TUNGGU TUBANG SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN SUMBER DAYA LAHAN BERKELANJUTAN Tunggu Tubang as the Effort of Supporting Sustainable Land Resource Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, Km 6 Kotak Pos 1265, Palembang 30153
ABSTRACT In some areas there are local wisdom that until now still can feel the existence and benefits. Tunggu tubang culture is a local wisdom in the region Semende, South Sumatra. This paper aims to provide a snapshot of how a form of local wisdom that is still maintained and played an important role of Tunggu Tubang. Tunggu tubang is the eldest daughter was married, that given the right to use, occupy, maintain and retrieve the results of heritage treasures parents and even ancestors, but not to sell, because the property is a heritage property with a large family. Tunggu tubang positive role can be seen in the management of the inherited land resources and maintain continuance. However, with the times, that’s responsibility in some people become a bondage. To maintain the existence of Tunggu Tubang, also the ability to increase productivity and agribusiness added value, the role of traditional institutions, governments and even private, is really needed. Key words : Tunggu Tubang, inheritance, land resources, conservation
ABSTRAK Di beberapa wilayah terdapat kearifan lokal yang sampai saat ini masih dapat dirasakan eksistensi dan manfaatnya. Budaya Tunggu Tubang merupakan kearifan lokal di wilayah Semende, Sumatera Selatan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana suatu bentuk kearifan lokal yang masih dipertahankan dan berperan penting yaitu Tunggu Tubang. Tunggu tubang adalah anak perempuan tertua sudah berkeluarga, yang diberi hak untuk memakai, menempati, memelihara dan mengambil hasil harta pusaka peninggalan orang tua bahkan leluhurnya, tetapi tidak berhak menjualnya, karena harta tersebut merupakan warisan milik bersama keluarga besar. Peran positif Tunggu Tubang dapat dilihat dalam pengelolaan sumber daya lahan yang diwariskan dan mempertahankan kelangsungannya. Namun, mengikuti perkembangan zaman, tanggung jawab itupun di sebagian orang menjadi suatu kungkungan. Untuk mempertahankan eksistensi Tunggu Tubang, juga kemampuan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha agribisnis perlu peran serta, baik dari lembaga adat, pemerintah bahkan swasta. Kata kunci : Tunggu Tubang, pewarisan, sumber daya lahan, pelestarian
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
PENDAHULUAN
Terlepas dari fitrahnya, perempuan sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama seperti halnya kaum pria dalam menjalankan eksistensinya. Pandangan yang mentradisi di beberapa etnik menyebabkan pemisahan yang tajam dan menempatkan perempuan dalam kedudukan yang kurang menguntungkan untuk mengembangkan dirinya sebagai pribadi dan anggota masyarakat (Uar, 2004). Di kalangan masyarakat Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, ibu rumah tangga selain menjalankan perannya dalam mengurus keluarganya sehari-hari, juga berperan nyata dalam pengambilan keputusan dan kegiatan produktif terutama di sektor pertanian. Ini dikarenakan adanya suatu tatanan atau sistem yang memungkinkan hal itu terjadi dan berlangsung hingga saat ini. Tunggu Tubang merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang turun temurun. Selain merupakan pewaris dari harta turun temurun seperti lahan, rumah, juga diberikan hak dan wewenang kepada kaum perempuan di wilayah Semendo untuk menjalankan perannya dalam bidang pertanian. Banyaknya kasus alih fungsi lahan sawah yang menimbulkan masalah sosial di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini bukan saja menyebabkan berkurangnya lahan sawah sehingga areal panen menyusut, tetapi juga mempengaruhi aspek teknologi usaha tani serta kelembagaan terkait. Tidak hanya menyangkut hilangnya peluang untuk memproduksi padi yang merupakan ancaman untuk mempertahankan swasembada beras, namun juga menyangkut hilangnya kesempatan berusaha dan berkurangnya pendapatan dari sektor pertanian (Sumaryanto et al., 1998). Sebagai ahli waris, Tunggu Tubang mempunyai hak untuk mengelola, mempertahankan keberadaan lahan tersebut, pencegahan terjadinya fragmentasi tanahpun dapat dipertahankan. Sehingga memungkinkan adanya jaminan suplai pangan di wilayah tersebut bahkan ke wilayah sekitar. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan wilayah. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana suatu bentuk kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga saat ini yaitu Tunggu Tubang mampu berperan dan mempertahankan sumber daya lahan. Secara lebih spesifik tulisan ini mengungkapkan: apa itu Tunggu Tubang, apa peran dan manfaat yang dirasakan bagi kelangsungan produksi di bidang pertanian dan pelestraian sumber daya lahan serta permasalahan yang bisa timbul di balik peran tersebut.
