ORASI ILMIAH “MEMBANGUN KARAKTER BANGSA DALAM PERSPEKTIF KEMARITIMAN”
OLEH
LAKSAMANA MADYA TNI AL Dr. DESI ALBERT MAMAHIT, M.Sc. REKTOR UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
ORASI ILMIAH LAKSMANA MADYA TNI AL Dr. D.A. MAMAHIT, M.Sc. REKTOR UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA (UNHAN) Judul
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA DALAM PERSPEKTIF KEMARITIMAN
PENDAHULUAN Sebelum secara panjang lebar orasi ilmiah berjudul “Membangun Karakter Bangsa Dalam Perspektif Kemaritiman” ini kami paparkan, kiranya perlu didahului dengan menelisik sekilas tentang asal usul istilah karakter bangsa. Istilah “karakter bangsa” yang tampaknya baru belakangan ini banyak dikemukakan, dalam kaitan dengan upaya membangun bangsa, khususnya melalui bidang pendidikan, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan sosok presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno. Ungkapan secara lengkap mengenai “karakter bangsa” sebagai yang dulu digelorakan oleh Bung Karno merupakan untaian kata-kata Inggris yang berbunyi “nation building” dan “character building”. Dalam perkembangan yang kemudian sampai pada kita sekarang, rupanya sudah dipadatkan menjadi “membangun karakter bangsa”. Namun demikian hakikatnya adalah sama yakni dalam pengertian “membangun karakter“ dan “membangun bangsa”. Ungkapan “nation builing” dan “character building” dikumandangkan Presiden Sukarno dalam sebuah pidato dalam memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1963, berjudul “Genta Suara Revolusi Indonesia”, yang disingkat menjadi “GESURI”. Dalam kehidupan bangsa yang baru keluar dari penjajahan melalui perjuangan, yang diperkuat dengan modal persatuan, menurut Bung Karno masih menghadapi ancaman Imperialisme dunia. Maka Presiden Sukarno dalam pidatonya itu mengatakan : “ Kita, sebaiknya, tidak perlu mempunyai perpecahan, dan kalau ada perpecahan, maka saya dalam perjuangan melawan imperialisme itu selalu berikhtiar menggembleng kegotongroyongan nasional revolusioner, menggembleng ‘samenbundeling van alle revolusionaire krachten in de natie’. Kecuali itu, kesatuan dan persatuan yang saya maksudkan itu adalah satu tuntutan dari pada ‘Nation Building’ dan ‘Character Building’. Dapatkah nation terbentuk jikalau di kalangan nation itu sengaja dipupuk phobi-phobian antara kita dengan kita?” Pembangunan karakter bangsa tampaknya merupakan “proyek besar” Sukarno sejak dalam zaman pergerakan nasional tahun 1920-an. Apa yang dimaksud dengan karakter bangsa Indonesia yang seharusnya terus dipupuk adalah persatuan. Sebab bagaimana mungkin tanpa “persatuan” bangsa Indonesia kemudian dapat melepaskan diri dari belenggu penjajahan asing. Kata-kata Bung Karno dalam pidato berjudul Gesuri itu:
1
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
“ saya telah mengemukakan fikiran-fikiran yang mendasari proses “Nation Building”, yaitu adanya keinginan bersama untuk membangunkan jiwa bangsa yan bersatu, persatuan karakter karena persamaan nasib dan patriotisme”. Di sini dapat dikatakan bahwa “Pembangunan bangsa” dilakukan secara bersama dengan “membangun karakter” nya (Zuhdi dalam Saifuddin dan Karim 2008). Dengan landasan dan kerangka tersebut di atas, paparan ini hendak menekankan, pentingnya pemahaman karakter bangsa, dengan pendekatan kemaritiman, yang dapat dimanfaatkan sebagai modal dalam menggerakkan pembangunan nasional, untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. PENGERTIAN KARAKTER Secara konseptual “karakter” merupakan ranah perhatian psikologi dan antropologi. Jika psikologi lebih menekankan “karakter” individu, antropologi lebih pada “karakter” sekumpulan orang atau suatu komunitas. Psikologi pada dasarnya mempelajari apa yang memancar dari ‘dalam’ atau ‘jiwa’ seseorang yang diperlihatkan dalam perilaku dan kehidupan sosialnya. Sikap perilaku seseorang didasari oleh dorongan (drive) atau motif tertentu dan biasanya dianggap khas, oleh karena dilandasi seperangkat nilai yang dipedomani, berbeda dari masyarakat lain. Selain itu, karakter juga dibentuk oleh pengalaman historis suatu masyarakat atau bangsa itu sendiri. Terdapat beberapa istilah yang sesungguhnya sama pengertiannya dengan karakter, seperti misalnya, kepribadian, watak, atau tabiat. Di sini tidak dimaksud untuk membahas etimologi atau makna kata dalam konsep bahasa secara mendalam. