OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM
Tjahjo Prionggo
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul: “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam” adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Bogor,
Mei 2007
Tjahjo Prionggo SPL-995168
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, dengan ini menyatakan bahwa disertasi dengan judul: “Optimalisasi
Pemanfaatan
Lahan
Sebagai
Upaya
Pembangunan
Berkelanjutan Pulau Batam” telah layak untuk diuji pada ujian terbuka.
Bogor, 5 Maret 2007 Ketua Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ” Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber
informasi atau yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka Acuan dibahagian akhir disertasi ini.
Bogor, 5 Maret 2007
Tjahjo Prionggo SPL-995168
ii
TJAHJO PRIONGGO. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA., Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin, DEA., dan Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc.
ABSTRAK Pulau Batam dengan luas 415 km2, adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi karena telah berhasil menghadirkan pertumbuhan ekonomi mencapai 12,57% pada tahun 1997, khususnya melalui investasi internasional. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu yang sama hanya 4,65%. Dari gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned) untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan; (2) Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia; dan (3) Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi: (1) Analisis Deskriptif/Pragmatif Makro Ekonomi dan Investasi; (2) Analisis Deskriptif/Pragmatif Sosial dan Budaya; (3) Analisis Beban Limbah; (4) Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam dengan GIS; (5) Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan; dan (6) Analisis Kebijakan dengan Analisis SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pulau Batam selain telah berhasil menarik investasi internasional dan meningkatkan PDRB hingga 12,52%, juga memunculkan beberapa permasalahan diantaranya: kesenjangan sosial antar pelaku-pelaku ekonomi dengan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar; kesenjangan antar Pulai Batam dengan pulau-pulau lain disekitarnya; konflik antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam serta permasalahan status sebagai Kawasan Berikat (bonded zone). Permasalahan lain adalah pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan sangat lamban dan terbatas, hanya mencapai 21,8% dari lahan yang telah dialokasikan untuk fasilitas umum dan perdagangan. Untuk fasilitas umum dan perdagangan realisasinya hanya mencapai 0,46% dan merupakan realisasi yang paling rendah dibandingkan dengan realisasi peruntukkan jasa perkotaan (3,65%), perumahan (3,91%) dan industri (4,80%). Dari hasil simulasi sistem optimalisasi pemanfaatan lahan, bila diimplementasikan akan dapat meningkatkan nilai investasi hingga 11,72 kali atau 1172% jika dibandingkan dengan kondisi terkini (Skenario III). Skenario Optimalisasi (Skenario V) menghasilkan total nilai investasi sebesar Rp. 387.253.622.654.871,60.Skenario lainnya, masing-masing Skenario I, II, III dan Skenario IV memberikan total nilai investasi yang lebih rendah. Dalam model ekologi skenario V memberikan dampak peningkatan investasi terbaik dimana persentase investasi negatif relatif lebih rendah dari investasi positif. Sedangkan dalam model sosial, optimalisasi menghasilkan subsidi yang dapat dikelola dan didistribusikan kepada penduduk miskin asli dan pendatang, kesehatan, pendidikan dan cadangan sebesar 5%. Pada awal tahun tidak seluruhnya permasalahan terselesaikan. Namun setelah 10 tahun (diakhir model), seluruh subsidi dapat tuntas terselesaikan dan bahkan dana cadangan cenderung meningkat. Kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan berdasarkan hasil analisis SWOT guna mendukung simulasi model yang meliputi kebijakan untuk merevisi Rencana Tata Ruang; Melakukan penarikan lahan yang tidak produktif dan dialokasikan kembali secara selektif; Mengkonversikan lahan yang peruntukannya kurang sesuai dan kurang diminati pasar; serta kebijakan pemperhatikan hijau, taman kota, kawasan lindung dan mengelola limbah buangan untuk mencapai keseimbangan lingkungan sehingga memperkecil investasi negatif.
iv
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM
Oleh:
Tjahjo Prionggo
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
v
Judul Disertasi
:
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam.
Nama NRP Program Studi Program
: : : :
Tjahjo Prionggo SPL - 995168 Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Doktor (S3).
Upaya
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA. Ketua
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA. Anggota
Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc. Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
3. Dekan
Dr.Ir. Sulistiono, MSc.
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian Terbuka : 20 Maret 2007
Tangal Lulus :
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 14 Desember 1959, anak dari pasangan H. Drs. Surajiman dan Hj. Djarwati. Pendidikan sampai S1 diselesaikan di Jakarta, lulus sebagai sarjana Arsitiketur Fakultas Teknik Universitas Indonesia tahun 1984. Sambil bekerja penulis menyelesaikan S2 di Sekolah Tinggi Management Jakarta pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Penulis bekerja di BPP Teknologi sejak tahun 1986. Beberapa kepercayaan dan penugasan yang pernah diberikan kepada penulis antra lain: sebagai Pimpro Prasik Pembangunan Gedung BPPT (Gedung kantor BPPT 24 Lantai) pada tahun 1989-1992, sebagai Direktur Perencana OPDIP Batam (19921998), sebagai pembicara di dalam seminar dan kegiatan ilmiah lainnya bidang pengembangan dan perencanaan tata ruang khususnya mengenai Pulau Batam. Selain itu, merangkap sebagai Ketua Tim Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi awal amdal yang diajukan sebelum dikirim komisi Amdal BPPT, juga sebagai ketua tim pengembangan khususnya Batam Centre (Batam Carnaval 2000), dan sebagai ketua tim pengembangan kawasan wisata Nongsa. Kemudian pada tahun 1998-2001, penulis menjabat sebagai asisten ketua bidang evaluasi dan monitoring pembangunan BP3 Natuna, pada tahun 2001-2006 (di BPP Teknologi) sebagai Inspektur dan sebagai wakil koordinator bidang kajian ForBes APIP (Forum Berama Aparat Pengawasan Instansi Pemerintah). Tahun 2006 sampai dengan saat ini penulis aktif sebagai staf khusus ketua Otorita Batam bidang Perencanaan dan Lingkungan untuk mengembangkan Pulau Rempang dan Galang yang saat ini masih belum dikelola.
vii
PRAKATA Puji dan syukur senantisa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT oleh karena rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir Program Doktor. Dalam penyelesaian disertasi dengan ruang lingkup kajian Optimalisasi Pemanfaatan Lahan sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam ini banyak mengalami hambatan dan kendala. Namun demikian dengan bantuan berbagai pihak hambatan dan kendala dapat diatasi. Persembahan ungkapan rasa hormat penulis sampaikan kepada kedua orang tua khususnya almarhum ibunda tercinta yang tulus mendorong dan mendoakan untuk menyelesaikan pendidikan sampai jenjang tertinggi, mudahmudahan dengan menyelesaikan program pendidikan ini, beliau turut mendapat balasan dari Allah SWT. Kemudian penulis mengucapakan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada : (1) Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai pembimbing ketua, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA, Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc, masing-masing sebagai pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan arahan dalam menyelesaikan disertasi ini. (2) Dr. Ir. Menofatria Boer, DEA, beserta staf Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala bantuan saran sehingga proses penulisan disertasi ini berjalan lancar. (3) Prof. Dr. Ing. BJ Habibi beserta Ibu, Soeryohadi Djatmiko, SE, MBA, yang telah bersungguh-sungguh memberikan dorongan dan bimbingan serta masukan untuk disertasi ini. (4) Kepala BPPT, Ketua Otorita Batam dan seluruh jajarannya yang telah membantu baik moril maupun materil dan kemudahan-kemudahan yang diberikan selama penulis melaksanakan pendidikan dan penelitian. Ucapan terimakasih secara khusus kepada istri tercinta, Ir. Handayani Dwi Rahayu, ananda tersayang Ratna Kirana dan Raine Karlina, serta rekanrekan, saudara-saudaraku atas segala dorongan, doa, kesabaran dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan selama proses penyelesaian disertasi ini. Dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, Otorita Batam, para ilmuwan dan praktisi dalam mengembangkan Pulau Batam, maupun pulau-pulau lain yang sejenis. Mudah-mudahan kajian ini dapat dilanjutkan dan dikembangkan untuk membangun negeri ini yang berbentuk kepulauan dengan potensi yang beragam. Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan ini masih kurang sempurna.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................
i
ABSTRACT .........................................................................................................
ii
HAK CIPTA .........................................................................................................
iv
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
v
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
vi
PRAKATA ...........................................................................................................
vii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ viii DAFTAR ISI ........................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xix 1 PENDAHULUAN ............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah .......................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian
...................................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian
.................................................................................
7
1.5 Hipotesis Penelitian
................................................................................
7
1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................
8
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
................................................................................. 11
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan dan Pembangunan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan ................................ 11 2.1.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM)............................................................. 11 2.1.2 Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan 2.1.3 Pulau Batam sebagai Pulau Kecil
.... 13
............................................ 19
2.1.4 Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang 2.1.5 Industri Yang Berada di Wilayah Pesisir
.......... 23
................................. 27
2.1.6 Land rent dan nilai lahan/land values wilayah pesisir
............ 32
x
2.2
Pemodelan Sistem untuk Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut ..................................................................................... 35 2.2.1 Sistem Dinamik untuk Analisis Kebijakan .................................... 35 2.2.2 Konsep Sistem Dinamik untuk Pemahaman Model ..................... 36 2.2.3 Tinjauan Sistem Dinamik yang Sudah Ada .................................... 48
3 METODE PENELITIAN
............................................................................... 54
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian
3.2
Ruang Lingkup Penelitian
3.3
Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer
Analisis Data
.................................................................... 54
............................................................................. 56 ................................................................................. 56
3.3.2 Data Sekunder 3.4
............................................................... 54
............................................................................ 56
....................................................................................... 59
3.4.1 Pendekatan Analisis
................................................................... 59
3.4.2 Analisis Deskriptif Makro Ekonomi dan Investasi.......................... 62 3.4.3 Analisis Deskriptif Sosial Budaya ............................................... 63 3.4.4 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan
...................... 63
3.4.5 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam 3.4.6 Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan 3.4.7 Analisis Kebijakan dengan Metoda SWOT 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Keadaan Umum Lokasi
................ 65 ............ 67
............................... 82
....................................................................... 85 ........................................................................ 85
4.1.1 Geografi ....................................................................................... 85 4.1.2 Fisiografi ....................................................................................... 86 4.1.3 Elevasi .......................................................................................... 86 4.1.4 Kondisi Pantai Pulau Batam ......................................................... 86 4.1.5 Ketersediaan Air ........................................................................... 88 4.1.6 Kependudukan ............................................................................. 88 4.1.7 Sarana dan Fasilitas ..................................................................... 90 4.1.8 Pemanfaatan Lahan ..................................................................... 90 4.2
Kondisi Makro Ekonomi da Investasi ...................................................... 92 4.2.1 Kondisi Makro Ekonomi ............................................................... 92
xi
4.2.2 Kondisi Investasi 4.2
........................................................................ 101
Analisis Kebijakan Umum Pengembangan Pulau Batam ..................... 104 4.3.1 Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat ..................................................... 104 4.3.2 Kebijakan Pulau Batam sebagai Daerah Pengembangan Khusus ....................................................................................................... 107 4.3.3 Persaingan dengan Wilayah Lain
............................................... 111
4.3.4 Kerjasama SIJORI ........................................................................ 113 4.3.5 Pulau Batam sebagai KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) ............. 117 4.4
Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam 4.4.1 Tata Ruang
............................. 119
................................................................................. 119
4.4.2 Master Plan 1991 .......................................................................... 123 4.4.3 Realisasi Pengalokasian Berdasarkan Master Plan 1991 ............ 125 4.4.4 Penyimpangan Pemanfaatan Lahan ............................................ 129 4.4.5 Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Perijinan ............... 145 4.5
Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Pulau Batam ............... 152
4.6
Analisis Deskriptif Sosial Budaya ........................................................... 157
4.7
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan .......................................................... 160 4.7.1 Struktur Model
............................................................................ 160
4.7.1.1 Sub-sistem Industri
........................................................ 161
4.7.1.2 Sub-sistem Perumahan .................................................. 166 4.7.1.3 Sub-sistem Jasa
............................................................ 169
4.7.1.4 Sub-sistem Pariwisata .................................................... 173 4.7.1.5 Sub-sistem Pertanian ..................................................... 176 4.7.1.6 Sub-sistem Limbah Padat 4.7.1.7 Sub-sistem Hijau
.............................................. 179
............................................................ 181
4.7.1.8 Sub-sistem Sosial ........................................................... 184 4.7.2 Simulasi Sistem Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
.................... 184
4.7.2.1 Skenario I, Proyeksi Model Master Plan 1986, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Normal ............... 188 4.7.2.2 Skenario II, Proyeksi Model Master Plan 1986, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Optimal .............. 190 4.7.2.3 Skenario III, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Normal .............. 193
xii
4.7.2.4 Skenario IV, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Terkini, Struktur Model Optimal namun Belum ada Kebijakan Optimalisasi Lahan..................................... 196 4.7.2.5 Skenario V, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Tengah (Wajar), Struktur Model Optimal dan Kebijakan Optimalisasi Lahan............................................ 197 4.7.2.6 Model Ekologi..................................................................... 200 4.7.2.7 Model Sosial....................................................................... 204 4.7.3 Perilaku Model Sistem Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
.......... 205
4.7.3.1 Lahan Industri .................................................................. 205 4.7.3.2 Lahan Perumahan ............................................................ 208 4.7.3.3 Lahan Jasa......................................................................... 210 4.7.3.4 Lahan Pertanian .............................................................. 212 4.7.3.5 Lahan Pariwisata ............................................................. 213 4.7.3.5 Sektor Hijau ..................................................................... 215 5 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN 5.1
Penyusunan Unsur Pembentuk SWOT 5.1.1 Kekuatan
............................................... 216 .............................................. 216
................................................................................... 216
5.1.2 Kelemahan .................................................................................... 217 5.1.3 Peluang ........................................................................................ 217 5.1.4 Ancaman ....................................................................................... 218 5.2
Penyusunan Strategi Pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan berdasarkan Hasil Analisis SWOT .......................................... 218
5.3
Pembobotan
5.4
Penentuan Prioritas Kebijakan
....................................................................................... 221 ............................................................ 222
5.4.1 Prioritas Kebijakan Sektor Industri ................................................. 225 5.4.2 Prioritas Kebijakan Sektor Perumahan ........................................ 228 5.4.3 Prioritas Kebijakan Sektor Jasa ..................................................... 228 5.4.4 Prioritas Kebijakan Sektor Pertanian.............................................. 229 5.4.5 Prioritas Kebijakan Sektor Pariwisata .......................................... 230 5.5
Pilihan Instrumen Kebijakan 5.5.1 Kebijakan Terpusat
................................................................ 230
..................................................................... 230
5.5.2 Kebijakan yang Berasal dari Masyarakat ..................................... 231
xiii
6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
....................................................... 232
6.1
Kesimpulan
6.2
Rekomendasi ........................................................................................ 233
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................................... 232
....................................................................................... 235
xiv
DAFTAR TABEL No. Tabel
Halaman
1.
Kelompok Sektor-sektor Pembangunan ....................................................
17
2.
Alternatif Rencana Pembangunan ...........................................................
17
3.
Komposisi Zoning yang Ideal
...................................................................
18
4.
Zonasi Kegiatan Industri ............................................................................
31
5.
Zonasi Berdasar pada Kemiringan Lahan ..................................................
32
6.
Data yang Dibutuhkan untuk Analisis Pemanfaatan Lahan .......................
58
7.
Pembobotan Tiap Unsur SWOT ................................................................
83
8.
Matrik Analisis SWOT dan Penentuan Kebijakannya ................................
84
9.
Rangking Alternatif Kebijakan ...................................................................
84
10.
Banyaknya Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kotamadya Batam Keadaan Akhir Tahun 1994 – 1997 ..........................................................
89
Banyaknya Desa, Penduduk dan Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Batam Dirinci per Kecamatan Tahun 1998 ...............................
89
12.
Luas Lahan Teralokasi di Pulau Batam
...................................................
90
13.
Perbandingan Data Pertumbuhan di Pulau Batam Tahun 1978, 1983, 1993, 1994, 1995, 1996 dan 1997 .............................................................
90
11.
14
Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut bidang Usaha
....... 102
15.
Rencana Penanaman Modal Asing Menurut Bidang Usaha (000 US$)
16.
Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P. Batam 1991 ......................................................................................................... 123
17.
Proporsi Masing-masing Zona Berdasarkan Master Plan
18.
Rencana Alokasi Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P.Batam 1991 .................................................................................. 125
19.
Data Realisasi Pengalokasian Lahan di P.Batam hingga 1998 Berdasarkan Izin Prinsip Pengalokasian Lahan [PL] P.Batam .................. 126
20.
Perbandingan Alokasi Lahan berdasarkan Master Plan tahun 1991 dan Master Plan tahun 1998 ............................................................................. 126
21.
Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan 1991 ............. 127
22.
Realisasi Pengalokasian Lahan di P. Batam dan Pelaksanaan Pembangunan Berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan Tahun 1998 ..... 128
23.
Data Erosi di Beberapa Waduk di P. Batam .............................................. 156
24.
Parameter Input untuk Simulasi Sistem berdasarkan Master Plan 1986 ... 184
25.
Parameter Input untuk Simulasi Sistem berdasarkan Master Plan 1991 ..... 185
. 103
........................ 124
xv
26.
Input Sensitifitas untuk Penyusunan Model ................................................. 186
27.
Nilai Investasi Positif dan Investasi Negatif Hasil Simulasi Sistem pada Skenario V.................................................................................................... 203
28.
Formulasi Kebijakan Pengelolaan untuk Optimalisasi Pemanfaatan Lahan di Pulau Batam.................................................................................. 219
29.
Pemberian Bobot untuk Setiap Unsur dari Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman................................................................................. 221
30.
Penentuan Prioritas Kebijakan Pengelolaan Pulau Batam .......................... 223
xvi
DAFTAR GAMBAR No. Gambar
Halaman
1.
Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................... 10
2.
Segitiga Tujuan dan Konflik Perencanaan ................................................. 24
3.
Konsep Land Rent ..................................................................................... 33
4.
Perkembangan Konsep Land Rent ............................................................ 34
5.
Peran Beberapa Ide dalam Metodologi Sistem Dinamik ............................ 36
6.
Diagram Tahap Analisis Sistem ................................................................. 38
7.
Diagram Pendekatan Metode Sistem Dinamik .......................................... 43
8.
Diagram Lingkaran Umpan Balik ............................................................... 45
9.
Diagram Hubungan Timbal Balik Model Forrester ..................................... 51
10.
Model Kementrian Lingkungan Hidup ........................................................ 52
11.
Peta Lokasi Penelitian ................................................................................ 55
12.
Pendekatan Analisis Data .......................................................................... 61
13.
Pendekatan Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ............................... 72
14.
Peta Aliran Sungai Pulau Batam ................................................................ 87
15.
Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Industri (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 .......................................................................................... 92
16.
Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Pertanian (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 .................................................................................. 97
17.
Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perumahan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 .................................................................................. 98
18.
Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Jasa (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ................................................................................................ 98
19.
Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perhotelan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 .................................................................................. 99
20.
Peta Master Plan Pulau Batam 1986 ......................................................... 121
21.
Peta Master Plan Pulaun Batam 1991 ....................................................... 122
22.
Pemanfaatan Lahan Terkini ....................................................................... 129
23
Overlay Penyimpangan Master Plan 1991 ................................................. 133
24.
Overlay Penyimpangan Pengalokasian lahan di P.Batam ........................ 134
25.
Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Perijinan/Kebijakan .............. 140
26.
Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Peran Investor .................... 141
27.
Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Faktor Ekonomi .................. 142
xvii
28.
Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Staf Pelaksana .................... 143
29.
Penyimpangan Lokasi Terbangun / Di Luar Fasum ................................... 143
30.
Prosedur Pemanfaatan Lahan di P. Batam ................................................ 146
31.
Penyebab Erosi .......................................................................................... 155
32.
Struktur Model Normal pada Sub-sisten Industri ....................................... 161
33.
Struktur Model Optimal pada Sub-sisten Industri
34.
Struktur Model Normal pada Sub-sistem Perumahan ................................ 167
35.
Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Perumahan .............................. 169
36.
Struktur Model Normal pada Sub-sistem Jasa ........................................... 170
37.
Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Jasa .......................................... 172
38.
Struktur Model Normal pada Sub-sistem Pariwisata.................................... 174
39.
Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Pariwisata ................................ 175
40.
Struktur Model Normal pada Sub-sistem Pertanian .................................. 177
41.
Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Pertanian ................................ 179
42.
Struktur Model Sub-sistem Limbah Padat
43.
Struktur Model Sub-sistem Hijau ................................................................ 182
44.
Struktur Model Sub-sistem Sosial .............................................................. 183
45.
Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario I ..................................... 189
46.
Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario I ..................... 190
47.
Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario I ................ 191
48.
Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario II
49.
Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario II ..................... 192
50.
Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario II ............... 193
51.
Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario III
52.
Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario III
53.
Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario III
54.
Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario IV ................................... 196
55.
Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario IV
56.
Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario IV ............... 198
57.
Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario V ...................................... 198
58.
Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario V ..................... 199
59.
Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario V ................ 120
60.
Perbandingan Net Nilai Investasi Masing-masing Skenario ....................... 201
.................................... 165
................................................ 180
................................... 192
.................................. 194 ................. 194 ............. 195
................. 197
xviii
61.
Grafik Laju Pertumbuhan Investasi Model Ekologi .................................... 201
62.
Grafik Investasi sebelum Pengolahan Limbah pada Skenario V ................ 202
63.
Grafik Investasi Setelah Pengolahan Limbah pada Skenario V .................. 203
64.
Grafik Pertumbuhan Subsidi untuk Pengatasan Permasalahan Sosial ...... 204
xix
DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran
Halaman
1.
Struktur Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ..................................... L-1
2.
Detail Formula Input Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ......... L-2
3.
Daftar Istilah Input Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
4.
Nilai-nilai yang Penting ............................................................................... L-4
5.
Uji Coba Model ........................................................................................... L-5
.................... L-3
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.508 buah, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya kelautan yang sangat melimpah dan dapat dimanfaatkan
sebagai
aset
untuk
kepentingan
pembangunan
nasional.
Kekayaan sumberdaya yang terkandung di dalam atau di sekitar pulau-pulau merupakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya (ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang serta biota yang hidup didalamnya), media rekreasi, pariwisata, konservasi, komunikasi dan pemanfaatan lainnya. Namun demikian, pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut untuk kegiatan pembangunan hingga saat ini sangat tertinggal kondisinya dibandingkan dengan negara lain. Harus diakui bahwa sumberdaya alam daratan suatu pulau kecil seperti sumberdaya air tawar, ruang, vegetasi, tanah, kawasan pantai, margasatwa dan sumberdaya lainnya terbatas.
Karena keterbatasannya ini,
daya dukung pulau kecil dalam menopang kegiatan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development) juga biasanya tebatas.
Mudahnya
keseimbangan ekologi lingkungan pulau terganggu, membuat pulau kecil merupakan sebuah kasus dalam pengelolaan lingkungan, baik dari segi sumberdaya alam (resources), ekonomi, maupun kegiatan-kegiatan yang saling berinteraksi didalamnya. Keterbatasan sumberdaya alam membuat kemampuan mencukupi sendiri (self sufficiency) sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, secara ekologis maupun ekonomis, pilihan-pilihan pola pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkesinambungan (sustainable development) di pulaupulau kecil lebih sulit, tetapi bukan tidak mungkin prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan tersebut dapat diterapkan. Dahuri (2003b) menyebutkan bahwa sustainable development dapat diartikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kawasan pembangunan, secara ekonomis dianggap
2
berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa (good and services) secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dari hutang
luar
negeri
pada
tingkatan
yang
terkendali
dan
menghindari
ketidaksinambungan antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder dan tersier.
Suatu kawasan pembangunan
dikatakan
(an
secara
area/ecosystem)
ekologis
berkelanjutan
ecologically
sustainable
manakala basis (ketersediaan stok) sumberdaya alamnya
dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi dan carrying capacity lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Sepaham dengan pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan pesisir secara terpadu/Integrated Coastal Management (ICM). Berbeda dengan konsep sustainable development
yang lebih mengedepankan keterpaduan
antara dimensi ekonomi, ekologi dan sosial; dalam pengembangan konsep ICM lebih menekankan pada beberapa keterpaduan, diantaranya adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan pemerintahan, keterpaduan keruangan, keterpaduan disiplin ilmu serta keterpaduan internasional yang tujuan akhirnya adalah pembangunan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Berkaitan dengan pengembangan konsep sustainable development dan konsep ICM, dapat ditarik benang merah keterkaitan antar keduanya.
Oleh
karena itu, dalam pengembangan satu kawasan sangat penting untuk mengaitkan kedua konsep tersebut sehingga dicapai suatu pengembangan atau pembangunan seperti yang diinginkan. Penelitian ini mengambil lokasi di Pulau Batam, dalam upaya untuk mengembangkan konsep-konsep sustainable development dan ICM.
Dengan
2
luas 415 km , Pulau Batam adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi.
Data pada bulan
Desember 1998 tercatat bahwa Pulau Batam berhasil menarik investasi swasta sebesar US$ 5.166.313,559 dengan komposisi 47,61% di kegiatan industri, 22,08% di kegiatan perdagangan dan jasa, 15,86% di kegiatan pariwisata, 14,03% di kegiatan perumahan dan 0,62% di kegiatan pertanian.
Laju
3
pertumbuhan ekonomi di Pulau Batam pun mencapai angka pertumbuhan tertinggi di Indonesia.
Sebelum krisis moneter, selama periode 1993 -1996
pertumbuhan ekonomi mencapai 17,4% pertahun, bahkan pada saat krisis tahun 1997 pertumbuhan ekonomi masih positif sebesar 12,5%. Gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif, khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai P. Batam.
Hal ini diduga terkait dengan keberadaan kegiatan
industri khususnya sektor konstruksi dan galangan kapal yang terkonsentrasi di beberapa wilayah pesisir. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa pada kenyataannya pembangunan yang ada dan terjadi pada saat ini sudah menyimpang atau tidak sesuai lagi dengan peruntukkan yang ditentukan dalam master plan.
Perubahan lahan dari daerah hijau menjadi industri dan
peruntukkan lainnya terutama untuk industri mengakibatkan timbulnya dampakdampak negatif seperti peningkatan jumlah limbah akibat kegiatan industri yang muncul serta kecenderungan terjadinya peningkatan erosi dan sedimentasi yang dikhawatirkan akan berdampak lebih lanjut pada ekosistem pesisir dan laut di P. Batam. Penelitian yang berjudul “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Batam” ini bertujuan untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap pemanfaatan lahan di Pulau Batam sehingga dihasilkan sistem pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah utama sustainable development
yaitu keberlanjutan dari segi
ekonomi, ekologi dan keberlanjutan dari segi sosial serta penerapan konsep ICM. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat menjadi model pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya dan penerapan ICM pada khususnya terutama untuk pengembangan dan pembangunan pulau-pulau kecil yang dapat direplikasikan untuk pembangunan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia. 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Orientasi pembangunan di Indonesia selama ini adalah orientasi pembangunan ke arah darat, yakni suatu orientasi yang memandang halaman depan rumah adalah daratan. Berbeda dengan orientasi pembangunan ke laut, yakni suatu orientasi yang memandang wilayah laut sebagai halaman depan rumah. Wilayah pesisir dan laut adalah wilayah yang selama ini lebih dianggap sebagai tempat buangan limbah karena merupakan halaman belakang rumah,
4
dibanding sebagai tempat yang indah dan perlu mendapatkan perhatian karena merupakan halaman depan rumah.
Apalagi Indonesia merupakan negara
kepulauan (archipelagic state) yang wilayah lautnya mencapai 2/3 dibandingkan wilayah daratan, sehingga kerusakan di wilayah pesisir dan laut akibat kegiatan di daratan akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang ada. Seiring dengan berkembangnya konsep sustainable development dan ICM
untuk
perencanaan
dan
pengembangan
wilayah
pesisir,
maka
dikembangkanlah konsep penataan ruang wilayah pesisir dan laut sehingga wilayah tersebut dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.
Terkait dengan pendalaman konsep tersebut, maka titik berat
pada penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini, selain kajian rencana tata ruang yang telah ada dibandingkan dengan implementasinya di lapangan untuk mengetahui berbagai kesesuaian atau penyimpangan alokasi penggunaan lahan yang telah dilakukan sehingga dampak ekologi, ekonomi dan sosial dapat diprediksi dengan baik, juga untuk melakukan langkah antisipasi pengelolaan ke depan sehingga Pulau Batam dapat dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainable development) dan penerapan konsep ICM yang baik. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa dalam master plan Pulau Batam, pulau ini diperuntukan sebagai daerah industri, perdagangan dan jasa. Hingga tahun 1998, wilayah P. Batam sangat diminati dan telah dikuasai oleh investor-investor yang bergerak dibidang industri - industri elektronik, perkapalan, jasa dan pariwisata. Beberapa kegiatan tersebut telah melakukan pembangunan, pembukaan lahan dan pengurukan ke laut (reklamasi). Pembukaan lahan pada areal yang cukup luas dan ditambah dengan operasionalisasi
berbagai
jenis
industri
telah
mengakibatkan
timbulnya
pencemaran lingkungan terutama air laut. Aliran air permukaan pada saat hujan menggerus tanah-tanah yang terbuka dan membawa partikel-partikelnya. Partikel-partikel tanah tersebut mengakibatkan timbulnya sedimen disepanjang pantai dan kekeruhan air laut, dan secara fisik terlihat bahwa kekeruhan air laut diperairan sekitar Pulau Batam lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitar pulau Rempang dan Galang. Disamping itu, sumber pencemaran lainnya adalah limbah yang dihasilkan dari industri baik berbentuk padat atau cair, khususnya
5
minyak dan metal (logam) yang masuk dan terbawa keberbagai tempat karena pergerakan air laut. PRC (1996) menyatakan bahwa perairan pantai di sekeliling P. Batam telah tercemar akibat masuknya air buangan yang tidak diolah, kegiatan perkapalan
lepas
pantai
dan
juga
kemungkinan
polutan
kimiawi
dari
pembuangan industri masuk ke dalam lingkungan laut. Polusi minyak teralokasi di luar Bendungan Duriangkang dan di Water Front City. Pemanfaatan ruang di P. Batam, walaupun memperlihatkan nilai positif dari sudut pendapatan dan pertumbuhan ekonominya, ternyata masih kurang peduli dalam penanganan lingkungan, terbukti dari dampak-dampak yang ditimbulkan seperti telah dijelaskan di atas. Beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya dampak negatif : 1.
Hampir semua lahan teralokasi/ diserahkan kepada investor.
2.
Seluruh muka lahan dibuka dan dimanfaatkan seluas-luasnya.
3.
Tidak tersedia lahan konservasi/daerah-daerah yang harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
4.
Pembukaan lahan (cut and fill) kurang memperhatikan muka lahan yang ada.
5.
Penimbunan ke laut dilakukan dengan konvensional, dimana tanah diambil dari lokasi yang terdekat tanpa memperhatikan pengamanan dan dampak yang ditimbulkan.
6.
Penyediaan lahan untuk hijau lingkungan kurang diperhatikan dan lahan hanya digunakan untuk pembangunan dan infrastruktur.
7.
Kondisi alam asli yang harus dipertahankan di luar kavling turut dirusak.
8.
Tidak ada koordinasi atau kerjasama yang positif antar pemilik lahan.
9.
Belum tersedia sarana umum pengolahan limbah buangan dari seluruh aktivitas yang ada.
10.
Belum dilaksanakan cara-cara yang berwawasan lingkungan dalam melakukan penimbunan dan pencegahan erosi.
6
Permasalahan lain yang dihadapi wilayah pesisir P. Batam adalah meningkatnya jumlah pendatang dari luar pulau untuk mencari nafkah. Kedatangan arus dari luar sangat besar dan sebagian besar tidak mempunyai kemampuan/keahlian, sehingga tidak mendapatkan pekerjaan formal ataupun rumah tinggal yang memadai. Akibatnya mereka mencari pekerjaan yang non formal, dan merambah lahan-lahan kosong yang sebagian besar adalah hutan lindung atau ruang terbuka hijau (RTH) kota yang tidak boleh dibangun untuk tempat tinggal. Permasalahan ini semakin tahun semakin besar dan ini terjadi di seluruh wilayah P. Batam.
Dampak yang ditimbulkan adalah rusaknya
keseimbangan lingkungan, cadangan air waduk terganggu, munculnya lahan kritis dan tanah longsor. Perbaikan masih sangat memungkinkan, tetapi yang paling penting adalah memanfaatkan kawasan P. Batam secara optimal, yang berarti meninjau kembali rencana tata ruang yang ada dan memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari pembangunan yang telah dilaksanakan. Pada dasarnya setiap peruntukan lahan di kawasan P. Batam mempunyai nilai ekonomi yang berbeda-beda. Setiap meter persegi lahan dapat berarti investasi yang dapat memacu pertumbuhan dan pendapatan untuk lokasi tersebut. Disisi lain peruntukan dapat juga berarti biaya yang harus ditanggung atau dikeluarkan, seperti biaya untuk penyiapan infrastruktur,
atau
kerugian
yang
harus
ditanggung
karena
kurangnya
sumberdaya, ataupun dampak yang ditimbulkan karena rusaknya lahan tersebut. Dari berbagai kondisi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : (1) Bagaimana alokasi lahannya dan sejauh mana terjadi penyimpangan pengalokasian lahan terhadap master plan? (2) Bagaimana manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari setiap pengalokasian lahan, terutama pengalokasian lahan untuk kegiatan industri, pariwisata, jasa, perumahan dan pertanian? (3) Bagaimana mendapatkan nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dari pemanfaatan lahan di P. Batam? 1.3 Tujuan Penelitian (1)
Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap
7
master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned) untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. (2)
Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam penyempurnaan pembangunan Pulau Batam dan pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia.
(3)
Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi : (1)
Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini akan menjadi bahan acuan bagi para
pembuat
kebijakan
dan
bahan
masukan
dalam
mengoptimalkan potensi ekonomi P. Batam. (2)
Bagi masyarakat dan investor, hasil penelitian ini akan sangat berguna untuk menjadi bahan pertimbangan bagi investor dan juga merupakan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat.
(3)
Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan dalam pemahaman proses respon dari suatu skenario sistem pengembangan kawasan pertumbuhan di wilayah pesisir pada umumnya dan pulau kecil pada khususnya.
1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Pemanfaatan lahan yang tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem alam dan sosial.
(2)
Lahan dalam kondisi asli maupun yang telah diolah mempunyai nilai yang besarnya tergantung dari cara menghargai dan memanfaatkan lahan tersebut.
8
(3)
Pemanfaatan lahan akan optimal apabila dapat menarik investasi positif maksimal dan menghasilkan dampak negatif yang minimal.
1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) harusnya menjadi ruh di setiap pembangunan yang dilakukan baik di wilayah darat, laut, pesisir maupun pulau-pulau kecil dalam rangka menjamin keberlanjutan dari sisi ekologi, ekonomi maupun dari sisi sosial. Namun, pada kenyataanya meskipun konsep tersebut sudah diadopsi, tetapi sering terjadi penyimpangan pada pelaksanaan di lapangan. Dengan konsep utama pembangunan P. Batam, perbandingan lahan terbangun dan tidak terbangun adalah berbanding 40 : 60, dan dengan peruntukkan daerah terbangun menjadi 5 (lima) peruntukan utama, yaitu Peruntukan Jasa / Pertokoan, Peruntukan Perumahan, Peruntukan Industri, Peruntukan Perkebunan / Pertanian dan Pariwisata, seharusnya sudah mencukupi kaidah pembangunan yang berkelanjutan seperti yang diinginkan. Kenyataanya, hingga tahun 1998 sudah banyak bangunan yang berdiri pada lahan yang seharusnya tidak terbangun sehingga mengurangi proporsi lahan yang tidak terbangun yang seharusnya dijadikan areal konservasi sumberdaya tanah dan air. Dengan demikian harus ada evaluasi yang menyeluruh sehingga dapat dihasilkan penyempurnaan dari master plan yang sudah ada. Ada 5 (lima) faktor penting yang perlu dilakukan evaluasi, masing-masing yaitu : (1) Faktor kebijakan : bagaimana kebijakan yang berlaku terutama kebijakan pengaturan ruang yang sudah tertuang dalam RTRW, RUTR, Master Plan, Detail Plan maupun produk tata ruang lainnya sehingga bisa diketahui penyimpangannya dan dicarikan solusinya untuk mengurangi/mencegah dampak negatif yang mungkin timbul. (2) Faktor lahan : bagaimana pemanfaatan lahan yang sudah ada saat ini, baik sesuai dengan master plan maupun yang tidak sesuai master plan sehingga bisa dilakukan optimalisasi pemanfaatan lahan. (3) Faktor lingkungan : bagaimana menerapkan standar lingkungan yang sesuai dengan acuan yang berlaku seperti standar luas daerah
9
konservasi (daerah hijau), standar limbah, buangan, B3 dan sebagainya. Faktor lingkungan ini terkait dengan kondisi ekologi dan sosial masyarakatnya, terutama penghargaan terhadap lingkungan (environmental awareness). (4) Faktor ekonomi dan investasi : bagaimana mengoptimalkan lahan yang ada, yang dari sisi ekonomi dan investasi mampu menghasilkan investasi positif yang maksimal, sementara dari sisi dampak negatif hanya menimbulkan dampak yang minimal. (5) Faktor implementasi :
akar
permasalahan
(root
causes)
penyimpangan dalam implementasi setiap master plan P. Batam dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian hasil (output) Disertasi Doktor ini tidak hanya model (kebijakan) pemanfaatan lahan P. Batam secara optimal dan berkelanjutan, tetapi juga rekomendasi konkrit (operasional) implementasi dari model termaksud, agar pengalaman berupa penyimpangan terhadap master plan P. Batam tidak terulang di masa mendatang. Dari rangkaian evaluasi kelima faktor tersebut diharapkan mampu dihasilkan rekomendasi pemanfaatan lahan, model lahan dan investasi yang menguntungkan dari sisi ekonomi dan tidak merugikan dari sisi lingkungan serta prediksi yang optimal ke depan. Pendekatan Penelitian.
Gambar 1, memperlihatkan Kerangka
10
VISI PRESIDEN UNT. MENGELOLA SELAT MALAKA RENCANA PENGEMBANGAN PULAU BATAM PENCETUSAN IDE DALAM MASTERPLAN P. BATAM
PELAKSANAAN DI LAPANGAN
PENYIMPANGAN DARI RENCANA EVALUASI & PENYEMPURNAAN MASTER PLAN
PERMASALAHAN & PENYIMPANGAN KEMBALI
PERMINTAAN PASAR AKAN LAHAN SANGAT TINGGI
KEBIJAKAN PERSAMAAN DENGAN WILAYAH LAIN
BURUH (MIGRASI) SPEKULASI / LAN
KURANG PEDULI LINGKUNGAN
EKONOMI BIAYA MURAH
PERENCANAAN
PROFIT MAKSIMAL
PELAKSANAAN
MUDAH DIJANGKAU
PENGAWASAN
EVALUASI
PERLU KEBIJAKAN BARU YG MENGIMBANGI
OPTIMALISASI LAHAN KONTROL PENDUDUK SEGERA DIBANGUN
ANALISIS SPASIAL (GIS)
PENERAPAN STANDAR LINGKUNGAN (HIJAU, STAND.LIM. BUANGAN, B3)
PEMODELAN SISTEM PEMANFAATAN LAHAN dan INVESTASI
-SEWA LHN. YG KOMPETITIF -BURUH BERKUALITAS -SARPRAS MEMADAI -INSENTIF
ANALISIS BEBAN LIMBAH
REKOMENDASI PEMANFAATAN LAHAN MODEL LAHAN & INVESTASI PREDIKSI OPTIMAL KE DEPAN Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Paradigma Pembangunan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan
2.1.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM) Menurut Clark (1992), kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi. Oleh karena itu setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (runoff), aliran air tanah (ground water), air tawar beserta segenap isinya (seperti unsur nutrien, bahan pencemar dan sedimen) yang berasal dari ekosistem daratan dan akhirnya akan bermuara di perairan pesisir. Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, juga dapat diangkut dari ekosistem daratan atau udara dan ditumpahkan ke ekosistem pesisir melalui air hujan. Pola sedimentasi dan abrasi pantai juga ditentukan oleh pergerakan massa air berupa arus, pasang surut, dan gelombang. Pergerakan massa air juga mempengaruhi gerakan atau perpindahan biota perairan (plankton, ikan dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Sebagai pertemuan dua ekosistem yang berbeda, maka kawasan pesisir dicirikan oleh adanya : a.
Keunikan dan keanekaragaman sumberdaya alam serta keterkaitan ekologis antara ekosistem darat dan laut.
b.
Berbagai macam sumberdaya (multiple resources) yang merupakan milik bersama (common property resources). Berbeda dengan sumberdaya darat, sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari berbagai jenis ekosistem (sistem bakau, lahan basah, sistem pasang surut lainnya, sistem padang lamun, sistem terumbu karang dan sistem pantai berpasir). Oleh karena itu diperlukan bentuk pengelolaan yang berbeda-beda. Dari kedua hal tersebut di atas dapat dikatakan wilayah pesisir merupakan
wilayah
yang
kompleks,
baik
kompleks
akan
stakeholder
(pemangku
kepentingan) maupun kompleks akan sumberdaya dan permasalahannya.
12
Dengan demikian maka perlu dilakukan pengelolaan yang terpadu (Integrated management), yang bila dilakukan di wilayah pesisir dapat dikatakan sebagai Integrated Coastal Management (ICM). Istilah ini pun sangat beragam, sehingga banyak sekali istilah yang berkaitan dengan ICM, seperti ICZM (Integrated Coastal Zone Management), ICAM ((Integrated Coastal Area Management) dan ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning and Management) seperti yang diperkenalkan oleh Dahuri et al. (1996). Sedangkan menurut Cicin Sain dan Knecht (1998), keterpaduan di dalam management wilayah pesisir ini mencakup lima aspek atau dimensi, yaitu : (1) Keterpaduan antar sektoral (Intersectoral integration). Keterpaduan yang dimaksud disini adalah keterpaduan antar berbagai sektor yang terkait, baik dalam menangani wilayah pesisir dan lautan, maupun keterpaduan antar sektor yang bekerja di wilayah pesisir dengan yang bekerja di lahan atas (land based sectors), tetapi berpengaruh terhadap wilayah lingkungan pesisir. (2) Keterpaduan antar pemerintahan (Intergovernmental Integration). Keterpaduan yang dimaksudkan disini adalah keterpaduan secara vertikal antara pemerintah pusat (nasional) dan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten (lokal), serta keterpaduan horizontal antara propinsi dan kabupaten. Berbagai tingkatan ini memainkan peran yang berbeda, memenuhi kebutuhan masyarakat yang berbeda, dan mempunyai perspektif yang berbeda pula. Berbagai perbedaan ini harus dapat diselaraskan sehingga tercipta keharmonisan didalam kebijakan dari pusat hingga daerah. (3) Keterpaduan Spasial (Spatial Integration). Keterpaduan disini dimaksudkan adalah keterpaduan antara wilayah pesisir, wilayah lautan, dan wilayah daratan, seperti telah disinggung diatas bahwa wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh beberapa kegiatan di daratan maupun di lautan. (4) Keterpaduan disiplin ilmu (Science Management Integration). Keterpaduan yang dituntut disini, adalah keterpaduan antar disiplin ilmu yang berbeda yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan bidang yang
13
bersifat multi disiplin, sehingga harus ada prinsip yang sama terhadap tujuan dan strategi pengelolaan yang hendak dijalankan. (5) Keterpaduan Internasional (International Integration). Setiap negara hampir selalu berbatasan dengan negara lain, sedangkan di sisi lain beberapa sumberdaya lautan seperti ikan bersifat mobile (bergerak) dan tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu walaupun pengelolaan wilayah pesisir pada prinsipnya hanya diterapkan di wilayah hukum yang menjadi kekuasaannya, setiap negara harus bekerja sama dengan negara lain untuk dapat melindungi dan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan. 2.1.2 Pembangunan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi tema sentral pada kebijakan dan perencanaan pembangunan diberbagai pemerintahan di seluruh dunia, baik dalam tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan pengelolaan (Kay dan Alder, 1999). Perencanaan wilayah merupakan salah satu alat perencanaan pembangunan ataupun komponen pada proses pencapaian tujuan pembangunan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, salah satu strategi pembangunan dilaksanakan melalui perencanaan wilayah yang mempertimbangkan aspek lingkungan yang disebut sebagai perencanaan wilayah berkelanjutan. Perencanaan wilayah tersebut merupakan sarana keterpaduan pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Sugandhy, 1999). Selanjutnya Lang (1986) menyebutkan bahwa untuk memperoleh suatu perencanaan wilayah berkelanjutan, penting untuk memahami karakteristik atau kaidah-kaidah lingkungan, yaitu : •
Biosphere/ecosystem
perspective:
manusia
merupakan
bagian
dari
lingkungan (ekosistem) tempat dia hidup, termasuk tentang adanya interaksi kegiatan manusia dan lingkungan serta dampaknya dalam suatu ekosistem. •
Systemic: setiap permasalahan lingkungan harus mempertimbangkan keseluruhan sistem yang berpengaruh. Untuk itu memahami adanya saling
14
keterkaitan, interaksi antar subsistem maupun terhadap sistem yang luas, serta pemahaman hubungan dan ketergantungan antar sistem. •
Site specific: pemahaman terhadap keunikan setiap komponen lingkungan. Jika dihubungkan dengan keterkaitan, maka penting untuk menghubungkan suatu perubahan lingkungan terhadap konteks yang lebih luas.
•
Time–conscious:
memperhatikan
perubahan
lingkungan
berdasarkan
berbagai siklus waktu, jangka panjang atau pendek dan masa lampau atau masa depan. •
Impact-oriented: mengacu pada akibat aktivitas manusia dan berupaya untuk mengungkapkan bagaimana dampak tersebut didistribusikan (siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan).
•
Fundamentally preventive: prioritas strategis perencanaan lingkungan adalah aspek konservasi, yang berorientasi pada upaya pengurangan permintaan terhadap barang dan jasa yang pengadaannya dapat menciptakan permasalahan lingkungan dan usaha untuk meminimisasi dampak yang merugikan. Dengan demikian, dalam suatu kegiatan perencanaan wilayah yang
berkelanjutan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Yeang, 1995 dalam Dahuri, 2003b): (1)
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip lingkungan yang berlaku, yaitu: −
Setiap ekosistem terdiri atas komponen biotik (organik) dan abiotik (inorganik) yang berinteraksi dan memiliki peran dan fungsinya masing-masing, dan akan berinteraksi dan merespons terhadap investasi manusia.
−
Setiap ekosistem akan berhubungan dengan ekosistem lainnya.
−
Setiap lingkungan buatan (man-made environment) merupakan bagian dari suatu ekosistem dimana lingkungan buatan tersebut berada.
(2)
Setiap ekosistem mempunyai karakteristik masing-masing yang unik, terdiri atas struktur fisik, komposisi organisme, dan komponen an-organik yang saling
berinteraksi
(ecological
diperhitungkan dengan cermat
characterization). nilai setiap
Untuk
itu
perlu
ekosistem dan secara
15
proporsional dipilih untuk kepentingan preservasi, dan konservasi dan pemanfaatan optimal. (3)
Interaksi antar ekosistem merupakan proses dinamik dan berubah terhadap waktu, sehingga perlu adanya kegiatan pemantauan yang kontinyu mengiringi kegiatan perencanaan. Dengan demikian, suatu produk rencana harus bersifat fleksibel yang disesuaikan dengan dinamika yang terjadi (responsive and anticipatory planning strategi)
(4)
Karena adanya interaksi antar ekosistem, maka pendekatan perecanaan harus total (total system) atau holistik, sehingga pendekatan yang terlalu menyederhanakan atau bersifat incremental kuranglah tepat. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dengan disiplin ilmu lain.
(5)
Setiap ekosistem mempunyai kemampuan pemulihan (kapasitas asimilasi), jika terjadi suatu ‘gangguan’ atasnya dan kemampuan tersebut (external ecological dependencies). Suatu pembangunan berkelanjutan dapat terwujud jika laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan pulih suatu ekosistem dan resultante dampak negatif yang ditimbulkan tidak melampaui kapasitas asimilasi lingkungan.
(6)
Suatu ekosistem mempunyai beberapa fungsi-fungsi utama yang harus dijaga, agar pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam tetap dapat berkelanjutan yaitu: -
Life support System: Termasuk dalam life support system adalah udara bersih, air dan lahan untuk industri, pertanian, jasa dan sebagainya.
-
Amenity services: Lingkungan yang menyenangkan, menarik dan terbaharukan.
-
Material Input: Contohnya Makanan (sayur, buah, ikan), minyak, gas, kayu dan sebagainya yang tetap dapat disupply oleh alam.
-
Waste receptor Services: Kemampuan sumberdaya alam untuk menyerap dan menguraikan limbah.
Berkaitan dengan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, Dahuri (2003b) menyatakan bahwa bahwa strategi pembangunan dilaksanakan melalui perencanaan wilayah yang mempertimbangkan aspek
16
lingkungan yang disebut sebagai perencanaan wilayah berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka perencanaan pengelolaan wilayah pesisir hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : (1)
Penetapan batas wilayah pulau dan pesisir sebagai suatu satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan ini merupakan suatu unit pengelolaan terintegrasi untuk wilayah pesisir termasuk kawasan hulu hingga kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada pada wilayah tersebut. Tujuannya adalah agar pengelolaan sumberdaya alam yang ada yaitu hutan, tanah, air dan sebagainya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
(2)
Inventarisasi dan pemetaan mengenai : -
Karakteristik biofisik potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan).
(3)
-
Karakteristik dan dinamika sosiokultural masyarakat.
-
Aspek kelembagaan.
Penyusunan Peta Tata Ruang: Berdasarkan data-data pada butir 2, dan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan disusun peta tata ruang yang terdiri dari: (a) Kawasan preservasi; (b) Kawasan konservasi; dan (c) Kawasan pembangunan.
(4)
Penentuan
jenis
kegiatan
pembangunan:
Di
dalam
Kawasan
Pembangunan ini diatur penempatan atau Tata Ruang untuk berbagai macam kegiatan atau Sektor Pembangunan secara sinergis dan saling menguatkan, yaitu antara lain adalah Perikanan, Kehutanan, Pariwisata, Perhubungan, Industri Maritim, dan lain-lain. (5)
Menyusun rencana investasi dan pembangunan berdasar peta tata ruang, meliputi penentuan jenis kegiatan pembangunan
beserta tingkat
intensitasnya untuk lima tahun sampai dengan 25 tahun ke depan. Banyaknya macam sektor pembangunan yang ada membutuhkan prioritas pembangunan secara sinergis dan sesuai dengan dimensi waktu. Sektorsektor
pembangunan
dapat
dibagi
menjadi
beberapa
kelompok,
sedangkan Rencana Pembangunan terdiri dari dua alternatif. (6)
Menyusun Pedoman pengelolaan pencemaran dan pemeliharaan kualitas perairan laut.
17
(7)
Menyusun Pedoman konservasi habitat pesisir yang vital seperti mangrove, terumbu karang dan sebagainya.
(8)
Deskripsi tentang struktur dan mekanisme organisasi. Untuk jelasnya lihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini.
Tabel 1. Kelompok Sektor-sektor Pembangunan
SEKTOR PRASARANA KERAS (Hard infra structure sector) SEKTOR PRASARANA SEKTOR PRASARANA LUNAK (Soft infra structure sector)
SEKTOR PEMBANGUNAN
SEKTOR PRODUKTIF
Sektor Pemukiman Sektor Prasarana Wilayah Sektor Perhubungan Sektor Pendidikan Sektor Kesehatan Sektor Ketenaga Kerjaan Sektor Agama Sektor Hukum Sektor Kelembagaan dll.
Sektor Pertanian Sektor Kehutanan Sektor Perikanan Sektor Pariwisata Pertambangan dan Energi Industri
Sumber : Dahuri (2003a).
Tabel 2. Alternatif Rencana Pembangunan Perencanaan
RENCANA PEMBANGUNAN
Strategi
Prioritas Pembangunan
Strategi pembangunan seimbang
Berbagai jenis sektor dibangun secara bersamaan sekaligus
Strategi pembangunan tidak seimbang
Hanya 1 atau 2 sektor yang mendapatkan prioritas pembangunan
Sumber : Dahuri (2003a).
Untuk menjadikan pengelolaan kawasan pesisir agar tetap berkelanjutan, diperlukan suatu rencana spasial yang matang. Sekali tata ruang ditetapkan rencana akan berjalan dengan dampak positif dan negatifnya. Kawasan pesisir mempunyai berbagai macam sumberdaya, dapat dipastikan akan melibatkan berbagai kegiatan yang akan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Dahuri (2003a), menyatakan bahwa pembangunan bidang kelautan Indonesia tidak mungkin dilaksanakan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Dibutuhkan semacam zonasi (perwilayahan) pembangunan yang
18
disusun berdasarkan kondisi fisik alam, potensi pembangunan sumberdaya alam, jasa lingkungan yang tersedia dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. (1) Perwilayahan (zonation) Persyaratan perencanaan spasial pada daerah pesisir (spatial planning of the coastal zone) untuk mencapai sustainable dan efficient development, adalah adanya 3 macam zoning utama (Dahuri, 2003a), yakni : •
Zoning Pembangunan atau Development/Utilization zone.
