Stigma dan diskriminasi HIV & AIDS pada Orang dengan HIV dan AIDS [ODHA] di masyarakat basis anggota Nahdlatul Ulama’ [NU] Bangil \ [Studi kajian peran starategis Faith Based Organization [FBO] dalam isu HIV] Oleh: Zainul Ahwan Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan
Abstrak Saat ini terdapat 33.2 juta [30.6 – 36.1 juta] orang hidup dengan status HIV dan AIDS. Di Indonesia sampai pada tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV dan 5.686 AIDS dengan 5.484 kematian. [data resmi kementrian kesehatan RI]. Hampir tidak ada provinsi yang dinyatakan bebas dari HIV dan AIDS, bahkan diperkirakan saat ini HIV dan AIDS sudah terdapat di lebih dari separuh Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Kabupaten Pasuruan mulai tahun 1993 s/d juni 2013 menunjukkan jumlah kasus HIV mencapai 716 kasus dan 427 AIDS. HIV dan AIDS sangat erat dengan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap orang dengan HIV dan AIDS [ODHA]. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan exsplanatory research. Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi keagamaan Nahdalatul Ulama‟ [NU] Bangil serta warga NU Bangil. Penelitian ini menunjukkan bahwa : pertama, tindakan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS yang terjadi pada warga NU Bangil dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat NU terhadap persoalan HIV dan AIDS dalam tinjuan medis, pemahaman / cara pandang masyarakat NU Bangil terhadap persoalan HIV dan AIDS dari sudut pandang agama, mitos tentang HIV dan AIDS yang ada didalam masyarakat juga mempengaruhi terhadap tindakan stigma dan diskriminasi HIV. Kedua, organisai NU mempunyai kekuatan strategis dalam merubah cara pandang keagamaan yang kurang tepat terhadap persoalan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS yang terjadi pada masyarakat NU Bangil. Kata kunci: Stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS, masyarakat NU Bangil
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN HIV/AIDS (Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu internasional karena HIV telah menyerang banyak manusia di seluruh penjuru dunia. Saat ini terdapat 33.2 juta [30.6 – 36.1 juta] orang hidup dengan status HIV dan AIDS. Di Indonesia sampai pada tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV dan 5.686 AIDS dengan 5.484
kematian. [data resmi kementrian kesehatan RI]. Hampir tidak ada provinsi yang dinyatakan bebas dari HIV dan AIDS, bahkan diperkirakan saat ini HIV dan AIDS sudah terdapat di lebih dari separuh Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Gambaran meluasnya epidemi HIV terlihat dari jumlah kasus kumulatif dari setiap tahun yang dilaporkan terjadi peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari data dibawah ini.
1
Tabel 1. Jumlah HIV dan AIDS berdasarkan tahun
Sumber. Data resmi Departemen Kesehatan RI 2012 Data ini menunjukkan bahwa pada sedangkan pada tahun 2012 terdapat tahun 2005 terdapat 895 kasus HIV dan 21.511 kasus HIV dan 5. 686 AIDS. Dari 4.987 AIDS, pada tahun 2006 terdapat 7. paparan data tersebut menunjukkn bahwa 195 kasus HIV dan 3.514AIDS, tahun kasus HIV dari tahun ke tahun mengalami 2007 terdapat 6.048 kasus HIV dan 4.425 peningkatan. Sedangkan untuk kasus AIDS, tahun 2008 terdapat 10.363 HIV AIDS menunjukkan danya penurunan dan 4.943 AIDS, tahun 2009 terdapat kuantitas pada tahun 2012. Secara 9.793 HIV dan 5.483 AIDS, tahun 2010 simplistik perjalanan kasus HIV dan AIDS menjadi 21.591 kasus HIV dan 6.845 dari tahun ketahun dapat dilihat dalam AIDS, pada tahun 2011 terdapat 21.031 grafik di bawah ini. HIV dan AIDS sejumlah 7.004 kasus Grafik HIV dan AIDS yang dilaporkan berdasarkan tahun
Sumber. Data resmi Departemen Kesehatan RI 2012 2
Kalau dilihat dari sisi penyebaran infeksi HIV di daerah terlihat adanya peningkatan kuantitas di berbagai daerah di Indonesia. Layaknya sebuah kompetisi, virus HIV & AIDS di Indonesia bagai ajang
perlombaan untuk mendapatkan peringkat tertinggi dalam penyebarannya diberbagai tempat. Hal ini bisa kita lihat dari data tabel di bawah ini
Tabel 2. Data infeksi HIV di setiap provinsi
3
