OMBUDSMAN MENGAWAL HAK DAN KEWAJIBAN1 Oleh; Idy Muzzayad (Wartawan Bernas)
Realitas Obyektif saat ini adalah adanya kesenjangan antara pemerintah dengan masyarakat atau rakyat. Fenomena ini terjadi antara lain lantaran, ada kesenjangan pula pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya. Pemerintah lebih sering menekan kewajiban dari pada hak, sedang rakyat kadangkala tak kalah sengit menuntut hak dengan melalaikan kewajiban. Padahal, pada keduanya sama-sama melekat hak dan kewajiban dalam waktu yang bersamaan. Pemerintah mempunyai fungsi utama sebagai penyelenggara melalui kebijakankebijakan yang ditelorkannya. Namun yang harus diingat disini, pemerintah tidak tidak mengabdi kepada negara yang diselengarakannya, tetapi kepada masyarakat selaku warga negara. Karenanya segala kebijakan yang dikeluarkannya diorientasikan bagi kepentingan rakyat. Pelayanan publik merupakan aspek ikutan lain dari peneloran kebijakan yang berorientasikan kerakyatan ini. Keberadaan pemerintah, dengan segenap tetek bengek birokrasinya memiliki kewajiban untuk memberikan servis kepada masyarakat mengenai apa-apa yang dibutuhkan. Servis disini bukan ala kadarnya tetapi semaksimal mungkin. Bukan karena apa-apa, tetapi memang untuk itulah bagi mereka diterapkan hak-hak, termasuk gaji. Sayang, idesasi ini belum tampak pada wajah pemerintah kita. Secara umum, pemerintah lebih sering menjadi tuan bagi rakyat atatu dalam bahasa agamanya sayyidul ummah ketimbang menjadi pelayan masyarakat (khadimul ummah). Maka birokrasi pemerintah lebih asik dan disibukan dengan dirinya sendiri, ketimbang berpayah-payah melaksanakan urusan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa untuk sekedar bisa melaksankan tugas dengan cukup baik saja, birokrasi pemerintahan kita sudah keteteran. Maka berbagai keresahan dan keluhan bermunculan
1
Dimuat di Radar Yogyakarta 14 Agustus 2003
1
ditengah masyarakat, karena pemerintah dianggap kurang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka, mulai dari hal yang besar sampai hal yang sederhana sekalipun. Birokrasi diciptakan untuk memunculkan kemudahan urusan, analoginya, melalui birokrasi, urusan akan dapat dipermudah dengan parameter efektif dan efisien yakni dilaksanakan dengan administrasi yang tidak berbelit dan dalam waktu yang tidak terlalu lama plus tak membuat sikantong banyak berkurang. Tetapi birokrasi Indonesia seringkali masih berlaku sebaliknya, senang mempersulit dan memperlama urusan yang sebenarnya gampang saja dilakukan. Akibatnya, banyak orang yang merasa engan berurusan dengan birokrasi. Bahkan sebagian lagi ada yang merasa alergi ketika mendengar istilah birorkasi.
