OBYEKTIVITAS FUNGSI PELAPORAN PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA (Studi Analisa Laporan Perkara pada Pengadilan Agama di wilayah PTA Banten)
I. Pendahuluan Berbicara tentang laporan perkara, kesan pertama yang terlintas dalam pikiran kita adalah deretan atau susunan angka atau data tanggal yang mungkin tidak berbeda dengan laporan-laporan lain yang dibuat oleh ahli pembukuan atau analis laporan pada sebuah perusahaan atau instansi lain yang “tidak menarik sama sekali” bagi kebanyakan orang yang membacanya. Jangankan mendorong keinginan orang lain untuk mengetahui apa maksudnya, sekilas saja data-data tersebut mungkin akan diidentikkan dengan sesuatu yang “biasa” sebagai suatu kegiatan “melaporkan” dari hal-hal yang sudah dilaksanakan. Demikian halnya dengan keberadaan laporan perkara pada Pengadilan Agama. Ketidaktertarikan bukan hanya dapat ditunjukkan oleh orang yang akan membaca laporan tersebut, tetapi juga bagi pembuat atau penyusun laporan itu sendiri. Menyusun data tanggal maupun nomor perkara mungkin bukan pekerjaan yang menyenangkan melainkan hanya akan menimbulkan kejenuhan, rasa malas, dan tidak ada tantangan. Oleh karenanya, seringkali kegiatan membuat atau menyusun laporan dianggap sebelah mata, mudah, dan tidak perlu ketrampilan dan keahlian (ilmu) tertentu. Anggapan tersebut di atas kiranya tidak terlalu salah namun juga tidak benar sepenuhnya. Jika kita memahami urgensi dan fungsi dari laporan perkara, tentu anggapan minor tentang laporan akan terbantahkan dengan sendirinya. Deretan nomor perkara dan data tanggal yang tersaji dalam laporan perkara sejatinya tidak hanya sekedar susunan data yang tidak memiliki arti lebih selain untuk memenuhi kewajiban menyampaikan informasi dari bawahan (pembuat laporan) kepada atasan (pimpinan satker) mengenai pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparat terkait dalam satker yang dipimpinnya, namun seharusnya laporan perkara dapat berfungsi sebagai indikator dan data penting yang menggambarkan keberhasilan atau ketidakberhasilan sebuah lembaga yang berlabel pelayan publik di dalam menjalankan amanah yang ditentukan undang-undang. Berdasarkan pemikiran tersebut, Penulis menganggap betapa pentingnya kita mendudukan sebuah laporan (apapun) pada tempat yang semestinya, dari yang sebelumnya dianggap sedikit enteng dan tidak memberikan manfaat yang lebih,
menjadi betul-betul dihargai serta dipahami secara benar dan proporsional, sehingga fungsi dan peran dari laporan tersebut tepat dan sesuai dengan peruntukkannya. Melalui tulisan ini, kiranya paradigma kita tentang laporan akan sedikit berubah dan khususnya bagi pembuat laporan dapat lebih memotivasi untuk meningkatkan kualitas laporan perkara yang dibuat sehingga data yang disajikan tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga akurat, valid, dan akuntabel. II.
