sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216 – 1877
Oseana, Volume XX, Nomor 2, 1995 : 23 – 31
BEBERAPA CATATAN TENTANG KEHADIRAN BINTANG LAUT JENIS ACANTHASTER PLANCI DI PERAIRAN INDONESIA oleh Aznam Aziz *) ABSTRACT SOME NOTES ON THE OCCURRENCES OF STARFISH, ACANTHASTER PLANCI IN INDONESIA AND ADJACENT WATERS. The distribution and abundance of this starfish following numerous inventory surveys conducted throughout the Indonesia and adjacent waters over the last 25 years. The data represented general estimates of starfish populations. The abundance of this starfish is considered to be at a normal level in the natural ecosystem. Some aggregated condition of this starfish in some reefs which are located in the northern part of Sumatera and in some reefs in the Moluccas region. This paper will discuss systematic, reproduction, feeding preferences, and the occurrences of this starfish in Indonesian and adjacent waters. Informasi umum mengenai bintang laut ini yang menyangkut habitat, sebaran, morfologi, reproduksi, ledakan populasi dan hewan predatornya telah di ikhtisarkan oleh AZIZ (1977), AL HAKIM (1983), dan SUHARSONO (1991). Informasi lebih lengkap dan mendalam mengenai bintang laut ini telah di ikhtisarkan oleh MORAN (1986). Dalam tulisan ini penulis tidak akan mengulangi lagi tentang informasi tersebut, tetapi mencoba melengkapi beberapa kekurangan yang dianggap perlu dengan cara telusur pustaka. Disamping itu juga disampaikan beberapa catatan tentang kehadiran dan sebaran biota ini di perairan Indonesia.
PENDAHULUAN Bintang laut jenis Acanthaster planci hidup di ekosistem terumbu karang, antara kedalam 0 m sampai dengan 30 meter. Bintang laut ini tersebar luas di kawasan Indo Pasifik Barat. Biota ini hidup dari memakani polip atau bagian lunak dari karang batu. Kehadiran biota ini dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum di ekosistem terumbu karang. Tingkah laku makan dari bintang laut ini menyebabkan kematian koloni karang batu, ditandai oleh bercak berwarna putih.
23
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MADSEN (1955), meragukan akan. validitas jenis ini. Selain dari perairan Filipina, Acanthaster brevispinus ini juga di dapatkan di perairan utara Australia. LUCAS & JONES (1976), dalam serangkaian percobaan hibridasi antara A. planci dan A. brevispinus sampai pada kesimpulan bahwa kedua jenis tersebut adalah valid dan berbeda. Selain karakter morfologis, antara A. planci dan A. bervispinus juga terlihat adanya perbedaan sifat ekologis, yaitu A. planci hidup di koloni karang batu, dan memakani polip karang. Sedangkan A. brevispinus hidup diluar terumbu karang pada dasar agak berlumpur dan hidup dari memakani keong kecil. JANGOUX & AZIZ (1984), mempertelakan anak jenis dari A. brevispinus yang di dapatkan dari kedalaman sekitar 65 meter dari lautan Hindia. Secara morfologis anak jenis ini lebih dekat dengan Acanthaster brevispinus dalam hal duri punggung yang relatif pendek, tetapi ia berbeda dalam mempunyai duri subambulakral 3 sampai 5. Mengingat letak geografis yang relatif jauh dari lokaltip (type locality) Acanthaster brevispinus, maka kedua autor sepakat mempertelakan anak jenis baru yang diberi nama Acanthaster brevispinus seychellesensis. Jadi marga Acanthaster mempunyai 3 jenis yang valid dan 2 anak jenis.
