EFEK LAMA PEMANASAN TERHADAP PERUBAHAN BILANGAN PEROKSIDA MINYAK GORENG YANG BERPOTENSI KARSINOGENIK PADA PEDAGANG GORENGAN DI KELURAHAN PASAR MINGGU TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: SARAH ISLAMIA DHAHONO PUTRI 1111101000023
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Oktober 2015 Sarah Islamia Dhahono Putri, NIM : 1111101000023 Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 (VII+ 92 halaman, 10 tabel, 3 gambar, 7 lampiran)
ABSTRAK Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari yang patut dijaga mutunya agar tidak mengalami kerusakan dan tetap berkualitas. Salah satu cara untuk menentukan derajat kerusakan minyak goreng adalah dengan melakukan uji bilangan peroksida. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) (2013), batas bilangan peroksida adalah 10 meq O2/kg. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan bilangan peroksida pada minyak goreng adalah lama pemanasan. Berdasarkan studi pendahuluan di Kelurahan Pejaten Timur, didapatkan peningkatan bilangan peroksida pada lima pedagang gorengan mulai dari frekuensi menggoreng pertama, kelima, kesepuluh hingga kelima belas. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasar Minggu karena wilayah tersebut merupakan daerah transit dimana terdapat stasiun kereta api dan terminal bus sehingga konsumen tidak hanya berasal dari Kelurahan Pasar Minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya perubahan bilangan peroksida pada frekuensi menggoreng kelipatan lima, dengan lama pemanasan berada nilai minimal 2 menit dan maksimal 23 menit dan nilai peroksida tertinggi pada frekuensi menggoreng kelima belas dengan nilai 0,9458 meq O2/kg. Sedangkan pada frekuensi menggoreng kelipatan sepuluh, terjadi peningkatan serta penurunan bilangan peroksida dengan lama pemanasan minimal 2 menit dan maksimal 52 menit dan nilai peroksida tertinggi pada frekuensi menggoreng ke-10 dengan nilai 2,726 meq O2/kg. Pada frekuensi menggoreng kelipatan lima hasil uji korelasi, didapatkan tidak ada hubungan antara lama pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida, sedangkan pada kelipatan sepuluh terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida. Perubahan bilangan peroksida pada kelipatan lima dan sepuluh merupakan tanda awal bahwa minyak akan mengalami kerusakan. Bilangan peroksida yang terjadi akibat pemanasan yang tinggi akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, sebaiknya pedagang mengganti minyak goreng yang telah
ii
digunakan dengan minyak goreng baru karena lama pemanasan dapat berpengaruh terhadap perubahan bilangan peroksida.
Daftar bacaan Kata kunci
: 43 (1985-2014) : Bilangan peroksida, Minyak goreng, Gorengan
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Undergraduate Thesis, October 2015 Sarah Islamia Dhahono Putri, NIM : 1111101000023 The effect of Frying Time toward The Change of Peroxide Value of Cooking Oil that Potentially Carcinogenic on Fried Food Traders in Pasar Minggu 2015 (VII+92 pages, 10 tables, 3 pictures, 7 attachments)
ABSTRACT Cooking oil is one of the basic needs of people that should be safeguarded in order not damaged and remain qualified. One way to determine the damage to oil is to test the peroxide. According to the Indonesian National Standard (SNI) (2013), peroxide value limit is 10 meq O2/kg. One of the factors that can affect an increase in peroxide value in edible oils is frying time. Based on preliminary study in Pejaten Timur, obtained an increase in peroxide on five fried food traders ranging from the first, fifth, tenth to fifteenth. This research was conducted in Pasar Minggu because this region is a transit area where a railway and the bus station so the consumers not only from Pasar Minggu, but also from out of the area. The results showed that an increase in peroxide value in fifth time of frying time, which is the minimum value of frying time was 2 minutes and the maximum was 23 minutes, and the highest peroxide value is 0.9458 meq O2/kg on fifteenth frequency of frying. Furthermore the frying multiples of ten, there was an increase and decrease from the length of time peroxide with a frying time at least 2 minutes and a maximum time was 52 minutes, and the highest peroxide value is 2.726 meq O2/kg on tenth frequency of frying. The result from using simple correlation analysis was not significant between frying time and the change of peroxide value for the fifth time, although for the tenth time was significant between frying time and the change of peroxide value .
iii
The change of peroxide value in fifth and tenth time is an early sign that the oil will be perishable. Peroxide value that occurs as a result of extreme heat will cause a toxicity in human body and various diseases such as diarrhea, fat deposition in the blood vessels (Artero sclerosis), cancer, and decrease fat digestibility value. Based on the research, the retail dealers should replace the cooking oil that has been used with the new one, because frying time can affect the change of peroxide value.
Reference : 43 (1985-2014) Keyword : Peroxide value (PV), Cooking oil, Fried food
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Aamiin. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Dosen Pembimbing I yang senantiasa memberikan waktu dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini. 2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kess. Selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fase Badriah, SKM, M.Kes, Ph.D. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberi masukan dan motivasi dalam perbaikan skripsi ini.
vii
4. Para dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan dosen-dosen Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. 5. Ayah dan Ibu serta adik-adik tersayang yang selalu memberikan dukungan, nasihat serta doa yang selalu dipanjatkan demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 6. Mba Oma, Bang Jerry, dan Azhar yang turut membantu dalam pengambilan sampel. 7. Teman-teman Kesling 2011: Ibnu Burhanudin, Chandra Perdana, Rois Solichin, Hari Agus Pranata, Almen Fercudani, Betti Ronayan Adiwijayanti, Ika Amalia Putri, Niken Kusuma Wardani, Putri Widiastuti, Sri Wahyu Fitria, Efri Malisha Dwi Putri, Alifia Nadanti, Feela Zaki Safitri, Ika Nur Atikoh, Shela Ayu Puryandini, Nurul Fajriati Praptika Putri, Nabila Dewi Ichsani, Anantika Anissa, Sarah Ajeng Kusumarani, Awaliyah Rizka Safitri, Eka Lestari Sitepu, Ukhfiya Qurrota Ayuni dan Nur Ihsani Rahmatika. 8. Sahabat-sahabat tersayang: Rahma Yusfarani, Safira Anindita, Nadita Anggiasari, Putri Handayani, Dwi Nurvita, Unique Gita Claudia, Putri Dwi Karina, dan Wardah Nafisah Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa mendatang. Ciputat, 2 Oktober 2015
Penulis viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i ABSTRAK
.................................................................................... ii
ABSTRACT
.................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ............................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii DAFTAR ISI
.................................................................................... ix
DAFTAR TABEL
.................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii DAFTAR GRAFIK
.................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5 C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 6 D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7 E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9 F. Ruang Lingkup Penelitian.......................................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11 A. Kanker ........................................................................................................ 11 B. Minyak Goreng .......................................................................................... 12 C. Sumber Minyak .......................................................................................... 14 D. Jenis-Jenis Minyak Goreng ........................................................................ 16 E. Komponen Minyak Goreng ....................................................................... 25 F. Sifat Fisiko-Kimia ...................................................................................... 27 G. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Minyak Goreng ........................... 36 H. Ketengikan pada Minyak Goreng .............................................................. 37 I. Minyak Jelantah ......................................................................................... 39 ix
J. Syarat Mutu Minyak Goreng ..................................................................... 40 K. Bilangan Peroksida .................................................................................... 43 L. Dampak Bilangan Peroksida yang Tinggi terhadap Kesehatan ................. 45 M. Faktor yang Mempengaruhi Bilangan Peroksida dalam Minyak Goreng.. 46 N. Oksidasi...................................................................................................... 52 O. Kerangka Teori .......................................................................................... 54 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL.. ..... 57 A. Kerangka Konsep ....................................................................................... 57 B. Definisi Operasional .................................................................................. 59 C. Hipotesis .................................................................................................... 59 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 60 A. Desain Penelitian ....................................................................................... 60 B. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 60 C. Populasi dan Sampel .................................................................................. 60 D. Sumber Data ............................................................................................... 62 E. Alat dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 62 F. Pengolahan Data ........................................................................................ 64 G. Analisis Data .............................................................................................. 65 BAB V HASIL ................................................................................................ 67 A. Analisis Univariat ...................................................................................... 67 B. Analisis Bivariat ......................................................................................... 72 BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 74 A. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 74 B. Analisis Univariat ...................................................................................... 75 C. Analisis Bivariat ......................................................................................... 81 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 84 A. Kesimpulan ................................................................................................ 80 B. Saran ......................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 88 LAMPIRAN .................................................................................................... 92 x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Minyak Nabati ........................................................ 15 Tabel 2.2 Klasifikasi Lemak Hewani ......................................................... 16 Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng ..................................................... 42 Tabel 3.2 Definisi Operasional ................................................................. 59 Tabel 5.1 Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Lima ............ 67 Tabel 5.2 Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Sepuluh ....... 67 Tabel 5.3 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima ........................................................................................... 68 Tabel 5.4 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak goreng Kelipatan Sepuluh ...................................................................................... 69 Tabel 5.7 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima ................................ 72 Tabel 5.8 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima ................................ 72
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4 Reaksi Pembentukan Peroksida ................................................... 45 Gambar 2.5 Kerangka Teori ............................................................................ 56 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 57
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.5 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan Lima .............................................................................................................. 70 Grafik 5.6 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan Sepuluh ............................................................................................................ 71
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Minyak goreng merupakan minyak yang dimasak bersama bahan pangan atau dijadikan sebagai medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan (Ketaren, 2012). Minyak goreng mengandung vitamin A, D, E, dan lemak untuk pembentukan sel serta pertahanan tubuh, sehingga minyak goreng dapat disebut sehat. Namun, minyak goreng juga dapat berbahaya bagi tubuh yang disebabkan oleh penggunaannya dalam proses memasak seperti pemanasan dengan suhu tinggi agar makanan terasa lebih gurih. Pemanasan suhu tinggi dapat mengoksidasi minyak goreng dan menghasilkan radikal bebas (Graha, 2010). Rusaknya minyak goreng dapat diketahui dengan melakukan uji bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang dapat menentukan kualitas minyak goreng. Apabila bilangan peroksida melebihi 10 meq O2/kg, maka kualitas minyak goreng sudah tidak lagi baik. Angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. Kerusakan minyak karena pemanasan pada suhu tinggi disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi. Pada suhu tinggi 200-2 0
C) terjadinya kerusakan
minyak yang akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 2012).
1
Kanker pada tubuh manusia karena paparan bahan kimia karsinogen tidak terjadi seketika, tetapi terjadi pada masa yang lamanya tergantung dari kekuatan bahan kimia karsinogen, dosis bahan kimia karsinogen, kepekaan sel penderita, dan berbagai macam faktor lain. Kanker dapat timbul beberapa tahun setelah terpapar oleh bahan kimia karsinogen (Sumardjo, 2008). Zat atau bahan karsinogenik sendiri dapat ditemukan pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya: cara menggoreng yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng berulang kali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epoksida, dan sebagainya), dan pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama (menimbulkan zat trans-fatty acid) (Tapan, 2005). Lemak trans digunakan untuk memperpanjang umur produk-produk olahan. Lemak trans meningkatkan kadar LDL (kolesterol jahat), inflamasi, dan diabetes. Tepung yang bereaksi dengan minyak panas juga memproduksi senyawa kimia akrilamida (karsinogen). Selain itu, minyak goreng yang dipakai berulang kali berpotensi menghasilkan jenis karsinogen yang akan menempel pada batch makanan berikutnya yang masuk ke dalam penggorengan (CancerHelps, 2014). Mengingat bahwa mengonsumsi makanan gorengan merupakan bagian dari budaya makan masyarakat Indonesia (Anwar dan Khomsan, 2009) dan minyak goreng merupakan produk pangan yang sering dikonsumsi, maka perlu adanya jaminan keamanan, mutu, dan gizi dari minyak goreng. Oleh karena itu, dalam skala internasional, Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 mengeluarkan standar mutu bilangan peroksida untuk biji bunga matahari yaitu ≤10 meq/kg minyak kemasan) dan ≤1 2
(virgin oil). Standar bilangan peroksida yang ditentukan oleh Sudanese Standard and Metrology Organization (SSMO) tahun 2003 yaitu ≤10 meq/k (Abdellah, 2012). Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2013) yang menetapkan bilangan peroksida yaitu maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, Mudji Triatmo, dan Arianti Rahayu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemanasan dengan perubahan
bilangan
peroksida
pada
makanan
kentang
yang
digoreng
menggunakan minyak kedelai mulai dari perlakuan menggoreng pertama sampai kesepuluh dengan suhu pemanasan awal yaitu 140-180°C (Gunawan dkk, 2003). Untuk mengetahui adanya perubahan bilangan peroksida dapat dilakukan uji mulai dari frekuensi penggorengan pertama hingga akhir, seperti pada penelitian terhadap sifat organoleptik tempe pada pengulangan penggorengan menggunakan minyak curah yang dilakukan oleh Siti Aminah (2010). Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan bilangan peroksida mulai dari kontrol/minyak segar, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima belas, dan kedua puluh. Pada pengulangan penggorengan kesepuluh, angka peroksida melebihi standar yang ditetapkan yaitu 10,35 meq peroksida/kg. Hal ini menunjukkan semakin banyak pengulangan penggorengan maka bilangan peroksida semakin meningkat (Aminah, 2010). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mulasari dan Utami (2012) terhadap jenis makanan gorengan (tahu, tempe, telur, terong, ayam, dan ikan goreng) di
3
sepanjang Jl. Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo menunjukkan data bahwa 14 dari 15 pedagang minyak goreng termasuk dalam kategori tidak baik dengan frekuensi penggorengan lebih dari empat kali dengan bilangan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meq/kg (Mulasari dan Utami, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kelurahan Pejaten Timur pada empat pedagang gorengan. Pedagang gorengan yang dimaksud adalah pedagang yang menggoreng ayam, ikan, bebek, tahu, dan tempe. Didapatkan hasil positif yaitu adanya perubahan peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng dengan rata-rata yaitu 4.26 mgO2/100gr pada frekuensi pertama, 5.2 mgO2/100gr pada frekuensi ke lima, 5.77 mgO2/100gr pada frekuensi ke sepuluh, dan 6.14 mgO2/100gr pada frekuensi ke lima belas. Pasar minggu merupakan daerah dengan luas 21,69 km2 dan memiliki jumlah penduduk 298.099 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2014). Pasar minggu juga daerah transit dimana terdapat stasiun kereta api dan terminal bus. Oleh karena itu aktivitas jual beli di sekitar Kelurahan Pasar Minggu tinggi. Hal lain terjadi karena konsumen yang datang tidak hanya berasal dari Kelurahan Pasar Minggu. Hasil observasi yang telah dilakukan, terdapat beberapa pedagang yang menjual makanan dan diantaranya ada 30 pedagang makanan yang menggoreng ikan lele, ayam, burung dara, bebek, tahu, dan tempe.