Laporan Perkara pada Pengadilan (Agama) Dasar hukum laporan perkara adalah Pasal 10 ayat 4 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain yaitu terhadap penyelenggaraan peradilan dan tingkah laku serta perbuatan para hakim di semua lingkungan badan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Laporan perkara pada Pengadilan Agama mengacu pada ketentuan Pola Bindalmin 1yang menjadikan pelaporan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan rangkaian dari tugas yang diemban oleh Peradilan di dalam melaksanakan amanah undang-undang untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara2 yang diajukan kepadanya. Sekalipun pelaporan tidak menjadi tugas pokok yang secara langsung melekat pada lembaga Peradilan dan tersurat di dalam undang-undang, namun laporan perkara dapat menjadi instrumen penting yang dapat menentukan dan menilai kinerja aparat Peradilan (mulai dari Ketua, hakim, panitera, maupun para panitera pengganti) yang melaksanakan tugas menyelesaikan suatu perkara yang ditangani. Melalui laporan perkara yang disajikan, tercermin proses penanganan suatu perkara oleh suatu majelis, intensitas waktu yang dibutuhkan, sampai bagaimana mekanisme penanganan perkara berjalan efektif dan memenuhi aturan yang ditentukan3. Menyusun atau membuat laporan perkara adalah tugas Panitera Pengadilan terkait dengan fungsi dan tugasnya sebagai Pelaksana Administrasi Pengadilan meskipun pada implementasinya Panitera dapat dibantu oleh Wakil Panitera atau para Panitera Muda 1
Pola Bindalmin adalah suatu pola pembinaan bidang administrasi yang dikembangkan di dalam lingkungan Peradilan (Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara) meliputi penerimaan/pendaftaran,adminstrasi biaya perkara, register, laporan, persiapan persidangan, pelaksanaan persidangan, pengarsipan). Buku II Edisi 2009, hal. 1-54 2 Yang menjadi kewenangan Peradilan Agama menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. 3 Pada Pengadilan Agama dikenal dengan LIPA 1 (laporan keadaan perkara), pada Pengadilan Tinggi Agama dikenal dengan RK-1.
(Panmud Hukum) setelah suatu perkara diterima dan didaftar (diregistrasi) sampai perkara tersebut dinyatakan selesai (diputus) atau dilanjutkan pada proses hukum lainnya. Laporan perkara pada Peradilan Agama meliputi keadaan perkara, kegiatan hakim, keuangan perkara, faktor penyebab perceraian, keadaan perkara yang dimohonkan Banding, Kasasi, PK, dan Eksekusi), laporan mediasi, penerapan PP 10/1983, aktivasi advokat yang beracara para Pengadilan Agama, dan sebagainya. Pada Pengadilan Agama, laporan Perkara dapat dikategorikan antara lain laporan bulanan, laporan 4 bulanan, laporan semester (6 bulan), dan laporan Tahunan (dari segi waktu).
Dari segi materi laporan terdiri dari laporan keadaan perkara, laporan
keuangan perkara, laporan jenis perkara, laporan faktor penyebab perceraian, laporan tentang PP 10 Tahun 1983, laporan perkara yang dimohonkan banding, kasasi, PK, dan eksekusi, laporan kegiatan
hakim, laporan pelaksanaan sidang keliling, laporan
mediasi, laporan penggunaan akta cerai, serta laporan pertanggungjawaban uang iwadl 4
. Beragamnya laporan perkara yang harus disusun berdasarkan ketentuan waktu
atau materi (isi)nya, menuntut pembuat laporan (di bawah tanggung jawab Panitera) memberikan data yang akurat dan benar, di samping memenuhi ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur oleh Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilang), antara lain bahwa laporan perkara bulanan disampaikan secara tepat dan hirarki setiap bulan pada tanggal 10 dan 15 bulan berikutnya. Demikian halnya dengan penyampaian laporan perkara Empat bulanan (yang harus disampaikan pada Mei, Agustus, dan Desember) dan laporan Semester/Enam bulanan (disampaikan setiap bulan Juli/akhir Juni dan Desember). Pada Pengadilan Tinggi Agama (tingkat banding), secara umum ketentuan pelaporan perkara tidak berbeda dengan ketentuan pelaporan pada Pengadilan Agama (tingkat pertama), terutama dalam hal waktu yang ditentukan. Dari segi materi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung (Panitera) maupun Dirjen Badilag, laporan perkara pada Pengadilan Tinggi Agama lebih bersifat mengakomodir dan rekapitulasi dari data-data laporan Pengadilan Agama yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama di samping menyusun laporan dari kegiatan internal tupoksi pengadilan
4
Penyebutan jenis-jenis laporan dilakukan secara acak.