Data KEMENKES pada 2012 menunjukkan adanya kompetisi kuantitas kasus di berbagai wilayah di Indonesia. Dari data tersebut dapat dilihat adanya peningkatan kasus di berbagai daerah. Dan data peringkat 5 [lima] besar dari banyaknya kasus di Indonesia sebagaimana berikut : peringkat pertama adalah propinsi DKI Jakarta dengan 3.926 kasus, disusul Papua sebagai peringkat ke dua dengan 3.028 kasus, Jawa Timur sebagi peringkat ke tiga dengan 2.912 kasus, Bali dengan 1.737 kasus serta Jawa Tengah sebagai peringkat kelima dengan 1.110 kasus. Dari data penyebaran HIV di Indonesia, pada tahun 2012 Jawa Timur menduduki peringkat ke tiga nasional setelah DKI Jakarta dan Papua dengan kasus tercatat 2.912 kasus HIV dan 822 AIDS. Jumlah peningkatan kasus HIV dan AIDS yang terjadi di Jawa Timur ini secara simplistik dapat kita lihat dari peningkatan kasus di berbagai daerah di Jawa Timur. Di Kabupaten Pasuruan misalnya menurut data terakhir Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan mulai tahun 1993 s/d juni 2013 menunjukkan jumlah kasus HIV mencapai 716 kasus dan 427 AIDS dengan 103 angka kematian. [http://kpakabpasuruan.blogspot.com/p/da ta-kasus-hiv-aids.html]. Kasus HIV dan AIDS yang terjadi di Kabupaten Pasuruan tersebut sungguh sangat mengejutkan dan sangat ironis dimana masyarakat Kabupaten Pasuruan merupakan masyarakat agamis dengan jargon Kabupaten Pasuruan sebagai kota santri. Kondisi ini membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai lapisan masyarakat baik pemerintah daerah dalam hal ini Komisi Penanggulangan Aids Daerah [KPAD], organisasi keagaamaan, institusi pendidikan, private
sector dan seterusnya. Semua harus menyatukan persepsi tentang isu HIV dan AIDS tersebut mengingat HIV dan AIDS merupakan isu sensitive di bidang kesehatan yang sarat dengan berbagai sudut pandang stigmatisasi dan diskriminasi. Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus dilakukan secara komprehensif, artinya penyelesaian kasus ini tidak bisa dilakukan secara parsial saja dalam satu sudut pandang medis saja melainkan banyak persoalan lain yang berhubungan erat dengan permasalahan tersebut. B. METODE PENELITIAN Penelitian tentang pengurangan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS pada masyarakat basis Nahdlatul Ulama‟ [NU] Bangil ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan exsplanatory research dengan case study masyarakat basis Nahdlatul Ulama‟ [NU] Bangil. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan interview mendalam (indepth interview) dengan focus croup discussion [FGD]. Data primer diperoleh secara langsung dari informan kunci yaitu masyarakat NU yang ada dalam struktur pengurus NU Bangil dan data sekunder merupakan data dari berbagai informasi penunjang baik dari buku ataupun penelitian sejenis. Teknik analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. C. PEMBAHASAN Hal terpenting dalam memahami HIV dan AIDS adalah dengan mengetahui secara jelas tentang ciri dan karakteristik virus HIV tersebut baik cara hidup dan cara menularkannya. Dengan mengetahu karakteristik tersebut maka akan bisa 4
memformulasikan bagaimana cara pencegahannya. 1. Memahami HIV dan AIDS dalam medical term HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Yaitu suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh [imunitas] manusia dan virus ini dapat menyebabkan penyakit AIDS. Karena Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imunitas. Infeksi HIV pada tahun pertama setelah terinfeksi cenderung tidak ada gejala atau tanda infeksi yang nampak sehingga kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi. Ada beberapa tanda yang muncul setelah orang terinfeksi HIV seperti mengalami gejala yang mirip gejala flu selama beberapa minggu, batuk dan demam yang berkepanjangan. Penyakit ini disebut sebagai infeksi HIV primer atau akut. Meskipun tidak adanya tanda infeksi HIV dalam tubuh tetapi virus yang ada dalam tubuh tersebut dapat menular pada orang lain. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome yaitu munculnya berbagai infeksi dan gejala penyakit yang diakibatkan dari menurunnya kekebalan tubuh. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV menyebabkan sistem kekebalan menjadi semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang oleh beberapa jenis penyakit (sindrom) yang
