GAMBARAN PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS YANG BEROBAT DI PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: PUTRI KHAIRINA (1110101000072)
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
i
i
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, 16 September 2016 Putri Khairina, NIM. 1110101000072 Gambaran Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015 xvii + 216 halaman, 2 gambar, 8 tabel ABSTRAK Pertama kali HIV di temukan pada kaum homoseksual, tetapi pada perkembanganya, HIV/AIDS juga menyerang kaum heteroseksual, khususnya perempuan. Banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan tertular HIV karena suami atau pasangan mereka memiliki perilaku seksual yang tidak aman diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam mengenai gambaran perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, yang meliputi gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS serta gambaran distribusinya menurut tempat, dan waktu. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah epidemiologi deskriptif dengan pendekatan kualitatif menggunakan desain studi kasus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purpose sampling. Subjek penelitian ini adalah perempuan dengan HIV/AIDS dan melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Jumlah subjek yang diambil adalah 5 (lima) subjek yang berusia 30- 39 tahun pada saat pengambilan data, dari total 48 kasus HIV pada perempuan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur mulai dari Januari hingga Oktober 2014. Hasil penelitian gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menunjukan bahwa tingkat pendidikkan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada keluarga, pengetahuan mengenai HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS berperan serta dalam proses sehingga akhirnya subjek terdiagnosis HIV positif. Peran serta yang juga ikut mempengaruhi adalah gambaran distribusi menurut tempat yang dalam hal ini ditunjukkan dengan keberadaan dan kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat serta alasan iv
memilih layanan kesehatan sebagai tempat melakukan pengobatan HIV/AIDS. Begitupula dengan gambaran distribusi menurut waktu yang terdiri dari lama sakit dan usia ketika pertamakali terdiagnosis HIV positif. Sehingga akan lebih baik jika pencegahan primer dimulai dalam bentuk VCT bagi perempuan produktif, baik yang telah menikah maupun belum menikah, seperti dalam prong pertama PPIA, dapat terlaksana dengan maksimal. Agar perempuan usia produktif mampu terhindar dari infeksi HIV positif sedini mungkin. Edukasi HIV/AIDS bagi penderitan HIV, keluarga penderita, dan masyarakat umum perlu lebih di maksimalkan lagi, sebab masih terdapat penderita yang belum bisa menerima status HIV kemudian merasa kecewa sehingga akhirnya menularkannya ke orang lain. Diskriminasi yang terjadi di lingkungan penderita HIV juga masih banyak ditemukan, baik berasal dari pihak masyarakat umum maupun pihak keluarga penderita itu sendiri.
Kata Kunci : Perempuan dengan HIV/AIDS, Gambaran karakteristik, Gambaran distribusi menurut tempat, Gambaran distribusi menurut waktu Daftar Bacaan: 95 (1997-2015)
v
RIWAYAT HIDUP Nama
: Putri Khairina
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 14 Januari 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Telp/ HP Alamat
: 085718007315 : Jl. Pesantren Sirojul Munir, RT 004 RW 02 No.48, Kelurahan Jatisari, Kecamatan Jatiasih, Kp. Bojongsari, Kota Bekasi. 17426.
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan : 1998 – 2000
: SDN Layung Sari, Cileungsi, Bogor
2000 – 2004
: SDS Nasional 1 (NASSA), Pondok Gede, Kota Bekasi
2004 – 2007
: MTs. Al-Falah, Jatiasih, Kota Bekasi
2007 – 2010
: SMA Negeri 7 Kota Bekasi
2010 – Sekarang
: S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat (Peminatan Epidemiologi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Riwayat Organisasi : 1.
Anggota Divisi PSDMO (Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Organisasi), PAMI (Pergerakkan Anggota Muda IAKMI [Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia] ) periode 2011- 2012
2.
Anggota Departemen Kemahasiswaan, BEM FKIK periode 2012- 2013
3. 4. 5.
Bendahara Umum, Komisariat Dakwah FKIK periode 2012-2013 Ketua Divisi Kewirausahaan, PAMI Jakarta periode 2012-2013 Anggota Departemen Pengembangan Ekonomi, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) periode 2012-2013 6. Komisi Aspirasi DPM FKIK (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) periode 2013-2014 7. Anggota Departemen Pengembangan Ekonomi, ESA (Epidemiology Students Association) periode 2013-2014 8. Anggota Divisi Pengembangan Ekonomi, LDK (Lembaga Dakwah Kampus) periode 2013-2014 9. Koordinator Akhwat Departemen Kaderisasi dan Pembinaan, ITSAR 7 (Ikatan Tali Silahturahim Alumni Rohis SMA 7 Bekasi) periode 2013- sekarang 10. Pembina Organisasi Pelajar GENOSI (Generasi OSIS SMP Se- Kota Bekasi) periode 2014- sekarang
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaykum wr.wb. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat akal dan ilmu pengetahuan agar manusia mampu ber-ma’rifatullah (mengenal Allah) juga dapat bermanfaat bagi manusia lainnya, melaluiilmu pengetahuan yang tersebar di seluruh dunia ini.Tak lupa terpanjatkan syukur yang tidak terhingga atas segala berkah, rahmat, dan ridho-Nya sehingga memudahkan dan melancarkan setiap proses dalam penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “GAMBARAN PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS YANG BEROBAT DI PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan mungkin tersusun dan terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada: 1. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA dan Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D selaku Dosen Pembimbing selama penyusunan proposal, yang telah meluangkan waktu dan membantu memberikan masukan- masukan yang sangat luar biasa setiap kali proses bimbingan. 4. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen pembimbing 1 skripsi, yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingannya hingga tugas akhir ini selesai. Jazakallah bapak, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan bapak dengan sebaik- baiknya balasan. 5.
Ibu Minsarnawati Tahangnaca, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 2 dan Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi, yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan berdiskusi juga tidak pernah bosan mengingatkan agar segera menyelesaikan tugas akhir ini. Jazakillah ibu, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan ibu dengan sebaik- baiknya balasan.
6.
Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku penguji proposal skripsi sekaligus dosen peminatan epidemiologi. Jazakillah ibuu. vii
7. Ibu Yuli Amran, MKM selaku penguji. Jazakillah ibuu. 8. Bu Dela Aristi, MKM selaku penguji. Jazakillah ibuu. 9. Bapak dr. Tony Wandra, Ph.D selaku dosen epidemiologi penyakit menular dan tidak menular sekaligus penguji. Jazakallah pak. 10. Ibu Ida sebagai penanggung jawab di Poli HIV dan IMS Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Terimakasih banyak bu. 11. Ibu- ibu petugas lapangan LSM Tegak Tegar, yang juga merupakan petugas pendamping dari para informan utama dalam penelitian ini. Jazakumullah untuk semuanya ya buibu yang MaasyaAllah luar biasa. 12. Para Informan utama yang cerita hidupnya sangat menguras emosi dan air mata, namun syarat makna dan sangat menginspirasi. Jazakumullah sudah meluangkan waktu dan mau memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mendengarkan dan menjadikan kisah luar biasa ini sebagai bahan penelitian dalam tugas akhir ini. 13. Papah dan mamah yang tiada pernah berhenti berdoa serta mendukung. Adikadik shalihah Ipha, sapit, dan entas yang tak pernah bosan memotivasi melalui syair sebuah nyanyian “ingatlah, ingat skripsimu… Semangat garap skripsi... Garap skripsi harus semangat...” 14. Kak nauri mahasiswi S2 FKM UI yang juga sedang menyelesaikan tugas akhir. Jazakillah sudah banyak berbagi ilmu dan motivasi, sempat bareng juga dalam pengambilan data di Poli HIV PKM Kramat Jati. 15. Sahabatku sejak MTs yang tak ada bosan- bosannya memberi semangat, berbagi kesedihan juga berbagi kegembiraan Lili Rahmawati, SH dan Siti Khoiriyah. Juga partner kerja kak nisa, Liya, dan seluruh teman- teman di Dompet Dhuafa. Tak lupa teruntuk Meriza Dwi, SPd sahabat semenjak masih aktif di IKRAR atau Rohisnya Jakarta Timur hingga sekarang. 16. Kak Vivin, M.Pd dan kak Elsa, M.Pd, teman ODOJ sekaligus mahasiswi S2 IIQ yang mau berbagi ilmu, memotivasi, hingga bermalam mengerjakan tesisnya bersama dengan penulis yang sedang mengerjakan skripsi. Tak lupa juga untuk para penghuni kostan yang lainnya, Anggita, Yaza, dan Ita. Jazakumullah telah membersamai hari- hari gentingku menjelang sidang skripsi dan juga saat revisi menuju wisuda. Selamat garap skripsi di semester depan yaa adik- adik shalihah. 17. Bu Medy, Bu Diana, Bu Widi, Bunda Tuti, Teh Sri, Uyun, Dahlan, Fahru, beserta keluarga besar bimbingan belajar dan TPA NAJWA lainnya yang selalu
viii
menghibur, memberikan penginapan beserta fasilitas hotspot, sarapan, dan makan malam, juga memberikan dukungan melalui do’a- do’a terbaiknya. 18. Ukhty- ukhty dalam lingkaran penuh cinta, para pengikat hati dengan ikatan do’a Robithoh. Bu Marwati, Ayu, Dira, Rahma, Nuzul, Vivi, Bidan Fitri, Bidan Fika, Indah, dan Widya. Juga para kakak- kakak super di “Moment of LC”, Kak Saylis, Kak Ira, Kak Estri, Kak Anifah, Kak Azkiya, Kak Tiwi, dan Hilda. 19. Kakak- kakak, teman- teman, dan adik- adik ITSAR SMA Negeri 7 Kota Bekasi, Adik- Adik ROHIS SMA 7 Kota Bekasi, dan Adik- Adik pengurus GENOSI yang selalu mentransfer energi semangat dan terus memotivasi serta mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan tugas akhir ini. 20. Wiwid, Luthfi, Nida, Tika, Zata, Karlina, Ana, Rizka, Ati, Bebe, Ii, Najah, Harun dan Bayu yang meskipun sekarang hanya dapat berjumpa via chat grup whatsapp saja, namun tetap terasa dekat di hati, karena selalu menyapa, menghibur, memotivasi, memberikan banyak bantuan, serta saling mendo’akan walaupun hanya melalui media sosial. Juga Eliza, Asiva, Nita, dan Yuli yang masih sering berkeliaran di FKIK, terimasih atas obrolan- obrolan penyemangatnya. 21. Kiky, Dhea, dan Amel serta para penghuni grup whatsapp “Maju terus skripsi”, “Wisuda Februari 2017”, dan grup “Perhatian Akhwat An-Najm” yang tiada henti saling mendo’akan dan saling memberi semangat, juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Sangat berharap ada kritik atau saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan ini. Wassalamu’alaykum wr. wb.
Jakarta, 16 September 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................. I PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................................... II ABSTRAK ......................................................................................................................IV RIWAYAT HIDUP .......................................................................................................... VI KATA PENGANTAR ..................................................................................................... VII DAFTAR ISI ..................................................................................................................... X DAFTAR TABEL.......................................................................................................... XIV DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................XV DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... XVI BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................................... 6
1.3
Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4
Tujuan ................................................................................................................. 8
1.4.1
Tujuan Umum ............................................................................................. 8
1.4.2
Tujuan khusus ............................................................................................. 8
3.1
Manfaat ............................................................................................................... 9
3.1.1
Bagi Mahasiswa .......................................................................................... 9
3.1.2
Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ................................................ 9
3.1.3
Bagi LSM Tegak Tegar .............................................................................. 9
3.1.4
Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta ............... 10
3.2
Ruang Lingkup ................................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 11 2.1 HIV/AIDS .............................................................................................................. 11 2.1.1 Definisi HIV/AIDS ......................................................................................... 11 x
2.1.2 Faktor Risiko HIV/ AIDS ................................................................................ 12 2.1.3 Distribusi HIV/AIDS ...................................................................................... 18 2.1.4
Faktor yang mempercepat Distribusi ........................................................ 39
2.1.5
Etiologi HIV/AIDS ................................................................................... 41
2.1.6
Patogenesis HIV/AIDS ............................................................................. 43
2.1.7
Cara Penularan HIV/AIDS ....................................................................... 43
2.1.8
Fase–Fase Perkembangan Infeksi HIV ..................................................... 45
2.1.9
Gejala Klinis HIV/ AIDS .......................................................................... 48
2.2
HIV dalam Pandangan Islam ............................................................................ 50
2.3
Pengobatan HIV/AIDS ..................................................................................... 54
2.4
Dampak Sosial yang di Alami Perempuan dengan HIV Positif ....................... 57
2.5
Kerangka Teori ................................................................................................. 63
BAB III KERANGKA PIKIR .......................................................................................... 64 3.1 Kerangka Pikir ....................................................................................................... 64 3.2 Definisi Istilah........................................................................................................ 66 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 69 4.1
Desain Penelitian .............................................................................................. 69
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 69
4.3
Informan Penelitian........................................................................................... 70
4.4
Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ....................................... 73
4.4.1 Instrumen Penelitian ........................................................................................ 73 4.4.2 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................. 73 4.5
Prosedur Penelitian ........................................................................................... 75
4.5.1. Tahap Pra Penelitian ....................................................................................... 75 4.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 76 4.5.3. Tahap Paska Penelitian ................................................................................... 77 4.6
Pemeriksaan Keabsahan Data ........................................................................... 77
4.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal).................................................................. 77 xi
4.6.2. Transferability (Validitas Eksternal) .............................................................. 79 4.6.3. Dependability (Reliabilitas) ............................................................................ 79 4.6.4. Confirmability (Obyektivitas) ......................................................................... 79 4.7
Pengolahan Data ............................................................................................... 80
4.8
Analisis Data ..................................................................................................... 80
4.8.1. Analisis Sebelum di Lapangan........................................................................ 81 4.8.2. Analisis Data di Lapangan .............................................................................. 81 4.9
Penyajian Data .................................................................................................. 83
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 84 5.1 Gambaran Proses Penelitian di Lapangan............................................................... 84 5.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS ........................................ 89 5.2.1 Tingkat Pendidikan Perempuan Terdiagnosis HIV Positif ............................. 89 5.2.2 Status Pernikahan Perempuan dengan HIV/AIDS ........................................... 95 5.2.3 Sosial Ekonomi Perempuan dengan HIV/AIDS ............................................ 107 5.2.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Perempuan dengan HIV/AIDS ............. 128 5.2.5 Pengetahuan HIV/AIDS................................................................................. 132 5.2.6 Agama ............................................................................................................ 139 5.2.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS............................................... 142 5.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat ............... 144 5.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu ................ 147 5.4.1 Lama Sakit .................................................................................................... 147 5.4.2 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS saat Pertamakali Terdiagnosis HIV Positif
150
BAB 6 PEMBAHASAN ................................................................................................ 154 6.1
Keterbatasan Penelitian................................................................................... 154
6.2
Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS ................................ 155
6.2.1 Tingkat Pendidikan ........................................................................................ 155 6.2.3 Status Pernikahan ........................................................................................... 158 xii
6.2.4 Sosial Ekonomi .............................................................................................. 169 6.2.5 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga ............................................................... 175 6.2.6 Pengetahuan HIV/AIDS................................................................................. 178 6.2.7 Agama ............................................................................................................ 184 6.2.8 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS............................................... 187 6.3
Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat ......... 188
6.4
Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu ........... 189
6.5
Pengobatan yang Dijalani oleh Perempuan TerdiagnosisHIV Positif ............ 192
6.6
Dampak Sosial yang Dialami oleh Perempuan Terdiagnosis HIV Positif ...... 197
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 202 7.1 Simpulan ............................................................................................................... 202 7.2
Saran ............................................................................................................... 206
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 210 LAMPIRAN ................................................................................................................... 216 A.
Panduan wawancara ........................................................................................ 216
B.
Matriks Wawancara ........................................................................................ 222
c.
Transkrip Wawancara ..................................................................................... 250
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ………………………………………………… 66 Tabel 4.1 Informan Penelitian ………………………………………………….. 73 Tabel 5.1 Pendidikan Formal Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ………………………… 91 Tabel 5.2 Pendidikan Non Formal Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ……………….. 94 Tabel 5.3 Jumlah Anak, Usia Anak, dan Status Anak Terhadap HIV dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ……………………………………….. 108 Tabel 5.4 Jenis Pekerjaan dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Sebelum Terdiagnosis HIV …………………………………………………………………… 112 Tabel 5.5 Jenis Pekerjaan dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Setelah Terdiagnosis HIV …………………………………………………………………… 118 Tabel 5.6 Besar Penghasilan Perbulan dan Sumber Pendapatan ……………. 121 Tabel 5.7 Keaktifan Perempuan dengan HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur dengan Lingkungan Sekitar Sebelum dan Sesudah Terdiagnosis HIV ………………………………………. 130 Tabel 5.8 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga, Pola Asuh Orang Tua, serta Jumlah Saudara Kandung dari Perempuan Terdiagnosis HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur ……………………………………………………………………. 134
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Teori ……………………………………………………. 63 Gambar 3.1 Kerangka Pikir …………………………………………………..… 65
xv
DAFTAR SINGKATAN
AIDS
:Aquaired Immunodeficiency Syndrome
ART
: Antiretroviral Therapy
ARV
: Antiretroviral
CDC
: Centers For Disease Control And Prevention
Depkes
: Departemen Kesehatan
HIV
:Human Immunodeficiency Virus
IDU
: Injecting Drug User
IMS
: Infeksi Menular Seksual
IRT
: Ibu Rumah Tangga
Kemenkes
: Kementrian Kesehatan
KNPP
: Komisi Nasional Pemberdayaan Perempuan
KPAN
: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
KTS
: Konseling dan Tes Sukarela
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
ODHA
: Orang dengan HIV/AIDS
PITC
: Provider Initiated HIV Testing and Counseling
PMO
: Pendamping Minum Obat xvi
PMTCT
: Prevention of Mother To Child Transmission
PPIA
: PencegahanPenularan HIV dari Ibu ke Anak
PSK
: Pekerja Seks Komersial
P2ML
: Pengendalian Penyakit Menular Langsung
P2PL
: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
TB
: Tuberkulosis
UNAIDS
: Joint United NationsProgramme of HIV/AIDS
VCT
: Voluntary Counseling and Testing
WHO
: World Health Organization
WPS
: Wanita Pekerja Seks
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini Indonesia mengalami masalah kesehatan yang sangat kompleks, isu kesehatan cukup menjadi perhatian bagi masyarakat luas. Penyebaran penyakit menular yang masih menjadi persoalan dunia, merupakan tugas lama yang belum terselesaikan, ditambah lagi permasalahan penyakit tidak menular yang dapat menambah beban masalah kesehatan dunia. Hal ini menandakan telah terjadi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burdens) (P2PL, 2012). HIV merupakan virus penyebab AIDS (Kemenkes RI, 2012). AIDSdidefinisikan oleh Smeltzer dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV (Smeltzer, 2001). HIVAIDS kini telah menjadi masalah kesehatan dunia. Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. HIV/AIDS pertama kali ditemukan di dunia sekitar tahun 1980-an dan sejak saat itu hingga sekarang, lebih dari 78 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV dan 35 juta orang meninggal karena AIDS (UNAIDS, 2015). Sedangkan menurut data dari WHO, di tahun 2015 terdapat penambahan lebih dari 2 juta kasus baru HIV positif dengan 77% kasus adalah pada wanita hamil
1
yang telah mendapatkan akses PMTCT. Hingga sekarang telah tercatat lebih dari 36 juta orang telah meninggal akibat AIDS (WHO, 2015) Sejak pertama kali di temukan di Indonesia tahun 1987 sampai dengan September 2014, HIV/AIDS sudah tersebar di 69,4% wilayah, yakni tersebar di 345 dari 497 kabupaten/ kota di seluruh provinsi di Indonesia. Pada Januari hingga September 2013, telah tercatat kumulatif kasus HIV positif lebih dari 118.000 kasus dan lebih dari 45.000 kasus AIDS, dengan faktor risiko HIV/AIDS tertinggi di Indonesia adalah melalui hubungan seks berisiko pada heteroseksual yakni sebesar 60,9%nya (P2PL, 2013). Sementara di Januari hingga September 2014 kumulatif kasus HIV positif, kasus AIDS, serta presentase faktor risiko melalui heteroseksual mengalami peningkatan. Diketahui lebih dari 150.000 kasus HIV positif dan lebih dari 55.000 kasus AIDS, dengan faktor risiko melalui heteroseksual menjadi 61,5%. Jumlah kasus terbanyak terdapat pada jenis kelamin perempuan yakni sebesar 6.539 kasus (P2PL, 2014). Berdasarkan data jenis profesi, IRT berada di urutan tertinggi dengan HIV/AIDS, kasusnya mencapai 9.000 kasus (Kemenkes RI, 2015). Kondisi peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS pada perempuan menunjukkan telah terjadi feminisasi epidemi HIV di Indonesia. Dari hasil proyeksi HIV yang dibuat KPAN, diperkirakan pada waktu mendatang akan terdapat peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,22% pada tahun 2008 menjadi 0,37% di tahun 2014. Peningkatan
2
jumlah kasus baru HIV pada perempuan, akan berdampak pada meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak. Menurut estimasi Kemenkes, pada tahun 2009 terdapat 3.045 kasus baru HIV pada anak dengan kasus kumulatif 7.546, sedangkan pada tahun 2014 diperkirakan terdapat 5.775 kasus baru dengan 34.287 kasus kumulatif anak HIV di seluruh Indonesia (KPAN, 2010 ). Banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan tertular IMS dan HIV karena suami/pasangan mereka memiliki perilaku seksual yang tidak aman diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik (UNAIDS, 2011). Penelitian
mengenai
penularanHIV/AIDS,
khususnya
pada
perempuan belum banyak ditemui, adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan hal ini antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Oktarinda (2005) dengan judul “Study life story pada perempuan yang terpapar HIV/AIDS di Jakarta” di sebutkan bahwa empat dari lima informan ODHA perempuan dalam perjalanan pernikahannya tidak dapat melindungi mereka dari penularan HIV karena pasangan mereka berselingkuh, melakukan hubungan seksual dengan PSK, atau memiliki riwayat pecandu narkoba. Sementara itu satu informan lainnya merasa dalam berhubungan seksual tidak berani menolak, sekalipun ketika sedang menstruasi, hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar dalam relasi seksual (Oktarianda, 2005). Penelitian lain mengenai penularan HIV/AIDS pada perempuan, yakni pada penelitian oleh Imraldian Ramadhan (2005) mengenai “Study
3
Relasi Gender dalam Rumah Tangga” menyebutkan bahwa satu dari dua informan ODHA perempuan mengaku memiliki ketergantungan ekonomi kepada suaminya, sehingga mengakibatkan dirinya tidak leluasa untuk mengatur hal- hal lain dalam rumah tangganya, hal inilah yang mendasari banyak perempuan yang terinfeksi penyakit menular seksual dari suaminya karena masalah rendahnya posisi tawar perempuan dalam rumah tangga, adanya kemandirian ekonomi pada perempuan membuat keberanian perempuan dalam menuntut hak- haknya (Ramadhan, 2005). Penelitian lainnya oleh DM shinta, dkk (2013) dengan judul “Kerentanan perempuan terhadap penularan IMS dan HIV: gambaran perilaku seksual berisiko di Kota Denpasar” gambaran perilaku berisiko pada laki- laki yang menyebabkan kerentanan perempuan terhadap penularan IMS dan HIV yaitu hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan seksual, biseksual, membeli seks, IDU, serta tidak konsisten menggunakan kondom. Sedangkan perilaku berisiko pada perempuan itu sendiri diantaranya memiliki lebih dari satu pasangan seksual, posisi tawar rendah dalam negosiasi kondom, melacur dan hubungan seks dalam keadaan terpaksa (Shinta, 2013). DKI Jakarta adalah Provinsi di Indonesia yang menempati urutan pertama kasus dengan jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS terbanyak. Dari Januari hingga September 2013, dilaporkan terdapat 22.869 kasus HIV dan 1.876 kasus AIDS. Prevalensi kasus HIV di Provinsi DKI Jakarta menduduki urutan keempat se- Indonesia dengan prevalensi 77,82 per
4
100.000 penduduk (P2PL, 2014). Ini berarti dari setiap 100.000 penduduk di Provinsi DKI Jakarta, 78 penduduk diantaranya telah terinfeksi HIV. Sementara itu di Jakarta timur, kasus baru HIV yang di temukan pada Januari hingga September 2014 sebanyak 1.152 kasus baru HIV, dengan 26,5% atau 305 kasus diantaranya merupakan kasus HIV pada perempuan (Dinas Kesehatan Jakarta Timur, 2014). Pada Januari hingga Oktober 2014, Puskesmas Kramat Jati menempati urutan ketiga tertinggi di antara Puskesmas yang ada di Jakarta Timur dalam penemuan kasus baru HIV di wilayah kerja Dinas Kesehatan Jakarta Timur, yakni terdapat 155 kasus HIV dengan 31% atau 48 kasus diantaranya merupakan HIV positif pada perempuan, kemudian 7 kasus pada anak berusia kurang dari 4 tahun, 3 kasus pada usia 15-19 tahun, 13 kasus pada usia 20-24 tahun, dan 84 kasus lainnya berusia 25-49 tahun. Jumlah kasus baru ini didapatkan dari hasil pemeriksaan skrining HIV baik dengan VCT maupun PITC di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur (Dinas Kesehatan Jakarta Timur, 2014). Kondisi ini menunjukkan pentingnya melihat karakteristik perempuan penderita HIV/AIDS, agar dapat mengetahui distribusi HIV/AIDS menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan penderita HIV/AIDS dan juga agar mampu melakukan pencegahan sedini mungkin pada perempuan yang belum terinfeksi HIV/AIDS. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti “Gambaran Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015”.
5
1.2 Rumusan Masalah
Meskipun pertama kali di temukan pada kaum homoseksual, tetapi pada perkembanganya, HIV/AIDS juga menyerang kaum heteroseksual, khususnya perempuan. Banyak perempuan masuk dalam kelompok rentan tertular HIV karena suami/ pasangan mereka memiliki perilaku seksual yang tidak aman diluar pernikahannya dan menggunakan narkoba suntik. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman, yang akan menularkan HIV pada pasangan seksualnya. Di Indonesia, hingga November 2014 jumlah orang yang terinfeksi HIV dan sudah menjadi AIDS mencapai 55.799 kasus dengan 29 % diantaranya adalah kasus HIV pada perempuan. Provinsi DKI Jakarta menduduki urutan pertama di Indonesia dengan jumlah kumulatif HIV dan AIDS terbanyak di Indonesia, dengan prevalensi 77,82 kasus per 100.000 penduduk, padahal target dari salah satu pembangunan kesehatan adalah terkendalinya HIV pada populasi dewasa hingga 0,5%. Sementara itu di Jakarta Timur, kasus baru HIV yang di temukan pada Januari hingga September 2014 sebanyak 1.152 kasus baru HIV, dengan 26,5% kasus diantaranya merupakan kasus HIV pada perempuan, serta 10% kasus HIV positif terjadi pada anak usia 0-5 tahun. Puskesmas Kramat Jati di Jakarta Timur memiliki jumlah kasus ketiga tertinggi dengan HIV positif, yakni terdapat 155 kasus HIV dengan 31% atau 48 kasus diantaranya merupakan HIV positif pada perempuan
6
Peneliti tertarik dengan penelitian mengenai distribusi HIV/AIDS menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan penderita HIV/AIDS, karena secara fisik maupun biologis perempuan lebih rentan di bandingkan dengan laki- laki. Sehingga perlu diketahui bagaimana “Gambaran Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015”.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Gambaran Karakteristik pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015? 2. Bagaimana Gambaran Distribusi Menurut Tempat pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015? 3. Bagaimana Gambaran Distribusi Menurut Waktu pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015?
7
1.4 Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara
mendalam gambaran perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015.
1.4.2
Tujuan khusus
1. Mengetahui Gambaran Karakteristik pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015. 2
Mengetahui Gambaran Distribusi Menurut Tempat pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015.
3
Mengetahui Gambaran Distribusi Menurut Waktu pada Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015.
8
3.1 Manfaat 3.1.1
Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar dalam melakukan penelitian lebih lanjut terutama mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan informasi mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015. 3.1.2
Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Sebagai bahan masukan dan informasi mengenai karakteristik
perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam mengembangkan penelitian selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk meningkatkan program PMTCT/ PPIAyang sudah ada. 3.1.3
Bagi LSM Tegak Tegar
Hasil penelitian diharapkan dapat sebagai bahan masukan dan informasi mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam mengembangkan penelitian selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk meningkatkan juga mengembangkan program- programyang telah berjalan dan yang belum berjalan di LSM Tegak Tegar.
9
3.1.4
Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan mengenai karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015 dan juga di harapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengembangan penelitian selanjutnya.
3.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif pendekatan kualitatif desain studi kasus dengan metode analisis isi/ content analysis. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 5 informan dengan HIV/AIDS yang memiliki usia produktif (19-49 tahun) dan berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Pengumpulan data dilakukan pada dengan wawancara mendalam/ indepth interview dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu pada bulan Oktober 2014- Februari 2015 (pencarian subjek, observasi, dan pendekatan) dan Maret- Mei 2015 (wawancara mendalam dan triangulasi).
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS HIV adalah virus yang dapat menyerang dan menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan munculnya kumpulan berbagai gejala penyakit yang disebut AIDS (CDC, 2013). Orang yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun untuk menjadi AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS, dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negative (Shams, 2008). Sementara itu, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis (Vinay, 2007). HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia, 2006). Definisi AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit, telah berubah beberapa waktu sejak gejala pertama ditemukan pada tahun 1981. Secara umum definisi ini menyusun suatu titik dalam kontinum penyimpangan HIV dimana penjamu telah menunjukan secara klinis disfungsi imun. Jumlah besar infeksi oportunistik dan neoplasma merupakan tanda supresi imun berat sejak tahun 1993. Definisi AIDS telah meliputi jumlah CD4 kurang dari 200
11
sebagai criteria ambang batas. Sel CD4 adalah bagian dari limposit dan satu target sel dari infeksi HIV (P2PL, 2012). AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome adalah suatu sindrom (kumpulan gejala) yang menyebabkan turunnya/hilangnya sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus), yaitu virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika sistem kekebalan tubuh telah sangat rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan sekalipun dan pada akhirnya menyebabkan kematian. HIV dan AIDS secara klinis untuk pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1981, dimana fase penyebaran HIV dan AIDS dimulai (KNPP RI, 2008).
2.1.2 Faktor Risiko HIV/ AIDS Faktor risiko adalah ciri atau kondisi yang mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang, yang berhubungan dengan adanya peningkatan terhadap kemungkinan/ risiko untuk mengalami atau berkembangnya keadaan yang tidak di harapkan. Faktor risiko tersebut bisa berupa sebab atau tanda- tanda yang harus diamati atau diidentifikasi sebelumnya. Pengertian lain tentang faktor risiko adalah faktor- faktor yang berhubungan dengan kenaikan risiko yang terjadi pada penyakit. Faktor risiko terjadinya penyakit perlu diketahui agar dapat berguna dalam hal- hal berikut ini: (1) untuk meramalkan kejadian penyakit, (2) identifikasi faktor penyabab suatu penyakit, (3) membantu proses diagnosis, (4) untuk pencegahan penyakit (Bustan, 1997).
12
Faktor risiko HIV/ AIDS berkaitan erat dengan perilaku berisiko dari seorang individu terhadap penularan infeksi HIV. faktor risiko tersebut antara lain faktor risiko melalui transmisi seksual, faktor risiko melaui transmisi non seksual, dan faktor risiko melalui transplasental.
2.1.2.1 Faktor Risiko Melalui Transmisi Seksual Faktor risiko melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Risiko infeksi HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. Adapun jenis dari faktor risiko melalui transmisi seksual antara lain homoseksual dan heteroseksual. 2.1.2.1.1 Homoseksual Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat homoseksual yang menderita AIDS, berusia antara 20-40 tahun dari semua golongan usia. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini
13
sehubungandengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara anogenital. 2.1.2.1.2 Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok usia seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. Ini adalah faktor risiko yang paling umum terjadi. Angka kejadian mencapai 80-90% dari total kejadian di dunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genetalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankaroid, dan trikomonalis. Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks pervaginam (Notoatmodjo, 2005). Beberapa hal yang berkaitan dengan infeksi melalui hubungan seksual adalah resiko penularan melalui hubungan seksual dari laki-laki ke perempuan lebih besar daripada dari perempuan ke laki-laki, hal ini disebabkan perempuan adalah pasangan penerima (recipient partner) dalam hubungan seksual. Seks anal (melalui dubur) beresiko lebih tinggi daripada seks melalui vagina, karena seringkali terjadi perlukaan pada daerah anal (dubur). Oleh karena itu pencegahan infeksi dicapai dengan menggunakan kondom secara tepat dan konsisten pada mereka yang berperilaku beresiko (KNPP RI, 2008).
14
2.1.2.2 Faktor Risiko Melalui Transmisi Non Seksual 2.1.2.2.1 Transmisi Parenteral Transmisi parental yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang telah terkontaminasi HIV, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Pemakaian jarum yang tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik pada pengguna narkona suntik berisiko mencapai 0,5-1% dan terdapat 5-10% dari total kejadian di dunia. Sedangkan penularan lewat kecelakaan, seperti tertusuk jarum pada petugas kesehatan, risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kejadian di dunia (Notoatmodjo, 2005).
2.1.2.2.2 Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negaranegarabarat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Transfusi darah/ produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi hingga mencapai 90% dan ditemukan sekitar 3-5% dari total kejadian di dunia.
15
2.1.2.2.3 Faktor Risiko Melalui Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.Berikut adalah kelompok yang paling berisiko dalam menularkan
HIV
pada
bayi/
anak,
munurut
Kementrian
Negara
Pemberdayan Perempuan RI (2008): 1. Perempuan Hamil Penularan HIV dari ibu HIV positif ke bayi yang dikandungnya merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan kepada pasangannya (istrinya) melalui hubungan seksual tidak aman, dan selanjutnya perempuan itu menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut secara potensial memiliki resiko untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya jika ia kembali hamil. Pada saat kehamilan, risiko penularan HIV dari ibu ke bayinya lebih rendah, yaitu sebesar 5%-10%. Dukungan yang kuat dari keluarga dan masyarakat di mana mereka tinggal sangat dibutuhkan, di samping konseling
dari
petugas
kesehatan,
masyarakat(Kemenkes RI, 2013).
16
tokoh
agama,
dan
tokoh
2.
Perempuan Bersalin Banyak kalangan termasuk juga tenaga kesehatan, berasumsi bahwa
semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pastilah akan terinfeksi HIV karena darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan. Ternyata sirkulasi darah janin dan ibu dipisahkan di plasenta oleh beberapa lapisan sel. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi HIV biasanya tidak dapat menembusnya. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Namun jika plasenta meradang, terinfeksi, ataupun rusak maka bisa jadi virus akan lebih mudah menembus plasenta, sehingga terjadi risiko penularan HIV ke bayi. Penularan HIV umumnya terjadi pada saat persalinan ketika kemungkinan terjadi percampuran darah ibu dan lendir ibu dengan bayi. Tetapi sebagian besar bayi dari ibu HIV postif tidak tertular HIV. Maka mutlak diperlukan pelayanan persalinan dan nifas yang sesuai dengan Standard Pelayanan Minimal (SPM). Resiko terbesar penularan HIV dari Ibu ke bayi terjadi saat persalinan, Risikonya sebesar 10-20%. (Kemenkes RI, 2013). Oleh karena itu disarankan persalinan pada ibu dengan HIV positif adalah dengan Bedah Cesar, sehingga resiko penularan HIV dapat ditekan seminimal mungkin.
17
3. Perempuan Menyusui Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui
pemberian
ASI.
HIV
terdapat
dalam
ASI,
meskipun
konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antara 10-15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih)(Kemenkes RI, 2013).
2.1.3 Distribusi HIV/AIDS Pengetahuan menjelaskan
pola
tentang penyakit
distribusi serta
penyakit
merumuskan
diperlukan hipotesis
untuk tentang
kemungkinan faktor penyebab suatu penyakit atau pencegahan yang dibutuhkan oleh suatu penyakit. Ada tiga komponen penting dalam epidemiologi, tiga komponen tersebut antara lain: frekuensi, distribusi, dan determinan. Distribusi berkaitan dengan penyebaran penyakit atau masalah kesehatan pada masyarakat. Epidemiologi menggambarkan kejadian tersebut
menurut karakter orang (person), tempat (place), dan waktu
(time) (Masriadi, 2012). Karakter itu sendiri dapat dipahami sama dengan kepribadian dan kepribadian dapat dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
18
diterima dari lingkungan. Karakteristik mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan mudah di perhatikan . Selain itu karakteristik juga merupakan ciri yang secara alamiah melekat pada diri seseorang yang meliputi umur, jenis kelamin, ras/suku, pengetahuan, agama/ kepercayaan dan sebagainya (Nanda, 2012). Hal ini berarti, epidemiologi menggambarkan penyebaran penyakit pada suatu populasi menurut faktor sosio- ekonomi- demografi- geografi, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, ras, keyakinan agama, pola makan, kebiaasaan, gaya hidup, tempat tinggal, tempat bekerja, tempat sekolah, dan waktu terjadinya penyakit (Masriadi, 2012). 2.1.3.1 Menurut Orang Dalam epidemiologi distribusi suatu penyakit juga dapat dilihat dari konsep penyebab penyakit. Distribusi menurut orang dalam konsep penyebab penyakit merupakan interaksi manusia sebagai Host / pejamu dengan berbagai sifatnya. Host atau pejamu merupakan organisme (manusia atau hewan) tempat berlabuhnya agen penyakit. Keberadaan pejamu yang rentan terhadap penyakit menular di populasi sangat tergantung pada mobilitas pejamu, kontak personal serta derajat dan lama imunitas yang dimiliki oleh pejamu. Faktor
pejamu
sendiri
merupakan
faktor
intrinsik
yang
mempengaruhi keterpaparan individu, kerentanan dan respon terhadap 19
agen penyebab. Faktor pejamu meliputi intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik terdiri dari usia, jenis kelamin, ras, genetik, fisiologi (termasuk kebugaran dan riwayat penyakit) serta ketanggapan imunitas. Fase ekstrinsik meliputi aktifitas seksual berisiko, cara hidup/ perilaku, nutrisi, pekerjaan, rekreasi dan imunisasi. Faktor- faktor tersebut penting karena memperngaruhi risiko untuk terpapar sumber infeksi, dan kerentanan serta resistensi dari manusia terhadap suatu penyakit. (Nisa, 2007) Pejamu adalah hal- hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit pada manusia, manusia juga memiliki karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit, seperti umur, jenis kelamin, ras, kelompok etnis (suku), hubungan keluarga, bentuk anatomi tubuh, fungsi fisiologi, status kesehatan (termasuk status gizi), kebiasaan hidup, kehidupan sosial, dan pekerjaan (Masriadi, 2012). Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drugs User), kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima 20
donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV (P2PL, 2012). Perempuan Secara biologis, perempuan lebih mudah tertular penyakitpenyakit melalui hubungan seksual dibanding laki-laki. Perempuan memiliki permukaan (mukosa) alat kelamin yang lebih luas sehingga cairan sperma mudah terpapar ketika hubungan seksual. Selain itu, sperma yang terinfeksi HIV mempunyai konsentrasi virus yang lebih tinggi dibanding konsentrasi HIV pada cairan vagina. Hal lain yang berkaitan dengan
faktor
tidakmengalami
biologis gejala
menularseksual.
adalah pada
Penyakit
kecenderungan
waktu menular
perempuan
menderita
sebuah
seksual
diketahui
untuk
penyakit selain
menjadiindikatorperilaku berisiko, juga bisa menjadipintu bagi HIV, terutama bagipenyakit yang menyebabkan luka atau ulcer (Dalimunthe, 2012). Tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi HIV/AIDS,
tetapi
kerentanan
setiap
orang
terhadap
HIV/AIDS
diasumsikan bersifat umum, sehingga setiap orang, mungkin untuk terserang HIV/AIDS (Kandun Nyoman, 2012). Namun, terdapat beberapa distribusi HIV/AIDS
yang menjadi karakteristik menurut orang.
karakteristik tersebut di antaranya adalah tingkat pendidikan, status pernikahan,
sosial
ekonomi,
riwayat
HIV/AIDS
pada
keluarga,
pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS.
21
2.1.3.1.1 Tingkat Pendidikan Pendidikan
adalah
suatu
usaha
untuk
mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya, mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2010, tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga, formal, non formal, dan in formal.
22
1. Formal
Pendidikan di Indonesia dilaksanakan dan dibagi dalam beberapa jenjang. Jenjang pendidikan tersebut dibagi berdasarkan tingkatan usia dan kemampuan peserta didik, masing-masing jenjang pendidikan memiliki rentang usia dan lama pendidikan yang berbeda-beda. Dengan pengaturan jenjang pendidikan seperti ini memudahkan dalam pengelompokan peserta didik dan target serta kebijakan dan hal-hal lain mengenai pendidikan . Banyak diketahui bahwa sistem pendidikan di Indonesia menerapkan wajib belajar 9 tahun pada penduduk, jenjang pendidikan yang wajib ditempuh 9 tahun adalah jenjang pendidikan dasar yang terdiri dari 6 tahun sekolah dasar atau sederajat dan 3 tahun sekolah menengah pertama atau sederajat. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 8, menyatakan bahwa jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Dalam UndangUndang tersebut disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal di Indonesia terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Kemenkes RI, 2015).
23
a. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah jurusan, seperti : SMA, MA, SMK, atau bentuk lain yang sederajat.
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas
Pendidikan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi cara pandang seseorang tentang hidup, dalam hal ini cara pandang seseorang tentang kesehatan. Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang luas pula. Salah satu sumber informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media masa. Banyak tempat atau media yang bisa dijadikan sumber informasi untuk menambah pengetahuan, salah satunya berasal dari guru yang
24
memberikan informasi kepada siswa-siswi melalui proses belajar mengajar
mereka
dalam
menempuh
suatu
pendidikan
(Notoatmodjo, 2007) Menurut hasil penelitian “Fakor- faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan sekitarnya”
dihasilkan
bahwa
secara
epidemiologi
tingkat
pendidikan rendah mempunyai risiko 3,742 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009). 2. Jalur Non-formal
Pendidikan non-formal ialah pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di luar dari pada sistem pendidikan formal. Pendidikan ini boleh diperoleh melalui program seperti latihan, kursus dalam, seminar, bengkel, forum dan persidangan. Menurut definisi yang diberikan oleh PBB (Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu) mengenai UNESCO, (pendidikan, sains dan kebudayaan) program pendidikan yang bercorak vokasional, teknikal dan kecakapan dikategorikan sebagai pendidikan non-formal di mana program tersebut menyediakan orang dewasa didalam sesuatu bidang kerja yang baru (Nanda, 2013).
pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita – cita tertentu.
25
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesehatan, seseorang makin menerima informasi sehingga makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005).
3. Jalur Informal
Pendidikan informal ialah proses pendidikan pembelajaran sampingan yang berlangsung secara spontan dan tanpa struktur. Seseorang itu akan memperoleh dan menambahkan pengetahuan, kemahiran dan membentuk sikap serta pandangan berdasarkan pengetahuannya tiap-tiap hari sama ada di tempat bekerja, di sekolah atau di tempat rekreasi. Misalnya, jika seseorang mendapat pengalaman dan merubah perlakuan melalui membaca dan menonton televisi, maka ia boleh dikatakan mendapat pendidikan informal dari pada media massa. Pendidikan informal banyak disalurkan melalui media massa dan juga melalui interaksi dengan masyarakat (Suparyanto, 2010).
26
2.1.3.1.2 Status pernikahan Berdasarkan UU Pernikahan No.1 Tahun 1974 Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam penelitian ini jumlah perkawinan sangat mempengaruhi akseptor dalam pemakaian alat kontrasepsi. Misalnya lamanya perkawinan yang dilakukan sekali seumur hidup, atau adanya kawin cerai. Lazimnya awal perkawinan akseptor sering menggunakan Pil KB untuk mengatur jarak kehamilannya, setelah itu baru dilanjutkan dengan alat kontrasepsi lain. Perkawinan dapat diklasifikasikan dengan satu kali perkawinan, atau lebih dari satu. Usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Nasry, 2009).
Menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun, sehingga usia ideal seseorang untuk menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki- laki.Sementarai itu menurut WHO batasan usia remaja adalah 12- 24 tahun,sedangkan dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah mereka yang berusisa 10-19 tahun dan belum menikah. kelompok usia remaja memiliki kemampuan kognitif untuk menentukan perilaku yang sehat, pada praktiknya remaja sering terdorong oleh kekuatan lain yang membuat mereka tidak berperilaku secara sehat. Ini termasuk perilaku
27
mencoba atau memulai hubungan seksual (Anggreani, 2005). Menurut Dachlia (2000) dalam penelitian Yowel Kambu (2012), usia pertamakali melakukan hubungan seks penting dalam epidemiologi HIV karena berkorelasi dengan jumlah pasangan seks selama hidupnya. Umumnya seseorang mulai aktif secara seksual sejak remaja, kemudian berangsur- angsur aktivitas seksual meningkat sampai usia 30 tahun, lalu menurun setelah usia 30 tahun (Kambu Y. , 2012).
Hasil dari penelitian Dian Anggraeni Raidah (2015) menunjukan bahwa, usia pernikahan pada pasangan memiliki hubungan yang signifikan dengan penyesuaian pernikahan. Selain itu mayoritas pasangan yang memiliki usia pernikahan lebih lama akan menerima penyesuaian pernikahan yang semakin baik, seperti memiliki keeratan yang lebih tinggi, saling memahami, dan saling menghindari konflik rumah tangga (Raidah, 2015).
ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk bisa terus hidup dan memiliki harapan bahwa kehidupan mereka akan lebih baik daripada kehidupan sebelumnya. Membina hubungan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk memotivasi dirinya kembali menemukan kebahagiaan dan penyesuaian diri pada lingkungan (Arriza, 2011). ODHA senantiasa khawatir akan perlakuan yang akan didapatkan dari orang lain atas
28
dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak engan dekat dengan para penderita HIV/AIDS karena takut pada virus yang bersifat menular tersebut (Nursalam, 2007). Bagi ODHA yang memiliki pasangan bukan penderita HIV/AIDS, Pasangan tersebut lebih dikenal dengan istilah pasangan ODHA serodiskordan, yaitu jalinan hubungan antara orang yang telah terdiagnosis HIV positif dengan orang yang berstatus HIV negatif. Namun pasangan ODHA serodiskordan ini sebenarnya memiliki banyak risiko di dalam pernikahannya. Salah satunya adalah penularan HIV terhadap pasangan yang negatif. Sehingga pasangan tersebut harus selalu menggunakan kondom setiap kali melakukan hubungan suami istri, agar suami dari ODHA terhindar dari penularan HIV/AIDS (Raidah, 2015). Penyakit HIV/AIDS secara luas juga akan berdampak pada semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Tidak hanya akan menimbulkan perubahan fisik saja, tapi juga menimbulkan perubahanperubahan dari segi psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual (Nursalam, 2007). 2.1.3.1.3 Sosial Ekonomi. Kondisi sosial ekonomi adalah suatu kedudukkan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak
29
dan kewajiban yang harus dimainkan oleh orang yang membawa status tersebut. Sosial ekonomi juga menunjukkan kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005) .
Sosial ekonomi identik dengan kemandirian dalam segi pekerjaan dan pendapatan yang didapatkan juga dalam hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Menurut hasil penelitian mengenai “Tingkat pengetahuan pelajar SMA Harapan1 Medan tentang seks bebas dengan risiko HIV/AIDS” diketahui bahwa perempuan secara sosial maupun ekonomi tidakmandiri. Sehingga perempuan akan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karenapasangan seksualnya. Perempuan sangat tergantung secara ekonomi kepada pasangan. Dan hal ini menimbulkan kondisi timpang yang membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dari pihak yang lebih tinggi daya tawarnya atau menganggap diri dapat menguasai yang lain (Dalimunthe, 2012).
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan suatu pendapatan. Manusia perlu bekerja untuk mempertahankan
hidupnya.
Dengan
bekerja
seseorang
akan
mendapatkan uang. Uang yang diperoleh dari hasil bekerja tersebut digunakanuntuk memenuhi kebutuhan hidup (Suparyanto, 2010). Status pendapatan merupakan suatu posisi dalam hal mendapatkan penghasilan, pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pembawa status.Salah satu faktor
30
yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pola hidup adalah stres psikososial, yaitu kemelaratan. Selain itu, status ekonomi yang tinggi pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mempunyai pola hidup dan cara hidup yang lebih baik. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir dari seseorang sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi dengan kaca mata ekonomi atau pendapatan mereka masing-masing (Nanda, 2012). Infeksi HIV tidak boleh dijadikan alasan sebagai pemutusan hubungan kerja, seperti layaknya kondisi penyakit lain, infeksi HIV tidak harus membuat seseorang kehilangan hak bekerja, sepanjang orang tersebut masih layak bekerja dan dapat dibenarkan secara medis (ILO, 2001). Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterampilan khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan yang juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan terhadap pekerjaan tertentu (Masriadi, 2012). Sementara pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari usaha itu sendiri, bekerja pada orang lain, dan hasil dari kepemilikkan (Notoatmodjo, 2007).
31
2.1.3.1.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Hubungan terkecil dari suatu masyarakat yang memiliki keterkaitan satu sama lain, bisa disebut dengan keluarga. Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan hubungan yang terjalin erat dan terangkum bersama melalui ikatan perkawinan. Pengertian dari keluarg sendiri merupakan kesatuan dari orang- orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan- peranan sosial (Moleong, 2010). Menurut hasil
penelitian “Fakor- faktor risiko
yang
berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan sekitarnya” dihasilkan bahwa secara epidemiologi responden dengan Riwayat penyakit keluarga yang HIV/AIDS mempunyai risiko 2,597 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009). Posisi anak dalam keluarga juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini dapat dilihat pada anak pertama atau tunggal kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat berkembang di bandingkan anak kedua karena pada anak pertama orang tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam segala hal, baik pendidikan,
gizi,
atau
yang
lain
(Hidayat,
2005).
Menurut
Soetjiningsih, jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua yang di terima anaknya, terutama kalau jarak anak yang terlalu dekat (Soetjiningsih, 1998 ).
32
2.1.3.1.5 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia
diperoleh
melalui
telinga.Pengetahuan
merupakan bagian penting dalam pembentukan perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo., 2007). Hasil
penelitian dari
Oktarina bahwa hasil
penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan mengenai HIV/AIDS, sehingga ini menggambarkan bahwa para wanita kurang mendapatkan informasi HIV/AIDS dibanding laki- laki. Hal ini disebabkan karena laki- laki lebih banyak berada diluar rumah sehingga mudah mendapatkan segala sumber informasi
kesehatan
khususnya
HIV/AIDS
dari
manapun.
(Oktarina.dkk, 2009). Kurangnya pengetahuan dan kesadaran perempuantentang HIV/AIDS. Penyebaran virus HIV/AIDS tidak hanya mengancam kelompok dengan perilaku seks yang tidak aman, tetapi juga telah mengancam kalangan ibu rumahtangga yang suaminya telah terinfeksi virus mematikan itu. Perempuan yang tidakberpendidikan dan tidak memiliki pengetahuan
yang cukupmengenai kesehatan reproduksi,
33
termasuk persoalan seputar HIV/AIDSdan pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka akan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV dari pasangan seksualnya (Dalimunthe, 2012). Menurut
hasil
penelitian
“Fakor-
faktor
risiko
yang
berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan sekitarnya” dihasilkan bahwa secara epidemiologi tingkat pengetahuan kurang mempunyai risiko 2,442 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009). Biasanya ODHA akan mengalami ketakutan dan keputusasaan ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV (Arriza, 2011). Cara untuk mengetahui keberadaan HIV dalam tubuh salah satunya dengan VCT, dalam pelayanan VCT harus memenuhi persyaratan dasar yang meliputi konseling pre test, konseling post test, informconsent, dan kerahasiaan. Pada proses pre test setiap pasien harus mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS, penularan, serta perilaku berisiko (P2PL, 2008).Lingkungan juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi jumlah informasi yang didapatkan, hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh individu (Umam, 2015)
2.1.3.1.6 Agama Ajaran agama merupakan nilai atau norma agama yang diyakini seseorang dan menjadi pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan. Seseorang yang patuh terhadap agama cenderung tidak
34
melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Kepatuhan menjalankan agama merupakan suatu bentuk ibadah yang dilaksanakan secara kontinyu oleh seseorang terhadap agama yang dianutnya dan merupakan suatu hal yang rutin dan wajib dijalankan oleh manusia (Shams, 2008). Fungsi agama dalam kehidupan individu adalah sebagai suatu sistem nilai yang membuat norma- norma tertentu. Norma- norma tersebut yang menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. sebagai sebuah motivasi agama memiliki unsur ketaatan dan kesucian sehingga memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perlindungan, dan rasa puas. Sedangkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat meliputi fungsi edukatif, penyelamat, sebagai pendamai, dan kontrol sosial. Melalui agama dapat menjamin ketertiban dalam kehidupan moral dan ketertiban bersama (Jalaluddin, 2008). Menurut hasil penelitian “Analisis perilaku sex remaja SMAN 14 Bandarlampung” dihasilkan bahwa remaja yang pelaksanaan ketaatan beribadahnya buruk (tidak melaksanakan sesuai ajarannya) beresiko 4,84 kali untuk berperilaku sex yang beresiko dibandingkan dengan remaja yang melaksanakan agamanya dengan baik/ tekun (Samino, 2011).
35
2.1.3.1.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS Tes HIV melalui VCT sebagai salah satu pintu masuk untuk akses layanan pencegahan, pengobatan, perawatan, dukungan (Kemenkes RI, 2013). Pemberian profilaksis ARV dan kortimoksazol pada anak, dan pemeriksaan diagnostik pada anak (Kemenkes RI, 2013).
2.1.3.2 Berdasarkan Tempat Konsep penyebab penyakit dalam epidemiologi yang dapat melihat faktor risiko berdasarkan tempat adalah environtment atau lingkungan. Kejadian penyakit dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya yang disebabkan oleh perbedaan geografi, topografi, dan lingkungan. Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan ikut memegang peranan dalam proses kejadian penyakit (Katiandagho, 2015). Lingkungan terbagi menjadi tiga macam, yaitu lingkungan biologis (meliputi beberapa organisme patogen dan tidak patogen, vektor, binatang, dan tumbuhan), lingkungan fisik (merupakan keadaan sekitar manusia yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung), serta lingkungan sosial. Unsur dari lingkungan sosial meliputi sistem hukum, administrasi, lingkungan, sosial politik, sistem ekonomi yang berlaku, bentuk organisasi
36
masyarakat setempat yang berlaku, sistem pelayanan kesehatan, kebiasaan hidup masyarakat, dan kepadatan penduduk (Masriadi, 2012). Sementara itu, menurut Budiman Chandra, dalam bukunya “Penyakit Menular Pada Manusia”, Riwayat dari penyakit HIV yang paling mempengaruhi dan memegang peran penting dalam penularan virus HIV adalah faktor lingkungan yang lebih di khususkan pada lingkungan sosial, seperti gaya hidup, tempat hiburan malam, dan wisata (Chandra, 2011). Sehingga, terdapat beberapa faktor risiko HIV/AIDS yang menjadi karakteristik berdasarkan tempat. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah keberadaan dan kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat dari tempat tinggal dan alasan lebih memilih untuk melakukan pengobatan bukan di layanan kesehatan terdekat. 2.1.3.2.1
Keberadaan dan Kebermanfaatan Pusat Layanan Kesehatan Terdekat dari Tempat Tinggal Informasi yang diperoleh serta pendidikan kesehatan yang
didapatkan berkaitan dengan keadaan dan kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat yang berada di wilayah tempat tinggal seseorang Informasi dan pendidikan perempuan jauh lebihrendah sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukupmengenai kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDSdan pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka. Tak bisa dilupakan,hal ini juga terjadi karena perempuan disosialisasikan sedemikian rupauntuk
menomorduakan
kebutuhan
kesehatannya
sesudah
anggotakeluarganya. Bahkan ada anggapan bahwa penyakit-penyakit 37
yangberkaitan dengan reproduksi dianggap suatu hal yang memalukan dankotor jika terjadi pada perempuan(Shams, 2008).Faktor jarak daerah tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan juga mempengaruhinya, semakin dekat jaraknya, semakin memudahkan seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan (Katiandagho, 2015).
2.1.3.3 Berdasarkan Waktu Pada penyakit yang menular langsung dari orang ke orang maka jarak antara kasus yang satu ke kasus berikutnya ditentukan dengan waktu generasi (generation time), yakni masa antara masuknya penyakit pada pejamu tertentu sampai ke masa kemampuan maksimal pejamu tersebut untuk dapat menularkan penyakit (Nasry, 2009). Dari tahun ke tahun, angka kejadian HIV/AIDS di kalangan perempuan semakin mengkhawatirkan, Hal ini menempatkan anak pada posisi rentan dengan HIV/ AIDS dari orang tuanya dalam proses persalinan, menyusui, dan melalui media lain seperti transfusi darah. Berdasarkan jenis kelamin kasus baru HIV/AIDS tahun 2008, persentase laki-laki sebesar 74,9% menurun menjadi 73% di tahun 2010, sedangkan persentase perempuan cenderung meningkat yaitu 24,6% tahun 2008 naik menjadi 26,6% tahun 2010 (Departemen Kesehatan RI, 2010). Sementara dari tahun 2012 ke tahun 2013, presentase kasus baru HIV/AIDS pada laki- laki cenderung stabil yakni sebesar 55,3% di tahun 2012 dan 55,1% di tahun 2013. Sedangkan kasus baru HIV/AIDS pada perempuan mengalami 38
peningkatan, yaitu 28,7% kasus baru di tahun 2012 dan 29,7% kasus baru di tahun 2013 (P2PL, 2014).
2.1.4
Faktor yang mempercepat Distribusi Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya distribusi atau penyebaran
HIV pada perempuan dapat ditelusuri melalui dua jenjang penyebab pada setiap tahap kehidupan yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Kedua jenjang penyebab ini melibatkan unit sosial yang berbeda yaitu, individu, keluarga, dan masyarakat: 1. Pada Tingkat Individu Penyebab langsung dari penyebaran adalah terjadinya penularan infeksi virus HIV, kerentanan pada IMS dan tidak adanya ketahanan psikososial, karena hak-hak dan keamanan sosial tidak terjamin (KNPP RI, 2008). 2. Pada Tingkat Keluarga Penyebab tidak langsung meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, sehingga muncul permasalahan gender. Kondisi ekonomi, pembatasan wewenang dalam mengambil
keputusan di
tingkat
keluarga,
tidak
memadainya tingkat kesehatan perempuan dan kurangnya akses terhadap kebutuhan hidup dasar (KNPP RI, 2008). Ketimpangan gender berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual suami, seperti membeli jasa WPS dan memakai
39
narkoba suntik. IRT seringkali tidak berdaya ketika meminta suaminya memakai kondom saat berhubungan seks, sehingga lebih rentan tertular HIV (Anggreani, 2005). 3. Pada Tingkat Masyarakat Penyebab
tidak
langsung
meliputi
faktor-faktor
kemiskinan,
pendidikan yang rendah, rendahnya dukungan kebijakan dan politik, kurangnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, rendahnya keterlibatan masyarakat dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap upaya penyembuhan (KNPP RI, 2008).
Mengingat pola penularan HIV seperti disebutkan di atas, maka ada orangorang yang berpeluang atau berisiko lebih besar untuk tertular HIV, yaitu: Individu yang sering berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, Penjaja seks dan pelanggannya, Pengguna jarum suntik secara bersama (bergantian), Bayi yang dikandung ibu yang terinfeksi HIV, serta orang yang memerlukan transfusi darah secara teratur seperti: penderita thalasemia, haemofilia(bila darah donor tidak dilakukan skrining)(KNPP RI, 2008). Sedangkan menurut James Chin (2000) yang disampaikan oleh I Nyoman Kandun (2012), Penyakit HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui kontak seksual, penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi darah atau komponen-komponennya yang terinfeksi, transplantasi dari organ dan jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-kadang ditemukan di air
40
liur, air mata, urin dan sekret bronkial, penularan sesudah kontak dengan sekret ini belum pernah dilaporan. Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah dibandingkan dengan penyakit menular seksual lainnya, namun adanya penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual terutama penyakit seksual dengan luka seperti chancroid, besar kemungkinan dapat menjadi pencetus penularan HIV. Determinan utama dari penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan prevalensi dari orang orang dengan “Sexual Risk Behavior” seperti melakukan hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks. Tidak ada bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan bahwa gigitan serangga bisa menularkan infeksi HIV, risiko penularan melalui seks oral tidak mudah diteliti, tapi diasumsikan sangat rendah (Kandun Nyoman, 2012).
2.1.5
Etiologi HIV/AIDS AIDS di sebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur , Paris 1983) yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Robert Gallo (National Institute Of Health, USA 1984) menemukan virus THLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang jugaadalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee On Taxonomy Of Viruses (1986) WHO memberikan nama resmi HIV (Nisa, 2007).
41
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae, penyebab Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
adalah
virus
RNA
famili
Retrovirus,subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) dan HIV-2 yang dikenal sebagai LymphadenopathyAssociated Virus type-2 (LAV-2). Secara morfologik
HIV-1
berbentuk
bulat
danterdiri
dari
inti
(core)
dan
selubung(envelope). Inti tersusun dari protein genom RNA dan enzim reverse transcriptaseyang
membuatnya
mampumemperbanyak
diri
secara
khusus,sedangkan selubung terdiri dari suatu glikoprotein (Brooks, 2001). Retrovirus berdiameter 70-130 nm (Longo, 2005). Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun (Kayser et al, 2005). Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran (Lan, 2005).
42
2.1.6
Patogenesis HIV/AIDS Masa klinis bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini, terjadi
banyak replikasi virus. Waktu virus dalam plasma sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus (dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya) rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4+, target utama yang bertanggung jawab pada produksi virus tampaknya mempunyai angka pembalikan yang sama tinggi. Akhirnya, pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma (Brooks G. F., 2005). Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seusia hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lain (Nursalam, 2007).
2.1.7
Cara Penularan HIV/AIDS HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular,
walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Semakin besar jumlah virus yang
43
terdapat dalam tubuh maka semakin besar kemungkinan terinfeksi. Jumlah virus terbanyak terdapat dalam darah, sperma, cairan vagina dan serviks serta cairan dalam otak. Sedangkan di dalam saliva, air mata, urine, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali (Notoatmodjo, 2005). Adapun cara penularan dari HIV/ AIDS dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Hubungan Seksual Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah faktor risiko yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Penularan mudah terjadi apabila terdapat lesi penyalit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genetalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vagina, dan risiko lebih besar pada reseptif daripada insertif (Notoatmodjo S. , 2007). b. Kontak Langsung dengan Darah, Produk Darah, atau Jarum Suntik Transfusi darah atau produk darah yang tercemar mempunyai risiko sampai >90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia. Pemakaian jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan spuitnya pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% total kasus sedunia. Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan mempunyai risiko 0,5%, dan mencakup <0,1% total kasus sedunia (Katiandagho, 2015).
44
c. Melalui Kehamilan, Persalinan, dan Air Susu Ibu (ASI) Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (mother-to-child transmission) berkisar antara 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif (KPAN, 2010 )
2.1.8
Fase–Fase Perkembangan Infeksi HIV Fase–fase perkembangan infeksi HIV pada diri seseorang bisa di klasifikasikan sebagai berikut (Shams, 2008) : 1. Stadium Infeksi Primer Pada stadium infeksi HIV primer biasanya belum ditemukan gejala apapun, tetapi pada 30-60% setelah 6 minggu terinfeksi, penderita dapat mengalami gejala- gejala ringan, seperti influenza, demam, lelah, sakit pad otot dan persendian, sakit pada saat menelan, dan pembengkakkan kelenjar getah bening. Ada juga yang menunjukkan gejala radang selaput otak , sakit kepala, hingga terjadi kejang dan kelumpuhan sarah otak (Shams, 2008). Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut
45
window period. Lama window period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan. Gejala ini biasanya sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus (Nursalam, 2007). 2. Stadium Tanpa Gejala Stadium ini merupakan lanjutan dari infeksi primer yang di mulai sejak terinfeksi atau setelah sembuh dari gejala infeksi primer sampai beberapa bulan/ tahun setelah infeksi. Selama bertahun- tahun juga tidak terlihat gejala apapun, bahkan yang bersangkutan tidak mengetahui dan tidak merasa dirinya tertular HIV karena tetap merasa sehat seperti biasanya, pada stadium ini hanya tes darah yang dapat memastikan bahwa yang bersangkutan telah tertular HIV. Ini yang di sebut sebagai silence periode (Shams, 2008). Tanpa gejala berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain (Nursalam, 2007). 3. Stadium Dengan Gejala (Ringan/ Berat) Setelah melewati masa beberapa tahun tanpa gejala, akan mulai timbul gejala ringan pada kulit, kuku, dan mulut. Beberapa infeksi jamur, sariawan berulang- ulang, dan peradangan sudut mulut atau bercak – bercak kemerahan akan muncul di kulit. Gejala pada mulut berakibat pada penurunan nafsu mkan dan diare ringan. Berat badan
46
pasien juga akan menurun, tetapi tidak mencolok (sekitar 10% dari berat badan sebelumnya) (Shams, 2008). Sering juga ada infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang, tapi penderita masih bisa beraktivitas, seperti biasanya (Yuly, 2011). Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, gejala seperti itu akan semakin berat. Beberapa gejala tersebut bisa timbul secara bersamaan sekaligus. Sering terjadi infeksi paru (pneumonia) bacterial, atau berup TBC (tuberculosis) yang berat. Aktivitas sudah menurun dankarena sakit, pada bulan terakhir, penderita bisa berada di tempat tidur hampir dua belas jam setiap hari. Juga terjadi pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized lymphadenophaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih dari satu bulan (Nursalam, 2007). 4. Stadium AIDS Pada tahap ini, berat badan menurun lebih dari 10% dari berat bedan sebelumnya, ada pneumonia yang berat, taksoplasmosis otak, demam terus-menerus atau berulang lebih dari satu bulan, diare juga terjadi karena berbagai sebab misalnya, jamur kriptosporodiosis, virus sitomegalo (CMV), infeksi virus herpes, jamur kandida pada kerongkongan, jamur saluran napas, atau infeksi jamur lainnya. Disamping itu dapat juga di temukan kanker kelenjar getah bening. Aktivitas sangat berkurang dan dalam bulan terakhir penderita sudah berada di tempat tidur lebih dari dua belas jam sehari, lebih lama dari
47
pada stadium sebelumnya. Stadium ini juga disebut dengan istilah masa baring (Shams, 2008).
2.1.9
Gejala Klinis HIV/ AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yangmenyerang manusia dan menyebabkan terjadinya gangguan system kekebalan
tubuh
sehingga
penderita
mudah
sekali
terkena
penyakitinfeksi,kanker dan lainnya.Kumpulan gejala - gejala penyakitnya dikenal sebagai Acquired ImunoDeficiency Syndromes (AIDS), antara lain seperti berat badan terusmenurun,sering demam,gejala penyakit yang terkait seperti penyakitinfeksi dan kanker, dan pada akhirnya dapat menimbulkankematian (Chandra, 2011). Seorang dewasa dianggap menderita HIV jika menunjukkan HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejal minor. Gejala tersebut bukan disesbkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV atau ditemukan sarcoma kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa berulang (Notoatmodjo., 2007). Gejala mayor dari infeksi HIV, yaitu: a.
Berat badan menurun >1% dalam 1 bulan
b.
Diare kronik yang berlangsung >1 bulan
c.
Penurunan kesadaran atau gangguan neurologi
48
d.
Dimensia/ enselopati HIV
Sedangkan gejala minor dari infeksi HIV, yaitu: a.
Batuk menetap >1 bulan
b.
Dermatitis generalis yang gatal
c.
Herpes zoster berulang
d.
Candidosis orofaring
e.
Herpes simplek kronis progresif
f.
Limpadenopati generalis
g.
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
Reproduksi virus terjadi secara cepatdalam 2-6 minggu sesudah pajanan,menimbulkan gejala klinis menyerupai penyakit mononukleosis akut (acutemononucleosis like illness) sepertidemam, nyeri kepala, lesu, ruam kulit,dan limfadenopati. Masa inkubasiberkisar 17-35 hari dan gejala klinis berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala klinis infeksiprimer
tidak
terlihat
pada
bayimungkin
karena
transmisi
prenatal,perbedaan beban transmisi virus ataufenotip atau karena imaturitas responimun. Selain itu bayi yang lahir dari ibupengidap HIV telah mempunyai antibodi spesifik HIV yang dapat mengurangi gejala klinis. Fase laten asimptomatik pada dewasa dapat bertahun-tahun setelah infeksiprimer. Pada sebagian anak umumnya fase laten lebih singkat atau
49
tanpa fase laten sama sekali dengan kerusakan progresif sel T-CD4 dan jaringan sel FDC kelenjar limfoid (Yuly, 2011).
2.2 HIV dalam Pandangan Islam
HIV/AIDS adalah problem lain yang semakin mengkhawatirkan terhadap kesehatan manusia. Dalam banyak pandangan kaum muslimin, persoalan HIV/ AIDS seringkali dinyatakan sebagai hukuman atau kutukan Allah atas para pendurhaka kepada-Nya, karena tidak mengikuti petunjukpetunjuk Allah. HIV/AIDS seringkali hanya dilihat sebagai akibat dari hubungan seksual yang haram, baik karena tidak melalui perkawinan yang sah maupun karena hubungan homoseksual. Namun faktanya, tidak sedikit pula mereka yang terinfeksi virus HIV ini merupakan orang baik-baik. Bahkan terkadang, beberapa perempuan yang terinfeksi virus ini adalah perempuan baik-baik, ibu-ibu rumah tangga, dan bahkan anak-anak yang tidak berdosa. Dengan kata lain, penularan HIV/AIDS bisa juga terjadi melalui hubungan seks yang halal, yang ditularkan melalui virus yang dibawa oleh pasangannya. Masalah HIV/AIDS lebih tepat disebut sebagai cobaan, ujian yang buruk, atau peringatan Allah kepada manusia. Cobaan buruk ini, Allah peringatkan agar semua orang waspada dan berhati-hati, serta menghindari perbuatan yang dilarang Allah.
50
Dalam Alquran dinyatakan: “Berhati-hati lah dan jaga lah diri kalian dari sebuah “fitnah” (cobaan buruk) yang tidak hanya menimpa mereka yang melakukan kezaliman”. (QS. al-Anfal: 25). Ayat ini merupakan perintah Allah agar menghindari semua perbuatan dan lingkungan sosial yang buruk. Dengan begitu, penyakit HIV/AIDS ini, selain berhubungan dengan masalah medis dan kesehatan fisik, juga merupakan masalah sosial. Manusia selain sebagai mahluk sosial juga merupakan mahluk individu yang secara alamiah mempunyai naluri untuk hidup berpasang- pasangan. Seperti dalam QS. An- Nisa : 1. ”Wahai manusia! Bertakwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak ………” (QS. An- Nisa: 1) Dalam prakteknya, naluri untuk hidup berpasang-pasangan tidak selamanya sesuai dengan tuntunan Allah SWT, oleh karena itu Islam mengaturnya, maka Allah menurunkan hukum perkawinan secara berangsurangsur tapi pasti untuk membangun rumah tangga yang teratur, mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan baik individu maupun masyarakat, serta memelihara moralitas. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan
keturunan.
Dalam
memperoleh
keturunan
Allah
telah
mensyariatkan bahwa hal tersebut harus dalam ikatan suami-istri, sehingga
51
Allah mengharamkan zina. Allah mengharamkan hambaNya untuk zina sebagaimana yang terdapat dalam firmanNya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu pebuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al- Isra: 32) Ayat diatas menerangkan bahwa zina merupakan perbuatan keji dan termasuk jalan yang buruk, karena perzinahan akan menimbulkan dampakdampak negatif, seperti timbulnya penyakit- penyakit menular, khususnya HIV/AIDS. Berdasarkan data P2PL tahun 2014, angka kejadian HIV/AIDS pada perempuan sebelumnya.
cenderung Penyebab
meningkat
dibandingkan
meningkatnya
jumlah
dengan perempuan
tahun-tahun terinfeksi
HIV/AIDS sudah diakui UNAIDS, yaitu karena terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang menyebabkan perempuan tidak bisa memilih dengan siapa dia akan menikah, kapan, dengan siapa, dan bagaiman dia melakukan hubungan seksual. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender menyebabkan adanya hubungan yang tidak seimbang antara suami dan istri, sehingga perempuan tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya menggunakan kondom ketika memaksakan hubungan seksual yang tidak aman. Perempuan juga tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun dia mengetahui suaminya memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya. Padahal di dalam Al-Qur’an, antara laki-laki dan
52
peremuan memiliki kedudukkan yang sama dalam segi kewajiban beribadah, agama, dan sosial. “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al- Ahzab: 35) “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah yang munkar, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah maha perkasa, maha bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang- orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengair dibawahnya sungai- sungai, mereka kekal didalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di syurga „And. Dan keridhaaan Allah lebih besar. ilah kemenangan yang agung.” (QS. AtTaubah: 71-72). Sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi perlakuan yang tidak setara maupun tidak adil pada perempuan. Sebab, dalam Al- Qur’an pun
53
menyebutkan kata laki- lak dan perempuan secara sejajar. Hal ini menggambarkan bahwa dalam seg beribadah kedudukan antara laki- laki dan perempuan adalah sejajar.
2.3 Pengobatan HIV/AIDS
Pengobatan akan lebih maksimal bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum melakukan terapi ARV, sebab pasien akan mempunyai kesempatan lebih panjang untuk mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, malalui konseling pra terap ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis, dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4 (P2PL, 2011). Memulai terapi ARV, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV nya. Hal tersebut untuk menentukan penderita sudah memenuhi syarat untuk terapi ARV atau belum memenuhi syarat. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 maka penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. Namun jika tersedia pemeriksaan CD4 maka terpai ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (P2PL, 2011).
54
Terapi ARV adalah terapi yang memerlukan kepatuhan yang sangat tinggi karena jika terapi yang dijalankan tidak serius maka virus akan menjadi resistensi. Istilah kepatuhan yang digunakan didunia medis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam meminum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya (Nursalam, 2007). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan
dimana
pasien
mematuhi
pengobatannya
atas
dasar
kesadaransendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter (P2PL, 2011). Menurut Dedy Syahputra (2009), Terdapat 3 golongan obat ARV, dari 3 golongan obat ARV yang telah lama digunakan, ketiganya memiliki respon dan efek samping yang berbeda, adapun respon dan efek sampingnya antara lain: 1. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Obat- obatan yang termasuk kedalam golongan ini dihubungkan dengan skin rash yang mungkin ringan atau meningkat menjadi suatu sindrom kulit yang akut dan menyebabkan terjadinya erosi pada membrane mukosa. Golongan ini juga dapat menibulkan peningkatan alaninelasparte aminotrasferase dan kasus hepar parah. Golongan ini paling banyak menyebabkan hepatitis klinis yang akan meningkat dengan cepat
menjadi
kegagalan
hepar
(Sigalingging, 2009).
55
yang
sangat
mengkhawatirkan
2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) Obat yang termasuk kedalam golongan ini dihubungkan dengan degenerasi lemak hepar dan asidosis laktat sehubungan dengan keracunan
mitokondrial
seluler.
Pada
awalnya
asidosis
laktat
kemungkinan muncul dengan gejala gastrointestinal yang tidak spesifik, seperti mual, muntah, rasa sakit, dan peregangan abdomen yang disertai dengan kelemahan secara menyeluruh.hal ini memungkinkan akan meningkatkan terjadinya kegagalan respirasi. Gejalanya termasuk demam, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare atau rasa sakit perut), keletihan atau gejala respirasi (faringitis, batuk, atau dyspnoe) (Sigalingging, 2009). 3. Protase Inhibitor (PI) Pada golongan ini, efek samping spesifik dari kelas protease inhibitor, yang dalam hal ini termasuk tahanan insulin, diabetes melitus, hyperlipidemia,
lipodistrophy,
hepatitis,
kerusakan
tulang
dan
peningkatan perdaparahan pada hemophilia (Sigalingging, 2009). Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis) dapat dicegah dengan pemberian kortimoksasol. Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kortimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (toxoplasma), dan pneumocytis carinii pneumonia (sekarang
56
disebut P.jiroveci, yang disingkat sebagai PCP). Pemberian kortimoksasol untuk mencegah (secara primer maupu sekunder) terjadinya PCP dan toxoplasmosis disebut sebagai pengobatan pencegahan kortimoksasol (PPK). Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder. Primer untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita, sementara sekunder untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya (P2PL, 2011). Hingga sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus didalam tubuh dapat ditekan dengan baik, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat (Siegfried, 2011).
2.4 Dampak Sosial yang di Alami Perempuan dengan HIV Positif
Di Indonesia, permasalahan gender pada perempuan dengan HIV Positif masih menjadi persoalan, diperkirakan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV akan terus meningkat, karena penyebab utamanya adalah penularan dari suami ke istri mereka. Ketimpangan gender itu telah membuat posisi tawar perempuan sangat rendah dalam pengambilan keputusan termasuk aspek kesehatan reproduksinya (Carr, 2008). Dalam banyak kasus, para perempuan yang merupakan ibu rumah tangga tertular dari suaminya yang sudah lebih dahulu terpapar HIV/AIDS
57
karena kerap bergantipasangan atau menggunakan jarum suntik saat mengonsumsi narkoba. Di lain pihak, pria dengan HIV Positif tetap berhubungan dengan pasangannya. Menurut Puhl, (dalam simanjuntak, 2005) dampak sosial dari deskriminasi yang dialami penderita HIV/AIDS terlebih lagi perempuan yaitu (Simanjuntak, 2005): 1. Dijauhi Keluarga Keluarga tidak berhak memberi tahu orang lain, termasuk petugas perawatan kesehatan, tentang status HIV positif keluarganya, kecuali dia memberi persetujuan yang jelas. Keluarga harus sangat berhati-hati dengan pengunjung agar mereka tidak dapat mengetahui secara tidak sengaja, misalnya dengan melihat buku mengenai AIDS atau obat khusus untuk infeksi (Spiritia, 2008). Dampak sosial dari deskriminasi ini biasanya dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga yang sering berinteraksi langsung dalam kehidupan sehari-
hari.
Akibat
adanya
ketakutan
akan
terinfeksi
sehingga
dijauhi(Simanjuntak, 2005). Padahal keluarga memiliki peran penting dalam pendekatan masalah HIV/AIDS, arah dan strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS (Keppres 36/94) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan ketahanan keluarga sejalan dengan UU pokok no 10 tahun 1992 tentang kependudukan dan keluarga sejahtera. Misalnya untuk perawatan penderita, peranan keluarga, baik keluarga batih maupun keluarga jaringan (nuclear and extended family) akan semakin dibutuhkan (Spiritia, 2008).
58
2. Penolakkan Oleh Keluarga, Teman, dan Masyarakat Pada tingkatan ini masyarakat menganggap perempuan yang teinfeksi HIV tidak layak untuk hidup bersama dan akan menimbulkan ketakutan dan pencemaran nama baik keluarga. Sehingga keluarga pun melakukan diskriminasi untuk menyelamatkan nama baik anggota keluarganya, selain itu untuk menghindarkan diri dari virus yang sama, karena adanya ketakutan akan tertular jika berinteraksi langsung (Simanjuntak, 2005). Akibat dari ketakutan- ketakutan yang dialami ODHA, maka terjadilah reaksi penangkalan yang diantaranya berupa menutup diri dan merahasiakan status HIV nya. Reaksi penyangkalan dilakukan dalam bentuk menutupi statusnya
dari
lingkungan
sekitar,
dilakukan
untuk
mengembalikan
keberadaannya di masyarakat (Mumpuni, 2001). Unuk itu dibutuhkan dukungan dari keluarga karena hasil penelitian mengenai pengaruh dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial dalam masyarakat pada ODHA menunjukan bahwa ada pengaruh antara dukungan keluarga terhadap keberfungsian ODHA (Kristian, 2013). 3. Anggapan Tidak Bermoral Orang yang terinfeksi HIV/AIDS sering dianggap tidak bermoral, terlebih lagi perempuan yang tidak bisa menjaga kesehatan reproduksinya. Paradigma masyarakat sudah terbentuk bahwasanya HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh seks bebas, narkoba, dan hubungan seksual
59
lainnya sehingga tidak pantas untuk di toleransi karena perilaku buruknya (Simanjuntak, 2005). Mengidap HIV di Indonesia juga masih dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun keluarga, dan lingkungan di sekeliling penderita (Nursalam, 2007). Kondisi HIV/AIDS terlebih pada perempuan dianggap sebagai penyakit yang memalukan sehingga akan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran, karena hal tersebut perempuan terdiagnosis HIV positif akan menjadi tidak lagi percaya diri dan menganggap bahwa dirinya berbeda dengan orang lain disekitarnya, yang tidak terinfeksi HIV positif. Hal ini akan mempengaruhi kondisi individu (Jackson, 1999). 4. Pelecehan Terhadap Perempuan baik Lisan Maupun Fisik Pada bentuk ini perempuan seringkali mendapatkan cibiran dari masyarakat ataupun orang- orang disekeliling yang mengenalnya, timbulnya cibiran dan bahkan kekerasan fisik saat diketahui perempuan tersebut terinfeksi HIV/AIDS ada di sekeliling mereka. Sehingga timbul perasaan untuk menjauhi atau mencibiri karena dianggap perempuan yang terinfeksi virus tersebut memiliki perilaku buruk. Menurut Dubois (Dubois, 2005) terdapat empat faktor yang menjadi penyebab adanya stigma dan diskrikiminasi terhadap perempuan terinfeksi HIV/AIDS, yaitu:
60
1. Salah informasi tentang HIV/AIDS Salah informasi tentang HIV/AIDS khususnya mengenai cara-cara penularannya, padahal penularan AIDS itu tidak mudah. AIDS tidak melular karena bersalaman atau bersin, yang pasti HIV/AIDS bisa manular meIalui darah, air mata, atau ibu pengidap AIDS kepada anak yang dikandungnya. 2. Pandangan Masyarakat Masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai pembawa malapetaka dan sampah masyarakat. Pandangan sebagian besar masyarakat demikian terkait erat dengan budaya Tirnur yang memandang orang yang tertimpa penyakit menular adalah konsekuensi dari perbuatannya yang amoral. 3. Doktrin atau Ajaran Agama Doktrin atau ajaran agama selama ini masih memandang bahwa penyakit menular yang menimpa suatu kaum adalah kutukan atau hukuman (adzab) dari Tuhan akibat perbuatan suatu kaum yang melakukan dosa, seperti dalam ajaran Islam menggambarkan Bangsa Sodom umat Nabi Luth telah dibinasakan karena perbuatan mereka amoral. Akibat Ianjutannya adalah para ODHA mengalami kondisi kejiwaan yang semakin terpuruk, sehingga tidak jarang ODHA akan melampiaskannya dengan secara sengaja menularkan HIV pada orang lain agar merasakan penderitaan yang dialami.
61
4. Negara belum sepenuhnya rnemberikan perlindungan ODHA Negara belum sepenuhnya rnemberikan perlindungan secara holistik terhadap para ODHA. Hal terbukti bahwa selama ini pemerintah belum mempunyai sebuah undang-undang penanggulangan yang didalamnya membahas perlindungan hak-hak ODHA. Hampir dapat dikatakan bahwa kegagaIan pemerintah mengatasi masalah penyebaran HIV/AIDS selama ini belum menunjukan keberhasilan, walaupun sudah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional melalui Perpres No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
62
2.5
Kerangka Teori Distribusi Menurut Orang (Usia, Jenis Kelamin, Ras, Suku Bangsa, Genetik, Fisiologi, Gejala, Riwayat Penyakit pada diri sendiri dan keluarga, Hubungan Keluarga, Ketanggapan Imunitas, Kebiasaan Hidup, Kehidupan Sosial, Agama, Pekerjaan).
Perempuan dengan HIV/AIDS
Distribusi Menurut Tempat (Geografi, Topografi, Lingkungan, dan Pelayanan Kesehatan).
Distribusi Menurut Waktu (Generation Time, Usia Saat Terinfeksi, dan Lama Sakit yang Sudah diderita).
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : (Masriadi, 2012) dan (Katiandagho, 2015).
63
BAB III KERANGKA PIKIR 3.1 Kerangka Pikir
Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari dua teori. Ketika seorang perempuan sudah mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV positif, peneliti ingin melihat karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan dengan HIV/AIDS. Dari banyaknya karakteristik menurut orang yang berpengaruh terhadap status HIV/AIDS telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, pada penelitian ini, karakteristik HIV/AIDS menurut orang yang peneliti ikutsertakan hanya meliputi tingkat pendidikan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada keluarga, pengetahuan mengenai HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS. Jenis kelamin sengaja tidak diikutsertakan sebab dalam penelitian ini hanya dilakukan penelitian pada jenis kelamin yang homogen, yaitu perempuan. Ras dan suku bangsa tidak peneliti ikut sertakan karena tidak dipilih karena keduanya masih kontroversi karena terdapat perbedaan dalam frekuensi dan beratnya penyakit dalam ras dan suku bangsa, alasan lainnya karena pada umumnya penyakit yang berkaitan dengan hal tersebut berkaitan dengan faktor genetik atau lingkungan. Genetik dan ketanggapan imunitas tidak dapat peneliti ikut sertakan sebab butuh pemeriksaan klinis terkait hal tersebut. Begitu pula dengan kebiasaan hidup yang tidak ikut dipilih karena akan sulit dalam
64
mengingat- ingat mengenai kebiasaan yang dilakukan sebelum terdiagnosis HIV positif. Sementara karakteristik menurut tempat, hal- hal yang diikutsertakan meliputi keberadaan, kebermanfaatan serta alasan pemilihan tempat layanan kesehatan. Geografi dan topografi tidak peneliti ikutsertakan dikarenakan membutuhkan ahli khusus dibidang tersebut. Sementara berdasarkan karakteristik waktu meliputi lama sakit yang telah diderita subjek dan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV. Generation time adalah masa antara masuknya penyakit pada pejamu sampai ke masa pejamu tersebut dapat menularkan penyakit, sehingga hal ini juga tidak peneliti ikutsertakan. Berdasarkan hal tersebut, maka disusun kerangka pikir sebagai berikut: 1. Tingkat Pendidikan 2.
Status Pernikahan
3. Sosial Ekonomi 4. Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga 5. Pengetahuan HIV/AIDS
Orang
6. Agama 7. Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS
Perempuan Tempat
dengan HIV/AIDS Waktu
Keberadaan, Kebermanfaatan, serta Pemilihan Pusat Layanan Kesehatan
1. Lama Sakit 2. Usia saat Pertamakali terdiagnosis HIV
Gambar 3.1 Kerangka Pikir
65
3.2 Definisi Istilah Tabel 3.1 Definisi Istilah No
Istilah
Definisi Karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut
1.
Orang
orang. Terdiri dari usia, tingkat pendidikan, status pernikahan , ekonomi, latar belakang keluarga, pengetahuan HIV/AIDS dan agama. Keadaan pendidikan perempuan dengan HIV positif, baik
1.a
Tingkat
berupa pendidikan formal terakhir, pendidikan non formal
Pendidikan
yang pernah diikuti, hingga keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Keadaan mengenai hubungan perempuan dengan HIV/AIDS dengan pasangannya, yang terdiri dari status pernikahan, jumlah dan lama pernikahan, usia perempuan dengan HIV positif saat menikah, usia pasangannya saat
1.b
Status
menikah, status pasangan sekarang, jumlah anak, usia
Pernikahan
anak, status anak terhadap HIV, reaksi keluarga terhadap status pernikahan baik dari keluarga perempuan maupun dari keluarga pasangannya, hubungan dengan keluarga setelah menikah atau memiliki hubungan dengan pasangan Keadaan sosial ekonomi dari perempuan dengan
1.c
Sosial Ekonomi
HIV/AIDS, baik berupa pekerjaan sebelum dan setelah terdiagnosis HIV, besar penghasilan sebelum dan setelah terdiagnosis HIV, hingga keinginan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik.
