Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Kota di Kota Batam Dengan Prinsip Pembangunan Rendah Karbon Iredo Bettie Puspita, Sadar Yuni Rahardjo, dan Endah Gita Utari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
[email protected],
[email protected] Abstrak Dalam penyelenggaraan pembangunan suatu kota, seringkali pertumbuhan ekonomi yang mendorong adanya konversi lahan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonominya. Hal ini tanpa disadari menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang diterima. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kedua hal tersebut sebaiknya dijaga keseimbangannya, karena pembangunan wilayah yang baik adalah pembangunan yang tetap mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak lingkungannya, sehingga kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang dapat terjamin. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengidentifikasi upaya optimalisasi pemanfaatan ruang dalam suatu pembangunan kota. Dengan menggunakan pendekatan low carbon development, yaitu konsep perumusan kebijakan pembangunan yang menekankan peningkatan pembangunan ekonomi dengan menggunakan sedikit karbon (Mitchell dan Maxwell, 2010), serta menggunakan Kota Batam sebagai kasus studi, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi arahan peruntukan ruang kota yang mampu menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan perhitungan cadangan karbon yang dihasilkan dari setiap skenario perubahan lahan dan melakukan pemiihan skenario yang optimum dengan pendekatan low carbon development.Dari penelitian ini akan diperoleh keluaran berupa alokasi penggunan lahan yang optimum yang mampu menekan nilai emisi yang dihasilkan dari aktivitas perubahan guna lahan. Key words : cadangan karbon, optimalisasi pemanfaatan ruang, low carbon development
1. Pendahuluan Suatu wilayah atau kota seringkali dikembangkan dengan mendorong perkembangan ekonomi secara besar-besaran. Salah satunya dilakukan dengan mengembangkan sektor industri, karena sektor ini dianggap mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Sektor industri mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi di sektor lain, baik di sektor hulu seperti pertanian dan perkebunan, pertambangan, dan sebagainya, maupun di sektor hilir seperti perdagangan dan jasa, konstruksi, dan sebagainya. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri ini memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan industri dan pengembangan kawasan lainnya sebagai konsekuensi dari perkembangan ikutan sektor industri, seperti kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, serta perkantoran. Dengan adanya keterbatasan lahan ini mengakibatkan konversi lahan menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari. Keberadaan konversi lahan sebagai konsekuensi dari perubahan kebijakan ekonomi kota dapat mengancam keberlangsungan lingkungan kota. Terkait dengan hal ini, Agus dkk (2013) menyatakan bahwa sektor berbasis lahan, yang salah satunya bersumber dari konversi lahan, merupakan penyumbang emisi terbesar. Perubahan guna lahan dari kawasan lindung menjadi budidaya menyebabkan penurunan cadangan karbon dan meningkatkan emisi yang pada akhirnya menyebabkan adanya peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam skala global. Dalam jangka panjang, konversi lahan ini dapat menyebabkan suatu kota tidak bekelanjutan pembangunannya. Lingkungan | 1
Salah satu kota di Indonesia yang sejak awal didorong pertumbuhan ekonominya melalui pengembangan sektor industri adalah Kota Batam. Kota Batam yang berada di jalur pelayaran internasional dan berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia ini sejak tahun 1968 didorong untuk menjadi salah satu pintu gerbang kegiatan industri di Indonesia sampai saat ini. Dalam rangka perwujudan Kota Batam sebagai kota industri, pemerintah Indonesia telah banyak melakukan banyak intervensi kebijakan yang dilakukan. Intervensi kebijakan ini memberikan konsekuensi terhadap perubahan peruntukan lahan yang signifikan. Teridentifikasi bahwa pada periode awal perkembangan Kota Batam, yaitu pada awal tahun 1980, 98% peruntukan lahannya berupa kawasan hutan lebat, namun setelah pembangunan yang intensif Kota Batam sebagai kota industri, terjadi pergeseran peruntukan lahan. Lahan yang semula merupakan hutan beralih fungsi menjadi kawasan budidaya. Perubahan peruntukan lahan ini terjadi setelah tahun 1999, dimana berdiri pabrik-pabrik baru yang mampu menyerap puluhan ribu tenaga kerja per tahun, sebagai konsekuensi terbukanya investasi asing di Kota Batam dengan lebih leluasa. Berkurangnya kawasan lindung di Kota Batam secara terus menerus, sebagai konsekuensi dari intervensi kebijakan ekonomi yang diterapkan ini dalam jangka panjang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Di sisi lain, berkurangnya kawasan lindung mampu meningkatkan kondisi perekonomian Kota Batam secara signifikan. Perkembangan pembangunan yang mengutamakan salah satu sisi ini tidak akan dapat menjamin keberlanjutan pembangunan di Kota Batam di masa yang akan datang. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu diidentifikasi rumusan pola pemanfaatan ruang yang optimal, yang mampu meningkatkan pembangunan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan, yang sekaligus menjadi tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini. 2. Metodologi Dengan menggunakan low carbon development sebagai pendekatan utama, maka kajian ini difokuskan pada 2 (dua) aspek, yaitu aspek pembangunan dan aspek lingkungan. Aspek lingkungan dilihat dari total emisi yang dihasilkan pada setiap pola pemanfaatan ruang yang berkembang dan berlaku di Kota Batam, sedangkan aspek pembangunan diidentifikasi berdasarkan arahan kebijakan yang melatarbelakangi guna lahan dan rencana pola pemanfaatan ruang yang disusun. Untuk aspek lingkungan, perhitungan emisi dilakukan berdasarkan nilai emisi yang dihasilkan dari tiap perubahan guna lahan atau pemanfaatan lahan dengan menggunakan pendekatan perhitungan stock different, yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk menghitung cadangan karbon dari suatu tutupan lahan pada selang waktu tertentu. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang digunakan dalam perumusan Rencana Aksi Nasional Gerakan Rumah Kaca (RAN-GRK) di Indonesia). Dalam implementasinya, akan digunakan skenario backward looking dan forward looking. Skenario backward looking adalah skenario yang didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan di masa yang akan datang tidak berbeda dengan pertumbuhan masa lalu atau dengan kata lain mengikuti kecenderungan nilai emisi yang dihasilkan dari perubahan guna lahan eksisting, sedangkan skenario forward looking merupakan skenario yang didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan di masa yang akan datang sesuai dengan rencana yang telah disusun atau dengan kata lain mengikuti arahan ruang yang tercantum di dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Agus, 2014). Kedua skenario ini dihitung dengan menggunakan metode perhitungan tier-1 atau persamaan dasar dengan menggunakan faktor emisi yang telah baku, yang dalam hal ini menggunakan faktor emisi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan1. Adapun rumus dasar perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut: Emisi/Penyerapan GRK = ∆ Guna Lahan x FE
(1)
1
Faktor emisi yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan faktor emisi yang telah disesuaikan dari nilai faktor emisi yang ditetapkan oleh IPCC dengan mempertimbangkan karakteristik Indonesia
Lingkungan | 2
Skenario backward looking yang dilakukan didasarkan pada data guna lahan eksisting yang terdapat di Kota Batam sebagai representasi dari periode pembangunan kota dan diamati dari perubahan guna lahan tahun 1999, 2005, dan 2012. Skenario ini selanjutnya akan disebut juga sebagai skenario Bussiness as Usual (BAU) dan menjadi skenario dasar (baseline scenario) dalam intervensi kebijakan. Adapun untuk skenario forward looking dilakukan dengan data pola ruang yang terdapat dalam RTRW Kota Batam Tahun 2008-2028, Rencana Tata Ruang (RTR) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) Tahun 2009-2029, Surat Keputusan (SK) SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.76/MenLHK-II/2015 tentang Rencana Perubahan Peruntukan Kawasan Menjadi Bukan Hutan Kawasan Hutan, Peurbahan Fungsi Hutan, dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kepulauan Riau yang tercantum, serta modifikasi RTR BBK Tahun 2009-2029 dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.76/MenLHK-II/2015. Dalam perhitungan skenario forward looking, tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2012, karena merupakan data guna lahan eksisting terbaru yang diperoleh. Untuk aspek pembangunan, arahan kebijakan yang melatarbelakangi terbentuknya guna lahan dan rencana pola pemanfaatan ruang tersebut diidentifikasi dari kebijakan eksisting yang berlaku dan dokumen rencana tata ruang yang telah disusun dan memiliki aspek legal. Pada tiap guna lahan atau rencana pola pemanfaatan ruang yang digunakan sebagai data inputan dalam perhitungan emisi akan diidentifikasi arahan kebijakannya, terutama yang terkait dengan kebijakan non ruang yang berpengaruh terhadap ruang, yaitu kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Proses identifikasi ini menghasilkan pemetaan kebijakan untuk tiap perhitungan nilai emisi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perhitungan nilai emisi. 3. Perkembangan Pembangunan Kota Batam dan Konsekuensinya Terhadap Tingkat Emisi yang Dihasilkan Kota Batam merupakan salah satu kota di Indonesia yang sejak awal perkembangannya diarahkan untuk perkembangan industri. Pada awalnya, Kota Batam ini merupakan dengan dominasi pemanfaatan lahan berupa kawasan nonbudidaya, namun seiiring dengan arah pembangunan Kota Batam sebagai kota berbasis industri, Kota Batam mengalami perkembangan pembangunan yang signifikan yang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan lahannya. Sejak awal perkembangannya pada tahun 1970, Kota Batam telah melalui 5 (lima) periode pembangunan, yaitu (1) periode persiapan, (2) periode konsolidasi, (3) periode pembangunan prasarana dan penanaman modal, (4) periode pengembangan pembangunan prasarana dan penanaman modal, dan (5) periode peningkatan sarana dan prasarana, penanaman modal serta kualitas lingkungan hidup. Dari kelima periode tersebut, periode yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ragam perubahan pemanfaatan lahan di Kota Batam terjadi pada dua periode terakhir, yaitu pada periode pegembagan pembangunan prasarana dan penanaman modal, serta periode peningkatan sarana dan prasarana, penanaman modal, serta kualitas lingkungan hidup. Pada kedua periode tersebut, terjadi penambahan luas wilayah Kota Batam yang diusahakan untuk kegiatan industri sebesar 67,16% dan peningkatan pemanfaatan lahan terbangun rata-rata sebesar 43,07% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena pada tahun 1999 tidak semua wilayah administrasi Kota Batam, yang saat ini diakui berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, dikembangkan untuk kegiatan industri. Pada tahun 1999 tersebut, hanya Pulau Batam dan pulau-pulau besar saja yang diusahakan untuk kegiatan industri, baru pada tahun 2005 dan seterusnya, keseluruhan wilayah administrasi Kota Batam dibuka untuk pengembangan industri dengan ditandai penetapan Kota Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau yang dikenal juga sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Perubahan pemanfaatan lahan pada kurun waktu 1999 – 2012 tersebut, pada dasarnya merupakan representasi dari kebijakan pembangunan yang diterapkan. Pada kurun waktu tersebut terjadi perubahan arahan kebijakan pengelolaan kota yang berimplikasi pada kebijakan pembangunan kota. Lingkungan | 3
Untuk mengarahkan kebijakan yang ada tersebut, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, telah melengkapi pengembangan kota dengan berbagai rencana tata ruang. Oleh karena status yang dimiliki, maka rencana tata ruang yang diterapkan di Kota Batam tidak hanya berasal dari pemerintah daerah saja melainkan juga pemerintah pusat, yang meliputi: (1) RTR BBK Tahun 2009-2029, (2) RTRW Kota Batam Tahun 2008-2028, serta (3) Rencana Perubahan Peruntukan Kawasan Menjadi Bukan Hutan Kawasan Hutan, Peurbahan Fungsi Hutan, dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kepulauan Riau yang tercantum dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.76/MenLHK-II/2015. Tiap rencana yang disusun tersebut memberikan pengaruh terhadap arahan pemanfaatan lahan ke depan atau yang dikenal sebagai rencana pola ruang di Kota Batam (Tabel 1). Tabel 1. Arahan Kebijakan Pembangunan Kota Batam Pada Tiap Periode Pembngunan dan Rencana Pengembangan Kota, serta Konsekuensinya Terhadap Alokasi Pemanfaatan Lahan NO. 1.
PERIODE PEMBANGUNAN DAN RENCANA PENGEMBANGAN Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal (1999)
GUNA LAHAN / ARAHAN POLA RUANG
ARAHAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Presentase terbesar penggunaan lahan: Hutan Lahan Kering Sekunder yakni 31.853 Ha ( 48%) Hutan Mangrove Sekunder 11%, Belukar Rawa 9% Pemukiman 3% dan Industri seluas 1.573 Ha (2%).
Kota Batam ditetapkan sebagai daerah otonomi, sehingga pemerintah kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, termasuk urusan pajak, retribusi daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta pengelolaan kekayaan daerah. Pada periode ini, sarana dan prasarana di Kota Batam baru selesai dibangun Seluruh aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam) diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam Dilakukan pengembangan pembangunan sarana dan prasarana yang sudah dibangun, serta penambahan penanaman modal untuk pengembangan kawasan industri. Penggunaan lahan untuk industri serta perdangan dan jasa meningkat sebesar 2% dari periode sebelumya. Dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Semua aset Otorita Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan (BP) KPBPB Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam Peningkatan jumlah pabrik dan investor untuk pngembangan industri. Pengembangan industri pengilangan minyak, agroindustri, dan industri pengolahan hasil perikanan laut Penguatan kawasan pariwisata melalui pengembangan wisata bahari, wisata alam, dan wisata
2.
Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal (2005)
Presentase terbesar penggunaan lahan: Hutan Lahan Kering Sekunder seluas 43.583 Ha (39%) Hutan Mangrove 9%, Pertanian 10% Perdagangan Jasa 1% Industri 3.017 Ha (3%), Permukiman 6.413 Ha (6%), dan Pariwisata 1%.
3.
Periode Peningkatan Sarana dan Prasarana, Penanaman Modal Serta Kualitas Lingkungan Hidup (2012)
Presentase terbesar penggunaan lahan: Hutan Lahan Kering Sekunder 39% seluas 43.583 Ha Hutan Mangrove 8 % Industri seluas 3.105 Ha (3%) Pertanian 10% Permukiman 6.681 Ha (6%), Belukar Rawa 6%, serta Pariwisata 1%.
4
Rencana Pengembangan Kota Berdasarkan RTRW Kota Batam Tahun 2008-2028
Presentase terbesar arahan pola ruang: Kawasan Lindung 38,59% atau seluas 43.583,64 Ha Kawasan Pertanian 9,94% atau seluas 11.231,63 Ha
Lingkungan | 4
NO.
PERIODE PEMBANGUNAN DAN RENCANA PENGEMBANGAN
GUNA LAHAN / ARAHAN POLA RUANG
5
Rencana Pengembangan Kota Berdasarkan RTR BBK Tahun 20092029
6
Rencana Penataan Kawasan Hutan Berdasarkan SK.76/MenLHKII/2015
Kawasan Permukiman 5,68% atau seluas 6.413,60 Ha
Presentase terbesar arahan pola ruang: Kawasan Permukiman 21,39% atau seluas 14.987, 21 Ha Kawasan Lindung 15,03% atau seluas 10.530,62 Ha Kawasan Industri 12,09% atau seluas 8.470,98 Ha Kawasan Pariwisata 11,62% atau seluas 8.140,89 Ha Presentase terbesar arahan pemanfaatan lahan untuk kehutanan: Area Penggunaan Lain 49,61% atau seluas 34.511,66 Ha Hutan Lindung 29,61% atau seluas 20.598,74 Ha Kawasan Suaka Alam 14,27% atau seluas 9.924,15 Ha
ARAHAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN buatan Pengembangan kawasan agribisnis Pengembangan kawasan pusat pendidikan dan penelitian pengembangan Iptek Pengembangan sarana dan prasarana perkotaan dan industri skala internasional Pengembangan kawasan industri untuk mendukung peran Kota Batam sebagai KPBPB tanpa merusak lingkungan
Pengalokasian area penggunaan lahan yang lebih besar untuk mengakomodir dan mendukung Batam sebagai KPBPB Pembukaan Pulau Rempang dan Galang sebagai kawasan yang memungkinkan untuk pengembangan kegiatan budidaya termasuk industri
Sumber: hasil analisis, 2016
Dari tiap periode pembangunan dan rencana pengembangan yang diterapkan dan berlaku di Kota Batam ini, memberikan konsekuensi terhadap kondisi lingkungan. Pengaruh kebijakan terhadap lingkungan salah satunya dapat diidentifikasi melalui tingkat emisi dan cadangan karbon yang dihasilkan pada tiap perubahan pemanfaatan lahan, baik yang berupa guna lahan eksisting maupun pola ruang. Dari keenam kebijakan yang diterapkan dan berlaku di Kota Batam ini akan terbentuk 4 (empat) skenario nilai emisi dan cadangan karbon yang terbentuk, yaitu: (1) skenario BAU yang merupakan representasi dari perkembangan guna lahan eksisting, (2) skenario RTRW kota, (3) skenario RTR BBK, dan (4) skenario SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tiap skenario tersebut akan dihitung nilai emisi dan cadangan karbon yang dihasilkan dari perubahan pemanfaatan lahan. Adapun tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2012 dan tahun akhir rencana adalah 2029, mengikuti akhir tahun terakhir dari dokumen perencanaan yang berlaku di Kota Batam. Perhitungan ini dilakukan dengan menggunakan Persamaan (1) dengan menggunakan nilai faktor emisi yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan menjadi dasar dalam perhitungan RAN GRK dan RAD GRK provinsi. Untuk perhitungan pemanfaatan lahan yang bersifat rencana, maka nilai faktor emisi didekati dengan mempertimbangkan arahan kebijakan pemanfaatan ruang yang tercantum di tiap rencana. Nilai emisi dari tiap skenario yang dibangun dapat dilihat pada Tabel 2.
Lingkungan | 5
Tabel 2. Nilai Emisi Dari Tiap Skenario Perubahan Pemanfaatan Lahan Kota Batam 2029 (dalam ton CO2eq) TOTAL EMISI/ CADANGAN KARBON (2029)
NILAI PERHITUNGAN EMISI (dalam ton CO2eq)
SKENARIO 2012
2013
2014
2015
37.093.094
38.987.455
42.886.200
47.174.820
162.860.275
179.146.302
179.146.302
RTRW
37.093.093
-
-
-
162.860.275
162.860.275
125.767.182
RTR BBK
37.093.093
-
-
-
-
11.565.619
-25.527.474
SK MENHUT
37.093.093
-
-
-
-
11.564.258
-25.528.835
BAU
2028
2029
Sumber: hasil analisis, 2016
4. Kesimpulan Pemanfaatan ruang kota yang optimal diidentifikasi berdasarkan skenario yang mampu memberikan nilai total emisi terkecil. Beradasarkan hasil perhitungan pada tiap skenario, maka diperoleh bahwa skenario yang mampu menurunkan emisi terbanyak pada tahun 2028 adalah skenario RTR BBK (Gambar 1). Pada skenario ini, tahun 2029 diproyeksikan mampu menghasilkan sequestrasi sebanyak -25.527.475 ton CO²eq. Dengan tahun 2012 sebagai tahun dasar, maka untuk mencapai pemanfaatan lahan yang optimal sebagaiman yang diarahkan dalam RTR BBK Tahun 2009-2029, maka Pemerintah dan Pemerintah Kota Batam berkewajiban untuk menurunkan emisi total sebesar 25.527.474 ton CO2eq atau jika didistribusikan per tahun dalam kurun waktu 17 tahun, maka terdapat target penurunan sebesar 1.501.616 ton CO2eq.