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang hidup dan tercermin dalam perilaku masyarakat pendukung kebudayaan tertentu. Dalam perkembangan awal, antropologi dibawa oleh sarjana dari Eropa atau dunia barat ke Indonesia seiring zaman ekspansi bangsa Barat ke dunia timur. Mereka tertarik terhadap keadaan masyarakat di luar Eropa, yang menurut mereka adanya kehidupan yang eksotik dan unik. Kedatangan mereka di kepulauan Indonesia sebagaimana dicatat oleh sejarah, mula-mula bertujuan untuk berdagang mendapatkan rempah-rempah langsung dari tempatnya. Dalam perkembangannya kemudian, aktivitas perdagangan seperti dilakukan oleh VOC, menjadi cikal bakal terjadinya bentuk penjajahan melalui pemerintahan kolonial Belanda. Sejak awal tahun 1800-an itulah kepulauan Indonesia berada di dalam masa penjajahan Belanda hingga datangnya Jepang pada awal tahun 1942. Antropologi yang dibawa sarjana Barat itu dipraktikkan tidak sebagai pengertian ilmu belaka, melainkan digunakan juga untuk tujuan praktis, yaitu untuk kepentingan melanggengkan kolonialisme. Melalui metode etnografi, sarjana antropologi Belanda dapat melukiskan atau menggambarkan ciri-ciri beragam suku (etnik) yang tersebar di Indonesia. Rupanya melalui pengetahuan karakter dan adat masyarakat di kepulauan, dapat mempermudah pemerintah kolonial Belanda, dalam mengatur kehidupan
2
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
masyarakat jajahan di Indonesia. Dengan kata lain agar kekuasaan kolonial dapat dipertahankan selama mungkin (Saifuddin dan Karim 2008). Pengelompok karakter setiap suku bangsa sesungguhnya memperlihatkan tipologi. Jadi bersifat stereo type. Artinya jika disebut karakter orang Jawa adalah “lemah lembut”, tidak selalu menunjukkan hal yang sama pada setiap individu tertentu, meskipun ia termasuk pada karakter suku yang stereo type memperlihatkan ciri dominan seperti itu. Pengetahuan karakteristik tentang anak jajahan seperti itulah rupanya yang dimanfaatkan Belanda, misalnya, dengan sikap “keberanian” orang dari Indonesia timur, maka Belanda banyak mengangkat mereka menjadi anggota tentara kolonial (Konninkelijk Nederlandsch Indische Leger=KNIL), yang dikerahkan di daerahdaerah di Indonesia untuk kepentingan kolonial Belanda. KARAKTER BANGSA DIBENTUK OLEH PROSES HISTORIS Dalam sejarah kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia pasca Perang Dunia Kedua, merupakan fakta bahwa hanya sedikit bangsa, yang dalam mencapai kemerdekaannya dilakukan dengan perang mengusir penjajah asing. Khususnya di Asia Tenggara tercatat hanya Vietnam dan Indonesia. Kemerdekaan Vietnam diperoleh setelah mengalahkan Perancis tahun 1954 dan Amerika Serikat tahun 1975. Sedangkan Indonesia memperoleh kemerdekaan, setelah di berbagai daerah dan kota terjadi pertempuran melawan pasukan Jepang, di akhir masa pendudukan, dan melawan Belanda pada perang kemerdekaan 1945-1949. Dengan strategi bersenjata dan berdiplomasi, akhirnya bangsa Indonesia berhasil mengakhiri penjajahan Belanda dan bangsa Indonesia memperoleh “pengakuan kedaulatan” pada 27 Desember 1949. Atas dasar fakta ini Anthony Reid, sejarawan terkemuka dari Australia menyebut bangsa Indonesia sebagai “ A Nation by Revolution” (Reid 2010). Keberhasilan perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan strategi bersenjata dan berdiplomasi, tidak dapat dilepaskan dari faktor kepemimpinan yang