Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN KEJIWAAN ANAK BAGI ORANG TUA (Telaah Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan) Oleh: Asnawan
ABSTRAK
Pada hakikatnya kajian ini berdasarkan keprihatinan tokoh tersebut berkenaan dengan masalah pendidikan kejiwaan anak yang menurut pengamatannya sangat tidak sesuai nilai-nilai pendidikan yang seharusnya sebagaimana dicontohkan Rosulullah SAW dan as-salafus as shalih dalam mendidik putra-putrinya. Walaupun hal itu terjadi dengan tempat dan waktu yang berbeda, tetapi perkara pendidikan kejiwaan ini sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang, sehingga penting untuk diketahui khususnya para orang tua dan pendidik pada umumnya dalam mendidik dan membina buah hatinya. Abdullah Nashih Ulwan adalah salah seorang pemikir pendidikan Islam yang murni. Dia mendasarkan segala ide dan pemikirannya pada Al-Qur’an dan Al-Hadits Rasulullah SAW, kemudian memberikan ilustrasi penjelasannya pada apa yang telah diperbuat Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan para salaf yang salih. Hampirhampir beliau tidak menggambil referensi para pemikir di Barat kecuali dalam keadaan yang sangat penting untuk maksud tertentu, misalnya untuk menguatkan kebenaran Islam. Pendidikan kejiwaan adalah suatu upaya mendidik anak guna membentuk, menyempurnakan dan menyeimbangkan kepribadian anak, sehingga ketika anak telah mencapai usia dewasa dapat terbebas dari berbagai macam gangguan kejiwaan. Dengan terbebasnya anak dari gangguan tersebut diharapkan anak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada dirinya dengan baik dan mulia. Key Word : Pemikiran, Tanggung Jawab, Pendidikan Anak, Kejiwaan. Pendahuluan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW adalah sumber ajaran Islam. Di dalam dua sumber itu terdapat ayat-ayat atau pesan-pesan yang mendorong manusia untuk belajar membaca dan menulis serta menuntut 1
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
ilmu, memikirkan, merenungkan, menganalisis, penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan untuk memberi cahaya terang kepada hati nurani dan pikiran serta menambah kemampuan Islam dalam melakukan proses pengajaran dan pendidikan. Karena Muhammad SAW sendiri diutus pertama-tama untuk menjadi pendidik dan beliau adalah guru yang pertama dalam Islam.1 Dengan memahami sekaligus berupaya sekuat tenaga untuk dapat mengaktualisasikan secara nyata dalam kehidupan dari kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut, maka akan terbentuklah generasi yang kokoh dalam makna yang luas. Kajian ini secara khusus berusaha mendalami pemikiran seorang tokoh pendidikan yang sudah tidak asing lagi dalam kalangan dunia pendidikan, ia adalah Abdullah Nashih Ulwan. Fokus utamanya berkaitan dengan penanaman dan pembentukan kejiwaan anak. Pada hakikatnya kajian ini berdasarkan keprihatinan tokoh tersebut berkenaan dengan masalah pendidikan kejiwaan anak yang menurut pengamatannya sangat tidak sesuai nilai-nilai pendidikan yang seharusnya sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan as-salafus as shalih dalam mendidik putra-putrinya. Walaupun hal itu terjadi dengan tempat dan waktu yang berbeda, tetapi perkara pendidikan kejiwaan ini sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang, sehingga penting untuk diketahui khususnya para orang tua dan pendidik pada umumnya dalam mendidik dan membina buah hatinya. Dewasa ini, banyak sifat-sifat negatif yang membelenggu dan tumbuh dalam diri kita. Diantara sifat-sifat negatif itu antara lain adalah malu mengatakan yang benar, malas berbuat kebajikan, penakut, dengki, marah, rendah diri, riya’ dan munafik. Sifat-sifat ini tumbuh dalam jiwa yang lemah, jiwa yang telah dihancurkan oleh musuhmusuh Islam. Jiwa seperti ini beku, hina, tidak mempunyai keinginan kuat dan tujuan.2 Munculnya sifat-sifat negatif tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor. Ada yang karena faktor hereditas, seperti minder, ada yang karena faktor lingkungan baik karena lingkungan alami seperti kemiskinan, cacat fisik, dan kemampuan berfikir, maupun lingkungan modifikasi seperti sikap dan perlakuan orangtua yang keliru terhadap anak-anak. Oleh karena itu, jika sifat-sifat negatif ini tidak dihindarkan sejak dini akan sangat berbahaya ketika anak tumbuh semakin besar dan
Saifullah, Muhammad Quthub dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik (Yogyakarta: Suluh Press,2005), hal. VI. 2 Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni Mendidik Anak, Jilid 2, Penerjamah: Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 2004), hal. 14. 1
2
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
berkembang semakain dewasa, karena sifat-sifat tersebut akan menggerogoti kepribadiannya.3 Mencermati kenyataan seperti ini, tentunya diperlukan suatu cara untuk mendidik anak sesuai dengan masa perkembangannya, sebagaimana dikatakan Seto Mulyadi, (Psikolog dan ketua komnas perlindungan anak) ; ”pendidikan tidak sekedar dilakukan melalui komando atau instruksiinstruksi sepihak saja, tetapi juga melalui pendekatan dari hati kehati yang penuh dengan suasana kasih sayang. Semua ini hanya bisa dilakukan melaui pendekatan yang efektif oleh ibu dan ayah kepada putra-putrinya di rumah”.4 Sejalan dengan itu, pemikiran Abdullah Nashih Ulwan bahwa untuk meminimalisir terjadinya berbagai penyimpangan kejiwaan anak, beliau menawarkan arahan bagi pendidik dalam hal ini orang tua untuk memperhatikan kejiwaan anak semenjak si anak mulai mengerti, sehingga kelak sewaktu anak menginjak usia dewasa tidak mengalami kekacauan jiwa. Pendidikan kejiwan menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah upaya untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.5 Perlu diketahui juga, pada pembahasan beliau mengenai pendidikan kejiwaan ini beliau lebih menyoroti sifat-sifat negatif maupun positif, yang sering ditemui pada anak. Banyak orang tua masa kini yang mencari bantuan psikolog atau profesional kesehatan mental untuk mengatasi prilaku anak. Mereka mengeluhkan prilaku-prilaku buruk yang sering dilakukan oleh anak-anak mereka, seperti suka mencari gara-gara, tidak sopan, mengeluhkan segala hal, tidak menghiraukan orang tua, suka bertengkar, dan sifat-sifat negatif yang lain.6 Seorang anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi dirinya sendiri, agar bisa menjadi generasi muda yang unggul penerus cita-cita perjuangan bangsa, mereka harus memperoleh lingkungan yang kondusif. Yaitu dalam bentuk pemenuhan akan hak-
3 Ruswan Thoyib & Darmuin, (ed.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Fakultas Tabiyah IAIN Wali Songo Semarang berkerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995), hal. 65. 4 Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses (Panduan Islami bagi Orang tua dalam Membesarkan Anak, (Jakarta : Pustaka Zahra, 2004), hal. VII. 5 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Penerjemah: Jamaludin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 363. 6 Larry J. Koeng, Smart Discipline. Menanamkan Disipline dan Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Pada Anak (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 12 & 14.