Pedagang gorengan umumnya
menggunakan minyak goreng curah dengan kuali berukuran besar sehingga dalam sehari memiliki frekuensi penggorengan yang tinggi, yaitu lebih kurang 50 kali penggorengan. Selain itu, pedagang yang berlokasi di pinggir jalan ini, memiliki tempat penyimpanan bahan makanan yang tidak higiene yang dapat 4
mempengaruhi kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti sebagai mahasiswa kesehatan lingkungan ingin mengetahui efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu. B. Rumusan Masalah Bilangan peroksida merupakan nilai untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak goreng. Standar dari bilangan peroksida itu sendiri yaitu 10 meq O2/kg. Jika minyak goreng yang telah digunakan memiliki angka peroksida yang melebihi batas tersebut, maka minyak goreng mengalami kerusakan dan tidak bagus lagi untuk digunakan. Bilangan peroksida dapat meningkat akibat pemanasan minyak yang berlebihan sehingga minyak akan teroksidasi menghasilkan zat-zat radikal bebas. Selain itu, adanya frekuensi penggorengan berulang akan menghasilkan senyawa yang dapat mengganggu kesehatan yang masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan penyakit apabila dikonsumsi dalam waktu yang lama, salah satunya adalah kanker. Salah satu pedagang makanan dengan ciri yang sama pada peningkatan bilangan peroksida adalah pedagang gorengan. Dalam sehari, pedagang tersebut dapat menggoreng hingga lebih kurang 50 kali. Itu sebabnya dapat diasumsikan adanya peningkatan bilangan peroksida dalam 50 kali penggorengan tersebut. Pada studi pendahuluan yang dilakukan terhadap pedagang gorengan di Kelurahan Pejaten Timur diketahui bahwa bilangan peroksida dari penggorengan pertama, ke lima, ke sepuluh, dan ke lima belas terjadi peningkatan bilangan
5
peroksida pada minyak yang digunakan meskipun tidak melebihi standar mutu yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015. C. Pertanyaan Penelitian 1. Berapa rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan lima pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015? a. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng pertama? b. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima? c. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh? d. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima belas? 2. Berapa rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015? a. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh? b. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kedua puluh? c. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng ketiga puluh? d. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng keempat puluh?
6
3. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015? a. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima? b. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan sepuluh? 4. Bagaimana gambaran perbedaan bilangan peroksida minyak goreng antara kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015? 5. Apakah ada hubungan lama pemanasan berdasarkan perubahan bilangan peroksida minyak goreng dengan masa penggorengan kelipatan lima dan sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015? D. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan lima pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015 Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng pertama 7
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima belas b. Diketahuinya rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015 Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kedua puluh Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng ketiga puluh Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng keempat puluh c. Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015 Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan sepuluh
8
d. Diketahuinya gambaran perbedaan bilangan peroksida minyak goreng antara kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015 e. Diketahuinya hubungan lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan mengenai efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan. 2. Bagi Pedagang Gorengan Sebagai informasi agar pedagang mengetahui pada penggorengan yang keberapa minyak goreng mengalami kerusakan yang dapat dilihat dari uji bilangan peroksida. 3. Bagi Masyarakat Sebagai informasi agar masyarakat mengetahui pada penggorengan yang keberapa minyak goreng mengalami kerusakan yang dapat dilihat dari kondisi fisik yang memperkirakan adanya bilangan peroksida yang tinggi. 4.
Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai gambaran informasi atau referensi untuk peneliti selanjutnya dalam menganalisa serta memperdalam faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi peningkatan bilangan peroksida dalam minyak goreng dan 9
kandungan-kandungan berbahaya yang terdapat didalamnya yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi. F. Ruang Lingkup Penelitian ini berjudul “Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa semester delapan Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu pada bulan MeiAgustus tahun 2015. Sampel pada penelitian ini adalah minyak goreng yang berjumlah 150 dari 30 responden/pedagang gorengan. Masing-masing responden diambil lima kali sampel minyak goreng. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain cross sectional study karena pada penelitian ini variabel independen dan dependen diukur pada waktu yang sama. Pengambilan sampel menggunakan total sampling. Sampel minyak goreng diambil oleh peneliti untuk diuji lebih lanjut terkait peningkatan bilangan peroksida di Akademi Kimia Analis (AKA) Bogor.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang tidak normal dan mengancam kesehatan sel yang masih normal. Sel-sel kanker tidak seperti sel-sel tumor jinak, menunjukkan sifat invasi dan metastasis serta sangat anaplastik. Jenis kanker menurut tempat tumbuhnya dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu karsinoma (kanker yang tumbuh pada sel epitel), sarcoma (kanker yang tumbuh pada jaringan penunjang tubuh), leukemia (kanker yang tumbuh pada jaringan limfa). Dari pembagian ini, kanker dibagi menjadi 12 kelompok yaitu kanker kandungan,kanker payudara, kanker pernapasan (paru dan tenggorokan), kanker organ cerna (hati-pankreas), kanker tulang dan otot, kanker saluran kencing (ginjal, prostat, dan kantong kemih), kanker kulit, kanker getah bening, kanker darah (leukemia), kanker mata (retinoblastoma), kanker saluran cerna (esophagus, lambung, usus kecil, dan usus besar), dan kanker saraf (otak). Menurut stadiumnya, kanker dibagi menjadi dua, yaitu stadium dini dan stadium lanjut. Pada stadium dini, gejala kanker belum terlihat dan serangannya belum menjalar ke dalam jaringan, sedangkan pada stadium lanjut, kanker sudah menjadi besar, sudah menyusup ke jaringan sekitar, serta sudah menjalar ke dalam pembuluh darah dan getah bening (Adi, 2007). Beberapa jenis makanan yang dapat memicu kanker (karsinogenik) seperti: makanan yang diasap, makanan yang mengandung nitrosamine, makanan akibat 11
radiasi nuklir, racun pada tembakau. Selain itu pula zat karsinogenik bisa ditemukan pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya: pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama (menimbulkan zat trans-fatty acid), cara penggorengan yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng berulangkali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epioksida, dan sebagainya). Makanan yang disebutkan terakhir umumnya bisa diperoleh pada jenis goreng-gorengan (Tapan, 2005). B. Minyak Goreng Minyak adalah zat cair atau yang mudah dicairkan pada pemanasan, larut dalam eter, tetapi tidak larut dalam air, biasanya dapat dibakar; zat demikian, bergantung pada asalnya, dikelompokkan sebagai minyak nabati, minyak hewani, atau mineral, dan bergantung pada sifatnya ketika pemanasan dapat dikelompokkan sebagai asiri atau tetap (Pudjaatmaka, 2002). Minyak goreng adalah bahan pangan dengan komposisi utamanya trigliserida yang berasal dari bahan nabati kecuali kelapa sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan, dan telah melalui proses rafinasi atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, serta penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori pada bahan pangan yang digoreng. Minyak goreng dapat diproduksi dari berbagai macam bahan mentah, seperti kelapa, kopra, kelapa sawit, kacang kedelai, biji jagung, biji bunga matahari, biji zaitun, dan lain-lain. Minyak goreng yang mengandung asam lemak esensial atau asam 12
lemak tak jenuh jamak, bila digunakan untuk menggoreng dengan suhu 150180°C, maka asam lemak esensial atau asam lemak tidak jenuh akan mengalami kerusakan (teroksidasi oleh udara dan suhu tinggi). Demikian pula beta karoten (pro-vitamin A) yang terkandung dalam minyak goreng tersebut akan mengalami kerusakan (Muchtadi, 2009). Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk meggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221°C (Winarno, 2004). Minyak goreng nabati yaitu minyak goreng yang berasal dari tumbuhan yang biasanya dibuat dari minyak kelapa sawit, bunga matahari, kedelai ataupun jagung, tidak mengandung kolesterol, karena secara alam tanam-tanaman tidak memproduksi kolesterol. Sedangkan minyak goreng yang berasal dari hewan, seperti lemak kambing atau lemak sapi yang dikenal dengan sebutan minyak samin mengandung kolesterol. Dilihat dari segi gizinya, kandungan minyak goreng memang mengandung vitamin A, D, dan E, selain itu juga zat yang 13
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel serta pertahanan tubuh, sehingga minyak goreng itu disebut sehat. Proses penggunaan minyak goreng dalam memasak dapat membuat ikatan kimia yang ada pada minyak berubah. Penggunaan minyak goreng sebagai bahan penghantar panas untuk membantu memasak makanan mengubah kandungan dalam minyak goreng. Pemanasan minyak goreng dengan suhu yang sangat tinggi akan merusak ataupun menghilangkan kandungan vitamin-vitamin yang ada pada minyak tersebut dan terbentuknya asam lemak yang justru tidak menyehatkan (Graha, 2010). C. Sumber Minyak Minyak dan lemak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam, yang dapat bersumber dari bahan nabati atau hewani. Dalam tanaman atau hewan, minyak tersebut berfungsi sebagai sumber cadangan energi. Minyak dan lemak dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, sebagai berikut: 1. Bersumber dari tanaman a. Biji-bijian palawija: minyak jagung, biji kapas, kacang, rape seed, wijen, kedelai, dan bunga matahari b. Kulit buah tanaman tahunan: minyak zaitun dan kelapa sawit c. Biji-bijian dari tanaman tahunan: kelapa, cokelat, inti sawit, babassu, cohune, dan sebagainya 2. Bersumber dari hewani a. Susu hewan peliharaan: lemak susu b. Daging hewan peliharaan: lemak sapi dan turunannya oleostearin, oleo oil dari oleo stock, lemak babi, dan mutton tallow 14
c. Hasil laut: minyak ikan sarden, menhaden dan sejenisnya, serta minyak ikan paus Komposisi atau jenis asam lemak dan sifat fisiko-kimia tiap jenis minyak berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh dan pengolahan. Adapun perbedaan antara lemak nabati dan hewani adalah: 1. Lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol 2. Kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak nabati 3. Lemak hewani mempunyai bilangan Reichert Meissl lebih besar serta bilangan Polenske lebih kecil daripada minyak nabati Tabel 2.1 Klasifikasi Minyak Nabati No Kelompok Lemak Jenis lemak/minyak 1. Lemak (berwujud padat) Lemak biji cokelat, inti sawit, cohune, babassu, tengkawang, nutmeg butter, mowvah butter, dan shea butter 2. Minyak (berwujud cair) a. Tidak mengering (non Minyak zaitun, kelapa, inti zaitun, kacang tanah, drying oil) almond, inti alpukat, inti plum, jarak rape, dan mustard b. Setengah mengering Minyak dari biji kapas, kapok, jagung, gandum, (semi drying oil) biji bunga matahari, croton, dan urgen Minyak kacang kedelai, safflower, argemone, c. Mengering (drying hemp, walnut, biji poppy, biji karet, perilla, tung, oil) linseed, dan candle nut Sumber: Hilditch, T.P (1945) dalam Ketaren (2012)
15
Tabel 2.2 Klasifikasi Lemak Hewani No Kelompok Lemak Jenis lemak/minyak 1. Lemak (berwujud padat) a. Lemak susu Lemak dari susu sapi, kerbau, kambing, dan (butter fat) domba b. Hewan peliharaan (gol. Lemak babi, skin grease, mutton tallow, lemak Mamalia) tulang, dan lemak/gemuk wool 2. Minyak (berwujud cair) a. Hewan Minyak neats foot peliharaan Minyak ikan paus, salmon, sarden, menhaden b. Ikan (fish oil) jap, herring, shark, dog fish, ikan lumba-lumba, dan minyak purpoise Sumber: Hilditch, T.P (1945) dalam Ketaren (2012) Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka. Istilah minyak “setengah mengering” berupa minyak yang mempunyai daya mengering yang lebih lambat (Ketaren, 2012). D. Jenis-Jenis Minyak Goreng Berbagai jenis minyak yang bersumber dari bahan nabati, yaitu 1. Minyak Wijen Biji wijen kering udara umumnya mempunyai kadar air 5% dengan variasi kandungan minyak sekitar 35-37%, umumnya antara 44-54%, serta kandungan protein dari biji antara 19-25%. Biji-biji dengan warna terang cenderung menghasilkan minyak dengan mutu yang lebih baik dibandingkan dengan biji yang berwarna gelap. Sedangkan warna gelap akan menghasilkan
16
persentase minyak yang lebih besar. Minyak wijen bersifat larut dalam alkohol dan dapat bercampur dengan eter, kloroform, petroleum benzene, dan CS2, tetapi tidak larut dalam eter. Setelah dimurnikan, minyak berwarna kuning pucat dan tidak menimbulkan gejala kabut pada suhu 0°C. Minyak wijen ini bersifat synergist terhadap phrethrum yang merupakan sifat khas minyak wijen. Minyak wijen mempunyai nilai putaran optik positif. Jadi, unsur non gliserida dalam minyak lebih positif putaran optiknya, dibandingkan dengan asam-asam lemak maupun gliserida (Ketaren, 2012). Biji wijen juga dapat diolah menjadi minyak makan atau minyak goreng. Kandungan dalam biji wijen cukup tinggi, yaitu sekitar 50%. Minyak wijen mengandung asam oleat dan linoleat, masing-masing 17% dan 40% dari total asam lemak, dan merupakan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tersebut dapat mengikat kelebihan kolesterol di dalam darah sehingga menurunkan kadar kolesterol. Oleh karena itu, minyak wijen sangat baik digunakan sebagai minyak makan atau minyak goreng. Minyak wijen sebagai minyak goreng dinilai memiliki kualitas yang tinggi dan mendapat sebutan “the queen of the oil seed”. Minyak wijen juga mengandung beberapa asam amino esensial, antara lain leusin, fenil-alanin, dan isoleusin. Asam amino esensial tersebut dapat mencukupi kebutuhan asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh dan harus tersedia dalam makanan (Juanda dan Cahyono, 2005). 2. Minyak Jagung Kandungan lemak pada jagung terkonsentrasi pada bagian lembaga sebanyak 3-8%. Kandungan asam lemak jenuh pada minyak jagung relatif 17
rendah dengan jumlah asam palmitat 11% dan asam stearate 2%. Sedangkan asam lemak tidak jenuhnya cukup tinggi terutama asam linoleat yang mencapai 24%. Minyak jagung relatif lebih stabil karena kandungan asam linolenatnya sangat kecil (0,4%). Minyak jagung mengandung antioksidan alami yang tinggi. Mutunya lebih tinggi karena distribusi asam lemaknya berimbang, terutama oleat dan linoleat (Rizki, 2013). Minyak jagung dianggap sebagai minyak alternatif pengganti minyak sawit karena diyakini mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh. Minyak jagung murni mengandung 99% triasilgliserol dengan asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) 59%, asam lemak tak jenuh tunggal 24%, dan asam lemak jenuh (SFA) 13%. Minyak jagung juga mengandung sejumlah ubiquinone dan kadar tinggi alfa-tokoferol dan gamma-tokoferol (vitamin E) yang dapat melindunginya dari “ketengikan” oksidatif. Minyak jagung mudah dicerna, selain itu minyak tersebut juga menyediakan energi dan asam lemak esensial (EFA). Asam linoleat merupakan asam lemak esensial yang diperlukan untuk integritas kulit, membran sel, sistem kekebalan, dan untuk sintesis icosanoid. Icosanoid penting untuk fungsi-fungsi reproduksi, kardiovaskuler, ginjal, pencernaan, dan ketahanan terhadap penyakit. Minyak jagung juga efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Oleh sebab mengandung SFA rendah dan mengandung PUFA tinggi, dan kombinasinya lebih efektif dalam menurunkan kolesterol dibandingkan dengan sekedar mengurangi konsumsi SFA (Subroto, 2008).
