SKRIPSI
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UNTUK UDANG CPDTO (Cooked Peel Deveined Tail-On) 31-40 DENGAN MENGGUNAKAN LAITRAM ® COOKER DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG
Oleh DIAN KRESNAWATI F24102121
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dian Kresnawati. F24102121. Optimasi Proses Pemasakan Untuk Udang CPDTO (Cooked Peel Deveined Tail-On) 31-40 dengan Menggunakan LAITRAM® Cooker di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSC, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSC, Dr. Ir.Cinta N.Michalowski, Dipl.Ing., Remi Michalowski RINGKASAN Udang merupakan salah satu produk perikanan yang perishable (mudah rusak). Penurunan mutu udang, baik secara kimiawi maupun mikrobiologis, dapat disebabkan oleh proses pengolahan dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Salah satu cara untuk mengatasi penurunan mutu udang adalah dengan proses pemasakan, dimana terdapat beberapa atribut mutu pemasakan yang menjadi standar kelayakan mutu maupun keamanan produk pangan. Permintaan konsumen yang meningkat akan produk udang siap saji (cooked shrimp) pada PT. Centralpertiwi Bahari (PT. CPB) khususnya jenis CPDTO (Cooked Peeled Deveined Tail-On), menyebabkan naiknya kapasitas produksi. Pemasakan udang metode konvensional dengan menggunakan suhu tinggi (99°C), menghasilkan udang yang terlalu masak (overcooked) sehingga mengalami beberapa kerusakan atribut mutu diantaranya adalah tekstur yang tidak kompak dan warna permukaan kulit udang yang terlalu merah. Selain itu, pemasakan udang metode konvensional juga mengakibatkan nilai cooking loss yang tinggi sehingga menambah biaya produksi bagi perusahaan, dimana perusahaan harus menyiapkan bahan baku udang dengan ukuran (size) yang lebih besar untuk mendapatkan produk akhir yang sesuai dengan ukuran (size) yang diinginkan. Perusahaan akan menggunakan mesin pemasak (cooker) baru yaitu mesin Laitram® cooker, untuk memenuhi kebutuhan produksi dan mengatasi permasalahan-permasalahannya. Spesifikasi mesin Laitram® cooker berbeda dengan spesifikasi mesin pemasak (cooker) konvensional yang telah dimiliki oleh PT. CPB, untuk itu diperlukan standarisasi waktu dan suhu pemasakan udang yang sesuai, sehingga proses pemasakan menjadi efisien dan menghasilkan udang siap saji dengan kualitas optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi waktu dan suhu pemasakan yang optimal. Dalam penelitian ini dilakukan penelitian pendahuluan yaitu penetapan waktu pemasakan yang sesuai untuk 5 variasi suhu : A (90,90,90)°C, B(91,91,91)°C, C (90,91,92)°C, D (91,92,93)°C dan E (92,93,94)°C serta variasi waktu 3 menit sampai 3 menit 20 detik. Penelitian ini berdasar pada penelitian tim A&I (Application and Improvement) PT.CPB yang telah melakukan penelitian awal menggunakan kisaran suhu 85-90°C dan menghasilkan presentase blackspot yang masih tinggi. Proses pemasakan yang baik adalah proses yang mengikuti kurva parabola, dimana saat kurva mencapai titik puncak diharapkan mikroba indikator keamanan pangan dapat dirusak oleh panas, baru kemudian dilakukan proses pendinginan. Dengan demikian maka digunakan variasi kenaikan suhu setiap zona. Batas maksimal kenaikan suhu pada mesin Laitram® cooker sebesar 1°C. Penelitian ini juga dilakukan untuk membandingkan efektifitas antara suhu yang sama setiap zona dengan suhu yang ditetapkan dengan kenaikan 1°C setiap zonanya.
2
Waktu terbaik ditentukan berdasarkan parameter kualitas mutu udang yang terdiri dari tingkat kematangan udang, cooking loss serta munculnya blackspot. Kemudian dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh pemasakan terhadap kadar air (gravimetri), kadar garam (argentometri), mutu mikrobiologi dan mutu organoleptik menggunakan metode uji scoring. Dari hasil yang terbaik berdasarkan semua analisa pada penelitian pendahuluan maupun penelitian lanjutan, maka standar yang telah ditetapkan akan di scale-up pada skala produksi. Dari hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa waktu terbaik dari kelima perlakuan suhu tersebut adalah 3’20 menit untuk perlakuan suhu A (90,90,90)°C dan 3’15 menit untuk perlakuan suhu B (91,91,91)°C, C (90,91,92) °C, D (91,92,93)°C dan E (92,93,94)°C. Hasil pengujian kadar air dan kadar garam masing-masing perlakuan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Sedangkan analisa mikrobiologi menunjukkan bahwa semua produk aman untuk dikosumsi. Data hasil penelitian pendahuluan maupun penelitian lanjutan menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu terbaik yang dapat menghasilkan udang dengan kualitas optimum adalah 92,93,94°C dengan waktu 3’15 menit. Kombinasi suhu dan waktu ini kemudian diterapkan pada skala produksi dan menghasilkan nilai cooking loss sebesar 7, 62%. Nilai cooking loss ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu berada dibawah nilai cooking loss mesin pemasak konvensional (9-10%). Akan tetapi, pada kombinasi suhu dan waktu 92,93,94°C selama 3’15 menit masih terdapat blackspot sebesar 0.06% setelah penyimpanan 1 hari.
3
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UNTUK UDANG CPDTO (Cooked Peel Deveined Tail-On) 31-40 DENGAN MENGGUNAKAN LAITRAM ® COOKER DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG
Oleh : DIAN KRESNAWATI F24102121
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertaian Bogor
2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UNTUK UDANG CPDTO (Cooked Peel Deveined Tail-On) 31-40 DENGAN MENGGUNAKAN LAITRAM ® COOKER DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertaian Bogor
Oleh : DIAN KRESNAWATI F24102121 Dilahirkan tanggal 04 Juli 1984 Di Bojonegoro, Jawa Timur Tanggal Lulus, 1 September 2006 Bogor,
Disetujui, Sepetember 2006
Dr.Ir.Dede R.Adawiyah,MSi
Dr.Ir.Ratih Dewanti-Hariyadi,MSc
Dipl.Ing.Remi Michalowski
Pembimbing Akademik 1
Pembimbing Akademik 2
Pembimbing Lapangan
DR. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
5
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dian Kresnawati, dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 04 Juli 1984. Penulis merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Gunadi dan Ibu Ismiriyani serta kakak Aris Eko Prasetyo. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1989-1990, di TK Pertiwi Baureno, Bojonegoro. Pada tahun 1990-1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Baureno, Bojonegoro. Pada tahun 1996-1999, penulis melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Baureno, Bojonegoro, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bojonegoro pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Selama di perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Pangan dan Gizi) sebagai staf hubungan luar negeri (2004), Organisasi Mahasiswa Daerah Bojonegoro sebagai ketua umum (2005-2006). Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti BAUR (2003), Seminar Nasional Pangan Halal (2004), study banding mahasiswa ITP Bogor ke THP UGM. Penulis juga pernah mengikuti Praktek Lapangan (PL) di PT Sinar Meadow International Indonesia pada tahun 2005. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan kegiatan magang selama empat bulan di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. Tema penelitian dalam kegiatan magang ini adalah “Optimasi Proses Pemasakan Untuk Udang CPDTO (Cooked Peel Deveined Tail-On) 31-40 dengan Menggunakan Laitram® di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede. R. Adawiyah, MSi, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, Dr. Cinta Michalowski dan Dipl. Ing. Remi Michalowski.
6
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan Skripsi yang berjudul “Optimasi Proses Pemasakan Untuk Udang CPDTO (Cooked Peeled Deveined Tail-On) 31-40 Dengan Menggunakan Laitram® Cooker di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung” dengan baik yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mempersembahkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak H. Gunadi dan Ibu Ismiriyani, Mas Aris dan Mbak Sandra atas kasih sayang, doa dan motivasi yang sangat berharga kepada penulis. Semoga tugas akhir ini merupakan langkah awal untuk bisa memberikan yang terbaik bagi keluarga. 2. Dr. Ir. Dede. R. Adawiyah, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihat-nasihat yang sangat berharga kepada penulis hingga skripsi ini selesai. 3. Dr. Ir Ratih Dewanti Hariyadi, MSC sebagai dosen pembimbing ke-2 yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta nasihat-nasihat hingga penulisan skripsi ini selesai 4. Pimpinan PT Centralpertiwi Bahari, Lampung yang telah mengizinkan penulis melakukan magang penelitian di perusahaan tersebut. 5. Program B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah mendanai proyek magang penelitian ini sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar 6. Dr. Cinta N. Michalowski dan Dipl. Ing. Remi Michalowski atas kesediannya menjadi penguji serta pembimbing lapangan dan atas bimbingan, nasihat-nasihat serta motivasi selama kegiatan magang hingga penulisan skripsi. 7. Mr. Byron Falgout atas bimbingan, nasihat serta motivasi selama memberikan training Laitram® cooker di PT. CPB
7
8. Bapak Bambang Panca selaku Plant Manager PT. CPB atas bimbingan, nasihat dan motivasi yang tiada henti kepada penulis selama kegiatan magang hingga penulisan skripsi. 9. Bapak Sugiyono, Ibu Antung Sima, Ibu Siti Nurjanah, Bapak Adil selaku tim Service Development Grant (SDG) dari Program B yang telah memberikan bantuan, dukungan dan masukan selama kegiatan magang. 10. Dr. Ir. Bambang Widigdo sekeluarga (Tante Cice, Tuko, Indra dan Mira), terima kasih sudah menjadi tempat persinggahan selama hidup di Bogor dan atas motivasi, dukungan, nasihat, keceriaan serta materil yang telah banyak membantu penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini 11. Eyang kakung dan Eyang Putri serta Keluarga Suryo Surabaya atas dorongan semangat, motivasi, keceriaan serta bantuan materiil dan spiritual selama kegiatan ini berlangsung 12. Bapak Agus sekeluarga (Mama, Adek Bagas dan Adek Eta) atas dukungan yang diberikan selama kegiatan ini berlangsung 13. Athor Aoelawi, ST atas saran, motivasi, kesabaran serta kebersamaan yang indah dalam mendampingi penulis selama ini. 14. Departemen A &I (Application & Improvement), Dept QC dan QMS, Dept Processing, Dept Engineering dan Dept Water treatment PT.CPB 15. Sahabat-Sahabat tebaikku (Vero, Dian K.S, Kinoy, Meilina S, Kanyaka, Sari, Hana, Rina, Dhenok), Heru, Rohana dan Rixza yang telah banyak membantu penulis selama kegiatan ini berlangsung 16. Teman-teman TPG 39, 38 dan 40, khususnya golongan D, terima kasih atas kerja sama dan dukunganya selama perkuliahan. 17. Teman-teman “D4”(Hanna, Pretty dan kinoy). Perjuangan bersama selama empat tahun dalam praktikum dan penulisan laporan-laporan praktikum. 18. Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu dalam penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat, Amin. Bogor, September 2006 Penulis
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………....
i
ABSTRAK ………………………………………………..…………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
iv
RIWAYAT HIDUP...........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..... viii DAFTAR TABEL ………………………………………………………........
x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………....
xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………....
xiii
PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
A. LATAR BELAKANG ......……………………………………….......
2
B. TUJUAN DAN SASARAN…………………………………………..
3
C. MANFAAT …………………………………………..........................
2
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ………………………………….
4
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN…………….
4
B. LOKASI PERUSAHAAN …………………………………...............
5
C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN …………………………………...
5
D. SUMBER DAYA MANUSIA …………………………………........
6
E.
STRUKTUR ORGANISASI …………………………………..........
6
F.
HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN.........................................
7
G.
FASILITAS........................................................................................
7
H.
PENGOLAHAN AIR (WATER TREATMENT).................................
9
III. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………....
10
A. UDANG PUTIH (LITOPANEUS VANAMMEI) ………....................
10
1.Taksonomi dan Morfologi.................................................................
10
2. Komponen Kimia udang dan Nilai gizinya......................................
13
3. Mutu Udang......................................................................................
14
B. TEKNOLOGI PEMASAKAN ............................................................
21
1. Proses Thermal pada Produk Pangan ...............................................
21
2. Proses Pemasakan Udang CPDTO……………………...................
25
I.
9
2.1. Udang CPDTO...........................................................................
25
2.2. Pemasakan dengan Laitram® cooker..........................................
27
IV. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………….........
31
A. BAHAN DAN ALAT ………………………………………….........
31
1. Bahan ……………………………………………..........................
31
2. Alat .…………………………………………….............................
31
B. METODE PENELITIAN …………………………………………....
31
1. Penelitian Pendahuluan....................................................................
32
2. Penelitian Lanjutan...........................................................................
33
3. SCALE-UP........................................................ .............................
34
C. METODE ANALISA ………………………………………….....
40
1. Analisa Produk………………………..............................................
40
a. Perhitungan Cooking Loss.............................................................
41
b. Perhitungan Blackspot...................................................................
41
2. Evaluasi Mutu....…………………………………………...............
41
a. Analisis Kimia...............................................................................
41
b. Analisis Mikrobiology…………………………………………..
42
c. Analisis Organoleptik……………………………………………
46
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….
48
ANALISIS PRODUK……………………….....................................
48
a. Optimasi Suhu dan Waktu Pemasakan............................................
48
b. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemasakan terhadap Cooking loss.......
49
c. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemasakan terhadap Blackspot............
51
EVALUASI MUTU…………….........................................................
53
a. Pengaruh Pemasakan Terhadap Kadar Air dan Kadar Garam..........
53
b. Pengaruh Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik........................
55
c. Pengaruh Pemasakan Terhadap Mutu Mikrobiology.......................
56
SCALE-UP.........................................................................................
59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………....
60
A. KESIMPULAN ………………………………………………….......
60
B. SARAN ………………………………………………………….......
61
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...
62
LAMPIRAN …………………………………………………………………..
63
1.
2.
3.
10
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Standar Udang Masak Beku menurut Europe Comission, 2005.......
20
Tabel 2. Standar Udang Masak Beku menurut ICMSF, 1996........................
21
Tabel 3. Proses Termal Pada Pemasakan Udang............................................ Tabel 4 Lima variasi suhu pada 3 zona
22
Tabel 5 Metode Pengambilan Sampel........................................................... Tabel 6 Koloni Tipikal salmonella.................................................................
44
Tabel 7 Nilai Rata-Rata Uji kadar Air............................................................ Tabel 8 Hasil Uji Kadar Garam...................................................................... Tabel 9. Perbandingan Standar Mikro dari ICSMF dengan hasil analisis.......
48
33 53 51 57
11
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Penampang Membujur Udang Putih......................................
12
Gambar 2.
Reaksi Terjadinya Blackspot...................................................
16
Gambar 3.
Inaktivasi Thermal Pada Beberapa Enzim Pada Produk Pangan.....................................................................................
17
Gambar 4. Gambar 5.
Pemilihan Kondisi Optimum dalam Proses Pemasakan.......... Pola Pertumbuhan Mikroba dan Daya Tahannya terhadap Panas........................................................................................
24 24
Gambar 6.
Diagram alir Proses Pemasakan Udang CPDTO.....................
28
Gambar 7.
Kurva Pemanasan....................................................................
28
Gambar 8.
Mesin Laitram® FC200............................................................