3
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
haknya yang paling mendasar, seperti hak untuk memperoleh perlindungan dan bimbingan yang sebaik-baiknya.7 Keadaan negatif seperti tersebut di atas, menuntut orang tua untuk menata atau memperbaiki perlakuan mereka terhadap putra-putrinya, agar pertumbuhan jiwa anaknya tumbuh dengan baik. Berangkat dari beberapa pokok pikiran di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengungkapkan ideide beliau berkenaan dengan pendidikan kejiwaan anak yaitu berkaitan dengan tanggung jawab pendidikan kejiwaan anak bagi orang tua. Ide-ide Abdullah Nashih Ulwan, menurut analisa penulis, sangat representatif untuk dikaji saat ini guna mengatasi keterpurukan pendidikan kejiwaaan anak, sebagai akibat dari pola pendidikan orang tua yang tidak sesuai terhadap anak. Pentingnya Tanggung Jawab Orang Tua Berkaitan dengan Pendidikan Kejiwaan Anak Tanggung jawab dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (bila terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).8 Sedangkan pendidikan adalah menciptakan berbagai perubahan pada berbagai dimensi keberadaan manusia dan prilakunya, dengan tujuan mengarahkannya pada suau sasaran, yang merupakan hal penting dan menentukan nasib seseorang. Segala bentuk perbaikan dan pembinaan individu dalam masyarakat. Hampir semakna dengan maksud pendidikan yaitu pembinaan yang berarti pembentukan sikap hidup. Pembinaan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan manusia dari segi praktis. Dalam pembinaan orang ingin mengembangkan sikap, kemampuan, dan kecakapan. Jadi pembinaan lebih dekat dengan Etika dan Moral, sedangkan informasi dari ilmu pengetahuan dipakai sebagai penunjang dan ilustrasi atau contoh. Pembentukan sikap hidup ini terjadi dalam proses yang lama, bahkan seumur hidup. Oleh karena itu pembinaan kesehatan jiwa harus dimulai sejak dini.9 Melaksanakan tanggung jawab orang tua merupakan suatu cara untuk membangun potensi anak sekaligus sebagai cara mengatasi berbagai masalah anak, Islam melarang orang tua yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya seperti tidak mengasuhnya, lalai membimbing dan tidak menasehati anak.
Irwan Prayitno dan Datuak Rajo Bandaro Basa, Anakku Penyejuk Hati (Pondok Gede Bekasi: Pustaka Tarbiyatuna, 2004), hal. V. 8 Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal. 507. 9 Johan Suban Tukan, Metode Pendidikan Seks, Perkawinan, dan Keluarga (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 128 &129. 7
4
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
Keluarga adalah unit pertama dan institusi dalam masyarakat, dimana hubungan yang terdapat didalamnya, sebagian besar sifatnyasifatnya hubungan-hubungan langsung. Disitulah berkembangnya individu dan disitulah terbentuknya tahap-tahap awal pemasyarakatan (socialization) dan mulai interaksi dengannya, ia mamperoleh pengetahuan, ketrampilan, minat, nilai-nilai emosi dan sikapnya dalam hidup, dan dengan itu ia memperoleh ketetentraman dan ketenangan. Keluarga adalah pokok pertama yang mempengaruhi pendidikan seseorang. Lembaga keluarga adalah lembaga yang kuat berdiri sendiri dan merupakan tempat mulamula seorang manusia digembleng untuk mengarungi hidupnya. Sekurang-kurangnya ada lima fungsi keluarga, yang bila dilihat dari segi pendidikan akan sangat menentukan kehidupan.10 1) Keluarga dibentuk untuk reproduksi, memberikan keturunan, ini merupakan tugas suci agama yang dibebankan melalui manusia. Transmisi pertama melalui fisik. 2) Perjalanan keluarga selanjutnya mengharuskan ia bertanggung jawab, dalam bentuk pemeliharaan yang harus diselenggarakan demi kesejahteraan keluarga, anak-anak perlu pakaian yang baik, kebersihan, permainan yang sehat, makanan yang bergizi, rekreasi dan sarana hidup materil lainnya. 3) Lebih jauh keluarga berjalan mengharuskan ia menyelenggarakan sosialisasi, memberikan arah pendidikan, pengisian jiwa yang baik dan bimbingan kejiwaan. 4) Freferensi adalah fungsi selanjutnya, karena hidup adalah ”Just a matter of choice” maka orang tua harus mampu memberikan freferensi yang terbaik untuk anggota keluarganya, terutama anak-anaknya. Freferensi adalah tindak lanjut dari sosialisasi. Orang memberikan jalan yang mana yang harus ditempuh dalam kehidupan anak. 5) Pewarisan nilai kemanusiaan, yang minimal dikemudian hari dapat menciptakan manusia yang cinta damai, anak shaleh yang suka mendoakan kepada orang tua secara teratur, yang mengembangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat manusia yang mampu menjaga dan melaksanakan hak azazi kemanusiaan yang adil dan beradab serta mampu menjaga kualitas dan moralitas lingkungan hidup. Pelaksanaan tanggung jawab materi dan rohani merupakan suatu kebutuhan baik bagi akal maupun kesadaran; tangung jawab meminta manusia untuk tabah mengikuti kemajuan dan mengutuk faktor-faktor yang menyebabkan kekacauan di dalam sistem kehidupan. Pelaksanaan tanggung jawab memainkan suatu peranan yang besar dalam 10 Ramayulis, dkk, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga (Jakarta: Kalam Mulia,1996). Hal.4-5.
