SKRIPSI
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
Oleh Mohammad Fauzan F24103045
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
1
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Mohammad Fauzan F24103045
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
Mohammad Fauzan. F24103045. Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc, Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi, M.Sc, dan Esti Puspitasari, M.Sc. RINGKASAN Udang merupakan salah satu produk perikanan yang bernilai tinggi ditinjau dari segi komersial, nilai gizi maupun selera konsumen di dalam dan di luar negeri. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Hal ini didukung oleh produksi udang Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif setiap tahunnya. Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah penjagaan mutu dan keamanan produk udang menjadi masalah penting bagi industri yang mengelolanya. Permasalahan mutu yang terjadi di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) yakni tingginya cooking loss. Tingginya cooking loss menyebabkan ukuran (size) dan berat produk akhir udang menjadi lebih kecil dari yang diinginkan. Sedangkan permasalahan keamanan yang terjadi yakni proses pemasakan udang yang berlangsung di dalam proses produksi belum memastikan dapat menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri ini bersifat patogen sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Perbaikan yang bisa dilakukan pada permasalahan cooking loss yang tinggi yaitu dengan pemakaian suhu pemasakan yang lebih rendah. Suhu pemasakan yang lebih rendah dapat mengurangi tingkat kehilangan air dalam produk udang selama pemasakan. Sedangkan untuk permasalahan keamanan produk, perlu dilakukan validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hasil validasi ini akan memastikan bahwa produk udang masak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan mengoptimasi proses pemasakan udang untuk menurunkan cooking loss dengan tetap menjaga mutu produk lainnya (kematangan, blackspot, dan organoleptik) dan memastikan proses pemasakan yang berlangsung di dalam proses produksi mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Perlakuan yang diberikan pada Optimasi Proses Pemasakan Udang yaitu pemakaian suhu yang lebih rendah dari suhu awal yaitu 98ºC-99ºC menjadi suhu 85ºC, 90ºC, dan 95ºC pada mesin Cabinplant ® Cooker. Produk udang yang digunakan sebagai sampel yaitu udang CTO (Cooked TailOn) dan udang Peeled Cooked size 41-45. Kedua sampel ini merupakan produk unggulan dan masih memiliki cooking loss lebih tinggi daripada produk udang cook lainnya. Sedangkan perlakuan pada penelitian validasi reduksi bakteri Listeria monocytogenes dengan menurunkan waktu pemasakan dari 80 detik suhu 98-99°C produk CTO size 41-50 (sampel produksi) menjadi 60 detik. Penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dibagi menjadi 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi). Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu pemasakan yang lebih rendah dengan mengamati parameter kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya.
3
Pada penelitian lanjutan dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan. Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu pemasakan terlama . Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik. Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan blackspot yang tidak sesuai dengan standar PT CPB. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari data yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam skala produksi ini adalah Nilai blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama 60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Mohammad Fauzan F24103045 Dilahirkan tanggal 06 Oktober 1984 Di Jakarta Tanggal lulus : 24 Januari 2008 Bogor, 30 Januari 2008 Menyetujui :
Hardi Kurniawan Pembimbing Lapang
Dr. Ir. Ratih Dewanti - H, M.Sc Pembimbing Akademik-2
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Pembimbing Akademik-1
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen ITP
5
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Mohammad Fauzan, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 06 Oktober 1984. Penulis merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda Abdullah, BA dan Ibunda Istianah serta kakak Mohammad Tofan. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1990-1991, di TK Fatahillah Ciracas, Jakarta Timur. Pada tahun 1991-1997 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Sudirman Cijantung, Jakarta Timur. Pada tahun 1997-2000, penulis melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri 102 Cijantung, Jakarta Timur, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 39 Cijantung, Jakarta Timur pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di perkuliahan, penulis aktif di Organisasi Rohis Kelas Teknologi Pangan dan Gizi (ROKET) sebagai ketua umum (2003-2007) dan Direktur Forum Bina Islami FATETA (FBI-F) tahun 2005-2006. Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti TECHNO-F (2004), BAUR(2005), dan Seminar Nasional Pangan Halal (2005). Penulis juga pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor pada bulan JuliAgustus tahun 2005. Prestasi yang pernah diraih yaitu mendapat dana kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyarakat tahun 2006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan kegiatan magang selama empat bulan di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB), Lampung. Tema penelitian dalam kegiatan magang ini adalah “Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung” dibawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc, Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc, dan Hardi Kurniawan.
6
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung” dengan baik yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ayahanda Abdullah, BA dan Ibunda Istianah, serta Mas Ifan dan Mba Lia yang telah memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan suasana hangat di rumah semoga skripsi ini bisa menjadi buah karya yang bermanfaat. 2. Bapak Dr. Ir. Dahrul, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingan, nasihat, dan perhatian sampai penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc sebagai dosen pembimbing ke-2 atas bimbingan, nasihat, dan perhatian sampai penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Bambang Widigdo dan Bapak Bambang Panca serta seluruh pimpinan PT CPB atas izinnya sehingga penulis dapat magang di PT CPB. 5. Ibu Esti Puspitasari, M.Sc sebagai pembimbing lapang atas bimbingan, nasihat dan masukan-masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul selama magang berlangsung. 6. Seluruh Keluarga Besar Divisi Application and Improvement (A&I) PT CPB : Pak Hardi dan Pak Ahmad, atas segala masukan, nasihat, dan motivasi selama magang berlangsung, Bu Ari, Pak Ade, Seluruh supervisor Mbak Rini, Teh Herni, Mbak Retno, Mas Kabul, dan Mas Andi khusus kepada My Best Team : Teh Rini, Mas Joko, Mas Edi, Mas Adi, Mas Istamar (Terimakasih banyak atas semua kerjasamanya, maaf banyak merepotkan, sungguh kita merupakan tim yang sangat LUAR BIASA !!!), Mas Heri dan Mas Didit atas bantuannya ketika tahap aplikasi
7
dalam skala produksi, Mas Hari, Mas Pay, Mas Imam, Mas Ilung, Mba Sri, Mas Day, Mbak Dwi, Bang Roy, Mas Yudi, Mas Miawan, Mba Iin, Mas Wahyu, Mas Handoko, Mas Gembus, Mas Wahyu Wisnu, Mba Suryati (Terimakasih atas semua kerjasamanya, perhatian, canda tawa, dan suasana kekeluargaan selama penulis bergabung di Divisi A&I). 7. Departemen Laboratorium : Ibu Santi, Pak Teddy, Mba Nuren, Mas Anton, dan Pak Kusnan (Terimakasih banyak atas bimbingan dan training analisis Listerianya), Mas Puspo, Mba Gita, Mas Afri, dan Mas Ambri (Terimakasih atas kesediaannya sebagai panelis organoleptik) serta seluruh personil Laboratorium PT CPB. 8. Seluruh manager shift Produksi: Bapak Bambang Suseno, Bapak Tri Hartono, dan Bapak Joko Sulistiyo. Juga Mas Agus, Mba Linda, Ibu Kunarti, Pak Abdurrokhman serta semua operator yang telah membantu. (Terimakasih atas kerjasama dan izinnya selama penulis melakukan riset di produksi). Juga pihak QC (diwakili Mba Linda) dan pihak Engineering (diwakili Pak Gultom) yang banyak membantu selama riset. 9. Seluruh Keluarga Besar SEAFAST IPB: Ibu Tri, Ibu Entin, Sofah, dan teman-teman seperjuangan di Lab. Mikrobiolagi: Fitri, Mba Yuli, Mba Dhenok. Juga
Mas Jay dan dessy (Terimakasih atas dukungan dan
bantuannya selama penulis melakukan riset validasi reduksi Listeria). 10.Seluruh sahabat-sahabat terbaik di ITP 40 (Rahmat, Arie, Sarwo, Usman, Helmi, Sumarto, Dhani, Eka KS, Prima, Maulita, Lala, Hanifah, Maya) khusus sahabat kelompok praktikum: Sindhu, Sinung, dan Adoz (Terimakasih atas kerjasama dan suasana hangat selama kuliah dan praktikum di ITP), juga Chusni (teman seperjuangan penelitian di Lampung), tidak lupa Gilang, Angel, Anggita (teman satu bimbingan). Juga kepada rekan-rekan ITP 41, 42, dan 43 yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 11.Seluruh pengurus Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Forum Bina Islami Fateta (FBI-F), khususnya kepengurusan 2005-2006 (Syukron Jazakumullah atas segala perjuangannya, semoga segala pengorbanan kita mendapat ridho dari Allah SWT, Allahu Akbar !!!).
8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR TABEL................................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN....................................................................................... 16 A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 16 B. TUJUAN ................................................................................................ 17 C. SASARAN ............................................................................................. 17 D. MANFAAT ............................................................................................ 17
II.
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ...................................................... 19 A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................................ 19 B. LOKASI DAN TATA LETAK PABRIK .............................................. 19 C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN ......................................................... 20 D. SUMBER DAYA MANUSIA ............................................................... 20 E. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN...................................... 21 F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN ............................................ 22 G. FASILITAS ............................................................................................ 22
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 24 A. PROSES PEMASAKAN UDANG ........................................................ 24 1. Bagan Alir Pemasakan Udang ......................................................... 24 2. Parameter Mutu Udang Masak......................................................... 27 3. Pemasakan dengan Cabinplant ® cooker .......................................... 29 B. BAKTERI Listeria monocytogenes ....................................................... 30 1. Karakteristik, Klasifikasi, dan Habitat Bakteri Listeria monocytogenes .................................................................... 30 2. Bahaya Bakteri Listeria monocytogenes terhadap Keamanan Pangan ............................................................................ 32 3. Pencegahan dan Kontrol Bakteri Listeria monocytogenes............... 34 4. Teori Kecukupan Panas dalam Menginaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 35
9
5. Standar Perdagangan di Berbagai Negara terhadap Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 38 a. Amerika Utara .............................................................................. 38 b. Eropa ............................................................................................ 39 c. Australia ....................................................................................... 40 IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 42 A. BAHAN DAN ALAT............................................................................ 42 1. Bahan................................................................................................ 42 2. Alat .................................................................................................. 42 B. TEMPAT DAN WAKTU .................................................................... 42 C. METODE PENELITIAN .................................................................... 43 1. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................. 43 a. Penelitian Pendahuluan ................................................................ 43 b. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) ................... 43 2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 44 D. STANDAR PEMASAKAN UDANG ................................................... 49 E. METODE ANALISIS ......................................................................... 56 1. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................. 56 a. Perhitungan Kematangan ........................................................... 56 b. Perhitungan Cooking Loss.......................................................... 56 c. Perhitungan Blackspot ................................................................ 56 d. Uji Organoleptik......................................................................... 57 2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 57 a. Perhitungan Nilai Fo .................................................................. 57 b. Analisis Kualitatif Bakteri........................................................ 58 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 61 A. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................... 61 1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 61 a. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan .......................................................... 67
10
b. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap cooking loss................................................................... 68 c. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap blackspot ....................................................................... 69 2. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) ....................... 72 B. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes ........................................................... 73 1. Hasil Perhitungan Nilai Fo ............................................................... 73 2. Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes .............. 74 3. Hubungan antara Nilai Fo dan Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes .................................................................... 78 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 80 a. Kesimpulan ............................................................................................ 80 b. Saran ....................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL Tabel 1. Syarat pencapaian waktu pada berbagai suhu untuk menginaktifasi Listeria monocytogenes (FDA, 2001) ................................................... 22 Tabel 2. Standar udang masak beku (EC, 2005) .................................................. 25 Tabel 3. Standar udang masak beku (ICMSF, 1996) ........................................... 26 Tabel 4. Alur proses Validasi dan Penjelasannya ................................................ 37 Tabel 5. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C .............................................................................................. 46 Tabel 6. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) Size 41-45 Suhu 90°C............................................................................. 47 Tabel 7. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) Size 41-45 Suhu 95°C............................................................................. 48 Tabel 8. Hasil pengambilan sampel produksi Produk CTO Size 41-45 .............. 51 Tabel 9. Hasil aplikasi dalam skala produksi ...................................................... 56 Tabel10. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes ........................ 58
12
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Food processing plant 2 di PT Centralpertiwi Bahari ....................... 8 Gambar 2. Udang Cooked Tail-On dan Peeled Cooked........................................ 9 Gambar 3. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB ............................. 11 Gambar 4. (a) Mesin Cabinplant ® keseluruhan; (b) Cooling zone (spray); (c) Panel pengatur suhu dan waktu pemasakan;(d)Outfeed mesin15 Gambar 5. Karakteristik bakteri Listeria monocytogenes ..................................... 16 Gambar 6. Proses infeksi bakteri Listeria monocytogenes .................................. 18 Gambar 7. Kurva hubungan nilai D dan z (Mendez dan Abuin, 2006) ................ 21 Gambar 8. Diagram alir penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang .............. 29 Gambar 9. Pertumbuhan Listeria monocytogenes (pada TSYE agar ( ) dan Palcam agar ( ) yang telah diinkubasi dalam TSYE broth pada 30°C) (Augustin et al., 1999) .................................................... 38 Gambar 10. Proses inokulasi bakteri ..................................................................... 39 Gambar 11. Pemasakan udang dalam panci kukus ............................................... 39 Gambar 12. Proses pendinginan udang ................................................................. 40 Gambar 13. Proses pemasakan udang di PT CPB................................................. 30 Gambar 14. Penimbangan udang .......................................................................... 31 Gambar 15. Proses dan hasil penyusunan udang .................................................. 32 Gambar 16. Cara pemasukan tray udang .............................................................. 33 Gambar 17. Cara pengukuran suhu pusat ............................................................. 34 Gambar 18. Proses pendinginan udang masak ...................................................... 34 Gambar 19. Penirisan udang ................................................................................. 35 Gambar 20. Udang matang, mentah, dan blackspot.............................................. 36 Gambar 21. Pembekuan udang ............................................................................. 36 Gambar 22. Pengemasan udang ............................................................................ 36 Gambar 23. Diagram alir uji kualitatif Listeria monocytogenes (BAM, 2000)... 45 Gambar 24. Hasil uji organoleptik pada penggunaan suhu 95°C ......................... 49 Gambar 25. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan ............................................................... 52 Gambar 26. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap cooking loss........................................................................ 53 13
Gambar 27. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap blackspot ............................................................................ 54 Gambar 28. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik (ulangan ke-1) ..................................................................... 57 Gambar 29. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik (ulangan ke-2) ..................................................................... 57 Gambar 30. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik (sampel produksi) ................................................................ 57 Gambar 31. Hasil uji pada media spesifik agar (PALCAM) ................................ 59 Gambar 32. Hasil uji motilitas .............................................................................. 60 Gambar 33. Uji biokimia pada U1, U2, dan kontrol positif.................................. 61
14
