PERANAN AGAMA PADA TRADISI ADAT SURONAN TERHADAP PEMBENTUKAN SIKAP KEAGAMAAN REMAJA DI SUROLOYO DUSUN KECEME DESA GERBOSARI KECAMATAN SAMIGALUH KABUPATEN KULONPROGO DIY 2015 SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh: WAHYU NUR ROFIQOH NIM. 11111228
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) 2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Sesungguhnya Allah mencintai akhlaq yang mulia dan membenci akhlaq yang buruk
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan rasa syukur aku panjatkan kepada Allah SWT atas segala semua keindahan dan keberkahan dalam kehidupanku. Kepada orang-orang yang aku sayangi dan cintai akan kupersembahkan karya tulis ini untuk kalian: 1. Kedua orang tuaku tercinta bapak Chamim (alm) dan ibu Wasiatun, yang selama ini senantiasa mencurahkan kasih sayang, mendidik dari kecil
sampai sekarang, doa restu yang tulus dan semua nasihat-
nasihatnya yang tak pernah putus. Terimakasih atas pengorbanan dan kerja keras Bapak dan Ibu selama ini, tanpa Bapak dan Ibu aku tidak akan sampai sekarang ini. 2. Kepada kakak-kakak dan adikku tercinta yang selalu memberi motivasi Zahroh Dwi Estiani, Wirda Arum Sari, Puput Nihayati dan Khikmatul Latifah 3. Kepada Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang selalu mengarahkan dan memberi motivasi dengan penuh kesabaran. 4. Sahabat-sahabatku tercinta RAINBOW Ana Lestari, Deni Rahayu R, Istry Mahmudah, Ma’rifatun Nasiroh, terimakasih motivasinya dan yang tak pernah lelah menyemangatiku sehingga skripsi ini terselesaikan.Terimakasih telah memberi warna indah dalam persahabatan yang telah kalian berikan selama kurang lebih empat tahun ini. Semoga kesuksesan selalu mengiri langkahkita 5. Kiky, Imel, Rivda dan Mba Tyna sahabat kecil setiaku yang selalu mendukungku 6.
TEAM NJO DOLAN yang selalu memberi motivasi
7.
Teman-teman seperjuangan Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI 2011, khususnya kelas PAI F
vii
KATA PENGANTAR Asslamu’alaikum Wr. Wb Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam ta‟dzim senantiasa terlimpahkan kepada beliau habibina Nabiyyullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya serta kepada semua umatnya. Berkat limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PERANAN AGAMA PADA TRADISI ADAT SURONAN TERHADAP PEMBENTUKAN SIKAP KEAGAMAAN REMAJA
DI
SUROLOYO
DUSUN
KECEME
DESA
GERBOSARI
KECAMATAN SAMIGALUH KABUPATEN KULONPROGO DIY 2015”. Yang secara akademis menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S1 Pendidikan Agama Islam. Semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Di samping itu, apa yang telah tersaji ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan tersusun dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr.H. Rahmat Hariadi, M.Pd selaku rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M.Pd selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku ketua jurusaan Pendidikan Agama Islam (PAI)
viii
4. Bapak Prof. Dr.H.Mansur, M.Ag selaku Dosen Pembimbing dalam Skripsi ini yang telah meluangkan waktunya. 5. Segenap dosen dan karyawan IAIN Salatiga, khususnya pada Jurusan Pendidikan Agama Islam 6. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan dorongan dan do’a demi keberhasilan penulis. 7. Kepala Desa Gerbosari yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam melakukan penelitian di Desa tersebut. 8. Sahabat-sahabat seperjuangan PAI 2011, yang selalu memberikan semangat dan memberi warna dalam hari-hari penulis. 9. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan hati mereka mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT, serta memperoleh kesuksesan dunia akhirat.
ix
Penulis sadari, penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembaca. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat. Salatiga,14 Januari 2016 Penulis
WAHYU NUR ROFIQOH
x
ABSTRAK Wahyu Nur Rofiqoh. 2016. PERANAN AGAMA PADA TRADISI ADAT SURONAN TERHADAP PEMBENTUKAN SIKAP KEAGAMAAN REMAJA DI SUROLOYO DUSUN KECEME DESA GERBOSARI KECAMATAN SAMIGALUH KABUPATEN KULONPROGO DIY 2015. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing. Prof.Dr. H. Mansur M.Ag Kata kunci: Peranan Agama, Tradisi Adat Suronan Terhadap Pembentukan Sikap Keagamaan Remaja Latar belakang pembuatan skripsi ini untuk mengetahui peranan agama pada tradisi adat suronan terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja di Suroloyo . Fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana tradisi adat suronan di dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo DIY, apa fungsi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh DIY, Bagaimana peranan agama pada tradisi adat suronan terhadap pembetukan sikap keagamaan remaja di Suroloyodusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo DIY. Adapun tujuan penelitian ini Mengetahui tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme Desa Gerbosari, untuk mengetahui fungsi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme Desa Gerbosari dan untuk mengetahui bagaimana peranan agama pada tradisi adat di Suroloyo dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo DIY 2015. Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen langsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut merupakan keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari analisa data ini adalah mengadakan keabsahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa agama berperan pada tradisi adat suronan ini terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja di Suroloyo dusun Keceme. Meskipun peranan agama pada tradisi adat suronan ini tidak berperan sepenuhnya.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO ...............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
v
HALAMAN MOTTO.................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................
vii
KATA PENGANTAR.................................................................................
ix
ABSTRAK ..................................................................................................
xii
DAFTAR INFORMAN ...............................................................................
xiii
DAFTAR ISI.............................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah................................................................ Rumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Kegunaan Penelitian ....................................................................... Penegasan Istilah ............................................................................ Penelitian yang Relevan.................................................................. ... Metode Penelitian............................................................................ 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ........................................ 2. Kehadiran Peneliti .............................................................. 3. Lokasi Penelitian.................................................................. 4. Sumber Data ....................................................................... 5. Prosedur Pengumpulan Data ............................................. 6. Analisis Data........................................................................ 7. Pengecekan Keabsahan Data.............................................. 8. Tahap-tahapPenelitian......................................................... H. Sistematika Penulisan......................................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Tradisi Suronan....................................................... 1. Pengertian Tradisi...............................................................
xii
1 5 5 6 7 9 11 11 13 14 14 15 17 18 19 20
22 25
2. Pengertian Suronan............................................................. B. Pengertian Sikap Keagamaan.................................................... 1. Pengertian Agama Islam...................................................... 2. Pengertian Sikap Keagamaan.............................................. 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi keagamaan................ 4. Dimensi keagamaan.............................................................. C. Pengertian Remaja..................................................................... D. Peranan Tradisi Adat Suronan terhadap pembentukan Keagamaan Remaja........................................................ BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Kondisi lokasi Penelitian............................................................. 1. Letak Geografis......................................................................... 2. Keadaan Penduduk ................................................................... B. Temuan Penelitian.................................................................... 1. Latar Belakang Tradisi Suronan........................................ 2. Bentuk Adat Suronan Di Suroloyo..................................... 3. Faktor Pendukung Dan Penghambat.................................. 4. Presepsi Tokoh Tentang Tradisi Adat Suronan.................
26 27 28 29 32 34 36 Sikap 38 38 38 40 42 45 47 49 50
BAB IV ANALISA DATA A. Prosesi Tradisi Adat Suronan Di Suroloyo .................................. 62 B. Fungsi Tradisi Adat Suronan Di Suroloyo................................... 64 C. Peranan Dalam Tradisi Adat Suronan Terhadap Pembentukan Sikap keagamaan Remaja............................................................. 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan........................................................................................ B. Saran.................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
76 79
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang
mempunyai banyak kekayaan yang
beraneka ragam. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut bukan hanya berupa kekayaan sumber alam saja, tetapi masyarakat Indonesia juga memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan budaya, adat dan tradisi bangsa Indonesia yang tersebar di setiap provinsi, pulau, suku wilayahwilayah bahkan sampai pelosok-pelosok pedesaan. Kebudayaan atau adat istiadat yang terpelihara tersebut akan menjadi satu identitas kehidupan masyarakat di suatu tempat atau wilayah. Seperti yang diungkapkan oleh Suparlan dalam Jalaluddin (1996 : 170) bahwa tradisi adalah unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Salah satu kekayaan kebudayaan orang-orang Jawa adalah tradisi adat suronan yang dirayakan setiap tahun sekali pada tanggal 1 malam suro (1 muharam) di daerah Yogyakarta dan Surakarta.Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
i
Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Banyak cara yang digunakan untuk memperingati satu Suro. Hal ini tergantung dari kepercayaan masyarakat dan pengaruh lingkungan sekitarnya. Seperti halnya masyarakat di dusun Keceme kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon Progo juga merayakan ritual adat suronan di setiap tahunnya, tepatnya di Suroloyo. Di Puncak Suroloyo tersebut setiap tahun pada malam satu Suro merayakan suronan
dengan berbagai adat yang
menjadi ciri khas di daerah tersebut. Setiap malem suro tiba masyarakat di daerah Suroloyo merayakan suronan dengan cara berdoa bersama biasa di sebut dengan tirakatan. Doa bersama tersebut dilakukan tepat pada jam 24.00, namun pembukaan acara suronan tersebut sudah di mulai sehabis magrib. Tirakatan tersebut bertujuan agar masyarakat di sekitar sana bisa hidup lebih baik dari tahun sebelumnya dan apa yang menjadi doa akan terkabulkan. Setelah melakukan tirakatan semalem suntuk dan ada pertunjukan wayang pada malam hari tersebut pada esok harinya di dusun Keceme melakukan upacara adat yang semua warga baik orang tua maupun remaja disana berpakaian memakai adat jawa.Setelah itu melakukan Upacara jamasan pusaka diadakan di Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh setiap tanggal 1 Suro tahun baru jawa.Pusaka yang dijamasi adalah Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Manggolo Dewo. Pusaka ini merupakan pemberian dari Kraton Kasultanan Yogyakarta. Prosesi jalannya upacara dimulai dengan kirab dari kediaman sesepuh Dusun
ii
Keceme menuju sendang Kawidodaren. Arak-arakan terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat setempat, diikuti hasil bumi yang dibentuk gunungan serta rombongan kesenian tradisional Kemudian pusaka tersebut dijamasi di sendang Kawidodaren.Yang menarik dari kegiatan ritual ini adalah adanya Udik-udik yang diperebutkan oleh para warga masyarakat maupun para pengunjung. Udik-udik berupa hasil bumi ini konon dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertaniannya berhasil.Dalam upacara tersebut di datangi oleh bupati Yogyakarta. Lain halnya dengan masyarakat Jawa lainnya, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Dalam kehidupan masyarakat di dusun keceme desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo , ritual adat suronan merupakan tradisi adat yang sudah mengakar di dusun keceme dan para remaja di dusun tersebut masih kurang mengerti tentang agama. Mereka
iii
beranggapan bahwa ritual adat yang di lakukan setiap tahunnya merupakan hiburan yang tidak terlewatkan. Remaja di dusun keceme beranggapan bahwa ritual tersebut tidak mengandung hal-hal akan keagaaman. Sehingga faktor yang mempengaruhi mereka untuk menjalankan pemahaman keagamaan tersebut karena kurang sadar dari pribadi, pendidikan yang rendah dan tidak ada untuk belajar tentang ilmu keagamaan.Jadi hal tersebut mempengaruhi sikap keagamaan yang kurang pada remaja khususnya di dusun keceme. Berangkat dari uraian di atas, maka penulis mengambil penelitian skripsi ini dengan judul “ PERANAN AGAMA PADA TRADISI ADAT SURONAN TERHADAP PEMBENTUKAN SIKAP KEAGAMAAN REMAJA DI SUROLOYO DUSUN KECEME, DESA GERBOSARI, KECAMATAN
SAMIGALUH,
KABUPATEN
KULONPROGO,
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2015 “. B. Rumusan Masalah Penelitian dilakukan karena adanya suatu masalah yang membutuhkan pembahasan atau penyelesaian. Masalah dalam sebuah penelitian berarti juga fokus yang menjadi pusat pembahasan. Secara umum masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Rumusan masalah (problematika) diperlukan sebagai arah atau pedoman dalam melakukan penelitian. Berdasarkan latar belakang yang peneliti kemukakan maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
iv
1. Bagaimana tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2. Apa fungsi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh,
Kabupaten
Kulon
Progo,
Provinsi
Daerah
Istimewa
suronan
terhadap
Yogyakarta ? 3. Bagaimana
peranan
agama
pada
tradisi
adat
pembentukan sikap keagamaan remaja di Suroloyo dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini mengacu pada permasalahan tersebut diatas adalah sebagai berikut :
v
1. Untuk mengetahui tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2. Untuk mengetahui fungsi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? 3. Untuk mengetahui peranan agama pada tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta D. Kegunaan Penelitian Manfaat ataupun kegunaan daripada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu teoritis dan secara praktis sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam ranah pendidikan dan tradisi adat suronan di Yogyakarta.
