JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
1
Optimasi Skenario Bunkering dan Kecepatan Kapal pada Pelayaran Tramper Farin Valentito, R.O. Saut Gurning, A.A.B Dinariyana D.P Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak--Makalah ini akan mempelajari masalah fuel management untuk pelayaran tramper. Dengan studi kasus kapal MV. MAMIRI yang melayani rute pelabuhan Tj. Priok – Tj. Perak – Gorontalo – Bitung – Tj. Priok. Dalam permasalahan ini akan mempertimbangkan 3 hal yaitu : pemilihan pelabuhan bunker, jumlah bahan bakar yang dibeli, dan pengaturan kecepatan. Karena ketiga hal ini memiliki hubungan, maka dapat digunakan untuk pertimbangan membuat strategi fuel management. Pembuatan model yang tepat untuk mewakili hubungan antara konsumsi bahan bakar dan kecepatan kapal adalah hal yang penting pada strategi fuel management. Kemudian dari permodelan tadi akan dikembangkan agar mendapatkan skenario bunkering yang optimal pada keadaan muatan kapal yang berbeda yaitu muatan kapal normal, muatan kapal rendah dan muatan kapal tinggi. Didalamnya termasuk pelabuhan pengisian bahan bakar, jumlah bahan bakar, dan kecepatan kapal. Berdasarkan permodelan yang telah dibuat, akan membahas efek time windows terhadap kapal, harga bahan bakar, kapasitas tangki kapal dan kemungkinan kehilangan muatan di rute Tj. Priok – Tj. Perak – Gorontalo – Bitung – Tj. Priok. Kata Kunci--fuel management, ship speed, time windows, harga bunker.
I. PENDAHULUAN
S
ejalan dengan perkembangan perdagangan global, transportasi laut menjadi salah satu bagian yang penting dalam pendistribusiannya. Secara umum ada tiga tipe pelayaran di transportasi maritim yaitu pelayaran liner, pelayaran tramper/charter, dan pelayaran industrial [1]. Pelayaran liner beroperasi seperti bus umum, kapal biasanya beroperasi pada rute yang tetap dan setiap kapal memiliki jadwal masing-masing pada pelabuhan di rute yang dilaluinya. Muatan pada kapal hampir selalu penuh karena melakukan kegiatan bongkar muat pada tiap pelabuhan yang dilewati. Pelayaran tramper beroperasi seperti sebuah taxi, kapal baru akan beroperasi ketika ada permintaan dari pemilik barang. Lalu kapal berangkat saat muatan tersedia dan biasanya kapasitas muatan kapal terisi penuh hanya untuk satu tujuan. Sedangkan pelayaran industrial beroperasi seperti armada truk di daratan. Pemilik muatan biasanya adalah perusahaan besar yang mengangkut muatannya sendiri. Pemilik muatan dapat mengatur seluruh kegiatan armada kapal. Kapal biasanya dimiliki secara langsung atau menyewa. Tetapi perbedaan antara ketiga tipe ini tidak mutlak atau tidak tergambar dengan jelas. Sebuah kapal dapat berubah dari satu jenis tipe menjadi tipe yang lain. Hal itu tergantung oleh siapa kapal tersebut dioperasikan. Masing-masing tipe pelayaran memiliki bermacam-macam masalah tersendiri dalam menjalankannya. Salah satu masalah yang harus
dihadapi oleh pemilik kapal adalah menentukan jumlah biaya bahan bakarnya. Biaya operasional yang paling besar didalamnya adalah biaya bahan bakar kapal. Karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar maka muncul pertanyaan bagaimana cara menekan biaya bunker untuk kapal sehingga pos pengluaran untuk bahan bakar dapat dikurangi. Dari Tabel 1 ditunjukan bahwa secara umum biaya untuk bahan bakar bunker memiliki prosentase yang besar hampir separuh dari seluruh operasionalnya. Tabel 1. Prosentase biaya operasional kapal Jenis biaya
