GAYA HIDUP BUPATI-BUPATI GALUH PADA TAHUN 1839-1914 (Tinjauan Sejarah tentang Strategi Adaptif Penguasa Pribumi terhadap Kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda)
Oleh, Yulia Sofiani NIDN 0417077805
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………………1 ABSTRAK….………………………………………………………………………………….....2 DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...3 PRAKATA………………………………………………………………………………………..4 BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………...5 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………....…5 B. Pokok Permasalah……………………………………………………………………………..6 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………………...7 D. Kajian Pustaka ………………………………………………………………………………...8 E. Kerangka Konseptual………………………………………………………………………….9 F. Metode Penelitian…………………………………………………………………………….13 BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN……………………..………………………………….14 A. Pasang Surut Kekuasaan dan Kedudukan Bupati …………………………………………….14 B. Gaya Hidup Bupati-Bupati Galuh …………………………………………...........................20 C. Nama dan Gelar ……………………………………………………………………………...21 D. Tempat Tinggal dan Perabotan.……………………………………………………………....27 E. Pakaian dan Perlengkapannya ……………………………………………………………….41 F. Upacara-upacara ……………………………………………………………………………..58 BAB III KESIMPULAN …………………………………………………….............................63 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...........................66
PRAKATA
Alhamdulillaahirabbil‘aalamiin, syukur kepada Allah yang telah memberikan rahmat dan barakah kepada setiap umatNya. Atas ridla Allah dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga Allah memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis. Penulisan tentang sejarah Galuh, terutama pada masa kolonial relatif terbatas. Faktor inilah yang mendorong untuk dilakukan suatu penelitian tentang gaya hidup bupati-bupati Galuh sebagai birokrat pribumi yang menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Penulis berharap, Insya Allah karya ini memberikan sumbangan yang bermanfaat kepada semua pihak. Terima kasih yang tulus terucap kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga diucapkan kepada Rektor Universitas Siliwangi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi, dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penelitian ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan budi baik pihak-pihak tersebut. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik. Amin.
Tasikmalaya, 22 November 2016
Yulia Sofiani, M.Hum.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Galuh adalah sebuah kabupaten di wilayah Priangan yang terdiri dari 4 kandaga lante dan 40 kandaga dengan jumlah cacah 9.000 jiwa.1 Galuh tampil sebagai kerajaan mandiri setelah kerajaan Sunda ditaklukan oleh Banten pada tahun 1579. Penguasanya adalah Cipta Permana yang berdiam di Panaekan. Pada tahun 1595, Galuh dikuasai oleh Mataram Islam. 2 Raja Mataram mengakui kedudukan penguasa Galuh sebagai penguasa merdeka, sehingga Mataram tidak mengeksploitasi kekuasaan politik Galuh. Kekuasaan Mataram atas Galuh semakin berkembang pada masa pemerintahan Sultan Agung, yaitu dengan menjadikan Galuh sebagai salah satu wilayah Mancanagara Kilen Mataram. Sultan Agung mengangkat Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.3 Kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami pasang surut seiring dengan berubahnya kebijakan pemerintah kolonial yang menjadi atasannya. Pada pertengahan abad 19, pemerintah kolonial semakin gencar membentuk birokrasi legal-rasional. Bupati adalah orang pertama yang merasakan langsung akibat kebijakan itu. Berangsur-angsur kedudukan bupati sebagai penguasa daerah yang otonom berubah menjadi pegawai pemerintah kolonial.
B. Pokok Permasalahan 1
Edi S. Ekajati (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Jakarta: Giri Mukti Pasaka, 1994), hlm. 102. 2
Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung: Sundanologi, 1998), hlm. 30; Asikin Wijaya Kusumah, Tina Babad Pasundan: Riwayat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580, (Bandung: Kalawarta Kudjang, 1961), hlm. 15. 3
R.A.A.A. Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie, (Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm. 7; T.S. Raffles, History of Java. Vol.2, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), hlm. 2.
Besarnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap kehidupan pejabat pribumi menyebabkan berbagai benturan dalam kehidupan bupati dan juga menjadi penyebab utama atas pasang surut dalam kekuasaan, kedudukan, kekayaan bupati. Bupati harus mempertahankan wibawanya dan memelihara simbol kebesaran yang menjadi identitasnya, tetapi ia juga harus menerima kenyataan bahwa kedaulatannya sebagai pemimpin politik semakin merosot. Pokok permasalahan penelitian ini adalah gaya hidup bupati-bupati Galuh pada tahun 1839 hingga 1914, terutama setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. 1. Apa yang terjadi dalam kehidupan bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial? 2. Adakah perubahan atau tidak dalam gaya hidup bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial? 3. Bagaimana bupati-bupati Galuh menyesuaikan diri jika memang terjadi perubahan dalam gaya hidup mereka? 4. Apakah muncul simbol-simbol baru atau justru simbol-simbol lama yang tetap dipertahankan? Lingkup tempat dalam penelitian ini adalah wilayah administratif kabupaten Galuh. Lingkup tempat ini termasuk sempit, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu detil sejarah yang menampilkan keunikan. Tahun 1839 hingga tahun 1914 ketika Kusumadiningrat dan Kusumasubrata menjabat bupati Galuh dipilih sebagai lingkup temporal penelitian. Rentang waktu itu merupakan masa perubahan kekuasaan, kedudukan, peran, dan kekayaan para bupati di pulau Jawa yang diakibatkan oleh perubahan sistem kolonial. Tahun 1914
merupakan tahun terakhir pemerintahan Kusumasubrata, sekaligus berakhirnya kekuasaan bupati Galuh berdasarkan keturunan.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami gaya hidup bupati-bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat dan R.A.A. Kusumasubrata pada tahun 1839 hingga 1914, terutama setelah kekuasaannya menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Gaya hidup di sini meliputi sikap hidup, adat kebiasaan, dan simbol-simbol serta atribut-atribut kebesaran yang menjadi identitas bupati. 1. Untuk mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. 2. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perubahan dalam gaya hidup bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. 3. Untuk mengetahui upaya bupati-bupati Galuh menyesuaikan diri jika terjadi perubahan dalam gaya hidup mereka setelah kekuasaan dan kedudukan mereka mengalami perubahan. 4. Untuk mengetahui apakah muncul simbol-simbol baru dalam kehidupan para bupati Galuh atau atau malah mempertahankan simbol-simbol lama.
D. Kajian Pustaka Babad Galoeh Imabanagara disusun dan ditulis pada masa pemerintahan Kusumadiningrat, berisi tentang cerita sejarah Galuh sepanjang masa. Babad Dipagah disusun dan ditulis oleh Kusumasubrata dengan bahasa dan huruf Sunda kuno dalam bentuk pupuh Pangkur, Maskumambang, Dangdanggula, Kinanti, Asmarandana, Sinom, Mijil,
Durma, Pucung, dan Ladrang. Penulisannya dimulai pada hari Kamis, tanggal 08 Agustus 1890. Isinya adalah pengalaman hidup Kusumasubrata yang dijadikan petuah bagi keturunannya. Tulisan Kusumasubrata lainnya adalah Ti Ngongkoak Doegi Ka Ngoengkoeeoek (1926), isinya adalah tentang masa pemerintahannya sebagai bupati Galuh dari tahun 1886 hingga 1914. Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (1936) ditulis oleh P.A. Ahmad Djajadiningrat. Tulisan ini adalah biografi yang komprehensif pada masanya, menceritakan kehidupan penulisnya lengkap dengan segala aspek di sekitarnya. Galuh dan keluarga Kusumasubrata diuraikan secara singkat di dalamnya. Sedangkan Regenten Positie (1936) yang ditulis oleh bupati Cianjur yang bernama R.A.A.A Soeria Nata Atmadja merupakan tulisan yang secara rinci memaparkan posisi bupati Priangan pada masa pemerintahan kolonial. Nina Herlina Lubis menulis Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1944 (1998). Tulisan ini memaparkan kehidupan kaum menak Priangan yang umumnya seragam dengan fokus utama menak Priangan Barat dan Tengah. Tulisan Samiaty Alisjahbana yang berjudul A Preliminary Study of Class Structure among Sundanese in The Priangan (1955) adalah sebuah karya antropologi. Salah satu bahasannya adalah struktur masyarakat Sunda di Priangan. Gelar, pusaka, upacara, dan etiket menak termasuk yang dibahas di dalam tulisan ini. Meskipun memandang struktur masyarakat Sunda dengan kaca mata antropologi, tulisan ini dapat membantu dalam penelitian sejarah.
E. Kerangka Konseptual
Prosedur penelitian dilaksanakan sesuai dengan metode sejarah yang dituntun oleh kerangka pemikiran teoritis. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan menghasilkan eksplanasi historis yang memadai, penelitian ini memerlukan kajian historis diakronis dan analisis sinkronis. Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu sosial, yaitu antropologi budaya, sosiologi, dan politik. Pendekatan struktural akan membantu memfokuskan pada struktur sebagai inti suatu perubahan, sedangkan pendekatan historis digunakan untuk melihat segi proses yang akan menghasilkan asumsi. Struktur masyarakat tradisional yang masih tersisa dalam masyarakat bupati, analisis gaya hidup, dan aspek-aspek kultural masyarakat dapat digambarkan dengan bantuan pendekatan antropologi budaya. Hubungan status dengan kekuasaan, hubungan-hubungan sosial, permasalahan birokrasi dan otoritas, dan cara-cara bupati memperoleh kekuasaannya dapat diperjelas dengan bantuan pendekatan sosiologi dan politik. Kekuasaan dan kepemimpinan tradisional yang legal-rasional dan kharismatik merupakan suatu kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.4 Kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami pasang surut, terutama karena berkembangnya kekuasaan kolonial. Kekuasaan bupati sebagai kepala daerah dibatasi oleh pemerintah kolonial, sehingga yang bertahan dari kekuasaan bupati hanya kekuasaan tradisionalnya. Pemberian berbagai gelar dan tanda jasa oleh pemerintah kolonial justru semakin memperkuat kekuasaan tradisional bupati.
4
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 226-227.
Bupati memiliki unsur kepemimpinan tradisional yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.5 Faktor keturunan dalam pengangkatan bupati adalah hal yang penting bagi pemerintah kolonial karena berpengaruh terhadap kepercayaan dalam pemberian prioritas (fasilitas pelayanan dan kesempatan) kepada bupati. Pemberian prioritas juga didasarkan kepada kemampuan bupati memerintah rakyatnya, ketaatan, dan kepatuhannya kepada pemerintah kolonial. Kedudukan bupati disamakan dengan “raja kecil”, sehingga berhak menikmati penghormatan tertinggi yang tidak dipaksakan dari rakyatnya 6. Bupati adalah pemegang kekuasaan tertinggi di kabupaten yang memiliki otoritas tradisional sekaligus legal. Budaya politik tradisional itulah yang menjadi sandungan utama gagalnya usaha pemerintah kolonial mewujudkan sistem birokrasi legal-rasional dalam struktur pemerintahan pribumi. Bupati memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai kepala daerah karena fungsinya sebagai alat pemerintah kolonial, dan sebagai pemimpin tradisional karena konsensus rakyat pribumi. Di satu sisi bupati adalah pihak yang dikuasai oleh pemerintah kolonial, hubungan mereka adalah bawahan dan atasan. Di sisi lain bupati menguasai rakyat pribumi, sehingga hubungan yang terjalin karena ikatan feodal itu adalah tuan dan hamba. Perubahan kebijakan kolonial telah mengakibatkan berbagai benturan dalam kehidupan bupati yang akhirnya menimbulkan konflik pengharapan dan motivasi para bupati. Perubahan pola politik kolonial dari konservatif menjadi liberal telah memperluas pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat pribumi. Pendidikan Barat adalah salah
Marc Bloch, “Kaum Bangsawan Selaku Kelas Menurut Kenyataan” dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Elite dalam Perspektif sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 226. 5
6
Ibid, hlm. 28
satu alat yang digunakan dalam rangka mencapai modernitas. Pendidikan telah menumbuhkan benih-benih progresif dalam kehidupan kabupaten. Kelas elite pendidikan merupakan kelas baru yang tumbuh dalam masyarakat pribumi dan sangat dibutuhkan dalam mekanisasi administrasi pemerintahan. Secara perlahan jabatan-jabatan dalam pemerintahan yang awalnya didominasi keluarga bupati mulai dipegang oleh keluarga non bupati. Nilai baru dapat hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan jika didukung oleh masyarakat pendukungnya. Keberadaan tokoh yang mampu mengusung dan menganjurkan suatu nilai baru menjadi sangat penting. Bupati adalah salah satu tokoh yang bisa menerima, mengembangkan, bahkan mempertahankan nilai baru. Bupati adalah inovator dan leader opinion, yaitu tokoh dalam suatu sistem sosial yang menemukan dan kemudian dapat menggunakan pengaruhnya untuk mengembangkan nilai-nilai baru. Pada perkembangan selanjutnya, nilai-nilai baru itu mengakibatkan perubahan dalam kehidupan kabupaten, salah satunya dalam hal gaya hidup. Gaya hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.7 Gaya hidup memiliki implikasi normatif, politik, dan estetik. Melalui gaya hidup dapat dipahami apa yang dilakukan oleh orang-orang, mengapa mereka melakukannya, apa maknanya bagi mereka dan juga bagi orang lain. Gaya hidup menunjukkan bagaimana seseorang mengatur kehidupan pribadinya dan kehidupan bermasyarakat, serta bagaimana membedakan statusnya dari orang lain melalui simbol-simbol.8
7
David Chaney, Lifestyles. Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.), (Yogyakarta: Jalasutra, 1996), hlm. 40. 8
A.L. Kroeber, Style and Civilization, (Barkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963), hlm. 3.
Gaya hidup bupati dapat dihayati melalui simbol-simbol, baik berupa ide ataupun bentuk simbol yang nyata. Bentuk simbol berupa ide contohnya pendidikan, sedangkan bentuk simbol yang nyata antara lain simbol dan atribut kebesaran, mitos genealogis, dan upacara. Simbol atribut kebesaran contohnya adalah nama dan gelar, tempat tinggal, perabotan, pakaian, dan upacara-upacara. Melalui simbol-simbol itu dapat dijelaskan hal-hal yang menyangkut bupati, misalnya kedudukan dan kekuasaan bupati.
F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, dan wawancara. Wawancara dan observasi (free dan guided) dilakukan kepada beberapa keturunan bupati-bupati Galuh, kaum menak, dan orang-orang tertentu yang mengetahui kehidupan kaum menak. Cara, tempat, dan waktu wawancara diserahkan kepada nara sumber, tujuannya agar mereka nyaman sehingga memberikan informasi yang bersifat luas dan menyeluruh. Sejak awal telah dilakukan pendekatan-pendekatan kepada nara sumber agar dapat menjalin hubungan baik yang akan mempermudah penggalian keterangan untuk pengumpulan data. Kesamaan bahasa (Sunda) dan tempat tinggal (Ciamis) relatif mempermudah proses wawancara. Untuk memeriksa sekaligus melengkapi validitas hasil wawancara digunakan sumber visual yang berupa foto-foto dan peninggalan bupati-bupati Galuh dan kaum menak lainnya.
