Oleh : Drs. Abdul Fikri ,MM (Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) Hotel Sunan Solo ,17 Oktober 2015 DRS.ABDUL FIKRI,MM
CURICULUM VITAE Nama
: Drs.Abdul Fikri ,MM
Tempat,Tanggal lahir : Tegal,17 Juli 1963 Dapil
: Jawa tengah IX
Amanah
: - Ketua Kaukus Lingkungan Provinsi Jawa Tengah - Ketua Bidang Kesejahteraan dan Pengabdian Masyarakat Ikatan Pengkaji Lingkungan Hidup Indonesia (INKALINDO) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VIII. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Email
:
[email protected]
Website
: fikrifaqih.com
DRS.ABDUL FIKRI,MM
LATAR BELAKANG -
Indonesia merupakan negeri yang memiliki banyak ancaman tercermin dari kondisi gerografis dan geologis serta berada pada “Ring of Fire”
-
Bencana dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu bencana alam ,non alam bahkan bencana sosial sebagai mana yang tercantum dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
-
Indeks risiko Bencana di Indonesia masih tinggi dikarenakan sebanyak 26 provinsi masih memiliki indeks risiko Bencana yang tinggi sedangkan 7 lainya termasuk sedang (BNPB 2013)
DRS.ABDUL FIKRI,MM
KEBIJAKAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Instrumen kebijakan terdiri dari 3 (tiga )aspek piranti hukum,tatanan kelembagaan dan mekanisme operasional Indonesia memiliki beberapa regulasi dalam penyelenggaraan pengelolaan bencana yang terdiri dari : 1. UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana. 2. PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan penangulangan bencana 3. PP Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana 4. PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang peran serta Lembaga Internasonal dan Lembaga asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana 5. Peraturan Presiden Nomor8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
DRS.ABDUL FIKRI,MM
-
Penyelenggaraan pada tahap prabencana meliputi dua keadaan yaitu dalam situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi bencana.
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi : a. Perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
DRS.ABDUL FIKRI,MM
-
Pada situasi Terdapat Potensi Bencana ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana. Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat meliputi: a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; b. penentuan status keadaan darurat bencana; c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; d. pemenuhan kebutuhan dasar; e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
DRS.ABDUL FIKRI,MM
IMPLEMENTASI INSTRUMEN KEBIJAKAN Berdasarkan UUD 1945 pasal 20A Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Memiliki fungsi pengawasan ,penganggaran dan legislasi. -
Pengawasan : DPR RI aktif dalam mendengar keluhan, masukan, laporan dari masyarakat selain dari laporan pemerintah
-
Penganggaran : UU No 12 Thn 2014 tentang MD3 pasal 70 ayat 2. Anggaran untuk penanggulangan bencana indonesia cenderung naik Berdasarkan buku II Nota keuangan beserta RAPBN 2016 realisasi penyerapan BNPB mencapai Rp 266,30 milyar dari tahun 2010-2014
-
Legislasi
: UU No 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana selama ini telah terimplementasikan secara baik meskipun masih banyak yang harus diperbaiki atau ditingkatkan
DRS.ABDUL FIKRI,MM
PERMASALAHAN PENGHAMBAT PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA 1. Permasalahan Administratif Masih menganut “manajemen karambol” terlau panjangnya garis birokrasi yang harus dilalui ,sedangkan dibutuhkan tindakan yang cepat. (DR Hendro Wardono,M,Si Staf Ahli BNPB 2015 )
2. Faktor Ego Sektoral Ego sektoral yang kuat merupakan penghambat dalam koordinasi antar lembaga. Setiap sektor akan memperjuangkan kepentinganya. (Rukmini dan Otariana 2012)
DRS.ABDUL FIKRI,MM
KESIMPULAN REKOMENDASI 1.
Sebagian besar implementasi penanggulanagan bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah masih kegiatan-kegiatan pada fase tanggap darurat. Berdasar hal tersebut maka pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat perlu meningkatkan kegiatan pencegahan dan kesiapsiagaan atau pengurangan risiko bencana secara terpadu terarah dan efisien.
2.
Ego sektoral masih menonjol dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Hal tersebut berdampak pada kurang optimalnya program atau kegiatan kegiatan penanggulangan bencana. Sehingga kedepan perlu dibangun dan/atau ditingkatkan pola kerjasama yang baik lintas sektor.
3.
Indeks risiko bencana di sebagian besar wilayah Indonesia masih tinggi. berdasakan hal itu pemerintah mebuat rencana makro yang sifatnya terpadu, terkordinasi dan menyeluruh yang menggambarkan kondisi ideal dalam penanggulangan bencana.
DRS.ABDUL FIKRI,MM
4.
Serapan anggaran selama 5 (lima) tahun terakhir yang meningkat setiap tahunya guna mendorong tersedianya Anggaran yang memadai dan parisipasi semua pihak untuk mengurangi risiko bencana (Disaster Risk Reduction). Di antaranya ut penyediaan sarana dan prasarana sistem peringatan dini yang terintegrasi dan pembangunan mitigasi bencana.
5.
Perubahan paradigma yang terjadi dalam penanggulangan bencana dari renponsif menjadi preventif. Hal itu harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengkaji kembali instrumen-intrumen kebijakan yang telah ada baik dari segi piranti hukum (legal device), tatanan kelembagaan (institutional setting) dan mekanisme operasional (operational mecanism).
DRS.ABDUL FIKRI,MM
Terima Kasih
DRS.ABDUL FIKRI,MM