kemungkinan tidak mempengaruhi orang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik termasuk jamur pada mulut, jenis kanker yang jarang, dan penyakit tertentu pada mata, kulit dan sistem saraf. Jadi secara simplistik dapat dijelaskan bahwa HIV merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia, sedangkan AIDS merupakan berkumpulnya berbagai infeksi dan penyakit yang disebabkan dari virus tersebut. Cara penularan HIV. Virus HIV hanya dapat menular kepada orang lain melalui beberapa cara yaitu: a. Lewat cairan darah Cairan darah merupakan media yang bisa menularkan virus HIV kepada orang lain. Jadi ketika ada pertemuan atau kontak darah antara seseorang dengan orang yang ternfeksi HIV maka akan terjadi penularan virus tersebut. Ada beberapa cara yang lazim yang memungkinkan terjadinya penularan virus HIV melalui kontak darah antara orang satu dengan yang lainnya yaitu: Melalui transfusi darah yang sudah terpapar HIV, pemakaian jarum suntik yang sudah terpapar HIV yang dipakai secara bergantian misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna narkoba suntikan (Penasun). Dalam kegiatan lain misalnya penyuntikan obat, immunisasi, Pemakaian alat tusuk yang menembus kulit seperti alat tindik, tattoo dan alat facial wajah dan lain sebagainya. b. Lewat cairan sperma dan cairan vagina Penularan melalui hubungan seks dan cairan vagina ini adalah penularan yang terjadi diakibatkan dari hubungan 5
seksual antara orang yeng terinfeksi HIV dengan pasangannya. Pada kasus ini yang sering terjadi adalah penularan HIV yang diakibatkan dari hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan dengan tidak menggunakan kondom sebagai alat kesehatan. Dari hubungan seksual yang tidak memakai pengaman tersebut sangat memungkinkan akan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) atau tercampurnya cairan sperma dengan darah yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus. c. Lewat air susu ibu Penularan melalui air susu ibu ini merupakan penularan yang dimungkinkan terjadi dari seorang ibu hamil yang HIV positf dan melahirkan lewat vagina kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother to Child Transmition) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif. Tiga cara tersebut diatas merupakan cara dimana HIV bisa menular kepada orang lain. Artinya, selain menggunkan tiga media penularan tersebut, HIV tidak akan menular kepada orang lain. HIV tidak dapat ditularkan dalam kontak sosial. misalnya berpelukan dengan orang yang positif HIV, berjabat tangan, pemakaian WC, wastafel, kamar mandi, kolam renang, gigitan nyamuk dan serangga lain. HIV juga tidak bisa ditularkan melalui membuang ingus, batuk atau meludah. Pemakaian piring, alat makan atau makan bersama-sama orang yang HIV positif.
[www.kpakabupatenpasuruan.blogspot. com] Cara pencegahan Ada beberapa upaya preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah meluasnya penyakit HIV/AIDS yaitu: a. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS b. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang mempunyai banyak pasangan. c. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik. d. Melarang orang-orang yang termasuk kedalam kelompok berisiko tinggi untuk melakukan donor darah. e. Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar memerlukan. f. Memastikan sterilitas alat suntik. g. Memberikan edukasi tentang HIV dan AIDS kepada masyarakat 2. HIV dan AIDS bukan hanya persoalan medis, tetapi menyangkut stigma dan diskrimiansi masyarakat Mata rantai penyebaran HIV dan AIDS bukan hanya berhenti pada permasalahan kesehatan dan medis belaka tetapi juga berkaitan dengan perlakukan terhadap orang yang terinfeksi HIV dan AIDS yang familiar dengan sebutan ODHA [orang dengan HIV dan AIDS]. Banyak kasus diskriminasi terjadi pada ODHA di masyarakat baik didalam pergaulan social, lingkungan dunia pendidikan, dunia kerja dan pelayanan kesehatan. Hal ini diindikasi karena masih kuatnya stigma [pelabelan negative] terkait dengan HIV dan AIDS terhadap penderitanya. Di masyarakat juga masih 6
melekat pemahaman agama yang menjustifikasi bahwa HIV dan AIDS merupakan penyakit kutukan Tuhan dari tindakan melanggar norma-norma susila dan agama. Pengetahuan dan pandangan masyarakat yang masih rendah atau bahkan salah kaprah mengenai persoalan HIV dan AIDS inilah yang seringkali menghasilkan tindakan diskriminasi pada ODHA. Perilaku ini bertentangan dengan hak asasi manusia [HAM] dan bahkan mendorong tindak kekerasan lainnya. Ban Ki-moon pada International AIDS Conference di Mexico City, 6 Agustus 2008 yang dikutip The Washington Times mengatakan bahwa HIV dan AIDS related stigma akan memunculkan diskriminasi misalnya perlakuan negatif dan pembatasanpembatasan kesempatan yang bisa mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ODHA: Mulai dari pergaulan sosial, kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan, pelayanan kesehatan, bepergian, dan lain-lain. Hal ini