LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)
OLEH
KETUA
: SAIFUL BAHRI, S.Pd
NIDN
: 0124108203
ANGGOTA
: BUKHORI, S.Pd
NIDN
: 0129098101
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Dosen Pemula Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2012 Nomor: 282/SP2H/PL/Dit.Litabmas/VI/2012, Tanggal 15 Juni 2012
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL-WASHLIYAH (UMN AL-WASHLIYAH) MEDAN 2012
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitan
: Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Koneksi
Matematika
Siswa
Dengan
Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching And Learning)
Bidang Ilmu
: Pendidikan Matematika
Ketua Peneliti
:
a. Nama Lengkap
: Saiful Bahri, S.Pd
b. NIP / NIK
:
c. NIDN
: 0124108203
d. Pangkat / Golongan
: Asisten Ahli /III A
e. Jabatan Fungsional
:-
f. Fakultas / Jurusan
: KIP PMIPA
g. Pusat Penelitian
: Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah
h. Alamat Institusi
: Jl. Garu II No. 93 Medan
i.
Telpon/Fax/E-mail
: 061-78757044 /
[email protected]
j.
Biaya yang diusulkan : Rp. 8.000.000
Mengetahui, Dekan FKIP
Medan, Desember 2012 Ketua Peneliti
Drs. M. Ayyub Lubis, M.Pd, Ph.D NIP. 19551025 198503 1 002
Saiful Bahri, S.Pd NIDN. 0124108203
Menyetujui, Ketua LPPM UMN Al Washliyah
Drs. Firmansyah, M.Si NIDN. 0010116702
ii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayahNya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini disusun dengan menggunakan penjelasan – penjelasan yang dikutip dari beberapa buku. Penulis sadar dalam penyusunan penelitian ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis perbuat, itu disebabikan keterbatasan kemampuan penulis. Namun berkat bantuan, bimbingan dan dukungan moril / material dari berbagai pihak, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam – dalamnya terutama kepada : 1. Bapak Rektor Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian. 2. Teristimewa kepada kedua Orangtua saya tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan moril maupun materil serta kasih sayang kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 3. Kepada Istri dan anak saya yang tercinta yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 4. Dan yang terakhir kepada rekan – rekan kerja yang telah membantu, baik saran atau kritik selama proses penelitian ini berlangsung. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi kemajuan pendidikan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam melaksanakan aktivitas sehari – hari. Amin
Medan,
Desember
2012
Penulis
SAIFUL BAHRI, S.Pd NIDN : 0124108203
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Perumusan Masalah ....................................................................... 7 B. Tujuan Penelitian............................................................................. 7 C. Target Yang Di Akan Dicapai ......................................................... 7 BAB II KAMAN PUSTAKA ......................................................................... 8 A. Pengertian Belajar Dan Pembelajaran Maternatika ........................ 8 B. Masalah Dalam Matematika............................................................ 9 C. Pemecahan masalah matematika ..................................................... 11 D.. Koneksi Matematika ....................................................................... 13 E. Respon Siswa .................................................................................. 15 F.
Pendekatan Pembelajaran............................................................... 15
G. Pembelajaran Dengan Pendekatan Konstektual .............................. 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 24 A. Jenis Penelitian ................................................................................ 24 B. Tempat Dan Waktu Penelitian ........................................................ 24 a. Populasi dan Sample ................................................................... 24 b. Instrumen Penelitian ................................................................... 25 c. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematika ................................................................................. 25 d. Angket Respon Siswa Terhadap Kegiatan Pembelajaran ........... 25 e. Ujicoba Instrumen....................................................................... 26 f. Validasi Ahli Terhadap Instrumen Pembelajaran ....................... 27 g. Validasi Ahli Terhadap Instrumen Penelitian ............................. 27 h. Validasi Butir Soal ...................................................................... 28 i. Reabilitas Butir Soal ................................................................... 30 j. Daya Pembeda Butir Soal ........................................................... 30
ii
k. Tingkat Kesukaran Butir Soal..................................................... 31 l. Teknik Analisis Data .................................................................. 31 m. Analisis Stsatistik Deskriptif ...................................................... 33 n. Data Hasil Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematika ................................................................... 33 o. Data Angket Respon Siswa......................................................... 33 p. Analisis Statistik Inferensial ....................................................... 34 BAB IV JADWAL PELAKSANAAN .......................................................... 37 A. Prosedur Penelitian .......................................................................... 37 a. Tahap Persiapan ....................................................................... 37 b. Tahap Pelaksanaan Eksprimen... .............................................. 37 c. Tahap Analisis Data Dan Penulisan Laporan........................... 38 d. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 40 e. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Koneksi. Matematika ............................................................................ 40 f. Angket Respon. Siswa Terhadap Pembelajaran....................... 40 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 41 4.1. Hasil Penelitian Kemampuan Pemecahan Masalah ....................... 41 4.2. Hasil Penelitian Kemampuan Koneksi Matematika....................... 53 4.3.Hasil Penelitian Kemampuan Awal ................................................ 65 4.4.Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................... 74 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 83 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 83 5.2. Saran .............................................................................................. 84 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 86
iii
ABSTRAK
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa SMA Swasta Al-Azhar Medan Dengan Pendekatan Kontekstual. Pemakalah Simantap. Medan : Program Studi Pendidikan Matematika. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan, 2012. Tujuan dari penelitian ini untuk menelaah: (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang diberi pembelajaran kontekstual dengan siswa yang diberi pembelajaran konvensional. (2) peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang diberi pembelajaran kontekstual dengan siswa yang diberi pembelajaran konvensional. (3) interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. (4) interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMA Swasta Al-Azhar Medan yang terdiri dari enam kelas paralel. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelas, dimana pemilihan sampel dilakukan secara random. Instrumen yang digunakan terdiri dari: (1) tes kemampuan pemecahan masalah matematis (2) tes kemampuan koneksi matematis, pokok bahasan bangun ruang kubus dan balok, dimana tes berbentuk uraian. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan persentase pencapaian skor siswa pada pembelajaran kontekstual dan konvensional. Analisis, inferensial data dilakukan dengan uji t dan analisis varians (Anava) dua jalur. Hasil penelitian ini adalah (1) peningkatan kemampuan, pemecahan masalah antara siswa yang diberi pembelajaran konteksual lebih baik daripada siswa yang diberi pembelajaran konvensional. Rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 0,52 dan kelas kontrol 0,28. (2) peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang diberi pembelajaran kontekstual lebih baik daripada siswa yang diberi pembelajaran. konvensional. Rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen 0,49 dan kelas kontrol 0,16. (3) tidak ada interaksi antara pendekataii pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. (4) terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa.
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam menghadapi clan menyelesaikan setup perrnasalahan yang dihadapinya. Dalam pendidikan banyak sekali ilmu yang digali untuk meningkatkan kualitas SDM, salah satunya adalah ilmu matematika. Hal ini sesuai degan pendapat Cockroft (1982) dalam Abdurrahman(2003:253) yang mengatakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segi kehidupan;(2) semua bidang studi memerlukan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Kutipan diatas mengatakan bahwa matematika itu dapat digunakan sebagai sarana untuk memecahkan masalah dalam berbagai segi kehidupan. Kline dalam Tim MKPBM Matematika UPI (2001:19) mengatakan bahwa "matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam". Selanjutnya Nurhadi (2004:203) juga mengatakan " Matematika berfungsi mengembangkan
kemampuan
menghitung,
mengukur,
menurunkan
dan
menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran geometri, aljabar dan trigonometri". Senada dengan itu Soedjadi dalam Panjaitan (2009:216) mengatakan bahwa: "matematika itu merupakan kegiatan manusia sehingga dalam proses pembelajaran harus lebih menekankan. pada aktivitas siswa untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa". Pendapat tersebut diatas sejalan dengan tujuan pembelajaran
1
matematika pada kurikulum KBK 2004. Tujuan pembelajaran matematika pada kurikulum. KBK 2004 dalam Nurhadi (2004: 203) yaitu: 1. Melatih Cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, ekspositori, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan menemukan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tabu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. 3. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. 4. Mengembangkan
kemampuan
menyampaikan
informasi
atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Tujuan di atas menekankan akan pentingnya peranan matematika dalam kehidupan manusia. Karena pentingnya peranan matematika dalam kehidupan manusia, pemerintah selalu berusaha agar mutu pendidikan matematika semakin baik. Hal ini terlihat dari berbagai upaya pemerintah seperti penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku-buku pelajaran, peningkatan kompetensi guru dan berbagai usaha lainnya yang bertujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas. Namun demikian usaha yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika belum menarnpakkan hasil yang maksimal. Di tingkat Internasional laporan TIMSS (Third International mathematics science Study) tahun 2003 menempatkan Indonesia pada posisi 34 dari 45 negara, dan lebih separuh pelajar kelas II dan kelas III SLTP di Indonesia berada dibawah standar rata-rata skor Internasional Panjaitan (2009:215). Data ini semakin menyatakan bahwa mutu pendidikan matematika kita sangat rendah dibanding dengan negara lain. Rendahnya hasil belajar matematika ditinjau dari lima aspek yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Mathematic (NCTM:2000): "Menggariskan peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk mewujudkan hal itu, pembelajaran matematika dirumuskan lima
2
tujuan umum yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi; kedua, belajar untuk bernalar; ketiga,belajar untuk memecahkan masalah; keempat, belajar untuk mengaitkan ide; dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika". Masalah merupakan sesuatu yang tidak terlepas dari diri manusia, sehingga kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan kernampuan yang dituju dalam pembelajaran matematika. Laster (Branca: 1980) dalam Sugiman dkk (2009:179) menyatakan bahwa" Problem silving is the heart of mathematics" yang artinya jantungnya matematika adalah pemecahan masalah. Selanjutnya NCTM (National Council of' teachers of Mathematics) menegaskan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah salah satu aspek penting dalam menjadikan manusia menjadi literat dalam matematika (Romberg:1994) dalam Sugiman dkk (2009:179). Dari pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan hal
yang penting dalam pembelajaran
matematika. Dalam belajar matematika, siswa mengalami kesulitan khususnya dalam menyelesaikan soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah matematika sebagaimana diungkapkan Sumarmo (dalam Suhenri: 2006:3) bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika pada umumnya belum memuaskan. Untuk itu kemampuan pemecahan masalah dalam matematika perlu dilatih dan dibiasakan sedini mungkin kepada siswa. Kemampuan ini sangat diperlukan siswa sebagai bekal dalam memecahkan masalah dan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Russefendi (1991:291) bahwa: kemampuan ]pemecahan masalah amatlah penting bukan saja bagi mereka yang kemudian hari akan mendalami matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya baik dalam bidang studi lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang tidak kalah pentingnya yang harus dimilikim siswa adalah kemampuan koneksi matematika. Kemampuan koneksi matematika memiliki kaitan erat dengan kemampuan pemecahan masalah, dimana kernampuan pemecahan masalah yang baik, tentunya akan membantu siswa untuk meningkatkan kernampuan koneksi matematikanya, begitu juga sebaliknya. Sumarmo (2006) menyatakan bahwa kemampuan koneksi matematika adalah
3
kernampuan seseorang dalam memperlihatkan hubungan internal dan eksternal matematika,yang meliputi: koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Melalui koneksi matematika maka konsep pemikiran dan wawasan siswa semakin terbuka terhadap matematika, tidak hanya terfokus pada topik tertentu. saja yang dipelajari, sehingga akan menimbulkan sifat positif terhadap matematika itu sendiri. Kenyataan dilapangan, hasil penelitian Ruspiani (2000:13O) mengukapkan bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematika siswa sekolah menengah rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2% untuk koneksi matematika siswa dengan pokok bahasan lain, 44,9% untuk koneksi matematika dengan bidang studi lain, dan 7,3% untuk koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari. Rendahnya mutu pendidikan matematika disebabkan banyak faktor salah satunya adalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru masih menggunakan pendekatan konvensional atau tradisional. Soedjana(1986:1) manyatakan: "Dalam metode mengajar tradisional, seorang guru dianggap sebagai sumber ilmu, guru bertindak otoriter dan mendominasi kelas. Guru langsung mengajar matematika, membuktikan semua dalil-dalilnya dan memberikan contoh-contohnya. Sebaliknya murid harus duduk dengan rapi, mendengarkan dengan tenang dan berusaha meniru cara-cara guru membuktikan dalil dan cara guru mengerjakan soal-soal. Demikianlah suasana belajar dan belajar yang tertib dan tenang. Murid bersifat passif dan guru bersifat aktif. Murid-murid yang dapat dengan persis mengerjakan soal-soal seperti yang dicontohkan gurunya adalah murid yang akan mendapat nilai yang paling baik. Murid-murid pada umumnya kurang diberikan kesempatan untuk berinisiatif, mencari jawaban sendiri, merumuskan dalil-dalil. Murid-murid pada umumnya dihadapkan pada pertanyaan bagaimana menyelesaiakan soal bukan kepada mengapa penyelesaiannya demikian". Pada pembelajaran seperti ini guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan semata dengan cara mencatat, meniru, mendengarkan dan menghapal apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Zulkardi (2005) dalam Sugiman dkk (2009:184) menyatakan bahwa"guru matematika mengajar dengan metode tradisional". Pembelajaran matematika
4
seperti ini tidak mamberikan arti apa-apa pada siswa. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Marpaung dalam Tim PLPG (2008:8) yang menyatakan bahwa. "matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan". Oleh karena itu perubahan paradigm guru mengajar menjadi paradigm siswa belajar sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam pembelajaran matematika. Peranan pendidikan matematika yang sangat besar dalarn peningkatan kualitas sumber daya manusia, haruslah didukung dengan suatu proses pembelajaran matematika yang mernberikan kesempatan pada siswa untuk dapat melihat dan mengalami sendiri kegunaan matematika dalam kehidupan nyata. Melalui pembelajaran matematika yang mengkaitkan konsep matematika dengan konsep lain serta mengkaitkan matematika dengan suatu permasalahan dalam kehidupan nyata, maka siswa akan semakin sadar betapa pentingnya belajar matematika. Melalui pembelajaran yang proses belajar-mengajarnya diawali dengan menghadapkan siswa dalam masalah nyata serta mengkaitkan area-area pengetahuan yang berbeda, maka akan mengarahkan kepada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selain itu akan dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematika siswa baik kemampuan koneksi antara matematika dengan pelajaran lain, koneksi matematika dalam kehidupan sehari-hari, maupun kemampuan siswa dalam mengkoneksikan konsep antar pokok bahasan dalam matematika itu sendiri. NCTM (National Council of teachers of Mathematics) menyatakan bahwa pemecahan masalah dan koneksi matematika termasuk standar utama yang penting dalam pendidikan matematika. Dengan kata lain bila kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa baik, maka siswa akan cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika selanjutnya, ataupun mempelajari pelajaran lainnya. Jadi, dalam proses kegiatan belajar-mengajar perlu adanya pendekatan pembelajaran yang penekanannya mengarah kepada kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika. Bila kemampuan yang akan dicapai penekanannya pada kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika, maka hal yang memungkinkan pembelajaran matematika disajikan melalui masalah kontekstual, yaitu melalui
5
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Nurhadi (2003:13) menyatakan bahwa : "Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning,) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit semi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri , sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat". Hal ini sesuai dengan pendapat -Muslich (2008:40) dalam bukunya mengatakan "Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan
antara
apa
yang
mereka
pelajari
dengan
bagaimana
pemanfaatannya dalam dunia nyata". Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual menekankan pembelajaran yang terpusat pada siswa, guru mengaktifkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, memungkinkan terjadinya proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta kemampuan akademiknya secara aktif dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar kelas. Sehingga pembelajaran dengan pendekatan M (Contextual Teaching and Learning) diharapkan dapat sebagai solusi untuk menciptakan paradigm siswa belajar bukan paradikma guru mengajar seperti yang tedadi pada pembelajaran konvensional. Johnson (2007:42) yang menyatakan bahwa CTL (Contextual Teaching and Learning) memiliki kemampuan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan tradisional. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampua.n pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Dari uraian di atas peneliti merasa terdorong untuk menerapkan pembelajaran kontekstual dengan judul "Peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching end Learning)".
