PPeellaayyaannaann PPrriim maa:: T Taannttaannggaann U Unnttuukk M Meellaakkuukkaann PPeerruubbaahhaann B Baaggii A Appaarraattuurr PPaaddaa IInnssttaannssii PPeem meerriinnttaahh Oleh Noor Kinteki, Widyaisawara BBPK Jakarta Kemenkes RI Instansi pemerintah memang sedikit sekali merasakan tantangan untuk berubah. Pada dasarnya organisasi atau instansi pemerintah dibangun dalam kondisi stabil, sedikit mengalami goncangan untuk likuidasi atau bubar. Melakukan perubahan dalam rangka penerapan pelayanan prima betul-betul justru merupakan tantangan.
Latar Belakang Sebuah rumah sakit milik pemerintah banyak menerima keluhan pelanggan. Tidak bisa tidak, manajemen rumah sakit harus melakukan perubahan besar pada organisasinya. Setiap bagian melempar kesalahan kepada bagian lainnya. Misalnya, bagian penerimaan pasien menuding bagian pelayanan di klinik terlalu lambat menangani pasien sehingga antrian menjadi panjang. Sebaliknya, petugas di klinik menuding bagian laboratorium terlalu lambat melakukan pemeriksaan specimen. Demikian seterusnya tidak ada satu bagianpun yang mau mengakui bahwa masalah ada pada bagian mereka. Banyak pelanggan yang telah mengeluhkan dan mengancam akan berpindah mencari pelayanan di rumah sakit lainnya. Pelanggan tentu saja ingin memperoleh pelayanan yang lebih baik. Manajer bersama tim pada bagian pelayanan pada akhirnya melakukan pertemuan dan bersama-sama melakukan telaah apakah visi yang mereka tetapkan sudah tepat. Kemudian, apakah visi tersebut sudah dipahami oleh semua bagian baik petugas fungsional maupun staf administrasi. Para pejabat pada tingkat manajemen harus melakukan sesuatu agar pelayanan yang mereka berikan dapat lebih efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Mereka harus mensosialisasikan apa yang menjadi luaran (output) yang diterjemahkan dalam misi untuk tercapainya visi yang telah ditetapkan. Jika tidak, rumah sakit itu akan ditinggalkan pelanggan. Mereka kemudian menetapkan visi yang lebih memiliki makna, sederhana
serta
terukur.
Melalui
beberapa
pertemuan,
mereka
mendiskusikan visi tersebut mulai dari staf paling puncak sampai dengan 1
paling bawah. Mereka berkata bahwa mulai saat ini seluruh staf/pegawai akan mendapat dukungan dari direksi (para manajer), mereka tidak akan diabaikan. Manajemen rumah sakit akan melakukan peninjauan kembali kerjasama lintas bagian dimulai dari tingkat atas. Kemudian mereka juga akan meminta orangorang mengajukan kritik atau menyampaikan gagasan. Namun, sebaik apapun visi dan misi yang mereka buat, belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Berbeda dengan rumah sakit swasta yang harus menerapkan pelayanan prima untuk mempertahankan revenue yang mereka peroleh. Seburuk apapun pelayanan di rumah sakit pemerintah, tidak akan mengalami kebangkrutan. Pegawai di rumah sakit adalah aparatur negara. Mereka digaji oleh negara sampai dengan mereka meninggal karena setelah pensiunpun masih dibiayai oleh negara.