Notasi ∆ Guna Lahan FE
Emisi/penyerapan GRK
luas perubahan guna lahan dari dua periode waktu yang berbeda untuk tiap jenis perubahannya. Luas perubahan guna lahan ini menunjukkan data aktivitas Faktor Emisi, yang merujuk pada nilai faktor emisi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Republik Indonesia untuk perhitungan RAN-GRK nilai emisi yang dihasilkan dari tiap perubahan guna lahan Nilai emisi > 0 menunjukkan bahwa perubahan guna lahan tersebut mengeluaran emisi Nilai emisi = 0 menunjukkan bahwa perubahan guna lahan tersebut tidak memberikan kontribusi apapapun bagi kadar emisi di udara atau disebut dengan non emisi Nilai emisi < 0 menunjukkan bahwa perubahan guna lahan tersebut mampu menyimpan cadangan karbon atau disebut sebagai sequestrasi
[Ha] [ton CO2eq/Ha]
[ton CO2eq]
Lingkungan | 6
Daftar Pustaka [1] Agus, Fahmuddin dkk. 2014. Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). [2] Friedman, John dan Clyde Weaver.1979. Territory and Fuctin: The Evolution of Regional Planning. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd. [3] Healey, Michael dan Brian W. Ilbery.1996. Location and Change: Prespectives on Economic Geography. New York: Oxford University Press. [4] Hurd, AP dan AL Hurd. 2012. The Carbon Efficient City. Washington: The University of Washington Press. [5] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. [6] Kementerian Pekerjaan Umum. 2014. Penerapan Peta Kerentanan Wilayah Dampak Perubahan Iklim dan Model Emisi Karbon Berbasis Kawasan. Laporan Akhir. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum. [7] Mitchell, Tom dan Simo Maxwell. 2010. Definig Climate Cmpatible Development. Policy Brief, November 2010. CDKN: Climate and Development Knowledge Network. [8] The Intergovernmental Panel on Climate Chage IPCC). 2007. Climate Channge 2007: The Physical Science Basis. The Fourth Edition. New York: Cambridge University Press. [9] The Intergovernmental Panel on Climate Chage IPCC). 2007. Climate Channge 2007: Mitigation of Climate Chage. New York: Cambridge University Press. [10] Yunus, Hadi Sabari. 2002. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lingkungan | 7
Integrasi Sektor Informal dan Formal sebagai Usulan Konsep Penanganan E-Waste di Daerah Urban di Indonesia dengan Optimasi Sistem dan Biaya Pengumpulan E-Waste I Made Wahyu Widyarsana, Enri Damanhuri, Tri Padmi Departemen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung 40132 e-mail:
[email protected]
Abstract : Penggunaan barang elektronik dan elektrikal (e-product) di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Keberadaan e-waste sebagai limbah B3 tercantum dalam PP 101/2014 yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3. Daur-ulang e-waste di Indonesia berlangsung secara unik dan peranan sektor informal sangat besar. Pelaku daur ulang didominasi oleh sektor informal. Integrasi penanganan e-waste komputer yang dilakukan terutama pada pengumpul dan pengolah (pelaku daur ulang) yang semula informal menjadi formal. Konsep pengelolaan e-waste yang diusulkan adalah konsep integrasi penanganan e-waste sektor informal menjadi sektor formal. Integrasi penanganan e-waste dengan contoh e-waste komputer yang dilakukan terutama pada pengumpul (kolektor) dan pengolah (pelaku daur ulang) yang semula informal menjadi formal. Pada skenario-1 pengumpulan e-waste akan dimulai dari Stasiun Pengumpul Lokal (SPL) yang ada pada setiap kecamatan di Kota Bandung. Dari SPL e-waste akan dibawa ke Stasiun Pengumpul Regional (SPR). Dari SPR e-waste akan dibawa ke Stasiun Penanganan Antara (SPA). Dari SPA e-waste selanjutnya akan dikirim menuju ke recycler. Sedangkan pada Skenario-2, e-waste dari sumber akan dikumpulkan di SPR, pengumpul di sumber ini hanya boleh mengumpulkan e-waste di SPR yang melayani daerah operasinya saja, misal untuk sumber yang beroperasi di daerah Bandung Kulon hanya boleh mengumpulkan e-waste di SPR Padalarang. Dari SPL e-waste akan dibawa ke Stasiun Penanganan Antara (SPA). Dari SPA e-waste akan diangkut menuju ke recycler. Setiap skenario akan dihitung biaya pada saat banyaknya timbulan e-waste maksimum, rata-rata, dan minimum. Banyaknya SPL yang ada direncanakan sebanyak 30 SPL yang tersebar pada setiap kecamatan yang ada di Kota Bandung. Banyaknya SPR yang direncanakan adalah 4 (empat) stasiun berdasarkan wilayah yaitu Bandung Barat, Bandung Timur, Bandung Utara, dan Bandung Selatan. Banyaknya SPA yang direncanakan adalah 2 (dua) stasiun yaitu, Soekarno-Hatta/Cipamokolan (melayani wilayah Bandung Timur dan Bandung Selatan) dan Padalarang (melayani Bandung Utara dan Bandung Barat). Model matematika yang digunakan mendeskripsikan biaya pengumpulan yang didasarkan pada infrastruktur yang disediakan untuk pengumpulan e-waste. Dari hasil perhitungan optimasi biaya pengumpulan e-waste komputer RT maupun non-RT dapat ditarik kesimpulan bahwa skenario paling optimal untuk pengumpulan e-waste total dengan contoh kasus Kota Bandung adalah dengan menerapkan Skenario-2, yakni pengumpulan e-waste akan dimulai dari Stasiun Pengumpul Regional (SPR) yang ada di 4 (empat) regional di Kota Bandung, Biaya pengumpulan e-waste dari hasil perhitungan optimasi Skenario-2 pada tahun 2015 meningkat menjadi Rp. 89.540,32/ton. Kata kunci: e-waste, pengumpulan, integrasi, sektor informal, optimasi. 1. Pendahuluan Penanganan e-waste di Indonesia hingga saat ini belum diatur secara spesifik dan rinci. Merujuk PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, maka e-waste tergolong limbah B3 berkarakter racun. Kebanyakan para pemakai (users) e-product tidak sadar dan acuh pada muatan yang terkandung dalam e-product mereka. Upaya daur-ulang e-waste juga tergolong masalah karena beresiko tinggi terhadap pelaku, serta dapat menghasilkan produk-produk sekunder yang beracun. Di Indonesia sejauh ini belum ada data seberapa banyak e-product dan e-waste yang diproduksi, diimpor, beredar di pasaran, dan timbulan e-product dan e-waste belum ada sama sekali. Demikian juga aliran Lingkungan | 8
(path flow) e-product dan e-waste di Indonesia juga belum terungkap secara jelas dan sistematis. Pengamatan awal aliran (path flow) e-waste yang terjadi di Indonesia ada perbedaan dengan kondisi di negara maju yang mana e-waste di Indonesia tidak langsung dibawa ke TPA atau pusat-pusat daur ulang, tetapi direuse, direcycling, ataupun dipreteli (kanibal) sehingga dapat digunakan kembali. Saat ini, rantai perjalanan e-waste di Indonesia lebih bervariasi lagi, karena di samping melibatkan sektor formal, terungkap bahwa peran sektor informal sangatlah besar. Pengembangan model pembiayaan pengumpulan e-waste merupakan pengembangan lebih lanjut dan spesifik dari pengembangan model MFA yang telah dilakukan sebelumnya berdasarkan metode Liu, dkk (2006) dan dengan data e-waste yang diperoleh, selanjutnya konsep penanganan e-waste yang dikembangkan dari model MFA dilengkapi dengan contoh model pembiayaan dalam sektor pengumpulannya. Achillas dkk. (2011) telah mengembangkan model matematis yang menggambarkan jaringan logistik e-products di Yunani didasarkan pada infrastruktur yang diperlukan untuk pengumpulan e-waste, penyimpanan menengah dikembangkan untuk meminimalkan biaya pengumpulan logistik melalui skala ekonomi dan fasilitas perawatan. Pada prinsipnya, 4 (empat) jenis node merupakan jaringan, yaitu pusat-pusat koleksi awal (CIC), stasiun daerah prefectural penyimpanan perantara (PSIS), stasiun daerah penyimpanan perantara (RSIS), dan unit pengolahan dan daur ulang (UTR) untuk penanganan e-waste akhir. Analisis karakteristik dan persyaratan untuk node yang diperlukan disajikan dalam Moussiopoulos dkk (2010). Sebaliknya jaringan logistik dioptimalkan berasal dari aktivasi atau non-aktivasi semua calon node. Kota Bandung sebagai perwakilan dari daerah urban, berdasarkan data BPS (2009) memiliki 30 Kecamatan dan 4 wilayah yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan konsep sistem pengumpulan e-waste. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembiayaan pengumpulan ewaste di Kota Bandung sebagai perwakilan dari daerah urban di Indonesia, dengan mengembangkan konsep integrasi sektor informal dan formal. Model matematika yang digunakan untuk mendeskripsikan biaya pengumpulan yang didasarkan pada infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengumpulan e-waste. Model matematika ini memuat semua kemungkinan biaya yang dibutuhkan untuk mendukung konsep tersebut. 2. Metodologi Berdasarkan data identifikasi pola aliran (path-flow analysis) yang ditampilkan secara lengkap dalam model material flow analysis (MFA), pelaku daur ulang didominasi oleh sektor informal. Karena kegiatan daur ulang maupun pemanfaatan e-waste komputer termasuk ke dalam kategori yang berbahaya, maka pada masa mendatang perlu dilakukan integrasi dan formalisasi penanganan e-waste dari sektor informal yang selama ini berkembang menjadi sektor formal (Gambar 1).
Gambar 1. Konsep integrasi dalam penanganan e-waste
Lingkungan | 9
Model matematika yang digunakan oleh Achillas dkk (2011) ini mendeskripsikan biaya pengumpulan yang didasarkan pada infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengumpulan e-waste yang bertujuan untuk meminimalisasi biaya pengumpulan atau pengangkutan e-waste dari satu tempat pengumpulan/penanganan ke tempat lainnya. Stasiun pengumpul dan pengelola tersebut adalah Stasiun Pengumpul Lokal (SPL), Stasiun Pengumpul Regional (SPR), dan Stasiun Penanganan Antara (SPA). Model matematika ini memuat semua kemungkinan biaya yang diperlukan untuk setiap pengangkutan e-waste dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. ∑ ∑ ∑ ∑ Berdasarkan atas : ∑ ∑ ∑
∑
∑
.
∑ ;
∑ ∑
∑ ∑
∑
.
;
. .
................................(1)
0
Persamaan (1) di atas merangkum semua unsur biaya untuk semua alternatif aliran e-waste yang dimungkinkan antara 5 (lima) stasiun yang akan membentuk sebuah jaringan. Sebagai contoh untuk persamaan biaya pengumpulan yang pertama dari persamaan (1) sebagai berikut :
∑
∑
∑
∑
.
..........................(2)
Persamaan di atas merupakan persamaan untuk menghitung biaya pengumpulan e-waste dari Stasiun Pengumpul Lokal (SPL) ke Stasiun Pengumpul Regional(SPR). Biaya pengumpulan tersebut dihitung dengan cara mengkalikan banyaknya e-waste yang dibawa oleh suatu jenis kendaraan tertentu dari SPLi ke SPRj, [xij], dengan unit biaya yang diperlukan untuk mengangkut e-waste tersebut dalam rupiah/ton [cij]. Untuk penjumlahan yang berikutnya pada persamaan (1) merupakan biaya pengumpulan e-waste dari SPL ke SPA, dan SPR ke SPA. Persamaan (2) merupakan neraca massa dari banyaknya e-waste yang diangkut dengan menggunakan jenis kendaraan t untuk SPL. Dari neraca massa SPL ini dapat diturunkan untuk mendapatkan neraca massa SPR, dan SPA. Tabel. 1 menunjukkan penjelasan mengenai simbol, parameter dan variabel dari persamaan-persamaan yang dipakai di atas. Tabel 1. Parameter dan variabel yang digunakan dalam persamaan matematika untuk menghitung biaya pengumpulan e-waste Simbol Definisi i = { 1,..,..,I } Stasiun Pengumpul Lokal (SPL) j = { 1,..,..,J } Stasiun Pengumpul Regional (SPR) k = { 1,..,..K } Stasiun Penanganan Antara (SPA) t = { 1,..,..T } Jenis kendaraan yang digunakan dalam pengangkutan w = { 1,..,..,W } E-waste yang akan diangkut, w =1 untuk e-waste campuran/tanpa pemilahan. Parameter : Banyaknya e-waste yang terkumpul di stasiun pengumpul/pengolah. Unit biaya pengangkutan e-waste dari satu stasiun [SPL, SPR, SPA] ke stasiun lain [SPR, SPA] dengan menggunakan jenis kendaraan tertentu. Variabel : Banyaknya total e-waste per satuan waktu yang terangkut dari satu stasiun [SPL, SPR, SPA,] ke stasiun lainnya [SPR dan SPA]. Total ritasi per satuan waktu untuk mengangkut e-waste dari satu stasiun ke stasiun lain. Stasiun-stasiun [SPL, SPR, SPA] ke stasiun lainnya [SPR dan SPA] Kapasitas dari jenis kendaraan pengangkut e-waste.
Lingkungan | 10
3. Hasil dan Diskusi Prediksi MFA Pada Tahun Eksisting 2015 Input data dari pola aliran MFA ini menggunakan data hasil proyeksi jumlah rumah tangga dan jumlah proyeksi kepemilikan komputer yang didapatkan sebelumnya, untuk Kota Bandung dalam satuan ton/tahun (Gambar 2). Berdasarkan MFA potensi e-waste komputer di Kota Bandung, dapat diturunkan persamaan-persamaan dalam menghitung jumlah potensi e-waste pada setiap komponen penyusun, seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Persamaan jumlah potensi e-waste berdasarkan MFA Komponen penyusun Simbol Persamaan Jasa servis Js 0,08 x S Pemulung Pmu 0,105 x S + 0,05 x Js Tukang loak Lo 0,4361 x S + 0,0394 x Js Lapak Lp 0,0524 x S + 0,2326 x Js + 0,5396 x Pm + 0,3183 x Lo Bandar Bd 0,0479 x S + 0,1102 x Lp Pengolah (recycler) Po 0,0395 x S + 0,0094 x Bd + 0,0446 x Lp + 0,0521 x Lo
Gambar 2. MFA potensi e-waste komputer di Kota Bandung pada tahun 2015 Pengembangan konsep integrasi dalam penanganan e-waste Integrasi penanganan e-waste komputer yang dilakukan terutama pada pengumpul dan pengolah (pelaku daur ulang) yang semula informal menjadi formal. Adanya pengurangan jumlah pelaku informal ini akan sebanding dengan peningkatan jumlah pelaku formal. E-waste yang dihasilkan di sumber akan dikumpulkan oleh pengumpul formal pada stasiun pengumpul dan selanjutnya akan dibawa ke stasiun pengolahan sebelum berakhir di pusat penimbunan akhir. Stasiun pengumpul ewaste dapat memanfaatkan sektor informal yang ada saat ini, yang telah dibina, difasilitasi, dan diverifikasi memenuhi syarat (upaya formalisasi sistem informal pengelolaan e-waste). Skema skenario formalisasi pengelolaan e-waste yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 3.
Lingkungan | 11
Gambar 3. Konsep skenario integrasi pengelolaan e-waste di Kota Bandung Penerapan konsep tersebut di atas, dapat diimplementasikan dengan diintegrasikan dengan konsep transisi sektor informal yang saat ini dominan dalam penanganan e-waste, menjadi sektor formal yang lebih paham dalam pengelolaan limbah B3 (dalam hal ini e-waste). Konsep yang diajukan tidak serta merta langsung berupa integrasi sektor informal menjadi formal yang rencananya dapat diterapkan, namun direncanakan berlangsung secara bertahap, dengan target masa transisi kurang lebih 5 (lima) tahun setelah ditetapkan dalam peraturan (regulasi). Dalam pelaksanaan operasionalnya sebaiknya ditangani oleh pihak ke-3 (sektor private = swasta), yang dikontrol oleh pihak pemerintah dan produsen. Pada Tabel 3 berikut dapat dilihat perincian komponen pelaku daur ulang pada sistem pengelolaan ewaste komputer yang diusulkan. Tabel 3. Komponen pelaku pada skenario penanganan e-waste No
Komponen
Definisi
Keterangan
1
Sumber
Rumah tangga, kantor, institusi pendidikan, warnet/game station, dll
Wilayah Bandung dan sekitarnya (Bandung Raya)
2
Collector Keliling/ Mobile
Pemulung/Tukang Loak
Tersebar
3
Stasiun Pengumpulan Lokal (SPL)
Lapak, Bandar Kecil
Dibagi per cluster kecamatan, yaitu . 30 kecamatan di Kota Bandung
4
Stasiun Pengumpulan Regional (SPR)
Bandar Besar
Dibagi per cluster regional wilayah, dibagi menjadi 4 (empat) wilayah di Kota Bandung: 1. Bandung Utara 2. Bandung Selatan 3. Bandung Barat 4. Bandung Timur
Lingkungan | 12
No 5
Komponen Stasiun Penanganan Antara (SPA)
Definisi Difasilitasi pemerintah / asosiasi produsen
Keterangan 1. 2.
Sukarno-Hatta (Timur-Selatan) Padalarang (UtaraBarat)
6
Pusat Penanganan dan Daur Ulang (PPDU) *
Difasilitasi pemerintah / asosiasi produsen
1.
Karawang (Jawa Barat)
7
Pusat Penimbunan Akhir (PPA) *
Difasilitasi pemerintah / asosiasi produsen / swasta
1.
Cileungsing* (CipatatKab Bandung), atau Cileungsi (Bogor)
2.
Keterangan : *) Tidak dibahas dalam Disertasi ini, karena lokasinya di luar wilayah studi. Dalam skenario pengembangan penanganan e-waste akan diterapkan sistem pengelolaan e-waste melalui pendekatan formal, yaitu diusulkan simpul-simpul stasiun pengumpul, stasiun pengolahan dan pusat penimbunan akhir. Stasiun pengumpul yang direncanakan pada skenario pengembangan terdiri atas Stasiun Pengumpulan Lokal (SPL) dan Stasiun Pengumpulan Regional (SPR). Sedangkan, stasiun pengolahan yang direncanakan pada skenario pengembangan adalah Stasiun Penanganan Antara (SPA). Dari usulan konsep pengembangan penanganan e-waste ada beberapa skenario yang diajukan dalam upaya formalisasi sektor informal pengelolaan e-waste yaitu sebagai berikut : (i). Skenario-1 Seperti kondisi saat ini (sektor informal berkembang pesat dan dominan dalam pengumpulan (collection) maupun daur ulang). Pada Skenario-1 akan ada desentralisasi pengumpulan secara lokal, dimana sektor informal masih berperan dalam upaya pengumpulan e-waste di sumber diantaranya pemulung dan tukang loak yang berperan sebagai collector mobile (Gambar 4). Dari tukang loak dan pemulung selanjutnya akan menuju ke SPL berupa Lapak atau Bandar Kecil yang berada di setiap Kecamatan (1 buah SPL di setiap Kecamatan) untuk selanjutnya menuju ke SPR, SPA, PPDU hingga ke PPA. Adapun lokasi PPDU dan PPA direncanakan di luar Kota Bandung, sehingga tidak tercakup dalam bahasan terkait skenario maupun model pengumpulan ini. (ii). Skenario-2 Mempertahankan sektor informal berjalan seiring dengan sektor formal. Pada Skenario-2 akan ada sentralisasi pengumpulan secara regional, dimana sektor informal (pemulung dan tukang loak) masih berperan dalam upaya pengumpulan e-waste di sumber sebagai collector mobile. Pada skenario-2 tidak ada sistem pengumpul lokal (SPL) sehingga e-waste dari tukang loak dan pemulung akan langsung menuju ke SPR yang berada di setiap regional (total 4 buah SPR di Kota Bandung). Selanjutnya e-waste dari SPR akan menuju ke SPA, PPDU dan berakhir di PPA (Gambar 5).
Lingkungan | 13
Gambar 4. Skema konsep Skenario-1
Gambar 5. Skema konsep Skenario-2
Model biaya pengumpulan e-waste berdasarkan analisis skenario Pada studi ini akan dicari skenario yang paling optimum dari 2 skenario yang diajukan dalam pengumpulan e-waste khusus komputer berdasarkan data total (RT dan non-RT). Skenarionya disebut dengan Skenario-1 dan Skenario-2.. Setiap skenario akan dihitung biaya pada saat banyaknya timbulan e-waste maksimum, rata-rata, dan minimum. Banyaknya SPL yang ada direncanakan sebanyak 30 SPL yang tersebar pada setiap kecamatan yang ada di Kota Bandung. Banyaknya SPR yang direncanakan adalah 4 (empat) stasiun berdasarkan wilayah yaitu Bandung Barat, Bandung Timur, Bandung Utara, dan Bandung Selatan. Banyaknya SPA yang direncanakan adalah 2 (dua) stasiun yaitu, Soekarno-Hatta/Cipamokolan (melayani wilayah Bandung Timur dan Bandung Selatan) dan Padalarang (melayani Bandung Utara dan Bandung Barat). Banyaknya e-waste pada setiap stasiun baik pengumpul ataupun pengolahan akan mengalami reduksi. Selain itu e-waste pada setiap stasiun pengumpul akan mengalami discharge (dibuang sebagai limbah seperti dibakar, dibuang ke tempat sampah) ke lingkungan. Gambar 6 menunjukkan asumsi persentase reduksi dan persentase discharge pada setiap stasiun pengumpul.
Gambar 6. Asumsi proporsi pengumpulan dan reduksi e-waste
Lingkungan | 14
Analisis biaya masing-masing skenario pengumpulan e-waste, yaitu sebagai berikut : 1. Skenario - 1 Pada skenario-1 pengumpulan e-waste akan dimulai dari Stasiun Pengumpul Lokal (SPL) yang ada pada setiap kecamatan di Kota Bandung. Dari SPL e-waste akan dibawa ke Stasiun Pengumpul Regional (SPR). Dari SPR e-waste akan dibawa ke Stasiun Penanganan Antara (SPA). Dari SPA ewaste selanjutnya akan dikirim menuju ke recycler. Pada Skenario-1 ini, 4 lokasi SPR yang terpilih dari 30 lokasi SPL yang dicalonkan adalah Kecamatan Cidadap, Kecamatan Andir, Kecamatan Batununggal, dan Kecamatan Rancasari. Keempat lokasi ini terpilih karena memiliki biaya pengumpulan yang paling minimum dibandingkan dengan penempatan SPR pada lokasi yang lainnya. Gambar 7 menunjukkan peta rencana pengumpulan pada Skenario-1.
Gambar 7. Peta rencana pengumpulan e-waste Skenario-1 di Kota Bandung Dari Gambar 7 apabila dihubungkan dengan persamaan (1) maka persamaan untuk biaya pengumpulan pada Skenario-1 menjadi : ∑ ∑ ∑ ∑ . ∑ ∑ ∑ . ............................(3) ∑ 2. Skenario - 2 Pada Skenario-2 e-waste dari sumber akan dikumpulkan di SPR, pengumpul di sumber ini hanya boleh mengumpulkan e-waste di SPR yang melayani daerah operasinya saja, misal untuk sumber yang beroperasi di daerah Bandung Kulon hanya boleh mengumpulkan e-waste di SPR Padalarang. Dari SPL e-waste akan dibawa ke Stasiun Penanganan Antara (SPA). Dari SPA e-waste akan diangkut menuju ke recycler. Pada Skenario-2, lokasi SPR yang paling optimum adalah Kecamatan Andir, Kecamatan Cidadap, Kecamatan Buah Batu, dan Kecamatan Bandung Kidul. Gambar 8 menunjukkan peta rencana pengumpulan Skenario-2.
