ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH MASYARAKAT MISKIN KOTA (STUDI KASUS DI TIGA KELURAHAN KOTA DEPOK: BEDAHAN, LEUWINANGGUNG DAN PONDOK JAYA)
Oleh ADIB RADLI H24051501
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRAK Adib Radli. H24051501. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Daerah Masyarakat Miskin Kota (Studi Kasus di Tiga Kelurahan Kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya) Di bawah bimbingan Jono M Munandar dan Ratih Maria Dhewi Indonesia masih bermasalah dengan kemiskinan. Salah satu daerah yang dapat merefleksikan kemiskinan di Indonesia yaitu Kota Depok. Kota Depok adalah salah satu kota penyangga Jakarta. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang meningkat dari tahun 2003 sebesar 6.756 jiwa/km2, menjadi 7.698,57 jiwa/km2 di tahun 2008 yang justru diimbangi dengan pemekaran beberapa kelurahan dan kecamatan, membuktikan Depok sudah dapat dikatakan menjadi kota metropolitan penyangga kota megapolitan Jakarta. Namun Depok juga tidak lepas dari masalah kemiskinan. Ini menyebabkan Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Distarkim) pemerintah kota Depok melaksanaan program RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) pada Agustus 2009-Januari 2010 yang telah memberikan bantuan untuk perbaikan rumah bagi masyarakat yang menjadi target sasaran program berupa pemberian material bahan baku perbaikan rumah layak huni. Pemerintah kota Depok telah memilih masyarakat di tiga kelurahan yakni kelurahan Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat adanya pengaruh kemiskinan dengan indikator kesejahteraan yang dapat membuktikan keberhasilan atau ketepatan program tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi kondisi kemiskinan di tiga kelurahan: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya, (2) Menganalisis bagaimana karakteristik orang miskin di tiga kelurahan tersebut, (3) Menganalisis Faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di lokasi penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari masyarakat di tiga kelurahan kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka berupa data pemerintahan kota Depok, buku, jurnal, dan literatur lain yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan cluster sample dengan membagi responden berdasarkan golongan kondisi kemiskinan. Analisis data untuk mengetahui hubungan antar variabel laten penelitian dilakukan dengan menggunakan metode structural equation modelling (SEM) dengan menggunakan bantuan software LISREL 8.30. Hasil penelitian menyatakan tingkat kondisi kemiskinan untuk cluster tidak miskin di tiga kelurahan kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya tergolong tidak miskin dengan hasil akhir rataan skor adalah sebesar 5.09 dengan skala likert 6, sedangkan untuk cluster miskin tergolong cukup miskin dengan hasil akhir rataan skor adalah sebesar 2,99 dengan skala likert 6. Analisis SEM menyatakan kebijakan pemerintah kota Depok berpengaruh positif dan signifikansi paling besar (0,28) dan pendampingan berpengaruh negatif sangat kecil dan tidak signifikan (-0,11) terhadap pengentasan kemiskinan. Nilai chisquare sebesar 274,98, df sebesar 104, RMSEA sebesar 0,096. NFI (Normed Fit Index) sebesar 1,00. NNFI (Non-Normed Fit Index) sebesar 1,02. Goodness of Fit Index (GFI) sebesar 0.99. Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) sebesar 1. Dari nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan baik dan dapat diterima.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH MASYARAKAT MISKIN KOTA (STUDI KASUS DI TIGA KELURAHAN KOTA DEPOK: BEDAHAN, LEUWINANGGUNG DAN PONDOK JAYA)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI Pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh ADIB RADLI H24051501
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Mei 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Agus Suryadi dengan Lorawati. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Islam Al-Muttaqien Kelurahan Kedaung Kaliangke pada tahun 1992 dan pada tahun 1993 penulis melanjutkan tingkat pendidikannya di Sekolah Dasar 08 Kedaung Kaliangke. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Pertama 132 Jakarta Barat. Lulus pada tahun 2002, penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA 23 Jakarta Barat. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah penulis aktif sebagai anggota Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM), di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) tahun angkatan 2005/2006. Kemudian setelah masuk ke Departemen Manajemen, Penulis menjadi anggota PSDM di Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) tahun angkatan 2006/2007. Pada tahun yang sama pula, penulis juga aktif mengikuti organisasi lain seperti Forum Mahasiswa Islam Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Manajemen Muslim Community, dan Unit Kegiatan Mahasiswa Futsal. Selain itu penulis juga aktif berpartisipasi pada kepanitiaan kegiatan mahasiswa dan pernah menjadi ketua panitia pada kegiatan Study Tour Bank Indonesia Departemen Manajemen pada tahun 2007.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang atas berkat izin dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Daerah Masyarakat Miskin Kota (Studi Kasus di Tiga Kelurahan Kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya)” dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor kemiskinan yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di daerah masyarakat miskin kota. Banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. sebagai dosen pembimbing pertama dan Ibu Ratih Maria Dhewi S.P., M.M. sebagai dosen pembimbing kedua penulis yang dengan sabar membimbing, membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Orang Tua (Mama dan Bapak), kakak (Adib Fadli, S.H.) dan adik tercinta (Ken Ratri Semara Sita) yang telah memberikan semangat, dorongan, doa dan perhatian yang teramat besar dan tiada henti kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dan memperoleh gelar sarjana. 3. Keluarga besar H. Moch Zein dan Hj. Suhannah (Kakek dan Nenek), Om dan Tante ( Jarot Mahendar, Veda Triyasti, Ifran Noor dan Loury Herfienna, S.Kom, Erna, Zainal, Dede, dan Sukendro) atas bantuan yang tak terhingga selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta kepada sepupu penulis (Edgar, Nabilla, Aldo, Zacko, Shanda, Keisha dan Dimas Alfiero) yang memberikan keceriaan dan warna-warni bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Keluarga Besar Hj. Mawar Mardiah (Nenek) dan Alm. Bunani (Kakek), Uwa Ali (terima kasih atas bantuan kepada penulis selama ini yang tak terhingga) beserta tante, om, sepupu dari keluarga besar Nenek Ciputat, terima kasih atas bantuan dan doa kepada penulis.
vi
5. Bapak Raden Dikky Indrawan, S.P., M.M, Bapak Nur Hadi Wijaya, S.TP, M.M, dan Mas Syaefuddin yang telah membantu penulis pada saat penelitian dan Mas Hino, S.Si, M.Si. yang telah membantu penulis dalam mengolah data SEM sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Ani, Mba Rossi dan Mba Ranti dari Bappeda Depok yang telah mengarahkan penulis dan membimbing penulis dalam proyek penelitian di Depok sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Teman-teman mahasiswa selama penelitian (Astri, Angel, Keyko, Tia, Afif, Teguh, Fauzan, Yusi, Afis, Ricky dan teman-teman lain, terima kasih) 8. Teman-teman terbaik penulis semasa kuliah (Bagus, Andri, Widhi, Edi, Irsam, Lulud, Fandi, Budi dan teman-teman Manajemen 42 lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu) terima kasih atas kebersamaan kalian. 9. Teman-teman semasa SMA penulis (Galih, Wartono, Bhisma, Iis Sugeng, Andi, Stevanus, Widi, Hendra, Lyan, Hadhita, Dian dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu) terima kasih yang teramat besar atas perhatian, kebersamaan, doa, dukungan, bantuan dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Nurhilalia Aryuni Fauzah atas perhatian, pengertian, doa, cinta, semangat, bantuan, kasih sayang dan kesetiaan beserta keluarga, Pak Arief, Bu Yuni, Devi dan Roy, terima kasih yang tak henti dan teramat tinggi telah menjadikan penulis
sebagai
anggota
keluarga
keenam
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 11. Semua pihak yang membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran yang sifatnya membangun. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan dicatat sebagai amal ibadah oleh Allah SWT. Amin. Bogor, Mei 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................................
vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan…….. .............................................................................................. Kegunaan Penelitian .................................................................................. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................
1 5 5 6 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis ... .................................................................................... 2.1.1. Pengertian Kemiskinan ... ................................................................. 2.1.2. Batas Kemiskinan ............................................................................ 2.1.3. Jenis Kemiskinan ............................................................................ 2.1.4. Penyebab Kemiskinan ..................................................................... 2.2. Pendekatan Teori Alat Analisis .................................................................. 2.2.1. Metode Penentuan Ukuran Sampel .................................................. 2.2.2. Structural Equation Modelling (SEM) : Definisi ............................. 2.2.3. Konsep dasar SEM .......................................................................... 2.2.4. Tahap-tahap dalam Structural Equation Modeling ........................... 2.2.5. CHI-SQUARE ................................................................................. 2.2.6. GOODNESS OF FIT INDEX........................................................... 2.2.7. ROOT MEAN SQUARE ERROR OF APPROXIMATION (RMSEA) ......................................................................................... 2.3. Penelitian Terdahulu ..................................................................................
7 7 11 11 13 15 15 15 16 18 19 20 20 21
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
Kerangka Pemikiran .................................................................................. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... Jenis dan Sumber Data ............................................................................. Metode Pengambilan Sampel ....................................................................
viii
24 30 30 31
3.5. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 3.6. Metode Pengolahan Data ...........................................................................
31 32
IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
Gambaran Kemiskinan di Indonesia .......................................................... Sejarah Umum Kota Depok ....................................................................... Visi dan Misi Kota Depok ........................................................................ Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Depok ..........................................
37 38 39 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Karakteristik Responden .............................................................. 5.2. Tabulasi Silang .......................................................................................... 5.3. Tingkat Kondisi Kemiskinan di Tiga Kelurahan: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya .............................................................. 5.4. Hasil dan Interpretasi Data ........................................................................ 5.4.1. Hasil Analisis SEM ........................................................................ 5.4.2. Hubungan Indikator Kemiskinan dengan Kemiskinan di Kota Depok ............................................................................................ 5.5. Implikasi Penelitian ...................................................................................
42 64 83 89 89 96 97
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ..................................................................................................... 2. Saran ...............................................................................................................
104 105
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
106
LAMPIRAN .........................................................................................................
108
ix
DAFTAR TABEL
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Halaman Indeks Fit ..................................................................................................... Kriteria Skor Akhir ....................................................................................... Usia dengan jumlah relasi yang sudah dipunyai responden cluster tidak miskin .................................................................................................. Usia dengan jumlah relasi yang sudah dipunyai responden cluster miskin .......................................................................................................... Usia dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada cluster tidak miskin ........................................... Usia dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada cluster miskin .................................................... Usia dengan kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru pada cluster tidak miskin .................................................. Usia dengan kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru pada cluster miskin .......................................................... Wilayah dengan pengeluaran rutin per bulan pada cluster tidak miskin .......................................................................................................... Wilayah dengan pengeluaran rutin per bulan pada cluster miskin ............... Wilayah dengan kemudahan mendapatkan modal pada responden cluster tidak miskin ...................................................................................... Wilayah dengan kemudahan mendapatkan modal pada responden cluster miskin ............................................................................................... Wilayah dengan nilai investasi yang diinginkan untuk membangun usaha pada responden cluster tidak miskin .................................................... Wilayah dengan nilai investasi yang diinginkan untuk membangun usaha pada responden cluster miskin ............................................................ Pekerjaan dengan pemilihan membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri pada cluster tidak miskin ........................................ Pekerjaan dengan pemilihan membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri pada cluster miskin ................................................ Pekerjaan dengan tingkat kelayakan pekerjaan untuk penghidupan keluarga pada cluster tidak miskin ................................................................ Pekerjaan dengan tingkat kelayakan pekerjaan untuk penghidupan keluarga pada cluster miskin ......................................................................... Pekerjaan dengan kebijakan pemerintah di bidang usaha pada responden cluster tidak miskin ...................................................................... Pekerjaan dengan kebijakan pemerintah di bidang usaha pada responden cluster miskin .............................................................................. Pendapatan dengan jumlah anggota keluarga inti yang ditanggung pada cluster tidak miskin .............................................................................. Pendapatan dengan jumlah anggota keluarga inti yang ditanggung pada cluster miskin ....................................................................................... Pendapatan dengan tingkat pengeluaran rutin pebulan untuk cluster tidak miskin ................................................................................................. Pendapatan dengan tingkat pengeluaran rutin pebulan untuk cluster x
26 33 65 65 66 66 67 68 68 69 70 70 71 71 72 72 73 74 75 75 76 77 78
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
32.
33. 34.
miskin ............................................................................................................ Pendapatan dengan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada responden cluster tidak miskin ................. Pendapatan dengan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada responden cluster miskin .......................... Pendidikan dengan tingkat ketepatan waktu pengembalian pinjaman pada responden cluster tidak miskin .............................................................. Pendidikan dengan tingkat ketepatan waktu pengembalian pinjaman pada responden cluster miskin ............................................................................... Pendidikan dengan tingkat kemauan untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha mandiri pada responden cluster tidak miskin ......... Pendidikan dengan tingkat kemauan untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha mandiri pada responden cluster miskin .................. Pendidikan dengan tingkat kesetujuan responden dengan anggapan program pemerintah di bidang pendidikan sudah baik dan tepat sasaran pada cluster tidak miskin ................................................................... Pendidikan dengan tingkat kesetujuan responden dengan anggapan program pemerintah di bidang pendidikan sudah baik dan tepat sasaran pada cluster miskin ........................................................................... Rataan skor responden Tidak Miskin ............................................................. Rataan skor responden Miskin .......................................................................
xi
79 80 81 81 82 83 83
84
85 85 86
DAFTAR GAMBAR
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Halaman Tabel tingkat kemiskinan di Indonesia ........................................................ Tingkat Kepadatan Kelurahan di Kota Depok Tahun 2008 .......................... Persentase Penduduk Kota Depok yang Bekerja Menurut Sektor Ekonomi ..................................................................................................... Jumlah Daftar Sasaran Program Penanggulangan ....................................... Aliran pengaruh variabel laten dengan indikator ......................................... Aliran pengaruh variabel laten dengan indikator dengan error .................... Model Teoritis Diagram Lintas SEM .......................................................... Tahapan dalam SEM .................................................................................. Kerangka pemikiran penelitian ................................................................... Jenis kelamin responden ............................................................................. Karakteristik responden berdasarkan usia ................................................... Karakteristik responden berdasarkan wilayah tempat tinggal ...................... Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan .......................................... Tingkat pendapatan per bulan ..................................................................... Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ........................................ Jumlah relasi yang sudah dipunya untuk membangun usaha (RLS02) .......... Jumlah keluarga inti yang ditanggung (JAKD01) ....................................... Pemilihan untuk membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri .............................................................................................. Jumlah pengeluaran rutin per bulan ............................................................ Kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti utuk penghidupan keluarga ....... Kemudahan mendapatkan modal ................................................................ Ketepatan waktu pengembalian pinjaman ................................................... Nilai investasi usaha yang sudah dipunya atau yang diinginkan .................. Kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru ................ Kemauan responden untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha .......................................................................................................... Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran ............................................... Program pemerintah di bidang kesehatan banyak jumlahnya ...................... Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat ................................................................................................. Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang dan papan tersebut relatif mudah dan cepat ....................................................... Hasil pengolahan SEM ...............................................................................
xii
1 2 3 4 17 17 17 18 28 42 43 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 55 57 57 59 60 62 64 90
DAFTAR LAMPIRAN
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Halaman Daftar Pertanyaan Wawancara .................................................................... Struktur Pemerintahan Kota Depok ............................................................ Karakteritik Responden .............................................................................. Hasil Perhitungan Tingkat Kondisi Kemiskinan ......................................... Hasil uji t-value .......................................................................................... Output LISREL untuk SEM .......................................................................
xiii
108 117 118 119 122 123
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH MASYARAKAT MISKIN KOTA (STUDI KASUS DI TIGA KELURAHAN KOTA DEPOK: BEDAHAN, LEUWINANGGUNG DAN PONDOK JAYA)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI Pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh ADIB RADLI H24051501
Menyetujui Juni 2010
Dr. Ir. Jono M Munandar, M.Sc Dosen Pembimbing I
Ratih Maria Dhewi S.P, M.M Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Jono M Munandar, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Ujian : 3 Juni 2010
Tanggal Lulus :
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ekonomi dunia meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dalam lima puluh tahun terakhir. Fenomena kemiskinan mewarnai berbagai pelosok negara. Menurut laporan Bank Dunia dalam Syarifuddin (2008) 1,3 miliar populasi dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan ukuran penghasilan $ 1 atau kurang per hari (standar harga tahun 1985). Sekitar 1,4 miliar penduduk dunia tidak bisa mendapatkan air bersih dan 3 miliar hidup dengan sanitasi yang buruk. Ini menunjukkan peningkatan ekonomi dunia telah memunculkan pertumbuhan ekslusif yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang menggeser pertumbuhan inklusif. Data ini sejalan dengan laporan UNDP yang menunjukkan adanya gap antara penduduk kaya dan miskin yang semakin meningkat dari 11:1 di tahun 1913 menjadi 44 : 1 di awal 1970-an dan menjadi 72 : 1 di awal tahun 1990-an. Aset 200 penduduk terkaya bahkan melebihi pendapatan 41 % penduduk dunia. Jumlah dan Persentase Masyarakat Miskin Indonesia Maret 2005-2008 50
Jumlah
40
35.1
39.3
37.2
34.96
30 20
15.97
17.7
16.6
14.6
Jumlah masyarakat miskin (pendapatan ± $ 1.55/hari) (juta jiwa) Persentase (%)
10 0 Maret 2005
Maret 2006
Maret 2007
Maret 2008
Periode
Gambar 1. Tabel tingkat kemiskinan di Indonesia Sumber : BPS (2008) Indonesia masih bermasalah dengan kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS (2008) yang
2
ditunjukkan pada Gambar 1. menunjukkan angka kemiskinan pada bulan Maret 2005 mencapai 35,1 juta jiwa (15,97 %); kemudian pada Maret 2006 meningkat 39,3 juta jiwa (17,7 %); pada Maret 2007 menjadi 37,2 juta jiwa (16,6%); dan pada Maret 2008 menurun menjadi 34,96 juta jiwa (14,6%). Merujuk pada data kemiskinan pada Gambar 1., Bank Indonesia melakukan penelitian pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa sektor pertanian, perkebunan dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tetapi juga mempunyai elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan yang paling tinggi yaitu sekitar -2,97. Ini berarti setiap 1% kenaikan ekonomi maka sektor pertanian, perkebunan dan perikanan akan dapat mengurangi kemiskinan nasional sebesar 2,97%. Kapabilitas sumber daya manusia Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan oleh angka Human Development Index (HDI) berada jauh dari negara-negara dengan sumber daya yang lebih rendah. Nilai HDI Indonesia menempati urutan ke-108 dari 177 negara dan tergolong negara medium human development. HDI merupakan salah satu ukuran untuk menentukan kualitas SDM dan mencerminkan kualitas hidup manusia (penduduk) yang dirangkum dari indikator umur harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita penduduk, yang digunakan UNDP sejak tahun 1990 (Suharto, 2005).
Gambar 2. Tingkat Kepadatan Kelurahan di Kota Depok Tahun 2008 Sumber : http://www.depok.go.id
3
Sebagai cerminan tingkatan dan kondisi kemiskinan di Indonesia tersebut, Kota Depok sebagai salah satu kota penyangga kota Jakarta juga mempunyai permasalahan kemiskinan yang pelik. Banyak warga Depok yang menggantungkan hidupnya di Jakarta namun banyak di antara mereka yang tidak bisa bertahan di Jakarta dan memilih hidup sederhana dan serba kekurangan di pinggiran kota Depok maupun di pedalaman desa-desanya dengan cara bertani dan menjadi buruh kasar. Berdasarkan Gambar 2. tingkat kepadatan penduduk kota Depok pada tahun 2008 tertinggi pada kelurahan Sukmajaya. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk kota Depok berdasarkan gambar di bawah yaitu sebesar 7.698,57 jiwa/km2. Sedangkan tingkat kepadatan kota Depok pada tahun 2003 sebesar 6.756 jiwa/km2. Ini berarti adanya peningkatan tingkat kepadatan di kota Depok antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2008.
Gambar 3. Persentase Penduduk Kota Depok yang Bekerja Menurut Sektor Ekonomi Sumber : http://www.depok.go.id Sejalan dengan peningkatan kepadatan penduduk, industri dan roda perekonomian kota Depok juga semakin meningkat sejak dahulu ketika Depok masih menjadi kota kecamatan pada wilayah Kabupaten Bogor dan
4
kemudian menjadi kota administratif pada tahun 1982. Oleh karena itu struktur pemerintahannya terus meningkat sehingga sampai saat ini status Depok telah menjadi Kota. Sebagai penyangga kota Jakarta, pada mulanya Depok memang dibangun untuk menjadi tempat pemukiman dan perumahan bagi warga yang bekerja di Jakarta. Namun seiring perkembangan zaman, Depok sudah menjadi kota metropolitan sebagai pendamping kota megapolitan Jakarta. Sudah banyak industri dan perkantoran yang dibangun di kawasan kota Depok. Berdasarkan data pada Gambar 3. persentase terbesar untuk penduduk kota Depok yang bekerja pada sektor ekonomi terdapat pada sektor jasa-jasa dan perdagangan. Oleh karena itu, untuk mencerminkan peningkatan perekonomian, pemerintah kota depok menjalankan program pengentasan kemiskinan, salah satunya pada pelaksanaan program RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) Agustus 2009-Januari 2010. Pemerintah kota Depok melalui Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Distarkim) telah memberikan bantuan untuk perbaikan rumah bagi masyarakat yang menjadi target sasaran program berupa pemberian material bahan baku perbaikan rumah layak huni di tiga kelurahan yakni kelurahan Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya dan untuk lebih jelasnya dapat melihat daftar jumlah kepala keluarga yang menjadi target penerima bantuan RTLH pada Gambar 4. Program ini akan berlanjut dalam beberapa tahap untuk melihat perkembangan masyarakat yang telah diberi bantuan. Maka dari itu untuk melihat adanya pengaruh kemiskinan dengan indikator kesejahteraan yang dapat membuktikan keberhasilan atau ketepatan program tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan.
5
Jumlah Daftar Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Kota Depok Tahun 2009 Kelurahan Pondok Jaya
Kelurahan Leuwinanggung
Kelurahan Bedahan
90 25
20
Jumlah
Gambar 4. Jumlah Daftar Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Kota Depok Tahun 2009. Sumber: Bappeda Depok (2009) 1.2. Perumusan Masalah Merujuk pada latar belakang diatas, permasalahan kemiskinan pada masyarakat miskin kota Depok menarik untuk diteliti. Kota Depok sebagai kota satelit penyangga kota Jakarta seharusnya dapat mensejahterakan masyarakatnya dan menanggulangi kemiskinan. Namun masih banyak warga Depok yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga diperlukan penelitian tentang identifikasi kondisi dan karakteristik kemiskinan yang terjadi pada masyarakat serta untuk menganalisis faktor yang paling berpengaruh pada pengentasan kemiskinan kota Depok. Maka dengan demikian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah
kondisi
kemiskinan
di
tiga
kelurahan:
Bedahan,
Leuwinanggung dan Pondok Jaya di kota Depok? 2. Bagaimana karakteristik orang miskin di tiga kelurahan tersebut? 3. Faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan di tiga kelurahan tersebut? 1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini mempunyai tujuan untuk menjawab permasalahan pada perumusan masalah penelitian. Maka tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
6
1. Mengidentifikasi kondisi kemiskinan di tiga kelurahan: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya di kota Depok; 2. Menganalisis karakteristik orang miskin di tiga kelurahan tersebut; 3. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di tiga kelurahan tersebut; 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi berbagai pihak untuk menggalakkan program pengentasan kemiskinan. Maka kegunaan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah kota Depok, kegunaan penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kondisi kemiskinan di tiga kelurahan: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya; memberikan informasi tentang karakteristik masyarakat; memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di tiga kelurahan tersebut; dan yang terakhir memberikan masukan implikasi penelitian penanggulangan kemiskinan di tiga kelurahan tersebut. 2. Bagi para peneliti, kegunaan penelitian ini sebagai dasar yang berguna dan pedoman yang bermanfaat untuk penelitian yang terkait di masa yang akan datang. 3. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini berguna untuk menambah kekayaan ilmu penelitian di Indonesia. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kelurahan kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya dan berfokus pada kondisi kemiskinan dan faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
pengentasan
kemiskinan.
Selanjutnya akan dianalisis bagaimana kondisi dan seberapa besar pengaruh faktor-faktor berhubungan dengan pengentasan kemiskinan di tiga kelurahan kota Depok. Penelitian ini didasarkan pada database Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) kota Depok. Hal ini dikarenakan tiga kelurahan kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung, dan Pondok Jaya menjadi target sasaran program bantuan perbaikan rumah dari Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Distarkim) kota Depok.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Pengertian Kemiskinan Kemiskinan berasal dari kata ‘miskin’ yang berarti tidak berharta. Secara etimologis, kemiskinan berasal dari kata ”miskin” yang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik, mendefinisikan kemiskinan dari perspektif kebutuhan dasar. Kemiskinan sebagai ketidak-mampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (Nurhadi dalam Yusuf, 2008).
Kemiskinan merupakan sebuah
kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang disebut garis kemiskinan (povertyline) atau batas kemiskinan (povertytresshold). Dalam bukunya Bank Kaum Miskin, Yunus (2007: 274) menjelaskan bahwa kemiskinan tercipta karena masyarakat pada umumnya membangun kerangka teoritis berdasarkan asumsi-asumsi yang merendahkan kapasitas manusia, dengan merancang konsepkonsep yang terlampau sempit (seperti konsep bisnis, kelayakan kredit,
kewirausahaan,
lapangan
kerja)
atau
mengembangkan
lembaga-lembaga yang belum matang (seperti lembaga-lembaga keuangan yang tidak mengikutsertakan kaum miskin). Kemiskinan disebabkan oleh kegagalan pada tataran konseptual, dan bukan kurangnya kapabilitas di pihak rakyat. Masih menurut Yunus (2007), kemiskinan adalah ancaman bagi perdamaian, penyangkalan seluruh hak azazi manusia. Akibat kemiskinan adalah frustasi, permusuhan, dan kemarahan yang tidak bisa memupuk perdamaian dalam masyarakat manapun. Pengentasan kemiskinan dengan menyediakan peluang bagi rakyat untuk bisa hidup secara layak dapat membangun perdamaian yang stabil. Inti
8
pengentasan kemiskinan adalah dengan penciptaan kesempatan bagi sebagian besar masyarakat kaum miskin. Penyebab kemiskinan yang terbesar adalah adanya konsep kapitalisme. Kapitalisme berpusat pada pasar bebas dimana semakin bebas suatu pasar, maka semakin baik pula menuntaskan masalah apa, bagaimana, untuk siapa dan pencarian keuntungan oleh individu akan semakin mengoptimalkan hasil secara kolektif. Penguatan pasar penting, namun kemudian akan ada keterbatasn konseptual yang dikenakan pada para pelaku pasar. Ini karena adanya asumsi bahwa pengusaha adalah manusia satu dimensi yang misinya hanya satu, yakni memaksimalkan laba. Tafsiran ini akan mengisolir pengusaha tersebut dari ruang lingkup sosial, politik, agama, dan emosional di lingkungannya. Menurut Yunus (2007) ada sepuluh isu yang berkaitan dengan penyebab dan cara pengentasan kemiskinan yang telah dicapainya di negaranya di Bangladesh. Pertama, ilmu ekonomi yang sekarang dipelajari diseluruh dunia tidak bisa menjelaskan mengapa ada kesenjangan besar antara mahasiswa universitas dengan kemiskinan masyarakat sekitarnya. Maka perlu adanya observasi dan pergaulan dengan realitas masyarakat miskin secara langsung. Yunus (2007) menyebut pergulatan konsep pengentaasn kemiskinan ini dengan istilah “kewirausahaan sosial” (social entrepreneurship) yang berhasil membawa perubahan multidimensional pada kaum miskin. Kedua,adanya kepalsuan-kepalsuan dibalik institusi seperti pendidikan, pemerintah, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang selama ini ikut membiarkan kemiskinan makin tidak teratasi. Sistem dan tata letak institusi itu kian menjaga jarak dengan warga miskin yang sebenarnya. Maka munculah konsep pembelajaran langsung terhadap kaum miskin yang menjadikan seluruh civitas institusi sebagai “mahasiswa” dan warga miskin di sekitar sebagai “dosen”
9
yang secara langsung maupun tidak langsung memberitahukan penyebab kenapa mereka miskin dan bagaimana cara mengatasinya. Ketiga,
kepalsuan
kapitalisme
kian
mendiskriminasikan
masyarakat miskin. Sistem kapitalisme ikut berperan membiarkan kemiskinan semakin tidak teratasi dengan praktik perbankannya di seluruh dunia dari mulai bank lokal sampai bank-bank internasional yang
jelas-jelas mendiskriminasikan warga
miskin.