TUNGGU TUBANG DAN PERANANNYA
Tubang artinya tabung, terbuat dari ruas bambu yang mempunyai penutup. Kegunaannya adalah untuk menyimpan bahan makanan sehari-hari. Untuk menjaganya agar jangan cepat rusak, maka tubang ini ditempatkan di atas para-
349
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
para dapur, sehingga masih dapat diasapi. Tunggu Tubang diartikan menunggui tabung, nama jabatan yang diberikan kepada anak perempuan tertua sebagai penerima waris, pengelola harta pusaka, dari orang tua/ leluhurnya. Walaupun budaya ini terdapat juga di wilayah Kabupaten Lahat, Pagar Alam, bahkan OKU Selatan, namun nuansanya lebih terasa kental di Kabupaten Muara Enim, yaitu di kawasan Semende. Sebelum dihapusnya pemerintahan marga di Sumatera Selatan maka wilayah Semende (orang luar sering menyebutnya dengan Semendo), meliputi 15 marga. Dari ke lima belas daerah teritorial (marga) tersebut, terdapat tiga marga yang terletak di wilayah Kabupaten Muara Enim yang saat ini ketiga marga tersebut menjadi kecamatan Semende Darat Laut yang meliputi 10 desa, Semende Darat Ulu meliputi 10 desa dan Semende Darat Tengah meliputi 9 desa. Kata Semende mempunyai beberapa pengertian (Tim Peneliti Adat Istiadat Masyarakat Semende, 2002), di antaranya: 1. Berasal dari kata Same dan Nde. Same berarti sama, Nde berarti milik, sehingga bermakna sama memiliki/sama kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik dalam individu maupun dalam arti Jurai. Dari sini membuktikan bahwa masyarakat Semende dalam sistem perkawinannya menarik pertalian keturunan berasas bilateral/parental (pertalian darah menurut garis kedua orang tua yaitu ibu dan bapak). Jadi bukan matrilineal (pertalian darah menurut garis ibu) seperti anggapan orang luar selama ini. 2. Berasal dari Se-Man-Nde artinya rumah kesatuan milik bersama (rumah yang ditunggu oleh anak Tunggu Tubang), tempat berkumpulnya sanak keluarga sewaktu berziarah ke puyang, hari-hari besar, serta acara keluarga. Di beberapa desa yang sudah dikunjungi di wilayah Semende seperti Desa Pulau Panggung, Tanjung Agung, Datar Lebar, Segamit, dan Tanjung Raya, diperoleh informasi bahwa orang yang berhak menjadi Tunggu Tubang ini adalah anak perempuan tertua, kendati dia anak bungsu atau perempuan satu-satunya dalam keluarga itu. Kalau tidak ada anak perempuan maka akan dialihkan kepada salah seorang anak laki-laki yang ada, diutamakan laki-laki tertua dan tentunya setelah menikah, jadi dia diangkat sebagai Tunggu Tubang, ini dinamakan Ngangkit. Seandainya dalam keluarga tersebut tidak dimiliki seorang anakpun, maka kedudukan Tunggu Tubang dialihkan kepada adik perempuan dari Tunggu Tubang sebelumnya. Kehidupan masyarakat Semende sehari-harinya terkait erat dengan adatistiadat dan tidak akan terlepas dari lambang adat yang terdiri dari lima bagian yang masing-masing mempunyai arti sendiri (Anonim, 2009; Zanikhan, 2009): 1. Kujur/tombak, memiliki makna cepat tanggap pada setiap permasalahan, dan jika hal itu merupakan perintah dari meraje, tidak pernah membantah (dalam hal yang baik-baik) dan segera melaksanakannya. Mencerminkan kejujuran, yang dalam bahasa Semende disebut kujur.
350
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
2. Kampak/kapak, yang terdiri dari dua sisi. Ini melambangkan bahwa masyarakat Semende melihat perlakuan yang sama antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam membina Jurai, mampu menyelesaikan masalah dalam keluarga dengan seadil-adilnya/tidak berat sebelah. 3. Jala/jale, yang digunakan untuk alat menangkap ikan. Jala terdiri dari tiga bagian yaitu pusat jala, daun jala, dan rantai atau batu jala. Jala bila ditarik berawal dari pusat, sehingga rantai yang berbentuk cincin akan terkumpul. Secara filosofis melambangkan persatuan dan kesatuan masyarakat/ keluarga yang dinamakan Jurai yang dikomandoi oleh Meraje. 4. Tebat/kolam. Berbeda dengan sungai, kolam tidak memiliki riak-riak seperti sungai, selalu tenang. Kondisi ini didukung dengan kondisi alam yang dingin dan air gunung selalu mengalir. Kolam ini perlambang kepribadian Tunggu Tubang yang tetap sabar dan konsisten menghadapi persoalan dalam Jurai. Jika ada perselisihan dalam rumah tangga, harus dapat diselesaikan tanpa perlu melibatkan orang tua, mertua, apalagi sampai keluarga besar. 5. Guci, sebagai tempat menyimpan makanan untuk persiapan dan diperlukan ketika ada tamu. Hal ini melambangkan bahwa Tunggu Tubang bersifat hemat dan bila ada Jurai yang bertandang dapatlah dijamu. Merupakan aib, jika ada Jurai yang bertamu, Tunggu Tubang tidak memiliki apa-apa untuk disuguhkan. Bahkan merupakan kebiasaan jika ada Jurai atau keluarga yang datang dari jauh akan kembali ke tempatnya, maka Tunggu Tubang memberikan oleh-oleh. Ini membuktikan warga Semende terbuka untuk menerima tamu baik keluarga dekat atau orang lain.