66
Riwayat 1.d
HIV/AIDS pada Keluarga
Informasi terkait keadaan keluarga dari perempuan dengan HIV/AIDS. Baik ada atau tidaknya riwayat keluarga yang juga menderita HIV positif maupun jumlah saudara kandung serta kedekatan hubungan antara informan dengan keluarga. Informasi yang dipahami oleh perempuan dengan HIV/AIDS terkait penyakit HIV, yang meliputi: pengetahuan mengenai singkatan HIV, pengetahuan
1.e
Pengetahuan HIV/AIDS
mengenai cara penularan HIV, pengetahuan mengenai cara pencegahan HIV, pengetahuan mengenai cara pengobatan HIV, pengetahuan mengenai perilaku seks berisiko HIV, pengetahuan mengenai perilaku non seks berisiko HIV, serta pengetahuan preventif agar informan tidak menularkannya ke orang lain. Keyakinan yang dianut oleh Perempuan yang terdiagnosis
1.f
Agama
HIV beserta pasangannya, yang meliputi ketaatannya dalam beribadah baik sebelum dan sesudah terinfeksi HIV.
Gejala Awal 1.g
dicurigai Mengalami HIV/AIDS
Keadaan dari anggota keluarga ataupun diri perempuan dengan HIV/AIDS itu sendiri yang menyebabkan terjadinya tes HIV dengan hasil HIV positif
Karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut 2.
Tempat
tempat. Hal ini dilihat dari keberadaan pusat layanan kesehatan.
2.a
Keberadaan,
Informasi mengenai ada atau tidaknya pusat layanan
Kebermanfaa
kesehatan di dekat daerah tempat tinggal perempuan
tan, serta
dengan HIV/AIDS , kebermanfaatan pusat layanan
67
Pemilihan
kesehatan terdekat, dan alasan dari pemilihan tempat
Pusat
berobat.
Layanan Kesehatan Karakteristik perempuan penderita HIV/AIDS menurut 3.
Waktu
waktu. Terdiri dari lama sakit HIV/AIDS yang telah diderita dan usia pertamakali terdiagnosis HIV positif.
3.a
Lama Sakit
Informasi mengenai waktu mulai dari informan tedeteksi HIV positif, hingga saat informan di wawancara.
Usia saat 3.b
pertamakali
Informasi mengenai usia saat terdiagnosis HIV positif
terdiagnosis
pada perempuan terdiagnosis HIV.
HIV
68
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah epidemiologi deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan desain studi kasus, dimana studi kasus merupakan penelitian yang bertujuan mengkaji kasus- kasus tertentu secara mendalam dan menyeluruh, berusaha menyelidiki proses dan memperoleh pengertian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan situasi dalam waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan menjelaskan secara terperinci masalah sosial tertentu dan akan di hasilkan data yang relavan, yaitu berupa data yang dinyatakan secara tertulis dan perilaku yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh dengan mengumpulkan data kepustakaan dan wawancara mendalam, analisis kasus, dan analisis dokumen. Dalam penelitian ini dilakukan analisis deskriptif mengenai distribusi faktor risiko perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur.
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
69
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat, untuk pengambilan data sekunder di lakukan di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur yang beralamatkan di Jl. Matraman Raya No.218, RT 3 RW 6, Jatinegara, Kota Jakarta Timur. Sementara untuk pengambilan data primer dilakukan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur yang beralamat di Jl. RS Polri RT 6 RW 10, Kramat Jati Jakarta Timur, juga di sekretariat LSM Tegak Tegar yang beralamat di Jalan Gudang Seng, kalimalang, Jakarta Timur, serta di tempat tinggal informan utama, daerah Cililitan dan Ciracas. Secara keseluruhan penelitian ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Mulai Oktober 2014- Februari 2015 4 (empat) bulan ini digunakan untuk pencarian subjek, observasi, dan pendekatan. Kemudian 2 (dua) bulan selanjutnya mulai dari Maret- Mei 2015 untuk melakukan wawancara mendalam.
4.3
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber untuk mencari informasi mengenai distribusi faktor risiko perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana informan dipilih secara sengaja berdasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti berdasarkan ciri- ciri
70
atau sifat- sifat informan yang sudah diketahui sebelumnya untuk memperoleh informasi yang lengkap dan mencukupi. Pemilihan informan ini juga disesuaikan dengan prinsip penelitian kualitatif yaitu kesesuaian (Apropriateness) dan kecukupan (Adequacy). Kesesuaian dalam penelitian ini adalah informan dipilih berdasarkan status HIV positif yang dimilikinya serta informan merupakan perempuan dengan HIV positif yang melakukan pengobatan di Puskesmas Jati Kramat Jakarta Timur. Sementara prinsip kecukupan adalah informasi yang di dapat harus bervariasi dan memenuhi kriteria atau kategori yang berkaitan dengan penelitian. Informan utama penelitian ini adalah perempuanperempuan dengan HIV positif yang melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Ada beberapa hal yang harus terpenuhi oleh informan agar informasi yang didapat bervariasi. Adapun hal tersebut antara lain: a. Kriteria Inklusi 1) ODHA berjenis kelamin perempuan yang melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. 2) Berusia 19-49 tahun (usia produktif). 3) Bersedia menjadi narasumber selama proses penelitian dan menyepakati informed consent.
71
4) Mampu berkomunikasi verbal menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. b. Kriteria Eksklusi 1) ODHA tertular HIV karena pernah menjadi pekerja seks komersial (PSK). 2) ODHA tertular HIV akibat menggunakan narkoba suntik. 3) Tidak bersedia, menghilang, atau membatalkan menjadi narasumber selama proses penelitian Tabel 4.1 Informan Penelitian Nama Informan (disamarkan)
Usia (tahun) 30
Jenis Pekerjaan
RH
Kode Informan Informan 1
PN
Informan 2
37
IRT
SK
Informan 3
38
IRT, Wirausaha
HI
Informan 4
38
IRT, Wirausaha, Aktivis HIV
UM
Informan 5
39
IRT, Aktivis Gereja dan HIV
72
IRT, Wirausaha
4.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
4.4.1 Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti juga memiliki kedudukan khusus, yaitu sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis, penafsir data, serta pelapor hasil penelitiannya (Moleong, 2010). Kedudukan peneliti itu menjadikan peneliti sebagai key instrument atau instrument kunci yang mengumpulkan data berdasarkan criteria- criteria yang di pahami (Sugiyono, 2009). Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar permohonan dan persetujuan menjadi responden selama penelitian berlangsung, panduan untuk wawancara, dan lembar observasi. 4.4.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi, wawancara mendalam (indepth interview), telaah dokumen, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain:
73
4.4.2.1 Wawancara/Interview Wawancara/interview merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab. Dalam penelitian ini menggunakan jenis wawancara mendalam (indepth interview), dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2008). Wawancara mendalam ini dilakukan dengan penggalian secara medalam terhadap satu topik dengan pertanyaan terbuka menurut perspektif informan. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu berupa pertanyaanpertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara mendalam, buku catatan, dan voice recorder untuk merekam wawancara. Selain menggunakan alat perekam, selama wawancara, peneliti juga membuat catatan yang bertujuan untuk menuliskan keadaan yang atau situasi saat berlangsungnya wawancara dan semua respon yang diperlihatkan oleh parisipan berupa respon non verbal. Namun dalam pelaksanaaannya, wawancara tersebut dilakukan dengan cara berbincang- bincang sehingga tidak terkesan kaku dan tidak menimbulkan keengganan informan untuk menjawab pertanyaan yang di ajukan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu peneliti agar dapat merencanakan pertanyaan baru berikutnya serta membantu untuk mencari pokok- pokok penting dalam wawancara, sehingga hal ini dapat mempermudah analisis.
74
Peneliti memberikan kebebasan yang seluas- luasnya pada partisipan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, peneliti juga berusaha mendorong partisipan agar mengungkapkan hal yang di tanyakan dengan sejujur- jujurnya. Prosedur ini berlaku pada semua informan. Melalui wawancara ini diharapkan terdapat informasi dan ide dari partisipan yang dapat digunakan peneliti untuk membangun makna dalam setiap topik. 4.4.2.3 Telaah Dokumen Dokumen yang diamati dalam penelitian ini berupa catatan peneliti saat mewawancara informan, transkrip wawancara, matriks, dan buku bacaan yang menjadi referensi peneliti. Dengan menggunakan teknik ini peneliti dapat lebih mudah dalam mendapatkan data- data serta mengelompokan data- data terkait karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur tahun 2015.
4.5
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dari tahap pra penelitian, pelaksanaan penelitian, dan paska penelitian. Berikut rinciannya : 4.5.1. Tahap Pra Penelitian Adapun yang dipersiapkan pada tahap ini antara lain adalah :
75
a. Mencari topik atau memilih tema yang diminati b. Melakukan studi literatur c. Membuat proposal penelitian d. Membuat kriteria subjek yang diingankan e. Meminta izin penelitian untuk mendapatkan persetujuan dari pihak Puskesmas Kramat Jati f. Menyiapkan instrument penelitian g. Berkoordinasi dengan pihak LSM Tegak Tegar yang ditemui di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur h. Menentukan informan penelitian i. Melakukan pendekatan terhadap informan penelitian 4.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada tahap pelaksanaan penelitian, persiapannya antara lain yaitu: a. Bertemu dan berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur b. Bertemu dan berkoordinasi dengan pihak infoman c. Melakukan wawancara dan observasi dengan informan penelitian.
76
4.5.3. Tahap Paska Penelitian Data yang telah dikumpulkan melalui wawancara serta telaah dokumen dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan metode content analysis (deskripsi isi). Content analysis terdiri dari coding dan pengelompokkan
data
kedalam
matriks.
Hal
ini
untuk
mengidentifikasi transkrip data sekaligus untuk memilah milah pesan penting yang tersembunyi di setiap wawancara.
4.6
Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini uji validitas data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas). 4.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal) Uji kredibilitas data hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan: 1. Perpanjangan Pengamatan Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan informan, baik informan utamaa maupun informan pendukung yang pernah ditemui maupun yang baru. Lama perpanjangan pengamatan
dilakukan
tergantung
pada
kedalaman,
keleluasaan, dan kepastian data yang peneliti telah dapatkan.
77
2. Peningkatan Ketekunan Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan kepada informan, catatan peneliti, serta rekaman yang telah di peroleh secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara sistematis. 3. Triangulasi Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara/ metode, dan berbagai waktu. Triangulasi meliputi triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data. Dalam penelitian ini triangulasi yang digunakan hanya triangulasi sumber, metode, dan data. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara cross-check data dengan fakta dari sumber lainnya dan menggunakan kelompok informan yang berbeda. Triangulasi ini dilakukan dengan mencari orang- orang yang terlibat secara langsung dengan informan utama serta melakukan wawancara mendalam, seperti pemegang program HIV di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur dan pendamping informan dari LSM Tegak Tegar. Triangulasi metode dalam dalam penelitian ini, Selain menggunakan
metode
wawancara
mendalam
(indepth-
interview) dan telaah dokumen melalui rekam medis.
78
Sedangkan triangulasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meminta umpan balik dari informan yang berguna untuk alasan etik serta perbaikaan kualitas laporan, data, dan kesimpulan yang ditarik dari data tersebut. Untuk triangulasi data, peneliti mengecek kembali jawaban yang diberikan informan dengan cara menanyakan kembali maksud dari jawaban informan untuk memastian kebenaran. 4.6.2. Transferability (Validitas Eksternal) Peneliti membuat laporannya dengan memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, sehingga pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian. 4.6.3. Dependability (Reliabilitas) Uji dependability, dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Jika peneliti tak mempunyai dan tak menunjukkan
“jejak
aktivitas
lapangannya”,
maka
depenability
penelitiannya patut diragukan. 4.6.4. Confirmability (Obyektivitas) Dalam penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada, tetapi hasilnya ada.
79
4.7
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: 1. Melakukan pemeriksaan keabsahan data 2. Menelaah semua data yang tersedia dari berbagai sumber informan 3. Membuat tanskip rekaman hasil wawancara mendalam segera setelah selesai mewawancarai 4. Melakukan reduksi data dengan cara membuat rangkuman inti dan menjaga agar pernyataan yang perlu, tetap ada di dalamnya 5. Kategorisasi pada data yang mempunyai karakteristik yang sama 6. Menyajikan ringkasan data dalam bentuk matriks.
4.8
Analisis Data
Pada penelitian ini data yang dikumpulkan dari hasil wawancara dan catatan lapangan dilakukan analisis dengan menggunakan content analysis. Content analysis terdiri dari coding dan pengelompokan data. Hal ini untuk mengidentifikasi transkrip data dan untuk memilah-milah pesan penting yang tersembunyi di setiap wawancara. Proses content analysis terus meninjau kembali data dan meninjau kategorisasi data sampai peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang digunakan untuk menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi jujur dan akurat dari data. Setelah menentukan tema 80
yang muncul dari hasil wawancara dengan informan, peneliti kemudian melakukan validasi data kepada informan untuk meminta klarifikasinya bila hal ini memungkinkan. Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data. Proses analisis data meliputi: 4.8.1. Analisis Sebelum di Lapangan Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian yang masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. 4.8.2. Analisis Data di Lapangan Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas dalam analisis data, yaitu: 4.8.2.1. Data Reduction (Reduksi Data) Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan
81
semakin banyak, kompleks, dan rumit. Oleh sebab itu dilakukan analisis data melalui reduksi data (merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya). Data yang akan direduksi adalah data- data yang diperoleh dari hasil wawancara, data yang diperoleh kemudian dipilih dan diklasifikasikan, untuk merekomendasikan perlu atau tidaknya data tambahan. 4.8.2.2. Data Display Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah men-display-kan data. Dengan men-display-kan data, akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami. Dalam men-display-kan data selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart. 4.8.2.3. Conclusion Drawing/Verification Langkah ke tiga dalam analisis data adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang 82
kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
4.9
Penyajian Data
Dalam penelitian ini, peneliti menyusun laporan ke dalam bagian pengumpulan data kualitatif dan analisis data kualitatif. Selanjutnya, dalam bagian kesimpulan dan interpretasi, peneliti memberikan komentar tentang bagaimana hasil-hasil kualitatif membantu menggambarkan Distribusi Faktor Risiko perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi dengan menggunakan matriks hasil wawancara dengan informan yang telah dilakukan.
83
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Proses Penelitian di Lapangan A. Proses Penelitian Di Lapangan Beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti hingga dapat bertemu dan menjadikan perempuan penderita HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati sebagai subjek penelitian adalah pertama- tama peneliti melakukan observasi di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur terlebih dahulu. Peneliti mengikuti alur administrasi dengan sebagaimana mestinya, dimulai dari membuat surat di akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian surat yang telah disetujui oleh Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta peneliti sampaikan ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, untuk di setujui melakukan penelitian di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Setelah mendapatkan surat balasan berupa surat persetujuan penelitian dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, peneliti mengantarkan ke bagian administrasi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur hingga mendapatkan persetujuan dari kepala Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, barulah setelah itu peneliti dapat melakukan pendekatan dengan pemegang program HIV & IMS. Kondisi poli HIV & IMS Puskesmas Karamat Jati, saat jam pelayanan, cukup padat dengan pasien. Ibu- ibu dengan kondisi hamil dan menggendong balita terlihat lebih mendominasi ruang tunggu di poli HIV & IMS. Ketika
84
peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan pemegang program HIV dan IMS, peneliti sangat kesulitan dalam mendapatkan subjek penelitian, bahkan data jumlah kasus HIV positif pada perempuan yang ada di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur pun tidak bisa peneliti dapatkan dari pemegang program HIV & IMS di Puskesmas tersebut. Perihal ini terjadi karena selain memang pemegang program tengah disibukkan dengan banyaknya jumlah pasien, ini juga disebabkan karena penanggung jawab HIV & IMS Puskesmas Kramat Jati saat itu mengakui bahwa beliau belum sempat merapihkan data- data HIV di Puskesmas. Pada saat itu beliau juga agak sulit ditemui karena pekerjaan yang mengharuskan beliau untuk bolak- balik pergi keluar kota. Beliau juga menyampaikan bahwa bersamaan dengan itu, anak beliau sedang sakit dan beliau juga harus mengurus anaknya, yang saat itu tengah dirawat di salah satu Rumah Sakit di daerah Bandung. Sehingga pada akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan pengambilan data sekunder di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Peneliti membutuhkan waktu yang cukup lama dalam melakukan pencarian dan mendapatkan subjek penelitian yang sesuai dengan karakteristik inklusi penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti sulit dalam mendapatkan informasi pribadi dari subjek penelitian yang meliputi nama, nomer telpon, dan alamat subjek penelitian dari pihak Puskesmas Kramat Jati. Hingga akhirnya peneliti
berhasil
menghubungi
salah
satu
ODHA
perempuan
yang
direkomendasikan oleh dosen pembimbing skripsi. Namun sayangnya ODHA perempuan tersebut tidak melakukan pengobatan di Puskesmas Kramat Jati
85
Jakarta Timur, beliau menyarankan saya untuk menghubungi salah satu pendamping ODHA dari LSM Tegak Tegar yang ternyata juga bertugas untuk menjadi pendamping beberapa ODHA yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Beliaulah yang pada akhirnya telah banyak membantu menghubungkan, mempertemukan, hingga mendampingi peneliti selama proses pendekatan dan wawancara dengan subjek penelitian. Cara beliau dalam menghubungan peneliti dengan subjek adalah dengan menghubungi via telepon dan menawarkan suatu pekerjaan kepada subjek yang merupakan ODHA perempuan yang berobat di Puskesmas Kramat Jati dan mendapatkan pendampingan dari LSM Tegak Tegar. Saat subjek bertemu dengan peneliti, peneliti membuka identitas yang sebenarnya yaitu bahwa peneliti adalah mahasiswi yang sedang melakukan penelitian untuk syarat kelulusan Strata-1 di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta. Dari 6 (enam) orang yang dihubungi oleh petugas pendamping untuk di pertemukan dengan peneliti, 1 (satu) orang diantaranya tidak bersedia untuk di wawancara oleh peneliti. Peneliti tidak mengganti 1 (satu) orang tersebut, karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti, maka penelitian dihentikan hanya pada 5 (lima) subjek penelitian saja, dan kelima subjek tetap mau diwawancarai setelah peneliti membuka identitas. Hanya saja mereka meminta agar nama dan identitas mereka tidak dipublikasikan kepada masyarakat umum. Setelah mengenal dan dikenal oleh subjek penelitian, peneliti melakukan wawancara dengan mereka. wawancara dilakukan dengan beberapa kali
86
pertemuan dengan subjek. Tempat wawancara sebagian subjek dilakukan di dalam sebuah kamar tidur di sekretariat LSM Tegak Tegar dan sebagian subjek penelitian lainnya di wawancara di dalam salah satu ruangan di rumah subjek. Pertimbangan tempat yang dipilih tersebut adalah tempat yang paling nyaman bagi subjek penelitian. Wawancara dilakukan setelah makan siang, sekitar pukul 14.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB disesuaikan dengan waktu luang yang dimiliki oleh subjek. Waktu yang dibutuhkan peneliti dalam satu kali pertemuan wawancar, minimal satu jam hingga dua jam. Peneliti juga memberikan fee kepada subjek agar subjek tidak merasa kecewa, karena pada saat dihubungi oleh pendamping ODHAnya, hal yang pertamakali ditawarkan adalah sebuah pekerjaan. Secara Keseluruhan, pelaksanaan penelitian ini membutuhkan waktu selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Diperlukan waktu selama 4 (empat) bulan, dari Oktober 2014- Februari 2015 untuk pencarian subjek, observasi, dan pendekatan. Kemudian 2 (dua) bulan selanjutnya, mulai Maret- Mei 2015 adalah waktu untuk melakukan wawancara mendalam dan triangulasi.
B. Hambatan Di Lapangan 1. Peneliti kesulitan dalam mendapatkan data sekunder mengenai data jumlah kasus dan identitas ODHA perempuan yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Cara Mengatasi :
87
Peneliti akhirnya meminta data jumlah kasus HIV/AIDS di Puskesmas Kramat Jati melalui data jumlah kasus HIV/AIDS di seluruh Jakarta Timur yang dimiliki oleh Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Sementara subjek penelitian peneliti dapatkan dari petugas pendamping HIV/AIDS LSM Tegak Tegar. 2. Peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pendekatan hingga menciptakan rasa aman, nyaman, dan menjaga kepercayaan subjek yang mau memberikan informasi. Cara Mengatasi : Setelah mengenal dan dikenal oleh subjek, peneliti sangat berusaha untuk menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan menjaga kepercayaan subjek dengan berusaha menciptakan suasana kekeluargaan, santai, dan akrab, seperti berbincang bersama dengan isu diluar pembahasan status HIV/AIDSnya, menonton televisi bersama, berbelanja untuk keperluan kegiatan LSM bersama, mengikuti kegiatan di LSM, memasak bersama, hingga makan bersama dalam satu piring dengan mereka. Sehingga subjek tidak lagi merasa malu dan canggung saat menceritakan pengalaman hidupnya kepada peneliti.
88
5.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS Gambaran
karakteristik
perempuan
penderita
HIV/AIDS
berdasarkan
distribusi menurut orang sebagai informan dalam penelitian ini meliputi: tingkat pendidikan, status pernikahan, sosial ekonomi, riwayat HIV/AIDS pada keluarga, pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicuriga mengalami HIV/AIDS. 5.2.1 Tingkat Pendidikan Perempuan Terdiagnosis HIV Positif Tingkat pendidikan dalam penelitian ini membahas mengenai pendidikan formal dan non formal dari perempuan terdagnosis HIV positif, serta keinginan mereka untuk melanjutkan kembali pendidikannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal. 5.2.1.1 Pendidikan Formal Terakhir Sebagian besar informan dalam penelitian ini memiliki pendidikan menengah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, pendidikan formal yang dilalui oleh para informan pada penelitian ini yang paling tinggi hanya mencapai bangku sekolah menengah atas (SMA) atau sederajatnya seperti sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah ekonomi akuntansi (SMEA).Namun ada satu dari lima informan yang memiiki pendidikan terakhir hanya sampai di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Informasi ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut : “Pendidikan terakhir saya SMP, itu juga ijazahnya ilang waktu kebanjiran, jadi saya udah gak punya ijazah apaapa lagi yang bisa di pake buat nyari atau buat ngelamar kerjaan.” (Informan 1)
89
Informan mengakui bahwa selain hanya sekolah hingga bangku SMP, ia juga sekarang ini tidak memiliki ijazah dari pendidikan terakhirnya tersebut, hal ini disebabkan karena bencana alam berupa banjir yang pernah terjadi di daerah tempat tinggalnya. Seluruh berkas-berkas penting yang ia dan keluarganya miliki habis terendam genangan banjir, termasuk ijazahnya. Sehingga dari kondisi tersebut menyebabkan informan tidak bisa menggunakan ijazahnya kembali dalam mendukung pekerjaan sehariharinya, dan jelas hal ini telah terasa semakin mempersulit dan membatasi informan dalam hal mendapatkan pekerjaan. Agar lebih memudahkan dalam melihat pendidikan formal terakhir dari perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, sebagai informan dalam penelitian ini, maka peneliti menyajikan data dalam bentuk tabel, seperti berikut ini: Tabel 5.1 Pendidikan Formal Terakhir dari Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur No
Nama Informan (disamarkan)
Kode Informan
Pendidikan Formal Terakhir
1
RH
Informan 1
SMP
2
PN
Informan 2
SMA
3
SK
Informan 3
SMK
4
HI
Informan 4
SMA
5
UM
Informan 5
SMEA
90
5.2.1.2 Pendidikan Non Formal
Sebagian informan pernah menempuh pendidikan non formal, dengan waktu belajar antara 3 bulan hingga 1 tahun. Ini berarti sebagian besar informan sudah memiliki keterampilan lebih dari hasil pendidikan non formal yang telah mereka tempuh. Pendidikan non fomal adalah jalur pendidikan di luar dari pendidikan formal. Jalur ini dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah melalui proses penyetaraan oleh lembaga yang di tunjuk pemerintah. Informasi yang peneliti peroleh dari hasil wawancara mendalam dengan kelima informan menyatakan bahwa dua dari lima informan mengakui bahwa selama ini tidak pernah mengikuti pendidikan non formal, seperti dalam hasil wawancara berikut ini: “Gak pernah ikutan kursus- kursus mbak.” (Informan 5) Sementara itu tiga informan lainnya, mengakui bahwa pernah mengikuti pendidikan non formal, pendidikan non formal yang mereka tempuh beragam jenisnya dengan lama pendidikan yang bervariasi pula, ada yang pernah menjalani pendidikan non formal dengan kursus membuat kue, hal ini merupakan salah satu fasilitas yang ia didapatkan selama satu tahun, pelatihan ini dilakukan bersamaan dengan pelatihan di toko kue tempatnya bekerja. Adapula informan yang pernah mengikuti pendidikan non formal berupa kursus membuat pola dan menjahit, namun ia mengakui bahwa ia belum tuntas dalam mengikuti pendidikan non formal tersebut, sehingga ia
91
merasa bahwa dirinya masih belum terlalu mahir dalam hal tersebut. Ia juga meungkapkan bahwa penyebab ia tidak melanjutkan pendidikan tersebut dikarenakan tidak adanya dana untuk melanjutkan pendidikan non formal tersebut. Adapula pula informan yang pernah beberapa kali menjalani pendidikan non formal yang beragam, yang terdiri dari kursus rias pengantin, kursus salon, kursus bahasa inggris, dan kursus montir. Kursus salon dan pengantin ia jalankan dengan tanpa biaya, karena pendidikan non formal ini di fasilitasi oleh pemerintah. Berbeda dengan pendidikan non formal berupa bahasa asing yang ia sempat jalani, pendidikan tersebut memakan
biaya
cukup
banyak
hingga
ia
tidak
sanggup
untuk
melanjutkannya. Sementara kursus montir ia dapatkan saat ia hendak melamar pekerjaan di bengkel, namun saat ditengah perjalanan pendidikan montir, ia pun berhenti dan tidak jadi melamar pekerjaan di bengkel. Hal ini dibuktikan dalam hasil wawancara pada informan berikut ini: “…. Kursus rias penganten, terus kusrsus salon juga pernah ikut, kursus salon kan gratis dari pemerintah waktu itu, terus waktu itu pengen banget kursus bahasa inggris, akhirnya sempet kursus bahasa inggris di IEC tapi yaa itu putus di tengah jalan yaa karena ekonomi biayanya besar…”. “…. Terus juga pernah tadinya kan mau kerja di bengkel terus kursus montir….” (Informan 4) Untuk memudahkan dalam mengetahui pendidikan non formal pada setiap informan, beserta lama pendidikan non formal yang pernah ditempuh, berikut tabel mengenai hal tersebut:
92
Tabel 5.2 Pendidikan Non Formal yang Pernah diikuti oleh Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur No
Kode Informan
1
Informan 1
Kursus Membuat Kue
1 Tahun
2
Informan 2
Kursus Membuat Pola
1 tahun
3
Informan 3
4
5
Informan 4
Jenis Sekolah Non Formal
-
Lama Belajar
-
Kursus Salon dan Rias Pegantin
1 tahun
Kursus Bahasa Inggris
3 bulan
Kursus Montir
6 bulan
Informan 5
-
-
5.2.1.3 Keinginan untuk Melanjutkan Pendidikan Semua informan dalam penelitian ini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Sebagian informan memiliki hambatan biaya, adapula yang memiliki hambatan karena infeksi oportunistik yang diderita, dan hambatan usia yang tidak lagi muda. Besar keinginan untuk melanjutkan pendidikan terkadang tidak berbanding lurus dengan kesempatan yang ada. Sama halnya dengan informan penelitian ini dalam memaparkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa informan: “Pengen, makanya saya pernah sempet ikutan kursus pola. Tapi uangnya gak ada buat nerusisnnya lagi.” (Informan 2)
93
“Kalo di Tanya pengen sekolah lagi, yaa pengen mbak, lulusan SMA doang mah bisa kerja apa sih, lowongan kerja buat lulusan SMA juga sekarang udah susah. Tapi karna faktor U nih saya udah males deh sama yang namanya sekolah lagi.”(Informan 5)
Sebagian informan memiliki keinginan besar untuk melanjutkan pendidikan yang sebelumnya pernah diikutinya, karena menyadari akan pentingnya pendidikan dan persaingan dunia kerja. Namun hal tersebut terhambat dengan keadaan ekonomi juga usia yang tidak lagi muda, mereka juga menyadari bahwa pendidikan itu sangat dibutuhkan, terutama ketika mencari pekerjaan, sebab persaingan dunia kerja semakin ketat untuk itu perlu pendidikan yang lebih tinggi atau pun keahlian khusus yang dimiliki. Adapula salah satu informan yang memiliki keinginan untuk melanjutkan
kuliah,
akan
tetapi
terhambat
dengan
infeksi
oportunistikakibat HIV/AIDS yang dideritanya. Informan tersebut mengaku bahwa dirinya terinfeksi virus tokso yang menyerang otaknya setelah ia terdiagnosis HIV positif. Hal tersebut yang telah membuatnya tidak lagi percaya diri dan tidak yakin dengan kemampuan dirinya sendiri untuk melanjutkan pendidikan. Informasi ini dibuktikan dalam wawancara berikut ini: “Pengen sih sekolah lagi, tapi otak aku sekarang udah lemot, kan aku pernah kena virus tokso, ini setelah aku kena HIV, aku malah ketularan virus tokso di otakku.” (Informan 3)
94
Dari informasi- informasi diatas, dapat disimpukan bahwa perempuan dengan HIV positif yang menjadi informan pada penelitian ini, kelimanya memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, namun masing – masing memiliki hambatan yang beragam dalam merealisasikan kenginan mereka yang besar dalam dunia pendidikan. 5.2.2 Status Pernikahan Perempuan dengan HIV/AIDS Berdasarkan wawancara dengan informan, status pernikahan perempuan dengan HIV/AIDS menggambarkan keadaan mengenai hubungan perempuan dengan HIV/AIDS dengan pasangannya, yang terdiri dari status pernikahan, jumlah dan lama pernikahan, usia perempuan dengan HIV positif saat menikah, usia pasangannya saat menikah, status pasangan sekarang, serta jumlah, usia, dan status anak terhadap HIV. 5.2.2.1 Status Pernikahan Sebagian informan telah menjadi janda karena suami yang meninggal akibat terinfeksi HIV/AIDS. Terdapat dua orang informan yang telah menjadi janda atau sudah berstatus tidak menikah lagi.Ada juga informan yang hingga sekarang masih berstatus menikah dengan suami pertama. Hasil dari wawancara mengenai status pernikahan, diketahui sebanyak dua informan masih memiliki suami, mereka masih dalam status menikah dari pernikahan pertamanya.Sementara itu, ada satu informan yang belum resmi bercerai secara hukum, dari suami kedua dan ketiga, sebab saat menikah juga tidak menikah secara hukum, namun menikah dengan cara siri. Sebelum menikah dengan suami kedua dan suami ketiga, salah satu informan ini menikah secara resmi 95
dengan suami pertamanya, namun saat itu suami pertama meninggal dunia, sehingga saat itu telah resmi cerai dengan suami pertama. Informasi ini dibuktikan dalam hasil wawancara seperti berikut ini: “Belum cerai secara resmi dengan suami terakhir, cuma omongan talak dari suami, trus juga suami saya yang terakhir itu.. kita pas nikahnya, nikah siri. ” (Informan 4)
Sehingga dapat disimpulkan, dari hasil wawancara mendalam di atas, dapat diketahui bahwa tiga dari lima informan telah memiliki status janda, dengan satu informan belum resmi bercerai secara hukum negara. Jumlah ini lebih banyak daripada informan yang berstatus masih menikah, yaitu hanya dua orang. Berdasar gambaran tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa perempuan yang menderita HIV positif memiliki risiko lebih besar untuk berstatus tidak menikah atau menjadi janda akibat suami meninggal dunia, ataupun karena ketidakcocokkan satu dengan yang lainnya. 5.2.2.2 Frekuensi dan Lama Pernikahan Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar informan menikah dengan 1 kali pernikahan. Hal ini terjadi karena ada beberapa informan yang masih memiliki suami dan ada pula informan yang walaupun sudah tidak memiliki suami lagi, namun masih belum menikah kembali setelah pernikahan pertamanya. Hasil penelitian juga mendapati bahwa sebagian dari informan memiliki usia pernikahan dibawah 5 tahun. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada informan yang hanya sekali menikah, namun juga terjadi pada informan yang menikah lebih dari satu kali pernikahan. Informan tersebut
96
menikah sebanyak 3 kali, dengan suami kedua dan ketiga bukan merupakan ODHA (Pasangan ini dikenal dengan sebutan pasangan serodiskordan). Informan memaparkan bahwa pernikahan terlamanya hanya dengan suami pertama, yaitu selama tujuh tahun pernikahan, dan akhir dari pernikahan pertamanya tersebut dikarenakan suaminya meninggal dunia akibat HIV/AIDS. Sementara pada pernikahan kedua, lama pernikahan terjadi selama empat tahun, dan bercerai bukan akibat status HIV yang diinfeksi oleh informan atau bukan pula karena HIV tertular pada suaminya. informan menyatakan bahwa suami keduanya sudah mengetahui status informan sebagai penderita HIV positif, semenjak sebelum mereka menikah. Walaupun status suaminya bukanlah penderita HIV, namun suaminya tetap mau menerima kondisi yang diderita oleh informan dan tetap menyetujui pernikahan mereka saat itu terjadi. Suami kedua informan ini tidak tertular HIV/AIDS. Perceraian dengan suami keduanya ini terjadi karena antara mereka berdua sudah merasa saling tidak cocok lagi antara satu dengan yang lainnya. Ketidak cocokkan ini dikarenakan tekanan dari keluarga suami informan agar informan dan suaminya segera memiliki keturunan. Keluarga dari suami informan tidak pernah mengetahui status HIV/AIDS yang diderita oleh informan. Informan juga menyatakan bahwa ia dan suaminya sempat mengangkat seorang anak yatim piatu yang juga menderita HIV/AIDS dari LSM Tegak Tegar, akan tetapi hal tersebut tidak bertahan lama karena anak yang mereka angkat kondisinya sakit dan membutuhkan biaya pengobatan yang cukup mahal, sementara informan dan suami merasa tidak kuat dalam menanggung biaya 97
pengobatan anak tersebut, hingga akhirnya mereka mengembalikan anak tersebut pada LSM Tegak Tegar. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut: “Akhirnya kita adopsi anak yatim piatu 1 orang dari Yayasan Tegak Tegar, waktu itu kita nemuin anak ini di RS Cipto, anak itu penderita HIV, dan ternyata punya penyakit hernia, karena biaya berobatnya mahal, kitanya gak ada biaya dan daripada terlantar juga kan anaknya? akhirnya kita kembalikan ke yayasan Tegak tegar.”(Informan 4)
Sulitnya informan dan suami dalam mendapatkan keturunan menjadi alasan retaknya hubungan rumah tangga tersebut dan berakhir dengan perceraian. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut ini: “Pernikahan yang mana? Saya 3 kali menikah. Hehe Suami pertama 7 tahun, suami ke-2 kita Cuma betahan 4 tahun dan saya tinggalin dia tanpa bawa barang apa- apa karna saya ngerasa udah sangat gak cocok, suami ke-3 Cuma beberapa bulan aja trus langsung saya tinggalin, karena ternyata dia udah punya istri dan saat itu lagi hamil tua, saya pun saat itu ternyata lagi hamil juga.”(Informan 4)
Ada informan yang mengungkapkan bahwa ia menikah tanpa menjalin hubungan pacaran terlebih dahulu, ia dikenalkan oleh saudaraya, tak menunggu banyak waktu, ketika sama- sama sudah yakin untuk menikah, mereka pun menikah. Artinya proses perkenalan mereka tidak berjalan dengan waktu yang lama. Berikut ini pemaparannya dalam hasil wawancara mendalam:
98
“Tahun 2011 saya nikah, berarti udah mau 4 tahun pernikahannya. Saya sama suami gak pake pacar- pacaran mbak, saya baru kenal, di kenalin sodara, trus dia serius mau nikahin saya, yaudah deh kita nikah.” (Informan 2)
Adapula informan yang walaupun sudah melalui proses perkenalan yang panjang melalui hubungan pacaran, tetap tidak menjamin bahwa dirinya akan terbebas dari infeksi HIV, justru akibat informan terlalu lama berpacaran, hal ini menyebabkan informan dan pasangannya menjadi terlampaui batas yang seharusnya tidak dibenarkan, sehingga mengalami hamil diluar nikah. Berikut bukti dari hasil wawancara mendalam dengan informan tersebut: “Aku nikah dari 2002- 2006, sekitar 4 tahun. bercerainya karena suami aku meninggal dunia. Tapi aku yah yang namanya pacarannya memang terlampau bebas, sebelum menikah itu aku udah sering ngelakuin seks, jadi pas nikah posisinya aku sudah hamil di luar nikah.” (Informan 3)
Sehingga mengenai banyak pernikahan informan, sebagian besar informan mengakui hanya melakukan satu kali pernikahan saja, walaupun tetap ada informan yang mengaku pernah tiga kali melakukan pernikahan, namun pernikahan kedua dan ketiganya tidak ia tutupi dari pasangannya. Sementara mengenai lama pernikahan informan, usia dari setiap pernikahan informan berkisar dari tiga hingga sembilan tahun. Pernikahan terlama diatas usia pernikahan lima tahun hanya terjadi pada dua informan dengan usia pernikahan selama tujuh dan sembilan tahun pernikahan.
99
5.2.2.3 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS dan Pasangannya Saat Menikah Rata- rata usia informan menikah adalah saat usia 25 tahun, ini merupakan usia produktif. Berdasarkan hasil wawancara mengenai usia perempuan dengan HIV/AIDS saat menikah didapatkan bahwa menikah di rentang usia 21 hingga 33 tahun. Tidak jauh berbeda dengan usia informan, usia pasangan dari informan saat menikah rata- rata pada usia 24 tahun, usia ini juga masih merupakan usia produktif. Rentang usia pasangan informan berkisar mulai dari 20 tahun hingga 33 tahun, dengan sebagian pasangan informan memiliki usia lebih muda dibanding dengan informan. Hasil wawancara dapat diperoleh pula informasi mengenai usia saat informan dan pasangannya melakukan hubungan seksual pertamakali. Sebagian besar informan melakukan hubungan seksual setelah resmi menikah, akan tetapi ada informan yang mengakui bahwa ia dan pasangannya telah melakukan hubungan seksual semenjak dua tahun sebelum mereka menikah. Informasi ini didukung oleh kutipan wawancara berikut: “Pertama kali aku ngelakuin hubungan seks sama pacar aku itu umur hmm duaaaa puluuh hmm 21 tahun, suami aku mah beda 3 tahun sama aku, waktu itu umurnya 18 tahun. jadi kalo lagi pacaran sama pacar aku yang jadi suami aku itu, kita suka berhubungan seks, sampe 2 tahun kita melakukan seks diluar nikah. Dan sebelum ngelakuin hubungan seks sama suamiku itu, aku belum pernah ngelakuin hubungan seks sama siapapun. Begitu juga dengan suamiku. Kita sama- sama jadi yang pertama.” (Informan 3)
100
Berdasarkan kutipan wawancara diatas didapatkan informasi bahwa ada informan dan pasangannya yang memiliki usia berbeda 3 tahun lebih muda. Informan mengakui bahwa ia dan pasangannya semenjak dua tahun sebelum pernikahan mereka, mereka sudah melakukan seks diluar nikah, pada saat itu usia pasangannya masih 18 tahun. 5.2.2.4 Status Pasangan Sekarang Sebagian besar informan hingga sekarang memiliki pasangan hidup, walaupun ada yang merupakan pasangan sah dan ada juga yang belum sah. Informan yang memiliki pasangan belum sah, belum membuka status HIV kepada pasangannya yang berstatus bukan ODHA. Terdapat pula informan yang menutup diri untuk tidak memiliki pasangan lagi. Berdasarkan wawancara dengan informan, diperoleh hasil yang cukup beragam terkait status pasangan sekarang. Beberapa menjawab hingga sekarang masih bersama suami sebagai pasangan sahnya, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini: “Pasangan saya yang sekarang, yaa masih suami saya.” ( Informan 2)
Adapula informan yang mengaku sekarang sedang memiliki pasangan, namun bukan dengan suami sah mereka. Kedua informan yang mengakui keberadaan pasangan yang bukan merupakan suami mereka ini pun juga mengakui bahwa mereka belum memberitahukan status HIV mereka terhadap pasanganya masing- masing. Ini didukung dengan informasi sebagai berikut:
101
“Pasangan yang sekarang? Kalo yang sekarang pacar, tapi dia belom saya kasih tau kalo saya HIV, abis kalo saya kasih tau pasti bakalan kabur kayak pacar- pacar saya yang sebelumnya. Kasian sih emang, tapi akunya gak bisa mbak kalo gak punya pacar, rasanya tuh sepi banget. Nanti aja kalo memang dia serius sama aku, baru aku kasih tau status HIV ku ke dia.” (Informan 3) “Pasangan yang sekarang pacar, calon suami usia 19 tahun tinggalnya di garut. Dia negatif HIV, saya belum ngasih tau status saya ke dia, kalo dia beneran cinta, dia pasti bakalan tetep mau nikah sama saya kayak suami ke-2 dan ke-3 saya.” (Informan 4) Adapula informan yang mengakui bahwa, setelah suaminya meninggal dunia, ia tidak memiliki pasangan hingga sekarang, baik pasangan sah maupun pasangan tidak sah, informan ini pun merasa bahwa dengan adanya status HIV pada dirinya, menyebabkan tidak ada yang mau menerimannya sebagai pasangan. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini : “Belum ada pengganti mendiang suami saya sampai detik ini. Siapa juga laki- laki yang mau nerima saya sepaket dengan penyakit saya ini? Yaa, untuk masa depan, saya serahin saja semuanya sama Tuhan.”(Informan 5) Dari kelima informan, dua informan masih tinggal bersama suaminya, dua orang lainnya sudah tidak tinggal bersama suaminya, namun tengah menjalin hubungan dengan orang yang tidak mengetahui bahwa informan memiliki status HIV positif, informan tidak memberitahukan statusnya karena takut pasangannya tidak dapat menerima status informan. Sementara satu informan lainnya tidak memiliki pasangan, dan merasa status HIV positif yang menjadi alasan hingga sampai sekarang informan belum memiliki pasangan lagi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status HIV ini mempengaruhi informan dalam mendapatkan pasangan dan dalam membuka status HIV positifnya terhadap pasangan.