Zoning
pembangunan ini merupakan zona pemanfaatan serbaneka (multiple development zone), yang karena karakter biofisiknya dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Zoning Pembangunan adalah spatial unit/kawasan pada daerah pantai untuk kegiatan yang berpotensi membahayakan lingkungan. •
Zoning Konservasi. Zoning Konservasi adalah spatial unit/area pada daerah pantai untuk kegiatan yang berpotensi untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam terbaharukan. merupakan
wilayah
dimana
diperbolehkan
Zona Konservasi
berlangsung
kegiatan
pembangunan, tetapi dengan laju atau pada tingkat yang sangat terbatas. •
Zoning Preservasi. daerah
pantai
Zoning Preservasi adalah spatial unit/area pada
yang
membutuhkan
perlindungan
khusus.
Zona
Preservasi merupakan lokasi dalam Wilayah Pesisir dan Lautan yang mengandung sumberdaya alam (flora, fauna dan mikroba). (2) Komposisi Zoning Komposisi ideal untuk Zoning Pembangunan, Zoning Preservasi, Zoning Konservasi menurut Odum (1976); Clark (1992) dan Dahuri (2002), dalam suatu Wilayah Pesisir dan Lautan dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini: Tabel 3. Komposisi Zoning yang Ideal No
Jenis Zoning
Prosentase Luas Zoning Terhadap Luas Lahan
1
Zoning Pembangunan
60 %
2
Zoning Konservasi
20 %
3
Zoning Preservasi
20 %
Total
100 %
19
(3) Spatial Harmony Menurut Dahuri (2003a), Tata ruang suatu wilayah harus mempunyai Spatial Harmoni atau keharmonisan ruang, yaitu antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan yang dituangkan dalam peta tata ruang.
2.1.3
Pulau Batam Sebagai Pulau Kecil Dengan luas 415 km2, Pulau Batam dapat digolongkan sebagai pulau kecil
bila mengacu pada SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000. Sesuai dengan acuan tersebut, yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang (DKP, 2001). Batasan lain mengenai pulau kecil sangat beragam, antara lain dikatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2 (CSC, 1984); pulau dengan ukuran kurang dari 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km serta mempunyai keterbatasan air tawar (Diaz dan Huertas, 1986); serta pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (UNESCO, 1991). Namun demikian, karena banyak pulau yang berukuran antara 1.000 – 2.000 km2 ternyata memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1.000 km2, maka terminologi pulau kecil yang lebih tepat dan sesuai dengan hasil keputusan UNESCO (2001) menurut Bengen dan Retraubun (2006) adalah pulau yang berukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain. Keterisolasian suatu pulau akan menambah keaneka ragaman hayati yang hidup di pulau tersebut, juga dapat membentuk kehidupan yang unik. Selain itu pulau kecil pada umumnya mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi dibandingkan dengan pulau kontinen, dan juga mempunyai daerah tangkapan air (catchment area) yang relatif kecil, sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Ditinjau dari segi budaya masyarakat, pada umumnya penduduk di pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan budaya masyarakat di kontinen dan daratan. Perpindahan penduduk dan masuknya teknologi ke pulau kecil, sedikit atau banyak akan mempengaruhi kebudayaan mereka. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh pulau kecil seperti kecilnya areal daratan, sumberdaya alam dan sumberdaya
20
manusia yang terampil, menyebabkan sulitnya pulau kecil untuk tumbuh cepat dan mandiri. Beberapa kendala yang dihadapi pulau-pulau kecil dalam mengembangkan daerahnya, menurut Bengen dan Retraubun (2006) antara lain: (1) Ukurannya yang kecil dan isolasi keterasingan menyebabkan penyediaan sarana dan prasarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah merupakan suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya terdapat di pulau tersebut. Akan tetapi, petambahan jumlah penduduk yang besar, baik akibat kelahiran dan perpindahan penduduk mengakibatkan jumlah barang yang di produksikan dan dikonsumsi akan meningkat semakin besar pula. Dalam kasus seperti ini, maka akan dibutuhkan pasar yang lebih besar untuk menjual barang yang diproduksikan dan juga membeli kebutuhan lainnya untuk dikonsumsi, dan pada umumnya terletak cukup jauh dari pulau. (2) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economic scale) yang optimal dan menguntungkan dalam administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan dihampir seluruh pulaupulau kecil di dunia (Brookfield, 1990; Hein, 1990). (3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air bersih, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem), dan satwa liar, pada akhirnya menurunkan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang
kehidupan
manusia
penghuni
dan
segenap
kegiatan
lingkungan
(seperti
pembangunan. (4) Produktifitas
sumberdaya
alam
dan
jasa-jasa
pengendalian erosi) yang terdapat di semua unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau seperti terumbu karang dan perairan pesisir, saling terkait satu sama lain secara erat (Mc. Elroy et al, 1990). Sebagai contoh dalam kasus ini adalah yang terjadi di Pulau Palawan, Philipina, dan beberapa pulau di Karibia Timur, dimana penebangan hutan di lahan darat yang dilakukan secara tidak terkendali, telah meningkatkan laju erosi
dan
sedimentasi
rusaknya/matinya
di
ekosistem
perairan terumbu
pesisir. karang,
Hal
ini
dan
mengakibatkan pada
akhirnya
21
menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari (Hodgson dan Dixon, 1988; Lugo, 1990). (5) Budaya
lokal
kepulauan
kadangkala
bertentangan
dengan
kegiatan
pembangunan. Contohnya pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan asing diangap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat (Francillon, 1990). Di negara-negara maju seperti Jepang misalnya, beberapa buah pulau dibuat khusus dan jumlah pulau buatan ini akan terus meningkat dengan kecepatan relatif tinggi. Di Teluk Tokyo dan Teluk Osaka, sebagai contoh, selain daratan diperluas lewat reklamasi juga banyak pulau dibentuk seperti pembuatan pulau baru untuk lapangan udara di Osaka. Di Indonesia, hal yang sebaliknya terjadi dimana di kepulauan Seribu dilaporkan banyak pulau yang hilang. Bahkan sebagian pulau di Kep. Riau dikeruk untuk mendukung kebutuhan tanah uruk negara lain (Singapore dan Malaysia). Beberapa pulau bahkan sudah dikuasai atau dimanfaatkan secara sepenuhnya atau sebagian oleh pribadi, organisasi, atau sekelompok masyarakat tertentu seperti P. Putri untuk pariwisata, P. Air untuk pemukiman pribadi, P. Nyamuk Besar dan P. Jong untuk perhubungan dan ada beberapa pulau yang telah dirobah sedemikian rupa dengan pengerukan (P. Air) atau penggalian (P. Kelapa) dan pengurugan (P. Kaliangen). Diperkirakan dengan adanya kegiatan tersebut akan timbul dampak negatif terhadap biota baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap habitat. Apabila kerusakan lingkungan terus terjadi maka flora dan fauna pada pulau-pulau kecil akan terancam dan terus menurun yang selanjutnya akan mengurangi keanekaragaman hayati daerah tersebut. Bila ini terjadi maka pada suatu saat pulau-pulau ini tidak akan layak lagi untuk dihuni. Oleh karena itu harus ada suatu perencanaan yang baik untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan di pulau-pulau tersebut. Melihat akan segala potensi, permasalahan dan kendala yang ada pada pulau-pulau kecil bukan berarti bahwa pulau-pulau kecil tersebut tidak dapat dibangun atau dikembangkan sama sekali, akan tetapi pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis khususnya adalah bahwa pembangunan tersebut secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung dari pulau-pulau tersebut
sehingga
dampak
negatif
(fisik
dan
non-fisik)
dari
kegiatan
22
pembangunan harus ditekan seminimal mungkin untuk tidak melebihi daya dukung pulau tersebut. Disamping itu juga pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang dimiliki pulau tersebut. Untuk itu sebelum suatu kegiatan dilakukan terhadap suatu pulau kecil tertentu maka terhadap pulau tersebut perlu dilakukan suatu studi yang komprehensif menyangkut pulau tersebut yang meliputi ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya. Dikarenakan karakterisitik pulau-pulau kecil yang unik dan pada umumnya mempunyai kerentanan (vulnerability) dan peka terhadap berbagai macam tekanan manusia (anthropogenic) maupun tekanan alam, maka dalam pemanfaatannya harus lebih hati-hati. Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar eksosietm pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu: (i) mintakat preservasi; (ii) mintakat konservasi; dan (iii) mintakat pemanfaatan. Untuk itu perlu dilakukan penataan ruang terhadap ekosistem pulau-pulau kecil tersebut. Mintakat (i) dan (ii) menurut UU N0. 24/1992 tentang penataan ruang disebut sebagai kawasan lindung sedangkan mintakat (iii) sebagai kawasan budidaya (Dahuri et al, 1995). Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistim unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman, pelabuhan dan sebagainya. Melihat akan penjelasan menyangkut pembagian zone-zona tersebut dan dikaitkan dengan karakterisitik biofisik pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan cermat. Untuk itu sebelum menempatkan kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai untuk pulau-pulau kecil maka perlu diidentifikasikan terlebih dulu kelayakan biofisik pulau tersebut sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap lokasi dari pulau kecil tersebut. Dengan demikian kita dapat membuat peta tata ruang tata guna lahan untuk wilayah pulau-pulau kecil.
23
Selanjutnya
setelah
kita
berhasil
memetakan
setiap
kegiatan
pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut maka hal berikut yang harus kita buat adalah menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional (Dahuri et al , 1996; Dahuri, 1998).
2.1.4
Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang Seperti halnya dalam konsep pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi,
pembangunan berkelanjutan erat kaitannya dengan kegiatan perencanaan tata ruang atau penataan ruang. Perencanaan tata ruang sendiri merupakan suatu mekanisme pengambilan keputusan tentang alokasi ruang dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan berkelanjutan. Disiplin tata ruang dapat diartikan sebagai usaha optimasi pemanfaatan ruang wilayah dalam bentuk suatu penataan ruang wilayah. Penataan ruang atau perencanaan tata ruang merupakan salah satu model dari kegiatan perencanaan (planning). Penataan ruang merupakan salah model perencanaan yaitu physical planning, karena memberi perhatian pada mencari solusi optimal untuk pola lokasi tempat tinggal, tempat usaha dan kegiatankegiatan manusia lainnya. Biasanya suatu produk tata ruang diperkuat kedudukannya melalui peraturan pemerintah dan dikendalikan oleh pemerintah setempat. Sebagai salah satu dari model perencanaan, maka dalam kegiatankegiatan analisis, proyeksi dan evaluasi harus berorientasi jangka panjang sebagai dasar dari pengambilan keputusan dan implementasinya. Sebagai alat pembangunan dan jika dikaitkan dengan paradigma baru pembangunan berkelanjutan, maka penataan ruang perlu menyesuaikan dengan paradigma baru tersebut. Untuk itu, perlu diperhatikan tiga tujuan fundamental kegiatan perencanaan yang disesuaikan dengan paradigma baru yang terlihat saling berkonflik tetapi sekaligus berpotensi untuk saling melengkapi kepentingankepentingan yang ada yaitu seperti terlihat pada Gambar 2. Sesuai dangan peran yang diharapkan sebagai central player, maka dalam kegiatan penataan ruang berkelanjutan seorang perencana harus dapat menjadi
24
seorang pengarah yang netral (neutral moderator) sekaligus membantu masingmasing
pihak
yang
berkonflik.
Untuk
itu,
seorang
perencana
perlu
mengembangkan keahliannya secara prosedur dan substantif. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengintegrasian pendekataan aspek lingkungan dengan teoriteori sosial, serta mengkombinasikan keahlian substantifnya dengan teknik-teknik penyelesain
konflik
di
masyarakat
yang
kesemuanya
diarahkan
untuk
menghadapi ketidakadilan dalam aspek ekonomi dan lingkungan.
− − −
Konflik Properti
Keadilan Sosial Kesempatan Ekonomi Kesetaraan Pendapat
− Berwawasan Lingkungan − Saling menguntungkan − Adil
Konflik Pembangunan
PERENCANA
− Pertumbuhan
Konflik SDA
Ekonomi − Efisiensi
Perlindungan Lingkungan
Gambar 2. Segitiga Tujuan dan Konflik Perencanaan (Campbell, 1996)
Segitiga Tujuan Perencanaan yang berkonflik dengan tiga konflik yang mungkin timbul diantaranya. Seorang perencana harus dapat berdiri pada pusat sebagai central player. Secara lebih rinci, upaya-upaya yang perlu dilakukan seorang
perencana
dalam
menghubungkan
penataan
ruang
wilayah
berkelanjutan dapat diperoleh melalui cara-cara sebagai berikut (Campbell,
1996): (1).
Cara Substantif −
Melalui suatu desain tata ruang yang berwawasan lingkungan (land use dan design) yang merupakan potensi terbesar seorang perencana untuk dapat menyeimbangkan kepentingan ke tiga pihak. Dalam suatu
25
perencanaan tata ruang diharapkan dapat dicapai secara simultan integritas spasial dan teritorial untuk ketiga pihak. −
Mengubah
wilayah
perencanaan
administratif
menjadi
wilayah
perencanaan berdasarkan pada batas ekologis dari suatu wilayah fisik (physical region) yang terkenal sebagai bioregionalisasi (Campbell, 1996). Untuk itu perlu dilakukan pengaturan skala pembangunan baru untuk suatu masyarakat dan kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan pada batasan ekologis dari suatu fisik (regional scale). Keseluruhan upaya tersebut dilakukan dengan wawasan yang komprehensif bagi penggunaan lahan yang berkelanjutan (sustainable land-use). −
Meningkatkan
kemampuan
teknologi
dalam
upaya
regenerasi
sumberdaya maupun mengendalikan pencemaran, misalnya mencari bahan bakar alternatif ramah lingkungan, daur ulang, bahan baku ramah lingkungan, dan regulasi. Seorang perencana diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan antara bioregionalisme yang bersifat komprehensif
dengan
kepentingan
jangka
pendek
(individual
technology important). (2).
Cara Prosedural: −
Melakukan
negosiasi
menguntungkan
konflik
(win-win
dengan
outcome),
pendekatan
dicapai
melalui
saling keinginan
berkompromi dan mencari keseimbangan penggunaan suatu wilayah untuk berbagai kepentingan. −
Menyelaraskan “bahasa” masing-masing pihak, dimana ahli ekonomi berfikir tentang insentif dan marginal rate; ahli lingkungan berfikir tentang daya dukung lingkungan dan keanekaragaman hayati, ahli sosial
berfikir
tentang
hak-hak
mempunyai
tempat
tinggal,
pemberdayaan dan diskriminasi. Pada tahap ini, seorang perencana bertindak berbagai ‘translator’ dalam rangka membantu masingmasing pihak untuk saling membantu prioritas dan alasan-alasan yang diambil untuk dicari penyelesaian secara seimbang. Untuk itu, seorang perencana harus meningkatkan koleksi data yang disusun dalam suatu kerangka spasial.
26
−
Mengembangkan mekanisme pasar yang dapat memenuhi prioritas ke tiga pihak, terutama bagi golongan miskin yang sangat perlu dibantu dalam rangka keadilan sosial (social equity).
Disadari bahwa masing-masing cara mempunyai kelemahan, maka seorang perencana dapat melakukan upaya-upaya yang menggabungkan beberapa cara sekaligus, misalnya visi substantif yang digabungkan dengan kemampuan
bernegoisasi
dengan
pengembang
(developer),
land-use
preservationist dan ahli yang melaksanakan kepentingan pemerataan sosial (social equity). Selanjutnya dikatakan oleh Bengen dan Retraubun (2006) bahwa kesesuaian unit ruang bagi pemanfaatan ekosistem pulau kecil pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan ditempatkan pada zona yang secara ekologis (biogeofisik-kimiawi) sesuai dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk ekosistem pesisir pulau-pulau kecil yang menerima dampak negatif (negative externalities) berupa
bahan pencemar, sedimen atau
perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai, limpasan air permukaan (run off), atau aliran air tanah (ground water), hendaknya dampak yang diterima ditekan seminimal mungkin sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil masih dapat menenggang segenap dampak negatif yang timbul. Contohnya, jika suatu ekosistem pesisir sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, marikultur atau kawasan konservasi, maka dampak negatif (pencemaran, sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi) yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan di daratan hendaknya diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan. Menurut
Dahuri
(1996)
bahwa
agar
penyusunan
perencanaan
pengelolaan sumberdaya tersebut secara berkelanjutan, maka dari dimensi ekologis
pembangunan tersebut harus memenuhi tiga persyaratan utama.
Pertama, bahwa setiap kegiatan pembangunan hendaknya ditempatkan di lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan persyaratan biofisik dari kegiatan pembangunan tersebut.
Kedua, bahwa laju pembuangan limbah ke dalam
wilayah pesisir dan lautan hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi wilayah tersebut.
Artinya perlu pengendalian pencemaran.
Untuk ini diperlukan
informasi tentang sumber dan kuantitas limbah dari setiap jenis limbah yang masuk ke dalam wilayah pesisir dan lautan, tingkat kualitas perairan pesisir dan lautan serta kapasitas asimilasi perairan tersebut. Ketiga, bahwa laju (tingkat)
27
pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan, khususnya yang dapat pulih, hendaknya tidak melampaui kemampuan pulih (potensi lestarinya) dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, perlu pemanfaatan sumberdaya secara optimal. 2.1.5
Industri yang Berada di Wilayah Pesisir Setiap wilayah pesisir secara tradisional telah dimanfatkan untuk keperluan
Pelabuhan, Perikanan dan Pariwisata. Industri yang berkembang biasanya menunjang kegiatan tersebut. Derasnya pasar atau permintaan mengakibatkan industri berkembang pesat dan bisa tidak terkendali. Bila ini berlangsung dan pembangunan industri berlebihan akan menurunkan dan merusak ekosistim Pesisir dan laut. Dahuri (2003a), menyatakan bahwa sedikitnya terdapat 8 jenis Industri dan Jasa Kelautan Utama yaitu: (1) Perikanan/Industri Aquakultur. Industri perikanan memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih / renewable resource, dan apabila dilihat dari habitat tempat produksi maka pengembangan industri perikanan terdiri dari: Budidaya perikanan berbasis di darat (land based aquaculture). Contohnya
adalah
perikanan
tangkap/tambak
(tambak
ikan
bandeng, udang, kepiting, dsb). Budidaya perikanan berbasis di laut (marine based aquaculture). Contohnya adalah budidaya perikanan pantai (coastal aquaculture) dan budidaya laut (marin culture). Apabila dibandingkan dengan kegiatan industri yang lain, misalkan industri, pertambangan, pariwisata dsb, maka umumnya industri budidaya perikananlah yang dikalahkan, hal ini lebih diperburuk lagi oleh karena pada umumnya belum ada tata ruang pada daerah pesisir dan laut, yang mengakomodir lahan industri budidaya pertanian sebagai suatu lahan khusus yang perlu mendapat perlindungan dari bahaya
pencemaran
yaitu
antara
lain
dengan
pengaturan
penjarangan/spacing antara industri perikanan dengan Industri yang lain.
28
(2) Pertambangan dan Energi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan Industri pertambangan dan energi pada wilayah pesisir dan laut, antara lain adalah: a.
Untuk
mencapai
pembangunan
yang
berkelanjutan,
maka
exploitasi dibidang pertambangan dan energi pada wilayah pesisir dan pantai, harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut: i. Kegiatan exploitasi tidak menimbulkan dampak negatif secara signifikan terhadap lingkungan disekitarnya. ii. Kegiatan
exploitasi
tidak
mematikan
kegiatan
yang
membutuhkan kualitas lingkungan yang prima, misalkan: perikanan, konservasi (cagar alam, taman wisata laut dsb), pariwisata. b.
Pengembangan Pertambangan harus memperhatikan good mining practice yaitu praktek pertambangan dengan teknik yang benar dan senantiasa
memperhatikan
daya dukung alam dan
kelestarian lingkungan. Contoh industri pertambangan adalah: minyak dan gas bumi, emas, bijih besi, dsb. c.
Khusus mengenai penambangan pasir, terdapat beberapa hal negatif yang perlu diperhatikan yaitu: (i) Perubahan morfologi dasar laut terjadi secara tidak beraturan oleh karena pengerukan pasir dilaksanakan tanpa rencana yang matang. (ii) Perubahan morfologi menimbulkan gangguan juga terhadap ke hidupan biota laut dan ekosistem.
(3) Transportasi Laut . Kegiatan transportasi laut merupakan salah satu sumber utama pencemaran di laut, dimana sumber pencemarannya berasal dari kegiatan dilaut itu sendiri (marine based pollution). Sebagai contoh adalah kegiatan kapal pengangkut minyak (oil tanker).
29
(4) Bioteknologi. Pengembangan Industri Bioteknologi pada wilayah pesisir dan kelautan mempunyai potensi besar, khususnya pada wilayah yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, sedangkan industri bioteknologi yang berkaitan dengan upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan antara lain adalah : Bioteknologi kelautan (marine biotechnology) dan perikanan yaitu: Untuk pengadaan aquaculture, pemanfaatan molecular dan rekayasa genetika untuk pengembangan jenis-jenis ikan yang tahan terhadap lingkungan yang sudah tercemar, bioremediasi dan teknik konservasi biota laut. Bioteknologi Industri dan Lingkungan yaitu : Untuk upaya pencegahan dan penetralan polutan melalui proses yang aman, yaitu antara lain dengan mempergunakan mikroorganisme hasil / produk Bioteknologi Industri dan Lingkungan untuk mencegah pencemaran lingkungan. (5) Industri Maritim dan Bangunan Kelautan. Pengembangan Industri Maritim dan Bangunan Kelautan harus memperhatikan karakteristik wilayah, sehingga tidak menimbulkan dampak ekologi dan sosial.
Termasuk dalam bangunan kelautan,
antara lain adalah Dermaga, Lapangan penumpukan, terminal penumpang dll. (6) Pariwisata Bahari. Pengembangan pariwisata bahari yang mempunyai potensi besar antara lain adalah pada wilayah pantai yang indah dan alami, keanekaragaman flora dan fauna di laut. Selain dari pada itu, kegiatan pariwisata yang lain adalah ski air, berlayar, berselancar, berenang. (7) Benda-benda Berharga. Pengembangan kegiatan pengangkatan dan pemanfaatan bendabenda berharga dari dasar laut seperti pengangkatan kapal-kapal atau barang-barang berharga pada masa lalu, perlu memperhatikan aspekaspek lingkungan, yaitu mempergunakan peralatan yang ramah lingkungan. selesai.
Kondisi lingkungan harus diperbaiki setelah kegiatan
30
(8) Pulau-pulau Kecil. Untuk mengembangan pulau-pulau kecil oleh pengusaha dari luar pulau,terlebih dahulu dibutuhkan studi dan perencanaan untuk mengetahui kebutuhan pembangunan.
Studi/penelitian antara lain
meliputi: Kategorisasi pulau-pulau kecil untuk mengetahui kendala dan permasalahan lingkungan yang ada dan juga analisa sistem ekonomi, demografi, politik, lingkungan dan teknologi. Penelitian yang dilaksanakan meliputi penelitian interdisiplin dan interaktif dengan melibatkan para pakar dari lembaga pengkajian teknologi regional atau pusat penelitian terkait untuk mendapatkan penelitian, perencanaan dan pembangunan yang komprehensif. Apabila dilihat dari segi keragaman dan intensitas kegiatan pembangunan maka jenis-jenis Industri yang dikembangkan diletakkan di dalam 4 zonasi (perwilayahan) yaitu : Zona 1: Zona ini meliputi lahan pesisir atau coastal land hingga perairan laut sejauh 12 mil dari garis pantai, lahan pesisir umumnya disebut sebagai wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Kondisi biofisik pada zona ini, secara umum memungkinkan untuk berbagai kegiatan pembangunan seperti pada Tabel 4. Zona pertama merupakan zona yang paling produktif dan dapat disebut sebagai zona pemanfaatan serbaneka atau multiple development zone. Zona 1 secara hayati/biological merupakan kawasan yang paling produktif oleh karena: •
Persediaan unsur hara cukup melimpah baik yang berasal dari aliran air sungai atau aliran permukaan (surface run off).
•
Karena zona ini pada umumnya dangkal, maka sinar matahari dapat menembus kedalam laut, tanpa halangan.
Khusus untuk lahan pesisir, dimana sebagian tanahnya terbentuk oleh endapan aluvial, maka umumnya merupakan lahan pertanian yang subur. Zona 2, 3 dan 4: Semakin jauh mengarah ke laut lepas, maka jenis kegiatan yang dapat dilaksanakan juga akan makin terbatas, karena:
31
•
Semakin
berkurangnya
potensi
jenis-jenis
pembangunan
yaitu
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. •
Semakin jauh jaraknya dari pantai maka kondisi laut juga semakin kurang bersahabat.
Tabel 4. Zonasi Kegiatan Industri
Jenis Zoning Laut
Wilayah Zoning
Zoning 1
Lahan pesisir/coastal land sam pai perairan laut sejauh 12 mill dari garis pantai
Zoning 2
Wilayah laut Nusantara (Archipe lagic waters) diluar 12 mill laut
Zoning 3
Wilayah laut dari 12 mill sampai 200 mill kearah laut lepas/ batas terluar Zone Ekonomi Eksklusif
Zoning 4
Wilayah laut bebas diluar Zone ekonomi eksklusif
Jenis Industri yang sesuai 1.Perikanan Pelagis kecil. 2.Perikanan Ikan karang. 3.Perikanan Demersal. 4.Perikanan Udang. 5.Martikultur. 6.Budidaya Tambak. 7.Pariwisata. 8.Konservasi. 9.Pelabuhan Perikanan. 10.Pelabuhan Umum. 11.Galangan Kapal. 12.Industri Maritim. 13.OTEC. 14.Riset. 15.Pertahanan dan Keamanan. 1.Perikanan Pelagis kecil. 2.Perikanan Ikan karang. 3.Perikanan Demersal. 4.Migas. 5.Perhubungan. 6.Riset. 7.Pertahanan dan keamanan. 1.Perikanan Pelagis besar. 2.Migas. 3.Perhubungan. 4.Riset. 5.Pertahanan dan Keamanan 1.Perikanan Pelagis besar. 2.Mineral. 3.Perhubungan. 4.Riset.
Sumber : Dahuri (2003a).
Di sisi darat yang masuk di wilayah pesisir dapat juga mengacu standar umum pemanfaatan lahan untuk merencanakan tata guna lahan khususnya untuk lahan miring dengan mengikuti Tabel 5 di bawah ini.
32
Tabel 5.
Zonasi Berdasar pada Kemiringan Lahan Tata Guna Lahan yang Sesuai
Kemiringan lahan/Lereng
Perumahan Industri 0-30%
Pariwisata Pertanian Hutan Lindung
Sumber : Lembaga Teknologi Fakultas Teknik UI (1991a).
Apabila
ditinjau
dari
segi
ekosistem,
maka
untuk
menempatkan
sektor/kegiatan tersebut di atas, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai berikut : (1)
Kesesuaian spasial, yaitu : Kegiatan yang ditempatkan pada suatu lahan hendaknya sesuai secara biofisik/ekologis.
(2)
Kapasitas asimilasi, yaitu : Lahan dan Lingkungan tempat kegiatan mempunyai kemampuan untuk menyerap polutan yang ditimbulkan.
(3)
Keberlanjutan, yaitu : Dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan tidak mengganggu kelestarian lingkungan.
(4)
Daya dukung, yaitu : kegiatan–kegiatan pada suatu kawasan tidak menimbulkan populasi yang melebihi batas kemampuan lahan untuk menampung penduduk.
2.1.6
Land Rent dan Nilai Lahan/Land Values Wilayah Pesisir Konsep-konsep mengenai sewa yang telah ada sebelumnya dan
memberikan kontribusi secara signifikan terhadap Teori Land Rent masa kini, adalah konsep konsep yang diciptakan pada periode awal setelah era Napoleon oleh:Thomas Robert Malthus, David Ricardo dan Johann Heinrich von Thunnen. Menurut Lembaga Teknologi Fakultas Teknik UI (1991a) bahwa konsep dasar yang berkaitan dengan lokasi spasial dan tetap berkembang dan dipakai hingga sekarang adalah Konsep land rent oleh Johann Heinrich von Thunnen. Uraian secara garis besar dari konsep tersebut adalah bahwa sewa lahan mempunyai nilai yang berbeda, tergantung dengan kedekatan pada pusat kegiatan untuk kegiatan yang sama, semakin dekat dengan pusat kota nilai sewanya semakin tinggi.
Ilustrasi konsep tersebut digambarkan seperti yang
terlihat terlihat pada Gambar 3.
33
Gambar 3.
Konsep Land Rent menurut von Thunnen (1826) dalam Barlowe (1986) Dalam konsepnya, Von Thunen mengasumsikan bahwa land use
wilayah A, B, C dan D adalah sama, yakni ladang, dengan kondisi tingkat kesuburan, topografi dan iklim yang juga sama. Sesuai dengan konsep yang ada, sewa lahan termahal adalah pada lahan A (+0-2 mil dari titik pusat)
yaitu di atas US$ 10. Sewa lahan yang mahal berikutnya adalah sewa lahan pada Lahan B (+4 mil dari titik pusat) yaitu sebesar US$ 10. Sewa lahan makin murah untuk Lahan C (+ 19 mil dari titik pusat) yaitu sebesar US$ 7 dan lebih murah lagi untuk Lahan D ( + 40 mil dari titik pusat) dan yaitu hanya sebesar US$ 2. Kesimpulan konsep tersebut adalah bahwa semakin jauh dari Lahan A, yang merupakan area pusat kegiatan atau pasar sentral, maka sewa lahannya akan menjadi semakin murah. Kemudian Von Thunnen memasukan perubahan asumsi, seperti contoh yang dapat dilihat pada Gambar 4. di bawah ini :
34
Gambar 4.
Perkembangan Konsep Land Rent Thunnen (1826) dalam Barlowe (1986)
menurut
von
Dari Gambar 4 di atas, pusat kegiatan tidak lagi merupakan pasar sentral tetapi Pusat Kota. Jika diasumsikan bahwa kondisi lahan disebelah barat pusat kota mempunyai tingkat kesuburan yang baik, relatif datar dan mudah diolah; serta kondisi lahan disebelah timur pusat kota mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, berbukit-bukit dan sulit diolah, maka perkembangan yang akan terjadi ádalah ke arah barat dan tidak kearah timur. Akan tetapi prinsip terpusat tetap berlaku hanya saja memberat ke arah barat.
Hal ini, berkaitan dengan
biaya transportasi untuk pengangkutan ke pasar di pusat kota. Konsep Von Thunnen dengan segala perkembangannya tetap dipakai, yaitu antara lain oleh: (1) Lembaga Teknologi Fakultas Teknik UI (1991a) yang mengadop pada konsep Von Thunnen menyatakan bahwa nilai lahan akan semakin tinggi jika semakin dekat dengan pusat kota. (2) Raleigh (1986) menyatakan teori mengenai pengaruh lokasi spasial pada pola penggunaan lahan berawal dari suatu model yang dipresentasikan oleh Johann Heinrich von Thunen yang intinya bahwa pengembangan wilayah spatial berawal dari pusat kegiatan.
35
Konsep-konsep masa kini terkait dengan masalah ekonomi dan ekologi, antara lain dikembangkan oleh: Raleigh (1986) dan Hussen (1999). Teori Land Rent masa kini yang relevan dengan kondisi di Pulau Batam adalah teori Hussen (1999) yang menyatakan bahwa rent (sewa) adalah pembayaran (nilai) terhadap suatu sumberdaya alam yang ada pada suatu ekosistem dengan kondisi apa adanya tanpa nilai tambah apapun (zero added value) pada sumberdaya/lahan tersebut. Definisi ini mendekati kondisi di Pulau Batam dimana para Investor membayar biaya sewa lahan atau UWTO (Uang Wajib Tahunan Otorita Batam) untuk menyewa Lahan sesuai kondisi apa adanya pada lahan tersebut. 2.2
Pemodelan Sistem untuk Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
2.2.1 Sistem Dinamik untuk Analisis Kebijakan Metode sistem dinamik merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam pemodelan kebijakan.
Metodologi ini telah dan sedang
berkembang sejak diperkenalkannya oleh Jay W. Forrester pada dekade 50-an di MIT Amerika Serikat. Metode ini sangat erat berhubungan dengan pertanyaanpertanyaan tentang tendensi dinamik sistem-sistem kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan sistem itu dengan bertambahnya waktu. Penggunaan metodologi ini lebih ditekankan kepada tujuan-tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana tingkah laku muncul dari struktur kebijakan dalam sistem itu. Pemahaman ini sangat penting dalam perancangan kebijakan yang efektif. Asumsi utama dalam paradigma sistem dinamik adalah bahwa struktur fenomena proses pembuatan keputusan merupakan suatu kumpulan dari struktur-struktur kausal yang melingkar dan tertutup.
Keberadaan struktur ini
sebagai konsekuensi logis dari adanya kendala-kendala fisik dan tujuan-tujuan social, penghargaan dan tekanan yang menyebabkan manusia bertingkah laku dan membangkitkan secara kumulatif tendensi-tendensi dinamik yang dominant dan sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu model-model sistem dinamik diklasifikasikan ke dalam model matematik kausal.
Penggunaan hubungan
kausal model sistem dinamik dalam ekspresi matematik didasari oleh detail-detail hubungan kausal yang terdapat dalam fenomena yang dikaji. Ide-ide yang menjadi dasar dalam metodologi sistem dinamik diperoleh dari teknik pengendalian, sibernetika dan teori organisasi.
Dengan peran
36
konsep-konsep tersebut dalam pemodelan kebijakan sistem dinamik adalah sebagaimana tampak pada Gambar 5. berikut.
Teori Umpan Balik dan Sibemetika
Simulasi Komputer Prinsip Struktur
Prinsip Seleksi Informasi
Komputasi Biaya Rendah
Kelakuan Dinamik dan Perbaikan kebijakan
Model
Manajemen Tradisional dan Kepemimpinan Poloitik
Gambar 5. Peran Beberapa (Forester, 1973)
Ide
dalam
Metodologi
Sistem
Dinamik
Manajemen tradisional beserta pengalamannya tentang dunia nyata merupakan sumber informasi yang mendasar untuk membuat struktur model dari suatu fenomena. Karena tidak semua informasi dalam model dapat dimasukkan dalam model eksplitsit maka informasi perlu dipilih berdasarkan tingkat kepentingannya dalam fenomena yang dianalisa.
Teori umpan balik dan
sibernetika memberikan prinsip-prinsip informasi-informasi yang relevan dan menyingkirkan informasi yang tidak relevan dengan dinamika persoalan. Informasi yang dipilih kemudian diintegrasikan secara bersama-sama mengikuti suatu kumpulan aturan yang spesifik. Sekali suatu model dapat diformulasikan perilaku dinamiknya dapat dipelajari dengan menggunakan simulasi komputer. Simulasi ini perlu untuk membandingkan perilaku dan struktur model dengan perilaku dan struktur sistem, yang pada gilirannya akan meningkatkan keyakinan terhadap kesahihan model. Bila kesahihan dapat dicapai, simulasi berikutnya dapat digunakan untuk merancang kebijakan yang efektif.
37
2.2.2 Konsep Sistem Dinamik untuk Pemahaman Model Pengertian sistem secara umum menurut Hilel (1977) dalam BAPEDAL dan LAPI (2003) adalah suatu bagian dari alam semesta yang dibedakan dengan jelas dari lingkungan luarnya, baik oleh batas fisik maupun batas-batas konseptual. Sistem juga dapat diartikan sebagai sekumpulan elemen yang saling berhubungan melalui berbagai interaksi yang selanjutnya bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian sistem yang banyak dirujuk adalah yang dikemukakan oleh Hall and Day (1977) dalam BAPEDAL dan LAPI (2003) yang menyatakan sistem merupakan suatu fenomena baik secara struktur maupun fungsional yang memiliki paling tidak dua hal yang dapat dipisahkan yaitu komponen-komponen dan interaksi antara komponen-komponennya. Semua yang dipandang sebagai sistem pada hakekatnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system).
Sebuah sistem terbuka adalah sebuah sistem yang
mempunyai hubungan (relasi) dengan lingkungan sedangkan sistem tertutup tidak mempunyai relasi dengan lingkungan. Sistem-sistem alam seperti sistem biologi dan sistem hidrologi pada umumnya termasuk sistem terbuka, sedangkan sistem tertutup agak jarang dijumpai. Secara umum, ada lima karakteristik dari sistem yang perlu diketahui, yaitu: (i) sistem terdiri dari komponen-komponen; (ii) adanya interaksi antar komponen; (iii) mempunyai mekanisme atau transformasi; (iv) adanya tujuan dan saling ketergantungan; serta (v) adanya lingkungan yang mengakibatkan dinamika sistem. Sedangkan analisis sistem adalah suatu studi tentang sistem dan atau organisasi dengan menggunakan azas-azas ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi atau model.
Konsepsi dan model tersebut dapat digunakan
sebagai dasar kebijakan, perubahan struktur, strategi dan taktik pengelolaan sistem tersebut. Dengan demikian, analisis sistem dapat diartikan sebagai suatu metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pemecahan masalah dalam pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem bertujuan mengidentifikasi unsurunsur penyusun sistem, memahami proses yang terjadi di dalam sistem dan memprediksi kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam sistem.
38
Jeffer (1978) dalam BAPEDAL dan LAPI (2003) mengemukakan bahwa analisis sistem bukan merupakan teknik matematika atau kelompok teknik matematika, tapi suatu strategi penelitian secara luas yang menggunakan beberapa konsep dan teknik memecahkan masalah.
matematika secara sistematis dan ilmiah untuk
Dengan demikian, analisis sistem merupakan suatu
organisasi data dan informasi dengan model-model yang teratur dan logik yang diikuti dengan pengujian dan eksplorasi model untuk mendapatkan validasi dan perbaikan. Dalam analisis sistem terjadi penggunaan analogi fisik dari prosesproses yang diamati. Selanjutnya dikatakan dalam penerapan analisis sistem, terdapat 7 tahap yang saling berkaitan antar satu dengan lainnya, seperti yang terlihat pada Gambar 6.
PENGENALAN DEFINISI DAN PERUMUSAN MASALAH
IDENTIFIKASI SASARAN DAN TUJUAN
PENENTUAN PEMECAHAN MASALAH
PEMODELAN
EVALUASI KEGIATAN
IMPLEMENTASI HASIL
Gambar 6. Diagram Tahap Analisis Sistem menurut Jeffer (1978) dalam BAPEDAL dan LAPI (2003).
1)
Pemodelan Dalam analisis sistem dan simulasi yang paling banyak berperan adalah
model. Model adalah konsepsi mental, dimana hubungan empirik atau kumpulan pernyataan-pernyataan
matematik
atau
dapat
juga
dinyatakan
sebagai
representasi sederhana dari suatu sistem dimana hubungan peubah-peubah
39
digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Suatu model dapat juga diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistem maupun sub-sistem. Sedangkan sistem adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses yang teratur. Suatu sistem mungkin kelihatan sangat rumit karena banyak proses yang terlibat atau banyak komponen didalamnya, namun sistem tersebut merupakan suatu keteraturan. Berdasarkan tujuannya, model simulasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu untuk pemahaman proses, untuk prediksi dan untuk keperluan manajemen. Model simulasi sebagai salah satu metode ilmiah memiliki kelebihan-kelebihan antara lain membantu dalam mendefinisikan dan mengelompokkan pengetahuan yang ada, membantu melokalisir kesenjangan dalam suatu bidang ilmu dan dapat membuat hipotesis secara eksplisit sehingga membantu dalam penentuan prioritas pengkajian, sebagai alat untuk membuat informasi operasional yang terpadu, sebagai media kerjasama yang efektif di antara ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu dan tingkatan ilmu serta pengembangan model sebagai indikasi kemajuan ilmu pengetahuan dan peningkatan ketepatan prediksi. Suatu
model
yang
baik
harus
menggambarkan
fungsi
yang
sesungguhnya dari sistem. Model merupakan alat yang dapat digunakan untuk membantu menggambarkan sistem yang kompleks secara konseptual dan terukur, dan bahkan untuk memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari suatu kegiatan yang apabila diaplikasikan ke dalam sistem yang sebenarnya akan sangat mahal dan memerlukan waktu yang lama atau bahkan sangat merusak bagi sistem dimaksud. Model yang baik dan benar adalah model yang mendukung atribut (komponen) funsgional yang penting dari sistem yang sebenarnya. Pemodelan dirasakan sangat penting artinya bagi pemahaman terhadap alam yang kompleks dan sulit untuk dipahami secara komprehensif. Dengan demikian maka pemodelan dapat diartikan sebagai suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau memprediksi konsekuensi (response) dari sistem tindakan (intervensi) manusia.
Jika tindakan manusia (management intervension) ini
dicobakan secara langsung terhadap sistem (ekosistem) yang sebenarnya (alam), maka konsekuensinya terlalu mahal bahkan mungkin merusak atau sukar untuk dipelajari.
40
Selanjutnya dikatakan dalam literatur yang sama bahwa model dapat dikatagorikan menjadi dua model, yaitu model analitik dan model simulasi. Model analitik adalah model yang rumus eksplisitnya diperoleh dari nilai penduga atau distribusi, termasuk diantaranya adalah model regresi dan multivariate, eksperimen (percobaan), standar mutu, dan teori distribusi statistik. Model ini menggunakan persamaan matematik yang kompleks.
Hasil pemecahannya
bersifat eksak dan hanya dapat digunakan untuk sistem yang sederhana, sebatas kemampuan matematik untuk memformulasikan hubungan fungsional antar komponen sistem dalam bentuk persamaan matematik. Sedangkan model simulasi adalah model yang dapat dijelaskan oleh operasi aritmatika secara rutin, termasuk diantaranya adalah penyelesaian persamaan
diferensial,
pengulangan
aplikasi
dari
matriks
transisi
atau
penggunaan bilangan acak. Model simulasi sedikit menggunakan persamaan matematik dan lebih intensif menggunakan bantuan komputer, sehingga hasilnya bersifat kisaran, tidak eksak, namun dapat digunakan untuk sistem yang lebih kompleks. Simulasi merupakan salah satu pendekatan pemodelan yang paling sering digunakan, terutama untuk proses ekperimentasi pada model-model pengganti eksperimen pada sistem yang nyata.
Salah satu keuntungan
menggunakan simulasi adalah dapat memecahkan banyak persamaan secara simultan
dan
dapat
proses/persamaan.
mengakomodasikan
sistem
non-linier
dari
suatu
Jadi model sangat sesuai untuk sistem yang kompleks.
Melalui simulasi dapat diperoleh keputusan-keputusan yang berguna terhadap jenis-jenis
problema
tertentu.
Dengan
simulasi
juga
dapat
dilakukan
eksperimentasi atau suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakukan terhadap sistem yang diteliti. 2)
Kaitan antara Sistem, Model dan Simulasi Kaitan antara sistem, model dan simulasi dalam analisis sistem sangat
berkaitan erat dan berhubungan secara timbal balik. Hal ini disebabkan karena seluruh komponen dalam sistem, model dan simulasi tersebut merupakan tahapan kerja dalam keseluruhan tahap pengembangan model. Pembentukan sebuah model pada dasarnya merupakan pengembangan proses-proses ilmiah yang didasari oleh logika pikir murni yang diperoleh dari
41
pengalaman sebelumnya.
Model konseptual yang terbentuk kemudian
dilanjutkan dengan penggambaran model diagram yang tujuannya untuk menjelaskan
keseluruhan
konsep
yang
dikembangkan
pada
tahapan
sebelumnya.
Penggambaran tahapan konstruksi sistem tersebut dipengaruhi
oleh berbagai variabel, sehingga pembentukan model secara matematik (analitik) dapat membantu memecahkan masalah.
Kemudian dengan bantuan model
komputer yang terprogram, suatu alternatif solusi dapat dihitung untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. Mengingat daya persepsi dan konsepsi manusia terbatas, maka kecil kemungkinannya untuk dapat membuat model yang benar-benar mewakili sistem atau proses, terlebih lagi bila struktur sistem tersebut semakin rumit tingkatannya. Untuk itu, dibuat suatu pendekatan denga asumsi-asumsi yang dirumuskan atas kesepakatan antara pembuat dan pemakai model.
Dengan
pendekatan tersebut, karakteristik dari sistem yang rumit dapat diselidiki melalui simulasi. Dengan simulasi dapat ditentukan seberapa baik model yang terbentuk dapat memberikan gambaran yang sebenarnya di dunia nyata.
Selain itu,
simulasi dapat pula digunakan untuk memerikasa kelengkapan dari pengukuran percobaan dari sistem alam. Apabila dalam proses simulasi ditemukan bahwa model dan sistem tidak sesuai, maka dapat dianalisis penyebabnya. Perbedaan yang terjadi mungkin karena ketidaklengkapan ataupun penyederhanaan dari sistem alam dan model yang terbentuk, dan hal ini dapat dianalisis lebih lanjut hingga ditemukan penyempurnaan model yang dibentuk. 3)
Metodologi untuk Pemahaman Model Pemahaman sebuah model menggunakan metodologi sistem dinamik
adalah melalui tahapan yang terdiri atas:
42
(1) Identifikasi suatu pola tingkah laku spesifik (pola referensi) Diidentifikasikan pola historis atau pola hipotesis yang menggambarkan fenomena.
Pola perilaku variabel-variabel dari berbagai aspek yang
mencakup perilaku persoalan merupakan wakil dari pola historis maupun hipotesis ini.
Pola ini terintegrasi dalam susunan sedemikian rupa
sehingga merepresentasikan tendensi-tendensi internal yang ada dalam sistem yang ditimbulkan dari sekumpulan umpan balik yang terbentuk dalam sistem dan memiliki implikasi penting untuk analisa kebijakan. (2) Hipotesis dinamik Hipotesis dinamik yang diajukan dalam tahap ini belum tentu tepat, sehingga perlu iterasi, pembandingan dengan bentuk empirik, reformulasi perlu ditempuh hingga diperoleh suatu hipotesis logis dan sahih secara empirik. (3) Batas model Batas model perlu dibentuk untuk memisahkan tendensi internal dan proses-proses yang merepresentasikan pengaruh eksogenous.
Batas
model menggambarkan cakupan analisa dengan fokus utama pada isu yang dibicarakan. (4) Struktur umpan balik Struktur umpan balik menunjukkan proses sebab akibat variabel-variabel dalam loop tertutup bukannya korelasi statistik. umpan balik yaitu loop positif dan loop negatif.
Ada 2 macam loop Loop positif akan
menunjukkan pola pertumbuhan eksponensial atau peluruhan, sedangkan loop negatif akan memberikan pola pencapaian tujuan. keduanya akan menghasilkan bermacam pola perilaku. struktur umpan balik ada 2 yaitu level dan rate.
Gabungan Representasi
Level menunjukkan
akumulasi sedangkan rate menunjukkan aliran. (5) Pengujian model dan analisa kebijakan Menurut Forester (1973), pengujian yang memadai akan mencakup 17 macam pengujian, yang dibagi ke dalam 3 kelompok besar:
43
•
Kelompok pertama, terdiri dari uji struktur model yaitu verifikasi struktur, parameter, kondisi ekstrim, kecukupan batas dan konsistensi dimensi.
•
Kelompok kedua, berhubungan erat dengan perilaku model yaitu reproduksi perilaku, prediksi perilaku, anomali perilaku, anggota kelompok, surprise behavior, kebijakan ekstrim, kecukupan batas dan sensitivitas perilaku.
•
Kelompok ketiga, terdiri dari uji perbaikan sistem, perilaku peramalan yang diubah, kecukupan batas dan sensitivitas kebijakan. Jika korespondensi antara model mental sistem, model eksplisit dan
pengetahuan empirik tentang sistem diperoleh, maka model yang dibuat dapat diterima sebagai suatu representasi persoalan yang sahih dan dapat digunakan dalam analisis kebijakan. 4)
Pendekatan Model Sistem Dinamik Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan metode sistem
dinamik sebagai berikut : (1)
Identifikasi masalah.
(2)
Identifikasi variabel-variabel sistem.
(3)
Formulasi model.
(4)
Analisa tingkat laku dari model.
(5)
Evaluasi model.
(6)
Analisa kebijakan.
(7)
Implikasi model. Proses tersebut di atas diawali dan diakhiri dengan pemahaman terhadap
sistem dan permasalahannya, jadi membentuk suatu lingkugan tertutup. Gambar 7 berikut ini menunjukkan proses dari pendekatan sistem dinamik. Selanjutnya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai metode sistem dinamik, dibawah ini akan dijelaskan pengertian-pengertian dasar mengenai proses pendekatan metode sistem dinamik. Pengertian dasar tersebut antara lain meliputi konsep sistem, bangun model, simulasi serta diagram aliran.
44
IMLEMENTASI KEBIJAKAN
ANALISIS KEBIJAKAN
PEMAHAMAN SISTEM
IMLEMENTASI KEBIJAKAN
FORMULASI MODEL
SIMULASI
KONSEPTUALISASI SISTEM
Gambar 7. Diagram Pendekatan Metode Sistem Dinamik (Forester, 1973) • Sistem dan klasifikasi sistem Definisi sistem yang digunakan disini adalah definisi yang diberikan oleh Forrester dalam bukunya “Principle of Systems”, sebagai berikut: “System means a grouping of parts that operates together for a common purpose”.
Sistem merupakan kumpulan dari unsur-unsur yang
saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang melaksanakan suatu fungsi tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Forrester (1973) mengklasifikasikan sistem sebagai sistem terbuka dan sistem tertutup atau sistem umpan balik.
Pada sistem terbuka, keluaran
merupakan respondari masukan, tetapi keluaran tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap masukan-masukan. Sedangkan pada sistem tertutup, keluarannya kembali mempengaruhi masukan, sehingga tingkah laku pada waktu-waktu berikutnya. Pada sistem tertutup, dapat dilihat adanya ciri-ciri dinamis dari suatu sistem. Dengan demikian arah perhatian ditujukan pada sistem tertutup atau sistem umpan balik. Sistem umpan balik terbagi atas sistem umpan balik negatif dan umpan balik positif.
Sistem umpan balik negarif berusaha
mencapai tujuan dan keluaran data akan mempengaruhi kembali masukan jika tujuan (goal) belum dicapai. Sistem umpan balik positif bersifat divergen
45
sehingga terlihat akan memberikan akibat yang menimbulkan kejadian berikutnya yang semakin besar. Sistem dinamik adalah sistem yang berdasarkan prinsip-prinsip sistem tertutup.
Struktur dasar dari suatu lingkaran umpan balik pada sistem
tertutup dapat digambarkan pada Gambar 8. sebagai berikut:
Keputusan Keadaan (level)
Informasi Keadaan
Gambar 8. Diagram Lingkaran Umpan Balik (Forrester, 1973) Lingkaran
umpan
balik
merupakan
lintasan
tertutup
yang
menghubungkan deretan keputusan yang kemudian menentukan tindakan (level) dari sistem, serta informasi mengenai keadaan (level) dari sistem. Informasi tersebut kemudian kembali kepada keputusan. Dari Gambar 8 terlihat bahwa yang mempengaruhi keputusan bukanlah keadaan (level) yang mungkin berbeda dari keadaan sebenarnya akibat kesalahan atau kelambatan (delay) yang terjadi dalam lintasan. • Pemodelan sistem Suatu model adalah pengganti dari suatu obyek atau sistem. Sedangkan
metodologi
pendekatan
pemodelan
sistem
mempelajari
bagaimana memperlakukan aspek dinamis dan kompleksi dari sistem. Dalam
menerapkan
sistem
dinamik
menyederhanakan sistem yang akan diamati.
digunakan
model
untuk
Penyederhanaan suatu
sistem, baik secara struktural maupun fungsional pada hakekatnya adalah aktivitas untuk memahami sistem tersebut sesempurna mungkin. Proses penyederhanaan yang cukup mendasar dimana sistem itu dinilai dari komponen-komponen pokoknya, dan selanjutnya akan berkembang menjadi penyederhanaan yang lebih mendekati realitas sistem itu sendiri.
46
Pembuatan model merupakan suatu proses untuk menggambarkan berbagai hubungan dalam persoalan yang sedang dihadapi dalam bentuk formal atau matematis.