6
a. Perumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan diatas, maka perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional?
2.
Apakah peningkatan kemampun koneksi matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional?
3.
Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran kontekstual ?
b. Tujuan Pmelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan pembelajaran
secara
konvensional.
Untuk
mengetahui
peningkatan
kemampuan koneksi matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan pembelajaran secara konvensional. 2. Mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran kontekstual. Melalui respon ini akan ditelaah kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi terhadap pembelajaran kontekstual dalam upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa. c. Target yang akan dicapai Adapun target yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Pembaca sebagai informasi tentang pembelajaran matematika dalam usaha perbaikan proses pembelajaran. 2. Bagi guru, sebagai bahan tentang pembelajaran kontekstual, sehingga dapat merancang pembelajaran yang lebih baik dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa. 3. Bagi siswa, diharapkan pembelajaran: dengan pendekatan kontekstual dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar matematika, dibawah bimbingan guru sebagai fasilitator.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Slameto (1987:2) "belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya". Hal ini senada dengan pendapat Oemar Hamalik (2004:28) yang menyatakan bahwa: "belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan. lingkungannya". Selanjutnya Fontana dalam Tim MKPBM Matematika UPI (2001:8) menyatakan bahwa; "belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dalam pengalamannya". Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2001:92) yang menyatakan bahwa Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman/pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku. Tujuan belajar matematika adalah terjadinya transfer belajar yang berkenaan dengan konsep matematika yang terorganisasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya Hudojo dalam (Tim PLPG: 2008:14). Tranfer belajar matematika dapat dilihat dari kemampuan seseorang memfungsionalkan materi matematika yang dipelajarinya. Kemampuan yang dimaksud adalah, mampu menerapkan konsep-konsep dan prinsip matematika pada bidang lain dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata serta dapat mempelajari matematika itu lebih lanjut. Tujuan inilah yang menjadi perhatian kita dalam pembelajaran matematika . Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa Degeng (1989) dalam made Wena, (2009: 2). Sedangkan pembelajaran matematika adalah suatu upaya kegiatan (merancang dan menyediakan sumber belajar, membimbing, memotivasi, mengarahkan) dalam membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika (TIM PLPG 2008:14). Dalam pembelajaran matematika
8
guru dituntut untuk bisa melatih siswa bagaimana cara berpikir dan bernalar,mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, mengembangkan aktivitas kreatif, menarik kesimpulan, dan menyampaikan informasi secara sistematis. Jadi dalam pembelajaran matematika penguasaan materi ajar matematika bukanlah suatu tujuan utama tetapi sebagai alat untuk membentuk kecakapan hidup. Siswa tidak hanya belajar materi matematika saja, tetapi juga harus tau bagaimana menggunakan, dan mengaplikasikan ilmu tersebut dalam menghadapi problema kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran sebagai pedoman bagi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. B. Masalah dalam Matematika Kenyataan
dilapangan,
hasil
penelitian
Ruspiani(2000:130)
mengungkapkan bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematika siswa sekolah menengah rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22,2% untuk koneksi matematika siswa dengan pokok bahasan lain, 44,9% untuk koneksi matematika dengan bidang studi lain, dan 7,3% untuk koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari. Rendahnya mutu pendidikan matematika disebabkan banyak faktor salah satunya adalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru masih menggunakan pendekatan konvensional atau tradisional. Soedjana(l 986: 1) manyatakan: "Dalam metode mengajar tradisional, seorang guru dianggap sebagai sumber ilmu, guru bertindak otoriter dan mendominasi kelas. Guru langsung mengajar matematika, mernbuktikan semua dalil-dalilnya dan memberikan contoh-contohnya. Sebaliknya murid harus duduk dengan rapi, mendengarkan dengan tenang dan berusaha meniru cara-cara guru membuktikan dalil dan cara guru mengerjakan soal-soal. Demikianlah suasana belajar dan belajar yang tertib dan tenang. Murid bersifat passif dan guru bersifat aktif. Murid-murid yang dapat dengan persis mengerjakan soal-soal seperti yang dicontohkan gurunya adalah murid yang akan mendapat nilai yang paling baik. Murid-murid pada umumnya kurang diberikan kesempatan untuk berinisiatif, mencari jawaban sendiri,
9
merumuskan dalil-dalil. Murid-murid pada umumnya dihadapkan pada pertanyaan bagaimana menyelesaiakan soal bukan kepada mengapa penyelesaiannya demikian". Pada pembelajaran seperti ini guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan. Semata dengan cara mencatat, meniru, mendengarkan dan menghapal apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kenyataan. Notoatmojo (2005:39) menyatakan, "Masalah adalah (gap) antara harapan dan kenyataan. Antara apa yang diinginkan atau apa yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya". Sementara, Munandir (1991:23) mengemukakan bahwa "masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi, dimana seorang diminta menyelesaikan persoalan yang belum pernaah dikerjakan, dan belum memahami pemecahannya". Selanjutnya Hudojo (1988:119) menyatakan bahwa " suatu pertanyaan merupakan masalah jika tidak ada aturan atau hukum tertentu yang segara dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, tersebut". Dalam hai ini dapat dikatakan bahwa masalah tidak mempunyai rumus tertentu untuk menyelesaikannya. Soejono (1988:218) menyatakan bahvva " suatu masalah maternatika, dapat dilukiskan sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas, pengertian, pemikiran yang asli atau imajinasi". Suatu pertanyaan atau soal matematika dapat dikatakan suatu masalah jika penyelesaiannya memerlukan suatu kreativitas, pengertian dan pemikiran imajinasi dari setiap, orang yang menghadapi masalah tersebut. Masalah matematika tersebut biasanya berbentuk soal cerita, membuktikan, menciptakan atau mencari pola matematika. Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung bisa menyelesaikannya dengan benar maka soal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai masalah. Jadi masalah bersifat subjektif bagi setiap orang, artinya suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang, tetapi belum tentu masalah bagi orang lain.
10
Soal dipandang sebagai masalah merupakan hal yang sangat relative. Suatu soal dianggap masalah bagi seseorang, namun bagi orang lain belum menjadi masalah. Dalarn hal ini guru harus berhati-hati dalam menentukan soal yang akan disajikan dalam pemecahan masalah. Untuk memudahkan dalam pemilihan soal, perlu dilakukan pembeda antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari. Sedangkan soal tidak rutin untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam. C. Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah merupakan penyelesaian masalah atau soal cerita yang tidak rutin, sangat kompleks, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, atau menciptakan membuktikan yang memuat aktivitas matematika secara aktif, dinarnik, eksploratif (Utari dalam Marzuki 2006: 32). Hal ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman (2003) bahwa: "Pemecahan masalah adalah aplikasi dan konsep keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat. Beberapa konsep yang terlibat adalah bujur sangkar, garis saja dan sisi, dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan dan mengalikan". Dalam hal ini berarti pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk menemukan kombinasi konsep dan aturan- yang dipelajari sebelumnya yang digunakan untuk menyelesaikan maslah yang dihadapinya. Pemecahan masalah lebih mengutamakan proses penyelesaian masalahnya dari pada sekedar mendapatkan jawabannya. Untuk belajar memecahkan masalah siswa harus mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Guru harus bisa menyajikan bermacam-macam masalah yang sesuai dengan kemampuan siswa sehingga bermakna bagi siswa. Masalah dapat diberikan kepada siswa sebagai pekerjaan rumah atau suatu saat siswa juga boleh memilih sendiri masalah itu, mengerjakan masalah tersebut, menjelaskan dan menyajikan penyelesaian di depan kelas. Masalah tersebut bisa dikerjakan secara kelompok maupun individu.
11
Menurut Polya (dalam buku PLPG:2008) dalam pemecahan suatu masalah terdapat 4 langkah yang harus dilakukan yaitu: 1. Memahami masalah Langkah pertama membaca masalah dan memahaminya dengan jelas. Beberapa hal yang harus dipahami adalah: a. Hal yang diketahui b. Hal yang tidak diketahui c. Persyaratan yang diketahui Memahami masalah juga berarti kita harus menimbulkan fakta yang ada dalam persoalan. Dalam memilih lambang untuk besaran yang tidak diketahui digunakan suatu notasi, misalnya a, b, c, d, n, x, y, ..dst. Untuk beberapa hal akan sangat membantu jika kita memilih untuk menggunakan huruf awal misalnya V untuk volume (isi) clan L untuk lugs. 2. Merencanakan penyelesaian masalah Menentukan rencana penyelesaian adalah berusaha untuk mencari kaitan antara informasi yang diketahui dan yang tidak diketahui jika belum terlihat adanya suatu hubungan antara keduanya maka langkah-langkah berikut mungkin akan membantu: a. Mengenal suatu yang dikenal b. Mengenali pola c. Menggunakan analogi d. Memperkenalkan suatu lambang e. Mengenali kasus f. Bekerja mundur g. Membentuk sasaran bagian h. Penalaran tak langsung 3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana 4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh Dengan memeriksa kembali, maka kesalahan-kesalahan akan terkoreksi sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Ini juga memungkinkan untuk mencari kemungkinan adanya penyelesaian lain.
12
Terjadinya proses pemecahan masalah dalam kegiatan pembelajaran matematika perlu adanya soal-soal yang memenuhi kriteria soal pemecahan masalah. Fung dan Roland (2004) dalam Sugiman dkk (2009:182) menyatakan masalah matematika yang baik harus memenuhi kriteria berikut: a.
Masalah hendaknya memerlukan lebih dari satu langkah dalam penyelesaian.
b.
Masalah hendaknya dapat diselesaikan dengan satu cara metode.
c.
Masalah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir.
d.
Masalah hendaknya menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan siswa.
e.
Masalah hendaknya mengandung nilai (konsep) matematika yang nyata sehingga masalah tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan matematika siswa.
D. Koneksi Matematika Salah satu dari lima standar proses dalam pembelajaran menurut NCTM adalah koneksi. Koneksi bertujuan untuk membantu siswa agar dapat melihat antara topik ide-ide di dalam dan di luar matematika tersebut saling berkaitan. Ketika ide-ide matematika setiap hari dikoneksikan pada pengalamannya, baik di dalam maupun di luar sekolah, maka siswa akan menjadi sadar akan kegunaan dan manfaat dari matematika. Dengan demikian, siswa tidak hanya bertumpu pada salah satu konsep atau materi matematika yang sedang dipelajari, tetapi secara tak langsung siswa memperoleh berbagai konsep pengetahuan yang berbeda, baik di dalam matematika maupun di luar matematika. NCTM 1989 (Kurniawan, 2006:35) menyatakan bahwa tujuan koneksi matematika diberikan pada siswa sekolah menengah (kelas 9 – 12) diharapkan agar dapat: (1) Mengenali representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama, (2) Mengenali hubungan prosedur satu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen, (3) Menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik matematika, (4) Menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu lain.. Pernyataan NCTM di atas mengindikasikan bahwa kemampuan koneksi matematika, dinyatakan sebagai kemampuan melakukan
13
koneksi antar topik matematika (K1), antara matematika dengan disiplin ilmu lain (k2) dan antara matematika dengan dunia nyata (K3). Kemampuan koneksi antar topik matematika (KI) akan membantu siswa menghubungkan konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan suatu situasi permasalahan matematika, artinya bahwa pelajaran matematika yang tersebar ke dalam topik-topik aljabar, pengukuran dan geometri, peluang dan statistika, trigonometri, serta kalkulus, dalam pembelajarannya dapat dikaitkan satu sama lainnya. Sebagai contohnya adalah (1) Untuk menentukan himpunan penyelesaian sistim persamaan Tinier dua variabel : x + y 8 dan 4x - 3y = 11. Maka langkah penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara aljabar eliminasi/subsitusi, atau melaui cara grafik. Koneksi matematika dengan bidang studi lain (K2) menunjukan bahwa matematika
sebagai
suatu
disiplin
ilmu,
selain
dapat
berguna
untuk
pengembangan disiplin ilmu yang lain, juga dapat berguna untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi lain. Koneksi matematika dengan kehidupan nyata (K3) menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk menyelesaikan suatu permasalahan di kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, bahwa pembelajaran matematiaka yang terkoneksikan (K1, K2 dan K3) akan memberi peluang pada siswa untuk mernpelajari ketrampilan dan konsep, sehingga mereka mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memaksimalkan ketiga kemampuan koneksi tersebut di atas, maka siswa akan semakin menyadari bahwa konsep-konsep di dalam matematika memang saling berkaitan, dan matematika juga dapat berguna untuk pengembangan disiplin ilmu yang lain. Selain itu mereka juga akan memahami betapa pentingnya matematika untuk mernecahkan permasalahan sehari-hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, berkaitan dengan penggunaan pendekatan pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematika, maka salah satu pendekatan pembelajaran yang dipandang dan diyakini dapat mencapai tujuan tersebut adalah dengan pendekatan kontekstual. Kesuma dkk (2010:6) yang menyatakan bahwa CTL bertujuan membantu para siswa melihat makna pada materi akademik yang mereka pelajari dengan
14
cara menghubungkan materi tersebut dengan konteks kehidupan harian mereka, konteks pribadi, sosial dan budaya mereka. Selanjutnya Depdiknas (2003) dalam Kesuma dkk (2010:58) menyatakan Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. E. Respon Siswa Menurut Berlo (dalam Sutisna) merumuskan respon sebagai sesuatu, yang dikedakan oleh seseorang sebagai hasil atau akibat menerima stimulus. Stimulus tersebut merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu pengindraannya. Dalam pembelajaran matematika stimulus tersebut bisa berupa komponen materi pelajaran, cara belajar dan perangkat pembelajaran lain. Untuk mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dapat dilihat melalui angkat respon siswa. Angket respon siswa diberikan kepada siswa dan diisi setelah pembelajaran. Angket respon siswa meliputi perasaan senang/ tidak senang dan pendapat siswa terhadap komponen materi pelajaran, lembar aktivitas siswa, cara belajar dan cara mengajar guru ( Sinaga,2009) F. Pendekatan Pembelajaran Ketika orang akan mengerjakan sesuatu, maka sebelumnya orang tersebut sudah menargetkan sasaran yang hendak dicapai dari apes yang akan dikerjakannya. Untuk mencapai sasaran itu, seseorang hendaknya memilih pendekatan yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal. Begitu juga dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, agar memperoleh hasil yang maksimal diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan materi pelajaran tersebut. Russefendi (2006:240) menyatakan bahwa "pendekatan adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran atau materi pengajaran itu umum atau khusus dikelola". Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan suatu jalan atau cara yang akan dipilih dan digunakan seorang pengajar dalam menyampaikan materi pelajaran
sehingga
dapat
memudahkan
15
siswa
dalam
mencapai
tujuan
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Syah (2003:130) bahwa : "Salah satu faktor yang mempengaruhi belajar adalah faktor pendekatan belajar yaitu suatu upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukuan kegiatan pembelajaran materimateri pembelajaran. Pendekatan pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu upaya dalam mengembangkan kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dan guru". Hal ini berarti pendekatan pembelajaran merupakan cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga akan memudahkan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang akan dicapai. G. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Menurut Nurhadi (2003:4): "Pendekatan kontektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat". Dari pendapat diatas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Sanjaya (2009:254) mengemukakan. Bahwa terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL yaitu: 1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. 2. Pembelajaran
yang
kontekstual
adalah
belajar
dalam
rangka
memperoleh dan menembah pengetahuan baru ( acquiring knouldge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan deteilnya.