18
3. Minyak Kedelai Minyak kedelai (soya oil) merupakan minyak yang diesktraksi dari biji kedelai berwarna cerah dan mempunyai flavor spesifik, bobot jenis 0,92, angka saponifikasi 195, dan angka iodin 130. Minyak ini mengandung asam oleat 25%, asam linoleat 50%, asam linolenat 10%, fosfolipida sekitar 3%, serta sterol 0,8% (Makfoeld, 2002). Minyak kedelai tidak mengandung kolesterol dan mengandung lemak jenuh rendah (sekitar 15%) dan lemak tak jenuh tinggi (61% lemak tak jenuh ganda dan 24% lemak tak jenuh tunggal). Minyak kedelai merupakan sumber asam lemak linoleat dan asam linolenat yang merupakan asam lemak esensial bagi tubuh manusia. Lebih dari 50% lemak dalam minyak kedelai adalah asam linoleat, sedangkan asam linolenat sekitar 7%. Beberapa penelitian menemukan bahwa asam alfa-linolenat dapat menurunkan risiko stroke sehingga konsumsi minyak kedelai dapat mengurangi risiko stroke (Subroto, 2008). 4. Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang dikonsumsi masyarakat selain minyak kelapa, minyak kedelai, dan lainnya. Berdasarkan kegunaannya, minyak kelapa sawit digunakan sebagai bahan utama untuk produk-produk kebutuhan masyarakat, seperti minyak goreng, margarine, detergen, sabun, kosmetik, dan obat-obatan. Berdasarkan keunggulannya, minyak kelapa sawit lebih aman, karena sifat dasarnya yang dapat dimakan dan ramah terhadap lingkungan dan mudah diuraikan (biodegradable), selain itu juga terbukti tidak meningkatkan kadar kolesterol, 19
bahkan mengandung beta karoten sebagai pro-vitamin A dan vitamin E (Andoko dan Widodoro, 2013). Pada minyak sawit, warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak. Bau dan flavor pada minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit berada dalam nilai kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbeda-beda (Ketaren, 2012). 5. Minyak Kemiri Kemiri tergolong bumbu dapur yang kaya akan protein. Dalam daging biji kemiri terdapat asam hidrosianik yang beracun. Oleh karena itu, kemiri digolongkan minyak lemak non-pangan (non-edible oil). Biji kemiri (kernel) mengandung lemak yang sangat tinggi. Karena itu, saat biji kemiri diperas akan mengeluarkan minyak. Namun, karena dalam biji kemiri terdapat asam hidrosianik, minyaknya pun jarang digunakan untuk menggoreng. Minyak kemiri lebih cocok sebagai bahan baku sabun atau bahan bakar setara solar. Minyak kemiri mengandung sejumlah zat kimia yang mendatangkan berbagai khasiat. Yang cukup popular adalah khasiat menyehatkan rambut, mulai dari
20
menyuburkan, menguatkan, dan menghitamkan rambut secara alami (Prihandana dan Hendroko, 2008). Bagian buah (biji) mengandung minyak sebesar 55-65% dan kadar minyak dalam tempurung sebesar 60%. Asam lemak yang terkandung dalam minyak terdiri dari 55% asam palmitat: 6,7% stearate; 105% oleat, 48,5% linoleat, dan 28,5% linolenat. Asam lemak palmitat dan stearate termasuk golongan asam lemak jenuh, sedangkan asam oleat, linoleat, dan linolenat termasuk golongan asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 2012). 6. Minyak Jarak Minyak jarak adalah minyak nabati yang diekstraksi dari biji tumbuhan Ricinus communis, terjadi atas gliseril ster dari asam lemak, lebih menonjol asam (kurang lebih 85%), yaitu asam risinoleat C12H32(OH).COOH. Minyak jarak juga digunakan dalam cat, pernis, dan sebagai minyak pencahar (Pudjaatmaka, 2002). Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang terdiri dari 60% berat kernel (daging biji) dan 40% berat kulit. Inti biji (kernel) jarak pagar mengandung sekitar 50% minyak sehingga dapat diekstrak menjadi minyak jarak dengan cara mekanis ataupun ekstraksi dengan pelarut seperti heksana. Minyak jarak pagar merupakan jenis minyak yang memiliki komposisi trigliserida yang mirip dengan minyak kacang tanah. Kandungan asam lemak esensial dalam kk jarak pagar cukup tinggi sehingga sebenarnya dapat dikonsumsi sebagai makan, asalkan toksin yang berupa phorbol ester dan curcin dapat dihilangkan. Minyak jarak tidak lebih kental dibandingkan 21
minyak nabati lainnya. Komponen terbesar minyak jarak adalah trigliserida yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat (Dadang, 2006). 7. Minyak Kacang Tanah Minyak kacang merupakan minyak yang dihasilkan oleh tekanan hidraulik atau alat penghancur Anderson dari kacang tanpa kulit dengan tahap proses awal pada suhu rendah dihasilkan minyak yang bisa dimakan (lebih kurang 18%) dan sebagian lain dilakukan dengan hidrogenasi. Minyak tersebut kemudian dihidrogenasi dan dikilang ulang untuk digunakan dalam industry margarin kacang (peanut butter), salad, dan minyak goreng (peanut oil) (Pudjaatmaka, 2002). Kacang tanah termasuk herba dan sebagian besar produknya digunakan untuk makanan, baik sebagai minyak maupun mentega. Karena itu, kacang termasuk penghasil minyak/lemak yang bisa dimakan (edible oil). Kandungan minyak kacang tanah tergolong tinggi, berkisar 35-55% (Prihandana dan Hendroko, 2008). Biji kacang tanah dapat diolah dan diproses menjadi minyak goreng. Setiap 100 kg kacang tanah, dapat menghasilkan minyak antara 40-60 liter (Mashudi, 2007). 8. Minyak Jambu Mete Biji jambu mete terdiri dari biji (kernel) dan kulit (shell), kedua bagian ini mengandung minyak. Biji jambu mete terdiri dari 70% kulit biji dan 30% daging biji. Kulit (shell) mengandung minyak sekitar 50% yang dikenal dengan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). Komponen minyak jambu mete ini terdiri dari asam anacardic sekitar 90% dan minyak cardol sebesar 10%. Biji 22
jambu mete (kernel) mengandung minyak sekitar 47%. Komponen trigliseridanya tersusun dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Minyak kulit biji (CNSL) tidak digunakan sebagai bahan pangan tetapi digunakan untuk berbagai macam keperluan pengolahan yang lebih lanjut, misalnya sebagai bahan penahan air, bahan perekat tahan asam dan alkali, pembuatan tinta, bahan pengawet, rol mesin ketik, dan bahan pelapis rem pada roda (Ketaren, 2012). 9. Minyak Biji Kapas Minyak biji kapas yaitu minyak yang diperoleh dengan mengempa biji kapas yang telah dibersihkan serat-serat kapasnya, juga dapat digunakan ekstraksi pelarut. Minyak biji kapas juga baik sebagai pengganti minyak zaitun dalam rumah tangga maupun dalam sediaan farmasi (Pudjaatmaka, 2002). Biji kapas mengandung asam amino dalam jumlah besar yang dibutuhkan tubuh. Asam amino histidin yang dibutuhkan anak-anak, juga ditemukan dalam biji kapas. Dari komposisi ini terlihat bahwa protein yang terdapat dalam biji kapas merupakan protein yang lengkap yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Kegunaan minyak biji kapas antara lain sebagai alat penerangan, minyak pelumas, campuran lemak babi (lard), minyak salad, bahan untuk membuat sabun, bahan untuk membuat margarin, dan bahan untuk membuat mentega putih (shortening). Minyak biji kapas yang bermutu baik, murni, dan sudah mengalami deodorasi biasanya hanya tahan selama 1012 jam. Dalam keadaan mudah dioksidasi minya biji kapas akan tengik pada 23
bilangan peroksida 125. Minyak biji kapas kasar lebih tahan terhadap oksidasi dibandingkan dengan minyak yang sudah dimurnikan, tetapi dengan proses hidrogenasi, minyak tersebut akan bersifat lebih stabil (Ketaren, 2012). 10. Minyak Kelapa Minyak kelapa dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, seperti minyak goreng, bahan margarin, dan mentega putih. Sementara itu, pemanfaatan minyak kelapa untuk keperluan non-pangan antara lain sebagai minyak lampu serta bahan pembuat sabun dan kosmetika. Minyak kelapa tersusun atas senyawa organik campuran ester dari gliserol dan asam lemak yang disebut dengan gliserida serta larut dalam pelarut minyak atau lemak. Minyak kelapa secara fisik berwujud cairan yang berwarna bening sampai kuning kecokelatan dan memiliki karakteristik bau yang khas. Warna pada minyak kelapa disebabkan oleh zat warna dan kotoran-kotoran lainnya. Zat warna alamiah yang terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang merupakan hidrokarbon tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Warna minyak kelapa dipengaruhi oleh bahan dasar dan suhu selama proses pengolahan. Pada pemrosesan suhu tinggi (100° C), daging kelapa yang mengandung protein dan karbohidrat akan menghaislkan minyak kelapa dengan warna kecokelatan. Hal ini disebabkan selama pengolahan terjadi reaksi antara karbonil dari karbohidrat dan asam amino dari protein (Syah, 2005). Mengganti minyak goreng dengan minyak kelapa adalah langkah paling mudah untuk meperoleh khasiat minyak kelapa. Minyak lain terdiri atas 24
lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi saat pemanasan. Sebaliknya, minyak kelapa berisi lemak jenuh yang tahan oksidasi saat pemanasan. Untuk menggoreng tidak ada yang sehebat minyak kelapa, karena minyak kelapa tidak diserap ke dalam makanan sebanyak minyak nabati lain. Minyak kelapa sangat stabil, sehingga tidak perlu disimpan dalam lemari pendingin. Minyak kelapa murni tahan disimpan sampai 2-3 tahun pada suhu kamar dan akan tahan lebih lama lagi jika disimpan dalam lemari es (Sukartin dan Sitanggang, 2005). E. Komponen Minyak Goreng Minyak goreng yang biasanya berasal dari minyak sawit mengandung komponen aktif yang menakjubkan. Komponen itu adalah kandungan beta karoten atau pro-vitamin A dan vitamin E untuk menurunkan kolesterol dan menghambat penuaan. Asam lemak esensial (linoleat) sangat baik untuk kesehatan bayi dan kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi dan vitamin E untuk kesehatan kolesterol (Khomsan dkk, 2008). Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit sangat berguna bagi kesehatan dari bayi sampai orang dewasa. Secara alami, minyak sawit merupakan sumber asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA= Poly Unsaturated Fatty Acid) yang sangat tinggi kandungannya. Selain itu, minyak sawit juga mengandung kandungan zat gizi mikro yang beragam jenisnya, yang berguna untuk tubuh dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal. Zat gizi mikro yang dikenal sebagai komponen aktif yaitu karotenoid pro-vitamin A (beta karoten), karotenoid 25
nonpro-vitamin A, tokoferol dan tokotrienol, asam lemak esensial (Linoleat dan Linolenat), dan fito-sterol (Khomsan dkk, 2008). Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang berupa zat warna kuning sampai merah yang terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama yaitu karotenoid pro-vitamin A yang berfungsi sebagai zat nurisi aktif. Kedua, karotenoid non-pro-vitamin A yaitu non-nutrisi aktif, seperti fucoxanthin, neokanthin, dan violaxanthin (Khomsan dkk, 2008). Karoten berupa komponen aktif karotenois pro-vitamin A dalam minyak sawit yang terdiri dari tiga jenis, yaitu alfa, beta, dan gama karoten. Beta karoten merupakan yang paling dominan jumlahnya dalam minyak sawit. Beta karoten adalah pro-vitamin A yang digunakan dalam tubuh untuk berbagai keperluan seperti pertumbuhan, mencegah kebutaan, untuk reproduksi pemeliharaan sel epitel, dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit. Karoten berfungsi sebagai antioksidan untuk itu sangat baik untuk kesehatan kulit (Khomsan dkk, 2008). Karotenoid non-pro-vitamin A maupun pro-vitamin A berperan sebagai antioksidan yang berfungsi mencegah timbulnya penyakit kanker. Selain itu, untuk mencegah proses penuaan yang terlalu dini dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif lainnya. Kedua zat tersebut mampu bertindak sebagai pemusnah radikal bebas yang dihasilkan pada proses metabolisme dalam tubuh. Karotenoid terbukti sangat efisien dalam menetralisasi radikal oksigen dan efek peroksida lain serta mengurangi peluang terbentuknya sel kanker (Khomsan dkk, 2008). 26
F. Sifat Fisio-Kimia Penggunaan minyak goreng akan mengubah sifat fisio-kimia minyak tersebut. Semakin lama digunakan semakin banyak perubahan yang terjadi. Misalnya minyak tersebut akan semakin kotor akibat terbentuknya warna cokelat (reaksi browning), semakin kental (akibat terjadinya polimerisasi asam-asam lemak), dan kadar peroksidanya bertambah. Minyak jelantah yang digunakan untuk menggoreng bahan makanan berprotein akan menurunkan nilai gizi proteinnya, bahkan minyak jelantah yang sudah terlalu lama digunakan dapat membahayakan kesehatan tubuh karena banyak mengandung senyawa peroksida (radikal) serta asam lemak tidak jenuh trans (Muchtadi, 2009). 1. Sifat Fisio-kimia a. Warna Secara alamiah, zat warna dalam minyak mengandung α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan anthosyanin. Zat warna tersebut menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan, kehijauhijauan, dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh. Jika minyak dihidrogenasi, karoten tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas, maka warna kuning akan hilang. Karotenoid tersebut tidak dapat dihilangkan dengan proses oksidasi. 27
Warna gelap pada minyak disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak bersumber dari tanaman hijau, maka zat klorofil yang berwarna hijau turut terekstrak bersama minyak, dan klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak. Warna gelap ini dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan, yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: -
Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidraulik atau expeller, sehingga sebagian minyak teroksidasi. Disamping itu minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan mengesktrasi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut
-
Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap
-
Ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut organik tertentu, misalnya campuran pelarut petroleum benzene akan menghasilkan minyak dengan warna lebih cerah jika dibandingkan dengan minyak yang diekstraksi dengan pelarut trikloroetilena, benzol, dan heksan
-
Logam seperti Fe, Cu, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam minyak
-
Oksidasi terhadap fraksi tidak tersabunkan dalam minyak, terutama oksidasi tokoferol dan chroman 5,6 quinone menghasilkan warna kecokelat-cokelatan 28
b. Bau Amis Bau amis dalam mentega, susu bubuk atau krim disebabkan oleh terbentuknya trimetil-amin dari lesitin dalam susu dan mentega berturutturut dengan jumlah 0,03-0,12 persen dan 0,01-0,17 persen. Mekanisme pembentukan trimetil-amin dari lesitin bersumber pada pemecahan ikatan C-N gugus choline (CH2OH. CH2. N Me3) dalam molekul lesitin. Ikatan C-N ini dapat diuraikan oleh zat pengoksidasi, seperti gugus peroksida dalam lemak, sehingga menghasilkan trimetil-amin. Adanya tembaga besi akan mempercepat pembentukan peroksida lemak dan peroksida tersebut akan mengoksidasi lesitin. Terdapatnya sejumlah persenyawaan nitrogen yang berkombinasi secara kimia dengan minyak, disamping menyebabkan bau amis, juga mengakibatkan warna minyak menjadi kuning atau cokelat. Dalam susu, reaksi antara amino nitrogen yang dihasilkan dari kasein dengan aldehida sebagai akibat oksida lemak, menghasilkan sejumlah persenyawaan amin alifatis yang bersifat dapat menguap. Trimetrilamin oksida (NMe3) terbentuk akibat oksidasi trimetil-amin oleh peroksida. Umumnya persenyawaan oksida ini terdapat dalam otot-otot ikan, dalam jaringan hewan dan dalam susu. Jika persenyawaan tersebut terdapat dalam minyak yang dipanaskan selama beberapa jam pada suhu sekitar 105°C senyawa tersebut akan tereduksi sehingga menghasilkan trimetil-amin bebas.
