PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DI RUANG ANGGREK I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
NUR WAHYU UTAMI NIM. P11 044
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUDASA SURAKARTA 2014 i
PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG ANGGREK I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Progam Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
NUR WAHYU UTAMI NIM. P11 044
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUDASA SURAKARTA 2014
i
ii
SURAT PERYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama
: Nur Wahyu Utami
NIM
: P11 044
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul Karya Tulis
: PEMBERIAN
DIAFRAGMATIC
BREATHING
EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapan dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, Yang Membuat Pernyataan
Nur Wahyu Utami NIM. P11 044
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
KaryaTulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama
: Nur Wahyu Utami
NIM
: P.11 044
Program Studi
: DIII KEPERAWATAN
Judul
:PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN
Ny.
D
DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Hari/Tanggal :
Pembimbing : Amalia Agustin, Skep., Ns., NIK.201289111
(
)
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama
: Nur wahyu Utami
NIM
: P.11 044
Program Studi : DIII KEPERAWATAN Judul
:PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE
TERHADAP
PENURUNAN
SESAK
NAFAS
PADA
ASUHAN
KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan
: Surakarta
Hari/Tanggal : Senin, 19 mei 2014
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Amalia Agustin, Skep., Ns.
(
)
(
)
(
)
NIK.201289111 penguji I
:Atiek Murharyati, Kep. Ns., M.Kep NIK. 200680021
Penguji II
:Alfyana Nadya R, S,Kep.,Ns., M.Kep NIK. 201086057
Mengetahui, Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta
Atiek Murharyati, S.Kep,. Ns., M. Kep NIK. 200680021
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1.
Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan sekaligus penguji I yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2.
Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3.
Amalia Agustin, S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
4.
Alfyana Nadya R, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji II yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, v
5.
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempuranya Karya Tulis Ilmiah ini.
6.
Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
7.
Kedua orang tuaku yang tercinta, yang selalu menjadi inspirasi, motivasi dan memberikan semangat lahir maupun batin untuk menyelesaikan pendidikan.
8.
Teman-teman seperjuangan mahasiswa program studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma Husada dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberi kandukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Aamiin Surakarta, Mei 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...............................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME.............................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN.....................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................
iv
KATA PENGANTAR..............................................................................
v
DAFTAR ISI......................... ...................................................................
vii
DAFTAR TABEL.....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...............................................................................
1
B. Tujuan Penulisan............................................................................. 5 C. Manfaat Penulisan........................................................................... 6 BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar PPOK......................................................................
8
B. Asuhan Keperawatan...................................................................... 24 C. Sesak Nafas....................................................................................
33
D. Pernapasan Diafragma.................................................................... 37 BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien
....................................................................
vii
43
B. Pengkajian.....................................................................................
43
C. Masalah keperawatan...................................................................
52
D. Perencanaan keperawatan.............................................................
54
E. Implementasi................................................................................
56
F. Evaluasi keperawatan....................................................................
60
BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian.....................................................................................
64
B. Diagnosa Keperawatan.................................................................
71
C. Intervensi Keperawatan................................................................
75
D. Implementasi Keperawatan...........................................................
80
E. Evaluasi Keperawatan ...................................................................
86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.............................................................................
92
B. Saran.......................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4.
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4
......................................................................... ......................................................................... ......................................................................... .........................................................................
ix
Halaman 14 22 34 41
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 3.1 Genogram ....................................................................... 45
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Log Book 2. Lampiran 2 : Format Pendelegasian 3. Lampiran 3 : Lembar Konsultasi 4. Lampiran 4 : Asuhan Keperawatan 5. Lampiran 5: Standart Operasional Prosedur latihan pernafasan diafragmtic 6. Lampiran 6 : Daftar Riwayat Hidup
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Penyakit paru obstruksi kronik/Cronik Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utama. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk suatu kesatuan yang disebut COPD. Penyakit diatas memiliki perbedaan yang mendasar yaitu: bronkitis kronik di definisikan menurut gejala klinisnya, emfisema paru menurut patologi anatominya, sedangkan asma menurut patologi klinisnya (Price dan Wilson, 2006:783). Menurut WHO (2007) dalam Suradi (2007:03) PPOK membunuh seorang manusia setiap sepuluh detik. PPOK juga merupakan salah satu penyebab kematian yang bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati tangga ke-4 atau ke-5 setelah penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, dan infeksi akut saluran pernapasan. Laporan terbaru sebanyak 210 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2005, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab ke-3 kematian di seluruh dunia. Dikatakan 80-90% kematian pada penderita PPOK berhubungan dengan merokok. WHO menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan
1
2
emfisema diakibatkan oleh rokok. Dilaporkan perokok mencapai angka 45% lebih berisiko untuk terkena PPOK dibanding yang bukan perokok, tetapi kemungkinan perokok pasif berisiko tinggi, terutama pada anak-anak dan individu yang terpapar. Diperkirakan perokok pasif dapat meningkatkan risiko PPOK pada orang dewasa sebanyak 10 - 43% (Brashers, 2007 : 85). Menurut Regional COPD Working Group jumlah kasus PPOK di Asia adalah tiga kali lipat jumlah kasus di negara-negara lain di dunia. Di negaranegara yang sedang berkembang, perilaku merokok semakin bertambah sekitar 3.4% setiap tahun. Menurut WHO, bagian Pasifik Barat, yang meliputi Asia Timur dan Pasifik, adalah bagian yang tercatat dengan angka merokok tertinggi. Sekitar 80,000 hingga 100,000 anak-anak di seluruh dunia merokok setiap hari dan hampir sebagiannya adalah dari Asia. Data di dapatkan dari induvidu berumur 30 tahun ke atas di 12 buah negara Asia (Ikawati, 2007:66). Menurut Depkes RI (2004) dalam Suradi (2007:02), survei di lima rumah sakit propinsi di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%). Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan telah menyebabkan 70% kematian akibat penyakit paru kronik dan emfisema. Dari data RSUD Dr. Moewardi Surakarta di dapatkan pasien PPOK yang rawat inap berjumlah 608 dan presentasi yang paling banyak adalah pada usia 65 keatas yaitu
3
dengan jumlah 404, sedang pasien dengan rawat jalan berjumlah 514 dan yang paling banyak umur 65 keatas dengan jumlah 332. Masalah yang sering muncul pada kasus PPOK antara lain batuk produksi sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja akan tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor. Salah satunya sesak nafas yang dialami oleh pasien PPOK akan membatasi penurunan aktivitas (Tarwoto dan Watonah, 2010 :39). Sesak nafas atau Dispnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal. Tanda dan gejala meliputi adanya gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark miokard. Gejala yang menyertai yaitu nyeri dada yang di sertai dengan sesak, batuk yang disertai sesak, demam yang menggigil mendukung adanya suatu infeksi, dan hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskuler. Gejala yang berasal dari keadaan lingkungan adalah alergen seperti serbuk, debu, asap, bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan nafas, dan obat-obat yang dimakan dan yang diinjeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan rasa sesak. Rasa sesak itu sendiri dapat di kurangi salah satunya dengan melakukan latihan pernapasan diafragma (Sudoyo, 2010:2189).
4
Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010:4), teknik relaksasi pernapasan diafragma adalah suatu proses pernapasan secara konsentrasi merasakan udara masuk melalui hidung kedalam tubuh kemudian keluarkan dari mulut yang dilakukan dengan posisi nyaman dan berbaring dengan relaks dan menutup mata, serta melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. Pernapasan diafragma ini memerlukan konsentrasi dan keyakinan yang memusatkan perhatian hanya dengan pernapasan. Menurut Windarti (2011:03), pemberian teknik diafragmatic breathing exercise mampu meningkatan kualitas hidup penderita asma. Kualitas hidup dalam penelitian ini dihubungkan dengan timbulnya gejala episodeik pada pasien asma yang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batukbatuk terutama malam atau dini hari. Diafragmatic breathing exercise diberikan pada 7 responden selama 1 bulan dan hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan hidup pada pasien asma. Menurut Holloways, Ram (2004) dalam jurnal Windarti (2011:03), latihan pernapasan diafragma bertujuan untuk melatih cara bernafas dengan benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan serta meningkatkan sirkulasi. Pada penderita PPOK latihan ini di tujukan untuk memperbaiki fungsi pernapasan, juga bertujuan melatih penderita mengatur pernapasan jika terasa serangan sesak nafas yang mendadak. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan penulis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penulis menemukan kasus Penyakit paru obstruktsi kronik ( PPOK ) yang terjadi pada Ny. D dengan tanda dan gejala sesak
5
nafas, batuk, sesak nafas saat posisi terlentang, ekspirasi memanjang, tampak menggunakan alat bantu pernafasan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul “pemberian diafragmatic breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
B. Tujuan Penulisan 1.
Tujuan Umum Melaporkan “pemberian diafragmatic breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
2.
Tujuan Khusus a.
Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
b.
Penulisan mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
c.
Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
d.
Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
6
e.
Penulis mampu melalukan evaluasi pada Ny. d dengan penyakit paru obstruksi paru (PPOK)
f.
Penulis mampu menganalisa hasil pengaruh pemberian diaframatic breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.”
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien yang mengalami penyakit paru obstruksi kronik dan sebagai pertimbangan perawat dalam mendiagnosa kasus sehingga perawat mampu memberikan tindakan yang tepat kepada klien. 2. Bagi instansi pendidikan Memberikan kontribusi laporan kasus bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang atau profesi keperawatan. 3. Bagi pembaca Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dalam penanganan nyeri penyakit paru obstruksi kronik. 4. Bagi Penulis Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
7
menambah pengetahuan dan memperoleh pengalaman khususnya dibidang keperawatan Medikal Bedah.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar PPOK 1. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru dan asma bronkial membentuk kesatuan yang di sebut COPD (Price dan wilson, 2005:784) Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit di karakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya, sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya, dua gangguan yang terjadi pada PPOK yaitu bronkitis kronis dan emfisema paru (Ikawati, 2007:65). Penyakit paru obstruksi kronik merupakan kelompok kelainan yang gambaran klinisnya berupa obstruksi aliran udara pernafasan, kelainannya obstruksi yang utama adalah penyakit paru obstruksi kronik (COPD; chronic obstructive pulmonary disease) yang meliputi emfisema serta bronkitis kronis, penyakit asma dan bronkiektasis. Obstruksi aliran udara pernafasan dapat berasal dari tempat mana pun dalam percabangan
8
9
traktus respiratorius mulai dari bronkiolus hingga cabang brongkus yang utama, semuanya ini menyebabkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang menurun secara nyata, kapasitas vital paksa (FVC) yang normal atau menurun, dan dengan demikian rasio FEV1 : FVC akan berkurang. Keadaan ini merupakan tanda utama penyakit paru obstruksi (Kendall, 2013:96). 2. Etiologi Menurut Ikawati (2007:65), ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang di bedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain: a.
Merokok Merokok merupakan penyebab utama terjadi PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90 % kasus dan kurang lebih 1520% akan mengalami kematian. Kematian akibat PPOK terkait dengan rokok yang dihisap, namun tidak semua PPOK adalah perokok, 10 % orang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK contohnya perokok pasif.
b.
Pekerjaan Karena pekerjaan erat dengan unsur alergi dan hiperreaktivitas brokus, dan umunya para pekerja di batu bara atau tambang emas,
10
indrustri gelas dan keramik, mempunyai resiko yang lebih besar karena paparn debu. c.
Polusi udara Di sebabkan asap dapur, asap pabrik yang makin memperburuk PPOK. Terutama yang tinggal di kota yang resikonya lebih tinggi.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host a.
Usia Semakin tua semakin beriko terkena PPOK, pada pasien diagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan menderita gangguan genetikberupa defisiensi α1 antitripsin. defisiensi α1 antitripsin merupakan senyawa protein atau polipeptida yang dapat diperoleh dari darah atau cairan bronkus. Defisiensi α1 antitripsin yang ditemukan pada keluarga yang menderita emfisema yang munculnya terlalu dini dan pada kelompok keluarga ini ditemukan defisiensi Alfa – 1 Antitripsin (AAT). Defisiensi AAT adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif.
b.
Jenis kelamin Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita, dikarenakan laki-laki terkait dengan kebiasaan merokok. Dan menjadi perokok aktif dan prevenlasi PPOK pada laki-laki 10-15% dan pada wanita 15% dengan sex ratio 3-10:1.
11
c.
Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi Adanya gangguan fungsi paru yang merupakan faktor resiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulin a (Ig A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu yang mengalami penurunan fungsi paru lebih besar sejalan dengan waktu dari pada yang fungsinya normal.
d.
Presdiposisi genetik, yaitu difisiensi a1 antritipsin (AAT) Difisiensi AAT ini terutama dikaitkandengan emfisema, yang di sebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena ketidakseimbangan jaringan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
3. Tanda dan Gejala a.
Menurut Williams dan Wilkins, (2011:125), tanda dan Gejala pada PPOK: 1) Batuk produktif 2) Dispnea saat beraktivitas 3) Sering mengalami traktus respiratorik 4) Hipoksemia intermiten atau terus-menerus 5) Studi fungsi pulmoner yang abnormal secara kasat mata 6) Bentuk tingkat atas: deformitas thoraks, ketidak mampuan yang sangat parah, gagal respiratorik parah, dan kematian
12
b.
Menurut Ikawati (2007:67) Tanda dan gejala PPOK 1)
Smoker’s cough (batuk khas perokok), biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin, kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.
2)
Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi infeksi.
3)
Dipsnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan.
c.
Menurut Aziz dkk (2006 : 05): a.
Keluhan: sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko, PPOK ringan tanpa keluhan dan gejala.
b.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi : Pernafasan Pursed Lips, takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, eksirasi memanjang, ronki kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas.
c.
Diagnose pasti dengan uji spirometri a) FEV1 /FVC < 70% b) Uji bronkodilator FEV1 pasca bronkodilator < 80% prediksi.
13
4. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis Menurut Ikawati, (2007 :71-72) Klasifikasi PPOK di bedakan menjadi dua yaitu: a.