29
Gambar 9.
Perbandingan antara Peroses Pemasakan menggunakan
30
Laitram dengan Metode Konvensional.................................... Gambar 10.
Sirkulasi panas pada Mesin Laitram® oleh blower..................
30
Gambar 11
Diagram Alir Penelitian...........................................................
34
Gambar 12.
Metode Pemasakan..................................................................
35
Gambar 13
Penyusunan Udang...................................................................
37
Gambar 14.
Baki yang digunakan dalam penelitian ..................................
37
Gambar 15.
Pengukuran suhu pusat udang menggunakan thermometer
38
yang mempunyai sensitifitas terhadap panas ......................... Gambar 16.
Mengukur suhu pusat udang menggunakan thermometer
38
yang mempunyai sensitifitas terhadap dingin ......................... Gambar 17.
Penirisan Udang……………………………………………...
38
Gambar 18.
Tingkat Kematangan Udang dan Blackspot………………….
40
Gambar 19.
Metode Pengujian Kadar Garam…………………………….
42
Gambar 20
Diagram Uji Kualitatif Salmonella…………………………
45
Gambar 21.
Diagram Pengaruh Suhu dan waktu pemasakan terhadap cooking loss…………………………………………………..
50
12
Pengaruh Suhu danpembekuan waktu pemasakan terhadap Gambar 22. Diagram Grafik suhu-waktu selama ................................... blackspot Kesetimbangan Massa……………………………... Gambar 23. Diagram Automatic spray glazer ............................................................
52 10
Ujirefrigerasi Organoleptik………………………………………. Gambar 24. Hasil Siklus .....................................................................
55 21
Gambar 25. Pengambilan baki secara manual…………………………….
58
54 19
13
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Lay Out PT. CPB ...............................................................
64
Lampiran 2a. Lampiran 2b. Lampiran 2c. Lampiran 2d. Lampiran 2e.
Penelitian Pendahuluan Suhu A (90,90,90)C Penelitian Pendahuluan Suhu B (91,91,91)C Penelitian Pendahuluan Suhu C (90,91,92)C Penelitian Pendahuluan Suhu D (91,92,93)C Penelitian Pendahuluan Suhu D (92,93,94)C
65 66 67 68 69
Lampiran 3a
Lampiran 4.
Hasil Uji LSD pengaruh suhu dan waktu terhadap cooking loss……………………………………………… Hasil Uji LSD pengaruh suhu dan waktu terhadap Blackspot…………………………………………………. Hasil Uji LSD pengaruh suhu dan waktu terhadap kadar air…………………………………………………………. Hasil Uji Kadar Air……………………………………….
Lampiran 5.
Hasil Analisis Uji organoleptik..........................................
72
Lampiran 6.
Hasil Analisis Uji Mikrobiology.........................................
73
Lampiran 7.
Form Penilaian Organoleptik..............................................
74
Lampiran 8.
75
Lampiran 9a.
Perhitungan Komponen Lain yang hilang selama Pemasakan........................................................................... . Hasil Uji Duncan terhadap Tekstur
Lampiran 9b.
Hasil Uji Duncan terhadap Penampakan
76
Lampiran 9c
Hasil Uji Duncan terhadap Aroma
76
Lampiran 9d
Hasil Uji Duncan terhadap Rasa
76
Lampiran 10.
Penerapan Hasil Terbaik Suhu (92,93,94)C Pada skala
77
Lampiran 3b. Lampiran 3c.
70 70 70 71
76
Produksi
14
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang sangat besar pada sektor perikanan. Salah satu komoditas unggulan pada sektor ini adalah udang. Produksi udang beberapa tahun belakangan ini menunjukkan laju pertumbuhan yang pesat. Indonesia sendiri mempunyai potensi pengembangan tambak udang terbesar di dunia yaitu sekitar 960.000 hektar. Dengan adanya hal tersebut, maka Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia. PT. Centralpertiwi Bahari (PT. CPB) merupakan anak perusahaan Charoen Phokphand Group Indonesia (CPGI) yang bergerak di bidang industri pengolahan udang beku berorientasi ekspor. Ada dua jenis udang yang dibudidayakan oleh PT. CPB, yaitu udang putih (Litopenaeus vannamei) dan udang windu (paneus monodon). Permintaan produk udang siap saji “cooked shrimp” khususnya jenis CPDTO (Cooked Peeled Deveined Tail-On) di PT. CPB memerlukan penambahan mesin pemasak (cooker) baru untuk meningkatkan kapasitas produksi. Produk CPDTO adalah produk unggulan yang paling banyak diminati dan mempunyai margin harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk masak lainnya. Permasalahan yang sering dihadapi oleh perusahaan pada produk CPDTO ini adalah tingginya nilai cooking loss pada mesin pemasak konvensional sehingga akan menambah biaya produksi dimana perusahaan harus menyiapkan bahan baku udang dengan ukuran (size) yang lebih besar untuk mendapatkan produk akhir yang sesuai dengan ukuran (size) yang diinginkan. Perusahaan
menggunakan
mesin
Laitram®
cooker
untuk
menanggulangi permasalahan cooking loss pada produk CPDTO. Mesin Laitram® cooker adalah mesin pemasak baru yang memiliki spesifikasi berbeda dari mesin pemasak yang dimiliki oleh PT. CPB oleh karena itu diperlukan standarisasi waktu dan suhu proses pemasakan agar mendapat produk yang optimum. Mesin cooker Laitram® menggunakan steam sebagai sumber panas dan sistem konveksi paksaan. Dalam sistem
15
konveksi paksaan pada mesin Laitram®, pola aliran fluida disekeliling permukaan yang dipanaskan ditentukan oleh gaya eksternal berupa blower. Pada proses pengolahan dengan panas, kita selalu dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertentangan. Pengaruh panas dan waktu yang semakin tinggi akan memberikan efek pembunuhan mikroba yang semakin besar atau kurva pertumbuhan mikroba yang semakin kecil. Tetapi dilain pihak semakin tinggi suhu dan lama waktu kontak dengan panas atau semakin tinggi suhu dan waktu proses, maka akan semakin besar pula kerusakan zat gizinya (Wirakartakusumah, et al.1989). Dalam hal ini tentu saja kita dihadapkan pada suatu permasalahan pemilihan waktu dan suhu yang tepat untuk proses pengolahan pangan dengan pemanasan. Pemilihan kombinasi waktu dan suhu proses tertentu agar mikroba banyak yang mati atau produk cukup aman dari mikroba patogen tetapi nilai gizinya tidak banyak yang berubah atau tidak banyak mengalami kerusakan, inilah yang disebut sebagai optimasi proses pengolahan dengan menggunakan panas B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu mengoptimalkan proses pemasakan udang menggunakan proses termal (kombinasi waktu dan suhu) sehingga dapat menghasilkan produk yang optimum. Parameter optimum disini meliputi analisis produk berdasarkan % cooking loss dan blackspot kemudian evaluasi mutu produk berdasarkan mutu organoleptik, kimia dan mikrobiologi C. Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan waktu pemasakan dan suhu yang optimum untuk memproduksi CPDTO, dilihat dari produktifitas, kualitas dan efisiensi yang baik. Produktifitas yang dimaksud adalah menghasilkan kapasitas produksi terbaik dilihat dari atribut mutu organoleptik serta tidak adanya noda hitam (blackspot). Efisiensi yang baik adalah proses pemasakan dapat menghasilkan cooking loss yang rendah dan dapat mereduksi Listeria monocytogenes sesuai proses 6D.
16
D. Manfaat Optimasi proses pemasakan pada produk CPDTO ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam perusahaan berkaitan dengan akan dijalankannya mesin pemasak baru Laitram® cooker untuk produk-produk CPDTO, sehingga akan diperoleh proses yang ideal dan dapat menghasilkan udang siap saji berkualitas melalui proses produksi yang efisien.
17
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bratasena didirikan pada tanggal 8 Juli 1994 dengan SPT BPKM No 453/PMDN/1994, dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 509/KPT/IK.120/7/1995 serta Surat Keputusan Gubernur Daerah Lampung No. 5 tahun 1996 tentang Pola Kemitraan Usaha Perikanan Inti Rakyat di Wilayah Lampung.
PT
Centralpertiwi Bratasena ini merupakan usaha gabungan antara investor Charoen Pokphand Group dari Thailand dengan PT Bratasena Perkasa Kencana. PT Centralpertiwi Bratasena bergerak di bidang aquabisnis dengan pola usaha kemitraan inti rakyat (plasma). Pada tahun 1998, pemilik PT Bratasena Perkasa Kencana menarik sahamnya dari usaha gabungan ini. Kemudian, nama PT Centralpertiwi Bratasena diganti menjadi PT Centralpertiwi Bahari. Saat ini, mayoritas saham PT Centralpertiwi Bahari dimiliki oleh PT Centralprotein Prima yang merupakan anak cabang Charoen Pokphand Indonesia (CPI). Perubahan nama perusahaan menjadi PT. CentralPertiwi Bahari sudah tertuang dalam akta perusahaan Anggaran Dasar Perseroan Nomor 29 tanggal 13 Februari 1998 di hadapan Notaris Sutjipto, SH. Perusahaan mendapatkan sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) dari Direktorat Jenderal
Perikanan,
Departemen
Pertanian
Jakarta,
Nomor
325/PP/SKP/PB/I/12/98 pada tanggal 28 Desember 1998 dengan predikat B (baik) dan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep Hazard Analysis Criticial Control Point
(HACCP) Nomor
102/PP/Val/I/VIII/99 pada tanggal 26 Agustus 1999. B. LOKASI PERUSAHAAN DAN TATA LETAK PABRIK
18
PT Centralpertiwi Bahari berada di wilayah bekas hutan register 47 Way Terusan, Kecamatan Pembantu Gedong Meneng, Kecamatan Induk Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Luas lahan yang dicadangkan adalah 22 271 hektar. Batas-batas wilayah PT Centralpertiwi Bahari, yaitu: Utara
: Sungai Way Tulang Bawang,
Selatan
: Sungai Way Seputih dan Laut Jawa
Barat
: Sungai Way Terusan
Timur
: Laut Jawa
PT Centralpertiwi Bahari mempunyai kapasitas sekitar 15000 plasma dan 10000 tenaga kerja. Hingga kini baru sekitar 4000 hektar dari total luas lahan yang telah digunakan, dengan tambak budidaya terletak di dua desa, yaitu:
1. Desa Adiwarna yang meliputi Blok 1, Blok 2 dan Blok 81 2. Desa Mandiri yang meliputi Blok 71. Selain itu, PT Centralpertiwi Bahari juga mempunyai tempat pembenuran (hatchery) yang terletak di Desa Suak, Lampung Selatan seluas 130 hektar. Selain itu, terdapat pula pabrik pakan udang yang terletak di Tanjung Bintang, Kawasan Industri Lampung. Apabila seluruh lahan dan kapasitas PT Centralpertiwi Bahari telah difungsikan, maka perusahaan ini akan menjadi perusahaan budidaya tambak udang terbesar di dunia. Layout PT.CPB dapat dilihat pada Lampiran 1 C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) merupakan perusahaan budidaya dan pengolahan udang modern. Perusahaan ini memiliki visi menjadi perusahaan tambak inti rakyat terbaik dengan teknologi ramah lingkungan dimana setiap insan secara tulus mengabdi dan memberikan kontribusi terbaiknya kepada perusahaan, bangsa dan negara. Adapun misi-misi PT CPB yaitu: 1. Mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. 2. Membina hubungan kerjasama yang harmonis antara inti dengan plasma untuk mencapai tujuan bersama. 3. Menyediakan produk dan pelayanan dengan mutu terbaik bagi pelanggan yang pada akhirnya memberikan manfaat kepada investor, karyawan, mitra kerja dan pemerintah.
19
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat sekeliling melalui peningkatan kegiatan ekonomi. Selain itu, PT CPB juga memiliki nilai-nilai (values) yang diterapkan, meliputi: 1. Contribution : merupakan falsafah Charoen Pokphand yang berarti perusahaan didirikan jika mempunyai kontribusi pada negara, masyarakat dan karyawan. 2. Professionalism (honesty, loyalty, quality and integrity) : dituntut segala sesuatuny berjalan secara profesional, sesuai dengan nilainilai kejujuran, kesetian, kualitas dan integritas yang tinggi pada perusahaan. 3. Broadminded : berpikiran luas, fleksibel dan mampu menerima, menyerap serta menerapkan kemajuan dan teknologi.
D. SUMBER DAYA MANUSIA Berdasarkan data dari Human Resources Departement (HRD) PT Centralpertiwi Bahari, hingga bulan Mei 2006, jumlah karyawan yang bekerja sebagai inti adalah 3010 orang. Saat ini, terdapat 3119 plasma yang bekerja sebagai petambak, dan sekitar 154 orang diantaranya termasuk plasma lunas kredit. Selain itu, PT CPB juga melakukan outsourcing dengan mempekerjakan karyawan dari perusahaan penyalur tenaga kerja.
E. STRUKTUR ORGANISASI PT CPB memiliki sebelas divisi yang tersebar di beberapa wilayah di Lampung, dan dua bagian non-divisi yang berada di Bandar Lampung dan Jakarta. Sembilan dari sebelas divisi tersebut berada di Pond Site, wilayah Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Dua divisi lainnya berada di wilayah Kawasan Industri Lampung (KaIL) Tanjung Bintang dan di wilayah Suak-Kalianda, Lampung Selatan. Divisi-divisi yang berada di Pond Site yaitu: 1. Divisi General Affairs and Community Development 2. Divisi Food Processing Plant 3. Divisi Aquaculture 4. Divisi Integrated Quality Assurance 5. Divisi Power Plant 6. Divisi Construction and Engineering
20
7. Divisi Electric Engineering 8. Divisi Farmer Service 9. Divisi Finance Divisi yang berada di wilayah KaIL Tanjung Bintang adalah Divisi Feedmill Operation yang merupakan divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan pakan udang (pabrik pakan). Sedangkan divisi yang berada di wilayah Suak-Kalianda adalah Divisi Breeding Operation, yakni divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan benur udang. Bagian non-divisi yang berada di Bandar Lampung adalah Representative Office atau Kantor Perwakilan PT CPB untuk wilayah Lampung. Sedangkan bagian non-divisi yang berada di Jakarta adalah Head Office atau Kantor Pusat. F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN PT Centralpertiwi Bahari memproduksi udang beku, baik berupa conventional frozen shrimp, peel raw frozen shrimp, cooked frozen shrimp, nobashi ebi dan sushi ebi. Seluruh produk tadi diekspor ke manca negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, dan sebagainya. G. FASILITAS PT Centralpertiwi Bahari menyediakan fasilitas lengkap bagi karyawan, plasma dan keluarganya. Fasilitas tersebut meliputi fasilitas perumahan, pendidikan, transportasi, ibadat, ekonomi, komunikasi, kesehatan, olahraga dan rekreasi. Bagi karyawan PT CPB, disediakan perumahan (sesuai dengan status karyawan), tunjangan, jamsostek dan sebagainya, sesuai dengan peraturan tentang ketenagakerjaan. Fasilitas pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar (SD) pada masing-masing desa dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fasilitas transportasi berupa infrastruktur jalan (road dan subroad), jalan raya menuju dermaga (± 20 km), dermaga sungai (Amarta dan Sadewa), transportasi air berupa perahu spped boat dan ponton, dan transportasi darat berupa bus karyawan dan minibus (Mitsubishi L-300).