Apharteid
finansial merupakan suatu konsep yang menjelaskan praktik perbankan di seluruh dunia ini. Ini terlihat dari alur logika perbankan: (1) perbankan harus selalu untung untuk menjaga stabilitas kinerja dan memajukan perusahaan dari usaha mendapatkan selisih margin antar deposito dengan kredit tanpa membedakan apakah kredit diberikan kepada orang kaya atau orang miskin. (2) untuk mendapatkan margin yang besar dengan jangka waktu yang pendek dan sistem yang efisien dan tidak rumit maka perbankan akan memberikan kredit sebesarbesarnya kepada sedikit pihak dan dengan jangka waktu yang singkat yang hanya bisa dilakukan oleh orang kaya saja. (3) maka tidak rasional apabila perbankan memberikan kredit dalam jumlah sangat kecil kepada banyak orang dengan jangka waktu yang panjang dan birokrasi yang rumit per-orangnya. Kesimpulannya, dengan alasan rasional dan ekonomis inilah yang menyebabkan adanya konsep Apartheid financial pada perbankan di seluruh dunia. Keempat, adanya kepalsuan religius dan adat istiadat yang menyalah-artikan aturan agama yang sebenarnya menjadi aturan adat yang sangat dijunjung tinggi sejak lama padahal adat yang berasaskan agama sering salah tafsir dan justru menyesatkan masyarakat itu sendiri. Ini mengakibatkan mereka dibatasi dan dikekang agar tidak berusaha keluar dari kemiskinan mereka. Maka perubahan sosial ini memerlukan banyak pihak (multi-stakeholders) Kelima, kepalsuan humanisme yang mendiskriminasikan gender dalam mendapatkan akses modal dan usaha. Penelitian Yunus (2007) membuktikan bahwa peminjam kredit perempuan jauh lebih mampu
10
meningkatkan taraf hidup keluarganya dan lebih setia dalam penggunaan dana dan pengembalian yang tepat waktu. Keenam, metodologi pendekatan makro yang lebih dikenal dengan istilah “mata burung” hanya mampu melihat gambaran secara umum dan tidak rinci tentang kemiskinan dan pendekatan ini tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Sebaliknya, Yunus (2007) menggunakan konsep metodologi “mata-cacing” yang bisa langsung melihat jauh ke dalam tanah dan berdekatan langsung dengan akar permasalahan. Ketujuh, konsep pengentasan kemiskinan harus didefinisikan kembali. Konsep pemberian pelatihan sebagai instrumen yang oleh pemerintah harus ada dalam setiap program pembangunan dan diistilahkan dengan : capacity building adalah konsep yang menciptakan lapangan kerja bagi staf mereka sendiri (pekerja ekspatriat) dengan gaji yang demikian besarnya sehingga 75% dana pinjaman itu akan kembali ke negara asalnya. Kedelapan, kewirausahaan sosial mempunyai beberapa refleksi ontologik yang sederhana. Konsep ini bersifat hibrida yang sebagian mengacu pada kapitalisme, sebagian lagi mengacu pada kesosialan (sosialitas). Ada dua faktor yang mempengaruhi kegiatan ekonomi, yaitu faktor internal (kapital fisik, kapital manusia, dan kapital lainnya yang bersifat tangible) yang terukur dalam sistem produksi dan faktor eksternal
yang
sering
disebut
dengan
faktor
non-ekonomi.
Kewirausahaan sosial tidak sama dengan kombinasi antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi (internal dan eksternal) karena paradigma
utama
tetap
mengacu
pada
kapitalisme
untuk
meningkatkan keuntungan pribadi. Lalu konsep baru memunculkan kapital sosial yang bersifat intangible selain kapital manusia dan kapital fisik. Tetapi, kewirausahaan sosial tidaklah sama dengan kombinasi ketiga kapital tersebut karena kembali lagi kapitalisme menjadi asumsi bagi ketiga kapital itu. Kemudian Corporate Social Responsibility (CSR) tidaklah identik dengan kewirausahaan sosial
11
karena perusahaan raksasa tetaplah kapitalis dimana persentase yang kecil dari keuntungan kapitalis itu tidak lebih dari usaha menenangkan kelompok-kelompok yang protes dari masyarakat sekitar. Kesembilan, konsep “mata-cacing” bisa diterapkan di Indonesia jika terlebih dahulu mempelajari kebudayaan, struktur sosial, agama, dan birokrasi pemerintahnya. Kesepuluh, di Indonesia sudah ada penerapan dan implementasi dari konsep Yunus yaitu Credit Union (CU), perbedaannya
CU
menekankan pada pengumpulan dana dari orang miskin itu sendiri dan menjadi milik seluruh anggotanya. Selain itu pemerintah mulai mengadakan koperasi wanita di Indonesia. 2.1.2. Batas kemiskinan Ada banyak sumber yang mendefinisikan standar batasan kemiskinan
yang
berbeda-beda.
Pemerintah
melalui
Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappenas) menetapkan standar batas kemiskinan yaitu sebesar $ 1 per hari yang setara dengan 2.100 kalori atau sekitar Rp. 100.000 per kapita per bulan tahun 2003 yang dibulatkan untuk wilayah perkotaan dan pedesaan (Suharto, 2005). Di sisi lain, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan (poverty line) yaitu sebesar $ 2 per hari (World Bank, 2006). Sedangkan BPS menetapkan batasan rata-rata yang lebih moderat, yaitu sebesar $ 1,55 per hari (Syarifuddin, 2008). 2.1.3. Jenis Kemiskinan Tadjuddin (Nurhadi dalam Yusuf, 2008) membagi kemiskinan menjadi tiga jenis dengan variasi yang berbeda, yaitu: kemiskinan ekonomi, kemiskinan sosial, dan kemiskinan politik. Dari kedua pendapat ini, maka kemiskinan memiliki 3 aspek, yaitu: (1) ekonomis, (2) politik dan (3) sosial-psikologis. a.
Kemiskinan ekonomi
Kemiskinan ekonomi berarti kekurangan sumber daya yang tidak hanya finansial tapi juga semua jenis kekayaan untuk meningkatkan taraf hidup sekelompok orang. Pengukurannya dengan menetapkan
12
persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan “garis kemiskinan”. Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. b.
Kemiskinan politik
Kemiskinan politik berarti kekurangan akses kekuatan politik yang menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan resource terhadap kekuasaan (power). c.
Kemiskinan sosial-psikologis
Kemiskinan sosial-psikologis berarti kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung peningkatan produktivitas yang disebabkan oleh
faktor-faktor
penghambat
yang
menghalangi
seseorang memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan menurut Suharto (2005), dimensi kemiskinan masuk ke dalam salah satu dimensi pembangunan sosial yang dicetuskan pada deklarasi KTT 1995 di Kopenhagen, Denmark yang memuat kategori tipologi kemiskinan, di antaranya yaitu: 1.
Kemiskinan absolut Kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll yang diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau garis kemiskinan (poverty line) berupa indikator tunggal atau kombinasi seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, dan kebutuhan dasar.
2.
Kemiskinan relatif Kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat. Misalnya jika pendapatan seseorang di atas batas garis kemiskinan, maka belum tentu dikatakan ‘tidak
13
miskin’ jika belum dibandingkan dengan rata-rata pendapatan warga setempat. 3.
Kemiskinan kultural Kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap yang mencirikan kemiskinan kultural diantaranya adalah : sikap malas, enggan berprestasi, berorientasi masa lalu, dan tidak berjiwa enterpreneur.
4.
Kemiskinan struktural Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkausumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Misalnya adalah kebijakan monopoli dan oligopoli. Sekuat apapun usaha yang dikerahkan tidak bisa memutus rantai kemiskinan karena kesempatan untuk berkembang dan maju dikuasai sepenuhnya oleh kelompok tertentu yang berkuasa.
2.1.4. Penyebab Kemiskinan Berbagai ahli telah menjelaskan penyebab kemiskinan dan faktorfaktornya secara umum. Menurut World Bank (2006), penyebab kemiskinan adalah karena strategi pembangunan yang terlalu menitikberatkan dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang semakin mengakibatkan kesenjangan antara golongan miskin dan kaya semakin besar. Sedangkan menurut Andre Gunder Frank (Nurhadi dalam Yusuf, 2008), salah satu penyebab kemiskinan adalah sistem hubungan politik antar bangsa yang timpang karena adanya rasa ketergantungan antara ngara yang satu dengan negara yang lain. Kemudian Oscar Lewis (Nurhadi dalam Yusuf, 2008), menambahkan bahwa faktor penyebab kemiskinan adalah faktor kebudayaan yang dapat merubah tatanan sosial masyarakat itu sendiri sehingga tidak
14
bisa terintegrasi ke dalam masyaraka luas, bersikap apatis cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki etos kerja, tidak memiliki daya juang dan tidak berpikir jauh ke depan. Jazairy mengemukakan bahwa ada sepuluh faktor yang berpengaruh terhadap proses kemiskinan, yaitu : 1. Policy induced process, kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat miskin. 2. Dualism, adanya dua sistem ekonomi yang bertolak belakang antara tradisional dengan modern. Pasar tradisional kalah saing dengan supermarket, hypermarket, mall, dll. 3. Population growth, pertumbuhan populasi yang cepat yang jauh melebihi peningkatan produktivitas pangan. 4. Resources
management
and
the
environtment,
manajemen
sumberdaya dan lingkungan yang buruk juga akan mengakibatkan kemiskinan. 5. Natural cycles and process, siklus dan proses alamiah. Di pedesaan kekeringan atau banjir menjadi salah satu sebab timbulnya kelaparan dan kemiskinan pada penduduk. 6. The marginal of women, marginalisasi perempuan pada sector publik mengakibatkan kemiskinan, terutama kemiskinan kaum perempuan. 7. Culture and ethnic factor, adanya faktor kultural dan etnik yang tidak kondusif, misalnya perasaan nrimo, pasrah, atau alon-alon waton
kelakon,
terkadang
menimbulkan
halangan
upaya
pengentasan kemiskinan. 8. Exploitative intermediation, yaitu eksploitasi orang miskin oleh para pejabat untuk meraup simpati pada pemilu. Ini ditunjukkan dengan tidak adanya perantara antara orang miskin dengan pemerintah. 9. Internal political fragmentation and civil strife, yaitu kekacauan ekonomi dan politik akibat peperangan dan kerusuhan yang
15
mengakibatkan perekonomian tidak berjalan sehingga kemiskinan menyebar. 10. International process, adalah kemiskinan karena faktor pasar dan non pasar yang membuat golongan masyarakat miskin tidak bisa mengakses pasar internatsional karena ketergantungan pada negaranegara maju. (Nurhadi dalam Yusuf, 2008) 2.2. Pendekatan teori Alat Analisis 2.2.1. Metode Penentuan Ukuran Sampel Metode sampling adalah cara pengumpulan data yang hanya mengambil sebagian elemen populasi atau karakteristik yang ada dalam populasi dan kesimpulan yang diperoleh dapat digeneralisasi pada populasi. Metode sampling terbagi menjadi dua jenis, yaitu probability sampling dan non probability sampling (Hasan, 2003) Probability sampling adalah cara pengambilan sampel dengan semua objek atau elemen populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel, sedangkan non probability sampling terdiri dari sampling kouta, sampling pertimbangan, dan sampling seadanya. (Hasan, 2003). Terdapat beberapa cara untuk menentukan ukuran sampel. Pada metode Structural Equation Modeling (SEM) ukuran sampel minimum adalah sebanyak lima observasi untuk setiap estimated parameter dimana ukuran contoh yang sesuai adalah antara 100-200 responden (Ferdinand, 2002). 2.2.2. Structural Equation Modelling (SEM) : Definisi Model persamaan struktur (Structural Equation Modeling) adalah generasi kedua teknik analisis multivariate (Bagozzi dan Fornell dalam Ghozali 2005). Ini memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun nonrecursive untuk memperoleh gambaran keseluruhan model. SEM dapat menguji model struktural dan model measurement secara bersama-sama (Bollen dalam Ghazali, 2005) sehingga memungkinkan peneliti untuk menguji kesalahan pengukuran dan melakukan analisis faktor yang bersamaan dengan pengujian hipotesis.
16
2.2.3. Konsep dasar SEM Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial kadang berbedabeda pada setiap individu. Ini dikarenakan perbedaan personality (kepribadian) masing-masing individu. Jika ingin mencari hubungan antara kemampuan interaksi dengan personality maka keduanya akan menjadi dua construct yang harus diukur. Pengujian ada/tidaknya hubungan diperlukan data-data untuk melihatnya melalui satu atau beberapa indikator. Personality dan kemampuan berinteraksi tidak bisa diamati langsung tanpa adanya indikator, sehingga kedua variabel tersebut dinamakan variabel latent. Sedangkan indikator-indikator yang dapat diukur untuk mengukur kepribadian dikenal sebagai variabel manifest (variabel observed/indikator). Kepribadian merupakan determinan dari kemampuan berinteraksi (karena kepribadian yang menyenangkan akan akan mempengaruhi kemampuan berinteraksi seseorang); sehingga kepribadian adalah variabel independen dan kemampuan berinteraksi adalah variabel dependen. Jika suatu variabel tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya dalam model, maka dalam Structural Equation Modeling (SEM) disebut variabel eksogen, sedangkan variabel yang dipengaruhi dalam model disebut variabel endogen. Setiap variabel eksogen selalu variabel independen. Tidak ada variabel manifest yang mempunyai ukuran yang sempurna dari dua konstruk latent karena pasti terdapat kesalahan (measurement error) pada pengukuran item pertanyaan yang mungkin ditinggikan atau direndahkan oleh responden terhadap rating yang subyektif seperti pada skala likert 1-5 atau 1-7. Demikian juga dengan kemampuan berinteraksi tidak mungkin dipengaruhi oleh kepribadian saja sehingga error juga harus berpengaruh terhadap kemampuan berinteraksi.
17
Kepribadian
Variabel Latent
Variabel manifest (indikator)
Kemampuan berinteraksi
Rasa persahabatan Keramahan Diterima oleh Tingkat masyarakat
kebersamaan
Gambar 5. Aliran pengaruh variabel laten dengan indikator
Kepribadian
Variabel Latent
Kemampuan berinteraksi
Error
Variabel manifest (indikator)
Rasa persahabatan Keramahan Diterima oleh Tingkat masyarakat
Error
Error
Error
kebersamaan
Error
Gambar 6. Aliran pengaruh variabel laten dengan indikator dan error
δ1
X1 λ1
δ2
Y2
ε2
η
λ2
X2
ε1
λ1
γij ξ
Y1
λ2
ς
Gambar 7. Model Teoritis Diagram Lintas SEM Keterangan : η : Peubah dependen (laten tak bebas) ξ : Peubah independen (laten bebas) γ ij : Besar muatan faktor ξ dalam membentuk η j ς
: Tingkat kesalahan yang terjadi pada perhitungan peubah η
λ : Loading faktor (koefisien jalur)
18
2.2.4. Tahap-tahap dalam Structural Equation Modeling Tahapan SEM ada delapan langkah 1. Konseptualisasi model 2. Penyusunan diagram alur (path diagram) 3. Spesifikasi model 4. Identifikasi model 5. Estimasi parameter 6. Penilaian model fit 7. Modifkasi Model 8. Validasi silang model Gambar 8. Tahapan dalam SEM Tahap pertama adalah konseptualisasi model. Tahap ini berhubungan dengan pengembangan hipotesis dalam menghubungkan variabel laten dengan variabel laten lainnya dan juga dengan indikator-indikatornya. Tahap kedua adalah penyusunan diagram alur (path diagram construction) untuk memudahkan visualisasi hipotesis yang diajukan. Ini akan mengurangi tingkat kesalahan dalam pembangunan suatu model pada LISREL. Tahap ketiga adalah spesifikasi model menggambarkan sifat dan jumlah parameter yang diestimasi yang memiliki dua bahasa pemrograman LISREL yang menggunakan model matematis yang kompleks dan SIMPLIS yang menggunakan tulisan serta simbol matematika dasar seperti sama dengan (=) dan tanda panah (→). Tahap keempat adalah identifikasi model. Data yang diperoleh, diuji apakah cukup merepresentasikan estimasi parameter dalam model. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan data yang unik untuk seluruh parameter dari data yang diperoleh. Jika tidak didapat, maka harus dilakukan modifikasi model untuk dapat diidentifikasi sebelum melakukan estimasi parameter. Tahap kelima adalah estimasi parameter. Uji signifikansi dilakukan dengan menentukan apakah parameter yang dihasilkan dari
19
data matriks kovarians berdasarkan model yang sesuai, dengan kovarians matriks sesungguhnya yang dihasilkan program LISREL, secara signifikan berbeda dari nol. Tahap keenam adalah penilaian model fit. Suatu model dikatakan fit apabila kovarians matriks suatu model (model-based covariance matrix) adalah sama dengan kovarians matriks data (observed). Penilaian model dilakukan dengan berbagai indeks fit yang diperoleh dari LISREL (misal, RMSEA, GFI, CFI dan masih banyak lagi) Tahap ketujuh adalah modifikasi model. Model penelitian diuji untuk menentukan apakah modifikasi model diperlukan karena tidak fitnya hasil yang diperoleh pada tahap keenam. Tahap terakhir adalah validasi silang model, yaitu menguji fittidaknya model terhadap suatu data baru yang sangat penting apabila terdapat modifikasi yang substansial yang dilakukan terhadap model asli yang dilakukan pada langkah ketujuh. 2.2.5. CHI-SQUARE Nilai chi-square menunjukkan adanya penyimpangan antara sample covariance matrix dan model (fitted) covariance matrix. Namun hanya akan valid apabila asumsi normalitas data terpenuhi dan ukuran sampelnya besar. (Joreskog dan Sorbom, 1993; Joreskog dan Sorbom, 1996; Hair et al. 1998; Joreskog, 2002 dalam Ghazali, 2005). Chi-square ini merupakan ukuran mengenai buruknya fit suatu model. Nilai chi-square sebesar 0 menunjukkan bahwa model memiliki fit yang sempurna (perfect fit). Probabilitas chi-square diharapkan tidak signifikan yang menunjukkan bahwa data empiris sesuai dengan model. P adalah probabilitas untuk memperoleh penyimpangan (deviasi) besar sebagaimana ditunjukkan oleh chi-square sehingga nilai chi-square yang signifikan (kurang dari 0,05) menunjukkan bahwa data empiris yang diperoleh memiliki perbedaan dengan teori yang dibangun.
20
: data empiris identik dengan teori/model → hipotesis diterima apabila p≥0,05 : data empiris bebeda dengan teori/model → hipotesis diterima apabila p˂0,05 Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kita ingin menerima hipotesis null dimana nilai p yang diharapkan adalah lebih besar daripada 0,05. Prosedur untuk menilai model fit hanya dengan menggunakan probabilitas ini kurang dapat dibenarkan (Bentler dan Bonett dalam Ghazali, 2005), karena probabilitas dapat dijadikan tidak signifikan dengan menurunkan nilai chi-square-nya (Joreskog dalam Ghazali, 2005). Dengan demikian, diperlukan indikatorindikator lainnya untuk menghasilkan suatu justifikasi yang pasti mengenai model fit. LISREL dapat mengestimasi model (standar eror beserta nilai t dan beberapa kriteria goodness of fit) berdasarkan pada dua keadaan yang berbeda, yaitu dipenuhinya asumsi normalitas dan dilanggarnya asumsi normalitas. Agar LISREL mengestimasi model pada suatu data yang tidak normal, maka perlu ada data matriks tambahan yaitu asymptotic covariance matrix. 2.2.6. GOODNESS OF FIT INDEX Goodness of Fit Index (GFI) merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam menghasilkan observed matriks kovarians. Nilainya harus berkisar antara 0 dan 1. GFI tidak mungkin memiliki nilai negatif karena model tersebut pastilah model yang terburuk dari seluruh model yang ada (Joreskog dan Sorbom dalam Ghazali, 2005). Nilai GFI yang lebih besar daripada 0,9 menunjukkan fit suatu model yang baik (Diamantopaulus dan Siguaw dalam Ghazali 2005). 2.2.7. ROOT MEAN SQUARE ERROR OF APPROXIMATION (RMSEA) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) merupakan indikator model fit yang paling informatif karena mengukur penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya (Browne dan Cudeck dalam Ghazali, 2005).
21
Nilai RMSEA yang kurang dari 5 mengindikasikan adanya model fit, jika berkisar0,08 berarti memiliki kesalahan yang reasonable (beralasan) (Bryne dalam Ghazali, 2005), namun menurut MacCallum et al. dalam Ghazali (2005) menyatakan bahwa RMSEA yang berkisar antara 0,08 sampai dengan 0,1 memiliki fit yang cukup, sedangkan RMSEA yang lebih besar daripada 0,1 mengindikasikan model fit yang sangat jelek. Interval keyakinan (confidence interval for RMSEA) yang kecil dibawah 0,05, berati RMSEA memiliki ketetapan yang baik. Demikian juga dengan nilai probabilitas uji kedekatan terhadap model fit yang tidak signifikan jauh di atas 0,5 mengindikasikan model adalah fit secara keseluruhan. 2.3. Penelitian Terdahulu Hudaya (2009) juga meneliti tentang kemiskinan di Indonesia. Dalam penelitiannya Hudaya mendeskripsikan keadaan kemiskinan di Indonesia, dan menganalisis faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Hudaya menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh dari persentase dan jumlah penduduk miskin menurut propinsi, angka melek huruf, dan tingkat pengangguran yang didapat dari sumber data BPS, Publikasi umum, serta internet. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan analisis panel data. Hudaya menemukan bahwa jumlah penduduk miskin terbesar pada tahun 2006 terdapat di provinsi Jawa Timur dengan jumlah 7,6 juta jiwa. Hampir semua provinsi di Indonesia mengalami peningkatan persentase
penduduk
miskin
terhadap
penduduk
totalnya.
Hudaya
menemukan fakta yang menarik, daerah yang memiliki tingkat PDRB perkapita yang tinggi, Papua, ternyata penerimaan pendapatan provinsi Papua tidak cukup banyak digunakan untuk program pengentasan kemiskinan. Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan terbesar terjadi di Papua dan cenderung hampir semua provinsi mengalami peningkatan indeks kedalaman dan keparahan. Hasil estimasi model tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka, variabel pendapat perkapita, variabel angka melek huruf berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan.
22
Studi Bank Indonesia (2007) secara empiris membuktikan bahwa kebijakan moneter berhati-hati merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada golongan miskin (pro poor). Ditemukan hubungan negatif yang signifikan antara tingkat kemiskinan dengan inflasi rata-rata dan instabilitas ekonomi makro. Hal ini konsisten dengan pemahaman bahwa dalam jangka panjang pengendalian inflasi dan variabilitas output melalui kebijakan moneter yang berhati-hati akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi mereka yang berada di bagian bawah distribusi pendapatan. Yunus
(2007)
meneliti
kemiskinan
di
Bangladesh.
Yunus
mengungkapkan banyak faktor yang menyebabkan individu menjadi miskin. Faktor internal yaitu keinginan penduduk untuk bermigrasi ke kota tanpa bekal yang matang; masalah ketidak-percayaan antar petani, janda yang ditinggal
mati-cerai-pergi
membangun
usaha.
oleh
Sedangkan
suaminya, faktor
kurangnya
eksternal
modal
dipengaruhi
untuk oleh
permasalahan pertanian seperti korupsi, perselisihan, minimnya ilmu pertanian yang mengakibatkan hasil panen jauh lebih rendah dari yang diharapkan sehingga harganya melambung; kegagalan padat modal dari kebijakan pemerintah; sedikitnya lapangan pekerjaan; rentenir yang menerapkan bunga 10% perbulan bahkan bisa mencapai 10% perminggu dan paikar atau perantara penjual anyaman bambu yang mewajibkan pemberian keuntungan perorang hanya $ 2 sen. Yunus juga menemukan bahwa kebijakan pemerintah
yang
terkait
dengan
pengentasan kemiskinan
seharusnya tidak disatukan antara kaum yang relatif tidak miskin dengan kaum yang miskin karena kaum yang relatif tidak miskin akan mengusir kaum yang miskin. Begitupun seterusnya, kaum yang miskin akan mengusir kaum yang lebih miskin lagi. Dalam banyak kasus, kaum yang relatif tidak miskin malah menikmati manfaat seluruh kegiatan yang dikerjakan atas nama kaum miskin. Kemudian Yunus menganjurkan agar dilakukan langkahlangkah proteksi yang dilembagakan secara tepat saat program dimulai. Selanjutnya Yunus menyimpulkan bahwa penduduk miskin Bangladesh perlu diberi kredit mikro (dengan jumlah pinjaman sangat kecil sebesar $ 0,67 perorang dengan jangka waktu pengembalian cicilan perminggu tanpa
23
bunga). Tahun 1976 Yunus meminjam uang di Bank untuk dipinjamkan lagi kepada orang-orang miskin karena Bank tidak bisa melayani deposan yang buta huruf dan tidak mempunyai agunan. Tahun 1983 Yunus mendirikan sebuah Bank yang melayani kaum miskin di desa-desa terpencil Bangladesh yang buta huruf, tidak memiliki agunan, dan meminjam dengan pinjaman yang sangat kecil (sebesar 856 Taka atau setara dengan $ 27 untuk 42 deposan pertama). Pada tahun 1984 bank tersebut kemudian mendapat legalisasi dari pemerintah Bangladesh dan dinamakan Grameen Bank. Kini lebih dari 250 lembaga di 100 negara menjalakan program kredit mikro yang didasarkan pada metode Grameen. Pada tahun 2006, bersama Grameen Bank, Yunus dianugrahi Nobel Perdamaian.