5
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
meningkatkan akhlak yang baik dan kehidupan kerohanian. Kendati dalam kepercayaan (agama), tanggung jawab bukan merupakan perbudakan melainkan kebebasan yang sesungguhnya. Tanggung jawab menarik manusia ketatanan prilaku yang sesuai dengan sistem kehidupan yang paling memadai. Tanggung jawab itu ada selama manusia ada, tetapi dalam bentuknya yang berbeda-beda. Sudah sepantasnya mengharapkan seseorang untuk memenuhi tanggung jawabnya jika ia mampu dan berkehendak untuk memenuhinya. Sebab ketiadaan rasa tanggung jawab dan pelanggaran berbagai peraturan hanya akan menunjukkan kejahilan akan asas-asas kehidupan dan mengantar kepada kesengsaraan dan kerusakan.11 Atas dasar tanggung jawab itulah maka orang tua mempunyai peranan penting dalam pembinaan kejiwaan anak. Tidak satu pun orang tua di muka bumi ini yang mengharapkan anak-anaknya tumbuh secara abnormal namun tidak semua anak bisa tumbuh dan besar sesuai harapan orang tua. Ada yang secara fisik tumbuh normal, namun secara psikologis mengalami gangguan-gangguan. Ada beragam masalah psikologis atau kejiwaan yang lazim di derita anak-anak dalam masa pertumbuhan, baik yang nampak sepele maupun berat.12 Psikologi dan Ilmu Jiwa Jiwa atau nafs bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu keseimbangan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas. Untuk dapat membahas masalah kejiwaan tentu tidak dapat lepas dari suatu disiplin keilmuan yang banyak berbicara masalah jiwa. Sebagai salah satu disiplin ilmu, psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu bersumber dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu 1) Psyche yang berarti jiwa; 2) Logos yang berarti Ilmu. Jadi secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Kini, berbagai kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dunia profesi lainnya yang menggunakan layanan atau ”jasa kejiwaan” itu lebih terbiasa menyebut psikologi daripada ilmu kejiwaan. Dalam ensiklopedia pendidikan, Poerbakawatja dan Harahap (1981) membatasi psikologi sebagai ”cabang ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan”. Dalam ensiklopedia
Sayyid Mujtaba Musayi Lari, Psikologi Islam (Membangun Kembali Generasi Muda Islam) (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hal. 121. 12 James Le Fanu, Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak, Penerjemah: Irham Ali Syaifuddin (Yogyakarta : Think, 2006). 11
6
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
ini dibatasi pula bahwa kegiatan jiwa tersebut meliputi respon organisme dan hubunganya dengan lingkungan.13 Dalam psikologi Islami dalam mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia tidak semata-mata dari prilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan tentang spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan memulainya dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia. Psikologi Islami menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia dimana hanya Sang Penciptalah yang mampu memahami dan mengurai komplesitas itu. Sedangkan tugas dari Psikologi Islami setelah menerangkan gejala-gejala yang terjadi pada manusia, adalah memprediksi prilaku manusia, mengontrol, dan mengarahkan prilaku itu. Berbeda dengan tugas Psikologi Barat yang hanya menerangkan (explanation), memprediksi (prediktion), dan mengontrol (controling) prilaku manusia. Maka, tugas Psikologi Islami adalah lebih dari itu, yaitu menerangkan, memprediksi, mengontrol, dan terutama mengarahkan manusia untuk mencapai ridho-Nya. Dengan demikian kehadiran Psikologi Islami dipenuhi dengan suatu misi besar, yaitu menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecenderungan alaminya untuk kembali pada-NYa dan mendapatkan ridho-Nya.14 Adapun tujuan utama dari studi psikologi. Pertama, agar seseorang mempunyai pemahaman yang baik tentang individu baik diri sendiri maupun orang lain. Kedua, dengan hasil pemahaman tersebut seseorang diharapkan dapat bertindak maupun memberikan perlakuan yang lebih bijaksana. Tindakan yang bijaksana menyangkut penggunaan cara atau metode yang tepat terhadap individu yang tepat, pada saat dan situasi yang tepat. Seseorang yang telah mempelajari psikologi diharapkan menjadi orang yang dapat mengerti dirinya dan mengerti orang lain serta dapat memberikan perlakuan yang bijaksana. Dengan perkataan lain seseorang yang telah mempelajari psikologi menjadi orang yang arif dan bijaksana.15 Orang tua sebagai pendidik pertama bagi putra-putrinya sudah selayaknya mengetahui dan sekaligus memahami ilmu yang membahas banyak tentang masalah kejiwaan ini, tertama sesuai dengan tema sentral 13 Muhibbin Syah., Psikologi Pendidikan dengan Pendekaan Baru (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 7& 9. 14 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashari Suroso, Psikologi Islami (solusi Islam atas problemproblem psikologi) (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004). hal.149-150. 15 Nana Syaodih Sumadinata, Landasan Psikologis Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal.22.