KEKERABATAN ADAT Kekerabatan adat Semende dinamakan Lembage Adat Semende Meraje Anak Belai. Dalam lembaga tersebut yang menjadi kekhususan adalah adanya pengawasan dan bimbingan keluarga terhadap Tunggu Tubang, yang terdiri dari 1. Lebu Meraje (Lebu jurai) ialah kakak atau adik laki-laki dari buyut Tunggu Tubang, lebih tinggi kedudukan dan kekuasaannya dalam segala hal, akan tetapi jarang didapati karena biasanya sampai pada tingkatan Jenang Jurai sudah meninggal. 2. Payung Meraje (Payung Jurai) ialah kakak atau adik laki-laki dari Puyang Tunggu Tubang. Tugasnya melindungi, mengasuh, dan mengatur Jurai tersebut menurut agama dan adat. 3. Jenang Meraje (Jenang Jurai) ialah kakak atau adik laki-laki dari nenek Tunggu tubang bertugas mengawasi, memberi petunjuk yang telah digariskan oleh Payung Jurai kepada keluarga itu dan melaporkannya ke Payung Jurai.
351
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
4. Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari ibu Tunggu Tubang, tugasnya sebagai orang yang terjun langsung membimbing dan mengasuh anak belai (Tunggu Tubang) sesuai ajaran agama dan adat. Jadi meskipun Tunggu Tubang adalah seorang perempuan, namun peran dari laki-laki sangatlah penting, karena mereka inilah yang berperan mengawasi Tunggu Tubang. Mereka yang mempunyai status di atas harus ditaati perintahnya sepanjang untuk membangun dan memperbaiki apa yang berhubungan dengan Tunggu Tubang serta harta pusakanya. Mereka akan berada dibelakang, memberi tegoran kalau ada kekurangan yang dilakukan Tunggu Tubang. Oleh karena itu kekuasaan laki-laki akan tetap dihormati. Status Tunggu Tubang adalah Anak Belai (anak yang harus dibela). Yang membelanya adalah Meraje, Jenang Jurai, Payung Jurai, dan Lebu Meraje/Jurai. Meraje adalah pemimpin terhadap Tunggu Tubang, berapapun jumlahnya, hanya saja sewaktu berbicara yang tertua didahulukan. Sebagai orang yang bertugas mengawasi Tunggu Tubang, Meraje diisyaratkan memiliki sifat yang baik dan suri tauladan bagi Anak Belai yang diawasinya yaitu: (i) adil , (ii) mengayomi, (iii) sabar, (iv) berwibawa dan tegas, (v) cerdas dan tanggap mengatasi masalah, serta (vi) bijaksana mengatasi permasalahan dan mengambil keputusan (Tim peneliti Adat Istiadat Masyarakat Semende, 2002).
SISTEM PEWARISAN, HAK DAN KEWAJIBAN
Di Indonesia, hukum adat waris mengenal adanya empat sistem kewarisan yaitu: (1) sistem kewarisan individual dimana para ahli warisnya mewarisi secara perorangan; (2) sistem kewarisan kolektif, para ahli warisnya secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris; (3) sistem kewarisan mayorat lakilaki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal; dan (4) sistem kewarisan mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal (Soekanto, 2002). Pada umumnya mereka yang menjadi ahli waris adalah mereka yang secara garis keturunan berhubungan atau dekat dengan si peninggal warisan. Di beberapa masyarakat Indonesia, si ahli waris merupakan anak laki-laki atau perempuan saja, namun ada juga kedua-duanya. Tanah yang dikuasai di wilayah Semende ini merupakan tanah ulayat, dimana tanah ini tidak dimiliki secara mutlak, dilarang untuk diperjualbelikan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang lebih dibanding tanah itu sendiri. Terdapat kesamaannya dengan suku Minangkabau, dimana tanah ulayat ini diwariskan secara turun-temurun kepada anak perempuan (Syahyuti, 2006). Sehingga “orang luar” cenderung mengatakan bahwa adat Semende menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal, suatu pendapat yang keliru. Karena kedudukan suami dan isteri dalam suatu rumah
352
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
tangga Semende adalah sama, sesuai dengan pengertian Semende itu sendiri yaitu sama-sama memiliki, dalam artian bahwa suami dan isteri mempunyai wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan fungsinya masing-masing. Hak dan kewajiban merupakan materi dari peristiwa hukum. Karena peristiwa hukum menimbulkan dan atau menghapus hak dan kewajiban. Harta peninggalan leluhur atau milik orang tuanya dapat diwariskan kepada penerusnya sebelum dan setelah pewaris meninggal. Terkait dengan warisan tersebut, maka perlu ditinjau mengenai hak dan kewajiban ahli waris sehubungan dengan warisan yang diterimanya. Tunggu Tubang diberi hak untuk memakai, menempati, memelihara dan mengambil hasil harta pusaka tersebut tetapi tidak berhak menjualnya, karena harta tersebut milik bersama seluruh anggota kerabat. Hanya saja dikuasakan menurut adat untuk menjaga dan mengurusnya kepada Tunggu Tubang (Tim peneliti Adat Istiadat Masyarakat Semende, 2002). Sehingga keunikan di wilayah Semende ini dikenal dengan sistem pewarisan kolektif, namun pengelolaannya dilakukan oleh anak perempuan tertua. Adapun harta yang diperoleh bukan secara turun temurun dari nenek moyang misalnya diperoleh dari jerih payah suaminya setelah menikah ataupun dihasilkan suaminya sebelum menikah (yang bukan harta keluarga besar) dapat dijual. Keberadaan Tunggu Tubang nyata sampai saat ini. Hal ini terlihat dari kewajiban yang mereka jalankan antara lain: (1) Mengusahakan Sawah agar berhasil baik. Sawah adalah modal utama untuk dapat memelihara kelangsungan hidup bagi kekerabatan; (2) Memelihara dan mengurusi harta pusaka dengan sebaik-baiknya; (3) Mengurus orang tua, mertua, kakek/nenek, serta membiayai adik-adik yang belum dapat hidup mandiri dan menjaga hubungan baik terhadap Apit Jurai (keluarga besar). Dengan demikian, ditinjau dari implementasi perannya, maka Tunggu Tubang ini memiliki fungsi: pemeliharaan, ekonomi dan sosial. Hal ini terkait erat dengan fungsi suatu keluarga (Ahmadi, 1991).
