OBLIGASI PEMERINTAH (GOVERNMENT BOND) VS OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND) Oleh: Mangasa Simatupang
Tulisan dengan judul obligasi pemerintah vs obligasi daerah diatas dilatar belakangi rasa penasaran penulis melihat pesatnya perkembangan penerbitan obligasi pemerintah disatu sisi dan disisi lain penerbitan obligasi daerah yang sampai saat ini belum ada satupun pemerintah daerah di Indonesia yang sudah menerbitkan obligasi daerah. Hal ini sangat ironis mengingat penerbitan obligasi daerah dapat memberikan nilai manfaat yang sangat besar bagi pembangunan infrastruktur daerah. Disamping itu
secara hukum penerbitan obligasi daerah seharusnya sudah dapat
diterbitkan dimulai ketika Undang-Undang No.25 Tahun 1999 ditetapkan. Pasal 11 dari undang-undang ini secara jelas menyebutkan daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah dan PMK Nomor 147/PMK.07/2006. Semua peraturan tersebut pada dasarnya sudah sangat jelas mengatur persyaratan dan mekanisme setiap daerah yang akan menerbitkan obligasi daerah. Namun sampai saat ini belum ada satupun pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi daerah. Kevakuman penerbitan obligasi daerah berarti sudah 13 tahun kalau berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 atau lebih dari 6 tahun berdasarkan PMK No.147/PMK.07/2006. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan perkembangan obligasi pemerintah sebagaimana dapat dilihat dalam table 1 dibawah ini. Pada tahun 2007 sumber pembiayaan defisit APBN yang berasal dari utang sebesar Rp.73.871 Triliun dari Rp.80.435 Triliun atau sebesar 91,84%. Dari utang tersebut sumbernya didominasi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp.47.031 Triliun atau 63,67%. 1
Pada tahun 2008 pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang meningkat menjadi Rp.178.488 Triliun dari Rp.195.529 Triliun atau 91,28%. Dan dari utang tersebut sumbernya didominasi dari penerbitan SBN sebesar Rp.126.249 Triliun atau 70,73%. Selanjutnya
untuk tahun 2009, 2010 dan 2011 pembiayaan difisit melalui
sumber utang yang didominasi penerbitan SBN terus mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2011 sumber pembiayaan defisit dari utang sudah mencapai Rp.288.885 Triliun dari Rp.319.026 Triliun atau 90,55%.
Dari utang tersebut penerbitan SBN sebesar
Rp.211.180 Triliun atau 73,10%. TABLE 1 CASH FLOW SUMBER PEMBIAYAAN APBN (2007 -2011) (Rp.Triliunan) PEMBIAYAAN
SUMBER UTANG
SUMBER NON UTANG
TAHUN
DEFISIT APBN
PENERBITAN SBN BRUTO
PINJAMAN LUAR NEGERI
2007
80.435
47.031
26.841
6.564
2008
195.529
126.249
50.129
18.081
2009
248.257
148.538
58.662
41.067
2010
248.243
167.634
54.795
26.421
2011
319.026
211.180
56.183
60.141
Sumber : DJPU Kementerian Keuangan yang diolah.
Pada dasarnya menurut Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2005 sumber pembiayaan defisit APBN disamping bersumber dari utang sebagaimana data diatas juga dapat bersumber dari non utang, antara lain melalui Sisa Anggaran Lebih (SAL), divestasi atau privatisasi BUMN dan penyertaan modal pemerintah. Sumber non utang sampai saat ini jumlahnya relative masih sangat terbatas. Hal inilah yang mendorong pemerintah lebih mengutamakan sumber utang melalui penerbitan SUN sebagai sumber pembiayaan defisit APBN. Kebijakan ini juga didasarkan pertimbangan 2
bahwa penerbitan SUN dianggap memiliki risiko yang paling kecil dibandingkan dengan pembiayaan melalui pinjaman luar negeri sebagaimana yang selama ini dijalankan pada masa pemerintahan orde baru. Namun perlu dicermati dengan gencarnya penerbitan surat utang pemerintah tersebut membawa konsekuensi pesatnya peningkatan total utang pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari data pada table 2 dibawah ini, perkembangan total utang pemerintah dalam kurun waktu 2007 – 2011 sebagai berikut. TABEL 2 TOTA UTANG PEMERINTAH (2007 -2011) (Rp.Triliunan) TAHUN
PINJAMAN LUAR NEGERI
SURAT BERHARGA NEGARA
TOTAL UTANG
2007
586
42%
803
58%
1.389
2008
730
45%
906
55%
1.636
2009
611
38%
979
62%
1.591
2010
612
37%
1.064
63%
1.677
2011
616
37%
1.188
63%
1.803