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C...................................................................... 71 Lampiran 1b. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On Size 41-50 Suhu 90°C...................................................................... 73 Lampiran 1c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On Size Suhu 95 °C ............................................................................... 74 Lampiran 2a. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan ........................................ 78 Lampiran 2b. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap cooking loss ................................................. 78 Lampiran 2c. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah terhadap Blackspot ..................................................... 78 Lampiran 3a. Hasil uji Duncan terhadap penampakan ......................................... 79 Lampiran 3b. Hasil uji Duncan terhadap tekstur .................................................. 79 Lampiran 3c. Hasil uji Duncan terhadap aroma.................................................... 79 Lampiran 4. Form pengujian organoleptik ......................................................... 80 Lampiran 5. Hasil analisis uji organoleptik ........................................................ 81 Lampiran 6. Hasil aplikasi dalam skala produksi ............................................... 82 Lampiran 7a. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (Ulangan ke-1 / U1) ............................... 83 Lampiran 7b. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (Ulangan ke-2 / U2) ............................... 84 Lampiran 7c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik dan perhitungan nilai Fo (sampel produksi).................................... 85
15
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Udang merupakan salah satu produk perikanan yang bernilai tinggi ditinjau dari segi komersial, nilai gizi maupun selera konsumen di dalam dan di luar negeri. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2007), ekspor ikan dan udang pada periode Januari-Juni 2006 mencapai 825,5 juta dollar AS, pada periode yang sama 2005 tercatat 759,2 juta dollar AS. Dibanding Mei 2006, ekspor Juni 2006 meningkat 50,2 juta dollar AS, membuat komoditas ini masuk 10 besar penghasil devisa nonmigas setelah sebelumnya tak terlihat. Hal ini didukung oleh produksi udang Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif setiap tahunnya. Menurut data dari Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2007), nilai produksi udang Indonesia tahun 2006 sebesar 327.260 ton, naik jika dibandingkan periode sama 2005 sebesar 280.465 ton. Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah penjagaan mutu dan keamanan produk udang menjadi masalah penting bagi industri yang mengelolanya. Masalah ini sangat serius karena hanya dengan tingkat keamanan yang tinggi dan mutu yang prima, produk udang Indonesia dapat bersanding dan bersaing dengan produk-produk udang dari negara lain di pasar global. PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan udang beku berorientasi ekspor, sangat perhatian terhadap permasalahan mutu dan keamanan produknya. Permasalahan mutu yang sedang dihadapi oleh industri udang masak ini yakni tingginya cooking loss. Tingginya cooking loss menyebabkan berat produk akhir udang menjadi lebih kecil dari yang diinginkan. Hal tersebut diakibatkan oleh hilangnya air pada udang akibat dari proses pemanasan selama pemasakan. Tingginya cooking loss produk dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah penggunaan suhu pemasakan yang tinggi pada proses pemasakan udang. Selain mutu produk, masalah keamanan produk juga harus diperhatikan. Keamanan produk banyak dipengaruhi oleh aspek mikrobiologi yang terdapat 16
pada bahan pangan yang dihasilkan. Permasalahan yang terjadi di PT CPB yakni proses pemasakan udang yang berlangsung di dalam proses produksi belum memastikan dapat menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri ini bersifat patogen sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, perlu dilakukan perbaikan mutu dan keamanan produk udang di PT CPB. Permasalahan cooking loss yang tinggi bisa dilakukan dengan menurunkan suhu pemasakan. Suhu pemasakan yang tidak terlalu tinggi dapat mengurangi tingkat kehilangan air pada udang selama pemasakan. Sedangkan untuk permasalahan keamanan produk, perlu dilakukan validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hasil validasi ini akan memastikan bahwa produk udang masak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1. Optimasi proses pemasakan udang untuk menurunkan cooking loss dengan tetap menjaga mutu produk lainnya (kematangan, blackspot, dan organoleptik). 2. Memastikan proses pemasakan yang berlangsung di dalam proses produksi mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. C. Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah 1. Mendapatkan
standar
penggunaan
mesin
pemasak
yang optimal
berdasarkan kematangan, cooking loss, blackspot, dan mutu organoleptik. 2. Memperoleh kepastian bahwa proses pemasakan yang berlangsung di dalam
proses
produksi
dapat
menginaktivasi
bakteri
Listeria
monocytogenes. D. Manfaat 1. Optimasi proses pemasakan dengan menurunkan suhu ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam perusahaan berkaitan dengan proses pemasakan pada mesin pemasak yang masih
17
menghasilkan cooking loss tinggi pada suhu 98ºC-99ºC sehingga akan diperoleh proses yang ideal dan dapat menghasilkan udang siap saji berkualitas secara mutu melalui proses produksi yang efisien. 2. Proses Validasi yang dilakukan dapat memastikan bahwa produk udang siap saji aman dikonsumsi karena kemampuan proses pemasakannya dalam menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
18
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bratasena didirikan pada tanggal 8 Juli 1984. Pendirian perusahaan dikukuhkan dengan SPT BPKM No. 453/PMDN/1994 dan Surat Keputusan Gubernur Daerah lampung No. 5 tahun 1996 tentang Pola Kemitraan Usaha Perikanan Inti Rakyat di Wilayah Lampung. Perusahaan ini merupakan usaha gabungan antara investor Charoen Pokphand Indonesia dan Bratasena Perkasa Kencana. Charoen Pokphand Indonesia merupakan anak perusahaan Charoen Pokphand Group dari Thailand. Karena PT Bratasena Perkasa Kencana menarik sahamnya pada tahun 1998, nama PT Centralpertiwi Bratasena berubah menjadi PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB). Saat ini, mayoritas saham PT Centralpertiwi Bahari dimiliki oleh PT Centralproteina Prima yang merupakan anak cabang Charoen Pokphand Indonesia (CPI). B. LOKASI PERUSAHAAN DAN TATA LETAK PABRIK PT Centralpertiwi Bahari berada di wilayah bekas hutan register 47 Way Terusan, Kecamatan Pembantu Gedong Meneng, Kecamatan Induk Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Luas lahan yang dicadangkan adalah 22271 hektar. Batas-batas wilayah PT Centralpertiwi Bahari, yaitu : Utara
: Sungai Way Tulang Bawang
Selatan
: Sungai Way Seputih dan Laut Jawa
Barat
: Sungai Way Terusan
Timur
: Laut Jawa
PT Centralpertiwi Bahari mempunyai kapasitas sekitar 15000 petambak dan 10000 karyawan. Hingga kini baru sekitar 4000 hektar dari total luas lahan yang telah digunakan. Tambak budidaya udang terletak di dua desa, yaitu : 1. Desa Adiwarna yang meliputi Blok 1, Blok 2, dan Blok 81. 2. Desa Mandiri yang meliputi Blok 71.
19
PT Centralpertiwi Bahari juga mempunyai tempat pengembangan benur udang (hatchery) seluas 130 hektar yang terletak di Desa Suak, Lampung Selatan. Selain itu, terdapat pula pabrik pakan udang yang terletak di Tanjung Bintang, Kawasan Industri Lampung. C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bahari merupakan perusahaan budidaya dan pengolahan udang modern. Perusahaan ini memilki visi menjadi perusahaan tambak inti rakyat yang baik dan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Adapun misi-misi PT CPB yaitu : 1. Mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. 2. Membina hubungan kerjasama yang harmonis antara perusahaan dengan petambak untuk mencapai tujuan bersama. 3. Menyediakan produk dan pelayanan dengan mutu terbaik bagi pelanggan sehingga dapat memberikan manfaat kepada investor, karyawan, mitra kerja dan pemerintah. 4. Memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar melalui peningkatan kegiatan ekonomi. Selain itu, PT CPB juga memiliki nilai-nilai (values) yang diterapkan, meliputi : 1. Contribution : merupakan falsafah Charoen Pokphand yang berarti perusahaan memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi Negara, masyarakat, dan karyawan. 2. Professionalism (honesty, loyality, quality, and integrity) : segala sesuatunya diusahakan berjalan secara profesional, sesuai dengan nilainilai kejujuran, kesetiaan, kualitas dan integritas yang tinggi pada perusahaan. 3. Broadminded : berpikiran luas, fleksibel, mampu menerima, dan menyerap serta menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi. D. SUMBER DAYA MANUSIA Karyawan di PT Centralpertiwi Bahari dibagi menjadi tiga shift kerja. Karyawan shift satu bekerja pukul 08.00-16.00. Karyawan shift dua bekerja
20
pukul 16.00-24.00. Karyawan shift tiga bekerja pukul 00.00 hingga 08.00 pagi. Pertukaran shift dilakukan setiap minggu. E. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bahari merupakan badan usaha perseroan terbatas. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS memilih dan mengangkat direktur, presiden (CPB operation), dan site vice president. PT CPB memilki sebelas divisi yang tersebar di beberapa wilayah di Lampung, dan dua bagian non divisi. Sembilan dari sebelas divisi tersebut berada di area tambak (Pond Site), wilayah Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Dua divisi lainnya berada di wilayah Kawasan Industri Lampung (KaIL) Tanjung Bintang dan di wilayah Suak-Kalinda, Lampung Selatan. Divisi yang berada di wilayah KaIL Tanjung Bintang adalah Divisi pabrik pembuatan pakan udang (Feedmill Operation). Sedangkan divisi yang berada di wilayah Suak-Kalianda adalah divisi budidaya benur udang (Breeding Operation). Dua bagian nondivisi PT CPB adalah Kantor Perwakilan (Representative Office) wilayah Lampung di Bandar lampung dan Kantor Pusat (Head Office) di Jakarta. Delapan divisi PT Centralpertiwi Bahari di area tambak ( Pond Site) yaitu : 1. Budidaya perairan (Aquaculture division). 2. Pengolahan dan penyimpanan (Processing and cold storage). 3. Pelayan petambak (Farmer service). 4. Pengembangbiakan udang (Breeding operation). 5. Pembangkit listrik dan peralatan elektrik (Powerplant and electric engineering). 6. Permasalahan umum dan pengembangan sumber daya manusia ( General Affairs and Human Capital). 7.
Keuangan dan akuntasi (Finnance and accounting).
8. Masyarakat dan persemaian (Civil and engineering)
21
F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN PT Centralpertiwi Bahari memproduksi berbagai jenis udang beku seperti udang mentah beku (conventional frozen shrimp), udang kupas mentah beku (peel raw frozen shrimp), udang masak beku (cooked frozen shrimp), nobashi ebi dan sushi ebi. Seluruh produk tadi diekspor ke manca Negara, seperti Jepang, Amerika, beberapa Negara Eropa, dan sebagainya. G. FASILITAS PT Centralpertiwi Bahari menyediakan fasilitas bagi karyawan, petambak dan keluarganya. Fasilitas tersebut meliputi fasilitas perumahan, sarana pendidikan, alat transportasi, tempat ibadah, sarana ekonomi, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana olahraga dan rekreasi. Fasilitas pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar (SD) pada masing-masing desa dan satu Sekolah Menegah Pertama (SMP) serta satu Sekolah Menengah Umum (SMU). Fasilitas transportasi berupa infrastruktur jalan (road dan subroad), jalan raya menuju dermaga (20 km), dermaga sungai (Amarta dan Sadewa), transportasi air (speed boat dan pontoon), serta transportasi darat (bus karyawan dan minibus). Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, didirikan tempat ibadat berupa masjid, mushola, gereja dan pura. Fasilitas ekonomi meliputi pasar tradisional, warung, kantin, bengkel dan pertokoan di setiap lokasi pemukiman. Selain itu juga terdapat koperasi karyawan (kopkar), Koperasi Unit Desa (KUD) bagi petambak. Fasilitas komunikasi meliputi radio Swara Bahari, Warung telekomunikasi (Wartel) dan pemancar signal telepon seluler atau handphone. Fasilitas kesehatan meliputi puskesmas di setiap blok tambak dan Pusat Pelayanan kesehatan. Fasilitas olahraga meliputi lapangan sepak bola, lapangan voli, lapangan basket, lapangan bulu tangkis dan tenis meja. Selain itu, juga terdapat fasilitas, organisasi olahraga Satria Nusantara (SN) dan taekwondo. Bagi para petambak, perusahaan menyediakan fasilitas tempat tinggal berupa rumah tipe 36, kolam tambak (ukuran 4900 m 2 atau 0.49 hektar), yang dilengkapi sarana irigasi, alas plastik, peralatan operasional dan pelatihan (dibayar dengan sistem kredit, fasilitas listrik dan air bersih, paket teknologi
22
(biosecurity, benur, analisa laboratorium untuk kualitas air, udang dan lingkungan tambak, obat-obatan serta pakan), paket natura (kebutuhan pokok berupa beras, minyak goreng, mie instant, susu kaleng, sabun mandi, sabun cuci, dan minyak tanah) serta biaya hidup bulanan sebesar Rp. 700.000. PT CPB menyediakan rumah tinggal (mess) bagi karyawan tetap yang belum menikah dan memilki jabatan sebagai staf keamanan (satpam), operator, kepala grup pekerja (foereman/forelady), pengawas (supervisior), manajer, kepala bagian, manajer senior dan vice president. Karyawan tetap yang telah menikah maupun karyawan belum tetap dapat menempati rumah sewa atau rumah pribadi di daerah pemukiman. Fasilitas lainnya berupa pasokan listrik dan air bersih, tunjangan kesehatan, jamsostek, kantin karyawan, bus karyawan, koperasi, pasar tradisional, dan bengkel.
Gambar 1. Food processing plant 2 di PT Centralpertiwi Bahari
23
III. TINJAUAN PUSTAKA A. PROSES PEMASAKAN UDANG 1. Bagan Alir Pemasakan Udang Produk udang yang dipakai sebagai sampel pada penelitian ini adalah udang CTO (Cooked Tail-On) dan udang Peeled Cooked. Udang CTO adalah produk udang Litopenaeus vannamei beku dan masak, tanpa kepala tetapi ekor masih ada, dibuang kulit segmen 1-5, bekas pangkal kaki renang dikerik, kemudian dibelah dari segmen 2-5 sedalam usus terambil (kedalaman 30%) kemudian dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007) sedangkan udang Peeled Cooked adalah produk udang Litopenaeus vannamei beku tanpa kepala, kulit segmen 1-5 dibuang, ekor dan kulit segmen 6 dicabut, bekas pangkal kaki renang dikerik, usus diambil dengan cara dicukit kemudian dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007). Secara rinci, udang Cooked Tail-On dan Peeled Cooked bisa dilihat pada Gambar 2.
(Cooked Tail-On)
(Peeled Cooked)
Gambar 2. Udang Cooked Tail-On dan Peeled Cooked Proses pemasakan udang CTO dan Peeled Cooked pada PT Centralpertiwi Bahari ini dimulai dari penerimaan udang mentah ( raw material), kemudian dilakukan pencucian dengan air es. Tahap selanjutnya adalah penyortiran berdasarkan ukuran dan grade udang dan dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan kemudian dicuci menggunakan air es, dipotong kepala, dan dicuci kembali menggunakan air es. Setelah dicuci dengan air es lagi, kemudian akan
24
dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh PPIC
(Production
Planning
&
Inventory
Control).
Setelah
dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit, pembuangan usus sampai pembelahan pada punggung udang, setelah itu dikoreksi keseragaman ukuran udang dan ada atau tidaknya kista, kemudian direndam dengan menggunakan carnal 2,5 % dan garam 2%. Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman dengan larutan tersebut diatas. Proses pemasakan yang dilakukan merupakan salah satu penerapan pengolahan-panas pada bahan pangan. Menurut Lund (1993), pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Karena diperpanjangnya umur simpan ini, maka bahan pangan yang melimpah hanya selama waktu panen yang nisbi pendek, dapat dibuat tersedia sepanjang tahun. Pengolahan panas pada bahan pangan yang
diterapkan
pada
pemasakan
udang
berupa
pengukusan
(menggunakan sumber panas berupa steam). Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menginaktivasikan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau Nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Lund, 1993). Optimasi
proses
pemasakan
dapat
dilakukan
dengan
mengkombinasikan antara suhu dan waktu pemasakan yang digunakan. Penggunaan suhu yang lebih rendah dengan waktu pemasakan yang lebih lama dapat menurunkan cooking loss produk. Hal ini dikarenakan pada penggunaan suhu rendah pada proses pemasakan menyebabkan perbedaan suhu pusat udang dengan suhu permukaan menjadi lebih kecil sehingga air yang hilang selama pemasakan dapat ditekan dan rendemen akan meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang lebih rendah akan membuat
25
produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran suhu diatas pertumbuhan bakteri serta akan memberikan penampakan, tekstur dan rasa yang lebih bagus (Anonim a, 2001). Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam air kualitas pertama (first quality water) yang telah ditambahkan serpihan es (flake ice) dan garam 2% sampai suhu dibawah 5°C. Suhu dibawah 5°C ini berfungsi sebagai shock chilling yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku karena beban refrigerasi dapat dikurangi. Proses pembekuan dilakukan setelah proses pemasakan selesai. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan sistem tunnel freezer, penimbangan, glazing, dikemas dan diberi label, tahap akhir adalah penyimpanan di cold room. Secara lebih rinci diagram alir proses pemasakan ini, dapat dilihat pada Gambar 3. Penerimaan ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Penyortiran (ukuran dan grade) ↓ Penimbangan ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Potong kepala ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Pengelompokkan ↓ Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung ↓ @
26
@ ↓ Koreksi ↓ Perendaman dengan carnal dan garam ↓ Pemasakan ↓ Pendinginan ↓ Pembekuan dengan tunnel freezer ↓ Penimbangan ↓ Glazing ↓ Pengemasan dan Pelabelan ↓ Penyimpanan dalam cold room Gambar 3. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB 2. Parameter Mutu Produk Udang Masak Salah satu metode penilaian mutu produk perikanan yaitu dengan penilaian subjektif. Penilaian subjektif yang biasa disebut juga penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktorfaktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakan, bau, citarasa, dan tekstur. Sifat organoleptik yang berhubungan dengan sifat fisik, sangat memegang peranan penting terutama untuk menentukan komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Berdasarkan penampakan, untuk udang masak, daging udang yang telah matang berwarna putih susu. Penilaian mutu secara subjektif (organoleptik) selain penampakan adalah tekstur, aroma, dan rasa. Tekstur yang paling bagus pada udang masak adalah elastis, kompak, dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak tekstur. Tekstur pada udang yang terlalu matang menjadi tidak bagus dan rusak. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak
27
bagus bagi tekstur udang. Rasa udang masak, tergantung pada konsentrasi bumbu yang telah dicampurkan sebelum proses pemasakan (AOAC, 2000). Selain kematangan, parameter penampakan yang sering menjadi permasalahan yaitu adanya blackspot pada tubuh udang. Blackspot berbentuk noda (spot) atau wilayah (bands dan zones) hitam yang mulai berkembang dari kepala lalu meluas ke membran kulit penghubung ruas-ruas tubuh (abdomen) hingga meliputi sirip ekor. Gejala bercak hitam atau melanosis disebabkan bukan oleh bakterial tetapi oleh reaksi enzim (Ilyas, 1993). Menurut Bileye dkk (1960), bercak hitam itu adalah senyawa melanin, hasil kerja dari enzim oksidatif tyrosinase atau Polyphenol Oxidase (PPO) yang mengkatalisis reaksi untuk mengubah tyrosin (substrat) menjadi melanin yang berwarna hitam. Blackspot tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk akan ditolak oleh konsumen. Enzim PPO, yang merupakan penyebab terjadinya blackspot, banyak terdapat pada lapisan kutikula dan hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperanan penting dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya. Sehingga blackspot banyak terjadi pada produk udang berkulit (ShellOn). Cooking loss produk juga merupakan salah satu parameter lain dari produk udang masak. Walaupun tidak secara langsung berkaitan dengan mutu produk tetapi tingkat cooking loss yang terlalu tinggi akan berakibat pada rusaknya komponen-komponen yang terdapat pada udang. Parameter cooking loss biasanya sangat berpengaruh terhadap keuntungan perusahaan. Cooking loss dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan (basis basah) (AOAC, 1995). Cooking loss menyebabkan ukuran dan berat akhir produk udang menjadi lebih kecil dari ukuran dan berat produk awal.