7
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
kajian ini yaitu berkaitan dengan masalah pendidikan kejiwaan anak, sebab dengan memahami kejiwaan anak ini orang tua dapat memberikan perlakuan yang bijaksana terhadap anak sehingga sang anak terhindar dari gangguan-gangguan kejiwaan yang dikarenakan pengalaman pendidikan yang buruk dari orang tuanya. Atas dasar itulah maka mempelajari psikologi sangatlah penting bagi orangtua atau pendidik dalam memberikan pembinaan terhadap anak terutama berkaitan dengan persoalan kejiwaan anak. Kesehatan Jiwa untuk Anak-Anak Guna membantu memahami kehidupan anak dan membantu mengatasi permasalahannya, orang tua dan pendidik harus mengetahui psikologi adaptasi dalam lingkup ilmu kesehatan jiwa. Sebelum membahas tentang kesehatan jiwa anak terlabih dahulu perlu diketahui tantang Pengertian ilmu kesehatan jiwa. Ilmu kesehatan jiwa dikenal sebagai,”Ilmu mengadaptasikan jiwa atau target persentuhan atau penyatuan pribadi, penerimaan seseorang terhadap diri sendiri dan penerimaan orang lain terhadap dirinya, yang kesemuanya itu bermuara pada perasaan bahagia dan kesenangan jiwa.” 16. Dalam psikologi, adaptasi disebut sebagai proses dinamika yang berkesinambungan yang dituju oleh seseorang untuk mengubah tingkah lakunya, supaya muncul hubungan yang selaras antara dirinya dengan lingkungannya. Maksudnya lingkungan disini, mencakup segala sesuatu yang dapat mempengruhi seluruh kemampuan dan kekuatan-kekuatan yang ada disekeliling seseorang. Semua itulah yang sangat berperan mendukung jerih payahnya sehingga berhasil mencapai kehidupan rohani yang mantap. Lingkungan ini dibagi menjadi tiga, yaitu, lingkungan alam, lingkungan masyarakat, dan lingkungan diri sendiri.17 Bila dikaitkan dengan tujuan dari pendidikan kejiwaan yang digagas oleh Abdullah Nashih Ulwan sangat relevan, sebab menurut beliau bahwa tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membentuk, membina dan menyeimbangkan kepribadian anak. Hal itu dengan harapan agar anak pada masa dewasanya dapat terhindar dari berbagai macam gangguan kejiwaan.18 Dari pernyataaan Abdullah Nashih Ulwan tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa maksud dari pendidikan kejiwaan ini bagi anak adalah untuk mendidik anak semenjak anak mulai mengerti supaya berani
Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, alih bahasa : Abdul Rosyad Shiddiq dan Ahmad Vathir Zaman ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal.13. 17 Ibid., hal.15-16. 18 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan, hal. 363. 16
8
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral.19 Sketsa Biogarafi Abdullah Nashih Ulwan Dalam kajian ini penulis mencoba menganalisa dan menyelidiki pemikiran Abdullah Nashih Ulwan tentang tanggung jawab orang tua berkaitan dengan pendidikan kejiwaan anak. Oleh karena itu terlebih dahulu penulis memulai dengan menyelidiki perjalanan hidup Abdullah Nashih Ulwan secara global dan kaitannya dengan kondisi sosial politik mesir saat itu. Hal itu disebabkan tidak banyak diketahui riwayat hidup pemikir besar di bidang pendidikan ini. Oleh karena itu dengan adanya keterbatasan sumber-sumber tersebut, salah satu cara untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan Abdullah Nashih Ulwan adalah dengan melacak perjalanan hidupnya dimulai selama menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi al-Azhar Mesir. Nama lengkapnya adalah Abdullah Nashih Ulwan. Lahir tahun 1928 M di kota Halab, Syiria. Studi tingkat lanjutan atas ditempuh pada jurusan Syariah dan pengetahuan Alam di kota kelahirannya, lulus tahun 1949. selanjutnya ia melanjutkan di Fakultas Ushuluddin Universitas alAzhar, Mesir, Lulus tahun 1952. sedangkan ijazah di bidang pendidikan dan pengajaran setingkat magister diperoleh tahun 1954. Namun dia tidak sempat menyelesaikan program doktornya karena diusir dari Mesir oleh pemerintahan Abd Nasser. Sejak saat itu, Ulwan mengajar materi pendidikan Islam tingkat Tsanawiyah di kota Halab dan aktivitas hidupnya banyak dicurahkan di bidang pendidikan, pengajaran, serta dakwah di madrasah dan masjid di kota kelahirannya.20 Setelah kembali ke kota kelahirannya, pada tahun 1954, ia ditetapkan sebagai tenaga pengajar untuk materi pendidikan Islam di sekolah-sekolah Lanjutan Atas di Hallab. Keaktifannya sebagai seorang da’i yang berceramah di masjid-masjid, dan sekolah-sekolah, menjadikannya seorang yang ditokohkan di masyarakat. Demikianlah pokok-pokok uraian singkat tentang latar belakang Abdullah Nashih Ulwan menutut dan menjadi Mahasiswa di al-Azhar. Dengan alasan tersebut maka penulis mendapatkan gambaran yang jelas tentang corak dan pemikiran Abdullah Nashih Ulwan sehingga dapat menyimpulkan dan menganalisanya.
Ibid., Abdullah Ahmad Na’im, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta : Penerbit Jendela, 2003), hal. 34.