2. Secara Praktis a. Manfaat penelitian ini dapat membantu menyampaikan tradisi adat suronan yang dilaksanakan di Suroloyo dusun keceme desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo.
vi
b. Manfaat penelitian ini dapat menjaga dan membentengi kemurnian keimanan umat Islam yang masih belum bisa meninggalkan budaya tradisi adat suronan agar tidak terjerumus kedalam pengartian secara musyrik. E. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap penafsiran judul, maka penulis perlu adanya penjelasan berkenaan dengan beberapa istilah pokok maupun kata-kata yang menjadi variable dalam penelitian ini. Antara lain : 1. Peranan Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku (Usman, 2001: 4) 2. Tradisi Tradisi merupakan kata dari bahasa latin yaitu tradhito yang artinya diteruskan atau kebiasaan. Tradisi dalam pengertian sederhana adalah suatu yang telah dilakukan dari sejak lama yang menjadi bagian hidup dari kehidupuan suatu kelompok masyarakat. Hal yang mendasari tradisi adalah informasi yang diteruskan generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena kalau tidak diteruskan tradisi akan punah. Menurut (Afnan, 2006) Tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka satu langkah bijak ketika tradisi itu tidak
vii
diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi sebagai pintu masuk ajaran. 3. Suronan (Kamajaya, 1992:6) suran adalah tradisi tahun baru jawa untuk memperingati/menyambut tahun baru 1 Suro. Orang Jawa menghormati dan menyambut kedatangan tahun barunya tidak dengan pesta pora seperti orang barat menyambut tahun baru masehi dan tidak pula seperti orang Cina menyambut tahun baru imlek beramai-ramai. Orang jawa menyambut tahun barunya dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan, karena Suran merupakan salah satu upacara keramat bagi orang jawa. Sura masuk dalam penggalan Jawa yang di sebut juga kalender Jawa/ kalender Sultan Agung, dan merupakan bulan pertama dalam kalender tersebut. (Kamajaya, 1992:82), juga menyatakan bahwa masyarakat Jawa memperingati 1 Suro sebagai tahun barunya caranya. Pedomannya prihatin, mohon ampundan petunjuk Tuhan agar selamat sejahtera, di jauhi malapetaka.
Sebagai contoh yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta tepatnya di suroloyo adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit .setelah itu pada keesokan harinya ada ritual
viii
Upacara Adat Jamasan Pusaka di Kawasan Puncak Suroloyo dengan arakarakan kesenian. 4. Pembentukan Pembentukan adalah bahwa kemampuan yang ingin diubah dari diri seseorang sudah ada sejak lahir meskipun sangat kecil yaitu trait atau sifat. 5. Sikap keagamaan Keagamaan berasal dari kata agama yang berarti segenap kepercayaan (kepada tuhan) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang bertalian dengan kepercayaan. Sikap merupakan perbuatan yang digunakan sebagai reaksi terhadap suatu rangsangan yang disertai dengan peniruan dan perasaan (Ngalim Purwanto, 1987: 141). Jadi yang dimaksud sikap keagamaan di sini adalah pemahaman individu terhadap suatu agama dan bagaimana realisasi diri dari pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam hal ini penulis batasi pada dimensi ritual yang terdiri dari sholat , puasa dan baca AlQur’an.
6. Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan
ix
fisik (Hurlock, 1992). Pasa masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. F. Metode Penelitian Metode penelitian ini di bagi menjadi delapan tahap , yaitu : 1. Pendekatan dan jenis penelitian Pada penelitian ini penulis menitik beratkan pada “Peranan tradisi adat suronan dalam pembentukan sikap keberagamaan remaja yang ada di Surooyo dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten
Kulonprogo
Daerah
Istimewa
Yogyakarta”,
dengan
menggunakan metode kualitatif. Dengan demikian, pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai (diperoleh) dengan menggunakan proseur-prosedur statistic atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran) (Djuanidi Ghani, 1997: 22). Penelitian kualitatif itu merupakan penelitian tentang kehidupan , riwayat dan perilaku seseorang. Dalam pendekatan kualitatif ini semua data di peroleh dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia. Cirriciri pendekatan kualitatif sebagai berikut : a. Mempunyai latar belakang
x
b. Manusia sebagai alat c. Memakai metode kualitatif d. Analisa data secara induktif e. Lebih mementingkan proses dari pada hasil f. Desain yang bersifat sementara g. Adanya batas yang di tntukan oleh fokus h. Teori dari dasar i. Penulisan bersifat deskriptif j. Hasil penelitian di rundingkan dan di sepakati bersama. Untuk memperoleh data tentang “Peranan tradisi adat suronan dalam pembentukan sikap keberagamaan remaja yang ada di Suroloyo dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta” di perlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang d gunakan oleh penulis adalah deskriptif.
Menurut Sumardi Suryabrata (1998: 19) penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud membuat pecandraan (uraian, paparan) mengenai situasi-situasi kejadian-kejadian” tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat researt di lakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala tertentu”. Sedangkan menurut Anselm Sttrauss (2003: 158) “bahwa
xi
seorang peneliti harus dapat menunjukkan sifat peristiwa yang berkembang, dengan mengetahui mengapa dan bagaimana tindakan. Berdasarkan pendapat di atas, pendekatan kualitatif ini di maksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung, yaitu tentang “Peranan tradisi adat suronan dalam pembentukan sikap keberagamaan remaja yang ada di Suroloyo dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta”. 2. Kehadiran Peneliti Dalam hal ini juga disebut partisipasi, menurut Maryaeni (2005: 68)” Bahwa partisipasi dengan istilah lain terlibat atau keterlibatan, merupakan kegiatan wajib yang dilakukan oleh peneliti daam kaitannya dengan penelitian kualitatif dalam rangka untuk pengumpulan data”.
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah diamatai dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk selanjutnya di telaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran penelitian di lapangan sngat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrument langsung dan sebagai pengumpulan data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. 3. Lokasi Penelitian
xii
Penelitian ini dilaksanakan di Suroloyo Dusun Keceme, Desa Gerbosari
Kecamatan
Samigaluh,
Kabupaten
Kulonprogo
Daerah
Istimewa Yogyakarta sebuah desa yang terletak di deretan pegunungan Menorah. Puncak Suroloyo yang merupakan puncak tertinggi di daerah Kulonprogo Yogyakarta yang memiliki panorama yang sangat indah yang menarik banyak para wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Mata pencaharian masyarakat disana mayoritas adalah sebagai petani cengkeh dan buruh. Ketika malam satu Suro datang para masyarakat disana khususnya remaja belum mengetahui apakah suronan yang sesungguhnya. Mereka hanya berfikir ritual yang wajib di rayakan setiap tahunnya dengan sambutan kegembiraan dan belum faham karena pengetahuan agama yang kurang. Hal ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa tersebut.
4. Sumber Data Penelitian dapat memperoleh sumber data berupa: catatan hasil observasi, wawancara, foto, rekaman auditif dan sebagianya”. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang di peroleh dari informan yang di anggap penting. Selain itu ada data juga yang dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Kata-kata atau tindakan
xiii
Data
yang
berbentuk
kata-kata
diambil
dari
para
informasi/responden pada waktu mereka di wawancani. Dengan lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informasi dari beberapa pihak diantaranya. Pejabat desa, tokoh agama, masyarakat sekitar dan para remaja yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan. b. Data Tertulis (Dokumentasi) Data yang berbentuk tulisan di peroleh dari tokoh desa dan dokumen-dokumen yang lain yang tentunta masih berkaiatan dengan subjek penelitian.
c. Foto Dalam penelitian yang telah di lakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto tentang “tradisi adat suronan di Suroloyo Dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo DIY”. 5. Prosedur Pengumpulan Data Agar sebuah kajian ilmiah dapat di sajikan secara sistematis, langkah pertama yang perlu di lakukan adalah penentuan seperangkat metode yang sesuai dengan objek dan karateristik materi yang di angka. Hal ini dimaksud agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka
xiv
penelitian menggunakan teknik-teknik penggumpulan data yan tersebut di bawah ini : a. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu obyek dengan sistematika fenomena yang di selidiki. Penulis berusaha mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan symbol-simbol tertentu). Selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang di observasi dengan mencatat , merekam , memotret ,fenomena tersebut berguna untuk penemuan data analisis. Metode observasi di gunakan untuk mengamati apakah ada peranan tradisi adat suronan di Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo DIY. b. Wawancara dan Interview Wawancara identik dengan pengumpulan data, dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk di jawab secara lisan pula “(Maryaeni (2005: 70). Ciri utama adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dan sumber informasi. Metode wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang peranan tradisi adat suronan di
xv
Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo DIY. c. Dokumen Dalam memperluas pengolahan data, teknik ini sangat dibutuhkan. Jadi, “Teknik ini adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku
tentang
pendapat,
teori,
dalil/hukum-hukum
yang
berhubungan dengan masalah penyelidik” (hadari nawawi, 1990:133). Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang di selidiki oleh peneliti.
6. Analisis data Menurut (Winarno Surachmad, 1972:131) mengatakan, “analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lain-lainnya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu di lanjutkan dengan berupaya mencari makna”.
xvi
Menurut (Iman Suprayogo dan Tobroni, 2001:192) “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat di mulai setelah penelitian memahami
fenomena
sosial
yang
sedang
diteliti
dan
setelah
mengumpulkan data yang dapat di analisis”, kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi: a. Menetapkan fokus penelitian. b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul. c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya. d. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikut. Setelah
data
terkumpul
maka
selanjutnya
adalah
tahap
menganalisis data, sebagai tatap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode
deskriptif
yaitu dengan cara data
yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. 7.
Pengecekan keabsahan data Keabsahan menggunakan
data
kriteria
dalam
penelitian
kreadibilitas.
