Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan
Oleh: Hengki M. Sibuea*
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 13 Maret 2014, melalui Surat Nomor: 02/Bua.6/Hs/SP/III/2014, telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan (“SEMA No. 2 Tahun 2014”) dan SEMA No. 2 Tahun 2014 telah pula didistribusikan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Indonesia. Dasar pertimbangan Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2014 tersebut adalah bahwa sekalipun pada saat ini masing-masing pengadilan telah melaksanakan sistem Manajemen Perkara yang berbasis elektronik baik di Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding yang memungkinkan penyelesaian perkara dapat diselesaikan lebih cepat, namun kenyataannya penyelesaian perkara-perkara baik yang diperiksa di Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding pada 4 (empat) lingkungan Peradilan masih diselesaikan dalam waktu yang cukup lama. SEMA No. 2 Tahun 2014 ini merupakan pengganti dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992, tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1998 tanggal 10 September 1998, tentang Penyelesaian Perkara (“SEMA No. 3 Tahun 1998”). Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa kegiatan komersial pada saat ini sudah sangat berkembang dan akan semakin berkembang dikemudian hari dan kegiatan komersial ini juga sudah tidak terikat lagi dengan batas-batas wilayah kedaulatan suatu negera. Para pelaku kegiatan komersial ini sangat menghargai waktu sebagai sesuatu yang sangat bernilai dikarenakan waktu yang ada dapat mereka pergunakan untuk mendapatkan keuntungan sebagaimana tujuan utama dari semua kegiatan komersial. Begitu juga apabila dalam kegiatan komersial yang dijalani oleh para pelaku kegiatan komersial tersebut terjadi suatu *
Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA & PARTNERS.
sengketa dengan para pelaku kegiatan komersial lainnya dan ternyata sengketa tersebut tidak dapat dihindarkan lagi atau dicari penyelesaiannya secara damai, maka para pelaku kegiatan komersial tersebut tidak mau menghabiskan banyak waktu mereka hanya untuk mengurusi sengketa tersebut. Para pelaku kegiatan komersial tersebut cenderung untuk menyelesaikan sengketa tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama dan kemudian berkonsentrasi kembali kepada kegiatan komersial yang ada dihadapannya. Sebagaimana juga diketahui bahwa transaksi bisnis/komersial umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualis, kepercayaan (trust) di antara para pihak, namun hal itu juga tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Perselisihan tersebut dapat menimbulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya dan penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Dalam tulisan ini, penulis, sesuai dengan judul di atas, mencoba secara spesifik untuk memperbandingkan jangka waktu penyelesaian sengketa komersial yang dilakukan lewat pengadilan dan lewat forum arbitrase dengan asumsi bahwa jangka waktu penyelesaian sengketa tersebut dihitung sejak terbentuknya Majelis Hakim dan Majelis Arbitrase. Dari jangka waktu penyelesaian sengketa tersebut akan dapat diketahui forum penyelesaian sengketa mana yang lebih efektif, ditinjau dari jangka waktu, dalam menyelesaikan sengketa dengan harapan para pelaku kegiatan komersial dan pihak-pihak terkait, dengan pertimbangan jangka waktu penyelesaian sengketa tersebut, dapat dengan pasti memilih forum sengketa, baik pada waktu pembuatan kontrak-kontrak komersial ataupun pada waktu menghadapi sengketa yang timbul dimana para pelaku komersial ternyata dalam kontrakkontrak komersialnya belum menentukan/memilih forum penyelesaian sengketa. Sebelum diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014, perkara-perkara di Pengadilan harus diputus dan diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan termasuk minutasi. Hal ini juga ditegaskan dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Edisi 2007 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Tahun 2009, khususnya angka 3 huruf a Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan Perdata Umum. Namun setelah diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 tersebut, maka penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan.