SISTEMATIK Acanthaster planci pertama kali diperkenalkan oleh RUMPHIUS pada tahun 1705 dipertelakan dari spesimen yang berasal dari Ambon, nama binomial seperti sekarang ini diberikan oleh LINNAEUS pada tahun 1758. MADSEN (1955), dalam revisinya mengenai marga Acanthaster menyebutkan adanya dua jenis marga Acanthaster yang valid, yaitu Acanthaster planci dan Acanthaster ellisii. Acanthaster planci tersebar luas di kawasan Indo Pasifik Barat, mulai dari pantai timur benua Afrika sampai ke Hawaii di sebelah barat. Kemudian mulai dari Okinawa di Jepang selatan sampai ke perairan sebelah utara Selandia Baru. Jenis kedua tersebar terbatas di pantai barat benua Amerika, yaitu tersebar dari Meksiko sampai ke Panama. Beberapa pakar ekologi meragukan validitas dari Acanthaster ellisii, tetapi para pakar taksonomi ekhinodermata memandangnya sebagai jenis yang valid. Malahan CASO (1962), mempertelakan satu subspecies (anak jenis) baru dari A. ellisii yang diberi nama Acanthaster ellisii pseudoplanci. Anak jenis dari Acanthaster ellisii ini dipertelakan dari holotip yang berasal dari pantai barat Meksiko. FISHER (1917), mempertetekan jenis ketiga dari marga Acanthaster yang berasal dari perairan Filipina. Jenis ketiga ini dinamakan Acanthaster brevispinus. Acanthaster brevispinus dibedakan dari A. planci karena mempunyai duri punggung yang relatif lebih pendek, dan mempunyai duri subambulakral 2 sampai 3, sedangkan Acanthaster planci mempunyai duri subambulakral 3 sampai 5. Posisi dan jumlah duri subambulakral ini merupakan karakter taksonomi yang sangat penting dalam pembedaan jenis untuk kelompok bintang laut. Walaupun demikian
REPRODUKSI Bintang laut jenis Acanthaster planci mempunyai kelamin terpisah antara jantan dan betina. Sperma dan sel telur pada musim memijah dilepaskan ke air laut di sekitarnya dan selanjutnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva akan berlangsung di air laut. Larva bintang laut ini hidup bebas sebagai plankton dan pada akhirnya akan mengalami metamorfosa dan selanjutnya hidup
24
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dimana karang batu ini hanya merupakan 5 persen dari tutupan total karang batu. Hal yang sama juga dilaporkan oleh GLYNN (dalam MORAN 1986), bahwa binatang laut pemakan karang yang hidup di Panama lebih menyukai polip dari karang batu jenis Pocillopora sp. yang hanya merupakan 7,2 persen dari tutupan total karang batu. Namun dari hasil telusur pustaka yang yang diikhtisarkan oleh AL Hakim (1983), terlihat bahwa marga Acropora merupakan makanan yang paling populer (15 jenis), berturut turut marga Porites (6 jenis) dan marga Pocillopora (4 jenis). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
sebagai hewan dewasa. Informasi lebih lanjut dapat dilihat dalam MORAN (1986), dan SUHARSONO (1991). Invertebrata laut yang hidup didaerah tropik pada umumnya dapat memijah sepanjang tahun. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya cukup makanan dan faktor suhu yang bergoyang dalam batasan toleransi normal untuk pemijahan (PEARSE 1968). Sedangkan di daerah subtropik puncak pemijahan terjadi dalam bulan bulan yang paling panas, Di belahan utara dari kawasan Pasifik Barat pemijahan Acanthaster planci ini berlangsung terutama antara bulan Mei sampai Juli, sedangkan di bagian selatan dari Pasifik Barat puncak pemijahan terutama berlangsung antara bulan November sampai dengan Januari. Sedangkan di Pulau Jawa biota ini terutama memijah pada bulan April (MORTENSEN 1931). Dapat ditambahkan bahwa DR MORTENSEN melakukan serangkaian percobaan reproduksi dan pemijahan fauna ekhinodermata terutama di Pulau Onrust, Pulau Pulau Seribu. Menurut para pakar ekhinodermata hasil penelitian dari DR MORTENSEN tetap dianggap akurat dan pionir dibidang ini.
SUBSTANSI BIOAKTIF Duri punggung (dorsal) dari bintang laut jenis Acthaster planci mempunyai daya racun. Luka yang disebabkan oleh duri ini akan mendatangkan rasa sakit, pembengkakan, dan mungkin akan diikuti oleh gejala pusing dan muntah muntah. Hal ini sangat bergantung kepada daya tahan perorangan. Substansi bioaktif yang bersifat saponnin terdapat pada lapisan kulit yang membungkus duri dorsal tersebut. Ekstrak jaringan penutup duri dorsal tersebut bila disuntikan akan memberikan akibat hemolisis (pendarahan terus menerus pada luka) EVIRITT & JUREVICS (dalam MORAN 1986). Senyawa aktif mirip histamin menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan pada luka. Substansi bioaktif ini diduga memberikan dampak proteksi kepada bintang laut itu sendiri, terutama untuk menghadapi hewan predatornya (MORAN 1986). SHIOMI et al. (1985), melaporkan bahwa substansi racun dari duri Acanthaster planci ini menyebabkan pembengkakan dan hemolisis pada tikus. Suntikan dengan konsentrasi 2,7 mg/kg menimbulkan kematian 50 persen dari tikus percobaan (LD 50).