Biaya (%)
Awak kapal Provisi dan pelumas Repair dan perawatan Asuransi Administrasi
32 11 16 30 12
Bahan bakar D.O Pelabuhan
47 7 46 Sumber : Saut Gurning (2010)
Karena itu penurunan biaya bahan bakar dapat memberikan penghematan yang besar dari total biaya kapal. Banyak cara yang diambil oleh perusahaan pelayaran untuk menekan konsumsi bahan bakar ini. Disamping menggunakan strategi bersifat teknis seperti menggunakan mesin induk yang efesien, menggunakan propeller yang efisiensinya tinggi dll. Salah satu cara adalah berlayar pada kecepatan rendah, tetapi berlayar dengan kecepatan rendah akan menambah waktu perjalanan yang dibutuhkan sehingga bisa saja melebihi jadwal kapal. Oleh karena itu bagaimana cara meningkatkan kecepatan kapal pada tiap titik (antara satu pelabuhan ke pelabuhan tujuan) menjadi hal yang penting. Lagipula harga bahan bakar di tiap pelabuhan dapat berbeda. Hal ini disebabkan penentuan harga jual minyak bakar oleh Pertamina. Di Indonesia ada pembagian 4 wilayah harga yaitu wilayah 1 untuk pulau Jawa dan Sumatra, wilayah 2 untuk pulau Kalimantan, wilayah 3 untuk pulau Sulawesi, dan wilayah 3 untuk pulau Papua dan Maluku seperti tabel 2. Dalam hal pemilihan pelabuhan bunker ada bermacammacam faktor yang berhubungan dengan harga. Faktor tersebut pada umumnya adalah tarif pelabuhan, waktu tunggu, harga bunker dan peraturan pelabuhan [2]. Sejalan dengan hal tersebut pemilihan pelabuhan untuk bunker di daerah Indonesia juga dipengaruhi oleh hal tadi. Sedangkan faktor-faktor kapal melakukan pemilihan pelabuhan bunker yang ada di daerah ASEAN adalah tingkat efisiensi dari
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
2
transaksi, tarif pelabuhan, reliability, akses dengan daratan dan akses dengan lautan [3].
Harga
Tabel 2. Harga jual minyak bakar Pertamina Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 7.700.000 7.800.000 7.900.000
BHP adalah besar energi yang keluar dari mesin induk kapal. BHP = SHP / ηG
Wilayah 4 8.050.000
Sumber : Pertamina 2012
Oleh karena itu, dalam paper ini akan membahas strategi menejemen bahan bakar tersebut dengan tujuan meminimalkan biaya total bunker untuk pelayaran. Lebih lanjut lagi dipelajari efek akibat jadwal time windows pada kapal yang antara lain mengatur waktu tunggu, waktu bongkar muat, waktu awal kedatangan, dan waktu akhir pelayanan. Lalu disini akan mengambil satu studi kasus pada rute pelayaran Priok-Perak-Gorontalo-Bitung-Priok sebagai contoh. II. URAIAN PENELITIAN A. Identifikasi Power dan Kecepatan Secara umum kapal yang bergerak di air dengan kecepatan tertentu, maka akan mengalami gaya hambat (resistance) yang berlawanan dengan arah gerak kapal tersebut. Besarnya gaya hambat yang terjadi harus mampu diatasi oleh gaya dorong kapal (thrust) yang dihasilkan dari kerja alat gerak kapal (propulsor) [4]. Untuk mengatahui hubungan power dan kecepatan kapal sebelumnya harus diketahui tentang tahanan kapal. Tahanan kapal ini akan berperan untuk menemukan EHP dan dari EHP dapat diketahui BHP kapal pada tiap kecepatan. EHP = λ x Vs3