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pasang Surut Kekuasaan dan Kedudukan Bupati Saat dikuasai raja Jawa, bupati Galuh berkuasa penuh atas rakyatnya, dan sebagai bawahan Mataram, mereka wajib menyerahkan upeti kepada raja Jawa 9 (terutama pada perayaan Garebeg10), membuat koloni baru yang penduduknya didatangkan dari Jawa, dan memakai bahasa Jawa sebagai bahasa resmi pemerintahan. Raja Jawa mempertahankan hak istimewa bupati, yaitu hak pemilikan atas tanah, penguasaan atas pengabdian dari penduduk, hak atas hukum, dan hak memungut pajak dari rakyat, baik berupa uang, barang, atau tenaga. Namun karena jarak Priangan yang jauh dari Mataram, kontrol Mataram terhadap Priangan relatif lemah, sehingga ikatan di antara bupati dan raja Jawa tidak cukup kuat. Komunikasi menjadi terbatas, sehingga menyebabkan para bupati Priangan cenderung berkuasa secara otonom. Pada masa VOC, bupati adalah agen yang bertugas menyerahan tanaman perdagangan sesuai dengan kuota yang telah ditentukan. Bupati sebagai pemegang kekuasaan lokal adalah sosok yang tepat menjadi perantara pejabat dengan rakyat pribumi karena memiliki pengaruh besar terhadap rakyat dan mengetahui secara pasti tradisi serta kondisi rakyatnya. Pengaruh bupati terhadap rakyatnya dimanfaatkan untuk kepentingan eksploitasi ekonomi. VOC hanya menentukan kebijakan ekonomi, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada bupati yang lebih mengetahui keadaan di lapangan. VOC membiarkan bupati memerintah daerahnya secara otokratis dengan imbalan pengakuan kedaulatan dari
9
Soemarsaid Moertono, Negara dan Bina Usaha Negara di Jawa Masa Lampau (terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 97. 10
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 141.
bupati. Hak istimewa dan fungsi bupati dibiarkan utuh, mereka juga dibiarkan menjalankan kehidupan sesuai dengan tradisinya. Bahkan VOC melindungi struktur politik dan sosial masyarakat pribumi. Bupati mendapat cultuurprocenten sebagai imbalan atas tugasnya menjadi agen perdagangan VOC. Eksploitasi ekonomi yang semakin intensif secara tidak langsung membuat kehidupan bupati yang megah dan mewah semakin bergelimang dengan kemewahan. Menjelang keruntuhan VOC, bupati menikmati kekuasaan yang besar dan gaya hidup yang mewah seperti bangsawan feodal. Sistem monopoli dan pemerintahan tidak langsung memberikan kesempatan kepada bupati untuk menjalankan kekuasaan otonomi yang lebih besar dibandingkan leluhurnya, sehingga memberikan peluang untuk memperkuat diri. 11 Pada tahun-tahun berikutnya VOC menghapuskan hak bupati atas pemilikan tanah. Bupati harus membayar sewa kepada VOC berupa penyerahan tanaman perdagangan. Penghasilan bupati semakin berkurang, bahkan beberapa bupati terbelit hutang karena harus membiayai kehidupan mewahnya. VOC bangkrut pada tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Republiek Bataaf untuk dijadikan daerah administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu menyerahkan urusan politik pribumi kepada para bupati. Posisi bupati pada dasarnya dipertahankan, setidaknya hingga sebelum Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels melakukan perombakan terhadap struktur birokrasi kolonial, sehingga posisi dan status bupati mengalami perubahan besar di tangan Daendels. Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah, hak serta kewajibannya ditentukan secara jelas, dan mereka digaji untuk jasa-jasanya.12 Hak bupati atas kepemilikan tanah, jaminan kerja wajib, dan penarikan pajak diturunkan jumlahnya, sedangkan prinsip pewarisan jabatan dihilangkan sama sekali. Kedudukan
Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa” dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa. Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 33. 11
12
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. (Jakarta: Gramedia. 1982), hlm. 33.
bupati semakin merosot setelah Daendels melakukan reorganisasi Priangan. Kekuasaan para bupati di daerah minus tanaman kopi semakin berkurang bahkan hilang, terutama setelah pemutasian dan pemberhentian terhadap bupati yang kadang-kadang disebabkan oleh alasan yang sepele. Raffles menganggap ikatan feodal adalah hambatan terbesar bagi birokrasi modern. Raffles membebaskan rakyat dari pembayaran pajak in natura dan kerja wajib, sebagai gantinya mereka harus membayar pajak dengan uang. Bagi Raffles bupati adalah pegawai pemerintah yang harus ditempatkan berada di bawah Residen. Raffles menempatkan seorang Asisten Residen dan pejabat pengawas pendapatan tanah di setiap kabupaten untuk mendampingi bupati. Asisten Residen itulah yang akhirnya lebih berperan memerintah dari pada bupati, sedangkan bupati hanya berperan sebagai pejabat polisi yang bertugas mengawasi keamanan daerahnya. Kebijakan pemerintah kolonial berhasil mengubah posisi dan status bupati, tetapi gagal menciptakan perubahan mendasar dalam struktur kekuasaan tradisional. Pemerintah kolonial tidak dapat memisahkan bupati dari rakyatnya karena ikatan feodal di antara mereka terlanjur mengakar. Kuatnya struktur tradisional dan birokrasi feodalistik adalah penyebab utama gagalnya pemerintah kolonial dalam menghapuskan hak-hak feodal bupati.
Van der Capellen sadar bahwa bupati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik eksploitasi kolonial. Bupati adalah penguasa tunggal kabupaten yang tidak tergantikan oleh pejabat Belanda manapun, sehingga kebijakan mengurangi hak dan kekuasaan penguasa pribumi adalah tindakan yang kurang bijaksana.13 Pemerintah kolonial sepantasnya dan seharusnya mengimbangi dukungan bupati terhadap politik kolonial dengan imbalan berupa perlindungan, materi, dan kehormatan.
13
Samiaty Alisjahbana, A Preliminary Study of The Class Structure among The Sundanese in The Priangan, (New York: Cornell University Press, 1956), hlm. 7
Atas campur tangan bupati, pemerintah kolonial dapat menguasai tanah dan tenaga rakyat. Untuk mencapai tujuan politik eksploitasi kolonial, tidak ada jalan lain kecuali memobilisasi rakyat pribumi secara besar-besaran melalui bupati. Jumlah persenan semakin menggiatkan bupati memobilisasi rakyatnya untuk bekerja maupun menyerahkan tanahnya. Pemerintah kolonial menawarkan kepada bupati untuk mengganti kepemilikan tanahnya dengan peningkatan subsidi keuangan. Akhirnya wibawa bupati naik, bahkan bupati berkuasa secara semi otonom.14 Tidak semua pejabat Belanda menyetujui kebijakan pengukuhan kembali kekuasaan dan kedudukan bupati. Beberapa Residen tetap memandang rendah, mengabaikan, bahkan mengucilkan bupati dalam setiap kegiatan pemerintah. Bupati dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak dibutuhkan lagi dalam roda pemerintahan. Pemerintah Batavia menanggapi hal itu dengan mengeluarkan peraturan bagi para pejabat Belanda agar menghormati dan bersikap sopan kepada bupati. Pejabat yang membangkang diberi sanksi, tidak dipromosikan, atau bahkan dimutasikan. Pemerintah Batavia sadar bahwa di tangan volkshoofden itulah kekuasaan politik yang sebenarnya berada.15 Penarikan pajak oleh bupati dalam sistem ekonomi tradisional adalah hal biasa, sehingga rakyat tidak akan keberatan jika bupati memobilisasi mereka untuk menanam tanaman perdagangan. Rakyat patuh kepada bupati, dan dengan adanya campur tangan bupati rakyat tidak akan membangkang kepada pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial dapat menghemat anggaran belanja negara karena tidak mengeluarkan biaya besar untuk mengurusi seluruh pembiayaan tanah jajahan, termasuk gaji bupati dan pejabat pribumi lainnya.16
14
Day Clive, The Policy of Administration of The Dutch in Java, (Kuala Lumpur: Oxford University, 1984), hlm. 297. 15
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Vol. I, (Bandung: The Hague, 1955),
hlm. 169. 16
1984).
Ong Hok Ham, “Sejarah Birokrasi di Indonesia” dalam Kompas (233/XIX/13 Pebruari
Pasca Tanam Paksa, pendapatan bupati menurun meskipun pemerintah kolonial telah menaikkan gajinya. Upaya pemerintah kolonial memberantas penarikan upeti dari rakyat oleh pejabat pribumi semakin memperparah kondisi keuangan bupati. Campur tangan pemerintah kolonial dalam kehidupan politik pribumi semakin intensif, pengawasan terhadap pejabat pribumi semakin diperketat. Bupati terpojok menjadi status figur tanpa memiliki kekuatan memerintah. Politik Etis membawa dampak besar dalam bidang pendidikan, yaitu semakin banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan di Hindia Belanda. Pendidikan Barat yang semakin berkembang pada abad 20 telah melahirkan kelas baru yaitu elite pendidikan yang disebut menak baru. Berbekal ijazah OSVIA, menak baru menjadi ambtenaar dalam pemerintahan pribumi, dokter, mantri kesehatan, atau guru. Menak baru harus berjuang keras untuk mencapai kedudukan tinggi. Kesenjangan itu sering membuat menak baru menyerang menak lama (biasanya melalui surat kabar) yang akhirnya berujung konflik. Untuk mengatasinya, pemeritah kolonial mengeluarkan peraturan khusus tentang persayaratan menjadi calon bupati. Tugas bupati semakin berat dan kompleks, maka faktor keturunan calon bupati tidak lagi menjadi syarat utama, justru faktor kepandaian, kecakapan, kerajinan, dan kesetiaan yang lebih diutamakan. Menak lama keberatan dengan persyaratan baru itu karena membuka kesempatan bagi santana dan cacah masuk ke dalam kepangrehprajaan. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan pemerintah yang intinya memberikan prioritas pertama kepada putra dan kerabat bupati untuk diangkat menjadi bupati. Kedudukan bupati sebagai benteng kekuasaan tradisional mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Meskipun kekuasaan, kedudukan, kekayaan, dan kharisma bupati serta keluarganya mengalami pasang surut, mereka tetap dihormati masyarakat walaupun tidak seperti ketika mereka berjaya.
B. Gaya Hidup Bupati-Bupati Galuh Gaya hidup (style of life)17 mengandung pengertian yang meliputi karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu golongan masyarakat. 18 Melalui gaya hidup dapat diketahui bagaimana seseorang atau kelompok mengatur kehidupan pribadinya, bagaimana bertingkah laku di depan umum, dan bagaimana membedakan statusnya melalui lambang-lambang.19 Gaya hidup juga terkait dengan sikap hidup, struktur kelakuan, adat istiadat, tata cara, dan mentalitas yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Gaya hidup selalu memuat keistimewaan bagi golongan tertentu karena secara tegas dan tajam bertujuan menonjolkan perbedaan status. 20 Gaya hidup mewah merupakan lambang prestige dan status sosial yang tinggi. Gaya hidup bupati ditentukan oleh statusnya yang tinggi, sehingga identik dengan kemewahan dan kemegahan yang secara jelas membedakannya dari rakyat biasa. Gaya hidup bupati adalah simbol status yang identik dengan lambang-lambang tertentu, yaitu campuran lambang aristokrasi dan lambang jabatan dalam pemerintahan. Lambang-lambang itu dapat dilihat di antaranya dalam nama dan gelar, tempat tinggal dan perabotannya, pakaian dan perlengkapannya, serta berbagai upacara. 1. Nama dan Gelar Status orang tua dan makna yang terkandung dalam nama merupakan dasar pemilihan nama dalam keluarga menak. Status yang tinggi memungkin seseorang memiliki nama yang bermakna tinggi, misalnya Kusuma atau Ningrat. Pertimbangan makna yang terkandung dalam sebuah nama
17
Gaya hidup adalah pancaran watak seseorang atau kelompok, dapat diidentifikasi melalui ide dan bentuk fisik yang terkandung di dalam simbol-simbol yang menjurus kepada kesenangan dan kenikmatan hidup, misalnya tempat tinggal dan perabotannya, pakaian, berbagai upacara dan acara istimewa, pendidikan, serta kehidupan keluarga. Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1944, (Bandung: Sundanologi, 1998), hlm. 153. 18
19
20
Ibid, hlm. 154.
Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 53.
menjadi hal yang penting agar kelak tidak terjadi cilaka perbawa ngaran (celaka karena nama). Nama bupati biasanya berganti hingga beberapa kali sesuai dengan usia, status, jabatan, dan pangkatnya. Nama ketika kecil, dewasa, ganti jabatan, naik pangkat, pensiun, dan setelah meninggal tidak akan sama.21 Nama kecil bupati biasanya adalah nama panggilan kesayangan. Setelah disunat, nama kecil diganti dengan nama leluhurnya, misalnya Ningrat, Kusumah atau Kusuma, Prawira, Suria, dan Nagara. 22 Namanya akan diganti lagi dengan nama keluarga ketika memulai karir dalam pemerintahan. Kadang-kadang di belakang nama dan gelar ditambahkan dengan I, II, III, dan seterusnya. Nama bupati biasanya diubah setelah pensiun atau meninggal. 23
21
R.A.A. Kusumadiningrat lahir tahun 1814, memulai karirnya sebagai juru tulis kabupaten. Namanya diganti menjadi Tumenggung Jayanagara ketika diangkat sebagai Hoofdgecommitteerde pada 25 September 1831. namanya diganti menjadi R.T. Kusumadinata pada 27 Desember 1837, sedangkan pada 10 Mei 1851 namanya menjadi R.A.A. Kusumadinata (menjadi bupati Galuh pada 9 Maret 1839) dan menjadi R.A.A. Kusumadiningrat pada 28 Agustus 1855. 22
Setelah adanya pengaruh Barat, beberapa bupati memberikan nama belakang sebagai nama keluarga untuk anak-anaknya dengan nama mereka. 23
Bupati yang pensiun biasanya disebut dalem sepuh. Tempat bupati meninggal bisa juga menjadi nama lain bupati itu, misalnya Pangeran Mekah untuk bupati Sumedang yang meninggal di Mekah saat menunaikan ibadah haji. Lihat Nina Herlina Lubis, op.cit, hlm. 160.