PREFERENSI MAKANAN Pada umumnya bintang laut jenis Acanthaster planci hidup dari memakani polip karang batu. Tingkah laku makan dan cara makan dapat dilihat dalam AZIZ (1977), dan SUHARSONO (1991). Menurut BRAURER (dalam MORAN 1986), ekstrak karang batu jenis Acropora spp. dan Pocillopora spp. lebih disukai dari ekstrak karang batu marga Porites. Yang menarik adalah laporan BRANHAM et al. (dalam MORAN 1986), bahwa bintang laut ini di Hawaii terutama menyukai polip dari karang batu jenis Montipora verrucosa,
25
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dengan era eksploitasi ilmiah oleh para pakar pionir, biota ini dilaporkan dari berbagai tempat di Indonesia, dan spesimen contoh masih tersimpan di musium Leiden dan Amsterdam. Pengamatan khusus mengenai Acanthaster planci ini telah dilakukan di Pulau Lancang, Pulau Pulau Seribu pada tahun 1976, tetapi hasil selengkapnya dari penelitian ini tidak pernah dipublikasikan. Penelitian yang menyangkut besar populasi, variasi morfologi, kemampuan berpindah/ bergerak, dan macam mangsa dari bintang laut jenis Acanthaster planci telah dilakukan di Pulau Tikus, gugus Pulau Pari. Hasil
Selanjutnya SHIOMI et al (1990), menemukan berbagai senyawa aktif dari ekstrak kulit duri tersebut yang ternyata dapat juga merusak hati tikus. Setelah pembedahan terlihat hati tikus percobaan membengkak dan berubah warna. KEHADIRAN ACHANTASTER DI INDONESIA Kehadiran bintang laut Acanthaster planci pertama akli di Indonesia dilaporkan pada tahun 1705 oleh RUMPHIUS dari perairan sekitar Ambon. Kemudian sejalan
26
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
lengkap dari pengamatan tersebut telah dilaporkan oleh AZIZ & SUKARNO (1977). Penelitian yang sama telah dilaporkan oleh DARSONO (1988), yang berlokasi di Pulau Genteng dan Pulau Kelapa. Serangkaian penelitian yang lebih intensif telah dilakukan di Pulau-pulau Seribu dalam Projek kerjasama ASEAN - Australia antara tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.
Catatan mengenai kehadiran dan kepadatan Acanthaster planci di perairan Indonesia dilakukan sehubungan dengan program inventarisasi biota laut dan serangkaian kegiatan ekspedisi kelautan seperti Ekspedisi RUMPHIUS I s/d IV dan Ekspedisi SNELLIUS II. Hasil selengkapnya dari sebaran Acanthaster planci di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3, serta Gambar 1.
27
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
28
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
29 ,
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
memberikan tambahan informasi yang berguna.
