Ada Apa Dengan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Mengapa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Harus Menyatakan Bertentangan Dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat Oleh: Hengki M. Sibuea * Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pada tanggal 23 Oktober 2014 yang lalu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, melalui Putusan No.: 15/PUU-XII/2014 (“Putusan MK No. 15/2014”) telah menyatakan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun Putusan MK No. 15/2014 tersebut pada intinya menyebutkan: Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan tersebut adalah Ir. Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna (“Pemohon I”), dan Drs. Sujana Sulaeman, Direktur Utama PT Bangun Bumi Bersatu (“Pemohon II”).Adapun inti dari permohonan para Pemohon tersebut adalah: Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS berbunyi: “Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:...”. Sedangkan Penjelasan Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh Pasal 70 UUAAPS adalah kata “diduga”, sedangkan Penjelasan Pasalnya menggunakan kata-kata “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”, yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti (Poin 3.e, bagian B Putusan MK No. 15/2014 tentang KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON);
* Hengki
M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA & PARTNERS. Sekarang sedang menyelesaikan Program Magister Hukum Bisnis pada Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Jakarta.
Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 70 UUAAPS a quo tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 71 UUAAPS, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS. Padahal faktanya, dalam sistem hukum di negara manapun, hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari (kalender), (Poin 3.f, bagian B Putusan MK No. 15/2014 tentang KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON); Bahwa Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan dan tidak berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS, melainkan berubah menjadi ketentuan normatif baru yang tidak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur di dalam pasal yang dijelaskannya (Poin A.5,Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA); Bahwa jika Pasal 71 UU AAPS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasannya, maka secara normatif pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitase ke Pengadilan Negeri harus memenuhi kualifikasi: a) memenuhi salah satu dari tiga alasan yang ditentukan; b) harus disertai bukti adanya putusan pengadilan terkait dengan salah satu alasan tersebut; dan c) harus diajukan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri. Waktu pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri adalah paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan (vide Pasal 59 UU AAPS), sehingga, jika ditotal, maka batas waktu maksimal yang dimiliki pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri adalah 60 hari, jika pelaksana arbitrase (in casu BANI) mengambil batas maksimal untuk pendaftaran putusan ke Panitera Pengadilan Negeri (Poin B.2, Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA); Bahwa ketentuan Pasal 70 dan Penjelasannya dikaitkan dengan Pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum, serta justru menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang telah diberikan sendiri oleh UU AAPS terkait dengan pembatalan putusan arbitrase (Poin B.3, Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA); Bahwa akibat hukum yang muncul dan dirasakan oleh para pencari keadilan terkait dengan masalah ini adalah adanya kerancuan dan ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya diberikan haknya sendiri oleh Undang-Undang, namun dinegasikan sendiri pula secara implisit melalui
penjelasan, bukan redaksi langsung dari Undang-Undangnya. Tegasnya, di satu sisi UU AAPS memberikan pintu untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang diduga memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkannya, tetapi di sisi lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh Penjelasannya (Poin C.3, Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA); Adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal 70 UU AAPS atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS secara prinsip bertentangan dengan indikator laws and decisions must be definite and clear/wet van duidelijke. Dualisme norma dalam satu pasal ini membuat arti dari Pasal 70 UU AAPS menjadi vague (kabur) atau unclear (tidak jelas), manakah yang harus dipakai, apakah norma batang tubuh (diduga) atau norma penjelasan (harus dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap)? Dengan mengacu kepada konsep Lon Fuller, maka Pasal 70 UU AAPS mengandung ketidakkonsistenan arti dan pengertian, yang berarti telah melanggar prinsip the consistency of laws/wet van consistente(Poin 9.A, Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA); Ketentuan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menjamin hak hukum para Pemohon dalam kaitannya hak untuk dapat mengajukan klaim pembatalan putusan arbitrase (in casu BANI) bertentangan dengan indikator legitimate expectations must be protected atau the demands that the laws do not impose duties that are impossible to perform.