Fungsi Pemeliharaan Tunggu Tubang diwajibkan untuk dapat menjaga keberlangsungan produksi bidang pertanian. Hal ini dilakukan agar dia dan keluarga inti dan keluarga besar sepeninggal orang tuanya tetap dapat menikmati hasil sawah, kebun, kolam yang diusahakan. Selain itu, keluarganya juga akan kembali kerumah leluhurnya tersebut seperti pada saat hari besar keagamaan atau harihari lainnya. Merupakan kewajiban Tunggu Tubang untuk menjamu keluarga tersebut. Hal ini dapat dipenuhi dengan terus menerus melakukan pemeliharaan terhadap rumah, sawah, dan peninggalan lain. Dengan demikian, harkat dan martabat manusiapun menjadi lebih diutamakan.
Fungsi Ekonomi Berhubungan erat dengan fungsi pemeliharaan di atas, maka dengan fungsi ekonomi, Tunggu Tubang berupaya untuk menyelenggarakan kebutuhan
353
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
pokok anggota keluarga intinya dan sewaktu-waktu untuk keluarga besarnya yaitu kebutuhan makan dan minum dan kebutuhan tempat tinggal. Sehubungan dengan fungsinya ini, maka Tunggu Tubang juga memenuhi kebutuhan jasmani keluarga (orang tua, saudara yang belum berkeluarga) seperti untuk pakaian dan kebutuhan sekolah.
Fungsi Sosial Dengan fungsi ini, Tunggu Tubang berusaha untuk mempersiapkan anakanaknya bekal dengan memperkenalkan nilai-nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat Semende selama ini, mengajarkan peran-peran yang diharapkan akan dijalankan kelak oleh penerusnya. Dengan fungsi ini, maka di dalam keluarga terjadi pewarisan nilai-nilai budaya setempat yang sudah dimiliki oleh generasi tua kepada anak-anaknya seperti bahasa, cara bertingkah laku, sopan satun, dan ukuran tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Selain itu, penguasaan tanah dan rumah atau harta lain yang diwariskan inipun tidak dimiliki secara mutlak. Sifat ini tercermin dari kelembagaan adat Semende yang dilambangkan dengan guci, sehingga disini tercermin azaz keadilan.
AKTIVITAS DI BIDANG PERTANIAN: UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN
Dahulu, di wilayah yang kini dikenal dengan nama Sumsel, sudah ada undang-undang yang mengatur bagaimana pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat. Ini ditunjukkan oleh Undang-Undang Simbur Cahaya Tahun 1636 tentang Perubahan dan Penambahan Ketentuan-Ketentuan Pokok Marga dan Dusun ( Kusuma, 2004). Pada Bab 3 Pasal 20 undang-undang tersebut berbunyi sebagai berikut: Jika ada orang membakar (ketika membuat) ladang, lantas tanaman orang lain, seperti: durian, kelapa, sirih, dan lain-lain ikut terbakar disebabkan orang yang membakar ladang itu kurang hati-hati, maka orang yang membakar ladang itu dikenakan denda dari 6 sampai 12 ringgit dan harus mengganti harga tanaman yang telah terbakar itu dengan harga yang patut. Selanjutnya Bab 3 Pasal 22 ayat 2 berbunyi: Jika pada malam hari ada kedapatan hewan lepas di jalan besar atau di dalam dusun atau merusak kebun atau ladang orang, maka yang punya kerbau itu di hukum denda sebesar-besarnya 12 ringgit untuk tiap-tiap seekor hewan serta mengganti segala kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran ini. Undang-Undang Simbur Cahaya ini, jelas menunjukkan bahwa sejak zaman Pemerintahan Marga dahulu, sudah ada ketentuan yang mengatur bagaimana agar masyarakat berlaku tertib dalam berusaha di bidang pertanian dan selanjutnya bagaimana seorang kepala marga yang disebut Pasirah, beserta perangkatnya di dusun dipimpin oleh Kria, Proatin, atau Mangku dapat mengambil tindakan tegas berupa denda bahkan hukuman terhadap pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum.