28
3. Pemasakan dengan Cabinplant® cooker Menurut Crowly (2001), metode dasar dari pemasakan komersil seafood ada tiga yaitu: pemasakan dengan steam, pemasakan dengan air panas, dan pemasakan dengan udara panas. Proses pemasakan di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) memakai steam sebagai sumber panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan koveksi dalam prosesnya. Mesin pemasak yang digunakan yaitu mesin Cabinplant ® cooker dan Laitram ® cooker. Mesin pemasak yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin Cabinplant® cooker. Mesin Cabinplant® cooker mampu memenuhi kapasitas produksi pemasakan 1000 kg/jam. Steam, yang dijadikan sumber panas, dialirkan langsung merata dari bagian atas mesin ke produk dengan waktu pemasakan antara 25 sampai 240 detik. Suhu yang digunakan yaitu 197°F-203°F atau sekitar 92°C-113°C (Crowly, 2001). Suhu pemasakan yang distandarkan pada Mesin Cabinplant ® cooker di PT CPB yaitu 98°C-99°C. Kisaran suhu ini juga banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan udang masak lainnya. Zona yang terdapat dalam Cabinplant ® cooker terbagi menjadi tiga yaitu: first cooling zone dengan menggunakan spray, zona pemasakan, dan second cooling zone dengan perendaman udang dalam bak air es. Cooling zone berfungsi untuk menghindari uap air tidak keluar dari mesin akibat proses pemasakan. Mesin Cabinplant ® cooker dirancang agar uap tidak keluar dari mesin. Pengeluaran uap dari mesin dapat membuang energi dan menyebabkan kondensasi di ruang proses. Kondensasi berupa tetesan air dari langit-langit ruangan akan jatuh ke mesin dan pekerja. Secara rinci, mesin Cabinplant dan bagian-bagian di dalamnya dapat dilihat pada Gambar 4.
29
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4. (a) Mesin Cabinplant ® keseluruhan; (b) Cooling zone (spray); (c) Panel pengatur suhu dan waktu pemasakan; (d) Outfeed mesin B. Bakteri Listeria monocytogenens 1. Karakteristik,
Klasifikasi,
dan
Habitat
bakteri
Listeria
monocytogenes Listeria monocytogenes merupakan salah satu jenis bakteri grampositif, psikotropik, anaerob fakultatif, tidak berspora, motil, dan bentuknya batang pendek. Dalam kultur segar, selnya mungkin dalam bentuk rantai pendek. Listeria monocytogens bersifat hemolitik dan memfermentasikan gula rhamnose tetapi tidak untuk xylose. Bakteri ini tumbuh antara 1 sampai 44°C, dengan pertumbuhan optimal pada 35°C37°C. Pada 7°C-10°C akan berkembangbiak relatif cepat. Listeria monocytogenes dapat memfermentasikan glukosa tanpa menghasilkan gas. Bakteri ini dapat tumbuh pada banyak bahan pangan dan lingkungan. Selnya relatif bertahan pada pembekuan, pengeringan, kadar garam tinggi, dan pH 5.0 serta pH diatasnya. Listeria monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71.7°C selama 15 30
detik atau 62,8°C dalam 30 menit), tetapi ketika di dalam sel darah putih, suhu 76.4°C sampai 77.8°C dalam 15 detik dibutuhkan untuk membunuh sel bakteri ini (Ray, 2000). Karakteristik bakteri Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Karakteristik bakteri Listeria monocytogenes (Anonim b, 2007) Listeria monocytogenes adalah salah satu spesies dari 6 species bakteri Listeria yaitu: L. Monocytogenes, L. Innocua, L. Welshimeri, L. Seeligeri, L. Ivanovii, dan L. Garyi (Boerlin et al, 1992). Spesies L. Ivanovii memiliki 2 subspesies yaitu: ivanovii dan londoniensis (Jay, 1996; Kozak et al., 1996). Listeria monocytogenes diisolasi dari banyak sampel lingkungan, seperti tanah, limbah, air, dan tumbuh-tumbuhan mati. Bakteri ini diisolasi dari isi usus dari hewan dan burung lokal. Manusia dapat juga membawa bakteri ini dalam ususnya tanpa banyak menimbulkan penyakit. Bagian besar dari daging mentah, susu, telur, makanan laut, dan ikan, seperti halnya daun dari tumbuh-tumbuhan dan umbi-umbian (khususnya
pada
kentang
dan
lobak)
mengandung
Listeria
monocytogenes. Banyak makanan yang diproses dengan panas, seperti susu pasteurisasi dan produk susu, serta pengolahan daging ready-to-eat juga dapat mengandung bakteri ini. Listeria monocytogenes diisolasi dalam ferkuensi tinggi dari banyak tempat pada proses pangan dan area penyimpanan (Ray, 2000). Berdasarkan hal tersebut, potensi bakteri ini berada dalam bahan pangan sangat besar. Apabila bakteri ini berada dalam bahan pangan maka bahan pangan tersebut menjadi tidak aman
31
dikonsumsi
bagi
manusia.
Hal
ini
berarti
bakteri
Listeria
monocytogenes dapat mempengaruhi kemanan bahan pangan tertentu. 2. Bahaya Bakteri Listeria monocytogenes terhadap Keamanan Pangan Menurut Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1996, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Berdasarkan isi undang-undang tersebut, cemaran biologis merupakan salah satu hal yang akan membuat bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Cemaran biologis itu bisa berasal dari bakteri Listeria monocytogenes yang bersifat patogen bagi manusia. Sifat patogen dari bakteri ini berasal dari toksin yang dihasilkannya. Faktor yang bersifat toksin pada Listeria monocytogenes adalah tipe khusus dari hemolysin, Listeriolysin O. Toksin itu diproduksi dalam pertumbuhan eksponensial dari selnya. Bakteri yang bersifat
patogen
ini
menyerang
jaringan
tubuh
berbeda
dan
berkembangbiak dalam sel tubuh, menghasilkan toksin. Toksin ini dapat menyebabkan kematian pada sel tubuh (Ray, 2000). Toksin yang dihasilkan merupakan bagian dari proses invasi bakteri ke tubuh inangnya. Proses infeksi bakteri ini adalah invasi melalui bagian permukaan usus. Proses invasi ini melibatkan residu Dgalaktosa pada bakteri yang menempel pada reseptor D-galaktosa yang cocok pada usus. Bakteri kemudian menangkapnya dengan proses fagositosis yang dihubungkan oleh membran berprotein yang disebut internalin. Setelah itu bakteri akan memproduksi toksin Listeriolysin (LLO) untuk keluar dari fagosom. Bakteri akan memperbanyak diri dengan cepat pada sitoplasma dan bergerak melalui sitoplasma untuk menyerang sel yang terdekat dengan polimerisasi aktin untuk membentuk ekor yang panjang (Anonim d, 2007). Secara rinci proses infeksi bakteri Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 6.
32
Gambar 6. Proses infeksi bakteri Listeria monocytogenes Proses infeksi Listeria monocytogenes pada tubuh manusia itu dapat menimbulkan berbagai penyakit. Listeria monocytogenes dikenal sebagai penyebab terjadinya listeriosis, jarang terjadi, tetapi merupakan infeksi penyakit asal pangan yang mempunyai tingkat mematikan 25% (Salmonella, sebagai perbandingan, mempunyai tingkat mematikan kurang dari 1%) (Anonim c, 2007). Gejala-gejala yang ditimbulkan dari infeksi bakteri patogen ini selanjutnya dijelaskan oleh Ray (2000), bahwa pada orang dengan kesehatan normal, gejala yang ditimbulkan salah satunya seperti gejala flu ringan dengan demam ringan, nyeri perut, dan diare. Gejala-gejala ini timbul dalam beberapa hari, tetapi kadang-kadang seseorang akan membuang Listeria monocytogenes dalam feses mereka. Lain halnya gejala-gejala yang terjadi pada kelompok-kelompok orang yang sensitif seperti: ibu hamil, bayi yang belum lahir, bayi, dan orang lanjut usia dengan tingkat kekebalan yang rendah. Gejala yang terjadi yaitu tipus dengan mual, muntah, nyeri perut, dan diare, serta gejala jangka panjang demam dan sakit kepala. Bakteri ini kemudian menyebar melalui aliran darah dan menyerang jaringan pada organ vital
33
yang berbeda, termasuk sistem syaraf pusat. Pada wanita hamil, Listeria monocytogenes dapat menyerang jaringan organ dari janin melalui plasenta. Gejalanya termasuk bacterimia (septicemia, meningitis, encephalitis, dan endocarditis). Tingkat mematikan pada janin, infeksi bayi yang baru lahir, dan membahayakan kekebalan seseorang adalah sangat tinggi. Tingkat infeksi kurang lebih mencapai 100 sampai 1000 sel, khususnya pada orang dengan tingkat sensitifitas yang tinggi (Ray, 2000). Selain menyerang manusia, bakteri ini juga menyerang berbagai jenis hewan seperti: ayam, kelinci, kambing, sapi, kuda, dan sebagainya (Supardi dan Sukamto, 1999). Gejala-gejala penyakit yang ditimbulkan dari bakteri Listeria monocytogenes ini sangat banyak dan berbahaya. Oleh karena itu bakteri ini harus dicegah dan dikontrol demi menjamin keamanan pangan. 3. Pencegahan dan Kontrol Bakteri Listeria monocytogenes Melihat sangat besarnya bahaya bakteri Listeria monocytogenes terhadap kesehatan manusia, maka pencegahan dan kontrol bakteri perlu dilakukan sebagai upaya untuk menjamin kemanan pangan. Menurut Ray (2000) metode pencegahan dan kontrol bakteri (termasuk bakteri
Listeria
monocytogenes)
untuk
meminimalkan
dan
menghilangkan jumlahnya dalam bahan pangan yaitu diantaranya melalui: 1) Mengontrol akses mikroorganisme ke dalam makanan, 2) Memindahkan secara fisik kehadiran mikroorganisme dalam makanan, 3) Mencegah dan mengurangi pertumbuhan mikroorganisme dan perkecambahan dari spora yang ada dalam makanan, dan 4) Membunuh sel mikroba dan spora yang hadir dalam makanan. Menurut Bell dan Kyriakides (2002) setidaknya ada 3 tempat atau area, khususnya dalam industri, dalam mencegah dan mengontrol bakteri Listeria monocytogenes yaitu: kontrol pada bahan mentah, kontrol dalam proses, dan kontrol pada produk akhir. Kontrol dalam proses misalnya pada proses pemanasan, proses fermentasi, proses pencucian, proses pengasapan, kontaminasi proses akhir.
34
Proses pemanasan melalui proses pemasakan merupakan salah satu upaya pencegahan dan kontrol bakteri dengan cara membunuh sel mikroba dan spora yang hadir dalam makanan pada area proses di dalam industri. Karena sifatnya memusnahkan mikroba, maka dengan menggunakan proses ini ada jaminan bahwa mikroba yang telah mati tidak akan pernah aktif kembali. Walaupun ada mikroba yang ditemukan pada produk pangan yang diproses dengan cara ini, maka kemungkinan besar hal ini terjadi karena rekontamninasi (Fardiaz, 1996). Proses pemanasan merupakan proses utama dalam menginaktivasi bakteri Listeria spp. pada industri berbagai macam jenis makanan termasuk daging masak, makanan siap santap, dan makanan penutup. Listeria monocytogenes dirusak oleh temperatur pasteurisasi yang diaplikasikan pada daging, di United Kingdom (UK) dikhususkan pada suhu 70°C selama 2 menit (Anonim d, 1992). Proses ini menginaktivasi sebanyak 6–log organisme di dalam makanan. Penelitian terhadap ayam masak mengindikasikan Nilai D untuk Listeria monocytogenes adalah 0.133 menit pada 70°C (Murphy et al., 1999). Proses pemanasan susu pasteurisasi di UK memakai suhu 71.7°C selama 15 detik untuk menginaktivasi bakteri sebanyak 3-4 log (berdasarkan Nilai z sebesar 57.5°C). 4. Teori Kecukupan Panas dalam Menginaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes Menurut Fardiaz (1996), proses termal atau proses yang menggunakan energi panas adalah salah satu proses di dalam pengolahan pangan yang jika tidak dilakukan dengan benar dapat menimbulkan masalah keamanan. Oleh karena itulah, proses termal merupakan tahap pengolahan yang dianggap kritis karena harus dilakukan secara hati-hati dengan perhitungan kecukupan panas yang akurat untuk menjamin keamanan produk pangan yang dihasilkan. Teori kecukupan panas mengenal konsep Nilai Fo, Nilai D, dan Nilai z yang berhubungan dengan inaktivasi bakteri
Listeria
35
monocytogenes di dalamnya. Menurut Wirakartakusumah dkk (1989), Nilai D merupakan waktu untuk menurunkan jumlah mikroba sebanyak 90% (1 siklus log) sedangkan Nilai z adalah perbedaan suhu yang menyebabkan perubahan Nilai D sebanyak 1 siklus log. Hubungan antara Nilai D dan Nilai z dapat dilihat pada Gambar 7.