(1)
Dimana : EHP : Effective horse power (kW) λ : Konstanta Vs : Kecepatan kapal Setelah diperoleh nilai EHP, nilai tadi akan digunakan untuk mencari nilai DHP (Delivered horse power). DHP adalah besar daya yang tersalurkan dari motor induk kapal hingga propeller. DHP = EHP / ηH x ηrr x ηo Dimana : DHP = Delivered horse power (kW) EHP = Effective horse power (kW) ηH = Efisiensi lambung ηrr = Efisiensi relatif rotatif ηo = Efisiensi propulsi
(2)
Dimana : BHP = Brake horse power (kW) SHP = Shaft horse power (kW) ηG = Losses akibat reduction gear (1% - 2%)
Gambar. 1. Pembagian daya pada kapal
Pada pemilihan kecepatan akan dibagi menjadi 3 bagian yaitu kecepatan di area pelabuhan awal, kecepatan di laut, dan kecepatan di area pelabuhan tujuan. Untuk kecepatan di area pelabuhan ditentukan pada kecepatan 4 – 5 knot. Sedangkan kecepatan di laut adalah kecepatan yang memiliki BHP diatas 50%. Hal ini dikarenakan karakteristik mesin yang akan berakibat buruk jika tidak dioperasikan sesuai aturan. Kombinasi yang muncul adalah sebagai berikut. Tabel 3. Skenario variasi kecepatan No
Kecepatan (knot)
No
Kecepatan (knot)
1 2 3 4 5 6 7 8
4 – 15.5 – 4 4 – 16 – 4 4 – 16.5 – 4 4 – 17 – 4 4 – 17.5 – 4 4 – 18 – 4 4 – 18.5 – 4 4 – 19 – 4
9 10 11 12 13 14 15 16
5 – 15.5 – 5 5 – 16 – 5 5 – 16.5 – 5 5 – 17 – 5 5 – 17.5 – 5 5 – 18 – 5 5 – 18.5 – 5 5 – 19 – 5
B. Identifikasi Rute dan Pelabuhan Data yang digunakan dalam menentukan jarak antar pelabuhan ini dengan menggunakan perhitungan jarak pelayaran yang telah dihitung berdasarkan rute kapal. Tabel 4. Jarak antar pelabuhan Jarak Area Pel 1 Area Laut (nm) (nm) Tj.Priok – Tj. Perak 10 338
Setelah diperoleh nilai DHP, nilai DHP tadi akan digunakan untuk mencari nilai SHP (Shaft horse power). SHP adalah besar daya yang tersalurkan dari motor induk kapal hingga poros propeller. SHP = DHP / ηBηs
(4)
Area Pel 2 (nm) 25
Tj.Perak – Gorontalo
25
915
6
Gorontalo – Bitung
6
155
9
Bitung – Tj. Priok
9
1268
10
(3)
Dimana : SHP = Shaft horse power (kW) DHP = Delivered horse power (kW) ηBηs = Losses akibat letak kamar mesin (2% - 3%) Setelah diperoleh nilai SHP, nilai SHP tadi akan digunakan untuk mencari nilai BHP (Brake horse power).
C. Identifikasi Demand Untuk demand akan digunakan data perusahaan Meratusline yang melayani rute Tj. Priok – Tj. Perak – Gorontalo – Bitung - Gorontalo.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
3 t
Tabel 4. Demand tiap pelabuhan Pelabuhan
Demand (TEUs)
Tj. Perak
800
Gorontalo
600
Bitung
600
Tj. Priok
667
: Waktu (jam)
F. Rancangan Permodelan 1. Notasi Notasi yang digunakan didalam model adalah sebagai berikut :
Parameter
Sumber : Meratusline (2012)
D. Deskripsi Sistem Studi kasus mengenai kapal MV. Mamiri yang beroperasi pada rute Tj. Priok – Tj. Perak – Gorontalo – Bitung – Tj. Priok. Pada tiap-tiap pelabuhan yang dilalui kapal memiliki jadwal time windows yang harus dipatuhi. Apabila kapal tiba di pelabuhan sebelum jadwal maka akan dikenai charge, begitu pula jika kapal melewati jadwal pelayanan akan dikenai charge pula. Sehingga dalam pelayaran dapat diatur kapan kapal berjalan dengan kecepatan tinggi dan kapan kapal berjalan pada kecepatan rendah.