Hal
ini ini
ditentukan
dalam
dimaksudkan
untuk
membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian. Menurut (Moleong, 2000:175) mengatakan pemeriksaan keabsahan data yaitu: a. Perpanjangan keikutsertaan
xvii
b. Ketekunan pengamatan c. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi d. Analisis kasus negatif e. Kecakupan referensional f. Pengecekan anggota g. Uraian rinci h. Auditing
8.
Tahap-tahap penelitian Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut: a. Penelitian pendahuluan Penulis mulai datang ke lokasi penelitian serta mulai mengamati dan menjajaki keadaan di lokasi penelitian tentang tujuan mereka datang ke Puncak Suroloyo dusun Keceme desa Gerbosari kecamatan Samigaluh. b. Pengembangan desain
xviii
Setelah mengamati lokasi penelitian, penulis mulai menyusun pedoman-pedoman yang akan digunakan untuk kegiatan wawancara. c. Penelitian di lapangan Setelah penulis mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan tradisi adat suronan dan peranan agama pada tradisi suronan tersebut di Suroloyo dusun Keceme. Pada tahap ini, penulis melakukan pengumpulan data sampai tahap penulisan laporan. A. Sistematika Penelitian Bab I PENDAHULUAN Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II LANDASAN TEORI Memuat
tentang
pengertian
tradisi,
suronan,
sikap
keagamaan dan , remaja. Bab III LAPORAN HASIL PENELITIAN Memuat tentang Gambaran umum tentang tradisi adat suronan di suroloyo dan mengetahui perilaku remaja di Suroloyo, Dusun
Keceme,
Desa
Gerbosari,
Kabupaten Kulonprogo DIY. Bab IV ANALISIS DATA
xix
Kecamatan
Samigaluh,
Atas hasil penelitian yang menguraikan data hasil penelitian dari pada remaja dusun keceme, desa gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo DIY, tentang hal ini berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti dengan menggunakan alat analitik yang telah ditentukan. Bab V PENUTUP Di dalam bab terakhir ini atau bagian akhir dari penyusunan skripsi ini, penulis menyajikan bagian-bagian dari penutup yaitu kesimpulan saran. Kemudian dalam bagian akhir akan diisi dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran yang dapat mendukung laporan penelitian ini.
xx
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Tradisi Suronan 1. Tradisi Istilah tradisi, secara umum dimaksudkan untuk menunjukkan kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama dan hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu. Menurut khasanah bahasa Indonesia, “tradisi” berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang (Poerwadarminta, 2006:1208). Ada pula yang menjelaskan tradisi sebagai warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan (Bawani, 1990:23). Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah tradisi (turats) adalah segala warisan masa lampau yang sampai kepada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Dengan demikian, tradisi tidak hanya merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya (Hakim, 2003: 29). Secara
terminologi
perkataan
“tradisi
mengandung
suatu
pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Tradisi menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam atau tradisi Kristen secara tidak sadar ia
xxi
sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu, tetapi masih hadir dan malah tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. 2. Suronan Suran merupakan suatu upacara yang sudah dilaksanakan turun temurun untuk memperingati tahun baru jawa. Untuk merayakannya masyarakat melakukan berbagai cara untuk memohon keselamatan, ketentraman dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Kamajaya (1992: 6) suran adalah tradisi tahun baru jawa untuk memperingati/menyambut tahun baru 1 Suro. Orang Jawa menghormati dan menyambut kedatangan tahun barunya tidak dengan pesta pora seperti orang barat menyambut tahun baru masehi dan tidak pula seperti orang Cina menyambut tahun baru imlek beramai-ramai. Orang jawa menyambut tahun barunya dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan, karena Suran merupakan salah satu upacara keramat bagi orang jawa. Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa. Terlebih apabila satu suro jatuh pada jumat legi, akan di anggap sangat kramat. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu Suro dan Satu suro dilarang untuk bepergian kemana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Oleh karena itu bulan Suro yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram, yang terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan
xxii
ini. Tradisi saat malam satu Suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggal di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh bulan yang mulia. Endraswara (2005: 152) menjelaskan Sura masuk dalam penggalan Jawa yang di sebut juga kalender Jawa/ kalender Sultan Agung, dan merupakan bulan pertama dalam kalender tersebut. Pada awalnya hingga 1633 Masehi
masyarakat
Jawa menggunakan sistem penanggalan
berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari di kenal sebagai tahun Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 Masehi. Ketika itu Raja mataram Sri Sultan Agung Hanyokrosumo mengubah sistem penanggalan dari sistem Syamsiyah (matahari) menjadi sistem Komariyah (bulan) yang berlaku untuk seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten karena tidak termasuk wilayah Mataram. Perubahan sistem penanggalan tersebut dilakukan pada hari jum’at legi. Saat pergantian tahun baru Saka 1555 tersebut bertepatan dengan tahun baru Hijriyah tanggal 1 Muharam 1043 Hijriyah / 8 Juli 1633 Masehi. Selain merubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan dan nama hari yang semula menggunakan bahasa Arab / mirip bahasa Arab kalender Jawa tersebut berlaku hingga saat ini. Dalam kalender Jawa mempunyai arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur/hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya
xxiii
dengan apa yang disebut petangan Jazui. Petangan Jazui yaitu perhitungan baik dan buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranatamangsa, wuku, dan lain-lainnya. Saat malam satu Suro tiba, masyarakat yang masih mempercayai jika satu Suro itu adalah hari yang sangat kramat, maka masyarakat tersebut merayakan dengan berbagai cara dan kepercayaanya masing-masing. Salah satu contoh yang sampai saat ini ritual tersebut masih di jaga dan di lestarikan yaitu di puncak Suroloyo, tepatnya di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo yaitu dengan melakukan kirab pusaka dengan melakukan jamasan pusaka pada satu sura di Sendang Kawidodaren. Namun sebelum melakukan ritual adat jamasan pusaka para masyarakat melakukan tirakatan semalam suntuk dengan berdoa pada malam satu Suro. B. Pengertian Sikap Keagamaan 1. Pengertian Agama Islam Agama adalah sumber ajaran dan hukum-hukum dari Tuhan untuk menuntun jalan hidup manusia ke arah yang lebih baik. Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dengan tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat serta alam sekitarnya (Abu Ahmadi dan Noor Salimi, 1991 :4)
xxiv
Agama adalah sumber petunjuk dan pedoman yang mengandung nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang dipergunakan manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitar. Agama ialah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara penyembahan dan permohonan dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu (Daud Ali, 1977 :40). Sedangkan agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia, mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syariah) yang menentukan proses berfikir, merasa dan berbuat dan proses terbentuknya kata hati (Ahmadi dan Noor Salimi, 1991: 4). Agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan dengan Allah Swt, sesama manusia, dan lingkungan alamnya, maka orang Islam itu diperintahkan untuk berbuat kebajikan dan mencegah dari yang mungkar. 2. Pengertian Sikap Keagamaan Sikap adalah perbuatan sebagai reaksi terhadap suatu rangsangan yang disertai dengan penirian dan perasaan (Purwanto, 1987: 141). Sedang keagamaan berasal dari kata agama yang berarti segenap
xxv
kepercayaan (kepada tuhan) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian denga n kepercayaan. Perilaku keagamaan seringkali diidentikan dengan Religiusitas. Religiusitas
merupakan
penghayatan
keagamaan
dan
kedalaman
kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci (Hawari, 1996: 5). Berdasarkan uraian di atas, bahwa keagamaan merupakan kedalaman penghayatan keagamaan seseorang dan keyakinannya terhadap adanya Tuhan yang diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan keikhlasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga. Jadi yang dimaksud sikap keagamaan adalah pemahaman individu terhadap suatu agama dan bagaimana realisasi diri dari pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keagamaan Dalam diri seseorang banyak ditemukan macam-macam yang melatar belakangi seseorang untuk beragama diantaranya, pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing individu. Keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga , pengalaman dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama
xxvi
serta mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam kehidupannya. Seseorang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam auran-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridhlo, 2004 :22). Sehubungan dengan keanekaragaman beragama yang didapat, maka perilaku keagamaan seseorangpun akan muncul variasi dalam tingkah laku dan kepribadian seseorang. Dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti makan, minum, intelek dan lain sebagainya. Sejalan dengan hal itu maka dorongan beragama pun menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi manusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan (Jalaluddin, 1996: 89). Thoules Azra (2000: 89) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keagamaan, yaitu : a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
xxvii
b. Berbagai pengalaman yang dialami individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai: 1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah) 2) Adanya konflik moral (faktor moral) 3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif) c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan , cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian (Thoules Azra, 2000: 25). 4. Dimensi Keagamaan Dalam penelitian tentang peranan tradisi adat suronan terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja, akan membahas empat dimensi yang mempengaruhi keagamaan. Keempat dimensi tersebut yaitu : a. Dimensi akidah Dalam dimensi akidah, akan mengungkap tingkat keyakinan seseorang. Seperti yang sering kita dengar dengan adanya rukun iman (percaya kepada Allah, malaikat, kitab, nabi dan rosul, kiamat, takdir (qodho dan qodar). Dalam Q.S Al-Baqaroh ayat 1-3, yang artinya : Alif laam miim (!) Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (2) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizqi yang kami anugerahkan kepada mereka (3).
xxviii
b. Dimensi ilmu Dalam dimensi keilmuan, penulis akan membahas seberapa jauh pengetahuan seseorang dalam keagamaan, sehingga orang yang melakukannya mengerti akan makna, rukun, tata cara segala kegiatan keagamaan yang dilakukan. Dalam Q.S az-zumar:9 yang artinya : (9) (apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam denga sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah:
mengetahui
dengan
“Adakah
orang-orang
sama yang
orang-orang tidak
yang
mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Ilmu merupakan suatu anugrah yang tidak di miliki oleh makhluk lain. Karena hanya manusialah yang diberi akal untuk berfikir. Berawal dari sesuatu yang dipahami dan dipelajari, maka ilmu dapat kita raih. Dengan ilmu, kita dapat mengetahui antara yang salah dan yang benar, antara yang wajib dan yang sunah, antara halal dan haram. c. Dimensi ibadah Ibadah merupakan salah satu kegiatan utama dalam keagamaan, yang dapat menghubungkan antara makhluk dengan Tuhan-Nya, dan
xxix
sesame makhluk. Dari sinilah seseorang terlihat dengan jelas kepatuhannya terhadap ajaran-ajaran agama. Dalam Q.S adz-dzariyat:56 yang artinya : (56) Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Dalam dimensi ini, diharapkan seseorang beribadah hanya kepada Allah SWT, dan dapat menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang Allah. d. Dimensi Amal Pengalaman merupakan suatu pelajaran yang berharga untuk kita fahami dan perbaiki. Begitu juga dengan amal atau sering kita dengar dengan kata lain tingkah laku. Dalam dimensi ini, berkaitan dengan bagaimana seseorang melakukan dan merealisasikan ajaran-ajaran agama yang di yakini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Q.S AL-an’am ayat 132 yang artinya: (132)
dan
masing-masing
orang
memperoleh
derajat-
derajat(seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Dalam dimensi ini, diharapkan kita memikirkan mengapa belajar
dan
mencari
ilmu
sehingga
ada
dorongan
untuk
mengaplikasikan tentang apa apa yang kita pelajari, sehingga kita merasa tidak rugi dalam mencari ilmu.
xxx
C. Pengertian Remaja 1. Menurut bahasa Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, yang berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali dan Asrori, 2010: 9). 2. Menurut istilah Menurut beberapa para ahli istilah remaja didefinisikan sebagai berikut: 1) Ali dan Asrori (2010: 9)
Ali dan Asrori berpendapat bahwa remaja tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat sepenuhnya untuk masuk kegolongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu remaja sring kali dikenal dengan fase”mencari jati diri” fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu mnguasai dan mengfungsika secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Namun, perlu diketahui bahwa yang terpenting, fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa sangat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik.
xxxi
2) Santrock (2003: 26) Santrock berpendapat bahwa remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa
dewasa
yang
mencakup
perubahan
biologis,
kognitif,dan sosial-emosional. 3) Hurlock dalam Ali dan Asrori (2010: 9) Hurlock berpendapat bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan mereka sama, atau paling sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek efektif,lebih atau kurang dari usai pubertas. Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berfikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan mereka kedalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan.
xxxii
4) Daradjat (1990: 23) Menurut Daradjat remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami perubahan dan masa perkembangan fisiknya
maupun
perkembangan
psikisnya.