Berdasarkan
tandanya,
penyakit
PPOKdapat
diklasifikasikan
menjadi2 golongan, yaitu: 1) Tipe A yang didominasi oleh emfisema, disebut juga dengan pink puffer. 2) Tipe B yang didominasi oleh bronkitis kronis di sebut blue bloaters. Karakteristik tipe emfisema atau pink puffer: a) Pasien emfisema biasanya lebih tua dari pada bronkitis kronis, keluhan utamanya dipsnea, termasuk dalam keadaan istirahat, dengan batuk yang jarang. b) Pasien bernafas cepat (takipnea). c) Pasien akan terlihat lemah dan bibir mengatup dalam usaha untuk mengkompensasi kurangnya elastisitas pengempisan dan mengeluarkan sejumlah besar udara. b.
Karakteristik tipe bronkitis kronis atau blue bloaters: 1) Biasanya pasien obesitas, mempunyai riwayat batuk produktif, adanya peningkatan dipsnea 2) Pasien yang mengalami blue bloaters cenderung menahan karbon dioksida akibat penurunan respon pusat pernafasan terhadap hipoksemia dan terjadi hiperkarbia
14
3) Terdapat edema perifer akibat cor pulmonale 4) Diameter anteroposterior dada meningkat 5) Pada kronik hipoksemia terjadi sianosis pada bibir, mukosa membran, dan ekstremitas. c.
Menurut GOLD, (2005) dalam Ikawati, (2007:73) tingkat keparahan PPOK berdasarakan nilai FEV1, dan gejala Tingkat 0 berisiko
I ringan
II sedang III berat
IV berat
sangat
Nilai FEV1, dan gejala Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dipsnea. Ada faktor resiko lain (rokok, polusi), spirometri, normal. FEV1/FVC < 70% ? 80%, dan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini pasien biasanya belum merasa parunya bermasalah. FEV1/ FVC < 70% ; 50% , FEV1< 80%, gejala biasanya mulai progresif/ memburuk\, dengan nafas pendek. FEV1 / FVC < 70%; 30% < FEV1< 50%. Terjadi eksaserbasi berulang yang dimulai mempengaruhi hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai sesak nafas atau serangan penyakit. FEV1 /FVC ,70% ; FEV1 , 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika FEV1> 30% tapi mengalami kegagagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Tabel 2.1 Tingkat keparahan
5. Pemeriksaan Diagnostik a.
Menurut Sudoyo (2010:2189), pemeriksaan Diagnostik pada PPOK antara lain: 1) Tes fungsi paru PEF < 100L/ menit atau FEV1 < 1 L mengindikasikan adanya ekserbasi yang parah. 2) Pemeriksaan analisis gas darah a) PaO2< 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau SaO2< 90% dengan atau tanpa PaCO2< 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.
15
b) PaO2< 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2> 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa perlu dilakukan monitor ketat serta penangan intensif. 3) Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG dapat membantu penegakan diagnosis hipertrofi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia. 4) Kultur dan sensitivitas kuman Untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman terhadap
antibiotik
yang dipakai,
pemeriksaan ini
juga
diperlukan jika adanya respon terhadap antibiotik yang di pakai sebagai pengobatan pada pemulaan penyakit. b.
Menurut Murwani (2012: 25), pemeriksaan laboratorium antara lain : 1) Pemeriksaan laboratorium a) Leukosit Hitung sel darah putih menunjukkan jumlah sel darah putih per mikroliter darah. Peningkatan leukosit dapat ditemukan pada berbagai kondisi, seperti: Penyakit infeksi bakteri, perdarahan akut,
disfungsi endotel, Leukimia, Terpapar
bahan beracun, gagal ginjal (nefritis), Penyakit inflamasi kronis, reaksi stres, olahraga, panas, dingin, anestesi, merokok sigaret.
16
b) Eritrosit Pemeriksaan eritrosit dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan sel darah merah yang berfungsi sebagai alat transport utama yang membawa oksigen. Umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari. Setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit sebesar 1% dari seluruh jumlah eritrosit yang ada dan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit oleh sumsum tulang. Bila tingkat kerusakan sel eritrosit lebih cepat (umur eritrosit lebih pendek) dari kapasitas sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit (disebut proses hemolisis), maka akan menimbulkan kondisi anemia. c) Hemoglobin Hb merupakan protein di dalam sel darah merah yang berfungsi mengikat oksigen. Hb tinggi ditemukan pada kondisi PPOK, gagal Jantung kongestif, perokok, preeklamsia, sedangkan Hb rendah ditemukan pada kondisi penyakit hati kronik, anemia, hipertyroid, kanker, lupus. d) BBS atau LED Merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah untuk mengetahui tingkat peradangan dalam tubuh seseorang. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus LED dalam posisi tegak lurus selama satu jam. Sel
17
darah merah akan mengendap ke dasar tabung sementara plasma darah akan mengambang di permukaan. Kecepatan pengendapan sel darah merah inilah yang disebut LED. e) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen) Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Analisis gas darah meliputi pemeriksaan PO2, PCO3, pH, HCO3, dan saturasi O2. 2) Foto thoraks 1)
Bayangan lobus
2)
Corakan paru bertambah (bronkitis akut)
3)
Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema).
6. Patofisologi a.
Bronkitis Kronis Secara normal sillia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkan, iritasi yang terjadi terus menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan
respon
yang
menghambat
pembersihan
berlebihan. mukosiliar
Asap
rokok
dapat
(mucociliaryclearance).
Faktor yang menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah
18
adanya poliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus dan alveoli, akibatnya makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus dapat terjadinya sumbatan bronkiolus dan alveoli, banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar dapat meningkatkan resiko infeksi (Ikawati, 2007 : 65). Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan lumen bronkus juga di ikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafan yang kecil, yang makin
mempersempit
saluran
pernafasan.
Bronkitis
kronis
berkembang beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia, karena adanya mukus dan kurangnya jumlah sillia dan gerakan sillia untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi yang berulang. Bakteri yang dapat menyerang adalah streptococcus pneumonia dan haemophilus influenza (Ikawati, 2007 : 65). b.
Emfisema Emfisema melibatkan asinus yaitu bagian dari paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas, asinus terdiri dari: bronkitis, duktus alveolus dan kantong alveolar. Emfisema yang
19
paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobulor, Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-dingding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang, penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, emfisema sentrilobulor lebih banyak ditemukan pada orang yang merokok (Ikawati, 2007:68). Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil), hal ini menyebabkan tertekannya jalan udara selama penghembusan nafas yang berkontribusi secara signifikan pada jalur obstruksi yang terlihat pada tes fungsi pulmunar. Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup, akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik dari pada bronkitis kronik, oleh karena itu pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dipsnea (sesak nafas) dari pada pasien bronkitis (Ikawati, 2007 :69). 7. Komplikasi Komplikasi dari PPOK menurut Somantri (2009:56), yaitu : a.
Hipoksemia Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2< 55 mmHg dengan nilai saturasi O2 < 85 %. Pada awalnya pasien akan
20
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa, dan pada ada tahap lanjut timbul sianosis. b.
Asidosis Respiratori Asidosis respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea.
c.
Infeksi Saluran Pernafasan Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus, peningkatan rangsang otot polos bronchial, dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan menimbulkan dipsnea.
d.
Gagal Jantung Terutama cor pulmona (gagal jantung kanan akibat penyakit paruparu) harus diobservasi, terutama pada pasien dipsnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, namun beberapa psaien enfisema berat juga mengalami masalah ini.
e.
Disritmia jantung Disritmia jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain, dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
8. Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan farmakologi Menurut Francis (2008:77), penatalaksaan farmakologi:
21
1) Bronkodilator Perburukan sesak nafas biasanya dapat ditangani dengan penambahan bronkodilator kerja secara singkat biasa maupun dengan meningkatkan frekuensi penggunaannya. Penggunaan nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi secara rutin digunakn di rumah sakit, walaupun demikian jika pasien mampun mempetahankan tehnik inhalasi yang baik dengan menggunakan spacer bervolume besar, maka metode ini telah terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi. 2) Antibiotik Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada penggunaan yang disukai antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri, biasanya lama terapi tujuh hari sudah mencukupi. Menurut Murwani, (2012: 2) penalaksanaan farmakologi: 1) Indikasi oksigen Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan ekserbasi akut, dan serangan akut pada asma 2) Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal nafas akut, gagal nafas akut pada gagal nafas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan nafas
22
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK (Ikawati, 2007:80) Terapi yang direkomendasikan
Karakteristik pasien
Patogen penyebab yang mungkin
a. Eksaserbasi tanpa komplikasi b. < 4 kali eksaserbasi setahun c. Tidak ada penyakit penyerta d. FEV1 > 50%
S. pneumoniae, H. Influenzae, H. Parainfluenzae, dan M. Catarrhalis. umumnya tidak resisten
Makrolid (azitromisin, klaritromisin), selalosporin generasi 2 atau 3, doksisiklin.
a. Eksaserbasi kompleks b. Umur > 65 th c. > 4 kali eksaserbasi pertahun d. FEV1 < 50% tapi > 35 % Eksaserbasi kompleks dengan resiko P. Aeruginosa
Seperti di atas, di tambah H. Influenza dan M. Catarrhalis penghasil beta-laktamase
Amoksisilin/ klavulanat, Fluorokuinolon (levofloksasin, gatiflokasin, moksifloksasin)
Seperti di Aeruginosa
Fluorokuinolon (levofloksasin, gatiflokasin, moksifloksasin), Terapi I.V jika di perlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4
atas,
di
tambah
P.
Tabel 2.2 Terapi Antibiotika
b. Penatalaksanaan non farmakologi Menurut Morton,dkk, (2011: 741) penatalaksaan non farmakologis adalah 1) Aktivitas olahraga Program aktivitas olahraga untuk PPOK
dapat terdiri atas
sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur
23
waktunya, dan frekuensinya dapat bekisar dari setiap hari sampai setiap minggu. 2) Konseling nutrisi Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas pertukaran gas. 3) Penyuluhan Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai 10%. Menurut
Suwardiantono (2011), batuk efektif merupakan
salah satu upaya untuk mengeluarkan dahak dan menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan memberikan tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif dapat di berikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Menurut Holloway, Ram, (2004) dalam jurnal Windarti (2011:03), latihan pernafasan diafragma merupakan salah cara cara mengurangi sesak nafas yang dilakukan untuk melatih cara bernafas yang benar, melenturkan dan memperkuat otot pernafasan, dan
24
meningkatkan sirkulasi yang terkontrol. Deep breathing exercise merupakan salah latihan pernafasan yang di tujukkan kepada pasien PPOK dengan cara tehnik bernafas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Priyanto, 2010:24). Menurut Perry, Anne Grifin (2005:04), posisi semi fowler adalah posisi yang bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dan ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan berkemih, dalam posisi ini tempat tidur ditinggikan 45-600 dan lutut pasien agak diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas.
B. Asuhan keperawan Menurut Morton dkk (2002:737), asuhan keperawatan yaitu pada pengkajian yaitu 1. Panjanan terhadap faktor risiko, seperti merokok, dan panjanan okupasional atau lingkungan. 2. Riwayat penyakit dahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis atau polip hidung, infeksi pernafasan pada masa kanak-kanak, dan penyakit pernafasan lain-nya. 3. Riwayat keluarga PPOK atau Penyakit Pernafasan kronis lain. 4. Pola perkembangan gejala, PPOK biasanya terjadi pada orang dewasa dan sebagian besar pasien menyadari terjadinya peningkatan sesak nafas,
25
peningkatan frekuensi pilek pada musim dingin, dan beberapa keterbatasan sosial selama beberapa tahun sebelum mencari pertolongan medis. 5. Riwayat eksaserbasi atau hospitalisasi sebelumnya untuk gangguan pernafasan. 6. Komorbiditas seperti penyakit jantung dan penyakit reumatik yang juga dapat mengakibatkan keterbatasan aktivitas. 7. Ketetapan terapi medis saat ini, seperti penyekat beta yang biasanya diresepkan untuk penyakit jantung. 8. Dampak penyakit terhadap kehidupan pasien, termasuk keterbatasan aktivitas, kehilangan pekerjaan dan konsekuensinya dalam ekonomi. 9. Dukungan sosial dan keluarga. 10. Kemungkinan untuk mengurangi penyebab utama yaitu dengan berhenti merokok. Menurut Smeltzer, (2002: 595) asuhan keperawatan meliputi: 1. Pengkajian Pengkajian adalah pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit: a) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan? b) Kapan gejala muncul? c) Batasan terhadap toleransi aktifitas?
26
d) Makanan dan pola tidur? e) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya? Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan: a) Frekuensi nadi dan pernafasan? b) Sianosis? c) Penggunaan otot bantu pernafasan? d) Pembesaran vena leher? e) Edema perifer? f)
Warna, jumlah, dan konsistensi sputum/
g) Tingkat kegelisahan ? 2. Diagnosa keperawatan Menurut Smeltzer (2002:595), diagnosa keperawatan berdasarkan pada semua data pengkajian, dignosa keperawatan utama pasien dapat mencakup yang berikut ini: a.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak samaan ventilasi-perfusi.
b.
Bersihan
jalan
nafas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan ukus, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal. c.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mukus, bronkokonstriksi dan iritan jalan nafas.
27
d.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi dan oksigen.
e.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola pernafasan tidak efektif.
f.
Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, anestesi, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidak mampuan untuk bekerja
g.
Defisit pengetahuan berhubungan denagn prosedur perawatan diri yang akan dilakukan dirumah.
3. Intervensi keperawatan a.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak samaan ventilasi-perfusi. Intervensi keperawatan: 1) Kolaborasi pemberian bronkodilator sesuai dengan yang diharuskan. Rasional: bronkodilator mendilatasi jalan nafas dan membantu melawan edema mukosa bronkial dan spasme moskular karena efek samping biasa terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan respon klinisnya. a) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pernafasan diagfragmatik dan batuk yang efektif.
28
Rasional:
teknik
ini
memperbaiki
ventilasi
dengan
membuka jendela nafas dan membersihkan jalan nafas dari sputum, pertukaran gas diperbaiki. b) Berikan oksigen sesuai dengan metode yang diharuskan. Rasional:
oksigen
akan
memperbaiki
hipoksemia.
