MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI BAHASA SIMBOLIK JAWA Oleh: Saliman
Abstrak Pembangunan Negara Bangsa sebagai ‘proses budaya’ akan terus berlangsung dan akan mengalami penyempurnaan dalam dimensi strategi maupun implementasinya. Dengan munculnya bias-bias yang terjadi diperlukan reorientasi dalam pendekatan dan strateginya. Prioritas pembangunan yang menekankan bidang ekonomi perlu lebih diimbangi dengan pembangunan bidang sosial budaya. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perspektif ke depan pendekatan yang lebih: ‘human resources base’ perlu dikembangkan. Pembangunan watak dan karakter perlu lebih diprioritaskan. Dalam kaitan dengan hal-hal diatas, strategi ‘Pembangunan Karakter Bangsa’ menjadi penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang lebih berbudaya dan bermartabat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan perlu diarahkan pada pembentukan dan penguatan fondasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat agar memiliki ketahanan budaya. Dalam menghadapi ‘hegemoni budaya’ yang ditayangkan lewat media cetak dan elektronika diperlukan kondisi budaya yang tangguh menghadapi tantangan. Untuk itu diperlukan pendayagunaan seluruh ‘potensi budaya’ yang ada. ‘Bahasa jawa, budaya Jawa, jagad Jawa’ memiliki potensi yang dapat diberdayakan. Nilai-nilai yang ada di dalamnya perlu reinterpretasi, readaptasi, dan rekontekstualisasi untuk disumbangkan dalam rangka pembangunan karakter Bangsa. Nilai-nilai yang akan diinternalisasikan perlu dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa yang tepat. Key Words: pendidikan, karakter, budaya, jawa, simbolik A. Pendahuluan Jawa, budaya Jawa dan jagad Jawa, suka dan tidak suka telah diakui menjadi medan kajian para pakar dalam negeri maupun mancanegara. Studi tentang Jawa agaknya tidak akan pernah selesai untuk dilakukan. Budaya Jawa selalu memiliki ‘magis’ yang membuat para peneliti dalam dan luar negeri melakukan berbagai riset dan penelitian tentang Jawa, baik dari segi budaya, agama, masyarakat, mitologi, maupun bahasanya (Benedict R OG Anderson, 1965). Dalam dimensi kesejarahan banyak sekali kakawin, susastra, dan naskah-naskah yang memiliki kandungan nilai, di samping tradisi lisan yang masih ada. Kekayaan sastra dan budaya Jawa antara lain dapat dijumpai pada: aksara Jawa (ha, na, ca, ra, ka da, ta, sa, wa, Ia, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha ,nga), babad, riwayat, carita gancaran, carita cekak, carita ginurit, saloka,
1
novel, esei, naskah-naskah, manuscrip, primbon, wejangan, wedharan, pitutur, pepali, suluk, kidungan, tembang dan lain-lainnya (Sudi Yatmana, 2005). Dalam sastra dan budaya Jawa terkandung aneka warna ngelmu Jawa seperti: filsafat Jawa, etika Jawa, kebatinan (kejawen), ‘ngelmu kasampurnan’, ‘sangkan paraning dumadi’, kawaskithan, kalantipan, ngelmu mistik (tasawuf), kajiwan, ngelmu karang, kanuragan, guna kasantikan, pawukon, petung, perbintangan (horoscope), ramalan, jangka, pralambang, wewangunan (arsitektur), dan lain-lainnya. Wulangan Jawa yang berupa lambang (simbol), juga terdapat dalam tradisi (Harjono, 1965), adat istiadat, upacara (ritus, ritual), pewayangan dan pedalangan (seni widya, seni ripta, seni karawitan, dan seni pentas), ungkapan-ungkapan tradisional dan lain sebagainya. Dengan bersumber pada unsur-unsur dan nilai-nilai budaya Jawa tersebut, dapat digali dan diidentifikasi sumbangan Jawa terhadap pembangunan karakter bangsa. Selanjutnya dalam menggali, mengidentifiksi, dan menganalisis nilai-nilai kejawaan dan sumber-sumber tersebut, diperlukan reinterpretasi, readaptasi, dan rekontekstualisasi, apalagi kalau dikaitkan dengan wacana kekinian yang konteks maupun mindsetting-nya sudah berbeda. Pembangunan Karakter Bangsa telah menjadi wacana yang sering mencuat di permukaan. Dalam realitas kehidupan sehari-hari banyak sekali watak-watak atau perilaku manusia yang sangat mengerikan, memilukan, menyedihkan dan memprihatinkan. Fenomena tentang hadirnya sebuah ‘tragedi kemanusian’ sering terlihat di tayangan televisi, antara lain dalam rubrik Serbu, Buser, Hot Spot, Bidik, Sergap dan lain-lainnya. Banyak sekali watak-watak atau perilaku kasar, keji, kejam, bengis dan biadab yang diperlihatkan. Nampaknya ada yang salah dalam proses pendidikan dan pembangunan karakter bangsa ini sehingga memerlukan perhatian serius. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk membangun karakter bangsa ini agar terwujud watakwatak yang penuh kesantunan, berbudi pekerti luhur, berbudaya dan bermartabat. B. Membentuk karakter Membentuk karakter, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Ada tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam pembentukan karakter, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan 2
prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan. Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Melalui proses tersebut, selanjutnya ada sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari (1) cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. “Salah didik memengaruhi saat ia dewasa” (Ratna, 2003). Pada usia anak seperti inilah pembangunan watak, akhlak atau karakter bangsa (nation and character building,), mulai dilakukan. Sementara itu, dalam membangun karakter bangsa, perlu memperhatikan jatidiri masyarakat Indonesia yang bhineka baik asal usulnya maupun latar belakang sosial budayanya. Pembinaan sikap dan wawasan kebangsaan (nasionalisme), pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa perlu menjadi pertimbangan yang utama. Memasuki era global yang sangat kompetitif, pembinaan karakter bangsa harus diarahkan pada upaya untuk lebih membina dan meningkatkan intelektualisme dan profesionalisme. Secara normatif, pendidikan dalam rangka pembangunan karakter bangsa perlu mendasarkan pada Vísi, Misi, dan Fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dan signifikan dengan upaya pembangunan karakter bangsa yaitu meliputi: (1) manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) kecerdasan, (3) kemampuan, (4) watak dan akhlak mulia, (5) sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) manusia Indonesia yang demokratis, (11) bertanggung jawab, dan (12) menghargai HAM. Untuk mewujudkan hal tersebut dalam rangka pembangunan karakter bangsa, dapat saja merujuk pada 56 (lima puluh enam) sifat-sifat Budi Pekerti Luhur (Edi Sedyawati dkk, 1999), yaitu sebagai berikut : ‘bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati 3
lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet’. C. Memaknai Bahasa Simbolik Jawa untuk Pembentukan Karakter Bangsa Dalam rangka pembangunan karakter Bangsa ada pertanyaan menarik yang perlu diajukan: adakah sumbangan Jawa untuk Pembangunan Karakter Bangsa?. Adakah nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa, sastra dan budaya Jawa yang dapat memberi kontribusi untuk Pembangunan Karakter Bangsa? Tinggi rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan main (norma, etika) yang telah disepakati bersama. Sementara itu masing-masing unsur bangsa (etnis), memiliki sub budaya bangsa yang berkembang ditengah-tengah kehidupan mereka. Bagi masyarakat Jawa etika kerap disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggahungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa. Yang unik dari kultur Jawa adalah semua aturan main yang mengandung norma dan etika terseubut diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, melalui proses pembudayaan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat secara terus-menerus, dengan berbagai cara. Mulai dari pemberian