Lingkungan | 15
Gambar 8. Peta rencana pengumpulan e-waste Skenario-2 di Kota Bandung Dari Gambar 8 apabila dihubungkan dengan persamaan (1), maka persamaan untuk biaya pengumpulan pada Skenario-2 menjadi : ∑ ∑ ∑ ∑ . .... ...................(4) 3. Prediksi analisis biaya pengumpulan e-waste pada tahun 2015 Dengan menggunakan persamaan analisis biaya pada Skenario-1 dan 2 yang dibahas sebelumnya dapat dihitung prediksi biaya pengumpulan e-waste pada tahun 2015. Pada perhitungan prediksi biaya pengumpulan e-waste pada tahun 2015 ini, menggunakan data proyeksi e-waste pada tahun 2015 yang telah dibahas pada model sebelumnya. Rekapitulasi prediksi biaya pengumpulan e-waste pada tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Biaya pengumpulan e-waste total semua skenario tahun 2015 Banyaknya eRata-rata E-waste Total biaya waste unit biaya diangkut pengumpulan Skenario dihasilkan pengumpulan (ton/bulan) (Rp/bulan) (ton/bulan) (Rp/ton) Skenario 1 Maksimum 307,96 184,77 52.245.671 326.252,41 Skenario 1 Rata-rata 246,36 147,82 49.040.079 Skenario 1 Minimum 184,77 110,86 43.392.649 Skenario 2 Maksimum 307,96 200,17 16.506.393 89.540,32 Skenario 2 Rata-rata 246,36 160,14 14.256.423 Skenario 2 Minimum 184,77 120,10 12.253.252
4. Kesimpulan Perhitungan optimasi biaya pengumpulan yang direncanakan berbasiskan skenario. Skenario yang diajukan merupakan pengembangan dari konsep integrasi sektor informal dengan sektor formal dalam penanganan e-waste, sebagai upaya meminimasi pencemaran terhadap lingkungan. Dari hasil perhitungan optimasi biaya pengumpulan e-waste komputer RT maupun non-RT dapat ditarik kesimpulan bahwa skenario paling optimal untuk pengumpulan e-waste total dengan contoh kasus Kota Bandung adalah dengan menerapkan Skenario-2, yakni pengumpulan e-waste akan dimulai dari Stasiun Pengumpul Regional (SPR) yang ada di 4 (empat) regional di Kota Bandung, dengan biaya pengumpulan Rp. 89.540,32/ton pada tahun 2015. Lingkungan | 16
Daftar Pustaka [1] Liu, X., Tanaka, M., dan Matsui, Y. (2006b) : Generation Amount Prediction and Material Flow of Electronic Waste : A Case Study in Beijing, China, Waste Management & Research Journal, 24, 434-445. [2] Achillas, Ch., Vlachokostas, Ch., Moussiopoulos, N., Perkoulidis, G., Banias, G., dan Mastropavlos, M. (2011) : Electronic waste management cost: a scenario-based analysis for Greece, Waste Management & Research Journal, 24, 1-10. [3] Moussiopoulos N., Karagiannidis A., Papadopoulos A., Achillas Ch., Antonopoulos I., Perkoulidis G., et al. (2010) : Transportation Cost Analysis of the Hellenic System for Alternative Management of Waste Electric and Electronic Equipment, International Journal of Environment and Waste Management, in press. [4] Badan Pusat Statistik Kota Bandung (2009) : Bandung Dalam Angka 2009, BPS Kota Bandung, Bandung.
Lingkungan | 17
Studi Awal Pengembangan Industri Bank Sampah Kota Bandung: Identifikasi Bank Sampah Eksisting Siti Ainun dan Iwan Juwana Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
[email protected],
[email protected]
Abstrak Salah satu penyebab menumpuknya sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) adalah perlakuan sampah di bagian hulu sebelum dibuang ke TPAS. Bank Sampah adalah salah satu alternatif instrumen untuk pengelolaan sampah berbasis Reduce, Reuse dan Recycle (3R) yang dapat dikembangkan di masyarakat. Hasil survey diketahui bahwa pada saat ini terdapat dua buah Bank Sampah utama yang merupakan binaan dari PD Kebersihan dan BPLH Kota Bandung. Jumlah bank sampah di bawah binaan pemerintah Kota Bandung saat ini sudah mencapai sekitar 136 buah. Bank sampah Resik binaan PD Kebersihan sanggup menampung jenis sampah anorganik dengan 5 jenis dan 30 sub jenis sampah dengan rerata timbulan sampah terkumpul sebanyak 8498 kg/bulan. Hasil identifikasi sementara terhadap sistem yang dilaksanakan adalah lemahnya sistem administrasi dalam pencatatan keluar masuk barang dan uang, belum adanya upaya terkait peningkatan nilai jual sampah dan tingginya ketergantungan akan industry daur ulang. Ketergantungan akan industri daur ulang sangat tinggi sehingga menyebabkan tingginya stok bahan baku yang tersimpan di gudang. Di sisi lain stok bahan baku yang menumpuk sebetulnya bisa dijadikan suatu potensi dalam meningkatkan nilai jual sampah dan mengurangi tingkat ketergantungan tersebut. Key words: sampah, Kota Bandung, bank sampah 1. Pendahuluan Paradigma pengelolaan sampah di Indonesia berubah cukup signifikan dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Titik berat pengelolaan sampah tidak lagi bertumpu pada pembuangan akhir namun sudah bergeser pada aktivitas 3R1, yaitu pengurangan jumlah sampah dari berbagai sumber, pemanfaatan kembali material sampah untuk kegunaan asalnya atau untuk penggunaan lain, serta pemanfaatan material sampah menjadi produk baru yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Upaya perubahan paradigma pengelolaan sampah tersebut harus didukung dengan berbagai instrumen yang dapat merangsang masyarakat untuk melakukan aktivitas 3R. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah instrumen ekonomi yang terkait dengan berbagai aktivitas dalam konteks 3R. Konsep pengembangan sistem ekonomi dalam konteks 3R tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan Bank Sampah yang ditempatkan sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan yang terintegrasi. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan sampah perkotaan adalah perlakuan sampah di bagian hulu sebelum dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Aktifitas 3R, merupakan fokus dari pengelolaan sampah di hulu. Bank sampah dapat dipandang sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan konsep pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R yang dikembangkan di tingkat masyarakat.Sebagai sebuah rekayasa sosial, pengoperasian bank sampah ditujukan untuk merubah perilaku masyarakat untuk berkontribusi dalam pengelolaan sampah perkotaan.
1
3R merupakan singkatan dari Reduce, Reuse dan Recycle.
Lingkungan | 18
Bank sampah merupakan salah satu komponen dari pengelolaan sampah perkotaan sehingga tidak dapat berdiri sendiri namun harus terintegrasi dengan komponen lain yang terhubung dalam relasi yang sistemik. Bank Sampah juga dapat berperan sebagai dropping point bagi produsen untuk produk dan kemasan produk yang masa pakainya telah usai. Sehingga sebagian tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan sampah juga menjadi tanggungjawab pelaku usaha. Dengan menerapkan pola ini diharapkan volume sampah yang dibuang ke TPA berkurang. Penerapan prinsip 3R sedekat mungkin dengan sumber sampah juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah sampah secara terintegrasi dan menyeluruh sehinga tujuan akhir kebijakan Pengelolaan Sampah Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Kota Bandung sudah memiliki sejumlah bank sampah yang beroperasi sejak tahun 2012 sampai sekarang. Inisiasi, pengelolaan dan pembinaan datang dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, LSM, PartaI Politik bahkan sampai pihak swasta. Pengelolaan bank sampah skala terkecil mulai dari bank sampah skala RW, untuk kemudian masing – masing bergabunga atau mendapatkan binaan dengan dukungan dari berbagai pihak dan berkembang menjadi suatu komunitas tertentu. Contoh Bank Sampah yang sudah berkembang dengan berbagai macam lembaga pembinanya adalah Bank Sampah Bandung Mandiri, Bank Sampah Wargi Manglayang, Bank Sampah PKS yang sudah memiliki 13 unit bank sampah, Bank Sampah Bandung yang memiliki nasabah non domestik seperti hotel, rumah makan dan bahkan institusi seperti sekolah (banksampahbandung.org), termasuk LSM Hijau Lestari yang sudah memiliki 100 cabang / unit bank sampah dengan 2000 orang nasabah. Setiap bank sampah tersebut memiliki daerah tersendeiri yang menjadi cakupan pelayanan bank sampahnya. Keberadaan bank sampah di Kota Bandung berkembang secara sporadis, dengan kelembagaan paling besar adalah pada skala komunitas di bawah binaan suatu lembaga tertentu. Meskipun demikian, tentunya hambatan dan kendala opersioanal maupun non teknis tidak dapat terelakkan sementara tantangan dan potensi keberadaan dan timbulan sampah dengan keragaman komposisi dan karakteristiknya terus meningkat. Tentunya pengembangan akan bank sampah induk semakin diperlukan sehingga keberadaan bank sampah semakin kuat, semakin diakui dan semakin berkelanjutan. Penelitian bank sampah ini diperlukan untuk bisa melakukan kajian – kajian terhadap kondisi eksisting dari bank sampah skala komunitas yang ada terkait dengan potensi pengembangan sebagai inisiasi upaya pengembangan dan pendirian industri bank sampah, melalui pengembangan bank sampah induk, di Kota Bandung. 2. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan dengan metodologi seperti terlihat pada Gambar 1 berikut.
Lingkungan | 19
Gambar 1. Metodologi Penelitian Berdasarkan gambar di atas, tulisan ini akan membahas sistem pengelolaan bank sampah eksisting di Kota Bandung, baik secara komunal, komunitas dari skala terkecil sampai dengan skala terbesar, khususnya terkait nasabah dan pengelola bank sampah. 3. Hasil Seperti dijelaskan sebelumnya, fokus tulisan ini adalah identifikasi bank sampah eksisting di Kota Bandung, khususnya yang memiliki potensi besar untuk dijadikan bank sampah induk skala kota sebagai sentra industri bank sampah. 3.1. Hasil Identifikasi Nasabah Bank Sampah 3.1.1. Nasabah Bank Binaan PD Kebersihan Bank sampah binaan PD Kebersihan adalah individu yang mayoritas merupakan pegawai tetap maupun tidak tetap PD Kebersihan. Saat ini, terdapat 149 nasabah aktif yang dikelola Bank Lingkungan | 20
Sampah Resik. Peran nasabah bank sampah adalah sebagai sumber penghasil sampah (Ainun, 2013). Adapun jenis nasabah yang menabungkan sampahnya di Bank Sampah Resik adalah : 1. Nasabah Individu Terdiri dari masyarakat umum yang tinggal di sekitar lokasi Bank Sampah Resik, karyawan PD Kebersihan dan petugas roda yang ada di Tempat Penampungan Sementara (TPS), dimana dari 22 TPS prioritas, baru 14 TPS yang bersedia untuk berpartisipasi. 2. Nasabah Institusi Selain karyawannya, PD Kebersihan melalui bidang – bidang yang ada di dalamnya juga menjadi nasabah dari Bank Sampah Resik. Institusi lainnya seperti Dinas Pertamanan, Rumah Sakit Santo Yusup, serta Rumah Sakit Santosa wilayah Kebon Jati dan wilayah Kopo yang merupakan pelanggan pelayanan khusus juga menjadi nasabah Bank Sampah Resik. Hal ini dikarenakan sampah – sampah yang telah diangkut dari tempat – tempat tersebut selanjutnya dipilah dan kemudian dimasukkan ke dalam bank sampah. Keuntungan dari sampah yang dijual kepada bandar atau pabrik akan dibagi sama rata antara pihak PD Kebersihan dan pihak instansi atau daerah komersil. 3. Nasabah Daerah komersil Sama seperti Dinas Pertamanan, Rumah Sakit Santo Yusup dan Rumah Sakit Santosa, tempat – tempat yang menjadi nasabah jenis daerah komersil ini juga pada mulanya merupakan pelanggan pelayanan khusus. Adapun tempat – tempat yang menjadi nasabah daerah komersil, yaitu Mall Paris van Java dan Balubur Town Square. 4. Nasabah Bank sampah skala kelurahan Meski memiliki tujuan awal untuk meningkatkan pendapatan, PD Kebersihan melalui Bank Sampah Resik juga mendirikan bank sampah skala kelurahan dan melakukan pembinaan pada bank sampah tersebut atas dasar adanya permintaan dari lurah yang bersangkutan. Adapun kelurahan yang sudah menjadi nasabah Bank Sampah Resik adalah Kelurahan Antapani dan Kelurahan Cempaka. Rencana pengembangan kedepannya, Bank Sampah Resik berencana akan mendirikan bank sampah skala kelurahan di seluruh kelurahan di Kota Bandung atau sebanyak 151 buah bank sampah. Berdasarkan data di atas, Bank Sampah Resik telah berhasil untuk menarik nasabah dari berbagai jenis penghasil sampah, baik dari penghasil sampah rumah tangga maupun penghasil sampah sejenis sampah rumah tangga. Dari segi penghasil sampah / sumber sampah, bank sampah sudah memiliki jenis nasabah yang beragam. Posisi Bank Sampah Resik sebagai binaan langsung dari PD Kebersihan, maka terdapat potens yang sangat besar untuk mengembangkan nasabahnya. Hal ini di dukung oleh posisi PD Kebersihan sebagai perusahaan daerah yang bergerak dalam mengelola sampahnya. Pengembangan nasabah bisa di lakukan didasarkan atas daerah layanan PD kebersihan eksisting, sehingga pengelolaan bank sampah bisa sejalan, terukur dan terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah eksisting. Kelembagaan dari Bank Sampah Resik bisa dilakukan dengan menjadikannya sebagai unit bisnis dari PD Kebersihan. Meskipun demikian, PD Kebersihan saat ini lebih memiliki minat untuk menjadikan bank sampah Resik menjadi suatu Recycling Centre Kota Bandung. 3.1.2. Nasabah Bank Binaan BPLH Kota Bandung Nasabah di Bank Sampah HIjau Lestari terdistribusi ke dalam 100 bank sampah. Jenis dan jumlah nasabah Bank sampah binaan BPLH ini masih dalam tahapan pengambilan data. 100 bank sampah yang merupakan nasabah dari bank sampah hijau lestari sangat berpotensi menjadi bank cabang dari bank sampah hijau lestari tersebut. Bank sampah yang berada di bawah Bank Sampah hijau Lestari ini merupakah salah satu contoh bank sampah yang berasal dari inisiatif komunitas masyarakat berbasiskan kegiatan gotong royong dan sukarela yang Lingkungan | 21
kemudian berkembbang menjadi model operasional bank sampah (Unilever, 2013). Hal ini menjadikan Bank Sampah Hijau Lestari sebagai salah satu bank sampah yang sudah berhasil dalam pengelolaannya sehingga bisa menarik nasabah dengan jenis dan jumlah yang cukup signifikan. Perlu dilakukan identifikasi jumlah nasabah di setiap bank sampah binaan Hijau Lestari ini yang memiliki potensi jumlah nasabah yang lebih dari 10.000 dan bisa melebihi nassabah dari Kota Yogya, Padang dan Surabaya (Arifiani et al., 2013; Kristina, 2014; Meidiana & Gamse, 2010; Supriyadi, Kriwoken, & Birley, 2000). Hal ini menjadi peonting mengingat masih lemahnya posisi kelembagaan Bank Sampah Hijau Lestari sebagai binaan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bandung, memerlukan dukungan sehingga bisa mengembangkan sistem pengelolaan dan luas wilayah cakupannya. 3.2. Identifikasi Bahan Baku Bank Sampah Binaan PD Kebersihan Sampah yang ditabungkan oleh nasabah berupa sampah anorganik yang memiliki nilai jual, dan kebanyakan masih berupa ember campur, istilah ini digunakan bagi sampah yang belum terpilah berdasarkan jenisnya. Namun, ada beberapa nasabah individu yang sudah menabungkan sampahnya secara terpilah atau hanya menabungkan jenis sampah tertentu saja. Selama ini, dalam operasionalnya, Bank Sampah Resik menampung barang-barang sebagai berikut: A. Ember Campur, terdiri dari botol plastik (botol air mineral bening), gelas plastik (gelas air mineral bening), ember bekas. botol shampoo/mainan, Kerasan (sejenis pipa paralon plastik), PET/Polyethilene Terephthalate (botol dan atau gelas minuman yang berwarna) B. Plastik, terdiri dari plastik bening/PP/polypropylene, kresek/HD/High DenistyPE/Polyethilen C. Kertas, terdiri dari duplek, koran, arsip, cede (koran bekas rusak), dus D. Logam, terdiri dari besi AS (besi beku), besi SP (besi tipis), alumunium RC (kaleng minuman ringan), alumunium PC (bekas perabotan dapur), kaleng, tembaga, anhas (keran air dan sejenisnya) E. Botol berbahan dasar beling, terdiri dari botol kecap, botol OTB, botol bir, botol / KG / beling Akibat dari banyaknya sampah anorganik tabungan nasabah yang belum terpilah, maka dilakukan pemilahan secara kasar, yaitu hanya sebatas sampah tersebut tergolong ember, plastik, kertas, logam atau botol.Pemilahan secara kasar ini dilakukan oleh karyawan Bank Sampah Resik dibantu petugas TPST Babakan Sari di Gudang Bank Sampah Resik Jl. Babakan Sari. Setelah itu sampah akan dibawa ke tempat pemilahan di Sekelimus untuk benar-benar dipilah sesuai dengan jenis yang dibuat oleh PD Kebersihan. Pemilah bukan berasal dari karyawan PD Kebersihan, melainkan tim-tim dari bandar yang sudah sangat paham tentang jenis-jenis sampah dan memahami keinginan pabrik. Adapun yang disebut dengan bandar adalah pihak yang mengumpulkan sampah anorganik dan kemudian menjualnya ke pabrik atau industri daur ulang. Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa jenis sampah yang di terima oleh bank sampah sudah bervariasi, namun demikian masih teridentifikasi di dominasi oleh jenis kerasan dan belum mencakup pada berbagai jenis kemasan plastic yang saat ini masih menjadi masalah. Hal ini bisa di lakukan jika bank sampah memiliki strategi dalam meningkatkan nilai jual sampah dengan mengolah berbagai jenis sampah yang masih bisa di manfaatkan menjadi berbagai macam jenis produk atau bahan baku dengan lebih kreatif. Peningkatan nilai jual sampah ini bisa terlaksana jika sudah melakukan identifikasi komposisi sampah yang berpotensi untuk di daur ulang dan atau di recycle, di dukung dengan peraturan dan atau strategi agar nasabah bank sampah mau memilah dan adanya berbagai jenis peralatan penunjang, sumber daya dan teknologi yang bisa merubah berbagai jenis sampah tersebut menjadi memiliki nilai jual yang lebih. Pemilahan secara homogen sejak dari sumber akan mendukung upaya pemanfaatan material sampah menjadi material bahan baku yang dapat di olah menjadi produk baru yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (Mahardika & Kustiwan, 2014; Pemerintah Republik Indonesia, 2008, 2012).
Lingkungan | 22
3.4. Identifikasi Pengelolaan Bank Sampah A. Sistem Pengumpulan Sistem pengumpulan sampah di Bank Sampah Resik terdiri dari dua cara, yaitu : a. Nasabah individu membawa sampahnya sendiri ke bank sampah pada hari operasional bank sampah ( Senin - Jum'at ) b. Sampah dari nasabah individu, institusi atau daerah komersional yang merupakan pelanggan pelayanan khusus dijemput oleh petugas bank sampah. Jumlah sampah minimal sebanyak 1 mobil bak. Sistem yang di pengumpulan yang sudah di lakukan sudah mempertimbangkan dengan jumlah sampah yang terkumpul dengan mempertimbangkan biaya yang di perlukan untuk melakukan penjemputan. Gambar 1 Timbangan yang Digunakan Sistem ini mendukung penyelesaian di Bank Sampah Resik (Sumber : sampah dengan penerapan 3R sedekat Dokumentasi, 2016) mungkin dengan sumber sampah sehingga permasalahan sampah bisa terintegrasi dengan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah. Kajian tersebut bisa memberikan masukan terhadap kebijakan pengelolaan sampah dengan tatanan sistemyang lebih baik di masyarakat (Suwerda, 2012, Wintoko, 2011, 2012). B. Sistem Penimbangan Penimbangan dilakukan di depan gudang bank sampah. Adapun jenis timbangan yang digunakan merupakan timbangan duduk kapasitas 500 kg. Hal yang perlu di tingkatkan adalah adanya timbangan lain yang bisa mengukur kapasitas sampah yang lebih kecil. C. Sistem Pencatatan Pencatatan dilakukan oleh petugas penimbangan. Hasil timbangan dicatat dahulu pada selembar kertas atau media lain yang dapat digunakan untuk menulis. Catatan hasil penimbangan tersebut kemudian dilaporkan ke bagian administrasi untuk dicatat di buku kas besar. Adapun alur penimbangan dan pencatatan yang diterapkan di Bank Sampah resik, yaitu : Sampah ditimbang dicatat berapa beratnya konversi jenis harga (dilihat isinya apa) cek harga konversi ke rupiah ditulis di buku tabungan kalkulasi saldo tabungan. Sistem pencatatan merupakan suatu aktivitas yang penting dalam operasional bank sampah mengingat dari sistem inilah data jumlah setiap jenis sampah yang terkumpul bisa di tukarkan dengan sejumlah uang. Oleh karena itu di perlukan perbaikan dalam sistem pencatatan jika bank sampah ini akan melakukan pengembangan operasinya.