Jenis model yang dipilih disini adalah model
matematis. Model matematis terdiri dari serangkaian persamaan-persamaan yang menggambarkan interaksi antara variabel-variabel dalam sistem. Jenis model ini dipilih karena dianggap relatif paling mudah untuk dimanipulasi. Pada model matematis dapat dilihat semua asumsi-asumsi yang digunakan dalam menyusun model tersebut, sehingga memudahkan dalam membuat penafsiran terhadap hasil-hasil yang diperoleh. Sebagai pengganti dari sistem sebenarnya,
maka tentu saja
diharapkan suatu model yang dibuat memiliki korespondensi yang erat dengan sistem yang sebenarnya atau dengan kata lain sejauh mungkin dapat merepresentasikan sistem sebenarnya.
Tetapi perlu juga diingat
bahwa untuk sistem yang rumit seperti sistem sosial, ekologi dan sebagainya, maka suatu model yang dapat menggambarkan sistem sebenarnya secara tepat adalah tidak mungkin.
Sehingga untuk sistem
semacam itu pembuatan model hanyalan merupakan usaha pendekatan ke arah model yang sempurna.
Untuk menggambarkan berbagai hubungan
dan interaksi antara variabel-variabel dalam suatu sistem umpan balik digunakan aliran. • Keabsahan model Keabsahan dan kegunaan dari suatu model matematis hendaknya jangan
ditentukan
dengan
membandingkannya
terhadap
suatu
kesempurnaan, tetapi harus juga ditentukan dari tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan model tersebut.
Suatu model secara struktur dapat
dikatakan valid (structurally valid) jika model tidak hanya dapat membuat reproduksi perilaku sistem, akan tetapi ia juga mengungkapkan bagaimana sistem tersebut bekerja menghasilkan perilaku tersebut.
Oleh karena itu
model dapat dikatakan baik jika model dapat menambah pemahaman terhadap perilaku sistem yang dimaksud, mudah dikomunikasikan dan dapat menolong pada sistem tersebut. Dan kadang-kadang suatu model dapat juga dikatakan baik jika masih terbuka untuk perbaikan. Untuk menguji keberhasilan suatu model maka biasanya dibedakan antara pengujian dan pengabsahan.
Pengujian adalah membandingkan
47
model dengan kenyataan empiris untuk membenarkan atau menyangkal model.
Perbandingan
bisa
dilakukan
untuk
struktur
model
dengan
pengetahuan deskriptif, bisa juga untuk perilaku model dengan perilaku sistem.
Pengujian
dilakukan
sejak
awal
pembuatan
hingga
akhir.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengabsahan model adalah proses untuk membangkitkan kepercayaan pada kekuatan dan kegunaan model tersebut. Dalam pengabsahan sudah termasuk usaha untuk menjelaskan dasar-dasar yang digunakan meningkatkan kepercayaan terhadap model. Tujuan pengabsahan adalah untuk meyakinkan pihak yang berkepentingan akan kegunaan model tersebut sebagai dasar bagi perubahan kebijakan. Pengabsahan dilakukan sejak awal pembuatan model dengan berusaha meyakinkan bahwa model akan menghasilkan gejala yang serupa dengan sistem sebenarnya. Ujian yang paling bisa dilakukan adalah dengan cara mencari hubungan antara bangun model dengan perilaku sistem sebenarnya untuk mendapatkan pengabsahan. • Simulasi Forrester (1973) mengatakan bahwa simulasi adalah penyelesaian bertahap persamaan matematik dari suatu sistem untuk mengetahui perubahan yang terjadi dari sistem tersebut sehingga bisa dipelajari dari sistem tersebut. Sedangkan menurut definisi yang diberikan Emshoff adalah sebagai berikut: “ A simulation is a model of some situation in which the elements of the situation are represented by arithmetic and logical processes that can be excecuted on a computer to predict the dinamic properties of the situation”. • Diagram Aliran Diagram aliran membantu memvisualisasikan hubungan antar variabelvariabel, sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas tentang model yang dibuat. Diagram aliran akan menunjukkan variabel-variabel level, rate auxiliary, konstanta dan fungsi-fungsi khusus dalam program serta bagaimana mereka saling berhubungan. Berikut ini akan diuraikan seluruh simbol yang terdapat dalam diagram aliran simulasi sistem dinamik.
48
2.2.3 Tinjauan Model Sistem Dinamik yang Sudah Ada Model sistem dinamik telah dicobakan untuk memahami masalah lingkungan hidup dan kependudukan. Beberapa model tersebut adalah: (1) Model
kebijakan
dalam
masalah
lingkungan
hidup
dan
kependudukan. (2) Model Global Forester : Model yang digunakan untuk memahami kaitan antara populasi, sumberdaya alam, investasi modal, investasi modal bidang pertanian dan polusi. (3) Model Kementerian Lingkungan Hidup : Model yang digunakan untuk memahami kaitan antara aspek-aspek perubahan populasi, kualitas hidup,
perubahan
ekonomi,
sumberdaya
alam
dan
kualitas
lingkungan. (4) Model interaksi antara Kependudukan, Pembangunan dan Kondisi Lingkungan sebagai Masukan Pelaksanaan Koordinasi antar Pelaku Pembangunan. (1) Model Kebijakan dalam Masalah Lingkungan Hidup dan Kependudukan Model ini dkembangkan oleh Pusat Penelitian Energi ITB dari suatu gagasan untuk menyiapkan suatu perangkat instrumen simulasi analisis kebijakan tentang pembentukan pola dan tingkat kesejahteraan penduduk dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan dalam menopang perkembangan lanjut kebutuhan hidup bermasyarakat. Model ini dibentuk dari 3 himpunan model, yaitu: •
Model kependudukan dan ketenagakerjaan.
•
Model makroekonomik/sektor-sektor kegiatan ekonomi.
•
Model sumberdaya alam dan lingkungan. Dari ketiga model tersebut dihubungkan oleh satu variabel tingkat
keserasian berupa Indeks Kualitas Hidup.
Indeks Kualitas Hidup merupakan
suatu rangkuman dari tingkat pendapatan perkapita, pengangguran, indeks ketersediaan pangan dan indeks polusi.
Secara matematis Indeks Kualitas
49
Hidup dihitung sebagai suatu perkalian antara kualitas hidup standar (Sayogyo, 1970) dengan 4 faktor pengali yang diturunkan dari dinamika pendapatan perkapita, indeks ketersediaan pangan, pengangguran, dan indeks polusi. Keempat faktor ini direpresentasikan oleh fungsi-fungsi non-linear. QL = QLs x QLPC x QLF x QLP x QLUR dengan: QL: Indeks kualitas hidup; QLs: Kualitas hidup standar; QLPC: Faktor pengali dan pendapatan perkapita; QLF: Faktor pengali dari ketersediaan pangan; QLP: Faktor pengali dari polusi; QLUR: Faktor pengali dari pengangguran.
Asumsi pokok dalam model keserasian ini adalah sebagai berikut : (1) Semua
komoditi
non-minyak
diagregasikan
menjadi
satu,
yang
produksinya ditentukan oleh produksi potensial dan faktor pemanfaatan kapasitasnya. produksi,
Produksi potensial ini dimodelkan oleh suatu fungsi
kapital
pemanfaatan
(modal)
kapasitasnya
dan
tenaga
bergantung
kerja,
sedangkan
kepada
level
faktor
rata-rata
permintaan jangka pendek. (2) Inventory dalam sektor produksi merepresentasikan suatu level yang berisi akumlasi barang-barang di dalam ekonomi. Inventory bertamabah karena adanya produksi dan impor, dan berkurang karena adanya pengeluaran untuk konsumsi, investasi, pembelian pemerintah dan ekspor. (3) Berkurangnya stok inventory dapat dipenuhi kembali melalui impor yang besarnya dapat diatur melalui instrumen kebijakan. Sedangkan ekspor komoditi non-minyak ditetapkan secara eksogenus.
Besar kecilnya
ekspor-impor ini tidak dibatasi oleh keadaan pasar internasional. (4) Dinamika aliran uang (financial market) diatur oleh suatu proses keseimbangan antara tabungan, investasi dan pinjaman melalui suatu stok level uang. (5) Ketersediaan barang dalam inventory, ketersediaan uang dalam stok uang dan ketersediaan sumberdaya alam secara bersama-sama akan mempengaruhi kecepatan proses akumulasi investasi menjadi kapital. (6) Peningkatan penggunaan kapital dalam sektor produksi pada gilirannya akan meningkatkan polusi dan penggunaan sumberdaya alam.
50
(7) Peningkatan kapital akan menaikan Indeks Ketersediaan Pangan yang kemudian akan mendorong angka kelahiran. Di lain pihak, peningkatan kapital dan jumlah penduduk akan menimbulkan polusi yang pada gilirannya akan meningkatkan angka kematian. (8) Dua komponen utama dalam sub-model minyak adalah produksi potensial minyak dan jumlah ekspor minyak yang diinginkan. Produksi potensial minyak ditentukan oleh stok kapital pada sektor ini dan tingkat produktivitasnya.
Produksi
minyak
permintaan domestik dan ekspor.
digunakan
untuk
memenuhi
Pendapatan ekspor minyak dalam
jangka panjang dianggap digunakan untuk mengimpor komoditi nonminyak, menambah tingkat ketersediaan inventory. (9) Jumlah ekspor minyak yang diinginkan ditentukan secara endogenus dalam sub-model minyak berdasarkan tingkat ketersediaan sumber minyak dan kebutuhan akan pendapatannya, dan dapat dimodulasi oleh kebijakan ekspor minyak yang eksogen. (10) Dalam jangka panjang, studi ini menganggap bahwa fraksi peranan kapital dan tenaga kerja (technological mix) dalam sektor produksi dapat diatur melalui penggunaan metode produksi yang relatif fleksibel. Asumsi ini memungkinkan terjadinya substitusi antara kapital dan tenaga kerja di sektor produksi. (2) Model Global Forester Model Global Forester memiliki 5 level utama. Kelima level itu adalah populasi, sumberdaya alam, investasi modal, investasi modal bidang pertanian dan polusi. Kelimanya membentuk suatu hubungan langsung dan tidak langsung antara satu dengan yang lain. Populasi yang mempunyai peran yang besar dalam menentukan besaran level lain.
Populasi mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam, besarnya
investasi modal, baik di bidang pertanian atau bukan, serta mempengaruhi besarnya polusi yang diemisikan ke alam. Tetapi dari tiap level itupun terdapat umpan balik yang akan mempengaruhi besaran populasi baik melalui angka kelahiran maupun dari angka kematian. Populasi akan mempengaruhi investasi modal karena makin besarnya populasi akan makin besar pula kebutuhan barang dan jasa dan hal tersebut
51
merupakan investasi industri penghasil barang dan jasa tersebut. Hal ini berlaku pula pada investasi di bidang pertanian. Investasi modal berarti akan memperbesar jumlah industri barang dan jasa yang berarti akan makin besar pula penggunaan sumberdaya alam dan ini berarti besar level sumberdaya alam akan berubah pula.
Selain itu dengan
makin banyak industri barang dan jasa maka akan semakin besar pula polutan yang terbuang. Investasi di bidang pertanian selain dipacu oleh membengkaknya populasi juga akan dipengaruhi oleh adanya polusi. Hal ini berkaitan dengan kualitas lingkungan yang menunjang pertanian, makin rendah kualitas lingkungan yang mampu menunjang industri pertanian berarti akan mengurangi kemauan investasi di bidang itu. Diagram sebab akibat dari Model Forrester (973) dapat dilihat pada Gambar 9.
POLUSI
SUMBERDAYA ALAM
INVESTASI MODAL
INVESTASI BIDANG PERTANIAN
Gambar 9. Diagram Hubungan Timbal Balik Model Forrester (1973) (3) Model Kementrian Lingkungan Hidup Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan EMDI (Environmental Management Development in Indonesia) telah membentuk
kerangka
kerja
untuk
mengintegrasikan
pengembangan jangka panjang (Djajadiningrat et al., 1992).
perencanaan Kerangka kerja
tersebut mengintegrasikan aspek-aspek perubahan populasi, kualitas hidup, perubahan ekonomi, sumberdaya alam dan kualitas lingkungan.
52
PERUBAHAN POLUSI KETERBATASAN TENAGA KERJA
KESEJAHTRAAN MASYARAKAT
PANGAN
KEBUTUHAN MASYARAK
KUALITAS LINGKUNGA
KETERSEDIAAN BARANG DAN
PERTUMBUHAN EKONOMI
ENERGI
MANAJEMEN LINGKUNGAN
FAKTOR EKSTERNAL : KEBIJAKAN SOCIAL, EKONOMI, TEKNOLOGI, AKTIVITAS
KEBIJAKAN EKSPOR/IMP
Gambar 10.
KETERBATASAN FASILITAS
LINGKUNGAN DAN
KETERBATASAN SUMBERDAYA
Model Kementrian Lingkungan Hidup (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan LAPI-ITB, 2003).
Dengan menggunakan kerangka kerja tersebut pada tahun 2000, suatu model simulasi statis yang sederhana telah disusun untuk menyusun skenario untuk Indonesia dan ke-enam wilayah utama berdasarkan asumsi pertubuhan penduduk, penyediaan kebutuhan dasar manusia, pertumbuhan ekonomi, keterbatasan sumberdaya dan pengendalian pencemaran. Struktur model yang telah dikembangkan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan LP-ITB dapat dilihat pada Gambar 10. (4) Model Interaksi antara Kependudukan, Pembangunan dan Kondisi Lingkungan sebagai Masukan Pelaksanaan Koordinasi antar Pelaku Pembangunan Model ini dikembangkan oleh LAPI ITB bekerjasama dengan BAPEDAL. Komponen utama yang menjadi dasar penyusunan model adalah dinamika kependudukan,
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat,
pembangunan
dan
pertumbuhan ekonomi, keterbatasan dan ketersediaan sumberdaya alam serta kualitas dan manajemen lingkungan hidup. Melalui model dinamik yang disusun dapat diketahui perubahan yang tejadi pada:
53
•
Konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi.
•
Pertumbuhan populasi dan urbanisasi kaitannya dengan degradasi lingkungan.
•
Pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk. Pendapatan perkapita dan tingkat kemiskinan.
•
Kebutuhan pangan dan konversi lahan pertanian.
•
Pemenuhan kebutuhan dengan ketersediaan sumberdaya alam.
•
Pengendalian pencemaran dan manajemen lingkungan.
Pendekatan yang telah dilakukan pada model memperlihatkan integrasi dari :
•
Sasaran pembangunan manusia, tingkat kualitas kehidupan yang akan dicapai.
•
Sasaran pertumbuhan ekonomi, sumberdaya yang dipakai untuk meningkatkan kualitas kehidupan secara efektif.
•
Kepedulian lingkungan, nilai pembangunan kaitannya dengan kualitas lingkungan dan penipisan sumberdaya alam.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di wilayah pesisir Pulau Batam. Pulau Batam sendiri merupakan bagian wilayah Propinsi Riau yang terletak di Selat Malaka dan berbatasan langsung dengan Negara Singapura (Gambar 11).
Adapun
waktu penelitian adalah pada awal tahun 2004 sampai dengan pertengahan tahun 2005. Dengan memperhatikan proses perkembangan pembangunan P. Batam maka batas waktu (cut off date) dari pengambilan data yang akan diolah adalah sampai dengan tahun 1998. Pertimbangan yang diambil adalah sebagai berikut : a.
Sejak tahun 1998 terjadi krisis ekonomi di Indonesia, termasuk kawasan P. Batam, sehingga dapat merubah konsep kebijakan yang telah ditetapkan
b.
Pada tahun 1997/1998 telah terjadi penggantian kepemimpinan (Ketua Otorita Batam), pada kepemimpinan ini (baru) visi yang dicanangkan, dengan visi dan kebijakan awal maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kemungkinan besar akan berbeda.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup materi penelitian Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kawasan sebagai upaya pembangunan berkelanjutan di Pulau Batam adalah sebagai berikut: a.
Melakukan identifikasi lahan-lahan di P. Batam yang telah dialokasikan peruntukannya.
b.
Melakukan identifikasi lahan-lahan yang telah dibangun serta dampak yang ditimbulkan.
c.
Melakukan identifikasi pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang yang sudah ada.
d.
Melakukan analisis investasi yang ditanamkan di P. Batam, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta.
e.
Melakukan analisis kerusakan yang terjadi akibat pembukaan lahan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan di Pulau Batam.
Gambar 11. Lokasi Penelitian 55
56
f.
Menganalisis biaya perbaikan pada lokasi-lokasi yang dianggap penting, dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang.
g.
Menganalisis pemanfaatan lahan agar optimal dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan potensi ekonomi.
3.3 Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi dua jenis, yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Adapun data yang dikumpulkan meliputi data kondisi wilayah Pulau Batam sesuai dengan lingkup penelitian, permasalahan dan prioritas masalah pembangunan, kondisi lingkungan eksternal dan internal baik faktor penghambat maupun pendorong yang mempengaruhi pembangunan wilayah Pulau Batam. 3.3.1 Data primer Data primer yang dibutuhkan meliputi data pengalokasian lahan dan pengecekan langsung pengalokasian lahan, pengambilan sampel, foto-foto dari lokasi yang dianggap penting dan mewakili dalam analasis.
Wawancara
mendalam (indepth interview) dilakukan kepada pihak Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam, terutama terkait dengan berbagai kebijakan, alokasi dan implementasi penggunaan lahan
Secara terinci, pengambilan data primer
dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain: (1) Observasi, melalui pengamatan langsung di lapangan tentang faktorfaktor strategis yang mempengaruhi pengelolaan wilayah Pulau Batam. (2) Wawancara mendalam (indepth interview), yaitu dengan melakukan wawancara yang mendalam dan terstruktur terhadap responden dalam hal ini dengan dinas-dinas teknis di daerah, tokoh masyarakat, LSM dan lain sebagainya. 3.3.2 Data sekunder Data yang digunakan adalah data-data mengenai pembangunan di P. Batam dengan batas pendataan sampai dengan tahun 1998.
Data tersebut
diperoleh melalui studi pustaka atau penelusuran berbagai referensi, buku dan laporan yang relevan dengan bahan penelitian.
Adapun data sekunder yang
57
digunakan antara lain data umum, kebijakan/peraturan, data lahan untuk tiap sektor di Pulau Batam. (1) Data Umum: a)
Master Plan P. Batam tahun 1986 dan Evaluasi Master Plan tahun 1991.
b)
Rencana Induk Pengembangan Wilayah Rempang, Galang tahun 1993.
c)
Master Plan Lingkungan Barelang.
d)
Laporan Pembangunan P. Batam yang meliputi posisi investasi, data ekonomi, ekspor impor dan lain-lain.
(2) Data kebijakan/peraturan: a)
KEPPRES berkaitan dengan Pengembangan Pulau Batam: •
KEPPRES No. 74, Tahun 1971 mengenai Pengembangan Pembangunan Pulau Batam.
•
KEPPRES No. 41, Tahun 1973 mengenai Daerah Industri Pulau Batam.
•
KEPPRES No. 33, Tahun 1974 mengenai Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah Usaha Kawasan Berikat di Daerah Industri Pulau Batam.
•
SK MENDAGRI No. 43, Tahun 1977 mengenai Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
•
KEPPRES No. 41, Tahun 1978 mengenai Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat.
•
PERATURAN PEMERINTAH No. 34, Tahun 1983 mengenai Pembentukan Kota Madya Batam di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau.
•
KEPPRES No. 7 Tahun 1984 mengenai Hubungan Kerja Antara Kotamadya Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
•
KEPPRES No. 56 Tahun 1984, mengenai Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat.
•
KEPPRES No. 28 Tahun 1992, mengenai Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat.
58
•
SK
KETUA
BPN
No.
9-VIII-93,
Tahun
1993
mengenai
Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam,
Pulau
Rempang,
Pulau
Galang
dan
Pulau-pulau
disekitarnya. b)
Peraturan Tarif Sewa Lahan
c)
Peraturan Jangka Waktu Sewa Lahan
d)
Peraturan Kebijakan Perumahan 1 : 3 : 6.
(3) Data Lahan untuk tiap sektor di Pulau Batam: Data yang berkaitan dengan pemanfaatan dan ketersediaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data yang Dibutuhkan untuk Analisis Pemanfaatan Lahan No.
A 1 2 3 4 5 6 7 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Kebutuhan Data
Data berkaitan dengan Pemanfaatan Lahan Ketersediaan Lahan untuk masing-masing sektor (sesuai Master Plan) Data Lahan yang telah dialokasikan Data Lahan yang telah dibangun Data Lahan yang telah dialokasikan tetapi tidak dibangun Lahan yang tidak dibangun dan dibuka Sisa Lahan yang belum dialokasikan Perubahan Peruntukan Data berkaitan dengan investasi Jumlah Investor yang masuk Data jumlah Investor pada tiap-tiap Sektor Jumlah Onvestor yang mendaftar (PMA & PMDN) Jumlah Investor benar-benar berinvestasi Jumlah Investor yang membatalkan investasinya Jumlah Investasi tiap Sektor per tahun Jumlah total Investasi Swasta sampai dengan tahun 1998 Jumlah Investasi oleh Pemerintah Jumlah Total Investasi Pemeerintah sampai dengan tahun 1998 Pertumbuhan Ekonomi Data berkaitan dengan investasi
No.
Jenis Kebutuhan Data
6
Limbah B3 yang dihasilkan
7
Jumlah limbah cair yang diolah
8 9
Jumlah limbah cair yang dibuang ke laut Jumlah limbah padat yang dihasilkan
10
Jumlah limbah padat yang dibuang
11 12 13 14 15 16 17
Jumlah limbah B3 yang dihasilkan Jumlah limbah B3 yang dikirim Biaya pengolahan limbah cair per liter/m3 Biaya pengolahan limbah padat per M3 Biaya pengiriman limbah B3 per liter/M3 Luas Lahan terbuka Biaya perbaikan Lahan per m2 Data Berkait dengan Pembangunan/Operasional dan Dampak
18
D
Data Umum Terkait
1
Jumlah penduduk formal
2
Jumlah penduduk liar
3 4
Total jumlah penduduk Rumah yang sudah dibangun ( 1 : 3 : 6)
5 6
Jumlah rumah liar 5 tahun terakhir Standar baku mutu limbah buangan (Industri, Perumahan) ke laut Standar baku mutu limbah buangan ke waduk
7
59
Tabel 6. Lanjutan ...
No.
Jenis Kebutuhan Data
No.
2 3
Data Berkait dengan Pembangunan/Operasional dan Dampak Total Lahan yang sudah dibangun/dimanfaatkan Luas Lahan yang ditimbun ke laut/Reklamasi Jumlah tanah yang ditimbunkan
4
Limbah cair yang dihasilkan
12
5
Limbah padat yang dihasilkan
C 1
3.4.
Jenis Kebutuhan Data
8
Standar kebutuhan Ruang
9
Standar kebutuhan Fasos Fasum
10 11
Standar kebutuhan Hijau Curah hujan di P. Batam dan sekitarnya Sumber air yang meliputi jumlah waduk dan suplai yang dihasilkan serta luar daerah lindung (catchment area)
Analisis Data
3.4.1 Pendekatan analisis Optimalisasi
Pemanfaatan
Lahan
Sebagai
Upaya
Pembangunan
Berkelanjutan di Pulau Batam dalam mencakup analisis kemampuan dari seluruh komponen (fisik dan non-fisik) di Pulau Batam dalam menyelenggarakan aktifitas yang terkait dengan masyarakat (menunjang kehidupan, mempertahankan, dan melestarikan), sehingga, dalam jangka panjang Pulau Batam mampu menjaga berlangsungnya berbagai proses (ekologis, biologis, ekonomi dan sebagainya). Dengan pola tersebut, maka diperlukan sebuah upaya untuk menilai kemampuan kawasan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan sesuai dengan analytical
tools
pendekatan
yang
diperlukan
diantaranya
sehingga
pendekatan
dapat
penilaian
melakukan
fisik
kawasan
beberapa (lahan,
infrastruktur), pendekatan sumberdaya alam yang tersedia, sosial masyarakat (budaya, tingkat laku, kebiasaan lokal), pendekatan ekonomi
dan investasi
(aktivitas ekonomi, nilai dan manfaat sumberdaya hayati dan non hayati) serta pendekatan lingkungan (dampak aktifitas dan natural regulation) (Gambar 12). Kajian lingkungan terhadap aktifitas pembangunan yang akan dilakukan di sebuah pulau kecil, sangat penting untuk dilakukan mengingat bahwa pulau kecil umumnya memiliki berbagai keterbatasan dan daya dukung lingkungan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan pulau induknya.
Keterbatasan
tersebut diantaranya mempunyai areal tanah yang relatif sempit, daerah tangkapan air (catchment area) yang kecil, proporsi air hujan dan bahan termasuk tanah yang hilang tererosi ke laut umumnya besar, sehingga kapasitas
60
air tawarnya sangat terbatas dan rawan kekeringan, memiliki spesies endemik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daratan luas apalagi kontinental serta secara terus menerus terbuka terhadap aksi gelombang laut pada semua sisi. Dari berbagai keterbatasan sumberdaya yang ada (tanah, air, vegetasi, kawasan pantai, margasatwa dan sebagainya) dan sangat rentan terhadap berbagai aktivitas pembangunan. Dari berbagai aktivitas yang akan dilaksanakan di Pulau Batam terutama yang terkait dengan pengembangan industri, jasa, pariwisata, perumahan dan pertanian sangatlah penting untuk diketahui dan dikaji.
Oleh karenanya,
ketersediaan data sekunder terutama data yang terkait dengan potensi sumberdaya alam dan permasalahannya sangat perlu untuk diketahui. Begitu pula data yang berkaitan dengan rencana pengembangan pulau ke depan juga diperlukan sehingga dapat ditarik benang merah antara potensi sumberdaya dan kesesuaian lahan serta rencana pengembangan dalam menentukan perkiraan beban limbah buangan yang sudah dan akan diterimanya kelak.
Dengan
diketahuinya berbagai faktor tersebut di atas, maka diharapkan bahwa pembangunan di sekitar pulau (lahan atasnya) secara nyata tidak akan merusak dan mengganggu keutuhan Pulau Batam dan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan model dalam pengembangan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Sesuai dengan kerangka pendekatan penelitian, maka ada 5 (lima) faktor yang perlu dilakukan evaluasi, masing-masing: (i) faktor kebijakan; (ii) faktor lahan; (iii) faktor lingkungan; (iv) faktor ekonomi dan investasi dan faktor implementasi. (1) Faktor kebijakan: bagaimana kebijakan yang berlaku terutama kebijakan pengaturan ruang yang sudah tertuang dalam RTRW, RUTR, Master Plan, Detail Plan maupun produk tata ruang lainnya sehingga bisa diketahui penyimpangannya dan dicarikan solusinya untuk mengurangi/mencegah dampak negatif yang mungkin timbul. Analisis terhadap faktor kebijakan merupakan input untuk analisis SWOT. (2) Faktor lahan: bagaimana pemanfaatan lahan yang sudah ada saat ini, baik sesuai kebijakan pengembangan maupun dengan master plan (RTRW, RUTR dan RDTR) maupun yang tidak sesuai master plan sehingga diketahui konsistensi pemanfaatan ruang agar bisa dilakukan optimalisasi pemanfaatan lahan. Analisis yang dilakukan
61
adalah analisis pemanfaatan lahan dengan menggunakan perangkat GIS
(Geographical
Information
System)
dan
optimalisasi
pemanfaatan lahan dan investasi dengan menggunakan Stella4.
KAWASAN PESISIR DAN PULAU KECIL (PULAU BATAM)
POTENSI DAN PERMASALAHAN P. BATAM
Analisis deskriptif makro perekonomian dan investasi
Kebijakan pengembangan P. Batam
Analisis Deskriptif Sosial dan budaya
RTRW, RUTR, RDTR
Analisis Beban Limbah ANALISIS ANALISIS PEMANFAATAN PEMANFAATAN LAHAN LAHANPULAU PULAUBATAM BATAM
KRITERIA KRITERIA PEMANFAATAN PEMANFAATAN
PEMODELAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN DAN INVESTASI
ANALISIS SPASIAL (GIS)
ANALISIS SWOT
Konsistensi pemanfaatan ruang
KAWASAN KAWASAN TERBANGUN TERBANGUN
KAWASAN KAWASAN TIDAK TIDAK TERBANGUN TERBANGUN
Skenario Pengelolaan Pemanfaatan Lahan Pulau Batam Industri Industri
Jasa Jasa
Pariwisata Pertanian Pariwisata Perumahan Perumahan Pertanian
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU BATAM YANG BERKELANJUTAN
Gambar 12. Pendekatan Analisis Data
62
(3) Faktor lingkungan: bagaimana menerapkan standar lingkungan yang sesuai dengan standar lingkungan yang berlaku seperti standar luas daerah konservasi (daerah hijau), standar limbah, buangan, B3 dan sebagainya. Faktor lingkungan ini terkait dengan kondisi ekologi dan sosial masyarakatnya, terutama penghargaan terhadap lingkungan (environmental awareness). Beberapa analisis yang dilakukan antara lain analisis beban limbah dan anasisis deskriptif/pragmatif sosial dan budaya. (4) Faktor ekonomi dan investasi: bagaimana mengoptimalkan lahan yang ada, yang dari sisi ekonomi dan investasi mampu menarik investasi positif maksimal, sementara dari sisi dampak negatif hanya menimbulkan dampak yang minimal. Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif makro ekonomi dan investasi. (5) Faktor implementasi: akar permasalahan (root causes) yang dikaji dalam penelitian ini adalah penyimpangan dalam implementasi setiap master plan P. Batam.
Dengan demikian hasil (output) Disertasii
Doktor ini tidak hanya model (kebijakan) pemanfaatan lahan P. Batam secara optimal dan berkelanjutan, tetapi juga rekomendasi konkrit (operasional) implementasi dari model termaksud, agar pengalaman buruk berupa penyimpangan terhadap master plan P. Batam tidak terulang di masa mendatang. Dari kelima faktor yang dievaluasi tersebut, satu sama lain saling terkait sehingga menghasilkan skenario pengelolaan pemanfaatan lahan Pulau Batam untuk industri, jasa, pariwisata, perumahan dan pemukiman sehingga kebijakan pengelolaan untuk Pulau Batam didasarkan pada kaidah-kaidah keberlanjutan yang sesuai.
Keterkaitan masing-masing faktor dan analytical tools yang
digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 12. 3.4.2
Analisis Deskriptif Makro Ekonomi dan Investasi Hanya menganalisis secara garis besar pertumbuhan ekonomi yang
dihasilkan dari pengembangan Pulau Batam sampai dengan tahun 1998. Termasuk dalam analisis deskriptif/pragmatif ini adalah analisis terhadap investasi yang masuk ke Pulau Batam pada kurun waktu tersebut.
63
3.4.3
Analisis Deskriptif Sosial dan Budaya Analisis sosial-budaya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah aspek-
aspek yang berkaitan dengan sistem nilai, kepercayaan, agama, etnik dan sebagainya dan pengaruhnya terhadap pola hidup dan tingkah laku masyarakat pesisir di Pulau Batam terutama yang berkaitan dengan permasalahan sosial dan timbulnya perumahan liar, migrasi dan ketimpangan pendapatan antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli serta permasalahan pendidikan dan kesehatan. Analisis
kependudukan
adalah
analisis
yang
bersifat
demografis
pertumbuhan
penduduk,
mencakup : 1. Analisis
penduduk
yakni
jumlah
penduduk,
komposisi penduduk dan penyebaran penduduk; 2. Analisis ketenagakerjaan yang mencakup komposisi tenaga kerja, tingkat pengangguran dan kesempatan kerja; 3. Kebutuhan perumahan dan lahan. 3.4.4
Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Dalam melakukan analisis beban limbah, dilakukan beberapa analisis,
antara lain: (i) Analisis erosi dan endapan yang ditimbulkan akibat pembukaan lahan; (ii) Analisis limbah buangan dari kegiatan yang sudah beroperasi; (iii) Analisis kebutuhan hijau dan ruang terbuka; serta (iv) Analisis rencana perbaikan dan prasarana perbaikan lingkungan. (1) Menganalisa erosi dan endapan yang ditimbulkan. •
Rumus untuk menghitung besar erosi:
Untuk menghitung besarnya erosi digunakan persamaan unsur kehilangan tanah yang dibuat oleh USLE (Universal Soil Loss Equitation) (Weischmeier dan Smith,1978), yang juga disebut sebagai Rumus Universal Tanah Yang Hilang, sebagai berikut : A = R. K. L. S. C. P. A
:
Perkiraan besarnya tanah yang tererosi dalam satuan Ton/ Ha / tahun.
R
:
Faktor erosivitas hujan (MJ.cm/ha jam pertahun), yaitu daya erosi hujan pada suatu tempat tertentu.
64
K
:
Faktor erodibilitas tanah (ton ha jam/ha MJ.cm) yaitu faktor kepekatan suatu jenis tanah terhadap erosivitas hujan.
LS
:
Faktor Topografi , yang terdiri dari: L
: Faktor panjang lereng, yaitu rasio tanah yang tererosi pada suatu panjang lereng tertentu terhadap tanah yang tererosi pada panjang lereng 22.1 m untuk kondisi permukaan lahan yang sama.
S
: Faktor kemiringan lereng, yaitu rasio tanah yang tererosi pada suatu ke miringan lereng tertentu terhadap tanah yang tererosi pada kemiringan
lahan
9%
untuk
kondisi
permukaan lahan yang sama. C
=
Faktor pengelolaan tanah dan tanaman penutup lahan. Faktor ini tidak mempunyai satuan.
P
=
Faktor teknik konservasi (tidak mempunyai satuan).
Apabila tidak ada konservasi, maka faktor teknik konservasi atau faktor tindakan konservasi tanah (P) dianggap 1 oleh karena tidak ada tindakan konservasi. •
Rumus untuk menghitung laju erosi (A) (Weischmeier dan Smith,1978): A = 4 + 1.266 ( 10D – K – 2) A
:
Laju erosi yang diperkenankan (satuan: ton/ha/th)
D
:
Kedalaman tanah (satuan : meter) .
K
:
Erodibilitas tanah (satuan : ton/joule)
Dihitung dengan mempergunakan nomografi prakiraan nilai erodibilitas. •
Kondisi Lahan (Tingkat Kekritisan) berdasarkan Nilai Laju Erosi (A) pada lahan yang bersangkutan: Tingkat Kekritisan
Nilai Laju Erosi
Tidak Kritis
A’ < A
Ringan
A < A’ < 1.1 A
Sedang
1.1 A < A’ < 1.3 A
Berat
A’ > 1.3 A
65
•
Rumus sedimentasi:
Terdapat 2 rumus yang dapat dipakai untuk menghitung sedimentasi, yaitu: Rumus untuk menghitung besarnya sedimentasi total (SDT total) dengan mempergunakan parameter cuaca, vegetasi, angin dan curah hujan, yaitu (Weischmeier dan Smith,1978): SDT total(Sedimentasi total) = SDT(t) + SDT(v) + SDT(a) + SDT(c). SDT
: Sedimentasi.
(t )
: Faktor Cuaca.
(v)
: Faktor Vegetasi.
(a)
: Faktor Angin.
(c)
: Faktor Curah Hujan.
Rumus untuk menghitung laju sedimentasi terkait dengan kondisi Hidrologi atau kondisi fisik sungai (Weischmeier dan Smith,1978). Rs = 0.0864.Cm.Qs Rs = laju sedimentasi (ton /hari). Cm =Konsentrasi sedimentasi(mg/l). Qs =Debit sungai (m3 /detik).
(2) Menganalisa limbah buangan dari kegiatan yang sudah beroperasi. (3) Menganalisis kebutuhan hijau dan ruang terbuka. (4) Menganalisis
rencana
perbaikan
sarana
dan
prasarana
serta
perbaikan lingkungan. 3.4.5
Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam Setiap kegiatan pembangunan memerlukan ruang, namun ruang/lahan
untuk kegiatan ini semakin terbatas mengingat intensitas dari laju pertumbuhan dalam penggunaan ruang semakin tinggi.
Dalam upaya mengatasi konflik
pemanfaatan lahan, perlu dilakukan perencanaan penataan ruang yang lebih mengutamakan daya dukung lahan.
Hal ini tentunya bisa ditunjang oleh
ketersediaan data kondisi fisik dan sosial ekonomi dari sumberdaya alam yang ada. Dengan demikian perencanaan pembangunan dapat dilakukan secara lebih
66
seksama dengan didukung oleh analisis pemanfaatan lahan yang komprehensif dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). Selanjutnya masukan data untuk analisis SIG ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti RTRW, RUTR maupun RDTR, untuk kemudian disajikan dalam format peta dan basis data digital.
Peta-peta ini merupakan
tema-tema tertentu misalnya penggunaan tanah, batas administrasi, penyebaran penduduk, kemiringan lahan dan lainnya.
Tema-tema tersebut dalam SIG
selanjutnya disajikan di dalam lapis (layer) informasi yang berbeda. Metode selanjutnya dilakukan dengan cara memberikan pembobotan terhadap data lapangan, sehingga diperoleh hasil analisis data yang diinginkan. Hasilnya dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan melakukan optimasi interpretasi daerah potensial yang dapat dikembangkan
untuk
penggunaaan lahan industri, pariwisata, perumahan, jasa dan pertanian yang sesuai dengan daya dukung lahan tersebut. Prinsip-prinsip pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk berbagai kegiatan
pada
dasarnya harus dilakukan
dengan
pertimbangan
antara
kepentingan sosial ekonomi dan secara ruang sehingga kawasan yang diperuntukan bagi kawasan konservasi ataupun budidaya (industri, pariwisata, jasa, perumahan dan pertanian) sesuai dengan kondisi biofisik wilayah tersebut agar ekosistemnya tetap terjamin. Analisis pemanfaatan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis pemanfaatan lahan untuk kawasan industri, jasa, perumahan, pariwisata dan perumahan.
Secara umum terdapat 6 (enam) tahapan analisis yang
dilakukan yaitu : (1) Menganalisis master plan di Pulau Batam; (2) Menganalisis distribusi dan pengalokasian lahan di wilayah Pulau Batam; (3) Menganalisis pengalokasian lahan dibandingkan dengan master plan yang ada; (4) Menganalisis lahan yang dialokasikan dengan pelaksanaan pembangunan di lapangan; (5) Menganalisis Sarana dan Prasarana yang direncanakan dibanding dengan kondisi akhir di lapangan (1998); dan (6) Menganalisis perletakan sarana dan prasarana. Pemanfaatan lahan sekarang mengacu pada bagaimana kenyataanya suatu kawasan digunakan. Penentuan katagori pemanfaatan lahan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut.
Jenis-jenis
kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik, digolongkan kedalam satu
67
katagori dan diperhitungkan sebagai satu jenis dalam penentuan dominasinya hingga didapatkan kesimpulan kesesuaian pengembangan kawasan, baik untuk kawasan industri, jasa, pariwisata, perumahan dan pertanian. Untuk mempertajam kriteria, maka penyusunan kriteria pemanfaatan lahan disesuaikan dengan kebijakan pengembangan Pulau Batam dan produk tata ruang yang ada seperti RTRW, RUTR maupun RDTR. Output (keluaran) dari hasil analisis adalah konsistensi pemanfaatan ruang untuk kawasan yang terbangun maupun kawasan yang tidak terbangun, yang selanjutnya menjadi input (masukan) bagi analisis (pemodelan) optimalisasi pemanfaatan lahan. 3.4.6
Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
3.4.6.1 Pendekatan Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pengertian lahan adalah luasan tertentu dari sebidang tanah yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pembangunan atau aktifitas yang letak, luasan dan peruntukkannya telah ditentukan oleh Master Plan. Sedang Investasi, seperti dijelaskan oleh J.F. Peterman dan S.W Barnet. 2004, filosofi dari investasi,terdiri dari 3 bagian, yaitu : (1). Alokasi Asset, (2) Manajemen Asset, dan (3) Manajemen Resiko 1. Alokasi Asset : Asset dalam bentuk dana akan dialokasikan pada investasi jangka panjang. Alokasi dana akan mengikuti prinsif-prinsif dasar antara lain : o
Jumlah dana dianggap cukup untuk menghasilkan pendapatan menutup
biaya
operasional
dan
mengatasi
masalah-masalah
keuangan yang mendesak. o
Diversifikasi Investasi dilaksanakan untuk membantu meminimalkan keseluruhan risiko investasi dan memaksimalkan tingkat pengembalian investasi.
o
Melakukan strategi Investasi:
Kinerja dari investasikan ditentukan oleh rencana strategis untuk alokasi dana dalam jangka waktu yang panjang dengan cara yang konsisten dan disiplin dengan penekanan pada sarana investasi yang pasif seperti pasar modal.
68
2. Manajemen Asset . Dasar dari manajemen asset adalah pengembalian keseluruhan dari asset yang diinvestasikan. Kebijakan yang dipakai adalah mengamankan modal, namun dapat juga
diasumsikan bahwa untuk berinvestasi dengan resiko
tinggi dapat diterima, karena kompensasi dari resiko tinggi akan mendapatkan pengembalian investasi yang lebih besar. 3. Manajemen Risiko . Program investasi harus mencari langkah-langkah untuk meminimalkan resiko operasional dan mencari komponsasi yang tepat atau resiko investasi terkait dengan dana yang diinvestasikan. Dari pengertian di atas, investasi adalah sejumlah dana yang ditanamkan guna tujuan tertentu, dengan telah memperhitungkan strategi dan resikonya dengan mengharapkan dana akan kembali dengan jumlah yang lebih besar dalam kurun waktu tertentu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian investasi yang selama ini berjalan dan telah berlangsung di Pulau batam, untuk memudahkan investasi ini dikelompokan sebagai
investasi positif. Yang secara umum merupakan
bagian dari Positive Externalities (Wikipedia. 2007). Penanaman modal untuk perbaikan lingkungan dan pihak yang menanamkan modal tidak mendapatkan secara langsung pengembalian modal dan keuntungannya, bahkan hanya mengeluarkan dana, dapat disimpulkan inivestasi tersebut hanya merupakan pengeluaran (negatif), maka penanaman modal ini disebut investasi negatif atau investasi negatif adalah investasi yang dikeluarkan pembangunan
untuk oleh
memperbaiki
kerusakan
pengusaha,
masyarakat
lingkungan atau
akibat
proses
pemerintah
dengan
direncanakan secara matang dan diketahui tujuan dan resikonya bahwa investasi tersebut tidak akan dapat kembali secara langsung. Keuntungan didapat oleh banyak pihak (masyarakat). Nilai keuntungan yang dirasakan bisa lebih besar atau lebih kecil dari investasi yang ditanamakan. Dalam hal ini investasi negatif secara umum merupakan bagian dari negatif externalities (Wikipedia. 2007). Dalam Disertasi ini yang dimasukan kedalam investasi negatif adalah pengolahan limbah, pencemaran, perbaikan lahan kritis dan penghijauan, penghutanan kembali, erosi dan abrasi, termasuk penertiban perumahan liar.
69
Investasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah seperti sarana prasarana dan infrastruktur dikelompokan dalam investasi netral. Dalam kondisi tertentu pembangunan infrastruktur bisa menjadi investasi positif apabila dibangun oleh swasta dan dapat mengembalikan modal serta mendapatkan keuntungan (contoh: jalan tol, pelabuhan, dll) Pada penelitian ini pengertian pemanfaatan lahan yang optimal adalah pemanfaatan lahan guna mendapatkan investasi yang optimal dari lahan yang telah diperuntukkan dalam master plan Pulau Batam. Investasi optimal didapatkan dari selisih investasi/ditanamkan oleh pihak pengusaha dalam rangka penanaman modal usaha disetiap sektor dikurangi dengan investasi lain guna memperbaiki kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan yang dilakukan dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan, sedang investasi pemerintah dianggap investasi netral. Mengingat investasi biasanya dinilai dalam mata uang (Rp./$) sedang lahan dinilai dalam satuan luas (m2/ha), maka untuk optimalisasi pemanfaatan lahan adalah menilai satuan luas lahan dalam nilai mata uang atau memberi nilai Rupiah/$ untuk setiap m2 luasan lahan dalam satuan peruntukan sehingga akan didapatkan nilai luasan lahan yang dapat menghasilkan nilai investasi optimum (dalam Rupiah atau Dolar). Sedang wilayah yang menjadi obyek kajian adalah keseluruhan wilayah Pulau Batam. Untuk mendapatkan nilai lahan, dicari dari hal-hal yang dianggap mempunyai pengaruh besar dalam pemanfaatan lahan. Dari data yang ada, investasi yang ditanamkan oleh investor yang bertujuan melaksanakan pembangunan dan melakukan proses produksi mempunyai nilai yang sangat dominan. Berdasarkan hal tersebut maka nilai investasi diambil sebagai acuan dalam mencari nilai lahan. Bila diuraikan lebih lanjut maka investasi yang dilakukan oleh pihak swasta/ pengusaha dapat dibagi atas sektor-sektor antara lain: −
Sektor Industri
−
Sektor Jasa
−
Sektor Perumahan
−
Sektor Pariwisata
70
−
Sektor Pertanian
Kelima sektor diatas akan menyumbang Investasi dari 3 komponen yaitu: −
sewa lahan
−
pembangunan fisik
−
operasional produksi
Ketiga komponen ini bisa saja dicari nilainya masing-masing, namun dalam kesempatan ini yang akan diambil adalah nilai investasi yang diajukan didalam pengajuan investasi/penanaman modal (jumlah investasi yang diajukan kepada Otorita Batam oleh pengusaha ditiap-tiap sektor). Investasi disetiap sektor ternyata tidak selalu mendatangkan nilai positif. Dampak yang ditimbulkan sejak proses pembukaan lahan sampai beroperasinya usaha, membawa dampak negatif antara lain: −
penimbunan lahan di laut.
−
pembukaan lahan yang tidak terkendali oleh pengusaha, perambah yang mengakibatkan hilangnya nilai sumberdaya alam dan timbulnya erosi.
−
buangan limbah dari tiap-tiap sektor berupa limbah padat dan domestik, limbah cair dan limbah beracun (B3).
Hal-hal yang mempengaruhi investasi di setiap sektor antara lain pertumbuhan penduduk dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Otorita Batam, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan beberapa kebijakan yang dibuat oleh negara Singapura. Seperti diuraikan sebelumnya,
5 (lima) sektor
yang berperan besar
terhadap investasi yaitu Sektor Industri, Sektor Jasa, Sektor Perumahan, Sektor Pariwisata dan Sektor Pertanian. Namun dari data yang ada, lahan dengan peruntukan hijau (hutan lindung, daerah tangkapan air untuk waduk dan hijau kota) ternyata juga mempunyai pengaruh yang cukup besar, misalnya adanya perubahan
peruntukan
(investasi
positif)
ataupun
penyerobotan
lahan/pengerusakan lingkungan (investasi negatif). Oleh sebab itu daerah hijau akan diperhitungkan dengan diasumsikan sebagai Sektor Hijau.
71
Optimalisasi pemanfaatan lahan berdasarkan dari nilai investasi dapat didetailkan melalui peninjauan keenam (6) sektor di atas (5 sektor + 1 sektor hijau). Pendekatannya secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut : −
Setiap sektor akan menghasilkan investasi dari nilai lahan yang dimanfaatkan oleh investor (perusahaan), hal ini diasumsikan sebagai investasi
positif,
namun
demikian
secara
pemanfaatan
lahan
(pemanfaatan lahan & proses operasi) juga membawa masalah seperti limbah yang dihasilkan, erosi dan kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan, dan lain-lain.
Untuk mengolah dan memperbaiki
kerusakan juga diperlukan dana. Hal ini diasumsikan sebagai investasi negatip.
Untuk mendapatkan nilai lahan yang maksimal, maka nilai
investasi positip harus lebih besar dari investasi negatif.
Semakin
besar nilai investasi positif dan semakin kecilnya investasi negatif maka nilai lahan semakin baik. Pada pemanfaatan lahan dengan kombinasi tertentu akan dicapai selisih nilai investasi positif terbesar, apabila kondisi ini tetap memperhatikan lingkungan maka kondisi ini dianggap sebagai kondisi optimum dan pemanfaatan lahan mencapai optimal. −
Konsekuensi dari upaya mengembangkan suatu wilayah adalah harus menyiapkan infrastruktur (sarana dan prasarana) agar dapat menarik investor / pengusaha menanamkan modalnya di wilayah tersebut. Semakin lengkap infrastruktur yang disiapkan maka semakin besar daya tarik wilayah tersebut dalam memikat investor. Investasi untuk penyiapan infrastruktur tidak mungkin disiapkan oleh investor (pihak swasta).
Selain nilainya besar, infrastruktur dibangun justru untuk
menarik
investor.
Maka
yang
memungkinkan
dan
paling
berkepentingan investasi ini dibebankan kepada pemerintah. Artinya semakin
besar
investasi
yang
ditanamkan
oleh
pemerintah
memungkinkan semakin besar pula minat investor menanamkan modalnya di wilayah tersebut. −
Investasi
untuk
menyiapkan
infrastruktur
dalam
penelitian
ini
diasumsikan sebagai investasi netral. Ini didasarkan investasi yang ditanamkan
merupakan
pengeluaran
dari
pemerintah
(bukan
pemasukan). Disisi lain dengan adanya investasi ini nilai investasinya tidak bisa dibandingkan dengan luas lahan yang diperlukan. Masing-
72
masing infrastruktur membutuhkan luas lahan yang berbeda dan memerlukan
dana
yang
berbeda-beda
pula.
Dari
kebutuhan
pemanfaatan lahan, luasan yang diperlukan untuk infrastruktur sudah diperhitungkan melalui standard yang ada, sebagian tidak bisa dioptimalkan lagi (contoh standar kebutuhan untuk Jalan, Bandara, Pelabuhan
dan
lain-lain).
Gambar
13.
memperlihatkan
alur
palaksanaan penelitian.
LAHAN DI PULAU BATAM
SARPRAS FASOS/FASUM
INV. PEMERINTAH
DIALOKASIKAN
Tidak Dialokasikan
DIBANGUN
DIBUKA
INV. SWASTA POSITIF
DAMPAK
NILAI LAHAN 2 PER M
NILAI DAMPAK 2 PER M
NILAI ASLI LAHAN
NILAI DAMPAK 2 PER M TOTAL NILAI ASLI LAHAN
TOTAL INV.NETRAL
TOTAL INV.POSITIF
TOTAL INV.NEGATIF
MENCARI INVESTASI POSITIF TERBESAR
(TOTAL INV.POS – TOTAL INV.NEG) > NILAI TOTAL ASLI LAHAN INV.TOTAL = (INV. POS + INV NETRAL) – INV.NEG PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT PULAU BATAM : EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL
Gambar 13. Pendekatan Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan 3.4.6.2 Input analisis model optimalisasi pemanfatan lahan Sebagai alat bantu untuk menganalisis dan memprediksi alur proses dari pemanfaatan lahan akan menggunakan perangkat lunak STELA4. Sedang dalam tahapan perhitungan digunakan input analisis yang didapatkan dari hasil analisis sebelumnya. Untuk mendapat gambaran nilai total investasi dari pemanfaatan lahan tahap pertama, harus mengisi seluruh rumus khususnya koefisien
73
pertumbuhan (KF). Apabila seluruh rumus telah diisi dan dimasukkan dalam perangkat lunak, hasilnya (total investasi dari pemanfaatan lahan) dapat terlihat dengan me-RUN perangkat lunak tersebut. Rumus perhitungan nilai lahan tiap sektor sebagai bahan untuk input analisis dapat dilihat pada uraian di bawah, sedangkan detail formula dapat dilihat pada Lampiran 2. dan penjelasannya pada Lampiran 3. Daftar istilah. (1)
Investasi Sektor Industri dan Lima Sektor Lainnya a. Investasi Positif Sektor Industri Untuk menghitung investasi positip di sektor industri berkait dengan pemanfaatan lahan, adalah mencari investasi yang ditanamkan pada lahan industri dalam satuan rupiah dan m2 dan dikalikan dengan nilai interest rate (nilai investasi yang muncul akibat proses perbankan, dengan nilai rata-rata sekitar 9%/th). Untuk itu dicari terlebih dahulu nilai lahan industri per m2. Dengan diketahui nilai lahan industri per m2 maka nilai investasi di bidang industri dapat dicari dengan cara mengalikan luas lahan investasi dikalikan nilai lahan industri per m2. Urutan perhitungan untuk pembuatan model adalah sebagai berikut : 1.
Menghitung/mencari lahan industri yang telah dialokasikan kepada investor
yang
dibangun
maupun
dengan
melalui
data
pengalokasian lahan tahun 1998. 2.
Menghitung laju pengalokasian lahan industri yang dibangun pertahun,
yaitu
dengan
menghitung
rata-rata
kenaikan
pengalokasian lahan pertahun (dalam persentase). 3.
Mencari nilai investasi industri per m2 dengan cara membagi total investasi yang ditanamkan pada sektor industri pada tahun 1998, dibagi dengan luas lahan sektor industri yang telah dialokasikan.
4.
Menghitung laju pertumbuhan positif investasi industri, yaitu dengan menghitung kenaikan penanaman investasi sektor industri pertahun (dalam persentase).
74
5.