Z
Gambar 7. Kurva hubungan nilai D dan z (Mendez dan Abuin, 2006) Pada Gambar terlihat bahwa Nilai D menyebabkan jumlah mikroba berkurang dari 10.000 menjadi 1000 (sebanyak 90% berkurang). Dalam proses pemanasan juga dikenal istilah “Order Reaksi”. Order dalam termal proses adalah berapa kali Nilai D dicapai pada suatu proses pemanasan. Misalnya suatu bahan pangan mempunyai populasi awal 10.000.000 sel dipanaskan hingga populasinya 10 sel, maka order reaksinya adalah 6. Jadi order yaitu berapa n D suatu pemanasan dilakukan (Wirakartakusumah dkk, 1989). Dalam menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes dipakai konsep 6D (FDA, 2001). Selain Nilai D dan z, dalam proses pemanasan yang berkaitan dengan inaktivasi bakteri terdapat istilah Fo. Menurut Fardiaz (1996) Nilai Fo adalah waktu setara dalam menit pada suhu rujukan (T ref) yang menghasilkan pengaruh mematikan yang sama seperti pemanasan pada suhu T selama t:
Fo = 10 (T-Tref) / z x t
36
Nilai Fo mencerminkan derajat letalitas terhadap mikroba dan merupakan Nilai kecukupan panas yang diperlukan untuk mereduksi jumlah mikroba yang diinginkan. Nilai Fo dan suhu rujukan (Tref) yang dijadikan syarat dalam proses pemanasan untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat pencapaian waktu (Fo) pada berbagai suhu pusat produk (Tref) untuk menginaktivasi Listeria monocytogenes (FDA, 2001) Internal Product Internal Product Temperature (°F) Temperature (°C) 145 147 149 151 153 154 156 158 160 162 163 165 167 169 171 172 174 176 178 180 182 183 185 Nilai z = 7.5 °C
63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
Lethal Rate 0.117 0.158 0.215 0.293 0.398 0.541 0.736 1.000 1.359 1.848 2.512 3.415 4.642 6.310 8.577 11.659 15.849 21.544 29.286 39.810 54.116 73.564 100.000
Time for 6D Process (minutes) 17.0 12.7 9.3 6.8 5.0 3.7 2.7 2.0 1.5 1.0 0.8 0.6 0.4 0.3 0.2 0.2 0.1 0.09 0.07 0.05 0.03 0.03 0.02
37
5. Standar Perdagangan di Berbagai Negara terhadap bakteri Listeria monocytogenes Standar perdagangan terhadap bakteri Listeria monocytogenes dibuat untuk menjamin keamanan pangan. Standar perdagangan di berbagai negara terhadap bakteri ini berbeda-beda. Salah satu hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah perbedaan pengetahuan tentang berapa banyak sel yang harus direduksi yang dapat menyebabkan penyakit sehingga mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat berupa peraturan-peraturan tentang batas minimal kehadiran bakteri ini di dalam bahan pangan dan non pangan. Bagaimanapun juga, setiap usaha yang dilakukan harus dibuat untuk menghambat penggandaan dari organisme ini dalam makananan (Farger dan Peterkin, 2000). Berikut ini beberapa kebijakan pemerintah di Kawasan Amerika Utara, Eropa, dan Australia tentang bakteri Listeria monocytogenes yang berhubungan dengan standar perdagangan yang dibuat (Frager dan Peterkin, 2000). a. Amerika Utara Di Negara Kanada, kebijakan yang dibuat fleksibel. Kebijakan peraturan yang dibuat terhadap makanan yang terkontaminasi bakteri Listeria monocytogenes berdasarkan prinsip dari Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang dibangun dengan menggunakan pendekatan penilaian resiko kesehatan. Kebijakan yang dibuat mencerminkan bahwa resiko dari kontaminasi Listeria monocytogenes dapat direduksi tetapi organisme ini tidak selalu dapat dibasmi dari produk akhir atau lingkungan. Kebijakan langsung diberlakukan pada produk pangan Ready-To-Eat (RTE) atau makanan siap saji yang berpotensi terhadap pertumbuhan bakteri ini. Produk pangan dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan resiko kesehatan.
Produk
pada
kategori
1
merupakan
penyebab
terjangkitnya penyakit Listeriosis dan menjadi prioritas terbesar dalam inspeksi. Produk yang termasuk dalam kategori 1 ini harus
38
ditarik kembali dari pasaran. Kategori 2 adalah semua produk pangan RTE yang mendukung untuk tumbuhnya bakteri Listeria monocytogenes dan mempunyai ketahanan hidup baktrei ini lebih dari 10 hari. Produk yang termasuk dalam kategori 2 ini juga harus ditarik kembali dengan pertimbangan yang mungkin dari pasaran. Kategori 3 terdiri dari 2 jenis produk pangan RTE yaitu: Produk yang mendukung pertumbuhan bakteri dengan ketahanan hidup ≤ 10 hari dan tidak mendukung pertumbuhan. Untuk produk pangan RTE kategori 3, faktor seperti kehadiran atau ketidakhadiran dari Good Manufacturing
Processing
(GMP),
tingkat
dari
Listeria
monocytogenes dalam bahan pangan ( 100 cfu g -1), dan atau evaluasi resiko kesehatan adalah semua dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan yang memenuhi. b. Eropa Pemerintah
United
Kingdom
(UK)
hanya
mempunyai
perundang-undangan untuk Listeria monocytogens dalam keju dan produk berbahan dasar susu lainnya yang telah diisukan langung oleh European Community (EC). Isi dari peraturan yang diberlakukan dalam produk susu dan berbahan dasar susu adalah Listeria monocytogenes tidak ada dalam 25 gram sampel dari keju lunak dan tidak ada pada 1 gram sampel dari produk lainnya. Sebagai tambahan, Public Health Laboratory Sevices (PHLS) memberikan petunjuk untuk beberapa bahan pangan RTE masak yang dibagi menjadi 4 kategori yaitu: (1) Memuaskan (Listeria monocytogenes tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel); (2) Cukup Memuaskan (ada pada 25 gram sampel dengan tingkat <100 cfu g -1); (3) Tidak Memuaskan (100-1000 cfu g-1); dan (4) Tidak diterima / penuh resiko (> 1000 cfu g-1). Pemerintah Jerman telah mengembangkan rekomendasi untuk digunakan sebagai otoritas inspeksi makanan. Empat kategori dari makanan telah dikembangankan dengan berbagai level. Group I terdiri dari makanan untuk bayi dan anak-anak dengan level tidak
39
ada bakteri Listeria monocytogenes dalam 25 gram sampel. Group II terdiri dari makanan seperti susu fermentasi dan produk kemasan aseptis dengan level sama seperti Group I. Group III termasuk makanan beku, keju (bukan keju mentah), sosis, dan udang kemasan dengan level >100 cfu g -1. Grup IV terdiri dari 3 jenis makanan yang berbeda seperti ikan asap dan sosis fermentasi; makanan mentah konsumsi dengan status mentah atau tidak diproses; dan makan mentah yang dipanaskan dahulu sebelum dikonsumsi. Untuk Grup IV level <100 cfu g-1 biasanya masih diizinkan. Untuk produk udang masak beku, European Community (EC) menetapkan standar bakteri Listeria monocytogenes adalah negatif dalam 25 gram sampel pada kondisi sebelum produk didistribusikan dari pabrik. Sedangkan standar pada kondisi selama produk beredar di pasar adalah 100 cfu/gram. Secara rinci, standar yang diberlakukan EC dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Standar udang masak beku (EC, 2005)
c. Australia Standar pembatasan kontaminasi Listeria monocytogens belum dimasukkan dalam Australian Food Standard Code. Kontrol 40
terhadap
permintaan
ekspor
yaitu
ketidakhadiran
Listeria
monocytogenes pada 5 X 25 gram sampel dari banyak keju. Otoritas Pangan
Austarlia
mempertimbangkan
untuk
memperkenalkan
standar dari organisme ini dalam Food Standar Code. Seperti di pendekatan di Kanada, produk akan digrupkan sesuai dengan kemampuannya
dalam
mendukung
pertumbuhan
Listeria
monocytogenes dan informasi dari model prediksi akan digunakan. International Commission on Microbiological Specifications for Foods (ICMSF) telah mengembangkan kebijakan penting untuk perdagangan internasional untuk makanan yang mengandung Listeria monocytogenes. Makanan yang diperuntukkan bagi orang normal, ICMSF merekomendasikan nilai n (jumlah sampel) dari 5, 10 atau 20 dengan level 100 cfu g -1 dan untuk makanan yang diperuntukkan bagi orang yang sensitif / peka, nilai n dari 15, 30 atau 60 dengan level “nol” untuk 25 gram sampel. Untuk produk udang masak
beku,
ICMSF
menetapkan
standar
bakteri
Listeria
monocytogenes negatif pada 25 gram sampel. Secara rinci, standar yang diberlakukan ICMSF dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar udang masak beku (ICMSF, 1996) Bakteri
Standar Udang masak
Total Aerobic Plate Counts
106 cfu /g
Staphilococcus aureus
100 cfu /g
Total Coliform
3.0 MPN / g
Escherchia coli
25 cfu/g
Salmonella
Negatif/ 25 g
Listeria monocytogenes
Negatif/ 25 g
41
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian Optimasi Proses Pemasakan adalah udang mentah siap masak CTO (Cooked Tail-On) dan Peeled Cooked size 41-50 sebanyak minimal 30 kg/hari yang digunakan untuk penelitian pendahuluan dan 100 kg untuk penelitian lanjutan, air chiller, air normal, flake ice, dan garam. Penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Listeria monocytogenes membutuhkan bahan-bahan antara lain: udang mentah siap masak CTO (Cooked Tail-On), media Listeria Enrichment Broth (LEB), University of Vermont (UV-M1 dan UV-M2), PALCAM Agar, Trypticase Soy Agar dengan 0.6% Yeast Extract (TSAYE), Trypticase Soy Broth dengan 0.6% Yeast Extract (TSBYE), Bacto Peptone, Motility Test Medium (MTM), Gula Dextrose, Xylose, Mannitol, dan Maltose serta aquades. 2. Alat Alat-alat
yang digunakan
untuk
penelitian
Optimasi Proses
Pemasakan Udang antara lain: mesin pemasak dan tray untuk proses pemasakan, box cooling, timbangan AND kapasitas 15,000 x 0,005 kg, termometer dingin dan termometer panas TFA type A1368, stop watch merk casio, keranjang besar (kapasitas 10 kg), pisau, dan data tracer. Penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Listeria monocytogenes membutuhkan alat-alat antara lain: kompor/pemanas, panci kukus, thermocouple, gunting preparasi, sarung tangan, pinset, stomacher, gelas piala, erlenmeyer, cawan petri, bunsen, jarum ose, tabung reaksi, inkubator, dan autoclave. B. TEMPAT DAN WAKTU Tempat untuk melakukan penelitian dibagi menjadi 2 yaitu PT Centralpertiwi Bahari, Lampung, untuk penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Laboratorium mikrobiologi patogen SEAFAST Center IPB, Bogor,
42
untuk penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes. Seluruh penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dimulai dari Bulan Mei sampai Bulan Oktober 2007. C. METODE PENELITIAN Penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes. Optimasi Proses Pemasakan Udang dilakukan melalui 2 tahapan yaitu penelitian pendahuluan, penelitian lanjutan dan scale-up. Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode kedua penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Optimasi Proses Pemasakan Udang a. Penelitian pendahuluan Pemakaian suhu pemasakan yang lazim dilakukan di dalam proses produksi dengan mesin Cabinplant ® cooker adalah suhu 98°C-99°C. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan udang dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C. Karena menggunakan suhu yang lebih rendah, maka waktu pemasakan yang digunakan menjadi lebih lama. Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu pemasakan yang lebih rendah tersebut dengan mengamati parameter kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya. b. Penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) Pada tahap ini dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan. Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Secara rinci,
43
metode penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dapat dilihat pada Gambar 8. Semua proses pemasakan dilakukan sesuai standar yang digunakan di PT CPB.
1. Penelitian Pendahuluan § Menetapkan waktu (t) optimal pada suhu (T) 85, 90°C, dan 95°C
Pengamatan 1. % Kematangan 2. % Cooking loss 3. % Blackspot 4. Uji Organoleptik dengan variasi waktu pada suhu yang optimal
2. Penelitian Lanjutan (Aplikasi dalam skala produksi) § Dari suhu dan waktu pemasakan yang optimal
Pengamatan 1. % Kematangan 2. % Cooking loss 3. % Blackspot
Gambar 8. Diagram alir penelitian optimasi proses pemasakan udang 2. Validasi Proses Pemasakan Udang terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes Validasi dilakukan untuk memastikan proses pemasakan yang terjadi dalam proses produksi
mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria
monocytogenes. Parameter yang bisa menjadi kontrol validasi ini adalah derajat letalitas (nilai Fo). Kontrol nilai Fo pada proses validasi akan direndahkan dari nilai Fo proses pemasakan yang terjadi dalam produksi dengan tujuan ketika proses validasi dengan nilai Fo rendah sudah mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes maka dengan demikian proses
44
pemasakan yang terjadi dalam proses produksi juga mampu menginaktivasi bakteri ini karena nilai Fo yang lebih besar. Sampel yang menjadi perbandingan dalam proses produksi yaitu pemasakan dengan standar waktu pemasakan 80 detik pada suhu 98°C-99°C produk CTO size 41-50. Perlakuan pada proses validasi ditentukan dengan menurunkan waktu pemasakan menjadi 1 menit / 60 detik pada suhu air mendidih. Pemasakan yang dilakukan selama proses validasi menggunakan skala laboratorium. Validasi tidak dilakukan di dalam proses produksi karena resiko kontaminasi akibat inokulasi bakteri yang dilakukan selama proses validasi. Alur proses validasi dan penjelasannya bisa dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Alur proses validasi dan penjelasannya Alur Udang
Inokulasi
Pengujian awal
Penjelasan Udang Fresh (± 10 gram / masak )
Inokulasi mikroba Listeria monocytogenes
Uji mikrobiologi sebelum dimasak ( Kontrol positif dan negatif)
Pemasakan
Udang dikukus dalam panci. Waktu pemasakan selama 1 menit / 60 detik pada suhu air mendidih. Thermocouple dimasukkan ke dalam udang dengan cara ditusuk untuk melihat suhu pusat udang selama proses pemasakan.
