TESIS
KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)
NYOMAN SAMUEL KURNIAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)
NYOMAN SAMUEL KURNIAWAN NIM. 1190561006
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NYOMAN SAMUEL KURNIAWAN NIM. 1190561006
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJU1 TANGGAL 12 Nopember 2013
Pembimbing
I,
Pembimbing II,
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LL.M. Dr.I Wayan Wiryawan,SH.,M.H. NIP. 19611110 198601 2 001 NIP. 195503061984031003
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LL.M. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19611110 198601 2 001 NIP.19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 12 Nopember 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor: 248/UN14.4/HK/2013, Tanggal 6 Nopember 2013
Ketua
: Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum, LLM.
Anggota : Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH. Prof. R.A. Retno Murni, SH., MH., Ph.D. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M. Hum Dr. I Ketut Westra, SH., MH.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini: N am a
:
Nyoman Samuel Kurniawan
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Judul Tesis
:
KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku.
Denpasar, 27 Juni 2013 Yang Menyatakan,
Nyoman Samuel Kurniawan
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia dan tuntunan-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dengan berjudul " KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN)", disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat berbagai dukungan, moitivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan yan berbahagia ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.MH. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang
vi
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 4.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana,
Ibu
Dr.
Ni
Ketut
Supasti
Dharmawan,
SH.,M.Hum.,LL.M atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 5.
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.M.Hum. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
6.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LL.M., sebagai dosen pernbirnbing pertama, yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat serta saran kepada penulis dalam rangka penyelesaian tesis ini.
7.
Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH.. sebagai dosen pembimbing kedua, yang telah membirnbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
8.
Dosen-dosen pengajar serta tenaga kependidikan / administrasi (Bu Agung, Bu Gung Yun, Pak Made Mustiana, Dyva dan Dandy) atas berbagai dukungan administratif dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Udayana. vii
Ilmu Hukum Universitas
9.
Yang terkasih, Ibunda Yenny Handjani serta Ayahanda Nyoman Darmawan (almarhum), yang senantiasa menjadi motivator bagi kehidupan penulis, yang menggelorakan semangat untuk menyelesaikan tulisan ini.
10. Yang tercinta Isteri, Ni Putu Yeni Sulistiawati dan buah hati tersayang,
Raymond Timothy Elkurnia dan Richard Timothy Elkurnia beserta keluarga besar penulis yang telah dengan penuh sabar memberikan doa, kasih sayang, bantuan materi semangat dan dukungannya, hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 11. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
angkatan 2011, angkatan 2010, angkatan 2012, rekan-rekan Hukum Bisnis serta teman-ternan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugerah -Nya kepada kita semua.
Hormat saya,
Nyoman Samuel Kurniawan
viii
ABSTRAK
Atas dasar anggapan wanprestasi sebagai utang, penyelesaian kasus wanprestasi dalam Hukum Perjanjian dengan menggunakan mekanisme hukum Kepailitan telah menjadi fenomena baru dalam dunia bsnis di Indonesia. Padahal tidak jarang pihak termohon pailit sengaja wanprestasi untuk membalas pihak lawan yang telah wanprestasi lebih dahulu (keadaan exceptio inadimpleti contractus). Sehingga permasalahan penelitian tesis ini adalah: Dalam keadaan exceptio inadimpleti contractus, apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan dan bagaimanakah akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Analisis bahan hukum dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksploratoris dengan teknik interpretatif, sistematis, evaluatif, konstruktif, maupun argumentatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua wanprestasi dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan. Akibat hukum dari wanprestasi terhadap perjanjian dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian akan berbeda apabila menurut hukum kepailitan. Dalam hukum perjanjian, akibat hukum bersifat memulihkan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum dalam hukum kepailitan jauh lebih luas, karena selain memaksa terhentinya hubungan debitor dengan semua kreditornya disertai dengan pengambil alihan seluruh hata kekayaan debitor untuk selanjutnya dikelola oleh kurator, tanpa mempertimbangkan doktrin exceptio inadimpleti contractus. Kata Kunci : hukum perjanjian, hukum kepailitan, wanprestasi, utang, perjanjian timbal balik, exceptio inadimpleti contractus.
ix
ABSTRACT
Based on the assumption default is debt, the settlement of default case in contract law by using mechanisms of the law of Bankruptcy’s has become a new phenomenon in Indonesian business world. Though it is not infrequently the defendant of bankruptcy intentionally default to reply the counterparty that had already been in default (exceptio inadimpleti contractus situation). So the research problem of this thesis is: In an exceptio inadimpleti contractus situation, is the concept of default on the law of treaties can be fully applied to the concept of debt in bankruptcy law and what legal consequences of defaulting debtors of the agreement under contract law and bankruptcy law? This research used normative legal research methods by using statue approach, case-based approach, comparative approach and the conceptual approach. Analysis of legal materials is done with a qualitative approach to the exploratory nature of interpretive techniques, systematic, evaluative, constructive and argumentative. The results showed that not all defaults can be expressed as debt in bankruptcy law. Legal consequences of defaulting on the agreement in the event of exceptio inadimpleti contractus under contract law would be different if, according to the bankruptcy law. In contract law, the legal effect is merely to restore the balance of rights and obligations of the parties. While the legal consequences of bankruptcy law is much broader, because in addition to forcing the cessation of the debtor relations with all creditors along with the takeover of the entire assets of the debtor to further managed by the Trustee, without considering the doctrine exceptio inadimpleti contractus. Keywords : contract law, bankruptcy law, breach of contract, default, debt, reciprocal agreements, exceptio inadimpleti contractus.
x
RINGKASAN TESIS
Tesis ini membahas tentang “Kepailitan Yang Bermula Dari Keadaan exceptio inadimpleti contractus (Analisa Terhadap Putusan Pernyataan Pailit Dalam Perspektif Hukum Perjanjian Dan Kepailitan)” pembahasannya dalam 5 (lima) bab. Bab I Pendahuluan diawali dengan uraian mengenai latar belakang terhadap pentingnya tesis ini dibuat, selanjutnya mengemukakan 2 (dua) rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Berawal dari persoalan wanprestasi dalam hukum perjanjian berkaitan dengan persoalan utang dalam dunia bisnis, sehingga persoalan wanprestasi dalam perjanjian diselesaikan dengan menempuh mekanisme hukum kepailitan. Ketidak jelasan (norma kabur) dalam pengaturan kepailitan menambah kerancuan dalam penerapan hukum yang tepat dalam menyelesaikan persoalan yang bernuansa kepailitan. Bahwa seharusnya terdapat pemisahan antara pengertian debitor yang tidak mau membayar utangnya dengan debitor yang tidak mampu membayar utangnya. Sehingga pembahasan tesis ini fokus kepada upaya menelaah apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan serta akibat hukum dari wanprestasi salah satu pihak terhadap sebuah perjanjian timbal balik dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan.
xi
Bab II pada penulisan tesis ini menguraikan tentang perjanjian timbal balik beserta aspek-aspek lainnya, meliputi konsep perjanjian, pengertian perjanjian dan dasar hukumnya. Selanjutnya mengenai exceptio inadimpleti contractus, baik konsep, pengertian dan dasar hukumnya dari exceptio inadimpleti contractus itu sendiri.
Disampaikan juga uraian mengenai kepailitan beserta
aspek-aspek lainnya, meliputi konsep kepailitan, pengertian kepailitan serta dasar hukum kepailitan. Bab III membahas tentang penerapan (aplikasi) konsep wanprestasi pada hukum perjanjian ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan yang dibagi menjadi : 1. Konsep wanprestasi dan pertanggung jawaban hukum atas timbulnya pihak yang dirugikan dalam hukum perjanjian, 2. Konsep utang dan pertanggung jawaban hukum atas timbulnya pihak yang dirugikan dalam hukum kepailitan dan 3. Konsep wanprestasi pada hukum perjanjian yang dapat diterapkan dan tidak dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan.
Konsep
wanprestasi adalah suatu tindakan penyimpangan oleh pihak yang mengadakan perjanjian dalam keadaan yang tidak memaksa, dari apa yang sebelumnya telah disepakati dalam perjanjian yang dapat berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lawan dalam perjanjian tersebut, dan wanprestasi hanya dapat terjadi dalam proses pelaksanaan setelah sebuah perjanjian dinyatakan telah disepakati secara sah. Bentuk pertanggung jawaban hukum bila terjadi wanprestasi merupakan bentuk pertanggungjawaban kontraktual sehingga pihak yang dirugikan dapat mengugat dengan dalil wanprestasi, sebagaimana diatur dalam hukum perjanjian. Sedangkan konsep utang yang dimaksudkan dalam hukum kepailitan mengacu
xii
kepada kewajiban dibidang bisnis atau setidak-tidaknya menyangkut perihal kekayaan harta benda dan terkait konsep ini dengan melandaskan pada ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya kepada semua kreditornya dan pertanggung jawaban hukum atas timbulnya pihak yang dirugikan dalam hukum kepailitan adalah diajukan permohonan penyataan pailit kepada Pengadilan Niaga.
Secara umum, konsep wanprestasi pada hukum perjanjian
yang dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: a. bahwa prestasi harus dilakukan, demikian halnya utang harus dibayarkan; b. bahwa setiap kewajiban untuk melakukan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian wajib dipenuhi terkecuali telah diatur syarat-syarat ataupun pengecualian lain yang juga telah disepakati. sedangkan konsep wanprestasi pada hukum perjanjian yang tidak dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: a. tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi dibidang kegiatan bisnis (utang dagang). b. bahwa wanprestasi ditentukan dari adanya perjanjian, tanpa memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis. c. bahwa wanprestasi hanya dipertanggung jawabkan kepada kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan penyelesaiannya akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga.
xiii
Bab IV membahas permasalahan kedua dari tesis ini yang menguraikan tentang akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan, yang dibagi dalam sub bab yang membahas tentang 1. Perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena wanprestasi terhadap perjanjian dan karena utang yang tidak dibayarkan, 2.
Letak
pertanggung jawaban terjadinya wanprestasi dalam perjanjian timbal balik dalam hal timbulnya kerugian para pihak, dan 3. Akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan. perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena wanprestasi terhadap perjanjian, merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sedangkan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena utang yang tidak dibayarkan, merupakan perbuatan yang tidak melakukan kewajibannya yang bersumber dari suatu kesepakatan dalam bidang bisnis, baik tertulis sebagai perjanjian ataupun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, mengingat wanprestasi hanya timbul dari perikatan yang bersumber dari perjanjian, sedangkan utang juga bisa timbul dari perikatan yang bersumber dari undangundang. Keterkaitan sebab dan akibat dari timbulnya pertanggung jawaban para pihak dalam melaksanakan prestasi dalam perjanjian timbal balik yang mana setiap pihak senantiasa secara bergantian berkedudukan sebagai debitor dan kreditor, menyebabkan pertanggung jawaban tersebut dapat dihapuskan apabila prestasi pihak lawan yang merupakan syarat bagi dilaksanakannya suatu prestasi
xiv
telah terlebih dahulu tidak dilaksanakan. Akibat hukum dari wanprestasi salah satu pihak terhadap sebuah perjanjian timbal balik dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian akan berbeda apabila menurut hukum kepailitan. Dalam hukum perjanjian akibat hukum hanya bersifat memulihkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang membuat perjanjian. menjadi
Selain itu doktrin exceptio inadimpleti contractus akan
pertimbangan
penting
dalam
penyelesaian
sengketa,
sehingga
pertanggungjawaban atas wanprestasi dalam perjanjian timbal balik akan diselesaikan secara lebih adil sesuai dengan sumber permasalahannya sendiri, yaitu perjanjian yang bersifat timbal balik tersebut. Sedangkan akibat hukum dalam hukum kepailitan jauh lebih luas, karena sifat ultimum remedium-nya memaksa terhentinya hubungan debitor secara langsung dengan semua kreditornya disertai dengan pengambil alihan seluruh harta kekayaan debitor untuk selanjutnya dikelola oleh kurator, tanpa mempertimbangkan doktrin exceptio inadimpleti contractus, karena dalam hukum acara hukum kepailitan tidak diatur tentang pengajuan doktrin exceptio inadimpleti contractus ini. Bab V sebagai bab simpulan dan saran dari tesis ini terbagi dalam dua bagian, yakni simpulan dan saran. Pada bagian saran : 1.
Berkenaan
dengan
biasnya pemahaman utang dalam Pasal 1 angka (6) serta rancunya pengaturan terhadap debitor yang tidak mau membayar utang dan yang tidak mampu membayar utang dalam Pasal 2 ayat 1 UUKPKPU, maka ketentuan tersebut perlu direvisi untuk dipertajam agar pada nantinya Undang-Undang Kepailitan yang baru dapat memilah dan memilih secara jelas perkara-perkara mana saja yang
xv
harus diselesaikan melalui jalur hukum kepailitan, mana yang tidak dapat atau tidak tepat untuk diselesaikan melalui jalur hukum acara kepailitan dengan memperhatikan bahwa hukum kepailitan benar-benar sebagai ultimum remedium dalam permasalahan kebangkrutan. Khususnya mengenai penegasan bahwa syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit harus benar-benar berdasarkan kepada keadaan nyata bahwa debitor tidak mampu membayar keseluruhan utangutangnya serta pengaturan bahwa dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus, maka penyelesaian permasalahan hukumnya tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan melainkan mutlak harus melalui jalur hukum perdata, yaitu gugatan wanprestasi. 2. Berkenaan dengan keadaan yang disebut exceptio inadimpleti contractus, perlu dibuatkan ketentuan yang mendasari sebagai payung hukum dalam penerapannya, mengingat seringkali terjadi kasus-kasus sengketa dalam perjanjian yang berkenaan dengan keadaan ini, yaitu keadaan yang akhirnya memaksa seorang debitor untuk bertindak wanprestasi karena pihak lawannya (kreditor) telah terlebih dahulu wanprestasi. 3. Penerapan hukum seharusnya melindungi hak-hak dan kewajiban setiap subjek hukum sehingga dalam hal satu hukum tertentu diterapkan, seharusnya hukum tersebut hanya berdampak efektif, memperbaiki, membenahi dan menghukum pihak-pihak yang bermasalah saja tanpa membentur atau mengganggu hak-hak dan kewajiban subjek hukum lain yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan apapun.
xvi
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR .............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .....................................................................
vi
ABSTRAK ................................................................................................
ix
ABSTRACT ..............................................................................................
x
RINGKASAN TESIS ...............................................................................
xi
DAFTAR ISI .............................................................................................
xvii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xxi
DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................
xxii
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................
1
1.1
Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ....................................................................
10
1.3
Ruang Lingkup Masalah...........................................................
10
1.4
Tujuan Penelitian ......................................................................
10
1.4.1. Tujuan Umum ...............................................................
10
1.4.2. Tujuan Khusus ..............................................................
11
1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................
11
1.5.1. Manfaat Teoritis ...........................................................
11
1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................
12
Orisinalitas Penelitian ...............................................................
12
1.6
xvii
1.7. Landasan Teoritis .....................................................................
13
1.7.1. Teori Perjanjian ............................................................
15
1.7.2. Teori Wanprestasi .........................................................
19
1.7.3. Teori Kepastian ............................................................
22
1.7.4. Teori Sebab Akibat .......................................................
24
1.7.5. Teori Tanggung Jawab .................................................
25
1.8. Metode Penelitian .....................................................................
27
1.8.1. Jenis Penelitian ............................................................
27
1.8.2. Jenis Pendekatan ..........................................................
29
1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................
30
1.8.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ...........................
31
1.8.5. Tehnik Analisa Bahan Hukum......................................
32
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS DAN KEPAILITAN .............
33
2.1. Perjanjian Timbal Balik Beserta Aspek-Aspek Lainnya ..........
33
2.1.1. Konsep Perjanjian ........................................................
33
2.1.2. Pengertian Perjanjian ....................................................
40
2.1.3. Dasar Hukum Perjanjian ..............................................
44
Exceptio Inadimpleti Contractus .............................................
54
2.2.1. Konsep exceptio inadimpleti contractus .....................
54
2.2.2. Pengertian exceptio inadimpleti contractus .................
60
2.2.3. Dasar Hukum exceptio inadimpleti contractus ............
63
2.3. Kepailitan Beserta Aspek-Aspek Lainnya ................................
64
2.3.1. Konsep Kepailitan .......................................................
64
2.2
xviii
2.3.2. Pengertian Kepailitan....................................................
81
2.3.3. Dasar Hukum Kepailitan .............................................
84
BAB III PENERAPAN (APLIKASI) KONSEP WANPRESTASI PADA HUKUM PERJANJIAN KE DALAM KONSEP UTANG PADA HUKUM KEPAILITAN ..........................................................
87
3.1. Konsep Wanprestasi dan Pertanggung Jawaban Hukum Atas Timbulnya Pihak yang Dirugikan Dalam Hukum Perjanjian .....................
87
3.2. Konsep Utang dan Pertanggung Jawaban Hukum Atas Timbulnya Pihak yang Dirugikan Dalam Hukum Kepailitan ..
100
3.3. Konsep Wanprestasi Pada Hukum Perjanjian Yang Dapat Diterapkan dan Tidak Dapat Diterapkan ke Dalam Konsep Utang Pada Hukum Kepailitan .................................................
108
BAB IV AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASI DEBITOR TERHADAP PERJANJIAN DALAM HAL TERJADI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS MENURUT HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM KEPAILITAN .................................................
114
4.1. Perbuatan yang Menimbulkan Kerugian pada Pihak Lain karena Wanprestasi Terhadap Perjanjian dan karena Utang yang Tidak Dibayarkan ............................................................
114
4.2. Letak Pertanggung Jawaban Terjadinya Wanprestasi dalam Perjanjian Timbal Balik dalam Hal Timbulnya Kerugian Para Pihak .........................................................................................
xix
127
4.3. Akibat Hukum dari Wanprestasi Debitor terhadap Perjanjian dalam Hal Terjadi Keadaan Exceptio Inadimpleti Contractus Menurut Hukum Perjanjian dan Hukum Kepailitan .................
134
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
146
5.1. Kesimpulan ..............................................................................
146
5.2. Saran .........................................................................................
147
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
xxiii
BAB V
xx
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1. Dasar Solusi Penyelesaian Hukum yang Tepat .......................
xxi
125
DAFTAR SINGKATAN
KUHPerdata
=
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Perpu PK
=
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998
PK TP
=
Perjanjian Kerjasama antara TELKOMSEL dan PRIMA dengan Nomor PKS TELKOMSEL: PKS.591/LG.05/SL 01/V1/2011 dan Nomor PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/ VI/2011, tanggal 01 Juni 2011
PRIMA
=
PT. Prima Jaya Informatika
Putusan Kepailitan TELKOMSEL
=
putusan
No.
48/PAILIT/2012/
PN.Niaga Jkt.Pst., TELKOMSEL dinyatakan pailit. UUKPKPU
=
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
TELKOMSEL =
PT. Telekomunikasi Selular
xxii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dunia bisnis tidak pernah terlepas dari permasalahan perjanjian dan utang, dengan resikonya masing-masing, yaitu wanprestasi pada perjanjian dan utang tidak terbayarkan. Pengaturan atas wanprestasi, umumnya telah disepakati dalam perjanjian itu sendiri, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Sedangkan terkait utang tidak terbayarkan, diperlukan pengaturan yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif guna memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengupayakan penyelesaian secara adil,1 yaitu hukum kepailitan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) merupakan dasar umum hukum kepailitan di Indonesia, khususnya ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132.2 Ketentuan Pasal 1131 mengandung asas schuld dan haftung, bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, dengan menyediakan seluruh kekayaannya, jika perlu dijual untuk melunasi utangnya,3 dan ketentuan Pasal 1132 mengandung asas paritas creditorum, bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya kecuali ditentukan undang-undang karena memiliki alasan yang sah untuk didahulukan
1
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 2. 2 Andriani Nurdin, 2012, Kepailitan BUMN Persero; Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, Alumni, Bandung, h. 143. 3 Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2011, Hak kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 16.
1
2
daripada kreditor-kreditor lainnya.4
Selanjutnya telah dibuatkan pengaturan
khusus mengenai kepailitan dan saat ini berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU). Dalam mekanisme hukum kepailitan, konsep utang sangat menentukan, karena tanpa adanya utang, kepailitan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.5 Secara sederhana, utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain; kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.6 Namun secara khusus ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU menyatakan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. UUKPKPU mengartikan utang secara luas, sehingga utang bukan hanya yang timbul dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.7 Pengertian utang dalam UUKPKPU yang demikian luas tersebut, menimbulkan kerancuan dalam penerapan hukum kepailitan.
Permasalahan
wanprestasi yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian
4
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Perdata: Hukum benda, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I), h. 32; lihat juga Ibid., h. 17 5 M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 34. 6 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pusat Bahasa, Edisi keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1540. 7 Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 72-73.
3
dapat dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan, karena wanprestasi dalam hukum perjanjian dapat dianggap sebagai utang dalam hukum kepailitan. Hal ini terjadi karena selain persoalan pengertian utang yang begitu luas juga disertai dengan begitu longgarnya persyaratan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit yang tidak menegaskan keadaan utang mana saja yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan pernyataan pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketentuan ini tidak menyinggung mengenai kebangkrutan sebagai alasan debitor tidak membayar utang, mengingat pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau tidak mau membayar.8 Demikian halnya pada bagian penjelasannya, tidak dijelaskan juga mengenai maksud dari frasa “tidak membayar utang” tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 2 Ayat (1) tersebut mengandung norma kabur yang dapat menimbulkan kerancuan dalam menilai keadaan debitor mana yang seharusnya diajukan permohonan pernyataan pailit. Selain itu persyaratan dalam ketentuan ini sangat sederhana dan kurang dipertajam, diantaranya mengenai perihal insolvency
ataupun
kebangkrutan
keuangan
debitor,
sehingga
memberi
kemudahan untuk mengajukan permohonan Pernyataan Pailit, sehingga memberi peluang pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang tidak seharusnya dipailitkan. 8
Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, h. 88.
4
Dalam hal debitor tidak mampu membayar utangnya (insolvent), maka mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan yang tepat.
Namun dalam hal
debitor tidak mau membayar, harus diperhatikan alasan dari debitor untuk tidak mau membayar utang walaupun mampu (solvent), yaitu diantaranya karena yang dimaksudkan sebagai utang oleh kreditor, merupakan kewajiban debitor yang bersumber dari sebuah perjanjian timbal balik, dan debitor tidak mau memenuhinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu yang dalam hukum perjanjian dikenal sebagai exceptio inadimpleti contractus.9 Wanprestasi adalah suatu keadaan menurut hukum perjanjian, dimana seseorang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian,10 dan bila terjadi wanprestasi, pasti terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum, suatu kepentingan yang diatur dan dilindungi oleh hukum.11 Mengingat wanprestasi hanya terjadi dalam hukum perjanjian, maka seharusnya permasalahan wanprestasi diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian itu sendiri, mengingat sering kali permasalahan wanprestasi terjadi bukan semata-mata karena tindakan lalai dari salah satu pihak terhadap perjanjian, namun juga disengaja sebagai respon atas tindakan pihak lawan telah wanprestasi terlebih dahulu, khususnya dalam hal pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang merupakan timbal balik.
9
Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak; Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta, h. 236; lihat juga Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung (Selanjutnya disebut Purwahid Patrik I), h. 34. 10 P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 339-340. 11 J. Satrio, 2012, wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurispridensi, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut J. Satrio I), h. 8.
5
Dalam perjanjian timbal balik, kedudukan para pihak sebagai kreditor dan debitor saling bergantian sesuai dengan klausul-klausul yang telah disepakati. Timbulnya kewajiban untuk melakukan suatu prestasi merupakan akibat dari telah terpenuhinya suatu hak atas prestasi yang menjadi syarat timbulnya kewajiban tersebut, sehingga dalam hal terjadi permasalahan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian timbal balik, apabila diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian (perdata) maka pihak lawan (tergugat) dapat melakukan pembelaan dengan mengajukan eksepsi yaitu exceptio inadimpleti contractus. Pertimbangan terhadap akan diajukannya eksepsi tersebut oleh tergugat, menimbulkan pemikiran bahwa penyelesaian melalui mekanisme hukum perjanjian tidak akan mudah untuk dimenangkan oleh penggugat, sehingga dianggap akan lebih mudah untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan, dengan pertimbangan bahwa bila kedua persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit telah terpenuhi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) UUKPKPU hakim wajib mengabulkan permohonan pernyataan pailit. Apabila pernyataan pailit dikenakan atas debitor yang solvent hanya didasarkan atas pemenuhan syarat formal tersebut, maka hal tersebut tidak tepat bagi penyelesaian permasalahan wanprestasi dalam perjanjian,12 bahkan dapat dianggap terjadi “error in treatment” terhadap permasalahan yang terjadi, karena hukum kepailitan cenderung tidak memperhatikan aspek-aspek dalam hukum perjanjian timbal balik, khususnya perikatan hak dan tanggung jawab para pihak dalam mewujudkan prestasi. 12
Siti Anisah, 2008, Perlindungan Kepentingan kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h. 3.