Menghitung
investasi
positif
sektor
industri
dengan
cara
mengalikan lahan sektor industri yang telah dibangun dengan nilai investasi industri per m2. b. Investasi Negatif Sektor Industri Investasi negatif di sektor industri di asumsikan disumbang dari 2 (dua) kegiatan yaitu : •
Investasi yang diperlukan untuk mengolah limbah yang dihasilkan dan perkiraan investasi yang diperlukan untuk menetralisir limbah yang dibuang/ mencemarkan laut.
•
Investasi yang seharusnya dikeluarkan akibat erosi yang disebab kan oleh pengrusakan hutan atau muka lahan yang tidak terkendali.
Catatan : Nilai hijau/hutan di peruntukan industri yang dihilangkan/tebang, tidak diperhitungkan sebagai investasi negatif karena lahan tersebut akan dimanfaatkan sesuai peruntukan dalam Master Plan dan hutan yang ada pasti akan diolah sebagai daerah yang akan dibangun menjadi penebangan hutan yang dilakukan sesuai rencana. c. Investasi Negatif untuk Mengolah dan Menetralisir Limbah yang Dibuang/Mencemarkan Laut 1)
Investasi Negatif untuk pengolahan limbah. Investasi
ini
diperlukan
untuk
mengolah
limbah
yang
dihasilkan. Investasi ini dikatakan negatif karena dana yang digunakan tidak untuk menghasilkan produk tetapi merupakan merupakan pengeluaran (cost) akibat proses produksi. Proses perhitungan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Menghitung luas lahan industri yang telah dialokasikan dan telah dibangun oleh investor. Menghitung jumlah dan laju limbah yang dihasilkan setiap tahunnya.
75
Menghitung jumlah limbah yang diolah. Menghitung biaya pengolahan limbah perliter (standard). Menghitung investasi negatif sektor industri untuk pengolahan limbah. Caranya dengan mengalikan jumlah limbah dengan biaya pengolahan limbah perliter. 2) Investasi negatif untuk menetralisir limbah yang dibuang ke laut. Investasi ini diperlukan/akan dikeluarkan untuk mengganti kerusakan yang ditimbulkan oleh limbah buangan industri yang mencemarkan laut. Proses perhitungan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Menghitung luas lahan industri yang telah dialokasikan dan telah dibangun oleh investor. Menghitung jumlah dan laju limbah yang dihasilkan setiap tahunnya. Menghitung jumlah limbah yang dibuang ke laut (l/m3). Menghitung/mengasumsikan kerusakan yang terjadi akibat pembuangan 1 (satu) liter limbah ke laut. Menghitung investasi negatif sektor industri akibat pembu angan limbah ke laut, yaitu jumlah limbah yang dibuang ke laut
dikalikan
dengan
biaya
kerusakan
laut
akibat
pembuangan limbah (L). d. Investasi Negatif Akibat Pembukaan Lahan (Erosi) Investasi
Negatif
Akibat
Pembukaan
Lahan
diperhitungkan
sebagai nilai investasi yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi erosi, pencemaran serta kerusakan habitat laut yang ditimbulkan akibat kegiatan pembukaan lahan. Oleh sebab itu, nilai yang dihitung adalah besarnya nilai investasi yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh erosi, pencemaran dan kekeruhan yang ditimbulkan. Proses perhitungan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
76
1.
Menghitung lahan sektor industri yang dialokasikan tetapi tidak dibangun.
2.
Menghitung
lahan
sektor industri yang dialokasikan,
tidak
dibangun tetapi lahannya telah dibuka (land clearing). 3.
Menghitung laju pertumbuhan butir-2 (laju pembukaan lahan yang dialokasikan).
4.
Mencari koefisien terjadinya erosi per-m2 dari lahan yang dibuka.
5.
Menghitung jumlah erosi yaitu mengalikan dari lahan sektor industri yang dialokasikan dan dibuka dengan koefisien erosi.
6.
Menghitung kerugian dari tiap gram erosi yang dibawa ke laut (kematian habitat, kekeruhan, menurunnya pendapatan nelayan, dan lain-lain).
7.
Menghitung besarnya kerugian akibat erosi, yaitu mengalikan jumlah erosi dengan kerugian per kg erosi.
e. Investasi Netral Dijelaskan di atas investasi netral disiapkan dan menjadi beban pemerintah.
Investasi
ini
juga
sulit
bila
diperhitungkan
pembebanannya berdasar peruntukan tiap sektor.
bobot
Investasi netral
(infrastruktur) dibangun untuk melayani seluruh aktifitas sektor dan direncanakan secara menyeluruh untuk kebutuhan seluruh kawasan. Dalam hal ini seluruh wilayah P. Batam (contoh rencana jalan, rencana penempatan pelabuhan, bandara, dam dan pengolahan air bersih) semua direncanakan dan dibangun guna mensuplai/menjangkau seluruh P. Batam. Sektor lainnya akan menggunakan perhitungan dan penggunaan model yang tidak jauh berbeda dengan sektor industri dengan beberapa modifikasi dan inputan yang berbeda sesuai dengan data-data masingmasing sektor. Dengan mempelajari uji coba di sektor industri, data-data yang ada serta kejadian di lapangan, diperkirakan sektor perumahan dan
77
sektor hijau akan memperlihatkan proses, rumusan dan model yang spesifik. Apabila seluruh sektor sudah dihitung dan modelnya sudah dibuat maka
total
investasi
wilayah
P.
Batam
dapat
dicari
dengan
menjumlahkan investasi di semua sektor (sektor industri, jasa, perumahan, pariwisata, pertanian dan hijau). Nilai investasi untuk seluruh lahan di P. Batam (seluruh sektor) adalah nilai investasi berdasar dari data yang ada. Apabila dilihat dari model maka pada tahun 1998 memberikan / menampilkan kondisi investasi riil pada saat itu. Diagram akan lebih bermanfaat untuk melihat proyeksi ke depan, variabel-variabel dapat lebih dimodifikasi dengan asumsi-asumsi yang lebih menguntungkan dalam menarik investasi. Untuk mencari pemanfaatan lahan yang optimal Diagram Model akan sangat membantu (Software STELLA 4). Langkah awal adalah mencari kombinasi untuk mendapatkan nilai investasi maksimum pada tahun yang akan diproyeksikan (misal tahun ke sepuluh).
Nilai
maksimum ini bisa mengarah menjadi nilai optimal bila dianalisis dengan mengkombinasikan dengan lingkungan, sensitifitas, rencana tata ruang (master plan) dan standar-standar / peraturan-peraturan yang terkait. Bila kondisi ini terjadi maka pada saat itu pemanfaatan lahan menjadi optimal. (2)
Perusakan Sumberdaya Alam Perusakan langsung SDA seperti penggundulan hutan lindung, hutan bakau, hijau kota dan penimbunan laut, secara langsung telah mengurangi kemampuan daya dukung lahan, menghilangkan biota dan merusak keindahan, nilai yang seharusnya dipertahankan menjadi hilang. Nilai inilah yang dihitung merupakan nilai investasi yang hilang .
(3)
Pembangunan Berkelanjutan Seperti dijelaskan di awal, untuk periode kedepan pembangunan di P. Batam mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Dari
78
beberapa
teori
yang
dijelaskan
diawal
indikator
keberhasilan
pembangunan berkelanjutan terdiri dari banyak aspek yang apabila dikelompokan
dapat
dirumuskan
dominan
dalam
dalam
kelompok-kelompok
besar
(dimensi). Faktor
pembangunan
berkelanjutan
adalah
lingkungan. Dalam penelitian ini semua yang direncanakan dan proses yang akan dijalankan harus mengacu pada standar-standar lingkungan yang ada. Penelitian ini mengacu kepada hal yang dikemukakan dalam OECD (1993) yaitu dimensi penting pengelolaan wilayah pesisir yang memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan. Secara ekologis yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, keadilan sosial (equty), moral dan kelembagaan. Lebih lanjut OECD (1993) mengemukakan bahwa kondisi pembangunan berkelanjutan diwilayah pesisir dapat dimonitor dari beberapa parameter ekosistem yang dikelompokan menjadi 3, yaitu: parameter fisik, parameter kimia/ biologis, dan parameter sosial. Sesuai dengan judul penelitian, maka fokus penelitian diarahkan kepada hal yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, yang mencakup 5 dimensi sebagaimana dikemukakan oleh OECD (1993), yaitu ekonomi, lingkungan, keadilan sosial, moral dan kelembagaan, sebagaimana diuraikan di bawah ini: Dimensi ekonomi diwakili dengan investasi, sedang dimensi lingkungan akan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1)
Perkembangan lingkungan, rencana tata ruang yang ada dikaitkan dengan standar-standar yang berlaku.
2)
Peraturan lingkungan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Otonomi Daerah dan standar lainnya.
3)
Dampak perusakan lingkungan fisik dan penurunan nilai standar lingkungan yang berlaku.
4)
Dampak buangan limbah produksi dibanding dengan standar yang berlaku dan daya dukungannya.
79
5)
Upaya perbaikan lingkungan agar keseimbangan wilayah P. Batam dapat pulih kembali.
Dimensi
keadilan
sosial
(pemerataan
kesejahteraan),
moral
dan
kelembagaan adalah sebagai berikut: Apabila dilihat keseluruhan Pulau Batam, masalah sosial dapat dilihat dari akibat datangnya pendatang dari luar. Beberapa kasus yang terasa mencuat adalah: 1)
Munculnya bangunan liar oleh para pendatang.
2)
Tersudutnya penduduk asli (nelayan) yang tanahnya digunakan untuk pembangunan.
3)
Suku Laut yang belum bisa membaur dengan cara-cara hidup yang berkembang di Batam. Masalah sosial ini menjadi semakin membesar dengan semakin
jatuhnya
tingkat
dibandingkan
pendapatan
tingkat
dan
pendapatan
kesejahteraan dan
penduduk
kesejahteraan
asli
penduduk
pendatang. Kondisi seperti ini seakan akan ada pengotakan antara pelaku ekonomi penduduk asli yang lemah dan bersifat tradisional dan ekonomi pendatang yang modern dan kuat. Oleh sebab itu tanpa adanya program yang terarah, maka pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemakmuran yang sangat cepat terjadi di Batam hanya akan dinikmati oleh segelintir orang.
Agar keadilan lebih merata dan ketimpangan sosial diperkecil,
diperlukan upaya pemerintah. Dan di Pulau Batam khususnya, peran Otorita Batam dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk samasama menyelesaikan masalah tersebut. Kartasasmita (1996) menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas perlu memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Penguatan ekonomi ini akan meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern,`dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi sub sistem ke ekonomi pasar dan dari ketergantungan kepada kemandirian. Langkah-langkah strategis yang harus ditempuh adalah sebagai berikut :
80
1)
Peningkatan akses kepada aset produksi.
2)
Yang dimaksud aset produksi yang dimiliki oleh sebagian rakyat adalah tanah, oleh sebab itu perlu mempertahankan kepemilikan lahan oleh rakyat & menimbulkan jalan pemanfaatan yang lebih optimal diluar pertanian. Misal agroindustri dan industri jasa.
3)
Masyarakat ekonomi lemah biasanya juga mengalami kesulitan dalam pendanaan termasuk akses kepada pemberi dana (modal).
4)
Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
5)
Salah satu organisasi yang dianggap cocok adalah koperasi, dengan koperasi dapat sama-sama memasarkan hasil produknya dan memperkuat posisi.
6)
Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM.
7)
Kebijakan
mengembangkan
industri
harus
mengarah
pada
penguatan industri rakyat. Proses Industrialisasi harus mengarah ke pedesaan dengan memanfaatkan petani setempat yang umumnya adalah agro industri dengan cara yang lestari dan memakai tenaga setempat. 8)
Kebijaksanaan
ketenagakerjaan
yang
merangsang
tumbuhnya
tenaga kerja yang mandiri sebagai cikal bakal lapisan wira usaha baru yang berkembang menjadi usaha-usaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang. 9)
Pemerataan pembangunan antar daerah.
10) Adanya perangkat peraturan perundangan yang memadai untuk melindungi dan mendukung pengembangan ekonomi rakyat yang ditujukan khusus untuk kepentingan rakyat kecil. 3.4.6.3 Analisis Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Untuk menganalisis pemanfaatan lahan dengan nilai investasi yang optimal digunakan perangkat lunak STELA4, khususnya dalam memprediksi rencana kedepan. Dalam analisis ini ada tiga unsur utama yang mempengaruhi nilai
81
optimum yaitu pemanfaatan lahan, investasi dan lingkungan. Untuk memadukan ketiga unsur tersebut akan dianalisis dalam satuan yang sama yaitu Rp/m2. Untuk mencari pemafaatan lahan yang optimal, Diagram Model akan sangat membantu (software STELA4). Langkah awal adalah mendapatkan nilai investasi maksimum pada tahun yang akan diproyeksikan (misal tahun kesepuluh). Nilai maksimum ini bisa mengarah menjadi nilai optimal bila dianalisis dengan mengkombinasikan dengan lingkungan, sensitifitas, rencana tata ruang (master plan) dan standar-standar / peraturan-peraturan yang terkait. Kombinasi model terhadap faktor sensitifitas mempergunakan analisis sensitifitas yaitu suatu teknik yang digunakan dalam simulasi komputer, untuk secara bebas merubah beberapa asumsi-asumsi atau nilai-nilai (values) dari variabel-variabel yang diinput, dengan tujuan untuk menentukan efek relatif pada variabel-variable output. (1)
Pemanfaatan lahan Menganalisis seluruh nilai lahan baik yang akan di manfaatkan/ dibangun maupun yang tidak dibangun dengan mengacu pada master plan. Asumsi lahan yang tidak dibangun mempunyai koefisien 100% sedang yang akan dibangun mempunyai koefisien 25% dari nilai lahan. Batasan pemanfaatan lahan antara lain : •
Pulau Batam sebagai pulau kecil.
•
Lahan untuk tiap sektor terbatas.
•
Perlunya keseimbangan luas lahan untuk tiap-tiap sektor.
Dari analisis ini akan didapat pemanfaatan lahan yang optimal. (2)
Investasi Analisis investasi akan mempertajam analisis permanfaatan lahan, dari data nilai investasi dan luasan pemanfaatan lahan diharapkan didapat kombinasi/alternatif nilai investasi tertinggi dalam penggunaan lahan
(3)
Lingkungan Lingkungan adalah sebagai proses penyempurnaan, diharapkan dengan analisis
ini nilai investasi dari pemanfaatan lahan tetap
memperhatikan lingkungan. Artinya ada batasan tidak semua lahan yang
82
bernilai investasi tinggi harus di alokasikan, tetapi perlu diperhitungkan baik secara makro (Barelang) maupun secara mikro (P. Batam), meliputi : •
Kebutuhan hutan lindung dan daerah tangkapan air.
•
Keseimbangan daerah terbangun dan tidak terbangun.
•
Mempertahankan daerah hijau walau kurang menguntungkan dari segi investasi.
• 3.4.7
Standard baku mutu buangan. Analisis Kebijakan dengan Metoda SWOT Dalam Budiharsono (2003), disebutkan bahwa untuk menentukan
kebijakan dalam pengelolaan wilayah pesisir, maka dilakukan analisis lanjutan dengan
metoda
KeKePaN
atau
analisis
SWOT
(Strength-Weaknesses-
Opportunities-Threats). Dengan analisis akan ditentukan kebijakan yang diperlukan dalam rencana pengelolaan Pulau Batam yang didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada di wilayah tersebut. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut : (1) Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pengelolaan kawasan Pulau Batam yang terkait dengan rencana pengembangan industri, jasa, pariwisata, perumahan dan pertanian. Adapun analisis untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengelolaan kawasan Pulau Batam dilakukan analisis terhadap kebijakan pengembangan Pulau Batam, meliputi: (1) Kebijakan
Pengembangan
Pulau
Batam
sebagai
Pilot
Project
Pengembangan Pusat Pertumbuhan di wilayah Barat. (2) Kebijakan
Pengembangan
Pulau
pengembangan khusus. (3) Persaingan dengan wilayah lain. (4) Kerjasama SIJORI, khususnya Singapura (5) Kerjasama dengan daerah lain.
Batam
sebagai
daerah
83
(2) Analisis SWOT dan Alternatif Kebijakan Hasil Analisis SWOT Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hubungan keterkaitan untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Untuk mendapatkan prioritas kebijakan, maka dilakukan pemberian bobot (nilai) berdasarkan tingkat kepentingan. Bobot/nilai yang diberikan berkisar antara 1 – 3.
Nilai 1 berarti tidak penting, 2 penting dan 3 berarti sangat
penting. Selanjutnya, unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Kemudian bobot setiap alternatif kebijakan tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan rangking dari setiap kebijakan.
Kebijakan dengan rangking tertinggi
merupakan alternatif kebijakan yang diprioritaskan untuk dilakukan. Tabel 7. Pembobotan Tiap Unsur SWOT Kekuatan
Bobot
Peluang
Bobot
Kelemahan
Bobot
Ancaman
Bobot
S1
..
O1
..
W1
..
T1
..
S2
..
O2
..
W2
..
T2
..
S3
..
..
W3
..
T3
..
..
O3
..
.
..
.
..
.
..
..
..
.
..
.
..
.
..
..
Wn
..
Tn
..
On
Sn
Keterangan: Nilai 3 Nilai 2 Nilai 1
= Cukup Penting = Kurang Penting = Tidak Penting
(3) Analisis Kebijakan Alternatif kebijakan pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO), kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang
(ST);
pengurangan
kelemahan
kawasan
yang
ada
dengan
memanfaatkan peluang (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (Tabel 8). Kebijakan yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif.
Untuk
menentukan prioritas kebijakan, maka dilakukan penjumlahan bobot yang
84
berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif kebijakan.
Jumlah bobot akan menentukan prioritas
kebijakan pengelolaan kawasan Pulau Batam (Tabel 9). Tabel 8. Matrik Analisis SWOT dan Penentuan Kebijakannya Peluang (O)
Ancaman (T)
Kekuatan (S)
SO1 SO2 … SOn
ST1 ST2 … STn
Kelemahan (W)
WO1 WO2 … WOn
WT1 WT 2 … WTn
Tabel 9. Ranking Alternatif Kebijakan No
Unsur SWOT
Keterkaitan
Kebijakan SO 1.
SO1
S1, S2, S., Sn , O1, O2, O., On
2.
SO2
S1,S2,Sn, O1, O2, Sn
3.
SO3
S1, S2, S4, Sn, O1, O2, On
Kebijakan ST 4.
ST1
S1, S2, Sn, T1, T2,Tn
Kebijakan WO 5.
WO1
W1, W2, Wn, O1, O2, Wn
6.
WO2
W1, W2, Wn, O1, O2, On
7.
WO3
W1, W2, Wn, O1, O2, On
Kebijakan WT 8.
WT1
W1, W2, Wn, T1, T2,
9.
WT2
W1, W2, Wn, T1, T2, Tn
10.
WT3
W1, W2, Wn, T1 , T2, Tn
Jumlah Bobot
Ranking
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi 4.1.1 Geografi Pulau Batam terletak antara 10 071 Lintang Utara dan 1040 071 Bujur Timur dan berada pada jalur perdagangan internasional yang sangat padat yaitu di tepi Selat Malaka dan di sebelah Utara berbatasan langsung dengan Singapura. Singapura hanya berjarak 20 km dari P. Batam. P. Batam dikelilingi sejumlah pulau yaitu di sisi sebelah Timur terdapat P. Bintan berjarak sekitar
10 Km. P. Bintan merupakan salah satu pulau di
Kepulauan Riau yang berkembang cukup pesat dengan andalan utama pariwisata dan industri. Di sebelah Barat di sisi sebelah Barat terdapat Pulau Sambu, berjarak kurang lebih 4 km, terdiri dari beberapa pulau diantaranya P. Rempang, P. Galang dan P. Galang Baru. Saat ini pulau-pulau yang berada disebelah Selatan telah menyatu dengan telah dibangunnya jalan dan jembatan yang terdiri dari
6 (enam) buah jembatan dan jalan sepanjang
53,65 Km,
sehingga wilayah ini dikenal sebagai Barelang (Batam, Rempang dan Galang). (Jembatan Barelang 1998). 4.1.2 Fisiografi Pulau Batam merupakan daerah tropis basah beriklim panas. Data dari Master plan Pulau Batam tahun 1991, suhu udara rata-rata setiap bulannya di Kabil adalah 25,30 0C, di Sekupang dan Batu Ampar adalah 26,00 0C. Di Sekupang suhu maksimum 30,40 0C dan minimum 23,50 0C dan di Batu Ampar suhu maksimum 34,40 0C dan minimum 23,60 0C. Kelembaban udara tergantung pada suhu akibat peredaran matahari. Variasi tekanan udara pada permukaan Pulau Batam hampir sama yaitu sekitar 1,008 mb sampai
1,012 mb. Curah hujan yang diambil dari pulau Sambu
maksimum mencapai 277 mm dan maksimum 98 mm. Hujan maksimum terjadi pada bulan Nopember–Desember dan April– Mei.
86
4.1.3 Elevasi Elevasi pulau Batam berkisar antara 0 – 5 meter di atas permukaan laut banyak terdapat di pantai Utara dan pantai Selatan. Sebelum dikembangkan kawasan ini merupakan kawasan mangrove. Lebih dari setengah P. Batam mempunyai ketinggian 5 – 25 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian ini, baik digunakan untuk pemukiman industri atau pariwisata. Ketinggian 25 – 100 Meter meliputi 32% dari seluruh wilayah Pulau Batam. Kawasan ini digunakan untuk pemukiman, industri, pertanian, pariwisata atau hutan lindung. Ketinggian lebih dari 100 m hanya 1% dari luas wilayah P. Batam. 4.1.4 Kondisi Pantai Pulau Batam Dari data Master plan Pulau Batam 1991 disimpulkan beberapa hal mengenai kondisi pantai P. Batam sebagai berikut : a.
Bidang pasang surut maksimum yang terjadi adalah 2,55 m di daerah Batu Ampar dan 3,6 m di Sekupang.
b.
Tinggi gelombang berkisar 0,2 – 0,5 m di Batu Ampar dan 0,1 – 0,4 m di Sekupang. Pada saat bertiup Angin Barat tinggi gelombang dapat mencapai 1 m.
c.
Terdapat
2 (dua) jenis angin utama, yaitu Angin Musim Timur Laut
(Nopember – Maret) dan Angin Musim Barat Daya (Mei - September) dengan kecepatan masing-masing kurang dari 10 knot dan 8 knot. d.
Kecepatan arus di daerah Sekupang adalah
2 m/dt pada saat pasang
purnama. e.
Dari peta bathymetri tampak bahwa banyak terdapat karang di daerah Utara dengan kemiripan topografi di bawah 1% dan banyak tumbuh hutan bakau. Pada beberapa tempat dekat dengan pantai dijumpai pantai dalam (mencapai 10 m). Saat ini telah dikembangkan beberapa pelabuhan diantaranya Pelabuhan
Batu Ampar, Sekupang, Kabil dan Batam Center. Kawasan wisata pantai juga telah dikembangkan diantaranya di Kawasan Wisata Nongsa, Teluk Kuning, Teluk Sinimba dan Pantai Utara Sekupang. Peta situasi pantai dan sungai di P. Batam dapat dilihat pada Gambar 14.
87
88
4.1.5 Ketersediaan Air Saat akhir tahun 1998 kebutuhan air untuk seluruh kegiatan di P. Batam disuplai dari 5 (lima) buah waduk yang telah beroperasi yaitu Waduk Nongsa 60 Liter perdetik ; Waduk Balai
30 Liter perdetik ; Waduk Harapan 210 Liter
perdetik; Waduk Ladi 240 Liter perdetik dan Waduk Muka Kuning 310 Liter perdetik. Total pasokan 810 Liter perdetik. Waduk Duriangkang saat ini sudah selesai dibangun, baru dimanfaatkan air bakunya dan diolah di Waduk Muka Kuning. Potensi Waduk Duriangkang adalah 3.000 liter perdetik. Potensi sumber air di Pulau Batam masih mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan Sie (sungai) Tembesi. Kemampuan memasok
+ 638 liter
perdetik. Rencana ke depan dengan telah dihubungkannya P. Batam, Rempang, Galang dan Galang Baru maka akan dibuat jaringan koneksi sumber air di P. Batam dengan yang ada di P. Rempang dan P. Galang. Keterbatasan sumberdaya air juga merupakan keterbatasan kemampuan daya dukung P. Batam khususnya kemampuan daya dukung terhadap pertambahan penduduk. Keterbatasan ini juga diperkuat dengan adanya kebijakan pelarangan penggunaan air tanah di P. Batam. Untuk pengembangan ke depan dan bila lahan dan lingkungan masih dapat mendukung perlu dipikirkan sumber air dari daerah lain atau memanfaatkan teknologi pengolahan air laut menjadi air tawar. 4.1.6 Kependudukan Tercatat dalam laporan perekonomian P. Batam sampai dengan akhir tahun 1998 penduduk Kotamadya Batam telah mencapai 290.638 jiwa terdiri dari 142.615 jiwa laki-laki (49,07%) dan 148.023 jiwa perempuan (50,93%). Lebih banyaknya penduduk perempuan dibanding penduduk laki-laki adalah disebabkan oleh meningkatnya jumlah perusahaan yang beroperasi di P. Batam, terutama industri elektronik yang lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan daripada tenaga kerja laki-laki, dengan anggapan perempuan lebih teliti. Dari hasil registrasi penduduk
keadaan terakhir tahun 1998 penduduk
Kotamadya Batam mengalami peningkatan 13,89% atau bertambah 35.459 jiwa dibanding dengan keadaan pada bulan Desember 1997. Sedang pertumbuhan
89
penduduk P. Batam rata-rata pertahun selama periode tahun 1988 – 1998 adalah sebesar 15,52% (Tabel 10). Tabel 10.
Banyaknya Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kotamadya Batam Keadaan Akhir Tahun 1994 – 1997 Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Pertumbuhan (%)
1984
29.348
26.233
55.581
29,40
1985
31.135
27.304
58.439
5,14
1986
32.713
28.518
61.231
4,78
1987
35.322
31.089
66.411
8,46
1988
43.177
36.240
79.377
19,52
1989
49.983
40.541
90.524
14,04
1990*
59.030
46.790
105.820
16,90
1991
61.111
48.304
109.415
3,40
1992
70.437
52.600
127.037
12,45
1993
81.437
65.268
146.705
19,24
1994
89.565
74.377
163.902
11,72
1995
100.418
95.662
196.080
19,63 26,46
Tahun
1996
123.685
124.273
247.958
1997
127.410
127.769
255.179
2,91
1998**
142.615
148.023
290.638
13,89
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
Dengan peningkatan penduduk yang tinggi, kepadatan penduduk per km2 juga mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk di P. Batam per km2 mengalami peningkatan dari 417 jiwa / km2 pada akhir tahun 1997 menjadi 474 jiwa pada akhir tahun 1998, bandingkan dengan Kecamatan Belakang Padang (termasuk Kodya Batam) kepadatan penduduknya hanya
84 jiwa per km2.
(Tabel 11). Tabel 11. Banyaknya Desa, Penduduk dan Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Batam Dirinci per Kecamatan Tahun 1998
Kecamatan (1) 1.Belakang Padang
Desa/ Kel.
Luas Wilayah
(2)
(3)
Penduduk Pria (4)
Wanita (5)
Jumlah (6)
Kepadatan Penduduk 2 (km ) (7)
5
224,15
9.617
9.195
18.812
84
2.Batam Barat
14
162,79
43.120
37.584
80.704
496
3.Batam Timur
25
225,53
89.878
101.244
191.122
847
JUMLAH
44
612,59
142.615
148.023
290.638
474
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
90
4.1.7 Sarana dan Fasilitas Untuk menarik investasi baik Dalam dan Luar Negeri, Pemerintah Pusat telah membangun dan menyediakan sarana dan fasilitas yang memadai. Investasi yang ditanam Pemerintah untuk menyiapkan sarana dan fasilitas diantaranya
Jalan
dan
Jembatan,
Pengelolaan
Air
Bersih,
Listrik,
Telekomunikasi, Pelabuhan Laut, Bandara, Rumah Sakit, dan lain-lain sampai dengan akhir tahun 1997 mencapai US$ 1,512,738,848 (Tabel 13.) 4.1.8. Pemanfaatan Lahan Walau belum seluruhnya terbangun permintaan lahan di Pulau Batam sangat tinggi. Oleh sebab itu perubahan yang dilakukan dalam evaluasi Master Plan juga sangat dipengaruhi oleh permintaan dan perubahan peruntukan. Data yang didapat dari UPT. Pengalokasian Lahan Otorita Batam pada tahun 1998 beberapa peruntukan telah dialokasikan kepada investor melampaui target Master Plan 1991, bahkan target untuk tahun 2006. Peruntukan yang melebihi target 2006 antara lain Peruntukan Industri, Peruntukan Fasilitas Umum dan Lapangan Golf (Tabel 12. luas lahan teralokasi). Tabel 12. Luas Lahan Teralokasi di Pulau Batam
No
Peruntukan
Data-data 1998 UPT Pengalokasian Lahan Otorita Batam( M2 )
Data Lemtek FT-UI 1991 Land Use Tahun 2006 ( Ha. )
741,06
1.224,28
1.
Jasa
2.
Perumahan
3.006,708
4.529,68
3.
Industri
3.269,68
3.035,24
4.
Fasilitas Umum
3.846,43
1.803,39
5.
Pariwisata
1.404,51
1.648,23
6.
Pertanian
7.
Lapangan Golf
8.
588,52
(*) 1.411,51
1.887,58
(**) 2.512,37
Transportasi
--
3.079,454
9.
Reserved Area
--
7.634,28
10.
Reservoir / Drainage Alam maupun Buatan
--
2.175,20
11.
Tempat Pemakaman Umum
--
28,00
12.
Tempat Pembuangan Akhir / Sampah
--
37,00
Keterangan : (*) termasuk Perkebunan; (**) termasuk Lingkungan Hijau / Open Space / Kawasan Olahraga selain Golf.
91
Tabel 13. Perbandingan Data Pertumbuhan Di Pulau Batam Tahun 1978, 1983, 1993, 1994, 1995, 1996 dan 1997 No 1. 2.
KETERANGAN
12 A. B. C. 13 A.
PENDUDUK TENAGA KERJA PROSENTASI PERBANDINGAN JML TNG KRJ THD JML PENDUDUK PERUSAHAAN WISATAWAN JALAN BERASPAL AIR MINUM LISTRIK TELEPON KUNJUNGAN PESAWAT PELABUHAN UDARA LANDASAN PACU KAPASITAS SANDAR KAPAL LAUT SEKUPANG BATU AMPAR KABIL INVESTASI PEMERINTAH
B.
SWASTA
14 A. B.
TOTAL A + B PENERIMAAN DEVISA PENERIMAAN DARI WISATAWAN EKSPOR TOTAL A + B
15
PENERIMAAN PEMDA
A.
PENERIMAAN DEVISA/KAPITA/THN PENERIMAAN DEVISA/TENAGA KERJA/THN PENERIMAAN PEMDA/KAPITA/THN KURS : US $
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11
B. C.
1978
1983
1993
1994
1995
1996
1997
31,800 2,240
43,000 5,500
146,214 65,103
162,477 104,844
196,080 118,149
247,588 127,408
254,745 137,101
7.04%
12.79%
44.53%
64.53%
60.26%
51.46%
53.82%
10 -1.4 Km 55 Lt/Sec 5 MW PABX 10 SS/LU --
55 9,670 105 Km 160 Lt/Sec 18 MW 1,470 SS/LU 7 X / Week
3,855 680,373 313 Km 850 Lt/Sec 200 MW 10,506 SS/LU 109 X / Week
4,316 891,165 324.36 Km 850 Lt/Sec 200 MW 14,255 SS/LU 123 X / Week
4,784 936,402 432.2 Km 850 Lt/Sec 224.8 MW 20,651 SS/LU 132 X / Week
6,528 1,076,617 432.2 Km 850 Lt/Sec 224.8 MW 23,604 SS/LU 143 X / Week
9,127 1,119,572 484.72 Km 850 Lt/Sec 231.62 MW 25,244 SS/LU 154 X / Week
850 M
2,500 M
3,600 M
3,600 M
4,000 M
4,000 M
4,000 M
3,000 DWT 3000 DWT 5,000 DWT
10,000 DWT 3,000 DWT 5,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
US$ 116,038,220 (57.60%) US$ 85,412,087 (42,40%) US$ 201,450,307
US$ 253,002,747 (50.41%) US$ 248,926,652 (49,59%) US$ 501,929,399
US$ 742,713,521 (16.42%) US$ 3,781,830,633 (83,58%) US$ 4,524,544,154
US$ 859,094,428 (17.08%) US$ 4,169,208,058 (82,92%) US$ 5,028,302,486
US$ 1,204,963,475 (20.16%) US$ 4,773,275,935 (79.84%) US$ 5,978,239,410
US$ 1,427,241,003 (23.28%) US$ 4,703,999,964 (76.72%) US$ 6,131,240,967
US$ 1,512,738,848 (23.01%) US$ 5,061,182,623 (76.99%) US$ 6,573,921,471
-US$ 330,040 US$ 330,040 Rp. 1.000.000,(Apr’77 – Mar’78) US$ 10,38
US$ 812,375 US$ 2,605,375 US$ 3,417,750 Rp. 167.311.817,(Apr’82 – Mar’83) US$ 79.48
US$ 249,832,960 US$ 925,810,340 US$ 1,175,643,300 Rp. 6.950.000.000,(Apr’92 – Mar’93) US$ 8,040.56
US$ 320,060,700 US$ 1,388,863,340 US$ 1,708,924,040 Rp. 8.170.000.000,(Apr’93 – Mar’94) US$ 10,517.94
US$ 353,959,956 US$ 2,362,027,710 US$ 2,715,987,666 Rp. 13.230.000.000,(Apr’94 – Mar’95) US$ 13,851.43
US$ 406,961,226 US$ 3,033,532,360 US$ 3,440,493,586 Rp. 17.680.000.000,(Apr’95 – Mar’96) US$ 13,896.04
US$ 423,198,216 US$ 4,885,074,220 US$ 5,308,272,436 Rp. 26.440.000.000,(Apr’96 – Mar’97) US$ 20,837.59
US$ 147,34
US$ 624.41
US$ 18,058.21
US$ 16,299.68
US$ 22,987.82
US$ 27,003.75
US$ 38,717.97
Rp. 31,Rp. 527,-
Rp. 3.891,Rp. 994,-
Rp. 47.533,Rp. 2.050,-
Rp. 50.284,Rp. 2.200,-
Rp. 67.472,Rp. 2.225,-
Rp. 71.409,Rp. 2.370,-
Rp. 103.790,Rp.4.650,-
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
92
4.2 Kondisi Makro Ekonomi dan Investasi 4.2.1 Kondisi Makro Ekonomi Analisis yang akan dilakukan terbatas pada pertumbuhan ekonomi di Barelang (Batam). Untuk keperluan analisis pertumbuhan ekonomi data yang digunakan tetap mencacu sampai dengan tahun 1998.
Adapun data terbaru
digunakan apabila terkait atau memperkuat statment /pernyataa yang ada. Pada Interim Report I Evaluasi Master Plan Barelang yang dilakukan oleh LEMTEK UI (1998) menyatakan bahwa suatu indikator ekonomi yang paling sering digunakan untuk menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara adalah GDP (Gross Domestik Product). Semakin tinggi GDP di suatu negara, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut semakin tinggi pula. Dan sebaliknya, jika tingkat pertumbuhan GDP suatu negara rendah, maka dapat dikatakan tingkat pertumbuhan negara tersebut rendah pula. Selain GDP, indikator lainnya yang akan dianalisis adalah investasi, ekspor dan kehadiran turis manca negara. 4.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Asean/Regional Pertumbuhan negara ASEAN sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Pulau Batam, khususnya negara Singapura dan Malaysia. Semakin tinggi pertumbuhan di ASEAN, maka dapat diharapkan akan semakin mengangkat pertumbuhan ekonomi Batam. Pada kurun wakti 1993 – 1997 pertumbuhan ekonomi 7 negara ASEAN secara umum terus meningkat. Pertumbuhan mangalami penurunan pada tahun 1996. Pada tahun 1997 akibat krisis ekonomi, hanya Brunai Darussalam yang mengalami
peningkatan
pertumbuhan.
Singapura
masuh
dapat
mempertahankan tingkat pertumbuhannya, sedang 5 negara ASEAN lainnya secara umum mengalami penurunan yang cukup drastis.
Bahkan negara
Thailand mengalami pertumbuhan negatif. Tiga negara yang paling kena pengaruh krisis tersebut adalah Indonesia, Korea dan Thailand.
Nilai mata uang dari ketiga negara tersebut terus
mengalami penurunan. Arus modal asing dari luar melamban dan arus kredit masuk hampir berhenti.
Sebagai akibat kenaikan tingkat suku bunga, kredit
93
macet makin meningkat dan usaha ekonomi menjadi macet. Dampaknya kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 1997 hanya tumbuh dengan angka 4,7% dan tidak sedikit perusahaan yang mengalami krisis bahkan menuju pada ambang kebangkrutan.
Diprediksi pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi
Indonesia mendekati nol, bahkan bisa menjadi negatif (-1,5%). Sebagai gambaran, hasil prediksi ESCAP pertumbuhan ekonomi di kawasan negara Asia Pasifik berkisar antar -3 sampai dengan +8, dengan dua diantaranya mengalami pertumbuhan GDP negatif yaitu Indonesia dan Thailand. Adanya krisis moneter yang terjadi di kawasan ASEAN sedikit banyak telah ikut mempengaruhi perkembangan perekonomian di kawasan SIJOR. Data yang telah dipublikasikan ESCAP pada tahun 1998 menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP untuk ketiga negara tersebut pada tahun 1997 adalah untuk Indonesia (Riau/Batam) 4,7%, Malaysia 8% dan Singapura 7%. Untuk daerah Riau sendiri pertumbuhan PDRB mengalami peningkatan 5,46%. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi di Riau (Batam) sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian di Singapura karena sebagian besar ekspor dari Batam masih melalui Singapura. 4.2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Barelang (Batam) PDRB Batam sebagian besar ditunjang oleh sektor Industri pengolahan dimana pada tahun 1996 sektor ini telah berkontribusi sebesar 66,14%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi kedua. Dari sini dapat terlihat bahwa peran industri, ekspor impor untuk keluar masuknya bahan baku barang produksi menjadi bagian sangat penting dan akan mempengaruhi sektor lain seperti perdagangan, perhotelan, restoran dan lain-lain. Perkembangan Batam sebagai kawasan industri dan berhasil tumbuh dengan pesat disebabkan letak yang strategis, aksesibilitasnya yang mudah dan kedekatan dengan Singapura. Berikut diuraikan hasil analisis terhadap beberapa indikator ekonomi Pulau Batam, yang meliputi PDRB, investasi,ekspor dan impor serta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). (1) PDRB Pertumbuhan PDRB Batam pada tahun 1997 tercatat 12,52%, berarti mengalami penurunan dibanding pertumbuhan tahun 1996 yang mencapai
94
18,09%.
Namun penurunan PDRB ini masih lebih tinggi dibanding
pertumbuhan PDRB Riau yang besarnya 6,83% dan juga di atas PDRB Indonesia yang besarnya 4,65%. Walaupun dalam kondisi krisisi pertumbuhan PDRB Batam masih sangat baik, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 12,52% dan masih di atas pertumbuhan negara-negara ASEAN termasuk Singapura dan Malaysia, apalagi bila dibandingkan dengan PDRB Indonesia dimana PDRB Batam mencapai 3 kali lipat. Dari PDRB saja sudah terlihat bahwa perekonomian Batam masih tumbuh baik. Secara sektoral pertumbuhan PDRB Batam tahun 1997 sangat bervariasi. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Listrik, Gas dan Air bersih yaitu sebesar 28,44%.
Sektor Pertanian utamanya Perikanan menempati
urutan kedua sebesar 21,50%, sedangkan sektor Perdagangan, Hotel dan Retoran menempati urutan ketiga dengan nilai pertumbuhan PDRB sebesar 14,13%. Sektor Angkutan dan Komunikasi tumbuh sebesar 12,04%; Sektor Jasa tumbuh sebesar 10,20%; Sektor Bangunan sebesar 5,69% dan diikuti oleh Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 4,53%.
Satu-satunya
sektor
yang
tumbuh
negatif
adalah
sektor
Pertambangan dan Penggalian yaitu -54,56%. Bila dilihat dari sisi peranan tiap sektor ekonomi terhadap PDRB 1997 maka sektor Industri dan pengolahan masih tetap tercatat sebagai primadona penyumbang terbesar dengan peranan 64,96%. Peringkat kedua diisi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang menyumbangkan peran 16,86% dan posisi ketiga sektor lainnya hanya menyumbangkan peran dibawah 5%. Pada tahun 1998 kontribusi sektor Industri dan pengolahan perannya meningkat menjadi 67,37% dan ini menunjukkan semakin kuat dan dominannya sektor industri di P. Batam. (2) Investasi Secara umum investasi yang telah berjalan di Batam tumbuh dengan sangat baik.
Tercatata sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997
menjelang krisis ekonomi, rata-rata pertumbuhan investasi di P. Batam adalah 10%/tahun.
95
Dengan kemudahan-kemudahan di atas, arus investasi dari swasta mengalir deras.
Sektor-sektor yang dimasuki investasi antara lain sektor
Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi/Galangan Kapal, Perhotelan, Pengangkutan, Perumahan dan Perkantoran serta jasa-jasa lainnya. Tiga sektor yang paling diminati pada tahun 1998 adalah sektor Industri dengan 248 proyek; kedua Sektor Jasa-jasa lainnya sebanyak 37 proyek; dan ketiga Sektor Konstruksi/Galangan Kapal sebanyak 23 proyek. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis dan menyesuaikan dengan data Master Plan maka 8 sektor yang ada disesuaikan namanya menjadi 6 sektor, yaitu sektor Industri (gabungan dari sektor industri dan galangan kapal), Jasa (gabungan dari sektor jasa dan pengangkutan), Perumahan (kependekatan dari sektor perumahan dan perkantoran), Pariwisata, Pertanian dan Sektor Hijau atau areal Konservasi. Setelah
krisis
ekonomi
pada
tahun
1998
terjadi
penurunan
pertumbuhan investasi, yaitu hanya mencapai 2%, sehingga rata-rata pertumbuhan investasi sampai dengan 1998 menjadi 8,4% pertahun. Apabila dilihat lebih rinci, maka investasi tersebut sampai dengan tahun 1998
disumbangkan oleh Pemerintah dalam bentuk investasi nasional
sebesar 23,4% atau senilai US$ 1.578.208.610 dan oleh swasta (investasi positif) sebesar 76,6% atau senilai dengan US$ 5.166.313.559 sehingga total investasi di P. Batam sampai dengan tahun 1998 adalah sebesar US$ 6.744.522.169. Tumbuh positifnya investasi, khususnya dari pihak swasta disebabkan adanya komitmen yang kuat dan konsistensi dari pemerintah berupa kemudahan, keringanan dan keuntungan bila berinvestasi, diantaranya: 1) Proses perijinan usaha dengan sistem satu atap (one stop services). 2) Tarif sewa tanah yang lebih mudah dibandingkan dengan kawasan industri lain. 3) Prosedur imigrasi yang khusus dan mudah. 4) Prosedur pemasukan barang dari luar negeri yang mudah dan belum dianggap impor. Tidak dikenakan bea masuk dan pungutan impor lainnya (PPn dan PPnBM).
96
5) Lokasi yang strategis dekat dengan pasar Asia dan dilalui dilalui oleh rute pelayaran internasional. 6) Dukungan koordinasi antar instansi pemerintah yang sangat kuat (adanya kepastian berusaha, keamanan dan kenyamanan). Bila diolah dari laporan tahunan perekonomian tahun 1998, maka rencana penanaman modal dalam dan luar negeri (investasi) adalah sebagai berikut: 1) Sektor Industri Industri yang ada di P. Batam meliputi 8 jenis industri dan bergerak dalam bidang usaha makanan, minyak, tekstil, kayu, kertas, kimia dan farmasi, mineral dan logam, logam dasar serta elektronika. Berdasarkan realisasinya hingga tahun 1998, terbesar adalah industri dalam bidang logam dasar dan elektronika (72,78%) dengan nilai investasi sebesar US$ 409.450.000 dan diikuti oleh industri lainnya (19,33%) dengan nilai investasi sebesar US$ 108.735.000 serta industri yang bergerak dalam bidang kimia dan farmasi (6,90%) dengan nilai total investasi sebesar US$ 38.825.000. Untuk industri yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman, tekstil, kertas serta industri yang bergerak dalam usaha mineral dan logam nilai investasinya relatif kecil karena dibawah 1%. Grafik rencana dan realisasi penanaman modal asing menurut bidang usaha pada sektor industri pada kurun waktu 1996 – 1998 dapat dilihat pada Gambar 15. 800,000 700,000 600,000 1996 1997 1998 Realisas
409,450
500,000 400,000 300,000 200,000 100,000
108,735 1,339
2,750
1,449
0
38,825
0
0 Makanan
Tekstil
Kayu
Kertas
Kimia & Farmasi
Mineral dan Logam dasar Logam dan elek
Lainnya
Gambar 15. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Industri (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
97
2) Sektor Pertanian Sektor pertanian pada umumnya terbagi ke dalam tiga sub-sektor, masing-masing sub-sektor perkebunan, perikanan dan peternakan. Dari ketiga sub-sektor tersebut, tidak terdapat investasi untuk sub sektor perikan an baik melalui PMA maupun PMDN.
Adapun total investasi
untuk perkebunan mencapai US$ 562.000 (41,63% dari rencana investasi) dan peternakan mencapai US$ 8.448.000 (39,28% dari rencana investasi).
Gambar 16 memperlihatkan grafik rencana dan
realisasi investasi sektor pertanian hingga tahun 1998.
25,000
21,505
20,000 1996
15,000
1997 8,448
10,000 5,000
1998 Realisasi
1,350
562
0
0
0 Perkebunan
Perikanan
Peternakan
Gambar 16. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Pertanian (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998. 3) Sektor Perumahan Sektor perumahan terbagi kedalam dua jenis investasi, masingmasing PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing).
Realisasi sektor perumahan yang didanai dari PMDN
mencapai US$ 76.547.000 atau 97,45% dari rencana, sedangkan realisasi PMA hanya mencapai US$ 17.302.000 atau 23,16% dari rencana investasi.
Dari hasil ini nampak untuk sektor perumahan
realisasinya sangat rendah yang mungkin diakibatkan krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu. Gambar 17. memperlihatkan grafik rencana dan realisasi untuk sektor perumahan hingga tahun 1998.
98
78,547
77,547
78,547 70,405
80,000
74,705
76,547
59,500
70,000 60,000
\\\
50,000
PMDN
40,000
PMA 17,302
30,000 20,000 10,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 17. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perumahan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
4) Sektor Jasa Sama halnya dengan sektor perumahan, sektor jasa juga terbagi kedalam dua jenis investasi, masing-masing PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing). Realisasi sektor jasa yang didanai dari PMDN mencapai US$ 17.785.000 atau 6,28% dari rencana, sedangkan realisasi PMA mencapai US$ 182.911.000 atau 33,25% dari rencana investasi.
773,885
749,852
800,000 700,000
550,152
600,000 500,000
380,454 298,695
400,000
PMDN
298,695
PMA 182,911
300,000 200,000 18,785
100,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 18. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Jasa (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
99
5) Sektor Perhotelan Realisasi
PMA
untuk
sektor
perhotelan
relatif
lebih
baik
dibandingkan dengan sektor lainnya yang pada umumnya persen realisasinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan PMDN.
Terhitung
berdasarkan hasil analisis realisasi untuk sektor perhotelan adalah sebesar 78,75% dengan nilai investasi sebesar US$ 212.465.000, sedangkan untuk PMDN realisasinya hanya mencapai 37,84% dengan nilai investasi sebesar US$ 123.074.000. Tingginya realisasi di sektor perhotelan menunjukkan bahwa meskipun sedang mengalami instabilitas pada tahun 1998, namun sektor perhotelan masih mempunyai daya tarik investasi sehingga PMA masih berminat untuk menanamkan investasinya di P. Batam.
Gambar 19. Menyajikan grafik rencana dan realisasi
investasi sektor perhotelan sampai dengan tahun 1998.
364,995 400,000
325,281
325,281
350,000
269,787
258,465 300,000
226,228
212,465
250,000 PMDN
200,000
123,074
PMA
150,000 100,000 50,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 19. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perhotelan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
(3) Ekspor dan Impor Dengan status P. Batam sebagai kawasan Berikat (Bonded Zone), maka barang yang dimasukkan
dari luar negeri ke P. Batam belum
dinyatakan sebagai proses impor, sehingga sampai dengan tahun 1998 data impor kurang mendapat perhatian.
Hal ini juga menyulitkan analisis
perbandingan antara ekspor dan impor. analisis lebih difokuskan pada ekspor.
Dengan data yang ada maka
100
Dari data perkembangan Batam sampai dengan Desember 1998 terlihat bahwa pertumbuhan ekspor sejak tahun 1993 hingga tahun 1997 mencapai 46,25%.
Nilai ekspor pata tahun 1997 adalah senilai US$
4.885.082.830 sedang pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi terjadi penurunan menjadi US$ 4.726.207.798 atau terjadi pertumbuhan ekspor dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 menjadi 36,4% pertahun.
Nilai
tersebut masih dianggap katagori pertumbuhan yang tinggi
yang
mengindikasikan masih berlangsungnya kegiatan/proses industri, perputaran uang dan berarti pertumbuhan ekonomi masyarakat di P. Batam. Peran ekspor dari P. Batam pun cukup menarik bila dilihat dari skala nasional maupun provinsi. Pada tahun 1997 tercatat ekspor non-migas dari P. Batam tercatat senilai US$ 3.033 juta atau 7,9% dari ekspor nasional, dan bila dibandingkan dengan provinsi Riau tanpa Batam adalah 132%. Apabila pada tahun 1998 terdapat 27 provinsi maka rata-rata sumbangan tiap provinsi adalah 3,7%.
Bila dibandingkan dengan ekspor dari P. Batam
sebesar 7,9% maka berarti Batam telah menyumbangkan nilai ekspor setara dengan lebih dari 2 kali nilai provinsi Riau. Seperti dijalankan sebelumnya impor sebelum tahun 1998 kurang mendapat perhatian, namun demikian pada tahun 1998 Neraca Perdagangan Luar Negeri Batam tercatat mengalami surplus sebesar US$ 1,06 miliar yang merupakan selisih dari ekspor senilai US$ 4,73 miliar, dan impor senilai US$ 3,66 miliar.
Dengan neraca perdagangan yang surplus Batam dapat
dikatakan sebagai daerah berpotensi meningkatkan perekonomian nasional. (4) Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) Kunjungan wisman pada masa krisis tahun 1997 tercatat 1.1.52.167 wisman atau 33% dari seluruh wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk ke Indonesia dengan total 3.497.ooo wisman. Pada tahun 1997 juga Batam merupakan pintu masuk wisman tertinggi di Indonesia. Pintu masuk tertinggi kedua adalah Jakarta melalui Bandara Udara Sukarno-Hatta sebanyak 1.113.000 wisman dan tertinggi ketiga adalah Bali melalui Bandara Ngurah Rai sebanya 997.000 wisman. Pada tahun 1998 jumlah wisman yang berkunjung ke Batam meningkat mencapai 1.208.454 orang atau meningkat 4,8% dari tahun 1997.
Dengan
101
jumlah turis tersebut pada tahun 1998 devisa yang terserap mencapai US$ 421,57. Dengan rata-rata tinggal di P. Batam selama 2,1 hari didapat ratarata
pengeluaran
wisman
dalam
satu
hari
adalah
US$
180.
Permasalahannya pada tahun 1998 sebagian besar atau 73,9% wisman berasal dari Singapura sehingga agak sulit meningkatkan lama tinggal atau membelanjakan lebih banyak dolarnya di P. Batam.
Kesulitannya adalah
dengan jarak yang dekat wisman dari Singapura dapat pulang dan pergi ke P. Batam dalam satu hari yang sama. Biasanya mereka menginap pada akhir pekan yaitu pada hari Sabtu dan Minggu. Sebenarnya pemasukkan devisa melalui wisman di P. Batam masih bisa ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas pelayanan, penambah obyek wisata serta atraksi kebudayaan yang mewakili budayabudaya yang ada di Indonesia. 4.2.2 Kondisi Investasi Investasi
merupakan
salah
satu
unsur
yang
penting
didalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi dapat berasal dari pemerintah atau swasta. Investasi sektor pemerintah dilakukan dan dibiayai melalui APBN dan APBD. Sedang penanaman modal swasta dilakukan melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sampai
dengan
bulan
Desember
1998
di
Pulau
Batam
telah
direkomendasikan rencana penanaman modal sebanyak 333 proyek berasal dari PMA dengan nilai investasi sebesar US$ 2.242 juta dan 126 proyek PMDN dengan nilai investasi sebesar Rp.2.333 miliar. Sedang yang terealisir, untuk PMA sebanyak 222 proyek dengan nilai sebesar US$ 1.455 miliar dan PMDN sebanyak 43 proyek dengan nilai sebesar Rp. 1,46 triliun. Investasi di luar PMA dan PMDN yakni investasi Non Fasilitas tercatat secara keseluruhan sampai dengan Desember 1998 sebesar US$ 4.58 milyar dan Rp. 526 miliar. Sedang total investasi pemerintah secara kumulatif sejak tahun 1978 mencapai Rp. 2,7 triliun. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 14. dan Tabel 15.