tingkat banding yang menangani perkara-perkara banding yang menjadi kompetensinya (perkara banding yang diterima dan diputus). Laporan Perkara pada Pengadilan Agama secara ideal memiliki urgenitas atau fungsi-fungsi 5sebagai berikut : 1. Sebagai alat pantau, segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai kawal depan dari Mahkamah Agung RI 2. Sebagai bahan untuk meneliti kebenaran dari evaluasi. 3. Sebagai bahan/dasar bagi MARI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PTA dan sebagai bahan bagi PTA untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PA. 4. Sebagai bahan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, sehingga di dalam mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Penulis mencermati, dari 4 (empat) fungsi laporan tersebut di atas, fungsi lain yang lebih konkrit dan lebih luas antara lain : 1. Sebagai Data informasi. Secara umum dan kasat mata, dari bentuk hard copy ataupun soft copy laporan perkara yang disampaikan suatu lembaga kepada lembaga lain di atasnya, akan menjadi informasi yang tepat dan suatu bentuk komunikasi (melaporkan hasil pekerjaan) mengenai aktivitas atau kegiatan lembaga, aparat, hingga hasil kinerja selama kurun waktu tertentu 2. Indikator efektivitas ketentuan atau aturan tertentu. Data yang tersaji dalam laporan merupakan gambaran pelaksanaan tugas peradilan secara menyeluruh, khususnya pelaksanaan tupoksi peradilan. Tanggal atau nomor perkara yang disajikan dalam laporan merupakan manifestasi dari aturan yang harus dilaksanakan, seperti ketentuan penetapan majelis hakim (PMH), penetapan hari sidang, sampai berapa kali persidangan dilaksanakan tercermin dalam laporan. Efektif tidaknya aturan yang semestinya, dapat terlihat dari data yang tersaji dalam laporan. 3. Tolok ukur Kinerja Aparat Peradilan termasuk sistem manajerial pada satker. Laporan perkara memberikan gambaran kinerja team work aparat peradilan, mulai dari hakim, panitera, sampai petugas atau pejabat penyusun 5
Dr.H.Abdul Manan, SH.,S.Ip., M.Hum & Drs.H.Ahmad Kamil, SH., M.H, Pola Bindalmin, penerapan dan Pelaksanaan um, Jakarta : Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag, MA RI , 2007, h. 69.
laporan (bertanggung jawab). Kinerja hakim dapat dinilai melalui data suatu perkara sejak ditetapkan PMH, persidangan, hingga putusan dijatuhkan dan minutasi. Demikian halnya dengan kinerja Panitera yang akan terlihat dari cara atau kemampuannya mengelola keuangan perkara, tepat tidaknya menggunakan biaya-biaya tersebut sesuai ketentuan, dll. Bagaimana peran dan prinsip yang dipegang pimpinan satker dalam menyelaraskan dan mengapikasikan aturan hingga segala bentuk ‘pertanggungjawaban” atau tugas lainnya dimanaje dengan baik dan disampaikan tepat waktu. 4. Dapat menjadi acuan di dalam menetapkan program, arah kebijakan, atau SOP bagi pimpinan satker agar kualitas kinerja semakin meningkat. Laporan perkara yang akurat, valid, dan sesuai ketentuan bisa menjadi bahan acuan atau referens yang kuat bagi pimpinan di dalam menetapkan berbagai kebijakan atau program kerja terutama menyangkut peningkatan kualitas pelaksanaan tupoksi. Melalui data laporan, pimpinan khususnya dapat melihat, mengevaluasi, dan menentukan aparat mana (hakim atau panitera) yang telah melaksanakan tugas dengan baik atau sebaliknya, khususnya dalam menangani perkara. Berdasarkan laporan pula, pimpinan dapat menetapkan SOP (Standar Operasional Prosedur) pelaksanaan tugas yang lebih optimal jika sebelumnya masih terevaluasi ditemukan kelemahankelemahan. 5. Dapat menentukan keberhasilan lembaga peradilan. Urgensi laporan perkara yang lebih besar barangkali adalah bahwa laporan dapat menentukan atau menjadi indikator keberhasilan sebuah lembaga seperti peradilan di dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pemberi
pelayanan. Laporan perkara yang tertib dengan data yang disajikan akurat, valid, mencerminkan bahwa lembaga tersebut memiliki sistem manajemen yang baik dan dikelola oleh orang atau aparat yang memiliki kapasitas yang memadai. Bagaimana tugas masing-masing aparat dapat dilaksanakan dengan baik dan proporsional sampai para pihak mendapat kepuasan atas pelayanan yang diberikan adalah impact dari suatu pengelolaan manajemen yang baik. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika dari suatu laporan perkara sekalipun bagian kecil dari pelaksanaan tugas peradilan, dapat mewakili citra sebuah lembaga yang demikian besar.