Pengertian Pelayanan Prima Daviddow dan Uttal, 1989
menyebutkan bahwa pelayanan adalah
kegiatan atau keuntungan yang ditawarkan oleh orang atau perorangn yang tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Norman (1991) berpendapat bahwa karakteristik pelayanan adalah tidak dapat diraba, sangat berlawanan dengan barang jadi. Pelayanan adalah tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang bersifat sosial dimana produksi dan konsumsi pelayanan tidak dipisah secara nyata, karena pada umumnya kejadiannya bersamaan dan terjadi di tempat dan waktu yang sama. Pelayanan prima dapat diartikan sebagai layanan atau dukungan pada pelanggan secara bermakna sebagai suatu layanan yang memberi kepuasan bagi pelanggan, bahkan mungkin melebihi kebutuhannya. Pelayanan prima dirasakan oleh pelanggan menyenangkan, dekat, selalu diingat dan memberi pencitraan positif bagi pemberi layanannya. Dari pengertian tersebut tersirat bahwa prinsip-prinsip kerendahan hati, ketulusan dan keikhlasan menjadi dasar dalam memberikan pelayanan prima. Hal ini yang masih kurang disadari oleh banyak aparatur negara khususnya petugas di rumah sakit. Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam
2
memberikan pelayanan prima yaitu (1) Mengutamakan pelanggan, (2) Sistem yang efektif, (3) Melayani dengan hati nurani, (4) Perbaikan berkelanjutan, (5) Memberdayakan pelanggan
Masalah dalam Pelayanan Ciri-ciri pelayan yang tidak menyukai perubahan adalah: lebih mementingkan kepentingan pimpinan, Lebih merasa sebagai abdi negara ketimbang
abdi masyarakat, tidak mau mengambil risiko, menghindari
tanggung jawab, menolak tantangan, tidak suka berkreasi dan berinovasi. Karakteristik ini yang menyulitkan untuk melakukan perubahan aparatur pemberi layanan. Para manajer rumah sakit yang ingin berubah berusaha dengan susah payah mengatasi dilema diantara peran mereka. Sebagai orang yang secara langsung bertanggungjawab terhadap kinerja dan strategi organisasi,
serta
kebutuhan
masyarakat
terhadap
pelayanan
yang
bertanggungjawab untuk perubahan, dan menerapkan cara-cara yang baru dalam operasionalisasi pelayanan di rumah sakit. Namun, seringkali persoalan ada di sekitar atau diantara mereka sendiri. Bidang-bidang yang saling bertentangan, harus saling berhubungan dan seia sekata untuk melakukan perubahan bagi staf di bawahnya. Semua orang harus mempersiapkan diri untuk perubahan perilaku dan bahkan perubahan terhadap nilai-nilai. Pimpinan harus menetapkan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan tersebut. Apabila para manajer tidak dapat membuktikan secara meyakinkan melalui perubahan perilaku mereka, maka mereka tidak akan mendapat kepercayaan (trust), karena mereka tidak dapat menjadi panutan. Sebagai konsekuensinya perubahan tetap saja sulit terjadi Yang menarik adalah, bahwa hampir tidak pernah diperhitungkan oleh para manajer yang telah terbiasa menggunakan ketidaksesuaiaan antara nilai-nilai yang berlaku dengan fakta perilaku para manajer tersebut. Hal itu bukanlah sebuah “tantangan” bagi mereka, tetapi itu memang mewakili perilaku yang wajar dan biasa terjadi (business as usual). Hal itulah yang menyebabkan bagaimana tantangan untuk berubah dalam penerapan
3
pelayanan prima
selalu luput untuk dibahas, tersembunyi, tidak terlihat,