Mereka
bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan sosial. 3. Batasan Umur Remaja 1) Mappiare dalam Ali dan Asrori (2010: 9) Mappiare berpendapat bahwa masa remaja terbagi menjadi dua, sebagai berikut : a)
Remaja awal: wanita 12-17 tahun; pria 13-18 tahun.
b)
Remaja akhir wanita 17-21 tahun; pria 18-22 tahun.
xxxiii
2) Whitherington dalam Rumuni dan Sundari (2004: 54). Whitherington berpendapat penggunaan masa adolensi yang dibagi menjadi 2 fase yang disebut : a) Preadolescence, berkisar usia 12-15 tahun. b) Late adolescence, antara usia 15-18 tahun. 3) Hurlock dalam Rumini dan Sundari (2004: 54) Hurlock berpendapat bahwa puber adalah periode tumpang tindih, karena mencakup tahun-tahun akhir masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remaja. Pembagiannya adalah sebagai berikut : a) Tahap prapuber: wanita 11-13 tahun; pria 14-16 tahun b) Tahap puber: wanita 13-17 tahun; pria 14-17 tahun 6 bulan c) Tahap paska puber : wanita 17-21 tahun; pria 17 tahun 6 bulan-21 tahun. Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwasannya masa remaja mengalami dua tahap perkembangan yaitu perkembangan remaja awal 13-18 tahun dan remaja 18-22 tahun, mengacu pada teori yang sudah ada yaitu rata-rata dari umur 12-18.
xxxiv
Dalam pengambilan sampel penelitian tentang peranan tradisi adat suronan terhadap pembentukan sikap keagamaan di Suroloyo Dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo mengambil dua teori yang di padukan antara remaja awal dan remaja akhir. Sehingga batasan umur remaja yang dijadikan sebagai sampel penelitian adalah dari umur 12-22 tahun. 4. Perkembangan Psikologi Remaja Psikologi remaja tentu tak lepas dari perkembangan psikologis remaja, yang mana dapat dikatakan suatu fase perkembangan yang dialami seorang ketika memasuki usia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan periode yang penting. Meskipun semua periode adalah penting, tetapi kadar kepentingan usia remaja cukup tinggi mengingat dalam periode ini begitu besar pengaruh fisik dan psikis membentuk kepribadian manusia. Periode ini membentuk pengaruh paling besar terhadap fisik dan psikis manusia sepanjang hayatnya kelak. Menghadapi remaja memang sulit, butuh pendekatan yang serius untuk memahami jiwa remaja.
xxxv
Psikologi
remaja
memiliki
beberapa
karakteristik
diantaranya : a. Pembentukan konsep diri Remaja adalah masa trasisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologi kedewasaan bukan hanya tercapainya umur tertentu seperti dalam ilmu hukum. b. Perkembangan intelegensi Hampir setiap orang tua mengharapkan anaknya pandai di sekolah. Kepandaian seringkali diukur dengan nilai rapor yang bagus. Tetapi baik buruknya angka rapor tidak selalu disebabkan oleh kepandaian. Dalam teori intelegensi bahwa setiap orang mempunyai sistem pengaturan dari dalam pada sistem kognitifnya. Sistem pengaturan ini terdapat sepanjang hidup seseorang dan berkembang sesuai dengan perkembangan aspek-aspek kognitif. c. Perkembangan peran sosial Dalam hidup bermasyarakat remaja juga dituntut bersosialisasi. Remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain dan menjalin persahabatan. Remaja memilih
xxxvi
teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatife sama dengan dirinya. d. Perkembangan moral dan agama Remaja sudah mampu berperilaku yang tidak hanya mengejar kepuasan fisik saja, tetapi meningkat pada tatanan psikologis. Perkembangan spiritual yang terjadi pada psikologi remaja sesuai dengan
perkembangannya
kemampuan
kritis
psikologi remaja hingga menyoroti nilai-nilai agama ke dalam kalbu dan kehidupannya. Tetapi mereka juga
mengamati
secara
kritis
kepincangan-
kepincangan di masyarakat yang gaya hidupnya kurang memedulikan nilai agama, bersifat munafik, tidak jujur, dan perilaku moral lainnya. Di sinilah idealisme keimanan dan spiritual remaja mengalami benturan-benturan dan ujian. e. Perkembangan emosi Perkembangan emosi remaja mengalami puncak emosionalitasnya, perkembangan emosi tingkat tinggi. Perkembagan emosi remaja awal menunjukkan sifat sensitive, reaktif yang kuat, emosi remaja awal menunjukkan sifat sensitife,
xxxvii
reaktif yang kuat, emosinya bersifat negatife dan temperamental.
Sedangkan remaja akhir sudah mulai mampu mengendalikannya. Remaja yang berkembang di lingkungan yang kurang kondusif, kematangan emosionalnya
terhambat.
Sehingga
sering
mengalami akibat negatife berupa tingkah laku. D. Peranan Agama Pada Tradisi Adat Suronan Terhadap Pembentukan Sikap Keagamaan Remaja Secara teoritik, apa yang disebut agama tentu akan teraktualisasikan melalui amalan dan perilaku secara empirik. Hal itu dikarenakan perilaku seseorang sesunggunya merupakan cermin dari keyakinan seseorang. Sebagaimana dikemukakan oleh zakiya derajat, bahwa cara seseorang berfikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kontruksi kepribadiannya (Zakiya Drajat, 1970: 2). Proses pembentukan sikap kepribadian terjadi sejak individu masih kecil dilingkungan keluarga, ketika menerima pendidikan kepribadian secara secara internal dari keluarga sebagai orang terdekat individu tersebut. Di sinilah terjadi peranan kebudayaan secara internal membentuk kepribadian individu.
xxxviii
Sebagai mana orang tua yang telah mengajarkan pendidikan kepribadian pada individu dari masa kanak-kanak dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah diterapkan maupun yang telah dipelajari oleh mereka. Kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan tersebut berdasarkan pada tradisi yang telah mendarah daging pada orang tua masing-masing. Beranjak dewasa, individupun mendapat pengaru kebudayaan dari ingunga keluarga yang dapat mengubah kepribadian seseorang. Di sinilah terjadi peranan tradisi suatu adat eksternal dalam pembentukan kepribadian individu kususnya dalam pembentukan sikap yang keagamaan. Yang pada belakangan ini remaja telah meninggalkan atau menganggap sepele akan hal itu. Dalam tradisi adat suronan banyak sifat-sifat keagamaan yang remaja belum ketahui sepenuhnya. Namun, mereka sudah mempunyai perubahan ketika bulan suro itu datang. Mereka sangat antusias untuk ikut merayakan malam satu suro yang diadakan di Suroloyo. Mereka yang dahulunya hanya ikut serta merta sekarang para remaja sudah berfikir religius. Sikap keagamaan mereka sedikit terbentuk dengan adanya peringatan malam satu Suro. Para remaja mulai mengerti tentang sifat keagamaan dengan datangnya malam satu Suro tersebut. Jadi, dalam tradisi adat suronan ada perannya dalam pembentukan sikap keagamaan remaja, yang mereka sudah mulai bisa berfikir religius. Di sinilah ada peranan orang tua sangat dibutuhkan untuk membangun tradisi budaya yang
xxxix
baik yang akan berpengaruh pendidikan agama yang baik dalam membentuk kebudayaan dan kepribadian yang baik secara agama. Penjelasan di atas telah menunjukkan bahwa peranan agama pada tradisi adat suronan sangatlah besar dalam menunjang pembentukan sikap keagamaan remaja. Sehingga tidak ada lagi akan keraguan mengenai besarnya peranan agama pada tradisi adat suronan dalam pembentukan sikap keagamaan remaja.
xl
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITI A. Paparan Data Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan tentang keadaan Dusun Keceme Desa Gerbosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pemaparan ini, penulis akan memaparkan tentang kondisi lokasi penelitian dan profil serta latar belakang adanya tradisi adat suronan di Suroloyo, bentuk-bentuk tradisi adat suronan, faktor pendukung dan faktor penghambat tradisi suronan dan persepsi para tokoh dalam peranan tradisi adat suronan terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja. Kondisi lokasi penelitian yang akan dipaparkan oleh penulis meliputi:
Letak Geografis, Keadaan
Penduduk, Sarana Pendidikan dan Keagamaan yang ada di Dusun Keceme Desa Gerbosari kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. 1. Letak Geografis Desa
Gerbosari
terletak
di
Kecamatan
Samigaluh,
Kabupaten Kulonprogo, Propinsi D.I. Yogyakarta. Desa yang terletak pada dataran tinggi ini memiliki suhu udara rata-rata 23oC34oC. Gerbosari merupakan daerah perbukitan dengan luas lahan sebesar 1.076,6107 Ha.
xli
Desa Gerbosari terbagi atas 19 pedukuhan atau dusun yaitu Kemiri Ombo, Jeruk, Pengos A, Pengos B, Manggis, Ketaon, Ngroto, Clumprit, Jetis, Karang, Jati, Tlogo, Dukuh, Sumbo, Sendat, Kayugede, Menggermalang dan terakhir Keceme. Dusun Keceme merupakan dusun yang berada di ujung utara dan tempatnya paling tinggi dari dusun lainya yang ada di Kecamatan Samigaluh, yang berada pada ketinggian 1.090 m dpl. Jarak antara Dusun Keceme ke Kecamatan Samigaluh adalah 9 Km dan jarak antara Dusun Keceme dengan kota Yogyakarta adalah kurang lebih 42 km ke arah barat. Di dusun Keceme hampir semua penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh. Cengkeh merupakan hasil pertanian yang Jumlah penduduk di dusun Keceme ada 258 jiwa yang terbagi menjadi 64 kk dan terbagi menjadi 4RT dan 2 RW. Dusun Keceme ini terkenal dengan puncak Suroloyo yang di jadikan sebagai tempat wisata. Puncak Suroloyo sudah terkenal di berbagai penjuru nusantara, bahkan wisatawan asing tidak sedikit yang mengunjungi puncak Suroloyo ini. Puncak Suroloyo merupakan puncak tertinggi di pegunungan Menoreh Kulonprogo. Puncak Suroloyo adalah nama salah satu puncak, yang sebenarnya seluruhnya terdapat tiga buah puncak, yaitu Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran.
xlii
Di puncak ini dapat melihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Memandang ke utara, akan ditampilan hamparan kota Magelang dengan ikon Candi Borobudurnya, ada Gunung Sumbing, Gunung Merbabu. Kita perlu menggunakan alat bantu penglihatan teropong, agar bisa melihat Candi Borobudur dengan jelas. Ke arah timur, akan disajikan pemandangan puncak Gunung Merapi. Ke arah selatan, landscape kota Nanggulan, Sentolo, Wates, dan laut selatan, merupakan pemandangan yang dapat di lihat. Selanjutnya di sebelah barat, bisa disaksikan hamparan terusan perbukitan Menoreh. Selain puncak Suroloyo, di dusun Keceme ada tempat yang tak kalah menarik untuk melihat indahnya ciptaan Allah yaitu gunung kendil. Batas-batas Desa Gerbosari tersebut : Tabel I No.
