seperti humanisme Renaisans Italia yang bercita-cita membebaskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan feodalisme. Hal itu tercermin dari sikap aktor sentral yang tidak mau “terbelenggu” oleh nilai-nilai feodalistik yang dia peroleh dari didikan di lingkungan dua keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Dia memilih terbebas dari feodalitas itu dan hidup merdeka, mengembangkan ngélmu lewat gerakan Arso Tunggal. Pencerahan Gerakan Arso Tunggal tidak menafikan kekuatan pikiran, tetapi kekuatan itu diangkat dari kekuatan yang lebih dalam, yaitu kekuatan jiwa yang disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Berbeda dari gerakan humanisme Pencerahan yang menempatkan pikiran sebagai panglima dalam “perang” melawan takhayul, gerakan Arso Tunggal justru menyelaraskan pikiran dengan jiwa dalam setiap kegiatannya. Sama dengan keyakinan humanisme Pencerahan, humanisme Arso Tunggal pun menitikberatkan pada hal-hal bersifat natural-alamiah. Pengembangan obat-obatan bio-fito farmaka yang dikembangkan berlandaskan pengetahuan pengobatan Jawa (misalnya obat hepatitis yang dikembangkan dari perpaduan kutu atau tuma dan pisang emas) adalah bukti pende211
Jawa Menyiasati Globalisasi
katan natural-alamiah. Begitu pula, pengembangan SPOR yang melestarikan daya dukung tanah, menggambarkan bahwa Paguyuban Arso Tunggal berobsesi membangun pranata-pranata sosial yang adil, dengan mengangkat martabat petani agar mampu mandiri, terbebas dari tekanan-tekanan kekuatan kapitalistik. Humanisme Pencerahan mengajarkan manusia tidak selalu menoleh ke belakang (ancient classical utopias), melainkan perlu menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa dihapuskan. Semangat itu juga terdapat dalam gerakan Paguyuban Arso Tunggal, tercermin dari gerakan SPOR yang berusaha mengangkat kesejahteraan petani, tidak memercayai takhayul tapi memandang bahwa Yang Maha Kuasa menyinari hidup manusia, dan mendorong terciptanya perdamaian antarmanusia. Gerakan Arso Tunggal berorientasi pada masa depan yang lebih baik, tidak menoleh ke belakang. “Kita tidak perlu menoleh ke belakang, karena dengan begitu kita bisa berpikir maju, berorientasi masa depan,” kata Djoko Murwono.
Arso Tunggal dan Humanisme Postmodern Seperti pemahaman yang berkembang pada masa Postmodern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya. Titik berat pada unsur manusia dibuktikan oleh paguyuban ini pada kegiatan-kegiatan pengobatan yang dilakukan melalui klinik di Bulusan dan Plamongan, Semarang serta pengobatan yang dilakukan di Manokwari, Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat. Selain itu, juga pengembangan SPOR untuk membantu para petani. Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).
212
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Pengutamaan budaya terlihat dari fakta bahwa bahwa Arso Tunggal adalah gerakan budaya, bukan agama. Oleh sebab itu, paguyuban ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai agama, aliran kepercayaan, dan profesi. Arso Tunggal juga mengembangkan pemahaman, bahwa budaya dan agama merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Pemisahan tersebut perlu untuk menghindari (mengurangi) konflik-konflik yang di permukaan seperti konflik agama, padahal sebenarnya konflik budaya. Gerakan Paguyuban Arso Tunggal mencerminkan karakteristik Postmodern, yaitu: 1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan realitas dan konteks yang baru. (Bukti empirik: Paguyuban Tunggal selalu berusaha menemukan halhal baru dalam pengobatan dan pertanian. Harga obat yang mahal dijawab dengan penemuan-penemuan baru di bidang pengobatan dan pemberian subsidi kepada masyarakat; revolusi hijau yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi pangan, biaya produksi pertanian yang makin mahal, maupun persoalan lingkungan yang diakibatkannya dijawab dengan penerapan SPOR). 2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berubah dan berkembang. (Bukti empirik: ketika ditanya apa sebenarnya tujuan hidup manusia, Djoko Murwono menjawab: “menjadi manusia, menjadi diri sendiri.” Ungkapan itu mencerminkan, bahwa manusia harus 213
Jawa Menyiasati Globalisasi
terus-menerus mencari dan mengembang-kan jatidirinya. Gerakan yang mencerminkan hal ini adalah, pendampingan kepada para petani agar mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah; memanusiakan petani). 3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis, artinya me-rupakan undangan untuk saling menjadi makin manusiawi. (Bukti empirik: ritual yang dikembangkan Arso Tunggal membimbing anggota untuk meningkatkan kualitas sebagai manusia, yang dalam budaya dikenal dengan satriya, satriya
pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinandhita, ratu ratuning pinandhita.). 4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi normatif dan faktual dalam realitas kehidupan manusia saling ber-interaksi dan tidak dapat dipisahkan. (Bukti empirik: Arso Tunggal selalu melakukan sarasehan Reboan untuk membahas perkembangan aktual berkaitan dengan gerakan di bidang pengobatan dan pertanian. Contoh: melakukan riset untuk menemukan obat alternatif untuk HIV dan riset untuk meningkatkan produksi pertanian). 5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua corak politik, yaitu politik emansipatorik yang bertujuan mengu-rangi atau bahkan menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta politik kehidupan yang mengedepan-kan aktualisasi diri serta kepedulian moral dan eksistensial yang telah dipinggirkan oleh Humanisme Modern. (Bukti empirik: di bidang pengobatan Arso Tunggal membantu masyarakat yang kurang mampu dengan memberikan subsidi harga obat, sehingga harga menjadi murah dan terjangkau. Di bidang pertanian 214
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Paguyuban Arso Tunggal berusaha meningkatkan daya saing dan kemandirian petani melalui SPOR, menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan).