Kusumasubrata memberikan nama untuk putra-putrinya dengan memakai memakai huruf awal G,24 misalnya Gurnita, Gardea, Gotawa, Gumari,25 dan Gurtiwa. Tujuannya adalah untuk menegaskan identitas putra-putrinya sebagai keturunan Galuh. Selain nama-nama tersebut, putraputrinya diberi nama belakang Kusumasubrata.26 Pemakaian nama keluarga tersebut menunjukkan adanya pengaruh Barat, apalagi sejak kecil Kusumasubrata telah mendapatkan pendidikan Barat.27 Berbeda dengan Kusumasubrata yang memberikan namanya untuk nama belakang putra-putrinya,
24
Putra-putri Kusumasubata berjumlah 17 (dari seorang istri), yaitu R. Garjita Kusumaputra, R.Ay. Gatimah (istri Bupati Cirebon, R. Tmg. Salam Sacinom Suriadireja), R.Ay. Gutiah Lenggangkancana (istri Bupati Serang, P.A.A. Jayadiningrat), R.Ay. Gumiwang Sutaningrat (istri R. Muhammad Jayadiningrat), R. Gumilang, R.Ay. Gumiwah Rajapamerat (istri Sultan Kasepuhan Cirebon, P. Muhammad Jamaludin), R. Gumawang, R. Garnida, R. Gardea, R.Ay. Gartika Pustikaningrat, R. Otto Gurnita (suami dari anak Snouck Hurgronje, Siti Aminah), R.Ay. Rukmitaningrat, R. Igo Gotawa (ayah R. Tatty Nirwanti Igo Kusumasubrata), R. Mochamad Tayib, R.Ay. Gumari Supitaningrat (istri bupati Limbangan, R.A.A. Suriakartalegawa), R. Gartiwa Theo, dan R.Ay. Poppy Gustika (istri R. Idjo Gantidja Jayakusuma yang juga cucu Kusumadiningrat, salah satu putranya adalah R. Gotaja Tojo). 25
R.Ay. Gumari Supitaningrat adalah garwa padmi bupati Limbangan R.A.A. Suriakartalegawa. Ia memilih bercerai setelah mengetahui suaminya menikahi wanita lain, yaitu puteri seorang kalipah, puteri seorang haji, dan seorang wanita dari kalangan rakyat biasa. Ia tidak mau direndahkan harga dirinya dan diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan Barat yang ditanamkan Kusumasubrata kepada para putrinya telah membuka kesadaran mereka akan pentingnya nilai harga diri. Meskipun pendidikan yang dicanangkan di tanah jajahan cenderung diskrimatif dan rasialis, pada gilirannya relatif mendorong progresivitas kaum perempuan. 26
Kusumasubrata menyekolahkan para putrinya di Batavia dan Sakola Kabupaten jauh sebelum para bupati Priangan menyekolahkan para puterinya (umumnya pada abad 20). 27
Pendidikan Barat membuat Kusumasubrata berpikiran maju, terbuka terhadap pembaharuan, dan mencapai puncak jabatan hanya dalam waktu yang sangat singkat. Ia juga memberikan pendidikan Barat bagi putra-putrinya agar mereka berpikiran lebih maju. Perubahan zaman harus diimbangi dengan pendidikan yang tingkat dan kualitasnya lebih bagus. Bagi Kusumadiningrat, pendidikan bukan semata-mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, tetapi sebagai sarana untuk memperoleh jabatan dan penghasilan yang tinggi. Hal itu tersirat dalam nasehatnya kepada Kusumasubrata: “Anaking, anjeun kudu terus diajar sabab lamun pangarti anjeun sarua jeung Ama tinangtu anjeun moal siga Ama. Moal boga panghasilan siga Ama kusabab leuwih loba jalma anu leuwih pinter tibatan anjeun.” (Anakku, kamu harus terus belajar, sebab jika pengetahuanmu sama dengan ayah pasti kamu tidak akan seperti ayah. Tidak akan berpenghasilan seperti ayah karena lebih banyak orang yang lebih pintar dibandingkan kamu).
Kusumadiningrat hanya memberikan potongan Kusumah atau Kusuma dan Ningrat untuk nama belakang putra-putrinya.28 Gelar bupati Priangan umumnya memiliki kesamaan dengan bupati Jawa. Hampir seluruh menak birokrat memiliki gelar ganda, yaitu gelar kebangsawanan dan kehormatan. 29 Gelar kehormatan diperoleh dari pemerintah kolonial sebagai penghargaan atas jasa-jasanya kepada pemerintah kolonial. Pemberian gelar kehormatan biasanya selalu diikuti oleh kenaikan jabatan. Gelar kehormatan bisa bertambah sesuai dengan kenaikan pangkat, tidak dapat diwariskan tetapi boleh dipakai hingga bupati yang bersangkutan pensiun. Berbeda dengan gelar kehormatan, gelar kebangsawanan diperoleh berdasarkan keturunan atau melalui pernikahan dengan wanita ningrat. 30 Gelar kebangsawanan yang umum di Priangan adalah Raden untuk laki-laki dan Raden Ayu atau Nyi Raden untuk perempuan. Gelar Raden secara langsung akan dimiliki oleh setiap anak yang lahir dari keturunan menak tinggi. Gelar Raden dapat diperoleh melalui pernikahan dengan wanita keturunan ningrat yang bergelar Raden Ayu atau Nyi Raden. Anak-anak dari pernikahan tersebut
28
Putra-putri Kusumadiningrat berjumlah 17 (dari 8 orang istri), yaitu R. Jayanagara Kusumadinata, R.Ay. Rajakomala, R. Sumadikusumah, R.Ay. Mustikaningrat, R.Ay. Tejaningrat, R. Kusumalogawa, R.Ay. Komaraningrat, R.Ay. Kancananingrat, R.Ay. Ratnaningrat, R.A.A. Kusumasubrata, R.Ay. Permaningsih, R. Garnida Adikusumah, R. Kusumasadewa, R. Kusumah Panjisuria, R.Ay. Gilang Permana, R. Kusumaamiarja (Patih Kuningan), dan R.Ay. Teja Bermaningrat. 29
Kaum menak memperoleh statusnya berdasarkan kelahiran, tetapi pada perkembangannya semakin banyak orang yang menjadi menak karena jabatan. Dunia jabatan adalah sarana untuk mendapatkan status, karena melalui status akan didapatkan kekuasaan, wibawa, dan kekayaan. 30
Pernikahan dengan kalangan sederajat dianggap sebagai pernikahan yang ideal karena dapat mempertahankan kemurnian darah ningrat, mempertahankan status, mempererat hubungan kekeluargaan, menyatukan warisan keluarga, dan menjaga agar warisan tidak jatuh kepada pihak luar. Hampir seluruh bupati-bupati Priangan memiliki ikatan kekerabatan satu dengan yang lainnya. Kusumadiningrat berbesan dengan bupati Sumedang dan patih Kuningan, sedangkan Kusumasubrata berbesan dengan bupati Cirebon, Serang, Limbangan, dan Sultan Cirebon.
hingga keturunan ke empat berhak menyandang gelar yang sama dengan orang tuanya. Secara umum, bupati-bupati Priangan memiliki gelar kebangsawanan Raden. Gelar Pangeran hanya dimiliki oleh bupati-bupati Sumedang karena dianggap sebagai penerus Kerajaan Sunda yang hancur pada tahun 1580. Bupati-bupati Sumedang yang memiliki gelar Pangeran adalah Rangga Gempol I, II, III, dan IV. Gelar kehormatan secara berturut-turut di bawah Pangeran adalah Adipati, Tumenggung, Rangga, Ngabehi, dan Demang. Gelar Pangeran, Adipati, dan Tumenggung adalah gelar untuk bupati. Patih dan wedana berhak atas gelar Rangga, sedangkan gelar Ngabehi dan Demang diberikan kepada bupati dari kabupaten kecil seperti Pamanukan dan Timbanganten. Bupati yang bergelar Raden berhak atas gelar Aria yang ditempatkan di depan nama atau gelar Raden, Adipati, dan Tumenggung. Gelar Aria diberikan oleh pemerintah kolonial sebelum yang bersangkutan mendapat gelar Adipati, tetapi bisa juga sebaliknya.31 Pemakaian gelar kebangsawanan dan gelar kehormatan harus diketahui dan mendapat izin dari pemerintah kolonial. Gelar kebangsawanan tidak bisa dipakai oleh pejabat pribumi yang bukan keturunan ningrat, kecuali jika mendapat izin dari pemerintah kolonial melalui akte khusus. Gelar kebangsawanan diwariskan kepada keturunan berikutnya, sedangkan gelar kehormatan hanya berlaku bagi pemakainya dan boleh dipakai oleh bupati yang bersangkutan hingga pensiun. 32 Jika bupati yang bersangkutan kehilangan jabatan karena melakukan tindakan kejahatan, maka gelar kehormatan tidak boleh dipakai lagi.
31
Sastrawinata mendapat gelar Aria lebih dahulu (22 Agustus 1921), sedangkan gelar Adipati diperoleh setelah mendapatkan gelar Aria (24 Agustus 1923). Lihat Conduitestaat van Raden Aria Adipati Sastrawinata Regent van Tjiamis over het Jaar 1915-1928. 32
Kusumadiningrat mendapat anugerah medali emas (20 April 1865) dan Bintang Leo atau Ridder in Orde van den Nederlandschen Leeuw (18 Pebruari 1878) dari pemerintah kolonial atas jasanya mendirikan tiga pabrik penggilingan kopi dan minyak kelapa untuk wilayah Priangan Timur, pembangunan jalan Kawali-Panjalu dan berbagai irigasi, pembukaan sawah, serta pendirian Sakola Sunda (Sekolah Kabupaten pertama di Priangan) di Ciamis dan Kawali. Lihat Volks Almanak Soenda 1921, hlm. 246.
Gelar kehormatan kadang diberikan sebagai upaya mengobati kekecewaan kaum menak akibat kekeliruan penerapan kebijakan pemerintah kolonial. Kaum menak mengalami pengurangan hak-hak istimewanya dan kehilangan sebagian besar sumber penghasilannya ketika Sistem Priangan dihapuskan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kemewahan, kemegahan, dan kekuasaan tradisional mereka telah dikurangi oleh pemerintah kolonial. Untuk mengobati kekecewaan sekaligus menghibur, maka pemerintah kolonial menganugerahkan gelar-gelar kehormatan dan berbagai tanda jasa kepada kaum menak. Rakyat pribumi biasanya menyebut bupati dengan sebutan Kangjeng Dalem, Gamparan Dalem, atau Pagusten. Sebutan Kangjeng juga diberikan kepada beberapa pejabat Belanda, misalnya Kangjeng Residen, Kangjeng Kontrolir, dan Kangjeng Gubernemen.33 Istri bupati yang memiliki gelar Raden Ayu atau Nyi Raden terkadang mendapat sebutan Raden Ayu Adipati. Sebutan yang umum untuk Raden Ayu Adipati adalah Kangjeng Dalem Istri atau Dalem Istri. Putra-putri bupati memiliki gelar kebangsawanan yang sama dengan orang tuanya, yaitu Raden untuk laki-laki dan Raden Ayu untuk perempuan. 34 Panggilan kepada putra bupati adalah Aom, sedangkan putri bupati biasa dipanggil dengan nama panggilan Juag lalu diikuti oleh nama masing-masing. Untuk menak laki-laki yang bukan bupati biasa disebut Juragan, sedangkan untuk menak perempuan disebut Juragan Istri. Putra kaum menak biasanya disebut agan, asep, aden, ujang, dan otang, sedangkan enden dan eneng untuk putri.
2. Tempat Tinggal dan Perabotan
33
Dalam korespondensi, bupati menyebut Gubernur Jenderal dengan sebutan Kangjeng Eyang, Residen dengan sebutan Kangjeng Rama, dan Asisiten Residen dengan sebutan Kangjeng Raka. 34
Putri bupati dari garwa padmi mendapat gelar Raden Ajeng, sedangkan putri bupati dari garwa alit bergelar Raden Rara.
Kebiasaan Mataram yang menjadikan kraton sebagai pusat kehidupan kebudayaan agaknya ditiru oleh kabupaten-kabupaten di Priangan. Dalem sebagai tempat tinggal bupati dijadikan sebagai pusat kehidupan kebudayaan, oleh karena itu padaleman disusun sebagai miniatur atau tiruan kraton. Bupati sebagai penguasa kabupaten tentunya memiliki tempat tinggal yang berbeda dengan tempat tinggal rakyat. Bentuk dan struktur bangunan tempat tinggal bupati disesuaikan dengan kedudukan dan kekuasaannya. Sesuai dengan posisinya yang berada di puncak hierarki sosial pribumi, maka tempat tinggal bupati merupakan bangunan yang paling megah dibandingkan tempat tinggal kelompok sosial lainnya. Gaya tempat tinggal bupati meniru keraton-keraton di Jawa, seperti keraton Yogyakarta dan Surakarta.35 Bentuk rumah tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, mewah dalam ragam hias, penataan halaman dan lingkungan sekeliling dengan rapi, kelengkapan perabot, dan sebagainya, dapat digunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. 36 Bentuk, bahan, ukuran, dekorasi, dan kelengkapan tempat tinggal bupati berbeda dengan tempat tinggal rakyat biasa. Tempat tinggal rakyat pada dasarnya relatif mengikuti pola dasar tempat tinggal menak. Pembedanya adalah luas area perumahan, bahan bangunan, kualitas dan kelengkapan perabotan, dan pembagian ruang-ruang. Tempat tinggal rakyat (cacah atau somah) adalah tipe rumah gunung yang dibangun di atas umpak dengan tinggi 40-60 cm. Umumnya memiliki serambi depan dan belakang yang terbuka. Serambi depan
35
Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hlm. 28. 36
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm. 56.
dibangun tidak di atas umpak, tetapi di atas tanah. Bubung atap serambi depan terpisah dari atap bangunan inti yang berbentuk limas. Bangunan inti tidak dibagi menjadi ruanganruangan, tetapi jika dibagi, maka ruang-ruangnya akan simetris kanan-kiri. Bagian dapur dibangun menempel di belakang bagian inti dengan lantai lebih rendah. Dapur berfungsi juga sebagai ruang berkumpul, terutama di pagi hari. Di sekitar tempat tinggal biasanya didirikan jamban (kamar mandi), lumbung, tempat nutu (menumbuk padi), kolam, kandang ternak, dan tajug kecil. Tempat tinggal bupati memiliki halaman depan dan belakang yang luas, taman yang indah, kolam ikan yang besar, air mancur, dan beranda depan dan belakang yang dilengkapi kursi-kursi atau risbang (rustbank) indah.37 Tempat tinggal bupati biasanya menyatu atau berada di dalam kompleks gedung kabupaten. Dalem sifatnya ekslusif, bahan-bahannya bermutu tinggi, perabotannya bagus dan mahal, berdinding tembok, beratap genting, berukuran besar, berhalaman luas, memiliki jumlah kamar yang banyak, dan dilengkapi dengan bangunan-bangunan tambahan untuk berbagai keperluan. Arsitektural dalem ada dua macam, yaitu arsitektural tradisional dan Eropa. Arsitektural tradisional dapat dikenali dari bahan bangunannya yang terbuat dari kayu, beratap ijuk, dan tiang-tiangnya dari kayu jati. Arsitektural Eropa dapat dikenali dari dindingnya yang terbuat dari tembok, beratap genting, pilar-pilar bergaya Eropa, dan berlantai ubin atau marmer. Hampir seluruh dalem di Priangan memiliki pola dasar yang
37
Setiap malam, Kusumasubrata berbaring di risbang yang ada di serambi belakang. Sambil memandang langit dan menikmati udara malam, ia memikirkan kembali pekerjaan yang telah dilakukan sepanjang hari dan mengevaluasinya untuk mengambil langkah yang akan dilakukan esok hari. Hal itu ia lakukan hampir setiap malam hingga jam dua dini hari. Lihat Babad Dipagah bait kedua belas dalam pupuh Dangdanggula.