Batas Wilayah
Nama Desa
1.
Sebelah utara
Propinsi Jawa Tengah
2.
Sebelah selatan
Desa Banjarsari
3.
Sebelah barat
Desa Ngargosari
4.
Sebelah timur
Desa Sidoharjo
xliii
Adapun batas-batas dusun Keceme tersebut : Tabel II No.
Batas Wilayah
Nama Desa
1.
Sebelah utara
Kecamatan Borobudur
2.
Sebelah selatan
Dusun Menggermalang
3.
Sebelah barat
Desa Ngargosari
4.
Sebelah timur
Dusun Nglambor
Sumber Data: Data Desa Gerbosari 2015 2. Keadaan Penduduk Dusun Keceme merupakan salah satu dusun dari 19 dusun yang ada di Desa Gerbosari. Dusun Keceme termasuk dusun kecil yang berada di puncak pegunungan Menoreh yang jumlah penduduknya ada 258 jiwa yang terbagi menjadi 64 kk 4 RT dan 2 RW. Mayoritas penduduk dusun Keceme bermata pencaharian sebagai petani. selain bidang pertanian, warga dusun Keceme juga ada yang mempunyai profesi lainnya, misalnya buruh, pedagang, bangunan , karyawan swasta dll. Akan tetapi juga ada yang merantau di luar kota dan luar Jawa. Hanya ada satu orang yang berprofesi sebagai guru. Sedangkan
dalam tingkat pendidikan dusun Keceme dapat
dikategorikan masih rendah. Karena hanya beberapa orang saja yang
xliv
menempuh pendidikan sampai SMA. Bahkan banyak yang hanya sampai SD dan SMP. Saat ini hanya dua orang yang menempuh pendidikan sampai keperguruan tinggi . Untuk mengetahui lebih jelas tentang jumlah penduduk menurut jenis kelamin di dusun Keceme dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin NO.
Jenis Kelamin
Jumlah
1.
Pria
131
2.
Wanita
127
Jumlah
258
Sumber; Data Desa Gerbosari 2015 a. Sarana pendidikan yang ada di dusun Keceme Adapun sarana pendidikan yang ada di dusun Keceme. Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini :
xlv
Tabel II Sarana Pendidikan di dusun Keceme No Jenis Pendidikan
Jumlah
1
SD N
1
2
MI Swasta
-
3
SMP Swasta
1
4
TPA
1
Keterangan
Sumber Data: Data Desa Gerbosari 2015 b. Keagamaan Menurut data dari pemerintah Desa Gerbosari menyatakan bahwa semua masyarakat dusun Keceme menganut agama Islam.Tidak ada satu orangpun yang beragama nasrani. Adapun saran peribadatan terdiri dari 1 masjid dan 2 mushola. Adapun komposisi penduduk berdasarkan agamanya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
xlvi
Tabel IV Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama No Agama
Jumlah (orang)
1
Islam
258
2
Hindu
-
3
Budha
-
4
Kristen Protestan
-
5
Kristen Katolik
-
Jumlah
258
Sumber Data: Data Desa Gerbosari 2015
Tabel V Sarana Peribadatan di Desa Gerbosari No
Jenis Peribadatan
Jumlah
1
Masjid
1
2
Mushola/Langgar
2
Keterangan
Sumber Data: Data Desa Gerbosari 2015 Masyarakat di dusun Keceme mengadakan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh semua penduduk setempat. Kegiatan tersebut diantaranya yaitu:
xlvii
a. Pengajian Fatayat dan Muslimatan Kegiatan ini dilaksanakan pada hari ahad kliwon di masjid, yaitu masjid di dukuh yang telah di tunjuk sebagai pelaksana kegiatan tersebut. Adapun jamaahnya adalah ibuibu fatayat dan muslimat satu kecamatan. b. Yasinan Rangkaian acara dalam yasinan ini meliputi membaca Asmaul Husna, membaca yasin, dzikir dan tahlil secara bersama-sama, yang dilakukan setiap malam Ahad. Jamaahnya adalah para remaja putra dan putri yang dilakukan secara bergilir di setiap rumah. Selain itu para remaja juga membentuk perkumpulan remaja masjid yang bernama RISMA (Remaja Masjid Dusun Keceme). c. Tahlil di Setiap Malam Jum’at Membaca surat Yasin, Dzikir dan tahlil setiap malam jumat yang dilakukan di masjid. Adapun jamaahnya adalah bapak-bapak warga dusun Keceme.
d. Qur’anan Qur’anan yaitu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibaca secara bergiliran yang dilakukan di Masjid setiap hari Rabu Pon. Adapun jamaahnya warga dusun Keceme.
xlviii
e. Pengajian Selapanan Pengajian selapanan ini dilakukan setiap Ahad Pahing di Masjid secara bergiliran dari dusun satu ke dusun yang lain. Pengajian ini jamaahnya di ikuti oleh seluruh warga Desa Gerbosari. B. Temuan Penelitian Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern ini, tradisi atau adat istiadat yang berada di masyarakat pegunungan masih tetap dilaksanakan dan dilestarikan. Tradisi tersebut masih di lestarikan sebagai bentuk keyakinan masyarakat tentang pengaruh dari tradisi tersebut dalam kehidupannya. Karena apabila tradisi tersebut tetap dilestarikan maka akan berdampak positif bagi kehidupannya serta sebagai symbol keberadaan suatu masyarakat yang senantiasa menjaga warisan nenek moyang. 1. Latar Belakang Adanya Tradisi Suronan Di Suroloyo Tradisi adat suronan di Suroloyo sudah ada sejak nenek moyang. Tetapi tradisi pelaksanaan suronan tersebut belum rutin dijalankan setiap tahunnya. Tradisi suronan mulai rutin dijalankan pada tahun 1985 ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertapa di puncak Suroloyo yang konon di yakini sebagai kayangan para dewa. Sri
xlix
Sultan Hamengkubuwono IX bertapa selama tujuh hari tujuh malam.
Menurut bapak Mardjo wawancara pada tanggal 31 November 2015 pukul 11.00, “setelah selesai bertapa Sri Sultan Hamengkubuwono IX berkata “puncak Suroloyo harus jadi kota meskipun hanya setahun sekali, dan masyarakat dusun keceme diarahkan untuk melaksanakan kirab dan jamasan pusaka setiap tanggal 1 suro”. Maksud dari perkataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut adalah masyarakat dusun Keceme di perintahkan untuk memperingati suronan setiap tahunnya
pada tanggal 1 Suro
dengan malaksanakan kirab (perjalanan bersama-sama atau beriring-iring secara teratur dan berurutan dari muka kebelakang di suatu rangkaian upacara) dan jamasan pusaka (memandikan, mensucikan, membersihkan pusaka). Apabila tidak melaksanakan tradisi tersebut di setiap tanggal 1 Suro, maka masyarakat akan mendapatkan malapetaka. Dalam tradisi yang dilaksanakan pada 1 Suro tersebut dikunjungi masyarakat dari berbagai kota yang ingin menyaksikan secara langsung proses jamasan pusaka. Karena banyaknya pengunjung yang berdatangan menjadikan Suroloyo sebagai kota setiap tahunnya. Masyarakat percaya dengan perkataan yang di sampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Maka dari itu, tradisi suronan di Suroloyo mengakar dan dilestarikan sampai saat ini oleh
l
masyarakat dusun Keceme. Dengan melaksanakan tradisi suronan masyarakat juga mempercayai bahwa hasil pertanian melimpah, mereka mendapatkan banyak berkah kehidupan. Pengunjung dari berbagai kotapun semakin banyak yang berdatangan bahkan hari biasa saja banyak wisatawan yang datang di Suroloyo. 2. Bentuk Tradisi Adat Suronan Di Suroloyo Banyak masyarakat yang menganggap bulan sura adalah bulan keramat dan mistis. Terlebih ketika tanggal 1 Suro tiba, masyarakat dengan antusias memperingati tanggal 1 suro tersebut dengan berbagai cara sesuai kepercayannya masing-masing. Khususnya di dusun Keceme, masyarakat sangat antusias merayakan suronan tersebut.
Tradisi adat suronan di dusun
Keceme ini di peringati dengan cara jamasan pusaka, yaitu memandikan,
mensyucikan,
membersihkan
pusaka
yang
merupakan pemberian dari keraton Yogyakarta. Dijelaskan bapak Ngatiman, wawancara pada tanggal 31 November 2015 pukul 14.00 WIB “Di dusun Keceme ini ketika pada tanggal 1 Suro selalu memperingati suronan dengan melaksanakan jamasan pusaka. Jamasan pusaka ini sebagai bentuk tradisi adat suronan yang dilaksanakan setiap tahunnya yang masih kita jaga dan kita lestarikan sampai saat ini”. Jamasan pusaka merupakan tradisi adat suronan yang masih dipercaya oleh masyarakat khususnya dusun Keceme sampai saat ini. Jamasan pusaka dilaksanakan setahun sekali setiap tanggal 1 Suro. Tradisi ini wajib dilaksanakan oleh masyarakat dusun
li
Keceme. Karena apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat akan terkena musibah yang tak di sangka-sangka. Selain itu, jamasan pusaka
merupakan
amanat
langsung
dari
Sri
Sultan
Hamengkubuwono IX . Dengan melaksanakan jamasan pusaka masyarakat percaya bahwa apa yang di harapkan akan terkabul serta pertanian akan melimpah dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam
prosesi
Jamasan
pusaka,masyarakat
setempat
percaya bahwa air bekas jamasan tersebut mempunyai khasiat yang tinggi. Misalnya, apabila meminum air dari bekas jamasan tersebut dapat menyembuhkan dari berbagai macam penyakit. Selain itu apabila air bekas jamasan digunakan untuk membasuh muka maka seseorang tersebut diyakini akan awet muda. Untuk memperoleh air tersebut pengunjung harus berdesakdesakan terlebih dahulu. Karena banyak orang berebut ingin masuk ke Sendang Kawidodaren untuk mendapatkan air bekas jamasan tersebut. Selain
memperebutkan
air
bekas
jamasan
tersebut,
masyarakat juga berebut gunungan yang berisi hasil pertanian masyarakat Keceme. Dalam gunungan tersebut berisi berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Dengan memperebutkan gunungan tersebut, masyarakat juga mempercayai bahwa hasil pertanian mereka akan melimpah ruah dan akan mendapatkan keberkahan.
lii
Dijelaskan juga oleh bapak Slamet wawancara pada tanggal 31 November pukul 15.00 WIB,”Tradisi adat suronan di dusun Keceme yaitu jamasan pusaka.jamasan pusaka itu membasuh pusaka di sendang kawidodaren. Sebelum melakukan jamasan pusaka masyarakat melakukan kirab pusaka terlebih dahulu”. Sebelum
melakukan
jamasan
pusaka,
masyarakat
melakukan kirab pusaka dari rumah bapak dukuh menuju ke Sendang Kawidodaren tempat sakral yang dijadikan untuk memandikan pusaka. Kirab pusaka yaitu jalan kaki secara bersama-sama dari tempat penyimpanan pusaka menuju ke tempat yang dijadikan untuk mensyucikan pusaka tersebut. Kirab pusaka di awali dengan berdoa yang di pimpin oleh juru kunci di halaman rumahnya, dengan tujuan agar kirab pusaka berjalan lancar sampai tujuan. Sebelum melakukan kirab pusaka mereka melakukan upacara terlebih dahulu di depan warung bapak Mardjo. Dalam upacara tersebut terdapat beberapa rangkaian acara. Yaitu, pembukaan, sambutan-sambutan, doa disertai dengan pelepasan Pusaka. Doa yang di ucapkan semua adalah bernaskan Islam. Setelah semuanya siap, pusaka di arak menuju Sendang Kawidodaren.