29
c. Odor dan Flavor Odor dan flavor pada minyak selain terdapat secara alami, juga terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek sehingga hasil penguraian pada kerusakan minyak. Akan tetapi pada umumnya, odor dan flavor ini disebabkan oleh komponen bukan minyak. Sebagai contoh, bau khas dari minyak kelapa sawit dikarenakan terdapatnya beta ionone, sedangkan bau khas dari minyak kelapa ditimbulkan oleh nonyl methylketon. d. Kelarutan Suatu zat dapat larut jika mempunyai nilai polaritas yang sama, yaitu zat polar larut dalam pelarut bersifat polar dan tidak larut dalam pelarut nonpolar. Minyak tidak larut dalam air, kecuali minyak jarak (castor oil). Minyak dan lemak hanya sedikit larut dalam alkohol, tetapi akan melarut sempurna dalam etil eter, karbon disulfida, dan pelarut-pelarut halogen. Ketiga jenis pelarut ini memiliki sifat non polar sebagaimana halnya minyak dan lemak netral. Kelarutan dari minyak dan lemak ini dipergunakan sebagai dasar untuk mengekstraksi minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak. Asam-asam lemak yang berantai pendek dapat larut dalam air, semakin panjang rantai asam-asam lemak makan kelarutannya dalam air semakin berkurang. e. Titik Cair dan Polymorphism Pengukuran titik cair minyak, suatu cara yang lazim digunakan dalam penentuan atau pengenalan komponen-komponen organik yang murni, 30
tidak mungkin diterapkan di sini, karena minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Sebagai contoh, bila lemak dipanaskan dengan lambat, maka akhirnya akan mencair. Tetapi ada juga lemak yang sudah menjadi cair pada waktu temperatur muai naik, kemudian akan memadat kembali. Pencairan kedua akan terjadi pada temperatur yang lebih tinggi lagi. Bila lemak dengan sifat seperti diatas diulangi pemanasannya, maka bahan akan mencair pada temperature yang lebih rendah dari temperatur pemanasan pertama. Polymorphism pada minyak adalah suatu keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal.
Polymorphism sering dijumpai pada
beberapa komponen yang mempunyai rantai karbon panjang, dan pemisahan kristal tersebut sangat sukar. Namun demikian, untuk beberapa komponen, bentuk dari kristal-kristalnya sudah dapat diketahui. Polymorphism penting untuk mempelajari titik cair minyak dan asam lemak
beserta
ester-esternya.
Untuk
selanjutnya,
polymorphism
mempunyai peranan penting dalam berbagai proses untuk mendapatkan minyak. Asam lemak tidak memperlihatkan kenaikan titik cair yang linier dengan bertambah panjangnya rantai karbon atom. Asam lemak dengan ikatan trans mempunyai titik cair yang lebih tinggidaripada isomer asam lemak yang berikatan cis. f. Titik Didih Titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut. 31
g. Titik Lunak Titik lunak dari minyak ditetapkan dengan maksud untuk identifikasi minyak tersebut. Cara penetapannya yaitu dengan mempergunakan tabung kapiler yang diisi dengan minyak. Kemudian dimasukkan ke dalam lemari es selama satu malam, sehingga minyak akan membeku atau menjadi padat. Setelah satu malam dalam lemari es, tabung kapiler tadi diikat bersama-sama dengan termometer yang dilakukan di dalam lemari es, selanjutnya dicelupkan ke dalam gelas piala yang berisi air. Temperatur akan naik dengan lambat. Temperatur pada saat permukaan dari minyak dalam tabung kapiler mulai naik, disebut titik lunak atau softening point. h. Slipping Point Penetapan slipping point dipergunakan untuk pengenalan minyak alam serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Cara penetapannya yaitu dengan mempergunakan suatu silinder kuningan yang kecil, yang diisi dengan lemak padat, kemudian disimpan dalam bak yang tertutup dan dihubungkan dengan termometer. Bila bak tadi digoyangkan, temperatur akan naik perlahan-lahan. Temperatur pada saat lemak dalam silinder mulai naik atau temperatur pada saat lemak mulai melincir disebut slipping point. i. Shot Melting Point Shot melting point adalah temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak. Pada umumnya minyak mengandung komponen-komponen yang berpengaruh terhadap titik cairnya. Hal ini telah dipelajari pada berbagai 32
asam lemak bebas dan gliserida yang murni. Minyak yang umumnya mengandung asam lemak tidak jenuh dalam jumlah relatif besar, biasanya berwujud cair pada temperatur kamar. Bila mengandung asam lemak jenuh yang relatif besar, maka minyak tersebut akan mempunyai titik cair yang tinggi. Bila titik cair dari trigliserida sederhana yang murni ditentukan, akan dijumpai bahwa semakin panjang rantai karbon dari asam-asam lemaknya, maka titik cairnya pun akan semakin tinggi. j. Bobot Jenis Bobot jenis dari minyak biasanya ditentukan pada temperatur 25°C, akan tetapi dalam hal ini dianggap penting juga untuk diukur pada temperatur 40°C atau 60°C untuk lemak yang titik cairnya tinggi. Pada penetapan bobot jenis, temperatur dikontrol dengan hati-hati dalam kisaran temperatur yang pendek. k. Indeks Bias Indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang cerah. Indeks bias tersebut pada minyak dipakai pada pengenalan unsur kimia dan untuk pengujian kemurnian minyak. Abbe Refractometer mempergunakan alat pengontrol temperatur yang dipertahankan pada 25°C. Untuk pengukuran indeks bias lemak yang bertitik cair tinggi, dilakukan pada temperatur 40°C atau 60°C. Selama pengukuran temperatur harus dikontrol dan dicatat. Indeks bias ini akan meningkat apda minyak dengan rantai karbon yang panjang dan juga terdapatnya sejumlah ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak 33
juga akan bertambah dengan meningkatnya bobot molekul, selain dengan naiknya derajat ketidakjenuhan dari asam lemak tersebut. l. Titik Asap, Titik Nyala, dan Titik Api Apabila minyak dipanaskan dapat dilakukan penetapan titik asap, titik nyala, dan titik api. Titik asap adalah temperatur pada saat minyak menghasilkan asap tipis kebiru-biruan pada pemanasan tersebut. Titik nyala adalah temperatur pada saat campuran uap dari minyak dengan udara mulai terbakar. Sedangkan titik api adalah temperatur pada saat dihasilkan pembakaran yang terus-menerus, sampai habisnya contoh uji. Titik asap, titik nyala, dan titik api adalah kriteria penting dalam hubungannya dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng. m. Titik Kekeruhan (Turbidity Point) Titik kekeruhan ini ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak. Seperti diketahui, minyak kelarutannya terbatas. Campuran tersebut kemudian dipanaskan sampai terbentuk larutan yang sempurna. Kemudian didinginkan dengan perlahan-lahan sampai minyak dengan pelarutnya mulai terpisah dan mulai menjadi keruh. Temperatur pada waktu mulai terjadi kekeruhan, dikenal sebagai titik kekeruhan (turbidity point). 2. Sifat Kimia Pada umumnya asam lemak jenuh dari minyak mempunyai rantai lurus monokarboksilat dengan jumlah atom karbon yang genap. Reaksi yang penting pada minyak adalah reaksi hidrolisa, oksidasi, dan hidrogenasi. 34
a. Hidrolisa Dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut. b. Oksidasi Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen
dengan
minyak.
Terjadinya
reaksi
oksidasi
ini
akan
mengakibatkan bau tengik pada minyak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah
teruarainya
asam-asam
lemak
disertai
dengan
konversi
hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Rancidity terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan peroksida value (PV) hanya indikator dan pernyataan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik. Oksidasi yang lebih lanjut dapat menghasilkan keton, karena reaksi ini disertai hidrolisa. c. Hidrogenasi Proses hidrogenasi sebagai suatu proses industry bertujuan untuk menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak. Reaksi hidrogenasi ini dilakukan dengan menggunakan hydrogen murni dan ditambahkan serbuk nikel sebagai katalisator. Setelah proses hidrogenasi selesai, minyak didinginkan dan katalisator dipisahkan dengan 35
cara penyaringan. Hasilnya adalah minyak yang bersifat plastis atau keras, tergantung pada derajat kejenuhannya. Reaksi pada proses hidrogenasi terjadi pada permukaan katalis yang mengakibatkan reaksi antara molekul-molekul minyak dengan gas hidrogen. Hidrogen akan diikat oleh asam lemak yang tidak jenuh, yaitu pada ikatan rangkap, membentuk radikal kompleks antara hidrogen, nikel, dan asam lemak tak jenuh, setelah terjadi penguraian nikel dan radikal asam lemak, akan dihasilkan suatu tingkat kejenuhan yang lebih tinggi. Radikal asam lemak dapat terus bereaksi dengan hydrogen, membentuk asam lemak yang jenuh. d. Esterifikasi Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester, reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia yang disebut interesterifikasi atau pertukaran ester yang didasarkan
atas
prinsip
transesterifikasi
friedel-craft.
Dengan
menggunakan prinsip reaksi ini, hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak seperti asam butirat dan asam kaproat yang menyebabkan bau tidak enak dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap (Ketaren, 2012). G. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Minyak Goreng Parameter uji kualitas minyak goreng dapat dilihat dari perubahan sudut polarisasi cahaya. Semakin sering memanaskan minyak goreng maka semakin besar sudut polarisasinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa minyak goreng yang mempunyai kualitas yang paling baik adalah minyak goreng dengan sudut 36
polarisasi yang paling kecil. Ini berlaku sama antara minyak goreng dari kelapa maupun minyak goreng kelapa sawit (Nuraniza, 2013). Dengan suhu 180°C, makanan yang digoreng akan berwarna cokelat merata, kurang dari itu, minyak akan diserap banyak oleh makanan sehingga rasa dan penampilannya menjadi berubah. Ketika minyak digunakan kembali untuk menggoreng, minyak mulai terdegradasi dengan cara memecahkan ikatan trigliserida. Dari pepecahan itu terbentuk gliserol dan asam lemak bebas yang menyebabkan minyak berbau tengik dan warnanya berubah menjadi kecokelatan hingga hitam (Ide, 2007). H. Ketengikan pada Minyak Goreng Ada tida penyebab ketengikan pada minyak yaitu ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity), ketengikan oleh enzim (enzymatic rancidity), dan ketengikan oleh proses hidrolisa (hidrolitic rancidity). Berbagai jenis minyak akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal ini dikenal sebagai reversion. Beberapa penyelidik berpendapat bahwa hal ini khas pada minyak atau lemak. Reversion terutama dijumpai dalam lemak di pasar dan pada pemanggangan atau penggorengan dengan menggunakan temperatur yang terlalu tinggi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari reversion ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Jika suhu penyimpanan minyak dinaikkan, maka waktu untuk menghasilkan flavor reversion akan lebih singkat. Ketengikan berbeda dengan reversion; beberapa minyak mudah terpengaruh untuk menjadi tengik tapi akan mempunyai daya 37
tahan terhadap peristiwa reversion, misalnya pada minyak jagung. Perubahan flavor yang terjadi selama reversion, berbeda untuk setiap jenis minyak, sedangkan minyak yang telah menjadi tengik, akan menghaislkan flavor yang sama untuk semua jenis minyak. Bilangan peroksida yang sangat tinggi dapat menjadi indikasi ketengikan minyak, tetapi bilangan peroksida ini tidak mempunyai hubungan dengan peristiwa reversion (Ketraren, 2012). Bila minyak bersentuhan dengan udara untuk jangka waktu lama akan terjadi perubahan yang dinamakan proses ketengikan (rancidity). Oksigen akan terikat pada ikatan rangkap dan membentuk peroksida aktif. Senyawa ini sangat reaktif dan membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek berupa asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile/mudah menguap, menimbulkan bau tengik pada minyak dan potensial bersifat toksik. Reaksi ini bisa terjadi perlahan pada suhu menggoreng normal dan dipercepat oleh adanya sedikit besi dan tembaga yang biasa ada di dalam makanan. Minyak yang digunakan untuk menggoreng pada suhu tinggi atau dipakai berulang kali akan menjadi hitam dan produk oksidasi akan menumpuk. Asam lemak akan pecah dan terbentuk akrolein dari gliserol. Akrolein mengeluarkan asap tajam yang merangsang tenggorokan. Hidrogenasi minyak menurunkan kecenderungannya untuk teroksidasi, dengan demikian meningkatkan stabilitasnya (Almatsier, 2001). Kerusakan pada minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam 38
lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, myoglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawasenyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehidaaldehida, dan keton yang bersifat volatile dan menimbulkan bau tengik pada minyak (Winarno, 2004). I. Minyak Jelantah Minyak jelantah adalah minyak yang dihasilkan dari sisa penggorengan, baik dari minyak kelapa maupun minyak sawit. Minyak jelantah dapat menyebabkan minyak berasap atau berbusa pada saat penggorengan, meninggalkan warna cokelat, serta flavor yang tidak disukai dari makanan yang digoreng (Hambali dkk, 2007). Tidak jarang pedagang kaki lima menggunakan kembali minyak 39
jelantah untuk menggoreng. Ketika minyak jelantah kembali dipakai untuk menggoreng, minyak jelantah akan diserap secara berlebihan (dapat mencapai 50% dari berat makanan) ke dalam makanan yang digoreng. Selain berminyak, pada makanan juga terdapat kerak-kerak hitam yang menempel di permukaannya. Di situlah terdapat radikal bebas yang paling banyak (Ide, 2007). Kandungan minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru. Minyak jelantah mengeluarkan kandungan polimer yang dapat terserap dalam makanan berupa asam lemak trans. Dalam minyak jelantah juga terdapat zat radikal bebas, seperti peroksida dan epioksida yang mutagen dan karsinogen (berpotensi menyebabkan kanker) sehingga berisiko terhadap kesehatan manusia. Misalnya, gangguan peroksida pada minyak jelantah mengakibatkan pemanasan suhu tinggi hingga mengganggu kesehatan, terutama yang berhubungan dengan metabolisme kolesterol (Mianoki dkk, 2014). J. Syarat Mutu Minyak Goreng Standar Nasional Indonesia (SNI) 3741:2003 Minyak goreng yang merupakan revisi SNI 01-3741-2002 Minyak goreng. Standar tersebut dirumuskan dengan beberapa tujuan, yaitu: 1. Menyesuaikan standar dengan perkembangan teknologi terutama dalam metode uji dan persyaratan mutu 2.