21
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, didirikan tempat ibadat berupa masjid, mushola, gereja dan pura. Fasilitas ekonomi meliputi pasar tradisional, warung, kantin, bengkel dan pertokoan di setiap lokasi pemukiman. Selain itu juga terdapat koperasi karyawan (Kopkar), dan Koperasi Unit Desa (KUD) bagi petambak plasma. Fasilitas komunikasi meliputi siaran radio Swara Bahari, HT, Warung Telekomunikasi (Wartel), telepon rumah dan pemancar signal HP. Fasilitas kesehatan meliputi puskesmas di setiap blok dan Pusat Pelayanan Medical. Fasilitas olahraga meliputi lapangan sepak bola, lapangan volley, lapangan basket, lapangan bulu tangkis dan tenis meja. Selain itu, juga terdapat fasilitas permainan bilyard, organisasi olahraga Satria Nusantara (SN) dan taekwondo. Terkadang, diadakan acara hiburan seperti layar tancap, musik dangdut, pop atau campur sari yang didatangkan dari Bandar Lampung. Bagi para petambak, perusahaan menyediakan fasilitas tempat tinggal berupa rumah tipe 36, kolam tambak (ukuran 25 x 75 m atau 0.5 hektar), yang dilengkapi sarana irigasi, alas plastik, peralatan operasional dan pelatihan (dibayar dengan sistem kredit), fasilitas listrik dan air bersih, paket teknologi (biosecurity, benur, analisa laboratorium untuk kualitas air, udang dan lingkungan tambak, obat-obatan serta pakan), paket natura (kebutuhan pokok berupa beras, minyak goreng, mie instant, susu kaleng, sabun mandi, sabun cuci dan minyak tanah) serta biaya hidup bulanan sebesar Rp. 700.000,-.
H. PENGOLAHAN AIR (WATER TREATMENT) Pengolahan air pada PT. CPB dilakukan disekitar pabrik. Air untuk pengolahan berasal dari sumur bor bawah tanah (deep well) sedalam 180200 m dan air dari sungai atau rawa di dekat lokasi pengolahan air. Air ditampung dalam penampungan bahan baku air. Setelah ditampung kemudian ditranfer menuju flocculant tank. Tiga jenis larutan kimia, yaitu Poly Aluminium Chloride (PAC), klorin dan soda abu, ditambahkan pada air deep well. Setelah itu, air dialirkan menuju raw water tank untuk
22
ditampung dan diendapkan. Selanjutnya air diberi perlakuan filtrasi awal, filtrasi akhir, softerasi dan post chlorinasi. Air dari raw water tank dialirkan menuju multy filter tank untuk difiltrasi. Filtrasi awal terbagi dalam tiga proses, yaitu filtrasi secara fisika dan filtrasi kimia. Filtrasi fisika adalah proses penyaringan untuk memisahkan air dari partikel atau kotoran-kotoran fisik seperti endapan terlarut. Pasir silika digunakan sebagai media penyaring. Filtrasi kimia adalah proses penyaringan kation, anion, Fe dan Mn, yang dapat menurunkan kualitas air. Media penyaring dalam proses filtrasi kimia adalah mangan zeolit. Setelah filtrasi kimia kemudian dilakukan filtrasi akhir yang bertujuan untuk menghilangkan bau, rasa, warna dan sisa chlorine. Akhirnya air ditransfer menuju softener tank. Dalam softener tank, air diberi resin cation exchange. Proses ini bertujuan mereduksi ion Ca dan Mg untuk menurunkan tingkat kesadahan air. Softerasi hanya dilakukan untuk air yang akan didistribusikan ke mesin-mesin pengolahan dan power plant. Tahap terakhir proses pengolahan air adalah post chlorinasi. Post chlorinasi adalah proses injeksi larutan klorin berkonsentrasi 1-5 ppm. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan air bersih yang saniter. Setelah tahap terakhir, maka air siap didistribusikan ke area pengolahan.
III. TINJAUAN PUSTAKA A. UDANG PUTIH (Litopanaeus vanammei) 1. Taksonomi dan Morfologi Udang putih atau white shrimp (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang banyak terdapat di Indonesia. Menurut habitatnya, udang ini termasuk kategori udang laut dan dapat dibudidayakan di tambak. Udang putih merupakan salah satu dari 80 jenis udang paneid yang telah diusahakan secara komersial.
23
Menurut taksonominya, udang putih diklasifikasikan sebagai berikut (Gosner, 1971; Martosudarmo dan Ranoemiharjo, 1983) Domain
: Eucarya
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Anthropoda
Subphylum
: Crustacea
Class
: Malacostraca
Subclass
: Eumalacostraca
Superorder
: Eucarida
Order
: Decapoda
Suborder
: Dendrobranchiata
Super Family : Penaeoidea Family
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Species
: vannamei
Udang putih, seperti halnya crustacea lainnya adalah hewan air beruas dimana pada tiap ruas terdapat sepasang anggota badan yang umumnya bercabang dua atau biramus. Tubuh udang terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax (bagian kepala) dan dada serta abdomen (bagian perut). Cephalotorax terlindung oleh kulit khitin tebal yang disebut carapace (Martosudarmo dan Ranoemiharjo, 1983) Secara anatomis, baik cephalotorax maupun abdomen terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. keseluruhan ruas badan udang putih berjumlah 20 buah. Pada ruas kepala yang pertama terdapat mata majemuk yang bertangkai. Antena 1 terdapat pada ruas kepala kedua dan memiliki dua buah flagella pendek yang digunakan sebagai alat peraba atau penciuman. Antena II terdapat pada ruas kepala ketiga, memiliki cabang pertama yang berbentuk pipih dan tidak beruas dan disebut prosartema. Cabang kedua berupa cambuk panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba (Gosner, 1971). Pada ruas keempat, kelima dan keenam bagian kepala terdapat anggota badan yang berfungsi sebagai pembantu mulut, yaitu sepasang
24
mandibula dan 2 pasang maxilla. Mandibula berfungsi menghancurkan makanan keras dan maxilla berfungsi untuk membawa makanan ke mandibula. Bagian dada terdiri dari delapan ruas dimana masingmasing ruas memiliki sepasang anggota badan yang disebut sebagai thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga disebut maxilliped, berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut. Thoracopoda lainnya disebut pereiopoda, berfungsi sebagai kaki jalan. pereiopoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil dan ini merupakan ciri khas udang paneid (Gosner, 1971). Bagian perut terdiri dari 6 ruas. Ruas pertama sampai dengan ruas kelima masing-masing memiliki sepasang anggota yang berfungsi sebagai alat untuk berenang yang disebut pleopoda atua swimmeret. Pleopoda memiliki bentuk yang pendek dan kedua ujungnya pipih serta berbulu. Pleopoda pada ruas keenam disebut uropoda, memiliki bentuk pipih dan melebar. Bersama-sama dengan telson, pleopoda bertindak sebagai kemudi saat udang berenang. Morfologi udang secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1.
25
Keterangan gambar : 1. Carapace
a. Oseophagus
2. Rostrum
b. Ruang Cardiac
3. Mata majemuk
c. Ruang Pyloric
4. An tennu1es
d. Keping Cardiac
5. Prosartema
e. Gigi-gigi Cardiac
6. Antena
f. Cardiac ossicle
7. Maxi11iped
g. Hepatopancreas
8. Pereopoda
h. Usus
9. PIeopoda
i. Anus
10. Uropoda 11. Tel son
Gambar 1. Penampang Membujur Udang putih (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1983)
26
2. Komponen Kimia Udang dan Nilai Gizinya Udang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sidwell et al, 1987 menyebutkan bahwa pada udang mentah mempuyai kadar protein pada kisaran 14.1g - 25.0g. Kadar protein ini tergantung dari bentuk dan ukuran udang, kondisi geografis dan status physiological. Proses pemasakan dan pengalengan tidak terlalu mempengaruhi kisaran protein pada udang mentah. Kadar lemak pada udang mentah lebih sedikit dibandingkan dengan protein udang. Kadar lemak pada udang mentah berkisar antara 0.37g-0.88g. Phospholipids dan sterol adalah komponen terbesar dalam kadar lemak yang terdapat dalam udang (Kritchevsky, et al. 1976). Jenis asam amino yang terdapat didalam udang khususnya pada udang panaeus adalah threonin, serine, alanine, valine, isoleucine dan cystine. Perbedaan jumlah asam amino pada udang mentah dengan udang masak tidak begitu besar kecuali untuk asam aspartat, serine, asam glutamat, glycine dan alanine terdapat dalam jumlah yang besar pada udang masak (Savagon et al.1972). Lebih lanjut dijelaskan Savagon et al (1972) nilai lysine yang terdapat pada udang berkisar antara 18.5-19.8g per 100g protein. Elemen makro yang terdapat pada udang adalah sodium, potassium, kalsium, fosfor, besi dan magnesium. Kandungan sodium dan potasium pada udang mentah, udang yang telah dikupas maupun udang masak tidak terlalu berbeda yaitu 84mg -140mg per 100g. Udang jenis panaeus jumlah sodium lebih tinggi diantara jenis udang yang lain yaitu berkisar 100mg - 220mg per 100g dengan rata-rata 178mg. Kalsium berada pada kisaran 50mg - 275mg per 100g tetapi untuk golongan udang panaeus berkisar antara 10mg - 305mg per 100g sedangkan untuk besi berada pada kisaran 1.4mg - 135mg per 100g. Magnesium adalah komponen penting lainnya yang dapat mengaktifkan sistem enzim dan berfungsi untuk metabolisme karbohidrat membentuk energi. Udang memiliki sumber magnesium
27
yang tinggi dibandingkan dengan makanan laut lainnya yaitu berkisar antara 40mg sampai 500mg per 100 g. Sebelum dilakukan pemasakan pada udang, terlebih dahulu udang direndam dalam larutan bumbu yang terdiri dari garam dan sodium tripholiphospat. Penambahan larutan bumbu ini berguna untuk memberikan rasa dan kekenyalan pada udang. Kadar garam dan kadar sodium yang terdapat pada udang ini tergantung dari jumlah garam dan sodium tripholiphospat yang dilarutkan dalam larutan bumbu (Higashi, 1981). Elemen mikro yang terdapat dalam udang adalah arsenik, cadmium, zinc, copper dan iodine. Jumlah arsenic didalam udang banyak terdapat di bagian lapisan-lapisan otot. Jumlah arsenik pada udang mentah, udang yang telah dikupas maupun udang yang telah dimasak berkisar antara 0.08ppm - 54.0ppm. Cadmium pada udang mentah adalah 3.9ppm dan pada udang masak 2.9ppm. Sedangkan udang memiliki kandungan zinc berkisar antara 7.3ppm - 72ppm, iodine 0.5 ppm - 1.5 ppm dan copper antara 0.1ppm - 131ppm. Udang memiliki kandungan vitamin yang beragam. Vitamin yang sering dijumpai dalam udang adalah vitamin A, vitamin D, vitamin B3 (niacin) dan vitamin B12 (cobalamin), vitamin D memiliki kontribusi yang besar dibandingkan dengan vitamin yang lain yaitu sebesar 162.39 IU, kemudian diikuti vitamin A 60 IU, vitamin B12 (cobalamin) 1.69 mg dan vitamin B3 (niacin) 2.94 mg. Vitamin pada udang mentah tidak berbeda jauh dengan udang masak. 3. MUTU UDANG Udang dan produk perikanan lainnya pada umumnya mempunyai sifat cepat busuk dan mutunya identik dengan kesegarannya. Proses pembusukan atau penurunan mutu pada udang dan produk perikanan lainnya terutama disebabkan oleh kegiatan enzim dan bakteri. Setelah udang mati dan proses autolisis berjalan, suhu dalam tubuh udang akan berangsur-angsur naik dan pada suatu saat memungkinkan bagi pertumbuhan bakteri pembusuk Oleh karena itu, suhu udang harus tetap dijaga agar senantiasa berada dibawah suhu pertumbuhan
28
mikroba yaitu 5-60°C. Untuk mempertahankan suhu agar berada dibawah suhu pertumbuhan mikroba, biasanya ditambahkan sejumlah es (Moeljanto, 1992) Ada tiga penyebab terjadinya penurunan mutu udang menurut Purwaningsih (2000), yang pertama adalah penurunan secara autolisis dimana terjadinya penurunan ini diakibatkan oleh kegiatan enzim didalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh telah terurai. Penurunan mutu ini ditandai dengan rasa, warna, tekstur dan penampakan yang berubah. Penurunan mutu yang kedua adalah penurunan mutu secara bakteriologi yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini akan menyebabkan daging udang terurai dan menimbulkan bau busuk. Penurunan mutu yang ketiga adalah penurunan mutu secara oksidasi, penurunan mutu seperti ini biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak pada udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih, 2000) Proses penguraian enzim akan menjadi lebih cepat jika suhunya meningkat dan penguraian enzim ini menjadi lebih optimum pada suhu 37°C. Apabila suhunya diturunkan, kecepatan penguraiannya akan menurun. Akan tetapi, penurunan suhu sampai -40°C pun belum bisa menghentikan kegiatan enzim seluruhnya. Pada akhir fase rigor, hasil penguraian jaringan yang terjadi menjadi semakin banyak sehingga kegiatan bakteri pembusuk dengan enzimnya akan semakin meningkat. Setelah melewati fase rigor, kecepatan pembusukan atau kemunduran mutu semakin meningkat lagi (Moeljanto, 1992). Metode penilaian mutu produk perikanan dapat dikelompokkan atas penilaian yang bersifat subjektif dan objektif. Penilaian subjektif yang biasa disebut juga penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor-faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakan, bau, citarasa dan tekstur. Sifat
29
organoleptik yang berhubungan dengan sifat fisik, sangat memegang peranan penting terutama untuk menentukan komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Berdasarkan sifat organoleptik, warna daging udang mentah adalah bening dan transparan sedangkan untuk udang masak, daging udang telah berwarna putih susu. Permasalahan yang sering terjadi pada penanganan udang adalah munculnya blackspot. Blackspot muncul pada udang mentah maupun udang masak. Blackspot memberikan penampakan yang tidak menarik pada udang karena munculnya bintik-bintik warna hitam pada bagian tubuh maupun ekor udang. Blackspot terjadi akibat reaksi biokimia dan dikatalisis oleh enzim polyphenol oksidase (PPO biasa juga disebut tyrosinase, diphenol oksidase, cathecoloxsidase, dan phenolase). Monophenol yang teroksidasi dan dikatalisis oleh enzim PPO terdapat pada udang secara alami. Secara lebih rinci, reaksi terjadinya blackspot dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini
Gambar 2. Reaksi Terjadinya Blackspot (Walker, 1977) PPO banyak terdapat pada lapisan kutikula dan hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperanan penting dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya. Dalam reaksi terjadinya blackspot, PPO berperan untuk mengoksidasi monophenol
menjadi
diphenol,
oksidasi
lebih
lanjut
akan
menghasilkan quinone yang kemudian berkomplek dengan asam amino membentuk senyawa berwarna hitam. Blackspot tidak
30
berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk akan ditolak oleh konsumen. Inaktivasi polyphenol oksidase dengan menggunakan panas seperti steam blanching sangat efektif untuk menekan munculnya blackspot. Suhu yang digunakan sangat bervariasi, tergantung dari stabilitas enzim yang terdapat secara alami pada produk pangan. Pada umumnya, PPO pada produk pangan terdestruksi aktivitas katalitiknya pada suhu 70°C - 90°C (Vamos dan Vigyazo, 1981). Semakin rendah suhu
yang
digunakan,
maka
waktu
yang
diperlukan
untuk
mendestruksi 90 % aktivitas katalitik suatu enzim juga akan semakin lama. Menurut Svensson (1977) polyphenol oksidase pada kisaran suhu 85-90°C, dibutuhkan waktu 1-8 menit untuk mendestruksi 90 % aktivitas katalitik suatu enzim. Secara lebih rinci, inaktivasi termal pada beberapa enzim dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Inaktivasi Termal dari beberapa enzim pada produk pangan (Svensson, 1977) Suhu dan waktu mempunyai peranan yang sangat penting dalam menginaktivasi enzim. Waktu yang dibutuhkan untuk menginaktivasi polyphenol oksidase dengan proses panas, sangat bervariasi tergantung dari produk pangannya. Proses blanching pada suhu 100°C selama 3 menit dan suhu 94°C selama 5 menit dibutuhkan untuk mengurangi jumlah blackspot pada produk pangan (Ma et al. 1992).