kuat. Jenderal Sudirman yang memimpin sendiri secara langsung perang gerilya adalah sosok pemimpin yang berkarakter rela berkorban dan pantang menyerah. Sementara itu perjuangan di bidang diplomasi atau perundingan, sosok seperti Mohammad Rum, Sutan Syahrir, A.N. Palar, untuk menyebut beberapa nama, adalah pemimpin yang berkarakter gigih dan konsisten dalam memperjuangkan cita-cita bangsanya. Dari karakter kepemimpinan militer maupun sipil di atas, dapat menjadi contoh dan teladan bagi kita, khususnya generasi muda yang akan mewarisi estafet kepemimpinan bangsa ke depan. Dalam konteks itu dapatlah dikemukakan, bahwa salah satu ciri atau karakter dari bangsa Indonesia adalah sikap kejuangan melawan penindasan dan penjajahan dengan semangat pantang menyerah hingga kemerdekaan dicapai. Sudah jelas pula, bahwa perjuangan itu, mencerminkan sikap cinta tanah air. Tekad untuk menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dari penjajahan asing lalu didengungkan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 “kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
3
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
kemerdekaan Indonesia”. Mengapa perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan, oleh karena : “... sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan", seperti terungkap dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Kini setelah kita hidup di alam kemerdekaan maka sudah menjadi tanggung jawab kita bersama, untuk mengisinya dengan perbuatan nyata untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, aman, adil, dan makmur. Berbicara mengenai karakter bangsa Indonesia, dahulu pada zaman penjajahan, sering dilontarkan bahwa orang Indonesia, khususnya Melayu, adalah pemalas. Bahkan stereo type orang Jawa dikenal sebagai lemah lembut, nrimo apa adanya, lalu dengan begitu saja orang Belanda menganggap mereka tak mungkin mempunyai sikap melawan atau memberontak. Adalah sejarah sebagai faktor penggerak perubahan yang dapat membuktikan sesuatu yang dianggap tidak mungkin menjadi keniscayaan. Sejarah mencatat bahwa betapa kelirunya anggapan seorang H. J. Van Mook, terhadap watak orang Jawa pada masa revolusi. Dari pernyataan seorang pakar sosiologi Belanda, bernama W.F. Wertheim, diketahui bahwa penilaian Van Mook sebagai Gubernur Jenderal yang bertugas mengembalikan penjajahan Belanda di Indonesia, telah keliru menilai karakter orang Jawa. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Wertheim yang bekerja sebagai perwakilan Palang Merah, mengatakan begini: ” My Experiences there as a Red Cross representative made me view the Indonesian revolution as an extremely serious affair. But van Mook lightly dismissed the idea ‘Ten shipsloads of food and textiles from Australia, and the whole population of Java will flow to the ports to unload the ships. That will be the end of the rebellion” (Wertheim 1974:11). Pengalaman Wertheim itu menyaksikan zaman yang sedang berubah dengan cepat dan radikal. Masa revolusi Indonesia memperlihatkan dengan jelas bangsa, yang bertekad merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan segenap jiwa dan raganya. Terbentuknya karakter orang Jawa yang pantang menyerah dan tidak luluh hanya karena iming-iming makanan dan tekstil yang akan dibagikan Belanda itu. Penilaian van Mook itu ternyata luput, ketika bukan saja orang Jawa tidak berebut makanan dan pakaian, yang telah siap dibongkar dari kapal Belanda itu, tetapi melalui lasykar dan barisan perjuangan yang juga terdiri dari bangsa sukubangsa lainnya, malahan mereka melawan dengan keberanian hingga penjajahan Belanda berakhir di tahun 1949. Sudah tentu karakter perlawanan terhadap penjajahan Belanda tidak hanya terjadi di Jawa, seperti Pangeran Diponegoro misalnya, tetapi hampir di setiap daerah memperlihatkan semangat perjuangan yang tinggi sebagai cermin rasa cinta tanah air.