16
3. Pemahaman
pengetahuan
(understanding
knouledge),
artinya
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. 4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knouledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan tingkah laku siswa. 5.
Melakukan
refleksi
(reflecting
knouledge)
terhadap
strategi
pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. Nurhadi (2002) dalam Masnur Muslich (2008:42) menyatakan bahwa ada 10 karateristik pembelajaran kontekstual yaitu: (1) kerjasama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, tidak membosankan, (4) belajar dengan gairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa kritis dart (10) guru kreatif. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik pembelajaran kontekstual
adalah:
(1).Pembelajaran
bermakna
dan
menyenangkan,
(2).Terjadinya keterkaitan antara materi yang dipelajari dengan konteks dunia nyata, (3).Siswa aktif dan bersikaf kritis dan guru kreatif dan inovatif. Menurut Nurhadi (2003:31)
p
embelajaran kontekstual memiliki tujuh
komponen utama yaitu Konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (relfection), dan penilaian sebenarnya ( authentic assesment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika sudah menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. 1. Konstruktivisme (constructivism) Kontruktivisme (constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, dimana manusia membangun sedikit demi sedikit pengetahuannya yang hasilnya diperluas dalam konteks, yang terbatas (Nurhadi 2003:33). Sanjaya (2009:262) dalam bukunya juga menyatakan bahwa
17
konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat diatas adalah. pengetahuan itu bukan terbentuk begitu saja melainkan melalui proses sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Nurhadi (2003:33) berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep dan kaidah yang siap untuk diingat. Olah karena itu manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna dalam pengalaman nyata. Selain itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. 2. Bertanya (questioning) 1. Menggali informasi, baik administasi maupun akademis 2. Mengecek pemahaman siswa 3. Memecahkan persoalan yang dihadapi 4. Membangkitkan respon kepada siswa 5. Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa 6. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa 7. Menfokuskan pengetahuan siswa ada sesuatu yang dikehendaki guru 8. Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan 9. Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa aktvitas bertanya sangat penting dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (2009:32) yang menyatakan bahwa: "dalam setiap proses pembelajaran, strategi apapun yang digunakan, bertanya merupakan kegiatan yang selalu merupakan bagian yang tak terpisahkan". 3. Menemukan (inquiry) Sebagaimana dikemukakan diatas inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Kegiatan inkuiri merupakan sebuah siklus. Siklus inkuiri adalah :(1). Observasi (Ovservation ), (2).Bertanya (Questioning ), (3). Mengajukan dugaan (Hipothesis), (4) Pengumpulan data ( Data gathering)
18
dan (5) Penyimpulan (Conclusion), (Nurhadi 2003:44). Jadi kegiatan ini diawali dengan pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan - kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh siswa sendiri. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan siswa, tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta melainkan hasil penemuan sendiri dari fakta yang dihadapinya. 4. Masyarakat belajar (learning community) Aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung melibatkan suatu komunitas belajar tertentu yang dikenal sebagai masyarakat/komunitas belajar (Learning Connnunity). Dalam komunitas ini siswa memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar, peserta didik berbicara mengemukakan pendapatnya, berbagi pengalaman dan pengetahuan serta bekerjasama dengan orang lain. Bekerjasama itu dapat dilakukan dalam. berbagai bentuk, baik dalam bentuk kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan. Nurhadi (2003:47) menyatakan bahwa dalam masyarakat belajar, hasil pembelajaran dapat diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hal ini senada dengan pendapat Kesuma dkk (2010:67) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tau memberi tahu kepada yang belurn tahu, yang memiliki pengalaman memberikan pengalaman kepada orang lain. Oleh karma itu dalam pembelajaran proses umpan balik yang aktif baik antar siswa maupun dengan guru sangat dibutuhkan. Dengan terjadinya interaksi tersebut, maka dengan sendirinya timbul refleksi basil pemikiran siswa ataupun kelompoknya, yang akhirnya akan meningkatkan pemahaman matematika setiap siswa. 5. Pemodelan (modeling)
Pemodelan sebagai salah satu komponen pendekatan kontekstual menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa dituri siswa. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi ataupun pemberian contoh. Misalnya mempertontonkan suatu penampilan, mempelajari contoh penyelesaian soal, cara mengoperasikan sesuatu. Dalam hal ini contoh bukan untuk ditiru persis, tetapi menjadi acuan pencapaian kompetensi siswa.
19
Dalam pembelajaran kontekstual modeling tidak terbatas dari guru saja. Modeling bisa melibatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya salah satu siswa ditunjuk untuk memberik.an contoh kepada temannya cara melafalkan suatu kata. Model juga dapat didatangkan dari luar, misalnya seorang penutur asli bahasa inggris dihadirkan dikelas untuk bertutur kata dalam bahasa inggris serta gerak tubuh ketika berbicara. 6.
Refleksi (relfection) Sardinian (2009:227) menyatakan bahwa refleksi adalah cara berpikir atau
perenungan tentang apa yang barn dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apaapa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas,atau pengetahuan yang baru diterima. Dalam pembelajaran guru biasanya melakukan refleksi pada akhir pembelajaran. Menurut Nurhadi (2003:51) realisasi refleksi berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, (2) catatan atau jurnal di buku siswa, (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi, (5) hasil karya, (6) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari. 7.
Penilaian sebenarnya ( authentic assesment). Penilaian yang benar adalah menilai apa yang seharusnya dinilai, inilah
yang menjadi hakikat dari penilaian autentik. Penilaian yang otentik adalah suatu penilaian yang tidak hanya mementingkan produk pembelajaran, tetapi lebih berorientasi pada proses sehingga pelaksanaan penilaian menyatu selama proses pembelajaran berlangsung. Cecep (2002) dalamTim instuktur PLPG (2010:70) menyatakan penilaian autentik bertujuan untuk menyediakan informasi yang absah/benar dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, atau tentang kualitas program pendidikan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum kita membuat penilaian tentang siswa kita harus mencari seluruh informasi tentang perkembanhgan siswa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (1997) dalam Tim Instuktur PLPG (2010:67) yang menyatakan bahwa penilaian (asesmen) mengacu pada seluruh informasi penilaian oleh guru untuk membuat keputusan tentang siswa dan kelasnya.
20
Johnson (2002) dalam Muslich (20081:51) menyatakan bahwa" penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar mengajar". Dengan cara ini, maka setiap perkembangan peserta didik baik individu maupun kelompok akan teramati, sehingga setiap kelebihan dan kelemahan yang ditemukan akan segera dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi siswa, maupun guru. 8.
Teori yang Relevan Dengan Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang dalam proses pembelajarannya berpusat pada siswa. Pembelajaran kontekstual ini salah satu pembelajaran yang menganut paham kontruktivisme. Kontruktivisme memandang semua pengetahuan merupakan produk dari tindakan kognitif masing-masing individu. Dalam mengkonstruksi pengetahuan , kontuktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realita, tetapi lebih ditunjukan untuk melihat bagaimana kita menjadi tabu akan sesuatu. Soedjadi dan slavin dalam tim PLPG, (2008:25) menyatakan bahwa pada dasarnya pendekatan konstruktivis dalam belajar adalah siswa harus secara individual menemukan dan mentraspormasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu. Guru bertindak sebagai fasilitator. Salah satu teori yang memprakarsai teori belajar yang menganut pandangan kontruktivis adalah teori yang dikernukakan Piaget yang dianggap sebagai tokoh kontruktivis. Piaget dalam (PLPG 2008:27) menyatakan bahwa "manusia turnbuh, beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan emosional dan perkembangan kognitif'. Dalam. pandangannya pengetahuan bersumber dari tindakan. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan keadaanya. Dalam
pembelajaran
kontekstual
siswa
diharapkan
mampu
menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan permasalahan yang dihadapinya. Siswa diminta untuk menemukan ide-ide dengan cara mereka sendiri yang berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Hal ini didukung oleh teori Ausubel yang dikenal dengan teori belajar bermakna. Menurut Ausubel (PLPG 2008:40)
"belajar
bermakna
adalah
sebuah
21
proses
pembelajaran
yang
mengkaitkan pengetahuan sebelumnya untuk merespon pengetahuan atau informasi baru yang akan dikuasainya". Oleh karena itu agar pembelajaran matematika bermakna bagi siswa, konsep baru yang disampaikan hurus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Dalam merespon suatu pengetahuan atau informasi baru siswa perlu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat dilakukan dengan belajar secara kelompok. Dalam belajar kelompok ini siswa dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan orang lain, saling berargumen yang akhirnya dalam pembelajaran akan terjadi suatu proses umpan balik yang aktif antar siswa maupun dengan guru. Hal ini sesuai dengan teori Vygotsky dalam Tim PLPG (2008:33) yang menyatakan " children's cognitive development is promoted and enchanted through their interaction with more advanced and capable individuals".
Kutipan
ini
menyatakan
guru
perlu
menerapkan
strategi
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat saling berinteraksi dengan temannya. Guru menstimulus keterlibatan siswa melalui pemecahan masalah dan memberikan bantuan ketika mengalami kesulitan. 9. Kerangka Konseptual Belajar adalah sebuah usaha yang dilakukan setup individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku. Belajar matematika adalah suatu proses, berupa tindakan atau upaya yang dilakukan seseorang untuk dapat memahami atau menguasai materi matematika dan dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri untuk menemukan penyelesaian suatu masalah. Dalam hat ini tindakan atau upaya tersebut berupa pengalaman belajar matematika yaitu reaksi orang yang belajar matematika terhadap materi matematika sebagai bahan ajar. Tujuan pembelajaran matematika yaitu mempersiapkan siswa untuk mampu bernalar dan berkomunikasi secara matematis, menguasai konsep dan terampil dalam memecahkan masalah dalam kehidupan dunia nyata. Oleh karena itu guru harus mampu merencanakan clan melaksanakan inovasi dalam pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa untuk selalu terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang dapat. memotivasi siswa untuk menjadi pelajar yang aktif dan mandiri adalah pembelajaran kontekstual. Pembelajaran
22
dengan pendekatan kontektual adalah sebuah pembelajaran dimana guru tidak mendominasi pembelajaran melainkan guru adalah sebagai fasilitator . Dalam hal ini siswa diarahkan untuk belajar mandiri, dapat memecahkan masalah yang dihadapinya yaitu dengan cara memanfaatkan pengetahuan siswa yang sudah ada sebelumnya. Pemanfaatan itu bisa dilakukan siswa dengan cara mengkoneksikan beberapa topik yang berkaitan. Penerapan pembelajaran kontekstual yang baik akan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan koneksi matematika siswa karena dalam pembelajaran kontektual, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata. Pembelajaran dilakukan dengan mengajukan masalah yang terkait dengan diri siswa sesuai dengan kemampuannya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa diarahkan mengikuti langkah-langkah penyelesaikan masalah seperti memahami masalah, merencanakan penyelesaian atau memilih penyelesaian yang sesuai, selanjutnya melaksanakan penyelesaian sesuai perencanaan dan memeriksa kembali kebenaran jawaban yang diperoleh.
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sernu (Quqsi eksperiment) untuk melihat hubungan sebab akibat dari perlakuan pada pendekatan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi metematika siswa. Perlakuan yang dilakukan adalah penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual. B. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Swasta Al-Azhar Medan kelas X pada tahun pelajaran 2011/2012. Diperkirakan bulan April / Mei 2012 sampai dengan bulan Juni 2012. a. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah sejumlah keseluruhan yang menjadi objek penelitian yang akan di teliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Swasta AlAzhar Medan kelas X pada tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 6 kelas dengan sejumlah siswa sebanyak 240 orang. 2. Sampel Penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara acak sederhana yaitu sampel diaambil secara random yang akan mewakili populasi. Dengan demikian mengingat kelas X berjumlah 40 siswa sehingga memberikan kemungkinan yang sama bagi setiap kelas untuk terpilih menjadi sampel. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kelas X A dan X B yang terdiri dari 80 siswa. 3.
Variabel dan Indikator
Berdasarkan dari tujuan penelitian dan kerangka teori dalam penelitian ini maka penulis menggunakan satu bentuk variabel, yaitu : 1. Variabel : perlakuan pada pendekatan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah clan koneksi matematika siswa ( eksprimen ) dan pelakuan yang dilakukan adalah penerapan pendekatan pembelajaran
24
kontekstual ( kontrol ). 2. Indikator : Skor tes semester II pada materi Persamaan diferensial. b. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes dan non tes. Instrumen jenis tes melibatkan pre-tes dan pos-tes. Pre-tes dan pos-tes meliputi tes kernampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika dalam bentuk soal uraian. Jenis non tes melibatkan angket respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran kontekstual. Soal pre-tes terdiri dari 10 butir soal uraian, yang meliputi 5 butir soal mengukur kemampuan pemecahan masalah dan 5 butir soal mengukur kemampuan koneksi matematika siswa. Pre-tes dalam penelitian ini diberikan diawal penelitian dengan tujuan: (1) untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan awal siswa, (2) untuk melihat kesiapan siswa terhadap materi bangun ruang sisi datar kubus dan balok dan (3) untuk mengetahui apakah kemampuan siswa pada kedua kelompok sama atau tidak. c. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi matematika Tes kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini terdiri dari 5 soal dalam bentuk uraian yang diberikan pada akhir penelitian bagi kelompok eksperimen dan kontrol. Pemilihan bentuk tes uraian bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa secara menyeluruh terhadap materi yang telah diberikan setelah kedua kelompok memperoleh pembelajaran. Tes kemampuan koneksi matematika pada penelitian ini terdiri dari 5 soal bentuk uraian yang diberikan pada akhir penelitian bagi kelompok eksperimen dan
kelompok
kontrol.