pengetahuan, pemahaman, praktik langsung, keteladanan, sampai dengan penyampaian melalui bahasa simbolik. Pengawasan dilakukan secara ketat dan melekat oleh orang-orang yang disegani dalam lingkungan tersebut, baik lingkungan keluarga maupun masyarakat. Orang-orang yang berperan sebagai pengawas tidak mendapatkan tugas secara struktur dari masyarakat untuk melakukan peran tersebut, melainkan akan memberikan justifikasi (opini) terhadap seseorang, apabila telah melakukan pelanggaran norma. Karena pengaruh yang cukup besar di lingkungan masyarakat, maka opini dari orang-orang yang 4
disegani tersebut, akan menjadi opini umum, yang pada akhirnya merupakan sangsi moral terhadap si pelanggar norma. Tulisan ini tidak mengupas semua model pendidikan etika atau norma Jawa, melainkan lebih fokus pada peranan bahasa simbolik Jawa dalam pembentukan karakter bangsa. Fokus tersebut dipilih penulis, berangkat dari kegelisahan sebagian besar etnis Jawa, yang merasa bahwa generasi muda Jawa mulai melupakan pesan-pesan moral yang terkandung dalam bahasa simbolik tersebut. Lebih jauh, banyak ahli yang mengartikan bahasa simbolik Jawa secara serampangan, tanpa mengatahui ruh-nya. Menyalahartikan bahasa simbolik Jawa tersebut, mengakibatkan kesalahpahaman terhadap budaya Jawa, contoh kongkritnya adalah bahasa simbolik “Alon-alon waton kelakon” disalahartikan sebagai orang Jawa pemalas. Lucunya, orang Jawa sendiri karena tidak mengerti arti yang sebenarnya malah ikut-ikutan malas. Katanya kalau tidak malas tidak sesuai dengan bahasa simbolik tersebut. Inilah barangkali yang disinyalir oleh cerdik cendekia bahwa “Wong Jowo wis ilang jawane”. Dalam budaya Jawa, sebenarnya banyak sekali filsafat tingkat tinggi yang tersirat didalamnya. Kita sering tidak tahu dan enggan mempelajarinya. Mau kita hanya mengekor atau nuladha dengan berdalih ingin melestarikan, tanpa mengerti sama sekali maksudnya. Contoh : pada adat upacara pengantin Jawa. Pajangan (hiasan) rumah harus ada pohon pisang raja, tebu, cengkir (kelapa gading muda), padi, daun beringin, serta janur. Itu semua memiki arti simbolis (bukan sekedar pajangan rumah bagi yang sedang berhajat). Makna simbolis tersebut kurang lebih sebagai berikut: Tebu (antebing kalbu), ini simbolis sikap kemantapan atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu sama lain merupakan jodoh. Cengkir (kencenging pikir), menunjukkan pada suatu pola pemikiran yang telah mantap, bahwa laki-laki dan perempuan itu memang jodohnya. Padi, tumbuhan ini merupakan lambang kehidupan pokok masyarakat Jawa, yang sebagian besar hidupnya dari pekerjaan bertani. Di samping itu, tumbuhan padi dalam kepercayaan Jawa berhubungan erat dengan Dewi Sri, yang dianggap sebagai dewi rumah tangga/dewi kesuburan. Melalui lambang padi, orang tua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua mempelai itu. Pisang raja, jenis pisang yang memiliki nilai tertinggi di antara jenis pisang lainnya. Simbol ini menggambarkan penganten laki-laki yang akan bertemu dengan pengantin 5
wanita. Untuk menggambarkan pertemuan, terkadang dilengkapi dengan jenis pisang lain, yaitu urut-urutannya: pisang raja, pisang saba, pisang kluthuk, dan pisang emas (penganten wanita). Lantas, muncul istilah raja saba kepethuk emas. Daun beringin, jenis tumbuhan ini melambangkan keluarga yang dibentuk suami istri diharapkan dapat memberikan pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Sekaligus merupakan peringatan pula bahwa pada dasarnya mereka itu tidak hidup sendiri, dan mereka adalah bagian dari suatu kelompok. Janur, melambangkan ajaran orangtua terhadap kedua mempelai bahwa apabila suatu ketika terjadi suasana kurang baik dalam rumah tangga mereka, hendaknya jangan sampai orang di luar keluarganya mengetahuinya, bagaikan janur yang dapat dianyam (ketepe) untuk menutupi lokasi pahargyan. Orang Jawa tulen masih mengindahkan pajangan rumah bagi yang sedang berhajat seperti di atas. Kalau anak cucu mereka ada yang melanggar, orangtua pasti berkata, “Ora ilok, Le! Ora ilok, Ndhuk!”