menunjukkan ciri-ciri tradisional (meniru kraton Yogyakarta dan Surakarta), walaupun dalam beberapa bagian mengadopsi gaya Eropa. Gedung kabupaten adalah sebuah kompleks bangunan yang terdiri dari alun-alun, pendapa, dan bangunan inti yang disebut dalem. Alun-alun adalah halaman gedung kabupaten yang dipergunakan untuk berbagai keperluan umum, misalnya untuk rampogan.38 Alun-alun kabupaten di Priangan relatif lebih kecil dibandingkan dengan alun-alun kraton Jawa, biasanya berupa tanah lapang berbentuk persegi yang berumput dengan luas kira-kira 250-300 m2. Alun-alun Galuh berupa lapangan berumput yang berukuran kira-kira 200 m2, di tengahnya ditanami pohon beringin besar yang rindang. Sisi kiri dan kanan alun-alun diapit oleh jalan besar (membujur timur-barat), sepanjang pinggirannya ditanami pohon mahoni dan kenari. Gedung kabupaten berada di seberang selatan alun-alun, sedangkan di seberang utara adalah gedung-gedung perkantoran. Sebuah babancong berukuran panjang 20 m berdiri tegak di sisi utara alun-alun. Babancong adalah panggung terbuka yang berkolong dan memiliki undak-undakan (tangga) di bagian depannya. Salah satu fungsinya adalah untuk pertunjukkan kesenian yang dapat ditonton oleh rakyat. Gedung kabupaten yang dibangun oleh Kusumadiningrat merupakan gedung kabupaten yang termegah di Priangan pada masanya. Gedung itu hancur pada masa perang kemerdekaan, bekasnya dijadikan sebagai gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ciamis. Gedung kabupaten menghadap ke utara,39 sedangkan gedung-gedung
38
Rampogan adalah latihan perang-perangan para prajurit kabupaten yang dilakukan di alun-alun. 39
Halamannya ditanami pohon gebang, lame, dan haur. Ketiga pohon itu merupakan simbol dan motto pemimpin kabupaten Galuh yaitu aing, asih, luhur, budi, dan adil. Sepasang
perkantoran (di seberang utara alun-alun) menghadap ke selatan. Gedung-gedung perkantoran itu terdiri dari gedung Loji untuk kantor Asisten Residen, kantor Controlleur, kantor kawat (perhubungan), rumah bola (Societeit Galoeh),40 kantor polisi, dan rumahrumah pejabat Belanda.41 Masjid Agung kabupaten dibangun di sebelah barat alun-alun, sedangkan pasar berada di sebelah timur alun-alun. Dalem adalah bangunan termegah di seluruh kabupaten yang melambangkan kesempurnaan. Awalnya dibangun oleh bupati, tetapi sejak pertengahan abad 19 dirancang dan dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Sipil Umum). Kebanyakan dalem sejak akhir abad 19 lebih mirip rumah-rumah kaum Borjuis.42 Dalem sifatnya tertutup terutama bagi rakyat biasa, tidak sembarang orang bisa memasukinya. Hal itu bertujuan untuk menjaga kedudukan penghuni dalem tetap lestari, terutama menjaga kehormatan dan keagungan bupati sebagai pemiliknya. 43
pohon gebang dan lame, serta sekelompok haur ditanam di pojok timur dan barat halaman, sedangkan di tengah halaman ditanami pohon beringin yang samping di sisi kiri dan kanannya ditanami pohon kemuning. 40
Rumah bola digunakan untuk berbagai kegiatan, di antaranya adalah tempat pertemuan istri menak Galuh dan tempat pertunjukkan kesenian seperti pertunjukan ibing (tari). 41
Di kabupaten Galuh tidak ada perkampungan Eropa karena orang-orang Eropa yang tinggal di Galuh hanya sedikit, di antaranya Asisten Residen, jipro (sebutan untuk guru Belanda), dan kepala sekolah. 42
Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Terj.), (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 59. 43
Sebagai suatu komunitas, dalem menjalin hubungan dengan dunia luar. Hubungan dengan dunia luar semakin intensif setelah penghuni dalem mendapatkan pendidikan Barat. Semakin banyak anggota dalem yang mendapatkan pendidikan Barat, maka semakin luas interaksi dalem dengan dunia luar. Keterangan dari R. Tatty Nirwanti Igo Kusumasubrata, periksa juga Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1930-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 10.
Dalem dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian dalam. Bagian depan adalah pendapa yang disangga oleh sebuah sakaguru dan beberapa tiang penyangga lain.44 Sakaguru adalah simbol pusaka yang menjadi bagian penting dalam lambang kepangkatan bupati. Sakaguru memiliki nilai spiritual tinggi karena dianggap mengandung kekuatan yang berasal dari karuhun dan pendiri kabupaten.45 Biasanya di bawah sakaguru ditanam persembahan berupa kepala kerbau untuk karuhun yang akan melindungi keseimbangan dan keselarasan kabupaten dan seluruh isinya. Pendapa tiap-tiap kabupaten di Priangan ditutupi oleh atap yang bentuknya berbedabeda.46 Pendapa berfungsi sebagai tempat berbagai upacara, pesta atau hiburan, dan pertemuan (baik dengan pejabat belanda, pejabat kabupaten, kaum menak, bahkan dengan rakyat). Seperangkat gamelan Sunda yang menjadi kebanggaan bupati diletakan di salah satu sudut pendapa. Kelompok alat musik itu dimainkan oleh para nayaga untuk hiburan pada saat menerima tamu agung atau pada saat senggang. Seperangkat wayang golek ditempatkan pada paringgitan, yaitu serambi kecil di ujung belakang pendapa yang menempel pada bagian depan dalem. Selain gamelan dan wayang golek, di pendapa juga ditempatkan seperangkat meja dan kursi untuk duduk bupati dan tamu agung.
44
Biasanya sakaguru diambil dari pohon jati yang berumur tua, berukuran ideal, dan dianggap keramat. Umpak pada sakaguru berornamen lebih banyak dibandingkan umpak tiangtiang pendapa lainnya, sementara badannya dibiarkan bercat emas polos tanpa ornamen. 45
Karuhun Galuh berdiam di rawa Lakbok, mereka dikenal dengan sebutan Onom. Konon para Onom selalu menjaga, melindungi, menentramkan, dan menenangkan kehidupan rakyat Galuh. Tradisi mengundang Onom pada perhelatan-perhelatan kabupaten hingga kini masih berlangsung, karena Onom dianggap dapat membantu mensukseskan dan menjaga ketertiban perhelatan itu. 46
Tidak ada aturan khusus yang mengatur bagian atap pendapa. Bentuk atap pendapa tiaptiap kabupaten di Priangan tidak seragam, ada yang berbentuk limas bersusun (dua atau tiga), dan ada juga yang berbentuk julang ngapak.
Rumah tinggal bupati berada di belakang pendapa, dibagi menjadi bagian depan dan belakang. Kedua bagian itu dihubungkan oleh lorong luas yang terdiri dari beberapa ruangan khusus.47 Bagian depan adalah sebuah ruangan luas yang merupakan ruangan terpenting untuk keluarga bupati, terutama para istri dan putri bupati yang jarang diikutsertakan dalam upacara dan resepsi pemerintahan tertentu. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di ruangan tersebut. Ruangan itu dapat berfungsi sebagai tempat duduk pengantin putri sebelum acara pertemuan dengan keluarga pengantin laki-laki. Tepat di bagian ujung ruangan itu terdapat sebuah kamar atau bilik yang digunakan oleh bupati untuk bersemedi.48 Lorong luas yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan belakang berfungsi sebagai ruang duduk keluarga bupati. Di sisi kiri dan kanan lorong terdapat kamar-kamar khusus untuk keluarga bupati, termasuk kasepuhan (kamar untuk orang tua bupati). Ruang belakang atau pendapa pengker digunakan untuk ruang duduk khusus perempuan. Para putri dan keponakan perempuan bupati berkumpul di sebuah ruangan yang disebut kaputren,49 sedangkan para putra dan keponakan laki-laki bupati dipisahkan di ruangan lain.50 Sekelompok bangunan yang membentuk huruf U terdapat di bagian
47
Ruangan-ruangan khusus itu adalah ruang makan keluarga bupati, ruangan penyimpanan berbagai pusaka bupati, dan ruangan untuk ngaos (membaca Al Qur’an). 48
B.O.W menganggap bilik semedi tidak memiliki nilai praktis bahkan tak berguna sama sekali sehingga untuk bangunan dalem yang lebih modern tidak memiliki bilik itu. 49
Kaputren adalah bagian dalem khusus untuk kaum wanita. Para putri yang tinggal di kabupaten adalah para enden (putri menak), mereka bertugas membantu dalem istri mengurusi rumah tangga kabupaten. Mereka mempelajari adat istiadat kehidupan kabupaten sebagai bekal persiapan pernikahan mereka dengan para pejabat bawahan bupati atau kaum menak lainnya. 50
Para agan (putra menak) ngawula di kabupaten untuk dilatih karir kepegawaian.
ujung ruangan belakang, terdiri dari kamar-kamar untuk kerabat bupati dan para magang kabupaten. Dalem biasanya memiliki halaman luas yang ditanami pepohonan rimbun. Sebagian besar dilengkapi dengan empang, yaitu taman kolam besar untuk memelihara berbagai macam ikan, seperti ikan gurame dan ikan mas. Ikan-ikan itu dimaksudkan untuk konsumsi sehari-hari dan jamuan makan tamu bupati. Di bagian belakang taman terdapat beberapa ruangan untuk berbagai keperluan, misalnya dapur, gudang makanan, kamar pelayan, serta kandang kuda. Dalem biasanya berukuran luas karena dihuni oleh sejumlah besar orang yang berhubungan dengan bupati, baik keluarga, kerabat, magang, kawula, abdi, dan pelayan. Bupati bertanggung jawab menaungi, memberi makan, mengajarkan adat istiadat kabupaten kepada orang-orang yang tinggal di rumahnya. Sebagai imbalannya, mereka memberikan jasa mengurusi kehidupan bupati dan keluarganya. 51 Kusumadiningrat tinggal di dalem kabupaten yang lebih bergaya Eropa hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat kedatangan tamu agung. Ia lebih sering tinggal di dalem Selagangga yang lebih tradisional tetapi asri. Dalem Selagangga sengaja dibangun untuk menunjukkan jati diri Kusumadiningrat yang berakar pada budaya leluhurnya. Dalem Selagangga berbentuk rumah panggung berkolong setinggi 1 m dengan tiang penyangga dari kayu jati berdiameter 30 cm. Untuk mencapai bagian dalam harus melewati
51
Bupati adalah sakaguru keluarga kabupaten yang wajib menampung anggota keluarga besar di dalam rumah tangganya. Bupati akan menanggung aib jika ada anggota keluarganya yang terlantar. Bupati bertanggung jawab membiayai orang-orang yang tinggal di kabupaten, harus menyokong biaya hidup kerabatnya, membantu kaum miskin, menyumbang yayasan, dan membantu rakyat terutama ketika mendapat musibah. Jika hal itu dilakukan secara terus menerus, keuangan bupati akan terkuras, bahkan tak jarang membuatnya miskin.
beberapa undak-undakan (anak tangga). Atapnya terbuat dari ilalang dengan wuwung (bubung) dari ijuk. Dalem Selagangga memiliki halaman yang luasnya sekitar 2 hektar. Sisi timur dan barat dipagari dengan pringgadani (bambu kecil), sedangkan bagian depannya dipagari tembok setinggi 2,5 meter. Untuk masuk ke wilayah dalem Selagangga dari jalan besar di utara halaman (sepanjang pinggirannya ditanami pohon kenari) harus melalui jalan kecil (membujur utara-selatan) yang dilapisi dengan batu-batu kecil. Kedua sisi jalan itu ditanami bunga cempaka, mawar, dan kenanga. Tepat di tengah jalan terdapat air mancur yang ditadah dengan bak bundar. Kesederhanaan, keindahan, dan ketenangan dalem Selagangga menunjukkan cita rasa dan gaya hidup Kusumadiningrat.52 Sebelah utara halaman dalem Selagangga terdapat sebidang tanah yang luasnya sekitar 3 hektar, 2 hektar dari tanah itu adalah taman yang digunakan untuk dakwah Islam. Rakyat Galuh berkumpul di taman itu terutama pada malam purnama untuk mendengarkan dakwah dari bupati dan para ulama. Taman itu juga digunakan oleh bupati untuk berdialog dengan para pemuka agama yang diundang dari seluruh penjuru kabupaten Galuh. Kebiasaan itu dilakukan juga oleh Kusumasubrata, bahkan ia mengumpulkan para khatib dari penjuru kabupaten Galuh pada hari Kamis untuk membagikan naskah khutbah Jumat yang ditulisnya sendiri dalam huruf dan bahasa Arab. Sisa tanah yang luasnya sekitar 1 hektar digunakan untuk kompleks pemakaman keluarga bupati yang dibangun di atas tanah yang ditinggikan. Untuk mencapai bagian
52
Bubujeng (berburu) adalah salah satu bagian dari gaya hidup Kusumadiningrat. Ia sering berburu di hutan atau menangkap ikan di sungai beramai-ramai dengan rakyat tanpa canggung. Kegemaran berburu Kusumadiningrat menurun kepada para putranya, termasuk Kusumasubrata.