Pendinginan
Pendinginan dilakukan dengan merendam udang masak pada air steril
Pengambilan sampel
Udang diambil untuk dilakukan uji bakteri Listeria monocytogenes secara kualitatif
45
Secara rinci, alur validasi terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut : a. Persiapan Bahan Baku Udang Bahan baku udang yang digunakan sebelum pemasakan sebaiknya mempunyai suhu pusat 10-20°C. Oleh karena itu apabila bahan baku udang yang ada dalam bentuk beku maka dilakukan proses defrost untuk menaikkan suhu pusat. Proses defrost pada udang beku dilakukan dengan menggunakan air mengalir atau direndam pada air suhu normal. Bahan baku udang yang dibutuhkan selama proses validasi yaitu 1 ekor udang (±10 gram) tiap satu kali pemasakan. b. Persiapan Bakteri Uji Persiapan bakteri uji dilakukan melalui beberapa tahap sampai pada tahap inokulasi di bagian akhirnya. Tahap pertama dilakukan proses enrichment pada kultur murni bakteri. Proses enrichment yang dilakukan yaitu dengan menggores kultur murni sebanyak 1 ose kemudian dimasukkan pada media TSBYE 9 ml dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C, hal ini dilakukan untuk memperkaya dan memaksimalkan proses pertumbuhan bakteri (BAM, 2000). Waktu inkubasi diambil berdasarkan grafik pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes, dengan mengambil waktu yang paling maksimal dalam pertumbuhannya (sekitar 18–24 jam). Grafik pertumbuhan bakteri ini bisa dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pertumbuhan Listeria monocytogenes (pada TSYE agar ( ) dan Palcam agar ( ) yang telah diinkubasi dalam TSYE broth pada 30°C). (Augustin et al., 1999)
46
Untuk menyeragamkan kultur, maka dilakukan pengenceran larutan sampai tingkat 10 5 dan diinkubasi kembali pada suhu 30°C selama 24 jam. Setelah itu innoculum siap diinokulasi pada udang. Media pembawa innoculum yang digunakan yaitu Pepton Water (PW) sebanyak 225 ml. Proses inokulasi dilakukan dengan memasukan udang pada larutan campuran (PW + innoculum) selama 2 menit. Proses inokulasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Proses inokulasi bakteri c. Pengujian Awal Pengujian awal dilakukan sebagai Kontrol Positif dan Kontrol Negatif pada peralakuan panas yang dilakukan. Kontrol Positif dibuat dengan menginokulasi bakteri pada udang kemudian diuji kualitatif, sedangkan Kontrol Negatif tanpa inokulasi. Hasil uji kualitatif ini kemudian dibandingkan dengan hasil dengan perlakuan panas. d. Proses Pemasakan Udang Proses pemasakan udang dilakukan dengan menggunakan panci kukus. Udang dimasukkan ke dalam panci setelah air dalam panci kukus sudah mendidh agar proses pemasakan berjalan secara optimal. Pemasakan dilakukan selama 1 menit / 60 detik sebanyak 2 kali ulangan. Perlakuan ini merupakan penurunan waktu pemasakan dari proses pemasakan di produksi yaitu selama 80 detik untuk produk CTO size 41-50. Thermocouple digunakan untuk melihat perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan. Kabel thermocouple langsung ditusukkan pada bagian 47
tengah dalam udang. Pembacaan suhu pusat udang diaktifkan setelah udang masuk dalam panci kukus dan diberhentikan setelah proses pendingian. Hasil pembacaan suhu pusat udang dapat dilihat dari cetakan alat pembaca thermocouple dengan kisaran waktu per 5-6 detik. Proses pemasakan udang dalam panci kukus dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pemasakan udang dalam panci kukus e. Pendinginan Proses pendinginan dilakukan dengan merendam udang yang telah dimasak pada air suhu normal dalam wadah. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
pengaruh
pemasakan
terus-menerus
setelah
proses
pemasakan. Proses pendinginan dilakukan sampai suhu pusat udang turun menjadi ± 40°C-50°C. Proses pendinginan dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 12. Proses pendinginan udang
48
f. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel udang dilakukan setelah proses pendinginan selesai. Sampel yang diambil kemudian diuji bakteri Listeria monocytogenes secara kualitatif untuk melihat tingkat inaktivasi bakteri akibat perlakuan pemanasan yang diberikan. Jumlah sampel udang yang diambil sebanyak 2 kali ulangan. D. STANDAR PEMASAKAN UDANG Metode pemasakan yang dilakukan di dalam penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang mengikuti alur proses pemasakan produk udang yang berlangsung di perusahaan. Secara rinci proses pemasakan dan perlakuan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 13. Bahan Baku
Menentukan berat udang / tray
Menghitung dan Menimbang udang / tray
Menyusun udang dalam tray
Proses pemasakan dengan menggunakan suhu yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C
Mengukur suhu pusat udang
0
Pendinginan pada air pendingin < 7 C
Penirisan (3 menit)
@ 49
@
Menimbang dan menghitung udang
Organoleptik
Pengamatan black spot
Analisis hasil
Freezing
Penyimpanan 1 dan 3 hari
Kesimpulan
Gambar 13. Proses pemasakan udang di PT CPB Metode pemasakan udang CTO dan CP pada PT. Centralpertiwi Bahari terdiri dari tahapan proses sebagai berikut: a. Estimasi Waktu Pemasakan Estimasi waktu pemasakan dilakukan karena proses pemasakan memakai suhu yang lebih rendah. Waktu pemasakan yang dipakai menjadi lebih lama. Estimasi waktu pemasakan tersebut dilakukan sampai batas maksimal terlama waktu yang bisa diterapkan pada alat pemasakan. Waktu pemasakan yang dianggap tepat dilihat dari parameter kematangan, cooking loss, dan blackspot . b. Menentukan Berat per Tray dan Penghitungan Udang Sebelum Proses Pemasakan Pada penelitian ini digunakan ukuran (size) 41-50 yang berarti dalam setiap 1 lbs (456,5 g) terdapat 41-50 ekor udang. Penentuan berat per tray dilakukan untuk mengetahui berat produk tiap tray agar terjadi keseragaman saat proses pemasakan. Berat udang per tray ini ditentukan dengan menyusun udang size 41-50 didalam tray kemudian menimbangnya. Hasil yang diperoleh, dijadikan standar dalam menentukan berat udang per tray. Penimbangan dan penghitung udang dilakukan untuk mengetahui berat udang sebelum proses pemasakan sehingga dapat dihitung
50
cooking lossnya. Setelah menyusun kemudian menimbang udang, maka ditetapkan berat udang per tray ± 1500 g (1.5 kg). Penimbangan dilakukan dengan alat penimbangan AND dan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Penimbangan udang c. Menyusun Udang dalam Tray Penyusun udang dalam tray ini harus disesuaikan dengan ukuran dan jenis udang yang digunakan. Pada penelitian ini, digunakan 2 produk udang sehingga pola penyusunannya memiliki 2 pola berbeda. Hasil penyusunan udang dalam tray pada produk udang CP adalah 7 baris dimana setiap barisnya terisi 18 ekor udang untuk udang CP dan pada produk CTO adalah 6 baris dimana setiap barisnya terisi 21 ekor udang. Secara lebih lengkap proses dan hasil penyusunan udang dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Proses dan hasil penyusunan udang d. Mengukur Suhu Pusat Udang Sebelum Proses Pemasakan Hasil pengukuran suhu pusat udang sebelum proses pemasakan akan membantu memberikan informasi mengenai energi pemanasan
51
yang akan diterima udang, jika perbedaan suhu pusat udang dengan suhu mesin semakin besar maka energi yang akan diterima udang juga akan semakin besar sesuai dengan hukum pindah panas. Selain itu, suhu udang pada saat proses berjalan, harus dipertahankan ≤ 12°C untuk mencegah terjadinya perubahan warna (discolorisasi). Standar yang telah ditetapkan PT. CPB sebelum udang masuk ke dalam proses pemasakan yaitu mempunyai suhu pusat (10-20)°C, suhu pusat ini diukur
menggunakan
termometer
(digital
thermometer)
yang
mempunyai sensitifitas terhadap suhu dingin. Setelah berada dalam kisaran suhu yang telah ditetapkan maka proses pemasakan siap untuk dimulai sesuai dengan variasi suhu yang telah ditetapkan. e. Proses Pemasakan dengan Penggunaan Suhu yang Lebih Rendah Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan mesin Cabinplant® cooker yang menggunakan sumber panas berupa steam. Pemasakan dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih rendah dari suhu yang dipakai di produksi yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C. Waktu pemasakan sesuai dengan estimasi awal. Teknis trial pemasakan dilakukan dengan memasukan sejumlah 9 tray yang berisi udang pada mesin pemasak. Tiga tray pada posisi tengah digunakan sebagai sampel untuk penghitungan dan penimbangan udang sedangkan enam tray sisa diakumulasi hanya untuk penimbangan udang. Cara pemasukan tray pada mesin pemasak dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Cara pemasukan tray udang pada mesin pemasak
52
f. Mengukur Suhu Pusat Udang Setelah Proses Pemasakan Pengukuran suhu pusat udang setelah proses pemasakan dilakukan sesaat setelah proses pemasakan berakhir dan sebelum masuk dalam air pendingin (water cooling). Pengukuran suhu pusat udang menggunakan termometer (digital thermometer) yang mempunyai sensitifitas terhadap suhu panas. Mengukur suhu pusat bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan pada udang. Suhu pusat udang mesin Cabinplant berkisar antara 69-72°C. Cara mengukur suhu pusat udang menggunakan termometer digital, dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Pengukuran suhu pusat udang g.
Pendinginan Pendinginan dilakukan dengan perendaman udang dalam air dingin. Air yang digunakan adalah air kualitas pertama ( first water quality) yang telah diberi kepingan es sampai suhu air ≤ 5ºC setelah suhu pusat udang dalam air pendingin mencapai 6-8ºC kemudian diangkat dari air pendingin dan ditiriskan. Suhu pusat udang diukur menggunakan termometer digital yang memiliki sensitifitas terhadap suhu dingin. termometer ini mampu memberikan hasil dalam waktu kurang dari 1 menit sehingga proses yang berlangsung akan lebih efisien. Setelah dilakukan pendinginan, maka diambil sampel untuk pengujian organoleptik. Proses pendinginan udang setelah proses pemasakan, dapat dilihat pada Gambar 18.
53
Gambar 18. Proses pendinginan udang masak h. Penirisan Setelah suhu pusat udang dari air pendingin mencapai 6 - 8ºC, kemudian udang ditiriskan selama 3 menit. Penirisan udang dilakukan agar air yang masih terikut didalam udang setelah proses pendinginan, tidak mempengaruhi penimbangan. Penirisan udang dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Penirisan udang i. Menimbang dan Menghitung Udang Penimbangan
dan
Penghitungan
udang
dilakukan
untuk
mengetahui presentase cooking loss. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital sama seperti saat menimbang udang mentah. j. Pengamatan Pengamatan dilakukan untuk membuat analisis awal sebelum pembekuan. Pengamatan ini dilakukan dengan melihat tingkat
54
kematangan udang, blackspot dan cooking loss. Tingkat kematangan udang dapat dilihat pada tekstur daging udang. Daging udang dikatakan matang apabila teksturnya kompak dan warnanya putih susu. Sedangkan daging udang dikatakan mentah apabila warnanya bening, uratnya masih berwarna biru, dan teksturnya kurang kompak. Selain itu juga terdapat udang yang terlalu masak ( overcooked) dengan tekstur tidak kompak lagi dan rusak. Indikasi adanya blackspot dapat dilihat dengan mengamati noda hitam yang terdapat pada bagian ekor udang. Secara lebih rinci, udang matang, mentah, dan indikasi adanya blackspot dapat dilihat pada Gambar 20.
Matang
Mentah
Blackspot
Gambar 20. Udang matang, mentah, dan blackspot k. Freezing dan Penyimpanan Proses pembekuan dilakukan dengan mesin pembeku IQF (individually quick freezing). Setelah dilakukan pembekuan, udang dikemas dalam pengemas primer kemudian disimpan dalam coldroom selama 1 dan 3 hari. Proses pembekuan dan pengemasan udang masak dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22.
Gambar 21. Pembekuan udang
Gambar 22. Pengemasan udang
55
E. METODE ANALISIS Metode analisa dalam Optimasi Proses Pemasakan Udang terdiri dari analisa produk (perhitungan tingkat kematangan, perhitungan cooking loss, dan perhitungan blackspot) dan evaluasi mutu (uji organoleptik). Sedangkan Metode analisa dalam Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes berupa perhitungan Nilai Fo dan analisa kualitatif bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode analisa kedua penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Optimasi Proses Pemasakan Udang a. Perhitungan Tingkat Kematangan Tingkat kematangan udang dihitung berdasarkan persentase jumlah udang yang matang dengan jumlah udang yang dianalisis. % Kematangan = Jumlah udang yang dianalisis - Jumlah udang undercook
x 100%
Jumlah udang yang dianalisis b. Perhitungan Cooking loss (AOAC, 1995) Cooking loss dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan (basis basah). % Cooking loss = berat udang sebelum pemasakan – berat udang setelah pemasakan x100% berat udang sebelum pemasakan c. Perhitungan Blackspot Penghitungan blackspot dapat dihitung berdasarkan perbandingan jumlah blackspot dengan jumlah udang yang dianalisis. Jumlah blackspot ditentukan secara visual. % Blackspot =
Jumlah udang blackspot
x 100%
Jumlah udang yang dianalisis
56
d. Uji Organoleptik (Lab PT CPB, 2006) Uji organoleptik dilakukan menggunakan 4 panelis terlatih dengan metode rating deskriptif. Form pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai yang paling tinggi adalah Nilai yang mempunyai mutu terbaik dari masing-masing atribut. Nilai yang paling baik berdasarkan uji scoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai 3. Atribut uji dan sistem penilaian adalah sebagai berikut: a. Kenampakan 3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh. 2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar. 1 = Warna berubah, noda hitam banyak. b. Tekstur 3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal. 2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas 1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air. c. Bau 3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut. 2 = Bau netral 1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau apek. d. Rasa 3= Manis. 2= Hambar. 1= Pahit, sepet, atau asam 2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes a.
Perhitungan Nilai Fo (Fardiaz, 1996) Nilai Fo (derajat letalitas) adalah waktu setara dalam menit pada suhu rujukan (Tref) yang menghasilkan pengaruh mematikan yang sama seperti pemanasan pada suhu T selama t, dengan rumus:
Fo = 10 (T-Tref) / z x t 57
Dimana : Fo = Nilai derajat letalitas T = temperatur (°C) Z = slope Thermal Death Time (°C) t = waktu b.
Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes (BAM, 2000) Analisis dilakukan berupa uji kualitatif bakteri Listeria monocytogenes. Prosedur yang dilakukan berdasarkan Bacteriological Analisis Method (BAM) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dilakukan yaitu pada tahap pembuatan larutan contoh. Dalam BAM disebutkan bahwa larutan contoh yang dibuat dengan menggunakan 25g sampel yang dilarutkan dalam 225ml LEB UVM-1. Sedangkan pada penelitian ini larutan contoh dibuat dengan menggunakan 10g sampel yang dilarutkan dalam 90ml LEB UVM-1. Perbandingan yang digunakan dalam kedua metode tersebut sama yaitu 1 : 10. Menurut Stephens (2003) proses enrichment memakai perbandingan 1:10 atau 1:100. Tahapan analisis yang dilakukan yaitu: Dari larutan contoh (10g sampel dalam 90ml larutan LEB UVM-1, yang sudah diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 30 0C) diinokulasi 0.1 ml kedalam LEB UVM-2 diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 0C dan digores pada media Palcam agar lalu diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24-48 jam. Ciri-ciri koloni tipikal Listeria pada media Palcam agar yaitu: berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area hitam. Kultur yang lebih tua akan berwarna hijau dan cekung ditengahnya. Jika L. monocytogenes sudah teridentifikasi pada Palcam agar, langkah pengujian dari Fraserbroth tidak dilakukan. Jika L. monocytogenes tidak teridentifikasi pada media Palcam agar langkah awal, proses dilanjutkan dengan menggores 1 ose contoh dari LEB UVM-2 (yang diinkubasi selama 48 jam) ke media Palcam lalu diinkubasi pada suhu 350C selama 24-48 jam kemudian diamati koloni tipikal Listeria yang muncul. Dari media Palcam agar diambil koloni yang tipikal kemudian diuji biokimia yaitu : 1.) Ditusuk pada media MTM lalu diinkubasi
58
selama 7 hari pada suhu ruang. Pengamatan pada media MTM dilihat bentuk pertumbuhannya seperti bentuk payung; 2.) Dimasukkan pada media karbohidrat (menggunakan tabung durham), diinkubasi selama 7 hari suhu 35°C: Dextrose(+), Mannitol(-), Xylose(+) dan Maltose(+). Reaksi positif menghasilkan asam tanpa gas. Secara diagram, uji kualitatif Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 23. 10 gram udang cook (dihancurkan)
Ditambahkan Listeria Enrichment Broth (LEB) UVM-1 sebanyak 90 ml
Distomacher selama ± 2 menit
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 ml dari campuran
Diinokulasi dalam 9 ml LEB UVM-2
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 Loop jarum ose dari campuran Distreak (gores) pada media Palcam agar Diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35°C Diamati koloni tipikal (berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area hitam)
Diambil koloni tipikal @
59
@
Uji Biokimia • •
MTM (dinkubasi 7 hari dalam suhu ruang, bentuk pertumbuhan seperti payung). Uji Karbohidrat : Dextrose (+), Maltose(+), Mannitol(-), Xylose(-) diinkubasi 7 hari suhu 35 °C, Rekasi positif menghasilkan asam tanpa gas.
Gambar 23. Diagram alir uji kualitatif Listeria monocytogenes (BAM, 2000)
60
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Optimasi Proses Pemasakan Udang a. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C. Hasil penelitian pendahuluan untuk estimasi waktu pemasakan pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu pemasakan terlama sehingga analisa untuk perlakuan suhu 85°C tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi kriteria kematangan produk. Sedangkan untuk suhu 90°C dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C Suhu
Waktu
Rata-rata
Rata-rata
(°C)
(detik)
Kematangan (%)
Cooking Loss (%)
140
100
150
98.94
6.22 5.82
155
100
5.74
160
100
6.24
165
100
5.74
90
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu 90°C yaitu 140-165 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil waktu pemasakan yang optimal. Waktu pemasakan yang optimal yaitu waktu masak yang mampu menghasilkan % cooking loss paling rendah, dengan tingkat kematangan yang maksimal, dan tingkat kemunculan blackspot yang rendah serta waktu yang paling singkat. Berdasarkan data pada tabel diatas, dapat diambil kesimpulan untuk waktu masak dengan % cooking loss paling rendah dengan kematangan maksimal yaitu 155 dan 165 detik. Karena dipilih waktu yang paling singkat, maka waktu 155 detik menjadi waktu yang optimal untuk suhu 90°C.