Rute kirab pusaka berputar mengelilingi jalan
Dusun keceme. Jalan yang di lalui kirab pusaka dari tempat kepala Dusun atau juru kunci menuju Sendang Kawidodaren kurang lebih 1 Km. Dalam proses kirab pusaka tersebut, peserta kirab pusaka berjalan kaki dengan diiringi alunan musik gamelan.
liii
3. Faktor Pendukung Dan Penghambat Adanya Tradisi Suronan Banyak faktor yang mendukung adanya tradisi suronan di suroloyo dusun Keceme ini, diantaranya masih ada sesepuh desa yang sangat peduli ketika tanggal satu suro datang. Beliau sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa yang telah diwariskan turun-temurun dari nenek moyang, mereka beranggapan bahwa ritual-ritual tersebut wajib dilaksanakan karena memiliki banyak makna yang pada intinya mendekatkan diri dengan Tuhan Sang Pencipta Alam. Dengan mendekatkan diri dengan Sang Khalik, maka apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat khususnya masyarakat dusun Keceme dengan mudah akan terkabul. Dalam pelaksanaan tradisi adat suronan yaitu dengan upacara jamasan pusaka tidak ada penghambatnya justru banyak faktor pendukungnya. Menurut bapak badrun wawancara pada tanggal 31 November 2015 pukul 14.00 WIB, mengatakan “tidak ada kendala dalam melaksanakan tradisi adat suronan, justru banyak faktor pendukungnya. Salah satunya banyak donator yang mau memberikan support dana demi terlaksananya acara tersebut”. Setiap setahun sekali dinas kebudayaan dan dinas pariwisata slalu memberikan donator ke masyarakat dusun Keceme. Hal ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan agar acara untuk memperingati suronan bisa
liv
berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, khususnya soal dana. Selain itu, faktor pendukungnya yaitu masyarakat sangat antusias ketika bulan suro datang. Upacara jamasan pusaka merupakan suatu kewajiban yang dilaksanakan setiap setahun sekali pada tanggal satu suro. Mereka masih percaya dengan apa yang sudah diamanatkan agar selalu memperingati satu suro. Upacara jamasan pusakapun sudah diperkenalkan kepada para remaja, agar tradisi ini tidak putus begitu saja ketika para sesepuh meninggal dunia.
Dengan banyaknya faktor pendukung maka tradisi adat suronan di suroloyo yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal satu suro dengan mudah terlaksana dengan sadarnya masyarakat bahwa tradisi ini merupakan tuntutan yang wajib.
4. Presepsi Tokoh Tentang Peranan Agama Dalam Tradisi Adat Suronan Terhadap Pembentukan Sikap Keagamaan Remaja Masyarakat di dusun Keceme menjunjung tinggi adanya tradisi adat suronan yang telah ada sejak dahulu ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertapa di puncak Suroloyo pada tahun 1985. Mereka beranggapan bahwa suronan yang dijadikan sebagai lv
sumber budaya
merupakan identitas sebagai orang Jawa
khususnya di daerah Yogyakarta dan sebagai generasinya maka kita harus melestarikan tradisi tersebut agar tidak punah. Menurut bapak Mardjo, wawancara pada tanggal 31 November 2015 pukul 11.00 WIB, “Tradisi suronan merupakan sebuah tradisi yang sudah mengakar di dusun Keceme yang dilaksanakan setiap setahun sekali pada tanggal 1 bulan Suro”. Beliau juga mengatakan bahwa tradisi suronan dilaksanakan pada tanggal satu karena tanggal tersebut merupakan tanggal mulia, yang bertepatan dengan tahun baru Islam.
Di tambahkan oleh bapak Djuwono, “Dalam proses pelaksanaan tradisi suronan di dusun Keceme ini melibatkan semua kalangan masyarakat terutama yang berperan aktif didalamnya adalah remaja”. Para remaja di dusun Keceme sangat antusias dalam mengikuti prosesi tradisi suronan yang dilaksanakan setiap bulan suro tersebut. Bahkan para remaja dusun Keceme juga dijadikan sebagai panitia pelaksanaan tradisi suronan. Mereka mempunyai tugas masing-masing. Ada yang bertugas sebagai pemimpin barisan, pembawa pusaka, pembawa ubarampe, pembawa payung, penabuh gamelan, penari jatilan dan ada juga yang berpakaian adat jawa kraton Yogyakarta. Selain berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi suronan, para remaja juga berpartisipasi dalam acara pengajian yang dilaksanakan sehari sebelum acara jamasan pusaka. Dalam acara
lvi
pengajian tersebut, para remaja berperan sebagai pembawa acara, pembaca ayat-ayat suci Al-Quran, sambutan-sambutan dan ada juga yang berperan dalam sebuah musikal islami yang bernama Angguk ”AR-NADA”. Angguk merupakan sejenis hadroh atau rebana yang ditampilkan dengan tari-tarian khas Kulonprogo. Menurut bapak Makrup, tradisi adat suronan ini berperan sebagai pembentukan pola sikap keagamaan remaja di dusun Keceme. Hal tersebut dapat terlihat dari partisipasi remaja yang aktif dalam acara pelaksanaan tradisi suronan. Para remaja di dusun Keceme mampu mengubah persepsi masyarakat yang beranggapan bahwa tradisi suronan hanya sebagai ajang wisata menikmati pemandangan alam saja. Namun, dengan adanya peran aktif remaja tradisi suronan dijadikan sebagai wisata religi (ziarah di puncak Suroloyo). Selain itu bapak Djamal mengatakan bahwa, dalam tradisi adat suronan ini juga mendidik para remaja untuk menghormati agama lain. Sebab dalam acara suronan tersebut juga terdapat lintas agama. Lintas agama merupakan perkumpulan dari berbagai agama yang di undang untuk mengikuti acara tradisi adat suronan. Tujuan dari lintas agama adalah untuk mempererat tali persaudaraan dengan agama lain dan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan pemeluk agama lain.
lvii
BAB IV PEMBAHASAN
lviii
Tradisi adat suronan di Suroloyo dirayakan setiap tahun sekali pada tanggal 1 suro di kawasan wisata puncak Suroloyo. Saat tanggal 1 suro tiba, masyarakat dusun Keceme merakayan suronan tersebut dengan jamasan pusaka dan kirab pusaka. Tradisi ini bertujuan untuk mikul duwur mendem jero (melestarikan budaya), minta keselamatan kepada Allah, ngalap berkah dan mengenalkan kepada anak dan remaja tentang kebudayaan agar tradisi ini tidak punah dan tetap dijaga serta dilestarikan. Selain itu, tradisi suronan ini juga bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat sekitar bahwa tradisi ini tidak hanya sebagai ajang hiburan, tetapi juga mengandung unsur keagamaan. A. Prosesi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Lokasi Pelaksanaan Lokasi pelaksanaan upacara jamasan pusaka terletak di kawasan wisata alam Puncak Suroloyo yaitu di dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo DIY. Kemudian acara di lanjutkan di Sendang Kawidodaren yang berada di sebelah barat puncak Suroloyo. Sendang Kawidodaren juga berada di dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo DIY. Rangkaian acara di lakukan di dua tempat yang berbeda hanya berjarak kurang lebih satu km.
lix
1. Pelaku Upacara Pelaku upacara dalam jamasan pusaka terdiri dari juru kunci, tokoh masyarakat, sesepuh desa, warga dusun Keceme, pejabat desa. Namun panitia juga mengundang tamu dari kecamatan, kabupaten dan provinsi DIY. 2. Pelaksanaan Upacara a. Persiapan 1). Membersihkan Sendang dan Membuat Gapura Upacara jamasan pusaka diawali dengan membersihkan sekitar lokasi sendang Kawidodaren. Selanjutnya dilaksanakan pembuatan gapura. Pembuatan gapuro dilaksanakan sehari sebelum upacara jamasan pusaka di pintu masuk sendang Kawidodaren tempat untuk menjamas pusaka. 2). Memasang Tarub Tarub di buat dari janur kuning yang batangnya telah di belah menjadi dua bagian dan dibuang lidinya. Tarub di pasang di gapuro masuk sendang kawidodaren dan pintu gerbang sendang kawidodaren. Tarub yang di pasang pada kedua pintu masuk mempunyai makna. Janur kuning mempunyai makna jernih atau hening, ketabahan seseorang melambangkan pikiran seseorang bertingkah laku baik dan tidak berbuat serakah.
3). Memasang Atap
lx
Atap terdiri dari terpal yang di pasang di atas bangunan sendang kewidodaren. Terpal terpasang dengan di ikatkan pada pohon sekitar sendang kewidodaren tersebut dengan menggunakan tali yang terbuat dari bambu. Tujuan di pasang atap supaya kotoran tidak masuk ke dalam sendang kewidodaren sewaktu pelaksanaan jamasan pusaka. 4). Memeriksa dan Menyiapkan Pusaka Pemeriksaan pusaka dilaksanakan sehari sebelum upacara setelah selesai membuat gapura di rumah juru kunci. Tujuan di lakukan pemeriksaan adalah untuk mengetahui keadaan pusaka. Pusaka yang di simpan di rumah juru kunci tersebut berjumlah dua buah, diantaranya berbentuk tombak dan payung. Pusaka di bawa ke ruang tamu rumah juru kunci untuk di bersihkan dari kotoran debu, persiapan sebelum hari pelaksanaan upacara Jamasan Pusaka di antaranya mengambil pusaka dari dari kamar penyimpanan. 5). Memasang Sesaji Memasang sesaji di lakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat dusun Keceme, yaitu sendang kawidodaren, puncak dan tempat penyimpanan pusaka. Pemasangan sesaji dilaksanakan pada waktu yang bertahap. Sesaji 1 di pasang di depan pusaka oleh juru kunci pak Suhadi, sesaji kedua dan seterusnya juga di pasang oleh pak Suhadi.
lxi
Sesaji yang di pasangkan oleh juru kunci wujudnya sama seperti yang di tempatkan di ruang penyimpanan Pusaka. Sesaji yang di pasang berupa bunga telon dan kemenyan. Pemasangan sesaji pertama kali di lakukan di tempat penyimpanan pusaka letaknya di rumah juru kunci. Juru kunci terlebih dahulu memeriksa sesaji yang telah di sediakan. Sesaji yang terdiri dari bunga telon dan kemenyan tersebut di masukkan ke dalam wadah yang di gunakan berupa selembaran daun pisang. Kemudian membakar kemenyan. Sedangkan tempat yang di gunakan untuk meletakkan kemenyan berupa cobek. Pada waktu juru kunci memasang sesaji tersebut juru kunci berdoa menurut Islam. Selesai memasang sesaji di depan pusaka kemudian memasang di Puncak dan Sendang. Prosesnya sama bedanya di letakkan di atas batu. Pemasangan sesaji di setiap tempat mempunyai makna tersendiri. Makna kembang sebagai lambang kemakmuran agar pusaka dalam penyimpanannya selalu dalam keadaan harum.