Pemilihan
bentuk
tes
uraian
bertujuan
untuk
mengungkapkan kemampuan konekasi matematika siswa secara menyeluruh terhadap materi yang telah disampaikan setelah kedua kelompok memperoleh pembelajaran. f.
Angket Respon Siswa Terhadap Kegiatan Pembelajaran Data respon siswa yang diberikan kepada siswa pada kelompok eksperimen
yang bertujuan untuk mengetahui pendapat atau komentar siswa terhadap pembelajaran kontekstual. Angket respon siswa diberikan kepada siswa dan diisi
25
setelah pembelajaran yang meliputi materi pelajaran, lembar aktifitas siswa, cara bclajar dan cara guru mengajar. Kemudian dengan instrumen ini ingin diketahui juga tentang minat siswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya. Angket respon siswa dalam kegiatan pembelajaran dan terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan diisi oleh siswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Adapun hal-hal yang dapat diamati pada respon siswa terdapat pada tabel aspek yang diamati pada respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran, sebagai berikut: Tabel 3.2 Aspek yang Diamati pada Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelaiaran Kontekstual No
Aspek yang diamati
1
Perasaan siswa terhadap komponen a. Materi pelajaran b. Lembar aktivitas siswa (LAS) c. Suasana belajar di kelas d. Cara guru mengajar
2
Pendapat siswa terhadap komponen a- Materi pelajaran b. Lembar aktivitas siswa (LAS) c. Suasana belajar di kelas d. Cara guru mengajar
3
4
Siswa yang berminat untuk mengikuti berikutnya, seperti yang dilakukan sekarang
kegiatan
pembelajaran
Pendapat siswa tentang lembar aktivitas siswa a. Siswa dapat memahami bahasa yang digunakan dalam lembar aktivitas siswa b. Siswa tertarik pada penampilan (ttilisan, gambar, dan letak gambarnya) yang terdapat pada lembar aktivitas siswa
g. Ujicoba Instrumen Sebelum ujicoba tes dilaksanakan, dilakukan terlebih dahulu validasi terhadap perangkat dan instrumen oleh beberapa para ahli. Ahli yang dimaksud dalam hal ini adalah para validator yang berkompeten yang meliputi dosen 26
UNIMED, alumni mahasiswa S2 program studi matematika UNIMED serta guru MTS. Berdasarkan hasil penelitian ahli, kemudian dilakukan revisi terhadap perangkat dan instrumen. Saran dari validator digunakan untuk penyempumaan perangkat dan instrumen penelitian. Setelah ujicoba tes dilaksanakan, kemudian dianalisis validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran. h. Validasi Ahli Terhadap Perangkat Pembelajaran Validasi perangkat difokuskan pada isi, format, bahasa, ilusttrasi dan kesesuaian dengan pembelajaran kontekstual. Format validasi ahli terhadap perangkat pembelajaran yaitu RPP dan LAS clapat dilihat pada Label 3.3 berikut: Tabel 3.3. Format Validasi perangkat Pembelajaran No Objek yang dinilai 1
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
2
Lembar Aktivitas Siswa (LAS)
Validato
Tingkat Validasi
Kriteria penilaian sebagai berikut: 1,0
- 1,49
= Tidak baik
1,50 - 2,49
= Kurang baik
3,50 - 3,49
= Cukup baik
4,50 - 5,00
= Sangat baik (Sinaga, 2008)
i. Validasi Ahli terhadap Instrumen penelitian Validasi instrumen difokuskan pada isi, format, bahasa dan ilustrasi serta kesesuaian dengan materi bangun ruang sisi datar dengan pembelajaran kontekstual. Validasi instrumen penelitian dilakukan terhadap tes hasil belajar yang meliputi kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa. Format validasi tes hasil belajar dapat dilihat pada tabel 3.4 dan 3.5 berikut:
27
Tabel 3.4 Format Validasi Tes Kemampuan Pemecahan Masalah No Validator
Penilaian validator untuk tiap butir soal 1 2 3 4 5 TR/RK TR/RK TR/RK TR/RK TR/RK
1 2 3
Tabel 3.5 Format Validasi Tes Kemampuan Koneksi Matematika No Validator 1 2 3
Penilaian validator untuk tiap butir soal 1 2 3 4 5 TR/RK TR/RK TR/RK TR/RK TR/RK
Keterangan: TR
: Dapat digunakan tanpa revisi
RK
: Dapat digunakan dengan revisi kecil Selanjutnya diadakan tahap ujicoba instrurnen kepada siswa yang berada di
luar objek yang telah mempelajari materi bangun ruang sisi datar kubus dan balok sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat reliabilitas soal, validitas butir soal, daya pembeda, dan tingkat kesukaran butir soal. j. Validitas Butir Soal Validitas butir soal dihitung untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara jawaban skor butir soal dengan skor total yang telah ditetapkan. Untuk menghitung validitas butir soal digunakan rumus koefisien korelasi product moment dari Pearson (Arikunto, 2009: 72) dengan rumus sebagai berikut:
Dengan N
= Banyak siswa peserta tes
X
= Skor item
Y
= Skor total
X2
= Jumlah kuadrat nilai variabel X
E Y2 = Jumlah kuadrat nilai variabel Y
28
Jika instrumen itu valid, maka dapat dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya (r) menurut Arikunto (2009: 75) sebagai berikut: Antara 0.800 sampai dengan 1.000 : sangat tinggi Antara 0.600 sampai dengan 0.799: tinggi Antara 0.400 sampai dengan 0.599 : cukup tinggi Antara 0.200 sampai dengan 0.399 rendah Antara 0.000 sampai dengan 0.199 sangat rendah (tidak valid) Pengujian signifikan koefisiensi korelasi digunakan uji-t (Sudjana, 1996:396) dengan rumus:
Dengan t
= daya pembeda = Koefisien korelasi hasil
N
= Jumlah responder
Apabila harga lebih
dari harga
maka korelasi
tersebut tidak signifikan (tidak valid). Dengan menggunakan taraf signifikansi 5% dengan dk = n – 2. Format hasil analisis validitas tes uji coba kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika dapat dilihat pada Label berikut 3.6 berikut : Tabel 3.6. Format Hasil Analisis Validitas Tes Uji Coba Kemampua Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematika Denis tes Pemecahan Masalah
Koneksi Matematika
Butir Soal
Keterangan
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
29
k.
Reabilitas Butir Soal Suatu alat ukur memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu
memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan siapapun (dalam level yang sama). Untuk menghitung reliabilitas butir tes bentuk uraian digunakan rumus alpha-Cronbach (Arikunto, 2009: 109)
Dimana : r11
= Koefisien reliabilitas yang dicari = Jumlah varians skor tiap-tiap item = Varians total
n
= banyaknya butir soal Untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas suatu alat evabinsi
(Arikunto, 1999) memberikan criteria sebagai berikut: 0,80 ≤
≤ 1,00
derajat reabilitas sangat tinggi
0,60 ≤
≤ 0,79
derajat tingkat tinggi
0,40 ≤
≤ 0,59
derajat reabilitas sedang
0,20 ≤
≤ 0,39
derajat realibilitas rendah
≤ 0,19
derajat realibilitas sangat rendah
1. Daya Pembeda Butir Soal Daya pembeda suatu soal dimaksudk.an untuk dapat membedakan antara siswa yang pandai dan siswa yang kurang pandai. Sebuah soal dikatakan memiliki daya pembeda yang baik apabila siswa yang pandai dapat menjawab soal dengan baik, dan siswa yang kurang pandai tidak dapat menjawab soal dengan baik. Perhitungan daya pembeda setiap butir soal dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dengan : DP = Indeks daya pembeda SA = Jumlah skor kelompok atas SB = Jumlah skor kelompok bawah IA = Jumlah skor ideal kelompok atas
30
Menurut Arikunto (2009: 218) klasifikasi daya pembeda soal adalah sebagai berikut: 0,00 < D ≤ 0,20 jelek 0,20 < D ≤ 0,40 cukup 0,40 < D ≤ 70 baik 0,70 < D ≤ 1,00 baik sekali m. Tingkat Kesukaran Butir soal Tingkat kesukaran soal dapat digolongkan dalam 3 kriteria, yakni mudah, sedang dan sukar. Analisis tingkat kesukaran. butir soal dilakukan untuk melihat keseimbangan soal-soal yang dikategorikan soal mudah, sedang dan sukar secara proporsional. Tingkat kesukaran soal dapat dipandang sebagai kesanggupan siswa menjawab soal, tidak dilihat dari segi kemampuan guru mendisain soal tersebut. Untuk menentukan tingkat kesukaran dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan : DI
= Indeks kesukaran butir soal
HG ( High group)
= Jumlah skor siswa pada kelompok atas
LG (Low Group)
= Jumlah skor siswa pada kelompok bawah
N
= Jumlah siswa pada kelompok atas dan kelompok bawah
Klasifikasi tingkat kesukaran yang digunakan adalah: ≤ 27 %
soal mudah
27 % ≤ 73%
soal sedang
DI
soal sukar
DI
> 73%
k. Teknik Analisis Data Analisis data bertujuan untuk memperoleh makna dari data yang telah terkumpul. Analisis dilaksanakan terhadap seperangkat data. Pengolahan data yang akan dilakukan berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini. Diawali dengan melakukan uji prasyarat analisis data seperti uji normalitas dan homogenitas sebelum menganalisis hipotesis dengan menggunakan uji t. Untuk melihat keterkaitan antara rumusan masalah, hipotesis, data dan alai uji dan uji statistik dapat dilihat pada tabel 3.7 berikut: 31
Tabel 3.7. Keterkaitan Antara rumusan Masalah, Hipotesis, Data, Alat Uji dan Uji Statistik. No 1
2
3
Rumusan Masalah Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional? Apakah peningkatan kemampun koneksi matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional? Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran
Hipotesis
Data
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebelum dan sesudah pembelajaran kontekstual. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebelum dan sesudah pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemampuan koneksi matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih tinggi daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Kemampuan koneksi matematika siswa sebelum dan sesudah pembelajaran kontekstual. Kemampuan koneksi matematika siswa sebelum dan sesudah pembelajaran konvensional. Respon Siswa
32
Alat Uji
Uji Statistik
Tes kemampuan Uji -t pemecahan masalah
Tes kemampuan koneksi matematik Uji - t
Angket respon siswa
Deskripsi respon siswa terhadap
kontekstual ?
kegiatan pembelaja ran kontekstu Teknik analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptifaldan
dengan ststistik infrensial. Data pengamatan angket respon siswa dianalisis dengan analisis statistik deskriptif Data tentang kemempuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa dianalisis dengan ststistik inferensial. Teknik analisis data sebagai berikut: 1. Analisis Statistik Deskriptif Russefendi (2006) menyatakan bahwa statistik deskriptif merupakan tingkat pengerjaan statistika yang hanya berkenaan dengan pengumpulan, pengolahan, penganalisisan dan penyajian sebagian atau seluruh data tanpa mengambil kesimpulan. Data yang menggunakan analisis statistik deskriptirf adalah data hasil kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa bertujuan untuk melihat ketercapaian ketuntasan belajar siswa, pada pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional, dan respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran kontekstual. Data yang menggunakan analisis statistik deskriptif adalah: m. Data Hasil Kemampuan pemecahan Masalah dan Koneksi Matematika. Analisis data hasil kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa secara deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan ketercapaian ketuntasan belaiar siswa. Untuk deskripsi ketuntasan ini, data yang dianalisis adalah data poster. Setiap siswa dikatakan tuntas belajamya (ketentuan individu) jika proporsi jawaban benar ? 65% dari skor maksimum, dan suatu kelompok dikatakan tuntas (ketuntasan klasikal) jika dalam kelompok tersebut terdapat >_ 85% siswa tuntas belajamya (Depdikbud, 1995: 39). n. Data Angket Respon Siswa Untuk melihat respon siswa terhadap komponen dan kegiatatan pembelajaran kontekstual maka digunakan angket respon siswa. Data respon siswa dianalisis dalam bentuk persentase dan dikelompokkan untuk setiap indikator. Respon siswa dikatakan positif apabila persentase rata-rata yang diperoleh lebih dari 80% berada dalam kategori senang, bare dan benflinat Saleh dalam Paniaitan (2010:53). 33
o. Analisis Statistik Inferensial Pada tahap penelitian ini dilaksanakan analisis terhadap seperangkat data (data dari tes materi prasyarat, tes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa) yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Data-data yang diperoleh tersebut dianalisis melalui langkah-langkah berikut: 1. Menghitung rerata skor dari tcs awal, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan rumus :
Dengan: X
= Rerata
Xi = Skor ke-i n
= Banyak siswa
2. Menghitung simpangan baku total skor tes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan rumus :
Dengan: X2
3.
= rerata
Xi
= Skor ke-i
n
= Banyak siswa
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang didapat berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan sattistik Kolmogorop-smirnov dengan bantuan sofwer SPSS 17. Selain itu akan uji normalitas data akan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan rumus Chi-kuadrat (chi-square) sebagai berikut:
Dengan : X2 fh
= Chi Kuadrat = Frekuensi yang diharapkan
34
f0
= Frekuensi yang diobservasi
4. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua distribusi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki variansivariansi yang sama atau tidak. Uji homogenitas varians dilakukan dengan menggunakan uji Levena dengan bantuan sofwer SPSS 17. Selain itu uji homogenitas varians akan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan rumus rumus sebagai berikut:
Dengan
F
= Homogenitas varians
S 2b
= Varians besar
S2 k
= varians kecil
Kriteria pengujian adalah pads taraf signifikansi alpha, variansi sampel dikatakan homogen jika Fhitung < Ftabel, dimana Ftabel = (1-α) F (dk1, dk2) dengan dk1 = n1-1 dan dk2 = n2-1. 5. Uji hipotesis Hipotesis penelitian yang diuji adalah hipotesis nol (Ho) atau hipotesis statistik dan hipotesis alternatif (Ha). Ho bcrarti hipotesis yang menyatakan bahwa rerata skor siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda. Hipotesis alternatif (Ha) yaitu hipotesis yang akan diterima seandainya hipotesis nol ditolak. Hipotesis nol dan hipotesis alternatif dapat dituliskan sebagai berikut: Ho : µ1 = µ2 Ha : µ2 = µ2 Dimana : µ1
= Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
yang mengikuti
pembelajaran kontekstual. µ2
= Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
yang mengikuti
pembelajaran konvensional. Setelah data dinyatakan berdistribusi normal dan homogen, maka hipotesis diuji dengan menggunakan rumus uji-t sebagai berikut:
35
Dimana :
= Rerata untuk kelompok eksperimen = Rerata untuk kelompok kontrol ne
= Banyaknya siswa, untuk kelompok eksperimen
nk
= Banyaknya siswa untuk kelompok kontrol
S2e = Varians untuk kelompok eksperimen S2k = Varians untuk kelompok kontrol Kriteria pengujian hipotesis H,, diterima jika thitung < tabd untuk taraf nyata a = 0,05. Dimana distribusi t yang digunakan mempunyai A = (n-2). Ho ditolak jika thitung > ttabel Untuk melihat besarnya peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematika siswa, peneliti menganalisis data hasil tes dengan rumus gain temormalisasi (indeks gain), yaitu membandingkan skor pre tes dan skor post tes. Rumus yang digunakan adalah:
Dengan kriteria :
g > 0,7
tinggi
0,3 < g < 0,7
sedang
g < 0,3
rendah (Hake 1999)
36
BAB IV JADWAL PELAKSANAAN
A. Prosedur penelitian Berdasarkan rancangan penelitian diatas, penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Ketiga tahap tersebut mencakup tahap persiapan, tahap pelaksanaan eksperimen, tahap analisis data dan penulisan laporan sebagai berikut: a.