dalam kompleks pemakaman harus melewati beberapa anak tangga. Di tengah kompleks pemakaman terdapat sebuah bangunan terbuka berbentuk bundar yang ditinggikan. Sekelilingnya dibuat undak-undakan melingkar dan diberi pagar besi setinggi orang. Seluruh rangkanya terbuat dari kayu jati, atapnya lacip bertingkat dua menyerupai atap mesjid.53 Di sebelah timur kompleks pemakaman terdapat sebuah kolam besar untuk mengairi sawah di sebelah timurnya dan juga digunakan sebagai pemandian umum. Kusumasubrata juga lebih menyukai tinggal di rumah paniisan dari pada di dalem kabupaten. Rumah paniisan lebih sederhana dibandingkan dengan dalem kabupaten, tidak memiliki taman empang, dan sekelilingnya ditumbuhi berbagai pohon besar yang membuat udara di sekitarnya menjadi sejuk.54 Tidak jauh dari paniisan terdapat sanggar batik milik istri Kusumasubrata yang bernama R.Ay. Lasmita Kusumah. Sanggar batik itu khusus membuat batik dengan motif-motif ciamisan. Sikap Kusumadiningrat dan Kusumasubrata yang memilih tinggal di dalem tradisional mencerminkan bahwa tidak semua pengaruh Barat dapat diterima dan diterapkan dalam kehidupan bupati dan keluarganya. Meskipun bupati berperan sebagai
53
Kusumadiningrat dimakamkan di dalamnya. Di atas pintu masuk terdapat papan bertuliskan pupuh kinanti dalam huruf Sunda karya beliau: Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumadiningrat, Medali Mas Payung Kuning. Artinya Jamban takdir Maha Kuasa, airnya obat untuk penyakit, amal sedekahku, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumadiningrat, Medali Mas Payung Kuning. 54
Paniisan terletak di daerah Sukasirna, jauh dari keramaian, tetapi dekat dengan dalem kabupaten. Kompleks rumah paniisan itu sekarang menjadi kompleks pemakaman keluarga Kusumasubrata.
inovator atau agent of change, tetapi tidak dengan serta merta mereka menerima nilai-nilai baru dari luar.55 Terkadang bupati menolak nilai baru yang tidak sesuai dengan tradisi kabupaten, contohnya peniadaan ruangan khusus untuk kaum wanita. Bupati juga menolak B.O.W yang membangun dalem tanpa memisahkan ruang khusus untuk bupati dan keluarganya, karena ruangan itu merupakan inti dalem yang bersifat paling pribadi. Bupati bertindak adaptif inovatif terutama dalam menerima tawaran menggunakan bahan bangunan yang lebih tahan lama. Nilai-nilai Barat yang diadopsi ke dalam kehidupan kabupaten tidak lantas merubah gaya hidup yang akhirnya membentuk suatu identitas baru pada individuindividu kabupaten.56 Secara umum tempat tinggal kaum menak mengikuti pola dalem. Rumah Hoofddjaksa yang berdekatan dengan rumah Schoolopziener adalah rumah tembok, beratap genting, dan memiliki jendela-jendela yang besar. Rumah itu memiliki sejumlah kamar untuk menampung keluarga, kerabat, pekerja, dan pelayan. Ruang duduknya relatif luas, dihiasi beberapa ornamen, jam dinding, dan sebuah lampu gantung. Tempat duduknya
55
Persentuhan budaya lokal dengan budaya luar dapat mengubah tujuan dan orientasi seseorang atau kelompok terhadap masa depan. Meskipun mengadopsi budaya Barat dalam beberapa hal, tetapi bupati dan keluarganya tetap menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi lama. 56 Suasana dan semangat kejayaan masa lalu masih berkobar dalam kehidupan bupati. Terkadang bupati menolak nilai-nilai Barat yang dirasa akan membawa ke arah kehancurkan tradisionalisme. Nilai-nilai Barat terkadang dianggap sebagai malapetaka dan bahaya bagi kehidupan tradisional kabupaten. Pengaruh Barat tidak mengkondisikan penghuni kabupaten kehilangan identitas diri sebagai pengemban tradisi. Bupati dan keluarganya terbuka terhadap nilai Barat, dalam beberapa hal dengan cepat mengadopsinya, tetapi tidak lantas meninggalkan akar budaya tradisional yang telah menjadi bagian kehidupannya. Kondisi seperti tidak memunculkan suatu kultur hibrida, yaitu kultur yang terbentuk dari beberapa elemen yang hidup dalam kabupaten. Berbeda dengan Hongkong, masyarakat Hongkong dengan cepat mengadaptasi kultur Barat tanpa meninggalkan tradisi Cina. Kondisi itu memunculkan kultur hibrida dalam masyarakat Hongkong yang dapat dilihat dalam perilaku ekonomi, sosial, makanan, dan mode. Lihat “Hongkong Menunggu Kembalinya Sang Naga” dalam Kompas, Minggu, 10 April 2005, hlm. 13.
menyerupai babancong yang tingginya sekitar 30 cm, ditutupi permadani yang berumbairumbai, sehingga menutupi kolong tempat duduk. Rumah itu memiliki taman belakang yang cukup luas dan kolam untuk memelihara berbagai macam ikan. Beberapa bangunan tambahan didirikan membentuk huruf U di belakang taman. Bangunan itu berfungsi sebagai gudang, dapur, dan kamar para pekerja, termasuk juru tulis dan keluarganya, opas, dan pelayan. Sementara itu rumah seorang mantri guru, meskipun relatif kecil tetapi mampu menampung sejumlah kerabatnya yang disekolahkan di Volkschool atau Meisjes school. Kemewahan dan kemegahan dalem serta perabotannya tergantung kepada derajat dan kekayaan bupati sebagai pemiliknya. Semakin tinggi kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan bupati, maka semakin tinggi kualitas perabotan rumah tangga yang dimilikinya. Meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan furnitur lainnya terbuat dari kayu jati berkualitas terbaik yang diukir oleh ahlinya. Barang-barang seperti piranti makan (piring, sendok, garpu, bahkan tusuk sate), berbagai bokor, lampu hias, tempat, pot bunga, dan tampolong atau pakecohan milik bupati adalah yang terbaik.57 Kadang-kadang bupati juga memiliki gelas untuk anggur dan perabotan kristal yang di impor dari Eropa, biasanya dipakai pada jamuan makan istimewa atau Idul Fitri. Gamelan Sunda adalah seperangkat alat musik yang menjadi kebanggan bupati, oleh karena itu selalu ada di setiap dalem. Kelompok alat musik itu adalah pusaka kabupaten yang menjadi lambang status bupati. Beberapa bupati memiliki alat musik piano, biasanya dimainkan oleh para putri bupati setelah kursus dari orang Belanda. Bupati-bupati yang
57
ahlinya.
Terbuat dari perak, kuningan, atau tembaga yang dipesan secara khusus oleh bupati dari
kaya biasanya memiliki berbagai perabotan bergaya Eropa yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan tetapi menjadi lambang status baru yang dapat menaikan status dan pamornya. Perabotan rumah tangga kaum menak mengikuti pola perabotan bupati, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan masing-masing. Kendaraan sebagian besar bupati Priangan adalah kuda tunggang dan bendi (kereta kuda) yang ditarik oleh dua ekor kuda atau lebih. Sebuah payung kecil lambang bupati dipasang di bagian belakang bendi. Memasuki abad 20, beberapa bupati Priangan mulai memiliki mobil yang menjadi lambang status baru bagi bupati. Seperti pada bendi, sebuah payung kuning kecil lambang bupati dipasang di bagian kap mobil.58
3. Pakaian dan Perlengkapannya Kebiasaan dalam berpakaian adalah perwujudan status dan peran sosial seseorang atau kelompok, oleh karena itu pakaian berfungsi sebagai simbol kelas dan status. Bupati memiliki aturan dan papaes khusus dalam hal gaya berpakaian yang sangat berbeda dengan rakyat.59 Sumber-sumber tradisional tidak banyak memberikan keterangan mengenai pakaian bupati, tetapi yang pasti pakaiannya berbeda dengan pakaian rakyat biasa. Pakaian bupati dan keluarganya terbuat dari bahan berkualitas terbaik, sehingga memancarkan kemegahan dan menambah aura keagungan. Pakaian tradisional bupati warisan Mataram terdiri sinjang gincu yang dikuatkan dengan sabuk jamblang dan baju senting ketat dari kain madras atau poleng (lurik). 58
59
R.T.A. Sunarya adalah bupati Galuh pertama yang memiliki mobil.
Papaes erat kaitannya dengan masalah tata krama, oleh karena itu harus disesuaikan dengan derajat sosial pemakainya. Pada dasarnya papaes bupati mengikuti pola yang sudah berlaku secara turun-temurun.
Penutup kepalanya adalah iket Sunda dari batik sawunggaling hitam (kadang sogan gunawijaya dan gambir saketi coklat, atau modang merah dengan dasar kuning). 60 Pelengkapnya adalah keris yang diselipkan di pinggang kiri dan sapu tangan kain benggala yang dihiasai dengan rantai permata. Alas kaki atau gamparannya adalah selop atau sandal yang alasnya dari kayu dan pasaknya dari tanduk. Jenis pakaian bupati lainnya terdiri dari bedahan hitam polos tanpa sulaman emas dengan kerah tertutup dan sinjang batik, pelengkapnya adalah selop lentik dan keris. Sebuah rantai emas untuk menggantung medali dikalungkan di leher, sedangkan ujungnya dimasukan ke saku bedahan. Jenis pakaian bupati lainnya terdiri dari celana panjang dan bedahan beludru atau sutra hitam atau biru gelap pas badan dengan 7 atau 9 buah kancing keemasan yang berderet hingga leher. Kemeja putih tidak berlengan yang berkancing keemasan tetapi ukurannya lebih kecil, dipakai di dalam bedahan. Pelengkapnya adalah iket, kuluk, dan selop atau sepatu hitam yang mengkilap. Sepatu boot gaya Eropa dipakai sebagai pengganti selop ketika tournee atau melakukan perjalan. Celana panjang dipakai oleh bupati setelah diperintahkan oleh pemerintah kolonial melalui peraturan khusus. Celana panjang biasanya dipadukan dengan jas pendek yang berkerah berdiri dan berkancing keemasan 7 buah yang berderet hingga leher. Sinjang batik selutut yang dirimpel bagian depannya dililitkan di luar celana. Sinjang dikuatkan dengan beubeur (setagen) yang berfungsi untuk menyelipkan keris emas. Pelengkapnya adalah selop kulit hitam atau sepatu hitam untuk alas kaki dan iket Sunda untuk penutup kepala.
60
Iket adalah kain persegi berukuran 50 x 50 cm atau lebih, harus dilipat diagonal terlebih dahulu hingga berbentuk segi tiga, baru dililitkan di kepala.
Selempang disampirkan di dada untuk menyelipkan rantai medali atau menyematkan berbagai tanda jasa61. Rambut bupati biasanya digelung lalu dikencangkan dengan sisir kecil dari kulit penyu. Jika menghadap atasan, bupati menggerai rambutnya untuk menunjukkan kesopanan. Setelah kekuasaan Mataram berakhir, bupati memotong pendek rambutnya. Rambut para putra bupati biasanya pendek, setelah remaja baru dibiarkan panjang. Rambut panjang para putra bupati tidak pernah dijumpai setelah zaman kolonial. Dalem istri menggelung rambutnya lalu dikuatkan dengan tusuk konde berhias permata atau bunga. Anak rambut di sekeliling wajah disisir rapi. Rambut para putri bupati dibiarkan tergerai, jika sudah dewasa maka rambutnya digelung seperti ibunya. Gaya rambut para wanita umumnya relatif sama sejak zaman Mataram hingga zaman kolonial. Para wanita meminyaki rambut dengan minyak bunga kenanga atau jeruk, kayu cendana dan gandapura, atau gaharu.62 Mereka mengusapkan ramuan lisah yang harum pada tangan dan kaki.63 Kebiasaan itu sama dengan kebiasaan wanita zaman sekarang, yaitu mengusapkan hand body lotion ke tubuhnya. Selain lisah, wanita memakai pupur
61
Pemakaian tanda jasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tata cara berpakaian. Tanda jasa disematkan di dada kiri dengan seutas pita. Jika pemiliknya melewati serdadu penjaga, ia layak mendapat penghormatan senjata dari serdadu itu. Jika dihukum kurungan, tanda jasa tidak boleh dipakai selama masa kurungan. Jika dihukuman pidana mati, tanda jasa harus dikembalikan kepada pemerintah kolonial. Jika pemiliknya meninggal, tanda jasa tidak perlu dikembalikan kepada pemerintah kolonial. Lihat Bijblad 4158 dan Staatsblaad tahun 1886 no. 219. 62
Minyak dari getah gaharu dikenal dengan sebutan lisah barokah. Tidak ada keterangan mengenai makna dibalik nama itu, kemungkinan besar karena harumnya dianggap akan memberikan berkah bagi pemakainya. 63
Lisah dipakai untuk melembabkan dan melembutkan kulit, dibuat dari buah kelapa tunggal yang menghadap ke barat. Keterangan mengenai hal ini diuraikan oleh R. Tatty Nirwanti Igo Kusumasubrata pada upacara Jamas Pusaka Kusumadiningrat yang dilaksanakan hari Minggu, 08 Mei 2005.
(bedak) kuning yang disebut boreh. Minyak rambut dan boreh juga dipakai oleh lelaki, tetapi tidak sebanyak yang dipakai wanita. Kosmetik itu biasanya ditaruh dalam wadah porselen putih yang disusun dalam kotak kosmetik. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan khusus berpakaian yang bertujuan menyeragamkan pakaian pejabat dan bangsawan pribumi. Peraturan tentang pakaian dinas dan pakaian pelantikan, pertemuan dengan pejabat Belanda, serta acara yang berkaitan dengan dinas dituangkan dalam Staatsblad No. 9/02 April 1870.64 Peraturan itu diperbaharui dengan peraturan baru yang dikeluarkan tanggal 13 Pebruari 1932, berlaku bagi seluruh bupati Jawa dan Madura termasuk Priangan. Menurut peraturan itu, pakaian dinas bupati terdiri dari pakaian kebesaran (groot kostuum), pakaian putih (wit kostuum), dan pakaian perjalanan (reis kostuum).65 Pakaian kebesaran terdiri dari jas dan celana berwarna hitam atau biru kehitaman (indigo). Jas (dilapisi kain laken berwarna sama) berkerah berdiri, bersulam emas pada pinggirnya (tepi bawah baju, bukaan depan, kerah, dan lipatan ujung lengan), dan 7 buah kancing keemasan berinisial huruf W. Pakaian kebesaran dilengkapi dengan kuluk berwarna sama dengan pakaian,66 kain selutut (dirimpel dan dilipat, motifnya disesuaikan
64
Ditetapkan pada Mei 1870 bagi seluruh bupati Jawa dan Madura, kecuali bupati Priangan. Tetapi para bupati Priangan tampaknya sudah memakai pakaian seperti yang diatur dalam peraturan itu. 65
R.A.A.A Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie, (Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm.