Diperlukan observasi yang cermat terhadap aliran atau presentase yang diberikan dan efektifnya pada pasien jika pasien mengalami retensi CO2 kronis maka hipoksia dirangsang untuk bernafas, kelebihan oksigen dapat menekan dorongan hipoksik dan dapat terjadi kematian. Pasien umumnya membutuhkan laju aliran oksigen yang rendah 1 sampai 2 L/menit. Gas darah arteri periodik dan oksimetri
nandi
membantu
untuk
mengevaluasi
keadekuatan oksigenasi. b.
Bersihan
jalan
nafas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif. Intervensi keperawatan: 1) Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan per hari kecuali terapat kor pulmonal. Rasional: hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran. Cairan harus diberikan dengan kewaspadaan jika terdapat gagal jantung sebelah kanan.
29
2) Ajarkan dan berikan doronggan penggunaan teknik pernafasan diafragmatik ( price dan wilson, 2006). Rasional: teknik ini akan menyebakan kontraksi diafragma menjadi desenden, menyebabkan tekanan pleural yang negatif dan peningkatan dimensi vertikal paru, yang memberikan kontribusi pada inflamasi paru-paru. Peningkatan dimensi vertikal dan penurunan tekanan intrapulmonal (negatif dengan pada tekanan atmosfer)
hal ini menyebabkan udara masuk
kedalam paru-paru. 3) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim dan asap. Rasional: iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian membantu. 4) Berikan antibiotik sesuai yang diharapkan. Rasional: antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi. c.
Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, lendir, bronkokonstriksi dan iritan jalan nafas. Intevensi keperawatan: 1) Ajarkan pasien pernafasan diagfragmatik dan pernafasan bibir dirapatkan. Rasional: membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.
30
2) Berikan dorongan untuk meyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat beberapa keputusan (mandi, bercukur) tentang perawatannya berdasarkan pada tingkat toleransinya. Rasional: memberikan jeda aktivitas akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan. 3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan jika diharuskan. Rasional:
menguatkan
dan
mengkondisikan
otot-otot
pernafasan. d.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufiensif ventilasi dan oksigenasi. Intervensi keperawatan: 1) Ajarkan
pasien
diagframatik
denga
untuk
mengkoordinasikan
efektivitas
(misalnya
pernafasan
berjalan
dan
membungkuk). Rasional: akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas. 2) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan minum. Bahas tentang tindakan penghematan energi.
31
Rasional: sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan
lebih
banyak
namun
perlu
didorong
untuk
menghindari peningkatan ketergantungan. 3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan Rasional: memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membantu membangun harga diri dan menyampaikan untuk mengatasi dirumah. e.
Intoleransi
aktifitas
berhubungan
dengan
akibat
keletihan,
hipoksemia, dan pola pernafasan tidak efektif. Intervensi keperaawatan: 1) Dukung pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan. Rasional: otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigenasi dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur berharap kelompok otot ini menjadi lebih terkondisi dan pasien dapat melakukan lebih banyak tanpa mengalami nafas pendek. Latihan yang berharap memutus siklus yang mematikan ini. f.
Koping individu tidak efektif berhubungan dengan
kurang
sosialisai, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidak mampuan untuk bekerja. Intevensi keperawatan:
32
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien. Rasional: suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan, ketimbang sikap merasa kalah dan tidak berdaya. 2) Dorong aktivitas samai tingkat toleransi gejala. Rasional: aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien lebih terkondisi. 3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien. Rasional: relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya. g.
Defisit pengetahuan berhubungan dengan prosedur perawatan diri yang akan dilakukan dirumah. Intervensi keperawatan: 1) Ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya. Rasional: pasien harus mengetahui bahwa ada metode dan rencana dimana dia memainkan peran yang besar, pasien harus mengetahui apa yang diperkirakan. Mengajarkan pasien tentang kondisinya adalah salah satu aspek yang paling penting alam perawatannya. Tindakan ini akan menyiapkan pasien untuk hidup dalam dan mengatasi kondisi serta memperbaiki kualitas hidup.
33
2)
Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan informasi tentang sumber-sumber kelompol (misalnya smoke enders dan American cancer society). Rasional: asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghasilkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.
C. Sesak Nafas 1. Pengertian Breathing exercise atau dispnea adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal (Sudoyo, 2010:2189). Sesak nafas adalah suatu yang dirasakan oleh pasien secara patofisiologis dapat terjadi karena menurunnya oksigenasi jaringan, meningkatknya kebutuhan oksigen, meningkatnya kerja pernafasan, adanya rangsang pada system syaraf pusat dan adanya penyakit neuromuscular (Muttaqin, 2006:40). 2. Tanda dan Gejalanya Menurut Sudoyo (2007: 2189), tanda dan gejala sesak nafas adalah: a.
Keluhan awalnya Adanyan gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infarks miokard. Serangan
34
berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru kronik. b.
Gejala yang menyertai: 1) Nyeri dada yang disertai sesak. 2) Batuk yang disertai dengan sesak. 3) Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi. 4) Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskuler.
c.
Gejala dengan keadaan lingkungan atau obat tertentu: 1) Alergen seperti serbuk 2) Debu, asap dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan nafas berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. 3) Obat-obatan yang di minum atau di injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak
Menurut Sudoyo (2007:2189), sesak nafas dapat disebabkan: Penyakit saluran nafas: a. Asma b. Bronkitis kronis c. Emfisema d. Sumbtan laring e. Tertelan benda asing Penyakit parenkimal: a. Pneumonia b. Gagal jantung jantung kongestif c. Adult respiratory distress d. ARDS e. PIE
Penyakit vaskular paru: a. Emboli paru b. Kor pulmonal c. Hipertensi paru primer d. Penyakit vena-oklusi paru Penyakit pleura: a. Pneumotoraks b. Efusi pleura c. Fribrosis Penyakit dinding paru : a. Trauma b. Penyakitneurologik Kelainan tulang Tabel 2.3 Sebab sesak nafas
35
3. Patofisologi Dispnea atau sesak nafas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak nafas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran pernafasan maka ruang mati akan meningkat (Prince dan wilson, 2006:736). Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan nafas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat menyebabkan dispnea. Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurnan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru maka makin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satunya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama (Prince dan wilson, 2006:736). 4. Pemeriksaan umum Menurut Sudoyo (2007:2190), pemeriksaan umum pada sesak nafas adalah:
36
a.
Tampilan umum Pasien terlihat sesak nafas dan nafas pendek, dan terlihat gelisah.
b.
Kontraksi otot bantu nafas Otot bantu pernafasan dan otot interkostal akan berkontraksi pada keadaan adanya obstruksi saluran nafas.
c.
Tekanan vena jugularis harus di catat Peninggian menandakan adanya peningkatan tekanan atrium kanan.
d.
Palpasi Fremitus taktil, dengan perintah untuk menyebutkan angka 77 berulang-ulang.
e.
Perkusi Hipersonor pada hiperinflasi paru seperti saat serangan asma akut, emfisema dan juga pada pneumotoraks, sedangkan redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura.
f.
Auskultasi Ronkhi kasar dan nyaring terdengar adanya penyempitan saluran nafas, sedangkan basah halusterdengar pada parenkim paru yang berisi cairan.
5. Penatalaksanaan sesak nafas Menurut Sudoyo (2007:2191), penatalaksanaan sesak nafas adalah: a.
Saluran nafas Periksa orofaring untuk memastikan saluran tidak tersumbat karena adanya edema atau benda asing.
37
b.
Oksigen Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa CO2 memburuk karena tingginya oksigen yang di berikan.
c.
Ventilasi mekanik Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberi oksigen melalui ambubag
sambil
mempersiapkan
suatu
ventilator
sebagai
kelanjutannya. d.
Latihan diafragma Untuk mengurangi rasa sesak nafas, dengan latihan yang memusatkan pada pernafasan perut.
D. Pernafasan diafragma 1. Pengertian Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010), Breathing exercise diafragmatic atau latihan pernafasan diafragma adalah suatu proses pernafasan secara konsentrasi merasakan udara masuk melalui hidung kedalam tubuh kemudian keluarkan dari mulut yang dilakukan dengan posisi nyaman dan berbaring dengan relaks dan menutup mata, serta melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. Pernafasan diafragma ini memerlukan konsentrasi dan kenyakinan yang memusatkan perhatian hanya dengan pernafasan. Menurut, Holloway, Ram, (2004) dalam jurnal Windarti, (2011) Latihan pernafasan diafragma dimaksudkan untuk melatih cara bernafas
38
karena ketika terjadi sesak nafas pasien cenderung tegang yang membuat pasien tidak dapat mengatur pernafasannya sehingga mengakibatkan bertambah penyempitan pernafasan dibronkus.
Melenturkan dan
memperkuat otot pernafasan bertujuan untuk mempertahan pasien asma terkontrol dan melatih penderita untuk pernafasan diafragma jika terasa serangan mendadak atau sewaktu. 2. PemberianTerapi Windarti, (2011:03) dalam jurnal yang berjudul Pengaruh diafragmatic breathing exercise terhadap peningkatan kualitas hidup penderita asma, melakukan penelitian dengan pemberian diafragmatic breathing exercise yang melibatkan responden yang berjumlah 7 orang, sebelum dilakukan diafragmatic breathing exercise, kualitas hidup dari ketujuh responden diukur diawal dan di akhir bulan dengan menggunakanMini Asthma Quality of Life (MAQLQ). Dimana penurunan kualitas hidup penderita asma dipengaruhi oleh adanya faktor diantaranya gejala episodeik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama di malam hari atau dini hari. Dalam penelitian ini hasil pre dan post test kualitas hidup dengan MAQLQ dapat diketahui, dimana kualitas hidup semua responden sebelum
diberikan
perlakuan
diafragmatic
breathing
exercise
mempunyai kualitas hidup antara 41 samapi 69, sedangkan nilai kualitas hidup setelah diberikan diafragmatic breathing exercise menunjukkan peningkatan antara 71 samapi 84. Jadi dapat disimpulkan bahwa
39
diafragmatic breathing exercisedapatmeningkatkankualitas hidupbagi penderita asma. Kuisoner penilaian Mini Asthma Quality of Life (MAQLQ) terdiri dari 15 kriteria pertanyaan yang terdiri dari penilaian terdiri dari fisik, psikologis, dan aktivitas. Dimana pertanyaan terdiri dari permasalahan sesak nafas yang mungkin mucul saat beraktivitas, gangguan dari lingkungan seperti dari debu, perasaan frustasi akibat penyakitnya, gangguan karena adanya batuknya, ketakutan jika tidak memiliki obat, merasa sesak nafas dan dada berat, sering menghindari asap rokok atau di wilayah lingkungannya, kesulitan untuk tidur malam hari, prihatin terhadap penyakitnya,sering merasakanmengi, merasa terganggu oleh cuaca dan pencemaran udara di lingkungannya. Empat pertanyaan selanjutnya terdiri dari pertanyaan keterbatasan aktivitas yang dirasakan 2 minggu terahkir seperti aktivitas berat, kegiatan yang biasa dilakukan, kegiatan sosial, dan kegiatan kerja yang terkait. Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010:04), latihan pernafasan diafragma dapat mengurangi sesak nafas dan meningkatkan kualitas hidup, latihan ini dapat dilakukan dengan cara: 1.
Fase 1: inspirasi, menarik udara masuk ke dalam paru melalui saluran hidung.
2.
Fase 2: beri sedikit jeda sebelum mengeluarkan udara dari paru, selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya letting elastisitas dinding paru melalui saluran masuknya udara tersebut
40
3.
Fase 3: ekspirasi, mengeluarkan udara dari paru melalui saluran masuknya udara tersebut.
4.
Fase 4: beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas kembali.
5.
Pernafasan diafragma dilakukan selama 5 atau 15 menit setiap kali, satu atau dua sehari selama dua minggu
41
MINI ASTHMA QUALITY OF LIFE QUESTIONNAIRE (MiniAQLQ)
Setiap saat
No
1
2
3 4
5
6
7
8
9 10
11
Merasa sesak napas sebagai akibat dari penyakit asma? Merasa terganggu oleh atau harus menghindari debu di lingkungan? Merasa frustrasi akibat penyakit asma? Merasa terganggu karena batuk? Merasa takut tidak memiliki obat untuk penyakit asma? Merasa sesak nafas atau dada berat? Merasa harus menghindari asap rokok di lingkungan? Memiliki kesulitan untuk tidur malam yang baik sebagai akibat penyakit asma? Merasa prihatin karena menderita asma? Pengalaman mengi di dada? Merasa terganggu harus menghindari pergi keluar karena cuaca atau pencemaran udara?