Tahap persiapan Tahap persiapan dalam hal adalah melakukan studi pendahuluan,
identifikasi masalah, rumusan masalah dll. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, validasi Berta revisi sesuai saran pars ahli terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Selain itu pada tahap ini peneliti survey ke MTs Swasta Harapan Bangsa Meulaboh sekaligus melakukan kolaborasi antara peneliti dengan pengamat agar memiliki persamaan persepsi dalam melakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran. Tabel 1 Waktu Pelaksanaan Penelitian Mata Pelajaran
Kelas
Maret 2012
April 2012
Mei 2012
Juni 2012
Matematika
X
Minggu II
Minggu 11 Minggu IV
Minggu II
Minggu IV
Minggu IV Minggu IV
Minggu I Minggu 1V Minggu IV
Ket
b. Tahap Pelaksanaan Eksperimen Pada tahap pelaksanaan eksperimen dilakukan pretes, pembelajaran kontekstual, pengumpulan data dan postes. Pretes bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa terhadap materi bangun rung sisi datar dan untuk mengetaui perkembangan siswa setelah pembelajaran kontekstual. Selain itu akan dilakukan pembagian angket untunk mengetahui respon siswa terhadap pembelaiaran.
37
c. Tahap analisis Data dan Penulisan Laporan Data yang diperoleh dari hasil eksperimen akan dianalisis dengan membandingkan hasil antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol, menguji mana yang lebih baik dan menarik kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya semua hasil penelitian ditulis untuk membuat laporan penelitian. Untuk lebih jelasnya tahapan penelitian di atas dapat dilihat pada rangkuman tahapan alur kerja penelitian yang akan dilakukan pada gambar 3.1 berikut ini:
38
39
B.
Prosedur Penelitian
d. Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika, tes kemampuan koneksi matematika dan angket respon siswa terhadap pembelajaran kontekstual. Semua data yang diperoleh akan dianalisis untuk menarik kesimpulan. e.
Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematika Data hasil kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa
diperoleh melalui pemberian tes tertulis yakni pretes dan postes. Tes diberikan kepada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Instrumen ini digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika siswa dalam menguasai materi bangun ruang sisi datar pada siswa kelas VII MTs. Banyaknya butir soal dalam penelitian ini adalah 10 butir soal yang terdiri dari 5 butir soal mengukur kemampuan pemecahan masalah dan 5 butir soal mengukur kemampuan koneksi matematika siswa. Penentuan penskoran yang digunakan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap marteri pelajaran, ranah kemampuan yang diukur adalah ranah kemampuan kognitif siswa. f.
Angket Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Data respon siswa diperoleh dengan menggunakan angket yang diberikan
kepada siswa kelas eksperimen. Angket respon diberikan kepada siswa dan diisi setelah pembelajaran kontekstual yang meliputi perasaan dan pendapat siswa terhadap komponen materi pelajaran, lembar aktivitas siswa, cara belajar dan cara mengajar guru dan pendapat tentang lembar aktivitas siswa (LAS).
40
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa antara yang menggunakan pembelajaran kontekstual dan konvensional. Selain itu penelitian ini betujuan untuk melihat interaksi antara pendekatan yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Sebelum diuji peningkatan kedua kemampuan di atas, terlebih dahulu dibuktikan bahwa kelas eksperimen dan kelas control memiliki kemampuan awal yang tidak berbeda. Pembuktian dilakukan dengan menguji kesamaan dua ratarata nilai pretes antara kelas control dan kelas eksperimen dalam kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematisn siswa. Berikut ini disajikan hasil analisis dan pembahasannya. 4.1. Hasil Penelitian Kemampuan Pemecahan Masalah Hasil penelitian kemampuan pemecahan masalah meliputi : deskripsi kemampuan pemecahan masalah, uji normalitas dan uji homogenitas 4.1.1.1 Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Setelah dilakukan pengolahan data hasil pretes kemampuan pemecahan masalah, diperoleh skor terendah (χ min), skor tertinggi (χ max), skor rata-rata (χ ratarata)
dan standar deviasi (S) untuk kelas eksperimen dan control seperti tampak
pada table 4.1. berikut ini :
41
Tabel 4.1 Data Hasil Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah
Aspek Memahami Masalah Merencanakan Pemecahan Melakukan Perhitungan Memeriksa kembali Keseluruhan Aspek
Skor Max s 8
Kelas Eksperimen Xmin Xmax
S
2
8
6,81
29
3
31
Kelas Kontrol Xmin Xmax
1,75
Persen tase 85,16% 2
8
6,69
1,79
Persen tase 83,62%
22
11,81 6,06
40,73% 0
21
10,76
6,75
37,10%
4
27
14,34 8,42
46,72% 0
27
11,93
8,18
38,49%
12
3
12
4,41
36,72% 0
12
4,12
2,94
34,48%
80
12
68
37,38 17,43 46,72% 4
68
33,52
5,79
41,90%
2,53
90.00% 85.16% 80.00% 83.62% 70.00% 60.00% 46.72% 46.72% 50.00% 40.73% 36.72% 40.00% 41.90% 38.49% 30.00% 37.10% 34.48% 20.00% 10.00% 0.00%
S
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Grafik 4.1. Grafik Persentase Pencapaian Skor Pretes Kelas Eksperimen dan Kontrol.
Dari tabel 4.1 dan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa persentase pencapaian skor pretes siswa di kelas eksperimen dan control berbeda untuk setiap indikator pemecahan masalah. Persentase pencapaian skor aspek memahami masalah untuk kelas eksperimen 85,16% dan kelas control 83,62% aspek merencanakan pemecahan, kelas eksperimen 40,73% dan kelas kontrol 37,10%, aspek 42
melakukan perhitungan, kelas eksperimen 46,72% dan kelas kontrol 38,49%, aspek memeriksa kembali, kelas eksperimen 36,72% dan kelas kontrol 34,4%, sementara keseluruhan aspek kelas eksperimen 46,72% dan kelas kontrol 41,90%. Tabel 4.2.1 Data Hasil Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Aspek Memahami Masalah Merencanakan Pemecahan Melakukan Perhitungan Memeriksa kembali Keseluruhan Aspek
Skor Maxs
Kelas Eksperimen Xmin Xmax
S
8
6
8
7,31
23
12
23
18
29
14
20 80
Kelas Kontrol Xmin Xmax
0,96
Perse ntase 91,41% 6
8
7,31
0,97
Persen tase 91,38%
3,26
78,26% 8
23
14,93 4,25
64,92%
29
21,38 4,15
73,71% 6
27
16,90 5,81
58,26%
0
20
13,25 3,98
66,25% 0
18
7,66
38,28%
32
76
10,8
76
46,80 16,80
10,88 75,12% 20
100.00% 91.41% 78.26% 90.00% 75.12% 73.71% 80.00% 91.38% 66.25% 70.00% 60.00% 64.92% 50.00% 58.49% 58.26% 40.00% 30.00% 38.28% 20.00% 10.00% 0.00%
S
5,51
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Gambar 4.2. Grafik Persentase Pencapaian Skor Postes Kelas Eksperimen dan Kontrol
Dari tabel 4.2 dan gambar 4.2. dapat dilihat bahwa persentase pencapaian skor postes siswa dikelas eksperimen dan kontrol berbeda untuk setiap indikator pemecahan masalah. Persentase pencapaian skor aspek memahami masalah untuk kelas eksperimen 91,41% dan kelas kontrol 91,38% aspek merencanakan
43
58,49%
pemecahan, kelas eksperimen 78,26% dan kelas kontrol 64,92%, aspek melakukan perhitungan, kelas eksperimen 73,71% dan kelas kontrol 58,26%, aspek memeriksa kembali, kelas eksperimen 66,25% dan kelas kontrol 38,28%, sementara keseluruhan aspek kelas eksperimen 75,12% dan kelas kontrol 58,49%. Bila diperhatikan persentase pencapaian skor pretes dan postes siswa di kelas eksperimen dan kontrol untuk setiap indikator pemecahan masalah terjadi peningkatan. Kelas eksperimen untuk aspek memahami masalah mengalami peningkatan 6,25% aspek merencanakan pemecahan, mengalami peningkatan 37,53%, aspek melakukan perhitungan, mengalami peningkatan 26,99%, aspekaspek mengalami peningkatan 28,4%. Untuk kelas kontrol aspek memahami masalah, mengalami peningkatan 7,76% aspek merencanakan pemecahan, mengalami peningkatan 27,82%, aspek melakukan perhitungan mengalami peningkatan 19,77%, aspek memeriksa kembali, mengalami peningkatan 3,8%, sedangkan keseluruhan aspek mengalami peningakatan 16,59%. Bila diperhatikan peningkatan pencapaian skor pada setiap aspek pemecaham masalah terjadi perbedaan. Peningkatan pencapaian skor untuk aspek memahami masalah kelas eksperimen (6,25%) lebih rendah dari kelas kontrol (7,76%), merencanakan pemecahan kelas kontrol eksperimen 37,53% lebih tinggi dibanding kelas kontrol (27,82%), melakukan perhitungan kelas eksperimen (26,99%) lebih tinggi dari kelas kontrol (19,77%) dan memeriksa kembali kelas eksperimen (29,53%) lebih tinggi dibanding kelas kontrol 3,8%. Sedangkan peningkatan keseluruhan aspek pemecahan masalah kelas eksperimen (28,45) lebih tinggi dari kelas kontrol (16,59%), dimana selisih peningkatan pencapaian skor antara kelas eksperimen dan kontrol sebesar 11,81%. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa, khusus untuk peningkatan pencapaian skor untuk aspek memahami masalah, kelas eksperimen lebih rendah daripada kelas kontrol. Sedangkan untuk aspek yang lainnya peningkatan pencapaian skor kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini mengindekasikan bahwa rata-rata peningkatan pada kelas eksperimen dan kontrol berbeda, dimana peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol.
44
Untuk menguji signifikansi kebenaran bahwa rata-rata peningkatan skor pada kedua kelas berbeda, perlu dilakukan pengujian statistik dengan uji t Perbedaan dua rata-rata. Sebelum dilakukan analisis data uji perbedaan dua ratarata pada kelas eksperimen dan kelas kontrol terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data yang telah dikumpulkan sebagai salah satu persyaratan dalam analisis kuantitatif. Berikut pemaparan hasil pengujian normalitas dan homogenitas variansi dari data yang diperoleh. 4.1.1.a. Uji Normalitas Data Pretes Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kecocokan Chi Kuadrat (X2) pada taraf signifikan 0,05. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah data hasil pretes kemampuan pemecahan masalah siswa terdistribusi secara normal pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil pehitungan data pretes kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas eksp erimen diperoleh X2hitung = 3,869 dan X2tabel = 7,815 karena X2hitung ≤ X2tabel
maka dapat
disimpulkan bahwa data pretes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya perhitungan terhadap data pretes kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas kontrol diperoleh X2hitung = 3,417 dan X2tabel = 7,815. Karena X2hitung ≤ X2tabel maka dapat disimpulkan bahwa data pretes kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas kontrol berdistribusi normal. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran IV). Selain itu, perhitungan normalitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.3 dan 4.4 berikut : Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Sig Statistic df Pretes_P Masalah_KK .142 32 .099 a. Lillie Significance Correction 45
Shapiro-Wilk Statistic df .992 32
Sig .024
Tabel 4.4. Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemecahan masalah Kelas kontrol Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Sig Statistic df Pretes_P Masalah_KK .144 29 .126 a. Lillie Significance Correction
Shapiro-Wilk Statistic df .957 29
Sig .284
H0 = Data berdistribusi Normal Dari tabel 4.3. dan 4.4. terlihat bahwa uji normalitas terhadap pretes kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen nilai signifikansi sebesar 0.099 dan kelas kontrol sebesar 0,126. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi data kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0.05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0.05 maka data tidak berdistribusi normal. 4.1.1.b. Uji Homogentitas Data Pretes Uji homogentitas digunakan untuk pengujian homogen atau setidaknya variansi terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk pengujian homogenitas dalam penelitian ini diambil sampel di kelas eksperimen sebanyak 32 siswa dan di kelas kontrol sebanyak 29 siswa. Telah dihitung sebelumnya bahwa sampel di kedua kelas tersebut dalam hal pretes kemampuan pemecahan masalah adalah berdistribusi normal. Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0.05 dengan kriteria pengujian : jika Fhitung ≤ Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogen, sedangkan jika Fhitun > Ftabel > maka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok tidak homogen. Varians pretes kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen (Se2) = 303,66 dan varians pretes kemampuan pemecahan masalah di kelas kontrol (Sk2) = 343,69. Maka diperoleh Fhitung =
dan Ftabel = 1,86 dengan
homogenitas diperoleh Fhitung = 113 dan Ftabel = 1,86 karena Fhitung < Ftabel maka H0 = diterima artinya data homogen.
46
Setelah mengetahui bahwa data pretes kemampuan pemecahan masalah berdistribusi normal dan homogen, maka digunakan uji t untuk membuktikan bahwa pretes kemampuan pemecahan masalah pada kedua kelas berbeda signifikan. Pengujian rerata data hasil pretes kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan uji t taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian H0 diterima, jika - thitung < ttabel < thitung < ttabel sedangkan pada keadaa lain H0 ditolak. Berikut rangkuman hasil perhitungan uji perbedaan rerata pretes kemampuan pemecahan masalah. Tabel 4.5. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol thitun S2e
S2k
g
ttabel
Pretes kemampua 37,3 17,4 303,6 33,5 18,5 343,6 1,99 n 0,84 8 3 6 2 4 9 9 pemecaha n masalah H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah eksperimen dan kelas control
Kesimpula n Tidak terdapat perbedaan
antar kelas
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa hasil perhitungan diperoleh thitung = 0,84 dan ttabel =1,999. Karena --thitung < ttabel < thitung < ttabel maka H0 diterima, jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Dengan kata lain, bahwa berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata, skor pretes kemampuan pemecahan masalah antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan. 4.1.1.c. Uji Normalitas Data Postes Uji normalitas menggunakan uji kecocokan Chi Kuadrat (X2) pada taraf signifikan 0,05. Hasil perhitungan data postes kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas eksperimen diperoleh X2hitung = 5,74 dan X2tabel =7,815. Karena X2hitung ≤ X2tabel maka dapat disimpulkan bawa data postes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya perhitungan terhadap data postes kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas
47
kontrol diperoleh X2hitung = 0,48 dan X2tabel =7,815. Karena X2hitung ≤ X2
tabel
maka dapat disimpulkan bahwa data postes kemampuan pemecahan masalah siswa
di kelas konrol berdistribusi normal. (Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran IV). Selain itu, perhitungan normalitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.6. dan 4.7 berikut : Tabel 4.6. Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Sig Statistic df Postes_P Masalah_KK .086 32 .200 a. Lilliefor Significance Correction This a lower bound of the true significance
Shapiro-Wilk Statistic df .958 32
Sig .240
Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Kontrol Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Sig Statistic df Postes KPM KK 29 .200 .104 a. Lilliefor Significance Correction This a lower bound of the true significance H0 = Data berdistribusi normal
Shapiro-Wilk Statistic df .969 29
Sig .523
Dari tabel 4.6. dan 4.7 terlihat bahwa uji normalitas terhadap postes kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen dan kontrol mempunyai nilai signifkansi sebesar 0,200. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifkan > 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0.05 maka data tidak berdistribusi normal.