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Kemiskinan mempunyai indikator dan faktor penyebab. Mereka adalah sebagian warga miskin kota Depok. Pemerintah Depok menggolongkan mereka ke dalam kelompok warga miskin dengan 10 indikator dari 14 indikator yang ditetapkan WHO. Indikatornya diantaranya yaitu: luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan, bahan bakar untuk masak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu, hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun, hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/poliklinik, sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha. buruh tani, nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) per bulan, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga:tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD dan yang terakhir tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,(lima ratus ribu rupiah), seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Di dalam penelitian ini, indikator yang diuji untuk melihat adanya hubungan dengan kemiskinan itu sendiri pada warga kelurahan Bedahan, Leuwinanngung dan Pondok Jaya kota Depok ada enam indikator, yaitu kepemilikan aset ekonomi, pendidikan, pendapatan, konsumsi pakaian, konsumsi makanan, dan kemampuan membayar biaya pengobatan. Maka dari itu, penelitian ini meneliti hubungan
25
antara penyebab kemiskinan, dengan kemiskinan itu sendiri dan dengan indikator-indikatornya. Sedangkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor penyebab kemiskinan yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengentasan kemiskinan. Faktor-faktor tersebut adalah relasi, jumlah anggota yang ditanggung, semangat berkelompok, tingkat pengeluaran, faktor pekerjaan, faktor akses usaha, faktor karakter, faktor keterampilan, faktor pendampingan dan kebijakan pemerintah. Relasi yang banyak dengan tingkat keeratan hubungan dan kualitas kemampuan relasi yang baik dan semangat berkelompok yang tinggi, dapat membantu seseorang untuk keluar dari permasalahan kemiskinan. Banyaknya jumlah anggota keluarga yang ditanggung juga dapat memperparah kondisi kemiskinan seseorang di mana pengeluaran juga dapat membengkak. Pekerjaan dan kemudahan akses mendapatkan modal atau fasilitas pendampingan dari pemerintah untuk membangun usaha mandiri sangat membantu seseorang meningkatkan kesejahteraannya untuk keluar dari himpitan permasalahan ekonomi. Demikian juga dengan karakter pribadi dan keterampilan individu masingmasing turut mempengaruhi seseorang dalam berusaha meningkatkan dan memperbaiki taraf hidupnya. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Semua faktor tersebut akan dilihat hubungannya dengan pengentasan kemiskinan sehingga dapat
menggambarkan
dampak
perubahan
terbesar
pada
indikator
kemiskinan. Setelah pengumpulan data dari responden selesai, data dianalisis dengan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil yang didapatkan dapat menjelaskan hubungan atau relasi antara variabel laten penyebab kemiskinan dengan variabel laten kemiskinan itu sendiri dan indikatornya seperti yang telah diharapkan. Model yang dihasilkan juga menjelaskan penilaian terhadap model adalah fit. LISREL memiliki berbagai alat uji indeks fit, diantaranya RMSEA, RMR, GFI, TLI, NFI dan masih banyak lagi. Namun, sebagian alat uji tersebut digunakan untuk melihat kecocokan model (Godness of Fit) dengan menggunakan chi-square, p-value, dan Root Mean Squaree Error of
26
Approximation (RMSEA). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah. Tabel 1. Index Fit Index Fit
Definisi/Tujuan
Cut-off value
Chi-Square
Menunjukkan
Nilai kecil (0=perfect fit)
penyimpangan dan ukuran buruknya fit model P-value
Probabilitas untuk
p≥0,05
memperoleh deviasi besar sebagaimana nilai chisquare Goodness of Fit Index
Ukuran ketepatan model
(GFI)
dalam menghasilkan
≥0,9
observed matriks kovarians Adjusted Goodness of Fit
Sama seperti GFI tetapi
Index (AGFI)
menyesuaikan pengaruh
≥0,9
degrees of freedom pada suatu model Parsimony Goodness of
Sama seperti GFI dan AGFI
Fit Index (PGFI)
namun telah menyesuaikan
≥0,6
dengan kompleksitas model Root Mean Square Error
Mengukur penyimpangan
of Approximation
nilai parameter pada suatu
(RMSEA)
model dengan matriks kovarians
≤0,1
27
Lanjutan Tabel 1. Index Fit
Definisi/Tujuan
Cut-off value
Expected Cross
Menilai kecenderungan
ECVI Model<ECVI
Validation Index (ECVI)
model pada sampel tunggal
Saturated Model dan
dapat divalidasi silang pada
Independence Model
ukuran sampel dan populasi yang sama Akaike’s Informasin
Menilai mengenai masalah
AIC Model
Criterion (AIC) dan
parsimony dalam penilaian
Saturated Model dan
CAIC
model fit
Independence Model
Normed Fit Index (NFI)
Salah satu alternatif
≥0,9
penentuan model fit Comparative Fit Index
Sama seperti NFI namun
(CFI)
memiliki tendensi untuk
≥0,9
merendahkan fit pada sampel yang kecil Non-Normed Fit Index
Mengatasi permasalahan
(NNFI)
akibat kompleksitas model
Incremental Fit Index
Mengatasi masalah
(IFI)
parsimony dan ukuran
≥0,9
≥0,9
sampel Relative Fit Index (RFI)
Mengukur fit di mana
Mendekati nilai 1
nilainya adalah 0-1 χ2/df
Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom
2≤ χ2/df≤5
28
Lanjutan Tabel 1. Index Fit
Definisi/Tujuan
Cut-off value
Non-Centrality Parameter
Mengukur tingkat
NCP Model
(NCP)
penyimpangan antara
Model dan Independence
sampel kovarians matrix
Model
dan fitted covarians matriks
Hasil perhitungan dari masing-masing kriteria tersebut dapat digunakan untuk melihat apakah model yang digunakan memiliki tingkat kecocokan yang baik dimana masing-masing kriteria memiliki nilai standar. Setelah dilakukan pengujian terhadap kesesuaian model maka kemudian menguji hubungan antar variabel laten dan antara variabel laten dengan indikatornya. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 9. Visi dan Misi Daerah
Pembangunan Daerah
Existing Condition (Dampak Pembangunan)
Indikator Standar Kesejahteraan
Analisis Kesenjangan
Analisis Penyebab Kemiskinan SEM
Faktor Kritis (Dominan + Kearifan Lokal)
Gambar 9. Kerangka pemikiran penelitian Pada tahap analisis deskriptif keragaan kesenjangan ini data primer diperoleh melalui survey dan brainstorming (focus discussion group)
29
sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang berkaitan dengan kondisi kesenjangan yang masih menyisakan masalah kemiskinan dan rumah kumuh terutama pada mayarakat yang bergerak di bidang UKM sektor informal dan pertanian (petani, pedagang, pengolah). Kemudian pada tahap penetapan indikator kesejahteraan dilakukan kajian teoritis dengan menggali unsur-unsur penting penentu keberhasilan untuk mayarakat bawah untuk menetapkan indikator kesejahteaan yang diinginkan dan tepat. Kajian dilakukan dengan menggali unsur-unsur penting penentu keberhasilan suatu pembangunan untuk masyarakat bawah. Pada tahap identifikasi permasalahan dan penentuan faktor kritis kemiskinan dilakukan keragaan mengenai kesenjangan akibat dampak pembangunan dengan menganalisis data yang diperoleh (exsisting condition) untuk kemudian dibandingkan dengan indikator kesejahteraan yang telah ditetapkan. Dari hasil analisis kesenjangan ini akan diperoleh faktor-faktor kritis yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Dalam penelitian ini disusun hipotesis yang akan diuji. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: H 1 : Relasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan H 2 : Jumlah anggota keluarga yang ditanggung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 3 : Semangat berkelompok berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 4 : Tingkat pengeluaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 5 : Faktor pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 6 : Faktor akses usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 7 : Faktor karakter berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 8 : Faktor keterampilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
30
pengentasan kemiskinan. H 9 : Faktor pendampingan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. H 10: Kebijakan pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Hipotesis yang diuji adalah : H 0 : ∑ = ∑ (Ө)
H 1 : ∑ ≠ ∑ (Ө)
Dimana ∑ adalah matriks input, sedangkan ∑ (Ө) adalah matriks hasil dugaan. Hipotesis H 0 menyatakan bahwa matriks dugaan dari model SEM mampu merepresentasikan data dengan baik, sedangkan hipotesis H 1 sebaliknya. 3.2. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kelurahan: Bedahan, Leuwinanggung, dan Pondok Jaya kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan tiga kelurahan yang dipilih dikarenakan sebagai target pengentasan kemiskinan. Identifikasi faktor-faktor yang dominan menyebabkan kemiskinan adalah sulitnya akses usaha, lemahnya modal usaha, kurangnya keterampilan, kurangya pendampingan, terbatasnya peluang kerja, tingkat pengeluaran yang besar dan kebijakan pemerintah (Munandar et al. 2009). Penelitian ini dilakukan selama bulan Oktober-Nopember 2009. 3.3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden yang berdomisili di kelurahan Bedahan, Leuwinanggung, dan Pondok Jaya. Data sekunder diperoleh dari hasil laporan kemiskinan kota Depok, laporan kemiskinan dari penelitian studi kasus penanggulangan kemiskinan studi pola kemitraan untuk masyarakat miskin kota, hasil penelitian sebelumnya, dan literatur-literatur terkait dengan judul dan tema penelitian yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel dan internet.
31
3.4. Metode Pengambilan Sampel Sampel yang digunakan ditentukan berdasarkan metode yang digunakan dalam pengolahan data yakni metode Structural Equation Modeling (SEM). Sampel yang digunakan minimum yaitu 160 responden. Ini dikarenakan estimated parameter berjumlah 32. Dalam metode Structural Equation Modeling (SEM) besarnya jumlah sampel minimum adalah sebanyak lima observasi untuk setiap estimated parameter dimana ukuran contoh yang sesuai adalah antara 100 sampai 200 responden (Ferdinand 2002). Maka dari itu, jumlah responden yang dijadikan sampel berjumlah 180 responden. Pemilihan contoh pada penelitian ini adalah dengan pengambilan contoh nonprobabilitas. Teknik penarikan contoh nonprobabilitas yang digunakan adalah jugdement sampling. Responden yang dipilih digolongkan berdasarkan dua cluster. Yaitu cluster tidak miskin dan cluster tidak miskin. Cluster miskin yaitu responden masyarakat miskin yang mempunyai rumah dengan ciri-ciri luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang dan atau jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
dan
atau
jenis
dinding
tempat
tinggal
terbuat
dari
bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester dan atau tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain dan atau sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik dan atau
sumber
air
minum
berasal
dari
sumur/mata
air
tidak
terlindungi/sungai/air hujan dan atau bahan bakar untuk masak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Sedangkan cluster tidak miskin yaitu selain dari pada ciri-ciri tersebut. Penentuan responden yang mengisi kuesioner adalah kepala keluarga. 3.5. Metode Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung, wawancara, kuesioner, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan kepada kepala rumah tangga di masing-masing kelurahan lokasi studi dengan penggolongan berbagai cluster yang sudah ditetapkan. Pengamatan langsung dilakukan
dengan
melihat
keadaan
rumah
responden
untuk
menggolongkannya ke dalam cluster. Kuesioner diberikan kepada responden
32
yang telah memenuhi kriteria masing-masing cluster beserta jumlahnya yang sudah ditetapkan. 3.6. Metode Pengolahan Data Alat bantu software yang digunakan untuk mengolah data yang sudah dikumpulkan yaitu dengan menggunakan software microsoft Office Excel 2003, SPSS 13.00, dan LISREL 8.30. Microsoft Office Excel digunakan untuk memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner, dan membuat tabulasi silang. Data yang digunakan adalah data kualitatif dengan skala pengukuran non metric yang berskala ukur ordinal dengan penggunaan skala likert. Dalam skala ordinal objek yang diukur dapat digolongkan ke dalam kelompok tertentu dimana angka dan hurufnya mempunyai tingkatan sehingga kelompok yang terbentuk dapat dibuat suatu urutan peringkat yang menyatakan hubungan lebih dari atau kurang dari menurut aturan tertentu. Sedangkan menurut Umar (2003), skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian sosial. Cara penilaian terhadap hasil jawaban kuesioner dengan skala likert dilakukan dengan rumus :
X =
∑ (skor × f ) ......................................................(1) n
Kemudian setelah didapat rataan skor setelah memperoleh rataan skor dari masing-masing pernyataan, kemudian dihitung skor rataan akhir untuk melihat kondisi kemiskinan di lokasi studi dengan rumus :
X
Tot
=
∑X
∑ pernyataan
.............................................(2)
Keterangan :
X
= Skor rataan pernyataan
f
= Frekuensi yang memilih pernyataan tersebut
n
= Jumlah responden yang memilih pernyataan tersebut
X
Tot
Skor
= Skor rataan akhir = 1 : Sangat Miskin
4 : Kurang Miskin
33
2 : Miskin
5 : Tidak Miskin
3 : Cukup Miskin
6 : Sangat Tidak Miskin
Tahap berikutnya nilai skor rataan akhir yang diperoleh akan dibandingkan dengan kriteria yang akan menentukan tingkat kondisi kemiskinan. Kriteria yang digunakan adalah dengan rentang skala (RS) dengan menggunakan rumus : RS =
(m − n ) ................................................................................... (3) b
Keterangan : m = Skor tertinggi yang digunakan n = Skor terendah yang digunakan b = Jumlah kelas Kriteria yang diperoleh untuk mengukur tingkat kondisi kemiskinan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Skor Akhir No
Skor Rataan
Keterangan
1
1,00-1,833
Sangat Miskin
2
1,834-2,666
Miskin
3
2,667-3,499
Cukup Miskin
4
3,500-4,333
Kurang Miskin
5
4,334-5,166
Tidak Miskin
6
5,167-6,000
Sangat Tidak Miskin
Metode yang digunakan untuk menganalisis apa saja faktor yang dapat mempengaruhi pengentasan kemiskinan di tiga kelurahan kota Depok adalah dengan menggunakan SEM. Karakteristik yang ingin dilihat hubungannya terhadap kemiskinan adalah usia, pendapatan, pekerjaan dan tingkat pendidikan dan wilayah. Analisis tabulasi silang ini dilakukan dengan menggunakan bantuan Microsoft Excell 2007 for Windows. Software Lisrel 8.30 digunakan untuk menganalisis pengaruh faktorfaktor terhadap pengentasan kemiskinan dengan metode Structural Equation Modeling (SEM). Metode Structural Equation Modeling (SEM) digunakan karena pada penelitian ini menganalisis variabel laten dimana variebel ini
34
merupakan jenis variabel yang tidak dapat diamati secara empiris, seperti relasi (teman kerja, sahabat), jumlah anggota keluarga yang ditanggung, semangat berkelompok, tingkat pengeluaran, faktor pekerjaan, faktor akses usaha, faktor karakter, faktor keterampilan, faktor pendampingan dan kebijakan pemerintah. Metode SEM menggunakan dua jenis variabel yaitu variabel endogen dan variabel eksogen dengan menggunakan bantuan komputer dengan program LISREL 8.30. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Variabel laten eksogen adalah faktor yang mempengaruhi kemiskinan (ξ) yang terdiri dari : a. Relasi (Teman kerja, Sahabat) (ξ1), dengan indikatornya: X 1 = Jumlah relasi (teman/sahabat) yang sudah dipunyai untuk membangun usaha b. Jumlah anggota keluarga yang ditanggung (ξ 2 ), dengan indikator : X 2 = Jumlah keluarga inti yang ditanggung c. Semangat berkelompok (ξ 3 ), dengan indikatornya terdiri dari : X 3 = Tingkat pemilihan pembangunan usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri d. Tingkat pengeluaran (ξ 4 ), dengan indikatornya terdiri dari : X 4 = Pengeluaran rutin perbulan e. Faktor Pekerjaan (ξ 5 ), dengan indikatornya terdiri dari : X 5 = Tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga f. Faktor Akses Usaha (ξ 6 ), dengan indikatornya: X 6 = Tingkat kemudahan mendapatkan modal g. Faktor Karakter (ξ 7 ), dengan indikatornya: X 7 = Ketepatan waktu pengembalian uang pinjaman h. Faktor Keterampilan (ξ 8 ), dengan indikatornya: X 8 = Tingkat kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru i.
Faktor Pendampingan (ξ 9 ), dengan indikatornya: X 9 = Tingkat kemauan untuk didampingi dan diarahkan dalam
35
membangun usaha j.
Kebijakan Pemerintah (ξ 10 ), dengan indikatornya: X 10 = Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran X 11 = Banyaknya program-program pemerintah di bidang kesehatan X 12 = Bisa dinikmatinya program-program pemerintah di bidang usaha oleh semua masyarakat X 13 = Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang & papan tersebut relatif mudah dan cepat
Pengukuran variabel yang mempengaruhi pengentasan kemiskinan menggunakan tiga belas pertanyaan yang terbagi menjadi sepuluh kelompok yaitu relasi (teman kerja, sahabat) (X 1 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, jumlah anggota keluarga yang ditanggung (X 2 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, semangat berkelompok (X 3 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, tingkat pengeluaran (X 4 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, faktor pekerjaan (X 5 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, faktor akses usaha (X 6 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, faktor karakter (X 7 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, faktor keterampilan (X 8 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, faktor pendampingan (X 9 ) dengan indikator sebanyak satu pertanyaan, kebijakan pemerintah (X 10 ) dengan indikator sebanyak empat pertanyaan. Setiap pertanyaan akan diukur dengan menggunakan skala likert dengan kategori sebagai berikut : Pilihan (a)
Skor 6
Pilihan (b)
Skor 5
Pilihan (c)
Skor 4
Pilihan (d)
Skor 3
Pilihan (e)
Skor 2
Pilihan (f)
Skor 1
Skor yang diperoleh dari seluruh pernyataan akan menjadi input bagi perhitungan
metode
Structural
menggunakan program Lisrel 8.30.
Equation
Modeling
(SEM)
dengan
36
2. Variabel laten endogen adalah Pengentasan Kemiskinan (η) dengan indikator yang terdiri dari : Y 1 = Kepemilikan aset ekonomi Y 2 = Pendidikan Y 3 = Pendapatan Y 4 = Konsumsi pakaian Y 5 = Konsumsi Makan Y 6 = Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/Poliklinik Pengukuran variabel Pengentasan Kemiskinan terdiri dari enam indikator pernyataan yang diukur dengan skala likert dengan menggunakan kategori skor yang sama dengan yang digunakan pada pengukuran variabel faktor yang mempengaruhi pengentasan kemiskinan. Skor yang diperoleh dari keenam indikator pernyataan mengenai variabe pengentasan kemiskinan tersebut akan menjadi input bagi perhitungan metode Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan bantuan program Lisrel 8.30.
IV.
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
4.1. Gambaran Kemiskinan di Indonesia Masalah kemiskinan di Indonesia masih belum terpecahkan. Statistik kemiskinan di Indonesia cenderung memperlihatkan kenaikan di setiap periode. Walaupun turun pada tahun 2007, banyak pihak memperkirakan kemiskinan akan meningkat kembali.
Tingginya angka kemiskinan
mendorong permasalahan-permasalahan sosial lain, seperti: kian sulitnya masyarakat memperoleh pekerjaan yang layak, rendahnya tingkat pendidikan yang dapat diraih, meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya konflikkonflik sosial antar masyarakat, dan makin rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Indeks pembangunan manusia atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI) Indonesia masih rendah. Berdasarkan Human Development Report 2008 yang menggunakan data tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 109 dari 179 negara dengan angka Human Development Index (HDI) sebesar 0,726. Angka indeks ini merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 70,1 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 91 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 68,2 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.455. Peringkat HDI ini tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya dimana Indonesia menempati peringkat ke-108 dari 177 negara (UNDP, 2008). Hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah. Produktivitas Indonesia merosot dari peringkat ke-47 pada tahun 2002 ke peringkat 57 tahun 2003, dan turun lagi menjadi peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 (World Competitiveness Year Book, 2007) Pemerintah telah berupaya menaggulangi kemiskinan dengan berbagai program. Di antaranya yaitu: IDT (Inpres Daerah Tertinggal) yang dikelola secara resmi oleh pemerintah, maupun program yang berbasis pemberdayaan
38
masyarakat seperti PPK, P2MD, P2DTK, (SPADA), P2KP, P2D, KPEL, CERD, IGDR, PEMP, dan WSSLIC. Di samping itu, ada juga yang dikelola oleh pemerintah daerah seperti misalnya PPMK, GERDU-TASKIN, dan sebagainya. Ada pula yang dikelola bekerjasama dengan badan-badan Internasional, seperti CARE Internasional, PLAN Internasional, World Vision Internasional, FAO, JICA dan lain-lain. 4.2. Sejarah Umum Kota Depok Seperti apa yang dikutip pada di dalam situs http://www.depok.go.id , pada awalnya depok merupakan sebuah kecamatan wilayah Parung di kabupaten Bogor. Kemudian pembangunan meningkat pesat seperti misalnya pembangunan perumahan oleh perum Perumnas pada tahun 1976 dan diikuti pembangunan kampus Universitas Indonesia (UI). Dengan demikian, perdagangan barang dan jasa semakin meningkat pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1981, yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 diresmikan oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) pemerintah membangun Kota Administrasi Depok yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa. Kota Administrasi Depok berkembang pesat di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan selama kurun waktu 17 tahun. Terutama di bidang pemerintahan di mana semua desa berganti menjadi kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23 (dua puluh tiga) Kelurahan. Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Kota Administratif Depok diangkat menjadi Kotamadya dengan harapan pelayanan menjadi maksimum. Di sisi lain Pemerintah Kabupaten Bogor bersama – sama Pemerintah Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tesebut, dan mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Undang – undang No. 15 tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan Pelantikan Pejabat
39
Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok yang dipercayakan kepada Drs. H. Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok. Kemudian tanggal 27 April dijadikan sebagai hari jadi Kota Depok. 4.3. Visi dan Misi Kota Depok Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk lima tahun ke depan, yaitu: ”Menuju Kota Depok yang melayani dan mensejahterakan”. (dikutip dari situs http://www.depok.go.id) Visi Walikota yang tertuang dalam RPJMD Kota Depok lima tahun ke depan, terkandung pengertian yaitu Melayani berarti meningkatkan kualitas pelayanan aparatur dan penyediaan sarana dan prasarana bagi warga Depok dengan meningkatkan kemampuan lembaga dan aparatur pemerintahan dalam memberikan dan menyediakan barang-barang publik dengan cara-cara yang paling efisien dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut serta dalam pembangunan daerah. Mensejahterakan berarti meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan potensi ekonomi yang dapat memberikan lapangan pekerjaan dan kehidupan bagi masyarakat banyak dan juga keuangan daerah. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok 2006-2011, mencerminkan bahwa titik berat pembangunan lima tahun ke depan Kota Depok adalah penataan pemerintahan yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan penyediaan barang-barang publik dan juga penyediaan sarana prasarana ekonomi untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat, sebagai landasan untuk tahapan pembangunan RPJMD berikutnya. Untuk mewujudkan Visi RPJMD Kota Depok lima tahun ke depan, maka telah dirumuskan Misi RPJMD tahun 2006-2011 yaitu: a. Mewujudkan pelayanan yang ramah, cepat dan transparan. b. Membangun dan mengelola sarana dan prasarana infrastruktur yang cukup, baik dan merata. c. Mengembangkan perekonomian masyarakat, dunia usaha dan keuangan daerah.
40
d. Meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat berlandaskan nilai-nilai agama. 4.4. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Depok Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 tahun 2008 yang terangkum dalam bagan yang bersumber dari situs http://www.depok.go.id struktur organisasi pemerintahan kota Depok terlampir pada lampiran 2. Pada sumber yang sama, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 tahun 2008 telah dibentuk struktur organisasi kota Depok yang terdiri dari: a) Sekretariat Daerah : Perangkat daerah yang terdiri dari asisten tata praja; asisten ekonomi, pembangunan dan sosial; dan asisten administrasi. Sekda membawahi bidang organisasi dan tata laksana yang mengurusi bagian kelembagaan, ketatalaksanaan, analisa formasi jabatan, pemerintahan umum, pertanahan, kerja sama dan otonomi daerah, dokumentasi dan informasi hukum, perundang-undangan, advokasi hukum, humas, protokol dan analisa kebijakan publik. Juga membawahi bidang ekonomi, pembangunan dan sosial yang kesemuanya mengurusi bagian koperasi dan UMKM, Perindustrian, Perdagangan dan Investasi, Bina Pengadaan Barang dan Jasa, Agama dan Kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Dan membawahi asisten administrasi yang mengurusi bidang Perlengkapan, Penatausahaan, Diklat dan Pengembangan Karir dan Pembukuan, Evaluasi dan Pelaporan. b) Sekretariat DPRD membawahi bagian umum, keuangan dan persidangan yang
mengurusi:
Perundang-undangan;
Persidangan
dan
Risalah;
Anggaran dan pembukuan; Tata Usaha dan Rumah Tangga; dan Humas dan Protokol. c) Satuan Polisi Pamong Praja membawahi bidang penegakan peraturan, penyidikan, pengkajian, Pembinaan dan Pengembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Polisi Pamong Praja, Pengamanan dan Pengawalan, Pengendalian dan Operasi. d) Perangkat dinas kota depok seperti terpapar pada gambar, meliputi lima belas bidang yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian dan pertanian, dan lingkungan.
41
e) Lembaga teknis daerah kota Depok terdiri dari delapan bagian yaitu: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Inspektorat Daerah, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB), Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan KetahananPangan (PMKP), Kantor Arsip dan Perpustakaan, Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat, dan Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C. f) Lembaga lain yaitu Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, dan Sekretariat Badan Narkotika Kota. g) Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2007 telah dibentuk 11 Kecamatan dan 63 Kelurahan terdiri dari: a.
Kecamatan Beji meliputi wilayah kerja 6 kelurahan.
b.
Kecamatan Pancoran Mas meliputi wilayah kerja 6 kelurahan.
c.
Kecamatan Cipayung meliputi wilayah kerja 5 kelurahan.
d.
Kecamatan Sukmajaya meliputi wilayah kerja 6 kelurahan.
e.
Kecamatan Cilodong meliputi wilayah kerja 5 kelurahan.
f.
Kecamatan Limo meliputi wilayah kerja 4 kelurahan.
g.
Kecamatan Cinere meliputi wilayah kerja 4 kelurahan.
h.
Kecamatan Cimanggis meliputi wilayah kerja 6 kelurahan.
i.
Kecamatan Tapos meliputi wilayah kerja 7 kelurahan.
j.
Kecamatan Sawangan meliputi wilayah kerja 7 kelurahan.
k.
Kecamatan Bojongsari meliputi wilayah kerja 7 kelurahan.
Garis merah tebal putus-putus mengartikan garis koordinasi, sedangkan garis kuning tipis mengartikan garis wewenang komando. Dalam pelaksanaan tugasnya, perangkat kecamatan bertanggung jawab kepada camat. Dalam menjalankan tugasnya dapat dibantu staf ahli paling banyak 5orang. Nomenklatur jabatan staf ahli ditetapkan oleh Walikota sesuai dengan kebutuhan. Staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh Walikota dari Pegawai Negeri Sipil.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: 5.1.1. Jenis Kelamin Jenis Kelamin 67%
70% 60%
Persentase
50%
54% 46%
40%
33%
Perempuan Laki-laki
30% 20% 10% 0% Tidak miskin
Miskin
Gambar 10. Jenis kelamin responden Berdasarkan data pada Gambar 10. di atas, sebagian besar responden dari cluster tidak miskin dan miskin adalah wanita, ini dikarenakan kebanyakan diantara mereka adalah ibu rumah tangga yang merangkap menjadi kepala keluarga di samping diantara mereka merupakan single parent karena menjanda. 5.1.2. Usia Berdasarkan karakteristik usia, responden digolongkan menjadi enam kelompok usia, yaitu kelompok responden yang berusia antara 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, dan kelompok responden yang berusia≥65 tahun. Berdasarkan data yang sudah dikumpulkan, dapat dilihat pada Gambar 11. di bawah.
43
Usia (KAR1) 80%
73%
70%
Persentase
60% 50% 24%
30% 20% 10%
Tidak miskin
34%
40%
9% 0%0%
0%
>64 tahun
55-64 tahun
Miskin 23% 18%
9%
9% 0%
0% 45-54 tahun
35-44 tahun
25-34 tahun
15-24 tahun
Gambar 11. Karakteristik responden berdasarkan usia Data pada Gambar 11. di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden dari kedua cluster tidak miskin dan miskin adalah yang berusia 25-34 tahun (73% dan 34%). Ini dikarenakan sebagian besar dari warga tidak miskin adalah keluarga muda. 5.1.3. Wilayah Tempat Tinggal Berdasarkan data karakteristik responden wilayah, penggolongan responden dibagi menjadi kelompok wilayah kelurahan Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya. Dan kesemuanya berjumlah sama yaitu 60 responden untuk masing-masing wilayah kelurahan. Wilayah kelurahan tempat tinggal (KAR2) 35%
33% 33%
33% 33%
33% 33%
Persentase
30% 25% 20%
Tidak miskin
15%
Miskin
10% 5% 0% Kelurahan Pondok Jaya
Kelurahan Leuwinanggung
kelurahan Bedahan
Gambar 12. Karakteristik responden berdasarkan wilayah tempat tinggal
44
5.1.4. Pekerjaan Karakteristik responden berdasarkan penggolongan pekejaan didasarkan pada Pekerjaan (36 jam/minggu) yakni PNS, Petani, Wirausaha, Pekerja lepas, Karyawan swasta, dan Tidak Bekerja. Pekerjaan ( 36 jam/minggu) (KAR3) 60% 48%
Persentase
50%
37% 32%
40% 30% 20% 10%
Tidak miskin
27%
24%
Miskin 14%
12% 6% 0%
0%
0%
0%
0% Tidak bekerja
Karyawan swasta
Pekerja lepas
Wirausaha
Petani
PNS
Gambar 13. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Berdasarkan data Gambar 13. di atas, sebagian besar responden dari cluster tidak miskin bekerja sebagai karyawan swasta (48%), sedangkan pada cluster warga miskin sebagian besar bekerja sebagai wirausaha (37%). Pada cluster tidak miskin, tidak ada responden yang tidak bekerja ataupun berprofesi sebagai pekerja lepas. Ini berarti responden dari cluster tidak miskin telah mempunyai pekerjaan yang layak untuk penghidupannya yang dapat membuktikan posisinya sebagai
sampel
dari
cluster
tidak
miskin.