Pola Lama Pada era reformasi ternyata belum juga membawa angin perubahan yang siginifikan bagi perbaikan paradigma penyelenggaraan negara oleh pemerintah kita. Masih saja terdapat pola pikir lama dikalangan pejabat dan birokrat, sehingga prilaku dan kebijakan yang dikeluarkan pun “tidak jauh-jauh amat” ketimbang era sebelumnya. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, sistem yang digunakan masih sistem lama. Kalaupun ada perubahan itu masih cendrung dilakukan secara parsial, tidak integral. Sebab pada dasarnya sistem pemerintahan yang dijalankan pada saat ini, meski seringkali dikatakan memiliki semangat yang berbeda, namun dalam praktiknya belum banyak berubah kearah yan lebih baik. Kedua menyangkut orang. Mereka yang duduk di jajaran pemerintahan sekarang, sebagai besar adalah orang-orang lama. Kalaupun di tataran topnya ada pergantian figur, tidak diikuti oleh jajaran di bawahnya. Maka tidak mengherankan bila sulit sekali pola lama yang telah tertanam sekian tahun, dapat diubah dalam waktu yang relatif singkat. Inilah yang sering disebut banyak pengamat sebagai reformasi semu, atau oleh para aktifis jalanan dikatakan reformasi setengah hati. Karena itu banyak pihak yang menginginkan revolusi, bukan sekedar reformasi, kalaupun tetap mau dengan pilihan reformasi maka pilihannya adalah reformasi total. Kalau ditanya, bagaimana pola pemerintahan harus dilakukan, apakah dengan perubahjan sistem atau pergantian orang, maka jawaban idealnya adalah dengan dua-
2
duanya. Selain sistem pemerintahan yang terlalu birokratis dibenahi, juga dilakukan penyegaran dikalangan pelakunya, baik dengan menganti orang lama dengan orang baru atau setidaknya mengubah mentalitas orang lama agar memiliki mentalitas baru. Diluar itu diperlukan kontrol dari semua elemen masyarakat, LSM, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat lainnya. Termasuk kelangan media mempunyai peran yang cukup efektif dalam hal ini. Kontrol ini diarahkan pada advokasi kebijakan publik dari para penyelenggara negara. Dimana ada penyimpangan, disitulah langsung dilakukan advokasi bersama, tentunya dilatari dengan persepsi yang sama pula. Dalam sebuah kesempatan, pengamat hukum dan politik Indonesia Daniel S Lev menyatakan, “terbukti sudah bahwa reformasi itu tidak segampang yang dibayangkan. Hasil baik perubahan itu mau tidak mau tergantung bukan saja pada kebijaksanan dan strategi politik, tetapi mungkin lebih banyak lagi pada kapasitas lembaga-lembaga di luar pemerintahan untuk mendesakan pembaharuan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga di luar pemerintahlah yang mempunyai potensi untuk mendorong perubahan. Akan tetapi, kesadaran ini belum begitu membumi di nurani semua masyarakat. Kalaupun kalangan LSM, Ormas sudah mengarah kesana, namun tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kontrol oleh mereka demi tercapainya perubahan, masih relatif rendah. Maka apatisme sering muncul, sungguhpun terhadap persoalan yang merugikan kepentingan mereka.
Impian Supremasi Hukum Reformasi total seharusnya dibarengi dengan penegakan supremasi hukum. Disini hukum seharusnya bisa menjadi sarana dan alat bagi masyarakat untuk mencapai keadilan, Namun, kenyataanya peradilan yang bersih dan berwibawa sebagai garda depan hukum hanya menjadi dambaan yang tak kunjung terealisasikan. Bahkan seringkali ada pandangan sinis terhadap semua jenis lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Saking parahnya kondisi pengadilan yang sudah tidak bisa dijadikan pegangan hukum, pada sebuah kesempatan diskusi pengamat dan praktisi hukum Todung Mulya Lubis menyatakan, “seandainya telpon gengam bisa bicara berapa banyak percakapan
3
dan SMS yang bisa mengungkapan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di tubuh pengadilan kita. Ibarat kentut? Ya begitulah KKN di Pengadilan yang sulit dibuktikan. Semua orang merasakan kebusukannya tetapi jarang ada yang bisa mengungkapkannya secara tuntas. Maka bau busuk itu semakin lama semakin menyengat, tapi pada saat yang sama,lama kelaman orang akan terbiasa. Paling-paling muncul pernyataan, “Ya memang seperti itu kok, habis mau apa lagi…? Kebusukan proses peradilan dilatari adanya penyakit yang bernama mafia peradilan. Mafia ini merupakan lingkaran setan yang menganjal penegakan hukum di Indonesia. Karena berupa lingkaran, maka ia tidak beraksi sendiri membobrokan peradilan, tetapi merangkum semua penegak hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, pengacara dan hakim. Keempatnya melakukan kolaborasi yang harmonis melakukan kejahatan dalam peradilan. Pengadilan yang independen dan bersih merupakan impian setiap pencari keadilan. Namun, sekarang ini lembaga itu sudah jatuh pada titik yang paling nadzir. Kebanyakan orang menganggap, berurusan dengan pengadilan berarti memerlukan banyak uang. Masyarakat seakan sudah bisa memastikan, tanpa sejumlah uang proses peradilan tidak akan memihak kepadanya. Wajah buruk pengadilan ini, selain membingungkan masyarakat yang mencari keadilan, juga menimbulkan ketidakpuasan diantaranya dalam bentuk pengadilan jalanan yang banyak bermunculan. Maka disini pemantuan dan pengawasan perlu dilakukan oleh siapapun untuk mengembalikan pengadilan pada fungsinya semula. Dalam hal ini perss mempunyai peran yang signifikan, kecuali bila watch dog ini sudah menjadi rantai kelima dalam lingkaran setan mafia pengadilan.
