BAB IV AKTUALISASI HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud. Secara teoretis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak.1 Dengan demikian, persamaan pemikiran humanisme antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud adalah menghidupkan pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, gerakan humanisasi Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas manusia. Disamping itu, berdasar realitas historis bahwa pendidikan adalah sarana terpenting dalam mengakselerasi kebebasan,2 maka keterkaitan pendidikan Islam dengan istilah pembebasan seperti yang terdapat dalam pemikiran Paulo Freire dengan istilah “Pendidikan Kaum Tertindas” dan Abdurrahman
Mas’ud
dengan
istilah
“Pendidikan
Nondikotomik”
mengandung makna keharusan ; conditio sine quanon. Artinya, pendidikan Islam harus merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan yang otentik, orisinil sehingga tidak mudah terpengaruh dan mendapat tekanan dari siapa pun. 1
Lihat H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional ; Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. V, hlm. 4-5. 2 Lihat Abdurrahman Wahid, “Pembebasan Melalui Pendidikan : Punyakah Keabsahan”, dalam Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. xv.
Meskipun pemikiran humanisme Freire terkait dengan dunia pendidikan Islam, jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pendidikan Islam nampaknya pemikiran humanisme yang ditawarkan Freire kurang relevan. Dalam kontek ini, Freire nampaknya masih terlalu terikat dengan kepentingan dunia, sehingga belum mempunyai kaitan dengan dimensi spiritual transendental yang memungkinkan manusia untuk berhubungan
dengan
Tuhannya. Karena itu, dapat dilihat perbedaan antara pemikiran humanisme Freire dan Abdurrahman Mas’ud. Perbedaan paling menonjol adalah adanya hubungan yang bersifat ta’abud ilallah. Artinya, pemikiran Rahman tidak hanya mewujudkan manusia menuju cita humanisme universal atau kemaslahatan umum, tetapi bermuara pada pembentukan manusia sesuai kodratnya yang mencakup dimensi ketuhanan (vertikal) maupun dimensi kemanusiaan
(horizontal)
yang
berkorelasi
dengan
pola
hubungan
kemanusiaan yang disertai pertanggungjawaban kepada Tuhan. Secara jelas, persamaan dan perbedaan pemikiran humanisme antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud bisa dipetakan dalam daftar tabularasi sebagai berikut :
Persamaan
Pemikiran
Humanisme
Antara
Paulo
Freire
Dengan
Abdurrahman Mas’ud 9 Masing-masing pemikiran muncul dalam setting sosio-kultural yang kurang bahkan tidak manusiawi. 9 Me-landing-kan
konseptualisasi
dasar
perjuangannya
bagi
upaya
membebaskan manusia. 9 Menekankan pada faktor manusia dan struktur sosial sebagai elemen yang harus dirubah. 9 Memandang manusia sebagai entitas merdeka yang memiliki kebebasan untuk
menentukan
pilihan-pilihan
artikulasi
kesadarannya
memaknai kehidupannya baik yang bersifat pribadi maupun sosial.
dalam
9 Bersinggung secara erat dalam dimensi historis dan tematis.
Perbedaan
Pemikiran
Humanisme
Antara
Paulo
Freire
Dengan
Abdurrahman Mas’ud Perbedaan
Paulo Freire
Dasar
Realitas empiris semata
Tujuan
Kehidupan
Abdurrahman Mas’ud Wahyu sekaligus realitas
duniawiyah Integrasi
menjadi tujuan final
kehidupan
duniawi-ukhrawi menjadi tujuan final.
Konsep Manusia
Bebas atau Merdeka
Bebas,
namun
masih
mempunyai tanggungjawab terhadap Tuhan dan manusia. Bersifat bebas nilai.
Nilai
Bersifat terikat dengan dimensi
spiritual
transendental.
B. Relevansi dan Implikasi Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini. Pada dasarnya, agama merupakan cinta yang mendorong manusia menuju kesempurnaan dan keselamatan dirinya. Ajaran Lao Tse, Kong Fu Tse, Hinduisme, Yesus Kristus maupun Islam, semuanya menyeru pada pembebasan manusia.3 Konsepsi Islam tentang pembebasan manusia adalah ajaran tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, Isa dan Muhammad. Ajaran tauhid menunjukan bahwa tidak ada penyembahan kecuali kepada Tuhan. Selain itu, ajaran tauhid juga mengandung makna tentang kebebasan manusia. Seseorang yang telah 3
Lihat Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah,1992), hlm. 65-67.
memilih jalan untuk tunduk kepada Tuhan berarti telah menyatakan dirinya untuk lepas dari belenggu apapun.4 Oleh karena itu, Kuntowijiyo berpendapat bahwa misi terbesar dari Islam adalah pembebasan manusia.5 Dengan kata lain, Islam adalah agama yang sarat akan kekuatan pembebas (liberating force) bagi manusia. Dalam kontek dinamika dunia sekarang, pendidikan Islam justru masih terkungkung oleh hegemoni Barat. Karena itu, pendidikan Islam pun dituntut untuk menggunakan prinsip-prinsip “pembebasan” sebagai wujud nyata dari Islam sebagai agama pembebasan. Jadi, pendidikan Islam dengan “paradigma pembebasan” merupakan sebuah keniscayaan ; conditio sine quanon. Diterimanya prinsip dikotomik antara ilmu agama dan ilmu sekuler dalam dunia pendidikan Islam, jelas menunjukan bahwa fondasi pandangan dasar pendidikan Islam telah rapuh. Dikotomi ini terlihat pada dualisme sistem pendidikan di negara-negara muslim. Selain itu pun, dualisme dikotomi ini diperkuat oleh penjajahan Barat atas dunia Islam yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.6 Dengan demikian, pendidikan Islam sebagai proses yang disandarkan pada nilai-nilai ideal Islam secara benar dan proporsional, memang seharusnya meletakkan kebebasan manusia sebagai dasar pijakan operasional sekaligus sebagai tujuan pendidikan itu sendiri.7
4
Lihat M. Rusli Karim “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 31. 5 Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 164-165. Dalam kontek ini, Kuntowijoyo mengkritik pembebasan versi dunia Barat yang mempunyai logika filsafat bahwa kemajuan hanya dapat dicapai jika pembebasan diri dari alam pikiran agama, dan karena logika filsafatnya mengesampingkan referensi transendentalnya akhirnya manusia pun kehilangan petunjuk. Dapat dilihat misalnya Marxisme yang terpuruk dalam belenggu determinisme, manusia tidak dapat merdeka karena kesadarannya, keberadaan sosialnnya, dan bahkan keberadaan eksistensinya ditentukan oleh posisi ekonomi dan cara produksinya. 6 Lihat Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan”, dalam Muslih Usa (ed.), op.cit., hlm. 18. 7 Lihat Achmad Warid Khan, Membebaskan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kerjasama Institut Tafsir Wacana (ISTAWA) dengan penerbit Wacana, 2002), hlm. 1-2.