194-195. 66
Kuluk harus dilengkapi dengan kain penutup kepala (iket atau destar).
dengan motif setempat) yang dikuatkan dengan sabuk untuk menyelipkan keris di pinggang kiri, kaos kaki hitam, dan sepatu hitam yang mengkilat. 67 Pakaian putih hampir sama modelnya dengan pakaian kebesaran hanya saja berwarna putih dan tidak dilengkapi kain. Pelengkapnya adalah topi bundar berwarna putih, iket di bawah topi, dan sepatu hitam. Pakaian perjalanan hampir sama dengan pakaian putih tetapi berwarna khaki, kelabu, abu kehijauan, atau warna yang mendekatinya. Kancingnya berinisial huruf W (7 buah) terbuat dari logam bersepuh tembaga. Cara berpakaian Kusumadiningrat agaknya menjadi contoh bagi para bupati Priangan. Pakaian kebesaran yang dipakainya sesuai dengan aturan Staatsblad 1870, yaitu bedahan beludru hitam dengan sulaman emas di seluruh pinggirannya, berlengan panjang, berkerah berdiri, dan dilengkapi 7 buah kancing emas. Tanda jasa disematkan di dada kiri, rantai emas untuk menggantung medali dikalungkan di leher, dan keris bersepuh emas diselipkan di pinggang kiri dengan posisi menyamping. Baju dalamnya berwarna putih dengan model yang sama dengan bedahan tetapi hanya kelihatan lehernya saja. Pakaian bawahnya adalah sinjang batik rereng yang berwarna dasar putih dengan motif berwarna sogan (coklat atau kehitaman).68 Ia memakai kaos kaki putih, sedangkan alas kakinya
67
Pakaian keprajuritan adalah bagian dari pakaian kebesaran, terdiri dari atasan berupa jas bedahan beludru hitam tanpa kancing yang bersulam emas dan kemeja dalam putih dengan kerah berdiri dan 9 buah kancing emas. Bawahannya adalah celana panjang hitam dan sinjang rereng selutut yang dilamban. Pelengkapnya adalah keris emas di pinggang kiri dan sepatu hitam mengkilap. 68 Motif sinjang bupati adalah kawung dan rereng (atau lereng). Motif kawung terdiri dari kawung besar dan kawung ece, sedangkan motif rereng (atau lereng) yaitu udan liris, barong, parang rusak sedang, parang teja, parang kembang, parang kusuma, parang centung, dan curiga. Motif-motif tersebut tidak boleh dipakai oleh kaum menak (baik menak luhur atau menak alit) ataupun rakyat biasa karena hanya bupati saja yang berhak memakainya.
adalah selop lentik (selop Turki atau Arab). Penutup kepalanya adalah iket Sunda dari kain batik berdasar putih dengan motif berwarna sogan. Pakaian kebesaran Kusumadiningrat lainnya terdiri dari atasan dan bawahan. Atasannya adalah bedahan beludru hitam bersulam emas bentuk garis di sepanjang tepinya (tepi lengan dan tepi bawah, bagian leher bersulam emas motif ranting bunga seperti baju kebesaran). Bedahannya berkancing emas 7 buah dan berkerah berdiri. Tanda jasa digantung dengan seutas pita, disematkan di dada kiri.69 Kemeja sutra putih dengan model bedahan di pakai di dalam bedahan. Kemejanya berkerah berdiri, panjangnya melebihi kerah bedahan, sehingga kelihatan dari luar. Bawahannya adalah sinjang berwarna dasar putih dengan motif berwarna sogan. Pelengkapnya adalah rantai emas untuk menggantungkan medali (atau jam) yang dikalungkan di leher, ujungnya diselipkan di saku kiri (tepat di bawah tempat menyematkan tanda jasa). Sapu tangan sutra putih diselipkan di saku bagian kanan bawah bedahan. Pada (bagian kiri) sabuk yang dipakai di dalam bedahan untuk menguatkan sinjang, diselipkan keris emas yang akan terlihat dari luar ketika duduk karena bedahannya menyingkap. Tutup kepalanya adalah iket batik yang bermotif sama dengan sinjang. Selopnya adalah selop lentik berwarna hitam yang bersulam emas dan dihiasi manik-manik. Kusumadiningrat memakai pakaian khusus dalam setiap kegiatan keagamaan, seperti shalat Jumat, perayaan hari besar keagamaan, dakwah keagamaan, dan berdiskusi dengan para pemuka agama. Pakaiannya dikenal dengan nama jubah gamis, berukuran besar, panjangnya hampir semata kaki, terbuat dari sutra tenun berwarna merah anggur
69
Kemungkinan besar pita kecil itu berwarna merah, putih, dan biru yang menyerupai bendera Belanda.
dengan prada atau sulaman emas. Bagian dalamnya dilapisi dengan kain katun berwarna khaki. Kemungkinan besar ketika memakai baju itu, penutup kepala yang dipakainya adalah sorban yang dililitkan menyerupai bendo.70 Ada beberapa iket yang dipakai oleh Kusumadiningrat, terutama pada kesempatankesempatan resmi. Iket yang paling disenangi dan paling sering dipakai pada upacaraupacara resmi adalah iket sutra berwarna sogan. Selain iket sutra berwarna sogan, Kusumadiningrat memiliki beberapa iket yang berwarna biru dari kain mori atau katun yang bermotif batik. Selain motif sidomukti, iket-iket itu kebanyakan bermotif udan liris dan ciamisan. Motif ciamisan adalah motif batik yang digambar sendiri oleh Kusumadiningrat, kemudian dibuat oleh pegawai batik kabupaten. Ikat kepala bupati Priangan menjadi pembeda utama dalam pakaian kebesaran bupati Jawa. Bupati Priangan memakai penutup kepala khas Sunda yang disebut iket, sedangkan bupati Jawa memakai penutup kepala yang disebut kuluk. Bupati Priangan memakai kuluk (bahkan berpakaian ala bupati Jawa) hanya pada saat-saat tertentu,71 terutama ketika menghadap pejabat Belanda. Pakaian ala bupati Jawa itulah yang dikenal dengan sebutan kostum Jajawaan. Kostum Jajawaan terdiri dari sikepan72 dengan jumlah
70
Sorban adalah kain panjang seperti selendang untuk laki-laki (Muslim), baik disampirkan di pundak ataupun dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. 71
Bupati Priangan memakai kuluk hanya pada saat bertemu dengan pejabat tinggi Belanda. Sehari-hari tetap memakai iket. Pada perkembangannya iket siap pakai yang disebut bendo (blangkon). Ada tiga macam kuluk, yaitu mathak, bercen, dan kanigara. Kuluk mathak biru indigo dipakai oleh bupati bergelar Pangeran hingga Adipati. Kuluk bercen dipakai oleh bupati kecil dan pejabat bawahan, sedangkan kuluk kanigara dipakai oleh semua pejabat kabupaten pada peristiwaperistiwa besar sebagai pengganti kuluk mathak. 72
Sikepan adalah baju model jas dari laken hitam atau biru dengan kancing emas, perak, atau tembaga berlambang huruf W. Tepi bawah, leher, lengan bawah, dan bagian kancing sikepan ageng dihiasi dengan sulaman benang emas atau perak. Motif dan jenis benang sulaman pada sikepan ageng disesuaikan dengan gelar kebangsawanan. Sikepan ageng hanya dipakai pada acara
kancing 7, 9, 11, atau 13,73 kemeja dalam putih bermodel sikepan, kain panjang tingginya 1 atau 2 dim dari mata kaki yang diikat sabuk,74 keris di pinggang kiri yang diselipkan pada sabuk sutra,75 selop76, celana panjang selutut, blangkon, dan mantel.77 Pemakaian pakaian kebesaran pada dasarnya merepotkan bupati, apalagi jika dalam sehari harus berganti hingga beberapa kali. Bila tidak dalam keadaan dinas, bupati lebih senang memakai pakaian biasa yang sederhana, biasanya berwarna putih atau hitam. Kusumadiningrat dan Kusumasubrata adalah bupati-bupati yang menyukai kesederhanaan. Meskipun keduanya sama-sama progresif dan terbuka terhadap nilai-nilai Barat, mereka tetap mencintai kesederhanaan dan menghargai nilai-nilai tradisi leluhurnya, termasuk dalam hal berpakaian. Pakaian sehari-hari Kusumasubrata terdiri dari bedahan beludru hitam berkerah tutup-berdiri, tanpa sulaman emas, dengan 9 buah kancing emas. Kemeja dalamnya berwarna putih, berkerah berdiri, dengan 9 buah kancing emas yang ukurannya lebih kecil dari kancing bedahan. Penutup kepalanya adalah iket Sunda bermotif rereng berwarna dasar putih. Jika dibandingkan dengan kebanyakan pakaian bupati
besar seperti menghadap gubernur jenderal dan pelantikan bupati. Untuk acara dinas sehari-hari hanya memakai sikepan alit (sikepan kecil) tanpa sulaman. 73
Jumlah kancing bedahan Sunda yang terbanyak adalah 9 buah, biasanya terbuat dari emas (atau bersepuh emas). 74
Ada tiga sabuk yang dipakai oleh bupati, sabuk yang paling dalam adalah sabuk kasar (setagen), lalu sabuk sutra, dan yang paling luar adalah sabuk hiasan yang disebut epek atau kamus. 75
Keris harus selalu dipakai ketika menghadap kepada pejabat Belanda sebagai tanda
hormat. 76
Selop yang dipakai bupati berpangkat Adipati adalah selop lentik (selop Turki atau Arab). Menak alit dan wedana ke bawah tidak boleh memakai selop, mereka hanya diperbolehkan memakai tarumpah. 77
Jika menghadap pejabat Belanda, mantel harus dibuka untuk menunjukkan kesopanan.
lainnya, pakaiannya jauh lebih sederhana, sehingga menunjukkan bahwa Kusumasubrata adalah pribadi yang sederhana.78 Tidak ada peraturan khusus yang mengatur pakaian dalem istri karena pakaiannya menyesuaikan dengan pakaian suaminya. Pakaian resmi dalem istri terdiri dari kebaya beludru hitam yang pinggirannya bersulam emas dan sinjang batik yang ujungnya dilepe atau dilamban. Dalem istri biasanya memakai berbagai perhiasan, mulai dari kalung tumpuk, peniti susun, bros emas permata renteng, dan sejumlah gelang dan cincin yang terkadang memenuhi seluruh jarinya. 79 Alas kakinya adalah selop beludru hitam dengan sulaman emas dan hiasan manik-manik, kadang sepatu hitam (tidak jelas modelnya). Untuk kesempatan resmi, seperti mendampingi suami menghadap pejabat Belanda, dalem istri biasanya memakai kaos kaki putih.
78
Dalam berbagai hal, Kusumasubrata selalu menunjukkan kesederhanaannya. Ia sangat menyukai berkeliling ke daerah tanpa disertai oleh para pengawal dan pengiringnya. Setiap berkeliling ke daerah, ia berpakaian dan bersikap layaknya rakyat biasa. Tanpa segan atau canggung, Kusumasubrata mengobrol dengan rakyat, minum kopi bersama para petani di warung kecil pinggir jalan, dan melakukan shalat bersama di tajug (mushala) desa. Rakyat yang bergaul dengannya tidak menyadari bahwa yang ada di hadapan mereka adalah seorang dalem. Selain sederhana, Kusumasubrata adalah sosok yang rendah hati, seperti yang ditunjukkan ketika ia bersekolah di Bandung. Ia tidak segan-segan mencangkul tanah di tengah hari dengan sahabatnya yang bernama R. Kusumaningrat. Setelah selesai mencangkul, mereka berdua jajan di warung kecil, membeli dua potong ubi goreng dan dua gelas air putih. Makanan seperti itu merupakan makanan khas rakyat biasa, tetapi kedua menak itu sangat menyukainya. Kusumasubrata berpendapat bahwa pangkat yang tinggi, hidup yang mewah, angur, sampanye (champagne), dan roti bukanlah jaminan kenikmatan. Kenikmatan, kepuasan, dan ketenangan bathin datangnya bukan dari piring Belanda, melainkan dari kesederhanaan dan kerendahan hati. 79
Perhiasan dalem istri dibeli dari pedagang Cina keliling. Beberapa dalem istri berlomba menumpuk berbagai perhiasan, karena semakin banyak dan bagus perhiasan yang dimilikinya dianggap akan mempertinggi gengsi statusnya.
Pakaian dalem istri yang lebih sederhana terdiri dari kebaya sutra, satin, atau paris (baik polos maupun bermotif)80 dan sinjang batik bermotif rereng.81 Sinjang diikat dengan beubeur panjang (kira-kira 4-5 m yang lebarnya 10-15 cm).82 Dalem istri menyisir rambutnya ke belakang kemudian lalu disanggul dan dikuatkan dengan tusuk konde emas permata atau hiasan bunga-bungaan. Model rambut dalem istri hampir selalu sama dalam setiap kesempatan, bahkan ketika memakai gaun Eropa sekalipun. Gaun Eropa mulai dikenal dalam gaya berpakaian dalem istri pada awal abad 20, berupa gaun model rok dan blus yang dilengkapi topi, syal, dan sepatu hitam. Kebanyakan dalem istri enggan memakai gaun Eropa, tetapi mereka terpaksa menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian suaminya. 83 Pakaian kebesaran dalem istri Kusumasubrata yang bernama Lasmita Kusuma terdiri dari kebaya beludru hitam bersulam emas di sekeliling pinggirannya dan sinjang batik bermotif rereng. Sinjang dikuatkan dengan benten berkepala emas seberat 150 gram. Talinya adalah tali roma berwarna kehitaman sebesar telunjuk.84 Ia tidak memakai banyak
80
Perempuan pribumi memakai kebaya dari kain berwarna, sedangkan perempuan Indis memakai kebaya putih berenda. Perempuan pribumi yang memakai kebaya putih terbatas pada kalangan menak saja. Kain putih umumnya bermutu baik dan harganya mahal, hanya kaum kaya saja yang memakainnya. Kebaya putih berenda menjadi lambang status bagi kaum menak perempuan. 81
Ujungnya tidak dilepe atau dilamban seperti ketika memakai kebaya beludru. Lepe atau lamban adalah salah satu pengaruh budaya Mataram. 82
Nina Herlina Lubis, op.cit, hlm.186.