Data
sebaliknya
diperlihatkan oleh cluster miskin yang mempunyai persentase pekerja yang berprofesi sebagai pekerja lepas sebesar 24% dan yang tidak bekerja sebesar 12%. Ini menunjukkan adanya gap yang cukup besar antara cluster tidak miskin dengan cluster miskin di mana cluster tidak miskin
lebih
memiliki
pekerjaan
yang
layak
dan
mampu
mengeluarkan seseorang dari masalah kemiskinan. 5.1.5. Tingkat Pendapatan Perbulan Karakteristik responden berdasarkan pendapatan per bulan menggolongkan responden berdasarkan
total pendapatan perbulan
sebesar ≤Rp. 300.000,-, Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000, Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000, Rp. 700.001,- sampai dengan
45
Rp. 900.000, Rp. 900.001,- sampai dengan Rp. 1.100.000, dan terakhir adalah penggolongan berdasarkan pendapatan perbulan dengan total ≥Rp. 1.100.000,-. Dari data pada Gambar 14. di bawah, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan responden paling banyak pada cluster tidak miskin adalah sebesar ≥Rp. 1.100.000,- (88%) dan pada cluster miskin paling banyak memiliki pendapatan sebesar Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 (51%). Sedangkan untuk tingkat pendapatan sebesar ≤Rp. 300.000,- dan Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000 masih ditemui pada 36% responden dari cluster miskin untuk pendapatan Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000, dan 4% untuk tingkat pendapatan ≤Rp. 300.000 serta 3% dari cluster tidak miskin untuk tingkat pendapatan sebesar Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000. Ini berarti masih adanya masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2008 untuk standar $ 1,55 per hari dan World Bank, 2006 untuk standar $ 2 per hari).
Persentase
Tingkat pendapatan perbulan (KAR4) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
88%
51%
Tidak miskin 36%
1%
0% 0%
2%
8%
7%
3%
≥Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. 1.100.000 900.001 - 700.001 - 500.001 - 300.001 Rp. Rp. Rp. Rp. 1.100.000 900.000 700.000 500.000
Miskin 0% 4% ≤Rp. 300.000
Gambar 14. Tingkat pendapatan per bulan 5.1.6. Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan penggolongan pendidikan digolongkan antara lain terdiri dari: Tidak mempunyai pendidikan, SD/MI, SMP/MTs, SMK/SMEA, SMA/MA, dan D3/S1/Pascasarjana.
46
Pendidikan terakhir (KAR5) 70%
64%
Persentase
60% 50% 40%
34%
30%
37%
Tidak miskin 22%
20%
20% 10%
0%
6% 7%
Miskin
10% 0%
0% 0%
0% D3/S1/ Pascasarjana
SMA/MA
SMK/SMEA
SMP/MTs
SD/MI
Tidak mempunyai pendidikan
Gambar 15. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Berdasarkan data pada Gambar 15. di atas, paling banyak tingkat pendidikan yang terdapat
pada cluster tidak
miskin adalah
D3/S1/Pascasarjana (64%) dan pada cluster miskin yaitu SMP/MTs (37%). Di cluster tidak miskin, pendidikan menjadi begitu penting. Ini terbukti 64% responden dari cluster tidak miskin tersebut memiliki pendidikan
D3/S1/Pascasarjana.
Namun
tidak
demikian
bagi
responden pada cluster miskin. Masih ada 37% responden yang memiliki pendidikan hanya sampai SMP/MTs dan 22% yang hanya memiliki pendidikan SD atau tidak tamat SD dan tidak ada satu pun responden dari cluster miskin yang mempunyai tingkat pendidikan D3/S1/Pascasarjana. Gap di bidang pendidikan juga begitu besar. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan dapat meningkatkan taraf hidup dan dapat mengeluarkan masyarakat dari lingkaran kemiskinan sehingga dapat menggolongkan mereka pada cluster tidak miskin. 5.1.7. Relasi Relasi menjadi penting bagi seseorang untuk mendapatkan akses mencari penyelesaian masalah terutama masalah kemiskinan. Tak jarang ukuran kuantitas dan kualitas relasi dari seseorang dapat juga menjadi ukuran kesejahteraannya dan pengaruh status sosialnya di mata masyarakat. Dari Gambar 16. di bawah bisa dilihat sebagian besar responden dari cluster tidak miskin merasa bahwa relasi kerjasama itu sangat penting. Sebagian besar dari responden tidak
47
miskin mempunyai jumlah relasi lebih dari 31 orang. Sedangkan bagi responden miskin, hanya 1% yang mempunyai relasi antara 41 sampai 50 orang. Sehingga 99% responden dari cluster miskin hanya mempunyai relasi tidak lebih dari 20 orang bahkan termasuk tidak sama sekali. Ini membuktikan bahwa relasi begitu berhubungan dengan ukuran kesejahteraan dan kemiskinan seseorang. Semakin besar relasi seseorang, maka semakin mungkin dia bisa terlepas dari masalah kemiskinan.
Persentase
Jumlah relasi yang sudah dipunya untuk membangun usaha (RLS02) 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
76% 47% 23%
16%
<11 orang termasuk tidak punya sama sekali
2%
0%0%
14% 0%
11-20 orang
21-30 orang
31-40 orang
21% 1% 41-50 orang
Tidak Miskin Miskin
0% >50 orang
Gambar 16. Jumlah relasi yang sudah dipunya untuk membangun usaha (RLS02) 5.1.8. Jumlah anggota keluarga yang ditanggung Jumlah anggota keluarga yang ditanggung menjadi beban pengeluaran keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga yang ditanggung,
maka semakin besar pengeluarannya. Jika tidak
diimbangi dengan jumlah pendapatan, maka semakin besar pula kemungkinan ia tidak akan terlepas dari permasalahan kemiskinannya karena terjerat dengan pengeluaran yang besar. Dari data pada Gambar 17. di bawah, sebagian besar responden dari cluster tidak miskin memang mempunyai tanggungan antara 2-4 tanggungan. Ini karena sebagian besar responden tidak miskin adalah keluarga muda yang baru mempunyai satu atau dua orang anak dan tidak seorang pun dari mereka yang tidak mempunyai tanggungan sama sekali.
48
Persentase
Jumlah keluarga inti yang ditanggung (JAKD01) 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
38%
23%
7%
>4
38%
22% 14% 9%
20% 12% 3%
4
3
2
Tidak Miskin 13%
1
Miskin
0% Tidak punya sama sekali
Gambar 17. Jumlah keluarga inti yang ditanggung (JAKD01) Sedangkan pada cluster miskin, paling banyak dari mereka mempunyai tanggungan berjumlah lebih dari empat tanggungan namun ada sekitar 13% dari mereka yang tidak mempunyai tanggungan sama sekali. Ini disebabkan 13% dari mereka yang tidak mempunyai tanggungan sama sekali karena mereka adalah orangorang yang berusia sangat lanjut yang tidak mempunyai anak atau pun tanggungan lain sehingga mereka hanya hidup sebatang kara mencari nafkah sendiri untuk keperluan mereka sendiri atau mengharapkan belas kasihan dari anak-anak mereka yang pergi meninggalkan mereka. 5.1.9. Semangat berkelompok Semangat berkelompok menjadi pedoman sebagian orang untuk membangun usaha secara bersama-sama dengan keuntungan dan resiko yang akan ditanggung bersama. Namun belum tentu menjadi pedoman bagi sebagian yang lain. Berkelompok terkadang menjadi bumerang bagi masyarakat yang antipati terhadap pemerintah atau kegiatan korupsi dan kolusi yang terjadi dan bagaimana perlakuan negara terhadap pelaku korupsi. Mereka menjadi tidak percaya antara satu dengan yang lainnya dalam membangun sebuah usaha. Sehingga bagi mereka, berkelompok dalam membangun usaha sama saja dengan memupuk kegagalan dan masalah. Mereka menjadi lebih ingin
49
membangun usaha sendiri daripada mendapatkan masalah dari persengketaan dengan pihak lain ketika usaha yang dibangun bersama telah maju dengan pesat. Mereka telah menjadi masyarakat yang skeptis. Dari data di bawah, sebagian masyarakat baik di cluster tidak miskin maupun di cluster miskin, sama-sama tidak setuju memilih membangun usaha dengan berkelompok. Mereka cenderung memilih secara sendiri. Pada cluster tidak miskin, sebagian besar mengatakan ketidak-setujuan untuk membangun usaha secara berkelompok. Bahkan 29% di antaranya mengatakan sangat tidak setuju. Demikian dengan responden dari cluster tidak miskin di mana 42% responden mengatakan tidak setuju membangun usaha dengan berkelompok. Sedangkan 34% mengatakan kurang setuju. Hanya 6% dari cluster miskin yang mengatakan setuju untuk membangun usaha secara bekelompok.
Persentase
Pemilihan untuk membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri (SMBK01) 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
42% 34% 29%
29% 23%
14% 0%0% Ya, sangat setuju
6% 0% ya, setuju
13%
Tidak Miskin 9%
Miskin
ya, tidak, tidak, tidak, cukup kurang tidak sangat setuju setuju setuju tidak setuju
Gambar 18. Pemilihan untuk membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri 5.1.10. Tingkat pengeluaran Tingkat pengeluaran berhubungan dengan kemiskinan seseorang. Semakin besar pengeluaran, maka semakin kecil sisa pendapatan yang dapat digunakan sebagai cadangan atau modal untuk membangun usaha.
50
Persentase
Jumlah pengeluaran rutin perbulan (TKPG01) 74%
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak Miskin
33% 26% 9% 0%
6% 0%
8%
Miskin
21% 8%
10%
6%
≤ Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. > Rp. 100.000, 100.001,- 200.001,- 300.001,- 400.001,- 500.000,- Rp. - Rp. - Rp. - Rp. 200.000 300.000,- 400.000,- 500.000,-
Gambar 19. Jumlah pengeluaran rutin per bulan Berdasarkan Gambar 19. di atas, terlihat bahwa pada cluster tidak miskin, 74% mempunyai pengeluaran rutin per bulan yang lebih besar dari Rp. 500.000,-. Ini menjadi wajar jika pendapatan mereka juga besar yang dapat menutupi pengeluaran mereka. Untuk cluster miskin, sebagian besar dari mereka justru mempunyai pengeluaran antara Rp. 400.001,- sampai dengan Rp. 500.000., 21% dengan jumlah pengeluaran antara Rp. 300.001.- sampai dengan Rp. 400.000. dan 26% dengan jumlah pengeluaran antara Rp. 200.001.- sampai dengan Rp. 300.000. Bahkan 9% responden cluster miskin mempunyai jumlah pengeluaran yang tidak lebih dari Rp.100.000,-. Ini dapat dimaklumi seandainya pendapatan per bulan mereka juga kecil. 5.1.11. Faktor Pekerjaan Pekerjaan selalu menjadi tantangan bagi pemerintah. Pekerjaan yang layak dengan pendapatan yang juga layak dapat mengeluarkan seseorang dari permasalahan kemiskinan. Namun pekerjaan dengan pendapatan yang layak juga mensyaratkan pendidikan yang baik bagi pencarinya dan fasilitas yang memadai yang disediakan pemerintah. Untuk itu sangat dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak dari mulai setiap individu yang harus memperkaya dirinya sendiri dengan ilmu pengetahuan yang baik dan pengalaman yang cukup sampai kepada pemerintah
yang
mengeluarkan
kebijakan
yang
tidak
hanya
melindungi pekerja, namun memfasilitasi mereka secara memadai.
51
Dari data pada Gambar 20. di bawah, terlihat bahwa terjadi perbedaan tingkat kelayakan pekerjaan pada masing-masing cluster. Pada cluster tidak miskin, sebagian besar dari mereka menyatakan setuju bahwa pekerjaan yang sedang digeluti layak untuk penghidupan. Bahkan paling banyak menyatakan sangat setuju. Jawaban sebaliknya ada pada cluster miskin. Sebagian besar dari mereka justru menyatakan tidak setuju bahwa pekerjaan yang sedang mereka geluti layak untuk penghidupan.
Ini
berarti
tingkat
kelayakan
pekerjaan
dapat
membedakan cluster masing-masing individu antara miskin dengan tidak miskin.
Persentase
Kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga (FKPK02) 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
34%
34% 30%
33% 26%
21%
Tidak Miskin Miskin
8%
7%
4%
0% tidak, tidak, tidak, ya, sangat tidak kurang cukup tidak setuju setuju setuju setuju
2%
0%
ya, Ya, setuju sangat setuju
Gambar 20. Kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga 5.1.12. Faktor Akses Usaha Modal menjadi sangat penting bagi setiap orang yang ingin membangun usaha bisnis. Tapi modal juga sangat terbatas ketersediaannya. Untuk mendapatkan modal dari bank, perlu adanya agunan atau jaminan. Jika ingin mendapatkan modal tanpa agunan, maka akan dikenakan beban bunga yang lebih tinggi dari biasanya. Sehingga bagi sebagian orang meminjam sejumlah modal yang tanpa agunan dan dengan pengurusan yang cepat dan mudah, tidak lain adalah dengan meminjam kepada rentenir. Namun tidak sedikit orangorang yang ingin sekali membangun usaha namun benar-benar
52
kekurangan modal dan tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya karena pengetahuan yang minim. Di samping itu, pengurusan peminjaman kredit mikro usaha kecil menengah butuh beberapa alur birokrasi yang cukup rumit, akan sangat mustahil bagi seorang yang miskin dan buta huruf padahal mereka berhak mendapatkan kredit untuk mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan. Sehingga hidup mereka hanya berjalan di tempat. Dari data pada Gambar 21. di bawah, terlihat adanya pemisahan plot tanggapan pernyataan tentang kemudahan mendapatkan modal. Pada responden dari cluster miskin, sebagian besar menyatakan ketidaksetujuannya tentang kemudahan mendapatkan modal. Bagi mereka mendapatkan modal dari manapun sangat sulit bahkan mustahil di mana sebagian dari mereka tidak mempunyai agunan dan buta huruf serta pengetahuan yang minim. Sebaliknya pada cluster tidak miskin, sebagian besar mereka menyatakan setuju tentang kemudahan mendapatkan modal. Di samping sebagian dari mereka sudah pernah melakukan usaha dan pernah meminjam modal, mereka juga berpendidikan dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang birokrasi peminjaman kredit mikro.
Persentase
Kemudahan mendapatkan modal (FAU01) 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
37%
33%
31%
33%
22%
Tidak Miskin 11%
11%
13% 4%
0% tidak, sangat tidak setuju
tidak, tidak setuju
tidak, kurang setuju
ya, scukup setuju
Miskin 3% ya, setuju
0% Ya, sangat setuju
Gambar 21. Kemudahan mendapatkan modal Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah bagaimana memberikan pengetahuan yang cukup kepada masyarakat miskin
53
tentang
peminjaman
kredit
mikro
melalui
lembaga-lembaga
pemerintah yang sudah ditunjuk sebagai penyalur dana bagi masyarakat kecil dan menengah. 5.1.13. Faktor Karakter Karakter tiap-tiap individu berbeda dengan individu yang lain. Ketepatan
waktu
pengembalian
menjadi
indikator
penentu
karakteristik seseorang sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian kredit mikro. Dari data pada Gambar 22. di bawah, terlihat adanya sedikit perbedaan antara cluster miskin dengan cluster tidak miskin. Pada cluster tidak miskin, cenderung menyatakan tepat waktu dalam hal pengembalian pinjaman. Sedangkan sebagian besar responden dari cluster miskin menyatakan tidak atau kurang tepat waktu dalam hal pengembalian pinjaman walaupun 16%, 18% dan 9% dari responden cluster miskin menyatakan bahwa mereka cukup, tepat waktu, dan sangat tepat waktu. Ini berarti sedikit terjadi bias sebaran pernyataan tentang ketepatan waktu pengembalian pinjaman. Setiap masing-masing cluster dapat menunjukkan perilaku yang sama di setiap jawaban. Tidak ada yang benar-benar mutlak. Sehingga ketepatan waktu pengembalian pinjaman dapat terjadi di semua tingkatan kesejahteraan masing-masing individu.
Persentase
Ketepatan waktu pengembalian pinjaman (FAKK02) 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
41% 34%
31% 27%
16%
16%
Miskin 9%
7% 0%1%
Tidak Miskin
18%
1%
Tidak, Tidak, sangat tidak tepat tidak tepat waktu waktu
Tidak, kurang tepat waktu
Ya, cukup Ya, tepat waktu
Ya, sangat tepat waktu
Gambar 22. Ketepatan waktu pengembalian pinjaman 5.1.14.
Faktor Modal usaha (akses keuangan) Jumlah modal usaha yang dibutuhkan tiap individu berbeda
dengan individu yang lain tergantung dari seberapa besar jenis usaha
54
yang dikembangkan dan seberapa besar kemampuan seseorang dalam membangun usahanya. Semakin sering ia membangun usaha untuk membantu penghidupan yang lebih baik, maka semakin besar kemampuannya untuk mengelola usaha yang besar dengan nilai investasi yang besar pula. Demikian pula dengan data dari Gambar 23. menyatakan bahwa 71% responden dari cluster tidak miskin menginginkan nilai investasi usaha dengan jumlah di atas Rp. 5.000.000,-. Data ini berbeda dengan apa yang diperlihatkan oleh responden dari cluster miskin yang menginginkan nilai investasi yang beragam. Ini dikarenakan responden dari cluster miskin sangat minim pengetahuan untuk mengelola usaha dan hanya berpikiran jangka pendek yaitu bagaimana agar ia bisa tetap makan selama beberapa hari ke depan bukan bagaimana ia bisa keluar dari kemikinan (Yunus, 2007). Orang miskin jauh lebih kreatif dan sangat mengetahui bagaimana mengelola uang dengan jumlah yang sedikit. Yunus (2007) pernah meneliti jumlah pinjaman yang diinginkan oleh wanita miskin di Bangladesh ternyata sangat kecil dengan jumlah tidak lebih dari US $0,64 per orang (standar tahun 1974). Ini membuktikan bahwa orang miskin tidak ingin mengambil resiko dengan meminjam uang dengan jumlah yang besar dengan resiko bahwa ia tidak akan bisa kembalikan pinjamannya. Para perempuan miskin Bangladesh bahkan meminjam kredit mikro hanya untuk melewati satu hari saja. Pemikirannya tentang hidup bagi keluarganya sudah tidak lagi tiga atau empat hari ke depan, tapi hanya satu hari yang sedang dijalani saja. Selebihnya ia bisa memikirkannya esok paginya. Begitu juga dengan responden dari cluster miskin di depok, mereka tidak ingin mengambil resiko dengan jumlah pinjaman yang besar, karena hanya dengan jumlah yang kecil mereka dapat putarkan untuk dapat menghasilkan keuntungan yang hanya bertahan beberapa hari saja. Itu karena mereka terbiasa dengan berpikiran jangka pendek seperti itu.
55
Persentase
Nilai investasi usaha yang sudah dipunya atau yang diinginkan (FMU02) 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
71%
Tidak Miskin
9% 0% 0% ≤ Rp. 1.000.000
0%
28%
24%
23%
Miskin
18%16% 8%
3%
Rp. 1.000.001 Rp. 2.000.001 Rp. 3.000.001 Rp. 4.000.001 ≥ – Rp – Rp Rp.5.000.001 – Rp – Rp 2.000.000 5.000.000 3.000.000 4.000.000
Gambar 23. Nilai investasi usaha yang sudah dipunya atau yang diinginkan 5.1.15. Faktor Keterampilan Keterampilan sangat mempengaruhi nilai jual dan kemampuan bertahan hidup bagi seseorang untuk bisa bertahan atau pun dapat keluar dari kemiskinan. Keterampilan dapat menaikkan tingkat kelayakan pekerjaan yang didapat sehingga pendapatan bagi penghidupan menjadi layak dan dapat mengeluarkan seseorang dari permasalahan kemiskinan. Keterampilan di dapat dari sekolah dan pengalaman kegagalan. Keterbiasaan seseorang melakukan sebuah pekerjaan yang berulang dalam jangka waktu yang lama akan membuatnya mahir dan terampil. Ini akan dapat ia gunakan untuk menaikkan nilai jualnya dalam mencari pekerjaan ataupun jika ingin membangun usaha dengan sekala besar untuk jangka panjang. Namun sayang, untuk mendapatkan keterampilan yang cukup dari sebuah pekerjaan secara otodidak sangat diperlukan proses yang panjang dan beberapa kali kegagalan, hanya sedikit yang dapat bertahan untuk mendapatkan
kemahiran
dan
keterampilan
yang
sempurna.
Keterampilan juga bisa didapatkan dengan instan yaitu dengan belajar dan bersekolah dari kursus-kursus yang menawarkan keterampilan untuk membangun usaha seperti menjahit, memasak, komputer dan bahasa Inggris. Tapi biaya yang mahal menjadi hambatan terbesar bagi masyarakat miskin untuk mengembangkan keterampilan dan kemahirannya. Namun, sesungguhnya keterampilan bisa didapat dari mana saja, dari siapa saja yang ingin mengajari dengan tanpa bayaran. Hanya sebagian kecil saja yang berusaha keras untuk memperkaya kemampuannya. Begitupun dengan data pada Gambar 24. di bawah.
56
Dari responden pada cluster tidak miskin, 53% menyatakan sangat mudah untuk mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru dan hanya 8% yang menyatakan kurang mudah. Ini disebabkan responden dari cluster tidak miskin telah mempunyai pengetahuan, kemampuan finansial dan akses yang banyak untuk mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru. Berdasarkan Gambar 16. yang sudah diperlihatkan sebelumnya, sebagian besar responden tidak miskin mempunyai relasi yang banyak yang dapat memungkinkan mereka belajar dan mendapatkan keterampilan yang baru dari relasi mereka. Cukup senada dengan responden dari cluster tidak miskin, 51% responden dari cluster miskin pun menyatakan bahwa mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru cukup mudah. Namun sedikit berbeda dengan cluster tidak miskin, sebagian lain dari responden miskin menyatakan ketidak-mudahan mendapatkan keterampilan yang baru. Ini dikarenakan pada Gambar 16. di atas sebagian besar responden miskin hanya mempunyai relasi yang tidak lebih dari sebelas orang relasi atau bahkan tidak mempunyai sama sekali. Ini membuat mereka tidak dapat mengembangkan keterampilan baru dengan keterbatasan relasi yang mereka punya. Di samping itu pendapatan sebagian besar responden miskin seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. yang menunjukkan pendapatan mereka tidak lebih dari Rp. 700.000,- dengan tingkat pengeluaran rutin perbulan dapat mencapai Rp. 500.000 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19. Ini membuat mereka akan berpikir dua kali jika ingin menambah pos pengeluaran baru hanya untuk belajar kursus untuk memperkaya keterampilan mereka. Mereka cenderung berpikiran jangka pendek yang hanya memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup untuk makan bagi keluarga mereka selama beberapa hari ke depan.
57
Persentase
Kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru (FKTRM04) 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
53%
51%
21% 0%3%
17% 8%
22%
Tidak Miskin 17%
Miskin 4%
3%
0%
Tidak, Tidak, Tidak, Ya, Ya, Ya, sangat tidak kurang cukup mudah sangat tidak mudah mudah mudah mudah mudah
Gambar
24.
Kemudahan mendapatkan keterampilan baru 5.1.16. Faktor Pendampingan
dan
belajar
tentang
Pendampingan diperlukan untuk membantu dan mengarahkan seseorang untuk mengembangkan usaha yang ia jalani dengan maksimal sehingga ia dapat menghasilkan output yang sesuai harapan. Dari data pada Gambar 25. di bawah, sebagian besar responden dari cluster tidak miskin menyatakan mau dan bersedia untuk didampingi untuk mengembangkan usaha mereka (42%). Begitupun dengan responden dari cluster miskin yang menyatakan sangat mau untuk didampingi mengembangkan usaha mereka (39%).
\
Persentase
Kemauan responden untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha (FPND01) 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
42% 27% 22%
3% 0% Tidak, sangat tidak setuju
6% 0% Tidak, tidak setuju
39% 24%
18%
Tidak, kurang setuju
Tidak Miskin Miskin
12% 7%
Ya, boleh Ya, mau saja
Ya, sangat mau
Gambar 25. Kemauan responden untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha.
58
Perbedaan tingkat kemauan kedua cluster responden tersebut dikarenakan responden tidak miskin dapat dikatakan telah mempunyai pengetahuan yang cukup dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengembangkan usaha secara mandiri dengan tanpa pendampingan dari pihak manapun. Sedangkan responden dari cluster miskin merasa sangat menginginkan pendampingan untuk membantu mereka mengembangkan usaha mereka. 5.1.17. Kebijakan pemerintah Kebijakan pemerintah sangat
mempengaruhi kesejahteraan
masyarakatnya. Menurut Hardiman dan Midgley dalam Suharto (2005),
model pembangunan sosial menekankan pentingnya
pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Maka tujuan tersebut dicapai melalui: 1. Menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja. 2. Menyediakan dan memberikan pelayanan sosial, khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas
dan
partisipasi
sosial
dalam
kehidupan
masyarakatnya. Kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial (Suharto, 2005). Sebagai suatu bentuk produk, kebijakan sosial adalah hasil dari pross perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan , perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek.
59
5.1.17.1. Kebijakan pendidikan Kebijakan pendidikan sangat mempengaruhi kondisi dan fasilitas pendidikan di Indonesia. Semakin baik suatu kebijakan yang dirasakan oleh masyarakatnya, maka semakin sejahtera masyarakat
dalam
memperoleh
dan
meningkatkan
taraf
pendidikan mereka. Berdasarkan data pada Gambar 26. di bawah terlihat adanya perbedaan jawaban antara cluster tidak miskin dengan cluster miskin dimana cluster tidak miskin menyatakan setuju bahwa program-program pemerintah di bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran. Namun jawaban sebaliknya diperlihatkan oleh responden dengan cluster miskin yang merasa tidak setuju dengan pendapat demikian. Dengan jumlah 31% yang menyatakan kurang setuju, 17% yang menyatakan tidak setuju, bahkan 19% yang menyatakan sangat tidak setuju turut menggambarkan peran pemerintah
dalam
mengembangkan
program
di
bidang
pendidikan yang ternyata tidak sampai manfaatnya kepada masyarakat
miskin. Manfaatnya justru dimanfaatkan oleh
masyarakat yang cenderung tidak miskin. Maka dari itu perlu adanya pemisahan yang jelas mengenai sasaran yang tepat untuk program-program dari pemerintah.
Persentase
Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran (KPNDK01) 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
37% 31% 19%
34%
27% 18%
17% 11%
Miskin 6%
0%
0%
tidak, sangat tidak setuju
tidak, tidak setuju
tidak, ya, kurang scukup setuju setuju
Tidak Miskin
ya, setuju
1% Ya, sangat setuju
Gambar 26. Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran
60
Karena menurut Yunus (2007) pencampuran sasaran program kebijakan sosial antara yang benar-benar miskin dengan yang tidak benar-benar miskin akan menyebabkan yang miskin tergusur keluar dari sasaran program pemerintah tersebut atau dengan kata lain semua manfaat program akan dimanfaatkan oleh masyarakat yang relatif tidak miskin. Cara lain adalah dengan pengawasan yang ketat terhadap implementasi sasaran program agar sesuai dengan yang diharapkan. 5.1.17.2. Kebijakan kesehatan Kesehatan menjadi begitu penting bagi masyarakat miskin. Ketiadaan biaya untuk pengobatan yang semakin mahal selalu menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat kecil. Setiap ada anggota keluarga yang sakit dan butuh pengobatan, maka akan menguras semua penghasilan mereka sehingga mereka akan kesulitan untuk bertahan hidup. Dari data pada Gambar 27. dapat terlihat pola grafik yang serupa dengan grafik pada Gambar 26. sebelumnya. Terjadi perbedaan plot pernyataan tentang programprogram pemerintah di bidang kesehatan antara cluster tidak miskin dengan cluster miskin. Pada cluster tidak miskin, sebagian besar dari mereka (39% dan 36%) menyatakan setuju bahwa program-program pemerintah di bidang kesehatan banyak jumlahnya.