102
Tabel 14. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut bidang Usaha ( Rp. Juta )
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI JUMLAH PROYEK
NILAI INVESTASI
REALISASI s.d Des 1998
BIDANG USAHA
(1) 1. PERTANIAN
1996
1997
1998
(2)
(3)
(4)
1996
1997
1998
(5)
(6)
(7)
JML PRO YEK
NILAI INVESTA SI
(8)
(9)
2
2
2
21.505
21.505
21.505
2
8.448
a. Perkebunan
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Perikanan
-
-
-
-
-
-
-
-
c. Peternakan
2
2
2
21.505
21.505
21.505
2
8.448
2. PERTAMBANGAN
-
-
-
-
-
-
-
-
52
52
54
1664.675
1457.497
1500.421
40
1154.338
2
2
2
138.938
138.938
138.938
2
61.061
b. Tekstil
5
5
6
30.250
31.600
31.600
5
30.250
c. Kayu
2
2
2
16.159
16.159
16.159
2
16.159
d. Kertas
-
-
-
-
-
-
-
-
e. Kimia dan Farmasi
2
2
2
435.280
392.355
435.280
1
235.280
f. Mineral dan
-
-
-
-
-
-
-
-
22
23
24
711.587
643.794
643.794
20
511.587
h. Lainnya
18
18
18
332.441
234.648
234.648
10
300.000
4. KONSTRUKSI /
8
8
8
108.874
108.874
108.874
6
78.874
10
14
15
364.995
325.281
325.281
10
123.074
6. PENGANGKUTAN
-
-
-
-
-
-
-
-
7. PERUMAHAN & PERKANTORN
2
3
3
77.547
78.547
78.547
2
76.547
33
38
44
380.454
298.695
298.695
33
18.785
106
117
126
2.619.385
2.289.052
2333.326
93
1.460.070
3. INDUSTRI a. Makanan / Minyak Makan
Logam g. Logam Dasar & Elektronika
GALANGAN KAPAL 5. PERHOTELAN
8. JASA-JASA LAINNYA JUMLAH
Sumber: Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
103
Tabel 15. Rencana Penanaman Modal Asing Menurut Bidang Usaha ( 000 US$ )
PENANAMAN MODAL ASING JUMLAH PROYEK No.
REALISASI s.d. 1998
BIDANG USAHA 1996
1997
(2)
(1) 1.
NILAI INVESTASI
1998
(3)
1996
(4)
1997
(5)
1998
(6)
JML PROY
(7)
NILAI INVESTASI
(8)
(9)
PERTANIAN
3
3
3
17.650
17.650
17.650
1
562
a. Perkebunan
2
2
2
1.350
1.350
1.350
1
562
b. Perikanan
1
c. Peternakan 2.
PERTAMBANGAN
3.
INDUSTRI
-
-
1
-
1
-
16.300
-
16.300
16.300
-
-
-
-
-
-
-
-
177
204
248
853.795
888.543
1162.24 7
171
562,547
a. Makanan/Minyak Makan
3
3
4
27.276
27.276
27.276
2
1,339
b. Tekstil
1
1
2
1.000
1.000
1.000
1
2,750
c. Kayu
1
1
1
1.200
1.200
1.200
1
1,448
d. Kertas
8
e. Kimia dan Farmasi f. Mineral & Logam
-
-
1 13
-
-
23 -
34.182
-
500 40.474
-
149.567
-
-
13
-
38,825 -
g. Logam Dasar & Eketronika
98
113
140
539.208
559.857
721.983
106
409,450
h. Lainnya
66
73
77
250.928
258.735
260.720
48
108,735
4.
KONSTRUKSI / GALANGAN KAPAL
12
20
23
120.403
160.433
165.833
20
969,519
5.
PERHOTELAN
8
12
15
226.228
258.465
269.787
12
212,465
6.
PENGANGKUTAN
-
-
7.
PERUMAHAN & PERKANTORAN
8.
JASA-JASA LAINNYA
JUMLAH
-
-
-
-
-
-
4
6
7
59.500
70.405
74.705
2
17,302
36
36
37
773.885
749.852
550.152
16
182,911
240
281
333
2051.463
2145.34 8
2241.74 5
222
1945.348
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998.
104
4.3
Analisis Kebijakan Umum Pengembangan P. Batam
4.3.1
Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat Dalam analisis terhadap kebijakan pengembangan P. Batam sebagai pilot
proyek pusat pertumbuhan di wilayah Indonesia bagian barat, Batam tidak bisa hanya dilihat sebagai pulau kecil yang terletak di wilayah barat Indonesia. P. Batam harus ditinjau dan dilihat dari perspektif nasional. Letak P. Batam yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan teramai di dunia, berseberangan dan hanya berjarak 20 km dari Singapura. Singapura sendiri merupakan negara pusat keuangan dunia, simpul distribusi dunia dan tujuan wisata dunia namun mempunyai keterbatasan lahan dan sudah mencapai titik jenuh sehingga harus memperluas ke arah laut. Kondisi ini bisa menjadi rawan atau peluang terhadap P. Batam karena secara ilmiah kepadatan aktivitas dan kejenuhan akan meledak dan mengalir atau merembet ke wilayah sekitarnya.
Kondisi menjadi rawan atau negatif
apabila aliran ini memasuki P. Batam tanpa terkendali dan tidak ada yang menangani. Untuk menangkap peluang dan sekaligus mencegah kerawanan, P. Batam harus ditangani dengan rencana dan konsep yang matang. Sebelum tahun 1970, P. Batam hanya merupakan pulau yang dihuni oleh + 6.000 jiwa dan merupakan bagian dari wilayah Kec. Belakang Padang. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk bersaing dan menangkap peluang dan menanggulangi/mencegah kerawanan yang mungkin terjadi. Sebagai gambaran dapat dilihat dari data-data perbandingan antara Batam dan Singapura tahun1970. Mensikapi kondisi ini, pada tanggal 19 Oktober 1970 Pemerintah Pusat melalui Presiden RI mengeluarkan Keputusan No. 65 tahun 1970 tentang Proyek Pembangunan Pulau Batam, yang isinya antara lain: (1)
Menetapkan P. Batam sebagai Badan Logistik dan Operasional untuk industri minyak dan gas bumi yang berkaitan dengan eksploitasi.
(2)
Menunjuk Direktur Utama PN. Pertamina Dr. H. Ibnu Sutowo sebagai penanggung jawab.
105
(3)
Segala biaya pembangunan proyek disisihkan dari anggaran PN. Pertamina.
Keputusan tersebut kemudian disusul dengan Keputusan No. 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam dan ditetapkan sebagai daerah industri.
Dalam pasal (2) disebutkan bahwa status daerah
industri tersebut sebagai Entrepot Partikelir, dan dalam pasal (3) dan (4) disebutkan untuk mengkoordinir serta mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dibentuk Badan Pimpinan Daerah Industri, dimana Badan Pimpinan tersebut merupakan penguasa dan bertanggung jawab kepada presiden. Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Presiden RI kemudian mengeluarkan Keputusan No. 41 tahun 1973 yang isinya seluruh P. Batam dinyatakan sebagai daerah industri. Pembinaan pengendalian dan pengusahaan daerah industri P. Batam masing-masing diselenggarakan oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Badan Pengawas Daerah Industri P. Batam, Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam. Untuk menjadikan P. Batam sebagai wilayah pertumbuhan maka dilakukan upaya untuk mempermudah masuknya industri baik dari luar maupun dari dalam guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menggairahkan kegiatan di semua faktor khususnya industri.
Upaya ini didorong tekad
pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1974 yang menentapkan Kawasan Batu Ampar Sekupang dan Kabil sebagai Bonded Warehouse yang selanjutnya berubah dengan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1978 dan menentapkan seluruh wilayah P. Batam sebagai Bonded Area. Selanjutnya guna menunjang percepatan pertumbuhan P. Batam diterbitkan beberapa KEPPRES dan Surat Kepmen, antara lain: (1)
Surat Keputusan No. 1 tahun 1978 oleh Ketua Badan Koordinator Penanaman Modal tentang Pemberian Pelimpahan Wewenang Pengurusan dan Penilaian Permohonan Penanaman Modal di Daerah Bonded P. Batam kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
(2)
Surat Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1978 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran serta Pemindahan Barang Kedalam
106
dan Keluar Wilayah Usaha Bonded Warehouse di Daerah Industri P. Batam. (3)
Pada tanggal 8 Januari 1983, ditetapkan P. Batam sebagai daerah berstatus khusus di bidang keimigrasian dalam rangka menunjang pengembangan P. Batam sebagai daerah rawan industri, wilayah usaha bonded warehouse dan pariwisata.
(4)
Surat
Keputusan
70/kp/l/1983
Menteri
tentang
Perdagangan
Pelimpahan
dan
Wewenang
Koperasi di
No.
Bidang
Perdagangan dan Koperasi kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam. (5)
Surat Keputusan Presiden No. 56 tahun 1984 tentang Penambahan Wuilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse, atas Pulau Janda Berias, P. Tanjung Sauh, P. Ngenang dan Pulau Moimoi.
Hasil upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Badan / Satuan Pelaksana Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam dapat dilihat dari beberapa peningkatan beberapa indikator antara lain peningkatan jumlah penduduk, tenaga kerja, jumlah perusahaan, jumlah wisatawan, instansi pemerintah dan swasta, penerimaan devisa dan penerimaan PEMDA. Lonjakan pertumbuhan 8 indikator tersebut dapat mencerminkan pertumbuhan di P. Batam.
PRC (1998) menyatakan bahwa rata-rata
pertumbuhan ekonomi di P. Batam sampai dengan 1998 adalah 17% pertahun. Dari sudut pandang lain khususnya dari sektor sosial dan pemerintahan terjadi ketimpangan.
Sejak tahun 1983 telah dirasakan tuntutan peningkatan
adminstrasi pemerintah karena saat itu P. Batam masih ditangani oleh pemerintah tingkat kecamatan sedangkan investasi telah mencapai US$ 510 juta. Oleh karenanya melalui PP No. 34 tahun 1983 tanggal 7 Desember 1983, ditetapkan Kota Madya Batam di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Pada tanggal 24 Desember 1983 secara resmi didirikan Kota Madya Batam oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab, pada tanggal 23 Januari 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 7 tahun 1984 tentang
107
Hubungan Kerja Antara Kota Madya Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Namun layaknya kapal apabila dinahkodai oleh dua orang maka akan sulit terjadi kesepahaman yang berarti mengganggu operasi dan jalannya kapal dalam mencapai tujuan. Dari beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan P. Batam merupakan upaya menangkap peluang pertumbuhan yang tinggi di Selat Malaka. Indikasi ini dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi P. Batam setelah dilakukan pengelolaan secara khusus hingga rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 17% pertahun dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.400, sehingga dapat dikatakan bahwa P. Batam merupakan pusat pertumbuhan baru untuk wilayah barat Indonesia. Namun demikian, perkembangan P. Batam yang pesat juga diiringi dengan masalah-masalah sosial yang timbul seperti kesenjangan pendapatan antara pelaku-pelaku ekonomi dan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar, selain kesenjangan dengan pulau-pulau lain disekitarnya yang belum terselesaikan dengan tuntans. Kesenjangan/konflik juga terjadi antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam yang harus segera diselesaikan melalui pembagian tugas yang jelas disertai dengan dasar hukum yang tegas. 4.3.2 Kebijakan Pulau Batam sebagai Daerah Pengembangan Khusus Berbeda dengan daerah-daerah lain, Pulau Batam dikembangkan oleh institusi yang merupakan perpanjangan langsung Pemerintah Pusat. Sebagai institusi yang berinduk ke pusat, maka Otorita Batam langsung bertanggung jawab kepada Presiden (Keppres 74 tahun 1971). Kekhususan ini dimaksudkan untuk mempercepat menangkap peluang, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi, selain itu juga mengamankan daerah di wilayah perbatasan. Dalam Keppres No. 41 tahun 1971, peran Otorita Batam, PEMDA ditugaskan antara lain seluruh P. Batam dinyatakan sebagai daerah industri, pembinaan, pengendalian dan pengusahaan daerah Industri P. Batam masingmasing diselenggarakan oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Badan Pengawas Daerah Industri P. Batam, Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam (OPDIP).
108
Kekhususan sangat terlihat dengan diberikannya beberapa pelimpahan khusus dari beberapa instansi, diantaranya: •
Diberikannya hak-hak pengelolaan kepada OPDIP Batam, untuk mengelola dan menggunakan tanah daerah/wilayah OPDIP Batam termasuk P. Jandaberias, P. Tanjung Sauh, P. Nginang dan P. Kasim.
•
Pelimpahan hak dari Ketua BKPM untuk pengurusan dan penilaian pemohon penanaman modal ke daerah Bonded P. Batam kepada Ketua OPDIP Batam.
•
Pelimpahan wewenang dari Menteri Perdagangan dan Koperasi di bidang Perdagangan dan Koperasi kepada Ketua OPDIP Batam.
•
SK Menteri Perhubungan yang memberikan hak pembangunan pelabuhan Sekupang, Batu Ampar, Nongsa dan Kabil untuk dilakukan oleh OPDIP Batam.
Kekhususan yang sangat dirasakan mendorong pengembangan industri di P. Batam adalah dengan ditetapkannya seluruh wilayah P. Batam sebagai Bonded Area melalui Keppres No. 41 tahun 1978. Bahkan berdasarkan pada Keppres No. 28 tahun 1992, maka seluruh P. Batam, Rempang, Galang dan Galang Besar ditetapkan sebagai kawasan Bonded Zone, dan dengan ketentuan bahwa seluruh pulau adalah kawasan berikat maka kawasan Barelang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah atau dipagar. Dukungan lain yang diberikan khusus kepada OPDIP Batam antara lain: (1) Perpajakan bebas PPn, PPnBM dan BM. (2) Kemudahan dan penyederhanaan perijinan. (3) Harga sewa lahan dan buruh yang relatif murah. Beberapa kekhususan yang diberikan bagi pembangunan P. Batam telah menghasilkan nilai-nilai yang positif yang dapat dinilai dari pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, peningkatan investasi PMA dan PMDN, peningkatan PDRB dan PDRB perkapita, peningkatan penerimaan pajak serta peningkatan jumlah tenaga kerja. Hasil positif ini dicapai karena adanya kemudahan dan kecepatan di dalam proses baik di dalam perijinan, usaha, pembangunan, pemasukan dan pengolahan barang di pelabuhan dan kawasan industri.
Hasil positif juga
109
memperlihatkan
pertumbuhan
yang
sangat
cepat
seperti
pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekspor impor dan sebagainya. Namun demikian, ada ekses-ekses negatif yang timbul akibat percepatan pembangunan di P. Batam.
Berkait dengan perpajakan maka penetapan P.
Batam / Barelang sebagai Kawasan Bonded Zone / Kawasan Berikat menjadi daya tarik sendiri, karena masih menjadi perdebatan khususnya terhadap makna dan status hukumnya. Menurut PP No. 36/1996, Kawasan Berikat merupakan kawasan khusus di dalam daerah pabean yang dibatasi dengan pagar guna menyampur dan mengolah bahan baku dan tidak dihuni oleh penduduk. Apabila zone bebas untuk penyimpanan dan pengolahan terletak di luar daerah pabean seharunya bernama Kawasan Perdagangan Bebas atau free trade zone (UU No. 36 tahun 2000).
Free Trade Zone menurut Khyoto Convention dirumuskan
sebagai wilayah suatu negara yang berada di luar daerah pabean yang memperoleh pembebasan bea masuk, pajak penjualan barang mewah dan pajak penambahan nilai.
Di dalam free trade zone dapat dilakukan kegiatan
penyimpanan (ware housing) dan atau alih kapal (transshipping), mengubah bentukan (transforming) dan pengolahan (processing atau manufacturing). Kenyataannya pengembangan P. Batam merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan.
Seluruh kegiatan baik pemerintahan, perencanaan
kegiatan dan manufacturing dan jasa termasuk pabean adalah merupakan wilayah kegiatan yang mengatur dan tidak terpisah-pisahkan oleh batas yang tajam termasuk keberadaan penduduknya. Apabila melihat kenyataan ini maka secara de facto P. Batam adalah daerah perdagangan besar dan pelabuhan bebas atau extrade zones, namun secara de jure P. Batam adalah Kawasan Berikat (bonded zone). Ketidakpastian hukum ini masih diperdebatkan dan terjadi tarik menarik beberapa kepentingan dan keputusan yang diambil masih berubah-ubah. Alternatif yang diperdebatkan untuk zona bebas di P. Batam adalah: (1) Kondisi tetap seperti yang sekarang. (2) Ditugaskan menjadi daerah perdagangan bebas di seluruh P. Batam. (3) Sebagian P. Batam ditetapkan sebagai daerah bebas seperti pelabuhan dan kawasan industri.
110
Kondisi ini sangat tidak menguntungkan, karena masyarakat pebisnis dan para investor menilai tidak ada kepastian hukum (Kompas, 25 Maret 2005). Akibatnya ada kekhawatiran tidak ada jaminan keamanan dan investasi ataupun berusaha
untuk
jangka
panjang
di
P.
Batam.
Kekhawatiran
berarti
ketidaktertarikan untuk berinvestasi dari para investor baik yang sudah berusaha di P. Batam maupun yang baru ingin mencoba berusaha dan berinvestasi di P. Batam. Isu ini akan terus berkembang selama belum ada kepastian hukum dan dapat menimbulkan pandangan bahwa ada P. Batam adalah daerah yang tidak menguntungkan untuk berinvestasi. Informasi dari harian Kompas tersebut juga memberitakan tentang 25 PMA yang mengancam henkang dari P. Batam. Ancaman hengkang tersebut timbul dikarenakan beberapa hal : (1) Penundaan pemberlakuan PPn, PPnBM dan BM selama 5 kali. (2) Tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum, berupa lahirnya UU FTZ Kota Batam. (3) Reaksi buruh dalam bentuk dan mogok kerja. (4) Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) selama 5 tahun yang mencapai angka 250%. (5) Adanya birokrasi serta pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Bea Cukai yang cukup siginifikan, mencapai 20%. (6) Adanya tekanan dan pemaksaan yang dilakukan oleh oknum pajak yang lebih mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara. (7) Tidak adanya aturan perpajakan standar, antara ketentuan Pusat dan Daerah yang membingungkan para investor apalagi diberlakukan surut seperti PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean pada periode 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2003. Permasalahan lain yang berkaitan dengan kekhususan P. Batam adalah dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah kerja, yaitu pimpinan OPDIP Batam dan pimpinan wilayah Kota Madya Batam (Walikota Batam). Dapat dibayangkan bahwa konflik pasti akan terjadi seperti halnya satu kapal yang dipimpin oleh dua nahkoda. Namun kenyataan sampai saat ini pembangunan dan pengembangan di P. Batam dapat berjalan disebabkan karena adanya saling pengertian kedua
111
pimpinan. Bila kedua pimpinan bersikeras dengan dasar-dasar hukum yang ada maka akan terjadi konflik dan perselisihan karena adanya tumpang tindih tanggungjawab dalam satu wilayah kerja yang sama. 4.3.3 Persaingan dengan Wilayah Lain Setelah dikembangkannya P. Batam dan menunjukkan hasil-hasil pembangunan yang positif, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah berupaya mengembangkan wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi didorong untuk lebih cepat melaksanakan pembangunan. Konsep
pembangunan
di
P.
Batam
sebagian
diadopsi
untuk
dikembangkan di wilayah pilihan dengan menyesuaikan kondisi setempat. Wilayah pilihan ini dikenal dengan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Ada 14 Kapet yang telah ditetapkan, yaitu: (1)
Kapet Sangau, di Kalimantan Timur.
(2)
Kapet DAS Kakab di Kalimantan Tengah.
(3)
Kapet Batulicin, di Kalimantan Selatan.
(4)
Kapet Sasamba, di Kalimantan Timur.
(5)
Kapet Manado Bitung di Sulawesi Utara.
(6)
Kapet Batui di Sulawesi Tengah.
(7)
Kapet Bukau di Sulawesi Tenggara.
(8)
Kapet Raol di Sulawesi Selatan.
(9)
Kapet Bima di Nusa Tenggara Barat.
(10) Kapet Mbay di Nusa Tenggara Timur. (11) Kapet Benafiq di Timor Timur. (12) Kapet Suam di Maluku. (13) Kapet Biak di Irian Jaya. (14) Kapet Sabang di Aceh. Untuk
daya
tarik
kawasan
ini
memberikan
insentif,
diantaranya
penyediaan basic infrastructure yang disediakan oleh pemerintah, pembebasan pajak, pelayanan satu atap, dan lain-lain.
Namun pada kenyataanya Kapet
tersebut tidak dapat berkembang optimal dan semakin lama nama-nama Kapet tersebut semakin tidak terdengar dan juga dengan hasil pembangunan yang dilaksanakan.
112
Wilayah lain yang juga dikembangkan khusus adalah P. Natuna dan P. Bintan. Untuk P. Natuna, ditangani oleh Badan Pengelola Pengembangan P. Natuna (BP3 Natuna) yang bertanggung jawab kepada presiden. Direncanakan pulau ini dikembangkan dengan konsep yang sangat mirip dan mendekati konsep pembangunan P. Batam. Penggerak ekonomi utama yang diharapkan adalah sumberdaya alam (natural gas) dari ladang D. Alpha yang mengandung gas sebanyak + 210 trilon cubic feet, termasuk cadangan CO2 sebesar 71%. Nama Natuna sangat meledak dan menjadi primadona karena merupakan megaproyek sebagai proyek terbesar di dunia. Permasalahan dengan kandungan 71% kandungan CO2 menyebabkan biaya penambangan dan pengolahan menjadi sangat tinggi sehingga eiestimasi harga jual gas yang dihasilkan kurang dapat bersaing dengan harga gas dipasaran. Akibatnya proyek ini kurang diminati investor dan berjalan ditempat. Sebagai lanjutannya pengembangan P. Natuna juga terkendala dan berkembang sangat lambat hingga saat ini. Di Pulau Bintan yang dikembangkan khusus adalah Lagoi, yang terletak di wilayah utara P. Bintan. Wilayah ini berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan dan mempunyai potensi pariwisata dengan pantainya yang sangat indah. Pasar potensial adalah Singapura. Secara geografi Lagoi terletak tidak jauh dari Singapura dan tidak sulit dijangkau melalui laut dari pelabuhan Tanah Merah Singapura. Filosofi pengembangan Lagoi adalah Singapura sebagai Engine of Growth dan Indonesia sebagai daerah yang akan dipengaruhi. Sebagai Engine of Growth, Singapura memiliki karakteristik: (1) Bagian global infrastrukture; (2) Pengalaman luas dalam MNCs (Multi National Corporations); (3) industries;
Hi tech
(4) Mengerahkan modal swasta Indonesia dan Singapura; (4)
Training Centre untuk High Skilled; (5) Wisatawan hingga 5 juta/tahun dengan tingkat pertumbuhan 5% pertahun; (6) Income per kapita US$ 10.000 per tahun. Sedangkan Indonesia, sebagai daerah yang dipengaruhi memiliki karakteristik: (1) Sumberdaya alam, lahan dan air serta keindahan alam; (2) Sumber tenaga kerja; (3) Kebudayaan; (4) Pengalaman membangun; dan (5) Memiliki stabilitas keamanan yang cukup baik. Pengembangan Lagoi ditangani oleh Tim Koordinasi Pembangunan Provinsi Riau (TKPPR) yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 21/1990 dan
113
terakhir dengan Keppres No. 49/1993. Tim ini mengkoordinasi dalam hal kebijakan, program dan pelaksanaan pembangunan (di luar Otorita Batam). Selain itu, tim tersebut juga melakukan koordinasi dengan instansi pusat, daerah dan juga melakukan pembicaraan dan perundingan bilateral.
Negara yang
menjadi mitra utama untuk kerjasama ini adalah Singapura. Dalam kerjasama ini, masing-masing mengambil manfaat sebagai berikut: (1) Indonesia, mendapatkan manfaat: Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dipercepat. Kesempatan kerja secara langsung sekitar 150.000 tenaga kerja dan secara tidak langsung sekitar 750.000 tenaga kerja. Pendapatan devisa sekitar US$ 1-2 milyar pertahun. Mengembangkan tenaga terampil untuk sektor industri dan jasa. (2) Malaysia,
mendapatkan
manfaat
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkelanjutan (sustainable economic growth). Untuk memacu kerjasama ini dalam waktu 3 tahun telah diterbitkan 19 (sembilan belas) produk hukum yang pada intinya memberikan insentif dan kemudahan bagi mitra kerja sama dalam melaksanakan rencananya. Dari pihak Indonesia, operasional di lapangan diwakili oleh Tim Pelaksana yang berkedudukan di P. Bintan.
Berbeda dengan di P. Batam, pelaksanaan
kerjasama di P. Bintan/Lagoni sangat didominasi oleh Pihak Singapura, bahkan sangat besar perbedaanya antara wilayah yang dikerjasamakan dengan wilayah perbatasan sekitarnya.
Hal ini menimbulkan persepsi yang negatif dan
anggapan bahwa masyarakat lokal menjadi tamu di negeri sendiri, yang disebabkan oleh ketatnya peraturan dan penjagaan termasuk akses penduduk lokal yang ingin masuk ke dalam kawasan. 4.3.4 Kerjasama SIJORI Pulau Batam terletak di pusat antara Asia Selatan dan Asia Tenggara, muncul sebagai pusat pertumbuhan baru dengan tenaga kerja san sumberdaya lainnya tersedia dengan harga yang murah. Kawasan ini juga muncul sebagai pasar yang baru karena pertumbuhan ekonominya di kawasan ini berlangsung sangat cepat.
Pada tahun 1980-an yaitu ketika negara-negara Afrika dan
114
Amerika Latin sedang menderita gangguan pendapatan 4,7% pertahun selama tahun 1987-1992 (ADB, 1993; PRC, 1998) sampai tahun 1994 negara-negara ini jelas memantapkan posisinya sebagai negara pengekspor utama, khususnya untuk produk-produk manufaktur (Gareffi and Fond, 1992; PRC, 1998). Singapura merupakan pengecualian, karena pendapatan perkapitanya tertinggi, demikian pula tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya, industri dan ekonominya yang telah mengalami diversifikasi membuatnya keluar dari katagori ”negara berkembang”. Seiring dengan berlangsungnya libelarisasi perdagangan, secara global ada kecenderungan untuk membentuk blok-blok perekonomian regional baik terbuka maupun tertutup. ekonomi
dimana
Blok tertutup adalah kesepakatan-kesepakatan
negara-negara
anggotanya
menghilangkan
hambatan-
hambatan dalam perdagangan tetapi secara kolektif melakukan proteksi terhadap kekuasaan-kekuasaan eksternal.
Tatanan semacam ini hanya
mengalihkan proteksi nasional menjadi proteksi supranasional, contohnya adalah Uni Eropa.
Sedang regionalisme terbuka bertujuan untuk liberalisme
perdagangan internasional tetapi menerima peranan bentuk proteksionisme perekonomian regional – supranasional dengan perdagangan bebas sebagai suatu tahap antara Asosiasi Perdagangan Bebas Asia Tenggara (AFTA) merupakan salah satu contoh regionalisme terbuka (Helet dan Bragam, 1994, PRC, 1998). Perdagangan bebas sekarang terbuka bagi segala macam perekonomian secara merata, sehingga lokasi hampir tidak berarti sekali.
Namun teori
perdagangan modern masih menganggap bahwa geografis merupakan faktor yang penting (Sari, 1997; PRC, 1998). Kerjasama SIJORI adalah salah satu kerjasama yang terjadi yang disebabkan karena posisi geografis yang sangat mendukung.
SIJORI, singkatan dari Singapura, Johor (Malaysia) dan Riau
(Indonesia) dan sebagai ujung tombak adalah P. Batam. Secara geografis posisi Singapura berada ditengah antara Johor dan P. Batam dengan jarak yang relatif dekat.
Dengan kedekatan ini maka akan mudah terjadi komunikasi, aliran
informasi, ekonomi dan lain-lain. Bila dilihat secara ekonomi maka Singapura merupakan negara yang paling dominan dan diharapkan sebagai pemicu pertumbuhan wilayah lain di sekitarnya.
Data ekonomi Singapura berdasar
penjelasan singkat Tim Koordinasi Pembangunan Provinsi Riau adalah sebagai berikut:
115
Pendapatan perdagangan S$ 215,6 milyar. Pendapatan per kapita S$ 21.000 (US$ 10.000). Gros pendapatan perusahaan asing S$ 48,5 milyar. Handling di pelabuhan sebesar 172,5 merik ton. Wisatawan sebanyak 5 juta dalam tahun 1990. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,3% dalam tahun 1980-an. GNP sebesar US$ 30 milyar dalam tahun 1989. Kekuatan Singapura di bidang ekonomi dan keterbatasan lahan, memungkinkan wilayah di sekitar Singapuran mengambil peran peluang yang ada di Singapura atau cukup menunggu limpahan. Singapura yang sudah jenuh dan membutuhkan tempat/lahan untuk mengalihkan kegiatan yang terus meningkat seperti yang telah disampaikan oleh Kepala Otorita Batam saat itu Dr. B.J. Habibie mengenai teori balon. Menurut teorinya, Singapura akan meledak jika tidak ada saluran yang menampung limpahannya. Oleh karena P. Batam atau wilayah sekitarnya termasuk Johor akan menjadi balon-balon kecil yang akan menyalurkan tekanan ekonomi yang ada di Singapura sebelum mencapai krisis. Teori ini diwujudkan pada tahun 1989 dimana pada saat itu Presiden RI Suharto dan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew meresmikan kerjasama untuk pembangunan P. Batam.
Pada tahun yang sama Goh Chok Tong
mengusulkan dibentuknya segitiga pertumbuhan, dan pada tahun 1990 presiden Suharto dan Perdana Malaysia Mahatir Muhammad menyetujui kerjasama IMSGT atau kepanjangan dari Indonesia Malaysia Singapur – Growth Triangle (Ahmad, 1992; PRC, 1998). Sampai dengan tahun 1998, kerjasama ini terus terjalin, interaksi ekonomi antara Singapura - Barelang (Batam) dan antara Johor – Singapura terus meningkat (International Conference on IMS-GT, 1997; Komar dan Yuan, 1991; PRC, 1998). Pada awalnya pengembangan P. Batam dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia dari Singapura. Pada waktu itu sebagian impor dan ekspor Indonesia dikapalkan melalui Singapura dan pengilangan minyak milik Singapura memperoleh bagian yang paling besar
116
dalam pembagian nilai tambah yang berasal dari sumberdaya minyak dari Indonesia (Rignier, 1991; PRC, 1998).
Dengan adanya kerjasama SIJORI,
Indonesia bisa keluar dari persaingan dengan Singapura dan diharapkan malah dapat menikmati kesuksesan ekonomi Singapura. Konsep tersebut diatas ternyata berjalan cukup baik, dimana masingmasing negara mengambil nilai positif dari ikatan kerjasama ini, misalnya dalam hal tenaga kerja, Batam menawarkan tenaga terampil. Disini terampil dan tidak terampil dengan upah hanya 1/3 dari upah di Singapura dan tidak lebih 2/3 dari upah di Johor. Demikian juga dengan sewa lahan Batam menawarkan harga yang relatif murah. Bila dilihat dari data-data perkembangan Barelang Batam sampai dengan Desember 1998 tercatat dari 317 perusahaan yang bergerak di P. Batam, sebanyak 174 perusahaan (54,8%) berasal dari Singapura, 34 perusahaan (10,7%) kerjasama dengan Singapura, sedangkan Malaysia 9 perusahaan (0,03%) atau 209 perusahaan (65,6%) terkait dengan Singapura dan hanya 15 perusahaan (0,05%) terkait dengan Malaysia (Johor). Ketimpangan kerjasama SIJORI khususnya antara Batam dengan Johor dapat terlihat dengan jumlah perusahaan Malaysia yang bergerak di Batam hanya 0,05% dari seluruh perusahaan yang bergerak di Batam. Kesan negatif juga dirasakan dengan kerjasama antara Batam dan Singapura. Para investor dari Singapura cenderung memandang Batam sebagai dapur atau gudang, dalam arti Batam digunakan sebagai tempat penyimpanan dan perakitan, sedang hasil akhir tetap dilakukan di Singapura, sehingga nilai tambah sebagian besar didapat oleh Singapura.
Batam hanya mendapatkan
upah kerja saja. Dari segi lingkungan juga timbul kesan bahwa Batam sebagai tempat pembuangan limbah.
Indikasi terlihat dengan kebijakan Singapura mulai
memindahkan industri-industri yang menghasilkan limbah yang sulit diolah atau membahayakan lingkungan seperti tank clearing, industri perkapalan dan lainlain. Karena Batam berjarak dengan peraturan tidak terlalu ketat, maka P. Batam menjadi sasaran utama pemindahan industri-industri tersebut yang paling menyolok. Singapura seringkali berupaya mengekspor sampahnya ke P. Batam yang dikemas seolah-olah bahan baku yang akan diolah di P. Batam.
117
4.3.5 Pulau Batam sebagai KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Pulau Batam sampai dengan Tahun 1998 merupakan Kawasan Berikat (Bonded Zone). Sesuai dengan PP 14 Tahun 1990, Bonded Zone adalah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang kepabeanan, yaitu terhadap barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea cukai dan atau pungutan Negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor atau re-ekspor.
Dalam bonded zone, dapat dilakukan pengolahan dan
penyimpanan barang. Dengan adanya kekhususan ini, proses pertumbuhan dan pengembangan di P. Batam sangat terbantu. Ini terlihat dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga Tahun 1998 mencapai 17%. Di dalam perjalanannya, kekhususan ini banyak dilirik daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama didaerahnya. karena seluruh daerah akan meminta.
Hal ini tidak memungkinkan
Dari sector pajakpun mempersoalkan
bahwa dengan diberlakukannya Kawasan Berikat, pendapatan pemerintah dirugikan dengan tidak masuknya PPn, bea masuk maupun bea cukai di P. Batam. Konflik ini berlangsung terus sehingga Pemerintah Pusat meninjau kembali kekhususan di P. Batam.
Pencabutan kekhususan ini telah
menimbulkan keresahan di lingkungan pengusaha Batam bahkan beberapa perusahaan besar di P. Batam telah menarik investasinya dan dipindahkan ke luar negeri. Akhirnya Pemerintah Pusat menyadari manfaat dari kekhususan P. Batam terutama mengenai perpajakan.
Pada Tahun 2005 Pemerintah
mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PM K.04/2005 tentang Kebijakan Bonded Zone Plus (Kawasan Berikat Plus). Kawasan Berikat Plus merupakan salah satu bentuk pengembangan kawasan ekonomi di Indonesia. Kawasan Berikat Plus diberlakukan di P. Batam, Bintan dan Karimun. Kelebihan Kawasan Berikat Plus adalah terletak pada prosedur dan syarat yang lebih sederhana, tidak ada minimum presentase yang harus diekspor diserahkan kepada pengusaha; digunakan sistem post reporting and audit sehingga tidak perlu disegel bea cukai setiap kali masuk dan keluar; impor mesin dan barang modal yang bukan baru, dapat dilakukan langsung tanpa
118
pemeriksaan surveyor dan perijinan dari pusat.
Kontrol berdasarkan post
reporting and audit bila perlu. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan tertentu dimana diberlakukan ketentuan khusus bidang: (1) Kepabeanan; (2) Perpajakan; (3) Perijinan
(licensing)
Ketenagakerjaan.
one
stop
services;
(4)
Keimigrasian;
dan
(5)
Kawasan ini ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur yang
handal serta Badan Pengelola yang profesional dengan standar internasional. Tujuan dari pengembangan KEK adalah untuk: (1) Peningkatan investasi; (2) Penyerapan tenaga kerja; (3) Penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor; (4) Meningkatkan keunggulan kopetitif produk ekspor; (5) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor; dan (6) Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui technology transfer. Berdasarkan atas fungsi, luas areal, fokus pengembangan dan jenis insentif yang berikan, maka KEK dapat dibedakan atas: (a) Kawasan yang dikeluarkan dari daerah pabean negara yang bersangkutan; dan (b) Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan. (a) Kawasan
yang
bersangkutan.
dikeluarkan
dari
daerah
pabean
negara
yang
Dalam kawasan ini semua arus keluar masuk barang
tidak dikenakan bea masuk, PPN dan cukai. Biasanya diikuti dengan pemberian batas tegas atas area tersebut, dan dinyatakan sebagai wilayah terbatas bagi yang tidak berkepentingan.
Contoh: Export
Processing Zone & Free Trade Zone. (b) Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan.
Dalam kawasan ini biasanya termasuk kawasan yang
lebih luas, dapat berupa kota atau bahkan provinsi. Daya tarik investasi di kawasan semacam ini dilakukan melalui penerapan kebijakan untuk mendukung kemudahan berusaha, pengurangan pajak perusahaan, repatriasi keuntungan serta pelonggaran kontrol devisa. Contoh: Special Economic Zone (FEZ), Free Economic Zone (FEZ), Industrial Zone dan Distribution Zone.
119
Beberapa faktor yang menentukan dalam pemilihan lokasi KEK, antara lain: −
Didukung oleh tersedianya tenaga kerja dengan upah yang kompetitif;
−
Infrastruktur dengan kondisi baik;
−
Lokasi berdekatan dengan pelabuhan dan bandar udara internasional;
−
Tersedianya layanan utilitas yang baik (air, listrik, sewage);
−
Ketersediaan lahan/areal pengembangan;
−
Berdekatan dengan rute pelayaran internasional (untuk pengembangan logistic center atau hub port);
−
Adanya pengelola kawasan yang profesional. Permasalahan yang muncul dalam pengembangan KEK, antara lain: (a)
Keterbatasan
infrastruktur
pembangunannya;
(b)
karena
Rendahnya
keterbatasan profesionalisme
finansial kerja;
(c)
dalam Areal
pengembangan yang terbatas sehingga mengakibatkan tingginya harga tanah dan sewa tanah; (d) Birokrasi yang berbelit-belit (red tape); dan (e) Tingkat pelayanan infrastruktur dan utilitas yang kurang memadai. 4.4 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam Analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis spasial terhadap master plan tahun 1991 dan master plan tahun 1998. Analisis yang dilakukan meliputi perkembangan luas tata guna lahan, perkembangan area yang dibangun dan tidak dibangun serta perkembangan alokasi lahan masing-masing sektor. 4.4.1 Tata Ruang Sesuai KEPPRES Nomor 56 Tahun 1984 telah ditetapkan bahwa wilayah pengembangan Otorita Batam adalah meliputi P. Batam serta beberapa pulau di sekitarnya yaitu P. Karim Pengenang, P. Momoi, P. Janda Berias dan P. Tanjung Sauti. Dalam master plan 1986 dan derivisi tahun 1991, P. Batam dibagi menjadi 8 Sub Wilayah Pengembangan (SWP) yaitu : (1) SWP Batu Ampar dengan luas 3.609 Ha. (2) SWP khusus Batam Center dengan luas 2.567 Ha.
120
(3) SWP Nongsa dengan luas 3.700 Ha. (4) SWP kabil dengan luas 5.165 Ha. (5) SWP Duriangkang – Tanjung Plaju dengan luas 8.227Ha. (6) SWP Tanjung Uncang – Saguling dengan luas 6.789Ha. (7) SWP Sekupang dengan luas 4.563 Ha. (8) SWP Muka Kuning dengan luas 6.931 Ha. Sampai dengan tahun 1998 yang digunakan adalah master plan P. Batam yang dievaluasi tahun 1991. Pada tahun 1998 pun evaluasi master plan tahun 1991 sedang dilaksanakan namun sampai akhir tahun 1998 evaluasi master plan tersebut belum selesai. Di dalam evaluasi master plan 1986 menjadi master plan 1991, prinsip Tata Guna Lahan untuk peruntukan usaha tidak jauh berbeda. Perbedaan
yang
sangat
terlihat
adalah
perluasan
peruntukan
yang
mengakibatkan perubahan fungsi lahan (lihat Gambar 20 dan 21). Perubahan ini disebabkan pesatnya permintaan lahan untuk industri, jasa dan perumahan. Sampai dengan evaluasi master plan 1991 konsep utama yaitu perbandingan daerah terbangun dan tidak terbangun berbanding 40 : 60. Untuk daerah terbangun dibagi dalam 5 (lima) peruntukan utama, yaitu Peruntukan Jasa / Pertokoan, Peruntukan Perumahan, Peruntukan Industri, Peruntukan Perkebunan / Pertanian dan Pariwisata (Gambar 20).
121
122
123
4.4.2 Master Plan 1991 (1) Perkembangan luasan tata guna lahan Peruntukkan lahan bagi kegiatan pembangunan mengacu pada master plan 1991 adalah untuk kegiatan jasa perkotaan, perumahan, industri, fasilitas umum, pertanian dan pariwisata. Rencana pemanfaatan lahan menurut Master Plan 1991 adalah 7.356 ha atau sudah direalisasikan 45,16%.
Tabel 16.
memperlihatkan Master Plan tahun 1991 dari lahan yang direncanakan untuk dialokasikan. Tabel 16. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P. Batam 1991.
Kegiatan guna lahan
TAHUN PERKEMBANGAN 1994
1995
1996
1997
1998
Ketersediaan Lahan [ha]
1
Jasa perkotaan
414,40
519,19
519,19
738,19
847,68
2
Perumahan
940,59
1.107,30
1.408,63
1.709,23
1.859,51
4.529,68
3
Industri
632,00
752,00
1.114,48
1.527,30
1.733,71
3.035,24
4
Fasilitas Umum
335,30
351,80
990,10
1.588,65
1.887,93
3.189,29
5
Pertanian
128,00
128,00
148,00
148,00
148,00
1.411,51
6
Pariwisata
168,63
168,83
579,50
779,50
879,50
Total 2.619,52 3.027,12 4.759,90 6.490,87 7.356,33 Sumber: Master Plan (1991); Interim Report Evaluasi Master Plan Barelang (2006)
1.224,28
3.296,43 16.686,43
Dari master plan 1991 tersebut areal P. Batam yang diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, industri, pariwisata, pertanian dan sebagainya mencapai 16.686,43 ha atau 40,11% dari total luas P. Batam. Dengan demikian, luas area yang tidak dibangun adalah seluas 24.913,57 ha atau 59,89% dari luas total P. Batam, dan area ini dianggap sebagai zona konservasi atau preservasi. Mengacu pada Dahuri (2003) yang telah membagi tiga zona masingmasing zona pembangunan, konservasi dan preservasi dengan persentase masing-masing zona sebesar 60 : 20 : 20, maka dapat dikatakan bahwa master plan 1991 sudah sesuai persyaratan yang diinginkan dan bahkan menyisakan area konservasi dan preservasi yang lebih besar dibandingkan dengan area untuk kegiatan pembangunan (Tabel 17). Proporsi zona konservasi dan preservasi yang lebih besar dibandingkan dengan zona pembangunan dilakukan untuk menghindari terjadinya salah satu
124
ancaman utama untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yaitu terjadinya over eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya lahan. Proporsi tersebut sekaligus juga menggambarkan keharmonisan spasial (spatial harmony) sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Dahuri (2003) bahwa tata ruang suatu wilayah harus mempunyai spatial harmony atau keharmonisan ruang, yaitu antara ruang untuk kegiatan manusia dan kegiatan pembangunan (60%) dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan (40%). Tabel 17. Proporsi Masing-masing Zona Berdasarkan Master Plan Prosentase Luas Zoning Terhadap Luas Pulau Batam No
Jenis Zona
Prosentase menurut Dahuri [2003]
Prosentase Pada Master Plan P. Batam 1991 40.11%
1
Zoning Pembangunan
60 %
2
Zoning Konservasi
20 %
3
Zoning Preservasi
20 %
Total
100 %
59.89% 100,00 %
Sumber: Hasil Analisis (2005).
(2) Angka pertumbuhan penggunaan lahan masing-masing sektor Direncanakan angka pertumbuhan penggunaan lahan tertinggi dicapai oleh sektor industri (sebesar 9,07% per tahun) dan sektor jasa (8,84% per tahun). Sektor lainnya juga masih menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi, masing-masing sektor pariwisata (sebesar 5,37% per tahun) dan perumahan (sebesar 5,06% per tahun). Kekecualian hanya pada sektor pertanian dimana angka pertumbuhannya relatif rendah, yakni hanya 0,01% per tahun. Angka pertumbuhan luasan guna lahan tertinggi untuk sektor perumahan terjadi pada kurun waktu tahun 1996-1997 dengan angka pertumbuhan mencapai 6,65% dan 6,63%. Pada kurun waktu yang sama juga terjadi angka pertumbuhan yang tinggi untuk sektor industri, dimana angka pertumbuhannya sangat fantastis, mencapai 11,94% dan 13,60%. Tingginya angka pertumbuhan luasan guna lahan ini juga diiringi oleh pertumbuhan luasan guna lahan untuk sektor pariwisata dan jasa. Angka pertumbuhan tertinggi untuk sektor pariwisata tercapai pada tahun 1996 yang mencapai 12,43% dan untuk sektor jasa pada tahun 1997 dengan angka pertumbuhan mencapai 17,89%.
Tabel 18
memperlihatkan rencana alokasi lahan berdasarkan pada master plan 1991.
125
Tabel 18.
Rencana Alokasi Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P.Batam 1991.
No.
Kegiatan guna lahan / Sektor
1
Perumahan
2
3
4
5
1994
1998
1.107,30
1.408,63
1.709,23
1.859,51
-
3,68
6,65
6,63
3,31
632
752
1.114,48
1.527,30
1.733,71
-
3,95
11,94
13,60
6,80
128
128
148
148
148
-
0,00
2,00
0,00
0,00
168,53
168,83
579,50
779,50
879,50
-
0,30
12,42
6,06
3,03
414,40
519,19
519,19
738,19
847,68
-
8,56
0,00
17,89
8,94
Pertanian
Jasa
Rata-rata Pertumbuhan (%)
940,59
Industri
Pariwisata
Tahun Perkembangan (ha) dan Tingkat Pertumbuhan (%) 1995 1996 1997
5,06
9,07
0,01
5,37
8,84
Sumbe r: Master Plan (1991); Interim Report Evaluasi Master Plan Barelang (1991)
4.4.3 Realisasi Pengalokasian Berdasarkan Master Plan 1991 (1) Perkembangan luasan tata guna lahan dan keharmonisan spasial Dibandingkan dengan data yang bersumber dari master plan P. Batam tahun 1991, maka berdasarkan data realisasi pengalokasian lahan di P. Batam hingga tahun 1998 berdasarkan ijin prinsip pengalokasian lahan menunjukkan adanya penambahan pengalokasian lahan untuk lapangan golf termasuk lingkungan hijau, open space, dan kawasan olah raga selain golf. Adapun lahan yang sudah teralokasi berdasarkan data tersebut sudah mencapai 14.545,85 ha atau mencapai 37,17% dari luas P. Batam. Namun demikian kondisi ini belum mengganggu keharmonisan spasial oleh karena masih berada di bawah angka 16.686,43 ha (40,11%).
Untuk jelasnya Tabel 19 menyajikan data realisasi
pengalokasian lahan di P. Batam hingga 1998 berdasarkan ijin prinsip pengalokasian lahan P. Batam dan Tabel 20 yang menyajikan perbandingan alokasi lahan pada zona pembangunan.
126
Tabel 19. Data Realisasi Pengalokasian Lahan di P.Batam hingga 1998 Berdasarkan Ijin Prinsip Pengalokasian Lahan [PL] P.Batam 1995
1996
1997
1998
[Ha]
[Ha]
[Ha]
[Ha]
595,30 4,98 2.495,75 7,64 2.594,92 13,55 3.810,51 11,95
783,90 31,68 2.991,58 19,87 3.196,02 23,16 3.845,36 0,91
741,06 -5,46 3.006,70 0,51 3.268,87 2,28 3.847,43 0,05
558,82
563,65
588,52
588,82
1.379,60
0,86 1.379,60 -
4,41 1.404,51 1,81
0,05 1.404,51 -
1.605,75
1.605,75
1.688,76
-
-
5,17
Total 12.118.81 13.045.48 14.449.65 Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang
14.545.85
No 1
Kegiatan guna lahan Jasa perkotaan
567,04
2
Perumahan
2.318,62
3
Kumulatif Industri
2.285,34
4
Fasilitas Umum
3.403,64
6 7
8
Pertanian+Perkebunan Pariwisata Lapangan golf [terma suk lingkungan hijau, open space,kawasan olah raga selain golf}
1.605,75
Rata-rata Peningkatan
10,40 9,34 13,00 4,31 1,78 0,60
1,72
Tabel 20. Perbandingan Alokasi Lahan berdasarkan Master Plan tahun 1991 dan Pengalokasian tahun 1998. No
Zona
Master Plan 1991 Luas (ha) %
Pengalokasian 1998 Luas (ha) %
1
Pembangunan
16.686,43
40,11%
14.545,85
37,36%
2
Total Pulau Batam
41.600,00
-
41.600,00
-
Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang
(2) Angka pertumbuhan pengalokasian lahan masing-masing sektor Peningkatan alokasi lahan selama periode 1995 hingga tahun 1997 sangat tinggi. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan investasi di Pulau Batam baik melalui PMA maupun PMDN ataupun kegiatan investasi yang bersumber dari non-Fasilitas PMA/PMDN
terus meningkat selama periode 1995 hingga
1997. Namun demikian, pada tahun 1998 kegiatan investasi sangat menurun yang antara lain diakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Indikasi ini terlihat jelas pada penurunan yang sangat tajam pada jumlah lahan yang dialokasikan. Pada tahun 1997 alokasi lahan mencapai 1.404,17 ha, sedangkan pada tahun 1998
127
hanya mencapai 96,20 ha atau hanya 6.84% apabila dibandingkan terhadap alokasi tahun 1997. Berbeda dengan rencana pengalokasian lahan berdasarkan master plan 1991 yang relatif tinggi, rencana pengalokasian lahan tahun 1998 relatif stagnan meskipun untuk beberapa sektor masih cukup tinggi seperti sektor fasilitas umum, perumahan dan industri yang masih mencapai angka di atas 4%. Sedangkan untuk sektor jasa perkotaan, pertanian dan pariwisata angka pertumbuhannya di bawah 1%, terkecuali untuk sektor lapangan golf yang pertumbuhannya cukup signifikan, mencapai 1,1%. Adapun angka pertumbuhan rata-rata pengalokasian lahan adalah sebesar 2,3%. Jika dilihat persektor, angka pertumbuhan tertinggi untuk sektor jasa perkotaan dicapai pada tahun 1996, dengan angka pertumbuhan mencapai 3,45%. Namun sektor ini mengalami guncangan ketika badai krisis yang terjadi pada tahun 1998, dan menunjukkan angka pertumbuhan yang negatif pada tahun tersebut, yakni -3,49%. Tabel 21. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan 1991
No.
Kegiatan guna lahan / Sektor
1
Jasa Perkotaan
2
Perumahan
3
Kumulatif Industri
4
Fasilitas Umum
5
Pertanian
6
Pariwisata
7
Lapangan Golf
8
Total
Tahun Perkembangan (ha) dan Tingkat Pertumbuhan (%) 1995 567,04 2.318,62 2.285,34 3.403,64 558,82 1.379,60 1.605,75 12.118,81 -
1996 595,30 3,45 2.495,75 3,91 2.594,92 10,19 3.810,51 22,56 563,65 0,34 1.379,60 0,00 1.605,75 0 13.045,48 5,55
1997 783,90 1,54 2.991,58 10,94 3.196,02 1,98 3.845,36 1,90 588,52 1,76 1.400,51 1,26 1.605,75 0 14.449,65 0,78
1998 741,07 -3,49 3.006,70 0,33 2.368,87 2,40 3.847,43 0,11 588,82 0,02 1.404,51 0,24 1.688,76 3,30 14.545,85 0,57
Rata-rata Pertumbuhan (%) 0,5 5,06 4,85 8,19 0,70 0,50 1,1 2,3
Sumber: Master Plan (1998)
Sektor perumahan mencapai angka pertumbuhan yang sangat baik pada kurun tahun 1997 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 10,94%. Sedangkan sektor industri mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi pada tahun 1996 dengan
128
angka mencapai 10,19%. Angka pertumbuhan pengalokasian lahan yang sangat fantastis terjadi pada tahun yang sama untuk sektor fasilitas umum, dimana tingkat pertumbuhannya mencapai 22,56%. Untuk sektor petanian tidak terdapat penambahan alokasi lahan untuk land use pertanian, yang mengindikasikan kurangnya minat investasi pada bidang pertanian pada periode 1995 hingga tahun 1998. Tabel 21 memperlihatkan angka pertumbuhan pengalokasian lahan di P. Batam hingga tahun 1998. (3) Analisis Implementasi Pembangunan di Lapangan Pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan lamban, dari data IMB dan sebagian pengecekan dilapangan pembangunan fisik hanya mencapai 21,8% dari lahan yang telah dialokasikan untuk berbagai jenis pengalokasian lahan. Khusus untuk fasilitas umum dan perdagangan, realisasinya hanya 0,46% dan merupakan realisasi yang paling terendah dibandingkan realisasi lainnya seperti peruntukkan jasa perkotaan (3,65%), perumahan (3,91%) serta industri (4,80%). Apabila ditnjau dari ruang Lingkup P. Batam maka, untuk tahun 1998 lahan yang dibangun hanya seluas 319,97 ha atau 2,20% dari total lahan yang telah dialokasikan (Tabel 22) Namun bila ditambahkan dari hasil beberapa pengecekan dilapangan khususnya untuk peruntukan pariwisata dan lapangan golf total wilayah yang sudah mengembang menjadi 2331.59 ha. Tabel 22.