31
Penilaian
mutu
secara
subjektif
(organoleptik)
selain
penampakan adalah tekstur, aroma dan rasa. Tekstur yang paling bagus pada udang masak adalah elastis, kompak dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak tekstur, tekstur menjadi tidak bagus dan rusak. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak bagus bagi tekstur udang. Rasa udang masak, tergantung pada konsentrasi bumbu yang telah dicmpurkan sebelum proses pemasakan (AOAC, 2000) Uji Mikrobiologi merupakan salah satu penilaian mutu secara objektif. Bertambahnya jumlah bakteri merupakan gejala penurunan mutu produk dan berhubungan dengan derajat mutu kesegaran (Ilyas, 1983). Gejala penurunan mutu akibat dari kontaminasi mikroba pada udang, biasanya terjadi ketika masih dalam tambak (lingkungan), selama panen atau setelah panen (transportasi, distribusi, produksi dan penyimpanan). Pembawa kontaminasi dapat berupa kontainer udang, air cucian udang, air tambak, hewan peliharaan, insekta, dan hewan penganggu lainnya, atau tangan dan baju manusia. Bakteri pada udang yang termasuk kategori patogen adalah Salmonella, Vibrio cholera, E. coli, Coliform, Staphylococcus aureus, dan Listeria monocytogenes. Salah satu metode yang biasa digunakan sebagai indikator mikrobiologi pada udang adalah Total Plate Count (TPC). TPC dapat dijadikan perkiraan kondisi sanitasi secara umum. Selain TPC analisa yang digunakan sebagai indikator sanitasi adalah analisa fecal coliform dan Listeria monocytogenes. Penghitungan jumlah koliform dan E. coli pada makanan merupakan faktor penting dalam kualitas dan keamanan produk. Indikator E. coli pada makanan menunjukkan kualitas sanitasi pada pengolahan pangan dan sanitasi air proses. Bakteri koliform sudah terbukti sebagai indikator fekal pada air. Kedua bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang secara umum ada didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Pada dasarnya, tidak terdapat indikasi
32
bahwa seafood merupakan sumber utama infeksi E. coli. Infeksi yang ditemukan pada seafood berhubungan dengan kontaminasi atau penanganan pangan dalam kondisi yang tidak higiene. E. coli dan Coliform yang terdapat di dalam bahan makanan dapat dikurangi jumlahnya dengan pemasakan hingga suhu diatas 800 C, serta suhu pusat udang setelah pemasakan 70°-75°C, mencegah kontaminasi silang setelah pemasakan dan mencegah pekerja yang sedang sakit berada dalam area produksi (Huss, 2006). Koliform fekal seperti E. coli mempunyai serotipe yang menyebabkan diare pada manusia dan disebut E. coli enteropatogenik. E. coli enteropatogenik dibedakan atas 2 group, group pertama terdiri dari strain yang bersifat patogenik tetapi tidak dapat memproduksi toksin sedangkan yang kedua terdiri dari strain yang memproduksi enterotoksin dan menyebabkan gejala enteroksigenik. Koliform adalah bakteri berbentuk batang pendek yang dapat hidup pada kondisi aerob dan anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, bersifat gram negatif dan dapat membentuk laktosa dengan membentuk gas. Koliform fekal termasuk group koliform yang mampu tumbuh pada suhu antara 44.5°C - 45°C (Fardiaz, 1983) Dalam pengolahan pangan, mikroba patogen seperti E. coli sangat berbahaya dan harus dikendalikan agar produk pangan tersebut aman dikosumsi. Salah satu proses yang dapat mengendalikan mikroba patogen yaitu dengan proses pemasakan. Proses pemasakan bukan bertujuan untuk mengeliminasi spora mikroba patogen. Proses pemasakan hanya merusak sel vegetatif dari mikroba patogen sampai level aman (FDA, 2001). Mikroba patogen yang menjadi titik kritis pada proses pemasakan adalah Listeria monocytogenes. Listeria monocytogenes adalah mikroba patogen yang paling tahan terhadap panas dan bukan mikroba yang berspora. Menghilangkan Listeria monocytogenes dengan menggunakan prisip 6D (mereduksi 6 kali total mikroba) sangat dibutuhkan dalam proses pemasakan. Mikroba patogen lainnya yang tahan terhadap panas dan tidak berspora adalah
33
Salmonella (FDA, 2001). Dari tabel 1 terlihat bahwa Eropa Comission (EC, 2005) mensyaratkan Staphilococcus aureus mempunyai nilai m sebesar 100 cfu /g sedangkan nilai M pada Staphilococcus aureus adalah 1000 cfu /g saat produk selesai diolah. E. coli mempunyai nilai m sebesar 1 cfu/g sedangkan nilai M sebesar 10 cfu /g saat produk selesai diolah. Salmonella negative/25 g selama produk beredar di pasaran sedangkan Listeria monocytogenes negative/25 g sebelum produk didistribusikan dari pabrik dan 100 cfu/g saat produk beredar di pasaran. Nilai m adalah batas minimum mikroba pada produk yang masih dapat diterima. Produk dinilai sangat baik apabila berada dibawah nilai m. Sedangkan nilai M adalah batas maksimum mikroba pada produk yang masih layak dikonsumsi. Produk tidak dapat dikonsumsi jika jumlah mikroba lebih dari nilai M Standar
dari
International
Commision
On
Microbial
Specification for Food Standards (ICMSF, 1996) juga menetapkan batas yang masih dapat diterima untuk udang masak beku adalah TPC maksimal 106 cfu/g, Staphilococcus aureus 100 cfu /g, Total Coliform 3 MPN/g, E. coli 25 cfu /g, Salmonella dan Listeria monocytogenes negative/25 g, Secara lebih rinci peraturan dari EC dan dari ICMSF berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini. Tabel 1. Standar Udang Masak Beku (EC, 2005)
34
Keterangan: n
: jumlah sampel yang diperiksa
c
: jumlah sampel yang tidak memenuhi syarat
cfu
: colony forming unit (jumlah bakteri pembentuk koloni)
Tabel 2. Standar Udang Masak Beku (ICMSF, 1996) Bakteri
Standar Udang masak
Total Aerobic Plate Counts
106 cfu /g
Staphilococcus aureus
100 cfu /g
Total Coliform
3.0 MPN / g
Escherchia coli
25 cfu/g
Salmonella
Negative/ 25 g
Listeria monocytogenes
Negative/ 25 g
B. TEKNOLOGI PEMASAKAN 1. Proses Termal Pada Produk Pangan Proses pemanfaatan panas yang mempelajari hubungan antara pemanasan dengan optimasi proses terutama dari segi keamanan pangan dan nilai gizinya adalah proses termal. Secara umum, beberapa jenis proses termal yang memanfaatkan panas adalah pengalengan, pemanggangan, penggorengan, pateurisasi dan sterilisasi. Beberapa jenis proses termal tersebut dibedakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai pada produk akhir. Pasteurisasi dan sterilisasi bertujuan untuk membunuh mikroba dan menginaktifkan enzim sampai level aman, tetapi kerusakan atribut mutu pada produk akhir diupayakan seminimal mungkin. Selain itu pemasakan juga bertujuan untuk meningkatkan aroma, rasa serta memperbaiki tekstur, nilai gizi dan daya cerna produk seperti pada proses pemanggangan dan penggorengan (Harikedua, 1992). Aplikasi proses termal pada udang masak dibedakan menjadi lima yaitu sterilisasi, pasteurisasi, pengasapan, pengeringan dan
35
pemasakan.
Perbedaan
kelima
variasi
proses
termal
tersebut
didasarkan pada kestabilan penyimpanan dan keamanan udang. Keamanan udang masak dipengaruhi oleh ketahanan bakteri terhadap proses termal pada produk akhir. Proses sterilisasi pada udang didesain untuk membunuh spora dan bakteri yang tahan terhadap pemanasan sehingga produk hasil sterilisasi dapat stabil pada suhu ruangan. Proses termal yang kedua yaitu pengeringan yang bertujuan untuk mencegah germinasi dan pertumbuhan spora bakteri. Pengasapan pada udang adalah bentuk dari pengeringan, perbedaanya pada pengasapan dapat menambah flavor pada udang. Produk hasil pengeringan dan pengasapan stabil disimpan pada suhu refrigerasi. Proses termal yang ke empat pada udang adalah pasteurisasi yang bertujuan untuk membunuh sel vegetatif dan harus disimpan pada refrigerasi untuk mengontrol pertumbuhan mikroba selama penanganan dan penyimpanan. Sedangkan proses termal yang sering digunakan dalam pengolahan udang adalah pemasakan. Proses pemasakan adalah suatu proses yang bertujuan untuk mengoptimalkan panas agar dapat merusak sel vegetatif sampai level yang dapat diterima untuk keamanan pangan (Otwell, S, 2006). Secara rinci, termal proses yang digunakan untuk udang masak berdasarkan target reduksi mikroba dan penyimpanannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Proses Termal Pada Pemasakan Udang (Otwell, S, 2006) Proses Termal Target Mikroba Penyimpanan Sterilisasi
Spora
Suhu Ruang
Pengeringan
Spora atau sel vegetatif
Suhu Ruang atau Refrigerasi
Pasteurisasi
Sel vegetatif
Suhu Refrigerasi
Pengasapan
Sel vegetatif
Pemasakan
Sel vegetatif
Suhu Refrigerasi Suhu Refrigerasi dan Frozen
Berdasarkan besarnya suhu, proses pemanasan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu blanching, pasteurisasi dan
36
sterilisasi. Blanching adalah pemanasan awal dengan suhu lebih kecil dari 100°C selama kurang lebih 10 menit, pasteurisasi adalah pemanasan pada suhu lebih kecil atau sama dengan 100°C pada selang waktu tertentu tergantung pada jenis bahan. Sedangkan sterilisasi adalah pemanasan pada suhu diatas 100°C dalam waktu yang relatif lama sehingga mikroba telah mati (Toledo, 1991) . Prosedur pemasakan pada produk perikanan menurut AOAC (2000) adalah dengan memanaskan produk sampai suhu pusatnya lebih dari 160° F (70 0C). Sedangkan menurut FDA (2005), aspek penting yang harus diperhatikan dalam proses pemasakan adalah lamanya siklus pemasakan; suhu steam, air atau media lain yang digunakan sebagai sumber panas; distribusi panas pada mesin; ketebalan produk; suhu pusat bahan pangan sebelum dilakukanya proses pemasakan; ketepatan
menggunakan
thermocouple;
dan
ketepatan
dalam
memonitoring waktu pemasakan.Waktu pemasakan sendiri tergantung dari ukuran produk dan peralatan pemasak yang digunakan. Proses pemasakan dapat mengubah atribut mutu produk, mengubah tekstur, dan karakter fisik produk serta dapat menyebabkan susutnya berat suatu
produk
pangan
karena
penurunan
air
yang
terikat,
terdenaturasinya protein, dan lain sebagainya tergantung karakteristik produk pangan. Pada proses pengolahan pangan dengan panas, optimasi proses selalu dibutuhkan untuk mendapatkan produk dengan kualitas terbaik dengan proses yang efisien. Pengaruh panas dan waktu yang semakin tinggi akan memberikan efek pembunuhan mikroba yang semakin besar atau kurva pertumbuhan mikroba yang semakin kecil. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi suhu dan lama waktu kontak dengan panas atau semakin tinggi suhu dan waktu proses maka akan semakin besar pula kerusakan zat gizinya. Pemilihan waktu dan suhu yang tepat untuk proses pengolahan pangan dengan pemanasan disebut sebagai optimasi proses (Wirakartakusumah et al, 1989). Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 4.
37
Gambar 4. Pemilihan kondisi optimum dalam proses pemanasan (Wirakartakusumah et al, 1989) Dalam proses pengolahan dengan panas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan mikroba terhadap panas antara lain sifat genetik, pengaruh lingkungan atau media seperti pH, gula, nutrien lain serta fase pertumbuhan mikroba dan faktor lainnya. Secara umum pola pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5. Pola pertumbuhan mikroba dan daya tahannya terhadap panas (Wirakartakusumah, et al, 1989) Dari Gambar diatas, pada fase A-B mikroba inaktif (tidak tumbuh) dan pada fase ini mikroba tahan terhadap panas, kemudian sampai pada fase tertentu dimana kondisi ini memungkinkan mikroba tumbuh dengan cepat yaitu pada fase C-D. Pada fase ini, umumnya disebut sebagai fase log dimana mikroba paling sensitif atau peka terhadap panas sehingga mikroba mudah rusak oleh perlakuan panas. Pada tahap selanjutnya nutrien yang tersedia telah terbatas atau mulai
38
habis sehingga perkembangan mikroba mulai menurun percepatannya sehingga mencapai fase pertumbuhan tetap atau stasioner (E-F). Pada fase ini umumnya mikroba tahan terhadap panas. Pada fase ini selain nutrien sudah terbatas, faktor lain yaitu terjadinya akumulasi produkproduk penghambat. Akhirnya sampai pada suatu fase dimana kematian lebih cepat dari pertumbuhannya, fase ini disebut fase kematian. 2. Proses Pemasakan Udang CPDTO (Cooked Peeled Deveined TailOn) 2.1. Udang CPDTO CPDTO adalah produk udang masak yang diperoleh dengan mengupas kulit udang kecuali bagian ekor kemudian membuang ususnya dan membelah punggungnya sepanjang segmen / ruas ke 2 sampai ruas ke 5. Proses Pemasakan udang CPDTO pada PT Centralpertiwi Bahari ini dimulai dari penerimaan udang mentah (raw material), kemudian dilakukan pencucian dengan klorin 20-30ppm. Tahap selanjutnya adalah penyortiran berdasarkan ukuran dan grade udang dan dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan kemudian dicuci menggunakan klorin 20-30ppm, dipotong kepala dan dicuci kembali menggunakan klorin 20-30 ppm. Setelah dicuci dengan klorin lagi, kemudian akan dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh PPIC (Plan Production Inventory Control). Setelah dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit, pembuangan usus sampai pembelahan pada punggung udang, setelah itu dikoreksi keseragaman ukuran udang dan ada atau tidaknya kista, kemudian direndam dengan menggunakan carnal® (sodium bifosfat) 2,5 % dan garam 2%. Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman dengan larutan bumbu. Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam air kualitas pertama (first quality water) yang telah ditambahkan serpihan es (flake ice) dan
39
garam 2% sampai suhu -5°C. Suhu -5°C ini berfungsi sebagai shock chilling yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku karena beban refrigerasi dapat dikurangi. Ada dua jenis air yang digunakan pada PT. CPB yaitu air kualitas pertama (first quality water) dan air kualitas kedua (second quality water). Air kualitas pertama (first quality water) adalah air yang berasal dari air bawah tanah (deep well) pada kedalaman 180250m. Sedangkan air kualitas kedua (second quality water) adalah air yang berasal dari sungai atau rawa-rawa yang ada di sekitar water treatmen plant. Air kualitas pertama digunakan sebagai air yang kontak langsung dengan udang misalnya air pencuci udang, perendaman udang dengan larutan bumbu, dll. Sedangkan second quality water digunakan sebagai sanitasi lantai, peralatan dan toilet. Proses pembekuan dilakukan setelah proses pemasakan selesai. Proses pemnekuan dilakukan dengan menggunakan sistem tunnel freezer, penimbangan, glazing, di kemas dan diberi label, tahap akhir adalah penyimpanan di cold room. Secara lebih rinci diagram alir proses pemasakan ini, dapat dilihat pada Gambar 6 Penerimaan ↓ Pencucian menggunakan klorin 20-30 ppm ↓ Penyortiran (Ukuran dan Grade) ↓ Penimbangan ↓ Pencucian menggunakan klorin 20-30 ppm ↓ Potong kepala ↓ Pencucian menggunakan klorin 20-30 ppm ↓ *
40
Pengelompokkan ↓ Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung ↓ Koreksi ↓ Treatmen dengan carnal® dan garam ↓ Pemasakan ↓ Pendinginan ↓ Pembekuan dengan tunnel freezer ↓ Penimbangan ↓ Glazing ↓ Pengemasan dan Pelabelan ↓ Penyimpanan dalam cold room Gambar 6. Digram Alir Proses Pemasakan CPDTO (SSOP, PT. CPB) 2.2. Pemasakan dengan LAITRAM® Proses
pemasakan
pada
PT.