Sebagia n besar waktu
Pada waktu yang khusus
Bebera pa waktu
ü
ü
ü ü
ü
ü
ü ü
ü
Sedikit waktu
Hampir tidak terjadi
Tidak pernah
42
Selama 2 minggu terkahir, adakah keterbatasan aktivitas sebagai akibat penyakit…. 12
ü
Aktivitas berat(seperti terburu-buru, berolahraga, berlari dan olahraga)
13
Kegiatan yang biasa (seperti berjalan, pekerjaan rumah tangga, berkebun, belanja, naik tangga)
14
Kegiatan sosial (seperti berbicara, bermain dengan hewan peliharaan/anakanak, mengunjungi teman/kerabat)
15
Kegiatan kerja terkait (tugas yang harus lakukan di tempat kerja)
ü
ü
ü
Tabel 2.4 Mini
AQLQ
BAB III LAPORAN KASUS
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume “Pengaruh Breathing exercises for chronic obstruktive dengan latihan pernafasan diafragma pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronis di ruang anggrek 1 RSUD Dr.Moewardi surakarta. Resume asuhan keperawatan pada Ny. D meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah keperawatan, implentasi yang telah dilakukan dan evaluasi.Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 April 2014 jam 10.30 WIB, pada kasus ini dilakukan dengan metode autoanamnase dan aloanamnase. A. Identitas Pasien Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Ny. D berumur 77 tahun, beragama islam, pasien tidak tamat sekolah dasar, Ny. D sebagai ibu rumah tangga yang beralamat di mojosongo, Ny. D datang ke RSUD Dr.Moewardi pada tanggal 11 April 2014 dengan dengan diagnosa medis penyakit paru obstruksi kronik dengan nomor rekam medis 01249843. Identitas penanggung jawab bernama Ny.P berumur 56 tahun, bekerja sebagai ibu rumah tangga, pendidikan terkahir Sekolah Menengah Pertama (SMP), beralamat di Mojosongo, hubungan dengan Ny. D sebagai anak. B. Pengkajian Hasil pengkajian pada tanggal 11 April 2014 pasien mengeluhkan sesak nafas. Riwayat kesehatan sekarang, pasien mengatakan sebelum masuk
43
44
rumah sakit mengeluh sesak nafas yang memberat ±4 bulan sesak terus menerus meningkat jika beraktivitas. Awalnya pasien mengira sesak biasa dan memeriksakan ke mantri tetapi setelah satu minggu pasien tidak mengalami perubahan, oleh keluarganya pasien dibawa ke rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta untuk mendapatkan perawatan, sampai di IGD pasien mendapatkan terapi oksigen 3 liter, dari pemeriksaan didapatkan keadaan umum lemah, tekanan darah 160/120 mmHg, nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali per menit, suhu tubuh 36,7˚C. Di rumah sakit pasien juga mendapatkan obat aminophilin 240mg dan ceftriason 2gr, dengan infus NaCl 0,9% 20 tpm. Dari IGD pasien dipindah ke ruang anggrek 1 untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan ± 6 tahun yang lalu merasakan sesak nafas, dan berobat ke rumah sakit. Namun pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, dan juga belum pernah operasi. Pasien mengatakan bahwa tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan tertentu, selain itu pasien mengatakan bahwa saat masih kecil sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Pasien tidak merokok, tetapi pasien merupakan perokok pasif. Riwayat kesehatan keluarga, dikeluarga pasien tidak memiliki penyakit keturunan seperti diabetes militus, hipertensi, jantung. Riwayat kesehatan lingkungan pasien, lingkungan rumah pasien dekat dengan lingkungan industri atau pabrik, sehingga terdapat banyak polusi udara di lingkungan tempat tinggal pasien.
45
Genogram keluarga Ny. D
Ny. D
Gambar 3.1 gambar Ny. D Keterangan : Laki-laki
: perempuan : Meninggal : Pasien : Ikatan pernikahan : Keturunan : Tinggal serumah
Pola pengkajian primer, Airway mulut pasien simetris, tidak ada luka, ada sumbatan sekret, sesak nafas, dahak sulit dikeluarkan, batuk tidak efektif. Breathing, respirasi 29 kali per menit, sesak saat posisi terlentang, ekspirasi memanjang, pola nafas takipnea, pada pemeriksaan Inspeksi, bentuk dada simetris, retraksi dada dalam, tampak penggunaan otot bantu pernafasan. Palpasi fokal fremitus sama kanan dan kiri. Perkusi sonor, auskultasi terdengar ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Circulation nadi 92 kali per
46
menit, tekanan darah 160/120 mmHg, mukosa bibir kering. Disability composmentis, GCS 15. Exposure suhu 36,8˚c, tidak ada jejas pada tubuhnya. Hasil
pengkajian
menurut
pola
Gordon,
pola
persepsi
dan
pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien selalu menjaga kesehatannya, akan tetapi ± 6 bulan pasien merasa sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah dan lemas. Pasien sudah mencoba berobat ke mantri di dekat rumahnya akan tetapi tidak membuahkan hasil kemudian oleh keluarga pasien di bawa ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pola nutrisi dan metabolisme, sebelum sakit Antropometri Berat badan 45 kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan (kg)/Tinggi badan (m2), 45 kg/ (1,52m) hasilnya 20 (normal), Biochemical tidak diketahui, Clinical Sign pasien mengatakan bahwa pasien sehat dan tanpa ada gangguan, Dietary data pasien mengatakan makan makanan yang disukai meliputi nasi, lauk, sayuran dan pasien makan 3 kali sehari, dengan satu kali makan pasien menghabiskan 1 porsi makanan, dan meminum air putih 6-7 gelas. Selama sakit antropometri didapatkan data berat badan 41 kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data 18,2 (tidak normal), biochemical didapatkan data pada tanggal 11 April 2014 hematokrit 30%, hemoglobin 10 g/dl, clinical sign didaptkan data mukosa bibir kering, turgor kulit kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, nasi, sayur, dan buah pisang, porsi habis 3 atau 4 sendok makan dan air putih dan teh hangat 3 sampai 4 gelas.
47
Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air kecil 5 sampai 6 kali sehari dengan warna kencing jernih dan bau khas, sedangkan buang air besar pasien satu kali sehari konsistensi lunak dan bau khas. Saat buang air besar dan buang air kecil pasien tidak mengalami keluhan dan gangguan apapun, sedangkan selama sakit pasien mengatakan buang air kecil 3 sampai 4 kali sehari dengan warna kencing jernih dan bau khas, sedangkan buang air besar belim keluar. Saat buang air kecil pasien dibantu oleh anaknya. Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat beraktivitas secara normal dan mandiri, sedangkan selama sakit pasien mengatakan bahwa hampir semua aktivitas seperti makan/minum, toiletting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur dan juga berpindah harus dibantu oleh orang lain (skor penilaian 2), sedangkan untuk ambulasi/ ROM, pasien dapat melakukan secara mandiri (skor penilaian 0). Pola istirahat dan tidur, sebelum sakit pasien mengatakan dapat tidur dengan nyenyak ±9 jam pada malam hari yaitu dari pukul 22.00-06.00WIB dan tidur siang tidur siang ±2 jam bila memiliki waktu luang. Selama sakit pasien mengatakan tidur kurang nyenyak karena mengalami sesak nafas. Dalam satu hari pasien hanya tidur selama ±6 jam yaitu jam 22.00 WIB05.00WIB dan sering terbangun karena sesak nafas. Saat siang hari pasien biasanya tidur ±2 jam setelah minum obat.
48
Pola kognitif perseptual sebelum sakit, pasien dapat berbicara dengan jelas dan masih bisa melihat, sedangkan selama sakit pasien masih dapat berbicara, namun tidak jelas dan juga badannya terasa lemas. Pola konsep diri, body image pasien mengatakan merasa senang dan bangga atas apa yang ada pada tubuh pasien. Ideal diri, pasien mengatakan berharap cepat sembuh dari sakitnya, dan berharap bisa sembuh seperti dahulu. Identitas diri pasien mengatakan bahwa pasien merupakan seorang ibu berusia 77 tahun. Peran diri pasien mengatakan melakukan perannya sebagai ibu dari 4 orang anak dengan baik. Harga diri, pasien mengatakan bahwa sangat percaya diri dengan apa yang dimiliki pasien saat ini. Pola hubungan peran, pasien mengatakan bahwa hubungan antara pasien dengan keluarganya terjalin harmonis. Pasien juga mengatakan bahwa pasien dalam kehidupan bermasyarakat juga terjalin dengan baik dan tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Pola seksualitas reproduksi, pasien seorang janda karena suaminya telah meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pola mekanisme koping pasien ingin cepat sembuh dan ingin cepat pulang, apabila pasien memiliki permasalahan selalu mendiskusikan dengan anak-anaknya. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan bahwa pasien beragama islam. Sebelum sakit pasien selalu melaksanakan shalat 5 waktu, tetapi selama pasien sakit tidak dapat melaksanakan shalat. Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaann umum pasien lemah, dengan kesadaran composmentis (CM) GCS E=4, V=5, M=6. Tandatanda vital tekanan darah 160/120 mmHg, Nadi 92 kali per menit, respirasi 29
49
kali per menit, suhu 36,8oc. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih, rambut hitam keputih-putihan. Pada pemeriksaan mata didapatkan data palpebra tidak oedema, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, reflek cahaya positif. Pada pemeriksaan hidung didapatkan data tidak ada polip, ada sedikit sekret, terpasang nasal kanul O2 3 liter per menit, pada pemeriksaan mulut didapatkan data mukosa bibir kering, tidak ada siaonis. Pada pemeriksaan gigi didapatka bahwa tidak ada gigi. Pada pemeriksaan telinga didapatkan hasil telinga simetris kanan kiri, bersih, tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Pada pemeriksaan leher didapatkan hasil tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi bentuk dada simetris kanan-kiri, tampak penggunaan otot bantu pernafasan, respirasi 29 kali per menit dengan ekspirasi memanjang, pola nafas takipnea, saat dilakukan palpasi vokal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi terdengar ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Pada pemeriksaan jantung inspeksi didapatkan hasil ictus kordis tidak tampak, saat dilakukan palpasi didapatkan hasil ictus cordis teraba antara ictus cordis 4 dan 5, saat dilakukan perkusi didapatkan hasil pekak. Saat auskultasi didapatkan hasil terdengar suara Bj 1 dan Bj 2. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil inspeksi perut datar, tidak ada bekas luka, saat auskultasi didapatkan hasil bising usus 16 kali/ menit, saat perkusi didapatkan hasil suara redup di kuadran 1, dan tympani pada kuadran 2, 3, 4. Saat palpasi didapatkan hasil tidak ada nyeri tekan.
50
Pada pemeriksaan genetalia didapatkan hasil tidak terpasang Dc, rektum bersih dan tidak ada hemoroid. Pada pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan hasil terpasang infus NaCl di tangan kiri, akral hangat, tidak ada oedema. Ekstremitas bawah, di bagian kaki kiri terdapat luka bekas jatuh dari kamarnya. Memiliki kekuatan otot 4 dapat bergerak dengan beban ringan. Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada tanggal 11 april 2014, yaitu hemoglobin 10 g/dl (11,6 – 16,1 g/dl), hematokrit 30 % (33 -45 %), leukosit 10,8 ribu/dl (4,5 – 11,0 ribu/dl), trombosit 27,8 ribu/ul (150 – 450 ribu/ul), eritrosit 4,68 juta/ul (4,10 – 5,10 juta/ul), golongan darah B, gula darah sewaktu 110 mg/dl (60-140mg/dl), SGOT 3,4 u/l (0-35u/l), SGPT 26 u/l(0-45u/l), albumin 3.0 g/l (3,2-4,5 g/l), creatinin 0,6 mg/dl (0,6 – 1,2), ureum 30 mg/dl (<50 mg/dl), natrium darah 129 mg/dl (132 – 146 mg/dl), kalium darah 4,3 mmol ( 3,7 – 5,4 mmol), klorida darah 97 mmol (98 – 106 mmol). Data analisa gas darah pH 7,266 ( 7,310-7,420), BE 2,4 mmol/l (-2+3 mmol/l), PCO2 40,6 mmHg (27,0-100,0 mmHg), PO2 128,5 mmHg (70,0-100,0), hematokrit 45 % (37-50 %), HCO3 20,3 mmol/l (21,028,0 mmol/l), total CO2 20,5 mmol/l (19,0-24,0), O2 saturasi 98,7 % (94,098,0 %), dapat kesimpulan yaitu asidosis metabolik terkompensasi sebagian. Dari hasil rontgen terlihat cardiomegali dengan besar dan bentuk normal, pulmo tak tampak hyperaerateid, sinus cospophrenitus kanan kiri,anterior tajam, rentras ternal dan nechocoirdlac, spasme dalam batas normal, hemidiaphragma kanan kiri mendatar, trakhea tulang baik, kesan Emfisema lung.