6
Ketentuan Pasal 1 angka (1) UUKPKPU menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Memperhatikan efek dari sita
umum, maka kepailitan merupakan peristiwa yang berat bagi debitor pailit, karena unsur hukum publiknya telah mengubah status hukumnya menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, termasuk hubungannya dengan seluruh kreditor-kreditornya yang mungkin sebelumnya tidak bermasalah. Oleh karena itu seharusnya putusan pernyataan pailit hanya sebagai solusi terakhir (the last resort principle/ultimum remedium) bagi debitor yang memang seharusnya dinyatakan pailit saja, sehingga sebaiknya dianggap perlu untuk menyempurnakan ketentuan dalam UUKPKPU, khususnya mengenai pengertian utang yang menjadi bagian persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit.
Seharusnya
pengaturan dalam hukum kepailitan menegaskan bahwa kasus yang dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan hanya kasus tidak membayar yang dilatar belakangi kebangkrutan debitor, bukan karena dilatar belakangi sengketa atau selisih pendapat. Berkenaan dengan uraian diatas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian untuk mempertajam konsep utang dalam hukum kepailitan, agar tidak terbiaskan oleh konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian yang tidak relevan dengan esensi dari kepailitan itu sendiri, sebagai salah salah satu upaya untuk menegaskan agar permasalahan dalam hukum perjanjian tidak serta merta dengan mudah dapat
7
di bawa penyelesaiannya ke dalam mekanisme hukum kepailitan, terlebih lagi dan atau khususnya dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti conctractus, karena keberadaan exceptio inadimpleti contractus inilah yang menjadi salah satu pertimbangan kreditor mengalihkan penyelesaian permasalahan wanprestasi debitornya agar diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan. Dalam mereformulasi konsep utang pada hukum kepailitan, perlu diperhatikan bahwa letak dari pertanggungjawaban hukum pada hakekatnya terletak pada pihak yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut serta bila berkenaan dengan perjanjian para pihak, serta sumber dari muncul kewajiban utang tersebut. Dalam dunia bisnis saat ini, pengalihan penyelesaian permasalahan wanprestasi pada hukum perjanjian melalui mekanisme hukum kepailitan telah beberapa kali terjadi, diantaranya kasus kepailitan yang bermula dari sebuah perjanjian kerjasama yang merupakan perjanjian timbal balik namun ketika terjadi permasalahan wanprestasi, salah satu pihak membawa penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan. Berdasarkan pengertian utang pada UUKPKPU yang begitu luas, maka pihak termohon dinyatakan Pailit. Kasus wanprestasi yang seharusnya diselesaikan menurut hukum perjanjian (perdata) tersebut diselesaikan
dengan
mekanisme
kepailitan
yang
mengabaikan
exceptio
inadimpleti contractus sebagai unsur penting dalam kasus tersebut. Bermula TELKOMSEL
dari antara
adanya PT.
Perjanjian
Kerjasama
Telekomunikasi
Selular
Penjualan
Produk
(selanjutnya
disebut
TELKOMSEL) dengan PT. Prima Jaya Informatika (selanjutnya disebut PRIMA)
8
Nomor PKS TELKOMSEL: PKS.591/LG.05/SL -01/V1/2011 dan Nomor PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/ VI/2011, tanggal 01 Juni 2011 (selanjutnya disebut PK TP), yang menyatakan bahwa PRIMA ditunjuk untuk mendistribusikan Kartu Prima voucher isi ulang dan TELKOMSEL berkewajiban untuk menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga sejumlah sedikitnya 120.000.000. Selanjutnya permohonan pernyataan pailit oleh PRIMA didasarkan atas penolakan
TELKOMSEL
AK/VI/2012/000000
27
memenuhi tertanggal
20
purchase Juni
order
2012
serta
No. No.
PO/PJIPO/PJI-
AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012 sehingga dianggap sebagai utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebesar Rp. 5.620.000.000,- yang tidak dibayar oleh TELKOMSEL.13 Nilai ini hanya 0,04% dari laba TELKOMSEL pada
tahun
2011
yang
mencapai
Rp.12.823.670.058.017,-
sehingga
TELKOMSEL sesungguhnya debitor yang mampu untuk membayar (solvable). Bagi TELKOMSEL, purchase order tersebut bukan utang, dan penolakan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 6.4. PK TP, yaitu berkenaan PRIMA telah wanprestasi, maka TELKOMSEL dapat membatasi, mengurangi atau memberhentikan pasokan salah satu atau keseluruhan jenis Produk TELKOMSEL yang dijual atau dipasarkan oleh PRIMA.14 Atas perbedaan pendapat terhadap utang tersebut, Hakim berpendapat dalam pertimbangan hukumnya, menimbang berdasarkan keterangan Ahli bahwa 13
Berdasarkan Salinan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Nomor: 48/PAILIT/2012/ PN.Niaga Jkt.Pst. 14 Pasal 6 ayat 6.4. Perjanjian Kerjasama Penjualan Produk TELKOMSEL, Nomor PKS TELKOMSEL: PKS.591/LG.05/SL -01/V1/2011 dan Nomor PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/ VI/2011, tanggal 01 Juni 2011.
9
Kewajiban menyerahkan barang yang dapat dinilai dengan uang dapat dikategorikan sebagai utang menurut UUKPKPU; bahwa menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata kewajiban dari salah satu pihak itu sudah terbit pada saat adanya kesepakatan tentang barang walaupun barangnya belum diserahkan dan walaupun harganya belum dibayarkan itu sudah mengikat, dengan demikian pengertian utang ini telah terpenuhi, sehingga pada tanggal 14 September 2012, berdasarkan putusan No. 48/PAILIT/2012/ PN.Niaga Jkt.Pst., TELKOMSEL dinyatakan pailit.
(selanjutnya disebut Putusan Kepailitan TELKOMSEL).
Selanjutnya atas upaya kasasi TELKOMSEL, melalui Putusan Kasasi MA nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 pada tanggal 21 November 2012, MA telah mengabulkan kasasi TELKOMSEL sehingga tidak jadi Pailit. Memperhatikan kasus yang bermula dari perjanjian kerjasama, namun akhirnya
diselesaikan
melalui
mekanisme
kepailitan
dengan
dasar
mempersamakan wanprestasi dalam hukum perjanjian sebagai utang dalam hukum kepailitan, maka akan dilakukan penelitian dengan memperhatikan teori, asas dan ketentuan dari perspektif hukum perjanjian dan juga hukum kepailitan, untuk mempertajam konsep utang dalam hukum kepailitan, agar tidak terbiaskan oleh konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian. Selanjutnya akan dilakukan penelitian normatif yang berjudul: KEPAILITAN YANG BERMULA DARI KEADAAN
EXCEPTIO
INADIMPLETI
CONCTRACTUS
(ANALISA
TERHADAP PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DAN KEPAILITAN).
10
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dikemukakan rumusan masalah yang akan diteliti dan dibahas yaitu: 1.
Dalam keadaan exceptio inadimpleti contractus, apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan?
2.
Dalam keadaan exceptio inadimpleti contractus, bagaimanakah akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah dibatasi pada pembahasan mengenai asas, teori dan ketentuan mengenai konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian dan konsep utang dalam hukum kepailitan dalam rangka menemukan batasan yang jelas terhadap ketentuan mengenai utang dalam hukum kepailitan, dalam hal terjadinya keadaan exceptio inadimpleti contractus, sebagai masukan terhadap upaya pembaharuan pengaturan tentang utang sebagai persyaratan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum penulisan tesis ini adalah untuk:
11
1.
Pengembangan konsep, asas dan teori hukum perjanjian dan kepailitan, khususnya dalam pengaturan tentang utang yang antisipatif dan akomodatif terhadap keadaan exceptio inadimpleti contractus, dan
2.
Mendistribusikan konsep pemikiran terhadap utang dalam hukum kepailitan yang antisipatif dan akomodatif terhadap terjadinya keadaan exceptio inadimpleti contractus dalam rangka pembaharuan pengaturan tentang utang dalam UUKPKPU.
1.4.2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1.
Apakah konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, dan
2.
Bagaimanakah akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian dan hukum kepailitan.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum kepailitan dalam merumuskan pengertian utang yang antisipatif dan akomodatif terhadap terjadinya keadaan exceptio inadimpleti contractus.
12
1.5.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk penelitian lebih lanjut, menjadi bahan masukan dalam pengaturan tentang utang sehubungan dengan syarat pengajuan pemohonan Pernyataan Pailit serta menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan perkara ini, mengingat saat ini masih terdapat kemungkinan upaya hukum Peninjauan kembali.
1.6. Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran judul-judul tesis yang ada dengan media internet, belum ditemukan tesis yang menggunakan judul sebagaimana yang dipergunakan dalam penelitian ini. Namun berdasarkan penelusuran terhadap topik penelitian, maka ditemukan tesis yang tampaknya paling mendekati yang berjudul Kajian Penyelesaian Perkara utang Piutang Pengadilan Niaga Dalam Hubungannya Dengan Pengertian Sumir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Oleh Nenny Yulianny (2005) dengan rumusan masalah mengenai (1) Kriteria dan ukuran yang bagaimanakah suatu perkara utang piutang dapat dikatakan sumir sehingga dapat diajukan sebagai perkara kepailitan dan (2) Bagaimanakah akibat hukumnya apabila kriteria atau ukuran sumir tersebut tidak terpenuhi. Tesis ini membahas kriteria dan ukuran utang yang dapat dikatakan sumir (dengan pembuktian sederhana) serta akibatnya terhadap putusan pernyataan pailit, dengan menganalisis pertimbangan hukum atas sejumlah kasus kepailitan berdasarkan UU Kepailitan Lama. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian dan konsep
13
utang dalam hukum kepailitan secara mendalam disertai satu kasus pendukung, dalam rangka menemukan batasan yang jelas terhadap ketentuan mengenai utang dalam hukum kepailitan, khususnya dalam hal terjadinya keadaan exceptio inadimpleti contractus, sehingga dapat memberi masukan untuk pembaharuan pengaturan tentang utang yang lebih tepat sebagai persyaratan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit.
1.7. Landasan Teoritis Landasan Teoritis merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian yang berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian,15 yang dapat berupa teori hukum baik yang berupa teori-teori hukum umum (grand theory) maupun teori-teori hukum khusus. Selain itu dalam beberapa hal dikemukakan juga beberapa konsep, asas dan atau doktrin untuk memperlengkapi landasan untuk membahas masalah penelitian yang selanjutnya sebagai pijakan dalam mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat consensus yang diperoleh lewat upaya penelusuran (controleurbaar).16 Dalam literatur lain yang menyebutkannya sebagai kerangka teoritis, dinyatakan bahwa: kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangan
15
Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis Dan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 12. 16 I Gusti Ketut Ariawan, 2011, hand out matrikulasi, “Metode Penelitian Hukum” Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 6.
14
kekhususannya.17 Dengan demikian, landasan teoritis dalam penelitian ini tidak hanya berupa teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep,18 mengenai hukum perjanjian dan kepailitan beserta aspek-aspeknya secara umum serta secara khusus mengenai wanprestasi dalam hukum perjanjian serta utang dalam hukum kepailitan. Teori adalah seperangkat proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefinisikan dan saling berhubungan, merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu dan suatu teori menjelaskan fenomena,19
yang berfungsi sebagai pemberi arahan
kepada peneliti dalam melakukan penelitian. Sedangkan asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.20 Selanjutnya asas-asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamental dari hukum dan dapat berupa pengertian-pengertian serta nilai-nilai yang menjadi titik tolak untuk berpikir tentang hukum,21 yang melahirkan logika ilmiah yang membantu logika kodrati untuk mengurangi terjadi kesesatan karena argumentasi karena adanya tujuan tertentu (argumentum ad misericordium).22
17
Logika hukum
Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 79. Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 19 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafimdo Persada, Jakarta, h. 43. 20 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 91-92. 21 E. Sumaryono, 2002, Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, h. 157. 22 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 44. 18
15
menyelidiki kaidah-kaidah pemikiran yang membicarakan segala sesuatu yang tentang hukum.23 Selanjutnya landasan teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.7.1. Teori Perjanjian Teori perjanjian dipergunakan untuk membahas kedua rumusan masalah di atas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.24
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang
membuatnya, karena mengikat para pihak yang terlibat, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.25
Mengenai perjanjian dan perikatan,
Lukman Santoso menyampaikan bahwa:26 Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji/saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal, sedangkan perikatan adalah sebuah hubungan hukum antara dua orang/pihak yang berdasar sebagaimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, pihak lainnya juga berkewajiban memenuhi tuntutan itu. R. Subekti menyatakan bahwa Perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. 27 Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu
23
Ibid. Frans Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta, h. 2. 25 Ibid. 26 Lukman Santoso Az, 2012, hukum perjanjian Kontrak; Teknis Pembuatan Dan Contoh-Contohnya, Cakrawala, Yogyakarta, h. 8. 27 R. Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-31, Inter Masa, Jakarta (Selanjutnya disebut R. Subekti II), h. 122. 24
16
hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak.28 Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis,29 sehingga perjanjian dapat dibuat secara tertulis dan secara lisan, namun perjanjian dalam bentuk tidak tertulis menyimpan resiko ketidakpastian hukum. Sedangkan perjanjian dalam bentuk tertulis, selain untuk kepentingan pembuktian para pihak apabila terjadi perselisihan juga dibutuhkan untuk alasan tertib administrasi.30 Selain itu, ada juga ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu yang menentukan harus dalam bentuk tertulis dengan konsekuensi hukum apabila tidak tertulis, maka perjanjian itu dinyatakan tidak ada ataupun batal demi hukum, misalnya perjanjian kerja. Dengan demikian perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis bukan hanya untuk alat pembuktian dan kepentingan administrasi saja, namun juga merupakan syarat untuk adanya (bestnwaarde) perjanjian itu. Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian yang dibuat secara tertulis dihadapan notaris atau pejabat pemerintahan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.31 Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata diatur tentang kesepakatan para pihak sebagai salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau memiliki persesuaian kemauan dan saling menyetujui kehendak masing-masing yang dinyatakan secara tegas ataupun
28
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum hukum perjanjian Dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3. 29 Frans Satriyo Wicaksono, Loc.Cit. 30 Ricardo Simanjuntak, Op.Cit., h. 81. 31 Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 43.
17
secara diam-diam,32 serta dalam ketentuan Pasal 3121 KUHPerdata dinyatakan harus tanpa ancaman/ paksaan (bedreiging, dwang), kekeliruan (dwaling), ataupun penipuan (bedrog). Berdasarkan Asas konsensualisme. Munir Fuady menyampaikan sejumlah teori-teori yuridis dan konseptual tentang perjanjian, yaitu sebagai berikut:33 1. 2. 3. 4. 5.
Teori-teori berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak; Teori-teori Berdasarkan Formasi Kontrak; Teori-teori Dasar yang Klasik (underlying presuppositions); Teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum (legal liability) yang berkenaan dengan Kontrak; Teori Liberal tentang Kontrak.
Mengenai beberapa teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak, dapat disampaikan mengenai Teori Sama Nilai (equivalent theory), yaitu suatu perjanjian akan mengikat bila para pihak memberikan prestasi yang seimbang. Sedangkan menurut Teori Kepercayaan Merugi (injurious reliance theory), perjanjian dianggap sudah ada bila kepercayaan telah timbul pada pihak yang menerima janji, hingga akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana. Menurut teori pelaksanaan yang merupakan bagian dari teori dasar yang klasik, tujuan utama dibuatnya perjanjian adalah agar para pihak melaksanakan apa yang diperjanjikannya secara benar, dan menurut Teori prinsip umum, perjanjian secara umum tetap berpedoman pada prinsip-prinsip umum dalam kontrak. Menurut teori Liberal tentang perjanjian, setiap orang menginginkan keamanan, sehingga melalui kepercayaan dan perjanjian, seseorang saling menghormati dan bekerja sama tanpa kehilangan kebebasannya. 32
Riduan Syahrani, 2000, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
h. 206. 33
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Munir Fuady I), h. 4.
18
Selanjutnya beberapa asas perjanjian dalam KUHPerdata yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah:34 a. b. c. d. e.
Hukum Kontrak bersifat hukum mengatur (aanvullen recht, optional law); Asas kebebasan berkontrak; Asas pacta sunt servanda (ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata); Asas konsensual dari suatu kontrak; Asas obligator dari suatu kontrak.
Menurut Asas Hukum Kontrak bersifat hukum, apabila pengaturan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak lain dari yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. Kecuali undang-undang menentukan lain. Sedangkan sebagai refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjiannya, sepanjang memenuhi syarat sebagai suatu kontrak, tidak dilarang undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan itikad baik dan berdasarkan asas pacta sunt servanda, perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagaikan undang-undang. Menurut
asas
Konsensual, perjanjian dinyatakan sah dan mengikat saat mencapai kata sepakat, sepanjang memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sedangkan berdasarkan asas obligator dari suatu kontrak, setelah perjanjian dinyatakan sah, maka perjanjian tersebut sudah mengikat, namun masih sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak.
34
Ibid., h. 29-32.
19
1.7.2. Teori Wanprestasi Teori wanprestasi akan dipergunakan untuk membahas kedua rumusan masalah di atas. Bahwa perjanjian Kerjasama itu menimbulkan suatu perikatan antara pihak yang membuatnya, maka salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian untuk memenuhi prestasinya, dinyatakan wanprestasi.35 Menurut Riduan Syahrani, wanprestasi dapat berupa:36 1.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
2.
Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian;
3.
Terlambat memenuhi prestasi;
4.
Keliru memenuhi prestasi.
Sedangkan Ahmadi Miru dan Sakka Pati menyatakan bahwa seseorang dikatakan wanprestasi, jika:37 1. 2. 3. 4.
tidak melakukan apa yang dijanjikan; melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya; atau; melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, wanprestasi dapat terjadi dengan 2 (dua) cara, yaitu:38 1.
35
pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung,
h. 175. 36
Riduan Syahrani, Op.Cit., h. 218. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan;Penjelasan makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 38 Ibid. 37
20
2.
patokan tentang wanprestasinya debitor, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitor tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasi; Sesuai dengan perjanjian, jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitor tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi.
Dalam hal wanprestasi karena kesalahan debitor baik sengaja karena kelalaian, maka akibat hukum dari terjadinya wanprestasi adalah:39 a. b. c.
debitor diharuskan membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata); kreditor dapat minta pembatalan perjanjian melalui Pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata); kreditor dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (Pasal 1267 KUHPerdata).
Dalam hal tanggung jawab yuridis ada pada pihak debitor maka berkenaan dengan terjadinya wanprestasi, van der Burght menyatakan bahwa:40 a. b. c.
debitor harus membayar ganti rugi (Pasal 1279 KUHPerdata, Pasal 1243 KUHP); beban resiko bergeser ke arah kerugian debitor; jika perkiraan timbul dari suatu perjanjian timbal balik, maka pihak kreditor dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara Pasal 1302 KUHPerdata (Pasal 1266 KUHP), atau melalui exceptio inadimpleti contractus menangkis tuntutan debitor untuk memenuhi perikatan.
Sedangkan apabila tanggung jawab yuridis ada pada pihak kreditor atau wanprestasi karena kelalaian kreditor (crediteursverzuim), yang mana debitor berada dalam keadaan memaksa, tetapi tidak dalam keadaan overmacht, maka:41 a.
b.
39
Beban resiko bergeser ke arah kerugian kreditor dan selaku demikian ialah bahwa pihak debitor pada galibnya hanya bertanggung jawab yuridis karena melakukan wanprestasi dalam hal adanya unsur kesengajaan diri sendiri atau kesalahan besar (gove schuld); pihak kreditor tetap berkewajiban memberikan kontraprestasi (bandingkan Pasal 1638 d KUHPerdata; Pasal 1602 KUHP).
Djaja S. Meliala, Op.Cit., h. 176. Van der Burght, Freddy Tengker (penyadur), Wila Chandrawila Supriadi (Editor), 2012, Buku Tentang Perikatan; Dalam Teori Dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, h. 147 41 Van der Burght, Op.Cit., h. 148. 40
21
O.W Holmes berpendapat bahwa The duty to keep a contract at common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it-and nothing else. If you commit a tort, you are liable to pay a compensatory sum,42 yaitu bahwa kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian diartikan bahwa pihak-pihak dalam perjanjian harus membayar ganti rugi, jikalau mereka tidak menjaganya dan tidak ada hal yang lainnya, sehingga siapa yang melakukan kesalahan, harus bertanggung jawab untuk membayar sejumlah kompensasi. Sedangkan menurut Suharnoko, mengingat bahwa tujuan dari gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terpenuhi, maka ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss atau winstderving).43 Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditor yang dirugikan dapat
meminta ganti
kerugian
atas biaya-biaya
yang telah
dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang miliknya, dan juga bunga atas keuntungan yang seharusnya akan didapatkan dan telah diperhitungkan. Dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata dijelaskan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
42
Oliver Wendell Holmes Jr., 2009, The Path of The Law, The Floating Press Limited, Auckland, New Zealand, h. 11. 43 Suharnoko, 2007, hukum perjanjian; Teori Dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 116.
22
1.7.3.Teori Kepastian Teori ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis konsep utang berkenaan dengan kekaburan norma (vague van norm) mengenai frase “tidak membayar” yang terdapat pada Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU. Kekaburan norma tersebut dikarenakan pengertian “tidak membayar” dapat berarti tidak dapat membayar atau tidak mau membayar.44 Tidak mau membayar dan tidak mampu membayar merupakan dua hal yang berbeda.
Tidak mau
membayar berkenaan dengan sikap dan keputusan bertindak untuk tidak mau membayar dikarenakan alasan-alasan tertentu.
Sikap tidak mau membayar
tersebut mungkin saja terjadi dalam keadaan debitor mampu ataupun tidak mampu membayar.
Sedangkan dalam hal tidak mampu membayar merupakan suatu
keadaan ketidakmampuan untuk membayar yang umumnya disebabkan oleh permasalahan keuangan yang mengalami kerugian atau kebangkrutan, sekalipun sadar akan keharusan untuk membayar. Kepastian hukum adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri).45 Ronald Dworkin mengatakan bahwa: “We live in and by law…, How can the law command when the law books are silent or unclear or ambiguous?”46 Bahwa dalam situasi dimana terdapat ketidak jelasan peraturan, maka akan menyebabkan hukum tidak bisa mengatur sebagaimana mestinya.
44
Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., h. 88. Ahmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence);Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. 1 Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 292. 46 Ronald Dworkin, 1990, Essays in Epistemology Hermeneutics and Jurisprudence dalam Patrick Nerhot, 1990, Law Interpretation and Reality, Kluwer Academic Publisher, AA Dordrecht Netherlands, h. 194. 45
23
Kepastian hukum sebagaimana biasa dipahami orang, bukan lah produk otomatis dari hukum.
Dengan bernegara hukum, tidak serta merta muncul kepastian-
kepastian dalam masyarakat.47 Gustav Radbruch menyampaikan tentang tiga nilai dasar
(Grundwerten)
yaitu:
Keadilan
(Gerechtigkeit),
kemanfaatan
(Zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherkeit), yang satu sama lainnya tidak selalu harmonis, melainkan saling berhadapan, bertentangan dan berketegangan (spannungsverhaeltnis).48 Teori Kepastian yang dimaksud dalam teori ini adalah kepastian hukum, artinya setiap perbuatan hukum yang dilakukan harus menjamin kepastian hukumnya. Untuk tujuan tersebut, terhadap hukum yang bersifat tidak jelas, perlu dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap norma tersebut. Namun dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Kebutuhan akan interpretasi yang lengkap dan jelas
sebenarnya sudah muncul pada masa Hukum Romawi berlaku yang terlihat pada ungkapan Ulpianus sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, yaitu Quamvis sit manifestissimum Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio ejus.49 Yang berarti bahwa betapa pun jelasnya Maklumat/ Perintah Praetoris (konsul), namun tidak mungkin menolak adanya interpretasi karena adanya kekurangan.
47
Ahmad Ali, Op.Cit., h. 290. Ahmad Ali, Op.Cit., h. 292. 49 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 111. 48
24
1.7.4. Teori Sebab Akibat Teori ini dipergunakan untuk membahas hubungan sebab akibat antara wanprestasi PRIMA yang mengakibatkan tindakan TELKOMSEL menolak memenuhi Purchase Order PRIMA berikutnya, serta menentukan letak pertanggung jawabannya. Pada umumnya pembuktian adanya hubungan kausal ini mendasarkan pada teori conditio sine qua non yang dikemukakan oleh von Buri dan teori adequate veroorzaking dari von Kries. Menurut teori conditio sine qua non (teori-syarat), setiap peristiwa adalah penting dan menyebabkan terjadinya akibat.50 Artinya, tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut tidak akan muncul.51 Suatu kejadian yang merupakan akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang berhubungan.52 Selanjutnya Teori Adequate Veroorzaking menyatakan bahwa yang dimaksud dengan akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia yang normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi.53 Dengan kata lain akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan dan secara wajar menimbulkan akibat itu.54 Teori ini memberikan kriteria bahwa antara perbuatan dengan kerugian itu cocok atau saling bersesuaian satu dengan lainnya.