Lingkungan | 23
E. Wadah Menyimpan Sampah Sampah yang telah ditabungkan oleh nasabah kemudian dimasukkan dalam polybag atau karung. Di sarankan agar adanya sistem manajemen penyimpanan sampah yang terpilah. F. Kondisi Tempat Menyimpan Sampah (Gudang Bank Sampah) Sampah yang telah dimasukkan dalam karung atau polybag kemudian disimpan di dalam gudang bank sampah. Gudang Bank Sampah Resik berlokasi di TPST Babakan Sari di Jl. Babakan Sari No. 64 Kiaracondong dan merupakan lahan milik PD Kebersihan. Awalnya dibangun untuk menjadi tempat kendaraan operasional TPST Babakan Sari, Gambar 3 Polybag dan Karung yang namun saat terpilihnya Bapak Ridwan Kamil Digunakan sebagai Wadah Sampah sebagai walikota, tempat ini dimanfaatkan (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016) sebagai gudang sampah anorganik dan sekarang difungsikan sebagai gudang Bank Sampah Resik. Adapun spesifikasi dari Gudang Bank Sampah Resik, yaitu : a. Luas gudang sebesar 6 m x 4 m dan tinggi sebesar 5 m b. Bangunan terdiri dari bata biasa (setengah badan) dan setengah lagi ram kawat c. Atap berupa asbes bergelombang d. Lantainya berupa lantai plesteran Kondisi dari gudan gbank sampah ini sudah memadai dan sesuai dengan persyaratan dari kementrian lingkungan hidup terkait operasional bank sampah. G. Tindak Lanjut dari Sampah yang Sudah Terkumpul Sampah yang ditabungkan oleh nasabah tidak diolah di Bank Sampah Resik, tapi hanya dilakukan pemilahan secara kasar. Sampah-sampah tersebut dibawa ke Sekelimus untuk dipilah kembali. Sampah-sampah yang sudah terpilah berdasarkan jenisnya tersebut, lalu dijual ke bandar (kurang lebih ada 10 bandar yang ada di daerah Antapani dan jalur Bojongsoang) atau langsung dijual ke pabrik-pabrik penggilingan atau daur ulang (ada 2 pabrik penggilingan di daerah Bojongsoang). Harga yang ditawarkan oleh pabrik biasanya lebih mahal dibanding bandar, namun penjualan pada pabrik berlaku sistem pengembalian barang (jika pihak pabrik tidak merasa cocok dengan sampah yang dibawa, maka sampah akan dikembalikan). Sedangkan pada bandar, tidak berlaku sistem pengembalian, hanya saja ada pengurangan harga. Harga yang berlaku sangat dipengaruhi oleh banyaknya stok barang (jika stok barang di pabrik atau di bandar masih banyak, tetapi perlu dilakukan pengosongan di gudang bank sampah, maka harga akan murah), selain itu juga dipengaruhi oleh penyusutan yang dikenai potongan sebesar 10% dari harga sampah, contoh sampah yang mengalami penyusutan adalah kardus, kertas. Adanya sistem kerjasama yang sudah terjalin memberikan peluang yang lebih besar untuk menjadi sistem kemitraan yang bisa bersifat saling menguntungkan. Pengembangan ini diperlukan untuk dasar penetapan strategi pengembangan bank sampah dan mendukung operasional bank sampah sehingga bisa optimal dalam mewujudkan bank sampah skala kota sebagai recycling centre yang berguna untuk masyarakat dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengurangan sampah di Kota Bandung. 4. Kesimpulan Berdasarkan jumlah nasabah teridentifikasi, dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi yang sangat besar dari sisi nasabah bank sampah di Kota Bandung. Hal ini dibuktikan, salah satunya, dengan tingginya permintaan kelompok masyarakat kepada Bank Sampah Hijau Lestari untuk menjadi salah satu nasabah bank sampah. Walaupun demikian, permintaan ini tidak semua dapat dipenuhi karena Lingkungan | 24
keterbatasan Bank Sampah dalam pengangkutan sampah. Tingginya potensi nasabah ini menjadi indikasi penting tingginya potensi sampah yang bisa disalurkan melalui bank sampah. Hal lain yang menjadi kesimpulan dari studi ini adalah tingginya kebutuhan bank sampah terhadap sistem pengumpulan dan pencatatan sampah dalam suatu sistem bank sampah secara teritegrasi. Hal ini akan memberikan kemudahan dalam opersional bank sampah, serta memberikan peluang besar dalam pengembangan bank sampah skala kota. Sistem informasi terkait pengumpulan dan pencatatan dalam bank sampah akan menjadi sumber informasi utama dalam upaya pengembangan bank sampah skala kota, khususnya Kota Bandung. Penelitian ini juga memberikan informasi terkait kelembagaan bank sampah, yakni perlunya dukungan lembaga pemerintah dalam inisiasi bank sampah skala kota, untuk Kota Bandung. Bentuk dan jenis dukungan ini akan menjadi salah satu dasar dalam menentukan model bank sampah skala kota yang tepat untuk Kota Bandung. Daftar Pustaka [1] Ainun, S., (2014), Konseptual Bank Sampah Skala Kota, GIZ, Jakarta, Indonesia. [2] Arifiani, N. F., Maryati, S., Dote, Y., & Sekito, T. (2013). Household behavior and attitudes towards waste bank in Malang. Unpublished master’s thesis). Linkage Program between Institut Teknologi Bandung, Indonesia and University of Miyazaki, Japan. [3] Kristina, H. J. (2014). Model Konseptual Untuk Mengukur Adaptabilitas Bank Sampah Di Indonesia. J@ TI (JURNAL TEKNIK INDUSTRI), 9(1), 19-28. [4] Mahardika, K., & Kustiwan, I. (2014). Potensi Pengembangan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Persampahan Berkelanjutan di Kota Bandung. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3. [5] Meidiana, C., & Gamse, T. (2010). Development of waste management practices in Indonesia. [6] Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. 16. Retrieved from http://www.menlh.go.id/DATA/PP_NO_81_TAHUN_2012.pdf [7] Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [8] Supriyadi, S., Kriwoken, L. K., & Birley, I. (2000). Solid waste management solutions for Semarang, Indonesia. Waste management and Research, 18(6), 557-566. [9] Suwerda, B. (2012). Bank Sampah (KajianTeori dan Penerapan). Penerbit Pustaka Rihama. Yogyakarta. [10] Unilever, 2013, Buku Pandunan Sistem Bank Sampah dan 10 kisah sukses, Jakarta, Indonesia [11] Wintoko, B. (2011). Panduan Praktis Mendirikan Bank Sampah (Keuntungan Ganda Lingkungan Bersih dan Kemapanan Finansial: Yogyakarta. Pustaka Baru Press. [12] Wintoko, B. (2012). Panduan Praktis Mendirikan Bank Sampah: Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Lingkungan | 25
Validasi Tinggi Gelombang Signifikan dari Data Satelit Altimetri Terhadap Data Gelombang Hasil Pengukuran Lapangan di Perairan Pacitan, Jawa Timur Yati Muliati1, Andojo Wurjanto2 dan Widodo S. Pranowo3 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Jln. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
[email protected],
[email protected] 2 Program Studi Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jln. Ganesha 10 Bandung 40132
[email protected]
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir 3 Komplek Bina Samudra Jln. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
[email protected]
Abstract Penelitian di Indonesia jarang memanfaatkan teknologi altimetri berkaitan dengan tinggi gelombang signifikan (Hs). Hal ini antara lain disebabkan oleh belum adanya perbandingan Hs hasil satelit altimetri dengan pengukuran lapangan di perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memvalidasi Hs hasil pengukuran satelit altimetri terhadap hasil pengukuran lapangan di perairan Pacitan Jawa Timur. Hs altimetry dihasilkan oleh akuisisi 3 satelit, dimana file berbentuk NetCDF kemudian diubah menjadi ASCII dan ekstrasi data menjadi seri waktu menggunakan perangkat lunak komputer yang dibuat secara khusus. Metoda statistik digunakan untuk perhitungan tinggi gelombang signifikan rata-rata harian, dan besaran simpangan Hs altimetri terhadap Hs lapangan untuk data Hs bulan Agustus 2010 – Februari 2011. Hasil perbandingan menunjukkan Hs lapangan = 1,959* Hs altimetry, dengan pola regresi faktor pengali serta masing-masing Hs mengikuti fungsi polinomial ordo 6. Khusus pada bulan Des-Feb (angin monsun barat) faktor pengali cukup baik (1,05), dimana pada masa tersebut angin bertiup kencang dan terjadi banyak hujan di Indonesia, sehingga pengukuran satelit mendekati pengukuran lapangan. Faktor pengali 1,959 merupakan nilai yang cukup besar, sehingga dapat dianggap data Hs altimetri kurang akurat untuk digunakan. Namun tentunya akan lebih baik bila dilakukan validasi ulang pada lokasi yang berbeda dengan rentang waktu satu tahun penuh. Keywords: validasi, altimeter, tinggi gelombang signifikan, gelombang gauge, Pacitan perairan pesisir, Indonesia 1. Pendahuluan Penentuan karakteristik gelombang layaknya berdasarkan data gelombang pada seluruh perairan. Namun hal ini tidak mudah didapatkan, karena keterbatasan data yang dapat mewakili seluruh perairan. Data yang dimaksud adalah data gelombang aktual, hasil pengukuran yang cukup lama pada lokasi-lokasi yang kondisi geografisnya berbeda. Keterbatasan data disebabkan karena belum ada instansi yang bertanggung jawab penuh mengukur gelombang secara kontinyu di berbagai lokasi. Di samping itu biaya untuk pengukuran gelombang relatif cukup besar, sehingga umumnya pengukuran dilakukan pada suatu lokasi, hanya jika pada lokasi tersebut akan dibangun suatu bangunan pantai atau bangunan lepas pantai [1]. Desain struktur laut didasarkan pada perkiraan beban yang ditimbulkan dari gelombang maksimum yang mungkin terjadi selama periode ulang tertentu [2].
Lingkungan | 26
Mengingat sulitnya mendapatkan data hasil pengukuran gelombang di Indonesia, maka untuk keperluan perencanaan bangunan pantai maupun lepas pantai, sering dilakukan peramalan gelombang berdasarkan angin, meskipun terjadi perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran dan peramalan. Alternatif lain untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik gelombang adalah memanfaatkan data altimetri hasil pengamatan fluktuasi muka air laut dengan satelit, yang juga menghasilkan tinggi gelombang signifikan (Hs). Tinggi gelombang signifikan (significant wave height) didefinisikan sebagai tinggi rata-rata 1/3 dari gelombang-gelombang tertinggi, yang nilainya setara dengan tinggi gelombang hasil observasi visual (WMO-702, 1998). Tinggi gelombang signifikan biasa disimbolkan dengan parameter H1/3 atau Hs. Penelitian di Indonesia jarang memanfaatkan teknologi altimetri berkaitan dengan tinggi gelombang signifikan. Sejauh ini pemanfaatan altimetri di Indonesia umumnya adalah untuk penentuan topografi muka laut, variasi muka laut, analisis harmonik pasang surut, dan penentuan model pasang surut. Hal ini antara lain disebabkan oleh belum adanya perbandingan hasil satelit altimetri dengan pengukuran lapangan di perairan Indonesia, sehingga pengguna belum mengetahui apakah Hs altimetry dapat langsung digunakan untuk perencanaan bangunan pantai/laut di Indonesia. Oleh karena itu dalam makalah ini tinggi gelombang signifikan hasil pengukuran satelit altimetri akan divalidasi terhadap hasil pengukuran lapangan di perairan pantai Pacitan, Jawa Timur, Indonesia. 2. Studi Literatur Altimetri adalah teknik untuk mengukur tinggi. Satelit altimetri mengukur waktu yang digunakan oleh pulsa radar untuk perjalanan dari antena satelit ke permukaan dan kembali ke satelit penerima. Dikombinasikan dengan data lokasi satelit yang tepat, pengukuran altimetri menghasilkan ketinggian permukaan laut [4]. Sistem satelit altimetri terdiri atas radar altimeter yang dipakai untuk mengamati tinggi satelit di atas permukaan laut dan sistem pelacak yang berfungsi untuk menentukan tinggi satelit di atas bidang acuan (elipsoid tertentu) dengan teknik penentuan orbit yang teliti. Selisih tinggi keduanya disebut sebagai Sea Surface Height, SSH, [5]. Untuk mendapatkan jarak ukuran altimeter, satelit memancarkan sinyal tajam ke permukaan laut. Sebuah luasan berbentuk lingkaran dengan diameter beberapa kilometer dipermukaan laut sesaat, yang disebut dengan footprint, dikenai pulsa altimeter. Receiver pada satelit mencatat sinyal yang dipantulkan oleh permukaan laut. Pencatat waktu yang sensitif mencatat perbedaan waktu tempuh (∆t) saat pemancaran dan penerimaan sinyal. Ketinggian satelit (ρ) di atas permukaan laut dapat ditentukan dari hasil pencatatan waktu (∆t) dan kecepatan rambat sinyal (c) yang telah ditentukan. Ketinggian satelit (ρ) dapat didekati dengan persamaan 1 [6]. (1) Hubungan geometri pengukuran satelit altimetri beserta koreksi-koreksi yang diperlukan ditunjukkan pada Gambar 1. Dengan mengabaikan koreksi-koreksi yang harus diterapkan maka diperoleh persamaan dasar altimetri, sebagai berikut [6] : (2) dengan H: tinggi satelit; ρ: jarak altimeter, h: SSH, N: undulasi/tinggi geoid dan hd: Sea Surface Topography (SST).
Lingkungan | 27
Gambar 1 Konsep dasar pengukuran satellite altimetri [7] Permukaan laut tidak datar, sehingga refleksi pertama energi dimulai ketika pulsa terdepan mencapai puncak paling atas dari gelombang, lebih awal dari untuk permukaan datar, tetapi energi yang dipantulkan tidak mencapai maksimum sampai rekam jejak mencapai gelombang terendah. Dengan cara ini, altimeter mampu merata-ratakan efek gelombang laut (Gambar 2). Parameter ini disebut Tinggi gelombang Signifikan Rata-rata (Mean Significant Wave Height, MSWH). Jadi, parameter ini diperoleh dengan menganalisis bentuk dan intensitas sinar altimeter radar yang dipantulkan dari permukaan laut (radar echo) [8].
Gambar 2. Cara Altimetri membuat Tinggi Gelombang Signifikan Rata-rata 3. Metodologi Penelitian dimulai dengan menyiapkan data altimetry, yaitu mengubah Hs altimetry yang berbentuk NetCDF menjadi file ASCII dan selanjutnya diekstrasi menjadi seri waktu menggunakan perangkat lunak komputer yang dibuat secara khusus. Data lapangan hasil olahan Setiawan (2013) berupa Hs setiap jam dirata-ratakan menjadi Hs harian, untuk menyesuaikan dengan data altimetry. Metoda yang digunakan dalam melakukan validasi adalah metoda statistik, yaitu dihitung faktor penyetaraan/faktor pengali yaitu Hs lapangan dibagi dengan Hs altimetri. Selanjutnya dicari pola regresi yang sesuai dengan faktor pengali dan masing-masing Hs.
Lingkungan | 28
3.1 Data Hs Altimetri Peta distribusi tinggi gelombang signifikan (Hs) Altimetri diperoleh dari Pusat Penelitian Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (Puslitbang SDLP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang telah mengkoleksi data tersebut dari AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic). Data disajikan dalam bentuk file NetCDF, dimana pada masing-masing grid dinyatakan dalam posisi X dan Y, dengan ordinat X adalah Longitude dan absis Y adalah Latitude. Data tinggi gelombang signifikan hasil pengamatan satelit-satelit tersebut divalidasi dan dikalibrasi secara rutin untuk mendapatkan hasil pengamatan yang mendekati kondisi sesungguhnya di lapangan [9]. Lokasi titik pengamatan di wilayah Indonesia terkait dengan jalur lintasan yang dilalui oleh satelit-satelit tersebut, dengan resolusi spasial 40 km. Validasi terhadap masing-masing satelit Jason-1, ERS-2 dan Envisat telah dilakukan dengan data yang didapat dari jaringan buoy gelombang NDBC (National Data Buoy Centre) sebagai pembandingnya, dengan rentang waktu sejak tahun 1995 hingga 2011 (Queffeulou dkk., 2012). Dari perbandingan keduanya didapatkan nilai bias dan standar deviasi bulanan untuk masing-masing satelit, dimana untuk hasil pengamatan satelit Jason-1 dan 2 adalah sebesar 6 cm dengan standar deviasi 21 cm. Sedangkan untuk Envisat didapatkan kisaran bias antara 2 hingga 13 cm dan kisaran standar deviasi bulanan antara 14 hingga 27 cm [9]. Sebagai contoh peta distribusi tinggi gelombang signifikan (Hs) dalam satuan meter yang dibuat pada tanggal 14 Februari 2011 hasil akuisisi 3 satelit (pengukuran satelit masing-masing sesuai nama filenya, yaitu 2 satelit pada tanggal 14 Februari 2011 dan 1 satelit pada 18 Februari 2011), ditampilkan dengan bantuan program Ncbrowse menjadi seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Contoh peta distribusi Hs altimetri. File data tinggi gelombang signifikan dalam bentuk nc dikonversi dengan bantuan program NetCDF4Excel menjadi bentuk xls, dengan 5 buah sheet dalam setiap filenya, yang berisi info file, data dalam bentuk grid, identitas Lat-Lon, data Latitudes, dan data Longitudes. Sheet berisi grid data disajikan dengan format 360 baris yang menunjukkan Longitude (bujur 00 sampai dengan 3590), dan 180 kolom yang menunjukkan Latitude (lintang -900 sampai dengan +890). Hal ini menunjukkan interval grid sebesar 1 derajat (Gambar 4). Lingkungan | 29
Gambar 4. Contoh Hasil Ekstrasi Data Hs altimetry 3.2 Data Hs Pengukuran Lapangan Data Hs setiap jam hasil olahan dari pengukuran lapangan diperoleh dari Setiawan (2013) untuk kurun waktu 14 Agustus 2010 – 14 Februari 2011. Hs setiap jam dirata-ratakan menjadi Hs harian. Lokasi pengukuran gelombang di pantai Pacitan (Gambar 5) adalah pada kedalaman 20 m, dengan koordinat X=540750 dan Y=9085774 UTM (-8,270 LS dan 111,370 BT). Pengukuran dilakukan selama 12 bulan mulai Februari 2010 sampai dengan Januari 2011 oleh Dongfang Electric Company (DEC) bekerjasama dengan PT. Petrosol sebagai konsultan survey dan analisis pengukuran gelombang untuk Coal-Fired Power Plant di lokasi tersebut, dimana PLN (Pusat) akan membangun Coal Fired Steam Power Plant [10].
Gambar 5. Lokasi pengukuran gelombang [11] 4. Hasil dan Pembahasan Data Hs harian kedua sumber disajikan pada Gambar 6. Nampak besaran Hs altimetri sangat bervariasi, sementara Hs lapangan (field) berkisar antara 1-2,50 meter. Selama 6 bulan pengukuran, Hs altimetri rata-rata adalah 1,52 m dengan standar deviasi 0,93 m, sedangkan Hs lapangan rata-rata adalah 1,68 meter dengan standar deviasi 0,34.
Lingkungan | 30
Gambar 6. Distribusi Hs lapangan dan Hs altimetri Perbandingan antara Hs altimetri terhadap Hs lapangan untuk data Hs bulan Agustus 2010 – Februari 2011 menghasilkan faktor pengali = 1,959 atau Hs lapangan = 1,959* Hs altimetry. Khusus pada bulan Des-Feb (angin muson barat, bertiup dari benua Asia menuju benua Australia) faktor pengali cukup baik (1,05), dimana pada masa tersebut angin bertiup kencang dan terjadi banyak hujan di Indonesia, sehingga pengukuran satelit mendekati pengukuran lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil peramalan gelombang dari data angin yang dilakukan oleh Kurniawan dkk (2011), dimana pada saat muson Barat dan muson Timur rata-rata tinggi gelombang lebih tinggi dibanding pada masa peralihan [12]. Faktor pengali untuk seluruh Hs harian didekati dengan berbagai pola regresi, dan pola regresi yang mendekati adalah fungsi polinomial ordo 6, disajikan pada Gambar 7. Begitu pula untuk pola regresi Hs lapangan dan Hs altimetry, masing-masing mengikuti fungsi polinomial ordo 6 (Gambar 8 dan Gambar 9).
Gambar 7. Type regresi untuk Faktor Pengali
Lingkungan | 31
Gambar 8. Type regresi untuk Hs lapangan
Gambar 9. Type regresi untuk Hs altimetri 5. Kesimpulan Faktor pengali 1,959 merupakan nilai yang cukup besar, sehingga dapat dianggap data Hs altimetri kurang akurat untuk digunakan. Namun tentunya akan lebih baik bila dilakukan validasi ulang pada lokasi yang berbeda dengan rentang waktu satu tahun penuh. 6. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Dr. Setiyawan dan Laboratorium Data Laut dan Pesisir Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikankan data gelombang. Selain itu terima kasih pula untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui skema Hibah Penelitian Disertasi Doktor. Notasi c ∆t H Hs h hd N ρ
kecepatan rambat sinyal waktu tinggi satelit tinggi gelombang signifikan jarak altimeter Sea Surface Topography undulasi/tinggi geoid ketinggian satelit
[m/det] [det] [m] [m] [m] [m] [m] [m]
Lingkungan | 32
Daftar Pustaka [1] Muliati, Y.1997. Studi Awal Perumusan Karakteristik Gelombang: Studi Kasus Perairan Lemahabang Jepara. Magister thesis, Institut Teknologi Bandung, Indonesia. [2] Setiyawan, Salim, H., Lukman, R., Hadi, S., Hadihardaja, I.K. 2013. Spectral Representation In Pacitan and Meulaboh Coast. International Journal of Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS, vol.13 No.01, pp. 29-34. [3] WMO. 1998. Guide to Wave Forecasting and Analysis. WMO - No. 702. [4] The Aviso website. 2015. http://www.aviso.altimetry.fr. [5] Parke, M.E., Stewart, R.H., Farless, D.L. and Cartwright, D.E. 1987. On the Choice of Orbits for an Altimetric Satelite to Study Ocean Circulation and Tides. Journal of Geophysical Research, 92-C1, pp.11.693-11.707. [6] Seeber, G. 1993. Satellite Geodesy, Foundations, Methods, and Applications. Berlin-New York. Walter de Gruyter. [7] Chelton, D.B. 1987. WOCE/NASA Altimeter Algorithm Workshop. U.S. WOCE Technical Report No.2, U.S. Planning Office for WOCE. College Station. [8] Queffeulou, P., Ardhuin, F., dan Lefrvre, J. 2012. Wave Height Measurements from Altimeters Validation Status and Applications. http://www.aviso.oceanobs.com. [9] The Aviso Satelite Altimetry Data. 2016. http://www.aviso.altimetry.fr/en/data/ products/windwave-products.html. [10] Setiyawan. 2013. Spektrum Gelombang Teoritis Perairan Indonesia. Disertasi. Institut Teknologi Bandung. Indonesia. [11] Bakosurtanal. 2010. Peta Bathimetri Laut Indonesia (Pantai Pacitan). Jakarta. pp. 15–64. [12] Kurniawan, R., Habibie, M.N., dan Suratno. 2011. Variasi Bulanan Gelombang Laut di Indonesia. Dokumen 545 Volume 12 Nomor 3 Des 2011, pp. 221-232. http://www.bmkg.go.id/Puslitbang/filePDF.