51
Selama diruang anggrek 1 pasien mendapatkan terapi injeksi Aminophillin 360 mg, ceftriaxone 1gr, Dexamethasone 5mg, infus Nacl 0,9% 20 tetes per menit. Pasien mendapatkan obat oral aspilet 80 mg, captopril 1x1,25 mg, N. Asetil sistein 200 mg, vitamin B komplek 2mg. Hasil penilaian Mini Asthma Quality of Life (MAQLQ) pada tanggal 11 april 2014 pukul 12.00 WIB, diantaranya pasien mengatakan merasa sesak nafas setiap saat, pasien mengatakan pada waktu khusus atau tertentu merasa terganggu dan harus menghindari debu dilingkungannya, pasien mengatakan pada waktu khusus atau tertentu merasa frustasi akibat penyakitnya, pasien mengatakan setiap saat merasa terganggu dengan batuknya, pasien mengatakan pada waktu khusus atau tertentu merasa takut bila tidak memiliki obat untuk penyakitnya, pasien mengatakan sering merasa sesak nafas dan dada berat, pasien mengatakan pada waktu tertentu merasa harus menghindari asap rokok lingkungannya, pasien mengatakan pada waktu tertentu memiliki kesulitan untuk tidur malam, pasien mengatakan pada waktu tertentu pasien merasa prihatin karena menderita penyakit asma, pasien mengatakan kadangkadang merasa mengi dada, pasien mengatakan kadang-kadang merasa terganggu dan harus menghindari cuaca dan pencemaran udara yang ada dilingkungan. Untuk empat kategori pertanyaan selanjutnya terdiri dari pertanyaan keterbatasan aktivitas yang dirasakan 2 minggu terahkir seperti pasien mengatakan kadang-kadang dalam aktivitas berat seperti berolahraga atau berlari mengalami keterbatasan, pasien mengatakan pada waktu tertentu dalam melakukan kegiatan seperti pekerjaan rumah tangga dan berkebun
52
mengalami keterbatasan, pasien mengatakan dalam kegiatan sosialnya terkadang mempunyai keterbatasan, pasien mengatakan dalam kegiatan kerja terkait atau tugas kerja pada waktu tertentu memiliki keterbatasan. C. Masalah Keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.30 WIB pada Ny. D ditemukan data fokus yaitu data subyektif, pasien mengatakan sesak nafas dan batuk tidak efektif, sedangkan data objektifnya di tandai dengan respirasi 29 kali per menit, tekanan darah 160/120 mmHg, suhu 36,8o c, nadi 92 kali per menit, bunyi tambahan ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, pasien tampak batuk tidak efektif, pernafasan takipnea. Maka
penulis
merumuskan
prioritas
masalah
keperawatan
yaitu
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah yang berlebih. Pada tanggal 11 April 2014 pukul 10.35 WIB hasil dari pengkajian didapatkan data subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak nafas saat posisi terlentang sedangkan data objektif ditandai dengan respirasi 29 kali per menit ,ekspirasi memanjang, pola nafas takipnea, tampak menggunakan otot bantu nafas, terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, vokal fremitus kanan kiri sama. Maka penulis merumuskan prioritas masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.40 WIB di dapatkan data subjektif pasien mengatakan Sesak nafas dan menyebabkan tidak nafsu
53
makan, bila makan rasanya cepat kenyang,berat badannya menurun, sedangkan data objektif tampak lemah, konjungtiva anemis, turgor kulit jelek, hanya makan 3-4 sendok, pasien hanya makan menu dari rumah sakit dengan diit TKTP, berat badan sebelum sakit 45 kg sedang waktu sakit menjadi 41 kg, IMT 18,2 (kurang), hemoglobin 10 g/dl, hematokrit 30 %, albumin 3,0 g/dl. Maka penulis merumuskan diagnoasa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan dengan faktor biologis. Pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.50 WIB didapatkan hasil pengkajian dengan data subjektif pasien mengatakan sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah, dan badan terasa lemas data objektif tekanan darah 160/120 mmHg, nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali per menit, pasien tampak lemah, pasien berbaring lemas, dari data aktivitas latihan didapatkan data makan atau minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dibantu orang lain (nilai skore 2), toileting dibantu orang lain (nilai skore 2), ambulasi/ROM mandiri (nilai skore 0). Maka penulis merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Berdasarkan prioritas masalah yang ada muncul masalah keperawatan dengan diagnosaketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah yang berlebih,ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, intoleransi aktifitas
54
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. D. Rencana Keperawatan Berdasarkan rumusan masalah yang didapatkan, maka penulis menyusun rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam bersihan jalan nafas dapat efektif dengan kriteria hasil pasien dapat bernafas dengan mudah, jalan nafas paten, respirasi 24 kali per menit, dahak dapat keluar. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji vital sign dan pola nafas dengan rasional untuk mengetahui suara nafas tambahan dan adanya suara tambahan, ajarkan batuk efektif dan nafas dalam dengan rasional untuk mengeluarkan sekret dan mengurangi sesak nafas, beri penjelasan pada pasien tentang manfaat sebelum dan sesudah di lakukan batuk efektif dan nafas dalam dengan rasional untuk mengurangi rasa cemas dan menambah ilmu pengetahuan, beri posisi semi fowler dengan rasional untuk meningkatkan ekpansi paru dan mengurangi rasa sesak, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian O2
dengan rasional untuk memberikan
kebutuhan oksigenasi pasien. Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam pola nafas menjadi efektif dengan kriteria hasil tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, bunyi nafas tambahan tidak ada,
55
pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit, dispnea tidak ada, ortopnea tidak ada. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah observasi vital sign, bunyi nafas dan letak sekret, ajarkan teknik latihan pernafasan diafragma dengan rasional untuk mengurangi rasa sesak, beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tehnik pernafasan diafragma dengan rasional untuk menurunkan kecemasan, beri posisi semi fowler dengan rasional untuk meningkatkan ekpansi paru dan mengurangi rasa sesak, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian O2 dengan rasional untuk memberikan kebutuhan oksigenasi pasien. Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
kekurangan nutrisi dapat teratasi dengan
kriteria hasil adanya peningkatan berat badan yang sesuai dengan tujuan (1 kg), nafsu makan meningkat, mukosa lembab, asupan nutrisi adekuat. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji pola makan dengan rasional untuk mengetahui pola makan/kebiasaan makan pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dengan rasional memungkinkan pasien mengkonsumsi kalori dan karbohidrat dan protein yang adekuat, beri penjelasan tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang kaya akan karbonhidrat, vitamin, mineral, dan protein yang adekuat dengan rasional nutrisi berperan sebagai sumber yang membangun jaringan yang mengatur proses metabolisme tubuh, kolaborasi dengan tim ahli gizi/
56
nutrisi dalam pemberian diit TKTP dengan rasional menentukan metode diit yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang optimal. Rencana
keperawatan
untuk
diagnosa
intoleransi
aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan
diagnosa
intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
kertidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam aktivitas dapat ditoleransi dengan kriteria hasil tanda-tanda vital dalam batas normal, dapat beraktivitas secara mandiri, dapat mentoleransi aktivitas, pasien tampak segar. Intervensi atau rencana keperawatan yan akan dilakukan adalah observasi vital sign dan kemampuan aktivitas pasien dengan rasional untuk mengetahui tingkat kemampuan aktivitas dan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala dengan rasional mencegah terjadinya kelemahan otot, anjurkan keluarkan untuk memenuhi ADL pasien dengan rasional untuk memenuhi ADL pasien, anjurkan pasien untuk bedrest dengan rasioanal ntuk menghemat energi. E. Implementasi Tindakan keperawatan hari pertama yang dilakukan pada tanggal 11 april 2014 jam 11.30 WIB mengobservasi keadaan umum dan vital sign pasien dengan respon subyektif Ny.S mengatakan sesak, lemah. Respon objektif Ny. D tampak lemah, terpasang O2 nasal kanul 3 liter, Tekanan darah 160/120 mmHg, respirasi 29 kali per menit, suhu 36 o C dan nadi 92 kali per menit.
57
Pada tanggal 11 april 2014 Jam 11.30 WIB implementasi selanjutnya adalah mengobservasi/auskultasi bunyi paru dengan respon subjektif Ny. D mengatakan sesak nafas, data objektif terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior . pada jam 11.37 WIB memberikan penjelasan kepada Ny. D sebelum dan sesudah melakukan nafas dalam denganrespon subjektif Ny. D dan keluarga bersedia diberi penjelasan dengan respon objektif Ny. D tampak mendengarkan dan mencoba ntuk mempraktikkan penjelasan yang diberikan. Pada jam 11.45 WIB mengajarkan tarik nafas dalam dan batuk efektif dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dengan respon objektif Ny. D dahak tampak keluar dan pasien tampak rileks. Pada tanggal 11 April 2014 jam 12.00 WIB implementasi selanjutnya adalah mengobservasi pola makan Ny. D dengan respon subjektif Ny. D mengatakan tidak nafsu makan, data objektif Ny. D hanya makan 3 sendok. Pada jam 12.05 WIB menganjurkan Ny. D untuk makan sedikit tapi sering, respon subjektif dari Ny. D mengatakan bahwa nafsu makan menurun, respon objektif Ny. D tampak mengerti anjuran dari perawat. Pada jam 12.10 WIB mengobservasi vital sign dan pola nafas dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan respon objektif tekanan darah 140/90 mmHg, respirasi 28 kali permeni, suhu tubuh 36,7oc, dan denyut nadi 87 kali per menit, serta suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Pada jam 12.13 WIB mengobservasi
aktivitas
pasien
dengan
respon
subyektifnya
pasien
mengatakan ADLnya dibantu oleh anaknya dan data obyektif pasien tampak lemah di tempat tidur.
58
Pada tanggal 11 April 2014 jam 12.20 WIB implementasi selajutnya adalah mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan respon objektif Ny. D terlihat rileks. Pada jam 12.55WIB memberi O2 dengan nasal kanul O2 3 liter/menit, respon subjektif Ny. D mengatakan sesak nafas dan respon objektif Ny. D nampak rileks di tempat tidurnya. Pada pukul 13.10 WIB menganjurkan pasien untuk bedtres ditempat tidur dengan respon subyektif pasien mengatakan badannya masih lemah sedang data obyektifnya pasien tampak tiduran ditempat tidur. Tindakan keperawatan hari kedua yang dilakukan pada tanggal 15 April 2014 jam 08.30 WIB mengobservasi vital sign/ mengauskultasi bunyi paru dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bahwa masih sesak nafas dengan respon objektif tekanan darah Ny. D 130/90 mmHg, respirasi 28 kali permenit, suhu tubuh 36,8o C, denyut nadi 89 kali per menit, terpasang O2 3 liter/menit, dan terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Pada tanggal 12 April 2014 jam 09.00 WIB implementasi selanjutnya adalah memberi injeksi Aminophilin 360 mg dengan respon subjektif Ny. D bersedia diinjeksi dan data objektif Ny. D obat masuk lewat intravena. Pada jam 09.15 WIB mengajarkan tarik nafas dalam dan batuk efektif dengan resespon subjektif Ny. D mengatakan bersedia, dan respon objektif Ny. D tampak mengikuti, respirasi 28 kali per menit, sekret keluar. Pada jam 09.15 WIB mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan respon objektif pasien tampak mempraktekkan latihan pernafasan diafragma. Pada jam 09.20 WIB
59
memposisikan semi fowler dengan subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan data objektif Ny. D terlihat rileks. Pada jam 10.00WIB mengisi humidifer dengan air oksigen dan mengecek O2 apakah sudah benar atau belum dengan respon subjektif Ny. D mengatan bersedia dan respon objektif humadifer terisi air O2 3 liter/menit. Pada tanggal 12 April 2014 jam 10.15WIB implementasi selanjutnya mengajarkan kepada Ny. D makanan apa saja yang boleh dimakan (sesuai diit TKTP) dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan respon objektif Ny. D mengerti dan mendengarkan. Pada jam 10.17 WIB mengajarkan Ny. D untuk makan sedikit tapi sering dengan respon subjektif Ny .D mengatakan bersedia, respon objektif tampak rileks dan tampak makan 5 sendok. Pada jam 10.25 WIB mengobservasi vital sign dan auskultasi bunyi paru dengan respon subjektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan respon objektif terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 36,1 o C, respirasi 25 kali per menit, nadi 84 kali per menit. Pada pukul 10.30 WIB mengajarkan tarik nafas dalan dan batuk efektif dengan respon subjektif Ny. D mengatakan masih sesak nafas dan respon objektif Ny. D mengikuti, sekret keluar, respirasi 26 kali per menit. pada jam 10.40 WIB memberikan posisi semi fowler dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia, respon objektif Ny. D mengikuti arahan. Pada jam 11.00 WIB mengobservasi aktivitas pasien dengan respon subjektif
60
pasien mengatakan ADLnya masih di bantu oleh anaknya dan respon objektif pasien tampak lemah di tempat tidur. Pada tanggal 12 april 2014 pada jam 10.10 WIB menganjurkan pasien untuk mengubah posisi secara berkala dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak posisi terlentang dan respon objektif pasien tampak miring ke kanan. Pada pukul 11.30 WIB mengajarkan latihan pernafasan diafragma, dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan respon objektif tampak rileks, respirasi 25 kali per menit. Pada tanggal 12 April 2014 jam 12.00 WIB implementasi selanjutnya mengobservasi vital sign dan auskultasi bunyi paru dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bahwa sesak nafas mulai berkurang dan respon objektif
suara ronkhi di lobus 2 dianterior
sinestra, tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 26 kali per menit, suhu tubuh 36,1oc, denyut nadi 89 kali per menit. Pada jam 12.30 WIB menganjurkan pasien untuk makan makanan dari rumah sakit yaitu diit tktp dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia dan data objektif pasien tampak makan, makan 1 porsi habis. Pada pukul 13.00 WIB memposisikan semi fowler dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia dan respon objektif pasien tampak rileks. F. Evaluasi Setelah
dilakukan
perencanaan
keperawatan
dan
tindakan
keperawatan, evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih pada hari jum’at tanggal 11 April 2014 jam 13.45 WIB adalah Subjektif: pasien mengatakan sesak
61
nafas dan batuk tidak efektif. Ojektif: teterdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, terpasang O2 3 liter/menit, respirasi 29 kali per menit, sekret sudah keluar. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi. Planing: mengobservasi TTV, ajarkan teknik nafas, ajarkan batuk efektif, dan memposisikan semi fowler. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 11 April 2014 jam 14.45 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang. Ojektif: terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang, respirasi 29 kali per menit. Analisa: masalah kerawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, ajarkan latihan pernafasan diafragma, mengauskultasi bunyi paru. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis pada jam 13.15 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan tidak nafsu makan, cepat merasa kenyang, dan hanya makan 3 sendok. Objektif: pasien tampak lemah, konjungtiva anemis, mukosa bibir kering. Analisa:masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi. Planing: memberi penjelasan pentingnya mengonsumsi karbohidrat (TKTP), menganjurkan makan sedikit tapi sering, dan menimbang berat badan. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
62
pada jam 14.04 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan badannya masih lemah dan ADLnya di bantu anaknya. Objektif: pasien tampak lemas dan berbaring ditempat tidur. Analisa: masalah keperawatan intolerandi aktivitas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, observasi kemampuan yang dimiliki pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, anjurkan keluarga untuk membantu dalam memenuhi ADL pasien. Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih pada hari sabtu 12 April 2014 jam 13.48 WIB, subjektif: pasien mengatakan masih sesak nafas dan batuk tidak efektif. Objektif: terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, sekret sudah keluar, respirasi 25 kali per menit. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi. Planing: maka intervensi dilanjutkan dengan mengobsrvasi vital sign, mengajarkan taik nafas dalam, mengajarkan batuk efektif, memberi posisi semi fowler. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 12 April 2014 jam 14.15 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan masih sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang. Ojektif: terdapar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, respirasi 25 kali per menit, terdapat penggunaan alat bantu nafas, dan ekspirasi memanjang. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, kaji bunyi paru, ajarkan latihan pernafasan diafragma dan batuk efektif.