Centralpertiwi
Bahari
menggunakan 2 jenis mesin pemasak yaitu mesin pemasak metode konvensional dan mesin pemasak Laitram® cooker. Keduanya memakai steam sebagai sumber panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan konveksi dalam prosesnya. Pindah panas diartikan sebagai pemancaran suatu energi dari suatu daerah ke daerah lain karena perbedaan suhu yang terjadi antara kedua daerah tersebut. Terdapat tiga cara panas dipindahkan dari atau kedalam bahan pangan yaitu secara konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi adalah pindah panas didalam molekul atau dari suatu molekul kedalam molekul lain dengan saling menukarkan energi kinetik antara molekul tanpa
41
ada pergerakan dari molekul tersebut sedangkan konveksi adalah energi yang dipindahkan dengan kombinasi antara konduksi panas dengan penyimpanan panas dan adanya pencampuran keduanya. Perpindahan panas secara konveksi dikaitkan dengan adanya bahan secara curah (bulk) dari bahan yang bersuhu tinggi ke bahan yang bersuhu lebih rendah. Cara pindah panas yang terakhir adalah radiasi dimana energi dipindahkan dalam bentuk gelombang elektromagnet yang dipancarkan oleh bahan yang mempunyai energi tersebut (Wirakartakusumah et al, 1989) Pemasakan yang baik yaitu mengikuti kurva parabola pemanasan dimana awal dimulainya pemasakan terjadi proses pindah panas secara konveksi (perpindahan panas dari udara ke permukaan produk yang dipanaskan), kemudian dilanjutkan dengan puncak kurva yaitu awal dimulainya proses pendinginan dan proses pindah panas secara konduksi (pindah panas dari permukaan produk ke titik terdingin produk) (Anonim c, 2004). Secara lebih rinci, kurva pemanasan dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini
Gambar 7. Kurva Pemasakan (Anonim c, 2004) Kurva Pemanasan diatas tersebut dijadikan pedoman dalam pemilihan variasi suhu yang digunakan pada mesin Laitram® cooker. Laitram® cooker yang digunakan adalah jenis
42
FC200 (Forced Convection 200) dengan menggunakan sistem konveksi paksaan. Mesin Laitram® cooker secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 8 sebagai berikut
Gambar 8. Mesin Laitram ® FC 200 (Anonim a, 2001) Laitram®
cooker
diharapkan
akan
meningkatkan
rendemen karena suhu pusat udang tidak jauh berbeda dengan suhu pada permukaan udang sehingga komponen yang hilang selama proses pemasakan akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan proses pemasakan metode konvensional, selain itu lamanya proses pemasakan dalam mesin Laitram® akan membuat produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran suhu diatas pertumbuhan bakteri. Laitram® juga akan memberikan penampakan, tekstur dan rasa yang lebih bagus dibandingkan dengan mesin konvensional (Anonim a, 2001). Mesin konvensional menggunakan suhu pemasakan 99-100°C dengan waktu yang lebih singkat yaitu 120 detik (2 menit) untuk produk CPDTO 31-40, hal ini akan mengakibatkan produk overcook dan cooking loss yang tinggi. Perbandingan udang masak pada metode konvensional dengan mesin Laitram® secara lebih rinci disajikan pada Gambar 9 berikut ini.
43
Gambar 9. Perbandingan proses pemasakan mengunakan Laitram® dengan mesin konvensional (Laitram® Machinery, 2001) Pada Sistem konveksi paksaan, pola aliran fluida disekeliling permukaan yang dipanaskan ditentukan oleh gaya eksternal seperti pompa atau kipas (Toledo, 1991). Pada mesin Laitram® gaya eksternal pada mesin berasal dari blower yang akan mensirkulasikan panas sehingga panas yang didapatkan akan terdistribusi dengan baik. Sirkulasi panas pada mesin Laitram® dengan sistem konveksi paksaan dapat dilihat pada gambar 10.
Blower
Gambar 10. Sirkulasi panas pada mesin Laitram® oleh blower (Laitram® Machinery, 2001)
44
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang mentah PDTO (Peel Deveined Tail-on) sebanyak 30 kg/hari yang digunakan untuk penelitian pendahuluan kemudian PDTO 100 kg untuk scale-up, air, es, garam, carnal® (sodium bifosfat), plastik besar dan kecil. Media untuk analisis mikrobiologi meliputi Lauryl Trytose Broth (LTB) dan Xylose Lysine Desoxycholate (XLD) agar, Lisin Iron Agar (LIA) untuk mengidentifikasi Salmonella Tripticase Soy Agar dengan 0.6% yeast extract (TSYAE), LEMBA (levine eosin methylene blue agar) untuk analisis E. coli, Palcam agar, Univesity of vermont (UV-M 1 dan UV-M 2) untuk Listeria monocytogenes, TIN -0%, Methyl Red, Voges Proskauer, Simmons Citrate Agar (SCA), alkohol 70%, akuades. 2. Alat Mesin Laitram® FC200, 15 baki, timbangan, thermometer digital yang mempunyai sensitifitas terhadap panas dan dingin, Datatracer (incl. Notebook), keranjang kecil 10, keranjang besar 5, pisau, erlenmeyer, stomacher, mikropippet 1ml dan 0.1 ml, inkubator 370C dan 550C, bunsen, cawan petri, sentrifuse, stick, bulb, vortex, pipet mikro, ose B. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian ini bertujuan untuk dapat menganalisis produk berdasarkan cooking loss dan blackspot serta mengevaluasi mutu udang secara organoleptik, mikrobiology dan kimia. Untuk itu penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan yaitu penelitian pendahuluan sebagai tahap awal analisis produk berdasarkan cooking loss dan blackspot kemudian
45
penelitian lanjutan untuk mengevaluasi mutu udang dan scale-up dari hasil kombinasi suhu dan waktu terbaik pada penelitian sebelumnya. 1. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian 5 variasi suhu pada mesin Laitram®. Pemilihan 5 variasi suhu ini didasarkan pada penelitian tim A&I (Application and Improvement) PT.CPB yang telah melakukan penelitian awal menggunakan kisaran suhu 85-90°C. dan menghasilkan presentase blackspot yang masih tinggi Proses pemasakan yang baik adalah yang mengikuti kurva parabola, dimana saat kurva mencapai titik puncak diharapkan mikroba indikator keamanan pangan dapat dirusak oleh panas, setelah itu proses pemasakan turun sampai pada proses pendinginan. Oleh karena itu, maka digunakan variasi kenaikan suhu setiap zona. Batas maksimal kenaikan suhu pada mesin Laitram® sebesar 1°C. Penelitian ini juga digunakan untuk membandingkan efektifitas antara suhu yang sama setiap zona dengan suhu yang ditetapkan dengan kenaikan 1°C setiap zonanya. Dari 5 variasi suhu ini, ditetapkan waktu pemasakan terbaik yang menghasilkan udang siap saji berkualitas, aman dan efisien berdasarkan lamanya waktu yang digunakan, cooking loss dan blackspot. Udang disusun pada baki (6 baris dan 12-13 ekor/ baris). Untuk mengetahui distribusi panas pada mesin, dilakukan pengamatan pada 2 sisi (kanan dan kiri) pada setiap konveyor. Zona pada mesin dan 5 variasi suhu yang ditetapkan berdasarkan 3 zona pada mesin Laitram® cooker, secara rinci dapat dilihat pada Skema 1 dan Tabel 4
46
Tabel 4. Lima variasi suhu pada 3 zona Pengaturan Zona 1 Zona 2 90 90 A 91 91 B 90 91 C 91 92 D 92 93 E
Zona 3 90 91 92 93 94
2. Penelitian lanjutan Waktu pemasakan terbaik yang telah ditetapkan pada penelitian pendahuluan,
kemudian
dilakukan
penelitian
lanjutan
untuk
mengevaluasi mutu dengan melakukan uji kimia yang terdiri dari uji kadar air dan kadar garam, uji mikrobiologi dan uji organoleptik. Uji kimia (kadar air dan kadar garam) membutuhkan 10 ekor udang (120 gr). Sedangkan untuk pengujian kadar air, membutuhkan 5 gr sampel setiap ulangan dengan menggunakan metode gravimetri. Uji kadar garam menggunakan metode argentometri. Uji kadar garam ini membutuhkan 3 gr udang setiap ulangan. Uji mikrobiologi yang dilakukan meliputi pengujian total mikroba, uji E. coli, uji kualitatif Salmonella dan uji kualitatif Listeria monocytogenes. Uji mikrobiologi dilakukan sebanyak 4 kali ulangan, setiap uji dan setiap ulangan diambil 10 ekor udang (120 gr). Pengujian total mikroba pada air dilakukan dengan mengambil air pendingin yang digunakan untuk merendam udang setelah proses pemasakan sebanyak 50 ml. Secara lebih rinci, pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5. Metode pengambilan sampel Uji kimia (ekor)
Uji rganoleptik (ekor)
Uji mikrobiologi (ekor)
Air cooling mikrobiologi (ml)
10
5 x 10
5 x 10
5 x 50
10
5 x 10
5 x 10
5 x 50
10
5 x 10
5 x 10
5 x 50
10
5 x 10
5 x 10
5 x 50
10
5 x 10
5 x 10
5 x 50
47
3. Scale-Up Scale-up ini dilakukan berdasarkan kombinasi waktu dan suhu terbaik pada penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan pada kapasitas produksi. Secara rinci diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 sedangkan metode pemasakan udang CPDTO dapat dilihat pada Gambar 12. 1. Penelitian Pendahuluan o Mencari waktu (t) (3 -320’’) pada variasi suhu yang telah ditetapkan (T)
2. Penelitian Lanjutan o Dari waktu terbaik (ta) pada variasi suhu yang telah ditetapkan (T)
3. Scale-up o Dari waktu terbaik (ta) dan suhu terbaik berdasarkan penelitian sebelumnya
Pengamatan 1. % Cooking loss 2. % Blackspot
Pengamatan 1. Uji Organoleptik 2. Uji Mikro 3. Uji Kimia
Pengamatan 1. % cooking loss 2. % Blackspot
Gambar 11. Diagram alir penelitian
48
Gambar 12. Metode Pemasakan Udang CPDTO
49
Metode pemasakan udang CPDTO pada PT. Centralpertiwi Bahari terdiri dari tahapan proses sebagai berikut:
a. Estimasi Waktu Pemasakan Estimasi waktu pemasakan dilakukan saat sebelum proses dijalankan. Waktu yang digunakan adalah 3 menit sampai 3 menit 20 detik, pengambilan waktu tersebut didasarkan pada penelitian tim A&I (Application & Improvement) sebelumnya. Waktu pemasakan yang dianggap tepat dilihat dari parameter mutu dan cooking loss. Parameter mutu disini adalah kematangan produk dan blackspot sedangkan parameter cooking loss dilihat dari kombinasi suhu dan waktu yang tepat untuk menghasilkan % cooking loss terendah atau kurang dari 910% (metode konvensional) b. Menetukan Berat per Baki dan Menghitung Udang Sebelum Proses Pemasakan Pada penelitian ini digunakan ukuran (size) 31-40. yang dimaksud dengan size 31-40 adalah setiap 1 lbs (456,5 g) terdapat 3140 ekor udang. Menentukan berat per baki dilakukan untuk mengetahui berat produk tiap baki agar terjadi keseragaman saat proses pemasakan. Berat udang per baki ini ditentukan dengan menyusun udang size 31-40 didalam baki kemudian menimbang udang yang telah disusun tersebut. Hasil yang diperoleh, dijadikan standar dalam menentukan berat udang per baki. Menimbang
dan
menghitung
udang,
dilakukan
untuk
mengetahui berat udang sebelum proses pemasakan sehingga dapat dihitung cooking lossnya. Setelah menyusun kemudian menimbang udang, maka ditetapkan berat udang per baki ± 2000 g (2 kg). c. Menyusun Udang dalam Baki Menyusun udang dalam baki ini harus disesuaikan dengan ukuran udang yang digunakan. Pada penelitian ini, hasil penyusunan udang dalam baki adalah 5 baris dimana setiap barisnya terisi 14-15
50
ekor udang. Secara lebih lengkap penyusunan udang dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan jenis baki yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 13. Penyusunan udang
Gambar 14. Baki yang digunakan
d. Mengukur Suhu Pusat Udang Sebelum Proses Pemasakan. Mengukur suhu pusat udang sebelum proses pemasakan akan membantu memberikan informasi mengenai energi pemanasan yang akan diterima udang, jika perbedaan suhu pusat udang dengan suhu mesin semakin besar maka energi yang akan diterima udang juga akan semakin besar sesuai dengan hukum pindah panas. Selain itu, suhu udang pada saat proses berjalan, harus dipertahankan ≤ 7°C untuk mencegah terjadinya perubahan warna (diskolorisasi). Standar yang telah ditetapkan PT. CPB sebelum udang masuk ke dalam proses pemasakan yaitu mempunyai suhu pusat (6 – 8)°C, suhu pusat ini diukur menggunakan thermometer (digital thermometer) yang mempunyai sensitifitas terhadap suhu dingin. Setelah berada dalam kisaran suhu yang telah ditetapkan maka proses pemasakan siap untuk dimulai sesuai dengan variasi suhu yang telah ditetapkan
e.