19 20
9
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
Karya-Karya Abdullah Nashih Ulwan Data mengenai karya Abdullah Nashih Ulwan penulis dapat dari Syaikh Wahbi Sulaiman Al-Ghawajji Al- Albani dalam kata pengantarnya di dalam kitab Tarbiyatu ’l – Aulad fi ’l-Islam karya Abdullah Nashih Ulwan. Abdullah Nashih Ulwan merupakan seorang pemikir Islam yang begitu tajam pengamatannya dalam memahami realitas umat, hal ini terbukti dari berbagi karya yang merupakan hasil pemikirannya yang tidak sedikit diberikan kepada umat. Dengan harapan umat tidak telepas dari nilai-nilai Islam, dalam meghadapi berbagai fenomena kehidupan yang tidak sedikit godaan dan rayuan yang melenakan. Berbagai buah karyanya akan penulis paparkankan sebagi berikut: Ketika ia berbicara mengenai tugas-tugas profetik yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang mempunyai misi sebagai abdullah dan khalifatullah, ia menulis Ila Warasatil Anbiya-i (Kepada Pewaris Para Nabi), yang ditujukan kepada para ulama, yang berlabel pewaris para nabi agar mencontoh Rasulullah Saw dalam melaksanakan kewajibannya berdakwah menyampaikan Islam dengan hikmah dan ajaran yang baik, sehingga umat tidak lari dari Islam. Ketika ia melihat keadaan umat yang mempunyai kecenderungan melalaikan waktu dengan berbuat sia-sia, tanpa kontrol yang baik terhadap hasil teknologi berupa audio visual, ia pun mengingatkan akan berbagai dampak negatifnya. Keadaan demikian menuntutnya menulis sebuah buku berjudul Hukmul Islam Fit Tillviziyyun (Hukum Islam tentang Televisi) yang ia kembangkan menjadi sebuah buku yang berjudul Shubuhat Wa Rudud (Keragu-raguan dan berbagai sanggahan). Pengembangan ini dimaksudkan agar umat lebih paham akan dampak dan pengaruh media sehingga mereka lebih waspada terhadap pengaruh negativ yang disebarluaskan melalui media, yang tidak menutup kemungkinan mempunyai misi menghancurkan nilai-nilai moral spiritual umat. Generasi muda juga tidak luput dari perhatianya, yaitu dengan munculnya buku berjudul Hatta Ya’Lamasy Syabab (Agar Para Pemuda Mengerti). Sebab generasi muda merupakan suatu generasi yang menentukan bagi keberlangsungan Islam pada masa berikutnya. Generasi muda merupakan aset yang begitu berharga, bila tidak diperhatikan dan diarahkan akan sangat berbahaya, bagi keberlangsungan Islam. Pada masa ini terjadi transisi yang begitu besar dalam pribadinya yang sangat membutuhkan suatu bimbingan yang mendorong dirinya untuk berbuat positif. Ketika ia berbicara mengenai urusan-urusan sosial masyarakat kepada para petinggi negara, ia menulis buku berjudul At-Takafulul Ijtima’i Fil Islam (Jaminan Sosial dalam Islam). Buku tersebut berupaya membentengi Islam dari sistem kapitalis Barat yang menyesatkan. 10
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
Ketika ia menunjukkan media untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya kapitalisme tersebut, ia menulis untuk mereka sebuah buku berjudul Ahkamut Ta’min (Hukum-Hukum Asuransi) dan menyebutkan bahaya-bahayanya serta menjelaskan peran penggantinya yang benar yaitu dalam jaminan sosial yang Islami. Dan pada saat ia melihat keadaan pendidikan yang menyimpang dari kaidah-kaidah hukum Islam, ia menulis sebuah karya tentang Tarbiyatul Aulad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) yang dipersembahkan kepada umat agar mengikuti ajaran Islam yang sempurna dalam menghasilkan generasi yang baik dan mulia. Buku tersebut dijadikannya menjadi empat bagian, dengan isi bahasan mencapai 1376 halaman. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki integritas yang cukup besar tehadap masalah pendidikan generasi mendatang.21 Setelah melihat karya-karya Abdullah Nashih Ulwan tersebut maka pantaslah jika Syaikh Wahbi Sulaiman Al-Ghawajji Al-Albani sampai mengatakan, sekirannya saya diminta untuk menilai dirinya, maka akan saya katakan, bahwa dia adalah seorang beriman yang pandai dan hidup dalam sorot kedua mata, sayap, hati, dan darahnya. Corak dan Wacana Pemikirannya Tentang Pendidikan Sebelum menggungkapkan corak pemikiran Ulwan tersebut, lebih dahulu penulis memaparkan perkembangan pemikiran Islam kontemporer, para ahli membaginya menjadi lima kelompok yang dominant:22 a. Pertama, fundamentalistik, kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif. Bagi kelompok ini, Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tak perlu menggunakan metode maupun teori-teori Barat. Mereka menyerukan kembali kepada sumber asli (alQur’an dan as-Sunnah), sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Saw dan para al-khulafa ar-rasyidin. Jadi pada prinsipnya sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan dalam kehidupan modern. b. Kedua, tradisionalistik (salaf), kelompok pemikiran yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-tadisi yang telah mapan. Hal ini berbeda dengan kaum fundamental yang sama sekali menolak modenitas dan hannya membatasinya pada al-khulafa ar-rasyidin yang empat. Sedangkan pandangan kelompok tradisional beranggapan lain, yaitu dengan melebarkan tradisi sampai pada al-salaf as-salih (tidak berhenti sampai pada al-khulafa ar-rasyidin) dan tidak menolak pencapaian Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak, hal. xxix- xxx A. Khudhori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. xvxxi. 21 22
11
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