justru menghambat upaya pengendalian HIV/AIDS, membuat AIDS tetap menjadi “the silent killer” “Stigma remains the single most important barrier to public action. It is the main reason too many people are afraid to see a doctor to determine whether they have the disease, or to seek treatment if so. It helps make AIDS the silent killer, because people fear the social disgrace of speaking about it, or taking easily available precautions. Stigma is a chief reason the AIDS epidemic continues to devastate societies around the world” [http://aidstuberculosismalaria.blogspot.co m] Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu persepsi yang telah ada sebelumnya yang menimbulkan
suatu pelanggaran terhadap sikap, kepercayaan dan nilai. Menurut Castro dan Farmer (2005), stigma ini dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga. Pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza (1999) bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma dan ditujukan kepada pihak yang terstigmatisasi (Busza, 1999). Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja (UNAIDS, 2012). Goffman (1963) membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendeskridetkan secara signifikan. Goffman juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas tersebut (Goffman,1963). Menurutnya stigma memiliki dua makna, yaitu stigma yang berasal dari perbedaan yang tidak diinginkan yang mendiskreditkan atau mendiskualifikasi seorang individu dari luar dan dalam. Seseorang yang mengalami kondisi yang tidak diinginkan kadangkala juga dapat menstigma dirinya (self stigmatization). Pada ODHA, stigma yang terjadi bukan saja kerena infeksi yang dialaminya atau lebih sering dikarenakan prilaku yang 7
dianggap penyebab orang tersebut terinfeksi. Stigma yang terkait HIV dan AIDS yang ditujukan kepada ODHA dapat dalam bentuk penolakan atau pengasingan ODHA, kewajiban melakukan pemeriksaan HIV dan AIDS tanpa diminta persetujuan awal atau perlindungan akan kerahasiaan, kekerasan terhadap ODHA dan karantina bagi ODHA. Dalam kehidupan sehari-hari, sigma dan diskriminasi mengakibankan seseorang sampai kehilangan rumah, pekerjaan, tiak dapat melanjutkan pendidikan, kehilangan penghomatan dan harga diri dan bahkan kehilangan kehidupan. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan -pada gilirannya- akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterpinggiran ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat. Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan, dan ini didukung oleh, ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa
malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Tindakan ini dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Terjadi di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, juga tempat layanan hukum dan kesehatan. Orang bisa melakukan diskriminasi baik dalam kapasitas pribadi maupun profesional, sementara lembaga bisa melakukan diskriminasi melalui kebijakan dan kegiatan mereka. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai "masalah", bukan sebagai bagaian dari solusi untuk mengatasi epidemi ini. 3. Masyarakat NU Bangil Mayarakat NU bangil merupakan penduduk / masyarakat yang menjadi basis NU yang bertempat dikawasan 8
wilayah kepengurusan cabang NU bangil yang tersebar dienam kecamatan yaitu Bangil, Pandaan, Prigen, Rembang, Gempol dan Beji. Masyarakat NU Bangil merupakan masyarakat relegius dengan paham ajaran ahlussunnah wal jamaah. Banyak pondok pesantren [ponpes] yang berasaskan pamah ahlu sunnah wal jamaah berdiri di Bangil seperti ponpes Pencangaan Gempeng Bangil, ponpes Darul Ulum gondang bendomungal Bangil, ponpes Riyadul Ulum kidul dalem Bangil, ponpes Tanwirul Hijah Gempeng Bangil, ponpes Putri Salafiyah Kauman Bangil, ponpes Datuk Kalampayan Kauman Bangil, ponpes Putri Salafiyah Diwet Pogar Bangil, ponpes Nurul Dholam Kidul Dalem Bangil, ponpes DALWAH Raci Bangil, ponpes Darul Ihya‟liulumudhin Bendomungal Bangil, ponpes Nurul Iman Kidul Dalem Bangil, ponpes Salafiyah AlAzhar Sidowayah Bangil, ponpes Dzunurain Kalikunting Bangil, ponpes Nurul Madina Kalirejo Bangil serta ponpes Darul Tauhid Gempeng Bangil dan lainlain. [http://www.roudlotussalaf.com/index.php? pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=129] Masyarakat NU bangil sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tipologi masyarakat NU di Kabupaten Pasuruan yang kental dengan budaya pesantren / santri. Budaya santri merupakan budaya yang memegang nilai egaliter, inklusif dan patronistik. Seorang kiai dalam tradisi NU bangil [khusunya] dan Pasuruan pada umumnya merupakan figur yang harus ditaati segala fatwanya. Fatwa seorang kiai NU bagi masyarakat NU bisa menjadi sebuah kebenaran yang mutlak untuk dilakukan. Selain itu masyarakat NU Bangil juga merupakan masyarakat yang masih memegang kuat tradisi-tradisi keagamaan yang ada dan berkembang