Upaya hukum para Pemohon sebagai pihak yang merasa keberatan terhadap Putusan Arbitrase untuk mencari jalan berupa permohonan pembatalan putusan (a legitimate expectation) adalah sebuah upaya yang harus dilindungi oleh hukum (must be protected). Inilah yang terkandung secara jelas dalam syarat utama prinsip kepastian hukum, yakni syarat foreseeability dari sebuah hukum. Hukum harus mampu menggaransi sebuah tindakan yang baik untuk dapat dilaksanakan dan setiap warga negara dapat memprediksikan sebuah tindakan berikut akibatnya dalam sebuah kerangka hukum yang jelas. Ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 71 telah menghalangi sifat foreseeability hukum karena jelas mengandung sesuatu yang mustahil (impossible) dilaksanakan. Karenanya ketentuan Penjelasan Pasal 70 secara nyata telah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin Konstitusi (Poin 9.B, Bagian C Putusan MK No. 15/2014 tentang POKOK PERKARA). Mengacu pada inti alasan-alasan yang disampaikan para Pemohon dalam Permohonan, ada baiknya kita melihat bunyi Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, menyebutkan: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Penjelasan terhadap isi Pasal 70 UU Arbitrase dan APS di atas, menyebutkan:“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”. Terhadap isi penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, untuk memudahkan pembaca memahaminya, maka penulis membaginya dalam 3 (tiga) kalimat, sesuai tandap baca “titik” yang terdapat dalam penjelasan tersebut, yaitu: 1. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. 2. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. 3. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Apabila kita memperhatikan secara seksama ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS dan menghubungkannya dengan penjelasan pasal tersebut, maka penulis tidak menangkap adanya pertentangan norma antara batang tubuh Pasal 70 UU Arbitrase dan APS dengan penjelasan pasal tersebut, dikarenakan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS merupakan pasal yang memberikan hak dan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana diuraikan dalam huruf a, huruf b dan huruf c pasal tersebut. Hak dan kesempatan mengajukan permohonan untuk membatalkan putusan arbitrase yang diberikan kepada para pihak itu harus dengan syarat putusan arbitrase itu sudah didaftarkan di pengadilan (penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan……….”). Apabila diperhatikan secara seksama, kalimat pertama penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, yang menyebutkan Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan,diakhiri dengan tanda baca “titik”. Artinya kalimat pertama penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS ini memberikan penegasan mengenai Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, yaitu bahwa putusan arbitrase yang diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diuraikan dalam huruf a, huruf b dan huruf c pasal tersebut, baru dapat dimohonkan untuk dibatalkan apabila putusan arbitrase yang diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diuraikan dalam huruf a, huruf b dan huruf c pasal tersebut telah didaftarkan di pengadilan negeri. Mengenai kapan jangka waktu putusan arbitrase itu harus didaftarkan di pengadilan negeri, Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase dan APS telah secara jelas mengaturnya, yaitu dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan. Ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase dan APS secara jelas menyebutkan: “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Selanjutnya, apabila kita memperhatikan secara seksama ketentuan yang tercantum dalam Pasal 71 UU Arbitrase dan APS, yang menyebutkan:“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”, maka akan didapatkan pengertian hukumnya bahwa para pihak memiliki waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri (ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase dan APS) untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diuraikan dalam huruf a, huruf b dan huruf c tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Jadi pihak yang menduga adanya unsur-unsur yang tercantum dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS terdapat dalam putusan arbitrase tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase tanpa harus melampirkan atau menyertakan putusan pengadilan yang menyatakan terbuktinya dugaan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, melainkan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut sudah dapat didaftarkan dengan syarat putusan arbitrase tersebut harus sudah didaftarkan sebagaimana yang ditetapkan oleh kalimat pertama penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Oleh karena itu dalil Pemohon pada Poin 3.f. bagian B Putusan MK No. 15/2014 tentang KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON, yang menyatakan “………….. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, ……………..” adalah dalil yang keliru dan tidak sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS beserta penjelasannya. Kemudian kalimat kedua dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, menyebutkan: “………… Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. …………..”. Dengan memperhatikan kalimat tersebut, penulis mengartikan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase, yang memenuhi ketentuan yang tercantum dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, sudah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Ketentuan yang tercantum dalam kalimat kedua penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut merupakan proses pembuktian dipersidangan yang harus dilalui. Prinsip hukum yang dipegang teguh oleh Hakim, Advokat dan Jaksa, sebagai pengacara negara, dalam proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, mengenai beban pembuktian, siapa yang mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 163 Het Herziene Indonesich Reglement (“HIR”), yang menyebutkan: “Barangsiapa yang mengatakan
mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau utuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Prinsip hukum yang terkandung dalam Pasal 163 HIR itu juga terdapat dalam Pasal 1865 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (“KUHPer”), yang menyebutkan: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Kemudian prinsip hukum yang terdapat dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUHPer tersebut semakin dipertegas lagi oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1211 K/Sip/1971, tanggal 15 April 1972, yang menyebutkan: “Siapa yang mendalilkan sesuatu, haruslah membuktikan dalilnya”. Dengan demikian kalimat kedua dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS haruslah dihubungkan dengan prinsip hukum yang dipegang teguh oleh Hakim, Advokat dan Jaksa, sebagai pengacara negera, dalam proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, mengenai beban pembuktian, siapa yang mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Selanjutnya kalimat ketiga dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, yang menyebutkan “Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan” merupakan ketentuan lebih lanjut dari kalimat kedua dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS dan menjadi dasar bagi majelis hakim, yang memeriksa, mengadili dan memutus, untuk mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan tersebut. Oleh karena itu, dalam pandangan penulis, norma-norma yang terdapat dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tidaklah bertentangan dengan norma yang berdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, melainkan norma-norma penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS semakin memperkuat dan menegaskan norma-norma yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut. Pertanyaan yang kemudian timbul dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase dan APS, jo.Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, jo.penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, jo. Pasal 71 UU Arbitrase dan APS, apakah mungkin Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut dapat memberikan putusan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 72 UU Arbitrase dan APS, yang menyebutkan: “Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari”. Terhadap pertanyaan tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, maka sangatlah mustahil bagi Ketua Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, untuk memutuskan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketentuan huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Hal ini dikarenakan Ketua Pengadilan Negeri dalam mempertimbangkan untuk mengabulkan atau
menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketentuan huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, sebagaimana yang ditentukan oleh kalimat ketiga penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, harus menunggu putusan dari pengadilan yang menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase, sebagaimana yang disebutkan dalam huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, telah terbukti atau tidak terbukti. Sementara untuk permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketentuan huruf b Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, bagi Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan tersebut, sangatlah mungkin memutuskannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Hal ini dikarenkan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan tersebut hanya mendasarkan pada dokumen-dokumen yang bersifat menentukan, yang pada waktu proses pemeriksaan di arbitrase berlangsung, telah disembunyikan oleh pihak lawan yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketentuan huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS di atas, pertanyaan selanjutnya adalah: pengadilan mana yang berhak menyatakan unsur-unsur yang disebutkan dalam huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut telah terbukti atau tidak terbukti? Apakah pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut ataukah pengadilan lain? Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka terlebih dahulu kita harus menganalisa ketentuan yang tercantum dalam huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut.Huruf a Pasal 70 UU Arbitrase dan APS menyebutkan: “surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu” dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS menyebutkan: “putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”. Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan yang tercantum dalam huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut adalah unsur-unsur yang terkait dengan ketentuan hukum pidana. Untuk memeriksa unsur-unsur yang terkait dengan ketentuan hukum pidana, maka harus melaui proses peradilan pidana yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, yang berhak menyatakan telah terbukti atau tidak terbukti unsur-unsur yang disebutkan dalam huruf a (surat atau dokumen diakui palsu atau dinyatakan palsu) dan huruf c (hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak) Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut adalah pengadilan pidana. Sekalipun dalam huruf a Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tercantum kalimat “diakui palsu atau dinyatakan palsu”, hal tersebut tidak secara serta merta langsung diterima, melainkan pengakuan tersebut tetap harus dibuktikan. Hal tersebut dikarenakan dalam sistem pembuktian hukum pidana kita tidak mengenal pengakuan sebagai alat bukti dimana ini berkebalikan dengan sistem pembuktian dalam hukum perdata. Kalau demikian, Ketua Pengadilan Negeri, dalam memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut, akan melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 72 UU Arbitrase dan APS, dikarenakan proses peradilan pidana untuk menyatakan telah terbukti atau tidak terbuktinya unsur-unsur yang disebutkan dalam huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tersebut memerlukan waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari. Terhadap permasalahan jangka waktu, yang ditentukan oleh Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tersebut, pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut, dapat memecahkan kebuntuan tersebut dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 112/K/Pdt/1984 tanggal 2 Oktober 1985, jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 606/1983 tanggal 21 Februari 1984, jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 562/1982 tanggal 1 Maret 1983 (“Putusan MA No. 112/1984”), menyatakan: “PN Jakarta Pusat menjatuhkan putusan sela menangguhkan