102
5.2.2.5 Jumlah Anak, Usia, dan Statusnya Terhadap HIV Positif Seluruh informan memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan sebagian informan memiliki anak yang masih berusia balita. Sebagian besar informan memiliki atau pernah memiliki anak dengan status HIV positif. Ada informan yang setelah terinfeksi HIV positif namun tetap dapat memiliki anak dengan HIV negatif, hal ini dipengaruhi oleh keikutsertaan informan dalam program PPIA. Dari hasil wawancara mendalam dengan kelima informan, diketahui bahwa semua informan memiliki anak dengan usia beragam. Seperti dalam wawancara berikut ini : “2 orang, sepasang cowok dan cewek.… Yang cowok kelas 2 SD usia 7 mau naik 8 tahun, yang cewek usia 19 bulan.” ( Informan 1)
Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa informan menyatakan telah memiliki dua orang anak, dengan jenis kelamin perempuan dan laki- laki. Usia anak informan adalah 7 tahun dan 19 bulan. Sementara itu informan lainnya menyatakan bahwa dirinya pun telah memiliki 2 orang anak, dengan jenis kelamin keduanya adalah laki- laki, dengan usia 3 tahun dan 1 tahun seperti dalam informasi yang berasal dari wawancara berikut ini: “Ada 2 orang. Laki- laki semua…. Anak pertama usia 3 tahun, yang kedua usia 1 tahun.” ( Informan 2)
Ada informan yang menyatakan bahwa dirinya telah memiliki 3 anak yang berjenis kelamin perempuan, dua orang berasal dari suami pertamanya, dengan usia 16 tahun dan 12 tahun. sementara satu anaknya lagi berasal dari
103
suami ketiganya, dengan jarak yang cukup jauh dari kakak- kakaknya, karena anak ketiga berasal dari suami ketiganya. Usia anak ketiganya adalah 3 tahun. berikut bukti informasi dari wawancara mendalam yang telah didapatkan: “3 anak perempuan, dari suami pertama 2 orang dari suami ketiga 1 orang.”.“Satu sekarang SMA sekitar eee usia 16 tahun, satunya SD kelas 6 usia 12 tahun, satunya lagi baru lahir tahun 2012 secara sesar.” ( Informan 4) Berbeda dengan informan pertama, kedua, dan keempat yang anakanaknya masih hidup hingga informan melakukan wawancara mendalam, informan ketiga dan kelima memiliki masing- masing satu anak yang telah meninggal dunia. Informasi ini didukung oleh hasil wawancara mendalam berikut ini: “Anak aku ada 2. Anak pertama cewek terus anak keduanya laki- laki.“ “Anak pertamaku yang cewek, lahir tahun 2002...” “Anak pertamaku yang cewek udah meninggal, anak kedua sekarang 8 tahun.” ( Informan 3)
“Anakku ada 3 perempuan semua. Anak kedua sama ketiga kembar.” “Usia anak pertama berapa ya? Dia kelahiran tahun 2003, usia 3 tahun meninggal karena HIV, itu tahun 2006. Kalo si kembar sekarang usia 9 tahun.” ( Informan 5)
Dari kelima informan, hanya terdapat satu informan yang memiliki tiga anak dengan status negatif HIV pada ketiga anaknya, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini: “Alhamdulillah tiga- tiganya gak ada yang ketularan HIV.” (Informan 4)
104
Informan tersebut juga mengungkapkan bahwa memang ia sudah terdiagnosis HIV positif ketika tengah hamil anak ketiga yang merupakan buah hati dari pernikahan ketiganya. Informan tersebut juga menjelaskan mengapa anak terakhir yang ia lahirkan tidak ikut tertular HIV positif, dan ternyata hal ini dikarenakan saat tahu dirinya sedang mengandung dengan usia kandungan 3 bulan, ia segera disarankan untuk mengikuti program PMTCT atau yang lebih di kenal dengan PPIA yang memang merupakan program pemerintah. Berikut kutipan wawancaranya: “Kayaknya mah pas hamil anak pertama sama kedua belom ada HIV di tubuh saya, makannya mereka pada negative. Pas adenya yang terakhir baru deh. posisinya juga sayanya udah tau kan kalo kena HIV, jadi pas ketauan hamil 3 bulan, yaaa langsung sama bidan Puskesmas disuruh ikutan program PMTCT .” (Informan 4) Informan juga menerangkan kegiatan yang ia lakukan selama mengikuti program PPIA. Saat mengikuti program PPIA informan dituntut untuk patuh dengan ketentuan yang sudah ada, ketentuan tersebut berupa pengecekkan secara rutin dan menjalani terapi ARV dengan rutin. Ia juga diberikan konseling, baik fisik dan mentalnya sudah disiapkan sedini mungkin untuk menghadapi persalinan secara sesar, dan akan mendapatkan perlakukan khusus yang mungkin akan berbeda dengan ibu- ibu yang melahirkan sesar pada umumnya. Ia juga sudah dipersiapkan untuk tidak memberikan ASI kepada bayinya. Berikut hasil kutipan wawancara mendalam dengan informan tersebut: “Program PMTCT yang saya ikutin itu, sayanya di kontrol terus mbak, karna ketauannya udah hamil kan, sayanya disuruh minum obat ARV, tetep minum walaupun saya lagi hamil, say amah nurutin aja mbak, trus udah dikasih tau kalo saya pas ngelahirin nanti harus sesar, gak boleh ngasih ASI juga. Yaudah deh pas udah mendekati hari H bayinya mau
105
launching, baru dah saya nginep di hotel bintang 5, rumah sakit.. hehe. 3hari sebelum sesar udah nginep di rumah sakit saya mbak, dokter sama perawat yang nanganin waktu itu kan gak boleh sembarangan mbak, bisa ketularan HIV juga nanti mereka.” (Informan 4) Informan juga mengungkapkan perihal perilaku dari beberapa tenaga kesehatan yang takut menghadapi dirinya. Namun ia lantas tidak berkecil hati, ia lebih memilih untuk berpikir positif. Menurutnya beberapa tenaga kesehatan yang ia temui saat itu adalah tenaga kesehatan baru yang masih berstatus mahasiswa yang tengah magang, sehingga hal yang wajar ketika mereka agak sedikit takut untuk melayani informan. Hal ini diungkapkan informan dalam wawancara mendalam berikut ini: “Waktu itu di rujuknya ke RSCM mbak, hmmm pelayanannya bagus kok mbak, mungkin disana kan emang udah sering kali ya nemuin pasien kayak model saya. tapi ada aja sih perawat sama bidan yang kayak takut banget sama saya, saya minta benerin jarum infusan malah operoperan. Masih muda sih, anak- anak mahasiswa yg lagi pada magang kayaknya.. hehe”. (Informan 4) Agar lebih memudahkan dalam mencerna hasil wawancara mendalam mengenai jumlah anak, usia anak, dan status anak terhadap HIV dari Perempuan terdiagnosis HIV positif yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, maka dibuatlah tabel seperti berikut ini :
106
Tabel 5.3 Jumlah Anak, Usia Anak, dan Status Anak terhadap HIV dari Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Informan
Jumlah Anak
Informan 1
2
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
Jenis Kelamin
Usia Anak
Status Anak terhadap HIV
Laki- laki
8 tahun
-
Perempuan
19 bulan
+
Laki- laki
3 tahun
-
Laki- laki
1 tahun
+
Perempuan
8 bulan (usia saat meninggal, tahun 2002)
+
Laki- laki
8 tahun
+
Perempuan
16 tahun
-
Perempuan
12 tahun
-
Perempuan
3 tahun
-
Perempuan
3 tahun (usia saat meninggal, tahun 2006)
+
Perempuan
9 tahun
-
Perempuan
9 tahun
-
2
2
3
3
5.2.3 Sosial Ekonomi Perempuan dengan HIV/AIDS Infomasi yang peneliti dapatkan dari wawancara mendalam dengan informan mengenai sosial ekonomi perempuan dengan HIV positif adalah
107
keadaan sosial perempuan dengan HIV positif, baik berupa pekerjaan sebelum terdiagnosis HIV, pekerjaan setelah terdiagnosis HIV, besar penghasilan sekarang, keinginan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik, maupun kondisi hubungan sosialnya dengan masyarakat disekitar perempuan dengan HIV positif tinggal, baik sebelum terdiagnosis HIV maupun setelah terdiagnosis HIV. 5.2.3.1 Jenis Pekerjaan Sebelum Terdiagnosis HIV Positif Sebagian besar informan memiliki pengalaman dalam bekerja. Adapun jenis pekerjaan dari para informan antara lain: kerja di toko kue, buruh pabrik, SPG, pembukuan di Bank, kasir restoran, dan pengurus Gereja. Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan, diperoleh informasi mengenai jenis pekerjaan informan sebelum terdiagnosis HIV, adapun hasilnya menyebutkan bahwa empat dari lima informan pernah bekerja. Hal ini di buktikan dengan kutipan dari hasil wawancara berikut ini: “Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6 tahun saya kerja disana…”(Informan 1) “…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum nikah….”(Informan 2) “Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar baru.” (Informan 3) “….Kerja di Bank bagian pembukukan ituu gak lama sih Cuma 7 bulan, terus saya pindah sebagai SPG terus sekitar 1 tahun pindah lagi saya sebagai kasir di California fried chicken itu paling lama ada sekitar 4 tahun. setelah itu saya menikah dan tidak melanjutkan bekerja.” (Informan 4)
108
Berbeda dengan empat informan lainnya, satu informan ini mengungkapkan bahwa sebelum menikah ia tidak memiliki pekerjaan apapun. Saat setelah menikah dan sebelum dirinya terdiagnosis HIV positif, ia tidak diberikan izin oleh suaminya untuk menjadi wanita yang bekerja diluar rumah yang terpaku dengan waktu kerja. ia mengakui bahwa setelah menikah aktifitasnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan tetap menjadi pengurus kegiatan organisasi di rumah ibadah yang sudah ia emban semenjak ia belum memutuskan untuk menikah. Hal ini diungkapkannya dalam hasil wawancara berikut ini : “Aktif di Gereja dan cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5) Informasi mengenai jenis pekerjaan informan sebelum dirinya terdiagnosis HIV, peneliti gambarkan dalam tabel di bawah ini, agar lebih memudahkan dalam mencerna informasi tersebut: Tabel 5.4 Jenis Pekerjaan Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Sebelum Terdiagnosis HIV Informan
Jenis Pekerjaan
Lama Bekerja
Informan 1
Karyawan Toko Kue Kering
6 Tahun
Informan 2
Buruh Pabrik
2 tahun
Informan 3
SPG
2 tahun
Informan 4
Karyawan Bank, SPG, Karyawan Restoran
5 tahun
Informan 5
IRT
-
109
5.1.3.2 Jenis Pekerjaan Setelah Menikah Sebagian besar informan setelah menikah, hanya menjadi IRT karena tidak mendapatkan izin dari suami mereka untuk bekerja. Alasan suami informan tidak mengizinkan adalah karena suami meminta untuk fokus mengurus rumah tangga saja atau karena suami khawatir dengan kondisi kesehatan informan. Adapula yang pada pernikahan ketiganya tetap menjadi pelayan bar dan WPS. Hal ini dibuktikan dengan wawancara berikut ini: “kata suami, udah biarin saya aja yang kerja. Kamu urus pekerjaan rumah aja” (Informan 1) “gak dapet izin suami buat kerja” (Informan 2) “ cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5)
Dari wawancara diatas terlihat bahwa para informan tidak diberikan izin untuk bekerja oleh suaminya. Adapula informan yang alasan tidak diberikan izin bekerja oleh suami karena suaminya telah mengetahui status HIV yang diderita oleh informan, sehingga khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan apabila informan tetap bekerja, hal ini dibuktikan dalam wawancara berikut: “… sama yang kedua saya juga ibu rumah tangga aja, kata suami takut saya kecapean, soalnya suamikan tau kondisi saya…”(Informan 4)
110
Terdapat pula informan yang mengakui bahwa setelah berpisah dengan suami pada pernikahan keduanya, ia memutuskan untuk menjadi pelayan bar sekaligus WPS, hal ini dibuktikan dalam wawancara berikut ini: “…sama yang ketiga saya udah jadi pelayan bar plus, plus..hehe” (Informan 4)
Berdasarkan wawancara dengan informan, bisa ditarik kesimpulan bahwa setelah informan memutuskan untuk menikah, maka mereka mau tidak mau harus rela untuk kehilangan pekerjaan yang telah mereka jalani selama beberapa tahun sebelum menikah, seperti apa yang diinginkan oleh suami mereka. Namun terdapat informan yang pada akhirnya tidak bisa hanya diam dirumah tanpa mencari tambahan pemasukan, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini: “udah dari sebelom sakit juga saya sering bikin kue, hasilnya lumayan buat nambahin kebutuhan rumah.” (Informan 1) Dari wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa walaupun tidak mendapatkan izin dari suami untuk bekerja, namun informan tersebut tetap berusaha untuk bekerja walaupun hanya bekerja di rumah. 5.2.3.3 Jenis Pekerjaan Setelah Terdiagnosis HIV Positif Sebagian besar jenis pekerjaan informan sekarang adalah IRT yang juga memiliki kesibukan lain. Kesibukan lain dari informan antara lain: membuka usaha kue, aksesoris, nasi uduk, menulis, dan juga aktif dalam mengikuti kegiatan LSM. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan kelima infoman, setelah informan terdiagnosis HIV positif. Pekerjaannya 111
pun mengalami perubahan. Ada informan yang mengaku bahwa setelah terdiagnosis HIV, menjadi lebih sering berada di dalam rumah, dan menjadi tidak mandiri dari segi ekonomi, karena mengandalkan penghasilan suaminya
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-
hari,
seperti
yang
diungkapkan oleh salah satu informan dalam kutipan wawancara berkut ini : “Ibu rumah tangga aja, yang ngandelin pendapatannya suami. Suami saya kerjanya jadi marketing di perusahaan swasta….” (Informan 2) Namun ada pula informan yang mengakui bahwa setelah terdiagnosis HIV menjadi lebih sering dirumah, menjadi ibu rumah tangga dengan mecoba berbagai peruntungan dari dunia bisnis yang tengah digelutinya. Seperti dalam kutipan wawancara berikut ini: “Kalo sekarang- sekarang ini mah saya gak kerja, Cuma jadi ibu rumah tangga aja di rumah, sama palingan bikinin kue pesenan orang…..”(Informan 1) “Aku ibu rumah tangga biasa yang nyoba buat usaha bikin berbagai macam aksesoris, yang banyak distributorin usaha aksesoris aku juga kan temen- temen dari LSM. Orang di sekitar rumah kayaknya gak ada yang tau kalo aku usaha aksesoris, soalnya aku jarang keluar rumah” (Informan 3) Terlihat dari kutipan wawancara diatas, walaupun telah terdiagnosis HIV positif dan masih berusahan untuk menutupi status HIV positifnya dari lingkungan sekitarnya, informan ini tidak patah semangat, ia mulai mencoba untuk terjun membuat suatu usaha yang mampu menambah penghasilan untuk kehidupan sehari- harinya, setelah ditinggal meninggal dunia oleh suaminya. Sementara itu, ada pula informan yang mengungkapkan, bahwa setelah terdiagnosis HIV positif, ia justru mendapatkan pekerjaan baru,
112
pekerjaan yang mampu memberikan kepuasan batin bagi dirinya juga mampu menebar manfaat bagi orang lain. Pekerjaan tersebut adalah menjadi seorang aktivis HIV. Hal ini diungkapkannya dalam hasil wawancara berikut ini : “Ibu Rumah Tangga. Saya aktiv jadi pengurus Gereja, Bisa di bilang saya aktivis HIV juga.” (Informan 5) Ditemukan pula informan yang mengungkapkan bahwa dirinya menjadi wanita penghibur setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV positif. Sebelum menjadi seorang wanita penghibur, ia mengaku bahwa pada awalnya ia hanya menjadi pelayan di sebuah bar tender, namun seiring jalannya waktu ia pun ikut terjun menjadi wanita penghibur di tempat yang sama. Hal tersebut terjadi karena saat itu ia berpikir bahwa ia terinfeksi HIV ini akibat tertular, jadi ia ikut ingin menularkan virus ini ke orang lain. Ia mengakui bahwa dirinya sudah menyadari akan kesalahaannya tersebut, ia telah menyadari bahwa perilakunya tersebut akan mendzolimi orang lain. Informasi ini didukung dengan kutipan dari hasil wawancara dengan salah satu informan, berikut hasil wawancaranya: “Saya dikirim ke Timor Leste tapi sistemnya TKW illegal, penyelundupan gitu, disana saya kerja di Bar tender gitu, jadi pelayan sekaligus wanita penghibur…” “Kenapa saya mau kerja di tempat begituan? Karna waktu itu, saya ngerasa saya dapet penyakit ini juga gara-gara ketularan orang, jadi sekalian aja saya nularin juga ke orang lain. Tapi sekarang saya udah sadar, kalo semua sudah rencana Tuhan, saya gak boleh mendzolimi orang lain…” “Udah gitu kan ya dari pas nikah sama suami kedua kan gak bisa punya anak,, yaudah jadi semakin berani saya.Saya jadi
113
gak takut hamil kalaupun pelanggan saya ada yang gak pake kondom. Kadang kalo lagi ada yang ngeselin, udah aja saya ladenin gak pake kondom, biarin aja biar ketularan juga.” (Informan 4) Informan tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah ia terdignosis HIV positif, ia dipercaya oleh beberapa gereja untuk menjadi narasumber, disana ia diminta untuk menceritakan pengalaman mulai dari ia terdiagnosis HIV positif. Ia juga menjadi lebih sering menuliskan pengalaman dan keluh kesahnya menjadi sebuah cerpen dan puisi, sebenarnya hasil- hasil karyanya tidak ia jual namun pihak gereja terkadang membeli hasil karyanya. Ia menyampaikan pada peneliti dengan nada dan ekspresi sedih juga kecewa, bahwa ia sebenarnya adalah seorang muslim, namun ia tidak pernah diminta untuk menjadi narasumber di masjid ataupun mushollah. Selain itu ia juga sering sekali mengikuti kegiatan- kegiatan di LSM atau komunitas HIV. pernyataanpernyataan ini didukung oleh kutipan dari hasil wawancara berikut ini: “…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita pengalaman saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan saya suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya muslim loh, tapi justru saya belum pernah diundang ke masjid….. oiya, saya juga sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau komunitas HIV.” (Informan 4) Informan keempat ini juga memiliki pekerjaan sebagai seorang pedagang. Ia berjualan nasi uduk bersama ibunya, yang berlokasi di rumah ibunya. Ia juga menjual tas dari modal yang ia miliki, sistem penjualannya dengan PO atau pre order, ini dilakukan dengan mencari orang- orang
114
yang akan memesan tas yang ia jual, barulah kemudian ia membelikan tas tersebut. Hal ini disampaikannya dalam wawancara mendalam berikut: “…..Jualan. Saya jualan nasi uduk bareng ibu saya di manggarai, terus juga jualan tas- tas tapi sistemnya pesen trus dikumpulin dulu, baru saya jalan buat beliin barangnya ke tanah abang.” (Informan 4) Agar lebih mempermudah dalam mencerna hasil wawancara mendalam seperti yang telah dipaparkan, hasil wawancara mendalam dibentuk kedalam sebuah tabel. Berikut tabel jenis pekerjaan perempuan dengan HIV/AIDS yang menjadi infoman pada penelitian ini: Tabel 5.5 Jenis Pekerjaan Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Setelah Terdiagnosis HIV Informan
Jenis Pekerjaan
Informan 1
IRT, Membuat dan Menjual Kue Kering
Informan 2
IRT
Informan 3
IRT, Membuat dan Menjual Aksesoris
Informan 4
TKI Ilegal di Timor Leste, Bar Tender (Pelayan dan PSK), Jualan Tas, Membuat dan Menjual Nasi Uduk bersama Ibu
Informan 5
IRT, Aktif di Gereja dan Sering ikut Acara dari LSM HIV
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan, dari kelima informan hanya satu orang yang tidak memiliki pekerjaan setelah terdiagnosis HIV positif, yaitu infoman kedua, padahal sebelum terdiagnosis HIV positif informan kedua pernah bekerja selama 2 tahun. Ada pula informan yang
115
sebelum terdiagnosis tidak bekerja namun setelah terdiagnosis HIV positif justru memiliki pekerjaan, informan tersebut menjadi semakin aktif menjadi pengurus di rumah ibadahnya hingga setiap bulannya mendapatkan pemasukkan dari sana, informan juga setelah terdiagnosis HIV positif mejadi aktif dalam kegiatan- kegiatan di LSM Tegak Tegar. Informan yang memanfaatkan keahlian dari pendidikan non formal yang pernah dijalani untuk membuka usaha, ada dua orang. Serta ada pula informan yang mengakui bahwa dirinya menjadi WPS setelah terdiagnosis HIV. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar informan tidak menjadi pengangguran dan bisa tetap mendapatkan pekerjaan sekalipun dengan membuka usaha sendiri, setelah dirinya terdiagnosis HIV positif. 5.2.3.4 Besar Penghasilan Sekarang Sebagian besar informan telah memiliki kemandirian dalam mendapatkan penghasilan tanpa harus begantung pada penghasilan suaminya, Rentang besar penghasilan infoman perbulan berkisar antara 100 ribu hingga 3 juta rupiah. Hasil dari wawancara mendalam dengan informan pertama, ia yang mengandalkan usaha kuenya untuk membantu pemasukan bulanan dalam keluarganya, ia memaparkan bahwa keuntungan hasil berjualan kue berkisar antara Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) hingga Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), tergantung dari banyaknya pemesanan dan pembelian kue di satu bulan tersebut. Berikut informasi pendukung yang didapatkan dari wawancara dengan informan :
116
“Kalo penghasilan sendiri mah palingan 1 kue Cuma untung 20-40ribu aja per toplesnya. Sekitar 100rb sampe 1 juta sebulannya. Kalo suami saya gajinya 2 juta….”(Informan 1) Begitupula dengan ketiga informan lainnya, dari hasil usaha dan pekerjaan yang mereka tengah geluti, mereka dapat memperoleh pemasukan pada setiap bulannya. Penghasilan yang mereka dapatkan memang tidak pasti, tapi setidaknya dengan adanya usaha dan pekerjaan mereka yang sekarang ataupun dengan aktif ikut serta dalam kegiatankegiatan di LSM, mereka menjadi mampu untuk mandiri dalam segi ekonomi. Terlebih bagi para informan yang sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, mereka memang dituntut untuk dapat mandiri dari segi ekonomi, sebab mereka memang tidak bisa bergantung pada orang lain, sehingga pemasukan yang mereka dapatkan sekarang ini, merupakan penghasilan utama mereka. Berbeda dengan pengakuan satu informan berikut ini: “….Penghasilan suami saya 900ribu sebulan….”(Informan 2) Satu informan tersebut mengakui bahwa ia tidak memiliki sumber pendapatan lainnya selain dari pendapatan suaminya, sehingga ia sangat tinggi dalam kebergantungan ekonomi pada suaminya. Untuk lebih mempermudah dalam mencerna hasil wawancara pada informan dalam penelitian ini, berikut tabel berdasarkan besar penghasilan perbulan dari informan dan sumber pemasukkannya:
117
Tabel 5.6 Besar Penghasilan Perbulan dan Sumber Pendapatan dari Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Informan
Besar Penghasilan Sekarang (Perbulan)
Sumber Pemasukkan
2 Juta
Dari Suami
100 ribu - 1 juta
Dari Usaha Kue
Informan 2
900 ribu
Dari Suami
Informan 3
1 - 2 Juta
Dari Usaha Aksesoris
Informan 4
1 - 3 Juta
Dari Jualan Tas dan Usaha Nasi Uduk
Informan 5
1- 2 Juta
Dari Gereja dan dari LSM
Informan 1
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa empat dari lima informan yang diwawancarai, sudah memiliki kemandirian dalam pemasukkan pada setiap bulannya, tanpa harus bergantung dengan suami ataupun pasangan ataupun orang lain. Hanya satu informan yang masih bergantung pada suami dalam hal pemasukkan bulanan, sebab tidak memiliki pemasukkan bulanan selain dari suaminya. 5.2.3.5 Keinginan untuk Mendapatkan Pekerjaan yang Lebih Baik Sebagian besar informan memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang telah mereka dapatkan, kendala yang dilalui dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik antara
118
lain: tidak dapat izin bekerja dari suami, lingkungan kerja yang tidak mendukung, serta usia yang tidak lagi muda. Berdasarkan hasil wawancara mendalam menurut beberapa informan, kenginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik didasari dari kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat. Seperti dalam kutipan hasil wawancara berikut ini : “Pastinya adalah mbak, gak cukup kalo ngandelin pendapatan yang sekarang. Belom bayar kontrakkan, belom bayar cicilan motor suami saya, buat kehidupan sehariharinya mah tinggal sisanya aja. Cukup gak cukup, untuk saat ini memang harus di cukup- cukupin.” (Informan 1) Pengakuan yang hampir sama pun ditemukan pada informan lainnya, ia merasakan pendapatannya dalam sebulan, sangatlah kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari- seharinya, sehingga ia menginginkan pekerjaan lain yang lebih baik dari yang sekarang. Seperti dalam wawancara berikut: “…. 900ribu sebulan mah kurang sebenernya mbak buat kehidupan sehari- hari. Kayaknya buat belanja ikan atau ayam sehari aja bisa 80-90ribu. Yaaa, saya sih beli tempe sama tahu aja buat lauk sehari- hari, kalo lauknya sekedar itu aja yaa cukup lah uang segitu.” (Informan 2) Menurut salah satu informan, faktor usia membuatnya sulit dalam
mendapatkan
penghasilan
tambahan
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Seperti dalam informasi yang didapatkan dari hasil wawancara berikut ini : “Ada, tapi saya sadar diri aja mbak, usianya udah tua gak bisa juga ngelamar kerja dimana- mana.” (Informan 5)
119
Sementara itu ada informan yang mengaku terhambat dengan perizinan dari suami, juga kondisi anak dan suami yang harus terus didampingi, sehingga mempengaruhi ruang gerak informan dalam mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan seharihari dalam keluargannya. Berikut hasil wawancaranya : “…..Pengen punya kerjaan yang bisa nambahin penghasilan, tapi suami gak ngizinin. Saya juga bingung masih punya anak kecil, gak ada yang ngurusin. Suami saya juga sakit- sakitan mulu sekarang, udah gak bisa nyari kerja tambahan, lebih banyak istirahatnya kalo sekarang- sekarang ini.…” (Informan 2) Sedangkan menurut salah satu informan, keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang terhambat dengan statusnya sebagai perempuan dengan HIV positif. Informasi ini dibuktikan dengan kutipan hasil wawancara berikut ini : “Pengen kerja di tempat lain, tapi yang mengerti dengan keadaan kita yang seperti ini kan hanya temen- temen sesama ODHA, kalo kita sakit gak perlu izin sampe ngemis- ngemis, gak usah pake ngasih alesan panjang lebar, bos kan udah tau dan udah ngerti. Coba kalo kerja di perusahaan lain, pasti bos bakalan ngomel.” (Informan 3) Berdasarkan hasil wawancara yang sudah di paparkan dapat disimpulkan bahwa sebagian informan memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang ini, namun banyaknya variasi hambatan yang dialami informan, membuat dalam kenyataannya informan belum bisa mewujudkan keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi.
120
5.2.3.6 Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar Berasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan mengenai keaktifan informan di lingkungan sekitar, peneliti membaginya dalam dua kategori. Kategori pertama merupakan keaktifan informan dengan lingkungan sekitar sebelum informan terinfeksi HIV. kategori kedua merupakan keaktifan informan dengan lingkungan sekitar setelah terinfeksi HIV. 5.2.3.6.1 Keaktifan di Lingkungan Sekitar Sebelum Terdiagnosis HIV Positif Sebagian besar informan sebelum terinfeksi HIV merupakan pribadi yang aktif bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Menurut beberapa informan yang didapat dari hasil wawancara, bahwa sebelum terinfeksi HIV kondisi informan dengan lingkungan sekitar terbilang aktif, hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara berikut : “Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6 tahun saya kerja disana. Setelah menikah saya lebih banyak di rumah, palingan jadi aktif ikut pengajian aja di masjid deket rumah.” (Informan 1) Dari kutipan wawancara diatas diperoleh informasi bahwa informan setelah menikah menjadi tidak bekerja dan aktif dalam mengikuti pengajian di masjid terdekat dari tempat tinggalnya. Informan lainnya juga merasakan hal yang sama, ia menjadi tidak bekerja setelah menikah. Namun ia tergolong cukup aktif di lingkungan tempat tinggalnya, terlebih di lingkungan tempat tinggalnya masih merupakan
121
saudara- saudaranya yang juga bertempat tinggal di lingkungan tersebut. Seperti dalam kutipan wawancara ini: “…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum nikah. Abis nikah saya gak di bolehin kerja lagi sama suami, jadi ibu rumah tangga aja.yang gaulnya yaa sama ibu- ibu rumah tangga lainnya di sekitar rumah. Di sekitar rumah juga masih pada keluarga semua” (Informan 2) Hal yang sama juga dirasakan oleh informan yang satu ini, ia tidak diizinkan untuk bekerja setelah menikah oleh suaminya, infoman ini pun terbilang aktif di komunitas keagamaannya, seperti pengakuannya dalam wawancara berikut ini: “Aktif di Gereja dan cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.” (Informan 5) Namun, menurut beberapa informan lainnya dalam wawancara, kondisi informan dengan ingkungan sekitar memang tergolong tidak aktif, akibat sibukannya semasa masih bekerja yang membuatnya tidak memiliki banyak waktu di rumah, sekalipun ia berada dirumah, waktunya ia manfaatkan untuk beristirahat bukan untuk bersosialisasi keluar rumah. Informasi ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut : “Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar baru. Aku dirumah juga kalo udah pulang, terus langsung tidur karena capek. Makannya aku di rumah gak ikutan apa- apa dan gak bergaul juga sama orang- orang di sekitar lingkungan rumah. Emang dari dulu tuh aku begitu, dirumah aku diem aja, jadi anak rumahan.” (Informan 3) Pengakuan ketidakaktifan di lingkungan sekitar juga diakui oleh informan ini, setelah menikah ia mengikuti suaminya, yang tempat
122
tinggalnya terus berpindah- pindah tempat tinggal. Seperti dalam kutipan wawancara berikut: ”Gak deket juga sebenernya sama orang disekitar rumah, soalnya kan aku ikut terus sama suami, pindah- pindah tinggalnya…”(Informan 4) Jadi berdasarkan informasi- informasi yang sudah dipaparkan, diperoleh kesimpulan bahwa dari kelima informan sebagian besar memiliki keaktifan dengan lingkungan sekitar saat belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV. 5.2.3.6.2 Keaktifan di Lingkungan Sekitar Setelah Terdiagnosis HIV Positif Sebagian besar informan menunjukkan ada perubahan keaktifan dengan lingkungan sekitar setelah HIV positif. Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada informan dalam penelitian ini, beberapa informan menyatakan bahwa informan sengaja masih merahasiakan status HIV nya dengan rapat, sehingga lingkungan sekitar belum mengetahui status HIV pada dirinya, dan inilah yang menyebabkan tidak terjadi perubahan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Informasi ini dikung oleh hasil wawancara berikut ini : “Saya masih aktif Pengajian, masih sering ngobrol sama tetangga, kalo sayanya gak ngobrol susah saya dapet orderan buat kue. Ini juga masih saya rahasiain kalo saya kena HIV. Ngeri pelanggan pada kabur Mbak, kan lumayan pemasukkan kue saya walaupun cuma dikit juga.” (Informan 1)
123
Dari wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa informan pertama dalam penelitian ini sangat berusaha sekali menutupi status HIV yang telah menginfeksi dirinya. Hal ini terpaksa ia lakukan sebab ia tidak ingin orang disekitarnya menjauhinya, terlebih ia memiliki usaha kue yang bisa untuk menambah pemasukkan dalam memenuhi kehidupan sehari- hari ia dan keluarganya. Baginya, lebih baik ia menutup rapat- rapat status HIV dalam dirinya daripada pelanggan kuenya kabur akibat takut tertular HIV. “Tadinya sering ngobrol bareng tetangga, ngerumpi- ngerumpi lah, namanya juga ibu-ibu, hehe. Ikutan acara di sekitar rumah juga sering, sekarang jadi males mau ikutan. Takut kalo tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom siap saya” (Informan 2) Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan informan yang selain menutupi status HIV pada dirinya juga menjaga sekali interasi dengan lingkungan sekitar, karena tidak ingin lingkungan sekitar mengetahui status HIV nya. Hal ini dinyatakan dalam kutipan hasil wawancara berikut ini : “Dari dulu aku mah emang gak deket sama tetangga, acaraacara di sekitar rumah juga aku gak pernah tau, karna kan aku emang jarang di rumah, kerja mulu, sampe rumah malem, udah tepar. Sekarang pun sama, gak aktiv di sekitar rumah. Yang banyak distributorin usaha aksesoris aku juga kan temen- temen dari LSM.” (Informan 3) Sementara itu, disaat hampir semua informan menutup status HIV pada dirinya, dua informan membuka status HIV pada lingkungan sekitar. Hubungan dengan lingkungan sekitarnya pun tergolong aktif. Informasi ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut : ”…..Pas masih sama suami, pindah- pindah tinggalnya…..”
124
“…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita pengalaman saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan saya suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya muslim loh, tapi justru saya belum pernah diundang ke masjid….. oiya, saya juga sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau komunitas HIV.” (Informan 4) Dari wawancara dengan informan, diketahui bahwa informan kadang diminta untuk menjadi narasumber dalam berbagi kisah dan cerita hidupnya menjadi seorang perempuan dengan HIV positif di Gereja, padahal informan memiliki keyakinan beragama islam, informan tidak memilih- milih tempat dalam berbagi kisah hidupnya agar menjadi pembeajaran banyak orang, justru informan menyayangkan bahwa dia belum pernah samasekali mendapatkan tawaran menjadi narasumber dari Masjid, bahkan Masjid terdekat dari tempat tinggalnya pun tidak pernah memintanya untuk menjadi narasumber. Informan lainnya yang sudah open status terhadap orang sekitar adalah informan ke-5 daam penelitian ini, informan ini mengakui bahwa dirinya telah aktif menjadi pengurus Gereja semenjak masih berusia remaja.
Terdiagnosisnya
human
immunodeficiency
virus
yang
menginfeksi tubuhnya pernah membuatnya terpuruk, namun ia tak ingin terus- menurus bersedih menerima takdir hidup, justru akibat terdiagnosis HIV positif membuatnya sering sekali diminta menjadi pembicara untuk sekedar berbagi mengenai HIV, ia pun bersyukur karena tidak ada orang disekitarnya yang melakukan deskriminasi terhadap dirinya, justru ia senang bisa bermanfaat untuk orang banyak,
125
karena bisa berbagi kisah inpiratif yang nyata ia telah alami sebagai pembelajaran bagi orang lain. Berikut hasil wawancara tersebut: “Paling saya aktivnya di gereja deket rumah Mbak, emang dari sebelum ketauan HIV Positif saya udah aktiv sama kegiatan- kegiatan gereja, mulai dari saya remaja. Sampe sekarang saya juga masih aktiv di gereja... sering banget diminta buat jadi pembicara untuk sekedar sharing mengenai HIV.. Puji Tuhan orang- orang disekitar saya gak ada yang mendeskriminasi saya, justru mereka banyak yang seneng dengerin cerita saya, inspiratif katanya…. “ “…. Dan sering di ajak juga sama temen- temen LSM buat ikutan acara- acaranya” (Informan 5) Dengan demikian, berdasarkan informasi- informasi dari hasil wawancara mendalam kepada para informan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar informan tetap aktif atau menjadi aktif di lingkungan sekitarnya setelah terinfeksi HIV, walaupun beberapa informan masih menutup statusnya di lingkungan sekitar. Agar lebih memudahkan dalam mecerna informasi dari hasil wawancara mengenai keaktifan informan dengan lingkungan sekitar sebelum dan sesudah terinfeksi HIV, dibuatkan tabel sebagai berikut:
126
Tabel 5.7 Keaktifan Perempuan dengan HIV Positif yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur dengan Lingkungan Sekitar Sebelum dan Sesudah Terinfeksi HIV Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar Informan
Sebelum Terdiagnosis HIV Aktif
Informan 1
V
Informan 2
V
Tidak
Aktif
Tidak
V V
Informan 3
V
Informan 4
V
Informan 5
Setelah Terdiagnosis HIV
V
V V V
Dengan demikian, berdasarkan informasi- informasi dari hasil wawancara mendalam kepada para informan, dapat disimpulkan bahwa keaktifan informan di lingkungan sekitar sebelum dan setelah terinfeksi HIV, sebagian besar informan mengalami perubahan keaktifan. Terdapat dua informan yang tetap aktif di lingkungan sekitarnya baik sebelum maupun setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sementara itu, ada satu informan yang memang tidak aktif di lingkungan sekitarnya sejak awal sebelum terdiagnosis HIV dan semakin menutup dirinya sehingga tidak mau berusaha untuk aktif di lingkangan sekitar. Satu informan lainnya awalnya memiliki keaktifan di lingkungan sekitar, namun setelah terdiagnosis HIV positif informan ini menjadi malu
127
untuk kembali aktif di lingkungan rumahnya, sengaja menjauh dari orangorang sekitar agar tidak diketahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif. Namun ada pula informan yang justru sebelum terdiagnosis HIV adalah pribadi yang tertutup dan tidak mudah untuk bergaul dengan orang di lingkungan sekitarnya karena seringnya informan berpindah tempat tinggal, ia menjadi pribadi yang aktif dan mudah bergaul setelah mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV positif.
5.2.4 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Perempuan dengan HIV/AIDS Riwayat HIV/AIDS pada keluarga informan, dilihat dari sisi ada atau tidaknya riwayat HIV/ AIDS dalam keluarganya. Selain itu juga dilihat pola asuh dari orang tua informan. Dari semua informan, hanya suaminya saja yang memiliki riwayat HIV/AIDS, keluarga yang lainnya tidak ada yang memiliki riwayat HIV/AIDS. Pada riwayat keluarga dengan HIV/AIDS, seluruh informan kompak menjawab bahwa jika keluarga yang dimaksud disini merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan adik, serta saudaranya yang tinggal satu rumah dengannya, maka riwayat itu tidak ditemukan dalam keluarga setiap informan. Kejadian ini terbukti dengan pengakuansalah satu informan dalam kutipan wawancara mendalam berikut ini: “Setau saya sebelumnya tidak pernah ada keluarga saya yang sakit kayak saya ini, baru saya ini yang ketularan sakit kayak gini, terularnya bukan melalui sikap saya yang bandel atau gimanagimana, tapi justru karena ketularan suami.” (Informan 5)
128
Sebagian besar dari informan memiliki pola asuh dalam keluarga yang baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, juga dalam penanaman nilai agama. Dari hasil wawancara mendalam juga didapati bahwa pola asuh orang tua juga turut memberikan andil dalam penentu sikap dan perilaku informan, sebagian besar informan memang mendapatkan pola asuh yang cukup baik dari orang tuanya, pola asuh yang lebih mengedepankan keyakinan dalam beragama. Seperti dalam kutipan wawancara berikut: “Keluarga saya keagamaannya bisa dibilang cukup tinggi, saya juga dari kecil udah diajarin untuk mengenal Tuhan dan harus bisa banyak berbagi manfaat untuk umat Tuhan lainnya”. (Informan 5) Berbeda dengan pola asuh sebagian besar informan lainnya, pola asuh keluarga salah satu informan yang dibesarkan dalam keluarga ibu yang merupakan seorang janda dan cenderung kurang memberikan perhatian dan memberikan kebebasan kepada informan, karena kesibukannya dalam bekerja dan mencari nafkah menggantikan tugas ayahnya yang telah meninggalkan informan beserta keluarga sedari informan duduk di bangku sekolah dasar. Ia juga mengakui bahwa hal ini yang menyebabkannya menjadi pribadi yang bebas dalam mencoba berbagai hal dalam kehidupannya. Hal ini sejalan dengan pengakuan informan dalam wawancara berikut ini: “Yaaa namanya juga kan anak muda yaa masih labil- labilnya, diajak temen nyoba- nyoba ini itu yaa mau aja.. apa lagi orang tua saya, bokap udah meninggal dari saya SD, kalo nyokap yaa tiap hari sibuk kerja, kerja, dan kerja. Tipikal nyokap juga yang cuek bebek gitu, terserah anak- anaknya deh mau ngelakuin apa aja yang jalanin kan kita sendiri, yang nanggung resiko juga yaaa kita sendiri.” (Informan 4)
129
Akibat dari pola asuh orang tua informan dalam mendidik, informan mengaku bahwa dirinya sempat terjerumus masuk kedalam pergaulan bebas dan sempat pula mencoba beberapa jenis narkoba yang cara penggunaannya dengan menggunakan jarum suntik. Tidak tanggung- tanggung, selain informan menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman- temannya, ia juga menggunakannya saat masih usia remaja, saat
ia masih duduk di bangku
sekolah menengah, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara mendalam berikut ini: “Pas jaman- jaman SMK….” “ ….Saya gak tau penyebab HIV saya apa. Eee Bisa jadi garagara saya make jarum suntik bareng- bareng …” “Cuma, saya memang pernah, waktu SMK dulu, nyoba narkoba, putaw, heroin, ganja dan itu pake jarum suntikan yang gak tau juga deh itu steril apa enggak.nggak ngerti juga saat itu saya sudah kena HIV apa belom…”(Informan 4) Latar belakang keluarga lainnya yang mendukung terjadinya perilaku terdiagnosis lainnya juga terlihat dari hasil jumlah saudara kandung yang dimiliki, hal ini peneliti dapatkan saat informan mengisi informasi data diri di lembar wawancara mengenai jumlah saudara kandung dari perempuan terdiagnosis HIV positif. Dari informasi mengenai jumlah saudara kandung yang dimiliki oleh perempuan dengan HIV/AIDS terlihat bahwa tiga dari informan merupakan anak pertama dan dari semua informan memiliki saudara kandung, dengan demikian, informan dalam penelitian ini tidak ada yang merupakan anak tunggal, bahkan terdapat informan yang memiliki saudara kandung hingga 6 (enam) bersaudara. Untuk mempermudah dalam
130
mendeskripsikan hasil terkait latar belakang keluarga informan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 5.8 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga, Pola Asuh Orang Tua, serta Jumlah Saudara Kandung dari Perempuan dengan HIV/AIDS di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Informan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
Keluarga yang Memiliki Riwayat HIV
Pola Asuh Orang Tua
Jumlah Saudara Kandung
Suami (terdiagnosis setelah informan)
Cukup baik dalam memberikan perhatian dan cukup baik dalam menanamkan nilai agama
1 dari 2 bersaudara
Suami (terdiagnosis setelah informan)
Cukup baik dalam memberikan perhatian dan cukup baik dalam menanamkan nilai agama
2 dari 4 bersaudara
Suami (terdiagnosis setelah informan)
Kurang perhatian, cenderung diberikan kebebasan, kurang dalam penanaman nilai agama.
4 dari 6 bersaudara
Suami (terdiagnosis sebelum informan)
Kurang perhatian, cenderung diberikan kebebasan, kurang dalam penanaman nilai agama.
1 dari 3 bersaudara
Suami (terdiagnosis setelah informan)
Cukup baik dalam memberikan perhatian dan sangat baik dalam menanamkan nilai agama
1 dari 2 bersaudara
131
5.2.5 Pengetahuan HIV/AIDS Gambaran pengetahuan mengenai HIV ini tergambarkan dari hasil wawancara mendalam dengan pertanyaan- pertanyaan yang meliputi: pengetahuan mengenai singkatan HIV, pengetahuan mengenai cara penularan HIV, pengetahuan mengenai cara pencegahan HIV, dan pengetahuan mengenai cara pengobatan HIV. 5.2.5.1 Pengetahuan Mengenai Singkatan HIV Sebagian besar informan memiliki pengetahuan mengenai singkatan HIV yang kurang, sehingga masih ragu dalam menjawab bahkan ada yang tidak tahu. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan diperoleh informasi mengenai pengetahuan singkatan HIV yang beragam. Ada informan yang memang belum mengetahui apa itu HIV dan bahkan belum mencari tahu apa itu singkatan dari HIV, padahal informan sudah mengetahui bahwa ia menderita HIV positif, seperti informan berikut ini: “Gak tau saya, dan tau….”(Informan 1)
gak
pernah
juga
saya
mencari
Dari kelima jawaban dari informan, pengetahuan mengenai singkatan dari HIV yang tepat hanya di jawab oleh satu orang saja, yaitu informan 5. Dua informan lainnya, yakni informan ketiga dan informan keempat jawabannya mendekati benar, namun masih ada keraguan menjawab dari informan ketiga. Sementara informan pertama dan informan kedua memiiki pengetahuan mengenai singkatan dari HIVnya masih sangat kurang.