Persentase
Program-program pemerintah di bidang kesehatan banyak jumlahnya (KKSHT02) 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
39% 27%
31% 23%
19% 8%
Tidak Miskin Miskin
12%
0% tidak, sangat tidak setuju
36%
0% tidak, tidak setuju
tidak, kurang setuju
ya, scukup setuju
ya, setuju
6% 0% Ya, sangat setuju
Gambar 27. Program pemerintah di bidang kesehatan banyak Jumlahnya
61
Namun tidak bagi masyarakat miskin, menurut mereka program-program pemerintah di bidang kesehatan belum banyak jumlahnya. Ini dikarenakan sebagian dari mereka masih belum mendapatkan manfaat dari program pemerintah di bidang kesehatan seperti penerbitan surat keterangan tidak mampu (SKTM) ataupun jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) yang tidak dimiliki oleh mereka sehingga untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit seringkali mereka harus membayar mahal untuk pengobatannya. 5.1.17.3. Kebijakan usaha Kebijakan usaha sangat dibutuhkan bagi masyarakat miskin. Mereka yang ingin membangun usaha untuk meningkatkan taraf hidupnya sangat membutuhkan peran dan bantuan pemerintah. Di satu sisi mereka harus mempunyai agunan atau jaminan yang cukup untuk mendapatkan modal dan kredit mikro dari bank dan lembaga keuangan lain. Di samping itu mereka juga harus melewati beberapa tahapan birokrasi yang panjang dan rumit yang akan menjadi kemustahilan bagi mereka yang buta huruf dan tidak mempunyai harta benda apapun. Pemerintah
telah
mengeluarkan
beberapa
program
pemberdayaan usaha kecil menengah yang menyasar kepada masyarakat miskin dan pedesaan dengan bekerja sama dengan bank-bank negara maupun daerah dan lembaga keuangan lain agar
masyarakat
yang
telah
memiliki
usaha
dapat
mengembangkan usahanya lebih besar lagi dan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Namun kembali lagi kepada masyarakat itu sendiri apakah mereka telah merasa bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari program pemerintah di bidang usaha tersebut atau tidak. Data pada Gambar 28. di bawah memperlihatkan bahwa sebagian besar responden dari cluster tidak miskin (29% dan 34%) menyatakan setuju terhadap program-program pemerintah
62
di bidang usaha yang bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Ini dikarenakan masyarakat yang berasal dari cluster tidak miskin telah memanfaatkan program pemerintah di bidang usaha dengan baik sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya dan keluar dari permasalahan kemiskinan.
Pernyataan sebaliknya berasal dari
responden cluster miskin. Sebagian besar cluster tidak miskin (26%, 23% dan 39%) menyatakan tidak setuju terhadap program pemerintah di bidang usaha yang bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Ini dikarenakan sebagian dari mereka tidak menggunakan dan memanfaatkan program pemerintah tersebut dengan maksimal. Ini juga merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah agar masyarakat miskin yang ingin membangun usaha mandiri, dapat mengetahui bagaimana prosedur mengikuti program pemerintah tersebut sehingga semua masyarakat dari berbagai lapisan dapat turut serta menikmati manfaatnya.
Persentase
Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat (KUSH03) 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
39% 32% 26%
34% 29%
23%
Tidak Miskin Miskin
12% 0% tidak, sangat tidak setuju
4% tidak, tidak setuju
0% tidak, kurang setuju
ya, cukup ya, setuju setuju
0%0% Ya, sangat setuju
Gambar 28. Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. 5.1.17.4. Kebijakan sandang dan papan Sandang dan papan adalah salah satu kebutuhan primer setiap keluarga. Pemerintah kota Depok telah melakukan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang memberikan bantuan berupa material bangunan untuk perbaikan rumah warga yang sudah tidak layak huni karena rusak. Program ini memang khusus bagi warga yang terpilih mendapatkan bantuan, yaitu warga yang rumahnya sudah memenuhi kriteria yang layak mendapatkan
63
bantuan yang disurvei oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda kota Depok) sebulan sebelum program ini diluncurkan ke masyarakat pada Juli-Agustus 2009. Namun berdasarkan data di bawah, dari tiga kelurahan di kota Depok sebagai studi kasus penelitian ini yang juga merupakan kelurahan terpilih dari pemerintah Kota Depok untuk mendapatkan bantuan, terlihat bahwa responden cluster miskin (26%, 24% dan 33%) tetap saja menyatakan ketidak-setujuannya mengenai kemudahan dan kecepatan akses untuk mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang & papan. Ini dikarenakan program RTLH tersebut memang harus melalui beberapa tahap dan survei beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan memilih warga yang kemudian mendapatkan bantuan tersebut. Program ini terdiri dari tiga tahap pemberian bantuan dari Agustus 2009 sampai dengan Maret 2010. Setiap memasuki tahap baru, semua rumah yang mendapatkan bantuan akan disurvei untuk melihat perbaikan apa saja yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan. Akses mendapatkan program ini pun tidak mudah karena warga yang ingin mengajukan permintaan bantuan perbaikan rumah harus datang ke Bappeda dan menyerahkan bukti foto kondisi rumah terbaru dan kemudian akan disurvei ulang oleh Bappeda dan baru akan diputuskan apakah berhak menerima bantuan atau tidak.
Persentase
Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang & papan tersebut relatif mudah dan cepat (KSP04) 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
61%
33% 26%
13% 0% tidak, sangat tidak setuju
Tidak Miskin
24% 17%
4% tidak, tidak setuju
21% 0%
tidak, kurang setuju
ya, scukup setuju
ya, setuju
Miskin 0%0% Ya, sangat setuju
Gambar 29. Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang dan papan tersebut relatif mudah dan cepat
64
5.2. Tabulasi Silang Tabulasi silang merupakan perpaduan antar data karakteristik responden terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Tabulasi silang digunakan untuk melihat pola sebaran jawaban kuisioner berdasarkan data karakteristik responden. 5.2.1. Usia dengan jumlah relasi yang sudah dipunyai responden Dari Tabel 3. tabulasi silang data karakteristik dari responden cluster tidak miskin di bawah, didapat data bahwa usia sebagian besar responden yang berusia antara 25-34 tahun mempunyai relasi paling banyak yaitu antara 41-50 orang relasi. Sedangkan responden yang berusia antara 35-44 tahun paling banyak diantara mereka mempunyai relasi berkisar antara 31-40 orang. Untuk rentang usia selanjutnya yaitu antara 45-54 tahun hanya satu orang responden dan mempunyai relasi berkisar antara 41-50 orang. Dari ketiga rentang usia tersebut, tidak menunjukkan pola yang sesuai dengan anggapan bahwa semakin tua usia seseorang maka semakin banyak relasi yang dipunyai. Sesungguhnya relasi didapat tergantung dari bagaimana cara pembawaan seseorang untuk menjalin relasi. Tidak selalu tergantung dengan usia. Usia antara 25-34 tahun ternyata bisa mempunyai relasi yang jumlahnya lebih banyak dari responden berusia 45-54 tahun. Namun tidak demikian dengan data tabulasi yang sama tapi pada jenis cluster yang berbeda yaitu cluster miskin seperti pada Tabel 4. Dari kelima rentang usia: 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 4554 tahun dan 55-64 tahun, kelimanya terfokus pada jumlah relasi yang tidak lebih dari 20 orang relasi. Namun terdapat pola yang sama dengan pola pada tabulasi cluster tidak miskin di mana pada responden yang berusia 15-24 tahun justru paling banyak mempunyai relasi yang berjumlah 11-20 orang relasi bahkan ada satu orang responden yang berusia 15-24 tahun yang mempunyai 41-50 orang relasi. Ini berbeda dengan keempat rentang usia selanjutnya yang paling banyak mengklaim mempunyai tidak lebih dari 11 orang relasi
65
termasuk tidak punya sama sekali. Ini membuktikan sekali lagi bahwa usia tidak selalu menunjukkan jumlah relasi yang dipunyai. Tabel 3. Usia dengan jumlah relasi yang sudah dipunyai responden cluster tidak miskin
Usia
15-24 tahun
Berapa jumlah relasi (teman/sahabat) yang sudah anda punya untuk membangun usaha? (RLS02) <11 orang termasuk >50 41-50 31-40 21-30 11-20 tidak punya sama orang orang orang orang orang sekali 0 0 0 0 0 0
Jumlah
0
25-34 tahun
16
37
6
0
2
5
66
35-44 tahun
3
4
7
0
0
2
16
45-54 tahun
0
1
0
0
0
7
8
55-64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
19
42
13
0
2
14
90
Tabel 4. Usia dengan jumlah relasi yang sudah dipunyai responden cluster miskin
Usia
15-24 tahun
Berapa jumlah relasi (teman/sahabat) yang sudah anda punya untuk membangun usaha? (RLS02) <11 orang >50 41-50 31-40 21-30 11-20 termasuk tidak orang orang orang orang orang punya sama sekali 0 1 0 0 7 0
Jumlah
8
25-34 tahun
0
0
0
0
3
28
31
35-44 tahun
0
0
0
0
1
20
21
45-54 tahun
0
0
0
0
8
14
22
55-64 tahun
0
0
0
0
2
6
8
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
0
1
0
0
21
68
90
5.2.2. Usia dengan faktor pekerjaan Usia dapat menentukan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti yang layak untuk penghidupan keluarga. Dari data tabulasi antara usia dengan pekerjaan yang sedang digeluti pada cluster tidak miskin pada Tabel 5. responden yang berusia 25-34 tahun paling banyak 27 responden menyatakan sangat setuju bahwa pekerjaan yang sedang digeluti layak untuk penghidupan keluarga. Namun tidak demikian dengan kedua rentang usia responden selanjutnya yang menyatakan paling banyak hanya cukup setuju dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti. Ini membuktikan bahwa usia seseorang tidak mempengaruhi tingkat kelayakan pekerjaan seseorang
66
untuk penghidupan keluarganya. Begitupun juga dengan data tabulasi yang sama pada cluster yang berbeda (Tabel 6.). Pada cluster miskin dimana responden yang berusia 15-24 tahun paling banyak sekitar empat responden menyatakan cukup setuju dengan tingkat kelayakan pekerjaannya untuk penghidupan keluarga. Hasil ini justru berbeda dengan keterangan responden dengan rentang usia selanjutnya yang justru paling banyak menyatakan kurang setuju terhadap anggapan bahwa pekerjaan yang sedang digelutinya layak untuk penghidupan keluarga. Ini juga menunjukkan bukti yang sama bahwa usia tidak selalu sesuai dengan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga. Tabel 5. Usia dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada cluster tidak miskin
Usia
15-24 tahun
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) Ya, ya, tidak, tidak, tidak, ya, sangat cukup kurang tidak sangat setuju setuju setuju setuju setuju tidak setuju 0 0 0 0 0 0
Jumlah
0
25-34 tahun
27
18
17
2
2
0
66
35-44 tahun
3
4
7
0
2
0
16
45-54 tahun
0
1
3
2
2
0
8
55-64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
30
23
27
4
6
0
90
Tabel 6. Usia dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada cluster miskin
Usia
15-24 tahun
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 0 1 4 3 0 0
Jumlah
8
25-34 tahun
0
0
12
10
7
2
31
35-44 tahun
0
0
5
8
5
3
21
45-54 tahun
0
1
6
7
6
2
22
55-64 tahun
0
0
4
3
1
0
8
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
0
2
31
31
19
7
90
67
5.2.3. Usia dengan faktor keterampilan Usia akan sejalan dengan keterampilan seseorang. Semakin tua usia seseorang maka akan semakin banyak keterampilan yang ia pelajari dan ia dapatkan semasa hidupnya. Pada data tabulasi cluster tidak miskin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. responden yang berusia 25-34 tahun di mana paling banyak respondennya (48 responden) menyatakan sangat mudah mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru. Namun tidak demikian bagi rentang usia selanjutnya di mana paling banyak repondennya menyatakan hanya mudah dan cukup mudah dalam mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru. Ini dikarenakan akses untuk mendapatkan dan mempelajari keterampilan baru pada saat ini memang sangat mudah di mana akses informasi dan internet sangat mudah dijangkau oleh responden cluster tidak miskin. Ini menyebabkan kalangan pemuda sangat mudah mempelajari dan mendapatkan keterampilan baru dengan murah dan cepat berkat kemajuan teknologi. Tabel 7. Usia dengan kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru pada cluster tidak miskin
Usia
15-24 tahun
Apakah anda mudah mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru? (FKTRM04) Tidak, Ya, Tidak, Tidak, Ya, sangat Ya, sangat cukup kurang tidak mudah mudah tidak mudah mudah mudah mudah 0 0 0 0 0 0
Jumlah
0
25-34 tahun
48
6
12
0
0
0
66
35-44 tahun
0
5
4
7
0
0
16
45-54 tahun
0
4
4
0
0
0
8
55-64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
48
15
20
7
0
0
90
Hasil yang sedikit berbeda
terlihat pada data tabulasi untuk
cluster miskin di mana untuk semua rentang usia paling banyak menyatakan hanya ‘cukup mudah’ dalam hal mendapatkan dan mempelajari tentang keterampilan baru. Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan mereka tentang teknologi dan keterbatasan mereka dalam hal finansial untuk mendapatkan media pembelajaran tentang keterampilan baru. Ini menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi
68
permasalahan bagaimana agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh media pembelajaran tentang keterampilan baru dengan mudah, murah dan cepat. Tabel 8. Usia dengan kemudahan mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru pada cluster miskin
Usia
15-24 tahun
Apakah anda mudah mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru? (FKTRM04) Tidak, Ya, Ya, Tidak, Tidak, sangat Ya, sangat cukup kurang tidak tidak mudah mudah mudah mudah mudah mudah 0 0 4 2 2 0
Jumlah
8
25-34 tahun
2
1
15
4
8
1
31
35-44 tahun
2
2
9
3
4
1
21
45-54 tahun
0
0
13
4
4
1
22
55-64 tahun
0
0
5
2
1
0
8
>64 tahun
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
4
3
46
15
19
3
90
5.2.4. Wilayah dengan tingkat pengeluaran Pada data tabulasi ini akan dilihat bagaimana tingkat pengeluaran rutin perbulan responden dari kedua cluster berdasarkan wilayah. Berdasarkan cluster tidak miskin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. dari ketiga kelurahan paling banyak respondennya menyatakan pengeluaran rutin per bulannya lebih besar dari Rp. 500.000. Namun berbeda dengan cluster miskin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. di mana paling banyak respondennya dari kelurahan Bedahan dan Pondok Jaya menyatakan bahwa pengeluarannya tidak lebih dari Rp. 500.000. Tabel 9. Wilayah dengan pengeluaran rutin per bulan pada cluster tidak miskin Wilayah kelurahan tempat tinggal Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Kelurahan Pondok Jaya Jumlah
> Rp. 500.000,-
Berapa pengeluaran rutin perbulan anda? (TKPG01) Rp. Rp. Rp. Rp. 400.001,- 300.001,- 200.001,100.001,Rp. Rp. - Rp. - Rp. 500.000,400.000,300.000,200.000
≤ Rp. 100.000,
Jumlah
23
3
2
2
0
0
30
21
3
3
3
0
0
30
23
3
2
2
0
0
30
67
9
7
7
0
0
90
69
Sedangkan untuk kelurahan Leuwinanggung, paling banyak respondennya menyatakan bahwa pengeluaran mereka tidak lebih besar dari Rp. 400.000. Ini berarti pengeluaran rutin per bulan kelurahan Leuwinanggung untuk cluster miskin lebih kecil dari kelurahan Bedahan dan Pondok Jaya. Tabel 10. Wilayah dengan pengeluaran rutin per bulan pada cluster miskin Wilayah kelurahan tempat tinggal
> Rp. 500.000,-
Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Kelurahan Pondok Jaya Jumlah
Berapa pengeluaran rutin perbulan anda? (TKPG01) Rp. Rp. Rp. Rp. 400.001,300.001,- 200.001,100.001,- Rp. Rp. - Rp. - Rp. 500.000,400.000,300.000,200.000
≤ Rp. 100.000,
Jumlah
1
13
6
6
2
2
30
1
7
10
10
1
1
30
3
10
3
7
2
5
30
5
30
19
23
5
8
90
5.2.5. Wilayah dengan faktor akses usaha Faktor akses usaha juga akan dilihat berdasarkan wilayahnya. Dari data tabulasi berdasarkan cluster tidak miskin pada Tabel 11. di bawah, diperlihatkan hasil bahwa dari ketiga kelurahan tersebut paling banyak respondennya menyatakan sangat setuju terhadap kemudahan mendapatkan modal. Hasil yang sangat berbeda diperlihatkan data tabulasi untuk cluster miskin di mana dari ketiga kelurahan tersebut paling banyak respondennya menyatakan kurang setuju dengan kemudahan mendapatkan modal. Bahkan di kelurahan Pondok Jaya paling banyak respondennya menyatakan
tidak setuju dengan
kemudahan mendapatkan modal. Ini berarti untuk cluster tidak miskin di ketiga kelurahan tersebut telah merasa puas dan mendapatkan manfaat untuk mendapatkan modal. Sedangkan pada cluster miskin di kelurahan Pondok Jaya merasa lebih tidak setuju dibanding dengan kelurahan
Bedahan
mendapatkan modal.
dan
Leuwinanggung
tentang
kemudahan
70
Tabel 11. Wilayah dengan kemudahan mendapatkan modal pada responden cluster tidak miskin Wilayah kelurahan tempat tinggal Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Kelurahan Pondok Jaya Jumlah
Apakah anda mampu mendapatkan modal dengan mudah? (FAU01) Ya, ya, tidak, tidak, tidak, ya, sangat scukup kurang tidak sangat tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju
Jumlah
10
10
4
4
2
0
30
10
9
3
4
4
0
30
10
9
5
2
4
0
30
30
28
12
10
10
0
90
Tabel 12. Wilayah dengan kemudahan mendapatkan modal pada responden cluster miskin Wilayah kelurahan tempat tinggal Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Keluraha Pondok Jaya Jumlah
Apakah anda mampu mendapatkan modal dengan mudah? (FAU01) Ya, ya, tidak, tidak, tidak, ya, sangat scukup kurang tidak sangat tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju
Jumlah
0
2
2
11
10
5
30
0
1
2
14
9
4
30
0
0
0
5
14
11
30
0
3
4
30
33
20
90
5.2.6. Wilayah dengan faktor modal usaha Nilai investasi yang diinginkan seseorang akan dilihat sebarannya berdasarkan peta wilayah kelurahan masing-masing responden. Dari data tabulasi berdasarkan cluster tidak miskin pada Tabel 13., dari ketiga kelurahan tersebut, paling banyak respondennya menyatakan nilai investasi yang diinginkan adalah lebih dari atau sama dengan Rp. 5.000.000. Berbeda dengan cluster miskin di mana paling banyak responden dari kelurahan Bedahan dan Leuwinanggung menyatakan nilai investasi yang diinginkan berkisar antara Rp. 3.000.001, sampai dengan Rp. 4.000.000. Sedangkan untuk kelurahan Pondok Jaya paling banyak respondennya menyatakan menginginkan memiliki investasi yang bernilai lebih atau sama dengan Rp. 5.000.000.
71
Table 13. Wilayah dengan nilai investasi yang diinginkan untuk membangun usaha pada responden cluster tidak miskin Berapa nilai investasi usaha anda (jika belum punya usaha, arahkan pada rencana usaha yang anda inginkan)? (FMU02) Wilayah kelurahan tempat tinggal
≥ Rp 5.000.001
Rp. 4.000.001 – Rp 5.000.000
Rp. 3.000.001 – Rp 4.000.000
Rp. 2.000.001 – Rp 3.000.000
Rp. 1.000.001 – Rp 2.000.000
≤ Rp. 1.000.000
Jumlah
22
6
1
1
0
0
30
20
6
3
1
0
0
30
22
4
3
1
0
0
30
64
16
7
3
0
0
90
Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Kelurahan Pondok Jaya Jumlah
Hasil data ini sangat berbeda dengan cluster tidak miskin di mana hampir di tiga kelurahan paling banyak respondennya menginginkan investasi yang bernilai di atas atau sama dengan Rp. 5.000.000. Ini bisa menjadi informasi yang penting bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan dana yang tepat bagi usaha kecil menengah untuk masyarakat miskin agar tidak salah sasaran yang tentu saja berbeda jumlah bantuannya untuk masyarakat yang relatif tidak miskin. Table 14. Wilayah dengan nilai investasi yang diinginkan untuk membangun usaha pada responden cluster miskin
Wilayah kelurahan tempat tinggal Kelurahan Bedahan Kelurahan Leuwinanggung Kelurahan Pondok Jaya Jumlah
Berapa nilai investasi usaha anda (jika belum punya usaha, arahkan pada rencana usaha yang anda inginkan)? (FMU02) Rp. Rp. Rp. Rp. 4.000.001 3.000.001 2.000.001 1.000.001 ≥ Rp ≤ Rp. – Rp – Rp – Rp – Rp 5.000.001 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000
Jumlah
7
6
8
7
2
0
30
3
8
11
7
1
0
30
15
0
3
7
5
0
30
25
14
22
21
8
0
90
5.2.7. Pekerjaan dengan semangat berkelompok Semangat berkelompok melalui pernyataan kesetujuan atau ketidak-setujuan terhadap pembangunan usaha mandiri secara berkelompok dibanding secara sendiri akan dilihat pemetaan tanggapannya dari responden berdasarkan karakteristik pekerjaannya. Dari data tabulasi untuk cluster tidak miskin pada Tabel 15. di bawah, terlihat dari jenis pekerjaan responden sebagai PNS, wirausaha dan
72
karyawan swasta paling banyak menyatakan bahwa jika ingin membangun usaha mereka lebih ingin berkelompok dibanding secara sendiri. Namun tidak demikian dengan responden yang berprofesi sebagai petani yang menginginkan membangun usaha secara sendiri dibanding berkelompok. Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh responden dari cluster miskin di mana responden yang berprofesi sebagai petani dan pekerja lepas menyatakan kurang setuju jika membangun usaha mandiri dengan berkelompok. Ini sama dengan hasil pada cluster tidak miskin di mana petaninya juga berpendapat demikian. Namun berbeda dengan wirausaha dan yang tidak bekerja yang justru sangat setuju jika membangun usaha secara berkelompok. Tabel 15. Pekerjaan dengan pemilihan membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri pada cluster tidak miskin
Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Apakah jika ingin membangun usaha, anda lebih memilih berkelompok dibanding usaha sendiri? (SMBK01) Tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 2 4 4 3 0 0
Petani
0
1
0
4
0
Jumlah
13
0
5 29
Wirausaha
4
11
8
6
0
0
Pekerja Lepas
0
0
0
0
0
0
0
Karyawan Swasta
2
22
19
0
0
0
43
Tidak bekerja
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
8
38
31
13
0
0
90
Tabel 16. Pekerjaan dengan pemilihan membangun usaha secara berkelompok dibanding secara sendiri pada cluster miskin
Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Apakah jika ingin membangun usaha, anda lebih memilih berkelompok dibanding usaha sendiri? (SMBK01) tidak, ya, tidak, tidak, Ya, sangat Ya, sangat cukup kurang tidak setuju setuju tidak setuju setuju setuju setuju 0 0 0 0 0 0
Petani
2
8
0
Jumlah
0
9
5
0
24
Wirausaha
11
8
7
7
0
0
33
Pekerja Lepas Karyawan Swasta Tidak bekerja
2
5
5
10
0
0
22
0
0
0
0
0
0
0
11
0
0
0
0
0
11
Jumlah
26
21
12
26
5
0
90
73
5.2.8. Pekerjaan dengan faktor pekerjaan Pada data tabulasi di bawah, pada Tabel 17. terlihat bahwa dari responden dari cluster tidak miskin yang berprofesi sebagai PNS, petani, wirausaha dan karyawan swasta paling banyak menyatakan bahwa pekerjaan yang sedang digeluti saat ini layak untuk penghidupan keluarga. Namun berbeda dengan data tabulasi pada cluster miskin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18. di mana sebagian besar responden yang berprofesi sebagai petani tidak setuju jika pekerjaan yang sedang mereka geluti saat ini dapat dikatakan layak untuk penghidupan. Berbeda dengan wirausaha yang sebagian mengatakan cukup setuju jika pekerjaan yang sedang mereka geluti saat ini dikatakan layak untuk penghidupan keluarga mereka, namun sebagian lagi mengatakan kurang setuju dan bahkan tujuh orang responden mengatakan sangat tidak setuju. Sedangkan untuk responden yang berprofesi sebagai pekerja lepas, menyatakan cukup setuju jika pekerjaan yang sedang mereka geluti saat ini dikatakan layak untuk penghidupan keluarga mereka yang berbeda dengan responden yang menganggur dan belum mendapatkan pekerjaan yang menyatakan kurang setuju jika pekerjaan yang sedang digeluti layak untuk penghidupan keluarga. Tabel 17. Pekerjaan dengan tingkat kelayakan pekerjaan untuk penghidupan keluarga pada cluster tidak miskin Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 0 5 6 0 2 0
Jumlah
13
Petani
0
0
3
0
2
0
5
Wirausaha
11
6
6
4
2
0
29
Pekerja Lepas
0
0
0
0
0
0
0
Karyawan Swasta
19
12
12
0
0
0
43
Tidak bekerja
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
30
23
27
4
6
0
90
74
Tabel 18. Pekerjaan dengan tingkat kelayakan pekerjaan untuk penghidupan keluarga pada cluster miskin Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 0 0 0 0 0 0
Jumlah
0
Petani
0
0
7
4
13
0
24
Wirausaha
0
0
12
12
2
7
33
Pekerja Lepas
0
2
11
9
0
0
22
Karyawan Swasta
0
0
0
0
0
0
0
Tidak bekerja
0
0
1
6
4
0
11
Jumlah
0
2
31
31
19
7
90
5.2.9. Pekerjaan dengan kebijakan Pekerjaan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada data tabulasi yang berasal dari responden cluster tidak miskin seperti yang terdapat pada Tabel 19., terlihat bahwa responden yang berprofesi sebagai PNS menyatakan cukup setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Sebagian responden yang berprofesi sebagai petani menyatakan kurang setuju dan sebagian lagi menyatakan tidak setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Berbeda dengan responden yang berprofesi sebagai wirausaha. Sebagian besar mereka menyatakan setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Sedangkan bagi responden yang berprofesi sebagai karyawan swasta, pernyataan mereka cenderung menyebar. Sekitar empat belas responden menyatakan setuju dan cukup setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Namun lima belas responden lainnya menyatakan kurang setuju.