III.
KENDALA PENYUSUNAN LAPORAN PERKARA
Seperti telah Penulis kemukakan pada pendahuluan, selama ini (mungkin sejak ketentuan pelaporan diterbitkan), Penulis mencermati keberadaan laporan perkara kurang diperhatikan dan diposisikan sebagai suatu bagian yang penting dari suatu rangkaian pelaksanaan tugas yang boleh jadi sebenarnya dapat menjadi “dokumen penting” yang merekam kegiatan para aparat melakukan tugasnya dan sewaktu-waktu dapat menjadi bahan review untuk menyusun program kerja, menentukan strategi atau kebijakan pimpinan untuk mengantisipasi hakim yang unprofesional hingga membawa lembaga yang dipimpinnya menjadi lebih meningkat, berkualitas serta optimal di dalam menjalankan tugas. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusunan laporan menjadi sesuatu yang akan menjenuhkan karena harus dilakukan secara rutin, berulang-ulang, dan terus menerus. Belum lagi jika kita ‘melihat’ obyek yang diolah berupa data-data yang mungkin tidak penting buat orang lain atau dianggap hanya sebagai data tanggal yang biasa-biasa saja, akan tetapi sesungguhnya kita bisa memahami laporan perkara lebih dari itu. Belum juga karena tugas menyusun laporan tidak lebih penting dari tugas menyelesaikan Berita Acara Persidangan (BAP) atau Putusan yang secara langsung berdampak pada kualitas pelayanan kepada publik, karena hal tersebutlah yang mungkin lebih berarti bagi para pihak pencari keadilan. Penulis berpendapat, jika laporan perkara dianggap tidak terlalu penting sehingga dapat begitu saja dibuat atau disusun, hal tersebut adalah keliru. Laporan perkara bisa memberikan data penting tentang bagaimana kita mengetahui suatu perkara diselesaikan. Bagaimana suatu perkara dengan mudah diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat atau sebaliknya, bagaimana seorang hakim menemukan kendala di dalam menyelesaikan perkara sehingga jarak antara persidangan pertama dengan perkara diputus sampai membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan sampai hitungan tahun. Hal-hal tersebut dapat ditemukan di dalam laporan perkara dengan jenis laporan keadaan perkara. Demikian pula jika kita ingin mengetahui bahwa sejumlah perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama lebih dominan bermotif ketidakharmonisan karena setelah suatu perkara diajukan hingga diselesaikan Pengadilan, faktor penyebab perceraian yang nampak diantara pada pihak adalah adanya ketidakrukunan yang sudah tidak bisa diatasi selain dengan perceraian. Maka laporan faktor-faktor penyebab perceraian memberi peran yang tidak kecil untuk memberikan informasi kepada siapapun (yang
berkepentingan dan terkait dengan laporan tersebut) sepanjang data yang disajikan akurat dan valid. Setelah Penulis mencermati dan melakukan analisa secara sederhana, beberapa hal yang ditemukan di seputar pelaporan perkara (baik kemudian menjadi kendala sewaktu penyusunan maupun menjadi permasalahan klasik pelaporan),
dan menjadi
permasalahan atau kekeliruan, antara lain : a. Data perkara
tidak akurat, misalnya data tanggal putusan yang
tidak tepat.
Perkara belum diputus dilaporkan telah diputus atau sebaliknya perkara sudah diputus tidak dilaporkan, akibatnya dapat mempengaruhi jumlah keadaan perkara. Faktor yang paling dominan atas kekeliruan ini biasanya karena instumen’alat bantu data’ tidak berjalan, sehingga komunikasi antar bagian (khususnya pihak terkait dengan pelaporan) mendapat kendala.