MORAN (1986), mengikhtisarkan bahwa tingkat populasi normal dari Acanthaster planci apabila jumlahnya kurang dari 14 individu per 1000m2. Sedangkan tingkat kepadatan melebihi 14 individu per 1000 m2 dianggap telah mengkhawatirkan. Berdasarkan patokan tersebut beberapa lokasi di Indonesia bisa dianggap mempunyai problem yang cukup serius dengan kehadiran bintang laut ini, yaitu Pulau Weh di utara Pulau Sumatra (ADRIM komunikasi pribadi), Pulau Sfat di teluk Elat, Kepulauan Kei; Pulau Gorong, Seram; Pulau Tusa, Halamahera; Pulau Telopo, Teluk Togean (Data Ekspedisi RUMPHIUS II, III, IV). Hal ini perlu mendapat perhatian demi kelestarian ekositem terumbu karang di perairan tersebut. Hasil lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Informasi paling Akhir pada bulan Mei 1995 ini dilaporkan adanya semacam ledakan populasi Acanthaster planci di beberapa pulau bagian utara dari deretan Pulau-pulau Seribu, sayangnya data tepat mengenai kepadatan dari populasi bintang laut ini tidak dicatat. Semoga tulisan yang singkat ini dapat menambah pengetahuan kita dan dapat
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan anggota Tim mventansasi P3O-LIPI terutama sub unit Coralia dan Ekhinodermata dalam pengumpulan data lapangan, dan juga kepada Drs M. ADRIM dan NURAHCMAD HADI dalam pengumpulan informasi dimana penulis tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. DAFTAR PUSTAKA AL HAKIM, I. 1983. Acanthaster planci (L.) dan peranannya dalam ekosistem terumbu karang. Skripsi Sarjana Muda, UNAS : 43 pp. AZIZ, A. 1977. Bulu seribu dari pulau Pari. Pewarta Oseana IV (1) : 6 – 8, 13. AZIZ, A. dan SUKARNO 1977. Preliminary observation on living habits of Acanthaster planci (Linnaeus) at Pulau Tikus, Seribu Islands. Mar. Res. Indonesia 17 : 121 – 132.
30
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
CASO. M.E. 1962. Estudios sobre asteridos de Mexico. Observaciones sobre especies Pacificas del genero Acanthaster descripcion de una subespecies nuevo Acanthaster ellisii pseudoplanci An. Inst. Biol. Univ. Nac. Auton. Mexico 32 : 313 – 331. DARSONO, P. 1988. Pengamatan terhadap kehadiran bintang laut pemangsa karang, Acanthaster planci (1.), di Pulau Seribu. Dalam : MOOSA, M.K., D.P. PRASENO, dan SUKARNO (eds.), Teluk Jakarta. Biologi, Budidaya, Oseanografi, Geologi dan Kondisi Perairan. P3O – LIPI, Jakarta : 48 – 54. FISHER, W.K. 1917. New starfishes from the Philippines and Celebes. Proc. Biol. Soc. Wash. 30 : 89 – 94. GUILLE, A. and M. JANGOUX 1978. Asterides et Ophiurides littorales de la region d'Amboine (Indonesia). Ann. Inst. Oceanogr. Paris 54 (1) : 47 – 74. JANGOUX, M. 1978. Biological results of the Snellius Expedition 29. Echinodermata, Asteroidea. Zool. Meded. 52 (25) : 287 – 300. JANGOUX, M. and A. AZIZ 1984. The asteroids (Echinodermata) of the Central – West part of the Indian Ocean, Seychelles, maldive archipelagoes. Bull. Mus. Natn. Hist. Nat. Paris (A) 6 (4) : 857 – 884.
LUCAS, J.S. and M. M. JONES 1976. Hybrid crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci and A. brevispinus) reared to maturity in the laboratory. Nature 263 : 409 – 411. MADSEN, F. J. 1955. A note on the sea-star genus Acanthaster. Vidensk. meddr. dansk. naturh. Foren. 117 : 179 – 192. MORAN, P. J. 1986. The Acanthaster Phenomenon. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 24 : 379 – 480. MORTENSEN, T. 1931. Contribution to the study of the development and larval forms of echinoderms. I – II. K. danske Vidensk. Selsk. Skr. (naturv. –math. ) (9) 4 ( 1 ) : 11 – 39. PEARSE, J.S. 1968. Patterns of reproductive periodicities in four species of IndoPacific echinoderms. Proc. Indian Acad. Sci. 67 : 247 – 279. SHIOMI, K., K. ITOH, H. YAMANAKA, and T. KIKUCHI 1985. Biological activity of crude venom from the crown-of-thorns starfish Acanthaster planci. Bull. Jap. Soc. Scient. Fish. 51 (7) : 1 1 5 1 – 1154. SHIOMI, K., S. YAMAMOTO, H. YAMANAKA, T. KIKUCHI and K. KONNO 1990. Liver damage by the crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) lethal factor. Toxicon 28 (5) : 469 – 475. SUHARSONO 1 9 9 1 . Bulu Seribu (Acanthaster planci). Oseana 16 (3) : 1–7.
31
Oseana, Volume XX No. 2, 1995