61
Menurut Zeuthen et al (1987), semakin singkat waktu yang diberikan pada proses pemasakan, maka proses keluarnya air dapat ditekan. Hal ini disebabkan oleh proses terputusnya ikatan hidrogen pada air dan menurunnya jumlah ikatan rata-rata molekul air dalam unsur yang terlepas dari bahan pangan dapat dipersingkat. Keluarnya air merupakan penyebab cooking loss pada bahan pangan. Namun data yang diperoleh tidak sepenuhnya mengikuti pendapat diatas. Hal ini disebabkan oleh faktorfaktor lain yang terjadi selama pemasakan. Salah satu faktor tersebut adalah kisaran suhu pusat udang awal yang cukup besar yaitu antara 10°C20°C. Hal ini menyebabkan perbedaan antara suhu pusat udang dengan suhu steam mesin pemasak menjadi berbeda-beda yang kemudian mengakibatkan energi aktivasi dari molekul air untuk berpindah dan bergerak keluar dari udang menjadi berbeda-beda pula. Air yang keluar pada proses pemasakan tersebut adalah jenis air bebas yang terdapat pada bahan pangan. Menurut Winarno (1992), air bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air jenis ini mudah untuk diuapkan. Selain air bebas, pada bahan pangan juga terdapat air terikat yaitu molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Air jenis ini terikat kuat pada bahan pangan dan sangat sulit dipengaruhi oleh faktor luar seperti pemanasan. Untuk melihat frekuensi terjadinya blackspot, maka dilakukan pengujian pemasakan pada produk udang berkulit (Shell-On) dengan size yang sama. Pengujian terjadinya blackspot hanya pada produk udang berkulit karena enzim Polyphenol Oxidase (PPO), yang merupakan penyebab terjadinya blackspot, hanya terdapat pada bagian kulit udang. Produk udang berkulit yang dipakai yaitu CTO (Cooked Tail-On). Pengujian pemasakan hanya dilakukan pada waktu yang optimal yaitu 155 detik. Secara rinci, hasil pengujian blackspot dan parameter lainnya (kematangan dan cooking loss) dapat dilihat pada Tabel 6.
62
Tabel 6. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size 41-45 suhu 90°C RataSuhu
Waktu Kematang-
(°C)
(detik)
an (%)
rata
155
97.60
Setelah
Simpan Simpan
Cooking Loss (%)
90
Blackspot (%)
5.50
Pemasak-
1 hari
3 hari
2.15
3.66
an
0.32
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 2.15%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai kemunculanblackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu 90°C tidak dilakukan. Tingkat kematangan pada pengujian pemasakan ini tidak maksimal karena terdapat beberapa produk udang yang saling menempel saat dimasak. Tingkat cooking loss yang terjadi masih cukup rendah yaitu 5.50%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan pengujian pemasakan sebelumnya dengan suhu dan waktu yang sama pada produk Peeled Cooked yaitu 5.74% . Pengujian pemasakan selanjutnya yaitu dengan menggunakan suhu 95°C. Hasil pengujian pemasakan pada produk CTO dengan menggunakan suhu 95°C dapat dilihat pada Tabel 7.
63
Tabel 7. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size 41-45 suhu 95°C RataSuhu Waktu (°C)
(detik)
Rata-rata
rata
Blackspot (%) Setelah
Simpan Simpan
Kematangan Cooking (%)
Loss (%)
Pemasak-
1 hari
3 hari
an
110
96.55
4.66
0.04
0.13
0.13
115
99.37
3.36
0.24
0.26
0.26
120
100
5.13
0.00
0.04
0.04
95
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu 95°C yaitu 110-120 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil waktu pemasakan yang optimal seperti pengujian pemasakan sebelumnya. Berdasarkan data pada tabel diatas maka dapat disimpulkan untuk penggunaan suhu 95°C dengan waktu pemasakan 110, 115, dan 120 detik memenuhi semua parameter yang ditentukan (kematangan, cooking loss, dan blackspot). Untuk memastikan waktu pemasakan yang optimal dari ketiga waktu tersebut maka dilakukan analisa lebih lanjut yaitu uji organoleptik. Pengujian mutu organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji scoring yang meliputi uji penampakan, tekstur, aroma dan rasa. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT.CPB adalah 3. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji organoleptik ini diikuti oleh 4 panelis terlatih dari pihak laboratorium PT CPB. Pengujian dilakukan pada produk udang hasil pemasakan pada suhu 95°C dengan waktu 110, 115, dan 120 detik. Secara rinci, hasil uji organoleptik ini
64
dapat dilihat pada Gambar 24 dan data-data penilaian panelis pada Lampiran 5.
Gambar 24. Hasil uji organoleptik produk CTO pada suhu 95°C Dari gambar, dapat dilihat bahwa yang memperoleh nilai maksimal pada atribut aroma, tekstur, rasa dan penampakan adalah perlakuan suhu 950C dengan waktu pemasakan 115 detik, sedangkan pada perlakuan waktu pemasakan 120 detik terdapat hasil sedikit kurang maksimal pada atribut aroma dan tekstur sedangkan pada perlakuan waktu pemasakan 110 detik terdapat hasil sangat rendah pada penampakan karena produknya yang dinilai masih mentah. Perbandingan hasil uji organoleptik dari gambar dan uji secara statistik (Lampiran 4a, 4b, 4c, 4d) menunjukkan perbedaan atribut antara perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini bisa dilihat dari uji lanjut duncan dengan selang kepercayaan 95%, penampakan mempunyai Nilai 0.100 > 0.05, begitu juga tekstur (0.405 > 0.05), dan aroma (0.875 > 0.05) sedangkan rasa mempunyai hasil maksimal pada semua perlakuan. Dari hasil uji ini, dapat ditunjukkan bahwa perbedaan waktu pemasakan pada suhu 95°C tidak mempengaruhi mutu organoleptiknya. Dengan demikian dapat disimpulkan untuk pemilihan waktu pemasakan yang optimal pada suhu 95°C berdasarkan mutu organoleptiknya tidak bisa dilakukan karena hasilnya yang tidak berbeda nyata. Pemilihan waktu pemasakan yang optimal selanjutnya
didasarkan pada parameter
65
sebelumnya yaitu: kematangan, cooking loss, dan blackspot. Dari data pada Tabel 6, dapat ditetapkan bahwa waktu pemasakan yang optimal pada suhu 950C adalah 120 detik. Hal ini didasarkan pada parameter kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang minimal (0.00%0.04%) walaupun dengan cooking loss yang terendah dari dua waktu lainnya (5.13%). Kematangan dan blackspot merupakan parameter yang langsung berhubungan dengan mutu produk. Secara lebih lengkap, data pemilihan waktu yang optimal berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan diatas disajikan pada Lampiran 1a, 1b, dan 1c. Pengambilan sampel produksi dilakukan untuk menjadi pembanding dengan pengujian pemasakan dengan pemakaian yang lebih rendah. Hasil dari pengambilan sampel produksi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengambilan sampel produksi pada produk CTO size 41-45 RataSuhu
Waktu
(°C)
(detik)
Rata-rata
rata
85
Setelah
Simpan Simpan
Kematang- Cooking an (%)
Loss (%)
98-99
Blackspot (%)
100
7.99
Pemasak-
1 hari
3 hari
0.00
0.00
an
0.00
Dari data diatas, dapat disimpulkan untuk sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan waktu pemasakan 85 detik menghasilkan rata-rata kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Secara lebih rinci, hasil-hasil pengujian pemasakan pada penelitian pendahuluan ini dan pengambilan sampel produksi terdapat pada Lampiran 1a, 1b, 1c, dan 1d. Hasil pengambilan sampel produksi ini kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian pendahuluan untuk melihat pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap
66
waktu pemasakan, cooking loss, dan blackspot. Perbandingan yang dilakukan hanya untuk produk CTO size 41-45 saja. Secara lebih rinci bisa dijelasakan sebagai berikut: 1. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu yang lebih rendah menyebabkan waktu pemasakan menjadi lebih lama. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 25. Dari diagram batang tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD demgan selang kepercayaan (Lampiran 2a).
Gambar 25. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan Diagram
memperlihatkan
bahwa
dengan
turunnya
suhu
pemasakan, maka akan menyebabkan waktu pemasakan lebih lama. Penentuan waktu pemasakan yang di Secara kuantitatif, apabila dibandingkan dengan suhu pemasakan produksi (99°C), penggunaan suhu pemasakan 90°C menyebabkan waktu pemasakan lebih lama sebesar 2 kali dan 1 1/2 kali untuk suhu 95°C. Pengaruh ini juga diperjelas dengan hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 < 0.05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan yang diberikan.
67
Waktu pemasakan udang ditentukan mulai saat udang mentah dimasak sampai udang menjadi matang. Udang dinyatakan matang jika suhu pusatnya mencapai lebih dari 160°C (70°C) karena pada suhu pusat tersebut atribut mutu organoleptik maupun mikrobiologinya dapat dikatakan optimum (AOAC, 2000). 2. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap cooking loss Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah ternyata dapat menurunkan tingkat cooking loss produk, sebaliknya pada suhu yang lebih tinggi menyebabkan cooking loss menjadi lebih tinggi pula. Semakin besar energi kalor yang dihasilkan maka akan semakin besar pula perbedaan berat udang basah dan udang kering akibat dari proses pemanasan sehingga cooking loss yang dihasilkan pun akan semakin meningkat. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 26. Dari diagram batang tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 3b).
Gambar 26.
Pengaruh penggunaan suhu
yang lebih rendah
terhadap cooking loss Diagram diatas memperlihatkan bahwa dengan turunnya suhu pemasakan akan menurunkan tingkat cooking loss. Hal ini diperjelas
68
dari hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 < 0.05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan yang diberikan. Cooking loss terjadi akibat penurunan kadar air. Penurunan kadar air yang terkandung pada produk akibat perlakuan pengukusan disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan, karena dengan semakin meningkatnya suhu maka jumlah rata-rata molekul air dalam unsur menurun dan ikatan hidrogen putus kemudian terbentuk lagi dengan cepat. Proses ini mengakibatkan molekul air bergerak makin cepat dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno, 1992). Pada pemakaian suhu yang lebih rendah menyebabkan cooking loss menjadi rendah. Hal ini menyebabkan kualitas dari produk yang dimasak tetap bagus karena suhu yang terdapat di dalam produk tidak naik dengan tajam (Lund, 1984). 3. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap munculnya blackspot Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah menyebabkan tingkat blackspot yang semakin tinggi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 27. Dari diagram batang tersebut dapat dilakukan uji statistik korelasi (Lampiran 3c)
Gambar 27.
Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap blackspot
Diagram batang diatas memperlihatkan bahwa perlakuan penggunaan
suhu
yang
lebih
rendah
menyebabkan
tingkat 69
kemunculan blackspot menjadi lebih tinggi. Hal ini diperjelas dari hasil uji statistik korelasi yang nilainya -0.711, nilai negatif menunjukkan bahwa dengan turunnya suatu komponen, berarti akan menaikkan komponen yang lain sedangkan nilai 0.711 lebih besar dari 0.05 berarti nilai tersebut menunjukkan hubungan yang kuat. Dalam hal ini komponen yang mengalami penurunan adalah suhu dan yang naik adalah blackspot. Namun, tingkat paling kecil kemunculan blackspot pada perlakuan penggunaan suhu yang lebih rendah adalah 95°C yaitu sekitar 0.03% atau hanya 1 udang dari seluruh sampel pemasakan sehingga penggunaan suhu yang lebih rendah menjadi 95°C dapat diaplikasikan. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa tingkat kemunculan blackspot yang tinggi terjadi pada penggunaan suhu pemasakan 90°C. Blackspot terjadi akibat reaksi biokimia dan dikatalisis oleh enzim Polyphenol Oksidase (PPO). Secara rinci, reaksi terjadinya blackspot dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Reaksi terjadinya blackspot (Walker, 1977) Gambar diatas memperlihatkan bahwa enzim PPO berperan dalam mengkatalisis proses terjadinya oksidasi dari senyawa monophenol yang ada secara alami pada udang. Hasil oksidasi ini, berupa senyawa o-quinone, kemudian akan berikatan dengan komplek asam amino dari udang untuk membentuk senyawa melanin yang
70
berwarna hitam. Peran enzim PPO dalam proses tersebut dapat diinaktivasi melalui proses pemanasan (termal). Pada udang Litopenaeus vannamei, suhu optimum enzim PPO adalah 45°C dan 50°C. Enzim PPO tidak akan stabil pada suhu diatas 40°C dan 45°C (Thepnuan, 2006). Pada umumnya, PPO pada produk pangan terdestruksi aktivitas katalitiknya pada suhu 70°C - 90°C (Vamos dan Vigyazo, 1981). Berdasarkan hal tersebut, pemasakan pada suhu 90°C seharusnya sudah mampu menginaktivasi PPO penyebab terjadinya blackspot, namun karena penggunaan waktu pemasakannya yang hanya 155 detik / ±2.5 menit (hasil penelitian pendahuluan) maka PPO tidak tereduksi secara sempurna. Menurut Svensson (1977) untuk polyphenol oksidase pada kisaran suhu 8590°C, dibutuhkan waktu 1-8 menit untuk mendestruksi 90 % aktivitas katalitik suatu enzim (nilai D) dan menurut Ma et al. (1992) proses blanching yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah blackspot pada produk pangan adalah suhu 100°C selama 3 menit dan suhu 94°C selama 5 menit. Nilai D untuk enzim PPO adalah 50 detik (Lihat Gambar 29 Secara lebih rinci, inaktivasi termal pada beberapa enzim dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Inaktivasi termal dari beberapa enzim pada produk pangan (Svensson, 1977)
71
2. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan dengan tingkat cooking loss dan blackspot yang minimal serta kematangan yang maksimal. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Secara rinci, hasil aplikasi dalam skala produksi pada suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik untuk produk CTO size 41-45 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil aplikasi dalam skala produksi RataSuhu
Waktu Kematang-
(°C)
(detik)
an (%)
rata
Blackspot (%) Setelah
Cooking Loss
Pemasak-
120
100
5.27
1 hari
3 hari
0.215
0.286
an
(%)
95
Simpan Simpan
0.072
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat (5.27%) masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98°C-99°C (7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil penelitian akhir dapat dilihat pada Lampiran 6 . Menurut FDA (2005), aspek penting yang harus diperhatikan dalam proses pemasakan adalah lamanya siklus pemasakan; suhu steam, 72
air atau media lain yang digunakan sebagai sumber panas; distribusi panas pada mesin; ketebalan produk; suhu pusat bahan pangan sebelum dilakukanya proses pemasakan; ketepatan menggunakan thermocouple; dan ketepatan dalam memonitoring waktu pemasakan. 2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes a. Hasil Perhitungan Nilai Fo Nilai Fo suatu proses pemanasan didapat dari akumulasi Nilai Fo setiap suhu per satuan waktu. Secara lebih rinci, diagram perjalanan suhu pusat selama pemasakan pada proses validasi dan proses produksi dapat dilihat pada Gambar 30, Gambar 31, dan Gambar 32.
Gambar 30. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik produk CTO (ulangan ke-1)
Gambar 31. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 60 detik produk CTO (ulangan ke-2)
73
Gambar 32. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 80 detik produk CTO (sampel proses produksi) Dari diagram tersebut kemudian ditentukan derajat letalitas atau Nilai Fo dari proses pemasakan tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Nilai Fo (menit) pada pemasakan 60 detik ulangan ke-1 sebesar 0.02 dan Nilai Fo pada ulangan ke-2 nya sebesar 0.05 sedangkan Nilai Fo pemasakan selama 80 detik sebesar 1.14. Suhu dan waktu referensi yang dipakai dalam menginaktivasi Listeria monocytogenes yaitu 80°C selama 0.09 menit (FDA, 2001). Hal ini berarti Nilai Fo pada validasi lebih kecil dibandingkan dengan Nilai Fo pada proses pemasakan di produksi dan juga lebih kecil dari Nilai Fo yang telah distandarkan FDA yaitu 0.09. Secara rinci, hasil perhitungan Nilai Fo ini terdapat pada Lampiran 7a, 7b, 7c. b. Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes Analisa kualitatif bakteri Listeria monocytogenes dilakukan sebelum pemasakan dan setelah pemasakan. Perlakuan yang diberikan sebelum pemasakan adalah kontrol negatif dan kontrol positif. Kontrol positif digunakan untuk memastikan bahwa Listeria monocytogenes ”ada” setelah tahap inokulasi dilakukan dan kontrol negatif digunakan untuk memastikan bahwa bahan baku udang yang dipakai tidak mengandung Listeria monocytogenes sebelum tahap inokulasi dilakukan. Sedangkan sampel produk udang yang dianalisa setelah pemasakan yaitu Secara lebih rinci, hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 10.