48
4.1.1.d. Uji Homogenitas Data Postes Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian : jika Fhitung ≤ Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogen, sedangkan jika Fhitung > Ftabel maka dapat disimpulkan bahwa masalah di kelas kelompok tidak homogen. Varians postes kemampuan pemecahan masalah di kelas (Se2) = 118,41 dan varians postes kemampuan pemecahan masalah di kelas kontrol (Sk2) = 258,456. Maka diperoleh Fhitung = = 2,183 dan Ftabel = 1,86 dengan V1 (pembilang) = (29-1) = 28, V2 (penyebut) = (32-1) = 31. Hasil perhitungan homogenitas diperoleh Fhitung = 2,183 dan Ftabel = 1,86. Karena Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak artinya data tidak homogen. Setelah mengetahui bahwa data postes kemampuan pemecahan masalah tidak homogen, maka digunakan uji nonparametik untuk membuktikan apakah postes kemampuan pemecahan masalah pada kedua kelas berbeda atau tidak. Pengujian rerata data hasil postes kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan Mann Withney. Berikut ini disajikan hasil perhitungan uji beda dengan uji Mann Whitney : Tabel 4.8. Uji Perbedaan Rata-Rata Postes Kemampuan Pemecahan Masalah VAR0002 Mann-Whitney U 235.000 Wilcoxon W 670.000 Z -3.310 Asymp. Sig (2-tailed) .001 H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan maalah antar kelas eksperimen dan kelas control Dari table 4.8 di atas diperoleh nilai signifikan 0,001. Nilai signifikan tersebut lebih kecil dari taraf signifikan 0,05. Jadi dapat dikatakan bahwa berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata, skor postes kemampuan pemecahan masalah antara kelas eksperimen dan kelas control terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan.
49
4.1.2. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Untuk melihat besarnya peningkatan kemampuan pemecahan masalah, data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dianalisis dengan rumus gain ternotmalisasi (indeks gain). Hasil perhitungan gain ternormalisasi (indeks gain) kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat pada table 4.9. berikut : Tabel 4.9. Data Indeks Kemampuan Pemecahan Masalah Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas
Standar Deviasi
Eksperimen
0,52
0,21
Kontrol
0,28
0,22
0.6
0.52
0.5 0.4 0.3
0.28
Kelas Eksperimen
0.21 0.22
Kelas Kontrol
0.2 0.1 0 Rata-rata
Standar Deviasi
Gambar 4.3. Grafik Rata-Rata dan Standar Deviasi Indeks Gain Kemampuan Pemecahan Masalah pada kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Dari tabel 4.9. dan gambar 4.3 terlihat bahwa rata-rata gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen (0,52) lebih tinggi disbanding rata-rata gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah di kelas control (0,28). Sedangkan standar deviasi gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen 0,21 dan kelas control (0,22).
50
Untuk menguji perbedaan peningkatan pada kedua kelas tersebut akan dianalisis dengan menggunakan uji t. sebelum dianalisis dengan uji t akan dicari trlebih dahulu normalitas dan homogenitas varians sebagai syarat analisis data. 4.2.1.a Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Perhitungan
uji
normalitas
dilakukan
menggunakan
uji
statistik
Kolmogrov smirnov dengan bantuan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.10 dan 4.11 berikut : Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Indek Gain Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig Indeks Gain P. Masalah .090 32 .200 KE a. Lilliefor Significance Correction This a lower bound of the true significance
Shapiro-Wilk Statistic df .963 32
Sig .329
Tabel 4.11. Hasil Uji Normalitas Indeks Gain Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Kontrol Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig Indeks Gain P. Masalah .134 29 .196 KE a. Lilliefor Significance Correction H0 = Data berdistribusi normal
Shapiro-Wilk Statistic df .930 29
Sig .055
Dari tabel 4.10 dan 4.11 terlihat bahwa uji normalitas terhadap indeks gain peningkatan kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,200 dan kelas kontrol 0,196. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi data kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.
51
4.1.2.b. Uji Homogenitas Data Peningkatan Pemecahan Masalah Uji homogenitas digunakan untuk pengujian homogen atau tidaknya variansi terhadap peningkatan kelas eskperimen dan kelas kontrol. Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian : jika Fhitung ≤ Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogeny, sedangkan jika Fhitung > Ftabel maka cdapat disimpulkan bahawa varians kedua kelompok tidak homogen. Varians peningkatan kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen (Se2) = 0,044 dan variansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah di kelas kontrol (Sk2) = 0,048. Maka diperoleh Fhitung = = 1,091dan Ftabel = 1,86 dengan V1 (pembilang) = (29-1) = 28, V2 (penyebut) = (32 – 1) = 31. Hasil perhitungan homogenitas diperoleh Fhitung = 1,091 dan Ftabel = 1,86. Karena Fhitung < Ftabel maka H0 diterima artinya data homogen. Setelah data dinyatakan normal dan homogen, maka hipotesis diuji dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan 0,05 dengan kriteris pengujian H0 diterima, jika Fhitung ≤ Ftabel sedangkan pada keadaa ini H0 ditolak. Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah : H0 = µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran
dengan
pendekatan
konvensional. Ha = µ1 > µ2 Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan. Kontekstual lebih baik daripada yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil perhitungan uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan pemecahan masalah tampak pada tabel 4.12 berikut :
52
Tabel 4.12 Uji Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen S2e
Kelas Kontrol
thitung ttabel
Kesimpulan
S2k
Peningkatan Terdapat kemampuan Perbedaan 0,52 0,21 0,044 0,28 0,22 0,048 4,327 1,999 pemecahan masalah H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah antar kelas eksperimen dan kelas kontrol Berdasarkan tabel 4.12 di atas dapat diketahui bahwa thitung = 4,327 ≥ ttabel =1,999, maka H0 ditolak atau Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. 4.2. Hasil Penelitian Kemampuan Koneksi Matematis Hasil penelitian kemampuan koneksi matematis meliputi : deskripsi kemampuan pemecahan masalah, uji normalitas dan uji homogentitas. 4.2.1 Deskripsi Kemampuan Matematis Setelah dilakukan pengolahan data hasil pretes kemampuan koneksi matematis, diperoleh skor terendah (χ (χ
rata-rata),
min),
skor tertinggi (χ
maks),
skor rata-rata
dan standar deviasi (s) untuk kelas eksperimen dan kontrol seperti
tampak pada tabel 4.13 berikut : Tabel 4.13 Data Hasil Pretes Kemampuan Koneksi Matematis Aspek K1 K2 K3 Keseluruhan Aspek
Kelas Eksperimen Skor Xmin Xmax Maxs 20 20 40 80
0 4 8 16
18 18 36 58
S
Persen tase
6,81 11,81 14,34 4,41
Kelas Kontrol Xmin Xmax 0 0 0 8
53
14 18 28 50
S
Persen tase
100.00% 85.94% 90.00% 80.00% 69.57% 70.78% 65.06% 70.00% 60.00% 52.30% 45.78% 45.77% 44.08% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Koneks Antar Koneksi Koneksi Keseluruhan Topik Dengan Diklat Dengan Dunia Aspek Matematis Lain (K2) Nyata (K1)
Gambar 4.4. Grafik Persentase Pencapaian Skor Pretes Kelas Eksperimen dan Kontrol
Dari tabel 4.13 dan gambar 4.4 dapat dilihat bahwa persentase pencapaian skor pretes siswa di kelas eksperimen dan control berbeda untuk setiap indickator. Koneksi matematis. Persentase pencapaian skor koneksi antar topik matematik (K1) untuk kelas eksperimen 36,56% dan kelas control 30% konkesi matematika dengan diklat lain (K2), kelas eksperimen 38,44% dan kelas control 39,48%, koneksi matematika dengan dunia nyata (K3), kelas eksperimen 43,75% dan kelas kontrol 36,72% sementara keseluruhan aspek, kelas eksperimen 40,63% dan kelas kontrol 35,73%. Tabel 4.14. Data Hasil Postes Kemampuan Koneksi Matematis Aspek K1 K2 K3 Keseluruhan Aspek
Skor Maxs
Kelas Eksperimen Xmin Xmax
46 22 12
18 6 4
44 20 12
80
38
76
32 14,31 10,38 57
Kelas Kontrol Persen Xmin Xmax tase 6,39 69,57% 4 38 20,28 5,4 65,06% 0 18 10,07 1,72 86,46% 0 12 6,28
S
10,50 71,25%
54
8
54
36,62
S 8,45 6,11 4,2
Persen tase 44,08% 45,77% 52,30%
12,66 45,78%
100.00% 86.46% 90.00% 80.00% 71.25% 69.57% 65.06% 70.00% 60.00% 52.30% 45.78% 45.77% 44.08% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Koneks Antar Koneksi Koneksi Keseluruhan Topik Dengan Diklat Dengan Dunia Aspek Matematis Lain (K2) Nyata
Gambar 4.4. Grafik Persentase Pencapaian Skor Pretes Kelas Eksperimen dan Kontrol
Dari tabel 4.13 dan gambar 4.4 dapat dilihat bahwa persentase pencapaian skor postes siswa di kelas ekperimen dan control berbeda untuk setiap indicator pemecahan masalah. Persentase pencapaian skor koneksi antar topik matematik (K1) untuk kelas eksperimen 69,57%
dan kelas kontrol 44,08%, koneksi
matematika dengan diklat lain (K2), kelas eksperimen 65,06 % dan kelas kontrol 45,77%, koneksi matematika dengan dunia nyata (K3), kelas eksperimen 86,48 % dan kelas kontrol 52,30%, sementara keseluruhan aspek
kelas eksperimen
7l,75% dan kelas kontrol 45,78%. Bila diperhatikan persentase pencapaian skor pretes dan postes siswa di kelas eksperimen dan kontrol untuk setiap koneksi matematis terjadi peningkatan. Peningkatan pada kelas eksperimen untuk koneksi antar topik maternatik (Kl) 33,07%, koneksi matematika dengan diklat lain (K2) 26,62% dan koneksi matematika dengan dunia nyata (K3) 42,71% , sedangkan keseluruhan aspek mengalami peningkatan 30,62%. Untuk kelas kontrol, peningkatan koneksi antar topik matematik (Kl) l4,08% koneksi matematika dengan diklat lain (K2) 6,29% dan koneksi matematika dengan dunia nyata (K3) 15,58%, sedangkan keseluruhan aspek mengalami peningkatan l0,05%. Bila diperhatikan peningkatan pencapaian skor pada setiap koneksi matematis terjadi perbedaan. Peningkatan pencapaian skor untuk koneksi antar 55
topik matematik (Kl) kelas eksperirnen (33,01%) lebih rendah dari kelas kontrol (14,08%), koneksi rnatematika dengan diklat lain (K2), kelas eksperimen (26,62%) lebih tinggi dibanding kelas kontrol (6,29%), koneksi rnatematika dengan dunia nyata (K3) kelas eksperimen (42,71%) lebih tinggi dari kelas kontrol (15,58%). Sedangkan peningkatan keseluruhan aspek koneksi rnatematis kelas eksperimen (30,62) lebih tinggi dari kelas kontrol (10,05%), dimana selisih peningkatan pencapaian skor antara kelas eksperimen dan kontrol sebesar 20,47%. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pencapaian skor untuk setiap aspek koneksi matematis kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata peningkatan pada kelas eksperimen dan kontrol berbeda, dimana peningkatan pada kelas eksperimen lebih baik dibanding kelas kontrol. Untuk menguji signifikansi kebenaran bahwa rata-rata peningkatan skor pada kedua kelas berbeda, perlu dilakukan pengujian statistik dengan uji t perbedaan dua rata-rata. Sebelum dilakukan analisis data uji perbedaan dua ratarata pada kelas eksperimen dan kelas kontrol terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data yang telah dikurnpulkan sebagai salah satu persyaratan dalam analisis kuantitatif. Berikut pemaparan hasil pengujian normalitas dan homogenitas variansi dari data yang diperoleh. 4.2.1.a. Uji Normelitas Data Pretes Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji kecocokan Chi Kuadrat (X2) pada taraf signifikan 0.05. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah data hasil pretes kemampuan koneksi matematis siswa terdistribusi secara normal pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil perhitungan data pretes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen diperoleh X2hitung = 1,394 dan X2tabel = 5,991, karena X2hitung ≤ X2tabel maka dapat disimpulkan bahwa data pretes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen berdistribusi norrnal. selanjutnya perhitungan terhadap data pretes kemampuan koneksi matematis siswa di kelas kontrol diperoleh X2hitung = 1,083 dan X2tabel = 5,991 karena X2hitung ≤ X2tabel maka dapat disimpulkan bahwa data pretes kemarnpuan koneksi matematis siswa di kelas kontrol berdistribusi normal. (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran IV).
56
Selain itu, perhitungan normalitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.15 dan 4.16 berikut: Tabel 4.15. Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen Testes of Normality
Pretes_Koneksi _ KE
Kolmogorov-Smirnov
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig
Statistic
df
Sig
.136
.138
.931
32
.041
32
b. Lilliefors Significance Correction Tabel 4.16. Hasil uji Normalitas Pnetes Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol Testes of Normality
Pretes_Koneksi _ KK
Kolmogorov-Smirnov
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig
Statistic
df
Sig
.107
itas
.968
29
.503
29
a. Ulliefors Significance Conection *. This is a lower bound of the true significance. H0: Data berdisribusi normal
Dari tabel 4.15 dan 4.16 terlihat bahwa uji normalitas terhadap pretes kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen nilai signifikansi sebesar 0,138 dan kelas kontrol sebesar 0,200. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.