Menyesuaikan standar dengan peraturan-peraturan baru yang diberlakukan
3.
Melindungi kesehatan konsumen
4.
Menjamin perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab
5.
Mendukung perkembangan dan diversifikasi industri minyak goreng 40
Standar ini dirumuskan dengan memperhatikan ketentuan pada: 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 7. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
722/MENKES/PER/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan atau revisinya 8. Peraturan
Menteri
Perindustrian
Republik
Indonesia
No.
24/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan dari Plastik 9. Peraturan
Menteri
Perindustrian
Republik
Indonesia
No.
75/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices) 10. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum 41
Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan (Badan Standar Nasional, 2013). Berikut merupakan syarat mutu minyak goreng sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh BSN pada tabel di bawah ini: Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng No 1. 1.1 1.2 2 3 4
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan Bau Warna Kadar air dan bahan menguap Bilangan asam Bilangan peroksida
%(b/b) mg KOH/g mek O2/kg
Normal Normal Maks. 0,15 Maks. 0,6 Maks. 10
5
Minyak pelikan
-
Negatif
6
%
Maks. 2
7
Asam linolenat (C18:3) dalam komposisi asam lemak minyak Cemaran logam
7.1
Kadmium (Cd)
mg/kg
Maks. 0,2
7.2
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks. 0,1
7.3
Timah (Sn)
mg/kg
7.4
Merkuri (Hg)
mg/kg
Maks. 40,0/250,0 (dalam kemasan kaleng) Maks. 0,05
8
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
Maks. 0,1
Pada skala internasional, Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 mengeluarkan standar mutu bilangan peroksida untuk biji bunga matahari yaitu ≤10 meq/kg
42
minyak
kemasan) dan ≤1
virgin oil). Standar bilangan peroksida yang ditentukan oleh
Sudanese Standard and Metrology Organization (SSMO) tahun 2003 yaitu ≤10 meq/k (Abdellah, 2012). K. Bilangan Peroksida Produk utama oksidasi lipid yaitu hidroperoksida, yang umumnya disebut sebagai "peroksida". Peroksida adalah senyawa organik yang tidak stabil yang terbentuk dari trigliserida. Bilangan peroksida adalah metode untuk menentukan tingkat oksidasi minyak dan mengukur pembentukan hidroperoksida dalam miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida dibentuk oleh oksidasi lemak bereaksi dengan ion iodida untuk membentuk yodium, yang pada akhirnya diukur dengan titrasi menggunakan tiosulfat. Bilangan peroksida berfungsi sebagai indikator kualitas minyak. Meskipun tidak membedakan antara berbagai asam lemak tak jenuh yang mengalami oksidasi dan tidak menyediakan informasi tentang produk oksidatif sekunder yang terbentuk oleh dekomposisi hidroperoksida, umumnya dapat dinyatakan bahwa bilangan peroksida merupakan indikator dari tingkat dasar oksidasi minyak. Perubahan nilai peroksida terhadap waktu menunjukkan tahap induksi, dimana terjadinya peningkatan bilangan peroksida, dan penurunan sebagai hasil oksidasi lipid. Hidroperoksida rusak pada tingkat yang lebih cepat daripada pembentukannya. Minyak berkualitas rendah akan memiliki periode induksi yang lebih pendek. Senyawa peroksida tidak stabil dalam kondisi menggoreng. peningkatan bilangan peroksida selama penggorengan akan diikuti oleh penurunan dengan 43
lebih menggoreng karena hidroperoksida cenderung terurai pada 180°C untuk membentuk produk oksidasi sekunder. Peningkatan keseluruhan nilai peroksida terjadi khususnya selama masa tenang, di mana minyak goreng terkena udara pada suhu tinggi. Peroksida dan hidroperoksida memberikan indikasi penurunan rasa pada makanan (Contemporary Food Engineering Series. 2009). Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng. Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang gorengan, mayoritas menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari, 2012). Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida dalam jumlah yang kecil. Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak misalnya vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B). Peroksida juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012).
44
Secara umum, reaksi pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4 Reaksi Pembentukan Peroksida L. Dampak Bilangan Peroksida yang Tinggi terhadap Kesehatan Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida terbentuk akibat pemanasan yang mengakibatkan kerusakan pada minyak atau lemak. Pada minyak goreng, angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. akibat pemanasan pada suhu tinggi
200-2 0
erusakan lemak atau minyak C) akan mengakibatkan
keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 2012). Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah, mengakibatkan kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Berdasarkan percobaan terhadap ayam, kekurangan
vitamin
E
dalam
lemak
45
mengakibatkan
timbulnya
gejala
encephalomalacia dan jika hidroperoksida diinjeksikan ke dalam aliran darah menimbulkan gejala celebellar. Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara nonenzimatis dalam otot usus dan mitochondria, lipoperoksida dalam aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai kerapatan rendah. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi aktif sebagai alat transportasi trigeliserida; dan jika lipoprotein mengalami denaturasi, akan mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah (aorta) sehingga menimbulkan gejala atherosclerosis (Ketaren, 2012). M. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng 1. Oksigen Oksigen atau zat asam adalah suatu gas yang sangat penting dalam kehidupan kita, terutama bagi pernapasan. Pernapasan atau respirasi berarti mengambil atau menghirup oksigen dan membuang sisa pembakaran, yakni karbon dioksida dan air. Oksigen disebut juga zat pembakar karena oksigen berguna dalam pembakaran bahan makanan dan menghasilkan panas kalori. Sebagian panas kalori berguna untuk memelihara suhu tubuh dan sebagian lagi diubah menjadi tenaga untuk bekerja. Sebagian besar mikroorganisme atau jasad renik memerlukan oksigen untuk proses penguraian bahan makanan. Oksigen merupakan zat yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa,
dan
bersifat
netral.
Oksigen
tidak
dapat
terbakar,
tetapi
memungkinkan mempunyai daya gabung besar terhadap hampir semua unsur lain. Zat ini tidak beracun, tetapi dapat mendatangkan maut jika dihirup banyak-banyak dalam keadaan tidak diencerkan (Sumardjo, 2008). 46
Oksigen adalah suatu diradikal yang stabil dan karena itu merupakan pereaksi (agent) radikal bebas yang selektif. Senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hydrogen alilik, benzilik atau tersier, rentan (susceptible) terhadap oksidasi oleh udara juga disebut autoksidasi. Senyawa dengan hanya hidrogen primer atau sekunder tidak serentan itu. Lemak dan minyak nabati seringkali
mengandung
ikatan
rangkap.
Autoksidasi
suatu
lemak
menghasilkan campuran produk yang mencakup asam karboksilat berbobot molekul rendah (dan berbau). Misalnya, mentega tengik mengandung asam butanoat yang berbau tengik itu (Fessenden dan Fessenden, 1986). 2. Cahaya Secara garis besar sumber cahaya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: a. Cahaya alam (Natural lighting) Cahaya alam merupakan cahaya matahari yang merupakan sumber cahaya utama dan dominan. Cahaya matahari meliputi waktu di siang hari, musim, cuaca berawan atau tidak b. Cahaya artifisial (cahaya buatan) Cahaya buatan meliputi cahaya listrik (cahaya fluoresen), cahaya gas, lampu, minyak, dan lilin. Cahaya buatan ini sebagai sarana pelengkap untuk penerangan ruangan dan sebagaian (Gabriel, 1996). Cahaya alam diatas seperti cahaya matahari juga dapat mempengaruhi senyawa pada minyak goreng yang digunakan untuk memasak. Ketengikan pada minyak goreng ditimbulkan oleh cahaya yang merupakan oksidator. 47
Proses oksidasi dipercepat oleh adanya kombinasi dari oksigen dan cahaya. Misalnya pada lemak yang disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya sehingga menjadi tengik. Hal ini karena dekomposisi peroksida secara alamiah telah terdapat dalam lemak atau minyak. Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam lemak. Radiasi ionisasi juga merupakan salah satu akselerator, sedangkan sinar ultra violet dan sinarsinar gelombang pendek berfungsi sebagai fotolisis persenyawaan aldehida, sehingga menghasilkan radikal bebas. Konstituen tidak jenuh dan jenuh serta molekul trigliserida yang terkena cahaya ultra violet dalam jangka waktu yang lama, akan menghasilkan aldehida dalam jumlah yang kecil dan metil keton yang berbau tidak enak. Persenyawaan keton dengan asam-asam dengan berat molekul rendah lebih cepat terbentuk dari senyawa tidak jenuh, terutama lemak yang mengandung ikatan tidak jenuh (C12) atau lebih rendah, misalnya asam palmitat. Gugus hidroksil bebas pada molekul mono dan digliserida akan teroksidasi sehingga menghasilkan gugus aldehida (jika gliserida tersebut terkena irradiasi sinar ultra violet yang disertai dengan oksigen) (Ketaren, 2012). 3. Suhu Tinggi Suhu merupakan suatu sifat yang sukar didefinisikan, meskipun secara naluri dapat dirasakan. Untuk mengatakan bahwa suhu adalah derajat “panas” dari suatu benda tidaklah tepat. Bila terdapat dua benda yang memiliki suhu berbeda disinggungkan, makanya benda yang awalnya bersuhu tinggi akan turun dan sebaliknya yang bersuhu rendah akan naik. Sehingga kedua benda 48
tersebut mempunya derajat “panas” yang sama dengan kata lain suhu yang sama. Suhu dapat diukur karena dapat memberikan pengaruh pada sifat yang dapat diukur lainnya. Termometer adalah alat yang digunakan sebagai mengukur suhu, yang didasarkan atas panjang kolom cairan dalam tabung kapiler tipis di dalam gelas kaca. Perubahan suhu membuat panjang kolom cairan berubah. Kenaikan panjang kolom cairan mengikuti kenaikan suhu. Titik suhu tertentu dan derajat perubahan suhu dapat menentukan skala suhu. Titik tetap yang umum dipakai adalah suhu dimana es meleleh (titik es) dan suhu dimana air mendidih (titik uap), keduanya pada tekanan atmosfer normal (Petrucci, 1985). Pada saat penggorengan makanan dapat terjadi perubahan-perubahan fisika-kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) akan menyebabkan degradasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan (Devi, 2010). Pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselediki dengan menggunakan contoh minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu 120°, 160°, dan 200°C. Minyak dialiri udara pada 150 ml/menit/kilo. Minyak yang dipanaskan pada suhu 160° dan 200°C, menghasilkan bilangan peroksida lebih rendah dibandingkan dengan pemanasan pada suhu 120°C. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa persenyawaan peroksida bersifat tidak stabil terhadap panas. Bilangan iod berpengaruh kecil dalam contoh 49
yang dipanasi pada suhu 120°C. Penurunan bilangan iod dalam contoh tersebut hampir sama dengan pemanasan pada suhu 160°-200°C. Kenaikan nilai indeks bias setara dengan pertambahan jumlah senyawa polimer yang dihasilkan akibat pemanasan lemak atau oksidasi lemak. Kenaikan nilai kekentalan dan indeks bias paling besar pada suhu 200°C, karena pada suhu tersebut jumlah senyawa polimer yang terbentuk relative cukup besar (Ketaren, 2012). 4. Frekuensi Penggunaan Minyak Goreng Ulangan penggorengan setiap periode bervariasi tergantung pada jumlah bahan makanan yang digoreng. Pengulangan penggorengan pada pedagang dapat mencapai 10-20 kali dalam satu periode penggorengan. Minyak goreng yang masih tersisa, digunakan kembali pada hari berikutnya yang ditambahkan dengan minyak segar (Aminah, 2010). Adanya pengaruh frekuensi menggoreng makanan dengan minyak goreng kedelai terhadap kenaikan angka peroksida dan angka asam lemak bebas. Perlakuan frekuensi menggoreng mulai dari frekuensi pertama hingga ke sepuluh semakin meningkat angka peroksidanya dan melewati batas maksimum angka peroksida (Gunawan, 2003). Pada sebuah penelitian bilangan peroksida terhadap pengulangan penggorengan menggunakan minyak goreng bekas makanan jajanan hewani dan nabati, didapatkan hasil positif peningkatan bilangan peroksida untuk minyak goreng bekas makanan jajanan hewani dengan rata-rata nilai dari
50
empat sampel yaitu 140,62 mek O2/kg pada satu kali penggunaan dan 141,626 mek O2/kg pada dua kali penggunaan. Sedangkan pada minyak goreng bekas makanan jajanan nabati didapatkan pula peningkatan bilangan peroksida dari delapan pedagang dengan rata-rata nilai 46,352 mek O2/kg pada lima kali penggunaan dan 53,908 mek O2/kg pada sepuluh kali penggunaan (Ayu dan Hamzah, 2010). 5. Lama Pemanasan Minyak Goreng Kadar bilangan peroksida awal (kontrol) masih rendah karena proses oksidasi terhadap lemak terutama lemak tak jenuh masih minimal (hanya dipengaruhi oleh udara dan cahaya matahari). Pemanasan pada menit ketujuh dengan suhu 140 °C. Setelah pemanasan menit ke-15 reaksi oksidasi mulai berlangsung atau dapat dikatakan merupakan proses permulaan reaksi atau inisiasi yaitu pembentukan radikal bebas. Setelah pemanasan menit-menit selanjutnya hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan rerata bilangan peroksida. Di sini asam lemak tak jenuh pada minyak goreng yang mempunyai hidrogen yang labil pada atom karbon berdekatan dengan ikatan rangkap sehingga terbentuk radikal bebas yang terpisah dari hydrogen yang labil. Dengan adanya radikal bebas tersebut maka proses oksidasi akan semakin peka untuk membentuk peroksida radikal bebas yang tak stabil (Oktaviani, 2009). Radikal bebas sendiri berperan sebagai inisiator dan promotor (katalisator) yang kuat pada reaksi oksidasi lebih lanjut sehingga pemecahan
51
oksidatif lemak minyak goreng menjadi terus menerus berlangsung. Akibatnya akan terjadi kerusakan yang semakin parah pada minyak tersebut, terbentuk
polimer-polimer
(benda-benda
keton
dan
aldehid)
dan
mengakibatkan bau tengik. Jadi, bila minyak goreng dilakukan pemanasan yang lebih lama maka akan dapat mengakibatkan peningkatan kadar bilangan peroksida semakin meningkat walaupun dalam minyak goreng terdapat antioksidan (tokoferol) ternyata belum mampu mencegah secara total terjadinya proses oksidasi. Saat pemanasan menit ke-40 dan ke-45, hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