Sumbeer : DJPU Kementerian Keuangan yang diolah. Dari data pada table 2 diatas menunjukkan bahwa perkembangan total utang pemerintah didominasi dari penerbitan surat utang Negara. Secara total perkembangan total utang pemerintah dapat dilihat pada tahun 2007 sebesar Rp.1.389 Triliun dan pada tahun 2011 total utang pemrintah menjadi Rp.1.803 Triliun. Berarti dalam kurun waktu 5 tahun total utang pemerintah secara nominal meningkat sebesar Rp.414 Triliun atau rata-rata pertahun sebesar Rp.82,8 Triliun. Walaupun terdapat peningkatan utang Negara tersebut, pemerintah tetap berkeyakinan bahwa kebijakan pembiayaan defisit APBN dengan prioritas penerbitan SUN sudah tepat
3
Salah satu dasar pertimbangan yang sering dikemukakan pemerintah dalam hal ini adalah ratio total utang Negara terhadap PDB setiap tahun terus mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat data yang dipublikasikan Kementeriaan Keuangan dimana secara berturutturut dari tahun 2005 sampai dengan 2011 adalah sebesar 47,5%, Tahun 2006 sebesar 39,0%, Tahun 2007 sebesar 35,2%, Tahun 2008 sebesar 33,1%, Tahun 2009 sebesar 28,3%, Tahun 2010 sebesar 26,3% dan tahun 20011 sebesar 25%. Penurunan ratio utang tersebut dapat diartikan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dari pada kenaikan total utang pemerintah. Hal inilah yang menjadi salah faktor kebijakan pemerintah secara aktif mendorong menerbitkan SUN sebagai sumber utama pembiayaan defisit APBN. Namun untuk kebijakan penerbitan obligasi daerah, pemerintah terkesan pasif dan sangat hati-hati. Hal ini dapat terlihat dari kebijakan pemerintah pusat yang sepenuhnya menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif penerbitan obligasi serta pemberlakuan persyaratan peraturan penerbitan obligasi daerah yang sangat ketat. Seharusnya obligasi daerah sebagai instrumen baru yang akan diperkenalkan dan diyakini memiliki nilai yang sangat strategis sudah selayaknya pemerintah pusat proaktif untuk mendorong pemerintah daerah yang potensil untuk segera menerbitkan obligasi daerah. Dengan wilayah yang sangat luas dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia serta sangat beragam kondisi sumber dayanya, maka diperkirakan penerbitan obligasi daerah akan semakin mempercepat pemerataan pembangunan daerah-daerah diseluruh Indonesia. Sebagaimana diketahui substansi penerbitan obligasi daerah sangat bermanfaat untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur didaerah seperti pembangunan/pembukaan jalan menuju akses pengolahan sumber alam, pembangunan jalan-jalan (TOL), pembangunan pelabuhan, lapangan terbang, air minum, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan lain-lain. Semua kegiatan pembangunan di daerah-daerah tersebut apabila terwujud akan menciptakan jaringan kegiatan ekonomi yang sangat luas dan akan menyediakan banyak lapangan kerja didaeah-daerah. Memang ada beberapa Negara yang pemerintahan daerahnya mengalami kegagalan dalam penerbitan obligasi daerah tetapi secara umum lebih banyak berhasil. Oleh karena itu kekwatiran yang berlebihan terhadap kegagalan 4
penerbitan obligasi daerah sebaiknya dihilangkan. Harus disadari
seperti halnya
pengalaman keberhasilan obligasi daerah dibanyak Negara dimana penerbitan obligasi daerah memiliki multi fungsi. Disamping memberikan manfaat yang sangat besar terhadap pembangunan infrastruktur, pemerintah daerah juga didorong untuk secepatnya menerapkan prinsip-prinsip good governance seperti transparansi dan responsibility dalam pengelolaan keuangan daerah. Manfaat lain yang juga sangat penting dari penerbitan obligasi daerah, pemerintah pusat memiliki peluang menekan pos transfer dana yang jumlahnya setiap tahun meningkat cukup besar. Perlu dicermati salah satu unsur utama yang menyebabkan meningkatnya pembiayaan defisit APBN adalah salah satu faktornya dikarenakan meningkatnya pos transfer daerah yang relatif cukup besar setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemekaran daerah-daerah baru dalam kurun beberapa tahun terakhir ini. Saat ini diperkirakan terdapat 33 propinsi tingkat I dan propinsi tingkat II sebanyak 539 yang terdiri dari daerah dan kota. Jumlah ini kemungkinan akan terus masih bertambah yang konsekuensinya akan menambah besaran transfer dana kedaerah. Adapun data perkembangan transfer dana kedaerah sejak 2007 sampai 2012 dapat dilihat dalam table 3 dibawah ini. Tabel 3 Perkembangan Transfer Daerah (2007 – 2012) (Rp.Triliunan) URAIAN