75
Tabel 19. Pekerjaan dengan kebijakan pemerintah di bidang usaha pada responden cluster tidak miskin Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat (KUSH03) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 0 3 5 4 1 0
Jumlah
13
Petani
0
1
0
2
2
0
5 29
Wirausaha
0
13
7
8
1
0
Pekerja Lepas
0
0
0
0
0
0
0
Karyawan Swasta
0
14
14
15
0
0
43
Tidak bekerja
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
0
31
26
29
4
0
90
Tabel 20. Pekerjaan dengan kebijakan pemerintah di bidang usaha pada responden cluster miskin Pekerjaan (36 jam/minggu)
PNS
Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat (KUSH03) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, ya, sangat sangat cukup kurang tidak setuju tidak setuju setuju setuju setuju setuju 0 0 0 0 0 0
Jumlah
0
Petani
0
0
3
13
6
2
24
Wirausaha
0
0
6
10
8
9
33
Pekerja Lepas
0
0
0
12
7
3
22
Karyawan Swasta
0
0
0
0
0
0
0
Tidak bekerja
0
0
2
0
0
9
11
Jumlah
0
0
11
35
21
23
90
Hasil berbeda didapat dari data tabulasi untuk cluster miskin seperti yang terlihat pada Tabel 20. Sebagian besar responden yang berprofesi sebagai petani, wirausaha dan pekerja lepas menyatakan kurang setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. Sedangkan sebagian besar responden cluster miskin yang tidak bekerja, menyatakan sangat tidak setuju bahwa program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. 5.2.10. Pendapatan dengan jumlah anggota keluarga yang ditanggung Berdasarkan data pada tabel tabulasi pada cluster tidak miskin di bawah (Tabel 21.), sebagian besar responden yang mempunyai tingkat pendapatan berkisar antara Rp. 300.001 - Rp. 500.000, mempunyai jumlah keluarga inti sebagai tanggungan berjumlah empat orang
76
tanggungan. Responden dengan jumlah pendapatan berkisar antara Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 , paling banyak mempunyai tanggungan berjumlah antara satu dan dua orang tanggungan. Sedangkan untuk responden yang mempunyai pendapatan antara Rp. 700.001 sampai dengan Rp. 900.000, menyatakan mempunyai tanggungan berkisar antara dua dan empat orang tangungan. Hasil data yang berbeda ditunjukkan oleh responden yang mempunyai pendapatan lebih besar dari Rp. 1.100.000, dengan jumlah tanggungan berkisar antara tiga sampai empat orang tangungan. Pada responden cluster miskin (Tabel 22.), pada pendapatan tidak lebih dari Rp. 300.000, mempunyai tanggungan tiga orang tanggungan. Kemudian responden yang mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000 paling besar mempunyai
tanggungan
berjumlah
lebih
dari
empat
orang
tanggungan. Sedangkan responden yang mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000, sebagian besar mempunyai tanggungan berjumlah satu orang tanggungan. Untuk responden yang mempunyai pendapatan berkisar antaraRp. 700.001 sampai dengan Rp. 900.000 paling besar mempunyai tanggungan berjumlah lebih dari empat orang tanggungan. Responden dengan rentang pendapatan yang lebih dari Rp. 1.100.000, mempunyai tanggungan berjumlah satu orang tanggungan Tabel 21. Pendapatan dengan jumlah anggota keluarga inti yang ditanggung pada cluster tidak miskin Jumlah keluarga inti yang ditanggung (JAKD01) Tingkat pendapatan perbulan
Jumlah
Tidak punya sama sekali
1
2
3
4
>4
≤Rp. 300.000,-
0
0
0
0
0
0
0
Rp. 300.001,- - Rp. 500.000,-
0
0
0
0
3
0
3
Rp. 500.001,- - Rp. 700.000,-
0
2
2
1
1
0
6
Rp. 700.001,- - Rp. 900.000,-
0
0
1
0
1
0
2
Rp. 900.001,- - Rp. 1.100.000,-
0
0
0
0
0
0
0
≥Rp. 1.100.000,-
0
1
31
33
8
6
79
Jumlah
0
3
34
34
13
6
90
77
Tabel 22. Pendapatan dengan jumlah anggota keluarga yang ditanggung pada cluster miskin Jumlah keluarga inti yang ditanggung (JAKD01) Tingkat pendapatan perbulan
Jumlah
≤Rp. 300.000,-
Tidak punya sama sekali 0
0
1
3
0
0
4
Rp. 300.001,- - Rp. 500.000,-
4
4
7
6
3
8
32
Rp. 500.001,- - Rp. 700.000,-
7
11
3
10
5
10
46
Rp. 700.001,- - Rp. 900.000,-
1
2
0
1
0
3
7
Rp. 900.001,- - Rp. 1.100.000,-
0
0
0
0
0
0
0
≥Rp. 1.100.000,-
0
1
0
0
0
0
1
Jumlah
12
18
11
20
8
21
90
1
2
3
4
>4
5.2.11. Pendapatan dengan tingkat pengeluaran Pendapatan setiap orang dapat menutupi atau tidak dapat menutupi pengeluarannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin mungkin dia menutupi pengeluarannya, begitupun sebaliknya semakin rendah pendapatan seseorang, maka semakin mungkin pula dia tidak dapat menutupi pengeluarannya. Dari data tabulasi di bawah pada Tabel 23. bagi cluster tidak miskin, sebagian besar responden yang mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000 mempunyai pengeluaran berkisar antara Rp. 200.001 sampai dengan Rp. 300.000. Responden yang mempunyai pendapatan berkisar antaraRp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 mempunyai pengeluaran yang berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 400.000. Sedangkan untuk responden yang mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 700.001 sampai dengan Rp. 900.000 mempunyai pengeluaran yang berkisar lebih dari Rp. 500.000 dan pengeluaran yang berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 400.000. Untuk responden yang mempunyai pendapatan berkisar lebih dari Rp. 1.100.000 sebagian besar menyatakan mempunyai pengeluaran rutin perbulan dengan jumlah yang lebih dari Rp. 500.000. Dari data di bawah pada Tabel 24. tabulasi bagi cluster miskin, responden yang mempunyai pendapatan tidak lebih dari Rp. 300.000 mempunyai pengeluaran rutin perbulannya berkisar antara Rp. 400.001 sampai dengan Rp. 500.000. Responden yang mempunyai
78
pendapatan berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000 paling banyak respondennya mempunyai pengeluaran yang berkisar antara Rp. 200.001 sampai dengan Rp. 300.000. Sedangkan untuk responden yang mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 paling banyak mempunyai pengeluaran yang berkisar lebih dari Rp. 400.001 sampai dengan Rp. 500.000. Untuk responden yang mempunyai pendapatan yang lebih besar dari Rp. 1.100.000 mempunyai pengeluaran yang berkisar antara Rp. 400.000 sampai dengan Rp. 500.000. Tabel 23. Pendapatan dengan tingkat pengeluaran rutin pebulan untuk cluster tidak miskin Berapa pengeluaran rutin perbulan anda? (TKPG01) Tingkat pendapatan perbulan
> Rp. 500.000
Rp. 400.001,- Rp. 500.000
Rp. 300.001,- Rp. 400.000
Rp. 200.001,- Rp. 300.000
Rp. 100.001,- Rp. 200.000
≤ Rp. 100.000
Jumlah
≤Rp. 300.000,-
0
0
0
0
0
0
0
Rp. 300.001,- Rp. 500.000,-
0
0
1
2
0
0
3
Rp. 500.001,- Rp. 700.000,-
0
1
3
2
0
0
6
Rp. 700.001,- Rp. 900.000,-
1
0
1
0
0
0
2
Rp. 900.001,- Rp. 1.100.000,-
0
0
0
0
0
0
0
≥Rp. 1.100.000,-
66
8
2
3
0
0
79
Jumlah
67
9
7
7
0
0
90
79
Tabel 24. Pendapatan dengan tingkat pengeluaran rutin pebulan untuk cluster miskin Berapa pengeluaran rutin perbulan anda? (TKPG01) Tingkat pendapatan perbulan
> Rp. 500.000
Rp. 400.001,- Rp. 500.000
Rp. 300.001,- Rp. 400.000
Rp. 200.001,- Rp. 300.000
Rp. 100.001,- Rp. 200.000
≤ Rp. 100.000
Jumlah
≤Rp. 300.000,-
0
4
0
0
0
0
4
Rp. 300.001,- Rp. 500.000,-
0
7
9
13
0
3
32
Rp. 500.001,- Rp. 700.000,-
4
14
9
9
5
5
46
Rp. 700.001,- Rp. 900.000,-
1
4
1
1
0
0
7
Rp. 900.001,- Rp. 1.100.000,-
0
0
0
0
0
0
0
≥Rp. 1.100.000,-
0
1
0
0
0
0
1
Jumlah
5
30
19
23
5
8
90
5.2.12. Pendapatan dengan faktor pekerjaan Responden dari cluster tidak miskin seperti terlihat pada Tabel 25. yang mempunyai pendapatan yang berkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000, sebagian besar menyatakan cukup setuju bahwa pekerjaan yang sedang digeluti layak untuk penghidupan keluarga. Namun, tidak demikian dengan responden yang mempunyai tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 di mana sebagian besar menyatakan kurang setuju dengan kelayakan pekerjaan yang sedang mereka geluti saat ini. Sedangkan pada responden cluster tidak miskin, hanya ada dua responden yang mempunyai tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp. 700.001 sampai dengan Rp. 900.000 dan keduanya menyatakan setuju dan tidak setuju terhadap kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti saat ini. Namun untuk responden yang mempunyai pendapatan lebih besar dari Rp. 1.100.000 kesemuanya menyatakan sangat setuju terhadap kelayakan pekerjaan yang sedang mereka geluti saat ini. Pada data tabulasi untuk responden cluster miskin seperti yang terdapat pada Tabel 26. terlihat adanya perbedaan dengan data tabulasi bagi responden cluster tidak miskin. Responden cluster miskin dengan
80
tingkat pendapatan tidak lebih dari Rp. 300.000, semuanya menyatakan tidak setuju dengan kelayakan pekerjaan mereka untuk penghidupan keluarga. Ini sesuai dengan tingkat pendapatannya yang sangat kecil di bawah standar gari kemiskinan. Kemudian responden dengan tingkat pendapatan yang berrkisar antara Rp. 300.001 sampai dengan Rp. 500.000, paling banyak menyatakan cukup setuju dengan kelayakan pekerjaan yang sedang mereka geluti untuk penghidupan keluarga. Berbeda dengan responden dengan tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp. 500.001 sampai dengan Rp. 700.000 di mana paling banyak menyatakan kurang setuju terhadap kelayakan pekerjaan yang sedang mereka geluti. Ini membuktikan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi ternyata belum dapat dikatakan memuaskan bagi pekerjanya. Begitupun dengan responden dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi lagi yakni berkisar antara Rp. 700.001 sampai dengan Rp. 900.000 yang justru juga menyatakan kurang
setuju
dengan
tingkat
kelayakan
pekerjaannya
bagi
penghidupan keluarga. Responden dengan tingkat pendapatan yang terakhir yang lebih besar dari Rp. 1.100.000 dari cluster miskin hanya satu orang responden dan menyatakan cukup stuju dengan kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga. Tabel 25. Pendapatan dengan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada responden cluster tidak miskin Tingkat pendapatan perbulan
≤Rp. 300.000,Rp. 300.001,- - Rp. 500.000,Rp. 500.001,- - Rp. 700.000,Rp. 700.001,- - Rp. 900.000,Rp. 900.001,- - Rp. 1.100.000,≥Rp. 1.100.000,Jumlah
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju
Jumlah
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
0
3
0
0
2
3
1
0
6
0
1
0
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0
0
30
22
23
1
3
0
79
30
23
27
4
6
0
90
81
Tabel 26. Pendapatan dengan tingkat kelayakan pekerjaan yang sedang digeluti untuk penghidupan keluarga pada responden cluster miskin Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga (FKPK02) tidak, Ya, ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju
Tingkat pendapatan perbulan
Jumlah
≤Rp. 300.000,-
0
0
0
0
4
0
4
Rp. 300.001,- - Rp. 500.000,-
0
0
12
9
9
2
32
Rp. 500.001,- - Rp. 700.000,-
0
2
15
18
6
5
46
Rp. 700.001,- - Rp. 900.000,-
0
0
3
4
0
0
7
0
0
0
0
0
Rp. 900.001,- - Rp. 1.100.000,-
0
0
≥Rp. 1.100.000,-
0
0
1
0
0
0
1
Jumlah
0
2
31
31
19
7
90
5.2.13. Pendidikan dengan faktor karakter Responden cluster tidak miskin seperti terlihat pada Tabel 27. dengan pendidikan terakhir SMP/MTs, SMK/SMEA dan SMA/MA sebagian besar menyatakan cukup tepat waktu jika mengembalikan pinjaman. Hasil berbeda diperlihatkan oleh responden cluster tidak miskin
yang
mempunyai
tingkat
pendidikan
setara
dengan
D3/S1/pascasarjana yang sebagian besar menyatakan sangat tepat waktu jika mengembalikan pinjaman. Tabel 27. Pendidikan dengan tingkat ketepatan waktu pengembalian pinjaman pada responden cluster tidak miskin Pendidikan terakhir
Tidak mempunyai pendidikan SD/MI
Apakah jika anda meminjam uang, anda tepat waktu mengembalikan? (FAKK02) Ya, Tidak, Tidak, Tidak, Ya, sangat kurang tidak sangat Ya, tepat tepat tepat tepat tidak tepat cukup waktu waktu waktu waktu waktu 0
0
0
0
0
0
Jumlah
0
0
0
0
0
0
0
0
SMP/MTs
0
6
10
2
0
0
18
SMK/SMEA
0
1
6
1
1
0
9
SMA/MA
0
0
3
2
0
0
5
D3/S1/Pascasarjana
28
17
12
1
0
0
58
Jumlah
28
24
31
6
1
0
90
Bila dibandingkan dengan responden dari cluster miskin, terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata pada Tabel 28. Responden dari
82
cluster miskin yang hanya memiliki pendidikan terakhir SD/MI, SMP/MTs dan SMK/SMEA paling banyak di antaranya menyatakan tidak tepat waktu jika mengembalikan pinjaman. Dan untuk responden cluster miskin yang memliki pendidikan terakhir SMA/MA terbagi dua antar yang menyatakan tepat waktu dan yang menyatakan kurang tepat waktu dalam hal pengembalian pinjaman. Tabel 28. Pendidikan dengan tingkat ketepatan waktu pengembalian pinjaman pada responden cluster miskin Apakah jika anda meminjam uang, anda tepat waktu mengembalikan? (FAKK02) Pendidikan terakhir
Tidak mempunyai pendidikan SD/MI
Ya, sangat tepat waktu
Ya, tepat waktu
Ya, cukup
Tidak, kurang tepat waktu
0
0
0
0
Tidak, tidak tepat waktu
Tidak, sangat tidak tepat waktu
0
0
Jumlah
0
0
4
2
6
8
0
20
SMP/MTs
5
4
6
15
2
1
33
SMK/SMEA
3
5
6
13
4
0
31
SMA/MA
0
3
0
3
0
0
6
D3/S1/Pascasarjana
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
8
16
14
37
14
1
90
5.2.14.Pendidikan dengan faktor pendampingan Responden dari cluster tidak miskin seperti terlihat pada Tabel 29. yang hanya mempunyai tingkat pendidikan terakhir SMP/MTs, sebagian besar menyatakan boleh saja didampingi dan diarahkan jika ingin membangun usaha mandiri. Sedangkan untuk responden yang berpendidikan terakhir SMK/SMEA sebagian besar menyatakan mau untuk didampingi dan untuk responden yang berpendidikan terakhir SMA/MA terbagi dua pendapat yang menyatakan boleh saja dan yang menyatakan kurang setuju jika didampingi dan diarahkan ketika ingin membangun usaha mandiri. Sedangkan untuk responden cluster tidak miskin
yang
D3/S1/pascasarjana
mempunyai sebagian
pendidikan besar
terakhir
menyatakan
mau
didampingi dan diarahkan untuk membangun usaha mandiri.
setara untuk
83
Hasil yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh responden cluster miskin pada Tabel 30. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai SD/MTs dan SMA/MA sebagian besar menyatakan mau untuk didampingi. Sedangkan untuk responden dengan tingkat pendidikan terakhir SMP/MTs dan SMK/SMEA paling banyak menyatakan sangat mau untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha. Tabel 29. Pendidikan dengan tingkat kemauan untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha mandiri pada responden cluster tidak miskin
Pendidikan terakhir Tidak mempunyai pendidikan SD/MI
Apakah anda mau untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha? (FPND01) Tidak, Ya, Ya, Tidak, Tidak, sangat Ya, sangat boleh kurang tidak tidak mau mau saja setuju setuju setuju
Jumlah
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SMP/MTs
0
4
11
3
0
0
18
SMK/SMEA
1
4
3
1
0
0
9
SMA/MA
0
1
2
2
0
0
5
D3/S1/Pascasarjana
21
29
8
0
0
0
58
Jumlah
22
38
24
6
0
0
90
Tabel 30. Pendidikan dengan tingkat kemauan untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha mandiri pada responden cluster miskin Pendidikan terakhir
Apakah anda mau untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha? (FPND01) Tidak, Ya, Ya, Tidak, Tidak, sangat Ya, sangat boleh kurang tidak tidak mau mau saja setuju setuju setuju
Jumlah
Tidak mempunyai pendidikan SD/MI
3
6
4
4
0
3
20
SMP/MTs
17
3
7
3
3
0
33
SMK/SMEA
13
4
8
4
2
0
31
0
0
0
0
0
0
0
SMA/MA
2
3
1
0
0
0
6
D3/S1/Pascasarjana
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
35
16
20
11
5
3
90
5.2.15.Pendidikan dengan kebijakan Responden yang berpendidikan SMP/MTs yang berasal dari cluster tidak miskin seperti terlihat pada Tabel 31. sebagian besar menyatakan kurang setuju jika program-program pemerintah di bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini dikatakan
84
sudah baik dan tepat sasaran. Untuk responden dengan tingkat pendidikan SMK/SMEA terbagi dua pendapat yang menyatakan setuju dan yang menyatakan kurang setuju. Namun bagi responden dengan tingkat pendidikan SMA/MA dan D3/S1/pascasarjana paling banyak menyatakan cukup setuju jika program pemerintah di bidang pendidikan dikatakan sudah baik dan tepat sasaran. Ini berbeda dengan pendapat dari responden pada cluster miskin seperti yang terlihat pada Tabel 32. Responden dengan tingkat pendidikan hanya sampai SD/MI dan yang berpendidikan SMA/MA sebagian besar menyatakan kurang setuju jika program pemerintah di bidang pendidikan dikatakan sudah baik dan tepat sasaran. Sedangkan responden yang berpendidikan terakhir SMP/MTs sebagian besar menyatakan
cukup
setuju.
Responden
yang
berpendidikan
SMK/SMEA terbagi menjadi dua pendapat antara yang menyatakan cukup setuju dengan yang menyatakan kurang setuju jika program pemerintah di bidang pendidikan saat ini dikatakan sudah baik dan tepat sasaran. Tabel 31. Pendidikan dengan tingkat kesetujuan responden dengan anggapan program pemerintah di bidang pendidikan sudah baik dan tepat sasaran pada cluster tidak miskin.
Pendidikan terakhir
Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran (KPNDK01) Ya, ya, tidak, tidak, tidak, ya, sangat scukup kurang tidak sangat setuju setuju setuju setuju setuju tidak setuju
Jumlah
Tidak mempunyai pendidikan
0
0
0
0
0
0
0
SD/MI
0
0
0
0
0
0
0
SMP/MTs
1
6
3
8
0
0
18
SMK/SMEA
0
4
4
1
0
0
9
SMA/MA
0
1
3
1
0
0
5
D3/S1/Pascasarjana
15
20
23
0
0
0
58
Jumlah
16
31
33
10
0
0
90
85
Tabel 32. Pendidikan dengan tingkat kesetujuan responden dengan anggapan progrm pemerintah di bidang pendidikan sudah baik dan tepat sasaran pada cluster miskin Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran (KPNDK01) tidak, Ya, Ya, tidak, tidak, sangat ya, sangat cukup kurang tidak tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju
Pendidikan terakhir
Tidak mempunyai pendidikan SD/MI
0
0
0
SMP/MTs
1
SMK/SMEA
0
0
0
0
0
4
11
2
11
4
3
8
8
Jumlah
0
0
5
0
20
3
12
33
7
5
31
SMA/MA
0
0
1
5
0
0
6
D3/S1/Pascasarjana
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
1
5
24
28
15
17
90
5.3. Tingkat Kondisi Kemiskinan Leuwinanggung dan Pondok Jaya
di
Tiga
Kelurahan:
Bedahan,
Tingkat kondisi kemiskinan di lokasi penelitian di Kota Depok dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Rataan skor responden Tidak Miskin Skor 1
2
3
4
5
6
No
Pernyataan
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Rataan Skor
1
Kepemilikan aset ekonomi
37
8%
42
9%
38
8%
5
1%
51
11%
277
62%
4.83
2
Pendidikan
0
0%
0
0%
24
13%
0
0%
39
22%
117
65%
5.38
3
Pendapatan
0
0%
10
6%
9
5%
32
18%
8
4%
121
67%
5.23
0
0%
6
3%
15
8%
17
9%
35
19%
107
59%
5.23
2
1%
9
5%
13
7%
22
12%
63
35%
71
39%
4.93
3
2%
4
2%
19
11%
19
11%
63
35%
72
40%
4.95
5
Konsumsi Pakaian Konsumsi Makan
6
Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik
4
Hasil akhir
5.09
86
Tabel 34. Rataan skor responden Miskin Skor 1
2
3
4
5
6
No
Pernyataan
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Rataan Skor
1
Kepemilikan aset ekonomi
151
34%
66
15%
112
25%
30
7%
79
18%
12
3%
2.68
2
Pendidikan
10
6%
17
9%
61
34%
81
45%
11
6%
0
0%
3.37
3
Pendapatan
8
4%
55
31%
71
39%
28
16%
18
10%
0
0%
2.96
20
11%
30
17%
84
47%
45
25%
1
1%
0
0%
2.87
0
0%
43
24%
46
26%
84
47%
7
4%
0
0%
3.31
32
18%
40
22%
66
37%
23
13%
18
10%
1
1%
2.77
5
Konsumsi Pakaian Konsumsi Makan
6
Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik
4
Hasil akhir
2.99
Berdasarkan hasil pengolahan di atas, hasil akhir rataan skor untuk cluster tidak miskin adalah sebesar 5,09. Ini mengartikan bahwa kondisi kemiskinan di tiga kelurahan di kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya berdasarkan cluster tidak miskin berada pada range 4,334-5,166 yang
tergolong tidak miskin. Kondisi masyarakat yang tergolong tidak
miskin belum dapat dijadikan contoh keberhasilan, karena masih terdapat perbedaan kondisi ekonomi yang sangat jauh berbeda antar masyarakat dalam satu wilayah kelurahan. Sebagai contoh adalah kelurahan Pondok Jaya di mana hasil akhir rataan skor untuk cluster miskin adalah sebesar 2,99 yang mengartikan bahwa kondisi kemiskinan di tiga kelurahan di kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya berdasarkan cluster miskin berada pada range 2,667-3,499 yang tergolong cukup miskin justru memiliki lokasi perumahan elit Permata Depok Regency. Kondisi demikian justru menambah panjang pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah agar kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya dapat merata ke seluruh lapisan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang hanya cukup miskin pada responden cluster miskin. Faktor-faktor tersebut dapat disebabkan oleh
87
keenam indikator kemiskinan tersebut didasarkan pada indikator kemiskinan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kota Depok, yaitu : 1. Kepemilikan aset ekonomi : tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai lebih dari Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), seperti: kendaraan bermotor (kredit/non kredit), emas (atau perhiasan lain yang mempunyai nilai jual), kapal motor atau barang modal lainnya (rumah dan tanah bersertifikat). 2. Pendidikan : pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah, tidak tamat SD atau hanya SD. 3. Pendapatan : sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah perbulan). 4. Konsumsi pakaian : hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 5. Konsumsi makan : hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari. 6. Kesanggupan membayar biaya pengobatan puskesmas/poliklinik: tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/poliklinik. Dari keenam indikator tersebut, penentuan tingkat kemiskinan dapat menjadi menjadi sangat selektif memilih seseorang atau sebuah keluarga untuk dikategorikan ke dalam golongan miskin dimana pada contoh kepemilikan aset ekonomi, seseorang yang mempunyai motor dengan nilai lebih dari Rp. 500.000 tidak bisa langsung dikategorikan tidak miskin. Demikian juga dengan kepemilikan rumah dengan sertifikat di mana belum dapat ditentukan orang yang memilikinya tersebut dikatakan tidak miskin. Sebagian besar masyarakat pada cluster miskin mempunyai rumah yang bersertifikat meskipun keadaan interior rumah terkadang tidak layak huni. Begitupun juga dengan kendaraan: motor, becak, bajaj, atau bahkan kendaraan sewa seperti angkot atau ojek motor baik untuk pribadi atau pun untuk usaha yang dapat mempengaruhi kondisi kepemilikan aset ekonomi
88
sehingga dapat meloloskan mereka dari kategori kemiskinan. Contoh lain adalah pendidikan, jika suatu keluarga memiliki kepala keluarga yang mempunyai pendidikan terakhir adalah sekolah menengah pertama (SMP), maka belum bisa disimpulkan bahwa keluarga tersebut tergolong keluarga tidak miskin. Ini terbukti dari hasil survey yang menunjukkan bahwa 37% kepala keluarga warga dari cluster mikin adalah berpendidikan terakhir SMP/MTs, 34% SMK/SMEA, dan 7% SMA. Ini berarti 88% kepala rumah tangga di tiga kelurahan tersebut lolos dari kategori kemiskinan untuk bidang pendidikan dan hanya 22% yang masuk ke dalam kategori miskin yaitu kepala keluarga yang hanya berpendidikan terakhir SD atau yang lebih rendah lagi. Kemudian pendapatan yang berkisar diatas Rp. 600.000 tidak menjamin bahwa keluarga yang mempunyai pendapatan tersebut dikatakan tidak miskin. Berdasarkan hasil survey, 51% warga dari cluster miskin mempunyai pendapatan yang berkisar antara Rp. 500.001-Rp. 700.000 per bulan. Berdasarkan ketetapan pemerintah mengenai batas garis kemiskinan yaitu berada pada tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp. 600.000 per bulan, maka 51% warga cluster miskin tersebut akan tepat berada pada garis kemiskinan sedangkan hanya 4% yang mempunyai pendapatan di bawah Rp. 300.000 sehingga masuk ke dalam kategori sangat miskin. Begitupun halnya dengan konsumsi pakaian. Membeli lebih dari satu stel pakaian baru dalam setahun juga tidak dapat dikatakan tidak miskin. Pembelian pakaian dapat bersifat frekuentatif dan tidak tentu. Konsumsi makan juga demikian di mana jika suatu keluarga mengkonsumsi makanan tiga kali dalam sehari tidak lantas dapat diartikan bahwa keluarga tersebut tidak miskin. Kategori terakhir yaitu
indikator
kesanggupan
membayar
biaya
pengobatan
puskesmas/poliklinik. Suatu keluarga yang bisa membayar biaya pengobatan anggota keluarganya belum dapat diartikan bahwa keluarga tersebut tidak miskin. Demikian juga apabila ada warga yang tidak mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), maka tidak otomatis dikatakan tidak miskin. Dengan demikian jika dilihat dari beberapa faktor penyebab perbedaan hasil kondisi kemiskinan dengan data yang didasarkan dari data base pemerintah kota Depok, akan
89
terlihat bahwa kemiskinan pada kondisi tertentu merupakan hal yang cukup subjektif dan tergantung dari sudut pandang kemiskinan itu sendiri dan karakteristik sampel yang diambil. 5.4. Hasil dan Interpretasi Data 5.4.1. Hasil Analisis SEM Analisi SEM digunakan untuk menjawab salah satu tujuan pada penelitian yaitu mengetahui hubungan antara faktor-faktor penyebab kemiskinan dengan kemiskinan. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel yang tidak dapat diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator(variabel laten) sehingga perlu menggunakan analisis SEM dalam penelitian ini. Relasi (teman kerja, sahabat) (RLS02), jumlah anggota keluarga yang ditanggung (JAKD01), semangat berkelompok (SMBK01), tingkat pengeluaran (TKPG01), faktor pekerjaan (FKPK02), faktor akses usaha (FAU01), faktor karakter (FAKK02), faktor modal usaha (akses keuangan) (FMU02), faktor keterampilan (FKTRM04), faktor pendampingan (FPND01), dan kebijakan pemerintah (KPNDK01, KKSHT02, KUSH03, dan KSP04) adalah faktor penyebab kemiskinan yang merupakan variabel laten bebas (independen) (ξ) karena dapat mempengaruhi kemiskinan. Sedangkan untuk kemiskinan merupakan variabel laten tak bebas (dependen) (η) karena dipengaruhi oleh faktor penyebab kemiskinan. Ada sebelas hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, telah diperoleh hasil penilaian model fit. Nilai chisquare sebesar 250,97, df sebesar 97, RMSEA sebesar 0,094. Salah satu indikator Goodness of Fit adalah rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom (χ2/df). Maka rasio penelitian ini adalah 250,97/97 = 2,587. hasil ini lebih rendah dibanding model fit yang disarankan oleh Wheatong dalam Ghazali 2005, yaitu 5, dan lebih tinggi dari pada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver dalam Ghazali 2005, yaitu 2. Model sebenarnya memiliki fit yang baik jika dapat mengendalikan kompleksitas model. Nilai RMSEA
90
91
adalah sebesar 0,094. Hal tersebut mengindikasikan bahwa model memiliki fit yang cukup karena berkisar antara 0,08 sampai dengan 0,1 (MacCallum et al dalam Ghazali, 2005). Nilai NCP (NonCentrality
Parameter
digunakan
untuk
mengukur
tingkat
penyimpangan antara sample covariance matrix dan fitted (model) covariance matrix.