Inilah bukti bahwa dunia pendidikan Islam selalu concern terhadap manusia dan kehidupan. Manusia dengan segala potensinya menempati posisi penting dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan Islam menempatkan Insan Kamil (baik sebagai ‘abd mapun khalifah) sebagai muara dari proses yang ada di dalamnya. Selain itu, potensi tersebut juga diarahkan kepada hakikat eksistensi manusia. Apabila pendidikan Islam hanya berorientasi kepada nilai yang bersifat defensif semata,8 dan tanpa disertai proses penciptaan nilai yang memiliki muatan liberating force sebagai counter terhadap perubahan, maka eksistensi pendidikan Islam baik dalam kerangka sistem, intuisi, konsep maupun tujuan akan semakin sulit untuk melahirkan sosok pelaku sejarah sejati.9 Melihat realitas
tersebut, nampak jelas
bahwa urgensitas
pendidikan Islam yang dibutuhkan oleh umat dalam masa sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan kekuatan pembebas manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan dan mampu dalam mengendalikan perubahan yang sedang dan akan dialaminya.10 Dalam
kontek
ini,
Jalaludin
Rahmat
berpendapat
bahwa
pendidikan Islam bukan saja merupakan proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses dunia Barat, tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas dari segala himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya dan ekonomi.11 Jadi,
misi
pendidikan
Islam
yang
utama
berarti
harus
membebaskan manusia dari kungkungan berbagai aliran pemikiran dan filsafat yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hanya 8
Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 166. Menurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan, tujuan pendidikan Islam yang ada bukan diarahkan kepada tujuan positif, melainkan diorientasikan kepada akhirat semata serta bersifat defensif yaitu untuk menyelematkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan dunia Barat. 9 Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 6. 10 Ibid. 11 Lihat Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 63.
hidup dalam absurditas. Dunia modernlah yang telah menciptakan sistemsistem yang membelenggu manusia. Akibatnya, manusia pun tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan bermartabat mulia.12 Dengan demikian, rekonstruksi terhadap konsep pendidikan Islam dengan menyertakan konsep Islam merupakan suatu keharusan, sebab Islam memandang manusia dalam wujudnya harus melaksanakan nilai-nilai keagamaan.13 Hasil rekonstruksi ini pun menjadi sangat penting, sebab akan dijadikan referensi demi meraih kemajuan dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebagai suatu usaha dalam rangka mewujudkan pribadi yang bernafaskan Islam, tentu memerlukan dasar dan landasan kerja untuk memberi arah dan pedoman. Selain itu, landasan tersebut juga berfungsi sebagai sumber inspirasi untuk mengokohkan jalannya proses pendidikan. Kendatipun dasar pendidikan Islam identik dengan al-Qur’an dan al-Hadits, namun dalam mengangkat tema-tema dasar pendidikan Islam seharusnya juga menggunakan formula kontekstual. Dengan kata lain, dasar pendidikan Islam itu lebih berupa formulasi kebutuhan faktual yang direkomendasikan oleh al-Qur’an.14 Menurut M. Arifin, dengan meletakkan dasar Islam dalam proses pendidikan, diharapkan nilai-nilai dasar agama dapat memberikan ruang lingkup berkembangnya proses pendidikan Islam dalam rangka mencapai tujuan hidup manusia yang bersifat hakiki.15 Jadi, di saat dunia memasuki kawasan globalisasi yang ditandai dengan semakin pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang lebih 12
Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 189. Lihat Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001), hlm. 18. Menurut Islam, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang terikat kepada Tuhannya. 14 Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 67. Lihat pula Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 46-47. Muhaimin memetakan para pemikir pendidikan Islam menjadi tiga. (1) Menggunakan wahyu, kemaslahatan sosial, nilai kebiasaan sosial, serta pandangan pemikir Islam. (2) Hanya menggunakan wahyu. (3) Menggunakan wahyu dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang islami. 15 Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ; Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. V, hlm. 54. 13
realistis adalah disamping formulasi dasar pendidikan Islam mengacu kepada wahyu, pendidikan Islam pun dituntut untuk selalu merefleksikan ilmu dan kebebasan manusia. Jika rumusan itu lebih spesifik dengan kebutuhan, maka proses pendidikan akan berlangsung dengan dasar pendidikan yang jelas.16 Masalah pendidikan yang dikaitkan dengan paradigma pembebasan pada masa kontemporer ini, salah satunya terlontar dari Paulo Freire sang pemikir radikalis asal Brazil. Freire dalam kontek ini telah memberikan kontribusi pemikirannya tentang humanisme dalam dunia pendidikan. Berangkat dari realitas masyarakatnya yang dibenamkan dalam kebudayaan bisu, Freire berusaha membangkitkan kedasaran kaum tertindas. Baginya, penindasan apapun alasannya adalah menafikan harkat kemanusiaan. Oleh karena itu, humanisasi adalah pilihan mutlak baginya. Manusia utuh dalam pandangan Freire harus menjadi pelaku, sehingga manusia bisa otonom ; bebas dan merdeka.17 Dalam hal ini, Freire menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk merdeka dari situasi yang menindas karena eksploitasi kelas, dominasi gender, dan hegemoni budaya. Jadi, Freire telah berusaha mengembalikan pendidikan sebagai tempat bagi harkat kemanusiaan yang diarahkan kepada pembebasan manusia. Sedangkan faktor penting dalam proses ini adalah kesadaran. Pendidikan yang disebutnya sebagai “pendidikan kaum tertindas” merupakan perjuangannya dalam kontek interaksi dunia dan manusia serta proses berkelanjutan prakisis, refleksi dan aksi. Karena itu, pendidikan bagi Freire haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri baik secara subyektif dan obyektif dalam fungsi yang dialektis. Selain itu, pendidikan baginya adalah untuk pembebasan dan bukan untuk dominasi. Selain Paulo Freire, Abdurahman Mas’ud pun membawa semangat pemikiran humanisme dalam dunia pendidikan khususnya dalam dunia pendidikan Islam. Pemikiran humanisme Abdurrahman Mas’ud berangkat dari realitas masyarakatnya yang telah “hanyut” dalam dimensi ketuhanan 16
Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 168. Mengenai pemikiran humanisme Freire dalam dunia pendidikan, lihat selengkapnya dalam bab III. 17
sehingga masalah kemanusiaan nyaris dihilangkan. Pemisahan dimensi ini justru telah menyebabkan kemunduran umat Islam secara besar-besaran. Akibatnya, dunia pendidikan Islam pun mengalami berbagai persoalan besar.18 Melihat realitas seperti ini, humanisasi juga merupakan suatu keharusan bagi Rahman. Humanisasi baginya merupakan konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia serta upaya humanisasi ilmuilmu dengan tetap memperhatikan tanggungjawab manusia baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia. Dalam hal ini, Rahman telah menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk selalu berikhtiyar dari keterkungkungan dualisme (dikotomi) kehidupan dengan tetap memperhatikan tanggungjawab terhadap Tuhan dan kehidupan. Manusia baginya harus menjadi khalifatullah. Manusia utuh bagi Rahman
adalah
manusia
yang
menempatkan
kesadaran
akan
tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama manusia. Karena itu, pendidikan Islam bagi Rahman harus mengarah kepada keseimbangan tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesama manusia. Jadi, “pendidikan nondikotomisnya” merupakan perjuangannya dalam melawan dominasi dikotomis antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, kedua tokoh ini telah telah melakukan “ijtihad intelektual” untuk membebaskan manusia dari budaya verbal yang serba naif dan membosankan dalam proses pendidikan yang mematikan daya kritis dan daya kreatif manusia. Dengan kata lain, kedua tokoh ini telah berusaha menghidupkan pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, tanpa penerapan asas demokrasi, tidak mungkin kreativitas manusia yang menjadi sumber bagi peningkatan hidup manusia dapat hidup dan berkembang.19
18
Pemikiran Abdurrahman Mas’ud tentang humanisme dalam dunia pendidikan (Islam) selengkapnya juga ada dalam bab III. 19 Lihat H.A.R. Tilaar, Manajemen…., loc.cit.
Jadi, gerakan humanisasi Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas manusia. Keterkaitan pendidikan Islam dengan term “pembebasan” seperti yang dikemukakan oleh Freire dengan istilah “pendidikan kaum tertindas” maupun “pendidikan nondikotomis” menurut Abdurrahman Mas’ud tidak muncul begitu saja tanpa adanya makna yang esensial. Sebuah kesimpulan yang sudah lama diyakini menegaskan bahwa pendidikan adalah sarana terpenting untuk mencapai kemerdekaan setiap manusia. Sejarah telah membuktikan, ketika dalam merebut kemerdekaan bangsa, pada umumnya para pemimpin di berbagai negara jajahan senantiasa memulai perjuangannya dari bidang pendidikan.20 Berdasar realitas historis ini, bisa dipahami bahwa proses pendidikan memiliki akses yang kuat dalam mengakselerasi kebebasan. Dengan demikian, keterkaitan istilah pendidikan Islam dengan istilah pembebasan mengandung makna keharusan ; conditio sine quanon. Artinya, pendidikan Islam harus merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan yang otentik, orisinil sehingga tidak mudah terpengaruh dan mendapat tekanan dari siapa pun. Dalam kontek inilah Muhammad ‘Atiyah al-Abrasy menyebut pendidikan Islam sebagai pendidikan yang ideal, karena di dalamnya mengandung proses demokratisasi, pembebasan, dialogis, pemberian peluang yang besar terhadap penggunaan akal, dan besarnya perhatian terhadap arah dan kecenderungan potensi bawaan manusia.21 Meskipun pemikiran humanisme Freire terkait dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan Islam, jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pendidikan Islam nampaknya pemikiran humanisme yang ditawarkan 20
Lihat pengantar Abdurrahman Wahid dalam Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, loc.cit. 21 Lihat Muhammad ‘Atiyah Al-Abrashy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 20.
Freire kurang relevan. Pemikiran humanisme Freire hanya berhenti pada terminal kebebasan penyadaran diri. Artinya, Friere kurang memperhatikan muatan makna terhadap “fungsi dan tujuan-tujuan hidup” sebagai sasaran idealisme pendidikan yang seharusnya dijadikan dasar fundamental dari sebuah proses pendidikan. Dalam kontek ini, Freire nampaknya masih terlalu terikat dengan kepentingan dunia, sehingga belum mempunyai kaitan dengan dimensi spiritual transendental yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan eksistensi manusia di bumi hanyalah bermakna bila kegiatannya diorientasikan secara sadar ke langit. Tanpa orientasi semacam ini, apapun bentuk kegiatan, jelas tidak akan mempunyai nilai di hadapan Tuhan.22 Oleh karena itu, pemikiran humanisme Freire harus disikapi secara realistis dan kritis. Pemikiran humanisme Freire menempatkan kebebasan atau kemerdekaan manusia untuk mengembangkan potensinya. Dalam pandangan Islam, meskipun manusia bersifat bebas, namun kebebasan itu tentunya harus dibatasi oleh hukum Tuhan yang sejalan dengan filsafat yang mendasari penciptaan manusia. Hukum inilah yang disebut sebagai “keharusan universal” (taqdir) sebagai batas dari kemerdekaan (ikhtiyar) manusia. Kebebasan dalam Islam di ukur menurut kreteria agama, akhlak, tanggungjawab dan kebenaran. Empat kreteria inilah yang menjadi pembatas agar kebebasan tidak mengarah kepada anarkhi.23 Konsekuensinya,
meskipun
manusia
bersifat
bebas
dalam
mengembangkan potensinya, tetapi potensi tersebut terikat oleh hukum Tuhan. Karena itu, potensi tersebut harus selalu diorientasikan untuk tujuan
22 Lihat Ahmad Syafii Maarif, dalam Muslih Usa (ed.), loc.cit., hal. 25. Lihat pula Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 158. Menurut Cak Nur, Islam mengajarkan bahwa hidup harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Demikian ini yang menjadi inti dari rangkaian program aksi kemanusiaan dalam membangun kembali dunia. Oleh karena itulah, baik buruknya bumi diserahkan seluruhnya kepada manusia. Karena itu, manusia harus siap ketika memilih tindakannya. 23 Lihat M. Rusli Karim dalam Muslih Usa (ed.), loc.cit., hlm. 39.