. Sebenarnya, ada baiknya juga kegiatan tersebut diikuti. Tetapi karena generasi muda kurang mengerti maknanya, maka ada kecenderungan mengabaikannya. Mereka malah berkata, “Ngapain pakai janur dan pohon tebu segala? Itu tidak indah! Ganti saja dengan lampion dan pita-pita yang warna-warni!” 1. Ora Ilok/Ora Elok Kata-kata ora ilok/ora elok sangat kental dengan nasihat orang tua kepada anak-anaknya atau yang lebih muda seolah-olah kalau kita kerjakan sudah setengah dosa atau masih tahapan kualat, bahkan kalau orang itu terlanjur melanggar atau nemahi harus di ruwat, kalau sekarang banyak ditemui berupa slametan. Mungkin di antara kita pernah mendengar kalimat "ora ilok" (tidak pantas). Kalimat itu sering terucap dari orang-orang tua saat kita melakukan sesuatu yang mereka anggap itu tidak pantas, misalnya: makan di depan pintu, menyapu dimalam hari bisa kehilangan rejeki, potong kuku di malam hari bisa kehilangan rejeki, tidur di depan pintu akan didatangi hantu, anak kecil tidak boleh keluar setelah jam enam sore dan lain lain. Dasarnya ora ilok, tentunya orang dahulu tidak bisa menyatakan alasannya secara blak-blakan. Kadang-kadang kita menganggap hal itu “takhayul". Padahal sebenarnya dari larangan mereka itu, mereka mempunyai alasan yang masuk akal dan dapat kita maklumi. Tetapi mereka tidak memberikan alasan tersebut, karena mereka tidak mau dibantah, dan mereka ingin agar anak mereka menurut untuk tidak melakukan hal tersebut. 6
Mari kita simak beberapa perbuatan “ora ilok” beserta hikmanya, tentunya dengan reinterpretasi, readaptasi, dan rekontekstualisasi dengan spektrum kekinian, di bawah ini: a. Kenapa tidak boleh makan di depan pintu?, karena pada jaman dahulu makanan sangatlah langka dan mahal. Mereka tidak ingin makanan itu tumpah karena saat anaknya makan terus tersenggol orang yang lewat. Selain itu mereka juga mengormati tetangga/orang lain yang lewat, karena makanan dapat membuat orang iri. b. Kenapa sumur tidak boleh tepat di depan rumah?, karena tidak pantas dilihat tamu, potensial menimbulkan kotoran, membahayakan anak kecil. c. Kenapa tidak boleh menyapu dimalam hari?, karena pada jaman dahulu penerangan belumlah seterang sekarang. Jadi kalau menyapu di malam hari akan diragukan kebersihannya, dan nanti pada pagi harinya pasti harus bersih-bersih lagi. Maka daripada mengulangi pekerjaan (mindoni gawean) lebih baik menyapu di siang hari, dan pada malamnya melakukan pekerjaan yang lain (efisien waktu). d. Kenapa tidak boleh potong kuku di malam hari?, karena pada waktu itu penerangan sangat minim dan alat untuk memotong kukupun tidak seperti sekarang, tetapi masih pakai alat pemotong yang tajam seperti pisau. Jadi ditakutkan bukannya kuku yang terpotong, tetapi malah jari yang terpotong. e. Kenapa tidak boleh tidur di depan pintu?, karena tidurnya akan menggangu orang yang keluar masuk melalui pintu itu. Dapat diartikan pula, tidurnya tidak bisa tenang karena terganggu. f. Kenapa anak kecil tidak boleh keluar setelah jam enam sore?, karena seputar waktu terebut, udara tidak baik untuk kesehatan anak kecil yang dapat menyebabkan sakit. Kira kira begitulah kenapa orang tua melarang kita. Hal itu turun temurun dari dulu sampai sekarang. g. Kenapa anak kecil tidak boleh makan "brutu"?, karena brutu itu banyak lemak, lunak, dan tidak bertulang sehingga tidak banyak serat yang menyebabkan sulit pencernaan. Di sisi lain, supaya mbah-mbah kita bisa makan "daging ayam", mereka biasanya memilih "brutu" supaya tidak sliliden, karena struktur gigi mereka sudah tidak lengkap dan tidak sempurna lagi.