Mengukur Suhu Pusat Udang Setelah Proses Pemasakan Mengukur suhu pusat udang setelah proses pemasakan dilakukan sesaat setelah proses pemasakan berakhir dan sebelum masuk dalam air pendingin (water cooling). Pengukuran suhu pusat udang menggunakan thermometer (digital thermometer) yang mempunyai sensitifitas terhadap suhu panas. Mengukur suhu pusat bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan pada udang. Suhu pusat udang mesin Laitram®
51
berkisar antara 75 - 80°C. Setelah diukur suhu pusat udang, kemudian diambil sampel untuk uji kimia. Cara mengukur suhu pusat udang menggunakan thermometer digital, dapat dilihat pada Gambar 15.
Mengecek suhu pusat udang
Gambar 15. Pengukuran suhu pusat udang dengan menggunakan thermometer yang mempunyai sensitifitas terhadap suhu panas. f. Pendinginan Pendinginan dilakukan dengan merendam udang dalam air dingin. Air yang digunakan adalah air kualitas pertama (first water quality) yang telah diberi kepingan es sampai suhu air ≤ 5ºC setelah suhu pusat udang dalam air pendingin mencapai 6 - 8ºC kemudian diangkat dari air pendingin dan ditiriskan. Suhu pusat udang diukur menggunakan thermometer digital yang memiliki sensitifitas terhadap suhu dingin. thermometer ini mampu memberikan hasil dalam waktu kurang dari 1 menit sehingga proses yang berlangsung akan lebih efisien. Setelah dilakukan pendinginan, maka diambil sampel untuk pengujian mikrobiologi. Cara mengukur suhu pusat udang saat berada pada air pendingin menggunakan thermometer yang mempunyai sensitifitas terhadap suhu dingin, dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Mengukur suhu pusat udang dalam air pendingin
52
g. Penirisan Setelah suhu pusat udang dari air pendingin mencapai 6 - 8ºC kemudian udang ditiriskan selama 3 menit. Penirisan udang dilakukan agar air yang masih terikut didalam udang setelah proses pendinginan, tidak mempengaruhi penimbangan. Penirisan udang dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Penirisan udang
h. Penimbangan dan Penghitungan Udang Menimbang
dan
menghitung
udang
dilakukan
untuk
mengetahui presentase cooking loss. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital sama seperti saat menimbang udang mentah.
i. Pengamatan Pengamatan dilakukan untuk membuat analisis awal sebelum pembekuan. Pengamatan ini dilakukan dengan melihat tingkat kematangan udang, blackspot dan cooking loss, selain itu pengamatan juga dilakukan terhadap ada atau tidaknya cemaran fisik pada udang. Tingkat kematangan udang dapat dilihat dengan melihat tekstur pada daging udang, daging udang yang dikatakan matang mempunyai tekstur kompak dan berwarna putih susu sedangkan tekstur daging udang yang masih mentah, masih terlihat warna daging yang bening, urat masih berwarna biru dan tekstur udang kurang kompak. Tekstur udang yang terlalu masak (overcooked) tekstur tubuhnya tidak kompak
53
lagi dan rusak. Indikasi adanya blackspot dapat dilihat dengan mengamati noda hitam yang terdapat pada bagian ekor udang. Secara lebih rinci, tingkat kematangan udang dan indikasi adanya blackspot dapat dilihat pada Gambar 18
Gambar 18. Tingkat kematangan udang dan blackspot
j. Freezing dan Penyimpanan Proses pembekuan dilakukan dengan mesin pembeku IQF (individually quick freezing). Setelah dilakukan pembekuan, udang dikemas dalam pengemas primer kemudian disimpan dalam coldroom selama 1 hari.
C.METODE ANALISIS Metode analisa dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan yaitu tahap analisis produk dan evaluasi mutu.. 1. Analisis Produk Tahap analisis produk adalah tahap awal untuk mengetahui waktu terbaik pada suhu yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan cooking loss dan blackspot. Dalam tahap ini juga dilihat distribusi panas pada mesin Laitram® cooker dengan cara melakukan pengamatan produk pada 2 sisi mesin yang berbeda. Perhitungan cooking loss dan blackspot secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
54
a. Penghitungan Cooking loss (AOAC, 1995) Udang dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang mentah dengan bobot udang matang terhadap bobot udang mentah (basis basah). Cooking loss = berat udang mentah – berat udang matang berat udang mentah
x 100%
b. Penghitungan Blackspot Blackspot adalah noda hitam hasil reaksi oksidasi oleh enzim dan plimerisasi quinone yang berkompleks dengan asam amino menjadi
melanin.
Penghitungan
blackspot
dapat
dihitung
berdasarkan perbandingan jumlah blackspot dengan jumlah udang yang dianalisis Blackspot = Jumlah udang blackspot
x 100%
Jumlah udang yang dianalisis 2. Evaluasi Mutu Tahap evaluasi mutu dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemasakan terhadap mutu udang baik secara kimia, organoleptik dan mikrobiologi. Secara rinci evaluasi mutu dapat dijelaskan sebagai berikut a. Analisis Kimia a.1. Kadar Air (AOAC, 1995) Wadah kosong dikeringkan dengan oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai berat wadah. Udang sebanyak 5 gram dihancurkan dan dimasukkan kedalam wadah lalu dipanaskan kedalam desikator dan ditimbang beratnya sampai konstan. Kadar air produk ditentukan dengan rumus
55
a.2. Pengukuran kadar garam (AOAC yang telah dimodifikasi,1995) Pengukuran kadar garam didasarkan pada metode argentometri yaitu pada Gambar 19 sebagai berikut : Sampel 3 gr ↓ Diblender dan ditambah aquades 25 ml ↓ Disentrifuse ↓ Ditambah aquades 25 ml ↓ Ditambahkan 2 ml K2CrO4 ↓ Dititrasi dengan AgNO3 (Dari pink menjadi merah bata) Gambar 19. Pengujian kadar garam Dari hasil pengujian, diperoleh volume AgNO3 untuk mengubah warna dari pink menjai merah bata, kemudian kadar garam dapat dihitung sebagai berikut : % Kadar garam = Keterangan : 0.585 = BM garam b. Analisis Mikrobiologi (Bacteriologycal Analisis Method, 2005) b.1. Total Mikroba Sejumlah contoh sebanyak 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki, dimasukkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambah agar cair steril yang telah didinginkan (47-500C) sebanyak 15-20 ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata lalu diinkubasi pada suhu kamar selama 24-48 jam. Koloni yang ada dihitung sebagai total mikroba dengan satuan cfu (coloni forming unit). Jumlah koloni dalam contoh dapat dihitung sebagai berikut :
56
Koloni
= Jumlah koloni per cawan x
(per ml atau per gram)
1 Fp
Fp = Faktor pengenceran
b.2. Uji Escherchia Coli (Bacteriologycal Analisis Method, 2005) Larutan garam fisiologis NaCl 0.85% 200ml, dimasukkan 50g hancuran udang (pengenceran 10-1) diencerkan pada pengenceran10-2, 10-3, dan 10-4 dan pada masing-masing tingkat pengenceran tersebut dipipet sebanyak 1ml kedalam cawan petri steril (duplo). Cawan petri berisi sampel pada berbagai tingkat pengenceran tersebut kemudian dituang dengan media EMBA± 20ml dan diinkubasi pada suhu 35-370C selama 24 jam lalu dihitung koloni yang berwarna gelap dengan sinar hijau metalik. b.3. Uji Kualitatif Salmonella (BAM, 2005) Udang sebanyak 250 g dimasukkan kedalam blender secara aseptis dan ditambahkan larutan garam fisiologis NaCl 250 ml (pengenceran 1: 1) lalu dihancurkan selama 2 menit. Contoh udang yang telah hancur dimasukkan kealam media lactose broth 200ml. Dari media LB yang telah dimasukkan 50 g hancuran contoh udang dipipet 1ml contoh lalu dimasukkan kedalam media SCB 10 ml kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Dari tabung SCB diambil 1 ose dan digores secara kuadran (agar terbentuk koloni yang terpisah) pada Bismuth Sulfite (BS) agar, Xylose Lisine Desoxycholate, dan Hectoen Enteric (HE) agar (masing-masing duplo). Inkubasi HEA, XLD, BSA dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 0C. Koloni tipikal Salmonella pada ketiga media dapat dilihat pada tabel 6 berikut :
57
Tabel 6. Koloni tipikal Salmonella Hectoen Enteric agar (HEA)
Xylose Lysine Desoxycholate
Bismuth Sulfite (BS)
Koloni tipikal Salmonella Warna biru kehijauan, dengan atau tanpa warna hitam ditengahnya, beberapa akan tampak sebagai koloni yang besar, berwarna hitam dan mengkilap ditengahnya atau tampak sebagai koloni yang hampir semuanya berwarna hitam. Warna merah muda dengan atau tanpa warna hitam ditengahnya, beberapa mungkin tampak sebagai koloni yang besar, berwarna hitam mengkilap ditengahnya atau tampak sebagai koloni yang hampir semuanya berwarna hitam. Warna coklat, abu-abu atau koloni hitam, kadang tampak berwarna metalik berkilauan, sekeliling koloni biasanya akan berwarna coklat pada awalnya dan akan menjadi hitam dengan bertambahnya waktu inkubasi, memproduksi so-yang disebut hallow effect.
Jika koloni tipikal Salmonella tidak ada, maka dicari koloni Salmonella yang tidak tipikal sebagai berikut : 1.
Pada HE dan XLD agar, beberapa kultur Salmonella yang tidak tipikal memproduksi koloni kuning dengan atau tanpa warna hitam ditengahnya. Jika koloni yang tipikal tidak muncul setelah inkubasi lagi selama 24 jam, diambil maksimal 3 koloni yang tidak tipikal tersebut.
2. Pada BS agar, beberapa galur yang tidak tipikal memproduksi koloni hijau dengan sedikit atau tanpa dikelilingi warna gelap pada media. Jika koloni yang tipikal tidak terdapat pada BS agar diinkubasi 24 jam, maka jangan diambil koloninya, tetapi inkubasi lagi selama 24 jam. Jika koloni yang tipikal juga belum muncul,
58
maka ambil koloni yang tidak tipikal setelah diinkubasi 48 jam tersebut. Koloni yang dipilih kemudian digores dan ditusuk dengan jarum ose steril pada agar miring TSI, lalu tanpa pembakaran lagi diinokulasikan pada agar miring LIA dengan cara ditusuk dua kali dan digores. Karenalysine decarboxylation harus benar-benar anaerob, maka tusukan pada media LIA harus mempunyai kedalaman 4 cm. Inkubasi agar miring TSI dan LIA dilakukan pada suhu 370C selama 24 jam. Salmonella pada medium TSI secara tipikal akan memproduksi basa (merah) pada goresan miring dan asam (kuning) pada dasar tabung, dengan atau tanpa produksi H2S (kehitaman pada agar). Pada LIA, Salmonella secara tipikal akan memberikan reaksi basa (ungu) didasar tabung. Warna kuning terang pada dasar tabung menunjukkan bahwa reaksi menghasilkan asam (negative). Meskipun demikian, tidak diperkenankan menghilangkan kultur hanya karena kultur akan menghasilkan warna tersebut. Beberapa Salmonella menghasilkan reaksi warna merah bata pada LIA miring. Secara umum skema analisis kualitatif Salmonella disajikan pada gambar 20 berikut Pengkayaan Awal Sampel, 25 g + LB, 225 ML (24 jam , 370C) Pengkayaan Selektif SCB (24 jam, 370C) Isolasi Diagnosa Selektif BS, XLD, HE (24jam, 370C) Konfirmasi Biokimia TSI, LIA (24jam, 370C) Gambar 20. Diagram uji kualitatif Salmonella (BAM, 2005)
59
b.4. Uji kualitatif Listeria monocytogenes (BAM, 2005) Dari larutan contoh (25g sampel dalam 225ml larutan LEB UVM-1 yang sudah diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 300C) diinokulasi 0.1 ml kedalam LEB UVM-2 diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C dan digores pada media Palcam agar lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24-48 jam. Ciri-ciri koloni tipikal Listeria pada media Palcam agar yaitu: berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area hitam. Kultur yang lebih tua akan berwarna hijau dan cekung ditengahnya. Jika L. monocytogenes sudah teridentifikasi pada Palcam agar, langkah pengujian dari Fraserbroth tidak dilakukan. Jika L. monocytogenes tidak teridentifikasi pada media Palcam agar langkah awal, proses dilanjutkan dengan menggores 1 ose contoh dari LEB UVM-2 (yang diinkubasi selama 48 jam) ke media Palcam lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam kemudian diamati koloni tipikal Listeria yang muncul. Dari media Palcam agar diambil 5 koloni yang tipikal kemudian digores pada media TSYAE lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Pengamatan pada media TSYAE dilakukan dengan mengacu pada sistem Henri’s Illumination yang dimodifikasi. Ciri-ciri koloni tipikal pada media TSYAE yaitu berwarna biru atau biru keabu-abuan
c. Uji Organoleptik (Lab PT. CPB, 2002) Uji organoleptik dilakukan menggunakan 8 panelis terlatih dengan metode rating deskriptif. Form pengujian dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai yang paling tinggi adalah nilai yang mempunyai mutu terbaik dari masing-masing atribut. Nilai yang paling baik berdasarkan uji scoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai 5. Atribut uji dan sistem penilaian adalah sebagai berikut
60
Aroma 5 : Bau spesifik udang masak 4 : Bau netral 3 : Bau berubah dari netral/mulai timbul bau amonia 2 : Bau amoniak 1 : Bau busuk Warna daging 5 : Warna kulit terang/cerah, warna daging putih susu 4 : Warna kulit sedikit pudar 3 : Warna daging masih ada warna biru (indikasi mentah) 2 : Warna kulit pudar, terjadi dehidrasi (spot putih) 1 : Warna kulit pudar, blackspot Tekstur 5 : Elastis, kompak, padat, kenyal 4 : Elastis, kompak, kurang padat 3 : Elastis, agak berair 2 : Lunak/lembek 1 : Membubur, lembek sekali dan sangat lunak Rasa 5 : Asin-Manis 4 : Dominan asin 3 : Dominan manis 2 : Hambar, sedikit asam 1 : Pahit, sepat
61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisa Produk
a. Optimasi Suhu dan waktu pemasakan Pemasakan ini dilakukan pada 5 variasi suhu yaitu suhu A (90,90,90), B (91, 91, 91), C (90, 91, 92), D (91, 92, 93) dan suhu E (92, 93, 94). Variasi suhu ini ditetapkan berdasarkan kurva pemanasan, dimana proses pemasakan yang baik yaitu mengikuti kurva pemanasan yang berbentuk parabola (Anonim c, 2004) sehingga dipakai kenaikan suhu setiap zona. Pada mesin Laitram® cooker, kenaikan suhu setiap zona maksimum sebesar 1°C. Sehingga kombinasi kenaikan suhu yang digunakan pada suhu C, D dan E sebesar 1°C. Waktu pemasakan udang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan dan suhu pusat udang setelah pemasakan. Prosedur pemasakan menurut AOAC (2000) adalah dengan memanaskan produk sampai suhu pusatnya lebih dari 160 ° F (70 0
C) karena pada suhu pusat tersebut atribut mutu organoleptik
maupun mikrobiologinya dapat dikatakan optimum. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Lampiran 2a, 2b, 2c, 2d dan 2e), suhu pusat pada penelitian ini berkisar antara (74 – 81)°C sehingga dapat dikatakan telah memiliki nilai rata-rata sesuai dengan peraturan AOAC. Tingkat kematangan udang dapat diketahui secara visual yaitu dengan melihat keadaan udang (usus yang biru sudah berubah menjadi merah, warna daging putih susu dan sudah tidak ada warna daging yang bening, tekstur kompak). Kombinasi perlakuan suhu dilakukan untuk mendapatkan waktu masak terbaik yaitu waktu masak paling singkat dan mampu menghasilkan produk dengan rendemen dan mutu yang optimum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa waktu masak udang terbaik untuk suhu A adalah 3’20 menit dan pada suhu B, C, D dan E
1
adalah 3’15 menit. Secara lebih lengkap, data pemilihan waktu terbaik berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan diatas disajikan pada Lampiran 2a, 2b, 2c, 2d, 2e Pindah panas yang terjadi adalah secara konduksi dan konveksi. Pindah panas yang terjadi pada saat proses pemanasan udang berasal dari steam yang disirkulasikan melalui blower. Proses pindah panas yang menggunakan gaya eksternal dalam mensirkulasi aliran panasnya disebut sebagai konveksi paksaan. Hukum pindah panas konveksi menjelaskan bahwa jumlah panas yang dihasilkan berbanding lurus dengan koefisien pindah panas, luas penampang dan perbedaan suhu. Semakin besar koefisien pindah panas, luas penampang dan perbedaan suhu maka jumlah energi kalor yang dihasilkan akan semakin besar (Wirakartakusumah et al, 1989). Hal ini yang mendasari penetapan suhu pusat udang pada range 6-8°C sebelum pemasakan, sehingga akan menghasilkan perbedaan suhu yang tinggi dan energi kalor yang semakin besar. Menurut FDA (2005) penanganan udang selama proses berjalan, sebaiknya berada pada kisaran suhu ± 7°C untuk mencegah terjadinya perubahan warna (discolorisasi) selama proses berjalan.