pemeriksaan perkara perdata 562/1982 sampai perkara pidana No. 69/Pid B/1982 memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Alasannya, dalam perkara perdata dimaksud, terjadi sengketa mengenai siapa yang berhak memiliki kios sebagai objek sengketa, sedang masalah itu sangat bergantung pada perkara pidana pemalsuan yang didakwakan dalam perkara No. 69/Pid B/1982 tersebut”. Dengan Putusan MA No. 112/1984 tersebut pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, dalam persidangan pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut, dapat memohonkan penangguhan pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase sampai alasan, huruf a dan huruf c Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, yang menjadi dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari peradilan pidana. Atas permohonan penanggungan yang diajukan oleh pemohon permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut, majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut, dengan alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut didasarkan pada perkara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam huruf a dan huruf c UU Arbitrase dan APS serta perlunya putusan dalam perkara pidana tersebut sebagai dasar untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, juga dapat mengabulkan permohonan penangguhan tersebut. Pertanyaan kemudian adalah “bagaimana dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tersebu?” Apabila majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut mengabulkan untuk menangguhkan persidangan, maka jangka waktunya terhenti sejak dikabulkannya penangguhan tersebut, sehingga para pihak harus menunggu putusan perkara pidana berkekuatan hukum tetap dan apabilan sudah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum yang tetap maka jangka waktu proses pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 72 UU Arbitrase dan APS, dapat dilanjutkan kembali. Pertanyaan yang muncul lagi adalah “kalau demikian proses penyelesaian sengketa yang cepat di arbitrase menjadi tidak terpenuhi dong?” Terhadap pertanyaan tersebut, penulis kembali mengingatkan pembaca bahwa proses penyelesaian
sengketa yang cepat melalui arbitrase telah terpenuhi dan sejak salah satu pihak memohonkan pembatalan putusan arbitrase tersebut ke pengadilan, maka sejak saat itu kewenangan pemeriksaan sudah tidak di arbitrase lagi melainkan sudah menjadi kewenangan pengadilan. Proses pemeriksaan sengketa di pengadilan haruslah mentaati asas-asas yang tertuang dalam HIR, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung dan undangundang lainnya. Dengan penjelasan yang telah penulis uraikan di atas, maka pertimbanganpertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan MK No. 15/2014 tersebut menjadi aneh karena Majelis Hakim Konstitusi tidak taat pada asas-asas hukum yang ada dalam hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam Putusan MK No. 15/2014, adalah sebagai berikut: “Menimbang bahwa terhadap permohonan tersebut Mahkamahmempertimbangkan, bahwa pasal a quo di dalamnya mengandung norma, padapokoknya, bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonanpembatalan manakala ada dugaan mengenai terjadinya salah satu atau beberapaalasan tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas. Pokok permasalahan dalampengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 UU30/1999 yang dalam Penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikandengan putusan pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjadinya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.Dugaan pemohon bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan a priori.Adapun frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang terdapat dalam Penjelasan pasal tersebut memberikan pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan, bahkan apabila syarat tersebut memang harus demikian seharusnya ditambah “yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, sehingga seharusnya selengkapnya menjadi “harusdibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Menurut hukum akan menjadi masalah bila putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” merupakan pengetahuan yang tidak lagi bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan apriori, karena telah diverifikasi melalui proses pembuktian. Jadi, menurut hukum pengetahuan tersebut telah dibuktikan, sehingga bersifat posteriori. Hanya oleh karena putusan tersebut adalah putusan pengadilan yang didasarkan pada proses verifikasi oleh pengadilan pula maka mesti tersedia upaya hukum dan oleh karena itu pula putusan tersebut mestinya harus sudah final. Menurut Mahkamah Penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Normadalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori
dari pemohon sedangkan dalam Penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa penjelasan tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti menurut hukum”; “Menimbang bahwa, dengan adanya penjelasan dimaksud apakahpasal tersebut menjadi multi tafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon,sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Menurut Mahkamah,pasal tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perluditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut.Paling tidak multi tafsirnya adalah, (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkanapakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakalatafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU 30/1999 yang menyatakan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi”; “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum diatas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum”. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis sampaikan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan MK No. 15/2014 tersebut adalah pertimbangan yang keliru sehingga mengakibatkan Majelis Hakim Konstitusi telah keliru memutuskan bahwa penjelasan
Pasal 70 UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tidak ada yang salah dengan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Mengapa Mahkamah Konstitusi harus menyatakan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat? Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan mengingat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun? oooooooooo17112014oooooooooo