7
h. Kenapa kalau makan piringnya tidak boleh di-sangga?, karena kalau di-sangga, sewaktu-waktu hilang keseimbangannya, bisa tumpah, maka lebih baik dipegang atau di meja makan. i. Kenapa Kori (pintu) dan jendela harus ditutup pada saat terbenamnya matahari?, karena binatang-binatang sawah dan serangga akan masuk ke rumah, mencari cahaya yang ada di dalam rumah pada saat mulai gelap, hal ini sangat mungkin mendatangkan penyakit. j. Kenapa tidak boleh menanam pohon pisang di depan rumah?, karena pohon pisang cepat mendatangkan kotoran, utamanya dari binatang yang suka makan buah pisang, ulat-ulat masuk ke pintu rumah. k. Kenapa tidak boleh membuang sampah di kolong rumah?, karena membuat kotoran menumpuk, membusuk dan membahayakan kesehatan penghuni rumah. l. Kenapa tidak boleh membuang sampah dari jendela?, karena tidak sopan, sangat mungkin menimpa orang yang lewat atau orang yang sedang berada di luar rumah (tidak terlihat dari dalam rumah) dan yang jelas adalah menyalahi fungsi jendela. m. Kenapa tidak boleh sangga uwang (bertopang dagu)?, karena membuat pikiran kosong, melamun, malas, dan membuang-buang waktu. n. Kenapa tidak boleh singsot sembarangan?, karena mengganggu ketenangan orang dan sering dikira kode-kode tertentu yang membuat orang lain curiga. o. Kenapa tidak boleh ngglungguhi bantal, mengko wudhunen? karena bantal itu fungsinya sebagai alas kepala. Dan sebagainya. Efek dari “ora ilok” ini sungguh luar biasa, dari sinilah budaya unggah ungguh, sopan santun, suba sita dalam lingkungan kemasyarakatan Jawa dimulai yang berdampak sangat luar biasa. Orang muda menghormati yang tua, yang tua meyayangi yang muda, anak-anak rajin mengaji, masyarakat juga rajin jamaah di masjid atau langgar, gotong royong di lingkungan RTRW, kekerabatan sangat terjalin dengan baik pada saat itu. Kalau semua bisa memahami suba sita, Insya Allah, yang ada adalah “ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi”. 2. Budi Pekerti Secara umum budi pekerti berarti moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan ini. Ini adalah tuntunan moral yang paling penting untuk orang Jawa tradisional. Budi pekerti adalah induk dari segala etika, tatakrama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan, 8
pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Pertama-tama budi pekerti ditanamkan oleh orang tua dan keluarga dirumah, kemudian disekolah dan tentu saja oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Pada saat ini di mana sendi-sendi kehidupan banyak yang goyah karena terjadinya erosi moral, budi pekerti masih relevan dan perlu direvitalisasi. Budi pekerti yang mempunyai arti yang sangat jelas dan sederhana, yaitu: Perbuatan (Pekerti) yang dilandasi atau dilahirkan oleh Pikiran yang jernih dan baik (Budi). Dengan