n : jumlah pelabuhan di,j : jarak pelabuhan i dan j (nm) t : total waktu satu putaran (jam) ti : port time ( waktu tunggu dan waktu bongkar muat) (jam) ei : waktu awal time windows (jam) li : waktu akhir time windows (jam) ai : konsumsi bahan bakar kapal pada pelabuhan i c : koefisien charge waktu pelabuhan w : kapasitas tangki FO (kL) r : koefisien revenue loss vmin : kecepatan minimum kapal (knot) vmax : kecepatan maksimal kapal (knot)
Decision Variable Vi,j : kecepatan antara pelabuhan i dan j (knots) Si : total volume bunker untuk 1 kali putaran (kL)
Dependent Variable Ii : volume bunker saat tiba di pelabuhan i (kL) Ci : Biaya bunker pada pelabuhan i (Rp) Ai : Waktu tiba di pelabuhan i (jam) Di : Waktu berangkat dari pelabuhan i (jam) Fij : Konsumsi bunker antara pelabuhan i dan j (kL/jam) 2. Variabel Model Parameter :
Gambar. 2. Jadwal time windows di tiap pelabuhan.
Biaya charge akibat time windows
E. Perhitungan Durasi dan Konsumsi Bahan Bakar Untuk menghitung durasi perjalanan kapal pada tiap leg digunakan persamaan berikut. t=
Jumlah pelabuhan :4 Ukuran kapal : 1104 TEU Waktu pelayaran : 336 jam Kapasitas tangki : 500 ton/526 kL Interval kecepatan : 15.5 – 19 knot
(5)
Dimana : t : Durasi (jam) S : Jarak (nm) V : Kecepatan (m/s) Untuk menghitung konsumsi bahan bakar tiap rute dengan kecepatan yang ada adalah dengan menggunakan persamaan berikut. FC = BHP x SFOC x t (6) Dimana : FC : Konsumsi bahan bakar (kL) BHP : Power motor induk (kW) SFOC : Specific fuel oil consumption (gr/kwh)
Biaya charge (c) = (ei-Ai) + (Di-li) x Rp.100 x GT (7) Port time - Waktu Antri Adalah waktu ketika kapal menunggu melakukan bongkar muat. Waktu ini terdiri dari waktu parkir, waktu persiapan. dan waktu lain-lain. Diasumsikan idle time tiap pelabuhan adalah sebagai berikut. Tj. Perak = 35 jam Gorontalo = 20 jam Bitung = 15 jam Tj. Priok = 30 jam - Waktu Bongkar Muat Adalah waktu ketika kapal melakukan bongkar muat. Lama bongkar muat ini ditentukan oleh jumlah muatan kapal (TEUs) dibandingkan dengan kapasitas kemampuan crane di pelabuhan. Lama kegiatan bongkar muat dapat dihitung dengan persamaan berikut.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
4
WBM =
(8)
Revenue Loss Adalah nilai muatan kapal yang hilang akibat berat bahan bakar. Revenue loss ini berdasarkan demand muatan yang ada. Revenue loss = Total TEUs – Volume bahan bakar (9) G. Model Matematis Total Biaya = Min ∑Biaya Bunker + ∑Revenue Loss + ∑Biaya Charge Dimana :
1. Biaya Bunker
Ci = α1.Si-Ii + α2.Si-Ii + α3.Si-Ii + α4.Si-Ii (10) α1 + α 2 + α 3 + α 4 = 1 Ii = Si-Fi,j x (dn/Vn) Si-li ≥ 20%w Si ≤ w
(11) (12) (13)
2. Revenue Loss ∑ = r1.(Si-ai)
(14)
3. Biaya Charge Vmin ≤ Vi,j ≤ Vmax Ai+1 = Ai+ti+(di+1/Vi+1) e i ≤ A i ≤ li A1 = 0 c = (ei-Ai) + (Di-li) x Rp.100 x GT kapal
(15) (16) (17) (18)