didalam masyarakat seperti melakukan ziarah kubur, selametan, sholawatan/ishari, istighosyah dan lain sebagainya. Karakteristik dan tipologi masyarakat NU Bangil inilah yang dijadikan alasan dan pertimbangan subjek penelitian stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS. 4. Factor – factor pemicu tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV Tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV dan AIDS pada ODHA yang dilakukan oleh masyarakat basis NU bangil setidaknya dipengaruhi noleh tiga factor yaitu: Pertama, Kurangnya pengetahuan / informasi yang diperoleh masyarakat NU bangil tentang HIV dan AIDS baik dalam tinjuan medis, agama dan hak asasi manusia [HAM]. Dalam konteks HIV dalam kajian medis misalnya masyarakat basis NU bangil masih belum mengetahui tentang informasi dasar HIV dan AIDS secara utuh yang mencakup apa itu HIV dan Apa itu AIDS, bagaimana virus HIV bisa hidup dan media apa yang digunakan, bagaimana HIV bisa ditularkan, bagaimana HIV bisa dicegah perkembangannya dan seterusnya. Pengetahuan HIV dan AIDS yang masih awam inilah yang menjadikan masyarakat mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang tidak sesuai dengan persoalan HIV dan AIDS yang sebenarnya. Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa HIV dan AIDS itu bisa menular melalui kontak social seperti bersalaman, makan bersama, bertemu dalam ruangan yang sama, menghirup udara didekat ODHA dan seterusnya. Pemahaman yang masih rendah terhadap persoalan HIV dan AIDS dalam tinjauan medis ini menjadi salah satu pemicu tindakan stigmatisasi dan 9
diskriminasi masyarakat pada ODHA dalam kehidupan social sekmaligus sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM. Kedua, Mitos dimasyarakat. Mitos merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan sebuah keyakinan dan bersifat turun-temurun berkembang dimasyarakat namun kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Mitos ini seringkali menjadi landasan bagi masyarakat dalam menilai sesuatu. Dalam persoalah HIV, masyarakat NU bangil juga masih mempunyai anggapan [mitos] bahwa HIV dan AIDS itu bisa menular dengan hidup bersama ODHA, melakukan kontak social dengan ODHA, ODHA harus dijauhi karena HIV bisa melur lewat pertukaran udara, HIV dan AIDS merupakan penyakit kutukan Tuhan bagi para mereka yang telah melanggar norma-norma agama dan susila dalam kehiduipan social. Pemahaman dari mitos ini sebenarnya tidaklah sepenuhnya benar karena HIV dan AIDS juga tidak hanya diderita oleh para mereka yang melanggar norma agama dan susila akan tetapi juga banyak kasus HIV dan AIDS menimpa pada orang yang taat terhadap ajaran agama. Misalnya seorang anak yang tidak berdosa harus tumbuh berkembang dengn HIV karena tertular dari ibuknya, seorang polisi ataupun dokter yang sholeh secara agama dan social harus menderita HIV dan AIDS karena terpapar darah saat memberikan pertolongan korban, seor4ang perempuan muslimah yang tertular HIV dari suaminya dan seterusnya dan sebagainya.. itu artinya HIV dan AIDS bisa menimpa siapa saja tanpa memandang status pendidikan, ekonomi dan social. Ketiga,Pandangan agama
Agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara pandang dan pola prilaku manusia. Sehingga dengan atas nama agama bisa dijadikan sebagai justifikasi sekaligus sebagai legitimasi bagi seseorang untuk memberikan sikap dan tindakannya. Kasus stigmatisasi dan diskriminasi HIV yang terjadi dimasyarakat NU bangil juga merupakan implikasi dari pardangan agama yang dijadikan justifikasi tindakan tersebut. Masih banyak masyarakat NU Bangil yang melakukan stigmatisasi dan diskriminasi HIV berdasarkan pengertahuannya bahwa HIV dan AIDS semata-mata hasil dari perbuatan sexsual duiluar hubungan yang disahkan oleh agama. Asumsi ini didasarkan pada beberapa dalil-dalil agama seperti dalil pelarangan berbuat zina, penggunaan obat terlarang dan seterusnya. Dari legitimasi dalail tersebut dijadikan sebagai tendensi melalukan tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV. Padahal agama tidak mengajarkan tindakan stigmatisasi dan diskriminasi dalam hal apapun. Justru agama mengajarkan tentang nilai-nilai kasih sayang kepada sesama manusia. Dalam kasus HIV dan AIDS maka seharusnya umat beragama/ masyarakat NU haruslah menyayangi orang yang terinfeksi HIV dan AIDS dan membenci penyakitnya. 5. Bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi HIV yang terjadi dalam masyarakat basis NU Bangil. Stigma dan diskriminasi menjadi bagaian yang tidak bisa dielakkan dalam isu kesehatan [HIV dan AIDS] berbagai tindakan stigmatisasi dan diskriminasi terjadi baik dalam ruang kelurga sampai pada ruang public. Beberapa kasus yang terjadi adalah sebagai berikut:
10
Pertama, Stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dalam keluarga Keluarga menjadi tempat pertama stigma dan diskriminasi ODHA terjadi. Keluarga seharusnya menjadi tempat yang memberikan ketenagan dan perlindungan pada ODHA bukan malah justru sebaliknya. ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya -sebuah proses yang seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, keluarga malah memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA. Kedua, Stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dimasyarakat Masyarakat NU bangil merupakan masyarakat relegius yang memiliki tradisi dan ritual keagamaan [ke NU-an] serta kegiatan-kegiatan social kemasyarakatan. Kegiatan tersebut seperti kegiatan rutinan tahlilan, istighosyah, sholawat / ishari dan lain sebagainya. Ini semua merupakan kegiatan yang bersifat rutinan dan dilakukan secara berjamaah. Artinya proses interaksi masyarakat itu terjadi secara intens dalam berbagai kegiatan keNUan. Dalam konteks ini tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV dan AIDS seringkali terjadi dimana masyarakat basis NU Bangil merasa takut ketika harus melakukan kegiatan social keagamaan dengan ODHA. Tindakan-tindakan ini seperti, tidak mau menghadiri acara tahlilan, istighoyaha, mengantarkan jenazah pada orang yang terinveksi HIV dan AIDS. Tindakan stigmatisasi dan diskriminasi pada ODHA inilah yang seringkali menjadikan ODHA merasa frustasi dan dendam terhadap semua orang. Kebencian ODHA ini menjadi pemicu
tindakan melakukan penyebaran / penularan HIV pada m,asyarakat luas dengan berbagai cara. Seperti pekerja sexs komersial [PSK] yang positif HIV tidak mau menggunakan kondom sebagai alat memproteksi penyebaran HIV dan seterusnya. 6. Peran strategis organisasi keagamaan / faith based organization [FBO] Nahdlatul Ulama’ [NU] Bangil Organisasi Nahdlatul Ulama‟ [NU] merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang mempunyai basis masa terbanyak dan tersebar diseluruh daerah di Indonesia. di Kabupaten Pasuruan organisasi NU juga menjadi organisasi keagamaan nomer wahid yang diikuti oleh mayoritas umat islam di Pasuruan. Dalam praktiknya, organisasi NU dilevel cabang Kabupaten Pasuruan dibagi menjadi dua wilayah cabang yaitu, NU cabang Kab. Pasuruan dan NU cabang Bangil. Wilayah kepengurusan cabang NU Bangil tersebar dienam kecamatan yaitu Bangil, Pandaan, Prigen, Rembang, Gempol dan Beji. Secara hirarkis kepengurusan cabang NU Bangil meliputi pengurus Majelis Wakil Cabang [MWC], Pengurus Ranting dan Pengurus Anak Ranting. 7. Legitimani NU bagi masyarakat NU Organisasi NU merupakan organisasi keagamaan yang sangat dekat dengan masyarakat. Organisai NU mempunyai sifat inklusif-humanis serta erat dengan berbagai tradsi bangsa Indonesia. Selain itu, NU juga manjadi organiasi keagamaan nomer wahid dengan jumlah pemngikut terbesar di Indonesia. Dengan potensi anggota yang besar, maka NU memiliki kekuatan yang potensial dalam 11
malakukan perubahan social dari berbagai bidang kemasyarakatan. Dalam konteks kasus HIV dan AIDS yang terjadi di Kabupaten Pasuruan, maka keterlibatan organisasi NU menjadi sangat krusial dalam berperan aktif melakukan pencegahan dan penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS bersama-sama dengan instansi pemerintah dan mayarakat. Organisasi NU merupakan organisasi jam‟iyah yang dipimpin oleh para tokoh agama / kiai NU yang memiliki kharisma tinggi dihadapan organisasi dan masyarakat NU. Pemimpin organisai NU merupakan agamawan yang menjadi rujukan pengetahuan, sikap dan perilaku anggota organisasi dan masyarakat NU dalam berbagai persoalan social yang terjadi dimasyarakat. Tokoh agama merupakan figure yang identik dengan tingkan keilmuan keagamaan yang tinggi, kesalehan individual dan kesalehan social. Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama tersebut tercermin dari kredibilitas yang dimilikinya. Dalam konteks kampanye pengurangan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS ini menjai sangat sinergis mengingat persoalan HIV dan AIDS bukan semata-mata persoalan medis saja melainkan ada persoalan yang berhubungan erat dengan agama. Oleh karena itu, mengubah cara pandang, sikap dan perilaku masyarakat pada persoalan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS yang didasari oleh pemahaman keagamaan yang cenderung salah di masyarakat, maka tokoh agama merupakan sosok yang tepat. Tokoh agama dalam hal ini adalah kiai NU merupakan figure panutan masyarakat NU yang tausiyahnya mampu mempengaruhi masyarakat NU secara efektif. Dalam kajian ilmu komunikasi Hovland dan Weis
berpendapat, bahwa perubahan sikap seseorang lebih besar pengaruhnya jika disebabkan oleh komunikator yang memiliki kredibilitas tinggi. Oleh karenanya komunikator memegang peranan penting dalam kampanye. (Tan,1981 : 116) Ruben&Stewart (1998; 105-109) untuk mencapai efektivitas pesan komunikasi yang disampaikan, komunikator sebaiknya memiliki persyaratan tertentu untuk sebuah program komunikasi, baik dalam segi sosok kepribadian maupun dalam kinerja kerja. Dari segi kepribadian, agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh khalayak maka seorang komunikator memiliki kedekatan (proximility) dengan khalayak, mempunyai kesamaan dan daya tarik sosial dan fisik, factor kesamaan (similirity) meliputi gender, pendidikan, umur, agama, latar belakang sosial, ras, hobi, dan kemampuan bahasa, dikenal kredibilitasnya dan otoritasnya, pandai dalam cara penyampaian pesan serta dikenal statusnya / posisi atau ranking baik dalam struktur sosial maupun organisasi. Selaras dengan apa yang disamapaikan oleh Ruben&Stewart diatas, maka ada beberapa hal yang menjadikan tokoh agama/kiai NU mempunyai tingkat kefektifan komunikasi yang tinggi dalam melakukan perubahan cara pandang [pengetahuan], sikap dan perilaku masyarakat NU terhadap tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV dan AIDS di masyarakat NU bangil. Hal tersebut adalah: Pertama, faktor kedekatan. pengurus organisasi NU Bangil mayoritas diisi oleh para kiai NU. Seorang kiai bagi masyarakat NU adalah tokoh masyarakat sekaligus suritauladan. Banyak kegiatan12
kegiatan keagamaan [ke-NU-an] yang selalu melibatkan seorang kiai seperti pengajian, istighosah, tahlil dan sebagainya. Ini artinya bahwa seorang kiai memiliki kedekatan yang erat dengan masyarakat. Kedua, factor kesamaan ideology dan organisai Organisasi NU merupakan organisasi kegamaan yang berpegang teguh pada ajaran ahlus sunnah wal jama‟ah dengan mengikuti 4 [empat] madzhab yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Ideology inilah yang mendasari pola berfikir dan bertindak organisasi NU beserta masyarakat NU dalam berbagai persoalan kegamaan dan social kebangsaan. Kesamaan ideology inilah yang menjadikan seorang kiai akan memiliki tingkat keefektifan yang tinggi dalam melakukan komunikasi dalam rangka merubah carapandang masyarakat terhadap persoalan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS Ketiga, factor kredibilitas dan otoritas Kredibilitas menyangkut tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang yang didasari pada nilai-nilai luhur [social value]. Kredibilitas juga menyangkut tentang tingkat kesalehan seseorang baik kesalehan individual dan kesalehan social. Figure seorang kiai NU dalam masyarakat NU adalah seorang tokoh agamawan sekaligus tokoh masyarakat yang menjadi panutan masyarakat khususnya warga nahdliyyin. Kredibilitas seorang kiai dalam masyarakat NU dapat dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat NU terhadap figure seorang kiai . Kiai masih menjadi symbol patron (trustworthiness) dalam tradisi kehidupan masyarakat nahdliyyin. Menurut Ferguson, ada dua faktor