definisi yang teramat gamblang dan sederhana dan tidak muluk-muluk, kita semua dalam menjalani kehidupan ini semestinya dengan mudah dan arif dapat menerima tuntunan budi pekerti. Budi pekerti untuk melakukan hal-hal yang patut, baik dan benar.Kalau kita berbudi pekerti, maka jalan kehidupan kita paling tidak tentu selamat, sehingga kita bisa berkiprah menuju ke kesuksesan hidup, kerukunan antar sesama dan berada dalam koridor perilaku yang baik. Sebaliknya, kalau kita melanggar prinsip-prinsip budi pekerti, maka kita akan mengalami hal-hal yang tidak nyaman, dari yang sifatnya ringan, seperti tidak disenangi/dihormati orang lain, sampai yang berat seperti: melakukan pelanggaran hukum sehingga bisa dipidana. Esensi budi pekerti, secara tradisional mulai ditanamkan sejak masa kanak-kanak, baik dirumah maupun disekolah, kemudian berlanjut dalam kehidupan dimasyarakat. Sejak masa kecil dalam bimbingan orang tua, mulai ditanamkan pengertian baik dan benar seperti etika, tradisi lewat dongeng, dolanan/permainan anak-anak yang merupakan cerminan hidup bekerjasama dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan. Berperilaku yang baik dalam keluarga amat penting bagi pertumbuhan sikap anak selanjutnya. Dari kecil sudah terbiasa menghormat orang tua atau orang yang lebih tua, misalnya: jalan sedikit membungkuk jika berjalan didepan orang tua dan dengan sopan mengucap: nuwun sewu (permisi), nderek langkung (perkenankan lewat sini). 3. Bahasa kromo dan ngoko Selain berperilaku halus dan sopan, juga berbahasa yang baik untuk menghormati sesama, apakah itu bahasa halus (kromo) atau ngoko (bahasa biasa). Bahasa Jawa yang bertingkat bukanlah hal yang rumit, karena unggah ungguh basa (penggunaan bahasa menurut tingkatnya) adalah sopan santun untuk menghormat orang lain. Pada dasarnya ada dua tingkatan dalam bahasa Jawa, yaitu : Kromo, bahasa halus dan ngoko, bahasa biasa. Bahasa kromo dipakai untuk menghormat orang tua atau orang yang perlu 9
dihormati, sedangkan ngoko biasanya dipakai antar teman. Semua kata yang dipakai dalam dua tingkat bahasa tersebut berbeda, contoh : Bahasa Indonesia
: Saya mau pergi.
Kromo
: Kulo bade kesah.
Ngoko
: Aku arep lunga.
Dalam percakapan sehari-hari, orang tua kepada anak memakai ngoko, sedang anaknya menggunakan kromo. Dalam pergaulan dipakai pula bahasa campuran yang memakai kata-kata dari kromo dan ngoko dan ini lebih mudah dipelajari dalam praktek tetapi sulit dipelajari secara teori. Secara simbolik, anak harus menggunakan bahasa kromo kepada orang tua, tetapi makna sebenarnya adalah bentuk penghormatan yang muda kepada yang tua. Orang yang menggunakan bahasa kromo tidak mungkin berkata kasar kepada orang lain, apalagi marah. Karena sulit mengekspresikan marah dengan bahasa kromo.