modernitas, sains dan teknologi. Dengan demikian, kelompok ini masih mau mengadopsi peradaban luar, tetapi dengan syarat semua itu harus diIslamkan lebih dahulu (Islamisasi segala aspek kehidupan). Yaitu dari mulai masalah etika sampai ilmu pengetahuan dan landasan epistimologisnya. Semua itu dimaksudkan agar seluruh gerak dan tindakan umat adalah Islami. c. Ketiga, reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan-warisan budaya (tradisi) Islam dengan cara memberi intepretasi baru dengan kerangka modern dan prasyarat rasional, sehingga tetap survive dalam kehidupan modern. Keadaan tersebut berbeda dengan kaum tradisional yang tetap melangengkan tradisi masa lalu seperti apa adanya. d. Keempat, postradisionalistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar modenitas. Dalam satu segi kelompok ini tidak jauh berbeda dengan kalangan refomistik, yaitu bahwa keduanya sama-sama berpandangan bahwa warisan tradisi Islam agar dapat tetap survive dan relevan, harus diinterpretasi dan dipahami sesuai standar modernitas. Tetapi menurut kaum postradisionaltisik, interpretasi baru melalui pendekatan rekonstruktif tidaklah cukup, tetapi harus lebih, yakni dekonstruktif. Seluruh bangunan Islam klasik harus dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar segala yang dianggap absolute berubah menjadi relatif dan ahistoris menjadi historis. e. Kelima, modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya megakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis berdasar nalar praktis. Bagi meraka, agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman harus ditinggalkan. Karakter utama dari gerakan ini adalah berfikir kritis, baik dalam soal keagamaan maupun kemasyarakatan, dan penolakan terhadap sikap jumud (kebekuan berfikir) dan taqlid. Kelima model atau kecenderungan itulah yang tampaknya meramaikan khasanah pemikirah Islam saat ini. Bila hal itu dikaitkan dengan gagasan pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan keterkaitannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, mengindikasikan bahwa corak pemikiran beliau banyak diwarnai dengan konsepsi pergerakan tersebut. Dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, misalnya berkaitan dengan kegiatan pendidikan seluruhnya harus didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kaitan ini, maka Ikhwnul Muslimin dapat digolongkan
12
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
kepada kelompok sunni dan salafi, hal ini disebabkan karena dalam melakukan setiap aktivitas selalu merujuk pada kemurnian ajaran Islam.23 Landasan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan corak pemikiran Abdullah Nashih Ulwan yang digolongkan sebagai salah seorang pemikir pendidian Islam yang murni. Beliau mendasarkan segala ide dan pemikirannya pada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW, yang kemudian di ilustrasikan penjelasannya pada apa yang telah diperbuat Rasullullah, para sahabatnya dan para as- salaf as-shalih.24 Dari bebarapa gambaran di atas, dapat penulis simpulkan bahwa corak pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dapat dikelompokan kedalam corak pemikiran salafi, hal itu dengan jelas terlihat dalam karya terbesarnya dalam bidang pendidikan kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Yang dalam setiap pembahasannya tidak terlepas dari sumber primernya Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW, yang kemudian didukung dengan cerita para sahabat dan sikap prilaku para salaf yang salih dalam mengamalkan Islam. Sedangkan berkaitan dengan sikapnya mengenai isu modernitas ia sangatlah selektif, dalam pandangannya modernisasi bukan berarti westernisasi (gaya hidup serba Barat) yang sarat dengan kultur materialisme dan hedonisme. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya mengenai sikapnya terhadap pesatnya penemuan modern seperti: sarana informasi, komunikasi dan produk- produk lainnya. Dalam pandangannya penemuan tersebut di ibaratkan sebagai sebuah senjata yang memiliki dua sisi yang tajam, bisa dipergunakan untuk kebaikan maupun sebaliknya. Hasil-hasil teknologi modern tersebut jika dipergunakan untuk kemaslahatan seperti menyebarluaskan kebaikan, mengokohkan akidah Islam, memperkuat akhlak mulia, menghubungkan generasi sekarang dengan kejayaan dan sejarahnya, mengarahkan umat pada kemaslahatan dunia dan agamanya sangatlah dianjurkan. Sedangkan apabila produk modern tersebut disalahgunakan seperti untuk menyebarluaskan dan memperkokoh kerusakan dan penyimpangan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas umat maka hukumnya adalah haram, baik itu melihat maupun mendengarnya.25 1. Wacana pemikiran tentang pendidikan Abdullah Nashih Ulwan telah menulis berbagai masalah pendidikan dan dakwah. Meskipun demikian pandanganpandangannya secara spesifik tentang pendidikan telah banyak dimuat di dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad fil Islam. Memang pendidikan 23
Ibid., hal. 193. Ruswan thoyib &Darmuin, (ed), Pemikiran, hal. 53. 25 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak, hal. 501-502. 24
13
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
merupakan masalah yang sangat penting, sehingga ketika kita menyebut masalah pendidikan itu berarti menyangkut masalah orang tua, masyarakat, sekolah dan negara. Karena manusia dalam kegiatan pendidikan merupakan subyek dan obyek yang terlibat di dalamnya. Manusia mempunyai peranan dan tanggung jawab yang besar sebagai khalifah sekaligus sebagai ’abd dalam kaitannya dengan konsep pendidikan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An’am (6) ayat 165:
öΝä.uθè=ö7uŠÏj9 ;M≈y_u‘yŠ <Ù÷èt/ s−öθsù öΝä3ŸÒ÷èt/ yìsùu‘uρ ÇÚö‘F{$# y#Íׯ≈n=yz öΝà6n=yèy_ “Ï%©!$# uθèδuρ ∩⊇∉∈∪ 7ΛÏm§‘ Ö‘θàtós9 …絯ΡÎ)uρ É>$s)Ïèø9$# ßìƒÎ| y7−/u‘ ¨βÎ) 3 ö/ä38s?#u !$tΒ ’Îû Artinya: Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.26 Dari ayat tersebut di atas jelas bahwa manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan pendidikan. Karena pendidikan memegang kunci kemajuan dan peradaban umat manusia. Nasib umat manusia di masa depan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keberadaan pendidikan. Dari perspektif demikian, maka sangat wajar jika banyak pihak menaruh kepedulian terhadap dunia pendidikan, tidak terkecuali Abdullah Nashih Ulwan. Beliau dalam menulis kitabnya dimulai dengan sejumlah keprihatinan yang begitu mendalam semuanya terangkum dalam tiga sebab utama yaitu (1) ketidaktahuan terhadap tabiat Ad- Din; (2) cinta dunia dan takut mati; (3) ketidaktahuan terhadap tujuan yang semestinya menjadi akhlaq Muslim.27 Itulah tiga sebab utama yang menurutnya menimbulkan manusia tertutup terhadap pintu hidayah dan kemajuan, tidak ada alternatif lain yang lebih efektif menurut beliau kecuali dengan jalan pendidikan. Dari pandangan Abdullah Nashih Ulwan tersebut mengambarkan betapa pendidikan menjadi penyelesaian masalah yang paling strategis. Pendidikan mengembangkan tugas bagaimana agar umat Islam mengetahuai tabiat ad-Din mereka, membebaskan
26 27
Freeware Al- Qur’an Digital Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak, hal. xvi.