4
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
Sebut saja perjuangan yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien di Aceh; Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat; Pangeran Antasari di Kalimantan; Sultan Hasanuddin di Makassar, Pattimura di Maluku. Jika para pejuang dan pahlawan nasional itu adalah mereka yang berjuang melawan VOC dan kolonial Belanda, maka pada masa sesudahnya zaman pergerakan dan kemerdekaan dari daerah lain muncul pejuangpejuang seperti: Dewi Sartika dan Mohamad Toha di Bandung, Sam Ratulangi dari Minahasa, serta Frans Kasiepo dan Silas Papare dari Papua. Adalah menjadi relevan, pada saat ini, untuk dikatakan bahwa karakter bangsa sebagaimana dicerminkan melalui perjuangan bangsa itu hendaknya dapat ditransformasikan ke dalam sikap Bela Negara. Hal itu sesuai dengan undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam pasal 9 dikatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”. KARAKTER BANGSA BAHARI Sekarang, mari kita memperhatikan mengenai identitas kita, sebagai bangsa yang juga memiliki karakter, yang dalam sejarah telah lama berjaya di lautan. Oleh karena argumentasi sejarah itulah, angkatan laut kita menggunakan semboyan “Jales Veva Jayamahe” artinya “Justru di laut Kita Jaya”. Perlu diajukan contoh kecil saja bahwa sesungguhnya jiwa bahari sudah mengakar sejak dahulu kala. Untuk itu coba perhatikan ungkapan “jangan lupa daratan”, yang sering kita dengar sebagai nasihat para orang tua. Kalau begitu bukankah pernah ada suatu kehidupan (nenek moyang) yang begitu lama di lautan? Sampai-sampai ada ungkapan “jangan lupa daratan” itu muncul. Dalam sejarah kita mengenal kerajaan-kerajaan besar yang pernah eksis di kepulauan Indonesia, sampai ratusan tahun adalah Sriwijaya (yakni dari abad ke-7 sampai ke 11), yang berpusat di Sumatera bagian selatan. Wilayah kekuasaan Sriwijaya mencakupi bagian barat Indonesia hingga ke utara di Thailand. Kerajaan yang memiliki karakter agraris dan maritim adalah Majapahit dari abad ke-11 hingga abad ke-14. Wilayah Majapahit sesungguhnya malah lebih lebih luas dari wilayah NKRI sekarang. Untuk dicatat bahwa luas wilayah Indonesia sekarang adalah menurut kenyataan sejarah bahwa Indonesia mewarisi wilayah bekas kolonial Belanda. Kejayaan dua kerajaan tersebut di atas menjadi kebanggaan dan sekaligus inspirasi bangsa Indonesia untuk membangun nasionalismenya. Menurut sejarawan terkemuka Amerika Serikat, George Mc Turnan Kahin, seorang ahli tentang sejarah Indonesia mengatakan bahwa salah satu faktor yang membangkitkan nasionalisme Indonesia adalah karena munculnya kebanggaan bangsa Indonesia terhadap kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang besar tersebut. Muhammad Yamin, tokoh Sumpah Pemuda tahun 1928, bahkan pernah mengemukakan pendapatnya bahwa Sriwijaya dapat disebut sebagai “Republik Pertama” sedangkan Majapahit merupakan “Republik Kedua”. Sementara itu Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan “Republik Ketiga”.