minyak
goreng
mulai
mengalami
dekomposisi, menghasilkan asap yang berbau karateristik menusuk pada suhu minyak goreng yang mencapai 200°C (Oktaviani, 2009). Terbentuknya peroksida pada minyak goreng apabila digunakan lebih dari empat kali pemanasan yang mengalami oksidasi (reaksi dengan udara). Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama beberapa hari yang menyebabkan destruksi makin cepat dan mengalami dekomposisi, bila kemudian didinginkan pada malam hari akan menyebabkan dekomposisi pada saat minyak dipanaskan kembali (Sartika, 2009). N. Oksidasi Oksidasi adalah kehilangan satu atau lebih elektron yang dialami oleh suatu atom, molekul atau ion. Tidak ada elektron bebas dalam sistem kimiawi yang biasa, dan kehilangan elektron yang dialami oleh suatu spesies kimiawi selalui disertai oleh perolehan elektron pada bagian yang lainnya (Day dan Underwood, 1998). 52
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Rancidity terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan peroxide value (PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik. Oksidasi yang lebih lanjut dapat menghasilkan keton, karena reaksi ini disertai hidrolisa. Peristiwa ini dikenal sebagai ketonic rancidity (Ketaren, 2012). Kerusakan minyak selama proses menggoreng akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Kerusakan pada minyak karena pemanasan dengan suhu tinggi, disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerasi. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol, lakton, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Kerusakan minyak karena proses oksidasi terdiri dari enam tahap, yaitu: a. Pada permulaan terbentuk volatile decomposition product (VDP) yang dihasilkan dari pemecahan rantai karbon asam lemak b. Proses oksidasi disusul dengan proses hidrolisa trigleserida karena adanya air. Hal ini terbukti dari kenaikan jumlah asam lemak bebas dalam minyak 53
c. Oksidasi asam-asam lemak berantai panjang d. Degradasi ester oleh panas e. Oksidasi asam lemak yang terikat pada posisi α dalam trigliserida f. Autooksidasi keton dan aldehida menjadi asam karboksilat (Ketaren, 2012). O. Kerangka Teori Kerangka teori pada penelitian ini berdasarkan pada Lamboni dkk (1999), Oktaviani (2009), Aminah (2010), Mulasari dan Utami (2012), Ketaren (2012), dan Ayu dan Hamzah (2010). Pada beberapa jurnal yang telah ditelaah, ke enam variabel di bawah yaitu oksigen, cahaya, suhu tinggi, frekuensi penggunaan, lama penggunaan, dan lama pemanasan minyak goreng dapat mengoksidasi minyak goreng sehingga ada peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng. Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga minyak yang telah dipanaskan hanya mengandung sejumlah kecil peroksida. Variabel oksigen dan cahaya jika dikombinasikan keduanya maka akan mempercepat terjadinya proses oksidasi karena cahaya sebagai akselerator pada oksidasi (Ketaren, 2012). Menurut Ketaren (2012), suhu tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat oksidasi. Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan (expose) di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu. Kecepatan akumulasi peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100-115°C adalah dua kali lebih besar dibandingkan pada suhu 10°C. Begitu juga dengan pengaruh cahaya terhadap oksidasi, dimana cahaya merupakan akselerator terhadap timbulnya ketengikan. Kombinasi dari oksigen 54
dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Sebagai contoh, lemak yang disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya sebagai menjadi tengik. Hal ini karena dekomposisi peroksida yang secara alamiah telah terdapat dalam lemak. Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi konsituen tidak jenuh dalam lemak. Penelitian C. Lamboni, A. Kétévi, K. Awaga, dan A. Doh (1999) terkait adanya peningkatan bilangan peroksida akibat pemanasan dengan suhu yang ditingkatkan pada setiap frekuensi menggoreng yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan bilangan peroksida pada kedua jenis minyak goreng yaitu minyak sayur dan minyak kacang tanah. Selain itu, uji eksperimen yang dilakukan oleh Nita Dwi Oktaviani (2009) menyatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat lamanya pemanasan dengan peningkatan bilangan peroksida ditinjau dari pemanasan dengan lama waktu 15 menit sampai 45 menit. Berdasarkan penelitian Siti Aminah (2010) mengenai sifat organoleptik tempe
pada
pengulangan
penggorengan
menggunakan
minyak
curah,
menunjukkan adanya peningkatan bilangan peroksida mulai dari pengulangan penggorengan pertama sampai penggorengan kedua puluh. Semakin banyak pengulangan penggorengan maka bilangan peroksida semakin meningkat. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Surahma Asti Mulasari dan Risa Rahmawati Utami (2012) terhadap jenis makanan gorengan (tahu, tempe, telur, terong, ayam, dan ikan goreng) di sepanjang Jl. Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo menunjukkan data bahwa 14 dari 15 pedagang minyak goreng termasuk dalam kategori tidak baik dengan frekuensi penggorengan lebih dari empat kali dengan 55
bilangan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meq/kg. Penelitian Dewi Fortuna Ayu dan Farida Hanum Hamzah (2010) yaitu pada minyak goreng bekas masih terlihat adanya peningkatan bilangan peroksida pada makanan jajanan nabati dan hewani.
Sumber: modifikasi dari Lamboni dkk (1999), Oktaviani (2009), Aminah (2010), Mulasari dan Utami (2012), Ketaren (2012), dan Ayu dan Hamzah (2010). Gambar 2.5 Kerangka Teori Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
56
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Badan Standardisasi Nasional Indonesia telah mengeluarkan peraturan terkait syarat mutu minyak goreng dimana salah satunya menetapkan bilangan peroksida sebagai bilangan untuk menentukan derajat kerusakan minyak goreng dengan maksimal nilai 10 meq O2/kg. Salah satu yang dapat merusak minyak goreng yaitu lama pemanasan. Dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti yaitu lama pemanasan kelipatan lima dan sepuluh. Variabel tersebut merupakan variabel independen, sedangkan variabel dependen yaitu perubahan bilangan peroksida pada minyak goreng. Pada
variabel
independen
yang
akan
diteliti
bertujuan
untuk
menggambarkan lamanya pemanasan yang dihitung dalam menit pada penggorengan kelipatan lima dan kelipatan sepuluh, serta melihat perbedaan peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng antara lama penggorengan
57
kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh. Salah satu yang memperngaruhi perubahan bilangan peroksida adalah suhu. Pada penelitian ini, suhu tidak diteliti karena dapat mengganggu proses pemanasan/menggoreng pada pedagang yang dijadikan sampel.
58
B. Definisi Operasional Tabel 3.2 Definisi Operasional No
Variabel
1.
Lama pemanasan
2.
Perubahan Bilangan Peroksida dalam Minyak Goreng
Definisi
Cara Ukur
Lamanya waktu memanaskan minyak mulai dari menyalakan kompor, adanya proses menggoreng sampai kompor dimatikan, setiap kali memanaskan dihitung dalam menit. Sampel minyak goreng yang diambil berdasarkan lama pemanasan, yaitu: 1. Kelipatan Lima a. Sebelum minyak dipanaskan b. Frekuensi pemanasan pertama c. Frekuensi pemanasan kelima d. Frekuensi pemanasan kesepuluh e. Frekuensi pemanasan kelimabelas 2. Kelipatan Sepuluh a. Sebelum minyak dipanaskan b. Frekuensi pemanasan kesepuluh c. Frekuensi pemanasan keduapuluh d. Frekuensi pemanasan ketigapuluh e. Frekuensi pemanasan keempatpuluh Peningkatan jumlah peroksida dalam miliekuivalen oksigen aktif yang dikandung dalam 1000 gram minyak goreng
Observasi
59
Pengukuran
Alat Ukur Lembar observasi dan stopwatch
Hasil Ukur Menit
Skala Ukur Rasio
Uji Titrasi
Meq O2/kg
Rasio
C. Hipotesis 1. Adanya hubungan lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida pada minyak goreng
60
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan studi kuantitatif dengan desain studi cross sectional (potong lintang) dimana data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Peneliti memilih desain studi cross sectional bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2015 dengan lokasi di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Berikut batas geografi Kelurahan Pasar Minggu: Utara
: Kelurahan Pejaten Barat
Selatan
: Kelurahan Kebagusan
Barat
: Kelurahan Jati Padang
Timur
: Kelurahan Pejaten Timur dan Tanjung Barat
C. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah minyak yang digunakan untuk menggoreng yang berasal dari 30 orang pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu. Kriteria minyak goreng yang ditentukan adalah:
61
1. Minyak yang diteliti adalah minyak baru yang digunakan oleh pedagang gorengan pada hari tersebut 2. Minyak yang digunakan untuk menggoreng jenis bahan makanan seperti ikan, ayam, bebek, tempe, dan tahu Sampel pada penelitian ini adalah minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan. Dalam pengambilan sampel, terdapat dua metode yang digunakan, yaitu pengambilan sampel minyak goreng kelipatan lima dan sepuluh kali frekuensi pemanasan. Berikut adalah prosedur pengambilan sampel minyak goreng kelipatan lima adalah: a. Minyak goreng sebelum dipanaskan b. Setelah frekuensi pemanasan pertama c. Setelah frekuensi pemanasan ke lima d. Setelah frekuensi pemanasan kesepuluh e. Setelah frekuensi pemanasan kelima belas Sedangkan untuk pengambilan sampel minyak goreng kelipatan sepuluh adalah a. Minyak goreng sebelum dipanaskan b. Setelah frekuensi pemanasan kesepuluh c. Setelah frekuensi pemanasan kedua puluh d. Setelah frekuensi pemanasan ketiga puluh e. Setelah frekuensi pemanasan keempat puluh
62
Adapun tahapan pengambilan sampel minyak goreng yaitu sebagai berikut: a. Menyiapkan alat dan bahan untuk pengambilan sampel, diantaranya gelas kaca, botol gelap berukuran mini, aluminium foil, dan sampel minyak goreng b. Pengambilan sampel minyak setelah api dimatikan dengan menggunakan gelas kaca c. Sampel minyak langsung dimasukkan ke dalam botol gelap berukuran kecil sampai penuh, fungsinya untuk mengurangi adanya udara di dalam botol d. Botol kemudian dibalut dengan aluminium foil agar tidak terkena cahaya dan disimpan di tempat yang aman untuk kemudian dibawa ke lab uji Prosedur Penyimpanan dan Distribusi Sampel a. Botol yang berisi sampel minyak goreng dimasukkan ke dalam paper bag b. Kemudian disimpan di ruangan yang terlindungi dari paparan sinar matahari langsung dengan suhu ruangan normal selama 10 jam c. Setelah penyimpanan, sampel lalu didistribusikan ke lab uji yang bertempatkan di Akademi Kimia Analis (AKA), Bogor D. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer. Data primer pada penelitian ini adalah lembar kuesioner, lembar observasi, dan lembar pengujian bilangan peroksida (hasil laboratorium) dari Akademi Kimia Analis (AKA), Bogor dengan biaya uji per sampel Rp 50.000.
63
E. Alat dan Cara Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penetapan bilangan peroksida menggunakan metode titrasi berdasarkan AOAC (Association of Analytical Communities) 965.33. Asam-asam lemak tidak jenuh dari minyak/lemak dapat mengikat oksigen pada ikatan-ikatan rangkapnya dan membentuk suatu peroksida. Peroksida yang dihasilkan dari autooksidasi atau permulaan ketengikan ini sangat reaktif dan dapat ditetapkan secara iodometri. Bilangan peroksida adalah jumlah milligram oksigen dalam setiap 100 gram lemak/minyak. Hubungan antara bilangan iod dengan bilangan peroksida adalah apabila bilangan iod tinggi akan menghasilkan bilangan peroksida yang tinggi dan sebaliknya. Prinsip: Penentuan bilangan peroksida yang berdasarkan pada pengukuran sejumlah Iod yang dibebaskan pada potassium Iodida melalui reaksi oksidasi oleh peroksida
dalam
lemak/minyak
pada
suhu
ruang
di
dalam
medium
kloroform/asam asetat. Alat-alat
: Timbangan analitik, Erlenmeyer, Pipet
Bahan-bahan
: Contoh minyak/lemak, Larutan asam asetat glasial, alkohol, Kloroform, Kalium Iodida, Larutan Kanji
Cara Kerja: 1. Timbang dengan teliti 5 gram minyak dalam Erlenmeyer basah 2. Tambahkan 30 ml larutan yang dibuat dari 100 ml asam asetat glasial, 125 ml
64
alkohol, dan 275 ml kloroform 3. Setelah bercampur sempurna, tambahkan 0,5 ml KI jenuh 4. Biarkan selama 30 menit, simpan di tempat gelap sambil digoyangkan sewaktu-waktu 5. Tambahkan 30 ml air dingin yang telah dididihkan 6. Titrasi dengan tio sulfat 0,1 N dengan menggunakan 0,5 ml larutan kanji 1% secara perlahan sampai warna birunya hilang. Apabila menggunakan tio 0,1 N ternyata hasilnya kurang dari 0,5 ml, ulangi dengan menggunakan tio 0,01 N 7. Lakukan penetapan blanko Perhitungan:
Catatan: Larutan KI jenuh dapat diganti dengan 1 gram serbuk KI, tetapi air yang ditambahkan harus 5 ml dan tio yang digunakan 0,01 N. F. Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan meliputi: 1. Data Coding Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk masingmasing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Peneliti membuat
65
kode untuk setiap jawaban dari pertanyaan pada kuesioner. Pada penelitian ini coding dilakukan saat seluruh responden telah mengisi kuesioner. 2. Data Editing Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data. Proses editing ini dilakukan peneliti setelah data terkumpul untuk pengecekan jika ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang bersangkutan.
3. Data Structure Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah program software statistik. 4. Data Entry Pada proses data entry, peneliti memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program software statistik diantaranya data mengenai frekuensi dan lama penggunaan pada minyak goreng. 5. Data Cleaning Proses pembersihan data ini dilakukan setelah data telah selesai dimasukkan. Pembersihan data ini dilakukan dengan melihat distribusi frekuensi.
66
G. Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel dependen. Pada penelitian ini variabel yang dilakukan analisis dengan univariat antara lain, gambaran rata-rata lama pemanasan, gambaran rataratabilangan peroksida minyak goreng, dan perbedaan perubahan bilangan peroksida minyak goreng antara penggorengan kelipatan lima dan kelipatan sepuluh.
2. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel penelitian. Data dianalisis menggunakan uji korelasi. Uji korelasi berfungsi untuk mengetahui arah hubungan dua variabel numerik (Hastono dan Sabri, 2010). Variabel independen pada penelitian ini adalah lama pemanasan, sedangkan variabel dependennya ada perubahan bilangan peroksida. Analisis bivariat yang diuji pada penelitian ini adalah hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada pedagang gorengan.
67
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat 1. Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Minyak Goreng pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Tabel 5.1 Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Lima pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Frekuensi Lama Pemanasan Menggoreng Rata-Rata SD Nilai Min-Max (meq O2/kg) Pertama 9.47 5.194 3-23 Kelima 9.93 5.049 2-23 Kesepuluh 8.13 4.853 3-22 Kelima belas 5.33 2.059 3-9 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata lama pemanasan yang paling lama adalah pada frekuensi menggoreng kelima yaitu 9,93 menit (SD-5.049) dengan waktu yang digunakan saat pemanasan yaitu minimal 3 menit dan maksimal 23 menit. Tabel 5.2 Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Sepuluh pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Frekuensi Menggoreng Kesepuluh Kedua puluh Ketiga puluh Keempat puluh
Rata-Rata (meq O2/kg)
Lama Pemanasan SD Nilai Min-Max
11.13 13.6 10.6 9.47
7.954 15.245 10.736 10.412
68
3-26 3-52 2-44 3-35
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata lama pemanasan yang paling lama adalah pada frekuensi menggoreng ke-20 yaitu 13,6 menit (SD-15.245) dengan waktu yang digunakan saat pemanasan yaitu minimal 3 menit dan maksimal 52 menit. 2. Gambaran Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 a. Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan Lima Tabel 5.3 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Rata-Rata Rata-Rata Perubahan (meq Kategori SD Nilai Min-Maks Bilangan Peroksida O2/kg) (meq O2/kg) Sebelum 0.2756 0 0.3550 0-1.0768 pemanasan Frekuensi menggoreng 0.5727 0.2971 0.6089 0.033-1.848 pertama Frekuensi menggoreng 0.6138 0.0411 0.6362 0.099-2.3804 kelima Frekuensi menggoreng 0.9198 0.306 1.3930 0.099-4.9898 kesepuluh Frekuensi menggoreng 0.9458 0.026 1.6658 0.033-6.0091 kelima belas Berdasarkan tabel di atas, diketahui bilangan peroksida mengalami perubahan tertinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar
69
0.306 meq O2/kg (SD=1.3930) dengan nilai minimal 0.099 meq O2/kg dan maksimal 4.9898 meq O2/kg. b. Rata-rata
Perubahan
Bilangan
Peroksida
Minyak
Goreng
pada
Penggorengan Kelipatan Sepuluh Tabel 5.4 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Sepuluh pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Kategori
Rata-Rata (meq O2/kg)
Rata-Rata Perubahan Bilangan Peroksida (meq O2/kg)
SD
Nilai Min-Maks
Sebelum 1.0313 0 0.8826 0.23-3.12 pemanasan Frekuensi menggoreng 2.726 1.6947 1.1479 1.30-5.15 kesepuluh Frekuensi menggoreng 2.5587 0.1673 1.2802 1.08-6.57 kedua puluh Frekuensi menggoreng 2.0347 0.524 1.1154 1.02-5.32 ketiga puluh Frekuensi menggoreng 2.6653 0.6306 1.8927 0.91-6.79 keempat puluh Berdasarkan tabel di atas, diketahui bilangan peroksida mengalami perubahan dengan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 1.6947 meq O2/kg (SD=1.1479) dengan nilai minimal 1.30 meq O2/kg dan maksimal 5.15 meq O2/kg.
70
3. Gambaran Perbedaan Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng antara Kelipatan Lima dengan Kelipatan Sepuluh pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Grafik 5.5 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan Lima
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, didapatkan peningkatan pada bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi menggoreng kelima belas, dengan selisih nilai pada frekuensi menggoreng pertama sebesar 0.2971 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kelima sebesar 0.0411 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg, dan frekuensi menggoreng kelima belas 0.026 meq O2/kg.
71
Grafik 5.6 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan Sepuluh
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, diketahui adanya perubahan bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 1.6947 meq O2/kg. Kemudian mengalami penurunan pada frekuensi menggoreng kedua puluh dan ketiga puluh sebesar 0.1673 meq O2/kg dan 0.524 meq O2/kg. Lalu kembali mengalami peningkatan pada frekuensi menggoreng keempat puluh sebesar 0.6306 meq O2/kg.
72
B. Analisis Bivariat Minyak yang digunakan sebelum dipanaskan adalah kondisi normal atau dibawah standar, sehingga perubahan bilangan peroksida yang terjadi disebabkan adanya pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng kelipatan lima dan sepuluh disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 5.7 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Frekuensi Rata-Rata Lama Perubahan Bilangan Peroksida Menggoreng Pemanasan (m) Rata-Rata SD P value (meq O2/kg) Pertama 0.2971 9.47 5.194 .042 Kelima
9.93
0.0411
5.049
.405
Kesepuluh
8.13
0.306
4.853
.940
Kelima belas
5.33
0.026
2.059
.230
Berdasarkan tabel 5.7, hasil perhitungan statistik menggunakan uji korelasi antara lama pemanasan pertama dengan bilangan peroksida, didapatkan p value sebesar 0.042 yang menunjukkan terdapat hubungan antara lama pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida. Kemudian, untuk lama pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas didapatkan p value sebesar 0.405, 0.940, dan 0.230 yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara lama pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida.
73
Tabel 5.8 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Sepuluh pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015 Frekuensi Menggoreng
Rata-Rata Lama Pemanasan (m)
Kesepuluh
11.13
Perubahan Bilangan Peroksida Rata-Rata SD P value (meq O2/kg) 1.6947 5.194 .026
Kedua puluh
13.6
0.1673
5.049
.012
Ketiga puluh
10.6
0.524
4.853
.009
Keempat puluh
9.47
0.6306
2.059
.033
Berdasarkan tabel 5.8, hasil perhitungan statistik menggunakan uji korelasi antara lama pemanasan dengan bilangan peroksida frekuensi menggoreng kesepuluh, kedua puluh, ketiga puluh, dan keempat puluh didapatkan p value sebesar 0.026, 0,012, 0,009, dan 0,033 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna.
74
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian mengenai efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu, penulis menyadari beberapa keterbatasan yang dialami, yaitu: 1. Pada penelitian ini tidak diukur udara dan suhu pemanasan minyak saat menggoreng bahan makanan. Hal ini disebabkan karena dapat mengganggu proses menggoreng pedagang itu sendiri. 2. Penelitian ini tidak menghitung sampai akhir penggorengan karena hanya mengambil pada akhir penggorengan ke-40 saja, tidak sampai pedagang selesai berjualan. 3. Adanya masa waktu yang lama antara pengambilan sampel minyak goreng dengan uji titrasi di laboratorium yang berkisar selama kurang lebih 10 jam yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya bias pada sampel yang akan diuji.
75
B. Analisis Univariat 1. Lama Pemanasan Lama pemanasan adalah waktu yang digunakan dalam melakukan kegiatan penggorengan/minyak dipanaskan (Aminah dan Isworo, 2010). Lama pemanasan dihitung mulai dari pemanasan minyak goreng hingga terjadi proses menggoreng. Pada saat proses menggoreng makanan dapat terjadi perubahanperubahan fisika-kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) akan menyebabkan degradasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik asap menurun) (Devi, 2010). Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida terbentuk akibat pemanasan yang mengakibatkan kerusakan pada minyak atau lemak (Ketaren, 2012). Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukan bahwa rata-rata lama pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng kelima dengan lama waktu 9.93 menit. Waktu yang biasanya digunakan pedagang untuk melakukan kegiatan menggoreng yaitu minimal 2 menit dan maksimal 23 menit. Sedangkan untuk kelipatan sepuluh pada tabel 5.2 diketahui bahwa
76
rata-rata pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng ke-20 dengan lama waktu 13.6 menit. Lamanya waktu pemanasan pada setiap frekuensi menggoreng berbeda-beda, karena disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan menggoreng minimal 2 menit dan maksimal 52 menit. Kadar bilangan peroksida awal (kontrol) masih rendah karena proses oksidasi terhadap lemak terutama lemak tak jenuh masih minimal (hanya dipengaruhi oleh udara dan cahaya matahari). Setelah pemanasan menit ke-15 reaksi oksidasi mulai berlangsung atau dapat dikatakan proses permulaan reaksi atau inisiasi yang pembentukan radikal bebas. Setelah pemanasan menit-menit selanjutnya hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan rerata bilangan peroksida. Hal ini menunjukan bahwa asam lemak tak jenuh pada minyak goreng yang mempunyai hidrogen yang labil pada atom karbon berdekatan dengan ikatan rangkap sehingga terbentuk radikal bebas yang terpisah dari hydrogen yang labil. Dengan adanya radikal bebas tersebut maka proses oksidasi akan semakin peka untuk membentuk peroksida radikal bebas yang tak stabil (Oktaviani, 2009). Pada minyak goreng, angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. Kerusakan lemak atau minyak akibat pemanasan pada suhu tinggi 200-2 0
77
C) akan
mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), menurunkan nilai cerna lemak, dan kanker (Ketaren, 2012). Kanker dapat dipicu pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya: pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama (menimbulkan zat trans-fatty acid), cara penggorengan yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng berulangkali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epioksida, dan sebagainya). Makanan yang disebutkan terakhir umumnya bisa diperoleh pada jenis goreng-gorengan (Tapan, 2005). 2. Perubahan Bilangan Peroksida Produk utama oksidasi lipid yaitu hidroperoksida, yang umumnya disebut sebagai "peroksida". Peroksida adalah senyawa organik yang tidak stabil yang terbentuk dari trigliserida. Bilangan peroksida adalah metode untuk menentukan tingkat oksidasi minyak dan mengukur pembentukan hidroperoksida dalam miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida dibentuk oleh oksidasi lemak bereaksi dengan ion iodida untuk membentuk yodium, yang pada akhirnya diukur dengan titrasi menggunakan tiosulfat (Contemporary Food Engineering Series. 2009). Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng. Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak
78
goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang, mayoritas menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari, 2012). Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, salah satu syarat mutu minyak goreng sesuai dengan standar adalah jumlah kandungan bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Pada penelitian ini, terlihat dari grafik 5.5 mengenai perubahan bilangan peroksida minyak goreng kelipatan lima, terjadinya peningkatan bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga akhir penggorengan kelima belas. Diketahui bilangan peroksida mengalami perubahan denagn selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian di atas yaitu adanya pengulangan penggorengan dapat meningkatkan bilangan peroksida. namun, tidak terjadi pada grafik 5.6, terlihat adanya peningkatan bilangan peroksida dari sebelum pemanasan hingga penggorengan ke-10, lalu mengalami penurunan sampai pada penggorengan ke-30, kemudian kembali naik pada penggorengan ke-40. Hal ini tidak sejalan dengan
79
penelitian-penelitian terdahulu karena dapat dipengaruhi oleh pengulangan penggorengan yang berbeda. Pada penelitian Siti Aminah (2010) menyatakan adanya peningkatan bilangan peroksida setiap penggorengan kelipatan lima, sedangkan pada penelitian ini, yang menguji bilangan peroksida pada penggorengan kelipatan sepuluh tidak terjadi peningkatan secara terus-menerus. Menurut penelitian Siti Aminah (2010), terjadinya peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng curah karena semakin banyaknya pengulangan penggorengan. Terbukti dengan adanya peningkatan bilangan peroksida disetiap penggorengan kelipatan lima mulai dari sebelum pemanasan, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima belas, dan kedua puluh (Aminah, 2010). Menurut penelitian Dewi Fortuna Ayu dan Farida Hanum Hamzah (2010), seiring peningkatan bilangan peroksida dapat dilihat minyak yang teroksidasi membentuk senyawa peroksida akibat frekuensi dan lamanya penggorengan (Ayu dan Hamzah, 2010). Menurut penelitian Gunawan dkk (2003), terjadinya peningkatan bilangan peroksida disebabkan oleh minyak yang bereaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan terjadi reaksi berantai yang terus menerus menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut. Selain itu, dengan adanya pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai akibat permukaan minyak yang panas dan kontak langsung dengan udara.
80
Rantai karbon dalam ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak bebas bertambah. Rantai karbon yang terputus berikatan dengan oksigen sehingga peroksida minyak juga bertambah (Gunawan dkk, 2003). Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida dalam jumlah yang kecil. Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak misalnya vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B). Peroksida juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012). Kerusakan pada minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, myoglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang
81
mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan
senyawa-senyawa
hasil
pemecahan
hidroperoksida
(Winarno, 2004). Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile dan menimbulkan bau tengik pada minyak (Winarno, 2004). Bergabungnya
peroksida
dalam
sistem
peredaran
darah,
mengakibatkan kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Berdasarkan percobaan terhadap ayam, kekurangan vitamin E dalam lemak mengakibatkan
timbulnya
gejala
encephalomalacia
dan
jika
hidroperoksida diinjeksikan ke dalam aliran darah menimbulkan gejala celebellar. Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara nonenzimatis dalam otot usus dan mitochondria, lipoperoksida dalam
82
aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai kerapatan rendah. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi aktif sebagai alat transportasi trigeliserida; dan jika lipoprotein mengalami denaturasi, akan mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah (aorta) sehingga menimbulkan gejala atherosclerosis (Ketaren, 2012). C. Analisis Bivariat 1. Hubungan Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2013 menentukan bahwa salah satu syarat mutu minyak goreng yang baik untuk digunakan yaitu dengan nilai bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang dapat menentukan kualitas minyak goreng (Ketaren, 2012). Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng. Penyebab perubahan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang gorengan, mayoritas menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari, 2012). Pada penelitian ini terdapat dua metode pengambilan sampel dalam satu variabel yang diteliti untuk mengetahui hubungan lama pemanasan
83
terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima dan sepuluh. Berdasarkan data pada tabel 5.7, dari hasil uji korelasi didapatkan hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida dengan p value 0.042 pada lama pemanasan pertama. Sedangkan untuk lama pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas tidak terdapat hubungan karena p value yang didapatkan masing-masing 0.405, 0.940, dan 0.230. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nita Dwi Oktaviani (2009) yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama pemanasan dengan peningkatan bilangan peroksida. Adanya perbedaan hasil penelitian di atas dikarenakan perbedaan desain penelitian, karena desain penelitian yang digunakan merupakan desain eksperimental murni dengan melakukan pemanasan pada minyak goreng tanpa memasukkan bahan makanan ke dalam minyak yang dipanaskan. Sedangkan hasil uji bilangan peroksida yang didapatkan berbeda, sehingga pada penelitian ini, bergantung pada kondisi di lapangan. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Siti Aminah (2010) yang menyatakan bahwa semakin banyak pengulangan penggorengan maka semakin meningkat pula bilangan peroksida. Pada hasil uji korelasi hubungan antara lama pemanasan pada kelipatan sepuluh terhadap perubahan bilangan peroksida, didapatkan p-value
84
0.026 pada lama pemanasan kesepuluh, 0.012 pada lama pemanasan kedua puluh, 0.009 pada lama pemanasan ketiga puluh, dan 0.033 pada lama pemanasan keempat puluh yang berarti ada hubungan bermakna antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan saat pengambilan sampel, mayoritas pedagang gorengan melakukan penambahan minyak goreng baru setelah penggorengan ke-20. Hal tersebut dilakukan karena minyak yang telah digunakan untuk menggoreng berkurang seiring frekuensi menggoreng yang dilakukan dengan minyak yang sama. Hal lain yaitu karena minyak goreng telah mengalami perubahan fisik seperti warna minyak menjadi menghitam, berbau tengik, dan terlihat berbusa.