b. Antara satu jenis laporan dengan laporan lainnya tidak berkorelasi padahal semestinya laporan-laporan tersebut berkesinambungan karena data harus saling mendukung atau laporan yang satu menjelaskan laporan lainnya. Misalnya laporan perkara yang telah diputus dalam laporan keadaaan perkara (LIPA 1) baik yang terperinci maupun rekap tidak sesuai dengan data pada laporan jenis perkara (LIPA 8) padahal data tersebut seharusnya bersesuaian karena data pada laporan jenis perkara bersumber laporan keadaan perkara. Demikian dalam hal melaporkan data pengeluaran materai dalam laporan keuangan (LIPA 7) yang semestinya sama dengan jumlah perkara diputus dalam LIPA 1 atau LIPA 8, kerap ditemukan berbeda karena ada 1 (satu) atau 2 (dua) perkara yang diputus tidak terhitung. Hal inipun menjadi kekeliruan klasik yang sering ditemukan pada setiap laporan Pengadilan Agama.
c. Ketentuan-ketentuan yang memperbarui atau menyempurnakan pelaporan perkara tidak selalu sampai secara cepat dan tepat kepada pembuat laporan (satker di daerah). Terlebih jika peraturan baru tidak disertai juklak atau juknik dan memungkinkan diinterpretasikan berbeda oleh penyusun laporan, dapat menjadi kendala tersendiri untuk menyusun laporan dengan baik.
d. Efektivitas pemanfaatan media informasi teknologi pada setiap satker berbeda. Bagi satker yang terus menerus meningkatkan kemampuan untuk mendayagunakan media IT, harapan dan keinginan untuk meningkatkan kualitas kinerja termasuk
dalam hal menyampaikan laporan perkara secara tepat waktu dapat tercapai. Berbeda bagi beberapa satker yang masih menggunakan teknik manual, akselerasi yang diharapkan masih menjadi kendala tersendiri.
e. Team work kurang solid dan lemahnya fungsi pengawasan. Antara satu pejabat dengan pejabat lainnya, atau fungsi pengawasan yang tidak berjalan sesuai ketentuan dapat menyebabkan laporan perkara dilaksanakan semata-mata untuk memenuhi aturan tidak untuk manfaat atau nilai lain yang lebih berbobot misalnya sebagai manifestasi kinerja yang berkualitas. Fungsi kontrol atasan atau para pejabat yang bertanggungjawab terhadap isi laporan masih lemah dan sebatas memberikan tanda tangan pada akhir penyusunan laporan (cek n ricek jarang dilakukan).
f. Kedisiplinan dan komunikasi. Tidak sedikit anggapan bahwa menyusun laporan itu mudah dikerjakan hingga penyusunannya sering dilakukan menjelang batas akhir waktu penyampaian. Akibatnya tidak cukup waktu untuk mericek ulang data, laporan tersusun dalam waktu yang mendesak. Kendala lain yang bersifat teknis menambah kendala yang cukup serius manakala para pejabat yang berwenang tidak berada di tempat dalam waktu yang cukup lama.
g. Faktor Human Error. Rasa bosan pada rutinitas, malas, kurang cermat, tidak teliti dapat menyebabkan laporan tidak akurat, tidak dapat disampaikan tepat waktu, dan memiliki banyak kekeliruan. Karena laporan perkara bersifat kontinuitas dan berkesinambungan antara satu dengan lainnya, atau dari satu waktu ke waktu berikutnya, maka kekeliruan atau kesalahan dalam penyusunan laporan kerap berulang dan sering ditemukan di dalam laporan perkara.
h. Motivasi untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masih minim. Pengetahuan
tentang administrasi perkara yang dimiliki pembuat laporan sangat
terbatas (kurang pembinaan), ditambah sistem kaderisasi tidak berjalan efektif. Dengan alasan rangkap jabatan atau terlalu sibuk dengan pekerjaan lainnya, motivasi untuk meningkatkan kemampuan menjadi terabaikan. Padahal tugas menyusun laporan bukan sesuatu yang sulit dipelajari jika kita mampu memotivasi diri dengan baik. Termasuk dukungan dan kesempatan untuk belajar yang diberikan atasan atau pimpinan secara terbuka kepada siapapun melalui sistem kaderisasi yang terarah,
penegakan reward and punishment yang efektif, laporan perkara akan menjadi tugas yang ringan yang bisa memberikan prestasi bagi satker secara komprehensif.
IV.