50
Djaja S. Meliala, Op.Cit., h. 177. E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 126. 52 Ibid., h. 125. 53 Ibid. 54 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke7, Rajawali Pers, Jakarta, h. 140. 51
25
1.7.5. Teori Tanggung Jawab Teori tanggung jawab dimaksudkan untuk menentukan letak tanggung jawab secara hukum yang seharusnya, berkenaan dengan tindakan TELKOMSEL menolak memenuhi Purchase Order PRIMA berikutnya, atas dasar wanprestasi PRIMA. Bahwa tanggung jawab dilihat dari klausul-klausul dalam PKTP, yang melahirkan perikatan hak dan kewajiban masing-masing disertai tanggung jawab masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian Kerjasama tersebut. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) sedangkan tanggung jawab hukum adalah fungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.55 Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yakni “liability” dan “responsibility”.56 Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.57 Konsep tanggungjawab hukum berkenaan dengan konsep kewajiban hukum. Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus
perbuatan
yang
berlawanan,58
dan
secara
teoretis
pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak
55
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 1398. Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara, edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 318. 57 Ibid., h. 321. 58 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 61. 56
26
yang menuntut pertanggungjawaban dan dituntut untuk bertanggung jawab.59 Berkenaan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian ada sejumlah janji (term of condition) yang harus dipenuhi oleh para pihak. Janji itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji dan sekaligus merupakan hak bagi pihak lawan untuk menuntut pemenuhannya.60 Mengenai teori tanggung jawab Hans Kelsen menyatakan bahwa: In traditional theory two kinds of responsibility (or liability) are distinguished: responsibility based on fault and absolute responsibility (liability). Mengenai tanggung jawab berdasarkan kesalahan, disampaikan bahwa When the sanction is attached to a psychologically qualified delict only, one speaks of responsibility based on fault or culpability in contradistinction to absolute responsibility (liability)61 Dalam pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, sanksi hanya diberikan terhadap delik yang memenuhi kualifikasi secara psikologis saja.
Dalam
KUHPerdata, khususnya ketentuan Pasal 1365, 1366, dan 1367, Prinsip Liability Based On Fault dipegang secara teguh. Sedangkan mengenai tanggung jawab absolut, disampaikan bahwa: The technique of primitive law is characterized by the fact that the relation between the conduct and its effect has no psychological qualification. Whether the acting individual has anticipated or intended the effect of his conduct is irrelevant. It is sufficient that his conduct has brought about the effect considered by the legislator to be harmful, that an external connection exists between his conduct and the effect. No relationship between the state of mind of delinquent and the effect of his conduct is 59
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 102. 60 Ibid. 61 Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law & State, Transaction Publishers, New Brunswick (U.S.A) and London (UK), h. 66.
27
necessary. This kind of responsibility is called absolute responsibility (liability)62 Dalam tanggung jawab absolut, hubungan antara perilaku dan akibatnya tidak terkait unsur psikologis, yang penting ada perilaku yang dianggap membahayakan oleh pembuat undang-undang, sedangkan keterkaitan antara keadaan kejiwaan pelaku dan akibat dari tindakannya diabaikan. Selanjutnya teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum (legal liability) yang berkenaan dengan perjanjian, mempunyai intisari sebagai berikut:63 (a) Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak; (b) Kontrak merupakan suatu cara mengalokasi risiko, yaitu risiko wanprestasi; (c) Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal adalah tidak penting. Dalam perspektif hukum perjanjian, bertanggung jawab atas perbuatan dapat diartikan sebagai adanya keterikatan. Dengan demikian tanggung jawab hukum dapat dipahami sebagai keterikatan keterikatan para pihak yang membuat perjanjian kerjasama, baik terhadap perjanjian itu sendiri maupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.64 Penelitian (research) pada hakikatnya merupakan
62
Ibid., h. 65. Munir Fuady I, Op.Cit., h. 11. 64 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), h. 57. 63
28
sebuah upaya pencarian.
Melalui penelitian orang mencari (search) temuan-
temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan masalah.65 Sedangkan Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 66 Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.67 Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian perpustakaan, karena: 68
Penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian normatif kualitatif yang bersifat yuridis normative, yaitu:69
65
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1. 66 Zainuddin Ali, Op.Cit., h. 14. 67 J. Supranto, 2003, Metode penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 2. 68 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13-14. 69 Abdulkadir Muhammad I, Op.Cit., h. 103.
29
Penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan Pasal demi Pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi. Penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma dengan berlandaskan pada doktrin positivisme, dimana hukum dikonsepkan pada kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku sekarang di Indonesia, dan terbit sebagai suatu produk dari suatu sumber kekuasaan yang memiliki legitimasi. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan hukum yang berpedoman pada landasan hukum yaitu peraturan dibidang hukum perjanjian dan kepailitan, serta pandangan dari pakar hukum yang terkait dengan permasalahan hukum yang ada. Sebagai suatu penelitian hukum normatif kualitatif, penelitian ini bermaksud meneliti bahan-bahan hukum kepailitan dan perjanjian yang ada, perjanjian Kerjasama PK TP serta pertimbangan hukum dalam putusan Pernyataan Kepailitan TELKOMSEL dalam rangka menjawab rumusan permasalahan. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka metode yang dipakai ini juga disebut sebagai normatif analitis.70
1.8.2.Jenis Pendekatan Suatu pendekatan penelitian juga dapat disebut sebagai metode ilmiah atau cara mengadakan penelitian,71 yang mengkehendaki suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang berada di balik bahan hukum. Sesuai 70
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
71
Ibid., h. 20.
h. 58.
30
dengan jenis penelitiannya yakni penelitian hukum normatif, maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan.72 Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).73 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data,74 oleh karenanya penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum,75 dan dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar.76 Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bahan Hukum Primer (primary law material) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yang terdiri dari dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan Hakim,77 yang terdiri dari: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang; c) Putusan serta Peraturan Perundang-undangan lainnya.
72
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 300. 73 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 93. 74 Ibid., h. 36. 75 Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 299. 76 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h. 24. 77 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 141.
31
2) Bahan Hukum Sekunder (secondary law material) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya,78 yang terdiri dari: a)
Buku-buku tentang Penelitian hukum normatif, hukum perjanjian dan kepailitan secara umum, wanprestasi serta utang secara khusus;
b)
Website-website tentang hukum perjanjian dan hukum kepailitan;
c)
bahan hukum sekunder lainnya.
3) Bahan Hukum Tertier Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain,79 yang terdiri dari: a)
Kamus Hukum;
b)
Kamus Besar Bahasa Indonesia;
c)
Kamus Bahasa Asing lainnya.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yang dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait dengan penelitian ini. Mengenai penelitian semacam ini lazimnya juga disebut “Legal Research” atau “Legal Research Instruction”.80 Penelitian hukum semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti adalah 78
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 13. Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 296. 80 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 23. 79
32
bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials.81 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Studi pustaka dilakukan melalui tahapan identifikasi bahan hukum yang diperlakukan tersebut, selanjutnya data yang telah terkumpul kemudian diolah. Analisis bahan hukum akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif,82 yang bersifat eksploratoris,83 dan analitis84 secara deskriptif dengan teknik interpretatif, sistematis, evaluatif, konstruktif, maupun argumentatif.85 Pada tahapan sistematisasi juga akan dilakukan koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang telah tersistimatisasi, baik berupa pendapat hukum mapun aturan-aturan hukum selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau argumentasi disesuaikan dengan koherensinya terhadap permasalahan yang dibahas.
81
Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 46. Bambang waluyo, Op.Cit., h. 77. 83 Ibid., hal 78. 84 Zainuddin Ali, Op.Cit., h. 107. 85 I Gusti Ketut Ariawan, Op.Cit., h. 10. 82
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS DAN KEPAILITAN
2.1. Perjanjian Timbal Balik Beserta Aspek-Aspek Lainnya 2.1.1. Konsep Perjanjian Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.86 Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.87 Hubungan hukum adalah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Hubungan hukum diatur dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata tentang Perikatan (verbintenis).88 Hubungan hukum tersebut meliputi:89 1.
Hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkingen)
2.
Hubungan hukum bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekkingen)
86
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 118. 87 Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, h. 7. 88 R. Soeroso, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 269. 89 Ibid., h. 271.
33
34
Dari 2 (dua) bentuk hubungan hukum tersebut, muncul berbagai jenis perjanjian, yang kemudian dikelompok oleh para ahli hukum menjadi beberapa jenis perjanjian. Berkenaan dengan jenis-jenis perjanjian, J. Satrio, dibagi dalam 5 (lima) jenis, yaitu:90 1. 2. 3. 4. 5.
perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak perjanjian Percuma Dan perjanjian Dengan Alas Hak Yang Membebani perjanjian Bernama Dan perjanjian Tidak Bernama perjanjian Kebendaan dan perjanjian Obligator perjanjian Konsensual dan perjanjian Riil
Mengenai perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak disampaikan bahwa perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat misalnya perjanjian jual beli, pemborongan bangunan, tukar menukar, sewa menyewa. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, pemberian hadiah.
pihak yang satu berkewajiban
menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, atau benda tak berwujud berupa hak untuk menghuni rumah.
90
J. Satrio, 1993, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung (Selanjutnya disebut J. Satrio II), h. 191.
35
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam hal pemutusan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yaitu “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Selanjutnya menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:91 a. b. c. d. e.
perjanjian timbal balik. perjanjian sepihak. perjanjian dengan percuma. perjanjian konsensuil, riil dan formil perjanjian konsensuil. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama.
Sutarno menyampaikan bahwa perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
Misalnya perjanjian jual beli menurut ketentuan Pasal 1457
KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa menurut ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata.
Dalam perjanjian jual beli
pihak penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya. Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:92 a. b. c. d. e.
91 92
perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani perjanjian konsensuil, riil dan formil perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran. perjanjian kebendaan dan obligatoir
Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82. Achmad Busro, 1985, Hukum Perikatan, Oetama, Semarang, h. 4.
36
f.
perjanjian yang sifatnya istimewa, diantaranya perjanjian liberatoir, perjanjian pembuktian, perjanjian untung-untungan, dan perjanjian publik.
Mengenai perjanjian timbal balik disampaikan bahwa perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya: kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang dijualnya, di pihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Salim H.S.
memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda
dibandingkan dengan para sarjana di atas.
Salim H.S di dalam bukunya
menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah: 93 a.
Kontrak Menurut Sumber Hukumnya, yang terdiri dari: 1) perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga; 2) perjanjian yang bersumber dari kebendaan; 3) perjanjian obligatoir; 4) perjanjian yang bersumber dari hukum acara, bewijsovereenkomst; 5) perjanjian yang bersumber dari hukum publik, publieckrechtelijke overeenkomst;
b.
Kontrak Menurut Namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW.
Di dalam
ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan 93
Salim H.S., 2006, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut Salim H.S. II), h. 27-32.
37
dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian.
Sedangkan kontrak innominaat adalah
kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Jenis
kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. c.
Kontrak Menurut Bentuknya Apabila
kita
menelaah
berbagai
ketentuan
yang tercantum
dalam
KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. d.
Kontrak timbal balik Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak. 1) Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima
38
pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan.
Apabila si
penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya. 2) perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti.
Pentingnya pembedaan di sini adalah
dalam rangka pembubaran perjanjian. e.
Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya
f.
Perjanjian Berdasarkan Sifatnya Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. dibagi menjadi dua macam,
yaitu
Perjanjian menurut sifatnya
perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. g.
Perjanjian dari Aspek Larangannya Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat tiga belas jenis
39
perjanjian yang dilarang, nisalnya: perjanjian oligopoli, perjanjian penetapan harga, dan lainnya. Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S, jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat.
Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban.
Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah
perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain. Bagaimanapun bentuk maupun jenis dari perjanjian yang dibuat, ada beberapa unsur penting yang harus ada dalam perjanjian tersebut, yaitu: 94 a. b.
Essentalia, yaitu unsur utama, tanpa adanya unsur ini persetujuan tidak mungkin ada. Naturalia, yaitu unsur yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur. Accidentalia, yaitu unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana undang-undang tidak mengatur.
c.
Pada umumnya setiap perjanjian dapat berakhir.
Berakhirnya atau hapusnya
perjanjian diartikan sebagai hapusnya persetujuan. Suatu persetujuan dapat hapus karena:95 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. . Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus. Pernyataan menghentikan persetujuan (Opzegging). perjanjian hapus karena putusan hakim. Tujuan persetujuan telah tercapai. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
94 95
R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Bardin, Bandung, h. 50. Ibid., h. 68-69.
40
Dari berbagai uraian tentang konsep perjanjian tersebut diatas, dalam penulisan tesis ini difokuskan kepada konsep perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian sehingga menimbulkan hak serta kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya.
Misalnya dalam perjanjian jual beli hak dan
kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa. Yang menjadi kriteria penting dari perjanjian timbal balik adalah kewajiban berprestasi ada pada kedua belah pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah. Konsep perjanjian timbal balik mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal ini salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik. 2.1.2. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst yang dalam bahasa belanda berarti setuju atau sepakat,96 walaupun sesungguhnya dalam kamus hukum Indonesia belum terdapat keseragaman istilah yang dianggap paling tepat untuk
menerjemahkan 96
arti
dari
overeenkomst
tersebut.
Ada
yang
Salim H.S., 2002, Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, Rajawali, Mataram (Selanjutnya disebut Salim H.S. III), h. 29.
41
menerjemahkannya sebagai perjanjian, namun disamping itu ada juga yang menerjemahkan sebagai persetujuan. Berkenaan dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan istilah perjanjian dengan dasar pertimbangan bahwa persetujuan sesungguhnya merupakan bagian dari perjanjian. Hal ini dapat dilihat dalam syarat pokok perjanjian, yang salah satunya menentukan adanya kata sepakat (consensus), persesuaian kehendak atau dengan kata lain persetujuan para pihak. KUHPerdata secara eksplisit memberikan definisi mengenai
perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian dijelaskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan ini dianggap mengandung banyak kelemahan oleh para ahli hukum, khususnya dalam hal memberikan rumusan mengenai arti perjanjian. Terhadap rumusan dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, R. Setiawan berpendapat bahwa pengertian perjanjian yang dijabarkan masih terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.97 Selanjutnya Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan, karena:98 a.
Hanya menyangkut sepihak saja
b.
Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas 97
R. Setiawan, Op.Cit., h. 49. Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), h. 78. 98
42
d.
Tanpa menyebutkan tujuan Rumusan perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dikatakan
hanya menyangkut sepihak saja, karena pemahaman kata "mengikatkan" dalam rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya", hanya bersifat sepihak saja, oleh karenanya perlu dirumuskan "kedua pihak saling mengikatkan diri", sehingga dengan demikian akan terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik. Selain itu penggunaan kata "perbuatan" memberikan pemahaman yang termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang bahkan dapat juga tidak mengandung konsensus. Sehingga oleh karenanya, seharusnya kata “perbuatan” diganti dengan kata "persetujuan". Pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata juga menjadi sangat luas, bahkan dapat mencakup juga tentang janji kawin, yang sebenarnya telah diatur dalam hukum keluarga. Dalam esensinya, perjanjian sesungguhnya mengatur hubungan antara debitor dan kreditor dalam lapangan harta kekayaan. Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.99 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat
hukum.100
Demikian
pula
Wirjono
Prodjodikoro
mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap 99
R. Subekti II, Op. Cit., h. 1. Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 118.
100
43
berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.101 Selanjutnya Rutten berpendapat bahwa perjanjian adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.102 Rumusan mengenai perjanjian yang disampaikan tersebut menggunakan kalimat yang berbeda-beda, namun demikian pada prinsipnya mengandung unsur yang sama yaitu: a.
Ada pihak-pihak Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undangundang.
b.
Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.
c.
Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang.
101
Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit. Purwahid Patrik, 1988, Hukum Perdata II (Perikatan yang lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang), Jilid I, Jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (Selanjutnya disebut Purwahid Patrik II), h. 1-3. 102
44
d.
Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
e.
Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
Dari sekian banyak pengertian tentang perjanjian. Maka pengertian yang akan dipergunakan dalam pembahasan adalah pengertian bahwa perjanjian bukanlah suatu perbuatan hukum melainkan hubungan hukum yang terjadi antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 2.1.3. Dasar Hukum Perjanjian Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan peninggalan Belanda, yaitu diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur tentang persetujuan-persetujuan tertentu yang disebut dengan perjanjian bernama (nominaat), artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat perjanjian yang tidak bernama (in nominaat), yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.
45
Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian“, sebab dalam Buku III itu ada juga diatur perihal perhubunganperhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatigedaat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan kepada perikatanperikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.103 Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV mengatur tentang: Bab I
: Perikatan pada umumnya
Bab II
: Perikatan yang lahir dari perjanjian
Bab III : Perikatan yang lahir dari undang-undang Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat, dan lazim disebut perjanjian bernama. Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bahagian umum. Jadi bahagian umum
103
R. Subekti II, Op. Cit., h. 101.
46
dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII. Perikatan yang dimaksudkan oleh Buku III KUHPerdata itu adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.104 perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.105
Perikatan seperti yang dimaksudkan, paling banyak
dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji.
Dapat dikonstatir bahwa perkataan
perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat.106 Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian. Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau undangundang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan undang-undang itu merupakan sumber suatu ikatan.
104
Ibid., h. 101. M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi hukum perjanjian, Alumni, Bandung, h. 6. 106 R. Subekti, 1999, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung (Selanjutnya disebut R. Subekti III), h. 12. 105
47
Dasar hukum dari persetujuan adalah ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sedangkan sumber
perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu undang-undang saja dan undang-undang yang diciptakan oleh individu-individu karena perbuatan mereka tidak ada diatur dalam undang-undang karena undangundang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak dan sebaliknya kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan. Undang-undang yang diciptakan oleh indiividu-individu disebabkan perbuatan mereka tidak ada diatur di dalam undang-undang positif hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, dan selama undang-undang tersebut diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum. Ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi para pihak leluasa untuk membuat perjanjian macam apa saja tidak melanggar isi undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perkataan semua sebagai tertera didalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dapat pula kita anggap sebagai suatu pernyataan-pernyataan lainnya yang juga tertuju atau ditujukan kepada masyarakat. Dari ketentuan ini juga dapat diketahui bahwa sistim dan azas yang terkandung dalam buku III KUHPerdata adalah sistim terbuka, yang berarti bahwa para pihak dapat menentukan lain pada yang lain telah ditentukan oleh undang-undang. Jadi dengan kata lain bahwa Buku III
48
tersebut mengatur secara tersendiri, atau dapat juga disebut azas kebebasan berkontak dalam membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid).107 Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut, ada beberapa asas dalam perjanjian, yaitu: a.
Asas konsensualisme Artinya perjanjian itu lahir karena adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para pihak.
b.
Asas kekuatan mengikat (asas Pacta Sunt Servanda) Artinya para pihak apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi para pembuatnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
c.
Asas kebebasan berkontrak Artinya setiap orang bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian.108 Namun tentu saja kebebasan berkontrak ini perlu dibatasi. Pembatasan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan: "Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum" Kontrak yang dibuat oleh para pihak dan memenuhi ketentuan Undang-undang, secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 107 108
Ibid., h. 105. Purwahid Patrik I, Op.Cit., h. 66.
49
Selanjutnya dalam hukum perjanjian Nasional, asas-asas tersebut disesuaikan dengan idiologi Pancasila dan UUD 1945 menjadi: 109 a. b. c. d. e. f. g. h.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian Asas konsensualisme Asas kepercayaan Asas kekuatan mengikat Asas persamaan hukum Asas moral Asas kepatutan Asas kebiasaan
Asas-asas yang sudah disesuaikan dengan idiologi Pancasila dan UUD 1945 diatas telah memasukkan sekaligus batasan dari asas kebebasan berkontrak. Selain menganut asas-asas seperti yang disebut di atas, juga Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau aanvullend recht yang mengandung arti bahwa Pasal-Pasal dalam hukum perjanjian itu boleh masuk disingkatkan manakala dikehendaki oleh pihak yang membuat perjanjian. Mereka pada umumnya diperbolehkan membuat perjanjian tersendiri atau ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian.
Jadi undang-
undang baru berarti bagi pihak-pihak yang saling mengadakan janji itu sendiri didalam perjanjian yang mereka buat.
Maka diartikan disini bahwa mereka
mengenai soal yang satu ini akan tunduk kepada undang-undang.110 Suatu perjanjian dianggap sah, dalam arti sudah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat apabila sudah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari pada perjanjian itu, atau dengan kata lain bahwa perjanjian itu pada umumnya adalah konsensual. Penganggapan perjanjian sebagai demikian itu berkembang 109
Mariam Darus Badrulzaman, 1989, perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, h. 15-
110
R. Subekti III, Op.Cit., h. 105-106.
21.
50
dari hukum perjanjian dalam KUHPerdata, yang mengandung pengertian bahwa pada azasnya perjanjian itu telah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat atau dengan kata lain perjanjian itu telah sah apabila telah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok tidaklah diperlukan suatu formalitas. Mengenai sahnya suatu perjanjian sangat penting agar selanjutnya atas perjanjian tersebut, para pihak yang mengadakan perjanjian dapat memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian akan dikatakan sah apabila telah memenuhi syaratsyarat, sebagai berikut: a.
Sepakat antara mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.
Suatu hal tertentu;
d.
Suatu sebab atau causa yang halal.
Dari keempat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif dan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Selanjutnya, syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif dan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian ini batal demi hukum (nietig atau null). Dalam hal ini perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Terhadap beberapa perjanjian-perjanjian tertentu, juga telah ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu sebagaimana sudah kita lihat, yang dinamakan perjanjian formal.
Apabila perjanjian yang demikian itu tidak
51
memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ia batal demi hukum. Penjelasan selengkapnya terhadap ke-4 ayat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dapat disampaikan sebagai berikut: Ayat 1 yaitu tentang adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah.111 Seseorang dikatakan telah memberi kesepakatannya jikalau memang orang tersebut menghendaki apa yang disepakatinya.
Sepakat itu sendiri
sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak orang yang satu saling mengisi terhadap apa yang dikehendaki pihak lain.112 Namun, pemberian kespakatan tersebut tidaklah diperbolehkan mengandung cacat kehendak (wielsgebreg).
KUHPerdata memberikan batasan mengenai cacat
kehendak yang dapat terjadi dalam 4 hal, yaitu: a.
Adanya kekhilafan (dwang);
b.
Adanya paksaan (dwalling);
c.
Adanya penipuan (bedrog).
Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog).113
111
R. Subekti II, Op. Cit., h. 135-137. J. Satrio, 1992, hukum perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut J. Satrio IV), h. 117. 113 R. Subekti II, Op. Cit., h. 135. 112
52
Satu hal lain yang dapat mengakibatkan cacat kehendak namun tidak diatur secara jelas dalam KUHPerdata yaitu Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstaandigheid). Kata Sepakat wajib bagi hal-hal yang pokok dari perjanjian. Misalnya: Antara calon pembeli dan calon penjual telah tercapai sepakat mengenai barang-barang dan harganya. Maka dalam hal yang demikian itu dikatakan bahwa antara kedua belah pihak telah tercapai sepakat mengenai yang pokok, dan perjanjian jual beli itupun sudahlah dilahirkan dengan segala akibat hukumnya.114 Perihal azas konsensualitas dalam hukum perjanjian lazimnya disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, sebagaimana sudah kita lihat, ada kekecualiannya, yaitu disana sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta Notaris perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis dan lain sebagainya. Ayat 2 mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri.115 Pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian kecuali yang ditentukan oleh undangundang dinyatakan tidak cakap. Hal tersebut diatur dalam KUHPerdata dalam ketentuan Pasal 1329. Orang yang tidak cakap menurut KUHPerdata adalah: 114
R. Subekti, 2010, hukum perjanjian, Intermasa, Jakarta (Selanjutnya disebut R. Subekti I), h. 15. 115 R. Subekti II, Op. Cit., h. 136.
53
a.
Orang yang belum dewasa
b.
Orang yang berada di bawah pengampuan
Ayat 3 mengenai hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.116
Dengan demikian objek dari suatu perjanjian juga
menentukan sah atau tidaknya perjanjian tersebut. Objek perjanjian ialah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 1333 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata telah menentukan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai suatu sebab yang halal, mengacu kepada sebab dari adanya atau lahirnya perjanjian tersebut.
Kata “sebab” dalam ketentuan ini, merupakan
terjemahan dari oorzak dalam bahasa Belanda atau causa dalam bahasa Latin. Menurut R. Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, yaitu sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu.117 Maksud dari sebab yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan dalam arti yang mendorong seseorang untuk membuat perjanjian, namun sebab dalam arti tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak. Suatu perjanjian yang mengandung sebab yang palsu, 116 117
R. Subekti II, Op. Cit., h. 136. R. Subekti II, Op. Cit., h. 135-137.
54
yaitu sebab yang digunakan untuk menutupi keadaan atau fakta yang sebenarnya, atau juga sebab yang terlarang, yaitu sebab yang bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan merupakan sebab yang tidak halal. Di samping sistim terbuka dari hukum perjanjian, juga mengandung suatu pengertian yang mungkin atau memungkinkan terciptanya perjanjian-perjanjian khusus yang telah diatur seperti yang kerap kali ditimbulkan dalam praktek sehari-hari ataupun karena kebiasaan.