57
4.2.1.b. Uji Homogenitas Data Pretes Uji homogenitas digunakan untuk pengujian homogen atau tidaknya variansi terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian : jika Fhitung < Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogen, sedangkan jika Fhitung > Ftabel maka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok tidak homogen. Variansi pretes kernampuan koneksi matematis di kelas eksperimen (Se2) = l65,94 dan variansi pretes kemampuan koneksi matematis di kelas kontrol (Sk2) = l38,25. Maka diperoleh Fhitung =
= 1,20 dan Ftabel =1,86
dengan V1 (pembilang) : (32 - l) = 31, V2 (penyebut) = (29 - 1) = 28. Hasil perhitungan homogenitas, diperoleh Fhitung = 1,20 dan Ftabel =1,86 Karena Fhitung < Ftabel maka H0 diterima artinya data homogen. Setelah mengetahui bahwa data pretes kemampuan koneksi matematis berdistribusi normal dan homogen, maka digunakan uji t untuk rnembuktikan apakah pretes kemampuan koneksi matematis pada kedua kelas tidak berbeda signifikan. Pengujian rerata data hasil pretes kemampuan koneksi matematis dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian H0 diterima, jika - ttabel < thitung < ttabel sedangkan pada keadaan lain H0 ditolak. Berikut hasil perhitungan uji perbedaan rerata pretes kemampuan koneksi matematis. Tabel 4.17. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretes Kemampuan Koneksi Matematis Aspek
Kelas Eksperimen S
Pretes kemampua 32, n koneksi 5 matematis
12,8 9
2
e
Kelas Kontrol S2k
165,9 28,5 4 9
11,7 6
thitun
ttabel
g
138,2 1,20 5
1,99 9
Kesimpula n Tidak Terdapat Perbedaan
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan konkesi matematis pemecahan masalah antar kelas eksperimen dan kelas kontrol Berdasarkan tabel 4.17 dapat diketahui bahwa hasil perhitungan diperoleh thitung = 1,20 dan ttabel = 1,999, karena -ttabel < thitung < ttabel rnaka H0 diterima,
58
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Dengan kata lain, berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata skor hasil kemampuan koneksi matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan. 4.2.1.c. Uji Normalitas Data Postes Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kecocokan Chi Kuadrat (X2) pada taraf signifikan 0,05.
Hasil perhitungan data postes
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen diperoleh X 2hitung = 4,95 dan X2tabel = 7,815. Karena X2hitung
≤ X2tabel
maka dapat disimpulkan
bahwa data postes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya perhitungan terhadap data postes kemampuan koneksi matematis siswa di kelas kontrol diperoleh X2hitung = 5,67 dan X2tabel = 7,815, karena X2hitung ≤ X2tabel
maka dapat disimpulkan bahwa data postes
kemampuan koneksi matematis siswa di kelas kontrol berdistribusi normal. Selain itu, perhitungan normalitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.18 dan 4.19 berikut: Tabel 4.18. Hasil uji Normalitas Postes Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen Testes of Normality
Pretes Koneksi KE
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig
Shapiro-Wilk Statistic df
Sig
.138
.957
.223
32
.129
32
a. Lillie Significance Correction Tabel 4.19. Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Koneksi Matematis KelasKontrol Testes of Normality
Pretes KKM KK
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig
Shapiro-Wilk Statistic df
Sig
.142
.930
.055
29
.140
a. Lillie Significance Correction 59
29
Dari tabel 4.18 dan 4.19 terlihat bahwa uji normalitas terhadap postes kemampuan koneksi matematis kelas eksperirnen nilai signifikansi sebesar 0,129 dan kelas kontrol sebesar 0,140. Nilai ini lebih besar dari taraf signihkansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Karena sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal. 4. 2. 1. d. Uji Homogenitas Postes Uji homogenitas digunakan untuk pengujian homogen atau tidaknya variansi terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian: jika F hitung ≤ Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogen, sedangkan jika Fhitung > Ftabel maka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok tidak homogen. Variansi postes kemampuan koneksi matematis di kelas eksperimen (Se2) : l10,l94 dan variansi postes kemampuan koneksi matematis di kelas kontrol (Sk2) = 160,315. Maka diperoleh Fhitung =
= 145 dan
Ftabel =: 1,86 dengan V1 (pembilang) : (29 - l) : 28, V2 (penyebut) = (32 - 1) : 31. Hasil perhitungan homogenitas diperoleh Fhitung = 1,109 dan Ftabel = 1,86. Karena Fhitung < Ftabel maka H0 diterirna artinya data homogen. Setelah data postes kemampuan koneksi matematis berdistribusi normal dan homogen, selanjutnya dilakukan pengujian perbedaan rerata data hasil postes kemampuan koneksi matematis dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan 0,05 dengan kriteria pengujian H0 diterima, jika thitung < ttabel sedangkan pada keadaan lain H0 ditolak. Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah: H0 = µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan postes kemampuan koneksi matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Ha = µ1 = µ2
60
Postes kemampuan koneksi matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendeketan kontekstual lebih baik daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Hasil perhitungan uji perbedaan rerata postes kemampuan koneksi matematis tampak pada tabel 4.20 berikut : Tabel 4.20. Uji Perbedaan Rata-Rata Postes Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen S2e Aspek kemampua 10,5 57 n koneksi 0 matematis
thitun
Kelas Kontrol
ttabel
g
S
110,19 36,6 3 2
12,6 6
2
Kesimpula n
k
160,3 1,99 6,871 2 9
Terdapat Perbedaan
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis antar kelas eksperimen dan kelas kontrol Berdasarkan tabel 4.20 diperoleh thitung = 6,871 ≥ ttabel = 1,999 maka H0 ditolak atau Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang rnemperoleh pembelajaran kontekstual dengan siswa yang rnernperoleh pembelajaran konvensional. 4.22. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Setelah dilakukan pengolahan data hasil peningkatan kemampuan koneksi matematis diperoleh rata-rata gain (χ
rata-rata)
dan standar deviasi (s) untuk kelas
eksperimen dan kontrol seperti tampak pada Tabel 4.21 berikut: Tabel 4.21. Data lndeks Gain Kemampuan Koneksi Matematis Kelas
Kemampuan Koneksi Matematis Standar Deviasi
Eksperimen
0,49
0,25
Kontrol
0,16
0,13
61
0.6 0.5
0.49
0.4 0.3 0.2
Kelas Eksperimen
0.25 0.16
Kelas Kontrol
0.13
0.1 0 Rata-rata
Standar Deviasi
Gambar 4.6. Gralik Rata-Rata dan standar Deviasi Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Dari tabel 4.2 dan gambar 4.6 diperoreh rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematis keras eksperirnen (0,49) lebih tinggi daripada kelas kontrol (0,16). untuk menguji perbedaan peningkatan pada kedua kelas tersebut akan dianalisis dengan menggunakan uji t. sebelum dianarisis dengan uji t akan dicari terlebih dahulu normalitas dan homogenitas varians sebagai syarat analisis data. 4.2.2.a. Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Perhitungan
uji
normalitas
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
Kolmogorov Smirnov dengan bantuan komputer program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.22 dan4.23 berikut: Tabel 4.22. Hasil Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen Testes of Normality
Pretes_Koneksi _ KK
Kolmogorov-Smirnov
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig
Statistic
df
Sig
.142
.140
.930
29
.055
29
a. Lilliefors Signifi cance Conection *. This is a lorer bound of the true significance.
62
Tabel 4.23. Hasil Uji Nonnalitas Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol Testes of Normality
Pretes_Koneksi _ KK
Kolmogorov-Smirnov
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig
Statistic
df
Sig
.140
.930
29
.055
.142
29
a. Lilliefors Signifi cance Conection *. This is a lower bound of the true significance. H0 : Data berdistribusi normal Dari tabel 4.22 dan 4.23 terlihat bahwa uji normalitas terhadap peningkatan kennampuan koneksi matematis kelas eksperimen dan kontrol mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,200. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan batrwa distribusi data kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan jika signifikan < 0,05 maka data tidak berdishibusi normal. 4.2.2.b. Uji Honogenitas Data Peningkatan Koneksi Matematis Uji homogenitas digunakan untuk pengujian homogen atau tidaknya variansi terhadap peningkatan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α =0,05 dengan kriteria pengujian: jika Fhitung≤ Ftabel maka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok homogen, sedangkan Fhitung > Ftabel maka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok tidak homogen. Variansi peningkatan kernampuan koneksi matematis di kelas eksperimen (Se2) : 0,062 dan variansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah di kelas kontrol (Sk2 = 0,017. Maka diperoleh Fhitung = = 3,713 dan Ftabel = 1,86 dengan V1 (pembilang) : (32 - l) : 31, V2 (penyebut) = (29 - 1) : 28. Hasil perhitungan homogenitas diperoleh Fhitung = 3,713 dan Ftabel 1,86. Karena Fhitung > Ftabel maka H0 diterirna artinya data tidak homogen.
63
Setelah data dinyatakan tidak homogen, maka hipotesis diuji dengan menggunakan statistik non parametrik yaitu uji Mann Whitney dengan kriteria pengujian H0 diterinra, jika thitung< ttabel sedangkan pada keadaan lain H0 ditolak. Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah: H0= µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemarnpuan koneksi matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran
dengan
pendekatan
konvensional. Ha = µ1 = µ2 Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil perhitungan uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis tampak pada tabel 4.24 berikut: Tabel 4.24. Uji Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Test Statistic VAR0002 Mann-Whitney U
124.000
Wilcoxon W
559.000
Z
-4.911
Asymp. Sig (2-tailed)
.000
a. Grouping Variabel : VAR00001 H0 : T'idak terdapat perbedaan penitgkatan kemampuan koneksi rnatematis antar kelas eksperimen dan kelas control Berdasarkan tabel 4.2.a dapat diketahui taraf signifikan peningkatan kernarnpuan koneksi matematis 0,000. Nilai ini lebih kecii dari taraf signifikan 0,005, sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan dernikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis matematika siswa yang mengikuti
64
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. 4.3. Hasil Penelitian Kemampuan Awal Hasil penelitian tentang yang dilihat dari gabungan hasil pretes kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Dari hasil pretes tersebut diperoleh kemampuan awal siswa yang terdiri dari tinggi, sedang dan rendah. Kelompok tinggi adalah siswa yang memiliki nilai lebih dari atau sama dengan + Sideal, kelompok sedang adalah siswa yang memiliki nilai antara
tinggi tinggi
- Sideal dan
tinggi
+ Sideal dau kelompok rendah adalah siswa yang memiliki
nilai kurang dari atau sama dengan
tinggi
- Sideal . Selain itu hasil penelitian
tentang pretes digunakan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki kemampuan yang tidak berbeda. Hasil penelitian tentang pretes (kemampuan awal) meliputi : deskripsi kemampuan awal, uji nomralitas dan uji homogenitas 4.3.2. Deskripsi Kemampuan Awal Dari hasil pengolahan data kemampuan awal, diperoleh data kemampuan awal berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah. Dan 32 orang siswa pada kelas eksperimen terdapat 5 orang berkemampuan awal matematika tinggi, 18 orang berkemampuan sedang dan 9 orang berkemampuan rendah. Untuk kelas kontrol, dari 29 siswa terdapat siswa yang berkemampuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah berturut-turut 4 orang 13 orang dan 12 orang. Selain itu diperoleh juga skor terendah ( χmin) skor tertinggi ( χmax) skor rata-rata ( χ rata-rata)
dan standar deviasi (s) untuk kelas eksperimen dan kontrol seperti pada
tabel 4.25 sebagai berikut: Tabel 4.25. DataHasil Kemampuan Awal
Kelas
Skor Maksimal
Xmin
Eksperimen
80
Kontrol
80
Xmaz
Xrata-rata
S
32
114
69,88
25,50
20
108
62,10
25,59
65
120.00
114.00 108.00
100.00 69.88
80.00
62.10
Kelas Eksperimen
60.00 40.00
Kelas Kontrol
32.00
25.50 25.59
20.00
20.00 0.00 Skor Tertinggi Skor Terendah
Rata-rata
Standar Deviasi
Gambar 4.7. Grafik Kemampuan Awal pada kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Dari tabel 4.25 dan gambar 4.7 terlihat bahwa skor rata-rata kedua kelas berbeda Hal ini memberikan gambaran bahwa kemampuan awal siswa kelas eksperimen berbeda dengan siswa kelas kontrol. Skor rata-rata di kelas eksperimen 69,88 lebih tinggi daripada di kelas kontrol 62,10. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa rata-rata tes kemampuan awal siswa di kelas eksperimen berbeda dcngan siswa di kelas kontrol. Untuk menguji signifikansi kebenaran bahwa kemampuan awal pada kedua kelas berbeda, perlu dilakukan pengujian statistik dengan uji t perbedaan dua rata-rata Sebelum dilakukan analisis data uji perbedaan dua rata-rata dari kemampuan awal pada kelas eksperimen dan kelas kontrol terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data yang telah dikumpulkan sebagai salah satu persyaratan dalam analisis kuantitatif. Berikut pemaparan hasil pengujian normalitas dan homogenitas variansi dari data yang diperoleh. 4.3.1.a. Uji Normalitas Data Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kecocokan Chi Kuadrat (X2) pada taraf signifikan 0,05. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah data hasil kemampuan awal siswa terdistibusi secara normal pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil perhitungan data kemampuan awai siswa kelas eksperimen diperoleh X2hitung = 6,8 dan X2hitung =7,815. Karena X2hitung ≤ X2hitung maka dapat disimpulkan bahwa data kernampuan awal siswa kelas
66
eksperimen berdistribusi norrnal. Untuk kelas kontrol diperoleh X2hitung = 6,846 dan X2hitung =7,815. Karena X2hitung ≤ X2hitung rnaka dapat disimpulkan bahwa data kemarnpuan awal siswa di kelas kontrol berdistribusi nornal (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran IV). Selain itu, perhitungan normalitas juga dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17. Adapun hasil perhitungan disajikan pada tabel 4.26 dan 4.27 berikut: Tabel 4.26. Hasil uji Normalitas Kemampuan Awal kelas Eraperimen Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig Kemampuan_Awal_KE .153 32 .056 a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk Statistic df .919 32
Sig .019
Tabel 4.27. Hasil uji Normalitas Kemampuan Awal keras kontrol Testes of Normality Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig Kemampuan_Awal_KK .160 29 .055 a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk Statistic df .931 29
Sig .060
H0 : Data berdistribusi normal Dari tabel 4.26 dan 4.27 terlihat bahwa uji normaritas terhadap kemampuan awal kelas eksperimen nilai signifikansi sebesar 0,56 dan kelas kontrol sebesar 0,55. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal dapat diterima. Hal ini sesuai dengan kriteria pengujian jika signifikan > 0,05 maka data berdistriburi normal, sedangkan jika signifikan berdistribusi normal.
67
> 0,05 maka data tidak
4.3.1.b. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas varians pada taraf signifikan α = 0,05 dengan kriteria pengujian: jika Fhitung ≤ Ftabel maka disimpulkan bahwa varians kedua kelompok hornogen, sedangkan jika Fhitung > Ftabel rnaka dapat disimpulkan bahwa varians kedua kelompok tidak homogen. Variansi kemampuan awal di kelas eksperimen (Se2) = 649,98 dan variansi kemampuan awal di kelas kontrol (Sk2) = 654,67. Maka diperoleh Fhitung =
= 1,007 dan Ftabel = 1,86 dengan
V1 (pembilang) : (29 - l) : 28, V2 (penyebut) = (32 - 1) : 31. Hasil perhitungan homogentitas diperoleh Fhitung =1,007 dan Ftabel = 1,86. Karena Fhitung < Ftabel maka H0 diterima artinya data homogen.