Komisi Ombudsman Melihat bebagai ketimpangan dan kejangalan diatas, yakni dalam satu sisi pemerintah kerap tidak berperan sebagaiman mestinya, bahkan sering melakukan maladministrasi (keasalahan administrasi), yang jelas merugikan, ditambah dengan birokrasi yang mbulet serta pada sisi yang lain diperparah dengan buruknya kondisi lembaga pengadilan, maka diperlukan sebuah upaya konkret melakukan pembenahan,
4
berkaitan dengan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini pebentukan lembaga yang dapat secara konsen dan konsisten menangani itu menjadi penting untuk dilakukan. Pebentukan Komisi Ombudsman hingga tingkat daerah, terutama seiring dengan era desentralisasi sebagai konsekuensi pemberlakukan otonom daerah merupakan pilihan yang tepat. Lembaga yang secara mandiri dapat menerima dan melakukan penyelidikan tuduhan-tuduhan kesalahan administrasi merupakan alternatif pilihan yang logis dan relevan dengan realitas mutakhir yang berkembang dimasyarakat. Saat ada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepentingan publik sehingga menimbulkan protes dan reaksi, komisi ombudsman dapat tampilk kedepan sebagai fasilitator. Dihadapan pemerintah, komisi ini bisa berperan sebagai wakil dari publik yang merasa dirugikan. Sementara di depan publik komisi ini bisa bereperan untuk menjelaskan secara proporsional tentang sebuah kebijakan, termasuk dengan memberikan kesempatan kepada pejabat pemerintah yang bersangkutan untuk melakukan klarifikasi secara gamblang. Walhasil, “komunikasi jarak jauh”, antara pemerintah dan masyarakat yang selama ini terbukti kurang efketif dan menimbulkan mispersepsi, bisa diubah dengan komunikasi “jarak dekat”,. Harapannya apa wewenang pemerintah bisa berjalan dengan keinginan masyarakat, dan kewenangan masyarakat tidak bersebrangan pula dengan keinginan pemerintah. Tentunya, keduanya diatur dalam mekanisme yang transparan dan akuntabel, dengan pertanggujawaban dan konsekuensi yang harus ditanggung secara elegan oleh pihak manapun yang menyalahinya. Syarat mutlaknya, komisi ombudsman harus mampu menjaga independesinya,. Baik secara kelembagaan maupun personal orang-orang yang ada di dalamnya. Independensi ini merupakan jaminan agar upaya-upaya komisi ombudsman dalam mengawal terlaksananya hak dan kewajiban dari tiap-tiap pihak, yakni pemerintah dan masyarakat bisa dilakukan secara obyektif. Disamping itu, independensi juga merupakan jaminan bagi terciptanya kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap lembaga ini. Maksudnya, pemerintah dan masyarakat percaya bahwa ombudsman dapat menjadi sparing pertner bagi keduanya dalam menelorkan dan menjalankan kebijakan. Tanpa kepercayaan yang terus dipupuk
5
ini pembentukan komisi ombudsman tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi dapat menjadi masalah baru yang malah merepotkan masyarakat yang sudah susah dengan multi krisis berkepanjangan. Sebaiknya, mari kita mulai dengan hati-hati! Sebelum rakyat yang sudah kepepet dengan berbagai problem hidup, terpaksa mengambil pilihan diantara dua sikap, apatis atau reaksioner.
6