Estimasi NCP sebesar 170.98 dan confidence
intervalnya adalah 125.64 ; 223.98. Model dikatakan baik apabila memiliki NCP yang kecil. Nilai 170,98 adalah besar sehingga tidak begitu baik dan 90 persen dari nilai NCP akan jatuh pada range tersebut. Suatu model dapat dikatakan fit apabila memiliki nilai NFI (Normed Fit Index) lebih besar dari 0,9. Model pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai NFI lebih besar dari 0,9 yaitu 1,00 sehinga sudah fit. Begitupun juga kalau menggunakan NNFI (Non-Normed Fit Index) yang dapat membantu mengatasi permasalahan kompleksitas model dalam perhitungan NFI. Nilai Non-Normed Fit Index (NNFI) dalam penelitian ini adalah sebesar 1.02 sehingga dapat disimpulkan bahwa model fit adalah reasonable (Diamantopoulus dan Siguaw dalam Ghazali 2005). Goodness of Fit Index (GFI) dalam penelitian ini adalah sebesar 0.99. GFI merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam menghasilkan observed matriks kovarians. Nilai GFI yang lebih besar dari 0,9 dapat dikatakan adalah suatu model yang baik (Diamantopoulus dan Siguaw dalam Ghazali 2005). Ini menunjukkan bahwa model penelitian ini mempunyai fit yang baik. Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) telah menyesuaikan pengaruh degrees of freedom pada suatu model. Model yang fit adalah yang memiliki nilai 0,9 (Diamantopaulus dan Siguaw dalam Ghazali, 2005). Nilai AGFI sebesar 1 berarti mempunyai model dengan perfect fit. AGFI pada penelitian ini adalah sebesar 0.99 yang berarti model memiliki fit yang sangat baik. AIC dan CAIC digunakan untuk menilai masalah parsimony dalam penilaian model fit. Nilai AIC dan CAIC yang lebih kecil daripada AIC model saturated dan indeependence berarti memiliki
92
model fit yang lebih baik. (Hu dan Bentler dalam Ghazali 2005). Nilai AIC model dalm penelitian ini adalah sebesar 486.98 dimana lebih besar dari model saturatednya yaitu sebesar 420.00, namun jauh lebih kecil
dibanding
model
independence
sebesar
10088.38.
Ini
menunjukkan fit model tidak lebih baik. Namun ini bisa disebabkan karena AIC lebih sensitif terhadap jumlah sampel. Sehingga perlu dilihat nilai model CAIC yang tidak sensitif dengan kompleksitas model maupun jumlah sampel, sehingga terbukti nilai model CAIC sebesar 931.43 jauh lebih kecil dibanding dengan nilai saturated dan independence-nya dengan nilai sebesar 1300.52 dan 10172.24. Ini berarti memiliki model fit yang lebih baik. Hasil
pengolahan
dengan
menggunakan
LISREL
8.30
menyatakan bahwa relasi (teman kerja, sahabat) (ξ 1 ) berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan (η). Hal ini terlihat pada nilai γ pada Gambar 30. yang merupakan hubungan langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen yaitu sebesar 0,02 yang menunjukkan berpengaruh tidak terlalu besar terhadap pengentasan kemiskinan dan t-value sebesar 0,11 yang lebih rendah dari t-value tabel untuk tingkat toleransi kesalahan 20% sebesar 1,15 (Lampiran 5) sehingga hipotesis 1 dinyatakan ditolak. Faktor
jumlah
anggota
keluarga
yang
ditanggung
(ξ 2 )
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan (η). Ini dapat dilihat dari nilai nilai koefisien konstruk (γ) sebesar 0,02 dan dapat berarti sedikit berpengaruh positif. Namun faktor tersebut memiliki t-value yang juga lebih kecil dari t tabel yaitu sebesar 0,45. Karena berpengaruh positif namun tidak signifikan tersebut, maka hipotesis 2 dapat dinyatakan ditolak. Faktor ketiga adalah semangat berkelompok (ξ3 ) dengan nilai koefisien konstruk (γ) sebesar -0,11. Ini menunjukkan semangat berkelompok berpengaruh negatif terhadap pengentasan kemiskinan. Ini terjadi karena masyarakat di tiga kelurahan di Depok lebih menginginkan untuk membangun usaha secara sendiri dibanding
93
secara berkelompok untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan. Karena dengan sendiri dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan dan ketidakpercayaan yang
menjadi resiko
dari
membangun usaha secara berkelompok atau kerja sama. Sedangkan untuk t-value sebesar -1,26 yang jauh lebih rendah dari t tabel sebesar 1,15, maka faktor semangat berkelompok tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan sehingga hipotesis 3 dapat dikatakan ditolak karena tidak berpengaruh positif serta tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor keempat adalah faktor tingkat pengeluaran (ξ 4 ). Faktor ini paling besar pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan dari faktor yang diteliti. Nilai koefisien konstruknya yaitu positif sebesar 0,26. Pengeluaran yang besar dapat mengakibatkan pemborosan terhadap
pendapatan dan
mengurangi kesempatan
menabung.
Keluarga yang mempunyai tingkat pengeluaran yang besar jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang besar, maka akan lebih sering mengalami defisit cadangan keuangan dan memiliki resiko meminjam uang dari pihak lain untuk menutupi kekurangannya sehingga akan semakin miskin dan tidak mempunyai tabungan modal untuk membangun
usaha
mandiri.
Sejalan
dengan
nilai
koefisien
konstruknya, faktor tersebut mempunyai t-value yang lebih besar dari nilai t tabel yaitu 2,61 sehingga dengan demikian dapat dikatakan hipotesis 4 diterima karena berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor kelima adalah faktor pekerjaan (ξ 5 ). Dari hasil pengolahan yang diperoleh, nilai koefisien konstruknya sebesar 0,20. Nilai ini berpengaruh cukup besar terhadap kemiskinan. Pekerjaan merupakan faktor yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap kemiskinan. Ini terlihat dari t-value sebesar 1,46 yang lebih besar dari nilai t table sebesar 1,15. Ini dikarenakan semakin tinggi tingkat kualitas pekerjaan, maka semakin mampu seseorang untuk keluar dan terhindar dari kemiskinan karena pekerjaan yang baik akan
94
mendatangkan pendapatan yang baik sehingga dapat mempunyai cukup dana tabungan untuk dijadikan cadangan serta untuk dijadikan modal
usaha
mandiri
yang
dapat
membantu
meningkatkan
kesejahteraan. Maka dengan demikian hipotesis 5 dapat dikatakan memenuhi dan diterima karena faktor pekerjaan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor keenam adalah faktor akses usaha (ξ 6 ). Nilai koefisien konstruknya lebih rendah dari koefisien konstruk faktor pekerjaan yaitu sebesar 0,15 namun mempunyai t-value sebesar 1,04 yang lebih rendah terhadap nilai t table. Hal ini menunjukkan bahwa faktor akses usaha juga mempunyai pengaruh positif tehadap pengentasan kemiskinan di mana jika seseorang mempunyai akses dalam membangun usaha, maka ia akan mempunyai banyak kesempatan untuk
membangun
usaha
yang
dapat
mengeluarkannya
dari
permasalahan kemiskinan. Namun karena tidak signifikan, maka dengan demikian hipotesis 6 dapat dikatakan ditolak karena mempunyai pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor ketujuh adalah faktor karakter (ξ 7 ). Nilai koefisien konstruknya adalah -0,01 yang artinya negatif atau mempunyai pengaruh yang kecil namun berlawanan dengan pengentasan kemiskinan. Karakter tidak berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Bagaimanapun karakter seseorang, maka tidak dapat mempengaruhi pengentasan kemiskinan secara positif. Sehingga pengentasan kemiskinan tidak akan tergantung pada karakter seseorang. Jika dilihat dari nilai signifikansinya pun faktor karakter mempunyai t-vaue sebesar -0,10 yang jauh lebih rendah dari nilai t table sebesar 1,15. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis 7 ditolak karena berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kemiskinan. Faktor kedelapan adalah faktor keterampilan (ξ 8 ). Nilai koefisien konstruknya sebesar 0,18. Nilai ini cukup besar yang berarti
95
keterampilan
cukup
besar
pengaruhnya
terhadap
pengentasan
kemiskinan. Semakin berkualitas dan banyaknya keterampilan serta keahlian seseorang, maka semakin banyak akses bagi orang tersebut untuk mengembangkan usaha atau mencari pekerjaan yang layak untuk penghidupannya. Demikian pula dengan t-value sebesar 1,94 yang jauh lebih besar dari t tabel sebesar 1,15 sehingga sangat signifikan. Maka dari itu, dengan demikian hipotesis 8 dapat dikatakan diterima karena berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor yang kesembilan adalah faktor pendampingan (ξ 9 ). Nilai koefisien konstruknya adalah sebesar -0,07. Nilai ini bernilai negatif dari semua faktor yang dapat menyebabkan pengentasan kemiskinan. Demikian pula dengan t-value sebesar -0,75 yang sangat jauh di bawah nilai t tabel sebesar 1,15 sehingga sangat tidak signifikan. Ini berarti
faktor
pendampingan
berlawanan
dengan
pengentasan
kemiskinan di mana seseorang cenderung tidak mau didampingi untuk membangun usahanya yang dapat membantu mereka mengatasi kemiskinan. Maka dengan demikian hipotesis 9 dapat dikatakan ditolak karena berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Faktor yang kesepuluh adalah faktor kebijakan (ξ 10 ). Nilai koefisien konstruk dari faktor ini adalah sebesar 0,24. Kebijakan sangat berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Ini terlihat dari t-value sebesar 1,57 yang sangat besar melebihi nilai t tabel sebesar 1,15 sehingga sangat signifikan. Kebijakan yang baik akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan pada masyarakatnya. Begitu pula dengan kebijakan yang buruk, tidak tepat sasaran dan terdapatnya penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat terkait seperti korupsi, maka
akan
sangat
menimbulkan
dampak
kemiskinan
bagi
masyarakatnya. Maka dengan demikian hipotesis 10 dapat dinyatakan diterima karena berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan.
96
5.4.2. Hubungan Indikator Kemiskinan dengan Kemiskinan di Kota Depok Dari hasil pengolahan, diperoleh hubungan antara indikator kemiskinan dengan pengentasan kemiskinan di tiga kelurahan di kota Depok. Dari keenam indikator tersebut, konsumsi pakaian (KONSP) mempunyai nilai koefisien hubungan yang paling besar (0,92). Ini mengindikasikan konsumsi pakaian pada masyarakat di tiga kelurahan tersebut mempunyai dampak yang paling besar terhadap perubahan kemiskinan yang terjadi di tiga kelurahan tersebut. Kemudian dampak terbesar kedua terjadi pada indikator pendapatan (PDPT) dengan nilai sebesar 0,89. Lalu yang ketiga adalah indikator pendidikan (PDDK) dengan nilai sebesar 0,88. Indikator keempat adalah kemampuan berobat (KMBP) yang mempunyai nilai sebesar 0,88. sedangkan untuk indikator keenam yaitu kepemilikan aset eknomi (KAE) dengan nilai 0,86 dan terakhir indikator konsumsi makanan (KONSM) dengan nilai terkecil sebesar 0,82. Dari hasil tersebut, dapat diartikan ketika terjadi perubahan peningkatan pengentasan kemiskinan dan kenaikan kesejahteraan melalui peningkatan terhadap variabel x yang positif dan signifikan, maka dampak yang paling nyata terjadi dengan adanya peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pengentasan kemiskinan adalah indikator konsumsi pakaian (KONSP). Ini dikarenakan masyarakat akan
lebih dulu memperbaiki penampilan berupa pakaian apabila
terjadi peningkatan kesejahteraan pada masyarakat di tiga kelurahan tersebut. Setelah pakaian maka yang berubah selanjutya adalah pendapatan (PDPT). Perubahan pendapatan ini sudah pasti terjadi mengikuti perubahan kemiskinan atau penngkatan kesejahteraan. Kemudian perubahan ketiga dan keempat adalah pendidikan (PDDK) dan kemampuan berobat (KMBP) di mana masyarakat akan lebih aware terhadap pendidikan bagi anggota keluarganya dan akan memperhitungkan adanya post-post pengeluaran untuk biaya berobat setelah terjadinya peningkatan cara berpenampilan dan peningkatan
97
pendapatan. Setelah itu masyarakat baru akan memperhitungkan penambahan kepemilikan aset ekonomi seperti misalnya kendaraan, perhiasan, atau barang tersier lain. Terakhir, setelah kelima indikator di atas meningkat, maka masyarakat akan mulai menentukan pola dan jenis konsumsi makan. Dari hasil di atas, dapat disimpulkan pada masyarakat di tiga kelurahan tersebut bahwa masyarakat akan lebih dulu memikirkan bagaimana cara mereka berpenampilan dan bukannya
merubah
pola
makan.
Ketika
terjadi
peningkatan
kesejahteraan, pola makan masyarakat tidak berubah karena mereka berpikir semua makanan adalah sama sehatnya demikian juga dengan makanan yang mereka makan pada saat kesejahteraan mereka berada di bawah. Namun sebaliknya, mereka beranggapan bahwa pakaian dan sesuatu yang nampak dan terlihat akan membantu mereka mendapat pengakuan dari masyarakat sekitar. 5.5. Implikasi Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan di tiga kelurahan kota Depok : Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya, menyatakan bahwa dari sepuluh faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan, terdapat empat faktor yang mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan; tiga faktor yang berpengaruh positif namun tidak signifikan; dan tiga faktor yang berpengaruh negatif. Ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah kota Depok dalam melaksanankan program-programnya yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, terdapat beberapa implikasi penelitian terkait dengan faktor pengaruh kemiskinan secara berturut-turut: hasil penelitian secara keseluruhan, relasi (teman, sahabat), jumlah anggota keluarga yang ditanggung, semangat berkelompok, tingkat pengeluaran, faktor pekerjaan, faktor akses usaha, faktor karakter, faktor keterampilan, faktor pendampingan, dan kebijakan pemerintah. 1. Hasil penelitian secara keseluruhan menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan seperti : tingkat pengeluaran, faktor pekerjaan, faktor keterampilan dan kebijakan pemerintah, berpengaruh secara positif
98
dan signifikan terhadap kemiskinan. Tiga faktor yang memperlihatkan hubungan
yang
positif
namun
tidak
signifikan
seperti:
relasi
(teman/sahabat), jumlah anggota keluarga yang ditanggung, dan faktor akses usaha. Tiga faktor yang mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan serta tidak signifikan seperti: semangat berkelompok, faktor karakter dan faktor pendampingan. Semua hasil data ini menjadi masukan bagi pemerintah kota Depok. Semua faktor yang berhubungan positif dan signifikan terhadap kemiskinan mengartikan bahwa jika faktor tersebut dapat ditingkatkan dan dioptimalkan oleh pemerintah, maka akan dapat menjauhkan masyarakat dari kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sehingga dapat berdampak besar pada tingkat konsumsi pakaian, pendapatan, pendidikan dan kemampuan berobat. Dimensi kemiskinan kota Depok berdasarkan tipologi kemiskinan menurut Suharto (2005), yaitu kemiskinan kultural. Ini dikarenakan sebagian warga Depok yang menjadi aparat kelurahan atau Rukun Tetangga/Warga, sering tidak menyampaikan sejumlah bantuan dalam bentuk uang secara utuh dari melakukan tindakan kecurangan, dari pemerintah pusat kepada rakyat miskin yang berhak mendapatkan bantuan. Di samping itu, banyak warga Depok yang enggan untuk mengikuti program buta aksara dan pengajaran keterampilan gratis yang sudah disediakan oleh pemerintah kota Depok cuma karena peminatnya sedikit.. Demikian juga pada program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di mana masyarakat yang menerima bantuan yang tidak hanya bahan baku material bangunan, tetapi juga sejumlah uang, menggunakan uang bantuan tersebut tidak untuk memperbaiki rumah mereka, tetapi digunakan untuk keperluan sehari-hari. Di samping itu, banyak di antara mereka tidak mempunyai gambaran yang pasti dan jelas mengenai jenis usaha apa yang ingin mereka geluti. Semua informasi tersebut yang didapat dari hasil wawancara, menunjukkan bahwa masyarakat di tiga kelurahan kota Depok: Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya memiliki sifat yang lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek dari pada kebutuhan jangka panjang yang lebih penting. Sedikit dari mereka yang berjiwa enterpreneur yang mempunyai gambaran yang
99
jelas mengenai jenis usaha yang ingin dijalani. Sedangkan menurut jenis kemiskinan, masyarakat di tiga kelurahan tersebut termasuk dalam jenis kemiskinan ekonomi di mana banyak di antara mereka kekurangan sumber daya yang tidak hanya finansial, tetapi juga semua jenis kekayaan untuk meningkatkan taraf hidup sekelompok orang. 2. Relasi (teman/sahabat) berhubungan secara positif terhadap kemiskinan namun tidak signifikan. Faktor yang tidak signifikan bukan berarti dihilangkan atau dihapuskan, faktor relasi tetap mempunyai pengaruh, namun tidak signfikan sehingga pemerintah kota Depok tidak perlu menghapuskan program yang dapat meningkatkan interaksi masyarakat dilingkungan sosialnya sehingga jumlah relasi yang dipunya semakin bertambah. Semakin banyak relasi antar individu dengan individu yang lain,
semakin
banyak
kesempatan bagi individu
tersebut
untuk
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga agar terbebas dari permasalahan kemiskinan. 3. Jumlah anggota keluarga yang ditanggung berhubungan positif dengan kemiskinan namun tidak signifikan pengaruhnya yang dapat diartikan semakin sedikit jumlah anggota keluarga yang ditanggung, maka semakin sedikit pengeluaran sehingga akan mendorong aktivitas menabung yang dapat memberikan dana cadangan atau modal usaha mandiri sehingga dengan demikian kemiskinan dapat dihindari. Maka pemerintah kota Depok tidak perlu menghapuskan program KB dikarenakan tidak berpengaruh signifkan. Jumlah anggota keluarga yang ditanggung tetap memunyai pengaruh walaupun tidak signifikan. Melalui salah satu perangkat pemerintahannya yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, program KB perlu untuk tetap dijalankan karena setiap keluarga dapat memicu terjadinya ledakan peningkatan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Kepadatan dan jumlah penduduk memang dapat meningkatkan konsumsi masyarakat sehingga ekonomi akan semakin dinamis berputar tapi jika diimbangi oleh peningkatan taraf hidup dan daya beli masyarakat. Jika tidak, maka penambahan masyarakat
100
baru ini akan menjadi beban bagi warga lainnya dan juga akan menjadi penyebab masalah baru yang akan timbul. 4. Semangat berkelompok adalah salah satu yang mempunyai pengaruh yang berlawanan dan tidak signifikan terhadap kemiskinan. Dari hasil yang sudah diolah, membuktikan bahwa masyarakat di lokasi penelitian tidak terlalu menginginkan membangun suatu usaha dengan berkelompok. Hal ini bisa menyebabkan resiko ketidak-percayaan sesama partner usaha. Jadi yang sebaiknya perlu dilakukan oleh pemerintah kota Depok adalah dengan
memperbaiki
program-program
usaha
yang
mewajibkan
masyarakatnya untuk berkelompok karena kurang dapat mempengaruhi tingkat keefektivitasan usaha yang dijalani. 5. Tingkat
pengeluaran
berpengaruh
positif
dan
signifikan
dengan
kemiskinan. Semakin besar pengeluaran rutin suatu keluarga per bulan, akan dapat mengurangi kesempatan menabung. Pengeluaran yang besar dapat mengindikasikan keborosan. Maka hal-hal yang perlu ditempuh oleh pemerintah kota Depok adalah tetap menjalankan program yang dapat menjaga kestabilan harga-harga kebutuhan pokok seperti program operasi pasar yang dapat segera dijalankan apabila terjadi kenaikan harga yang signifikan. 6. Faktor pekerjaan juga berpengaruh positif terhadap kemiskinan dan berpengaruh sangat signifikan di mana semakin layak pekerjaan seseorang, maka semakin dapat keluar dari permasalahan kemiskinan. Maka hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota Depok adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak bagi masyarakat. Di sisi lain, lapangan usaha sektor riil juga harus dioptimalkan dan diberikan kemudahan aksesnya kepada seluruh lapisan masyaraat terutama yang tingkat kesejahteraannya berada di sekitar garis batas kemiskinan. Maka dari itu, pemerintah kota Depok perlu mengucurkan kredit mikro tanpa agunan dan memberdayakan zakat bagi rakyat miskin agar dapat mengembangkan keahliannya untuk menjadi enterpreneur.
101
7. Faktor akses usaha mempunyai pengaruh yang positif namun tidak cukup signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak akses usaha yang dapat disediakan pemerintah serta semakin mudah akses yang dapat dijangkau masyarakat maka semakin banyak pula kesempatan yang didapat masyarakat untuk mengetahui dan mempelajari lebih dalam mengenai kredit usaha mikro demi pembangunan usaha mandiri. Maka langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menyediakan fasilitas bagi pengaksesan informasi tentang modal usaha. Situs resmi pemerintah Depok seharusnya dapat lebih ditingkatkan untuk memberikan akses yang cukup bagi program-program pemerintah kota Depok terutama mengenai program tentang pengembangan usaha mandiri bagi masyarakat. 8. Faktor karakter mempunyai hubungan yang negatif terhadap kemiskinan dan pengaruh yang tidak signifikan di mana masyarakat tidak mempermasalahkan bagaimana karakter mereka demi pengembangan usaha mandiri. Ini juga mengindikasikan bagaimanapun karakter seseorang pada tingkat ketepatan waktu pengembalian pinjaman tidak dapat menjamin bahwa usaha yang digelutinya akan gagal atau berhasil. Demikian juga dengan program-program pemerintah yang mengkhususkan diri dalam pengembangan karakter pribadi manusia pada masyarakat, sebaiknya perlu direvisi ulang karena kemampuan seseorang dalam membangun usaha tidak tergantung pada karakter pribadi. 9. Faktor keterampilan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kemiskinan. Keterampilan seseorang dapat meningkatkan derajat pekerjaannya menjadi lebih baik sehingga taraf hidup dan daya belinya juga meningkat sehingga dengan demikian ia bisa terhindar dari permasalahan kemiskinan. Maka pemerintah perlu meningkatkan programprogram yang menyediakan pengajaran keterampilan gratis bagi masyarakatnya atau mengembangkan keterampilan yang sudah dipunyai oleh masyarakat. Di samping itu, perlunya memberdayakan kursus-kursus gratis yang disesuaikan dengan bakat dan kemauan dari masyarakat seperti kursus memasak, menjahit dan kursus pertanian.
102
10. Faktor pendampingan tidak mempunyai pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap
kemiskinan.
Ini berarti seberapa
besar
pun
pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendampingi masyarakat dalam membangun usaha, tidak akan berjalan efektif karena masyarakat tidak menginginkannya dan juga karena pendampingan tidak berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Maka langkah yang perlu ditempuh pemerintah adalah dengan merevisi program-program yang menyediakan pendampingan bagi masyarakatnya dalam membangun usaha mandiri. Sebaiknya biarkan masyarakat itu sendiri yang menentukan mau dibangun ke arah mana usaha mandiri yang ingin ditempuhnya sehingga mereka bisa bertanggung jawab sendiri terhadap hasil apapun yang akan mereka peroleh ketika sudah berusaha membangun unit usaha mandiri dan pemerintah sebaiknya hanya perlu memonitoring dan memfasilitasi
perkembangan
yang
dilakukan
masyarakat
dalam
membangun dan mengembangkan usaha mereka. 11. Kebijakan pemerintah adalah faktor yang sangat mempengaruhi kemiskinan
secara
positif
dan
signifikan
pengaruhnya
terhadap
pengentasan kemiskinan. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan, maka selalu akan ada dampak atau manfaat yang diperoleh tergantung bagaimana kebijakannya dan implikasinya ke dalam masyarakat. Banyak hal yang perlu diperhatikan agar pengeluaran kebijakan tidak sia-sia dan bisa diterapkan sesuai dengan harapan. Menurut Yunus (2007), kebijakan pemerintah
dalam
mengentaskan
kemiskinan
sebaiknya
jangan
menyatukan kaum yang relatif tidak miskin dengan kaum yang miskin karena kaum yang relatif tidak miskin akan mengusir kaum yang miskin, begitupun seterusnya kaum yang miskin akan mengusir kaum yang lebih miskin lagi. Dalam beberapa kasus kaum yang relatif tidak miskin malah menikmati manfaat seluruh kegiatan yang dikerjakan atas nama kaum miskin, sehingga masyarakat miskin yang sebenarnya menjadi dirugikan karena hak mereka terambil oleh masyarakat yang mengatasnamakan mereka. Maka, di antaranya sasaran kebijakan tersebut haruslah
103
masyarakat yang layak mendapatkan bantuan dan masyarakat yang benarbenar miskin, kemudian pengawasan pelaksanaan program harus ketat dan langkah-langkah proteksi dilembagakan secara tepat saat program dimulai (Yunus, 2007), dan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas dan bukannya terhadap golongan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Annisa. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 2010. Kota Depok. id.wikipedia.org. [2 Maret 2010] Ferdinand, Augusty. 2002. SEM Dalam Penelitian Manajemen. BP UNDIP, Semarang. Ghozali, Imam. 2005. Structural Equation Modeling. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hasan, M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensia). Bumi Aksara, Jakarta. Hudaya, Dadan. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural Satu dan Multigroup Sampel Dengan Lisrel. Alfabeta, Bandung. Pemerintah Kota Depok. 2009. Sekilas Sejarah Terbentuknya Kota Depok. www.depok.go.id. [2 Maret 2010] Pemerintah Kota Depok. 2009. Struktur Pemerintahan Depok. www.depok.go.id. [2 Maret 2010] Pemerintah Kota Depok. 2009. Visi Misi Kota Depok. www.depok.go.id. [2 Maret 2010] Purwantina, Rinita Putri. 2009. Analisis Perekonomian Kota Depok Periode 2003 2007. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitinjak, et al. 2006. LISREL. Graha Ilmu, Yogyakarta. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung. __________. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosil di Indonesia. Alfabeta, Bandung. Syarifuddin, Ferry. 2008. Pengentasan Pengangguran dan Kemiskinan di Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Yunus, Muhammad. 2007. Bank Kaum Miskin. Marjin Kiri, Jakarta.
107
Yusuf, Joni. 2008. Pemikiran Muhammad Yunus Tentang Pengentasan Kemiskinan dalam erspektif Hukum Islam. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. The World Bank. 2006. Era Baru Ddalam Pengentasan Kemiskinan. Indopov, Jakarta.
108
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara
A. Screening Responden 1.
Apakah anda termasuk warga penduduk di salah satu kelurahan Bedahan, Leuwinanggung dan Pondok Jaya kota Depok? a). Ya
b). Tidak
(Jika anda menjawab “ya” maka lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Jika anda menjawab “tidak” maka hentikan pengisian kuisioner ini, terima kasih.)
B. Nama
:
Jenis kelamin 1.
2.
Usia a.
15-24 tahun
d.
45-54 tahun e. 55-64 tahun
4.
5.
b. 25-34 tahun c. 35-44 tahun f. ≥65 tahun
Wilayah kelurahan tempat tinggal a.
3.
: L/P
Kelurahan Bedahan b. Kelurahan Leuwinanggung c. Kelurahan Pondok Jaya
Pekerjaan ( 36 jam/minggu) a.
PNS
b. Petani
c. Wirausaha
d.
Pekerja lepas
e. Karyawan swasta
f. Tidak Bekerja
Tingkat pendapatan perbulan a.
≤Rp. 300.00,-
b. Rp. 300.001,- - Rp. 500.000,-
c.
Rp. 500.001,- - Rp. 700.000,-
d. Rp. 700.001,- - Rp. 900.000,-
d.
Rp. 900.001,- - Rp. 1.100.000,-
f. ≥Rp. 1.100.000,-
Pendidikan terakhir a.
Tidak mempunyai pendidikan
b. SD/MI
c. SMP/MTs
d.