b. Pengaruh suhu pemasakan terhadap cooking loss. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu, semakin tinggi pula cooking lossnya. Semakin besar energi kalor yang dihasilkan maka akan semakin besar pula perbedaan berat udang basah dan udang kering akibat dari proses
2
pemanasan sehingga cooking loss yang dihasilkan pun akan semakin meningkat. Pada diagram dibawah ini dapat diketahui pengaruh kenaikan suhu dengan cooking loss berdasarkan perbedaan sisi. Perbedaan sisi dilakukan untuk mengetahui distribusi panas pada mesin. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 21. Dari diagram batang tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 3a).
Gambar 21. Diagram pengaruh suhu terhadap rata-rata cooking loss. Dari diagram batang dapat dilihat bahwa dengan naiknya suhu pemasakan, maka akan naik pula cooking loss, hal ini dapat di perjelas dari hasil uji lanjut LSD yang memberikan nilai 0.001< 0.05. Menurut Zeuthen et al (1987) semakin singkat waktu yang diberikan pada proses pemasakan, maka proses keluarnya air dan zat-zat gizi lain seperti vitamin, protein dan mineral dapat ditekan. Hal ini disebabkan oleh proses terputusnya ikatan hidrogen pada air dan menurunnya jumlah ikatan rata-rata molekul air dalam unsur yang terlepas dari bahan pangan dapat dipersingkat sehingga tidak banyak pula zat-zat gizi yang ikut keluar bersamanya. Pengaruh suhu pemasakan terhadap cooking loss seperti yang terlihat pada diagram batang diatas menunjukkan bahwa cooking loss pada sisi sebelah kanan dan kiri memberikan hasil yang cukup berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa distribusi
3
panas didalam mesin kurang merata. Kurang meratanya distribusi panas disebabkan karena sistem blower yang digunakan sebagai pengatur sirkulasi panas yang terdapat pada mesin, berada disisi sebelah kanan sehingga distribusi panas menjadi kurang bagus, hal ini terlihat dari cooking loss yang dihasilkan setiap sisi pada perlakuan suhu yang sama mempunyai nilai yang berbeda. Menurut FDA (2005), aspek penting yang harus diperhatikan dalam proses pemasakan adalah lamanya siklus pemasakan; suhu steam, air atau media lain yang digunakan sebagai sumber panas; distribusi panas pada mesin; ketebalan produk; suhu pusat bahan pangan sebelum dilakukanya proses pemasakan; ketepatan menggunakan thermocouple; dan ketepatan dalam memonitoring waktu pemasakan
c. Pengaruh suhu dan waktu pamasakan terhadap munculnya blackspot Penyebab utama blackspot adalah reaksi oksidasi oleh enzim dan polimerisasi dari quinones yang berkompleks dengan asam amino phenolic tyrosine menjadi melanin (warna hitam). Pada proses pemasakan, kurang matang dan kurang meratanya distribusi panas dapat menyebabkan blackspot, hal ini dapat ditunjukkan dari pengamatan secara visual, yaitu jika udang masih ada indikasi mentah maka dapat dipastikan timbulnya blackspot. Suhu pemasakan yang kurang juga dapat menyebabkan timbulnya blackspot, hal ini dapat dilihat perbedaanya jika menggunakan proses
pemasakan
metode
konvensional
(99ºC)
dengan
menggunakan waktu ± 2 menit, blackspot tidak pernah ditemukan. Sedangkan
prinsip
dari
mesin
Laitram®
adalah
dengan
menggunakan suhu dibawah 95ºC dengan waktu ± 3 menit. Menurut Vamos dan Vigyazo (1981) semakin rendah suhu yang digunakan untuk mendestruksi 90 % aktivitas katalitik suatu enzim, maka waktu yang diperlukan juga akan semakin lama.
4
Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap munculnya blackspot dapat dilihat dari diagram batang dibawah pada Gambar 22. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pembedaan sisi
R a t a - R a t a B la c k s p o t ( % )
digunakan untuk mengetahui distribusi panas pada mesin.
0.0100
0.0090 0.0071
0.0080 0.0060
0.0090 0.0067
0.0051
kanan
0.0040
0.0037
0.0040
kiri
0.0020 0
0
0
0.0000 Suhu A (90,90,90)C Suhu B (91,91,91)C Suhu C (90,91,92)C Suhu D (91,92,93)C Suhu E (92,93,94)C Perlakuan Suhu
Gambar 22. Pengaruh suhu terhadap munculnya blackspot Dari diagram batang dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu akan memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.007) terhadap hilangnya blackspot hal ini dapat diperjelas dari hasil uji statistik korelasi (Lampiran 3b) yang nilainya -0,212, nilai negatif menunjukkan bahwa dengan naiknya suatu komponen, berarti akan menurunkan nilai komponen yang lain sedangkan nilai 0,212 lebih besar dari 0,05 berarti nilai tersebut menunjukkan hubungan yang kuat. Dalam hal ini komponen yang mengalami kenaikan adalah suhu dan yang menurun adalah blackspot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan menaikkan suhu maka akan dapat mengurangi
nilai
blackspot.
Suhu
terbaik
yang
dapat
menghilangkan blackspot adalah suhu E (92,93,94)°C sampai 0%. Dapat dilihat juga pada diagram batang bahwa perbedaan blackspot pada sisi sebelah kanan dan kiri memberikan hasil yang fluktuatif.
5
Hal ini menggambarkan juga bahwa distribusi panas didalam mesin kurang merata.
2. Evaluasi Mutu a. Pengaruh proses pemasakan terhadap kadar air dan kadar garam Kadar air yang diukur adalah kadar air dengan basis basah. Kadar air sebelum pemasakan adalah 78% sedangkan yang diperoleh setelah proses pemasakan dari ke 5 suhu berkisar 74.375.3%. Secara lebih rinci, nilai rata-rata kadar air pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 7 Tabel 7. Nilai rata-rata uji kadar air. Produk Udang tanpa kepala PDTO sebelum perendaman PDTO yang telah direndam dengan carnal® dan garam PDTO sebelum cooling suhu A (90,90,90) suhu B (91, 91, 91) suhu C (90, 91, 92) suhu D(91, 92, 93) suhu E (92, 93, 94)
% KA (BB) 73.8 72.73 78 75.33 75.16 74.9 74.68 74.32
Nilai-nilai kadar air berikut ulangannya secara lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 4a. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa kadar air udang pada proses pemasakan relatif tidak berbeda nyata. Hasil analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kadar air dengan perbedaan suhu dan waktu tidak berbeda nyata (Lampiran 3c). Hal ini berarti perlakuan suhu dan waktu tidak berpengaruh terhadap kadar air. Penurunan kadar air 3- 4 % ini dapat digolongkan dalam kategori bagus karena diharapkan yang hilang selama pemasakan adalah kadar air. Tetapi terlalu banyak air yang keluar dari proses
6
pemasakan udang juga tidak bagus karena akan meurunkan rendemen sehingga biaya produksi bertambah Kadar garam diukur dengan metode argentometri dan menghasilkan kadar garam sebelum pemasakan adalah 1.59% dan kadar garam rata-rata setelah pemasakan sebesar 1.34%. Nilai-nilai hasil pengukuran kadar garam, dapat dilihat pada tabel 8
Setelah mengetahui
cooking loss, kadar air dan kadar
garam, maka dapat dihitung komponen lain yang hilang selama pemanasan dengan menggunakan perhitungan material balance (Toledo, 1991). Kadar air dan kadar garam berturut-turut sebelum proses pemasakan adalah 78% dan 1.59% dalam diagram kesetimbangan massa, komponen sebelum proses pemasakan disimbolkan dengan huruf (W). Setelah proses pemasakan didapat kadar air dan kadar garam berturut-turut sebesar 74.87% dan 1.34% komponen setelah proses pemasakan disimbolkan dengan huruf (D). Cooking loss rata-rata pada semua perlakuan proses adalah 7.16 dan disimbolkan dengan huruf (X). Perhitungan antara komponen sebelum pemasakan, cooking loss dan komponen setelah proses pemasakan dapat digunakan untuk menentukan komponen lain yang hilang selam proses pemasakan. Secara rinci, diagram yang menunjukkan perhitungan menggunakan material balance dapat dilihat pada gambar 23 berikut
Gambar 23. Diagram Kesetimbangan Massa
7
Komponen lain yang hilang selama pemanasan adalah sebesar 0.09%, nilai ini bisa diabaikan dalam skala produksi. Menurut Zueuthen et al (1987), proses pemasakan akan menghilangkan beberapa komponen penting dalam bahan pangan yaitu vitamin, mineral, lemak dan terdenaturasinya protein sehingga menyebabkan air yang terikat dalam bahan pangan menurun. Semakin kecil jumlah komponen lain yang hilang, maka akan meningkatkan rendemen dalam bahan pangan. Perhitungan komponen lain yang hilang selama pemasakan dapat dilihat pada Lampiran 8. Komponen lain yang hilang selama pemasakan diharapkan sekecil mungkin agar rendemen yang dihasilkan cukup tinggi.
b. Uji organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji scoring yang meliputi uji penampakan, tekstur, aroma dan rasa. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT.CPB adalah 5. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji organoleptik ini diikuti oleh 8 panelis terlatih yaitu 4 dari laboratorium, 2 dari tim A&I (Aplication and Improvement) dan 2 dari Processing. Secara rinci, hasil uji organoleptik ini dapat dilihat pada Gambar 23 dibawah ini : Aroma 5
Suhu A (90,90,90)C
4 3
Suhu B (91,91,91)C
2 1 Rasa
0
Penampakan
Suhu C (90,91,92)C Suhu D (91,92,93)C Suhu E (92,93,94)C
Tekstur
Gambar 23. Hasil Uji Organoleptik
8
Dari gambar, dapat dilihat bahwa yang paling mendekati atribut tekstur, rasa dan penampakan adalah perlakuan suhu B (91, 91, 91) 0C, sedangkan yang paling mendekati atribut aroma adalah D (91, 92, 93) 0C. Atribut Aroma adalah atribut yang sangat sukar untuk diidentifikasi sehingga dalam proses pengujiannya, udang harus diberi air panas dahulu agar aroma tercium, hal inilah yang mungkin terjadi sehingga aroma memiliki nilai yang jauh dari batas maksimal (5). Setiap perlakuan terlihat tidak berbeda nyata pada gambar. Perbandingan hasil uji organoleptik dari gambar dan uji secara statistik (Lampiran 9a, 9b, 9c, 9d) menunjukkan perbedaan atribut antara perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini bisa dilihat dari uji lanjut duncan dengan selang kepercayaan 95%, tekstur mempunyai nilai 0.540 > 0.05, begitu juga penampakan (0.600 > 0.05), Aroma (0.875 > 0.05) dan rasa yang memiliki nilai (0.798 >0.05).
c. Analisis mikrobiologi. Dari analisis yang telah dilakukan dengan 5 kali ulangan, maka dapat dibandingkan standar yang telah ditetapkan oleh ICMSF dengan hasil yang telah didapat. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa produk udang masak beku aman dikonsumsi karena berada dibawah batas maksimum standar yang telah ditetapkan. Secara rinci data mikrobiologi pada udang masak dapat dilihat pada Lampiran 6 apat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
9
Tabel 9. Perbandingan Standar mikrobiologi untuk udang masak dengan hasil analisis (ICMSF, 2005) No
Parameter
Standard
Hasil Analisa
Udang masak beku 1
Total
Bacteria
10 6 cfu/g
< 250 cfu/g
100 cfu /g
< 10 cfu /g
Count 2
Escherichia coli
3
Salmonella
negatif
negatif
4
Listeria
negatif
negatif
Dari data yang didapat (Lampiran 5), semua perlakuan memberikan hasil bahwa sampel udang tidak mengandung Salmonella dan Listeria tetapi E. coli terdapat pada perlakuan C ulangan ke 1 yaitu ( +4), selain itu juga TPC nya tinggi pada ulangan 1 tersebut. Pada ulangan 1 perlakuan C ini, terjadi kendala, yaitu baki pada konveyor macet dan konveyor tidak bisa berjalan kemudian riset dihentikan sejenak untuk mengambil sampel secara manual dari mesin. Hal ini memungkinkan terjadinya banyak kontaminasi karena bagian engineering terpaksa membuka kap untuk memudahkan mengambil baki. Menurut Fardiaz (1983) E. coli adalah koliform fekal yang merupakan bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi. Sanitasi pada mesin Laitram® cooker hanya dilakukan pada konveyor berjalan setiap pergantian shift. Sedangkan pada bagian antara keluarnya udang dan sebelum precooling (gambar 23) jarang sekali dilakukan. Hal ini yang kemungkinan besar menyebabkan terjadinya kontaminasi E. coli saat kap bagian atas dibuka. Secara lebih rinci, berhentinya proses yang menyebabkan produk mengalami kontaminasi E. coli, dapat disajikan pada gambar 24 berikut ini.