14
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
manusia dari cinta dunia dan takut mati serta mengembangkan manusia ke arah kemuliaan. Persoalan-persoalan di atas berpijak pada satu dasar pijakan, yaitu bahwa setiap orang yang merasa berkepentingan dengan perdamaian dan merasa bertanggung jawab dengan persoalan pendidikan, akan berusaha untuk mengubah kenyataan pahit yang banyak dialami umat manusia dan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya berupa fasilitas-fasilitas maupun sarana-prasarana supaya ia dapat melihat masyarakat ini berada pada taraf yang layak, kehidupan yang sejahtera dan mulia. Kemudian persoalan-persoalan tersebut mengarah kepada satu tujuan, yaitu bahwa setiap orang yang berkerja di bidang pendidikan, pembinaan dan perbaikan akan mengarahkan kekuatan dan tekadnya untuk mendirikan masyarakat ideal dan menciptakan umat yang kuat iman, moral, jasmani, ilmu dan mental, supaya dapat mencapai kemenangan yang gemilang, kesatuan dan kemuliaan yang besar dan luas.. Diantara indikasi dan pengertiannya adalah; pendidikan individu, keluarga, masyarakat dan pendidikan umat manusia. Masing-masing dari pendidikan tersebut memiliki banyak aspek yang mengacu pada pendirian masyarakat yang utama dan menciptakan umat yang ideal. Pendidikan anak tidak lain hanyalah merupakan bagian dari pendidikan individu, dimana Islam berusaha mempersiapkan dan membinanya supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dan insan yang saleh di dalam kehidupan ini. Dalam pendangan Abdullah Nashih Ulwan pendidikan akan ditampilkan dalam kehidupan biologis, intelektual, psikis, sosial, dan seksnya. Pertimbangan kearah kesehatan berbagai segi kehidupan anak itu merupakan tanggung jawab suami istri sebagai orang tua. Pengertian pertanggung jawaban orang tua berkenaan dengan segi-segi kehidupan anak mengimplikasikan bahwa dalam visi Abdullah Nashih Ulwan segi-segi kehidupan tersebut merupakan komponen-komponen utama bagi pribadi anak. Visi tersebut di atas menunjukkan pentingnya upaya orang tua dalam rangka pengembangan dan pembimbingannya. Upaya seperti itu tidak dibatasi pada tindakan verbal belaka, tetapi melihat seluruh aspek kehidupan seperti dalam memenuhi kewajiban nafkahnya, menjaga kesehatannya (termasuk kesegaran jasmaniahnya) dan membina tata cara kehidupan sehari-hari. Secara operasional, visi Abdullah Nashih Ulwan tentang anak dan pendidikan seperti dikemukakan dalam bagian metodologi 15
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
pendidikan seperti keteladanan, pembiasaan, nasehat, hukuman, peringatan dan petunjuk praktis dalam menyelenggarakan kehidupan sehari-hari. 2. Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua Berikut akan penulis jabarkan pemikiran Ulwan tentang pendidikan kejiwaan anak bagi orang tua secara urut dimulai dari sifat-sifat mendasar yang harus dimiki pendidik, dilanjutkan pengertian dan tujuan pendidikan kejiwaan, faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan orang tua dari anak-anak yang terdiri dari sifat minder, penakut, kurang percaya diri, dengki, dan pemarah. Pembahasan tersebut penulis akhiri dengan tanggung jawab pendidikan kejiwaan dalam perspektif Islam. Ulwan mensyaratkan bagi setiap pendidik untuk memiliki lima sifat mendasar dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pendidik, yaitu:28 a. Sifat Ikhlas ا Sebagai seorang pendidik dalam mejalankan fugsinya hendaknya meniatkan segala aktifitasnya yang dikerjakannya dalam mendidik, seperti perintah, larangan, nasihat, pengawasan, atau hukuman sekalipun semata-mata karena mencari keridaan dan pahala dari Alllah Swt. Dengan melaksanakan keikhlasan baik dalam perbuatan maupun perkataan, maka sangat bermanfaat bagi diri dan anakanaknya. Sehingga segala yang dinasihatkan akan memiliki kesan dan bekasan yang mendalam pada diri anak-anaknya. Ikhlas sebagaimana yang dipaparkan Ulwan merupakan pondasi iman dalam ajaran Islam. Dengan kata lain, iman merupakan syarat diterimanya sebuah amal oleh Allah Swt. b. Takwa ا ى Sifat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah takwa, yang didefinisikan Ulwan sebagai berikut: Menjaga diri dari azab Allah Swt dengan menanamkan dalam diri setiap muslim, bahwa ia senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya (muraqabah). Dan senantiasa berpijak pada metode yang telah digariskan Allah Swt, baik itu dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan, serta berusaha menggunakan sesuatu yang halal dan menjauhi yang haram. Seorang pendidik adalah teladan dan panutan yang akan diikuti dan dan ditiru anak, sekaligus penanggung jawab pertama 28
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak, Jilid 2, hal. 337-350.
16
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
dalam pendidikan anak berdasar iman dan ajaran Islam. Jika pendidik tidak menghiasi dirinya dengan takwa dan prilaku dengan muamalah yang Islami, maka dimungkinkan anak akan tumbuh menyimpang, terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan kebodohan. Hal ini karena anak telah meniru orang yang mendidiknya dan mengarahkannya, yang telah berada dalam lumpur dosa, berselimut kemungkaran dan kerusakan. c. Ilmu ا Seorang pendidik harus memiliki ilmu pengetahuan perihal pokok-pokok pendidikan yang dibawa oleh syari’at Islam. Dia harus menguasai hukum-hukum halal dan haram, mengetahui prinsip-prinsip etika Islam dan memahami secara global peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah syari’at Islam. Dengan penguasaan kemampuan dasar ini akan mengantarkan seorang pendidik untuk menjadi alim yang bijak, mampu meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya, dapat mendidik anak-anak pada pokok-pokok dan persyaratan ajaran agama, dapat mendidik dan memperbaiki sikap dan prilaku anak dengan pada dasar-dasar kokoh ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Jika pendidik tidak mengetahui kaidah-kaidah asasi dalam pendidikan ini, maka anak akan dilanda kemelut spiritual, moral, dan sosial. Oleh karena itu, seorang pendidik, hendaknya membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dengan metode-metode pendidikan yang sesuai, untuk mendidik generasi Muslim yang akan hidup dimasa sekarang dan yang akan datang. d. Penyabar ا Dengan sifat penyabar, seorang pendidik akan tampil lebih terpuji dan disukai oleh anak-anak, sehingga akan lebih berhasil dalam menjalankan tugas pendidikannya, termasuk tanggung jawabnya membentuk dan memperbaiki kepribadian anakanaknya. Karena seorang pendidik adalah teladan bagi anak-anak, maka seorang pendidik yang penyabar akan memberikan pengaruh positif pada anak-anak, sehingga mereka menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji dan terjauh dari perangai tercela. Semua ini bukan berarti bahwa selamanya seorang pendidik harus berlemah lembut dan sabar, jika pendidik melihat kemaslahatan yang lebih dalam memberikan hukuman baik itu dengan kecaman ataupun pukulan, maka hendaknya jangan merasa raguragu untuk melaksanakannya.