85
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Rata-rata lama pemanasan pada kelipatan lima yaitu frekuensi menggoreng pertama selama 9.47 menit, frekuensi menggoreng kelima selama 9.93 menit, frekuensi menggoreng kesepuluh selama 8.13 menit, dan frekuensi menggoreng kelima belas selama 5.33 menit. 2. Rata-rata lama pemanasan pada kelipatan sepuluh yaitu frekuensi menggoreng ke-10 selama 11.13 menit, frekuensi menggoreng ke-20 selama 13.6 menit, frekuensi menggoreng ke-30 selama 10.6 menit, dan frekuensi menggoreng ke-40 selama 9.47 menit. 3. Rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima, didapatkan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh dengan peningkatan sebesar 0.306 meq O2/kg, sedangkan selisih perubahan bilangan peroksida paling rendah yaitu pada frekuensi menggoreng kelima belas dengan nilai 0.026 meq O2/kg. 4. Rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan sepuluh, didapatkan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh dengan peningkatan sebesar 1.6947 meq O2/kg, sedangkan selisih perubahan bilangan peroksida paling rendah yaitu pada
86
frekuensi menggoreng kedua puluh dengan selisih penurunan sebesar 0.1673 meq O2/kg. 5. Terdapat perbedaan perubahan bilangan peroksida minyak goreng antara kelipatan lima dan sepuluh. Pada frekuensi menggoreng kelipatan lima, didapatkan peningkatan pada bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi menggoreng kelima belas, dengan selisih nilai pada frekuensi menggoreng pertama sebesar 0.2971 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kelima sebesar 0.0411 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg, dan frekuensi menggoreng kelima belas 0.026 meq O2/kg. Sedangkan pada kelipatan sepuluh diketahui adanya perubahan bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 1.6947 meq O2/kg. Kemudian mengalami penurunan pada frekuensi menggoreng kedua puluh dan ketiga puluh sebesar 0.1673 meq O2/kg dan 0.524 meq O2/kg. Lalu kembali mengalami peningkatan pada frekuensi menggoreng keempat puluh sebesar 0.6306 meq O2/kg. 6. Berdasarkan hasil uji korelasi, bahwa terdapat hubungan antara lama pemanasan pada frekuensi menggoreng pertama dengan bilangan peroksida dengan p value sebesar 0.042. Namun, tidak terdapat hubungan pada lama pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas karena p value yang didapatkan ≥0,05 (0.405, 0.940, dan 0.230).
87
7. Berdasarkan hasil uji korelasi, bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama pemanasan kesepuluh, kedua puluh, ketiga puluh, dan keempat puluh dengan p value sebesar 0.026, 0,012, 0,009, dan 0,033. B. Saran 1. Saran untuk Pedagang Gorengan a. Tidak menggoreng dengan suhu yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama serta menggunakan minyak kemasan untuk menggoreng melalui pemberian leaflet pada setiap pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu b. Mengganti minyak goreng ketika sudah terlihat menghitam, berbusa, dan berbau tengik 2. Saran untuk Peneliti Selanjutnya a. Meneliti kadar peroksida yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh b. Mengukur suhu pada setiap tingkat penggorengan yang ditentukan terhadap peningkatan bilangan peroksida c. Mengukur frekuensi penggorengan yang dapat melebihi standar bilangan peroksida d. Meneliti pengaruh jenis minyak terhadap peningkatan bilangan peroksida e. Meneliti pengaruh cahaya terhadap peningkatan bilangan peroksida
88
3. Saran untuk Masyarakat a. Melihat terlebih dahulu kondisi fisik seperti warna pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang apakah masih terlihat jernih atau terjadi perubahan warna. b. Berani menegur pedagang apabila minyak yang digunakan sudah tidak bagus yang dapat dilihat dari kondisi fisik.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdellah, Abdelmonem dkk. 2012. Assessing the Sudanese Standards and Guidelines of Edible Oils: A Case Study of Sunflower Oil. IDOSI Publication Adi, Lukas Tersono. 2007. Terapi Herbal Berdasarkan Golongan Darah. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Vol. 01 No. 01. Jurnal Pangan dan Gizi Aminah, Siti. 2010. Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak Goreng Sisa pada Rumah Tangga di RT V RW III Kedungmundu Tembalang Semarang. Prosiding Seminar Nasional Unimus. Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Andoko, Agus dan Widodoro. 2013. Berkebun Kelapa Sawit “Si Emas Cair”. Jakarta: AgroMedia Pustaka Anwar, Faisal dan Ali Khomsan. 2009. Makan Tepat Badan Sehat. Bandung: PT Mizan Publika Ayu, Dewi Fortuna dan Farida Hanum Hamzah. 2010. Evaluasi Sifat Fisiko-Kimia Minyak Goreng yang Digunakan oleh Pedagang Makanan Jajanan di Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru. Laboratorium Analisis Hasil
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Riau: SAGU Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Perikanan Darat. Jakarta: CV. Nario Sari Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia-Minyak Goreng. SNI 3741:2013 ICS 67.200.10 CancerHelps. 2014. Bebas Kanker itu Mudah. Jakarta: FMedia (Imprint AgroMedia Pustaka)
90
Contemporary Food Engineering Series. 2009. Advances in Deep-Fat Frying of Foods. Broken Sound Parkway NW: Taylor and Francis Group, LLC Dadang. 2006. Jarak Pagar: Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta: Penebar Swadaya Day, R.A and Underwood, A.L. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif/Edisi Keenam. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Fessenden, Ralp J dan Joan S Fessenden. 1986. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga Gabriel. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC Graha, Chairinniza K. 2010. 100 Questions & Answers: Kolesterol. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng. Vol. VI, No. 3. JSKA Hambali, Erliza dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: AgroMedia Pustaka Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Ide, Pangkalan. 2007. Seri Diet Korektif-Diet Cabbage Soup. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Juanda, Dede dan Bambang Cahyono. 2005. Wijen, Teknik Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius Ketaren. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press Khomsan, Ali dan Faisal Anwar. 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan Tepat. Jakarta: PT Mizan Publika. Mashudi. 2007. Bertanam Kacang Tanah dan Manfaatnya. Jakarta: Azka Press Mianoki, Adika. 2014. Menjaga Kesehatan di Musim Hujan. Yogyakarta: Pustaka Muslim
91
Muchtadi, Dedi. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Penerbit Alfabeta Mulasari, Surahma Asti dan Risa Rahmawati Utami. 2012. Kandungan Peroksida pada Minyak Goreng di Pedagang Makanan Gorengan Sepanjang Jalan Prof. DR. Soepomo Umbulharjo Yogyakarta Tahun 2012. Vol. 1 No. 2. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Nuraniza dkk. 2013. Uji Kualitas Minyak Goreng Berdasarkan Perubahan Sudut Polarisasi Cahaya Menggunakan Alat Semiautomatic Polarymeter. Vol. 1, No. 2. PRISMA FISIKA Oktaviani, Nita Dwi. 2009. Hubungan Lamanya Pemanasan dengan Kerusakan Minyak Goreng Curah ditinjau dari Bilangan Peroksida. Jurnal Biomedika Vol. 1 No. 1 Petrucci, Ralph H. 1985. Kimia Dasar: Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 2. Jakarta: Erlangga Prihandana, Rama dan Roy Hendroko. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri. Jakarta: Penebar Swadaya Pudjaatmaka, A. Hadyana. 2002. Kamus Kimia. Jakarta: Balai Pustaka Rizki, Farah. 2013. The Miracle of Vegebtables. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok Subroto, Muhammad Ahkam. 2008. Real Food True Health. Jakarta: AgroMedia Pustaka Sukartin, Kuncoro dan Maloedyn Sitanggang. 2005. Gempur Penyakit dengan VCO. Jakarta: AgroMedia Pustaka Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC
92
Syah, Andi Nur Alam. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: AgroMedia Pustaka Tapan, Erik. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Zahra, dkk. 2013. Pengaruh Penggunaan Minyak Goreng Berulang Terhadap Perubahan Nilai Gizi dan Mutu Hedonik pada Ayam Goreng. Vol. 2, No. 1. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universtitas Diponegoro Semarang
93
94
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN No
Identitas Responden
1.
Nama
2.
Umur
3.
Jenis Kelamin
No 1.
Jawaban … tahun
Jawaban
Lembar Observasi Jenis Minyak Goreng
1. Kemasan 2. Curah
2.
Frekuensi Penggorengan
… /hari
Lama Penggorengan (kelipatan 5x)
… menit
a. Frekuensi penggorengan pertama b. Frekuensi penggorengan kelima c. Frekuensi penggorenga kesepuluh d. Frekuensi penggorengan kelima belas Lama Penggorengan (kelipatan 10x) 3.
a. Frekuensi
penggorengan
kesepuluh b. Frekuensi penggorengan kedua puluh c. Frekuensi penggorengan ketiga puluh d. Frekuensi penggorengan keempat puluh
95
… menit
LEMBAR HASIL UJI BILANGAN PEROKSIDA Pengambilan sampel kelipatan 5x frekuensi penggorengan No Sampel
Bilangan Lama Penggorengan
Waktu (m)
Peroksida (meq O2/kg)
a. Sebelum penggorengan
-
b. Frekuensi penggorengan ke 1 1.
c. Frekuensi penggorengan ke 5 d. Frekuensi penggorengan ke 10 e. Frekuensi penggorengan ke 15 Pengambilan sampel kelipatan 10x frekuensi penggorengan a. Sebelum penggorengan
-
b. Frekuensi penggorengan ke 10 2.
c. Frekuensi penggorengan ke 20 d. Frekuensi penggorengan ke 30 e. Frekuensi penggorengan ke 40
96
Lampiran 2 Hasil Uji Lab AKA, Bogor
97
98
99
100
Lampiran 3
Output SPSS
Uji Normalitas Kelipatan Lima Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. PV_Sebelum_P .291 15 emanasan PV_Penggoren .294 15 gan_1 PV_Penggoren .281 15 gan_5 PV_Penggoren .332 15 gan_10 PV_Penggoren .356 15 gan_15 a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk Statistic df Sig.
.001
.742
15
.001
.001
.790
15
.003
.002
.762
15
.001
.000
.601
15
.000
.000
.561
15
.000
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statisti c df Sig. Statistic df Sig. trans_pv_sp .226 13 .068 .910 13 .185 * trans_pv_p1 .159 13 .200 .937 13 .420 * trans_pv_p5 .127 13 .200 .972 13 .914 * trans_pv_p10 .170 13 .200 .944 13 .509 * trans_pv_p15 .170 13 .200 .945 13 .519 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
101
Uji Normalitas Kelipatan Sepuluh Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. PV_Sebelum_P .341 15 emanasan PV_Penggoren .190 15 gan_10 PV_Penggoren .220 15 gan_20 PV_Penggoren .214 15 gan_30 PV_Penggoren .229 15 gan_40 a. Lilliefors Significance Correction
trans_pv_sp2 trans_pv_p10 trans_pv_p20 trans_pv_p30 trans_pv_p40
.000
.726
15
.000
.152
.882
15
.051
.049
.760
15
.001
.064
.794
15
.003
.033
.830
15
.009
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statis tic df Sig. Statistic df Sig. .234 15 .027 .901 15 .098 * .148 15 .200 .960 15 .691 * .142 15 .200 .937 15 .351 * .127 15 .200 .940 15 .384 .190 15 .149 .899 15 .091
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
102
Uji Korelasi Kelipatan Lima Correlations Lama_Pengg orengan_F1 trans_pv_p1 Lama_Penggor Pearson Correlation 1 -.531* engan_F1 Sig. (2-tailed) .042 N 15 15 * trans_pv_p1 Pearson Correlation -.531 1 Sig. (2-tailed) .042 N 15 15 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
Lama_Penggor Pearson Correlation engan_F5 Sig. (2-tailed) N trans_pv_p5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Lama_Pengg orengan_F5 trans_pv_p5 1 .232 .405 15 15 .232 1 .405 15 15
Correlations Lama_Penggor engan_F10 trans_pv_p10 Lama_Penggore Pearson Correlation ngan_F10 Sig. (2-tailed)
1
N
15
15
Pearson Correlation
.021
1
Sig. (2-tailed)
.940
trans_pv_p10
.021 .940
N
15
103
15
Correlations Lama_Penggor engan_F15 trans_pv_p15 1 -.330
Lama_Penggore Pearson Correlation ngan_F15 Sig. (2-tailed) trans_pv_p15
.230
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
15 -.330
15 1
.230
N
15
15
Kelipatan Sepuluh Correlations Lama_Pengg trans_pv_p1 orengan_F10 0 Lama_Penggor Pearson Correlation 1 .571* engan_F10 Sig. (2-tailed) .026 N 15 15 * trans_pv_p10 Pearson Correlation .571 1 Sig. (2-tailed) .026 N 15 15 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations Lama_Pengg trans_pv_p2 orengan_F20 0 Lama_Penggor Pearson Correlation 1 .629* engan_F20 Sig. (2-tailed) .012 N 15 15 * trans_pv_p20 Pearson Correlation .629 1 Sig. (2-tailed) .012 N 15 15 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
104
Correlations
Lama_Penggor Pearson Correlation engan_F30 Sig. (2-tailed) N trans_pv_p30 Pearson Correlation
Lama_Pengg trans_pv_p3 orengan_F30 0 1 .647** .009 15 15 ** .647 1
Sig. (2-tailed) .009 N 15 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
15
Correlations Lama_Pengg trans_pv_p4 orengan_F40 0 1 .552*
Lama_Penggor Pearson Correlation engan_F40 Sig. (2-tailed) N 15 trans_pv_p40 Pearson Correlation .552* Sig. (2-tailed) .033 N 15 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
105
.033 15 1 15
Lampiran 4
Tempat Penjualan Pecel Lele
106
Lampiran 5
Pengambilan Sampel
107
Lampiran 6 Alat dan Bahan
108
Lampiran 7
Cara Kerja Uji Bilangan Peroksida
109
110