354
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
Masyarakat Semende merupakan komunitas adat yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Kearifan lokal itu terlihat ketika akan memilih lokasi atau membuka suatu kawasan hutan untuk dijadikan kebun. Mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus dihutankan kembali yaitu dengan menanam tanamam keras yang fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutan. Fungsi ekologis ini terus dipertahankan hingga saat ini, karena lahan sawah, dan kolam ikan yang berada di sekitar rumah maupun di sawah harus terus dapat diairi untuk dapat diperoleh hasilnya. Sehingga konsep pelestarian sumber daya alami memang mereka pertahankan. Sudah menjadi tradisi mereka bahwa orang yang pertama membuka hutan adalah pemilik yang berhak atas lahan tersebut, tentunya setelah mendapat pertimbangan dan izin dari pemimpin adat. Pembukaan lahan ini dilakukan secara berkelompok yang masing-masing memiliki kekerabatan dekat. Aktivitas dan caracara yang dilakukan ini tentunya sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 6 ayat 1 berbunyi: Setiap orang berkewajiban memelihara fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Ayat 2 berbunyi: setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan. Sistem penguasaan dan pengelolaan tanah di wilayah Semende oleh para pendahulu yang kini dilanjutkan oleh penerusnya menekankan: (1) Pentingnya pengelolaan sumber daya alam, terutama tanah untuk dapat dikelola secara berkelanjutan, (2) Azaz keadilan, terutama untuk para penerus yakni untuk tetap dapat memberikan rasa aman dan hasil yang sama terkait produksi bidang pertanian, (3) Upaya pencegahan terjadinya fragmentasi tanah, untuk terus menerus dapat dimanfaatkan produksinya oleh keluarga intinya, saudara, atau keponakan yang tinggal dalam satu atap, didistribusikan atau membaginya pada saudara yang tinggal diluar wilayah, mendorong Tunggu Tubang untuk senantiasa dapat terus mempertahankan dan memanfaatkan hasil dari lahan yang diusahakannya. Salah satu bukti dari upaya ini dapat dilihat dari besarnya surplus pangan berupa beras di wilayah Semende Darat Laut (3.116 ton), Semende Darat Ulu (3.770 ton) dan Semende Darat Tengah (3.120 ton) pada tahun 2007 (Lampiran 1). Surplus beras dari wilayah Semende sebesar 10.000 ton ini tentunya membuktikan wilayah ini eksis dalam menopang kecukupan pangan di Kabupaten Muara Enim. Kegiatan fisik dalam produksi pertanian biasanya dibagi menurut garis gender, walaupun dalam berbagai kondisi terdapat keberagaman dengan normanorma lokal (Suradisastra, 1998). Seperti halnya pada masyarakat lainnya, kaum perempuan di wilayah Semendo memiliki tanggung jawab tinggi untuk memikul beban mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Aktivitas di bidang pertanian, memungkinkan mereka untuk meningkatkan perannya sebagai anggota keluarga yang disumbangkan dalam proses pengambilan keputusan maupun perannya sebagai pengontrol aset produksi bahkan dalam perannya sebagai tenaga kerja yang terlihat dalam keterlibatan mereka sehari-hari terutama pada usaha tani padi seperti menanam, menyiang, memanen, menjemur, dan membersihkan padi.
355
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
Di kebun khususnya kopi, kaum perempuan ini terlibat dalam penyiangan dan pemangkasan, pemanenan, penjemuran, dan pengolahan. Usaha agribisnis kopi sudah berkembang di wilayah ini. Bagi penikmat kopi di Kota Palembang, maka kopi Semendo adalah yang dicari. Usaha tani kopi yang semuanya merupakan perkebunan rakyat di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu dan Semende Darat Tengah berturut-turut untuk tanaman menghasilkan seluas 8.112 hektar, 1.876 hektar dan 1.816 hektar dengan produksi biji kering kopi berturut-turut sebesar 12.979 ton, 3.001 ton dan 2.905 ton (Lampiran 2). Pada pemeliharaan ikan mas, mereka melakukan pemberian pakan dan panen. Ikan mas ini dibudidayakan di dua tempat yaitu kolam dan sawah dengan total luas kolam dan budidaya ikan di sawah di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu dan Semende Darat Tengah berturut-turut seluas 121,2 hektar, 133,49 hektar dan 107,86 hektar dengan produksi berturut-turut sebesar 236,22 ton, 233,06 ton dan 275,85 ton (Lampiran 3). Meskipun harta yang diwariskan selain rumah, berupa lahan terutama untuk sawah, kebun kopi dan kolam ikan, namun masih banyak komoditas pertanian yang dibudidayakan di wilayah Semende ini seperti tanaman pangan diantaranya: jagung, ubi kayu dan ubi rambat; tanaman sayuran seperti kubis, tomat, kacang merah, cabai, kacang panjang, dan bawang daun; tanaman buahbuahan seperti: durian, nangka dan pisang. Sedangkan ternak yang diusahakan adalah: sapi, kerbau, kuda, kambing, ayam kampung, dan itik. Beberapa aktivitas usaha tani tersebut juga dilakukan bersama dengan kaum prianya. Namun demikian, dengan tanggung jawab yang harus dipikul dalam rumah tangga, seperti menyediakan makanan untuk keluarga dan mencuci, maka hal ini menunjukkan peran ganda dari seorang Tunggu Tubang sehari-hari. Melihat aktivitas, kemampuan Tunggu Tubang dan masyarakat Semende dalam melakukan proses produksi pertaniannya, maka tercerminlah konsep pertanian berkelanjutan seperti yang dikemukakan oleh Reijntjes dkk (2003) mencakup: mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes.