pengabdian mencari ridha Allah sehingga mengharuskan pemiliknya untuk mengaktualisasikan potensinya berdasar pola ilahi demi meraih kemaslahatan. Karena itu, dapat dilihat perbedaan antara pemikiran humanisme Freire dan Abdurrahman Mas’ud. Perbedaan paling menonjol adalah adanya hubungan yang bersifat ta’abud ilallah. Artinya, pemikiran Rahman tidak hanya mewujudkan manusia menuju cita humanisme universal atau kemaslahatan umum, tetapi bermuara pada pembentukan manusia sesuai kodratnya yang mencakup dimensi ketuhanan (vertikal) maupun dimensi kemanusiaan
(horizontal)
yang
berkorelasi
dengan
pola
hubungan
kemanusiaan yang disertai pertanggungjawaban kepada Tuhan. Jadi, meskipun ada keterkaitan antara pemikiran humanisme Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan Islam, pemikiran humanisme Abdurrahman Mas’ud nampaknya lebih relevan daripada pemikiran humanisme Paulo Freire terutama jika dikaitkan dengan problema pendidikan Islam masa kini. Disamping pemikiran Rahman tidak berorientasi kepada aspek dunia semata, pemikirannya juga tidak melepaskan aspek fundamental yang dijadikan “pusat” dari seluruh kegiatan yaitu Tuhan demi pemenuhan tujuan kemanusiaan. Oleh karena itu, pemikiran Rahman lebih bercorak religius. Disamping itu, pemikirannya juga mencoba untuk mengintegrasikan dikotomi, dan menjaga keseimbangan dunia-ukhrawi. Pemikiran Rahman sebagaimana dijelaskan di atas, jelas searah dengan pandangan dunia (weltanschauung) Islam yang bersifat humanisteosentris. Konsep ini mengandung arti bahwa keseluruhan alam semesta berpusat kepada Tuhan, dimana alam tunduk kepada-Nya dan manusia tidak memiliki tujuan hidup selain menyembah kepada-Nya. Dengan kata lain, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah demi kepentingan manusia.24 24
Lihat Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 299. Senada dengan Kuntowijoyo adalah Mastuhu. Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 19. Konsep ini dalam bahasa Mastuhu adalah antropo-teosentris. Corak teosentris adalah corak pemikiran yang bersumber pada wahyu ilahi, atau menurut Mastuhu bercorak teosentris
Dengan demikian, pemikiran Rahman mengandung implikasi yang sangat dalam bagi dunia pendidikan Islam. Sebab, jika dalam proses pendidikan Islam ditanamkan tentang “kebebasan” yang syarat akan “nilai Ilahiyah”, tentu akan membawa implikasi yang positif dalam proses pendidikan Islam yaitu manusia yang ideal atau Insan Kamil. Usaha ini tentu harus diinternalisasikan kepada individu sesuai dengan perkembangannya baik secara formal, non formal maupun informal. Tidak hanya sebatas pada pemenuhan aspek material saja, tetapi yang paling penting adalah moral, spirit dan transenden. Tanpa usaha ini, produk pendidikan Islam pun akan menjadi “manusia yang tidak manusiawi” ; manusia yang pecah pribadinya (split personality) dan lebih berorientasi kepada formalitas sertifikat (certificat oriented) maupun sejenisnya. Jika dikaitkan dengan problema dunia pendidikan Islam di tanah air, pemikiran Rahman juga tidak kehilangan relevansinya, sebab pendidikan Islam di Indonesia sampai saat ini nampaknya belum menempatkan kemandirian dan tanggungjawab kepada para peserta didik. Selain itu pun dunia pendidikan Islam di Indonesia masih dihinggapi masalah dualisme (dikotomi) antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Sejauh manakah pemikiran Rahman bisa menjawab problema dunia pendidikan Islam ?, tentu sejarahlah yang akan mencatat. Suatu pemikiran disamping berhadapan dengan pandangan dunia ; world view, juga berhadapan dengan latar kesejarahan yang akan memberikan kesempatan untuk membuktikan diri.25
C. Aktualisasi Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini
dimana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Jadi, konsep antropo-teosentris adalah gabungan dari konsep teosentris (ketuhanan) dan antroposentis (kemanusiaan). 25 Lihat Ahmad Muthohar, “Pluralisme dan Tantangan Pendidikan Islam”, dalam Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 300.
Actual dalam bahasa Inggris berarti sebenarnya atau sesungguhnya. Aktualisasi diambil dari kata actualize yang kemudian menjadi actualization atau Ihya dalam bahasa Arab yang berarti menghidupkan, mewujudkan dan membangun.26
Aktualisasi
yang
dimaksud
disini
adalah
proses
pengejawantahan diri (self realization) karena merupakan hasil rentangan antara sumber daya insani (potensi) dengan proses aktualisasi diri (becoming). Jadi, aktualisasi merupakan upaya perwujudan ataupun manifestasi.27 Jadi, aktualisasi humanisme dalam dunia pendidikan Islam merupakan sebuah upaya perwujudan ataupun manifestasi dari proses pengejawantahan diri dalam dunia pendidikan Islam. Melihat posisi sentral manusia dalam proses pendidikan yang melibatkan potensi fitrah, cita rasa ketuhanan dan hakekat serta wujud manusia menurut pandangan Islam, maka tujuan pendidikan Islam sesungguhnya adalah aktualisasi dari potensi-potensi tersebut, sebab potensi yang ada merupakan nilai-nilai ideal yang dalam wujud implementasinya akan membentuk pribadi manusia secara utuh dan mandiri. Dalam kontek ini, penulis merujuk hasil konggres sedunia pada tahun 1980 di Islamabad tentang pendidikan Islam yang telah merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : Education should aim at the balanced growth of total personality of man throught the training of mans’ spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large. [Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, 26
Lihat A.H Ridwan, Reformasi Intelektual Islam;Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 25. 27 Lihat Lift Anis Ma’sumah, Aktualisasi Potensi Wanita Dalam Pendidikan Islam ;Analisis Terhadap Pemikiran Ratna Megawati, Ph.D., Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 9-10, t.d.