Lingkungan | 33
Analisis Pencerahan Air Tanah di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat Lina Apriyanti Sulistiowati1) dan Eka Wardhani2) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jalan PHH. Mustofa 23 Bandung 40123 1) Email:
[email protected], 2)E mail:
[email protected] Abstrak Air merupakan kebutuhan penting untuk kehidupan manusia, saat ini air tanah menjadi sumber air bersih utama hampir seluruh kota di Indonesia. Keberadaan air tanah sangat terancam oleh aktivitas manusia seperti pencemaran dan alih fungsi lahan di daerah tangkapan air yang semakin mengurangi infiltasi air tanah. Tujuan dari penelitian ini yaitu melihat tingkat pencemaran air tanah di Kota Cimahi. Metode penelitian menggunakan Grab Sampling di 21 titik pantau air tanah sesuai dengan arahan KLH Kota Cimahi. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Permenkes RI No 416/MenKes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih. Berdasarkan hasil penelitian kualitas air tanah di Kota Cimahi telah tercemar. Berdasarkan hasil penelitian dari 21 lokasi sampling kualitas air sumur baik sumur gali maupun sumur bor dengan kedalaman 7-40 meter. 20 titik telah tercemar paramater bakteri E.coli dan fecal coli melebihi baku mutu. Pada lokasi sumur lainnya terdapat beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu seperti parameter Besi, Mangan, MBAS, dan Flourida. Tingginya parameter Total Coli dan Fecal coli diakibatkan karena lokasi sumur berada pada kerapatan penduduknya sangat tinggi, jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat dekat, serta lokasi antara tangki septik sebagai tempat pembuangan limbah domestik dengan dengan sumur berdekatan sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran oleh kedua bakteri tersebut. Tingginya paremeter Besi dan Mangan di beberapa titik pemantauan berasal dari struktur batuan di Kota Cimahi yang mengandung kedua unsur tersebut. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemangku kepentingan dalam pengendalian pencemaran air tanah di Kota Cimahi. Kata Kunci: Air tanah, Besi, Cimahi, Fecal coli, Mangan, MBAS, Total Coli
Abstract Water is an essential needs for human life, recently the groundwater became the main source of clean water almost in all cities in Indonesia. The existence of groundwater are highly threatened by human activities such as pollution and land use in the saved area which further reduce groundwater infiltration. The purpose of this study is to see the level of groundwater pollution in Cimahi. The research method used Grab Sampling at 21 groundwater monitoring points in accordance with the directives KLH Cimahi. The results of the examination compared to the quality standard pursuant to the Permenkes Decree No. 416/ Menkes/ Per/ IX/ 1990 concerning the terms and monitoring of water quality. Based on the research quality of ground water has been contaminated in Cimahi. Based on the results of the study of 21 water quality sampling locations both dug wells or drilled wells with a depth of 7-40 meters. 20 points have been contaminated with E. coli bacteria and fecal parameters coli exceeded the quality standard. At the location of the other wells there are some parameters that do not meet quality standards such as the parameters iron, manganese, MBAS, and fluoride. The high parameters of Total Coli and fecal coli caused by the location of the well that located on the density of high population, the distance between one house to another house is very close, as well as the location of the septic tank as a domestic waste disposal, and the wells. It is allowing the occurrence of contamination by both bacteria. The high paremeter of Iron and Manganese at some point comes from the monitoring of rock structures in Cimahi containing two elements. The results of this study can be used as an input for stakeholders in ground water pollution control in Cimahi. Keywords: Groundwater, Iron, Cimahi, Fecal Coli, Manganese, MBAS, Total Coli
Lingkungan | 34
1. Pendahuluan Air memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan kesehatan masyarakat. Saat ini sangat sulit memperoleh air yang memadai ditinjau dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Polusi, pemakaian yang tidak berkelanjutan, perubahan tata guna lahan, perubahan cuaca dan berbagai tekanantekanan lainnya merupakan ancaman serius terdadap keberadaan air bersih. Secara geografis, Kota Cimahi terletak pada koordinat 107o30’30’’ BT-107o34’30’’ dan 6o50’00’’6o56’00’’ Lintang Selatan. Dengan variasi ketinggian 700-1.075 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kota Cimahi memiliki temperatur berkisar antara 18°C-29°C. Luas Kota Cimahi secara keseluruhan mencapai 4.025,73 Ha meliputi: Kecamatan Cimahi Utara yang terdiri atas 4 kelurahan, 83 RW dan 418 RT; Cimahi Tengah terdiri atas 6 kelurahan, 107 RW dan 413 RT; dan Cimahi Selatan terdiri dari 5 kelurahan, 111 RW dan 628 RT, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
:
Sebelah Timur
:
Sebelah Selatan
:
Sebelah Barat
:
Kecamatan Parongpong, Cisarua, dan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat. Kecamatan Sukasari, Sukajadi, Cicendo dan Andir Kota Bandung. Kecamatan Bandung Kulon Kota Bandung dan Margaasih Kabupaten Bandung. Kecamatan Padalarang dan Batujajar Kabupaten Bandung Barat.
Kebutuhan air sehari-hari masyarakat di Kota Cimahi sebagian besar menggunakan air tanah hanya 15.356 KK yang memperoleh pelayanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)Tirta Raharja Kota Cimahi. Ketergantungan masyarakat terhadap air tanah memerlukan peninjauan kualitas air tanah yang digunakan untuk mengetahui apakah air tanah yang ada layak atau tidak dikonsumsi penduduk (Anonim, 2015). Penggunaan air yang tidak layak dapat menimbulkan wabah penyakit bawaan air di masyarakat. Penggunaan air besih dengan kualitas yang kurang baik pada jangka pendek dapat mengakibatkan muntaber, diare, kolera, tipus, atau disentri, sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan penyakit keropos tulang, korosi gigi, anemia dan kerusakan ginjal. Hal ini terjadi antara lain karena terdapatnya logam-logam yang berat yang banyak bersifat toksik (racun) dan pengendapan pada ginjal (Soemirat, 1999). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai kualitas air sumur penduduk untuk mengetahui kelayakan air tersebut untuk di konsumsi. Maksud dari penelitian ini adalah melakukan analisis kualitas air sumur di Kota Cimahi sebagai bahan informasi bagi pihak instansi yang terkait dalam upaya penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah: 1. Menganalisis kualitas air pada sumur dangkal di Kota Cimahi ditinjau dari analisis kimia, fisik, maupun mikrobiologi; 2. Menganalisis tingkat pencemaran air sumur dangkal di Kota Cimahi. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai data dasar untuk mengambil kebijakan oleh pemerintah daerah dalam pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air sumur di Kota Cimahi 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan yaitu melakukan perbandingan antara kualitas air tanah hasil sampling di di 21 titik air sumur se Kota Cimahi dengan baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air untuk baku mutu air bersih. Lokasi sampling berasal dari sumur gali, sumur bor, dan sumur artesis.
Lingkungan | 35
Tabel 1 menjabarkan mengenai parameter yang di uji, nilai baku mutu, dan metode pengujian pada penelitian analisis kualitas air sumur di Kota Cimahi. Tabel 1. Parameter kualitas air Baku Mutu
Metode Pengujian
C
±3
SNI.06-6989.23-2005
mg/L NTU µS/cm
1.000 5 -
Conductivity Meter SNI.06-6989.25-2005 SNI.06-6989.1-2004
-
6,5-9,0
SNI.06-6989.11-2004
Kesadahan
mg/L
500
Nitrit (NO2-N) Kadmium (Cd) Krom Heksavalen (Cr+6)
mg/L mg/L
1 0,005
APHA Ed 22, 2012 2340 C APHA Ed 22, 2012 4500 NO2B SNI 6989.16:2009
mg/L
0,05
SNI 6989.53-2009
8 9 10 11
Besi (Fe) Timbal (Pb) Mangan (Mn) Seng (Zn) Fluorida (F-)
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
1 0,05 0,5 15 1,5
SNI 6989.4:2009 SNI 6989.8:2009 SNI 6989.5:2009 SNI 6989.7:2009 SNI.06-6989.29-2005
Klorida (Cl-)
mg/L
600
SNI.6989.19-2009
12
2-
Sulfat (SO4 ) Zat Organik (KMnO4) MBAS
mg/L mg/L mg/L
400 10 0,5
SNI.6989.20-2009 APHA Ed 22, 2012 4500 SO4D SNI 06-6989.51-2005
Total Pospat
mg/L
No
Parameter
Satuan
Parameter Fisika 1 2
Temperatur TDS (Residu Terlarut)
3 4
Kekeruhan Daya Hantar Listrik
o
Kimia Anorganik 1 2 3 4 5 6 7
13 14 15
pH
SMEWW-4500-P-B-D
Parameter Mikrobiologi Jumlah/100 mL 0 APHA Ed 21 2005, 9222B Jumlah/100 2 Fecal Coli mL 0 APHA Ed 21 2005, 9222F Keterangan : Baku Mutu PERMENKES RI No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Bersih, Lampiran II. 1
Total Coli
Lokasi sampling kualitas air berada di Kecamatan Cimahi Utara sebanyak 4 lokasi, Kecamatan Cimahi Tengah sebanyak 2 lokasi, dan kecamatan Cimahi Selatan sebanyak 15 lokasi. Tabel 3.2 menjelaskan mengenai lokasi titik sampling air sumur di Kota Cimahi. Jenis sumber air yaitu sumur gali sebanyak 12 titik, aumur bor 8 titik, dan sumur artesis 1 titik dengan kedalaman antara 6-40 meter.
Lingkungan | 36
Tabel 2. Titik Sampling Sumur Di Kota Cimahi Lokasi Sampling 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Alamat Jl. Pesantren No 6 RT 06 RW 15 Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara Jl. Ter. Gg PGRI No 178 RT 01 RW 18 Kelurahan Citeureup Kec Cimahi Utara Jl Permana No 28B RT 02 RW 06 Kelurahan Citeureup Kecamatan Cimahi Utara Jl. Curug Panganten RT 04 RW 12 Kelurahan Citeureup Kecamatan Cimahi Utara Jl. Lurah Gg Kebon Terong RT 03 RW 03 Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi Tengah Jl. Leuwi Gajah Kp Pintu Air RT 07 RW 08 Kelurahan Cigugur Tengah Kecamatan Cimahi Tengah Jl. Leuwigajah RT 06 RW 04 Kelurahan Cigugur Tengah Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Leuwi Gajah Kp Ciputri No 282 RT 03 RW 05 Kelurahan Cigugur Tengah Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Moch Yamin RT 05 RW 16 Kelurahan Baros Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Panembakan RT 05 RW 05 Kelurahan Padasuka Kec Cimahi Selatan Jl. Jend H Amir Machmud Gg Saad Cisangkan Girang No 47 RT 02 RW 10 Kelurahan Padasuka Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Kebon Mangga No 6 RT 03 RW 21 Kel Padasuka Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Hujung Kaler No 01 RT 04 RW 06 Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan Gg Haji Sulaeman No 2 RT 01 RW 05 Kelurahan Cibeureum Kebon Kopi Jl. Jend. Amir Machmud Cibeureum Gg Sukasari IV RT 02 RW 01 Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Kerkof RT 01 RW 05 Kel Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Kerkof No 01 Kp Padakasih RT 04 RW 08 Kelurahan Cibeber Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Saradon NO 86 RT 04 RW 02 Kelurahan Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Jl. Nanjung RT 01 RW 10 Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan Gg Tamim RT 04 RW 10 Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan Gg Pesantren No 36 RT 01 RW 05 Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan
Jenis Sumur Gali
Kedalaman 10 meter
Gali
10 meter
Bor
24 meter
Bor
20 meter
Artesis
30 meter
Gali
7 meter
Gali
7 meter
Gali
8 meter
Gali
8 meter
Gali
8 meter
Gali
6 meter
Bor
24 meter
Gali
10 meter
Bor
40 meter
Gali
12 meter
Gali
6 meter
Bor
30 meter
Gali
15 meter
Bor
15 meter
Bor
16 meter
Bor
12 meter
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Gambaran umum Hidrogeologi Kota Cimahi Keadaan Hidrogeologi di wilayah Kota Cimahi adalah terdapatnya daerah aliran langka, potensi mata air langka dengan daerah penyebaran di Kecamatan Cimahi Selatan dan di sebagian kecil wilayah Kecamatan Cimahi Tengah. Disamping itu terdapat akuifer produktif di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi Tengah, dan Cimahi Utara. Mengacu pada Peta Hidrogeologi Kabupaten Bandung (Iwaco & Waseco Consultant-Departemen Pekerjaan Umum, dalam rangka pelaksanaan proyek “ West Lingkungan | 37
Java Provincial Water Sources Masterplan for Water Supply), Potensi air tanah di Kota Cimahi secara hidrogeologi dapat dibagi menjadi 3 wilayah air tanah: 1) Wilayah Akuifer Produktif Tinggi dengan Penyebaran Luas Pada wilayah ini air tanah terdapat pada pori-pori antar butir dari endapan kipas vulkanik muda, yang terdiri dari tufa pasir dan tufa berbatu apung. Berdasarkan data hasil pemboran sumur bor PDAM (kedalaman 150-180 m), debit sumur berkisar 13-34 L/detik, harga transmissivity (keterusan) berkisar 100-1.000 m2/hari. Kedalaman muka air tanah statik berkisar 0.6-50 m bmt (bawah muka tanah). Pada periode Tahun 1950-1960, sumur bor di wilayah Cimahi umumnya merupakan sumur bor artesis positif, dimana air tanahnya dapat mengalir sendiri ke permukaan. Saat ini muka air tanah telah mengalami penurunan akibat , ekspoitasi air tanah terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk dan industri. Penyebaran wilayah air tanah ini meliputi bagian Timur Kecamatan Cimahi Selatan serta sebagian besar wilayah Kecamatan Cimahi Tengah. 2) Wilayah akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas Pada wilayah ini air tanah terdapat pada celah dan ruang antar butir dari endapan tufa pasir dan breksi. Debit sumur bor umumnya kurang dari 7 L/detik, harga transmissivity (keterusan) kurang dari 100 m2/hari. Kedalaman muka air tanah statik berkisar 20-50 m bmt (bawah muka tanah). Wilayah ini dijumpai di bagian Selatan Kecamatan Cimahi Selatan serta pada sebagian besar wilayah Kecamatan Cimahi Utara. Air tanah dangkal umunya dijumpai pada kedalaman > 10 meter. 3) Wilayah akuifer setempat berarti Pada wilayah ini air tanah terdapat pada celah endapan breksi vulkanik dan lava. Wilayah ini dijumpai terutama di bagian Barat Kecamatan Cimahi Selatan yang berbatasan dengan Wilayah Batujajar. Lebih jelasnya Peta Hidrologi Kota Cimahi dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan kondisi Geologi wilayah Kota Cimahi terdiri dari formasi batuan lempung dan batuan tufa. Formasi batu lempung terdapat di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan dan Kecamatan Cimahi Tengah. Sedangkan formasi Raja mandala anggota batu gamping hanya terdapat di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan. Dan tufa dari Gunung Tangkuban perahu hanya terdapat di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi Tengah, dan Cimahi Utara. Jenis tanah di wilayah Kota Cimahi meliputi jenis tanah Aluvial coklat kekelabuan yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan dengan luas total 1.968,29 Ha. Jenis tanah Latosol coklat tersebar di wilayah Kecamatan Cimahi Tengah seluas 216,06 Ha dan di wilayah Kecamatan Cimahi Utara seluas 1.359,50 Ha. Jenis tanah Podsolik kuning tersebar di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan seluas 522,09 Ha dan di wilayah Kecamatan Cimahi Tengah seluas 8,36 Ha. Pola pemanfaatan ruang di Kota Cimahi terbagi menjadi dua jenis penggunaan, yaitu: lahan terbangun dan lahan tidak terbangun. Pola Pemanfaatan Ruang terbangun di Kota Cimahi pada tahun 2015 didominasi oleh penggunaan lahan sebagai perumahan tidak teratur (781,25 ha) dan industri (501,25 ha). Sedangkan luas lahan tidak terbangun didominasi oleh penggunaan lahan sebagai pertanian lahan kering seluas 1.110,50 Ha (Sumber: anonim, 2015). 3.2. Kondisi Kependudukan Kota Cimahi Kota Cimahi termasuk ke dalam wilayah Propinsi Jawa Barat dan meliputi 3 Kecamatan yang terdiri dari 15 Kelurahan, yaitu: Kecamatan Cimahi Utara terdiri dari 4 Kelurahan, Kecamatan Cimahi Tengah terdiri dari 6 Kelurahan dan Kecamatan Cimahi Selatan terdiri dari 5 Kelurahan dengan luas wilayah total 40,25 km2. Kota Cimahi merupakan salah satu Wilayah Pengembangan (WP) dari Cekungan Bandung yang relatif terletak di tengah bersama sama Kota Bandung. Berdasarkan rencana pengembangan Cekungan Bandung, Kota Cimahi berfungsi sebagai pengembangan permukiman dan industri yang sekaligus diidentifikasikan sebagai kawasan yang tumbuh pesat (Sumber: anonim, 2015). Jumlah penduduk Kota Cimahi pada tahun 2013 mencapai 548.411 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,61%/tahun, tersebar di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Cimahi Selatan, Kecamatan Cimahi Utara, dan Kecamatan Cimahi Tengah. Diantara ketiga kecamatan tersebut Kecamatan Cimahi
Lingkungan | 38
Selatan mempunyai jumlah penduduk terbanyak dengan daerah terluas, yaitu 232.614 jiwa dan 16,9 km2. Kecamatan yang jumlah penduduk paling rendah adalah Kecamatan Cimahi Utara, jumlah penduduknya 154.726 jiwa dengan luas 13,3 km2. Tingkat kepadatan Kota Cimahi tahun 2013 adalah 151 jiwa/ha. dimana Kecamatan Cimahi Tengah memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya yaitu mencapai 161 jiwa/ha. Dari tahun ke tahun pertambahan penduduk Kota Cimahi memiliki laju pertambahan yang positif ratarata 13.345 jiwa per tahunnya. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk di Kota Cimahi akan semakin padat sedangkan keberadaan dan ketersediaan lahan yang sifatnya tetap dan terbatas kurang mampu menampung jumlah penduduk Kota Cimahi yang terus meningkat khususnya mengenai ketersediaan lahan untuk kawasan tempat tinggal penduduk. 3.3. Permukiman dan sistem sanitasi di Kota Cimahi Kawasan permukiman merupakan gabungan atau integrasi antara perumahan penduduk fungsi primer dan perumahan penduduk fungsi sekunder. Berdasarkan rencana pola pemanfaatan ruang Kota Cimahi, bagian wilayah kota yang mempunyai fungsi sebagai kawasan permukiman adalah seluruh bagian wilayah kota selain BWK A yang mempunyai fungsi sebagai pusat kota (CBD). Namun demikan perumahan individual maupun terencana (yang dibangun oleh pengembang) tersebar relatif merata meliputi seluruh wilayah Kota Cimahi mendukung fungsi-fungsi kota lainnya, dengan perkiraan luas adalah 2.472,87 ha, atau sekitar 60,89% dari luas kota. Dalam kawasan perumahan ini terdapat fungsi atau kegiatan atau penggunaan lahan: perumahan terencana, perumahan individu, fasilitas umum/sosial pendukung kawasan, perdagangan dan jasa pendukung, fungsi/kegiatan tertentu yang “terselip” dalam kawasan perumahan Untuk perumahan terencana lebih banyak berada Kecamatan Cimahi Utara Di Kota Cimahi terdapat 109.682 rumah tangga. Dari jumlah tersebut, 9.691 atau 8.8% rumah tangga tergolong pada rumah tangga miskin. Rumah Tangga Miskin adalah Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti pengajaran,agama,sandang, pangan, papan dan kesehatan. Jumlah rumah tangga miskin tertinggi ada di Kecamatan Cimahi Selatan yaitu 3.947 rumah tangga. Berdasarkan hasil analisis mengenai kebutuhan fasilitas perumahan 20 tahun yang akan datang di Kota Cimahi yang mengacu kepada Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001, dapat diketahui kebutuhan fasilitas perumahan di Kota Cimahi tahun 2030 adalah 30.623 unit tipe besar dengan kebutuhan lahan total seluas 1.102 ha, 91.868 unit rumah tipe menengah dengan kebutuhan lahan total seluas 1.654 ha dan 183.735 unit rumah tipe kecil dengan kebutuhan lahan total seluas 1.654 ha. Jumlah penduduk Kota Cimahi pada tahun 2013 adalah 548.411 jiwa jika mengacu pada standar kementerian Pekerjaan Umum termasuk katagori kota besar kebutuhan air bersih rumah tangga ditentukan sebesar 180 L/orang/hari. Kebutuhan air untuk sektor non domestik ditentukan sebesar 20% dari kebutuhan domestik sehingga total kebutuhan air bersih rumah tangga sebesar 1.371 L/detik seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kebutuhan Air Bersih Setiap Kecamatan di Kota Cimahi No. 1. 2. 3.