kredibilitas yang sangat penting untuk seorang sumber: dapat dipercaya (trustworthiness) dan keahlian (expertise). Faktor-faktor lainnya adalah tenang/sabar (compusere), dinamis, bisa bergaul (sociability), terbuka (extroversion) dan memiliki kesamaan dengan audiens. Kesemua kriteria yang disampaikan oleh ferguson tersebut melekat dalam diri seorang kiai . Keempat, factor skill komunikasi Kiai NU dalam tradisi NU adalah seorang muballigh yang mempunyai kemampuan berpidatoh [retorika] yang baik. Kemamp[uan beretorika ini menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang kiai karena seorang kiai dalam masyarakat bukan hanya sebagai tokoh panutan dalam tindakan dan sikap saja melainkan juga sebagai da’i atau penyampai ajaran agama. Penyampaian ajaran agama dilakukan melalui berbagai ceramah keagamaan yang dilakukan seperti, khotbah jumat, pengajian, seminar keagamaan dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. D. PENUTUP Dari penelitian tersebut diatas menunjukkan bahwa persoalan HIV dan AIDS bukan hanya persoalan medis / kesehatan semata, tetapi merupakan persoalan social yang membutuhkan keterlibatan panyak pihak dari semua unsur masyarakat. HIV dan AIDS merupakan isu kesehatan yang sangat erat dengan stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh : Pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat NU terhadap persoalan HIV dan AIDS dalam tinjuan medis. Kedua, persoalan pemahaman / cara pandang masyarakat NU Bangil terhadap persoalan HIV dan 13
AIDS dari sudut pandang agama yang kurang tepat juga menjadi factor pemicu tindakan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS. Ketiga, Selain itu, mitos tentang HIV dan AIDS yang ada didalam masyarakat juga mempengaruhi terhadap tindakan stigma dan diskriminasi HIV. Untuk merubah pola pikir masyarakat NU Bangil terhadap persoalan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS tersebut, organisasi keagamaan [NU] mempunyai peran yang tepat dan strategis karena organisasi agama NU merupakan organisasi yang dekat dengan masyarakat NU. Selain itu, Organisasi NU merupakan organisasi yang mayoritas dipimpin oleh para kiai NU. Kiai NU dalam tradisi warga NU [nahdliyyin] merupakan panutan masyarakat baik dalam tindakan, sikap dan perbuatan. Budaya patron inilah yang menjadikan organisasi NU mempunyai kekuatan yang strategis dalam merubah cara pandang, sikap dan perilaku terhadap persoalah HIV dan AIDS masyarakat diwilayah NU Bangil. Akhirnya, penelitian ini merekomendasikan; a) bahwa pengurangan stigma dan diskriminasi HIV dan AIDS haruslah melibatkan organisasi keagamaan yang ada didaerah tersebut. Organisasi keagamaan mempunyai kekuatan strategis dalam mempersuasi masyarakat mengingat organisasi keagamaan merupakan rujukan dari masyarakat dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Persoalan stigma merupakan persoalan yang sangat erat kaitannya dengan pandangan agama yag berkembang dimasyarakat. Maka lembaga agama dengan tokoh agama yang ada didalamnya akan mampu memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat untuk tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi
HIV dan AIDS. b). peran aktif pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS [KPA] daerah Kabupaten Pasuruan harus menjadi komando untuk memberikan pemahaman tentang HIV dan AIDS dalam tinjaun medis. KPA seharusnya meingkatkan jaringan aliansi strategis dengan Lembaga Swadaya Masyrakat [LSM] serta stakeholder lain seperti lembaga pendidikan untuk melakukan pencegahan dini terhadap bahaya HIV yang semakin menyerang pada generasi pemuda. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, Ram.1991. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga Cangara, H. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Chaffe, Steven and Patrick, Michael. 1975. Using The Mass Media.New York : Mc Graw-Hill Book Company. Combs, James E dan Nimmo.1994. Propaganda Baru. Penerjemah: Lien Amalia. Bandung: Centre for AIDS Development, Research and Evaluation (CADRE). 2005. HIV and AIDS, stigma and faithbased Organization: DFID/Futures Group. Djamaludin, Iriantara. 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Remaja Rosdakarya. Mc.Quire J, William. Theoretical Foundations Of Campaigns. Yale university. Little John, S.W. 1995. Theories of Human Communication (fifth edition). Wadsworth publishing Company, Belmont California.
14
Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik. Bandung : Rosdakarya.
Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung : Rosdakarya.
Venus,
Antar. 2012. Manajemen Kampanye. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
UNAIDS. 2007. Reducing HIV Stigma and Discrimination: a critical part of national AIDS programmes: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS.
http://www.roudlotussalaf.com/index.php? pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&i d=129.
Sudjana,Nana. 1999. Penyusunan Karya
www.kpakabupatenpasuruan.blogspot.com .
http://aidstuberculosismalaria.blogspot.com.
Tuntunan Ilmiah:
http://www.aidsindonesia.or.id/
15