132
5.2.5.2 Pengetahuan Mengenai Cara Penularan HIV Berdasarkan wawancara terhadap informan, dapat tergambarkan bahwa sebagian besar informan sudah mengetahui cara- cara penularan dari HIV. Adapun cara penularan HIV yang diketahui oleh informan antara lain: penularan dari penggunaan narkoba suntik, jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, hubungan seks tidak aman, melalui produk darah, penularan HIV dari ibu ke anak melalui kehamilan, persalinan, dan ASI. Hanya satu informan saja yang mengaku tidak mengetahui bagaimana cara penularan HIV, hal ini didukung dengan wawancara berikut: “Gak tau.”(Informan 1) Sementara itu, sebagian besar informan lainnya sudah memahami terkait cara penularan HIV. Dengan informan mengetahui cara penularan HIV, maka akan semakin mudah informan menjaga agar HIV yang ada di dalam tubuhnya tidak tertular ke orang lain. Seperti inilah beragam jawaban dari keempat informan lainnya mengenai pengetahuan mereka terhadap cara penularan HIV : “Penularannya bisa lewat narkoba suntik, bisa lewat hubungan seks sama orang yang HIV, transfusi darah dari orang yang HIV, dari ASI juga bisa.” (Informan 2) Dari kutipan wawancara diatas, terlihat bahwa informan sudah memahami cara penularan HIV, baik secara transmisi seksual maupun transmisi non seksual seperti dengan kontak darah melalu transfusi ataupun jarum suntik yang tidak steril. Informan juga telah memaparkan bahwa ASI juga dapat menjadi cara penularan HIV dari ibu yang memberikan ASI ke
133
bayi yang diberikan ASI. Adapula informan yang turut memaparkan bahwa penularan dari ibu ke anak juga dapat menular saat proses persalinan. Seperti dalam kutipan wawancara berikut: “…..dari ibu menular ke anaknya juga bisa nularin HIV lewat persalinan sama ASI.” (Informan 5)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dari empat informan mengenai cara penularan HIV, sudah cukup baik. Jawaban keempat informan sudah menyinggung cara penularan HIV baik dengan melalui hubungan seksual, juga melalui hubungan non seksual, serta melalui penularan dari ibu yang HIV ke anaknya. 5.1.5.3 Pengetahuan Mengenai Cara Pencegahan HIV Adapun pencegahan yang diketahui informan terangkum dalam ABCDE (Abstinent, Be faithful, Condom, no Drugs, Education) dan pencegahan penularan ibu ke anak dengan program PMTCT/PPIA. Hasil penelitian terkait pengetahuan informan mengenai cara pencegahan HIV dapat tergambarkan dari kutipan hasil wawancara berikut ini : “Pake kondom kalo berhubungan seksual dan gak pake narkoba. Terus periksa ke dokter supaya tau kena HIV apa enggak.” (Informan 1) Dari kutipan wawancara diatas, tergambarkan bahwa pengetahuan informan mengenai cara pencegahan HIV, agar tidak menularkan ke orang lain yakni dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tidak menggunakan narkoba, sebab narkoba yang dimasukan kedalam tubuh
134
dengan menggunakan jarum suntik, jika jarum suntiknya digunakan bersama dan tidak di sterilkan terlebih dahulu akan menjadi media penularan HIV pada orang lain.informan juga menyampaikan bahwa pemeriksaan diri untuk mengetahui status HIV positif dalam diri seseorang juga di butuhkan dalam pencegahan HIV. Fungsinya agar dapat melakukan pencegahan HIV sedini mungkin. Informan lainnya juga menyarankan agar tidak mengkonsumsi narkoba, tidak melakukan hubungan seks sembarangan, dan apabila ibu telah mengetahui bahwa drinya terdiagnosis HIV, sementara ia memiliki bayi, akan lebih aman bila tidak memberikan bayinya ASI. Informan juga menyarankan agar lebih berhati- hati lagi dalam menerima transfusi darah, karena HIV bisasaja
terdapat pada darah yang akan di berikan pada
penerima donor darah. Hal ini disampaikan informan dalam wawancara berikut: “Jangan narkoba, jangan berhubungan seks sembarangan, kalo punya anak bayi tapi ibunya positif HIV jangan kasih ASI, trus kalo mau nerima transfusi darah harus lebih hati- hati lagi.”. (Informan 2) Informan lainnya juga menjelaskan bahwa jika ingin mencegah HIV dilakukan dengan setia terhadap pasangan, kemudian menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, jika memiliki perilaku bergonta- ganti pasangan. Dan juga tidak menggunaka narkoba. Berikut kutipan wawancara dengan informan:
135
Informan 5 “Cara pencegahannya dengan setia sama pasangan, kalo emang punya perilaku buruk kayak gonta- ganti pasangan pake kondom juga, gak pake narkoba, perillaku nya harus sehat supaya terhindar dari HIV.” Ada pula yang menjelaskan cara pencegahan HIV hingga ke program PMTCT atau program PPIA. Program tersebut merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan angka kejadian HIV pada anak, yang pada umumnya lebih sering tertular dari ibu kepada anaknya berikut kutipan wawancaranya: “Pencegahannya selama ini tidak menggunakan jarum suntik yang tidak steril,terus eee hindari transfusi darah, terus ehmm.. hindari seks bebas tanpa menggunakan pengaman, teruus yang dari ibu ke anak ituu eee apa tuh namanya, pencegahan gitu deh, oh iya PMTCT.” (Informan 4)
Sementara itu, terdapat pula informan yang menjabarkan mengenai pencegahan dengan metode ABCD, yang merupakan singkatan dari abstinent, be faithful, condom, drugs, dan education. Program ABCDE ini juga merupakan bentuk ajakan pemerintah agar orang- orang yang telah tertular HIV tidak menularkan HIV kepada orang lain, begitujuga bagi yang belum tertular HIV, agar terhindar dari enularan HIV positif.Seperti dalam wawancara berikut: “Yaaa.. dengan setia sama pasangan, hubungan seks yang tidsk aman dengan menggunakan kondom, pokoknya pencegahannya pake ABCDE deh.. A nya abstinent ituh maksudnya gak ngelakuin seks bebas, B nya Be faithful ituu maksudnya musti setia sama pasangan, C nya pake kondom, D nya Drugs di jauhin jangan di pake, E nya apa yah lupa.. oiya edukasi tentang HIV. Udah deh pencegahaannya pake ABCDE ajah.” (Informan 3) 136
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara, bahwa kelima informan sudah mengetahui cara pencegahan HIV, baik melalui pencegahan seksual, seperti tidak melakukan seks bebas, setia terhadap pasangan, dan menggunakan kondom bila memiliki perilaku buruk bergonta- ganti pasangan. Dalam pencegahan HIV secara non seksual, para informan juga telah mengetahui apa saja yang harus dilakukan, seperti tidak menggunakan narkoba suntik, serta menghindari transfusi darah agar dirinya tidak menjadi penyebab penularan HIV kepada orang lain. Informan ke-3 juga menyinggung mengenai program ABCDE dalam salah satu cara pencegahan HIV dan informan ke-2 serta informan ke- 4 juga menambahkan pencegahan melalui transmisi ibu ke anak dalam pencegahan HIV yang lebih dikenal dengan program PMTCT atau PPIA. 5.2.5.4 Pengetahuan Mengenai Cara Pengobatan HIV Adapun cara pengobatannya dengan terapi ARV secara teratur. Adapula informan yang menyatakan cara lain dari pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan obat herbal dan pengobatan alternatif bagi yang takut dengan efek samping dari ARV. Berdasarkan wawancara mendalam kepada para informan, telah mengetahui jenis serta cara pengobatan HIV, berikut hasil wawancara peneliti kepada para informan : “Pengobatannya ituu ada obatnya itu namanya ARV (anti retroviral virus)…” (Informan 4) Dari kutipan wawancara diatas, informan telah mengetahui mengenai cara pengobatan HIV, yaitu dengan menggunakan ARV. Begitupula dengan
137
informan- informan lainnya yang telah mengetahui pengobatan yang digunakan dalam mengatasi HIV positif. Informan lainnya menambahkan bahwa dengan pola hidup yang sehat juga dapat membantu meringankan beban pada penderita HIV positif, pastinya dengan dibarengi pula dengan pengkonsumsian ARV secara teratur. Seperti dalam kutipan hasil wawancara berikut: “Yaaa, harus di ubah perilaku buruknya pake pola hidup yang sehat. Minum ARV juga secara teratur.” (Informan 5) Ada pula informan yang mengetahui bahwa ada solusi lain dalam pengobatan HIV, selain dengan menggunakan terapi ARV, yakni dengan menggunakan pengobatan herbal. Berikut hasil wawancaranya : “Kalo pengobatannya, pake obat- obatan terapi HIV, namanya apa yaa? Saya lupa. ARV kalo gak salah namanya Pokoknya di minumnya harus teratur…. saya juga pernah baca sih ada pengobatan herbal gitu yang bisa juga buat ngobatin HIV…..”(Informan 1) Bahkan, menurut informasi dari salah satu informan ini, banyak ODHA yang takut terhadap efek samping dari terapi ARV, sehingga lebih memilih untuk menggunakan terapi alternatif. Seperti hasil wawancara berikut ini : “Pengobatan sekarang? Kita terapi melalui ARV. Tapi banyak tuh ibu- ibu, temenku, dia make terapinya pake alternatif gitu soalnya takut sama efek sampingnya ARV.” (Informan 3) Mengenai cara pengobatan HIV, setiap informan sudah menguasai bagaimana jenis dan cara pengobatan HIV yang benar, yaitu dengan menggunakan terapi ARV. Ada pula informan yang megetahui bahwa dalam
138
pengobatan HIV bisa dengan menggunakan pengobatan herbal, bahkan dari pemaparan dari salah satu informan, dapat tergambarkan bahwa masih banyak ODHA yang menggunakan obat herbal dalam proses pengobatan HIV dan tidak melakukan terapi ARV, sebab takut akan efek samping dari penggunaan terapi ARV. 5.2.6 Agama Diantara masyarakat ada yang berpandangan bahwa agama untuk masalah HIV/AIDS tidak akan banyak membantu, sebagian orang bahkan alergi untuk memperbincangkan agama yang berkaitan dengan masalah HIV/AIDS, karena dianggap sebagai bentuk penghakiman dan kutukkan atas perbuatan- perbuatan buruk yang pernah di lakukan oleh orang- orang yg telah terinfeksi HIV. Adapun karakteristik berdasarkan agama ini meliputi jenis agama dan perubahan ketaatan dalam beribadah sebelum dengan setelah informan beserta pasangan terdiagnosis HIV positif. 5.2.6.1 Jenis Agama yang Dianut Berdasarkan hasil wawancara mendalam mengenai jenis agama yang dianut oleh informan dan pasangannya di peroleh bahwa sebagian besar informan dan pasangannya memiliki agama yang sama yaitu islam, informasi ini didukung dengan jawaban informan dari hasil wawancara berikut: “Saya islam, pasangan Islam juga. Tapi pas dulu, sebelom tau kita HIV mah masih bolong- bolong sholatnya, cuek gitu deh mbak.” (Informan 1) “Aku islam mbak.. suami aku dulu agamanya islam, tapi yaa gitu deh kelakuannya sholat nggak, ngaji nggak, malah mabok- mabokkan
139
seringnya, pake narkoba juga kan dia. Sebelas dua belas deh sama saya mbak. emang deh jodoh tuh emang cerminan diri kita. Eh, tapi saya gak mabok sama narkoba sih padahal.” (Informan 3) “Di KTP sih saya islam, tapi saya yaaa gitu deh, kalo lagi mau aja saya sholat, sama kalo lagi inget. Hehe.. Suami saya islam semua sampe pasangan saya yang sekarang juga islam, lebih tepatnya islam KTP kali yah mbak? di KTP doang ada tulisannya. hehe” (Informan 4) Berdasarkan jawaban dari ketiga informa, mereka mengakui bahwa agama yang dianut oleh dirinya dan pasangannya adalah islam, tetapi dari ketiga informan ini, sebagian besar secara tidak langsung mengakui bahwa mereka sangat jauh dari agama yang dianutnya. Sementara itu dua informan lainnya mengakui bahwa menganut agama Kristen, hal ini di buktikan dalam hasil wawancara berikut: “Protestan mbak, Kristen Prostestan…. Suami juga protestan” (Informan 2) “Agamanya kristen saya mbak…..Suami kristen juga” (Informan 5)
Dapat disimpulkan bahwa dari kelima informan sebagian besar beragama Islam dan sisanya menganut agama Kristen. Dari kelima informan ini juga memaparkan bahwa keyakinan yang dianut oleh dirinya sama dengan keyakinan yang dianut oleh pasanganya. Hal ini semakin di perkuat dengan melihat kolom agama di KTP yang dimiliki oleh kelima informan, walaupun hanya KTP informan saja yang diperlihatkan sementara KTP pasangannya tidak, namun hasil pengakuan mengenai keyakinan yang dianut kelima informan sama dengan yang terlihat pada kolom agama di KTP masing- masing.
140
5.2.6. 2 Perubahan Ketaatan dalam Beribadah Sebelum dengan Sesudah Terdiagnosis HIV Positif Semua informan berubah menjadi semakin lebih baik dalam beribadah Hal yang membuat perubahan itu terjadi para informan, antara lain karena merasa penyakitnya adalah bentuk ujian, untuk menghilangkan rasa sedih, dan untuk meredam depresi. Dari wawancara terlihat perubahan ketaatan dalam wujud ibadah yang dijalankan oleh para informan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan wawancara mendalam berikut: “setelah tedeteksi HIV, tetep sholat, semakin saya usahain supaya abis adzan langsung sholat. Karena mungkin aja penyakit ini sebenernya ujian buat saya” (Informan 1) Dari wawancara tersebut, informan mengakui bahwa ia menjadi semakin semakin sering dalam beribadah dan menjadi lebih memprioritaskan ibadah dibandingkan dengan urusan dunia, hal ini dikarenakan ia menganggap bahwa sakit yang sedang ia derita ini adalah ujian untuk dirinya. Begitu juga dengan informan lainnya yang semakin sering beribadah dengan mengingat Tuhannya agar ia mampu menghilangkan segala rasa sedih yang menghampirinya akibat penyakit yang ia derita. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut: “Semakin sering inget sama Tuhan apalagi kalo lagi sedih mikirin nasib, yaudah lah berdoa aja” (Informan 4) Informan lainnya juga mengakui bahwa dengan ia mencoba untuk berpuasa sebagai salah satu bentuk ibadah lainnya, tujuan ia melakukan hal tersebut agar ia mampu mengatasi depresi akibat terinfeksi HIV/AIDS, seperti dalam kutipan wawancara berikut:
141
“pas awal kedeteksi HIV, saya beberapa kali nyoba buat puasa, sebulan berturut- turut mungkin ada, maksudnya supaya saya gak terlalu depresi saat itu…”(Informan 5) Kutipan dari hasil wawancara mendalam mengenai perubahan ketaatan beribadah memperlihatkan bahwa ada perubahan dalam segi beribadah bagi para informan setelah mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif. 5.2.7 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS Sebagian besar informan mengetahui kemungkinan mengalami HIV/AIDS karena dirinya dan anggota keluarganya menderita sakit yang sulit sembuh. Adapula informan yang memenuhi ajakan untuk melakukan VCT, hingga akhirnya informan mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Adapun bukti bahwa pada awalnya anaknya yang menderita menderita sakit terlebih dahulu dan sulit untuk sembuh, terlihat dari kutipan wawancara berikut ini: “…kondisi anak kedua saya terlahir dengan paru- paru yang gak ngembang, trus hidrocefalus juga, jadi pas lahir langsung masuk incubator, di rawat sampe 3 minggu di Rumah Sakit, sembuh, tapi sembuh Cuma paru- parunya doang yang bisa napas normal. 2 minggu setelah pulang ke rumah, kambuh lagi, di rawat lagi 3 minggu di Rumah Sakit Cipto. Trus, dokternya kali penasaran, di rawat kok bukannya makin baik malah makin turun, turun, turuuun terus kan. Tiap hari sama dokternya di cari tau penyebabnya apa. Eh,terakhirnya dokternya tes HIV ke anak saya, ternyata positif HIV. Dari situ saya sama suami dikenalin sama dokternya ke dokter Puskesmas yang ngurusin HIV disana saya sama suami di tes HIV, hasilnya sama.” (Informan 2) Adapula informan yang yang memenuhi ajakan untuk melakukan VCT saat kegiatan penyuluhan HIV/AIDS dan VCT di wilayah RWnya, seperti dalam kutipan wawncara berikut ini:
142
“…Awalnya saya sempet takut juga buat ikut tes- tes kayak gitu, ngeri kalo sampe saya ternyata kena HIV gimana? Akhirnya saya di rumah aja tuh, gak dateng ke acara di RW saya. Otomatis saya gak ikutan Penyuluhan dan Tes HIVnya. Tapi gak lama, ibu RW sama kader- kader puskesmas yang lainnya dateng ke rumah saya, di samper saya buat ikutan periksa HIV, katanya tinggal saya yang belum di tes di RW ini, di bujuk- bujuk deh pokoknya biar saya ikutan tes HIV. Darisitu Saya tiba- tiba aja muncul firasat buruk, kenapa ini ya orang- orang pada ngajakin saya buat ikutan tes? Tapi yaudah deh setelah saya pikir- pikir ini kan juga demi kebaikan saya,dan kayaknya gak mungkin juga saya kena HIV, orang saya perempuan baik- baik kan. akhirnya saya mau buat di tes HIV.” (Informan 1) Dari kutipan wawancara diatas, dapat diketahui bahwa pada awalnya informan tidak menginginkan untuk dilakukan pemeriksaan HIV, namun karena ia diminta dan diajak langsung oleh ibu RW dan kader- kader Puskesmas untuk ikut serta dalam melakukan tes HIV di kegiatan tersebut, maka informan pun akhirnya melakukan tes HIV dan mengetahui jika hasil tesnya adalah HIV positif. Hal yang hampir ditemukan pada informan lainnya, informan ini melakukan tes HIV saat sedang hamil. Saat itu ia merasakan diare yang tak kunjung sembuh, sehingga petugas kesehatan memintanya untuk melakukan tes HIV di laboratorium, hal ini dibuktikan dalam kutipan wawancara berikut: “Awalnya saya gak tau, tapi waktu hamil saya diare gak berhentiberhenti. Bolak- balik Puskesmas, dan disitu dokter Puskesmas curiga sama saya. Saya di saranin buat tes HIV. Karena saya juga penasaran, pergi lah saya ke Laboratorium. Udah deh, disitu saya ketauan kalo saya penderita HIV Positif.”(Informan 5)
143
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa HIV tidak memiliki gejala yang khas, karena dari semua informan tidak ada yang merasakan bahwa dirinya telah terinfeksi HIV/AIDS, namun dengan adanya sakit yang sulit pulih yang diderita oleh anggota keluarga dan informan sendiri, sudah cukup membuat kecurigaan pada petugas kesehatan yang menangani, tetangga yang meihat, dan diri informan sendiri yang merasakan, untuk akhirnya segera mengambil tindakan berupa tes HIV/AIDS.
5.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat
Adapun gambaran distribusi perempuan dengan HIV/AIDS menurut tempat dari perempuan terdiagnosis HIV positif sebagai informan dalam penelitian ini meliputi keberadaan pusat pelayanan kesehatan terdekat dari daerah wilayah tempat tinggal informan, kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat, serta alasan informan lebih memilih layanan kesehatan di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa semua informan menyatakan didaerah tempat tinggalnya terdapat pusat layanan kesehatan yang lebih dekat dari pada Puskesmas Kramat Jati. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut: “deket rumah ada, tapi saya lebih milih ke puskesmas kramat jati” (Informan 1) “deketan juga ke puskesmas ciracas mbak, ke pasar rebo juga deket” (Informan 2) “Ada, ada puskesmas mampang kan, tapi lebih enak aja ke puskesmas kramat jati” (Informan 3)
144
Dari hasil wawancara diketahui bahwa semua informan pada saat sebelum mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV positif, mereka merasakan adanya manfaat dari pusat layanan kesehatan terdekat dari tempat tinggalnya, dalam hal ini berupa Puskesmas. Jenis kebermanfaatan yag dirasakan antaralain adalah sebagai tempat informan dan anggota keluarga informan berobat, kegiatan penyuluhan dan VCT. Informasi ini didukung oleh kutipan wawancara berikut: “….itu kan saya ketauan kena HIV karena ada penyuluhan HIV sama ada tes HIV juga…” (Informan 1) “waktu saya hamil, saya ke Puskesmasterdekat dari tempat tinggal saya, trus disaranin tes HIV di lab.” (Informan 5)
Berdasarkan informasi yang telah peneliti dapatkan dari wawancara dengan informan yang merupakan pasien di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, didapatkan informasi bahwa walaupun informan berobat di Puskesmas Kramat Jati, namun ternyata daerah tinggal informan beragam dan tidak ada yang tinggal di dekat Puskesmas tempat mereka berobat. Tiga informan tinggal di daerah wilayah Jakarta Timur namun tidak satu kecamatan dengan Puskesmas Kramat Jati yang berada di kecamatan Kramat Jati, tiga informan tersebut bertempat tinggal di Cililitan, Ciracas, dan Kalimalang. Sementara dua informan lainnya tinggal di wilayah Jakarta Selatan, tepatnya di Mampang dan Manggarai. Hal ini di karenakan informan takut status HIV positif yang mereka derita terungkap oleh masyarakat disekitar tempat tinggalnya. Seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini:
145
“Saya kan jualan kue mbak, Ngeri pelanggan pada kabur mbak, pelanggan saya kebanyakkan tetangga- tetangga saya, kan lumayan pemasukkan kue saya walaupun cuma dikit juga.” (Informan 1) “Gak mau berobat deket rumah ah, isi Puskesmasnya tetangga saya semua, Takut kalo tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom siap saya.” (Informan 2) “Aku males aja kalo ketemu tetangga atau orang yang dikenal pas di Puskesmas, makannya lumayan banget aku tuh kalo berobat, jaraknya Mampang ke Kramat Jati.” (Informan 3)
Dari pernyataan tiga informan diatas dapat disimpulkan bahwa alasan mereka memilih berobat di Puskesmas Kramat Jati karena takut status HIV positif yang dideritanya diketahui oleh masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya. Baik untuk hanya untuk menjaga nama baik keluarganya saja ataupun karena bisnis yang tengah informan dikelola. Namun dua informan lainnya memberikan pernyataan seperti berikut ini: “Kenapa berobatnya jauh gitu? Hmm sebenernya aku berobatnya pindah- pindah.. hehe. Tapi yang di Kramat Jati ini udah lumayan lama gak pindah- pindah lagi.” (Informan 4) “Udah nyaman aja mbak berobat disana, petugasnya enak diajak ngobrolnya, gak nganggep kita sebagai pasien, nganggep kita kayak temen gitu mbak, asik- asik deh pokoknya.” (Informan 5)
Dari Pernyataan dua informan diatas, didapatkan bahwa informan walaupun sudah berpindah- pindah tempat dalam melakukan pengobatan, namun setelah berobat di Puskesmas Kramat Jati informan tidak berpindah- pindah tempat berobat lagi. Juga ada informan yang menganggap petugas di Puskesmas Kramat Jati tidak menganggapnya sebagai pasien namun lebih menganggap sebagai teman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor keamanan agar status HIV
146
positifnya tidak diketahui oleh orang- orang di wilayah sekitar tempat tinggalnya serta kenyamanan menjadi kunci utama yang menyebabkan informan berobat di Puskesmas Kramat Jati meskipun mereka tinggal bukan disekitar wilayah Puskesmas Kramat Jati.
5.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu
Adapun gambaran distribusi menurut waktu dari perempuan dengan HIV/AIDS sebagai informan dalam penelitian ini meliputi lama sakit yang telah diderita oleh informan dan usia saat informan pertamakali terdiagnosis HIV positif. Berikut gambaran distribusi menurut waktu: 5.4.1 Lama Sakit Perkiraan rentang lama sakit pada informan mulai dari 4 bulan hingga 11 tahun. Peneliti tidak menanyakan terkait lama sakit yang sudah diderita oleh kelima informan, namun berdasarkan hasil wawancara mendalam ketika menanyakan usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV positif, dapat tergali informasi bahwa jarak antara pertamakali informan terdiagnosis HIV hingga saat wawancara mendalam dilaksanakan pada tahun 2015 berkisar antara 4 bulan hingga 11 tahun. Hal ini didukung dengan informasi berikut ini: “….Taunya pas di acara itu, itu akhir Desember 2014”.(Informan 1) Informan pertama menyatakan bahwa dirinya mengetahui status HIV positif di akhir Desember 2014, sementara wawancara mendalam dilakukan pada
147
April 2015, sehingga di perkirakan lama sakit yang diderita oleh informan 1 adalah 4 bulan. Sementara itu pada informan 2 hasil wawancaranya adalah sebagai berikut: “…. Itu tahun kemaren, 2014 bulan Juli.” (Informan 2) Wawancara mendalam dilaksanakan pada bulan april 2015, sehingga informan sudah mengetahui status HIV nya selama 9 bulan terakhir. Jadi perkiraan lama sakit pada informan kedua adalah 9 bulan. Pada informan pertama dan kedua, diketahui bahwa perkiraan lama sakitnya masih dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Berbeda dengan informan ketiga, informan keempat dan informan kelima yang lama sakitnya diperkirakan sudah lebih dari 8 tahun. hal ini dibuktikan dengan wawancara mendalam berikut ini: “Pertama kali tau tahun 2007, bulan Juli. Itu abis lahiran 4 bulan, udah sempet ngasih ASI juga.” “Anak pertamaku yang cewek, lahir tahun 2002, kasian dia, kerjaannya buang- buang aer mulu, tadinya gak ketauan penyakitnya apa. Kata dokter diare akut. Akhirnya meninggal di usia 8 bulan. Dan ketauan lah penyakitnya ternyata kemungkinan besar HIV , itu juga setelah anak kedua aku ketauan kena HIV.” (Informan 3) Dari informasi diatas, dapat diketahui bahwa informan 3 pertamakali mengetahui status HIV positifnya pada tahun 2007, empat bulan setelah kelahiran anak keduanya, itu berarti perkiraan lama sakit yang diderita oleh informan hingga saat di wawancara pada tahun 2015 adalah 8 tahun. Namun, karena saat itu didiagnosis HIV positif, muncul kecurigaan akan sakit yang telah diderita oleh anak pertamanya hingga meninggal dunia. Hasil wawancara mendalam juga memperoleh informasi terkait lama sakit yang juga sudah diderita oleh informan
148
5, dirinya mengetahui status HIV positif menginfeksinya pada tahun 2006. Ini artinya infroman 5 sudah terinfeksi HIV positif selama 11 tahun belakangan ini, berikut hasil wawancaranya: “…. Itu tahun 2006.” (Informan 5) Pada informan kelima, dapat diketahui bahwa dirinya baru mengetahui telah tertular HIV pada tahun 2004, padahal setahun sebelumnya suaminya meninggal dunia dan di diagnosis HIV positif. Selama satu tahun setelah kepergian suaminya, ia tidak berperilaku yang menyebabkan tertular HIV pada dirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa informan keempat telah mengetahui terdiagnosis HIV/AIDS pertamakali pada tahun 2004, atau sudah menderita HIV/AIDS selama 12 tahun. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini: “….Akhirnya Setahun dari kepergian suamiku, tahun 2004, aku beraniin deh diri aku buat konsultasi di puskesmas disaranin buat cek HIV juga. Aku cek di laboratorium, Dan ternyata hasilnya positif. Disitu aku gak berani bilang ke siapa- siapa, aku tutupin semuanya dari orang- orang di sekitarku.” (Informan 4) Dari informasi- informasi yang tersajikan diatas, juga dengan didasari bukti- bukti informasi dari hasil wawancara dengan informan, dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkiraan lama sakit yang telah diderita oleh informan dalam penelitian ini adalah mulai dari 4 bulan hingga 12 tahun setelah melakukan tes HIV pertama kali dan terdiagosis HIV positif hingga saat proses wawancara mendalam berlangsung.
149
5.4.2 Usia Perempuan dengan HIV/AIDS saat Pertamakali Terdiagnosis HIV Positif Perkiraan rentang usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 27 tahun hingga 36 tahun. Peneliti tidak menanyakan terkait usia saat pertamakali informan terdiagnosis HIV positif, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara terhadap kelima informan dalam penelitian ini, dapat di ketahui mengenai usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV. seperti dalam pernyataan berikut ini: “….Taunya pas di acara itu, itu akhir Desember 2014.” (Informan 1) Dari pernyataan diatas, acara yang dimaksudkan oleh informan pertama adalah kegiatan VCT yang diadakan oleh Puskesmas wilayah tempat tinggalnya , kegiatan VCT tersebut saat itu diadakan di wilayah RW tempat tinggal informan. Saat wawancara tahun 2015, informan berusia 30 tahun, ini berarti perkiraan usia informan saat pertama kali terdiagnosis HIV adalah 29 tahun. Selanjutnya ada juga informan yang terdiagnosis HIV positif di tahun yang sama dengan informan sebelumnya, yaitu terdiagnosis di tahun 2014. Saat wawancara mendalam usia informan 37 tahun, sehingga saat pertama kali terdiagnosis HIV positif diperkirakan usianya adalah 36 tahun. hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut ini: “…. Itu tahun kemaren, 2014 bulan Juli.” (Informan 2) Adapula informan yang terdiagnosis HIV positif di tahun 2007, seperti dalam apernyataan berikut ini: “Pertama kali tau tahun 2007, bulan Juli. Itu abis lahiran 4 bulan, udah sempet ngasih ASI juga.” (Informan 3)
150
Dari pernyataan tersebut, jika di sinkronkan dengan usia saat wawancara mendalam di tahun 2015, usia informan adalah 38 tahun, sehingga perkiraan usia informan saat terdiagnosis HIV positif adalah 30 tahun. Namun informan mencurigai bahwa ia telah teinfeksi HIV mulai dari 5 tahun sebelum ia terdiagnosis HIV, atau ketika ia berusia 25 tahun. Sebab anak pertamanya meninggal dunia karena diare yang terjadi terus menerus di tahun 2002, sayangnya tenaga kesehatan tidak melakukan pengecekan HIV pada anak atau pun dirinya saat itu, ia pun ketika itu belum mengetahui mengenai HIV/AIDS sehingga tidak berusaha untuk mencari tahu. Informan selanjutnya terdiagnosis HIV di tahun 2006, saat wawancara mendalam tahun 2015, informan ini berusia 39 tahun, artinya 9 tahun yang lalu informan ini terdiagnosis HIV, sehingga usia saat pertama kali terdiagnosis HIV positif diperkirakan adalah 30 tahun. berikut ini pernyataan dari informan: “…. Itu tahun 2006.” (Informan 5) Informan terakhir, menyatakan setahun setelah suaminya meninggal dunia baru berani melakukan tes HIV, dan dari situlah informan pertamakali terdiagnosis HIV positif. Tahun 2015, saat dilakukan wawancara mendalam, informan berusia 38 tahun. Sehingga usia saat pertamakali informan terdiagnosis HIV positif diperkirakan adalah 27 tahun. berikut pernyataan dari informan: “……..Akhirnya Setahun dari kepergian suamiku, tahun 2004, aku beraniin deh diri aku buat konsultasi di puskesmas disaranin buat cek HIV juga. Aku cek di laboratorium, Dan ternyata hasilnya positif. Disitu aku gak berani bilang ke siapa- siapa, aku tutupin semuanya dari orang- orang di sekitarku.” (Informan 4)
151
Dari bukti yang ada berdasarkan pernyataan- pernyataan informan dalam wawancara, didapatkan bahwa usia mereka saat pertamakali terdiagnosis HIV positif, diperkirakan berkisar antara 25 tahun hingga 36 tahun, dan usia ini tergolong dengan kelompok usia produktif. Dari hasil wawancara mendalam ketika informan terdiagnosis HIV, di dapatkan bahwa informan sangat sedih, marah, kecewa, bingung, panik, dan penolakan untuk menerima status barunya sebagai perempuan dengan HIV positif. Hal tersebut tergambarkan seperti dalam kutipan wawancara berikut ini: “Perasaannya sedih, sempet bingung, sempet stress, saya sombong banget sebelumnya selalu mikir gak akan mungkin kena penyakit kayak beginian. Saya beberapa malam setelah kejadian itu jadi gak bisa tidur, kepikiran terus.” (Informan 1) Adapula informan yang hingga pingsan di tempat setelah terdiagnosis HIV positif. Hal tersebut akan sangat mungkin terjadi pada saat awal pertama kali informan terdiagnosis HIV positif. Informan tidak merasa melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri, dalam hal ini membahayakan hingga terinfeksi HIV positif. Hal lainnya yang informan rasakan ialah keluarga dan masa depan anaknya yang baru saja ia lahirkan saat itu, berikut kutipan wawancara mendalamnya: “….Tadinya mah pas tau aku langsung pingsan di tempat, pas sadar langsung nangis sejadi- jadinya. Langsung keinget ke anakku yang nomer dua, dia udah sempet aku kasih ASI, saat itu takut banget kalo sampe dia ikut ketularan penyakit dari aku. Eh, ternyata positif HIV.” (Informan 3) Terlepas dari pernyataan diatas, setiap informan memiliki caranya masing- masing untuk meredam emosi yang ketika itu muncul, ada yang
152
berusaha untuk terus ikhlas dalam menerima status barunya, dan tetap berusaha untuk berbakti pada suami yang telah menularkan HIV pada dirinya. Seperti dalam kutipan berikut ini: “…..Walaupun kesel sama suami yang terus nyalahin saya sebagai penyebabnya, saya tetep berusaha untuk terus ikhlas nerimanya, tetep berbakti sama suami juga....” (Informan 1) Hal yang berbeda dilakukan oleh informan lainnya, ia merasa butuh pencerahan dari pelayan kesehatan sehingga ia langsung menemui tenaga kesehatan di Puskesmas untuk melakukan konseling. Sehingga dari pernyataan di atas, terlihat bahwa usia terdiagnosis HIV saat itu juga mempengaruhi bagaimana cara informan mengambil tindakan dalam mengatasi keadaan dan kondisi hati yang tidak menentu.
153
BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian
Triangualasi sumber tidak dapat dilakukan kepada pasangan dari informan yang menjadi tersangka dalam penyebaran transmisi HIV positif hingga informan terdiagnosis HIV positif. Hal ini disebabkan karena beberapa pasangan informan tersebut telah meninggal dunia, sementara pada pasangan yang masih hidup, sulit untuk peneliti temui dalam melakukan pendekatan untuk menggali informasi kepada pasangan informan. Namun triangulasi sumber hanya dilakukan pada informan pendukung yang meliputi: penanggung jawab Poli HIV & IMS Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, pendamping ODHA, tetangga beberapa ODHA, dan tetangga di sekretariat LSM Tegak Tegar. Peneliti juga tidak dapat melakukan wawancara kepada keluarga setiap informan sebab hanya dua informan yang peneliti datangi langsung kerumahnya saat proses wawancara mendalam. Diantara dua orang tersebut, satu informan masih merahasiakan status HIV positif dari keluarga dan tidak mengizinkan peneliti melakukan wawancara terhadap keluarganya. Sehingga hanya ada satu informan saja yang keluarganya bisa dijadikan informan dalam penelitian ini.
154
6.2 Gambaran Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS
Dalam penelitian ini, gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut orang membahas mengenai usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, sosial ekonomi, latar belakang keluarga, pengetahuan HIV/AIDS, agama, dan gejala awal dicurigai mengalami HIV/AIDS. 6.2.1 Tingkat Pendidikan Gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS menurut orang, salah
satunya
adalah
tingkat
pendidikan.
Pendidikan adalah
pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak (Notoatmodjo, 2007).
a. Pendidikkaan Formal Hasil penelitian, pendidikan formal pada informan penelitian ini sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang sama, yakni pendidikan hingga bangku SMA atau sederajat dan hanya satu orang informan saja yang tidak memiliki ijazah pendidikan formal sama sekali, namun pada kenyataannya informan tersebut telah mencapai pendidikan SMP. Sehingga dapat di simpulkan bahwa pendidikan terakhir informan dalam penelitan ini tergolong kedalam pendidikan menengah.
155
Sesuai dengan harapan Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang menyatakan tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi perilakunya. Dengan demikian informan yang mengenyam pendidikan lebih tinggi, akan lebih mudah dalam menerima dan mengerti informasi yang telah didapatkan. Sementara itu menurut Notoatmodjo, pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara pandang seseorang tentang hidup, dalam hal ini cara pandang seseorang tentang kesehatan. Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang luas pula. Salah satu sumber informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media masa. Banyak tempat atau media yang bisa dijadikan sumber informasi untuk menambah pengetahuan, salah satunya berasal dari guru yang memberikan informasi kepada siswa-siswi melalui proses belajar mengajar mereka dalam menempuh suatu pendidikan (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan secara epidemiologi tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 3,742 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati, 2009). b. Pendidikan Non Formal Hasil penelitian diperoleh pula mengenai pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh perempuan dengan HIV positif yang menjadi informan dalam penelitian ini. Sebagian informan pernah mengikuti pendidikan non formal. Ini berarti sebagian informan sudah memiliki keterampilan lebih dari hasil pendidikan non formal yang telah mereka
156
tempuh. Dari penelitian ini pun diketahui bahwa kelima informan memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan formal, namun masingmasing memiliki hambatan yang beragam dalam merealisasikannya, sehingga dipilihlah pendidikan non formal sebagai tempat mengasah keterampilan dan keahlian serta sebagai salah satu realisasi dari keinginan mereka dalam melanjutkan sekolah formal. Pendidikan non formal juga mampu menjaga agar para penderita HIV/AIDS mampu berdaya guna dan dapat memiliki ekonomi yang mandiri tanpa harus berpangku tangan dengan orang lain. Semakin informan mengenyam pendidikan formal yang tinggi akan lebih mudah menerima dan mengerti informasi yang telah didapatkan seputar HIV. Hal ini sejalan dengan pendapat notoatmodjo dalam bukunya bahwa tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesehatan, seseorang makin menerima informasi sehingga makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005).
157
Hal tersebut juga sesuai dengan harapan Departeman Kesehatan Republik Indonesia yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi perilakunya. Dalam penelitian ini semua informan pada saat belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV, tidak melakukan perilaku berisiko HIV. justru pasangan merekalah yang berperilaku berisiko HIV hingga menularkannya kepada informan.
6.2.3 Status Pernikahan Pembahasan status pernikahan, bertujuan untuk menggambarkan keadaan mengenai hubungan informan dengan pasangannya yang akan dikaitkan dengan penularan HIV positif yang terjadi dari pasangan kepada dirinya. a. Status Pernikahan Hasil penelitian mengenai status pernikahan informan diperoleh hasil bahwa tiga dari lima informan telah berstatus janda, dengan satu informan belum resmi bercerai secara hukum negara. Jumlah itu lebih banyak daripada informan yang berstatus masih menikah, yaitu hanya dua orang. Sehingga berdasar gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang telah terinfeksi HIV positif memiliki risiko lebih besar untuk berstatus tidak menikah atau janda akibat suami meninggal dunia, ataupun karena ketidakcocokkan satu dengan yang lainnya. Terlebih dalam mencari pasangan yang dapat menerima informan sepaket dengan anak- anak dari hasil pernikahannya terdahulu dan juga penyakit HIV positif yang telah
158
menginfeksi dirinya. Namun HIV positif bukanlah penghambat bagi informan untuk dapat menikah kembali, seperti salah satu informan dalam penelitian ini, ia berhasil melaksanakan pernikahan kedua dan ketiganya tanpa harus menutup- nutupi statusnya sebagai perempuan dengan HIV positif kepada pasangannya. ODHA yang menikah dengan pasangan yang tidak terinfeksi HIV (HIV negatif), pasangan tersebut lebih dikenal dengan istilah pasangan ODHA serodiskordan, yaitu jalinan hubungan antara orang yang telah terdiagnosis HIV positif dengan orang yang berstatus HIV negatif. Namun pasangan ODHA serodiskordan ini sebenarnya memiliki banyak risiko di dalam pernikahannya. Salah satunya adalah penularan HIV terhadap pasangan yang negatif. Sehingga pasangan tersebut harus selalu menggunakan kondom setiap kali melakukan hubungan suami istri, agar suami dari ODHA terhindar dari penularan HIV/AIDS (Raidah, 2015). Selain itu penyakit HIV/AIDS secara luas akan berdampak pada semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Tidak hanya akan menimbulkan perubahan fisik saja, tapi juga menimbulkan perubahanperubahan dari segi psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual (Nursalam, 2007). Dari teori tersebut, jika dikaitkan dengan salah satu informan yang pernah mengalami menjadi pasangan ODHA serodiskordan, pada pernikahan keduanya, walaupun ia telah membuka status HIV positif pada suaminya, namun ia dan suaminya menutup rapat- rapat status tersebut dari keluarga suami dan orang di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan pada pernikahan 159
ketiganya, karena pernikahan terjadi secara siri dan tertutup tanpa diketahui keluarga dan istri pertama suaminya. Maka keluarga suami ketiganya itupun tidak ada yang mengetahui status HIV positif tersebut, namun suaminya tetap diberitahu terkait status HIV positif yang diderita oleh informan. b. Frekuensi dan Lama Pernikahan Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar dari informan hanya pernah menikah sebanyak 1 kali saja. Namun terdapat informan yang menikah lagi sebanyak dua kali pernikahan setelah suami pertamanya meninggal dunia. Dalam 2 kali pernikahan tersebut, informan menikah dengan orang yang tidak terinfeksi HIV karena menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Pasangan tersebut lebih dikenal dengan istilah pasangan serodiskordan, yakni jalinan hubungan pasangan ODHA dengan status salah satu dari psangan terinfeksi HIV positif sementara pasangan lainnya tidak terinfeksi HIV (Raidah, 2015). Apa yang telah dilakukan oleh salah satu informan dalam penelitian ini, sejalan dengan pendapat Tsevat (1999) dalam penelitian yang dilakukan oleh Arriza (2011), ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk bisa terus hidup dan memiliki harapan bahwa kehidupan mereka akan lebih baik daripada kehidupan sebelumnya. Membina hubungan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk memotivasi dirinya kembali menemukan kebahagiaan dan penyesuaian diri pada lingkungan (Arriza, 2011).