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Cimahi Selatan Cimahi Tengah Cimahi Utara Jumlah Sumber: Hasil Perhitungan, 2015
232.614 161.071 154.726 548.411
Kebutuhan Air Bersih (L/detik) Domestik Non Domestik Total 485 97 582 336 67 403 322 64 387 1.143 229 1.371
Lingkungan | 39
Lingkungan | 40
Berdasarkan Tabel 3. Kecamatan Cimahi Selatan merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk tertinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya, sehingga kebutuhan air bersih juga menempati posisi teratas yaitu sebesar 582 Liter/detik, sedangkan Kecamatan Cimahi Tengah sebesar 403 L/detik, dan Kecamatan Cimahi Utara menenpati posisi terendah sebesar 387 L/detik. Kebutuhan air bersih Kota Cimahi bersumber dari PDAM Kota Cimahi. Sebanyak 15.356 rumah tangga pemenuhan kebutuhan air bersih menggunakan air ledeng yang bersumber dari PDAM Kota Cimahi. Dari jumlah tersebut, pengguna air ledeng tertinggi adalah Kecamatan Cimahi Selatan. Sebagian besar masyarakat Kota Cimahi atau 94.257 (85%) rumah tangga menggunakan sumber lain sebagai sumber air bersihnya. Sistem pengelolaan air limbah yang digunakan di wilayah Kota Cimahi masih menggunakan sistem setempat. Limbah rumah tangga berupa kotoran manusia (fekal) menggunakan sistem pembuangan dengan sistem cubluk dan septik tank pada masing-masing rumah atau bangunan. Persentase rumah tangga yang menggunakan tangki septik sebesar 60%. Selain pengelolaan secara individu, terdapat pula pengelolaan air limbah rumah tangga secara komunal, dengan menggunakan tangki AG. Pengelolaan ini dilakukan oleh masyarakat RT 01 RW 01 Kelurahan Cimahi Kecamatan Cimahi Tengah. Pengolahan limbah dengan tangki AG ini dimulai sejak tahun 2004 dengan kapasitas pengolahan 0,5 Liter/detik. Jumlah penduduk yang terlayani oleh sistem ini adalah 60 kepala keluarga. Permasalahan dalam sistem pengelolaan air limbah diantaranya adalah rendahnya sarana pengelolaan, sehingga pembuangan air limbah langsung disalurkan ke sungai atau saluran lainnya yang menjadi badan air penerima tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Masalah lain adalah masyarakat Kota Cimahi belum menggunakan sistem secara komunal. Selain air limbah rumah tangga, yang menjadi permasalahan di Kota Cimahi adalah air limbah dari industri, dimana sebagian besar air limbah yang dibuang tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu melalui IPAL (Anonim, 2015). Dari 109.682 rumah tangga di Kota Cimahi, sebanyak 98.714 rumah tangga sudah memiliki Fasilitas tempat buang air besar sendiri. Sementara sisanya sebesar 10.968 rumah tangga (10%) tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri. Jumlah tertinggi yang tak memiliki fasilitas tempat buang air besar yaitu 4.652 rumah tangga berada di Kecamatan Cimahi Selatan. Praktik buang air besar, khususnya praktik Buang Air Besar (BAB) di tempat yang tidak memadai, dapat menjadi salah satu faktor risiko kesehatan lingkungan akibat tecemarnya lingkungan, khususnya sumber air minum warga. Yang dimaksud dengan tempat yang tidak memadai bukan hanya tempat BAB di ruang terbuka seperti di sungai/kali/got/ kebun, tetapi dapat termasuk sarana jamban di rumah yang selama ini dianggap nyaman. Bila pun BAB di dilakukan di jamban rumah, namun bila sarana penampungan dan pengolahan tinjanya tidak memadai, misalnya karena tidak kedap air, maka risiko cemaran patogen akan tetap tinggi. Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga Tanpa Tanki Septik No. 1 2 3
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga
Cimahi Selatan 46.523 Cimahi Tengah 32.214 Cimahi Utara 30.945 TOTAL 109.682 Sumber : BPS Kota Cimahi, 2013
Jumlah Rumah Tangga Dengan Tangki Septik 18.721 12.963 12.452 44.136
Jumlah Rumah Tangga Tanpa Tangki Septik 27.802 19.251 18.493 65.546
Dari Tabel 4 di atas terlihat bahwa komposisi rumah tangga tanpa tangki septik di Kota Cimahi adalah 60% dari total rumah tangga dan jumlah ini masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang sudah memiliki tangki septik. Kecamatan Cimahi Selatan merupakan kecamatan dengan jumlah rumah tangga tanpa tangki septik yaitu sebesar 42%.
Lingkungan | 42
Tempat penyaluran buangan akhir tinja menggunakan tangki septik di 14 kelurahan merupakan proporsi terbesar dibandingkan dengan tempat lainnya (cubluk/drainase/sungai). Di kelurahan Cibeureum proporsi tempat penyaluran buangan akhir tinja ke drainase (42,2%) lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tangki septik (28,1%). Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa ternyata masih banyak rumah tangga yang penyaluran buangan akhir tinja ke sungai (15,5%). Seperti di kelurahan utama (32,8%), kelurahan karang mekar (30,8%) dan kelurahan melong asih (28,9%). Sementara proporsi di kelurahan lainnya kurang dari 27%. Kondisi tangki septik individu yang sudah ada pada saat ini pada umumnya tidak sesuai dengan spesifikasi teknis, sehingga harus disempurnakan. Air limbah yang masuk ke dalam tangki septik langsung meresap ke dalam tanah dan mengakibatkan pencemaran tanah dan air tanah. Hal ini dapat dilihat dari pengurasan lumpur tinja dari tangki septik yang tidak pernah dilakukan. Sekitar 72% dari rumah tangga yang menggunakan tangki septik dapat dikategorikan memiliki tangki septik tidak aman. Sementara, hanya sekitar 15% memiliki tangki septik dengan katagori aman. Selain cemaran akibat tangki septik yang tidak aman, risiko lingkungan juga dapat meningkat akibat pembuangan isi tinja yang tidak tepat, seperti membuang kotoran ke sungai atau lahan di rumah yang tidak diolah lebih lanjut. Oleh karenanya, dibutuhkan sistem sanitasi yang akan memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat Kota Cimahi mengingat masih tingginya jumlah rumah tangga yang tidak memiliki tangki septik. Mengacu pada RTRW Kota Cimahi, Sistem sanimas yang nantinya dilaksanakan di Kota Cimahi akan diarahkan pada wilayah/zona prioritas, yaitu Kelurahan Cibeureum, Melong, Cigugur Tengah, Karang Mekar, dan Cimahi. Sistem pengolahan yang akan dikerjakan adalah sistem on site, dengan jenis sarana pengolahan air limbah MCK plus dan tangki septik komunal 3.3. Analisis dan Pembahasan Kualitas Air Sumur di Kota Cimahi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 tahun 1990 dan PerMenKes Nomor 492 tahun 2010 tentang persyaratan kualitas air minum menyatakan bahwa air yang layak dikonsumsi dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air yang mempunyai kualitas yang baik sebagai sumber air minum maupun air baku (air bersih), antara lain harus memenuhi persyaratan secara fisik, tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh, serta tidak berwarna. Berdasarkan hasil analisis kualitas air yang dilakukan di dua puluh satu (21) sampel sumur penduduk dengan kedalaman 7-30 meter hanya 1 sumur yang seluruh parameternya memenuhi standar kualitas air yaitu di titik pemantauan no 12 yang terletak di Kantor Kelurahan Padasuka Jl Kebon Mangga No 06 RT 03 RW 21 Kelurahan Padasuka Kecamatan Cimahi Selatan. Sisanya di dua puluh (20) lokasi sampling yang lainnya terdapat beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu yaitu Besi (Fe), Mangan (Mn), Flourida, MBAS, Total Coli dan Fecal Coli. Tabel 5 menjabarkan hasil analisis laboratorium kualitas air sumur yang tidak memenuhi baku mutu yang dipesyaratkan di Kota Cimahi. Kode Sampling 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 5. Parameter yang tidak Memenuhi Baku Mutu Kode Parameter Parameter Sampling Total Coli, dan Fecal Coli 11 Total Coli, dan Fecal Coli Besi, Total Coli, dan Fecal Coli 13 Total Coli, dan Fecal Coli Total Coli, dan Fecal Coli 14 Total Coli, dan Fecal Coli Total Coli, dan Fecal Coli 15 Mangan, Total Coli, dan Fecal Coli Total Coli, dan Fecal Coli 16 Total Coli, dan Fecal Coli Total Coli, dan Fecal Coli 17 Total Coli, dan Fecal Coli Total Coli, dan Fecal Coli 18 Total Coli, dan Fecal Coli MBAS, Mangan, Total Coli, dan 19 Total Coli, dan Fecal Coli Fecal Coli Mangan, Total Coli, dan Fecal 20 Total Coli, dan Fecal Coli Coli Total Coli, dan Fecal Coli 21 MBAS, Flourida, Total Coli, dan Fecal Coli
Lingkungan | 43
1. Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Air sumur, terutama sumur pantek, pada umumnya mengandung Besi (Fe) dan Mangan (Mn). Kandungan Besi dan Mangan dalam air berasal dari tanah yang memang mengandung banyak kandungan mineral dan logam yang larut dalam air tanah. Besi larut dalam air dalam bentuk fero-oksida. Kedua jenis logam ini, pada konsentrasi tinggi menyebabkan bercak noda kuning kecoklatan untuk besi atau kehitaman untuk mangan, yang mengganggu secara estetika. Kandungan kedua logam ini meninggalkan endapan coklat dan hitam pada bak mandi, atau alat-alat rumah tangga. Air yang mengandung besi atau mangan menyebabkan pakaian menjadi kusam setelah dicuci. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengurangi atau menghilangkan kedua jenis logam tersebut dari air, keduanya teroksidasi apabila berkontak dengan udara. Besi teroksidasi menjadi feri-oksida yang bisa mengendap, demikian juga mangan. Konsentrasi Besi dan Mangan di air sumur Kota Cimahi disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Konsentrasi Besi di 21 Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sumur di Kota Cimahi
Gambar 5. Konsentrasi Mangan di 21 Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sumur di Kota Cimahi 2. MBAS Minyak dan lemak merupakan komponen utama bahan makanan yang juga banyak di dapat di dalam air limbah. Kandungan zat minyak dan lemakdapat ditentukan melalui contoh air limbah dengan heksana. Minyak dan lemak membentuk esterdan alkohol. Lemak tergolong pada bahan organik yang tetap dan tidak mudah untuk diuraikan oleh bakteri. Terbentuknya emulsi air dalam minyak akan membuat lapisan yang menutupi permukaan air dan dapat merugikan, karena penetrasi sinar matahari ke dalam air berkurang serta lapisan minyak menghambat Lingkungan | 44
pengambilan oksigen dari udara menurun. Untuk air sungai kadar maksimum minyak dan lemak 1 mg/l. Minyak dapat sampai ke saluran air limbah, sebagian besar minyak ini mengapung di dalam air limbah, akan tetapi adajuga yang mengendap terbawa oleh lumpur. Sebagai petunjuk dalam mengolah air limbah, maka efek buruk yang dapat menimbulkan permasalahan pada dua hal yaitu pada saluran air limbah dan pada bangunan pengolahan (Sugiharto, 1987). Minyak dan lemak termasuk senyawa organik yang relatif stabil dan sulit diuraikan oleh bakteri. Lemak dapat dirombak oleh senyawa asam yang menghasilkan asam lemak dan gliserin. Pada keadaan basa, gliserin akan dibebaskan dari asam lemak dan akan terbentuk garam basa (Manik, 2003). Konsentrasi MBAS di air sumur Kota Cimahi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Konsentrasi MBAS di 21 Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sumur di Kota Cimahi 3. Bakteri Coliform Bakteri Coliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain. Lebih tepatnya bakteri Coliform fekal adalah bakteri indikator pencemar bakteri patogen. Penetuan Coliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkolerasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Selain itu mendeteksi bakteri petogenik lain. Contoh bakteri Coliform adalah Escherichia coli dan enterobacter aerogenes, makin sedikit kandungan Coliform artinya kualitas air semakin baik (Friedheim, 2001). Berdasarkan asal dan sifatnya kelompok ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu: (1) Koli fekal, yaitu Escherichia coli yang berasal dari tinja manusia dan (2) Koli non fekal yaitu Aerobacter dan Klebsiella yang bukan berasal dari tinja manusia, tetapi mungkin berasal dari sumber lain (Suriawaria, 1993). Escherichia coli digunakan untuk pemeriksaan kualitas bakteriologis secara universal dalam analisis dengan alasan bahwa Escherichia coli secara normal hanya ditemukan di saluran pencernaan manusia sebagai flora normal atau hewan berdarah panas (mamalia) atau bahan ynag terkontaminasi dengan tinja manusia dan hewan, dan jarang sekali ditemukan dalam air dengan kualitas keberishan yang tinggi, selain itu Escherichia coli mudah diperiksa di laboratorium dan sensitivitasnya tinggi jika diperiksa dilakukan dengan benar. Bila air tersebut terdapat bakteri Escherichia coli maka air tersebut dianggap tidak sehat dan berbahaya bila digunakan/dikonsusmsi secara langsung, ada kemungkinan bakteri enterik patogen yang lain dapat ditemukan bersama-sama dengan Escherichia coli dalam air tersebut. Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dari dua puluh satu sumur yang diperiksa hanya terdapat 1 sumur yang benar-benar layak dikonsumsi dan sisanya sebanyak 20 sumur atau 95% tidak layak dikonsumsi karena beberapa parameter tidak memenuhi baku mutu yang disyaratkan. Kualitas air sumur yang tidak memenuhi baku mutu memerlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum air tersebut dikonsumsi. Lingkungan | 45
Saat ini banyak metode dan teknik pengolahan air yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kualitas air seperti proses aerasi dan sedimentasi untuk menyisihkan Mn yang tinggi, proses koagulasi-flokilasi untuk menyisihkan minyak dan lemak yang tinggi serta metode yang lebih canggih seperti reverse osmosis dan membran serta mikro filtrasi untuk menyisihkan parameter pencemar yang terdapat dalam air sumur. Pemilihan jenis dan teknik pengolahan air yang akan dipergunakan harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kota Cimahi. 5. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil pengamatan dan analisis terhadap data kualitas air tanah dangkal wilayah Kota Cimahi adalah sebagai berikut dari 21 lokasi sampling kualitas air metersumur baik sumur gali maupun sumur bor di Kota Cimahi dengan kedalaman 7-30 meter, hampir semua paramater E.coli dan fecal coli melebihi baku mutu. Pada lokasi sumur lainnya terdapat beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu seperti parameter Besi, Mangan, MBAS, dan Flourida Tingginya parameter Total Coli dan Fecal coli diakibatkan karena lokasi sumur berada pada kerapatan penduduknya sangat tinggi, jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat dekat, serta lokasi antara tangki septik sebagai tempat pembuangan limbah domestik dengan dengan sumur berdekatan sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran oleh kedua bakteri tersebut. Tingginya paremeter Besi dan Mangan di beberapa titik pemantauan berasal dari struktur batuan di Kota Cimahi yang mengandung kedua unsur tersebut. 6. Saran Perlunya sistem pengelolaan air limbah domestik yang baik misalnya dengan pembuatan tangki septik komunal yang kedap air dengan lokasi yang berjauhan dengan sumur penduduk. Pembuatan sistem konstruksi tangki septik yang baik seperti pembuatan tangki septik dengan 2 sekat sehingga air limbah di dalamnya tidak mencemari air sumur. Pembuatan saluran pembuangan air yang jauh dari sumur baik sumur pribadi maupun sumur tetangga. Perlu mencari sumber air yang lain agar masyarakat tidak bergantung kepada air tanah dangkal (air sumur) misalnya dengan memperluas wilayah pelayanan air bersih/minum dari PDAM Kota Cimahi terutama untuk masyarakat yang kualitas airnya telah tercemar. Pemerintah Kota Cimahi perlu secepatnya melakukan usaha-usaha untuk menanggulangi permasalahan kualitas air baku pada sumur penduduk.
Daftar Pustaka [1] Anonim, 2015., Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Cimahi 2012-2017, Cimahi, Indonesia. [2] Anonim, 2001., Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan Dan Permukiman Dan Pekerjaan Umum [3] Anonim, 1990. Baku Mutu PERMENKES RI No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air Bersih Jakarta, Indonesia [4] Manik, K.E.S, 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta. [5] Suriawaria, Unus.,1993 Mikrobiologi air dan dasar-dasar pengolahan buangan secara biologis [6] Sugiharto, 1987., Dasar-dasar pengelolaan air limbah Jakarta : UI Press [7] Soemirat, Juli., 1999 Kesehatan Lingkungan., Universitas Gajah Mada University Press
Lingkungan | 46
Inventarisasi dan Identifikasi Sumber Pencemaran di DAS Citarum Hulu Eka Wardhani1) dan Lina Apriyanti S2) Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Bandung Jalan PHH Mustofa No 23 Bandung 40123 1)Email:
[email protected] 2)E mail:
[email protected] Abstrak Upaya pengendalian pencemaran air terus menerus dilakukan khususnya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui berbagai program peningkatan kualitas air sungai Citarum yang melibatkan masyarakat. Hal ini didasari fakta lapangan bahwa kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum pada saat ini sangat kritis, sehingga tidak mampu berfungsi secara optimal sebagai sumber daya air. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemaran air di DAS Citarum Hulu yang berasal dari 5 sektor utama (industri, domestik, pertanian, peternakan, perikanan). Sasaran penelitian yaitu mendapatkan data sumber dan beban pencemaran dari 5 sektor utama (industri, domestik, pertanian, peternakan, perikanan) di DAS Citarum Hulu mulai pada 4 titik lokasi Wangisagara sampai dengan Nanjung. Metode penelitian adalah perhitungan potensi beban pencemar di DAS Citarum Hulu menggunakan faktor emisi untuk parameter pencemar Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended Solid (TSS). Hasil perhitungan status mutu air sungai menunjukkan bahwa Sungai Citarum titik Wangisagara, Koyod dan Citarum Cilulumpang memiliki status tercemar berat. Beban pencemaran dari sumber-sumber titik penghasil air limbah menunjukkan bahwa potensi beban pencemaran limbah organik BOD yang tertinggi adalah dari ternak, kemudian penduduk dan pertanian (sawah). Total beban pencemaran BOD dari penduduk, peternakan, pertanian dan limbah industri di DAS Citarum Hulu yang berasal dari 6 Kabupaten/Kota adalah sebesar 706,9 ton/hari. Kata Kunci: DAS Citarum Hulu, Sumber Titik, Beban Pencemaran, BOD Abstract The efforts of water pollution control keeps to continue, specifically by the West Java Provincial Government through various programs of Citarum river water quality improvement that involves the community. It is based on the facts that the conditions of Watershed (DAS) Citarum is on the critical level, so it reduces the functionis of being the water resources. This study aimed to conduct an inventory and identification of sources of water pollution in the Citarum Hulu that coming from five major sectors (industrial, domestic, agriculture, livestock, fisheries). The research objectives is to get the data sources and the pollution load of five major sectors (industrial, domestic, agricultural, farming, fishing) in the Citarum Hulu start on a 4 point locations, from Wangisagara until Nanjung. The research method is a calculation of potential pollutant load in the Citarum Hulu using emission factors for pollutant parameters; Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD) and Total Suspended Solid (TSS). The result of the calculation of river water quality status indicates that the point of Wangisagara Citarum, Koyod Citarum and Cilulumpang Citarum has been heavily polluted. Pollution load from point sources that producing wastewater showed that the potential of organic waste pollution load of the highest BOD is from cattle, then the population and agriculture (paddy). Total pollution load of BOD of the population, livestock, agricultural and industrial waste in the Citarum Hulu coming from 6 district amounted to 706.9 tons/day. Keywords: Watershed (DAS) Citarum, Point Sources, Pollutant Parameter, BOD
Lingkungan | 47
1. Pendahuluan Sungai Citarum merupakan sungai utama di Jawa Barat dengan fungsi yang sangat strategis. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mencakup total area 12.000 km persegi, dengan Populasi di sepanjang sungai sebanyak 10 juta (50% urban) dan populasi yang dilayani sebanyak 25 Juta (15 Juta Jawa Barat, 10 Juta DKI Jakarta. Tenaga listrik yang dihasilkan dari 3 Waduk (Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) sebesar 1.400 Mega Watt yang merupakan bagian sistem interkoneksi listrik Jawa-Bali. Air sungai juga dipakai untuk mengairi areal irigasi seluas 420.000 hektar dan sumber air baku untuk 80% penduduk Jakarta (16 m3/detik). Berdasarkan hal tersebut terlihat sangat besar ketergantungan penduduk baik di Jawa Barat maupun Ibu Kota DKI Jakarta terhadap sungai ini (PT Indonesia Power, 2015). Kondisi Sungai Citarum hingga saat ini semakin menurun hingga dijuluki sungai terkotor di dunia oleh media internasional. Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran air diantaranya Gerakan Citarum Bestari yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat pada tahun 2014 didasari fakta lapangan bahwa kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum pada saat ini sangat kritis, sehingga tidak mampu berfungsi secara optimal dalam menyediakan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat yang sangat diperlukan oleh masyarakat yang tinggal di DAS Citarum; dan dalam rangka memulihkan, menjaga dan melestarikan fungsi DAS Citarum perlu sebuah gerakan pembangunan yang terintegrasi, sinergis, terkoordinasi dan terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Citarum. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini yaitu melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemaran air di DAS Citarum Hulu yang berasal dari 5 sektor utama (industri, domestik, pertanian, peternakan, perikanan). Wilayah kajian terdapat di di 6 kabupaten/kota di DAS Citarum Hulu. Sasaran penelitian yaitu mendapatkan data sumber dan beban pencemaran dari 5 sektor utama (industri, domestik, pertanian, peternakan, perikanan) di DAS Citarum Hulu. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan yaitu perhitungan potensi beban pencemar di DAS Citarum Hulu dengan menggunakan faktor emisi untuk parameter pencemar Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended Solid (TSS). Jenis data yang dipergunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi pemerintah. Dalam penelitian ini perhitungan jumlah limbah penduduk yang masuk ke Sungai Citarum Hulu dihitung berdasarkan kepada data jumlah penduduk yang sarana penyaluran limbahnya langsung dan tidak langsung ke sungai. Berdasarkan lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 tahun 2010, tanggal 14 Januari 2010 diketahui faktor sumber emisi tak tentu (non point source), pada permukiman dengan limbah cair tanpa diolah diketahui nilai BOD5, dan COD berturut-turut 53 dan 101,6 g/orang/hari, sedangkan penduduk yang menggunakan tangki septik berturut-turut 12,6 dan 24,2 g/orang/hari. Perhitungan beban pencemaran limbah penduduk diperkirakan berdasarkan persamaan: Beban pencemaran dari air limbah domestik rumah tangga (g/hari) = [PLU] (g/orang/hari) x [populasi di daerah tertentu] (orang). Perhitungan potensi beban pencemaran limbah pertanian berdasarkan pada penggunaan pupuk N, P, dan K serta pestisida. Potensi beban pencemaran ternak adalah merupakan hasil perkalian dari jumlah ternak dengan besaran emisinya sesuai dengan jenis ternaknya. Karakteristik dan beban pencemaran limbah industri, berdasarkan jenis sumber pencemarnya, karateristik zat pencemar yang berasal dari daerah terkait. Beban pencemaran industri tidak dapat dihitung oleh kapasitas produksi dikalikan faktor emisinya yang dikarenakan sangat dipengaruhi oleh proses produksi dan sistem penataan air limbahnya, sehingga perkiraan beban pencemaran desain untuk masing-masing industri berdasarkan hasil pengukuran efluent industri.