2007
2008
Dana Perimbangan
243.967
278.715 287.252 316.711
347.246 408.352
13.719
64.079
Dana
Otsus
& 9.296
2009
21.334
2010
28.016
2011
2012
70.424
Penyesuaian Total
253.263
292.436 308.585 344.728
411.325 478.776
Sumber : Nota Keuangan Rancangan APBN 2013 5
Dari table 3 tersebut diatas menunjukkan bahwa transfer dana kedaerah pada tahun 2007 sebesar Rp. 253.263 Triliun, kemudian pada tahun 2008 sebesar Rp.292.436 Triliun. Terdapat kenaikan sebesar Rp.39.173 Triliun. Selanjutnya masing-masing pada tahun 2009 sebesar Rp.308.585 Triliun, Tahun 2010 sebesar Rp.344.728 Triliun, Tahun 2011 sebesar Rp.411,325 Triliun dan Tahun 2012 sebesar Rp.478.776 Triliun. Berarti dalam kurun waktu 6 tahun sejak tahun 2007 sampai tahun 2012 terdapat kenaikan transfer daerah sebesar Rp.225.513 Triliun atau 89%. Perlu diketahui walaupun terdapat kenaikan transfer dana yang cukup besar sebagaimana uraian diatas, namun manfaatnya kepada pembangunan daerah
diperkirakan relatif
sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari laporan penggunaan dana APBD dari berbagai daerah secara umum menunjukkan bahwa porsi terbesar komponen dari transfer dana tersebut hanya habis untuk pembiayaan gaji pegawai dan biaya operasional administrasi. Porsi pembiayaan pembangunan infrastruktur untuk masing-masing daerah sangat kecil bahkan untuk beberapa daerah jumlahnya nihil. Kondisi ini secara teoritis akan membuat daerah-daerah tidak akan dapat berkembang bahkan terpuruk yang akhirnya juga berdampak kepada kerawanan sosial secara nasional. Dengan berbagai permasalahan keuangan pusat dan daerah diatas, jelas mensyaratkan bahwa penerbitan obligasi daerah merupakan hal yang sangat strategis dan mendesak kebutuhannya
sebagai
sumber
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur
daerah.
Selanjutnya yang perlu dipahami kelayakan penerbitan obligasi daerah dalam arti kemampuaan masyarakat menyerap obligasi daerah tersebut apabila diterbitkan. Berikutnya strategi yang perlu diterapkan agar daerah-daerah di Indonesia dapat segera menerbitkan obligasi daerah. Pada hakekatnya kelayakan penerbitan obligasi secara subtansi keuangan masyarakat sangat layak. Adanya semangat otonomi daerah yang menjadi euforia saat ini diperkirakan akan mendorong minat masyarakat yang tinggi untuk membeli obligasi daerah. Disamping itu karakteristik obligasi daerah yang bebas pajak dan adanya pemberian berbagai fasilitas yang melekat dalam instrument obligasi daerah. Semua karakteristik tersebut memungkinkan obligasi daerah akan lebih diminati masyarakat 6
dibandingkan dengan minat masyarakat terhadap obligasi pemerintah. Tambahan lain yang diperkirakan dapat mendorong peluang keberhasilan penerbitan obligasi daerah yaitu adanya kenaikan yang cukup besar jumlah keluarga mampu atau kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan data perbankan dari Bank Indonesia bahwa dana masyarakat yang disimpan dalam perbankan relatif jumlah sangat besar sebagaimana dimuat dalam table 4 dibawah ini. TABEL 4 PERKEMBANGAN DANA PIHAK KETIGA (2007 – 2012)
(Rp.Triliunan) TAHUN
GIRO
TABUNGAN
DEPOSITO
TOTAL
2007
405.551
438.575
666.708
1.510.834
2008
430.000
498.587
824.705
1.753.292
2009
465.888
709.045
901.709
1.973.042
2010
535.855
733.157
1.069.812
2.338.824
2011
652.646
898.299
1.233.967
2.784.912