tertutup oleh kepuasan diri sendiri, penarikan diri dan diremehkan oleh permainan politik di kalangan atas (manajemen puncak). Bagaimanapun juga, ketidaksesuaiaan antara perilaku atasan dan nilai-nilai yang berlaku memang merupakan suatu persoalan. Hal ini sungguh terjadi pada tiga tipe pemimpin termasuk jaringan kerja internal yang tidak memiliki otoritas formal, karena mereka hanya memiliki otoritas yang berasal dari keyakinan personal mereka. Dan inipun sungguh terjadi diantara para supervisor atau kepala-kepala unit pelayanan di rumah sakit milik pemerintah. Para supervisor atau kepala unit harus mengemukanan persoalan ini sehingga orang-orang yang bekerja untuk mereka mengharapkan mereka dapat menjadi contoh. Orang tidak mengharapkan kesempurnaan, akan tetapi mereka mengenali kesungguhan, keterbukaan dan kehadiran mereka. Pada saat manajer kembali dari gaya terbuka menjadi perilaku otoriter, akan memberi akibat yang memakan waktu berbulan-bulan untuk menyembuhkan luka di kalangan staf/pegawai. Tidak ada seorangpun yang dapat membuat situasi menjadi lebih mudah dalam kondisi yang secara keseluruhan diliputi ketidak percayaan dan banyak terjadi pada berbagai institusi saat ini. Manajer yang sepakat untuk berubah harus mempersiapkan diri untuk bekerja melewati sebuah lapisan tebal perasaan sinis. Hal ini berhubungan dengan berulangnya kembali perampingan banyak organisasi dan diperkirakan diikuti perasaan ketakutan. Hal ini juga terlihat pada hampir semua orang bekerja dalam manajemen yang tidak serius. Seperti kata orang-orang tua: “di belakang setiap sikap sinis memperlihatkan adanya kekecewaan.” Hal ini menimbulkan ketidakacuhan para staf di lini bawah. Tantangan untuk berubah dalam penerapan pelayanan prima lebih kompleks ketimbang tantangan yang sebelumnya sering muncul. Sangat mudah menyalahkan sikap sinis terhadap manajemen. Akan tetapi akar dari sinisme tersebut adalah keyakinan pada asumsi perilaku pimpinan pada masa lalu, ketika masyarakat belum terlalu kritis.
4
Mereka harus selalu tahu siapa pelanggan itu yang adalah pemangku kepentingan bagi dirinya. Semakin seseorang menyenangkan pemangku kepentingan semua akan berjalan baik dan lancar. Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian. Berbagai asumsi akan berubah biasanya melalui kesempatan diskusi, hasil percobaan dan contoh-contoh. Sulit merubah asumsi-asumsi tersebut sementara bekerja dalam sistem yang masih sedang mereka bangun, dan pada instansi atau organisasi yang sedang berubah. Asumsi-asumsi lama meskipun belum tentu menjadi kenyataan tetap masih dipercaya banyak orang. Satu-satunya jalan untuk maju adalah dengan memahami dengan jelas tentang dinamika perubahan dan strateginya.
Prinsip Dasar Melakukan Perubahan Tantangan untuk melakukan prubahan dilaksanakan melalui dua interaksi dalam suatu proses berbatas. Salah satunya adalah sejumlah peserta yang relatif mengerti tentang inisiatif untuk berubah, yang lainnya adalah peserta yang tidak mengerti. Semakin cepat inisiatif dibangun pada saat yang tepat, dan orang menyadari kemungkinan untuk ikut terlibat pada perubahan yang sebenarnya, mereka mulai bertanya, “Apakah orang-orang ini benar-benar sepakat?”. Orang-orang harus tahu apakah inisiatif untuk berubah dapat dipercaya terutama bagi mereka pada posisi pemegang kekuasaan. Kurangnya kepercayaan hanya akan muncul ketika terjadi peningkatan kebutuhan akan kepercayaan tersebut. Ketika inisiatif berubah meningkat kemudian orangorang yang dipimpin sungguh-sungguh tertarik, sehingga kemudian mereka sebagai manajemen dapat dipercaya. Dengan pengertian ini, pada lingkungan kerja dengan tingkat kepercayaan yang rendah tidak selalu merupakan ciri kurangnya kepercayaan. Pada banyak tempat kerja, umumnya orang tahu bahwa kecurigaan cukup tinggi, sedangkan kepercayaan masih sangat rendah. Kepercayaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan, masih rendah, berarti sama
5