Lingkungan | 48
Tabel 1, 2 dan 3 dibawah ini menampilkan emisi limbah untuk kategori kegiatan non domestik yaitu kegiatan hotel, restoran, rumah potong hewan dan rumah sakit.
Kelas Bintang 3 ke atas
Tabel 1. Emisi Limbah Hotel Debit air limbah Beban (L/orang/hari) Tinggi
350
Emisi limbah Penginap (g BOD/orang/hari) 70
Bintang 1-3 Sedang 250 55 Melati Rendah 100 40 Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010 Tabel 2. Emisi Limbah Restoran Debit air limbah Emisi limbah pengunjung Beban (L/kap) (g BOD/kap/hari) Tinggi 16 25 Sedang 12 15 Rendah 8 10 Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010 Tabel 3. Emisi Limbah Rumah Potong Hewan Jenis Ternak
Jenis limbah
Berat Limbah (g/kg ternak)
Emisi (gBOD/kgternak)
Daging 12,5 Darah 65,2 5,2 Jeroan 24,4 Daging 10,0 Unggas Darah 22,5 3,5 Jeroan 12,5 Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
Mamalia
Tabel 4. Emisi Limbah Rumah Sakit (gCOD/hari) Jumlah Tingkat Tempat Lab Apotik Tidur Sangat besar >200 12-16 6-8 Besar 100-200 8-12 4-6 Sedang 50-100 4-8 2-4 Kecil 0-50 1,6-4 0,8-2 Rasio COD/BOD 4-8 3-10 Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010 Kajian ini juga memperhitungkan potensi beban pencemaran air yang berasal dari sampah, mengingat umumnya sungai di Indonesia dicemari oleh limbah cair dan limbah padat yang berupa sampah. Besarnya sampah yang masuk ke sungai diperkirakan dengan menggunakan asumsi bahwa kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam menangani sampah tersebut terbatas. Rumus yang digunakan dalam perhitungan potensi beban pencemaran air yang bersumber dari sampah adalah:
Lingkungan | 49
a. Jumlah Sampah Estimasi jumlah sampah yang dihasilkan per orang per hari menggunakan perkiraan jumlah sampah yang dihasilkan setiap individu per hari menurut katagori kota, hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup. Beban sampah total per kecamatan dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini: Beban sampah (kg/hari) = Berat sampah/orang/hari x jumlah penduduk Jika data dalam satuan volume, maka berat sampah dihitung dengan menggunakan rumus: Berat sampah (kg)= Berat jenis sampah (kg/L) x volume sampah Berat jenis sampah organik=0,61 kg/L (Kastaman, 2006). Namun dalam hal ini, perhitungan sampah menggunakan asumsi per orang menghasilkan sampah 1 kg/orang/hari. Sampah yang tidak tertangani Berat sampah yang tidak tertangani akan dihitung dengan rumus sebagai berikut: Berat sampah tdk tertangani (kg/hari) = % sampah yg tdk tertangani x beban sampah Beban BOD, COD dan TSS Sampah Penelitian yang dilakukan oleh INEGI dan SEMARNAP pada sungai di Mexico tahun 1998 dalam Nila Aliefia Fadly (2008) menyatakan bahwa 1 kg sampah organik memiliki nilai BOD sebesar 2,82 gr. Nilai inilah yang menyatakan beban BOD sampah (W sampah) tersebut. Perhitungan potensi beban sampah dihitung dengan rumus sebagai berikut : Beban BOD sampah (kg/hr) = Berat sampah tdk tertangani (kg/hari) x (2,82/1000) Untuk nilai COD dihitung dengan menggunakan asumsi COD = 1,375 x BOD, sedangkan TSS=0,95 x BOD. 3. Hasil dan Pembahasan a. Kualitas Air Sungai Citarum Berdasarkan hasil data pemantuan kualitas air Sungai Citarum di Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat, padatahun 2014 selama 5 (lima) kali pemantauan pada bulan April, Mei, Juli, September dan Oktober tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi kualitas seluruh lokasi Sungai Citarum dari segmen hulu di Wangisagara sampai dengan segmen hilir di Nanjung, telah tercemar berat. Hal ini dapat dilihat dari parameter-parameter baik fisika,kimia maupun mikrobiologi yang melebihi baku mutu air permukaan kelas II Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Selain DO, BOD, COD dan Fekal Coli, terdapat empat parameter lain yang juga melebihi Baku Mutu Air, yaitu parameter TSS, Nitrit, Surfaktan anion (MBAS) dan Total P. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah parameter yang melebihi Baku Mutu Air pada tahun 2014 tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun 2013. Namun demikian, kadar pencemar organik BOD dan COD Tahun 2014 mengalami penurunan seperti di lokasi Koyod, yaitu dari 100,8 mg/L BOD pada tahun 2013, turun menjadi 40,8 mg/L BOD pada tahun 2014. Sementara itu, kadar COD tahun 2013 sebesar 298,2 mg/L, turun menjadi 121,7 mg/L pada tahun 2013, demikian juga kandungan fecal coli pada tahun 2014 mengalami penurunan. Gambar 1 menjabarkan masing-masing perbandingan antar waktu konsentrasi BOD air sungai Citarum Hulu.
Lingkungan | 50
Konsentrasi BOD (mg/L)
` 50 40 30 20 10 0 Wangsagara
Koyod
Set-IPAL Bandung Lokasi Titik Sampling
Tahun 2013
Nanjung
Tahun 2014
Gambar 1. Perbandingan konsentrasi BOD Air Sungai Citarum 2013-2014 Untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu badan air dapat dilakukan perhitungan terhadap Status Mutu Air dengan Metode Storet yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Status Mutu Air. Status Mutu Air merupakan indikasi untuk menilai tingkat pencemaran sungai, mata air dan sumber air lainnya. Perhitungan Status Mutu Air juga didasarkan pada klasifikasi kualitas tertentu dari badan air yang akan dinilai. Klasifikasi kualitas air yang tertuang dalam PP 82/2001 berdasarkan jenis pemanfaatan air, yaitu sebagai berikut: a). Kelas I: air baku air minum, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama. b). Kelas II: prasaran/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama. c). Kelas III: pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama. d). Kelas IV: mengairi pertanaman dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama. Berdasarkan perhitungan nilai Storet hasil pemantauan Sungai Citarum tahun 2014 dari segmen hulu mulai hulu ruas Wangsagara sampai dengan hilir lokasi Nanjung menunjukkan bahwa keempat ruas Sungai Citarum yang dipantau memiliki status mutu tercemar berat. Terjadinya pencemaran air sungai disebabkan oleh buangan limbah industri dan domestik yang masuk ke sungai sehingga menurunnya kualitas air sungai. Parameter yang dominan melampui Baku Mutu Kelas II rata-rata adalah DO, BOD, COD, Nitrit, beberapa logam berat dan fecal coliform.
No. 1 2 3 4
Tabel 5. Status Mutu Air Sungai Citarum Hulu Nilai Status Parameter Tercemar Berat Lokasi Storet Cemar Nilai <- 8,0 Citarum - 106 tercemar Fenol, BOD, COD, CrVI, Minyak lemak, Nitrit, Wangisagara berat CN, Cl2, S, Coli tinja, Coli total MBAS, Fenol, BOD, COD, CrVI, Minyak-lemak, Citarum Koyod - 133 tercemar berat Zn, DO, CN, Cl2, S, Coli tinja, Coli total Citarum - 134 tercemar NH3, MBAS, Fenol, BOD, COD, CrVI, MinyakCilulumpang berat lemak, DO, CN, Cl2, S, Coli tinja, Coli total Citarum Nanjung - 128 tercemar MBAS, Fenol, BOD, COD, CrVI, Minyak-lemak, berat NO2, DO, CN, Cl2, S, Coli tinja, Coli total Sumber: Hasil Pengolahan Data BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2015
b. Identifikasi Sumber Pencemaran Air Berdasarkan data dari BPS Kabupaten/Kota tahun 2015, jumlah penduduk DAS Citarum yang berada pada 6 wilayah administratif Kota/Kabupaten sebesar 7.403.925 jiwa. Kota/Kabupaten dengan jumlah penduduk 100% masuk ke DAS Citarum Hulu yaitu Kota Bandung dan Kota Cimahi. Dari data
Lingkungan | 51
tersebut masih tampak bahwa penyebaran penduduk DAS Citarum masih bertumpu di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, kemudian diikuti oleh Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Tabel 6. Jumlah Penduduk Kabupaten dan Kota di DAS Citarum No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6
Kabupaten Bandung Kabupaten Garut Kabupaten Sumedang Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung Kota Cimahi Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3.435.200 2.524.239 1.134.915 1.602.681 2.479.927 575.943
% Luas Daerah Dalam DAS Citarum 76,5 0,4 9,6 99,9 100 100
Jumlah Penduduk DAS Citarum 2.627.928 100.97 108.952 1.601.078 2.479.927 575.943
11.752.905
7.403.925
Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015 Berdasarkan data dari BPS Kabupaten dan Kota Tahun 2015, jenis ternak pada DAS Citarum Hulu yang berada di 6 wilayah administratif Kota/Kabupaten yakni sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Jumlah ternak yang terbanyak adalah domba sebesar 645.812 ekor selanjutnya berturut-turut kambing sebesar 138.921 ekor. Tabel 7 menjabarkan jumlah dan jenis ternak kabupaten/kota DAS Citarum Hulu. Tabel 7. Jumlah dan Jenis Ternak Kabupaten/Kota DAS Citarum Hulu No.
Kabupaten/Kota
Sapi Perah
Sapi Potong
1 2 3 4 5 6
Kerbau
Kuda
Kambing
Domba
Kabupaten Bandung Kabupaten Garut Kabupaten Sumedang Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung Kota Cimahi
29.702 17.302 9.295 30.214 1.193 356
16.658 12.926 29.701 6.829 413 458
3.054 7.168 3.719 3.261 127 90
2.015 2.551 494 3.308 128 577
22.782 78.471 3.282 33.623 433 330
223.437 71.872 139.079 188.047 22.052 1.325
Total
88.062
66.985
17.419
9.073
138.921
645.812
Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015 Tabel 8. Jumlah Jenis Unggas (ekor) Kabupaten/Kota sekitar DAS Citarum Hulu Ayam Ayam Ayam No. Kabupaten/Kota Itik Kampung Petelur Pedaging 1 Kabupaten Bandung 1.686.999 393.612 40.899 459.662 2 Kabupaten Garut 1.528.935 531.005 231.305 3 Kabupaten Sumedang 760.941 11.375 1.713.874 72.814 Kabupaten Bandung 4 1.194.727 61.176 3.422.142 191.808 Barat 5 Kota Bandung 102.674 1.852 96.913 28.082 6
Kota Cimahi
3.726
-
85.437
7.111
TOTAL 5.278.002 Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015
468015
5.890.270
990.782
Lahan Pertanian Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kota tahun 2015, luas sawah DAS Citarum Hulu yang berada pada 5 wilayah administratif Kota/Kabupaten sebesar 25.670 Ha dengan frekuensi penanaman 1 kali, 67.635 Ha dengan frekuensi penanaman 2 kali, dan 14.557 Ha dengan frekuensi penanaman 3 kali.
Lingkungan | 52
Kota/Kabupaten dengan luas sawah terbesar adalah Kabupaten Garut sedangkan luas sawah yang terendah terdapat di Kabupaten Bandung Barat. Dari data tersebut masih tampak bahwa penyebaran sawah DAS Citarum Hulu masih bertumpu di Kabupaten Garut dan Bandung. Tabel 9. Luas Lahan Sawah dan Frekuensi Penanaman di Kabupaten dan Kota Luas (Ha) dan Frekuensi Penanaman No. Kabupaten Kota 1 kali 2 kali 3 kali 1 Kabupaten Bandung 46.962 8.368 2 Kabupaten Garut 25.635 18.708 6.162 3 Kabupaten Bandung Barat 4 Kota Bandung 1.722 12 5 Kota Cimahi 35 243 15 Jumlah 25.670 67.635 14.557 Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015 Berdasarkan hasil pengumpulan data dan informasi yang diperoleh dari data statistik yang tertuang dalam Kota/kabupaten Dalam Angka tahun 2015 dan BPLH Kabupaten Bandung, BPLHD Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa jumlah unit industri kecil menengah dan besar di 6 wilayah administrasi DAS Citarum Hulu sebanyak 40.794 unit usaha yang terbanyak di Kabupaten Bandung sebanyak (33%) atau 13.483 unit usaha disusul Kota Bandung yaitu (27%) atau 10.821 unit usaha sedangkan yang terendah di Kabupaten Bandung Barat 52 unit usaha. Tabel 10. Jumlah Unit Usaha Kecil menengah dan Besar Kabupaten/Kota dalam DAS Citarum Hulu No Kabupaten/ Kota Unit Usaha % 1 2 3 4 5
Kabupaten Bandung Kabupaten Garut Kabupaten Sumedang Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung
13.483 9.813 513 52 10.821
33,1 24,1 1,3 0,1 27,5
6
Kota Cimahi
6.112
15,0
40.794
100
Jumlah Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015
Berbagai jenis industri yang tersebar pada kabupaten dan kota dalam DAS Citarum mencakup sebanyak 608 industri, dimana yang terbanyak adalah industri tekstil yaitu 468 buah. Industri tersebut tersebar pada berbagai daerah, yang terbanyak ada di Kabupaten Bandung yaitu 325 buah. Sumber pencemaran. Industri tekstil, industri kertas, industri kulit dan industri makanan-minuman berpotensi sebagai sumber beban pencemaran zat organik yang tinggi, sedangkan industri logam dan pelapisan logam berpotensi membuang limbah logam berat.
Lingkungan | 53
Tabel 11. Kelompok Jenis Industri pada DAS Citarum Hulu
No
Kabupaten/Kota
Tekstil
Kertas
Kulit
1
Kabupaten Bandung
274
5
8
Plastik Karet 11
2
Kota Bandung
64
3
1
3
Kota Cimahi
75
0
4
Kabupaten Bandung Barat
16
0
5
Kabupaten Sumedang
13 468
Jumlah
6
Logam& Elektronik 15
Makanan Minuman 6
0
2
15
5
90
1
3
2
9
11
101
0
0
4
1
2
23
0
1
2
0
0
1
17
14
12
16
17
47
34
608
Kimia
Jumlah 325
Sumber Data: BPS Kab/Kota tahun 2015 c. Potensi Beban Pencemaran Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kondisi Sungai Citarum segmen hulu yaitu Citarum Wangisagara, Koyod dan Citarum Cilulumpang tercemar berat dengan potensi beban pencemaran dari industri sedang, dari penduduk besar dan dari peternakan dan pertanian kecil sedangkan Citarum Nanjung status mutu air tercemar berat dengan potensi beban pencemaran sedang dari industri, besar dari penduduk tetapi sedang dari peternakan dan pertanian. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kondisi Sungai Citarum Hulu tercemar berat dengan perkiraan kontribusi pencemar terhadap status pencemaran sungai dari industri indikasi besar, dari penduduk sedang dan dari peternakan dan pertanian indikasi kecil.
Tabel 12. Potensi Beban dan Perkiraan Kontribusi Sumber Pencemar Perkiraan Kontribusi Sumber Potensi Beban Pencemar Pencemar terhadap Status (BOD, COD) Pencemaran Sungai Status Lokasi Cemar Peternakan Peternakan Industri Penduduk dan Industri Penduduk dan Pertanian Pertanian
No.
1
Citarum Wangisagara
tercemar berat
Sedang
Besar
Kecil
Besar
Sedang
Kecil
2
Citarum Koyod
tercemar berat
Sedang
Besar
Kecil
Besar
Sedang
Kecil
3
Citarum Cilulumpang
tercemar berat
Sedang
Besar
Kecil
Besar
Sedang
Kecil
Besar
Sedang
Besar
Sedang
Kecil
4
Citarum tercemar Sedang Nanjung berat Sumber: Hasil Analisis, 2015
Beban pencemaran dari air limbah point source, khususnya air limbah industri dihitung berdasarkan data kualitas air limbah dan data debit airnya. Data tersebut pada umumnya diperoleh dari hasil pemantauan kualitas air limbah secara swa pantau, maupun yang dilaksanakan oleh BPLHD sebagai program pengawasan dan pemantauan. Lokasi pantau pada umumnya adalah pada saluran air limbah setelah melalui IPAL. Potensi beban pencemaran air dari sumber non point source yaitu limbah penduduk, peternakan dan pertanian dihitung dengan pemodelan, yaitu sebagai berikut: a. Limbah penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan beban pencemaran per jiwa. b. Limbah peternakan dihitung berdasarkan jumlah dari tiap jenis ternak dan beban pencemaran per ekor tiap jenis ternak.
Lingkungan | 54
c.
Limbah pertanian dihitung berdasarkan luas lahan pertanian dan beban pencemaran per satuan luas lahan.
Data jumlah penduduk, peternakan serta luas sawah diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota Tahun 2015. Jenis parameter pencemaran air yang berasal dari air limbah penduduk (limbah tinja) adalah TSS, BOD, COD, Nitrogen, Fospor dan bakteri coli tinja. Sesungguhnya parameter mikrobiologi menunjukkan potensi pencemaran bakteri patogen, yang setiap Kabupaten/Kota membuang beban limbah bakteri coli tinja dengan orde 1016. Potensi timbulan beban pencemaran dihitung berdasarkan jumlah penduduk, jumlah dan jenis ternak, luas lahan pertanian dan jenis industri. Selain itu perhitungan juga berdasarkan satuan timbulan (satuan emisi) setiap jenis sumber pencemaran air. Hasil perhitungan menunjukkan perbandingan beban pencemaran yaitu potensi beban pencemaran limbah organik BOD yang tertinggi adalah dari ternak, kemudian dari kegiatan penduduk dan pertanian (sawah). Sumber pencemaran tersebar di tiap Kabupaten/Kota DAS Citarum Hulu. Total beban pencemaran BOD dari penduduk, peternakan, pertanian dan limbah industri di DAS Citarum Hulu disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Potensi Beban Pencemaran BOD (Kg/Hari) Berbagai Sumber Limbah di Kabupaten /Kota DAS Citarum Hulu No 1 2 3 4 5 6
Kabupaten/Kota Kabupaten Bandung Kabupaten Garut Kabupaten Sumedang Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung Kota Cimahi Jumlah
Penduduk 13.928 535 5.774
BOD (Kg/Hari) Ternak Pertanian 99.908 16.826,75 849 124,53 5.845 2.399,91
Industri 9.309,8 1.117,6
Jumlah BOD (Kg/Hari) 256.014,8 1.508,53 14.018,91
84.857
1.632
2.803,84
2.685,5
250.860,8
131.436 30.525 267.055
18.164 3.019 129.417
1.068,9 379,11 23.603,04
2.270,7 2.732 18.115,6
150.668,9 33.923,11 706.995,00
Sumber: Hasil Analisis, 2015
5% Kabupaten Bandung
21%
36%
Kabupaten Garut Kabupaten Sumedang Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung Kota Cimahi
36%
0% 2%
Gambar 2. Persentase Konstribusi beban Pencemaran BOD di DAS Citarum Hulu
Lingkungan | 55
4. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi sumber-sumber pencemar di Sungai Citarum segmen hulu, diketahui bahwa pada Sungai Citarum titik Wangisagara, Koyod dan Citarum Cilulumpang memiliki status tercemar berat. Potensi beban pencemaran dari industri terkategori sedang, dari penduduk terkategori besar dan dari peternakan dan pertanian terkategori kecil sedangkan Citarum Nanjung status mutu air tercemar berat dengan potensi beban pencemaran sedang dari industri, besar dari penduduk dan kategori sedang dari peternakan dan pertanian. Perkiraan kontribusi pencemar terhadap status pencemaran sungai pada semua 4 lokasi terkategori besar dari kegiatan industri, terkategori sedang dari aktivitas penduduk dan terkategori kecil dari kegiatan peternakan dan pertanian. Beban pencemaran dari air limbah point source menunjukkan bahwa potensi beban pencemaran limbah organik BOD yang tertinggi adalah dari ternak, kemudian penduduk dan pertanian (sawah). Total beban pencemaran BOD dari penduduk, peternakan, pertanian dan limbah industri di DAS Citarum Hulu yang berasal dari 6 Kabupaten/Kota adalah sebesar 706.995 kg/hari atau 706,9 ton/hari. Saran Dalam upaya menghindari perluasan dampak negatif dari keberadaan sumber-sumber pencemar terhadap Sungai Citarum segmen Hulu, diharapkan seluruh instansi dan pihak terkait bertanggungjawab terhadap pengelolaan DAS Citarum dengan melakukan kajian lebih dalam dan melakukan pengolahan air limbah secara on site system khususnya pada area permukiman yang membuang limbahnya ke Sungai, selain itu perlu dilakukan pengaturan pembuangan limbah cair yang lebih ketat disertai pengawasan yang tegas pula. Bagi seluruh masyarakat yang bernukim di bantaran Sungai Citarum segmen Hulu agar tidak menggunakan sumber air sungai sebagai konsumsi air seharihari. Daftar Pustaka [1] Anonim. 2010., Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air.Bandung [2] Anonim. 2015., Laporan Pemantauan Kualitas Air Waduk Saguling, PT Indonesia Power [3] Anonim. 2015., Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai Citarum Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bawa Barat [4] Anonim, 2001., Peraturan Pemerintah 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Perlindungan Pencemaran Air [5] Anonim, 2010., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 tahun 2010, tanggal 14 Januari 2010 [6] Anonim, 2015., Kota Bandung Dalam Angka 2015. BPS Kota Bandung [7] Anonim, 2015., Kabupaten Bandung Dalam Angka 2015. BPS Kabupaten Bandung [8] Anonim, 2015., Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2015. Kabupaten Bandung Barat [9] Anonim, 2015., Kabupaten Garut Dalam Angka 2015. Kabupaten Garut [10] Anonim, 2015., Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2015. Kabupaten Sumedang
Lingkungan | 56
Perencanaan Sistem Instalasi Plambing Kantor Citra Borneo Indah di Pangkalan Bun Berdasarkan Konsep Konservasi Air Ferry Yudi Haryanto1, Yulianti Pratama1, Priyadi Wirasakti S2 Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124) 2 PT BITA ENARCON ENGINEERING
[email protected] 1
Abstrak Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana dari UU 28 tahun 2002 Bangunan Gedung, bahwa setiap kegiatan pembangunan harus memperhatikan keseimbangan dengan lingkungan sekitar dan tidak menyebabkan dampak penting pada lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan kantor pusat PT Citra Borneo Indah yang terletak di Pangkalan Bun akan direncanakan sistem plambing dengan konsep Green Building dengan aspek konservasi air.Upaya yang dilakukan yaitu dengan menggunakan poin WAC P1, WAC 2, WAC 3, WAC 4 dan WAC 5. Pemakaian air bersih akan dihemat dengan penggunaan alat plambing hemat air dan penggunakan air daur ulang sebagai air cadangan dan untuk kegiatan flushing WC dan urinal. Hasil penghematan air bersih dengan menggunakan alat plambing hemat air dibandingkan dengan alat plambing konvensional adalah sebesar 63,3%. Sedangkan hasil penggunaan kembali air daur ulang dari black water, grey water, air sisa wudhu dan air hujan yang sebelumnya diolah dengan menggunakan instalasi pengolahan air limbah dapat menghemat penggunaan air dari PDAM sebesar 86,1%. Hasil perencanaan sistem plambing ini diperoleh besarnya diameter untuk pipa air bersih dan pipa air cadangan adalah berkisar antara 20 mm – 65 mm. Sedangkan diameter pipa untuk air kotor dan air sisa diperoleh hasil dengan rentang 50 mm – 150 mm serta diameter pipa vent dengan rentang 40 mm – 125 mm. Kata Kunci : Green Building, sistem plambing, alat plambing hemat air, air daur ulang, air wudhu 1. Pendahuluan Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari suatu pembangunan adalah bertambahnya kebutuhan air yang akan digunakan untuk keperluan sanitasi yang pada akhirnya akan menghasilkan limbah domestik yang semakin meningkat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana dari UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan gedung, bahwa setiap kegiatan pembangunan harus memperhatikan keseimbangan dengan lingkungan sekitar dan tidak menyebabkan dampak penting pada lingkungan. Untuk menyalurkan air bersih dan mengalirkan air buangan pada suatu gedung maka diperlukan sistem plambing. Definisi dari sistem plambing adalah penyediaan air bersih ketempat yang dikehendaki dengan tekanan yang cukup dan sistem pembuangan air kotor (black water dan grey water) dari tempat tertentu tanpa mencemarkan bagian penting lainnya (Noerbambang, 1996). Sehingga system plambing merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam pembangunan suatu gedung. Pada pembangunan kantor pusat PT Citra Borneo Indah yang terletak di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang memiliki luas sebesar 20.300 m2 direncanakan akan menerapkan sistem plambing yang berkonsep Green Building. Konsep Green Building adalah bangunan dimana dalam perencanaan, pembangunan, pengoperasian serta dalam pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu baik bangunan
Lingkungan | 57
maupun mutu dari kualitas udara di dalam ruangan serta memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Aspek dalam Green Building yang akan diterapkan pada perencanaan ini yaitu aspek konservasi air. Upaya-upaya yang akan dilakukan yaitu menggunakan alat plambing hemat air, mendaur ulang grey water dan black water, air sisa wudhu dan air hujan yang direncanakan akan di tampung dan selanjutnya akan digunakan sebagai sumber air alternatif (air cadangan) untuk flushing WC dan urinal. 2.