74
Tabel 10. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada produk udang sebelum pemasakan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif
PALCAM
Uji Motilitas (MTM)
Dextrosa
Uji Karbohidart XyManlosa nitol
Maltosa
-
+
L.mono cytogenes
+
+
-
-
+
+
Tabel 11. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada produk udang setelah pemasakan Perlakuan Pemasakan 60 detik (U1) Pemasakan 60 detik (U2)
Uji Karbohidart XyManlosa nitol
PALCAM
Uji Motilitas (MTM)
Dextrosa
+
-
+
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
-
Maltosa
L.mono cytogenes
Tabel diatas meperlihatkan bahwa hasil analisis kualitatif Listeria monocytogenes pada kontrol negatif adalah negatif, kontrol positif adalah positif dan pada ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah negatif. Tahapan analisis dimulai dari pengamatan pada media spesifik agar (PALCAM). Pada media ini terlihat hanya kontrol negatif yang hasil analisisnya negatif sedangkan perlakuan 1 menit (U1 dan U2) hasilnya positif serta kontrol positif hasilnya positif sehingga kemungkinan adanya bakteri ini terdapat pada ketiga keadaan tersebut. Hasil dari media spesifik ini belum menentukan ada tidaknya bakteri Listeria monocytogenes karena harus diuji lanjut (konfirmasi) berupa uji biokimia dan uji motilitas. Khusus untuk perlakuan kontrol negatif tidak diuji lebih lanjut karena dari hasil uji pada media PALCAM dapat disimpulkan bahwa pada Kontrol Negatif tidak mengandung bakteri Listeria monocytogenes. Koloni yang terbentuk pada media ini berupa warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area hitam (BAM, 2000). Pada tahap ini juga dilakukan konfirmasi dari kultur segar untuk memastikan bahwa bakteri yang diinokulasi merupakan Listeria monocytogenes. Setelah dilakukan pengujian terlihat bahwa bakteri yang terdapat pada kultur segar
75
merupakan bakteri Listeria monocytogenes. Hal ini terlihat dengan terbentuknya koloni warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area hitam. Secara rinci, hasil analisa sampai media spesifik agar (PALCAM) untuk perlakuan pemasakan 60 detik (U1 dan U2), Kontrol Positif, Kontrol Negatif, dan kultur segar dapat dilihat pada Gambar 31.
A
B
Gambar 33. Hasil uji pada media spesifik agar (PALCAM) (A= U1, U2, kontrol positif, dan kontrol negatif; B= Kultur Segar) Uji motilitas pada Motility Test Medium (MTM) dilakukan untuk menguji dari media PALCAM apakah koloni spesifik yang terbentuk mempunyai sifat motil yang merupakan salah satu ciri khas dari bakteri Listeria monocytogenes. Dari hasil analisa, tergambar bahwa hanya Kontrol Positif dan Ulangan ke-2 (U2) dari pemasakan 1 menit yang bermotil. Ciri motil yang terbentuk seperti payung (BAM, 2000). Hasil analisa pada media MTM untuk pemasakan 1 menit (U1 dan U2) dan Kontrol Positif dapat dilihat pada Gambar 32. (U1)
(U2)
(Kontrol Positif)
Bentuk seperti payung
76
Gambar 34. Hasil uji motilitas Uji biokimia dilakukan untuk memastikan bahwa koloni yang terbentuk pada media spesifik merupakan koloni bakteri Listeria monocytogenes. Uji biokimia yang dilakukan yaitu dextrosa, xylosa, mannitol, dan maltosa. Listeria monocytogenes bereaksi positif dengan dextrosa dan maltosa sedangkan dengan xylosa dan mannitol bereaksi negatif. Reaksi positif ditunjukkan dengan menghasilkan asam tanpa adanya gas (BAM, 2000). Hasil uji yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya Kontrol Positif saja yang menunjukkan sifat biokimia tersebut. Secara rinci, hasil uji biokimia ini bisa dilihat pada Gambar 33. (U1)
A
B
C
D
C
D
(U2)
A
B
(Kontrol Positif)
77
Reaksi positif (keruh)
Reaksi negatif (bening)
A
B
C
D
Gambar 35. Uji biokimia pada U1, U2, dan kontrol positif (A=dextrosa,
B=xylosa,
D=mannitol
dan
C=maltosa) Hasil akhir dari analisa kualitatif ini menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diberikan (U1 dan U2) menghasilkan prduk udang yang negatif terhadap adanya bakteri Listeria monocytogenes. Hasil analisa pada kontrol positif adalah positif, yang menunjukkan bahwa bakteri Listeria monocytogenes “ada” setelah tahap inokulasi dilakukan sedangkan hasil analisa pada kontrol negatif adalah negatif, yang menunjukkan bahwa bahan baku udang yang dipakai pada proses validasi ini awalnya memang “tidak ada” bakteri ini sebelum tahap inokulasi dilakukan.
c. Hubungan antara Hasil Nilai Fo dan Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes Hasil perhitungan Nilai Fo (menit) pada perlakuan pemasakan 60 detik ulangan ke-1 (U1) adalah 0.02, sedangkan pada perlakuan pemasakan 60 detik ulangan ke-2 (U2) adalah 0.05. Nilai Fo tersebut lebih kecil dari Nilai Fo sampel proses produksi dengan waktu pemasakan 80 detik sebesar 1.14. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes menunjukkan negatif pada semua perlakuan (U1 dan U2). Apabila dihubungkan data dari hasil kedua analisa tersebut, terlihat bahwa proses pemasakan dengan Nilai Fo sebesar 0.02 dan 0.05
78
menghasilkan produk udang dengan hasil negatif terhadap bakteri Listeria monocytogenes. Hasil yang negatif menunjukkan bahwa proses pemasakan dengan Nilai Fo tersebut mampu untuk menginaktifasi bakteri Listeria monocytogenes. Hal ini dapat dibuat kesimpulan bahwa dengan Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel sudah mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hal tersebut sesuai dengan yang telah distandarkan oleh Eropa Comission (EC, 2005) dan International Commision on Microbial Specification for Foods (ICMSF, 1996) bahwa batas keberadaan bakteri Listeria monocytogenes pada produk udang masak beku adalah negatif. Kemampuan menginaktivasi ini sangat bergantung kepada ketahanan bakteri itu sendiri terhadap pengaruh proses pemanasan. Menurut Buckle et al., (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan mikroorganisme dan spora-sporanya terhadap pengaruh proses pemanasan yaitu: 1.) Umur dan keadaan organisme atau spora sebelum dipanaskan; 2.) Komposisi medium dimana organisme atau spora itu tumbuh; 3.) pH dan Aw media pemanasan; 4.) Suhu pemanasan; 5.) Konsentrasi awal organisme atau sporanya. Menurut Frazier (1967) pembunuhan
mikroorganisme
melalui
pemanasan
diduga
karena
pemanasan dapat menyebabkan koagulasi protein pada bakteri dan khususnya
dapat menginkatifasi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolisme bakteri.
79
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu pemasakan terlama. Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik. Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 2.15%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu 90°C tidak dilakukan. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari semua data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam 80
skala produksi ini adalah nilai blackspot setelah pemasakan sebesar 0.072%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot
yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk
ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama 60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini. B. SARAN 1. Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah pada mesin Cabinplant cooker untuk produk-produk udang tanpa kulit (shell-off) mengingat masih adanya kemungkinan munculnya blackspot pada produk udang dengan kulit (shell-on). 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah pada produk-produk udang selain Cooked Tail-On (CTO) dan Peeled cooked (CP) serta size selain 41-50 untuk memperoleh standarisasi yang tepat. 3. Perlu dilakukan lagi validasi proses pemaasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes dengan perlakuan pemanasan yang lebih minimal (kurang dari 1 menit) untuk melihat batas minimal perlakuan panas yang mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
81
DAFTAR PUSTAKA Anonim a. 2001. Laitram Machinery FC200 Series (Forced Convection Central Cooker) www. Laitrammachinery.com [21 Januari 2008] Anonim b. 2007. http://textbookofbacteriology.net/Listeria.html.1 . [1 Oktober 2007] Anonim c. 1992. Safer Cooked Meat Production Guidelines. A 10 Point Plan, Departement of Health, London. In Blackburn, Clive de W., Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London AOAC Official Methode 976. 16. 2000. Cooking Seafood Product. United States Standards. International, USA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official Agriculture Chemistry. Association of Agriculture Chemistry, Washington, D.C. AOAC. 1992. USFDA. Bacteriological Analytical Manual. 7 th Edition. AOAC International. USA. In Gosner, K.L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley Interscience, N. Y Augustin, Jean-Cristophe, Agnes Brouillaud-Delattre, Laurent Rosso, and Vincent Carlier. 1999. Significance of inoculum size in the lag time of Listeria monocytogenes. Appl Environ Microbial. 2000-April. 66(4): 1706-1710 Aziz, M. Amin. 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang Prospek Pengembangan Pada PJPT II. Bangkit, Jakarta Bailey, M. E, Fieger E. A, and Novak A. F. 1960. Psyco-chemical properties of the enzymes involved in shrimp melano-genesis. Food Research 25, 557-564. di dalam Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta Bell, Chris and Alec Kyriakides. Listeria monocytogenes. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London Biro
Pusat Statistik. 2007. http://www.kompas.com/kompascetak/0608/05/Fokus/2858773.htm [28 Desember 2007]
Boerlin, P, Rocourt J, Grimont P et al., 1992. Listeria ivanovii subsp. Londoniensis subsp. Nov, International Journal of Systematic Bacteriology. 42 (1) 69-73. In Blackburn, Clive de W., Peter J.
82
McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton.Hari Purnomo dan Adiono (Penerjemah) 1985. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta Crowly, Michael. 2001. Cookers: Whether Shellfish, Finfish or Value-added Products, Cooking Seafood is Getting Easier All The Time. In 1999. Seafood Magazine. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2007. http://www.kompas.com/kompascetak/0706/22/ekonomi/3623328.htm [ 5 Januari 2008 ] EC No 2073. 2005. http://Eropa.eu.int/comm/food. Fardiaz, Dedi. 1996. ORASI ILMIAH Proses Termal dalam Pengendalian Tahap Pengolahan Kritis untuk Menjamin Keamanan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor Farber, Jeffrey M dan Peterkin, Pearl I. 2000. Listeria monocytogenes. In Lund, Barbara M, Tony C. Baird-Parker, and Grahame W. Gould (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume III. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland FDA, 2005. Food Code. U. S. Food and Drug Administration. Public Health Service. College park. MD. 20740 FDA, 2001. Pathogen survival through cooking. Ch. 16. In Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, 3 rd ed., p. 209-218. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood, Washington, DC Frazier, W. C and D. C. Westhof. 1967. Food Microbiology. McGraw Hill Book Co, New York ICMSF. 1996. Microbiologycal criteria for cooked, ready to-eat shrimp and crabmeat. Journal Food Technology pp 157-160 Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta Jay, J M. 1996. Prevalance of Listeria spp. in meat and poultry products, food control, 7 (4/5) 209-14. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
83
Kozak J. Balmer T, Byrne R et al., 1996. Prevalence of Listeria monocytogenes in foods: incidence in dairy products, food control, 7 (4/5) 215-21. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London Lund, D. B. 1984. Impact Of Industrial Cooking Of Foods On Its Nutritional and Quality Characteristic. In Zeuthen, P.,J.C. Cheftel, C.Eriksson, M. Jul. H. Leniyer, P. Linko, G. Varela, G. Vos. Thermal Processing and Quality of Food. Elseiver Applied Science Publisher, New York Lund, D. B. 1989. Bagian 1 Pengaruh Pengukusan, Pasteurisasi, dan Pensterilan terhadap Zat Gizi. di dalam Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan E. Karmas dan R. S. Harris (ed) Suminar Achmadi (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung Ma. S.X., Silva, J.L., Hearnsberger, J.O. & garner, J.O.Jr. 1992. Prevention of enzymatic darkening in frozen food by water blanching: Relationship among darkening, phenols, and polyphenol oxidase activity. Journal Agriculture Food Chemistry., 40: 864-867 Mendez, I. M dan J. M. Gallardo Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Products. In Da-Wen Sun (ed). Thermal Food Processing. CRC Press , Boca Raton Florida USA Murphy R. Y, Marks B. P, Johnson E. R et al., 1999. Inactivation of Salmonella and Listeria in ground chicken breast during thermal processing, Journal of Food Protection, 2 (9) 980-5. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England PT. CPB. 2006. Prosedur Kerja Analisa Organoleptik. PK 8.5 LB 21. PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Cooked Tail-On IQF. SP. 7. 2. AI. 131. 08 PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Peeled and Cooked Tail Off IQF. SP. 7. 2. AI. 215. 01 Ray, Bibek. 2000. Fundamental Food Microbiology Third Edition. CRC Press, Boca Raton Florida USA Schothorst, M. Van. 2002.Implementing The Results of A Microbiological Risk Assessment: Pathogen Risk Management. In Microbiological Risk Assessment In Food Processing. Martyn Brown and Mike Stringer (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
84
Stephens, P. 2003. Culture Methods. In Detecting Pathogens in Foods. Thomas A. McMeekin (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England Supardi, Imam dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung Svensson, S. 1997. Inactivation of Enzymes during Thermal Processing. Di dalam T. Hoyem & O. Kvale, eds. Physical, Chemical, and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing, p. 202-217. London, Applied Science Publishers Thepnuan, Ruangnalin. 2006. Characterization of polyphenoloxidase and proteaseas proteases from black tiger and white shrimps. Journal of Food Technology, 20:203-217 Vámous and Vigyázó, L. 1981. Polyphenoloxidase and peroxidase in food. Rev. Food Science Nutrition., 15: 49-127 Walker. 1997. Enzymatic Browning in Foods. Its Chemistry and Control. The AVI Publishing Company, Inc. Westport Connecticut, U.S.A Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wirakartakusumah, M.A., Djoko Hermanianto, dan Nuri Andarwulan. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor Zeuthen., P, J.C. Cheftel, C. Eriksson, M. Jul, H. Leninger. 1987. Thermal Processing and Quality of Foods. Elsevier Applied Science Publishers. London and New York
85
Lampiran 1a. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LAMA Source Corrected Model Intercept SUHU Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 8550.000a 129600.000 8550.000 150.000 138300.000 8700.000
df 2 1 2 6 9 8
Mean Square 4275.000 129600.000 4275.000 25.000
F 171.000 5184.000 171.000
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .977)
Lampiran 1b. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah terhadap cooking loss Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: CKGLOSS Source Corrected Model Intercept SUHU Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 21.727a 903.181 21.727 14.739 939.646 36.465
df 2 1 2 18 21 20
Mean Square 10.863 903.181 10.863 .819
F 13.267 1103.044 13.267
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .596 (Adjusted R Squared = .551)
Lampiran 1c. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah terhadap munculnya blackspot Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: BLACKS Source Corrected Model Intercept SUHU Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 7.158a 3.751 7.158 4.377 15.286 11.536
df 2 1 2 6 9 8
Mean Square 3.579 3.751 3.579 .730
F 4.906 5.141 4.906
Sig. .055 .064 .055
a. R Squared = .621 (Adjusted R Squared = .494)
86
Lampiran 2a. Hasil uji Duncan terhadap penampakan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TAMPAK Source Corrected Model Intercept PANELIS Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 2.667a 85.333 2.667 4.000 92.000 6.667
df 2 1 2 9 12 11
Mean Square 1.333 85.333 1.333 .444
F 3.000 192.000 3.000
Sig. .100 .000 .100
F 1.000 1225.000 1.000
Sig. .405 .000 .405
a. R Squared = .400 (Adjusted R Squared = .267)
Lampiran 2b. Hasil uji Duncan terhadap tekstur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TEKSTUR Source Corrected Model Intercept PANELIS Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .167a 102.083 .167 .750 103.000 .917
df 2 1 2 9 12 11
Mean Square .083 102.083 .083 .083
a. R Squared = .182 (Adjusted R Squared = .000)
Lampiran 2c. Hasil uji Duncan terhadap aroma Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AROMA Source Corrected Model Intercept PANELIS Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .167a 102.083 .167 .750 103.000 .917
df 2 1 2 9 12 11
Mean Square .083 102.083 .083 .083
F 1.000 1225.000 1.000
Sig. .405 .000 .405
a. R Squared = .182 (Adjusted R Squared = .000)
87
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik Uji Organoleptik Cook Product Before Freezing Tanggal
:
Nama
:
Instruksi
:
•
Dihadapan Anda terdapat sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia).
•
Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan.
•
Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara beruntun dari kiri ke kanan dan tidak boleh mengulang.
•
Netralkan indera pencicipan Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum.
•
Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia.