83
Meski setengah hati, penghuni kabupaten menyesuaikan dengan etiket Barat yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Memasuki abad 20, etiket Barat (termasuk penguasaan terhadap bahasa Belanda) menjadi lambang status baru yang dapat menaikan pamor kaum menak, sehingga membedakan mereka dari kelompok sosial lainnya. 84
Benten adalah lambang kewibawaan wanita yang dapat menebarkan asihan kepada setiap orang, sehingga tidak boleh dilihat oleh laki-laki.
perhiasan seperti umumnya dalem istri, hanya giwang berlian, kalung berlian, dua buah gelang lilit, dan cincin berlian.85 Rambutnya disisir rapi ke belakang, ujungnya disanggul dan dihiasi sebuah tusuk konde emas. Putri Lasmita Kusuma yang bernama R.Ay. Gutiah Lenggangkancana 86 memakai kebaya beludru hitam dengan sulaman emas di sekeliling pinggirannya87 dan sinjang bermotif rereng. Alas kakinya adalah selop beludru hitam bersulam emas dengan hiasan manik-manik. Rambutnya disisir rapi ke belakang, tetapi dengan gelung sedikit berbeda dengan gelung yang umum. Gelung berada di tengah kepala bagian atas, sehingga puncaknya yang berjumlah dua terlihat dari depan. Perhiasan yang dipakainya adalah sebuah kalung berlian, peniti emas bersusun tiga, giwang berlian, sejumlah cincin, dan dua buah gelang lilit yang dipakai di tangan kiri dan kanan. Pakaian pengantin putra-putri bupati tidak melulu bergaya tradisional, terkadang dipadukan dengan gaya Barat. Pengantin wanita memakai kebaya putih brokat dan sinjang rereng. Rambutnya disanggul, dihiasi dengan kembang goyang, ditambah dengan kerudung renda putih ala Eropa (sluier).88 Perhiasannya adalah kalung berliontin tunggal, giwang, gelang, cincin, dan bros susun. Pengantin pria berjas pendek hitam dengan kerah rebah, kemeja takwa putih dengan kerah berdiri dan berkancing emas. Bawahannya adalah
85
Terkadang ada juga dalem istri yang memakai perhiasan secara berlebihan yang bahkan dapat menyulitkan untuk bergerak. 86
Istri pertama bupati Serang yang bernama P.A. Ahmad Jayadiningrat. Ia meninggal pada usia 25 tahun setelah melahirkan dua orang anak. 87
Berbeda dari kebanyakan kebaya resmi dalem istri, sulaman kebaya Gutiah Lenggangkancana sangat sederhana dengan ukuran relatif kecil berupa engkol yang saling berhadapan. 88
Pengantin wanita Galuh jarang memakai siger atau karsuhun (mahkota) wayang wong seperti di kabupaten Bandung dan Sumedang.
sinjang rereng yang motifnya sama dengan pengantin wanita. Sekuntum bungan anggrek disematkan di dada kirinya sebagai pemanis, sedangkan kepalanya ditutupi bendo Sunda. Pakaian pengantin pria tradisional adalah pakaian wayang wong, terdiri dari sinjang kebat atau sinjang aer emas yang dikuatkan dengan benten emas atau perak. Karembong (selendang) adalah pelengkapnya, bahan dan motifnya sama dengan sinjang, diselipkan pada benten hingga berjumbai di bagian kiri dan kanan. Pengantin pria dalam busana tradisional tidak memakai atasan, dadanya dibiarkan terbuka, hanya ditutupi dengan kalung keemasan besar-lebar yang hampir menyentuh benten. Kedua lengannya memakai kilat bahu dan gelang, jari-jarinya dihiasai dengan sejumlah cincin. Kepalanya ditutupi dengan karsuhun yang menyerupai mahkota wayang wong, sedangkan alas kakinya selop beludru hitam yang dihiasi mute dan sulaman benang emas. Pakaian putra-putri bupati tidak diatur dengan peraturan khusus, kecuali untuk para putra dan calon pengganti bupati. Pakaian putra bupati terdiri dari dua buah kemeja, kemeja luar berbentuk jas (model bedahan) hitam atau putih, sedangkan kemeja dalamnya (tanpa lengan) berwarna putih. Bawahannya adalah sinjang batik berwarna sogan. Untuk kesempatan resmi, ditambahkan dengan dasi kupu-kupu hitam, sedangkan alas kakinya selop atau sepatu kulit hitam. Para putra Kusumasubrata sudah tidak asing dengan pakaian model Eropa. Anak laki-laki yang masih kecil memakai pakaian model kelasai berwarna putih dengan kerah rebah yang melebar di bagian belakang, kadang-kadang dilengkapi dengan dasi kupu-kupu atau dasi kelasi sepanjang satu jengkal. Alas kakinya adalah sepatu atau boot hitam yang dilengkapi kaos kaki hitam selutut. Anak laki-laki yang lebih besar memakai jas dan celana panjang putih atau hitam. Kemeja dalamnya dari katun putih yang dilengkapi dengan dasi
hitam. Alas kakinya adalah sepatu kulit hitam yang mengkilat. Untuk pakaian sehari-hari adalah baju koko dan sarung batik, pelengkapnya iket dan selop hitam. Tidak ada aturan khusus mengenai pakaian para putri bupati, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah kolonial tidak begitu memperhatikan kaum wanita. Pakaian sehari-hari mereka adalah pakaian tradisional, yaitu kebaya dan sarung atau sinjang batik. Rambutnya disisir ke belakang kemudian digelungkan. Untuk anak-anak perempuan yang masih kecil, rambut boleh digerai. Para putri bupati memakai pakaian seperti anak-anak Eropa untuk kesempatan bersekolah. Baju model Eropa para putri bupati berupa rok blouse berwarna putih berhias pita satin di bagian dada atau perut. Putri-putri Kusumasubrata terbiasa memakai pakaian model Eropa, terutama ketika masih anak-anak. Para gadis biasanya memakai kebaya putih berenda dan sarung batik. Anak-anak perempuan memakai sepatu hitam dan kaos kaki hitam selutut ketika memakai pakaian model Eropa. Rambut mereka biasanya digerai dengan hiasan bando pita satin. Pemerintah kolonial juga menetapkan peraturan khusus mengenai perlengkapan yang menyertai pakaian, dituangkan dalam Staatsblad 1820 No. 22 yang diperbaharui dengan Staatsblad 1884 N0. 13. Jenis songsong dan jumlah pengiring adalah dua hal yang diatur dalam peraturan itu. Jumlah pengiring pejabat pribumi ditentukan oleh jabatan yang disandangnya.89 Semakin rendah jabatan maka semakin sedikit jumlah dan jenis perlengkapan yang diperolehnya. Perlengkapan yang diatur pemakaiannya oleh pemerintah kolonial terdiri dari songsong (payung kebesaran), payung bawat (payung yang tidak dapat ditutup untuk
Bupati bergelar Adipati berhak memiliki 34 orang pengiring dan 5 buah tombak panurung. Bupati bergelar Tumenggung berhak memiliki 27 orang pengiring dan 4 buah tombak panurung. Nina Herlina Lubis, op.cit, hlm. 187. 89
melindungi dari sinar matahari), kandaga (peti kecil), lante (tikar kecil), kuda tuntun, pedang, tameng (perisai), tombak (agem, ngawen, dan panurung), sodor (lembing untuk latihan perang-perangan), padaharan, epok (tempat lemareun atau sirih), pakecohan, bumbung (tempat kertas berharga), gapit, dan sambu (sabuk sutra berhias). Songsong atau payung bukan untuk dipakai tetapi, sebagai simbol status kebangsawanan dan kepangrehprajaan. Songsong dibawa oleh pengiring pada setiap upacara dan pertemuan baik resmi ataupun tidak. Jika sedang tidak digunakan, songsong diletakkan pada ploncon yang ada di pendapa bersama-sama dengan pusaka-pusaka kabupaten lainnya. Warna dan lebar garis songsong serta tangkainya tidak sama karena disesuaikan dengan pangkat dan derajat pemiliknya. 90 Songsong gilap atau songsong yang bagian dalam dan luarnya berwarna emas, hanya berhak dipakai oleh bupati yang bergelar Pangeran dan Adipati.91 Bupati yang bergelar di bawah Pangeran dan Adipati memakai songsong berwarna dasar hijau dengan garis emas. Anak dan istri pejabat di bawah bupati tidak dikenai peraturan pemakaian songsong seperti anak dan istri bupati. Perlengkapan yang menyertai pakaian pejabat pribumi dianggap sebagai pusaka yang menjadi simbol status bupati.92 Beberapa pusaka dapat berfungsi sebagai
90
Warna garis songsong adalah emas, putih, hijau, biru, merah tua, dan hitam. Lebar warna emas biasanya 1, 3, dan 7 cm. Tangkai songsong bupati dicat warna emas, sedangkan untuk bawahannya dicat warna putih. Jari-jari songsong dan benang yang mengelilinginya umumnya berwarna kuning atau putih. 91
Kusumadiningrat mendapatkan anugerah songsong kuning dari pemerintah kolonial pada tanggal 6 Pebruari 1874. 92
Pusaka bergeser fungsinya dari simbol jabatan bupati menjadi benda warisan leluhur ketika bupati lebih menampilkan diri sebagai pejabat pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial mengganti pusaka dengan simbol baru yaitu payung kebesaran. Usaha pemerintah kolonial adalah suatu sikap refeodalisasi karena memperkuat kembali sistem feodal yang pernah berlaku sebelumnya.
perlengkapan, upacara, sehingga harus selalu ada di dekat bupati. Pusaka-yang dimiliki oleh bupati sangat beragam jenis dan jumlahnya, misalnya senjata (meriam, keris, tombak, pedang, pecut, kujang, dan tameng), benda seni (gamelan, bende atau goong kabuyutan, dan wayang), perabotan (pakecohan, epok, kandaga, dan lante), pakaian (jubah gamis), dan kitab-kitab. Sebagian besar pusaka itu didapatkan oleh bupati sebagai warisan dari leluhurnya. Ada juga yang dipesan dari ahli atau ditemukan saat bertapa. Semua pusaka dianggap sebagai barang bertuah yang memiliki kekuatan gaib, sehingga harus dijaga dengan baik, ditempatkan di ruang khusus, dan diperlakukan dengan khusus pula. 93 Benda-benda pusaka Kusumadiningrat di antaranya adalah beberapa buah goong (gong) kabuyutan, useup (mata kail) yang berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa, tombak dan lembing dalam berbagai ukuran, berbagai macam golok dan pedang. 94 Pusakapusaka milik keluarga Kusumadiningrat biasanya dibersihkan setiap tahun sekali, yaitu pada bulan Rabiul Awal atau Maulud dalam upacara Jamas Pusaka.
4. Upacara-upacara Kabupaten adalah lembaga yang sarat dengan tampilan kemegahan, karena kemegahan itu akan memperkuat aura gengsi bupati yang dapat memperkuat posisi bupati sebagai penguasa kabupaten. Pameran kemegahan kabupaten dapat dilihat dalam ritualritual, upacara-upacara, dan pesta-pesta yang dramatis. Upacara adalah salah satu kegiatan
93
Pada malam tertentu, pusaka diberi sesajen dan dibakari kemenyan. Sebelum diambil, terlebih dahulu dijampean dengan doa-doa dan rajah-rajah kepada leluhur, kemudian disembah sebagai tanda hormat. 94
Tiga buah pedang milik Kusumadiningrat adalah keluaran pabrik Belanda dan Jerman. Kemungkinan besar pedang-pedang itu diberikan oleh sahabat-sahabat Eropa Kusumadiningrat atau anugrah dari pemerintah kolonial.
yang sering dilakukan di lingkungan kabupaten, baik upacara resmi yang menyangkut pemerintahan ataupun upacara yang menyangkut kehidupan penghuni kabupaten. Selain upacara, kabupaten sering menyelenggarakan berbagai pestival. Hampir sepanjang tahun selalu ada pestival (besar atau kecil) yang diselenggarakan, mulai dari pesta panen, perayaan hari besar agama, hingga pesta ulang tahun bupati. Baik upacara ataupun pestival, umumnya penuh dengan ritual-ritual yang diakhiri dengan pesta dramatis. Kemegahan upacara, terutama yang menyangkut hajat bupati adalah puncak gaya hidup bupati.95 Kemegahan dan kemewahan suatu upacara hanya dapat diselenggarakan oleh bupati yang berstatus tinggi dan memiliki kekayaan berlimpah. Semakin tinggi status dan kekayaan bupati, maka upacara yang diselenggarakannya semakin megah. Puncak gaya hidup bupati dapat dilihat dalam upacara perkawinan. Acara pesta perkawinan dapat dijadikan sebagai arena pameran keagungan, kemewahan, kekayaan, dan kedermawanan bupati. Semua itu tercermin melalui kemeriahan pesta dan penyediaan hidangan pesta yang dapat dinikmati oleh orang-orang dari berbagai lapisan, baik pejabat Belanda, kaum menak, orang-orang Cina, maupun seluruh rakyat kabupaten. Upacara perkawinan termegah di Priangan adalah upacara perkawinan dua orang putri Kusumasubrata yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1901.96 Dua orang putrinya dinikahkan dengan dua orang putra bupati Serang. Gutiah Lenggangkancana
95
96
Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, op.cit, hlm. 55.
P.A. Achmad Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, (Amsterdam-Batavia: G. Kolf & Co, 1936), hlm. 199.
menikah dengan Achmad Jayadiningrat (calon bupati Serang), 97 sedangkan adiknya, yaitu Gumiwang menikah dengan Muhamad Jayadiningrat. Rakyat dari penjuru kabupaten Galuh berbondong-bondong menyaksikan kemeriahan yang berlangsung di pusat kabupaten. Sebuah balandongan besar yang indah didirikan di halaman pendapa, sedangkan pelaminan untuk pengantin ditempatkan di pendapa. Kemegahan dan keindahan pendapa yang dihias sedemikian rupa dapat disaksikan oleh rakyat dari alun-alun. Kusumasubrata mempersilahkan rakyatnya untuk mencicipi makanan yang disediakan di los-los khusus sepanjang alun-alun sebanyak tiga kali. Rumah-rumah kaum menak lengkap dengan isinya disewa untuk para tamu yang datang dari jauh. Kusumasubrata adalah salah satu bupati Priangan yang disegani, sehingga seluruh bupati Priangan menghadiri undangannya. 98 Beberapa tamu agung hadir dalam upacara itu, di antaranya adalah putri Paku Buwono X (Ratu Alit) bersama suami (Pangeran Aria Mataram) dan adiknya (Raden Mas Setiajid). Mereka bertiga datang mewakili Sunan Surakarta yang berhalangan hadir.99 Ada sebuah ritual khusus yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan pesta pernikahan tersebut, yaitu mengundang karuhun Galuh yang disebut Onom.100 Sebuah los
97
Keduanya bertemu di Batavia ketika Gutiah Lenggang Kancana bersekolah di sekolah khusus perempuan. 98
Bupati Cianjur yang bernama R.A.A. Prawiradireja adalah bupati yang pertama datang dan mengucapkan selamat atas pernikahan itu, disusul oleh bupati Sumedang yang bernama P.A. Suriaatmaja. 99
P.A. Achmad Djajadiningrat, loc.cit.