SMK/SMEA
e. SMA/MA
f. D3/S1/Pascasarjana
C. Pertanyaan Utama Y1. Kepemilikan aset ekonomi 1.
Apakah Rumah milik sendiri? a. Ya, milik sendiri dan ada surat
b. Ya, milik sendiri dan tidak ada surat
c.
Tidak, dan ada surat
d. Tidak dan tidak ada surat
e.
Menumpang saudara
f. Mengontrak
109
Lanjutan lampiran 1. 2.
Apa jenis kendaraan anda? Jenis Kendaraan Bus Truk Mobil Angkot Pick Up Bemo Motor Delman Becak Sepeda Tidak Punya Kendaraan Lainnya, sebutkan.............
Status
Peruntukan
Keterangan :
3.
1) Status
: 1. Milik Sendiri
2. Sewa
2) Peruntukan
: 1. Untuk Usaha
2. Dipakai Sendiri
3) Jumlah
: 1. > 6 Unit
2. 4-6 Unit
3. < 4 Unit
Apa jenis perhiasan yang anda miliki?
Jenis Perhiasan Berlian Emas Platina (Emas Putih) Perak Perunggu Lainnya, sebutkan.... Tidak punya perhiasan
Berat Karat
Jumlah
Kepemilikan surat
Keterangan : 1) Berat
: 1. ≤ 25 gram 2. 25-50 gram
3. ≥ 50 gram
2) Karat Berlian
: 1. < 10 karat 2. 10-16,9 karat
3. >17 karat
3) Karat Emas
: 1. < 20 karat
2. 20-22,9 karat
3. 23-24 karat
4) Jumlah
: 1. <4
2. 4-6
3. >6
5) Kepemilikan surat 4.
: 1. Tidak ada
Apakah anda memiliki tanah beserta suratnya? a.
Ya, ada suratnya dan luasnya > 100 m2
b.
Ya, ada suratnya dan luasnya ≤ 100 m2
c.
Ya, tidak ada suratnya dan luanya > 100 m2
d.
Ya, tidak ada suratnya dan luanya ≤ 100 m2
e.
Ya, namun tanah sewaan
f.
Tidak punya tanah
2. Ada
Jumlah
110
Lanjutan lampiran 1. 5.
Apakah anda memiliki uang tabungan? a.
Ya dan besarnya ≥ Rp. 900.001
b.
Ya dan besarnya Rp. 700.001 – Rp. 900.000
c.
Ya dan besarnya Rp. 500.001 – Rp. 700.000
d.
Ya dan besarnya Rp. 300.001 – Rp. 500.000
e.
Ya dan besarnya Rp. 100.001 – Rp. 300.000
f.
Ya dan besarnya ≤ Rp. 100.000 termasuk tidak punya tabungan
Y2. Pendidikan 1.
Berapa jumlah tahun sekolah yang dijalani oleh kepala keluarga? a.
≥ 16 tahun
b. 12 – 16 tahun
e. ≤ 6 tahun
c. 9 – 12 tahun d. 6 – 9 tahun
f. Tidak bersekolah 2.
Jenis sekolah yang dicapai? a.
Perguruan tinggi b. Akademik
c. SMA/SMK d. SMP
e. SD f.Tidak bersekolah
Y3. Pendapatan 1.
Bagaimana tipe pendapatan anda? (bisa diisi lebih dari satu pilihan) a.
Tetap
d. Tidak tentu. 2.
b. Honorer
c. Upahan/borongan
e. Pemberian
f. Tidak punya pendapatan
Berapa sumber pendapatan anda dalam satu rumah? a.
>4
b. 4
c. 3
d. 2
e. 1
f. Tidak ada sumber pendapatan
Y4. Konsumsi pakaian 1.
2.
Berapa stel pakaian yang anda beli dalam setahun? a.
> 3 stel setahun
b. 3 stel setahun
c. 2 stel setahun
d.
1 stel setahun
e. 1 stel per 2 tahun
f. < 1 stel per 2 tahun
Berapa jumlah pengeluaran yang anda gunakan untuk membeli pakaian dalam setahun? a.
> Rp.250.000
b. Rp. 200.001 – Rp. 250.000
d.
Rp. 100.001 – Rp. 150.000
c. Rp. 150.001 – Rp. 200.000
e. Rp. 50.001 – Rp. 100.000
f. < Rp. 50.000
Y5. Konsumsi Makan 1.
2.
Berapa kali anda sanggup makan? a.
> 4 kali sehari
b. 4 kali sehari
c. 3 kali sehari
d.
2 kali sehari
e. 1 kali sehari
f. 2 hari sekali
Berapa jumlah pengeluaran yang anda habiskan untuk makan per orang dalam sehari? a.
> Rp. 20.000
b. Rp. 15.001 – Rp. 20.000
d.
Rp. 5.001 – Rp. 10.000
e. Rp.
2.001 – Rp.
c. Rp. 10.001 – Rp. 15.000 5.000
f. < Rp. 2.001
Y6. Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/Poliklinik 1.
Jika anda atau keluarga ada yang sakit, apakah anda mempunyai kesanggupan untuk membayar biaya berobat ke Puskesmas, Poliklinik atau Rumah Sakit? a.
Ya, selalu sanggup
d. Tidak, kurang sanggup
b. Ya, sanggup
c. Ya, cukup sanggup
e. Tidak, tidak sanggup
f.Tidak, selalu tidak sanggup
111
Lanjutan lampiran 1. 2.
Apakah anda pernah mengurusi SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) jika anda berobat dan mengetahui serta mempunyai kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat?
Pernah mengurusi SKTM Tahu Jamkesmas Kepunyaan kartu Jamkesmas Keterangan Tidak Tidak tahu Tidak punya a Ya, tahu Tidak punya b Ya, punya c Ya Tidak tahu Tidak punya d Ya, tahu Tidak punya e Ya, punya f X1. Relasi (Teman kerja, Sahabat) 1.
Apakah menurut anda relasi kerjasama dan hubungan dalam usaha itu penting? a.
Ya, sangat penting
d. Tidak, kurang penting 2.
b. Ya, penting
c. Ya, cukup penting
e. Tidak, tidak penting
f. Tidak, sangat tidak penting
Berapa jumlah relasi (teman/sahabat) yang sudah anda punya untuk membangun usaha? a.
≥ 51 orang
b. 41 – 50 orang c. 31 – 40 orang
d.
21 – 30 orang
e. 11 – 20 orang f. ≤ 10 orang termasuk apabila anda tidak
punya sama sekali 3.
Apakah relasi (teman/sahabat) yang anda punya berasal dari kalangan orang-orang penting dan sukses? a.
Ya, sangat banyak
b. Ya, beberapa diantaranya
d. Tidak, kurang penting atau sukses, biasa saja f.
c. Ya, sedikit
e. Tidak, hanya orang biasa saja
Tidak, tidak punya relasi satupun
X2. Jumlah anggota keluarga yang ditanggung 1.
2.
Jumlah keluarga inti yang ditanggung a.
tidak punya sama sekali
b. 1
c. 2
d.
3
e. 4
f. >4
Jumlah keluarga tidak inti yang ditanggung (selain istri dan anak) a.
tidak punya sama sekali
b. 1
c. 2
d.
3
e. 4
f. >4
X3. Semangat berkelompok 1.
Apakah jika ingin membangun usaha, anda lebih memilih berkelompok dibanding usaha sendiri? a.
Ya, sangat setuju
b. Ya, setuju
c. Ya, Cukup setuju
d.
Tidak, Kurang setuju
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
112
Lanjutan lampiran 1. 2.
Apabila anda mempunyai teman yang sedang dalam kesulitan, anda akan cepat membantu dan menolongnya?
3.
a.
Ya, sangat tanggap membantu
b.
Ya, saya akan membantu
c.
Ya, tergantung dari kemampuan saya untuk membantu
d.
Tidak, saya kurang tanggap membantu
e.
Tidak, saya tidak tanggap, tergantung banyak faktor.
f.
Tidak, saya sama sekali tidak ingin membantu
Apakah menurut anda kelompok dalam bisnis itu penting? a.
Ya, sangat penting
b. Ya, penting
c. Ya, cukup penting
d.
Tidak, kurang penting
e. Tidak, tidak penting
f. Tidak, sangat tidak penting
X4. Tingkat pengeluaran 1.
2.
3.
Berapa pengeluaran rutin perbulan anda? a.
> Rp. 500.000,-
b. Rp. 400.001,- - Rp. 500.000,-
c.
Rp. 300.001,- - Rp. 400.000,-
d. Rp. 200.001,- - Rp. 300.000,-
e.
Rp. 100.001,- - Rp. 200.000,-
f. ≤ Rp. 100.000,-
Berapa pengeluaran tidak rutin perbulan anda? a.
> Rp. 500.000,-
b. Rp. 400.001,- - Rp. 500.000,-
c.
Rp. 300.001,- - Rp. 400.000,-
d. Rp. 200.001,- - Rp. 300.000,-
e.
Rp. 100.001,- - Rp. 200.000,-
f. ≤ Rp. 100.000,-
Apakah semua pengeluaran tersebut bisa tertutupi oleh pendapatan anda? a.
Ya, sangat bisa
b. Ya, bisa tertutupi
c.
Ya, cukup bisa tertutupi
d. Tidak, kurang bisa ditutupi
e.
Tidak, tidak bisa tertutupi
f. Tidak, sangat tidak bisa tertutupi
X5. Faktor Pekerjaan 1.
2.
Apa jenis pekerjaan anda?(bisa pilih lebih dari satu) a.
Tetap dan berlebih
b. Tetap dan cukup
c. Tetap tetapi kurang
d.
Tidak tetap dan cukup
e. Tidak tetap tetapi kurang
f. Tidak bekerja
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, layak untuk penghidupan keluarga a.
Ya, sangat setuju
d. Tidak, kurang 3.
4.
b. Ya, setuju
c. Ya, cukup
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sagat tidak setuju
Pekerjaan yang anda geluti sekarang, lsesuai dengan minat dan kemampuan anda a.
Ya, sangat setuju.
b. Ya, setuju
c. Ya, cukup
d.
Tidak, kurang
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
Berapa lama anda menggeluti pekerjaan anda yang sekarang? a.
> 2,5 tahun
b. 2 tahun – 2,5 tahun
c. 1,5 tahun – 2 tahun
d.
1 tahum – 1,5 tahun
e. 0,5 tahun – 1 tahun
f. < 0,5 tahun
113
Lanjutan lampiran 1. X6. Faktor Akses Usaha 1.
Apakah anda mampu mendapatkan modal dengan mudah? a.
Ya, Sangat setuju
d. Tidak, kurang 2.
Ya, Sangat setuju
d. Tidak, kurang
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
b. Ya, setuju
c. Ya, cukup
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
Apakah pengurusan peminjaman modal ke Bank, cepat? a.
Ya, Sangat setuju
d. Tidak, kurang 4.
c. Ya, cukup
Apakah persyaratan peminjaman modal ke Bank, mudah? a.
3.
b. Ya, setuju
b. Ya, setuju
c. Ya, cukup
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
Apakah anda mendapatkan informasi tentang akses usaha dengan mudah? a.
Ya, Sangat setuju
d. Tidak, kurang
b. Ya, setuju
c. Ya, cukup
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
X7. Faktor Karakter 1.
2.
3.
Jika anda mendapat pekerjaan yang perlu diselesaikan, apa yang anda lakukan? a.
Segera mengerjakan
b.
Selesaikan dahulu urusan yang sedang dikerjakan
c.
Tidak cepat bergegas dan tidak cepat tanggap
d.
Cukup menunda
e.
Terkadang menunda
f.
Sering menunda
Apakah jika anda meminjam uang, anda tepat waktu mengembalikan? a.
Ya, sangat tepat waktu
b. Ya, tepat waktu
c.
Ya, cukup
d. Tidak, kurang tepat waktu
e.
Tidak, tidak tepat waktu
f. Tidak, sangat tidak tepat waktu
Apakah anda tahu prosedur dan syarat peminjaman uang di Bank? a.
Ya, sangat tahu
d. Tidak, kurang tahu 4.
5.
b. Ya, tahu
c. Ya, cukup tahu
e. Tidak, tidak tahu
f. Tidak, sangat tidak tahu
Apakah anda suka dan mau bekerja sama dalam berusaha? a.
Ya, sangat suka
b. Ya, suka
c. Ya, cukup suka
d.
Tidak, kurang suka
e. Tidak, tidak suka
f. Tidak, sangat tidak suka
Apakah anda orang yang mudah bergaul dan mendapat banyak teman? a.
Ya, sangat mudah
b. Ya, mudah bergaul
c.
Ya, cukup mudah bergaul
d. Tidak, kurang mudah bergaul
e.
Tidak, tidak mudah bergaul
f. Tidak, sangat tidak mudah bergaul
114
Lanjutan lampiran 1. X8. Faktor Modal usaha (akses keuangan) 1.
2.
Berapa modal yang anda butuhkan apabila ingin membangun usaha? a.
≥ Rp.5.000.001 b. Rp. 4.000.001 – Rp 5.000.000
d.
Rp. 2.000.001 – Rp 3.000.000
c. Rp. 3.000.001 – Rp 4.000.000
e. Rp. 1.000.001 – Rp 2.000.000 f. ≤ Rp. 1.000.000
Berapa nilai investasi usaha anda (jika belum punya usaha, arahkan pada rencana usaha yang anda inginkan)? ≥ Rp. 5.000.001
a.
b. Rp. 4.000.001
– Rp 5.000.000
3.
c.
Rp. 3.000.001 – Rp 4.000.000
d. Rp. 2.000.001 – Rp 3.000.000
e.
Rp. 1.000.001 – Rp 2.000.000
f. ≤ Rp. 1.000.000
Berapa jumlah jaminan yang anda punya untuk persyaratan peminjaman modal kredit ke Bank? a.
4.
>4
b. 4
c. 3
d. 2
e. 1
f. Tidak, tidak punya sama sekali
Apakah anda punya keemampuan dalam mengelola bidang usaha anda? a.
Ya, sangat mampu
d. Tidak, kurang mampu
b. Ya, mampu
c. Ya, cukup mampu
e. Tidak, tidak mampu
f. Tidak, sangat tidak mampu
X9. Faktor Keterampilan 1.
2.
Berapa unit usaha yang anda punya sekarang? a.
Punya usaha > 3
b. Punya usaha 3
c. Punya usaha 2
d.
Punya usaha 1
e. Pernah berusaha
f. Belum pernah usaha
Berapa jumlah keahlian yang anda punya? a.
3.
4.
>4
b. 4
c. 3
d. 2
e. 1
f. Tidak punya sama sekali
Apakah anda punya kemampuan baca tulis? a.
Ya, sangat mampu
b. Ya, mampu
c. Ya, cukup mampu
d.
Tidak, kurang mampu
e. Tidak, tidak mampu
f. Tidak, sangat tidak mampu
Apakah anda mudah mendapatkan dan belajar tentang keterampilan baru? a.
Ya, sangat mudah
d. Tidak, kurang mudah
b. Ya, mudah
c. Ya, cukup mudah
e. Tidak, tidak mudah
f. Tidak, sangat tidak mudah
X10. Faktor Pendampingan 1.
Apakah anda mau untuk didampingi dan diarahkan dalam membangun usaha? a.
Ya, sangat mau
d. Tidak, kurang setuju 2.
b. Ya, mau
c. Ya, boleh saja
e. Tidak, tidak setuju
f. Tidak, sangat tidak setuju
Apakah anda kalau membangun usaha perlu bantuan tenaga dan pengelolaan dari orang lain dibanding pengelolaan sendiri? a.
Ya, sangat perlu dukungan dan bantuan
b. Ya, perlu dukungan dan bantuan
c.
Ya, cukup perlu
e.
Tidak, tidak perlu bantuan, bisa mengelola sendiri
f.
Tidak, sangat tidak butuh bantuan, harus sendiri yang mengelola
d. Tidak, kurang butuh bantuan, cukup sendiri saja
115
Lanjutan lampiran 1. 3.
Apakah perlu ada penyuluhan dan pendampingan terlebih dahulu sebelum anda memulai usaha anda?
4.
a.
Ya, sangat perlu
b. Ya, perlu
c.
Ya, cukup perlu
d. Tidak, kurang perlu
e.
Tidak, tidak perlu (sudah bisa)
f. Tidak, sangat tidak perlu, sudah mahir sendiri
Apakah menurut anda pendampingan itu efektif? a.
Ya, sangat efektif
d. Tidak, kurang efektif
b. Ya, efektif
c. Ya, cukup efektif
e. Tidak, tidak efektif
f. Tidak, sangat tidak efektif
X11. Kebijakan pemerintah 1.
Kebijakan pendidikan 1) Program-program pemerintah bidang pendidikan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
2) Program-program pemerintah di bidang pendidikan banyak jumlahnya. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
3) Program-program pemerintah di bidang pendidikan bisa dinikmati oleh semua masyarakat. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
4). Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang pendidikan tersebut relatif mudah dan cepat.
2.
a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
Kebijakan kesehatan 1) Program-program pemerintah di bidang kesehatan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
2) Program-program pemerintah di bidang kesehatan banyak jumlahnya.
3)
a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
Program-program pemerintah di bidang kesehatan bisa dinikmati oleh semua masyarakat. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
116
Lanjutan lampiran 1. 4) Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang kesehatan tersebut relatif mudah dan cepat.
3.
a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
Kebijakan usaha 1) Program-program pemerintah di bidang usaha yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
2) Program-program pemerintah di bidang usaha banyak jumlahnya. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
3) Program-program pemerintah di bidang usaha bisa dinikmati oleh semua masyarakat. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
4) Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang usaha tersebut relatif mudah dan cepat.
4.
a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
Kebijakan sandang & papan 1) Program-program pemerintah di bidang sandang & papan yang sudah berjalan sampai saat ini sudah baik dan tepat sasaran. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
2) Program-program pemerintah di bidang sandang & papan banyak jumlahnya. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
3) Program-program pemerintah di bidang sandang & papan bisa dinikmati oleh semua masyarakat. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
4) Akses mendapatkan program-program pemerintah di bidang sandang & papan tersebut relatif mudah dan cepat. a.
Sangat setuju
b. Setuju
c. Cukup
d.
Kurang
e. Tidak Setuju
f. Sangat tidak setuju
Lampiran 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Depok Walikota/wakil walikota
Dinas 1. Dinas Pendidikan; 2. Dinas Kesehatan; 3. Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air; 4. Dinas Tata Ruang dan Permukiman; 5. Dinas Kebersihan dan Pertamanan; 6. Dinas Pemadam Kebakaran; 7. Dinas Perhubungan; 8. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; 9. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial; 10. Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar; 11. Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan; 12. Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 13. Dinas Pertanian dan Perikanan; 14. Dinas Pemuda, Olah Raga, Pariwisata, Seni dan Budaya;dan 15. Dinas Komunikasi dan Informasi.
Lembaga Teknis Daerah 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; 2. Inspektorat Daerah; 3. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana; 4. Badan Lingkungan Hidup; 5. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan KetahananPangan; 6. Kantor Arsip dan Perpustakaan; 7. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat;dan 8. Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C.
DPRD
Satuan polisi pamong praja
Sekretaris Daerah
Lembaga lain
Bagian tata usaha
Asisten Tata Praja
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu
Bagian Penegakan peraturan Bagian Pengembangan Sumber Daya Bagian Keamanan dan Ketertiban
Kec. Bojongsari
Kec. Cimanggis
Kec. Beji
Kec. Pancoran Mas
Kec. Sawangan
Kec. Cilodong
Kec. Cipayung
Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Sosial
Bagian umum
Sekretariat Badan Narkotika Kota
Bagian keuangan
Bagian persidangan
Asisten Administrasi
Kec. Cinere
Sekretaris DPRD
Kec. Tapos
Kec. Limo
Kec. Sukmajaya
118
Lampiran 3. Karakteristik Responden a. 15-24 tahun f.
b. 25-34 tahun c. 35-44 tahun d. 45-54 tahun e. 55-64 tahun
≥65 tahun Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Laki-laki
71
39
Perempuan
109
61
180
100
Jenis Kelamin
Total Usia 15-24 Tahun
8
4
25-34 Tahun
97
54
35-44 Tahun
37
21
45-54 Tahun
30
17
55-64 Tahun
8
4
≥ 65 Tahun
0
0
180
100
Total Pekerjaan PNS
13
7
Petani
29
16
Wirausaha
62
35
Pekerja Lepas
22
12
Karyawan Swasta
43
24
Tidak bekerja
11
6
180
100
Kelurahan Bedahan
60
33
Kelurahan Leuwinanggung
60
33
Total Wilayah Tempat Tinggal
Kelurahan Pondok Jaya
60
34
180
180
≤ Rp. 300.000
4
2
Rp. 300.001 – Rp. 500.000
35
20
Rp. 500.001 – Rp. 700.000
52
29
Total Pendapatan
Rp. 700.001 – Rp. 900.000
9
5
Rp. 900.001 – Rp. 1.100.000
0
0
> Rp. 1.100.000 Total
80
44
180
100
Tingkat Pendidikan Tidak mempunyai pendidikan
0
0
SD/MI
20
11
SMP/MTs
51
29
SMK/SMEA
40
22
SMA/MA
11
6
D3/S1/Pascasarjana Total
58
32
180
100
119
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Tingkat Kondisi Kemiskinan Cluster Tidak Miskin
Rataan skor =
∑ (skor × N )
Skor rataan akhir =
100
∑ rataanskor ∑ pernyataan
1 Rataan skor Kepemilikan Aset Ekonomi = (1x37)+(2x42)+(3x38)+(4x5)+(5x51)+(6x277) = 4,83 450 2 Rataan skor Pendidikan = (1x0)+(2x0)+(3x24)+(4x0)+(5x39)+(6x117) = 5,38 180 3 Rataan skor Pendapatan = (1x0)+(2x10)+(3x9)+(4x32)+(5x8)+(121) = 5,23 180
4 Rataan skor Konsumsi Pakaian = (1x0)+(2x6)+(3x15)+(4x17)+(5x35)+(6x107) = 5,23 180
5 Rataan skor Konsumsi Makanan = (1x2)+(2x9)+(3x13)+(4x22)+(5x63)+(6x71) = 4,93 180
6 Rataan skor Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik = (1x3)+(2x4)+(3x19)+(4x19)+(4x63)+(6x72) = 4,95 180
120
Lanjutan lampiran 4. Cluster Miskin
Rataan skor =
∑ (skor × N )
Skor rataan akhir =
100
∑ rataanskor ∑ pernyataan
1. Rataan skor Kepemilikan Aset Ekonomi = (1x151)+(2x66)+(3x112)+(4x30)+(5x79)+(6x12) = 2,68 450 2. Rataan skor Pendidikan = (1x10)+(2x17)+(3x61)+(4x81)+(5x11)+(6x0) = 3,37 180 3. Rataan skor Pendapatan = (1x8)+(2x55)+(3x71)+(4x28)+(5x18)+(6x0) = 2,96 180 4. Rataan skor Konsumsi Pakaian = (1x20)+(2x30)+(3x84)+(4x45)+(5x1)+(6x0) = 2,87 180
5. Rataan skor Konsumsi Makanan = (1x0)+(2x43)+(3x46)+(4x84)+(5x7)+(6x0) = 3,31 180
6. Rataan skor Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik = (1x32)+(2x40)+(3x66)+(4x23)+(4x18)+(6x1) = 2,77 180
121
Lanjutan lampiran 4. Hasil Perhitungan Tingkat Kondisi Kemiskinan Rataan skor responden Tidak Miskin Skor 1
2
3
4
5
6
No
Pernyataan
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Rataan Skor
1
Kepemilikan aset ekonomi
37
8%
42
9%
38
8%
5
1%
51
11%
277
62%
4.83
2
Pendidikan
0
0%
0
0%
24
13%
0
0%
39
22%
117
65%
5.38
3
Pendapatan
0
0%
10
6%
9
5%
32
18%
8
4%
121
67%
5.23
0
0%
6
3%
15
8%
17
9%
35
19%
107
59%
5.23
2
1%
9
5%
13
7%
22
12%
63
35%
71
39%
4.93
3
2%
4
2%
19
11%
19
11%
63
35%
72
40%
4.95
5
Konsumsi Pakaian Konsumsi Makan
6
Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik
4
Hasil akhir
5.09
Rataan skor responden Miskin Skor 1
2
3
4
5
6
No
Pernyataan
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Rataan Skor
1
Kepemilikan aset ekonomi
151
34%
66
15%
112
25%
30
7%
79
18%
12
3%
2.68
2
Pendidikan
10
6%
17
9%
61
34%
81
45%
11
6%
0
0%
3.37
3
Pendapatan
8
4%
55
31%
71
39%
28
16%
18
10%
0
0%
2.96
20
11%
30
17%
84
47%
45
25%
1
1%
0
0%
2.87
0
0%
43
24%
46
26%
84
47%
7
4%
0
0%
3.31
32
18%
40
22%
66
37%
23
13%
18
10%
1
1%
2.77
5
Konsumsi Pakaian Konsumsi Makan
6
Kesanggupan Membayar Biaya Pengobatan Puskesmas/ Poliklinik
4
Hasil akhir
2.99
Lampiran 5. Hasil Uji t-value
Lampiran 5. Hasil Uji t SEM x1 RELASI 02
0.60(δ1)
ξ1
y1
KEPEMILIKAN ASET EKONOMI
7.16(ε1)
PENDIDIKAN
5.31(ε2)
PENDAPATAN
5.72(ε3)
KONSUMSI PAKAIAN
4.46(ε4)
y5
KONSUMSI MAKAN
5.54(ε5)
y6
KEMAMPUAN BEROBAT
5.41(ε6)
63.76(λ11) -0.01(δ2)
x2 JAKD 01
RELASI
ξ2
30.09(λ22)
1.08(δ3)
x3 SMBK 01
0.94(δ4)
x4 TKPG 01
1.26(δ5)
x5 FKPK 02
1.24(δ6)
x6 FAU 01
0.12(δ7)
x7 FAKK 02
JUMLAH ANGGOTA KELUARGA YANG DITANGGUNG
19.92(λ33) ξ3
SEMANGAT BERKELOMPOK
ξ4
87.04(λ21)y3 TINGKAT PENGELUARAN
-1.26 (γ)
FAKTOR PEKERJAAN
2.61 (γ) 1.46 (γ)
ξ5
26.03(λ55)
ξ6
FAKTOR AKSES USAHA
ξ7
4.84(δ12) 2.71(δ13)
1.94 (γ) 87.87(λ61)
32.46(λ88) ξ8
7.55(δ11)
93.56(λ41) y4 79.35(λ51)
FAKTOR KARAKTER
x8 FKTRM 04
7.27(δ10)
η -0.10 (γ)
28.49(λ77)
0.37(δ9)
92.43(λ31) PENGENTASAN KEMISKINAN
1.04 (γ)
41.44(λ66)
x9 FPND 01 x10 KPNDK 01 x11 KKSHT 02 x12 KUSH 03 x13 KSP 04
0.11 (γ) 0.45 (γ)
35.25(λ44)
0.11(δ8)
y2
-0.75 (γ) FAKTOR KETERAMPILAN
1.57 (γ)
24.42(λ99) ξ9 FAKTOR PENDAMPINGAN
51.47(λ1010)
ξ10 49.84(λ1110) 49.66(λ1111) 51.28(λ1112)
Chi-Square=250.97,
df=97,
KEBIJAKAN
P-value=0.00000,
RMSEA=0.094
123
Lampiran 6. Output LISREL untuk SEM
Degrees of Freedom = 104 Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 274.98 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 170.98 90 Percent Confidence Interval for NCP = (125.64 ; 223.98) Minimum Fit Function Value = 2.03 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.96 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.70 ; 1.25) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.096 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.082 ; 0.11) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.72 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.47 ; 3.02) ECVI for Saturated Model = 2.35 ECVI for Independence Model = 56.36 Chi-Square for Independence Model with 190 Degrees of Freedom = 10048.38 Independence AIC = 10088.38 Model AIC = 486.98 Saturated AIC = 420.00 Independence CAIC = 10172.24 Model CAIC = 931.43 Saturated CAIC = 1300.52 Normed Fit Index (NFI) = 1.00 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.02 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.55 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.01 Relative Fit Index (RFI) = 1.00 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.098 Standardized RMR = 0.053 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.99 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.99 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.49