Arso Tunggal Tidak Terlepas dari Ketuhanan Berbeda dari gerakan Humanisme Modern dan Postmodern, gerakan Humanisme Arso Tunggal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi peningkatan martabat umat manusia. Humanisme kejawèn yang dikembangkan adalah pemahaman bahwa Tuhan itu transenden sekaligus imanen, tapi Tuhan tidak sepenuhnya menentukan manusia, melainkan hanya memberi panduan-panduan tertentu, dan manusialah yang memilih nasibnya sendiri. Meskipun ada perbedaan pemahaman humanisme kejawèn Arso Tunggal, namun sebagai gerakan paguyuban ini memiliki persamaan dengan semangat yang terkandung dalam Manifesto Humanis I dan Manifesto Humanis II. Dalam Bab Dua disebutkan, Manifesto Humanis I antara lain mencerminkan revisi sikap-sikap tradisional. Perubahan di bidang sains dan ekonomi telah mengacaukan keyakinankeyakinan lama. Aktivitas-aktivitas penting manusia berada dalam kerangka humanisme, baik secara implisit maupun eksplisit. Dikaitkan dengan Manifesto Humanisme I itu, maka gerakan Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan revisi sikap-sikap tradisional. Hal itu terlihat dari upaya paguyuban 215
Jawa Menyiasati Globalisasi
ini melakukan revisi sikap-sikap tradisional Jawa, dari pemahaman bahwa budaya Jawa bermuara pada kearifan menjadi pemahaman bahwa budaya Jawa menghasilkan ilmu pengetahuan. Melalui observasi partisipatif, penulis juga menemukan, bahwa gerakan Paguyuban Arso Tunggal merupakan gerakan yang dilakukan dalam kerangka humanisme, baik secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, karena gerakan paguyuban ini masih diwarnai simbol-simbol agama Katolik (paku-paku kayu yang berbentuk tanda salib), tetapi dasar gerakan sebenarnya adalah hmanisme kejawèn. Simbol agama itu hanya ada di permukaan sebagai wahana untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Manifesto Humanis II menyebutkan, berbagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dilakukan oleh negara, bahkan di negara demokratik sekalipun, oleh kekuatan militer, politik, dan elite-elite industri. Di beberapa negara, muncul tuntutan-tuntutan kesetaraan hak-hak dari kelompok-kelompok perempuan dan kaum minoritas. Kaum humanis mendambakan abad yang akan datang merupakan abad humanistik. Perubahan-perubahan dramatik di bidang keilmuan, teknologi, serta di bidang sosial-politik membuka kesadaran umat manusia untuk memasuki abad baru. Berkat teknologi, umat manusia dapat mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit, mengembangkan kehidupan, untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna. Dikaitkan dengan Manifesto Humanis II, gerakan Paguyuban Arso Tunggal merupakan gerakan untuk membela hakhak asasi manusia yang tertekan oleh kekuasaan negara, politik, dan elite industri. Hal itu tercermin dari program pendampingan kepada para petani. Riset ilmiah dalam pengobatan dan
216
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
penerapan SPOR membuktikan, bahwa Arso Tunggal juga memanfaatkan teknologi (berbasis kearifan lokal Jawa) untuk mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit, untuk mencapai kehidupan yang bermakna.