Metodologi Metodologi Perencanaan Pada perencanaan sistem plambing di kantor PT Citra Borneo Indah akan dilakukan dengan tahap berikut : 1. Studi Literatur Melakukan tinjauan pustaka mengenai teori yang berhubungan dengan perencanaan sistem plambing. Teori-teori yang berhubungan dalam perencanaan ini yaitu : a. Perancangan dan Pemeliharaan Sistem Plambing oleh Soufyan & Morimura,1984 b. SNI 03-6481-2000 tentang Sistem Plambing c. SNI 03-7065-2005 tentang Tata Cara Perencanaan Sistem Plambing d. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.10/Kpts/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan e. Data Arsitek Edisi Kedua Jilid 2 oleh Nuefert, 2003 2. Pengumpulan Data Data sekunder yang digunakan yaitu : a. Gambar Teknik (engineering Drawing) b. Fungsi dari tiap lantai c. Perkiraan populasi gedung Untuk menentukan populasi gedung diperkirakan berdasarkan luas lantai dan menetapkan kepadatan hunian per luas lantai. Dapat ditentukan dengan rumus :(Noerbambang& Morimura, 2000,p.66) luas efektif % x Luas ruang m2 beban hunian
3.
d. Standar pemakaian air yang digunakan (SNI-03-7065-2005) e. Spesifikasi alat plambing hemat air Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari : • Perhitungan kebutuhan air bersih Kebutuhan air bersih dapat ditentukan berdasarkan jumlah populasi dikalikan dengan stadar kebutuhan air bersih berdasarkan SNI 03 – 7065 – 2005 • Perhitungan volume air buangan Volume air buangan berdasarkan pada 80% dari total kebutuhan air bersih. (Tchobanoglus, 2004, p 155) • Timbulan air bekas wudhu(Suratkon, dkk, 2014, p.154) • Perhitungan kapasitas ground tank dan roof tank(Noerbambang & Morimura, 1985,p.97) Kapasitas ground tank dapat ditentukan dengan menjumlahkan total kebutuhan air bersih dengan 20% dari kebutuhan air bersih (untuk factor keamanan). Sedangkan volume roof tank didapatkan dari rumus : 𝑽𝑬 = 𝑸𝒑 − 𝑸𝒎𝒂𝒙 𝑻𝒑 − 𝑸𝒑𝒖 ×𝑻𝒑𝒖 Keterangan : VE : kapasitas efektif tangki atas (Liter) Qp : Kebutuhan puncak (Liter/menit)
Lingkungan | 58
Qmax Qpu Tp Tpu 4.
Qp = Qrata-rata (Liter/menit) x faktor jam puncak (1,5-2) : Kebutuhan jam puncak (Liter/menit) Qmax = Qrata-rata (Liter/menit) x factor menit puncak (3-4) : kapasitas pompa pengisi (Liter/menit) (biasanya Qpu=Qmax) : Jangka waktu kebutuhan puncak (menit) : Jangka waktu kerja pompa pengisi (menit)
Perencanaan Teknis Perencanaan teknis terdiri dari : a. Jalur dan dimensi pipa air bersih first class , second class dan air buangan b. Tekanan pada pipa Tekanan pada pipa didapatkan dari rumus :(sularso& Tahara, 2000, p 53) 𝐻𝑒𝑎𝑑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = (𝐻𝑒𝑎𝑑𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 + 𝐻𝑒𝑎𝑑𝑙𝑜𝑠𝑠 + 𝐻𝑒𝑎𝑑𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 + 𝑇𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛𝑎𝑤𝑎𝑙) Keterangan: • Head elevasi = Perbedaan elevasi pipa • Head Loss = Kerugian gesek pipa • Head Kecepatan = Kecepatan Aliran air c.
Daya pompa (sularso & Tahara, 2000, p 53) 𝜌. 𝑔. 𝑄. 𝐻 𝑃= ᶯ
d.
5.
Perhitungan penghematan air Penghematan air dengan menggunakan black water, grey water, air sisa wudhu dan air hujan sebagai sumber air alternatif dan air daur ulang serta penghematan air bersih dengan menggunakan alat plambing hemat air e. Pengolahan air buangan yang digunakan Pengolahan air dipilih berdasarkan kualitas yang dihasilkan untuk memenuhi persyaratan dari konsep Green Building Perencanaan Teknis Perencanaan teknis terdiri dari : a. Jalur dan dimensi pipa air bersih, grey water, black water dan air sisa wudhu b. Jalur dan dimensi pipa air hujan
3. Isi Dalam perencanaan sistem plambing di Kantor PT Citra Borneo Indah akan menggunakan konsep Green Building dengan aspek konservasi air. Penggunaan air bersih dari PDAM akan dihemat dengan menggunakan air daur ulang dan alat plambing hemat air. Air daur ulang yang digunakan yaitu black water, grey water, air hujan dan air sisa wudhu yang akan diolah terlebih dahulu dengan menggunakan STP Biofive dengan teknologi Biotech. 3.1 Perhitungan Populasi dan Kebutuhan Air Bersih Untuk mengetahui kebutuhan air bersih maka dibutuhkan data populasi. Penentuan populasi pada gedung ini mengacu pada perhitungan luas efektif, yakni berdasarkan KepMen PU No.10 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan serta luas lantai efektif yang berkisar antara 55 sampai 80 persen dari luas seluruhnya (Noerbambang 2000, h.66). Berikut ini rekapitulasi jumlah populasi dan kebutuhan air bersih di gedung kantor PT Citra Borneo Indah :
Lingkungan | 59
Tamu Karyawan Kantin Mushola
Tabel 1 Rekapitulasi Kebutuhan Air Bersih Kebutuhan Air Total Jumlah Orang L/orang/hari L/hari m3/hari 98 30 2940 2,94 979 50 48950 48,95 313 15 4695 4,7 313 20 6260 6,26 Total 62845 62,85
Jumlah total populasi gedung kantor PT Citra Borneo Indah yaitu 1.761 orang dengan kebutuhan air bersih sebesar 62,85 m3/hari yang dihitung berdasarkan SNI 03-7065-2005 tentang Tata Cara Perencanaan Sistem Plambing. Upaya bentuk pengamanan terhadap ketersediaan air bersih, maka dilakukan perhitungan untuk cadangan air dan penganggulangan terhadap kebocoran system sebesar 20% dari kebutuhan total air per hari. Sehingga diperoleh nilai kebutuhan total air per hari yaitu sebesar 75,41 m3/hari. 3.2 Penyaluran Air Bersih Pada perencanaan sistem plumbing air bersih di kantor PT Citra Borneo Indah akan menggunakan sistem penyaluran secara gravitasi. Berikut ini skematik penyaluran air bersih (first class) dan air daur ulang (second class) :
Gambar 1. Skematik Penyaluran Air Bersih Diameter pipa air bersih maupun air cadangan dapat ditentukan berdasarkan unit beban alat plambing berdasarkan SNI 03-7065-2005 dan jumlah unit alat plambing yang dilayani. Berdasarkan jumlah unit alat plambing dapat ditentukan faktor keserempakan dan nilai jumlah unit beban alat plambing, diperoleh rentang diameter untuk pipa air bersih dan pipa air cadangan yaitu sebesar 20 mm – 65 mm. Selanjutnya ground tank 1 yang akan digunakan untuk menampung air yang berasal dari PDAM, dihitung kapasitasnya berdasarkan pada jumlah total kebutuhan air bersih, sehingga diperoleh dimensi ground tank 1 yaitu panjang, lebar dan tingginya adalah berturut-turut sebesar 8 m, 4 m dan 2,5 m.
Lingkungan | 60
Penampungan yang direncanakan untuk grey water, black water, air sisa wudhu dan air hujan adalah menggunakan ground tank 2. Perhitungan kapasitas ground tank 2 yang dibutuhkan dapat dihitung dengan memperkirakan jumlah air limbah yang dihasilkan. Berikut ini rekapitulasi untuk ground tank 2: Tabel 3 Rekapitulasi Air Daur Ulang Nilai Black Water 12,55 m3/hari Grey water 30,2m3/hari Air wudhu 5,008 m3/hari Debit Air Hujan 33,91 m3/hari Total 81,70 m3 Sumber : Perhitungan,2016 Maka kapasitas ground tank diperoleh yaitu sebesar 81,70 m3 dengan dimensi tinggi 2 m, lebar 5 m serta panjang 10 m. Roof tank 1 digunakan untuk menampung air bersih yang berasal dari ground tank , yang kemudian akan didistribusikan ke alat plambing faucet, kitchen sink, lavatory dan jet spray. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh kapasitas roof tank 1 sebesar 28,74 m3 dengan dimensi tinggi 2 m, lebar 3 m dan panjang 6 m. Roof tank 2 digunakan untuk menampung air yang berasal dari ground tank 2 kemudian di distribusikan ke alat plambing WC dan urinal. Kapasitas roof tank 2 didasarkan pada jumlah unit beban alat plambing WC dan urinal pada gedung tersebut. Berdasarkan dari grafik unit alat plambing terhadap kebutuhan air (L/menit) sesuai SNI 03-7065-2005, diperoleh kebutuhan air yang diperlukan untuk WC dan urinal yang terdapat di gedung tersebut yaitu sebesar 500 L/menit atau 0,5 m3/menit. Sehingga volume roof tank 2 adalah 30 m3 dengan dimensi panjang 6 m , lebar 3 m dan tinggi 2 m. 3.3 Penyaluran Air Buangan Pengaliran air buangan dilakukan secara gravitasi. Adapun jalur pipa dibagi menjadi 4 yaitu jalur pipa air sisa (grey water), pipa air kotor (black water), pipa air sisa wudhu dan pipa vent. Berikut ini gambar skematik pengaliran air buangan :
Gambar 2 Skematik Pengaliran Air Buangan
Lingkungan | 61
Berdasarkan SNI 03-7065-2005 tentang Tata Cara Perencanaan Sistem Plambing, maka hasil perhitungan diameter air buangan dan pipa vent adalah sebagai berikut: • diameter pipa black water dan grey water mempunyai rentang 50 mm – 150 mm. • diameter pipa vent dengan rentang 40 mm – 125 mm. 3.4 Diameter Talang Air Hujan Dimensi talang hujan dan pipa tegak air hujan ditentukan berdasarkan luas atap dari kantor PT Citra Borneo Indah yang kemudian akan dibagi menjadi 8 segmen yang mempunyai luas sekitar 80 m2 tiap segmen. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai intensitas hujan di Pangkalan Bun yaitu 117,765 mm/jam sehingga didapatkan ukuran pipa tegak air hujan mempunyai rentang 100 mm – 150 mm. 3.5 Perhitungan Tekanan Perhitungan tekanan ini diperlukan untuk menentukan sisa tekan yang terdapat pada alat plambing yang terletak di titik kritis. Nilai sisa tersebut kemudian dibandingkan dengan standar nilai tekanan yang dibutuhkan oleh alat plambing. Berdasarkan perhitungan didapatkan sisa tekanan untuk roof tank 1 yaitu 1,24 bar sedangkan roof tank 2 yaitu 1,08 bar. Kedua sisa tekan tersebut memenuhi tekanan minimum yang dibutuhkan yaitu 1 bar. 3.6 Meteran Air Penggunaan meteran air merupakan syarat yang harus dipenuhi dari GBCI dalam rangka kuantifikasi penggunaan air bersih. Hasil perencanaan penempatan meteran air pada gedung ini adalah sebanyak 28 buah, yaitu: § 1 buah meteran air di sumber air § 1 buah meteran air di keluaran air daur ulang (roof tank 2) § 13 buah meteran air keluaran air bersih di setiap lantai (13 lantai) § 13 buah meteran air di keluaran air daur ulang di setiap lantai (13 lantai) 3.7 Pengolahan Daur Ulang Air Air limbah berupa grey water dan black water akan digunakan kembali dengan peruntukan untuk menyiram (flushing) WC dan urinal. Kedua air limbah tersebut sebelumnya diolah dengan menggunakan unit STP (Sewage treatment plant) dengan teknologi Biotech. Pengolahan ini memiliki nilai efisiensi mencapai 90% yang dilengkapi dengan 4 tahap proses yaitu tahap ekualisasi, tahap aerasi, tahap sedimentasi dan tahap klorinasi. Sehingga kualitas dari effluent memenuhi kualitas air golongan 4 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sedangkan untuk air wudhu dan air hujan menggunakan unit pengolahan Filter Sincere Water Purifier dengan tipe HS-300 yang berkapasitas 32 L/menit serta memiliki nilai efisiensi pengolahan yang berkisar 80 – 90%. 3.8 Konservasi Air Berikut ini perhitungan penghematan air yang diperoleh dengan menggunakan alat plambing hemat air dibandingkan dengan alat plambing konvensional : • Pemakaian air alat plambing konvensional : 46,6 m3/hari • Pemakaian air alat plambing hemat air : 17,08 m3/hari •
Penghematan air
:
(YZ,Z\]^,_`) bc /efgh YZ,Z bc /efgh
×100% = 63,3 %
Selanjutnya dengan menggunakan air daur ulang maka dapat menghemat penggunaan air PDAM sebesar : • Penggunaan air bersih (faucet) : 2,38 m3/hari • Penggunaan air ulang (WC dan Urinal) : WC laki-laki + WC wanita + Urinal : (1,19 + 4,41 + 9,11) m3/hari : 14,71 m3/hari •
Penghematan Air
:
]Y,^] ]^,_`
kc lmno kc
×100%
lmno
: 86,1 %
Lingkungan | 62
Dari perhitungan diatas maka penghematan air bersih PDAM dengan menggunakan air daur ulang sebesar 86,1%. Tabel 2 Rekapitulasi Penghematan Air Daur Ulang Dan Alat Plambing Hemat Air Penghematan Alat Plambing Hemat Air dibandingkan 63,3% dengan alat plambing konvensional Penghematan air bersih PDAM 86,1% Sumber : Perhitungan,2016 4. Kesimpulan Upaya yang akan dilakukan pada perencanaan sistem plambing di kantor PT Citra Borneo Indah yaitu menggunakan meteran air, menggunakan alat plambing yang hemat air, mendaur ulang air kotor , air sisa, air sisa wudhu dan air hujan yang ditampung dan selanjutnya diolah terlebih dahulu serta menggunakan sistem penampungan air hujan. Terdapat 6 jalur pipa yang direncanakan yaitu pipa air bersih yang digunakan untuk kegiatan domestik, pipa air cadangan yang digunakan untuk flushing WC dan urinal, pipa air limbah (black water dan grey water), pipa air sisa wudhu, dan vent. Dari hasil perencanaan tersebut didapatkan kapasitas ground tank 1 dan ground tank 2 yaitu 75,41 m3 dan 81,70 m3 sedangkan roof tank 1 dan roof tank 2 yaitu 28,74 m3 dan 30 m3. Diameter pipa air bersih dan air cadangan yang akan digunakan mempunyai diameter dengan rentang 20 mm – 65 mm, air kotor dan air sisa dengan rentang 50 mm – 100 mm dan vent dengan rentang 40 mm – 125 mm. Tekanan yang tersisa pada lantai 7 untuk roof tank 1 dan roof tank 2 yaitu 1,24 bar dan 1,08 bar. Terdapat 2 pompa yang dibutuhkan yaitu 2 pompa untuk mendisribusikan air bersih dan air cadangan dari ground tank ke roof tank. Pompa 1 dan 2 masing –masing mempunyai daya 5,36 kW dan 4,36 kW. Selain itu akan dipasang 28 buah meteran air yang diletakkan pada lokasi yang telah disesuaikan dengan persyaratan GBCI. Pada penampungan air hujan didapatkan diameter pipa air hujan dengan rentang diameter 100 mm – 150 mm. Air kotor dan air sisa yang sudah ditampung akan diolah dengan menggunakan STP dengan teknologi Biotech yang berkapasitas 50 m3, sedangkan untuk air sisa wudhu dan air hujan menggunakan Filter Sincere Water Purifier dengan tipe HS-300 dengan kapasitas 32 L/menit. Penggunakan alat plambing hemat air TOTO dapat menghemat air sebanyak 63,3% sedangkan dengan menggunakan air daur ulang untuk kegiatan flushing WC dan urinal dapat menekan penggunaan air yang bersumber dari PDAM sebesar 86,1%. Daftar Rujukan [1] George, T., Burton Franklin, L., & David, S. H. (2004). Wastewater engineering: treatment and reuse. Metcalf & Eddy. New York: MCGraw Hill. [2] Sularso, H. T., & Tahara, H. (2000). Pompa dan Kompresor: Pemilihan, Pemakaian dan Pemeliharaan. Pradnya Paramitha: Jakarta. [3] Badan Standarisasi Nasional. (2005). Tata Cara Perencanaan Sistem Plambing (SNI03-70652005). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. [4] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2001). Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemara air. Jakarta. [5] Nasir, R. Y., Danusastro, Y., Fitria, D., Fauzianty, V., Aryani, Y., Widyanareswari, A., . . . Padmadinata, A. (2013). Panduan Teknis Perangkat Penilaian Bangunan Hijau Untuk Bangunan Baru Versi1.2. Jakarta Selatan: Green Building Council Indonesia. [6] Noerbambang, S. M., & Morimura, T. (2000). Perencanaan Dan Pemeliharaan Sistem Plambing. Jakarta Pusat: P.T. Pradnya Paramit. [7] Suratkon, A., Chan, C. M., & Ab Rahman, T. S. T. (2014). SmartWUDHU': Recycling Ablution Water for Sustainable Living in Malaysia. Journal of Sustainable Development, 7(6), 150. [8] Biofive. (2015). Brosur STP Biofive. from http://www.septictankbiofive.web.id/2014/04/stpsystem-ipal-biotech-system-wwtp.html [9] Toto. (2016). Catalogue TOTO 2016. from http://www.toto.co.id/
Lingkungan | 63