seperti kepercayaan yang sudah ada. Namun, perlu perubahan individu dan sistem ketika orang memulai inisiatif. Sewajarnya dengan meningkatnya kebutuhan kepercayaan, tiba-tiba kepercayaan yang masih rendah akan menjadi masalah. Sekarang, mereka yang melakukan advokasi atau menganjurkan berubah, harus bersedia bahwa perilaku merekapun akan dinilai. Bila kurangnya kepercayaan berkembang, maka advokasi akan dirasakan bukan sebagai suatu perubahan akan tetapi menjadi suatu masalah. Kredibilitas dari inisiatif tersebut akan membuat orang lain merasa berisiko: Mereka tidak akan mau terlibat sama sekali atau mereka mau terlibat secara bertahap. Sebaliknya, apabila advokasi dirasakan sebagai sesuatu yang dapat diandalkan, kredibilitas dari advokasi akan memberi manfaat. Tentu saja pada tahap awal dari banyak inisiatif, selain untuk mencapai sebuah hasil upaya yang nyata, kredibilitas dari advokasi adalah sumber utama dari kredibilitas sebuah inisiatif. Prinsip-dasar
dibalik
sebuah
tantangan
adalah
kejelasan
dan
kredibilitas dari tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki manajemen. Bila orang merasa bahwa para pemimpin mereka dapat dipercaya dalam mendukung nilai-nilai dan kegiatan baru, mereka akan bersedia untuk mengatasi soal waktu, upaya dan mengambil risiko. Memang hal ini adalah kajian yang sangat subyektif sifatnya. Kadangkala para supervisor dan kepala unit pelayanan sangat percaya pada apa yang mereka lakukan dalam advokasi, namun mereka masih merasa kurang kredibilitasnya. Persepsi semacam ini rasanya kurang adil, tetapi berdasarkan pengalaman, mereka selalu mempunyai beberapa alasan. Salah satu alasan bahwa memiliki mitra dekat selalu efektif dalam advokasi perubahan, yaitu orang-orang yang saling membantu untuk menyesuaikan diri secepatnya sehingga dapat mengatasi hal-hal yang luar biasa dari kredibilitas mereka. Ada dampak lain yang tidak kelihatan dari kurangnya kepercayaan. Bagi orang-orang yang membangun kesepakatan individual terhadap inisiatif untuk berubah, mereka relatif sangat memerlukan penjelasan tentang nilai-
6
nilai dan tujuan individual. Akibatnya, inisiatif untuk berubah menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap keterbukaan sejalan dengan kebutuhan kepercayaan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa “kurangnya keterbukaan” pada kenyataannya membuat orang menjadi lebih mampu merefleksikan gagasan mereka. Kurangnya keterbukaan akan diatasi dengan kemungkinan timbulnya semangat dan kesepakatan. Pada gilirannya, intensitas keterbukaan tergantung pada kepercayaan. Ini terutama terjadi pada tempat kerja dimana banyak yang mengeluhkan persoalan yang muncul di masyarakat. Simpati dari sahabat dapat mengurangi tekanan, tetapi memberikan sedikit saja untuk pengembangan lebih lanjut. Hal itu hanya terjadi apabila kita merasa cukup bebas untuk menyampaikan secara terbuka apa yang mereka rasakan dan mungkin saja tidak mendapat dukungan. Kurangnya kepercayaan mempengaruhi ada tidaknya keterbukaan. Kesepakatan manajemen untuk menjelaskan secara jujur nilai-nilai dan tujuan organisasi, memberikan suasana yang lebih luas untuk saling terbuka dan dialog. Dalam perjalanannya, pimpinan yang meng-konsep tantangan ini berbenturan pada bagaimana perilaku manajemen secara tidak kentara mendorong atau menghambat orang untuk terbuka. Tanggapan seorang pempimpin tentang “inisiatif transformasi/perubahan” memiliki syarat: “bahwa orang melihat lebih banyak pada diri sendiri ketimbang melihat dunia di sekitar mereka”. Bila lingkungan mereka penuh dengan permainan dan diplomasi,
maka
mereka
tidak
akan
memperoleh
kebebasan
yang