H. Pembuatan Skenario Bunkering Dari model tersebut akan menghasilkan total biaya pada saat kapal berlayar di kondisi normal dan pemilihan kecepatan yang digunakan. Apabila terjadi perubahan jumlah demand maka variable yang lain seperti port time dan revenue loss nya juga akan ikut berubah. Dalam perhitungan menentukan kecepatan dan scenario bunkering yang minimum akan digunakan metode simulated annealing. Metode ini meniru perilaku baja yang mengalami pemanasan sampai suhu tertentu lalu didinginkan secara perlahan [5] Metode ini digunakan karena akan mempercepat proses perhitungan pemilihannya. Dalam perhitungannya digunakan MATLAB sehingga perhitungan dapat diulang beberapa kali hingga mendapatkan hasil yang paling minimum. Skenario Muatan Normal Skenario muatan normal tetap seperti kondisi demand yang ada pada Tabel 4. Hasil perhitungan lama bongkar muat tiap pelabuhan adalah sebagai berikut. Tj. Perak = 26,6 jam Gorontalo = 33,3 jam Bitung = 31,1 jam Tj. Priok = 24,4 jam
Gambar. 3. Alur penggunaan kecepatan
Dengan pemakaian kecepatan yang paling minimum dan masih tetap mengikuti jadwal time windows kapal adalah kombinasi 9-9-9-1 dengan total bahan bakar yang digunakan adalah 185,48 kL. Untuk scenario bunkeringnya didapatkan nilai awal didapatkan bunker sebesar 70 kL. Lalu konsumsinya untuk tiap leg adalah : Tj. Priok – Tj. Perak Tj. Perak – Gorontalo Gorontalo – Bitung Bitung – Tj. Perak
= 27,64 kL = 62,49 kL = 12,47 kL = 82,88 kL
Sehingga kapal akan memilih pelabuhan bunker 1 sebesar 70 kL dan pelabuhan 2 untuk bunker sebesar 115,56 kL. Untuk total biaya bunker, total charge, dan revenue loss adalah Rp.1.428.200.000. Skenario Muatan Rendah Skenario muatan rendah tetap seperti kondisi demand yang ada pada Tabel 4 tetapi diasumsikan berkurang 10%. Hasil perhitungan lama bongkar muat tiap pelabuhan adalah sebagai berikut. Tj. Perak Gorontalo Bitung Tj. Priok
= 24 jam = 30 jam = 28 jam = 22 jam
Dengan pemakaian kecepatan yang paling minimum dan masih tetap mengikuti jadwal time windows kapal adalah kombinasi 9-9-9-1 dengan total bahan bakar yang digunakan adalah 185.48 kL. Untuk scenario bunkeringnya didapatkan nilai awal didapatkan bunker sebesar 100 kL. Lalu konsumsinya untuk tiap leg adalah : Tj. Priok – Tj. Perak Tj. Perak – Gorontalo Gorontalo – Bitung Bitung – Tj. Perak
= 27,64 kL = 62,49 kL = 12,47 kL = 82,88 kL
Sehingga kapal akan memilih pelabuhan bunker 1 sebesar 100 kL dan pelabuhan 2 untuk bunker sebesar 85,56 kL. Untuk total biaya bunker, total charge, dan revenue loss adalah Rp.1.427.100.000. Skenario Muatan Tinggi Skenario muatan rendah tetap seperti kondisi demand yang ada pada Tabel 4 tetapi diasumsikan bertambah 10%.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 Hasil perhitungan lama bongkar muat tiap pelabuhan adalah sebagai berikut. Tj. Perak = 29,3 jam Gorontalo = 36,6 jam Bitung = 34,2 jam Tj. Priok = 26,8 jam
= 27,64 kL = 62,49 kL = 12,47 kL = 81,96 kL
Sehingga kapal akan memilih pelabuhan bunker 1 sebesar 50 kL dan pelabuhan 2 untuk bunker sebesar 134,56 kL. Untuk total biaya bunker, total charge, dan revenue loss adalah Rp.1.422.100.000. I. Validasi Pada bagian ini akan dilakukan proses validasi tentang metode yang digunakan, apakah dapat memberikan hasil yang sesuai atau tidak apabila terjadi perubahan pada variabelnya. Pada proses ini akan digunakan harga bahan bakar yang berbeda pada tiap pelabuhan.