2.2. Exceptio Inadimpleti Contractus 2.2.1. Konsep Exceptio Inadimpleti Contractus Dalam keadaan debitor tidak mampu membayar kewajiban-kewajibannya, karena keadaan debitor yang telah merugi, maka mekanisme kepailitan menjadi pilihan yang tepat. Namun sebaliknya, dalam hal debitor tidak mau membayar, ada kemungkinan debitor itu dalam keadaan mampu untuk membayar, sehingga dalam keadaan debitor yang demikian, muncul pertanyaan hukum yang penting, yaitu mengapa debitor tersebut tidak mau membayar? Perbedaan pendapat terhadap utang antara kreditor dan debitor tentunya menimbulkan sengketa perdata yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara perdata, agar dengan demikian dapat diperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tentang kedudukan suatu utang dalam hubungan bisnis dan siapa merupakan kreditor dan debitor. Ada 2 (dua) konsep dasar yang menjadi isu penting dalam konsep exceptio inadimpleti contractus ini adalah mengenai wanprestasi dan resiko.
55
a.
wanprestasi Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, ada tiga macam prestasi yang dapat diperjanjikan, yaitu: Untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Sedangkan wanprestasi merupakan istilah yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti "prestasi buruk". Namun oleh para sarjana, kata "wanprestasi" ini diterjemahkan dalam uraian kata menurut pendapatnya masing-masing. Menurut Abdulkadir Muhamad, wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.118 selanjutnya menurut R. Subekti wanprestasi artinya peristiwa dimana si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, sehingga dengan demikian, seorang debitor dapat di katakan wanprestasi apabila si berhutang (debitor) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.119 Menurut R. Setiawan wanprestasi dinamakan ingkar janji. Ingkar janji terjadi jika debitor tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa.120
118
Abdulkadir Muhammad II, Op.Cit., h. 20. R. Subekti I, Op.Cit., h. 45. 120 R. Setiawan, Op.Cit., h. 17. 119
56
Untuk menentukan apakah seorang debitor itu melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitor itu di katakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Menurut R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat macam:121 1. 2. 3. 4.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika debitor tidak lagi mampu memenuhi prestasinya, maka dikatakan debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali. Tetapi jika prestasi debitor masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan kedalam terlambat memenuhi prestasi. Jika debitor memenuhi prestasi tetapi secara tidak baik, maka ia dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.122 Wanprestasi dapat disebabkan karena dua hal, yaitu: 1) Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang telah diketahui dan dikehendaki oleh debitor. 2) Kelalaian, yaitu debitor melakukan suatu kesalahan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi.
121 122
R. Subekti I, Loc.Cit. R. Setiawan, Op.Cit., h. 18.
57
Segala bentuk kelalaian atau wanprestasi yang dibuat oleh debitor, mengakibatkan debitor wajib: 1) Memberikan ganti rugi kepada kreditor, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Mengenai ganti rugi ini ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan: "Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya." Yang dimaksud biaya di sini adalah segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan satu pihak.
Kerugian yang dimaksud
adalah kerugian terhadap biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden) dan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).123 Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor. 2) Pembatalan atau pemutusan perjanjian sehingga membawa kedua belah pihak untuk kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. 3) Peralihan risiko
123
R. Subekti I, Op.Cit, h. 148 .
58
4) Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim. Tuntutan dari seorang kreditor terhadap debitor yang lalai adalah: 124 1) kreditor dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. 2) Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3) Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnyasebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. 4) Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian. Selanjutnya, akibat hukum bagi debitor yang lalai atau melakukan wanprestasi ada empat macam, yaitu:125 1. 2. 3. 4. b.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti rugi. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Peralihan resiko. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim.
risiko Menurut R. Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Permasalahan resiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa.126 Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya suatu persetujuan, yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya, dimana 124
R. Subekti I, Op.Cit, h. 147-148. Ibid., h. 45. 126 Ibid., h. 59. 125
59
debitor tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan itu dibuat.127 Menurut R. Setiawan, risiko dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:128 1.
2
Risiko Pada perjanjian sepihak perjanjian sepihak adalah perjanjian dimana kewajibannya hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pada pihak kreditor, misalnya perjanjian hibah, penitipan dengan cuma-cuma dan pinjam pakai Risiko Pada perjanjian timbal balik Jika debitor tidak lagi berkewajiban untuk memenuhi prestasinya maka pihak lainnya juga bebas dari kewajibannya. Disini kedua belah pihak dapat berkedudukan sebagai kreditor umum maupun debitor, misalnya perjanjian tukar menukar.
Dari dua konsep dasar tersebut, dalam peristiwa-peristiwa terjadinya wanprestasi dan penanggunan resiko perjanjian akibat pihak lawan melakukan tindakan wanprestasi, maka terjadinya suatu keadaan saling keterkaitan sebab akibat dalam sebuah perjanjian timbal balik, yaitu karena ada faktor resiko yang harus ditanggung oleh salah pihak pada saat menjadi kreditor akibat pihak lain sebagai debitor melakukan tindakan wanprestasi, maka pada pihak yang tadinya sebagai kreditor tersebut tiba pada giliran menjadi debitor (dalam perjanjian timbal balik), akhirnya memutuskan untuk juga melakukan tindakan wanprestasi, untuk menekan resiko, ataupun untuk membalas tindakan pihak lawan yang terlebih dahulu telah wanprestasi. Alasan inilah yang mengemuka sebagai sebuah konsep eksepsi yang dikenal sebagai exceptio inadimpleti contractus. Dalam penulisan tesis ini konsep ini bukan dilihat dari fungsinya sebagai salah satu bentuk pengajuan eksepsi terhadap gugatan kreditor, namun konsep ini
127 128
R. Setiawan, Op.Cit., h. 27. Ibid., h. 32.
60
dilihat pada keadaan terjadinya situasi hubungan saling wanprestasi antara dua belah pihak dalam sebuah perjanjian timbal balik. 2.2.2. Pengertian Exceptio Inadimpleti Contractus Berdasarkan kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, exceptio inadimpleti contractus diartikan sebagai sangkalan dalam suatu persetujuan timbal balik yang dikemukakan oleh suatu pihak bahwa pihak lawan juga berada dalam keadaan lalai (in gebreke) dan dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.129 Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary mengenai exceptio inadimpleti contractus atau dituliskan exceptio non adimpleti contractus dijelaskan sebagai An exception in a contract action involving mutual duties or obligations, to the effect that the plaintiff may not sue if the plaintiff's own obligations have not been performed,130 yaitu bahwa penggugat tidak dapat menuntut jika kewajiban penggugat sendiri belum dilakukan. Sedangkan Riduan Syarani mengemukakan bahwa: exceptio inadimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitor) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru oleh karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitor selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu.131 Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila ia
129
Fockema Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Bina Cipta, h.
127. 130
Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, ninth edition, West Publishing Co, 2009, St. Paul, h. 643. 131 R. Subekti I, Op.Cit, h. 154.
61
menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan apa yang disebut exceptio inadimpleti contractus, karena si penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi.132 Selanjutnya J. Satrio menyampaikan bahwa ekseptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi.
Eksepsi ini
dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor akan pemenuhan perikatan. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan itu hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.133 Dalam perjanjian timbal balik prestasi dari pihak-pihak saling bergantungan, akibatnya adalah pihak yang seharusnya memenuhi prestasi lebih dulu tidak melakukan prestasinya bertentangan dengan itikad baik sehingga pihak lainnya dapat mengemukakan exceptio inadimpleti contractus, jadi di dalam perjanjian harus sudah ditentukan siapa yang harus berprestasi lebih dulu. Kalau sudah ditentukan siapa yang harus berprestasi lebih dulu dan ternyata tidak berprestasi, maka jelas ia telah melakukan wanprestasi. Sebelum debitor dinyatakan wanprestasi, maka kreditor terlebih dahulu memberikan somasi untuk memperingatkan debitor agar segera menyelesaikan kewajibannya. Dalam hal, kreditor lebih dahulu wanprestasi, maka tangkisan itu sering dikemukakan untuk melawan somasi kreditor. Walau dalam KUHPerdata tidak ada ketentuan umum tentang kewajiban bagi kreditor untuk memenuhi
132
Purwahid Patrik I, Op. Cit., h. 34. J. Satrio, 2010, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasibagian-iv-brioleh-j-satrio133
62
kewajibannya sendiri lebih dahulu, sebelum ia mensomir debitornya, sehingga secara umum tidak disyaratkan, bahwa kreditor harus memenuhi kewajiban perikatannya lebih dahulu, sebelum ia mensomir debitor, namun para sarjana pada umumnya mengakui hak tangkisan seperti itu.134 Dalam catatan yurisprudensi, Pendapat Pengadilan mengenai hal ini tidak jelas. Namun secara umum diterima pendapat, bahwa para pihak dalam perjanjian tetap harus memenuhi kewajibannya, sekalipun pihak lain wanprestasi.135 Mengingat dalam perjanjian timbal balik kedua prestasi timbal balik berhubungan sangat erat satu sama lain, maka kiranya bisa diterima, bahwa kalau pihak yang satu menuntut pemenuhan dari pihak yang lain, maka ia sendiri sudah harus memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian yang bersangkutan, sehingga semestinya exeptio inadimpleti contractus bisa diterima secara umum.136 Berdasarkan berbagai penjelasan dan pengertian yang telah disampaikan tersebut diatas, berkenaan dengan penjelasan penulis pada bagian akhir sub bab mengenai konsep exeptio inadimpleti contractus, maka dalam penulisan ini dapat disampaikan bahwa pengertian exeptio inadimpleti contractus, dipahami sebagai suatu bentuk eksepsi dengan jalan mengungkap keadaan nyata yang mana sesungguhnya kreditor yang menggugat sebenarnya tidak berhak mengajukan gugatan ataupun tuntutan untuk memaksa debitor memenuhi prestasinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu. Keadaan tersebut yang dalam tulisan ini dinyatakan sebagai keadaan exeptio inadimpleti contractus.
134
Ibid. Ibid. 136 Ibid. 135
63
2.2.3. Dasar Hukum Exceptio Inadimpleti Contractus Dalam perjanjian timbal balik, terdapat sebuah asas yang menegaskan bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya. Pasal 1478 KUHPerdata mengatur bahwa si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya, apabila si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.
Prinsip exceptio inadimpleti
contractus ini tidak disebutkan dalam Pasal UU, melainkan merupakan hukum yurisprudensi, yaitu suatu peraturan hukum yang telah diciptakan oleh para hakim. Exceptio inadimpleti contractus sebagai sebuah ekspesi terhadap gugatan kreditor, merupakan pembelaan dari pihak debitor yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi oleh kreditor dengan mengajukan di depan hakim bahwa kreditor sendiri juga tidak menepati janjinya, sehingga telah terlebih dahulu melakukan kelalaian (wanprestasi). Exceptio inadimpleti contractus, dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, yaitu dimana masing masing pihak dibebani kewajiban
(obligation)
untuk
memenuhi
prestasi
secara
timbal
balik.
Sesungguhnya seseorang tidak berhak menggugat apabila dia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dalam perjanjian timbal balik balik.
64
2.3. Kepailitan beserta Aspek-Aspek Lainnya 2.3.1. Konsep Kepailitan Secara umum dapat diklasifikasikan konsep dasar kepailitan sebagai berikut:137 a.
Debt collection;
b.
Debt forgiveness;
c. Debt adjusment. Debt collection merupakan konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Debt forgiveness dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption (beberapa harta debitor dikecualikan terhadap budel pailit), relief from imprisonment (tidak dipenjara karena gagal membayar utang), moratorium (penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu), dan discharge of indebtedness (pembebasan debitor atau harta debitor untuk membayar utang pembayaran yang benar – benar tidak dapat dipenuhinya). Sedangkan Debt adjusment merupakan hak distribusi dari para kreditor sebagai suatu grup, dengan menerapkan prinsip pro rata distribution atau structured prorata (pembagian berdasarkan kelas kreditor) serta reorganisasi serta Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU). Dari pengklasifikasikan konsep dasar kepailitan tersebut, maka pada dasarnya kepailitan berkenaan dengan "ketidakmampuan untuk membayar" dari debitor atas utang-utangnya yang jatuh tempo. Atas ketidakmampuan tersebut, perlu
137
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, 2005, Undang – undang Kepailitan dan Perkembangannya : Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah – masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya tahun 2004, Cetakan 2, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, h. Xix.
65
dilakukan pengajuan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, baik oleh kreditor maupun secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan orang lain atau pihak ketiga. Konsep kepailitan didasari pada satu hal utama yang menjadi pokok dapat terjadinya kepailitan yaitu mengenai utang. Tanpa adanya utang, maka kepailitan akan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.138 Terdapat beberapa pengertian utang dilihat dari KUHPerdata, Undang-Undang Kepailitan baik yang lama maupun yang baru serta menurut pendapat ahli, yaitu sebagai berikut: 1.
Pengertian utang menurut KUHPerdata Kepailitan merupakan lembaga perdata sebagaimana realisasi dari dua asas pokok klaim Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.139
Berdasarkan
peraturan-peraturan kepailitan itulah asas-asas sebagaimana tersebut dalam kedua Pasal itu direalisasikan.140 Pasal 1233 KUHPerdata menetapkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Contoh perikatan yang lahir karena undang-undang adalah perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, tindakan pengurusan kepentingan orang 138
M. Hadi Shubhan, Loc. Cit. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang Debitor, baik yang sekarang ada maupun yang akan diperolehnya bertanggung jawab atas perikatan-perikatan pribadinya sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa bendabenda itu dibagi diantara mereka secara seimbang , menurut imbangan/perbandingan tagihantagihan mereka, kecuali bila mana diantara para kreditor mungkin terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah. 140 Siti Soemaryati Hartono, 1981, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberti, Yogyakarta, h. 3-4. 139
66
lain (zaakwaameming: negotiorum gestio) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1354-1357 KUHPerdata, dan pembayaran tak terutang (paiment de l'indu) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1359 KUHPerdata. ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata menetapkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Contoh perikatan yang lahir dari undang-undang adalah antara lain: a.
perikatan dari penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli;
b.
perikatan dari peminjam untuk membayar pinjaman uang pokok dan biaya serta bunga kepada orang yang meminjami;
c.
perikatan dari penjamin untuk membayar kreditor utang dari debitor yang dijaminnya apabila debitor wanprestasi;
d.
perikatan dari pemilik pekarangan yang telah memberikan kemudahan akses untuk tidak menutup pihak untuk masuk dan keluar ke dan dari pekarangannya.
Semua perikatan tersebut diatas merupakan utang debitor. Oleh karenanya ketidakmampuan para debitor (penjual, peminjam, penjamin, dan pemilik pekarangan) untuk berprestasi menjalankan perikatannya dengan baik merupakan "utang". Sri
Soedewi
M.
Sofwan
menerjemahkan
(verbitenissenrecht) itu dengan perutangan.
istilah
hukum
perikatan
Menurutnya perutangan itu
merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu seseorang dapat
67
mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain jika perlu dengan perantaraan hakim.141 Sedangkan menurut R. Subekti: Yang dimaksud dengan perikatan dalam Buku III KUHPerdata adalah suatu hubungan hukum (mengenai harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak kepada satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu selalu berupa suatu tuntut menuntut, maka isi Buku III KUHPerdata ini juga dinamakan "hukum perutangan".142 Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berhutang atau debitor. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi yang menurut undang-undang dapat berupa: 1.
Menyerahkan suatu barang
2.
Melakukan suatu perbuatan
3.
Tidak melakukan suatu perbuatan
Dengan demikian, utang atau kewajiban adalah segala kewajiban dari seseorang yang dapat dituntut baik yang timbul karena perjanjian maupun undang-undang. Pitlo, van Brekel, Rutten, Stein, dan Boltelle, menyatakan bahwa membayar berarti memenuhi kewajiban perikatan dan bahwa yang dinamakan pembayaran tidak hanya berupa penyerahan sejumlah uang, tetapi termasuk
141
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum PerUtangan, Bagian A, Seksi Hukum Perdata UGM, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II), h. 1. 142 R. Subekti II, Op.Cit., h. 122-123.
68
ke
dalam
melakukan
suatu
pekerjaan
ataupun
memberikan
suatu
kenikmatan.143 2.
Pengertian utang Menurut UU Kepailitan Lama Istilah utang dalam UU Kepailitan Lama dapat di jumpai dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) yaitu : "Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya." Selanjutnya pada ketentuan Pasal 212, dinyatakan bahwa: "Debitor yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren". UU Kepailitan Lama tidak memberikan pengertian utang secara jelas. Penjelasan dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan Lama hanyalah menyatakan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok atau bunganya; sedangkan pengertian utang itu sendiri tidak dijelaskan.
143
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut J. Satrio III), h. 80.
69
3.
Pengertian utang menurut UUKPKPU Sebagaimana telah disampaikan pada latar belakang masalah, pengertian utang dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU sangat luas yang ditunjukkan dengan adanya kata "dapat dinyatakan dalam jumlah uang", sehingga meliputi segala bentuk prestasi, baik yang berupa kewajiban menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu asal dapat dinyatakan dalam jumlah uang, maka semua itu dapat disebut sebagai utang. Dengan demikian, wanprestasi yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang dapat dipertimbangkan sebagai utang dalam persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit.
4.
Pengertian utang Menurut Pendapat Para Pakar Hukum. Menurut R. Setiawan, pengertian utang diartikan sebagai berikut: 144 "Utang seyogianya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utangPiutang (dimana debitor menerima sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian.” Jerry Hoff sebagaimana dikutip R. Setiawan memberikan contoh dari kewajiban membayar debitor selain karena perjanjian kredit yaitu yang timbul
144
Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, h. 117.
70
sebagai akibat debitor lalai membayar uang sebagai akibat perjanjian jual beli ataupun perjanjian-perjanjian lain yang menimbulkan kewajiban bagi debitor untuk membayar sejumlah uang tertentu.145 Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankcruptcy tujuan umum dari hukum kepailitan adalah untuk menyediakan suatu forum kolektif untuk mengklasifikasikan (memilah-milah) hak-hak dari berbagai penagih (kreditor) terhadap harta kekayaan debitor yang tidak cukup nilainya.146 Sedangkan menurut Robert L. Jordan sebagaimana dikutip dari Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai:147 “All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.” Dari kedua hal yang dikemukakan di atas dapat diketahui tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai berikut:148 a. b. c.
145
Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikat baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Ibid., h. 117. Robert L. Jordan, et.al., 1999, Bankruptcy, Foundation Press, New York, h. 2. 147 Ibid., h. 17. 148 Ibid. 146
71
Sementara
itu,
Profesor
Warren
dalam
bukunya
Bankruptcy
Policy
mengemukakan sebagai berikut:149 “In bankruptcy, with an inadequate pie to divide and the looming discharge of unpaid debts, the disputes center on who is entitled to shares of the debtor’s assets and how these shares are to be divided. Distribution among creditors is no incidental to other concerns; it is the center of the bankruptcy scheme.” Berkenaan dengan pendapat tersebut, dapat disampaikan bahwa intinya hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah “a debt collective system”, walaupun bankruptcy bukan satu-satunya “debt collection system.” Sehingga tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.150
Hukum kepailitan
dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, dalam rangka mengatasi collective action problem yang timbul dari kepentingan masing-masing kreditor. Artinya, hukum kepailitan memberikan suatu mekanisme bagi para kreditor agar secara bersama-sama dapat menentukan apakah sebaiknya perusahaan atau harta kekayaan debitor diteruskan kelangsungan usahanya atau tidak, dan dapat memaksa kreditor minoritas mengikuti skim karena adanya prosedur pemungutan suara. Asas-asas hukum kepailitan di Indonesia terdiri dari: 151 1.
Asas Keseimbangan;
2.
Asas Kelangsungan Usaha;
3.
Asas Keadilan; 149
Epstein et al. 1993, Bankruptcy, St. Paul, West Publishing Co., Minnesota, h. 2. Emmy Yuhassarie dan Tri Harwono, 2005, Op.Cit., h. 96. 151 Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 75-76. 150
72
4.
Asas Integrasi.
Sesuai asas keseimbangan tersebut, maka UUKPKPU harus mampu mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik oleh debitor yang tidak jujur maupun kreditor yang tidak beriktikad baik.
Adrian Sutedi menyampaikan
bahwa: Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor, menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya, meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif.152 Mengenai Asas Kelangsungan Usaha, UUKPKPU perlu mengatur agar perusahaan debitor yang prospektif memungkinkan untuk tetap dilanjutkan. Oleh karena itu permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolvent, yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas;153 Berdasarkan Asas Keadilan, hukum kepailitan harus memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, sehingga, putusan pernyataan pailit seharusnya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas,154 dan UUKPKPU harus mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan debitor.155 Berdasarkan Asas Integrasi, maka hukum kepailitan, baik sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan bagian yang menyatu secara utuh dalam sistem hukum perdata dan hukum acara perdata Nasional.
152
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 30. Ibid. 154 Ibid. 155 Ibid. hal. 31. 153
73
Dalam penjelasan umum UUKPKPU dikemukakan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU, yaitu:156 a. b.
c.
Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih Piutangnya dari debitor. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Ketiga hal tersebut dapat dikatakan sebagai tujuan dibentuknya UUKPKPU yang mana dianggap sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum dunia bisnis pada saat pembentukannya. Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa beberapa tujuan dari hukum kepailitan yaitu diantaranya untuk:157 a. b. c. d.
Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan; Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu; Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor; Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utangutang debitor.
Mengenai syarat-syarat pernyataan pailit, saat ini di Indonesia masih mengikuti hukum acara yang berlaku di Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata yang berdasarkan atas HIR/RBG, kecuali untuk hal yang ditetapkan lain oleh UUKPKPU.
Pengajuan permohonan pernyataan pailit harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan, karena apabila syarat-syarat tersebut tidak 156
Hal ini menjadi tujuan mendasar dari pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 157 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., h. 29 – 31.
74
dipenuhi, maka permohonan pernyataan pailit tersebut tidak dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.158 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, dapat disimpulkan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit adalah sebagai berikut:159 a. b. c.
debitor yang diajukan harus memiliki lebih dari satu kreditor debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih (due and payable)
Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan secara tegas di dalam Undang-Undang Kepailitan.160 Apabila syaratsyarat terpenuhi, sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU hakim harus “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”.161 Pembuktian sederhana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut, adalah mengenai pembuktian sederhana terhadap eksistensi dari:162 a.
suatu utang debitor yang telah jatuh tempo;
b.
dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan pailit.
Berdasarkan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut, maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Memiliki Dua Kreditor Syarat keharusan adanya minimal dua atau lebih kreditor yang dikenal sebagai concursus creditorum, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) 158
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., h. 52. Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., h. 52. 160 Imran Nating, Op.Cit., h. 22. 161 Ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU ini sering menjadi alasan bagi para Hakim di Pengadilan Niaga dalam mengabulkan permohonan pernyataan Pailit 162 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 141. 159
75
UUKPKPU dan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata,163 yang menentukan pembagian harta pailit kepada para kreditornya secara teratur berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte. Dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar Piutang yang harus ditagih oleh seorang kreditor dari debitor yang bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditor dari debitor yang bersangkutan.164 Perihal syarat sekurangnya dua orang kreditor merupakan suatu syarat mutlak sebab jika hanya ada satu kreditor tidak perlu kepailitan karena tidak perlu pengaturan pembagian hasil eksekusi harta pailit kepada beberapa kreditor.165 Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi dari UUKPKPU kehilangan raison d’être-nya, sebab apabila diperkenankan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang hanya memiliki seorang kreditor, maka sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, tidak perlu ada pengaturan mengenai pembagian hasil penjualan seluruh harta kekayaan debitor yang merupakan jaminan utangnya karena seluruh hasil penjualan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu, sehingga tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor.166 Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, maka yang dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis dan kreditor preferen. 163
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Op. Cit, h. 107. Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 15. 165 Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Munir Fuady II), h. 65. 166 Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Op.Cit., h. 122. 164
76
2.
Harus Ada Utang Syarat keadaan dimana seorang debitor berhenti membayar atau tidak dapat membayar utang, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU mengenai pengertian utang.
Menurut ketentuan Pasal 1233
KUHPerdata, kewajiban atau utang dapat timbul dari perjanjian atau dari undang-undang. Ada kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.167 Beberapa contoh kewajiban yang timbul dari perjanjian adalah:168 a. b. c. d.
Kewajiban debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang meminjamkan; Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut; Kewajiban pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada pembeli rumah; Kewajiban penjamin (guarrantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman debitor kepada kreditor.