No 1 1 2 3 4 5 6 7 Total
Realisasi Pengalokasian Lahan di P. Batam dan Pelaksanaan Pembangunan Berdasarkan IMB Tahun 1998.
Kegiatan guna lahan
Alokasi Lahan [1998]
2
3
Jasa perkotaan Perumahan Kumulatif Industri Fasilitas Umum dan Perdaganan Pertanian Pariwisata Lapangan golf
Keterangan: *) Tidak ada data
741.06 3006.70 3268.87 3847.43 588.82 1404.51 1688.76 14.545.85
Realisasi Pembangunan Berdasar Imb[1998] Terbangun Tidak Terbangun % % (ha) Luas[Ha] 4 5 6 7 27.08Ha 117.74Ha 157.12Ha 18.03Ha 39.98Ha *) *) *) 319.97 359.95Ha
3.65% 3.91% 4.80% 0.46% *) *) *) *) *) *)
713,98 2.888,96 3.111,75 3.829,40 *) *) *) *) *) *)
96,35 96,08 95,19 99,53 *) *) *) *) *)
129
Sebagai perbandingan dari data satelit pada Bulan Pebruari 2007 memperlihatkan Wilayah batu Ampar dan Batam Centre lebih dari 80% wilayah tersebut
telah
dialokasikan
dan
hampir
seluruhnya
terjadi
aktivitas
pembangunan. Walaupun masih berupa penimbunan dan pembukaan lahan namun demikian data tersebut mengartikan bahwa kosentrasi pembangunan di Batu Ampar dan Batam Centre sangat padat dan dikhawatirkan sudah tidak terjadi keseimbangan antara daerah terbangun (build up Area) dan daerah tidak terbangun (Non Build up Area).
Gambar 22. memperlihatkan pengalokasian
yang sangat padat dan berkurangnya daerah hijau serta daerah penyangga di Wilayah Batu Ampar dan Batam Centre.
Sumber : http://www.flashearth.com
Gambar 22. Pemanfaatan Lahan Terkini 4.4.4 Pemasalahan Pemanfatan Lahan (1) Master Plan Bila dibanding dengan wilayah lain, maka P. Batam bisa dikatakan lebih maju dalam merencanakan pengembangan wilayahnya.
Sejak awal (1978)
Pulau Batam sudah menyiapkan master plan untuk seluruh pulau dan dilakukan revisi setiap 5 tahun. Pada kurun waktu tersebut wilayah lain masih sedikit yang mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara menyeluruh.
130
Master plan yang diterbitkan tahun 1978 masih belum dapat diaplikasikan dengan baik karena masih sangat makro dan bersifat konsep. Dalam master plan ini sudah ditetapkan bahwa kebijakan pemanfaatan lahan adalah 40% lahan yang boleh dibangun sedang 60% merupakan daerah tidak terbangun, yang digunakan sebagai reserve area, daerah tangkapan hujan, hutan lindung, lahan kritis dan hijau kota. Dengan tumbuhnya ekonomi di P. Batam dan derasnya permohonan permintaan lahan, maka pada tahun 1986 master plan P. Batam direvisi. Master plan ini masih dikatakan cukup idealis
dan masih sangat memperhatikan
lingkungan. Beberapa catatan penting yang dapat digunakan sebagai pedoman antara lain: 1)
Keseimbangan daerah terbangun dan tidak terbangun masih baik, yaitu 40:60%. Hal ini berarti lahan kritis, daerah tangkapan air, hutan lindung dan daerah hijau lainnya masih sangat diperhatikan dan keseimbangan lingkungan relatif tidak terganggu.
2)
Zoning dan peruntukkan tiap-tiap setor masih jelas konsepnya dengan memperhatikan dan mengikuti kondisi alam seperti topografi untuk aliran air dan kesesuaian muka lahan (kelandaian lahan).
3)
Daerah pesisir/tepatnya garis pantai, masih dipertahankan keasliannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Daerah-daerah yang
dibuka/dibangun adalah daerah-daerah yang benar-benar dibutuhkan seperti untuk pelabuhan dan wisata pantai. Daerah lainnya dibiarkan asli sesuai dengan kondisi alam (hutan bakau dan pantai relatif terjaga). 4)
Penempatan
waduk
dan
daerah
tangkapan
air
hujan
sangat
diperhatikan dan diamankan dengan adanya kawasan lindung, rencana drainase dan pembuangan limbah. 5)
Penyebaran hijau di tiap sub-wilayah sampai dengan hijau diperkotaan sangat diperhatikan dan direncanakan dengan baik.
6)
Adanya peruntukkan yang dipaksakan yaitu kawasan industri di Muka Kuning. Namun secara teknis diberikan persyaratan yang sangat ketat khususnya dalam pembuangan limbah. Salah satu persyaratan adalah selain limbah harus diolah, buangannya juga harus dialirkan ke laut agar tidak mengganggu Dam Duriangkang.
131
Tingginya pertumbuhan ekonomi dan derasnya permohonan/permintaan lahan menyebabkan master plan di evaluasi pada tahun 1991. Peruntukkan lahan untuk daerah terbangun berbanding daerah tidak terbangun yang pada master plan 1986 adalah 40:60 berubah menjadi 40,11:59,89 (walaupun perbandingan hampir tidak berubah namun kondisi daerah tidak terbangun menjadi
berubah,
Perbandingan
ini
misalnya
lapangan
golf
bukan
walaupun
menurut
standar
daerah
penataan
terbangun).
ruang
masih
memungkinkan (>70:30), namun demikian berdasa kondisi alam setempat dan rencana penggunaan lahan seperti untuk waduk dan daerah tangkapan airnya, perubahan lahan terbangun dan tidak terbangun terlihat sangat dipaksakan dan dapat berdampak merusak keseimbangan. Beberapa perubahan yang terlihat dipaksakan adalah: 1) Perubahan peruntukkan dari hijau menjadi perumahan. Perubahan ini mengganggu daerah tangkapan waduk Sei Harapan karena perubahan peruntukkan mengakibatkan aliran air dari perubahan menuju
ke
waduk
Sei
Harapan
secara
topografi
juga
membahayakan karena yang dirubah adalah perbukitan yang cukup terjal. 2) Penimbunan laut di teluk Sanimba yaitu yang semula laut dirubah peruntukkan menjadi peruntukkan pariwisata dan perumahan. Perubahan ini tidak mempunyai konsep yang kuat. 3) Merubah seluruh garis pantai di Tanjung Ucang hampir sepanjang 11 km, yang semula dibiarkan sesuai dengan kondisi alam, berupa hutan bakau dan rawa dirubah menjadi daerah industri dan hampir seluruhnya adalah industri perkapalan.
Perubahan ini juga
berdampak besar termasuk akibat penimbunan ke laut yang mengakibatkan perairan di sekitar Tanjung Uncang menjadi keruh bahkan dengan adanya pasang surut telah menyebar jauh ke selatan. Dari hasil penelitian PRC (1996) diungkapkan banyaknya terumbu karang yang mati dan tangkapan ikan menjadi berkurang. 4) Perubahan daerah Tiban Kampung. Perubahan ini mengakibatkan perambahan lahan yang meluas sampai merusak daerah tangkapan air waduk Muka Kuning.
132
5) Merubah daerah di sekitar Muka Kuning dan Duriangkang yang semula peruntukkan hijau dirubah menjadi kawasan olah raga. Permasalahannya, seluruh wilayah tersebut aliran airnya menuju ke waduk Duriangkang. Kalau tidak ada pengaturan yang ketat dan pengolahan limbah maka semua limbah yang dihasilkan akan mengalir
dan
mencemari
Waduk
Duriangkang.
Bahkan
kenyataanya saat ini peruntukkan tersebut telah dimanfaatkan untuk industri dan perumahan.
Perubahan-perubahan tersebut di atas
tidak seluruhnya berdasarkan perhitungan akademis dan analisis yang matang. Beberapa pertimbangan yang mendasari perubahan tersebut antara lain: 1) Permintaan dan tekanan yang kuat dari pasar. 2) Tanah/lahan tersebut sudah terlanjut dialokasikan. 3) Lahan diserobot oleh masyarakat. 4) Kurang mendalami dampak yang akan terjadi. Hasil overlay antara Master Plan 1986 dan 1991 dapat dilihat pada Gambar 23 yang menggambarkan penyimpangan Master Plan 1991 terhadap Master Plan 1986; dan Gambar 24
yang merupakan hasil overlay
penyimpangan pengalokasian lahan di Pulau Batam. Pada Gambar 23 terlihat bahwa penyimpangan yang terjadi hanya pada kawasan reserve area yang berubah pengalokasian menjadi kawasan industri; sedangkan pada Gambar 24terlihat penyimpangan yang terjadi meliputi perubahan
garis
pantai
(mangrove)
menjadi
hilang,
adanya
penimbunan/reklamasi di sekitar Teluk Senimba dan pemutihan Tiban Kampung.
133
134
135
Perijinan Penyimpangan bisa juga terjadi karena kebijakan institusi/pimpinan. Penyimpangan biasanya terjadi bila ada investor yang besar dan berkualitas menginginkan lahan tertentu dengan luasan yang besar namun lahan tersebut tidak tepat peruntukkannya. Dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya, bila ternyata lebih besar keuntungannya pada saat itu maka akan dikeluarkan kebijakan untuk menerima usulan dari investor dan biasanya untuk pengamanan akan diberikan peryaratan yang ketat kepada investor agar lingkungan tidak rusak (contoh Kawasan Industri Muka Kuning). Penyimpangan di tingkat pimpinan juga bisa terjadi bila arahan pimpinan salah diterjemahkan.
Penyimpangan berawal bila investor
yang memohon lahan kebetulan mempunyai hubungan dengan pimpinan.
Kondisi seperti ini biasanya pimpinan memberikan
persetujuan prinsip atas permintaan investor. Arahan pimpinan apabila ada persetujuan prinsip maka staf wajib menelaah dan memberikan masukkan yang obyektif.
Persetujuan prinsip bisa didukung apabila
hasil telaahan positif (sesuai dengan master plan dan persyaratan lainnya). Namun bisa juga persetujuan prinsip tidak berlaku bila hasil telaahan menyimpulkan penyimpangan dari master plan atau akan menimbulkan dampak negatif yang besar. Penyimpangan terjadi bila persetujuan prinsip yang seharusnya ditolak tetapi usulan dari staf tetap mendukung/menyetujui.
Penyimpangan pengalokasian lahan akibat
perijinan akan dibahas tersendiri pada sub-bab 4.4.5, sedangkan peta penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan/kebijakan dapat dilihat pada Gambar 25. (2)
Peran investor Penyimpangan seringkali disebabkan oleh permintaan investor yang memaksakan keinginannya untuk menguasai/menyewa lahan yang dimohonkan (Gambar 26
Beberapa alasan yang diajukan untuk
mendesak mendapatkan lahan tersebut antara lain:
136
1) Daya tarik P. Batam. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 17% per tahun) dan derasnya arus investasi yang masuk ke P. Batam menyebabkan pemilik dana (investor) baik dalam dan luar negeri berminat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di P. Batam. Derasnya peminat yang masuk ke P. Batam menyebabkan investor-investor tanpa konsep juga terjun ke P. Batam bahkan banyak yang berspekulasi hanya
untuk
mendapatkan
ijin
selanjutnya difikirkan kemudian.
sewa
lahan
dulu,
kegiatan
Investor semacam ini pada
akhirnya tidak melaksanakan pembangunan terhadap lahan yang didapat.
Ijin yang diterima diperjual belikan dan mencoba
mendapatkan selisih keuntungan dari harga sewa yang dibayarkan ke pihak Otorita berupa Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dengan harga jual yang laku dipasaran. Keuntungan yang didapat tersebar dari mulut ke mulut dan ini mengundang spekulan lain lain, dan memang bila mendapatkan lahan yang strategis maka keuntungan bisa berlipat ganda dari biaya yang telah dikeluarkan. Suburnya spekulan menyebabkan pertumbuhan pembangunan yang semu. Dari lahan yang telah dialokasikan, hanya 21,8% saja lahan yang telah dibangun.
Artinya 78,2% lahan dikuasai oleh
spekulan tanpa adanya nilai tambah, bahkan terjadi degradasi nilai lahan, dimana penyewa lahan telah merusak lahan yang disewa dengan mengambil
kayu atau sampai dengan memanfaatkan
tanahnya untuk dijual sebagai tanah urug dan ini berarti nilai lahan sudah berkurang. 2) Faktor ekonomi. Hampir seluruh investor, tujuan dari menanamkan investasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan, semakin besar keuntungan dan semakin kecil modal yang dikeluarkan adalah faktor utama dalam berinvestasi. Investor di P. Batam berprinsip mengeluarkan modal sekecilkecilnya dan berupaya mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Prinsip ini dapat merusak tatanan bila diterapkan secara sembarangan, artinya tata ruang, peraturan dan kebijakan bisa
137
dikesampingkan bila memang akan menguntungkan bagi investor. Sebagai contoh, pasar sangat tertarik pada wilayah Nagor/Batu Ampar. Harga permeter persegi lahan di Nagoya bila sewa selama 30 tahun dari Otorita Batam pada tahun 1998 adalah Rp. 600.000,Harga dipasaran bisa mencapai Rp. 2.000.000 per m2. Perbedaan yang jauh antara harga dari Otorita Batam dan pasar menjadikan peluang bisnis jual beli tanah di P. Batam khususnya di daerahdaerah strategis. Peluang ini segera diserbu oleh investor/spekulan oportunis dan pemain jual beli lahan lainnya. Bisnis yang dilakukan tidak lagi untuk membangun tetapi lebih banyak mengharapkan keuntungan dari selisih harga lahan. Yang menjadi masalah karena impian mendapatkan keuntungan yang besar maka segala cara dilakukan. Diantaranya memaksakan kehendak untuk mendapatkan lahan-lahan di lokasi strategis dan banyak diminati walaupun sudah tahu bahwa areal tersebut tidak dapat dialokasikan baik dilihat dari peruntukkan master plan ataupun peraturan lingkungan. Cara lain adalah memaksakan dengan mengajukan perubahan peruntukkan agar sesuai dengan keinginan dan kehendak pasar.
Apabila
permohonan ini dikabulkan tanpa pertimbangan yang benar maka dipastikan terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan masalah di masa mendatang.
Penyimpangan akibat faktor ekonomi dapat
dilihat pada Gambar 27 3) Persaingan dengan wilayah lain Persaingan
dengan
wilayah
lain
tidak
secara
mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan lahan. biasanya digunakan sebagai pemicu persaingan.
langsung
Wilayah lain Investor akan
akan mengatakan bila tidak diberi lahan di P. Batam maka mereka akan mengalihkan investasinya ke wilayah lain. Bila investor yang menyatakan hanya investor bermodal kecil maka akan sangat mudah menolak atau membiarkan pindah ke wilayah lain. Namun apabila investor yang menyatakan adalah investor besar yang mempunyai sumber dana besar dan produk yang dihasilkan berskala
internasional,
maka
permintaan
membimbangkan pengambil keputusan.
tersebut
akan
Dasar pertimbangan
utama adalah peluang belum tentu terjadi dua kali. Maka dengan
138
berbagai pertimbangan kemungkinan besar permohonannya akan diakomodir. Permasalahan akan menjadi parah bila investor besar tersebut akan melakukan kegiatan yang berdampak negatif tinggi dan menggunakan cara-cara yang tidak benar guna meloloskan permintaannya. Biasanya dengan cara membujuk dan menjanjikan memberikan imbalan bila permintaanya diterima atau dikabulkan. (4) Staf pelaksana Ada beberapa point penyimpangan yang terjadi akibat kesalahan dari staf
pelaksana
(Gambar
28
Beberapa
penyimpangan
yang
terjadi
diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Salah mengartikan kebijakan.
Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa
permohonan yang diajukan dan mendapat disposisi daru pimpinan kadangkala secara langsung di proses sesuai isi disposisi tersebut. Hal ini bisa saja dilakukan namun demikian ada hal-hal yang harus diperhatikan atas disposisi tersebut karena beberapa persetujuan prinsip tidak selalu benar bila dilaksanakan.
Persetujuan ini bila diperkirakan
akan menimbulkan masalah perlu dianalisis dan dilaporkan kembali kepada pimpinan dengan dilengkapi masukan dan telaahan-telaahan yang bisa menjelaskan bahwa permohonan dari investor tersebut bila disetujui akan menimbulkan masalah baik terhadap hukum, master plan, lingkungan atau masalah lain dan dapat menjadi preseden buruk untuk permohonan berikutnya. Masukan ini sangat diperlukan sebagai bahan pimpinan untuk memberikan penjelasan bila permohonan itu harus ditolak atau tidak disetujui. Untuk pihak Otorita Batam, hal ini menjadi dasar yang sangat prinsip dan hal tersebut telah menjadi keputusan bersama bahwa persetujuan prinsip dalam bentuk disposisi belumlah merupakan putusan akhir. Persetujuan tersebut bisa berubah atau dikoreksi apabila akan menimbulkan permasalahan ataupun hal-hal yang membahayakan bagi pemerintah maupun masyarakat. Penyimpangan seringkali terjadi apabila staf pelaksana langsung melaksanakan persetujuan prinsip tersebut walaupun diketahui bahwa dengan persetujuan itu terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan permasalahan. Alasan klasik diprosesnya persetujuan tersebut karena
139
sudah disetujui pimpinan atau kadang-kadang takut memberikan masukan yang berbeda dengan persetujuan pimpinan. 2) Data yang tidak akurat. Kebijakan seringkali diambil pada data yang ada, dapat dipastikan bila data yang ada tidak benar maka kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan data tersebut akan bermasalah. Data-data yang sering digunakan dan sering menimbulkan masalah antara lain: •
Letak/pemetaan lokasi lahan yang tidak akurat.
•
Luasan lahan yang telah dialokasikan berbeda-beda.
•
Terjadi tumpang tindih lahan yang dialokasikan.
•
Menggunakan skala kecil sebagai pedoman pengalokasian lahan.
•
Batas masing-masing peruntukkan yang berbatasan tidak jelas sehingga pemanfaatannya sesuai dengan interpretasi.
•
Membaca peta hanya 2 dimensi.
•
Adanya perbedaan antara gambar dan keadaan di lapangan.
3) Desakan dari luar. Ungkapan yang berbunyi ”Bekerja benar saja salah” sangat cocok di pekerjaan yang terkait dengan pengalokasian lahan. Seringkali permohonan lahan yang diproses sesuai peraturan dan menghasilkan keputusan penolakan terhadap permintaan investor menjadi bumerang bagi si pemroses. Investor akan berupaya apa yang diminta dapat dipenuhi dan mengisukan apa yang dilakukan oleh staf pelaksana adalah tidak benar atau dikatakan tidak obyektif. Desakan ini disuarakan mulai dari tingkat staf pelaksana hingga pimpinan, dan bila perlu melalui media informasi. Desakan yang kuat dan terus menerus sangat memungkinkan menggoyahkan keputusan, apabila tidak mampu bertahan, keputusan bisa berubah yang semula ditolak menjadi disetujui. Apabila desakan ini tidak membuahkan hasil, ada cara lain yang dilakukan oleh investor nakal untuk menggoalkan niatnya. Mereka akan membujuk mulai dari staf pelaksana hingga pimpinan untuk mengikuti keinginannya dengan cara halus, mengiming-imingi, memberikan janji hingga memberikan imbalan.
Semakin sulit tingkat resikonya maka
bujukan dan imbalan yang dijanjikan semakin besar dan kadang-kadang nilainya cukup fantastis dan sangat menggiurkan.
Namun demikian,
apabila seluruh staf bertanggung jawab dan memegang teguh prinsipprinsip kebenaran, upaya-upaya tersebut tidak akan berhasil.
140
141
142
143
144
145
4.4.5 Penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan Proses pengalokasian lahan hingga tahap diterbitkannya SBPMB (Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan) relatif sangat panjang sehingga sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan pengalokasian lahan. Adapun tahapan yang harus dilalui oleh investor hingga mendapatkan SBPMB meliputi: (1) Pembahasan tim; (2) Ijin prinsip; (3) Pengukuran; (4) Surat Perjanjian; (5) Surat Penetapan Lokasi; (6) Surat Keputusan; (7) Surat Hak Atas Tanah; (8) Fatwa Planologi; (9) IMB; dan (10) SBPMB. Berikut uraian masing-masing tahapan dalam pengalokasian lahan hingga mendapatkan SBPMB dan permasalahan yang diduga menyebabkan penyimpangan pengalokasian lahan.
Skematik
prosedur pengalokasian lahan dapat dilihat pada Gambar 30 1). Pembahasan Tim Untuk
menjaga
obyektifitas
dalam
pengalokasian
lahan
maka
permohonan yang masuk akan di evaluasi dan dibahas oleh tim, yang terdiri dari Direktorat Perencanaan, Direktorat Agraria dan Biro Umum (Legal). Tim ini akan menganalisa proposal yang diajukan dan kewajarannya.
Dalam
pembahasan sangat diperlukan obyektifitas, netralitas, kehati-hatian dan data-data yang akurat, khususnya latar belakang investor (bukan spekulan), dan demikian juga data ketersediaan lahan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembahasan tim antara lain: (1) Proposal yang baik tidak menyamai kualitas investor; (2) Pemohon adalah spekulan yang menggunakan badan hukum yang lain; dan (3) Data lahan yang kurang akurat. Apabila
permohonan
disetujui
maka
akan
dikeluarkan
surat
pemberitahuan pencadangan lokasi kepada pemohon dan ditagihkan uang muka sebesar 10% dari nilai lahan yang disetujui dengan masa sewa selama 30 tahun. Apabila uang muka telah dilunasi baru akan dibuatkan/diterbitkan Surat Ijin Prinsip.
Apabila permohonan ditolak juga akan diberitahukan
kepada pemohon agar ada keputusan yang jelas.
146
PERMOHONAN
n
PEMBAHA SAN
KEMBALI
disetujui UANG MUKA
IJIN PRINSIP
SKETSA LOKASI (RENCANA) PENGUKURAN (AGRARIA)
JAMINAN PEMBANGUNAN
p
FATWA PLANOLOGI
v
IMB PEMB
w
SBPMB WASDAL
PERJANJIAN
q
PEMBAHASAN PEMBAYARAN (BIRO UMUM)
PENETAPAN LOKASI (PL)
u
o
r BUKTI LUNAS
t
SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH (BPN)
SURAT KEPUTUSAN
MELAKSANAKA N
SELESAI PEMBANGUNAN
SELESAI PEMBANGUNAN
Gambar 30 Prosedur Pemanfaatan Lahan di P. Batam
s
147
2). Ijin Prinsip Ijin prinsip merupakan awal dari pelepasan lokasi kepada investor. Ijin prinsip berisi antara lain: (1) Luas, peruntukan dan lokasi lahan yang dicadangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Dalam hal jaringan infrastruktur kawasan di sekitar lokasi belum tersedia maka penyediaan infrastruktur yang minimum dibutuhkan merupakan tanggung jawab penerima alokasi. - Dalam merencanakan dan membangun di atas lahan semaksimal mungkin mempertahankan topologi area serta bagian lahan yang tidak perlu dibangun agar tidak dibuka. - Diwajibkan untuk melaksanakan penghijauan lingkungan di atas lahannya dengan penanaman pohon-pohon yang rimbun. - Diwajibkan melaksanakan pemagaran serta pemasangan papan nama. - Lokasi yang pasti akan ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran. (2) Apabila dalam 10 hari dari tanggal ijin prinsip tidak menindaklanjuti dengan pengukuran lokasi atau dalam waktu yang telah disanggupi dalam surat pernyataan tidak menyelesaikan kewajiban-kewajibanyya, maka pencadangan lokasi menjadi batal dengan sendirinya. Permasalahan, Surat Ijin seringkali dianggap sudah mempunyai kekuatan hukum untuk menguasai lahan.
Bila Ijin Prinsip jatuh pada
spekulan, seringkali disalah gunakan dan diperjual belikan sehingga lahan tidak segera dibangun tetapi hanya terjadi jual beli surat.
Dari sisi
pemerintah dalam hal ini Otorita Batam juga kurang tegas, apa-apa yang sudah tertulis dan mempunyai konsekuensi/resiko tidak selalu dilaksanakan (penarikan
lahan)
dengan
mempertimbangkan
alasan-alasan
yang
disampaikan oleh investor. 3). Pengukuran Sesuai dengan yang tertera dalam Ijin Prinsip bahwa 10 hari harus segera melakukan pengukuran, maka pihak investor harus segera
148
melakukan pengukuran di lapangan atas lahan yang dicadangkan, investor dapat melakukan sendiri pengukuran, menggunakan jasa swasta atau meminta bantuan Otorita Batam. Dasar dari pengukuran adalah sket lokasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perencanaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat untuk menentukan koordinat batas-batas lokasi sekaligus mengukur kepastian luas lahan yang akan digunakan pada proses-proses lanjutan (perjanjian, pembayaran, dan lain-lain). Permasalahan, masih banyak lokasi yang tidak mempunyai detail disain, sehingga sket lokasi yang dikeluarkan tidak terencana dengan baik termasuk batas-batas yang dibuat kurang akurat. Yang lebih repot karena tidak ada disain maka jaringan infrastruktur belum tersedia, belum merupakan satu kesatuan dengan disain keseluruhan (master plan Pulau Batam). Masalah lain yang sering terjadi di sekitar lokasi adalah kurang memperhatikan topografi yang ada. Lahan hanya di lihat secara 2 (dua) dimensi, sehingga pada waktu pengukuran ataupun pembuatan rencana tapak secara keseluruhan seringkali ditemui kendala-kendala atau kesulitankesulitan. Permasalahan semakin berat
bila ditinjau dengan proses yang
dilakukan masa lalu. Pengukuran yang telah dilakukan di masa lalu tidak akurat sehingga bila disatukan dengan sistem yang ada saat ini, posisi lahan yang telah dialokasikan seolah-olah terjadi penggusuran (contoh ekstrim ada lokasi setelah di digitasi dengan koordinat saat ini berada di atas air atau kemiringan curam). 4). Surat Perjanjian Surat Perjanjian berisi kesepakatan dua belah pihak yang mencakup hak, kewajiban dan sangsi dari masing-masing pihak, mengenai: (1) Tanah yang dialokasikan. (2) Penggunaan dan peruntukkan tanah. (3) Jangka waktu dan status hak atas tanah. (4) Uang wajib tahunan Otorita Batam. (5) Gambar penetapan lokasi dan Surat Keputusan Pengalokasian Tanah. (6) Sertifikat hak atas tanah.
149
(7) Peralihan hak atas tanah. (8) Pembangunan fisik. (9) Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan. (10) Setelah berakhirnya hak atau tanah yang dialokasikan dan hal-hal lain yang berkait dengan perjanjian. Catatan yang perlu mendapat perhatian di dalam isi Surat Perjanjian, adalah sebagai berikut: (1) Lahan dialokasikan di atas Hak Pengelolaan (Hak Pengelolaan dimiliki oleh Otorita Batam. (2) Segala akibat yang timbul dari pengalokasian menjadi tanggung jawab penerima lahan. (3) Pemotongan, pembuangan dan penimbunan lahan harus dengan ijin Otorita Batam. (4) Tidak diperkenankan merubah, menutup atau menimbun sungai/danau terkecuali bila mendapat ijin dari Otorita Batam. (5) Penambahan, perubahan kegiatan atau peruntukkan harus mendapat pernyataan tertulis dari Otorita Batan, (6) Pengalokasian tanah kepada pemohon dilakukan untuk jangka waktu 30 tahun.
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka
waktu 20 tahun berikutnya serta pembaharuan untuk jangka waktu 30 tahun. (7) Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat:
Tidak menerima Surat Keputusan.
Telah melunasi uang sewa untuk jangka waktu 3 tahun dan telah melaksanakan pembangunan di atas tanah tersebut.
(8) Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat:
Tidak menerima Surat Keputusan.
Tanah yang akan dialihkan atau dipecah hak-nya harus telah dibangun sesuai dengan IMB dan dibuktikan dengan Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan bangunan (SBPMB).
150
(9) Apabila pemohon menggunakan lahan untuk kawasan seperti Kawasan Industri, Kawasan Perumahan, Kawasan Pertokoan, maka harus memenuhi antara lain:
Menyelesaikan pembangunan sesuai tahapan perencanaan yang tertuang dalam IMB.
Menyelesaikan Prasarana Lingkungan sepeti air, listrik, jalan, tempat parkir, taman dan saluran yang dipersyaratkan dalam IMB.
(10) Bila pemohon tidak dapat memenuhi ketentuan yang diterbitkan oleh Otorita
Batam
berkaitan
dengan
pengalokasian
tanah
maka
kesempatan menggunakan tanah menjadi gugur yang berakibat dibataslkannya pengalokasian tanah, tanpa harus dimintakan kepada hakim. Cukup dibuktikan dengan adanya wan prestasi. Permasalahan, banyak sekali butir ketentuan dalam Surat Perjanjian dilanggar oleh Pemohon.
Namun demikian dengan berbagai macam
pertimbangan Otorita Batam tidak langsung membatalkan pengalokasian tanah, apabila terjadi pembatalan pengalokasian biasanya telah melakukan kesalahan-kesalahm yang terus-menerus dan tidak diperbaiki dan dilakukan selama bertahun-tahuan. 5.
Penetapan Lokasi. Surat Penetapan Lokasi dibuat berdasarkan dari pengukuran di lapangan. Surat Penetapan Lokasi berisi antara lain: berisikan lokasi yang ditetapkan, peruntukkan lokasi, koordinat dan letak, batas-batas tanah yang dialokasikan dan gambar lokasi dengan skala yang jelas. Surat Penetapan Lokasi baru akan diberikan setelah menandatangani Surat Perjanjian. Permasalahan ditemui bila denah lokasi yang diberikan tidak jelas dan data-data di sekitarnya juga tidak jelas sehingga batas lokasi tidak tepat atau tumpang tindih anta lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya.
6.
Surat Keputusan. Surat Keputusan merupakan penegasan dan bukti pemohon sebagai penerima alokasi lahan dari Otorita atas bagian-bagian tertentu dari tanah yang hak pengelolaanya dikuasai oleh pihak Otorita Batam.
Surat
Keputusan ini juga menegaskan bila tidak mentaati ketentuan-ketentuan
151
yang telah dikeluarkan oleh Otorita Batam maka akan dilakukan pencabutan Surat Keputusan dan berarti pembatalan pengalokasian tanah.
Surat
Keputusan mutlak harus dimiliki oleh penerima alokasi karena merupakan persyaraatan untuk memproses atau mendapatkan sertifikat dari BPN. 7.` Sertifikat Hak Atas Tanah. Sertifikat Hak atas Tanah dokeluarkan/diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan
Nasional.
Seperti
dijelaskan
dalam
perjanjian,
untuk
mendapatkan/mengurus sertifikat hak atas tanah harus melunasi selama 30 tahun, memiliki Surat Keputusan dan seudah melaksanakan pembangunan dan sebagai ketegasan harus mendapatkan rekomendasi dari Otorita Batam. Permasalahan: banyak para pemilik alokasi lahan mencoba langsung mengurus sertifikat secara langsung ke BPN tanpa melalui pihak Otorita Batam
karena
mereka
belum
melaksanakan pembangunan.
melaksanakan
kewajibannya
seperti
Apabila mereka mendapatkan sertifikat
biasanya tanah dapat diperjual belikan, dan ini bisa menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. 8.
Fatwa Planologi. Dokumen ini memberikan petunjuk dan penjelasan serta aturan untuk merencanakan dan membangun alokasi lahan yang akan dibangun. Selain menjelaskan kepemilikan, luas dan peruntukkan lokasi, fatwa planologi juga memberikan penjelasan-penjelasan batasan yang boleh dibangun seperti ketinggian bangunan, garis sempadan bangunan, batas jalan, saluran, dan lain-lain. Permasalahan: Fatwa Planologi yang dikeluarkan masih kurang sempurna karena kurang memperhatikan topografi dan kondisi lokasi di sekitarnya termasuk ketersediaan / akses terhadap infrastruktur yang ada dan yang akan dibuat. Hal ini disebabkan karena banyak lokasi yang telah dialokasikan tetapi belum mempunyai Rencana Detail Tata Ruang.
9.
IMB. IMB
merupakan
dokumen/surat
yang
sangat
penting
untuk
melaksanakan pembangunan. Surat ini menegaskan apa-apa yang telah
152
ditetapkan di dalam Fatwa Planologi.
Penekanan lebih diutamakan
melengkapi persyaratan-persyaratan teknis untuk membangun serta sangsi apabila dalam waktu yang telah ditentukan pembangunan belum selesai maka ijin yang telah dikeluarkan batal dengan sendirinya. Permasalahan, ijin yang dikeluarkan kadang-kadang tidak segera ditindaklanjuti dengan pembangunan. Masalahn lain ketentuan teknis yang sudah
ditetapkan
seringkali
dilanggar
atau
tidak
dilengkapi
dalam
pembangunan. 10. SBPMB. SBPMB
atau
Surat
Bukti
Pelaksanaan
Mendirikan
Bangunan
merupakan bukti bahwa rencana tidak dibangun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam IMB.
Untuk membuktikan bahwa yang dibangun
sudah sesuai dengan IMB maka petugas dari Otorita Batam akan melakukan pengecekan di lapangan dan memeriksa antar IMB dengan kondisi bangunan di lapangan.
Hasil pengecekan akan dituangkan dalam Berita
Acara Hasil Pemerikansaan di lapangan. SBPMB akan diterbitkan sesuai Berita Acara yang telah dibuat. 4.5 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Pulau Batam Analisis lingkungan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap sumber dampak, dampak yang ditimbulkan dan alternatif pemecahan permasalahan yang telah dilakukan akibat pengembangan yang intensif di Pulau Batam.
Adapun sumber dampak yang teridentifikasi berdasarkan hasil
pengamatan langsung di wilayah penelitian meliputi pembukaan lahan yang tidak segera dibangun, perambahan terhadap lokasi yang tidak boleh dibangun, penimbunan laut yang merusak lingkungan, erosi dan sedimentasi, buangan domestik dan limbah industri. Berikut adalah uraian masing-masing sumber dampak. (1) Pembukaan Lahan yang tidak Segera Dibangun Hampir semua industri yang ada mendirikan bangunan dengan meratakan tanahnya secara total meskipun industri tersebut terletak pada daerah yang berbukit. Industri yang ada tidak mencoba mempertahankan
153
landform yang ada, padahal meletakkan satu blok bangunan dengan blok bangunan lain pada tanah yang ada perbedaan elevasi bukan merupakan suatu hal yang sulit. Berdasarkan data realisasi IMB yang telah diterbitkan, pembangunan yang telah mendapatkan ijin untuk berbagai keperluan meliputi lahan seluas 319,87 ha. Namun demikian sebagaian besar kegiatan pembangunan yang dilakukan sampai pada tahap pembukaan lahan dan tidak segera dibangun. Dampaknya adalah : Kekeruhan air laut akibat aliran erosi ke laut. Erosi yang mengakibatkan pengelupasan lapisan humus tanah/top soil yang diakibatkan oleh proses penggerusan oleh run-off air hujan. Kondisi lahan yang relatif rata, akan mempersulit untuk mengalirkan air hujan. (2) Perambahan terhadap Lokasi yang tidak boleh Dibangun Lokasi yang tidak boleh dibangun pada umumnya merupakan daerah hijau, dan seiring dengan perkembangan pesat yang terjadi di P. Batam, banyak pendatang yang bertujuan mencari kerja dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah, tanpa pengetahuan dan kemampuan. Akibatnya, pendatang ini kemudian sebagian besar menempati pemukiman-pemukiman liar yang berdekatan dengan lokasi kerja mereka, yaitu di sekitar kegiatan industri, perdagangan atau proyek bangunan. Adanya
kebutuhan
tempat
tinggal
bagi
pendatang
kelas
bawah
menyebabkan terjadinya perambahan terhadap daerah hijau yang semakin lama
semakin
berkembang
sehingga
perutukkan
yang
seharusnya
merupakan daerah hijau berubah menjadi pemukiman kumuh. Hingga tahun 1998, data mengenai rumah liar yang tercatat sebanyak 2.533 unit dan hanya 23 unit atau 0,90% yang memiliki IMB.
Sisanya
sebanyak 2.510 unit atau 99,09% tidak memiliki IMB dan diasumsikan sebagai rumah liar.
154
Dampak
yang
ditimbulkan
oleh
adanya
rumah
liar
adalah
berkurangnya wilayah tangkapan air (catchment area), peningkatan buangan limbah cair rumah tangga pada badan perairan dan sampah dari kegiatan rumah tangga. Selain itu juga terjadi penurunan estetika P. Batam secara umum karena keberadaan rumah liar yang dikhawatirkan suatu saat tidak dapat dikendalikan lagi bila tidak dilakukan penanganan dengan segera. (3) Penimbunan Laut yang Merusak Lingkungan Aktivitas penimbunan laut (reklamasi) dilakukan oleh hampir semua industri dengan cara meratakan lahannya secara total dan tidak membangun dengan menyesuaikan terhadap kontur lahan yang ada, dan tanah hasil pembukaan lahan ada yang dipakai untuk menimbun area lain dan ada juga yang dipakai untuk menimbun rawa/laut. Penimbunan laut mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan pantai, khususnya untuk Sub Wilayah Pengembangan Tanjung Uncang – Sagulung, antara lain: Peningkatan kekeruhan air laut, dan kekeruhan ini menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air laut, sehingga mengganggu organisme yang memerlukan cahaya dan mengurangi produktifitas perikanan. Sedimentasi yang sangat tinggi dapat merubah sistem perairan menjadi daratan, oleh karena sebagian sedimen ada yang mengalir ke laut dan sebagian lagi mengendap. Terjadinya
perubahan
arus
laut
yang
dikhawatirkan
merusak
ekosistem yang ada di sekitarnya. (4) Erosi dan Endapan yang Ditimbulkan Sumber terjadinya erosi adalah pembukaan lahan baru dengan melakukan pengelupasan lapisan humus tanah.
Pada saat terjadi hujan
terjadi proses pengerusan butiran tanah oleh run off air hujan, sehingga mengakibatkan terjadinya erosi. Aliran run off tersebut membawa buliran tanah hingga muara-muara sungai atau lokasi yang lebih rendah sehingga
155
terjadilah sedimentasi yang cukup tinggi dan hal dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap ekosistem. Dari foto satelit terakhir (Pebruari 2007) terlihat beberapa lahan yang sudah dialokasikan dan sudah dibuka tetapi tidak segera dibangun serta terjadi beberapa pengerukan laut di Batu Ampar dan Batam Centre yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi di Teluk Tering Batam Centre dan juga membuat kekeruhan air laut di Wilayah tersebut. Gambar 31 memperlihatkan penyebab dan akibat dari erosi, sedimentasi dan kekeruhan air laut di Teluk Tering.
http://www.flashearth.com
Sumber : http:///www.flashearth.com
Gambar 31 Penyebab Erosi Laju erosi yang terjadi di beberapa waduk yang ada di P. Batam menunjukkan hal yang mengkhawatirkan.
Tercatat laju erosinya sudah
mencapai kisaran 16,43 – 27,23 ton/ha tahun, dengan laju erosi tertinggi terjadi pada waduk Sei Ladi dan Sei Baloi yang nilainya mencapai 27,23 ton/ha/th untuk Sei Ladi mencapai 23,27 ton/ha/th untuk Sei Baloi.
Bila
dibandingkan dengan laju erosi yang diperkenankan di Indonesia yaitu sebesar 4 – 14 ton/ha/tahun dan Amerika Serikat sebesar 2 – 11 ton/ha/tahun, maka laju erosi di P. Batam relatif sangat tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu pengelolaan yang seksama agar dapat
156
mencegah kerusakan wilayah pesisir yang lebih parah karena dampak negatif yang ditimbulkan di wilayah pesisir berupa sedimentasi. Tabel 23. memperlihatkan data erosi yang terjadi di beberapa waduk di P. Batam. Hingga saat ini, pengelolaan yang sudah dilakukan untuk menghindari terjadinya erosi adalah mengalirkan air hujan pda lembah sungai penerima yang terdekat, misalkan Sei Senimba, Sungai Langkai dan Tembesi Lama serta Sei Temiang dan untuk selanjutnya mengalir ke laut. Cara lainnya adalah membuat saluran-saluran drainase agar dapat mengalirkan air secepat mungkin menuju ke hilir. Tabel 23. Data Erosi di Beberapa Waduk di P. Batam Luas Daerah Tangkapan/ Catchment area
Volume Erosi yang terjadi (ton/ha/th)
Volume Erosi yang terjadi utk Seluruh Catchment Area (ton/th)
No
Waduk
1
Sei Nongsa
222.70
16,43
3.658,96
2
Sei Baloi
124.30
23,27
2.892,74
3
Sei Harapan
811.00
17,30
14.032,70
1.105.80
27.23
30.110,00
4 Sei Ladi Sumber: USU (1993)
(5) Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi di Pulau Batam secara garis besar berasal dari darat dan laut, yaitu: Land based polution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan jasa perkotaan (89 ha), industri (1.015 ha), rumah tangga (125,42 ha) dan pertanian (2.910 ha). Adapun limbah yang dikeluarkan oleh masing-masing aktivitas dapat diuraikan sebagai berikut: i.
Jasa perkotaan: menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah cair (sewage).
ii.
Industri: menghasilkan limbah berupa limbah padat sampah besar dengan kapasitas besar > 2 m3, serta limbah padat kecil buangan aktivitas kantor.
Berdasarkan hasil evaluasi Master
Plan P. Batam 1991, jenis limbah yang ditimbulkan dapat
157
dikatagorikan sebagai limbah organik dan limbah berupa logam berat, yang berdasarkan pada klasifikasi sifat kimia terdiri atas Klas A (Ca, Mg, dll), Klas B (Hg, Cd, dll) serta kelas peralihan (Zn, Pb, dan sebagainya). iii.
Perumahan: menghasilkan limbah berupa limbah padat/limbah rumah tangga berupa sampah, limbah cari pemukiman (sewage) dan tinja atau sampah produksi aktivitas manusia/sampah domestik.
Marine based pollution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan perhubungan laut. 4.6 Analisis Deskriptif Sosial Budaya Permasalahan sosial yang timbul di P. Batam dan merupakan sisi negatif lain yang terjadi akibat percepatan pembangunan di P. Batam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga mencapai 17% pertahun, P. Batam secara kasat mata dan fisik terlihat sangat cepat terjadi perubahan pembangunan gedung dan kebutuhan tenaga kerja meningkat pesat. Gambar kasar ini dapat ditangkap oleh masyarakat awam.
Akibatnya, bagaikan magnet, P. Batam
menarik cepat masuknya pendatang baik yang berpendidikan maupun yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Ini dapat terlihat dari data pertumbuhan penduduk yang hampir setiap 5 tahun jumlah penduduk P. Batam menjadi 2 kali lipat. (2)
Penduduk yang tidak mempunyai kemampuan sulit untuk mendapat pekerjaan yang berpenghasilan layak.
Akibatnya mereka tidak
mampu untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Pada
akhirnya mereka menyerobot lahan kosong bahkan merusak hutan kota, hutan lindung dan lahan kritis. Jumlah mereka sudah sangat mengkhawatirkan, dimana berdasarkan data yang bersumber darii Direktorat Pengamanan OPDIP Batam, sampai akhir 1997 sudah berjumlah 25.964 rumah.
Bila diasumsikan satu rumah berisi 3
orang, maka jumlah penduduk yang tinggal di daerah bermasalah adalah sebanyak 77.892 jiwa.
Bila dibandingkan dengan jumlah
158
penduduk tahun 1997 adalah 255.179 orang, maka jumlah orang yang menghuni di pemukiman bermasalah adalah mencapai 30,52%. (3)
Pertumbuhan yang cepat dan pembangunan yang pesat harus sesuai dengan pengawasan yang memadai bila dilihat dari pembangunan yang dilakukan selama 10 tahun terakhir terlihat peningkatan yang sangat pesat.
Namun demikian dari sisi
pengawasan, organisasi, jumlah personil yang mengawasi serta peralatan yang ada tidak jauh berbeda dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Ini berarti kemampuan pengawasan tidak seiring dengan laju pembangunan.
Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya
penyimpangan dalam proses pembangunan seperti penyerobotan hutan lindung, pembabatan daerah hijau, timbulnya rumah liar, penimbunan yang tidak terkendali hingga pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. (4)
Hampir seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, pertumbuhan ekonomi/hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduknya.
Walau tidak tersedia data tentang
pendapatan penduduk seperti dilaporkan dalam buku Laporan Tahunan Perekonomian Batam tahun 1998 yang disusun oleh BPS Kodya Batam, dari data-data yang disampaikan dalat disimpulkan bahwa masih banyak masalah kependudukan dan ketenagakerjaan. Indikator yang dapat dilihat adalah Upah Minimun Regional (UMR) yang masih berada di bawah nilai Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Tercatat pada tahun 1998 besarnya UMR adalah Rp.
270.000,- sedangkan KHM adalah Rp. 358.205.
Berarti setiap
pekerja yang dibayar berdasarkan aturan UMR masih kekurangan Rp. 88.205 perbulan.
Bila diasumsikan para tenaga kerja yang
tercatat sebanyak 141.276 orang menerima gaji sesuai atau tidak berbeda jauh dari UMR, dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak 290.638 jiwa maka sebanyak 48,6% penduduk tidak terpenuhi kebutuhan hidup minimumnya.
Bila ini ditambah
dengan
di
jumlah
penduduk
yang
menghuni
daerah
yang
bermasalah (rumah liar) sebanyak 30,52% yang juga diasumsikan
159
berpenghasilan rendah (jobless), maka total jumlah penduduk yang tidak sejahtera (hidup dibawah KHM) adalah 79,12% (Asumsi nilai ini duplikasi bila ada buruh yang tinggal di rumah liar). Kesenjangan lain juga terlihat pada penduduk asli yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya. Kesenjangan juga dapat dirasakan dari sisi pendidikan.
Apabila
dibandingkan data tahun 1995 dengan tahun 1998, maka prosentase lulusan sekolah dasar terjadi penurunan yaitu dari 28,49% menjadi 24,12%, begitu juga untuk lulusan Diploma dan Universitas. Untuk lulusan Diploma terjadi penurunan dari 2,51% menjadi 1,58%, dan lulusan Universitas dari 2,84% mejadi 1,71%. Apabila yang berminat duduk diperguruan tinggi diasumsikan mencerminkan penduduk yang berpenghasilan tinggi, berarti hanya 5,35% pada tahun 1995 dan 3,29% pada tahun 1998 yang berpenghasilan memadai.
5 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN 5.1 Penyusunan Unsur Pembentuk SWOT Penyusunan implikasi kebijakan pengelolaan didasarkan pada Metoda SWOT, yang input analisisnya berasal dari beberapa metoda sebelumnya agar dihasilkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threath) dari Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pulau Batam, sebagai berikut: 5.1.1 Kekuatan Unsur-unsur yang menjadi kekuatan dalam pengembangan Pulau Batam melalui optimalisasi pemanfaatan lahan adalah: 1) Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). 2) Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatan-kegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan). 3) Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). 4) Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). 5) Pertanian merupakan
kawasan transisi
dan bersifat sementara,
peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). 6) Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor.
Bahkan
dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata).
217
5.1.2. Kelemahan 1) Lahan
industri
yang
telah
dialokasikan
sebagian
besar
tidak
melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). 2) Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). 3) Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). 4) Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). 5) Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). 6) Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata). 7) Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata). 8) Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata). 5.1.3. Peluang 1) Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 2) Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan).
218
3) Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). 4) Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. 5.1.4. Ancaman 1) Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). 2) Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). 3) Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). 4) Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). 5) Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). 6) Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata). 5.2
Penyusunan Strategi Pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan berdasarkan Hasil Analisis SWOT Untuk menentukan kebijakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
lahan Pulau Batam yang didasarkan atas kondisi faktual dilapangan, maka teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari ke-empat faktor tersebut, yaitu : 1. Kebijakan SO, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dan mengoptimalkan peluang yang ada; 2. Kebijakan ST, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam menanggulangi ancaman yang ada; 3. Kebijakan WO, yaitu kebijakan memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki; dan
219
4. Kebijakan WT, yaitu kebijakan yang disusun untuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang mungkin timbul. Tabel 28 memperlihatkan penyusunan strategi silang dalam optimalisasi pemanfaatan lahan di Pulau Batam. Tabel 28.
Formulasi Kebijakan Pengelolaan Pemanfaatan Lahan di Pulau Batam
KEKUATAN (S) 1. Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). 2. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatankegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan). 3. Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam
untuk
Optimalisasi
PELUANG (O) 1. Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 2. Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan). 3. Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). 4. Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulaupulau lain di sekitar Pulau Batam.
ANCAMAN (T) 1. Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). 2. Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). 3. Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). 4. Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). 5. Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). 6. Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata).
Kebijakan SO Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri (Industri). Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja (Perumahan).
Kebijakan ST Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif (Industri). Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB (Perumahan). Dikeluarkan kebijakan memberi peringatan keras untuk segera membangun atau dilakukan
1.
2.
1.
2.
3.
220
Tabel 28.
Lanjutan ...
1. sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). 2. Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). 3. Pertanian merupakan kawasan transisi dan bersifat sementara, peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). 4. Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor. Bahkan dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
KELEMAHAN (W) Lahan industri yang telah dialokasikan sebagian besar tidak melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata).
5.
6.
7.
Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter (Jasa). Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektorsektor lain yang lebih menguntungkan (Pertanian). Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif (Pariwisata).
Kebijakan WO (1)
(2)
Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahanlahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun (Industri). Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguh-sungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka investor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat (Industri).
(3)
(4)
Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan (Perumahan). Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin (Perumahan).
4. penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun (Jasa). 5. Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB (Jasa). 6. Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali (Pariwisata).
Kebijakan WT 1. Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif (Industri) 2. Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahanlahan untuk pengolahan limbah secara terpadu (Industri). 3. Perlu perencanaan kawasan perumahan sesuai dengan standar kenyamanan 4. perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan (Perumahan). 5. Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota (Jasa). 6. Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau (Pertanian).
221
Tabel 28.
Lanjutan ...
7.
Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata).
8.
Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata).
9.
Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum (Jasa).
7.
Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang (Pertanian).
10.
Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata (Pariwisata).
8.
Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional (pariwisata)
5.3 Pembobotan Untuk menentukan prioritas dari kebijakan di atas, maka perlu memberikan bobot pada unusr SWOT yang ada pada Tabel 28. Pemberian bobot ( berkisar antara 1 – 3) didasarkan pada derajat kepentingan dari unsur tersebut. Artinya unsur yang paling penting akan mendapatkan nilai paling tinggi, dan sebaliknya unsur yang tidak penting akan mendapatkan nilai paling rendah. Pada Tabel 29 dapat dilihat pemberian bobot untuk setiap unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam proses mendapatkan prioritas kebijakan optimalisasi pemanfaatan lahan Pulau Batam. Tabel 29.
Pemberian Bobot untuk Setiap Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Unsur
dari
Kekuatan,
Kekuatan
Bobot
Kelemahan
Bobot
Peluang
Bobot
Ancaman
Bobot
S1 S2 S3 S4 S5 S6
3 2 1 3 1 3
W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8
2 2 3 2 1 3 2 2
O1 O2 O3 O4
3 2 3 1
T1 T2 T3 T4 T5 T6
3 2 2 2 2 3
Keterangan: KEKUATAN (S) S1. Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). S2. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatan-kegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan).
222
S3. Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). S4. Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). S5. Pertanian merupakan kawasan transisi dan bersifat sementara, peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). S6. Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor. Bahkan dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata) KELEMAHAN (W) W1. Lahan industri yang telah dialokasikan sebagian besar tidak melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). W2. Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). W3. Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). W4. Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). W5. Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). W6. Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata). W7. Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata). W8. Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata). PELUANG (O) O1. Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 02. Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan). O3. Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). O4. Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. ANCAMAN (T) T1. Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). T2. Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). T3. Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). T4. Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). T5. Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). T6. Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata).