10
Gambar 24. Pengambilan baki secara manual Air pendingin setelah proses pemasakan hanya diuji TPC, E. coli dan coliform. Air yang digunakan, yaitu first quality water yang ditambahkan garam sebesar 2% dan ditempatkan disebuah wadah (profile tank). Menurut Fardiaz (1983) garam dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Berdasarkan sifat koligatif larutan, garam juga berfungsi untuk mempertahankan suhu dingin didalam es karena dengan ditambahkannya garam maka akan terjadi penurunan titik beku larutan. Penurunan titik beku pada larutan tersebut akan memperbesar kalor laten sehingga suhu dingin dapat dicapai lebih lama. Pada pengambilan sampel air yang pertama, TPC pada air adalah 20000 cfu/g walaupun masih dibawah standar yang telah ditetapkan, nilai ini cukup besar untuk ukuran awal dimulainya suatu proses. Saat pengambilan sampel air menggunakan suatu wadah, wadah yang digunakan tersebut belum disterilisasi terlebih dahulu, baru pada pengambilan air yang kedua dan seterusnya, pengambilan menggunakan wadah disterilisasi dengan disemprot menggunakan alkohol. Suhu air pendingin dipertahankan ≤ -50C. Setiap suhu, dimasukan sebanyak 20 kg udang seperti yang telah dijelaskan pada metode penelitian diatas. Setelah perlakuan suhu ke C (90, 91, 92)°C, suhu air cooling berada pada kisaran -30C sehingga perlu ditambahkan lagi kepingan es (flake ice) sampai suhu ≤ -50C, hal ini lah yang memungkinkan tingginya TPC saat setelah perlakuan C (90, 91, 92)°C yaitu 19000 cfu/g.
11
3. Scale-up Setelah melihat data-data dari penelitian utama dan penelitian lanjutan maka suhu E(92, 93, 94)°C mempunyai cooking loss yang paling tinggi tetapi masih dibawah nilai cooking loss pada metode konvensional. Suhu E (92, 93, 94)°C dapat menghilangkan blackspot sampai 0% dan secara organoleptik maupun mikrobiology, suhu tersebut dinyatakan aman dan mempunyai tekstur, aroma, penampakan dan rasa yang bagus. Maka diambil suhu E menjadi suhu terbaik berdasarkan parameter-parameter yang telah diuji tersebut. Setelah dilakukan penelitian lanjutan pada skala produksi, maka hasilnya adalah blakcspot masih ditemukan pada hari 1 setelah penyimpanan yaitu sebesar 0.06% sedangkan cooking loss sebesar 7,62% . Nilai blackspot 0.06% tidak sesuai dengan yang ada pada standar PT. CPB untuk blackspot 0%. Blackspot menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan Cooking loss yang didapat masih dibawah cooking loss pada metode konvensional sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil penelitian akhir dapat dilihat pada lampiran 10.
12
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian, telah didapatkan data bahwa waktu terbaik pada 5 variasi suhu yang telah ditetapkan pada suhu A (90, 90, 90)°C adalah 3’20 menit dan pada suhu B(91, 91,91)°C, C (90, 91, 92)°C, D (91, 92, 93)°C dan E (92, 93, 94)°C adalah 3’15 menit. Penelitian lanjutan yaitu membandingkan pengaruh kenaikan suhu terhadap adanya cooking loss dan pengaruh kenaikan suhu terhadap munculnya blackspot serta evaluasi mutu pada produk. Dari data menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu, akan memperbesar cooking loss tetapi sebaliknya, dengan semakin meningkatnya suhu maka akan mereduksi blackspot sampai 0%. Dari hasil evaluasi mutu mikrobiologi dapat dinyatakan bahwa produk telah aman untuk dikonsumsi, hal ini diindikasikan dari hasil analisis yang berada dibawah ambang batas yang telah ada dalam peraturan komisi Eropa. Hasil analisis mikrobiology menyebutkan bahwa nilai rata-rata TPC < 250 cfu / g, E. coli < 10 cfu / g., Salmonella dan Listeria monocytogenes negatif. Sedangkan saat terjadinya kendala pada baki yang digunakan, menumbuhkan E. coli sampai +4 karena kontaminasi dari peralatan dan pekerja. Air pendingin yang digunakan setelah pemasakan mempunyai TPC yang sangat tinggi yaitu 19000 cfu/g pada saat air pendingin berada ≥ 5°C. Evaluasi mutu organoleptik menunjukkan atribut mutu yang paling bagus adalah tekstur, rasa dan penampakan adalah perlakuan suhu B (91, 91, 91) 0C. Sedangkan yang paling bagus dari atribut aroma adalah D (91, 92, 93) 0C. Berdasarkan uji statistik, perlakuan suhu tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dari hasil penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan maka diambil perlakuan suhu E (92, 93, 94)°C sebagai perlakuan suhu terbaik dan kemudian dilanjutkan dengan penelitian menggunakan skala produksi. Dari data, menunjukkan bahwa cooking loss pada perlakuan E (92, 93, 94)°C adalah 7.62% dan masih terdapat blackspot sebesar 0.06% pada hari
13
pertama setelah penyimpanan. Selain itu, distribusi panas pada mesin kurang merata sehingga kecukupan panas yang diterima oleh produk sangat fluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari nilai cooking loss. Pada suhu yang sama, nilai cooking loss berbeda hampir 1% pada sisi kanan dan kiri mesin. Mesin Laitram® untuk produk CPDTO 31-40 dengan kapasitas produksi kecil menggunakan suhu 92,93,94 °C dengan waktu 3’15 menit masih bisa mendapatkan kualitas produk yang diharapkan tetapi pada skala produksi yang lebih besar, mesin Laitram® masih belum layak karena masih terdapat blackspot pada bagian ekor udang.
B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan waktu penyimpanan untuk mengidentifikasi penyebaran blackspot. 2. Perlu dilakukan pengecekkan suhu air cooling lebih sering, untuk mencegah terjadinya kontaminasi 3. Perlu dilakukan pemilihan baki yang sesuai agar resiko terjadinya slip pada saat proses berjalan dapat dicegah. 4. Perlu dikaji ulang bagi pembuat mesin untuk meletakkan sistem penyebaran panas (blower) yang sesuai agar sirkulasi dan penetrasi panas yang diterima oleh produk dapat seragam. 5. Sanitasi pada mesin, perlu dilakukan juga pada bagian-bagian yang lain (tidak hanya pada bagian konveyor) untuk menghindari kotaminasi pada produk. 5. Perlu dilakukan pengecekan suhu menggunakan termocople untuk mengetahui profile suhu dan waktu pemasakan.
14
DAFTAR PUSTAKA Aitken., J.J. Connel. 1973. Fish di dalam Effect of Heating on Foodstuffs. R. J. Priestleyled. Aplied Science Publ. Ltd Anonim a. 2001. Laitram Machinerymailto:
[email protected] [20 Februari 2006] Anonim b. 2005. www.cfsan.fda.gov/bacteriologycal analitical method Online. [ 5 Juni 2006] AOAC No 976.16. 2000. AOAC Official Methode Cooking Seafood Product. AOAC International. USA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist, Inc., Washington D. C. AOAC. 1992. USFDA Bacteriological Analytical Manual. 7th Edition. AOAC International. USA Gosner, K.L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley Interscience, N.Y EC No 2073, 2005. http://Eropa.eu.int/comm/food. [28 Juni 2006] Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia. Jakarta FDA, 2005. Food Code. U.S. Food and Drug Administration. Public Health Service. College park. MD. 20740 FDA. 2001. Pathogen survival through cooking. Ch. 16. In Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, 3rd ed., p. 209-218. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood, Washington, DC. Harikedua J.W. 1992. Pengaruh Pengukusan terhadap Komponen Zat Gizi Khususnya Asam Lemak Tak Jenuh omega 3. Fakultas Pasca-Sarjana. IPB Harris, 1989. Bahasan Umum Kemantapan Gizi. di dalam Evaluasi Gizi PBP E.Karmas dan R.S. Harris (ed). S. Achmadi (Penerjemah)-ITB. Bandung Higashi, H. 1981. Relationship Between Processing Techniques and The Amount of Vitamin and Minerals in Processing Fish. didalam Fish in Nutrition Hal: 125. Fishing News. Ltd, London, England.
15
ICMSF. 1996. Microorganisme in Food Microbiological Spesification of Food Pathogens. Balckie Academic & Profesional, Singapore Kritchevsky, D., Tepper, SA., Ditullo, N.w and Holmes, W.L. 1976. The sterols of seafood. Jurnal Food Science, 32: 64. Laitram Machinery. 2001.Manual Book Of Laitram, 2001. New Orleans. Lousiana Martosudarmo,B dan B.S. Ranoemihardjo, 1983. Biologi udang paneid, hal 1-21. di dalam Pedoman Pembenihan Udang Paneid. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Ma, S.X., Silva, J.L., Hearnsberger, J.O. & Garner, J.O.Jr. 1992. Prevention of enzymatic darkening in frozen Food by water blanching: Relationship among darkening, phenols, and polyphenol oxidase activity. Jurnal Agriculture Food Chemistry., 40: 864-867. Moeljanto, 1992. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan. VI Press. Jakarta. Muchtadi dan Sugiyono, 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor Nielsen. S, 2003. Food Analysis 3rd. Kluwer Academic. Plenum Publisher, New York. Purwaningsih, S. 2000. Teknologi Pembekuan Udang. Cetakan ke-2. Jakarta; Penebar Swadaya Rippen, T.E. 1998. Personal communication. University of Maryland, Princess Anne, MD Savagon, K.A., Venugopal, V., Kamat, S.V. Kumts, U.S. 1972. Radiation Preservation of Tropical Shrimp for Ambient Temperature Storage 2nd. Storage Studies. Jurnal Food Science, 37 :151. Sidwell, V.D., Bonnet, J.C. dan Zook, E.G. 1987. Chemical and Nutritive Values of Several Fresh and Canned Finfish, Crustaceans and Molluscans. Part 1 : Proximate composition calcium and phosphorus. Publ.Inc. Svensson, S. 1977. Inactivation of enzymes during thermal processing. di dalam T. Hoyem & O. Kvale, eds. Physical, Chemical, and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing, p. 202-217. London, Applied Science Publishers. Toledo, R.T. 1991. Fundamental of Food processing eng. AVI Publ. Co., Westport, CONN
16
USDC.
2000.
USDC
Seafood
Inspection
Program.
http://seafood.nmfs.noaa.gov/265SubpartA.htm [9 Juni 2006]
Vámos-Vigyázó, L. 1981. Polyphenoloxidase and peroxidase in Food. Rev. Food Science Nutrition., 15: 49-127. Walker,1977. Enzymatic Browning in Foods. Its Chemistry and Control. The AVI Publishing Company, Inc. Westport Conecticut, U.S.A Winarno. 1980. Pengantar Teknik Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Wirakartakusumah, A. M. D. Hermanianto & Andarwulan.1989. Prinsip Teknik Pangan. Pusat Antar Universitas P&G. IPB. Bogor. Zeuten et al. 1987. Thermal Processing And Quality Of Foods. Elsevier Applied Science Publishers. London and New York.
17
Lampiran 3a. Hasil Uji LSD pengaruh suhu dengan cooking loss
Lampiran 3b. Hasil Uji LSD pengaruh suhu dengan blackspot SUHU Pearson Correlation 1
SUHU
Sig. (2-tailed)
BLACKS -,212(**)
.
,007
162 N Pearson Correlation -,212(**)
BLACKS
Sig. (2-tailed) N
162 1
,007
.
162
162
Lampiran 3c Hasil Uji LSD pengaruh suhu dan waktu terhadap kadar air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadar air Source Type III Sum of Squares Corrected Model 1.927
df Mean Square 4
Intercept
84105.216
1
Kadar garam Error Total Corrected Total
1.927 7.013 84114.156 8.940
4 10 15 14
F
Sig.
.687
.617
84105.216 119925.3 06 .482 .687 .701
.000
.482
.617
Lampiran 4 a. Hasil Uji kadar Air
18
Berat Cawan
Produk Head Less
rata-rata PDTO no soaking
rata-rata PDTO soaking
rata-rata PDTO sebelum cooling suhu A (90,90,90)
rata-rata suhu B (91, 91, 91)
rata-rata suhu C (90, 91, 92)
rata-rata suhu D(91, 92, 93)
rata-rata suhu E (92, 93, 94)
Berat sampel
Berat Cawan (8jam)
77.92 76.96 71.78
5.00 5.00 5.00
79.28 78.21 73.1
83.38 78.37 68.61
5.00 5.00 5.00
84.79 79.68 69.98
75.29 77.9 71.34
5.00 5.00 5.00
76.41 79 72.42
80.39 71.28 80.45
5.01 5.02 5.01
81.62 72.5 81.71
73.71 70.43 83.15
5.02 5.03 5.01
74.95 71.62 84.46
82.31 70.95 86.15
5.01 5.02 5.03
83.51 72.23 87.45
70.89 73.46 87.87
5.02 5.02 5.01
72.15 74.76 89.12
72.56 75.11 76.24
5.00 5.02 5.01
73.87 76.36 77.54
rata-rata
% KA (BB) 72.80 75.00 73.60 73.8 71.8 73.8 72.6 72.73 77.60 78.00 78.40 78.00
75.45 75.70 74.85 75.33 75.30 76.34 73.85 75.16 76.05 74.50 74.16 74.90 74.90 74.10 75.05 74.68 73.80 75.10 74.05 74.32
Lampiran 5. Hasil Analisis Uji organoleptik Kode A
Bau 4
Penampakan 5
Tekstur 5
Rasa 5
19
A A A A A A A B B B B B B B B C C C C C C C C D D D D D D D D E E E E E E E E
4 5 5 3 4 4 5 4 4 4 5 3 4 4 5 4 5 5 5 3 4 3 5 4 5 5 4 4 5 4 5 4 4 5 5 4 4 3 5
5 5 4 5 5 5 4 5 4 5 5 4 5 5 5 5 3 5 5 4 5 3 4 5 5 5 5 5 3 5 4 5 4 5 5 5 4 4 4
5 3 4 5 5 5 4 5 4 5 5 5 5 5 5 4 3 4 5 5 5 4 5 5 5 4 4 4 4 5 5 5 4 5 5 5 4 4 4
4 4 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 3 5 5 5 4 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5
Lampiran 7. Form Penilaian Organoleptik
Uji Organoleptik Cook Product Before Freezing Tanggal : Nama : Instruksi : - Di hadapan Anda terdapat 5 sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia)
20
-
Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan - Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara berurutan dari kiri ke kanan, dan tidak boleh mengulang. - Netralkan indera pencicip Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum. - Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia. Kriteria Kode Sampel penilaian Bau Kenampakan Tekstur Rasa Deskripsi Kriteria Penilaian Sampel Uji Organoleptik Cook Product before Freezing Bau 5 : Bau spesifik udang masak 4 : Bau netral 3 : Bau berubah dari netral/mulai timbul bau amonia 2 : Bau amoniak 1 : Bau busuk Kenampakan 5 : Warna kulit terang/cerah, warna daging putih susu 4 : Warna kulit sedikit pudar 3 : Warna daging masih ada warna biru (indikasi mentah) 2 : Warna kulit pudar, terjadi dehidrasi (spot putih) 1 : Warna kulit pudar, blackspot Tekstur 5 : Elastis, kompak, padat, kenyal 4 : Elastis, kompak, kurang padat 3 : Elastis, agak berair 2 : Lunak/lembek 1 : Membubur, lembek sekali dan sangat lunak Rasa 5 : Asin-Manis 4 : Dominan asin 3 : Dominan manis 2 : Hambar, sedikit asam 1 : Pahit, sepat Lampiran 8. Perhitungan komponen lain yang hilang selama proses pemasakan
21
22
Lampiran 9a. Hasil Uji Duncan terhadap Tekstur
Lampiran 9b. Hasil Uji Duncan terhadap Penampakan
Lampiran 9c. Hasil Uji Duncan terhadap Aroma
Lampiran 9d. Hasil Uji Duncan terhadap Rasa
23