Kriteria
Kode sampel
penilaian Aroma Kenampakan Tekstur Rasa Terimakasih a. Kenampakan 3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh. 2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar. 1 = Warna berubah, noda hitam banyak. b. Tekstur 3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal. 2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas 1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air. c. Bau 3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut. 2 = Bau netral 1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau apek. d. Rasa 3= Manis. 2= Hambar. 1= Pahit, sepet, atau asam
88
Lampiran 4. Hasil analisis uji organoleptik Kode A A A A B B B B C C C C
Aroma 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Penampakan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1
Tekstur 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Rasa 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
89
Lampiran 5a. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (ulangan ke-1 / U1) Perlakuan
Detik ke
Ulangan ke-1 60 detik
0 4 9 13 18 23 27 32 37 42 46 51 55 60 65 69 74 79 83 88 92 97 102 106
Suhu Pusat (C) 33.8 37.3 39.8 42.2 45 48 50.8 54.1 57.4 60.6 63.9 66.8 69.5 72.4 70.7 62.8 58.5 56.4 54.6 52.5 52.4 51.8 49.1 48.7
LR
∆t
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.04 0.10 0.06 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 5 4 5 5 4 5 5 5 4 5 4 5 5 4 5 5 4 5 4 5 5 4 ∑Fo (detik) ∑Fo (menit)
Fo hitung 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.06 0.11 0.34 0.39 0.13 0.02 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.09
0.02
Keterangan : LR (Lethal Rate) = 10 (T-80)/ z, dimana T = suhu pengukuran, z = 7.5 °C ∆t = Selisih waktu (detik) Fo hitung = LR x T (detik) ∑ (Fo) (menit) = akumulasi dari Fo hitung ( ∑Fo (detik)) / 60
90
Lampiran 5b. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (ulangan ke-2 / U2) Perlakuan Ulangan ke-2 60 detik
Detik ke 0 5 10 14 19 24 28 33 38 42 47 51 56 60 64 69 74 78 83 87 92 97 101 106
Suhu Pusat (oC) 37.2 40.2 42.8 45.4 48.3 51.5 54.7 58 61.5 64.6 67.7 70.6 73.5 76.1 73.2 69.6 57 51.1 49.1 48.2 46.9 45.3 44.4 43.4
LR
∆t
Fo hitung
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.06 0.14 0.3 0.12 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 5 4 5 5 4 5 5 4 5 4 5 4 4 5 5 4 5 4 5 5 4 5
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.08 0.16 0.48 0.88 0.85 0.41 0.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
∑Fo (detik) ∑Fo (menit)
3.01
0.05
91
Lampiran 5c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik dan perhitungan nilai Fo produk CTO (sampel produksi) Suhu Detik Detik Suhu Detik Suhu Fo Fo Fo kekePusat ke- Pusat Pusat (°C) 0 50.4 0.00 41 74.7 0.20 82 80.8 1.28 1 51.2 0.00 42 75.2 0.23 83 80.8 1.28 2 51.9 0.00 43 75.6 0.26 84 80.8 1.28 3 52.7 0.00 44 76 0.29 85 80.8 1.28 4 53.5 0.00 45 76.3 0.32 86 80.8 1.28 5 54.2 0.00 46 76.7 0.36 87 80.8 1.28 6 54.9 0.00 47 77 0.40 88 80.7 1.24 7 55.6 0.00 48 77.4 0.45 89 80.7 1.24 8 56.4 0.00 49 77.7 0.49 90 80.7 1.24 9 57 0.00 50 78 0.54 91 80.6 1.20 10 57.7 0.00 51 78.2 0.58 92 80.6 1.20 11 58.4 0.00 52 78.5 0.63 93 80.6 1.20 12 59.1 0.00 53 78.7 0.67 94 80.5 1.17 13 59.7 0.00 54 78.9 0.71 95 80.4 1.13 14 60.4 0.00 55 79.1 0.76 96 80.3 1.10 15 61 0.00 56 79.2 0.78 97 80.2 1.06 16 61.6 0.00 57 79.4 0.83 98 80 1.00 17 62.2 0.00 58 79.5 0.86 99 79.8 0.94 18 62.9 0.01 59 79.7 0.91 100 79.5 0.86 19 63.5 0.01 60 79.8 0.94 101 79.3 0.81 20 64.1 0.01 61 79.9 0.97 102 79 0.74 21 64.6 0.01 62 80 1.00 103 78.7 0.67 22 65.2 0.01 63 80.1 1.03 104 78.4 0.61 23 65.8 0.01 64 80.2 1.06 105 78.1 0.56 24 66.3 0.01 65 80.3 1.10 106 77.8 0.51 25 66.9 0.02 66 80.4 1.13 107 77.5 0.46 26 67.5 0.02 67 80.5 1.17 108 77.1 0.41 27 68 0.03 68 80.5 1.17 109 76.8 0.37 28 68.5 0.03 69 80.6 1.20 110 76.5 0.34 29 69.1 0.04 70 80.7 1.24 111 76.1 0.30 30 69.6 0.04 71 80.7 1.24 112 75.8 0.28 31 70.1 0.05 72 80.7 1.24 113 75.4 0.24 32 70.6 0.06 73 80.8 1.28 114 75.1 0.22 33 71.1 0.07 74 80.8 1.28 115 74.7 0.20 34 71.6 0.08 75 80.8 1.28 116 74.4 0.18 35 72 0.09 76 80.8 1.28 117 74.1 0.16 36 72.5 0.10 77 80.8 1.28 118 73.7 0.14 37 73 0.12 78 80.8 1.28 119 73.4 0.13 38 73.4 0.13 79 80.9 1.32 120 73 0.12 39 73.9 0.15 80 80.9 1.32 121 72.7 0.11 40 74.3 0.17 81 80.8 1.28 122 72.4 0.10
92
Lampiran 5c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik dan perhitungan nilai Fo produk CTO proses produksi (Lanjutan) Detik ke123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151
Suhu Pusat (°C) 72 71.7 71.4 71 70.7 70.4 70.1 69.8 69.5 69.2 68.8 68.5 68.3 68 67.7 67.4 67.1 66.8 66.5 66.3 66 65.7 65.4 65.2 64.9 64.7 64.4 64.2 63.9
Fo 0.09 0.08 0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Detik ke152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177
Suhu Pusat (°C) 63.7 63.4 63.2 63 62.7 62.5 62.3 62 61.8 61.6 61.3 61 60.7 60.4 60 59.5 59.1 58.6 58.1 57.6 57.1 56.7 56.2 55.8 55.4 55 ∑Fo(detik) ∑Fo(menit)
Fo 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 68.49
1.14
93
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 suhu 90°C Waktu Ulangan Ulangan Pemasakan Perlakuan Sampel (detik)
1
160 2
1 2 3 4 1 2 3 4
Sebelum Cooking Berat (g) 1414 1464 1427 8650 1441 1443 1409 8600
∑ Cek / pieces UR 126 128 126
126 126 126
41 / 1.36
41 / 1.36
Setelah Cooking Suhu pusat (°C)
Berat ∑ (kg) pieces
15.8
1331 1375 1341 8160
16.5
1338 1351 1319 8055
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Tingkat Kematangan ∑ tidak Kematangan matang (%) (pieces)
126 128 126
42 / 1.3
72.6
0
100
380 126 126 126
42 / 1.3
73.5
0
100
378 Rata-rata
1
155 2
Rata-rata
1 2 3 4 1 2 3
1444 1428 1421 8550 1420 1454 1408
126 126 126
126 126 126
41 / 1.36
41 / 1.36
15.3
14.8
1326 1326 1332 8240 1369 1358 1347
129 129 126 384 125 126 127 378
42 / 1.3
72.7
0
100
42 / 1.3
71.2
0
100
Cooking Loss (%) 5.87 6.08 6.03 5.66 5.91 7.15 6.38 6.39 6.34 6.56 6.24 8.14 7.11 6.26 3.63 6.29 3.60 6.60 4.31 5.20 5.74
95 72
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C (Lanjutan) Waktu Pemasakan (detik)
Ulangan Perlakuan
Ulangan Samp.
1
1 2 3 4
140 2
1 2 3 4
Berat (g) 1475 1489 1505 9010 1478 1487 1505 9855
Sebelum Cooking Cek Suhu ∑ / pusat pieces UR (oC) 126 126 39 / 15.6 1.3 126
126 126 126 126
39 / 1.3
14.7
Setelah Cooking Suhu pusat (oC)
Tingkat Kematangan ∑ tidak Kematangan matang (%) (pieces)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
1385 1380 1406 8440
126 126 126
41 / 1.3
69.8
0
100
378 125 126 126
41 / 1.3
69.2
0
100
126 126 126
38 / 1.42
69
3
99.21
378 125 127 123
41 / 1.27
1408 1408 1404 9195
377 Rata-rata 1
150 2
1 2 3 4 1 2 3 4
1581 1560 1578
1486 1525 1535 9520
126 126 126
126 126 126
36 / 1.3
38 / 1.27
17
16.7
1490 1477 1487
1382 1428 1456 8990
375 Rata-rata
71.2
5
98.67
Cooking Loss (%) 6.10 7.32 6.58 6.33 6.58 4.74 5.31 6.71 6.70 5.86 6.22 5.76 5.32 5.77 5.61 7.00 6.38 5.17 5.57 6.03 5.82
96 73
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C (Lanjutan) Sebelum Cooking Waktu Pemasakan (detik)
Ulangan Perlakuan
Ulangan Sampel
1
1 2 3 4
165 2
1 2 3 4
Berat (kg)
∑ pieces
1509 1482 1503 9500
126 126 126
1483 1509 1521 9510
126 126 126
Cek / UR
38 / 1.4
39 / 1.4
Setelah Cooking
Tingkat Kematangan
Berat (kg)
∑ pieces
16.65
1391 1376 1401 9030
126 126 126
41 / 1.36
72.3
0
100
378 126 123 126
41 / 1.4
74.3
0
100
17.5
1389 1500 1430 8915
375
UR
Suhu pusat (°C)
∑ tidak matang (pieces)
Suhu pusat (°C)
Kematangan (%)
Cooking Lost (%)
7.82 7.15 6.79 4.95 6.68 6.34 0.62 5.98 6.26 4.80 5.74
97 74
Lampiran 6b. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On Size 41-45 suhu 90°C Waktu Pema sakan (detik)
Ulang an Perlk.
1 155
Ratarata
Ulang an Samp.
1 2 3 4 5 6 7 8
Sebelum Cooking Berat (kg)
1412 1463 1465 1447 1451 1442 13390 13305
∑ pie ces
133 133 133 133 133 133
Cek / UR
42 / 1.32
Setelah Cooking
Suhu pusat (oC)
16
Berat (kg)
1388 1337 1385 1378 1381 1352 12485 12550
∑ pie ces
128 133 134 132 132 133
792
Cek / UR
45 / 1.24
Suhu pusat (oC)
75
Tingkat Kematangan ∑ tidak Kema matang tangan (pieces) (%)
19
97.60
BlackSpot (BS)
Cook ing Loss (%)
1.69 8.61 5.49 4.74 4.80 6.24 6.76 5.67
setelah cooking
1 hari
3 hari
B S
Selu ruh
% B S
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
8
814
0. 32
17
792
2.15
29
792
3.6 6
5.50
97 75
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C Waktu Pemas akan (detik)
Sebelum Cooking Ulang an Perlk.
1
2
110 3
Ulang an Samp.
Berat (kg)
∑ pie ces
1
9330
1 2
1506 1520
133 133
1 2 3 4 5 6 7 8
1421 1430 1436 1441 1448 1451 12040 13050
133 133 133 133 133 133
∑ pie ces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
41 / 1.21
9.8
8910
40 / 1.24
9.8
1473 1484
133 133 266
1344 1367 1367 1351 1388 1371 11465 12335
132 133 133 133 133 134
42 / 1.31
16
798 Ratarata
Tingkat Kematangan
Setelah Cooking Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan (%)
41 / 1.16
69.4
330
96.30
41 / 1.23
70
16
93.98
44 / 1.3
72.3
12
99.37
Cook ing Loss (%) 4.50 2.19 2.37 4.24 4.37 5.41 4.41 4.81 6.25 4.14 5.53 4.78 5.48 5.10 4.66
setelah cooking
BlackSpot (BS) 1 hari
3 hari
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
0
772
0.00
1
663
0.13
1
663
0.13
1
760
0.13
1
678
0.15
1
678
0.15
0
832
0.00
1
857
0.12
1
857
0.12
0.04
0.13
0.13
98 76
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C (Lanjutan) Sebelum Cooking Waktu Pemas akan (detik)
Ulang an Perlk
Ulang an Samp
115
Berat (kg)
∑ pie ces
1
1 2 3 4 5 6
1315 1293 1301 1324 1319 1306
133 133 133 133 133 133
43 / 1.24
2
1 2 3
1507 1506 1512
133 133 133
3
1 2
1510 1520
133 133
Ratarata
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
16
1265 1253 1255 1288 1274 1262
40 / 1.26
16
1448 1451 1442
40 / 1.26
16
1457 1454
Cek / UR
Tingkat Kematangan
Setelah Cooking
∑ piec es 133 133 133 133 133 133 798 132 133 133 398 133 133 266
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan (%)
50 / 1.32
73.9
5
99.37
42 / 1.22
75
0
100
43 / 1.21
75
0
100.00
BlackSpot (BS) 1 hari
setelah cooking Cook ing Loss (%)
1.00 3.09 3.54 2.72 3.41 3.37 2.85 3.92 3.65 4.63 3.51 3.51 4.34 3.72 3.36
3 hari
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
3
787
0.32
3
858
0.35
3
858
0.35
1
749
0.13
1
734
0.14
1
734
0.14
2
745
0.27
2
679
0.29
2
679
0.29
0.24
0.26
0.26
99 77
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C (Lanjutan) Sebelum Cooking Waktu Pema sakan (detik)
120
Ulang an Perlk
Ulang an Samp
1
Tingkat Kematangan
Setelah Cooking
Berat (g)
∑ pie ces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (g)
∑ pie ces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan (%)
1
1531
133
41 / 1.25
16.7
1429
132
43 / 1.2
75.6
0
100
2 3 4 5 6 7
1495 1506 1514 1488 1527 6380
133 133 133 133 133
1422 1428 1421 1415 1433 6025
132 133 133 132 132
2
1
1417
133
2 3 4
1413 1431 13510
133 133
43 / 1.30
16.2
1359
133
1351 1391 12791
133 133
44 / 1.20
71.4
3
1
1438
2
14885
133
43 / 1.45
16.2
1381
133
13701
133
45 / 1.22
71.4
3 hari
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
0
772
0
1
772
0.13
1
772
0.13
0
649
0.00
0
649
0.00
0
649
0.00
0
789
0.00
0
789
0.00
0
789
0.00
6.68
4.09 0
100
0
100
399
120
setelah cooking Cook ing Loss (%)
4.90 5.18 6.14 4.93 6.17 5.56 5.65
662
BlackSpot (BS) 1 hari
4.39 2.80 5.32 4.86 3.96 7.95 4.88
269 Ratarata Rata-rata Total
5.13 4.38
0 0.06
0.04 0.12
0.04 0.12
100 78
Lampiran 7. Hasil aplikasi dalam skala produksi pada suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik Sebelum Cooking Ulang an Sampel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Ratarata
Berat (kg)
1519 1518 1523 1536 1511 1528 1527 1514 1509 1523 1537 1512 1533 1524 1418 1521 1518 1521 1517 1525 1500 75560
∑ pie ces 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133 133
Cek / UR
40 / 1.16
Setelah Cooking
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
16.1
1440 1442 1436 1446 1439 1435 1434 1440 1434 1435 1444 1438 1449 1451 1330 1454 1449 1449 1442 1449 1427 71205
∑ piec es 133 133 132 133 133 133 133 134 133 133 134 131 133 134 123 133 132 133 132 132 144 2791
UR
42 / 1.33
Suhu pusat (oC)
77
Tingkat Kematangan ∑ tidak Kemata mata ngan ng (%) (piece s)
0
100
setelah cooking Coo king Loss (%)
5.20 5.01 5.71 5.86 4.77 6.09 6.09 4.89 4.97 5.78 6.05 4.89 5.48 4.79 6.21 4.40 4.55 4.73 4.94 4.98 4.87 5.76
BlackSpot (BS) 1 hari
3 hari
B S
Selu ruh
% BS
B S
Selu ruh
% BS
B S
selu ruh
% BS
2
2793
0.072
6
2795
0.215
8
2795
0.286
5.27
101 79