5.4 Penentuan Prioritas Kebijakan Berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan pada Tabel 29. maka bobot dari kedelapan kebijakan yang telah diformulasikan dijumlahkan.
223
Penjumlahan didasarkan pada unsur-unsur pembentuk kebijakan tersebut. Dari penjumlahan ini didapatkan prioritas kebijakan seperti dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. No.
Penentuan Prioritas Kebijakan Pengelolaan Pulau Batam
Kebijakan
Keterkaitan
Skor
Prioritas
Sektor Industri 1
Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahan-lahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun
S1, S4, S5, W1, O1, T3, T4
3+3+1+2+3+ 2+2=16
2
2
Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguhsungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka inevstor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat
S4, S6, W1, 01, T3
3+3+2+3+2= 13
3
3
Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahan-lahan untuk pengolahan limbah secara terpadu
S4, S5, S6, W2, 03, T1, T2
3+1+3+2+3+ 3+2=17
1
4
Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri
S1, S4, S5, W1, O1, T3, T4
3+3+1+2+3+ 2+2=16
2
5
Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif
S4, S6, T4
3+3+3=9
4
6
Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif
W2, T1
2+3=5
5
Sektor Perumahan 1
Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB
S3, W3, O2, T3
1+3+2+2=6
4
2
Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja
S2, W3,O1, 02, T3
2+3+3+2+2= 12
1
3
Perlu perencanaan kawasan perumahan sesuai dengan standar kenyamanan perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan
S2, S3, W3, 02
2+1+3+2=8
3
4
Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan
S3, W3, O2
1+3+2=6
4
224
Lanjutan Table 30….. 5
Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin
S2, S3, W3, 02, T3
2+1+3+2+2=10
2
S4, S6, W4, W6, O3, T4, T6 S5, W1, O1, T3
3+3+2+3+3+2+ 3= 19
1
1+2+3+2=6
4
S2, S3, O2, T4 S2, S3, S4, W4, O3, T4
2+1+2+2=7
3
1+3+1+2+3+2= 12
2
S5, W4, T4
3+2+2=7
3
S1, S5, W1, W5, W8, 03, T4
3+1+2+2+2+3+ 2=15
1
O4, T5, T6
1+2+3=6
2
S5, W5, O4, T5
1+1+1+2=5
3
S5, W5, O4, T5
1+1+1+2=5
3
S6, W6, W7, W8, O3, T6
3+3+2+2+3+3= 16
3
S6, W6, W7, W8, O3, T1, T6
3+3+2+2+3+3+ 3=19
2
W6, W7, W8, O3, T6
3+2+2+3+3=13
4
S6, W6, W7, W8, O3, T1, T2, T6
3+3+2+2+3+3+ 2+3=21
1
Sektor Jasa 1
Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter
2
Dikeluarkan kebijakan memberi peringatan keras untuk segera membangun atau dilakukan penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota
3 4
5
1
2
3
4
1 2
3
4
Sektor Pertanian Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektor-sektor lain yang lebih menguntungkan Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam Sektor Pariwisata Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata agar dapat meningkatkan masa tinggal dan uang yang dibelanjakan oleh para wisatawan Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional (pariwisata)
225
Berdasarkan Tabel 25 di atas, maka prioritas kebijakan pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pulau Batam adalah sebagai berikut: 5.4.1 Prioritas Kebijakan Sektor Industri (1) Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahan-lahan untuk pengolahan limbah secara terpadu. (2) Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahan-lahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun. (3) Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri. (4) Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguh-sungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka inevstor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat. (5) Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif. (6) Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif. Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang timbul akibat aktivitas berbagai kegiatan sehubungan dengan pengembangan yang intensif di Pulau Batam sebagai daerah industri dan jasa. Adapun kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif meliputi kebijakan pengelolaan limbah cair, limbah padat dan erosi. (a) Kebijakan Pengelolaan Limbah Cair Limbah cair yang diperkirakan berdampak negatif bagi wilayah pesisir dan laut berdasarkan hasil simulasi sistem berasal semua kegiatan
226
yang dikaji, baik dari sub-sistem industri, perumahan, jasa, pertanian maupun pariwisata. Upaya pengolahan limbah cair yang telah dilakukan selama ini sudah cukup baik.
Upaya tersebut antara lain dengan mempergunakan
Jaringan Induk Saluran Pengumpul dan penyalur Air Limbah, yang menerima air limbah dari 6 blok daerah pelayanan. Selanjutnya lewat Jaringan Induk Saluran Pengumpul dan penyalur, air limbah dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah/Waste Water Treatment Plant [WWTP] pada ujung barat SWP Tanjung Uncang Sagulung. Upaya lain yang perlu dilakukan dalam penanganan limbah cair adalah
dengan
membangun
saluran
terbuka
[untuk
daerah
pemukiman] atau tertutup [untuk daerah Industri, daerah komersiel dan daerah perkantoran] termasuk saluran bawah tanah, untuk mengendalikan air hujan dan air buangan khususnya pada daerah yang belum mempunyai saluran pembuangan. Khusus untuk limbah dari daerah industri. pariwisata dan komersil, limbah cairnya perlu terlebih dahulu diproses untuk memperbaiki kualitas air buangan melalui proses pengolahan,sehingga memenuhi standard air buangan yang berlaku. Berdasarkan hasil analisis sistem optimalisasi pemanfaatan lahan, maka pengelolaan yang perlu dilakukan adalah kewajiban untuk mengelola limbah cair yang akan dibuang ke lingkungan dengan standar minimal 70% dari limbah yang akan dikeluarkan sudah dikelola dan limbah cair yang dikeluarkan sudah sesuai dengan standar baku mutu limbah cari dari Kementrian Lingkungan Hidup RI. Untuk menghindari terserapnya limbah yang berbahaya ke dalam badan tanah dan mencemari sekitarnya maka perlu dibuatkan saluran drainage yang mencakup sistem pengaliran air hujan dan air limbah dari kawasan rumah tangga, komersial dan industri.
Pemisahan
antara saluran drainase air limbah dan air hujan perlu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan cemaran limbah industri ke dalam badan sungai, dan tercampurnya air hujan dengan air limbah. Klasifikasi saluran drainase yang diperlukan meliputi saluran drainase tertutup dan saluran drainase terbuka.
Saluran drainase tertutup
227
dibuat untuk daerah komersil, industri, perkantoran dan jalan-jalan utama di sekitar daerah wisata.
Saluran drainase terbuka dibuat
untuk daerah permukiman dan saluran utama drainase. Prinsip-prinsip saluran drainase yang dibuat adalah pada sebelah kiri dan atau kanan jalan dan mengikuti alam atau topografi sehingga aliran air terjadi secara gravitasi untuk menghindari penyumbatan pada badan saluran drainase. (b) Kebijakan Pengelolaan Limbah Padat Limbah padat yang diperkirakan berdampak negatif bagi wilayah pesisir dan laut berdasarkan hasil simulasi sistem berasal kegiatan industri, perumahan, jasa dan pariwisata. Adapun pengelolaan yang sudah dilakukan adalah dengan membuat pembuangan akhir sampah dengan sistem Open Dumping atau dibuang tanpa dipadatkan. Namun demikian pengelolaan limbah padat seperti ini perlu ditingkatkan menjadi sistem Sanitary Landfill. Penanganan
limbah padat memakai
sistem pengumpulan dan
pengangkutan limbah padat dari daerah pelayanan menuju tempat pembuangan akhir/TPA yang sudah disiapkan misalnya TPA Muka Kuning dengan memakai compactor truck yang sudah disiapkan pada daerah-daerah pelayanan.
Untuk kawasan industri, kendaraan
pengumpul dan pengangkut sampah melayani keseluruhan Wilayah Industri Pulau Batam, baik untuk kelompok Industri penghasil limbah padat sampah dalam jumlah besar [>2m3 per hari] maupun kelompok Industri penghasil limbah padat kecil [buangan dari aktivitas kantor]. (c) Kebijakan Pengelolaan Erosi Laju erosi yang terbesar terjadi pada catchment area disekitar dam Ladi, yaitu sebesar 27.23 ton/ha/th yang sudah jauh melebihi laju erosi yang diperkenankan yaitu 4 – 11 ton/ha/th. Sehubungan dengan hal ini perlu dilaksanakan langkah-langkah penanggulangan. Penanggulangan erosi yang paling sesuai untuk catchment area adalah dengan cara
Konservasi
Vegetasi
atau
penanaman
vegetasi dengan masa pemeliharaan 3 tahun atau sampai tanaman dapat hidup tanpa bantu an pada lahan kritis.
228
Melakukan
penanaman
dengan
tanaman
yang
menyelimuti
permukaan tanah juga signifikan untuk mengurangi dampak terjadinya erosi yang terjadi akibat pembukaan lahan pada catchment area akibat penggundulan dari pembangunan rumah liar. Untuk menghindari erosi atau gerusan dan juga kerusakan lain yang diakibatkan oleh aliran air hujan yang mengalir dipermukaan tanah yaitu: luapan dan genangan air, maka air hujan perlu dialirkan ke lembah sungai penerima yang terdekat, misalkan Sei Senimba, Sungai Langkai dan Tembesi lama, serta Sei Temiang dan untuk selanjutnya mengalir ke laut. Drainase merupakan suatu cara untuk mengalirkan air secepat mungkin menuju ke hilir. (d) Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 5.4.2 Prioritas Kebijakan Sektor Perumahan (1) Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja. (2) Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin. (3) Perlu
perencanaan
kawasan
perumahan
sesuai
dengan
standar
kenyamanan perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan. (4) Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB. (5) Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan. 5.4.3 Prioritas Kebijakan Sektor Jasa (1) Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter.
229
(2) Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum. (3) Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB. (4) Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota. Kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan Ruang Hijau adalah sebagai berikut: (a) Sektor Hijau harus tetap dipertahankan keberadaanya dan disebar secara merata dan sesuai dengan fungsinya seperti untuk kawasan lindung dan daerah tangkapan hujan (catchment area). (b) Sektor hijau harus terjaga kualitasnya sehingga dapat berfungsi dengan baik. Apabila ada kerusakan harus segera diperbaiki atau apabila ada penyerobotan harus ditarik kembali agar terjadi keseimbangan. (c) Sektor Hijau mungkin saja dikonversikan apabila luasannya asih memenuhi standar dan keseimbangan lingkungan masih bisa dicapai. Namun demikian, perubahan di sektor ini diperlukan analisis yang lebih tajam dan mendetail secara holistik agar tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan. (5) Dikeluarkan
kebijakan
memberi
peringatan
keras
untuk
segera
membangun atau dilakukan penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun. 5.4.4 Prioritas Kebijakan Sektor Pertanian (1) Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektor-sektor lain yang lebih menguntungkan. (2) Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau.
230
(3) Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang. (4) Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. 5.4.5 Prioritas Kebijakan Sektor Pariwisata (1) Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional. (2) Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata agar dapat meningkatkan masa tinggal dan uang yang dibelanjakan oleh para wisatawan. (3) Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif. (4) Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali. 5.5 Pilihan Instrumen Kebijakan Sampai dengan akhir tahun 1998, Otorita Batam dalam mebuat kebijakan didasarkan 2 hal,yaitu: (1) Kebijakan terpusat (Top-down approach) (2) Kebijakan yang bersumber dari masyarakat (Bottom-up approach). 5.5.1
Kebijakan Terpusat Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dari pimpinan. Kebijakan diterbitkan karema pimpinan melihat adanya situasi yang harus diaambil tindakan cepat untuk memperbaiki keadaan. Pada umumnya isi kebijakan sangat strategis dan membawa misi pemerintah pusat. Beberapa contoh kebijakan terpusat antara lain diterbitkannya Keppres seperti Keppres 41 Tahun 1973, Keppres No. 45 Tahun 1978, Keppres No. 56 Tahun 1994.
231
Kebijakan yang jenisnya terpusat tetapi dalam skala yang lebih kecil adalah
kebijakan
pembangunan
seperti
diterbitkannya
kebijakan
pembangunan 6 (enam) buah jembatan dan jalan yang menghubungkan P. Batam dengan P. Rempang dan P. Galang; pembangunan Bandara Internasional Hang Nadim; penetapan tariff lahan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, kebijakan terpusat juga memberikan perintah (mandate) kepada staf untuk mengolah dan memberikan masukan kepada pimpinan. 5.5.2
Kebijakan yang Berasal dari Masyarakat Kebijakan ini berawal dari pengamatan staf yang melakukan tugas seharihari di lapangan.
Dari hasil pengamatan diusulkan kepada pimpinan
untuk dibuatkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi atau kinerja di lapangan. Proses pengusulan kebijakan dilakukan seara bertahap dan berjenjang, melalui diskusi-diskusi dan pembahasan yang pada akhirnya dibuatkan usulan kepada pimpinan untuk dibuatkan kebijakan institusi. Beberapa contoh kebijakan yang berasal dari usulan masyarakat (bottom up) antara lain kebijakan perbaikan Rencana Detail Tata Ruang; Penetapan Baku Mutu Lingkungan; Kebijakan penarikan lahan
yang
telah
dialokasikan;
dan
kebijakan
pembongkaran
pembangunan. Kebijakan yang telah dikeluarkan, baik kebijakan terpusat (top down) maupun kebijakan yang berasal dari masyarakat (bottom up) tidak selalu menghasilkan output seperti yang diharapkan. Kebijakan bisa saja tidak berjalan, bahkan menimbulkan konflik atau kasus hukum sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam lagi untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul tersebut.
Contohnya adalah kebijakan
pembangunan P. Rempang dan P. Galang yang hingga saat ini belum terwujud; dan beberapa pencabutan lahan yang telah dialokasikan berbuntut konflik hingga ke proses hukum. Kegagalan kebijakan yang dikeluarkan bukan berarti kebijakan tersebut salah. Bisa saja kajian dan data serta analisis yang kurang mendalam. Faktor lain adalah adanya kebijakan lain dari pusat yang tidak sejalan dengan kebijakan yang di dikeluarkan oleh pihak otoritas P. Batam.
6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan 1.
Dari 16.686,43 Ha lahan yang tersedia, sampai dengan akhir 1998 telah teralokasikan 14.545 Ha (87,17%) lahan, namun demikian investasi yang didapat tidak mencapai optimum karena hanya 21,18% dari tanah yang telah dialokasikan saja yang sudah dibangun. Kelambatan dalam pembangunan dipicu karena pemilik lahan tidak sungguh-sungguh akan membangun, sebagian besar dari mereka hanya berharap mendapat keuntungan dari selisih nilai lahan bila dijual kembali (spekulasi). Pemicu lain terlalu cepatnya pengalokasian menyebabkan ketidak siapan dari unsur penunjang seperti penyiapan infrastuktur dan ketersediaan detail desain di seluruh wilayah.
2.
Pada Simulasi model 1,3 dan 4 tidak dapat mencapai optimal karena lahan tersedia tidak memungkinkan, skenario 2 dan 5 dapat dioptimalkan dengan melakukan kebijakan penarikan dan mengonversikan lahan produktif. Namun demikian skenario 2 tidak dapat diaplikasikan karena kondisi di lapangan sudah tidak memungkinkan. Hasil optimalisasi lahan pada skenario 5 didapat nilai total investasi sebesar Rp. 387.253.622.654.871,60,-.
3.
Nilai skenario 5 adalah hasil optimal dari investasi positif yang didapat ; nilai ini 11.72 kali lipat dari nilai total investasi bila tidak dilakukan kebijakan (skenario 3). Skenario 5 juga berhasil menurunkan investasi pemerintah yang semula 23% dari total investasi menjadi 12.1% dari total investasi. Investasi negatif juga berhasil diturunkan menjadi 1.1% dari total investasi; sebagai pembanding investasi negatif pada skenario 4 adalah 9.6% dari total investasi. Penurunan investasi negatif dipacu dengan pengolahan limbah dan optimalnya pemanfaatan lahan dan juga berarti berkurangnya erosi dan kerusakan lingkungan. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa
sektor
yang dapat menarik investasi positif terbesar secara berurutan adalah industri, jasa, perumahan, pariwisata dan pertanian. 4.
Nilai lahan di Pulau Batam meningkat 720%, yang semula Nilai Asli Lahan (TEV) Rp 27.409,-/m2 menjadi Rp 197.533,7,-/m2 pada tahun 1998. Nilai ini akan meningkat tajam sebesar 8490% pada 10 tahun mendatang bila dilakukan optimalisasi sesuai skenario 5 atau nilai lahan menjadi
233
Rp.2.237.245,33,-/m2. Peningkatan nilai lahan dan investasi di Batam sangat tergantung pada kepastian dan penegakan hukum di Pulau Batam. Salah satunya adalah kepastian penerapan kawasan berikat atau kawasan perdagangan bebas di Pulau Batam. Peningkatan investasi dan kestabilan iklim usaha di Pulau Batam juga akan terbantu bila Pulau Rempang dan Pulau Galang segera dikembangkan. Hal ini akan menjadi alternatif investasi dan mengurangi tekanan terhadap Pulau Batam. 6.2 1.
Rekomendasi Berdasarkan
kecenderungan
pasar
dan
Analisis
SWOT
untuk
mengonversikan lahan-lahan yang tidak produktif, maka perlu segera melakukan evaluasi Master Plan dengan mengikuti standar penataan ruang, khususnya standar lingkungan dan ditetapkan dengan kekuatan hukum yang memadai seperti melalui Undang-undang, PERDA atau Kepres, sehingga alokasi yang sudah sesuai dengan Master Plan tidak mudah diubah-ubah. 2.
Sektor-sektor yang sulit berkembang dan mempunyai nilai lahan yang kecil per m2-nya, segera diambil kebijakan untuk diberhentikan pengalokasiannya dan secara bertahap dikonversikan peruntukannya menjadi sektor yang diminati pasar dan mempunyai nilai lahan yang tinggi per m2-nya, seperti dari sektor pertanian dikonversikan menjadi sektor industri. Segera menarik lahan-lahan yang sudah dialokasikan tetapi belum dibangun dengan target 10% setiap tahunnya dan memberikan insentif bagi investor yang berprestasi.
3.
Mengupayakan percepatan pertumbuhan dengan pengalokasian lahan yang tepat sasaran kepada investor yang benar-benar mau membangun. Investor harus diseleksi dengan cermat, dipioritaskan pada investasi dengan kegiatan yang padat modal, sedikit menghasilkan limbah dan dapat meningkatkan investasi positif secara signifikan.
4.
Segera
memperbaiki
lahan-lahan
yang
rusak
akibat
penyerobotan,
perambahan dan pembukaan lahan, merencanakan dan membangun pengolahan limbah agar mengurangi dampak negatif di daerah pesisir dan terjaga keseimbangan lingkungan.
234
5.
Segera dibuatkan mekanisme dan wadah untuk membantu meningkatkan standar hidup penduduk yang ekonominya lemah dari hasil pembangunan guna membantu masyarakat tersebut dalam bidang pendidikan, kesehatan dan menciptakan lapangan kerja yang sesuai.
6.
Harus segera dibuat kebijakan untuk mengatur / mengurangi pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dan tidak terkendali, khususnya yang disebabkan dari migrasi, sehingga pertumbuhan penduduk dapat ditekan di bawah 2%/th.
7.
Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang telah diterbitkan dan diberlakukan harus dilaksanakan dengan tegas terutama dalam memberikan sangsi. Bila perlu status hukum dan peraturan ditingkatkan kelasnya, untuk menghindari spekulasi, penyerobotan lahan dan kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan lahan.
8.
Meningkatkan koordinasi dan pembagian tugas serta payung hukum yang jelas antara Otorita Batam dan Pemerintah Daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II.
LAMPIRAN
L -1
Lampiran 1. Struktur Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
L -2
Lampiran 2. Detail Formula Input Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
L -3
Lampiran 3. Daftar Istilah Input Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
L -4
Lampiran 4. Nilai-nilai yang Penting
L -5
Lampiran 5. Uji Coba Model
L-1
Lampiran 1. Struktur Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
DIAGRAM MODEL OPTIMAL GABUNGAN SELURUH SEKTOR
Table 13 INDUSTI LHN IND LJIND BGN KFPER IND LJ IND DIALOK
Table 3
Table 2 Table 5
Table 1
SEKTOR JASA
Graph 1 LHN JASA TOT INVS
INVIND POSTF
LJJS BGN
INV IND M
LHN IND BANG KF DIBANG
LHNIND DIALOK
PERTM INVS NETINV IND LAJU INVIND
LAJU INVIND PF
EK0LOGI JS
KFPERT JS
LJ JS DIALOK
KF IND DIALOK
KF JS DIALOK KFJS DIBANG LHN JS DIALOK LHN JASA BANG
LJ IND DIBANG
INV JASA M INV JASA POSF
JUM LIM IND KF LIMBLT JUMLIMBKELT LAHAN
LAJU INVJS PF KF LIMCAIRJS M LIMB JS JUM LIM JS DIOLAH
LJ JS DIBANG lj IND DIALOK NB
LAJU LIMB
KF ASLI
LIMB KELT
LAJU LIMJS
LIMBAH
LAJUIND BUKA KF BUKA LHNIND BUKA
ABRASI IND M3
LIMJS DIOLAH
ekologi KFJS DIBUANG
KF LIMCAIR MLIMB DIOLAH KF LIMBOLAH LHNIND NBANG LIMB LAUT M3 JUM LIMBOLAH LAJUIND ASLI INVIND NEG LHNIND ASLI
LHNJS DIALOK NB KFJS DIOLAH
LHNJS NBANG LHNJS ASLI KF JS ASLI
NET INVJASA
LIM JSBUANG
LIMB OLAH M3Graph 6
LJIND ASBGN LAJU INVIND NEG
KFIND ASBGN
LAJUJS BUKA LAJUJS ASLI
EROSI TON ABRASI IND
KF REKLAM REKLAM IND IND
Table 11
DIOLAH M3
LHNJS BUKA
INV NEG
LJIND BKBGN LJ ABRASIIND
LJ REKLAMIND
LAJUINV JASA INVJS NEG
LIMJS BUANG
LJJS ASBGN KFJS BUKA
LAJU INVJS NEG Table 14
KFJS ASBGN
DIBUANG M3
EROSI JASA
JUM EROSI KF ABRASI IND KFIND BKBGN
EROSIJS TON EROSI Graph 7
LAJU EROSI IND KF EROSI M
LJJS BKBGN KFJS BKBGN
EROSI IND KRG
LAJU EROSJS
EROSI JS KRG Table 16
KFEROSIJS M
SEKTOR HIJAU
SEKTOR GABUNGAN
SEKTOR PERTANIAN LHN PERT BRBH
INDUSTRI LH PERTANIAN NET INV BATAM KF PERB INDLAJU PERB IND
JASA PERBIND DIALOKKF HJ IND
LJPERT BRBH
INV PEMERINTAH KF INV NETTRAL
LJPER DIALOK
LJ PERT DIALOK KF PER DIALOK INV PERTINV M PERTPOSF
LAJU INV BATAM
LHNHJ DIRUB KF PERBH
PERUMAHAN KF PERB JASA LAJU PERB JASA PERBJASA DIALOK KF HJ JAS
LAJU INV NETRAL
KF PERT DIALOK OLAH M3 LAJU INV POSITIF
TOT INV POSF
KIRIM M3
PERBH PERUNT PARIWISATA KF PERB RMH KF HJ RMH PERBRMH DIALOK LAJU PERB RMH
LH PERT DIALOK LJ LHNPERT BIALOK B TOT INVES BATAM TOT LJ INVPOS LAJU INV NEGATIF
LIMPDT BATAM KF DIOLAH KF LIMPDT
LAJU LIMPERT LHNPERT ASLI NB
LHNPERT NBANG
LAJU PERB PERT PERBPERT DIALOK KF PERB PERT KF HJ PERT
LAJU INVPERT PF KF LIMPERT JUM LIMPERT LIMPERT LAUT KFPERT LAUT
LHNPERT DIALOK NB
PERTANIAN KF PERB PARI LAJU PERB PARI PERBPARI DIALOK KF HJ PAR
LHN HIJ MUTLAK KF RUBAH
KFPERT DBANG LHN PERT BANG
LAJU DIBUANG NET INVPERT LJINV PERT
TOT LJ INVNEG
INVHJ NEG LAJU LIMPDT
LJ DIOLAH LAJUPERT ASLI
INVPERT NEG
LHNPERT ASBGN
TOT INV NEG RUSAK M LAJU INVHJ NEG LHN HJ RUSAK RAMBAH M
PERUBAHAN
LIM B3 BATAM KF DIKIRIM KF LIM B3
KFPERT BK LAJUPERTKFPERT BUKA ASLI
KF PER ASBGN LAJUINVPERT NG
LIM PERT M
LAJU REHAB KF RUSAK LAJU HJ RUSAK
LAJULIM B3
PERBAIKAN
LJ PENGIRIMAN
KF PERBK LHNHJ RAMBAH
KF PERB REHAB
EROSIPERT TON
LHNPERT BUKA LHNPERT BKBGN
Table 12
KF TARIK REHAB
JM EROSI PERT LJ EROSIPERT EROSI PERT KRG
KF PER BKBGN KF RAMBAH
Table 15
PENARIKAN KF PENARIKAN
LAJU HJ RAMBAH
KF EROSI PERT
Table 4
SEKTOR PARIWISATA
SEKTOR SOSIAL
SEKTOR PERUMAHAN
DANA CAD
LHN PARW
JUM KEL MISKIN KF MISKIN
MIGRASI
KFPERT PARI
LJ PDDK MISKIN
KRG PDDK MISKIN
LJ CAD
KF CADG KFPAR DIALOK
PENGUR PDDK
PERTUM PDDK
INV PAR MINV PARI POSF LAJU INVPAR PF
KF PAR DIBANG LJ PAR DIALOK LHN PARI BANG LJ PAR BGN
KELUAR MENINGGAL JUM PENDUDUK
KELAHIRAN
JUM RUMAH KF RULI TUMB
LJ PAR DIBANG
JUM KEL ASLI MSK
KF LIMCAIR PAR
LH PAR DIALOK
LIMPAR DIOLAH KF LIM PR DIOLAH
LIMCAIR PARI penamb rmh RMH T1
RMH T3
RMH T6
KF RMH
RMH KRG
DIBONGKAR
KF PDDK AS
PENAM RULI
KEBUTLHN RMH
KF SUBSIDISUBSIDI PDDK KAS NEG KF PAR ASLI
RULI KRG LJ PDTG MSK
BONGKAR RL HARGA T1 HARGA HARGA T2 T6 LING RUSAK RL INN NEG RMH
LJ SAKIT
INVPOS RMH LJ INV POSRMH LAJU INVRMH NEG
REKLAMASI LAJU REKLAM PR
LHN PARI NDIBANG LJ PAR ASLILHN PAR ASLI KF SETOR
LJ SETOR
JUM PDDK SKT
LJPAR ASBGN KF ORGSHT
KF RMH ASBGN LJ RMH ASBGN
KTRS RMH EROSI RMH TON OLAH LIMRMH NET INVRMH
INVPARI NEG KFPAR ASBGN
LJ PDK SEHAT
KF SAKIT
PERTUM PJK
LJ PAJAK
KF ORGSEK LHNRMH AS
LAJU WJB SEK KF WJB SEK
LIM PR OLAH M3 EROSIPR TON
JUMEROSI PARI LJ EROSI PR EROSI PAR KRG
LJ SUB SEK Table 6
Table 9
LHNPR BUKA NB
KFPAR BKBGN LJPAR BKBGN
KF SUBSIDI SEK
LAJU ERS RMH
EROSI RMH KRG
LAJU INVPAR NEG
KF SUBSIDI SHT JUM WJB SEKOLAH
LJ INV RMH LHNRMH BUKA EROSI RMHJUM M2 EROSI RMH
ABRASI M3
KF PR BUKA LAJU PR BUKA NILAIPJK THN
KF PERT RMH
KF RMH RBH LJ RMH RBH
ABRASI LAJU ABRASI PR NET INVPARI LJ INV PARI
KRG PDTG MSK KF SUB PDTG
Noname 8 KF PDDK PDTG KF ORGPDTG
LJ PENB LHRMH
KF ABRASI PR
KF PR REKLAM
KF ORGASLI
JUM KEL PDTG MSK KF LHN T1 KF LHNT3KF LHN T6 SISA LHN RMH
LJ LIMPR OLH
LAJU LIM PARI
LJ PDKASLI MSK KRG PDK ASLI MSKKF SUB ASL LHNPAR DIALOK NB
JUM RULI
Table 8
Graph 5 Table 7
KF EROSI PR
Table 10
L 2- a
Lampiran 2. Detail Formula Input Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ABRASI_IND(t) = ABRASI_IND(t - dt) + (LJ_ABRASIIND) * dt INIT ABRASI_IND = 10*10000 LJ_ABRASIIND = LJ_REKLAMIND*KF_ABRASI_IND INVIND_NEG(t) = INVIND_NEG(t - dt) + (LAJU_INVIND_NEG) * dt INIT INVIND_NEG = 15017260434 LAJU_INVIND_NEG = ABRASI_IND*ABRASI_IND_M+JUMLIMBKELT*LIMB_LAUT_L+JUM_EROSI*EROSI_MG+JU M_LIMBOLAH*LIMB_OLAH_L INVIND_POSTF(t) = INVIND_POSTF(t - dt) + (LAJU_INVIND_PF) * dt INIT INVIND_POSTF = 12298409308800 LAJU_INVIND_PF = LJ_IND_DIBANG*INV_IND_M JUMLIMBKELT(t) = JUMLIMBKELT(t - dt) + (LIMB_KELT) * dt INIT JUMLIMBKELT = 157.12*10000*14.66/100*0.7 LIMB_KELT = JUM_LIM_IND*KF_LIMBLT JUM_EROSI(t) = JUM_EROSI(t - dt) + (LAJU_EROSI - EROSI_IND_KRG) * dt INIT JUM_EROSI = 1.27 LAJU_EROSI = LHNIND_BUKA*KF_EROSI_M EROSI_IND_KRG = LJIND_BKBGN*KF_EROSI_M JUM_LIMBOLAH(t) = JUM_LIMBOLAH(t - dt) + (LIMB_DIOLAH) * dt INIT JUM_LIMBOLAH = 157.12*10000*14.66/100*0.3 LIMB_DIOLAH = JUM_LIM_IND*KF_LIMBOLAH JUM_LIM_IND(t) = JUM_LIM_IND(t - dt) + (LAJU_LIMB - LIMB_KELT LIMB_DIOLAH) * dt INIT JUM_LIM_IND = 157.12*10000*14.66/100 LAJU_LIMB = LJ_IND_DIBANG*KF_LIMCAIR_M LIMB_KELT = JUM_LIM_IND*KF_LIMBLT LIMB_DIOLAH = JUM_LIM_IND*KF_LIMBOLAH LHNIND_ASLI(t) = LHNIND_ASLI(t - dt) + (LAJUIND_ASLI - LJIND_ASBGN) * dt INIT LHNIND_ASLI = 1726.872*10000 LAJUIND_ASLI = LHNIND_NBANG*KF_ASLI LJIND_ASBGN = LHNIND_ASLI*KFIND_ASBGN LHNIND_BUKA(t) = LHNIND_BUKA(t - dt) + (LAJUIND_BUKA - LJIND_BKBGN) * dt INIT LHNIND_BUKA = 1151.248*10000 LAJUIND_BUKA = LHNIND_NBANG*KF_BUKA LJIND_BKBGN = LHNIND_BUKA*KFIND_BKBGN LHNIND_DIALOK(t) = LHNIND_DIALOK(t - dt) + (LJ_IND_DIALOK) * dt INIT LHNIND_DIALOK = 3035.24*10000 LJ_IND_DIALOK = LHNIND_DIALOK*KF_IND_DIALOK LHNIND_NBANG(t) = LHNIND_NBANG(t - dt) + (lj_IND_DIALOK_NB LAJUIND_BUKA - LAJUIND_ASLI) * dt INIT LHNIND_NBANG = 0 lj_IND_DIALOK_NB = LJ_IND_DIALOK-LJ_IND_DIBANG LAJUIND_BUKA = LHNIND_NBANG*KF_BUKA LAJUIND_ASLI = LHNIND_NBANG*KF_ASLI
L 2- b
LHN_IND(t) = LHN_IND(t - dt) + (LJIND_BGN - LJ_IND_DIALOK) * dt INIT LHN_IND = 0 LJIND_BGN = LJIND_ASBGN+LJIND_BKBGN+LJPER_DIALOK*KFPER_IND+PERBIND_DIALOK LJ_IND_DIALOK = LHNIND_DIALOK*KF_IND_DIALOK LHN_IND_BANG(t) = LHN_IND_BANG(t - dt) + (LJ_IND_DIBANG) * dt INIT LHN_IND_BANG = 157.12*10000 LJ_IND_DIBANG = LJ_IND_DIALOK*KF_DIBANG REKLAM_IND(t) = REKLAM_IND(t - dt) + (LJ_REKLAMIND) * dt INIT REKLAM_IND = 100*10000 LJ_REKLAMIND = LJ_IND_DIBANG*KF_REKLAM_IND TOTINV_IND(t) = TOTINV_IND(t - dt) + (LAJU_INVIND) * dt INIT TOTINV_IND = 12298409308800 LAJU_INVIND = LAJU_INVIND_PF-LAJU_INVIND_NEG ABRASI_IND_M = 150000 EROSI_MG = 15236109/10000 INV_IND_M = 8500000 KFIND_ASBGN = 0.1 KFIND_BKBGN = 0.1 KFPER_IND = 0.5 KF_ABRASI_IND = 0.03 KF_ASLI = .6 KF_BUKA = .4 KF_DIBANG = 0.85 KF_EROSI_M = .127 KF_IND_DIALOK = 0.05 KF_LIMBLT = .7 KF_LIMBOLAH = .3 KF_LIMCAIR_M = 14.66/100 KF_REKLAM_IND = .57 LIMB_LAUT_L = 50000 LIMB_OLAH_L = 20000 EROSI_JASA(t) = EROSI_JASA(t - dt) + (LAJU_EROSJS - EROSI_JS_KRG) * dt INIT EROSI_JASA = 1.27 LAJU_EROSJS = LHNJS_BUKA*KFEROSIJS_M EROSI_JS_KRG = LJJS_BKBGN*KFEROSIJS_M INVJS_NEG(t) = INVJS_NEG(t - dt) + (LAJUINVJS_NEG) * dt INIT INVJS_NEG = 0 LAJUINVJS_NEG = EROSI_JASA*EROSIJS_MG+LIMJS_BUANG*DIBUANG_L+LIM_JS_DIOLAH*DIOLAH_L INV_JASA_POSF(t) = INV_JASA_POSF(t - dt) + (LAJU_INVJS_PF) * dt INIT INV_JASA_POSF = 5728159178140 LAJU_INVJS_PF = LJ_JS_DIBANG*INV_JASA_M JUM_LIMB_JS(t) = JUM_LIMB_JS(t - dt) + (LAJU_LIMJS - LIMJS_DIOLAH DIBUANG_LSNG) * dt INIT JUM_LIMB_JS = 0 LAJU_LIMJS = LJ_JS_DIBANG*KF_LIMCAIRJS_M LIMJS_DIOLAH = JUM_LIMB_JS*KFJS_DIOLAH DIBUANG_LSNG = JUM_LIMB_JS*KFJS_DIBUANG LHNJS_ASLI(t) = LHNJS_ASLI(t - dt) + (LAJUJS_ASLI - LJJS_ASBGN) * dt INIT LHNJS_ASLI = 674*10000*0.2 LAJUJS_ASLI = LHNJS_NBANG*KF_JS_ASLI
L 2- c
LJJS_ASBGN = LHNJS_ASLI*KFJS_ASBGN LHNJS_BUKA(t) = LHNJS_BUKA(t - dt) + (LAJUJS_BUKA - LJJS_BKBGN) * dt INIT LHNJS_BUKA = 674*10000*0.8 LAJUJS_BUKA = LHNJS_NBANG*KFJS_BUKA LJJS_BKBGN = LHNJS_BUKA*KFJS_BKBGN LHNJS_NBANG(t) = LHNJS_NBANG(t - dt) + (LHNJS_DIALOK_NB - LAJUJS_ASLI - LAJUJS_BUKA) * dt INIT LHNJS_NBANG = 0 LHNJS_DIALOK_NB = LJ_JS_DIALOK-LJ_JS_DIBANG LAJUJS_ASLI = LHNJS_NBANG*KF_JS_ASLI LAJUJS_BUKA = LHNJS_NBANG*KFJS_BUKA LHN_JASA(t) = LHN_JASA(t - dt) + (LJJS_BGN - LJ_JS_DIALOK) * dt INIT LHN_JASA = 483.22*10000 LJJS_BGN = LJJS_ASBGN+LJJS_BKBGN+PERBJASA_DIALOK+LJPER_DIALOK*KFPERT_JS LJ_JS_DIALOK = LHN_JS_DIALOK*KF_JS_DIALOK LHN_JASA_BANG(t) = LHN_JASA_BANG(t - dt) + (LJ_JS_DIBANG) * dt INIT LHN_JASA_BANG = 67.06*10000 LJ_JS_DIBANG = LJ_JS_DIALOK*KFJS_DIBANG LHN_JS_DIALOK(t) = LHN_JS_DIALOK(t - dt) + (LJ_JS_DIALOK) * dt INIT LHN_JS_DIALOK = 741.06*10000 LJ_JS_DIALOK = LHN_JS_DIALOK*KF_JS_DIALOK LIMJS_BUANG(t) = LIMJS_BUANG(t - dt) + (DIBUANG_LSNG) * dt INIT LIMJS_BUANG = 67.06*10000*18.87/100*0.8 DIBUANG_LSNG = JUM_LIMB_JS*KFJS_DIBUANG LIM_JS_DIOLAH(t) = LIM_JS_DIOLAH(t - dt) + (LIMJS_DIOLAH) * dt INIT LIM_JS_DIOLAH = 67.06*10000*18.87/100*0.2 LIMJS_DIOLAH = JUM_LIMB_JS*KFJS_DIOLAH TOT_INVJASA(t) = TOT_INVJASA(t - dt) + (LAJUINV_JASA) * dt INIT TOT_INVJASA = 5728159178140 LAJUINV_JASA = LAJU_INVJS_PF-LAJUINVJS_NEG DIBUANG_L = 50000 DIOLAH_L = 20000 EROSIJS_MG = 15236109/10000 INV_JASA_M = 9000000 KFEROSIJS_M = .127 KFJS_ASBGN = 0.5 KFJS_BKBGN = 0.1 KFJS_BUKA = .8 KFJS_DIBANG = 0.8 KFJS_DIBUANG = .8 KFJS_DIOLAH = .2 KFPERT_JS = 0.2 KF_JS_ASLI = .2 KF_JS_DIALOK = 0.1 KF_LIMCAIRJS_M = 18.87/100 INN_NEG_RMH(t) = INN_NEG_RMH(t - dt) + (LJ_INV_NEGRMH) * dt INIT INN_NEG_RMH = 0 LJ_INV_NEGRMH = PENAM_RULI*BONGKAR_RL+PENAM_RULI*LING_RUSAK_RL+LAJU_ERS_RMH*EROSI_RMH _M3+JUM_RUMAH*OLAH_LIMRMH INVPOS_RMH(t) = INVPOS_RMH(t - dt) + (LJ_INV_POSRMH) * dt
L 2- d
INIT INVPOS_RMH = 117.74*3078112 LJ_INV_POSRMH = KEBUTLHN_RMH*KTRS_RMH*HARGA_T1+KEBUTLHN_RMH*KTRS_RMH*HARGA_T2+KEBUTLH N_RMH*KTRS_RMH*HARGA_T6 JUM_EROSI_RMH(t) = JUM_EROSI_RMH(t - dt) + (LAJU_ERS_RMH EROSI_RMH_KRG) * dt INIT JUM_EROSI_RMH = 1.27 LAJU_ERS_RMH = LHNRMH_BUKA*EROSI_RMH_M2 EROSI_RMH_KRG = LJ_RMH_RBH*EROSI_RMH_M2 JUM_PENDUDUK(t) = JUM_PENDUDUK(t - dt) + (PERTUM_PDDK - PENGUR_PDDK) * dt INIT JUM_PENDUDUK = 290638 PERTUM_PDDK = JUM_PENDUDUK*KELAHIRAN+JUM_PENDUDUK*MIGRASI PENGUR_PDDK = JUM_PENDUDUK*KELUAR+JUM_PENDUDUK*MENINGGAL JUM_RULI(t) = JUM_RULI(t - dt) + (PENAM_RULI - RULI_KRG) * dt INIT JUM_RULI = 2533 PENAM_RULI = RMH_KRG*1 RULI_KRG = JUM_RULI*DIBONGKAR JUM_RUMAH(t) = JUM_RUMAH(t - dt) + (penamb_rmh - RMH_KRG) * dt INIT JUM_RUMAH = 58171 penamb_rmh = PERTUM_PDDK/KF_RMH+RULI_KRG RMH_KRG = JUM_RUMAH*KF_RULI_TUMB LHNRMH_AS(t) = LHNRMH_AS(t - dt) + (- LJ_RMH_ASBGN) * dt INIT LHNRMH_AS = 2411.94*10000*0.2 LJ_RMH_ASBGN = LHNRMH_AS*KF_RMH_ASBGN LHNRMH_BUKA(t) = LHNRMH_BUKA(t - dt) + (- LJ_RMH_RBH) * dt INIT LHNRMH_BUKA = 2411.94*10000*0.8 LJ_RMH_RBH = LHNRMH_BUKA*KF_RMH_RBH SISA_LHN_RMH(t) = SISA_LHN_RMH(t - dt) + (LJ_PENB_LHRMH KEBUTLHN_RMH) * dt INIT SISA_LHN_RMH = 1522.98*10000 LJ_PENB_LHRMH = LJPER_DIALOK*KF_PERT_RMH+PERBRMH_DIALOK+LJ_RMH_RBH+LJ_RMH_ASBGN KEBUTLHN_RMH = penamb_rmh*KF_LHN_T1+penamb_rmh*KF_LHNT3+penamb_rmh*KF_LHN_T6 TOT_INVRMH(t) = TOT_INVRMH(t - dt) + (LJ_INV_RMH) * dt INIT TOT_INVRMH = 398320005248 LJ_INV_RMH = LJ_INV_POSRMH-LJ_INV_NEGRMH BONGKAR_RL = 2500000 DIBONGKAR = 0.1 EROSI_RMH_M2 = .127 EROSI_RMH_M3 = 15236109/10000 HARGA_T1 = 3078112 HARGA_T2 = 0 HARGA_T6 = 0 KELAHIRAN = 0.03 KELUAR = 0 KF_LHNT3 = 0.3*250 KF_LHN_T1 = 0.1*500 KF_LHN_T6 = 0.6*150 KF_PERT_RMH = 0.2 KF_RMH = 5 KF_RMH_ASBGN = 0.1
L 2- e
KF_RMH_RBH = 0.1 KF_RULI_TUMB = 0.05 KTRS_RMH = 0.70 LING_RUSAK_RL = 2000000 MENINGGAL = .89/100 MIGRASI = .05 OLAH_LIMRMH = 100000 RMH_T1 = JUM_RUMAH*0.1 RMH_T3 = JUM_RUMAH*0.3 RMH_T6 = JUM_RUMAH*0.6 INDUSTRI(t) = INDUSTRI(t - dt) + (LAJU_PERB_IND - PERBIND_DIALOK) * dt INIT INDUSTRI = 0 LAJU_PERB_IND = PERBH_PERUNT*KF_PERB_IND PERBIND_DIALOK = INDUSTRI*KF_HJ_IND INVHJ_NEG(t) = INVHJ_NEG(t - dt) + (LAJU_INVHJ_NEG) * dt INIT INVHJ_NEG = 0 LAJU_INVHJ_NEG = PERBAIKAN*RUSAK_M+PENARIKAN*RAMBAH_M JASA(t) = JASA(t - dt) + (LAJU_PERB_JASA - PERBJASA_DIALOK) * dt INIT JASA = 0 LAJU_PERB_JASA = PERBH_PERUNT*KF_PERB_JASA PERBJASA_DIALOK = JASA*KF_HJ_JAS LHNHJ_DIRUB(t) = LHNHJ_DIRUB(t - dt) + (- PERBH_PERUNT) * dt INIT LHNHJ_DIRUB = ((.4*2512.37)+7438.38)*10000*0.1 PERBH_PERUNT = LHNHJ_DIRUB*KF_PERBH LHNHJ_RAMBAH(t) = LHNHJ_RAMBAH(t - dt) + (LAJU_HJ_RAMBAH - PENARIKAN) * dt INIT LHNHJ_RAMBAH = (12480+2175.20)*10000*.2 LAJU_HJ_RAMBAH = PERUBAHAN*KF_RAMBAH PENARIKAN = LHNHJ_RAMBAH*KF_PENARIKAN LHN_HIJ_MUTLAK(t) = LHN_HIJ_MUTLAK(t - dt) + (LAJU_REHAB - PERUBAHAN) * dt INIT LHN_HIJ_MUTLAK = (12480+2175.20)*10000 LAJU_REHAB = PENARIKAN*KF_PERB_REHAB+PERBAIKAN*KF_TARIK_REHAB PERUBAHAN = LHN_HIJ_MUTLAK*KF_RUBAH LHN_HJ_RUSAK(t) = LHN_HJ_RUSAK(t - dt) + (LAJU_HJ_RUSAK - PERBAIKAN) * dt INIT LHN_HJ_RUSAK = (12480+2175.20)*10000*.15 LAJU_HJ_RUSAK = PERUBAHAN*KF_RUSAK PERBAIKAN = LHN_HJ_RUSAK*KF_PERBK PARIWISATA(t) = PARIWISATA(t - dt) + (LAJU_PERB_PARI PERBPARI_DIALOK) * dt INIT PARIWISATA = 0 LAJU_PERB_PARI = PERBH_PERUNT*KF_PERB_PARI PERBPARI_DIALOK = PARIWISATA*KF_HJ_PAR PERTANIAN(t) = PERTANIAN(t - dt) + (LAJU_PERB_PERT - PERBPERT_DIALOK) * dt INIT PERTANIAN = 0 LAJU_PERB_PERT = PERBH_PERUNT*KF_PERB_PERT PERBPERT_DIALOK = PERTANIAN*KF_HJ_PERT PERUMAHAN(t) = PERUMAHAN(t - dt) + (LAJU_PERB_RMH - PERBRMH_DIALOK) * dt
L 2- f
INIT PERUMAHAN = 0 LAJU_PERB_RMH = PERBH_PERUNT*KF_PERB_RMH PERBRMH_DIALOK = PERUMAHAN*KF_HJ_RMH KF_HJ_IND = 1 KF_HJ_JAS = 1 KF_HJ_PAR = 1 KF_HJ_PERT = 1 KF_HJ_RMH = 1 KF_PENARIKAN = 1 KF_PERBH = 0.05 KF_PERBK = 1 KF_PERB_IND = 0.4 KF_PERB_JASA = 0.3 KF_PERB_PARI = 01 KF_PERB_PERT = 0 KF_PERB_REHAB = 1 KF_PERB_RMH = 0.2 KF_RAMBAH = 0.6 KF_RUBAH = 0.1 KF_RUSAK = 0.4 KF_TARIK_REHAB = 1 RAMBAH_M = 10000 RUSAK_M = 20000 INVPERT_NEG(t) = INVPERT_NEG(t - dt) + (LAJUINVPERT_NG) * dt INIT INVPERT_NEG = 1934.99 LAJUINVPERT_NG = JM_EROSI_PERT*EROSIPERT_MG+LIMPERT_LAUT*LIM_PERT_M INV_PERTPOSF(t) = INV_PERTPOSF(t - dt) + (LAJU_INVPERT_PF) * dt INIT INV_PERTPOSF = 68635238400 LAJU_INVPERT_PF = LJ_LHNPERT_BIALOK_B*INV_PERT_M JM_EROSI_PERT(t) = JM_EROSI_PERT(t - dt) + (LJ_EROSIPERT EROSI_PERT_KRG) * dt INIT JM_EROSI_PERT = 1.27 LJ_EROSIPERT = LHNPERT_BUKA*KF_EROSI_PERT EROSI_PERT_KRG = LHNPERT_BKBGN*KF_EROSI_PERT JUM_LIMPERT(t) = JUM_LIMPERT(t - dt) + (LAJU_LIMPERT - LAJU_DIBUANG) * dt INIT JUM_LIMPERT = 0 LAJU_LIMPERT = LJ_LHNPERT_BIALOK_B*KF_LIMPERT LAJU_DIBUANG = JUM_LIMPERT*KFPERT_LAUT LHNPERT_ASLI_NB(t) = LHNPERT_ASLI_NB(t - dt) + (LAJUPERT_ASLI LHNPERT_ASBGN) * dt INIT LHNPERT_ASLI_NB = 370.962*10000 LAJUPERT_ASLI = LHNPERT_NBANG*KFPERT_ASLI LHNPERT_ASBGN = LHNPERT_ASLI_NB*KF_PER_ASBGN LHNPERT_BUKA(t) = LHNPERT_BUKA(t - dt) + (LAJUPERT_BUKA LHNPERT_BKBGN) * dt INIT LHNPERT_BUKA = 41.218*10000 LAJUPERT_BUKA = LHNPERT_NBANG*KFPERT_BK LHNPERT_BKBGN = LHNPERT_BUKA*KF_PER_BKBGN LHNPERT_NBANG(t) = LHNPERT_NBANG(t - dt) + (LHNPERT_DIALOK_NB LAJUPERT_ASLI - LAJUPERT_BUKA) * dt INIT LHNPERT_NBANG = 0 LHNPERT_DIALOK_NB = LJ_PERT_DIALOK-LJ_LHNPERT_BIALOK_B LAJUPERT_ASLI = LHNPERT_NBANG*KFPERT_ASLI
L 2- g
LAJUPERT_BUKA = LHNPERT_NBANG*KFPERT_BK LHN_PERT_BANG(t) = LHN_PERT_BANG(t - dt) + (LJ_LHNPERT_BIALOK_B) * dt INIT LHN_PERT_BANG = 176.64*10000 LJ_LHNPERT_BIALOK_B = LJ_PERT_DIALOK*KFPERT_DBANG LHN_PERT_BRBH(t) = LHN_PERT_BRBH(t - dt) + (LJPERT_BRBH LJPER_DIALOK) * dt INIT LHN_PERT_BRBH = 0 LJPERT_BRBH = LHNPERT_ASBGN+LHNPERT_BKBGN LJPER_DIALOK = LHN_PERT_BRBH*KF_PER_DIALOK LH_PERTANIAN(t) = LH_PERTANIAN(t - dt) + (- LJ_PERT_DIALOK) * dt INIT LH_PERTANIAN = 1411.51*10000-588.82*10000 LJ_PERT_DIALOK = LH_PERT_DIALOK*KF_PERT_DIALOK LH_PERT_DIALOK(t) = LH_PERT_DIALOK(t - dt) + (LJ_PERT_DIALOK) * dt INIT LH_PERT_DIALOK = 582.82*10000 LJ_PERT_DIALOK = LH_PERT_DIALOK*KF_PERT_DIALOK LIMPERT_LAUT(t) = LIMPERT_LAUT(t - dt) + (LAJU_DIBUANG) * dt INIT LIMPERT_LAUT = 176.64*10000*0.02 LAJU_DIBUANG = JUM_LIMPERT*KFPERT_LAUT TOT_INVPERT(t) = TOT_INVPERT(t - dt) + (LJINV_PERT) * dt INIT TOT_INVPERT = 68635238400 LJINV_PERT = LAJU_INVPERT_PF-LAJUINVPERT_NG EROSIPERT_MG = 15236109/10000 INV_PERT_M = 38856 KFPERT_ASLI = .9 KFPERT_BK = .1 KFPERT_DBANG = 0.8 KFPERT_LAUT = 1 KF_EROSI_PERT = .127 KF_LIMPERT = 0.02 KF_PERT_DIALOK = 0.02 KF_PER_ASBGN = 0.2 KF_PER_BKBGN = 0.1 KF_PER_DIALOK = 1 LIM_PERT_M = 0 ABRASI(t) = ABRASI(t - dt) + (LAJU_ABRASI_PR) * dt INIT ABRASI = 1813.03*0.2*10000*.05 LAJU_ABRASI_PR = LAJU_REKLAM_PR*KF_ABRASI_PR INVPARI_NEG(t) = INVPARI_NEG(t - dt) + (LJINV_PR_NEG) * dt INIT INVPARI_NEG = 0 LJINV_PR_NEG = ABRASI*ABRASI_M3+JUMEROSI_PARI*EROSIPR_MG+LIMPAR_DIOLAH*LIM_PR_OLAH_L INV_PARI_POSF(t) = INV_PARI_POSF(t - dt) + (LAJU_INVPAR_PF) * dt INIT INV_PARI_POSF = 9494239810100 LAJU_INVPAR_PF = LJ_PAR_DIBANG*INV_PAR_M JUMEROSI_PARI(t) = JUMEROSI_PARI(t - dt) + (LJ_EROSI_PR EROSI_PAR_KRG) * dt INIT JUMEROSI_PARI = 0 LJ_EROSI_PR = LHNPR_BUKA_NB*KF_EROSI_PR EROSI_PAR_KRG = LJPAR_BKBGN*KF_EROSI_PR LHNPR_BUKA_NB(t) = LHNPR_BUKA_NB(t - dt) + (LAJU_PR_BUKA LJPAR_BKBGN) * dt
L 2- h
INIT LHNPR_BUKA_NB = 612.46*10000 LAJU_PR_BUKA = LHN_PARI_NDIBANG*KF_PR_BUKA LJPAR_BKBGN = LHNPR_BUKA_NB*KFPAR_BKBGN LHN_PARI_BANG(t) = LHN_PARI_BANG(t - dt) + (LJ_PAR_DIBANG) * dt INIT LHN_PARI_BANG = 1813.03*10000 LJ_PAR_DIBANG = LJ_PAR_DIALOK*KF_PAR_DIBANG LHN_PARI_NDIBANG(t) = LHN_PARI_NDIBANG(t - dt) + (LHNPAR_DIALOK_NB LJ_PAR_ASLI - LAJU_PR_BUKA) * dt INIT LHN_PARI_NDIBANG = 0 LHNPAR_DIALOK_NB = LJ_PAR_DIALOK-LJ_PAR_DIBANG LJ_PAR_ASLI = LHN_PARI_NDIBANG*KF_PAR_ASLI LAJU_PR_BUKA = LHN_PARI_NDIBANG*KF_PR_BUKA LHN_PARW(t) = LHN_PARW(t - dt) + (LJ_PAR_BGN - LJ_PAR_DIALOK) * dt INIT LHN_PARW = 203.160*10000 LJ_PAR_BGN = LJPAR_ASBGN+LJPAR_BKBGN+PERBPARI_DIALOK+LJPER_DIALOK*KFPERT_PARI LJ_PAR_DIALOK = LH_PAR_DIALOK*KFPAR_DIALOK LHN_PAR_ASLI(t) = LHN_PAR_ASLI(t - dt) + (LJ_PAR_ASLI - LJPAR_ASBGN) * dt INIT LHN_PAR_ASLI = 779.503*10000 LJ_PAR_ASLI = LHN_PARI_NDIBANG*KF_PAR_ASLI LJPAR_ASBGN = LHN_PAR_ASLI*KFPAR_ASBGN LH_PAR_DIALOK(t) = LH_PAR_DIALOK(t - dt) + (LJ_PAR_DIALOK) * dt INIT LH_PAR_DIALOK = 3093.27*10000 LJ_PAR_DIALOK = LH_PAR_DIALOK*KFPAR_DIALOK LIMCAIR_PARI(t) = LIMCAIR_PARI(t - dt) + (LAJU_LIM_PARI) * dt INIT LIMCAIR_PARI = 1813.03*10000*8.3/100 LAJU_LIM_PARI = LJ_PAR_DIBANG*KF_LIMCAIR_PAR LIMPAR_DIOLAH(t) = LIMPAR_DIOLAH(t - dt) + (LJ_LIMPR_OLH) * dt INIT LIMPAR_DIOLAH = 1813.03*10000*8.3/100*0.9 LJ_LIMPR_OLH = LAJU_LIM_PARI*KF_LIM_PR_DIOLAH REKLAMASI(t) = REKLAMASI(t - dt) + (LAJU_REKLAM_PR) * dt INIT REKLAMASI = 351.16*10000*.6 LAJU_REKLAM_PR = LJ_PAR_DIBANG*KF_PR_REKLAM TOT_INVPARI(t) = TOT_INVPARI(t - dt) + (LJ_INV_PARI) * dt INIT TOT_INVPARI = 9494239810100 LJ_INV_PARI = LAJU_INVPAR_PF-LJINV_PR_NEG ABRASI_M3 = 150000 EROSIPR_MG = 5000 INV_PAR_M = 5000000 KFPAR_ASBGN = 0.01 KFPAR_BKBGN = 0.1 KFPAR_DIALOK = 0.02 KFPERT_PARI = 0.1 KF_ABRASI_PR = .5/100 KF_EROSI_PR = .127 KF_LIMCAIR_PAR = 8.3/100 KF_LIM_PR_DIOLAH = .9 KF_PAR_ASLI = 0.2 KF_PAR_DIBANG = 0.8 KF_PR_BUKA = 0.44 KF_PR_REKLAM = 0.2
L 2- i
LIM_PR_OLAH_L = 10000 INV_PEM(t) = INV_PEM(t - dt) + (LJINVPEM) * dt INIT INV_PEM = 1578208.610*5000 LJINVPEM = INV_PEM*KF_INV LIM_B3_BATAM(t) = LIM_B3_BATAM(t - dt) + (LAJULIM_B3 - LJ_PENGIRIMAN) * dt INIT LIM_B3_BATAM = 10000 LAJULIM_B3 = LIM_B3_BATAM*KF_LIM_B3 LJ_PENGIRIMAN = LIM_B3_BATAM*KF_DIKIRIM LIM_PDT_BATAM(t) = LIM_PDT_BATAM(t - dt) + (LAJU_LIMPDT - LJ_DIOLAH) * dt INIT LIM_PDT_BATAM = 3000 LAJU_LIMPDT = LIM_PDT_BATAM*KF_LIMPDT LJ_DIOLAH = LIM_PDT_BATAM*KF_DIOLAH TOT_INV_BATAM(t) = TOT_INV_BATAM(t - dt) + (LAJU_INV_NETRAL LAJU_INV_NEGATIF) * dt INIT TOT_INV_BATAM = 10000000000 LAJU_INV_NETRAL = LAJU_INVIND_PF+LAJU_INVJS_PF+LAJU_INVPAR_PF+LAJU_INVPERT_PF+LJINVPEM+ LJ_INV_POSRMH LAJU_INV_NEGATIF = LJ_DIOLAH*OLAH_M3+LJ_PENGIRIMAN*KIRIM_M3+LAJUINVJS_NEG+LAJUINVPERT_NG +LAJU_INVHJ_NEG+LAJU_INVIND_NEG+LAJU_INVIND_NEG+LJINV_PR_NEG+LJ_INV_N EGRMH KF_DIKIRIM = 1 KF_DIOLAH = 1 KF_INV = 0.2 KF_LIMPDT = 0.05 KF_LIM_B3 = 0.1 KIRIM_M3 = 10000 OLAH_M3 = 5000 DANA_CAD(t) = DANA_CAD(t - dt) + (LJ_CAD) * dt INIT DANA_CAD = 0 LJ_CAD = SUBSIDI_PDDK*KF_CADG+Noname_8*5000000 JUM_KEL_ASLI_MSK(t) = JUM_KEL_ASLI_MSK(t - dt) + (LJ_PDKASLI_MSK KRG_PDK_ASLI_MSK) * dt INIT JUM_KEL_ASLI_MSK = 39818*0.6/5 LJ_PDKASLI_MSK = LJ_PDDK_MISKIN*Noname_7/5 KRG_PDK_ASLI_MSK = SUBSIDI_PDDK*KF_SUB_ASL/KF_ORGASLI JUM_KEL_MISKIN(t) = JUM_KEL_MISKIN(t - dt) + (LJ_PDDK_MISKIN KRG_PDDK_MISKIN) * dt INIT JUM_KEL_MISKIN = 0 LJ_PDDK_MISKIN = PERTUM_PDDK*KF_MISKIN/5 KRG_PDDK_MISKIN = KRG_PDK_ASLI_MSK+KRG__PDTG_MSK JUM_KEL_PDTG_MSK(t) = JUM_KEL_PDTG_MSK(t - dt) + (LJ_PDTG_MSK KRG__PDTG_MSK) * dt INIT JUM_KEL_PDTG_MSK = 39818*0.4 LJ_PDTG_MSK = LJ_PDDK_MISKIN*KF_PDDK_PDTG KRG__PDTG_MSK = SUBSIDI_PDDK*KF_SUB_PDTG/KF_ORGPDTG JUM_PDDK_SKT(t) = JUM_PDDK_SKT(t - dt) + (LJ_SAKIT - LJ_PDK_SEHAT) * dt INIT JUM_PDDK_SKT = 7964 LJ_SAKIT = JUM_PENDUDUK*KF_SAKIT
L 2- j
LJ_PDK_SEHAT = SUBSIDI_PDDK*KF_SUBSIDI_SHT/KF_ORGSHT JUM_WJB_SEKOLAH(t) = JUM_WJB_SEKOLAH(t - dt) + (LAJU_WJB_SEK LJ_SUB_SEK) * dt INIT JUM_WJB_SEKOLAH = 14532 LAJU_WJB_SEK = JUM_PENDUDUK*KF_WJB_SEK LJ_SUB_SEK = SUBSIDI_PDDK*KF_SUBSIDI_SEK/KF_ORGSEK KAS_NEG(t) = KAS_NEG(t - dt) + (LJ_SETOR - SUBSIDI_PDDK) * dt INIT KAS_NEG = 0 LJ_SETOR = NILAIPJK_THN*KF_SETOR SUBSIDI_PDDK = LJ_SETOR*KF_SUBSIDI NILAIPJK_THN(t) = NILAIPJK_THN(t - dt) + (LJ_PAJAK - LJ_SETOR) * dt INIT NILAIPJK_THN = 304000000000 LJ_PAJAK = NILAIPJK_THN+NILAIPJK_THN*PERTUM_PJK LJ_SETOR = NILAIPJK_THN*KF_SETOR KF_CADG = 0.05 KF_MISKIN = 0.137 KF_ORGASLI = 18000000 KF_ORGPDTG = 12000000 KF_ORGSEK = 900000 KF_ORGSHT = 900000 KF_PDDK_PDTG = 0.4 KF_SAKIT = 0.137*0.2 KF_SETOR = 1 KF_SUBSIDI = 0.025 KF_SUBSIDI_SEK = 0.4 KF_SUBSIDI_SHT = 0.2 KF_SUB_ASL = 0.25 KF_SUB_PDTG = 0.2 KF_WJB_SEK = 0.1 Noname_7 = 0.6 Noname_8 = KRG__PDTG_MSK-LJ_PDTG_MSK PERTUM_PJK = 0.488
L3-a
Lampiran 3. Daftar Istilah Input Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ABRASI M3
: Nilai kerugian yg terjadi akibat Abrasi per M3 Reklamasi.