intelek, dari manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak dalam perwujudan ketertundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia]28 Secara analitis tujuan adalah cita-cita, yaitu suasana yang ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan Islam, suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education), yakni terletak dalam perwujudan ketertundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia. Mengingat bahwa manusia dengan segala potensinya adalah citra bersyarat (conditional statemen), maka dalam aktualisasinya, menuntut upaya dari manusia itu sendiri.29 Artinya, manusia yang tunduk kepada Allah harus bisa mengaktualisasikan potensinya dalam bentangan ruang dan waktu. Karena itu, Tuhan memberi manusia kemerdekaan untuk berikhtiyar tanpa menunggu Tuhan untuk bertindak.30 Sebagai realisasi ketertundukan kepada Allah, Islam memberikan ajaran tentang tanggungjawab dan kewajiban (taklif) terhadap Tuhan dan manusia. Terhadap Tuhan, konsep manusia dikenal sebagai ábd karena hanya kepada Tuhan manusia tunduk. Sedangkan konsep tanggungjawab kepada manusia dikenal dengan konsep khalifah sebab seluruh manusia merupakan
28
Lihat M. Arifin, op.cit., hlm. 40. Lihat Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 50. 30 Lihat Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 : “sungguh Allah tidak mengubah nasib seseorang kecuali seseorang itu telah mengubah sesuatu yang terdapat dalam dirinya”. Menurut Abdurrahman Mas’ud, ayat ini merupakan ilustrasi hukum Tuhan tentang sebab-akibat (sunnatullah) yang mendominasi kehidupan individu dan masyarakat, serta menjadikan pasang surutnya peradaban tergantung pada kualitas moral masyarakat dan perubahan-perubahan dalam dirinya. Dengan demikian, adalah tidak bermoral menunggu Tuhan bertindak untuk manusia. Manusia harus beraksi demi melawan perang, kriminalitas dan kebrutalan, sebab Tuhan telah memberikan kekuatan yang luar biasa pada manusia, memberikan kebebasan tingkat tinggi dalam memilih apa yang akan dilakukan manusia. Apa pun pandangan manusia tentang alam semesta ini, akhirnya juga menjadi tanggung jawab manusia. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 275-276. 29
obyek tindakan moral dan seluruh alam semesta adalah bahan yang harus diolahnya. Sebagai khalifah, manusia memiliki kedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Manusia memiliki tugas kosmik yaitu mengadakan observasi, eksperimen, dan eksplorasi terhadap segala sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk tujuan ini, manusia oleh Tuhan
dianugrahi berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.31 Dalam kontek ini, manusia dalam pandangan Freire harus menjadi pelaku, sehingga bisa “merdeka”. Manusia yang utuh baginya adalah manusia yang otonom terhadap diri, realitas dan dunianya. Dengan demikian, manusia ideal adalah manusia yang memperoleh keutuhan. Keutuhan akan diperoleh dengan kesadaran. Sedangkan kesadaran akan diperoleh dengan kebebasan. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan bebas dengan menggunakan sikap kritis, daya cipta dan sikap orientatif yang mengembangkan bahasa pikiran. Manusia adalah kombinasi pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan kebudayaan. Sedangkan faktor penting dalam proses ini adalah kesadaran. Kemerdekaan memang merupakan esensi dari kemanusiaan. Kemerdekaan dalam arti bebas untuk memilih sehingga tidak ada paksaan. Karena itu, individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir daripada
kemanusiaan
serta
letak
kebenarannya
daripada
nilai
kemanusiaannya, sebab individu adalah penanggungjawab dari perbuatannya. Dengan demikian, kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi.32 Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer daripada kemanusiaan. Kenyataan lain sifatnya adalah sekunder, sebab manusia pada hakikatnya adalah “memikul amanah”. Karena itu, kemerdekaan harus diciptakan dalam kontek hidup bermasyarakat berdasar pola ilahi. Jadi, sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu merdeka dimana saja. Walhasil, persamaan merupakan
31
Lihat abstraksi Komarudin, “Tauhid Sebagai Prinsip Etika Dalam Islam ; Sebuah Kajian Atas Implikasi Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Menurut Ismail Raji Al-Faruqi”, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 1999), hlm. iv-vi, t.d. 32 Lihat Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 126.
esensi dari kemanusiaan selanjutnya. Konsekuensinya, kemerdekaan manusia dibatasi oleh kemerdekaan manusia yang lain.33 Karena itu, meskipun implementasi fungsi khalifah tersebut sangat mungkin terjadi, tetapi sangat mustahil dapat terrealisasi secara sembarangan dan semaunya. Konsekuensinya, setiap manusia tidak dapat meniadakan eksistensi kebebasan manusia yang lain ataupun makhluk lain. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari rasa tanggungjawab ketika merealisasikan fungsi dan tugas kosmiknya. Bersikap acuh terhadap keduanya berarti bersedia menerima keadaan chaos ; kacau dalam kehidupan.34 Dalam kontek inilah, demi pengaktualisasian fungsi manusia sebagai khalifah, disamping Tuhan telah memberikan potensi kepada manusia untuk bisa memahami-Nya, Tuhan pun menurunkan “wahyu” lewat para rasul-Nya sebagai pedoman demi kemaslahatan serta menjaga kerusakan. Hal ini jelas telah difirmankan oleh Tuhan dalam surat Al-Anbiyaa’ (21) : 25, surat An-Nahl (16) : 36, surat Al-Mu’minun (23) : 23, surat Al-An’am (6) : 74, surat Asy-Syu’araa (26) : 177 dan surat Yunus (10) : 75.35 Dengan demikian, ketika mengaktualisasilan fungsi khalifah-nya, manusia juga tidak bisa melepaskan fungsinya sebagai ‘abd Allah-nya. Artinya, ketika manusia hendak menjalankan fungsi khalifah-nya, disamping manusia harus menata niat, manusia juga harus merealisasikan niatnya dalam bentuk usaha dan tindakan. Selain itu pun, manusia dituntut untuk menata tujuan yang hendak dicapai. Semuanya mesti sejalan dengan pola ilahi, sebab menyimpang dari norma dan pola ilahi berarti menyimpang dari prinsip tauhid.36 Dalam kontek inilah, Rahman menegaskan bahwa Islam telah memberikan konsepnya yang ideal tentang humanisme yang bersifat religius. Artinya, manusia ideal dalam pandangan Rahman adalah manusia yang
33
Ibid. Lihat pula Nur Cholis Madjid, “Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam”, dalam Hasil Kongres XXIII PB HMI, (Jakarta: PB HMI, 2002), hlm. 65. 34 Lihat Komarudin, loc.cit. 35 Ibid. 36 Lihat Lihat Komarudin, loc.cit.