Pertanyaan yang muncul dari SEMA No. 2 Tahun 2014 tersebut adalah jangka waktu 5 (lima) bulan tersebut harus dihitung sejak kapan? Jika melihat isi SEMA No. 2 Tahun 2014 tersebut, maka kita tidak akan menemui mengenai kapan dimulainya jangka waktu 5 (lima) bulan tersebut. Oleh karenanya, kita harus mengacu pada angka 3 huruf a Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan Perdata Umum yang isinya adalah sebagai berikut: “Perkara perdata di pengadilan negeri harus diputus dan diminutasi dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tidak tercapainya mediasi”. Jadi dengan mengacu pada ketentuan yang digariskan oleh angka 3 huruf a Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan Perdata Umum tersebut, maka perhitungan jangka waktu 5 (lima) bulan, sebagaimana yang tercantum dalam SEMA No. 2 Tahun 2014 tersebut, haruslah dihitung sejak tidak tercapainya mediasi. Mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“PerMA No. 1 Tahun 2008”), dapat diambil kesimpulan bahwa dalam berperkara di pegadilan mediasi adalah hal yang wajib untuk dilakukan dan guna melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) PerMA No. 1 Tahun 2008 tersebut, ayat (5) Pasal 7 PerMA No. 1 Tahun 2008 mewajibkan hakim untuk menunda proses persidangan perkara bersangkutan. Apabila proses persidangan perkara di pengadilan tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan PerMA No. 1 Tahun 2008, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PerMA tersebut, merupakan pelanggaran yang mengakibatkan putusan Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut menjadi batal demi hukum. Sementara itu, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 13 ayat (3) PerMA No. 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim dan atas dasar kesepakatan para pihak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (4) PerMA No. 1 Tahun 2008 tersebut, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Sementara, jangka waktu 40 (empat puluh) hari kerja dan perpanjangannya selama 14 (empat belas) hari kerja tersebut, menurut Pasal 13 ayat (5) PerMA No. 1 Tahun 2008, tidak termasuk dalam perhitungan jangka waktu pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam SEMA No. 2 Tahun 2014 dan PerMA No. 1 Tahun 2008 tersebut, kita dapat mengetahui bahwa jangka waktu proses persidangan perkara pada
Pengadilan Tingkat Pertama adalah 40 (empat puluh) hari kerja ditambah 14 (empat belas) hari kerja dan ditambah lagi dengan 5 (lima) bulan. Sebagaimana pengalaman penulis, ternyata banyak para pelaku kegiatan komersial yang belum mengenal, apalagi memahami, tentang adanya alternatif penyelesaian sengketa diluar penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase. William H. GILL dalam The Law of Arbitration, 2nd ed. 1978, menjelaskan bahwa “An Arbitration is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in a judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction”. Stanford M. ALTSCHUL dalam The Most Important Legal Terms You’ll ever Need to Know, 1994, menyebutkan bahwa “Arbitration, an alternative dispute resolution system that is agreed to by all parties to a dispute. This system provides for private resolution of disputes in a speedy fashion”. Selanjutnya BLACK’S Law Dictionary, menyebutkan bahwa “Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. Sementara itu, Subekti mengatakan bahwa “Arbitrase itu adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa prang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan”. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”), menyebutkan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan pengalaman penulis menangani sengketa bisnis/komersial, baik di forum pengadilan dan forum arbitrase, penulis dapat mengambil kesimpulan mengenai kelebihan atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase, diantaranya adalah:
1. Prosedur penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase tidak berbelit dan keputusan mengenai sengketa dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat. 2. Biaya penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase relatif lebih murah. 3. Keputusan mengenai sengketa melalui forum arbitrase tidak terbuka untuk umum. 4. Hukum mengenai tata cara dan pembuktian dalm penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase lebih fleksibel. 5. Para pihak, dalam penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase, dapat memilih hukum mana yang dapat diberlakukan oleh arbiter. 6. Para pihak juga dapat memilih sendiri arbiter yang akan menyelesaikan sengketa, akan tetapi arbiter yang dipilih oleh para pihak tersebut tidak mewakili kepentingan dari pihak yang memilihnya. 7. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang memiliki keahlian dalam bidang yang sedang disengketakan, sehingga keputusan yang diambil dirasakan lebih fair. 8. Keputusan yang diambil oleh para arbiter mengenai sengketa tersebut bersifat final dan binding, dalam artian tertutup bagi para pihak yang bersengketa untuk mengajukan upaya hukum banding dan kasasi. 9. Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase dirasakan lebih menutup kemungkinan para pihak untuk melakukan “Forum Shopping”. Selanjutnya, apabila kita melihat ketentuan yang tercantum dalam ayat (1) Pasal 48 UU Arbitrase dan APS yang menyebutkan: “Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.” dan jangka waktu tersebut, berdasarkan ketentuan ayat (2) Pasal 48 UU Arbitrase dan APS, dapat diperpanjang apabila disetujui oleh para pihak dan apabila diperlukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33. Mengacu pada rumusan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 48 UU Arbitrase dan APS tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jangka waktu penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase hanya membutuhkan waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari dan dapat diperpanjang apabila diperlukan dan perpanjangan tersebut harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Kemudian, apabila kita memperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 60 UU Arbitrase dan APS, yang menyebutkan bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, maka dapat disimpulkan bahwa
terhadap putusan arbitrase ternyata tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi karena sifatnya yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Sementara, sebagaimana yang kita ketahui putusan pengadilan pada tingkat pertama belum bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak apabila salah satu pihak mengajukan upaya hukum banding karena tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama dan putusan Hakim Banding juga belum bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak apabila ternyata salah satu pihak mengajukan upaya hukum Kasasi karena tidak puas dengan putusan Hakim Banding. Putusan perkara akan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak apabila Hakim Kasasi telah memutuskan perkara tersebut walaupun para pihak yang tidak puas mengajukan upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali, terhadap putusan Hakim Kasasi tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, apabila efektifitas penyelesaian sengketa komersial didasarkan pada jangka waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa komersial tersebut, maka didapat kenyataan secara hukum bahwa penyelesaian sengketa komersial melalui arbitrase lebih efektif jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa komersial melalui pengadilan.
oooooooooo 09032014 oooooooooo