6). Membuat Tumpeng Gunungan Tumpeng gunungan merupakan salah satu umbarampe dalam pelaksanaan upacara kirab pusaka. Pembuatannya dilakukan
lxii
di rumah kepala dusun. Yang membuat tumpeng gunungan adalah panitia kirab pusaka. Langkah pertama yaitu dengan membuat kerangka yang berbentuk limas dari bambu sisa pembuatan gapura. Untuk pembuatan kerangka dipotong menjadi empat bagian masing-masing 50 cm, dirangkai dengan bambu yang sudah di sayat menjadi kerangka persegi. Dan untuk bagian atas kerangka persegi di buat kerangka limas dengan mengaitkan empat buah bambu yang sudah di sayat masing-masing panjangnya 1 meter. Bagian bawah kerangka di pasang bambu yang masih utuh panjangnya 2 meter yang dijadikan untuk penyangga pembawa tumpengan.Kerangka tumpeng gunungan yang sudah jadi ditutup daun pisang kemudian dirangkai dengan berbagai macam sayur dan buah, seperti kacang panjang, wortel, jagung, petai, bawang merah, bawang putih, cabai, terong, jeruk dan nanas. Semua sayuran yang ada di tumpeng gunungan tersebut punya makna tersendiri.
7). Tirakatan Tirakatan dilaksanakan pada malam satu suro di rumah kepala dusun Keceme, di hadiri oleh panitia termasuk perangkat
lxiii
desa,warga dan para remaja. Acara pertama dalam tirakatan di isi sambutan dari kepala dusun dan tokoh masyarakat. Kemudian acara di lanjutkan dengan membaca surat Yasin, tahlil dan doa bersama di pimpin oleh kaum. Doa-doa bernafaskan secara Islam. Acara di akhiri dengan pembagian genduri kepada orangorang yang ikut dalam acara tirakatan. Wujud dari genduri ini adalah berbagai macam makanan yang dikemas dalam wadah berupa besek, yaitu Nasi putih, sayur kentang, sayur tahu, bakmi, orak-arik buncis, cap jahe, perkedel, tempe bacem, telur ayam rebus, nasi gurih, suwiran ingkung, pisang, lemper, apem, kerupuk, rempeyek kacang dan ikan asin. b. Proses Pelaksanaan 1). Persiapan Dan Mengambil Pusaka Proses pelaksanaan upacara jamasan pusaka di awali dengan pengambilan pusaka di kamar penyimpanan pusaka di rumah juru kunci. Pengambilan pusaka di mulai pukul 09.00 oleh juru kunci, kemudian pusaka di serahkan kepada pembawa pusaka. Sebelum pelaksaana jamasan dan kirab pusaka di mulai panitia dan masyarakat yang mengikuti acara tersebut berkumpul di halaman rumah bapak kepala Dusun. Setelah semua berkumpul dan berbaris rapi sesuai tugasnya masing-masing mereka melakukan doa bersama dan acara segara dimulai.
lxiv
2). Kirab Pusaka Proses pelaksanaan upacara jamasan pusaka di awali dengan pengambilan pusaka di kamar penyimpanan pusaka di rumah juru kunci. Pengambilan pusaka di mulai pukul 09.00 oleh juru kunci, kemudian pusaka di serahkan kepada pembawa pusaka. Pembawa pusaka tidak di khususkan, sesuai yang di suruh oleh panitia. Panitia sudah berbaris rapi di halaman rumah juru kunci. Panitia terdiri dari perangkat desa dan warga masyarakat Dusun keceme. Peserta kirab pusaka terdiri dari juru kunci, tokoh masyarakat, sesepuh desa, pembawa umbarampe perlengkapan jamasan, pembawa pusaka , kemenyan, pembawa tumpeng gunungan,
penabuh
gamelan,
perangkat
desa
dan
warga
masyarakat Dusun Keceme. Para peserta mengenakan pakaian adat jawa yang telah di siapkan seperti beskap berwarna hitam, surjan kuning hitam bunga, surjan lurik gaya Yogyakarta dan belangkon gaya Yogyakarta. Sedangkan peserta perempuan mengenakan kebaya gaya Yogyakarta. Kirab pusaka di awali dengan berdoa yang di pimpin oleh juru kunci di halaman rumahnya, dengan tujuan agar kirab pusaka berjalan lancar sampai tujuan. Setelah semua panitia siap, pusaka di arak menuju Sendang Kawidodaren. Rute kirab pusaka berputar mengelilingi jalan Dusun
lxv
keceme. Jalan yang di lalui kirab pusaka dari tempat kepala Dusun atau juru kunci menuju Sendang Kawidodaren kurang lebih 1 Km. Peserta arak-arakan kirab pusaka di awali dari barisan terdepan yaitu juru kunci, tokoh masyarakat, sesepuh desa, pembawa umbarampe perlengkapan jamasan, pembawa pusaka , kemenyan, pembawa tumpeng gunungan, penabuh gamelan, perangkat desa dan warga masyarakat Dusun Keceme. Pembawa umbarampe perlengkapan jamasan pusaka terdiri dari enam orang perempuan dengan busana kebaya Jawa. Masing-masing membawa perlengkapan Jamasan di antaranya bunga setaman, jeruk nipis dan lawon. Kirab pusaka di iringi tabuhan gamelan kempul dan kecrek. Alat musik tabuhan di mainkan oleh empat orang. Masing-masing dua orang memainkan kempul dan dua orang memainkan kecrek. Alat musik tabuhan di mainkan secara beriringan. Alat musik tabuhan mempunyai fungsi untuk mengiringi jalannya upacara kirab jamasan menuju sendang kawidodaren. 3). Jamasan Pusaka Jamasan pusaka dilaksanakan di Sendang Kawidodaren. Penjamasan pusaka di mulai setelah rombongan peserta kirab pusaka sampai di lokasi Sendang Kawidodaren. Seluruh panitia kirab pusaka masuk ke lokasi Sendang. Sedangkan juru kunci menyalami para penjaga sendang yang telah menunggu di depan pintu sendang. Sebelum masuk
lxvi
sendang juru kunci menyiapkan pusaka tombak yang nantinya akan di jamas dengan melepaskan sarungnya beserta landheyannya. Juru kunci membawa tombak masuk sendang dengan dua tangan dan menyembahnya sebagai bentuk penghormatan kepada pusaka. Kemudian pusaka tombak di bawa masuk ke sendang dengan di iringi pembawa pusaka songsong, pembawa kemenyan, pembawa umbarampe jamasan pusaka yang terdiri dari kembang telon, jeruk pecel. Sebelum pusaka tombak tersebut di jamas, sendang kawidodaren di taburi bunga oleh kerabat juru kunci. Kemudian pusaka mulai di jamas dengan menyirami air menggunakan jeruk nipis dan di gosok ke arah dari bawah atau pegangan ke ujung tombak. Setelah pusaka
selesai di jamas,
kemudian pusaka tersebut di bersihkan dengan menggunakan kain mori yang sudah di siapkan terlebih dahulu. Tujuannya untuk menuntaskan air yang menempel . Dan kemudian pusaka kembali di pasang landheyan dan di bawa keluar sendang. Namun pusaka songsong atau payung tidak di Jamas. Karena pusaka songsong atau payung di bawa masuk sendang di gunakan untuk memayungi saat penjamasan pusaka tombak sampai selesai. Pusaka songsong tidak di jamas karena terbuat dari kain dan sulit untuk di keringkan. Sebelum pusaka di bawa kembali ketempat penyimpanan semula, panitia kirab pusaka membawa keluar gunungan bersama pusaka di lokasi sendang untuk di adakan rebutan gunungan.
lxvii
Rebutan gunungan tersebut di adakan di depan pintu masuk lokasi sendang kawidodaren. Setelah selesainya penjamasan pusaka, gunungan di perebutkan para warga masyarakat dan para pengunjung. Mereka yang bisa mendapatkan udik-udik berupa hasil bumi akan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang melimpah. Selain memperebutkan udik-udik berupa hasil bumi, banyak warga masyarakat dan pengunjung masuk ke dalam sendang kawidodaren untuk mengambil air bekas jamasan digunakan untuk cuci muka, keramas dan juga untuk di minum. Mereka percaya bahwa air bekas jamasan jika digunakan akan membuat awet muda, menyembuhkan berbagai macam penyakit dan mendapat berkah dari Allah. Dalam
pelaksanaan
jamasan
pusaka
di
sendang
kawidodaren bisa di lihat secara umum. Sehingga prosesi menjamas pusaka bisa di liput oleh wartawan ataupun masyarakat yang ingin melihat prosesi jamasan pusaka.
c. Penutup Upacara di tandai dengan selesainya penjamasan pusaka di Sendang Kawidodaren. Para panitia kirab kembali ke rumah kepala dusun dengan membawa pusaka untuk di simpan kembali. Seluruh
lxviii
panitia upacar berkumpul bersama di rumah juru kunci atau kepala dusun di akhiri dengan makan bersama. B. Fungsi Tradisi Adat Suronan Di Suroloyo Dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Fungsi spriritual Fungsi spiritual merupakan fungsi yang berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Dalam upacara jamasan pusaka yang dilaksanakan oleh warga dusun Keceme fungsi spiritual terlihat dari jalannya acara kenduri dan tirakatan yang dilakukan dengan proses secara agama islam. Tradisi adat suronan di Suroloyo dengan mengadakan jamasan pusaka tersebut dilaksanakan sesuai tradisi yang telah diwarisi sejak bertahun-tahun itu dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah untuk mendapatkan restu dari sang pencipta. Upacara jamasan pusaka juga dipercaya masyarakat yang datang mengikuti acara tersebut sebagai media untuk memohon keslamatan kepada Allah. 2. Fungsi sosial Fungsi sosial sebagai sarana untuk melakukan interaksi dan komunikasi antar warga masyarakat tersebut. Pada tradisi jamasan pusaka dapat digunakan sebagai media hubung antar sesama manusia.
dengan
dilaksanakannya
lxix
jamasan
pusaka
dapat
mempererat persaudaraan, kebersamaan dan gotong royong. Hubungan sosial yang dilaksanakan di desa biasa disebut dengan istilah sambatan. Sambatan merupakan tradisi gotong royong yang menjadi ciri khas kegiatan sosial di desa. Kegiatan sambatan dilaksanakan oleh warga masyarakat atas dasar sukarela tanpa imbalan apapun. Selain itu fungsi sosial sebagai sarana meningkatkan hubungan sosial diantara warga masyarakat. Kontak sosial masyarakat juga terlihat saat para masyarakat melakukan tahlil dan kirab pusaka. Pada saat tahlil dan kirab pusaka tergambar dengan jelasa rasa persaudaraan, kebersamaan, kekompakan, kegotongroyongan satu sama lainnya tanpa memandang status sosial ekonomi. Penyelenggaraan tradisi jamasan pusaka yang mendorong masyarakat untuk mematuhi warisan para nenek moyang tersebut.