Syarat ini dapat diartikan sebagai keadaan di mana debitor tidak berprestasi lagi pada saat permohonan pernyataan pailit diajukan ke Pengadilan Niaga, sehingga apabila debitor masih dapat berprestasi pada saat permohonan pernyataan pailit diajukan ke pengadilan, maka debitor yang bersangkutan belum berada dalam keadaan berhenti membayar. Sidang pengadilan harus dapat membuktikan berdasarkan fakta atau keadaan bahwa debitor tidak berprestasi lagi, sehingga dirinya dikatakan berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang-utangnya.169
167
Imran Nating, Op.Cit., h. 25. Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Op.Cit., h. 79. 169 Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 16. 168
77
3.
Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Mengenai syarat “jatuh waktu dan dapat ditagih” berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbiter.170 Dengan demikian, syarat ini mengenai utang yang sudah waktunya untuk dibayar, berdasarkan undang-undang maupun perjanjian. Ketentuan ini menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata “dan” di antara kata “jatuh waktu” dan “dapat ditagih”,171 walau sebenarnya kedua istilah tersebut berbeda pengertian dan kejadiannya.
Suatu utang dapat
mungkin telah dapat ditagih namun belum jatuh waktu. Perbedaan ini terlihat pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, yaitu utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit, menjadi jatuh waktu sehingga kreditor berhak untuk menagihnya dan dalam dunia perbankan disebut bahwa utang itu telah due atau expired. Suatu kredit bank tidak harus menunggu sampai tanggal akhir perjanjian kredit untuk dinyatakan due atau expired, namun cukup hingga tanggal-tanggal jadwal angsuran kredit telah sampai. Akan tetapi, ada kemungkinan utang itu telah dapat ditagih walaupun belum jatuh waktu, karena terjadi events of default atau dalam perjanjian kredit perbankan 170 171
Imran Nating, Op.Cit., h. 26. Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., h. 57.
78
disebut events of default clause, yaitu klausul yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan nasabah debitor in-default atau cidera janji apabila salah satu peristiwa (event) yang tercantum dalam events of default itu terjadi. “Terjadinya peristiwa (event) itu bukan saja mengakibatkan nasabah debitor cidera janji, tetapi juga memberikan hak kepada bank (kreditor) untuk seketika menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut (nasabah debitor tidak berhak lagi menggunakan kredit yang belum digunakannya), dan seketika itu pula memberikan hak kepada bank (kreditor) untuk menagih kredit yang telah digunakan.”172 Contoh peristiwa dalam klausul events of default itu, diantaranya mengenai pelanggaran terhadap hal-hal sebagai berikut: a.
selama kredit belum lunas, debitor dilarang tanpa seizin bank melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) membagi dividen; 2) membuka kantor cabang; 3) melakukan perubahan susunan anggota direksi dan Komisaris 4) menjual aset bank
b.
selama kredit belum lunas, debitor wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) setiap tahun selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret pada tahun berikutnya menyampaikan laporan tahunan mengenai keadaan keuangan selama tahun yang lalu berupa neraca (balance sheet) dan
172
Ibid., h. 57.
79
laporan laba/rugi (profit and loss statement) yang telah diaudit oleh akuntan publik yang independen. 2) Setiap enam bulan sekali menyampaikan laporan keuangan baik berupa neraca maupun laporan laba/rugi yang tidak diaudit oleh akuntan publik (financial home statement). Dengan demikian, ada perbedaan antara pengertian “utang yang telah jatuh waktu” dan “utang yang telah dapat ditagih”. Utang disebut jatuh waktu hanya apabila menurut perjanjian telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor. Namun demikian, sekalipun jatuh waktunya belum tiba tetapi mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu.173 Selanjutnya dalam hal suatu perjanjian tidak mengatur tentang tanggal jatuh waktu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, pihak debitor dianggap lalai apabila debitor dengan surat teguran (surat somasi) telah dinyatakan lalai dan di dalam surat tersebut debitor diberi waktu tertentu untuk melunasi utangnya.
Apabila setelah
lewatnya jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran itu ternyata debitor belum juga melunasi utangnya, maka debitor dianggap lalai. Dengan terjadinya kelalaian tersebut, maka berarti utang debitor telah dapat ditagih.174 Mengenai Subjek Pernyataan Pailit, dalam hal ini debitor, maka debitor dapat dinyatakan pailit sepanjang terbukti memenuhi ketentuan yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, baik debitor perorangan maupun badan 173 174
Ibid., h. 58. Ibid., h. 59.
80
hukum.
Tidak seperti Negara-Negara yang menganut grace period yang
membedakan aturan kepailitan bagi debitor orang perorangan (individu) dan debitor badan hukum, UUKPKPU nyaris tidak membedakan aturan kepailitan bagi debitor perorangan maupun badan hukum, kecuali ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUKPKPU yang menyatakan bahwa dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya dan ketentuan Pasal 3 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam hal debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Berdasarkan ketentuan kedua Pasal tersebut, maka walaupun tidak disebutkan secara tegas, namun menunjukkan bahwa UUKPKPU diperuntukkan bagi debitor badan hukum maupun debitor orang perorangan. Mengenai debitor badan hukum, kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Perusahaan Swasta atau badanbadan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Baik laki-laki maupun perempuan, menjalankan perusahaan atau tidak, yang telah menikah maupun yang belum menikah.
Jika permohonan pernyataan pailit
tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada percampuran harta.175
175
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., h. 16.
81
Dengan demikian, kepailitan merupakan suatu proses, di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya, dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Harta debitor dapat dibagikan kepada para
kreditor, sesuai dengan peraturan pemerintah.176 2.3.2. Pengertian Kepailitan Berdasarkan tata bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit,177 sedangkan secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”.178
Istilah “pailit” juga ada dalam perbendaharaan bahasa Belanda,
Prancis, Latin, dan Inggris namun dengan istilah yang berbeda-beda.
Dalam
bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failiet” yang mempunyai arti ganda, yaitu selain sebagai kata benda, juga sebagai kata sifat. Dalam bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan melakukan pembayaran, sehingga orang yang mogok atau berhenti membayar utangnya dalam bahasa Prancis dinamakan “le failit”,179 dalam bahasa Inggris diterjemahkan “failure” yang berarti gagal, dan dalam bahasa Latin disebut “fallire”.180 Pada negara–negara yang menggunakan bahasa Inggris, pengertian pailit mempergunakan istilah "bankrupt" atau "bankruptcy",181 yang dalam Black’s Law Dictionary memiliki pengertian sebagai: 176
Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Op.Cit., h. 23. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., h. 11. 178 Victor Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 18. 179 Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 63. 180 Zainal Asikin, 1994, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 28. 181 Siti Soemaryati Hartono, 1981, Op.Cit., h. 4 lihat juga Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 11. 177
82
"The state or condition of a person (individual, partnership, corporation ,municipality) who is unable to pay its debts as they are, or became, due".The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt."182 Black’s Law Dictionary tersebut, menjelaskan pailit sebagai ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.183 Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia, “pailit” artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko dan sebagainya).184 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Dengan demikian, kepailitan merupakan suatu
peristiwa yang luar biasa bagi debitor yang mana putusan pailit tersebut memaksa debitor untuk melepaskan seluruh haknya atas semua kekayaannya kepada kurator. putusan pengadilan. Pengertian tersebut juga memberikan pemahaman bahwa tanpa adanya putusan Pailit dari pengadilan, debitor tidak dapat dianggap pailit. Selanjutnya dengan adanya pengumuman putusan pailit tersebut, ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku atas seluruh harta kekayaan debitor pailit.
182
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 100. Kartini Mulyadi, 2007, Hukum Kepailitan, Putra Grafika, Jakarta, h. 143. 184 Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 65. 183
83
Menurut Fred B.G. Tumbuan, melalui sita umum maka dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditor secara sendiri-sendiri.185 Dengan demikian para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum)186 sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pengertian kepailitan, selanjutnya disampaikan beberapa pengertian kepailitan yang diberikan oleh para ahli. Menurut Fred B.G. Tumbuan, kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya,187 dan menurut R. Subekti kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang secara adil.188 Selanjutnya J.B.
Huizink
menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitor untuk kepentingan semua kreditor secara bersama.189 Berdasarkan definisi atau pengertian dari beberapa ahli hukum tersebut diatas, dapat ditemukan unsur-unsur sebagai berikut:190 a.
Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.
b.
Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.
c.
Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepailitan berkenaan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari debitor atas utang-utangnya yang telah
185
Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Op.Cit., h. 125. concursus creditorum diartikan sebagai keberadaan dua atau lebih kreditor sebagai syarat bagi pengajuan permohonan pernyataan Kepailitan. 187 Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Loc.Cit. 188 R. Subekti, 1995, Pokok-pokok Hukum Dagang, Intermasa, Jakarta, h. 28. 189 J.B. Huizink, 2004, Insolventie, Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 2. 190 Victor Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Op.Cit., Jakarta, h. 20. 186
84
jatuh tempo. Atas ketidakmampuan tersebut, perlu dilakukan tindakan pengajuan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, baik oleh kreditor maupun secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan orang lain atau pihak ketiga.
Keadaan tidak mampu membayar ini yang tidak dicantumkan secara
tegas sebagai persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit dalam UUKPKPU. 2.3.3. Dasar Hukum Kepailitan Dalam hal debitor tidak membayar utang yang jatuh tempo, maka perlu ada aturan main yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan debitor untuk mengupayakan penyelesaian secara adil,191 yaitu perangkat hukum yang melindungi kepentingan kreditor untuk mendapatkan kembali hak-haknya sekaligus melindungi debitor dari cara-cara penyelesaian yang tidak wajar dan bertentangan dengan ketentuan hukum dan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka Sri Redjeki Hartono menyampaikan bahwa Lembaga Kepailitan memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Lembaga Kepailitan mencegah atau menghindari dua hal berikut, yang keduanya merupakan tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi massal oleh debitor atau kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh debitor sendiri.192
191
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., h. 2. Sri Redjeki Hartono, 1999, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, h. 22. 192
85
Sesungguhnya KUHPerdata juga telah mengatur perihal kepailitan, yaitu dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.
Pasal 1131KUHPerdata
menyatakan bahwa Segala kebendaan si berhutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan, dan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua Pasal tersebut pada dasarnya telah mengatur tentang pemberian jaminan kepastian kepada kreditor bahwa debitor berkomitmen untuk tetap memenuhi kewajibannya, dan komitmen tersebut dijamin dengan kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari.
Pasal 1131
KUHPerdata mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utangutangnya (asas schuld dan haftung),193 sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata mengandung asas bahwa dengan demikian setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya (asas paritas creditorum), kecuali ditentukan
193
Purwahid Patrik dan Kashadi, 1998, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 5.
86
undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya.194 Hukum kepailitan yang semula berlaku di Indonesia adalah Faillissement Verordening atau Peraturan Kepailitan yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No.348. Pada saat terjadi krisis moneter pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan atau Peraturan Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu PK) yang mulai berlaku tanggal 20 Agustus 1998, yaitu 120 hari sejak diundangkan. Kemudian pada tanggal 9 September 1998, Perpu PK tersebut ditetapkan menjadi undang-undang melalui UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan Menjadi UndangUndang, yang mana dalam ketentuan Pasal 1 bagian akhir dari undang-undang ini, dinyatakan bahwa Perpu PK selanjutnya dilampirkan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini dan disebut sebagai Undang-Undang Kepailitan. Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2004 Indonesia telah memiliki perangkat hukum terbaru dibidang kepailitan yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang dalam tulisan ini UUKPKPU) yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
194
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, 2000, Op.Cit., h. 32.
BAB III PENERAPAN KONSEP WANPRESTASI PADA HUKUM PERJANJIAN KE DALAM KONSEP UTANG PADA HUKUM KEPAILITAN
3.1. Konsep
Wanprestasi
dan
Pertanggung
Jawaban
Hukum
atas
Timbulnya Pihak yang Dirugikan dalam Hukum Perjanjian Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.195
Dengan demikian, perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua
pihak yang membuatnya, karena mengikat para pihak yang terlibat, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.196 Salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian dinyatakan wanprestasi.197
Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa wanprestasi
sesungguhnya bermula dari adanya kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dengan sejumlah klausul yang mengandung sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari antara kedua belah pihak (dalam perjanjian timbal balik). Seluruh klausula tersebut disampaikan, dinegosiasikan dan akhirnya disusun secara seimbang berdasarkan kesepakatan bersama dari kedua belah pihak yang membuatnya. Dalam proses pembicaraan atau negosiasi pada saat penyusunan perjanjian masing-masing pihak mengajukan seperangkat hak yang diharapkan dari pihak lawan dengan menawarkan seperangkat kewajiban yang 195
Frans Satriyo Wicaksono, Loc. Cit. Ibid. 197 Djaja S. Meliala, 2012, Loc. Cit. 196
87
88
diitikadkan untuk diberikan kepada pihak lawan sebagai kompensasi dari hak yang dimintakan tersebut. Pada sisi yang lain, salah pihak juga akan menawarkan sejumlah kewajiban agar dipenuhi oleh pihak lawan untuk mengimbangi sejumlah hak yang diminta oleh pihak lawan atau justru menawarkan sejumlah hak kepada pihak lawan sebagai kompensasi untuk mengimbangi sejumlah kewajiban yang nantinya diharapkan disepakati untuk dipenuhi pihak lawan.
Artinya, dalam
negosiasi, terjadi proses pemahaman dan penghargaan terhadap pihak lawan sehingga masing-masing dapat menemukan kata sepakat terhadap setiap hak dan kewajiban yang akan ditetapkan dalam perjanjian.198 Dalam perjanjian timbal balik yang baik, maka seharusnya terdapat keseimbangan antara bobot hak dan kewajiban yang disepakati oleh masing-masing pihak. Keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian timbal balik merupakan dasar dari kesediaan para pihak untuk menerima dan menyepakati setiap klausula hak dan kewajiban akan nantinya harus dilaksanakan yang dalam istilah perjanjian dikenal sebagai prestasi, sekaligus pengikat bahwa suatu prestasi harus dilaksanakan karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseimbangan tersebut. Dengan demikian apabila dalam sebuah perjanjian timbal balik ternyata salah satu pihak tidak melakukan prestasi yang seharusnya dilakukan, maka terjadi ketidak seimbangan sehingga merugikan pihak lawan yang gagal menerima prestasi tersebut. Dalam keadaan telah melakukan wanprestasi tersebut, seharusnya pihak yang telah melakukan wanprestasi (etikanya) juga tidak berhak mengharapkan menerima prestasi dari pihak lawan yang telah dirugikannya tersebut, apalagi 198
Lihat teori-teori berdasarkan Prestasi Kedua Belah pihak, diantaranya Teori hasrat (will theory); Teori tawar menawar (bargain theory); Teori sama nilai (equivalent theory); Teori kepercayaan merugi (injurious reliance theory).
89
kemudian melakukan satu upaya hukum untuk memaksakan kehendaknya tetap mendapatkan hak-haknya tersebut. Pada dasarnya sebuah perjanjian adalah sebuah perikatan. Perikatan dalam bentuk pemahaman terhadap adanya hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, selain undang-undang. Kedua sumber yang berbeda ini akan membedakan akibat hukum dari adanya hubungan hukum tersebut, yaitu akibat hukum perikatan yang lahir dari perjanjian dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian karena perjanjian dibuat atas dasar kesepakatan para pihak, sementara akibat hukum dari perikatan yang lahir dari UU ditentukan oleh UU walaupun pihak yang melakukan perbuatan tersebut mungkin tidak menghendaki akibat hukumnya.
Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati itulah
yang disebut wanprestasi dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Sedangkan pelanggaran terhadap suatu ketentuan UU dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain disebut Perbuatan Melawan Hukum (PMH), pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Secara sederhana wanprestasi berarti melanggar perjanjian. Berdasarkan pendapat sejumlah ahli, wanprestasi merupakan peristiwa dimana pihak yang seharusnya melakukan suatu prestasi, tidak melakukan kewajiban prestasinya tersebut atau tidak melaksanakan perjanjian dengan sebagaimana mestinya, bukan karena keadaan memaksa. Dengan demikian, apabila seseorang yang merupakan salah satu pihak dalam perjanjian melanggar perjanjian yang telah dibuatnya dan
90
telah disepakatinya, baik dengan tidak melakukan prestasi yang dijanjikannya ataupun melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan perjanjian dinyatakan telah melakukan melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut.
Tindakan
wanprestasi terhadap perjanjian mengakibatkan muculnya kerugian pada pihak lawan dalam perjanjian tersebut, sehingga dalam beberapa pernyataan juga dikatakan telah wanprestasi terhadap pihak lawannya. Secara umum, wanprestasi dapat berupa: 1.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan;
2.
melakukan prestasi yang dijanjikan, tapi hanya sebagian;
3.
melakukan prestasi yang dijanjikan, tapi terlambat memenuhinyai;
4.
melakukan prestasi yang dijanjikan, tapi keliru memenuhi prestasi (tidak sebagaimana mestinya)
5.
melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian. Gugatan wanprestasi terhadap pihak lawan pada hakekatnya muncul
karena salah satu pihak tidak melakukan apa yang diperjanjikan, bukan karena penggugat telah memiliki hak untuk menerima sebagai imbalan pembalas, karena sebelumnya telah melakukan satu kewajiban tertentu.
Ketentuan Pasal 1457
KUHPerdata menjelaskan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan dan selanjutnya Ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang
91
barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 1458
KUHPerdata kewajiban dari salah satu pihak itu sudah terbit pada saat adanya kesepakatan tentang barang walaupun barangnya belum diserahkan dan walaupun harganya belum dibayarkan. Hal tersebut sudah mengikat, sesuai perjanjian yang disepakati, sehingga hakekat dari wanprestasi benar-benar hanya diukur dari perjanjian yang telah disepakatinya saja. Namun hakekat dari wanprestasi ini hanya dapat diterapkan dalam bidang hukum perjanjian saja, sesuai dengan rangkaian pengaturan hukum yang mengaturnya sebagai kesatuan yang utuh terhadap keseluruhan ketentuan-ketentuan dalam hukum perjanjian itu sendiri. Oleh karenanya dalam hal perjanjian timbal balik, pada ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata ditegaskan bahwa, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Mengenai syarat batal yang
dimaksud dalam ketentuan tersebut dijelaskan terlebih dahulu dalam ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu
92
kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. Selain itu mengenai pengaturan jual beli dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata yang melandasi pemahaman terhadap hakekat bahwa wanprestasi semata-mata timbul dari pengingkaran apa yang telah diperjanjikan, juga tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata yang mengatur bahwa si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya, apabila si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam hal si pembeli belum melakukan pembayaran, maka belum timbul utang, sehingga si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya tersebut. Ketentuan-ketentuan ini tidak dapat dipisahkan sebagian-sebagian, sesuai dengan kedudukannya sebagai norma dalam hukum perjanjian. Prinsip exceptio inadimpleti contractus ini walau tidak disebutkan secara khusus dalam ketentuan Pasal UU, namun cukup menjadi dasar penerapannya sebagai salah satu bentuk eksepsi di bidang hukum perjanjian dan telah menjadi suatu yurisprudensi dalam bidang hukum perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, juga ditegaskan bahwa wanprestasi hanya dapat terjadi setelah terlebih dahulu terdapat perjanjian yang telah disepakati para pihak. Dari pemahaman ini, maka tanpa adanya perjanjian, maka tidak akan ada wanprestasi. Dalam perjanjian yang dibuat secara notariil
93
ataupun telah melalui proses penyusunan secara benar oleh para ahli penyusun kontrak, pada umumnya telah dicantumkan ketentuan-ketentuan mengenai kemungkinan timbulnya wanprestasi, diantaranya mengenai jangka waktu (tenggang waktu), kapan salah satu pihak dinyatakan wanprestasi dan sanksi yang harus diterima apabila terjadi wanprestasi tersebut. Dengan demikian, maka jika dalam perjanjian itu telah ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan pihak yang berkewajiban tidak juga memenuhi kewajibannya pada waktu tersebut, maka pihak tersebut telah wanprestasi. Namun apabila dalam suatu perjanjian yang telah disepakati, ternyata tidak terdapat pengaturan tentang jangka waktu tertentu mengenai kapan salah satu pihak wanprestasi dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya debitor, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitor tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasi, melalui pemberitahuan secara resmi atau somasi. Menurut teori pelaksanaan, tujuan utama dibuatnya perjanjian adalah agar para pihak melaksanakan apa yang diperjanjikannya secara benar dan dikaitkan dengan teori Liberal tentang perjanjian, bahwa setiap orang pada dasarnya menginginkan keamanan, sehingga seseorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya dan membutuhkan suatu kerja sama tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan melalui kepercayaan dan perjanjian,199 maka memperhatikan bahwa terjadinya tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak akan merugikan pihak lainnya dalam perjanjian,
199
Ibid.
94
maka perlu diatur bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian agar para pihak tidak dengan sembarangan dan semena-mena melakukan tindakan wanprestasi.
Sesuai dengan pemahaman bahwa hukum
bertujuan untuk mengatur, demi terciptanya keteraturan dan ketertiban, maka dalam ranah hukum perjanjian, konsep wanprestasi diatur secara jelas agar dapat diantisipasi melalui ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian. Dari uraian yang telah disampaikan tersebut, maka dapat disampaikan bahwa pada dasarnya konsep wanprestasi adalah suatu tindakan penyimpangan oleh pihak yang mengadakan perjanjian dalam keadaan yang tidak memaksa, dari apa yang sebelumnya telah diperjanjikan dan disepakati dalam perjanjian yang dapat berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lawan dalam perjanjian tersebut.
Memperhatikan hal tersebut, maka wanprestasi hanya dapat terjadi
dalam proses pelaksanaan setelah sebuah perjanjian dinyatakan telah disepakati secara sah. Konsep wanprestasi ini diatur demi melindungi para pihak dalam perjanjian, khususnya pada saat pelaksanaan.
wanprestasi dan pengaturan
hukumnya diatur dalam bidang hukum perjanjian yang merupakan ranah hukum private, bukan hukum publik.
Sebagaimana halnya hukum-hukum lain yang
merupakan hukum private, maka seharusnya hukum yang ditetapkan dalam hal terjadinya wanprestasi cakupannya mengatur keberadaan dan kepentingan para pihak pembuat perjanjian saja, atau sejauh-jauhnya dapat juga mengenai pihak ketiga yang secara jelas dan nyata memiliki kepentingan terhadap perjanjian tersebut.
95
Pada dasarnya perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum yang kongkrit,200 dan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak.201 Sehingga dengan demikian, segala bentuk penyimpangan pelaksanaan perjanjian dari semua ketentuan yang telah disepakati akan menimbulkan akibat hukum yang disebut sebagai pertanggung jawaban hukum. 202
Secara umum,
bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.203 Ada tidaknya perjanjian dalam hubungan hukum antara para pihak merupakan kunci penting untuk membedakan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum. Apabila terdapat perjanjian, maka bentuk tanggung jawabnya merupakan tanggung jawab kontraktual, sedangkan apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat mengugat pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab dengan dasar perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, mengenai pertanggung jawaban secara hukum dalam hal terjadi tindakan wanprestasi merupakan bentuk pertanggungjawaban kontraktual. Tanggung jawab kontraktual didasarkan terhadap adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban 200
R. Subekti II, Loc. Cit. Herlien Budiono, 2010, Loc. Cit. 202 Lihat berbagai teori terbentuknya kesepakatan dalam sebuah perjanjian 203 Rosa Agustina, et.al, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Pustaka Larasan, Bali, h. 4. 201
96
terhadap para pihak dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengugat dengan dalil wanprestasi, sebagaimana pengertian umum tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah satu pihak, misalnya karena sama sekali tidak melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau keliru dalam melaksanakan prestasi. Sesuai dengan teori wanprestasi yang disampaikan O.W Holmes bahwa The duty to keep a contract at common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it-and nothing else. If you commit a tort, you are liable to pay a compensatory sum,204 yaitu bahwa kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian diartikan bahwa pihak-pihak dalam perjanjian harus membayar ganti rugi, jikalau mereka tidak menjaganya dan tidak ada hal yang lainnya, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi, harus bertanggung jawab untuk membayar sejumlah kompensasi. Mengingat bahwa pada prinsipnya tujuan dari gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terpenuhi, maka ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss atau winstderving),205 yang telah diatur dalam KUHPerdata yaitu pada ketentuan Pasal 1244 , Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, mengenai ganti rugi yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga, yang mana biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditor akibat dari wanprestasinya debitor, sedangkan rugi adalah kerugian 204 205
Oliver Wendell Holmes Jr., Loc.Cit. Suharnoko, 2007, Loc.Cit.
97
yang ditanggung oleh kreditor akibat wanprestasinya debitor, dan yang dimaksud dengan bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh kreditor terhadap suatu hubungan hukum. Maka dengan demikian, apabila pihak debitor dinyatakan telah wanprestasi, maka sebagai konsekuensi hukumnya, pihak debitor dihukum untuk membayar ganti rugi. Selain itu dengan terjadinya wanprestasi pada salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian.