5
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
Rasa bersyukur sangatlah patut kita panjatkan terus menerus kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena anugerahnya kepada bangsa Indonesia dengan sebuah negeri dengan ribuan pulau dan lautan luas “bak zamrud di katulistiwa”. Dengan kondisi geografis seperti itu hanya bangsa Indonesia yang paling layak, kalau bukan satu-satunya untuk menyebut negerinya dengan “TANAH AIR”. Dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Sejarah, pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1992, Prof. Dr. A.B. Lapian mengemukakan tesisnya bahwa “SEJARAH NUSANTARA SEJARAH BAHARI”. Dibaca sepintas pernyataan itu tentu bukan merupakan padanan bahwa “sejarah nusantara” adalah atau sama dengan “sejarah bahari”. Akan tetapi mengapa beliau berpendapat begitu? Prof. Lapian mengurai makna “nusantara” menjadi dua bagian kata yakni “nusa” dan “antara”. Nusa artinya “pulau”, yang dimaksud adalah pulau Jawa, sedangkan “antara” maknanya “yang lain” atau pulau-pulau selain Jawa. Hubungan pulau satu dengan pulau-pulau lainnya “diperantarai” oleh laut. Jadi di sini Lapian menekankan peran penting laut sebagai faktor integratif. Dalam konteks ini pula perspektif kita memandang Indonesia, menurut Lapian “bukan pulau yang di kelilingi laut, tetapi laut yang ditaburi pulau-pulau”. Sementara itu makna “bahari” sebagaimana tertera di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti: pertama, dahulu kala; kedua, elok atau indah sekali, dan ketiga; tentang laut. Rupanya masa lalu bangsa Indonesia di laut itu indah sekali”. Persoalannya adalah mengapa kita kini tidak bisa atau tidak mau mengulangi kejayaan itu atau bahkan ditingkatkan lebih lagi di masa kini dan di masa depan. Dengan kata lain mengapa yang indah dan jaya itu hanya pada masa dahulu kala. Di sinilah kita semua ditantang untuk dapat menjawab masa depan kita. Khususnya bagaimana menjadikan sektor kelautan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Diterimanya pengertian Nusantara sebagai nama yang menunjuk pada seluruh kepulauan, yang kemudian dikenal dengan Indonesia, adalah berkat upaya yang dilakukan Ki Hajar Dewantara dalam masa pergerakan nasional. Kini konsep Nusantara telah digunakan untuk menyebut suatu wilayah negara kepulauan satu-satunya di dunia yang terintegrasi secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer, dengan sebutan Wawasan Nusantara. Konsep ini bahkan telah diterima dan diakui oleh United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu sungguh tidak mudah dan ringan. Bermula dari Deklarasi Juanda yang ditandatangani 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa wilayah kedaulatan Indonesia merupakan keutuhan dari seluruh pulau-pulau terluar yang terintegrasi dengan garis pantainya selebar 12 mil. Mengapa hal itu diperjuangkan oleh karena kita waktu itu masih mewarisi undang-undang yang mengatur perairan zaman kolonial Belanda, yang menyatakan lebar 3 mil dari pantai dan terdapat laut-laut pedalaman yang dapat diterobos oleh kapal-kapal asing. Undangundang itu diatur dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939.