BONGKAR M.
: Rata-rata biaya yg diperlukan untuk melakukan pembongkaran/ penertiban satu buah rumah liar (RULI).
DIBONGKAR
: Adalah rata-rata prosentase kemampuan membongkar ruli setiap tahun dibanding jumlah ruli pd tahun yg sama.
DIBUANG L.
: Dampak kerugian yg diakibatkan pembuangan limbah Jasa untuk setiap Liter limbah.
DIBUANG LSNG.
: Laju jumlah limbah cair Sektor Jasa dalam Liter yg dibuang langsung setiap tahunnya.
DIOLAH L.
: Biaya yg diperlukan untuk mengolah limbah cair per Liter.
EROSI JASA
: Jumlah Erosi pada tahun yg ditentukan (n)
EROSI JS.Kg.
: Biaya yg harus dikeluarkan untuk menetralisir erosi yg terjadi untuk setiap kilogram erosi.
EROSI Kg.
: Biaya yg harus dikeluarkan untuk menetralisir erosi yg terjadi untuk setiap Kg erosi.
EROSI PERT.Kg
: Biaya yg harus dikeluarkan untuk menetralisir erosi yg terjadi untuk setiap Kg. erosi.
EROSI PR.KG.
: Biaya yg harus dikeluarkan untuk menetralisir erosi yg terjadi untuk setiap Kg. erosi.
EROSI RMH. M.
: Rata-rata nilai dampak erosi per m2 Lahan Perumahan.
EROSI RMH.
: Jumlah erosi yg dihasilkan dari Lahan Perumahan yang dibuka dan belum dibangun.
EROSI RMH.M.2
: Erosi rata-rata dari Lahan Perumahan yg dibuka per meter persegi per tahun.
HARGA T.1
: Harga rata-rata untuk rumah dan tanah tipe besar.
HARGA T.2
: Harga rata-rata untuk rumah dan Tanah tipe sedang.
HARGA T.3
: Harga rata-rata untuk rumah dan tanah untuk tipe kecil.
HJ.IND.
: Jumlah lahan yg berubah dari sektor hijau menjadi sektor industri.
HJ.JASA
: Jumlah lahan yg berubah dari Sektor Hijau menjadi Sektor Jasa.
HJ.PARW.
: Jumlah lahan yg berubah dari Sektor Hijau menjadi Sektor Pariwisata.
HJ.PERT.
: Jumlah lahan yg berubah dari Sektor Hijau menjadi Sektor Pertanian.
HJ.RMH.
: Jumlah lahan yg berubah dari Sektor Hijau menjadi Sektor Perumahan.
INV.IND.M.
: Nilai Investasi Lahan Industri per Meter Persegi
INV.IND.POSTF.
: Investasi Positif Sektor Industri.
INV.JASA.POSF.
: Investasi Positif Sektor Jasa.
INV.JS.M.
: Nilai Investasi Lahan Sektor Jasa per Meter Persegi
L3-b
INV.NEG.RM.
: Total Investasi Negatif dari Lahan Perumahan pertahun
INV.PAR.M.
: Nilai Investasi Lahan Sektor Pariwisata per Meter Persegi.
INV.PARI POSF.
: Investasi Positif Sektor Pariwisata.
INV.PEM.
: Investasi Pemerintah yg telah ditanamkan pada tahun tertentu (diasumsikan sebagai investasi netral).
INV.PERT.M.
: Nilai Investasi Lahan Sektor Pertanian per Meter Persegi.
INV.POS.RMH.
: Jumlah total investasi positif yg didapat dari sektor perumahan.
JM.EROSI PERT.
: Jumlah Erosi Sektor Pertanian pada tahun yg ditentukan (n)
JUM.EROSI IND
: Jumlah Erosi pada tahun yg ditentukan (n)
JUM.EROSI PARI.
: Jumlah Erosi pada tahun yg ditentukan (n).
JUM.LIMB.IND.
: Jumlah limbah cair pada lahan Industri yg dibangun
JUM.LIMB.JS.
: Jumlah limbah cair pada lahan Jasa yg dibangun.
JUM.LIMB.PERT.
: Jumlah limbah cair pada Lahan Pertanian yg dibangun.
JUM.PDDK
: Jumlah Penduduk
JUM.RULI.
: Jumlah RULI pd tahun yg ditentukan ditambah penambahan RULI kumulatif.
KEBUT.LHN.RMH.
: Kebutuhan Lahan untuk perumahan per tahun (kebutuhan lahan diambil dari sisa lahan perumbahan ditambah dari perubamah status lahan yg sudah dialokasikan tetapi belum dibangun.
KELAHIRAN
: Kelahiran rata-rata Prosentase Pertambahan Penduduk dari kalahiran dibanding jumlah penduduk pada tahun yang sama pertahun.
KELUAR
: Penduduk keluar dari P.Batam adalah rata-rata prosentase pengurangan penduduk akibat pergerakan penduduk keluar dari P.Batam, dibanding jumlah penduduk pd tahun yg sama pertahun.
KF INV.PEM.
: Koefisien rata-rata prosentase pertumbuhan investasi yg ditanamkan oleh Pemerintah pertahun dibanding investasi sebelumnya.
KF. DIKIRIM
: Koefisien prosentase jumlah limbah B3 yg dikirim keluar Pulau Batam.
KF. LIMB.LT
: Prosentase Limbah cair yg dibuang ke laut.
KF. PERBH
: Koefisien rata-rata prosentase perubahan lahan sktor hijau menjadi peruntukan lain setiap tahunnya.
KF. RUMAH.
: Kebutuhan perumahan untuk setiap penduduk.
KF.ABRASI PR.
: Koefisien abrasi yg terjadi bila dilakukan pengurukan 1M3.
KF.DIBANG.
: Koefisien Lahan Dibangun = Prosentase Rata-rata Pertumbuhan lahan dialokasikan & dibangun setiap tahunnya.
KF.DIBANG.
: Koefisien Lahan Dibangun = Prosentase Rata-rata Pertumbuhan lahan dialokasikan & dibangun setiap tahunnya.
KF.EROSI IND.
: Koefisien jumlah erosi yg dihasilkan permeter persegi lahan industri akibat pembukaan lahan setiap tahunnya.
L3-c
KF.EROSI JS.M.
: Koefisien jumlah erosi yg dihasilkan permeter persegi Lahan Jasa akibat pembukaan lahan setiap tahunnya.
KF.EROSI PERT.
: Koefisien jumlah erosi yg dihasilkan permeter persegi lahan Pertanian akibat pembukaan lahan setiap tahunnya.
KF.EROSI PR.
: Koefisien jumlah erosi yg dihasilkan permeter persegi lahan Pariwisata akibat pembukaan lahan setiap tahunnya.
KF.HJ.IND.DIALOK.
: Koefisien rata-rata prosentase pengalokasian sektor industri yg berasal dr sektor hijau pertahun.
KF.HJ.JASA DIALOK.
: Koefisien rata-rata prosentase pengalokasian Sektor Jasa yg berasal dr Sektor Hijau pertahun.
KF.HJ.PARW.DIALOK. : Koefisien rata-rata prosentase pengalokasian Pariwisata yg berasal dr Sektor Hijau pertahun.
Sektor
KF.HJ.PERT.DIALOK. : Koefisien rata-rata prosentase pengalokasian Sektor Pertanian yg berasal dr Sektor Hijau pertahun. KF.HJ.RMH.DIALOK.
: Koefisien rata-rata prosentase pengalokasian Perumahan yg berasal dr Sektor Hijau pertahun.
Sektor
KF.IND. ASLI
: Koefisien Kondisi Asli dari lahan Industri yg dialokasikan & tidak dibangun.
KF.IND. BUKA
: Koefisien pembukaan lahan industri yg dialokasikan & tidak dibangun = prosentase rata-rata pembukaan lahan Industri yg tidak dibangun setiap tahunnya
KF.IND.DIBANG.
: Koefisien Lahan Dibangun = Prosentase Rata-rata Pertumbuhan lahan dialokasikan & dibangun setiap tahunnya.
KF.IND.N. BANG.
: Koefisien Lahan Industri yang dialokasikan tetapi tidak dibangun = prosentase rata-rata pengalokasian lahan industri yg tidak dibangun setiap tahunnya
KF.JS. ASLI
: Koefisien Kondisi Asli dari Lahan Jasa yg dialokasikan & tidak dibangun.
KF.JS.BUKA
: Koefisien pembukaan Lahan Jasa yg dialokasikan & tidak dibangun = prosentase rata-rata pembukaan Lahan Jasa yg tidak dibangun setiap tahunnya
KF.JS.DIBUANG
: Prosentase Limbah cair yg dibuang langsung.
KF.JS.DIOLAH
: Koefisien limbah cair yg diolah = prosentase rata-rata perbandingan jumlah limbah yg diolah dibanding jumlah limbah cair yg diproduksi pertahun.
KF.JS.N.BANG.
: Koefisien Lahan Jasa yang dialokasikan tetapi tidak dibangun = prosentase rata-rata pengalokasian Lahan Jasa yg tidak dibangun setiap tahunnya.
KF.LHN.RMH.BK.
: Koefisien rata-rata pembukaan Lahan Perumahan yg telah dialokasikan belum dibangun pertahun.
KF.LHN.RULI
: Kebutuhan lahan untuk satu bangunan RULI
KF.LHN.T. 1
: Kebutuhan rata-rata Lahan untuk Rumah Tipe 1 (besar)
KF.LHN.T.3
: Kebutuhan rata-rata lahan untuk Rumah Tipe 3 (sedang).
KF.LHN.T.6
: Kebutuhan rata-rata lahan untuk Rumah Tipe 6 (kecil). Kebijakan 1 : 3 : 6 sesuai dng SK Bersama Otorita Batam & Menpan tgl. …. bln….th…. diputuskan bahwa setiap Developer yg menerima lahan harus membangun rumah dengan
L3-d
komposisi berbanding membangun tipe besar 1 bagian, tipe menengah 3 bagian dan tipe kecil 6 bagian. KF.LIM. B3 BATAM.
: Koefisien prosentase rata-rata pertambahan produksi limbah B3 di P. Batam pertahun.
KF.LIM.CAIR IND.M.
: Koefisien limbah cair yg dihasilkan oleh industri yg telah dibangun (beroperasi). Prosentase rata-rata jumlah Liter Limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi lahan Industri setiap tahunnya.
KF.LIM.CAIR M.
: Koefisien limbah cair yg dihasilkan oleh Sektor Jasa yg telah dibangun (beroperasi). Prosentase rata-rata jumlah Liter Limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi Lahan Sektor Jasa setiap tahunnya.
KF.LIM.CAIR PAR.
: Koefisien limbah cair yg dihasilkan oleh Sektor Pariwisata yg telah dibangun (beroperasi). Prosentase rata-rata jumlah Liter Limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi Lahan Sektor Pariwisata setiap tahunnya.
KF.LIM.PDT.
: Koefisien rata-rata prosentase produksi limbah padat.
KF.LIM.PERT M.
: Koefisien limbah cair yg dihasilkan oleh Pertanian yg telah beroperasi. Prosentase rata-rata jumlah Liter Limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegiLahan Pertanian setiap tahunnya.
KF.LIM.PR.DIOLAH
: Koefisien limbah cair yg diolah = prosentase rata-rata perbandingan jumlah limbah yg diolah dibanding jumlah limbah cair yg diproduksi pertahun pada Sektor Pariwisata.
KF.LIMB.IND.OLAH
: Koefisien limbah cair yg diolah = prosentase rata-rata perbandingan jumlah limbah yg diolah dibanding jumlah limbah cair yg diproduksi
KF.PAR. ASLI
: Koefisien prosentase Kondisi Asli dari Lahan Pariwisata yg dialokasikan & tidak dibangun.
KF.PAR.NB.
: Koefisien Lahan PR. yang dialokasikan tetapi tidak dibangun = prosentase rata-rata pengalokasian Lahan Pariwisata yg tidak dibangun setiap tahunnya.
KF.PDT.DIOLAH
: Koefisien prosentase rata-rata dari limbah padat yg dapat diolah pertahunnya di P. Batam.
KF.PENARIKAN
: Koefisien rata-rata prosentase penarikan Lahan dari perambah unt. Dijadikan Hijau Mutlak kembali.
KF.PERB.
: Koefisien rata-rata prosentase perbaikan dari lahan yang rusak pertahun.
KF.PERB.REHAB.
: Koefisien rata-rata prosentase rehabilitasi dari perbaikan lahan yag dapat berfungsi kembali sebagai Lahan Hijau Mutlak.
KF.PERBH.IND.
: Koefisien rata-rata perubahan lahan sektor hijau menjadi Lhn.Sektor Industri pertahun.
KF.PERBH.JASA.
: Koefisien rata-rata perubahan lahan Sektor Hijau menjadi Lhn.Sektor Jasa pertahun.
KF.PERBH.PARW.
: Koefisien rata-rata perubahan lahan Sektor Hijau menjadi Lhn.Sektor Pariwisata pertahun.
KF.PERBH.PERT.
: Koefisien rata-rata perubahan Lahan Sektor Hijau menjadi Lhn.Sektor Pertanian pertahun.
L3-e
KF.PERBH.RMH.
: Koefisien rata-rata perubahan Lahan Sektor Hijau menjadi Lhn.Sektor Perumahan pertahun.
KF.PERT. ASLI
: Koefisien Kondisi Asli dari lahan Pertanian yg dialokasikan & tidak dibangun.
KF.PERT.AS.BRBH.
: Koefisien prosentase perubahan Lahan Pertanian dalam kondisi asli menjadi peruntukan lain pertahun.
KF.PERT.AS.IND.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian dalam kondisi asli menjadi Lahan Industri pertahun.
KF.PERT.AS.RMH.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian dalam kondisi asli menjadi Lahan Perumahan pertahun.
KF.PERT.BK.
: Koefisien pembukaan Lahan Pertanian yg dialokasikan & tidak dibangun = prosentase rata-rata pembukaan lahan Pertanian yg tidak dibangun setiap tahunnya.
KF.PERT.BK.BRBH.
: Koefisien prosentase perubahan Lahan Pertanian yg dibuka menjadi peruntukan lain pertahun.
KF.PERT.BK.IND.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian dibuka menjadi Lahan Industri pertahun.
KF.PERT.BK.RMH.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian terbuka menjadi Lahan Perumahan pertahun.
KF.PERT.DIBANG.
: Koefisien Lahan Dibangun = Prosentase Rata-rata Pertumbuhan lahan dialokasikan & dibangun setiap tahunnya.
KF.PERT.DIBUANG
: Prosentase Limbah cair yg dibuang langsung.
KF.PERT.IND.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian yg sudah dimanfaatkan menjadi Lahan Industri pertahun.
KF.PERT.N BANG.
: Koefisien Lahan Pertanian yg dialokasikan tetapi tidak dibangun = prosentase rata-rata pengalokasian lahan Pertanian yg tidak dibangun setiap tahunnya.
KF.PERT.RMH.
: Koefisien prosentase rata-rata perubahan Lahan Pertanian yg sudah dimanfaatkan menjadi Lahan Perumahan.
KF.PR.BUKA
: Koefisien pembukaan Lahan Pariwisata yang dialokasikan & tidak dibangun = prosentase rata-rata pembukaan lahan Pariwisata yg tidak dibangun setiap tahunnya.
KF.PR.REKLAM.
: Koefisien Lahan Pariwisata yang direklamasi.
KF.RAMBAH
: Koefisien rata-rata prosentase pertambahan Lahan Hijau Mutlak setiap tahunnya.
KF.RMH.BGN.
: Koefisien rata-rata pembangunan rumah diatas lahan perumahan yg sudah dialokasikan & belum dibangun pertahun.
KF.RMH.BK.BGN.
: Koefisien rata-rata pembangunan Perumahan yg dibuka pertahun.
KF.RUBAH
: Koefisien rata-rata prosentase perubahan daerah Sektor Hijau akibat dirusak dan dirambah setiap tahunnya.
KF.RULI.TUMB.
: Prosentase rata-rata pertumbuhan rumah liar pertahun dibanding dengan jumlah rumah pada tahun yg sama.
KF.RUSAK
: Koefisien rata-rata prosentase pengrusakan Lahan Hijau Mutlak setiap tahunnya.
rumah
pada
Lahan
L3-f
KF.TARIK.REHAB.
: Koefisien rata-rata prosentase rehabilitasi penarikan lahan untuk dijadikan Hijau Mutlak kembali pertahun (Pembebasan & Perbaikan Lahan).
L. PDT.DIOLAH
: Laju limbah padat di P. Batam yg dapat diolah pertahun.
LAJU BGN.RMH.
: Laju membangun rumah dari LHN.RMH.DIALOK.BL.BGN. per tahun.
LAJU EROSI IND.
: Laju peningkatan jumlah erosi pada lahan Industri yg terbuka.
LAJU EROSI JS.
: Laju peningkatan jumlah erosi pada Lahan Jasa yg terbuka.
LAJU EROSI PR.
: Laju peningkatan jumlah erosi pada Lahan Pariwisata yg terbuka.
LAJU ERS. RMH.
: Laju erosi dari Lahan Perumahan yang dibuka dan belum dibangun pertahun.
LAJU HJ.RUSAK
: Laju pengrusakan Lahan Sektor Hijau setiap tahunnya.
LAJU IND.ASLI
: Laju Lahan Industri yg dialokasikan, tidak dibangun & masih dalam bentuk aslinya.
LAJU INV.HJ.NEG.
: Laju Investasi/biaya yg diperlukan untuk membebaskan dan memperbaiki Lahan Hijau Mutlak pertahun.
LAJU INV.JS.PF.
: Laju Investasi Positif pada Lahan Jasa setiap tahunnya.
LAJU INV.NEG.ABRASI PR. : Laju Investasi akibat terjadinya Abrasi. LAJU INV.NETRAL LAJU INV.PAR.PF.
: Laju Investasi Positif pada Lahan Pariwisata setiap tahunnya.
LAJU INV.PERT.PF.
: Laju Investasi Positif pada lahan Pertanian setiap tahunnya. Investasi Positif Sektor Pertanian.
LAJU INV.PF.
: Laju Investasi Positif pada lahan Industri setiap tahunnya.
LAJU INV.POSITIF LAJU INV.RMH
: Laju Investasi di sektor perumbahan pertahun.
LAJU JS.ASLI
: Laju Lahan Jasa yg dialokasikan, tidak dibangun & masih dalam bentuk aslinya pertahun.
LAJU JS.BUKA
: Laju pembukaan Lahan Jasa yg sudah dialokasikan & tidak dibangun pertahun.
LAJU LIM. B3
: Laju produksi limbah B3 pertahun di P. Batam.
LAJU LIM.PDT.
: Laju produksi limbah padat di P. Batam pertahun
LAJU LIMB.IND.
: Laju limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi lahan Industri setiap tahunnya
LAJU LIMB.JS.
: Laju limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi lahan Jasa setiap tahunnya.
LAJU LIMB.PARI.
: Laju limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi lahan Pariwisata setiap tahunnya.
LAJU LIMB.PERT.
: Laju limbah cair yg dihasilkan oleh tiap meter persegi Lahan Pertanian setiap tahunnya
LAJU PERT. BUKA
: Laju pembukaan lahan Pertanian yg sudah dialokasikan & tidak dibangun.
LAJU PERT.ASLI
: Laju Lahan Pertanian yg dialokasikan, tidak dibangun & masih dalam bentuk aslinya.
L3-g
LAJU PR.BUKA
: Laju pembukaan Lahan Pariwisata yg sudah dialokasikan & tidak dibangun pertahun.
LAJU REHAB
: Laju penambahan luas lahan untuk Hijau Mutlak pertahun dari penarikan dan pebaikan lahan.
LAJU REKLAM.PR.
: Laju Reklamasi Lahan Pariwisata pertahun.
LAJU.ABRASI PR.
: Laju Abrasi yg terjadi setiap tahun akibat reklamasi yg dilakukan di Lahan Pariwisata.
LAJU.PERB.IND.
: Laju perubahan sektor hijau menjadi sektor industri setiap tahunnya.
LAJU.PERB.JASA
: Laju perubahan Sektor Hijau menjadi Sektor Jasa setiap tahunnya.
LAJU.PERB.PARW.
: Laju perubahan Sektor Hijau menjadi Sektor Pariwisata setiap tahunnya.
LAJU.PERB.PERT.
: Laju perubahan Sektor Hijau menjadi Sektor Pertanian setiap tahunnya.
LAJU.PERB.RMH.
: Laju perubahan Sektor Hijau menjadi Sektor Perumahan setiap tahunnya.
LHN HIJAU
: Luas lahan untuk kebutuhan/ peruntukan sektor hijau yg ditetapkan dlm MP.
LHN. IND.
: Ketersediaan Lahan sesuai Master Plan
LHN. JASA
: Ketersediaan Lahan sesuai Master Plan.
LHN. PARIWISATA
: Ketersediaan Lahan sesuai Master Plan.
LHN. PERTANIAN
: Ketersediaan Lahan sesuai Master Plan.
LHN.HJ.MUTLAK
: Lahan Hijau yg telah ditetapkan dlm MP mutlak harus ada dan tidak boleh berubah/ dihilangkan, mis.: daerah tangkapan air untuk waduk, hutan lindung, lahan kritis/curam, dll.
LHN.HJ.RAMBAH
: Jumlah luas Lahan Hijau yg dirambah.
LHN.HJ.RUSAK
: Jumlah/luas lahan Hijau yang rusak.
LHN.IND. DIALOK.
: Laju Pertumbuhan Lahan Industri yang dialokasikan dan dibangun setiap tahunnya.
LHN.IND.ASLI
: Jumlah Lahan Industri yg sudah dialokasikan, tidak dibangun, masih dalam kondisi asli.
LHN.IND.BUKA
: Jumlah lahan Industri yg sudah dialokasikan tidak dibangun, dibuka.
LHN.IND.N.BANG.
: Jumlah lahan industri yg dialokasikan & tidak dibangun.
LHN.JASA DIALOK.
: Laju Pertumbuhan Lahan Jasa yang dialokasikan dan dibangun setiap tahunnya.
LHN.JS.ASLI
: Jumlah Lahan Jasa yg sudah dialokasikan, tidak dibangun, masih dalam kondisi asli.
LHN.JS.BUKA
: Jumlah Lahan Jasa yg sudah dialokasikan tidak dibangun, dibuka.
LHN.JS.DIALOK.NB.
: Laju pengalokasian Lahan Jasa yg tidak dibangun setiap tahun.
LHN.JS.N.BANG.
: Jumlah Lahan Jasa yg dialokasikan & tidak dibangun.
L3-h
LHN.PAR. N.BANG.
: Jumlah Lahan Pariwisata yg dialokasikan & tidak dibangun.
LHN.PAR.DIALOK.NB. : Laju pengalokasian Lahan Pariwisata yg tidak dibangun setiap tahun. LHN.PARI DIALOK.
: Laju Pertumbuhan Lahan Pariwisata yg dialokasi-kan dan dibangun setiap tahunnya.
LHN.PERT.ASLI
: Jumlah Lahan Pertanian yg sudah dibangun, masih dalam kondisi asli.
LHN.PERT.BK.
: Jumlah lahan Pertanian yg sudah dialokasikan tidak dibangun, dibuka.
dialokasikan,
tidak
LHN.PERT.DIALOK.NB.: Laju pengalokasian Lahan Pertanian yg tidak dibangun setiap tahun. LHN.PERT.N.BANG.
: Jumlah Lahan Pertanian yg dialokasikan & tidak dibangun.
LHN.PR.ASLI
: Jumlah Lahan Pariwisata yg sudah dialokasikan, tidak dibangun, masih dalam kondisi asli.
LHN.PR.BUKA N.B.
: Jumlah Lahan Pariwisata yg sudah dialokasikan tidak dibangun, dibuka.
LHN.RMH.BUKA
: Total Lahan Perumahan yg telah dialokasikan & dibuka.
LHN.RMH.BUKA.DIBANG : Pembangunan rumah pd Lahan Perumahan yg telah dibuka setiap tahun. LHN.RMH.DIALOK.BL.BGN.: Jumlah lahan Perumbahan yg telah dialokasikan tetapi belum dibangun s/d Thn.1998. LIM.B3 BATAM.
: Jumlah Limbah B3 yg dihasilkan di P. Batam.
LIM.PDT.PBATAM.: LIM.PR.OLAH L.
: Biaya yg diperlukan untuk mengolah limbah cair per Liter pada Sektor Pariwisata.
LIMB LAUT L.
: Dampak kerugian yg diakibatkan pembuangan limbah kelaut untuk setiap Liter limbah.
LIMB.CAIR PARI.
: Jumlah limbah cair pada Lahan Pariwisata yg dibangun.
LIMB.JS.DIOLAH
: Laju jumlah limbah cair yg diolah dalam Liter setiap tahunnya.
LIMB.KELT.
: Laju jumlah limbah cair dalam Liter yg dibuang kelaut setiap tahunnya
LIMB.OLAH L.
: Biaya yg diperlukan untuk mengolah limbah cair per Liter.
LIMB.PERT.L.
: Dampak kerugian yg diakibatkan Pertanian untuk setiap Liter limbah.
LIMB.PR.DIOLAH
: Laju jumlah limbah cair yg diolah dalam Liter setiap tahunnya pada Sektor Pariwisata.
LING.RUSAK.RL.
: Rata-rata biaya yg diperlukan untuk memperbaiki lingkungan yg rusak akibat dr penyerobotan lahan oleh satu rumah RULI.
LJ. EROSI PERT.
: Laju peningkatan jumlah erosi pada lahan Pertanian yg terbuka.
LJ. INV. NEGATIF
: Laju Investasi Negatif akibat dampak pedan kerusakan lingkungan di P. Batam pertahun.
LJ. PENGIRIMAN
: Laju pengiriman limbah B3 keluar Batam pertahun.
pembuangan
limbah
L3-i
LJ.AS.BRBH.
: Laju perubahan Lahan Pertanian menjadi peruntukan lain pertahun.
LJ.BK.BRBH.
: Laju perubahan Lahan Pertanian menjadi peruntukan lain pertahun.
LJ.DIBUANG
: Laju jumlah limbah cair Sektor Pertanian dalam Liter yg dibuang langsung setiap tahunnya.
LJ.INV.IND.
: Laju Investasi Industri.
LJ.INV.JASA
: Laju Investasi Jasa.
LJ.INV.JS.NEG.
: Laju Investasi negatif yg diakibatkan Erosi pada Lahan Jasa yg sudah dialokasikan & terbuka.
LJ.INV.JS.NEG.
: Laju Investasi Negatif di Sektor Jasa.
LJ.INV.NEG.
: Laju Investasi Negatif.
LJ.INV.NEG. KELT.
: Laju Investasi negatif yg harus dikeluarkan untuk mengganti kerugian dampak pembuangan kelaut.
LJ.INV.NEG.BUANG
: Laju Investasi negatif yg harus dikeluarkan untuk mengganti kerugian dampak pembuangan langsung.
LJ.INV.NEG.EROSI IND. : Laju Investasi negatif yg diakibatkan Erosi pada lahan Industri yg sudah dialokasikan & terbuka LJ.INV.NEG.OLAH
: Laju Investasi Negatif yg harus dikeluarkan untuk mengolah limbah yg dihasilkan
LJ.INV.NEG.OLAH
: Laju Investasi Negatif yg harus dikeluarkan untuk mengolah limbah yg dihasilkan dr Sektor Jasa.
LJ.INV.NEG.OLAH
: Laju Investasi Negatif yg harus dikeluarkan untuk mengolah limbah yg dihasilkan dari Sektor Pariwisata.
LJ.INV.PARI.
: Laju Investasi di Sektor Pariwisata.
LJ.INV.PEM.
: Laju Investasi Pemerintah pertahun.
LJ.INV.PERT.
: Laju Investasi Pertanian.
LJ.INV.PERT.NEG.
: Laju Investasi negatif yg diakibatkan Erosi pada Lahan Pertanian yg sudah dialokasikan & terbuka.
LJ.INV.PERT.NG.
: Laju Investasi Negatif yg harus dikeluarkan akibat dampak erosi dan pembuangan limbah.
LJ.INV.PR.NEG.
: Laju Investasi negatif di Sektor Pariwisata setiap tahunnya.
LJ.INV.PR.NEG.BK.
: Laju Investasi Negatif yg diakibatkan Erosi pada Lahan Pariwisata yg sudah dialokasikan & terbuka.
LJ.LHN.IND. BUKA
: Laju pembukaan lahan Industri yg sudah dialokasikan & tidak dibangun.
LJ.LHN.IND.DIALOK.NB.: Laju pengalokasian lahan industri yg tidak dibangun setiap tahun LJ.LHN.PERT. DIALOK.BANG. : Laju Pertumbuhan Lahan Pertanian yg dialokasikan dan dibangun setiap tahunnya. LJ.LHN.RMH.BK.
: Laju Pem- bukaan Lahan Perumahan yg telah dialokasikan dan belum dibangun setiap tahunnya.
LJ.LIMB.OLAH
: Laju jumlah limbah cair yg diolah dalam Liter setiap tahunnya.
L3-j
LJ.PAR.ASLI
: Laju Lahan Pariwisata yg dialokasikan, tidak dibangun & masih dalam bentuk aslinya pertahun.
LJ.PERT.IND.
: Laju perubahan Lahan Pertanian menjadi Lahan Industri pertahun.
LJ.PERT.RMH.
: Laju perubahan Lahan Pertanian menjadi Lahan Perumbahan pertahun.
MENINGGAL
: adalah prosentase rata-rata pengurangan penduduk karena meninggal, dibanding jumlah penduduk pada tahun yang sama pertahun.
MIGRASI
: Migrasi rata-rata prosentase pertambahan penduduk dari migrasi dibanding jumlah penduduk pada tahun yang sama pertahun.
PENAM.RULI.
: adalah penambahan RULI sama dengan jumlah RMH.KRG.
PENAMB.RMH.
: adalah penambahan kebutuhan rumah setiap tahun akibat pertumbuhan penduduk.
PENARIKAN
: Laju penarikan Lahan yang dirambah setiap tahunnya.
PENGUR.PDDK.
: Pengurangan Penduduk adalah berkurangnya penduduk pertahun akibat dr penduduk yang meninggal dan migrasi keluar dr Tj.Uncang/ P.Batam. Jumlah Rumah adalah jumlah rumah yg ada pd tahun yg ditentukan ditambah penambah rumah akibat pertumbuhan penduduk.
PERB.JASA DIALOK. (HJ.JASA DIALOK) : Jumlah Lahan Sektor Industri yg berasal dr Sektor Hijau yg dialokasikan pertahun. PERB.PARW.DIALOK. (HJ.PARW.DIALOK) : Jumlah lahan Sektor Pariwisata yg berasal dr Sektor Hijau yg dialokasikan pertahun. PERB.PERT.DIALOK. (HJ.PERT.DIALOK) : Jumlah lahan Sektor Pertanian yg berasal dr Sektor Hijau yg dialokasikan pertahun. PERB.RMH.DIALOK. (HJ.RMH.DIALOK) : Jumlah Lahan Sektor Perumahan yg berasal dr Sektor Hijau yg dialokasikan pertahun. PERBAIKAN
: Laju perbaikan Lahan Hijau yg rusak setiap tahunnya.
PERBHN.PERNT
: Perubahan peruntukan sektor hijau menjadi peruntukan lain per tahun.
PERBIND.DIALOK. (HJ.IND.DIALOK) : Jumlah lahan sektor industri yg berasal dr sektor hijau yg dialokasikan pertahun. PERTUM.PDDK
: Pertumbuhan Penduduk Jumlah Pertumbuhan penduduk pertambahan dari kelahiran dan migrasi.
PERUBAHAN
: Jumlah/ luas Lahan Hijau Mutlak yg dirusak dan dirambah setiap tahunnya.
RAMBAH M.
: Biaya yg diperlukan untuk membebaskan/ menarik serta memperbaiki kerusakan lahan yg dirambah per m2.
RMH. T. 1
: Rumah Tipe 1 untuk Tipe besar.
RMH. T. 3
: Rumah untuk tipe 3/menengah.
RMH.KRG.
: Adalah pengurangan kebutuhan rumah pertahun akibat dari pembangunan RULI.
RMH.T. 6
: Rumah tipe 6/ Tipe kecil.
L3-k
RULI.KRG.
: Adalah pengurangan jumlah RULI setiap tahunnya akibat dibongkar/penertiban.
RUSAK M.
: Biaya yg diperlukan untuk memperbaiki kerusakan Lahan Hijau Mutlak per meter persegi lahan.
SISA LHN RUMAH
: Lahan yg tersisa untuk perumbahan setelah dialokasikan s/d tahun ’98.
TOT.INV. NEGATIF TOT.INV.PARI.
: Total Investasi pariwisata pada tahun tertentu. Total Investasi pada lahan Industri pada tahun 1998 yang dibangun.
L4-a
Lampiran 4. NILAI-NILAI YANG PENTING
1.
INVESTASI POSITIF
Dihitung berdasarkan nilai investasi yang di sampaikan/masukan ke BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal (Input Value). Untuk bisa dibandingkan dengan investasi positif (output value) maka nilai investasi negatif tersebut ditambah nilanya dengan Interest rate / bunga perbankkan. Investasi positif
= Investasi di BKPM x (interest rate)
Untuk Februari 2007 interest rate
= 8,75%/th
Untuk tahun 2008
> 12%/th
interest rate
Nilai tengah yang digunakan
= 9%/th
Nilai Investasi positif tiap sektor
= Investasi m2 x 1,09
2. NILAI LAHAN ASLI DI PULAU BATAM Diambil nilai rata-rata hutan bakau & hutan kayu. Nilai hutan bakau (Mangrove) ( a ) Menurut Dahuri (2003) Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Riau adalah : Total Economic Value (TEV) = Rp. 111.925.000 juta Untuk luasan lahan 470 000 Ha Rp 111.925.000 juta 1 Ha Mangrove = ---------------------------- = Rp 238.140.000,470 000 1m2
= Rp 23.814,-
( b ) Nilai Hutan b.1. Penggunaan langsung per m2 hutan - Nilai kayu Primer ( > 30 tahun)
= Rp 15.000,-
- Nilai Sekunder
= Rp 6.000,-
b.2. NilaI bukan penggunaan Pilihan pemeliharaan keanekaragaman hayati = Rp 10.000,Total Nilai Hutan /m2 = Rp 31.000,Rp 23.814,- + Rp 31.000,Nilai Lahan Asli = ---------------------------------------- = Rp 27.407,2
L4-b
3. NILAI KOEFISIEN LIMBAH CAIR (KF, LIMB, CAIR) Yaitu limbah cair yang dihasilkan oleh setiap m2 per tahun lahan (dihitung) Â
sektor industri
= 0,1466 m3/m2/th
Â
sektor jasa
= 0,1887 m3/m2/th
Â
sektor perumahan = -
Â
sektor pertanian
= 0,02 m3/m2/th
Â
sektor pariwisata
= 0,083 m3/m2/th
4. NILAI PENGOLAHAN LIMBAH (LIMB OLAH ) Â Biaya yang diperlukan untuk mengolah satu kubik (m3) limbah cair = Rp 20.000,-/m3 Â Sebagai perbandingan untuk biaya pengolahan 1 galon air minum = Rp 2.000,-. Untuk satu m3 = Rp. 2.000,- x 50 = Rp. 100.000/-m3
5. NILAI KERUGIAN PEMBUANGAN LANGSUNG LIMBAH KE LAUT (LIMBAH LAUT.m3)
Asumsi nilai kerugian pembuangan langsung ke laut lebih besar dari nilai pengolahan limbah dan lebih kecil dari biaya pengolahan air minum, yaitu : Diasumsikan kerugian per-m3 buangan limbah adalah = Rp 50.000,-/ m3 6. NILAI KERUGIAN ABRASI PER M3 (ABRASI.m3) Yaitu nilai kerugian yang ditimbulkan akibat per-m3 abrasi (100 cm x 100 cm x 100 cm). Asumsi tiap
ketebalan 1 cm dengan luasan 1 m2, merusak 1 m2
merusak terumbu karang, maka tiap m3 merusak 100 m2 terumbu karang. Menurut Dahuri (2003) Kerugian sedimentasi per km2 sedimentasi terhadap terumbu karang adalah US$ 273.000,Bila 1 US$ = Rp 9000,maka : 1 km2 sedimentasi
= 273 000 X 9.000 = Rp 1.457.000.000,= Rp 2.457,1 m2 sedimentasi kerugian 1 m3 abrasi = 100 m2 kerusakan terumbu karang = Rp 2.457 x 100 = Rp. 245.700,-
L4-c
7. JUMLAH ABRASI DARI PER-m2 PENIMBUNAN/TAHUN (KF ABRASI) Asumsi rata-rata penimbunan adalah 3 m, maka setiap penimbunan sama dengan 3 m3. Asumsi kedua setiap penimbunan 1 m3 terabrasi sebanyak 3%. Maka untuk 1 m2 pengerukan sama dengan 3 m3 sama dengan 9%. 1 m2 Lahan
= 3 m3 timbun = 3 x 3% = 9% terabrasi
8. JUMLAH EROSI /SEDIMENTASI PER-m2 (KF EROSI M) Adalah jumlah erosi yang dihasilkan oleh per-m2 lahan akibat pembukaan lahan. Berdasarkan hasil studi oleh Universitas Sumatra Utara dengan menggunakan teori dasar Wischmeier, sedimentasi akibat erosi di P.Batam : a. Nongsa
16,43 ton/ha/th
b. Baloi
23,272 ton/ha/th
c. Harapan
17,3
d. Ladi
27,23 ton/ha/th
ton/ha/th
Nilai rata 2 erosi dari 16,43+23,272+17,3+27,23 84,232 = = 21,05 ton/ha/th = sedimentasi per Ha 4 4
9. NILAI KERUGIAN DARI EROSI SEDIMENTASI (EROSI Rp/TON)
Hasil Studi Universitas Sumatra Utara, Biaya perbaikan lahan seluas 478,65 ha adalah Rp 7.292.763.895,-. Rata-rata erosi per-Ha = 21,05 ton/ha/th (lihat butir 8) Jadi 478,65 ha menghasilkan erosi sebanyak 478,65 x 21,05 = 10.075 ton Kerugian 1 Ton Erosi
=
Dibulatkan
=
Rp 7.292.763.895 10.075
Rp 723.000,-
=
Rp 723.847,5,-
L4-d
10. NILAI PERBAIKAN KERUSAKAN HIJAU Biaya yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan lahan hijau per-m2, yaitu :
Biaya bibit
Rp 2.000,-
Biaya pupuk
Rp 2.000,-
Biaya penanaman
Rp 4.000,-
Biaya Perawatan s.d. tumbuh
Rp 12.000,-
Jumlah Total
Rp 20.000,-
11. NILAI PEMBEBASAN & PERBAIKAN HIJAU PER-m2 (RAMBAH M)
Asumsi
Æ Rp 10.000,-
12. NILAI KERUSAKAN LINGKUNGAN KARENA RULI (LING RUSAK RL) Adalah biaya yang diperlukan untuk memperbaiki lingkungan yang rusak akibat penyerobotan lahan oleh satu RULI  Rata-rata luas RULI/Lahan dan bangunan  Lihat no.11. Biaya perbaikan per-m2 adalah Rp 20.000,jadi nilai 1 RULI = 50 m2 = Rp 1.000.000,-
13. BIAYA PEMBONGKARAN RULI Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembongkaran dengan ganti rugi satu RULI Â
Data dari Otoritas Batam = Rp 2.500.000,-
L5-a
Lampiran 5 :
UJI COBA MODEL Model dicocokan dengan perhitungan manual
Sector 1
LAHAN A
KF DIBANGUN LHN DIBANGUN
Table 2 INVES PER M2 INVES POSITIF Table 1
LAJU DIALOK
KF DIALOK
LHN DIALOK
LJ INVES POS
LAJU DIBANGUN
KF LIMB PER M2 KF LIM DIOLAH TOT LIMBAH
TOT INVESTASI LJ NON DIBANG
LAJU LIMBAH
LAJU DIOLAH
KF NON DIBANG OLAH PER M3
LHN NON DIBANGUN
BIATA OLAH
KF DIBUKA
LAJU LHN DIBUKA
JUM ERS PER M2 JUM EROSI
LAJU INVES
TOT BIAYA OLAH
B ERS PER M3 TOT BIAYA EROSI
JUM LHN DIBUKA LAJU EROSI
BIAYA EROSI INVES NEGATIF
LJ INVES NEG
TAHUN TOT INVESTASI LAJU INVES 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Final
0 18,000.00 34,200.00 48,780.00 61,902.00 73,711.80 84,340.62 93,906.56 102,515.90 110,264.31 117,237.88
18,000.00 16,200.00 14,580.00 13,122.00 11,809.80 10,628.82 9,565.94 8,609.34 7,748.41 6,973.57
INVES POSITIF 0 20,000.00 38,000.00 54,200.00 68,780.00 81,902.00 93,711.80 104,340.62 113,906.56 122,515.90 130,264.31
INVES NEGATIF 0 2,000.00 3,800.00 5,420.00 6,878.00 8,190.20 9,371.18 10,434.06 11,390.66 12,251.59 13,026.43
LJ INVES NEG 2,000.00 1,800.00 1,620.00 1,458.00 1,312.20 1,180.98 1,062.88 956.59 860.93 774.84 ?
L5-b
Hitungan Manual LAHAN A
1000m2
KF DIALOK
0,1 Æ LAJU DIALOK
0,1 x 1000 = 100
KF DIBANG
0,4 Æ LAJU DI BANG
0,4 X 100 = 40
KF NON DIBANG
0,6 Æ LAJU NON BANG
0,6 X 100 = 60
KF DI BUKA
0,5 Æ LAJU LAHAN DI BUKA
0,5 X 60 = 30
JUM EROSI per-m2
0,2 Æ LAJU EROSI
0,2 X 30 = 6m3
(KF EROSI) BIAYA EROSI per-m3
Æ Rp.200,- /m3
BIAYA EROSI
Æ 6 X RP. 200 = Rp. 1.200,-
KF LIM per m2
= 2 m3/m2
LAJU LIMBAH
= 40 m2 X 2 m3/m2 = 80 m3
KF LIM OLAH/m3
= Rp. 10,-/m3
BIAYA OLAH LIMB
= 80 m3 X RP. 10/m3 = Rp. 800,-
LAJU INVES NEG
= BIAYA EROSI + BIAYA OLAH LIMBAH 1.200 + 800 = RP. 2.000,-
INVESTASI per m2 LAJU INVES POSITIF
= RP. 500,LAJU DI BANG X INV per m2 40 X Rp. 500,- = Rp. 20.000,-
TOT INV THN 1
= LAJU INV POSITIF - LAJU INVES NEG Rp.20.000,- – Rp. 2.000,- = Rp.18.000,-