memungkinkan mereka melakukan itu. Dan apabila pada semua tingkat, orang sebagai individu tidak melakukan perubahan, maka kita tidak dapat mengembangkan penyesuaian yang berkualitas terhadap tujuan individu dan organisasi. Pada kenyataannya, interaksi antara kepercayaan dan keterbukaan dapat dilaksanakan pada berbagai tingkat dalam organisasi. Para supervisor dan kepala unit memberikan kebebasan kedalam lingkungannya melalui keterbukaan sesuai kredibilitas mereka. Tim manajemen tingkat atas, dapat selalu memberikan peluang keterbukaan di seluruh organisasi melalui sinyal-
7
sinyal yang tampak dari perilaku mereka. Sesudah waktu yang panjang, kita melihat perkembangan organisasi meningkat dalam hal kepercayaan dan keterbukaan melalui upaya kuat dari manajemen tingkat atas yang secara teratur
menggali
nilai-nilai
dan
tujuan
mereka
dan
memperlihatkan
perubahaan perilaku mereka Mempercayai orang untuk berefleksi adalah kewajiban bagi banyak manajer. Sebagai contoh, seorang operator perempuan pada bagian radiologi mengatakan bahwa ada masalah teknis tertentu yang diyakininya bahwa ia dapat memperbaiki apabila diberi kesempatan. Hal ini tidak cukup bagi orang untuk dengan mudah mengerti tentang nilai-nilai dan tujuan seseorang; banyak orang memiliki aspirasi individu yang jelas dan tidak pernah berhubungan dengan lingkungan kerjanya. Hal yang penting adalah untuk mendorong pertimbangan yang matang pada pekerjaan; lalu orang menghubungkan tujuan individualnya dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi; kemudian akan menyumbangkan secara terbuka untuk sebuah kesepakatan. Siapa yang tahu bagaimana keterbukaan yang hebat dari anggota organisasi tidak pernah diterapkan di tempat kerja mereka? Ini adalah sebuah kehilangan besar bagi mereka sebagai individu dan bagi organisasi. Ini mungkin alasan utama bahwa kebanyakan inisiatif untuk berubah lagi-lagi tidak bersungguh-sungguh dan perubahan itu sangat jarang terjadi. Akhirnya, penting untuk mengenali bagaimana pemikiran yang baru tentang mempertimbangkan tugas banyak orang di tempat kerja khususnya pada pelayanan di rumah sakit. Karena pelanggannya adalah bukan orangorang yang dalam keadaan sehat sejahtera. Dengan demikian perlakukan terhadap pelanggan haruslah berbeda. Bandingkan dengan pelayanan bagi mereka yang sehat.
Sebagai seorang manajer pada lingkungan kerja
tradisional, orang harus mengerti tentang tugas, tujuan organisasi, lingkungan politik dimana anda bekerja, tetapi anda tidak perlu memahami benar tentang untuk siapa anda bekerja dan apa hasil (output) yang diharapkan. Pada tipe organisasi yang baru, ada orang yang kreatif “Mencari tahu untuk apa anda bekerja”, merupakan langkah awal yang penting dalam memaknai hubungan seseorang dengan atasan dan bawahan, konsep pekerjaan dan peran anda dalam kegiatan di sekitar”.
8
Strategi Membangun Perubahan Para pemimpin yang membahas tantangan untuk berubah ini menyimpulkan bahwa kekuatan terbesar ada pada keterbukaan dan kredibilitas terhadap nilai-nilai dan visi dari manajemen. Peter Senge dalam tulisannya “The
Challenges of Sustaining Momentum in Learning Organization” 1999, menyebutkan beberapa prinsip untuk melakukan perubahan dalam organisasi.
Membangun tujuan dan nilai yang berlaku dan dapat dipercaya dalam pengertian “ketahanan” (survival) dari organisasi. Dalam jangka waktu yang tidak lama orang akan memberikan hati dan pikiran mereka untuk mencapai tujuan.
Menciptakan kredibilitas dari nilai dan tujuan organisasi melalui demonstrasi, bukan dengan ucapan. Dengan kata lain, tantangan ini mengatakan khususnya kepada para manajer yang amat sangat mendukung perubahan; Suka atau tidak suka anda sekarang hidup dalam “rumah kaca” dimana perilaku mereka akan dilihat banyak orang.