TUNGGU TUBANG DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN (KEKURANGAN DAN KELEBIHANNYA)
Saat ini, menjadi seorang penerima warisan, tidaklah membuat seorang perempuan Semende menjadi istimewa dan berkuasa. Dalam kehidupannya sehari-hari, selain melakukan pekerjaan dalam rumah tangga, Tunggu Tubang juga mengelola sawah dan pergi ke kebun kopi. Sebagai ahli waris sekaligus juga sebagai pewaris, mewajibkan mereka untuk tinggal di desa. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini ada Tunggu Tubang yang tinggal di luar desa karena bekerja sesuai dengan pendidikannya, namun tetap mengupah orang untuk mengurus sawah dan kebun sedangkan rumah ditempati oleh anggota keluarga terdekat. Tradisi Tunggu Tubang di satu sisi dirasakan menjadi suatu kungkungan bagi kemajuan mereka, terutama bagi calon-calon Tunggu Tubang yang sudah
356
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
mengenyam pendidikan tinggi. Namun perlu ditekankan bahwa, justru pendidikan tinggi yang melekat pada calon Tunggu Tubang itu diperlukan untuk semakin meningkatkan kemampuan yang bersangkutan agar mampu mengelola harta warisan dan lahan pertanian yang ada, agar terus menerus dapat diperoleh hasilnya. Kawasan Semende justru membutuhkan sentuhan tangan mereka yang berpendidikan tinggi tersebut agar lebih cepat berkembang. Pengelolaan harta waris sebagai salah satu hal yang rumit memang semestinya dipahami, karena sering terjadi peselisihan, terutama jika kaum lakilaki merasa mempunyai hak sesuai dengan keyakinannya. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga disertai hasutan dari pihak lain, tentunya akan memperkeruh suasana (Nofiardi, 2009). Disinilah diperlukan pemahaman tentang peran Tunggu Tubang yang akan semakin mudah dipahami dengan semakin tingginya pendidikan. Tuntutan ekonomi terutama pada keluarga yang berdomisili di perantauan, dapat saja menjadi penyebab konflik. Hasil warisan dari sawah dan kebun merupakan harta yang notabene milik bersama dituntut untuk diperoleh. Namun jika karena tuntutan ekonomi, dirasakan pembagiannya tidak adil maka bisa terjadi desakan untuk menjual saja pusaka tersebut. Tentunya disinilah diperlukan kearifan terutama dari para meraje, bahkan pemangku adat setempat. Dengan demikian, mengikuti peran yang dijalankan dan pewarisan yang dilakukan terhadap Tunggu Tubang selama ini maka kelemahannya adalah 1) dirasakan kurangnya rasa keadilan (jangka pendek) karena dikelola oleh seorang saja (Tunggu Tubang), meskipun hasil bumi tersebut dapat dialokasikan kepada saudara atau keluarga yang lain, dan 2) dirasakan sebagai pengekangan terutama bagi mereka yang sudah berpendidikan tinggi. Sedangkan kelebihannya adalah 1) mencegah terjadinya fragmentasi tanah pertanian, 2) pelestarian sumber daya lahan karena lahan diupayakan untuk tetap dapat memberi hasil dan lahan tersebut juga diwariskan pada Tunggu Tubang berikutnya, dan 3) semakin memperkuat rasa kekerabatan karena harta warisan tersebut adalah milik bersama.
UPAYA MEMPERKUAT EKSISTENSINYA
Menyikapi beberapa permasalahan yang dapat saja timbul, padahal peran Tunggu Tubang ini dirasakan positif dalam pelestarian sumber daya alam terutama lahan, maka untuk melestarikan budaya Tunggu Tubang ini dilakukan melalui penekanan pada aspek manfaat yang dapat dirasakan dengan berperannya lembaga. Hal ini dapat diarahkan pada calon Tunggu Tubang dan Tunggu Tubang itu sendiri serta keluarga dari Tunggu Tubang. Pentingnya pengarahan pada calon Tunggu Tubang mengingat perlunya persiapan dan pemahaman mengenai peran yang akan diemban kemudian hari. Sedangkan terhadap Tunggu Tubang, agar mampu berperan seperti yang sudah dilakukan Tunggu Tubang sebelumnya dalam pemeliharaan harta warisan seperti rumah dan sumber daya lahan (sawah, kolam dan kebun). Terhadap keluarga Tunggu Tubang (saudara ataupun suami)
357
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