Gugatan wanpretasi bertujuan untuk berusaha
menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana (pay on time). Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah ganti rugi yang merupakan akibat langsung dari terjadinya wanprestasi.
Dengan demikian,
terdapat hubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita oleh salah satu pihak dalam perjanjian dengan terjadinya perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya dalam perjanjian tersebut, atau dengan kata lain dinyatakan secara tegas bahwa kerugian harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi. KUHPerdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immateriil, tidak berwujud (moral, ideal), sedangkan yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immateriil, misalnya dikabulkannya tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan hidup. Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap tanggung jawab ini, yaitu jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi
98
karena keadaan memaksa (overmacht/force
majeur) debitor dibebaskan
menanggung kerugian yang terjadi,206 yang mana berdasarkan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, ditentukan tentang 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu: 1.
Tidak Memenuhi Prestasi
2.
Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitor
3.
Faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor Selanjutnya, dalam hal wanprestasi karena kesalahan debitor baik sengaja
karena kelalaian, maka akibat hukum dari terjadinya wanprestasi adalah:207 a. b. c.
debitor diharuskan membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata); kreditor dapat minta pembatalan perjanjian melalui Pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata); kreditor dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (Pasal 1267 KUHPerdata).
Sedangkan dalam hal tanggung jawab yuridis ada pada pihak debitor maka berkenaan dengan terjadinya wanprestasi, maka Van der Burght menyatakan bahwa:208 a. b. c.
206
debitor harus membayar ganti rugi (Pasal 1279 KUHPerdata, Pasal 1243 KUHP); beban resiko bergeser ke arah kerugian debitor; jika perkiraan timbul dari suatu perjanjian timbal balik, maka pihak kreditor dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara Pasal 1302 KUHPerdata (Pasal 1266 KUHP), atau melalui exceptio inadimpleti contractus menangkis tuntutan debitor untuk memenuhi perikatan.
Rosa Agustina, et.al, 2012, Op.Cit., h. 6. Djaja S. Meliala, Op.Cit., h. 176. 208 Van der Burght, Loc.Cit. 207
99
dan apabila tanggung jawab yuridis ada pada pihak kreditor atau wanprestasi karena kelalaian kreditor (crediteursverzuim), yang mana debitor berada dalam keadaan memaksa, tetapi tidak dalam keadaan overmacht, maka:209 a.
b.
Beban resiko bergeser ke arah kerugian kreditor dan selaku demikian ialah bahwa pihak debitor pada galibnya hanya bertanggung jawab yuridis karena melakukan wanprestasi dalam hal adanya unsur kesengajaan diri sendiri atau kesalahan besar (gove schuld); pihak kreditor tetap berkewajiban memberikan kontraprestasi (bandingkan Pasal 1638 d KUHPerdata; Pasal 1602 KUHP).
Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata tersebut, ada 2 (dua) cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu:210 a.
b.
Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya; jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.
Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditor yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang miliknya, dan juga bunga atas keuntungan yang seharusnya akan didapatkan dan telah diperhitungkan. Dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata dijelaskan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Dengan demikian, mengenai timbulnya pihak yang dirugikan dalam halhal yang berkenaan dan bermula dari adanya suatu perjanjian, dalam hal ini pada 209 210
Van der Burght, Op.Cit., h. 148. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., h. 13.
100
umumnya karena pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati, maka tindakan pihak yang menimbulkan kerugian pihak lain tersebut merupakan tindakan wanprestasi yang mana diatur dalam hukum perjanjian bahwa pertanggungjawaban hukumnya adalah pertanggungjawaban kontraktual, yaitu gugatan wanprestasi yang diajukan ke pengadilan Negeri setempat.
3.2. Konsep Utang dan Pertanggung Jawaban Hukum atas Timbulnya Pihak yang Dirugikan dalam Hukum Kepailitan Dalam hukum kepailitan, konsep utang sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang, maka esensi dari kepailitan menjadi tidak ada, karena kepailitan merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.211 Istilah utang dalam UU Kepailitan Lama dapat di jumpai dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) yaitu : "debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya." Dengan pengertian utang yang tidak jelas tersebut, penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan Lama hanya menyatakan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok atau bunganya; sedangkan pengertian utang itu sendiri justru tidak dijelaskan.
211
M. Hadi Shubhan, Loc. Cit.
101
Sedangkan dalam UUKPKPU (UU Kepailitan yang baru) sebagaimana telah disampaikan pada latar belakang masalah, pengertian utang dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU sangat luas yang ditunjukkan dengan adanya kata "dapat dinyatakan dalam jumlah uang", sehingga meliputi segala bentuk prestasi, baik yang berupa kewajiban menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu asal dapat dinyatakan dalam jumlah uang, maka semua itu dapat disebut sebagai utang. Dengan demikian, wanprestasi yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang dapat dipertimbangkan sebagai utang dalam persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit. Oleh karena berpotensi menimbulkan kerancuan dalam penyelesaian permasalahan hukumnya, maka konsep utang terkait hukum kepailitan perlu diperjelas dan dipertegas. Kepailitan merupakan lembaga perdata sebagai realisasi dari 2 (dua) asas pokok klaim yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada maupun yang akan diperolehnya bertanggung jawab atas perikatan-perikatan pribadinya sedangkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata melengkapi ketentuan Pasal 1131 yang menyatakan bahwa benda-benda itu dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bila mana diantara para kreditor mungkin terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah. Berkenaan dengan perikatan-perikatan yang dimaksudkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, merujuk kepada ketentuan Pasal 1233
102
KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Pada prinsipnya utang timbul dari adanya sebuah perikatan, yang menimbulkan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai balasan atas hak-hak yang telah diterimanya terlebih dahulu,.
Walaupun sama-sama timbul dari
perikatan namun masih terdapat perbedaan dengan wanprestasi, karena wanprestasi timbul oleh karena adanya perikatan yang hanya bersumber dari perjanjian, sedangkan utang merupakan kewajiban yang timbul akibat adanya perikatan yang juga bersumber selain dari perjanjian juga dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan menganggap bahwa perutangan itu
merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain jika perlu dengan perantaraan hakim,212 Menurut R. Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana debitor menerima sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.213 Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian. Tentunya pemahaman ini tidak dapat dipersalahkan, namun pemahaman yang 212 213
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II, Loc. Cit. Rudhy A. Lontoh, et.al., 2001, Op. Cit., h. 117.
103
demikian akan mengacaukan esensi dari konsep utang dalam hukum kepailitan. Dengan demikian untuk memahami utang secara tepat dalam konteks hukum kepailitan tidak cukup hanya berhenti kepada pemahaman umum tentang utang itu saja, namun harus dikaitkan dengan makna, fungsi dan dasar penempatannya dalam ruang besarnya yaitu hukum kepailitan. Prestasi para pihak yang berhubungan erat dengan kemampuan phisik atau psikis seseorang untuk melakukan sesuatu atau memikirkan sesuatu sangat tidak relevan untuk dihubungkan ke dalam konsep utang dalam hukum kepailitan, karena manakala terjadi suatu keadaan karena seseorang mengalami keterbatasan yang demikian, misalnya karena mengalami cedera atau kelumpuhan atau cacat mental, tidak dapat digiring atau dipaksa untuk melakukan prestasi-prestasinya yang tertunda dengan jalan penetapan kepailitan.
Dengan demikian,
memperhatikan bahwa pada dasarnya konsep utang tersebut demikian luasnya, maka seharusnya dalam penggunaannya pada suatu kerangka hukum tertentu seharusnya diberikan penegasan ataupun disertai dengan pengaturan tambahan, agar tidak terjadi kerancuan atau kekliruan dalam menerapkan hukumnya. Apabila memperhatikan pengertian utang dalam UUKPKPU, maka frase "dapat dinyatakan dalam jumlah uang" dalam UU tersebut, menimbulkan multi tafsir sehingga memberikan jangkauan persepsi yang sangat luas sebagaimana konsep tentang utang itu sendiri telah sedemikian luasnya. Bias nilai-nilai yang akhirnya mengaburkan hakekat dari hukum kepailitan tersebut mengakibatkan penyelesaian dalam kasus bukan kepailitan dapat dibenturkan dan bahkan dibelokkan ke dalam penyelesaian menurut mekanisme kepailitan.”
104
Menurut pandangan Profesor Radin dan menurut Robert L. Jordan terlihat secara jelas bahwa konsep utang yang timbul dalam hukum kepailitan sesungguhnya adalah “right to payment” atau hak kreditor atas pembayaran yang harus dilindungi dari terjadinya kebangkrutan (bankruptcy) pihak debitor. Berdasarkan kepada penekanan terhadap keadaan kebangkrutan debitor maka konsep utang dalam hukum kepailitan merujuk kepada terjadinya keadaan yang menyebabkan debitor tidak mampu membayar kewajibannya sehingga mengingat pihak kreditor lebih dari satu, perlu dilakukan pengaturan hukum agar hak-hak para kreditor untuk mendapatkan pembayaran dalam keadaan harta kekayaan debitor tidak mencukupi
semua kewajibannya tetap mendapatkan
perlindungan hukum yang sama dan adil. Dari keadaan tersebut, maka konsep utang yang dimaksudkan dalam hukum kepailitan mengacu kepada kewajiban dibidang bisnis atau setidak-tidaknya menyangkut perihal kekayaan harta benda dan terkait konsep ini dengan melandaskan pada ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya sehingga secara otomatis keadaan ini berdampak terhadap seluruh kewajibannya kepada semua kreditornya. Dalam hal ini, tidak cukup dengan pernyataan “lebih dari satu kreditor” saja, karena hal itu memberikan celah mempermudah pengajuan permohonan kepailitan, yang pada akhirnya bila keadaan yang tidak tepat untuk dipailitkan tersebut, dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, konsekuensi dari putusan pailit tersebut tentu akan berpotensi menimbulkan berbagai kerugian yang tidak seharusnya dialami baik oleh pihak debitor sendiri, maupun juga kreditor-kreditor lainnya yang sesungguhnya tidak mengalami masalah dalam hal utang-piutangnya dengan
105
debitor tersebut, padahal sesungguhnya hukum kepailitan tidak hanya bertujuan melindungi kepentingan satu kreditor saja, melainkan juga bertujuan melindungi kepentingan semua kreditor termasuk juga debitor. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata melengkapi ketentuan Pasal 1131 yang menyatakan bahwa benda-benda
itu
dibagi
diantara
mereka
secara
seimbang,
menurut
imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bila mana diantara para kreditor mungkin terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah. Dalam kerangka bahasa, kata tidak mampu memiliki pengertian yang berbeda dengan tidak mau. Kata tidak mampu merupakan sebuah keterangan atau gambaran terhadap keadaan (situasi) seseorang sedangkan tidak mau adalah pernyataan sikap atau kehendak seseorang.
Dari sifatnya hukum kepailitan
sebagai pranata untuk mengatur tentang proses pengembalian hak para kreditor untuk menerima pembayaran dari keadaan debitor yang mana harta kekayaan tidak mencukupi lagi, maka hukum kepailitan tidak bersifat menghukum pihak debitor, namun mengatur dengan menyertakan kekuatan hukum yang memaksa, agar dapat dilakukan satu upaya-upaya penyelesaian dari situasi para kreditor terancam tidak mendapatkan hak untuk pembayaran karena harta kekayaan debitor tidak mencukupi.
Debitor juga dalam hal yang sama, yaitu untuk
mendapatkan perlindungan hukum atas situasi yang mana para kreditor memperebutkan atau berusaha mendapatkan pengembalian hak pembayaran dengan menggunakan cara-cara yang tidak baik, dapat juga secara sukarela mengajukan perrmohonan untuk dinyatakan pailit.
106
Selanjutnya dalam hal debitor tidak mau melakukan pembayaran, dapat saja dilatar belakangi oleh keadaan-keadaan yang berbeda. Ada kemungkinan debitor ada dalam keadaan sangat mampu untuk membayarkan kewajibannya, namun karena sesuatu hal tidak mau membayarnya. Ketidak mauan tentu didasari atas suatu alasan yang dianggap cukup kuat oleh pihak debitor sehingga oleh karenanya pihak debitor mengambil keputusan untuk tidak mau membayar. Dalam KUHPerdata diatur tentang beberapa hal terkait tidak terlaksananya perjanjian sebagaimana yang telah diperjanjikan. Pada Bagian 4, ketentuan Pasal 1243 sampai dengan ketentuan Pasal 1252 mengenai penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya sesuatu perikatan, selain itu dalam ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perikatan hapus salah satu diantaranya karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini.
Dalam Pasal ini ditentukan bahwa berlakunya suatu syarat batal,
sepanjang telah diperjanjikan terlebih dahulu, dapat mengakibatkan hapusnya suatu perjanjian. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 1265 diatur bawa suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditor mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. Selanjutnya, sebagaimana halnya telah dibahas dalam sub bab sebelumnya mengenai pengaturan jual beli dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata yang melandasi pemahaman terhadap hakekat bahwa wanprestasi semata-mata timbul
107
dari pengingkaran apa yang telah diperjanjikan, maka dalam sub bab mengenai konsep utang dalam hukum kepailitan tentunya harusnya diberikan penegasan secara mendalam terkait perlunya penekanan terhadap telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak, sebagai dasar pemahaman timbulnya utang dalam hukum kepailitan. Bahwa utang timbul karena si pembeli telah menyerahkan uangnya namun si penjual belum juga menyerahkan barang yang di jualnya tersebut, atau sebaliknya bahwa penjual telah menyerahkan barangnya kepada si pembeli, namun si pembeli belum juga menyerahkan uang pembelian barang kepada si penjual. Kembali berlandaskan kepada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata yang mengatur bahwa si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barang-barangnya, apabila si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut. Ketentuan ini terkandung dengan jelas konsep utang yang sebenarnya, bahwa kewajiban membalas hak pihak lawan menjadi timbul akibat dari telah diterimanya hak pengimbang yang merupakan kewajiban dari pihak lawan. Dengan kata lain, hal si pembeli belum melakukan pembayaran, maka belum timbul utang, sehingga si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangbarangnya tersebut. Dengan demikian, utang hanya bisa timbul apabila salah satu pihak dalam sebuah hubungan hukum termasuk perjanjian, telah menerima haknya melalui suatu tindakan pihak lawan yang merupakan kewajiban dari pihak lawan tersebut. Memperhatikan bahwa hukum kepailitan pada dasarnya bertujuan mengatur dan melindungi proses pengembalian hak-hak para kreditor akibat
108
debitor mengalami kebangkrutan, maka hak-hak yang dimaksud tentu merupakan hak-hak yang timbul dari bidang hukum bisnis, karena hanya dalam dunia bisnis terjadi proses-proses hubungan baik melalui perjanjian tertulis atau secara lisan yang di dalamnya menempatkan pihak-pihak sebagai kreditor dan debitor. Selain itu kebangkrutan yang dialami oleh pihak debitor pun terjadi dalam dunia bisnis. Sehingga dengan demikian, maka utang dalam hukum kepailitan merupakan kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dibidang bisnis atau setidaktidaknya dibidang harta kekayaan yang mana perihal utang ini dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit apabila debitor telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga secara otomatis akan mengakibatkan tidak semua utang para kreditor dapat di lunasi oleh debitor. Sebagaimana telah diatur dalam UUKPKP, maka pertanggung jawaban hukum atas timbulnya pihak yang dirugikan dalam hukum kepailitan adalah diajukan permohonan penyataan pailit kepada Pengadilan Niaga.
3.3
Konsep Wanprestasi pada Hukum Perjanjian yang Dapat Diterapkan dan Tidak Dapat Diterapkan ke dalam Konsep Utang pada Hukum Kepailitan Sebagaimana disampaikan pada sub bab diatas, konsep wanprestasi pada
hukum perjanjian adalah suatu tindakan penyimpangan oleh salah satu pihak dalam keadaan yang tidak memaksa, dari apa yang yang sebelumnya telah diperjanjikan dan disepakati dalam perjanjian yang dapat berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lainnya dalam perjanjian tersebut.
Konsep
109
wanprestasi pada dasarnya timbul dalam ranah hukum perdata murni, berkenaan dengan kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lainnya atau kewajiban antar pihak kepada satu sama lain pihak berdasarkan ketentuan-ketentuan yang lahir atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
Suatu tindakan tidak melakukan
prestasi tidak dapat serta merta dinyatakan sebagai wanprestasi, apabila tidak diatur tentang kriteria wanprestasi tersebut dalam perjanjian, atau diatur secara khusus dalam ketentuan KUHPerdata.
Konsep wanprestasi juga hanya
menyangkut dan sekaligus diperuntukan guna menjaga kepentingan para pihak yang mengadakan perjanjian saja. Sedangkan konsep utang pada hukum kepailitan adalah merupakan kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dibidang bisnis atau setidaktidaknya dibidang harta kekayaan yang mana perihal utang ini dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit apabila debitor telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga secara otomatis akan mengakibatkan tidak semua utang para kreditor dapat di lunasi oleh debitor. Konsep utang dalam hukum kepailitan, lebih mendekati konsep perlindungan menyeluruh bagi si debitor beserta seluruh kreditornya, sehingga peristiwa kepailitan seharusnya hanya terjadi dalam hal si debitor telah berada dalam keadaan benar-benar gagal dalam menjalankan usahanya atau bangkrut, sehingga tidak mampu lagi untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada seluruh kreditornya, walaupun menggunakan seluruh harta kekayaannya sekalipun. Perbedaan hukum acara penyelesaian antara gugatan wanprestasi akan berdampak sangat berbeda juga. Dalam Hukum acara Perdata, para pihak yang
110
bersengketa secara aktif menyampaikan pendapatnya melalui eksepsi dan seterusnya. Tidak demikian halnya dengan hukum acara kepailitan yang cenderung merupakan agenda para majelis memeriksa kesesuaian fakta-fakta yang menjadi dasar permohonan diajukannya kepailitan, dan apabila dapat dibuktikan secara sederhana permohonan itu sudah benar, maka hakim wajib menetapkan debitor pailit.
Karena esensi dari hukum kepailitan adalah perlindungan
menyeluruh, maka debitor yang telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar, juga dapat secara sukarela mengajukan permohonan agar dinyatakan Pailit, sehingga selanjutnya hukum acara kepailitan yang akan berlaku untuk melindunginya dari tekanan dan ancaman para kreditornya. Dalam hal inilah terletak perbedaan yang hakiki dari konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian dan konsep utang dalam hukum kepailitan, sehingga dalam hukum acara perdata, gugatan wanprestasi selalu diajukan oleh pihak kreditor kepada debitornya, dalam hal perjanjian timbal balik sekalipun, sedangkan dalam hukum Acara kepailitan, baik kreditor maupun debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Berdasarkan uraian pada kedua sub bab diatas, maka dapat disampaikan bahwa konsep wanprestasi pada hukum perjanjian yang dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: 1.
Konsep bahwa prestasi harus dilakukan, demikian halnya utang harus dibayarkan.
2.
Bahwa setiap kewajiban untuk melakukan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian wajib dipenuhi terkecuali telah diatur syarat-syarat ataupun pengecualian lain yang juga telah disepakati
111
Sedangkan Konsep wanprestasi Pada hukum perjanjian yang tidak dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah: 1.
Tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi dibidang kegiatan bisnis (utang dagang).
2.
Bahwa
wanprestasi
ditentukan
dari
adanya
perjanjian,
tanpa
memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis. 3.
Bahwa wanprestasi hanya dipertanggungjawabkan kepada kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan penyelesaiannya akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga. Dalam hal debitor tidak mau membayar utang tersebut, maka utang
tersebut tidak dapat serta merta dijadikan sebagai dasar permohonan pernyataan pailit, mengingat bahwa hukum kepailitan seharusnya sebagai Ultimum Remedium dalam penyelesaian permasalahan utang dalam dunia bisnis, karena peristiwa kepailitan merupakan peristiwa hukum luar biasa yang secara memaksa mengakibatkan berubahnya status hukum, khususnya kecakapan dalam mengelola usaha dan harta kekayaannya serta merubah hubungan hukum debitor pailit dengan seluruh kreditor-kreditornya, karena hubungan hukum selanjutnya akan di ambil alih oleh pihak kurator. Keadaan ini menjadi terkesan kontra produktf bahkan destruktif dan tidak adil manakala debitor tersebut ternyata hanya
112
bermasalah tidak mau membayar utang terhadap satu atau dua kreditornya, atau dapat disebut sebagai permasalahan utang yang bersifat relative (bukan absolut), sementara terhadap sebagian besar kreditor lainnya tidak ada permasalahan apapun, karena terhadap mereka tersebut, debitor senantiasa memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik.
Demikian halnya bila dipandang dari
sudut nilai nominal utang-utang yang tidak mau dibayarkan tersebut nilai sangat kecil dibandingkan utang-utang dari kreditor lain yang dibayarkan secara baik oleh debitor. Dalam hal terjadi permasalahan utang yang bersifat relative yang mengakibatkan terganggunya hubungan debitor dengan satu atau dua kreditor tertentu, karena terjadi selisih paham yang mengakibatkan debitor tidak mau membayar apa yang disebut sebagai utang tersebut kepada kreditor yang terlibat selisih paham tersebut, karena misalnya, pihak debitor menilai telah memiliki alasan yang kuat secara hukum untuk tidak membayar utang tersebut, maka langkah yang seharusnya dilakukan sesuai koridor hukum keperdataan adalah dilakukan gugatan wanprestasi agar selanjutnya dapat diberikan penegasan terhadap status utang yang hendak ditagihkan dan demikian hakim dapat memerintahkan debitor untuk membayar atau tidak perlu membayar. Keadaan ini akan sangat berbeda apabila secara absolut keadaan debitor tidak mampu lagi membayar seluruh utangnya, karena mengalami kebangkrutan sehingga seluruh asset dan kekayaanya pun tidak akan cukup untuk membayar keseluruhan utangnya, sehingga dalam hal inilah negara turut campur tangan mengatur melalui mekanisme hukum kepailitan, agar harta kekayaan debitor yang tidak cukup untuk
113
membayar keseluruhan utang-utangnya karena telah mengalami kebangkrutan, dapat dibagikan secara adil kepada pihak-pihak kreditor yang berhak sesuai ketentuan hukum kepailitan. Berkenaan dengan unsur manfaat, keadilan dan tujuan yang terkandung dalam hukum, maka berkenaan dengan penerapan hukum itu sendiri seharusnya tetap memperhatikan essensi mendasar dari ketiga unsur tersebut. Penerapan hukum seharusnya melindungi hak-hak dan kewajiban setiap subjek hukum sehingga dalam hal satu hukum tertentu diterapkan, seharusnya hukum tersebut hanya berdampak efektif, memperbaiki, membenahi dan menghukum pihak-pihak yang bermasalah saja tanpa membentur atau mengganggu hak-hak dan kewajiban subjek hukum lain yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan apapun. Sehingga dalam hal penyelesaian permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang hanya melibatkan para pihak yang membuat perjanjian, terkesan berlebihan apabila diterapkan hukum kepailitan. Bukanlah bagian dari kepailitan kalau ada yang lebih memiliki kompetensi dalam hal ini (lex spesialis-nya) yaitu proses gugatan wanprestasi.
BAB IV AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASI DEBITOR TERHADAP PERJANJIAN DALAM HAL TERJADI KEADAAN EXCEPTIO INADIMPLETI CONTRACTUS MENURUT HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM KEPAILITAN
4.1. Perbuatan yang Menimbulkan Kerugian pada Pihak Lain karena Wanprestasi Terhadap Perjanjian dan karena Utang yang Tidak Dibayarkan Berdasarkan
ketentuan
dalam
KUHPerdata
mengenai
perikatan
(perjanjian), maka secara umum ditentukan bahwa perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu karena perbuatan melawan hukum serta karena wanprestasi atau tidak dilaksanakannya suatu perjanjian.
Berkenaan dengan hal tersebut, perbuatan yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain karena wanprestasi terhadap perjanjian, serta perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena utang yang tidak dibayarkan, sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat dipandang sebagai hal yang sama. Terlebih dahulu disampaikan bahwa istilah utang yang dimaksudkan dalam bagian ini dan seterusnya menunjuk kepada pengertian utang dalam hukum kepailitan. Dalam bagian ini akan disampaikan bahwa walaupun sama-sama menimbulkan kerugian, namun pengaturan tentang wanprestasi dan utang sesungguhnya mengandung perbedaan yang perlu diperhatikan.