Sumber : Bank Indonesia Melihat data pada table 4 diatas menunjukkan bahwa terdapat dana yang sangat besar yang disimpan masyarakat dalam perbankan. Pada tahun 2007 total dana pihak ketiga sebesar Rp.1.510.834 Triliun dan selanjut tiap tahun jumlahnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 dalam kurun waktu 5 tahun jumlahnya miningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp.2.784.912 Triliun. Adapun komposisi dana tersebut didominasi dalam bentuk tabungan dan deposito yang diperkirakan tujuannya adalah untuk mendapat keuntungan berupa bunga. Hal ini menurut teori investasi sudah tidak layak lagi mengingat kecilnya imbal hasil yang diperoleh. Oleh karenanya para nasabah sebagai pemilik dana tersebut secara teoritis akan mudah untuk memindahkannya apabila terdapat instrument investasi lainnya yang memberikan tingkat keuntungan dan keamanan yang lebih menarik. Sebagaimana kita ketahui keuntungan investasi yang diperoleh masyarakat
berupa bunga dari instrument 7
perbankan pada dasarnya sangat kecil rata-rata 5% kebawah belum potong pajak. Bahkan secara teoritis pemilik dana tersebut akan mengalami kerugian sejalan dengan tingkat inflasi yang relatif cukup tinggi. Oleh karena itu dengan adanya alternatif instrumen keuangan seperti obligasi daerah yang menjanjikan tingkat imbal hasil yang lebih memadai dan relatif aman diperkirakan simpanan masyarakat pada perbankan tersebut akan mudah beralih ke instrumen obligasi. Seandainya 5% sampai 10% saja simpanan masyarakat pada perbankan tersebut beralih ke instrumen obligasi daerah berarti terkumpul dana seratus sampai duaratus triliun lebih. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk awal perkembangan obligasi daerah. Selanjutnya strategi yang harus dilakukan untuk mempercepat penerbitan obligasi daerah, pemerintah pusat harus proaktif menggiring daerah-daerah yang layak untuk segera menerbitkan obligasi daerah, merefisi atau memberikan beberapa dispensasi persyaratan bersifat sementara kepada daerah-daerah yang sudah layak untuk menerbitkan obligasi daerah. Hal lain yang juga sangat perlu dipertimbangkan dimana pemerintah pusat sebaiknya membentuk Tim percepatan penerbitan obligasi daerah yang bersifat sementara. Anggota Tim diseleksi dengan ketat yang memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dan professional, bekerja selama lebih kurang selama 3 sampai 5 tahun dengan target menggiring minimal 5 sampai 10 pemerintah daerah untuk segera menerbitkan obligasi daerah dengan capaian nilai kumulatif lebih kurang limapuluh triliun rupiah. Adapun perlunya dibentuk tim percepatan penerbitan obligasi daerah didasarkan pertimbangan bahwa pada dasarnya sudah ada beberapa daerah yang layak menerbitkan obligasi daerah. Daerah-daerah tersebut antara lain Propinsi DKI, Propinsi Jawa Timur dan Jawabarat. Pada dasarnya daerah-daerah tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini sangat aktif merencanakan dan mempersiapkan penerbitan obligasi daerah. Namun karena sesuatu hal yang tidak jelas, rencana penerbitan obligasi selalu tertunda. Seperti halnya Propinsi DKI dalam program kerjanya seharusnya dalam tahun 2012 ini akan menerbitkan obligasi daerah. Namun kelihatannya akan batal bahkan untuk tahun-tahun berikutnya DKI tidak akan menerbitkan obligasi daerah.
8
Hal ini sejalan dengan pernyataan Jokowi, Gubernur DKI yang baru pada media masa beberapa waktu yang lalu yang menyatakan DKI tidak akan menerbitkan obligasi daerah. DKI memiliki banyak uang tidak perlu utang. Pernyataan tersebut diperkirakan akan berdampak negatif terhadap peluang penerbitan obligasi daerah di Indonesia. Mengingat DKI seharusnya menjadi pelopor utama keberhasilan penerbitan obligasi daerah. Jokowi seharusnya mempertimbangkan dan mengkaji sumber pembiayaan pembangunan transportasi masal MRT dan monerel melalui penerbitan obligasi daerah. Hal-hal seperti inilah yang menjadi tugas Tim untuk secara proaktif bersinergi untuk mendorong kepala-kepada daerah pemerintahan tingkat I dan II serta DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Tim bekerja secara prioritas terhadap daerah-daerah yang sudah layak menerbitkan obligasi daerah. Tim juga berfungsi untuk membantu perencanaan dan pengawasan proyek-proyek yang menjadi dasar penerbitan obligasi daerah. Setelah 3 sampai 5 tahun
Tim bekerja dan telah mencapai target yang diharapkan
maka
seyogyanya Tim dibubarkan. Selanjutnya penerbitan obligasi daerah sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Semoga Berhasil
9