160
Lama usia pernikahan informan berkisar antara 3 hingga 9 tahun. Pernikahan terlama diatas usia pernikahan 5 tahun hanya terjadi pada dua informan dengan usia pernikahan selama 7 dan 9 tahun pernikahan. Menurut hasil dari penelitian Dian Anggraeni Raidah (2015), usia pernikahan pada pasangan
memiliki
hubungan
yang
signifikan
dengan
penyesuaian
pernikahan. Selain itu mayoritas pasangan yang memiliki usia pernikahan lebih lama akan menerima penyesuaian pernikahan yang semakin baik, seperti memiliki keeratan yang lebih tinggi, saling memahami, dan saling menghindari konflik rumah tangga (Raidah, 2015). Pernyataan tersebut terbukti dengan kenyataan yang ditemukan bahwa informan yang usia pernikahan mecapai 7 dan 9 tahun, bercerai dengan suaminya setelah suaminya meninggal dunia, bukan sengaja untuk meminta cerai. c. Usia Saat Menikah Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perempuan dengan HIV positif yang menjadi informan pada penelitian ini, menikah pada rentangusia 20 – 33 tahun. Menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun, sehingga usia ideal seseorang untuk menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki- laki. Dalam hubungan dengan hukum menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Nasry, 2009). Dari sana jelas bahwa UU tersebut menganggap orang dengan usia diatas tersebut bukan lagi anak- anak dan ia sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah pernikahan yang terlalu dini. Walaupun 161
begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun, masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya. Sejalan dengan peraturan pemerintah, usia para informan dalam penelitian ini saat hendak menikah, sudah memasuki usia yang diperbolehkan untuk menikah, namun jika melihat usia ideal menikah menurut BKKBN, tidak ada informan yang menikah di usia tidak ideal. Berbeda dengan para informan yang menikah diusia yang ideal, pasangan dari informan dalam penelitian ini ada yang memiliki usia tidak ideal saat hendak menikah, sebab berdasarkan hasil penelitian, usia pasangan dari perempuan yang terdiagnosis HIV positif berkisar antara 20 – 33 tahun, dengan tiga pasangan informan yang berusia dibawah 25 tahun saat hendak menikah. Serta didapati pula bahwa tiga di antara lima informan menikah dengan laki-laki yang usianya lebih muda dari informan, satu informan menikah dengan laki-laki yang usianya sepantaran dan satu informan menikah dengan laki-laki yang usianya lebih tua. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12- 24 tahun. sedangkan dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah mereka yang berusisa 10-19 tahun dan belum menikah. Informan dalam penelitian ini dan pasangannya, sebagian besar menikah saat usianya berada di kelompok usia remaja. Kelompok usia remaja merupakan masa krisis dimana pemahaman terhadap perilaku masih belum cukup matang. Walaupun kelompok usia remaja memiliki kemampuan kognitif untuk menentukan perilaku yang sehat, pada praktiknya remaja sering terdorong oleh kekuatan lain yang membuat mereka tidak berperilaku secara 162
sehat. Ini termasuk perilaku mencoba atau memulai hubungan seksual (Anggreani, 2005) sejalan dengan Hal tersebut menurut Dachlia (2000) dalam penelitian Yowel Kambu (2012), usia pertamakali melakukan hubungan seks penting dalam epidemiologi HIV karena berkorelasi dengan jumlah pasangan seks selama hidupnya. Umumnya seseorang mulai aktif secara seksual sejak remaja, kemudian berangsur- angsur aktivitas seksual meningkat sampai usia 30 tahun, lalu menurun setelah usia 30 tahun (Kambu Y. , 2012). Sehingga, semakin muda seseorang melakukan hubungan seks, maka ia akan semakin banyak memiliki peluang untuk melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, dan hal tersebut ini merupakan bagian penting dalam transmisi HIV. e. Status Pasangan Sekarang Hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar informan berstatus janda yang ditinggal meningga dunia oleh suaminya. Dua dari lima informan yang masih berstatus menikah, masih tinggal bersama suaminya. Terdapat pula dua orang informan yang yang berstatus janda, namun sekarang tengah menjalin hubungan dengan orang yang tidak mengetahui bahwa informan memiliki status HIV positif, kedua informan tidak memberitahukan statusnya karena takut pasangannya tidak dapat menerima status informan. Sementara satu informan lainnya tidak memiliki pasangan, dan merasa status HIV positif yang menjadi alasan hingga sampai sekarang informan belum memiliki pasangan lagi. Sehingga dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa status HIV ini mempengaruhi informan dalam mendapatkan pasangan 163
dan dalam membuka status HIV positifnya terhadap pasangan dan juga orang sekitarnya. Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan ini pun membuat ODHA susah menjembatani diri dengan orang lain. Mereka takut untuk membagi pengalamannya bahkan menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu pertolongan. Hal ini sejalan dengan teori bahwa ODHA senantiasa khawatir akan perlakuan yang akan didapatkan dari orang lain atas dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak engan dekat dengan para penderita HIV/AIDS karena takut pada virus yang bersifat menular tersebut (Nursalam, 2007). f. Jumlah Anak, Usia, dan Statusnya Terhadap HIV Positif Hasil penelitian Sebagian besar informan memiliki anak yang berstatus HIV positif, baik anak itu sudah meninggal dunia akibat infeksi oportunistik dari HIV yang dideritanya, maupun masih hidup hingga sekarang. Sementara itu hanya satu informan yang berhasil untuk tidak menularkan sama sekali HIV positif ke anak- anaknya, yakni informan ke-4 dengan status negatif HIV pada ketiga anaknya. Hal tersebut dikarenakan saat hamil anak pertama dan kedua ia belum terdiagnosis HIV positif, pada saat hamil anak ketiga barulah ia mendapatkan perawatan khusus dan diikut sertakan dalam program PPIA. Begitupula dengan informan ketiga dan kelima yang juga diikutsertakan dalam program PPIA setelah sebelumnya anak pertama
164
mereka terinfeksi HIV positif dan meninggal dunia akibat infeksi oportunistik yang menyerang. Kementrian Kesehatan RI, telah memiliki upaya untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, yakni dengan program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak), PPIA dilakukan dengan Melaksanakan kegiatan komprehensif yang meliputi 4 pilar/prong. Program ini telah tersusun rapi dalam “Rencana Aksi Nasional PPIA Indonesia 20132017” yang disusun oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2013, adapun 4 pilar/ prong tersebut, yaitu (Kemenkes RI, 2013) : 1. PRONG 1 Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15- 49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. Upaya pencegahan ini harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan reproduksi. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan pendukung yang juga merupakan penanggung jawab poli IMS dan HIV di Puskesmas 165
Kramat Jati diketahui bahwa pencegahan primer atau program PPIA pada prong pertama ini belum berjalan dengan maksimal. Sebab perempuan usia produktif, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah namun yang tidak terinfeksi HIV seringkali terlewatkan untuk melakukan VCT. Prong pertama ini baru akan terlaksana di Puskesmas Kramat jati bila ada pasien perempuan usia produktif yang meminta untuk di lakukan tes HIV untuk keperluan menikah atau hanya sekedar ingin mengetahui hasil jika ia melakukan tes HIV. Sehingga pencegahan primer di Puskesmas Kramat Jati lebih banyak masuk dan tercatat didalam program PITC bukan VCT ataupun PPIA. 2. PRONG 2 Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya jika hamil. Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Sejalan dengan teori mengenai PPIA, Puskesmas Kramat Jati melakukan prong 2 ini bersamaan dengan VCT, namun di Puskesmas Kramat Jati juga selalu di tawarkan untuk melakukan VCT pada setiap ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kandungan.
166
3. PRONG 3 Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut: 2. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV. 3. Diagnosis HIV. 4. Pemberian terapi antiretroviral. 5. Persalinan yang aman. 6. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak. 7. Menunda dan mengatur kehamilan. 8. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak. 9. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak. Puskesmas Kramat Jati merupakan salah satu Puskesmas di Jakarta Timur yang telah melaksanakan program PPIA di prong ketiga yang meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak secara komperehensif bagi ibu hamil yang telah terdiagnosis HIV positif. Namun jika saat persalinan, kondisi persalinan membutuhkan di rujuk ke rumahsakit besar, biasanya rujukannya adalah RS Polri, RSUD Pasar Rebo, RSCM, dan beberapa rumah sakit besar lainnya. 4. PRONG 4 Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya
167
sehingga membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Seperti di Puskesmas Kramat Jati yang memberikan dukungan kepada para pasien yang telah terdiagnosis HIV positif, dalam hal ini perempuan, dengan cara memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan dalam bentuk konsultasi dan pemeriksaan dengan tenaga pelayanan kesehatan yang tersedia dan juga bekerja sama dengan LSM untuk menjadi pendamping dari pasien- pasien yang telah terdiagnosis HIV positif.
Sehingga Diantara para informan yang memiliki anak dengan status HIV positif, sebagian besar anak yang tertular HIV positif adalah anak keduanya. Hal ini disebabkan karena kurang maksimalnya pelaksanaan dari prong pertama serta juga mungkin bila disebabkan karena saat informan tengah hamil dan melahirkan anak pertamanya ia belum terinfeksi HIV positif, barulah saat anak kedua informan mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif. Dalam proses mendapatkan informasi mengenai statusnya terhadap HIV positif pun, terjadi saat tengah hamil dan adapula yang mengetahui setelah melahirkan anak keduanya dan setelah timbul gejala infeksi oportunistik pada bayinya, sehingga pelaksanaan PPIA untuk pencegahan dari ibu ke anak, sudah pasti tidak tidak sempat di laksanakan
168
pada prong pertama dan kedua. Bagi informan yang mengetahui semenjak ia hamil, pelaksanaan PPIA dilaksanakan mulai dari prong ketiga. Sementara bagi yang baru terdiagnosis pasca melahirkan, PPIA tetap dilaksanakan, namun pelaksanaan langsung dari prong keempat. 6.2.4 Sosial Ekonomi Sebagaimana menurut Notoatmodjo, Kondisi sosial ekonomi adalah suatu kedudukkan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh orang yang membawa status tersebut. Sosial ekonomi juga menunjukkan kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005) . Sehingga dengan adanya pembahasan terkait sosial ekonomi dari informan, dapat melihat posisi informan dalam kehidupan bersosial masyarakat juga dapat melihat terkait kemampuan finansial dalam menunjang kehidupan sehari- harinya. a. Pekerjaan Sebelum dan Setelah Terdiagnosis HIV Positif Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterampilan khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan yang juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan terhadap pekerjaan tertentu (Masriadi, 2012). Dari
kelima
informan
dalam
penelitian
ini,
sebelum
terdiagnosis HIV positif dan sebelum menikah, sebagian besar
169
memiliki pekerjaan. Barulah setelah menikah, sebagian besar dari informan tidak mendapatkan izin untuk bekerja dari suami mereka masing- masing, sehingga pekerjaan para informan ketika itu adalah sebagai ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga memiliki kerentanan terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan oeh ketimpangan gender yang berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual suami, seperti membeli jasa WPS dan memakai narkoba suntik. IRT serngkali tidak berdaya ketika meminta suaminya memakai kondom saat berhubungan seks, sehingga lebih rentan tertular HIV (Anggreani, 2005). Hasil penelitian mengenai “Tingkat pengetahuan pelajar SMA Harapan1 Medan tentang seks bebas dengan risiko HIV/AIDS” menghasilkan bahwa perempuan secara sosial maupun ekonomi tidakmandiri (Dalimunthe, 2012). Sehingga perempuan akan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karenapasangan seksualnya. Perempuan sangat tergantung secara ekonomi kepada pasangan, dan hal ini menimbulkan kondisi ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual maupun non seksual yang berisiko HIV/AIDS pada suaminya.
Hasil penelitian diketahui bahwa beberapa waktu setelah menikah, informan baru terdiagnosis HIV positif. Sebagian besar informan memiliki pekerjaan setelah terdiagnosis HIV positif. Hanya
170
satu orang informan saja yang tidak memiliki pekerjaan setelah terdiagnosis HIV positif, padahal sebelum menikah dan sebelum terdiagnosis HIV informan tersebut telah bekerja selama 2 tahun, namun hal ini bukan dikerenakan status HIV positifnya, melainkan karena tidak mendapatkan izin dari suaminya untuk bekerja. Adapula informan yang sebelum terdiagnosis HIV positif tidak memiliki pekerjaan, akan tetapi setelah terdiagnosis HIV barulah ia memiliki pekerjaan, dan pekerjaan tersebut masih berkaitan erat dengan status HIV positifnya, yakni menjadi aktivis HIV dan volunteer di Yayasan Tegak Tegar. Salah satu prinsip HIV/AIDS dalam dunia kerja, infeksi HIV tidak boleh dijadikan alasan sebagai pemutusan hubungan kerja, seperti layaknya kondisi penyakit lain, infeksi HIV tidak harus membuat seseorang kehilangan hak bekerja, sepanjang orang tersebut masih layak bekerja dan dapat dbenarkan secara medis (ILO, 2001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang tidak ditemukannya pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja karena informan terinfeksi HIV positif. karena memang kecenderungan informan setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai wirausaha. Sementara itu dari hasil penelitian terhadap informan, sebagian besar informan memiliki kemandirian ekonomi, meski telah terinfeksi HIV positif. Hal ini juga menegaskan bahwa HIV positif sebenarnya bukanlah penghambat seseorang untuk terus bekerja dan berkarya. Namun sangat
171
disayangkan bahwa ada salah seorang dari kelima informan, yang pernah sempat memiliki pekerjaan sebagai WPS, hal tersebut terjadi setelah dirinya mengetahui bahwa suaminya terinfeksi HIV positif dan telah menularkan HIV positif pula pada dirinya. Kelima informan memiliki keinginan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang tengah mereka jalani, mereka menginginkan
bisa memiliki
pendapatan tetap,
karena
pendapatan mereka sekarang ini sulit untuk diprediksi. Namun banyak sekali variasi hambatan yang dialami oleh informan, dalam mendapatkan pendapatan tetap. Salah satu yang menjadi penghambat bagi mereka dalam mendapatkan penghasilan tetap adalah larangan dari pasangan untuk kembali bekerja, usia mereka yang sudah tidak lagi muda, serta modal untuk membuat usaha baru atau memperbesar usaha mereka yang sudah ada. b. Pendapatan Sekarang Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari usaha itu sendiri , bekerja pada orang lain, dan hasil dari kepemilikkan (Notoatmodjo, 2007).
172
Tingkat
pendapatan
keluarga
merupakan
pendapatan
atau
penghasilan keluarga yang tersusun mulai dari rendah hingga tinggi. Tingkat pendapatan setiap keluarga berbeda-beda. Terjadinya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis pekerjaan dan jumlah anggota keluarga yang bekerja. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2014 tentang upah tahun minimum provinsi DKI Jakarta adalah sebesar Rp.2.441.000,-. Adapun tingkat pendapatan keluarga dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu : a) Tingkat Pendapatan Rendah : Kurang dari Rp.2.441.000,-/bulan b) Tingkat Pendapatan Tinggi : Lebih dari Rp.2.441.000,-/bulan Empat dari lima informan yang telah diwawancarai, sudah memiliki kemandirian dalam pendapatan pada setiap bulannya, walaupun besar pendapatannya masih terkategorikan rendah dan bukan merupakan pendapatan tetap, akan tetapi masih bisa digunakan untuk mempertahankan hidup tanpa harus bergantung dengan suami ataupun pasangannya. Salah seorang dari empat informan, ada yang masih mendapatkan tambahan penghasilan dari pendapatan tetap suaminya, namun tidak bergantung sepenuhnya pada suaminya, sebab ia memiliki pekerjaan yang bisa menambah penghasilan dalam keluarganya. Hanya satu informan yang masih bergantung pada suami dalam hal pendapatan bulanan, karena tidak memiliki pemasukkan bulanan selain dari pendapatan suaminya yang juga tergolong tingkat pendapatan rendah.
173
c. Keaktifan dengan Lingkungan Sekitar (Sebelum dan Setelah Terdiagnosis HIV Positif) Timbulnya perubahan fisik yang terjadi pada perempuan terdiagnosis HIV/AIDS seperti menjadi semakin mudah lelah dan gampang terserang berbagai macam penyakit, akan semakin membuat peran ganda bagi mereka sebagai ibu yang harus merawat anak dan mengurus rumah tangga, sebagai seorang istri yang harus melayani setiap kebutuhan suaminya, dan sebagai dirinya sendiri dengan kondisi sakit yang di deritanya. Hal ini berdampak pada keterbatasannya dalam melakukan peran yang seharusnya dijalankannya. Menurut Jackson, terjadi perubahan pada perempuan dengan HIV/AIDS yaitu keterbatasan peran dalam merawat anak. Timbulnya berbagai perubahan fisik atau gejala akan memengaruhi kualitas hidup dan cara pandang perempuan HIV/AIDS (Jackson, 1999) Sebagian besar informan di lingkungan sekitar baik sebelum dan setelah terinfeksi HIV positif, mengalami perubahan keaktifan dengan lingkungan sekitar. Terdapat dua informan yang tetap aktif di lingkungan sekitarnya baik sebelum maupun setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sementara itu, ada satu informan yang memang tidak aktif di lingkungan sekitarnya sejak awal sebelum terdiagnosis HIV dan semakin menutup dirinya sehingga tidak mau berusaha untuk aktif di lingkangan sekitar. Satu informan lainnya awalnya memiliki keaktifan di lingkungan sekitar, namun setelah terdiagnosis HIV positif informan ini menjadi malu untuk kembali aktif di lingkungan rumahnya, 174
sengaja menjauh dari orang- orang sekitar agar tidak diketahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV positif. Sementara itu, ada pula informan yang justru sebelum terdiagnosis HIV adalah pribadi yang tertutup dan tidak mudah untuk bergaul dengan orang di lingkungan sekitarnya karena seringnya informan berpindah tempat tinggal, ia menjadi pribadi yang aktif dan mudah bergaul setelah mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV positif. Perubahan
perilaku
yang
terjadi
pada
informan
dalam
keaktifannya dengan lingkungan disekitar, pasti memiliki alasan yang kuat serta memiliki waktu yang lama untuk merubahnya, terutama merubah dari yang sebelumnya tidak aktif menjadi sosok aktivis HIV yang aktif, atau dalam perubahan salah seorang informan yang pernah menjadi WPS karena merasa sakit hati setelah mengetahui dirinya tertular HIV dari suaminya. Menurut Soekidjo Notoatmodjo, perubahan perilaku adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan waktu relatif lama, secara teori perubahan perilaku melalui tiga tahap, tahap pengetahuan, sikap, dan tindakkan (Notoatmodjo, 2007). 6.2.5 Riwayat HIV/AIDS pada Keluarga Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan hubungan yang terjalin erat dan terangkum bersama melalui ikatan perkawinan. Pengertian dari keluarga sendiri merupakan kesatuan dari orang- orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan perananperanan sosial (Moleong, 2010). Dari hasil wawancara mengenai riwayat 175
HIV/AIDS pada keluarga, kelima informan tidak ada orang tua atau adik atau kakak atau saudaranya, yang tinggal satu rumah dengannya, yang memiliki riwayat keluarga yang telah terinfeksi HIV/AIDS. Namun kelimanya memiliki suami yang telah terinfeksi HIV positif sebelumnya. Sebagian besar informan
mengetahui riwayat HIV yang telah
menginfeksi suaminya, setelah informan terdiagnosis HIV positif. Hanya terdapat satu informan yang melakukan VCT setelah setahun suaminya meninggal dunia dan terdiagnosis HIV positif. Berikutnya adalah jumlah saudara kandung dari perempuan terdiagnosis HIV positif. Dari informasi mengenai jumlah saudara kandung yang dimiliki oeh perempuan dengan HIV positif, terlihat bahwa tiga dari informan merupakan anak pertama dan dari semua informan memiliki saudara kandung, ini berarti informan dalam penelitian ini tidak ada yang merupakan anak tunggal, bahkan terdapat informan yang memiliki saudara kandung hingga 6 bersaudara. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian berikut ini, posisi anak dalam keluarga juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini dapat dilihat pada anak pertama atau tunggal kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat berkembang di bandingkan anak kedua karena pada anak pertama orang tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam segala hal, baik pendidikan, gizi, atau yang lain (Hidayat, 2005). Begitupun seperti yang di paparkann oleh Soetjiningsih, jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan ekonominya cukup akan 176
mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua yang di terima anaknya, terutama kalau jarak anak yang terlalu dekat (Soetjiningsih, 1998 ). Pada keluarga dengan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak juga kebutuhan primer seperti makan sandang dan perumahan yang terpenuhi. Semakin banyaknya jumlah saudara kandung, maka akan semakin kurang perhatian dan kasih sayang yang informan dapatkan dari keluarganya, dan ini akan membuat informan terjerumus kedalam pergaulan bebas dan menunjukkan perilaku tidak baik. Seperti yang terjadi pada informan ketiga, dimana ia merupakan anak keempat dari enam bersaudara, ia merasakan pola asuh dari kedua orang tuanya yang kurang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada dirinya, sehingga ia mencari jati diri dan tempat pelarian untuk mendapatkan itu semua. Awalnya hanya berpacaran, namun lambat laun cara berpacarannya menjadi berlebihan, hingga melakukan hubungan seksual diluar nikah dan akhirnya hamil di luar nikah. Selain berasal dari keluarga dengan jumlah saudara kandung yang banyak, pola asuh orang tua yang hampir serupa juga terjadi pada informan keempat, dimana ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, ia kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya. Sehingga ia pun mulai terjerumus kedalam pergaulan yang tidak baik dan akrab dengan narkoba semenjak duduk di bangku SMK.
177
6.2.6 Pengetahuan HIV/AIDS Pengetahuan merupakan bagian penting dalam pembentukan perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Sehingga apabila perempuan dengan HIV positif memiliki pengetahuan yang tinggi tentang HIV serta cara penularan dan pencegahannya maka sangat memungkinan mereka untuk memiliki perilaku yang tidak berisiko, karena mereka memiliki motivasi tinggi untuk tetap berperilaku aman, sehingga terhindar dari kemungkinan menularkan HIV pada orang lain. Hasil penelitian menunjukkan sebelum informan terdiagnosis HIV positif, dari kelima informan, kelimanya merasa sangat kesulitan dalam mengakses informasi terkait HIV/AIDS. Sejalan dengan hasil penelitian dari Oktarina bahwa hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan mengenai HIV/AIDS, sehingga ini menggambarkan bahwa para wanita kurang mendapatkan informasi HIV/AIDS dibanding laki- laki. Hal ini disebabkan karena laki- laki lebih banyak berada diluar rumah sehingga mudah mendapatkan segala sumber informasi kesehatan khususnya HIV/AIDS dari manapun. (Oktarina.dkk, 2009). Dari hasil penelitian didapatkan informan yang benar-benar tidak mendapat informasi apapun, namun ada pula informan yang mendapat informasi seadanya dari orang sekitarnya dan mendapatkan informasi dari media massa berupa TV.
178
Adapun jenis informasi yang didapatkan oleh informan berupa gambaran HIV seperti: penyakit mematikan, menyeramkan, dan tidak bisa disembuhkan dengan penularan melalui hubungan seksual. Adapula yang mendapatkan informasi berupa preventif HIV dan penyebab penularan HIV melalui hubungan seksual berisiko. Hasil penelitian lainnya diperoleh Informasi bahwa setelah terdiagnosis terinfeksi HIV positif, para informan mendapat informasi yang beragam, mulai dari pengobatan hingga bagaimana agar tidak menularkan virus tersebut kepada orang lain. Media informasi juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan pengetahuan seseorang, dalam hal ini pengetahuan terkait HIV dan AIDS. Kemajuan teknologi akan tersedia dengan bermacam- macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan media massa lainnya akan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan informan terkait informasi HIV dan AIDS. Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pesan- pesan penting yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang (Notoatmodjo, 2007). Selain berasal dari media massa, Informasi tersebut didapatkan pula melalui penyuluhan, seminar dan kegiatan dari LSM. Selain mendapatkan informasi mereka juga mendapatkan dukungan psikologis agar mereka terus bersemangat menjalani hidup dan dapat berbagi pengalaman kepada orang lain agar tidak mengalami hal seperti dirinya.
179
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki pengetahuan tentang HIV &AIDS dan cara pencegahan dalam kategori tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat ODHA yang sudah menjangkau layanan VCT akan mendapatkan informasi yang komprehensif tentang HIV&AIDS dan upaya pencegahan penularannya. Dalam pelayanan VCT harus memenuhi persyaratan dasar yang meliputi konseling pre-test, konseling post-test,informed consent dan kerahasiaan. Pada proses pre-test setiap klien harus mendapatkan informasi tentang HIV&AIDS, penularan dan perilaku berisiko (P2PL, 2008). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari kelima informan, pengetahuan mengenai kepanjangan dari singkatan HIV yang tepat hanya di jawab oleh satu orang saja. Namun pengetahuan mengenai cara penularan HIV terlihat telah cukup baik, jawaban keempat informan sudah menyinggung cara penularan HIV baik dengan melalui hubungan seksual maupun melalui hubungan non seksual, serta melalui penularan dari ibu yang HIV ke anaknya. Sementara pengetahuan informan mengenai cara pencegahan HIV terlihat baik, ini dibuktikan dengan mereka mengetahui cara pencegahan HIV baik melalui pencegahan seksual, seperti tidak melakukan seks bebas, setia terhadap pasangan, dan menggunakan kondom bila memiliki perilaku bergonta- ganti pasangan, Serta pencegahan HIV secara non seksual, seperti tidak menggunakan narkoba suntik dan menghindari transfusi darah, agar dirinya tidak menjadi penyebab penularan HIV kepada orang lain. Ada pula yang
180
menyinggung mengenai edukasi dan pencegahan melalui transmisi ibu ke anak dalam salah satu cara pencegahan HIV. Bukanlah hal yang terlalu penting ketika informan tidak mengetahui apa itu singkatan dari HIV secara lengkap dan benar, yang terpenting adalah seberapa paham dan seberapa banyak informasi yang informan dapatkan dalam mengetahui cara penularan juga cara pencegahan dari HIV itu sendiri, dan ternyata sebagian besar informan sudah paham dan sudah mengetahui mengenai cara penularan serta pencegahan HIV agar mereka tidak menularkannya ke orang lain, khususnya pada saudara dan keluarga terdekat mereka. Pengetahuan terkait cara penularan dan pencegahan HIV ini juga dapat informan gunakan untuk membantu memberikan edukasi bagi orang- orang yang berada disekitarnya. Edukasi yang disisipi dengan pengalaman pribadi akan lebih mudah di serap oleh orang- orang yang diberikan edukasi. Pada penelitian ini, kelima informan telah memiliki pengetahuan dan menguasai bagaimana cara pengobatan HIV yang benar, yaitu dengan menggunakan terapi ARV dan dari kelima informan sudah mempraktikan terapi ARV dengan teratur. Dari hasil penelitian, juga didapati mengenai pengetahuan terkait perilaku seksual berisiko. Masing- masing dari informan telah memiliki pengetahuan dan mengetahui dengan baik mengenai perilaku seksual berisiko yang menjadi penyebab dari terinfeksinya seseorang terhadap HIV positif. Pengetahuan para informan mengenai perilaku non seksual berisiko HIV juga sudah sangat baik, 181
sebab tidak ada dari kelima informan yang misalnya menyebutkan perilaku non seksual bisa berupa penularan dari udara, pemakaian alat makan bersamaan, pemakaian alat mandi bersamaan, pemakaian alat tidur bersamaan, bersentuhan kulit yang tidak memiliki luka terbuka, berpelukan, berciuman, ataupun perilaku- perilaku lainnya yang selama ini masih menjadi isu penularan HIV bagi sebagian orang yang memiliki pengetahuan HIV rendah. Sebanding dengan pengetahuan yang para informan miliki, perilaku berisiko dalam menularkan HIV pada orang lainpun dapat semakin terhindari. Para informan mengakui bahwa mereka sangat berhati- hati untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain melalui perilakuperilaku berisiko yang bisa saja, secara sengaja atau pun tidak sengaja mereka lakukan. Seperti salah satu informan yang mengakui bahwa jauh sebelum sekarang ini, ia pernah memiliki niat dan perilaku buruk untuk menularkan HIV kepada orang lain, melalui perilaku berisiko menjadi wanita penghibur. Saat ia menjadi wanita penghibur, ia sangat memahami dan menguasai terkait penularan dan perilaku- perilaku yang memudahkannya untuk menularkan HIV pada orang lain. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh informan memiliki pengetahuan yang meliputi cara pencegahan, penularan, perilaku berisiko, serta pengobatan HIV dan AIDS yang cukup baik. Hal ini sangat memungkinkan terjadi, mengingat para informan yang sudah menjangkau layanan VCT atau PITC akan mendapatkan informasi yang 182
komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dalam pelayanan VCT harus memenuhi persyaratan dasar yang meliputi konseling pre test, konseling post test, informconsent, dan kerahasiaan. Pada proses pre test setiap pasien harus mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS, penularan, serta perilaku berisiko (P2PL, 2008). Tingkat pemahaman informan yang cukup baik mengenai HIV dan AIDS menggambarkan bahwa mereka tidak hanya mengetahui informasi tentang HIV dan AIDS saja tetapi mampu juga untuk menjelaskan, menginterpretasikan, dan meramalkan aspek- aspek HIV dan AIDS, seperti mengenai cara penularan, cara mendeteksi, cara pencegahan agar tidak menularkan ke orang lain, cara pengobatan, hingga cara mengatasi rasa depresi yang timbul dalam menerima status barunya sebagai perempuan terinfeksi HIV positif. Kondisi tersebut akan berbanding terbalik dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa ODHA yang belum siap menerima statusnya, justru tidak mau mendatangi tempat pelayan VCT. Sebab ODHA mengalami ketakutan dan keputusasaan ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV (Arriza, 2011). Tingkat pengetahuan yang tinggi tentang HIV dan AIDS sangat penting bagi informan agar memiliki sikap positif untuk mencegah penularan dan melaksanakan pengobatan (terapi ARV). Semua informan mengakui bahwa informasi terkait HIV/AIDS menjadi jauh lebih mudah diperoleh saat mereka telah mengetahui diriya terinfeksi HIV. Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari Husnul Umam yang mengatakan 183
bahwa orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV sering mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS baik dari media massa maupun dari petugas kesehatan. Lingkungan juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi jumlah informasi yang didapatkan, hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh individu (Umam, 2015). 6.2.7 Agama Hasil penelitian terlihat bahwa kelima informan sebagian besar beragama Islam dan sisanya menganut agama Kristen. Dari kelima informan ini juga memaparkan bahwa keyakinan yang dianut oleh dirinya sama dengan keyakinan yang dianut oleh pasanganya. Ini berarti tidak ada informan beserta pasangannya yang tidak memiliki agama (Atheis). Sehingga hal ini seharusnya membuat informan dan pasangannya memiliki acuan dalam bersikap dan bertingkah laku seperti menurut Jamaluddin mengenai fungi agama,
fungsi agama dalam
kehidupan individu adalah sebagai suatu sistem nilai yang membuat norma- norma tertentu. Norma- norma tersebut yang menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya (Jalaluddin, 2008). Pada hasil penelitian, sebelum terdiagnosis HIV positif, didapatkan mengenai ketaatan beragama informan dan pasangannya, bahwa dari ketiga informan yang beragama islam, hanya terdapat satu informan saja yang taat dalam beribadah. Sementara pada pasangannya, memiliki 184
ketaatan dalam beribadah yang kurang baik.Berbeda dengan kedua informan beragama Kristen, keduanya terlihat lebih taat dalam beribadah dan pasangannya tidak jauh berbeda, karena mereka melakukan kegiatan ibadah mereka sebelum terdiagnosis HIV positif secara bersama- sama. Sedangkan hasil penelitian mengenai ketaatan beragama informan dan pasangannya, setelah terdiagnosis HIV positif, didapatkan bahwa ada perbedaan dari segi ketaatan beragama pada para informan saat sebelum terdiagnosis HIV dan setelah terdiagnosis HIV. Pada saat informan sudah terdiagnosis HIV positif, merkeka semakin menyadari akan pentingnya taat dalam beragama, walaupun ada yang masih tetap tidak banyak memiliki perubahan dalam beragama. Ini berarti bahwa dengan adanya HIV positif yang menginfeksi kelima informan, ketaataan beribadah mereka berubah menjadi lebih baik daripada sebelum informan mengetahui bahwa dirinya terdiagnosis HIV positif. Sementara pada pasangan informan tidak diketahui ada perubahan atau tidaknya, dikarenakan setelah pasangan terdiagnosis HIV positif, informan memiliki beragam kondisi hubungan komunikasi terhadap pasangannya. Ada informan yang pasangannya terdiagnosis HIV positif setelah meninggal dunia, sehingga tidak bisa mengetahui perubahan ketaatan beragama dari pasangannya. Adapula informan yang memiliki hubungan komunikasi yang kurang baik setelah terdiagnosis HIV positif.
185
Dalam beragama seorang individu sudah seharusnya memiliki keyakinan terhadap suatu ajaran agama, sehingga menjadikan agama yang dianutnya sebagai suatu motivasi. Dengan motivasi tersebut mampu membuatnya merasakan suatu rasa puas, rasa bahagia, juga kemantapan batin dan perlindungan. Hal ini sejalan dengan pendapat berikut, sebagai sebuah motivasi agama memiliki unsur ketaatan dan kesucian sehingga memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perlindungan, dan rasa puas. Sedangkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat meliputi fungsi edukatif, penyelamat, sebagai pendamai, dan kontrol sosial. Melalui agama dapat menjamin ketertiban dalam kehidupan moral dan ketertiban bersama (Jalaluddin, 2008). Berdasarkan hal tersebut, seharusnya dengan memiliki keyakinan terhadap suatu ajaran agama, lalu melakukan praktik ibadah sesuai dengan keyakinan tersebut, dan mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar, fungsi agama sebagai acuan norma akan berjalan dengan baik. Dengan kata lain, seharusnya tindakan- tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma agama, seperti menggunakan narkoba dan melakukan seks bebas, tidak akan dilakukan atau setidaknya dihindari oleh pasangan informan agar tidak terjadi infeksi HIV positif dan menularkan ke orang lain (dalam hal ini istrinya sebagai informan). Begitupun ketika telah terdiagnosis HIV positif, seharusnya ketaatan dalam beragama bisa menunjukan perubahan semakin lebih baik karena agama menjadi mampu menjadi motivasi bagi
186
informan dan pasangannya yang masih hidup dalam member kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perindungan, dan rasa puas. 6.2.8 Gejala Awal dicurigai Mengalami HIV/AIDS Hasil penelitian didapatkan bahwa awal diketahui status HIVnya setelah melakukan VCT yang dilakukan secara sukarela dan berdasarkan inisiatif dari informan dan adapula yang mengetahui status HIV pada dirinya setelah melakukan VCT yang dilakukan atas anjuran dari kader kesehatan wilayahnya dan tenaga kesehatan karena melihat adanya faktor berisiko yang ada pada sekeliling informan. Tes HIV melalui VCT sebagai salah satu pintu masuk untuk akses layanan pencegahan, pengobatan, perawatan, dukungan (Kemenkes RI, 2013). Namun sebab awal diketahuinya status HIV positif berdasarkan waktu, didapati waktu yang cukup beragam dari setiap informan. Ada informan yang melakukan tes HIV saat sedang mengandung, ada yang melakunnya setelah melahirkan, adapula yang melakukan tes HIV setelah suaminya meninggal dunia dan didiagnosis terinfeksi HIV positif. Gejala HIV yang dirasakan informan juga berbeda- beda, ada yang sebelum terdiagnosis HIV positif namun sudah merasakan gejala HIV dan adapula yang sebelum terdiagnosis HIV positif tidak merasakan gejala apapun. Dalam pelaksanaan PPIA, pelaksanaannya dilaksanakan secara komprehensif meliputi 4 prong, informan yang telah terdiagnosis HIV
187
ketika sedang hamil ataupun setelah melahirkan berarti telah memasuki prong 3 dan membutuhkan pencegahan yang lebih ketat sebab di prong 3 ini merupakan inti dari kegiatan PPIA. Adapun pelayanan jika telah terdiagnosis
HIV
saat
hamil
meliputi
pemberian
antiretroviral,
perencanaan persalinan yang aman. Jika setelah melahirkan meliputi tata laksana pemberian makanan bagi bayi, menunda dan mengatur kehamilan (Kemenkes RI, 2013).
6.3 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Tempat a. Keberadaan dan Kebermanfaatan Pusat Layanan Kesehatan Terdekat dari Tempat Tinggal Hasil penelitian, ditemukan bahwa faktor keamanan dan kenyamanan menjadi kunci utama yang menyebabkan informan pada akhirnya memilih untuk berobat di Puskesmas Kramat Jati meskipun mereka tinggal bukan disekitar wilayah Puskesmas Kramat Jati. Dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, faktor jarak daerah tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan mempengaruhinya, semakin dekat jaraknya, semakin memudahkan seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan (Katiandagho, 2015). Namun teori tersebut tidak berlaku bagi para penderita HIV, yang menjadi informan dalam penelitian ini, karena sebagian besar dari mereka merasakan keamanan ketika berobat di Puskesmas Kramat Jati yang posisinya bukan di wilayah tempat tinggal para informan, hal tersebut dapat terjadi karena mungkin saja informan dapat bertemu dengan orang 188
yang juga tinggal di daerah wilayah tempat tinggalnya ketika sedang berobat di Puskesmas wilayah tempat tinggalnya. Sebagian besar informan memang tidak menginginkan status HIVnya diketahui oleh orang- orang yang tinggal di sekitar wilayah tempat tinggalnya sebab itu akan mempengaruhi nama baik keluarga dan bisnis yang tengah dikelola oleh informan. Faktor kenyamanan juga menjadi alasan para informan akhirnya memilih untuk berobat di Puskesmas Kramat jati.
6.4 Gambaran Distribusi Perempuan dengan HIV/AIDS Menurut Waktu a. Lama Sakit Lama sakit yang di derita oleh informan dimulai dari waktu sejak pertamakali terdiagnosis melalui pemeriksaan diagnostik (tes antibodi HIV, jumlah limfosit total, ELISA, atau Wetern Blot sesuai prosedur standar) (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian didapatkan bahwa perkiraan lama sakit yang telah diderita oleh informan dalam penelitian ini adalah mulai dari 4 bulan hingga 11 tahun. Sehingga berdasarkan fase perkembangan infeksi HIV, bagi informan yang memiliki lama sakit dibawah 10 tahun, masuk kedalam stadium tanpa gejala, itu berarti walaupun informan terlihat sehat namun didalam organnya telah terdapat HIV dan mampu menularkannya ke orang lain (Nursalam, 2007). Sementara bagi informan yang telah
189
memasuki lama sakit lebih dari 10 tahun, sudah masuk kedalam stadium AIDS dengan menunjukkan gejala- gejala berat dan berat badan menurun lebih dari 10% bobot tubuh sebelumnya (Shams, 2008). Hal tersebut terbukti pada informan yang memiliki lama sakit lebih dari 10 tahun, ia mengakui bahwa berat badannya sangat menyusut dari berat badan di beberapa tahun sebelumnya. Infeksi opportunistik pun seringkali ia terima, terkadang timbul secara bersamaan sekaligus, hingga terkadang informan hanya dapat berbaring di atas tempat tidur untuk beberapa hari. Kemungkinan yang membuat informan hingga sekarang mampu untuk bisa terus bertahan dengan sakitnya adalah dukungan dari orang sekitar dan rutin dalam menjalani terapi ARV, sebab hasil penelitian Rachmawati (2013) menyatakan bahwa kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dalam aspek fisik adalah baik karena ODHA telah menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik dengan minum obat antiretroviral tepat waktu sehingga infeksi oportunistik dapat ditekan keberadaannya (Rachmawati, 2013).
b. Usia Saat Pertamakali Terdiagnosis HIV Positif Hasil penelitian didapatkan bahwa usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV positif, diperkirakan berkisar antara 25 tahun hingga 36 tahun dan ini tergolong usia produktif. penelitian Dachlia (2000) dalam penelitian
Yowel
Kambu
(2012)
190
menyatakan
beberapa
studi
memperlihatkan bahwa umur berhubungan erat dengan keaktifan perilaku seksual seseorang, variabel umur ini berperan dalam membentuk perilaku seseorang, termasuk perilaku seksual (Kambu Y. , 2012). Usia juga mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Sehingga pada usia dewasa, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, selain itu orang pada usia tersebut akan lebih banyak meenggunakan waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan (Notoatmodjo S. , 2007). Teori tersebut sejalan dengan bagaimana informan mengatasi permasalahannya terkait HIV positif yang ketika itu baru diketahuinya. Rasa sedih, marah, kecewa , bingung, panik, depresi, dan melakukan penolakan terhadap status barunya merupakan sedikit dari hal yang dirasakan oleh informan. Namun informan mampu mengatasinya dengan berbagai caranya masing- masing, antara lain dengan berdo’a, baik secara sadar atau pun tidak, informan juga memperbanyak mencari tahu segala macam pengetahuan mengenai HIV/AIDS, dukungan orang disekitarnya, terutama keluarganya sangat berperan dalam membangkitkan semangat hidup dan penerimaan diri terhadap status HIV positif dalam dirinya. Pemahaman diri dan harapan yang realistis juga menjadi faktor yang berpengaruh dalam meredam apa yang informan rasakan saat itu. Seperti dalam penelitian Nadia Maya (2013) yang menyatakan bahwa hasil penelitiannya didapatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh 191
dalam penerimaan diri adalah pemahaman diri dan harapan yang realistis, harapan yang realistis ini dicirikan dengan berpikir positif dan realistis, mampu menempatkan diri, optimis menjalani hidup, dan tidak mengharapkan belas kasihan orang lain (Maya, 2013).
6.5 Pengobatan yang Dijalani oleh Perempuan TerdiagnosisHIV Positif a. Terapi ARV Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kelima informan telah mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai jenis pengobatan yang harus mereka jalani sehingga dari semua informan menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan terapi ARV. Hal ini sejalan dengan apa yang tertulis dalam pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi Antiretroviral, bahwa setiap ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat dari terapi ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum melakukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang untuk mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, malalui konseling pra terap ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis, dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4 (P2PL, 2011).
192
Hasil penelitian juga diketahui untuk memulai terapi ARV di Puskesmas Kramat Jati, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan dilihat stadiumnya terlebih dahulu. Jika CD4 < 350 sel/mm3 maka terapi ARV mulai ditawarkan ke pasien HIV. namun jika pasien sudah memiliki TB aktif dan pasien sedang dalam keadaan mengandung, maka terapi ARV tetap akan ditawarkan meskipun jumlah CD4 belum <350 sel/mm3, sebab pemberian ARV selama hamil mampu mengurangi penularan pada bayi. Sejalan dengan apa yang telah diberlakukan Puskesmas Kramat Jati, dalam buku “Pedoman Pedoman Tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral” menjelaskan untuk memulai terapi ARV, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV nya. Hal tersebut untuk menentukan penderita sudah memenuhi syarat untuk terapi ARV atau belum memenuhi syarat. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 maka penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. Namun jika tersedia pemeriksaan CD4 maka terpai ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (P2PL, 2011). b. Kepatuhan Terapi ARV adalah terapi yang memerlukan kepatuhan yang sangat tinggi karena jika terapi yang dijalankan tidak serius maka virus akan menjadi resistensi. Istilah kepatuhan yang digunakan didunia medis 193
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam meminum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya (Nursalam, 2007). Upaya agar informan patuh dalam minum obat, maka pihak Puskesmas Kramat Jati melibatkan informan itu sendiri untuk memutuskan apakah minum atau tidak, dan semua informan memilih untuk menjalani terapi ARV dengan konsekuensi yang telah di sepakati. Ini sejalan pula dengan teori bahwa kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan
dimana
pasien
mematuhi
pengobatannya
atas
dasar
kesadaransendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter (P2PL, 2011). Hal tersebut penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat dari informan. Kepatuhan dalam terapi ARV harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan di tempat informan berobat, dalam hal ini di Puskesmas Kramat Jati. Seringkali kegagalan terapi ARV diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien dalam mengkonsumsi ARV. Untuk itu, Puskesmas Kramat Jati bekerjasama dengan LSM untuk turut ikut membantu memonitoring dan evaluasi terapi ARV pada pasien ODHA yang berobat disana, dalam bentuk pendampingan. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang menciptakan kenyamanan dan keamanan akan membantu pasien untuk patuh minum obat. Selain itu, sebagian besar informan juga telah merasakan infeksi oportunistik sehingga agar infeksi 194
tersebut tidak semakin parah, informan meniatkan dan memberikan kesadaran penuh pada dirinya agar rutin terapi ARV. c. Respon dan Efek samping Terapi ARV Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa mayoritas informan merasakan pusing setelah mengkonsumsi ARV juga merasakan kulitnya menjadi lebih kering dan senstif. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena seperti kebanyakan obat- obatan lainnya, obat antiretrovirus juga dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang tidak diinginkan ini seringkali ringan seperti yang dirasakan oleh informan. Namun dapat menjadi lebih serius hingga memberikan dampak yang besar bagi kesehatan dan kualitas hidup ODHA. Berdasarkah penelitian, Infeksi oportunistik lainnya yang menyerang informan antara lain: flue, demam, IMS berupa jamur yang mengakibatkan gatal dan keputihan parah, infeksi pencernaan, hepatitis, tuberculosis paru, hingga terserang virus tokso. Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis) dapat dicegah dengan pemberian kortimoksasol. Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kortimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV (P2PL, 2011). c. Pengobatan Alternatif
195
Pada hasil penelitian diakui oleh salah satu perempuan terdiagnosis HIV positif bahwa masih banyak teman- teman ODHA yang menggunakan obat herbal atau pengobatan alternatif dalam proses pengobatan HIV dan yang lebih parah masih terdapat teman- teman ODHA dari informan yang tidak mau melakukan terapi ARV sama sekali dan lebih memilih untuk menggunakan obat herbal atau pengobatan alternatif saja, sebab takut akan efek samping dari penggunaan terapi ARV. Sama halnya seperti kebanyakan obat- obatan, obat antiretrovirus juga dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang tidak diinginkan ini seringkali ringan, tapi dapat pula menjadi lebih serius dan memberikan dampak yang besar bagi kesehatan atau kualitas hidup. Gejala yang diberikan anatara lain demam, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare, atau rasakit abdomen), keletihan, kejala respirasi (faringitis, batuk, atau dyspnoe), hepatitis klinis yang akan meningkat dengan cepat menjadi kegagalan hepar, diabetes militus, hyperlipidemia,lipodistrophy, kerusakan, tulang, peningkatan erdarahan pada hemophilia, serta efek samping lainnya tergantung dengan jenis ARV yang di gunakan untuk terapi. Memang pada dasarnya, hingga sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus didalam tubuh dapat ditekan dengan baik, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat (Siegfried, 2011).