63
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis pada jam 13.15 WIB dengan subjektif: pasien mengatakan sudah mau makan, makan 5 sendok. Objektif: pasien tampak sedang makan 5 sendok, pasien terlihat rileks. Analisa: masalah keperawatan ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Planing: anjurkan untuk makan sedikitsedikit tapi sering, memberi penjelasan tentang pentingnya makan makanan yang mengandung karbohidrat (TKTP) sesuai diit, dan menimbang berat bada, mengobservasi kemampuan aktivitas pasien, observasi Tekanan darah, nadi, respirasi, bantu pasien untuk mngubah posisi dan selanjutnya anjurkan keluarga untuk membantu ADL pasien. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada jam 13.45 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan badannya masih lemah dan ADLnya masih di bantu. Objektif: pasien tampak
tiduran di
tempat tidur. Analisa: masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, observasi kemampuan yang dimiliki pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, anjurkan keluarga untuk membantu dalam memenuhi ADL pasien.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan tentang Ny. D dengan PPOK di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan kasus. Terkait dengan hal tesebut pada bab ini penulis akan melakukan pembahasan tentang pemberian diafragmatic breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada Asuhan keperawatan Ny. D dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Bangsal Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah pasien (Dermawan, 2012:45). Dalam pengkajian terhadap Ny. D penulis menggunakan metode wawancara, obsevasi serta catatan rekam medis. Pengkajian didapatkan data yang bernama Ny. D dengan diagnosa medis penyakit paru Obstruksi kronik (PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit di karakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya, sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang
64
65
berbahaya, dua gangguan yang terjadi pada PPOK yaitu bronkitis kronis dan Emfisema paru (Ikawati, 2007:65). Pengkajian Ny. D pada tanggal 11 April 2014 dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas adalah suatu yang dirasakan oleh pasien secara patofisiologis dapat terjadi karena menurunnya oksigenasi jaringan, meningkatknya kebutuhan oksigen, meningkatnya kerja pernafasan, adanya rangsang pada system syaraf pusat dan adanya penyakit neuromuscular (Muttaqin, 2008:45). Sesak nafas pada pasien PPOK terjadi karena adanya mekanisme kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah, 2012:67). Riwayat penyakit sekarang, Ny. D mengatakan sesak nafas yang memberat ± 4 bulan, sesak terus menerus meningkat jika beraktivitas. Hal ini sesuai dengan teori, dimana tanda dan gejala dari PPOK yaitu adanya sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif dan faktor resiko, namun PPOK ringan biasanya tanpa keluhan dan gejala (Aziz dkk, 2006:05). Riwayat dahulu pasien ± 6 tahun yang lalu pernah mengalami sesak nafas seperti ini hanya berobat ke mantri dan belum pernah dirawat sebelumnya di rumah sakit. Pasien Ny. D mengatakan merupakan perokok pasif. Penyebab paling utama adanya perokok pasif adalah asap rokok, baik yang di hisap maupun terhisap dari asap rokok orang lain, apabila ini terus menerus akan
66
mengakibatkan semakin cepat menderita penyakit ini (Danusantosa, 2013:211). Pola pengkajian primer airway: mulut pasien simestris, ada sumbatan sekret, sesak nafas, dahak sulit di keluarkan dan batuk tidak efektif. Berdasarkan teori produksi sekret pada pasien PPOK di hasilkan oleh defisiensi alfa-anti-protease inhibitor yang terus menerus menghasilkan sekret, sekret bronkus merupakan perbenihan yang ideal bagi berbagai jenis kuman yang berhasil masuk dalam saluran nafas bawah, apabila terjadi infeksi sekunder, maka dahak akan menjadi semakin pekat, kental dan lengket (Danusantosa, 2013:212). Pada breathing di dapatkan pernafasan 29 kali per menit, pasien mengatakan sesak bertambah saat terlantang, inspirasi dalam dan ekspirasi memanjang, inspeksi: tampak penggunaan alat bantu pernafasan, palpasi: fokal fremitus sama anatara kanan dan kiri, perkusi: sonor, auskultasi: terdengar suara ronkhi di lobus anterior sinestra. Hal ini sesuai teori pada pemeriksaan fisik PPOK Pemeriksaan fisik meliputi: Pernafasan Pursed Lips, takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, eksirasi memanjang, ronkhi kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas (Aziz dkk, 2006 : 05). Pola nutrisi dan metabolisme, antropometri didapatkan data berat badan 41kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data 18,2 (kurang), biochemical didapatkan data pada tanggal 11 april 2014 Hematokrit
67
30% normal, hemoglobin 10 g/dl turun, clinical sign didapatkan data mukosa bibir kering, turgor kulit kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, nasi, lauk dan buah, porsi habis 3 atau 4 sendok makan karena rasanya cepat kenyang. Pada pasien didapatkan data hemoglobin menurun atau dibawah normal yaitu 10 g/dl normalnya 11,6-16,1 g/dl konjungtiva anemis, mukosa bibir kering dan turgor kulit kering. Hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut oksigen. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cardiac output serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu konsentrasi Hb dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas penghantar oksigen akan menurun jika kadar Hb < 7 g/dl dan akan memperburuk kondisi sesak napas pada pasien (Paniselvan, 2011:39). Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat beraktivitas secara normal dan mandiri, sedangkan selama sakit pasien mengatakan dalam memenuhi aktivitasnya seperti makan/minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan toileting dengan dibantu orang lain (score penilaian 2), pada ambulasi atau ROM dengan mandiri (score penilain 0). Pada kasus PPOK, pasien sering mengalami penurunan toleransi terhadap olah raga pada periode yang pasti dalamsehari, hal ini tampak saat ketika bangun tidur, karena sekresi bronkial dan edema menumpuk dalam paru-paru selama penderita berbaring. Pada PPOK periode peningkatan kesulitan
68
lainnya terjadi segera setelah makan, terutama saat makan dimalam hari. Keletihan akibat aktivitas siang hari disertai dengan distensi abdomen yang membatasi toleransi (Smeltzer, 2002:596). Hal ini sesuai dengan data pada pasien Ny. D yang kebutuhan ADL nya perlu bantuan dan pasien mengeluh sesak nafas. Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah, dengan kesadaran composmentis (CM). Tanda-tanda vital tekanan darah 160/1200 mmHg, Nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali menit, suhu 36,8o C, terlihat penggunaan otot bantu pernafasan. Data pasien menunjukkan peningkatan respirasi yaitu 29 kali per menit, dimana nilai normal pernapasan berkisar 16-24 kali per menit, terlihat otot bantu pernafasan, beberapa data sesuai dengan teori PPOK, dimana dalam teori ditemukan adanya pernafasan takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, ekspirasi memanjang, ronkhi kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas (Aziz dkk, 2006 : 05). Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi bentuk dada simetris, saat dilakukan palpasi vokal fremitus kanan kiri sama, saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Hal ini dalam teori didapatkan hasil inspeksi pada pasien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi penafasan, serta penggunaan otot bantu nafas (sternocleidomastoid) (Muttaqin, 2006:158). Pada Ny. D bentuk dada simetris, dalam teori
69
dikatakan pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat pasien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif. Pada palpasi, ekpansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun. Pada auskultasi sering didapatkan adanya bunyi ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2006:158). Pada pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan hasil sebelah kanan terpasang infus NaCl, akral hangat, tidak ada edema, kekuatan otot penuh (didapatkan nilai 5), capilery refil kurang dari 2 detik. Ekstremitas bawah kekuatan otot 4, karena ada bekas luka habis jatuh dari kamar mandi. Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada tanggal 11 april 2014, yaitu Pada Ny. D pemeriksan yang dilakukan sesuai dengan teori yaitu hemoglobin 10 g/dl terjadi penurunan dengan rentang penurunan (11,6 – 16,1 g/dl), hematokrit 30 % normal (33 -45 %), leukosit 10,8 ribu/dl normal (4,5 – 11,0 ribu/dl), trombosit 27,8 ribu/ul penurunan dengan rentang penurunan (150 – 450 ribu/ul), eritrosit 4,68 juta/ul normal (4,10 – 5,10 juta/ul), golongan darah B, gula darah sewaktu 110 mg/dl normal (60-140mg/dl), SGOT 3,4 u/l normal (0-35u/l), SGPT 26 u/l normal (0-45u/l), albumin 3.0 g/l penurunan dengan rentang penurunan (3,2-4,5 g/l), creatinin 0,6 mg/dl normal (0,6 – 1,2), ureum 30 mg/dl normal (<50 mg/dl), natrium darah 129 mg/dl normal (132 – 146 mg/dl), kalium darah 4,3 mmol normal (
70
3,7 – 5,4 mmol), klorida darah 97 mmol normal (98 – 106 mmol). Data analisa gas darah pH 7,266 penurunan dengan rentang penurunan ( 7,3107,420), BE -2,4 mmol/l normal (-2+3 mmol/l), PCO2 40,6 mmHg normal (27,0-100,0 mmHg), PO2 128,5 mmHg terjadi kenaikan dengan rentang (70,0-100,0), hematokrit 45 % normal (37-50 %), HCO3 20,3 mmol/l penurunan dengan rentang penurunan (21,0-28,0 mmol/l), total CO2 20,5 mmol/l normal (19,0-24,0), O2 saturasi 98,7 % (94,0-98,0 %). Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui kadar hemoglobin Ny. D mengalami penurunan. Dalam teori hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut oksigen. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cardiac output serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu konsentrasi Hb dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas penghantar oksigen akan menurun jika kadar Hb < 7 g/dl (Paniselvan, 2011:38). Pasien pada tanggal 11 – 12 April 2014 mendapatkan terapi infus NaCl 0,9% 12 tpm. Injeksi aminophilin 360 mg intravena. Aminophilin merupakan golongan teofillin efilendiamin atau obat untuk saluran pernafasan, terdiri dari furosemid 360 mg, yang diberikan pada pasien asma bronkhial dan asma cardial dan kejang koroner pernafasan(ISO, 2011:492). Obat oral N. Aseptil sistein 200mg golongan N. Acetyne 200 mg obat untuk saluran pernafasan fungsinya untuk meredakan batuk dan menurukan demam (ISO, 2011/2014). Ceftriaxone merupakan antimikroba golongan sefalosporin
71
yang terdiri dari seftriakson 1 gr, diberikan pada pasien dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen pada saluran napas, sepsis, jaringan lunak, intra abdominal, dan infeksi pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh (ISO, 2011/2014 : 148). Aspilet 3 x 80 mg. Aspilet merupakan golongan analgesik non narkotik yang terdiri dari asetosal 80 m, diberikan pada pasien diberikan pada pasien dengan demam, sakit kepala, rasa nyeri pada otot dan sendi, sakit gigi (ISO, 2011:04). Captopril 3 x 12,5 mg. Captopril merupakan golongan antihipertensi yang terdiri dari kaptopril tab 12,5 mg. Captopril diberikan pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (ISO, 2011:316). Dexamethasone obat peroral 5 mg, golongan kartikus teroid fungsinya anti alergi, anti inflamasi dengan gangguan dermatologik dan pernafasan (ISO, 2011:289). B. Diagnosa masalah Diagnosa keperawatan yang muncul berdasarkan data pengkajian pasien Ny. D dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yaitu ketidakefektifan bersihan jalan berhubungan mukus dalam jumlah berlebihan, ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
hiperventilasi,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis,
dan
intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Diagnosa pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
72
saluran pernafasan untuk mempertahankan kebesihanjalan nafas (NANDA, 2013: 450). Mukus dalam jumlah berlebih selain karena infeksi, keadaan tertentu yang bersifat kongenital atau difisiensi alfa-anti-protease inhibitor akan
menyebabkan
bronkus
terus
menerus
menghasilkan
sekret
yangberlebihan (Danusantoso, 2013:211). Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan batu-batuk, respirasi 29 kali per menit, ekspirasi memanjang, terdapat otot bantu pernafasan, vokal fremitus kanan kiri sama, terdengar sonor, dari hasil auskultasi terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, data pada Ny. D sesuai dengan teori, dimana batasan karakteristik bersihaan jalan nafas tidak efektif adalah dispnea, penurunan suara nafas, orthopnea, sianosis, kelainan suara nafas (ronkhi, wheezing), kesulitan berbicara, batuk tidak efektif atau tidak ada, mata melebar, produksi sputum, gelisah, perubahan frekuensi dan irama nafas (NANDA, 2013:450). Maka dari data diatas penulis mengambil diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan mukus dalam berlebih. Diagnosa kedua yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Ketidakefektifan pola nafas adalah adalah insiparasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (NANDA, 2013:303). Hiperventilasi merupakan peningkatan jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik untuk pembuangan karbon dioksida. Hiperventilasi ditandai dengan
73
peningkatan denyut nadi, nafas pendek, dada nyeri dan penurunan konsentrasi CO2 ( Jamilah, 2013:141). Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang, data objektif, respirasi 29 kali per menit, tampak penggunaan otot bantu pernafasanter, vokal fremitus kanan kiri sama, terdengar sonor, dari hasil auskultasi terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Berdasarkan (Jamilah, 2013:141), data pada Ny. D sesuai dengan batasan karakteristik ketidakefektifan pola nafas perubahan kedalaman pernafasan, dispnea, ortopnea, penggunaan otot aksesorius untuk bernafas, penurunan tekanan inspirasi, penurunan tekanan ekspirasi, takipnea. Maka dari data diatas penulis mengambil diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Diagnosa ketiga yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2013:309). Faktor biologis karena pasien mengalami sesak nafas, batuk dan produksi sputum tak berarti, maka semakin lama semakin berat dan kehabisan nafas sehingga tidak napsu makan dan tubuhnya keliatan kurus tak berotot (Price dan Wilson, 2006:739). Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data subjektif antropometri didapatkan data berat badan sebelum sakit 45 kg dan selama sakit 41 kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data
74
18,2 (kurang), biochemical didapatkan data pada tanggal 11 april 2014 Hematokrit 30% normal, hemoglobin 10 g/dl turun, clinical sign didapatkan data mukosa bibir kering, turgor kulit kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, nasi, lauk dan buah, porsi habis 3 atau 4 sendok makan karena rasanya cepat kenyang. data pada Ny. D sesuai dengan batasan karakteristik ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis adalah berat badan menurun, cepat kenyang setelah mencerna makanan, membran mukosa pusat (NANDA, 2013:308). Maka dari data diatas penulis mengambil diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis. Untuk menegakkan diagnosa yang keempat yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melnjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (NANDA, 2013:280). Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen menyebabkan intoleransi aktivitas karena dengan pasien gagal jantung akan cepat merasa lelah hal ini terjadi akibat curah jantung yang berkurang yang dapat menghambat sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan dan menghambat pembuangan sisa hasil metabolisme, perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan kelemahan dan keletihan (Muttaqin, 2006:67).