17
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
e. Rasa tanggung jawab ا ؤ Seorang pendidik harus menanamkan dalam hatinya rasa tanggung jawab yang besar dalam pendidikan anak, baik itu dari segi keimanan, akhlak, pembentukan jasmani dan ruhaninya, serta dalam mempersiapkan mental maupun sosialnya. Rasa tanggung jawab ini akan mendorong upaya mengawasi anak dan memperhatikannya, mengarahkan dan mengikutinya, membiasakan dan melatihnya. Di samping itu orang tua juga harus yakin, bahwa jika ia melalaikan tanggung jawabnya itu, pada suatu ketika secara bertahap anak akan terjerumus pada jurang kerusakan. Jika kerusakan si anak sudah semakin parah, maka teramat sulit bagi orang tua sebagai pendidik untuk memperbaikinya. Penutup Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap pemikiran Abdullah Nashih Ulwan tantang Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak bagi Orang Tua dalam Islam, maka dapat disimpulkan bahwa: Pendidikan kejiwaan adalah suatu upaya mendidik anak guna membentuk, menyempurnakan dan menyeimbangkan kepribadian anak, sehingga ketika anak telah mencapai usia dewasa dapat terbebas dari berbagai macam gangguan kejiwaan. Dengan terbebasnya anak dari gangguan tersebut diharapkan anak dapat melaksanakan kewajibankewajiban yang dibebankan kepada dirinya dengan baik dan mulia. Diantara berbagai macam gangguan kejiwaan yang terdapat pada diri seorang anak, yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua dan pendidik menurut Ulwan adalah menghindarkan anak dari belenggu sifatsifat negatif, seperti: sifat minder, penakut, rasa rendah diri, hasud dan pemarah. Dengan terhindarnya anak dari sifat dan watak tersebut, berarti orang tua telah menanamkan dan mempersiapkan dasar-dasar kejiwaan yang mulia di dalam jiwa sang anak, sehingga pada diri anak akan terpancar sifat keberanian, saling menghargai, sanggup memikul tanggung jawab, mengutamakan orang lain, saling mencintai dan menyayangi antar sesama. Dengan upaya ini pula, orang tua berarti telah mempersiapkan putra-putrinya menjadi generasi yang berkepribadian, yang akan menghadapi tantangan kehidupan dengan semangat optimisme dibarengi dengan tekad yang kuat dan akhlak yang terpuji. Munculnya berbagai gangguan-ganguan kejiwaan anak tersebut menurut Ulwan pada prinsipnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor biologis atau genetis dan pengaruh penyakit-penyakit tertentu, (2) pola kepribadian yang dipengaruhi pola asuh, dan (3) penyebab yang 18
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
bersifat psikososial atau lingkungan, seperti perlakuan orang tua yang salah terhadap anak Terkait dengan pendidikan kejiwaan, pada dasarnya Islam telah meletakkan dasar kesehatan kejiwaan untuk membantu para pendidik melakukan pendekatan yang efektif dalam mengarahkan jiwa dan pola pikir anak, berdasarkan Al-Qur’an dan keteladanan yang diberikan Nabi saw, para sahabatnya serta salafus saleh dalam membina pendidikan kejiwaan anak. Dengan menerapkan perintah Allah Swt yang termuat dalam Al-Qur’an dan mencontoh keteladan Rosulullah Saw, para sahabat dan salafus saleh dalam mendidik purta-putrinya, menurut Ulwan upaya pendidikan anak dapat melahirkan generasi yang sehat salah satunya berkaitan dengan sisi kejiwaannya.
19
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Penerjemah: Jamaludin Miri Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Saifullah, Muhammad Quthd dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, Yogyakarta: Suluh Press,2005. Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni Mendidik Anak, Jilid 2, Penerjamah: Muhammad Muchson Anasy, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2004. Ruswan Thoyib & Darmuin, (ed.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian tokoh Klasik dan Kontemporer,Yogyakarta: Fakultas Tabiyah IAIN Wali Songo Semarang berkerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995. Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses (Panduan Islami bagi Orang tua dalam Membesarkan Anak, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004. Larry J. Koeng, Smart Discipline. Menanamkan Disipline dan Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Pada Anak, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Irwan Prayitno dan Datuak Rajo Bandaro Basa, Anakku Penyejuk Hati, Pondok Gede Bekasi: Pustaka Tarbiyatuna, 2004. Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005. Johan
Suban Tukan, Metode Pendidikan Keluarga,Jakarta: Erlangga, 1994.
Seks,
Perkawinan,
dan
Ramayulis, dkk, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia,1996. Sayyid Mujtaba Musayi Lari, Psikologi Islam, Membangun Kembali Generasi Muda Islam), Bandung: Pustaka Hidayah, 1990. James Le Fanu, Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak, Penerjemah: Irham Ali Syaifuddin, Yogyakarta : Think, 2006. Muhibbin Syah., Psikologi Pendidikan dengan Pendekaan Baru, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004.
20
Asnawan, Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan Anak Bagi Orang Tua
Djamaludin Ancok dan Fuat Nashari Suroso, Psikologi Islami (solusi Islam atas problem-problem psikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Nana Syaodih Sumadinata, Landasan Psikologis Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, alih bahasa : Abdul Rosyad Shiddiq dan Ahmad Vathir Zaman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Abdullah Ahmad Na’im, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003 A. Khudhori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
21
JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012
22