memusatkan
dirinya
kepada
Tuhan
tetapi
tujuannya
adalah
demi
kemaslahatan. Dengan demikian, manusia yang ideal adalah manusia yang menempatkan kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama manusia. Artinya, manusia disamping peka terhadap kemanusiaan, juga tidak melepaskan nilai-nilai ideal ajaran agamanya. Disinilah arti penting Islam sebagai agama bagi kemanusiaan. Islam memberikan arti dan arah yang jelas kepada manusia dalam rangka pengembangan seluruh potensi berdasar “wahyu Tuhan”. Bukan itu saja, Islam juga mempunyai suatu corak yang sangat khusus, yakni nilai kedamaian kepada seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Konsekuensinya, menjadi
seorang Muslim berarti “bernafaskan Islam” atau tidak melepaskan nilai-nilai ideal Islam. Dalam Islam, manusia yang ideal itu adalah manusia yang bisa mengaktualisasikan fungsi ‘abd Allah dan khalifah-nya sekaligus dalam kehidupan. Tidak hanya aspek ketuhanan yang dikedepankan, tetapi juga aspek kemanusiaan. Begitu pula sebaliknya. Tidak pula hanya bersifat pribadi, tetapi juga komunitas dan kepada seluruh umat manusia. Jadi, manusia yang ideal berdasar Islam adalah Insan Kamil ; manusia yang bisa mengaktualisasikan fungsinya sebagai ‘abd sekaligus sebagai khalifah. Karena itu, untuk mengaktualisasikan dirinya dalam dunia pendidikan Islam, manusia ideal memang seharusnya menjalankan fungsinya sebagai khalifah sekaligus ‘abd Allah. Dalam proses pendidikan Islam, fungsi khalifah dijadikan titik awal, proses maupun produk. Sementara itu, fungsi ‘abd Allah menjadi tujuan akhir dari pendidikan Islam. 37 Sebagai titik awal, subyek didik haruslah dipandang sebagai manusia yang mempunyai misi mengelola bumi, sehingga manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai hakikat eksistensi. Sebagai proses, subyek didik dipandang sebagai makhluk yang memikul amanat Tuhan, sehingga nilai Islam pun perlu ditanamkan kepadanya. Sebagai produk, manusia sebagai 37
Lihat Ahmad Muthohar, dalam Ismail SM (eds.), loc.cit.
khalifah diharapkan bisa mengimplementasikan nilai Islam dalam kehidupan. Sedangkan konsep ‘abd Allah berarti segala perilaku yang merupakan produk dari pendidikan Islam haruslah bertujuan untuk mengabdi kepada Tuhan.38 Jadi, dengan intergalnya status fungsi ‘abd Allah sekaligus khalifah dalam proses pendidikan Islam, manusia diharapkan akan membawa terciptanya tatanan kehidupan yang bermoral dan damai bagi seluruh alam. Hal ini tentu saja sejalan dengan esensi ajaran Islam sebagai ajaran yang damai pada semua (rahmatan lil ’alamin). Menurut Abdurrahman Mas’ud, gambaran ajaran kedamaian tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 97.39 Allah berfirman :
ﺍ ﹶﻝ ﻓِﻰﻭ ﹶﻻ ِﺟﺪ ﻕ ﻮ ﻭ ﹶﻻ ﻓﹸﺴ ﺚ ﺭﹶﻓ ﹶ ﻼ ﺞ ﹶﻓ ﹶ ﺤ ﻦ ﹶﺍﹾﻟ ﻴ ِﻬﺽ ِﻓ ﺮ ﻦ ﹶﻓ ﻤ ﺖ ﹶﻓ ﻣﻌﹸﻠﻮ ﻣ ﺮ ﻬ ﺷ ﺞ ﹶﺍ ﺤ ﹶﺍﹾﻟ ﻮ ِﻥ ﻳﺎﹸﻭﻟِﻰ ﺗﻘﹸﺍﺘﻘﹾﻮﻯ ﻭﺰ ِﺩ ﺍﻟ ﺮ ﺍﻟ ﻴﺧ ﺍ ﹶﻓِﺎﻥﱠﺩﻭ ﻭ ﺰ ﺗﻭ ﻪ ﺍﷲ ﻤ ﻌﹶﻠ ﻳ ﻴ ٍﺮﺧ ﻦ ﺍ ِﻣﻌﹸﻠﻮ ﺗ ﹾﻔ ﻣﹶﺎﺞ ﻭ ﳊ ﹾﺍ ﹶ ⎯ﺏ ِ ﺎﺍ ﹶﻻﹾﻟﺒ Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu. Barang siapa mengerjakan perlu haji, maka tak boleh ia bersetubuh (dengan perempuannya), tak boleh memperbuat kejahatan dan tak boleh pula berbantahbantah waktu haji. Apa-apa kebaikan yang kamu perbuat niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu dengan sesungguhnya sebaik-baik perbekalan, ialah taqwa (memelihara dari memintaminta). Takutlah kepada-Ku, hai orang-orang yang mempunyai akal.40 Titik tekan dalam ayat ini adalah ajaran ل ﻓِﻰ َ ﺟﺪَا ِ ﻻ َ ق َو َ ﺴ ْﻮ ُ ﻻ ُﻓ َ ﺚ َو َ ﻻ َر َﻓ َ ﺞ ﺤﱢ َ اْﻟ, yakni suatu ajaran misbehavior ; ajaran dasar tentang kedamaian pada
38
Ibid. Abdurahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ; Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 141-142. 40 Mahmud Yunus, Terjemah Qur’an Karim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. V, hlm. 29. 39
semua makhluk. Jadi, Islam adalah universal religion of peace ; Agama yang sangat menekankan kedamaian pada seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).41 Ajaran
kedamaian
ini
juga
yang
menyebabkan
mengapa
humanisme harus dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam. Sebab, tanpa nilai kedamaian dalam humanisasi bagi proses pendikan Islam, produk pendidikan Islam pun akan menjadi tidak manusiawi. Karena itu, dalam aktualisasinya, manusia ideal adalah manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai ‘abd sekaligus khalifah sebagai realisasi ketertundukannya kepada Tuhan baik secara pibadi, komunitas maupun seluruh umat manusia demi kemaslahatan serta menjaga kerusakan demi meraih kebahagiaan dunia maupun akherat. Disinilah inti dari ajaran Islam tentang kemanusiaan (humanisme). Islam mengajarkan bahwa sikap manusia yang tunduk kepada Tuhan, harus mengaktualisasikannya dalam bentuk “amal shaleh”, yakni menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesama manusia dalam bentuk kerja dan karya positif, kreatif, kritis, terbuka, mandiri, bebas dan bertanggungjawab.42 Dengan kata lain, inti ajaran kemanusiaan (humanisme) dalam Islam adalah “kemerdekaan dalam persamaan”. Artinya, kemerdekaan pribadi harus diaktualisasikan melalui usaha dan tindakan berdasar pola ilahi yang telah diwahyukan dalam bentangan ruang dan waktu. Karena itu, Islam mengajarkan bahwa ilmu hakikatnya adalah untuk amal. Amal tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuan, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghancurkan peradaban bahkan akan membawa kerusakan. Dalam kontek inilah, pendidikan Islam seharusnya sarat akan aksi kemanusiaan. Artinya, pendidikan Islam dituntut lebih peka terhadap realitas 41