4.3.2. Interaks Antara Pendekaan Pembelajaran Yang Digunakan Dengan Kemampuan Awal Siswa Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Untuk
mengetahui
interaksi
antara
faktor
pembelajaran
dengan
kemampuan awal terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, digunakan uji anova dua jalur. Rangkuman anova dua jalur interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal matematis siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat dilihat pada table 4.29 berikut : Tabel 4.29 Rangkuman Anova Dua Jalur Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Berdasarkan Faktor Pembelajaran Dan Kemampuan Awal Siswa. Test of Between-Subject Effect Dependen Variable : Peningkatan_Gab_P.Masalah Mean Square .197
F
Sig
Corrected Model
Type III Sum df of Squares .958 5
4.187
.003
Intercept
8.472
1
8.472
180.113 .000
Metedo Pembelajaran
.553
1
.553
11.761
Score
68
.001
Kemampuan Awal
.109
2
.054
1.154
.323
Metode Pembelajaran
.027
2
.014
.289
.750
Error
2.587
55
0.47
Total
13.768
61
Corrected Total
3.572
60
Kemampuan awal
a. R Squared = 276 (adjusted R Squared = 210) Berdasarkan tabel 4.29 akan diuraikan mengenao uji hipotesis sebaga berikut: Hipotesis 1 : Peningkatan kemampuan pemcahan masalah matematis siswa berbeda antar kelompok berdasarkan kemampuan awal siswa. Pengujian hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut : H0 : μA1n = μA2n = μA3n : tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan kemampuan awal (tinggi, sedang, rendah) Ha : μA1n ≠ μA2n = μA3n atau μA1n = μA2n ≠ μA3n atau μA1n ≠ μA2n ≠ μA3n : ada paling sedikit satu perbeda peningkatan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan kemampuan awal (tinggi, sedang, rendah) Dari tabel 4.29 dapat diliaht bahwa untuk faktor kemampuan awal siswa nilai Fhitung sebesar 1,154 dan nilai signifikan sebesar 0,323. Karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai taraf signifikan 0,05, maka tolak Ha, yang berarti tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah sistematis siswa berdasarkan kemampuan awal matematis siswa. Hipotesis 2 : terdapat interaksi pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah maematis siswa. Pengujian dilakukan terhadap hipotesis statistic yang dirumuskan sebagai berikut : H0 : μB1nA1n – μB2nA1n = μB1nA1n - μB2nA2n = μB2nA3n - μB2nA3n : tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah sistematis siswa.
69
Ha : μB1nA1n – μB2nA1n ≠ μB1nA2n - μB2nA2n ≠ μB1nA3n - μB2nA3n : terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dari tabel 4.29 dapat dilihat bahwa untuk faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa nilai F
hitung
sebesar 0,289 dan nilai signifikansi sebesar
0,750. Karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai taraf signfikaCCcn 0,05, maka terima H0, yang berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal matematis siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat diterima. Ini menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penignkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, sedangkan kemampuan awal matematika siswa tidak mempunyai pengaruh dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Hal ini juga mengidentifikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan selisih rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matermatis siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan renda yang diberi pembelajaran kontekstual dengan yang diberi pembelajaran konvensional. Secara grafik interaksi tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Series 2 Series 1
1
2
3
Gambar 4.8. Grafik Interaks Pendekatan Pembelajaran Dan Kemampuan Awal Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
70
Berdasarkan gambar 4.8 di atas dapat dijelaskan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sesuai untuk semua tingkat kemampuan awal matematika. Rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan tingkat kemampuan awal matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu : kelompok tinggi 0,577, dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional yaitu : kelompok tinggi 0,434, kelompok sedang 0,262, dan kelompok rendah 0,259. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.30 berikut : Tabel 4.30 Persentase Banyak Siswa, Mean dan Standar Deviasi Kemampuan Pemecahan Masalah Bedasarkan Kategori Kemampuan Awal Siswa. Descriptive Statistic Dependen Variable : Peningkatan_Gab_P.Masalah Metode Kemampuan Mean Pembelajaran Awal 1 1 .57680
Std. Deviasi
N
.153058
5
Persentase (%) 15,62%
2
.50044
.248906
18
52,25%
3
.53344
.157103
9
28,13%
Total
.52159
.210147
32
100%
.4346
.344353
4
13,79%
2
.26208
.254322
13
44,83%
3
.25867
.100364
12
41,38%
Total
.28441
.219329
29
100%
.51344
.28646
9
14,75%
2
.40042
.274340
31
50,82%
3
.37643
.186622
21
34,43%
Total
.40884
.243986
61
100%
2
Total
1
1
Dari tabel 4.30 di atas dapat dilihat bahwa selisih rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional secara berturut-turut diperoleh siswa kelompok tinggi 0,143, sedang 0,238 dan rendah 0,274. Berdasarkan hal tersebut dapat diidentifikasi bahwa siswa yang berkemampuan 71
rendah memperoleh manfaat yang paling besar dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. 4.3.3. Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran yang Digunakan Dengan Kemampuan Awal Siswa Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Karena data tidak homogen maka untuk melihat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa digunakan uji nonparametric yaitu uji Friedman seperti pada tabel 4.31 berikut : Tabel 4.31. Hasil Uji Freidman Peningkatan kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Kemamapuan Awal siswa Test Statistic N
61
Chi-Square
109.626
df
2
Asymp. Sig
000
a.
Fried man
H0 : tidak terdapat interaksi Berdasarkan tabel 4.31 dapat dilihat bahwa signifikan sebesar 0,000. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikan 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat interaksi ditolak. Jadi dapat disimpulkan bawa terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa bukan hanya dipengaruhi
oleh
pendekatan
pembelajaran
yang
digunakan
melainkan
dipengaruhi juga oleh kemampuan awal matematis siswa. Hal ini juga mengidentifikasikan bahwa selisih rata-rata peningkatan kemamuan koneksi matematis siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah yang diberi
72
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensioanal berbeda secara signifikan. Persentase banyak siswa, mean dan standar deviasi peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan kemampan awal dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.32.
Persentase Banyak Siswa, Mean dan Standar Deviasi Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan Kategori Kemampuan Awal Siswa
Metode Kemampuan Mean Pembelajaran Awal 1 1 .47600
Std. Deviasi
N
.325556
5
Persentase (%) 15,62%
2
.51772
.229943
18
52,25%
3
.43833
.266113
9
28,13%
Total
.48888
.249385
32
100%
.17325
.122563
4
13,79%
2
.15462
.137985
13
44,83%
3
.15142
.133051
12
41,38%
Total
.15586
.129524
29
100%
.34144
.289978
9
14,75%
2
.36545
.265993
31
50,82%
3
.27438
.243375
21
34,43%
Total
.33056
.260927
61
100%
2
Total
1
1
Dari tabel 4.32 di atas dapat dilihat bahwa selisih rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematis yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional secara berturut-turut diperoleh siswa kelompk tinggi 0,303, sedang 0,36 dan rendah 0,29. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang berkemampuan sedang memperoleh manfaat yang paling besar dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
73
4.4. Pembahasan Hasil Penelitian Pada bagian ini akan diraikan deskripsi dan interpretasi data hasil penelitian. Deskripsi dan interpretasi dilakukan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan koneksi matematis. Deskripsi dan interprettasi data hasil penelitian juga melibatkan faktor pembelajaran dan faktor kemampuan awal matematis siswa serta interaksi kedua faktor tersebut terhadap kemampuan matematis yang akan dicapai. 4.4.1. Faktor Pembelajaran Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa dengan pembelajaran kontekstual peningkatan kemampuan pemecahan masala dan koneksi matematis lebih baik disbanding dengan pembelajaran konvensional. Hal ini sangat wajar jika memperhatikan perbedaan karakteristik kedua pembelajaran tersebut. Secara teoritis pembelajaran kontekstual memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Keunggulan tersebut terlihat dari perbedaan pandangan terhadap karakteristik pembelajaran antara lain: a. Bahan Ajar Pada pembelajaran kontekstual, bahan ajar dikembangkan dan dikemas dalam bentuk sajian masalah-masalah kontekstual. Masalah-masakah kontekstual tersebut disajikan dalam lembar Aktivitas Siswa (LAS). Sebagai contoh pada Lembar Aktivtas Siswa (LAS-3) masalah 2 seperti berikut : Sebuah kotak sepatu berbentuk balok dengan panjang = 25cm, lebar = 7cm, dan tinggi = 10. Apabila kotak tersebut dibuka maka akan berbentuk jaring-jaring balok seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
74
a) Berbentuk apakah bidang 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 yang ada pada gambar (b) ! b) Tuliskkan bidang-bidang yang bentuk dan ukurannya sama pada gambar (b) ! c) Tentukan bagaimana cara mencari luas bidang 1,2,3,4,5 dan 6 d) Tentukan bagaimana cara menentukan luas permukaan balok ! e) Hitunglah luas permukaan kotak sepatu tersebut ? b. Gambar Penelitian : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. c.
Gambar Penelitian : kemampuan pemecahan pendekatan matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah 75
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
Siswa sedang menegrjakan pretest dan postest
76
Siswa sedang menegrjakan pretest dan postest
Siswa sedang menegrjakan pretest dan posttest
77
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
78
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
79
Kemampuan Pemecahan Pendekatan Matematis Siswa Yang Mengikuti Pembelajaran Dengan Pendekatan Konvensional.
Siswa sedang mengerjakan pretest dan postest
80
Siswa sedang mengerjakan pretest dan posttest
Siswa sedang mengerjakan pretest dan posttest
81
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
Guru Sedang Membimbing Siswa dalam Memecahkan Masalah
82
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian selama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan penekanan pada kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematis, maka penelitian memperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari hasil analisis data dan uji statistik peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa diperoleh rata-rata peningkatan kelas eksperimen 0,52 kelas kontrol 0,28 dan hasil uji statistic diperoleh thitung 4,327 > ttabel 1,999. Hal ini menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual lebih baik
daripada kemampuan
pemecahan pendekatan matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional. 2. Dari hasil analisis data dan uji statistik terhadap peningkatan kemampuan koneksi
matematis
siswa
diperoleh
rata-rata
peningkatan
kelas
eksperimen 0,49 kelas kontrol 0,16 dan hasil uji statistik diperoleh signifikantsi 0,000. Ini lebih kecil dari taraf signifikan 0,05. Hal ini menunjukkan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada
kemampuan
koneksi
metamatis
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran dengan pendekatan konvensional. 3. Tidak dapat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah sistematis siswa, sedangkan kemampuan awal matematika siswa tidak memiliki pengaruh dalam
83
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Selisih rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional secara berturut-turut diperoleh siswa kelompok tinggi 0,143, sedang 0,238 dan rendah 0,274. Berdasarkan hal tersebut dapat diidentifikasikan bahwa siswa yang berkemampuan rendah memperoleh manfaat yang paling besar dalam pembelajaran dengan
pendekatan
kontektual. 4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa bukan hanya dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran
yang
digunakan
melainkan
dipengaruhi
juga
oleh
kemampuan awal matematis siswa. Selisih rata-rata kemampuan koneksi matematis yang mendapat pembelajaran dengan penedekatan kontekstual dan pendekatan konvensional yaitu siswa kelompok tinggi 0.303, sedang 0,36 rendah 0,29. Berdasarkan hal tersebut dapat di identifikasikah bahwa siswa yang berkemampuan sedang memperoleh manfaat yang paling besar dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. 5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan diatas, maka penelitian menyarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Bagi Guru Matematika a. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu alternative bagi guru matematika dalam menyajikan materi pelajaran matematika, khususnya dalam mengajarkan materi bangun ruang sisi datar kubus dan balok b. Dalam menerapkan pembelajaran pendekatan kontekstual hendaknya membuat suatu scenario yang matang, sehingga tidak banyak waktu yang terbuang oleh hal-hal yang tidak perlu, khususnya menentukan benda-benda yang real disekitar agar siswa mudah memahami.
84
c. Pembelajaran memberikan
dengan masalah
pendekatan yang
menyangkut
kontekstual benda-benda
hendaknya yang
real
disekitar tempat belajar, agar siswa lebih cepat memahami pelajaran yang sedang dipelajari. 2. Kepada lembaga Terkait Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Masih sangat asing bagi guru maupun siswa terutama di daerah, oleh karena itu perlu disosialisasikan dengan harapan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematis siswa. 3. Kepada lembaga Terkait Disarankan kepada penelitian lanjutan, kiranya dapat melanjutkan penelitian ini dengan menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan matematika lain dengan menerapkan lebih dalam agar implikasi hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di sekolah.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta _____(2009) Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Asep Sugiharto. (2008). Pembuktian hasil Belajar Siswa. (online). (http://one. Indoskripsi.com/content/pembliktian-hash, diakses 20 September 2011. Hamalik, O. (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hudojo, H. (1988). Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud P2LPTK. _______(2001).Pengembangan Malang: JICA UNM.
Kurikulum
dan
Pembelajaran
Matematika
Hamzah, B. Uno (2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran Sebuah Konsep pembelajaran berbasis Kecerdasan. Jakarta: Bumi Aksara. Johnson. Elain.B. (2007) Contextual Teaching and Learning, Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasikkan dan Bermakna. Bandung: MLC. Kesuma dkk, (2010). Contekstual Teaching and Learning Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM. Bandung: Pusat Pengkajian Pedagogik UPI. Kumiawan, R. (2006). Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMK. Tesis Tidak Diterbitkan. Bandung: PPS UPI. Marzuki, A (2006). Implementasi Pembelajaran, Kooperatif (Cooperetive Learning) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Siswa. Tesis Tidak Diterbitkan. Bandung: PPS UPI. Muslich, M (2008). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. NCTM. 2000. Defining Problem Solving. (Online).(http://,A,u,Nv.IeLirtiei.or(,/chaiiellCOLti-,,,es/teacliin(-, iiiatli/,,raciesk-'-"Isessio11- 03/sectio 03 a..html, diakses20 September 20011. Notoatmojo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Nurhadi, (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. ----------------- (2004). Kurikulum 2004. Jakarta: PT Grasindo.
86
Panjaitan, A. (2008). Evaluasi Pembelajaran. Medan: Pascasarjana UNIMED. Panjaitan, M.(2009). Logical Thinking (Reasoning) and Positive Attitude in Mathernatichs as an Important Aspect in the Instructional Process. Paradikma Jurnal Pendidikan Matematika: Medan: Program Studi Pendidikan Matematika PPS UNIMED. Panjaitan, E. (2010). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pernecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Penerapan Pendekatan Kontekstual. Tesis Medan: PPS UNIMED. _______(1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung: Tarsito. _______(2006). Pengantar Kepada membantu Guru mengembangkan Kompetensinya Dalam pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Ruspiani. 2000. Kemampuan Siswa Dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis tidak diterbitkan. Bandung PPS UPI Bandung. Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Stand Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. A.M. (2009). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Sinaga, D. (2009). Keefektifan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa kelas X SMP Negeri -2 Rantau Selatan Rantau Prapat. Tesis. Medan: PPS UNIMED.
87