Jangan berjalan sendiri – bermitralah. Kita semua memiliki titik-titik gelap yang membatasi kredibilitas dan kemampuan untuk bangkit dengan nyaman dan pasti terhadap orang lain.
Memperkuat kesabaran di bawah tekanan. Pada saat para pemimpin mengabaikan emosi mereka, dan dengan berkeras hati kembali pada sikap otoriter dalam suatu periode, mereka mengirimkan sinyal bahwa inisiatif baru hanya “sesaat” saja. Satu atau dua kejadian dapat berkompromi terhadap seluruh inisiatif. Ingat bahwa krisis itu sendiri memberikan petunjuk bahwa pelaksanaan cara lama tidak efektif.
Membangun kesadaran organisasi yang lebih baik. Banyak kesulitan dari para manajer untuk menerapkan pelayanan prima. Hal ini serius khususnya bagi para pemimpin pada tingkat puncak. Para supervisor atau kepala unit secara fisik lebih dekat terhadap bawahan. Mereka dapat melihat risiko masalah dari tangan pertama. Akan tetapi pemimpin pada tingkat puncak kecil sekali kemungkinan kontak muka dengan staf di lini bawah atau terdepan.
Pikirkan sungguh-sungguh tentang keyakinan anda tentang banyak orang. Melalui pengalaman mereka, para atasan mempengaruhi 9
kesepakatan yang kuat dari perilaku bawahan dengan mudah. Seperti diperkirakan banyak orang, kita tahu atasan sangat tidak termotivasi untuk mengambil inisiatif secara alamiah.
Membuat ruang untuk membicarakan tentang nilai-nilai individual. Para pemimpin manajer yang mengidentifikasi tantangan ini menekankan pentingnya diskusi pada semua tingkat organisasi.
Mengelola kesabaran bersama para atasan. Seperti apa yang ditulis Jennifer Kenedy, orang-orang yang berperan sebagai bawahan dapat melakukan upaya yang lebih efektif.
Mempraktikkan strategi diplomasi. Jaringan kerja para pemimpin mungkin menyadari diri mereka dalam peran yang sulit tetapi kritis untuk tantangan untuk berdiplomasi ini.
Simpulan dan Tindak Lanjut Instansi pemerintah memang sedikit sekali merasakan tantangan untuk berubah. Pada dasarnya organisasi atau instansi pemerintah dibangun dalam kondisi stabil, sedikit mengalami goncangan untuk likuidasi atau bubar. Melakukan perubahan betul-betul justru merupakan tantangan. Para manajer atau pimpinan yang sudah di posisi nyaman dan memiliki kekuasaan akan merasa gamang untuk melakukan perubahan. Pemimpin atau para manajer di rumah sakit pemerintah seperti dicontohkan sebelum ini memang harus berjuang keras, karena staf dan bawahan akan melihat mereka sebagai panutan. Kalau para manajer atau pemimpin itu sendiri tidak mau berubah untuk menerapka pelayanan prima, maka janganlah mengharapkan terjadi perubahan pelayanan di lini bawah. Semua akan tetap tenang walaupun keluhan pelanggan semakin membanjir dan akan tetap membanjir.
10
Daftar Pustaka H. Boy S, Sabarguna, DR. dr. MARS, 2008, Pemasaran Pelayanan Rumah Sakit, Sagungseto, Jakarta Lintang Suharto Rivai, 2012, Rambu-Rambu Karya Tulis Ilmiah Widyaiswara, Indie Publishing, Depok H.A.S. Moenir, Drs, 2006, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta Peter Senge, 1999 ”The Dance of Change – ”The Challenges of Sustaining
Momentum in Learning Organization” A Fifth Discipline Resource,
Doubleday, New York
Sugiyanto, SH. MPA, 2009, Manajemen Pelayanan Publik, diterbitkan sendiri, Jakarta ……………………………, 2008, Pengembangan Pelayanan Prima, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
11