196
6.6 Dampak Sosial yang Dialami oleh Perempuan Terdiagnosis HIV Positif a. Respon dan Sikap Keluarga Keluarga memiliki peran penting dalam pendekatan masalah HIV/AIDS, arah dan strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS (Keppres 36/94) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan ketahanan keluarga sejalan dengan UU pokok no 10 tahun 1992 tentang kependudukan dan keluarga sejahtera. Misalnya untuk perawatan penderita, peranan keluarga, baik keluarga batih maupun keluarga jaringan (nuclear and extended family) akan semakin dibutuhkan. Dukungan keluarga terutama perawatan Odha dirumah biasanya akan menghabiskan biaya lebih murah, lebih menyenangkan, lebih akrab, dan membuat Odha sendiri bisa lebih mengatur hidupnya. Sebenarnya penyakit yang berhubungan dengan Odha biasanya akan cepat membaik, dengan kenyamanan di rumah, dengan dukungan dari teman terutama keluarga (Spiritia, 2008). Berdasarkan
hasil
penelitian,
sebagian
besar
informan
mendapatkan respon yang baik dari keluarganya dan keluarga pasangannya saat hendak menikah. Respon kedua keluarga mendukung dan menyetujui adanya pernikahan tersebut, namun hal tersebut diluar pengetahuan mereka mengenai status HIV positif yang dimiliki oleh pasangan informan. Sebab, diantara kelima informan tidak ada yang sebelum pernikahannya berlangsung, melakukan cek kesehatan. Sebagian kecil informan, respon dari kedua belah pihak keluarganya 197
tidak menyetujui pernikahantersebut. Hal ini bukan karena sudah diketahui adanya status HIV positif yang menginfeksi pasangan informan, melainkan karena perilaku buruk pasangan dari informan. Pasangan informan tersebut memiliki perilaku berisiko untuk terinfeksi HIV positif. Hal itulah yang
menyebabkan sulitnya informan dan
pasangannya dalam mendapatkan restu dari keluarganya. Tak jauh berbeda dengan respon dari pihak keluarga pasangan informan. Respon dari keluarga pasangan informan juga menjadi tidak baik setelah mendapatkan respon yang tidak baik pula dari pihak keluarga informan. Respon berbeda ditujukkan oleh keluarga dari kedua belah pihak, setelah kedua pihak keluarga mengetahui status HIV positif yang menginfeksi informan dan pasangannya. Sebagian besar respon keluarga menjadi berubah setelah mengetahui bahwa informan dan pasangannya terdiagnosis HIV positif. Perubahan respon tersebut pun beragam, ada yang cenderung memberikan respon negatif dan adapula yang memberikan respon positif serta menguatkan informan. Respon keluarga yang diterima sejalan dengan sikap yang diterimaoleh informan. Sikap keluarga dari pihak informan dan pasangannya beragam. Ada yang biasa saja namun cenderung mendukung informan agar tetap sehat dan adapula yang menampakkan sikap negatif yang cenderung mendeskriminasi informan. Sementara itu, setelah pasangannya terlebih dahulu terdiagnosis HIV positif dan disusul dengan informan, hubungan antara informan dengan 198
pasangannya pun didapati mengalami perubahan. Bagi yang memiliki pasangan masih hidup, mereka merasakan hubungannya menjadi semankin merenggang dari hari ke hari akibat rasa kesal, kecewa, dan terus menerus disalahkan sebagai penyebab atas apa yang tengah terjadi pada mereka dan anak- anaknya. Sehingga infeksi HIV dan AIDS masih menimbulkan stigma dan diskriminasi. Jadi a penting bagi keluarga untuk menjaga kerahasiaan Odha. Keluarga tidak berhak memberi tahu orang lain, termasuk petugas perawatan kesehatan, tentang status HIV positif keluarganya, kecuali dia memberi persetujuan yang jelas. Keluarga harus sangat berhati-hati dengan pengunjung agar mereka tidak dapat mengetahui secara tidak sengaja, misalnya dengan melihat buku mengenai AIDS atau obat khusus untuk infeksi (Spiritia, 2008). Hasil penelitian mengenai pengaruh dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial ODHA juga menunjukan bahwa ada pengaruh antara dukungan keluarga terhadap keberfungsian ODHA (Kristian, 2013). Sebagian besar informan tergabung di LSM, namun bukan sebagai pendamping ODHA, mereka lebih sering untuk turut membantu dalam membuat kegiatan dan tampil di kegiatan- kegiatan mewakili LSM, yang tujuan untuk bisa menginspirasi orang lain, terutama rekan sesama ODHA. Banyak pula informan yang ebih senang untuk menjadi pengusaha. Sehingga terlihat dari kelima informan yang mendapatkan dukungan keluarga menjadi tetap bisa dan malah lebih bisa berfungsi dengan cukup baik di lingkungannya.
199
b. Respon dan Sikap Masyarakat Sekitar Hasil penelitian didapatkan bahwa dari kelima informan, sebagian besar sudah membuka status HIV nya kepada tetangga dan lingkungan sekitarnya, pada proses membuka diri ini ada informan yang membukanya dengan sengaja tanpa ada paksaan, namun adapula yang tidak sengaja dan akhirnya terpaksa membuka status HIV positifnya. Bagi yang telah membuka status HIVnya, mereka merasakan adanya stigma, cap negatif, dan diskriminasi dari masyarakat. Masih timbulnya stigma, cap negatif, dan dskriminasi dari masyarakat mengenai HIV terlebih HIV yang terjadi pada perempuan akan menimbulkan rasa malu dan enggan saat melakukan kegiatan sosial, hal ini tidak terlepas dengan adanya stigma dan cap negatif pada perempuan terdiagnosis HIV di masyarakat. Kondisi HIV/AIDS terlebih pada perempuan dianggap sebagai penyakit yang memalukan sehingga akan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran, karena hal tersebut perempuan terdiagnosis HIV positif akan menjadi tidak lagi percaya diri dan menganggap bahwa dirinya berbeda dengan orang lain disekitarnya, yang tidak terinfeksi HIV positif. Hal ini akan mempengaruhi kondisi individu (Jackson, 1999). Adapun bentuk stigma, cap negatif, maupun diskriminasi yang pernah dijumpai oleh informan antara lain berupa cibiran, perlakuan yang berbeda dari orang- orang sekitar, hingga menurunnya hasil pendapatan dari usaha mereka.
200
Menderita HIV/AIDS tidak hanya menyebabkan masalah fisik oleh timbulnya berbagai macam penyakit (infeksi oportunistik), melainkan mereka juga harus menghadapi masalah sosial. Mereka diperlakukan berbeda oleh orang lain, dalam pergaulannya dikucilkan oleh temantemannya, bahkan oleh keluarga sendiri. Mengidap HIV di Indonesia masih dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun keluarga, dan lingkungan di sekeliling penderita (Nursalam, 2007). Sebagian kecil informan masih menutup status HIV dalam diri mereka, akibat menutup diri, mereka mengalami perubahan perilaku, terutama pada saat kontak sosial dengan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku sosial perempuan dengan HIV/AIDS menunjukkan perilaku yang berubah- ubah dan sangat situasional, menghadapi kesulitan adaptasi sosial terhadap lingkungannya. Reaksi penyangkalan yang dilakukan dalam bentuk menutupi statusnya dari lingkungan sekitar, dilakukan untuk mengembalikan keberadaannya di masyarakat (Mumpuni, 2001).
201
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan
A. Gambaran karakteristik perempuan dengan HIV/AIDS 1. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS berpendidikan menengah dan sebagian dari mereka pernah menempuh pendidikan non formal, dengan waktu belajar antara 3 bulan hingga 1 tahun. Adapun jenis pendidikan non formal yang pernah dilalui oleh perempuan dengan HIV/AIDS adalah: kursus membuat kue, kursus membuat pola, kursus tata rias pengantin, kursus bahasa inggris, dan kursus montir. perempuan dengan HIV/AIDS memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, namun sebagian perempuan dengan HIV/AIDS memiliki hambatan biaya, adapula yang memiliki hambatan karena infeksi oportunistik yang diderita, dan hambatan usia yang sudah tidak lagi muda. 2. Sebagian perempuan dengan HIV/AIDS telah menjadi janda karena suami yang meninggal akibat terinfeksi HIV/AIDS, namun sebagian lainnya masih yang hingga sekarang berstatus menikah dengan suami pertamanya. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS menikah sebanyak 1 kali pernikahan, sebagian perempuan dengan HIV/AIDS memiliki usia pernikahan dibawah 5 tahun. Ada informan yang menikah sebanyak 3 kali, dengan suami yang bukan ODHA (Pasangan 202
serodiskordan). Rata- rata usia perempuan dengan HIV/AIDS dan pasangannya saat menikah adalah usia 25 tahun dan 24 tahun, ini adalah usia produktif. Sebagian pasangan dari perempuan dengan HIV/AIDS memiliki usia lebih muda dibanding dengan mereka. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS hingga sekarang masih tetap memiliki pasangan hidup, walaupun ada yang merupakan pasangan sah dan ada juga yang belum sah dan perempuan dengan HIV/AIDS yang memiliki pasangan belum sah, belum membuka status HIV kepada pasangannya yang berstatus bukan ODHA, adapula perempuan dengan HIV/AIDS yang menutup diri untuk tidak memiliki pasangan lagi. Seluruh perempuan dengan HIV/AIDS memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan sebagian dari mereka memiliki anak berusia balita, sebagian besar anak dari perempuan dengan HIV/AIDS juga memiliki status HIV positif. Perempuan dengan HIV/AIDS yang setelah terinfeksi HIV positif namun memiliki anak dengan HIV negatif, sebelumnya telah diikut sertakan dalam program PPIA. 3. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS memiliki pengalaman dalam bekerja, adapun jenis pekerjaannya antara lain: kerja di toko kue, buruh pabrik, SPG, pembukuan di Bank, kasir restoran, dan pengurus Gereja. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS setelah menikah, hanya menjadi IRT karena tidak mendapatkan izin dari suami mereka untuk bekerja, dengan alasan suami informan tidak mengizinkan adalah karena suami meminta untuk fokus mengurus rumah tangga saja, hal ini
203
dikarenakan suami dari perempuan dengan HIV/AIDS khawatir dengan kondisi kesehatan istrinya, adapula yang pada pernikahan ketiganya tetap menjadi pelayan bar dan WPS. Sebagian besar jenis pekerjaan perempuan dengan HIV/AIDS sekarang adalah IRT yang juga memiliki kesibukan lain, kesibukan lain dari perempuan dengan HIV/AIDS antara lain: membuka usaha kue, aksesoris, nasi uduk, menulis, dan juga aktif dalam mengikuti kegiatan LSM. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS telah memiliki kemandirian dalam mendapatkan penghasilan tanpa harus harus begantung pada penghasilan suaminya. Rentang besar penghasilan perempuan dengan HIV/AIDS perbulan berkisar antara 100ribu hingga 3 juta rupiah. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang telah mereka dapatkan sekarang, kendala yang dilalui dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik antara lain: tidak dapat izin bekerja dari suami, lingkungan kerja yang tidak mendukung, serta usia yang tidak lagi muda. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS sebelum terinfeksi HIV merupakan pribadi yang aktif bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS menunjukkan ada perubahan keaktifan dengan lingkungan sekitar setelah HIV positif. 4. Semua perempuan dengan HIV/AIDS tidak memiliki riwayat keluarga yang terinfeksi HIV/AIDS, kecuali suaminya. Sebagian besar dari perempuan dengan HIV/AIDS memiliki pola asuh dalam keluarga yang
204
baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, juga dalam penanaman nilai agama. 5. Pengetahuan terkait HIV/AIDS yang didapatkan oleh perempuan dengan HIV/AIDS setelah terdiagnosis HIV positif berubah menjadi semakin baik, sebab setelah terdiagnosis HIV positif, mereka mendapatkan
konseling
juga
pendamping
untuk
memperkaya
pengetahuan HIV/AIDS. 6. Semua perempuan dengan HIV/AIDS berubah menjadi semakin lebih baik dalam beribadah. Hal yang membuat perubahan terjadi antara lain: merasa penyakitnya adalah bentuk ujian, untuk menghilangkan rasa sedih, dan untuk meredam depresi. 7. Sebagian besar perempuan dengan HIV/AIDS mengetahui mengenai kemungkinan mengalami HIV karena dirinya, suami, dan anaknya menderita sakit yang sulit sembuh. Selain itu adapula perempuan dengan HIV/AIDS yang mengetahui status HIV setelah memenuhi ajakan untuk melakukan VCT.
B. Gambaran distribusi menurut tempat 1. Semua informan menyatakan bahwa didaerah tempat tinggalnya terdapat pusat layanan kesehatan yang lebih dekat dari pada Puskesmas Kramat Jati. Semua informan juga menyatakan bahwa
205
memanfaatkan pusat layanan kesehatan terdekat berupa Puskesmas sebelum mengetahui status HIV positif pada dirinya. 2. Sebagian besar khawatir jika status HIV nya diketahui oleh orangorang yang berada di daerah tempat tinggalnya, ada juga perempuan dengan HIV/AIDS yang sudah merasa nyaman dengan petugas kesehatannya, juga ada perempuan dengan HIV/AIDS yang memang terbiasa untuk pindah- pindah tempat berobat.
C. Gambaran distribusi menurut waktu 1. Perkiraan rentang lama sakit pada informan mulai dari 4 bulan hingga 11 tahun. 2. Perkiraan rentang usia informan saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 27 tahun hingga 36 tahun.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran yang peneliti berikan terkait karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan dengan HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur, yaitu sebagai berikut:
206
1. Bagi Mahasiswa Bagi mahasiswa yang tertarik untuk meneliti tentang karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan dengan HIV/AIDS, diharapkan dapat mengkaji lebih dalam temuan lapangan yang kurang tergali oleh peneliti. 2. Bagi Perempuan dengan HIV/AIDS Diharapkan agar bisa terus menumbuhkan semangat hidup dan berjuang melawan HIV, salah satunya dengan cara bersosialiasi dengan para penderita lainnya melalui kegiatan yang diadakan oleh Puskesmas ataupun LSM. Selain itu sikap terbuka terhadap status yang sudah dimiliki sekarang terlebih pada pasangan, akan lebih memudahkan proses untuk mempertahankan kesehatan juga agar virus tidak semakin menyebar. 3. Bagi LSM yang Menangani ODHA Diharapkan LSM lain bisa mencontoh program- program yang telah dilaksanakan oleh LSM Tegak Tegar dalam memberikan dukungan moril dan materil kepada ODHA. Dengan memperbanyak pertemuan dalam rangka peningkatan edukasi baik untuk penderita HIV itu sendiri maupun keluarga penderita, dan masyarakat umum agar penderita tidak menularkan HIV ke orang lain ataupun keluarga serta masyarakat sekitarnya tidak mendiskriminasi penderita HIV
207
positif. Pertemuan dalam rangka mempertemukan para ODHA juga dibutuhkan untuk membantu dalam penerimaan status HIV positif serta menumbuhkan semangat baru dan percaya diri bagi para ODHA. 4. Bagi Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi dalam mengembangkan penelitian selanjutnya serta dapat di jadikan acuan untuk meningkatkan program PPIA, khususnya pada prong pertama mengenai pencegahan primer pada perempuan usia produktif yang belum terdiagnosis HIV positif, baik bagi yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Serta program edukasi HIV/AIDS bagi penderita, pasangan penderita, keluarga penderita, dan masyarakat umum dapat lebih digencarkan lagi. 5. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai karakteristik menurut orang, tempat, dan waktu pada perempuan yang terdiagnosis HIV positif. Serta dapat dijadikan bahan masukan dalam pengembangan penelitian mahasiswa yang tertarik untuk meneliti terkait hal yang sama. 6. Bagi Masyarakat
208
Dukungan lingkungan sosial dapat berdampak positif bagi ODHA, khususnya dalam hal ini adalah para perempuan yang terdiagnosis HIV positif. Oleh sebab itu sebaiknya masyarakat tidak mendeskriminasi atau tidak bersikap acuh tak acuh pada pada ODHA dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pihak keluarga dan masyarakat umum hendaknya memberikan dukungan agar ODHA bisa lebih berdaya guna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.
209
DAFTAR PUSTAKA Alimul, A. (2009). metodologi penelitian dan analisis data. Jakarta: Salemba Medika. Anggreani. (2005). Faktor- faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko terinfeksi HIV/AIDS pada supir dan kernet truk jarak jauh. Jakarta: FKM UI. Arriza, d. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi UNDIP vol.10 , nomor 2. Besral. (2004). Potensi Penyebaran HIV dari Pengguna Napza Suntik ke Masyarakat Umum. Makara, Kesehatan, Vol. 8, No. 2, Desember 2004 , 53-58. Bouway, Y. (2010). Faktor risiko yang mempengaruhi perilaku dan pelayanan kesehatan terhadap kejadian HIV-TB di Jayapura Provinsi Papua. Magister Epidemiologi, UNDIP. Brooks. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Salemba Medika. Brooks, G. F. (2005). AIDS dan Lentivirus. Mikrobiologi Kedokteran jilid 2. Jakarta: Salemba Medika. Bustan. (1997). Faktor Risiko dan pencegahan penyakit tidak menular. Yogyakarta: Rineka Cipta. Carr, R. (2008). Promoting Gender Equality In HIV and Responses Making AIDS More Effectivetrought Tracking Result. United Nations Development Fund For Women (UNIFEN). CDC. (2013). Opportunistic Infection. CDC HIV/AIDS fact sheet . Chandra, B. (2011). Penyakit Menular Pada Manusia. Palembang. Dalimunthe, C. R. (2012). Tingkat Pengetahuan Pelajar SMA Harapan1 Medan Tentang Seks Bebas dengan Risiko HIV/AIDS. Medan: E-Journal FK USU. Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. (2008). Pedoman tata laksana infeksi HIV dan pengobatan antiretroviral pada anak di Indonesia. Jakarta. Dinas Kesehatan Jakarta Timur. (2014). SIHA Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Jakarta: Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Dinkes Jakarta Timur. (2013). SIHA Dinas Kesehatan Jakarta Timur Tahun 2013. Jakarta Timur: Dinas Kesehatan Jakarta Timur.
210
Dubois, B. a. (2005). Social Work an Empowering Profession, fifth edition. USA: Pearson Education,Inc. Etikariena, A. (2005). Hubungan Antara Mitos Tentang Seksualitas dengan Keserbabolehan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja “ABG” di Jakarta. http://www.jurnal-kopertis4.org/newsview.php?id=361 . Green, L. W. (2005). Health Program Planning: An Educational And Ecological Approach. Fourth Edition . New York: McGraw-Hill. Hall, I. H. (2009). Epidemiologi of HIV in the United States and Canada:Current . journal acquired immune deficiency syndrome . Hidayat, A. A. (2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba Medika. Hutagalung. (2002). Skripsi: Hubungan Karakteristik Anak Jalanan Terhadap Perilaku. Surabaya: FKM UNAIR. ILO. (2001). Kaidah ILO tentang HIV/AIDS di Tempat Kerja. Jackson, J. (1999). The Difficulties of Women living with HIV Infestion. Journal of Psychosocial Nursing . Jalaluddin. (2008). Psikologi Agama. Jakarta: Pustaka Pelajar. Kambu, Y. (2012). Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan Penularan HIV oleh ODHA Di Sorong. lib.ui.ac.id . Kambu, Y. (2012). Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan Penularan HIV oleh ODHA Di Sorong. lib.ui.ac.id . Kandun Nyoman, J. C. (2012). Manual Pemberantasan penyakit Menular. Jakarta: Info Medika. Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV-AIDS. Bogor: In Media. Kemenkes RI. (2012). Pedoman PMTCT 2013. Jakarta. Kemenkes RI. (2013). Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2015-2019. Jakarta: Kemenkes RI. KNPP RI. (2008). Pemberdayaan Perempuan dalam Pencegahan HIV/AIDS. Jakarta. KPAN. (2013). Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2003-2007. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
211
KPAN. (2010 ). Strtegi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS. diakses dari http://www.undp.or.id. Kristian, H. (2013). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Keberfungsian Sosial ODHA di Rumah Singgah Caritas PSE Medan. Kumalasari, I. Y. (2013). Perilaku Berisiko Penyebab HIV Positif Di Rumah Damai Kota Semarang. Skripsi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Lan. (2005). Virus Imunodefisensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS). In: Price, S. A., Wilson, L. M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit volume 1 Eds 6. Jakarta: EGC. Longo, D. L. (2005). Infections Due to Human Immunodeficiency Virus and Other Human Retroviruses In: Harrison T. R., Resnick, W. R., et al. Harrison‟s Principle of Internal Medicine 16th Eds. USA : The Mc. Graw-Hill Companies, Inc. MARDIANTHI, T. (2009). HUBUNGAN ANTARA KETAATAN BERAGAMA DENGAN SIKAP TERHADAP SEKS PRANIKAH PADA REMAJA. Jakarta: Skripsi Universitas Guna Dharma. Masriadi. (2012). epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Maya, N. (2013). Penerimaan Diri pada Penderita HIV/AIDS. Semarang: Skripsi Universitas Katolik Soegijpranata. Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mumpuni, L. (2001). Perilaku Sosial Penderita HIV/AIDS dalam Menghadapi Reaksi Masyarakat. Nanda. (2012). Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta: EGC. Nasry, N. (2009). pengantar epidemiologi penyakit menular. Jakarta: PT Ashadi Mahasatya. Nisa, H. (2007). Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press. Noor, N. N. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2005). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Epidemiologi. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, s. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
212
Notoatmojo. (2002). metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rieneka Cipta. Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Oktarianda. (2005). Stigmatisasi, Diskriminasi, dan Ketidaksetaraan Gender pada ODHA Perempuan (Study life History pada perempuan yang terpapar HIV di Jakarta). Depok: Tesis- Universitas Indonesia. Oktarina.dkk. (2009). Hubungan antara Karakteristik Responden, Keadaan Wilayah dengan Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV/AIDS pada Masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan . P2PL. (2012). Pedoman Layanan Komperehensif HIV - AIDS, dan IMS. Jakarta. P2PL. (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral. Jakarta: Kemenkes RI. P2PL. (2008). Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta: Kemenkes RI. P2PL. (2013). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: diakses dari http://spiritia.or.id. P2PL. (2014). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: diakses dari http://spiritia.or.id. Price et al. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit Ed.6. Jakarta: EGC. Rachmawati. (2013). Kualitas Hidup ODHA yang Mengikuti Terapi Antiretroviral. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi 1 . Raidah, D. A. (2015). Hubungan Antara Minding In The Enhancement Of Closeness dengan Penyesuaian Pernikahan pada Pasangan ODHA Serodiskordan Di Rumah Cemara Bandung. Jurnal Psikologi Gelombang 2 . Ramadhan, I. (2005). Kehidupan Tiga ODHA Perempuan (studi mengenai relasi gender dalam rumah tangga). Depok: Skripsi- Universitas Indonesia. Samino. (2011). Analisis Perilaku Sex Remaja SMAN 14 Bandarlampung. Jurnal Dunia Kesmas Volume 1 , 175. Santrock, J. W. (2003). adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga. Saryono. (2008). metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.
213
SEARO-WHO. (2009). HIV-AIDS Regional Health Sector Strategy_HIV 2011 – 2015,. http://www.searo.who.int/LinkFiles/HIV_AIDS_Reg_Health_Sector_Strategy_ HIV_2011 2015.pdf . Setiawan, A. D. (2007). Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Berisiko Terhadap Penularan HIV dari Pengguna Narkoba Suntik Kepada Pasangan Seksnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Depok: Tesis- Universitas Indonesia. Shams, a. (2008). AIDS Dalam Islam: Krisis Moral Atau Kemanusiaan? Bandung: Mizan Media Utama. Shinta, D. (2013). Kerentanan Perempuan Terhadap Penularan IMS Dan HIV: Gambaran Perilaku Seksual Berisiko Di Kota Denpasar. Public Health and Preventive Medicine Archive, Volume 1, Nomor 1, Juli 2013 . Siegfried, N. (2011). Antiretrovirals for reducing the risk of mother to child transmission. Sigalingging, D. S. (2009). Efek Samping Penggunaan Obat Antiretrovirus di Rongga Mulut Pasien HIV/AIDS. Medan: USU Respository. SIHA Dinkes Kota Bekasi. (2013). Sistem Informasi HIV/AIDS. Simanjuntak, B. (2005). Patologi Sosial. Bandung: Tarsino. Siregar, F. A. (2008). Pengenalan dan Pencegahan AIDS, . Medan: Skripsi. FKM-USU. Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Jakarta: EGC. Soetjiningsih. (1998 ). Tumbuh kembang Anak. Surabaya: Universitas Erlangga. Spiritia, Y. (2008). Berdayakan Diri Menghadapi HIV/AIDS. Yogyakarta: Yayasan Spiritia. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Bandung alfabeta. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Susilowati, T. (2009). Faktor- faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Semarang dan sekitarnya. Semarang: UNDIP. Sylvia, A. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta: EGC. Umam, H. (2015). Identifikasi Karakteristik Orang Risiko Tinggi HIV dan AIDS tentang Program Pelayanan VCT. Jom Vol 2 No.1 . UNAIDS . (2008). AIDS Epidemic . http://who.int.
214
UNAIDS. (2015). How AIDS Changed Everything. www.unaids.org. UNAIDS. (2011). UNAIDS World AIDS Day Report. UNAIDS. (2011). UNAIDS World AIDS Day Report. USAID. (2003). Family Planning/ HIV Integration: Technical Guidance For USAID Supported Field Programs. Washington, D.C: U.S. Agency for International Development. Vinay, K. (2007). Buku ajar Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,EGC. Wahab, S. (2002). Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika. WHO. (2015). Health Topic HIV/AIDS, HIV Data and Statistics. www.who.int. Winarno, H. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik Di Kota Semarang. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 3 / No. 2 . Yuly. (2011). Aspek Klinis HIV . Layout CDK edisi 182 Januari 2011. Jawa Barat: RS Karya Husada .
215
LAMPIRAN A. Panduan wawancara PANDUAN WAWANCARA
KARAKTERISTIK PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS YANG BEROBAT DI PUSKESMAS KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015
INFORMED CONSENT (LEMBAR PERSETUJUAN) Assalamu’alaikum.. Selamat pagi/siang/sore. Saya Putri Khairina, dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan(FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Epidemiologi. Saya sedang melakukan studi mengenai Karakteristik Perempuan dengan HIV/AIDS yang Berobat di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2015 (Berdasarkan Distribusi Menurut Orang, Tempat, dan Waktu). Informasi yang ibu berikan akan membantu saya dalam memberikan informasi seputar etiologi penularan HIV pada perempuan serta membantu saya dalam penyelesaian tugas akhir. Saya sangat mengharapkan kesediaan Ibu untuk berpartisipasi dalam wawancara ini, dengan memberikan jawaban yang sebenarnya atas pertanyaanpertanyaan yang akan saya ajukan. Wawancara ini akan menghabiskan waktu sekitar 45-90 menit, dengan 6 topik pertanyaan yang akan di ajukkan. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui gambaran etiologi penularan HIV pada Perempuan juga untuk mengetahui kehidupan ODHA perempuan, yang selama ini dicap negatif oleh masyarakat, padahal tidak semua ODHA perempuan memiliki latar belakang yang buruk. Alasan lainnya yang ingin diketahui adalah bagaimana ODHA perempuan mengungkapkan suara hatinya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk masyarakat dan keluarganya. Partisipasi Ibu bersifat sukarela, Ibu dapat memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang sifatnya pribadi atau semua pertanyaan yang diberikan. NAMUN, saya berharap Ibu dapat berpartisipasi dalam survei ini karena informasi yang Ibu berikan sangat penting. Sampai saat ini, apakah ada yang ingin ibu tanyakan tentang survei ini? Apakah ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini? 1. Ya 2. TidakStop, pindah informan berikut [ ]
Tanda Tangan Responden :
216
Identitas Informan Nama (akan disamarkan)
: ..............................................................................
Usia
: ..............................................................................
No. HP (tidak di publikasikan)
: ..............................................................................
Alamat (tidak di publikasikan) :.............................................................................. Ras/ Suku Bangsa
: ..............................................................................
Anak keberapa
: ..............................................................................
Jumlah Saudara
: ..............................................................................
Topik
1. Pengetahuan ODHA Perempuan Mengenai
Pernyataan
Tingkat pengetahuan anda mengenai HIV ? a. HIV singkatan dari apa?
HIV/AIDS
b. HIV merupakan jenis apa? (virus, bakteri, parasit, jamur, dsb?) c. Cara penularan HIV melalui apa saja? d. Cara Pencegahan HIV? e. Cara Pengobatan HIV? Pengetahuan anda mengenai perilaku berisiko HIV ? a. Perilaku Seksual? b. Perilaku non seksual?
2. Sosial Ekonomi ODHA
a. Pendidikkan 1. Pendidikkan terakhir anda?
217
Temuan
2.KeinginanUntukMelanjutkanPendi
Perempuan
dikkan?
b. Pekerjaan 1. Pekerjaan anda? 2. Keinginan anda untuk mendapatkan 3. Perkerjaan yang lebih baik ? 4. Besar penghasilan anda sekarang?
c. Hubungan Sosial 1. Keaktifan sebelum diketahui positif terinfeksi HIV 2. Keaktifan setelah diketahui positif terinfeksi HIV 1. Status Pernikahan
1. Status Pernikahan Sekarang? 2. Lama Tahun Menikah? 3. Usia Saat Menikah?
ODHA Perempuan
4. Usia pasangan ketika menikah? 5. Pasangan yang sekarang merupakan? (suami, pacar, teman, saudara, lain- lain) 6. Pasangan merupakan Suami ke..? 7. Reaksi keluarga terhadap hubungan tersebut? 8. Reaksi keluarga pasangan terhadap hubungan tersebut? 9. Hubungan dengan keluarga
218
terhadap setelah menjalin hubungan tersebut? 10. Hubungan dengan keluarga pasangan setelah menjalin hubungan tersebut ? 11. Hubungan pasangan dengan keluarga anda? 12. Hubungan anda dengan keluarga pasangan? 13. Jumlah anak? 14. Usia anak? 15. Kondisi kesehatan anak?
4. Akses Informasi mengenai HIV/AIDS yang di dapat oleh
a. Sebelum Terdeteksi HIV Positif 1. Mudahkah anda dalam mendapatkan informasi?
ODHA Perempuan
2. Informasi sepeti apa sajakah yang telah anda dapatkan?
b. Setelah Terdeteksi HIV Positif 1. Mudahkah anda dalam mendapatkan informasi? 2. Informasi sepeti apa sajakah yang telah anda dapatkan? 4. Perilaku Berisiko ODHA Perempuan hingga terinfeksi HIV
Tertular melalui transmisi Seksual atau transmisi Non Seksual ?
Jika melalui transmisi seksual: a. Kapan pertama kali anda melakukan hubungan seksual?
219
b. Dengan siapa? Jika melalui transmisi non seksual: a. Karena apa? b. Kapan hal itu terjadi?
6. Proses yang Dialami ODHA dalam Mengetahui
a. Awal Diketahui 1. Sebab awal diketahuinya HIV Positif?
Status HIV pada Dirinya
2. Kapan pertama kali tahu? 3. Tahu dari mana? 4. Apa saja gejala yang dirasakan?
b. Perasaan Ketika Mengetahui 1. Perasaan anda ketika itu? 2. Penyebab anda merasakan demikian? 3. Akses yang membantu anda dalam berobat? 4. bagaimana perasaan anda saat mendapat bantuan dan pendampingan?
c. Reaksi Lingkungan Terhadap Anda 1. Sikap tetangga, keluarga, keluarga pasangan? 2. Bagaimana hubungan anda dengan pasangan? 3. Cara pandang mereka kepada anda? 4. adakah pandangan negative
220
kepada anda sebagai ODHA perempuan? Kalau ada, pandangan negatif seperti apa?
d. Perasaan sebagai ODHA Perempuan Sekarang 1) persasaan anda sekarang? 2) mengapa memiliki perasaan yang demikian?
Terima kasih atas partisipasi anda!! ^^
221
B. Matriks Wawancara
MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT ORANG PERTANYAAN
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
KESIMPULAN
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
Sebagian besar
terakhir SMP
terakhir SMA
terakhir SMA
terakhir SMK
terakhir SMEA
informan
1. TINGKAT PENDIDIKAN 1.a Pendidikan formal terakhir?
berpendidikan menengah
1.b Pendidikan non Kursus formal yang
membuat kue
pernah
selama 1 tahun
ditempuh?
Kursus membuat
Tidak pernah
- Kursus salon
pola 1 tahun
mengikuti
dan rias
mengikuti
pendidikan non
pengantin 1
pendidikan non
formal
tahun
formal
- Kursus
i
Tidak pernah
Sebagian informan pernah menempuh pendidikan non formal, dengan
bahasa
waktu belajar
inggris 3
antara 3 bulan
bulan
hingga 1 tahun.
- Kursus montir 6
Adapun jenis
bulan
pendidikan non formal yang pernah dilalui oleh informan adalah: kursus membuat kue, kursus membuat pola, kursus tat a rias pengantin, kursus bahasa inggris, dan kursus montir.
1. c Keinginan
- Memiliki
- Memiliki
- Memiliki
- Memiliki
- Memiliki
Semua informan memiliki
untuk
keinginan
keinginan
keinginan
keinginan
keinginan
melanjutkan
untuk
untuk
untuk
untuk
untuk
pendidikan
melanjutkan
melanjutkan
melanjutkan
melanjutkan
melanjutkan
223
keinginan untuk melanjutkan
pendidikan - Hambatan
pendidikan - Hambatan
pendidikan - Hambatan
pendidikan - Hambatan
pendidikan
pendidikan.
- Hambatan usia
tidak
biaya untuk
infeksi
biaya untuk
membuat
Sebagian
dijelaskan
melanjutkan
oportunistik
melanjutkan
enggan untuk
informan
pendidikan
yang diderita
pendidikan
melanjutkan
memiliki
pendidikan
hambatan biaya,
berupa virus tokso yang
adapula yang
menyerang
memiliki
otak yang
hambatan
membuat
karena infeksi
kurangnya
oportunistik
kemampuan
yang diderita,
dalam berpikir
dan hambatan usia yang sudah tidak lagi muda.
2. STATUS PERNIKAHAN 2.a Status pernikahan
Menikah
Menikah
Janda karena
Janda tapi tidak
Janda suami
suami
bercerai secara
meninggal
224
Sebagian informan telah
sekarang?
meninggal
resmi karena
akibat
menjadi janda
akibat HIV
menikahnya pun
HIV/AIDS
karena suami
dengan nikah
yang meninggal
siri
akibat terinfeksi HIV/AIDS
Sebagian informan ada yang hingga sekarang masih berstatus menikah dengan suami pertama
2.b Frekuensi dan
- 9 tahun
- 4 tahun dengan - 4 tahun dengan - Pernikahan
- 5 tahun
lama tahun
dengan 1 kali
1 kali
1 kali
pertama 7
menikah
menikah?
pernikahan
pernikahan
pernikahan
tahun
dengan 1 kali
bercerai
pernikahan
- Menikah dengan orang
- Menikah dengan orang
225
karena
Sebagian besar informan menikah dengan 1 kali pernikahan
yang baru
yang sudah
meninggal
dikenalkan
lama dikenal
dunia akibat
Sebagian
HIV/AIDS
informan
oleh saudaranya
- Masa perkenalan
- Pernikahan
memiliki usia
sebelum
kedua dengan
menikah
pasangan
terlampau
yang tidak
bebas hingga
terinfeksi
Ada informan
hamil diluar
HIV/AIDS
yang menikah
nikah
dan telah
dibawah 5 tahun
sebanyak 3 kali,
mengetahui
dengan suami
status HIV
yang bukan
pada diri
ODHA
informan,
(Pasangan
pernikahan
serodiskordan)
selama 4 tahun dan bercerai karena sulit
226
pernikahan
mendapatkan keturunan dan ketidakcocok an satu sama lain - Pernikahan ketiga hanya bertahan beberapa bulan. Suami ketiganya mengetahui status HIV pada diri informan dan bukan merupakan ODHA
227
2.c Usia saat
21 tahun
33 tahun
23 tahun
22 tahun
27 tahun
menikah?
Rata- rata usia informan menikah adalah saat usia 25 tahun. Ini adalah usia produktif.
2.d Usia pasangan
22 tahun
33 tahun
20 tahun
saat menikah?
20 tahun
26 tahun
Rata- rata usia pasangan dari informan menikah saat usia 24 tahun. Ini adalah usia produktif.
Sebagian pasangan informan
228
memiliki usia lebih muda dibanding dengan informan.
2.e Status
Suami
Suami
Pacar, bukan
Pacar, bukan
Tidak ada
Sebagian besar
pasangan
ODHA dan
ODHA dan
sekarang?
belum
belum
sekarang
mengetahui
mengetahui
memiliki
status HIV pada
status HIV pada
diri informan
diri informan
informan hingga
pasangan hidup, walaupun ada yang merupakan pasangan sah dan ada juga yang belum sah.
Informan yang memiliki
229
pasangan belum sah, belum membuka status HIV kepada pasangannya yang berstatus bukan ODHA
Adapula informan yang menutup diri untuk tidak memiliki pasangan lagi
2. f. Jumlah, usia,
- 2 orang (usia
- 2 orang (usia 3
dan status anak
8 tahun dan
tahun dan 1
8 bulan dan 8
terhadap HIV?
19 bulan)
tahun)
tahun)
- Status anak
- Status anak
- 2 orang (usia
- Status anak
230
- 3 orang
- 3 orang (usia
Seluruh
(usia16 tahun,
3 tahun, 9
informan
12 tahun, dan
tahun, dan 9
3 tahun)
tahun)
memiliki anak dari hasil
terhadap
terhadap HIV:
terhadap
HIV: Anak
Anak pertama
HIV: anak
terhadap
terhadap HIV:
dengan sebagian
pertama
negatif
pertama
HIV: Status
anak pertama
informan
negatif
HIV/AIDS,
sudah
ketiganya
sudah
memiliki anak
HIV/AIDS,
Anak kedua
meninggal
negatif
meninggal
berusia balita
Anak kedua
berstatus HIV
karena diare
HIV/AIDS
karena HIV,
berstatus HIV
positif (sering
secara terus
- Saat hamil
anak kedua
Sebagian besar
positif
mengalami
menerus
anak kedua
dan ketiga2
informan
(sempat
sakit dan sulit
(saat itu
dan ketiga
kembar
memberikan
untuk pulih)
belum
sudah
dengan status
ASI pada
diketahui
mengetahui
negatif
anak kedua)
status HIV
bahwa
HIV/AIDS
status HIV
nya), anak
dirinya
- Hamil kedua
positif
kedua
terinfeksi
diketahui
memiliki
HIV
terinfeksi
status HIV positif
231
- Status anak
- Ikut serta
- Status anak
pernikahannya
memiliki atau pernah memiliki anak dengan
Informan yang
HIV positif
setelah
dalam PPIA
dan segera
terinfeksi HIV
saat kehamilan
melakukan
positif memiliki
kedua dan
PPIA
anak dengan
ketiga
HIV negatif, ikut serta dalam program PPIA
3. SOSIAL EKONOMI 3.a Jenis pekerjaan sebelum
Kerja di toko
Buruh pabrik
SPG
kue
- Pembukuan di Bank
menikah?
- SPG - Kasir restoran
Pengurus gereja
Sebagian besar informan memiliki pengalaman dalam bekerja
Adapun jenis pekerjaan dari para informan antara lain: kerja di toko kue, buruh pabrik, SPG, pembukuan di
232
Bank, kasir restoran, dan pengurus Gereja 3.b Jenis pekerjaan setelah menikah?
- IRT karena
- IRT karena
- Masih bekerja
- Pernikahan
- IRT karena
Sebagian besar
tidak
tidak diizinkan
sebentar
pertama IRT
tidak
informan setelah
diizinkan
bekerja oleh
sebagai SPG
karena tidak
diizinkan
menikah, hanya
bekerja oleh
suami
diizinkan
bekerja oleh
menjadi IRT
tidak
bekerja oleh
suami
karena tidak
diizinkan
suami
suami - Diminta
- Setelah itu
untuk
bekerja oleh
mengurus
mendapatkan
- Pernikahan
izin dari suami
suami karena
kedua IRT
mereka untuk
rumah tangga
infoman
karena tidak
saja
sudah mulai
di izinkan
sakit- sakitan
suami bekerja
Alasan suami
karena
informan tidak
233
bekerja.
khawatir
mengizinkan
dengan
adalah karena
kesehatan
suami meminta
informan
untuk fokus
- Pernikahan
mengurus rumah
ketiga sudah
tangga saja,
menjadi
karena suami
pelayan bar
khawatir dengan
dan WPS
kondisi kesehatan informan. Adapula yang pada pernikahan ketiga nya tetap menjadi pelayan bar dan WPS.
3.c Jenis pekerjaan sekarang?
- IRT - Membuat
- IRT
- IRT
- Jualan tas
- IRT
- Membuat dan
- Membuat dan - Aktif di
dan menjual
menjual
menjual nasi
kue
aksesoris
uduk bersama - Sering ikut ibunya - Menulis dan hasil tulisan
234
Gereja
kegiatan LSM
Sebagian besar jenis pekerjaan informan sekarang adalah IRT yang juga memiliki kesibukan lain.
dibeli oleh pihak gereja
Kesibukan lain
- Sering ikut
dari informan
kegiatan
antara lain:
LSM
membuka usaha kue, aksesoris, nasi uduk, menulis, dan juga aktif dalam mengikuti kegiatan LSM.
3.d Besar
- Penghasilan
- Penghasilan suami 900ribu
- Penghasilan dari usaha
- Antara 1 juta
- Antara 1 juta
Sebagian besar
hingga 3 juta
hingga 3 juta/
informan telah
penghasilan
dari usaha
dalam sebulan?
kue sekitar
souvenir
100rb hingga
sekitar 1 juta
kemandirian
1 juta/ bulan
hingga 2 juta
dalam
- Penghasilan
bulan
memiliki
mendapatkan
suami 2 juta/
penghasilan
bulan
tanpa harus
235
harus begantung pada penghasilan suaminya,
Rentang besar penghasilan infoman perbulan berkisar antara 100ribu hingga 3 juta rupiah. 3.e Keinginan untuk
Ada keinginan
Ada keinginan
Ada keinginan
Ada keinginan
Ada keinginan
Sebagian besar
mendapatkan
tapi untuk saat
tapi bingung
tapi terkendala
tapi tetap
tapi terkendala
informan
ini di cukup-
tidak dapat izin
dengan
bersyukur
dengan usia
memiliki
cukupin
bekerja dari
lingkungan kerja
dengan yang
yang tidak lagi
keinginan untuk
suami dan anak
yang tidak
telah didapat
muda
mendapatkan
masih kecil
mendukung
sekarang
untuk ditinggal
kondisi
pekerjaan yang lebih baik?