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas…., loc.cit. Islam adalah universal religion of peace, agama kedamaian pada seluruh alam. Salah satu lambang kedamaian tersebut, bisa dilihat dalam ibadah haji sebagai ritual dan juga merupakan universalisme Islam seperti yang ditulis oleh Malcom X dalam a letter for Mecca. Mengenai ayat tersebut, ada dalam Q.S (2) : 197. Lihat Pula Abdurrahman Mas’ud, “Agama dan Perilaku Politisi Dalam Proses Pilkada : Dari Kesalihan Pribadi Ke Kesalihan Sosial” dalam Satoto, et.al., Pilkada di Era Otonomi ; Berlayar Sambil Menambal Lubang di Kapal, (Semarang: Kerjasama KP2G Jateng , DRD Jateng, dan CV Aneka Ilmu, 2003), hlm. 54. 42 Lihat Muhaimin, loc.cit., hlm. 157.
aktual yang sesungguhnya. Aksi inilah sebagai jembatan antara idealitas dan realitas. Dalam kontek ini, Fazlur Rahman berpendapat : “sebuah proses pendidikan tidak akan memperoleh pengetahuan tentang tujuan akhir kehidupan, jika tidak mengetahui realitas aktual yang sesungguhnya”.43 Dalam memperoleh pengetahuan tentang hakikat “nilai baik” dan “nilai buruk” dalam menjalankan aksi kemanusiaannya, manusia pun memerlukan “etika” sebagai teori dasar dalam kehidupannya. Etika bisa disebut juga sebagai filsafat moral. Sementara itu, etika dalam Islam dasarnya adalah kepercayaan yang sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Tuhan lewat para rasul sebagai dasar pedoman, yakni “transendensi”. Global Ethics and Human Solidarity are possible once the religious belief-system serves as a theoretical foundation of human behavior, and once the value system is a natural consquence of the belief system. Since Transcendence is the cornerstone of all belief systems, even those based on immanence, since the Good Deed based on the Good Intention is shared between all religions, and since a unifield collective action for human survival and the preservation of human reason, the persistence on knowable truth and the protection of people, dignity and national wealth can rally a human consensus, therefore, Global Ethics and Human Solidarity ideed possible.44 [Etika global dan solidaritas kemanusiaan boleh jadi merupakan sistem kepercayaan agama yang bertindak sebagai landasan teoretis perilaku manusia. Disisi lain, sistem nilai adalah suatu konsekuensi alami dari sistem kepercayaan. Karena transendensi adalah dasar bagi semua kepercayaan, bahkan sistem kepercayaan yang didasarkan atas immanence, karena perbuatan Tuhan yang didasarkan atas kehendak Tuhan juga diyakini oleh semua agama, dan karena suatu tindakan kolektif yang seragam bagi kelestarian manusia dan pemeliharaan nalar manusia, keteguhan mengenai kebenaran yang dapat diketahui dan perlindungan terhadap manusia, kehormatan dan kesejahteraan nasional dapat menggabungkan suatu konsensus manusia. Oleh karena itu, etika sosial dan solidaritas kemanusiaan sangat dimungkinkan] 43
Lihat Fazlur Rahman, op.cit., hal. 160. Lihat Hassan Hanafi, “Global Ethics and Human Solidarity An Islamic Approach”, dalam INTERNATIONAL SEMINAR ON ISLAM AND HUMANISM (Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 Nopember 2000, hlm. 13. Dalam hal ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada bapak Ismail SM, bapak Agus Nurhadi, mbah Ahwan Fanani, kangmas Mustaghfirin, dan mbak yu Mufidah. 44
Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi seperti dikutip Komarudin, transendensi merupakan penegasan akan eksistensi Tuhan yang merupakan pilihan mutlak ; conditio sine quanon bagi manusia yang tak mungkin dihindari.45 Jadi, tanpa transendensi, segala jenis bentuk aksi kemanusiaan jelas tidak akan mempunyai makna bagi Tuhan. Karena itu, transendensi merupakan “pusat” dari seluruh kegiatan manusia dalam ajaran tauhid Islam. Walhasil, tanpa orientasi ini, upaya manifestasi manusia dalam proses pendidikan Islam akan semakin jauh dari harapan. Artinya, manusia tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa disamping manusia harus menata niat, manusia juga harus merealisasikan niatnya dalam bentuk usaha dan tindakan. Selain itu pun, manusia dituntut untuk menata tujuan yang hendak dicapai. Semuanya mesti sejalan dengan pola ilahi, sebab menyimpang dari norma dan pola ilahi berarti menyimpang dari prinsip tauhid. Dari sinilah tauhid sebagai intisari dalam ajaran Islam hendak memberikan penegasan bahwa kebenaran dan kebaikan perbuatan manusia, baik yang termanifestasi melalui niat maupun tindakan akan benar-benar memiliki nilai baik apabila didasarkan pada prinsip tauhid. Sejarah antara putra Adam yakni Habil dan Qobil, serta Ismail putra Ibrahim yang telah diabadikan oleh al-Qur’an setidaknya bisa dijadikan dasar pijakan.46 Kedua kisah tersebut nampaknya mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak akan menerima “pengorbanan manusia” tanpa dasar yang tegas dan jelas yakni hanya mengharapkan ridho-Nya. Jadi, tanpa orientasi kepada dzat yang Maha Tinggi, manifestasi kemanusiaan dalam dunia pendidikan Islam sama sekali tidak akan mempunyai arti. 45
Lihat Tafsir, dkk, Moralitas Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (Telaah Atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi), (Yogyakarta: Gama Media Bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 2002), hlm. 7 46 Kisah purta Adam terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 27, sedangkan kisah purta Ibrahim terdapat dalam surat Ash-Shaffat ayat 102-107. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma …, op.cit., hlm. 130-135.