KESIMPULAN
Sekalipun ditemukan banyak kendala di dalam menyusun laporan perkara yang baik dan ideal, tetapi Penulis tetap optimis bahwa kita akan mampu mengatasi atau menjawab kendala-kendala tersebut setelah kita mampu menginventarisir kelemahan, memahami, dan memotivasi diri untuk memperbaiki dan menjadikan semua lebih baik lagi, diantaranya dengan beberapa opsi langkah sebagai berikut : a. Kendala-kendala yang bersifat non teknis yang lebih banyak disebabkan karena faktor “manusia”nya mutlak hak kita mengatasinya. Rasa malas, bosan, tidak tekun, kurang cermat, tidak teliti, tidak disiplin yang mengakibatkan laporan perkara menjadi tidak akurat, salah pengetikan, atau keliru menuliskan data adalah tanggung jawab kita untuk mampu dan mau merubah atau memperbaikinya. b. Demikian halnya dengan faktor kemampuan. Teknik pembuatan dan penyusunan laporan perkara dapat dipelajari siapapun asalkan dengan motivasi yang tinggi karena akan terkait dengan pengetahuan lain seperti hukum dan istilah-istilah yang erat kaitan dengan tugas peradilan. Bagaimana membedakan pengertian cerai gugat dengan cerai talak, apa pengertian dispensasi nikah, izin poligami dan sebagainya. c. Rumuskan dan tentukan strategi atau teknik penyusunan laporan yang mudah, praktis, namun memberikan hasil yang optimal sehingga tugas menyusun laporan tidak kita anggap beban yang mengejar-ngejar kita setiap awal bulan dan membuat kita lebih malas, sehingga laporan dikerjakan dengan asal-asalan. Misalnya dengan menetapkan “jadwal” menyusun laporan perkara secara berkala, setiap hari terakhir dari hari kerja untuk entri data perkara diterima dan diputus dalam 1 minggu tersebut dan sebagainya sehingga batas waktu yang telah ditentukan tidak sering menjadi alasan klise penyelesaian laporan tertunda dan tidak cukup. Atau tentukan pula cara pengumpulan data dari setiap pihak yang terkait agar dapat terus diperbarui jika terdapat perubahan atau penambahan data. d. Perkuat kesolidan teamwork. Masing-masing petugas melaksanakan fungsi dan tugasnya secara proporsional dan profesional. Fungsi kontrol dilakukan secara hirarki, efektif, dan penuh tanggung jawab (cek n ricek dilakukan oleh semua bagian/pejabat terkait)
sehingga setiap kesalahan dapat diminimalisir. Fungsi kontrol dapat berupa perhatian, teguran, atau ketegasan pimpinan terhadap peraturan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. e. Memberikan kualitas terbaik dari setiap tugas yang kita laksanakan kiranya menjadi komitmen dan keinginan bersama dari sebuah organisasi. Jika kesadaran dan rasa memiliki (sense of belonging) tersebut tertanam dengan baik pada setiap personal yang menjadi bagian dari sebuah institusi peradilan agama yang menginginkan tujuan mulia tercapai, dapat memberikan pelayanan terbaik dan prima kepada publik, maka apapun tugas yang diemban dapat kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
V. PENUTUP Tidak ada maksud Penulis
menggurui atau mengajari siapapun tentang
bagaimana mencapai sebuah keidealan sehingga keidealan tersebut dapat menjadi kenyataan, tetapi kiranya Penulis ingin menggugah dan mengingatkan, betapa dari hal kecil dapat berdampak besar jika kita menghargai dan memperhatikannya dengan penuh kesungguhan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadikan kita selalu mawas diri, belajar dari banyak kekurangan untuk menjadikan kekurangan itu menjadi kelebihan yang kita temukan dengan pengetahuan dan kemampuan.
Dedeh Hotimah, S.Ag., M.H. (Penulis adalah Petugas pembuat laporan perkara)
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.
Dr.H.Abdul Manan, SH.,S.Ip., M.Hum & Drs.H.Ahmad Kamil, SH., M.H, Pola Bindalmin, penerapan dan Pelaksanaan um, Jakarta : Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag, MA RI , 2007. Laporan Perkara pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten. MA RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama (Buku II), 2009. MA RI, Panitera Pengadilan; Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab, 2007. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.