3. Fungsi tradisi Perjalanan dalam kehidupan selalu dirayakan dengan upacara, dimaksudkan sebagai bentuk doa dan rasa syukur atas segala nikmat Allah. Pergantian tahun secara simbolis, merupakan
lxx
tanda dari optimisme perubahan nasib ke arah yang lebih baik ketimbang masa lalu. Pelaksanaan tradisi adat suronan yaitu dengan melaksanakan Jamasan Pusaka berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan tradisi. Fungsi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya. Sebagai fungsi pelestari tradisi, maka masyarakat di dusun Keceme masih tetap melaksanakan tradisi tersebut yaitu dengan melaksaakan upacara jamasan pusaka. Panitia, masyarakat dan sesepuh desa tidak berani meninggalkan tradisi adat suronan ini. Upacara jamasan pusaka tetap di laksanakan setiap tahun sekali yaitu tepat pada tanggal Satu Suro. Meskipum acara tersebut dilaksanakan dengan dana seadanya, tradisi adat suronan dengan melakukan jamasan pusaka tetap dilaksanakan. Setiap setahun sekali masyarakat mengadakan upacara atau pemandian bagi pusaka-pusaka yang di anggap kramat. Tujuan penyelenggaraan upacara di dusun Keceme adalah untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan dan ketentraman. Bagi sebagian masyarakat, benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuatan ghaib yang akan mendatangkan berkah apabila di rawat dengan cara di bersihkan dan dimandikan. Apabila tidak di rawat, maka masyarakat percaya bahwa isi yang
lxxi
ada di dalam benda-benda keramat tersebut akan pudar atau hilang sama sekali dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa yang tidak mempunyai kelebihan apapun. Selain itu fungsi dari tradisi adat suronan dengan jamasan pusaka adalah agar senjata-senjata pusaka tersebut tidak lekas rapuh da dapat bertahan lama. Masyarakat tetap melaksanakan upacara jamasan pusaka setiap tanggal 1 Suro, atas dasar perintah dari keraton. Masyarakat menganggap upacara untuk melestarikan budaya dan sebagai ungkapan rasa syukur yang di berikan Tuhan YME. 4. Fungsi ekonomi Fungsi yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi para pelaku tradisi upacara jamasan pusaka tersebut merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang yang keberadaanya sudah cukup lama. Dalam fungsi ekonomi ini, berperan dalam meningkatkan pendapatan para pelaku tradisi jamasan pada saat pelaksanaan tradisi. Beberapa pelaku memanfaatkan menjadi pedagang tiban di sepanjang jalan menuju lokasi upacara jamasan pusaka tersebut. Selain pedagang tiban, ada juga pemuda warga dusun Keceme mendapatkan uang dari hasil parker. Dan uang tersebut masuk ke kas remaja dan pemuda. Biasanya uang tersebut di gunakan untuk mengembangkan kumpulan remaja dusun Keceme.
lxxii
5. Pariwisata Selain empat fungsi di atas, tradisi adat suronan dengan melakukan jamasan pusaka mempunyai fungsi yaitu pariwisata. Di sini terlihat jelas bahwa tempat pelaksanaan jamasan pusaka di kawasan puncak Suroloyo yang merupakan puncak tertinggi di Kulonprogo yang berada di deretan pegunungan Menoreh. Suroloyo merupakan tempat wisata yang sudah ada sejak dulu, namun sebelum tradisi adat suronan tersebut dilaksanakan di kawasan puncak Suroloyo masih sepi pengunjung dan belum terkenal. Setelah setiap tahun sekali pada tanggal satu Suro, masyarakat dusun Keceme melaksanakan ritual tradisi adat dengan jamasan pusaka dan berebut udik-udik wisata alam puncak Suroloyo menjadi terkenal dan semakin ramai pengunjung. Bahkan di hari-hari biasa wisatawan dari luar kota Yogyakarta dan Mancanegara banyak yang berkunjung ke Puncak Suroloyo. C. Peranan Agama Dalam Tradisi Adat Suronan Terhadap Pembentukan Sikap Keagamaan Remaja Dalam tradisi adat suronan dengan melakukan tirakatan, kirab dan jamasan pusaka, ada peranan dalam pembentukan sikap keagamaan tersebut. Hal ini terbukti ketika para remaja juga ikut berperan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi adat tersebut. Karena dalam tradisi adat suronan tersebut mengandung unsur-
lxxiii
unsur keagamaan. Namun ketika para remaja belum diperkenalkan lebih mendalam tentang tradisi adat suronan, remaja masih beranggapan bahwa tradisi adat suronan tersebut hanya sekedar hiburan atau ajang rekreasi yang wajib di rayakan setiap tahunnya. Mereka belum paham apa arti tradisi adat suronan tersebut. Semenjak remaja di ikut sertakan dalam pelaksanaan tradisi suronan ini, sudah terlihat bahwa tradisi ini mempengaruhi pembentukan sikap keagamaan mereka. Karena dalam tradisi adat suronan ini juga mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti pengajian, tirakatan dan remaja diajarkan untuk menghormati agama lain. Setelah peneliti melakukan penelitian maka peran agama dalam tradisi adat suronan itu ada , meskipun tidak sepenuhnya pembentukan sikap keagamaan remaja itu terbentuk melalui tradisi adat suronan ini. Tetapi, pembentukan sikap keagamaan remaja di dusun Keceme desa Gerbosari ini terbentuk melalui keluarga dan pola kehidupan di dalam masyarakat yang mengajarkan kepada anakanak untuk mengikuti pendidikan di Tempat Pembelajaran Al – Qur’an (TPA), di TPA tersebut di didik untuk senantiasa berakhlaq baik. Seperti : mempelajari rukun iman dan rukun Islam, sholat lima
waktu
tepat
pada
waktunya,
membaca
Al-Qur’an,
menghormati orang tua, menghormati yang lebih tua, menyanyangi sesama, menolong orang yang membutuhkan.
lxxiv
Selain di TPA, pembentukan sikap keagamaan remaja juga terbentuk melalui pola asuh keluarga. Dalam keluarga anak juga di didik dari hal-hal yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti: mngajarkan sholat lima waktu tepat pada waktunya, mengaji, menghafal surat-surat pedek, menghormati orang tua, doa sehari-hari, selalu berkata jujur, tidak pelit, menghormati yang lebih
tua,
menyanyangi
sesama,
menolong
orang
yang
membutuhkan.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan observasi di atas, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam tradisi adat suronan yang dilaksanakan di kawasan wisata puncak Suroloyo ini dengan cara upacara kirab pusaka lxxv
dan
jamasan
pusaka
Kawidodaren.
Setelah
yang
dilaksanakan
melaksanakan
di
jamasan
Sendang pusaka
masyarakat memperebutkan gunungan atau udik-udik yang berupa hasil pertanian masyarakat dusun Keceme. 2. Fungsi tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam tradisi adat suronan di Suroloyo mempunyai lima fungsi. Diantaranya : Pertama, fungsi spriritual merupakan fungsi yang berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Upacara jamasan pusaka yang dilaksanakan oleh warga dusun Keceme fungsi spiritual terlihat dari jalannya acara kenduri dan tirakatan yang dilakukan dengan proses secara agama islam. Kedua, fungsi sosial fungsi sosial sebagai sarana meningkatkan hubungan sosial diantara warga masyarakat. Kontak sosial masyarakat juga terlihat saat para masyarakat melakukan tahlil dan kirab pusaka. Pada saat tahlil dan kirab pusaka tergambar dengan jelasa rasa persaudaraan, kebersamaan, kekompakan, kegotong-royongan satu sama lainnya tanpa memandang status sosial ekonomi .
Ketiga,
fungsi
tradisi
ini
berkaitan
dengan
perlindungan terhadap adat kebiasan turun temurun dari
lxxvi
nenek moyang yang masih dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Di dusun Keceme ini masih tetap melaksanakan upacara jamasan pusaka tepat tanggal 1 suro. Ke
empat,
fungsi
ekonomi
berperan
dalam
meningkatkan pendapatan para pelaku tradisi jamasan pusaka dengan memanfaatkan menjadi pedagang tiban di sepanjang jalan menuju lokasi dan menjadi tukang parkir. Kelima, Pariwisata terlihat jelas bahwa tempat pelaksanaan jamasan pusaka di kawasan puncak Suroloyo yang merupakan puncak tertinggi di Kulonprogo yang berada di deretan pegunungan Menoreh. Suroloyo merupakan tempat wisata yang sudah ada sejak dulu, namun sebelum tradisi adat suronan tersebut dilaksanakan di kawasan puncak Suroloyo masih sepi pengunjung dan belum terkenal. Setelah tradisi jamasan pusaka dilaksanakan setiap tahun suroloyo menjadi tempat wisata yang terkenal. 3. Peranan tradisi adat suronan terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja di Suroloyo dusun Keceme Tradisi
adat
suronan
mempengaruhi
sikap
keagamaan remaja di dusun Keceme Desa Gerbosari. Ini dapat di lihat dari antusias para remaja dusun Keceme dalam berpatisipasi atau berperan dalam pelaksanaan tradisi adat suronan yang dilakukan rutin setiap setahun sekali.
lxxvii
Tradisi adat suronan ini membawa dampak poitif terhadap pembentukan sikap remaja karena tradisi adat suronan tersebut
menjungjung
tinggi
nilai-nilai
keagamaan.
Meskipun sikap keagamaan remaja tidak sepenuhnya terbentuk melalui tradisi adat suronan tersebut. Namun pembentukan sikap remaja ini juga terbentuk melalui lingkup keluarga. Pada akhir penulisan ini, penulis memberikan saran yang mungkin dapat membantu dan bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan orang lain: 1.
Masyarakat
Dusun
Keceme
sebaiknya
tetap
menjaga, melestarikan dan mempertahankan tradisi adat suronan. 2.
Kepada
masyarakat
umum
sebaiknya
dapat
memberikan dukungan serta menghargai Tradisi Kebudayaan sebagai salah satu aset warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia.. 3.
Kepada
instansi
membina
dan
pemerintah
sebaiknya
mengembangkan
Tradisi
selalu Adat
Suronan, sehingga Tradisi Adat Suronan menjadi Wisata Religi yang menarik bagi masyarakat sekitar..
lxxviii
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan,baik dari pengumpulan data, analisis data maupun kata-kata yang kurang tepat,
sehingga
penulisan
ini
jauh
dari
kesempurnaan. Dengan demikian segala kritik dan saran yang bersifat membangun dalam perbaikan skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan bagi pembaca pada umumnya.
lxxix
lxxx
PEDOMAN WAWANCARA
A.
Tujuan
Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data-data berupa lisan dari narasumber sesuai dengan permasalahan yang diajukan. B.
Pokok-pokok pertanyaan
1.
Sejarah tradisi adat suronan di Suroloyo dusun Keceme Desa Gerbosari
2.
Fungsi tradisi adat suronan
3.
peranan agama pada tradisi suronan terhadap pembentukan sikap
keagamaan remaja 4.
prosesi tradisi adat suronan di Suroloyo
C.
Nara Sumber
1.
Sesepuh di dusun Keceme
2.
Ketua di dusun Keceme
3.
Ketua Paguyuban
4.
Kepala dukuh di dusun Keceme
6.
Masyarakat setempat
lxxxi
lxxxii
lxxxiii
lxxxiv
lxxxv
lxxxvi
lxxxvii