Karena itu, Islam memberikan ajaran kepada manusia tentang “kemerdekaan dalam persamaan”. Artinya, kemerdekaan individu harus diaktualisasikan
dalam
kontek
kehidupannya
berdasar
pola
ilahi.
Konsekuensinya, meskipun manusia secara de facto bersifat merdeka dalam mencari ilmu pengetahuan, tetapi maksud dari mencari pengetahuan itu adalah menanamkan kebaikan atau kedamaian kepada manusia. Karena itu, secara de jure ilmu pengetahuan tersebut harus selalu diorientasikan untuk tujuan pengabdian mencari ridha Allah SWT. Konsekuensinya, manusia harus mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan. Boleh jadi, konsep formulasi seperti inilah yang disebut sebagai “humanisme Islam”. Bagi Abdurrahman Mas’ud, humanisme Islam adalah humanis religius. Bagi Marcel A. Boisard, hanya humanisme tauhid-lah yang asli. Sedangkan bagi Kuntowijoyo, humanis-teosentris merupakan intisari dari seluruh ajaran Islam. Dari beberapa pemikiran tokoh tersebut, nampaknya konsep tentang “humanisme Islam” bertemu dalam satu titik, yakni berakhir pada pengabdian dan pemenuhan terhadap kehendak Tuhan demi tujuan kemanusiaan. Dengan kata lain, moralitas yang dibangun melalui sistem etika sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga tidak mengabaikan nilai-nilai keagamaan. Dengan kata lain, segala bentuk aspek kebebasan, kemerdekaan, dan
kemampuan
intelektualitas
manusia
dihargai
dan
ditempatkan
sebagaimana mestinya. Nilai-nilai tersebut tidak lagi dicampakkan kepada otoritas wahyu, tetapi posisinya justru dihargai sebagai “sarana” untuk memahami wahyu. Disinilah humanisme Islam tidak mengesampingkan monoteisme mutlak akan tetapi memberikan kepada manusia keagungan untuk mengembangkan kebajikannya dalam kehidupan. Karena itu, humanisme Islam memberikan keseimbangan kehidupan bagi manusia antara dunia dan akhirat.47
47
Lihat Marcel A. Boisard, op.cit., hlm. 151-153.
Jadi, humanisme Islam jelas berbeda dengan humanis sekuler yang dikembangkan berdasarkan pengasahan kepekaan moral dan kemampuan manusia tanpa didasarkan kepada wahyu. Akibatnya, humanisme melalui rahim peradaban Barat lebih merasa puas ; at home dengan otoritas rasio yang bertumpu pada realitas empirik serta bersikap serba antagonis dan reaksioner terhadap dogma agama.48 Karena itu, teori humanisme dunia Barat yang dibangun sejak zaman Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh kebenciannya kepada Tuhan. Humanisme Barat menjadikan manusia sebagai penentu benar dan tidaknya perbuatan, menentukan bahwa segala potensi keindahan terletak pada tubuh manusia. Akibatnya, humanisme Barat hanya memperhatikan unsur-unsur yang mengagungkan kenikmatan manusia.49 Akibatnya, manusia modern pun hanya menilai baik-buruk aksi kemanusiaan hanya bertumpu pada aspek materi, dan telah mengalami tragedi besar dalam aksi kemanusiaannya. Dengan demikian, humanisme versi dunia Barat jelas tidak searah dengan humanisme Islam. Humanisme dunia Barat jelas telah menyeret kemuliaan manusia menjadi debu yang tidak bernilai. Sebaliknya, humanisme Islam dengan tegas dan jelas telah membawa manusia mencapai dejaratnya yang paling mulia diantara semua makhluk Tuhan. Jadi, kiblat umat Islam dalam rangka pengembangan humanisme dalam dunia pendidikan Islam yang pernah vital beberapa abad lampau sesungguhnya bukanlah Barat, melainkan keharusan merujuk kembali permata yang telah hilang ; heritage in the golden age. Kunci kehebatan perkembangan peradaban dunia Islam di masa lampau sangat berkaitan erat dengan keberhasilan umat Islam dalam memahami, menyerap, mentransfer serta melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW secara konsisten, dinamis dan kreatif.50
48
Lihat Zainul Arifin, “Islam dan Humanisme ; Upaya Sintesa Dialektis Antara Perspektif Sekuler dan Agama Tentang Otoritas Manusia Dalam Tatanan Kosmik Transendental” dalam Jurnal STAIN Malang, Edisi 6, Malang, 1999, hlm. 84-86. 49 Lihat Ali Syari’ati, op.cit., hlm. 40-42. 50 Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format…, op.cit.,, hlm. 224-230.
Melihat berbagai problematika umat Islam berkaitan dengan dunia pendidikan Islam di era modern ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, dibutuhkan perumusan serta internalisasi etika yang dibangun berdasarkan percikan agama yakni umat Islam yang religius dan modern. Sikap dan gairah berprestasi, terbuka, disiplin, menghargai akal sehat, dan
bertanggungjawab merupakan
prinsip-prinsip yang harus
ditegakkan. Budaya rihlah, semangat mengajar dan menggali ilmu pengetahuan yang dulu membudaya dalam sejarah Islam harus dibangun kembali. Kedua, upaya penciptaan ilmu yang kondusif terhadap aktualisasi terhadap sistem nilai dalam rangka memusatkan manusia sebagai aktor perubahan merupakan sebuah keniscayaan ; conditio sine quanon. Upaya ini harus diiringi dengan adanya keseimbangan antara konsep khalifatullah dan ‘Abd Allah yang diupayakan semaksimal mungkin dalam dunia pendidikan Islam. Ketiga, upaya-upaya pengembangan masyarakat dengan misi pembebasan dan pemberdayaan umat perlu ditegakkan secara kontinu, terpadu dan bertanggungjawab. Dalam kontek inilah perlu ditegakan sikap kritis, yakni pendidikan Islam yang mampu melahirkan sikap berani menyuarakan kebenaran.