Kesimpulan Praktik humanisme Arso Tunggal melalui tiga kegiatan pokok, yaitu bidang pengobatan, pertanian, dan kajian budaya Jawa. Kajian budaya Jawa menjadi landasan dua kegiatan yang lain. Kajian-kajian tersebut dilakukan pada setiap Rabu malam sampai Kamis dinihari, dilengkapi dengan ritual meditasi. Sarasehan dan ritual tersebut merupakan awal aplikasi pemahaman tentang inti humanisme kejawèn yang dikembangkan, yaitu sangkan paraning dumadi, manunggaling
kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Ritual ngraga sukma sebagai proses mengeksplorasi jiwa untuk “diangkat” ke otak (pikiran), sehingga terjadi sinergitas antara niat dari dalam jiwa (krenteg) dan kehendak dari otak (karep). Hasil proses tersebut adalah kehidupan manusia dipimpin oleh jiwa, bukan dikendalikan oleh otak. Sinergi itu kemudian mewujudkan kehendak untuk bertindak (karsa), selanjutnya menghasilkan karya. Proses itu disebut sebagai proses krenteg-
karep-karsa-karya. Tiga inti humanisme kejawèn yang dikembangkan tersebut menjadi landasan kegiatan Arso Tunggal di bidang pengobatan dan pertanian. Untuk mencapai pakarti, paguyuban 217
Jawa Menyiasati Globalisasi
ini mengangkat budaya dan kearifan lokal Jawa, dimodernisasikan agar mampu mengikuti arus global. Di bidang pengobatan dan pertanian, Arso Tunggal memberikan alternatif obat-obat dan sistem pertanian yang dihasilkan dari pengembangan kearifan lokal Jawa dengan riset-riset ilmiah. Kegiatan itu bertujuan agar masyarakat Indonesia kembali ke pengobatan berbasis budaya dan kearifan lokal dengan harga yang terjangkau dan memandirikan para petani dari ketergantungan sistem pertanian asing. Terdapat persamaan dan perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat. Persamaan dan perbedaan itu menunjukkan sifat sinkretisme Jawa yang dikembangkan oleh paguyuban ini, sebagai langkah menyiasati globalisasi. Humanisme Arso Tunggal masih diwarnai oleh pandangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang selalu mengaitkan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhé), meskipun faktor manusia sangat menentukan. Hal inilah yang berbeda dari humanisme Periode Klasik yang sudah lepas dari pemikiran tentang alam. Semangat yang mendasari kegiatan Arso Tunggal adalah, bahwa tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada seremoni keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Paguyuban ini mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri, sama dengan pandangan humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas. Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan
218
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertianpengertian di dalamnya; mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan Immanuel Kant). Pandangan ini mirip dengan pandangan humanisme Periode Modern. Seperti pemahaman yang berkembang pada gerakan humanisme Postmodern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya. Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”). Berbeda dari gerakan humanisme Modern dan Postmodern, gerakan humanisme Arso Tunggal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi peningkatan martabat umat manusia. Banyak makna tentang humanisme, namun terdapat ideide dasar humanisme seperti dijelaskan Hoertdoerfer (dalam Bab Dua). Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara pemaknaan humanisme oleh masyarakat Barat dan pemaknaan humanisme menurut Arso Tunggal (lihat Lampiran 4). Dari persamaan dan perbedaan tersebut, penulis menyimpulkan, secara garis besar karakteristik gerakan Paguyuban Arso Tunggal adalah: 1. 2.
Sebagai gerakan hmanisme kejawèn terbentuk oleh nilai-nilai budaya Jawa aktor sentralnya; Sebagai gerakan yang dilandasi oleh pemahaman yang sama dengan gerakan humanisme Periode Pertengahan, yaitu memandang manusia sebagai 219
Jawa Menyiasati Globalisasi
3.
4.
220
makhluk adikodrati sekaligus kodrati, menyeimbangkan antara jiwa dan raga, tidak menafikan kekuatan intelektual untuk pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagai reaksi terhadap kekurangmampuan agama menjawab masalah sosial kemanusiaan. Sebagai gerakan yang lahir dengan semangat yang sama dengan gerakan humanisme Modern (antara lain metode ilmiah dan obervasi percobaan, manusia mampu mengubah dunia, tidak terbelenggu pada masalah dogmatis, berorientasi masa depan), tetapi tidak melepaskan entitas ketuhanan. Sebagai gerakan yang terwujud dengan semangat yang sama dengan humanisme Postmodern (yaitu memaknai manusia dalam konteks budaya untuk menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan), tetapi memahami entitas ketuhanan sebagai cahaya yang menyinari masalah kemanusiaan.