merupakan hal yang sangat penting untuk menekankan pentingnya kelembagaan Tunggu Tubang tersebut. Karena sering juga terjadi, keinginan untuk memiliki harta warisan dari orang tua atau leluhur sebelumnya dibagi secara merata dan dijadikan hak milik sehingga terjadi fragmentasi tanah. Padahal pemilik tersebut tidak mengelola lahannya karena tidak berada di desa tersebut atau keberadaannya di kota. Penekanan ini penting dilakukan kepada keluarga Tunggu Tubang mengingat si Tunggu Tubang tersebut tidaklah memilikinya secara mutlak, melainkan memanfaatkan hasil untuk keluarga intinya dan dapat dimanfaatkan bagi kepentingan keluarga besarnya pada saat berada di luar desa atau pada saat keluarga besarnya tersebut datang berkunjung ke kampung halamannya. Untuk memperkuat kelembagaan Tunggu Tubang tersebut, dapat dilakukan pembinaan melalui kelembagaan adat yang ada di masing-masing desa baik kepada Tunggu Tubang maupun kepada para Meraje, yang secara hirarki lembaga adat tersebut ada juga di tingkat kecamatan dan kabupaten. Anggota lembaga adat desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten terdiri dari unsur pemuka adat, pemuka agama, dan pemuka masyarakat. Sejalan dengan semangat reformasi yang menganut asas desentralisasi memberikan warna baru pada kehidupan masyarakat khususnya dengan lahirnya Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang populer dengan undang-undang otonomi daerah, memberikan keleluasaan pemerintah daerah mengatur rumah tangganya, dan memperhatikan hak asal-usul masyarakat dan upaya pemberian wewenang yang jelas kepada rapat adat. Sehingga perlu diupayakan untuk menghidupkan kembali peran pimpinan seperti pasirah dahulu yang juga adalah tokoh adat. Sejak digantikannya pasirah (kepala marga) oleh kepala desa, diakui pembinaan terhadap lembaga adat menjadi lemah, karena seorang kepala desa (bisa berasal dari luar etnik lokal) bukan sebagai cerminan tokoh adat. Sedangkan seorang pasirah adalah wajib dipilih dari tokoh atau pembina adat setempat. Untuk itu diperlukan kemauan politik penyelenggara negara di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten untuk mengembalikan fungsi dan memperkuat peran tokoh adat walaupun tidak dengan sebutan pasirah, sebagai mitra pemerintah untuk pembinaan adat di wilayah Semende. Saat ini, di beberapa desa memang sudah terlihat keberadaan lembaga adat yang dapat juga dilihat dari phisik bangunan kantor rapat adat, sebagai tempat berkumpulnya dan berdiskusinya tokoh-tokoh adat dan masyarakat. Tugas dari lembaga adat tersebut adalah: (1) mengusahakan pembinaan, pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat untuk memperkaya budaya daerah, (2) menyelesaikan urusan adat-istiadat seperti perselisihan yang terjadi dan menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengatasi keberagaman yang ada, (3) membantu pemerintah untuk menciptakan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan memperhatikan kepentingan adat istiadat setempat. Dalam hal ini, pemerintah hendaknya memfasilitasi kelembagaan adat tersebut karena selama ini memang sudah berperan positif dalam menopang terciptanya suasana harmonis untuk penyelenggaraan pemerintahan dan keberhasilan program pembangunan terutama bidang pertanian.
358
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
Mengikuti peran Tunggu Tubang di bidang pertanian ini, terkait dengan upaya-upaya mencukupi kebutuhan pangan keluarga melalui peningkatan produktivitas, bagaimana melestarikan sumber daya alam yang ada, agar hasilnya dapat diperoleh secara berkelanjutan dan memperoleh nilai tambah dari usahanya, maka untuk mempertahankan bahkan lebih memperkuat eksistensinya dalam menjalankan fungsinya, perlu dipertahankan bahkan dikembangkan akses yang dapat memberikan peluang lebih besar bagi berperannya kaum perempuan. Akses tersebut terkait dengan pengelolaan sumber daya alami (lahan, tanaman, ternak, ikan dan air), sumber daya insani (pengelola, pekerja), mendapatkan teknologi, modal usaha, dan informasi pasar. Menyikapi hal tersebut, terdapat dua makna dasar dalam pemberdayaan perempuan ini meliputi: peningkatan kemampuan perempuan melalui intervensi berbagai program pembangunan dan peningkatan kewenangan secara proporsional pada perempuan dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya (Uar, 2004). Oleh karenanya teknologi dan kebudayaan memang mempunyai pengaruh penting terhadap peranan wanita dalam kegiatan usaha tani (Hastuti dan Irawan, 1989).
Lembaga Adat (Pesan moral)
Keluarga besar/ Apit Jurai
Tunggu tubang
Sumber Daya Alami -Lahan -Air -Tanaman -Ikan -Ternak Sumber daya Insani - Pengelola - Pekerja
Sumber daya lahan berkelanjutan
-Upaya konservasi -Teknologi tepat guna spesifik lokasi -Pemerintah -Swasta -Modal usaha
-Jaminan pasar/ harga
Peningkatan produktivitas
Nilai tambah agribisnis
Gambar 1. Penguatan Peran Tunggu Tubang dalam Pelestarian Sumber Daya Lahan, Peningkatan Produktivitas dan Nilai Tambah Agribisnis
Upaya konservasi sumber daya alami sudah dilakukan di wilayah ini, namun perlu ditingkatkan kemampuan pelaksana dalam memilih alternatif cara konservasi, karena hal ini akan terkait dengan jangka waktu dan investasi yang dilakukannya serta manfaat bagi generasi mendatang (Suparmoko, 1997).