4. Tembang yang bermakna Pada dasarnya, pendidikan informal dirumah, dikalangan keluarga adalah ditujukan kepada harapan terbaik bagi anak. Coba perhatikan ayah atau ibu yang meninabobokkan anak dengan kasih sayang melantunkan tembang untuk menidurkan anak, isinya penuh permohonan kepada Sang Pencipta, seperti tembang : Tak lelo-lelo ledung, mbesuk gede pinter sekolahe, dadi mister, dokter, insinyur. ( Sayang, nanti sudah besar pintar sekolahnya, jadi sarjana hukum, dokter atau insinyur). Atau doa dan permohonan yang lain : Mbesuk gede, luhur bebudhene, jumuring ing Gusti, angrungkubi nagari (Bila sudah dewasa terpuji budi pekertinya, mengagungkan Tuhan dan berbakti kepada negara). Pendidikan tradisional zaman dulu mengandung kesabaran, nerimo ing pandhum, pasrah, ayem tentrem, tansah eling marang Pangeran (selalu dengan sabar menerima dan mensyukuri pemberian Tuhan, pasrah). Pengertian pasrah adalah tekun berusaha dan menyerahkan keputusan kepada Tuhan. Hati tenang tentram, selalu ingat kepada Tuhan). Perlu digaris bawahi bahwa kepercayaan orang Jawa tradisional kepada Tuhan itu sudah mendarah daging sejak masa kuno, sehingga anak-anak Jawa sejak kecil sudah sering mendengar kata-kata orang tua: Kabeh sing neng alam donya iku ana margo kersaning Gusti. (Semua yang ada didunia ini ada karena kehendak Tuhan). Sehingga bagi orang Jawa tradisional, apapun yang terjadi, akan selalu pasrah 10
dan mengagungkan Gusti/Tuhan. Itu sudah menjadi watak bawaan (karakter) yang mendarah daging. D. Penutup Pembangunan Negara Bangsa sebagai ‘proses budaya’ akan terus berlangsung dan akan mengalami penyempurnaan dalam dimensi strategi maupun implementasinya. Dengan munculnya bias-bias yang terjadi diperlukan reorientasi dalam pendekatan dan strateginya. Prioritas pembangunan yang menekankan bidang ekonomi perlu lebih diimbangi dengan pembangunan bidang sosial budaya. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perspektif ke depan pendekatan yang lebih: ‘human resources base’ perlu dikembangkan. Pembangunan watak dan karakter perlu lebih diprioritaskan. Dalam kaitan dengan hal-hal di atas, strategi ‘Pembangunan Karakter Bangsa’ menjadi penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang lebih berbudaya dan bermartabat. Dengan semakin derasnya penetrasi budaya asing melalui media cetak dan elektronik, sudah waktunya digagas dan dirumuskan kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa dalam dimensi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendidikan ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu-ilmu budaya menempati posisi strategis dalam proses pembangunan karakter bangsa. Langkah-langkah yang perlu dilakukan perlu diarahkan pada pembentukan dan penguatan fondasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat agar memiliki ketahanan budaya. Untuk itu diperlukan pendayagunaan seluruh ‘potensi budaya’ yang ada. ‘Bahasa Jawa, budaya Jawa, jagad Jawa’ memiliki potensi yang dapat diberdayakan. Nilai-nilai yang ada di dalamnya perlu direinterpretasi, direadaptasi, dan direkontekstualisasi untuk disumbangkan dalam rangka pembangunan karakter Bangsa. Nilai-nilai yang akan diinternalisasikan perlu dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa yang tepat. Daftar Kepustakaan Anderson, Benedict R.O'G., Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Bentang Budaya, 2003 Darusuprapta, Arti dan Nilai Babad dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Javanologi, 1985. Edi Sedyawati, dkk, Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Franz Magnis Suseno, Perspektif Etis Pembangunan, Jakarta: artikel, 1986. -----------, Etika Jawa, Sebuah Analisa falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996 http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/03/pendidikan-keteladanan/ 11
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/20/pepadi-1-sumbangan-jawa-untuk-pembangunankarakter-bangsa/ http://edukasi.kompasiana.com/2003/10/01/perlunya-penanaman-budi-pekerti-kepada-anaksedini-mungkin/ Karti Tuhu Utami, Memaknai Nilai Ora Ilok Dalam Budaya Jawa, Majalah Bende, edisi 60 Oktober 2008 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Moeljarto, Alternatif Perencanaan Sosial Budaya menuju Terwujudnya Manusia Indonesia Seutuhnya, Fisipol UGM, 1985, Yogya ka rta. Sartono Kartodirjo, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985. Slamet Iman Santosa, Pendidikan Watak dan Akhlak, Kompas, 16 September 1993. Sudi Yatmana, Mbah Setra, Blencong 45, Semarang: Aneka Ilmu 2005. Suryo Negoro, Kejawen Membangun Hidup Mapan Lahir dan Batin, Buana Raya, 2001. Suwardi Endraswara, Visi dan Misi Sastra Jawa: Sebagai Ruh Pembentukan Manusia Indonesia Baru yang Berbudipekerti Luhur, Yogyakarta: makalah KBJ III, 2001. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
12