75
Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data subjektif pasien mengatakan sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah dan lemas sedangkan data objektif tekanan darah 160/120 mmHg, nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali per menit, pasien tampak lemah, pasien berbaring lemas, dari data aktivitas latihan didapatkan data makan atau minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan toileting dibantu orang lain (nilai skore 2), ambulasi/ROM mandiri (nilai skore 0). Dari data yang didapatkan sesuai dengan batasan karakteristik dari intoleransi aktivitas menyatakan merasa lemah, merasakan letih, dispnea setelah beraktivitas, ketidaknyamanan setelah beraktifitas, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas (NANDA, 2013:280). C. Intervensi Intervensi yang dilakukan penulis sesuai dengan NIC dan NOC, kriteria hasil meliputi spesifik (jelas), measurable (dapat diukur), acceptance (dapat diterima), rational (rasional), time (jelas waktunya). Berdasarkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih, penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam bersihan jalan nafas efektif pola nafas menjadi efektif dengan kriteria hasil tidak ada sesak, jalan nafas paten, dahak dapat keluar, pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit. Hal ini sesuai dengan teori dimana kriteria hasil yang ingin dicapai pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan napas antara lain mendemonstrasikan batuk
76
efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah), menunjukkan jalan nafas yang paten, mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas (NANDA, 2013:297). Berdasarkan NIC dan NOC intervensi yang dilakukan penulis dalam mengatasi masalah Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah observasi tanda-tanda vital dan pola nafas dengan rasional untuk mengetahui
adanya suara nafas atau adanya bunyi tambahan (Smeltzer,
2002:607), intervensi selanjutnyaajarkan nafas dalam dan batuk efektif dengan rasional untuk mengurangi sesak nafas dan mengencerkan dahak dan mengeluarkan sekretyang ada di jalan nafas (Smeltzer, 2002:607). Intervensi selanjutnya memberikan penjelasan kepada
pasien tentang manfaat
melakukan nafas dalam dan batuk efektif dengan rasional untuk mengurangi tingkat kecemasan dan menambah pengetahuan selain itu berguna bagi pasien untuk mengatur pernapasan dan mengeluarkan dahak dengan batuk efektif sehingga akan mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2002:607), intervensi selanjutnya posisikan semi fowler dengan rasional pemberian posisi semi fowler untuk membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Andriyani dkk, 2011). Intervensi selanjutnya kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen dengan rasional untuk memberikan
kebutuhan oksigenasi pasien yang mengalami sesak nafas
(Smeltzer, 2002).
77
Berdasarkan diagnosa keperawatan Pada Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam pola nafas menjadi efektif dengan kriteria hasil tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, bunyi nafas tambahan tidak ada, pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit. Hal ini sesuai dengan teori dimana kriteria hasil yang ingin dicapai pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi adalah mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas bersih, tidak ada dispnea, menunjukkan jalan paten, tanda tanda vital dalam rentang (tekanan darah, nadi, arteri). Intervensi
atau
rencana
keperawatan
untuk
diagnosa
ketidakseimbangan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yang akan dilakukan adalah observasi pola nafas, irama dan usaha inspirasi, sesuai dengan teori tindakan ini dilakukan untuk mengetahui respirasi, bunyi nafas dan letak sekret pada pasien PPOK (Smeltzer, 2002:607). Intervensi yang kedua yaitu ajarkan latihan pernafasan diafragma. Dalam teori latihan ini dilakukan untuk memperbaiki fungsi alat pernafasan dan melatih penderita mengatur pernafasan (holloway, ram, 2004). Windarti (2013:03) dalam jurnal pengaruh diaframatic breathing exercise terhadap peningkatan kualitas hidup penderita asma dengan cara melibatkan 7 responden dengan pre post test, penelitian ini di lakukan selama 1 bulan dengan berfokus kepada kualitas hidup penderita asma dan hasil
78
menunjukkan setelah diberikan diaframatic breathing exercise terjadi peningkatan kualitas hidup dari sedang ke tinggi, dimana kualitas hidup dihubungkan dengan gejala episodeik berulang berupa mengi, sesak nafas, dan terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam dan dini hari. Pemberian breathing exercise pada pasien PPOK juga mampu menurunkan kejaadian sesak
napas,
dimana
pemberian
latihan
menggabungkan latihan pernafasan diafragma,
dilakukan
dengan
cara
menggerutkan bibir, dan
pernapasan yoga, hasil menunjukkan pernapasan dapat mengubah perekrutan otot pernafasan yang akan mengurangi dispnea, mengurangi hiperinflasi, meningkatkan pernafasan pada kinerja otot dan mengoptimalkan gerak thoraco-abdominal (Holland, 2008:44). Intervensi yang ketiga yaitu beri penjelasan kepada pasien tentang manfaat melakukan latihan pernafasan diafragma dalam teori untuk mengurangi rasa cemas dan menanambah pengetahuan (Wilkinson, 2006:55). Intervensi keempat beri posisi semi fowler dalam teori pemberian posisi semi fowler untuk membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdumen pada diafragma (Andriyani dkk, 2011:5). Berdasarkan diagnosa keperawatan Pada Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis dengan tujuan kekurangan nutrisi dapat teratasi, penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat tertasi dengan kriteria hasil adanya
79
peningkatan berat badan pasien (BB) mencapai 2-3 kg, nafsu makan meningkat, mukosa lembab, asupan nutrisi adekuat Hal ini sesuai dengan teori
dimana
kriteria
hasil
yang
ingin
dicapai
pada
diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis adalah adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan, berat badan sesuai dengan tinggi badan, mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-tanda mal nutrisi, hasil laboratorium menyatakan albumin dan hemoglobin (Hb) dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda mal nutrisi. Intervensi kaji adanya pola makan. Dalam teori pengkajian di lakukan untuk mengetahui kebiasaan makan dan jenis makanan (Wilkinson, 2006:321). Intervensi selanjutnya anjurkan makan sedikit tapi sering, dalam teori tindakan ini memungkinkan pasien mengkomsunsi kalori dan karbonhidrat dan protein yang adekuat (Wilkinson, 2006:322), kemudian beri penjelasan tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang kaya protein, vitamin, dan mineral dan karbonhidrat yang adekuaat, dalam teori nutrisi berperan sebagai sumber membangun jaringan dan mengatur proses metabolisme (Wilkinson, 2006:322). Kolaborasi dengan ahli nutrisi dalam pemberian diit TKTP. Dalam teori menentukan TKTP dalam teori peningkatan asupan protein dapat membantu perbaikan, berikan vitamin sesuai indikasi, anjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah yang disukai oleh pasien jika tidak ada kontra indikasi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diit yang tepat (Somantri, 2009:73).
80
Berdasarkan tujuan dari dignosa intoleransi aktivitas berhubungaan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dilakukan 2x24 jam di harapkan aktivitas dapat ditoleransi kriteria hasil: tanda-tanda vital dalam batas normal. Dalam teori bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesui dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial (NANDA, 2013:280). pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri. Dalam teori membantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu di lakukan oleh pasien (NANDA, 2013:280) dapat mentoleransi aktivitas, pasien tampak segar. Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah observasi vital sign dan kemampuan aktivitas pasien dengan rasional untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala dengan rasional untuk mencegah terjadinya kelemahan otot, anjurkan keluarga untuk memenuhi ADL, untuk memenuhi ADL pasien, anjurkan pasien untuk bedtrest dengan rasional untuk menghemat energi (Smeltzer, 2002: 608). D. Implementasi Tindakan yang dilakukan pada Ny. D sesuai dengan intervensi yang telah disusun pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan mukus dalam jumlah yang berlebih. Tindakan yang dilakukan antara lain mengauskultasi bunyi paru, memberi penjelasan kepada pasien sebelum dan sesudah melakukan nafas dalam dan batuk efektif dan memposisikan posisi semi fowler. Dalam teori pemberian nafas dalam dan
81
batuk efektif berguna untuk mengurangi sesak nafas dan mengencerkan dahak serta mengeluarkan sekret yang ada di jalan nafas, sedangkan auskultasi dilakukan untuk mengetahui tambahan.
adanya suara nafas atau adanya bunyi
Dalam teori pemberian posisi semi fowler dilakukan untuk
membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdumen pada diafragma (Andriyani, ddk, 2011:05). Tindakan yang dilakukan pada Ny. D untuk diagnosa kedua penulis sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Tindakan pada hari pertama tanggal 11 april pada jam 11.30 wib penulis melakukan observasi pola nafas, irama dan usaha respirasi, dari hasil implementasi yang dilakukan didapatkan data respon subjektif pasien mengatakan lemah dan sesak nafas, respon objektifnya pasien tampak lemah, terpasang O2, tekananan darah 160/120 mmHg, respirasi 29 kali per menit, suhu 36,8 oC dan nadi 92 kali per menit. Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan letak adanya bunyi tambahan yang ada gangguan (Smeltzer,
2002:607).
Pada
jam
11.30
wib
di
lakukan
tindakan
mengauskultasi bunyi paru dengan hasil pemeriksaan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan data objektifnya terdapat bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinistra, respirasi 29 kali. Dalam teori pemeriksaan auskultasi sering di dapatkan bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2006:66).
82
Penulis melakukan implementasi selanjutnya pada jam 12.05 wib, untuk mengatasi permasalahan nafas pada pasien, dengan mengajarkan pelatihan diafragma, hasil pemberian latihan menunjukkan respon respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas bertambah sesak bila posisi terlentang dan respon objektifnya pasien terlihat lebih rileks dan respirasi 29 kali per menit. Dalam teori tindakan menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010:05) mengajarkan latihan pernafasan diafragma merupakan suatu proses pernafasan secara konsentrasi merasakan udara masuk melalui hidung kedalam tubuh kemudian keluarkan dari mulut yang dilakukan dengan posisi nyaman dan berbaring dengan rileks dan menutup mata, serta melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. Pernafasan diafragma ini memerlukan konsentrasi dan kenyakinan yang memusatkan perhatian hanya dengan pernafasan. Mengajarkan latihan pernafasan diaframa dalam teori latihan ini berguna untuk memperbaiki pola nafas yang salah, dan cenderung menggunakan pernafasan dada atas dan pengempisan perut saat inspirasi. Ketika pasien di ajarkan teknik pernafasan diafragmatik sangat berguna karena dapat meningkatkan sirkulasi dan pernafasan terkontrol. Windarti (2013) dalam jurnal pengaruh diaframatic breathing exercise terhadap peningkatan kualitas hidup penderita asma dengan cara melibatkan 7 responden dengan pre post test, penelitian ini di lakukan selama 1 bulan dengan berfokus kepada kualitas hidup penderita asma dan hasil menunjukkan peningkatan dari sedang ke tinggi. Penulis di sini melakukan
83
latihan pernafasan diafragma terhadap Ny. D dengan cara pertama: inspirasi, menarik udara masuk ke dalam baru melalui saluran hidung, kemudian fase 2: beri sedikit jeda sebelum mengeluarkan udara dari paru, selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya leting elastisitas dinding paru melalui saluran masuknya udara tersebut, kemudian fase 3: ekspirasi, mengeluarkan udara dari paru tmelalui saluran masuknya udara tersebut, kemudian fase 4: beri jeda kembali selam 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas kembali, kemudian pernafasan diafragma dilakukan selama 5 atau 15 menit setiap kali, satu atau dua sehari selam dua minggu, langkah –langkah yang diambil penulis disesuaikan dengan jurnal Prihadiono dkk (2010), dimana langkah pemberian latihan pernapasan diafragma dilakukan seperti uraian diatas. Hasilnya pasien masih mengatakan masih sesak nafas dengan respirasi 25 kali per menit, karena pengelolaan penulis hanya 2 hari maka hasilnya belum maksimal. Pada hari kedua tanggal 12 april 2014 implementasi pada jam mengobservasi tanda vital dan mengauskutasi bunyi paru. Dengan data respon subjektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan respon objektif terdengar bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tekanan darah 130/90 mmHg, respirasi 28 kali per menit, suhu 36,8 oC , nadi 89 kali per menit. Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan letak adanya bunyi tambahan yang ada gangguan (Smeltzer, 2002:607), sedang implementasi pada auskultasi dapatkan adanya bunyi nafas paru yang berupa ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan (Muttaqin, 2006:66).