359
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
Keterbatasan dana untuk melakukan usaha dibidang pertanian baik langsung maupun tidak langsung, dapat diperoleh dengan mengakses modal. Pemerintah memang sudah melakukan berbagai cara untuk mempermudah masyarakat mengakses modal tersebut. Namun tentunya belum semua masyarakat yang membutuhkannya dilayani. Berbagai upaya tentunya akan terus dilakukan pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengakses modal usaha ini. Informasi teknologi dapat disampaikan penyuluh kepada Tunggu Tubang melalui kelompok-kelompok tani dalam bentuk pertemuan rutin kelompok maupun sekolah lapang yang cukup gencar dilakukan akhir-akhir ini. Selain itu, perlu adanya jaminan pasar dan harga dari pemerintah (instansi terkait) dan pengusaha (swasta) agar kinerja hasil teknologi yang diperoleh memiliki nilai tambah agribisnis. Pesan moral yang ada pada adat istiadat itu perlu disampaikan untuk terus diingatkan. Hal ini dapat dilakukan oleh pembina adat setempat yang ada di lembaga adat masing-masing baik kepada meraje maupun kepada Tunggu Tubang ataupun oleh Meraje kepada Tunggu Tubang sesuai dengan fungsi dari meraje tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Kelembagaan Tunggu Tubang merupakan salah satu contoh tatanan yang berlaku sampai saat ini yang dapat mempertahankan eksistensinya dalam mengelola sumber daya lahan dan mencegah terjadinya fragmentasi tanah sehingga membantu menopang ketahanan pangan wilayah. 2. Aktivitas Tunggu Tubang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ada dalam tanggungannya dan menghasilkan produksi pertanian, menunjukkan berjalannya fungsi pemeliharaan, ekonomi dan sosial dari lembaga tersebut.
Saran 1. Diperlukan pendidikan dan penyuluhan terutama bidang pertanian untuk meningkatkan kemampuan Tunggu Tubang dalam mengelola warisan seperti lahan pertanian yang adalah milik bersama keluarga besar agar dapat menghasilkan produk pertanian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara berkelanjutan. 2. Perlu ditingkatkan peran tokoh adat melalui rapat adat untuk semakin memperkuat peran lembaga adat di masing-masing desa kawasan Semende sebagai mitra pemerintah dalam membina Tunggu Tubang dan meraje khususnya dan pelestarian budaya Semende pada umumnya.
360
Tunggu Tubang sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Rineka Cipta. Jakarta Anonim, 2009. Lambang Pusake Tunggu Tubang. (http:// Tunggu Tubang. Com/ index.php? option =com-content&view=article&id=57. 8 September 2009) Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim (2008). Muara Enim Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik. Muara Enim. Hastuti, E.L dan B. Irawan. 1989. Dampak Teknologi dan Kebudayaan terhadap Peranan Wanita dalam Kegiatan Usaha tani. FAE. Vol. 7 No. 2. Kusuma, W. 2004. Nasib Pemerintahan Marga Di Sum-Sel, di Bawah Bayang-Bayang UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UAD Press. Yogyakarta Nofiardi. 2009. (http:// www.mail archive.com/
[email protected]/msg11014.html. 8 September 2009). Reijntjes, C., B. Haverkort dan AW-Bayer. 2003. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta. Soekanto, S. 2002. Hukum Adat Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sumaryanto, Hermanto dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air Dampaknya Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. BPFE ,Yogyakarta. Suradisastra, K. 1998. Perspektif Keterlibatan Wanita di Sektor Pertanian. FAE, Vol. 16, No.2. Syahyuti, 2006. Nilai-Nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Di Indonesia. FAE, Vol. 24, No. 1. Tim Peneliti Adat Istiadat Masyarakat Semende di Kabupaten Muara Enim. 2003. Laporan Penelitian Adat Istiadat Masyarakat Semende. Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim. Uar, E. D. 2004. Demokratisasi Potensi Gender dalam Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat. Nasionalisme Kaum Pinggiran. Salatolohy, F dan R. Pelu (ed). LkiS, Yogyakarta. Zanikhan. 2009. Perkawinan Tunggu Tubang dan Perkawinan Kambik (http://Zanikhan, multiply,com journal/item/798. 8 September 2009).
Anak.
361
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin
Lampiran 1. Jumlah Penduduk, Luas Panen, Produksi, Kebutuhan dan Surplus Beras di Wilayah Semende Tahun 2007
Kecamatan
Jumlah penduduk (jiwa)
Luas panen padi (ha)
Produksi padi (ton GKP)
Beras tersedia (ton)
Kebutuhan beras (ton)
Surplus beras (ton)
Semende Darat Laut
14.861
1.502
8.994
4.832
1.716
3.116
Semende Darat Ulu
17.865
1.930
10.858
5.833
2.063
3.770
Semende Darat Tengah
10.611
1.272
8.089
4.345
1.225
3.120
Jumlah
43.337
4.704
27.941
15.010
5.004
10.006
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim (2008). Muara Enim Dalam Angka 2007.
Lampiran 2. Luas Tanam dan Produksi Kopi di Wilayah Semende Tahun 2007 Luas tanaman (ha) Kecamatan Semende Darat Laut
Belum menghasilkan
Menghasilkan
Tidak menghasilkan
Produksi (ton)
1.537
8.112
710
12.979,2
Semende Darat Ulu
495
1.876
218
3.001,6
Semende Darat Tengah
512
1.816
215
2.905,6
2.544
11.804
1.143
18.886,4
Jumlah
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim (2008). Muara Enim Dalam Angka 2007.
Lampiran 3. Luas Areal dan Produksi Ikan Budidaya di Wilayah Semende Tahun 2007 Kolam Kecamatan
Luas (ha)
Sawah Produksi (ton)
Luas (ha)
Produksi (ton)
Semende Darat Laut
84,0
195,5
37,2
40,7
Semende Darat Ulu
95,6
191,6
37,9
41,5
Semende Darat Tengah
71,9
235,6
36,0
40,2
251,5
622,8
111,1
122,4
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim (2008). Muara Enim Dalam Angka 2007.
362