100
Hingga sekarang, tradisi mengundang Onom masih dijumpai dalam beberapa pestapesta pernikahan atau khitanan. Beberapa kalangan percaya bahwa dengan mengundang Onom, maka pesta akan berjalan dengan baik. Sebagai hidangan bagi para Onom, pemangku pesta
khusus dibangun di bagian belakang dalem untuk para Onom. Los yang dihiasi daun-daun kelapa itu adalah los hidangan bagi para tamu kasat mata yang berjumlah empat puluh. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk ke dalam los itu, kecuali seorang kuncen (juru kunci) dari ranca Lakbok. Sang kuncen memakai pakaian dari karung goni koyakmoyak, bertopi haseupan butut (kukusan jelek) yang diberi tanda silang dari kapur, dan berkalung biji rotan. Konon ketika para Onom datang, akan terdengar suara langkah kaki kuda. Dari sebelah timur alun-alun muncul seekor kuda tunggang hitam tanpa penunggang yang terengah-engah dengan mulut yang berbusa. Kuda itu seperti kelelahan karena telah berjalan jauh dengan membawa beban yang berat. Konon pula, makanan yang telah disantap oleh para Onom akan tetap utuh tetapi sudah hilang rasanya (tawar). Kepercayaaan terhadap mahluk halus yang disebut Onom relatif kuat dalam masyarakat Galuh. Rakyat Galuh meyakini bahwa Kusumadiningrat dan bupati-bupati Galuh lainnya memiliki hubungan yang erat dengan para Onom. 101 Rakyat Galuh menganggap hal tersebut sebagai sebuah realitas, sehingga secara tidak langsung menaikkan wibawa bupati sebagai pemimpin tradisional di mata mereka. 102 Upacara penyambutan atau pelepasan pejabat Belanda adalah upacara-upacara yang relatif sering diselenggarakan di kabupaten. Biaya penyelenggaraannya menjadi
menyediakan sasajen yang terdiri dari congcot, sebuah telur ayam kampung, satu sisir pisang ambon, secangkir kopi pahit, surutu, menyan, dan gula kawung. 101 Keyakinan tentang hubungan penguasa dengan mahluk halus di Galuh sama halnya dengan keyakinan rakyat Jawa terhadap hubungan para Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta dengan Nyi Rara Kidul. 102
Menurut R. Tatty Nirwanti Igo Kusumasubrata, hubungan bupati-bupati Galuh dengan Onom sengaja dihidupkan untuk meningkatkan kewibawaan bupati dan untuk memperkuat kepercayaan rakyat Galuh terhadap pamali. Hal itu dimaksudkan untuk menghalangi dan mengendalikan orang-orang yang berniat membuat keonaran atau kekacauan di dalam wilayah kabupaten Galuh.
tanggungan bupati. Untunglah (setidaknya hingga akhir abad 19) para bupati Priangan memperoleh penghasilan yang lebih besar dari pada para bupati Jawa, sehingga mereka cukup mampu membiayai berbagai kemegahan penunjang gaya hidupnya. Tetapi ada juga beberapa bupati Priangan yang tidak memiliki kekayaan yang banyak untuk membiayai berbagai kemegahan dalam bentuk upacara atau pesta. Untuk mempertahankan gengsi demi membiayai berbagai macam kemegahan yang diselenggarakan semasa hidupnya, mereka terpaksa terbelit utang kepada rentenir dan kemudian jatuh miskin. Upacara pelantikan bupati adalah upacara pemerintahan yang sangat penting dalam pemerintahan kabupaten. Pelantikan bupati dilakukan oleh Residen atas nama Gubernur Jenderal. Upacara itu dihadiri oleh para pejabat Belanda, seluruh pejabat kabupaten, keluarga bupati dan kerabat bupati, kaum menak, dan undangan lainnya. Calon bupati yang memakai pakaian kebesaran model keprajuritan duduk di tengah pendapa. Para tamu agung duduk di kursi yang ditempatkan secara melingkar di pinggir pendapa, keluarga bupati duduk di kursi khusus103, sedangkan kerabat dan bawahan bupati duduk di lantai. Acara inti terdiri dari pembacaan besluit pengangkatan dan pengucapan sumpah. Setelah acara itu selesai, dilanjutkan dengan sambutan Residen dan bupati, pemberian selamat kepada bupati oleh Residen, munjungan bupati,104 toast, tembakan meriam ke udara, dan ditutup dengan doa. Rangkaian upacara pelantikan bupati pada dasarnya tidak berbeda
103
Orang tua, nenek dan kakek, uwak dan paman, mertua, serta kakak dan adik bupati duduk di kursi khusus. 104
Munjungan adalah acara sungkem mencium kaki bupati yang dilakukan oleh para bawahan dan sanak saudara bupati. Munjungan juga dilakukan oleh bupati kepada ibunya, kemudian kepada ayahnya, dan dilanjutkan kepada kakek, nenek, uwak, dan paman bupati.
dengan upacara penerimaan tanda jasa dan penganugerahan gelar atau pangkat bagi bupati dari pemerintah kolonial.
BAB III KESIMPULAN
Kepentingan pemerintah kolonial dan pejabat pribumi yang tumpang tindih merupakan benturan antara birokrasi legal-rasional dengan otokrasi tradisional. Pemerintah kolonial berusaha menerapkan birokrasi modern yang berdasarkan kewenangan legal-rasional, tetapi di sisi lain justru mempertahankan kekuasaan tradisional. Sikap pemerintah kolonial itu telah mendukung konservatisme yang menghidupkan kepentingan lembaga tradisional. Pemerintah kolonial memberikan toleransi dan bahkan mengizinkan birokrasi tradisional tetap dipertahankan. Bupati berperan sebagai pemimpin tradisional sekaligus pegawai pemerintah kolonial. Sebagai pemimpin tradisional, ia harus bersikap dan bertindak dalam ikatan feodal. Sebagai aparat pemerintah kolonial, ia harus menjalankan fungsi dan perannya secara legal-rasional. Peran ganda itu sangat dilematis bagi bupati, ia harus patuh terhadap perintah pemerintah kolonial sebagai atasannya, tetapi sebagai pemimpin pribumi ia harus melindungi rakyatnya. Bupati rentan terhadap celaan rakyat jika bersekutu dengan pemerintah kolonial, tetapi akan kesulitan memajukan dan mempertahankan karir dan kekuasaannya jika bertahan sepenuhnya di sisi rakyat. Kenyataannya, bupati dapat bertahan dalam situasi itu, ia dapat menjadi tangan kanan pemerintah kolonial sekaligus pengayom rakyat. Status bupati sebagai raja berubah menjadi penguasa otonom kemudian menjadi pegawai pemerintah kolonial. Tidak ada pilihan lain bagi bupati kecuali menerima kenyataan. Bupati harus puas dengan statusnya sebagai pegawai pemerintah kolonial yang kehilangan kekuasaan tradisionalnya. Bupati tidak mungkin diabaikan dari percaturan politik kolonial. Untuk mengikatnya, pemeritah kolonial memberikan imbalan berupa kedudukan, kekuasaan, dan
kekayaan. Pemerintah kolonial sengaja menganugerahkan simbol-simbol dan atribut-atribut kebesaran kepada bupati. Tindakan itu menambah wibawa bupati sekaligus memperkuat kharisma dan ligitimasi bupati sebagai penguasa daerah dan pemimpin tradisional. Status, kekuasaan, dan kekayaan bupati merupakan tiga atribut yang membentuk pola gaya hidup bupati yang dijadikan model oleh seluruh penghuni kabupaten, baik kaum menak ataupun rakyat kebanyakan. Gaya hidup bupati dipandang istimewa dan menjadi dambaan seluruh penghuni kabupaten. Ada berbagai larangan bagi rakyat biasa untuk meniru gaya hidup bupati. Larangan-larangan itu adalah alat pembeda yang berfungsi untuk menonjolkan sifat ekslusif dan distingtif gaya hidup bupati. Melalui gaya hidupnya, bupati menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari kehidupan rakyat biasa. Pengekspresikannya dapat dilihat dalam nama dan gelar, tempat tinggal dan perabotannya, pakaian dan perlengkapannya, serta upacara atau acara khusus. Gaya hidup feodalistik bupati yang diperkuat oleh Mataram mengalami perubahan ketika pemerintah kolonial menjadi atasannya. Kontak dengan pendukung budaya Barat telah menyebabkan masuknya budaya Barat ke dalam kehidupan feodalistik kabupaten, namun tidak merombak seluruh segi kehidupan. Bupati menyikapinya secara adaptif inovatif, yaitu memilih dan menyesuaikan dengan tradisi yang ada sebelum diserap ke dalam kehidupannya. Budaya Barat yang diserap ke dalam kehidupan bupati menimbulkan perubahan yang berakibat pada tumbuhnya nilai-nilai baru. Sisi baiknya adalah menimbulkan benih-benih progresif dalam kehidupan yang cenderung tradisional. Bupati menjadi tokoh yang dapt menggunakan pengaruhnya untuk mengembangkan nilai-nilai baru. Tidak semua nilai-nilai Barat dapat bersinergi dengan nilai-nilai tradisional, bahkan jika diterapkan dalam kehidupan yang bersendi tradisionalisme akan menimbulkan ketidaknyamanan pendukung tradisi lama. Pilihan terbaik adalah menolak, tetapi ada kalanya bupati dan penghuni
kabupaten lainnya tidak mampu menentangnya. Kendati berat hati, mereka menerapkan nilai-nilai baru yang dianggap janggal itu. Kontras dengan sikap adaptif inovatif, bupati adalah pengemban dan pendukung tradisi. Bupati mempertahankan tradisionalisme terutama dalam pola pernikahan dan struktur dalem yang menjadi pusat budaya kabupaten. Tidak semua kehidupan bupati mengalami perubahan karena pengaruh budaya Barat. Ada beberapa bagian kehidupan bupati yang tetap tradisional dan tidak tersentuh oleh pengaruh asing. Nilai-nilai Barat telah menyebabkan rasionalisasi dalam kehidupan bupati, tetapi bupati tetap sebagai tokoh pengemban tradisi, sehingga dalam beberapa hal masih tetap bersikap tradisional. Kemampuan bupati dalam mengolah kehidupannya telah berhasil memperkuat kharismanya. Perpaduan budaya asli dan Barat yang saling kontras dalam kehidupan bupati justru memberikan keuntungan tersendiri bagi bupati dan keluarganya. Di satu sisi, sikap hidup keluarga bupati menjadi lebih rasional dan modern, tetapi di sisi lain mereka tetap menyadari sepenuhnya bahwa jati dirinya berakar pada tradisi yang telah terbentuk sejak lama.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djajadiningrat, P.A., Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Amsterdam-Batavia: G. Kolf & Co. 1936. Ade Tjangker Soedradjat, Silsilah Roendayan Boepati Raden Adipati Aria Koesoemadiningrat. 1995. Antlov, Hans dan Sven Cederroth (ed.), Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999. Arsip Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan Jawa Barat 1921-1930. 1976. Asikin Wijaya Kusumah, R., Tina Babad Pasundan: Riwayat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580. Bandung: Kalawarta Kudjang. 1961. A. Suryadi, Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni. 1974. Atja, Carita Prahyangan. Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat. 1981. Bottomore, T.B., Elites and Societies. Middlesex: Penguin Books. 1974. Burger, D.H., Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid II (diterjemahkan dan disadur oleh Prajoedi Atmosoedirdjo). Jakarta: Pradnja. 1967. Chambert-Loir, Henri dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Cetakan I. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. 1999. Chaney, David, Lifestyles. Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.). Yogyakarta: Jalasutra. 1996. Day, Clive, The Policy of Administration of The Dutch in Java. Kuala Lumpur: Oxford University. 1984. Conduitestaat van R.A.A. Koesoemasoebrata regent van Tjiamis over het aar 1887-1914. Jakarta: ANRI. Conduitestaat van R.A.A. Sastrawinata regent van Tjiamis over het jaar 1915-1928. Jakarta: ANRI.
Cote’ Joost dan Lose Westerbeek (ed.), Recalling The Indies. Kebudayaan Kolonial dan Indentitas Kolonial (terj.). Yogyakarta: Syarikat Indonesia. 2004. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 2000. Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Perkembangan Fungsi-Fungsi Struktur Pamong Praja ditinjau dari Segi Sejarah. Bandung: Alumni. 1978. Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2000. Djoko Suryo et al, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Javanologi. 1983. Edi S. Ekadjati, Wawacan Sejarah Galuh. Bandung: EFEO. 1977. Edi S. Ekajati (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pasaka. 1994. Graaf, H.J. de, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (terj.). Jakarta: Grafiti. 2002. Haan, F. de, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1818. Batavia: BGKW.1941. Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (terj.). Jakarta: Jambatan. 1983. Keeler, Ward, Symbolic Dimension of The Javanese House. Illinois: Anthropology Department of University of Chicago. 1983. Koesoemasoebrata, R.A.A. Babad Dipagah. 1890. _________________________, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek. Bandung: Mijvorking. 1926. Kroeber, A.L., Style and Civilization. Barkeley and Los Angeles: University of California Press. 1963. Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Esai-Esai Budaya dan Politik. Bandung: Mizan. 2002.
_____________, Raja, Priyayi dan Kawula. Surakarta 1900-1915. Yogyakarta: Ombak. 2004. Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society. Essay in Asian Social and Economic History. Bandung: The Hague 1974. Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya. Vol. II (terj.). Jakarta: Gramedia. 1998. Mohamad Ali, Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan. Bandung: Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung. 1973. Mudjanto, G., Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Kanisius. 1987. Niel, Robert van, Munculnya Elite Modern di Indonesia (terj.). Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1944. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 1998. ____________________, Banten dalam Pergumulan Sejarah. Sultan, Ulama, dan Jawara. Jakarta: LP3ES. 2004. Oey, Eric, Java. Singapore: Periplus. 1997. Ong Hok Ham, “Sejarah Birokrasi di Indonesia” dalam Kompas No. 233/XIX/13 Pebruari 1984. _______________, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2002. Profil Propinsi Daerah Jawa Barat, Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992 Raffles, T. S., History of Java. Vol. II. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 1982. Saleh Danasasmita, Pola Pemukiman Penduduk Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1981. Samiaty Alisjahbana, A Preliminary Study of The Class Structure among The Sundanese in The Priangan. New York: Cornell University Press. 1956. Sartono Kartodirdjo, “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial” dalam Lembaran Sejarah. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan KebudayaanUniversitas Gadjah Mada. 1969.
____________________, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. 1982. ____________________ (ed.), Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta, 1983. Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1985. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imporium. Jakarta: Gramedia. 1987. ____________________, Modern Indonesia, Tradition and Transformation: A Socio-Historical Perspective. Second Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988. Scherer, Savitri Prastiti, Keselarasan dan Kejanggalan. Pemikiran-Pemikiran Nasionalis Jawa Awal Abad XX (terj.). Jakarta: Sinar Harapan. 1985. Schrieke, B.J.O., Indonesian Sociological Studies I. Bandung: The Hague. 1955 ________________, Penguasa-Penguasa Pribumi (terj.). Jakarta: Bhratara, 1974. Soedarsono, R.M., Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. 1999. Soehardjo Hatmosoeprobo, Bupati-Bupati di Jawa pada Abad 19. Yogyakarta: Javanologi. 1986. Soemarsaid Moertono, Negara dan Bina Usaha Negara di Jawa Masa Lampau (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1985. Soeria Nata Atmadja, R.A.A.A., Regenten positie. Bandoeng: A.C. Nix & Co. 1936. Sunarsih Warnaen et al, Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan-Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. 1987. Sutherland, Heather, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (terj.). Jakarta: Sinar Harapan. 1983. Sutjipto, F.A., “Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu” dalam Bacaan Sejarah. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. 1982.
Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia. 1985. Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1996. Tim Peneliti Sejarah Galuh Ciamis, Galuh Ciamis dalam Tinjauan Sejarah. Ciamis. 1973. Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. Cetakan IX. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2003. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Kerajaan Cirebon 1479-1806. Bandung: Transito. 1983. Vlekke, B.H.M., Nusantara: A History of Indonesia. Leyden: The Hague. 1959. Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi (terj.). Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999.