84
Implementasi selanjutnya pada jam 09.00 wib memberi injeksi aminophilin 360 mg dengan respon subjektif pasien bersedia di berikan injeksi dan respon objektif obat sudah masuk melalui intra vena. Dalam teori pemberian aminophilin sangat berguna karena unuk mengurangi rasa sesak (ISO, 2011:492). Implementasi selanjutnya pada jam 09.15 mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan respon objektif pasien terlihat mempraktekkan latihan pernafasan diafragma dengan respirasi 28 kali per menit. Tindakan pernafasan diafragma yaitu pernafasan yang bertujuan untuk melatih cara bernafas karena ketika terjadi sesak nafas pasien cenderung tegang yang membuat
pasien
tidak
dapat
mengatur
pernafasannya
sehingga
mengakibatkan bertambah penyempitan pernafasan dibronkus, dan setelah di lakukan latihan pernafasan pasien mengalami penurunan dari 29 ke 26 kali per menit. Implementasi selanjutnya pada jam 10.25 wib mengobservasi vital sign dan mengauskultasi bunyi paru dengan respon subjektif pasien masih merasa sesak nafas, respon objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 26 kali per menit, nadi 84 kali per menit, suhu 36, 1o C. Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan letak adanya bunyi tambahan yang ada gangguan (Smeltzer, 2002:607), sedang implementasi pada auskultasi dapatkan adanya bunyi nafas paru yang berupa ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan (Muttaqin, 2006:66). Implementasi selanjutnya pada hari
85
yang sama pada jam 11.30 penulis kembali mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas mulai berkurang, respon pasien tampak rileks, respirasi 25 kali per menit dan setelah di lakukan latihan pernafasan, respirasi pasien mengalami penurunan dari 26 ke 25 kali per menit. Implementasi selanjutnya pada jam 13.00 wib memberikan posisi semi fowler dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia di posisikan semi fowler data objektif pasien tampak rileks. Dalam teori membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdumen pada diafragma (Andriyani, 2011:05). Tindakan yang dilakukan pada Ny. D penulis lakukan sesuai dengan intervensi pada diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Tindakan dilakukan dalam 2 hari pengelolaan, implementasi tersebut antara lain mengobservasi polamakan, menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering, menganjurkan pasien makanan apa yang boleh di makan sesuai dengan diit TKTP, menganjurkan pasien untuk sedikit makan tapi sering, berikan vitamin sesuai indikasi, anjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah yang disukai oleh pasien jika tidak ada kontra indikasi. Dalam teori mengatasi masalah nutrisi dilakukan agar pasien mengkonsumsi kalori dan karbohidrat dan protein yang adekuat dan mengetahui kebiasan pasien makan dan jenis makan (wilkinson, 2006:321). Nutrisi berperan sebagai sumber membangun jaringan untuk mengatur proses metabolisme tubuh (Wilkinson, 2006:322)
86
Tindakan yang dilakukan pada Ny. D penulis sesuaikan dengan rencana keparawatan pada diagnosa intolerensi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Implementasi dilakukan selama 2 hari pengelolaan, implementasi tersebut antara lain mengkaji aktivitas pasien, mengajurkan pasien untuk mengubah posisi secara berkala, anjurkan keluarga untuk memenuhi ADL, menganjurkan pasien untuk bedrest di tempat tidur. Dalam teori mengatasi maslah aktivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki pasien dan untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki pasien, selain itu untuk mencegah terjadinya kelemahan otot, untuk memenuhi ADL pasien perlu dilakukan tindakan untuk mengatasi masalah aktivitas pasien (Smeltzer, 2002:608). E. Evaluasi Evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11 april untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah yang berlebih adalah pasien mengatakan sesak nafas dan batuk tidak efektif, objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, terpasang oksigen 3 liter per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut, telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan observasi vital sign, ajarkan teknik nafas dalam, ajarkan batuk efektif, memposisikan semi fowler. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana
87
pemberian latihan pemberian diafragma di lakukan baru sekali dan pasien belum terlalu mengerti apa yang di ajarkan oleh penulis. Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi karena pasien mengatakan masih sesak nafas dan batuk tidak efektif, objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, sekret sudah keluar, respirasi 25 kali per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu observasi vital sign, ajarkan tarik nafas dalam, beri posisi semi fowler dan ajarkan batuk efektif. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis yang hanya mengelola 2 hari. Evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11 April 2014 pada pukul 14.45 wib untuk diagnosa ketidaefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi adalah pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang, obyektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang, respirasi 29 kali per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut, telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan observasi ttv, ajarkan latihan pernafasan diafragma, mengauskultasi bunyi paru. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakefektifan pola nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana pemberian latihan pemberian diafragma
di
88
lakukan baru sekali dan pasien belum mengerti bagaimana melakukan latihan pernafasan diafragma. Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 pada jam 14.15 wib untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas belun teratasi karena pasien belum mengerti tentang latihan pernafasan diafragma di dukung pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang dengan objektif terdapat bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, respirasi 25 kali per menit, terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang. untuk menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu observasi vital sign, kaji bunyi paru, ajarkan latihan pernafasan diafragma. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakefektifan pola nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana pemberian terapi hanya berlangsung selama 2 hari dan pasien belum terlalu mengerti tentang pernafasan diafragma, namun penurunan respirasi belum sesuai dengan jurnal, dimana dalam jurnal pemberian latihan diafragma akan menurunkan periode sesak napas dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengukuran selama 1 bulan. Evaluasi
pada
tanggal
11
april
2014
untuk
diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis adalah pasien mengatakan tidak nafsu makan, cepat merasa kenyang dan hanya makan 3 sendok, objektifnya pasien tampak lemah, konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, untuk menindak lanjuti hal
89
tersebut, telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan beri penjelasan pentingnya mengkonsumsi karbonhidrat (TKTP), anjurkan makan sedikit tapi sering, timbang berat badan. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana pasien sesak nafas jadi untuk makan pasien tidak mau, hanya mau minum kalau di paksa. Evaluasi hari sabtu pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, dengan subjektif pasien mengatakan sudah sudah mau makan 5 sendok, untuk menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu anjurkan untuk makan sedikit tapi sering, beri penjelasan tentang pentingnya makan karbohidrat, timbang berat badan. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Ny. D hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis yang hanya mengelola 2 hari. Evaluasi pada tanggal 11 april untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen adalah pasien mengatakan badannya masih lemah, ADLnya di bantu oleh anaknya. Objektif pasien tampak lemah dan hanya berbaring di tempat tidurnya, pasien tampak makan di suapi ananknya dan buang air kecil di abntu olehanaknya, untuk menindak lanjuti hal tersebut,
90
telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan observasi vital sign, observasi kemampuan aktivitas pasien, bantu untuk mengubah posisi secara berkala dan anjurkan keluarga pasien untuk membantu dalam ADLnya. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah intoleransi aktivitas pasien, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana pasien mengalami sesak nafas dan bertambah sesak bila posisi terlentang. Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa intoleransi aktivitas belum tertasi, dengan subjektif Pasien mengatakan masih lemah, ADLnya masih di bantu, objektif pasien tampak tiduran di tempat tidur, tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 25 kali per menit, suhu 36,2 oC, nadi 89 kali per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu observasi vital sign, observasi kemampuan aktivitas pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi, anjurkan keluarga dalam ADL penderita. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah intoleransi aktivitas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis yang hanya mengelola 2 hari. Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat memberikan informasi kepada pihak lain sehingga dapat memperluas pengetahuan tentang penyakit penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan penatalaksanaannya. Walaupun dalam penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak kekurangan, tetapi dengan kekurangan tersebut penulis mandapatkan masukan dari pihak lain
91
sehingga penulis mampu melengkapinya dan menjadikannya lebih sempurna serta dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnose, implementasi dan evaluasi tentang pemberian diafragmatik breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan Penyakit paru Obstruksi Kronik di ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta secara metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan A. KESIMPULAN Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengkajian Pengkajian pada Ny. D diperoleh data pasien mengeluh sesak nafas saat beraktivitas dan tampak penggunaan otot bantu pernafasan, terdengar suara ronkhi di lobus 2 interior sinestra, respirasi 29 kali per menit 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Ny. D adalah Ketidaksefektifan bersihan jalan nafas berhubungan mucus dalam jumlah berlebih, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor bilogis, intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
92
93
3. Intervensi Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas Ny. D, observasi vital sign dan pola nafas, ajarkan nafas dalam dan batuk efektif, beri penjelasan pada pasien tentang manfaat melakukan nafas dalam dan batuk efektif, beri posisi semi fowler, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian O2. Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas pada Ny. D yaitu observasi pola nafas, irama, dan usaha, ajarkan latihan pernafasan diafragma, beri penjelasan kepada pasien tentnang manfaat melakukan latihan pernafasan diafragma, beri posisi semi fowler. Intervensi untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada Ny. D yaitu kaji pola makan, anjurkan pasien untuk sedikit makan tapi sering, beri penjelasan kepada pasien tentang pentingnya mengkonsumsi makananyang kaya protein, minera, vitamin, karbonhidrat yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit TKTP. 4. Implementasi Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny. D penulis lakukan sesuai dengan di intervensi yang telah disusun sebelumnya. 5. Evaluasi Evaluasi yang dilakukan selama dua hari sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan Rencana Asuhan Keperawatan, serta telah berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya didapatkan hasil evaluasi keadaan pasien dengan kriteria hasil belum tercapai, diagnosa
94
ketidakefektifan bersihan berhubungan mukus dalam jumlah berlebih pada Ny. D belun teratasi intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan observasi vital sign, ajarkan teknik nafas dalam, ajarkan batuk efektif dan posisikan semi fowler. Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi hasil evaluasi dengan kriteia hasil belum tercapai, maka hambatan mobilitas fisik pada Ny. D belum teratasi intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan Observasi vital sign, ajarkan latihan diafragma, mengauskultasi bunyi paru. Pada diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis hasil evaluasi keadaan pasien dengan kriteria hasil belum tercapai, sehingga ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi dan intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan beri penjelasan tentang pentingnya mengkonsumsi karbonhidrat (TKTP), anjurkan makan sedikit tapi sering, timbang berat badan. 6. Analisa Hasil pengaruh pemberian diaframatic breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan diagnosa Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yaitu pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang dengan data objektif terdengar bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tampak penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang dan
95
respirasi 25 kali per menit. Sesuai dengan penelitian yang di lakukan Windarti (2011) dengan pemberian diafragmatic breathing exercise terhadap
peningkatan
kualitas
hidup
penderita
asma
mampu
meningkatkan kualitas hidup penderita asma. Kualitas hidup dalam penelitian ini dihubungkan dengan timbulnya gejala episodeik pada pasien asma yang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batukbatuk terutama malam atau dini hari. Pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik mengalami penurunansesak napas setelah diberikan diafragmatic breathing exercise dimana respirasinya menunjukkan penurunan dari 29 ke 25 kali per menit, namun hasil ini belum maksimal, karena pasien masih tampak menggunakan alat bantu pernafasan dan masih terdengar dari suara ronkhi di lobus 2 interior sinestra
B. SARAN Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai berikut : 1. Bagi rumah sakit Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien lebih optimal dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 2. Bagi institusi pendidikan Diharapkan
institusi
pendidikan
memberikan
kemudahan
dalam
pemakaian sarana dan prasarana yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa
96
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dalam melalui praktek klinik dan pembuatan laporan. 3. Bagi pembaca Diharapkan pembaca menjadi lebih mengerti tentang penyakit paru obstruksi kronik. 4. Bagi penulis selanjutnya Diharapkan penulis dapat menggunakan atau memanfaatkan waktu lebih efektif, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien secara optimal.
97
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, dkk .2011. Keefektifian Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pasien Asma Di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta.Jurnal.http://www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id/index.php/gaster/articl e/view/29/26.Diakses tanggal 8 April 2014. Ardiyansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Cetakan Pertama. DIVA Press (Anggota IKAPI). Jogjakarta Aziz, dkk. 2006. Panduan Pelayanan Medik : Perhimpunan Dokter Spesialis Dalam Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Branshers,
Valentina. 2007. Aplikasi Manajemen.EGC : Jakarta
Klinis
Patofisiologi
Pemeriksaan
dan
Danusantoso, Halim. 2013. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Edisi 2. EGC: Jakarta Dermawan, Deden .2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja. Gosyen Publising. Yogyakata. Francis, caia. 2008. Perawatan respiratori. Erlangga: Jakarta. Holland, dkk. 2012. Breathing exercises for chronic obstructive pulmonary disease (Review). Jurnal. onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.../pd..Diakses pada tanggal 27 maret 2014 Ikawati, zullies. 2007. Farnakologi Penyakit Sistem Pernafasan. Pustaka Adipura. Yogyakarta ISO. 2010. Iso_Informasi Spesialis Obat Indonesia, Penerbit ikatan Apoteker Indonesia : Jakarta. Jamilah, andi siti. 2013. Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia, Binarupa Aksara Publisher :Jakarta Kendall. 2013. Sinopsis Organ System Pulmonologi, Karisma Pubishing Group : Jakarta Morton, dkk. 2011. Critical CarevNursing: A Holistic Approach Keperawatan Kritis. Volume 1. EGC: Jakarta. Murwani, Arita. 2012. Perawatan Pasien Penyakit dalam, Gosyen Publishing: Yogyakarta Muttaqin, arif. 2006. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Pernafasan, SalembaMedika : Jakarta. NANDA. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC. Media Hardi : Yogyakarta.
98
Paniselvam, Paramasundari. 2011. Hubungan derajat Gagal Jantung kronis Dengan Derajat anemia Di Rumah Sakit Umum Pusat haji Adam Malik Medan. Karya Tulis Ilmiah. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31664/8/Cover.pdf. Diakses tanggal 26 Maret 2014. Perry, AnneGriffin. 2005. Buku Saku Keterampilan & Prosedur Dasar. EGC : Jakarta Pranowo.2010. Efektivitas Batuk Efektif Dalam PengeluaranSputum untuk Penemuan BTA pada Pasien TB paru Di ruang rawat inap rumah sakit mardi Rahayu Kudus.Karya Tulis Ilmiah. http://eprints.undip.ac.id/10476/1/artikel.pdf. Diakses pada tanggal 28 maret 2014 Price, A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, EGC: Jakarta Prihandiono, Aryani, Yuli. 2010. Pengaruh tehnik relaksasi pernafasan diafragma terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di instalasi rawat jalan jantung rsud dr. Harjono ponorogo.Jurnal Keperawatan. apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/download.php?id=158.Diakses tanggal 25 maret 2014 Priyanto. 2010. Pengaruh Deep Breathing Exercise Terhadap Pengaruh Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik.Tesis.http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20284827T520PRIYANTO.pdf. Diakses tanggal 3 April 2014 Smeltzer. 2002. Keperawatan medikal Bedah Brunner dan Suddart. Volume 1. EGC. Jakarta Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Salemba Medika : Jakarta Sudoyo, Aru W dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing : Jakarta Suradi. 2007. Pengaruh rokok pada penyakit paru obstruksi konik. Jurnal keperawatan. si.uns.ac.id/profil/.../pengukuhan_suradi.pdf. Diakses 5 april 2014 Tarwoto, Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Salemba Medika: Jakarta Wilkinson. 2006. Buku saku diagnosa keperawatan. EGC : Jakarta Williams dan Wilkins. 2011. Nursing The Series For Clinical Exellence: Memahami Berbagai Macam Penyakit, Indeks: Jakarta Windarti, rini. 2011. Pengaruh diafragmatic breathing exercise terhadap peningkatan kualitas hidup penderita asma. Karya Tulis Ilmiah. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/3340/3.%20RIN I%20WIDIARTI.pdf?sequence=1.Diakses tanggal 6 April 2014