Harga
Tj. Priok 8.000.000
Tabel 5 Harga baru tiap pelabuhan Tj. Perak Gorontalo 8.000.000 7.900.000
Bitung 7.900.000
Dengan skenario muatan normal tetap seperti kondisi demand yang ada pada Tabel 4. Hasil perhitungan lama bongkar muat tiap pelabuhan adalah sebagai berikut. Tj. Perak = 26,6 jam Gorontalo = 33,3 jam Bitung = 31,1 jam Tj. Priok = 24,4 jam Dengan pemakaian kecepatan yang paling minimum dan masih tetap mengikuti jadwal time windows kapal adalah kombinasi 9-9-9-9 dengan total bahan bakar yang digunakan adalah 184,56 kL. Untuk scenario bunkeringnya didapatkan nilai awal didapatkan bunker sebesar 70 kL. Lalu konsumsinya untuk tiap leg adalah : Tj. Priok – Tj. Perak Tj. Perak – Gorontalo Gorontalo – Bitung Bitung – Tj. Perak
untuk biaya bunker, total charge, dan revenue loss adalah Rp.1.467.000.000. III. KESIMPULAN
Dengan pemakaian kecepatan yang paling minimum dan masih tetap mengikuti jadwal time windows kapal adalah kombinasi 9-9-9-9 dengan total bahan bakar yang digunakan adalah 184,56 kL. Untuk scenario bunkeringnya didapatkan nilai awal didapatkan bunker sebesar 50 kL. Lalu konsumsinya untuk tiap leg adalah : Tj. Priok – Tj. Perak Tj. Perak – Gorontalo Gorontalo – Bitung Bitung – Tj. Perak
5
= 27,64 kL = 62,49 kL = 12,47 kL = 81,96 kL
Sehingga kapal akan memilih pelabuhan bunker 1 sebesar 70 kL, pelabuhan 2 untuk bunker sebesar 20.13 kL dan pelabuhan 3 untuk bunker sebesar 94.43 kL . Dan total biaya
Berdasarkan analisa dan pembahasan pada tugas akhir ini yang mengacu pada data data yang relevan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Didapatkan bahwa variasi kecepatan yang dipilih untuk satu kali perjalanan dari Tanjung Priok – Tanjung Perak – Gorontalo – Bitung – Tanjung Priok pada saat kondisi muatan normal dan muatan rendah adalah kombinasi 9 – 9 – 9 – 1 yang memiliki kecepatan 5-15.5-4 knot. Sedangkan pada saat kondisi muatan tinggi variasi kecepatan yang digunakan adalah kombinasi 9 – 9 – 9 – 9 yang memiliki kecepatan 5-15.5-5 knot. 2. Ketika kapal berjalan pada kecepatan tersebut bahan bakar yang digunakan mencapai titik paling minimum yaitu 185.48 kL pada saat kondisi muatan rendah dan normal dan 184.56 kL pada saat kondisi muatan tinggi. 3. Harga volume bahan bakar pada tiap pelabuhan bisa berbeda tergantung harga pada daerah tersebut. Sehingga harga total bahan bakar juga berbeda. Harga pada pelabuhan Tj. Priok dan Tj. Perak sebesar Rp. 1,421,112,000.00. Harga pada pelabuhan Gorontalo dan Bitung sebesar Rp. 1,458,024,000.00. 4. Setelah dilakukan validasi dengan harga baru, hasil skenario bunkernya dapat mengikuti perubahan variable yang ada. IV. DAFTAR PUSTAKA [1] Ronen, D. 2002. Cargo ships routing and scheduling: survey of models and problems, School of Business Administration, University of Missouri-St. Louis. [2] Acosta,M.2010. Bunkering competition and competitiveness at the port of the Gibraltar Strait, Jurnal of Transport Geography, Elsevier. [3] Tongzon, J. 2007. Determinants of competitiveness in logistics: Implications for the ASEAN region, Maritime Economics & Logistics. [4] Harvald, J. 1992. Resistance and Propulsion of Ships, John Wiley & Sons. [5] Santosa, B., Willy, P. 2011. Metoda Metaheuristik Konsep & Implementasi. Guna Wijaya. Surabaya.