114
Sebagaimana
115
telah disampaikan dalam Bab sebelumnya, yaitu bahwa tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan menyangkut prestasi dibidang kegiatan bisnis (utang dagang) dan utang tersebut terjadi karena debitor secara nyata telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar (absolute default). Apabila wanprestasi dalam hukum perjanjian dikategorikan atau dianggap sama sebagai utang dalam hukum kepailitan, maka ada hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan perbedaan karakteristik hukum perjanjian dan hukum kepailitan, yaitu bahwa wanprestasi seharusnya hanya dipertanggungjawabkan oleh debitor kepada kreditor yang sebelumnya telah membuat dan menyepakati perjanjian itu saja, namun pertanggungjawaban atas utang dalam hukum kepailitan, memaksa debitor untuk segera bertanggung jawab terhadap semua kreditornya, sehingga mekanisme penyelesaian utang dalam hukum kepailitan akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga. Dalam hal ini menurut penulis, apabila tidak diperhatikan dan dipilah secara cermat dan tegas, maka dalam hal debitor tidak berada dalam keadaan benar-benar tidak mampu membayar (absolute default), melainkan karena sesuatu permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian timbal balik tersebut, yang memberikan alasan kuat untuk bagi debitor untuk tidak mau membayar utangnya, maka penyelesaian utang tersebut melalui mekanisme hukum kepailitan akan menjadi berlebihan, cenderung tidak perlu dan bahkan tidak seharusnya dipergunakan sebagai alternatif penerapan hukum. Dalam mekanisme penyelesaian utang dalam hukum kepailitan, hubungan baik debitor dengan para kreditor lainnya yang masih berjalan dengan sangat baik
116
akan diintervensi oleh hukum kepailitan. Hubungan baik yang terjalin tanpa permasalahan utang, hubungan yang menyimpan ekspektasi dan potensi keuntungan bagi kedua belah pihak tersebut, di interupsi hingga terputus akibat keluarnya penetapan pernyataan Pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga. Dalam hal demikian, hak-hak para kreditor lain yang membangun hubungan dengan baik para debitornya menjadi terancam oleh mekanisme hukum kepailitan. Demikian juga hak-hak para debitor untuk menjadi subjek hukum yang independen menjadi kesulitan mempertahankan kepentingannya dalam pelaksanaan perjanjian timbal balik yang telah disepakati dan sah menurut hukum perjanjian, karena terancam oleh penerapan hukum kepailitan yang demikian. Memperhatikan bahwa hukum harus memberikan kepastian hukum, maka pengaturan hukumnya harus dilakukan secara lebih cermat, dan secara lebih tegas mampu memilah dan memisahkan segala bentuk kerancuan dan celah-celah timbulnya kekeliruan ataupun penyalah gunaan dalam penerapan hukumnya, sehingga semaksimal mungkin batasan hukum mana yang harus diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan hukum (kasus) menjadi jelas dan pasti. Apabila setiap pihak dapat memandang hukum perjanjian dan hukum kepailitan sama-sama sebagai hukum positif, artinya bahwa baik hukum perjanjian (walau hukum perjanjian saat ini masih menggunakan KUHPerdata) dan hukum kepailitan adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht), maka setiap ketentuan nilai-nilai dan aturannya harus diterapakan secara sama tanpa saling berbenturan atau saling menelikung. Karena itu beberapa norma kabur dan batasan-batasan
penerapan
dalam
hukum
kepailitan
harus
diperbaiki,
117
disempurnakan dan ditegaskan secara jelas sehingga perkara-perkara lain tidak akan disimpangkan penyelesaiannya kearah mekanisme penyelesaian hukum kepailitan. Dengan penerapan hukum yang tepat, maka proses dan intervensi hukum akan semakin mendekati dan mendasarkan solusinya pada fakta (tatsachen) secara keseluruhan, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan atau dengan solusi yang tidak menyelesaikan masalah secara tepat dan proporsional. Fakta tentang perisitwa hukum yang terjadi harus mampu dirumuskan secara jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, dan penerapan hukum disamping juga mudah dijalankan. Berkenaan dengan timbulnya fenomena penyelesaian masalah hukum perjanjian dengan menggunakan mekanisme hukum kepailitan, menjadikan ketidak pastian bagi para pihak yang akan membuat perjanjian yang bersifat timbal balik. Harus diperhatikan bahwa masing-masing pihak memperjanjikan prestasi yang pelaksanaannya bergantung pada prestasi pihak lawannya. Dengan demikian seharusnya kewajiban melakukan prestasi muncul dari adanya hak untuk menerima prestasi yang telah dipenuhi terlebih dahulu.
Bahwa dasar
timbulnya hak menerima prestasi bukan semata-mata kepada formalitas hukum bahwa perjanjian yang mengatur hak untuk menerima prestasi tersebut telah disepakati dan disahkan, tapi secara materiil juga harus diakui bahwa Hak menerima prestasi dalam perjanjian timbal balik didasarkan kepada pemenuhan persyaratan untuk menerima hak tersebut. Oleh karena itu, dapat disimulasikan
118
bahwa: apabila hak menerima prestasi X belum dipenuhi oleh pihak B, sehingga belum prestasi tersebut diterima oleh pihak A, maka secara etika hukum, pihak A seharusnya tidak dituntut oleh pihak B untuk melakukan prestasi Y yang pelaksanaannya dipersyaratkan melalui perjanjian setelah pihak B melakukan prestasi X terlebih dahulu, atau pihak B tidak berhak melakukan upaya lain untuk mendapatkan prestasi Y selain hanya dengan melakukan prestasi X terlebih dahulu. Namun bila melihat fakta yang ada, celah bagi hukum kepailitan terlihat dalam hal peristiwa hukumnya di potong sepihak tentang pihak A yang tidak melakukan prestasi Y kepada pihak B, karena selama ini ketentuan hukum kepailitan tidak memilah antara fakta tidak mau atau tidak mampu.
Dengan
demikian, hukum harus memandang perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena wanprestasi terhadap perjanjian dan karena utang yang tidak dibayarkan harus secara menyeluruh (holistic), sehingga dapat di pilah secara jelas dan tegas batasan penerapan hukum yang seharusnya dipergunakan dalam menyelesaikan terjadinya permasalahan wanprestasi ataupun utang. Wanprestasi hanya timbul dari perikatan yang bersumber dari perjanjian, sedangkan utang bisa timbul dari perikatan yang bersumber dari undang-undang. Pernyataan tersebut juga dapat memberi celah bahwa dari sebuah perjanjian dapat mengakibatkan timbulnya wanprestasi dan juga utang.
Mengingat perjanjian
timbal balik bersifat saling menuntut tanggung jawab pelaksanaan prestasi atau tanggung jawab pemenuhan hak pihak lain sebagai dasar hak menerima prestasi, maka dalam kaitannya dengan persyaratan mengajukan permohonan pernyataan pailit menurut hukum kepailitan saat ini (UUKPKPU), masih harus di
119
sempurnakan lagi, agar simulasi tersebut diatas dapat diakomodir dalam penyempurnaan pengaturan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Memperhatikan ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, maka dengan demikian perjanjian yang telah ditandatangani oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat untuk ditaati oleh para pihak saja. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, bahwa persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, maka seandainya terjadi salah satu pihak yang mengadakan perjanjian tidak mematuhinya, maka pihak tersebut dinyatakan wanprestasi yang sudah tentu menimbulkan kerugian bagi pihak lawannya dan hukum mengatur mengatur sanksi atau hukuman terhadap pihak yang menimbulkan kerugian tersebut, diantaranya membayar ganti-rugi, pembatalan perjanjian, peralihan resiko dan atau membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Oleh karena perbuatan wanprestasi sudah tentu akan
menimbulkan
kerugian bagi pihak lawannya, maka salah satu sanksi yang harus ditanggung oleh pihak yang melakukan wanprestasi adalah membayar kerugian yang diderita oleh pihak lawan atau yang disebut sebagai kreditor.
120
Dalam hal inilah terletak celah bagi intervensi hukum kepailitan dalam hukum perjanjian, yaitu dalam hal utang yang tidak dibayarkan sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka dapat juga disebutkan sebagai wanprestasi, yang juga menimbulkan kerugian bagi pihak lawan, yaitu kreditor. Apabila utang pokok dan bunga tidak dibayarkan dan terus membengkak jumlahnya, maka hal tersebut potensial menimbulkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan wanprestasi sesuai bentuk dan jenisnya tidak dapat dipungkiri dapat menimbulkan kerugian materiil bagi kreditor.
pihak kreditor yang
dirugikan dapat menuntut ganti kerugian dengan mengacu pada ketentuan KUHPerdata.
Ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata dan seterusnya mengatur
ketentuan-ketentuan yang prinsipil mengenai ganti rugi yang dapat dituntut oleh kreditor dalam hal tidak dipenuhinya perikatan.214 Menurut ketentuan Pasal 1246 KUHPerdata ganti rugi yang dapat dituntut terdiri dari 2 faktor, yaitu:215 1.
Kerugian yang nyata-nyata diderita
2.
Keuntungan yang seharusnya diperoleh. Kedua faktor tersebut di atas dicakup dalam pengertian “biaya”, “rugi”,
dan “bunga”. Jadi dengan demikian, ganti rugi yang dapat dituntut dapat diperinci dalam tiga unsur, yaitu; “biaya”, “rugi”, dan “bunga”. Dalam menentukan besarnya kerugian harus diperhatikan:216 1) Obyektifitas, yaitu harus diteliti berapa kiranya jumlah kerugian seorang kreditor pada umumnya dalam keadaan yang sama seperti keadaan kreditor yang bersangkutan. 214
R. Setiawan, Op.Cit., h. 21. Ibid, h. 23. 216 R. Setiawan, Op.Cit, h. 23. 215
121
2) Keuntungan yang diperoleh kreditor disebabkan terjadinya ingkar janji dari debitor misalnya, karena penyerahan barang tidak dilaksanakan maka pembeli tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya untuk mengambil dan menyimpan barang. Yang diatur dalam KUHPerdata hanya mengenai kerugian yang bersifat materiil saja sedangkan kerugian immateriil tidak diatur. Biasanya kerugian immateriil ini timbul sehubungan dengan perbuatan/melawan hukum, akan tetapi dapat juga timbul karena ingkar janji. Mengenai perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena utang yang tidak dibayarkan, harus dipertegas dengan maksud memberikan pemisahan antara hukum perjanjian dan hukum kepailitan. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan utang yang tidak dibayarkan dalam tulisan ini adalah merupakan utang menurut hukum kepailitan. Berdasarkan pemaparan dalam Bab sebelumnya tentang konsep utang dalam hukum kepailitan, maka perbuatan tidak membayar utang yang menimbulkan kerugian pada pihak lain ini harus dipahami sebagai perbuatan yang tidak melakukan kewajibannya yang bersumber dari suatu kesepakatan dalam bidang bisnis, baik tertulis sebagai perjanjian ataupun telah diatur dalam Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, sehingga kerugian yang dialami oleh pihak kreditor, tentunya juga merupakan kerugian dibidang bisnis. Dengan tetap memperhatikan sifat hukum kepailitan sebagai Ultimum Remedium bagi permasalahan utang yang tidak dibayarkan, perbuatan tidak membayar utang ini terlebih dahulu perlu di klarifikasi secara jelas antara perbuatan tidak mau membayar utang dan tidak mampu membayar utang.
122
Perbuatan tidak mau membayar utang akan memberikan petunjuk yang jelas tentang adanya sengketa pembayaran. Dalam hal terjadinya sengketa, para pihak dapat mendalilkan hak dan dasar tindakannya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati ataupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur. Dalam hal setiap pihak wajib membuktikan dasar tindkaannya masing-masing, yaitu kreditor menuntut hak menerima pembayaran utang dan debitor bertahan tidak mau membayarkan utang tersebut, maka hukum kepailitan tidak memiliki komptensi yang tepat untku menyelesaikan permasalahan sengketa ini. Dasardasar yang bersumber pada nilai-nilai hukum perjanjian saja yang akan memberikan roadmap yang tepat bagi hakim untuk menyelesaikan permasalahan ini secara adil dan tepat, sehingga seharusnya permasalahan ini harus diselesaikan dengan mekanisme Hukum Perdata, yaitu mengajukan gugatan wanprestasi bila utang tersebut timbul dari perjanjian atau mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum bila utang tersebut timbul karena Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam persidangan secara perdata tersebut, maka sesuai dengan hukum acaranya yang berlaku, maka Hakim akan mendengarkan, memeriksa dan mempertimbangkan, baik gugatan dan eksepsi penggugat dan tergugat, serta bukti-bukti yang melandasi pengajuan gugatan dan penyampaian eksepsi oleh masing-masing pihak tersebut.
Dalam hal membang dan
memutuskan, Hakim akan berpedoaman pada ketentuan Perdata khususnya hukum perjanjian beserta nilai-nilai, dan asas-asasnya. Termasuk di dalamnya dalam hal mempertimbangkan penyampaian exceptio inadimpeti contractus oleh pihak tergugat dalam hal menyangkut perjanjian timbal balik. Pada akhirnya
123
Hakim akan memberikan keputusan dan kepastian terhadap status utang yang dipersengketakan tersebut. Menurut penulis, setelah status utang jelas menjadi wajib atau harus dibayarkan setelah melalui berbagai upaya hukum hingga mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka debitor berada pada kewajiban tanpa hak untuk tidak membayarkan utang tersebut. Pada tahap inilah apabila debitor tetap tidak mau membayarkan utang tersebut, kreditor dapat menempuh penyelesaian dengan mekanisme hukum kepailitan, atau dapat mengajukan sita jaminan terhadap harta debitor untuk pembayaran utang debitor tersebut. Namun ada juga kemungkinan sidang gugatan tersebut akan melahirkan putusan bahwa utang tersebut menjadi tidak perlu dibayarkan, karena misalnya, Penggugat telah wanprestasi terlebih dahulu. Apabila perbuatan tidak mau membayar utang tersebut serta merta diselesaikan dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor melalui mekanisme hukum kepailitan, maka seusai hukum acara yang berlaku dalam hukum kepailitan, bila peristiwa tidak mau membayar tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, mengenai eksistensi dari utang yang dimaksud, serta persyaratan adanya utang kepada lebih dari 2 (dua) kreditor, maka cenderung Hakim akan mengabulkan permohonan pernyataan pailit tersebut. Pernyataan Pailit atas debitor walaupun masih dapat di ajukan banding, akan mencederai rasa keadilan pada pihak debitor maupun kreditor-kreditor lainnya. Dalam hal inilah perlu diperhatikan pengaturan yang lebih jelas dan tegas terhadap persyaratan pengajuan permohonan pernyataan pailit.
124
Apabila perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut disebabkan karena
debitor
tidak
mampu
membayar
utangnya,
mengingat
kondisi
keuangannya atau usahanya mengalami kerugian besar bahkan hingga mengalami kebangkrutan,
maka
mekanisme
hukum
kepailitan
yang
tepat
untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Mekanisme hukum kepailitan menjadi pilihan tepat untuk menyelesaikan permasalahan dalam debitor tidak mampu membayar utangnya, karena mekanisme hukum perjanjian, tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut secara baik, karena dalam keadaan debitor telah mengalami kebangkrutan (absolute default), maka semua kreditor yang berkepentingan, akan melakukan segala upaya yang memungkinkan untuk mendapatkan pembayaran atas piutangpiutang mereka. Keadaan ini tidak dapat diatasi hanya dengan mendapatkan putusan pengadilan perdata atas satu atau beberapa utang, yang prosesnya pun akan berlangsung cukup lama, sementara kerugian pada pihak kreditor akan terus bertambah seiring dengan bertambah panjangnya antrian dan semakin lamanya proses persidangan menurut hukum acara perdata.
Bahkan dalam keadaan
demikian, kreditor yang semuanya merasa terancam tidak akan mendapatkan kembali semua hak-haknya secara penuh akan berlomba-lomba merebut harta kekayaan debitor yang masih tersisa, sehingga hal ini dapat mengancam keselamatan debitor itu sendiri. Mekanisme hukum kepailitan yang mengatur proses persidangan cepat dan dampak penetapan Pailit yang disertai aturan yang mengikat dan memaksa bagi semua kreditor untuk mengikuti proses pembagian harta debitor pailit, akan melindungi kepentingan semua kreditor termasuk juga
125
debitor itu sendiri. Kandungan unsur hukum publik yang bersifat memaksa dan mengatur secara umum, mengatur agar para kreditor menyerahkan mekanisme pengembalian hak-haknya kepada ketentuan dan prosedur yag berlaku dalam hukum kepailitan melalui para kurator yang ditunjuk oleh Pengadilamn Niaga, Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat di sajikan tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.1. Dasar Solusi Penyelesaian Hukum yang Tepat Keadaan keuangan debitor
Sikap debitor terhadap utangnya
Kemampuan membayar utang
Dasar Timbulnya kewajiban
Pihak kreditor yg dirugikan
Solusi Penyelesaian hukum yang tepat
Solvent
tidak mau membayar
mampu membayar
perjanjian
Hanya pihak kreditor dalam perjanjian
Melalui mekanisme Hukum Perjanjian (Perdata)
Insolvent
mau atau tidak mau membayar
tidak mampu membayar
Perjanjian dan UU
Semua kreditor dari debitor
Melalui mekanisme Hukum Kepailitan
Dalam ketentuan Pasal 1249 KUHPerdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun, dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi immateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditor dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian immateriil adalah suatu
126
kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.217 Dalam hukum Common Law, terdapat ketentuan yang bahwa jika terjadi wanprestasi (breach of contracht), maka kreditor dapat menggugat debitor untuk membayar ganti rugi (damages), dan bukan pemenuhan prestasi (performance). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dikarena oleh munculnya kebutuhan-kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang lebih umum, maka akhirnya dimungkinkan pemenuhannya berdasarkan equity, di samping legal remedy (ganti rugi), ada equitable remedy (pemenuhan prestasi). Di samping kedua gugatan tersebut, dalam hukum Anglo-Amerika tidak dibutuhkan suatu gugatan khusus untuk pembubaran karena dapat dilakukan repudiation (penolakan kontrak sejauh dimungkinkan) tanpa campur tangan hakim.218 Dari pemaparan tersebut, dapat disampaikan bahwa perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena wanprestasi terhadap perjanjian, merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sedangkan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena utang yang tidak dibayarkan, merupakan perbuatan yang tidak melakukan kewajibannya yang bersumber dari suatu kesepakatan dalam bidang bisnis, baik tertulis sebagai perjanjian ataupun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, mengingat wanprestasi hanya timbul dari perikatan yang bersumber dari perjanjian,
217
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut Salim H.S. I), h. 101. 218 Djasadin Saragih, 1993, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law, Makalah disajikan pada acara Workshop Comparative Contract, Kerjasama antara Elips Project dengan Fakultas hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 4 Desember 1993, h. 18.
127
sedangkan utang juga bisa timbul dari perikatan yang bersumber dari undangundang. Utang yang tidak dibayarkan menurut sudut pandang hukum kepailitan harus merupakan utang yang berkenaan dengan Bisnis yang tidak mampu di bayarkan oleh debitor karena telah mengalami kebangkrutan.
4.2. Letak
Pertanggung
Jawaban
Terjadinya
Wanprestasi
dalam
Perjanjian Timbal Balik dalam Hal Timbulnya Kerugian Para Pihak Perjanjian timbal balik menuntut agar para pihak saling melakukan atau memberikan prestasinya masing-masing sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Terjadi penetapan syarat-syarat yang menentukan dasar keharusan salah satu pihak melakukan prestasi atas apa yang diperjanjikan tersebut serta sekaligus syarat yang dapat menghapus perjanjian tersebut (syarat batal). Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing kedua belah pihak saling memiliki tanggung jawab untuk melakukan prestasi yang menjadi syarat untuk menerima prestasi dari pihak lawannya. Berkenaan dengan pertanggungjawaban dalam hal terjadi wanprestasi dalam perjanjian timbal balik, maka hal penting yang perlu dipahami adalah mengenai apa yang dimaksud dengan tanggungjawab dalam konteks wanprestasi yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, sumber timbulnya tanggung jawab tersebut. Tanggungjawab adalah suatu kata dalam Bahasa Indonesia yang sudah secara umum dipakai didalam masyarakat. Dikalangan para ahli hukum, baik praktisi maupun teoritisi untuk tanggungjawab diistilahkan “responsibility”
128
maupun “liability”.219 Pada umumnya setiap orang harus bertanggungjawab (aanspraklijk) atas perbuatannya. Oleh karena itu bertanggungjawab dalam pengertian hukum adalah keterkaitan.220 Dengan demikian tanggungjawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuanketentuan hukum. Bila tanggungjawab hukum ini hanya dibatasi pada Hukum Perdata saja, maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara mereka.221 Bila dilihat dari pengertian tanggungjawab hukum sebagaimana disebut di atas, maka tanggungjawab dalam tulisan ini adalah tanggungjawab kaitannya dengan wanprestasi, yang berhubungan hukum diantara para pihak sebelumnya. Dari hubungan hukum (kontraktual) itulah menimbulkan keterikatan untuk bertanggungjawab bagi pihak yang menimbulkan kerugian itu. Dalam Hukum Perdata dikenal dengan 2 (dua) macam bentuk pertanggungjawaban,
yaitu
pertanggungjawaban
kontraktual
(karena
ada
perjanjian) dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Rosa Agustina memberi penjelasan kedua untuk pertanggungjawaban dimaksud sebagai berikut; Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian, tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian, namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang
219
Agus M. Toar, Tanggungjawab Produk Selaras dan Perkembangannya, Makalah pada Kerjasama Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Denpasar, 3 – 14 Januari 1990, h. 1. 220 Veronika Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Dalam Profesi Dokter, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, h. 100. 221 Bernadette M. Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, h. 15.
129
dirugikan dapat menggugat pihak yang menimbulkan bertanggung jawab dengan dasar perbuatan melawan hukum.222
kerugian
Tanggung jawab dalam kaitannya dengan wanprestasi adalah tanggung jawab kontraktual, karena dasarnya ada hubungan hukum perjanjian diantara para pihak. Bila salah satu pihak melanggar perjanjian dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu wajib bertanggung jawab karena dipandang telah melakukan pelanggaran perjanjian (wanprestasi). Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalain, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajiban dalam kontrak.223 Jadi wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana debitor (pihak berhutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (over macht).224 Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut wanprestasi, dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi dengan dasar wanprestasi. Sementara pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain disebut perbuatan melawan hukum dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan dengan dasar perbuatan melawan hukum.225 Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para
222 223
Rosa Agustina, et.al, Op. Cit., h. 4. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, h.
110. 224
P.N.H. Simanjuntak, Loc. Cit. Rosa Agustina, et.al, Loc. Cit.
225
130
pihak dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menggugat ganti rugi dengan dalil wanprestasi. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada hubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung wanprestasi. Gugatan ganti rugi wanprestasi karena adanya hubungan kontraktual (privity of contract) antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.226 Dalam konteks ini Suharnoko memberikan pernyataan sebagai berikut; Menurut teori klasik yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum, tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss atau winstderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss.227 Bagi debitor yang melakukan wanprestasi, akibat hukumnya tidak hanya sebatas wajib membayar ganti rugi saja, tetapi juga mempunyai konsekuensi-
226
Suharnoko, 2007, Loc.Cit. Ibid.
227
131
konsekuensi hukum yang lainnya. Akibat hukum debitor melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut;228 1.
2. 3. 4.
Dia harus membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi (Vide Pasal 1243 KUHPerdata). Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran ganti rugi (Vide Pasal 1267 KUHPerdata). Dia harus menerima peralihan resiko sejak saat terjadinya wanprestasi (Vide Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata). Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di Pengadilan (Vide Pasal 181 ayat (1) HIR).
Selain itu menurut ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dalam kontrak timbal balik wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk memutuskan kontrak di Pengadilan, walaupun syarat putus mengenai tidak terpenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam kontrak. Jika syarat putus tidak dinyatakan dalam kontrak, maka Hakim di Pengadilan leluasa menurut keadaan atas tuntutan tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu kepada tergugat guna kesempatan melaksanakan kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari 1 (satu) bulan. Dalam hal debitor wanprestasi, maka pihak kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih dan mengajukan tuntutan haknya di Pengadilan berdasarkan ketentuan enumeratif dalam ketentuan Pasal 1267 Jo ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, yaitu: 229 1. 2. 3. 4. 228
Pelaksanaan kontrak Pelaksanaan kontrak disertai dengan ganti rugi Ganti kerugian saja Pemutusan kontrak
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak : Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktek Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung, h. 343. 229 Ibid.
132
5.
Pemutusan kontrak disertai dengan ganti rugi.
Memperhatikan bahwa dalam perjanjian timbal balik terjadi keterkaitan sebab dan akibat dari timbulnya pertanggung jawaban para pihak dalam melaksanakan prestasi, sehingga setiap pihak dalam perjanjian timbal balik senantiasa secara bergantian berkedudukan sebagai debitor dan kreditor, maka pertanggung jawaban tersebut dapat dihapuskan apabila prestasi pihak lawan yang merupakan syarat bagi dilaksanakannya suatu prestasi telah terlebih dahulu tidak dilaksanakan. Dari keadaan ini timbul sebuah doktrin pengajuan eksepsi yang dikenal sebagai Exeptio Inadimpleti Contractus, yaitu merupakan doktrin sebagai sarana pembelaan bagi debitor terhadap dalil gugatan kreditor, dimana tangkisan debitor tersebut isinya menyatakan bahwa kreditor juga tidak melaksanakan prestasi atau wanprestasi.230 Berkenaan dengan kasus yang ada, yaitu terkait perjanjian timbal balik berupa perjanjian Kerjasama antara TELKOMSEL dan PRIMA, maka menurut teori conditio sine qua non (teori-syarat), bahwa setiap peristiwa adalah penting dan menyebabkan terjadinya akibat.231
Maka tanpa adanya syarat itu, akibat
tersebut tidak akan muncul.232 Dengan memandang teori ini maka harus dipahami bahwa suatu kejadian yang merupakan akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang berhubungan.233 Dalam hal TELKOMSEL mengambil langkah tidak memproses Purchase Order No. PO/PJI-AK/VI/2012/000000 27 tertanggal 230
Agus Yudha Hernoko, 2011, hukum perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Konteks Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 269. 231 Djaja S. Meliala, Op.Cit., h. 177. 232 E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Loc.Cit. 233 Ibid., h. 125.