236
pekerjaan yang lebih baik dari
bekerja
informan
yang sekarang
sebagai
telah mereka
penderita
dapatkan,
HIV/AIDS Kendala yang dilalui dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik antara lain: tidak dapat izin bekerja dari suami, lingkungan kerja yang tidak mendukung, serta usia yang tidak lagi muda. 3.f Keaktifan dengan lingkungan
- Sebelum
- Sebelum
Lebih sering di
Tidak aktif
Aktif menjadi
Sebagian besar
menikah
menikah
dalam rumah,
bersosialisasi
pengurus gereja
informan
237
sekitar sebelum
kegiatan
kegiatan
diketahui positif
sehari- hari
sehari- hari
terinfeksi HIV?
lebih banyak
lebih banyak
di dunia
di dunia
pekerjaan
pekerjaan
- Setelah
tidak aktif
dengan
di dekat
sebelum
bersosialisasi
lingkungan
rumahnya
terinfeksi HIV
sekitar
merupakan pribadi yang aktif
- Setelah
bersosialisasi
menikah ikut
menikah
dengan
pengajian di
banyak
lingkungan
masjid dekat
menghabiskan
rumah
waktu dengan
sekitar
ibu- ibu disekitar rumahnya 3.g Keaktifan dengan
- Tidak ada
- Ada peubahan
lingkungan
perubahan
keaktifan
sekitar setelah
keaktifan
dengan
diketahui positif
dengan
berusaha untuk
terinfeksi HIV?
lingkungan
menarik diri
sekitar
dari
Tidak aktif
Ada perubahan
Tidak ada
Sebagian besar
dengan
menjadi lebih
perubahan
informan
lingkungan
aktif dengan
keaktifan
menunjukkan
sekitar
lingkungan
dengan
ada perubahan
sekitar
lingkungan
keaktifan
sekitar
dengan
238
- Status HIV
lingkungan
lingkungan
masih
karena takut
sekitar setelah
dirahasiakan
status HIV
- Takut
HIV positif
diketahui oleh
kehilangan
orang- orang di
pelanggan
lingkungan sekitarnya
4. RIWAYAT HIV/AIDS PADA KELUARGA 4.a. Adakah riwayat
Hanya suami,
Hanya suami,
Hanya suami,
Hanya suami,
Hanya suami,
Semua
keluarga yang
bapak dari
keluarga lainnya
keluarga lainnya
keluarga lainnya
keluarga lainnya
informan, hanya
HIV?
informan
tidak ada yang
tidak ada yang
tidak ada yang
tidak ada yang
suaminya yang
merupakan
pernah terinfeksi
orang yang
HIV/AIDS
pernah terinfeksi pernah terinfeksi pernah terinfeksi HIV/AIDS
HIV/AIDS
HIV/AIDS
memiliki riwayat
cukup dikenal
HIV/AIDS,
sebagai
keluarga yang
pengurus
lainnya tidak
masjid
ada
239
4.b Pola asuh dalam keluarga
Pola asuk
Pola asuh yang
Jumlah saudara
Ayah sudah
Pola asuk
Sebagian besar
memprioritaska
tegas, perhatian,
banyak, kurang
meninggal dan
memprioritaskan
dari informan
n agama
nilai agama
mendapat
ibu bekerja,
agama
memiliki pola
perhatian dan
sehingga kurang
asuh dalam
kasih sayang
dalam
keluarga yang
mendapatkan
baik dalam
perhatian dan
memberikan
kasih sayang
perhatian dan kasih sayang, juga dalam penanaman nilai agama
5. PENGETAHUAN HIV/AIDS
- Tidak
- Ragu dalam
- Ragu dalam
mengetahui
menjawab
menjawab
kurang tepat
singkatan
singkatan HIV
singkatan HIV
dalam
HIV
menjawab - Menyatakan
- Menyatakan penyebab
- Jawaban
- Menyatakan
penyebab HIV
penyebab HIV
adalah virus
adalah virus
240
- Mengetahui singkatan HIV
Sebagian besar informan memiliki
- Menyatakan
singkatan
penyebab HIV
HIV
adalah virus
pengetahuan mengenai singkatan HIV yang kurang,
HIV adalah
- Menyatakan
kuman - Cara
-
Cara
penularan
ragu dalam
HIV adalah
HIV: Lewat
menjawab
virus
darah, Seks
bahkan ada yang
penularan
HIV:
HIV:
mengetahui
Narkoba
Hubungan
cara
suntik, Dari
seks tidak
penularan
penularan
ibu ke anak,
aman, Jarum
HIV: Produk
HIV
Transfusi
suntik, Ibu
darah, Seks
darah, ASI
yang HIV ke
bebas, Jarum
anaknya,
suntik tidak
Transfusi
steril, Ibu ke
darah
bayi
- Cara pencegahan:
- Cara
sehingga masih
penyebab penularan
- Tidak
- Cara
bebas, - Cara
Pakai
pencegahan:
kondom saat
Tidak
berhubungan
menggunakan
seksual,
narkoba, Tidak
pencegahan:
pencegahan:
Lakukan
melakukan free
Setia dengan
Tidak
pemeriksaan
sex, Tidak
satu pasangan,
menggunakan
HIV
memberikan
Pakai kondom
jarum suntik
tidak tahu
Transfusi darah,
Sebagian besar
penularan dari
informan telah
ibu ke anak,
mengetahui
melalui
bahwa virus
kehamilan,
adalah jenis dari
persalinan,
HIV namun ada
dan ASI
pula informan yang
- Cara
241
- Cara
- Cara
menyatakan
pencegahan:
kuman adalah
Setia pada
jenis dari HIV
pasangan, Pakai kondom
Adapun cara
ASI pada
saat
yang tidak
jika memiliki
penularan HIV
bayinya, Hati-
berhubungan
steril, Hindari
perilaku
yang diketahui
pengobatan:
hati dalam
seksual,
transfusi
bergonta-
oleh informan
Pakai terapi
menerima
Pencegahan
darah,
ganti
ARVsecara
transfusi darah
menggunakan
Hindari seks
pasangan,
ABCDE
bebas tanpa
Tidak
(Abstinent, Be
pakai
menggunakan
faithful,
pengaman,
narkoba
Condom, no
Pencegahan
Drugs,
HIV dari ibu
Education)
ke anak
- Cara
rutin, Ada juga obat herbalnya
- Cara pengobatan: Pakai terapi ARVsecara rutin
dengan - Cara pengobatan: Pakai terapi ARVsecara
menggunakan program PMTCT/ PPIA
rutin, Bagi yang takut dengan efek
242
pengobatan:
penularan dari penggunaan narkoba suntik, jarum suntik yang tidak steril,
- Cara pengobatan: Pakai terapi ARVsecara rutin, Ubah perilaku buruk dengan pola hidup
- Cara
antara lain:
sehat
transfusi darah, hubungan seks tidak aman, melalui produk darah, penularan HIV dari ibu ke anak melalui kehamilan, persalinan, dan ASI
samping ARV
Pakai terapi
bisa
ARVsecara
menggunakan
rutin
Adapun pencegahan
pengobatan
yang diketahui
alternative
informan
seperti yang
terangkum
dilakukan
dalam ABCDE
oleh teman-
(Abstinent, Be
teman ODHA lainnya
faithful, Condom, no Drugs, Education) dan pencegahan penularan ibu ke anak dengan program PMTCT/PPIA
Adapun cara
243
pengobatannya dengan terapi ARV secara teratur. Adapula informan yang menyatakan cara lain dari pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan obat herbal dan pengobatan alternatif bagi yang takut dengan efek samping dari ARV
244
6. AGAMA
- Terjadi
- Terjadi
- Terjadi
- Terjadi
Semua informan
perubahan
perubahan
perubahan
perubahan
perubahan
menjadi
menjadi lebih
menjadi lebih
menjadi lebih
menjadi lebih
lebih baik
baik dalam
baik dalam
baik dalam
baik dalam
baik dalam
dalam
menerapkan
menerapkan
menerapkan
menerapkan
beribadah
menerapkan
nilai agama
nilai agama
nilai agama
nilai agama
nilai agama
setelah
setelah
setelah
setelah
Hal yang
setelah
terdiagnosis
terdiagnosis
terdiagnosis
terdiagnosis
membuat
terdiagnosis
HIV positif
HIV positif
HIV positif
HIV positif
perubahan
HIV positif
7. GEJALA
- Terjadi
- Semakin
- Semakin
- Semakin
berubah menjadi semakin lebih
- Mencoba
terjadi antara
- Merasa
sering dan
sering
sering berdoa
untuk
lain: merasa
bahwa
rajin untuk
mengingat
ketika sedih
berpuasa
penyakitnya
penyakit
berdoa
Allah
untuk
adalah bentuk
yang
meredam
sekarang
depresi awal
menghilangkan
dideritanya
mengetahui
rasa sedih, dan
adalah
terinfeksi
untuk meredam
bentuk ujian
HIV positif
Diajak untuk
Setelah informan
Komentar
245
Setelah suami
Saat hamil
ujian, untuk
depresi Sebagian besar
AWAL
ikut VCT dan
melahirkan,
tetangga tentang
pertama
mengalami diare
DICURIGAI
penyuluhan
kondisi dari anak
gejala penyakit
meninggal dan
yang tidak
HIV/AIDS
tentang
informan
yang tidak
didiagnosis
sembuh-
kemungkinan
HIV/AIDS di
mengalami sakit
kunjung pulih
terinfeksi HIV
sembuh.
mengalami
kegiatan RW
paru- paru dan
yang terlihat
positif, informan
hydrocephalus.
pada anak
jadi sering sakit
Dokter curiga
Dokter
informan
dan sulit untuk
disarankan
dan anggota
pulih
untuk
keluarganya
mengalami kecurigaan
informan mengetahui
HIV/AIDS
melakukan tes
karena kondisi
Anak informan
HIV di
anak informan
mengalami sakit
laboratorium.
yang sulit pulih.
paru- paru yang
Akhirnya
sulit untuk
dilakukan
pulih.
karena dirinya
menderita sakit yang sulit sembuh
Adapula informan yang
diagnositik dan
memenuhi
ternyata positif
ajakan untuk
HIV
melakukan VCT
246
MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT TEMPAT PERTANYAAN
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
KESIMPULAN
Keberadaan
ada
ada
ada
ada
ada
Semua informan
pusat layanan
menyatakan bahwa
kesehatan
didaerah tempat
terdekat dari
tinggalnya terdapat
tempat tinggal?
pusat layanan kesehatan yang lebih dekat dari pada Puskesmas Kramat Jati
Kebermanfaatan
Sebelum
Sebelum HIV
Bermanfaat,
Memanfaatkan
Sebelum
pusat layanan
terdiagnosis
menggunakan
sering
saat sebelum
terdiagnosis
menyatakan bahwa
kesehatan
HIV sangat
layanan
menggunakan
terinfeksi HIV
memanfaatkan
memanfaatkan pusat
terdekat?
memanfaatan
kesehatan
Puskesmas
terdekat
nya
Semua informan
layanan kesehatan terdekat berupa
terdekat
Puskesmas sebelum mengetahui status
247
HIV positif pada dirinya. Alasan lebih memilih berobat di kramat jati?
Takut status
Takut diketahui
Tidak ingin
Berobatnya
Sudah merasa
Sebagian besar
HIVnya
orang- orang
status HIV nya
pindah- pindah,
nyaman
khawatir jika status
diketahui orang- disekitar tempat
diketahui orang- Puskesmas
dengan
HIV nya diketahui
orang disekitar
tinggalnya,
orang sekitar
Kramat Jati
petugas
oleh orang- orang
tempat
karena
tempat
tempat berobat
kesehatan di
tinggalnya,
puskesmas
tinggalnya
terakhir dan
puskesmas
yang nantinya
terdekat
belum pindah-
Kramat Jati
akan berdampak kebanyakan
pindah berobat
pada kehilangan
didatangi oleh
lagi
pelanggan
tetangga-
yang berada di daerah tempat tinggalnya
Ada informan yang sudah merasa nyaman dengan petugas
tetangganya
kesehatannya
Adapula yang memang terbiasa untuk pindah- pandah tempat berobat.
248
MATRIKS WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT WAKTU PERTANYAAN
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
KESIMPULAN
Lama Sakit
Desember 2014,
Juli 2014,
Juli 2007,
tahun 2004,
tahun 2006,
Perkiraan
(terhitung dari
sehingga lama
sehingga lama
sehingga lama
sehingga lama
sehingga lama
rentang lama
waktu pertama kali
sakit kurang
sakit kurang
sakit kurang
sakit kurang
sakit kurang
sakit pada
terdiagnosis hingga
lebih 4 bulan
lebih 9 bulan
lebih 8 tahun
lebih 11 tahun
lebih 9 tahun
informan mulai
wawancara di
dari 4 bulan
tahun 2015)
hingga 11 tahun
Usia pertama kali
Usia saat
Usia saat
Usia saat
Usia saat
Usia saat
Perkiraan
terdiagnosis HIV?
wawancara 30
wawancara 37
wawancara 38
wawancara 38
wawancara 39
rentang usia
(terhitung dari usia
tahun, sehingga
tahun, sehingga
tahun, sehingga
tahun, sehingga
tahun, sehingga
informan saat
saat di wawancara
perkiraan usia
perkiraan usia
perkiraan usia
perkiraan usia
perkiraan usia
pertamakali
di tahun 2015
saat pertamakali
saat pertamakali
saat pertamakali
saat pertamakali
saat pertamakali
terdiagnosis
dikurangi dengan
terdiagnosis
terdiagnosis
terdiagnosis
terdiagnosis HIV
terdiagnosis
HIV adalah 27
waktu pertamakali
HIV adalah 29
HIV adalah 36
HIV adalah 30
adalah 27 tahun
HIV adalah 30
tahun hingga 36
terdiagnosis)
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
249
c. Transkrip Wawancara
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT ORANG Topik
TINGKAT PENDIDIKAN INFORMAN
Pertanyaa n Pendidikan formal terakhir?
Pendidikan non formal yang pernah ditempuh?
Keinginan untuk melanjutka n
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
“Pendidikan terakhir saya SMP, itu juga ijazahnya ilang waktu kebanjiran.” “Pernah ikut kursus bikin kue, sekalian kerja di Toko kue kan waktu itu, trainingnya ikut kursus kue deh setahun.”
“Terakhir saya sekolah SMA.”
“Pendidikkan “Pendidikkan terakhirku SMA di terakhir saya daerah Jakarta.” SMK”
“Lulusan SMEA di Sumatra Utara.”
“Pernah waktu itu saya kursus bikin pola sekalian sama kursus jahitnya….”
“Heemmm.. gak pernah mbak.”
“Gak pernah ikutan kursus- kursus mbak”
“Pengen banget sebenernya ikutan....”
“Pengen….” “….Tapi uangnya gak ada buat
250
“Pengen sih sekolah lagi,tapi otak aku sekarang udah lemot kan
“…. Kursus rias penganten, kursus salon, sempet kursus bahasa inggris di IEC…”
“…. Terus juga pernah tadinya kan mau kerja di bengkel terus kursus montir….” “Ada keinginan “…..yaa pengen…” untuk melanjutkan “… Tapi karna sekolah …” faktor U nih saya
nerusisnnya lagi.”
pendidikan ?
STATUS PERNIKAHAN
Status Pernikahan Sekarang?
“Baru sekali ini menikah, dari tahun 2006 sampai sekarang.”
“Menikah, ini pernikahan pertama saya”
Jumlah dan Lama Tahun Menikah?
“9 tahun.”
“Tahun 2011 saya nikah, berarti udah mau 4 tahun pernikahannya. Saya sama suami gak pake pacarpacaran mbak, saya baru kenal, di kenalin sodara, trus dia serius mau nikahin saya, yaudah deh kita nikah.”
251
aku pernah kena virus tokso, ini setelah aku kena HIV…” “Janda. Suami sudah meninggal karena HIV ”
“Aku nikah dari 2002- 2006, sekitar 4 tahun. bercerainya karena suami aku meninggal dunia….” “…sebelum menikah itu aku udah sering ngelakuin seks, jadi pas nikah posisinya aku sudah hamil di luar nikah.”
udah males deh sama yang namanya sekolah lagi.” “Belum cerai secara resmi dengan suami terakhir, cuma omongan talak dari suami, trus juga suami saya yang terakhir itu.. kita pas nikahnya, nikah siri.” “….Suami pertama 7 tahu cerai karena suami meninggal, suami ke-2 kita cuma bertahan 4 tahun padahal dia tau status HIV saya dia nerima saya apa adanya walaupun saya itu ODHA dan dia bukan…”
“Status pernikahan sekarang sudah tidak menikah. Terakhir menikah suami saya meninggal karena HIV/AIDS”
“Pernah menikah tahun 2003 sampai tahun 2008, pernikahan kami sekitar 5 tahun. Di tahun 2008 saya bercerai dengan suami karena saat itu suami meninggal dunia.”
Usia Saat Menikah?
“Waktu itu saya umur 21tahun.”
“Umur 33 tahun.”
“Aku nikah umur 23”
Usia Pasangan Saat Menikah? Status Pasangan
“Suami saya 22 tahun. Beda 1 tahun kita.”
“suami saya juga sama 33 tahun, kita sepantaran.”
“pasangan ku 20 tahun”
“Suami sah saya.”
“Pasangan saya yang sekarang, yaa
“Pasangan yang sekarang? Kalo
252
“….suami ke-3 Cuma beberapa bulan aja trus langsuns saya tinggalin, karena ternyata dia udah punya istri dan saat itu lagi hamil tua, saya pun saat itu ternyata lagi hamil juga. Suami ketiga saya tau kalo saya HIV, kalo dia sendiri saya kurang tau deh HIV atau nggak, tapi kayaknya nggak, karena gak minum ARV.” “Pertama kali menikah umur 22 tahun.” “suami saya umur 20 tahun…”
“Usia saat saya menikah itu 27 tahun.” “Usia suami saat menikah 26 tahun.”
“Pasangan yang “Belum ada sekarang pacar, pengganti mendiang
Sekarang?
masih suami saya.”
yang sekarang pacar, tapi dia belom saya kasih tau kalo saya HIV….”
Jumlah Anak?
“2 orang, sepasang cowok dan cewek.”
“Ada 2 orang. Laki- laki semua”
“Anak aku ada 2. Anak pertama cewek terus anak keduanya lakilaki.“
Usia Anak?
“Yang cowok kelas 2 SD umur 7 mau naik 8 tahun, yang cewek umur 19 bulan.”
“Anak pertama umur 3 tahun, yang kedua umur 1 tahun.”
“Anak pertamaku yang cewek udah meninggal, anak kedua sekarang 8 tahun.”
Kondisi Kesehatan Anak?
“Anak pertama saya gak kenapa- kenapa, Alhamdulillah. Justru anak kedua saya yang kena HIV juga,
“Anak pertama negative HIV, tapi anak yang kedua dari lahir udah sakit dan ternyata HIV Positif.”
“Anak pertamaku yang cewek, lahir tahun 2002, kasian dia, kerjaannya buang- buang aer mulu, tadinya gak
253
calon suami umur 19 tahun tinggalnya di garut. Dia negative HIV, saya belum ngasih tau status saya ke dia…..” “3 anak perempuan, dari suami pertama 2 orang dari suami ke-3 1 orang.” “Satu sekarang SMA sekitar eee umur 16 tahun, satunya SD kelas 6 umur 12 tahun, satunya lagi baru lahir th.2012 secara sesar.” “Alhamdulillah tiga- tiganya gak ada yang ketularan HIV”.
suami saya sampai detik ini….”
“Anakku ada 3perempuan semua. Anak kedua sama ketiga kembar.” “Usia anak pertama berapa ya? Dia kelahiran tahun 2003, usia 3 tahun meninggal karena HIV, itu tahun 2006. Kalo si kembar sekarang usia 9 tahun.” “Anak pertamaku positif HIV ,itu juga taunya setelah saya tes HIV dan hasilnya HIV Positif. Kalo anak kedua dan ketiga yang kembar,
mungkin karena sempet saya kasih ASI….”
SOSIAL EKONOMI
Jenis Pekerjaan sebelum menikah?
“Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6 tahun saya
ketauan penyakitnya apa. Kata dokter diare akut. Akhirnya meninggal di usia 8 bulan. Dan ketauan lah penyakitnya kemungkinan itu HIV , itu juga setelah anak kedua aku ketauan kena HIV.” “…..Saat itu kondisi anak keduaku udah sering banget diare, batuk pileknya juga terus- terusan, bolak- balik berobat tetep gak berenti – berenti…” “…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum nikah…”
254
“Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar baru.
puji tuhan negative HIV, padahal pas hamil mereka, saya ketauan HIV Positif.”
“….Kerja di Bank bagian pembukukan ituu gak lama sih Cuma 7
“Aktif di Gereja jadi pengngurus gereja.”
kerja disana”
Jenis pekerjaan setelah menikah?
“kata suami, udah biarin saya aja yang kerja. Kamu urus pekerjaan rumah aja”
“gak dapet izin suami buat kerja”
255
bulan, terus saya pindah sebagai SPG terus sekitar 1 tahun pindah lagi saya sebagai kasir di California fried chicken itu paling lama ada sekitar 4 tahun. setelah itu saya menikah dan tidak melanjutkan bekerja.” “abis nikah, “Setelah masih jadi SPG, menikah dengan sebentaran doang yang pertama, tapi soalnya disitu saya ibu rumah udah mulai sakit- tangga, karena sakitan. Setelah gak dikasih itu diem aja untuk kerja.. dirumah jadi ibu sama yangkedua rumah tangga, saya juga ibu gak dibolehin rumah tangga kerja lagi” aja, kata suami takut saya kecapean, soalnya suamikan tau
“ cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.”
kondisi saya.. sama yang ketiga saya udah jadi pelayan bar plus, plus .. hehe” “Kenapa saya mau kerja di tempat begituan? Karna waktu itu, saya ngerasa saya dapet penyakit ini juga garagara ketularan orang, jadi sekalian aja saya nularin juga ke orang lain Udah gitu kan ya dari pas nikah sama suami kedua kan gak bisa punya anak,, yaudah jadi semakin berani saya.Saya jadi
256
Jenis Pekerjaan sekarang?
“Kalo sekarangsekarang ini mah saya gak kerja, Cuma jadi ibu rumah tangga aja di rumah, sama palingan bikinin kue pesenan orang…..”
“Ibu rumah tangga aja, yang ngandelin pendapatan nya suami. Suami saya kerjanya jadi marketing di perusahaan swasta….”
257
gak takut hamil kalaupun pelanggan saya ada yang gak pake kondom. Kadang kalo lagi ada yang ngeselin, udah aja saya ladenin gak pake kondom, biarin aja biar ketularan juga. Tapi sekarang saya udah sadar, kalo semua udah rencana Tuhan, saya gak boleh mendzolimi orang lain…” “Aku ibu rumah “…..Jualan. tangga biasa yang Saya jualan nasi nyoba buat uduk bareng ibu usahabikin saya di berbagai macam manggarai, aksesoris, kayak terus juga macem bros, jualan tas- tas kalung, gelang, tapi sistemnya cincin. Ada yang pesen trus pake manikdikumpulin
“Ibu Rumah Tangga. Bisa di bilang saya aktivis HIV juga.”
Besar
“Kalo
“….Penghasilan
258
manik, ada juga yang pake benang wol, pake kain perca, sama flannel juga ada. Dan justru yang banyak distributorin usaha aksesoris aku juga kan temen- temen dari LSM. Orang di sekitar rumah kayaknya gak ada yang tau kalo aku. usaha aksesoris”, soalnya aku jarang keluar rumah”
dulu, baru saya jalan buat beliin barangnya ke tanah abang.” “…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita pengalaman saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan saya suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya saya, muslim loh, tapi justru saya belum pernah diundang ke masjid… oiya, saya juga sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau komunitas HIV.
“Yaaa, lumayan
“Saya bisa
“Dalam sebulan
penghasilan dalam sebulan?
penghasilan sendiri mah palingan 1 kue Cuma untung 20-40ribu aja per toplesnya. Sekitar 100rb- 1 juta sebulannya. Kalo suami saya gajinya 2 juta….”
suami saya 900ribu sebulan….”
lah dari usaha ku ini, dalam sebulan 1- 2juta bisa aku kantongin.”
Keinginan untuk mendapatk an pekerjaan yang lebih baik?
“Pastinya ada lah mbak, gak cukup kalo ngandelin pendapatan yang sekarang….”
“…..Pengen punya kerjaan yang bisa nambahin penghasilan, tapi suami gak ngizinin. Saya juga bingung masih punya anak kecil, gak ada yang ngurusin. Suami saya juga sakitsakitan mulu sekarang, udah gak bisa nyari kerja tambahan, lebih banyak istirahatnya kalo sekarangsekarang ini.…”
“Pengen kerja di tempat lain, tapi yang mengerti dengan keadaan kita yang seperti ini kan hanya temen- temen sesama ODHA, kalo kita sakit gak perlu izin sampe ngemis- ngemis, gak usah pake ngasih alesan panjang lebar, bos kan udah tau dan udah ngerti. Coba kalo kerja di perusahaan lain, pasti bos
259
nyimpen buat tabungan atau buat makan, buat biaya hidup seharihari, buat biaya sekolah anak 100.000 sehari, yaa antara 1 juta sampe sebulannya bisa nyampe 3 juta.” “Pasti adalah keinginan buat dapet pekerjaan yang lebih baik. Untuk sekarang ini yaa di syukuri aja dengan yang sudah Tuhan kasih ke saya.”
saya bisa dapet pemasukkan 1 sampai 2 juta itu dari hasil aktiv di Gereja, di LSM.”
“Ada, tapi saya sadar diri aja mbak, usianya udah tua gak bisa juga ngelamar kerja dimanamana.”
Keaktifan sebelum diketahui positif terinfeksi HIV
“Sebelum saya nikah sama suami, saya kerja di toko kue , 6 tahun saya kerja disana. Setelah menikah saya lebih banyak di rumah, palingan jadi aktiv ikut pengajian aja di masjid deket rumah.”
“…. Dulu saya buruh pabrik, tapi itu dulu sebelum nikah. Abis nikah saya gak di bolehin kerja lagi sama suami, jadi ibu rumah tangga aja.yang gaulnya yaa sama ibu- ibu rumah tangga lainnya di sekitar rumah. Di sekitar rumah juga masih pada keluarga semua”
Keaktifan setelah diketahui positif terinfeksi HIV
“Saya masih aktif Pengajian, masih sering ngobrol sama tetangga, kalo sayanya gak ngobrol susah saya dapet
“Tadinya sering ngobrol bareng tetangga, ngerumpingerumpi lah, namanya juga ibuibu, hehe. Ikutan acara di sekitar 260
bakalan ngomel.” “Sebelum tau kalo aku HIV? Aku kerja jadi SPG di pasar baru. Aku dirumah juga kalo udah pulang, terus langsung tidur karena capek. Makannya aku di rumah gak ikutan apa- apa dan gak bergaul juga sama orangorang di sekitar lingkungan rumah. Emang dari dulu tuh aku begitu, dirumah aku diem aja, jadi anak rumahan.”
“….Kerja di Bank bagian pembukukan ituu gak lama sih Cuma 7 bulan, terus saya pindah sebagai SPG terus sekitar 1 tahun pindah lagi saya sebagai kasir di California fried chicken itu paling lama ada sekitar 4 tahun. setelah itu saya menikah dan tidak melanjutkan bekerja”
“Aktif di Gereja dan cuma ibu rumah tangga biasa,karna waktu itu suami juga gak ngizinin saya buat kerja.”
“Dari dulu aku mah emang gak deket sama tetangga, acaraacara di sekitar rumah juga aku gak pernah tau, karna kan aku
”…..Pas masih sama suami, pindah- pindah tinggalnya…..” “…. Saya suka di panggil ke gereja buat cerita
“Paling saya aktivnya di gereja deket rumah Mbak, emang dari sebelum ketauan HIV Positif saya udah aktiv sama kegiatan- kegiatan gereja, mulai dari
RIWAYAT HIV/AIDS PADA KELUARGA
Riwayat keluarga yang terinfeksi HIV?
orderan buat kue. Ini juga masih saya rahasiain kalo saya kena HIV. Ngeri pelanggan pada kabur Mbak, kan lumayan pemasukkan kue saya walaupun cuma dikit juga.”
rumah juga sering, sekarang jadi males mau ikutan. Takut kalo tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom siap saya”
emang jarang di rumah, kerja mulu, sampe rumah malem, udah tepar. Sekarang pun sama, gak aktiv di sekitar rumah. Yang banyak distributorin usaha aksesoris aku juga kan temen- temen dari LSM.”
pengalaman saya disana, saya juga suka nulis kan yah, nah hasil tulisan saya suka di beli sama pihak gereja. Padahal saya muslim loh, tapi justru saya belum pernah diundang ke masjid….. oiya, saya juga sering ikutan acaranya orang – orang LSM atau komunitas HIV.”
“gak pernah ada mbak. bapak saya lumayan dikenal di sekitaran rumah, soalnya pengurus masjid gitu. Ibu saya juga gak
“Keluarga gak ada yang pernah ngalamin kayak gini, baru saya aja ini. Suami saya duluan tapi.”
“suami ku yang awalnya kena HIV mah. Keluarga ku mah mana ada yang pernah kena penyakit kayak beginian.”
“keluarga lain selain suami? Gak ada mbak. emang Cuma dia yang nularin ke saya.”
261
saya remaja. Sampe sekarang saya juga masih aktiv di gereja... sering banget diminta buat jadi pembicara untuk sekedar sharing mengenai HIV.. Puji Tuhan orang- orang disekitar saya gak ada yang mendeskriminasi saya, justru mereka banyak yang seneng dengerin cerita saya, inspiratif katanya…. “ “…. Dan sering di ajak juga sama temen- temen LSM buat ikutan acaraacaranya” “Setau saya sebelumnya tidak pernah ada keluarga saya yang sakit kayak saya ini, baru saya ini yang ketularan sakit kayak gini, terularnya bukan melalui sikap
Pola asuh dalam keluarga ?
mungkin, adek saya juga orangnya gak macem- macem. Emang Cuma suami saya.. yakin deh saya HIV ini ketularannya dari dia.” “dikeluarga saya di didiknya lebih ke nanemin nilai islam, kayak sholat lima waktu itu wajib tuh, kalo gak habis kita kena sabetan rotan atau gesper. Trus ngaji juga harus baca qur‟an tiap habis maghrib.”
saya yang bandel atau gimanagimana, tapi justru karena ketularan suami”.
“bagus kok orang tua saya ngedidiknya, didikannya tegas, perhatian juga sama anakanaknya. Nilai agama juga udah ditanem dari kita pada masih kecil. Sebelum makan berdo‟a, di ajak ke sekolah minggu.trus juga kita disekolahin disekolah Kristen.”
262
“aku punya 3 kakak sama 2 adek, mungkin karna anaknya ibu ku banyak kali ya, jadinya yaaa gitu mbak, gak terlalu diperhatiin. Dirumah kan aku gak dapet perhatian dan kasih sayang, yaaa dengan punya pacar aku bisa dapetin hal itu.”
“Yaaa namanya juga kan anak muda yaa masih labil- labilnya, diajak temen nyoba- nyoba ini itu yaa mau aja.. apa lagi orang tua saya, bokap udah meninggal dari saya SD, kalo nyokap yaa tiap hari sibuk kerja, kerja, dan kerja. Tipikal nyokap juga yang cuek bebek gitu, terserah anakanaknya deh mau ngelakuin
“Keluarga saya keagamaannya bisa dibilang cukup tinggi, saya juga dari kecil udah diajarin untuk mengenal Tuhan dan harus bisa banyak berbagi manfaat untuk umat Tuhan lainnya….”
PENGETAHUAN HIV/AIDS
Singkatan HIV?
“Gak tau saya, dan gak pernah juga saya mencari tau….”
HIV merupakan jenis apa? (virus, bakteri, parasit,
“Kuman, semacem kuman, eh kotoran.yang terus bakal nempel di tubuh
“HIV, hmm, H nya apa yaa saya lupa pokoknya huruf I nya itu Imun, huruf V nya Virus.” “Virus yang menggerogoti kekebalan tubuh kita.”
263
“Human Deficiency Virus deh kalo gak salah” “Eee, ituu jenis Virus”
apa aja yang jalanin kan kita sendiri, yang nanggung resiko juga yaaa kita sendiri”. “pernah, waktu SMK dulu, nyoba narkoba, putaw, heroin, ganja dan itu pake jarum suntikan yang gak tau juga deh itu steril apa enggak.nggak ngerti juga saat itu saya sudah kena HIV apa belom…” “Human Deficiency Virus”
“Human ImmunoDeficiensi Virus”
“Virus”
“Virus.”
jamur, dsb?) Cara penularan HIV melalui apa saja?
Cara Pencegahan HIV?
orang yang menderita penyakit ini.….” “Gak tau”
“Pake kondom kalo berhubungan seksual dan gak pake narkoba. Terus periksa ke dokter supaya tau kena HIV apa enggak.”
“Penularannya bisa lewat narkoba suntik, bisa lewat hubungan seks sama orang yang HIV, transfusi darah dari orang yang HI, dari ASI juga bisa.” “Jangan narkoba, jangan berhubungan seks sembarangan, kalo punya anak bayi tapi ibunya positif HIV jangan kasih ASI, trus kalo mau nerima transfusi darah harus lebih hati- hati lagi.”
264
“hmm, penularannya melalui hubungan seks yang tidak aman, jarum suntik, dari ibu yang HIV ke anaknya, terus transfusi darah, hmm.. udah itu aja.” “Yaaa.. dengan setia sama pasangan, hubungan seks yang tidsk aman dengan menggunakan kondom, pokoknya pencegahannya pake ABCDE deh.. A nya abstinent ituh maksudnya gak ngelakuin seks bebas, B nya Be faithful ituu
“Penularannya bertingkat, dari mulai darah, eee sex bebas, terus eee jarum suntik yang tidak steril, dari ibu ke bayi”
“Bisa lewat darah, jarum suntik, seks bebas, transfusi darah, dari ibu menular ke anaknya juga bisa nularin HIV lewat persalinan sama ASI.”
“Pencegahanny a selama ini tidak menggunakan jarum suntik yang tidak steril,terus eee hindari transfusi darah, terus ehmm.. hindari seks bebas tanpa menggunakan pengaman, teruus yang dari ibu ke anak ituu eee apa tuh
“Cara pencegahannya dengan setia sama pasangan, kalo emang punya perilaku buruk kayak gonta- ganti pasangan pake kondom juga, gak pake narkoba, periaku nya harus sehat supaya terhindar dari HIV.”
Cara Pengobatan HIV?
“Kalo pengobatannya, pake obatobatan terapi HIV, namanya apa yaa? Saya lupa. ARV kalo gak salah namanya Pokoknya di minumnya harus teratur…. saya juga pernah baca sih ada pengobatan herbal gitu yang bisa juga buat ngobatin
“Rutin minum ARV.”
265
maksudnya musti setia sama pasangan, C nya pake kondom, D nya Drugs di jauhin jangan di pake, E nya apa yah lupa.. oiya edukasi tentang HIV. Udah deh pencegahaannya pake ABCDE ajah.” “Pengobatan sekarang? Kita terapi melalui ARV. Tapi banyak tuh ibu- ibu, temenku, dia make terapinya pake alternatif gitu soalnya takut sama efek sampingnya ARV.”
namanya, pencegahan gitu deh, oh iya PMTCT.”
“Pengobatanny a ituu ada obatnya itu namanya ARV (anti retroviral virus)…”
“Yaaa, harus di ubah perilaku buruknya pake pola hidup yang sehat. Minum ARV juga secara teratur.”
AGAMA
GEJALA AWAL DICURIGAI
Jenis Agama yang dianut?
HIV…..” “Saya islam”
“Protestan mbak, “Aku islam Kristen Prostestan” mbak”
Bagaimana ketaatan dalam beribadah sebelum terdeteksi HIV?
“Sholatlah, dari dulu saya selalu mengusahakan supaya gak bolong sholat 5 waktunya”
“pastilah mbak”
Bagaimana ketaatan dalam beribadah setelah terdeteksi HIV?
“setelah tedeteksi HIV, tetep sholat, semakin saya usahain supaya abis adzan langsung sholat. Karena mungkin aja penyakit ini sebenernya ujian buat saya”
“semakin sering, semakin rajin berdoa ”
Sebab Awal di
“….Awalnya saya sempet
“….anak saya yang kedua ini lahirnya 266
“waktu sebelum nikah rajin, disuruh terus soalnya sama ibu, kalo setelah nikah bolong- bolong, lebih banyak nggaknya.” “setelah tau HIV awal- awalnya rajin sholat, ngadu sama Allah, kenapa aku bisa ketularan HIV? tapi kesininya , tau nih belum rajin lagi . hehe.”
“di KTP sih saya islam, tapi saya yaaa gitu deh, kalo lagi mau aja saya sholat, sama kalo lagi inget. Hehe” “pasti itu mah mbak, orang atheis aja berdoa masa kita enggak. Hehe”
“Agamanya kristen saya mbak”
“Semakin sering inget sama Tuhan apalagi kalo lagi sedih mikirin nasib, yaudah lah berdoa aja”
“pas awal kedeteksi HIV, saya beberapa kali nyoba buat puasa, sebulan berturut- turut mungkin ada, maksudnya supaya saya gak terlalu depresi saat itu, dan memang sengaja juga pengen diet. hehe” “Awalnya saya gak tau, tapi waktu hamil
“….Awal “Awalnya mulanya waktu itu karena suami
“Ada sih di agama kami puasa, beda cara berpuasanya dengan islam, tapi saya jarang puasa, gak wajib juga soalnya”
HIV/AIDS
Ketahuinya HIV Positif?
takut juga buat ikut tes- tes kayak gitu, ngeri kalo sampe saya ternyata kena HIV gimana? Akhirnya saya di rumah aja tuh, gak dateng ke acara di RW saya. Otomatis saya gak ikutan Penyuluhan dan Tes HIVnya. Tapi gak lama, ibu RW sama kader- kader puskesmas yang lainnya dateng ke rumah saya, di samper saya buat ikutan periksa HIV, katanya tinggal saya yang belum di tes di RW ini, di bujuk- bujuk deh pokoknya biar saya ikutan tes HIV. Dari situ Saya tiba-
sesar….” “…. tapi kondisi anak kedua saya terlahir dengan paru- paru yang gak ngembang, trus hidrocefalus juga, jadi pas lahir langsung masuk incubator, di rawat sampe 3 minggu di Rumah Sakit, sembuh, tapi sembuh Cuma paru- parunya doang yang bisa napas normal. 2 minggu setelah pulang ke rumah, kambuh lagi, di rawat lagi 3 minggu di Rumah Sakit Cipto…” “….terakhir nya dokternya tes HIV ke anak saya, ternyata positif HIV. Dari situ saya sama suami dikenalin sama dokternya ke dokter
267
tuh ada tetangga , dia kan gay, terus dia ngeliat anak aku, katanya “mbak maaf yah, jangan tersinggung, kayaknya anak mbak kena HIV, soalnya dari ciricirinya ketauan…..” “….Kondisi saya saat itu baru lahiran terus juga rambutnya udah rontok banyak, hampir botak, kepalakku juga udah sering banget pusing, waktu itu tapi masih jadi SPG di pasar baru, sering pingsan gitu, tapi gak tau sakitnya apa….” “…Taunya dari orang Puskesmas yang ngasih tau kalo hasil tes aku
pertama meninggal terus kata dokter suami ku kena HIV. Ituu tahun 2003. Banyak yang nyuruh aku buat VCT, tapi akunya belum siap tau kondisi kesehatan aku saat itu, karena masih terpukul banget sama kematiannya suami pertama ku. Setelah suamiku meninggal, karena mungkin akunya juga sedih di tinggal suami, aku jadi sakit- sakitan, bolak balik ke puskesmas buat berobat, tapi sakitnya gak sembuhsembuh. Anakku yang kedua juga
saya diare gak berhenti- berhenti. Bolak- balik Puskesmas, dan disitu dokter Puskesmas curiga sama saya. Saya di saranin buat tes HIV. Karena saya juga penasaran, pergi lah saya ke Laboratorium. Udah deh, disitu saya ketauan kalo saya penderita HIV Positif.”
tiba aja muncul firasat buruk, kenapa ini ya orang- orang pada ngajakin saya buat ikutan tes?. Tapi yaudah deh setelah saya pikir- pikir ini kan juga demi kebaikan saya,dan kayaknya gak mungkin juga saya kena HIV, orang saya perempuan baik- baik kan. akhirnya saya mau buat di tes HIV.”
Puskesmas yang ngurusin HIV disana saya sama suami di tes HIV, hasilnya sama, positf semuanya.”
268
positif HIV. Jadi ceritanya aku kan abis diajak tetangga ke LSM Tegak Tegar , di Tegak Tegar aku di suruh periksa darah ke puskesmas, udah deh pas ketauan positif, aku langsung di rujuk ke RS Cipto. “
sakit paruparu.”
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT TEMPAT Topik
Pertanyaan Alamat tinggal?
Informan 1 “Cililitan”
Informan 2 “Ciracas”
Ada tidaknya pusat layanan kesehatan terdekat?
“deket rumah ada, tapi saya lebih milih ke puskesmas kramat jati”
“deketan juga ke puskesmas ciracas mbak, ke pasar rebo juga deket”
Kebermanfaatan pusat layanan kesehatan terdekat?
“sebelum saya tau kena HIV, sering banget berobat di klinik deket rumah, deket rumah juga ada bidan, yaa kalo lagi gak enak badan, mau saya kek, anak saya, atau nggak ayahnya dia, biasanya kita ke bidan aja udah.” “Saya kan jualan kue mbak, Ngeri pelanggan pada
“Sering ke puskesmas ciracas,pasar rebo juga, tapi duluuu mbak, sekarang mah udah gak.”
Alasan tidak memilih berobat di pusat layanan kesehatan
“Gak mau berobat deket rumah ah, isi Puskesmasnya tetangga saya
269
Informan 3 “Mampang Prapatan” “Ada, ada puskesmas mampang kan, tapi lebih enak aja ke puskesmas kramat jati” “manfaaitin pusesmas mampang kok mbak, dulu sebelum aku ketauan HIV tapi.”
Informan 4 “Manggarai”
Informan 5 “Kalimalang”
“Ada banyak kalo aku mau berobat ke yang lebih deket”
“Ada mbak”
“pernah kok berobat ke puskesmas deket rumah. Dulu pas suami bolak- balik sakit juga ke puskesmas deket rumah kok seringnya. Supaya deket rumah.”
“manfaatin mbak.. Habis puskesmas kan lebih murah biayanya dari Rumah Sakit atau Klinik. Dulu masih di medan mbak, ketauan HIV juga pas saya lagi di medan.”
“Aku males aja kalo ketemu tetangga atau orang yang
“Kenapa berobatnya jauh gitu? Hmm
“Udah nyaman aja mbak berobat disana, petugasnya enak diajak
terdekat dari tempat tinggal?
kabur mbak, pelanggan saya kebanyakkan tetanggatetangga saya, kan lumayan pemasukkan kue saya walaupun cuma dikit juga.”
semua, Takut kalo tetangga pada tau kalo saya HIV. Masih belom siap saya.”
dikenal pas di Puskesmas, makannya lumayan banget aku tuh kalo berobat, jaraknya Mampang ke Kramat Jati.”
sebenernya aku berobatnya pindah- pindah.. hehe. Tapi yang di Kramat Jati ini udah lumayan lama gak pindah- pindah lagi.”
ngobrolnya, gak nganggep kita sebagai pasien, nganggep kita kayak temen gitu mbak, asik- asik deh pokoknya.”
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN MENURUT WAKTU Topik
Pertanyaan Lama Sakit (terhitung dari waktu pertama kali terdiagnosis hingga wawancara di tahun 2015)
Informan 1 “….Taunya pas di acara itu, itu akhir Desember 2014.”
Informan 2 “…. Itu tahun kemaren, 2014 bulan Juli.”
270
Informan 3 “Pertama kali tau tahun 2007, bulan Juli. Itu abis lahiran 4 bulan, udah sempet ngasih ASI juga.”
Informan 4 “……..Akhirnya Setahun dari kepergian suamiku, tahun 2004, aku beraniin deh diri aku buat konsultasi di puskesmas disaranin buat cek HIV juga. Aku cek di laboratorium, Dan ternyata
Informan 5 “…. Itu tahun 2006.”
Usia pertama kali terdiagnosis HIV? (terhitung dari usia saat di wawancara di tahun 2015 dikurangi dengan waktu pertamakali terdiagnosis)
Usia saat wawancara 30 tahun, sehingga perkiraan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 29 tahun
Usia saat wawancara 37 tahun, sehingga perkiraan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 36 tahun
271
Usia saat wawancara 38 tahun, sehingga perkiraan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 30 tahun
hasilnya positif….” Usia saat wawancara 38 tahun, sehingga perkiraan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 27 tahun
Usia saat wawancara 39 tahun, sehingga perkiraan usia saat pertamakali terdiagnosis HIV adalah 30 tahun