6
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
Jika landasan itu masih dipakai, maka akan sangat merugikan kedaulatan NKRI. Adalah suatu perjuangan diplomatik yang gigih dan ulet oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja dan Hasjim Djalal ketika itu, sehingga akhirnya Wawasan Nusantara sebagai perwujudan kedaulatan NKRI di akui dunia internasional melalui UNCLOS pada tahun 1992. Menurut Dr. Hasjim Djalal, seorang pakar hukum laut terkemuka Indonesia, dalam sejarah Indonesia terdapat tiga peristiwa penting, yang menjadi dasar terbentuk dan terwujudnya NKRI. Pertama, adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengukuhkan adanya bangsa Indonesia. Kedua, adalah Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan berdirinya sebuah negara merdeka. Ketiga, adalah Deklarasi Juanda 1957, yang merupakan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia untuk menetapkan batas luas wilayahnya. Dengan pengakuan Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelagic state), itu maka luas laut Indonesia menjadi bertambah, yang semula 100 ribu km2 menjadi 3 juta km2. Setelah dihitung lagi karena Indonesia berhak untuk mengelola wilayah kewenangan kekayaan alam di Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE) dan landas kontinen maka luasnya menjadi 600 juta km2. TANTANGAN KINI DAN MASA DEPAN INDONESIA Dengan kondisi geografis dan posisi silang di antara dua samudera—Hindia dan Pasifik- dan dua benua—Asia dan Australia, memperlihatkan Indonesia sebagai wilayah yang potensial untuk diincar oleh berbagai kepentingan bangsa-bangsa lain. Kalau boleh mengutip sepenggal syair lagu “Nusantara” dari grup band Koes Plus tahun 1970-an “siapa yang tak iri melihat Nusantara”, oleh karena kekayaan sumber daya alam dan letak strategisnya itu. Sebagai konsekuensi dari itu semua, maka di tangan kitalah, termasuk para sarjana yang di wisuda di Institut Teknologi Harapan Bangsa Bandung ini, untuk mengambil bagian aktif dalam memelihara kedaulatan wilayah negara. Menjaga kedaulatan negara tidak hanya dilakukan dari aspek pertahanan militer, tetapi juga dari aspek nir militer. Justru ancaman kedaulatan negara ke depan semakin kompleks dan bersifat nontradisional. Ancaman itu dapat berupa illegal fishing, human trafficking, terorisme, yang umumnya sulit diatasi jika terjadi di laut. Untuk itu kita membutuhkan kapal patroli angkatan laut dan kapal perang yang memadai untuk mengawal kedaulatan laut kita yang luas itu. Selain itu dibutuhkan pula sumber daya manusia, yang tidak saja menguasai teknologi kelautan tetapi juga yang memiliki karakter bahari yang tangguh. Kini tampaknya bangsa Indonesia sudah semakin sadar bahwa jika terlalu berorientasi ke daratan dan kurang memperhatikan potensi lautan, maka akan menjadikan bangsa ini tertinggal dari bangsa-bangsa yang telah sepenuh hati menjadikan laut masa depan. Republik Rakyat Cina (RRC) sebagai contoh. Sebagai negara dengan wilayah daratan jauh lebih luas dari wilayah laut, telah membangun
7
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
pelabuhan-pelabuhan dan memperkuat armada lautnya. Terkait dengan isu Laut Cina Selatan yang diklaim RRC melalui “nine dots line”, meskipun Indonesia tidak termasuk negara claimant, tetapi akan mendapat cipratan masalah (spill over) dari ketegangan antara negara-negara claimant di kawasan tersebut. Patut diingat bahwa Laut Natuna yang kaya akan sumber gas dan ikan, merupakan wilayah terdepan Indonesia, yang berbatasan dengan laut cina selatan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sarjana kelautan dari berbagai bidang khususnya teknologi untuk berperan untuk memanfaatkan potensi laut untuk kesejahteraan bangsa. Perhatian yang semakin besar terhadap potensi laut kita, ditunjukkan oleh presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi dan Jusuf