133
20 Juni 2012 serta No. PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, maka sesuai alur peristiwa yang terjadi, maka dapat diketahui bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindakan PRIMA yang belum melunasi order sebelumnya dan juga tidka memnuhi prestasi sebagai yang diperjanjikan dan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 6.4. PK TP, yaitu berkenaan PRIMA telah wanprestasi, maka TELKOMSEL dapat membatasi, mengurangi atau memberhentikan pasokan salah satu atau keseluruhan jenis Produk TELKOMSEL yang dijual atau dipasarkan oleh PRIMA.
Dengan demikian,
peristiwa tidak dipenuhinya PO tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang diawali dengan tidak dilunasinya order sebelumnya dan tidak dipenuhinya prestasi lain yang diperjanjikan dalam PT TP sehingga berdasarkan teori ini letak pertanggung jawaban hukumnya ada pada PRIMA. Sedangkan apabila memperhatikan Teori Adequate Veroorzaking, dapat disampaikan bahwa tindakan TELKOMSEL yang tidak memproses Purchase Order No. PO/PJI-AK/VI/2012/000000 27 tertanggal 20 Juni 2012 serta No. PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012 merupakan akibat langsung dari tindakan PRIMA yang tidak melunasi order sebelumnya dan tidak memenuhi sejumlah prestasi dalam PT TP. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, PRIMA belum dapat dinyatakan mengalami kerugian nyata, karena Purchase Order No. PO/PJI-AK/VI/2012/000000 27 tertanggal 20 Juni 2012 serta No. PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012 baru sebatas pesanan pembelian yang tidak disertai dengan penyerahan uang. Sedangkan justru dengan adanya tindakan PRIMA yang belum melunasi order sebelumnya, TELKOMSEL
134
yang secara nyata mengalami kerugian sehingga oleh karenanya berdasarkan etika bisnis, PRIMA tidak sepatutnya mengajukan kedua Purchase Order baru tersebut. Dengan demikian berdasarkan teori ini letak pertanggung jawaban hukumnya juga ada pada pihak PRIMA.
4.3. Akibat Hukum dari Wanprestasi Debitor terhadap Perjanjian dalam Hal Terjadi Keadaan Exceptio Inadimpleti Contractus Menurut Hukum Perjanjian dan Hukum Kepailitan Membahas tentang exceptio inadimpleti contractus dalam kaitannya dengan wanprestasi adalah berhubungan dengan pembelaan atau tangkisan dari pihak yang dituduh atau digugat telah melakukan wanprestasi. pihak
yang
digugat atau dituduh yang melakukan wanprestasi pada umumnya adalah debitor. Debitor yang dituduh telah melakukan wanprestasi dan dituntut untuk bertanggung jawab memberi ganti rugi, dapat membela diri dengan mengajukan 3 (tiga) macam pembelaan guna membebaskan diri dari tanggungjawab membayar ganti rugi, yaitu; 1. 2. 3.
234
Mengajukan pembelaan karena adanya keadaan memaksa (overmacht). Mengajukan pembelaan bahwa si kreditor sendiri juga telah melakukan wanprestasi (exception non adimpleti contractus). Mengajukan pembelaan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (Rechtsverwerking).234
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 76.
135
Ad. 1. Mengajukan Pembelaan Karena Adanya Keadaan Memaksa (Overmacht) Keadaan memaksa (overmacht) disebut juga dengan keadaan Force Majeure. Keadaan memaksa (overmacht) ini menyebabkan debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya. Menurut Munir Fuady; Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan dimana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitor, sementara si debitor tersebut tidak dalam keadaan beritikat buruk (Pasal 1244 KUHPerdata).235 Jika pihak si berhutang (debitor) berhasil dalam membuktikan adanya keadaan memaksa tersebut, maka tuntutan si berpiutang (kreditor) akan ditolak oleh Hakim dan si debitor luput dari penghukuman, baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar ganti kerugian.236 Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur) yang dipakai untuk mengajukan pembelaan ini, debitor berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.
235
Munir Fuady I, Loc. Cit. R. Subekti II, Op. Cit., h. 150.
236
136
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, soal keadaan memaksa itu diatur dalam ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245. Dua Pasal ini terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi, Dasar pikiran pembuat Undang-undang, ialah : Keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Kedua Pasal dimaksud selengkapnya menyatakan; Ketentuan Pasal 1244 berbunyi : “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada, pada pihaknya”. Ketentuan Pasal 1245 mengatakan : "Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu, kejadian yang tak disengaja, si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Berdasarkan kedua Pasal di atas, dapat diberikan penegasan, bahwa keadaan memaksa (overmacht atau force majeure) itu adalah suatu kejadian
yang
tidak
terduga,
tidak
sengaja,
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitor serta memaksa dalam arti debitor terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
137
Ad. 2. Mengajukan pembelaan bahwa si kreditor sendiri juga melakukan wanprestasi (exceptio inadimpleti contractus). Exeptio Inadimpleti Contractus adalah merupakan doktrin sebagai sarana pembelaan bagi debitor terhadap dalil gugatan kreditor, dimana tangkisan debitor
tersebut
isinya
menyatakan
bahwa
kreditor
juga
tidak
melaksanakan prestasi atau wanprestasi.237 Dengan pembelaan ini si debitor yang dituduh wanprestasi dan dituntut membayar ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditor sendiri juga tidak menepati janjinya atau wanprestasi. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu azas bahwa kedua belah pihak harus sama-sama melakukan kewajiban. Apabila suatu pembelaan debitor melalui exceptio inadimpleti contractus ini dapat dibuktikan adanya, maka pihak debitor dapat dibebaskan untuk membayar ganti rugi kepada kreditor. Hal ini tentu sangat adil dan tepat, karena masing-masing pihak sama-sama melakukan wanprestasi, sehingga tiada ganti rugi yang mesti harus dibayar. Ad.3. Mengajukan pembelaan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtverwerking). Seorang debitor yang dituduh melakukan wanprestasi, selain
dapat
membela dirinya dengan mengajukan alasan overmacht dan exceptio
237
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 269.
138
non adempleti contractus, juga dapat mengajukan "rechtsverwerking" (pelepasan hak).238 Rechtsverwerking (pelepasan hak) adalah sikap dari pihak kreditor baik berupa pernyataan secara tegas maupun hanya secara diam-diam bahwa ia tidak menuntut lagi terhadap debitor apa-apa yang merupakan haknya.239 Yang menjadi permasalahan di sini adalah, sikap kreditor yang bagaimanakah yang boleh disimpulkan debitor, bahwa kreditor benarbenar telah melepaskan haknya, dan sampai sejauh manakah kesimpulankesimpulan yang ditarik debitor itu dapat dibenarkan ? Sudah barang tentu permasalahan ini harus ditentukan secara kasuistis, setelah melihat proses pembuktian didepan sidang pengdilan yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Apabila debitor dapat membuktikan bahwa kreditor benarbenar telah melepaskan haknya, maka tuntutan ganti kerugian dan tuntutan-tuntutan lainnya yang diajukan kepadanya harus ditolak oleh hakim. Berdasarkan paparan di atas, maka salah satu pembelaan dari debitor yang dituduh melakukan wanprestasi adalah dengan mengajukan tangkisan yang disebut exceptio inadempleti contractus. Masalah pembelaan debitor ini yang menjadi fokus kajian untuk mendapatkan penjelasan secara lebih mendetail. Pada setiap perjanjian timbal-balik, hak dan kewajiban disatu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada asas bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus sama-sama 238 239
Riduan Syahrani, Op.Cit., h. 255. Ibid.
139
memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karenanya
adalah
tidak logis apabila salah satu pihak menuduh lalai (wanprestasi), terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri dalam keadaan lalai (wanprestasi).240 Prinsip sama-sama memenuhi kewajiban dalam perjanjian timbal-balik ini, pada perjanjian jual-beli misalnya ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa Si
penjual
tidak
diwajibkan
menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya sedang si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya.
Oleh
karena itu maka seseorang yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang disebut "exceptio inadimpleti contractus". Exceptio inadimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa
ia (debitor)
justru
oleh
tidak
rnelaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya
karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu
sebagaimana mestinya. Bilamana debitor selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat
dimintakan pertanggung-jawaban
apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu. Dasar hukum exceptio inadimpleti contractus tidak akan ditemukan dalam salah satu pasalpun dari undang-undang. Sebab exceptio inadimpleti contractus bersumber dari hukum yurisprudensi yakni keputusan "Mahkamah Agung RI tanggal 15 Mei 1957 No. 156 K/Sip/ 1955, yang menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953 PT. Perdata,
240
Ibid, h. 254.
140
yang telah menguatkan
keputusan
Pengadilan
Negeri Jakarta tanggal 29
September 1951 No. 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company (Java) Inc vs Oei Ho Liang (Oei Ho Liang Trading Company).241 Tuntutan dari penggugat PT. Pan Pacific Oil Company (Java) Inc selaku pembeli dalam perjanjian jual-beli karet agar tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual-beli karet itu melaksanakan kewajibannya yakni melever sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat, ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, tidak membayar harga pembelian karet itu tepat pada waktunya. Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta yang memeriksa dan memutuskan perkara itu dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata. Ketika debitor melakukan tangkisan atau pembelaan atas tuduhan wanprestasi dengan exceptio Inadimpleti, maka apabila hal ini dapat dibuktikan di depan hakim hal itu benar adanya, maka tentu menimbulkan akibat hukum, akibat hukum dalam bidang keperdataan terkait dengan adanya tuntutan wanprestasi dari kreditor terhadap debitor tersebut. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum, atau suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum.242 Suatu contoh misalnya: timbulnya hak dan kewajiban si pembeli dan si penjual dalam 241 242
Santoso Poedjosoebroto, 1964, Yurisprudensi Indonesia, Jambatan, Jakarta, h. 201. Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 86.
141
perjanjian jual beli adalah karena adanya hubungan hukum jual beli antara para pihak (penjual dan pembeli). Akibat hukum yang terjadi karena perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum, segala akibat perjanjian yang telah diadakan oleh para pihak tertentu mengenai hal tertentu, maka telah lahir suatu akibat hukum yang melahirkan lebih jauh segala hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para subyek hukum yang bersangkutan untuk menepati isi perjanjian tersebut.243 Apabila dikaitkan dengan akibat hukum wanprestasinya debitor dan kemudian yang bersangkutan menangkisnya dengan pembelaan dalam bentuk exceptio inadimpleti contractus, maka apabila hal itu dapat dibuktikan benar adanya, selanjutnya akibat hukumnya pihak debitor dibebaskan untuk membayar ganti rugi sebagaimana dituntut kreditor, karena masing-masing pihak baik debitor maupun kreditor sama-sama melakukan wanprestasi. Ketika pembelaan dengan alas an exceptio inadimpleti contractus bisa dibuktikan, maka hakim sudah seadilnya memberi putusan sebagai berikut : 1.
Menerima dalil tangkisan debitor dengan alas an exceptio inadimpleti contractus tersebut.
2.
Menolak tuntutan ganti rugi terhadap wanprestasinya debitor.
3.
Membebaskan debitor yang dituduh wanprestasi itu untuk membayar ganti rugi.
243
Ibid, h. 87.
142
Doktrin atau ajaran exceptio Inadempleti tidak hanya tepat diterapkan dalam perjanjian/kontrak jual beli dan tukar menukar, melainkan juga dalam perjanjian/kontrak lainnya.244 Berkaitan dengan hal itu sesungguhnya dalam konteks exceptio inadimpleti contractus, baik kreditor maupun debitor berhubungan dengan dimana masing-masing pihak sama-sama melakukan wanprestasi (tidak memenuhi prestasi). Pada akhirnya nanti hakim yang akan memutuskan berdasarkan buktibukti yang ada tentang keadaan wanprestasi tersebut, sehingga debitor yang dituduh wanprestasi bisa dibebaskan untuk membayar ganti rugi. Dengan tidak adanya ketentuan dalam KUHPerdata yang mengatur masalah exceptio inadimpleti contractus ini, maka bukan berarti perkara tentang tangkisan/pembelaan debitor ini tidak dapat diajukan kepada hakim di pengadilan. Apabila ada perkara yang demikian masuk ke pengadilan, hakim wajib untuk menyelesaikannya dengan mengacu pada doktrin dan yurisprudensi serta prinsipprinsip dan azas-azas hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Bercermin pada kasus dipailitkannya TELKOMSEL, yang semula dasarnya adalah adanya perjanjian kerjasama, maka didalamnya tentu ada klausulklausul atau syarat-syarat perjanjian yang wajib dipatuhi oleh para pihak. Ketika TELKOMSEL menolak memenuhi prestasi dengan alasan pihak PRIMA juga tidak memenuhi prestasi atau wanprestasi (exceptio inadimpleti contractus), maka penyelesaiannya lebih tepat berdasarkan pada hukum perjanjian.
244
Van der Burght, Op.Cit., h. 161.
143
Apabila diselesaikan melalui mekanisme kepailitan (berdasarkan hukum kepailitan), tentu hasilnya sudah bisa ditebak, dimana syarat-syarat kepailitan yang ada didalam UUKPKPU akan sepenuhnya dijadikan sebagai dasar hukum formal. Apabila persyaratan formal sudah dipenuhi, maka sudah dapat diputus dan dinyatakan
pailit.
Dalam
hukum
kepailitan
(UUKPKPU)
tidak
mempertimbangkan aspek-aspek perikatan (perjanjian), apalagi menyangkut exceptio inadimpleti contractus. Syarat-syarat untuk mengajukan debitor pailit, cukup dipenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUKPKPU yang menyatakan; Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak melunasi sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kediturnya.245 Apabila syarat-syarat sudah terpenuhi, hakim menyatakan pailit, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan “judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus perdata umumnya, walaupun “limited defence” masih dibenarkan, mengingat dalam hukum kepailitan berlaku prosedur pembuktian sumir (ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUKPKPU). Ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUKPKPU menyatakan bahwa permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan paiilit sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi. Terbukti secara sederhana mengandung arti;
245
Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,hal. 4.
144
Bahwa debitor mempunyai lebih dari satu kreditor dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih, tetapi debitor tidak/belum membayar utangnya tersebut. Jadi tidak perlu ditagih terlebih dhaulu seperti pada keadaan berhenti membayar yang lazimnya diartikan bahwa kreditor harus terlebih dahulu menagih piutang yang sudah jatuh waktu dan ternyata debitor meskipun sudah ditagih, tetap tidak membayar.246 Jika diperhatikan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUKPKPU tersebut, sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian sederhana mengenai:247 1.
Eksistensi dari suatu utang debitor yang dimohonkan kepailitan, yang telah jatuh tempo.
2.
Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan kepailitan. Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa akibat hukum dari
wanprestasi salah satu pihak terhadap sebuah perjanjian timbal balik dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut hukum perjanjian akan berbeda apabila menurut hukum kepailitan.
Dalam hukum perjanjian akibat
hukum hanya bersifat memulihkan keseimbangan hak-hak dan kewajibankewajiban para pihak yang membuat perjanjian.
Selain itu doktrin exceptio
inadimpleti contractus akan menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian sengketa, sehingga pertanggungjawaban atas wanprestasi dalam perjanjian timbal balik akan diselesaikan secara lebih adil sesuai dengan sumber permasalahannya sendiri, yaitu perjanjian yang bersifat timbal balik tersebut. Sedangkan akibat hukum dalam hukum kepailitan jauh lebih luas, karena sifat Ultimum Remedium246
Imran Nating, 2004, Peranan dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23. 247 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Loc. Cit.
145
nya memaksa terhentinya hubungan debitor secara langsung dengan semua kreditornya disertai dengan pengambil alihan seluruh harta kekayaan debitor untuk selanjutnya dikelola oleh kurator, tanpa mempertimbangkan doktrin exceptio inadimpleti contractus, karena dalam Hukum acara hukum kepailitan tidak diatur tentang pengajuan doktrin exceptio inadimpleti contractus ini.. untuk selanjutnya dikelola oleh kurator, tanpa mempertimbangkan doktrin exceptio inadimpleti contractus, karena dalam Hukum acara hukum kepailitan tidak diatur tentang pengajuan doktrin exceptio inadimpleti contractus ini.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Tidak semua konsep wanprestasi pada hukum perjanjian dapat sepenuhnya diaplikasikan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, yaitu bahwa Tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi dibidang kegiatan bisnis (utang dagang). Bahwa wanprestasi ditentukan dari adanya perjanjian, tanpa memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis serta bahwa wanprestasi hanya dipertanggungjawabkan kepada kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan penyelesaiannya akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga.
2.
Akibat hukum dari wanprestasi debitor terhadap perjanjian dalam hal terjadi keadaan exceptio inadimpleti contractus menurut Hukum Perjanjian & Hukum Kepailitan akan berbeda. Permasalahan wanprestasi keadaan exceptio
146
147
inadimpleti contractus ini lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian.
Karena dalam hukum perjanjian akibat hukum bersifat
memulihkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang membuat perjanjian dan doktrin exceptio inadimpleti contractus akan menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian permasalahan, sehingga pertanggungjawaban atas wanprestasi tersebut akan diselesaikan secara lebih adil.
Sedangkan akibat hukum dalam hukum kepailitan jauh lebih luas,
karena sifatnya seba ultimum remedium memaksa terhentinya hubungan debitor secara langsung dengan semua kreditornya disertai dengan pengambil alihan seluruh harta kekayaan debitor untuk selanjutnya dikelola oleh kurator, tanpa mempertimbangkan doktrin exceptio inadimpleti contractus, karena dalam Hukum acara hukum kepailitan tidak diatur tentang pengajuan doktrin exceptio inadimpleti contractus ini.
5.2. Saran Berdasarkan pemaparan dalam tesis ini, akhirnya disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Berkenaan dengan biasnya pemahaman utang dalam Pasal 1 angka (6) UUKPKPU serta rancunya pengaturan antara debitor yang tidak mau atau yang tidak mampu membayar utang dalam Pasal 2 ayat 1 UUKPKPU, maka ketentuan tersebut perlu direvisi untuk dipertajam agar memperjelas perkaraperkara mana saja yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum kepailitan, dengan memperhatikan bahwa hukum kepailitan sebagai ultimum
148
remedium dalam permasalahan kebangkrutan serta pengaturan bahwa keadaan exceptio inadimpleti contractus, menjadi pengecualian bagi persyaratan permohonan pernyataan pailit. 2.
Berkenaan dengan keadaan yang disebut exceptio inadimpleti contractus, perlu dibuatkan ketentuan yang mendasari sebagai payung hukum dalam penerapannya, mengingat seringkali terjadi kasus-kasus sengketa dalam perjanjian yang berkenaan dengan keadaan ini, yaitu keadaan yang akhirnya memaksa seorang debitor untuk bertindak wanprestasi karena pihak lawannya (kreditor) telah terlebih dahulu wanprestasi.
3.
Penerapan hukum seharusnya melindungi hak-hak dan kewajiban setiap subjek hukum sehingga dalam hal satu hukum tertentu diterapkan, seharusnya hukum tersebut hanya berdampak efektif, memperbaiki, membenahi dan menghukum pihak-pihak yang bermasalah saja tanpa membentur atau mengganggu hak-hak dan kewajiban subjek hukum lain yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan apapun.
.
DAFTAR PUSTAKA
I.
BUKU Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Achmad Busro, 1985, Hukum Perikatan, Oetama, Semarang. Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor. Agus Yudha Hernoko, 2011, HukumPerjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Konteks Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ahmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence);Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. 1 Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan;Penjelasan makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, Rajawali Pers, Jakarta.
xxiii
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafimdo Persada, Jakarta. Andriani Nurdin, 2012, Kepailitan BUMN Persero; Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, Alumni, Bandung. Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Bernadette M. Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung. Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pusat Bahasa, Edisi keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung. E. Sumaryono, 2002, Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta. E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta. Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, 2005, Undang – undang Kepailitan dan Perkembangannya : Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas
xxiv
Masalah – masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya tahun 2004, Cetakan 2, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta. Epstein et al. 1993, Bankruptcy, St. Paul, West Publishing Co., Minnesota. Fockema Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Bina Cipta. Frans Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta. Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law & State, Transaction Publishers, New Brunswick (U.S.A) and London (UK). Henry Campbell Black, 2009, Black's Law Dictionary, ninth edition, West Publishing Co, St. Paul. Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Imran Nating, 2004, Peranan dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo kPersada, Jakarta. Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2011, Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. J. Satrio, 2012, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurispridensi, Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1993, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung.
xxv
, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari UndangUndang, Bagian pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung. J. Supranto, 2003, Metode penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta. J.B. Huizink, 2004, Insolventie, Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta. Kartini Mulyadi, 2007, Hukum Kepailitan, Putra Grafika, Jakarta. L.J. Van Apeldoorn, 2004, Pengantar ilmu Hukum, cetakan ke-30, Pradnya Paramita, Jakarta. Lukman Santoso Az, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak; Teknis Pembuatan Dan Contoh-Contohnya, Cakrawala, Yogyakarta.
xxvi
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung. Mariam Darus Badrulzaman, 1989, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak : Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktek Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung. Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1999, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung. Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta. Oliver Wendell Holmes Jr., 2009, The Path of The Law, The Floating Press Limited, Auckland, New Zealand. P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.
xxvii
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis Dan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Purwahid Patrik dan Kashadi, 1998, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), Mandar Maju, Bandung. , 1988, Hukum Perdata II (Perikatan yang lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang), Jilid I, Jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Bardin, Bandung. R. Soeroso, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. R. Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. , 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-31, Inter Masa, Jakarta. , 1999, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta. Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
xxviii
Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak; Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta.236; lihat juga Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung. Riduan Syahrani, 2000, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara, edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Robert L. Jordan, et.al., 1999, Bankruptcy, Foundation Press, New York. Ronald Dworkin, 1990, Essays in Epistemology Hermeneutics and Jurisprudence, dalam Patrick Nerhot, 1990, Law Interpretation and Reality, Kluwer Academic Publisher, AA Dordrecht Netherlands. Rosa Agustina, et.al, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Pustaka Larasan, Bali. Rudhy A.
Lontoh, et.al., 2001, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , Alumni, Bandung. Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. , 2006, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
xxix
, 2002, Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, Rajawali, Mataram. Santoso Poedjosoebroto, 1964, Yurisprudensi Indonesia, Jambatan, Jakarta. Siti Anisah, 2008, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta. Siti Soemaryati Hartono, 1981, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberti, Yogyakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Perdata: Hukum benda, Liberty, Yogyakarta. ,
1980,
Hukum
Perdata-Hukum
Perutangan, Bagian A, Seksi Hukum Perdata UGM, Yogyakarta. Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. , 1999, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta. Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian; Teori Dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan: Memahami UndangUndang No.
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta.
xxx
Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung. Van der Burght, Freddy Tengker (penyadur), Wila Chandrawila Supriadi (Editor), 2012, Buku Tentang Perikatan; Dalam Teori Dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung. Veronika Komalawati, 1989, Hukum dan Etika Dalam Profesi Dokter, Pustaka Sinar harapan, Jakarta. Victor Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang PersetujuanPersetujuan Tertentu, Sumur, Bandung. Zainal Asikin, 1994, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
II. MAKALAH Agus M. Toar, Tanggungjawab Produk Selaras
dan Perkembangannya,
Makalah pada Kerjasama Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Denpasar, 3 – 14 Januari 1990. Djasadin Saragih, 1993, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law, Makalah disajikan pada acara Workshop Comparative Contract, Kerjasama antara Elips Project dengan Fakultas hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 4 Desember 1993.
xxxi
I Gusti Ketut Ariawan, 2011, hand out matrikulasi, “Metode Penelitian Hukum” Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
III. JURNAL Sri Redjeki Hartono, 1999, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.
IV. BAHAN INTERNET J. Satrio, 2010, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapasegi-hukum-tentang-somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio-
V. BAHAN HUKUM PRIMER Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S. 1847-23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor: 131 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor: 4443 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara
xxxii
Republik Indonesia Tahun 2011 nomor: 82 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor: 5234 Putusan
Pernyataan
Pailit
Pengadilan
Niaga
Jakarta
Pusat
No.
48/PAILIT/2012/PN.Niaga Jkt.Pst., tanggal 14 September 2012. Putusan Kasasi MA nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 pada tanggal 21 November 2012.
xxxiii