Kalla, yang telah mengajukan konsep “poros maritim dunia” dalam program kerja kabinetnya untuk membangun Indonesia ke depan. Setidaknya ada tiga aspek penting yang harus dibangun dan ditingkatkan kapasitasnya. Pertama, membangun dan meningkatkan infrastruktur pelabuhan dan dermaga; kedua, memperkuat dan memperkuat moda transportasi dan armada laut; ketiga, menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dalam menjalankan program kerja dengan menggali dan mengembangkan potensi laut untuk kesejahteraan rakyat. Potensi ekonomi yang sangat kaya yang terdapat di dalam dan dasar laut menantang para sarjana sekalian untuk mengelolanya secara bertanggungjawab dan berdedikasi penuh. Kita masih sangat kecil dari persentase untuk memanfaatkan sumber daya laut, untuk itu diperlukan kemampuan ilmu dan teknologi yang tinggi. Namun demikian dalam kenyataannya, jika kita berbicara tentang kelautan justru identik dengan kemiskinan. Laut masih dipandang sebagai halaman belakang atau background dari sebuah negeri yang dicitakan sebagai negara maritim yang kuat. Masyarakat pesisir masih dililit oleh kemiskinan dan ketertinggalan. Sektor perikanan yang digerakkan oleh nelayan-nelayan kita tidak sanggup bersaing dengan nelayan asing yang sering datang menjarah laut kita, karena teknologi mereka lebih canggih. Kondisi seperti itu perlu diubah misalnya dengan bantuan perkreditan. Menurut Alan F. Koropitan, Direktur Center for Oceanography and Marine Technology Surya University, secara ekonomi jumlah penyaluran kredit perikanan berdasarkan data dari Bank Indonesia per tahun 2009, baru sebesar Rp 3,33 triliun ata hanya 0,23% dari total kredit perbankan secara nasional (Indonesia Maritime Magazine, Mei 2014 hlm 59) Menghadapi tantangan tersebut di atas, para wisudawan jangan merasa puas dengan gelar sarjana strata satu ini, tetapi terus tingkatkan dan raih capaian-capaian yang lebih tinggi lagi, untuk memperdalam ilmu dan teknologi, lebih spefisik pada keahlian yang dibutuhkan untuk dapat dimanfaatkan dalam mengelola sumber daya laut. Kemampuan para sarjana kelak dituntut tidak hanya dapat mengeksplorasi dan mengeksplotasi sumber daya laut, tetapi yang di dasar sampai ke ujung batas landas kontinen. Untuk itu diperlukan teknologi yang canggih dan diperlukan riset yang serius dan mendalam sehingga menghasilkan metode dan peralatan yang sesuai dengan obyek yang hendak digarap.
8
SIDANG TERBUKA SENAT HARAPAN BANGSA DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN WISUDA SARJANA TAHUN 2014
Dalam konteks itulah, para wisudawan yang merupakan calon-calon pemimpin masa depan Indonesia, haruslah berkarakter yang tangguh dan berdedikasi penuh untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Dalam menghadapi tantangan dan peluang ke depan untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, aman dan adil, diperlukan agen-agen perubahan ke arah kemajuan itu. Kepada kita semua, khususnya wisudawan Institut Teknologi Harapan Bangsa, kini diharapkan dapat memenuhi panggilan tersebut. Semoga.***
DAFTAR PUSTAKA -
Djalal, Hasjim. “Deklarasi Djuanda Dalam Perspektif Sejarah” dalam 50 Tahun Deklarasi Djuanda Sejarah Kewilayahan Indonesia. Kumpulan Makalah Direktorat Geografi Sejarah, Kembudpar, 2007.
-
Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, Cornell University Press, 1952.
-
Koropitan, Alan Frendy, “Kelautan Identik Kemiskinan” wawancara dalam Indonesia Maritime Magazine, Edisi 43 Tahun IV, Mei 2014.
-
Lapian, A.B. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra UI, 1992.
-
Reid, Anthony. A Nation by Revolution. Singapore: National University of Singapore Press, 2010.
-
Saifuddin, Achmad Fedyani dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2008.
-
Wertheim W.F. Evolution and Revolution The Rising Waves of Emancipation Waves of Emancipation. London: Penguin Book, 1973.
9